30
Tugas Kajian Sastra Bandingan MEMBANDINGKAN CERITA RAKYAT DENGAN JUDUL LEGENDA BATU BALAI DARI BANGKA BELITUNG DENGAN LEGENDA BATU BAGGA DARI SULAWESI TENGAH OLEH: MASTA MARSELINA SEMBIRING 071222120074 Dik ekstensi 2007 A JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS BAHASA DAN SENI UNIVERSITAS NEGERI MEDAN

Tugas Kajian Sastra Bandingan

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Tugas Kajian Sastra Bandingan

Tugas Kajian Sastra Bandingan

MEMBANDINGKAN CERITA RAKYAT DENGAN JUDUL

LEGENDA BATU BALAI DARI BANGKA BELITUNG DENGAN

LEGENDA BATU BAGGA DARI SULAWESI TENGAH

OLEH:

MASTA MARSELINA SEMBIRING

071222120074

Dik ekstensi 2007 A

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS BAHASA DAN SENI

UNIVERSITAS NEGERI MEDAN

2009

Page 2: Tugas Kajian Sastra Bandingan

KATA PENGANTAR

Puji syukur saya ucapkan kepada kehadirat Tuhan yang Maha Esa karena atas berkat

dan karunianya tugas Sastra Bandingan ini dapat diselesaikan dengan baik dan tepat waktu.

Terima kasih saya ucapkan kepada bapak Dosen karena telah memberikan bimbingan dan

pengarahan kepada saya dalam penyelesaian tugas ini.

Dalam makalah ini saya menyajikan sebuah topik mengenai kajian sastra bandingan

dengan membandingkan cerita rakyat dengan judul Legenda Batu Balai Dari Bangka

Belitung Dengan Legenda Batu Bagga Dari Sulawesi Tengah.

Demikian kata pengantar ini kami sampaikan, jika ada pertanyaan saran dan kritik

dapat disampaikan kepada saya. Atas perhatiaannya saya ucapkan terima kasih.

Medan, April 2009

Page 3: Tugas Kajian Sastra Bandingan

DAFTAR ISI

Kata Pengantar ………………………………….. i

Daftar Isi ………………………………………….ii

Pendahuluan ………………………………………..1

Cerita Yang Dibandingkan …………………………

- Legenda Batu Balai Dari Bangka Belitung

- Legenda Batu Bagga Dari Sulawesi Tengah.

Pembahasan ……………………………………

Kesimpulan ………………………………….

Page 4: Tugas Kajian Sastra Bandingan

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Tidak berlebihan bila dikatakan bahwa hampir semua bangsa di dunia tidak bisa

menutup diri dari pergaulan dan hubungan dengan bangsa lain. Pergaulan dan hubungan

tersebut tentunya memerlukan alat komunikasi yang amat vital, yakni bahasa yang di

dalamnya termuat sastra. Sastra yang terintegrasi tersebut kemudian menimbulkan pengaruh

pada salah satu atau kedua belah pihak., baik berupa unsur-unsur besar yang sangat dominan,

maupun unsur-unsur kecil.

Untuk meneliti unsur-unsur tertentu pada suatu karya satra yang berasal dari luar bisa

menggunakan metode perbadingan, yakni dengan membandingkan keberadaan suatu karya

sastra masa sekarang dengan masa sebelumnya lalu dihubungkan dengan sastra lain yang

mempengaruhinya, atau membandingkan antara karya seorang sastrawan dengan karya

sastrawan lain yang berada di luar batas sastranya.

Tetapi dikarenakan kesulitan dan keterbatasan pengetahuan dalam berbahasa untuk

memahami sastra luar maka kajian satra bandingan sudah semakin dipersempit dengan dapat

membandingan karya sastra antar pengarang yang masih sezaman baik berupa karya sastra

lisan (daerah) maupun tulisan.

Dalam hal ini saya mengaganalisis sebuah karya sastra berupa cerita rakyat yakni cerita dari

semutera barat yang berjudul LEGENDA BATU BALAI Dari Bangka Belitung dengan

LEGENDA BATU BAGGA Dari Sulawesi Tengah .

Unsur-unsur yang ingin saya bandingkan adalah dilihat dari segi tema dan unsur

sosial dan moral yang menyebabkan adanya kesamaan dari cerita tersebut.

Page 5: Tugas Kajian Sastra Bandingan

LEGENDA BATU BALAI

Dari : Bangka Belitung - Indonesia

Alkisah, di sebuah hutan di daerah Mentok, Bangka-Belitung, hiduplah seorang janda miskin.

Ia tinggal di sebuah gubuk reot bersama anak laki-lakinya yang bernama Dempu Awang. Untuk

memenuhi kebutuhan sehari-harinya, mereka menanam ubi, keladi, dan sayur-sayuran di ladang. Hasil

yang mereka peroleh hanya cukup untuk dimakan sehari-hari, dan terkadang kurang. Begitulah

kehidupan Dempu Awang dan ibunya setiap hari. Lama kelamaan, Dempu Awang pun semakin jenuh

dan sering bermalas-malasan pergi ke ladang.

Suatu hari, Dempu Awang duduk termenung seorang diri di depan gubuknya memikirkan

nasibnya. Di tengah-tengah lamunannya itu, tiba-tiba muncul keinginannya untuk merantau mencari

pekerjaan yang lebih baik.

“Jika aku pergi merantau, bagaimana dengan ibuku? Ia akan tinggal sendirian di sini dan tak

ada lagi yang membantunya bekerja di ladang,” pikirnya.

Setelah mempertimbangkan masak-masak, akhirnya Dempu Awang memberanikan diri untuk

menyampaikan niat itu kepada ibunya.

“Bu, bolehkah Dempu mengatakan sesuatu?” tanya Dempu.

“Apakah itu, Anakku? Katakanlah!” jawab ibunya.

“Dempu ingin merantau ke negeri seberang, Bu! Jika begini terus, kapan hidup kita bisa

memiliki kehidupan yang lebih baik,” ungkap Dempu Awang.

Mendengar ungkapan itu, ibu Dempu menjadi bingung. Di satu sisi, ia merasa bahwa apa

yang dikatakan anaknya itu benar. Namun di sisi lain, ia tidak ingin berpisah dengan anak semata

wayangnya itu.

