32
TUGAS KELOMPOK MATA KULIAH PEMBANGUNAN PERTANIAN BERKELANJUTAN Semester Genap 2015/2016 Judul Tugas : Kebijakan Pemerintah Mengenai Konversi Lahan Pertanian Di Indonesia Kelas : Agribisnis D Dosen : Dr.Ir. E. Kusnadi Wikarta, MSIE. Ir. Endah Djuwendah, M.Si. Disusun Oleh : Kelompok 5 No Nama NPM 1. Chairun Nisa Asnawi 150610120127 2. Gelda Amalia Hasanah 150610120136 3. Luthfiyah 150610120140 4. Devina Sela Almadia 150610120144 5. Anita Cicilia Harimurti 150610120154

Tugas Resitasi 5 Konversi Lahan

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Tugas kuliah Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

Citation preview

TUGAS KELOMPOK

MATA KULIAH PEMBANGUNAN PERTANIAN BERKELANJUTAN

Semester Genap 2015/2016

Judul Tugas:Kebijakan Pemerintah Mengenai Konversi Lahan Pertanian Di Indonesia

Kelas:Agribisnis D

Dosen:Dr.Ir. E. Kusnadi Wikarta, MSIE.Ir. Endah Djuwendah, M.Si.

Disusun Oleh :

Kelompok 5

NoNamaNPM

1.Chairun Nisa Asnawi150610120127

2.Gelda Amalia Hasanah150610120136

3.Luthfiyah150610120140

4.Devina Sela Almadia150610120144

5.Anita Cicilia Harimurti150610120154

UNIVERSITAS PADJADJARAN

FAKULTAS PERTANIAN

PROGRAM STUDI AGRIBISNIS

JATINANGOR

2015

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat serta karunia-Nya kepada kami sehingga kami berhasil menyelesaikan makalah ini dengan tepat pada waktunya dan tanpa hambatan yang berarti. Tidak lupa pula kami ucapkan terimakasih kepada Bapak Dr.Ir. E. Kusnadi Wikarta, MSIE. dan Ibu Ir. Endah Djuwendah, M.Si yang senantiasa mengajari dan membimbing kami hingga selesainya makalah kami ini dengan tepat waktu.

Makalah ini dibuat dengan tujuan menyelesaikan tugas pada mata kuliah Pembangunan Pertanian Berkelanjutan. Makalah ini memberikan pengetahuan mengenai teori konversi lahan, kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah dan implementasinya untuk mengurangi tingkat konversi lahan.Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini.

Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah selalu memberkati apa yang kita kerjakan. Amin.

Jatinangor, 23 Maret 2015

Penyusun

DAFTAR ISI

KATA PENGANTARi

DAFTAR ISIii

BAB I PENDAHULUAN1

BAB II PEMBAHASAN3

2.1 Lahan di Indonesia Berdasar Teori Lokasi (Von Thunen)3

2.2 Kebijakan Pemerintah Mengenai Konversi Lahan di Indonesia5

2.3 Implementasi Upaya Pencegahan Konversi Lahan11BAB III KESIMPULAN18DAFTAR PUSTAKA19BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Berdasarkan teori lokasi (Von Thunen) yang berkaitan dengan kesuburan tanah serta tinggi rendahnya sewa lahan. Semakin jauh lahan yang ingin disewa dari kota sebagai pusat pasar, maka sewa lahan semakin rendah, yang mana perkembangan kota yang pesat memacu terjadinya perubahan penggunaan lahan. Salah satu fenomena yang cukup marak terjadi dalam pemanfaatan lahan adalah konversi lahan. Sumaryanto et al. (1994) menggarisbawahi bahwa sisi dampak negatif utama akibat konversi lahan pertanian adalah hilangnya peluang atau kesempatan dalam memproduksi hasil pertanian yang terkonversi. Selain itu, kerugian tersebut juga berdampak pada hilangnya peluang pendapatan dan kesempatan kerja, baik secara langsung maupun tidak langsung dari kegiatan ekonomi usahatani.

Isu konversi ini tentu saja merupakan keadaan yang harus diwaspadai, karena konversi lahan pertanian berarti berkurangnya luas areal pertanian, yang berarti pula produksi pertanian akan menurun. Konversi lahan yang terjadi saat ini, tentu saja harus diantisipasi dengan baik untuk meminimalisir dampak terhadap produksi pertanian pada khususnya dan sektor pertanian pada umumnya, salah satunya adalah dengan adanya kebijakan pemerintah. Dalam makalah ini kelompok kami akan membahas secara lebih detail mengenai kebijakan pemerintah berkaitan dengan konversi lahan beserta implementasinya dalam upaya mencegah konversi lahan hingga saat ini.1.2 Rumusan Masalah

a. Apakah teori lokasi (Von Thunen) sudah sesuai dengan keadaan di Indonesia?b. Apa kebijakan apa yang dilakukan oleh pemerintah berkaitan dengan tingginya konversi lahan ?c. Bagaimana implementasi/pelaksanaannya upaya mencegah konversi lahan sampai saat ini?

