Upload
jandia-sundari
View
405
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
TUGAS FARMAKOLOGI KLINIS I
“ANTI EPILEPSI”
Oleh :
Jandia Sundari (1090701)
Kelas/No. : C - 17
Fakultas Farmasi Universitas Surabaya
2011
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI.............................................................................................................i
BAB I PENDAHULUAN...........................................................................1
I.1. Definisi.............................................................................................1
I.2. Epidemiologi....................................................................................1
BAB II ETIOLOGI DAN PATOFISIOLOGI............................................2
II.1. Etilologi............................................................................................2
II.2. Patofisiologi.....................................................................................4
BAB III PENGOBATAN EPILEPSI...........................................................6
III.1. Mekanisme umum obat anti epilepsi................................................6
III.2. Obat-obat anti epilepsi.....................................................................6
III.3. Petunjuk umum terapi obat anti epilepsi........................................12
III.4. Pertimbangan khusus....................................................................13
BAB IV STATUS EPILEPTICUS.............................................................14
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................ii
BAB I
PENDAHULUAN
I.1. Definisi
Epilepsi adalah gejala terganggunya aktivitas listrik di otak yang diukur
dengan electroencephalogram (EEG) karena berbagai etiologi. Epilepsi dapat
terjadi disertai kejang secara periodik ataupun tanpa kejang. Dimana kejang yang
terjadi secara berkepanjangan dan terus-menerus dapat mengakibatkan kematian
pada penderita. Pasien epilepsi biasanya memilki gangguan lain yaitu, gangguan
depresi, kecemasan, bahkan gangguan pada neuro endokrin. Pasien epilepsi
kemungkinan juga mengalami keterlambatan perkembangan saraf pusat, masalah
memori, dan penurunan kognitif. Pengobatan terhadap penderita epilepsi fokus
terhadap terapi obat untuk menghilangkan kejang, serta gangguan penyertanya.
Setiap tahun, sekitar 125.000 kasus baru epilepsi terjadi di Amerika,
dimana 30% terjadi pada usia 18 tahun (pada dignosis) dan puncaknya terjadi
pada bayi yang baru lahir. Tetapi saat ini orang-orang yang lanjut usia pun bisa
mengalaminya, bahkan relatif tinggi .
I.2. Epidemiologi
Pada 5 tahun pertama setelah pasien diyakini menderita epilepsi, tingkat
kekambuhan kejang terjadi 23% hingga 80%. Kejang pada penderita epilepsi
dapat timbul karena gangguan tumor, trauma kepala, gangguan metabolik, dan
infeksi SSP. Kejang sering terjadi pada bayi di bawah usia 1 tahun dan pada
orang dewasa setelah usia 55 tahun. Namun, jumlah terbesar dari pasien yang
menderita epilepsi adalah antara usia 15 dan 64 tahun.
Banyak kasus kejang yang terjadi pada pasien epilepsi tidak diketahui jelas
penyebabnya, hal ini disebut dengan epilepsi idiopatik. Epilepsi ini biasanya
banyak terjadi pada anak-anak. Faktor risiko yang paling banyak terjadi pada
epilepsi di semua kelompok usia adalah akibat trauma kepala (terutama pada
pasien duramater dan hilang kesadaran), infeksi SSP, dan stroke.
BAB II
ETIOLOGI DAN PATOFISIOLOGI
II.1. Etiologi
Kejang pada epilepsi terjadi karena pelepasan sebagian kecil neuron
abnormal. Segala sesuatu yang mengganggu homeostasis normal neuron dan
mengganggu stabilitas dapat memicu aktivitas abnormal dan kejang. Pasien yang
memiliki keterbelakangan mental dan cerebral palsy akan meningkatkan risiko
kejang. Semakin tinggi derajat keterbelakangan mental (yang biasa diukur dengan
IQ), semakin besar penderita tersebut dapat mengalami epilepsi. Namun,
keterbelakangan mental tidak sama dengan epilepsi. Pada usia lanjut, onset kejang
yang terjadi biasanya parsial. Penyebab kejang pada usia lanjut biasanya
multifaktorial serta termasuk penyakit serebrovaskular dan neurodegenerative.
