23
TOXIC EPIDERMAL NECROLYSIS 1 Putri Krishna Kumara Dewi RSUP/FK UNRAM MATARAM-NTB I. PENDAHULUAN Toxic Epidermal Necrolysis (TEN) bersama Steven-Johnson Syndrome (SJS) merupakan reaksi mukokutaneus membahayakan dengan karakteristik nekrosis ekstensif dan pelepasan epidermis. TEN dan SJS adalah gangguan langka dengan angka insidensi 1 6 kasus per 1 juta orang per tahun (Valeyrie-Alanore, 2008). Insidensi TEN dilaporkan adalah 0,4 1,2 kejadian tiap 1 juta orang/tahun, dengan kasus tersering terjadi pada usia > 40 tahun (Wolff, 2008). Kesamaan gambaran klinis, histopatologis, etiologi akibat obat, dan mekanisme, membuat SJS dan TEN dikelompokkan menjadi satu kelompok penyakit epidermal necrolysis. Karakteristik epidermal necrolysis (EN) adalah apoptosis keratinosit dan pengelupasan epidermis sehingga area dermis terpapar lingkungan luar, serupa dengan luka bakar. TEN dan SJS dibedakan berdasarkan luas perlukaan tubuh yang terlibat. Karakteristik SJS adalah pengelupasan kulit kurang dari 10% total body surface area (TBSA), sedangkan lebih dari 30% TBSA terlibat pada TEN (Widgerow, 2011). Nekrolisis yang melibatkan 10% - 30% TBSA didefinisikan sebagai SJS-TEN overlaping (Harr, 2010). Etiologi dan patofisiologi EN belum diketahui secara jelas, namun faktor genetik yang berpengaruh terhadap hipersensitivitas terhadap obat merupakan faktor yang paling banyak diteliti (Harr, 2010). Insidensi yang jarang dan keparahan penyakit yang diderita memberikan alasan untuk melaporkan dan menelaah kejadian EN yang terjadi di RSUP NTB pada tanggal 16 19 November 2011. Demikian pula untuk menjadi salah satu syarat menyelesaikan kepanitraan klinik madya di bagian penyakit kulit dan kelamin RSUP NTB.

Toxic Epidermal Necrolysis

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Toxic Epidermal Necrolysis

TOXIC EPIDERMAL NECROLYSIS

1

Putri Krishna Kumara Dewi

RSUP/FK UNRAM

MATARAM-NTB

I. PENDAHULUAN

Toxic Epidermal Necrolysis (TEN) bersama Steven-Johnson Syndrome (SJS) merupakan

reaksi mukokutaneus membahayakan dengan karakteristik nekrosis ekstensif dan pelepasan

epidermis. TEN dan SJS adalah gangguan langka dengan angka insidensi 1 – 6 kasus per 1

juta orang per tahun (Valeyrie-Alanore, 2008). Insidensi TEN dilaporkan adalah 0,4 – 1,2

kejadian tiap 1 juta orang/tahun, dengan kasus tersering terjadi pada usia > 40 tahun (Wolff,

2008).

Kesamaan gambaran klinis, histopatologis, etiologi akibat obat, dan mekanisme,

membuat SJS dan TEN dikelompokkan menjadi satu kelompok penyakit epidermal

necrolysis. Karakteristik epidermal necrolysis (EN) adalah apoptosis keratinosit dan

pengelupasan epidermis sehingga area dermis terpapar lingkungan luar, serupa dengan luka

bakar. TEN dan SJS dibedakan berdasarkan luas perlukaan tubuh yang terlibat. Karakteristik

SJS adalah pengelupasan kulit kurang dari 10% total body surface area (TBSA), sedangkan

lebih dari 30% TBSA terlibat pada TEN (Widgerow, 2011). Nekrolisis yang melibatkan 10%

- 30% TBSA didefinisikan sebagai SJS-TEN overlaping (Harr, 2010).

Etiologi dan patofisiologi EN belum diketahui secara jelas, namun faktor genetik yang

berpengaruh terhadap hipersensitivitas terhadap obat merupakan faktor yang paling banyak

diteliti (Harr, 2010).

Insidensi yang jarang dan keparahan penyakit yang diderita memberikan alasan untuk

melaporkan dan menelaah kejadian EN yang terjadi di RSUP NTB pada tanggal 16 – 19

November 2011. Demikian pula untuk menjadi salah satu syarat menyelesaikan kepanitraan

klinik madya di bagian penyakit kulit dan kelamin RSUP NTB.

