8
1. Juliana, ibu bayi kembar Jared dan Jayden, yang melaporkan kasus malpraktik oleh Rumah Sakit Omni Internasional Alam Sutera, Tangerang, Banten, bersikukuh akan tetap membuka kasusnya meski polisi telah mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3). Polda Metro Jaya mengeluarkan SP3 itu awal Desember lalu. Juliana menilai, terbitnya SP3 terkesan dipaksakan. Saat ini kedua mata Jared buta permanen, sedangkan mata Jayden menderita silinder. Juliana menambahkan, Rumah Sakit Omni pernah menawarkan uang mediasi sebesar Rp 1,5 miliar. Namun, tawaran uang itu ia tolak. Jared dan Jayden lahir prematur di Rumah Sakit Omni Internasional, 26 Mei 2008. Menurut Juliana, alasan SP3 polisi mengenai ketiadaan bukti yang cukup sangat tidak beralasan. Karena Juliana sebelumnya telah melayangkan surat dua kali kepada kapolri dengan membawa bukti-bukti baru. Namun, surat itu tidak ditindaklanjuti. Bahkan, Yuliana pernah mereferensikan dua orang saksi ahli, yaitu dokter-dokter asal Australia atas biaya pihaknya kepada para penyidik. Namun, tawaran itu juga tetap tidak direspon. Menurut polisi, kasus ini dihentikan setela melalui proses yang cukup panjang dengan mendengarkan keterangan sejumlah saksi ahli dari Ikatan Dokter Indonesia. Juliana melaporkan dugaan malpraktik ke Polda Metro Jaya, 26 Mei lalu. Juliana menuduh salah seorang dokter anak dari Rumah Sakit Omni Internasional telah melakukan kesalaha prosedur, sehingga mengakibatkan kebutaan pada kedua buah hatinya yang terlahir prematur. 2. Kasus dugaan malapraktik yang dilakukan seorang dokter, kembali terjadi. Kali ini seorang ibu rumah tangga di Makassar, Sulawesi Selatan, kondisi kesehatannya melemah setelah menjalani operasi jantung. Yang lebih mengherankan justru ibu bernama Rahmawati itu sebenarnya tidak menderita penyakit jantung koroner. Jadi ia tidak perlu memasang cincin di jantungnya. Karena mengalami dugaan diagnosa dan operasi jantung yang salah, Rahmawati akhirnya melaporkan Profesor Dokter Ali Aspar, dokter di Rumah Sakit Wahidin Sudirohusodo Makassar, ke Kepolisian Daerah Sulawesi Selatan dan Barat. Dalam laporannya, Rahmawati menceritakan kronologis pengobatan dirinya ke dokter tersebut. Rahmawati menyatakan, dokter Ali telah

tugas dr hanif.doc

Embed Size (px)

DESCRIPTION

hjbkliujk

Citation preview

Page 1: tugas dr hanif.doc

1. Juliana, ibu bayi kembar Jared dan Jayden, yang melaporkan kasus malpraktik oleh Rumah Sakit Omni Internasional Alam Sutera, Tangerang, Banten, bersikukuh akan tetap membuka kasusnya meski polisi telah mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3). Polda Metro Jaya mengeluarkan SP3 itu awal Desember lalu. Juliana menilai, terbitnya SP3 terkesan dipaksakan. Saat ini kedua mata Jared buta permanen, sedangkan mata Jayden menderita silinder. Juliana menambahkan, Rumah Sakit Omni pernah menawarkan uang mediasi sebesar Rp 1,5 miliar. Namun, tawaran uang itu ia tolak. Jared dan Jayden lahir prematur di Rumah Sakit Omni Internasional, 26 Mei 2008. Menurut Juliana, alasan SP3 polisi mengenai ketiadaan bukti yang cukup sangat tidak beralasan. Karena Juliana sebelumnya telah melayangkan surat dua kali kepada kapolri dengan membawa bukti-bukti baru. Namun, surat itu tidak ditindaklanjuti. Bahkan, Yuliana pernah mereferensikan dua orang saksi ahli, yaitu dokter-dokter asal Australia atas biaya pihaknya kepada para penyidik. Namun, tawaran itu juga tetap tidak direspon. Menurut polisi, kasus ini dihentikan setela melalui proses yang cukup panjang dengan mendengarkan keterangan sejumlah saksi ahli dari Ikatan Dokter Indonesia. Juliana melaporkan dugaan malpraktik ke Polda Metro Jaya, 26 Mei lalu. Juliana menuduh salah seorang dokter anak dari Rumah Sakit Omni Internasional telah melakukan kesalaha prosedur, sehingga mengakibatkan kebutaan pada kedua buah hatinya yang terlahir prematur.