Selama kejang, ada peningkatan besar suplai darah yang mengalir ke otak untuk
membawa keluar CO2 dan substrat bagi aktivitas metabolik saraf. Semakin lama
kejang, semakin besar kemungkinan otak untuk menderita iskemia yang dapat
mengakibatkan kerusakan saraf dan kerusakan otak. Juga, paparan glutamat secara
terus-menerus juga dapat memicu kerusakan di saraf.
Selain penyebab-penyebab yang telah disebutkan di atas, ada penyebab lain yaitu
idiopatik (tidak diketahui penyebab) atau kriptogenik (penyebab tersembunyi).
Serangan epilepsi dapat terjadi sebagai akibat non neurologik etiologi seperti
kurang tidur, hipoglikemia, hiponatremia, ensefalopati metabolik, alkohol,
penyalahgunaan obat dan keracunan obat. Namun, kejang ini tidak boleh diobati
dengan obat anti epilepsi. Beberapa obat yang dapat memicu serangan epilepsi
yaitu tramadol, bupropion, teofilin, beberapa obat antidepresan, beberapa
antipsikotik, amfetamin, kokain, imipenem, lithium, penggunaan dosis penisilin
atau sefalosporin secara berlebihan, dan simpatomimetik atau stimulan.
Jenis-jenis kejang yang umum terjadi pada penderita epilepsi :
1. Tonik-klonik
Ditandai dengan kehilangan kesadaran secara tiba-tiba disertai dengan
ekstensi tonik klonik dan kontraksi berirama pada semua otot utama. Durasi
kejang biasanya 1 sampai 3 menit. Kejang ini sering disebut sebagai "grand
mal."
2. Absence
Tiba-tiba dan singkat. Durasinya hanya beberapa detik. Kehilangan kesadaran
yang terjadi tanpa adanya kontraksi otot. Kejang ini sering disebut "petit
mal."
3. Mioklonik
Pasien tidak mengalami kehilangan kesadaran, karena kejang berlangsung
kurang dari 3 sampai 4 detik. Kejang yang dialami yaitu dengan mengangkat
bahu atau seperti kedinginan pada tulang belakang. Kejang mioklonik dapat
berkembang menjadi kejang tonik-klonik.
4. Atonik
Pasien mengalami kehilangan kesadaran. Pasien akan jatuh ketika mereka
tidak berbaring atau duduk di kursi. Serangan ini sering digambarkan sebagai
serangan “falling out.”
Kejang yang dimulai di daerah lokal dari otak, didefinisikan sebagai kejang
parsial. Ada tiga jenis kejang parsial, yaitu :
1. Sederhana
Pasien akan mengalami gerakan otot yang tidak terkontrol dari bagian tubuh
mereka tanpa perubahan kesadaran. Jenis sensasi atau gerakan tergantung
pada lokasi kejang di otak.
2. Kompleks
Meskipun kejang terlokalisir daerah otak tertentu. Kejang ini menyebabkan
perubahan pada tingkat kesadaran pasien.
3. Sekunder umum/ Secondarily Generalized
Kejang ini dimulai dari kejang sederhana atau kejang parsial kompleks dan
melibatkan seluruh otak. Pasien akan mengalami aura. Jenis parsial ini
merupakan awal kejang yang sebenarnya.
II.2. Patofisiologi
Kejang yang terjadi secara tiba-tiba melibatkan gangguan listrik dari
korteks serebral. Muatan listrik di korteks serebral menjadi terlalu cepat, ritmis,
dan sinkron. Fenomena ini terkait oleh kelebihan rangsangan neurotransmitter,
kegagalan dari inhibisi neurotransmitter, atau kombinasi keduanya. Ketika
glutamat dilepaskan dari pre sinaps neuron, dan menempel ke salah satu dari
beberapa jenis reseptor pada post sinaps neuron. Sehingga membuka saluran
membran untuk memungkinkan natrium atau kalsium mengalir ke neuron post
sinaps, dan terjadi depolarisasi dan mentransmisikannya ke signal exitatory.