Page 2: Toxic Epidermal Necrolysis

TOXIC EPIDERMAL NECROLYSIS

2

II. LAPORAN KASUS

1. Identitas Pasien

Nama : Tn. “S”

Usia : 52 tahun

Pekerjaan : petani

Agama : Islam

Alamat: Gangga, Lombok Utara

Waktu Pemeriksaan: 16 – 19 November 2011

2. Anamnesis

b. Keluhan Utama: kulit seluruh tubuh menghitam dan terkelupas di punggung,

bokong, hingga paha belakang.

c. Riwayat Penyakit Sekarang: pasien datang ke UGD RSU NTB pada tanggal 14

November 2011 setelah dirujuk dari RSUD Tanjung. Di RSUD Tanjung pasien telah

dirawat selama 3 hari. Pertama kali pasien datang ke RSUD Tanjung dengan keluhan

utama kulit si seluruh tubuh menghitam dan terkelupas, serta dirasa sangat nyeri bila

disentuh. Awalnya pasien mengalami nyeri tenggorokan disertai sulit menelan dan

batuk kering. Hanya diobati dengan larutan penyegar yang dibeli di warung, terjadi

sekitar 2 minggu sebelum pemeriksaan. Keesokan hari setelah nyeri tenggorokan,

timbul bercak-bercak merah yang tidak meninggi dan tidak gatal pada kulit tubuh.

Awal timbul di bahu belakang, kemudian menyebar ke seluruh badan dan anggota

gerak, sampai merata mengenai seluruh tubuh. Sekitar 4 hari setelah mulai timbul

bercak kemerahan, kemudian bercak tersebut berubah menjadi kantong-kantong berisi

air yang makin lama makin membesar, disertai perubahan warna kulit menjadi lebih

hitam. Kantong-kantong berisi air kemudian mulai pecah disertai kulit yang mulai

mengelupas (keluarga tidak ingat kapan persisnya mulai terjadi). Selain timbul

gelembung-gelembung di kulit, pasien juga merasa sariawan yang diderita bertambah

parah dan tidak sembuh, sangat nyeri dan berdarah bila mulut diregangkan, sampai

pasien mulai sulit membuka mulut.

Pasien awalnya tidak dibawa ke dokter atau puskesmas karena keluarga mengira

penyakit pasien terjadi akibat terkena ilmu hitam. Sekitar 1 minggu sebelum

Page 3: Toxic Epidermal Necrolysis

TOXIC EPIDERMAL NECROLYSIS

3

pemeriksaan keluarga membawa pasien ke RSUD Tanjung karena kulit yang

menggelembung dan mengelupas semakin banyak dan pasien mengalami sesak napas.

Setelah dirawat di RSUD tanjung selama 3 hari, pasien dirujuk ke RSU NTB pada

tanggal 14 November 2011. Sejak dirawat di RSU NTB gelembung berisi cairan

sudah tidak muncul lagi.

Diakui keluarga selama ini pasien hanya mengalami sesak napas 1 kali saat akan

dibawa ke RSUD Tanjung, dan tidak pernah kambuh lagi. Riwayat batuk berdahak

atau darah disangkal, riwayat berak berdarah juga disangkal.

Diakui keluarga dan pasien, pasien sering mengkonsumsi obat dan jamu untuk

menghilangkan gejala rematik. Obat dibeli sendiri di warung, namun tidak tahu

mereknya. Jamu obat rematik juga sering diminum. Jamu yang diminum merupakan

jamu tanpa merek yang dibeli di warung. Jamu dan obat rematik diakui hanya

diminum bila rasa nyeri di sendi muncul saja. Terakhir pasien mengkonsumsi jamu

sekitar awal Oktober lalu.

d. Riwayat Penyakit Dahulu: Riwayat hipertensi (+), kontrol hanya bila ada keluhan

nyeri kepala disertai rasa kaku di leher, tekanan darah tidak diketahui.

e. Riwayat Penyakit Keluarga: riwayat keluarga dengan alergi obat/makanan/cuaca (-)

f. Riwayat Alergi: Riwayat alergi makanan (-), obat (-), debu/cuaca (-)

g. Riwayat Penggunaan Obat: pasien telah sering mengkonsumsi obat rematik dan

jamu rematik sejak sekitar 2 tahun lalu, namun belum pernah mengalami keluhan

apapun setelah minum obat maupun jamu. Diakui pasien jamu yang diminum sering

berganti-ganti.

3. Pemeriksaan Fisik & Follow up

a. Kamis, 17 November 2011

Kesadaran: Compos Mentis

KU: sangat lemah

TV:

o TD: sulit dievaluasi

o N: 110 x/menit

o RR: 22 x/menit

o Suhu: sulit dievaluasi

Status lokalis kulit:

Page 4: Toxic Epidermal Necrolysis

TOXIC EPIDERMAL NECROLYSIS

4

o Terdapat denuded area luas di bagian belakang tubuh, mulai dari daerah

cervical posterior meluas sampai ke femoralis posterior dextra et sinistra.