2. Kasus dugaan malapraktik yang dilakukan seorang dokter, kembali terjadi. Kali ini seorang ibu rumah tangga di Makassar, Sulawesi Selatan, kondisi kesehatannya melemah setelah menjalani operasi jantung. Yang lebih mengherankan justru ibu bernama Rahmawati itu sebenarnya tidak menderita penyakit jantung koroner. Jadi ia tidak perlu memasang cincin di jantungnya. Karena mengalami dugaan diagnosa dan operasi jantung yang salah, Rahmawati akhirnya melaporkan Profesor Dokter Ali Aspar, dokter di Rumah Sakit Wahidin Sudirohusodo Makassar, ke Kepolisian Daerah Sulawesi Selatan dan Barat. Dalam laporannya, Rahmawati menceritakan kronologis pengobatan dirinya ke dokter tersebut. Rahmawati menyatakan, dokter Ali telah mendiagnosisnya terkena penyempitan pembuluh darah saat dia mengeluhkan mengalami sakit di dadanya. Dan akhirnya Rahmawati divonis menderita jantung koroner. Setelah itu, melalui operasi, dokter Ali memasangkan cincin di jantungnya. Anehnya, setelah operasi, kondisi Rahmawati yang seharusnya lebih baik, justru semakin parah. Karena kondisi kesehatan tak kunjung membaik, Rahmawati pun kemudian berobat ke RS Jantung Harapan Kita di Jakarta. Di sanalah dugaan malapraktik terungkap. Dokter di RS Jantung Harapan Kita menyatakan Rahmawati tidak mengalami penyakit jantung koroner. Jadi jantung Rahmawati sebenarnya tidak perlu dipasangi cincin.

3. Obat asma diperlukan untuk melebarkan saluran pernafasan. Pemberian obat ada yang secara oral, parenteral, dan inhalasi (hirupan). Obat inhalasi efeknya lebih cepat dengan dosis rendah, dan efek negatifnya juga rendah, karena langsung bekerja pada saluran pernafasan. Karena kepanikan perawat saat pasien kambuh, tanpa sadar perawat memberikan obat inhalasi dengan dosis tinggi dan mengakibatkan pasien tambah parah dan dapat berakibat fatal.

Page 2: tugas dr hanif.doc

Prosedur Invasive Jantung Terbuka…Tapi Salah Pasien”

            Invasif jantung adalah salah satu metode operasi yang minimal mengurangi komplikasi setelah operasi dan selain itu, metode tersebut dapat menekan hambatan psikologis pasien dan dalam operasi jantung invasif, dokter hanya membuat sayatan minimal hanya sekitar 5 cm ke bagian samping dari dada sehingga tidak terlalu sakit dan penyembuhannya lebih cepat.

            Joan Morris (nama samaran), seorang nenek berusia 67 tahun, diminta bantuannya dalam suatu pembelajaran di rumah sakit untuk cerebral angiography (ilmu mengenai darah pada otak). Sehari setelahnya, secara tidak sengaja dia "terpaksa" dijadikan objek studi mengenai invasive cardiac electrophysiology.

            Setelah sesi angiography, pasien ini dipindahkan ke ruangan yang lain yang bukan merupakan ruangan asalnya. Kesalahan yang "direncanakan" terjadi keesokan harinya saat paginya pasien ini dibawa untuk suatu prosedur jantung terbuka. Dia berada di atas meja operasi yang mestinya bukan untuk dia selama satu jam. Para dokter membuat irisan pada pangkal pahanya, menusuk sebuah arterinya, menyambungnya ke sebuah pipa pembuluh lalu ke atas ke jantungnya (suatu prosedur yang mengakibatkan resiko tinggi terjadinya pendarahan, infeksi, serangan jantung, dan stroke).

