Upload
mathyasthanama
View
47
Download
9
Embed Size (px)
Citation preview
BAB I
Pendahuluan
Tonsilektomi merupakan suatu satu prosedur pembedahan tertua yang masih
dilakukan, berupa tindakan pengangkatan jaringan tonsila palatina dari fossa tonsilaris.
Tonsilektomi didiskripsikan pertama kali di India pada tahun 1000 SM. Pada tahun 1867,
Wise menyatakan bahwa orang Indian Asiatik terampil dalam tonsilektomi pada tahun 1000
SM. Frekuensi prosedur pembedahan menurun secara drastis sejak munculnya antibiotik.
Selain itu, pengertian yang lebih baik dari indikasi-indikasi untuk prosedur pembedahan ini
telah menurunkan frekuensinya, dari perkiraan 1,5 juta tonsilektomi di Amerika Serikat pada
tahun 1970 menjadi insidens 350.000 sampai 400.000 per tahun pada tahun 1985. Karena
pembedahan tonsila tidak bebas dari morbiditas dan mortalitas, adalah bijaksana untuk
menyadari bahwa prosedur ini, seperti setiap pembedahan lainnya, sebaiknya dilakukan
secara optimal dengan ketrampilan dalam teknik pembedahan.1
Teknik tonsilektomi terus mengalami perkembangan, tahun 1827 tonsil diangkat
menggunakan guillotine, pada saat itu dinamakan Primary enucleation, pertama kali
digunakan oleh Physick. Tahun 1867, Meyer menggunakan pisau berbentuk lingkaran,
mengangkat tonsila adenoid melalui cavitas nasi, pada pasien yang menderita penurunan
pendengaran dan sumbatan hidung. Pada tahun 1910 Wilis dan Pybus melaporkan
pengangkatan tonsil lengkap dengan kapsulnya. Pada tahun 1912, Sluder menemukan alat
untuk mengambil tonsil sehingga keberhasilan pengambilan tonsil lengkap dengan kapsulnya
mencapai 99,6 %. Teknik tonsilektomi lain terus dikembangkan seperti elektrokauter
ditujukan untuk mengurangi terjadinya efek yang tidak diharapkan dari tonsilektomi.2
1
BAB II
Anatomi dan Fisiologi Tonsil
2.1 Anatomi
Tonsil terdiri dari jaringan limfoid yang dilapisi oleh epitel respiratori. Tonsil
berbentuk oval dengan panjang 2-5 cm, masing-masing tonsil mempunyai 10-30 kriptus yang
meluas ke dalam jaringan tonsil. Cincin waldeyer merupakan jaringan limfoid yang
mengelilingi faring. Bagian terpentingnya adalah tonsil palatina dan tonsil faringeal
(adenoid). Unsur yang lain adalah tonsil lingual, gugus limfoid lateral faring dan kelenjar-
kelenjar limfoid yang tersebar dalam fosa Rosenmuller, di bawah mukosa dinding posterior
faring dan dekat orifisium tuba eustachius.3 Walaupun tonsil terletak di orofaring karena
perkembangan yang berlebih tonsil dapat meluas kearah nasofaring sehingga dapat
menimbulkan insufisiensi velofaring atau obstruksi hidung walau jarang ditemukan. Arah
perkembangan tonsil tersering adalah kearah hipofaring, sehingga sering menyebabkan sering
terjaganya anak saat tidur karena gangguan pada jalan nafas.4
2.1.1 Tonsil Palatina
Tonsil palatina adalah suatu massa jaringan limfoid yang terletak di dalam fosa tonsil
pada kedua sudut orofaring, dan dibatasi oleh pilar anterior (otot palatoglosus) dan pilar
posterior (otot palatofaringeus). Tonsil berbentuk oval dengan panjang 2-5 cm, masing-
masing tonsil mempunyai 10-30 kriptus yang meluas ke dalam jaringan tonsil. Tonsil tidak
selalu mengisi seluruh fosa tonsilaris, daerah yang kosong diatasnya dikenal sebagai fosa
supratonsilar. Tonsil terletak di lateral orofaring. Bagian anterior berbatasan dengan M.
Palatoglossus, posterior berbatasan dengan M. Palatofaringeus, superior berbatasan dengan
palatum molle, bagian inferior berbatasan dengan tonsil lingua, dan di lateral berbatasan
dengan M. konstriktor faring superior. Permukaan tonsil palatina ditutupi epitel berlapis
gepeng yang juga melapisi invaginasi atau kripti tonsila. Banyak limfanodulus terletak di
bawah jaringan ikat dan tersebar sepanjang kriptus. Limfonoduli terbenam di dalam stroma
jaringan ikat retikular dan jaringan limfatik difus. Limfonoduli merupakan bagian penting
mekanisme pertahanan tubuh yang tersebar di seluruh tubuh sepanjang jalur pembuluh
limfatik. Noduli sering saling menyatu dan umumnya memperlihatkan pusat germinal.