Denuded area membasah dengan dasar hiperemis, mudah berdarah pada

penekanan, dan nyeri sentuh (+).

o Terdapat area epidermolysis pada seluruh permukaan tubuh, Nikolsky

Sign (+) pada seluruh permukaan kulit kecuali telapak tangan, telapak

kaki, dan kulit kepala.

o Bula (-), vesikel (-)

o Mukosa labium oris superior et inferior: krusta tebal kehitaman, menutupi

seluruh permukaan bibir, darah (-), sangat nyeri sampai sulit membuka

mulut.

o Mukosa konjungtiva ODS: erosi (-), hiperemis (-).

o Mukosa glans penis: erosi hiperemis membasah di seluruh permukaan

glans, nyeri sentuh (+).

b. Jumat, 18 November 2011

Kesadaran: Compos Mentis

KU: sangat lemah

TV:

o TD: sulit dievaluasi

o N: 120 x/menit

o RR: 25 x/menit

o Suhu: sulit dievaluasi

Status lokalis kulit:

o Perluasan denuded area (+) pada regio cruris posterior dextra et sinistra

sampai sebatas malleolus, diperkirakan akibat gesekan kaki yang sering

dilakukan pasien.

o UKK lainnya belum mengalami perubahan

c. Sabtu, 19 November 2011

1. 08.30

Kesadaran: Compos Mentis

KU: sangat lemah

TV:

Page 5: Toxic Epidermal Necrolysis

TOXIC EPIDERMAL NECROLYSIS

5

o TD: sulit dievaluasi

o N: 95 x/menit

o RR: 20 x/menit

o Suhu: sulit dievaluasi

Status lokalis kulit:

o Perubahan UKK denuded area: bertambah (-), terlihat sedikit lebih kering

dari hari sebelumnya.

o Penambahan erosi pada mukosa glan penis (-), penyembuhan erosi (-)

o Bula (-), vesikel (-)

o Penambahan luas krusta pada mukosa bibir (-), keterlibatan mukosa

cavum oris tidak dapat diamati, nyeri menelan (-), sudah dapat membuka

mulut ±5 mm lebih besar dari hari sebelumnya.

2. 15.30 – 17.30

Kompres NaCl di bagian belakang tubuh, membersihkan badan pasien.

17.30

o Kesadaran: Compos Mentis

o KU: sangat lemah, terlihat sangat kesakitan

o TV:

TD: 150 mmHg/pal

N: 120 x/menit

RR: 22 x/menit

Suhu: sulit dievaluasi

o Status lokalis kulit:

Penambahan dan perluasan UKK dan mukosa sejak

pengukuran sebelumnya (-)

Perbaikan UKK dan mukosa sejak pengukuran sebelumnya (-)

Bleeding minimal pada denuded area di regio brachii dextra,

bekas penekanan manset.

20.00

o Kesadaran: Compos Mentis

o KU: sangat lemah, kesan kesakitan telah berkurang

o Urine output 6 jam (14.00 – 20.00): 500 cc (warna merah bata)

22.00

Page 6: Toxic Epidermal Necrolysis

TOXIC EPIDERMAL NECROLYSIS

6

o Kesadaran: Compos Mentis

o KU: lemah, kesan kesakitan sudah berkurang

o TV:

TD: 140 mmHg/pal

N: 92 x/menit; reguler

RR: 20 x/menit, reguler; retraksi (-)

Suhu: sulit dievaluasi

o Urine Output (20.00 – 22.00): ± 75 cc (warna merah bata)

o Minum (18.00 – 22.00): susu 2 gelas (± @ 200 ml) = 400 cc

d. Minggu, 20 November 2011

08.00

o Kesadaran: Compos Mentis

o KU: lemah, stabil

o TV:

TD: 130 mmHg/pal

N: 90 x/menit

RR: 20 x/menit

Suhu: sulit dievaluasi

o Urine Output (22.00 – 08.00): 1100 cc (warna merah bata)

o Minum: susu & air putih 5 gelas (± @ 200 cc) = 1000 cc

14.00

o Kesadaran: Compos mentis

o KU: lemah, stabil

o TV:

TD: 140 mmHg/pal

N: 93 x/menit

RR: 26 x/menit

Suhu: sulit dievaluasi

o Urine output (08.00 – 14.00): 350 cc (warna merah bata)

o Minum (08.00 – 14.00): susu dan energen 6 gelas (± @200 cc) = 1200

19.00

o Kesadaran: compos mentis

o KU: lemah

Page 7: Toxic Epidermal Necrolysis

TOXIC EPIDERMAL NECROLYSIS

7

o TV:

TD: 140 mmHg/pal

N: 110 x/menit

RR: 24 x/menit

Suhu: sulit dievaluasi

o Urine output (14.00 – 19.00): 200 cc

Minum (14.00 – 19.00): -

20.30

o Kesadaran: Compos mentis

o KU: lemah, sesak berat, gelisah, demam

o TV:

TD: 130/80 mmHg

RR: 35 x/menit, cepat, dangkal, retraksi suprasternal (+) epigastrial

(+) interkostal (+)