1.3 Tujuana. Mengetahui keberlakuan dari statement teori lokasi (Von Thunen) di Indonesia.b. Mengetahui kebijakan apa yang dilakukan oleh pemerintah berkaitan dengan tingginya konversi lahan.

c. Mengetahui implementasi/pelaksanaannya upaya mencegah konversi lahan sampai saat ini.

BAB II

PEMBAHASAN2.1 Lahan di Indonesia Berdasar Teori Lokasi (Von Thunen)

Berdasarka teori yang telah kami pelajari pendapat kelompok kami terhadap statement Von Thunen (Teori Lokasi) berkaitan dengan kesuburan tanah serta tinggi rendahnya sewa lahan (Land-Rent). Semakin jauh dari kota sebagai pusat pasar, maka sewa lahan semkin rendah. Perkembangan kota yang pesat memacu terjadinya perubahan penggunaan lahan (land use). Kondisi riil menunjukan terjadinya Konversi Lahan dari pertanian menjadi non pertanian. Kelompok kami setuju dengan statement tersebut, karena pada kondisi riil di kehidupan nyata seperti itu. Semakin dekat lokasi lahan dengan kota sebagai pusat pasar maka semakin mahal, karena semakin banyak pula orang yang ingin berada di dekat kota.

Gambar 1. Hubungan Sewa Lahan dan Jarak dari Pusat Pasar

Kita bisa lihat dari gambar Hubungan Sewa Lahan dan Jarak dari Pusat Pasar bahwa semakin jauh sewa lahan dari pusat pasar maka semakin murah sewa lahan tersebut karena semakin jauh lokasinya akan memerlukan biaya transportasi lebih mahal, semakin dekat dengan pasar tidak memerlukan biaya transportasi produksi lebih tinggi. Dan perkembangan kota yang pesat memacu terjadinya perubahan penggunaan lahan (land use) dari lahan pertanian menjadi non pertanian. Seperti contohnya penyusutan terjadi terutama pada sawah rawa/ lebak dan sawah tadah hujan. Dalam periode 5 tahun selanjutnya (tahun 20002005), menurut catatan BPS, terjadi perluasan areal sawah dari 7,5 juta ha menjadi 7,8 juta ha atau bertambah 0,3 juta ha (Tabel 3). Pertambahan luasan tersebut dimungkinkan belum memperhitungkan adanya konversi lahan (terutama di sekitar Pantai utara Pulau Jawa) sebagai dampak pesatnya pembangunan akhir-akhir ini. Meningkatnya kebutuhan lahan untuk kegiatan pembangunan di luar sektor pertanian, konversi lahan pertanian termasuk lahan sawah semakin sulit dihindari, dengan demikian sebenarnya justru luasan lahan sawah terutama di Pulau Jawa dan Bali dan sekitar kota-kota besar lainya cenderung semakin berkurang. Penyusutan terjadi, justru pada lahan sawah yang telah beririgasi dan mempunyai produktivitas yang tinggi.

Tabel 1. Lahan Sawah di Indonesia Tahun 1980, 1990, 2000 dan 2005 (dalam ha)

Di Pulau Jawa pada periode tahun 1980-an sampai tahun 1995-an cenderung menunjukan adanya peningkatan luasan lahan sawah, terutama pada sawah irigasi. Pada tahun 1980 tercatat luas area sawah di Pulau Jawa seluas 3,48 juta ha dan pada tahun 1995 seluas 3,55 juta ha atau mengalami peningkatan sebesar 66.432 ha atau bertambah 4.428 ha per tahun (0,12% per tahun). Namun selama 10 tahun terakhir (1995 s/d 2005) tercatat lahan sawah menyusut dari 3.556.376 ha, menjadi 3.235.533 ha, yaitu berkurang sebesar 320.843 ha (9,02%). Hal ini diduga sebagai akibat kebutuhan lahan untuk pembangunan di sektor non pertanian.2.2 Kebijakan Pemerintah Mengenai Konversi Lahan di IndonesiaSektor pertanian mempunyai peran strategis dalam pembangunan ekonomi nasional. Hal ini menyebabkan lahan pertanian menjadi faktor produksi pertanian yang utama dan unik karena sulit digantikan dalam sebuah proses usaha pertanian. Secara filosofis, lahan memang memiliki peran dan fungsi sentral bagi masyarakat Indonesia yang bercorak agraris. Ini karena di samping memiliki nilai ekonomis, lahan juga memiliki nilai sosial, bahkan religius.

