Upload
ricky04
View
1.792
Download
7
Embed Size (px)
Citation preview
TUGAS KELOMPOK
TATA PEMERINTAHAN LOKALUU NO. 5 TAHUN 1974
Disusun oleh:FAHRIANNUR (11520215)EVA ANZAYA NUVASARI (11520217)DEVI YUNITA (11520233)PETRUS A. YONI ASOGOME (11520246)FRANSISKUS ANCE (11520247)
SEKOLAH TINGGI PEMBANGUNAN MASYARAKAT DESA STPMD”APMD”YOGYAKARTA
2013
PELAKSANAAN KEWENANGAN OTONOMI DI DAERAH TINGKAT II (MENURUT UU NO 5 TAHUN 1974)
A. Latar belakanng masalah
Sejak tahun 1966, pemerintah Orde Baru berhasil membangun suatu pemerintahan
nasional yang kuat dengan menempatkan stabilitas politik sebagai landasan untuk
mempercepat pembangunan ekonomi Indonesia. Politik yang pada masa pemerintahan Orde
Lama dijadikan panglima, digantikan dengan ekonomi sebagai panglimanya, dan mobilisasi
massa atas dasar partai secara perlahan digeser oleh birokrasi dan politik teknokratis. Banyak
prestasi dan hasil yang telah dicapai oleh pemerintahan Orde Baru, terutama keberhasilan di
bidang ekonomi yang ditopang sepenuhnya oleh kontrol dan inisiatif program-program
pembangunan dari pusat. Dalam kerangka struktur sentralisasi kekuasaan politik dan otoritas
administrasi inilah, dibentuklah Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok
Pemerintahan Daerah. Mengacu pada UU ini, Otonomi Daerah adalah hak, wewenang, dan
kewajiban Daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan
peraturan perundangan yang berlaku. Nampak bahwa meskipun harus diakui bahwa UU No.
5 Tahun 1974 adalah suatu komitmen politik, namun dalam prakteknya yang terjadi adalah
sentralisasi yang dominan dalam perencanaan maupun implementasi pembangunan
Indonesia. Salah satu fenomena paling menonjol dari pelaksanaan UU No. 5 Tahun 1974 ini
adalah ketergantungan Pemda yang relatif tinggi terhadap pemerintah pusat. UU No. 5 Tahun
1997 meletakkann otonomi sebagai alat dari pada tujuan, artinya otonomi itu digunakan
pemerintan untuk mengontrol jalannya pemerintahan yang ada. Pada kenyataannya otonomi
daerah belum berjalan dengan sabagai mana mestinya. Pemerintah pusat masih saja ikut
campur dalam pelaksanaannya, dikarenakan daerah yang belum siap dan masih perlu bantuan
dari pusat. Konsep otonomi daerah yang dilaksanakan ketika masa orde baru tidak berjalan
efektif atau hanya sekedar konsep belaka. Nyatanya pembangunan pun hanya terjadi di pusat
(tepatnya di pulau Jawa). Kewenangan daerah untuk mengatur urusan daerahnya dibatasi oleh
pemerintah pusat dan mendapatkan kontrol yang ketat. Padahal untuk membangun daerah,
harus disesuaikan dengan kondisi sosial budaya di daerah tersebut. Akan tetapi yang terjadi,
semua kewenangan pembangunan dilakukan secara sentralisasi. Hal inilah yang
menyebabkan pembangunan di tiap daerah tidak merata. Bahkan oleh masyarakat di luar
pulau jawa, Indonesia lebih dikenal dengan sebutan Negara Jawa dikarenakan semua
pembangunan hanya terpusat disana. Dengan
Rumusan Masalah :
Mengapa otonomi masih dijalankan dengan setengah hati ?