Beberapa obat antiepilepsi (misalnya, phenytoin, carbamazepin, dan
lamotrigin) bekerja dengan menghambat mekanisme ini, baik dengan
menghalangi pelepasan glutamat atau menghalangi natrium atau kalsium menuju
neuron post sinaps, sehingga mencegah eksitasi yang berlebihan. Neurotransmitter
penghambatan utama dalam korteks serebral adalah γ-aminobutyric acid (GABA).
Neurotransmiter ini menempel pada membran saraf dan membuka saluran klorida.
Kejang
Umum Parsial
Tonik klonik
Mioklonik
Absence
Atonik
Secondarily Generalized
Kompleks
Sederhana
Ketika klorida menuju ke neuron, maka akan terjadi hiperpolarisasi dan kurang
bersemangat. Beberapa obat antiepilepsi, terutama barbiturat dan benzodiazepin,
bekerja dengan meningkatkan aksi GABA.
Manifestasi klinis tergantung pada lokasi yang mengalami gangguan,
tingkat iritabilitas dari sekitar wilayah otak, dan intensitas tekanan. Kelainan
konduktansi kalium atau kekurangan ATPase terkait dengan transportasi ion dapat
menyebabkan ketidakstabilan membran neuronal dan kejang. Neurotransmitter
(misalnya, glutamat, aspartat, asetilkolin, norepinefrin, histamin,
corticotropinreleasing faktor, purin, peptida, sitokin, dan hormon steroid)
meningkatkan rangsangan dan propagasi dari aktivitas neuronal, sedangkan γ-
aminobutyric acid (GABA) dan dopamin menghambat aktivitas neuron
dan propagasi. Kekurangan neurotransmitter inhibisi seperti GABA atau
peningkatan excitatory neurotransmitters seperti glutamat akan mempertinggi
aktivitas neuronal yang abnormal. Aktivitas saraf yang normal juga tergantung
pada pasokan glukosa, oksigen, natrium, kalium, klorida, kalsium, dan asam
amino yang cukup.
Beberapa jenis epilepsi mungkin timbul dari neurofisiologis abnormal yang
berbeda. Pengendalian aktivitas neuronal abnormal dengan obat anti epilesi
dicapai dengan meninggikan ambang neuron untuk listrik/rangsangan kimia atau
dengan membatasi terjadinya kejang. Meningkatkan ambang batas yang paling
mungkin adalah melibatkan stabilisasi membran neuron, sedangkan membatasi
terjadinya kejang dengan melibatkan transmisi depresi sinaptik dan pengurangan
konduksi saraf.
BAB III
PENGOBATAN EPILEPSI
III.1. Mekanisme umum obat anti epilepsi
Mekanisme anti epilepsi yaitu menghambat pelepasan neuronal, dengan
satu atau lebih cara, yaitu :
1. Mengurangi permeabilitas membran sel ion, khususnya tegangan saluran
natrium yang dapat menghasilkan potensial aksi.
2. Meningkatkan aktivitas GABA (gamma-aminobutiryc acid), sehingga dapat
meningkatkan permeabilitas membran ion klorida dan mengurangi
rangsangan pada sel.
3. Menghambat rangsangan neurotransmiter, misalnya glutamat dan aspartat.
III.2. Obat-obat anti epilepsi
Tabel Drug of choice untuk serangan kejang spesifik :
Tipe Kejang Pilihan Pertama Alternatif
Parsial Carbamazepin
Fenitoin
Lamotrigin
Asam valproat
Oxcarbazepin
Gabapentin
Topiramid
Levetiracetam
Zonisamid
Tiagabine,
Primidone,
Fenobarbital
Felbamat
Serangan umum
Absence Asam valproat,
Etosuximid
Lamotrigin,
Levetiracetam
Mioklonik Asam valproat,
Clonazepam
Lamotrigin,
Topiramid,
Felbamat,
Zonisamid,
Levetiracetam
Tonik klonik Fenitoin,
Carbamazepin,
Asam valproat
Lamotrigin,
Topiramid,
Fenobarbital,
Primidone,
Oxcarbazepin,
Levetiracetam
Carbamazepin
Bertindak dengan menghambat pelepasan saluran natrium. Obat ini dapat
ditingkatkan bioavailabilitasnya dengan adanya makanan. Obat ini dimetabolisme
dihati 98% sampai 99% dari dosisnya (kebanyakan oleh CYP3A4), dan metabolit
utama adalah karbamazepin-10,11-epoksida yang aktif. Carbamazepin dapat
mengalami autoinduksi; efek ini dimulai dalam waktu 3 sampai 5 hari dosis
inisiasi dan dibutuhkan 21 sampai 28 hari untuk benar-benar bereaksi.