N: 125 x/menit, reguler, lemah, volume pengisian kurang

Suhu: sulit dievaliasi

o Cor: S1S2 tunggal, murmur (-)

o Pulmo: vesikuler +/+, Rhonki +/+ inspirasi-ekspirasi

o Urine output (19.00 – 20.30): 50 cc

o Minum: -

21.15

o Kesadaran: E1V1M1

o TV:

N: carotis (-)

RR: 1 kali

o Cor: berdetak 2 kali, kemudian (-)

o Pulmo: respirasi (-)

o Pupil: diameter ± 3 mm, refleks pupil -/-

21.30

o RJP (15 mt): -

o TV: -

o GCS: E1V1M1

o Cor/pulmo: -/-

Page 8: Toxic Epidermal Necrolysis

TOXIC EPIDERMAL NECROLYSIS

8

o Pupil: diameter ± 6 mm, refleks pupil -/-

e. Infus masuk:

18.00 – 24.00 (Sabtu, 19-11-2011): RL 400 cc, 20 tpm

24.00 – 17.00 (Minggu, 20-11-2011): RL 500 cc

17.00 – 18.00 (Minggu, 20-11-2011): D5 100 cc, 20 tpm

4. Terapi

a. Metylprednisolone 375 mg/hari IV

b. Ceftriaxon 2 gr/hari

c. Ranitidin 1 ampul/12 jam

d. Borax gliserin untuk bibir

e. Tetes mata chloramphenicol ODS

f. Analgetik bila perlu

Page 9: Toxic Epidermal Necrolysis

TOXIC EPIDERMAL NECROLYSIS

9

III. PEMBAHASAN

Hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik yang dilakukan pada pasien mengarahkan pada

diagnosis kelompok penyakit epidermal necrolysis (EN). Epidermal necrolysis dapat

disebabkan karena infeksi maupun reaksi alergi dan ditandai dengan dermis yang terpapar

dunia luar akibat pengelupasan epidermis karena apoptosis sel. Hasil anamnesis dan

pemeriksaan fisik yang terdapat pada pasien dan mengarahkan pada diagnosis ini adalah:

Pemeriksaan Fisik:

o Lesi kulit akibat apoptosis sel epidermis berupa denuded area dan denudable

area yang ditunjukkan dengan Nikolsky sign (+).

o Keterlibatan mukosa berupa krusta tebal kehitaman yang menutupi seluruh

area bibir, dan erosi melingkar pada area glan penis.

Anamnesis:

o Riwayat pengunaan obat dan jamu rematik, dengan penggunaan terakhir ±4

minggu sebelum onset penyakit.

o Riwayat perjalanan penyakit sesuai dengan perjalanan EN berupa gejala

prodromal nyeri tenggorokan, setelahnya timbul bercak merah yang meluas

dan berubah menjadi gelembung berisi air yang saat pecah menimbulkan area

terkelupas.

o Lesi awal muncul di tubuh atas dan bahu, yang menyebar sampai ke seluruh

tubuh.

Hasil anamnesis menunjukkan EN pada pasien ini kemungkinan terjadi akibat reaksi

alergi terhadap obat. Obat dan jamu rematik yang dinimum pasien kemungkinan memiliki

komponen berupa golongan obat dengan resiko tinggi untuk menyebabkan EN. Golongan

obat yang dapat penyebabkan EN, terbagi menurut resikonya dan tersaji dalam tabel berikut:

Page 10: Toxic Epidermal Necrolysis

TOXIC EPIDERMAL NECROLYSIS

10

Gambar 1. Tabel Resiko Epidermal Necrolysis pada Berbagai Obat

Sumber: Valeyrie-Allanore, L & Roujeau, Jean Claude. 2008. Epidermal Necrolysis (Stevens-

Johnson Syndrome and Toxic Epidermal Necrolysis) dalam: Fizpatrick’s Dermatology in

General Medicine. The McGraw-Hill Companies. p. 350.

Epidermal Necrolysis merupakan suatu kelompok penyakit yang terdiri atas Stevens-

Johnson Syndrome, dan Toxic Epidermal Necrolysis. Penyakit dalam kelompok EN

dibedakan berdasarkan luas area tubuh yang terlibat. Suatu EN disebut sebagai SJS bila luas

permukaan tubuh yang terkena <10%, disebut sebagai TEN bila luas permukaan tubuh yang

terkena >30%, dan disebut SJS-TEN overlap pada keadaan luas permukaan tubuh yang

terlibat antara 10 – 30%. Perkiraan luas permukaan tubuh yang terlibat diilustrasikan pada

gambar berikut:

Page 11: Toxic Epidermal Necrolysis

TOXIC EPIDERMAL NECROLYSIS

11

Gambar 2. Diagnosis Penyakit dalam Kelompok Epidermal Necrolysis berdasarkan luas

permukaan tubuh yang terlibat.

