Upload
phamtuong
View
220
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
TRANSMISI RADIASI MATAHARI DI BAWAH KANOPI HUTAN
(Studi Kasus Hutan Badan Litbang Kementrian Kehutanan Dramaga Bogor)
ERNAWATI APRIANI
DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
ABSTRACT
ERNAWATI APRIANI, Transmission of Solar Radiation Through Canopy (Case Study: Forest
Research and Development Agency Ministry of Forestry Bogor/ Hutan Penelitian Dramaga).
Supervised by IDUNG RISDIYANTO.
Radiation transmission is part of the essential components of energy balance and known as energy
for plant in the understory. Recently, remote sensing is solution for limited measurement in a
wider scale. However, the calculation transmission of radiation using satellite needs to be
corrected because the quantity of radiation transmission depends on solar elevation which is an
error source for satellite imagery. For that reason, diurnal measurement of radiation transmission
is important to be analyzed. This study has done in Forest Research and Development Agency
Ministry of Forestry Bogor and also known as ‘Hutan Penelitian Dramaga’ using solarimeter.
Three sample locations shown different density and distribution stands. Radiation was measured
under trees, poles and sampling canopy. Transmission of solar radiation under tree canopy (17%)
was higher than under pole (14%) and sapling (14%). There was a lag between peak of
transmission under tree canopies with poles and sapling canopies. Diurnal observation shown that
transmission in the morning (17%) was higher than the late afternoon (12%) and the highest was
during midday (19%). This study also gave a distribution class of radiation transmission under
canopy based on amount of incoming solar radiation and time. The amount of radiation
transmission was strongly influenced by canopy architecture, level of cloudiness and solar
elevation.
Key Word: Radiation transmission, trees-poles-sapling canopy, difusse radiation
ABSTRAK
ERNAWATI APRIANI, Transmisi Radiasi Matahari Di bawah Kanopi Hutan (Studi Kasus
Hutan Badan Litbang Kementrian Kehutanan Bogor). Dibimbing oleh IDUNG RISDIYANTO.
Radiasi transmisi merupakan bagian dari komponen neraca energi dan merupakan sumber energi
untuk kehidupan tanaman di lantai hutan. Saat ini metode penginderaan jauh menjadi solusi untuk
pengukuran dalam skala yang lebih luas. Namun, pendugaan radiasi transmisi menggunakan satelit
perlu dikoreksi karena besarnya radiasi transmisi dipengaruhi oleh sudut datang matahari yang
merupakan sumber error bagi citra satelit. Untuk itu dilakukan pengukuran radiasi transmisi secara
diurnal menggunakan solarimeter di Hutan Badan Litbang Kementrian Kehutanan Bogor. Tiga
sampel lokasi menunjukkan kerapatan dan distribusi tegakan yang berbeda. Radiasi diukur di
bawah tegakan pohon, tiang dan pancang. Transmisi radiasi matahari di bawah pohon (17%) lebih
tinggi dibanding di bawah tiang (14%) dan pancang (14%). Terdapat lag terjadinya pucak
transmisi matahari antara di bawah pohon dengan dibawah tiang dan pancang. Pengamatan diurnal
menyatakan bahwa pada pagi hari (17%) nilai radiasi transmisi lebih besar dibanding dengan sore
hari (12%) dan yang tertinggi terjadi pada siang hari (19%). Selain itu juga didapatkan proporsi
pada setiap rentang nilai radiasi dalam rentang waktu tertentu yang dapat digunakan sebagai
pembanding jika akan menggunakan data satelit dalam pengestimasian nilai radiasi transmisi.
Besarnya transmisi matahari sangat dipengaruhi oleh arsitektur kanopi, tingkat keawanan dan
sudut datang matahari.
Kata kunci: Radiasi transmisi, kanopi pohon-tiang-pancang, radiasi difus
© Hak cipta milik IPB (Institut Pertanian Bogor), tahun 2012
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,
penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah;
dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentngan yang wajar di IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam
bentuk apapun tanpa izin IPB.
TRANSMISI RADIASI MATAHARI DI BAWAH KANOPI HUTAN
(Studi Kasus Hutan Badan Litbang Kementrian Kehutanan Dramaga Bogor)
ERNAWATI APRIANI
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains pada
Departemen Geofisika dan Meteorologi
DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
Judul : Transmisi Radiasi Matahari di Bawah Kanopi Hutan (Studi
Kasus Hutan Badan Litbang Kementrian Kehutanan Dramaga
Bogor)
Nama : Ernawati Apriani
NIM : G24080012
Menyetujui,
Pembimbing
Idung Risdiyanto, S.Si, M.Sc in IT
NIP. 19730823 199802 1 001
Mengetahui,
Ketua Departemen
Geofisika dan Meteorologi
Dr. Ir. Rini Hidayati, MS
NIP. 19600305 198703 2 002
Tanggal Lulus :
PRAKATA
Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT dan sholawat serta salam penulis haturkan
kepada nabi besar Muhammad SAW, atas rahmat dan hidayahNya berupa ilmu dan kesehatan
sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir dengan judul Transmisi Radiasi Matahari di
Bawah Kanopi Hutan (Studi Kasus Hutan Badan Litbang Kementrian Kehutanan Dramaga
Bogor). Tugas akhir ini merupakan salah satu syarat kelulusan pada program studi Meteorologi
Terapan, Departemen Geofisika dan Meteorologi.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan dan penyelesaian tugas akhir ini terdapat
keterlibatan banyak pihak, sehingga dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih
kepada :
1. Bapak dan Ibu tercinta, Ayuk Syusiana Amelia dan Adek Benny Erlangga yang telah
memberikan doa, cinta, perhatian dan dukungan mereka untukku. Semoga Allah SWT
membalas dengan surga-Nya
2. Bapak Idung Risdiyanto, S.Si, M.Sc in IT atas segala bentuk bantuan, saran, nasihat dan
bimbingan serta waktu yang telah diberikan yang sangat besar peranannya selama proses
pengerjaan tugas akhir ini.
3. Teman perjuangan satu bimbingan dalam lab Meteorologi dan setim asisten Meteorologi
Satelit Aulia Maharani, Fauzan Nurrachman, Bambang Triatmojo, dan Dicky Sucipto atas
kerja sama dan bantuannya selama penelitian lapang dan pengerjaan tugas akhir.
4. Teman-teman yang telah memberiku keluarga di sini Cupu, Widia, Devi, Lista, dewi, Steffi,
Nanda, Muti atas bantuan semangat, doa dan kekeluargaan yang selama ini dibangun.
5. Sahabat selama perkuliahan Sarah Purnamawati, Ratna dila, Citra Pratiwi, Sintong Pasaribu,
Asep Ferdiansyah, dan terimakasih pula untuk Fella Fauziah, Ferdy Aprihatmoko, sebagai
penyemangat dan penyelamat suka duka perkuliahan, serta Adi Mulyadi, Emod, dan Taufiq
yang telah membantu proses dilapangan.
6. Teman-teman seperjuangan di GFM 45 (Faiz, Fe, Yuda, Nipong, Joy, Fida, Dewa, Firman,
Iput, Dody, Akfia, Fitra, Okta, Dilper, Mirna, Dewi, Fitri, Maria, Tiska, Putri, Geno, Ruri, nia,
Dora, Nadita, Widia, Fatchah, Ria, Farrah, Aila, Usel, Annisa, Diyah, Fithra, Pungki, Adit,
Adi, Yoga, Mail, Ian, Arif, Adiyat) atas persahabatan, kekeluargaan dan kenangannya.
7. Teman-teman omda (Rika, Eko, Ani, Hardi, Erik, Mike, Gina, Puni dkk) atas semangat dan
perhatiannya.
8. Teman-teman divisi Sains dan Aplikasi di Himagreto (Dody, Fella, Sintong, Faiz, Silvi, Normi,
Lidia, Ika Farrah, Ika Pur) atas kerja sama dan bantuannya selama di Himagreto.
9. Semua pihak yang telah membantu selama penelitian dan penyusunan skripsi ini yang tidak
dapat disebut satu per satu.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam skripsi ini. Masukan dan kritik yang
bersifat membangun sangat penulis harapkan. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi ilmu
pengetahuan dan masyarakat.
Bogor, Juli 2012
Penulis
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama lengkap Ernawati Apriani, lahir di Curup Kabupaten
rejang lebong Provinsi Bengkulu pada tanggal 27 Februari 1990 merupakan
anak kedua dari tiga bersaudara dari Bapak Erwan Effendi dan Ibu Ngatmi.
Penulis menamatkan pendidikan Menengah Atas (SMAN 1 Curup) pada
tahun 2008. Pada tahun yang sama penulis lulus seleksi masuk IPB melalui
Jalur Undangan (USMI) dengan program studi Meteorologi Terapan,
Departemen Geofisika dan Meteorologi, Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam.