Akan tetapi, lahan pertanian menghadapi permasalahan konversi lahan subur pertanian dan degradasi lahan yang kian massif. Sementara, keberlanjutan lahan subur yang ada tidak terjamin dan pencetakan lahan sawah baru pun relatif kecil. Padahal, ketersediaan lahan dalam usaha pertanian merupakan syarat mutlak untuk mewujudkan peran sektor pertanian yang berkelanjutan, terutama dalam mewujudkan ketahanan pangan secara nasional. Hal ini tentu amat disayangkan mengingat potensi sektor pertanian Indonesia yang membanggakan. Apabila hal ini terus dibiarkan dan tidak ada penanganan lebih lanjut, maka dampaknya akan mengancam ketahanan pangan nasional yang sangat berbahaya. Alih Fungsi Lahan Pertanian Tanaman Pangan (Sawah)

Secara lebih detail, ada beberapa permasalahan yang dihadapi lahan pertanian. Yang utama adalah pertambahan jumlah penduduk Indonesia sebesar 1,3 sampai dengan 1,5 % per tahun. Dengan laju pertumbuhan jumlah penduduk yang tinggi ini, diperkirakan pada tahun 2035 penduduk Indonesia akan mencapai 440 juta jiwa. Masalah lainnya adalah kompetisi pemanfaatan ruang untuk berbagai sektor yang semakin ketat dan rencana alih fungsi lahan sawah yang sangat dasyat berdasarkan RTRW kabupaten/kota seluas 3,09 juta ha dari 7,8 juta ha lahan sawah menjadi permukiman, perindustrian, dan lain-lain (BPS, 2004). Meningkatnya pertambahan jumlah penduduk dan dukungan dinamika dan kebutuhan pembangunan di setiap daerah secara langsung atau tidak langsung memaksa terjadinya perubahan penggunaan lahan-lahan pertanian, khususnya sawah, semakin tinggi.

Selain itu, lahan sawah itu sendiri memiliki masalah, yaitu tingkat produktivitas yang mendekati levelling off sehingga ada tendensi total produksi relatif stagnan jika tidak diimbangi dengan teknologi. Tiap tahun, terjadi intensifikasi dan kapasitas perluasan areal sawah sekitar 40.000 ha.

Konversi sawah menjadi lahan non-pertanian dari tahun 1999 2002 mencapai 563.159 ha atau rata-rata 187.719,7 ha per tahun. Sebenarnya neraca pertambahan luas lahan sawah sempat naik antara tahun 1981 1999, yaitu seluas 1,6 juta ha. Namun antara tahun 1999 2002 terjadi penciutan luas lahan seluas 141.285 ha per tahun. Data dari Biro Pusat Statistik tahun 2004 menunjukkan bahwa besaran laju alih fungsi lahan pertanian dari lahan sawah ke non-sawah sebesar 187.720 ha per tahun, dengan rincian alih fungsi ke nonpertanian sebesar 110.164 ha per tahun dan alih fungsi ke pertanian lainnya sebesar 77.556 ha per tahun. Adapun alih fungsi lahan kering pertanian ke nonpertanian sebesar 9.152 ha per tahun. Hal ini dapat terlihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Tren Neraca Lahan Sawah (ha)

Konversi lahan pertanian terutama lahan sawah tidak hanya menyebabkan kapasitas produksi pangan turun, tetapi merupakan salah satu bentuk kerugian investasi, degradasi agroekosistem, degradasi tradisi dan budaya pertanian, dan menyebabkan semakin sempitnya luas garapan usahatani. Hal ini merupakan salah satu sebab turunnya kesejahteraan petani karena kegiatan usaha tani tidak lagi dapat menjamin tingkat kehidupan yang layak bagi petani.

Terkait dengan alih fungsi lahan sektor pertanian menjadi penggunaan untuk sektor lain terutama industri, perumahan, perdagangan dan jasa, Pemerintah dapat mengambil peran yang sangat penting dalam upaya memperkecil dampak negatif yang ditimbulkan sebagai akibat dari proses konversi lahan terutama dalam mengantisipasi penurunan produksi hasil pertanian dengan memberlakukan kebijakan, antara lain :

Pasal 66 Peraturan Pemerintah No. 26 Tahun 2008 Pasal 66 Peraturan Pemerintah No. 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN), kawasan peruntukan pertanian ditetapkan dengan kriteria memiliki kesesuaian lahan untuk dikembangkan sebagai kawasan pertanian. Kawasan ini ditetapkan sebagai lahan pertanian pangan abadi untuk mendukung ketahanan pangan nasional dan dapat dikembangkan sesuai dengan tingkat ketersediaan air.

UU No. 26 Tahun 2007 Kawasan pertanian termasuk salah satu bentuk pengembangan kawasan perdesaan yang berada di dalam wilayah kabupaten, sesuai dengan UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang yang menyatakan, penataan ruang kawasan perdesaan diselenggarakan di wilayah kabupaten, dapat berbentuk kawasan agropolitan, dan diarahkan salah satunya untuk pertahanan kawasan lahan abadi pertanian pangan untuk ketahanan pangan.

