Upload
others
View
12
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
TRUST DAN TRUSTWORTHINESS DALAM KEWIRAUSAHAAN (STUDI KASUS TERHADAP KEWIRAUSAHAAN ETNIS TIONGHOA DI KOTA
MAKASSAR)
SKRIPSI
Pembimbing: Dr. Muh. Tamar, M.Psi.
Elvita Bellani, S.Psi., M.Sc.
Oleh: Cindy Eka Goutama
NIM: Q11113320
UNIVERSITAS HASANUDDIN FAKULTAS KEDOKTERAN
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI MAKASSAR
2017
TRUST DAN TRUSTWORTHINESS DALAM KEWIRAUSAHAAN (STUDI KASUS TERHADAP KEWIRAUSAHAAN ETNIS TIONGHOA DI KOTA
MAKASSAR)
SKRIPSI
Diajukan untuk Menempuh Ujian Sarjana Pada Fakultas Kedokteran Program Studi Psikologi Universitas Hasanuddin
Pembimbing: Dr. Muh. Tamar, M.Psi.
Elvita Bellani, S.Psi., M.Sc.
Oleh: Cindy Eka Goutama
NIM: Q11113320
UNIVERSITAS HASANUDDIN FAKULTAS KEDOKTERAN
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI MAKASSAR
2017
PERNYATAAN
Dengan iniSaya menyatakan bahwa:
1. Karya tulis ini adalah asli dan belum pemah diajukan untuk mendapatkan
gelar akademik (sarjana, magister dan/atau doktor), baik di Universitas
Hasanuddin maupun perguruan tinggi lain.
2. Karya tulis ini adalah murni gagasan, rumusan, dan penelitian saya sendiri
dengan bantuan Tim Pembimbing dan masukan Tim Penelaah/Tim Penguji.
3. Dalam karya tulis ini tidak terdapat karya atau pendapat yang telah ditulis atau
dipublikasikan orang lain, kecuali secara tertulis dengan jelas dicantumkan
sebagai acuan dalam naskah dengan disebutkan nama pengarang dan
dicantumkan dalam daftar pustaka.
4. Pernyataan ini telah saya buat dengan sesungguhnya dan apabila di
kem udian hari terdapat penyi m pangan dan ketidakbenaran dalam pernyataan
ini. Maka saya bersedia menerima sanksiakademik berupa pencabutan gelar
yang telah diperoleh karena karya ini, serta sanksi Iainnya sesuai dengan
norma yang berlaku di perguruan tinggi.
Makassar, 26 Januari 2018
Yang membuat pernyataan
tv
Cindy Eka Goutama
Halaman PercefujuanSKRIPSI
rRUSr DAN rRUSIlflORrHrruEss DALAil KEWTRAUSAHAAN (STUDIKASUS TERHAOAP KEWRAUSAHAAil ETI{IS TIOHGHOA DI KOTA
UAKASSAR)
Disusun daa .dhiBkan ohh:Cindy Elra f}cr ra
61111&326,,i,'
Disetujui untuk dhjukan dhedapan,E tr Fenguji SkripsiProgram Studi ffitologi Fakultre l(edskteran tlniyereitas Hasanuddin
Pembimbing I
W
Ketua Program Studi PsikologiFakultas Kedokteran
Universitas Hasanuddin
NtP. 19Af1231 1990021 . 19860418 201101 2020
Dr. Muhammad TaMltfsiNtP. 19641231 199002 1004
SKRIPSI
rRUSr DA!{ TRUSTWORTHTfiTESS DALAilt KEWRAUS$|AAN (STUD|KASUS TERHADAP KEUUIRAUSA}IAAN ETT{IS NONGHOA DI KOTA
mA(ASiSAR)
Disusun dan dtrjukan oleh:
Cindy Efa eofldmaQ11113320
Telah diryrtahankan !9!am sidang ujian skipsiPada targgal 26 Januari 201 I
No. Nama.Fengtljir',, ' :
1. Dr. Muhammad Tamar, M.Psi
2. Sri Wahyuni, $ i., M.Psi., Psikolog,' ,. ,i, .".
3. Elvita Bellani,:$,Psl, *l$.f.:,. 1,. .. ,. :
4. Triani Mah, S.P.ei, Ut.psi,,Fslkolug't.
5. AhmadRidfah,s.psi-,'ftl.psi,,rpsikotog
6. Hillman Wirawan, S.Psi,: MM., MA' '
Mengetahui
Wakil Dekan Bidang Akademik Ketua program Studi psikologiFakultas Kedokteran Fakultas Kedokteran
Tanda Tangan
NtP. 19&t1231 199002 1004
v
ABSTRAK Cindy Eka Goutama, Q11113320, Trust dan Trustworthiness dalam Kewirausahaan (Studi Kasus terhadap Kewirausahaan Etnis Tionghoa di Kota Makassar), Skripsi, Program Studi Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Hasanuddin Makassar, 2018. xiii+91, 9 lampiran Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran mengenai trust dan trustworthiness dalam kewirausahaan etnis Tionghoa di Kota Makassar. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan jenis penelitian studi kasus. Subyek penelitian ini berasal dari wirausahawan etnis Tionghoa di Makassar. Metode yang digunakan dalam menganalisis data ialah model analisis kualitatif. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa nilai budaya Konfusius mewarnai kepercayaan bisnis dalam kewirausahaan etnis Tionghoa di Kota Makassar. Wirausahawan etnis Tionghoa cenderung lebih mudah membangun kepercayaan bisnis dengan orang-orang yang masuk ke dalam jaringan guanxi-nya untuk meminimalkan pengambilan resiko yang mungkin terjadi dalam bisnis. Kemampuan (ability), integritas (integrity), kebaikan (benevolence), dan perspektif bersama (shared perspective) adalah karakteristik partner yang menentukan trustworthiness dan bervariasi dalam kontribusinya terhadap setiap jenis hubungan guanxi dan non-guanxi. Temuan dari penelitian ini ialah model kepercayaan pada kewirausahaan etnis Tionghoa. Kata Kunci: Kepercayaan, Kewirausahaan, Etnis Tionghoa. Daftar Pustaka, 46 (1944 2016).
vi
ABSTRACT Cindy Eka Goutama, Q11113320, Trust and Trustworthiness in Entrepreneurship (Case Study on Ethnic Chinese Entrepreneurship in Makassar), Thesis, Psychology Department, Medical Faculty, Hasanuddin University Makassar, 2018. xiii+91, 9 attachments This study aims to obtain a picture of trust and trustworthiness in the ethnic Chinese entrepreneurship in Makassar. This study used qualitative approach with case study research type. The subject of this study came from ethnic Chinese entrepreneurs in Makassar. The method used in analyzing the data is a qualitative analysis model. The results of this study indicate that Confucian cultural values affect the business trust in ethnic Chinese entrepreneurship in Makassar. Ethnic Chinese entrepreneurs tend to more easily build business trust with people in their guanxi network to minimize the risk taking that may occur in business. Abilities, integrity, benevolence, and shared perspective are characteristics of the partners that determine trustworthiness and vary in their contribution to each type of guanxi and non-guanxi based relationship. The finding of this study is a model of trust and trustworthiness in ethnic Chinese entrepreneurship. Keyword: Trust, Trustworthiness, Entrepreneurship, Chinese Ethnic. Bibliography, 46 (1944 2016).
vii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan YME atas berkat, rahmat,
dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Penulisan
skripsi ini diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana
di Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin. Judul
yang penulis ajukan adalah Trust dan Trustworthiness dalam Kewirausahaan
(Studi Kasus terhadap Kewirausahaan Etnis Tionghoa di Kota Makassar).
Penulisan dan penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari bimbingan,
bantuan, serta dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu dalam kesempatan
ini penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada:
1. Orang tua dan saudara-saudara saya yang telah memberikan dukungan
secara moral dan materil selama saya menempuh Pendidikan di bangku kuliah,
termasuk dalam hal penyusunan skripsi ini.
2. Bapak Dr. Muhammad Tamar, M.Psi selaku ketua Program Studi Psikologi
Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin sekaligus Pembimbing I yang
telah memberikan masukan mengenai topik penelitian skripsi ini.
3. Ibu Umniyah Saleh, S.Psi., M.Psi., Psikolog, selaku Penasehat Akademik yang
telah memberikan bimbingan dan dukungan kepada saya selama perkuliahan.
4. Ibu Elvita Bellani, S.Psi., M.Sc selaku Pembimbing II yang telah memberikan
bimbingan, saran, umpan balik, dan dukungan selama penyusunan skripsi ini.
5. Bapak Ahmad Ridfah, S.Psi., M.Psi., Psikolog dan Bapak Hillman Wirawan,
S.Psi,. MM., MA selaku Penguji Seminar Proposal, Seminar Hasil, dan Ujian
Akhir yang telah memberikan saran dan umpan balik terkait skripsi serta Ibu
Triani Arfah, S.Psi., M.Psi., Psikolog selaku penguji Ujian Akhir saya.
6. Seluruh dosen dan staf Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran
Universitas Hasanuddin yang telah membantu penulis selama perkuliahan dan
penyusunan skripsi ini.
7. Saudara Apil yang paling tahu kesulitan saya selama penyusunan skripsi, yang
meskipun tidak bisa banyak membantu saya (karena tidak tahu), tapi mau
menemani saya keliling Makassar untuk cari subyek dan selalu menemani
saya dalam menyusun skripsi di mana pun itu.
8. Teman-teman Crazy People, Saudari Edwina Oktoria Poelinggomang, partner
ansos dan kecemasan tingkat tinggi yang selalu mendengar curhatan saya dari
viii
semester awal hingga sekarang, yang paling tahu semua uneg-uneg saya, dan
juga merangkap intercoder penelitian saya; Saudari Pretty Cindy Apriani
Tamalowu, partner Mai-mai yang kalau hangout berdua kerjaannya diam-
diaman tapi tetap seru dan dibalik kecuekannya ternyata terkadang bisa jadi
tempat curhat; Saudari Qonita Amelia Suherlan, partner duo Cina yang satu-
satunya punya tingkat kegilaan yang sama dengan saya dan selalu bertindak
sebagai id sekaligus ego saya (suka mengajak hedon tapi di lain pihak suka
mengontrol pengeluaran saya untuk hal yang tidak perlu, terutama komik);
serta Magda Theresia C.P.
9. Ciwi-ciwiku, Saudari Anneke Putri, tempat curhatku di semester-semester
akhir, partner Coffee Crime yang selalu ada untuk saya, termasuk ketika tiba-
tiba diminta jadi intercoder penelitian; Saudari Hairunnisa, tempat curhatku di
semester-semeter awal, partner yang paling banyak topik pembicaraannya
ketika ketemuan, partner yang paling banyak punya kesamaan sama saya;
serta Saudari Sany Mega Septiana, partner nonton (meskipun sering saya
tolak ajakannya karena kekurangan dana), partner Mobile Legend, partner
yang kalau ketemu topik pembicaraannya selalu aneh-aneh), tapi masakannya
paling TOP.
10. Saudara Ahmad Eko Julianto dan Saudari Nurul Kariimah, partner mengantar
skripsi ke pembimbing dan penguji serta partner dalam mengurus semua
administrasi wisuda.
11. Teman-teman angkatan 2013 (Diversity) atas dukungan dan kebersamaannya
selama hampir lima tahun ini.
12. Pihak-pihak lainnya yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan
skripsi ini yang tidak dapat peneliti sebutkan satu per satu.
Penulis menyadari bahwa dalam skripsi ini terdapat banyak kekurangan,
oleh karenanya penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun. Penulis
berharap semoga karya ini dapat memberikan manfaat kepada penulis, pembaca,
dan pihak-pihak lainnya.
Makassar, 27 Januari 2018
Penulis
ix
DAFTAR ISI Halaman Judul Lembar Persetujuan ............................................................................................ ii Lembar Pengesahan ........................................................................................... iii Lembar Pernyataan ............................................................................................ iv Abstrak ................................................................................................................ v Abstract .............................................................................................................. vi Kata Pengantar ................................................................................................... vii Daftar Isi ............................................................................................................. ix Daftar Tabel ........................................................................................................ xi Daftar Gambar .................................................................................................... xii Daftar Lampiran ................................................................................................. xiii BAB I PENDAHULUAN........................................................................................ 1
1.1. Latar Belakang ...................................................................................... 1 1.2. Fokus Penelitian .................................................................................... 8 1.3. Maksud Penelitian ................................................................................. 8 1.4. Tujuan Penelitian ................................................................................... 8 1.5. Manfaat Penelitian ................................................................................. 8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................... 9 2.1. Kajian Pustaka....................................................................................... 9
2.1.1. Tinjauan tentang Etnis Tionghoa .................................................... 9 2.1.1.1. Karakteristik Etnis Tionghoa .................................................... 9 2.1.1.2. Konfusiusme dalam Etnis Tionghoa ...................................... 10 2.1.1.3. Hubungan Interpersonal Etnis Tionghoa (Guanxi) ................. 11 2.1.1.4. Kepercayaan dalam Jaringan Guanxi Etnis Tionghoa ........... 18
2.1.2. Tinjauan tentang Business Relationship ....................................... 20 2.1.2.1. Pengertian Business Relationship ......................................... 20 2.1.2.2. Karakteristik Business Relationship ....................................... 21 2.1.2.3. Dimensi Business Relationship .............................................. 23 2.1.2.4. Business Relationship dalam Teori Pertukaran Sosial ........... 23
2.1.3. Tinjauan tentang Trust dan Trustworthiness ................................. 25 2.1.3.1. Pengertian Trust dan Trustworthiness ................................... 25 2.1.3.2. Dimensi Trust dan Trustworthiness........................................ 26 2.1.3.3. Faktor-Faktor yang Melatabelakangi Trust............................. 27 2.1.3.4. Mekanisme Pembentukan Trust ............................................ 29 2.1.3.5. Tipe-Tipe Trust ...................................................................... 30 2.1.3.6. Model Trust ........................................................................... 31
2.2. Kerangka Konseptual .......................................................................... 33 BAB III MATERI DAN METODE PENELITIAN ................................................... 35
3.1. Materi Penelitian .................................................................................. 35 3.2. Metode Penelitian ................................................................................ 35
3.2.1. Tipe Penelitian .............................................................................. 35 3.2.2. Subyek Penelitian ......................................................................... 36 3.2.3. Teknik Penggalian Data ................................................................ 37 3.2.4. Teknik Analisis Data ..................................................................... 37 3.2.5. Teknik Keabsahan Data ............................................................... 38 3.2.6. Prosedur Kerja.............................................................................. 39
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................. 41
x
4.1. Gambaran Karakteristik Subyek .......................................................... 41 4.2. Hasil Penelitian .................................................................................... 48
4.2.1. Deskripsi Penemuan .................................................................... 48 4.2.1.1. Faktor-Faktor yang Melatarbelakangi Kepercayaan (Trust Antecendents) ......................................................................................... 48 4.2.1.2. Konsekuensi dari Kepercayaan (Trust Consequences) ......... 56 4.2.1.3. Faktor-Faktor Kontekstual Kepercayaan (Contextual Factors of Trust) .............................................................................................. 58 4.2.1.4. Pelanggaran dan Perbaikan Kepercayaan (Trust Violation and Repair) .............................................................................................. 64 4.2.1.5. Pemeliharaan Kepercayaan dalam Budaya Tionghoa ........... 66
4.2.2. Hasil Analisis Data ........................................................................ 69 4.2.2.1. Trustworthiness dalam Kewirausahaan Etnis Tionghoa ......... 69 4.2.2.2. Pembangunan Kepercayaan dalam Kewirausahaan Etnis Tionghoa .............................................................................................. 73 4.2.2.3. Pemanfaatan Jaringan Guanxi dalam Kewirausahaan Etnis Tionghoa .............................................................................................. 75
4.3. Pembahasan ....................................................................................... 77 4.4. Limitasi Penelitian ................................................................................ 88
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN................................................................... 89 5.1. Kesimpulan .......................................................................................... 89 5.2. Saran ................................................................................................... 90
Daftar Pustaka ................................................................................................... 92
xi
DAFTAR TABEL Tabel 3.1 Timeline Penelitian ……………………………………………………… 39 Tabel 4.1. Tabel Inisial Pemilik Usaha Klan ……………………………………… 41 Tabel 4.2. Faktor-faktor yang Melatarbelakangi Kepercayaan Wirausahawan Etnis Tionghoa di Kota Makassar………………………………………………….. 49 Tabel 4.3. Konsekuensi dari Kepercayaan ………………………………………. 56 Tabel 4.4. Faktor-Faktor Kontekstual Kepercayaan (Contextual Factors of Trust)………………………………………………………………………………….. 59 Tabel 4.5. Pelanggaran dan Perbaikan Kepercayaan (Trust Violation and Repair)………………………………………………………………………………… 64 Tabel 4.6. Pemeliharaan Kepercayaan dalam Budaya Tionghoa ……………... 67
xii
DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1. Lingkaran Jaringan Guanxi (Chen dkk, 2004) ……………………. 13 Gambar 2.2. The Face and Favor Model (Hwang, 1986) ………………………. 17 Gambar 2.3. Model Kepercayaan (Mayer, dkk., 1995) …………………………. 32 Gambar 4.1. Trustworthiness dalam Jaringan Guanxi di Kewirausahaan Etnis Tionghoa ……………………………………………………………………………... 69 Gambar 4.2. Pembangunan Kepercayaan dalam Kewirausahaan Etnis Tionghoa……………………………………………………………………………… 73 Gambar 4.3. Pemanfaatan Jaringan Guanxi di Kewirausahaan Etnis Tionghoa……………………………………………………………………………... 75 Gambar 4.4. Kerangka Hipotetik Model Trust dan Trustworthiness Wirausahawan Etnis Tionghoa ………………………………………………………………………. 80
xiii
DAFTAR LAMPIRAN 1. Guideline Wawancara 2. Lembar Persetujuan (Informed Consent) Subyek 3. Surat Pernyataan Intercoder
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Salah satu faktor penting yang mempengaruhi keefektifan organisasi sosial
yang sangat kompleks dewasa ini adalah kerelaan individu dalam sebuah unit
sosial untuk percaya pada orang lain (Rotter, 1967). Kepercayaan dianggap
sebagai sebuah aspek yang esensial dalam setiap hubungan interpersonal. Tidak
hanya dalam hubungan personal yang dekat atau romantis, kepercayaan juga
penting dalam membangun hubungan dengan teman atau bahkan dengan kenalan
(Lewicki dan Bunker, 1996).
Kepercayaan interpersonal didefinisikan sebagai sebuah ekspektasi yang
dimiliki individu atau kelompok bahwa perkataan, janji, serta pernyataan verbal
atau tertulis individu atau kelompok lainnya dapat diandalkan (Rotter, 1967).
Kepercayaan memiliki tiga subfaktor, yaitu subfaktor kognitif, subfaktor emosional,
dan subfaktor perilaku. Subfaktor kognitif meliputi kepercayaan dan penilaian
terhadap trustworthiness pihak lain; subfaktor emosional meliputi ikatan emosional
antara kedua pihak; sedangkan subfaktor perilaku mencakup perilaku
pengambilan resiko (Lewicki, dkk., 2006).
Kepercayaan tidak hanya memiliki peranan yang esensial dalam hubungan
personal. Kepercayaan juga merupakan elemen kesuksesan yang sangat penting
dalam hampir semua hubungan bisnis, hubungan profesional, maupun hubungan
kerja (Lewicki dan Bunker, 1996). Kepercayaan dipandang sebagai sebuah
fenomena dinamis yang memiliki karakteristik berbeda dalam tahap awal, tahap
pengembangan, dan tahap “matang” dari sebuah hubungan. Dalam hubungan
2
profesional, kepercayaan tidak dimulai dari perkembangan hubungan emosional
yang intens. Kepercayaan akan berkembang secara perlahan seiring dengan
pergerakan hubungan dari satu tahap ke tahap berikutnya (Lewicki dan Bunker,
1996).
Kepercayaan pada tahap awal dalam suatu hubungan profesional
dibangun atas konsistensi perilaku partner, yang diikuti oleh hukuman (seperti
berakhirnya hubungan) ketika kekonsistenannya tidak dapat dijaga. Bentuk
kepercayaan ini didasari oleh perhitungan-perhitungan ekonomi, sehingga
perilaku yang terjadi lebih rasional dan berfokus pada pengoptimalan keuntungan.
Kontrol terhadap perilaku partner pun menjadi sebuah keharusan. Pada tahap
berikutnya kepercayaan didasarkan pada prediktabilitas dari perilaku dan terjadi
ketika individu telah memiliki cukup informasi mengenai partner. Dengan demikian,
komunikasi antara kedua pihak menjadi sangat penting. Terakhir, bentuk
kepercayaan didasarkan pada empati atas kehendak partner, dan terjadi ketika
kedua pihak benar-benar mengerti, sependapat, berempati, dan memahami nilai-
nilai partnernya karena adanya hubungan emosional di antara mereka (Lewicki
dan Bunker, 1996).
Kepercayaan dalam bisnis seringkali mengarahkan kepada perilaku kerja
sama (Mayer, dkk., 1995). Kepercayaan dalam perilaku kerja sama memfasilitasi
adanya pertukaran sosial di dalamnya (Cropanzano dan Byrne dalam Frazier,
2013). Hal ini kemudian mengakibatkan adanya ketergantungan
(interdependence) dalam bekerja sama, di mana individu harus bergantung pada
orang lain dalam berbagai cara untuk mencapai tujuan personal dan organisasi
mereka (Mayer, dkk., 1995).
3
Beberapa teori menggambarkan mekanisme untuk meminimalkan risiko
yang melekat dalam hubungan kerja. Teori-teori ini dirancang untuk mengatur,
menegakkan, dan/atau mendorong kepatuhan untuk menghindari konsekuensi
dari kepercayaan yang terpecah. Untuk menghindari perilaku melayani diri sendiri
(self-serving behavior) dan juga proses pengadilan yang potensial, banyak
perusahaan menggunakan mekanisme kontrol dan kontrak, dan mereka
mengubah proses pengambilan keputusan, proses internal, sistem penghargaan,
dan struktur mereka (Mayer, dkk., 1995).
Teori-teori hubungan transaksional menyatakan bahwa dasar kepercayaan
dalam hubungan kerja sama bisnis terletak pada kontrak kerja yang ada.
Hubungan kerja sama dalam bisnis harus didasarkan atas kontrak kerja tertulis
yang disepakati bersama. Semua transaksi harus didasarkan atas secarik kertas
yang berisi kontrak, hitam atas putih, yang dijamin negara sebagai pemegang alat
pemaksa yang sah (Pena, 2002). Keberadaan kontrak kerja sangat penting untuk
menjamin kepercayaan dalam hubungan bisnis agar tidak ada pihak yang
dirugikan dalam kerja sama bisnis (Pena dan Arroyabe, 2002).
Salah satu alternatif bagi setiap pelaku ekonomi dalam menghadapi
ekonomi global yang semakin ketat yaitu dengan berwirausaha. Keberhasilan
individu dalam berwirausaha sangat dipengaruhi oleh tiga aspek, yaitu kepribadian,
human and social capital, dan strategi yang dimiliki oleh invididu (Frese dan Gielnik,
2014). Pada level usaha kecil, social capital memegang peranan yang sangat
penting. Social capital merujuk pada kemampuan individu untuk mengekstrak
keuntungan dari struktur, jaringan, dan keanggotaan sosialnya. Dengan kata lain,
social capital merupakan sumber daya yang dapat diakses dan digunakan melalui
relasi (Baum, dkk., 2014).
