30
TRADISIONALISME DAN RASIONALISME DALAM PEMIKIRAN TEOLOGI ISLAM Abd Rahman Institut Ilmu Keislaman Annuqayah (INSTIKA) Sumenep [email protected] Abstrak This research aims to reveal three main problems; First, what is the history of the emergence of traditionalism and rationalism in the thinking of Islamic theology? Second, what are the characteristics of traditionalism and rationalism in Islamic theology? Third, what are the concepts of traditionalism and rationalism in Islamic theology? The approach used in this research is descriptive and analytical, even to get an ideal picture, the author also does not escape using historical methods, especially when discussing the history of the emergence of traditionalist and rationalist theology. The results obtained from this study reveal that, the emergence of traditional and rational theology originated from the polemic between the Mu'tazilah and Asy'ariyah who opposed the problems of the kafir and mu'min, but eventually turned into a problem of the superiority of the Mu'tazilah to the label rational theology, and inferiority of reason to the Asy'ariyah so that it is labeled with traditional theology. In this way, the implication, for Rational Theology, holds that knowledge of God and good and bad can be obtained by reason. Whereas in traditional theology is that human reason does not have any ability except to know God alone. Keywords: Traditionalism, Rationalism, Islamic Theology Pendahuluan Wacana terkait dengan persoalan teologi rasional dan tradisional, sejatinya berangkat dari ajaran-ajaran Islam yang berdimensi dua kategori; Pertama, ajaran-ajaran yang bersifat mutlak- absolut serta kekal yaitu al-Qur'an dan al-Hadits. Kedua, ajaran yang bersifat relatif-nisbi yang dapat berubah sesuai dengan konteks perkembangan zaman. Dalam hal ini, ajaran tersebut berupa tafsir,

TRADISIONALISME DAN RASIONALISME DALAM PEMIKIRAN …

  • Upload
    others

  • View
    14

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: TRADISIONALISME DAN RASIONALISME DALAM PEMIKIRAN …

TRADISIONALISME DAN RASIONALISME

DALAM PEMIKIRAN TEOLOGI ISLAM

Abd Rahman Institut Ilmu Keislaman Annuqayah (INSTIKA) Sumenep

[email protected]

Abstrak

This research aims to reveal three main problems; First, what is the history of the emergence of traditionalism and rationalism in the thinking of Islamic theology? Second, what are the characteristics of traditionalism and rationalism in Islamic theology? Third, what are the concepts of traditionalism and rationalism in Islamic theology? The approach used in this research is descriptive and analytical, even to get an ideal picture, the author also does not escape using historical methods, especially when discussing the history of the emergence of traditionalist and rationalist theology. The results obtained from this study reveal that, the emergence of traditional and rational theology originated from the polemic between the Mu'tazilah and Asy'ariyah who opposed the problems of the kafir and mu'min, but eventually turned into a problem of the superiority of the Mu'tazilah to the label rational theology, and inferiority of reason to the Asy'ariyah so that it is labeled with traditional theology. In this way, the implication, for Rational Theology, holds that knowledge of God and good and bad can be obtained by reason. Whereas in traditional theology is that human reason does not have any ability except to know God alone. Keywords: Traditionalism, Rationalism, Islamic Theology

Pendahuluan

Wacana terkait dengan persoalan teologi rasional dan

tradisional, sejatinya berangkat dari ajaran-ajaran Islam yang

berdimensi dua kategori; Pertama, ajaran-ajaran yang bersifat mutlak-

absolut serta kekal yaitu al-Qur'an dan al-Hadits. Kedua, ajaran yang

bersifat relatif-nisbi yang dapat berubah sesuai dengan konteks

perkembangan zaman. Dalam hal ini, ajaran tersebut berupa tafsir,

Page 2: TRADISIONALISME DAN RASIONALISME DALAM PEMIKIRAN …

Abd Rahman, Tradisionalisme dan Rasionalisme |497

hadits, fiqih, teologi dan tasawuf1 di mana semuanya merupakan hasil

interpretasi para ulama ketika berhadapan dengan kasus-kasus yang

bersifat aksidental lantaran al-Qur'an dan Hadits memuat ajaran yang

bersifat universal.

Namun dalam perkembangan lebih lanjut, pada dasarnya,

masyarakat menyikapi dua ajaran tersebut ada yang lebih cenderung

mensuperioritaskan pada ajaran pertama dan menginferioritaskan pada

ajaran kedua, dalam satu sisi, namun ada juga yang merespon

sebaliknya, di sisi yang lain. Pergulatan tersebut, hingga pada titik

kulminasinya mengalami truth claim, bahkan tidak jarang sikap

mengaku dirinya paling benar, dengan mudah menuduh orang lain

kafir dan itu berarti menghukumi darah lawannya dengan label halal.

Praktek dan tindakan abnormal ini, bukan saja melumpuhkan ide-ide

cerdas pluralitas pemikiran yang nota bene eksistensinya diakui al-

Qur'an, tetapi yang sangat fatalis diam-diam ia telah menyaingi

Tuhan. Sebab absolutisme sifat Maha Tahu hanyalah hak prerogatif-

otoritatif Tuhan an-sich.2

Praktek saling mengkafirkan ini, jika dilihat dari optik

historis, sebenarnya jauh pernah terjadi dulu pasca wafatnya Khalifah

Utsman bin Affan akibat keruhnya konstelasi politik waktu itu, namun

pada akhirnya persoalan politik tersebut mengalami sofistifikasi

menjadi persoalan teologi, sehingga bila dipilah dan pilih, sekurang-

kurangnya terdapat tiga paradigma dari teologi-teologi anutan umat

1 Formulasi simplistis khazanah intelektual Islam menjadi ajaran-ajaran baku,

semisal Fiqih, tafsir, teologi dan tasawuf merupakan asimilasi dan pergesekan

budaya pasca wafatnya Nabi. Lihat selengkapnya; Amin Abdullah, Studi Agama; Historisitas dan Normativitas (Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 1999), h. 150.

2 Fathurrosyid, Humanisasi Pendidikan Agama, Radar Madura; Jawa Post

Group. Ed. Ahad, 16 Juli, 2006.

Page 3: TRADISIONALISME DAN RASIONALISME DALAM PEMIKIRAN …

498|JPIK Vol. 2 No.2, September 2019: 496-525

Islam hari ini yang pada prinsipnya sama berkecenderungan

teosentris, yakni; Pertama, tradisional. Kedua, rasional. Ketiga,

“fundamentalis”. Secara umum, ketiganya mendasarkan derivasi

keyakinan teologisnya pada khazanah kalâm klasik, yakni yang

pertama pada Jabariyah, As„ariyah, dan Maturidiyah (sayap Bukhara);

sedang yang kedua pada Qadariyah, Mu„tazilah, dan Maturidiyah

(Samarkand); dan yang ketiga pada Khawarij.3

Berangkat dari fenomena di atas, penelitian ini hendak

mengungkap tiga persoalan pokok; Pertama, Bagaimana sejarah

munculnya Tradisionalisme dan Rasionalisme dalam pemikiran

Teologi Islam?. Kedua, Apa Karekteristik Tradisionalisme dan

Rasionalisme dalam pemikiran Teologi Islam?. Ketiga, Bagaimana

Konsep Tradisionalisme dan Rasionalisme dalam pemikiran Teologi

Islam?

Metode yang digunakan dalam dalam penelitian ini berupa

pendekatan deskriptif4 dan analitis, bahkan untuk mendapatkan

gambaran ideal, penulis juga tidak lepas menggunakan metode

historis5, khususnya ketika membahas sejarah kemunculan teologi

tradisionalis dan rasionalis. Sumber Data yang digunakan dalam

penelitian ini ada dua, yaitu: Pertama, Sumber data primer yang

berupa buku teologi Islam yang ditulis oleh orang muslim atau bukan,

3 Mansour Faqih, ‚Teologi Kaum Tertindas,‛ dalam Ahmad Suaedy (eds.),

Spiritualitas Baru: Agama dan Aspirasi Rakyat (Jogjakarta: Institut Dian/Interfidei,

1994), h. 42. 4 Penelitian deskriptif adalah penelitian yang bersifat pemaparan dan

bertujuan untuk memperoleh gambaran (deskripsi) lengkap tentang keberadaan

komunitas tertentu yang berdiam di tempat tertentu, atau mengenai gejala sosial

tertentu, atau peristiwa hukum tertentu yang terjadi dalam masyarakat. Soerjono

Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta: UI Press, 1986), h. 50. 5 Anton Bekker, dan Achmad Charis Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat

(Yogyakarta: Kanisius, 1990), h.43.

