28
BAB I PENDAHULUAN Kejang adalah perubahan fungsi otak mendadak dan sementara sebagai akibat dari aktifitas neuronal yang abnormal dan sebagai pelepasan listrik serebral yang berlebihan.Aktivitas ini bersifat dapat parsial atau vokal, berasal dari daerah spesifik korteks serebri, atau umum, melibatkan kedua hemisfer otak.Manifestasi jenis ini bervariasi, tergantung bagian otak yang terkena. Penyebab kejang mencakup factor-faktor perinatal, malformasi otak congenital, factor genetic, penyakit infeksi (ensefalitis, meningitis), penyakit demam, gangguan metabilisme, trauma, neoplasma, toksin, gangguan sirkulasi, dan penyakit degeneratif susunan saraf. Kejang disebut idiopatik bila tidak dapat ditemukan penyebabnya. Epilepsi didefinisikan sebagai suatu keadaan yang ditandai oleh bangkitan (seizure) berulang sebagai akibat dari adanya gangguan fungsi otak secara intermiten, yang disebabkan oleh lepas muatan listrik abnormal dan berlebihan di neuron-neuron secara paroksismal, dan disebabkan oleh berbagai etiologi. 2 Bangkitan epilepsi (epileptic seizure) adalah manifestasi klinis dari bangkitan serupa (streotipik), berlangsung secara mendadak dan sementara dengan atau

Tutorial

Embed Size (px)

DESCRIPTION

ganteng

Citation preview

BAB I

PENDAHULUAN

Kejang adalah perubahan fungsi otak mendadak dan sementara sebagai

akibat dari aktifitas neuronal yang abnormal dan sebagai pelepasan listrik serebral

yang berlebihan.Aktivitas ini bersifat dapat parsial atau vokal, berasal dari daerah

spesifik korteks serebri, atau umum, melibatkan kedua hemisfer otak.Manifestasi

jenis ini bervariasi, tergantung bagian otak yang terkena.

Penyebab kejang mencakup factor-faktor perinatal, malformasi otak

congenital, factor genetic, penyakit infeksi (ensefalitis, meningitis), penyakit

demam, gangguan metabilisme, trauma, neoplasma, toksin, gangguan sirkulasi,

dan penyakit degeneratif susunan saraf. Kejang disebut idiopatik bila tidak dapat

ditemukan penyebabnya.

Epilepsi didefinisikan sebagai suatu keadaan yang ditandai oleh bangkitan

(seizure) berulang sebagai akibat dari adanya gangguan fungsi otak secara

intermiten, yang disebabkan oleh lepas muatan listrik abnormal dan berlebihan di

neuron-neuron secara paroksismal, dan disebabkan oleh berbagai etiologi.2

Bangkitan epilepsi (epileptic seizure) adalah manifestasi klinis dari

bangkitan serupa (streotipik), berlangsung secara mendadak dan sementara

dengan atau tanpa perubahan kesadaran, disebabkan oleh hiperaktivitas listrik

sekelompok sel saraf di otak, bukan disebabkan oleh suatu penyakit otak aku

(unprovoked).2

Sindrom epilepsi adalah sekumpulan gejala dan tanda klinik epilepsi yang

terjadi secara bersama-sama yang berhubungan dengan etiologi, umur, awitan

(onset), jenis bangkitan, factor pencetus, dan kronisitas.2

BAB II

KASUS

SKENARIO

ANAMNESIS

Perempuan usia 45 tahun tahun datang ke RSUD Cianjur dengan keluhan

kejang seluruh tubuh sejak sebelum masuk rumah sakit. Menurut keluarganya,

kejang berupa tegang dan kelonjotan seluruh tubuh, mata mendelik ke atas, dan

lidah tergigit. Terakhir pasien kejang sebanyak 3 x kali dengan lamanya setiap

kejang sekitar 30 menit.Os menyangkal adanya riwayat kejang sebelumnya.pasien

menyangkal adanya riwayat trauma.Riwayat hipertensi (+), DM (-)

PEMERIKSAAN FISIK

- Kesadaran : Compos mentis

- TTV : TD : 110/80 mmHG

Nadi : 80 x/menit (regular, kuat angkat)