4
Akumulasi sumber daya meliputi informasi, ide, peluang bisnis, sumber
daya finansial, kekuasaan, dukungan emosional, jasa, kepercayaan, dan kerja
sama. Wirausahawan dapat memperoleh keuntungan yang besar dari hubungan
sosialnya, melalui perolehan sumber daya finansial. Keuntungan lain yang dapat
diperoleh mencakup peningkatan kerja sama dan kepercayaan dari orang lain
serta akses yang lebih baik terhadap informasi yang berguna (Baker dalam Baum,
dkk., 2014).
Penelitian menemukan adanya jaringan kerja yang luas dan ikatan kerja
yang kuat pada usaha kecil yang telah lama dirintis. Dari hasil tersebut, diperoleh
bahwa jaringan kerja yang luas dan ikatan kerja yang kuat mempengaruhi
performansi suatu kewirausahaan secara signifikan dan positif. Adanya jaringan
kerja yang luas dan ikatan yang kuat ini dapat memudahkan suatu wirausaha
untuk memenuhi kebutuhan sumber daya. Selain itu, jaringan kerja juga
membantu wirausahawan untuk menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan
yang terjadi dalam industri bisnis (Stam, 2014). Dengan demikian, pembangunan
kepercayaan dalam jaringan kerja kewirausahaan menjadi hal yang penting.
Di Indonesia, sektor kewirausahaan didominasi oleh etnis Tionghoa
dengan presentase sebesar 73%. Etnis Tionghoa dinilai berhasil dalam
persaingan bisnis karena hampir setiap bidang usaha yang mereka miliki berjalan
dengan sukses (Naisbitt, 1997). Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS),
etnis Tionghoa merupakan salah satu dari tiga puluh etnis di Indonesia. Dari tiga
puluh kelompok suku yang tercatat, suku Jawa mendominasi dengan persentase
sebesar 40,2%, diikuti oleh suku Sunda sebesar 15,5%, dan suku Batak sebesar
3,6%. Etnis Tionghoa berada di peringkat kedelapan belas dengan persentase
5
sebesar 1,2% dari 236 juta jiwa total penduduk Indonesia, atau kurang lebih
berjumlah sebanyak 2,8 juta (Badan Pusat Statistik Indonesia, 2016).
Wirausahawan etnis Tionghoa menyebar di berbagai daerah di Indonesia,
termasuk di kota Makassar. Kewirausahaan etnis Tionghoa umumnya memiliki
jaringan kerja yang kuat. Dalam kehidupan masyarakat Tionghoa secara umum,
jaringan ini dianggap sebagai dasar dalam membangun sebuah usaha bisnis,
tanpa jaringan yang luas, sebuah usaha diyakini tidak dapat berkembang (Redding
dkk., 1990). Lebih lanjut, Hwang (1986) menyatakan bahwa dalam budaya
Tionghoa, kepercayaan sangat dibutuhkan dalam menjalin sebuah kerja sama
bisnis dan menjaga kelangsungan pertukaran sumber daya. Kepercayaan dan
komitmen dapat membawa hubungan ke dalam kondisi yang stabil dan fleksibel
tanpa adanya ekspektasi pengembalian sumber daya dalam jangka pendek atau
kompensasi yang cepat.
Kewirausahaan etnis Tionghoa di kota Makassar banyak dibangun
bersama-sama dengan keluarga. Adapun ciri khas kewirausahaannya ialah satu
keluarga pada umumnya menjalankan usaha bersama, atau setidaknya
berwirausaha mandiri pada bidang yang sama, sehingga memungkinkan adanya
pertukaran barang ketika dibutuhkan. Contohnya kewirausahaan etnis Tionghoa
di kota Makassar dapat dilihat dari beberapa toko ATK, toserba (toko serba ada),
toko elektronik, dan rumah makan mie kering yang sangat terkenal di Makassar,
yang ternyata masing-masing kelompok dikelola oleh wirausahawan dari latar
belakang keluarga yang sama. Hal ini mengindikasikan adanya kepercayaan
bisnis yang dibangun wirausahawan etnis Tionghoa terhadap keluarganya.
Seyogyanya dalam hubungan profesional, kepercayaan tidak dimulai dari
perkembangan hubungan emosional yang intens (Lewicki dan Bunker, 1996).
6
Lebih lanjut dikatakan bahwa kepercayaan bisnis seyogyanya akan berkembang
secara perlahan seiring dengan pergerakan hubungan dari tahap awal, tahap
pengembangan, dan tahap “matang”. Namun senyatanya, hubungan bisnis dalam
kewirausahaan etnis Tionghoa banyak didasarkan pada hubungan kekeluargaan,
di mana di dalamnya terdapat hubungan emosional yang intens. Ini berarti bahwa
kepercayaan bisnis dalam kewirausahaan etnis Tionghoa tidak mengalami
perkembangan kepercayaan sebagaimana mestinya dalam sebuah hubungan
kepercayaan bisnis, karena pada dasarnya hubungan kekeluargaan telah
digolongkan sebagai sebuah hubungan yang matang, sehingga dapat
dikatakankan bahwa kepercayaan di dalamnya juga telah berada pada tahap ini.
Hal ini mengindikasikan bahwa dinamika kepercayaan bisnis pada kewirausahaan
etnis Tionghoa memiliki perbedaan dengan dinamika kepercayaan dalam
hubungan bisnis pada umumnya.
Berdasarkan hasil wawancara terhadap beberapa wirausahawan etnis
Tionghoa di Makassar, diperoleh gambaran bahwa pembangunan usaha dengan
keluarga mendukung adanya suatu sistem jaringan kerja yang kuat.
Wirausahawan etnis Tionghoa membangun kerja sama untuk bertahan dalam
lingkungan bisnis yang kompetitif. Bentuk kerja sama yang utama ialah dalam hal
pemenuhan sumber daya yang dibutuhkan. Pada kewirausahaan berbentuk toko,
mereka biasanya akan saling melengkapi ketika terdapat permintaan pembeli atau
pelanggan terhadap barang yang sebenarnya sudah tidak tersedia lagi. Ketika
salah satu keluarga yang kehabisan stok barang, maka ia akan menghubungi
anggota keluarga yang lain untuk memenuhinya. Hal inilah yang membuat
beberapa toko wirausahawan etnis Tionghoa terlihat seperti tidak pernah
kehabisan stok barang.
7
Pertukaran yang dilakukan wirausahawan etnis Tionghoa dalam
berwirausaha dengan partnernya tidak menggunakan kontrak kerja sebagai
jaminan kepercayaan bisnisnya. Mereka akan memenuhi kebutuhan keluarga
yang lain dalam konteks bisnis dan percaya bahwa keluarganya pun akan
melakukan hal yang sama pada mereka. Permintaan sumber daya yang
diperlukan dapat dilakukan kapan saja ketika dibutuhkan. Meskipun tidak terdapat
kontrak kerja, mereka meyakini bahwa tidak akan terjadi pelanggaran kerja sama
di dalamnya. Dengan demikian, kepercayaan yang dibangun dalam
kewirausahaan etnis Tionghoa berupa mutual trust yang dibangun di atas
hubungan kekeluargaan yang mereka miliki.
Seyogyanya kepercayaan dalam hubungan kerja sama bisnis terletak pada
kontrak kerja secara tertulis. Kerja sama bisnis membutuhkan jaminan secara
hukum yang mengikat kedua belah pihak agar tidak ada pihak yang melanggar
kontrak. Namun senyatanya dalam kewirausahaan etnis Tionghoa, kerja sama
bisnis tidak dilakukan berdasarkan kontrak kerja tertulis, melainkan kontrak
psikologis yang dibangun atas dasar mutual trust dalam hubungan personalnya
(Redding, 1990). Hal ini mengindikasikan gejala adanya kecenderungan
wirausahawan etnis Tionghoa lebih mendasarkan kepercayaan bisnisnya pada
hubungan personal yang telah dibangun daripada kontrak tertulis dalam
melakukan kerja sama bisnis.
Berdasarkan uraian di atas, peneliti menemukan adanya bentuk trust dan
trustworthiness yang unik pada kewirausahaan etnis Tionghoa di kota Makassar
yang mungkin melatarbelakangi kesuksesan etnis Tionghoa dalam berwirausaha.
Peneliti tertarik meneliti bagaimana wirausahawan membangun dan menjaga
kepercayaannya (trust dan trustworthiness) sehingga kerja sama dan proses
8
pertukaran sumber daya dapat terus berlangsung, serta bagaimana faktor-faktor
yang melatarbelakanginya.
1.2. Fokus Penelitian
Berdasarkan isu dari latar belakang di atas, maka peneliti membatasi fokus
penelitian yang akan diteliti sebagai berikut.
1. bagaimana trust dan trustworthiness dalam kewirausahaan etnis Tionghoa di
Kota Makassar?
1.3. Maksud Penelitian
Maksud dari penelitian ini yaitu untuk memahami trust dan trustworthiness
dalam kewirausahaan etnis Tionghoa di Kota Makassar.
1.4. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk memperoleh gambaran mengenai
trust dan trustworthiness dalam kewirausahaan etnis Tionghoa di Kota Makassar.
1.5. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan memberikan kontribusi dalam hal:
1. secara akademik (teoritik), penelitian ini akan mengembangkan konsep-
konsep mengenai trust dan trustworthiness dalam kewirausahaan etnis
Tionghoa yang sesuai dengan konteks masyarakat di Kota Makassar.
2. secara praktis hasil temuan penelitian dapat dijadikan bahan pertimbangan
dalam pengembangan kewirausahaan di Kota Makassar.
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kajian Pustaka
2.1.1. Tinjauan tentang Etnis Tionghoa
2.1.1.1. Karakteristik Etnis Tionghoa
Orang-orang etnis Tionghoa merupakan keturunan dari orang-orang
Tionghoa yang datang ke Indonesia dari provinsi Fujian dan Guangdong di bagian
selatan Cina. Mereka terdiri dari berbagai macam suku bangsa seperti Hokkian
dan Kanton. Dalam komunitas etnis Tionghoa terdapat keheterogenitasan, seperti
kelompok etnis lainnya di Indonesia. Dari sisi tempat lahir dan penggunaan bahasa
saja, secara kultural etnis Tionghoa yang jumlahnya lebih dari lima juta orang
dapat dikelompokkan atas dua bagian (Suryadinata, 1997).
Pertama, adalah kelompok etnis Tionghoa peranakan. Mereka ini lahir di
Indonesia dan menggunakan bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi, tidak
saja kepada warga etnis lainnya, tetapi juga sesama mereka yang berasal dari
etnis Tionghoa itu sendiri. Mereka inipun sudah kehilangan kefasihannya berbicara
dalam bahasa Tionghoa karena mereka sudah banyak menyerap unsur
kebudayaan pribumi tempat di mana etnis Tionghoa peranakan ini bermukim
(Suryadinata, 1997).
Etnis Tionghoa kelompok peranakan ini terkadang secara fisik tidak
berbeda dengan ciri-ciri fisik yang dimiliki oleh kebanyakan warga Indonesia
lainnya. Misalnya, kebanyakan bentuk mata etnis Tionghoa adalah sipit dan kulit
berwarna putih (ras mongoloid). Kendati demikian, mereka yang berasal dari etnik
Tionghoa peranakan ini sudah banyak yang memiliki mata dengan tingkat
10
kesipitannya yang tidak lagi menonjol. Selain itu, warna kulit merekapun sudah
banyak yang mengarah ke kecoklat-coklatan bahkan ada yang lebih gelap dari
pada warna kulit warga pribumi Indonesia.
Kedua, kelompok etnis Tionghoa totok. Tempat lahir mereka ini berada di
luar negeri atau sebagian besar terletak di negeri Tionghoa. Mereka ini bermigrasi
ke Indonesia pada abad 19 dan 20. Kelompok ini merupakan gelombang migrasi
terakhir secara besar-besaran. Oleh karena mereka ini masih asli dari negeri
Tionghoa sana, maka baik bahasa yang digunakan dan kebudayaan yang
diekspresikan masih bernuansa Tionghoa. Ringkasnya, mereka ini masih orang
Cina. Hal ini ditegaskan secara hukum bahwa mereka ini masih dikelompokkan
sebagai warga negara asing (WNA) (Suryadinata, 1997).
Etnis Tionghoa sudah banyak yang meninggalkan religi leluhurnya, dan
menganut salah satu dari agama yang diakui oleh negara pada masa Orde Baru;
seperti Islam, Kristen, Budha dan Hindu. Bahkan etnis Tionghoa yang beragama
Kristen ini sudah banyak yang menjadi pendeta dengan jemaat yang berasal dari
berbagai latar belakang etnis.
2.1.1.2. Konfusiusme dalam Etnis Tionghoa
Konfusianisme adalah ajaran dari Konfusius/Confucius atau dalam Bahasa
Mandarin disebut Kongzi yang merupakan filsuf besar dari Cina. Ajaran pokok dari
Konfusius adalah lima sifat mulia yang memiliki arti lima kebaikan (Hwang, 1986),
yaitu sebagai berikut.
1. Ren (Human-heartedness/Benovelence), yaitu cinta kasih yang universal yang
tidak mementingkan diri sendiri tetapi mementingkan orang lain.
2. Yi (Righteousness), yaitu kebenaran atau pribadi luhur.
11
3. Li (Propriety), yaitu kesusilaan, sopan santun, rasa susila, dan budi pekerti.
4. Zhi (Knowledge), yaitu kebijaksanaan, pengertian, kearifan.
5. Xin (Trust), yaitu kejujuran kepercayaan, rasa untuk dapat dipercaya orang lain
serta dapat memegang janji dan menepati janji.
Keteraturan dalam suatu masyarakat adalah suatu pandangan yang harus
diciptakan oleh Konfusius. Untuk dapat menciptakan keteraturan dalam
masyarakat, manusia harus dapat mengatur keluarganya sendiri. Untuk dapat
mengatur keluarga dan mengerjakan semua hal tersebut pertama-tama manusia
harus dapat mengolah dirinya sendiri. Pengolahan diri membutuhkan koreksi diri,
manusia harus tulus dan bersungguh-sungguh jika berhubungan dengan orang
lain, selain itu manusia juga harus memperluas pengetahuan sampai tingkat yang
paling tinggi. Pengolahan diri (self-cultivation) merupakan dasar dari segala
sesuatu dan setiap manusia harus dapat melakukan pengolahan diri untuk
mencapai hal yang menjadi tujuan dalam kehidupannya (Wang dalam Hwang
1986).
Nilai-nilai Konfusius sangat berakar dalam setiap ritual-ritual penting dalam
keluarga dan kelompok kekerabatan. Struktur dasar keluarga mulai dari jia
(keluarga) sampai zu (klan) merupakan dasar dari penerapan Konfusianisme.
Seluruh kehidupan dan tingkah laku keluarga, adat istiadat, ritual, jaringan sosial
masyarakat terpadu dalam pranata politik, ekonomi, dan sosial Konfusianisme.
2.1.1.3. Hubungan Interpersonal Etnis Tionghoa (Guanxi)
Guanxi merupakan suatu konstruk budaya Cina yang dapat diartikan
sebagai hubungan interpersonal. Namun demikian, tidak semua hubungan dapat
serta merta dikatakan sebagai suatu guanxi (Kiong & Kee, 1998; Wang, 2007).
12
Dari segi bahasa sendiri, makna guanxi lebih kompleks dari sekedar hubungan
interpersonal. Guanxi didefinisikan sebagai kumpulan orang terpilih yang memiliki
kualitas tertentu bergabung untuk berpartisipasi dalam sistem yang saling
terhubung, dan saling melengkapi dalam memberikan kontribusi untuk keuntungan
anggota jaringan (Sunaryo, 2005).
Guanxi terdiri dari ikatan yang kompleks, yang berarti guanxi bukan
semata-mata hubungan antara anggota keluarga ataupun hubungan transaksional
dengan orang asing (Hwang, 1987). Guanxi adalah hubungan persahabatan
dengan implikasi pertukaran bantuan secara terus-menerus dan terdapat
kewajiban timbal balik untuk menanggapi permintaan bantuan (Pye, 1992). Guanxi
melibatkan pembinaan hubungan pribadi melalui pertukaran bantuan dan hadiah
dengan tujuan memperoleh barang dan jasa, mengembangkan jaringan saling
ketergantungan, dan menciptakan rasa kewajiban dan hutang (Yang, 1994).
Guanxi dapat dipahami sebagai suatu sistem lingkaran konsentris dengan
individu seperti pada gambar 2.2, di mana posisi guanxi dalam lingkaran tersebut
(di pusat atau pinggiran) bergantung pada jarak hubungan dan tingkat
kepercayaan (Yang, 1994). Artinya, semakin dalam letak guanxi dalam lingkaran,
semakin kecil jarak psikologis antara mitra guanxi dan diri, semakin baik kualitas
guanxi (Chen dkk, 2004). Derajat guanxi antara dua individu menentukan sejauh
mana sumber daya sosial dipertukarkan di antara mereka (Hwang, 1987).
Hwang (1987) merumuskan dua dimensi komponen dalam guanxi, yaitu
expressive component dan instrumental component.
1. Expressive Component, mencakup orientasi sosio-emosional. Komponen
ekspresif berperan sebagai komponen moral dalam jaringan guanxi.
Komponen ekspresif menunjukkan afeksi interpersonal antar dua pihak. Afeksi
13
yang diberikan ini sangat dipengaruhi oleh kedekatan hubungannya dalam
jaringan guanxi.
2. Instrumental Component, mencakup orientasi tugas. Komponen instrumental
mengacu pada fakta bahwa setiap makhluk hidup memiliki berbagai macam
keinginan bawaannya. Biasanya, mereka harus berinteraksi dengan orang lain
dengan cara instrumental untuk memperoleh sumber daya untuk memuaskan
keinginannya.
Gambar 2.1. Lingkaran jaringan guanxi (Chen dkk, 2004)
Hwang (1987) selanjutnya mengelompokkan guanxi berdasarkan
komponen-komponen di dalamnya ke dalam tiga kelompok hubungan, yaitu
expressive tie, mixed tie, dan instrumental tie.
1. Expressive tie, umumnya merupakan hubungan sosial yang relatif permanen
dan stabil. Hubungan ini dapat memberikan perasaan afektif, kehangatan,
keamanan, dan kelekatan pada individu. Jenis hubungan ini terjadi pada
anggota kelompok primer seperti keluarga, teman dekat, dan kelompok
sepaham lainnya. Di samping untuk memperoleh kepuasan afektif, seseorang
dapat menggunakan hubungan ini sebagai sebuah instrumen untuk
menghasilkan sumber daya material yang dibutuhkan.
14
2. Instrumental tie, merupakan lawan dari expressive tie. Untuk memperoleh
tujuan materialnya, individu harus membangun hubungan ini dengan orang-
orang di luar keluarganya. Kedua pihak membangun hubungan ini untuk
mencapai tujuannya masing-masing. Hubungan ini terdapat di antara sales
dan pelanggan, supir dan penumpang, suster dan pasien, dan sejenisnya. Jika
hubungan ini dianggap tidak menguntungkan, maka individu dapat membuat
penawaran baru, menolak kesepakatan awal, atau bahkan benar-benar
memutuskan hubungan ini tanpa penyesalan jika pihak tersebut menolak untuk
menerima tawarannya.
3. Mixed tie, berupa hubungan saling mengenal satu sama lain dan memiliki
komponen ekspresif dalam hubungannya, namun tidak sekuat dalam
expressive tie. Jenis hubungan ini umumnya terjadi pada keluarga jauh,
tetangga, teman sejawat, guru, murid, orang-orang dengan latar belakang
daerah yang sama, dan sejenisnya. Pihak-pihak dalam hubungan ini biasanya
memiliki suatu kesamaan satu sama lain. Hubungan ini tidak perlu terus
dipertahankan seperti expressive tie, namun dapat bertahan jika kedua pihak
sering bertemu satu sama lain. Kedua pihak mungkin berharap untuk bertemu
lagi setelah tujuannya tercapai dan berharap hubungan ini dapat menjadi
standar penilaian sosial mereka bagi orang lain sebagai kualifikasi dalam
pembentukan guanxi baru.
Jaringan guanxi (guanxi-network) merupakan jaringan yang berbasis pada
guanxi, yaitu hubungan pribadi berbasis kepercayaan jangka panjang. Jaringan ini
dibangun dan dipertahankan di antara keluarga dan keluarga besar (Tsang, 1998);
dengan ganqing (komitmen emosional) dan renqing (bantuan pribadi) (Hwang,
1987); berdasarkan timbal balik dan saling menguntungkan (Pye, 1992; Yang,
15
1994), kepercayaan pribadi dan kredibilitas (Wong, 1988); dan mianzi (‘wajah’ atau
rasa hormat) (Hu, 1944).
Banyaknya aspek-aspek yang terlibat dalam pembentukan dan pembinaan
jaringan guanxi menyiratkan sulitnya untuk menjadi anggota jaringan guanxi,
kecuali dengan undangan atau rujukan dari anggota yang ada. Namun, apabila
individu telah berada di dalam jaringan guanxi, selain terhubung dan terlindungi,
mereka juga diharapkan berkontribusi untuk keuntungan keseluruhan jaringan.
Anggota juga melalui serangkaian proses penilaian agar bisa tetap berada di
dalam jaringan.
Guanxi dianggap sebagai hubungan interpersonal yang penting untuk
melakukan transaksi bisnis yang sukses dalam lingkungan Cina (Hwang 1987;
Kiong & Kee 1998). Adanya pertukaran sosial secara timbal balik yang wajib
dipenuhi oleh seluruh anggota membuat guanxi dianggap sebagai sumber daya
untuk mengurangi biaya transaksi dan untuk membangun keunggulan kompetitif
yang berkelanjutan (Tsang, 1998). Melanggar norma kewajiban timbal balik dapat
menyebabkan individu kehilangan mukanya (losing face) dan bahkan dapat
mengakibatkan hilangnya jaringan guanxi (Hwang, 1987; Wang, 2007).
Model Face and Favor (Hwang, 1986) menyatakan bahwa kedua pihak
dalam interaksi didefinisikan sebagai pemohon (petitioner) dan pengalokasian
sumber daya (resource allocator). Ketika seorang pemohon meminta
pengalokasian sumber daya untuk mengalokasikan sumber daya dalam
kendalinya dengan cara yang bermanfaat bagi pemohon, proses kognitif pertama
dari pengalokasi sumber daya adalah menilai tingkat hubungan (hubungan erat)
guanxi.
16
Hubungan dalam model ini ditunjukkan oleh kotak segi empat yang
ditunjukkan pada Gambar 2.2. Area berbayang persegi panjang disebut komponen
ekspresif (expressive component), yang menunjukkan kecenderungan untuk
mempertimbangkan kesejahteraan pihak lawan. Bagian kosong persegi panjang
adalah komponen instrumental (instrumental component), yang menyiratkan
upaya untuk memanfaatkan hubungan tersebut untuk mencapai tujuan pribadi.
Menurut proporsi kedua komponen ini, hubungan interpersonal dapat
dikelompokkan menjadi satu dari tiga kategori: ikatan ekspresif (expressive tie),
ikatan campuran (mixed tie) atau ikatan instrumental (instrumental tie) (Hwang,
1986).
Seorang individu dapat menggunakan standar keadilan yang berbeda
untuk berinteraksi dengan orang lain dari hubungan yang berbeda. Dalam
hubungan yang identik ketika seseorang peduli dengan perkembangan dan
kesejahteraan pihak lawan, seseorang kemungkinan akan menggunakan
peraturan kebutuhan (need rule) untuk mengalokasikan sumber daya. Dalam
hubungan unit, di mana seseorang memperlakukan pihak lawan sebagai manusia
dan menekankan pentingnya menjaga hubungan yang harmonis, peraturan
renqing (affection; renqing rule) lebih mungkin diterapkan. Dalam hubungan
nonunit, karena kedua belah pihak dalam interaksi hanya mempertimbangkan
peran mereka sendiri dan menekankan efisiensi kerja, aturan keadilan paling
umum digunakan (equity rule) (Hwang, 1986).