Undang-Undang No. 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan

Perlindungan terhadap kawasan lahan abadi pertanian pangan sebagaimana sudah diatur dalam Undang-Undang No. 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan menjadi kekuatan hukum dan sebagai bentuk perhatian pemerintah khususnya Kementerian Pertanian terhadap masalah alih fungsi lahan. Dalam undang-undang tersebut diamanatkan beberapa kebijakan berupa Peraturan Pemerintah (PP) yang telah disusun oleh Pemerintah untuk lebih memperkuat dan mendukung UU PLPPB ini. Untuk itu, disusunlah Permentan No. 41 Tahun 2009 tentang Kriteria Teknis Kawasan Peruntukan Pertanian yang mengatur kawasan peruntukan pertanian atas amanat Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN) menjadi empat peruntukan yaitu kawasan budidaya tanaman pangan, perkebunan, hortikultura, dan peternakan.

UU. No. 41/2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan merupakan landasan hukum bagi penetapan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) baik di tingkat pusat, provinsi maupun kabupaten/kota. Setiap provinsi dan kabupaten/kota harus menetapkan luasan LP2B pada setiap RTRW-nya. Penetapan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan juga merupakan amanat dari Pasal 20 dan 21 UU No. 41 tahun 2009 tentang Penetapan Lahan Pertanian dalam Rencana Rinci Tata Ruang Kabupaten Kota, Pasal 23 UU No. 41 tahun 2009 tentang Penetapan Kawasan Pertanian Pangan Berkelajutan dalam RTRW, dan Pasal 16, 26, 34 PP No. 1 tahun 2011 tentang Penetapan Kawasan, Lahan dan Lahan Cadangan Pertanian Pangan Berkelanjutan.

Pemerintah sangat mendukung inisiatif-inisiatif dari pemangku kebijakan di daerah dalam rangka perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan. Hal ini dikarenakan kemandirian, ketahanan dan kedaulatan pangan merupakan tanggung jawab semua pihak baik di pusat maupun di daerah. Inisiatif ini, terutama yang dapat mengatur hal-hal spesifik di daerah yang bersangkutan, sangat diperlukan karena belum diatur dalam UU.

Pemerintah pusat sangat berkepentingan dalam melindungi lahan pertanian pangan saat ini, khususnya lahan sawah yang mencapai 7,9 juta ha. Perlindungan lahan yang ada menjadi sangat penting mengingat kebutuhan pangan akan terus meningkat. Diprediksi pada tahun 2025, dengan asumsi alih fungsi lahan tetap sebesar 110.000 ha per tahun, maka lahan pertanian Indonesia sudah kurang dari 5 juta ha. Oleh sebab itu, selain menambah luas baku lahan, perlu juga mempertahankan lahan pertanian pangan yang sudah ada saat ini.

Secara legal seluruh lahan tanaman pangan ditetapkan menjadi LP2B. Penetapan LP2B harus tetap memperhatikan kriteria penetapan LP2B yang menyangkut kriteria potensi dan kesesuaian lahan, ketersediaan infrastruktur yang telah dimanfaatkan sebagai lahan pangan, dan memperhatikan aspek sosial ekonomi.

Perhitungan kebutuhan lahan minimal di tingkat nasional, provinsi dan kabupaten/kota dapat dihitung dengan memprediksi kebutuhan pangan untuk konsumsi rumah tangga dan selanjutnya dikonversikan kepada kebutuhan lahan. Besaran kebutuhan lahan akan berbeda tergantung pada pertumbuhan penduduk dan tingkat konsumsi pangan di masing-masing provinsi dan kabupaten/kota.

Sementara itu pemerintah dan daerah harus mewujudkan perlindungan lahan pertanian pangan dari alih fungsi semaksimal mungkin, mengingat sumber daya lahan untuk pertanian pangan (sawah) di Jawa sangatlah potensial dan tidak tergantikan oleh pulau manapun di Indonesia.

Di sisi lain laju pertumbuhan penduduk dan pembangunan yang pesat memerlukan lahan-lahan baru menimbulkan kompetisi penggunaan lahan. Pemerintah daerah harus tegas menangani permasalahan ini. Setiap rencana pembagunan yang membutuhkan lahan harus direncanakan secara akuntabel dan transparan serta dengan hitungan angka kebutuhan lahan dan lokasi yang jelas pada setiap periode perencanaan pembangunan.

Pemerintah daerah khususnya provinsi juga harus mempertimbangkan luas minimal lahan yang diperlukan untuk memproduksi pangan bagi kemandirian pangan provinsi. Usulan penetapan luasan dari masing-masing kabupaten/kota yang diverifikasi oleh pemerintah provinsi merupakan dasar perencanaan provinsi dalam menetapkan LP2B. Selanjutnya rencana penetapan tingkat provinsi akan menjadi dasar perencanaan di tingkat kabupaten/kota.