Page 4: TRADISIONALISME DAN RASIONALISME DALAM PEMIKIRAN …

Abd Rahman, Tradisionalisme dan Rasionalisme |499

baik berbahasa Indonesia atau bahasa asing. Kedua, Sumber data

sekunder yang berupa ensiklopedi atau buku-buku lain yang ada

korelasinya dan menunjang data sekunder. Teknik pengumpulan dan

analisa datanya diperoleh dengan cara membaca dan menelaah

sumber data primer dan sekunder. Setelah itu disiapkan analisis

kualitatif yang terdiri dari pengolahan, pengorganisasian dan analisa

data.

Teologi Tradisionalisme dan Rasionalisme; Analisa Konsep

1. Definisi Teologi Islam Tradisionalisme dan Rasionalisme

Sebelum membahasa lebih jauh tentang definisi –baik

secara etimologi maupun terminologi- tradisionalisme dan

rasionalisme, penulis terlebih dahulu akan mengeksplorasi definisi

teologi Islam. Hal ini menjadi "penting" untuk memberikan

gambaran dan arahan yang jelas tentang apa yang dimaksud

dengan teologi Islam, mengingat terdapat juga istilah teologi-

teologi non Islam. Setelah itu, barulah penulis akan menjelaskan

definisi tradisionalisme dan rasionalisme.

a. Definisi Teologi Islam

Secara etimologis, teologi merupakan istilah yang

diambil dari bahasa Inggris, theos yang berarti "Tuhan" dan

logos yang berarti "wacana atau ilmu"6. Dengan demikian,

maka theologi dapat berarti ilmu ketuhanan.7

6 Loren Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: Pustaka Gramedia Utama, 2005), h.

1090. 7 Wojowasito, Kamus Lengkap Ingris-Indonesia (Bandung: Hasta, 1982), h.

232.

Page 5: TRADISIONALISME DAN RASIONALISME DALAM PEMIKIRAN …

500|JPIK Vol. 2 No.2, September 2019: 496-525

Adapun teologi dilihat dari optik terminologis yaitu

ilmu tentang hubungan relasi dunia ilahi dengan dunia fisik

yang disusun secara koheren menyangkut hakikat Allah atau

Tuhan dan hubungan-Nya dengan umat manusia dan alam

semesta8 atau bisa juga didefinisikan dengan “discourse or

concerning” (diskursus/pemikiran tentang Tuhan)9.

Dari terminologi ini, maka teologi10

dapat disimpulkan

sebagai disiplin ilmu yang membicarakan kenyataan-

kenyataan dan gejala-gejala agama dan membicarakan

hubungan Tuhan dan manusia, baik dengan jalan penyelidikan

maupun pemikiran murni atau dengan jalan wahyu.

Kalau kita meninjau ilmu kalam11

sendiri, maka kita

dapati lapangannya sama dengan lapangan-lapangan teologi

yang disebutkan tadi; yaitu sekitar Tuhan, ada-Nya, keesaan-

Nya, sifat-sifat-Nya dari segala segi dan hubungan Tuhan

dengan manusia dan alam, berupa keadilan dan

kebijaksanaan, pengutusan rasul-rasul sebagai penghubunga

8 Lorens, Kamus Filsafat,…………h. 1090. 9 William L. Reese, Dictionary of Philosophy and Religion (USA: Humanities

Press Ltd. 1980), hlm. 28 10 Lapangan Teologi bisa bercorak non agama yang merupakan bagian dari

filsafat. Akan tetapi bisa juga bercorak agama sebagai suatu intellectual expression

of religion. Karena itu, untuk pembatasan lapangan dan penetapan arti kata teologi,

biasanya dibubuhi dengan kualifikasi tertentu seperti Teologi Yahudi, Kristen,

Katolik atau Islam, bahkan dengan kualifikasi lebih terbatas lagi, seperti Teologi

Apologatik, Teologi Hukum, Teologi Sejarah dan lainnya. Lihat leblih lengkap:

Ahmad Hanafi, Theologi Islam (Jakarta: Bulan Bintang,1974), hlm. V. 11 Ilmu Kalam adalah ilmu yang membahas tentang wujud Allah, sifat-sifat

yang wajib baginya, sifat-sifat yang jaiz baginya dan tentang sifat-sifat yang

ditiadakan darinya dan juga tentang rasul-rasul Allah baik mengenai sifat wajib, jaiz

dan muhal dari mereka. Lihat: Muhammad Abduh, Risalah. Tauhid, Terj. Firdaus An.

Bulan (Jakarta: Bintang, 1965), hlm. 25

Page 6: TRADISIONALISME DAN RASIONALISME DALAM PEMIKIRAN …

Abd Rahman, Tradisionalisme dan Rasionalisme |501

antara Tuhan dan manusia dan soal-soal yang bertalian

dengan khidupan di sana. Sudah barang tentu ilmu yang

membicarakan lapangan-lapangan tersebut bisa dinamakan

"teologi". Hanya karena pembicaraan tersebut didasarkan atas

prinsip-prinsip dan ajaran-ajaran agama Islam, maka

dinamakan "Teologi Islam12

".

Definisi dan analisa di atas nampaknya mengamini

paparan Ibn Khaldun yang menyatakan bahwa teologi atau

kalam adalah ilmu yang mempergunakan bukti-bukti logis

dalam mempertahankan akidah keimanan dan menolak

pembaharuan yang menyimpang dalam dogma yang dianut

kaum muslimin pertama dan ortodoks Muslim.13

b. Definisi Tradisionalisme dan Rasionalisme

Istilah tradisionalisme berasal dari Bahasa Ingris

"traditional" yang berarti menurut adat atau turun temurun.14

Sedangkan istilah tradisi jika dilihat dari optik bahasa Arab

yaitu berupa al-turats15

yang berarti warisan atau peninggalan

12 Penggunaan istialah Teologi Islam sebenarnya sudah lama dikenal dalam

buku-buku Ingris, Prancis bahkan Indonesia. Trittin, misalnya, menulis buku yang

berjudul "Moslem Theology", Mac Donald "Devolepment of Moslem Theology,

Yurisprudence and Constitutional Theory", M.M. Annawati "Introduction ala

Theologie Musulmane, sedang di Indonesia ada Harun Nasution yang menulis

dengan terang-terangan dengan judul "Teologi Islam". 13 Ibn Khaldun, Muqaddimah, terj. Ahmadie Thoha( Jakarta: Pustaka Firdaus,

2001), hlm. 589. 14 Wojowasito, Kamus Lengkap,………. h. 241. 15 Istilah al-Turast ini banyak dipakai oleh ulama kontemporer untuk

menuangkan gagasannya tentang paradigma berpikir wacana ke-Islamana, seperti

Hasan Hanafi (al-Turats wa al-Tajdid), Muhammed Abid al-Jabiri (al-Turats wa al-Hadatsah), A.D. Umari (al-Turast wa al-Mu'ashirah). Lihat selengkpanya; Luthfi al-

Syaukani, "Tipologi Wacana Pemikiran Arab Kontemporer" dalam Jurnah Pemikiran Islam PARAMADINA, Jakarta, Vol. I, Juli-Desember 1998, h. 62.

Page 7: TRADISIONALISME DAN RASIONALISME DALAM PEMIKIRAN …

502|JPIK Vol. 2 No.2, September 2019: 496-525

(legacy, heritage) berupa kekayaan ilmiah yang ditinggalkan

atau diwariskan oleh generasi-generasi terdahulu.

Berangkat dari definisi di atas, maka terminologi

tradisionalisme adalah sebuah paham di mana bentuk

pengetahuan mereka dengan segala aspeknya mulai dari

agama, bahasa hingga sastra berpegang pada model

“pemahaman literal atas tradisi” (al-fahm al-turâtsi li al-

turâts), yaitu suatu bentuk pemahaman yang merujuk pada

pandangan ulama masa lampau. Ciri umum yang melekat

pada pendekatan semacam ini dalam persoalan-persoalan

masa lalu yang dihadapi tradisi, serta bersikap menyerah

terhadapnya.16

Penyerahan secara totalitas pada tradisi ini disinyalir

oleh Amin Abdullah sebagai bentuk dan sumber kekuatan

mental-spirtual yang maha ampuh untuk menahan badai

perubahan dan pembangunan dalam segala sektor kehidupan

(ghairu qabil li al-Taghyir)17

serta menganggap hasil ijtihad -

selain al-Qur'an dan hadits- para ulama yang hidup antara

abad ke 7 hingga 13 M18

sebagai referensi yang absolut dan

kekal.19

Sedangkan definisi etimologi rasionalisme juga berasal

dari Bahasa Inggris "Rationalism" yang berarti kekuatan

16 Mohammed Abed al-Jabiri, Post,………, h. 9-11. 17 Amin Abdullah, Falsafah Kalam (Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2004), h. 31-

33. 18 Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren; Studi tentang Pandangan Hidup

Kyai, Cet. 6 (Jakarta: LP3ES, 1994), h. 1. 19 Harun Nasution, Islam Rasional (Bandung: Mizan, 1996), h. 123.