RR : 20 x/menit (regular)

Suhu : 36.7oC

STATUS NEUROLOGIS

- RM : KK (-), K/L (tak terbatas), BRZ I/II/III (-/-/-)

- SO : Reflek cahaya +/+, Pupil bulat isokor diameter ODS 3 mm, GBM

baik ke segala arah, Wajah simetris, Lidah simetris,papil udem (+) kanan,

parese N VII kanan

- Motorik : kesan hemiplegic kanan

- Sensorik : Sulit dinilai

- Fungsi Luhur : Sulit dinilai

- Fungsi Vegetatif : Baik

- Refleks fisiologis : BTR/KPR/APR (+/+|+/+|+/+)

- Refleks Patologis : Babinski (-/-). Chaddock (-/-)

IDENTIFIKASI MASALAH

1. Bagaimana definisi kejang ?

2. Bagaimana klasifikasi kejang?

3. Bagaimana patofisiologi kejang?

4. Apa saja diagnosis untuk kasus kejang?

BAB III

PEMBAHASAN

DEFINISI KEJANG

Kejang adalah gerakan otot tonik atau klonik yang involuntar yang

merupakan serangan berkala, disebabkan oleh lepasnya muatan listrik neuron

kortikal secara berlebihan.Kejang tidak secara otomatis berarti epilepsi. Dengan

demikian perlu ditarik garis pemisah yang tegas : manakah kejang epilepsi dan

mana pula kejang yang bukan epilepsi? Tetanus, histeri, dan kejang demam

bukanlah epilepsi walaupun ketiganya menunjukkan kejang seluruh tubuh. Cedera

kepala yang berat, radang otak, radang selaput otak, gangguan elektrolit dalam

darah, kadar gula darah yang terlalu tinggi, tumor otak, stroke, hipoksia,

semuanya dapat menimbulkan kejang.

KLASIFIKASI

Pada tahun 1981, The International League Against Epilepsy (ILAE)

membuat suatu sistem klasifikasi internasional kejang epileptik yang membagi

kejang menjadi dua kelompok besar yaitu Kejang Parsial (fokal atau lokal) dan

Kejang Generalisata. Kejang parsial kemudian dibagi lagi menjadi Parsial

Sederhana, Parsial Kompleks, dan Parsial yang menjadi Generalisata

sekunder.Adapun yang termasuk kejang generalisata yaitu Lena (Tipikal atau

Atipikal), mioklonik, klonik, tonik, tonik-klonik, dan kejang atonik.

1. Kejang Parsial (Partial-onset Seizure)

Kejang Parsial bermula dari area fokus tertentu korteks serebri,

2. Kejang Generalisata (Generalized-onset Seizure)

Kejang Generalisata berawal dari kedua hemisfer serebri.Bisa

bermula dari talamus dan struktur subkortikal lainnya.Pada EEG

ditemukan kelainan secara serentak pada kedua hemisfer.Kejang

generalisata memberikan manifetasi bilateral pada tubuh dan ada gejala

penurunan kesadaran.Kejang generalisata diklasifikasikan menjadi atonik,

tonik, klonik, tonik klonik atau absence seizure.

Kejang tonik adalah kekakuan kontraktur pada otot-otot, termasuk

otot pernafasan. Kejang klonik berupa gemetar yang bersifat lebih

lama.Jika keduanya muncul secara bersamaan maka disebut kejang tonik

klonik (kejang Grand Mal).

Sebagian kejang yang lain sulit dikelompokkan pada salah satunya

dimasukkan sebagai kejang tidak terklasifikasi (Unclassified Seizure).