2
2.1.1.1 Fosa Tonsil
Fosa tonsil atau sinus tonsil dibatasi oleh otot-otot orofaring, yaitu batas anterior
adalah otot palatoglosus, batas lateral atau dinding luarnya adalah otot konstriktor faring
superior. Pilar anterior mempunyai bentuk seperti kipas pada rongga mulut, mulai dari
palatum mole dan berakhir di sisi lateral lidah. Pilar posterior adalah otot vertikal yang ke
atas mencapai palatum mole, tuba eustachius dan dasar tengkorak dan ke arah bawah meluas
hingga dinding lateral esofagus, sehingga pada tonsilektomi harus hati-hati agar pilar
posterior tidak terluka. Pilar anterior dan pilar posterior bersatu di bagian atas pada palatum
mole, ke arah bawah terpisah dan masuk ke jaringan di pangkal lidah dan dinding lateral
faring.3
2.1.1.2 Kapsul Tonsil
Bagian permukaan lateral tonsil ditutupi oleh suatu membran jaringan ikat, yang
disebut kapsul. Walaupun para pakar anatomi menyangkal adanya kapsul ini, tetapi para
klinisi menyatakan bahwa kapsul adalah jaringan ikat putih yang menutupi 4/5 bagian tonsil.3
2.1.1.3 Plika Triangularis
Diantara pangkal lidah dan bagian anterior kutub bawah tonsil terdapat plika
triangularis yang merupakan suatu struktur normal yang telah ada sejak masa embrio. Serabut
ini dapat menjadi penyebab kesukaran saat pengangkatan tonsil dengan jerat. Komplikasi
yang sering terjadi adalah terdapatnya sisa tonsil atau terpotongnya pangkal lidah.3
2.1.1.4 Pendarahan
Tonsil mendapat pendarahan dari cabang-cabang A. karotis eksterna, yaitu 1) A.
maksilaris eksterna (A. fasialis) dengan cabangnya A. tonsilaris dan A. palatina asenden; 2)
A. maksilaris interna dengan cabangnya A. palatina desenden; 3) A. lingualis dengan
cabangnya A. lingualis dorsal; 4) A. faringeal asenden. Kutub bawah tonsil bagian anterior
diperdarahi oleh A. lingualis dorsal dan bagian posterior oleh A. palatina asenden, diantara
kedua daerah tersebut diperdarahi oleh A. tonsilaris. Kutub atas tonsil diperdarahi oleh A.
faringeal asenden dan A. palatina desenden. Vena-vena dari tonsil membentuk pleksus yang
bergabung dengan pleksus dari faring. Aliran balik melalui pleksus vena di sekitar kapsul
tonsil, vena lidah dan pleksus faringeal.3
3
2.1.1.5 Aliran getah bening
Aliran getah bening dari daerah tonsil akan menuju rangkaian getah bening servikal
profunda (deep jugular node) bagian superior di bawah M. Sternokleidomastoideus,
selanjutnya ke kelenjar toraks dan akhirnya menuju duktus torasikus. Tonsil hanya
mempunyai pembuluh getah bening eferan sedangkan pembuluh getah bening aferen tidak
ada.3
2.1.1.6 Persarafan
Tonsil bagian atas mendapat sensasi dari serabut saraf ke V melalui ganglion
sfenopalatina dan bagian bawah dari saraf glosofaringeus.3
2.1.2 Tonsil Faringeal (Adenoid)
Adenoid merupakan masa limfoid yang berlobus dan terdiri dari jaringan limfoid
yang sama dengan yang terdapat pada tonsil. Lobus atau segmen tersebut tersusun teratur
seperti suatu segmen terpisah dari sebuah ceruk dengan celah atau kantong diantaranya.
Lobus ini tersusun mengelilingi daerah yang lebih rendah di bagian tengah, dikenal sebagai
bursa faringeus. Adenoid tidak mempunyai kriptus. Adenoid terletak di dinding belakang
nasofaring. Jaringan adenoid di nasofaring terutama ditemukan pada dinding atas dan
posterior, walaupun dapat meluas ke fosa Rosenmuller dan orifisium tuba eustachius. Ukuran
adenoid bervariasi pada masing-masing anak. Pada umumnya adenoid akan mencapai ukuran
maksimal antara usia 3-7 tahun kemudian akan mengalami regresi.3
2.1.3 Tonsil Lingua
Tonsil lingual terletak di dasar lidah dan dibagi menjadi dua oleh ligamentum
glosoepiglotika. Di garis tengah, di sebelah anterior massa ini terdapat foramen sekum pada
apeks, yaitu sudut yang terbentuk oleh papilla sirkumvalata.4
2.2 Fisiologi Tonsil
merupakan jaringan limfoid yang mengandung sel limfosit, 0,1-0,2% dari
keseluruhan limfosit tubuh pada orang dewasa. Proporsi limfosit B dan T pada tonsil adalah
50%:50%, sedangkan di darah 55-75%:15-30%. Pada tonsil terdapat sistim imun kompleks
yang terdiri atas sel M (sel membran), makrofag, sel dendrit dan APCs (antigen presenting
cells) yang berperan dalam proses transportasi antigen ke sel limfosit sehingga terjadi sintesis
4
imunoglobulin spesifik. Juga terdapat sel limfosit B, limfosit T, sel plasma dan sel pembawa
IgG.