Selama menuntut ilmu di IPB, penulis aktif disejumlah organisasi kemahasiswaan dan
kepanitiaan yakni sebagai pengurus Himpunan Mahasiswa Agrometeorologi (Himagreto) pada
Departemen Sains dan Aplikasi tahun 2011-2012, sempat mengkoordinasi acara Meteorology Day
pada peringatan hari Meteorologi 23 Maret 2011. Pada tahun yang sama penulis melakukan
kegiatan magang di Lembaga Penerbangan dan Antariksa (LAPAN) Pekayon Jakarta, bagian
Lembaga Mitigasi dan Bencana. Pada tahun 2012 penulis mendapat kesempatan menjadi asisten
praktikum Meteorologi Satelit. Untuk memperoleh gelar Sarjana Sains IPB, penulis menyelesaikan
skripsi dengan judul Transmissi Radiasi Matahari di Bawah Kanopi Hutan (Studi Kasus Hutan
Badan Litbang Kementrian Kehutanan Dramaga Bogor), dibimbing oleh Idung Risdiyanto, S.Si,
M.Sc in IT.
viii
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ..................................................................................................................... ix
DAFTAR GAMBAR ................................................................................................................ x
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................................................ xi
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang .............................................................................................................. 1
1.2 Tujuan ........................................................................................................................... 1
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Ekosistem Hutan ........................................................................................................... 2
2.2 Radiasi Surya ................................................................................................................ 3
2.3 Alat Pengukur Intensitas Surya ..................................................................................... 4
2.4 Interaksi Cahaya (Radiasi Matahari) dengan Kanopi ................................................... 4
2.4.1 Cahaya dan PAR ............................................................................................... 4
2.4.2 Distribusi Cahaya dalam Kanopi ....................................................................... 5
III. METODOLOGI
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ....................................................................................... 5
3.2 Alat dan Bahan .............................................................................................................. 5
3.3 Metode Penelitian ........................................................................................................ 6
3.3.1 Pengukuran Radiasi ........................................................................................... 6
3.3.2 Pengukuran Suhu permukaan ............................................................................ 6
3.3.3 Pengolahan Data Menggunakan Microsoft Excel .............................................. 6
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Kondisi Umum Lokasi Penelitian ................................................................................. 7
4.2 Radiasi Matahari di Titik Pengukuran .......................................................................... 7
4.3 Profil Proposi Radiasi Transmisi di Titik Pengukuran .................................................. 9
4.4 Profil Temporal Proposi Radiasi Transmisi .................................................................. 11
4.5 Suhu Permukaan Beberapa Penutupan Lahan ............................................................... 12
4.6 Clustering Proporsi Radiasi Transmisi.......................................................................... 13
4.7 Profil Radiasi Difus ....................................................................................................... 15
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan ................................................................................................................... 16
5.2 Saran ............................................................................................................................. 16
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................ 16
LAMPIRAN .............................................................................................................................. 19
ix
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Karakteristik area studi ....................................................................................................... 8
2. Penelitian sebelumnya mengenai light transmission ......................................................... 10
3. Presentase rata-rata radiasi transmisi harian di Hutan Penelitian Dramaga ....................... 11
4. Rata-rata radiasi transmisi diurnal ...................................................................................... 12
x
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Titik lokasi pengambilan data pada Hutan Badan Litbang Kementrian
Kehutanan Dramaga Bogor (square area : lokasi titik pengukuran yang
berukuran 30 m x 30 m). ..................................................................................................... 7
2. Profil radiasi matahari di lokasi 1 ...................................................................................... 8
3. Profil radiasi matahari di lokasi 2 ....................................................................................... 9
4. Profil radiasi matahari di lokasi 3 ....................................................................................... 9
5. Profil proporsi transmisi radiasi di lokasi 1 ........................................................................ 10
6. Profil proporsi transmisi radiasi di lokasi 2 ........................................................................ 10
7. Profil proporsi transmisi radiasi di lokasi 3 ........................................................................ 11
8. Distribusi temporal harian transmisi radiasi matahari berdasarkan sudut
waktu ................................................................................................................................. 12
9. Profil suhu permukaan penutupan lahan ............................................................................. 13
10. Profil suhu permukaan tanah dengan transmisi radiasi matahari ........................................ 13
11. Diagram proporsi transmisi (rata-rata 11 hari pengukuran) berdasarkan Rs↓
dan waktu ............................................................................................................................ 14
12. Profil radiasi difus menggunakan persamaan empiris oleh Erbs et al. (1982)
dalam Essery et al. (2007) .................................................................................................. 15
xi
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Grafik kalibrasi alat solarimeter ......................................................................................... 20
2. Kelas proporsi radiasi transmisi matahari berdasarkan rentang Rs↓ dan
waktu di Hutan Penelitian Dramaga ................................................................................... 21
3. Presentase sebaran jumlah data radiasi yang diterima di puncak kanopi
terhadap waktu di Hutan Penelitian Dramaga..................................................................... 22
4. Dokumentasi pengukuran di lapangan ................................................................................ 23
5. Alat pengukur intensitas surya ............................................................................................ 24
1
I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Radiasi matahari adalah sumber energi
penting untuk seluruh vegetasi di permukaan
bumi. Hampir seluruh energi di ekosistem
hutan tropis berasal dari energi matahari yang
diterima oleh kanopi dan permukaan tanah
dalam beberapa spektrum gelombang pendek.
Radiasi gelombang pendek yang penting untuk
fotosintesis tanaman adalah radiasi dengan
panjang gelombang 400-700 nm yang dikenal
sebagai photosynthesis active radiation
(PAR).
Penilaian kondisi pencahayaan tegakan
hutan merupakan informasi yang penting
untuk mengetahui pertumbuhan tanaman (baik
tanaman kayu maupun tumbuhan herba) di
lantai kanopi. Bahkan perubahan yang kecil
pada struktur puncak kanopi dapat
menghasilkan perubahan penetrasi radiasi
matahari dan juga status iklim mikro yang
berpengaruh penting terhadap pertumbuhan
dan ketahanan spesies tanaman yang terlibat
(Whitmore et al. 1993; Brown 1993, 2000;
Hale dan Brown 2005; diacu dalam Jarcuska
2008).
Cahaya (visible light) adalah salah satu
faktor lingkungan utama yang mengontrol
proses ekologi dan biologi di dalam hutan.
Jumlah dan kualitas cahaya mengontrol
keberhasilan pembentukan dari suatu benih
perkecambahan dan pertumbuhan benih pohon
di lantai hutan. Toleransi setiap spesies pohon
muda bervariasi menurut status suksesinya,
semakin toleran suatu spesies maka dapat
berkembang baik dan beregenerasi di lantai
hutan yang gelap dibanding dengan yang
intoleran. Cahaya juga merupakan suatu kunci
yang penting dalam regenerasi hutan. Cahaya
meningkatkan perkembangan vegetasi di
lantai hutan, yang terdiri dari graminoids,
forbs1, semak dan pohon muda, dimana selain
cahaya komposisinya bervariasi bergantung
pada kondisi lokasi dan spesies pohon di
sekitar lantai hutan.
Keragaman jumlah cahaya yang diterima
pada hutan bisa disebabkan oleh celah kecil
cahaya yang disebut ‘sunflecks’, dimana
sunflecks ini masuk melewati celah hutan
kanopi. Sunflecks-light terdiri dari cahaya
matahari langsung, cahaya yang dipantulkan
oleh vegetasi, cahaya difus, dan cahaya difus
1 Graminoids, forbs merupakan kelompok vegetasi herba.
Graminoids adalah semua rumput herba dan tanaman
rerumputan seperti alang-alang dan tebu. Forbs adalah tanaman herba berdaun lebar seperti bunga matahari.
yang diserap oleh vegetasi (Morgan dan Smith
1981 dalam Longman 1992).
Saat ini terdapat trend dalam pengelolaan
hutan dengan beberapa tujuan, khususnya
untuk meningkatkan biodiversity dan
sustainability. Salah satunya adalah perhatian
terhadap vegetasi di bawah kanopi hutan
sebagai suatu cara untuk meningkatkan jumlah
spesies dan secara tidak langsung untuk
mendukung pelestarian fauna serta berperan
dalam peningkatan kualitas tanah (Balandier
2008).
Indonesia merupakan salah satu negara
dengan jumlah hutan tropis yang besar.
Kelestarian hutan saat ini semakin menurun
dengan semakin meningkatnya jumlah
penduduk dan kemiskinan. Untuk itu
diperlukan suatu sistem yang dapat
mengoptimalkan fungsi hutan sehingga dapat
menengahi kepentingan kelestarian dan
kepentingan masyarakat di sekitar hutan.
Salah satu caranya adalah dengan pola
distribusi tanaman sela di dalam hutan. Untuk
mencapai tujuan tersebut, diperlukan penilaian
terhadap energi radiasi matahari di dalam
hutan.
Perhitungan radiasi melalui celah kanopi
(radiasi transmisi) dapat dilakukan dengan
metode pengukuran langsung dan tidak
langsung. Metode remote sensing saat ini
menjadi alat yang sering digunakan karena
kelebihannya secara cakupan wilayah kajian.
Untuk itu dibutuhkan suatu koreksi dengan
menggunakan data lapangan agar keakuratan
pendugaan menggunakan satelit lebih tinggi.
Dalam penelitian ini radiasi yang diukur
adalah radiasi yang ditransmisikan melalui
celah kanopi di beberapa strata tumbuhan di
bawah kanopi.
1.2 Tujuan
Penelitian ini memiliki beberapa tujuan
yaitu :
1. Mencari fraksi antara radiasi matahari di
bawah kanopi dengan radiasi matahari di
atas kanopi pada strata tumbuhan pohon,
pancang dan tiang.
2. Mengidentifikasi dan menganalisis
transmisi radiasi matahari dan distribusi
temporal pada beberapa strata tumbuhan.
3. Membuat kelas sebaran transmisi radiasi
matahari secara temporal.
4. Menghitung dan menganalisis radiasi
difus dalam hubungannya dengan radiasi
transmisi.
2
II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Ekosistem Hutan
Hutan hujan tropis merupakan salah satu
tipe vegetasi hutan yang terletak pada 100LU
hingga 100LS. Ekosistem hutan hujan tropis
terbentuk pada daerah dengan curah hujan
2000-4000 mm per tahun, rata-rata temperatur
250C dengan perbedaan temperatur yang kecil
sepanjang tahun, dan rata-rata kelembaban
udara 80%. Arief (1994) dalam Indriyanto
(2008) mengemukakan bahwa hutan hujan
tropis yang telah mencapai klimaks
mempunyai tiga stratum tajuk, yaitu stratum
A, B, dan C atau bahkan memiliki lebih dari
tiga stratum tajuk.
Stratifikasi yang terdapat pada hutan
hujan tropis dapat dibagi menjadi lima stratum
berurutan dari atas ke bawah, yaitu stratum A,
stratum B, stratum C, stratum D dan stratum E
(Arief 1994; Ewusie 1990; Soerianegara dan
Indrawan 1982; diacu dalam Indriyanto 2008).
Masing-masing stratum diuraikan sebagai
berikut :
1. Stratum A (A-storey), yaitu lapisan tajuk
(kanopi) hutan paling atas yang dibentuk
oleh pepohonan yang tingginya lebih dari
30 m. Pada umumnya tajuk pohon pada
stratum tersebut lebar, tidak bersentuhan
ke arah horizontal dengan tajuk pohon
lainnya dalam stratum yang sama,
sehingga stratum tajuk itu berbentuk
lapisan diskontinu. Pohon pada stratum A
umumnya berbatang lurus, batang bebas
cabang tinggi, dan bersifat intoleran (tidak
tahan naungan). Menurut Ewusie (1984)
diacu dalam Indriyanto (2008), sifat khas
bentuk-bentuk tajuk pohon tersebut sering
digunakan untuk identifikasi spesies pohon
dalam suatu daerah.