17
Gambar 2.2. The Face and Favor Model (Hwang, 1986)
18
Model Face and Favor mengasumsikan bahwa seseorang dapat
menggunakan aturan kebutuhan, aturan renqing, atau aturan ekuitas untuk
berinteraksi dengan tiga jenis orang. Asumsi ini bisa dipandang sebagai wujud
model universal dalam kebudayaan Tionghoa. Dalam berinteraksi dengan salah
satu dari tiga jenis orang ini, seseorang dapat mempertimbangkan biaya yang
harus dibayar, dan juga pembayaran yang dapat diperoleh dari pihak lain, dan
kemudian menghitung kemungkinan hasil pertukaran sosial tersebut. Karena
seseorang mengharapkan untuk bergaul dengan orang lain dari ikatan ekspresif
atau campuran lagi di masa depan, ketika menghadapi permintaan untuk bantuan
dari seseorang dari salah satu jenis ikatan ini, bahan afektif dari hubungan tersebut
dipertimbangkan. Akibatnya, keputusannya mungkin tidak rasional, dan bisa
mengakibatkan dilema kasih sayang atau konflik keluarga. Sebaliknya, ketika
berinteraksi dengan ikatan instrumental yang lain, hanya diperlukan perhitungan
tindakan yang rasional, jadi keputusan yang obyektif dapat dilakukan (Hwang,
1986).
2.1.1.4. Kepercayaan dalam Jaringan Guanxi Etnis Tionghoa
Guanxi dianggap sebagai faktor yang sangat mempengaruhi kepercayaan
yang terjalin antar mitra bisnis, dengan adanya pertukaran sosial sebagai faktor
mediasi (Hwang, 1987). Kepercayaan dalam masyarakat Tionghoa disebut
dengan xinyong atau xinren. Secara harfiah, xinyong berarti kredibilitas
(credibility/trustworthiness), bersifat lebih obyektif dan berdasarkan kepercayaan
yang dirasakan oleh suatu kelompok sosial, sedangkan xinren berarti kepercayaan
personal, bersifat lebih subjektif dan dapat didasarkan pada kasih sayang dan
kepercayaan pribadi pada seseorang. Menurut pandangan etnis Cina, seseorang
19
dapat memiliki xinren dengan orang lain ketika orang tersebut dievaluasi memiliki
xinyong yang baik, atau dengan kata lain seseorang hanya akan mempercayai
orang yang dapat dipercaya (Hwang, 1987).
Wang (dalam Hwang, 1986) membagi jenis kepercayaan dalam
masyarakat Tionghoa ke dalam lima kelompok, yaitu kinship trust, emergent trust,
customary trust, professional trust, dan institutional trust.
1. Kinship trust dibangun di atas kekerabatan yang tidak dapat tergantikan.
Hubungan orang tua dan anak dalam masyarakat Tionghoa bertahan
selamanya sejak lahir sampai setelah kematian. Orang yang berbagi
hubungan ini menggunakan etika dan kesalehan sebagai norma interaksi
sosial.
2. Emergent trust terjalin karena kedua belah pihak dalam pertukaran saling
bergantung satu sama lain dan hubungan yang stabil dipertahankan. Jenis
kepercayaan ini dibangun berdasarkan karakteristik pribadi dari kedua pihak
selama interaksi jangka panjang. Rasa saling percaya mereka berasal dari
rasa memiliki dan kasih sayang. Kepercayaan dapat bertahan selama mereka
saling memahami, saling menguntungkan satu sama lain, atau berbagi nilai
satu sama lain.
3. Customary trust berakar pada kehidupan primitif. Untuk menjelaskan
pengalaman sehari-hari mereka, orang sering memperoleh banyak
pengetahuan dari cerita rakyat, adat istiadat, dan warisan budaya. Konten ini
diperkaya dengan pengalaman hidup langsung orang-orang biasa.
Kepercayaan ini dapat dipertahankan melalui praktik konstan dalam
masyarakat.
20
4. Professional trust didasarkan atas pengetahuan dan kompetensi profesional
individu. Jika dia bisa mengatasi masalah atau krisis trustor, ia akan memiliki
kepercayaan profesional dari trustor. Seorang trustor bisa memilih trustee
sesuai dengan kebutuhannya.
5. Institutional trust didasarkan pada perhitungan truster untuk memenuhi
kepentingan secara maksimal. Ini memungkinkan truster untuk berinteraksi di
luar jaringan guanxi-nya, dan mengikuti aturan tertulis atau tidak tertulis. Hal
ini didirikan atas dasar saling menguntungkan atau merugikan.
Hwang (1986) menyatakan bahwa membangun jaringan guanxi pada
dasarnya merupakan strategi bisnis untuk meningkatkan kepercayaan
interpersonal dan mengurangi ketidakpastian dalam lingkungan bisnis. Di samping
keberadaan pertukaran sosial yang penting dalam tahap awal membangun suatu
hubungan, sifat-sifat yang muncul setelahnya seperti kepercayaan (trust) dan
komitmen dapat membawa hubungan ke dalam kondisi yang stabil dan fleksibel
tanpa adanya ekspektasi pengembalian sumber daya dalam jangka pendek atau
kompensasi yang cepat. Berdasarkan penelitian Farh, dkk (dalam Hwang, 1986),
guanxi terbukti memiliki peranan yang penting dalam membangun kepercayaan
dalam bisnis, terutama pada hubungan bisnis horizontal.
2.1.2. Tinjauan tentang Business Relationship
2.1.2.1. Pengertian Business Relationship
Business relationship merupakan proses interdependen dari interaksi terus
menerus dan pertukaran antara dua atau lebih aktor dalam konteks hubungan
bisnis. Hubungan ini merupakan aspek inti yang menghubungkan pelaku, sumber
daya, dan aktivitas dalam jaringan bisnis. Pada umumnya hubungan bisnis
21
merupakan hubungan dyadic, yang mencakup hubungan antar dua pihak, namun
tidak menutup kemungkinan adanya pihak ketiga. Hubungan bisnis terjadi karena
interaksi yang terjadi antara kedua (atau lebih) pihak yang terlibat yang terhubung
dengan interaksi terdahulu dan interaksi di masa depan, dan dapat menciptakan
saling ketergantungan (interdependensi) seiring dengan berlanjutnya interaksi
tersebut (Holmlund dan Törnroos, 1997). Dari definisi tersebut, peneliti
menyimpulkan bahwa business relationship merupakan hubungan yang terjadi
dalam konteks bisnis dimana terjadi pertukaran antara dua atau lebih aktor yang
bersifat interdependen dan didasarkan pada kontrak kerja yang telah disepakati
bersama.
2.1.2.2. Karakteristik Business Relationship
Holmlund dan Törnroos (1997) menyatakan karakteristik hubungan bisnis
dapat dilihat dalam beberapa kriteria utama, yaitu mutuality, long-term character,
process nature, dan context dependence.
1. Mutuality
a. Derajat mutualitas (degree of mutuality). Hubungan dapat berlanjut meski
tingkat mutalitasnya rendah karena berbagai jenis ikatan antara pelaku usaha.
Mutualitas antara mitra dapat diungkapkan dalam kepercayaan dan komitmen.
b. Simetrisitas (symmetrically). Mitra dalam suatu hubungan mungkin relatif
seimbang dalam kemampuan (ability) mereka untuk mempengaruhi hubungan.
c. Struktur ketergantungan daya (power-dependence structure). Tak satu pun
dari mitra memiliki kontrol mutlak atas hubungan mereka, walaupun peran
mereka mungkin berbeda.
22
d. Ketergantungan sumber daya (resource dependence). Perusahaan
mengembangkan beberapa sumber daya secara internal namun sebagian
besar sumber daya diperoleh melalui hubungan dengan orang lain dalam
jaringan bisnis. Sumber daya mungkin merupakan aset finansial, manusia
dan/atau teknologi.
2. Long-term character
a. Kelanjutan (continuation). Hubungan dapat bertahan untuk waktu yang lama,
yang bersifat tahan lama secara temporal. Butuh beberapa waktu sebelum
serangkaian interaksi dapat diberi label hubungan yang efektif.
b. Kekuatan (strenght). Kekuatan mengacu pada penolakan perusahaan
terhadap gangguan dalam hubungan. Kekuatan ditingkatkan melalui komitmen
antar pelaku yang berinteraksi.
3. Process nature
a. Pertukaran (exchange), interaksi (interaction). Hubungan terdiri dari interaksi
yang berbeda. Proses interaksi terdiri dari banyak pertukaran dan adaptasi
antara perusahaan. Isi pertukaran mungkin berupa produk, uang, kontak sosial
atau informasi, dll.
b. Dinamika (dynamics). Hubungan ditandai oleh perubahan karena sifatnya
yang dinamis. Proses dan kejadian dalam suatu hubungan dan juga di jaringan
sekitarnya menghasilkan perubahan dan dinamika dalam hubungan.
c. Menggunakan potensi (use potential). Hubungan sangat berharga bagi
perusahaan karena menyediakan akses terhadap sumber daya. Di sisi lain,
hubungan dapat berfungsi sebagai beban bagi perusahaan karena membatasi
pilihan masa depan dan mungkin memerlukan biaya tak terduga yang besar.
4. Context dependence
23
a. Keteguhan (embeddedness). Keteguhan berhubungan dengan fakta bahwa
tindakan dan hasil ekonomi, dipengaruhi oleh hubungan dyadic para aktor dan
oleh keseluruhan struktur hubungan jaringan. Hubungan tertanam dalam
jaringan dan terhubung dengan hubungan lain di jaringan tertentu. Oleh karena
itu hubungan sangat terikat konteks.
2.1.2.3. Dimensi Business Relationship
Holmlund dan Törnroos (1997) menyatakan tiga dimensi dalam business
relationship, yaitu dimensi struktural, ekonomi, dan sosial.
1. Dimensi struktural, terdiri dari activity links, resource ties, connection, dan
institutional bonds. Activity link yaitu keterkaitan kegiatan yang dilakukan mitra
kerja. Resource ties yaitu bagaimana mitra terikat dengan sumber daya yang
adil. Connection yaitu bagaimana hubungan terhubung ke hubungan lain
dalam suatu jaringan bisnis. Hubungan antara aktor dalam jaringan bisnis juga
terhubung dengan aktor institusional, sehingga membentuk institutional bonds.
2. Dimensi ekonomi, terdiri dari investasi dan penyesuaian finansial yang
dibangun oleh mitra. Investasi berhubungan dengan pembentukan harga,
khususnya ekspektasi terhadap keuntungan dan perolehan bersama.
3. Dimensi sosial, berdasarkan bagaimana cara individu dalam perusahaan
berinteraksi satu sama lain. Konsep relasional dalam dimensi ini yaitu
komitmen, kepercayaan, daya tarik, dan ikatan sosial.
2.1.2.4. Business Relationship dalam Teori Pertukaran Sosial
Business relationship salah satunya dijelaskan melalui Teori Pertukaran
Sosial (Social Exchange Theory) oleh Thibaut dan Kelley (1959). Teori ini
24
menganalisis interaksi antar individu dari segi hasil dari pertukaran antar individu
tersebut (Taylor, dkk., 2012). Teori ini menyatakan bahwa semua hubungan
manusia terbentuk dengan mempertimbangkan biaya dan manfaat dari suatu
hubungan yang melibatkan mereka. Individu akan berusaha untuk
memaksimalkan manfaat bagi mereka dan meminimalkan biaya atau kerugian di
pihaknya (Thibaut & Kelley, 1959).
Kelley dan Thibaut (1978) menyatakan bahwa kedua belah pihak dalam
hubungan dyadic sangat selektif dalam mencari mitra interaksi yang akan
memberikan mereka kepuasan yang paling besar. Dalam proses interaksi, kedua
belah pihak akan mengevaluasi hasil interaksi mereka atas dasar dua kriteria: (1)
level perbandingan (comparison level), atau kualitas hasil yang diharapkan atau
yang diyakini pantas untuk diterima dalam hubungan, dan (2) level perbandingan
untuk alternatif (comparison level for alternative), yaitu penilaian bagaimana suatu
hubungan dibandingkan dengan hubungan yang lain. Individu mungkin mengakhiri
suatu hubungan jika ada alternatif lain yang jauh lebih baik.
Teori pertukaran sosial terutama berguna untuk menjelaskan situasi tawar-
menawar di mana dua pihak harus mencapai kesepakatan meski kepentingan
mereka berbeda (Taylor, dkk., 2012). Selain itu teori ini juga dapat digunakan
dalam berbagai konteks bisnis di mana untung dan rugi sangat dipertimbangkan
dalam menjalin suatu relasi bisnis. Pelaku bisnis akan mencari mitra kerja yang
memberikan keuntungan terbesar dan kerugian terkecil bagi mereka.
25
2.1.3. Tinjauan tentang Trust dan Trustworthiness
2.1.3.1. Pengertian Trust dan Trustworthiness
Kepercayaan (trust) merupakan area psikologis terkait masalah
penerimaan kerentanan diri (Mayer dkk., 1995; Rousseau, 1998) berdasarkan
ekspektasi positif terhadap perilaku pihak lain (Rotter, 1967; Rousseau, 1998)
dalam situasi atau kondisi tertentu (Wrightsman, 1991). Perilaku yang
dimaksudkan dapat berupa kata-kata, janji, pernyataan lisan maupun tulisan oleh
individu atau kelompok lain (Rotter, 1967). Individu atau kelompok lain dinilai dapat
diandalkan (Rotter, 1967; Wrightsman, 1991), sehingga individu mau untuk
bertindak berdasarkan perilaku mereka (Lewicki, dkk., 1998). Dengan demikian,
kepercayaan melibatkan sikap penerimaan resiko terhadap perilaku pihak yang
dipercaya (Mayer dkk., 1995).
Penerimaan individu akan kerentanannya bergantung pada persepsinya
terhadap trustworthiness orang lain (Faturochman dkk., 2000). Trustworthiness
merupakan kualitas pihak yang dipercaya (trustee) yang membuat orang lain
(trustor) mempercayainya. Trustworthiness dapat dilihat dari kemampuan (ability),
kebaikan, dan integritas trustee (Davis, Schoorman, Mayer, & Tan, 2000; Mayer
dkk., 1995). Ketika individu ingin meningkatkan kepercayaan orang lain
terhadapnya, maka ia harus meningkatkan kualitas trustworthiness-nya (Johnson
& Johnson, 1997; Lewicki & Tomlinson, 2003).
Dari berbagai definisi tersebut, peneliti menyimpulkan bahwa kepercayaan
(trust) merupakan ekspektasi positif individu akan perilaku orang lain dalam suatu
konteks tertentu, sedangkan trustworthiness merupakan kualitias pribadi yang
dimiliki individu yang membuat orang lain dapat mempercayainya.
26
2.1.3.2. Dimensi Trust dan Trustworthiness
McKnight, Kacmar, dan Choudry (dalam Bachmann & Zaheer, 2006)
menyatakan beberapa dimensi kepercayaan, yaitu sebagai berikut.
1. Trusting belief, merupakan taraf kepercayaan individu dan kepercayaan
terhadap orang lain pada situasi atau kondisi tertentu.
2. Trusting intention, merupakan intensi individu untuk bergantung pada orang
lain dalam situasi tertentu.
Pendapat lain dikemukakan oleh Lewicki dan Tomlinson (2003) yang
menyatakan bahwa kepercayaan individu kepada orang lain dapat didasarkan
pada evaluasi kemampuan (ability), integritas (integrity), dan kebaikannya
(benevolence), sehingga dimensi kepercayaan dibagi berdasarkan ketiga
komponen tersebut.
1. Kemampuan (ability), mengacu pada penilaian terhadap pengetahuan,
keterampilan, atau kompetensi trustee. Dimensi ini menyatakan bahwa
kepercayaan dipengaruhi oleh kemampuan (ability) trustee untuk bertindak
dengan cara yang sesuai dengan ekspektasi.
2. Integritas (Integrity), mengacu pada sejauh mana trustee mematuhi prinsip-
prinsip yang dapat diterima oleh trustor. Dimensi ini mengarah pada
kepercayaan berdasarkan konsistensi tindakan masa lalu, kredibilitas
komunikasi, komitmen terhadap standar keadilan, dan kesesuaian perilaku
lainnya.
3. Kebaikan (Benevolence), mengacu pada penilaian bahwa trustee cukup peduli
tentang kesejahteraan trustor untuk memajukan kepentingan bersama, atau
setidaknya tidak menghalangi. Komunikasi jujur dan terbuka, mendelegasikan
keputusan, dan berbagi kontrol menunjukkan bukti kebaikan seseorang.
27
2.1.3.3. Faktor-faktor yang Melatabelakangi Trust
Mayer, dkk. (1995) mengemukakan bahwa kepercayaan dilatarbelakangi
oleh karakteristik dari kedua pihak yang terlibat, yaitu trustor dan trustee. Adapun
faktor-faktor tersebut yaitu sebagai berikut.
1. Karakteristik Trustor. Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi
kepercayaan salah satu pihak terhadap pihak lain yang melibatkan sifat dari
trustor. Beberapa pihak lebih cenderung percaya dibandingkan dengan pihak
lain. Faktor karakteristik dari trustor ini berupa kesediaan individu secara umum
untuk mempercayai orang lain. Kepercayaan dipandang sebagai sifat yang
mengarah kepada ekspektasi umum terhadap trustworthiness orang lain. Sifat
ini kemudian disebut sebagai kecenderungan untuk percaya (prospensity to
trust). Kecenderungan untuk percaya merupakan sebuah faktor yang stabil di
dalam diri individu yang akan mempengaruhi kemungkinan mereka untuk
percaya. Individu beragam dalam sifat kecenderungan mereka untuk percaya.
Kecenderungan akan mempengaruhi seberapa besar kepercayaan seseorang
terhadap pihak lain yang didasarkan pada pengetahuan yang mereka miliki
mengenai pihak tersebut. Individu dengan pengalaman perkembangan, tipe
kepribadian, dan latar belakang yang berbeda akan beragam dalam
kecenderungan mereka untuk percaya (Hofstede dalam Mayer dkk., 1995).
2. Karakteristik Trustee (Konsep Trustworthiness). Besar kecilnya tingkat
kepercayaan individu terhadap orang lain bergantung pada sifat-sifat trustee.
Karakteristik dan perilaku trustee akan mengarahkan seseorang menjadi lebih
terpercaya atau kurang terpercaya. Mayer dkk. (1995) menyebutkan tiga faktor
trustworthiness, yaitu kemampuan (ability), kebaikan (benevolence), dan
integritas (integrity). Kemampuan (ability) merupakan kumpulan keterampilan,
28
kompetensi, dan karakteristik yang memungkinkan satu pihak memiliki
pengaruh dalam bidang tertentu. Kebaikan merupakan keadaan di mana
trustee diyakini ingin berbuat baik terhadap trustor, terlepas dari motif
keuntungan yang egosentris. Kebaikan mengindikasikan bahwa trustee
memiliki kelekatan (attachment) dengan trustor. Integritas merupakan prinsip-
prinsip yang dimiliki oleh individu. Dalam kaitannya dengan kepercayaan,
prinsip-prinsip trustee harus dapat diterima oleh trustor, dengan demikian akan
sangat bergantung pada persepsi trustor.
Faktor-faktor yang melatarbelakangi kepercayaan juga dikemukakan oleh
Lewicki, dkk. (1998). Individu dalam mengembangkan tingkat kepercayaannya
kepada orang lain bergantung pada faktor-faktor sebagai berikut.
1. Predesposisi Kepribadian (Personality Predisposition). Semakin tinggi tingkat
predisposisi individu untuk dipercaya, maka semakin besar harapan untuk
dipercaya oleh orang lain.
2. Reputasi dan Stereotip (Reputation and Stereotype). Meskipun individu tidak
memiliki pengalaman langsung dengan orang lain, ekspektasi individu dapat
terbentuk melalui informasi dari pengalaman orang lain.
3. Pengalaman Aktual (Actual Experience). Sepanjang berjalannya waktu,
elemen kepercayaan (trust) maupun ketidakpercayaan (distrust) akan
mendominasi pengalaman, untuk menstabilkan dan mendefinisikan sebuah
hubungan. Ketika polanya sudah stabil, individu cenderung
menggeneralisasikan hubungan tersebut dan menggambarkannya dengan
tinggi rendahnya tingkat kepercayaan atau ketidakpercayaan.
4. Orientasi Psikologis (Psychological Orientation). Individu membangun dan
mempertahankan hubungan sosial berdasarkan orientasi psikologisnya.
29
Orientasi ini dipengaruhi oleh hubungan yang terbentuk dan sebaliknya. Agar
orientasinya tetap konsisten, maka individu akan mencari hubungan yang
sesuai dengan diri mereka.
2.1.3.4. Mekanisme Pembentukan Trust
Zucker (dalam Faturochman, dkk., 2000) mengemukakan tiga mekanisme
dasar pembentukan kepercayaan, yaitu characteristic-based trust, process-based
trust, dan institutional-based trust. Berikut ini diuraikan ketiga mekanisme tersebut.
1. Characteristic-Based Trust, yaitu pembentukan kepercayaan atas dasar latar
belakang individu dan berbagai stereotipe yang menyertainya. Kelompok-
kelompok tertentu, baik yang beratribusi etnis, sosial, dan ekonomi, serta
demografi, dapat menjadi dipercaya atau kurang dipercaya.
2. Process-Based Trust, yaitu pembentukan kepercayaan berdasarkan
pengalaman seseorang dalam melakukan pertukaran sosial, seperti
berdagang, saling memberi hadiah, dan kontrak kerja. Dasarnya adalah
konsep resiprositas atau pertukaran yang seimbang. Pembentukan
kepercayaan ini dilakukan melalui proses jangka panjang yang memungkinkan
terjadinya lebih dari satu transaksi sosial. Keterjaminan dan stabilitas akan
hubungan yang resiprokal merupakan faktor yang mempengaruhi tinggi-
rendahnya kepercayaan.
3. Institutional-Based Trust, atau pembentukan kepercayaan formal, yaitu
pembentukan kepercayaan berdasarkan atribut resmi seperti ijazah, sertifikat,
surat pernyataan, akreditasi, dan seterusnya.
Sejalan dengan mekanisme di atas, Creed dan Miles (dalam Faturochman,
dkk., 2000) menilai bahwa perubahan kepercayaan terhadap pihak lain
30
bergantung pada dua hal, yaitu kesamaan karakteristik dan pengalaman
melakukan hubungan resiprositas. Secara singkat dapat diformulasikan sebagai
berikut.
𝑇 = 𝑓(𝑝, 𝑠, 𝑟)
T : Trust
p : embedded predisposition to trust
s : characteristic similarity
r : experience of reciprocity
2.1.3.5. Tipe-Tipe Trust
Lewicki dan Bunker (dalam Faturochman, dkk., 2000) mengelompokkan
kepercayaan ke dalam tiga tipe, yaitu calculus-based trust (CBT), knowledge-
based trust (KBT), dan identification-based trust (IBT). Tipe kepercayaan ini dapat
berubah seiring dengan berjalannya waktu, sehingga dapat juga dikatakan
sebagai proses pembentukan kepercayaan hingga level tertinggi (Lewicki &
Tomlinson, 2003; Lewicki, dkk., 2006).