Carbamazepin dianggap sebagai obat antiepilepsi pilihan pertama untuk kejang
parsial yang baru didiagnosa. Hal ini juga berguna untuk kejang kejang umum
primer yang tidak dianggap darurat. Efek samping neurosensorik (misalnya,
diplopia, penglihatan kabur, nistagmus, ataksia, pusing, dan sakit kepala) adalah
yang paling umum, terjadi pada 35% sampai 50% dari pasien.
Carbamazepin dapat menyebabkan hiponatremia, kondisi yang mirip dengan
sindrom sekresi hormon antidiuretik yang berlebih. Leukopenia adalah efek
samping yang paling umum hematologi (hingga 10%) tetapi biasanya bersifat
sementara. Ini. Penggunaan Carbamazepin dapat dilanjutkan kecuali jika jumlah
sel darah putih (WBC) turun menjadi kurang dari 2500/mm3 dan jumlah neutrofil
mutlak turun menjadi kurang dari 1000/mm3. Ruam dapat terjadi pada 10%
pasien. Efek samping lain termasuk hepatitis, osteomalacia, cacat konduksi
jantung, dan lupus seperti reaksi. Carbamazepin dapat berinteraksi dengan obat
lain dengan menginduksi metabolismenya. Asam valproat meningkatkan
konsentrasi dari 10,11-epoksida metabolit tanpa mempengaruhi konsentrasi
carbamazepin. Interaksi eritromisin dan klaritromisin (CYP3A4 inhibisi) dengan
carbamazepine sangat signifikan. Dosis loading digunakan hanya pada pasien
sakit kritis. Meskipun beberapa pasien, khususnya mereka yang menggunakan
pengobatan monoterapi, dapat dipertahankan pada dua kali sehari dosis. Dosis
yang lebih besar dapat diberikan pada waktu tidur. Peningkatan dosis dapat
dilakukan setiap 2 sampai 3 minggu. Para berkelanjutan dan terkontrol-release
bentuk dosis memungkinkan untuk dua kali sehari dosis.
Etosuximid
Mekanisme kerjanya adalah menghambat ikatan NADPH dengan aldehida
reduktase , inhibisi natrium-kalium ATPase, penurunan Na+, memblokir Ca2+ dan
tergantung pada saluran K+, serta penghambatan saluran Ca2 T-Type.
Felbamat
Bertindak sebagai antagonis reseptor glisin. Obat ini biasanya digunakan untuk
mengobati kejang lemah pada pasien dengan sindrom Lennox-Gastaut, dan juga
efektif untuk kejang parsial. Karena laporan anemia aplastik (1 dalam 3000
pasien) dan hepatitis (1 dalam 10.000 pasien), sekarang direkomendasikan hanya
untuk pasien refrakter terhadap obat antiepilepsi lainnya. Apabila penggunaan
felbamat bersama-sama fenitoin, asam carbamazepine, dan valproat sangat
dianjurk untuk menurunkan dosis sekitar 30% untuk obat-obatan selain felbamat.
Jika felbamate digunakan sebagai monoterapi, dosis dimulai pada 1200 mg / hari
(15 mg / kg pada anak-anak) dan kemudian meningkat dengan 600 mg setiap 2
minggu sampai dosis maksimum 3600 mg / hari (45 mg / kg anak)
Gabapentin
Mekanisme kerjanya dengan memodulasi tegangan sensitif pada saluran Ca2+ dan
meningkatkan kadar GABA. Obat ini merupakan pilihan kedua untuk pasien
dengan kejang parsial yang telah gagal pengobatan awal juga pada pasien dengan
gangguan kejang yang kurang parah, seperti baru-onset epilepsi parsial, terutama
pada pasien usia lanjut. Bioavailabilitas menurun dengan peningkatan dosis. Efek
samping yang umum adalah kelelahan, mengantuk, pusing, dan ataksia.