            Kemudian tiba-tiba telepon berdering, dan seorang dokter dari bagian lain bertanya "Apa yang kalian lakukan dengan pasienku?" Tidak ada yang salah dengan jantungnya. Kardiologis yang melakukan prosedur itu mencek data wanita itu dan baru menyadari kesalahan fatal telah terjadi. Studi itu langsung distop, setelah rekondisi wanita malang itu akhirnya dikembalikan ke kamar asalnya, beruntungnya, dalam kondisi yang masih stabil.

Kasus II :“Kasus Malpraktek dalam Bidang Orthopedi”

Seorang pasien menjalani suatu pembedahan di sebuah kamar operasi. Sebagaimana layaknya, sebelum pembedahan dilakukan anastesi terlebih dahulu. Pembiusan dilakukan oleh dokter anastesi, sedangkan operasi dipimpin oleh dokter ahli bedah tulang (orthopedy).

Operasi berjalan lancar. Namun, tiba-tiba sang pasien mengalami kesulitan bernafas. Bahkan setelah operasi selesai dilakukan, pasien tetap mengalami gangguan pernapasan hingga tak sadarkan diri. Akibatnya, ia harus dirawat terus menerus di perawatan intensif dengan bantuan mesin pernapasan (ventilator). Tentu kejadian ini sangat mengherankan. Pasalnya, sebelum dilakukan operasi, pasien dalam keadaan baik, kecuali masalah tulangnnya.

Akan tetapi, ternyata kedapatan bahwa ada kekeliruan dalam pemasangan gas anastesi (N2O) yang dipasang pada mesin anastesi. Harusnya gas N2O, ternyata yang diberikan gas CO2. Padahal gas CO2 dipakai untuk operasi katarak. Pemberian CO2 pada pasien tentu mengakibatkan tertekannya pusat-pusat pernapasan sehingga proses oksigenasi menjadi sangat terganggu, pasien jadi tidak sadar dan akhirnya meninggal. Ini sebuah fakta penyimpangan sederhana namun berakibat fatal.

Page 3: tugas dr hanif.doc

    V.            Analisa dari kasus malpraktik medik

Kasus I

            Permasalahan dalam kasus ini ialah tindakan seorang Dokter yang tidak teliti dan tidak hati-hati dalam melakukan tugasnya yaitu tidak mencek data pasien sebelum melakukan operasi. Tindakan seperti ini bisa menimbulkan akibat yang fatal bagi pasien. Tapi, untung saja dalam kasus di atas ini hal itu belum terjadi dan kondisi pasien masih dalam keadaan stabil.

            Kasus ini merupakan salah satu contoh bentuk kelalaian dari petugas kesehatan yang meletakkan pasien di atas meja operasi yang seharusnya bukan untuk si pasien. Sehingga si Dokter pun melakukan operasi pada pasien yang salah. Dan kasus ini termasuk ke dalam kategori kesalahan dalam kasus perdata yang kesalahannya tidak disengaja.

Kasus II

Ada sebuah kegagalan dalam proses penetapan gas anastesi. Dan ternyata, di rumah sakit tersebut tidak ada standar-standar pengamanan pemakaian gas yang dipasang di mesin anastesi. Padahal seharusnya ada standar, siapa yang harus memasang, bagaimana caranya, bagaimana monitoringnnya, dan lain sebagainya. Idealnya dan sudah menjadi keharusan bahwa perlu ada sebuah standar yang tertulis (misalnya warna tabung gas yang berbeda), jelas, dengan formulir yang memuat berbagai prosedur tiap kali harus ditandai dan ditandatangani. Seandainya prosedur ini ada, tentu tidak akan ada, atau kecil kemungkinan terjadi kekeliruan. Dan kalaupun terjadi akan cepat diketahui siapa yang bertanggungjawab.

Jadi, contoh kasus malpraktik yang ke-II ini merupakan suatu bentuk kelalaian berat (culpa lata) dari tenaga kerja yang ada di rumah sakit, bukan hanya tenaga medis, tetapi juga tenaga dalam bidang logistik, dalam bidang perencanaan, dan lain-lain yang menimbulkan dampak yang sangat buruk bagi pasien yaitu kematian. Kelalaian fatal ini bisa dikatakan terjadi karena kurangnya ketelitian dari dokter ataupun petugas kesehatan lainnya dalam pemberian pelayanan kesehatan terhadap pasien.