Sumber: Harr Thomas & French Lars E. 2010. ‘Toxic Epidermal Necrolysis and Stevens-

Johnson Syndrome’ Orphanet Journal of Rare Disease 5:39, p. 3.

Luas permukaan tubuh yang terlibat pada pasien dapat dihitung menggunakan rumus

perhitungan luas luka bakar. Pada orang dewasa terdapat beberapa cara untuk menghitung

luas permukaan tubuh yang terlibat dalam luka bakar. Role of 9 merupakan cara yang paling

sering digunakan, dengan tambahan ‘age-adjusted burn chart/diagram’ untuk perhitungan

luas permukaan tubuh dengan lebih detail. Cara-cara menghitung luas permukaan tubuh

dalam penanganan luka bakar tersaji dalam tiga gambar berikut ini:

Page 12: Toxic Epidermal Necrolysis

TOXIC EPIDERMAL NECROLYSIS

12

Gambar 3. Diagram ‘role of 9’

Sumber: Irwin Richard S., & Rippe James M. 2008. Burn Management, dalam: Irwin and

Rippe’s Intensive Care Medicine, 6th Edition. Lippincott Williams and Wilkins. p. – (e-

book).

Gambar 4. Berkow Chart for The Estimation of Burn Size

Sumber: Irwin Richard S., & Rippe James M. 2008. Burn Management, dalam: Irwin and

Rippe’s Intensive Care Medicine, 6th Edition. Lippincott Williams and Wilkins. p. – (e-

book).

Page 13: Toxic Epidermal Necrolysis

TOXIC EPIDERMAL NECROLYSIS

13

Gambar 5. Aged Adjusted Burn Diagram.

Sumber: Fritz, David A. 2008. Burn and Smoke Inhalation, dalam: Current Diagnosis and

Treatment Emergency Medicine, 6th Edition. Lange Medical Book – Mcgraw-Hill

Companies. p. – (e-book).

Luas area tubuh yang terlibat pada EN bukan hanya dihitung berdasarkan luas denuded area,

yaitu dermis yang terkelupas, namun juga luas denudable area yang ditandai dengan

Nikolsky sign (+). Denuded area pada pasien ini terdapat pada seluruh bagian belakang

tubuhnya, mulai dari regio cervikalis posterior sampai sebatas poplitea, dan ekstremitas

superior proksimal. Nikolsky sign pada pasien ini positif pada seluruh wilayah tubuh bagian

depan kecuali kulit kepala, kedua telapak tangan dan telapak kaki, dan pada regio cruris

posterior. Maka berdasarkan Berkow chart dan ‘aged adjusted burn diagram’ jumlah

persentase luas area permukaan tubuh yang terlibat adalah:

Wajah (setengah permukaan kepala) : 3,5

Leher depan & belakang : 2

Tubuh depan-belakang : 26

Bokong kiri & kanan : 5

Genitalia : 1

Page 14: Toxic Epidermal Necrolysis

TOXIC EPIDERMAL NECROLYSIS

14

Ekstremitas atas kanan kec. telapak : 8,25

Ekstremitas atas kiri kec. telapak : 8,25

Ekstremitas bawah kanan kec. telapak : 18,25

Ekstremitas bawah kiri kec. telapak : 18,25

Total : 90,5%

Berdasarkan klasifikasi penentuan diagnosis dalam kelompok penyakit EN yang digolongkan

menurut luas permukaan tubuh yang terlibat, pasien ini terdiagnosis menderita TEN atau

Toxic Epidermal Necrolysis.

Terapi pada pasien TEN terbagi menjadi terapi simtomatis atau suportif dan terapi

spesifik. Terapi suportif bertujuan menjaga keseimbangan hemodinamik dan mencegah

komplikasi berbahaya. Nekrosis dan pengelupasan epidermis menyebabkan hilangnya cairan

tubuh secara signifikan. Wolff et al (2007) menyarankan terapi cairan pada TEN sesuai

dengan terapi cairan pada luka bakar derajat tiga, sedangkan Valeyrie-Allanore et al (2008)

menyebutkan bahwa akibat tidak adanya edema interstisial pada TEN seperti yang terjadi

pada luka bakar, maka terapi cairan yang dibutuhkan biasanya lebih sedikit dari terapi cairan

yang dibutuhkan pasien luka bakar dengan derajat yang sama.

Tujuan untuk mencapai keseimbangan hemodinamik dicapai dengan mengatur jumlah

cairan yang diberikan kepada pasien untuk menghasilkan jumlah urine normal (di atas 1

ml/kgBB/jam pada penderita luka bakar). Perhitungan untuk menentukan jumlah cairan yang

diperlukan pada penderita luka bakar dapat dihitung dengan rumus Evans atau Baxter

Evans : 1. Luas luka (%) x BB (kg) = ml NaCl/24jam

2. Luas luka (%) x BB (kg) = ml plasma/24jam

3. 2000 ml Glukosa 5%/24jam

Separuh jumlah cairan 1+2+3 diberukan dalam 8 jam pertama, sisanya 16 jam

berikutnya. Pada hari kedua diberikan jumlah cairan setengah dari jumlah awal,

dan pada hari ke tiga diberikan setengah dari jumlah hari kedua. Bila pada hari

ketiga pasien sudah bisa minum dengan baik dan diuresis memuaskan, infus dapat

dikurangi bahkan dihentikan.