2. Stratum B (B-storey), yaitu lapisan tajuk
kedua dari atas yang dibentuk oleh
pepohonan yang tingginya 20-30 m.
Bentuk tajuk pohon pada stratum B
membulat atau memanjang dan tidak
melebar seperti pada tajuk pohon di
stratum A. Jarak antar pohon lebih dekat
sehingga tajuk pohon-pohonnya cenderung
membentuk lapisan tajuk yang kontinu.
Spesies pohon yang ada, bersifat toleran
(tahan naungan) atau kurang memerlukan
cahaya. Batang pohon banyak cabangnya
dengan batang bebas cabang tidak begitu
tinggi.
3. Stratum C (C-storey), yaitu lapisan tajuk
ketiga dari atas yang dibentuk oleh
pepohonan yang tingginya 4-20 m.
Pepohonan pada stratum C mempunyai
bentuk tajuk yang berubah-ubah tetapi
membentuk suatu lapisan tajuk yang tebal.
Selain itu, pepohonannya memiliki banyak
percabangan yang tersusun dengan rapat,
sehingga tajuk pohon menjadi padat. Pada
stratum C pepohonan juga berasosiasi
dengan berbagai populasi epifit, tumbuhan
memanjat, dan parasit (Vickery 1984 diacu
dalam Indriyanto 2008).
4. Stratum D (D-storey) yaitu lapisan tajuk
keempat dari atas yang dibentuk oleh
spesies tumbuhan semak dan perdu yang
tingginya 1-4 m. Pada stratum itu juga
terdapat dan dibentuk oleh spesies pohon
yang masih muda atau dalam fase anakan
(seedling), terdapat palma-palma kecil,
herba besar, dan paku-pakuan besar.
5. Stratum E (E-storey) yaitu tajuk paling
bawah (lapisan kelima dari atas) yang
dibentuk oleh spesies-spesies tumbuhan
penutup tanah (ground cover) yang
tingginya 0-1 m. Keanekaragaman spesies
pada stratum E lebih sedikit dibandingkan
dengan stratum lainnya.
Klasifikasi pohon dalam suatu tegakan
hutan sangat berguna untuk pengelolaan hutan
itu sendiri. Menurut Kadri dkk (1992) dalam
Indriyanto (2008) klasifikasi pohon dapat
didasarkan pada ukuran pohon dan posisi tajuk
pohon di dalam hutan.
1. Klasifikasi Pohon Berdasarkan Ukuran
a. Semai (seedlings), yaitu pohon yang
tingginya kurang dari atau sama dengan
1.5 m.
b. Sapihan atau pancang (saplings), yaitu
pohon yang tingginya lebih dari 1.5 m
dengan diameter batang kurang dari 10 cm.
c. Tiang (poles), yaitu pohon dengan
diameter batang 10-19 cm.
d. Pohon inti (Nucleus trees), yaitu pohon
dengan diameter 20-49 cm. Pohon besar
(tress), yaitu pohon dengan diameter
batang lebih dari 50 cm.
2. Klasifikasi Pohon Berdasarkan Posisi
Tajuk
a. Pohon dominan (dominant trees), yaitu
pohon yang tajuknya menonjol paling atas
dalam hutan sehingga mendapat cahaya
matahari penuh. Tajuk pohon tumbuh
meninggi di atas tingkat kanopi yang
umum. Terkadang terdapat pada tegakan
seumur meskipun lebih sering terdapat
pada tegakan tidak seumur yang
kondisinya tidak sempurna. Pohon
dominan ukurannya paling besar
dibandingkan dengan pohon-pohon lainnya
karena kemampuan bersaing dengan pohon
3
lain cukup besar. Banyak percabangan
pohon dengan ukuran cabang yang besar
sehingga kadang-kadang mendesak dan
menekan pohon-pohon lainnya (Kadro dkk
1992 diacu dalam Indriyanto 2008).
b. Pohon kodominan (codominant trees),
yaitu pohon yang tidak setinggi pohon
dominan, tetapi masih mendapatkan
cahaya penuh dari atas meskipun cahaya
dari samping terganggu oleh pohon
dominan. Pohon kodominan bersama-sama
dengan pohon dominan merupakan
penyusun kanopi atau tajuk utama dalam
suatu tegakan hutan,
c. Pohon tengahan (intermediate trees), yaitu
pohon yang tajuknya menempati posisi
lebih rendah dibandingkan pohon dominan
dan pohon kodominan. Pohon tersebut
masih mendapatkan cahaya matahari dari
atas, tetapi tidak lagi mendapatkan cahaya
matahari dari arah samping. Dengan
demikian, pohon dari kelas tersebut
mendapatkan persaingan yang keras
terhadap pepohonan lainnya.
d. Pohon tertekan (suppresed trees), yaitu
pohon yang sama sekali ternaungi oleh
pepohonan lain dalam suatu tegakan hutan,
sehingga tidak mendapatkan cahaya yang
cukup baik dari atas maupun dari samping.
Pepohonan yang demikian biasanya lemah
dan tumbuh lambat.
e. Pohon mati (dead trees), yaitu pepohonan
yang mati atau dalam proses kematian.
Pada tegakan hutan yang memiliki
permudaan banyak, tetapi tidak dikelola
dengan baik, maka lambat laun sejumlah
besar pohon akan mengalami tekanan dan
akhirnya mati. Seberapa jauh kecepatan
terjadinya proses tersebut bergantung pada
kualitas tempat tumbuh dan tingkat
toleransi pohon.
2.2 Radiasi Surya
Radiasi adalah sumber energi untuk
proses-proses sirkulasi atmosfer dan laut, serta
siklus hidrologi dan satu-satunya alat
pertukaran energi antara bumi dan alam
semesta. Radiasi adalah suatu bentuk energi
yang dipancarkan oleh setiap benda yang
memiliki suhu di atas nol mutlak dan
merupakan satu-satunya bentuk energi yang
dapat menjalar di dalam vakum luar angkasa.
Matahari yang mempunyai suhu
permukaan 6000 K memancarkan energi
dalam bentuk radiasi ke semua arah dengan
kecepatan jalar sebesar 3x108 m/s.
Radiasi surya merupakan gelombang
elektromagnetik dengan kisaran panjang
gelombang 0.1-3.5 µm, namun yang sampai
ke permukaan bumi terkosentrasi pada
gelombang dengan panjang 0.3-3.0 µm
(Monteith 1973). Energi yang sampai
dipuncak amosfer sebelum mengalami
pemantulan dan penyerapan oleh atmosfer
adalah 1360 Wm-2
(Handoko 1994). Ketika
melalui atmosfer, radiasi matahari akan
mengalami proses refleksi dan absorbsi akibat
adanya awan, debu, uap air dan molekul
udara, sehingga jumlah yang benar-benar
ditransmisikan mencapai permukaan bumi
dalam bentuk radiasi global akan lebih kecil
dari nilai 1360 Wm-2
. Jumlah energi yang
ditransmisikan bergantung kepada keawanan,
humidity dan turbidity atmosferik yang diserap
atau dihamburkan oleh atmosfer serta sudut
matahari (Jones 2003).
Semua benda mengemisikan radiasi
sebagai fungsi dari temperatur, dimana energi
yang diemisikan dan panjang gelombangnya
berubah terhadap temperatur sebagaimana
dijelaskan pada hukum Stefan-Bolzman dan
hukum Plank (Jones 2003).
Neraca energi merupakan kesetimbangan
antara masukan energi dari matahari dengan
kehilangan energi oleh permukaan bumi
setelah melalui proses-proses yang kompleks
(Risdiyanto dan Rini 1999).
Radiasi netto merupakan selisih antara
energi radiasi yang diabsorbsi dan yang
dipancarkan oleh permukaan bumi, atmosfer
dan subsistem bumi atmosfer. Pemanasan
atmosfer ditentukan oleh jumlah radiasi yang
diterima oleh permukaan dan respon
permukaan terhadap radiasi yang diterima.
Persamaan neraca energi bumi secara umum
dapat dituliskan sebagai berikut :
..………….(1)
Keterangan :
: Radiasi netto
: Radiasi gelombang pendek yang datang
: Radiasi gelombang pendek yang
meninggalkan bumi
: Radiasi gelombang panjang yang datang
: Radiasi gelombang panjang yang
meninggalkan bumi
Sebagian dari radiasi gelombang pendek
yang datang ada yang dipantulkan, ada yang
diserap dan ada yang diteruskan. Besarnya
energi yang dipantulkan bergantung pada
albedo (α) permukaan. Albedo merupakan
nisbah antara radiasi pantulan dengan radiasi
datang (Risdiyanto dan Rini 1999). Nilai
albedo pada vegetasi beragam dipengaruhi
oleh tipe vegetasi, warna vegetasi, geometri
4
kanopi, kandungan kelembaban, ukuran dan
luas daun serta tahap (fase) pertumbuhan
tanaman. Selain itu nilai albedo juga
dipengaruhi oleh musim, penutupan lahan, dan
waktu dalam satu hari (Rosenberg 1974).
Dalam Geiger et al. (1961) nilai albedo
dipengaruhi oleh besarnya sudut datang
matahari dan panjang gelombang.
2.3 Alat Pengukur Intensitas Surya
Intensitas radiasi matahari ialah jumlah
energi yang jatuh pada suatu bidang persatuan
luas dalam satu satuan waktu yang merupakan
ukuran penerimaan energi surya gelombang
pendek di permukaan bumi. Terdapat berbagai
macam radiasi surya yang dapat diukur, yaitu :
a. Global Radiation (Q) yaitu radiasi total
yang terdiri dari radiasi langsung dan radiasi
difus. Alat yang umum digunakan untuk
mengukur besarnya radiasi total adalah
pyranometer dan solarimeter yang memiliki
sensor thermophile.
b. Diffuse Radiation (D) merupakan radiasi
yang berasal dari pantulan oleh awan dan
pembauran partikel di atmosfer. Dapat
diukur dengan menggunakan pyranometer
dimana pada alat diberi occulting ring
(shadow band) untuk menghalangi radiasi
langsung, sehingga yang didapat adalah
nilai radiasi difus.
c. Reflectivity (Albedo) merupakan pantulan
radiasi surya gelombang pendek yang dapat
diukur dengan menggunakan pyranometer
dengan cara membalik alat tersebut kearah
permukaan untuk melihat pantulan
permukaan. Namun pengukuran dengan cara
ini tidak signifikan untuk area berbayang di
bawah alat.
d. Sunshine duration yaitu lamanya penyinaran
yang dapat diukur dengan menggunakan
alat campbell stock.
e. Net radiometers yaitu alat yang secara ideal
menyerap radiasi dari semua panjang
gelombang yang menuju dan yang
dipantulkan permukaan bumi.
f. Light Intensity yaitu intensitas cahaya
matahari yang dapat dimanfaatkan
tumbuhan dengan rentang panjang
gelombang 400-700 nm dapat diukur
dengan menggunakan alat quantum sensor.