Tonsil merupakan organ limfatik sekunder yang diperlukan untuk diferensiasi dan
proliferasi limfosit yang sudah disensitisasi. Tonsil mempunyai 2 fungsi utama yaitu 1)
menangkap dan mengumpulkan bahan asing dengan efektif; 2) sebagai organ utama produksi
antibodi dan sensitisasi sel limfosit T dengan antigen spesifik.3
Gambar 1. Anatomi Tonsil
Diunduh dari http://nhsblogdoc.blogspot.com/2008/12/tonsillectomy-another-reason-to-
pause.html pada tanggal 28 Juli 2009 pukul 20.30
5
BAB III
TONSILEKTOMI
3.1 Definisi
Tonsilektomi adalah operasi pengangkatan tonsil palatina baik unilateral maupun
bilateral. Tonsiloadenoidektomi adalah pengangkatan tonsil palatina dan jaringan limfoid di
nasofaring yang dikenal sebagai adenoid atau tonsil faringeal.4 Adapun pengertian lain yang
menyebutkan bahwa tonsilektomi adalah pembedahan eksisi tonsil palatina untuk mencegah
tonsilitis yang berulang. Tonsilektomi merupakan prosedur operasi yang praktis dan aman,
namun hal ini bukan berarti tonsilektomi merupakan operasi minor karena tetap memerlukan
keterampilan dan ketelitian yang tinggi dari operator dalam pelaksanaannya. Di AS karena
kekhawatiran komplikasi, tonsilektomi digolongkan pada operasi mayor. Di Indonesia,
tonsilektomi digolongkan pada operasi sedang karena durasi operasi pendek dan teknik tidak
sulit.
Gambar 2. Tonsilitis
Diunduh dari:
http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/8/84/Throat_with_Tonsils_0011J.jpeg pada
tanggal 30 juli 2009 pukul 20.05
3.2 Epidemiologi
6
Pada Amerika operasi tonsilektomi masih merupakan operasi yang paling sering
dikerjakan pada anak. Pada tahun 1959, 1,4 juta tonsilektomi dikerjakan pada Amerika
Serikat. Pada tahun 1987, jumlah operasi yang dikerjakan menurun hingga 260.000. Indikasi
operasi berubah dari indikasi karena infeksi, menjadi karena obstruksi jalan nafas.3
Di Indonesia, data nasional mengenai jumlah operasi tonsilektomi atau
tonsiladenoiktomi belum ada. Namun, data yang didapatkan dari RSUPNCM selama 5 tahun
terakhir (1999-2003) menunjukkan kecenderungan penurunan jumlah operasi tonsilektomi.
Fenomena ini juga terlihat pada jumlah operasi tonsiloadenoidektomi dengan puncak
kenaikan pada tahun kedua (275 kasus) dan terus menurun sampai tahun 2003 (152 kasus).4
3.3 Indikasi Tonsilektomi
Tonsilektomi atau lebih populer dikenal dengan istilah operasi amandel, telah dikenal
oleh masyarakat awam sejak dahulu, dan sejak diperkenalkan tonsilektomi dengan cara
Guillotine (1828), kecenderungan melakukan pembedahan ini untuk menyembuhkan
berbagai penyakit saluran napas atas semakin meningkat. Tonsilektomi biasanya dilakukan
pada dewasa muda yang menderita episode ulangan tonsilitis, selulitis peritonsilaris, atau
abses peritonsilaris. Tonsilitis kronis dapat menyebabkan hilangnya waktu bekerja yang
berlebihan. Anak-anak jarang menderita tonsilitis kronis atau abses peritonsilaris. Paling
sering, mereka mengalami episode berulang tonsilitis akut dan hipertrofi penyerta. Beberapa
episode mungkin disebabkan oleh virus atau bakteri. Diskusi kemudian mengenai kapan saat
atau setelah berapa kali episode tindakan pembedahan dibutuhkan. Pedoman-pedoman yang
biasanya dapat diterima sekarang ini ditunjukkan pada bagian ini.5
3.3.1 Indikasi Absolut
Indikasi-indikasi untuk tonsilektomi yang absolut adalah berikut ini:
1. Timbulnya kor pulmonale karena obstruksi jalan napas yang kronis
2. Hipertrofi tonsil atau adenoid dengan sindroma apnea waktu tidur yang menyebabkan:
a. Obstruksi jalan napas (sleep apnea),
b. Kesulitan menelan, dan
c. Gangguan dalam berbicara
3. Hipertrofi berlebihan yang menyebabkan disfagia dengan penurunan berat badan
penyerta
7
4. Biopsi eksisi yang dicurigai keganasan (limfoma), terutama pada tonsil yang
membesar secara unilateral patut dicurigai sebagai limfoma pada anak-anak dan
karsinoma epidermoid pada orang dewasa.