B. Konseptualisasi
1. Makna dari otonomi daerah
2. Praktek otonomi daerah tingkat II menurut UU No. 5 Tahun 1974
C. Pembahasan
Otonomi Daerah adalah penyerahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk mengurusi urusan rumah tangganya sendiri berdasarkan prakarsa dan aspirasi dari rakyatnya dalam kerangka negara kesatuan Republik Indonesia. dengan adanya desentralisasi maka muncullan otonomi bagi suatu pemerintahan daerah. Makna dari otonomi daerah. Penetapan UU No. 18/1965 yang diharapkan dapat membawa perubahan penyelenggaraan Pemerintahan Daerah untuk mencapai tertib pemerintahan Daerah di Indonesia berdasarkan UUD 1945, dalam prakteknya juga tidak berjalan sebagaimana mestinya. Prinsip pemberian otonomi yang seluas-luasnya sebagaimana dianut UU No. 18/ 1965 dipandang dapat membahayakan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal ini tercemin dari TAP MPRS No.XXI/ MPRS/1966 yang antaranya menghendaki peninjauan kembali UU No. 18/1965. Prinsip pemberian otonomi yang seluas-luasnya bukan hanya tidak dilaksanakan, tetapi dipandang dapat menimbulkan kecenderungan pemikiran yang membahayakan keutuhan negara kesatuan dan tidak serasi dengan tujuan pemberian otonomi yang digariskan GBHN. Dengan demikian, kelahiran UU No. 5/1974 setidak-tidaknya dilatar belakangi oleh hal yang diutarakan di atas, terutama berkaitan dengan prinsip pemberian otonomi yang seluas-luasnya kepada Daerah. Sehingga UU No. 5/1974 menganut prinsip pemberian otonomi kepada Daerah bukan lagi berupa "otonomi yang seluas-luasnya", melain "otonomi yang nyata dan bertanggung jawab". Satu sisi yang amat penting dari UU No. 5/1974 adalah bawah UU ini tidak semata-mata mengatur pemerintahan daerah berdasarkan asas desentralisasi (otonomi dan tugas pembantuan), tetapi juga dekonsentrasi.
Ditinjau dari sudut pola hubungan antara Pusat dan Daerah, UU No. 5/1974 berada dalam garis yang sama dengan pola yang dirintis dan dilaksanakan sejak tahun 1969. Unsur-unsur sentralisasi lebih menonjol dari unsur desentralisasi. Di samping itu dalam rangka pemberian otonomi kepada Daerah, UU No. 5/1974 meletakkan titik berat Otonomi Daerah pada Daerah Kabupaten/Kotamadya. Dari pengaturan mengenai Pemerintahan Daerah dalam berbagai undang-undang sebagaimana telah diutarakan maka dapat dikemukakan bahwa penyelenggaraan Pemerintahan Daerah memperlihatkan perbedaan-perbedaan baik sistem otonominya maupun corak pemerintahannya. Meskipun undang-undang tersebut bersumber pada satu dasar penyusunanan yang sama yakni Pasal 18 UUD 1945 (kecuali UU No. 1/1957). UU No.5 Tahun 1974 yang berlaku selama puluhan tahun (1974-1999) boleh disebut sebagai undang-undang pemerintahan daerah yang paling lama berlakunya dibanding undang-undang yang pernah ada sebelumnya. Keberadaan UU No 5 Tahun 1974 itu yang
begitu lama berlaku tentu saja sangat berpengaruh bagi keberadaan daerah otonom di Indonesia, meskipun dalam perjalanannya kemudian digugat sebagai pengaturan bagi daerah otonom, namun nuansa sentralisasi lebih kuat atau sangat dominan dibanding nuasa desentralisasinya. Keberadaan undang-undang No 5 Tahun 1974 belakangan dipahami oleh banyak kalangan sebagai undang-undang yang erat kaitannya dengan pemerintahan Orde baru yang sentralistik dan otoriter. Tetapi apa pun itu, suatu hal yang tidak bisa dipungkiri, bahwa UU No 5 Tahun 1974 telah memberikan warna dan pengaruh yang kuat terhadap karakteristik pemerintahan daerah dan penyelengaraannya, termasuk terhadap para penyelenggaranya. Salah