Pada prinsipnya sensor alat pengukur
intensitas radiasi matahari dibagi menjadi dua
jenis :
a. Sensor Actinograph dimana sensor ini
dibuat dari bimetal yaitu dua jenis logam
yang memiliki koefisien muai panjang yang
berbeda dan diletakkan satu sama lainnya.
b. Sensor Thermopile seperti yang digunakan
pada solarimeter dan pyranometer.
2.4 Interaksi Cahaya (Radiasi matahari)
dengan Kanopi Tanaman
Terdapat empat cara bagaimana radiasi
berperan penting bagi pertumbuhan tanaman;
a. Pengaruh termal (Thermal effect), sebagai
hasil dari kesetimbangan energi antara
tanaman dengan lingkungannya. Radiasi
merupakan input energi utama dimana
energi ini diubah menjadi bahang (heat) dan
bentuk energi lain sesuai dengan neraca
energi tanaman.
b. Fotosintesis. Sebagian besar radiasi
matahari diserap tanaman digunakan untuk
mensintesis materi energi yang merupakan
energi utama di dalam biosfer.
c. Fotomorfogenesis. Jumlah dan distribusi
spektral dari radiasi gelombang pendek juga
berperan penting dalam regulasi
pertumbuhan dan perkembangan tanaman.
d. Mutagenesis. Dimana radiasi dengan
gelombang yang sangat pendek (termasuk
U, sinar-X dan dapat mempengaruhi
struktur materi genetik yang mengakibatkan
kerusakan dan mutasi sel-sel tanaman.
Kanopi tanaman memiliki tiga sifat
optikal yaitu reflektifitas (ρ) yang merupakan
proporsi kerapatan fluks radiasi matahari yang
dipantulkan oleh unit indeks luas daun,
transmisivitas (τ) yaitu proporsi kerapatan
fluks radiasi yang ditransmisikan oleh unit
indeks luas, dan absorbsivitas (α) yaitu
proporsi kerapatan fluks radiasi yang
diabsorbsi oleh unit indeks luas daun (Jones
1992).
2.4.1 Cahaya dan PAR
Tanaman membutuhkan cahaya matahari
untuk melakukan proses fotosintesis dimana
pertumbuhannya tergantung terhadap jumlah
radiasi yang diterima dengan asumsi
parameter lingkungan lainnya dianggap
konstan.
Cahaya tampak (visible light) adalah
gabungan panjang gelombang dengan rentang
380-770 nm dimana di dalamnya terdapat
panjang gelombang yang disebut
photosynthetic active radiation atau PAR
(400-700 nm) yang merupakan panjang
gelombang spesifik yang digunakan oleh
tanaman untuk melakukan proses biokimia di
dalam fotosintesis, yaitu mengubah energi
cahaya menjadi biomassa.
PAR didefenisikan sebagai unit kuanta
dari energi cahaya dan diekspresikan sebagai
5
jumlah poton cahaya yang diterima per suatu
unit area.
Incident PAR adalah sejumlah PAR
yang datang pada puncak atmosfer. Telah
diketahui sebelumnya bahwa atmosfer tidak
meneruskan semua panjang gelombang ke
permukaan bumi melainkan hanya pada
rentang tertentu saja (0.3-3.5 µm). Namun
hampir 48.7% radiasi yang sampai ke
permukaan bumi adalah dalam bentuk PAR
(Guang Zhu 2008). Kondisi atmosfer di atas
kanopi seperti kandungan uap air, debu,
molekul udara dan keawanan mempengaruhi
besarnya PAR yang sampai ke permukaan
kanopi. Jumlah PAR yang datang ke puncak
kanopi bervariasi tergantung dari letak lintang
dan topografi, variasi diurnal akibat perbedaan
sudut datang matahari, variasi penutupan awan
dan gangguan atmosfer.
Intercepted PAR (IPAR) adalah
sejumlah PAR yang ditangkap oleh lapisan
kanopi sebagai incident PAR pada kanopi
yang terus menembus lapisan kanopi hingga
tanah.
Absorbed PAR (APAR) adalah sejumlah
PAR yang diserap oleh kanopi sesungguhnya
setelah dikurangi PAR yang dipantulkan
(Reflected PAR). Reflektan pada kanopi
tanaman cenderung lebih rendah karena efek
multipler daun.
2.4.2 Distribusi Cahaya dalam Kanopi
Distribusi radiasi diantara kanopi
tanaman sulit untuk dideskripsikan karena
dibutuhkan pengetahuan mengenai arsitektur
kanopi, distribusi sudut radiasi matahari yang
datang dan sifat optikal tanaman.
Secara sederhana dengan asumsi
distribusi tegakan horizontal dan seragam
sehingga radiasi yang datang ke kanopi
tanaman hanya berubah terhadap ketinggian.
Secara umum rata-rata radiasi cenderung
menurun secara ekponensial dengan
meningkatnya kedalaman mengikuti Hukum
Beer yang mengasumsikan kanopi adalah
penyerap (absorber) yang homogen. Selain
ketinggian, untuk distribusi kanopi yang
seragam radiasi transmisi juga dipengaruhi
oleh leaf area index (LAI) dan koefisien
pemadaman (k). Berikut merupakan
persamaan radiasi transmisi menurut Hukum
Beer:
…………………………….(2)
Dimana I adalah radiasi yang ditransmisikan
melalui tajuk, I0 adalah radiasi yang sampai ke
puncak kanopi, dan k adalah koefisien
pemadaman. Persamaan ini valid untuk
penutupan kanopi yang seragam dengan
distribusi daun acak, sedangkan untuk kanopi
yang diskontinu seperti yang ditemukan pada
tanaman dengan struktur baris dan pada
perkebunan buah-buahan, terdapat clumping
factor (Ω) yang bervariasi antara 0 hingga 1
(Campbell and Norman 1998 diacu dalam
Oyarzύn 2010).
Koefisien pemadaman dapat
menjelaskan hubungan karakteristik kanopi
tanaman dan intersepsi radiasi. Monteith
(1973) menjelaskan bahwa koefisien
pemadaman memberikan hubungan terbalik
dengan kandungan klorofil per satuan luas
daun dan berkurang dengan bertambahnya
reflektivitas daun. Nilai k bervariasi
tergantung dari ukuran daun dan arsitektur
kanopi. Nilai k total radiasi berkisar antara
0.30-0.45 untuk tanaman yang memiliki daun
tegak (berbagai jenis serealia) sampai nilai 0.8
pada tanaman yang memiliki tipe daun
horizontal (misal kacang tanah).
Dalam komunitas tanaman, besarnya
transmisi dan refleksi bergantung pada sudut
datang sinar (Monteith 1973). Koefisien
refleksi dan transmisi untuk sudut datang 00
hingga 500 hampir konstan. Semakin besar
sudut datang sinar, koefisien refleksi semakin
meningkat dan koefisien transmisi menurun,
dimana perubahan tersebut bersifat
komplementer sehigga keseluruhan nilai
absorbsi yang dapat dimanfaatkan untuk
proses fotosintesis besarnya relatif konstan
(Impron 1999).
Ketersedian dan variabilitas cahaya pada
skala mikro di lantai hutan dipengaruhi oleh
fenologi daun, posisi matahari, kondisi langit,
lokasi gaps, ukuran gap, dan tinggi kanopi
(Anderson 1970; Canham et al. 1990;
Baldocchi dan Collineau 1994).
III METODOLOGI
3.1 Waktu dan Tempat
Penelitian dilakukan di Hutan Badan
Litbang Kementrian Kehutanan Dramaga
Bogor dan pengolahan data dilakukan di
Laboratorium Meteorologi Terapan. Penelitian
berlangsung mulai bulan Maret 2012 sampai
Juli 2012.
3.2 Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam penelitian ini
adalah:
1. Solarimeter
6
2. Meteran
3. Patok
4. Stopwatch
5. Tripod
6. Thermometer infrared
7. Perangkat lunak Ms Office 2007 (Ms.
Word 2007, Ms. Excell 2007)
3.3 Metode Penelitian
Teknik dan prosedur pengumpulan data
yang digunakan dilakukan dalam penelitian ini
adalah pengamatan dan pengukuran langsung.
3.3.1 Pengukuran Radiasi
Pengukuran Radiasi di bawah kanopi
menggunakan alat solarimeter. Alat ini
diletakkan pada beberapa strata tumbuhan di
dalam hutan dan satu di luar hutan sebagai
kontrol. Pengambilan data dilakukan di tiga
titik di dalam hutan yang dapat mewakili strata
hutan yang dapat ditemukan. Ukuran satu
petak lokasi adalah 30 x 30 meter.
Alat diletakkan di bawah strata tumbuhan
seperti di bawah pohon, tiang dan pancang.
Data diukur dengan interval 15 menit dari
pukul 9 pagi hingga pukul 3 sore.
Berikut kriteria untuk tingkat pohon, tiang
dan pancang :
Pohon (Trees) : diameter setinggi dada
(1.3 m) ≥ 20 cm, bila pohon berbanir
diameter di ukur 20 cm di atas banir.
Tiang (Poles) : pohon muda dengan
diameter setinggi dada (1.3 m) antara ≥10
sampai < 20 cm.
Pancang (Sapling) : permudaan yang
tingginya >1.5 m sampai pohon muda
dengan diameter < 10 cm.
Solarimeter diletakkan di atas tripod
dengan ketinggian tripod untuk pengukuran
radiasi di bawah pohon adalah 120 cm dan
untuk pengukuran radiasi di bawah pancang
dan tiang adalah 100 cm. Penggunaan tripod
ini dimaksudkan untuk mengurangi pengaruh
tumbuhan semak di lantai hutan.