Oleh sebab itu, provinsi bisa mengintervensi luas LP2B yang diusulkan oleh pemerintah kabupaten/kota. apabila luas, lokasi dan sebaran lahan yang diusulkan tidak sesuai dengan kondisi di lapangan yang sebenarnya. Dalam hal penetapan kawasan pertanian pangan berkelanjutan provinsi sudah diatur dalam Perda RTRW maka pemerintah kabupaten/kota harus mengikuti ketentuan yang telah diatur dalam Perda RTRW provinsi tersebut.

Penetapan LP2B merupakan bentuk kerjasama atau kesepakatan antara pemerintah daerah dan petani melalui kelompok tani. Karena itu, kesepakatan menjadi konsensus dalam penetapan LP2B. Sesuai dengan Pasal 6 ayat 3 Undang-Undang No. 12 Tahun 1992 tentang Budidaya Tanaman dikatakan, apabila kebebasan petani memilih jenis tanaman tidak dapat diwujudkan karena ketentuan Pemerintah maka Pemerintah berkewajiban memberi jaminan kepada petani untuk memperoleh penghasilan tertentu. Hal tersebut sudah diamanatkan oleh Undang-Undang No. 41 Tahun 2009, bahwa kepada petani yang lahannya ditetapkan sebagai LP2B akan mendapat insentif dan perlindungan serta pemberdayaan petani seperti pada Pasal 38, 67, dan 68.

Prioritas insentif LP2B diberikan dengan pertimbangan tipologi LP2B, kesuburan tanah, luas tanam, irigasi, tingkat fragmentasi lahan, produktivitas usaha tani, lokasi, kolektivitas usaha pertanian dan praktek usaha tani ramah lingkungan. Bentuk-bentuk insentif yang diberikan meliputi pengembangan infrastruktur pertanian, pembiayaan penelitian dan pengembangan benih dan varietas unggul, kemudahan dalam mengakses informasi dan teknologi, penyediaan sarana dan prasarana pertaniana, jaminan penerbitan sertifikat hak atas tanah pada LP2B dan penghargaan bagi petani berprestasi tinggi.

Karena itu, para pengambil keputusan baik gubernur dan bupati/walikota harus memahami peran RTRW sebagai landasan hukum dalam pembangunan daerah, perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B). Untuk itu, sebaiknya Pemda menerapkan mekanisme yang transparan, konsisten dan berkelanjutan dalam pemanfaatan lahan. Pemda juga sudah saatnya mengikutsertakan Badan Pelayanan Perizinan Terpadu sebagai anggota BKPRD provinsi dan kabupaten/kota.Di atas semua kebijakan dan strategi tadi, pencegahan alih fungsi lahan pertanian merupakan tanggung jawab semua pihak. Maka perlu adanya kesadaran yang tinggi akan pentingnya lahan pertanian demi keberlangsungan dan keberlanjutan atas ketahanan, kemandirian dan kedaulatan pangan nasional di masa yang akan datang.

Sebagai amanat dari UU No. 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, diharapkan lahan pertanian pangan dapat terlindungi dan luasan lahan pertanian pangan bertambah secara berkelanjutan dalam setiap RTRWP dan RTRWKK yang akan ditetapkan. 2.3 Implementasi Upaya Pencegahan Konversi LahanUpaya Pemerintah Daerah Dalam Pengendalian Alih Fungsi Lahan

Jawa Tengah

Secara historis, upaya pengendalian terhadap perubahan penggunaan lahan sawah di Jawa Tengah sebenarnya sudah dicanangkan sejak dua puluh tahun lalu. Hal itu terlihat antara lain dalam mekanisme perijinan yang disebut Ijin Perubahan Penggunaan Tanah dan diatur dalam Instruksi Gubernur Jawa Tengah No: 590/107/1985. Meskipun demikian, implementasinya di lapangan masih bersifat sporadis. Oleh karena itu pada tahun 1998 diterbitkanlah Keputusan Gubernur/KDH Tingkat I Jawa Tengah No. 06 tanggal 20 Juli 1998 tentang Pengendalian Penggunaan Tanah Pertanian Sawah untuk kegiatan non pertanian. Keputusan tersebut mengacu pada: (i) Keputusan Presiden No.53 Tahun 1989 tentang Kawasan Industri yang mengatur bahwa pembangunan Kawasan industri tidak boleh mengurangi areal tanah sawah beririgasi ;(ii) SE Menteri Negara Agraria / Kepala BPN No.410-1851 tanggal15 Juni 1994 dan No.410-2261 tanggal 22 Juli 1994 perihal Pencegahan Penggunaan Tanah Sawah Beririgasi Teknis untuk penggunaan non pertanian melalui penyusunan rencana tata ruang; dan (iii) SE Ketua BAPPENAS selaku Ketua BKTRN No.5334/MK/9/1994 tanggal 29 September 1994 yang disampaikan kepada Menteri Negara Agraria/Kepala BPN dan Menteri Dalam Negeri, yang memberikan petunjuk bahwa BKTRN tidak mengijinkan perubahan penggunaan tanah sawah beririgasi teknis untuk penggunaan non pertanian.