satu dampak yang sampai saat ini masih bisa dilihat adalah lemahnya inisiatif daerah (pemerintah daerah) dalam mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sebagai inti dari otonomi daerah. Pemerintah pusat hanya berperan sebagai supervisor, pemantau, pengawas dan penilai. Visi otonomi daerah dapat dirumuskan dalam tiga ruang lingkup utama, yaitu : Politik, Ekonomi serta Sosial dan Budaya. Di bidang politik, pelaksanaan otonomi harus dipahami sebagai proses untuk membuka ruang bagi lahirnya kepala pemerintahan daerah yang dipilih secara demokratis, memungkinkan berlangsungnya penyelenggaraan pemerintahan yang responsif terhadap kepentingan masyarakat luas, dan memelihara suatu mekanisme pengambilan keputusan yang taat pada asas pertanggungjawaban publik. Gejala yang muncul dewasa ini partisipasi masyarkat begitu besar dalam pemilihan Kepala Daerah, baik propinsi, kabupaten maupun kota. Hal ini bisa dibuktikan dari membanjirnya calon-calon Kepala Daerah dalam setiap pemilihan Kepala Daerah baik di tingkat propinsi maupun kabupaten atau kota. Di bidang ekonomi, otonomi daerah di satu pihak harus menjamin lancarnya pelaksanaan kebijakan ekonomi nasional di daerah, dan di pihak lain terbukanya peluang bagi pemerintah daerah mengembangkan kebijakan regional dan lokal untuk mengoptimalkan pendayagunaan potensi ekonomi di daerahnya. Dalam konteks ini, otonomi daerah akan memungkinkan lahirnya berbagai prakarsa pemerintah daerah untuk menawarkan fasilitas investasi, memudahkan proses perizinan usaha, dan membangun berbagai infrastruktur yang menunjang perputaran ekonomi di daerahnya. Dengan demikian otonomi daerah akan membawa masyarakat ke tingkat kesejahteraan yang lebih tinggi dari waktu ke waktu. Di bidang sosial budaya, otonomi daerah harus dikelola sebaik mungkin demi menciptakan harmoni sosial, dan pada saat yang sama, juga memelihara nilai-nilai lokal yang dipandang kondusif terhadap kemampuan masyarakat dalam merespon dinamika kehidupan di sekitarnya. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan, bahwa konsep otonomi daerah mengandung makna :
1. Penyerahan sebanyak mungkin kewenangan pemerintahan dalam hubungan domestik
kepada daerah, kecuali untuk bidang keuangan dan moneter, politik luar negeri,
peradilan, pertahanan, keagamaan, serta beberapa kebijakan pemerintah pusat yang
bersifatstrategis nasional.
2. Penguatan peran DPRD dalam pemilihan dan penetapan kepala daerah; menilai
keberhasilan atau kegagalan kepemimpinan kepala daerah.
3. Pembangunan tradisi politik yang lebih sesuai dengan kultur (budaya) setempat demi
menjamin tampilnya kepemimpinan pemerintahan yang berkualifi kasi tinggi dengan
tingkat akseptabilitas (kepercayaan) yang tinggi.
4. Peningkatan efektifi tas fungsi-fungsi pelayanan eksekutif melalui pembenahan
organisasi dan institusi yang dimiliki agar lebih sesuai dengan ruang lingkup
kewenangan yang telah didesentralisasikan.
5. Peningkatan efisiensi administrasi keuangan daerah serta pengaturan yang lebih jelas
atas sumber-sumber pendapatan negara.
6. Perwujudan desentralisasi fiskal melalui pembesaran alokasi subsidi pusat yang
bersifat block grant.
7. Pembinaan dan pemberdayaan lembaga-lembaga dan nilai-nilai lokal yang bersifat
kondusif terhadap upaya memelihara harmoni sosial.
D. Daftar pustaka
http://id.wikipedia.org/wiki/Otonomi_daerah_di_Indonesia
http://arifmunandar.yu.tl/otonomi-daerah-indonesia.xhtml
http://odhosuka.blogspot.com/2013/04/perbandingan-implementasi-otonomi.html