103
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA FORMULASI SABUN CUCI PIRING DENGAN VARIASI KONSENTRASI KAOLIN-BENTONIT SEBAGAI PENYUCI NAJIS MUGHALLADZAH SKRIPSI AZUMARI KHAIRIADY 1113102000055 FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI FARMASI JAKARTA SEPTEMBER 2017

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA FORMULASI SABUN CUCI

  • Upload
    others

  • View
    19

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

VARIASI KONSENTRASI KAOLIN-BENTONIT
PROGRAM STUDI FARMASI
VARIASI KONSENTRASI KAOLIN-BENTONIT
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi
AZUMARI KHAIRIADY
PROGRAM STUDI FARMASI
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
Skripsi ini adalah hasil karya sendiri dan semua sumber baik yang dikutip
maupun dirujuk telah saya nyatakan dengan benar
Nama : Azumari Khairiady
Kaolin-Bentonit Sebagai Penyuci Najis Mughalladzah
Disetujui oleh:
Kaolin-Bentonit Sebagai Penyuci Najis Mughalladzah
Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima
sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar
Sarjana Farmasi pada Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan
Ilmu Kesehatan, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
vi
ABSTRAK
Kaolin-Bentonit Sebagai Penyuci Najis Mughalladzah
Salah satu tanah yang dapat diformulasikan menjadi sabun penyuci najis
mughalladzah adalah bentonit dan kaolin. Bentonit yaitu sejenis tanah lempung
yang biasanya dijadikan sebagai adsorben (Susilawati, 2014) dan kaolin
merupakan clay dengan ukuran partikel paling baik sehingga dalam
penggunaanya akan meningkatkan kemampuan untuk teradsorbsi kedalam serat
pakaian (Puziah, dkk., 2014). Penelitian ini bertujuan untuk memformulasikan
sabun cuci piring sebagai penyuci najis mughalladzah dengan variasi konsentrasi
kaolin-bentonit yang stabil secara fisik dan untuk mengetahui aktivitas
antimikroba dari cairan sabun cuci piring beberapa jenis bakteri M. luteus dan E.
coli yang biasa terdapat dalam air liur anjing. Tahap pertama dibuat tiga formula
dengan variasi konsentrasi kaolin-bentonit, yaitu F1 Kaolin 10%; F2 kaolin-
bentonit 5%-5%; F3 bentonit10%. Sabun cuci piring dievaluasi sifat fisiknya yaitu
organoleptik, pH, viskositas, bobot jenis, stabilitas busa dan uji aktivitas
antibakteri dan evaluasi menurut SNI. Hasil evaluasi fisik menunjukkan formula 2
paling optimal dari segi organoleptik, homogenitas, pH berada pada kisaran
4,250–9,367, viskositas pada kisaran 10920-13040 cPs dan telah diujikan statistik
menggunakan ANOVA menghasilkan pH dan viskositas yang tidak berbeda
bermakna, bobot jenis pada kisaran 1,014-1,059 g/ml, presentase stabilitas busa
pada kisaran 60-100%. Sedangkan formula 1 dan 3, pH tidak memenuhi syarat.
Hasil uji aktivitas antibakteri dengan metode teknik difusi kertas cakram
menunjukkan formula 2 sabun cuci piring kaolin-bentonit dapat menghilangkan
bakteri dari air liur anjing. Hasil uji mutu sabun menurut SNI menunjukkan
formula 2 memenuhi persyaratan mutu sabun cuci piring menurut SNI.
Kata Kunci: Najis mughalladzah, sabun cuci piring, kaolin, bentonit, M. luteus
dan E. coli
Bentonit Concentration as a Cleansing Najis Mughalladzah
One of clay that can be formulated into odious mughalladzah washing soap is
bentonite and kaolin. Bentonite is a type of clay that is usually used as an
adsorbent (Susilawati, 2014) and kaolin is clay with the best particle size so that
in its use will increase the ability to be adsorbed into clothing fiber (Puziah, dkk.,
2014). This study aims to formulate dish soap as an odious mughalladzah washing
wastewater with a physically stable concentration of kaolin-bentonite
concentration and to determine the antimicrobial activity of dishwashing liquid of
some types of M. luteus and E. coli bacteria commonly present in dog saliva. The
first stage was made three formulas with variation of kaolin-bentonite
concentration, F1 of Kaolin 10%; F2 of kaolin-bentonite 5% -5%; F3 of bentonite
10%. Dish soap is evaluated its physical properties are organoleptic, pH,
viscosity, relative density, foam stability and antibacterial activity test and
evaluation according to SNI. The result of physical evaluation shows the most
optimal formula 2 in terms of organoleptic, homogeneity, pH is in the range of
4,250-9,367, viscosity in the range of 10920-13040 cPs and have been tested
statistically using ANOVA results pH and viscosity which is not significantly
different, the relative density in the range 1,014- 1,059 g / ml, the percentage of
foam stability in the range of 60-100%. While formula 1 and 3, pH is not eligible.
The results of antibacterial activity test by disc diffusion method showed formula
2 kaolin-bentonite dishwashing can remove bacteria from dog saliva. Result of
soap quality test according to SNI shows formula 2 qualify defined quality of dish
washing soap according to SNI.
Kata Kunci: Najis mughalladzah, dish soap, kaolin, bentonite, M. luteus dan E.
coli
viii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji dan syukur ke hadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat, dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi yang berjudul “Formulasi Sabun Cuci Piring Dengan Variasi
Konsentrasi Kaolin-Bentonit Sebagai Penyuci Najis Mughalladzah”. Shalawat
serta salam semoga senantiasa terlimpahkan kepada Nabi Muhammad Rasulullah
SAW. Skripsi ini dilakukan sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar
Sarjana Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Penulis menyadari bahwa dalam
penelitian sampai penyusunan skripsi ini tidak akan terwujud tanpa adanya
bantuan, bimbingan, dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu dalam
kesempatan ini penulis secara khusus mengucapkan terima kasih banyak kepada :
1. Kedua orang tua tercinta, Ayahanda Masri Mansoer, Ibunda Zukhda
Matondang yang senantiasa mencurahkan cinta, kasih sayang, do’a, nasihat,
serta dukungan baik moral maupun materil.
2. Kakak saya Asrariandy Masda, Ita Puspitasari dan adik saya Muhamad Arif
Rahman yang telah memberikan doa serta dukungan baik moral maupun
materil yang diberikan.
3. Bapak Dr. M. Yanis Musdja, M.Sc. Apt., dan Ibu Nelly Suryani, Ph.D. Apt.,
selaku pembimbing yang dengan sabar memberikan bimbingan, ilmu,
masukan, dukungan, dan semangat kepada penulis.
4. Dr. Arif Sumantri, M.KM selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu
Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
5. Ibu Dr. Nurmeilis, M.Si., Apt selaku Ketua Program Studi Farmasi Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
6. Ibu Nelly Suryani, Ph.D. Apt selaku Dosen Pembimbing Akademik yang telah
membimbing dan menerima keluh kesah selama perkuliahan.
7. Bapak dan Ibu Dosen Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu
Kesehatan yang telah bersedia memberikan ilmunya kepada penulis selama
masa perkuliahan.
Akhmad, Ervina Octaviani, Elok Faikoh, Fifi Nur Hidayah yang telah
memberikan motivasi dan bantuan selama penelitian.
9. Anak-anak TKF 2013 Wildan, Gusti, Dika, Rizal, Rifki, Rizki, Diffa, Dimas,
Mulya, Abi, Emir, Hafidz, Fauzan, Yoga, Bagas, Farhan, Abib, Herry yang
telah memberikan motivasi dalam selesainya penelitian ini.
10. Teman-teman program studi Farmasi UIN Jakarta angkatan 2013 atas
kebersamaan yang telah terjalin dan memotivasi penulis baik selama
pengerjaan skripsi ini maupun selama di bangku perkuliahan.
11. Seluruh laboran Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu
Kesehatan UIN Jakarta atas kerjasamanya selama melakukan penelitian di
laboratorium.
12. Semua pihak yang telah membantu selama penelitian dan penyelesaian naskah
skripsi baik secara langsung maupun tidak langsung yang namanya tidak dapat
penulis sebutkan satu persatu.
Semoga Allah SWT memberikan balasan yang berlipat ganda atas semua
bantuan dan dukungan yang diberikan. Penulis menyadari bahwa penyusunan
skripsi ini masih belum sempurna dan banyak kekurangan. Oleh karena itu, saran
serta kritik yang membangun sangat diharapkan. Semoga skripsi ini bermanfaat
bagi penulis dan pembaca. Aamiin Ya Rabbal’alamiin.
Ciputat, 22 September 2017
Sebagai sivitas akademik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta, saya yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : Azumari Khairiady
Jenis Karya : Skripsi
ilmiah saya, dengan judul :
Sebagai Penyuci Najis Mughalladzah
Untuk dipublikasikan atau ditampilkan di internet atau media lain yaitu Digital
Library Perpustakaan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
untuk kepentingan akademik sebatas sesuai Undang-Undang Hak Cipta.
Demikian pernyataan persetujuan publikasi karya ilmiah ini saya buat
dengan sebenarnya.