Cara pengelompokan ini masih diterima secara luas

KLASIFIKASI

Klasifikasi Internasional Kejang Epilepsi menurut International League

Against Epilepsy (ILAE) 1981:

I . Kejang Parsial (fokal)

A. Kejang parsial sederhana (tanpa gangguan kesadaran)

1.         Dengan gejala motorik

2.         Dengan gejala sensorik

3.         Dengan gejala otonomik

4.         Dengan gejala psikik

B. Kejang parsial kompleks (dengan gangguan kesadaran)

1.    Awalnya parsial sederhana, kemudian diikuti gangguan kesadaran

a. Kejang parsial sederhana, diikuti gangguan kesadaran

b. Dengan automatisme

2.    Dengan gangguan kesadaran sejak awal kejang

a. Dengan gangguan kesadaran saja

b. Dengan automatisme

C. Kejang umum sekunder/ kejang parsial yang menjadi umum (tonik

klonik, tonik atau klonik)

1.         Kejang parsial sederhana berkembang menjadi kejang umum

2.         Kejang parsial kompleks berkembang menjadi kejang umum

3.        Kejang parsial sederhana berkembang menjadi prsial kompleks,

dan berkembang menjadi kejang umum

II. Kejang umum (konvulsi atau non-konvulsi)

A.       lena/ absens

B.       mioklonik

C.       tonik

D.       atonik

E. klonik

F.        tonik-klonik

III. Kejang epileptik yang tidak tergolongkan

FISIOLOGI DAN PATOFISIOLOGI

Tiap neuron yang aktif melepaskan muatan listriknya.Fenomena elektrik ini

adalah wajar.Manifestasi biologiknya ialah merupakan gerak otot atau suatu

modalitas sensorik, tergantung dari neuron kortikal mana yang melepaskan

muatan listriknya.Bilamana neuron somatosensorik yang melepaskan muatannya,

timbulah perasaan protopatik atau propioseptif. Demikian pula akan timbul

perasaan panca indera apabila neuron daerah korteks pancaindera melepaskan

muatan listriknya.

Secara fisiologis, suatu kejang merupakan akibat dari serangan muatan

listrik terhadap neuron yang rentan di daerah fokus epileptogenik. Diketahui

bahwa neuron-neuron ini sangat peka dan untuk alasan yang belum jelas tetap

berada dalam keadaan terdepolarisasi.Neuron-neuron di sekitar fokus

epileptogenik bersifat GABA-nergik dan hiperpolarisasi, yang menghambat

neuron epileptogenik.Pada suatu saat ketika neuron-neuron epileptogenik

melebihi pengaruh penghambat di sekitarnya, menyebar ke struktur korteks

sekitarnya dan kemudian ke subkortikal dan struktur batang otak.

Dalam keadaan fisiologik neuron melepaskan muatan listriknya oleh karena

potensial membrannya direndahkan oleh potensial postsinaptik yang tiba pada

dendrit. Pada keadaan patologik, gaya yang bersifat mekanik atau toksik dapat

menurunkan potensial membran neuron, sehingga neuron melepaskan muatan

listriknya dan terjadi kejang.

PENYAKIT-PENYAKIT YANG MENYEBABKAN KEJANG

Penyakit-penyakit yang menyebabkan kejang dapat dikelompokkan secara

sederhana menjadi penyebab kejang epileptik dan penyebab kejang non-epileptik.

Penyakit epilepsi akan dibahas tersendiri sementara kelompok non-epileptik

terbagi lagi menjadi penyakit sistemik, tumor, trauma, infeksi, dan serebro-

vaskuler.

a. Sistemik

Metabolik : Hiponatremia, Hipernatremia,

Hiponatremia

Hiponatremia terjadi bila :

a) Jumlah asupan cairan melebihi kemampuan ekskresi,

b) Ketidakmampuan menekan sekresi ADH (mis : pada kehilangan

cairan melalui saluran cerna atau gagal jantung atau sirosis hati

atau pada SIADH = Syndrom of Inappropriate ADH-secretion).

Hiponatremia dengan gejala berat (mis : penurunan kesadaran dan

kejang) yang terjadi akibat adanya edema sel otak karena air dari

ektrasel masuk ke intrasel yang osmolalitas-nya lebih tinggi

digolongkan sebagai hiponatremia akut (hiponatremia

simptomatik). Sebaliknya bila gejalanya hanya ringan saja (mis :

lemas dan mengantuk) maka ini masuk dalam kategori kronik

(hiponatremia asimptomatik).