Pengukuran dilakukan di tiga petak lokasi
yang berbeda. Pada petak pertama dan kedua
dilakukan 4 kali pengukuran pada titik yang
sama pada hari yang berbeda selama 6 jam
pengamatan, sedangkan pada petak ketiga
dilakukan 3 kali pengukuran pada titik yang
sama pada hari yang berbeda selama 6 jam
pengamatan.
3.3.2 Pengukuran suhu permukaan
Suhu permukaan yang diukur adalah suhu
permukaan kanopi, lahan terbuka, badan air
dan suhu permukaan tanah di dalam hutan.
Alat yang digunakan adalah termometer
inframerah. Alat ini mengukur suhu
permukaan suatu objek dengan cara
ditembakkan kearah objek tersebut. Sebelum
menembakkan alat tersebut, kita harus
menyesuaikan nilai emisivitas dari objek yang
akan diukur temperaturnya. Dalam penelitian
ini emisivitas yang digunakan untuk badan air
adalah 0.98; lahan terbuka yang wakili oleh
lapangan rumput adalah 0.95; kanopi hutan
adalah 0.95 dan tanah di dalam hutan adalah
0.92 (Weng 2001).
3.3.3 Pengolahan data menggunakan
Microsoft Excel
a. Menghitung proporsi radiasi di atas kanopi
(I0), dengan yang ditransmisikan (Iτ) ke
bawah pohon, tiang dan pancang. Untuk
proporsi radiasi matahari di bawah pohon
dilambangkan dengan Q0, di bawah tiang
dengan Qt dan di bawah pancang dengan Qp.
b. Pengkelasan nilai proporsi radiasi transmisi
di bawah pohon berdasarkan rentang
komponen radiasi di atas kanopi (I0) dan
waktu diurnal.
c. Menghitung nilai radiasi difus
menggunakan persamaan empiris.
d. Radiasi difus di atas kanopi diestimasi
menggunakan persamaan empiris oleh Erbs
et al. (1982). Langkah pertama mencari
transmisivitas atmosferik dengan
persamaan sebagai berikut :
Dimana I0 = 1367 W m-2
sebagai konstanta. S0
merupakan radiasi yang diukur di atas kanopi.
Dan θ merupakan sudut elevasi matahari.
Dalam perhitungan pada penelitian ini sudut
elevasi diasumsikan sebagai sudut jam.
Persamaan radiasi difus :
7
IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Kondisi Umum Lokasi Penelitian
Hutan Penelitian Dramaga merupakan
salah satu dari 13 hutan kepemilikan Badan
penelitian dan Pengembangan Kehutanan yang
terletak di Desa Situ Gede dan Desa Bubulak,
Kecamatan Bogor Barat, Provinsi Jawa Barat.
Lokasi HP Dramaga terletak pada ketinggian
244 m dpl. Secara geografis, HP Dramaga
terletak pada 6033’8” – 6
033’35” LS dan
106044’50” – 106
0105’19” BT .
Luas keseluruhan areal HP Dramaga
sekitar 57.75 ha dimana sebagian besar
(41.6%) merupakan hutan tanaman yang
ditanam sejak tahun 1954. Berdasarkan data
iklim selama 10 tahun (1995-2005) yang
direkam oleh Stasiun Klimatologi Dramaga,
suhu rata-rata tertinggi pada kawasan ini
terjadi pada bulan Juni sebesar 27.50C dan
terendah terjadi pada bulan Februari sebesar
240C. Kelembaban relatif rata-rata tertinggi
terjadi pada bulan Februari sebesar 81%.
Curah hujan tertinggi terjadi pada bulan
Februari sebesar 1117.2 mm dan terendah
terjadi pada bulan Agustus sebesar 9.8 mm
(Komara 2008). Menurut sistem klasifikasi
iklim Schmidth Ferguson kawasan ini beriklim
basah tipe A dengan curah hujan rata-rata
tahunan sebesar 3940 mm (Departemen
Kehutanan 1994).
Sumber : maps.google.com.
Gambar 1 Titik lokasi pengambilan data pada
Hutan Badan Litbang Kementrian
Kehutanan Dramaga Bogor (square
area : lokasi titik pengukuran yang
berukuran 30 m x 30 m).
4.2 Radiasi Matahari Harian di Titik
pengukuran
Pengukuran radiasi dilakukan pada tiga
titik yang berbeda dengan kerapatan tegakan
tiap lokasi juga berbeda. Karakteristik dari
ketiga titik lokasi disajikan pada Tabel 1.
Radiasi matahari yang diukur di atas
kanopi dan di dalam kanopi ditunjukkan oleh
grafik pada Gambar 2, 3, dan 4 dimana
pengukuran menggunakan empat solarimeter.
Pengukuran radiasi matahari di atas kanopi
diasumsikan sama dengan radiasi yang sampai
ke permukaan tanah tanpa melalui kanopi.
Grafik tersebut menunjukkan 15 menit
pengukuran selama enam jam (09.00-15.00)
Radiasi di dalam kanopi diwakili oleh
pengukuran yang dilakukan di bawah pohon
(trees), tiang (poles), dan pancang (sapling).
Lokasi 1 diwakili pengukuran pada hari
ke 81, 84, 90, 912. Pada hari-hari tersebut
cuaca cerah pada siang hari dan cenderung
mendung pada sore hari. Radiasi maksimum
diatas kanopi pada lokasi satu mencapai 877
Wm-2
.
Pada lokasi dua diwakili pengukuran
pada hari ke 99, 100, 101, dan 1063. Jumlah
radiasi maksimum yang sampai di atas kanopi
adalah 864 Wm-2
. Sedangkan pada lokasi tiga
diwakili pengukuran pada hari ke 111, 113,
dan 1164 dengan jumlah radiasi maksimumnya
adalah 723 Wm-2
.
Faktor dominan yang mempengaruhi
penerimaan radiasi di permukaan bumi adalah
keadaan awan. Daerah padang pasir dengan
tingkat keawanan rendah akan menerima
jumlah radiasi yang besar. Namun, daerah
Indonesia dengan curah hujan yang tinggi,
radiasi akan lebih banyak dipantulkan oleh
awan pada musim hujan sehingga akan lebih
sedikit radiasi yang sampai ke permukaan
bumi (Handoko 1994). Daerah kajian yaitu
Bogor merupakan daerah dengan curah hujan
yang cukup tinggi, dengan demikian tingkat
keawanan di daerah ini juga cukup tinggi yang
akan mempengaruhi penerimaan radiasi surya.
2 81, 84, 90, 91 merupakan Julian date dari tanggal 21, 24,
30, 31 Maret 3 99, 100, 101, 106 merupakan Julian date dari tanggal 8,
9, 10, 15 April 4 111, 113, 116 merupakan Julian date dari tanggal 20, 22,
25 April
8
Tabel 1 Karakteristik area studi
Variabel Lokasi Lokasi 1 Lokasi 2 Lokasi 3
Tegakan Pohon, Tiang,
pancang Pohon, Pancang Pohon, Tiang
Kerapatan Tegakan Jarang Tinggi Sedang
Dominasi Pohon Hopea bancana
(Boerl.) Van Slooten
Coumarouna odorata
Anbl.
Coumarouna odorata
Anbl.
Periode Pengukuran 21, 24, 30, 31 Maret
2012
8, 9, 10, 15, April
2012 20, 22, 25, April 2012
Radiasi matahari yang diteruskan ke
bawah pohon lebih besar dibanding dengan
yang diteruskan ke bawah tiang dan pancang.
Namun, untuk radiasi matahari yang
diteruskan di bawah tiang dan pancang
jumlahnya hampir sama.
Meskipun di lokasi 1 terdapat tiga
struktur yang diamati yaitu pohon, tiang dan
pancang (Tabel 1), namun kanopi tiang di
lokasi ini tidak menutupi kanopi pancang
sehingga radiasi yang ditransmisikan langsung
dari kanopi pohon ke tiang, atau dari kanopi
pohon ke pancang.
Radiasi yang diukur merupakan radiasi
global dengan rentang panjang gelombang
0.3-3.5 µm. Sebaran jumlah radiasi yang
diterima berbeda-beda dengan rata-rata selama
enam jam pengukuran (09.00-15.00) adalah
sebesar 429 Wm-2
.
Jika radiasi matahari yang sampai di
puncak kanopi adalah 100% maka 83% dari
radiasi ini akan diteruskan hingga mencapai
puncak tiang dan hanya 19% yang sampai ke
puncak pancang dan akhirnya hanya 12-14 %
radiasi yang sampai ke lantai hutan. Hal ini
menunjukkan bahwa pengaruh beberapa
lapisan tajuk menyebabkan berkurangnya
radiasi matahari yang dapat mencapai lantai
hutan. Berkurangnya jumlah radiasi yang
diterima di lantai hutan disebabkan oleh
koefisien pemadaman tajuk. Pengaruh yang
paling besar terjadi pada lapisan tajuk pancang
dimana sudah terjadi penyerapan radiasi pada
lapisan tajuk di atasnya yaitu tiang dan
kemudian terjadi penyerapan tajuk pada
pancang, sehingga jumlah yang ditransmisikan
ke lantai hutan menjadi kecil.
Gambar 2 Profil radiasi matahari di lokasi 1.
9
Gambar 3 Profil radiasi matahari di lokasi 2.
Gambar 4 Profil radiasi matahari di lokasi 3.
4.3 Profil Proporsi Radiasi Transmisi di
Titik Pengukuran
Radiasi matahari di atas kanopi di
teruskan ke bawah hutan melewati celah
pohon, dan kemudian melewati tiang atau
pancang. Hal ini menyebabkan input radiasi
matahari yang diteruskan ke bawah tiang atau
pancang akan berkurang setelah proses
transmisi pada celah pohon.
Proporsi radiasi yang ditransmisikan di
bawah pohon rata-rata cenderung lebih besar
di banding dengan dengan yang di bawah
tiang dan pancang. Pada lokasi satu, dapat
dilihat bahwa celah kanopi (gap) berpengaruh
nyata pada pukul 09.00-10.00 dan pukul 12.00
dimana proporsi radiasi yang ditransmisikan
cenderung sangat tinggi. Pada pukul 13.00-
14.00 juga memperlihatkan pengaruh dari gap
yang menyebabkan radiasi di bawah pancang
lebih besar dibanding di bawah pohon.
(Gambar 5).
