Upload
trandiep
View
248
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
“TRADISI PERJODOHAN DALAM KOMUNITAS PESANTREN”
(Studi Pada Keluarga Kyai Pondok Buntet Pesantren)
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi
Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh:
DEDI MUHADI
NIM: 1111044200012
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ( AHWAL SYAKHSIYYAH )
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A
1437 H / 2015 M
ABSTRAK
DEDI MUHADI. NIM: 1111044200012. TRADISI PERJODOHAN
DALAM KOMUNITAS PESANTREN (Studi Pada Keluarga Kyai Pondok Buntet
Pesantren). Program Studi Hukum Keluarga Konsentrasi Administrasi Keperdataan
Islam, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta, 1436 H/2015 M. x +70 halaman dan lampiran.
Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui tadisi perjodohan yang dilakukan oleh
keluarga Pondok Buntet Pesantrendan faktor apa saja yang menjadi alasan para
keluarga kyai Pondok Buntet Pesantren menjodohkan anak-anaknya.
Dalam skripsi ini penulis menggunakan menggunakan jenis penelitian
kualitatif. dengan metode Riset Kepustakaan (library reseach) dan riset lapangan
(field riseach).
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa kebiasaan menjodohkan anak-anaknya
di kalangan keluarga kyai pondok Buntet Pesantren sudah menjadi tradisi yang turun
temurun hingga saat ini, perjodohan adalah pernikahan yang semi pemaksaan, yang
mana menurut Kompilasi Hukum Islam dalam Pasal 16 ayat (1) dan ayat (2)
menyatakan bahwa perkawinan harus didasarkan atas persetujuan calon mempelai.
Perjodohan menjadi momok di masyarakat, bahwa pernikahan melalui perjodohan
tidak akan harmonis dan langgeng karena terdapat unsur pemaksaan. Tetapi
perjodohan di keluarga pesantren khususnya di keluarga Buntet Pesantren
menggunakan konsep perkawinan endogami dengan cara ditawarkan tanpa ada
pemaksaan, selain itu walaupun keluarga kyai melangsungkan pernikahan melalui
perjodohan, mereka tetap harmonis dan menciptakan keluarga yang sakinah,
mawaddah warahmah.
Kata Kunci : Perkawinan, perjodohan, pesantren,kyai.
Pembimbing : Drs. H. Hamid Farhi, MA
DaftarPustaka : Tahun 1958 s.d 2015
KATA PENGANTAR
بسم اللھ الرحمن الرحیم
Dengan mengucapkan paja dan puji syukur kepada Allah SWT, yang telah
memberikan taufiq dan hidayah selalu merahmati seluruh hamba-Nya dengan kasih
sayang. Shalawat beriringan salam saya haturkan kepada Kanjeng Nabi Muhammad
SAW, keluarga dan para sahabatnya, serta kaum muslimin yang selalu mengikuti
jejaknya hingga akhir zaman.
Selanjutnya penulis menyadari bahwa skripsi ini dapat diselesaikan karena
mendapatkan dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu sebagai ungkapan
rasa hormat yang dalam, penulis menyampaikan terimakasih kepada Bapak/Ibu,
terutama:
1. Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syaarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. H. Abdul Halim, M.Ag. Ketua Program Studi Hukum Keluarga, dan Arip
Puqon, M.A selaku Sekretaris Program Studi Hukum Keluarga yang telah
memberikan motivasi dan dukungan kepada penulis dalam menyelesaikan
skripsi ini.
3. Drs. H. Hamid Farihi, M.A. Dosen pembimbing skripsi yang telah sabar
membimbing penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.
4. Dr. Ahmad Tholabi Karlie, M.A. Dosen pembimbing akademik dan seluruh
dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.tidak
lupa juga kepada staf perpustakaan dan karyawan.
5. Kedua orang tua Apa H. Hafiz dan Umi Hj. Sri Mulyati,yang selalu
memberikan doa, pengorbanan dan dorongan motivasi terbeser dalam
penulisan skripsi ini, “allahummagfirlii waliwalidayya warhamhuma kama
rabbayani sogiro”. Aa, teteh, dan adik serta saudara-saudaraku yang selalu
memeberikan dukungan dalam menyelesaikan skripsi ini.
6. Para Kyai dan Keluarga Besar Buntet Pesantren Cirebon, terutama keluarga
besar KH Arsyad dan KH Anis Manshur, Kang M. Lutfi Yusuf, KH Ade
Nasihul Umam, KH Salman Al Farisi yang telah bersedia membimbing dan
membantu penulis dalam penulisan skripsi ini.
7. Seluruh sahabat Administrasi Keperdataan Islam Hukum Keluraga angkatan
2011, yang telah memberikan semangat dan membenatu dalam penulisan
skripsi ini.
8. Kelurga Besar Forum Silaturahim Buntet Pesantren Cirebon (FORSILA BPC)
Jakarta Raya, yang telah berbagi ilmu dan pengalaman yang tidak ternilai, dan
selalu memeberikan dukungan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi
ini.
9. Kelurga Besar Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Komisariat
Fakultas Syariah dan Hukum, yang telah menjadikan penulis mahasiswa yang
aktivis dan akademis, dan telah bebabagi ilmu yang tak ternilai, hingga
penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini.
10. Keluarga Besar Komunitas Fotografi Ponsel (KOFIPON) dan Rumpak Sinang
Bicycle Community (Rumbicy) yang selalu mendukung penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini.
11. Untuk sahabat, orang yang selalu memberikan dukungan Anisa Tiasari,
Yayah Sa’diyah, Vivin Zuhrotunnisa, Syifa Dzihni Hafidzah dan sahabatku
yang lainnya yang tidak dapat aku sebutkan satu persatu.
12. Seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, namun telah
memberikan kontribusi yang cukup besar dalam penyusunan skripsi ini.
Penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat dan dapat digunakan sebagai
rujukan penyusunan skripsi lainnya di masa mendatang. Penulis pun sangat
menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan karena itu penulis
mengharapkan kritik dan saran demi kesempurnaan skripsi ini selanjutnya.
Ciputat, 15 Oktober 2015
Penulis
DAFTAR ISI
PERSETUJUAN PEMBIMBING ......................................................................... i LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI .................................................................. ii LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................... iii ABSTRAK .............................................................................................................. iv KATA PENGANTAR ............................................................................................ v DAFTAR ISI .......................................................................................................... viii BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ....................................................................... 1 B. Batasan dan Perumusan Masalah .......................................................... 8 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................................. 8 D. Metode Penelitian ................................................................................ 9 E. Kerangka Teori .................................................................................... 11 F. Review Studi Terdahulu ....................................................................... 12 G. Sistematika Penulisan ........................................................................... 14
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN DAN PERJODOHAN A. Perkawinan .......................................................................................... 16 B. Jenis-jenis Wali dan Peran Wali dalam Perkawinan .............................. 25 C. Peran Wali dan Persetujuan Mempelai Perempuan dalam Hukum
Islam Indonesia .................................................................................... 34
BAB III GAMBARAN UMUM PONDOK PESANTREN A. Pondok Pesantren ................................................................................. 36 B. Kyai ..................................................................................................... 40 C. Sejarah dan Tradisi ............................................................................... 44 D. Kondisi Obyektif Pondok Buntet Pesantren Cirebon ............................ 46
BAB IV TRADISI PERJODOHAN DAN PERSEPSI SOSIAL KEAGAMAAN A. Pandangan Kyai Buntet Pesantren Tentang Perjodohan ........................ 52 B. Perjodohan Menurut Hukum Islam ....................................................... 55 C. Analisis Penulis .................................................................................... 58
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan .......................................................................................... 63 B. Saran .................................................................................................... 64
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 65 LAMPIRAN ............................................................................................................. 69
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkawinan merupakan suatu ketentuan dari ketentuan-ketantuan
Allah di dalam menjadikan dan menciptakan alam ini. Perkawinan bersifat
umum, menyeluruh, berlaku tanpa kecuali baik bagi manusia, hewan, dan
tumbuh-tumbuhan.1 Akan tetapi Allah tidak menjadikan manusia seperti
makhluk lainnya, yang hidup bebas mengikuti naluri dan hawa nafsunya,
serta berhubungan antara jantan dan betina tanpa adanya aturan. Untuk
menjaga kehormatan dan martabat manusia, Allah SWT menciptakan
hukum sesuai dengan martabat tersebut, dan Islam menjadikan pernikahan
untuk memformat kasih sayang di antara mereka dalam membangun
rumah tangga yang baik dan sah menurut agama.
Salah satu dasar terpenting membangun rumah tangga adalah cinta.
Cinta merupakan keadaan ketertarikan kepada seseorang kepada seorang
lainnya, yang bersamanya ia merasakan kesatuan emosianal dan spiritual.
Inilah adanya persahabatan antara laki-laki dan perempuan yang saling
mencintai berubah menjadi keadaan jasadi setelah sebelumnya berupa
keadaan rasional dan spiritual.2
1 Abdul Qadir Djaelani, Keluarga Sakinah, (Surabaya : Bina Ilmu. 1995), hlm. 41
2 Sayyid Muhammad Husain Fadlullah, Dunia Wanita dalam Islam, alih bahasa. Muhammad Abdul Qodir Al-Kaf, (Jakarta: Lemtara Basritama. 2000), hlm. 143
2
Dari perkawinan akan timbul hubungan suami isteri dan kemudian
hubungan antara orang tua dengan anak-anaknya. Timbul pula hubungan
kekeluargaan sedarah dan semenda. Oleh karena itu perkawinan
mempunyai pengaruh yang sangat luas, baik dalam hubungan
kekeluargaan pada khususnya, maupun dalam kehidupan bermasyarakat
dan bernegara pada umumnya, karena perkawinan merupakan titik awal
pembentukan keluarga, dan keluarga merupakan suatu unit terkecil dari
suatu bangsa.3
Perkawinan menurut syara’ adalah akad yang menimbulkan
kebolehan bergaul antara laki-laki dan perempuan dalam tuntutan naluri
kemanusian dalam kehidupan, dan menjadikan untuk kedua pihak secara
timbal balik hak-hak dan kewajiban-kewajiban (Dr. Ahmad Ghandur, al-
Ahwal al-Syakhsiyah fi al-Tasyri’ al-Islamiy).4 Sedangkan perkawinan
menurut Undang-Undang No. 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan pada
pasal 1 dijelaskan bahwa: “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara
seorang pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa”.5 Dan dalam Kompilasi Hukum Islam Tentang Dasar-
Dasar Perkawinan pada pasal 2 dijelaskan bahwa: “Perkawinan menurut
3 Mona Eliza, Pelanggaran Terhadapa UU Perkawinan dan Akibat Hukumnya, (Tangerang
Selatan: Adelina Bersaudara. 2009), hlm. 2
4 Amir Syarifudin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan. (Jakarta: Prenada Media. 2009), hlm. 39
5Undang-Undang No. 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan pada pasal 1.
3
hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau
miitsaaqon gholiidhan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya
merupakan ibadah.
Apabila seorang laki-laki dan seorang perempuan telah sepakat
satu sama lain untuk melakukan suatu perkawinan, berarti mereka telah
berjanji akan taat kepada peraturan hukum yang berlaku. Dan untuk
menghentikan suatu perkawinan, mereka tidak secara leluasa dapat
menghentikannya sendiri, melainkan terikat juga pada aturan hukum yang
berlaku.
Perkawinan dilakukan atas prinsip:
1. Kerelaan (al-taraadhi), bahwa melangsungkan sebuah perkawinan
tidak boleh ada unsur paksaan, baik secara fisik maupun psikis dari
pihak calon suami dan calon istri.
2. Kesetaraan (al-musaawah), bahwa sebuah perkawinan tidak boleh
muncul diskriminasi dan subordinasi di antara pihak karena merasa
dirinya memiliki suporioritas yang lebih kuat dalam mengambil sebuah
kebijakan, yang akibatnya merugikan pihak lain. Melainkan
perkawinan adalah sebuah hubungan kemitrasejajaran antara suami,
istri, dan anak-anak yang dilahirkan.
3. Keadilan (al-adaalah), bahwa menjalin sebuah kehidupan rumah
tangga diperlukan adanya kesepahaman bahwa antara suami dan istri
sama-sama mempunyai hak dan kewajiban yang sama dan setara.
4
4. Kemaslahatan (al-maslahat), bahwa dalam menjalankan sebuah
perkawinan yang dituntut adalah bagaimana mewujudkan sebuah
keluarga sakinah, mawaddah warahmah, yang dapat membawa
implikasi positif di lingkungan masyarakat yang lebih luas.
5. Pluralisme (al-ta’addudiyyah), bahwa perkawinan dapat
dilangsungkan tanpa adanya perbedaan status sosial, budaya dan
agama, selama hal itu dapat mewujudkan sebuah keluarga yang
bahagia, sejahtera, dan aman baik lahir maupun batin.
6. Demokratis (al-diimuqrathiyyah), bahwa sebuah perkawinan dapat
berjalanan dengan baik sesuai dengan fungsi-fungsinya, apabila pihak-
pihak memahami dengan baik hak dan kewajibannya dalam keluarga.6
Melihat beberapa prinsip perkawinan di atas, penulis tidak sepakat
dengan prinsip ke lima, yaitu prinsip pluralisme, karena dalam perkawinan
sekufu’ (setara) menjadi alasan terpenting.
Di tengah-tengah masyarakat, sikap berhati-hati dalam
mempertimbangkan berbagai faktor yang terkait dengan pelaksanaan
pernikahan adalah wajar, karena pernikahan diharapakan akan berjalan
dengan baik dan langgeng seumur hidup. Pertimbangan yang dilakukan
oleh masyarakat Indonesia meliputi tiga kriteri dan dikenal dengan nama
bobot bibit bebet.
6 Muhammad Zain dan Mukhtar Al ashodiq, Membangun Keluarga Humanis (Jakarta:
Grahacipta, 2005), hlm.25-26
5
Bahkan, dalam komunitas Islam tradisional pesantren (Jawa) pada
umumnya, untuk menentukan pilihan siapa calon suami atau istri bagi
anaknya mendapat perhatian yang matang dari keluarga. Hal ini bukan
hanya menyangkut idealisme dalam memilih pasangan hidup semata,
melainkan juga menyangkut rasa tanggung jawab7 terhadap keluarga,
karena calon menantu adalah calon anggota baru.
Untuk itu, dalam menentukan jodoh biasanya orang tua sangat
berperan penting dan anaknya akan mengikuti pilihan orang tuanya,
bahkan pada pondok pesantren salaf (khususnya), penjodohan di kalangan
keluarga kyai atau santri seolah telah menjadi tradisi di kalangan mereka
hingga saat ini. Namun secara sosiologis, kelompok kyai tidak dapat
terbuka secara lugas dalam masalah ini karena kuatnya prinsip mereka
terhadap prinsip perkawinan endogamous.8
Walaupun sebagian keluarga kyai atau santri sudah mulai
meninggalkannya, namun jika ditelusuri ke lapangan kenyataannya kita
akan menemukan kesulitan untuk mengetahuinya secara terang-terangan,
dikarenakan ketertutupan dari pihak keluarga, hal tersebut masih ada.