Yang menyatakan
(Azumari Khairiady)
DAFTAR ISI ............................................................................................................ xi
DAFTAR TABEL .................................................................................................... xv
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................... xvi
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................... xvii
2.1. Najis dan Cara Bersuci (Thaharah) ................................................................... 6
2.1.1. Pengertian Najis dan Klasifikasinya ................................................... 6
2.2. Standar Bersuci (Thaharah) ............................................................................... 8
2.3. Surfaktan ............................................................................................................ 10
Halaman
xii
2.5. Clay .................................................................................................................... 16
2.5.1. Bentonit ............................................................................................... 17
2.5.2. Kaolin .................................................................................................. 18
2.7. Natrium Sulfat .................................................................................................... 21
2.8. Kokamid DEA .................................................................................................... 22
2.16.1. E. coli ................................................................................................ 29
3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ............................................................................ 31
3.2. Alat dan Bahan ................................................................................................... 31
3.2.1. Alat ..................................................................................................... 31
3.2.2. Bahan .................................................................................................. 31
3.3.3. Evaluasi Sifat Fisik dan Kimia Sabun Cuci Piring ............................. 33
3.3.3.1. Pemeriksaan Organoleptik ....................................................... 33
3.3.3.2. Pengujian Viskositas .............................................................. 33
3.3.3.3. Pemeriksaan pH ..................................................................... 33
xiii
3.3.5.1. Uji Aktivitas Antibakteri ........................................................ 35
3.3.5.2. Pengamatan dengan Mikroskop Elektron (SEM) .................. 35
3.3.5. Teknik Analisis Data ........................................................................... 36
BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................... 37
4.1. Formulasi Sabun Cuci Piring ............................................................................. 37
4.2. Evaluasi Sifat Fisik dan Kimia Sabun Cuci Piring ............................................ 39
4.2.1. Pemeriksaan Organoleptik .................................................................. 39
4.2.2. Pengujian Viskositas ........................................................................... 39
4.2.3. Pemeriksaan pH .................................................................................. 42
4.2.5. Pemeriksaan Stabilitas Busa ............................................................... 45
4.2.6. Pemeriksaan Volume Sedimentasi ...................................................... 47
4.2.7. Evaluasi Syarat Mutu Deterjen Cuci Cair Berdasarkan SNI .............. 49
4.2.7.1. Bahan Aktif ............................................................................. 49
4.2.7.2. Alkali Bebas ............................................................................ 50
BAB 5 PENUTUP .................................................................................................... 57
Tabel 2.2 Syarat Mutu Sabun Cuci Piring ..................................................... 16
Tabel 2.3 Komposisi Kimia Tanah Liat
dengan Scanning Electron Microscopy (SEM) .............................. 17
Tabel 2.4 Komposisi Kimia Tanah Liat Kaoilin
dengan menggunakan alat SEM-EDX ........................................... 19
Tabel 3.1 Formula Sabun Cuci Piring
(Variasi Konsentrasi Bentonit-Kaolin) .......................................... 32
Tabel 4.5 Hasil Pemeriksaan Bobot Jenis ...................................................... 43
Tabel 4.6 Hasil Pemeriksaan Stabilitas Busa ................................................. 45
Tabel 4.7 Hasil Pemeriksaan Uji Volume Sedimentasi ................................. 47
Tabel 4.8 Hasil Evalusai Syarat Mutu Deterjen Cuci Cair Berdasarkan
SNI…. ........................................................................................... .49
Tabel 4.9 Hasil Pengujian Aktivitas Antibakteri Sabun Cuci Piring ............. 52
Tabel 4.10 Hasil Pengamatan dengan Menggunakan Mikroskop Elektron ..... 55
xv
Gambar 2.2 Reaksi saponifikasi......................................................................... 12
Gambar 2.4 Cara Kerja Sabun Sebagai Pembersih ............................................ 13
Gambar 2.5 Struktur Natrium Lauril Eter Sulfat .............................................. 19
Gambar 2.6 Struktur Natrium Sulfat ................................................................. 21
Gambar 2.7 Struktur Kokamid DEA ................................................................. 22
Gambar 2.8 Struktur kokamidopropil betain .................................................... 23
Gambar 2.9 Struktur Dinatrium EDTA............................................................. 24
Gambar 4.2 Grafik Nilai pH Rata-rata ............................................................... 42
Gambar 4.3 Grafik Hasil Bobot Jenis ................................................................ 44
Gambar 4.4 Grafik Hasil Stabilitas Busa ........................................................... 45
Gambar 4.5 Grafik Uji Volume Sedimentasi F1 .............................................. 47
Gambar 4.6 Grafik Uji Volume Sedimentasi F2 ............................................... 48
Gambar 4.7 Grafik Uji Volume Sedimentasi F3 ............................................... 48
Gambar 4.8 Gambar Pengujian Aktivitas Antibakteri F2 dan Basis Sabun Cuci
Piring .............................................................................................. 52
Lampiran 1. Alur Penelitian .............................................................................. 65
Lampiran 2. Gambar Sabun Cuci Piring Formula 1, 2 dan 3 ............................. 66
Lampiran 3. Sertifikat Analisa Natrium Lauryl Eter Sulfat ............................... 67
Lampiran 4. Sertifikat Analisa Bentonit ............................................................. 68
Lampiran 5. Sertifikat Analisa Kaolin ................................................................ 69
Lampiran 6. Sertifikat Analisa Kokamidopropil betain ..................................... 70
Lampiran 7. Hasil Statistik Viskositas Formula 1, 2 dan 3 ................................ 71
Lampiran 8. Hasil Statistik pH Formula 1,2 dan 3 ............................................ 73
Lampiran 9. Hasil Statistik Bobot Jenis Formula 1,2 dan 3 ............................... 75
Lampiran 10. Hasil Statistik Stabilitas Busa ...................................................... 77
Lampiran 11. Perhitungan Bobot Jenis ................................................................. 79
Lampiran 12. Perhitungan Stabilitas Busa............................................................ 80
Lampiran 13. Perhitungan Volume Sedimentasi .................................................. 81
Lampiran 14. Hasil Pengujian Mutu Sabun Cuci Piring Menurut SNI ................ 82
Lampiran 15. Syarat Mutu Sabun Cuci Piring Berdasarkan SNI ......................... 84
Lampiran 16. Pengamatan Uji Stabilitas Busa ..................................................... 85
Lampiran 17. Pengamatan Uji Volume Sedimentasi ........................................... 88
1
2012 memiliki penduduk dengan mayoritas beragama Islam terbesar di dunia
yaitu, sebanyak 87,18 % dari 237.641.326 penduduk Indonesia. Oleh karena itu,
agama Islam merupakan agama yang sangat berpengaruh terhadap sosial dan
budaya yang berkembang di Indonesia. Masalah halal dan haramnya suatu produk
merupakan masalah yang serius bagi masyarakat mayoritas yang beragama Islam
di Indonesia, sebab hal itu berkaitan dengan persoalan iman dan kepercayaan
masyarakat. Meningkatnya kesadaran konsumen akan pentingnya mengkonsumsi
dan menggunakan produk halal mengakibatkan masyarakat semakin selektif
dalam memilih produk yang akan dikonsumsi dan mencari cara untuk
menghindari hal-hal non-halal (Apriyani, 2014).
Thaharah adalah kegiatan menyucikan diri dari kotoran dan najis. Dalam
ajaran Islam, thaharah sangat diperhatikan sebab merupakan salah satu syarat
sahnya ibadah (Mughniyah, 2002). Ketika bersuci biasanya dilakukan dengan
menggunakan air, adapun menurut Abatasa (2012) yaitu bahan tersendiri dan
tidak bisa tergantikan atau harus sesuai syariat Islam dengan menggunakan
tanah/debu yang suci. Namun, dengan perkembangan jaman dan teknologi cara
menyucikan diri dengan tanah/debu memberikan manfaat yang kurang praktis
terhadap kehidupan masyrakat saat ini. Berdasarkan metode yang digunakan
bahwa ulama mazhab Maliki menetapkan hukum jilatan cukup dengan membasuh
bejana yang terkena jilatan anjing hingga tujuh kali basuhan adalah sebagai
taabbudi (bentuk ibadah) sebagaimana seorang muslim dianjurkan untuk berwudu
ketika akan shalat bukan berarti karena dia najis. Sedangkan hukum jilatan anjing
menurut ulama mazhab Syafii adalah najis secara mutlak, dengan alasan adanya
perintah Rasulullah SAW. untuk membasuh bekas jilatan anjing dan tidaklah
pembasuhan itu dilakukan kecuali sebab najis atau adanya hadas. Dan mengingat
lidah dan mulut adalah anggota utama hewan dan ia dikategorikan sebagai najis
(Karbi, 2011). Oleh karena itu, untuk membuat masyarakat khususnya umat Islam
2
di Indonesia yang lebih banyak mengacu kepada mazhab Syafii untuk
mempermudah dan praktis dalam menyucikan diri sebelumnya telah dilakukan
inovasi tanah untuk bersuci oleh Anggraeni (2014), kemudian penelitian lain oleh
Mauliana (2015).
berfungsi untuk proses pembasmian (sterilisasi) beberapa kuman. Dengan
menambahkan tanah dalam sabun maka unsur tetracycline dan tetarolite akan
membersihkan kuman dari najis saat digunakan. Selain itu, kedua komponen ini
merupakan antibiotik yang dapat membunuh mikroorganisme yang merugikan
seperti E. coli dan M. luteus yang terdapat dalam liur anjing.
Salah satu tanah yang dapat diformulasikan adalah bentonit dan kaolin.
Menurut Susilawati (2104) bentonit yaitu sejenis tanah lempung yang biasanya
dijadikan sebagai adsorben dan mempunyai komposisi utama mineral lempung,
sekitar 80% terdiri atas monmorilonit (Günister., dkk. 2004). Sedangkan kaolin
menurut Puziah.,dkk (2014) merupakan jenis tanah liat (clay) dengan ukuran
partikel paling baik yang mengakibatkan dalam penggunaanya akan mempunyai
luas permukaan aktif yang besar dan akan meningkatkan kemampuan untuk
teradsorbsi kedalam serat pakaian.
sehari-hari karena kebanyakan masyarakat menggunakan sabun, terutama sabun
batang untuk membersihkan badan (Qisti, 2009). Sementara itu, berdasarkan
Günister., dkk (2004) tidak semua jenis tanah dapat diformulasikan sebagai
sabun. Hanya tanah yang sesuai dengan pharmaceutical grade yang dapat
digunakan untuk menghasilkan formulasi sabun yang optimal. Konsentrasi tanah
yang digunakan dalam formulasi sabun juga berpengaruh terhadap keoptimalan
sediaan, konsentrasi tanah yang digunakan dalam sabun tersebut berada pada
rentang konsentrasi 0,05-95% dan telah mendapat persetujuan dari Komite Islam
Bangkok untuk digunakan sebagai penyuci najis sesuai dengan peraturan Islam
(Dahlan, 2010).
Pada penelitian ini, akan dibuat formulasi sabun cuci piring dengan variasi
konsentrasi penggunaan kaolin dan bentonit untuk mempermudah pemilik anjing
3
dalam membersihkan alat dapur dari najis air liur anjing yang mengacu pada
mazhab Syafii dan untuk mengetahui pengaruh terhadap bakteri-bakteri yang
terkandung didalamnya. Formulasi yang tepat dalam pembuatan sabun cuci piring
ini sangat penting untuk menciptakan produk sabun cuci piring yang berkualitas
sangat baik.
terhadap stabilitas fisik sabun sabun cuci piring?
2. Apakah formula variasi kaolin dan bentonit dapat menghasilkan
sediaan sabun cuci piring yang memenuhi syarat mutu sabun
menurut SNI?
3. Apakah cairan sabun cuci piring dengan variasi konsentrasi kaolin
dan bentonit memiliki aktivitas antimikroba terhadap beberapa jenis
bakteri M. luteus dan E. coli yang biasa terdapat dalam air liur
anjing?
cuci piring yang dapat menyucikan najis mugholladzah yang stabil secara
fisik dengan variasi konsentrasi kaolin dan bentonit, mengetahui pengaruh
variasi konsentrasi kaolin dan bentonit terhadap stabilitas fisik sediaan sabun
cuci piring serta formula terbaik yang dapat dihasilkan, mengetahui formula
sabun cuci piring variasi konsentrasi tanah terbaik memenuhi syarat sabun
cuci piring menurut SNI, mengetahui aktivitas antimikroba dari cairan sabun
cuci piring dengan variasi konsentrasi kaolin dan bentonit terhadap beberapa
jenis bakteri M. luteus dan E. coli yang biasa terdapat dalam air liur anjing.
4
1. Memberikan informasi mengenai formula dengan variasi kaolin dan
bentonit untuk memformulasikan menjadi sediaan sabun cair yang
dapay menyucikan najis mugholladzah.
dan bentonit terhadap stabilitas fisik sediaan sabun cuci piring.
3. Mengetahui variasi konsentrasi tanah terbaik dalam sediaan sabun cuci
piring.
membersihkan peralatan dapur dari najis mughalladzah.
5. Memberikan informasi mengenai aktivitas antimikroba dari cairan
sabun cuci piring dengan variasi konsentrasi kaolin dan bentonit
terhadap beberapa jenis bakteri M. luteus dan E. coli yang biasa
terdapat dalam air liur anjing.
1.5. Batasan Masalah
Penulis menetapkan batasan-batasan dari kajian ini agar tidak melebar ke
pembahasan yang lebih luas, dengan batasan sebagai berikut:
1. Penelitian ini ditujukan untuk pada air liur anjing, adapun jenis bakteri
yang dikhususkan pada air liur anjing tersebut adalah M. luteus dan E.
coli.
2. Tidak semua jenis najis mughalladzah diujikan pada penelitian ini.
6
2.1.1. Pengertian Najis dan Klasifikasinya
Najis atau an-najasah secara bahasa berarti kotoran (Sarwat, 2010).
Berdasarkan Zurinal dan Aminudin (2008) najis merupakan kotoran yang
bagi semua umat Islam wajib untuk menyucikannya dan menyucikan apa
yang dikenainya. Allah SWT berfirman dalam Q.S Al-Baqarah ayat 222:

Yang artinya: “sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat
dan orang-orang yang mensucikan diri “.
Perbedaan pandangan antara Imam Malik dan Imam Syafi’i
melakukan ijtihad mengenai hukum jilatan anjing dapat terjadi akibat
perbedaan ikhtilaf (pendapat) tersebut disebabkan perbedaan memahami
dan menafsirkan nas. Mazhab imam Malik merujuk kepada hadits Nabi
Muhammad SAW. “Jika ada anjing yang menjilati wadah kalian maka
buanglah isinya dan kemudian basuhlah wadah tadi tujuh kali” (HR.