Page 8: TRADISIONALISME DAN RASIONALISME DALAM PEMIKIRAN …

Abd Rahman, Tradisionalisme dan Rasionalisme |503

pikiran.20

Sedangkan definisi rasionalisme secara terminologis

adalah kecenderungan untuk mempertimbangkan prinsip akal

atau salah-satu prinsip akal untuk mencapai kebenaran dalam

agama dan tidak mempertimbangkan wahyu dan tradisi dalam

mengerjakan beberapa persoalan teologi, terutama ketika

terdapat konflik antara ketiganya.21

Dengan cara seperti itu, maka rasionalisme secara

terminologis adalah sebuah paham di mana bentuk

pengetahuan mereka dengan segala aspeknya mulai dari

agama, bahasa hingga sastra berpegang pada model

pemahaman pada logika. Artinya, landasan pacu pemahaman

mereka senantiasa lebih diorientasikan pada soft-ware akal

dari pada lainnya, semisal indera, persepsi dan pengalaman,

serta wahyu.

Dari penjelasan di atas, dua aliran ini antara

tradisionalisme dan rasionalisme memiliki pengertian tak

sama, di mana tradisionalisme mengandung kontinuitas dan

stabilitas, sedangkan rasionalisme menyebabkan terjadinya

perubahan dan instabilitas. Tradisi biasanya berasal dari

ajaran nenek moyang, teks dan naql, sedangkan akal berasal

dari kacamata perorangan yang apabila disandingkan dalam

tradisi ilmu-ilmu tafsir, bahwa epistemilogi rasionalism dan

tradisionalism22

tidak jauh berbeda dengan tafsir bi al-ra'yi

20 Wojowasito, Kamus Lengkap,……….h. 169. 21 Binyamin Abrohamov, Islamic Theology; Tradisionalism and Rasionalism

(Edinburgh: Edinburgh University Press, 1998), h. ix-x. 22 Tentang hal ini lihat tulisan Fathurrosyid, Posisi Akal dalam Penafsiran;

Studi Analitis Tafsir bi Al-Ra'yu. Makalah disampaikan untuk memenuhi tugas mata

kulliah Tafsir, S2 IAIN Sunan Ampel, Surabaya, 2009.

Page 9: TRADISIONALISME DAN RASIONALISME DALAM PEMIKIRAN …

504|JPIK Vol. 2 No.2, September 2019: 496-525

untuk yang pertama, sedangkan yang kedua (baca;

rasionalism) sama dengan kinerja epistem tafsri bi al-ma'tsur.

2. Historisitas Munculnya Teologi Tradisionalisme dan

Rasionalisme

Ketika memasuki pembacaan pada dinamika pemikiran

Islam, maka seringkali kita temukan historisitas bahwa isu

pertama yang berakibat langsung pada konflik masyarakat muslim

pasca wafatnya Nabi Muhammad saw. adalah persoalan

keabsahan pengganti Nabi saw. atau khalifah. Setelah khalifah

Utsman ibn „Affan terbunuh pada 656, isu pengganti Nabi saw. ini

semakin mengemuka dan bahkan mejadi polemik berkepanjangan,

utamanya perihal pengusutan otak intelektual pembunuh

Utsman.23

Semua ini berlangsung sewaktu Sayyidina Ali sedang

memangku jabatannya.

Sebagian umat Islam saat itu telah berani membuat

analisis tentang pembunuhan Utsman tersebut, apakah si

pembunuhnya berdosa ataukah tidak, bahkan tidak sampai di situ

saja, tetapi juga dianalisis siapa yang menggerakkan tangan si

pembunuh itu, apakah manusia sendiri ataukah Tuhan. Hal ini

23 Dalam kondisi yang demikian, tidak heran jika pada saati itu tampil tiga

sosok pembela Utsman –dalam hal ini Thalhah, Zubair dan Aisyah- meminta pada

Ali untuk mengusut tuntas aksi pembunuhan tersebut. Namun upaya Ali untuk

berdamai, tidak mendapat respon positif dari mereka, sehingga terjadilah bentrok

yang sengit dengan nama Perang Jamal di mana perhelatan ini dimenangkan oleh

pihak Ali. Lihat selengkapnya: Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Raja

Grafindo, 2000), h. 40.

Page 10: TRADISIONALISME DAN RASIONALISME DALAM PEMIKIRAN …

Abd Rahman, Tradisionalisme dan Rasionalisme |505

yang menjadi cikal bakal tumbuhnya paham Jabariah dan

Qadariah.24

Kemenangan Ali Vs Aisyah dalam perang Jamal bukan

tugas akhir dari dinamika politik waktu itu di mana tugas

rekonsiliasi politik belum juga usai, sebab Ali Cs masih

menghadapi satu persoalan lagi yaitu timbulnya perlawanan dari

pihak Muawiyah, Gubernur Damaskus, hingga pada titik

klimaksnya terjadilah bentrok yang populer dengan nama Perang

Shiffin antara pendukung „Ali ibn Thalib yang nota bene sebagai

menantu nabi saw. Vs Mu‟awiyah -kerabat khalifah yang

terbunuh- merupakan pertikaian tragis yang tak bisa

dihindarkan.25

Dalam perang Shiffin, pasukan Ali hampir saja

memenangkan perang, namun berkat tipu daya Amr bin 'Ash,26

ketua perunding dari pihak Mu'awiyah yang melawan Ali,

menggunakan politik ulur waktu dan minta diadakan arbitrase

(tahkim)27

hingga akhirnya pihak Ali dikalahkan.28

Akibat dari

kekalahan ini, tidak pelak kemudian barisan pendukung Ali

menjadi berantakan; satu kelompok dikenal dengan sebutan

24 Yusran Asmuni, 1996, Dirasah Islamiah II Pengantar Studi Sejarah

Kebudayaan Islam dan Pemikiran (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1996), h. 59. 25 Majid Fakhry, Sejarah Filsafat Islam; Sebuah Peta Kronologis, terj. Zaimul

Am (Bandung: Mizan, 2001), h. 13. 26 Fazlurrahman, Islam, Terj. Ahsin Muhammad (Bandung: Pustaka, 1984), h.

245. Bandingkan dengn Harun Nasution, Teologi Islam; Aliran Sejarah Analisa Perbandingan (Jakarta: UI Press, 1985), h. 11.

27 Al-Thabari, Tarikh al-Thabari, Juz V (Kairo: Dar al-Ma'arifah, t.th.), h. 70-

71. 28 Maksud dari "dikalahkan" ini adalah kalah dalam bidang diplomasi, di

mana pihak Ali dipimpin oleh Abu Musa al-Asy'ari, seorang sahabat Nabi tapi

terindikasi kesetiaannya pada Ali kurang begitu mendalam. Lihat lebih lengkap;

Syafi'i Ma'arif, Membumikan Islam (Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 1995), h. 92.

Page 11: TRADISIONALISME DAN RASIONALISME DALAM PEMIKIRAN …

506|JPIK Vol. 2 No.2, September 2019: 496-525

Syi'ah, yang pro pada Ali, sedang yang lain dikenal dengan

golongan khawarij, barisan yang kontra pada Ali.

Penerimaan arbitrase, tentu saja side effect-nya tidak

hanya kepemimpinan Ali yang tidak legitimate, namun juga

membuat "gerah" kelompok kontra arbitrase yang dipelopori oleh

Asy‟ts ibn Qayis hingga mengeluarkan fatwa bahwa orang yang

terlibat dalam keputusan tahkim, baik menyetujui dan apalagi

melaksanakannya dihukumi berdosa besar dan setiap orang yang

berdosa besar meninggal dunia tanpa tobat, maka itu adalah kafir

dan harus dilenyapkan.29

Salah-satu argumentasi mereka karena

tidak atau ingkar menjalankan kewajibannya sebagai seorang

muslim.