Untuk meningkatkan efektivitas instrumen hukum yang telah dibuat, strategi yang ditempuh adalah penjabaran lebih lanjut ke ketentuan yang lebih operasional. Tekad dan komitmen Pemda Propinsi Jawa Tengah dalam upaya pengendalian alih fungsi lahan pertanian secara tegas telah tertuang dalam Perda 21 Tahun 2003. Sebelumnya (tanggal 30 Desember 2002) telah disetujui Nota Kesepahaman antara Gubernur dengan Bupati/Walikota se Jawa Tengah, yang disetujui pula oleh Ketua DPRD Propinsi dan Ketua DPRD Kabupaten/Kota se Jawa Tengah. Salah satu butir kesepahaman tersebut (butir ke lima) menyebutkan: . . . . . . serta tidak merubah fungsi lahan sawah beririgasi teknis menjadi lahan non pertanian. Komitmen ini juga tertuang di dalam Renstra Pembangunan Daerah Jangka Menengah yaitu Perda No.19 Tahun 2006 tentang Akselerasi Renstra Jawa Tengah 2003 2008. Pasal 15 ayat (4) dari dokumen tersebut secara eksplisit menyebutkan tekad dalam: penetapan dan pemantapan lahan pertanian abadi.Salah satu bentuk konkrit dari komitmen Pemda Propinsi Jawa Tengah tentang analisis potensi tanah sawah di Jawa Tengah adalah sebagai berikut (i) Dipertahankan : 1.022.570,86 ha (94,20%); (ii) Dipertahankan Dengan Syarat : 20.055,77 ha ( 1,85%); (iii) Boleh Dialih Fungsikan : 42.884,83 ha ( 3,95%). Sebagian besar dari lokasi dan luasan tersebut telah dituangkan dalam dalam peta digital.Dalam kaitan dengan kejelasan tentang pihak/lembaga yang berwenang untuk menegakkannya, secara intensif masih dilakukan oleh kantor BAPPEDA. Meskipun secara umum lembaga-lembaga yang terlibat dalam pengendalian alih fungsi lahan sawah telah memiliki pemahaman yang sama tentang tujuan pengendalian alih fungsi lahan sawah, namun target konkrit masih belum menyatu dan masing-masing instansi masih bervariasi. Dinas Pertanian, BAPPEDA, dan Badan Pertanahan Nasional tampaknya paling siap dengan target konkritnya. Namun DPRD, Dinas Pekerjaan Umum/PU Pengairan, dan unit Pemda belum mempunyai target konkrit. Sebagaimana halnya di tingkat Pusat, penggunaan instrumen kompensasi di propinsi maupun kabupaten/kota di Jawa Tengah masih belum ditetapkan. Dalam wacana, berbagai institusi yang terlibat dalam pengendalian alih fungsi lahan sawah menyarankan bahwa untuk meningkatkan efektivitas kebijakan diperlukan instrumen ekonomi yang kondusif untuk meningkatkan pendapatan petani. Dalam hubungan ini, bantuan teknis untuk pengembangan teknologi dinilai perlu mendapat prioritas. Jawa Barat Implementasi yang dilakukan oleh Kabupaten Bandung sudah mencapai pambuatan peraturan desa, dan sudah ada dua desa yang menetapkan lahan pertanian berkelanjutan di dalam peraturan desa. Dengan presentase pencapaian implementasi sebesar 1,91%. Strategi yang bisa diambil yaitu melakukan sosialisasi secara bertahap disetiap desa, Memberikan reward/ insentif untuk petani baik untuk buruh tani ataupun pemilik sawah untuk memicu keinginannya menetapkan lahan mereka untuk dijadikan lahan pertanian berkelanjutan, Menetapkan peraturan pendukung seperti peraturan daerah untuk kejelasan sanksi yang didapat bagi yang mengkonsevasikan lahannya,dan memberikan motivasi kepada pemerintah agar berkomitmen untuk menjalankan kebijakan perlindungan lahan pertanian berkelanjutan.

Daerah Istimewa Yogyakarta Secara konkrit Kabupaten Sleman telah melakukan langkah-langkah kerja. Kabupaten tersebut telah membentuk Badan Pengendalian Pertanahan Daerah Sleman dengan SK. Bupati Sleman No: 37/KEP.KDH/A/2003). Hal ini dapat dikatakan sebagai salah satu inovasi kelembagaan di tingkat Kabupaten/Kota. Tugas pokok dari lembaga ini adalah membantu Bupati dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah di bidang pengendalian pertanahan daerah. Sedangkan fungsinya adalah (ayat 2): (a) menangani perumusan kebijakan teknis di bidang pengendalian pertanahan daerah, (b) menangani pemberian perizinan dan pelaksanaan pelayanan umum bidang pengendalian pertanahan daerah, dan (c) melaksanakan pemberian pelayanan penunjang penyelenggaraan pemerintah daerah di Kabupaten Sleman.