Baxter : Luas luka (%) x BB (kg) x 4 ml

Separuh jumlah cairan ini diberikan pada 8 jam pertama, sisanya diberikan dalam

16 jam berikutnya. Pada hari pertama diberikan RL sebagai pengganti cairan

sekaligus elektrolit. Hari kedua diberikan setengah jumlah cairan pada hari

pertama.

Page 15: Toxic Epidermal Necrolysis

TOXIC EPIDERMAL NECROLYSIS

15

Perhitungan jumlah cairan yang harus diberikan pada pasien ini (dengan perkiraan BB 55 kg)

dengan menggunakan rumus:

Baxter:

90,5% x 55 kg x 4 ml = 19.910 ml (H1)

H2 = ½ H1 (9.955 ml)

H3 = ½ H2 (4.977,5 ml)

H4 = ½ H3 (2488,75 ml)

Evans:

1. NaCl : 90,5% x 55 kg = 4977,5 ml

2. Plasma : 4977,5 ml

3. D5 : 2000 ml

Total: 11955 ml (H1)

H2 : ½ H1 (5977,5 ml)

H3 : ½ H2 (2988,75 ml)

H4 : ½ H3 (1494,3 ml) NaCl : koloid : D5 = 1 : 1 : 1 (@ 500 cc)

Terapi cairan disebut berhasil bila diuresis pada penderita sekurang-kurangnya 1

ml/kgBB/jam. Pada pasien ini sekurang-kurangnya harus 55 ml/jam atau 1320 ml/24 jam.

Bila penderita sudah mampu minum dan peristaltis baik, maka minum dapat diberikan

dengan aturan sebanyak 25 ml/kgBB/hari sampai diuresis sekurang-kurangnya mencapai 30

ml/jam. Pada pasien ini minum harus diberikan sebanyak 1375 ml/hari atau sesuai dengan

takaran gelas 200 cc yang dimiliki pasien, minum diberikan sebanyak 7 gelas/hari sampai

diuresis sekurang-kurangnya 720 ml/hari.

Saat pengukuran keseimbangan cairan dimulai, pasien ini sudah dapat minum dengan

baik. Pada saat seperti ini, pasien mendapatkan cairan maintenance dengan formulasi:

1500 ml/m2 + [(25 + % TBSA burn) x m

2 x 24 = 1500 + 2772

Cairan maintenance = 4272 ml/hari

Sesuai pernyataan Valeyrie-Allanore et al (2008) bahwa terapi cairan pada TEN tidak

sebanyak terapi cairan pada luka bakar dengan derajat yang sama akibat tidak terbentuknya

edema interstisial, maka jumlah cairan maintenance yang digunakan kurang dari angka di

atas. Hanya perlu dipertahankan urine output sebesar 1000 sampai 1500 ml/24 jam.

Page 16: Toxic Epidermal Necrolysis

TOXIC EPIDERMAL NECROLYSIS

16

Mempertahankan keseimbangan cairan dalam tubuh pada pasien dengan TEN atau luka

bakar dengan umur luka 1 minggu dan perawatan hari keempat dilakukan dengan cara

menyeimbangkan asupan cairan masuk dan cairan yang keluar. Cairan masuk dan keluar

pasien yang terhitung selama 24 jam (18.00 – 18.00 keesokan harinya) adalah:

Cairan masuk:

o Infus: 1000 ml (RL dan D5)

o Minum: 2600 ml

o Total: 3600 ml

Cairan keluar:

o Urine output: 1725 ml

o IWL: evaporative water loss (pada luka bakar) + breathing water loss

: (25 + % TBSA burn) x m2 x 24 + 350 ml/hari

: 2772 ml/m2/hari + 350 ml/hari

: 3122 ml

o Total: 4847 ml

Defisit cairan: 1247 ml (estimasi berdasarkan rumusan defisit cairan pada luka

bakar, defisit pada TEN mungkin kurang dari ini)

Defisit cairan yang terjadi menjelaskan pasien yang selalu haus dan urine yang

merah bata.

Terapi nonspesifik lainnya dapat berupa antiseptik dan penutupan luka, antibiotik

profilaksis, debridemen, dan pemberian nutrisi dini. Valeyrie-Allanore et al (2008)

menyebutkan bahwa pemberian antibiotik profilaksis tidak direkomendasikan pada pasien

TEN kecuali bila dicurigai terjadi infeksi. Disebutkan pula debridemen tidak berguna pada

pasien TEN karena epidermis yang terkelupas tidak menghalangi reepitelisasi. Pemberian

nutrisi dini dimaksudkan untuk mempercepat penyembuhan dan menurunkan resiko

translokasi bakteri dari traktus gastrointestinal.