Muslim). Sementara mazhab Syafi’i menetapkan najis air liur anjing yang
cara menyucikannya harus dengan menggunakan air, sebanyak tujuh kali
dan salah satu darinya dicampur dengan debu atau tanah yang suci, seperti
yang disebutkan dalam hadits dari Abu Hurairah r.a berkata, bahwa
Rasulullah SAW telah bersabda “Sucikanlah bejana salah seorang dari
kalian bila terjilat anjing dengan supaknya dicuci tujuh kali, awalnya
dengan debu” (HR. Muslim dan Ahmad). Umat Islam yang mengikuti
mazhab imam Syafi’i tentunya akan mengikuti pendapat beliau terkait
dengan penggunaan tanah untuk keperluan mensucikan diri dan lainnya
dari air liur anjing.
berdasarkan tingkat kesulitan dalam mensucikan atau menghilangkannya,
diantaranya yaitu (Sarwat, 2010):
disebut najis ringan disebabkan cara mensucikannya sangat ringan,
tidak perlu najis tersebut sampai hilang dan cukup dengan
memercikkannya menggunakan air, kemudian benda najis itu berubah
menjadi suci.
Contoh dari najis ini satu-satunya yaitu air kencing bayi laki-laki
yang belum makan apa pun kecuali air susu ibu. Jika bayi tersebut
perempuan, maka air kencingnya tidak termasuk ke dalam najis ringan,
namun tetap dianggap najis yaitu najis pertengahan. Demikian juga
jika bayi laki-laki tersebut sudah pernah mengkonsumsi makanan
selain air susu ibu, seperti susu kaleng buatan pabrik, maka air
kencingnya sudah tidak termasuk ke dalam najis ringan.
2. Najis Pertengahan
ditengah-tengah antara najis ringan dan najis berat. Cara menyucikan
najis mutawassithah cukup dihilangkan secara fisik 'ain najisnya,
hingga 3 indikatornya sudah tidak ada lagi. Ketiga indikator tersebut
yaitu: warna, rasa dan aroma.
Semua najis yang tidak termasuk ke dalam najis yang berat atau
ringan, berarti termasuk ke dalam najis pertengahan. Najis
mutawassithah, berdasarkan Rifa’i (2006) dibagi menjadi dua bagian,
yaitu:
a. Najis ‘ainiyyah, yang berarti najis yang bendanya berwujud, seperti
darah, nanah, dan air kencing. Cara menyucikannya yaitu dengan
cara menghilangkan zatnya terlebih dahulu hingga hilang wujud,
bau dan warnanya. Selanjutnya menyiram menggunakan air hingga
8
bersih dan dikeringkan. Bau dan warna yang sulit hilang dapat
dimaafkan.
b. Najis hukmiyyah, yang berarti najis yang bendanya tidak berwujud,
seperti bekas kencing dan arak yang sudah kering. Cara
menyucikannya cukup dengan cara mengalirkan air pada bekas
najis tersebut.
disebut najis berat disebabkan najis yang termasuk ke dalam golongan
ini tidak dapat suci begitu saja dengan cara mencuci atau
menghilangkannya secara fisik, namun harus dilakukan praktik ritual
tertentu. Ritualnya dengan cara mencuci menggunakan air sebanyak
tujuh kali dan salah satunya dengan tanah. Hal ini berdasarkan hadist
Rasulullah SAW:


Yang artinya :” sucinya wadah air kalian yang diminum anjing adalah
dengan mencucinya tujuh kali, salah satunya dengan air ” (HR.
Muslim).
Dalam mazhab Asy-Syafi'i, najis berat hanya dua saja, yaitu anjing dan
babi.
Nadhzafah, yaitu kebersihan. Sedangkan thaharah dalam istilah para ahli fiqih
adalah :
2. Mengangkat hadats dan menghilangkan najis.
Sedangkan kata standar berdasarkan Maulana (2004) didalam kamus
ilmiah bermakna alat penopang atau yang dipakai untuk menjadi patokan.
Jadi, standar bersuci (thaharah) artinya yaitu ukuran atau patokan atau sesuatu
9
dikatakan suci atau bersih. Namun didalam kajian-kajian fiqh thaharah tidak
menjelaskan konkrit mengenai apa yang disebut standar bersuci (thaharah).
Terdapat parameter atau tolak ukur yang dapat digunakan sebagai standar
sesuatu tersebut dapat dikatakan suci/bersih harus terhindar dari tiga sifat
yaitu:
1. Warna, jika wujud najis tersebut sudah tidak terlihat lagi oleh
pancaindera
2. Bau, jika aroma atau bau yang terdapat di dalam najis sudah tidak
tercium
Alat yang dapat digunakan untuk menyucikan hadast menurut Hasan
(2001) dapat berupa benda padat atau cair, misalnya batu atau pasir dan air.
Tidak semua air dapat digunakan untuk bersuci, oleh karenanya air dibedakan
menjadi empat macam:
a. Air mutlak, yaitu air suci yang menyucikan atau air yang jatuh dari
langit atau keluar dari bumi masih tetap keadaanya. Contohnya, air
hujan, air laut, air sumur, salju es dan air yang keluar dari air mata
(Ridhwi, 2002). Allah SWT berfirman dalam Q.S. Al-anfal: 11:


Yang artinya :” (Ingatlah), ketika Allah menjadikan kamu mengantuk
sebagai suatu penenteraman daripada-Nya, dan Allah menurunkan
kepadamu hujan dari langit untuk mensucikan kamu dengan hujan itu
dan menghilangkan dari kamu gangguan-gangguan syaitan dan untuk
menguatkan hatimu dan memperteguh dengannya telapak kaki(mu).”
Q.S. Al-anfal (8): 11.
b. Air musta’mal, yaitu air suci namun tidak dapat menyucikan. Dalam
hal ini, zatnya suci namun tidak sah untuk dibuat menyucikan sesuatu
(Hasan, 2001). Terdapat tiga macam air yang termasuk dalam
golongan ini, diantaranya:
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1. Air yang salah satu sifatnya telah berubah sebab bercampur dengan
sesuatu benda yang suci selain dari perubahan diatas. Contohnya,
air kopi dan teh.
2. Air yang telah terpakai untuk menghilangkan hukum najis, sedang
air tersebut tidak berubah sifatnya dan tidaj bertambah
timbangannya.
3. Air nira atau tekukan pohon kayu, air kelapa dan sebagainya
(Rasjid, 2002).
c. Air najis, yaitu air yang tidak suci ataupun tidak menyucikan. Air najis
terbagi dalam dua keadaan. Diantaranya:
1. Apabila suatu najis tersebut mengubah salah satu diantara rasa,
warna atau baunya. Dalam hal ini para ulama sepakat air tersebut
tidak dapat dipakai untuk bersuci.
2.3 Surfaktan
dari kata surface active agent atau permukaan agen aktif. Surfaktan
mempunyai kemampuan dalam mempengaruhi sifat permukaan
(surface) dan antarmuka (interface), oleh karena itu surfaktan
banyak dimanfaatkan (Perkins, 1998).
untuk kosmetik dan dikelompokkan ke dalam enam kategori yaitu
agen pembersih, agen pengemulsi, agen pembusa, hidrotropic,
agen solubilisasi dan agen pensuspensi. Surfaktan adalah molekul
yang mempunyai gugus lipofilik (solvent-loving) dan dan gugus
liofob (solvent-fearing). Masing-masing istilah tersebut digunakan
apabila pelarut yang digunakan yaitu air atau aqueous solutions.
Berdasarkan Farn (2006), dalam istilah sederhana surfaktan
mengandung setidaknya satu kelompok non-polar dan satu
kelompok polar (atau ion), seperti gambar berikut ini:
11
[Sumber: Chemistry and Technology of Surfactants, 2006]
2.3.2 Klasifikasi Surfaktan
menurut Myers (1987) terbagi atas empat kelas, yaitu:
1. Anionik, gugus hidrofiliknya adalah grup senyawa bermuatan
negative, seperti karboksil (RCOO - M
+ ), sulfonat (RSO3
positif, seperti kuarter ammonium halide (R4N + X
- ) dan empat
grup R tersebut bias sama atau berbeda namun masih dalam
satu famili.
namun berasal dari turunan grup air yang sangat polar, seperti
polioksetilena (POE atau R-OCH2CH2O-) atau grup R-polyol
termasuk garam.
muatan negatif, seperti sulfobetain RN+ (CH3)2CH2CH2SO3 - ).
2.4 Sabun
bahan yang digunakan untuk mencuci dan mengemulsi, terdiri dari
dari dua komponen utama yaitu asam lemak rantai karbon C16 dan
sodium atau potasium. Sementara itu, sabun menurut Sari, dkk.
(2010) merupakan satu macam surface active agent (surfaktan)
atau senyawa yang menurunkan tegangan permukaan air. Hal ini
12
menghilangkan kotoran serta minyak.
saponifikasi dan proses netralisasi minyak. Proses saponifikasi
terjadi akibat reaksi antara trigliserida dengan alkali dan akan
menghasilkan produk sampingan yaitu gliserol dan proses
netralisasi minyak terjadi akibat reaksi asam lemak bebas dengan
alkali dan tidak akan menghasilkan gliserol. Sabun asam lemak
sangat baik menghilangkan kotoran (tanah) dan sangat baik
mensuspensi minyak pada proses pencucian (Zulkifli dan Estiasih,
2014).
serat karena struktur kimianya, yaitu bagian dari rantai (ionnya)
yang bersifat hidrofil dan rantai karbonnya bersifat hidrofobik.
Mekanismenya yaitu, rantai hidrokarbon larut dalam partikel
minyak yang tidak larut dalam air. Kemudian ionnya akan
terdispersi atau teremulsi dalam air sehingga dapat dicuci. Muatan
Negatif dan ion sabun juga menyebabkan tetes minyak sabun untuk
menolak satu sama lain sehingga minyak yang teremulsi tidak
dapat mengendap (Sari dkk., 2010).
Keterangan:
[Sumber: Barlianty, 2009; Wilson, 2008]
2.4.3. Klasifikasi Sabun
natrium dengan asam lemak yang berasal dari minyak nabati atau
lemak hewani. Sabun keras adalah sabun yang dibuat dengan
NaOH, sedangkan sabun lunak adalah sabun yang dibuat dengan
KOH (Zulkifli dan Estiasih, 2014).
14
menjadi tiga, yaitu:
Sabun padat merupakan sabun yang dibuat dari NaOH dan
asam lemak rantai pendek yang mempunyai ikatan jenuh.
Berdasarkan tingkat transparansinya, sabun padat dibagi
menjadi tiga jenis, yaitu:
b) Sabun translucent, mempunyai tampilan agak
transparan.
transparan.
Sabun cair merupakan sabun yang dibuat dari KOH dan
asam lemak rantai pendek ikatan tak jenuh.
2.4.4. Syarat Mutu Sabun
alkali dalam sabun yang tidak terikat sebagai senyawa sabun.
Kadar alkali dalam sabun mandi tidak boleh melebihi 0.10 % untuk
sabun natrium dan 0.14% untuk KOH. Hal tersebut dikarenakan
alkali bersifat keras dan dapat menyebabkan iritasi pada kulit.
kelebihan alkali bebas pada sabun dapat disebabkan karena
konsentrasi alkali yang pekat atau berlebih pada proses
penyabunan. Biasanya, sabun dengan kadar alkali yang lebih besar
digolongkan ke dalam sabun cuci.
Asam lemak bebas adalah asam lemak dalam keadaan
bebas dan tidak berikatan lagi dengan gliserol, terbentuk akibat
terjadinya reaksi hidrolisis terhadap minyak yang mengalami
ketengikan. Asam lemak bebas dalam minyak tidak dikehendaki
akibat degradasi asam lemak bebas dapat menghasilkan rasa dan
bau yang tidak disukai.
No Jenis Uji Satuan Standar
1. Jumlah asam lemak, (b/b) % Min 70,00
2. Kadar tak tersabunkan,
menguap (b/b)
% Maks 15,00
alkohol, (b/b)
% Maks 2,50
Sabun menurut Parasuram (1995) memiliki gugus hidrofil
dan hidrofob (RCOOK + ). Bagian dari sabun yang berperan dalam
sifat deterjennya (busa) yaitu gugus RCOO - .
Sabun yang dilarutkan dalam air akan terurai dan
menyebabkan tegangan permukaan air akan menurun. Permukaan
yang akan dibersihkan dapat dibasahi dengan air terlebih dahulu.