Dosis dimulai pada 300 mg pada waktu tidur dan meningkat menjadi 300 mg dua
kali sehari pada hari kedua dan 300 mg tiga kali sehari pada hari ketiga.
Kebanyakan dokter menggunakan dosis 2400-4800 mg / hari.
Lamotrigin
Lamotrigin bekerja memblok saluran natrium saraf, menghasilkan penghambatan
dari tegangan tinggi aktivasi arus Ca2+, dan menginhibisi pelepasan
neurotransmiter asam amino. Hal ini berguna sebagai terapi tambahan dan
monoterapi pada orang dewasa dengan epilepsi parsial. Efek samping yang paling
sering adalah diplopia, mengantuk, ataksia, dan sakit kepala. Ruam biasanya
ringan sampai sedang, dapat juga terjadi tetapi Stevens-Johnson sindrom.
Levetiracetam
Leviracetam memiliki farmakokinetik linear dan tidak dimetabolisme oleh sistem
P450 (CYP) dan UGT sitokrom. Hal ini efektif dalam pengobatan adjunctive
kejang parsial pada orang dewasa yang telah gagal terapi awal.
Efek samping meliputi sedasi, kelelahan, dan kesulitan koordinasi. Dosis awal
yang dianjurkan adalah 500 mg secara oral dua kali sehari, dan ini dapat
ditingkatkan dengan 1000 mg / hari setiap 2 minggu sampai dosis yang dianjurkan
maksimum 3000 mg / hari.
Oxcarbazepine
Oxcarbazepine (prodrug carbamazepin) secara struktural terkait dengan
carbamazepine, tetapi dikonversi menjadi turunan monohidrat yang merupakan
komponen aktif. Kerjanya memblok tegangan-sensitif saluran natrium,
memodulasi saluran kalsium, dan meningkatkan konduktansi kalium.
Pasien dengan gangguan ginjal yang signifikan mungkin memerlukan
penyesuaian dosis. Efek samping yang paling sering dilaporkan adalah pusing,
mual, sakit kepala, diare, muntah, infeksi saluran pernafasan, sembelit, dispepsia,
ataksia, dan gugup. Hal ini biasanya memiliki efek samping yang lebih sedikit
daripada fenitoin, asam valproat, atau carbamazepine. Hiponatremia telah
dilaporkan dalam hingga 25% dari pasien dan lebih mungkin pada orang tua.
Sekitar 25% sampai 30% dari pasien yang memiliki ruam dengan carbamazepin
akan memiliki cross-reaksi dengan oxcarbazepin. Penggunaan bersamaan
oxcarbazepin dengan ethinyl estradiol dan levonorgestrel dapat membuat obat ini
kurang efektif. Oxcarbazepin dapat meningkatkan konsentrasi serum fenitoin dan
penurunan konsentrasi serum lamotrigin (induksi UGT). Pada orang dewasa, dosis
awal oxcarbazepin sebagai monoterapi adalah 300 mg sekali atau dua kali sehari.
Hal ini dapat ditingkatkan dengan 600 mg / hari setiap minggu dengan dosis
maksimum 2400 mg / hari. Untuk anak usia 4 sampai 16 tahun, dosis awal adalah
8 sampai 10 mg / kg diberikan dua kali sehari, tidak melebihi 600 mg / hari.
Fenobarbital
Fenobarbital merupakan obat pilihan untuk kejang neonatal, tetapi dalam situasi
lain itu digunakan untuk pasien yang telah gagal menggunakan obat antiepilepsi
lainnya. Fenobarbital adalah enzim inducer kuat. Jumlah fenobarbital yang
diekskresikan lewat ginjal dapat ditingkatkan dengan memberikan diuretik dan
alkalinizers kemih. Efek samping yang paling umum adalah kelelahan,
mengantuk, dan depresi. Fenobarbital merusak kinerja kognitif. Pada anak-anak,
hiperaktivitas dapat terjadi. Etanol meningkatkan metabolisme fenobarbital, tetapi
asam valproat, cimetidine, fenitoin, felbamat, dan kloramfenikol menghambat
metabolismenya.