Berangkat dari fenomen ini, maka jelas sekali bawha

penentuan seseorang kafir atau tidak kafir yang nota bene

merupakan persoalan politik praktis, tetapi mengalami sofistifikasi

ideologi menjadi persoalan teologi. Hal ini terbukti ketika

kelompok kontra arbitrase tersebut mengklaim Ali dan Muawiyah

min ahlil kafirin.30

Kafir adalah orang yang tidak percaya,

dilawankan dengan mu‟min yang berarti orang yang percaya.31

Kedua istilah ini dalam al Qur‟an biasanya merupakan

kata antonim (musytarak).32

Kata kafir yang ditujukan pada

golongan di luar Islam, oleh Khawarij dipergunakan dengan

29 Nur Khalis Madjid, Khazanah Intelektual Islam (Jakarta: Bulan Bintang,

1994), h. 12. 30 Abu Zahrah, Tarikh al-Madzahib al-Islamiyah (Kairo: Dar al-Fikr al-Arabi,

1996), h. 58. 31 AW. Munawwir, Kamu al-Munawwir (Surabaya: Pustaka Progresif, 1998),

h. 234. 32 Harifuddin Cawidu, Konsep Kufr Dalam al-Qur'an; Suatu Kajian Teologis

Dengan Pendekatan Tafsir Tematik (Jakarta: Bulang Bintang, 1991) hlm. 88.

Page 12: TRADISIONALISME DAN RASIONALISME DALAM PEMIKIRAN …

Abd Rahman, Tradisionalisme dan Rasionalisme |507

makana yang berbeda, yaitu untuk golongan yang berada dalam

Islam sendiri.33

Sebagai reaksi dari fatwa khawarij ini sebagian

umat Islam yang dipelopori oleh Ghailan Dimasqy, tidak

menerima akan fatwa tersebut. Mereka ini dalam perkembangan

selanjutnya menjadi mazhab Murji'ah. Menurut mereka, karena

fatwa itu tidak didukung oleh nash, maka kepastian hukumnya

ditunda saja, diserahkan kepada Allah di akhirat kelak. Hal ini

menegaskan bahwa keimanan memiliki tingkat stabilitas dan tidak

bisa berkurang oleh dosa.34

Reaksi kelompok lain adalah penganut paham Abdullah

ibn Saba‟ dan orang-orang yang mengagungkan Ali ibn Abi

Thalib. Mereka ini dikemudian hari dikenal dengan Syi‟ah.35

Persoalan dosa besar antara Khawarij dan Murji‟ah itu tidak

berhenti begitu saja, tetapi masih berlanjut sampai pada masa

Hasan Basri (642-728 M) versus Wasil bin Atho' (murid Hasan)

yang memberikan antitesa pada pemikiran di atas36

dengan

terminologi al-manzilah bainal manzilatain37

bagi pelakuk dosa

besar, sehingga dalam sejarah pemikiran Islam pemikiran ini

sebagai cikal bakal lahirnya paham Mu'tazilah yang bercorak

rasional.

33 Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jilid II (Jakarta:

UI Press, 1986), h. 31. 34 W. Montgomery Watt, The Formative Period of Islamic Thought, Terj.

Sukoyo (Jogjakarta: Tiara Wacana, 1999), h. 163. 35 Syi'ah secara terminologis adalah sebagaina kaum muslimin yang dalam

bidang spiritual selalu merujuk pada keturunan Nabi. Lebih lengkap lihat: Abdul

Rozak, Ilmu Kalam (Bandung: Pustaka Setia, 2009), h. 89. 36 Latar belakang kemuculan Mu'tazilah ini dalam sejarah pemikiran teologi

Islam mengandung banyak versi, namun yang sering digunakan adalah versi forum

dialogis Hasan Vs Wasil. Lihat selengkapnya; Ibid., h. 77-80. 37 Tosiko Izutsu, Konsep Kepercayaan dalam Teologi Islam, Terj. Agus Fahri

(Jogjakarta: Tiara Wacana, 1994), h. 53.

Page 13: TRADISIONALISME DAN RASIONALISME DALAM PEMIKIRAN …

508|JPIK Vol. 2 No.2, September 2019: 496-525

Perselisihan persoalan teologi yang bermula dari konflik

politik di atas masih berlanjut sampai dengan masa khalifah

Makmun (813-833) yang menetapkan bahwa paham Mu‟tzilah

sebagai paham resmi negara dan rakyat dituntut untuk

mengikutinya secara represif.38

Pada masa ini, seorang yang

berkecimpung dalam paham Mu‟tazilah 40 tahun lamanya ingin

menjembatani paham-paham yang saling bertentangan itu. Mereka

adalah Abu al-Hasan al Asy‟ari dan selanjutnya dibantu oleh

Imam Maturidi. Kedua ulama ini merupakan tokoh dari paham

Ahlu Sunnah wal Jamaah39

, walaupun dalam beberapa hal mereka

berbeda pendapat.

Polemik antara Mu'tazilah dan Asy'ariyah ini sudah tidak

lagi pada persoalan kafir dan mu'min, namun sudah jauh

melangkah berubah menjadi persoalan kesanggupan akal dan

fungsi wahyu40

di mana masing-masing dari mereka mengklaim

superioritas atau inferioritas akal atas wahyu, sehingga karenanya,

term teologi Rasional selalu saja disandingkan dan dilalbelkan

pada Mu'tazilah yang lebih mensuperioritaskan akal,41

sedangkan

38 Lihat peristiwa mihnah dalam Al-Thabari, Tarikh al-Umam wa al-Muluk,

Jilid 7 (Beirut: Mu'asasah al-a'la li al-Matbu', 1995), h. 195. Bandingkan dengan;

Komaruddin Hidayat, "Arkoun dan Tradisi Hermeneutika", dalam Tradisi, Kemodernan dan Meta Modernisme (Jogjakarta: LKis, 1994), h. 20-30. Bandingkan

dengan : Amin Abdullah, Studi Agama; Normativitas atau Historisitas (Jogjakarta:

Pustaka Pelajar, 1996), h. 268-269. 39 Term ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah banyak dipakai setelah munculnya aliran

Asy'ariyah dan Maturidiyah yang menentang ajaran Mu'tazilah. Lihat; Harun

Nasution, Teologi Islam,….h. 64. 40 Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam (Jakarta: UI Press, 1986), h.

75-77. 41 Pemberian nama rasionalis pada paham Mu'tazilah ini menurut observasi

Harun Nasution disamping paham ini lebih mendewakan akal, juga term-term yang

sering digunakan oleh kaum orientalis pada paham ini, semisal D.B. Macdonald.

Lihat selengkapnya; Harun Nasution, Islam,……….h. 129.

Page 14: TRADISIONALISME DAN RASIONALISME DALAM PEMIKIRAN …

Abd Rahman, Tradisionalisme dan Rasionalisme |509

Asy'ariyah sebagai representasi aliran bercorak tradsional lantaran

lebih menginferioritaskan akal.

Teologi Tradisionalisme dan Rasionalisme; Peta Epistemologis

1. Karakteristik Teologi Tradisionalisme dan Rasionalisme

Merujuk sejarah pemikiran klasik, corak teologi dalam

Islam di bagi dua42

yaitu teologi rasional dan teologi tradisional.

Teologi rasional dikenal dengan aliran Mu‟tazilah43

dan

Maturidiyah Samarkand44

. Sedangkan teologi tradisional dikenal

42 Pembagian ini sebenarnya mengikuti alur pemikiran mainstream, walau

sebenarnya, jika dirinci mazhab ilmu kalam tak kurang dari tujuh mazhab; Khawarij,

Murjiah, Jabariyah, Mu’tazilah, Asy’ariyyah dan Maturidiyyah, namun semua itu ada

banyak kemiripan antara satu dengan yang lain. Lihat, Afrizal M, Tujuh Perdebatan Utama dalam Teologi Islam (Jakarta: Erlangga, 2006), h. 26.