Kelalaian ini juga bisa disebabkan karena manejemen rumah sakit yang kurang tertata baik, pendidikan yang dimiliki petugas yang mungkin masih minim serta banyak lagi faktor yang lainnya. Dan tindakan tersebut tidak hanya melangar hukum, kode etik kedokteran dan juga standar berperilaku dalam suatu agama tetapi bahkan sampai menghilangkan nyawa seseorang.

Page 4: tugas dr hanif.doc

Berikut ini adalah salah satu contoh kasus nyata malpraktik yang dilakukan oleh bidan di daerah Jawa Timur berhubungan dengan kesalahan bidan yang menolong persalinan sungsang dan tidak merujuk ke fasilitas kesehatan yang berhak untuk menangani kasus tersebut. Inilah kisah tragis bayi Nunuk Rahayu :

Proses persalinan ibu yang tinggal di Batu, Malang ini sungguh tragis.Diduga karena kesalahan bidan, si bayi pun meninggal dalam keadaan tragis.Kegagalan dalam proses melahirkan memang bisa terjadi pada wanita mana saja. Bahkan yang paling buruk, si bayi meninggal juga bisa saja terjadi. Namun, yang dialami oleh Nunuk Rahayu (39 tahun) ini memang kelewat tragis. Ia melahirkan secara sungsang. Bidan yang menangani, diduga melakukan kesalahan penanganan. Akibatnya, si bayi lahir dengan kondisi kepala masih tertinggal di rahim!

Kejadian yang demikian tragis itu diceritakan Wiji Muhaimin (40), suami Nunuk. Sore itu Selasa, Nunuk mengeluh perutnya sakit sebagai tanda akan melahirkan. Ibu dua anak ini berharap kelahiran anak ketiganya akan semakin melengkapi kebahagiaan rumah tangganya. Sang suami, segera berkemas-kemas dan mengantarkan istrinya ke bidan Tutik Handayani, tak jauh dari rumahnya di Jalan Imam Bonjol, Batu, Malang, Jawa Timur.

Sesampai di tempat bersalin, sekitar jam 15.00, Nunuk langsung diperiksa bidan untuk mengetahui keadaan kesehatan si bayi. “Menurut Bu Han (panggilan Tutik Handayani), kondisi anak saya dalam keadaan sehat. Saya disuruh keluar karena persalinan akan dimulai,” kata Wiji saat ditemui, Jumat (11/8).

Meski menunggui kelahiran anak ketiga, Wiji tetap saja diliputi ketegangan. Apalagi, persalinan berlangsung cukup lama. “Setiap pembantu Bu Han keluar ruang persalinan, saya selalu bertanya apakah anak saya sudah lahir. Jawabannya selalu belum. Katanya, bayi saya susah keluar. Istri saya mesti diberi suntikan obat perangsang sampai dua kali agar jabang bayi segera keluar,” papar Wiji. Wiji sempat pulang sebentar untuk menjalankan salat magrib. Usai salat, lelaki berkumis lebat ini kembali ke bidan. Baru saja memasuki klinik bersalin, bidan Han ke luar dari ruang persalinan dengan tergopoh-gopoh. Bidan yang sudah praktik sejak tahun 1972 itu berteriak minta tolong kepadanya. “Pak, tolong bantu saya!” teriaknya kepada Wiji.

Lelaki yang sehari-hari berjualan es dan mainan anak-anak di sekolah-sekolah ini, tak mengerti maksud bidan. Wiji mengikuti bidan Han masuk ruang persalinan. Mata Wiji langsung terbelalak begitu melihat pemandangan yang begitu mencekam. Si jabang bayi memang sudah keluar, namun kepala bayi masih berada di dalam rahim. Di tengah kepanikan, bidan memintanya untuk menahan tubuh si bayi sedang kedua perawat bertugas menekan perut ke bawah untuk membantu mengeluarkan kepala bayi. Kala itu, kondisi istri Wiji antara sadar dan tidak. “Ia hanya bisa merinih kesakitan saja,” imbuh Wiji.

Page 5: tugas dr hanif.doc

Selanjutnya, bidan Tutik meminta Wiji menarik tubuh bayi agar segera keluar dari rahim. Namun, Wiji enggan melakukannya. Ia hanya menahan tubuh bayi agar tak menggantung. “Saya tak tega menarik tubuh anak saya. Apa jadinya kalau saya tarik kemudian sampai lepas. Yang saya lakukan hanya terus istigfar,” tutur Wiji sambil mengisap rokoknya dalam-dalam.