Beberapa medikasi spesifik disebutkan dalam studi potensial untuk menjadi regimen

terapi TEN. Namun keseluruhan terapi spesifik yang dianjurkan penggunaannya masih

kontroversial. Penggunaan kortikosteroid dosis tinggi disebutkan dapat mencegah

peningkatan keparahan penyakit pada fase awal. Namun beberapa studi lainnya menyebutkan

penggunaan kortikosteroid dosis tinggi tidak menghentikan progresifitas penyakit,

berhubungan dengan peningkatan mortalitas dan efek samping, dan pada beberapa kasus

Page 17: Toxic Epidermal Necrolysis

TOXIC EPIDERMAL NECROLYSIS

17

berhubungan dengan resiko terjadinya EN. Pemberian Imunoglobulin IV dianjurkan oleh

beberapa studi, namun dibantah kegunaannya oleh studi lainnya. Penggunaan cyclosporin A

dengan efek imunosopresif secara teori akan berguna dalam terapi TEN. Namun studi

prospektif harus dilakukan untuk mengetahui keuntungan dan kerugian penggunaannya.

Hemodialisis secara rasional ditujukan untuk mengeliminasi obat yang menjadi penyebab.

Namun kerugiannya ada pada kemungkinan infeksi yang besar yang masuk melalui kateter

IV yang digunakan.

Berdasarkan literatur yang telah dibahas di atas maka dapat disimpulkan bahwa terapi

yang direkomendasikan untuk pasien TEN sampai saat ini adalah terapi suportif berupa terapi

cairan dan elektrolit, penempatan di ruang intensif atau ruang isolasi untuk penderita dengan

skor SCORTEN lebih dari 1, dan perawatan luka. Pasien ini diberikan pula terapi antibiotik

profilaksis untuk menghindari infeksi yang kemingkinan besar akan terjadi. Kortikosteroid

dosis tinggi masih digunakan di Indonesia sebagai terapi standar pada TEN. Efek sampingnya

adalah sifat imunosopresif yang membuat pasien semakin rentan terhadap infeksi sebagai

tambahan pada dermis yang terpapar dan dapat menjadi tempat masuk mikroba.

Kematian pasien ini merupakan gabungan dari beberapa faktor. Sejak awal, pasien telah

datang dengan prognosis mortalitas buruk, dengan SCORTEN skor 4 atau mortalitas yang

diperkirakan akan terjadi sebesar 62,2% (tidak termasuk pemeriksaan bikarbonat yang

seharusnya juga digunakan untuk menentukan prognosis). Indikator dan perkiraan mortalitas

disajukan dalam gambar berikut:

Gambar 6. SCORTEN scoring system

Sumber: Abood Gerard J., Nickoloff Brian J., Gamelli Richard L. 2008. ‘Treatment

Strategies in Toxic Epidermal Necrolysis Syndrome: Where Are We At?’ Journal of Burn

Care and Research Volume 29, Number1, January/February 2008, American Burn

Association. p.272.

Page 18: Toxic Epidermal Necrolysis

TOXIC EPIDERMAL NECROLYSIS

18

Gambar 7. Perkiraan mortalitas berdasarkan skor total SCORTEN

Sumber: Abood Gerard J., Nickoloff Brian J., Gamelli Richard L. 2008. ‘Treatment

Strategies in Toxic Epidermal Necrolysis Syndrome: Where Are We At?’ Journal of Burn

Care and Research Volume 29, Number1, January/February 2008, American Burn

Association. p.272.

Kriteria SCORTEN yang terdapat pada pasien adalah (berdasarkan hasil pemeriksaan tanggal

14 November 2011):

a. Epidermal detachment 90,5%

b. Usia 52 tahun

c. Nadi >120 kali/menit

d. BUN 54 mg/dl

Glukosa sewaktu pasien 133 mg/dl, dan serum bikarbonat dan riwayat malignansi tidak

diketahui.

Kematian pasien dapat pula terjadi akibat komplikasi. Riwayat demam dengan sesak

dan ronkhi (+) mengarahkan pasien pada kemungkinan infeksi yang memang merupakan

penyebab kematian utama pasien TEN berupa sepsis dan/atau komplikasi infeksi pulmo yang

memang terjadi pada lebih dari 30% kasus. Sepsis didefinisikan sebagai SIRS yang

disebabkan oleh infeksi. Disebut SIRS bila terdapat dua atau lebih tanda berikut:

a. Demam (temperatur oral > 38°C) atau hipetermia (<36°C)

b. Takipneu (> 24 kali/menit)

c. Takikardia ( >90 kali/menit)

d. Leukositosis (>12.000/mikroliter) atau leukopenia (<4000/mikroliter) atau >10% band

Infeksi terjadi akibat dari beberapa faktor. Kulit yang tidak intak, walaupun dengan

pengobatan yang adekuat tetap perupakan potensi sumber infeksi yang besar. Pada pasien ini

dengan terapi kortikosteroid dosis tinggi seharusnya perawatannya dilakukan di ruang isolasi

Page 19: Toxic Epidermal Necrolysis

TOXIC EPIDERMAL NECROLYSIS

19

dengan pengawasan. Bercampurnya ruangan rawat antara pasien ini dengan pasien gangren

dapat menjadi penyebab infeksi nosokomial yang terjadi pada pasien ini.