Buih air sabun akan membantu mengapungkan kotoran dalam air,
selain itu struktur sabun terdiri dari bagian hidrokarbon yang hanya
larut dalam minyak akan mengepung kotoran berminyak dan ion
yang hanya larut dalam air di mana kotoran berminyak yang
dikepung oleh ion sabun itu akan terlepas dari permukaan yang
dibersihkan dan tersebar di dalam air (Djatmiko dan Widjaja,
1984). Berikut merupakan syarat mutu sabun cuci piring
berdasarkan SNI, 1994:
No Jenis Uji Satuan Standar
1. Jumlah asam lemak % 64-70
2. Kadar air % Maks 15
3. Alkali bebas
lemak netral
mikrometer.
diantaranya sebagai berikut:
2. Permeabilitas rendah
5. Proses konsolidasi lambat
oleh asam karbonat dan sebagian dihasilkan dari aktivitas panas
bumi. Tanah liat dapat dibedakan dengan tanah yang lainnya
berdasarkan ukuran dan kandungan mineraloginya Aphin (2012).
Berikut merupakan komposisi kimia tanah liat yang di analisa
17
(Prameswari, 2008):
Microscopy (SEM)
sabun untuk menyucikan najis mughalladzah berdasarkan
Anggraeni (2014) adalah bentonit yang mempunyai komposisi
utama mineral lempung (tanah liat).
Tanah berdasarkan Husnain (2010) berarti sebagai material
yang terdiri dari butiran mineral-mineral padat dan dari bahan-
bahan organik yang telah melapuk. Komponen terbesar dari tanah
adalah silika. Butir tanah diklasifikasikan kedalam tiga jenis, yaitu:
1. Pasir (sand), merupakan butir tanah yang berukuran antara
0,050 - 2 mm.
2. Debu (silt), merupakan butir tanah yang berukuran antara 0,002
- 0,050 mm.
dari 0,002 mm.
liat (clay) alami golongan smektit dioktahedral yang mengandung
sekitar 80% monmorilonit (Mg2Al10Si24O60(OH)12) dan sisanya
18
karbonat, pasir kuarsa, dan mineral lainnya.
Bentonit mempunyai pemerian berupa kristal, mineral
seperti tanah liat, dan dapat diperoleh dalam bentuk serbuk tak
berbau, kuning pucat, atau krem hingga abu-abu, yang bebas dari
pasir. Bentonit sedikit berasa seperti tanah. Bentonit dalam bidang
farmasi biasanya digunakan untuk memformulasi suspensi, gel dan
juga digunakan untuk mensuspensikan serbuk dalam sediaan cair
serta mempersiapkan basis krim yang mengandung agen
pengemulsi minyak dalam air (Rowe dkk., 2009).
2.5.2 Kaolin
merupakan aluminium silikat hidrat alam yang telah dimurnikan
dengan pencucian dan dikeringkan, kaolin mengandung bahan
pendispersi.
suspensi dan sebagai diluen dalam formulasi tablet dan kapsul.
Kaolin adalah bahan yang stabil dan tidak beracun, praktis tidak
larut dalam dietil eter, etanol (95%), air, asam encer dingin, larutan
alkali hidroksida dan pelarut organik lainnya. Berikut merupakan
komposisi kimia tanah liat kaolin berdasarkan Hamzah (2005)
yang di analisa dengan menggunakan alat SEM-EDX (Scanning
Electron Microscopy-Energy Dispersive X-ray) :
menggunakan alat SEM-EDX
1. Mg Magnesium 37,98
2. O Oksigen 37,98
3. Al Aluminium 14,50
4. Si Silika 38,51
5. K Kalium 1,69
6. Ti Titan 0,69
7. Fe Besi 5,41
anionik yang paling banyak digunakan dalam kosmetika atau
produk-produk perawatan diri. SLES memiliki pH antara 7-9,
senyawa yang mudah mengental dengan garam dan memiliki
kelarutan dalam air yang baik. Kesesuaian SLES terhadap kulit dan
mata dapat diterima pada kebanyakan aplikasi juga dapat
ditingkatkan melalui kombinasi dengan surfaktan sekunder yang
tidak terlalu kuat. SLES memiliki bentuk pasta kental berwarna
putih atau kuning cerah, tidak berbau, hampir tidak larut dalam air,
praktis larut dalam aseton, praktis larut dalam etanol, rumus
formula C12H26Na2O5S dengan berat molekul 328,38 g/mol, berat
jenis 1,03 gr/cm 3 (20
o C), PH 7,5 – 8,5 pada 10% dalam air, titik
20
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
didih 100 o C. Dengan nama lain Fattyalkohol (C12-C14) eter sulfat;
Lauril eter sulfat, Garam natrium; Naxolat ES-360; Naxolat ES-
330; Naxolat ES-230; Naxolat ES-130. Biasanya digunakan dalam
deterjen cair seperti cairan pencuci piring, sampo, sabun mandi
cair, cairan pencuci piring. Pada industri tekstil, percetakan,
pewarnaan, minyak bumi dan industri kulit dapat digunakan
sebagai pelumas, zat pewarna, zat pembersih dan zat pembuat busa
(foaming agent).
(OCH2CH2)nOSO3‾Na + dimana R adalah rantai alkil dengan
berbagai panjang utamanya adalah C12 (lauril) dan rata-rata derajat
etoksilat n yang sama dengan 2 atau 3. Lauril sulfat dan lauril eter
sulfat terdapat dalam larutan pada konsentrasi berkisar antara 25-
30% atau disebut sebagai konsentrasi high-active, biasanya
dalam rentang 6-70% bahan aktif. Surfaktan ini berbentuk gel
sehingga konsentrasi yang tinggi dapat menyebabkannya sulitnya
surfaktan ini larut dalam air. Sodium lauril sulfat (SLS) lebih
mudah menyebabkan iritasi dari pada SLES (SLES). SLS lebih
baik sifat deterjensinya daripada SLES sedangkan untuk kelarutan
dan pembentukan busa, SLES lebih baik daripada SLS.
Pencampuran surfaktan ini dengan surfaktan lain dapat
mengoptimalkan sifatnya dan unsur lain dapat digunakan untuk
memodifikasi sifatnya. Contohnya adalah pengunaan coconut fatty
acid diethnolamide untuk menstabilkan busa dan meningkatkan
tekstur kasar dari busa yang dihasilkan dengan Eter Sulfat (Shipp,
1996).
21
[Sumber: www.interchim.org ]
hidratnya. Untuk garam tunggalnya, yaitu Na2SO4 anhidrat dikenal
sebagai thenardite. Garam rangkap dan bentuk hidratnya adalah
glauberite merupakan garam sulfat rangkap, gabungan antara
natrium sulfat dengan kalsium sulfat (Na2SO4.CaSO4) dan bentuk
hidratnya adalah natrium sulfat dekahidrat, mirabilite
(Na2SO4.10H2O).
Natrium sulfat memiliki bentuk kristal putih atau bubuk,
tidak berbau dan memiliki rasa garam pahit yang larut dalam air
dan gliserol. Natrium sulfat tidak beracun dan tidak mudah
terbakar, biasanya digunakan sebagai bahan pengental pada
pembuatan sabun cair. Pada pembuatan sabun cuci piring, garam
yang dibutuhkan adalah natrium sulfat (Na2SO4). Dalam hal ini,
natrium sulfat berfungsi sebagai pembentuk inti pada proses
pemadatan yang dapat mempengaruhi viskositas dengan
mengontrol viskositas sediaan larutan sehingga terjadi perubahan
jenis koloid, dan dengan penambahan garam ini akan menjadikan
sabun cuci piring mudah dalam penggunaannya.
[Sumber: www.sinergiarecursoglobal.com ]
dietanolamid yang dibuat dengan mereaksikan campuran asam
lemak dari minyak kelapa dengan diethanolamin yang berfungsi
sebagai pengemulsi. Kokamid DEA memiliki rumus kimia
CH3(CH2)nC(=O)N(CH2CH2OH)2, dimana n dapat berbeda-deda
tergantung dari bahan dasar asam lemak. Kokamid DEA tergolong
senyawa hidrokarbon nitrogen dengan rantai panjang dang
golongan senyawa alkoksilat amin.
berbau khas dengan pH antara 9,0-10,5. Bahan ini menyebabkan
peningkatan viskositas, digunakan sebagai pengental dalam
sediaan surfaktan. Kokamid DEA menurut Liebert (1986), adalah
zat yang dapat menurunkan tegangan permukaan atau disebut
surfaktan, digunakan sebagai peningkat kualitas foaming, serta
menstabilkan busa.
[Sumber: www.chemspider.com ]
N-trialkil asam amino ([R1R2R3]N+CH2COOH), diklasifikasikan
sebagai kationik karena menunjukkan muatan positif permanen.
Karena betain juga mempunyai kelompok fungsional bermuatan
negatif dalam kondisi pH netral dan basa, maka disebut sebagai
surfaktan amfoterik. Muatan positif betain berasal dari nitrogen
kuartener sedangkan situs anioniknya berasal dari karboksilat
(betaine), sulfat (sulfobetaine atau sultaine), atau fosfat (phospho
betaine atau phostaine).
dengan sifat pembusa, pembasah dan pengemulsi yang baik,
khususnya dengan keberadaan surfaktan anionik. Betain memiliki
efek iritasi yang rendah pada mata dan kulit, dengan adanya betain
ini dapat menurunkan efek iritasi surfaktan anionik. Hal ini terbukti
dari penelitian Teglia dan Secchi (1994), cocamidopropyl betaine
dapat menurunkan iritasi dengan efek yang mirip dengan wheat
protein ketika ditambahkan ke dalam larutan sodium lauryl sulfate.
Baik wheat protein maupun cocamidopropyl betaine dapat
melindungi kulit dari iritasi.
[Sumber: Rowe, R.C., Paul, J.S., dan Marian, 2009]
Dinatrium EDTA berbentuk bubuk kristal putih, tidak
berbau dengan rasa sedikit asam. Disebut juga Dinatrii edetat;
dinatrium EDTA; dinatrium etilen diamin tetraasetat; dinatrium
edatamil; dinatrium edetat; garam dinatrium. Dinatrium EDTA
mempunyai rumus molekul C10H14N2Na2O8 untuk anhidrat dengan
berat molekul 336,2 g/mol, sedangkan dihidrat mempunyai rumus
molekul C10H18N2Na2O10 dengan berat molekul 372,2 g/mol.
Garam EDTA ini lebih stabil dari pada asam etilen diamin
tetraasetat. Namun, dinatrium EDTA dihidrat akan kehilangan air
dari kristalisasi jika dipanaskan pada suhu 120°C. larutan air dari
dinatrium EDTA dapat disterilkan dengan autoklaf, dan harus
disimpan dalam wadah bebas alkali.
Dinatrium EDTA digunakan sebagai agen pengkhelat
dalam berbagai sediaan farmasi, termasuk obat kumur, tetes mata,
dan sediaan topikal, biasanya digunakan pada konsentrasi antara
0,005 sampai 0,1% b/v. bentuk dinatrium EDTA stabil pada
kompleks yang larut dalam air (khelat) dengan alkali tanah dan
logam berat ion. Bentuk khelat ini memiliki beberapa sifat-sifat ion
bebas, dan untuk beberapa alasan agen pengkhelat sering
25
dikenal sebagai sequestrasi. Stabilitas kompleks logam-EDTA ini
tergantung pada ion logam yang terlibat dan pH.
2.11 Natrium Klorida
dengan berat molekul 58,45 g/mol. Natrium klorida pada umumnya
merupakan padatan bening dan tak berbau, berbentuk kristal kubik
padat putih, serta dapat larut dalam gliserol, etilen glikol, dan asam
formiat, namun tidak larut dalam HCl. Natrium klorida secara luas
digunakan dalam berbagai formulasi farmasi parenteral dan
nonparenteral, di mana penggunaan utamanya adalah untuk
menghasilkan larutan isotonis. Natrium klorida telah digunakan
sebagai lubrikan dan pengencer pada kapsul dan formulasi tablet
kempa langsung di masa lalu, meskipun praktik ini tidak lagi
umum. Natrium klorida juga telah digunakan sebagai agen
penyaluran dan sebagai agen osmotik dalam inti tablet lepas
terkendali. Juga digunakan sebagai pengubah porositas dalam
pelapis tablet, dan untuk mengontrol pelepasan obat dari kapsul
mikro.