Kala itu, Wiji sudah tak sanggung membendung air matanya. Ia paham, anak bungsunya sudah tak bernyawa lagi. Ia tahu karena tubuh si bayi sudah lemas dan tak ada gerakan sama sekali. Sampai 15 menit kemudian, tetap saja kepala bayi belum berhasil dikeluarkan. Wiji pun tak tega melihat penderitaan istrinya. “Saya berikan tubuh bayi saya kepada Bu Han.”

Lalu, Wiji sambil berurai air mata mendekati istrinya yang tengah kesakitan dan berjuang antara hidup dan mati. Sejurus kemudian dia mendengar si bidan semakin panik. Bahkan, si bidan sempat mengeluh, “Aduh yok opo iki”. (aduh bagaimana ini). “Saya sudah tak berani melihat bagaimana bidan menangani anak saya. Saya hanya menatap wajah istri saya,” ujar Wiji.

Beberapa saat kemudian, selintas Wiji melihat tubuh anaknya sudah diangkat dan ditempatkan di ranjang sebelah. Yang mengerikan, kepala si jabang bayi belum juga berhasil dikeluarkan. “Saya tak berani memandangi wajah anak saya. Pikiran saya sangat kalut,” urainya.

Dengan nada setengah berteriak lantaran panik, bidan mengajak Wiji untuk membawa istrinya ke BKIA Islam Batu, untuk penanganan lebih lanjut. Beruntung ada mobil pick up yang siap jalan. Setiba di sana, istri Wiji segera ditangani. Dr. Sutrisno, SpOG, langsung melakukan tindakan untuk mengeluarakan kepala si bayi dari rahim istrinya. “Baru setelah itu, kepala disambung kembali dengan tubuh bayi,” urai Wiji.

Si jabang bayi segera dimakamkan. Wiji pun memberi nama anaknya Ratna Ayu Manggali. “Nama itu memang permintaan istri saya sejak mengandung. Makanya, saya tetap memberinya nama, meski dia tak sempat hidup,” ujar Wiji.

Kepergian si jabang bayi mendatangkan duka mendalam bagi Wiji. Lantas apa langkah Wiji? “Setelah melakukan rapat keluarga, kami sepakat untuk melaporkan kasus ini polisi,” kata Wiji yang selama wawancara ditemani Riyanto, sepupunya. Baik Wiji maupun Riyanto menyesalkan tindakan sang bidan. Sebab, kalau keadaan bayi sungsang, seharusnya sejak awal bidan merujuk ke dokter kandungan. “Waktu itu, Bu Han bilang sanggup menangani. Makanya saya mempercayakan persalinan istri saya kepadanya,” papar Wiji.

Selain itu, Riyanto melihat ada upaya untuk mengaburkan kasus ini dengan mengalihkan kesalahan kepada Wiji. “Misalnya saja pada saat bidan kesulitan mengeluarkan kepala bayi,

Page 6: tugas dr hanif.doc

bidan berusaha memanggil Wiji dan memintanya untuk menarik. “Untung saja Mas Wiji tidak mau melakukan. Coba kalau ditarik beneran lalu putus, pasti yang disalahkan oleh Bu Han adalah Mas Wiji,” urai Riyanto.

Lelaki yang sehari-hari sebagai takmir masjid sekaligus tukang memandikan jenazah ini tak menampik bahwa bidan Han merupakan bidan senior di Batu. Ia sudah menangani ribuan persalinan, termasuk dua anak Wiji. “Namun dalam kasus ini, Bu Han tetap saja salah. Makanya saya tolak ajakan damai meski banyak pihak meminta. Ini adalah persoalan hukum, mari diselesaikan secara hukum,” tegas Riyanto.

Sementara Nunuk sendiri sepulang dari rumah sakit masih tampak lemas dan syok. Ia sempat dirawat selama tiga hari. Para tetangga sekitar berbondong-bondong memenuhi kamarnya yang sempit dan sangat sederhana. Nunuk tak sanggup menceritakan saat-saat menegangkan dalam hidupnya. “Saya tak ingat persis bagaimana bisa seperti itu. Waktu itu perasaan saya antara sadar dan tidak karena sakitnya luar biasa,” ucapnya lirih.