“Anakku, Ibu semakin tua. Jika kamu pergi, siapa yang akan mengurus Ibu, Nak?” kata ibu

Dempu.

“Bu, Dempu pergi tidak akan lama. Jika sudah berhasil, Dempu akan segera kembali

menemui Ibu,” bujuk Dempu.

Setelah berkali-kali didesak, akhirnya ibu Dempu Awang mengizinkan Dempu Awang

merantau, walaupun dengan perasaan berat hati.

“Baiklah, Anakku! Jika itu sudah menjadi tekatmu, Ibu mengizinkanmu pergi. Tapi, jangan

lupa segera kembali jika sudah berhasil,” kata ibu Dempu.

Page 6: Tugas Kajian Sastra Bandingan

“Terima kasih, Bu! Dempu berjanji tidak akan melupakan Ibu,” ucap Dempu Awang dengan

perasaan gembira.

“Bagaimana caramu merantau, Anakku? Bukankah kita tidak mempunyai uang untuk

membayar ongkos naik kapal?” tanya ibunya bingung.

“Tenang, Bu! Dempu sudah memikirkan semua itu sebelumnya. Untuk membayar ongkos naik kapal,

Dempu bersedia menjadi anak buah kapal,” jawab Dempu sambil tersenyum.

Keesokan harinya, Dempu Awang pergi ke pelabuhan untuk melihat apakah ada kapal yang

sedang berlabuh. Pada hari itu, kebetulan sebuah kapal besar sedang berlabuh. Dempu Awang pun

segera menemui si pemilik kapal.

“Permisi, Tuan! Saya ingin merantau ke negeri seberang untuk memperbaiki nasib keluarga saya.

Saya ingin menumpang di kapal Tuan, tapi saya tidak mempunyai uang. Berilah saya pekerjaan untuk

membayar ongkos kapal!” pinta Dempu Awang mengimba.

Lantaran iba, pemilik kapal itu pun bersedia mengangkat Dempu Awang menjadi anak buah kapal.

“Baiklah, Dempu! Besok pagi saya tunggu kamu di sini. Kita akan berangkat berlayar bersama-sama

menuju negeri seberang,” kata pemilik kapal.

Setelah mendapat izin dari pemilik kapal, Dempu Awang segera menyampaikan berita

gembira itu kepada ibunya. Mendengar berita gembira itu, hati ibunya senang bercampur sedih,

karena ia benar-benar akan berpisah dengan anak kesayangannya.

Keesokan harinya, pagi-pagi sekali ibu Dempu mempersiapkan bekal makanan dan pakaian

seadanya untuk Dempu selama di perjalanan. Setelah semuanya siap, berangkatlah Dempu ke

pelabuhan bersama ibunya. Sesampainya di pelabuhan, kapal yang akan ditumpangi Dempu sudah

bersiap-siap untuk berangkat.

“Dempu...! Cepatlah naik ke kapal! Kita segera berangkat!” seru si pemilik kapal dari atas anjungan.

“Iya, Tuan!” jawab Dempu.

Dempu Awang pun berpamitan kepada ibunya. Ia memeluk ibunya dengan erat, sang Ibu pun

membalas pelukan anaknya sambil meneteskan air mata. Sejenak, suasana menjadi haru. Perasaan

sedih menyelemuti hati keduanya.

“Berangkatlah, Anakku! Ibu doakan semoga kamu berhasil dan jangan lupa cepat kembali!” pesan

ibunya.

”Iya, Bu! Dempu akan selalu ingat pesan Ibu. Jaga diri Ibu baik-baik!” kata Dempu.

Page 7: Tugas Kajian Sastra Bandingan

Usai mencium tangan ibunya, Dempu Awang segera berlari naik ke atas kapal. Beberapa saat

kemudian, kapal yang ditumpangi itu pun berangkat. Dempu Awang melambaikan tangan kepada

ibunya. Sejak itu, ibu Dempu tinggal seorang diri di gubuknya. Setiap hari ia senantiasa berdoa agar

anaknya sampai di tujuan mendapatkan pekerjaan dan segera kembali.

Waktu terus berjalan. Dempu Awang sudah sepeluh tahun di tanah rantau. Berkat doa ibunya,

Dempu Awang menjadi seorang yang kaya raya dan mempunyai istri yang cantik jelita. Namun, ia

tidak pernah memberi kabar ibunya.

Suatu hari, istri Dempu Awang ingin sekali bertemu dengan ibu mertuanya. Ia pun menyampaikan

niat itu kepada suaminya.

“Kanda! Kapan kita ke kampung halaman Kanda? Dinda ingin sekali bertemu dengan ibu Kanda,”

kata istri Dempu Awang.

“Baiklah, Dinda! Besok pagi kita berangkat. Sampaikan kepada semua pelayan untuk menyiapkan

segala keperluan kita selama di perjalanan dan oleh-oleh untuk ibu di kampung!” ujar Dempu Awang.

Dengan perasaan gembira, istri Dempu Awang pun segera menyampaikan pesan suaminya itu

kepada para pelayan. Mulai pagi hingga malam hari, para pelayan sibuk mempersiapkan bekal yang

diperlukan, seperti makanan, minuman, pakaian, serta oleh-oleh untuk ibu Dempu di kampung

halaman.

Keesokan harinya, berangkatlah Dempu Awang bersama istrinya serta beberapa orang anak

buah kapal menuju ke Mentok dengan menggunakan kapalnya yang besar dan megah. Setelah

berhari-hari berlayar, Dempu Awang bersama rombongannya tiba di pelabuhan Mentok. Para

penduduk, baik nelayan maupun pedagang, berbondong-bondong menuju ke pelabuhan untuk melihat

perahu besar dan megah itu. Ketika mendekat di kapal itu, mereka melihat seorang pemuda gagah

berpakaian mewah berdiri di anjungan kapal dan seorang wanita cantik berdiri di sampingnya. Di

antara penduduk tersebut ada yang mengenal pemuda gagah itu.

“Hai, lihatlah! Bukankah itu Dempu Awang?” kata seorang penduduk.

“Benar! Dia Dempu Awang, anak orang miskin itu,” sahut penduduk lainnya.