1. Calculus-Based Trust (CBT). Pada CBT, seseorang memperhitungkan
bagaimana pihak lain akan berperilaku dalam situasi tertentu. Individu yang
memutuskan untuk mempercayai orang lain akan mempertimbangkan manfaat
dan biaya dari hubungan tersebut. Kepercayaan hanya akan dipertahankan
jika hubungan dianggap menguntungkan. Ketika kepercayaan yang diberikan
tidak sesuai dengan imbalan yang diperoleh, maka dapat terjadi
ketidakpercayaan.
2. Knowledge-Based Trust (KBT). KBT dapat dibangun berdasarkan
pengetahuan atas pihak lain. Pengetahuan ini dapat digunakan untuk
31
memprediksi perilaku pihak lain. Dengan demikian, perkiraan akan perilaku,
karakteristik, dan perkembangan pihak lain sangat mempengaruhi tingkat
kepercayaan terhadapnya. Konsistensi perilaku dari interaksi berulang atau
melalui proses yang panjang akan sangat mempengaruhi tingkat kepercayaan
individu. CBT dan KBT adalah fenomena kepercayaan berbasis kepercayaan
secara kognitif, didasarkan pada penilaian prediktabilitas dan keandalan
trustee.
3. Identification-Based Trust (IBT). Pada IBT, kedua pihak telah saling
menginternalisasi keinginan dan niat masing-masing. Mereka mengerti apa
pihak lain benar-benar peduli sepenuhnya sehingga masing-masing pihak
dapat bertindak sebagai agen untuk pihak lain. Kepercayaan pada tahap
lanjutan ini juga diperkuat oleh ikatan emosional yang kuat antara para pihak,
berdasarkan tujuan dan nilai bersama. Jadi, berbeda dengan CBT, IBT adalah
fenomena yang didorong secara emosional, didasarkan pada persepsi
kepedulian dan perhatian interpersonal, dan saling membutuhkan kepuasan.
2.1.3.6. Model Trust
Mayer, dkk. (1995) menyusun sebuah model integratif dari kepercayaan
dalam konteks organisasi (An Integrative Model for Oganizational Trust) yang
hingga kini masih menjadi model yang populer digunakan dalam penelitian. Model
ini (Gambar 2.3) berangkat dari definisi Mayer, dkk. (1995) mengenai kepercayaan,
yaitu sebuah kerelaan satu pihak untuk menjadi rentan akan tindakan dari pihak
lain yang didasarkan pada ekspektasi bahwa pihak lain akan melakukan tindakan
tertentu yang penting bagi trustor, terlepas dari kemampuannya (ability) untuk
memantau atau mengendalikan pihak lain tersebut.
32
Gambar 2.3. Model Kepercayaan (Mayer, dkk., 1995)
Kepercayaan individu tidak hanya dilatarbelakangi oleh kecenderungan
pribadinya untuk percaya. Kepercayaan ini bervariasi tingkatannya untuk trustee
yang berbeda-beda. Tinggi rendahnya kepercayaan terhadap suatu pihak
dipengaruhi oleh sifat dari trustee itu sendiri, yang kemudian dinyatakan sebagai
trustworthiness dari trustee. Terdapat tiga karakteristik trustee yang menentukan
tingkat trustworthiness-nya, yaitu kemampuan (ability), kebaikan (benevolence),
dan integritas (integrity). Persepsi trustor kemampuan (ability), kebajian, dan
integritas pihak lain inilah yang akan menentukan tinggi rendahnya kepecayaan
trustor pada trustee (Mayer, dkk., 1995).
Adanya kerelaan trustor untuk rentan terhadap trustee berarti bahwa ada
kemungkinan trustor kehilangan sesuatu yang berharga. Dengan demikian,
kepercayaan melibatkan perilaku mengambil resiko. Namun, individu tidak perlu
mengambil resiko untuk mempercayai seseorang, melainkan harus mengambil
resiko untuk dapat berada dalam tindakan yang melibatkan kepercayaan.
Kepercayaan merupakan kehendak untuk menerima resiko. Mengambil resiko
33
dalam sebuah situasi melibatkan perhitungan terhadap kemungkinan hasil positif
dan negatif yang dapat terjadi (Coleman dalam Mayer dkk., 1995).
2.2. Kerangka Konseptual
Berdasarkan kerangka konseptual di atas, dapat dilihat bahwa hubungan
bisnis (business relationship) pada etnis Tionghoa dicirikan oleh adanya
kepercayaan bisnis yang dibangun atas dasar hubungan personal melalui jaringan
guanxi, yang dipengaruhi oleh nilai-nilai Konfusianisme. Salah satu aspek yang
terlihat dalam kewirausahaan etnis Tionghoa adalah adanya kepercayaan yang
sangat kuat dalam hubungan bisnisnya. Kepercayaan yang dibangun dalam
hubungan bisnis salah satunya ditentukan oleh persepsi individu terhadap
trustworthiness partner kerjanya.
Adanya pertukaran sosial (social exchange) yang terjadi dalam suatu
hubungan bisnis mempengaruhi bagaimana kepercayaan bisnis yang terbentuk.
Pertukaran sosial yang baik akan meningkatkan kepercayaan yang dijalin dalam
hubungan bisnis, atau sebaliknya. Demikian pula halnya, kepercayaan yang telah
terbangun dari pertukaran-pertukaran sebelumnya juga akan mempengaruhi
BUSINESS RELATIONSHIP
TRUST
VALUES (CONFUCIANISM)
SOCIAL EXCHANGE TRUSTWORTHINES
S
34
bagaimana kualitas pertukaran-pertukaran setelahnya, sehingga dengan kata lain
kualitas kepercayaan yang telah dimiliki juga mempengaruhi pertukaran sosial
yang akan terjadi di kemudian hari. Peneliti mengasumsikan bahwa wirausahawan
etnis Tionghoa di Kota Makassar, memiliki dinamika kepercayaan bisnis yang unik
untuk mencapai kesuksesan dalam berwirausaha.
35
BAB III
MATERI DAN METODE PENELITIAN
3.1. Materi Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah penelitian, diidentifikasi dua unit analisis,
yaitu trust dan trustworthiness. Berikut ini definisi unit analisis tersebut.
1. Trust merupakan keyakinan individu atas individu lain dalam suatu konteks
tertentu (bisnis) di mana kedua pihak bersifat interdependen dengan maksud
untuk mencapai tujuan yang diinginkan.
2. Trustworthiness merupakan kualitias personal dalam diri individu yang
membuat individu lain dapat mempercayainya.
3.2. Metode Penelitian
3.2.1. Tipe Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian dengan menggunakan metode
kualitatif. Pendekatan kualitatif digunakan dalam penelitian ini karena konstruk
yang ingin diteliti mencakup konstruk budaya yang melibatkan nilai-nilai yang
diyakini oleh individu secara pribadi sehingga sulit untuk digeneralisasi dan
dikuantifikasikan. Pendekatan kualitatif lebih peka dan dapat lebih menyesuaikan
diri dengan banyak penajaman pengaruh bersama terhadap pola-pola nilai yang
dihadapi dan situasi yang berubah-ubah selama penelitian berlangsung (Moleong,
2007).
Desain penelitian ini ialah deskriptif-eksploratif. Desain penelitian deskriptif
yaitu desain penelitian yang bertujuan untuk menggambarkan keadaan atau status
fenomena dalam situasi tertentu (Suryabrata, 2013). Peneliti ingin
36
menggambarkan trust dan trustworthiness yang dimiliki wirausahawan etnis
Tionghoa. Lebih lanjut peneliti ingin mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi
trust dan trustworthiness wirausahawan dalam kewirausahaannya, bagaimana
mereka membangun dan memeliharanya, serta bagaimana pertukaran sosial
(social exchange/renqing) yang digunakan, sehingga perlu dilakukan eksplorasi
lebih dalam. Adapun penelitian eksploratif merupakan metode penelitian yang
bertujuan untuk menggali secara luas tentang sebab-sebab atau hal-hal yang
mempengaruhi terjadinya sesuatu (Arikunto, 2006).
3.2.2. Subyek Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran tentang trust dan
trustworthiness dalam kewirausahaan etnis Tionghoa di Kota Makassar.
Berdasarkan tujuan tersebut, maka populasi yang menjadi unit analisis dalam
penelitian ini adalah wirausahawan yang beretnis Tionghoa di Kota Makassar.
Tidak ada kriteria tertentu untuk jenis kewirausahaan yang dijalankan oleh subyek
penelitian.
Teknik sampling unit analisis wirausahawan etnis Tionghoa di Kota
Makassar yang digunakan adalah purposive sampling. Purposive sampling
diartikan sebagai teknik pengambilan sampel dengan pertimbangan tertentu
(Sugiyono, 2013). Adapun kriteria dari wirausahawan tersebut ialah menjalankan
usaha bersama atau melakukan kerja sama bisnis dengan orang lain dan lama
usaha minimal lima tahun. Lama usaha lima tahun dipilih atas pertimbangan
kestabilan kewirausahaan yang telah berdiri.
37
3.2.3. Teknik Penggalian Data
Proses pengumpulan data menggunakan teknik wawancara mendalam (in-
depth interview), dengan tipe wawancara bersifat semi terstruktur. Tujuan dari
wawancara jenis ini adalah untuk menemukan permasalahan secara lebih terbuka,
di mana pihak yang diajak wawancara diminta pendapat, dan ide-idenya. Dalam
melakukan wawancara, peneliti perlu mendengarkan secara teliti dan mencatat
apa yang dikemukakan oleh informan (Sugiyono, 2013). Adapun pencatatan
selama proses wawancara dibantu dengan penggunaan alat perekam untuk
membantu proses pengumpulan data.
3.2.4. Teknik Analisis Data
Analisis data dilakukan secara interaktif dan berlangsung terus menerus
sampai tuntas, hingga datanya jenuh (Sugiyono, 2007). Miles dan Huberman
(dalam Sugiyono, 2007) mengatakan bahwa teknik analisis data penelitian
kualitatif meliputi reduksi data (data reduction), penyajian data (data display), dan
penarikan kesimpulan/verifikasi (conclusion drawing/verification).
1. Reduksi data (data reduction)
Reduksi data adalah proses pemilihan, pemusatan perhatian pada
penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data “kasar” yang muncul
dari data di lapangan. Inti dari reduksi data adalah proses penggabungan dan
penyeragaman segala bentuk data yang diperoleh menjadi satu bentuk tulisan
(script) yang akan dianalaisis. Hasil dari wawancara, observasi, dan
dokumentasi diubah menjadi bentuk tulisan (script) sesuai dengan formatnya
masing-masing. Hasil dari rekaman wawancara akan diformat menjadi bentuk
38
verbatim wawancara. Hasil observasi diformat menjadi tabel hasil observasi
disesuaikan dengan metode observasi yang digunakan.
2. Penyajian data (data display)
Penyajian data adalah mengolah data setengah jadi yang sudah seragam
dalam bentuk tulisan dan sudah memiliki alur tema yang jelas ke dalam suatu
matriks kategorisasi sesuai tema-tema yang sudah dikelompokkan dan
dikategorikan, serta akan memecah tema-tema tersebut ke dalam bentuk yang
lebih konkret dan sederhana yang disebut dengan sub-tema, yang diakhiri
dengan pemberian kode (coding). Dengan demikian, terdapat tiga tahapan
dalam penyajian data, yaitu kategori tema, sub-kategori tema, dan proses
pengodean (coding).
3. Penarikan kesimpulan/verifikasi (conclusion drawing/verification)
Di tahap yang terakhir, data yang telah diperoleh kemudian dikategorikan,
dicari tema dan polanya kemudian ditarik kesimpulan. Kesimpulan awal masih
bersifat sementara, dan akan berubah jika tidak ditemukan bukti-bukti kuat
yang mendukung tahap pengumpulan data selanjutnya. Oleh karena itu, tahap
ini akan menjawab rumusan persoalan berdasarkan data-data di lapangan.
3.2.5. Teknik Keabsahan Data
Untuk menguji keabsahan data dalam penelitian ini, dilakukan teknik
triangulasi. Teknik triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang
memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu untuk keperluan pengecekan atau
sebagai pembanding terhadap data itu (Setyohadi dalam Tamar, dkk, 2015).
Adapun triangulasi yang digunakan dalam penelitian ini yaitu triangulasi
dengan sumber dan triangulasi dengan penyidik (rater). Triangulasi dengan
39
sumber yaitu dengan membandingkan dan mengecek derajat kepercayaan suatu
informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda dalam metode
kualitatif. Triangulasi dengan penyidik yaitu dengan memanfaatkan peneliti atau
pengamat lainnya untuk keperluan pengecekan kembali derajat kepercayaan data
(Tamar, dkk, 2015).
Triangulasi dengan sumber dalam penelitian ini dilakukan dengan cara
menanyakan kembali pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada subyek dalam
proses pengambilan data kepada partnernya untuk mengetahui bagaimana
kepercayaan bisnis subyek dari sudut pandang partnernya sehingga dapat
memperkuat keabsahan jawaban subyek. Selain itu, peneliti juga menanyakan
secara langsung pendapat partner bisnis subyek mengenai kebenaran jawaban
subyek penelitian atas pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dalam proses
pengambilan data. Triangulasi dengan penyidik dalam penelitian ini dilakukan
dengan cara melakukan kroscek data penelitian dengan dua orang intercoder yang
peneliti anggap kompeten.
3.2.6. Prosedur Kerja
Berikut ini adalah prosesdur kerja yang direncanakan dalam penelitian ini
beserta timeline-nya.
Tabel 3.1. Timeline Penelitian
No. Waktu
Juni Juli Agust. Sept. Okt. Nov. Des.
Pekan Pekan Pekan Pekan Pekan Pekan Pekan
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
1.
Revisi proposal pasca seminar dan persetujuan pembimbing
2. Penyelesaian instrumen penggalian data
40
(guideline interview)
3. Pengambilan data
4. Analisis data penelitian
5. Penyusunan laporan penelitian
Adapun penjelasan dari prosedur kerja yang direncanakan akan
dilaksanakan dalam penelitian ini.
1. Revisi proposal pasca seminar dan persetujuan pembimbing. Proposal yang
telah diseminarkan lalu direvisi kembali berdasarkan umpan balik penguji
seminar. Hasil revisi tersebut dikonsultasikan kepada pembimbing hingga
mendapatkan persetujuan pembimbing yang menandakan bahwa proposal
penelitian telah disetujui.
2. Penyelesaian instrumen penggalian data (guideline interview). Instrumen
penggalian data berupa guideline interview divalidasi oleh validator ahli hingga
memenuhi syarat untuk dilanjutkan dalam proses pengambilan data penelitian.
3. Pengambilan data. Peneliti melakukan pengambilan data penelitian terhadap
4 orang wirausahawan etnis Tionghoa selama kurang lebih 3 bulan.
4. Analisis data. Peneliti akan melakukan pengambilan data penelitian terhadap
4 orang wirausahawan etnis Tionghoa selama kurang lebih 8 minggu. Proses
analisis data dilakukan setelah pengambilan data selesai.
5. Penyusunan laporan penelitian. Data yang telah dianalisis kemudian disusun
untuk laporan penelitian yang selanjutnya diserahkan kepada panitia skripsi
Prodi Psikologi Universitas Hasanuddin.
41
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Gambaran Karakteristik Subyek
Subyek yang berpartisipasi dalam penelitian ini berjumlah empat orang
yang berada dalam empat klan usaha yang berbeda di Makassar. Adapun daftar
subyek pada penelitian ini yaitu sebagai berikut.
Tabel 4.1. Tabel Inisial Pemilik Usaha Klan
No. Pemilik Usaha
1. R
2. T
3. W
4. F
Usaha klan yang merupakan unit analisis penelitian ini memiliki
karakteristik sebagai berikut.
1. Subyek R
Subyek R merupakan salah satu wirausahawan etnis Tionghoa di kota
Makassar yang memiliki usaha di bidang alat elektronik, khususnya lampu. Toko
ini berdiri sejak tahun 1978 dan sudah dijalankan selama dua generasi, di mana
subyek merupakan generasi kedua setelah orang tuanya. Saat ini, toko tersebut
masih dikelola oleh kedua generasi secara bersama-sama. Salah satu orang tua
subyek (pemilik toko generasi pertama), selain berwirausaha dengan mengelola
toko, juga memiliki latar belakang sebagai dosen, sedangkan subyek sendiri hanya
membantu kedua orang tuanya dalam mengelola usaha tersebut setelah
menyelesaikan pendidikannya.
Usaha keluarga ini sudah berkembang hingga memiliki beberapa toko yang
tersebar di kota Makassar. Jaringan guanxi yang digunakan dalam mengelola
42
usaha ini terdiri dari keluarga, yaitu orang tua, istri, dan anak-anaknya. Di toko
sentralnyai yang terdiri dua toko, masing-masing dikelola oleh subyek dan orang
tuanya, sedangkan untuk toko yang lainnya dikelola bersama, namun dijaga oleh
karyawan yang dipekerjakan. Di toko yang dikelola subyek, subyek dibantu oleh
istri dan anak-anaknya dalam mengatur keuangan dan hal-hal penting lainnya.
Hubungan yang dibangun subyek dengan keluarganya dalam konteks usahanya
sangat dipengaruhi oleh ikatan kekeluargaan yang mereka miliki. Subyek masih
melihat mereka sebagai keluarga dalam pekerjaannya, sehingga tidak ada kontrol
atas pekerjaan yang mereka lakukan. Keputusan untuk melibatkan keluarga dalam
usahanya didasarkan oleh keyakinan bahwa individu harus memiliki kontrol atas
kesejahteraan keluarganya, dan setiap generasi harus diajarkan untuk mampu
bekerja keras dan menghargai sebuah usaha sehingga mereka harus melibatkan
keluarganya dalam setiap usaha yang dijalankan.
Di luar jaringan guanxi-nya, subyek merekrut beberapa orang sebagai
karyawan. Jumlah karyawan yang dipekerjakan saat ini sekitar 20 orang. Tugas-
tugas yang dilakukan karyawan antara lain menjaga toko, membantu dalam
melayani pembeli, serta mengurus pengepakan dan pengantaran barang. Dalam
merekrut karyawan, subyek tidak mempertimbangkan latar belakang
pendidikannya, namun hanya melihat bagaimana sikap mereka dalam bekerja.
Adapun karakteristik pribadi yang dianggap penting bagi subyek ialah kerajinan,
kejujuran, dan hemat.
Lokasi toko yang berada di antara toko-toko lainnya yang menjual barang
serupa membuat interaksi subyek tidak terbatas hanya dalam lingkup internal.
Subyek sering berinteraksi dengan pemilik toko lainnya yang notabene merupakan
tetangganya dan termasuk ke dalam jaringan guanxi-nya. Adapun interaksi yang
43
terjalin bersifat transaksional, di mana subyek seringkali meminta stok barang
tertentu di toko lain ketika stok miliknya telah habis. Interaksi ini berjalan dua arah,
di mana sama halnya dengan subyek, pemilik toko lain juga akan meminta stok
barang tertentu ketika stok barang miliknya sedang kosong. Hal ini didukung oleh
pernyataan partner bisnis subyek yang memiliki toko di seberang toko subyek yang
membenarkan adanya permintaan barang secara timbal-balik oleh kedua toko
ketika salah satu pihak kehabisan stok barang. Hubungan transaksional ini
berjalan tanpa terikat kontrak fisik, namun hanya berdasarkan perjanjian non-
formal yang ditentukan oleh kualitas hubungan keduanya dalam memenuhi
permintaan masing-masing pihak.
2. Subyek T
Subyek T merupakan salah satu wirausahawan etnis Tionghoa di kota
Makassar yang memiliki usaha di bidang bahan bangunan. Toko bangunan milik
subyek telah dibangun sejak awal tahun 2000an. Adapun subyek membangun
usahanya ini dengan istrinya sebagai bagian dari jaringan guanxi-nya, dan
memiliki sebuah toko di kota Makassar. Subyek memilih toko bangunan karena
melihat kesuksesan saudaranya yang terlebih dahulu membuka toko di bidang
bahan bangunan. Selanjutnya, kemudian semakin banyak keluarganya yang juga
membangun usaha di bidang yang sama.
Di samping toko masing-masing, subyek memanfaatkan jaringan guanxi-
nya yang lain, yaitu dua orang anggota keluarganya, dengan membangun usaha
bersama yang juga bergerak di bidang bahan bangunan. Adapun mereka sama-
sama berkontribusi dalam usaha bersama tersebut. Tidak ada kontrol mutlak oleh
salah satu pihak, namun masing-masing memiliki tugasnya sendiri. Hanya saja,
terkadang mereka saling menggantikan tugas ketika salah satu pihak berhalangan
44
dalam melaksanakan tugasnya. Hal ini juga didukung oleh pernyataan anggota
keluarga subyek yang menjadi partner kerjanya yang membenarkan adanya
pengalihan tanggung jawab untuk sementara ketika salah satu pihak sedang
berhalangan.
Usaha bersama ini juga dimanfaatkan oleh subyek dan keluarganya
sebagai sumber stok barang untuk toko pribadinya. Seringkali subyek lebih
memilih mengambil barang di usaha bersama mereka dibandingkan mengambil
barang secara langsung di distributor. Alasannya, karena subyek menganggap
hubungan yang dibangun dengan keluarga itu lebih pengertian, sehingga kerja
sama yang dibangun pun menjadi lebih fleksibel, meskipun harga barang yang
diperoleh lebih tinggi.
3. Subyek W
Subyek W merupakan salah satu wirausahawan etnis Tionghoa di kota
Makassar yang bergerak di berbagai macam bidang. Usaha yang dijalankan
subyek saat ini awalnya dijalankan oleh kedua orang tuanya. Toko yang dirintis
kedua orang tuanya merupakan toko yang bergerak di bidang ATK. Hingga kini,
toko tersebut sudah berdiri hampir 40 tahun.
Subyek memutuskan untuk berwirausaha setelah berhenti dari bangku
kuliah di Surabaya. Di sana, subyek melihat peluang untuk membuka usaha laser
disk, yang saat itu sedang booming. Subyek memulai usahanya pada tahun 1996
bersama salah satu guanxi keluarga, yaitu kakak sepupunya. Usahanya terus
mengalami pengembangan hingga akhinya subyek mulai memproduksi DVD
bajakan pada tahun 1998. Usahanya mengalami pengembangan hingga berhasil
membangun usaha di lima daerah. Di tahun 2007, mengalami masalah karena
adanya pelanggaran hak cipta melalui DVD bajakan. Selain membangun usaha
45
tersebut, subyek telah mencoba menjajaki berbagai bidang usaha, mulai dari
usaha ekspor sirip ikan dan teripang ke luar negeri, usaha hasil bumi, cokelat dan
pala, hingga usaha helm. Selama membangun usaha-usaha tersebut, subyek
tidak pernah bekerja sendirian, melainkan bekerja dengan memanfaatkan jaringan
guanxi-nya yang lain, yaitu dua orang teman yang dikenalnya di perantauan dan
kedua adiknya.
Subyek kembali ke Makassar setelah usaha DVD bajakannya di Surabaya
mulai terhambat. Subyek mulai melihat peluang yang ada dalam usaha kedua
orang tuanya, di mana muncul permintaan dari salah satu Perguruan Tinggi di
Makassar untuk memenuhi kebutuhan ATK mereka. Kerja sama di bidang ATK
berjalan lancar hingga berlangsung sekitar satu setengah tahun. Dalam kurun
waktu satu setengah tahun tersebut, subyek masih belum fokus mengerjakan
usaha ATK karena masih mengurus usahanya di Surabaya. Akhirnya, ketika
kembali lagi ke Makassar dan mulai fokus dalam usaha ATK, subyek melihat
adanya masalah dalam bidang distribusi komputer. Subyek memutuskan untuk
terjun ke dalam usaha komputer dan kembali memperoleh kepercayaan dari pihak
Perguruan Tinggi tersebut. Kepercayaan yang telah terjalin membuat kerja sama
subyek dengan pihak Perguruan Tinggi tersebut dapat berlangsung hingga saat
ini.