43 Mu’tazilah adalah aliran yang didirikan oleh Washil bin Atha’ (80-131

H/699-748 M), kemudian didukung dan disempurnakan ajaran-ajarannya oleh tokoh

pemikir Islam yang datang sesudahnya, seperti Abu Hudzayl al-Allaf (135-226

H/752-840 M), Ibrahim al-Nazhzham (185 H-221 H/802-845 M), Abu Ali al-Jubabai

(235-303 H/849-917 M), al-Qadhi Abduljabbar (320-415 H/932-1025 M) dan al-

Zamarkhasyari (467-538/1075-1144 M). Mereka adalah ulama rasional dan kritis,

tidak hanya terhadap hadits-hadits dan cara memahami ayat-ayat dan sunnah, tetapi

juga terhadap filsafat klasik Yunani Aristoteles dan Neo-Platonis. Itulah sebabnya,

aliran ini juga disebut aliran rasionalis dalam Islam. Aliran ini sudah tidak

mempunyai wujud lagi, kecuali dalam sejarah. Merskipun demikian, ajarna-ajarannya

mulai muncul kembali terutama di kalangan kaum terpelajar saat ini. Lihat

selengkapnya. Lihat; Harun Nasution, Islam ………………..h. 376. 44 Maturudiyyah adalah aliran yang didirkan oleh Imam Abu Manshur al-

Maturidi (w.333 H). Aliran ini kemudian didukung oleh Abu al-Yasar al-Bazdawi

(421-493 H), Abu Ma’in al-Nasafi (438-508), dan Najm al-Din ‘Umar al-Nasafi (462-

537 H). Meskipun al-Bazdawi adalah tokoh yang mendukung aliran Maturidiyyah,

antara al-Bazdawi dan al-maturidi terdapat beberapa perbedaan pendapat dan

masalah-masalah teologi. Perbedaan antara kedua tokoh ini kemudian melahirkan

dua subaliran, yaitu aliran Maturidiyah Samarkand yang ditokohi oleh al-Maturidy

sendiri dan aliran Maturidiyyah Bukhara yang ditokohi oleh al-Bazdawi. Aliran

Maturidiyyah banyak dianut oleh kaum Muslim yang bermazhab Hanafi dalam

bidang hukum (fiqh). Lebih lengkap lihat dalam, Dr. HH. Noer Iskandar Al-Barsany,

Pemikiran Kalam Imam Abu mansur A-Maturidi; Perbandingan dengan Kalam Mu’tazilah dan Al-Asy’ari (Jakarta: Srigunting, 2001), h. 20.

Page 15: TRADISIONALISME DAN RASIONALISME DALAM PEMIKIRAN …

510|JPIK Vol. 2 No.2, September 2019: 496-525

dengan aliran Asy‟ariyah45

dan Maturidiyah Bukhara.46

Namun

demikian, dari beberapa aliran ini, penulis dalam sub bab makalah

ini hanya akan memfokuskan pada dua corak teologi; yaitu teologi

rasional dengan representasi Mu'tazilah dan teologi tradisional di

mana aliran Asy'ariyah sebagai representasinya.

Dari kedua ciri aliran di atas, sebenarnya perbedaan corak

teologis tersebut dilatarbelakangi adanya metodologi yang

berbeda dalam mengurai objek kajiannya, sehingga tidak heran

jika kemudian memunculkan pemetaan paradigma metode

berpikir rasional dan tradisional,47

yang dalam hal ini, kedua

metode berpikir tersebut memiliki prinsip-prinsip masing,

sehingga keduanya tidak bisa saling mengklaim dan mengganggap

cara berpikir kelompoknya yang paling benar di mana hanya akan

mengakibatkan pada –meminjam Abdul Mustaqim- "syirik

intelektual".48

Hal ini dikarenakan dalam tataran histories-

interpretatif, kebenaran itu tentu menjadi relatif. Bagaimanapun

45 Asy’ariyah adalah aliran yang didirikan oleh Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari

(260-324 H/873-935 M). Aliran ini kemudian didukung dan dikembangkan oleh

ulama-ulama besar seperti al-Baqilani (w. 403 H), al-Juwaini (w.470 H), al-Ghazali

(250-505 H) dan Fakh al-Din al-Razi (544-606 H). Mesikipun Imam Asy’ari yang

telah mendirikan aliran pernah menjadi tokoh Mu’tazilah, ajaran-ajarannya banyak

bertolak belakang dengan ajaran Mu’tazillah. Aliran ini masih dominant hingga saat

ini dan dianut oleh mayoritas kaum Muslim, khususnya mereka yang bermazhab

Syafi’I dan Maliki. 46 Sirajuddin Zar, Teologi Islam Aliran dan Ajarannya (Padang: IAIN-IB

Press, 2003) h. 4-5. Lihat juga, Harun Nasution, Islam, ……………… h. 66. 47 Prinsip metode berpikir rasional (1) Hanya terikat pada dogma-dogma dan

ayat yang Qat'i (2) Memberikan kebebasan pada manusia dalam berbuat dan

berkehendak serta memberikan daya yang kuat pada akal. Sedangkan prinsip berpikir

tradisional (1) Terikat pada dogma dan ayat yang mengandung arti zanni (2) Tidak

memberikan kebebasan pada manusia dalam berbuat dan berkehendak serta tidak

memberikan daya yang kuat pada akal. Lihat selengkapnya: Yunan Yusuf, Corak Pemikiran Kalam Tafsri al-Azhar (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1990), h. 16-17.

48 Abdul Mustaqim, Tafir Feminis Versus Tafsir Patriarki (Jogjakarta: Sabda

Persada, 2003), h. vii.

Page 16: TRADISIONALISME DAN RASIONALISME DALAM PEMIKIRAN …

Abd Rahman, Tradisionalisme dan Rasionalisme |511

ketika teks-teks keagamaan, (al-Qur'an) dikonsumsi dan masuk

dalam "disket" pemikiran manusia, tentu produk pemikirannya

juga akan relatif lantaran pikiran manusianya juga relatif.

Ada tiga barometer, sekurang-kurangnya untuk melihat dan

mengetahui suatu aliran, yaitu: kedudukan akal dan fungsi wahyu,

perbuatan dan kehendak manusia, serta keadilan atau kehendak

mutlak Tuhan, sehingga terbentuklah ciri-ciri teologi rasional-

tradisional sebagaimana disebutkan oleh Abdul Razak49

,

sebagaimana berikut:

Ciri-ciri teologi tradisional adalah; Pertama, Akal

mempunyai kedudukan yang rendah, karenanya dalam memahami

wahyu, aliran ini cenderung mengambil arti lafzhi atau literal.

Kedua, Manusia tidak bebas berbuat dan berkehendak. Ketiga,

Kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan menurut paham ini,

bukan menurut sunatullah, namun benar-benar menurut kehendak

mutlak Tuhan.

Karekteristik teologi tradisional di atas, dapat disederhakana

bahwa wahyu selalu dianggap sebagai patokan dasar dan sumber

kebenaran par excellence, sedangkan akal adalah sumber yang

membuka kemungkinan bagi pemberontakan atas wahyu, oleh

karena itu harus dikendalikan.50

Adapun ciri teologi rasional adalah: Pertama, Akal

mempunyai kedudukan yang lebih tinggi, karenanya dalam

memahami wahyu, aliran ini cenderung mengambil arti majazi.

Kedua, Manusia bebas berbuat dan berkehendak. Karena akal

49 Abdul Razak, Ilmu Kalam,……..h. 45. 50 Ulil Abshar Abdallah, Membakar Rumah Tuhan (Bandung: Remaja

Rosdakarya, 1999), h. 110

Page 17: TRADISIONALISME DAN RASIONALISME DALAM PEMIKIRAN …

512|JPIK Vol. 2 No.2, September 2019: 496-525

kuat, manusia mampu berdiri sendiri, mempunyai kebebasan

dalam kemauan dan kehendak serta mampu berpikir secara

mendalam. Ketiga, Keadilan Tuhan, menurut paham ini, terletak

pada adanya hukum alam (sunatullah) yang mengatur perjalanan

alam ini.

Dari kedua cirri teologi di atas, terutama menyangkut

peranan akal dan wahyu, penulis mengutip ilustrasi gambar dari

Harun Nasutioan sebagai berikut51

:

Peta Konsep Teologi Rasional

MT = Mengetahui Tuhan

KMT = Kewajiban Mengetahui Tuhan

MBJ = Mengetahui Baik dan Jahat

KMBJ = Kewajiban Mengerjakan

Baik dan Menjauhi Jahat

Peta Konsep Teologi Tradisional

MT = Mengetahui Tuhan

KMT = Kewajiban Mengetahui Tuhan

MBJ = Mengetahui Baik dan Jahat

KMBJ = Kewajiban Mengerjakan

Baik dan Menjauhi Jahat

Kedua gambar di atas, terlihat jelas sekali perbedaan yang

sangat mendesar antara teologi rasional yang memberikan porsi

dominan pada akal, sementara teologi tradisional memberikan

peranan yang terbatas pada akal, sehingga karenanya bagi teologi

yang posisinya mensuperioritaskan akal disebut aliran Mu'tazilah

51 Harun Nasution, Teologi,……….., h. 86-87.

Page 18: TRADISIONALISME DAN RASIONALISME DALAM PEMIKIRAN …

Abd Rahman, Tradisionalisme dan Rasionalisme |513

yang popular dengan terminologi teologi rasional, sedangkan

teologi yang posisinya menginferioritaskan akal disebut aliran

Asy'ariyah yang populer dengan terminologi teologi tradisional.52

2. Konsepsi Teologi Tradisionalisme dan Rasionalisme

Sebagaimana telah dijabarkan di muka, bahwa di antara

konsep pokok teologi islam adalah persoalan posisi akal dan

wahyu yang berkaitan dengan empat hal53

yaitu; Pertama,

persoalan mengetahui tuhan. Kedua, persoalan kewajiban

mengetahui Tuhan. Ketiga, persoalan kewajiban mengetahui baik

dan buruk. Keempat, persoalan kewajiban mengerjakan yang baik

dan meninggalkan yang buruk.