Langkah pertama dalam penatalaksanaan hiponatremia adalah mencari

sebab terjadinya hiponatremia melalui anamnesis, pemeriksaan fisis, dan

pemeriksaan penunjang.Langkah selanjutnya adalah pengobatan yang

tepat sasaran dengan koreksi Na berdasarkan kategori hiponatremia-nya.

Hipernatremia

Hipernatremia terjadi bila kekurangan air tidak diatasi dengan baik

misalnya pada orang dengan usia lanjut atau penderita diabetes insipidus.

Oleh karena air keluar maka volume otak mengecil dan menimbulkan

robekan pada vena menyebabkan perdarahan lokal dan subarakhnoid.

Setelah etiologi ditetapkan, maka langkah penatalaksanaan

berikutnya ialah mencoba menurunkan kadar Na dalam plasma ke arah

normal. Pada diabetes insipidus, sasaran pengobatan adalah mengurangi

volume urin.Bila penyebabnya adalah asupan Na berlebihan maka

pemberian Na dihentikan.

b. Intoksikasi

Penegakan diagnosa pasti penyebab keracunan cukup sulit karena

diperlukan sarana laboratorium toksikologi sehingga dibutuhkanauto-

anamnesis dan alloanamnesis yang cukup sermat serta bukti-bukti yang

diperoleh di tempat kejadian.Selanjutnya pada pemeriksaan fisik harus

ditemukan dugaan tempat masuknya racun.Penemuan klinis seperti ukuran

pupil mata, frekuensi napas dan denyut jantung mungkin dapat membantu

penegakan diagnosis pada pasien dengan penurunan kesadaran.

Pemeriksaan penunjang berupa analisa toksikologi harus dilakukan sedini

mungkin dengan sampel berupa 50 ml urin, 10 ml serum, bahan muntahan,

feses. Pemeriksaan lain seperti radiologis, laboratorium klinik, dan EKG

juga perlu dilakukan. Adapun standar penatalaksanaan dari intoksikasi

yaitu stabilisasi, dekontaminasi, eliminasi, dan pemberian antidotum.

Sementara gejala yang sering menjadi penyerta atau penyulit

adalah gangguan cairan, elektrolit, dan asam-basa ; gangguan irama

jantung ; methemoglobinemia ; hiperemesis ; distonia ; rabdomiolisis ; dan

sindrom antikolinergik.

c. Tumor

Kira-kira 10% dari semua proses neoplasmatik di seluruh tubuh

ditemukan pada susunan saraf dan selaputnya, 8% di antaranya berlokasi

di ruang intrakranial dan 2% sisanya di ruang kanalis spinalis. Dengan

kata lain 3-7 dari 100.000 orang penduduk mempunyai neoplasma saraf

primer. Urutan frekuensi neoplasma intrakranial yaitu : Glioma (41%),

Meningioma (17%), Adenoma hipofisis (13%), Neurilemoma /

neurofibroma (12%), Neoplasma metastatik dan neoplasma pembuluh

darah serebral.

Pembagian tumor dalam kelompok benigna dan maligna tidak

berpengaruh secara mutlak bagi tumor intrakranial oleh karena tumor

benigna secara histologik dapat menduduki tempat yang vital, sehingga

menimbulkan kematian dalam waktu singkat.

Simptomatologi tumor intrakranial dapat dibagi dalam :

1. Gangguan kesadaran akibat tekanan intrakranial yang meninggi

Selain menempati ruang, tumor intrakranial juga menimbulkan

perdarahan setempat.Penimbunan katabolit di sekitar jaringan tumor

menyebabkan jaringan otak bereaksi dengan menimbulkan edema yang

juga bisa diakibatkan penekanan pada vena sehingga terjadi

stasis.Sumbatan oleh tumor terhadap likuor sehingga terjadi

penimbunan juga meningkatkan tekanan intrakranial.

TIK yang meningkat menimbulkan gangguan kesadaran dan

menifestasi disfungsi batang otak yang dinamakan:

(a) sindrom unkus / kompresi diensefalon ke lateral ;

(b) sindrom kompresi sentral restrokaudal terhadap batang otak ; dan

(c) herniasi serebelum di foramen magnum. Sebelum tahap stupor atau

koma tercapai, TIK yang meninggi sudah menimbulkan gejala-gejala

umum.

