Upload
karafay
View
29
Download
1
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Tugas akhir kelompok 1
Citation preview
Perjuangan Kelompok-Kelompok Marjinal
dalam Merebut Kekuasaan di Timur Tengah
1. Latar Belakang
Kawasan Timur Tengah merupakan kawasan yang paling potensial
bagi antar kelompok masyarakat untuk berkonflik satu dengan lainnya.
Konflik ini menyebabkan stabilitas keamanan di kawasan ini masih menjadi
sesuatu yang jauh dari harapan. Selesai satu konflik, muncul konflik lain
seolah tiada putus-putusnya. Konflik-konflik ini dapat berupa serangan asing
ke salah satu negara di Timur Tengah, proses demokratisasi yang
berlangsung pada kudeta dan revolusi, perbedaan aliran kepercayaan yang
berujung pada serangan bom bunuh diri dan perang sipil, hingga munculnya
kelompok feminis yang seolah-olah mengancam kekuasaan yang selama ini
dipegang oleh kaum pria.
Melihat konflik-konflik yang terjadi di Timur Tengah, tidak bisa lepas
dari melihat mana kelompok yang selama ini berkuasa, dan mana yang
selama ini termarjinalkan. Kelompok marjinal pertama yang diangkat dalam
tulisan ini adalah kaum Syiah di Irak pada masa pemerintahan Saddam
Hussein. Saddam Hussein merepresentasikan kaum nasionalis Arab yang
dihimpun dalam semangat Partai Ba’ath yang membuat etnis Kurdi tidak
beruntung, dan merepresentasikan kaum Sunni yang memosisikan dirinya
sebagai pembela agama Islam dari aliran-aliran yang mereka anggap sesat,
salah satunya Syiah. Maka, dua kelompok yang semasa pemerintahan
Saddam termarjinalkan, yaitu Syiah dan Kurdi segera menyambut
kedatangan Amerika Serikat untuk menjatuhkan Saddam Hussein.1
Nasionalis Arab dan Sunni dalam hal ini dilihat sebagai kelas berkuasa
sementara Etnis Kurdi dan Syiah dianggap sebagai kelompok marjinal.
Perjuangan kaum Syiah di Irak ini sebetulnya merupakan bentuk
counter-hegemony terhadap rulling class yang lewat negara telah
menjadikan mereka sebagai kelompok marjinal. Oleh karena itu pendekatan
Gramscian dalam menggambarkan perjuangan kelas-kelas marjinal dalam
melawan kelas yang berkuasa dirasa cocok.
Berbeda dengan kaum Syiah yang tengah melakukan kontra hegemoni
di Irak, permasalahan Kurdi sebetulnya adalah permasalahan pembentukan
kebangsaan. Tulisan ini kemudian mengangkat permasalahan kurdi sebagai
kelompok kedua yang selama ini termarjinalkan di Timur Tengah. Etnis Kurdi
yang termarjinalkan ini tidak hanya dieksklusikan di Irak, tetapi juga di
sejumlah negara tempat mereka hidup seperti di Iran, Suriah, dan Turki.
Kurdi merupakan sebuah bangsa yang memiliki wilayah, tetapi tidak
memiliki negara, hidup dalam teritorial-teritorial beberapa negara yang
terpisah, atau lebih tepatnya dipaksakan bergabung dengan negara-negara
yang lahir pasca kolonial.2 Oleh karena itu persoalan Kurdi akan dilihat
sebagai upaya kaum termarjinal ini dalam proses nation-building mereka
1 Mari Luomi,2008,Sectarian Identities or Geopolitics? The Regional Shia-Sunni Divide in the Middle East.The Finnish Institute of International Affairs. Hal 4-142 Laura S. Etheredge,2011,Iraq: Middle East Region in Transition.New York: Britannica Education Publishing & Rosen Educational Service.Hal 15-17
untuk membentuk sebuah bangsa yang benar-benar bersatu dan pada
akhirnya mengharapkan sebuah teritorial tersendiri.