Langkah-langkah yang telah ditempuh untuk mengurangi konversi lahan di DI. Yogyakarta adalah : 1. Program "zero conversion;

2. menahan laju konversi lahan pertanian yang cenderung mengalami penyusutan dari tahun ke tahun

3. Meningkatkan produktivitas lahan pertanian dan menaikkan harga komoditas hasil pertanian (meningkatkan pendapatan petani)

4. Pembentukan Badan Pengendalian Pertanahan Daerah di Kab. Sleman (satu-satunya di Indonesia)

5. Pengawasan alih fungsi lahan melalui pemetaaan dengan menggunakan teknologi mutakhir (citra satelit)

6. Penyusunan rencana, sosialisasi dan pengawasan implementasi tata ruang wilayah

7. Penetapan Lahan Abadi dengan pembayaran insentif dari Pemerintah atas jika terjadi selisih dari pagu yang disepakati bersama (pemilik lahan dengan pemerintah)

8. Farm consolidation & perubahan Pola Usaha Tani (Organic Farming)

9. Kaji ulang kebijakan-kebijakan yang tidak berpihak kepada petani dan mengakibatkan terjadinya pengalihan hak

10. Kebijakan pemukiman vertikal.

Kelemahan kebijakan konversi lahan:

1. Rumusan obyek kebijakan yang kurang akurat

2. Komunikasi kebijakan

3. Sumberdaya organisasi

4. Birokrasi organisasi pelaksana kebijakan yang tidak efisien

5. Sikap dan perilaku pelaksana kebijkan

6. Lingkungan kebijakan yang tidak kondusif

Perumusan kembali kebijakan konversi lahan perlu memerhatikan :

1. Orientasi kebijakan konversi lahan hendaknya tidak hanya terfokus pada upaya melarang konversi lahan sawah tetapi lebih diarahkan pada upaya menekan dan menetralisir dampak negatif konversi lahan.

2. Obyek kebijakan konversi lahan seharusnya tidak dirumuskan berdasarkan jenis lahan pertanian tetapi berdasaekan kawasan pertanian.

3. Pengendalisn konversi lahan jangan hanya mengandalkan pada instrumen yuridis tetapi perlu didukung dengan instrumen ekonomi dan instrumen yuridis yang dilengkapi dengan sangsi pelanggaran yang jelas.

4. Implementasi kebijakan konversi lahan perlu dilaksanakan secara sentralistis dan jika perlu dilaksananakan secara desentralistis maka pemerintah pusat perlu mengembangkan instrumen ekonomi yang dapat mendorong implementasi kebijakan konversi lahan secara konsisten.

5. Meningkatkan sosialisasi kebijakan konversi lahan kepada para pelaksana kebijakan dan masyarakat luas yang meliputi potensi dampak negatif konversi lahan dan berbagai peraturan yang terkait dengan masalah konversi lahan beserta sangsi yang berlaku.

Opsi-opsi Alternantif KebijakanTerdapat tiga aspek yang dapat ditempuh dalam pengendalian alih fungsi lahan sawah yang berkaitan dengan penataan ruang (Gambar 2) yaitu: (1) aspek kepemilikan lahan, (2) pengendalian dan penegakan hukum, dan (3) peningkatan kualitas data dan informasi.

Terhadap aspek kepemilikan lahan maka opsi-opsi kebijakannya adalah:1. Meningkatkan kekuatan negara untuk menetapkan, menjaga, dan mengambilalih kepemilikan atas lahan-lahan pertanian berkelanjutan sesuai UU No 41 tahun 2009. Termasuk dalam hal ini adalah memperketat terhadap izin pemanfaatan ruang seperti yang diatur dalam UU No 26 tahun 2007 tentang penataan ruang. Salah satu hal yang juga dapat mendukung efektifitas dan bersinergi dengan pelaksanaan UU PLB adalah mempercepat pengesahan UU tentang pengadaan lahan untuk kepentingan umum.