Penambahan natrium klorida untuk larutan semprot dimana
lapisan air yang mengandung hidroksipropil selulosa atau
hipromelosa akan menekan aglomerasi partikel kristal selulosa.
Sodium klorida juga dapat digunakan untuk memodifikasi
pelepasan obat dari gel dan dari emulsi. Hal ini dapat digunakan
untuk mengontrol ukuran misel, dan untuk menyesuaikan
viskositas dispersi polimer dengan mengubah karakter ionik
formulasi.
26
[Sumber: Rowe, R.C., Paul, J.S., dan Marian, 2009]
Butil hidroksitoluen (BHT) mempunyai berat molekul
220,35 dengan rumus molekul C15H24O. BHT mengandung tidak
kurang dari 99,0% C15H24O. Dengan pemerian hablur padat, putih,
bau khas, lemah. Kelarutannya tidak larut dalam air dan propilen
glikol, mudah larut dalam etanol, kloroform dan eter. Penyimpanan
dalam wadah tertutup baik (Ditjen POM, 1995).
BHT digunakan sebagai antioksidan dalam kosmetik,
makanan, dan sediaan lainnya, terutama digunakan untuk menunda
atau mencegah oksidasi lemak dan minyak. Dan untuk mencegah
hilangnya aktivitas vitamin yang larut dalam minyak.
2.13 Parfum (fragrance)
penerimaan konsumen. Penggunaan parfum umumnya untuk
menutupi karakteristik bau dari asam lemak atau fase minyak.
Parfum yang digunakan tidak boleh menyebabkan perubahan
stabilitas atau perubahan produk akhir. Jumlah parfum yang
digunakan pada sabun cuci piring biasanya berkisar dari 0,3%
(kulit sensitif) sampai 1,7% (untuk sabun deodorant) (Barel dkk.,
2009).
27
[Sumber: Rowe, R.C., Sheskey, P.J., Quinn, M.E., 2009]
Etanol memiliki sinonim alkohol, etil alkohol, etil hydroxide, grain
alkohol, methyl carbinol. Etanol jernih, tidak berwarna, sedikit mudah
menguap, memiliki bau yang khas dan rasa terbakar. Etanol memiliki
rumus molekul C2H6O dan bobot molekul 46,07 g/mol. Penggunaanya
sebagai pelarut dalam sediaan topikal sebanyak 60 – 90% sedangkan
sebagai pengawet penggunaanya ≥ 10%. Pada kondisi asam, larutan etanol
dapat bereaksi keras dengan bahan pengoksidasi. Campuran dengan alkali
dapat menggelapkan warna karena reaksi dengan sejumlah sisa aldehida.
Larutan etanol tidak sesuai dengan wadah alumunium dan dapat
berinteraksi dengan beberapa obat (Rowe dkk., 2009). Penggunaan etanol
sebagai hidrotope dalam formulasi detergen adalah 3% (John dkk., 2004).
2.15 Air Liur Anjing
manusia terutama yang memiliki kondisi fisik yang lemah,
hipersensitivitas terhadap protein liur anjing dan dari anjing tersebut yang
mempunyai penyakit. Persatuan Dokter Kesehatan Anak di Munich-
Jerman, mengungkapkan bahwa air liur anjing mengandung berbagai
kuman penyebab penyakit. Air liur banyak mengandung virus terutama
bila gejala klinis sudah terlihat, tetapi kadang-kadang dalam beberapa hari
virus sudah ada dalam air liur sebelum nampak gejala klinis (Charles dkk.,
2001). Virus Rabies dapat ditemukan di dalam kelenjar air liur setelah
anjing terinfeksi virus Rabies selama 3 - 8 minggu. Pada air liur anjing
mengandung hyaluronidase, suatu enzim yang dapat meningkatkan
28
permeabilitas jaringan dan virulensi virus, memiliki lima jenis partikel
protein yang berbeda, yakni dua protein berada pada amplop (G dan M)
dan tiga protein pada nukleokapsid (L, N, dan P).
Selain virus, dalam air liur anjing memiliki bakteri pathogen yang
berbahaya pada manusia, bakteri tersebut dapat masuk dan menyerang
organ dalam manusia melalui sistem terbuka. Air liur anjing adalah tempat
keluarnya keringat sehingga semua bakteri mengumpul di lidahnya.
Beberapa jenis bakteri yang ada di mulut anjing memiliki sifat zoonosis,
bisa menular pada manusia dan menyebabkan penyakit.
Dalam sebuah penelitian menunjukkan bakteri aerob umum yang
diisolasi dari 50 luka dari gigitan anjing yang terinfeksi. Dalam studi
tersebut, spesies bakteri aerob yang paling umum diisolasi di laboratorium
penelitian adalah Pasteurella sp (50%), Streptococcus sp (46%),
Staphylococcus sp (46%), Neisseria sp (32%) dan Corynebacterium sp
(12%). Spesies bakteri aerob lainnya, termasuk spesies Moraxella sp
(10%), spesies Enterococcus sp (10%), Bacillus sp (8%), Pseudomonas sp
(6%), Actinomyces sp (6%), Brevibacterium sp (6%), Gemella
morbillorum (6%), E. coli (6%), Weeksella zoohelcum (4%), Klebsiella sp
(4%), Lactobacillus sp (4%), Citrobacter sp (4%), Flavobacterium sp
(4%), Micrococcus sp (4%), Proteus mirabilis (4%), Stenotrophomonas
maltophilia (4%), Capnocytophaga ochracea (2%), Eikenella corrodens
(2%), Flavimonas oryzihabitans (2%), Dermabacter hominis (2%),
Oerskovia sp (2%), Pediococcus damnosus (2%) dan Stomatococcus
mucilaginosus (2%) (Frederick, dkk., 2011).
2.16 Pengujian Aktivitas Antibakteri
adalah senyawa alami maupun kimia sintetik yang dapat membunuh atau
menghambat pertumbuhan mikroorganisme. Senyawa yang dapat
membunuh bakteri disebut bakterisidal. Bahan kimia yang tidak
29
bakteriostatik.
sebagai berikut:
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Handi
(2008) didapatkan hasil diameter daya hambat sabun cair tanah steril
dengan konsentrasi 10% terhadap bakteri Micrococcus sp yaitu sebesar
17,73±0,32 mm.
dilakukan dengan metode difusi dan metode pengenceran. Disc diffusion
test atau uji difusi disk dilakukan dengan mengukur diemeter zona bening
yang merupakan petunjuk adanya respon penghambatan pertumbuhan
bakteri oleh suatu senyawa antibakteri. Syarat jumlah bakteri untuk uji
kepekaan/sensitivitas yaitu 10 5 -10
8 CFU/mL.
Divisi : Proteobacteria
Bakteri E. coli merupakan banteri Gram negative, bentuk batang,
memiliki ukuran 2,4 mikro 0,4 hingga 0,7 mikro, bergerak, tidak berspora,
positif pada tes indol, glukosa, sukrosa (Greenwood dkk., 2007).
30
peptidoglikan dan membrane dalam. Peptidoglikan yang terkandung dalam
bakteri gram negative memiliki struktur yang lebih kompleks
dibandingkan gram positif. Membran luarnya terdiri dari lipid,
liposakarida dan protein. Peptidoglikan berfungsi memecah sel lisis,
menyebabkan sel kaku dan memberi bentuk kepada sel (Purwoko, 2007).
2.16.2 Micrococcus luteus
Divisi : Bacteria
Kelas : Actinobacteria
Subclass : Actinobacteridae
Ordo : Actinomycetes
Familia : Micrococeaceae
Genus : Micrococcus
berbentuk kokus atau bola ukurannya berkisar antara 0,5 sampai 3
mikrometer. Bakteri Micrococcus dapat ditemukan di lingkungan akuatik,
tanah, produk susu, dan kulit manusia. Bakteri M. luteus adalah bakteri
gram positif, berpasangan, tetrad atau kelompok kecil, aerob dan tidak
berspora, bisa tumbuh baik pada medium nutrien agar pada suhu 30 o C
dibawah kondisi aerob (Schlegel, 1994).
Penyakit yang disebabkan oleh bakteri gram positif berbentuk bulat
ini biasa disebut micrococcosis. Ciri yang paling umum dari infeksi
bakteri ini adalah timbulnya luka pada kulit dan organ internal seperti otot,
liver dan limpa dengan diikuti penurunan nafsu makan (Aydin dkk., 2005).
Berdasarkan kriteria koloni bakteri menurut Bergey dkk. (1984)
dalam acuan Bergeys Manual of Determinative Bacteriology didapatkan
genus bakteri pada air liur anjing koloni 1, 2, 3 dan 4 adalah micrococcus
sp.
31
Penelitian ini dilaksanakan bertempat di Laboratorium Penelitian II dan
Laboratorium Kimia Obat, Fakultas Kedokteran dan Ilmu kesehatan, Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada Februari 2017 sampai dengan
selesai.
Timbangan analitik, batang pengaduk, spatula, pipet tetes, cawan, kaca arloji,
homogenizer, pH meter, sudip, viscometer, vortex, kertas berlabel, object glass,
piknometer, termometer, buret, hot plate, alat-alat gelas kimia lainnya seperti
gelas ukur, gelas kimia, erlenmeyer.
3.2.2. Bahan
Bentonit, Kaolin, Natrium Lauril Eter Sulfat, Na Sulfat, Kokamid DEA,
Kokamidopropil betain, Dinatrium EDTA, Natrium Klorida, BHT, parfum (aqua
fresh), aquadest, alkohol 96%, phenolptalein, HCl.
3.3. Prosedur Kerja
Ditimbang masing-masing komponen formula sambil dipanaskan
aquadest pada suhu kisaran 60-90°C. Natrium Lauril Eter Sulfat, Na Sulfat
dan aquadest (50% basis produksi) diaduk dengan homogenizer hingga
homogen (M1). Dilarutkan BHT kedalam Etanol 96% (M2). Dilarutkan
bentonite-kaolin kedalam aquadest (40% basis produksi) hingga homogen
(M3). Ditambahkan Natrium Klorida, Kokamidopropil betain, Cocoamide
Dietanol Amine dan Dinatrium EDTA, secara berturut-turut dan diaduk
hingga terbentuk massa yang homogen kedalam M1. Ditambahkan M2 dan
M3 kedalam M1, aduk dengan homogenizer hingga sediaan menjadi
32
3.3.2. Formulasi Sabun Cuci Piring
Tabel 3.1 Formula Sabun Cuci Piring ( Variasi konsentrasi Kaolin-
Bentonit)
Kaolin* 10 % 5 % - Zat aktif, sebagai anti
najis
najis
Cocoamide
Dinatrium
EDTA
BHT 0,05 % 0,05% 0,02% Antioksidan
Etanol 96% 5 % 5 % 5 % Co-solvent
Parfum 0,06 % 0,06 % 0,06 % Pewangi
Aquades a.d 100
33
Sediaan diamati secara organoleptic terhadap perubahan-perubahan
bentuk, konsistensi, warna, bau, homogenitas, viskositas, pH, bobot jenis,
stabilitas busa selama waktu penyimpanan dengan suhu 25°C.
3.3.3.1. Organoleptik (Septiani, 2011)
dang mengamati perubahan-perubahan yang terjadi pada sediaan, yakni
meliputi penampilan, warna dan bau.
3.3.3.2. Pengujian Viskositas (Depkes RI, 1995)
Sampel sebanyak 150 gram disiapkan dalam gelas beaker 250 mL,
kemudian spindle dengan nomor tertentu dan kecepatan tertentu (rpm)
disetel, lalu dicelupkan kedalam sediaan sampai alat menunjukkan nilai
viskositas sediaan. Nilai viskositas (cPs) yang ditunjukkan pada alat
viskometer Haake merupakan nilai viskositas sediaan. (Suyudi, 2014).