2. Gejala-gejala umum akibat tekanan intrakranial yang meninggi

a. Sakit kepala = Akibat peningkatan CBF setelah terjadi

penumpukan PCO2 serebral terutama setelah tidur. Lonjakan TIK

juga akibat batuk, mengejan atau berbangkis.

b. Muntah = Akibat peningkatan TIK selama tidur malam karena

PCO2 serebral meningkat. Sifat muntah proyektil atau muncrat dan

tidak didahului mual

c. Kejang = Kejang fokal dapat merupakan manifestasi pertama

tumor intrakranial pada 15% penderita. Meningioma pada

konveksitas otak sering menimbulkan kejang fokal sebagai gejala

dini. Kejang umum dapat timbul sebagai manifestasi tekanan

intrakranial yang melonjak secara cepat, terutama sebagai

menifestasi glioblastoma multiforme. Kejang tonik yang sesuai

dengan serangan rigiditas deserebrasi biasanya timbul pada tumor

di fossa kranii posterior dan secara tidak tepat dinamakan oleh para

ahli neurologi dahulu sebagai “cerebellar fits”.

d. Gangguan mental = Tumor serebri dapat mengakibatkan demensia,

apatia, gangguan watak dan intelegensi, bahkan psikosis, tidak

peduli lokalisasinya.

e. Perasaan abnormal di kepala = Rasa seperti “enteng di kepala”,

“pusing” atau “tujuh keliling”. Mungkin sehubungan dengan TIK

yang meninggi. Sehingga karena samarnya maka kebanyakan dari

keluhan semacam ini tidak dihiraukan oleh pemeriksa dan

dianggap keluhan fungsional.

3. Tanda-tanda lokalisatorik yang menyesatkan

Suatu tumor intrakranial dapat menimbulkan manifastasi yang tidak

sesuai dengan fungsi tempat yang didudukinya berupa :

a) Kelumpuhan saraf otak

b) Refleks patologik yang positif pada kedua sisi

c) Gangguan mental

d) Gangguan endokrin

e) Ensefalomalasia

4. Tanda-tanda lokalisatorik yang benar

Defisit serebral dibangkitkan oleh tumor di daerah fungsional yang khas

berupa monoparesis, hemiparesis, hemianopia, afasia, anosmia dan

seterusnya.

I. Simptom fokal dari tumor di lobus frontalis : sakit kepala,

gangguan mental, kejang tonik fokal, katatonia, anosmia

II. Simptom fokal dari tumor di daerah pre-sentral : kejang fokal

pada sisi kontralateral, hemiparesis kontralateral, paraparese,

gangguan miksi

III. Simptom fokal dari tumor di lobus temporalis : hemianopsia

kuadran atas kontralateral dengan tinitus, halusinasi auditorik,

dan afasia sensorik beserta apraksia

IV. Simptom fokal dari tumor di lobus parietalis : serangan Jackson

sensorik, astereognosia dan ataksia sensorik, “thalamic over-

reaction”, hemianopsia kuadran bawah homonim yang

kontralateral, agnosia, afasia sensorik, serta apraksia

V. Simptom fokal dari tumor di lobus oksipitalis

VI. Simptom fokal dari tumor di korpus kalosum

1. Tanda-tanda fisik diagnostik pada tumor intrakranial

a. Papil edema ;

b. Pada anak ukuran kepala membesar dan sutura teregang, perkusi =

bunyi kendi rengat, auskultasi = ada bising ;

c. Hipertensi intrakranial → bradikardi & TD sistemik yang

meningkat progresif = dapat dianggap sebagai kompensasi

penanggulangan iskemik

d. Irama dan frekuensi pernafasan berubah

d.Trauma

Kejang dapat terjadi setelah cedera kepala dan harus segera diatasi karena

akan menyebabkan hipoksia otak dan kenaikan tekanan intrakranial serta

memperberat edem otak. Mula-mula berikan diazepam 10 mg intravena

perlahan-lahan dan dapat diulangi sampai 3 kali bila masih kejang.Bila

tidak berhasil dapat diberikan fenitoin 15 mg/kgBB secara intravena

perlahan-lahan dengan kecepatan tidak melebihi 50 mg/menit.