Fenomena proses pemilihan jodoh ini sangat dipengaruhi oleh berbagai
kepentingan, salah satunya kepentingan orang tua dan keluarga, karena
7 Abdurrahman Wahid, Bunga Rampai Pesantren (Jakarta: Dharma Bakti, 1958), hlm, 14-
15
8Endogamous (endogami) adalah perkawinan campuran dalam lingkungan kekerabatan sendiri. lihat Kamus ilmiah popular lengkap.
6
mereka beranggapan bahwa penentuan jodoh adalah hak meraka, sehingga
mengenyampingkan kepentingan si anak.
Hal ini seperti yang terjadi pada masyakat pesantren di lingkungan
Pondok Buntet Pesantren, di Desa Mertapada Kulon Kecamatan
Astanajapura Kabupaten Cirebon. Pesantren ini adalah pondokan salaf,
yang mana santrinya lebih dikhususkan mengkaji kitab kuning. Buntet
Pesantren adalah sebuah nama desa dan di dalamnya terdapat puluhan
pondok pesantren atau masyarakat setempat biasanya menggunakan istilah
asrama, Buntet Pesantren memiliki kurang lebih 40 asrama dan kyai,
semuanya dalam satu keluarga dari keturunan sang pendiri yaitu Kiai
Muqoyyim. Santri keseluruhan di Buntet Pesantren mencapai 1.000 lebih
santri dari berbagai daerah di Indonesia. Alumni dari pondok Buntet
Pesantren sudah tersebar di seluruh penjuru dan telah menjadi ulama di
kampung halamannya masing-masing, selain itu ada pula yang aktif di
pemerintahan dari mulai tingakatan paling bawah sampai tingkatan
menteri.
Penulis memilih Pondok Buntet Pesantren sebagai objek penelitian
karena perjodohan sudah menjadi tradisi dalam lingkungan keluarga kyai
Buntet Pesantren. Disamping itu keluarga Buntet Pesantren memiliki
puluhan kyai dan semuanya masih memiliki hubungan keluarga.
Perjodohan di Buntet Pesantren adalah sesama keluarga terdekatnya atau
sesama keluarga keturunan kyai Buntet Pesantren.
7
Dalam proses perjodohan dalam keluarga kyai Buntet Pesantren
adalah saling menjodohkan putra putrinya dengan keluarga terdekatnya,
seperti perkawinan antara misanan atau antara nak-sanak. Perkawinan di
Buntet Pesantren tidak hanya dengan keluarga terdekat saja, namun ada
juga perjodohan dengan sesama garis keturunan kyai Buntet Pesantren.
Dalam hal ini, semua yang menentukan adalah keluarga besar dan
si anak yang akan dijodohkan tidak mengetahuinya, anak tidak diberi
kesempatan untuk memberikan pendapatnya, apakah ia mau menerima
perjodohan ini atau tidak. Jika keluarga besar sudah sama-sama saling
setuju, maka anak tidak dapat menolak. Di sini, anak sama sekali tidak
mempunyai hak untuk menentukan pilhannya sendiri, sehingga ada
keterpaksaan di dalam menjalankan kehidupan berumah tangga.
Meski demikian perjodohan di lingkungan pesantren pada dasarnya
dilandasi rasa tanggung jawab yang besar seorang ayah terhadap anak agar
terjaga diri dan keluarganya.9
Hukum Islam di Indonesia menentukan salah satu syarat
perkawinan adalah persetujuan calon mempelai (Pasal 16 ayat (1) (2) Pasal
17 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam). Karena suatu ikatan pernikahan
harus berdasarkan atas kerelaan kedua belah pihak, tanpa adanya paksaan.
Agar tujuan dari pernikahan yaitu terciptanya keluarga sakinah,
mawadaah, wa rahmah.
9Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren.(Jakarta: LP3S. 2011) hlm 121
8
Berangkat dari uraian tersebut di atas, penyusun merasa perlu
untuk mengadakan penelitian lebih lanjut. Bagaimana praktik perjodohan
yang terjadi pada masyarakat pesantren di Pondok Buntet Pesantren. Maka
penulis membuat skripsi dengan judul “Tradisi Perjodohan dalam
Komunitas Pesantren” (Studi Pada Keluarga Kyai Pondok Buntet
Pesantren Cirebon).
B. Batasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Sesuai dengan latar belakang yang telah dipaparkan di atas dan
untuk mempertajam pembahasan maka penulis akan membatasi
masalah tentang tradisi perjodohan dalam komunitas pesantren
pada masyarakat Pondok Buntet Pesantren Cirebon.
2. Perumusan Masalah
Untuk mengetahui tradisi perjodohan komunitas pesantren pada
masyakarat Pondok Buntet Pesantren Cirebon, berdasarkan
uraian pada latar belakang masalah di atas, dapat dirumuskan
pada fokus-fokus permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana peran Kyai dalam menentukan perjodohan pada
keluarga Pondok Buntet Pesantren Cirebon?
2. Bagaimana tradisi perjodohan dalam komunitas pesantren
pada keluarga Kyai Pondok Buntet Pesantren Cirebon?
3. Bagaimana hukumnya perjodohan dalam pandangan hukum
positif di Indonesia dan hukum Islam?
9
C. Tujuan dan Manfaaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Dalam penyusunan skripsi ini penulis mempunyai tujuan
sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui alasan penyebab terjadi perjodohan
dalam komunitas pesantren pada masyakarat Pondok
Buntet Pesantren Cirebon.
2. Untuk mengetahui tradisi perjodohan dalam komunitas
pesantren, khususnya tradisi perjodohan pada keluarga
Kyai Pondok Buntet Pesantren Cirebon.
3. Untuk mengetahui hukum Islam dan Hukum Positif tentang
tradisi perjodohan dalam komunitas pesantren, khususnya
Pondok Buntet Pesantren.
2. Manfaat Penelitian
1. Secara Akademis. Mengaplikasikan disiplin ilmu sesuai
dengan program studi penulis, tambahan referensi guna
penelitian lanjutan serta kontribusi untuk data
perpustakaan.
2. Secara Praktis, kontribusi hasanah bagi masyarakat Islam
dan golongan education pada umumnya. Lebih khusus
terhadap lembaga-lembaga yang menangani masalah
perkawinan agar lebih merujuk pada aturan-aturan yang
ditetapkan.
10
D. Metode Penelitian
Untuk terciptanya sasaran yang menjadi tujuan penulis, skripsi ini
maka digunakan dua metode:
1. Riset Kepustakaan (Library reseach)
Yaitu dengan cara mengumpulkan dan membaca bahan-bahan dar
buku, artikel, majalah, dan bahan informasi lainnya yang berhubungan
dengan masalah yang dibahas.10
2. Riset Lapangan (Field Reseach)
Riset lapangan adalah mengadakan penelitain secara langsung di
Buntet Pesantren Cirebon. Mengingat kajian ini bersifat ilmiah dan
dituangkan dalam bentuk skripsi, penulis berusaha mendapatkan data yang
akuratdan bukti-bukti yang benar. Untuk itu penulis mengguakan jenis
penelitian kualitatif dengan pendekatan secara sosiologis (empiris) yaitu
dengan melihat secara langsung kehidupan keluarga Kyai Pondok Buntet
Pesantren, yang melakukan tradisi perjodohan. Metode yang digunakan
dalam penelitian ini adalah metode Deskriptif yaitu penelitian atau
penyelidikan yang bertujuan pada pemecahan masalah yang ada pada
tradisi perjodohan dalam keluarga Kyai Pondok Buntet Pesantren.
Sumber penelitian yang digunakan penulis yaitu :
a) Data Primer, yaitu data yang dikumpulkan sendiri oleh
perorangan/suatu organisasi secara langsung melalui objeknya. Pada
10 Yayan sopyan, Metode Penelitian, Jakarta, 2009
11
skripsi ini penulis mewawancari para Kyai Buntet Pesantren dan
kelurga Kyai Buntet Pesantren.
b) Data Skunder, yaitu data yang diperoleh dengan cara membandingkan
atas dokumen-dokumen yang berhubungan dengan masalah yang
diajukan, dokumen-dokumen yang dimaksud adalah Al-Qur’an, Hadis,
buku-buku ilmiyah, Undang-Undang Perkawinan, Kopilasi Hukum
Islam (KHI), serta peraturan-peraturan lainnya yang erat kaitannya
dengan masalah ini.
Teknik pengumpulan data yang digunakan penelitian adalah:
a) Observasi, yaitu mengadakan pengamatan terhadap objek penelitian
terutama tentang terjadinya tradisi perjodohan di kelurga Kyai
Buntet Pesantren.
b) Wawancara, yaitu suatu percakapan yang diarahkan pada suatu
masalah tertentu, maksudnya ada proses tanya jawab antara peneliti
dan objek yang diteliti dengan tujuan mengumpulkan keterangan-
keterangan dari responden.
Mengenai teknik penulisan, penulis menggunakan buku pedoman
penulisan skripsi Fakultas Sayriah dan Hukum UIN Sayrif Hidayatullah
Jakarta 2012.
E. Kerangka Teori
Pernikahan adalah suatu wujud sosialitas budaya manusia. Dalam
lembaga pernikahan, dua individu dipertemukan, diikat, dan mendapatkan
wadah untuk saling mewujudkan impian dan idealismenya. Pernikahan
12
menjadi awal dan cikal bakal terbentuknya unit komunitas terkecil dalam
masyarakat, yakni keluarga, yang akan menjalankan fungsinya dalam
struktur dan tatanan masyarakat yang lebih luas. Menurut
Koentjaraningrat, pernikahan dapat diperinci ke dalam pelamaran, upacara
pernikahan, perayaan, mas kawin, harta pembawaan pengantin wanita,
adat menetap sesudah menikah, poligami, poliandri, perceraian, dan lain
sebagainya. Semua hal tersebut berada dalam usaha perincian untuk
memerinci kompleks budaya dan kompleks sosial ke dalam tema budaya
dan pola sosial.11
Lelaki dan perempuan mempunyai hak yang sama dalam memilih
jodoh untuk menentukan siapa yang akan menjadi pedamping hidupnya.
Oleh karena itu agama islam memberikan tuntunan dalam menentukan
pilihan.
Namun dalam kehidupan saat ini, intervensi keluarga dalam
menentukan jodoh sering kita jumpai, terutama dalam kalangan keluarga
pesantren.Dengan tujuan agar tetap terjaganya sanadnya (keturunan).
Intervensi keluarga dalam menentukan jodoh mengabaikan hak perempuan
untuk memilih jodohnya. Selain itu, kontradiktif dengan hukum Islam di
Indonesia yang mentukan salah satu syarat perkawinan adalah persetujuan
calon mempelai (Pasal 16 ayat (1) (2) Pasal 17 ayat (2) Kompilasi Hukum
Islam).
11 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi (Jakarta: Rineka Cipta, 2009), hlm.168.
13
F. Review Studi Terdahulu
Untuk memudahkan dan meyakinkan pembaca bahwa penulis tidak
melakukan plagiasi atau duplikasi maka penulis menjabarkan review studi
terdahulu dalam bentuk table berikut ini:
No Identitas Subtansi Pembeda
1 Ahmaditus Farida, (2010) Al-Ahwal Asy-Syakhsyiyah, Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Dengan skripsinya yang berjudul “Dinjauan Hukum Islam terhadap Penjodohan Anak di Keluarga Kyai di Pondok Pesantren Al Miftah Desa Kauman Kecamatan Naggulan Kabupaten Kulon Progo”
Dalam skripsi ini, Ahamaditus Farida mengulas tentang tinjauan hukum Islam terhadap penjodohan anak di keluarga Kyai di pondok pesantren Al Miftah saja, dan lebih menitik beratkan tentang hak anak dalam menentukan pasangan hidup.
Sedangkan dalam skripsi saya lebih menjelaskan tentang tradisi perjodohan di dalam komunitas pesantren di pondok Buntet Pesantren Cirebon, dan menitik beratkan kepada dampak dari perjodohan tersebut.
2 Dita Sundawa Putri, (2013) Al-Ahwal Asy-Syakhsyiyah, Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Dengan skripsinya “Tinjauan Hukum Islam terhadap praktik kawin paksa karena adanya hak ijbar wali. Studi kasus pada dua pasangan keluarga di Kota Gede Yogyakarta”.
Dalam skripsi ini, Dita Sundawa Putri menjelaskan tentang tinjauan hukum Islam terhadap kawin paksa atas adanya hak ijbar wali, dan lebih menitik beratkan hak anak yang telah dipaksakan untuk menikah dengan alasan adanya hak
Sedangkan dalam skripsi saya lebih menjelaskan tentang tradisi perjodohan pada komunitas pesantren, dan lebih menitik beratkan terhadap
Dampak dari perjodohan tersebut.
14
ijbar pada wali.
3 Zamakhsyari Dhofier, (1982) LP3S, Jakarta. Terjemahan dari disertasinya yang berjudul “Tradisi Pesantren studi tentang Pandangan Hidup Kyai”.
Dalam disertasi ini, Zamakhsyari Dhofier menjelaskan tradisi pesantren dengan pusat kajiannya pada peranan kyai dalam upaya memelihara dan mengembangkan faham Islam di Jawa.
Sedangkan dalam skripsi saya, saya menjelaskan tradisi perjodohan dalam komunitas pesantren, khususnya tradisi perjodohan yang dilakukan oleh keluarga kyai pondok Buntet Pesantren.
G. Sistematika Penulisan
Dalam penulisan skripsi ini penulis akan memberikan gambaran
mengenai hal apa saja yang akan dilakukan maka secara garis besar
gambaran tersebut dapat dilihat melalui sistematika skripsi berikut ini:
BAB KESATU berisi, Pendahuluan yang akan memberikan
gambaran umum dan menyeluruh tentang skripsi ini dengan menguraikan
tentang Latar Belakang Masalah, Pembatasan dan Perumusan Masalah,
Tujuan dan Manfaat Penelitian, Metode Penelitian, Kerangka Teori,
Riview Studi Terdahulu dan Sistematika Penulisan.
BAB KEDUA berisi, memuat ketentuan umum perkawinan.
Berbicara perjodohan maka berbicara tentang perkawinan, maka penulis
merasa penting membahas tentang perkawinan secara umum, dan
menjelaskan pengertian dan peran wali dalam perkawinan.
15
BAB KETIGA berisi, memuat tentang pengertian pondok
pesantren, menjelaskan Kyai dan peranannya pada masyarakat, dan
menjelaskan sejarah dan tradisi perjodohan yang berkembang dalam
komunitas pesantren.