3.3.3.3. pH (SNI 06-4075-1996)
menggunakan buffer pH. Setelah itu, elektroda dibersihkan dengan air
suling dan dikeringkan. Kemudian elektroda dimasukkan ke dalam
sampel sabun cair yang akan diperiksa, pada suhu 25°C. Selanjutnya pH
meter dibiarkan selama beberapa menit sampai nilai pada monitor pH
meter stabil. Setelah stabil, nilai yang ditunjukkan dicatat sebagai pH
sampel.
Piknometer yang sudah bersih dan kering ditimbang. Selanjutnya
sampel dimasukkan ke dalam piknometer sampai batas tara. Piknometer
ditutup dan direndamkan ke dalam rendaman air es sampai suhunya
menjadi 25°C selama 30 menit. Kemudian piknometer didiamkan pada
34
dengan menggunakan aquadest (W1).
W1
Sebanyak 0,3 gram sediaan dilarutkan kedalam 30 mL aquadest,
kemudian 10 mL larutan tersebut dimasukkan kedalam tabung berskala
melalui dinding. Tabung tersebut ditutup kemudian divorteks selama dua
menit. Tinggi busa yang terbentuk dicatat pada menit ke-0 dan ke-5
dengan skala pengukuran 0,1 cm. Nilai ketahanan busa didapatkan dari
selisih tinggi busa pada menit ke-0 dan ke-5 dihitung dengan rumus :
Perhitungan: Tinggi busa akhir
3.3.3.6. Volume Sedimentasi
Sabun cuci piring kedalam gelas ukur 10mL dan disimpan pada suhu
kamar dan dalam keadaan yang tidak terganggu. Volume sabun cuci
piring yang diisikan merupakan volume awal (Vo) . perubahan volume
diukur dan dicatat setiap hari selama 14 hari tanpa pengadukan hingga
tinggi sedimentasi konstan. Volume tersebut merupakan volume akhir
(Vu). Volume sedimentasi dapat ditentukan dengan menggunakan
persamaan berikut :
bahan aktif, kadar alkali bebas dan cemaran mikroba (Angka Lempeng
Total) dilakukan di Laboratorium Non Pangan, Balai Pengujian Mutu
Barang, Direktorat Pengembangan Mutu Barang, Ciracas, Jakarta Timur.
3.3.5. Pengujian Aktivitas Antibakteri Sabun Cuci Piring
3.3.5.1. Uji Aktivitas Antibakteri
Media uji antibakteri yang digunakan adalah Nutrient Agar (NA) dua
lapis. Lapisan atas merupakan media NA padat sebanyak 15 mL,
sedangkan lapisan bawah merupakan media NA semisolid sebanyak 4
mL. untuk membuat seed culture, masing-masing sebanyak 1 lup bakteri
target diinokulasikan pada 5 mL media Nutrient Broth (NB) dan
diinkubasi dengan suhu 37C menggunakan shaker incubator selama 21
jam. Selanjutnya masing-masing sebanyak 0,2% E. coli InaCC B5, 0,5%
M. luteus InaCC B333 seed culture ditambahkan pada media lapisan atas
sebelum dituang keatas media lapisan bawah (Miyado, 2003).
Uji antibakteri menggunakan teknik difusi kertas cakram (Sulistiyani
2006). Sebanyak 30µL sampel diteteskan pada kertas cakram steril 6mm
secara bertahap. Kertas cakram tersebut kemudian diletakkan pada media
uji. Media cawan agar tersebut selanjutnya diinkubasi pada suhu 4C
selama 2 jam dan dilanjutkan pada suhu 37C selama 2 hari. Pengujian
dilakukan sebanyak tiga ulangan. Sampel yang menghasilkan zona
hambat pada media uji dianggap positif memiliki aktivitas antibakteri.
3.3.5.2. Pengamatan dengan Mikroskop Elektron (SEM)
Scanning Electron Microscopy dilakukan untuk mempelajari
morfologi sel akibat penggunaan senyawa antibakteri (Bunduki dkk.,
1995). Sampel yang digunakan adalah bagian disekitar zona bening hasil
pengujian antibakteri. Preparasi sediaan dilakukan dalam dua tahap,
diantaranya: melakukan fiksasi untuk mematikan sel tanpa mengubah
36
itu disentrifus lalu dibuang supernatannya dan ditambahkan glutaraldehid
setelah itu direndam beberapa jam. Cairan disentrifus kembali lalu
dibuang supernatannya dan ditambahkan larutan tannin acid setelah itu
direndam beberapa jam. Cairan disentrigus kembali lalu dibuang
supernatannya dan ditambahkan caccodylate buffer setelah itu direndam
selama 10 menit. Cairan disentrifus kembali lalu dibuang supernatannya
dan ditambahkan osmium tetra oksida setelah itu direndam 1 jam. Tahap
selanjutnya adalah pengeringan sampel dengan cara, cairan disentrifus
kembali lalu dibuang supernatannya dan ditambahkan alkohol 50%
setelah itu direndam selama 10 menit. Selanjutnya berturut-turut
ditambahkan alkohol 70%, alkohol 80%, alkohol 95% dan alkohol
absolute, setelah itu direndam selama 10 menit. Cairan disentrifus
kembali lalu dibuang supernatannya dan ditambahkan t-butanol setelah
itu direndam selama 10 menit. Cairan disentrifus kembali lalu dibuang
supernatannya dan ditambahkan butanol setelah itu dibuat suspensi dalam
butanol. Selanjutnya dibuat ulasan pada potongan cover slip.
3.3.6. Teknik Analisis Data
Data dari beberapa hasil evaluasi sabun cuci piring kaolin – bentonit
diuji secara statistik dengan analisis varian satu arah (one way ANOVA)
kemudian dilanjutkan dengan uji Tukey HSD dengan taraf kepercayaan 95%
(α = 0,05) untuk mengetahui perbedaan yang bermakna antara formula dan
hasil pengujian.
Pada penelitian ini dilakukan formulasi sabun cuci piring yang dapat
menyucikan najis dari paparan air liur anjing, dan mengetahui aktivitas antibakteri
dari bakteri M. luteus dan E. coli. Pada pembuatan sediaan kaolin dan bentonit
berfungsi sebagai zat aktif untuk anti najis, natrium laurel sulfat sebagai surfaktan,
natrium sulfat sebagai thickening agent, Kokamid DEA sebagai co-surfaktan,
kokamidopropil betain sebagai foam booster, dinatrium EDTA sebagai pengawet,
natrium klorida sebagai viscosity modifier, BHT sebagai antioksidan, etanol 96%
sebagai co-solvent, aquadest sebagai pelarut serta parfum untuk pewangi.
Tabel 4.1 Komposisi Formula Sabun Cuci Piring
Nama Bahan Formula (%)
F1 F2 F3
Kaolin* 10 5 -
Bentonit* - 5 10
BHT 0,05 0,05 0,02
Parfum 0,06 0,06 0,06
[Sumber: Renhard, 2016 dengan modifikasi]
38
Pembuatan sediaan sabun cuci piring dilakukan dengan menggunakan
variasi konsentrasi kaolin-bentonit seperti pada tabel 4.1. Dalam hal ini, dasar
pemilihan konsentrasi berdasarkan Dahlan (2010) yang melaporkan bahwa
penggunaan tanah dalam formulasi sabun yang telah disetujui Komite Islam
Bangkok sebagai penyuci najis sesuai peraturan islam adalah 0,05-95%, sementara
itu berdasarkan hasil uji pendahuluan yang dilakukan sebelumnya dengan rentang
seri konsentrasi total 10%, didapatkan sediaan yang tidak banyak menghasilkan
endapan dan sediaan tidak terlalu kental sehingga masih dapat menetes pada
aplikator. Sebagai bahan pengental, garam yang dibutuhkan dalam pembuatan bahan
pencuci piring adalah natrium sulfat yang berfungsi sebagai pembentuk inti pada
proses pemadatan yang dapat mengontrol dan mempengaruhi viskositas larutan
sehingga terjadi perubahan jenis koloid, dalam penggunaannya selain digunakan
sebagai pembantu proses, bahan pengisi ini juga berfungsi meningkatkan kekuatan
ionik dalam sediaan sabun cuci piring.
Menurut Sari, dkk. (2010) sabun merupakan satu macam surfaktan atau
senyawa yang menurunkan tegangan permukaan air. Hal ini menyebabkan larutan
sabun dapat memasuki serat dan menghilangkan kotoran serta minyak. SLES
merupakan surfaktan anionik yang biasa digunakan dalam produk pembusa dan
pembersih tetapi memiliki tingkat iritasi yang tinggi, hal tersebut dapat diatasi
dengan penambahan surfaktan sekunder yang lebih lembut. Penggunaan kokamid
DEA sebagai surfaktan nonionik dalam sediaan sabun cuci piring diharapkan dapat
mengurangi iritasi yang ditimbulkan oleh surfaktan anionik (Noor & Nurdyastuti,
2009) dan berpengaruh pada stabilitas busa yang dihasilkan. Kokamid DEA dalam
sediaan kosmetik juga memiliki efek emmolient dan foam stabilizer, selain itu
formula produk yang mengandung kokamid DEA dapat digunakan sehari-hari dan
dapat diaplikasikan pada kulit untuk waktu yang lama (Fiume, 1996). Kokamid
DEA memiliki kompatibilitas yang baik terhadap kulit dan membran mukosa
sehingga dapat digunakan untuk kulit yang sensitif, juga memiliki kekentalan yang
baik, tidak toksik, serta memperbaiki penampilan sediaan (Noor & Nurdyastuti,
2009).
tanah yang dapat mengikat air. Dilakukan variasi konsentrasi sediaan untuk
39
mengetahui pada formula manakah sediaan mempunyai endapan paling sedikit dan
konsistensi yang optimal sehingga dapat diteteskan dari aplikator juga sesuai dengan
kisaran viskositas sediaan sabun cuci piring, dan stabil secara fisik.
Dinatrium EDTA ditambahkan dapat berfungsi sebagai antioksidan dan
sebagai pengkhelat. Dinatrium EDTA sebagai pengkhelat dengan cara mengikat
logam logam yang mungkin terdapat dalam air atau bahan dalam formula dan dapat
mengurangi efek pembersihan pada sabun. Selain itu melindungi reaksi oksidasi
bahan tak jenuh yang ditemukan dalam parfum. Parfum ditambahkan untuk
meningkatkan kesukaan konsumen, menjaga tubuh tetap harum dan meningkatkan
kualitas produk. Tidak lengkap jika dalam formula sabun cair tidak ditambahkan
parfum sebagai pewangi.
4.2.1. Pemeriksaan Organoleptik
2 Putih gading Aqua fresh Cairan kental
3 Coklat-kekuningan Aqua fresh Cairan kental
Pemeriksaan organoleptik selama penyimpanan pada suhu ruang (27-28C)
pada tabel 4.2 meliputi pengamatan bentuk, warna dan bau. Basis sabun cuci piring
tanpa penambahan kaolin-bentonit berwarna bening sedangkan pada ketiga formula
dengan penambahan zat aktif dihasilkan sediaan sabun berturut-turut berwarna
putih, putih gading, coklat-kekuningan, memiliki bau khas berupa aroma aqua fresh
dan bentuk sediaan berupa cairan dengan kekentalan yang dapat menetes dari
aplikator.
2014). Pengukuran viskositas sabun cuci piring bertujuan untuk mengetahui besar
40
tahanan yang dihasilkan sabun. Sabun cuci piring mempunyai rentang viskositas
500-20000 cPs (SNI, 1996). Pengukuran viskositas sediaan sabun cuci piring
menggunakan viskometer Haake dengan spindel no. 5 dan kecepatan 30 rpm.
Tabel 4.3 Hasil Pemeriksaan Viskositas
Pengujian Ke- Viskositas (cPs)
Pada pembuatannya pengukuran viskositas dari ketiga formula sediaan
dilakukan dengan menentukan spindel yang sesuai terlebih dahulu untuk digunakan
pada masing-masing fomula sediaan. Penggunaan konsentrasi Surfaktan dalam
formula dapat mempengaruhi viskositas, maka semakin besar konsentrasi surfaktan
yang digunakan dapat mempengaruhi pada peningkatan viskositasnya. Peningkatan
ini disebabkan pembentukan agregrat surfaktan, terbentuknya stuktur misel pada
sebagian kecil air menyebabkan surfaktan terhidrasi (Tadros, 2005). Selain itu, pada
masing-masing formula sediaan memiliki komposisi kaolin-bentonit yang berbeda.