Subyek tidak hanya berhenti pada usaha penyediaan ATK dan komputer,
namun terus memberikan inovasi penyediaan barang-barang baru bagi perguruan
tinggi rekanannya. Usaha subyek ini menciptakan suatu kepercayaan yang besar
hingga subyek sering dipanggil dalam berbagai situasi dan acara yang
diselenggarakan pihak perguruan tinggi tersebut. Selain usaha di bidang ATK dan
komputer, subyek juga telah menjalin kerja sama dalam bidang lainnya. Subyek
46
sangat terbuka dalam menjalin kerja sama dengan pihak lain di luar jaringan
guanxi-nya dan juga dalam bidang-bidang yang baru.
Dalam bekerja, subyek memberikan kepercayaan dan tanggung jawab
penuh pada partnernya untuk mengurus tugas-tugas mereka. Kontrol yang
dilakukan hanya berupa komunikasi atas progress yang telah dilakukan partner
dalam tugasnya. Subyek menekankan pentingnya kejujuran dan komunikasi
terbuka yang dijalin dengan partnernya dalam hubungan kerja samanya. Hal ini
dibenarkan oleh partner subyek, di mana ia mengaku seringkali mendapatkan
kepercayaan penuh untuk mengelola salah satu proyek penting yang mereka
jalankan bersama.
Selama menjalani usahanya, subyek membangun hubungan jangka
panjang dengan partner-partner kerjanya, yang membuat subyek membentuk
banyak jaringan guanxi yang baru. Salah satu guanxi yang berhasil dibangun
setelah membangun usaha bersama, saat ini sudah ia kenal selama hampir 19
tahun. Hubungan yang dibangun ini tidak hanya terbatas pada hubungan kerja
sama dalam pekerjaan, melainkan juga hubungan personal yang lebih dalam.
Partner sudah dianggap sebagai keluarga dan diperlakukan layaknya keluarga
dengan mengajak partner dalam setiap kegiatannya di luar negeri dan
membebaskan partner untuk keluar-masuk rumahnya meski tanpa kehadiran
subyek.
4. Subyek F
Subyek F merupakan salah satu wirausahawan etnis Tionghoa di kota
Makassar yang pernah bergerak di berbagai bidang. Adapun bidang usaha yang
penah dijajaki antara lain usaha di bidang properti, sosial, maupun investasi.
Subyek mulai membangun kewirausahaannya pada tahun 1999.
47
Berbeda dengan ketiga subyek lainnya, subyek F tidak menjalankan usaha
keluarga, melainkan menjalin usaha kongsi (kerja sama) dengan jaringan guanxi
yang ia miliki yaitu teman-temannya. Meskipun lebih cenderung menjalin kerja
sama dengan teman dekatnya, namun tidak menutup kemungkinan subyek
menjalin usaha dengan orang baru. Hanya saja, subyek meminimalisir resiko yang
mungkin ditemui dalam kerja sama dengan menjalin kerja sama dalam usaha yang
berskala lebih kecil. Hubungan kerja sama yang dibangun lebih berjangka pendek
dibanding ketiga subyek lainnya karena subyek tidak memiliki usaha yang tetap
melainkan menjalankan usaha mengikuti peluang yang ada. Setelah satu kerja
sama dengan kongsinya selesai, maka hubungan yang dijalin pun berakhir.
Kerja sama dengan kongsi dibangun dengan pembagian tugas dan kontrol
bersama. Subyek menekankan pentingnya perjanjian di awal usaha agar tidak
terjadi perbedaan-perbedaan keputusan dan masalah dalam kerja samanya.
Subyek juga menekankan pentingnya kontrol bersama dalam melaksanakan tugas
masing-masing, karena bagi subyek, dalam kerja sama tidak dimungkinkan
pemberian kepercayaan secara penuh kepada partner. Namun hal ini tidak
membawa subyek dan partnernya ke dalam hubungan yang penuh
ketidakpercayaan dan rasa curiga, melainkan mengantarkan mereka ke dalam
hubungan yang lebih terbuka dengan menjalin komunikasi dan intens, baik dalam
hal pengelolaan usaha maupun dalam menghadapi masalah yang terjadi. Hal ini
didukung oleh pernyataan partner bisnis subyek saat ini, di mana mereka selalu
melakukan komunikasi yang intens untuk mengetahui perkembangan kerja
mereka.
Hubungan jangka pendek subyek dengan partner tidak berarti terjadi
pemutusan hubungan secara total. Ketika hubungan dan kerja sama sebelumnya
48
dianggap memuaskan, maka subyek akan memutuskan untuk menjalin kerja sama
kembali dengan partner tersebut. Sedangkan ketika hubungan dan kerja samanya
tidak memuaskan, maka subyek akan benar-benar memutuskan hubungannya.
4.2. Hasil Penelitian
4.2.1. Deskripsi Penemuan
Berikut ini merupakan keseluruhan tema yang terbentuk dari data penelitian
yang terkumpul melalui proses wawancara. Terdapat lima tema yang teridentifikasi
dalam penelitian ini, yaitu Faktor-Faktor yang Melatarbelakangi Kepercayaan
(Trust Antecendents), Konsekuensi dari Kepercayaan (Trust Consequences),
Faktor-Faktor Kontekstual Kepercayaan (Contextual Factors of Trust),
Pelanggaran dan Perbaikan Kepercayaan (Trust Violation and Repair), dan
Pemeliharaan Kepercayaan dalam Budaya Tionghoa. Tema-tema yang dihasilkan
dalam penelitian ini akan dijelaskan secara terpisah untuk memahami bagaimana
wirausahawan etnis Tionghoa dalam membangun dan memelihara kepercayaan
di klan usaha atau kongsinya.
4.2.1.1. Faktor-Faktor yang Melatarbelakangi Kepercayaan (Trust
Antecendents)
Kepercayaan (trust) pada dasarnya dilatarbelakangi oleh berbagai macam
faktor, yang kemudian disebut sebagai trust antecendents (Mayer, dkk., 1995).
Penelitian ini mengidentifikasi sejumlah kategori yang terbentuk dari tema trust
antecendents wirausahawan etnis Tionghoa di Kota Makassar, seperti yang dapat
dilihat pada tabel 4.2. Adapun kategori yang terbentuk dapat dibagi menjadi dua,
yaitu kecenderungan trustor untuk percaya (prospensity to trust) dan karakteristik
trustee yang dapat dipercaya (trustworthiness).
49
Tabel 4.2. Faktor-faktor yang Melatarbelakangi Kepercayaan Wirausahawan Etnis Tionghoa di Kota Makassar
TEMA KATEGORI SUB
KATEGORI VERBATIM
Trust Antecendents
Prospensity to Trust
Kerelaan untuk Bergantung pada Orang
Lain
…jadi, tarik mereka masuk (kerja sama)
…kamu urus ini, saya nanti lihat hasilnya, gitu.
Kurang Informasi
Terkait Trustee
Kebetulan saya lagi makan ada orang Bangkok… akhirnya saya panggil, ngomong, ngomong, bagaimana kalau kita join
Situasi Ambigu Dia... saya pertama mau ambil computer
Trustworthiness
Potensi …mereka punya potensi apa sih, nda mungkin kamu ambil tukang becak
Performa Kerja …mereka kerjanya kayak bagaimana, bagus nda
Kejujuran …saya taruh itu uang, ternyata nda ada hilang
Kebaikan Hati orang saya itu baik… semua respon intinya bagus
Keterbukaan …harus tebuka, transparan, jadi semua tau kerjanya
Ketersediaan …saya nda sempat, yah kamu lah yang handle gituloh
Keadilan
...untungnya misalnya 3 juta yah berarti kalau saya join 3 orang yah bagi 1 juta perorang
Komitmen mereka punya komitmen
Kebenaran
harus menanamkan bahwa orang baik belum tentu benar, tapi orang benar sudah pasti baik
Pemenuhan Janji
…kita mesti tepat janji apa segala macam
Kesamaan Pandangan
…pertama itu mesti ada pandangan yang selaras
Kesamaan Tujuan
Bukan kalau saya kerja kamu saja nikmati. Jadi kita ada kebersamaan untuk bentuk ini perusahaan
50
Prospensity to trust pada penelitian ini mengacu pada hal-hal yang
berkaitan dengan kecenderungan individu (trustor) untuk percaya. Trustworthiness
pada penelitian ini merupakan kualitas diri yang dimiliki pihak lain (trustee) yang
membuatnya dinilai dapat dipercaya. Berikut akan dijelaskan mengenai masing-
masing kategori yang terbentuk tersebut.
1. Prospensity to trust
Pada penelitian ini, keempat wirausahawan mengatakan bahwa mereka
memiliki kecenderungan untuk bekerja sama dengan orang lain daripada bekerja
sendirian. Mereka cenderung mengajak orang lain untuk bekerja sama kemudian
memberikan kepercayaan pada mereka untuk bertanggung jawab atas tugas
tertentu. Berikut ungkapan beberapa subyek.
“Saya nda suka kalau kerja sendiri, lebih suka kalau berinteraksi dengan orang lain. (F)” “Kebetulan, gini, koko waktu di Surabaya itu banyak anak-anak Makassar, saya bukan bicara sombong yah, banyak anak-anak Makassar itu belum ada apa-apa... datang tinggal di rumahnya koko, datang tinggal di rumahnya koko... Jadi, tarik mereka masuk (kerja sama), kan koko tinggal di sana cuma sendiri, sendiri di Surabaya. (145-172W)”
Kecenderungan untuk percaya pada umumnya berlaku terhadap orang-
orang yang telah dikenal sebelumnya, seperti keluarga, teman, ataupun kenalan.
Berikut ungkapan subyek tersebut.
“saya merasa paling dapat percaya pada keluarga saya. (R)” “Kebetulan, gini, koko waktu di Surabaya itu banyak anak-anak Makassar, saya bukan bicara sombong yah, banyak anak-anak Makassar itu belum ada apa-apa... datang tinggal di rumahnya koko, datang tinggal di rumahnya koko... Jadi, tarik mereka masuk (kerja sama), kan koko tinggal di sana cuma sendiri, sendiri di Surabaya. (145-172W)” “nda ada, hanyakan kita merasa cocok aja, dan daripada kerja dengan orang lain yang belum kita tau sifat tanduknya atau apa, kalau kita ini kerja sama saudarakan, untuk artinya untuk ditelikung atau dicurangi istilahnya yah, sangat kecil sekali. (302-305T)”
51
Pada salah satu subyek, kecenderungan untuk percaya terhadap orang
lain tetap berlaku meskipun informasi mengenai partner masih sangat sedikit.
Dengan kata lain, subyek dapat mempercayai orang yang baru saja dikenalnya
atau orang-orang yang tidak memiliki kedekatan yang besar dengannya untuk
membangun sebuah hubungan bisnis. Berikut ungkapan subyek tersebut.
“Waktu ini orang, ini orang, koko juga kenal dari saya punya rental, di salah satu rental gerai saya, to. Saya kenal dari salah satu gerai, termasuk dia, termasuk dia. Dia... saya pertama mau ambil komputer, ambil komputer untuk mau produksi itu film. Kan dulukan... apa dulu alatnya itu namanya itu yang satu jadi, keluar sekali banyak? Plester, playster, playstore namanya itu barang. Waktu saya sudah beli itu playstore, ternyata harus pakai komputer. Saya cari dia. Akhirnya, saya ketemu dia di pameran, akhirnya dia, pertama saya ambil itu, itu komputer pada saat itu masih kurang lebih 20 juta. Uang dulu loh, untuk, mau jalankan ini sistem, toh. (149-157W)” “Kebetulan saya lagi makan ada orang Bangkok, asli orang Bangkok saya ngomong, ngomong!! Terus dia tegur, loh orang Indonesia yah oh ia, saya orang Indonesia bapak orang Jakarta? Bukan saya orang lokal, loh kok bisa tau bahasa Indonesia? …akhirnya saya panggil, ngomong, ngomong, bagaimana kalau kita join ya toh. (212-229W)
Selain pada konteks informasi yang kurang, kecenderungan untuk percaya
terhadap orang lain juga berlaku pada situasi-situasi yang belum pasti atau ambigu,
di mana ada kemungkinan partner tidak dapat dipercaya. Berikut ungkapan subyek
tersebut.
“…dia cerita kalau dia itu disini biasa ba botoro’ juga tapi basic-nya tidak terlalu dia perhatikan karna anak orang kaya setelah itu dia cerita kalau dia suka kalah main judi apa segala macam, semalam habiskan uangnya bisa sampai 200 juta kan eman, iakan, makanya saya rubah, mindset-nya saya rubah, sekarang kalau kamu terus begitu, kamu mau harapkan siapa? …akhirnya saya panggil, ngomong, ngomong, bagaimana kalau kita join ya toh kita join tapi satu hal saya minta sama kamu jangan terus judi, kalau kita sdh kerja gak bisa judi karna kita pasti habis, sudah akhirnya dia respon sama saya oke. (219-212; 228-231W)”
2. Trustworthiness
Kelima subyek penelitian ini menyatakan bahwa kepercayaan yang mereka
berikan kepada partner bergantung dari bagaimana karakteristik partner itu sendiri.
52
Ketika subyek merasa seseorang dapat dipercaya (trustworthy), maka subyek
tidak akan ragu percaya pada mereka dan menjadikan mereka sebagai partner
dalam bekerja sama. Mayer dkk. (1995) menyebutkan bahwa karakteristik individu
yang dievaluasi sebagai trustworthiness-nya yaitu kemampuan (ability), kebaikan
(benevolence), dan integritas (integrity). Ketiga karakteristik ini dapat ditemukan
dalam penelitian ini.
Dua dari empat subyek menyatakan pentingnya kemampuan (ability)
partner dalam bekerja, yang dapat dilihat dari status atau gelarnya. Persepsi atas
kemampuan (ability) partner ini utamanya dipertimbangkan pada partner yang
baru dikenalnya. Berikut ungkapan subyek.
“Begini, satu hal, dua hal itu manusia dari cara bicara kita mengetahui mereka punya potensi apa sih, ya, nda mungkin kamu ambil tukang becak baru kamu, yakan, kita lihat dulu. Begini, satu hal, dua hal itu manusia dari cara bicara kita mengetahui mereka punya potensi apa sih, ya, nda mungkin kamu ambil tukang becak baru kamu, yakan, kita lihat dulu. (294-296W)”
Selain dari status yang dimiliki oleh partner, evaluasi terhadap kemampuan
(ability) pihak lain juga dapat dilihat dari performa kerjanya (work performance).
Work performance pihak lain dapat diketahui melalui informasi dari pihak lain
maupun dari pengalaman pribadi dengan pihak tersebut, dan terus
dipertimbangkan selama hubungan berjalan. Berikut ungkapan beberapa subyek.
“makanya kenapa saya seringnya kongsi sama teman, karena kalo teman dekatku itu saya taumi mereka kerjanya kayak bagaimana, bagus nda. (F)”
“Kan dari kamu punya hasil saya bisa baca, oh kerjamu ini kok kamu dari jam sekian sampe jam sekian ini aja kamu kerja apa… (348-349W)”
Karakteristik lain yang dianggap penting ialah kejujuran (honesty).
Karakteristik ini ditemukan dalam ungkapan setiap subyek. Berikut ungkapan
beberapa subyek.
“…kalau kerja itu satu, kejujuran aja… (261-262W)”
53
“… itu driver jujur, berapa kali saya sengaja test pake dia, sengaja saya kasi lebih uangnya dia gak mau akhirnya saya pikir oh ia ini ini bisa diajak kerja sama ini… (273-275W)” “Kedua kali, saya panggil dia datang lagi, sengaja saya nda kunci, saya taruh itu uang, ternyata nda ada hilang, dari sanalah saya punya hubungan ini, ada percaya sama dia… (330-332W)” “Yang penting intinya kita kasi tau mereka, kau rajin, kau jujur, kau hemat. Itu. Rajin, jujur, hemat, sudah. (R)” “yang harus ada, kepercayaan, kejujuran, pengertian itu aja kalau untuk kerja yah harus giat. (133-134T)” “semua ada tugasnya masing-masing, tapi dalam mengerjakan itu harus jujur, harus tebuka, transparan, jadi semua tau kerjanya itu bagaimanami (F)”
Karakteristik lain yang dianggap penting ialah kebaikan hati (kindness).
Berikut ungkapan beberapa subyek.
“…orang saya itu baik, saya puji diri saya, gak, semua yang ikut saya … semua respon intinya bagus sama koko gitu… (355-358W)”
Karakteristik lain yang dianggap penting ialah keterbukaan (openness).
Berikut ungkapan beberapa subyek.
“semua ada tugasnya masing-masing, tapi dalam mengerjakan itu harus jujur, harus tebuka, transparan, jadi semua tau kerjanya itu bagaimanami. (F)” “lebih bisa kita tau ininya, gerak-geriknya itu maunya kemana. (258W)”
Karakteristik lain yang dianggap penting ialah ketersediaan (availability).
Berikut ungkapan beberapa subyek.
“yah itu sa bilang, sama sama mengerti kalau misalnya saya nda sempat, yah kamu lah yang handle gituloh. (128-129T)” “kita itu berbisnis kongsi begini, gunanya juga supaya bisa saling melengkapi kalau ada yang kurang (F)” “Karna mobilku, na lihat merapat di sana, sudah, bos saya pake saya dia yang bantu angkat… (294-295W)” “kalo kita kerja sama, kalo kita butuh, mereka kasi, kalau mereka butuh, saya kasi. (R).
54
Bila dikaitkan dengan ketiga faktor trustworthiness yang dikemukakan oleh
Mayer, dkk. (1995), kejujuran (honesty), kebaikan hati (kindness), keterbukaan
(openness), dan ketersediaan (availability) dapat digolongkan sebagai bentuk
kebaikan (benevolence) seseorang. Kelima subyek menyatakan pentingnya
karakteristik ini dalam diri seseorang agar mereka dapat mempercayainya.
Karakteristik kebaikan (benevolence) yang paling sering muncul dalam pernyataan
kelima subyek ialah kejujuran (honesty).
Selain karakteristik-karakteristik di atas, terdapat beberapa karakteristik
yang hanya ditemukan dalam pernyataan salah satu subyek saja. Salah satu
subyek mengungkapkan bahwa keadilan (fairness) merupakan karakteristik yang
menentukan trustworthiness pihak lain. Berikut ungkapan subyek tersebut.
“... misalnya 2 juta biaya perjalanan yah, masukin di perusahaan biaya perjalanan 2 juta, kalau ko untung misalnya 5 juta yah bagi, lah, potong biayamu baru untungnya misalnya 3 juta yah berarti kalau saya join 3 orang yah bagi 1 juta perorang, contohnya begitu. (102-106T)”
Subyek lainnya mengemukakan bahwa komitmen (commitment)
merupakan karakteristik yang menentukan trustworthiness pihak lain. Berikut
ungkapan subyek tersebut.
“mereka punya komitmen, mau jalankan ini usaha betul-betul (F)”
Subyek lainnya mengemukakan bahwa kebenaran (rightenousness)
merupakan karakteristik yang menentukan trustworthiness pihak lain. Berikut
ungkapan subyek tersebut.
“harus menanamkan bahwa orang baik belum tentu benar, tapi orang benar sudah pasti baik (F)”
Subyek lainnya mengemukakan bahwa pemenuhan janji (promise
fulfillness) merupakan karakteristik yang menentukan trustworthiness pihak lain.
Berikut ungkapan subyek tersebut.
55
“… kita mesti tepat janji apa segala macam, gak bisa bilang ehh, aduh jangan mi dulu urus ini, tidak bisa. (360-362W)”
Bila dikaitkan dengan ketiga faktor trustworthiness yang dikemukakan oleh
Mayer, dkk. (1995), keadilan (fairness), komitmen (commitment), kebenaran
(rightenousness), dan pemenuhan janji (promise fulfillness) dapat digolongkan
sebagai bentuk integritas (integrity) seseorang. Meskipun masing-masing subyek
mengemukakan karakteristik yang berbeda, namun kesamaan masing-masing
karakteristik yang merupakan bentuk dari integritas (integrity) mengindikasikan
adanya peranan integritas (integrity) dalam penilaian trustworthiness individu.
Selain karakteristik-karakteristik yang dapat digolongkan ke dalam
kemampuan (ability), kebaikan (benevolence), dan integritas (integrity), yang
sesuai dengan yang dikemukakan oleh Mayer, dkk. (1995), peneliti juga
menemukan beberapa karakteristik lain yang tidak dapat dimasukkan ke dalam
ketiga kelompok karakteristik tersebut. Adapun karakteristik tersebut ialah
kesamaan pandangan dan kesamaan tujuan (common goals). Berikut ungkapan
beberapa subyek.
“saya tidak susah ji, itu pertama pandangan kita sama mereka selaras nda? Sepadan gak, kalau bila mana kita bisa sepadan berartikan kalau kita keluar sama-sama kan cocok, kita baik, makan kita jalan-jalan, kan cocok, itulah yang menjalin hubungan lebih baik yatoh. ... pertama itu mesti ada pandangan yang selaras, nah kalau pandangan sudah sama kita bisa jalin hubungan, bisa jadi teman. Jadi bukan dibilang bekerja itu antara saya penjual dan anda pembeli, tetapi yang kita kembalikan itu dari hubungan kecocokannya kita. (547-550; 555-557W)” “keputusan itu harus selalu sama, biar tidak ribut nanti kalau ada masalah. (F)” “…jadi kalau kamu mau ngerti saya baru saya nda ngerti kamu bagaimana kita mau jalan sama-sama tidak cocok kita namanya join kalau yang namanya join yah sependapat. (111-113T)” “Karna kan untuk perusahaan kita juga untuk kemajuan bersama. Bukan kalau saya kerja kamu saja nikmati. Saya nda maulah. Jadi kita ada kebersamaan untuk bentuk ini perusahaan. (134-136T)”
56
4.2.1.2. Konsekuensi dari Kepercayaan (Trust Consequences)
Kepercayaan yang dimiliki terhadap pihak lain menimbulkan konsekuensi
tersendiri bagi trustor. Pada tabel 4.3 dapat diidentifikasi satu kategori yang
terbentuk dari tema trust consequences wirausahawan etnis Tionghoa di Kota
Makassar. Adapun kategori yang terbentuk yaitu kategori pengambilan resiko
dalam hubungan (risk taking in relationship/RTR), pertukaran sosial (social
exchange), dan hubungan jangka panjang (long-term relationship). RTR
merupakan pengambilan resiko yang dilakukan oleh kedua pihak yang terlibat
dalam suatu hubungan kepercayaan. Pertukaran sosial merujuk pada pertukaran
dalam bentuk barang atau jasa dalam kerja sama. Hubungan jangka panjang
merujuk pada hubungan bisnis yang dibawa ke dalam hubungan bisnis dan
personal jangka panjang.
Tabel 4.3. Konsekuensi dari Kepercayaan
TEMA KATEGORI SUBKATEGORI VERBATIM
Trust Consequences
Risk Taking in
Relationship (RTR)
Dorongan Pihak Ketiga
...Prof minta dia diterbangkan ke Makassar
Perhitungan Resiko
...sampaikan ke koko, bahwa ini barang, yang... komputer yang ko ambil in semua, barang ee, rekondisi dari Singapura. …bagaimana boss, ko rugi karna sering hang hang trouble. Sudah gitu, saya bilang, “jadi menurut versimu gimana?”, dia bilang “ambil saja komputer bos, yang baru saya rakitkan.”