BAB KEEMPAT berisi, menjelasakan kondisi obyektif Buntet
Pesantren Cirebon dan menjelaskan hasil analisa terhadap tradisi
perjodohan dalam keluarga kyai Buntet Pesantren, yang meliputi: dari segi
rukun dan syarat nikah, dalam hal ini penulis menjelaskan syarat dan
rukun nikah dan bagaimana aplikasinya terhadap perjodohan dalam
keluarga pesantren. Serta uraian hasil wawancara penulis dengan para kyai
pondok Buntet Pesantren.
BAB KELIMA berisi, Penutup, Kesimpulan, dan Saran-saran.
16
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN DAN PERJODOHAN
A. Perkawinan
1. Pengertian dan Tujuan Perkawinan
Dalam kamus al-Munawwir kamus Arab-Indonesia kata nikah
( حنكا ) berasal dari kata نكحا -ینكح –نكح yang artinya mengawini.
Sedangkan zawaj (زواج) berasal dari kata تزویجا –یزوج –زوج yang artinya
mengawinkan, mencampuri, menemani, mempergauli, menyertai dan
memperistri.1
Perkataan nikah itu dalam bahasa Arab mepunyai arti hakiki dan
majazi. Arti hakikatnya ialah “menghimpit, menindih atau berkumpul” dan
arti majzinya ialah “setubuh atau akad”2.
Dalam bahasa Indonesai kata nikah diartikan “kawin” yaitu
membentuk keluarga dengan lawan jenis, melakukan hubungan kelamin
atau setubuh.3
Definisi nikah menurut syara’ adalah melakukan akad (perjanjian)
antara calon suami dan istri agar dihalalkan melakukan “pergaulan”
1 Ahamad Warson Munawwir, Al-Munawwir Kamus Bahasa Arab-Indonesia, (Yogyajarta:
Pondok Pesantren Al-Munawwir Krapyak, 1984), h. 1560. 2 Kamal Mukhtar, Azas-azas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta, Bulan Bintang,
1974), h. 11. 3 Departemen Dinas Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,
1994), cet III, h. 456.
17
sebagaimana suami istri dengan mengikuti norma, nilai-nilai sosial dan
etika agama.4
Kata nakaha dan zawaj inilah yang dipakai dalam kehidupan
sehari-hari orang Arab dan banyak terdapat dalam al-Qur’an dan hadist
Nabi. Kata nakaha banyak terdapat dalam al-Qur’an dengan arti kawin
dalam QS. An-Nisa (4) : 3.
لكم من النساء مثنى وإن خفتم أال تقسطوا في الیتامى فانكحوا ما طاب
وثالث ورباع فإن خفتم أال تعدلوا فواحدة أو ما ملكت أیمانكم ذلك أدنى أال
) 3:النساء(ا تعولو
Artinya: Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (Q.S. An-Nisa:3)
Kata zawaja dalam al-Qur’an terdapat pada QS. Al-Ahzab (33) :
37.
وإذ تقول للذي أنعم اللھ علیھ وأنعمت علیھ أمسك علیك زوجك واتق اللھ
في نفسك ما اللھ مبدیھ وتخشى الناس واللھ أحق أن تخشاه فلما وتخفي
قضى زید منھا وطرا زوجناكھا لكي ال یكون على المؤمنین حرج في
)37:االحجب( اأمر اللھ مفعول أزواج أدعیائھم إذا قضوا منھن وطرا وكان
4 Muhammad Asmawi, Nikah Dalam Perbincangan dan Perbedaan, (Yogyakarta:
Darussalam, 2004), cet.I, h. 17
18
Artinya:Dan (ingatlah), ketika kamu berkata kepada orang yang Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya dan kamu (juga) telah memberi nikmat kepadanya: "Tahanlah terus istrimu dan bertakwalah kepada Allah", sedang kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah-lah yang lebih berhak untuk kamu takuti. Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) istri-istri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya daripada istrinya. Dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi.(Q.S. Al-Ahzab (33):37).
Para ulama fiqh sependapat bahwa nikah itu adalah akad yang
diatur oleh agama untuk memberikan kepada pria hak memiliki
penggunaan terhadap faraj (kemaluan) wanita dan seluruh tubuhnya
penikmatan sebagai tujuan primer.5
Sedangkan Definisi Perkawinan menurut Undang-undang no 1
tahun 1974 tentang perkawinan. Perkawinan adalah ikatan lahir batin
antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan
membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.6 Dan perkawinan menurut
Kompilasi Hukum Islam adalah Perkawinan menurut hukun Islam adalah
pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitssaqan ghalidzan untuk
mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.7
Menurut hemat penulis dari definisi di atas dapat disimpulkan
bahwa perkawinan merupakan langkah awal umat manusia untuk
5 Hartono Ahmad Jaiz, Wanita Antara Jodoh, Poligami, dan Perselingkuhan (Jakarta:
Pustaka AL-Kautsar, 2007), h.80 6 Undang-Undang no 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 1 7 Kompilasi Hukum Islam Pasal 2
19
mempertahankan eksistensinya dalam kehidupan dan berumah tangga
dengan tujuan terciptanya rumah tangga yang sakinah, mawadaah wa
rahmah.
2. Rukun dan Syarat Perkawinan
Pernikahan yang di dalamnya terdapat akad, layaknya akad-akad
lain yang memerlukan adanya persetujuan kedua belah pihak yang
mengadakan akad. Adapun rukun nikah adalah:
1) Mempelai laki-laki
2) Mempelai perempuan
3) Wali
4) Dua orang saksi
5) Shigat ijab kabul8
Ijab yaitu ucapan wali (dari pihak perempuan) atau wakilnya
sebagai penyerahan kepada pihak pengantin laki-laki.
Qabul yaitu ucapan pengantin laki-laki atau wakilnya sebagai tanda
penerimaan.
Dari lima rukun nikah tersebut yang paling penting ialah Ijab
Kabul antara yang mengadakan dengan yang menerima akad sedangkan
yang dimaksud dengan syarat perkawinan ialah syarat yang bertalian
dengan rukun-rukun pernikahan, yaitu syarat-syarat bagi calon mempelai,
wali, saksi, dan ijab kabul.
8Sobari Sahrani dan M.A. Tihami, Fikih Munakahat, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada,
2009), h. 12.
20
Syarat-syarat calon mempelai pria adalah
1) Beragama Islam
2) Laki-laki
3) Jelas orangnya
4) Dapat memberikan persetujuan
5) Tidak terdapat halangan perkawinan
Syarat-syarat calon mempelai wanita adalah
1) Beragama Islam
2) Perempuan
3) Jelas orangnya
4) Dapat dimintai persetujuan
5) Tidak terdapat halangan perkawinan
Selain beberapa persyaratan di atas, calon mempelai pun dalam
hukum perkawinan Islam di Indonesia menentukan salah satu syarat, yaitu
persetujuan calon mempelai.9
3. Dasar Hukum Perkawinan
Perkawinan atau pernikahan itu adalah sunnatullah artinya perintah
Allah dan Rasulnya, tidak hanya semata-mata keinginan manusia atau
9 Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: PT Sinar Grafika, 2009), h.
12-13.
21
hawa nafsunya saja karenanya seseorang yang telah berumah tangga
berarti ia telah mengerjakan sebagian dari syariat (aturan) Agama Islam.10
Nikah dalam Islam sebagai landasan pokok dalam pembentukan
keluarga. Nikah harus dilakukan manusia untuk mencapai tujuan syari’at
yakni kemaslahatan dalam kehidupan.11
Oleh karenanya nikah disyariatkan berdasarkan dalil al-Qur’an dan
al-Hadist, adapun ayat yang menunjukkan syariat nikah adalah Firman
Allah SWT dalam QS. An-Nisa (4) : 3.
وإن خفتم أال تقسطوا في الیتامى فانكحوا ما طاب لكم من النساء
مثنى وثالث ورباع فإن خفتم أال تعدلوا فواحدة أو ما ملكت أیمانكم ذلك
)3:النساء( أال تعولواأدنى
Artinya: Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (Q.S. An-Nisa:3).
Dan Hadis Nabi Muhammad SAW :
عن عبد اللھ بن مسعود رضي اهللا عنھ قال لنا رسول اللھ صلى اهللا
فإنھ , من استطاع منكم الباءة فلیتزوج ! لشباب یا معشر ا( علیھ وسلم
10 Sidi Nazar Bakri, Kunci Keutamaan RUmah Tangga (Keluarga Yang Sakinah), (Jakarta:
CV.Pedoman Ilmu Jaya, 1993), h.3 11 Basiq Djalil, Tebaran Pemikiran Keislaman Di Tanah Gayo, (Jakarta: Qolbun Salim,
2007), h.86
22
فإنھ لھ ; ومن لم یستطع فعلیھ بالصوم , وأحصن للفرج , أغض للبصر
12متفق علیھ) وجاء
Abdullah Ibnu Mas'ud Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda pada kami: "Wahai generasi muda, barangsiapa di antara kamu telah mampu berkeluarga hendaknya ia kawin, karena ia dapat menundukkan pandangan dan memelihara kemaluan. Barangsiapa belum mampu hendaknya berpuasa, sebab ia dapat mengendalikanmu." Muttafaq Alaihi.
Dari ayat dan hadits tersebut dapat diambil pengertian bahwa;
pernikahan atau perkawinan adalah perintah Allah dan Rasulnya (aturan
agama islam) disebut juga dengan Sunatullah. Perkawinan adalah sesuatu
yang dasarnya suci dan mulia pada sisi Allah maupun pada sisi manusia,
karena itu seseorang yang telah berumah tangga hendaklah menghargai
dan memuliakan perkawinannya.13
Hukum melakukan perkawinan adalah ibahah atau kebolehan atau
halal. Tetapi berdasarkan kepada perobahan situasi dan kondisinya, hukum
melakukan perkawinan itu dapat beralih menjadi sunnah, wajib, makruh
dan haram.
Ulama Syafi’iyah menyatakan hukum perkawinan itu melihat
keadaan orang-orang tertentu, sebagai berikut:
a. Sunnah bagi orang-orang yang telah berkeinginan untuk kawin,
telah pantas untuk kawin dan dia telah mempunyai
perlengkapan untuk melangsungkan perkawinan.
12 Ibnu Hajar al-Asqolani, Bulughul Maram, (Harramain), h. 207 13 Sidi Nazar Bakri, Op.Cit. h.5
23
b. Makruh bagi orang-orang yang belum pantas kawin, belum
berkeinginan kawin, sedangkan perbekalan untuk perkawinan
juga belum ada. Begitu pula ia telah mempunyai perlengkapan
untuk perkawinan, namun fisiknya mengalami cacat, seperti
impoten, berpenyakitan, tua bangka, dan kekurangan fisik
lainnya (al-Mahalliy, 206).14
Ulama Hanafiyah menambahkan hukum perkawinan secara khusus
bagi keadaan dan orang tertentu sebagai berikut.
a. Wajib bagi orang-orang yang telah pantas untuk kawin,
berkeinginan untuk kawin dan memiliki perlengkapan untuk
kawin; ia takut akan terjerumus zina kalau tidak kawin.
b. Makruh bagi orang yang pada dasarnya mampu melakukan
perkawinan namun ia merasa akan berbuat curang dalam
perkwinannya itu. (Ibn Humam III, 187).
Sedangkan menurut undang-undang no 1 tahun 1974 tentang
perkawinan Pasal 2 ayat (1) dan (2) “Perkawinan adalah sah apabila
dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu.
Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku”.15
14 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Antara Fiqh Munakahat dan
Undang-Undang Perkawinan (Jakarta: Kencana, 2009), cet. III h.45-46 15 UU no 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 2
24
4. Tujuan Perkawinan
Perkawinan mempunyai tujuan antara lain ialah:
1. Menta’ati Perintah Allah SWT, dan mengikuti jejak nabi-nabi
dan Rasul-Nya terutama sunnah Rasulullah Muhammad SAW.,
karena hidup beristeri, berumah tangga dan berkeluarga
termasuk sunnah beliau.
2. Melanjutkan keturunan yang merupakan pewaris kehidupan dan
penyambung cita-cita, membentuk keluarga dan umat yang
diridhai oleh Allah SWT.
3. Mempererat dan memperkokoh tali kekeluargaan dengan rasa
kasih sayang antara keluarga suami dan keluarga isteri sebagai
sarana terwujudnya kehidupan masyarakat yang aman, tentram
dan sejahtera lahir dan batin.
4. Untuk menjaga diri dari perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh
Allah di samping menyalurkan syahwat insaniyah (libido
sexual) secara wajar.
5. Untuk membersihkan keturunan.16
5. Hikmah Perkawinan
Perkawinan merupakan suaru ketentuan-ketentuan dari Allah di
dalam menjadikan dan menciptakan alam ini. Perkawinan bersifat umum,
16 Mona Eliza, Op. Cit., h. 16-20
25
menyeluruh dan berlaku tanpa terkecuali baik bagi manusia, hewan, dan
tumbuh-tumbuhan.17
Perkawinan yang terjadi pada makhluk hidup, baik tumbuhan,
binatang, maupun manusia, adalah untuk keberlangsungan dan
pengembangbiakan makhluk yang bersangkutan.18 Hikmah perkawinan
menurut ajaran Islam adalah untuk memelihara manusia daripada
pekerjaan maksiat, yang membahayakan diri, harta dan pikiran.19
B. Jenis-Jenis Wali dan Peran Wali Dalam Perkawinan
1. Definisi Wali
Secara etimologi wali mempunyai arti pelindung, penolong atau
penguasa.20 Orang yang berhak menikahkan perempuan adalah wali yang
bersangkutan, apabila wali yang bersangkutan sanggup bertindak sebagai
wali.
Dalam literatur fiqh, jenis perwalian terbagi menjadi dua: al
wilayah al-amah (kekuasaan umum) dan al walayah al-khashah
(kekuasaan khusus). Al-walayah al-khashah terdiri atas dua. Pertama,
kekuasaan atas harta (al-walayah ala al-mal), yakni penguasaan atas harta
benda, seperti mengembangkan, memanfaatkan dan menjaga harta benda.
17 Abdul Qadir Djailani, Keluarga sakinah, (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1995), h. 41. 18 Mahmud Al-Shabbagh, Tuntutan Keluarga Bahagia Menurut Islam, (Bandung: PT
Remaja Rosda, 1994),h. 1. 19 Amir taat Nasution, Rahasia Perkawinan Dalam Islam, Tuntutan Keluarga Bahagia,
(Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1994), Cet. III, h. 31. 20 Abdul Mujib dkk, dalam Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat, kajian fikih nikah
lengkap, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2009), h. 89.
26
Kedua, kekuasaan atas jiwa (al-walayah ala al-nafs), yakni penguasaan
atau urusan-urusan personal (syakhsiyyah), seperti mengajar dan kawin.21
Dalam kaitan ini jenis terakhirlah yang dibicarakan dalam pembahasan
perwalian dalam nikah.
Wali ditunjuk berdasarkan skala prioritas secara tertib dimulai dari
orang yang paling berhak, yaitu mereka yang paling akrab, lebih kuat
hubungan darahnya. Jumhur ulama seperti Imam Syafi’I dan Imam Malik,
mengatakan bahwa wali adalah ahli waris dan diambil dari garis ayah
bukan dari ibu.