Kaolin-bentonit memiliki sifat sebagai adsorben yang dapat mengikat air, sehingga
dalam formulasi kemungkinan dapat mempengaruhi viskositas sediaan.
Bentonit pada formula menggunakan natrium bentonit yang memiliki daya
mengembang hingga delapan kali apabila dicelupkan ke dalam air, dan tetap
terdispersi beberapa waktu di dalam air. Mineral monmorilonit dalam bentonit
0
2000
4000
6000
8000
10000
12000
14000
montmorilonit atau mineral lempungnya tersebut, serta pada struktur montmorilonit
juga terdapat ketidakseimbangan antara muatan listrik dalam ion-ionnya. Kemudian
kaolin terdiri dari unit lapisan silika dan aluminium yang diikat oleh ion hydrogen,
membentuk tanah yang stabil karena strukturnya yang terikat teguh mampu
menahan molekul-molekul air sehingga tidak masuk kedalamnya (Chen, 1975).
Memiliki sifat mengembang lebih baik disbanding bentonit, salah satu jenis silikat
yang memiliki kemampuan sebagai adsorben dan kapasitasnya mencapai 20 kali
kemampuan jenis silika lain (Crini, 2006). Beberapa pengaktifan kaolin telah
dilakukan seperti proses pertukaran ion pada air, interaksi kimia yang dapat terjadi
antara senyawa organik dan kaolin yaitu ikatan hidrogen (Paiva, dkk., 2008).
Variasi konsentrasi kaolin-bentonit pada sediaan mempengaruhi viskositas,
pada F1 yang hanya terdapat kaolin dengan konsentrasi 10% memiliki viskositas
lebih tinggi, pada F2 dengan konsentrasi kaolin-bentonit masing-masing 5%
memiliki viskositas lebih rendah disbanding F1, sementara F3 dengan konsentrasi
bentonit 10% memiliki viskositas lebih rendah disbanding F1 dan F2. Pengukuran
viskositas sediaan bertujuan untuk mengetahui berapa nilai viskositas yang sesuai
agar sediaan dapat dengan mudah dikeluarkan dari aplikator.
Berdasarkan tabel 4.3 dan Grafik 4.1 menunjukkan bahwa baik F1, F2 dan
F3 mempunyai viskositas dengan rentang 10960-13030 cPs. Hasil tersebut sesuai
dengan rentang viskositas sabun cair berdasarkan SNI (1996), yaitu 500-20000 cPs.
Data yang diperoleh tersebut kemudian di uji statistik untuk melihat normalitas
dengan metode Kolmogorov Smirnov dan Saphiro-Wilk, hasilnya menunjukkan
bahwa populasi data uji menunjukkan adanya perbedaan signifikan dengan nilai
signifikansi 0,006 (p>0,05). Untuk hasil uji Test of Homogenity of Variance Levene
didapatkan nilai signifikansi sebesar 0,409 (p>0,05) dimana hasil ini menunjukkan
bahwa populasi data uji yang dimiliki telah homogen dan dapat dilanjutkan untuk uji
One-Way ANOVA. Hasil uji One-Way ANOVA menunjukkan bahwa perubahan
nilai viskositas ketiga formula berbeda bermakna (p<0,05). Terjadinya perbedaan
yang bermakna antar formula tersebut dapat terjadi dikarenakan kandungan dari
masing-masing formula yang juga berbeda. Formula 1 dengan kaolin 10%, formula
42
4.2.3. Pemeriksaan pH
pH atau derajat keasaman merupakan parameter kimiawi untuk mengetahui
sifat sabun yang dihasilkan asam atau basa dan juga dapat digunakan sebagai
indikator iritasi terhadap kulit yang merupakan target aplikasinya.
Tabel 4.4 Hasil Pemeriksaan pH
Pengujian Ke- pH
F1 F2 F3
Gambar 4.2 Grafik Nilai pH Rata-rata
Berdasarkan tabel 4.4 dan gambar 4.2 dapat dilihat bahwa pH sediaan yang
dihasilkan memiliki rentang pH 4,2-9,3. Sementara rentang pH untuk sabun cuci
piring berdasarkan SNI 06-4075-1996 yaitu 6-8. Formula 1dan 3 menunjukkan pH
yang lebih rendah dan lebih tinggi dari rentang yang telah ditetapkan SNI yaitu 4,2-
4,3 dan 9,3. Nilai pH tersebut kemungkinan dapat dipengaruhi oleh zat aktif, dimana
kaolin bersifat asam lemah dan bentonit yang bersifat basa lemah.
Data pH yang diperoleh kemudian di uji statistik untuk melihat normalitas
dengan metode Kolmogorov Smirnov dan Saphiro-Wilk, hasilnya menunjukkan
bahwa populasi data uji menunjukkan adanya perbedaan signifikan dengan nilai
0
2.000
4.000
6.000
8.000
10.000
F1
F2
F3
43
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
signifikansi 0,042 (p>0,05). Untuk hasil uji Test of Homogenity of Variance Levene
didapatkan nilai signifikansi sebesar 0,165 (p>0,05) dimana hasil ini menunjukkan
bahwa populasi data uji yang dimiliki telah homogen dan dapat dilanjutkan untuk uji
One-Way ANOVA. Hasil uji One-Way ANOVA menunjukkan bahwa perubahan
nilai pH ketiga formula berbeda bermakna (p<0,05).
pH yang sangat tinggi atau rendah dapat meningkatkan daya absorbsi kulit
sehingga kulit menjadi iritasi (Wasitaatmaja, 1997). Parameter utama penyebab
iritasi kulit pada sabun bukanlah pH, parameter tersebut adalah alkali bebas. Kadar
alkali bebas yang tinggi (di atas 0,22 %) dapat menyebabkan iritasi pada kulit dan
biasanya kadar alkali bebas yang tinggi ditandai pula dengan pH sabun yang terlalu
basa (pH diatas 11) (Akmal 2004).
4.2.4. Pemeriksaan Bobot Jenis menggunakan Piknometer
Berdasarkan Depkes (1979) bobot jenis merupakan perbandingan zat
terhadap air volume sama yang ditimbang di udara pada suhu yang sama. Sediaan
sabun cair ditetapkan bobot jenisnya yaitu 1,01 – 1,10 (SNI, 1996). Pemeriksaan
bobot jenis penting untuk dilakukan karena dapat menentukan apakah suatu zat
padat dapat bercampur atau tidak dengan zat lainnya, sehingga akan mempermudah
dalam formulasi sabun (Predianto, dkk., 2017).
Tabel 4.5 Hasil Pemeriksaan Bobot Jenis
Formula Bobot (g) Sampel/Aquadest
(g/ml) Kosong Aquadest Sampel
2 13,402 23,437 23,926 1,020
3 13,482 23,448 23,792 1,014
F2 1 11,852 21,935 22,713 1,036
2 11,851 21,922 22,724 1,036
3 13,514 23,536 24,331 1,033
F3 1 11,861 21,932 23,244 1,059
2 13,498 23,512 24,910 1,059
3 13,483 23,451 24,849 1,059
44
Gambar 4.3 Grafik Hasil Bobot Jenis
Berdasarkan tabel 4.5, dari hasil pengujian yang telah dilakukan baik F1, F2
dan F3 memiliki bobot jenis 1,014-1,059. Hasil tersebut memenuhi syarat SNI
(1996) bobot jenis sediaan sabun cair yaitu 1,01 – 1,10 dan menunjukkan bahwa
suatu zat padat dapat bercampur dengan zat lainnya.
Bobot jenis ditentukan oleh komponen- komponen yang ada dalam sediaan
tersebut. Semakin banyak komponen yang ada dalam sediaan maka fraksi berat
semakin tinggi, sehingga bobot jenis juga semakin tinggi. Viskositas berbanding
lurus dengan bobot jenis, sehingga semakin tinggi bobot jenis maka viskositas akan
semakin meningkat (Martin dkk. 1993). Dari evaluasi yang telah dilakukan maka
data yang diperoleh sesuai dengan teori tersebut dimana viskositas sediaan sabun
cuci piring meningkat akan dapat meningkatkan bobot jenisnya.
Data bobot jenis yang diperoleh kemudian diuji statistik untuk melihat
normalitas dengan metode Kolmogorov Smirnov dan Saphiro-Wilk, hasilnya
menunjukkan bahwa populasi data uji menunjukkan adanya perbedaan yang tidak
signifikan dengan nilai signifikansi 0,125 (p>0,05). Untuk hasil uji Test of
Homogenity of Variance Levene didapatkan nilai signifikansi sebesar 0,027 (p>0,05)
dimana hasil ini menunjukkan bahwa populasi data uji yang dimiliki telah homogen
dan dapat dilanjutkan untuk uji One-Way ANOVA. Hasil uji One-Way ANOVA
menunjukkan bahwa perubahan nilai pH ketiga formula bermakna (p<0,05).
0,99
1
1,01
1,02
1,03
1,04
1,05
1,06
1,07
Je n is
Formula Tinggi Busa (cm) %
Menit ke-0 Menit ke-5
2 0,5 0,3 60
3 1,1 1,1 100
2 0,6 0,5 83,33
3 1,8 1,5 83,33
2 1,5 1,4 93,33
3 1,8 1,7 94,44
Pengujian kestabilan busa bertujuan untuk mengetahui persentase banyaknya
busa yang masih tersisa setelah jangka waktu tertentu. Berdasarkan data dari tabel
4.6 dapat diketahui hubungan antara penambahan konsentrasi suatu surfaktan
dengan kestabilan busanya karena salah satu fungsi surfaktan adalah membentuk
busa.
Busa adalah sistem koloid dengan fase terdispersi gas dan medium
0%
20%
40%
60%
80%
100%
120%
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
pendispersi zat cair. Fase terdispersi gas biasanya berupa udara atau CO2. Kestabilan
busa diperoleh dari adanya surfaktan. Surfaktan memiliki gugus hidrofilik dan
hidrofobik. Gugus hidrofilik terikat dengan molekul air, sedangkan gugus
hidrofobiknya menuju permukaan larutan dan mengarah ke udara. Ketika larutan air
dan surfaktan tersebut diaduk atau dialiri udara maka gelembung udara yang keluar
dari badan cairan akan dilapisi oleh lapisan tipis cairan yang mengandung surfaktan
dan terbentuklah busa. Stabilitas suatu busa ditentukan oleh elastisitas lapisan
tipisnya.
SLES merupakan surfaktan anionik golongan alkil sulfat yang menghasilkan
busa yang melimpah namun tidak stabil pada air sadah (Spiess, 1996) akan tetapi
dapat dibantu dengan surfaktan sekunder yang dapat membantu menstabilkan busa
yang dihasilkan oleh SLES. Dari hasil pengujian ketiga formula tersebut tidak ada
yang memenuhi standar, karena standar sabun cair yang baik busa harus dapat
bertahan selama 5 menit dengan presentase 60-70% (Dragon, dkk., 1969). Hanya F1
pada pengujian ke-2 yang memenuhi syarat sabun cair yang baik yaitu 60%,
sedangkan pada F1 pengujian ke-1 dan ke-3 lalu pada F2 dan F3 ketahanan busa
lebih dari 80%, hal ini mungkin dikarenakan banyaknya bahan penyusun sabun yang
dapat menghasilkan busa seperti sodium laurel eter sulfat, cocoamide dietanol amine
dan kokamidopropil betain.
Dari data tersebut, presentase di atas 70% masih dikatakan baik karena
dapat mempertahankan gelembung agar tidak pecah. Penambahan kokamidopropil
betain berpengaruh terhadap stabilitas busa yang dihasilkan karena kokamidopropil
betain memiliki sifat pembusa yang baik dan dapat memperbaiki stabilitas busa yang
kurang baik dari sodium laurel eter sulfat. Semakin banyak kokamidopropil betain
maka semakin lama pula busa akan bertahan (Nurul Hidayati, 2016). Penggunaan
kokamidopropil betain juga dapat sebagai pelembut busa, pengontrol viskositas dan
sebagai anti iritasi (Hunting 1989).