…sudah gitu nda lama kemudian dia main itu hasil bumi ternyata respon, bagus, maksudnya ada putaran, ada keuntungan, ehh, jadi saya bilang apa, ya sudahlah kamu coba jalankan…
57
Social Exchange
Pertukaran Barang
Cuma pasti mengertimi lah, kalo kita kerja sama, kalo kita butuh, mereka kasi, kalau mereka butuh, saya kasi.
Long-term Relationship
Hubungan Kerja Jangka Panjang
Dan inilah orang yang ikut koko sampai saat ini sudah mau 19 tahun.
1. Risk Taking in Relationship (RTR)
RTR yang dilakukan oleh subyek dilakukan atas pertimbangan
kemungkinan-kemungkinan positif dan negatif yang dapat terjadi. Berikut
ungkapan beberapa subyek.
“... akhirnya, si eksa ini, sampaikan ke koko, bahwa ini barang, yang... komputer yang ko ambil in semua, barang ee, rekondisi dari Singapura. Akhirnya dia bilang, kasi tau saya, bagaimana boss, ko rugi karna sering hang hang trouble. Sudah gitu, sudah gitu, saya bilang, ‘jadi menurut versimu gimana?’, dia bilang ‘ambil saja komputer bos, yang baru saya rakitkan.’ (158-163W)” “Kita mulai pelan-pelan dulu, stop itu, abis itu dia pergi kerja hasil bumi, coklat sama pala yahh, dia selalu gabung sama adeknya koko yang kedua ini si Wandi jadi pagi kalau kita keluar, pagi kalau misalkan koko sudah buka semua kita sudah jalan keluar kemana pergi liat barang apa yang bisa di jual yang bisa untung gitu, jadi kalau sore sudah ketemu di rumahnya koko sudah gitu si Wandi sama Yandi, koko sama si Alfa, sudah gitu nda lama kemudian dia main itu hasil bumi ternyata respon, bagus, maksudnya ada putaran, ada keuntungan, ehh, jadi saya bilang apa, ya sudahlah kamu coba jalankan… (189-197W)”
Adapun RTR juga dapat terjadi karena adanya pengaruh sosial dari
lingkungan sekitar, maupun pihak ketiga yang terlibat. Berikut ungkapan beberapa
subyek.
“... dia sebenarnya basic-nya atur barang saya di Surabaya, untuk masuk Makassar. Karna ada keperluan acara di Bantaeng, yang itu ping Oktober penyuluhan kanker payudara, apa, segala macam. Prof minta dia diterbangkan ke Makassar karena basic-nya memang untuk, ee... Apa, kamera. Jadi dia penyutingan sistem drone, apa, segala macam gitu loh. (121-126W)”
58
2. Social Exchange
Kepercayaan yang dibangun dalam sebuah hubungan bisnis juga
menimbulkan adanya pertukaran sosial (social exchange) yang terjadi antara
kedua belah pihak. Berikut ungkapan beberapa subyek.
“Cuma pasti mengertimi lah, kalo kita kerja sama, kalo kita butuh, mereka kasi, kalau mereka butuh, saya kasi. (R)” “…saya rencananya buka di Bali saya kasi link dia di Bali jadi tamu yang masuk, e tamu yang dari Indonesia lari ke Bangkok, tamu yang dari Bangkok lari ke Bali. (270-278W)”
3. Long-Term Relationship
Hubungan kepercayaan yang mampu dijaga dengan baik pada akhirnya
dapat membawa hubungan bisnis menjadi hubungan jangka panjang. Berikut
ungkapan beberapa subyek.
“Dan inilah orang yang ikut koko sampai saat ini sudah mau 19 tahun. (119-120W)”
4.2.1.3. Faktor-Faktor Kontekstual Kepercayaan (Contextual Factors of
Trust)
Kepercayaan pada dasarnya dipengaruhi oleh berbagai macam faktor.
Selain faktor utama yang melatarbelakangi kepercayaan dari karakteristik trustor
dan trustee, terdapat faktor-faktor lain dari luar diri kedua pihak. Pada tabel 4.4
dapat diidentifikasi sejumlah kategori yang terbentuk dari tema contextual factors
of trust wirausahawan etnis Tionghoa di Kota Makassar. Adapun kategori yang
terbentuk dapat dibagi menjadi empat, yaitu karakteristik hubungan terdahulu
dengan partner (past relationship between the parties), proses komunikasi yang
terjadi (communication processes), bentuk hubungan yang dimiliki kedua pihak
(relationship form between the parties), dan parameter struktural yang
mempengaruhi hubungan kedua pihak (structural parameters).
59
Tabel 4.4. Faktor-Faktor Kontekstual Kepercayaan (Contextual Factors of Trust)
TEMA KATEGORI SUBKATEGORI VERBATIM
Contextual Factors of
Trust
Past relationship between the parties
Kerjasama yang Berhasil
…responnya bagus sampe bisa menghasilkan omset perbulan 1,6M sampe sekarang. Akhirnya kita selalu kerja sama
Communication processes
Pemberian Dukungan
…dukungan kalau biasa orang sudah down, sudah capek atau apa yah kita membangun begitu
Pertukaran Pendapat
…ada keputusan yang mau diambil, dirundingkan dulu, dimusyawarahkan
Penginformasian Terkait
Pekerjaan
…dalam mengerjakan itu harus jujur, harus tebuka, transparan, jadi semua tau kerjanya itu bagaimanami
Pemberian Umpan Balik
…ada sesuatu yang salah, kamu lah tegur
Penyelesaian Masalah Bersama
kalau ada clash, itu biasanya kita diam dulu, ada waktunya, tunggu tenang lalu kita selesaikan bersama
Membuat Janji
…tapi satu hal saya minta sama kamu jangan terus judi …sudah akhirnya dia respon sama saya oke
Relationship form between the parties
Keluarga
…papa mama
iya saudara
…sama saya punya kakak sepupu
Ponakan gue juga bekerja
…saya punya adik, punya istri
Sahabat …sama teman dekat
Teman …dengan teman yang nda terlalu dekat
Pihak Profesional
Karna ada dari distributor
Rekan Kerja …sama rekan kerjaku di tempat lain
Kenalan …kebetulan ketemu itu orang di Bali
Structural parameters
Ketersediaan Mekanisme Komunikasi
…saya minta sama dia, kamu bicara sama ini hotel
60
Ketersediaan Pihak Ketiga
…artinya ada koneksi ke pihak-pihak lain nda
Past relationship between the parties pada penelitian ini merupakan
karakteristik hubungan terdahulu yang pernah dijalin kedua pihak. Communication
processes pada penelitian ini merupakan proses komunikasi yang terjalin antara
kedua pihak. Relationship form between the parties mencakup jenis ikatan
hubungan yang dimiliki oleh kedua pihak. Structural parameters merupakan
parameter struktural yang mendukung hubungan antara kedua pihak. Berikut akan
dijelaskan mengenai masing-masing kategori yang terbentuk tersebut.
1. Past relationship between the parties
Pada penelitian ini, dua dari lima subyek menyatakan bahwa faktor kerja
sama yang sukses pada hubungan sebelumnya juga mempengaruhi kepercayaan
mereka terhadap partner dan keputusan mereka untuk menjalin hubungan
berikutnya. Kerja sama yang berhasil pada hubungan bisnis terdahulu mendorong
adanya kepercayaan untuk membangun hubungan bisnis berikutnya. Berikut
ungkapan beberapa subyek.
“biasa ganti-ganti, nda sama yang itu-itu saja, tapi biasanya itu sama yang pernahji juga kongsi sebelumnya. kalau berhasil, selesaimi bisnisnya, selesai urusan, diajak lagi kongsi dalam bisnis lain yang masih satu bidang dengan bisnis sebelumnya (F)” “Yah kita pas kapan hari booming-nya helm yah coba-cobalah kita kerja, ternyata kita bagi divisi yang Yandi itu dia pegang luar pulau sedangkan kita pegang dalam kota dan luar kota ternyata responnya bagus sampe bisa menghasilkan omset perbulan 1,6M sampe sekarang. Akhirnya kita selalu kerja sama. (200-204W)”
2. Communication processes
Proses komunikasi yang dijalin subyek dengan partnernya berupa
komunikasi terbuka secara dua arah. Adapun bentuk komunikasi yang terjalin yaitu
berupa memberikan dukungan emosional, saling bertukar pendapat,
61
memberitahukan perkembangan dalam pekerjaan yang dilakukan, saling
memberikan umpan balik, melakukan penyelesaian masalah secara bersama,
serta membuat janji-janji terkait pekerjaan.
Komunikasi terbuka dilakukan dalam situasi kerja sehari-hari dengan saling
menginformasikan apa yang telah dikerjakan oleh masing-masing pihak. Berikut
ungkapan beberapa subyek.
“semua ada tugasnya masing-masing, tapi dalam mengerjakan itu harus jujur, harus tebuka, transparan, jadi semua tau kerjanya itu bagaimanami (F)” “…waktu dia mulai kenal sama koko, dia mulai kerja itu komputer, dia bilang ada ini bos saya kasi masuk barang, barang rekondisi dari Singapura akhirnya dia minta saya nge-tour… (321-322W)”
Tidak hanya sebatas menginformasikan pekerjaan, komunikasi terbuka
juga dilakukan ketika menghadapi suatu situasi tertentu dalam hubungan
bisnisnya. Kedua pihak saling bertukar pendapat ketika hendak mengambil
keputusan dan ketika ingin menyelesaikan suatu masalah yang sedang terjadi.
Berikut ungkapan beberapa subyek.
“… saya sampaikan itu driver… apa saya mesti siapkan mobil atau apa? Dia bilang… (282-284W)” “kalau misalnya ada keputusan yang mau diambil, dirundingkan dulu, dimusyawarahkan, sampai akhirnya ada keputusan yang sama (F)” “Kita pasti cari jalan keluarnya, kenapa bisa begitu, paling kita berembukmi, kumpul mi, ngopi kah, sambil ngomong mi, oh kamu begini salahnya bgini harusnya nda bisa bgini, tukar-tukar pikiran tukar pendapat. (150-153T)” “kalau ada clash, itu biasanya kita diam dulu, ada waktunya, tunggu tenang lalu kita selesaikan bersama (F)”
Apabila terjadi ketidakcocokan atau perbedaan pendapat antara kedua
belah pihak, mereka akan mengungkapkannya secara langsung dengan saling
memberikan umpan balik secara langsung satu sama lain. Berikut ungkapan
beberapa subyek.
62
“Artinya kalau misalnya saya ada sesuatu yang salah, kamu lah tegur. (129-130T)” “paling kalau mahal, barang kita tau ini harganya misalnya 9.000, tapi kamu jual misalnya 18.000 yah saya protes dong orang barang 9.000, masa ko kasi, kalau kasi misalnya 11.000 yah oke lah. (56-58T)”
Adanya pemberian umpan balik mendorong timbulnya janji-janji yang
dilakukan oleh salah satu pihak. Berikut ungkapan subyek.
“…tapi satu hal saya minta sama kamu jangan terus judi, kalau kita sdh kerja gak bisa judi karna kita pasti habis, sudah akhirnya dia respon sama saya oke (228-231W)”
Komunikasi yang terbuka tidak hanya berfokus pada pekerjaan, melainkan
juga pada partner kerja itu sendiri. Mereka akan memberikan dukungan emosional
kepada partner ketika sedang mengalami masalah dalam pekerjaan. Pemberian
dukungan emosional ini dilakukan oleh subyek yang melakukan hubungan bisnis
dengan keluarganya. Berikut ungkapan beberapa subyek.
“yahh salah satu dukungan kalau biasa orang sudah down, sudah capek atau apa yah kita membangun begitu. Maksudnya kasi nasehat, kasi semangat. (281-282T)” “yah, jadi saling pengertian, saling support, pasti ada pertamanya pasti ada percikan-percikan. (289-290T)”
Di samping adanya komunikasi terbuka, peneliti juga menemukan bahwa
ada subyek yang merasa kesulitan berkomunikasi dengan partnernya yang
merupakan keluarganya. Berikut ungkapan subyek.
“kalo ada sesuatu kita mau agak keras, kita straight, susah, karena keluarga. (R)”
3. Relationship form between the parties
Bentuk ikatan hubungan yang dimiliki subyek dengan partnernya beragam,
mulai dari keluarga, teman dekat/sahabat, teman, hingga pihak-pihak yang baru
ditemui baik melalui salah satu partner yang sudah ada maupun yang ditemui
sendiri. Berikut ungkapan beberapa subyek.
63
“Sama papa mama ji. (52W)” “iya saudara. (21T)” “ya ini usaha keluarga to, dari papa. Terus ini istri sama anak-anakku juga kerja di toko yang ini. (R)” “Saya kerja sama saya punya kakak sepupu… (80-81W)” “kalau saya sendiri lebih suka kongsi dengan teman (F)” “… kebetulan ketemu itu orang di Bali, itu driver… (273W)”
Karakteristik ikatan yang dimiliki berbeda-beda untuk dapat dipercaya,
namun demikian, salah satu subyek menyatakan bahwa kepercayaan yang
diberikan pada teman dan teman dekat sedikit berbeda. Subyek hanya melakukan
kerja sama yang tidak terlalu beresiko atau tidak terlalu besar. Berikut ungkapan
beberapa subyek.
“pernahji juga kongsi dengan teman yang nda terlalu dekat, tapi palingan untuk bisnis yang nda terlalu besar (F)”
4. Structural parameters
Penelitian ini menemukan dua jenis parameter struktural yang mendukung
hubungan antar kedua pihak, yaitu ketersediaan mekanisme komunikasi dan
ketersediaan pihak ketiga. Berikut ungkapan beberapa subyek.
“… jadi pertama-tama persiapan office apa saya minta sama dia, kamu bicara sama ini hotel yang saya tinggali, itu ada satu office satu tempat yang kosong, itu saya itung itung untuk office sudah cukup, jadi saya ajak, saya sampaikan ke dia mau tidak, saya bikin office di sini tapi kompensasinya semua saya punya customer Indonesia saya kasi tinggal di sini, akhirnya pihak hotel itu hari masih mikir mikir apa, akhirnya sudah gitu, mau sebulan dia respon, akhirnya tek, jalan, akhirnya kompensasinya semua tamu yang dia tidak rewel biaya untuk urusan kamar apa kita kasi masuk di sana semua… (231-239W)” “melihat dia punya lingkungan bagus atau nda, artinya ada koneksi ke pihak-pihak lain nda, biar mudah dalam pekerjaan (F)” “…saya rencananya buka di Bali saya kasi link dia di Bali jadi tamu yang masuk, e tamu yang dari Indonesia lari ke Bangkok, tamu yang dari Bangkok lari ke Bali. (270-278W)”
64
“Saya kerja sama sama dia, ambil-ambil barang. Baku ambil-ambil barang. Selama itu menguntungkan, kita ambil. Kita kan lihat juga, kalo ini orang ambil barang sama saya, dia menguntungkan, saya kasi barang. (R)”
4.2.1.4. Pelanggaran dan Perbaikan Kepercayaan (Trust Violation and
Repair)
Kepercayaan menjadi rusak karena adanya pelanggaran-pelanggaran
yang dilakukan salah satu pihak. Kondisi ini akan mempengaruhi tingkat
kepercayaan terhadap partner dan kelangsungan hubungan yang telah dijalin.
Pada tabel 4.5 dapat diidentifikasi dua kategori yang terbentuk dari tema trust
violation and repair wirausahawan etnis Tionghoa di Kota Makassar. Adapun
kategori yang terbentuk dapat dibagi menjadi dua, yaitu trust violation dan trust
repair.
Tabel 4.5. Pelanggaran dan Perbaikan Kepercayaan (Trust Violation and Repair)
TEMA KATEGORI SUBKATEGORI VERBATIM
Trust Violation
and Repair
Violation Context
Kerugian Finansial
…kerja samanya tidak bagus, merugi
Tidak Menepati Janji
…sudah mulai mengutang, kita gak kasi
... karna repot dikasi waktu satu jam dua jam kumpul di sini tidak tau dimana semua
Kesalahan dalam Bekerja
…barangnya sospol dikasi turun di pertanian, barangnya pertanian turun di sospol, barangnya ekonomi lari ke sastra
Strategy Forgiveness
saya juga mengerti, sama-sama ngerti, karna saudara jeki begitue, di sana adik, yah bagaimana, mau harus ngomong kalaupun misalnya dikecewakan yah elus dada saja.
Pemutusan Hubungan
…akhirnya saya kasi putus di sana jaringannya…
Violation context pada penelitian ini merupakan bentuk-bentuk
pelanggaran terhadap kepercayaan pihak-pihak yang terlibat dalam hubungan
65
kepercayaan. Strategy pada penelitian ini mengacu pada strategi yang dilakukan
salah satu atau kedua pihak ketika dihadapkan pada situasi trust violation. Berikut
akan dijelaskan mengenai masing-masing kategori yang terbentuk tersebut.
1. Violation context
Penelitian ini menemukan beberapa bentuk pelanggaran terhadap
kepercayaan yang dilakukan oleh salah satu pihak. Bentuk pelanggaran tersebut
yaitu kerugian finansial, tidak menepati janji, dan kesalahan dalam bekerja. Kondisi
pertama yang berpengaruh terhadap kepercayaan yang telah dibangun ialah
terjadinya kerugian finansial dalam hubungan bisnis. Berikut ungkapan beberapa
subyek.
“biasa kalau kerja samanya tidak bagus, merugi. Kita kan pebisnis cari untung. (F)” “Intinya semua kita dagang-dagang begini harus lihat untung saya untung tidak. Oh untung, oke kita jalan. Eh sudah mulai tidak untung mungkin kita cari orang lain lagi. Cari usaha lain lagi. Pas usaha lain, kita ketemu, eh kita untung ini, kita kerja sama. (R)” “…lambat laun, lambat laun, orang luar sudah mulai mengutang, kita gak kasi. Karna pasti intinya itu gak bayar sudah, hilang pasti, oke. (188-189W)”
Kondisi kedua yang berpengaruh terhadap kepercayaan yang telah
dibangun ialah terjadinya situasi di mana partner tidak disiplin atau tidak menepati
janji. Berikut ungkapan subyek.
“... karna repot dikasi waktu satu jam dua jam kumpul di sini tidak tau dimana semua eh sekarang begini etionary dari tur kan kamu pasti baca semua, etionary kita kemana hari pertama, hari kedua, “sekarang kamu diberikan waktu untuk jalan-jalan untuk shopping, saya lepas ji kamu satu tempat, kita kumpul sebentar di sini nah, 2 jam, lihat jamnya semua, 2 jam, oke”. Nanti tiba 2 jam tidak ada yang pada datang lewat semua lost toh? (442-448W)”
Kondisi terakhir yang berpengaruh terhadap kepercayaan yang telah
dibangun ialah ketidakmampuan partner untuk bekerja dengan efektif, di mana
66
partner melakukan kesalahan-kesalahan yang dianggap fatal. Berikut ungkapan
subyek.
“… barangnya sospol dikasi turun di pertanian, barangnya pertanian turun di sospol, barangnya ekonomi lari ke sastra… (468-469W)”
2. Strategy
Strategi dalam menghadapi pelanggaran kepercayaan yang ditemukan
dalam penelitian ini ada dua macam, yaitu pemaafan (forgiveness) dan pemutusan
hubungan. Adapun pemilihan strategi cenderung berdasarkan jenis ikatan yang
dimiliki dalam hubungan. Pada hubungan kepercayaan yang dibangun dengan
keluarga, subyek cenderung memilih untuk memaafkan partnernya dan tetap
melanjutkan hubungannya. Berikut ungkapan subyek.
“saya juga mengerti, sama-sama ngerti, karna saudara jeki begitue, di sana adik, yah bagaimana, mau harus ngomong kalaupun misalnya dikecewakan yah elus dada saja. (146-148T)”
Di lain pihak, pada hubungan kepercayaan yang dibangun dengan pihak di
luar jaringan guanxi-nya, subyek memilih untuk memutuskan hubungan. Berikut
ungkapan beberapa subyek.
“… itu kalau kita bicara di travel, itu vocation apa segala macam, itu satu orang Indonesia susah diatur, akhirnya saya kasi putus di sana jaringannya, saya mundur sudah (440-442W)” “Intinya semua kita dagang-dagang begini harus lihat untung saya untung tidak. Oh untung, oke kita jalan. Eh sudah mulai tidak untung mungkin kita cari orang lain lagi. Cari usaha lain lagi. Pas usaha lain, kita ketemu, eh kita untung ini, kita kerja sama. (R)”
4.2.1.5. Pemeliharaan Kepercayaan dalam Budaya Tionghoa
Kepercayaan merupakan konsep yang dinamis yang dapat berubah-ubah
seiring berjalannya waktu. Untuk itu, penting bagi kedua belah pihak untuk
memelihara kepercayaan yang telah ada, bahkan membawanya ke level kualitas
yang lebih baik. Pada tabel 4.6 dapat diidentifikasi kategori yang terbentuk dari
67
tema maintaining trust oleh wirausahawan etnis Tionghoa di Kota Makassar.
Adapun kategori yang terbentuk yaitu trustor work ethic.
Tabel 4.6. Pemeliharaan Kepercayaan dalam Budaya Tionghoa
TEMA KATEGORI SUBKATEGORI VERBATIM
Maintaining Trust
Work Ethic
Hard Working hidup itu penuh tantangan memang, makanya kita butuh kerja keras
Concern for Social Propriety
kita kalau kerja, terus curiga sama orang, kapan kamu bisa maju
Social Harmony …untuk perusaan kita juga untuk kemajuan bersama. Bukan kalau saya kerja kamu saja nikmati
Love of Learning
…bekerja sama orang berbeda-beda, otomatis akan banyak pengalaman yang kita dapatkan. …bisa kita jadikan pembelajaran, di bisnis selanjutnya, selain itu kita juga bisa jadi lebih dewasa
Being Trustworthy
...karna karakternya satu orang chinese itu kalau kerja itu satu kejujuran aja, bilamana bukan dikata bilang kamu ambil barang sama saya kamu percaya sama saya, nggak, kamu yang seharusnya memberikan saya kepercayaan, bukan saya yang memberikan kamu kepercayaan
Work ethics pada penelitian ini mencakup work ethic yang dimiliki trustor
dalam menjalin kerja sama dengan partnernya yang berdasarkan atas hubungan
kepercayaan. Berikut akan dijelaskan mengenai masing-masing kategori yang
terbentuk tersebut.
1. Work ethic
Penelitian ini menemukan beberapa bentuk work ethic yang dimiliki trustor
dalam menjalin kerja sama dengan partnernya. Bentuk work ethic tersebut meliputi
hard working, concern for social propriety, social harmony, love of learning, dan
being trustworthy. Berikut ungkapan beberapa subyek.