Susaunan wali yang harus didahulukan menurut Imam Syafi’I
adalah sebagai berikut:
1) Ayah, ayahnya ayah (kakek) dan seterusnya ke atas.
2) Saudara laki-laki yang sekandung (seayah dan seibu).
3) Saudara laki-laki seayah.
4) Anak laki-laki (keponakan) dari saudara laki-laki yang
sekandung.
5) Anka laki-laki (keponakan) dari saudara laki-laki yang seayah,
dan seterusnya sampai ke bawah.
6) Paman yang bersaudara dengan ayah ang sekandung.
7) Paman yang bersaudara dengan ayah seayah.
8) Saudara sepupu atau anak laki-laki dari paman yang bersaudara
dengan ayah yang sekandung.
21 Sayid Sabiq, Fiqh al-Sunah, (t.tp: Dar al-Tsaqafah al-Islamiyah, t.th), JIlid II. h. 82.
27
9) Saudara sepupu atau anak laki-laki dari paman yang bersaudara
dengan ayah yang seayah, dan seterusnya sampai ke bawah.22
Susunan wali yang harus didaulukan menurut Imam Malik adalah
sebagai berikut:
1) Ayah.
2) Al-Washi (orang yang menerima wasiat dari ayah untuk
menjadi wali).
3) Anaknya yang laki-laki, meskipun anak bersangkutan hasil dari
perzinahan.
4) Cucu laki-laki.
5) Saudara laki-laki yang sekandung.
6) Saudara laki-laki yang seayah.
7) Anak laki-laki dari saudara sekandung.
8) Anak laki-laki dari saudara yang seayah.
9) Kakek yang seayah.
10) Paman yang sekandung dengan ayah.
11) Paman yang seayah dengan seayah.
12) Anak laki-laki dari paman yang seayah dengan ayah.
13) Ayah dari kakek.
14) Pamannya ayah.
15) Orang yang mengasuh perempuan yang bersangkutan.
22 Mohammad Asmawi, Nikah Dalam Perbincangan dan Perbedaan, (Yogyakarta:
Darussalam,2004), Cet. I, h. 69-70
28
Susunan wali yang harus didahuluakn menurut Imam Hanafi
adalah sebagai berikut:
1) Anak laki-laki, cucu laki-laki, dan seterusnya sampai ke bawah.
2) Ayah, kakek (ayah dari ayah), dan seterusnya sampai ke atas.
3) Saudara laki-laki yang sekandung.
4) Saudaara laki-laki yang seayah.
5) Anak laki-laki dari saudara laki-laki yang sekandung
6) Anak laki-laki dari saudara laki-laki yang seayah, dan
seterusnya sampai ke bawah.
7) Paman yang bersaudara dengan ayah yang sekandung.
8) Paman yang bersaudara dengan ayah yang seayah.
9) Saudara sepupu atau nak laki-laki dari paman yang bersaudara
dengan ayah yang sekandung, dan seterusnya ke bawah.
Seandainya wali-wali yang disebutkan diatas tidak ada
semuanya, maka yang berhak menjadi wali adalah garis
keturunan perempuan yang sesuai dengan susunanya.
2. Jenis-jenis Wali
Wali memegang peranan penting terhadap keberlangsungan suatu
pernikahan.Menurut Imam Syafi’I dan Imam Malik bahwa keberadaaan
wali adalah termasuk salah satu rukun nikah.Suatu pernikahan tanpa
dihadiri oleh wali dari pihak perempuan adalah tidak sah atau batal.
Sebagaimana yang tercantum dalam hadis Nabi:
29
عن ابى موسى رض عن النبي ص قال: ال نكاح اال بولي (روه
23 .البخاري)
Artinya: “Dari Abu Musa r.a yang berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Tidak sah suatu pernikahan tanpa adanya wali”. (HR. Bukhari).
Adapun wali nikah ada empat jenis, yaitu:
1. Wali Nasab, wali nasab adalah wali nikah karena ada hubungan
nasab dengan wanita yang akan melangsungkan pernikahan.
Adapun wali nasab terbagi menjadi dua, yaitu:
a. Wali nasab biasa, yaitu wali nasab yang tidak mempunayi
kewenangan untuk memkasa menikahkan tanpa izin atau
persetujuan dari wanita yang bersangkutan. Dengan kata
lain wali ini tidak mempunyai kewenangan menggunakan
hak ijbar.
b. Wali mujbir, yaitu wali nasab yang berhak memksakan
kehendaknya untuk menikahkan calon mempelai
perempuan tanpa meminta ijin kepada wanita yang
bersangkutan. Hak yang dimiliki oleh wali mujbir disebut
dengan hak ijbar.
2. Wali Hakim, yang dimaksud dengan wali hakim ialah wali
nikah dari hakim atau qadhi. Adapun orang-orang yang berhak
23 Al-bukhori, Abdullah Muhammad Ibn Ismail Ibn Ibrahim, Sahih Al-Bukhari (Beirut: Dar
Al-Fikr), h. 95.
30
menjadi wali hakim adalah Pemerintah (sulthan), Pemimpin
(khilafah), Penguasa (Rois), atau qadhinikah yang diberi
wewenang dari kepala Negara untuk menikahkan wanita yang
berwali hakim.24
3. Wali Tahkim, yaitu wali yang diangkat oleh calon suami atau
calon istri. Wali tahkim terjadi apabila wali nasab tidak ada,
wali nasab ghaib, tidak ada qadli atau pegawai pencatat nikah.
4. Wali Maula, adalah wali yang menikahkan budaknya, yaitu
majikannya sendiri. Adapun maksud budak disini adalah
wanita yang dibawah kekuasaannya/hamba sahaya.
Adapun yang dimaksud dalam penelitian di sini ialah peran wali
terhadap menentukan pasangan yang akan diwalikannya, melihat definisi
di atas dapat diketahui yang mempunyai hak untuk menikahkan terhadap
seseorang yang ada di bawah perwalaiannya dengan tanpa izin dan
persetujuan anaknya adalah wali mujbir.
a. Wali Mujbir menurut Imam Syafi’I adalah ayah, kakek dan
terus ke atas, wali mujbir mempunyai kedudukan istimewa karena boleh
menikahkan anak perempuannya yang masih kecil dan belum baligh. Juga
boleh dianggap dewasa dan masih perawan tanpa minta izin terlebih
dahulu kepada anak yang bersangkutan.25
24 Tihami dan Sohari, Op. Cit., h. 97. 25 Muhammad Asmawi, Op. Cit.,h. 17.
31
Imam Syafi’I mengacu pada hadis Nabi SAW.
حدثنا قتیبة بن سعید، حدثنا سفیان، عن زیاد بن سعد، عن عبد
أن : عن ابن عباساللھ بن الفضل، سمع نافع بن جبیر، یخبر،
الثیب أحق بنفسھا من ولیھا، : " النبي صلى اهللا علیھ وسلم قال
"والبكر تستأمر، وإذنھا سكوتھا
Artinya: Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa’iid : Telah menceritakan kepada kami Ziyaad bin Sa’d, dari ‘Abdullah bin Al-Fadhl, ia mendengar Naafi’ bin Jubair mengkhabarkan dari Ibnu ‘Abbaas : Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Ats-tsayyibu (janda) lebih berhak kepada dirinya sendiri dibandingkan walinya. Adapun seorang gadis dimintai ijin, dan ijinnya itu adalah dengan diamnya” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1421].
Hadis ini menunjukaan seorang ayah dibolehkan menikahkan anak
perempuannya yang masih perawan tanpa harus minta izin terlebih dahulu
kepada anak yang bersangkutan.
b. Wali Mujbir menurut Imam Hambali adalah ayah dan
washi, bila kedua orang ini tidak ada maka yang hendak menyandang wali
mujbir adalah hakim dengan syarat bahwa perempuan yang bersangkutan
sudah layak dinikahkan. Kedudukan dan fungsi wali mujbir sama dengan
Imam Syafi’i.
c. Wali Mujbir menurut Imam Malik adalah ayah. Orang lain
dapat diangkat menjadi wali mujbir apabila telah mendapat wasiat dari
bapak. Wasiat yang diucapkan itu harus ada bukti baik secara tertulis
maupun lisan yang diucapkan dengan danya dua orang saksi. Adapun
32
fungsi dari wali mujbir ini adalah boleh menikahkan perempuan yang
kurang waras baik masih kecil maupun sudah beranjak dewasa. Terhadap
perempuan-perempuan yang masih perawan atau sudah janda dan masih
berusia muda, wali ini juga dibolehkan menikahkan dengan laki-laki yang
menjadi pilihannya, tetapi haknya tidak mutlak dan mengandung syarat
tertentu. Apalagi perawan yang memiliki pribadi matang dan bisa
menafkahi diri sendiri, atau janda yang berusia tua, wali ini tidak boleh
menikahkan dengan laki-laki pilihannya sendiri tanpa izin terlebih dahulu
dari mereka.
d. Wali Mujbir menurut Imam Hanafi adalah semua wali yang
tercantum dalam terstrukturisasi adalah wali mujbir, tidak ada perwalian
selain perwalian mujbir.26
Orang yang memiliki hak perwalian ijbar adalah sebagai berikut:
1. Orang yang tidak memiliki kemampuan, atau kurang memiliki
kemampuan, karena masih kecil, atau gila, atau idiot.
2. Perawan yang telah akil baligh. Berlaku hak perwalian ijbar
untuknya menurut jumhur fuqaha selain mazhab hanafi. Karena
illatnya adalah keperawanan, berdasarkan pemahaman hadist.
الثیب أحق بنفسھا من ولیھا، والبكر تستأمر، وإذنھا سكوتھا
Ats-tsayyibu (janda) lebih berhak kepada dirinya sendiri dibandingkan walinya. Adapun seorang gadis dimintai ijin, dan ijinnya itu adalah dengan diamnya”
26 Wahbah Az-Zuhaili, Terjemah Fiqh Islam wa adillatuhu (Damaskus: Darul Fikr,2007),
cet.10, jilid. 9, h. 179
33
Hal ini menunjukkan bahwa nak perempuan yang masih
perawan dan akil baligh hanya dapat dikawinkan dengan
kerelaannya.
3. Menurut mazhab Maliki orang yang memiliki hak perwalian
ijbar adalah Janda yang telah akil baligh yang keperawanannya
hilang dengan perkara yang datang mendadak, seperti akibat
pukulan dan benturan dengan batang kayu, dan yang
sejenisnya. Atau keperawanannya hilang dengan perbuatan
zina atau perkosaan,maka wali mujbir berhak untuk
mengawinkannya.
Sedangkan jumhur fuqaha tidak mengatakan tetapnya
perwalian ijbar terhadap janda yang telah mencapai baligh, atau
pun sebab kehilangan keperawanannya.
C. Peran Wali dan Persetujuan Mempelai Perempuan dalam Hukum
Islam Indonesia
Berbicara tentang peran wali dengan pernikahan, Perundang-
undangan Perkawinan Indonesia, sebagaimana yang tertuang dalam
Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 14 dan 19, yang menyatakan bahwa
wali nikah menjadi salah satu rukun nikah. Tanpa kehadiran wali,
perkawinan menjadi tidak sah.27
27 KHI pasal 14, "untuk melaksanakan perkawinan harus ada: a. Calon suami, b. Calon
Isteri, c. Wali nikah, d. Dua orang saksi, dan e. Ijab dan kabul". Kemudian disebutklan lebih tegas
34
Hubungannya dengan persetujuan calon mempelai, Hukum Islam
Indonesia menetapkannya sebagai salah satu syarat perkawinan.
Persetujuan ini penting agar masing-masing suami dan isteri memasuki
gerbang perkawinan dan berumah tangga, benar-benardapat dengan
senang hati membagi tugas, hak dan kewajibannya secara proporsional.
Dengan demikian, tujuan perkawinan dapat tercapai. Apabila salah satu
atau kedua calon mempelai tidak setuju dengan pernikahan tersebut maka
akad nikah dapat dilangsungkan,28 jika akad nikah (secara paksa) tetap
dilaksanakan maka dapat dibatalkan29 dalam jangka waktu 6 bulan setelah
bebas dari ancaman atau menyadarinya.
Adapun bentuk persetujuan dari para calon mempelai, KHI pasal
16 ayat (2) menjelaskan, "Bentuk persetujuan calon mempelai wanita,
dapat berupa pernyataan tegas dan nyata dengan tulisan,lisan atau isyarat
tapi dapat juga berupa diam dalam arti selama tidak ada penolakan yang
tegas"; dan pasal 17 ayat (3) menyebutkan,"Bagi penderita tuna wicara
atau tuna rungu, persetujuan dapat dinyatakan dengan tulisan atau isyarat
pada KHI pasal 19, "wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi
calon mempelai wanita yang bertindaka untuk menikahkannya". 28 Dijelaskan dalam: UU No.1 1974 pasal 6 ayat (1), "Perkawinan harys didasarkan atas
persetujuan kedua calon mempelai ", KHI pasal 16 ayat (1), "perkawinan didasrakan atas
persetujuan calon mempelai; dan KHI pasal 17 ayat (2), "bila ternyata perkawinan tidak disetujui
oleh salah seorang calon mempelai maka perkawinan tidak dapat dilangsungkan 29 UU Perkawianan No.1 tahun 1974 pasal 27 ayat (1)menjelaskan; "seorang suami atau
isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman
yang melanggar hukum"; KHI pasal 71 ayat (f), "sesuatu perkawinan dapat dibatalkan apabila:.....
perkawinan yang dilaksanakan dengan paksaan".
35
yang dapat dimengerti." Sedang proses untuk mengetahui ada atu tidaknya
persetujuan dari kedua mempelai dilakukan dengan cara menanyakan
keduanya sebelum akad nikah dilangsungkan, sebagaimana diatur dala
KHI pasal 17 ayat (1), "Sebelum berlangsungnya perkawinan, Pegawai
Pencatat Nikah menanyakan lebih dahulu persetujuan calon mempelai di
hadapan dua orang saksi nikah". Dengan ditetapkannya ketentuan ini,
diharapkan dapat mengikis budaya sementara masyarakat yang masih
membenarkan praktik kawin paksa, karena Islam sendiri tidak
menghendaki adanya paksaan.30
Dari uraian di atas, dapat diketahui bahwa Perundang-undangan
Perkawinan Indonesia pada prinsipnya tidak lagi mengakui hak ijbar wali,
bahkan mengharuskan adanya persetujuan dari mempelai sebelum akad
nikah dilaksanakan. Apabila terjadi pekawinan paksa, maka para pihak
berhak mengajukan permohonan pembatalan.
30Rahmawati, Jurnal PERAN WALI DAN PERSETUJUAN MEMPELAI PEREMPUAN:
Tinjauan atas Hukum Islam Konveensional dan Hukum Islam Indonesia, (Dosen LB
PKPBA UIN Malang), h.10-11.