Data stabilitas busa yang diperoleh kemudian di uji statistik untuk melihat
normalitas dengan metode Kolmogorov Smirnov dan Saphiro-Wilk, hasilnya
menunjukkan bahwa populasi data uji menunjukkan adanya perbedaan signifikan
dengan nilai signifikansi 0,042 (p>0,05). Untuk hasil uji Test of Homogenity of
Variance Levene didapatkan nilai signifikansi sebesar 0,008 (p>0,05) dimana hasil
47
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
ini menunjukkan bahwa populasi data uji yang dimiliki telah homogen dan dapat
dilanjutkan untuk uji One-Way ANOVA. Hasil uji One-Way ANOVA menunjukkan
bahwa perubahan nilai pH ketiga formula berbeda bermakna (p<0,05).
4.2.6. Pemeriksaan Volume Sedimentasi
Hari Ke-
(Volume awal/volume akhir)
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
F1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
F2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
F3 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
Gambar 4.5 Volume Sedimentasi F1
0
0,2
0,4
0,6
0,8
1
1,2
H-1 H-2 H-3 H-4 H-5 H-6 H-7 H-8 H-9 H-10 H-11 H-12 H-13 H-14
F1
F1
48
Gambar 4.6 Volume Sedimentasi F2
Gambar 4.7 Volume Sedimentasi F3
Hasil pengamatan dari hari ke-0 sampai hari ke-14, ketiga formula tidak
menunjukkan adanya ketidakstabilan berupa flokulasi. Hal ini diduga karena adanya
penambahan natrium sulfat dan natrium klorida yang berperan sebagai thickening
agen dan peningkat viskositas yang cukup dapat menghambat laju flokulasi. F
merupakan volume sedimentasi dengan nilai F adalah 1 menunjukkan bahwa
0
0,2
0,4
0,6
0,8
1
1,2
H-1 H-2 H-3 H-4 H-5 H-6 H-7 H-8 H-9 H-10 H-11 H-12 H-13 H-14
F2
F2
0
0,2
0,4
0,6
0,8
1
1,2
H-1 H-2 H-3 H-4 H-5 H-6 H-7 H-8 H-9 H-10 H-11 H-12 H-13 H-14
F3
F3
49
viskositas yang lebih besar dari medium dispersi akan memberikan keuntungan
sedimentasi yang lebih lambat (Agoes, 2012).
Selanjutnya uji redispersi dilakukan untuk mengetahui kemampuan suspensi
untuk dapat terdispersi kembali secara homogen dengan pengocokan ringan, pada
formula 1,2 dan 3 tidak dapat diredispersi, hal ini kemungkinan dipengaruhi oleh
viskositas dari sediaan, dimana semakin tinggi viskositas maka redispersibilitas yang
dihasilkan semakin rendah (Popa & Ghica, 2011). Redispersi juga dipengaruhi oleh
partikel yang terbentuk dalam suatu sistem suspensi, apabila terjadi caking pada
suspensi, maka akan sulit terdispersi kembali. Sedangkan pada partikel yang
membentuk flok, sediaan masih dapat terdispersi secara homogen (Anief, 1994).
4.2.7 Evaluasi Syarat Mutu Sabun Cuci Piring Berdasarkan SNI
Evaluasi syarat mutu sabun cuci piring dilakukan di Laboratorium Non
Pangan, Balai Pengujian Mutu Barang, Direktorat Pengembangan Mutu Barang,
Ciracas, Jakarta Timur. Sebelum sampel diujikan dipilih terlebih dahulu sediaan
terbaik dari ketiga formula, pemilihan formula terbaik dilakukan dengan didasarkan
pada hasil evalusai fisik dan analisa statistik dengan menggunakan ANOVA. Hasil
menunjukan F2 merupakan sediaan dengan formula terbaik dibanding F1 dan F3,
sehingga dipilih F2 untuk pengujian lebih lanjut.
Karakterisitk Satuan Hasil
Butir 7.3
Alkali Bebas
sebagai NaOH
Butir 5.2.1
Angka Lempeng
Chapter 3
Berdasarkan Badan Standarisasi Nasional (1996) bahan aktif yang diukur
adalah jumlah senyawa dalam sabun yang tidak tersabunkan. Pada formulasi sabun
diperlukan jumlah asam lemak bebas yang sesuai standar SNI, karena jumlah asam
50
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
lemak yang tinggi dapat mengganggu emulsi sabun dan dapat menyebabkan kotoran
pada sabun. Hasil penelitian sabun cuci piring menunjukan kadar bahan aktif dalam
sabun cair sebesar 11 %, hasil tersebut menunjukan banyak senyawa dalam sabun
yang tidak tersabunkan seperti kaolin-bentonit yang terlarut dalam SLES tersebut.
4.2.7.2 Alkali Bebas
Alkali bebas adalah alkali yang tidak terikat sebagai senyawa pada proses
pembuatan sabun karena adanya penambahan alkali yang berlebihan (Karo, 2011).
Uji alkali bebas dilakukan untuk mengetahui jumlah alkali bebas yang terdapat
dalam sabun untuk menilai apakah sediaan memenuhi syarat SNI dengan batas
maksimal 0,1% (SNI, 1996). Kelebihan jumlah alkali dapat disebabkan karena
penambahan alkali berlebih pada proses pembuatan sabun dan akan menyebabkan
iritasi pada kulit (Hambali, dkk., 2004), seperti kulit luka dan mengelupas (Sari dkk.,
2010). Alkali bebas yang ada dalam sabun yang dihasilkan dalam penelitian ini
adalah natrium, karena alkali yang digunakan dalam pembuatan sabun adalah
natrium hidroksida.
Hasil penelitian menunjukkan tidak terjadi perubahan warna, yang
merupakan salah satu indikator adanya alkali bebas dalam sampel, dari hasil yang
ditunjukkan pada tabel dinyatakan tidak ada atau 0,0 % sesuai dengan SNI (1994)
yaitu kadar alkali bebas maksimum 0,1%. Sementara itu menurut Respective ISI
Specification, kadar alkali bebas sabun sekitar 0,05% - 0,3% (Sari, dkk., 2010). Hal
ini berarti bahwa sabun cuci piring variasi kaolin-bentonit yang dihasilkan memiliki
kadar alkali bebas yang sangat rendah sehingga aman digunakan karena memiliki
kecenderungan tidak mengiritasi kulit.
Angka 0 pada hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa dalam sediaan sabun
cair tidak ada alkali dalam bentuk bebas karena alkali berikatan dengan Na EDTA.
Na EDTA merupakan agen penghelat, dalam hal ini Na EDTA membentuk larutan
kompleks dengan alkali tanah dan ion logam berat (Rowe dkk., 2009). Na EDTA
mempunyai donor proton lebih dari satu kelompok yang dapat berikatan dengan ion
bebas dalam larutan sehingga membentuk khelat, agen khelat kuat seperti Na-EDTA
51
(Fiorucci dkk., 2002).
Pemeriksaan angka lempeng total pada sediaan sabun cuci piring bertujuan
untuk menghitung bakteri mesofil aerob yaitu bakteri yang tumbuh pada temperatur
minimal 15-20C dan optimal 20-45C, serta hampir semua mikroorganisme patogen
pada manusia (Pratiwi, 2008). Hal ini karena cemaran mikroba menentukan mutu
sabun cair yang berhubungan erat dengan masalah kesehatan terutama pada kulit,
oleh sebab itu cemaran mikroba juga menentukan apakah produk sabun cair dapat
diterima oleh konsumen. Pada sabun cair pertumbuhan mikroba dapat dipengaruhi
oleh faktor intrinsik seperti kandungan pH, nutrisi dan senyawa antimikroba serta
faktor ekstrinsik seperti suhu dan kelembaban relatif (Salam, 2003).
Berdasarkan hasil pemeriksaan pada tabel 4.8 menunjukkan angka lempeng
total yaitu <10 koloni/g yang menunjukkan bahwa pada sediaan memenuhi syarat
cemaran mikroba. Hasil tersebut kemungkinan dapat dipengaruhi pada proses
pembuatan sediaan dimana aquadest untuk melarutkan bahan lain dipanaskan
terlebih dahulu. Pemeriksaan angka lempeng total adalah salah satu cara untuk
menetukan jumlah mikroorganisme dalam sampel secara tidak langsung yang lebih
akurat dibandingkan dengan cara langsung melalui pengamatan di bawah mikroskop
(Fardiaz 1989).
Pengujian aktivitas sabun cuci piring variasi kaolin-bentonit dilakukan untuk
mengetahui bahwa sabun cuci piring variasi kaolin-bentonit memiliki aktivitas
antibakteri terhadap bakteri E. coli dan M. luteus. Selanjutnya dilakukan pengujian
menggunakan metode difusi kertas cakram. Sebanyak 30 µL sampel yang telah
diencerkan 1:200 diteteskan pada kertas cakram steril, kemudian diletakkan dalam
media uji yang selanjutnya diinkubasi pada suhu 4C selama 2 jam dan 37C selama
2 hari. Hasil uji aktivitas antibakteri sabun cuci piring variasi kaolin-bentonit
52
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
terhadap bakteri E. coli dan M. luteus dapat dilihat pada tabel 4.9 Serta gambar
lampiran pada gambar 4.8.
Reaksi Rata-rata
diameter zona
hambat (cm)
Reaksi Rata-rata
diameter zona
hambat (cm)
Sabun cuci
piring F2
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
Gambar 4.8 Hasil pengujian aktivitas antibakteri F2 dan basis sabun cuci piring.
Keterangan gambar: (a) dan (b) hasil pengujian F2 terhadap E. coli; (c) dan (d) hasil
pengujian basis sabun cuci piring terhadap E. coli; (e) dan (f) hasil pengujian F3
terhadap M. luteus; (g) dan (h) hasil pengujian basis sabun cuci piring terhadap M.
luteus.
Pada penelitian ini digunakan bakteri E. coli dan M. luteus karena bakteri
tersebut terdapat pada air liur anjing dan mewakili dari masing-masing gram bakteri
dimana E. coli dari gram negatif dan M. luteus dari gram positif. Berdasarkan Hasil
Pengujian Aktivitas antibakteri sabun cuci piring variasi kaolin-bentonit memiliki
aktivitas terhadap M. luteus ditunjukkan dengan adanya zona bening pada sekitar
cakram pada media uji dengan rata-rata diameter 2,55cm. Aktivitas yang dimiliki
oleh sabun cuci piring variasi kaolin-bentonit yang mengandung mineral
montmorillonit dan kaolinit dapat menempel pada permukaan sel bakteri sehingga
menurunkan permeabilitas selnya yang dapat membunuh sel bakteri tersebut
(Dastjerdi, 2010).
berperan menjadi pelindung permeabilitas selektif, membawa fungsi transport aktif
dan mengontrol komposisi internal sel. Jika fungsi integritas membrane sitoplasma
dirusak, menyebabkan makro molekul dan ion keluar dari sel sehingga sel rusak atau
terjadi kematian sel. Membrane sitoplasma bakteri memiliki struktur yang berbeda
dibandingkan sel hewan dan dengan mudah dapat dikacaukan oleh agen tertentu
(Jawetz, dkk., 2005). Sementara pada sediaan basis sabun cuci piring tanpa kaolin-
bentonit tidak memiliki aktivitas terhadap bakteri uji E. coli dan M. luteus.
55
Gambar Keterangan gambar
mengalami kerusakan sel setelah
diberikan perlakuan sampel F2
mengalami kerusakan sel setelah
diberikan perlakuan sampel F2
morfologi sel yang dpat diamati dengan Scanning Electron Microscope (SEM),
seperti yang dapat dilihat pada tabel 4.10, terdapat adanya kerusakan pada bakteri
ditandai dengan bentuk sel yang tidak normal, terlihat bahwa beberapa dinding sel
bakteri berlubang dikarenakan terjadi gangguan terhadap membrane sel serta
berubahnya permeabilitas sel yang menyebabkan terlepasnya material sel keluar dan
56
UIN SYARIF HIDA