Fenitoin
Mengubah ion fluks fenitoin, sehingga mengubah depolarisasi, repolarisasi, dan
stabilitas membran. Fenitoin adalah pilihan pertama untuk kejang umum dan
kejang parsial. Makanan dapat memperlambat penyerapan. Rute intramuskular
sebaiknya dihindari, karena penyerapan yang tidak menentu. Fosphenytoin aman
dapat diberikan intravena dan intramuskuler. Fenitoin dimetabolisme di hati
terutama oleh CYP2C9, tetapi CYP2C19 juga terlibat. Dalam situasi non akut,
fenitoin dapat dimulai pada orang dewasa pada dosis oral 5 mg / kg /
Efek samping yang umum tetapi biasanya transien adalah kelesuan, inkoordinasi,
penglihatan kabur, disfungsi kortikal yang lebih tinggi, dan mengantuk. Pada
konsentrasi yang lebih besar dari 50 mcg / ml, fenitoin dapat memperburuk
kejang. Efek samping kronis termasuk hiperplasia gingiva, gangguan kognisi,
hirsutisme, kekurangan vitamin D, osteomalacia, kekurangan asam folat,
intoleransi karbohidrat, hipotiroidisme, dan neuropati perifer.
Fenitoin rentan terhadap interaksi banyak obat. Fenitoin mengurangi penyerapan
asam folat, tetapi penggantian asam folat meningkatkan clearance fenitoin dan
dapat mengakibatkan hilangnya keampuhan.
Tiagabine
Tiagabine adalah inhibitor reuptake spesifik dari GABA ke dalam sel glial dan
neuron lainnya. Obat ini digunakan sebagai pilihan kedua untuk pasien dengan
kejang parsial yang telah gagal terapi awal. Efek samping yang paling sering
dilaporkan adalah pusing. Efek samping lainnya adalah asthenia, gugup, tremor,
dan diare. Efek samping ini biasanya bersifat sementara.
Hal ini dioksidasi oleh enzim CYP3A4, dan penginduksi enzim yang
meningkatkan clearance. Tiagabine dipindahkan dari protein dengan naproxen,
salisilat, dan valproate. Tingkat dosis minimal yang efektif dewasa ini dianggap
30 mg / hari. Dosis awal adalah 4 mg / hari, dan ini dapat ditingkatkan sampai 56
mg / hari dalam interval 4 sampai 8 mg / hari ditambah setiap minggu. Dosis
biasanya dipakai adalah 32-56 mg sehari.
Topiramat
Topiramat mempengaruhi saluran sodium, reseptor GABA, dan antagonisme Î ±-
amino-3-hidroksi-5-metil-4-isoxazole-4-asam propionat (AMPA) subtipe reseptor
glutamat. Efek samping yang paling umum adalah ataksia, gangguan konsentrasi,
kebingungan, pusing, kelelahan, parestesia, dan mengantuk. Nefrolitiasis terjadi
pada 1,5% pasien. Hal ini juga dikaitkan dengan akut glaukoma sudut sempit,
oligohydrosis, dan asidosis metabolik. Enzim penginduksi dapat menurunkan
tingkat serum topiramate. Dosis awal adalah 12,5 sampai 50 mg / hari, meningkat
12,5 sampai 50 mg / hari setiap minggu atau dua. Dosis minimal yang efektif
adalah sekitar 200 mg / hari.
Asam valproat dan sodium divalproat
Asam valproat dapat meningkatkan sintesis atau menghambat degradasi GABA.