e. Infeksi

Infeksi pada susunan saraf dapat berupa meningitis atau abses dalam

bentuk empiema epidural, subdural, atau abses otak. Klasifikasi lain

membahas menurut jenis kuman yang mencakup sekaligus diagnosa

kausal

1) Infeksi viral

2) Infeksi bakterial

3) Infeksi spiroketal

4) Infeksi fungal

5) Infeksi protozoal

6) Infeksi metazoal

f. Serebrovaskuler

Stroke mengacu kepada semua gangguan neurologik mendadak

yang terjadi akibat pembatasan atau terhentinya aliran darah melalui

sistem suplai arteri otak.Istilah stroke biasanya digunakan secara spesifik

untuk menjelaskan infark serebrum.CVA (Cerebralvascular accident) dan

serangan otak sering digunakan secara sinonim untuk stroke.Konvulsi

umum atau fokal dapat bangkit baik pada stroke hemoragik maupun strok

non-hemoragik.

Stroke sebagai diagnosis klinis untuk gambaran manifestasi lesi

vaskuler serebral dapat dibagi dalam :

1) Transient ischemic attack,

2) Stroke in evolution,

3) Completed stroke, yang bisa dibagi menjadi tipe hemoragik dan

tipenonhemoragik

g. Epilepsi

Kata epilepsi berasal dari kata Yunani “epilambanein” yang berarti

“serangan”.Epilepsi bukanlah suatu penyakit, tetapi gejala yang dapat

timbul karena penyakit. Epilepsi ialah manifestasi gangguan otak dengan

berbagai etiologi namun dengan gejala tunggal yang khas, yaitu seragan

berkala yang disebabkan oleh lepas muatan listrik neuron kortikal secara

berlebihan kronik otak dengan ciri timbulnya gejala-gejala yang datang

dalam serangan-serangan, berulang-ulang yang disebabkan lepas muatan

listrik abnormal sel-sel saraf otak, yang bersifat reversibel. 2, 8

Klasifikasi serangan pada epilepsi dapat dibagi menjadi dua kelompok

utama yaitu parsial dan umum.Kejang parsial kemudian dibagi menjadi

parsial sederhana, parsial, kompleks, dan parsial dengan umum sekunder.

I. Serangan parsial (fokal, lokal) kesadaran tak berubah

A. Serangan parsial sederhana (kesadaran tetap baik)

1. Dengan gejala motorik

2. Dengan gejala somatosensorik atau sensorik khusus

3. Dengan gejala autonom

4. Dengan gejala psikis

B.Serangan parsial kompleks (kesadaran menurun)

1. Berasal sebagai parsial sederhana dan berkembang ke penurunan

kesadaran

2.Dengan penurunan kesadaran sejak awitan

II. Serangan umum (konvulsif atau non-konvulsif)

A. 1. Absence

2. Absence tak khas

B. Mioklonik

C. Klonik

D. Tonik

E. Tonik-klonik

F. Atonik

III. Serangan epilepsi tak terklasifikasikan misalnya : gerakan ritmis pada

mata, gerakan mengunyah dan berenang. 2

Diagnosis

Pada umumnya, seseorang yang mengalami hanya satu kali serangan

kejang tidak akan diberi terapi epilepsi dahulu. Namun jika dalam waktu

satu tahun terjadi lebh dari satu serangan maka perlu dipertimbangkan

untuk mulai dengan obat-obat antiepilepsi. Diagnosis epilepsi biasanya

dapat dibuat dengan cukup pasti dari anamnesis lengkap, terutama

mengenai gambaran serangan, hasil pemeriksaan umum dan neurologik

serta elektroensefaligrafi (EEG).

Terapi

Obat anti epilepsi (Antiepileptic Drug / AED) digolongkan berdasarkan

mekanisme kerjanya.