Sementara itu, dari atas kapalnya, Dempu Awang menyebarkan pandangannya kepada

seluruh penduduk yang mendekat ke kapalnya. Ia sedang mencari ibunya yang sangat dirindukannya.

Setelah mengamati satu per satu wajah mereka, ternyata orang yang dicarinya itu tidak ada. Ia pun

memanggil beberapa orang penduduk naik ke atas kapalnya dan menanyakan keberadaan ibunya.

Salah seorang penduduk mengatakan bahwa ibunya masih hidup.

Page 8: Tugas Kajian Sastra Bandingan

“Baiklah. Kalau memang ibuku masih hidup, tolong panggilkan dan bawa naik ke kapal ini. Aku

ingin memastikan apakah dia benar-benar ibuku!” pinta Dempu Awang kepada penduduk itu.

Tak berapa lama, penduduk itu datang bersama seorang wanita tua berpakaian compang-

camping. Wanita tua itu kemudian segera naik ke kapal untuk menemui anaknya yang sudah lama

dirindukannya. Dempu Awang mengetahui bahwa wanita tua itu adalah ibunya. Namun karena malu

mengakui sebagai ibunya di hadapan istrinya, ia pun mengusir wanita tua itu.

“Pelayan! Usir nenek peot ini dari kapalku! Dia bukan ibuku. Dia hanya petani miskin yang mengaku-

ngaku sebagai ibuku!” seru Dempu Awang sambil berkacak pinggang.

“Dempu Awang! Dia adalah ibumu yang telah kau tinggalkan sendirian selama puluhan tahun,” sahut

seorang penduduk yang hadir di tempat itu.

“Benar, Anakku! Aku ini ibumu yang telah melahirkan dan membesarkanmu. Ibu sangat mengenal

tanda goresan di keningmu bekas luka karena terjatuh dulu,” kata wanita tua.

Mendengar pengakuan wanita tua itu, Dempu Awang semakin marah. Istrinya pun berusaha

menenangkan hatinya.

“Iya, Kanda! Mungkin saja wanita tua itu benar bahwa Kanda adalah anaknya. Janganlah menjadi

anak durhaka dan tak usah malu kepada Dinda!” bujuk istrinya.

Bujukan sang Istri bukannya membuat hati Dempu Awang menjadi tenang, tetapi justru

kemarahannya semakin memuncak. Ia pun menghampiri dan kemudian mendorong wanita tua itu

hingga terjatuh berguling-guling di tangga kapal. Hati wanita itu hancur berkeping-keping melihat

perlakuan anaknya terhadap dirinya. Dengan perasaan sedih, wanita tua malang itu segera

meninggalkan pelabuhan menuju ke gubuknya. Setelah agak jauh dari pelabuhan, ibu Dempu Awang

berhenti di jalan seraya menengadahkan kedua belah tangannya ke atas.

“Ya, Tuhan! Berilah balasan yang setimpal kepada anak hamba yang durhaka itu, karena tidak mau

mengakui hamba sebagai ibu kandungnya,” pinta ibu Dempu Awang.

Doa sang Ibu benar-benar dikabulkan oleh Tuhan Yang Mahakuasa. Ketika Dempu Awang

hendak berlayar meninggalkan pelabuhan Mentok, tiba-tiba langit menjadi mendung. Kemudian

turunlah hujan yang sangat deras disertai angin topan dan petir yang menyambar-nyambar. Tiba-tiba

gelombang laut setinggi gunung menghantam kapal Dempu Awang yang megah itu hingga terbelah

menjadi dua, lalu karam ke dasar laut.

Setelah cuaca kembali cerah seperti semula, tampaklah sebuah batu besar di tempat kapal

Dempu Awang karam. Batu yang menyerupai kapal besar itu merupakan penjelmaan Dempu Awang

Page 9: Tugas Kajian Sastra Bandingan

dan kapalnya, sedangkan istrinya menjelma menjadi kera putih. Hingga kini batu tersebut masih

terpelihara dengan baik. Oleh masyarakat setempat, batu tersebut diberi nama Batu Balai, karena pada

zaman dahulu, di samping batu itu terdapat sebuah balai, yakni sebuah kantor pemerintahan yang

biasa dijadikan sebagai tempat bermusyawarah.

Page 10: Tugas Kajian Sastra Bandingan

LEGENDA BATU BAGGA

Dari : Sulawesi Tengah - Indonesia

Konon, di sebuah kampung di daerah pesisir Sulawesi Tengah, Indonesia, hiduplah seorang

duda bernama Intobu. Ia tinggal di sebuah gubuk bersama seorang putranya yang bernama Impalak.

Mereka hidup sangat miskin. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, mereka pergi ke laut untuk

mencari ikan.

Pada suatu malam, ketika Intobu bersama anaknya hendak mencari ikan di laut, tiba-tiba

angin bertiup kencang dan hujan deras. Meskipun demikian, dua orang bapak dan anak itu tetap

memutuskan untuk melaut. Dalam perjalanan menuju ke laut, Intobu menasehati Impalak.

‘‘Anakku! Ayah berharap jangan sampai cuaca buruk seperti ini membuatmu patah semangat

untuk pergi melaut, karena hanya pekerjaan inilah yang menjadi tumpuan hidup kita.”

“Iya, Ayah! Saya mengerti,” jawab Impalak sambil mengangguk-anggukkan kepala.

Sesampai di pantai, mereka segera menaiki sampan yang ditambatkan di tepi pantai. Dengan

sekuat tenaga mereka mendayung sampan menyusuri pantai. Mereka tidak berani sampai ke tengah

laut, karena cuaca sangat buruk. Mereka hanya memancing ikan di sekitar pantai. Tidak terasa, malam

semakin larut. Mereka pun memutuskan untuk kembali ke gubuk.

Setiba di gubuk, beberapa ekor ikan hasil tangkapannya digoreng untuk lauk dan selebihnya

mereka jual pada keesokan harinya. Ikan-ikan tersebut mereka jajakan dari rumah ke rumah sampai

habis terjual. Setelah semuanya laku terjual, uang hasil penjualan itu mereka belanjakan untuk

membeli beras dan kebutuhan pokok lainnya. Begitulah pekerjaan mereka setiap hari yang sudah

bertahun-tahun jalani.