Hal ini juga dapat mempotensiasi GABA tanggapan postsynaptic,mdan
mempengaruhi saluran kalium. Ini adalah terapi pertama untuk kejang umum
primer, seperti adanya, mioklonik, dan kejang lemah serta monoterapi kejang
parsial. Hal ini juga dapat berguna dalam gangguan kejang campuran. Efek
samping biasanya ringan dan termasuk gastrointestinal (GI) keluhan, berat badan,
mengantuk, ataksia, dan tremor. Keluhan GI dapat diminimalkan dengan
perumusan enterik dilapisi atau dengan memberikan dengan makanan.
Trombositopenia adalah umum tetapi responsif terhadap penurunan dosis.
Toksisitas hematologi lainnya termasuk leukopenia dengan neutropenia
sementara, erythroblastopenia transien, dan perubahan sumsum tulang.
Zonisamide
Zonisamide adalah spektrum yang luas sulfonamida yang menginhibisi saluran
sodium dengan mengurangi tegangan pada saluran Ca2+, juga memfasilitasi
neurotransmisi dopaminergik dan serotonergik, lemah menghambat anhydrase
karbonat, dan blok rilis K+. Zonisamide adalah protein 40% terikat dan memiliki
waktu paruh 63-69 jam. Hal ini dimetabolisme oleh CYP3A4, dan sekitar 30%
diekskresikan berubah. Efek samping yang paling umum termasuk mengantuk,
pusing, anoreksia, sakit kepala, mual, dan lekas marah. Gejala batu ginjal dapat
terjadi pada 2,6% pasien. Reaksi hipersensitivitas dapat terjadi pada 0,02% pasien,
dan sejarah alergi terhadap sulfonamida merupakan kontraindikasi. Pemantauan
fungsi ginjal dapat dianjurkan pada beberapa pasien. Induser enzim dapat
mengurangi paruh zonisamide sampai 27 sampai 36 jam. Dosis awal pada orang
dewasa adalah 100 mg / hari, dan dosis harian yang meningkat sebesar 100 mg
setiap 2 minggu sampai respon yang terlihat. Rentang dosis pada orang dewasa
100-600 mg / hari
III.3. Petunjuk umum terapi obat antiepilepsi
1. Terapi harus dimulai secara monoterapi (penggunaan satu macam obat)
2. Terapi harus disesuaikan dengan jenis gangguan kejang, meskipun bebrapa
obat antiepilepsi memiliki spektru yang luas. Misal pada penggunaan
carbamazepin walaupun secara umum digunakan usebagai obat pilihan
pertama pada epilepsi, tetapi harus dihindari pada pasien yang mengalami
mioklonik karena dapat memperparah keadaanya.
3. Pemilihan obat harus didasarkan oleh jenis kelamin dan usia, terutama bagi
wanita harus menghindari obat-obat yang sifatnya teratogenesis dan yang
dapat mempengaruhi penampilannya, misal hirsutisme akibat pemakaian
fenitoin.
4. Jika pada monoterapi tidak berhasil, maka harus ganti dengan kombinasi
obat.
5. Pengobatan pada pasien epilepsi tidak boleh dihentikan secara tiba-tiba dan
mendadak.