2. Mengembangkan skema insentif baik dari pemerintah pusat maupun pemerintah daerah kepada masyarakat yang dengan sukarela dapat mempertahankan fungsi kawasan pertanian lahan basahnya dan tidak dilakukan alih fungsi ke penggunaan lainnya. Transparansi perlu untuk keadilan dan melibatkan pemilik tanah dalam konversi lahan dengan imbalan layak (jadi shareholder);

Terhadap aspek pengendalian dan penegakan hukum pelaksanaan rencana tata ruang, maka opsi kebijakan yang dapat diambil adalah:1. Dalam pendekatan hukum, RTRW perlu disempurnakan lebih lanjut dan segera ditetapkan zonasi ruang yang lebih rinci terkait dengan pengendalian alih fungsi lahan sawah. Peraturan perundang-undangan yang telah dibuat dan kondusif perlu direvitalisasi dan penegakan hukum (law enforcement) harus diperkuat melalui advokasi publik secara konsisten.2. Perlu komitmen bersama seperti yang tertuang dalam RPJPN atau RPJMN tentang pentingnya sektor pertanian, sehingga bisa dipahami seluruh stakeholder. Hal ini juga bisa menjadi acuan Badan Koordinasi Penataan Ruang (BKPRN) dimana Bappenas sebagai sekretarisnya dalam menilai kebutuhan untuk mencegah terjadinya alih fungsi lahan pertanian seperti yang tertuang dalam RTRW.3. Perlu disusun rencana tata ruang perdesaan sebagai landasan bagi pengembangan perdesaan sebagai basis pengembangan sektor pertanian di Indonesia dan mencegah terjadinya urbanisasi yang sangat haus akan tanah.4. Perlu peningkatan koordinasi berbagai tingkatan pemerintahan dalam pengendalian pelaksanaan kebijaksanaan dan undang-undang yang telah ditetapkan dalam arti memperkuat dan lebih mendayagunakan BKPRN.Terhadap aspek peningkatan kualitas data dan informasi opsi-opsi kebijakan yang dapat ditempuh adalah:1. Peningkatan kualitas data dan informasi termasuk peta geografis sebagai basis perencanaan pembangunan serta sebagai bagian dari transparansi untuk meningkatkan peran serta masyarakat dalam perencanaan maupun pelaksanaan pembangunan.2. Peningkatan kapasitas dan infrastruktur Pusdatin Bappenas sebagai pusat informasi perencanaan pembangunan nasional dan daerah dengan memanfaatan UU SIG yang telah diterbitkan.

BAB III

KESIMPULAN

Permasalahan konversi lahan di Indonesia sangat berkaitan dengan teori lokasi yang dicetuskan oleh Von Thunnen yaitu berkaitan dengan kesuburan tanah serta tinggi rendahnya sewa lahan (Land-Rent). Semakin jauh dari kota sebagai pusat pasar, maka sewa lahan semkin rendah. Perkembangan kota yang pesat memacu terjadinya perubahan penggunaan lahan (land use). Upaya yang dilakukan oleh pemerintah adalah dengan dikeluarkannya peraturan peraturan yang menyangkut penggunaan lahan di Indonesia seperti UU, Peraturan Pemerintah, Perda, dll. Serta adanya perencanaan yang matang dalam mengatur tata ruang suatu wilayah dan kebijakan mengenai penggunaan lahan. Peraturan dan kebijakan mengenai penggunaan lahan yang diberikan oleh pemerintah sudah cukup baik tetapi sayangnya dalam hal implementasi kurang baik sehingga harus diperbaiki lagi terutama pada aspek-aspek berikut: Perumusan obyek kebijakan ,Komunikasi kebijakan, Sumberdaya organisasi, Birokrasi organisasi pelaksana kebijakan, Sikap dan perilaku pelaksana kebijkan, dan Lingkungan kebijakan

DAFTAR PUSTAKA

BKPRN. 2012. Menata Kawasan Hutan dan Mempertahankan Lahan Pertanian [online]. Tersedia: https://www.pu.go.id/uploads/services/infopublik20130107112207.pdf. Html [21 Maret 2015].

Iqbal, Muhammad. 2007. Fenomena dan Strategi Kebijakan Pemerintah Daerah dalam pengendalian Konversi Lahan Sawah di Provinsi Bali dan Nusa Tenggara Barat [online]. Tersedia: http://pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/ISU5-4a.pdf. Html [21 Maret 2015].

Wahyunto. Vol.2. 2009. Lahan Sawah di Indonesia Sebagai pendukung Ketahanan Pangan Nasional. http://www.litbang.pertanian.go.id/warta-ip/pdf-file/5.wahyunto_ipvol18-2-2009.pdf. Htm [22 Maret 2015].Irawan, Bambang. 2008. Meningkatkan Efektifitas Kebijakan Konversi Lahan [online]. Tersedia : http://pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/FAE26-2e.pdf [22 Maret 2015]Tatiek. 2013.1- Kajian [online]. Tersedia: http://tatiek.lecture.ub.ac.id/files/2013/02/1-kajian.pdf [ 22 Maret 2015]

Nugraharani, Dessy. 2014. Implementasi Kebijakan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan Dalam Mengatasi Alih Fungsi Lahan (Studi di Kabupaten Bandung, Provinsi Jawa Barat) [online]. Tersedia : http://jurnal.unpad.ac.id/jurnal-faperta/article/download/4553/2489 [22 Maret 2015]

ii