Sementara itu di Suriah, yang sama halnya dengan Irak dikuasai oleh
rezim sekuler Partai Ba’ath, tetapi memunculkan fenomena yang
berkebalikan. Kelompok Sunni justru termarjinalkan pada masa
pemerintahan Hafez al-Assad dan Bashar al-Assad yang tidak hanya
merepresentasikan kekuasaan Partai Ba’ath yang mengusung nasionalis
Arab dan sosialisme, tetapi juga mewakili kekuasaan kelompok Syiah Alawi.
Tak ubahnya dengan Irak, Suriah kemudian karena pertentangan antara
kelompok berkuasa dengan marjinal ini, akhirnya jatuh ke dalam perang
saudara. Namun konflik Suriah ini tidak semata-mata antara Sunni dan
Syiah, melainkan juga antara kaum agamis yang diwakili oleh perjuangan
Ikhwanul Muslimin, Jabhah al-Nusrah, dan Hizbut Tahrir melawan rezim
sekuler yang tidak lain adalah Partai Ba’ath lewat kepemimpinan Hafez dan
Bashar al-Assad.3
Sekulerisme sebetulnya merupakan warisan kolonial yang kemudian
diadopsi oleh Dunia Islam setelah mereka memerdekakan dirinya dari
penjajahan. Sebelumnya, setidaknya sampai pada masa Turki Ottoman, tidak
pernah ada yang namanya pemisahan antara agama dan politik di dalam
Islam. Maka dapat dikatakan kolonialisme telah membentuk oposisi biner
antara sekulerisme dengan non-sekulerisme. Dewasa ini, Suriah menjadi
salah satu medan perang yang jelas dimana kelompok non-sekuler
3 Dina Y. Sulaeman,2013,Prahara Suriah: Membongkar Persekongkolan Multinasional.Bandung: Pustaka Iman. Hal 15-21
melakukan resistensi terhadap rezim sekuler. Pendekatan poskolonialis akan
membongkar esensi perjuangan dari Ikhwanul Muslimin, Jabhah al-Nusrah,
dan Hizbut Tahrir yang merepresentasikan perjuangan kelompok yang
melawan arus sekulerisme ini melawan rezim Partai Ba’ath yang sekuler.
Kelompok berkuasa lainnya di Timur Tengah adalah para diktator-
diktator yang biasanya vokal dalam menentang Barat tetapi tidak
membiarkan masyarakat mereka menjadi warga negara yang vokal. Diktator
ini biasanya menguasai militer atau berasal dari militer, yang kemudian
diruntuhkan sendiri oleh rakyat. Tunisia, Libya, dan Mesir melalui Arab
Spring. Namun, Mesir punya cerita tersendiri dalam hal ini. Negara yang
sudah sejak lama diperintah oleh diktator-militer ini, memiliki oposisi yang
semakin lama makin kuat, yaitu Ikhwanul Muslimin yang mengusung Islam
moderat dan pro demokrasi. Pasca Arab Spring, Ikhwanul Muslimin tampil
sebagai kelompok yang populis dan memenangkan pemilu, tetapi kemudian
digulingkan kembali oleh militer. Namun, menariknya adalah Ikhwanul
Muslimin meskipun selama berkuasanya rezim militer mereka bergerak di
bawah tanah, tetapi kemudian menjadi kelompok berpengaruh dalam
masyarakat Mesir sehingga memiliki daya tawar tersendiri untuk memasuki
tataran pemerintahan.
Terakhir, kelompok yang dikarenakan kultural Arab yang patriaki
menjadi termarjinalkan adalah kaum perempuan. Kaum perempuan selama
ini dianggap sebagai warga negara kelas dua. Budaya patriaki yang
dipraktekan oleh masyarakat Timur Tengah kemudian menjadikan ajaran
Islam sebagai landasan untuk membuat kaum perempuan semakin
termarjinalkan dari politik. Namun, fenomena yang muncul belakangan,
kaum perempuan mulai bersuara dan berparlemen seperti yang muncul di
Iran. Hal tersebut dipicu oleh berbagai macam faktor, seperti kemunculan
kaum intelektual wanita di Iran yang mulai merasa dan menyadari bahwa
para kaum perempuan di Iran memang sengaja dikonstruksi menjadi
‘bodoh’, sehingga kaum perempuan dianggap kaum yang tidak tau apa-apa.