Rupanya pekerjaan itu membuat Impalak menjadi jenuh. Ia ingin pergi merantau ke negeri

lain untuk merubah nasib. Sejak itu, ia selalu murung dan merenung. Ia tidak berani menyampaikan

keinginan itu kepada ayahnya. Selain itu, ia juga belum tega meninggalkan ayahnya seorang diri.

Meskipun tekadnya ingin pergi merantau begitu kuat, ia tetap berusaha memendamnya dalam hati.

Pada suatu hari, ayahnya sedang sibuk memperbaiki tali kailnya yang putus. Sementara,

Impalak yang duduk di sampingnya hanya duduk termenung.

“Hei, Impalak! Kenapa wajahmu murung seperti itu? Apa yang sedang kamu pikirkan, Nak?”

tanya Intobu kepada anaknya.

“Tidak apa-apa, Ayah!” jawab Impalak dengan nada lemah.

Page 11: Tugas Kajian Sastra Bandingan

“Bicaralah, Nak! Tidak usah kamu pendam dalam hati!” desak ayahnya.

Oleh karena terus didesak, akhirnya Impalak berterus terang kepada ayahnya.

“Maafkan saya, Ayah! Sebenarnya saya sudah jenuh menjadi nelayan. Walaupun setiap hari

kita ke laut, tapi hasil yang kita peroleh hanya cukup untuk dimakan,” keluh Impalak kepada ayahnya.

“Jika Ayah mengizinkan, Impalak ingin pergi merantau ke negeri lain untuk mengubah nasib

kita,” sambung Impalak.

Intobu terkejut mendengar permintaan anak semata wayangnya itu.

“Bagaimana dengan nasib Ayahmu ini, Nak? Umur Ayah sudah semakin tua. Jika kamu

pergi, tidak ada lagi yang membantu Ayah untuk mendayung sampan,” kata Intobu mengiba kepada

anaknya.

“Saya mengerti, Ayah! Tapi, saya sekarang sudah dewasa. Sudah saatnya saya

membahagiakan Ayah. Jika Ayah pergi melaut, sebaiknya tidak perlu pergi jauh-jauh. Biarlah saya

yang bekerja keras mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan kita dan demi masa depan saya,” jelas

Impalak meyakinkan ayahnya.

Mendengar penjelasan anaknya itu, Intobu terdiam sejenak. Ia berpikir bahwa apa yang

dikatakan anaknya itu memang benar. Jika hanya menjadi nelayan, kehidupan anaknya di masa depan

tidak akan makmur.

“Baiklah, Nak! Meskipun dengan berat hati, Ayah mengizinkanmu pergi merantau. Tetapi,

kamu jangan lupakan Ayah dan cepatlah kembali! Ayah khawatir tidak akan bertemu kamu lagi,

apalagi umur Ayah sudah semakin tua,” kata Intobu dengan perasaan cemas.

“Baik, Ayah! Saya akan selalu mengingat pesan Ayah,” jawab Impalak dengan perasaan

gembira.

Setelah mendapat izin dari ayahnya, Impalak segera ke pelabuhan untuk melihat apakah ada

perahu bagga yang sedang berlabuh. Sesampai di pelabuhan, tampaklah sebuah perahu bagga sedang

menurunkan muatan. Perahu itulah yang rencananya akan ditumpangi Impalak pergi merantau. Ia pun

segera menemui pemilik perahu bagga itu.

“Permisi, Tuan! Bolehkah saya ikut berlayar bersama Tuan?” tanya Impalak tanpa rasa segan

“Hei, Anak Muda! Kamu siapa dan kenapa hendak ikut berlayar bersamaku?” tanya pemilik

perahu.

Page 12: Tugas Kajian Sastra Bandingan

“Saya Impalak, Tuan! Saya ingin pergi merantau untuk mengubah nasib keluarga saya,” jawab

Impalak.

“Memang apa pekerjaannya orang tuamu?” tanya pemilik perahu.

“Ayah saya seorang nelayan biasa, sedangkan ibu saya sudah meninggal saat saya masih kecil. Setiap

hari saya membantu ayah memancing ikan di laut. Akan tetapi, hasilnya hanya cukup untuk di makan

sehari-hari. Makanya saya ingin pergi merantau untuk mencari nafkah yang lebih baik,” jelas

Impalak.

Mendengar penjelasan itu, pemilik perahu itu pun tersentuh hatinya ingin menolong Impalak dan

bersedia membawanya ikut berlayar.

“Kamu memang anak yang berbakti, Impalak! Besok pagi kita akan berlayar bersama. Tapi, apakah

kamu sudah meminta izin kepada ayahmu?” tanya pemilik perahu.

“Saya sudah mendapat izin dari ayah saya, Tuan!” jawab Impalak.

“Baiklah, kalau begitu! Saya tunggu kamu besok pagi,” kata pemilik perahu itu.

“Terima kasih, Tuan!” ucap Impalak seraya berpamitan pulang.

Sesampai di gubuk, Impalak segera menyampaikan berita gembira itu kepada Ayahnya.

“Ayah, saya sudah menghadap kepada pemilik perahu bagga. Dia bersedia mengajak saya berlayar

bersamanya,” lapor Impalak kepada ayahnya dengan perasaan gembira.

“Ya, syukurlah kalau begitu, Nak! Nanti malam siapkanlah segala keperluan yang akan kamu bawa!”

seru ayahnya sambil tersenyum pilu.

Keesokan paginya, Impalak sudah siap untuk berangkat. Ia diantar oleh ayahnya ke pelabuhan.

Sesampai di pelabuhan, perahu bagga yang akan ditumpangi tidak lama lagi akan berangkat. Tampak

si pemilik perahu berdiri di atas anjungan berteriak memanggil Impalak.

“Impalak...! Ayo cepat...! Perahunya sebentar lagi berangkat...”

“Baik, Tuan!” jawab Impalak seraya berpamitan kepada ayahnya.

“Ayah! Saya harus berangkat sekarang, jaga diri Ayah baik-baik!”

“Iya, Nak! Jangan lupakan Ayah, Nak!”

“Baik, Ayah! Saya akan selalu ingat pesan Ayah,” kata Impalak sambil mencium tangan ayahnya.