Bagi Teologi Rasional dalam hal ini Mu'tazilah

berpendapat bahwa pengetahuan tentang Tuhan dan baik-buruk

dapat diperoleh dengan daya akal. Karena itu, berterima kasih

kepada tuhan sebelum turunnya wahyu adalah wajib.54

Di

samping itu, karena akal juga dapat mengetahui soal baik baik dan

buruk, maka setiap orang wajib mengerjakan yang baik seperti

sikap jujur, berbuat adil dan meninggalkan yang buruk semisal

berdusta dan berbuta zalim.55

Aliran ini berargumen antara lain bahwa baik dan buruk

merupakan esensi bagi setiap perbuatan. Dan perbuatan-perbuatan

itu sesungguhnya terpilah menjadi baik atau buruk; manfaat atau

52 Abdul Rozak, Ilmu Kalam,…………. h. 34. Bandingkan dengan Harun

Nasution, Islam Rasional, ………h. 371-372. 53 Harun Nasution, Teologi, ……,…. h. 80. 54 Abd Al-Karim al-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihl (Mesir: Matba'ah

Mustafa al-Bab al-Halabi, 1967), vol. I, h. 42. 55 Ibid., h. 52.

Page 19: TRADISIONALISME DAN RASIONALISME DALAM PEMIKIRAN …

514|JPIK Vol. 2 No.2, September 2019: 496-525

bahaya. Al-Jubai't tokoh mu'tazilah, seperti dikutip oleh Abu

Zahrah, mengemukakan bahwa perbuatan-perbuatan dapat

diidentifikasi menjadi empat macam, yaitu; Pertama, buruk

karena dilarang (qabih li al-Nahyi). Kedua, buruk karena

esensinya (qabih li nafsih). Ketiga, baik karena diperintah (hasan

li al-amri bih). Keempat, baik karena esensinya (hasan li nafsih).

Empat kategorisasi al-Jubai'I ini lalu disederhanakan oleh Abu

Zahrah menjadi tiga macam saja, yaitu; Baik esensial, buruk

esensial, serta baik dan buruk tergantung pada perintah dan

larangan56

Kategorisasi yang telah disebutkan di atas memberikan

penjelasan bahwa baik esensial jika terdapat dalam suatu

perbuatan, maka bagi mu'tazilah perbuatan itu wajib dihindarkan.

Karena itu, menurut mu'tazilah, dalam situasi sebelum adanya

syariat atau wahyu, manusia telah terbebani untuk melakukan hal

yang baik dan meninggalkan yang buruk.

Argumen lain yang dikemukakan oleh mu'tazilah bahwa

term husn (baik) adalah sesuatu yang boleh dikerjakan, atau suatu

perbuatan yang tidak mengarahkan pelakunya mendapat celaan.

Sebaliknya, term jelek (qubh) bermakna sesuatu yang tidak boleh

dikerjakan karena bila dikerjakan akan mendapat celaan.57

Dengan

demikian, pengetahuan akan tentang baik dan buruk adalah

sebuah keniscayaan. Perbuatan baik, misalnya ditandai dari esensi

dari perbuatan itu sendiri yang membawa manfaat, seperti berkata

jujur dan bersikap adil. Sebaliknya, perbuatan buruk ditandai

56 Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh (Ttp: Dar al-Fikr al-Arabi, tth.), h. 69-76. 57 Abu Al-Husain al-Bashri al-Mu'tamad, Fi Ushul al-Fiqh (Damaskus: Al-

Ma'had al-Ilmi, 1964), Vol. I. h. 365-366.

Page 20: TRADISIONALISME DAN RASIONALISME DALAM PEMIKIRAN …

Abd Rahman, Tradisionalisme dan Rasionalisme |515

dengan indikasi adanya kerugian dalam esensi perbuatan itu,

misalnya berdusta dan aniaya. Lebih lanjut, Abu al-Husain al-

Bashri menandaskan bahwa sesuatu dipandang baik apabila

terdapat kemanfaatan di dalamnya dan tidak diketahui

mengandung kerugian dan bahaya.58

Akibat niscaya dari pandangan mu'tazilah seperti di atas,

sebagaimana diutarakan Abu Zahrah, ada tiga hal; Pertama,

Orang-orang yang hidup pada masa kevakuman wahyu ataupun

dalam ketidaktahuan terbebani untuk mengerjakan perbuatan baik

esensial dan mengelakkan diri dari perbuatan jelek esensial.

Kedua, jika nash tidak memberi petunjuk apa-pun, maka akan

berfungsi menentukan baik atau buruknya suatu hal. Ketiga, tuhan

tidak mungkin memerintahkan untuk mengerjakan perbuatan

buruk esensial atau melarang untuk berbuat yang baik secara

esensial.59

Artinya, segala syariat yang diturunkan tuhan bagi

manusia adalah demi kepentingan dan maslahat manusia itu

sendiri.

Namun meski demikian, mu'tazilah tetap membutuhkan

dan berpedoman kepada wahyu. Bagi mu'tazilah, akal hanya dapat

mengetahui hal-hal yang bersifat umum. Sedangkan mengenai

hal-hal yang terperinci, mutlak membutuhkan penjelasan dan

informasi wahyu.60

Ibnu Hasyim, salah-satu pemuka mu'tazilah,

58 Ibid., h. 878. 59 Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh,……, h. 72. 60 Di samping menjelaskan hal-hal yang terperinci, wahyu juga

menginformasikan tindakan-tindakan yang tidak diketahui akal nilai baik dan

buruknya, seperti berzina. Karena itu, mu'tazilah membuat dua tipologi perbuatan

baik, yaitu manakir al-aqliyyah (perbuatan yang dicela akal seperti berdusta), dan

manakir sya'riyyah (perbuatan yang dicela wahyu seperti berzina). Lihat

selengkapnya Harun Nasution, Teologi Islam,…………., h. 98.

Page 21: TRADISIONALISME DAN RASIONALISME DALAM PEMIKIRAN …

516|JPIK Vol. 2 No.2, September 2019: 496-525

menyatakan bahwa rasul-rasul datang untuk memperkuat sesuatu

yang telah ditempatkan tuhan dalam akal kita, dan untuk

menerangkan perincian sesuatu yang telah diketahui akal.61

Dengan demikian, wahyu menyempurnakan pengetahuan akal

tentang baik dan buruk. Atas dasar ini, dapat disimpulkan bahwa

mu'tazilah berpandangan bahwa wahyu berfungsi melakukan

konfirmasi dan informasi.

Berbeda dengan konsep teologi rasional, teologi

tradisional berpendapat bahwa akal manusia tidak memiliki

kemampuan apa-apa kecuali mengetahuan Tuhan an-sich.

Sedangkan tiga hal lainnya hanya dapat diketahui melalui

informasi wahyu. Karena itu, masalah nilai baik atau buruk dari

suatu tindakan tak dapat ditetapkan oleh akal melainkan mesti

dengan pemberitahuan wahyu. Berdusta, misalnya merupakan

perbuatan buruk karena wahyu menyatakannya demikian. Andai

saja wahyu menetapkan bahwa berdusta itu adalah baik, maka

pastilah berdusta merupakan pekerjaan yang baik dan jika

sekiranya Tuhan mewajibkan hamba-Nya untuk berdusta, maka

tidak ada alasan apa-pun bagi manusia untuk menolak

melakukannya.62

Dengan kata lain, nilai baik dan buruk itu

tergantung sepenuhnya pada perintah dan larangan dari Tuhan,

dalam hal ini wahyu.

Imam al-Ghazali, salah-seorang teolog Asy'ariyah,

menolak pengertian bahwa suatu perbuatan disebut baik jika

perbuatan itu sesuai dengan tujuan, dan disebut buruk apabila

61 Ibid., h. 99. 62 Abu Hasan al-Asy'ari, al-Luma' fi al-Radd 'Ala ahl al-Zayq wa al-Bida'

(Beirut: Matba'ah Kathulikiyah, 1952), h. 70-71.