1. Sodium channel blockers : Fenitoin, Fosfenitoin, Oxcarbazepine,

Zonisamide, Clobazam, Fenobarbital, Felbamate, Topiramate

2. Calsium inhibitors : Fenitoin, Fosfenitoin, Clobazam, Fenobarbital,

Felbamate

3. GABA enhancers : Clobazam, Clonazepam, Fenobarbital, Tiagabine,

Vigabatrin, Gabapentin, Topiramate

4. Glutamate blocker : Lamotrigine, Fenobarbital, Topiramate

5. Carbonic anhydrase inhibitor : Topiramate

6. Hormon

7. dan obat-obat lain yang belum diketahui pasti mekanisme kerjanya :

Primidine, Valproate, Levetiracetam.

Prognosis

Prognosis epilepsi bergantung kepada beberapa hal, di antaranya jenis

epilepsi, faktor penyebab, saat pengobatan dimulai, dan ketaatan minum

obat.Pada umumnya prognosis epilepsi cukup menggembirakan. Pada 50-

70% penderita epilepsi serangan dapat dicegah dengan obat-obatan,

sedangkan sekitar 50% pada suatu waktu akan dapat berhenti minum obat.

Serangan epilepsi primer, baik yang bersifat kejang umum maupun

serangan lena (ngelamun) atau absence mempunyai prognosis terbaik.

Sebaliknya epilepsi yang serangan pertamanya mulai pada usia 3 tahun

atau yang disertai kelainan neurologik dan atau retardasi mental

mempunyai prognosis relatif jelek.

PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Elektroensefalogram (EEG) →dipakai untuk membantu menetapkan jenis

dan focus dan kejang.

a. Diagnosis epilepsy tidak hanya tergantung pada temuan EEG yang

abnormal

b. Tidur lebih disukai selama EEG, meskipun sedasi dengan

pemantauan mungkin dindakasikan

2. Pemindaian CT→menggunakan kajian sinar-X yang masih lebih sensitive

dan biasanya untuk mendeteksi perbedaan kerapatan jaringan.

3. MRI( Magnetic Resonance imaging) →menghasilkan bayangan dengan

lapangan magnetik dan gelombang radio, berguna untuk memperlihatkan

daerah-daerah otak (regio fossa posterior dan regio sella) yang tidak

terlihat jelas apabila menggunakan pemindaian CT.

4. PET (Pemindaian positron emission temography)→untuk mengevaluasi

kejang yang membandel dan membantu menetapkan lokasi lesi, perubahan

metabolic, atau aliran darah dalam otak (mencakup suntikan radioisotop

secara IV).

5. Potensial yang membangkitkan→digunakan untuk menentukan integritas

jalur sensoris dalam otak (respons yang tidak ada atau tertunda atau

mengindikasikan keadaan yang patologik).

6. Uji laboratorium→ berdasarkan riwayat anak dan hasil pemeriksaan.

a. Punksi lumbal untuk menganalisis cairan serebrospinal→terutama

dipakai untuk menyingkirkan kemungkinan infeksi.

b. Hitung daerah lengkap→untuk menyingkirkan infeksi sebagai

penyebab; dan pada kasus yang diduga disebabkan trauma, dapat

mengevaluasi haematokit dan jumlah trombosit.

c. Panel elektrolit→serum elektrolit, Ca total, dan magnesium serum

seringkali diperiksa pada saat pertama kali terjadi kejang, dan pada

anak yang berusia kurang dari 3 bulan, dengan penyebab elektrolit

dan metabolic lebih lazim ditemuai (uji glukosa darah dapat

bermamfaat pada bayi atau anak kecil dengan kejang yang

berkepanjangan untuk menyingkirkan kemungkinan hipoglikemia).

d. Skrining toksisk dari serum dan urin→digunakan untuk

menyingkirkan kemungkinan keracunan.

e. Pemantauan kadar obat antiepileptik→digunakan pada fase awal

penatalaksanaan dan jika kepatuhan pasien diragukan.