Page 13: Tugas Kajian Sastra Bandingan

Suasana haru pun menyelimuti hati ayah dan anak itu. Tidak terasa, Impalak meneteskan air mata.

Demikian pula sang Ayah, air matanya berlinang tidak kuat menahan rasa haru.

“Impalak...! Ayo kita berangkat!” terdengar lagi teriakan pemilik perahu memanggil Impalak.

“Ayah, saya berangkat dulu,” jawab Impalak kemudian bergegas menuju ke perahu bagga.

“Kalau sudah berhasil cepat pulang ya, Nak!” teriak sang Ayah sambil melayangkan pandangannya

ke arah Impalak yang sedang berlari menuju ke perahu bagga.

Tidak berapa lama, Impalak sudah tampak berdiri di anjungan bersama pemilik perahu sambil

melambaikan tangan. Sang Ayah pun membalas lambaian tangan anaknya sambil meneteskan air

mata. Beberapa saat kemudian, berangkatlah perahu bagga itu. Setelah perahu bagga menghilang dari

pandangannya, Intobu pun bergegas pulang ke gubuknya. Sejak kepergian anaknya, Intobu menjalani

hari-harinya seorang diri sebagai nelayan.

Tidak terasa, sudah beberapa tahun Impalak merantau di negeri orang. Namun, ia tidak

pernah memberi kabar kepada ayahnya. Hal itulah yang membuat ayahnya selalu gelisah menanti

kedatangannya. Setiap ada perahu bagga yang berlabuh di pelabuhan, sang Ayah selalu berharap anak

kesayangannya datang membawa rezeki, namun harapan itu tidak pernah terwujud.

Pada suatu hari, ayah Impalak mencari ikan di sekitar pelabuhan dengan menggunakan sampan. Tiba-

tiba dari kejauhan, ia melihat sebuah perahu bagga hendak berlabuh di pelabuhan.

“Kenapa jantungku berdebar-debar begini? Jangan-jangan anakku ada di perahu bagga itu? Ah, tidak

mungkin. Impalak benar-benar sudah melupakan aku,” ucap ayah Impalak berusaha menepis pikiran-

pikiran itu.

Semakin lama perahu bagga itu semakin dekat dan semakin tampak jelas. Jantung ayah

Impalak pun berdetak semakin kencang. Ketika perahu bagga itu melintas tidak jauh dari tempatnya

memancing ikan, tiba-tiba ia melihat soeorang pemuda gagah bersama seorang wanita cantik berdiri

di haluan perahu bagga. Keduanya adalah Impalak dan istrinya. Ternyata, selama berada di rantauan

Impalak berhasil menjadi orang kaya dan beristri wanita cantik.

Oleh karena yakin bahwa pemuda itu adalah anaknya, tiba-tiba sang Ayah berteriak.

“Impalaaak....Anakku! Ini aku ayahmu!”

Impalak tahu bahwa lelaki tua yang memanggilnya itu adalah ayahnya. Namun karena malu kepada

istrinya, ia berpura-pura tidak mendengar teriakan itu.

Page 14: Tugas Kajian Sastra Bandingan

“Bang! Sepertinya orang itu memanggil nama Abang. Apakah dia itu ayah Abang?” tanya istrinya

setelah mendengar teriakan lelaki tua itu.

“Bukan! Abang tidak mempunyai ayah sejelek lelaki tua itu,” jawab Impalak dengan kesal sambil

memalingkan wajahnya.

“Tapi, bukankah orang tua itu mengaku kalau Abang adalah anaknya?” tanya istri Impalak.

“Dia itu hanya mengada-ada,” jawab Impalak dengan ketus.

“Sudahlah, Dik! Tidak usah hiraukan orang gila itu!” tambah Impalak.

Mendengar ucapan itu, istri Impalak pun langsung diam. Ia tidak ingin bertanya lagi tentang lelaki tua

itu. Ia berpikir, barangkali suaminya benar bahwa lelaki tua itu adalah orang gila yang mengaku

sebagai ayah dari suaminya.

Sementara ayah Impalak dengan sekuat tenaga terus mendayung sampannya mengejar perahu

bagga yang ditumpangi Impalak. Ketika akan sampai di pelabuhan, tiba-tiba angin bertiup kencang.

Sampan yang ditumpangi ayah Impalak terombang-ambing oleh gelombang besar. Ayah Impalak

tidak sanggup lagi mengendalikan sampannya.

“Toloonng... ! Tolooong... aku Impalak!” teriak ayah Impalak meminta tolong.

Namun, malang nasibnya bagi lelaki tua itu. Impalak yang berada di atas perahu bagga itu justru

tertawa terbahak-bahak melihatnya diombang-ambing gelombang laut.

“Ha..ha..ha...!!! Rasakanlah itu orang gila!”

Walaupun ayah Impalak berkali-kali berteriak meminta tolong, Impalak tetap tidak

memperdulikannya. Perahu yang ditumpangi Impalak justru semakin menjauhinya. Hati lelaki tua itu

hancur karena diabaikan oleh anak kandungnya sendiri. Ia sudah tidak tahan lagi melihat perilaku

anaknya yang sudah tidak menaruh belas kasihan lagi kepadanya. Dengan mengangkat kedua

tangannya, lelaki tua itu berdoa kepada Tuhan.

“Ya Tuhan! Hukumlah anak Hamba yang durhaka itu! Kutuklah perahu bagga yang ditumpanginya

itu menjadi batu!”

Beberapa saat kemudian, angin bertiup dengan kencang, ombak laut bergulung-gulung

menghantam perahu Impalak sehingga terdampar di pantai. Seketika itu pula, perahu bagga dan

Impalak menjelma menjadi batu. Oleh masyarakat setempat batu itu kemudian diberi nama Batu

Bagga.

Page 15: Tugas Kajian Sastra Bandingan

PEMBAHASAN

a. Persamaan Tema

Berdasarkan cerita di atas memiliki persamaan tema yakni adalah sama-sama menceritakan

tentang anak durhaka. Legenda Batu Balai dikutuk karena malu dan tidak mengakui ibunya yang

janda dan tua sama dengan Legenda Batu Bagga yang malu melihat Ayahnya yang sudah tua dan

tidak mau mengakuinya sehingga Ayahnya Kecewa dan mengutuknya.