Pada lokasi dua, proporsi radiasi
transmisi cenderung hampir sama pada pagi
hari untuk pohon dan pancang, dan meningkat
perlahan seiring dengan pergerakan matahari
ke posisi solar noon. Proporsi radiasi matahari
yang ditransmisikan pohon cenderung lebih
besar di banding dengan pancang (Gambar 6).
Sebaran pepohonan pada lokasi dua lebih
merata di banding lokasi satu menyebabkan
pengaruh dari gap tidak terlalu nyata.
Pada lokasi tiga proporsi radiasi
transmisi rata-rata lebih besar untuk pohon
dibanding untuk tiang (Gambar 7). Pengaruh
dari gap terlihat pada pukul 11.00-13.00
dimana proporsi transmissi cenderung tinggi.
Bahkan pada pukul 11.00-12.00 dan antara
pukul 13.30-14.15 terlihat bahwa transmisi
radiasi yang melalui tiang lebih besar
dibandingkan dengan yang melalui pohon. Hal
ini menjelaskan ketidakmerataan distribusi
pohon di dalam hutan yang menyebabkan gap.
Penilaian transmisi radiasi matahari di dalam
hutan sangat dipengaruhi oleh gap, sehingga
pemilihan lokasi dan penempatan alat
pengukuran harus tersebar untuk mengurangi
pengaruh gap tersebut.
10
Tabel 2 Penelitian sebelumnya mengenai light transmission
Jenis Hutan light transmission (%) Sumber
Longleaf Pine Woodland 38 – 80 Battaglia MA, Mitchell RJ, Mou PP,
Pecot SD (2003)
Temperate hardwood Forest 1 - 3.7 Hutchinson & Matt (1997); Canham
et al. (1990); Brown & Parker (1994)
Tropical Evergreen Forest 0.44a – 2.4
b
aBjorkman & Ludlow (1972);
bPearcy
1983
Boreal Coniferous Forest 14 – 30 Canham et al. 1999
Monodominant Congolese
Rain forest 2 - 5.1
Vierling LA & Wessman CA (2000)
Gambar 5 Profil proporsi transmisi radiasi di lokasi 1.
Gambar 6 Profil proporsi transmisi radiasi di lokasi 2.
11
Gambar 7 Profil proporsi trasnmisi radiasi di lokasi 3.
Distribusi rata-rata harian transmisi
radiasi matahari di bawah pohon cenderung
lebih besar dibandingkan dengan di bawah
pancang dan tiang. Pada penelitian ini radiasi
matahari yang datang di atas tiang dan
pancang tidak diukur sehingga dapat dihitung
dengan cara mengurangi radiasi yang datang
di atas kanopi dengan radiasi yang diterima di
bawah pohon. Transmisi radiasi matahari rata-
rata yang sampai di bawah pohon mencapai
17%, lebih tinggi dibandingkan dengan
transmisi radiasi matahari di bawah pancang
dan tiang yang secara rata-rata nilainya sama
yaitu sebesar 14%.
Tabel 3 Presentase rata-rata radiasi transmisi
harian di Hutan Penelitian Dramaga
Lokasi
τ0
(Di bawah
Pohon)
τt
(Di bawah
tiang)
τp
(Di bawah
pancang)
1 19 12 17
2 14 - 10
3 17 15 -
Rataan 17 14 14
Nilai transmisi radiasi pada tiap tutupan
hutan berbeda bergantung juga dengan jenis
hutannya. Pada penelitian yang sudah
dilakukan besarnya transmisi cahaya sangat
beragam (Tabel 2). Pada hutan pinus transmisi
cahaya cenderung sangat tinggi mencapai 38-
80 % (Battaglia et al. 2003), dan paling rendah
ditemukan pada hutan tropis yaitu 0.44a – 2.4
b
% (aBjorkman & Ludlow 1972 ;
bPearcy 1983).
4.4 Profil Temporal Proporsi Radiasi
Transmisi
Pola distribusi temporal transmisi radiasi
matahari menunjukkan transmisi radiasi di
dalam hutan, baik di bawah pohon, tiang dan
pancang mencapai maksimum pada mid-day
(Gambar 8). Pengukuran di bawah pohon
menunjukkan radiasi matahari yang cenderung
tinggi pada pukul 12.00 hingga pukul 13.00.
Sedangkan pengukuran di bawah tiang
menunjukkan radiasi transmisi mulai
meningkat pada pukul 12.00 dan mencapai
puncaknya pada pukul 13.00. Pada
pengukuran di bawah pancang, pola distribusi
transmisi matahari hampir sama dengan yang
di bawah tiang namun dengan presentase
proporsi yang lebih kecil.
Rata-rata radiasi yang di transmisikan
pada pagi hari cenderung lebih besar di
banding dengan sore hari dan mencapai
puncaknya pada siang hari.
Meskipun radiasi transmisi pada pagi
hari cenderung lebih besar dibanding dengan
sore hari, tidak mengindikasikan penyerapan
(absorbsi) oleh tanaman yang lebih rendah
pada pagi hari. Seperti yang sudah diulas
sebelumnya, kondisi lokasi penelitian dimana
pada pagi hari cenderung cerah menyebabkan
radiasi yang terukur lebih besar dibanding
dengan sore hari, dimana alat yang digunakan
terganggu oleh proses keawanan dalam
membaca nilai radiasi. Selain itu, telah
dijelaskan sebelumnya juga bahwa
penempatan alat di dalam lokasi hutan sangat
12
mempengaruhi distribusi sebaran nilai
transmisi radiasinya.
Gambar 8 Distribusi temporal harian transmisi
radiasi matahari berdasarkan sudut
waktu : (a) di bawah pohon, (b) di
bawah tiang, (c) di bawah pancang.
Tabel 4 Rata-rata radiasi transmisi diurnal
Waktu %Transmisi
9:00-10:00 17
10:15-11:00 13
11:15-12:00 15
12:15-13:00 19
13:15-14:00 14
14:15-15:00 12
Secara nyata dapat dikatakan bahwa
transmisi radiasi pada siang hari mencapai
nilai maksimumnya. Namun untuk pagi hari
nilai radiasi transmisinya cukup besar yaitu
17% sedangkan pada sore hari transmisi
radiasi mencapai minimum (Tabel 4). Selain
disebabkan kondisi cuaca yang cerah,
besarnya transmisi radiasi matahari pada pagi
hari ini dapat disebabkan oleh distribusi
penempatan alat lebih ke arah timur, sehingga
pada pagi hari alat lebih banyak menerima
radiasi matahari dibanding dengan sore hari.
4.5 Suhu Permukaan Beberapa
Penutupan Lahan
Suhu permukaan diukur menggunakan
alat termometer inframerah yang
memungkinkan kita mengukur suhu
permukaan suatu jenis tutupan lahan tertentu
tanpa bersentuhan dengan objek yang ingin
diketahui suhunya. Cara mengukurnya adalah
dengan menembakkan alat tersebut kearah
permukaan objek yang ingin diamati. Pada
penelitian ini penutupan lahan yang diukur
suhu permukaannya adalah kanopi hutan,
lahan terbuka, badan air dan suhu permukaan
tanah di dalam hutan.
Thermometer infrared adalah perangkat
pengukuran temperatur non-kontak dimana
mendeteksi energi inframerah yang
dipancarkan oleh suatu objek pada suhu di atas
nol mutlak (nol Kelvin) dan mengubah energi
menjadi faktor pembacaan suhu. Dalam
penggunaan termometer ini, kita harus
menyesuaikan nilai emisivitas dari objek yang
akan diukur temperaturnya. Emisivitas
didefenisikan sebagai rasio energi yang
dipancarkan oleh suatu benda pada suhu
tertentu terhadap energi yang dipancarkan oleh
radiator sempurna yang disebut dengan
blackbody pada suhu yang sama.
Suhu permukaan dari setiap penutupan
lahan diukur setiap jam dari pukul 09.00
hingga pukul 15.00, kecuali untuk tutupan
lahan badan air. Untuk suhu permukaan badan
air hanya dilakukan 3 kali pengukuran yaitu
pada pukul 09.00, 11.00 dan 15.00. Suhu
permukaan lahan terbuka yang merupakan
lapangan rumput memiliki nilai suhu
permukaan tertinggi, diikuti oleh kanopi hutan
kemudian suhu tanah di dalam hutan (Gambar
9). Jika dilihat dari polanya, suhu permukaan
ketiga jenis tutupan lahan mengikuti pola
sinusoidal.
(a)
(c)
(b)
13
Telah diketahui sebelumya bahwa
peningkatan suhu udara disebabkan oleh
sensible heat yang merupakan bagian dari
radiasi matahari yang datang. Ketika radiasi
matahari mencapai maksimum, suhu udara
belum mencapai maksimum melainkan
membutuhkan waktu sekitar 1 hingga 2 jam
untuk mencapai maksimum.
Gambar 9 Profil suhu permukaan penutupan
lahan.
Ketika radiasi matahari di puncak
kanopi mencapai maksimum pada saat solar
noon, transmisi radiasi ke bawah kanopi juga
mencapai maksimumnya. Namun, pada saat
tersebut suhu permukaan tanah di dalam hutan
masih membutuhkan waktu untuk mencapai
maksimum karena proses penjalaran energi.
Gambar 10 Profil suhu permukaan tanah
dengan transmisi radiasi matahari.
Dari hasil pengukuran tidak terjadi lag
antara puncak terjadinya radiasi maksimum
dengan terjadinya suhu permukaan tanah
maksimum. Suhu maksimumnya terjadi pada
saat solar noon (Gambar 10).
Trend suhu tanah di dalam hutan
mengikuti trend diurnal suhu udara. Suhu
maksimum tanah terjadi pada pukul 12.00
hingga 13.00 dengan semakin meningkatnya
radiasi matahari dan juga karena peningkatan
suhu ambien udara (Behera 2012). Suhu tanah
minimum pada pagi hari akibat pelepasan
panas dari radiasi gelombang panjang malam
harinya ke udara di atas tanah. Dengan adanya
transmisi radiasi matahari gelombang pendek
dan penyerapan oleh permukaan tanah, maka
suhu permukaan tanah akan meningkat dengan
semakin naiknya posisi matahari yang
kemudian mencapai maksimum pada saat
noon (Chen et al. 1999).