36
BAB III
GAMBARAN UMUM PONDOK PESANTREN
A. Pondok Pesantren
Pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang khas
di Indonesia, lembaga ini tumbuh dan berkembang sejak masa-masa awal
kedatangan agama Islam di Indonesia.1
Bila menelisik akar katanya, Pondok Pesantren merupakan
rangkaian kata yang terdiri dari kata “pondok” dan kata “pesantren”. Kata
“pondok” (kamar, gubuk, atau rumah kecil) dalam bahasa Indonesia
memiliki makna bangunan yang sederhana. Ada pula kemungkinan kata
“pondok” berasal dari bahasa Arab “funduk” yang berarti ruang tempat
tidur, wisma atau hotel sedehana.2
Sedangkan kata “pesantren” berasal dari kata dasar “santri” yang
dibumbuhi awalan “pe” dan akhiran “an” yang berarti tempat tinggal
santri.3 Dengan demikian bila mengartikan secara bahasa maka pondok
pesantren adalah bangunan sederhana yang digunakan olehsantri sebagai
tempat tinggal sekaligus tempat belajar.4
1Hamdani Rasyid, kaderisasi Ulama di Pesantren, dalam Dinamika Pesantren Telaah
Kritis terhadap Keberadaan Saat ini. Editor: Saefullah Ma’sum. (Jakarta: Yayasan Islam Al-
Hidayah-Yayasan Saefuddin Zuhri, 1998) cet. II, h.76. 2 Manfred Ziemek, Pesantren Dalam Perubahan Sosial (Jakarta;P3M, 1986) cet. I, h. 98 3Zamaksari Dhofier, Tradisi Pesantren (Jakarta: LP3S, 1995) h. 18. 4 Muhammad FathiRoyyani, PesantrenBuntetMelintasSejarah. (Cirebon: An Nur, 2004) h.
13.
37
Pengertian pondok pesantren secara terminologis cukup banyak
dikemukakan para ahli. Beberapa ahli tersebut adalah:
1. Dhofier (1994: 84) mendefinisikan bahwa pondok pesantren
adalah lembaga pendidikan tradisional Islam untuk
mempelajari, memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran
Islam dengan menekankan pentingnya moral keagamaan
sebagai pedoman perilaku sehari-hari.
2. Nasir (2005: 80) mendefinisikan bahwa pondok pesantren
adalah lembaga keagamaan yang memberikan pendidikan dan
pengajaran serta mengembangkan dan menyebarkan ilmu
agama Islam.
3. Team Penulis Departemen Agama (2003: 3) dalam buku Pola
Pembelajaran Pesantren mendefinisikan bahwa pondok
pesantren adalah pendidikan dan pengajaran Islam di mana di
dalamnya terjadi interaksi antara kiai dan ustdaz sebagai guru
dan para santri sebagai murid dengan mengambil tempat di
masjid atau di halaman-halaman asrama (pondok) untuk
mengkaji dan membahas buku-buku teks keagamaan karya
ulama masa lalu. Dengan demikian, unsur terpenting bagi
pesantren adalah adanya kiai, para santri, masjid, tempat
tinggal (pondok) serta buku-buku (kitab kuning).
4. Rabithah Ma ahid Islamiyah (RMI) mendefinisikan pesantren
sebagai lembaga tafaqquh fi al-dîn yang mengemban misi
38
meneruskan risalah Muhammad SAW sekaligus melestarikan
ajaran Islam yang berhaluan Ahlu al - sunnah wa a l - Jam ã
’ah
5. Mastuhu (1994: 6) mendefinisikan bahwa pondok pesantren
adalah lembaga tradisional Islam untuk memahami,
menghayati dan mengamalkan ajaran agama Islam ( tafaqquh fi
al-dîn) dengan menekankan pentingnya moral agama Islam
sebagai pedoman hidup bermasyarakat sehari-hari.
6. Arifin (1995: 240) mendefinisikan pondok pesantren sebagai
suatu lembaga pendidikan agama Islam yang tumbuh serta
diakui oleh masyarakat sekitar, dengan sistem asrama (kampus)
di mana menerima pendidikan agama melalui sistem pengajian
atau madrasah yang sepenuhnya berada di bawah kedaulatan
dari kepemimpinan (leadership) seorang atau beberapa orang
kiai dengan ciri-ciri khas yang bersifat kharismatik serta
independen dalam segala hal.
Sedangkan pesantren tradisional merupakan jenis pesantren yang
tetap mempertahankan pengajaran kitab-kitab Islam klasik sebagai inti
pendidikannya (Asrohah, 1999 : 59).
Menurut Mastuhu (1994: 55) pondok pesantren adalah suatu
lembaga pendidikan tradisional Islam untuk mempelajari, memahami,
mendalami, menghayati, dan mengamalkan ajaran Islam dengan
39
menekankan pentingnya moral keagamaan sebagai pedoman perilaku
sehari-hari.
Sebuah pesantren pada dasarnya adalah sebuah asrama pendidikan
Islam tradisional di mana siswanya tinggal bersama dan belajar di bawah
bimbingan seorang (atau lebih) guru yang lebih dikenal dengan sebutan
“kyai”. Asrama untuk para santri berada dalam lingkungan komplek
pesantren di mana kyai bertempat tinggal yang juga menyediakan sebuah
masjid untuk beribadah, ruangan belajar dan kegiatan-kegiatan keagamaan
lainnya.5
Pesantren telah ada di Nusantara kita jauh sebelum lembaga
pendidikan formal gencar dikembangkan. Sejarahnya sangat dialektis dan
fluktuatif. Secara kultural, pesantren nyaris identik dengan pendidikan
tradisional Islam.6 Abdurahman Wahid menjelaskan bahwa sistm
pendidikan pondok pesantren sebetulnya sama dengan sistem yang
dipergunakan Akademi Militer, yakni dicirikan dengan sebuah bangunan
beranda yang di situ seseorang dapat mengambil pengalaman secara
integral. Dibandingan dengan lingkungan pendidikan parsila yang
ditawarkan sistem pendidikan sekolah umum di Indonesia sekarang ini,
sebagai budaya pendidikan nasional, pondok pesantren mempunyai kultur
5ZaksariDhofie, TradisiPesantren,.Op.cit, h.79-80. 66Muhammad Maksum, Refleksi Pesantren, otokriti dan prospektif, (Jakarta: Ciputat
Istintut, 2007), h.9.
40
yang unik. Karena keunikannya, pondok pesantren digolongkan ke dalam
subkultur tersedia dalam masyarakat Indonesia.7
Sejarah perkembangan pesantren di Indonesia, yaitu tradisi tarekat8
dan diilhami olehlembaga pendidikan “kuttab”.9 Para pengikut tarekat
selain diajarkan amalan-amalan tarekat meraka juga diajarkan kitab-kitab
agama dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan Islam. Aktifitas mereka
kemudian dinamakan pengajian atau halaqoh, dalam perkembangan
selanjutnya lembaga pengajiannya ini tumbuh dan berkembang menjadi
lembaga pesantren.10
B. Kyai
Istilah kyai memiliki pengertian yang plural. Kata kyai bisa berarti
1) sebutan bagi alim ulama (cerdik pandai dalam agama Islam); 2) alim
ulama; 3) Sebutan bagi guru ilmu ghaib (dukun dan sebagainya); 4) kepala
distrik (di Kalimantan Selatan); 5) sebutan yang mengawali nama benda
7Abdurrahman Wahid, Pesantren Masa Depan, wacana pemberdayaan dan transformasi
pesantren, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999), h.13. 8Istilah “tarekat” diambildaribahasa Arab ThariqdanThariqah.Yang berartijalan;
jalankontempelatif Islam.Kata inibiasanyadikontraskandengansyariat yang
lebihmengarahkepadakehidupantindakan.Lihat, Muahaimin AG, Islam dalamBingkaiBudayaLokal
Cirebon, (Jakarta: Logos 2001) cet. I, h. 337. 9Istilah “kuttab” adalahlembagapendidikandasar yang
telahmunculsejakzamanNabi.LihatMuhaimin, PemikiranPendidikan Islam (Bandung: Tri
GendaKarya, 1993) cet. I h. 298-299. 10 Abdul Aziz, ensklopedia Islam (Jakarta: PT. Ikhtiar Baru Van Hoove, 1994), jilid IV,
h.103.
41
yang dianggap bertuah (senjata, gamelan dan sebagainya); dan 6) Sebutan
samaran untuk harimau (jika orang melewati hutan).11
Menurut Zamaksary Dhofir, perkataan kyai dipakai untuk tiga jenis
gelar yang saling berbeda:
1. Sebagai gelar kehormatan bagi barang-barang yang dianggap
kramat; umpamanya, “Kyai Garuda Kencana” dipakai untuk
sebutan Kereta Emas yang ada di Keraton Yogyakarta.
2. Gelar kehormatan untuk orang-orang tua pada umumnya.
3. Gelar yang diberikan oleh masyarakat kepada para ahli agama
Islam yang dimiliki atau menjadi pemimpin pesantren dan
mengajarkan kitab-kitab Islam Klasik keapda para santrinya.
Selain gelar kyai, ia juga sering disebut seorang alim (orang
yang dalam pengetahuan Islamnya).
Pemakaian istilah kyai tampaknya merujuk kepada kebiasaan
daerah. Pemipin pesantren di Jawa Timur dan Jawa Tengah disebut kyai,
sedang di Jawa Barat disebut ajengan. Secara nasional, term kyai kyai
lebih terkenal daripada ajengan. paralel dengan kyai adalah ulama, yang
merupakan istilah yang ditransfer dari dua sumber skriptual Al-Qur’an dan
al-Sunnah serta digunakan secara rasional. Kyai dan ulama berbeda asala
11Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen
Pendidikan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Budaya, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, edisi II, (Jakarta: Balai Pustaka, 1991), h. 499
42
usul bahasanya, tetapi memiliki esensi yang berkualitas tinggi dalam hal
iman, takwa, dan ilmu sebagai ciri khas.12
Kyai adalah pemimpin non formal skaligus pemimpin spiritual, dan
posisinya sangat dekat dengan kelompok-kelompok masyarakat lapisan
bawah di desa-desa. Seabagai pemimpin masayarakat, kyai memiliki
jamaah komunitasa dan masa yang diikat oleh hubungan keguyuban yang
erat dan ikatan budaya paternalistik. Petuah-petuahnya selalu didengar,
diikuti dan dilaksanakan oleh jamaah, komunitas dan massa yang
dipimpinnya.13
Kepercayaan masyarakat masyarakat yang begitu tinggi kepada
kyai dan didukung potensinya memecahkan berbagai problem sosio-
psikis-kultural-politik-religius menyebabkan kyai menempati posisi
kelompok elit dalam struktur sosial dan politik di masyarakat. Kyai sangat
dihormati masyarakat melebihi penghormatan mereka terhadap pejabat
setempat. Petuah-petuahnya memiliki daya pikat yang luar biasa,
sehinggga memudahkan baginya untuk menggalang masa baik secara
kebetulan maupun terorganisasi. Ia memiliki pengikut yang banyak
12Mujamil Qomar, Pesantren dari Tansformasi Metodologi Menuju Demokrasi Institusi,
(Jakarta: Erlangga,), h.28 13Faisal Ismail, NU Gusdurisme dan Politik Kiai, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya,
1999), h. 39-40
43
jumlahnya dari kalangan santri dalam semua lapisan mulai dari anak-anak
sampai kelompok lanjut usia.14
Para kyai yang memimpin pesantren telah berhasil pengaruhi
mereka diseluruh wilayah negara, dan sebagai hasilnya mereka diterima
menjadi bagian elit nasional. Sejak Indonesia merdeka banyak di antara
yang diangakat menjadi menteri, anggota parlemen, duta besar, dan
pejabat-pejabat tinggi pemerintah.15
Untuk menjadi seorang kyai, seorang calon harus berusaha keras
memulai jenjang yang bertahap. Pertama-tama, ia biasanya merupakan
anggota kyai. Setelah menyelesaikan pelajarannya di berabgai pesantren,
kyai pembimbingnya yang terahir melatihnya mendirikan pesantren
sendiri. Seringkali turut secara langsung dalam pendirian proyek pesantren
baru, sebab kyai muda dianggap mempunyai potensi untuk menjadi
seorang alim yang baik dan berfungsi sebagai penyaji santri senior.
Saran kyai yang paling utama dalam melestarikan tradisi pesantren
ialah membangun solideritas dan kerjasama sekuat-kuatnya antara sesama
mereka. Cara praktis yang mereka tempuh untuk membangun solideritas
dan kerjasama tersebut ialah.
14Mujamil Qomar, Pesantren dari Tansformasi Metodologi Menuju Demokrasi Institusi,.
Op, Cit., h.29 15Zamakhsyari Dhofir, Tradisi Pesantren., Op. Cit, h. 95
44
1. Membangun suatu tradisi bahwa keluarga yang terdekat harus
menjadi calon kuat mengganti kepemimpinan pesantren;
2. Mengembangkan suatu jaringan aliansi perkawinan edgamous
antara keluarga kyai; dan
3. Mengembangkan tradisi transmisi pengetahuan dan rantai
transmisi intelektual antara sesama kyai dan keluarganya.
Dari satu generasi ke genarasi penerusnya, para kyai selalu
menaruh perhatian istimewa terhadap pendidikan putra-putra mereka
sendiri untuk menjadi pengganti pimpinan lembaga-lembaga pesantren
mereka. Jika seorang kyai mempunyai anak laki-laki lebih dari satu,
biasanya ia mengharap anak tertua dapat menggantikan kedudukannya
sebagai pemimpin pesantren setelah ia meninggal; sedangkan anak laki-
lakinya yang lain dilatih untuk dapat mendirikan suatu pesantren yang bau,
atau dapat menggantikan kedudukan mertuanya yang kebanyakan juga
pemimpin pesantren.
C. Sejarah dan Tradisi
Tradisi keluarga ulama yang telah mapan penting sekali untuk
kewibawaan ulama dan penerimaan kewibawaan itu oleh masyarakat.
Keterlibatan keluarga secara historis dalam urusan masayarakat serta
keberhasilan proses Islamisasi melalui bidang politik dan pendidikan
mengabsahkan kekuatan keluarga atas masyarakat, dan sangsi-sangsi
kepemimpinan mereka berjalan dalam menghadapi masyarakat. Baik
45
ulama maupun masyarakat berbuat menurut standar seperangkat tingkah
laku yang diakui oleh tradisi. Konsep sesepuh yang dituakan misalnya
terdapat dalam konsep asli dari struktur sosial dan menenukan suatu
hubungan ketaatan terhadap pemimpin.16
Tradisi dan sejarah juga memberikan kepada tiap generasi baru
seperangkat kebiasaan keluarga yang berlanjut, kebanggaan dan tugas-
tugas sebagai seorang terpilih yang mengabdi kepada masalah-masalah
Islam, mereka berkata “Kita harus melanjutkan pekerjaan orang tua”.