Namun, kondisi tersebut perlahan mulai berubah sejak terjadinya Revolusi
Islam yang menjatuhkan rezim yang berkuasa, dan membuka dinamika
politik Iran ke arah yang lebih demokratis dengan membuka peluang bagi
kaum wanita untuk ‘bersuara’.4
2. Rumusan Masalah
Sejalan dengan judul yang dipaparkan, tulisan ini akan mengkaji lebih
dalam bagaimana kelompok-kelompok yang selama ini termarjinalkan mulai
melawan dan bermaksud membalikkan hegemoni dan kekuasaan kaum yang
selama ini berkuasa. Untuk menganalisis hal tersebut, maka tulisan ini akan
difokuskan pada kelompok marjinal dengan melihat kepada beberapa
perbedaan yang mencolok yang membuat mereka berbeda dengan kaum
yang sedang berkuasa, yaitu: 1) sekte, yaitu sekte Syiah yang termarjinalkan
semasa pemerintahan Saddam Hussein di Irak; 2) integrasi/separasi agama
dalam politik, yaitu dengan melihat perjuangan Ikhwanul Muslimin, Jabhah
4 Hamideh Sedghi,2007,Woman and Politics in Iran: Veiling, Unveiling, and Reveiling.New York: Cambridge University Press. Hal 1-21
al-Nusrah, dan Hizbut Tahrir dalam melawan kekuasaan rezim sekuler Partai
Ba’ath; 3) etnis, yaitu etnis Kurdi yang termarjinalkan di negara tempat
mereka hidup seperti di Irak, Iran, Suriah, dan Turki; 4) pandangan politik,
yaitu melihat pada Ikhwanul Muslimin yang mengasosiasikan Islam dengan
demokrasi dan bertentangan selama ini dengan rezim militer yang otoriter di
Mesir; dan 5) Gender, melihat pada kaum perempuan di Iran yang mencoba
memperjuangkan hak-hak kaum perempuan lewat parlemen.
3. Pertanyaan Penelitian
1) Seberapa besar efektifitas perlawanan yang dilakukan kelompok Syiah
di Iraq untuk mencapai posisi dominan dalam ranah sosial dan politik
Iraq?
2) Bagaimana proses nation-building Bangsa Kurdi di Kawasan Timur
Tengah serta kendala apa yang sejauh ini mereka dapatkan dan apa
tantangan ke depannya?
3) Sejauh mana dimensi politik Islam mempengaruhi resistensi yang
dilakukan oleh kelompok oposisi Ahlus Sunnah di Suriah terhadap
rezim sekuler Partai Ba’ath ditinjau dari konsep oposisi biner
poskolonialisme?
4) Bagaimana posisi pengaruh Ikhwanul Muslimin di tataran masyarakat
Mesir akhir-akhir ini serta apa yang menjadi daya tawar Ikhwanul
Muslimin untuk bisa memasuki tataran pemerintahan Mesir?
5) Sejauh mana peran wanita dalam dinamika perpolitikan di Iran sebagai
bentuk perlawanan terhadap rezim yang berkuasa sebelum Revolusi
Iran dalam rangka memperjuangkan hak dan peran wanita ?
4. Daftar Pustaka
Etheredge, Laura S.Iraq: Middle East Region in Transition.New York :
Britannica Education Publishing & Rosen Educational Service.2011
Luomi, Mari.Sectarian Identities of Geopolitics? The Regional Shia-
Sunni Divide in the Middle East.The Finnish Institute of International
Affairs.2008
Sedghi, Hamideh.Woman and Politics in Iran: Veiling, Unveiling, and
Reveiling.New York: Cambridge University Press.2007
Sulaeman, Dina Y.Prahara Suriah: Membongkar Persekongkolan
Multinasional.Bandung: Pustaka Iman,2013