TERAPI KEJANG

Penanganan kejang secara modern bermula dari tahun 1850 dengan

pemberian Bromida, dengan dasar teori bahwa epilepsi disebabkan oleh suatu

dorongan sex yang berlebih.Pada tahun 1910, kemudian digunakan Fenobarbital

yang awalnya dipakai untuk menginduksi tidur, kemudian diketahui mempunyai

efek antikonvulsan dan menjadi obat pilihan selama bertahun-tahun. Sejumlah

obat lain yang juga digunakan sebagai pengganti Fenobarbital termasuk

Pirimidone, dan Fenitoin yang kemudian menjadi first line drug epilepsi utama

untuk penanganan kejang parsial dan generalisata sekunder. Pada tahun 1968,

Karbamazepin awalnya digunakan untuk neuralgia trigeminal, kemudian pada

tahun 1974 digunakan untuk kejang parsial.Etosuksimid telah digunakan sejak

1958 sebagai obat utama untuk penanganan absence seizures tanpa kejang tonik

klonik generalisata.Valproate mulai digunakan 1960 dan saat ini sudah tersedia di

seluruh dunia dan menjadi drug of choice pada epilepsy primer generalisata dan

kejang parsial.

1. Fenobarbital

Merupakan obat antiepilepsi atau antikonvulsi yang efektif.Toksisitasnya

relatif rendah, murah, efektif, dan banyak dipakai.Dosis antikonvulsinya

berada di bawah dosis untuk hipnotis.Ia merupakan antikonvulsan yang

non-selektive. Manfaat terapeutik pada serangan tonik-klonik generalisata

(grand mall) dan serangan fokal kortikal.

2. Primidon

Efektif untuk semua jenis epilepsy kecuali absence.Efek antikonvulsi

ditimbulkan oleh primidon dan metabolit aktifnya.

3. Hidantoin

Yang termasuk dalamm golongan ini adalah fenitoin, mefenitoin, dan

etotoin.

Fenitoin : Fenitoin adalah obat primer untuk semua bangkitan parsial dan

bangkitan tonik-klonik, kecuali bangkitan absence (absence seizure).

Fenitoin tidak sedative pada dosis biasa.Berbeda dengan fenobarbital, obat

ini juga efektif pada beberapa kasus epilepsy lobus temporalis.

4. Karbamazepine

Termasuk dalam golongan iminostilbenes.Manfaat terapeutik ialah untuk

Epilepsi lobus temporalis, sendiri atau kombinasi dengan bangkitan

generalisata tonik-klonik (GTCS).

5. Etosuksimid

Obat ini dipakai untuk bangkitan absence. Efek antikonvulsi pada binatang

sama halnya dengan trimetadion. Proteksi terhadap pentilentetrazol, akan

menaikkan nilai ambang serangan. Manfaat terapeutik ialah terhadap

bengkitan absence.

6. Asam valproat (Valproic acid)

Asam valproat dipakai untuk berbagai jenis serangan atau bangkitan. Efek

sedasinya minimal, efek terhadap SSP lain juga minimal. Terhadap

Pentilen tetrazol, potensi asam valproat lebih besar daripada etosuksimid,

tapi lebih kecil pada fenobarbital.Asam valproat lebih bermanfaat untuk

bangkitan absence daripada terhadap bangkitan umum tonik-klonik.

PROGNOSIS

Kejang adalah suatu masalah neurologik yang relative sering dijupai.

Sekitar 10% populasi akan mengalami paling sedikit satu kali kejang seumur

hidup mereka, dengan insiden paling tinggi terjadi pada masa anak-anak dini dan

lanjut usia (setelah usia 60 tahun), dan 0,3% sampai 0,5% akan didiagnosa

mengidap epilepsi (berdasarkan kriteria dua kali kejang tanpa pemicu)

BAB III

PENUTUP

1.1 Kesimpulan

DAFTAR PUSTAKA

Mardjono, Mahar, Prof. Neurologi Klinis Dasar. Dian Rakyat. Jakarta:

2006

Budiman, Gregory. Basic Neuroanatomical Pathways.Second

Edition.FKUI. Jakarta: 2009.

Dewanto, George, dkk. Panduan Praktis Diangnosis dan Tata Laksana

Penyakit Saraf.EGC. Jakarta: 2009.