Secara tradisional anak laki-laki termuda mengganti sisi keluarga,
sedangkan anak laki-laki yang lebih tua diharapkan berpindah ke luar dan
memantapkan kedudukan mereka yang baru di daerah tempat merek
menikahi keluarga yang kaya. Kekedualian terjadi manakala anak laki-laki
termuda gagal menjadai ulama yang lebih berpengaruh, apalagi sang
pendatang ini dapat mengambil alih posisi tradisi keluarga.
Kebanyakan kyai juga mengawinkan anak-anak perempuan mereka
dengan murid-muridnya yang pandai, terutama murid-murid tersebut juga
anak atau keluarga dekat seorang kyai, hingga dengan demikian murid-
murid dapat dipersiapkan sebagai calon potensial untuk menjadi pemimpin
pesantren. Dengan cara ini, para kyai saling terjalin dalam ikatan
kekerabatan yang intensitas tali-temalinya sangat kuat.17
16Hiroko Horikoshi, Kyai dan Perubahan Sosial, (Jakarta: Perhimpunan Pengembangan
Pesantren dan Masyarkat (P3M), 1987), h. 78-79. 17Zamaksyari Dhofir, Tradisi Pesantren., h. 102.
46
Tradisi seperti ini juga dilakukan oleh kyai Buntet Pesantren, para
kyai Buntet Pesantren menikahkan anaknya kepada saudara terdekat atau
senasab atau kepada santrinya yang dianggap pandai dan mempuni untuk
dapat meneruskan estafet kepemimpinan pesantren di masa depan.
D. Kondisi Obyektif Pondok Buntet Pesantren Cirebon
Buntet Pesantren terletak di antara Desa Mertapada Kulon dan
Munjul, sebelah utara Buntet Pesantren dibatasi oleh Desa Mertapada
Kulon; sebelah selatan adalah Desa Kiliyem, dan sebelah barat Desa
Munjul.
Berbeda dengan pondok pesantren lain, keberadaan Buntet
Pesantren cukup unik karena komunitasnya yang homogen. Akan sulit
dibedakan antara santri dan penduduk asli kampung. Sebab, baik
penduduk asli maupun santri sehari-harinya memang tidak lepas dari
aktivitas nyantri (mengaji). Jumlah santri Buntet Pesantren telah mencapai
4.870 orang. Sekarang ini, di bawah kepemimpinan KH Nahdudin Abbas.
Awal mula berdirinya Buntet Pesantren, salah satu satu pesantren
tertua di Indonesia, pertama kali didirikan pada abad tahun 1750 M, oleh
KH. Muqoyyim bin Abdul Hadi, atau orang Buntet menyebutnya Mbah
Muqoyyim. Beliau sebagai pejabat mufti (Pengadilan Agama Resmi)
Keraton.
Salah satu sifat beliau adalah tidak mau koopratif dengan Belanda,
yang banyak mencampuri urusan internal keraton, sehingga beliau lebih
47
memilih tinggal di luar keraton dan mendirikan pesantren. Dalam
perantauan inilah beliau memulai kehidupan sebagai kyai dengan
mendirikan masjid dan gubuk kecil dan mulai mengajar agama.
Melihat luasnya keilmuwan beliau dan dikenal sebagai orang
Keraton serta tauladan yang beliau tunjukan masyarakat membuat
pesantren beliau didatangi banyak murid, sehingga semakin
berkembanglah pesantren dengan pesat dan terus berkembang hingga saat
ini.18
Sepeninggal Mbah Muqoyyim, Buntet Pesanten pernah mengalami
kevakuman akibat kekosongan kepemimpinan. Usaha untuk
menghidupkan kembali pesantren akhirnya datang dari cucu menantu
Mbah Muqoyyim sendiri, yaitu Kiai Muta’ad (1785-1825). Selama
kepemimpinan Kiai Muta’ad, Buntet Pesantren berhasil mencetak para kiai
yang membawa nama harum bagi pesantren, sebut saja seperti Kiai
Kriyan, Kiai Thohir, Kiai Soleh, dan Kiai Sa’id.
Setelah Kiai Muta’ad wafat pada tahun 1852, tampuk
kepemimpinan pesantren diserahkan kepada putranya KH. Abdul Jamil
(1842-1919). Di bawah kepemimpinan KH Abdul Jamil, Buntet Pesantren
dihuni tidak kurang dari 700 santri yang datang dari berbagai daerah.
Salah seorang santrinya adalah Haji Samanhudi, yang kemudian menjadi
tokoh pendiri Syarikat Dagang Islam (SDI).
18 http://www.buntetpesantren.org/p/sejarah.html
48
Periode berikutnya, setelah KH Abdul Jamil wafat pada tahun
1919, pimpiminan pesantren dipegang oleh putra sulung beliau, KH.
Abbas Abdul Jamil, dilahirkan pada 1879, pada masa KH. Abbas Abdul
Jamil, Buntet Pesantren mengalami kemajuan pesat.
Sepeninggal KH. Abbas Abdul Jamil, pimpinan pesantren dipegang
oleh putra sulungnya, KH. Mustahdi Abbas, dilahirkan pada tahun 1913.
Di bawah kepemimpinan KH. Mustahdi Abbas (1947-1949), pesantren
tidak bisa berbuat banyak, karena para kiai, guru, dan para santri masih
dituntut tenaga dan pikirannya untuk berperang melawan tentara Belanda
dalam perang kemerdekaan, saat Belanda melancarkan Agresi Militer I
(1947) dan Agresi Militer II (1948).
Setelah masa kepemimpinan KH. Mustahdi Abbas berakhir, Buntet
Pesantren dipimpin oleh KH. Mustamid Abbas. Dalam sejarah, KH.
Musatamid Abbas tercatat sebagai orang yang pertama kali menyetujui
Pancasila sebagai satu-satunya asas kehidupan berbangsa dan bernegara di
Indonesia.
Setelah masa kemimpinan KH. Mustamid Abbas, Buntet Pesantren
dipimpin oleh KH. Abdullah Abbas pada masa ini jumlah santri Buntet
Pesantren mengalami perkembangan yang sangat pesat. KH. Abdullah
Abbas merupakan sosok ulama yang tidak banyak bicara, tetap banyak
kerja dan berusaha, berkepribadian sederhana, wara’, ikhlas, dan tawadhu.
Beliau juga terkenal sebagai ulama yang selalu memperhatikan Hak-hak
49
Asasi Manusia (HAM), demokrasi, keadilan, dan kesejahteraan
masyarakat.
Kini kepemipinan Buntet Pesantren berada di pundak KH.
Nahduddin Royandi Abbas. KH Nahdududdin Royandi Abbas kini
bermukim di Londen Inggris, selain sebagai pimpinan Buntet Pesantren
beliau juga Mustasyar NU Cabang Khusus London, beliau terus
melakukan upaya dan kesungguhan untuk meningkatkan dan
mengembangkan Buntet Pesantren dengan terus meningkatkan sarana
fisik, sumber daya santri, menajemen organisasi, dan eksesibillitas
pesantren.19
Buntet Pesantren, memliki sistem pendidikan yang memadukan
sistem pendidikan salafiyah ala pesantren dengan sistem khalafiyah
(modern) dalam sistem pengajarannya. Dalam penyelenggaraan
pendidikan, Buntet Pesantren dapat dikategorikan sebagai pesantren semi
modern. Sistem lama yang tradisional digabungkan dengan sistem
madrasah (sekolah) yang bersifat modern. Bila dikelompokkan, maka di
Buntet Pesantren, para santri mengikuti pendidikan khusus kepesantrenan
dan juga mengikuti pendidikan madrasah dan sekolah. Dengan melalui
dua jalur ini, pagi hari mereka belajar di madrasah atau sekolah, sedangkan
sore hari mereka mengkuti pendidikan pesantren.
19Olman Dahuri dan M. Nida’ Fadlan, Pesantren-pesantren Berperngaruh di
Indonesia,(Jakarta: Penerbit Erlangga, 2015), h. 2-8.
50
Buntet Pesantren, dengan segala potensi yang dimiliki terus
berupaya meningkatkan kualitas dan kuantitas pendidikan, pada tahun
1958 didirikan sebuah lembaga pendidikan yang dikenal dengan Lembaga
Pendidikan Islam (LPI). Dalam perkembangan selanjutnya, status LPI
diubah menjadi sebuah yayasan yang berbadan hukum dengan nama
Yayasan Lembaga Pendidikan Islam (YLPI) Buntet Pesantren.
Dalam pengelolaannya, YLPI membagi tugas organisasi ke dalam
departemen-departemen, unit-unit pelaksana, dan unit teknis. Unit-unit
tersebut diantaranya, Taman Kanak-kanak Islam (RA), Taman Pendidikan
Al-Qur’an (TPA), Madrasah Ibtidaiyah (MI) Putra dan Putri, Madrasah
Tsanawiyah Nahdlatul Ulama (MTs NU) Putra I, MTs NU Putra II, dan
MTS NU Putri, Madrash Aliyah Nahdlatul Ulama (MA NU) Putra Putri,
Sekolah Menengah Kejuruan Nahdlatul Ulama (SMK NU) Mekanika,
Akademi Keperawatan (AKPER), Lembaga Bahasa Inggris dan Arab,
kursus komputer, bhatsul masa’il, Ikatan Keluarga Asrama Pondok Buntet
Pesantren (IKAPB).
Pada tahun 2009, pengembangan pendidikan di lingkungan Buntet
Pesantren berkembang dengan berdirinya Sekolah Menengah Pertama
(SMP) dibawah Kementrian Pendidikan dan Budaya, SMP Ma’arif adalah
sekolah yang berada pada lingkungan Buntet Pesantren, dan bukan bagian
dari unit Yayasan Lembaga Pendididkan Islam (YLPI) Buntet Pesantren,
51
SMP Ma’arif berada di bawah Yayasan Nadwatul Banin, yang dipimpin
oleh KH Anis Manshur.
52
BAB IV
TRADISI PERJODOHAN DAN PERSEPSI SOSIAL
KEAGAMAAN
A. Pandangan Kyai Buntet Pesantren tentang Perjodohan
Apabila memperhatikan ketentuan-ketentuan hukum yang
mengatur tentang perkawinan, sebagaimana yang diatur dalam undang-
undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 16 ayat (1) yang
berbunyi “perkawinan harus dilaksanakan atas persetujuan kedua calon
mempelai”. Dan dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 16 ayat (1)
berbunyi “Perkawinan didasarkan atas persetujuan calon mempelai”.
Menurut penulis, perjodohan yang telah menjadi tradisi di
kalangan pesantran, terutama di Buntet Pesantren tidak memperhatikan
Pasal 6 ayat (1) Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan
Pasal 16 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam, karena perjodohan yang
dilaksanakan di kalangan pesantren terkesan memaksakan putra putrinya.
Padahal, dalam pernikahan persetujuan kedua calon sangatlah penting,
agar tetap terjalinnya keharmonisan untuk menciptakan rumah tangga
yang sakinah, mawaddah warahmah.
Menurut Hiroko Horikoshi para keluarga ulama telah mengatur
perkawinan-perkawinan keluarganya dengan maksud agar sejalan dengan
kepentingan kelembagaan mereka sendiri.1 Perkawinan yang banyak
1 Hiroko Horikoshi, Kyai dan Perubahan Sosial (Jakarta : p3m 1987), h. 44.
53
dilakukan oleh keluarga kyai adalah perkawinan endogamous, perkwinan
endogamous adalah perkawinan yang dilakukan antar sesama keluarga
atau kerabat terdekat. Dengan adanya perkawinan endogamous dikalangan
keluarga kyai inilah perjodohan mulai menjadi cara untuk
mempertemukan putra putrinya.
Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan salah satu Kyai
Buntet Pesantren, penulis melakukan wawancara dengan KH Ade Nasihul
Umam, menurut KH Ade Nasihul Umam, perjodohan di Buntet Pesantren
bermula dari pesannya orang tua terdahulu yang mengharuskan putra
putrinya untuk menikah dengan kerabat terdekat, karena putra putri kyai
dididik untuk tidak mempertanyakan atau dididik agar selalu mematuhi
perintah orang tua, maka perintah orang tua terdahulu tidak dapat ditolak.
Maka hingga saat ini perkawinan antar sesama saudara atau pernikahan
endogamous marak di Buntet Pesantren. Alasan kyai menjodohkan putra
putrinya adalah untuk menghindari konflik yang timbul akibat perbedaan
status, karena dengan menikahkan anaknya kepada saudara terdekat dapat
dipastikan sudah sama-sama saling faham dan memaklumi. Selain itu,
alasan lainnya adalah untuk keberlangsungan pondok pesantren ke masa
yang akan datang.2
Selanjutnya penulis mewawancarai KH Salman Al Farisi, ia
mengatakan bahwa para kyai Buntet Pesantren lebih sering menjodhkan
2 Wawancara pribadi dengan KH Ade Nasihul Umam (Minggu, 2 agustus 2015 pukul
20.00 wib. Di kediaman beliau).
54
anak perempuannya daripada anak laki-lakinya. Karena, para kyai
menginginkan menantunya nanti dapat meneruskan pondok pesantren.3
Menurut Ustadz M. Lutfi Yusuf, ia mengatakan bahwa perjodohan
di Buntet Pesantren mempunyai tujuan untuk menjaga keturunan, oleh
sebab itu perkawinan endogamous marak dilakukan oleh keluarga kyai
Buntet Pesantren4. Dan menurut Lutfi juga, bahwa tradisi perjodohan di
Buntet Pesantren itu terbagi menjadi dua bagian. bagian pertama, adalah
perjodohan yang dilakukan oleh Kyai di Buntet Pesantren dengan adanya
paksaan, tanpa adanya musyawarah terlebih dahulu terhadap anak yang
akan dijodohkan. Dan bagian kedua, kyai cenderung menawarkan terlebih
dahulu kepada anaknya yang akan dijodohkan, dan seorang kyai lebih
dominan menjodohkan anak perempuannya daripada anak laki-lakinya.
Bagian kedua inilah yang masih menjadi tradisi di Buntet Pesantren.
Melihat pandangan Kyai Buntet Pesantren tentang perjodohan,
faktor utama perjodohan menjadi tradisi di komunitas pesantren terutama
dikalangan keluaraga Buntet Pesantren adalah menjaga keturunan.
Seperti yang dijelaskan oleh Zamakhsyari Dhofir bahwa para kyai
merasa bertanggung jawab “menjaga” anggota keluarga dan keluarganya
yang terdekat dari ancaman neraka. Merujuk pada firman Allah SWT.
3 Wawancara pribadi dengan KH Salman Al Farisi (Minggu, 2 agustus 2015 pukul 22.00
wib. Di kediaman beliau). 4 Wawancara pribadi dengan Ustadz M. Lutfi Yusuf (Jum’at, 31 Juli 2015 pukul 21.00
wib. Dikediaman beliau)
55
یا أیھا الذین آمنوا قوا أنفسكم وأھلیكم نارا وقودھا الناس والحجارة
شداد لا یعصون اللھ ما أمرھم ویفعلون ما یؤمرونعلیھا ملائكة غلاظ
)6: التحریم (
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai (perintah) Allah terhadap apa yang diperintahkanNya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan”,(Q.S. At-Tahrim/66: 6).