Hasil pengukuran tidak menunjukkan
terjadinya lag antara terjadinya suhu
permukaan tanah maksimum dengan transmisi
radiasi maksimum. Hal ini disebabkan karena
pembacaan nilai suhu pada alat pengukur suhu
permukaan (Termometer inframerah) hanya
dilakukan satu jam sekali. Jika rentang waktu
pengukuran suhu permukaan lebih rapat,
mungkin lag dengan radiasi maksimum dapat
terlihat. Meskipun demikian, keduanya
menunjukkan distribusi yang sama bahwa
pada siang hari saat posisi solar noon, baik
suhu permukaan tanah dan radiasi transmisi
mencapai maksimum.
4.6 Clustering Proporsi Radiasi Transmisi
Penggunaan citra satelit sebagai cara
atau alat untuk mengestimasi nilai radiasi
matahari sudah sering dilakukan. Namun
untuk mengestimasi nilai radiasi transmisi
banyak faktor yang harus dipertimbangkan
yang merupakan sumber error dalam
pengestimasian radiasi transmisi
menggunakan citra satelit.
Faktor-faktor yang mempengaruhi nilai
radiasi transmisi adalah indeks luas daun
(LAI), koefisien pemadaman tajuk (k), celah
kanopi (gap), sudut datang matahari dan faktor
keawanan.
Penelitian sebelumnya sudah
menggunakan citra satelit untuk mengestimasi
nilai radiasi transmisi di hutan. Satelit yang
digunakan adalah satelit landsat. Satelit
14
Landsat memiliki waktu orbit ulang (revisit
time) 16 hari untuk daerah tertentu, setiap
perekaman data dilakukan pada pukul 11.00
siang. Sehingga, untuk mengestimasi radiasi
yang ditransmisikan dengan menggunakan
satelit, perlu dilakukan ground check pada
pukul 11.00. Pada pukul 11.00, matahari baru
akan naik atau memiliki sudut jam terhadap
solar noon sekitar 150.
Peningkatan nilai radiasi matahari yang
diterima di atas kanopi tidak selalu
meningkatkan nilai transmisi radiasinya
(Gambar 11). Namun secara temporal dapat
dikatakan bahwa radiasi matahari yang
diterima dengan kisaran jumlah yang sama
akan meningkat seiring dengan naiknya
matahari menuju posisi solar noon.
Pada pagi hari jumlah radiasi matahari
yang datang tidak terlalu besar, pada pukul
09.00 hingga 10.00 besarnya radiasi dominan
yang diterima adalah 200-500 Wm-2
. Pada
pukul 11.00 hingga 13.00 besarnya radiasi
dominan yang diterima mencapai 500-700
Wm-2
. Pada sore hari dikarenakan kondisi
keawanan yang tinggi sehingga besarnya
radiasi dominan yang diterima tidak terlalu
besar yaitu sekitar 100-400 Wm-2
(Lampiran
3).
Pengkelasan (clustering) nilai radiasi
transmisi berdasarkan jumlah radiasi matahari
yang datang dan berdasarkan waktu di Hutan
Dramaga dapat dilihat pada Lampiran 2. Pada
pukul 11.00 hingga 12.00 hutan dapat
mentransmisikan 5–25% radiasi matahari
dengan rata-rata 13% dipengaruhi oleh faktor
seperti keawanan dan keberadaan celah kanopi
(gap) serta penempatan alat pengukuran.
Apriandanu (2011) menggunakan data
satelit Landsat yang diakuisisi pada 15
Agustus 2006, mengestimasi nilai transmisi
radiasi sebesar 15% dari jumlah radiasi
gelombang pendek yang datang (523 Wm-2
).
Jika dibandingkan dengan kelas sebaran
radiasi pada Lampiran 2, nilai estimasi
menggunakan data satelit memiliki kisaran
nilai yang lebih tinggi.
Maharani (2012) juga menggunakan data
satelit Landsat, dimana diakuisisi pada 3
Desember 2000, mengestimasi nilai transmisi
radiasi untuk hutan tanaman sebesar 34% dari
jumlah radiasi yang datang (700-800 Wm-2
).
Proporsi dari dugaan ini lebih tinggi
dibandingkan dengan hasil pengkelasan
proporsi radiasi berdasarkan data lapang
dimana hanya 8-14% radiasi yang
ditransmisikan (Lampiran 2).
Gambar 11 Diagram proporsi transmisi (rata-
rata 11 hari pengukuran)
berdasarkan Rs↓ dan Waktu di
Hutan Dramaga.
Hal yang sama ditunjukkan dari hasil
estimasi menggunakan data Landsat yang
diakuisisi pada 12 Mei 2001 (Maharani 2012).
Transmisi radiasi untuk hutan tanaman dari
hasil estimasi adalah 19% dari jumlah radiasi
datang (500-600 Wm-2
). Nilai ini juga lebih
tinggi dibandingkan dengan hasil pengkelasan
pada Lampiran 2 dimana hanya 11-14%
radiasi yang ditransmisikan.
Perbedaan hasil estimasi menggunakan
pendekatan penginderaan jauh dan
pengukuran lapang ini, dapat disebabkan oleh
perbedaan karakteristik alat pengukuran
15
seperti sensor dan panjang gelombang yang
digunakan.
4.7 Profil Radiasi Difus
Radiasi matahari yang diukur
menggunakan solarimeter adalah radiasi
global dimana radiasi global ini terdiri dari
radiasi langsung (direct radiation) dan radiasi
difus (difuss radiation).
(a)
(b)
(c)
Gambar 12 Profil radiasi difus menggunakan
persamaan empiris oleh Erbs et al.
(1982) dalam Essery et al. (2007).
Garis hitam menunjukkan radiasi
datang yang diukur di atas kanopi;
garis putus-putus menunjukkan
radiasi difus yang diestimasi
menggunakan persamaan empiris.
(Lokasi 1 (a), Lokasi 2 (b), Lokasi
3 (c))
Radiasi difus merupakan radiasi yang
berasal dari pantulan oleh awan dan
pembauran partikel di atmosfer. Sedangkan
radiasi langsung adalah radiasi yang sampai ke
permukaan bumi tanpa melalui proses
pemantulan awan dan pembauran partikel di
atmosfer.
Profil radiasi difus yang dihitung
menggunakan persamaan empiris (Gambar 12)
memperlihatkan bahwa kebanyakan radiasi
yang datang ke puncak kanopi adalah radiasi
difus. Hal ini menunjukkan bahwa keawanan
yang terjadi pada saat pengukuran cukup
tinggi.
Radiasi matahari yang ditransmisikan di
bawah kanopi, tiang dan pancang terdiri dari
radiasi langsung dan juga radiasi difus.
Radiasi difus yang ditransmisikan tidak hanya
berasal dari puncak kanopi, namun juga
berasal dari pembauran dan pemantulan
radiasi matahari oleh daun-daun, ranting dan
cabang dari pohon, tiang dan pancang di
dalam hutan.
Menurut Miller (1981) pada saat
berawan radiasi baur yang terjadi berpengaruh
positif terhadap fotosintesis tanaman.
Didukung juga oleh June (2002) dimana
radiasi baur sebagai bagian dari radiasi global
cukup berperan penting dalam proses
fotosintesis tanaman.
Peranan radiasi difus ini sangat penting
bagi pertumbuhan dan perkembangan
tumbuhan di dalam hutan. Di dalam hutan
radiasi yang dating, dipantulkan oleh daun-
daun dan cabang pohon yang kemudian
diterima oleh daun lainnya. Tumbuhan di
lantai hutan kebanyakan tidak mendapatkan
radiasi langsung sehingga dapat
memanfaatkan radiasi difus. Radiasi difus ini
bisa berasal dari radiasi yang ditransmisikan
oleh celah pohon yang kemudian dibaurkan.
Baldocchi (2002) mengemukakan bahwa
radiasi difus menghasilkan tingkat efisiensi
penggunaan cahaya pada tanaman lebih tinggi
dibandingkan dengan PAR. Radiasi difus juga
memiliki pengaruh yang lebih kecil terhadap
kejenuhan fotosintesis dibanding PAR. Untuk
itu perlu dilakukan kajian lebih lanjut
mengenai radiasi difus dalam kaitannya
dengan radiasi transmisi di dalam hutan.
16
V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
a. Distribusi radiasi matahari di bawah
pohon, tiang dan pancang memiliki
besaran (magnitude) yang berbeda.
Transmisi radiasi matahari tertinggi
terjadi di bawah pohon (17%), kemudian
diikuti di bawah tiang (14%) dan di
bawah pancang (14%).
b. Distribusi temporal transmisi radiasi
matahari menunjukkan bahwa radiasi
matahari tertinggi terjadi pada tengah
hari (midday). Terdapat lag waktu saat
transmisi radiasi matahari maksimum
antara di bawah pohon dengan di bawah
tiang dan pancang.
c. Hasil pengkelasan radiasi transmisi di
Hutan Penelitian Dramaga menunjukkan
kisaran nilai yang lebih kecil
dibandingkan dengan estimasi
menggunakan citra satelit, disebabkan
oleh perbedaan sensor alat yang
digunakan. Hubungan antara jumlah
radiasi di atas kanopi dengan di bawah
kanopi tidak selalu linier bergantung
pada arsitektur kanopi dan distribusi
tegakan.
d. Keawanan pada saat pengambilan data
cenderung besar dibuktikan dengan
besarnya proporsi radiasi difus terhadap
radiasi global.
5.2 Saran
Pengukuran radiasi transmisi di dalam
hutan masih menggunakan solarimeter dimana
radiasi yang diukur adalah radiasi global.
Untuk itu disarankan untuk menggunakan alat
yang dapat mengukur radiasi PAR yang
merupakan radiasi yang dapat dimanfaatkan
tumbuhan untuk berfotosintesis. Penempatan
alat di bawah kanopi disarankan lebih seragam
agar pengaruh gap lebih kecil.
Radiasi difus yang dihitung masih
menggunakan persamaan empiris. Untuk itu
disarankan untuk mengukur radiasi difus di
dalam hutan agar diketahui seberapa besar
peranannya dalam mempengaruhi radiasi
transmisi di dalam hutan.
DAFTAR PUSTAKA
Anderson MC. 1970. Interpreting the fraction
of solar radiation available in forest.
Agricultural Meteorology 7: 19-28.
Awal MA, Ishak W, Harun MH, Endan J.
2005. Methodology and measurement
of radiation interception by quantum
sensor of the oil palm plantation. J. Sci.