Page 20: Toxic Epidermal Necrolysis

TOXIC EPIDERMAL NECROLYSIS

20

V. RINGKASAN

Pasien laki-laki usia 52 tahun datang dengan kulit sekujur tubuh melepuh sejak

seminggu sebelumnya. Riwayat penggunaan obat dengan resiko EN tinggi (+). Perjalanan

penyakit dimulai dengan gejala prodromal diikuti dengan tibulnya makula eritema diseluruh

tubuh, yang kemudian membentuk bula yang pecah dan terkelupas. Nokolsky sign (+) di

seluruh tubuh pasien ini.

Luas permukaan tubuh yang terkena adalah 90,5%, sehingga pasien didiagnosis sebagai

TEN. Luas lesi bersama dengan indikator lainnya dalam SCORTEN menentukan perkiraan

tingkat mortalitas pasien. Pada pasien ini tingkat mortalitasnya adalah 62,2%. Terapi yang

diberikan berupa terapi suportif san spesifik. Terapi suportif berupa perbaikan cairan dan

elektrolit, perawatan luka, penempatan di ruang intensif atau ruang isolasi, dan antibiotik

profilaksis. Terapi spesifik yang diberikan adalah kortikosteroid dosis tinggi, walaupun

penggunaannya masih kontroversial.

Kematian pasien ini disebabkan oleg beberapa faktor. Faktor yang paling mecolok

adalah infeksi nosokomial berupa curiga bronkopneumonia dan/atau sepsis akibat perawatan

gabung dengan pasien gangren disamping kenyataan pasien ini mendapat terapi

kortikosteroid dosis tinggi yang merupakan imunosupresan.

Page 21: Toxic Epidermal Necrolysis

TOXIC EPIDERMAL NECROLYSIS

21

VI. DOKUMENTASI

1. Denuded area, Nikolsky sign (+)

2. Keterlibatan mukosa (bibir)

Page 22: Toxic Epidermal Necrolysis

TOXIC EPIDERMAL NECROLYSIS

22

3. Keterlibatan mukosa konjungtiva (-)

Page 23: Toxic Epidermal Necrolysis

TOXIC EPIDERMAL NECROLYSIS

23

DAFTAR PUSTAKA

Abood Gerard J., Nickoloff Brian J., Gamelli Richard L. 2008. ‘Treatment Strategies in

Toxic Epidermal Necrolysis Syndrome: Where Are We At?’ Journal of Burn Care and

Research Volume 29, Number1, January/February 2008, American Burn Association.

Brunicardi, Charles, et al. 2008. Schuatz’s Principles of Surgery, 6th Edition. Mcgraw-Hill

companies.

Fauci, et al. 2008. Harrison’s Principles of Internal Medicine, 17th Edition. The McGraw-

Hill Companies.

Fritz, David A. 2008. Burn and Smoke Inhalation, dalam: Current Diagnosis and Treatment

Emergency Medicine, 6th Edition. Lange Medical Book – Mcgraw-Hill Companies. p.

– (e-book).

Guyton & Hall. 2006. Textbook of Medical Physiology, 11th Edition. NcGraw-Hill

companies.

Harr Thomas & French Lars E. 2010. ‘Toxic Epidermal Necrolysis and Stevens-Johnson

Syndrome’ Orphanet Journal of Rare Disease 5:39, p. 3.

Irwin Richard S., & Rippe James M. 2008. Burn Management, dalam: Irwin and Rippe’s

Intensive Care Medicine, 6th Edition. Lippincott Williams and Wilkins. p. – (e-book).

Sjamsuhidrajat, R & de Jong, Wim. 2005. Buku ajar Ilmu Bedah, Edisi ke-2. Jakarta: EGC.

Valeyrie-Allanore, L & Roujeau, Jean Claude. 2008. Epidermal Necrolysis (Stevens-Johnson

Syndrome and Toxic Epidermal Necrolysis) dalam: Fizpatrick’s Dermatology in

General Medicine. The McGraw-Hill Companies. p. 350.

Wolff Klause, Johnson Richard Allen, Suurmond Dick. 2007. Fizpatrick’s Color Atlas &

Sinopsis of Clinical Dermatomogy, 5th Edition, e-book. The McGraw-Hill Companies.