68
“hidup itu penuh tantangan memang, makanya kita butuh kerja keras (F)” “Intinya gini, kita kalau kerja ibaratnya gini, kita kalau kerja, terus curiga sama orang, kapan kamu bisa maju, intinya itu. (343-344W)” “Karna kan untuk perusahaan kita juga untuk kemajuan bersama. Bukan kalau saya kerja kamu saja nikmati. Saya nda maulah. Jadi kita ada kebersamaan untuk bentuk ini perusahaan. (134-136T)” “karena kita banyak bekerja sama orang berbeda-beda, otomatis akan banyak pengalaman yang kita dapatkan. Nah dari situ bisa kita jadikan pembelajaran, di bisnis selanjutnya, selain itu kita juga bisa jadi lebih dewasa (F)” “Kaya ini juga gitu, kenal ama dia juga, geng-geng juga ini liat-liat dia bisa dipercaya karna karakternya satu orang Chinese itu kalau kerja itu satu kejujuran aja, bilamana bukan dikata bilang kamu ambil barang sama saya kamu percaya sama saya, nggak, kamu yang seharusnya memberikan saya kepercayaan, bukan saya yang memberikan kamu kepercayaan. (260-264W)”
69
4.2.2. Hasil Analisis Data
4.2.2.1. Trustworthiness dalam Kewirausahaan Etnis Tionghoa
Gambar 4.1. Trustworthiness dalam Kewirausahaan Etnis Tionghoa
Pada gambar 4.1. terlihat beberapa karakteristik trustee yang
mempengaruhi persepsi wirausahawan etnis Tionghoa (trustor) terhadap
trustworthiness yang dimilikinya. Adapun karakteristik yang dimaksud adalah
potensi, performa kerja (work performance), kejujuran (honesty), kebaikan hati
(kindness), keterbukaan (openness), ketersediaan (availability), keadilan
(fairness), komitmen (commitment), kebenaran (righteousness), pemenuhan janji
(promise fulfillment), kesamaan pandangan (similar thought), dan kesamaan
tujuan (common goals).
Instrumental Tie dan Non-
Guanxi
Mixed Tie
Expressive
Tie
Potensi
Performa Kerja
Kejujuran
Kebaikan Hati
Keterbukaan
Ketersediaan
Keadilan
Komitmen
Kebenaran
Pemenuhan Janji
Kesamaan
Pandangan
Kesamaan Tujuan
ABILITY
BENOVELENCE
INTEGRITY
SHARED
PERSPECTIVE
70
Bila dikaitkan dengan konsep trustworthiness Mayer, dkk (1995),
karakteristik-karakteristik tersebut dapat digolongkan ke dalam karakteristik
kemampuan (ability), kebaikan (benevolence), dan integritas (integrity), di mana
potensi dan work performance dapat digolongkan sebagai kemampuan (ability);
kejujuran, kebaikan hati, keterbukaan, dan ketersediaan dapat digolongkan
sebagai kebaikan (benevolence); sedangkan keadilan, komitmen, kebenaran, dan
pemenuhan janji dapat digolongkan sebagai integritas (integrity). Dua karakteristik
lainnya, yaitu kesamaan pandangan dan kesamaan tujuan dinilai tidak dapat
digolongkan ke dalam ketiga kategori tersebut, sehingga dibentuk kategori yang
baru dalam penelitian ini, yaitu shared perspective.
Karakteristik-karakteristik trustee yang dipersepsikan sebagai kualitas
trustworthiness-nya nyatanya berbeda-beda, tergantung dari jenis ikatan personal
yang dimiliki kedua pihak. Adapun seperti yang telah dikemukakan pada tinjauan
pustaka, jenis-jenis ikatan yang dimiliki etnis Tionghoa dapat dijelaskan melalui
konsep guanxi. Jenis-jenis ikatan tersebut yaitu ikatan instrumental (instrumental
tie), ikatan campuran (mixed tie), dan ikatan ekspresif (expressive tie) (Hwang,
1986).
Pada jenis ikatan yang pertama, yaitu ikatan instrumental, berlaku pada
hubungan dengan orang-orang yang bukan anggota keluarga, orang-orang yang
baru dikenal, hingga orang-orang di luar jaringan guanxi. Trustworthiness yang
dimiliki orang-orang dalam hubungan ini ditentukan oleh potensi, performa kerja,
dan pemenuhan janji yang telah dibuat. Potensi dan performa kerja dapat diketahui
baik dari status partner, informasi dari pihak ketiga, maupun dari pengalaman
pribadi dalam berhubungan dengan partner. Kedua karakteristik ini tergolong
71
kemampuan (ability) yang dimiliki oleh partner, sedangkan pemenuhan janji
merupakan salah satu bentuk kebaikan (benevolence) partner.
Kemampuan (ability) menjadi karakteristik yang memiliki pengaruh besar
dalam mempersepsikan trustworthiness orang lain. Hal ini dipengaruhi oleh
karakteristik hubungan ini sendiri, yang berorientasi pada tugas dan pencapaian
tujuan masing-masing, sehingga wirausahawan etnis Tionghoa berfokus mencari
partner yang dianggap mampu melakukan pekerjaan dengan baik. Terlebih,
orang-orang yang masuk ke dalam ikatan ini adalah orang-orang yang tidak
dikenal dan tidak memiliki kedekatan khusus dengan mereka. Oleh sebab itu,
untuk dapat menyelesaikan tugas dan mencapai tujuannya, wirausahawan etnis
Tionghoa perlu mencari orang yang benar-benar dapat dipercaya secara obyektif,
yang secara nyata memiliki keahilan di bidangnya.
Jenis ikatan guanxi yang kedua, yaitu ikatan campuran, berlaku pada
hubungan dengan keluarga jauh, tetangga, teman sejawat, guru, murid, orang-
orang dengan latar belakang daerah yang sama, dan sejenisnya. Trustworthiness
yang dimiliki orang-orang dalam hubungan ini ditentukan oleh potensi, kejujuran,
kebaikan hati, keterbukaan, ketersediaan, komitmen, dan kebenaran yang
dimilikinya. Potensi dapat digolongkan sebagai kemampuan (ability) yang dimiliki
oleh partner. Kejujuran, kebaikan hati, keterbukaan, dan ketersediaan merupakan
salah satu bentuk kebaikan (benevolence) partner. Terakhir, kebenaran
merupakan salah satu bagian dari integritas (integrity) partner.
Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi trustworthiness pada jenis
ikatan campuran sangat beragam dengan kadar yang seimbang. Wirausahawan
etnis Tionghoa tidak hanya mempertimbangkan kemampuan (ability) dari orang-
orang yang sudah dikenalnya, melainkan juga mempertimbangkan bagaimana
72
kebaikan (benevolence) serta integritas (integrity) yang mereka miliki. Hal ini
didiorong oleh karakteristik hubungan ini yang memiliki komponen ekspresif atau
emosional di dalamnya, sehingga wirausahawan etnis Tionghoa tidak bisa lagi
sepenuhnya hanya mempertimbangkan kemampuan yang dimiliki partner.
Jenis ikatan yang ketiga, yaitu ikatan ekspresif, berlaku pada hubungan
dengan keluarga inti dan teman dekat. Trustworthiness yang dimiliki orang-orang
dalam hubungan ini ditentukan oleh kejujuran, keterbukaan, ketersediaan,
kesamaan pandangan, dan kesamaan tujuan. Kejujuran, keterbukaan, dan
ketersediaan merupakan salah satu bentuk kebaikan (benevolence) partner,
sedangkan memiliki kesamaan pandangan dan kesamaan tujuan merupakan
salah satu bentuk dari perspektif bersama (shared perspective) antara trustor
dengan partnernya.
Jenis ikatan ini menjadi yang paling berbeda dari kedua ikatan lainnya.
Dalam ikatan ini, komponen ekspresif atau emosional yang dominan membuat
persepsi terhadap trustworthiness pihak lain sangat bergantung dari kebaikan
mereka. Wirausahawan etnis Tionghoa tidak mempertimbangkan kualitas lain
seperti kemampuan (ability) maupun integritas (integrity), melainkan lebih
memperhatikan bagaimana perspektif bersama yang dimiliki untuk menjamin
pencapaian tujuan. Terkhusus untuk hubungan dalam bisnis klan vertikal, yaitu
dalam bisnis yang dijalankan secara turun-temurun, karakteristik keluarga bahkan
tidak dipertimbangkan dalam pembangunan kepercayaan.
Secara keseluruhan, faktor yang sangat mempengaruhi persepsi terhadap
trustworthiness dalam wirausahawan etnis Tionghoa adalah kebaikannya
(benevolence). Hal ini dapat dipengaruhi oleh budaya etnis Tionghoa sendiri, yang
menekankan pentingnya harmoni sosial dalam kehidupan, termasuk dalam
73
berwirausaha (Hwang, 1986). Adapun salah satu karakteristik yang paling penting
yang diperoleh dalam penelitian ini adalah kejujuran. Wirausahawan etnis
Tionghoa menganggap bahwa kejujuran merupakan kunci dari kepercayaannya
terhadap partner kerjanya.
4.2.2.2. Pembangunan Kepercayaan dalam Kewirausahaan Etnis Tionghoa
Gambar 4.2. Pembangunan Kepercayaan dalam Kewirausahaan Etnis Tionghoa
Wirausahawan etnis Tionghoa membangun dalam membangun hubungan
bisnisnya sangat diwarnai oleh nilai-nilai Konfusius, seperti yang dapat dilihat pada
gambar 4.2. Hubungan bisnis dapat bertahan dengan menjaga kepercayaan yang
Business
Relation Personal
Relation
Mutual Trust
Long-term
Relationship
Work Ethics: Social
Harmony
- Memberikan informasi
pekerjaan
- Disiplin waktu
- Menepati janji
- Membayar pinjaman
tepat waktu
- Saling memenuhi
kebutuhan
barang/jasa
- Inovatif
- Menjaga kenyamanan
dalam bekerja
- Memberikan
dukungan emosional
- Memberikan tempat
tinggal
- Memperlakukan
seperti keluarga
- Mementingkan
kesejahteraan
bersama
- Mengajak ke luar
negeri bersama
Work Ethics: - Being Trustworthy
- Concern of Social
Propriety
TRUST
Confucian Values
74
telah dibangun di awal hubungan dengan berbagai macam cara seperti
memberikan informasi pekerjaan, disiplin waktu, menepati janji, membayar
pinjaman tepat waktu, saling memenuhi kebutuhan, inovatif, dan menjaga
kenyamanan satu sama lain dalam bekerja. Ini didukung dengan pernyataan
partner, di mana mereka merasa dapat percaya kepada subyek karena adanya
usaha-usaha tersebut. Usaha-usaha ini perwujudannya dipengaruhi oleh work
ethic etnis Tionghoa yang menekankan pentingnya kepercayaan dan menjaga
kesopanan dalam bekerja. Adapun hal ini juga dipengaruhi oleh nilai-nilai
Konfusius.
Untuk membangun hubungan kepercayaan yang kuat, wirausahawan etnis
Tionghoa tidak hanya membawa hubungan bisnis ke dalam lingkungan pekerjaan
itu sendiri, melainkan membawanya ke dalam hubungan personal yang lebih
mendalam. Tentunya hal ini dapat dilakukan ketika kepercayaan yang ada dalam
hubungan bisnis terlah terjalin cukup kuat. Di level hubungan personal, usaha-
usaha yang dilakukan untuk menjaga kepercayaan tidak lagi didasarkan oleh
kepentingan bisnis, melainkan lebih kepada kebutuhan personal. Adapun usaha-
usaha yang dilakukan antara lain memberikan dukungan emosional, memberikan
tempat tinggal, memperlakukan partner seperti keluarga, mementingkan
kesejahteraan bersama dalam bisnis, dan mengajak partner ke kegiatan-kegiatan
yang tidak berhubungan dengan bisnis yang sedang dilakukan. Usaha-usaha ini
juga dilakukan atas dasar work ethic etnis Tionghoa yang menekankan pentingnya
menjaga harmoni sosial dalam kehidupan, yang juga merupakan ajaran utama dari
Konfusius.
Ketika wirausahawan etnis Tionghoa telah mampu membawa hubungan
kepercayaan bisnis ke dalam hubungan personalnya, mereka akan memiliki
75
mutual trust yang kuat satu sama lain. Hal ini sejalan dengan yang dirasakan oleh
partner subyek. Adanya mutual trust yang kuat akan menjadi dasar dari
pembangunan hubungan jangka panjang dalam kerja sama bisnis. Selain itu,
mutual trust yang terbentuk juga dapat menjadi dasar pembentukan guanxi yang
baru dari partner kerja yang sebelumnya tidak termasuk dalam jaringan guanxi
wirausahawan etnis Tionghoa.
4.2.2.3. Pemanfaatan Jaringan Guanxi dalam Kewirausahaan Etnis Tionghoa
Gambar 4.3. Pemanfaatan Jaringan Guanxi di Kewirausahaan Etnis Tionghoa
Pada gambar 4.3, dapat dilihat bahwa kerja sama dalam kewirausahaan
etnis Tionghoa di kota Makassar tidak hanya dilakukan dengan orang-orang yang
masuk ke dalam jaringan guanxi yang telah dimiliki, melainkan juga dengan orang-
orang di luar jaringan guanxi-nya. Adapun seperti yang telah dijelaskan
sebelumnya, jenis-jenis ikatan dalam jaringan guanxi tersebut yaitu ikatan
instrumental (instrumental tie), ikatan campuran (mixed tie), dan ikatan ekspresif
Guanxi
Non-Guanxi
Kerja sama
Kepercayaan
Kepercayaan
Peningkatan
Kepercayaan
Expressive Tie
Mixed Tie
Instrumental Tie
Guanxi
Kerja sama
Personal
Relation
Long-term
Relationship
76
(expressive tie) (Hwang, 1986). Ikatan ekspresif ialah ikatan yang dibangun
dengan keluarga inti dan teman dekat. Ikatan campuran ialah ikatan yang
dibangun dengan keluarga jauh, tetangga, teman sejawat, guru, murid, orang-
orang dengan latar belakang daerah yang sama, dan sejenisnya. Ikatan
instrumental berlaku pada hubungan dengan orang-orang yang bukan anggota
keluarga, orang-orang yang baru dikenal, hingga orang-orang di luar jaringan
guanxi.
Hubungan yang dimiliki dalam jaringan guanxi telah mengandung
kepercayaan di dalamnya, karena hubungan telah terjalin sebelumnya. Beberapa
hubungan bahkan memiliki dasar kepercayaan yang sangat erat dan tidak dapat
tergantikan, seperti initial trust yang telah dimiliki dalam keluarga, serta
kepercayaan yang mendalam yang telah dijalin dengan teman dekat. Dengan
demikian, mereka tidak perlu membangun sebuah kepercayaan lagi dari awal
untuk menjalin hubungan bisnis. Mereka hanya perlu mempertimbangkan
beberapa karakteristik guanxi yang telah diketahui dan dianggap mendukung
hubungan kerja sama yang akan dibangun, baik itu dari kemampuan (ability),
kebaikan (benevolence), integritas (integrity), maupun persepsi bersama yang
dimiliki (shared perspective).
Untuk hubungan di luar jaringan guanxi, wirausahawan etnis Tionghoa
perlu membangun hubungan kepercayaan dari awal untuk dapat menjalin sebuah
kerja sama bisnis. Mereka perlu mencari tahu dan mengevaluasi karakteristik
orang lain yang akan dijadikan partner kerjanya, baik itu kemampuan (ability),
kebaikan (benevolence), integritas (integrity), maupun persepsi bersama yang
dimiliki (shared perspective) orang lain yang akan dijadikan partner kerjanya.
Adapun kriteria-kriteria yang diperlukan akan dijelaskan secara lebih terperinci
77
pada bagian selanjutnya. Namun dalam hubungan ini, biasanya mereka akan sulit
untuk memberikan kepercayaan yang besar terhadap pihak lain dan lebih
mempertimbangkan keuntungan bisnis yang dapat terjadi sehingga kerja sama
yang dilakukan dimulai dengan kerja sama yang kurang beresiko.
Apabila kerja sama yang dilakukan dengan pihak-pihak di luar jaringan
guanxi dianggap memuaskan, serta kedua belah pihak dapat saling menjaga dan
merawat kepercayaan yang dimiliki satu sama lain selama hubungan bisnis
berlangsung, maka partner dapat dimasukkan ke dalam lingkup jaringan guanxi
yang baru. Partner dimasukkan ke dalam jaringan guanxi artinya hubungan terus
berlanjut meskipun kerja sama bisnis telah selesai, yang dapat menimbulkan
peningkatan kepercayaan dan ikatan emosional terhadap partner. Selanjutnya, hal
ini dapat mendorong munculnya hubungan kerja sama berikutnya seperti yang
terjadi dalam hubungan guanxi pada umumnya.
Kerja sama yang berlandaskan hubungan kepercayaan di dalam jaringan
guanxi ini dapat membawa hubungan bisnis menjadi bagian dari hubungan
personal mereka sehingga hubungan kedua pihak dapat menjadi hubungan jangka
panjang. Hal inilah yang membuat jaringan kerja wirausahawan etnis Tionghoa
sangat kuat, karena mereka mampu membangun dan memelihara kepercayaan di
dalamnya dengan baik, tidak hanya kepercayaan dalam konteks bisnis, melainkan
juga dalam kehidupan personalnya.
4.3. Pembahasan
Penelitian ini bertujuan untuk memahami trust dan trustworthiness dalam
kewirausahaan etnis Tionghoa di kota Makassar, baik itu dalam membangun
maupun memelihara kepercayaan dalam hubungan bisnis. Hasil penelitian
78
menunjukkan bahwa nilai-nilai Konfusius mewarnai proses pembangunan dan
pengelolaan kepercayaan dalam kewirausahaan etnis Tionghoa di kota Makassar.
Pentingnya membangun dan mempertahankan kepercayaan dalam hubungan
bisnis menjadi fokus utama dalam pengelolaan hubungan bisnis kewirausahaan
etnis Tionghoa di kota Makassar karena kepercayaan dianggap sebagai dasar dari
semua hubungan bisnis.
Berdasarkan hasil penelitian, wirausahawan etnis Tionghoa meyakini
bahwa kepercayaan merupakan hal yang penting dalam membangun suatu usaha.
Kepercayaan yang dibangun dalam lingkungan bisnis dianggap dapat
memudahkan proses bisnis di dalamnya, seperti dalam mengakses informasi,
barang dan jasa, maupun dalam mendapatkan pelanggan. Untuk membangun
kepercayaan dalam bisnis, wirausahawan etnis Tionghoa cenderung membangun
usaha bersama orang lain, terutama dengan orang-orang yang memiliki hubungan
personal dengan mereka, yang dalam budaya etnis Tionghoa disebut sebagai
guanxi.
Usaha bersama guanxi selanjutnya akan membentuk sebuah jaringan
guanxi dalam usaha yang merupakan bentuk pemanfaatan social capital.
Hubungan bisnis dengan jaringan guanxi dilakukan untuk memudahkan
pembangunan kepercayaan dalam bisnis, karena adanya jaminan berupa
kepercayaan yang telah dibangun sebelumnya dalam hubungan personal,
sehingga dianggap dapat mengurangi resiko untuk dicurangi atau mengalami
kerugian. Hal ini selanjutnya diyakini dapat memudahkan terciptanya hubungan
bisnis jangka panjang. Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh Hwang
(1986), di mana pembangunan jaringan guanxi pada dasarnya merupakan strategi
79
bisnis untuk meningkatkan kepercayaan interpersonal dan mengurangi
ketidakpastian dalam lingkungan bisnis.
Pemanfaatan jaringan guanxi dalam kewirausahaan etnis Tionghoa di kota
Makassar menciptakan model-model bisnis yang unik. Pembangunan bisnis
bersama keluarga membentuk suatu model usaha klan (vertikal dan horizontal),
sedangkan pembangunan bisnis bersama teman atau pihak lainnya disebut
sebagai usaha kongsi. Di samping membangun hubungan bisnis dalam jejaring
guanxi, peneliti menemukan bahwa ternyata sebagian wirausahawan etnis
Tionghoa juga terbuka untuk membangun bisnis dengan orang-orang di luar
jaringan guanxi-nya.
Hasil analisis menemukan bahwa model kepercayaan wirausahawan etnis
Tionghoa memiliki kemiripan dengan model integratif kepercayaan organisasional
yang dirumuskan oleh Mayer, dkk. (1995). Pada gambar 4.4., peneliti memodifikasi
model integratif kepercayaan organisasional Mayer, dkk. (1995). Perbedaan model
kepercayaan organisasional Mayer dan hasil modifikasi peneliti terletak pada
dinamika yang terjadi. Penelitian ini menemukan adanya karakteristik pribadi baru
yang mempengaruhi trustworthiness pihak lain, yaitu shared perspective, adanya
pengaruh budaya Konfusius terhadap kecenderungan wirausahawan etnis
Tionghoa untuk percaya pada pihak lain, serta adanya pengaruh faktor-faktor lain
yang mempengaruhi proses kepercayaan bisnis mereka.
80
Gambar 4.4. Kerangka Hipotetik Model Trust dan Trustworthiness Wirausahawan Etnis Tionghoa
Relationship Form
GUANXI
Expressive Ties
Mixed Ties
Instrumental Ties
Ability
Benevolence
Integrity
Shared Perspective
Factors of
Perceived
Trustworthiness
TRUST RTR
Trustor Propensity
Experience Personality Culture
Past Relationship
Communication Process
Structural Parameter
Outcomes
Unsuccessful
Successful
Distrust
Trust Repair
Trust Violation
Confucian Values
Work Ethics
Social Harmony
Being Trustworthy
NON-GUANXI
81
Jaringan guanxi atas dasar ikatan ekspresif (expressive ties) mencakup
keluarga dan sahabat dekat. Ikatan keluarga pada dasarnya telah mengandung
kepercayaan berupa kinship trust, yang hanya dapat ditemukan pada hubungan
kekeluargaan (Wang dalam Hwang, 1986). Pada usaha klan dengan hubungan
vertikal, yaitu usaha yang dibangun secara turun-temurun dalam satu klan
keluarga, tidak ada karakteristik tertentu (trustworthiness) pihak lain yang
mempengaruhi kepercayaan wirausahawan etnis Tionghoa dalam membangun
hubungan bisnis dengan keluarganya. Keputusan membangun usaha bersama
didasarkan pada keyakinan mengenai pentingnya keteraturan dalam keluarga,
dalam hal ini kesejahteraan bersama. Keyakinan ini sejalan dengan nilai-nilai
Konfusius, di mana individu diyakini harus dapat mengatur keluarganya sendiri
untuk dapat menciptakan keteraturan dalam masyarakat atau harmoni sosial
(Hwang, 1986).
Di samping usaha klan dengan bentuk hubungan vertikal, wirausahawan
etnis Tionghoa juga membangun usaha klan dengan hubungan horizontal, yaitu
usaha bersama yang dibangun oleh anggota-anggota keluarga sebagai
wirausahawan mandiri dan yang memiliki kedudukan yang sama dalam usaha
bersamanya. Kepercayaan (kinship trust) sudah dijalin sejak dahulu dalam
hubungan ini, mengingat kerja sama juga dibangun bersama anggota keluarga.
Keputusan untuk membangun usaha bersama didasarkan pada persepsi
wirausahawan etnis Tionghoa terhadap karakteristik pribadi (trustworthiness)
keluarganya. Ketika anggota keluarga dinilai memiliki kebaikan-kebaikan
(benevolence) serta pandangan dan tujuan yang sama dengan mereka (shared
perspective), maka mereka akan memiliki kepercayaan bisnis terhadap anggota
keluarga tersebut.
82
Hubungan kepercayaan bisnis dengan sahabat dekat dalam ikatan
ekspresif (expressive ties) membentuk sebuah usaha kongsi. Kepercayaan bisnis
dalam usaha kongsi dengan ikatan ekspresif (expressive ties) mirip dengan
kepercayaan yang dijalin dalam hubungan bisnis klan dengan hubungan horizontal.