Dalam Legenda Batu Balai Dari Bangka Belitung kisah ini menceritakan tentang sebuah

keluarga kecil yang tinggal di sebuah hutan di daerah Mentok, Bangka-Belitung, hiduplah seorang

janda miskin. Ia tinggal di sebuah gubuk reot bersama anak laki-lakinya yang bernama Dempu

Awang. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya, mereka menanam ubi, keladi, dan sayur-sayuran

di ladang. Hasil yang mereka peroleh hanya cukup untuk dimakan sehari-hari, dan terkadang kurang.

Begitulah kehidupan Dempu Awang dan ibunya setiap hari. Lama kelamaan, Dempu Awang pun

semakin jenuh dan sering bermalas-malasan pergi ke ladang.

Dari hal itu muncul ide pikiran untuk merantau. Walau pun penuh rasa berat hati untuk

meninggalkan ibunya. Dempu Awang pun berangkat dengan menumpang sebuah kapal. Setelah

berpamitan kepada ibunya Dempu awang mencium tangan ibunya untuk memohon doa restu.

Waktu terus berjalan. Dempu Awang sudah sepeluh tahun di tanah rantau. Berkat doa ibunya,

Dempu Awang menjadi seorang yang kaya raya dan mempunyai istri yang cantik jelita. Namun, ia

tidak pernah memberi kabar ibunya.

Suatu hari, istri Dempu Awang ingin sekali bertemu dengan ibu mertuanya. Ia pun

menyampaikan niat itu kepada suaminya.

Dengan perasaan gembira, istri Dempu Awang pun segera menyampaikan pesan suaminya itu

kepada para pelayan. Mulai pagi hingga malam hari, para pelayan sibuk mempersiapkan bekal yang

diperlukan, seperti makanan, minuman, pakaian, serta oleh-oleh untuk ibu Dempu di kampung

halaman.

Keesokan harinya, berangkatlah Dempu Awang bersama istrinya serta beberapa orang anak

buah kapal menuju ke Mentok dengan menggunakan kapalnya yang besar dan megah. Setelah

berhari-hari berlayar, Dempu Awang bersama rombongannya tiba di pelabuhan Mentok. Para

penduduk, baik nelayan maupun pedagang, berbondong-bondong menuju ke pelabuhan untuk melihat

perahu besar dan megah itu. Ketika mendekat di kapal itu, mereka melihat seorang pemuda gagah

berpakaian mewah berdiri di anjungan kapal dan seorang wanita cantik berdiri di sampingnya. Di

antara penduduk tersebut ada yang mengenal pemuda gagah itu.

Page 16: Tugas Kajian Sastra Bandingan

“Hai, lihatlah! Bukankah itu Dempu Awang?” kata seorang penduduk.

“Benar! Dia Dempu Awang, anak orang miskin itu,” sahut penduduk lainnya.

Sementara itu, dari atas kapalnya, Dempu Awang menyebarkan pandangannya kepada

seluruh penduduk yang mendekat ke kapalnya. Ia sedang mencari ibunya yang sangat dirindukannya.

Setelah mengamati satu per satu wajah mereka, ternyata orang yang dicarinya itu tidak ada. Ia pun

memanggil beberapa orang penduduk naik ke atas kapalnya dan menanyakan keberadaan ibunya.

Salah seorang penduduk mengatakan bahwa ibunya masih hidup.

“Baiklah. Kalau memang ibuku masih hidup, tolong panggilkan dan bawa naik ke kapal ini. Aku

ingin memastikan apakah dia benar-benar ibuku!” pinta Dempu Awang kepada penduduk itu.

Tak berapa lama, penduduk itu datang bersama seorang wanita tua berpakaian compang-

camping. Wanita tua itu kemudian segera naik ke kapal untuk menemui anaknya yang sudah lama

dirindukannya. Dempu Awang mengetahui bahwa wanita tua itu adalah ibunya. Namun karena malu

mengakui sebagai ibunya di hadapan istrinya, ia pun mengusir wanita tua itu.

“Pelayan! Usir nenek peot ini dari kapalku! Dia bukan ibuku. Dia hanya petani miskin yang mengaku-

ngaku sebagai ibuku!” seru Dempu Awang sambil berkacak pinggang.

“Dempu Awang! Dia adalah ibumu yang telah kau tinggalkan sendirian selama puluhan tahun,” sahut

seorang penduduk yang hadir di tempat itu.

“Benar, Anakku! Aku ini ibumu yang telah melahirkan dan membesarkanmu. Ibu sangat mengenal

tanda goresan di keningmu bekas luka karena terjatuh dulu,” kata wanita tua.

Mendengar pengakuan wanita tua itu, Dempu Awang semakin marah. Istrinya pun berusaha

menenangkan hatinya.

“Iya, Kanda! Mungkin saja wanita tua itu benar bahwa Kanda adalah anaknya. Janganlah menjadi

anak durhaka dan tak usah malu kepada Dinda!” bujuk istrinya.

Bujukan sang Istri bukannya membuat hati Dempu Awang menjadi tenang, tetapi justru

kemarahannya semakin memuncak. Ia pun menghampiri dan kemudian mendorong wanita tua itu

hingga terjatuh berguling-guling di tangga kapal. Hati wanita itu hancur berkeping-keping melihat

perlakuan anaknya terhadap dirinya. Dengan perasaan sedih, wanita tua malang itu segera

meninggalkan pelabuhan menuju ke gubuknya. Setelah agak jauh dari pelabuhan, ibu Dempu Awang

berhenti di jalan seraya menengadahkan kedua belah tangannya ke atas.

“Ya, Tuhan! Berilah balasan yang setimpal kepada anak hamba yang durhaka itu, karena tidak mau

mengakui hamba sebagai ibu kandungnya,” pinta ibu Dempu Awang.

Page 17: Tugas Kajian Sastra Bandingan

Doa sang Ibu benar-benar dikabulkan oleh Tuhan Yang Mahakuasa. Ketika Dempu Awang

hendak berlayar meninggalkan pelabuhan Mentok, tiba-tiba langit menjadi mendung. Kemudian

turunlah hujan yang sangat deras disertai angin topan dan petir yang menyambar-nyambar. Tiba-tiba

gelombang laut setinggi gunung menghantam kapal Dempu Awang yang megah itu hingga terbelah

menjadi dua, lalu karam ke dasar laut.