Page 22: TRADISIONALISME DAN RASIONALISME DALAM PEMIKIRAN …

Abd Rahman, Tradisionalisme dan Rasionalisme |517

tidak sesuai dengan tujuan. Sebab bagi al-Ghazali, perbuatan baik

atau buruk bukanlah bergantung pada kesesuaian ataupun

keterbedaannya dengan tujuan di masa sekarang, melainkan pada

tujuan di masa depan (akhirat kelak).63

Dari uraian singkat di atas, nyatalah bahwa bagi

Asy'ariyah nilai baik dan buruk bukanlah esensi dari suatu

perbuatan mealainkan hanya berupa kualitas pada perbuatan.

Dengan begitu, maka implikasinya adalah posisi akal tidak

mempunyai potensi dan kemampuan untuk mengeathui apakah

suatu perbuatan berkualitas baik atau sebaliknya. Dalam hal ini,

informasi wahyu mengenai suatu perbuatan, apakah berkualitas

baik atau buruk mutlak dibutuhkan. Dengan demikian, karena

potensi akal dianggap tidak mempunyai kapabilitas, maka sudah

barang tentu tidak ada suatupun yang mewajibkan setiap manusia

untuk mengerjakan yang baik dan meninggalkan yang buruk,

kecuali jika wahyu telah datang menginformasikannya.

3. Teologi Tradisionalisme dan Rasionalisme dalam Tataran

Analisa

Melihat ketegangan dari paradigma berpikir kedua aliran

di atas yang berhadapan secara frontal di mana teologi rasionalis

memposisikan akal super-ordinat, sedang teologi tradisionalis

meletakkan akal pada posisi sub-ordinat, tentu dalam konteks saat

ini sudah tidak relevan lagi dan tidak akan menyelesaikan

63 Abu Hamid al-Ghazali, al-Iqtishad fi al-I'tiqad (Mesir: Musthafa al-Babi al-

Halabi wa Awladuh, tth.), h. 84.

Page 23: TRADISIONALISME DAN RASIONALISME DALAM PEMIKIRAN …

518|JPIK Vol. 2 No.2, September 2019: 496-525

masalah, sebab keduanya sama-sama dijunjung tinggi

eksistensinya dalam al-Qur'an.

Tuduhan sebagai anak kecil pada paham tradisionalis

lantaran tidak bisa memfungsikan akalnya dan tunduk secara

totalitas pada wahyu, dan anggapan sebagai anak dewasa pada

paham rasionalis lantaran kematangan berpikirnya, kiranya perlu

mendapatka kajian ulang. Sebab prakonsepsi tersebut mempunyai

side effect yang berbeda pula. Artinya, menjadi tradisionalis

dengan mendewakan referensi pada wahyu, mungkin membuat

kita merasa seolah makhluk masa silam yang asing dalam arus

perubahan zaman, shock culture, bahkan lantaran ekslusivitas

tersebut, tidak heran jika kemudian selalu dihinggapi rasa

terancam. Sebaliknya, menjadi rasionalis, dengan

mensuperioritaskan pada akal dengan melihat pada akselerasi

zaman, satu sisi memang membuat kita secara sosial relevan

dengan zaman kontemporer, tetapi pada saat yang sama, tidak

jarang membuat kita mengalami konflik psikologis, dan kian

merasa berjarak dari Islam, sebagai jalan keyakinan.64

Selanjutnya, untuk menjembatani ketegangan dari dua

aliran mainstream ini, perlu kiranya digagas suatu teologi baru

yang disebut teologi alternatif untuk mengakumulasikan dan

merekonsiliasikan kedua aliran tersebut, semisal gagasn tentang

keadilan sosial. Pengedepanan konsep ini bertolak dari kesadaran

bahwa ketidakadilan sosial (kemiskinan, keterbelakangan,

kebodohan, eksploitasi, diskriminasi, dan dehumaisasi)

merupakan produk dari suatu proses sosial via struktur dan sistem

64 Muhammad Abed Al-Jabiri, Post-Tradisionalisme Islam (Jogjakarta: LKiS,

2000), h. v.

Page 24: TRADISIONALISME DAN RASIONALISME DALAM PEMIKIRAN …

Abd Rahman, Tradisionalisme dan Rasionalisme |519

yang tidak adil, yang terjadi lantaran proses sejarah manusia.

Artinya, realitas sosial yang tidak adil bukanlah predestinasi

Tuhan (taqdîr), seperti umum diyakini teologi-teologi tradisional,

melainkan hasil dari proses sejarah yang by design, disengaja.

Bukan pula belaka akibat “ada yang salah dalam bangunan

mentalitas-budaya manusia,” seperti keyakinan teologi-teologi

rasional, melainkan semua itu terjadi lantaran adanya imbas

langsung dari diselenggarakannya sistem dan struktur yang tidak

adil, eksploitatif, dan menindas.

Kalaupun solusi dari cara berpikir teologi alternatif ini

belum bisa dipraktekkan secara maksimal dan simultan, maka

tindakan yang mendesak untuk dipraktekkan terlebih dahulu

adalah bangunan keyakinan dan kesadaran baru di antara ummat

Islam bahwa pandangan kedua aliran ini merupakan sebuah ijtihad

dan hasilnya bukan sesuatu yang mutlak dan absolut.

Oleh karena itu, sikap yang harus dikembangkan oleh

masyarakat adalah : Pertama, Akseptasi, kesediaan menerima

keberadaan dan kehadiran mazhab pemikiran lain. Kedua,

Apreasi, menghargai mazhab dan paham yang dianut kelompok

lain. Ketiga, Ko-eksistensi, kesediaan untuk hidup berdampingan

dengan kelompok manusia manapun.65

Keempat, Kooperasi,

kesediaan untuk bekerja-sama dengan pemikiran lain.66

Pengembangan keempat arah sikap di atas bukanlah

sesuatu yang perlu ditakuti akan mengurangi kesadaran

65 A. Hajar Sanusi, Memasuki Islam dalam Berbagai Pintu, dalam Al-Hikmah

Jurnal Studi-studi Islam, No. 14, vol. VI, tahun 1995, h. 3. 66 Kuntowijoyo, "Dari Toleransi ke Kooperasi", dalam Atas Nama Agama

(Bandung: Pustaka Hidayah, 1998), h. 359.

Page 25: TRADISIONALISME DAN RASIONALISME DALAM PEMIKIRAN …

520|JPIK Vol. 2 No.2, September 2019: 496-525

religiusitas masyarakat. Sebab hal itu sudah dipraktekkan oleh

Rasulullah ketika beliau membangun masyarakat Madinah.

Karena itu, perilaku ideal yang dicontohkan oleh Rasul sebagai

figur paradigmatik (uswah hasanah) jangan hanya dijadikan

informasi sejarah yang perlu dikagumi saja, tetapi bagaimana

upaya totalitas untuk diterjemahkan dalam kehidupan nyata.67

Kesimpulan

Dari semua paparan di atas, penulis dapat memberikan

kesimpulan tentang pemikiran teologi tradisional dan rasional dalam

Islam sebagai berikut:

Pertama, sejarah munculnya teologi tradisional dan rasional

adalah berawal dari polemik antara Mu'tazilah dan Asy'ariyah yang

awalnya mempertentangkan persoalan kafir dan mu'min, namun

akhirnya jauh melangkah berubah menjadi persoalan kesanggupan

akal dan fungsi wahyu di mana masing-masing dari mereka

mengklaim superioritas atau inferioritas akal atas wahyu, sehingga

karenanya, term teologi Rasional selalu saja disandingkan dan

dilalbelkan pada Mu'tazilah yang lebih mensuperioritaskan akal,

sedangkan Asy'ariyah sebagai representasi aliran bercorak tradsional

lantaran lebih menginferioritaskan akal.

Kedua, karakteristik teologi tradisional adalah bahwa posisi

akal inferior, manusia tidak bebas berbuat dan berkehendak,

kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan bukan menurut sunatullah,

namun benar-benar menurut kehendak mutlak. Sedangkan teologi

67 Fathurrosyid, Gerakan Feminis Rasulullah; Membaca Sisi Lain Peringatan

Isra' Mi'raj 1430 H, dalam Harian Pagi Radar Madura; Jawa Post Group, Ed. Rabu,

22 Juli 2009.

Page 26: TRADISIONALISME DAN RASIONALISME DALAM PEMIKIRAN …

Abd Rahman, Tradisionalisme dan Rasionalisme |521

rasional adalah bahwa posisi akal superior, manusia bebas berbuat dan

berkehendakk dan keadilan Tuhan terletak pada adanya hukum alam

(sunatullah) yang mengatur perjalanan alam ini.