Adanya komponen ekspresif yang dominan membuat persepsi terhadap
trustworthiness pihak lain dalam berbisnis sangat bergantung dari kebaikan
(benevolence) mereka. Wirausahawan etnis Tionghoa tidak mempertimbangkan
kualitas lain seperti kemampuan (ability) maupun integritas (integrity), melainkan
lebih memperhatikan bagaimana perspektif bersama (shared perspective) yang
dimiliki. Kemiripan-kemiripan sifat dengan teman dekat sangat dibutuhkan untuk
mendukung kepercayaan.
Model usaha kongsi tidak hanya dapat dibangun dengan jaringan guanxi
dengan ikatan ekspresif (expressive ties), namun juga dapat dibangun bersama
jenis ikatan dalam jaringan guanxi lainnya (mixed ties dan instrumental ties),
maupun di luar jaringan guanxi. Berbeda dengan karakteristik kepercayaan pada
jenis ikatan ekspresif (expressive ties), faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi
trustworthiness pada jenis ikatan campuran (mixed ties) sangat beragam.
Wirausahawan etnis Tionghoa tidak hanya mempertimbangkan kebaikan
(benevolence) dari orang-orang yang sudah dikenalnya, melainkan juga
mempertimbangkan bagaimana kemampuan (ability) serta integritas (integrity)
yang mereka miliki. Hal ini didorong oleh karakteristik hubungan ini yang memiliki
komponen ekspresif atau emosional yang seimbang di dalamnya. Apabila
hubungan kerja sama dalam ikatan campuran (mixed ties) dianggap berhasil,
maka kepercayaan bisnis wirausahawan etnis Tionghoa terhadap partnernya akan
semakin besar, sehingga memungkinkan adanya hubungan bisnis selanjutnya.
83
Pada hubungan bisnis kongsi berdasarkan atas ikatan instrumental
(instrumental ties) dan hubungan bisnis di luar jaringan guanxi, kebaikan
(benevolence) dan integritas (integrity) pihak lain tetap dipertimbangkan, namun
kemampuan (ability) menjadi hal yang dominan dalam mempersepsikan
trustworthiness pihak lain. Hal ini dipengaruhi oleh karakteristik hubungan ini
sendiri, yang berorientasi pada tugas dan pencapaian tujuan masing-masing.
Wirausahawan etnis Tionghoa membangun hubungan kerja sama dengan orang-
orang yang tidak dikenal dan tidak memiliki kedekatan khusus dengan mereka.
Oleh sebab itu, mereka mencari orang yang benar-benar dapat dipercaya secara
obyektif, yang secara nyata memiliki keahilan di bidangnya.
Secara umum, meskipun memiliki karakteristik yang berbeda-beda pada
masing-masing jenis hubungan, namun hasil penelitian menunjukkan bahwa
kepercayaan bisnis wirausahawan etnis Tionghoa sangat dipengaruhi oleh
persepsi terhadap kebaikan (benevolence) partnernya. Schoorman, dkk. (2007)
menyatakan bahwa pada budaya yang kolaboratif, trustworthiness lebih
dipengaruhi oleh persepsi terhadap kebaikan (benevolence) pihak lain.
Karakteristik-karakteristik lain seperti performa kerja (work performance) tidak
dianggap sebagai hal yang penting dalam membangun sebuah hubungan
kepercayaan bisnis, selama hubungan tersebut dianggap dapat berfungsi dengan
efektif (Rarick, 2007). Hasil penelitian ini tidak sepenuhnya sejalan dengan
pernyataan tersebut, meskipun persepsi terhadap kebaikan (benevolence) pihak
lain dipertimbangkan dalam semua jenis hubungan, namun tidak semua hubungan
mengutamakannya. Pada hubungan instrumental tie dan hubungan di luar jaringan
guanxi, kebaikan (benevolence) hanya menjadi salah satu kriteria yang
dipertimbangkan, namun bukan menjadi yang utama. Kepercayaan pada jenis
84
ikatan ini justru lebih ditentukan oleh persepsi terhadap kemampuan (ability) yang
dimiliki oleh pihak tersebut, yang salah satunya mencakup work performance.
Dengan demikian, work performance hanya dapat dikesampingkan dalam
kepercayaan bisnis yang berlandaskan pada hubungan emosional, namun tidak
pada jenis kepercayaan bisnis dalam hubungan lainnya.
Pemanfaatan jaringan guanxi untuk membangun sebuah kepercayaan
bisnis mengindikasikan rendahnya kecenderungan mereka untuk percaya
terhadap pihak lain dalam membangun usahanya (Hwang, 1986). Hasil penelitian
ini menunjukkan bahwa dalam kewirausahaan etnis Tionghoa di kota Makassar,
tidak semua hubungan bisnis dibangun berdasarkan atas jaringan guanxi yang
telah ada. Sebagian wirausahawan etnis Tionghoa justru cenderung menjalin
hubungan bisnis dengan orang-orang di luar jaringan guanxi-nya, meskipun
mereka tetap berusaha meminimalisasi resiko dengan melakukan kerja sama
dalam skala kecil pada kerja sama untuk pertama kalinya. Hal ini mengindikasikan
bahwa tidak semua wirausahawan etnis Tionghoa memiliki kecenderungan untuk
percaya yang rendah. Pengaruh faktor-faktor lain seperti kepribadian masing-
masing individu (Lewicki, 2006) mungkin saja dapat menyebabkan tingginya
kecenderungan untuk percaya pada wirausahawan etnis Tionghoa.
Adanya kepercayaan bisnis di luar jaringan guanxi ini lebih lanjut
mengindikasikan terjadinya pergeseran makna guanxi itu sendiri, di mana guanxi
tidak lagi dilihat sebagai dasar dalam membangun suatu usaha melainkan hanya
sebagai suatu pilihan apabila hubungan yang dimiliki dinilai dapat menguntungkan
dalam bisnis. Apabila ada hubungan lain yang dinilai lebih menguntungkan, maka
mereka akan memilih menjalin hubungan yang baru dalam bisnis mereka daripada
membangun hubungan bisnis dengan jaringan guanxi yang telah dimilikinya. Hal
85
ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Jacobsen (2006) terhadap
wirausahawan etnis Tionghoa di kota Manado, di mana pemanfaatan jaringan
guanxi hanya menjadi salah satu pilihan dalam membangun usaha kongsi, dan
jaringan guanxi tersebut hanya digunakan ketika dianggap dapat menguntungkan.
Peneliti menemukan bahwa satu-satunya bentuk usaha wirausahawan
etnis Tionghoa di kota Makassar yang masih belum mengalami pergeseran makna
guanxi hanyalah bentuk usaha klan vertikal, yang membangun usaha bisnisnya
secara turun temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya. Pada bentuk
usaha ini, wirausahawan etnis Tionghoa tidak mempertimbangkan untung-rugi
yang mungkin terjadi dalam membangun hubungan bisnis dengan keluarganya,
melainkan lebih mengutamakan kebutuhan bersama. Hal ini sejalan dengan yang
dikemukakan oleh Hwang (1986), dimana aturan yang berlaku dalam ikatan
ekspresif jaringan guanxi adalah aturan kebutuhan (need rules).
Pembangunan dan pemeliharaan kepercayaan dalam kewirausahaan etnis
Tionghoa tidak lepas dari nilai-nilai Konfusius yang mewarnai kehidupan etnis
Tionghoa pada umumnya. Schoorman, dkk. (2007) menyatakan bahwa budaya
senyatanya dapat mempengaruhi kecenderungan individu untuk percaya kepada
pihak lain. Pentingnya pembangunan kepercayaan (xin/being trustworthy) dalam
nilai budaya Konfusius (Hwang, 2005) mewarnai kewirausahaan etnis Tionghoa
yang menekankan pentingnya kepercayaan dalam hubungan bisnis, baik dalam
jaringan guanxi maupun tidak. Oleh karena itu keyakinan itu, mereka berusaha
menjaga kepercayaan yang telah dibangun dengan melakukan komunikasi secara
terbuka, menyediakan akses terhadap pihak ketiga, dan lain-lain, sehingga
akhirnya dapat membentuk hubungan bisnis jangka panjang.
86
Nilai-nilai Konfusius dalam kewirausahaan etnis Tionghoa juga dapat
dilihat dari sikap wirausahawan etnis Tionghoa yang memandang hubungan
bisnisnya sebagai bagian dari hubungan personalnya. Ketika kepercayaan sudah
terjalin, mereka akan membawa hubungan bisnis ke dalam hubungan personal
yang menekankan pentingnya harmoni sosial. Oleh karena itu, untuk menjaga
kepercayaan yang telah dibangun, wirausahawan etnis Tionghoa tidak hanya
memperlihatkan kemampuan (ability) dan integritas (integrity) mereka dalam
bekerja, atau kebaikan (benevolence) dalam konteks pekerjaan, melainkan juga
menunjukkan kebaikan-kebaikan (benevolence) secara personal dengan
memberikan dukungan emosional saat sedang mengalami masalah atau
memperlakukan partner layaknya bagian dari keluarga sendiri. Harmoni sosial juga
memungkinkan adanya perbaikan kepercayaan ketika terjadi pelanggaran
kepercayaan selama hubungan bisnis berlangsung sehingga dapat dibangun
hubungan bisnis jangka panjang. Pada akhirnya, pemeliharaan kepercayaan
bisnis yang demikian akan memungkinkan terbentuknya jaringan guanxi yang baru
dari hubungan kepercayaan yang telah kuat dengan orang-orang di luar jaringan
guanxi.
Bila dibandingkan dengan model kepercayaan organisasional Mayer, dkk.
(1995), model kepercayaan wirausahawan etnis Tionghoa dalam
kewirausahaannya berbeda dari beberapa aspek. Kecenderungan trustor untuk
percaya (trustor prospensity) diwarnai oleh nilai budaya Konfusius, di mana di
dalamnya terkandung work ethic etnis Tionghoa yang pada akhirnya
mempengaruhi cara mereka dalam memelihara kepercayaan bisnis sehingga
mereka dapat membangun kerja sama jangka panjang. Persepsi terhadap
trustworthiness pihak lain tidak hanya ditentukan oleh karakteristik kemampuan
87
(ability), integritas (integrity), dan kebaikan (benevolence) (Mayer, dkk., 1995),
melainkan juga berdasarkan perspektif bersama yang dimiliki (shared perspective).
Masing-masing karakteristik tersebut berbeda-beda pengaruhnya untuk setiap
hubungan bisnis dengan dasar ikatan yang berbeda, di luar dan di dalam jaringan
guanxi (expressive ties, mixed ties, dan instrumental ties). Selain itu, penelitian ini
menemukan adanya faktor-faktor lain yang mempengaruhi kepercayaan bisnis
dalam kewirausahaan etnis Tionghoa, yaitu hubungan terdahulu (past
relationship), proses komunikasi (communication process), dan parameter
structural (structural parameter). Evaluasi terhadap hubungan terdahulu dapat
mempengaruhi keputusan untuk membangun kepercayaan bisnis selanjutnya,
sedangkan proses komunikasi yang terbuka dan ketersediaan parameter
struktural dapat membantu dalam meningkatkan kepercayaan bisnis yang telah
dibangun.
Wirausahawan etnis Tionghoa pada akhirnya tidak membedakan
hubungan bisnis dengan hubungan personalnya. Pembentukan hubungan bisnis
dari hubungan personal serta pembangunan hubungan personal dari hubungan
bisnis menunjukkan pentingnya pemanfaatan jaringan guanxi dalam
kewirausahaan etnis Tionghoa di kota Makassar. Adanya perbedaan jenis ikatan
dalam jaringan guanxi menyebabkan adanya perbedaan wirausahawan etnis
Tionghoa dalam membentuk suatu kepercayaan bisnis. Namun, secara umum
mereka cenderung membangun kepercayaan bisnis dengan orang-orang yang
dipandang memiliki kebaikan (benevolence).
Kepercayaan dalam bisnis dapat dibawa ke level yang lebih tinggi dan
dipertahankan dalam hubungan bisnis jangka panjang karena mereka tidak lagi
hanya melihat partner kerjanya sebagai partner dalam berbisnis, melainkan juga
88
partner dalam hubungan personal. Hal inilah yang memungkinkan adanya kerja
sama yang kuat dan jangka panjang dalam kewirausahaan etnis Tionghoa di kota
Makassar. Lebih lanjut, hasil penelitian ini pada akhirnya tidak mendukung
stereotip-stereotip yang dimiliki sebagian orang mengenai eksklusivitas etnis
Tionghoa dalam berbisnis, di mana etnis Tionghoa ternyata tidak hanya
membangun hubungan bisnis dengan sesama etnis Tionghoa. Kenyataannya,
mereka tidak membangun kepercayaan bisnis dengan orang lain dengan hanya
berdasarkan latar belakang etnis, melainkan lebih kepada kualitas personal
(trustworthiness) yang dimiliki oleh orang tersebut.
4.4. Limitasi Penelitian
Terdapat beberapa keterbatasan dalam penelitian ini. Pertama, kondisi
beberapa subyek yang memiliki kesibukan yang sangat padat sehingga tidak
memungkinkan untuk melakukan wawancara di luar waktu kerjanya. Wawancara
dilakukan ketika subyek sedang menjaga toko sehingga mengganggu fokus
subyek dalam menjawab pertanyaan yang diberikan. Selain itu, waktu yang
diberikan juga sangat terbatas sehingga menyulitkan peneliti untuk menggali data
secara mendalam.
Kedua, ketidaksediaan salah satu subyek untuk direkam proses
wawancaranya yang menyulitkan peneliti untuk merangkum semua detil isi
wawancara dalam proses transkrip data sehingga besar kemungkinan banyak
data yang tidak disertakan. Ketiga, adanya perbedaan banyaknya data yang
diperoleh dari keempat subyek. Terdapat satu subyek yang dominan memberikan
data dalam penelitian ini.
89
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian kualitatif mengenai Trust dan Trustworthiness
dalam Kewirausahaan (Studi Kasus terhadap Kewirausahaan Etnis Tionghoa di
Kota Makassar), kepercayaan bisnis wirausahawan etnis Tionghoa di kota
Makassar dipengaruhi oleh karakteristik trustor (propensity to trust), karakteristik
trustee (trustworthiness), jenis hubungan trustor-trustee (relationship form),
hubungan terdahulu (past relationship), proses komunikasi (communication
process), dan parameter struktural (structural parameter). Wirausahawan etnis
Tionghoa cenderung lebih mudah membangun kepercayaan bisnis dengan orang-
orang yang masuk ke dalam jaringan guanxi-nya untuk meminimalkan
pengambilan resiko yang mungkin terjadi dalam bisnis. Pembangunan
kepercayaan bisnis di luar jaringan guanxi dilakukan secara perlahan, dengan
membangun kerja sama dalam skala kecil di awal hubungan. Ketika partner dinilai
dapat dipercaya selama menjalin hubungan bisnis, maka kepercayaan bisnis akan
meningkat sehingga memungkinkan adanya kerja sama jangka panjang.
Karakteristik trustworthiness dalam kepercayaan bisnis wirausahawan
etnis Tionghoa di kota Makassar yaitu kemampuan (ability), integritas (integrity),
kebaikan (benevolence), dan perspektif bersama (shared perspective).
Kemampuan (ability) merupakan karakteristik trustworthiness yang utama dalam
membangun sebuah kepercayaan bisnis dengan orang lain yang tidak memiliki
hubungan emosional dengan mereka (instrumental ties dan non-guanxi). Di lain
pihak, kebaikan (benevolence) dipertimbangkan dalam semua hubungan
90
kepercayaan bisnis, dan menjadi karakteristik trustworthiness yang utama dalam
membangun kepercayaan bisnis dengan keluarga atau teman dekat (expressive
ties). Dalam jenis hubungan ini pula muncul karakteristik trustworthiness yang baru,
yaitu perspektif bersama (shared perspective), menggantikan pertimbangan atas
karakteristik kemampuan (ability) dan integritas (integrity) yang ada pada jenis
hubungan kepercayaan bisnis yang lain.
5.2. Saran
Berdasarkan temuan hasil penelitian ini, diajukan sejumlah saran sebagai
berikut:
1. Untuk kepentingan penelitian lebih lanjut disarankan:
a. Untuk memperoleh data yang lebih mendalam, dapat dilakukan building
rapport beberapa minggu atau bulan sebelum melakukan penelitian.
b. Untuk memperoleh gambaran kepercayaan pada masing-masing bentuk
usaha dan jenis ikatan hubungan yang lebih komprehensif, penelitian dapat
diperluas dengan menambah sampel untuk masing-masing kriteria subyek.
c. Untuk kepentingan studi kewirausahaan berbasis budaya Tionghoa yang
lebih kental akan nilai-nilai Konfusius, penelitian dapat memilih subyek
yang lebih mendalami nilai budaya tersebut.
d. Penelitian selanjutnya juga dapat memperluas penelitian pada
pembangunan kepercayaan dalam jaringan guanxi sebelum melakukan
hubungan kewirausahaan.
2. Untuk kepentingan praktis disarankan:
a. Pemilik usaha yang ingin mengembangkan usahanya menjadi usaha besar,
perlu lebih terbuka dalam membangun relasi bisnis yang baru.
91
b. Pemilik usaha perlu lebih terbuka dalam menyampaikan pendapat dan
umpan balik terhadap partner kerja yang merupakan keluarganya agar
hubungan bisnis dan relasi dapat menjadi lebih efektif.
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto. (2006). Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Bachmann, R., & Zaheer, A. (Eds.). (2006). Handbook of trust research. Edward
Elgar Publishing. Badan Pusat Statistik. (2016). Kota Makassar dalam Angka. Makassar: BPS Kota
Makassar. Baum, J. R., Frese, M., & Baron, R. A. (2014). The psychology of entrepreneurship.
Psychology Press. Bond, M. H., & Hwang, K. K. (1986). The social psychology of Chinese people.
Oxford University Press. Chen, C. C., Chen, Y. R., & Xin, K. (2004). Guanxi practices and trust in
management: A procedural justice perspective. Organization Science, 15, 200–209.
Davis, J. H., Schoorman, F. D., Mayer, R. C., & Tan, H. H. (2000). The trusted
general manager and business unit performance: Empirical evidence of a competitive advantage. Strategic management journal, 563-576.
Faturochman. (2000). Dinamika psikologis dan sosial kepercayaan. Dalam
Supratiknya, Faturochman, & Sentot Haryanto (eds.). Tantangan Psikologi Menghadapi Millenium Baru. Yogyakarta: Yayasan Pembina Fakultas Psikologi UGM.
Frazier, M. L., Johnson, P. D., & Fainshmidt, S. (2013). Development and
validation of a propensity to trust scale. Journal of Trust Research, 3(2), 76-97.
Frese, M., Gielnik, M. M. (2014). The psychology of entrepreneurship. Annu. Rev.
Organ. Psychol. Organ. Behav., 1(1), 413-438. Holmlund, M., Törnroos, J. Å. (1997). What are relationships in business
networks?. Management decision, 35(4), 304-309. Hu, H. C. (1944). The Chinese concepts of “face”. American anthropologist, 46(1),
45-64. Hwang, K. K. (1987). Face and favor: The Chinese power game. Am J Sociol, 92,
944–974. Hwang, K. K. (1990). Modernization of the Chinese family business. International
Journal of Psychology, 25(3-6), 593-618.
Jacobsen, M. (2006). Doing Business the Chinese Way? On Manadonese Chinese
Entrepreneurship in North Sulawesi. The Copenhagen Journal of Asian Studies, 24, 72-104.
Johnson, D. W., Johnson, F. P. (2009). Joining together: Group theory and group
skills, 10th ed. New Jersey: Pearson Education Kelley, H. H., & Thibaut, J. W. (1978). Interpersonal relations: A theory of
interdependence. New York: Wiley. Kiong, T. C., & Kee, Y. P. (1998). Guanxi bases, Xinyong and Chinese business
networks. Br J Sociol, 49, 75–96. Lewicki, R. J., & Bunker, B. B. (1996). Developing and maintaining trust in work
relationships. Trust in organizations: Frontiers of theory and research, 114, 139.
Lewicki, R. J., Tomlinson, E. C. (2003, Desember). Trust and Trust
Building. Beyond Intractability. Eds. Guy Burgess and Heidi Burgess. Conflict Information Consortium, University of Colorado, Boulder [on-line]. Diakses pada tanggal 2 April 2017 dari http://www.beyondintractability.org/essay/trust-building.
Lewicki, R. J., Tomlinson, E. C., & Gillespie, N. (2006). Models of interpersonal
trust development: Theoretical approaches, empirical evidence, and future directions. Journal of management, 32(6), 991-1022.
Lewicki, R. J., McAllister, D. J., & Bies, R. J. (1998). Trust and distrust: New
relationships and realities. Academy of Management Review, 23, 438-458. Mayer, R. C., Davis, J. H., & Schoorman, F. D. (1995). An integrative model of
organizational trust. Academy of management review, 20(3), 709-734. Moleong, L. J. (2007). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya Offset. Naisbitt, J. (1997). Megatrends Asia. New York: Simon and Schuster. Pena, I. (2002). Intellectual capital and business start-up success. Journal of
intellectual capital, 3(2), 180-198. Peña, N., de Arroyabe, J. F., & de Arroyabe, J. C. F. (2002). Business Cooperation:
from theory to practice. New York: Springer. Pye, L. (1992). Chinese Commercial Negotiating Style. New York: Quorum Books. Rarick, C. A. (2007). Confucius on management: Understanding Chinese cultural
values and managerial practices.
Redding, S. G. (1990). The spirit of Chinese capitalism. Berlin: Walter de Gruyter. Rotter, J. B. (1967). A new scale for the measurement of interpersonal
trust. Journal of personality, 35(4), 651-665. Rousseau, D. M., Sitkin, S. B., Burt, R. S., and Camerer, C. (1998). "Not so
Different After All: A Cross-Discipline View of Trust," in Academy of Management Review, 23, 393-404.
Schoorman, F. D., Mayer, R. C., & Davis, J. H. (2007). An integrative model of
organizational trust: Past, present, and future. Academy of Management review, 32(2), 344-354.
Stam, W., Arzlanian, S., & Elfring, T. (2014). Social capital of entrepreneurs and
small firm performance: A meta-analysis of contextual and methodological moderators. Journal of Business Venturing, 29(1), 152-173.
Sugiyono. (2007). Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif,
dan R&D. Bandung: Alfabeta. Sugiyono. (2013). Statistika untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta. Sunaryo, L. (2005). Managing a Complex Environment: Social Cultural
Perspectives. The case of Indonesia. MCom thesis, University of Otago, Dunedin, New Zealand.
Suryabrata, S. (2013). Metodologi Penelitian. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Suryadinata, L. (Ed.). (1997). Ethnic Chinese as Southeast Asians. Institute of
Southeast Asian Studies. Tamar, M., Hasniar, Wahyuni, S., Arfah, T., Arafat, Y. (2015). Panduan Teknis
Penyusunan Skripsi. Program Studi Psikologi Universitas Hasanuddin, Makassar.
Taylor, S. E., Peplau, L. A., & Sears, D. O. (2012). Social Psychology. New Jersey:
Pearson Prentice Hall. Tsang, E. (1998). Can Guanxi Be A Source Of Sustained Competitive Advantage
For Doing Business In China? The Academy of Management Executive, 12(2), 64-73
Wang, C. L. (2007). Guanxi vs. relationship marketing: Exploring underlying
differences. Industrial Marketing Management, 36 , 81–86. Wrightsman, L.S. (1993). Social Psychology in the 90’s. USA: Brooks/Cole Pub.Co. Wong S. L., (1988). Emigrant Entrepreneurs: Shanghai Industrialists in Hong Kong.
Hong Kong: Oxford University Press
Yang, M. M. H. (1994). Gifts, favors, and banquets: The art of social relationships in China. Ithaca: Cornell University Press.