Setelah cuaca kembali cerah seperti semula, tampaklah sebuah batu besar di tempat kapal

Dempu Awang karam. Batu yang menyerupai kapal besar itu merupakan penjelmaan Dempu Awang

dan kapalnya, sedangkan istrinya menjelma menjadi kera putih. Hingga kini batu tersebut masih

terpelihara dengan baik. Oleh masyarakat setempat, batu tersebut diberi nama Batu Balai, karena pada

zaman dahulu, di samping batu itu terdapat sebuah balai, yakni sebuah kantor pemerintahan yang

biasa dijadikan sebagai tempat bermusyawarah.

Dalam Legenda Batu Bagga Dari Sulawesi Tengah juga menceritakan tentang anak

durhaka.

Konon, di sebuah kampung di daerah pesisir Sulawesi Tengah, Indonesia, hiduplah seorang

duda bernama Intobu. Ia tinggal di sebuah gubuk bersama seorang putranya yang bernama Impalak.

Mereka hidup sangat miskin. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, mereka pergi ke laut untuk

mencari ikan.

Pada suatu malam, ketika Intobu bersama anaknya hendak mencari ikan di laut, tiba-tiba

angin bertiup kencang dan hujan deras. Meskipun demikian, dua orang bapak dan anak itu tetap

memutuskan untuk melaut. Dalam perjalanan menuju ke laut, Intobu menasehati Impalak.

Sesampai di pantai, mereka segera menaiki sampan yang ditambatkan di tepi pantai. Dengan

sekuat tenaga mereka mendayung sampan menyusuri pantai. Mereka tidak berani sampai ke tengah

laut, karena cuaca sangat buruk. Mereka hanya memancing ikan di sekitar pantai. Tidak terasa, malam

semakin larut. Mereka pun memutuskan untuk kembali ke gubuk.

Setiba di gubuk, beberapa ekor ikan hasil tangkapannya digoreng untuk lauk dan selebihnya

mereka jual pada keesokan harinya. Ikan-ikan tersebut mereka jajakan dari rumah ke rumah sampai

habis terjual. Setelah semuanya laku terjual, uang hasil penjualan itu mereka belanjakan untuk

membeli beras dan kebutuhan pokok lainnya. Begitulah pekerjaan mereka setiap hari yang sudah

bertahun-tahun jalani.

Rupanya pekerjaan itu membuat Impalak menjadi jenuh. Ia ingin pergi merantau ke negeri

lain untuk merubah nasib. Sejak itu, ia selalu murung dan merenung. Ia tidak berani menyampaikan

keinginan itu kepada ayahnya. Selain itu, ia juga belum tega meninggalkan ayahnya seorang diri.

Meskipun tekadnya ingin pergi merantau begitu kuat, ia tetap berusaha memendamnya dalam hati.

Page 18: Tugas Kajian Sastra Bandingan

Pada suatu hari, ayahnya sedang sibuk memperbaiki tali kailnya yang putus. Sementara,

Impalak yang duduk di sampingnya hanya duduk termenung.

Mendengar penjelasan anaknya itu, Intobu terdiam sejenak. Ia berpikir bahwa apa yang

dikatakan anaknya itu memang benar. Jika hanya menjadi nelayan, kehidupan anaknya di masa depan

tidak akan makmur.

Setelah mendapat izin dari ayahnya, Impalak segera ke pelabuhan untuk melihat apakah ada

perahu bagga yang sedang berlabuh. Sesampai di pelabuhan, tampaklah sebuah perahu bagga sedang

menurunkan muatan. Perahu itulah yang rencananya akan ditumpangi Impalak pergi merantau. Ia pun

segera menemui pemilik perahu bagga itu. Setelah beberapa lama bekerja di kapal tersebut Impalak

pun berangkat dengan menggunakan kapal tersebut dengan memohon doa restu kepada ayahnya dan

tidak lupa mencium tangan ayahnya.

Tidak berapa lama, Impalak sudah tampak berdiri di anjungan bersama pemilik perahu sambil

melambaikan tangan. Sang Ayah pun membalas lambaian tangan anaknya sambil meneteskan air

mata. Beberapa saat kemudian, berangkatlah perahu bagga itu. Setelah perahu bagga menghilang dari

pandangannya, Intobu pun bergegas pulang ke gubuknya. Sejak kepergian anaknya, Intobu menjalani

hari-harinya seorang diri sebagai nelayan.

Tidak terasa, sudah beberapa tahun Impalak merantau di negeri orang. Namun, ia tidak

pernah memberi kabar kepada ayahnya. Hal itulah yang membuat ayahnya selalu gelisah menanti

kedatangannya. Setiap ada perahu bagga yang berlabuh di pelabuhan, sang Ayah selalu berharap anak

kesayangannya datang membawa rezeki, namun harapan itu tidak pernah terwujud.

Pada suatu hari, ayah Impalak mencari ikan di sekitar pelabuhan dengan menggunakan sampan. Tiba-

tiba dari kejauhan, ia melihat sebuah perahu bagga hendak berlabuh di pelabuhan. Jantungnya

berdebar-debar.

Semakin lama perahu bagga itu semakin dekat dan semakin tampak jelas. Jantung ayah

Impalak pun berdetak semakin kencang. Ketika perahu bagga itu melintas tidak jauh dari tempatnya

memancing ikan, tiba-tiba ia melihat soeorang pemuda gagah bersama seorang wanita cantik berdiri

di haluan perahu bagga. Keduanya adalah Impalak dan istrinya. Ternyata, selama berada di rantauan

Impalak berhasil menjadi orang kaya dan beristri wanita cantik.

Oleh karena yakin bahwa pemuda itu adalah anaknya, tiba-tiba sang Ayah berteriak.

“Impalaaak....Anakku! Ini aku ayahmu!”