Technol 27(5) : 1083-1093
Apriandanu B. 2011. Pendugaan Nilai Radiasi
Transmisi pada Tutupan Lahan Hutan
dengan Menggunakan Citra Landsat
ETM+ (Studi kasus : Hutan kebun Raya
Bogor dan Hutan Penelitian Dramaga).
[Skripsi] Departemen Geofisika dan
Meteorologi Fakultas MIPA IPB. Tidak
dipublikasikan.
Balandier P, Marquier A, Dumas Y, Gaudio
N, Philippe G, Da Silve D, Adam B,
Ginisty C, Sinoquet H. Light sharing
among different forest strata for
sustainable management of vegetation
and regeneration. Forestry in achieving
millennium goals – Novi Sad, Serbie –
November 13-15, 2008
Baldocchi D, Gu L, Verna SB, Black TA,
Vesala T, Falge EM, Dowty PR. 2002.
Advantaged of diffuse radiation for
terrestrial ecosystem productivity.
Journal of Geophysical Researche :
107(D6)
Baldocchi D & Collineau S. 1994. The
physical nature of solar radiation in
heterogeneous canopies: spatial and
temporal attributes. In Exploitation of
environmental heterogeneity by plants;
Ecophysiological processes above and
below ground. Edited by M.M.
Caldwell and R.W. Pearcy. Academic
Press, New York. pp.21-71.
Battaglia MA, Mitchell RJ, Mou PP, Pecot
SD. 2003. Light Transmittance
Estimates in a Longleaf Pine
Woodland. Forest Science : 49(5)
Behera SK, Mishra AK, Sahu N, Kumar A,
Singh N, Kumar A, Bajpai O,
Chaundhary LB, Khare PB, Tuli R.
2012. The study of microclimate in
response to different plant community
association in tropical moist deciduous
forest from northern India. Biodivers
Conserv. Springer
Bjorkman O & Ludlow M. 1972.
Characterization of the light climate on
17
the floor of a Queensland rainforest.
Carnegie Inst. Washington Yearbook
71:85-94
Brown MJ & Parker GG. 1994. Canopy light
transmittance in a chronosequence of
mixed-species deciduous forests. Can.
J.For. Res. 24:1694–1702.
Canham CD, Denslow JS, Platt WJ, Runkle
JR, Spies TA and White PS. 1990.
Light regimes beneath closed canopies
and tree-fall gaps in temperate and
tropical forests. Can. J. For. Res 20:
620–631.
Chen J, Sari CS, Thomas RC, Robert JN,
Kimberley DB, Glenn DM, Brian LB,
Jerry FF. 1999. Microclimate in forest
ecosystem and landscape ecology.
Bioscience 49:288–297
[Departemen Kehutanan]. 1994. Kebun
Percobaan Dramaga. Edisi pertama.
Badan Penelitian dan Pengembangan
Kehutanan, Jakarta.
Essery R, Bunting P, Janet H, Link T, Marks
D, Melloh R, Pomeroy J, Rownlands A,
Rutter N. 2007. Radiative transfer
modeling of a coniferous canopy
characterized by airbone remote
sensing. Hydrometeorology : 9
Geiger R, Robert H, Aaron PT. 1961. The
Climate Near The Ground. Ed ke-5.
Cambridge : Harvard University Press.
Handoko. 1994. Klimatologi Dasar. Pustaka
Jaya. Bogor.
Hutchinson BA, Matt DR. 1977. The
distribution of solar radiation within a
deciduous forest. Ecol. Monogr 47:185-
207
Impron. 1999. Neraca Radiasi Tanaman.
Pelatihan Dosen-Dosen Perguruan
Tinggi Negeri Indonesia Bagian Barat
Dalam Bidang Agrometeorologi.
Bogor 1-12 Februari 1999. Bogor.
Indian Meteorological Departement. 2008.
Solar Radiation Handbook. India.
Indriyanto. 2008. Pengantar Budi Daya
Hutan. Bumi Aksara : Jakarta
Jarcuska B. 2008. Methodological overview
to hemispherical photography,
demonstrated on an example of the
software GLA. Folia Oecologica : 35-1
Jones HG. 1983. Plants and Microclimate.
Cambridge University Press.
Cambridge.
Jones HG, Archer N, Rotenberg E, Casa R.
2003. Radiation measurement for plant
ecophysiology. Journal of Experimental
Botany 54(384) : 879-889
June T. 2002. Generating hourly radiation,
temperature, and fraction of diffuse
irradiance from observed daily data.
Pelatihan Dosen Pergurun Tinggi se
Indonesia Barat dalam Bidang
Pemodelan dan Simulasi Pertanian dan
Lingkungan. Bogor 1-13 Juli 2002 .
Longman KA & Jenik J. Tropical Forest and
its environment Second edition. 1992
Longman Singapore Publishers (PTE)
Ltd. Singapore.
Komara A. 2008. Komposisi Jenis dan
Struktur Tegakan Shorea balngeran
(Korth.) Burck., Hopea bancana
(Boerl.) Van Slooten dan Coumarouna
odorata Anbl. di Hutan Penelitian
Dramaga Bogor Jawa Barat. [Skripsi]
Departemen Silvikultur Fakultas
Kehutanan IPB. Tidak dipublikasikan
Maharani A. 2012. Metode Neraca Energi
Untuk Perhitungan Radiasi Transmisi
Menggunakan Data Citra Landsat
ETM+. [Skripsi] Departemen Geofisika
dan Meteorologi Fakultas MIPA IPB.
Tidak dipublikasikan
Miller DH. 1981. Energi at the surface of the
Earth An Introduction to the Energetic
of Ecosystems. Academic Press Inc.
New YorkNics, AD, Lane, LJ dan
Gander, GA. 1995. Weather Generator.
Technical Paper. Pp 2.1-2.9
Monteith J.L. 1973. Principles of
Environmental Physics. Edward
Arnold. London.
Oyarzun R, Stockle C, Wu J, Whiting M.
2010. In field assessment on the
relationship between photosynthetic
active radiation (PAR) and global solar
radiation transmittance through
discontinuous canopies. Chilean
Journal of Agricultural Research
71(1):122-131 (January-March 2011)
18
Pearcy RW. 1983. The light environment and
growt of C3 and C4 species in the
understory of a Hawaiian forest.
Oecologia 58: 26-32
Risdiyanto I dan Rini H. 1999. Iklim Mikro.
Pelatihan Dosen-Dosen Perguruan
Tinggi Negeri Indonesia Bagian Barat
Dalam Bidang Agrometeorologi.
Bogor 1-12 Februari 1999. Bogor
Rosenberg NJ. 1974. Microclimate: The
Biological Environment. John Wiley
& Sons. New York.
Vierling LA & Wessman CA. 2000.
Photosynthetically active radiation
heterogenety within a monodominant
Congolese rain forest canopy.
Agricultural and Forest Meteorology :
103(265-278)
Weng Q. 2001. A Remote Sensing-GIS
Evaluation of Urban Expansion and Its
Impact on Surface temperature in
The Zhujiang Delta, China. Int.
Journal of Remote Sensing. 22(10):
1999-2014
http://www.micro-
epsilon.com/download/products/dat--infrared-
basics--en.pdf
http://www.novalynx.com
http://ars.sciencedirect.com
LAMPIRAN
20
Lampiran 1 Grafik kalibrasi alat solarimeter
21
Lampiran 2 Kelas proporsi radiasi transmisi matahari berdasarkan rentang Rs↓ dan waktu di
Hutan Penelitian Dramaga
Rs↓
(Wm-2) 9:00-10:00 10:15-11:00 11:15-12:00 12:15-13:00 13:15-14:00 14:15-15:00
100-200
Mean 0.15 0.21 0.12 0.19 0.15 0.09
SD 0.12 0.11 - 0.05 0.12 0.03
SE 0.05 0.06 - 0.03 - -
200-300
Mean 0.27 0.21 0.18 0.24 0.21 0.32
SD 0.27 0.06 0.06 0.16 0.09 0.26
SE 0.09 0.02 0.03 0.08 0.04 0.13
300-400
Mean 0.11 0.15 0.14 0.31 0.13 0.14
SD 0.03 0.05 0.03 0.26 0.14 0.07
SE 0.01 0.02 0.01 0.09 0.05 0.04
400-500
Mean 0.17 0.14 0.13 0.29 0.05 0.11
SD 0.22 0.06 0.07 0.31 0.02 0.07
SE 0.06 0.02 0.03 0.16 0.01 0.03
500-600
Mean 0.15 0.11 0.21 0.21 0.14 -
SD 0.13 0.03 0.25 0.14 0.11 -
SE 0.04 0.01 0.10 0.05 0.05 -
600-700
Mean 0.05 0.07 0.16 0.12 0.17 0.03
SD 0.01 0.03 0.04 0.03 0.13
SE 0.01 0.01 0.02 0.01 0.05
700-800
Mean - 0.08 0.26 0.08 0.08 0.10
SD - 0.05 0.31 0.01 0.00 -
SE - 0.02 0.12 0.00 0.00 -
> 800
Mean - - 0.23 0.14 - -
SD - - 0.28 0.14 - -
SE - - 0.14 0.08 - -
22
Lampiran 3 Presentase sebaran jumlah data radiasi yang diterima di puncak kanopi terhadap waktu
di Hutan Penelitian Dramaga
100-200 200-300 300-400 400-500 500-600 600-700 700-800 >800
9:00-10:00 12 22 16 28 18 4
10:15-11:00 7 14 16 16 20 16 9 2
11:15-12:00 2 12 14 14 16 16 14 12
12:15-13:00 12 10 19 10 21 12 5 12
13:15-14:00 21 16 21 11 13 13 5
14:15-15:00 28 22 17 22 0 6 6
23
Lampiran 4 Dokumentasi pengukuran di lapangan
Tegakan Coumarouna odorata Anbl.
Tegakan Hopea bancana (Boerl.) Van Slooten
Solarimeter di bawah tegakan pancang
Tripod
Tiang
Pohon
24
Lampiran 5 Alat pengukur intensitas surya
Pyranometer
Sumber : Solar radiation handbook 2008
Net Pyradiometer.
Sumber : Solar radiation handbook 2008
Quantum Sensor
Sumber : Methodology and measurement of
radiation interception by quantum sensor of
the oil palm plantation 2005
Occulting Ring
Sumber : http://ars.sciencedirect.com
Campbell Stockes
Sumber : http://www.novalynx.com