Bagi Teologi Rasional berpendapat bahwa pengetahuan

tentang Tuhan dan baik-buruk dapat diperoleh dengan daya akal.

Karena itu, berterima kasih kepada Tuhan sebelum turunnya wahyu

adalah wajib. Di samping itu, karena akal juga dapat mengetahui soal

baik baik dan buruk, maka setiap orang wajib mengerjakan yang baik

seperti sikap jujur, berbuat adil dan meninggalkan yang buruk semisal

berdusta dan berbuta zalim. Sedangkan dalam teologi tradisional

adalah bahwa akal manusia tidak memiliki kemampuan apa-apa

kecuali mengetahuan Tuhan an-sich. Sedangkan tiga hal lainnya

hanya dapat diketahui melalui informasi wahyu. Karena itu, masalah

nilai baik atau buruk dari suatu tindakan tak dapat ditetapkan oleh akal

melainkan mesti dengan pemberitahuan wahyu. Berdusta, misalnya

merupakan perbuatan buruk karena wahyu menyatakannya demikian.

Daftar Pustaka

Abdullah, Amin. 1996. Studi Agama; Normativitas atau Historisitas.

Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 1996.

______________. 2004. Falsafah Kalam. Jogjakarta: Pustaka Pelajar.

Abrohamov, Binyamin. 1998. Islamic Theology; Tradisionalism and

Rasionalism. Edinburgh: Edinburgh University Press.

Abduh, Muhammad. 1965. Risalah. Tauhid, Terj. Firdaus An. Bulan.

Jakarta: Bintang.

al-Jabiri, Mohammed Abed. 2002. Post Tradisionalisme Islam.

Jogjakarta: LKiS.

Page 27: TRADISIONALISME DAN RASIONALISME DALAM PEMIKIRAN …

522|JPIK Vol. 2 No.2, September 2019: 496-525

Al-Barsany, HH. Noer Iskandar. 2001. Pemikiran Kalam Imam Abu

mansur A-Maturidi; Perbandingan dengan Kalam Mu’tazilah

dan Al-Asy’ari. Jakarta: Srigunting.

al-Mu'tamad, Abu Al-Husain al-Bashri. 1964. Fi Ushul al-Fiqh.

Damaskus: Al-Ma'had al-Ilmi.

al-Asy'ari, Abu Hasan. 1952. al-Luma' fi al-Radd 'Ala ahl al-Zayq wa

al-Bida'. Beirut: Matba'ah Kathulikiyah.

al-Ghazali, Abu Hamid. Tth. al-Iqtishad fi al-I'tiqad. Mesir: Musthafa

al-Babi al-Halabi wa Awladuh.

Abdallah, Ulil Abshar. 1999. Membakar Rumah Tuhan. Bandung:

Remaja Rosdakarya.

Asmuni, Yusran. 1996. Dirasah Islamiah II Pengantar Studi Sejarah

Kebudayaan

Al-Thabari. 1995. Tarikh al-Umam wa al-Muluk. Jilid 7. Beirut:

Mu'asasah al-a'la li al-Matbu'.

________. t.th. Tarikh al-Thabari, Juz V. Kairo: Dar al-Ma'arifah.

al-Syaukani, Luthfi. "Tipologi Wacana Pemikiran Arab Kontemporer"

dalam Jurnah Pemikiran Islam PARAMADINA, Jakarta, Vol.

I, Juli-Desember 1998.

al-Syahrastani, Abd Al-Karim. 1967. al-Milal wa al-Nihl. Mesir:

Matba'ah Mustafa al-Bab al-Halabi.

Afrizal M. 2006. Tujuh Perdebatan Utama dalam Teologi Islam.

Jakarta: Erlangga.

Bagus, Loren. 2005. Kamus Filsafat. Jakarta: Pustaka Gramedia

Utama.

Bekker, Anton, dan Achmad Charis Zubair. 1990. Metodologi

Penelitian Filsafat. Yogyakarta: Kanisius.

Page 28: TRADISIONALISME DAN RASIONALISME DALAM PEMIKIRAN …

Abd Rahman, Tradisionalisme dan Rasionalisme |523

Cawidu, Harifuddin. Konsep Kufr Dalam al-Qur'an; Suatu Kajian

Teologis Dengan Pendekatan Tafsir Tematik . Jakarta: Bulang

Bintang.

Dhofier, Zamakhsyari. 1994. Tradisi Pesantren; Studi tentang

Pandangan Hidup Kyai, Cet. 6. Jakarta: LP3ES.

Faqih, Mansour. 1994. “Teologi Kaum Tertindas,” dalam Ahmad

Suaedy (eds.), Spiritualitas Baru: Agama dan Aspirasi

Rakyat. Jogjakarta: Institut Dian/Interfidei.

Fakhry, Majid. 2001. Sejarah Filsafat Islam; Sebuah Peta Kronologis,

terj. Zaimul

Am. Bandung: Mizan.

Fathurrosyid, 2006. Humanisasi Pendidikan Agama. Radar Madura;

Jawa Post Group. Ed. Ahad, 16 Juli.

__________. 2009. Gerakan Feminis Rasulullah; Membaca Sisi Lain

Peringatan Isra' Mi'raj 1430 H, dalam Harian Pagi Radar

Madura; Jawa Post Group, Ed. Rabu, 22 Juli.

Fazlurrahman. 1984. Islam, Terj. Ahsin Muhammad. Bandung:

Pustaka.

Hanafi, Ahmad. 1974. Theologi Islam. Jakarta: Bulan Bintang.

Hidayat, Komaruddin. 1994. "Arkoun dan Tradisi Hermeneutika",

dalam Tradisi, Kemodernan dan Meta Modernisme.

Jogjakarta: LKiS.

Izutsu, Tosiko. 1994. Konsep Kepercayaan dalam Teologi Islam, Terj.

Agus Fahri. Jogjakarta: Tiara Wacana.

Kuntowijoyo. 1998. "Dari Toleransi ke Kooperasi", dalam Atas Nama

Agama. Bandung: Pustaka Hidayah.

Khaldun, Ibn. 2001. Muqaddimah, terj. Ahmadie Thoha. Jakarta:

Pustaka Firdaus.

Ma'arif, Syafi'i. 1995. Membumikan Islam. Jogjakarta: Pustaka

Pelajar.

Page 29: TRADISIONALISME DAN RASIONALISME DALAM PEMIKIRAN …

524|JPIK Vol. 2 No.2, September 2019: 496-525

Madjid, Nur Khalis. 1994. Khazanah Intelektual Islam. Jakarta: Bulan

Bintang.

Munawwir, A.W. 1998. Kamu al-Munawwir. Surabaya: Pustaka

Progresif.

Mustaqim, Abdul. 2003. Tafir Feminis Versus Tafsir Patriarki.

Jogjakarta: Sabda Persada.

Nasution, Harun. 1985. Teologi Islam; Aliran Sejarah Analisa

Perbandingan. Jakarta: UI Press.

_____________. 1986. Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jilid

II. Jakarta: UI Press.

_____________. 1986. Akal dan Wahyu dalam Islam. Jakarta: UI

Press.

_____________. 1996. Islam Rasional. Bandung: Mizan.

Reese, William L. 1980. Dictionary of Philosophy and Religion. USA:

Humanities Press Ltd.

Rozak, Abdul. 2009. Ilmu Kalam. Bandung: Pustaka Setia.

Sanusi, A. Hajar. 1995. Memasuki Islam dalam Berbagai Pintu, dalam

Al-Hikmah Jurnal Studi-studi Islam. No. 14, vol. VI.

Soekanto, Soerjono. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI

Press.

Watt, W. Montgomery. 1999. The Formative Period of Islamic

Thought, Terj. Sukoyo. Jogjakarta: Tiara Wacana.

Wojowasito. 1982. Kamus Lengkap Ingris-Indonesia. Bandung:

Hasta.

Yatim, Badri. 2000. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Raja Grafindo.

Islam dan Pemikiran. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.

Yusuf, Yunan. 1990. Corak Pemikiran Kalam Tafsri al-Azhar.

Jakarta: Pustaka Panjimas.

Page 30: TRADISIONALISME DAN RASIONALISME DALAM PEMIKIRAN …

Abd Rahman, Tradisionalisme dan Rasionalisme |525

Zahrah, Abu. 1996. Tarikh al-Madzahib al-Islamiyah. Kairo: Dar al-

Fikr al-Arabi.

__________. Tth. Ushul al-Fiqh. Ttp: Dar al-Fikr al-Arabi.

Zar, Sirajuddin. 2003. Teologi Islam Aliran dan Ajarannya. Padang:

IAIN-IB Press.