Impalak tahu bahwa lelaki tua yang memanggilnya itu adalah ayahnya. Namun karena malu kepada

istrinya, ia berpura-pura tidak mendengar teriakan itu. Tetapi iatrinya mengingatkan suaminya tentang

Page 19: Tugas Kajian Sastra Bandingan

lelaki tua yang memanggil nama Impalak, tetapi impala menyuruh diam. Mendengar ucapan itu, istri

Impalak pun langsung diam. Ia tidak ingin bertanya lagi tentang lelaki tua itu. Ia berpikir, barangkali

suaminya benar bahwa lelaki tua itu adalah orang gila yang mengaku sebagai ayah dari suaminya.

Sementara ayah Impalak dengan sekuat tenaga terus mendayung sampannya mengejar perahu

bagga yang ditumpangi Impalak. Ketika akan sampai di pelabuhan, tiba-tiba angin bertiup kencang.

Sampan yang ditumpangi ayah Impalak terombang-ambing oleh gelombang besar. Ayah Impalak

tidak sanggup lagi mengendalikan sampannya.

“Toloonng... ! Tolooong... aku Impalak!” teriak ayah Impalak meminta tolong.

Namun, malang nasibnya bagi lelaki tua itu. Impalak yang berada di atas perahu bagga itu justru

tertawa terbahak-bahak melihatnya diombang-ambing gelombang laut.

“Ha..ha..ha...!!! Rasakanlah itu orang gila!”

Walaupun ayah Impalak berkali-kali berteriak meminta tolong, Impalak tetap tidak

memperdulikannya. Perahu yang ditumpangi Impalak justru semakin menjauhinya. Hati lelaki tua itu

hancur karena diabaikan oleh anak kandungnya sendiri. Ia sudah tidak tahan lagi melihat perilaku

anaknya yang sudah tidak menaruh belas kasihan lagi kepadanya. Dengan mengangkat kedua

tangannya, lelaki tua itu berdoa kepada Tuhan.

“Ya Tuhan! Hukumlah anak Hamba yang durhaka itu! Kutuklah perahu bagga yang ditumpanginya

itu menjadi batu!”

Beberapa saat kemudian, angin bertiup dengan kencang, ombak laut bergulung-gulung

menghantam perahu Impalak sehingga terdampar di pantai. Seketika itu pula, perahu bagga dan

Impalak menjelma menjadi batu. Oleh masyarakat setempat batu itu kemudian diberi nama Batu

Bagga.

b. Berdasarkan Tokoh dan Isi Cerita.

Berdasarkan tokoh cerita ada perbedaan yakni Pada Legenda Batu Balai dari Belitung anak

yang menjadi durhaka adalah Dempu Awang, yang mengutuknya adalah seorang ibu yang sudah

janda, dan kehidupan mereka berasal dari kehidupan bertani. Sedangkan Legenda Batu Bagga Dari

Sulawesi Tengah yang menjadi anak durhaka adalah yang bernama Impalak. Dan yang mengutuknya

adalah Ayahnya yang sudah Duda. Kehidupan mereka bekerja sebagai nelayan.

Persamaan yang dapat dilihat dari isi cerita adalah cerita Legenda Batu Balai dari Belitung

dan Legenda Batu Bagga memiliki kesamaan yakni dari kedua daerah tersebut memilki kebudayaan

merantau. Dempu Awang dalam Legenda Batu Balai merantau dengan menumpang di sebuah kapal

Page 20: Tugas Kajian Sastra Bandingan

dan berpamitan dengan ibunya dengan memohon doa restu dan mencium tangan ibunya, sama dengan

legenda Batu Bagga yang merantau dengan menumpang kapal Bagga dan memohon doa restu kepada

Ayahnya dan tidak lupa mencium tangan ayahnya dan memohon doa restu.

Kesamaan berikutnya terdapat pada istri dari anak durhaka tersebut. Istri dari Dempu Awang

dalam Legenda Batu Balai juga tidak mendukung dan menentang sikap suaminya yang kasar

terhadap ibnya yang sudah tua renta dan compang- camping.dan berusaha membujuk suaminya. Sama

dengan Legenda Batu Bagga istri Impalak pun tidak mendukung sikap suaminya yang kasar terhadap

Ayah Impalak yang sudah tua.

c. Dilihat dari Segi Sosial dan Moral

Cerita diatas terjadi dikarenakan ingin mengubah hidup dan dengan latar belakang

sosial dari keluarga miskin. Legenda Batu Balai dan Legenda batu bagga terjadi dengan

tujuan yang sama untuk mengubah hidup juga yang membuat Dempu Awang dan Impalak

merantau dari kampunya. Setelah kaya mereka lupa diri dan sombong yang membuat ibu dan

ayah mereka mengutuk mereka.

Pesan Moral : Pesan moral yang disampaiakn dari cerita diatas adalah sama. Kisah

legenda Batu Balai dan Batu Bangga sama-sama mengambarkan Kedurhakaan kepada

orang tua. Dan diharapkan Sebagai seorang anak, jangan pernah melupakan semua jasa

orangtua terutama kepada seorang Ibu yang telah mengandung dan membesarkan anaknya,

apalagi jika sampai menjadi seorang anak yang durhaka. Durhaka kepada orangtua

merupakan satu dosa besar yang nantinya akan ditanggung sendiri oleh anak. Dan semua

keberhasilan yang didapat kalo tidak karena doa restu dari orang tua seorang anak tidak

pernah berhasil mencapai kesuksesan.

Page 21: Tugas Kajian Sastra Bandingan

KESIMPULAN

Dapat disimpulkan bahwa dengan adanya sastra bandingan kita dapat melihat

kesamaan dari cerita rakyat tersebut yang mengangkat tema yang sama. Seperti Legenda

Batu Balai dengan Legenda Batu Bagga sama-sama bertemakan “Anak Durhaka” dan dapat

dilihat secara signifikan dari isi cerita yang memiliki banyak kesamaan mulai dari penokohan

isi cerita dan akhir cerita dan dengan adanya sastra bandingan ini juga dapat diketahui bahwa

adanya pengaruh cerita rakyat Legenda Batu Balai dan Legenda Batu Bagga yakni kedua

karya sastra tersebut memiliki hubungan sejarah, baik langsung maupun tidak langsung. Ini

dapat dilihat bahwa asal cerita tersebut masih dalam ruang lingkup kawasan Negara yang

sama yakni sama-sama dari Indonesia.