6. Pasien dalam keadaan khusus harus ada penyesuaian dosis dalam terapinya.
III.4. Pertimbangan khususObat antiepilepsi, topiramate dan
oxcarbazepine, dapat menyebabkan kegagalan pengobatan pada wanita
yang menggunakan kontrasepsi oral. Untuk epilepsi catamenial (kejang
sebelum atau selama menstruasi) atau kejang yang terjadi pada saat
ovulasi, obat antiepilepsi konvensional harus dicoba terlebih dahulu,
namun terapi hormonal (agen progestasional) juga mungkin efektif. Obat
antiepilepsi monoterapi lebih dianjurkan untuk wanita hamil (dengan
epilepsi). Pada wanita nonepileptik, barbiturat dan fenitoin berhubungan
dengan malformasi jantung bawaan dan sumbing. Asam valproik dan
carbamazepine berhubungan dengan spina bifida dan hipospadia. Hasil
yang merugikan lainnya adalah pertumbuhan, psikomotor, dan
keterbelakangan mental. Beberapa peristiwa ini dapat dicegah dengan
asupan folat yang memadai; vitamin prenatal dengan asam folat (sekitar
0,4 sampai 5 mg / hari) harus diberikan kepada perempuan potensial subur
yang mengkonsumsi obat antiepilepsi. Vitamin K, 10 mg / hari secara oral,
diberikan kepada ibu selama bulan terakhir sebelum melahirkan untuk
mencegah gangguan hemoragik bayi baru lahir.BAB IV
STATUS EPILEPTICUSStatus epilepticus adalah keadaan medis
dari epilepsi berupa kejang yang berulang tanpa periode atau kejang yang
berlangsung selama lebih dari 30 menit.yang darurat. Ptofiosloginya
adalah akibat peningkatan rangsangan (misalnya, glutamat, asetilkolin)
atau penurunan inhibisi dari neurotrasmiter GABA yang menyebabkan
kejang berkelanjutan dan kematian neuronal. Selama pasien mengalami
status epilepticus, sistem GABA tidak berfungsi untuk menghambat
kejang. Tabel klasifikasi status epilepticus secara internasional :
Convulsive NonconvulsiveInternational Traditional
TerminologyInternational Traditional
TerminologyPrimary generalized SE
Tonic-clonica,b
Tonica,c
Clonicc
Myoclonicb
Erraticd
Grand mal, epilepticus convulsivus
Absencec Petit mal, spike-and-wave stupor, spike-and-slow-wave or 3/s spike-and-wave, epileptic fugue, epilepsia minora continua, epileptic twilight, minor SE
Secondary generalized SEa,b
Tonic
Partial seizures with secondary generalization
Partial SEa,b Focal motor, focal sensory, epilepsia partialis continuans, adversive SE
Simple partial Somatomotor Dysphasic Other types
Elementary
Complex partial
Temporal lobe, psychomotor, epileptic fugue state, prolonged epileptic stupor, prolonged epileptic confusional state, continuous epileptic twilight state
aMost common in older children.bMost common in adolescents and adults.bMost common in infants and young children.
dMost common in neonates. Lorazepam i.v. banyak digunakan sebagai pilihan awal status epilepticus,
selain itu dapat digunakan clonazepam sebagai alternatif. Diazepam i.v. banyak
digunakan secara luas sebagai obat pilihan pertama, tetapi cenderung
menyebabkan hipotensi dan depresi pernafasan, dan efek antiepilepsinya habis
setelah sekitar 20 menit, sehingga iv fenitoin juga harus diberikan pada waktu
yang sama (dengan EKG pemantauan dan tekanan darah, karena dapat
menimbulkan aritmia jantung aritmia dan hipotensi lebih lanjut). Untuk alasan ini
beberapa menganggap fenobarbital untuk lebih aman. Jika fasilitas resusitasi tidak
segera tersedia, diazepam dapat diberikan secara rektal.DAFTAR
PUSTAKABennet P.N, MD FRCP and M.J Brown, MA Msc FRCP. 2003.
Clinical Pharmacology 9th Ed. Newyork : Churchill Livingstone.Dipiro Joseph T,
et all. 2005. Pharmacotheraphy A Pathophysiologic Approach 6th Ed. United
States of America : Mc Graw HillDipiro Joseph T, et all. 2006.
Pharmacotheraphy Handbook 6th Ed. United States of America : Mc Graw
HillDipiro Joseph T, et all. 2008. Pharmacotheraphy A Pathophysiologic
Approach 7th Ed. United States of America : Mc Graw HillDipiro Joseph T, et all.
2008. Pharmacotheraphy Principle and Practice. United States of America : Mc
Graw HillFactor Stewart A, DO et all. 2005. Drug Induced Movement Disorders
2nd Ed. Australia : Blackwell Futura Linn William D, et all. 2009.
Pharmacotherapeutics in Primary Care. United States of America : Mc Graw
HillRussell J Greene and Norman D Harris. 2008. Pathology and Therapeutics for
Pharmacists A basis for clinical pharmacy practice 3rd Ed. London :
Pharmaceutical PressWilkins and Lippincott William. 2009. Clinical
Pharmacology Made Incredibly Easy! 3rd Ed.