Perkataan ahli dalam ayat Al Qur’an tersebut selalu diartikan oleh
para kyai sebagai “sanak keluargamu”, sehingga dengan demikian
perintah Tuhan yang tertulis dalam Al Qur’an tersebut (agar kita menjaga
ahli dari api neraka) tidak terbatas kepada keluarga batih (istri dan anak-
anak) kyai saja.5
B. Perjodohan Menurut Hukum Islam
Islam merupakan salah satu agama yang suka memberi tuntunan
hidup. Hidup tanpa aturan dalam kondisi tertentu bisa melahirkan benturan
di sana-sini. Memang tidak setiap hal diatur. Dalam sejumlah hal, Islam
memberikan keleluasaan pemeluknya untuk mengatur.
Namun begitu, Islam tidak mengatur sepenuhnya dalam satu
urusan. Misalnya saja perjodohan. Menurut Wahbah Az Zuhaili
menyatakan bahwa perjodohan dalam Islam harus mengikuti beberapa
aturan, seperti yang telah diatur oleh mazhab Syafi’i, menurut mazhab
5 Zamakhsyari Dhofir, Tradisi Pesantren Studi Pandangan Hidup Kyai dan Visinya
Mengenai Masa Depan Indonesia. (Jakarta: LP3ES 2011), h. 109.
56
Syafi’i perjodohan pada anak perempuan yang masih perawan dan telah
baligh dan berakal dapat meminta izin kepadanya, dan diamnya si anak
adalah jawaban sebagai persetujuannya.
Sesuai dengan hadis yang diriwayatkan oleh Muslim:
حدثنا قتیبة بن سعید، حدثنا سفیان، عن زیاد بن سعد، عن عبد
أن : اللھ بن الفضل، سمع نافع بن جبیر، یخبر، عن ابن عباس
الثیب أحق بنفسھا من ولیھا، " : النبي صلى اهللا علیھ وسلم قال
)رواه مسلم( "مر، وإذنھا سكوتھاوالبكر تستأ
Artinya: Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa’iid : Telah menceritakan kepada kami Ziyaad bin Sa’d, dari ‘Abdullah bin Al-Fadhl, ia mendengar Naafi’ bin Jubair mengkhabarkan dari Ibnu ‘Abbaas : Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Ats-tsayyibu (janda) lebih berhak kepada dirinya sendiri dibandingkan walinya. Adapun seorang gadis dimintai ijin, dan ijinnya itu adalah dengan diamnya” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1421].
Berbeda dengan Janda, Janda yang akan dijodohkan oleh orang
tuanya harus memperoleh izin dari si Janda dan tidak cukup sekedar
diamnya saja. Sesuai dengan hadis yang diriwayatkan Muslim:
ا ھسفنل قحأ الثیب الرسول اهللا صلى اهللا علیھ و سلم ق نا اسبعن ابن ع
)رواه مسلم( اھتوكا سھنذإو رمأتست ركبالا وھیلو نم
Janda lebih berhak atas dirinya dari pada walinya dan kepada gadis perawan dimintai persetujuannya dan tanda persetujuannya adalah diam. (HR. Muslim)
57
Asas persetujuan dalam pernikahan yang diungkapkan oleh hukum
Islam di Indonesia didasarkan pada hukum Islam yang menyatakan bahwa
dalam suatu pernikahan terdapat pihak-pihak yang berkepentingan, yaitu
pihak-pihak yang berhak akan perkawinan tersebut. Dalam asas
persetujuan pernikahan Islam terdapat hak beberapa pihak yaitu :6
a. Hak-hak Allah
b. Hak-hak orang yang akan menikah
c. Hak wali.
Yang dimaksud Hak Allah ialah dalam melaksanakan pernikahan itu
harus diindahkan ketentuan Allah, seperti adanya kesanggupan dari orang-
orang yang akan nikah dengan seseorang yang dilarang nikah dengannya
dan sebagainya. Apabila hak Allah ini tidak diindahkan maka pernikahan
menjadi batal.
Di samping itu ada hak-hak orang yang akan nikah dan hak wali.
Mengenai hak-hak orang yang akan nikah dan hak wali ini tersebut dalam
hadist :
ا ھیلو نا مھسفنل قحأ الثیب الرسول اهللا صلى اهللا علیھ و سلم ق نا اسبعن ابن ع
)رواه مسلم( اھتوكا سھنذإو رمأتست ركبالو
Janda lebih berhak atas dirinya dari pada walinya dan kepada gadis perawan dimintai persetujuannya dan tanda persetujuannya adalah diam. (HR. Muslim).
6 http://hakamabbas.blogspot.com/2014/03/nikah-
paksa.html#sthash.Ha3hqPgk.dpuf (Senin, 31 Agustus 2015 pukul 22.30 wib)
58
Hadits di atas menerangkan bahwa orang-orang yang akan nikah baik laki-
laki ataupun perempuan mempunyai hak atas pernikahannya, begitu pula walinya.
Akan tetapi orang yang akan nikah lebih besar haknya dibanding dengan hak
walinya dalam pernikahannya itu. Wali tidak boleh menikahkan anak
perempuannya dengan laki-laki yang tidak disukai. Wali berkewajiban meminta
pendapat anak perempuannya mengenai laki-laki yang akan dijodohkan, apakah ia
mau menerima laki-laki itu atau menolaknya.7
Seseorang tidak dapat dipaksa untuk melaksanakan haknya atau tidak
melaksanakan haknya selama tindakannya itu tidak bertentangan dengan
ketentuan-ketentuan yang berhubungan dengan haknya. Hak ijbar (memaksa)
dalam Islam dimiliki oleh wali mujbir, namun bukan berarti wali mujbir berhak
menjodohkan anaknya tanpa memberikan persetujuan kepada anaknya.
Di dalam Islam, hak ijbar dimaknai sebagai bimbingan atau arahan seorang
wali kepada putrinya untuk menikah dengan pasangan yang sesuai. Adanya
keihlasan, kerelaan dan izin dari seorang anak gadis adalah hal yang tidak bisa
diabaikan, sebab seorang anaklah yang akan menjalani kehidupan rumah tangga
dan waktunya rentang lama (permanent/muabbad) dan bukan untuk waktu yang
sementara (muaqqat).
C. Analisis Penulis
Tradisi perjodohan yang berlangsung di keluarga Kyai Buntet
Pesantren mempunyai dasar sesuai dengan hadis Nabi:
7 Ghazali Mukri, terj. Panduan Fikih Perempuan, karya Yusuf Al Qardhawi,
(Yogyakarta: Salma Pustaka, 2004), h. 126.
59
ینالد بذات فاظفر ولدینھا ولجمالھا ولحسبھا لمالھا :لأربع أةرالم تنكح
)8 البخارى رواه. (اكید تربت
Artinya: “Seorang perempuan (boleh) dinikahi karena empat hal: karena hartanya, karena keturunannya, karena kecantikannya dan karena agamanya. Maka pilihlah wanita karena agamanya, maka akan memelihara tanganmu”. (H.R. Bukhāri).
Dapat dilihat dari hadis di atas, menurut penulis kyai Buntet
Pesantren menjodohkan putra putrinya sesuai dengan konsep kafa’ah
(sekufu) dalam islam, dan alasan yang menjadi prioritas kyai Buntet
Pesantren menjodohkan anaknya adalah karena keturunanya dan karena
agamanya. Dalam arti bahwa calon suami dan calon istri harus seagama
yaitu sama-sama Islam, dan mempunyai tingkatan akhlak ibadah yang
seimbang. Selain itu, calon suami dan calon istri diharapkan masih
keturunan keluarga Buntet Pesantren, karena dengan masih adanya
hubungan kekeluargaan, akan menjadikan kemakluman dan saling
memahami antar keluarga dan calon suami dan istri.9
Di Indonesia sendiri masalah kriteria/ukuran kafā`ah ini tidak dibahas
secara jelas, baik dalam Undang-undang perkawinan maupun dalam Kompilasi
Hukum Islam (KHI). Dalam Kompilasi Hukum Islam hanya dijelaskan:
8 Abī Abdillāh Muhammad bin Ismā’il bin Ibrāhim bin al-Muġīrah al-Bukhāri al-Ja’fiy,
Şahīh al-Bukhārī, (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1992), h. 445. 9 Wawancara pribadi dengan KH Ade Nasihul Umam (Minggu, 2 agustus 2015 pukul
20.00 wib. Di kediaman beliau).
60
a. Bab VI tentang larangan Nikah pasal 40 dijelaskan bahwa seorang
pria itu dilarang melangsungkan perkawinan dengan wanita yang tidak
beragama Islam.10
b. Bab X tentang pencegahan perkawinanpasal 61 menerangkan bahwa
tidak sekufu tidak dijadikan alas an untuk mencegah perkawinan,
kecuali tidak sekufu karena perbedaan agama.
Konsep kafa’ah dalam seagama dan senasab yang menjadi faktor
perjodohan di Buntet Pesantren mempunyai tujuan agar tetap terjadi
hubungan pernikahan yang sakinah, mawaddah warahmah. Yang mana
apabila seorang kyai menikahkan anaknya dengan yang bukan senasab
atau yang bukan keturunan kyai, maka dikhawatirkan akan timbul rasa
tidak percaya diri dari salah satu pasangan dan menyebabkan akan
terjadinya ketidak harmonisan dalam rumah tangga.
Mengenai hak ijbar yang menjadi alasan lain seorang kyai
menjodohkan anaknya, menurut penulis seorang kyai harus dapat
berdialog atau memusyawarahkan terlebih dahulu kepada anaknya apabila
hendak menjodohkannya, agar tidak melanggar Pasal 6 ayat (1) Undang-
undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan Pasal 16 ayat (1)
Kompilasi Hukum Islam. Dimana UU Perkawinan dan Kompilasi Hukum
Islam menjelaskan bahwa perkawinan harus disetujui oleh kedua calon
mempelai, tidak boleh ada intervensi dari pihak manapun.
10 Kompilasi Hukum Islam: Himpunan Peraturan Perundang-Undangan, (Bandung:
Fokus Media, 2012), h. 16.
61
Perkawinan endogami yang menjadi faktor pendukung adanya
perjodohan di Buntet Pesantren dapat dilihat dari data yang penulis
dapatkan.
Berikut ini beberapa pasangan yang menerapkan pernikahan
endogami dalam perkawinannya. Di antaranya yaitu:
1. K.H Adib Rofi`uddin Izza bin KH izzudin (Pondok Pesantren al-
Inaroh) dengan Hj syarifah binti KH Hamid Anas (Pondok Pesantren
Falahiyyah Futuhiyyah).
2. R. Zidni Ilman bin KH Nasiruddin (Pondok Pesantren al-Khiyaroh)
dengan Endah Ayu Fikriyah binti K.H Adib Rofi`uddin Izza (Pondok
Pesantren al-Inaroh).
3. M Faris Al-Hak bin KH Fuad Hasyim (Pondok Pesantren Nadwatul
Ummah) dengan Dewi Aisyah binti KH Fahim (Pondok Pesantren
darul Hijroh).
4. M. Farid NZ bin KH Nasiruddin (Pondok Pesantren al-Khiyaroh)
dengan Qistintoniyah Zamrud binti KH Baidlowi Yusuf (Pondok
Pesantren Subbaniyah Islamiyah).
5. KH Anis Manshur bin KH Arsyad (Pondok Pesantren Nadwatul
Banin) dengan Siti Aisyiah binti KH Abdullah Abbas (Pondok
Pesantren Al Istiqomah).
6. Ade Nasihul Umam bin KH A Nidzommudin (Pondok Pesantren Al
Muttaba) dengan Lela binti KH Abdullah Abbas (Pondok Pesantren
Al Istiqomah).
62
7. Nuruddin bin Kiai Abdul Jalil dengan Elok binti KH Anas Arsyad
(keduanya adalah cucu dari KH Arsyad).
8. Fikri Mubarok bin Hafash (Pondok Pesantren Al Muttaba) dengan
Fina Nurul Fitriah binti H Amin Subagyo (Pondok Pesantren
Falahiyah Futuhiyah).
Dari beberapa contoh perkawinan di atas semuanya menerapkan
perkawinan endogami, dalam hubungan perkawinanya masih memiliki
garis keturunan yang sama dan berdekatan atau dapat dikatakan senasab.
Menurut pandangan penulis, dengan diterapkannya konsep
perkawinan endogami di dalam keluarga Buntet Pesantren, menjadikan
rumah tangga masing-masing pasangan ini harmonis dan dapat dikatakan
sebagai keluarga sakinah mawaddah warahmah, dan menjadi teladan yang
baik bagi masyarakat maupun santrinya. Dan yang paling penting yaitu
dapat menjadi penerus yang baik yang mampu meneruskan estafet
perjuangan orang tuanyanya, sehingga Pesantren Buntet bisa terus
berkembang dalam mencetak santri yang berkualitas.
63
BAB V
PENUTUP
Berdasarkan pembahasan yang telah penulis kemukakan, maka dapat penulis
tarik beberapa kesimpulan dan saran sebagai berikut.
A. Kesimpulan
1. Tradisi perjodohan yang dilakukan oleh keluarga pesantren, di Buntet
Pesantren sah menurut agama Islam, hanya saja diperlukan adanya dialog
atau penawaran terlebih dahulu kepada anak yang akan dijodohkan.
2. Yang melatarbelakangi kyai dan keluarga Buntet Pesantren menjodohkan
anaknya adalah karena untuk menjaga nasab. Nasab atau keturunan di
dalam keluarga pesantren sangat penting perannya. Karena itu, untuk
menjaga nasab maka para kyai menjodohkan anaknya kepada keluarga
yang satu nasab atau sama-sama kyai.
3. Doktrin untuk taat dan patuh terhadap orang tua sangat ditekankan dalam
keluarga pesantren. Dalam artian, seorang anak tidak dapat membantah
apa yang telah diperintahkan orang tuanya kepada anaknya, di sinilah yang
menurut penulis adanya semi pemaksaan saat kyai akan menjodohkan
anaknya.
4. Rata-rata yang telah dijodohkan orang tuanya atau kyai Buntet Pesantren
menjalin rumah tangga yang harmonis, dan dapat dikatakan sakinah,
mawadah warahmah. Dalam hal ini berarti mindset (pola fikir) masyarakat
tentang perjodohan yang dikhawatirkan tidak akan langgeng bila
pernikahan dilakukan dengan perjodohan telah terbantah. Karena apabila
perjodohan dikemas dengan baik dan demokratis, maka akan mencapai
64
cita-cita sebuah perkawinan, yaitu perkawinan yang sakinah, mawadah
warahmah.
B. Saran
1. Hendaknya orang tua atau keluarga Buntet Pesantren memahami dan
mengerti, jika anaknya hendak di nikahkan atau dijodohkan maka orang
tua atau kyai harus mengadakan dialog dan musyawarah kepada anaknya
secara terbuka tanpa intervensi.
2. Apabila seorang anak sudah memiliki pilihannya sendiri, sebaiknya
diterima tanpa harus memandang nasab atau keturunan, karena akhlak
yang baik sudah menjadi tolok ukur kriteria pasangan yang baik. Dan
setiap orang mempunya kebebasan sendiri dalam hal cinta.
3. Untuk mewujudkan cita-cita perkawinan, sebaiknya rencana perjodohan
diberitahu jauh-jauh hari kepada anak yang akan dijodohkan, agar si anak
dapat saling mengenal satu sama lain, walaupun kedua orang tua mereka
sudah saling mengenal.
4. Bagi anak yang dijodohkan apabila merasa dipaksa oleh orang tuanya
maka dapat mengajukan pembatalan perkawinan, sesuai dengan Pasal 71
Kompilasi Hukum Islam.
65
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Zainuddin. Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: PT Sinar Grafika,
2009.
Ashqolani, al, Ibnu Hajar. Bulughul Maram. Harramain.
Asmawi, Muhammad. Nikah Dalam Perbincangan dan Perbedaan. Yogyakarta:
Darussalam, 2004.
Aziz, Abdul. ensklopedia Islam. Jakarta: PT. IkhtiarBaru Van Hoove, 1994.
Bakri, Sidi Nazar. Kunci Keutamaan Rumah Tangga (Keluarga Yang Sakinah).
Jakarta: CV.Pedoman Ilmu Jaya, 1993.
Bukhari, al, Muhammad bin Ismail, Sahih Al-Bukhari. Beirut: Dar Al-Fikr.
Dahuri, Olman dan M. Nida, Fadlan, Pesantren-pesantren Berperngaruh di
Indonesia. Jakarta: Penerbit Erlangga, 2015.
Departemen Dinas Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai
Pustaka, 1994.
Dhofier, Zamakhsyari. Tradisi Pesantren studi pandangan hidup kyai dan
vsisinya mengenai masa depan Indonesia. Jakarta: LP3S. 2011.
Djaelani, Abdul Qadir. Keluarga Sakinah. Surabaya : Bina Ilmu, 1995.
66
Djalil, Basiq. Tebaran Pemikiran Keislaman Di Tanah Gayo. Jakarta: Qolbun
Salim, 2007.
Eliza, Mona. Pelanggaran Terhadapa UU Perkawinan dan Akibat Hukumnya.
Tangerang Selatan: Adelina Bersaudara, 2009.
Fadlullah, Sayyid Muhammad Husain Dunia Wanita dalam Islam, alih bahasa.
Muhammad Abdul Qodir Al-Kaf. Jakarta: Lemtara Basritama, 2000.
Horikoshi, Hiroko. Kyai dan Perubahan Sosial. Jakarta: Perhimpunan
Pengembangan Pesantren dan Masyarkat (P3M), 1987.
Ismail, Faisal. NU Gusdurisme dan Politik Kiai. Yogyakarta: Tiara Wacana
Yogya, 1999.
Jaiz, Hartono Ahmad. Wanita Antara Jodoh, Poligami, dan Perselingkuhan.
Jakarta: Pustaka AL-Kautsar, 2007.
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi . Jakarta: Rineka Cipta, 2009.
Kompilasi Hukum Islam: Himpunan Peraturan Perundang-Undangan. Bandung:
Fokus Media, 2012.
Mujib, Abdul dkk, dalam Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat, kajian
fikih nikah lengkap. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2009.
Mukhtar, Kamal. Azas-azas Hukum Islam Tentang Perkawinan. Jakarta : Bulan
Bintang, 1974.
67
Munawwir, Ahamad Warson. Al-Munawwir Kamus Bahasa Arab-Indonesia.
Yogyajarta: Pondok Pesantren Al-Munawwir Krapyak, 1984.
Nasution, Amir Taat. Rahasia Perkawinan Dalam Islam, Tuntutan Keluarga
Bahagia. Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1994.
Qomar, Mujamil. Pesantren dari Tansformasi Metodologi Menuju Demokrasi
Institusi, Jakarta: Erlangga.
Rahmawati, Jurnal PERAN WALI DAN PERSETUJUAN MEMPELAI
PEREMPUAN: Tinjauan atas Hukum Islam Konveensional dan Hukum
Islam Indonesia. Dosen LB PKPBA UIN Malang.
Rasyid, Hamdani. kaderisasi Ulama di Pesantren, dalam Dinamika Pesantren
Telaah Kritis terhadap Keberadaan Saat ini. Jakarta: Yayasan Islam Al-
Hidayah Yayasan Saefuddin Zuhri, 1998.
Sabiq, Sayid. Fiqh al-Sunah. Dar al-Tsaqafah al-Islamiyah
Sahrani, Sobari dan M.A. Tihami, Fikih Munakahat. Jakarta: PT Rajagrafindo
Persada, 2009.
Shabbagh, al, Mahmud. Tuntutan Keluarga Bahagia Menurut Islam. Bandung: PT
Remaja Rosda, 1994.
Sopyan, Yayan, Pengantar Metode Penelitian, Jakarta:Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010.
68
Syarifudin, Amir. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia antara Fiqh Munakahat
dan Undang-Undang Perkawinan. Jakarta: CV. Kencana Prenada Media,
2009.
Undang Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974.
Wahid, Abdurrahman. Bunga Rampai Pesantren. Jakarta: Dharma Bakti, 1958.
__________ ,Pesantren Masa Depan, wacana pemberdayaan dan transformasi
pesantren. Bandung: Pustaka Hidayah, 1999.
www.buntetpesantren.org/p/sejarah.html.
www.hakamabbas.blogspot.com/2014/03/nikah-
paksa.html#sthash.Ha3hqPgk.dpuf (diakses Senin, 31 Agustus 2015 pukul
22.30 wib).
Zain, Muhammad dan Mukhtar, Al ashodiq, Membangun Keluarga Humanis.
Jakarta: Grahacipta, 2005.
Ziemiek, Manfred. Pesantren Dalam Perubahan Sosial. Jakarta;P3M, 1986.
Zuhaili, al, Wahbah, Terjemah Fiqh Islam wa adillatuhu. Penerjemah Abdul
Hayie al-kattani, dkk. Damaskus: Darul Fikr,2007.
69
69
70
69
PEDOMAN WAWANCARA
1. Bagaimana tradisi perjodohan yang dilaksanakan oleh keluargakyai Buntet
Pesantren.
2. Seberapa penting peran orang tua menentukan pasangan hidup untuk anaknya.
3. Apakah perjodohan pada masyarakat Buntet Pesantren selalu pada kerabat
terdeka.
4. Faktor apa saja yang menjadikan para kyai menjodohkan putra putrinya.
5. Pada usia berapa putra putri kiai dijodohkan.
6. Apakah keluarga Buntet Pesantren sangat menjunjung tinggi tradisi perjodohan.
7. Apa yang menjadi dasar para Kyai menjodohkan putra putrinya.
71
69
HASIL WAWANCARA
Nama: KH ADE NASHIHUL UMAM. Lc
Hari/Tanggal: Minggu, 02 Agustus 2015
1. Bagaimana tradisi perjodohan yang dilaksanakan oleh keluarga kyai Buntet
Pesantren.
Riwayat asal mula tradisi perjodohan di Buntet Pesantren, dimulai dari pesan KH
Abdul Jamil kepada anak-anaknya “Kawinnya jangan saam orang jauh, lebih
baik dengan orang dekat (saudara)”. Penjelasannya adalah, jika kita menikah
dengan orang dekat (saudara) dapat saling memaklumi baik kekurangan maupun
kelebihan kita, karena yang namanya perkawinan itu tidak bisa lepas dengan
ma’isyah (sumber kehidupan).
2. Seberapa penting peran orang tua menentukan pasangan hidup untuk
anaknya.
Peran orang tua masih sangat besar dalam menjodohkan putra putrinya.
3. Apakah perjodohan pada masyarakat Buntet Pesantren selalu pada kerabat
terdekat.
Kebanyakannya iya, karena yang menjadi faktornya perjodohan adalah untuk
menjaga keturunan. Oleh sebab itu pernikahan dengan saudara agar untuk
keberlangsungan pondok Buntet Pesantren.
4. Faktor apa saja yang menjadikan para kyai menjodohkan putra putrinya.
Faktor yang paling berpengaruh adalah menjaga nasab (keturunan). kemudian
faktor yang menjadi alasan untuk menjodohkan, akhlak yang sholeh dan seorang
72
69
kyai akan menjodohkan putrinya dengan lelaki yang bisa ngaji (pintar dalam ilmu
agama).
5. Pada usia berapa putra putri kiai dijodohkan.
Ada yang sudah dijodohkan sejak kecil, tapi kebanyakan dijodohkan saat
memasuki usia baligh.
6. Apakah keluarga Buntet Pesantren sangat menjunjung tinggi tradisi
perjodohan.
Iya, tradisi perjodohan berdampak positif bagi masyarakat dan keluarga Buntet
Pesantren, oleh sebab itu tradisi perjodohan masih lestari di keluarga Kyai
Buntet Pesantren.
7. Apa yang menjadi dasar para Kyai menjodohkan putra putrinya.
Yang menjadi dasar para Kyai menjodohkan putra putrinya adalah hadis yang
diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a. “seorang perempuan dinikahi karena empat
perkara, karena hartanya, karena kedudukannya, karena kecantikannya, (atau)
karena agamanya”.
Nama: Ustadz M. Lutfi Yusuf
Hari/Tanggal: Jum’at, 31 Juli 2015
1. Bagaimana tradisi perjodohan yang dilaksanakan oleh keluarga kyai Buntet
Pesantren.
73
69
Perjodohan di Buntet dibagi menjadi dua: 1. Pada zaman dahulu di Buntet
Pesantren anak laki-laki dan perempuan di Jodohkan. 2. Saat ini di Buntet
Pesantren, cenderung yang dijodohkan perempuan.
2. Seberapa penting peran orang tua menentukan pasangan hidup untuk
anaknya.
Saat ini peran orang tua hanya menawarkan kepada anaknya yang akan
dijodohkan, apakah ia bersedia atau tidak. Tidak ada unsur pemaksaan seperti
dulu.
3. Apakah perjodohan pada masyarakat Buntet Pesantren selalu pada kerabat
terdekat.
Kebanyakan iya pada kerabat terdakat, tetapi ada juga kepada keluarga kyai di
luar Buntet Pesantren.
4. Faktor apa saja yang menjadikan para kyai menjodohkan putra putrinya.
Faktor yang paling berpengaruh adalah menjaga nasab (keturunan)
5. Pada usia berapa putra putri kiai dijodohkan.
Saat memasuki usia baligh.
6. Apakah keluarga Buntet Pesantren sangat menjunjung tinggi tradisi
perjodohan.
Persontase perjodohan di Buntet Pesantren telah menurun. Oleh sebab itu dapat
dikatakan hanya beberapa kyai saja yang masih menerapkan konsep perjodohan.
Nama: KH Salman Al Farisi
Hari/Tanggal: Minggu, 02 Agustus 2015
1. Bagaimana tradisi perjodohan yang dilaksanakan oleh keluarga kyai Buntet
Pesantren.
74
69
Riwayat asal mula tradisi perjodohan di Buntet Pesantren, dimulai dari pesan KH
Abdul Jamil kepada anak-anaknya “Kawinnya jangan saam orang jauh, lebih
baik dengan orang dekat (saudara)”. Penjelasannya adalah, jika kita menikah
dengan orang dekat (saudara) dapat saling memaklumi baik kekurangan maupun
kelebihan kita, karena yang namanya perkawinan itu tidak bisa lepas dengan
ma’isyah (sumber kehidupan).
2. Seberapa penting peran orang tua menentukan pasangan hidup untuk
anaknya.
Peran orang tua masih sangat besar dalam menjodohkan putra putrinya. Karena
ada hak ijbar wali (orang tua).
3. Apakah perjodohan pada masyarakat Buntet Pesantren selalu pada kerabat
terdekat.
Tidak selalu kerabat dekat. Bisa juga dengan kerabat jauh, seperti saya sendiri
yang nikah dengan istri saya yang tidak ada hubungan kerabat dengan Buntet
Pesantren. Alasan para kyai menjodohkan anaknya kepada kerabatnya karena
sudah saling mengetahui.
4. Faktor apa saja yang menjadikan para kyai menjodohkan putra putrinya.
Faktor yang paling berpengaruh adalah menjaga nasab (keturunan).
5. Pada usia berapa putra putri kiai dijodohkan.
Ada yang sudah dijodohkan sejak kecil, tapi kebanyakan dijodohkan saat
memasuki usia baligh.
6. Apakah keluarga Buntet Pesantren sangat menjunjung tinggi tradisi
perjodohan.
75
69
Tidak menjadi keputusan mutlak. karena saat ini sudah ada kelonggaran dalam
keluraga kyai, terutama anak laki-laki biasanya mendapat kelonggaran untuk
memilih jodoh.
7. Apa yang menjadi dasar para Kyai menjodohkan putra putrinya.
Yang menjadi dasar para Kyai menjodohkan putra putrinya adalah hadis yang
diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a. “seorang perempuan dinikahi karena empat
perkara, karena hartanya, karena kedudukannya, karena kecantikannya, (atau)
karena agamanya”.
Nama: FINA NURUL FITRIAH
Hari/tanggal: Rabu, 16 September 2015
8. Bagaimana tradisi perjodohan yang dilaksanakan oleh keluargakyai Buntet
Pesantren.
Dari pihak perempuan mendatangi rumah laki-laki untuk meminta atau
meminang calon penganten laki-laki, disebut daden-daden.
9. Seberapa penting peran orang tua menentukan pasangan hidup untuk
anaknya
Sangat berperan penting, karena pihak perempuan yang dijodohi selalu menuruti
apa kata orang tua, manut ke orang tua..
10. Apakah perjodohan pada masyarakat Buntet Pesantren selalu pada kerabat
terdeka.
76
69
Biasanya seperti itu, selalu pada keluarga terdekat atau saudara jauh. Tapi
seringnya selalu saudara dekat.
11. Faktor apa saja yang menjadikan para kyai menjodohkan putra putrinya.
Mungkin salah satu faktornya yaitu karena keluarga dekat atau saudara dekat
jadi dijodohkan anak-anaknya, atau kalau saudara jauh, supaya lebih dekat
kekeluargaan atau persaudaraan biar makin erat.
12. Pada usia berapa putra putri kiai dijodohkan.
Tidak tentu, tapi biasanya dari umur 18 sampe 22 tahun
13. Apakah keluarga Buntet Pesantren sangat menjunjung tinggi tradisi
perjodohan.
Waktu dulu iya, tapi sekarang banyak juga banyak yang tidak melakukan
perjodohan.
14. Bagaimana respon anda sebagai anak Kyai yang dijodohkan?
Respon saya, ya semua ini pasti ada maksud baik dan intinya kalau nurut sama
orang tua, pasti kesananya akan baiak-baik saja..