5. Abses peritonsilaris berulang atau abses yang meluas pada ruang jaringan sekitarnya.
Pada anak anak, tonsilektomi dilakukan 4-6 minggu setelah abses sudah diberikan
perawatan. Pada orang dewasa, serangan kedua dari abses peritonsilernya akan
menjadi indikasi yang absolut
6. Infeksi tenggorokan yang rekuren. Ini merupakan indikasi yang paling umum. Infeksi
yang rekuren didefinisikan sebagai:
a. Tujuh atau lebih episode dalam 1 tahun, atau
b. Lima atau lebih episode dalam 2 tahun, atau
c. Tiga episode per tahun dalam 3 tahun, atau
d. Dua minggu atau lebih tidak mengikuti sekolah atau bekerja dalam 1 tahun
7. Tonsilitis. Terutama tonsitis yang menyebabkan kejang demam.1,6
3.3.2 Indikasi Relatif
Seluruh indikasi lain untuk tonsilektomi dianggap relatif. Indikasi yang paling sering
adalah episode berulang dari infeksi streptokokus beta hemolitikus grup A. Biakan
tenggorokan standar tidak selalu menunjukkan organisme penyebab dari episode faringitis
yang sekarang. Biakan permukaan tonsil tidak selalu menunjukkan flora yang terdapat di
dalam tonsil. Demikian juga, keputusan untuk mengobati dengan antibiotik tidak selalu
bergantung pada hasil biakan saja. Sprinkle menunjukkan bahwa walaupun sebagian besar
“sakit tenggorokan” disebabkan oleh infeksi virus, Streptococcus pyogenes merupakan
bakteri penyebab pada 40% pasien dengan tonsilitis eksudatifa rekurens. Streptokokus grup B
dan C, adenovirus, virus EB, dan bahkan virus herpes juga dapat menyebabkan tonsilitis
eksudatifa. Ia percaya bahwa kasus-kasus tertentu adenotonsilitis berulang disebabkan oleh
virus yang dalam keadaan tidak aktif (dormant) yang terdapat dalam jaringan tonsilaris.1
Sekarang ini, tonsilektomi mungkin hanya satu-satunya jalan untuk menetapkan lebih
banyak flora mulut normal pada pasien-pasien tertentu dengan adenotonsilitis berulang.
Keputusan akhir untuk melakukan tonsilektomi tergantung pada kebijaksanaan dokter yang
merawat pasien. Mereka sebaiknya menyadari kenyataan bahwa tindakan ini merupakan
prosedur pembedahan mayor yang bahkan hari ini masih belum terbebas dari komplikasi-
komplikasi yag serius. Sekarang ini, di samping indikasi-indikasi absolut, indikasi
tonsilektomi yang paling dapat diterima pada anak-anak adalah berikut ini:
8
1. Tonsilitis yang berhubungan dengan biakan streptokokus menetap dan patogenik
(keadaan karier)
2. Hiperplasia tonsil dengan obstruksi fungsional (misalnya, penelanan)
3. Hiperplasia dan obstruksi yang menetap enam bulan setelah infeksi mononukleosis
(biasanya pada dewasa muda)
4. Riwayat demam reumatik dengan kerusakan jantung yang berhubungan dengan
tonsilitis rekurens kronis dan pengendalian antibiotik yang buruk
5. Radang tonsil kronis menetap yang tidak memberikan respons terhadap
penatalaksanaan medis (biasanya dewasa muda)
6. Hipertrofi tonsil dan adenoid yang berhubungan dengan abnormalitas orofasial dan
gigi geligi yang menyempitkan jalan napas bagian atas
7. Tonsilitis berulang atau kronis yang berhubungan dengan adenopati servikal
persisten.1,6
Jika terdapat infeksi streptokokus yang berulang, mungkin terdapat karier pada orang-orang
yang tinggal serumah, dan biakan pada anggota keluarga dan pengobatan dapat menghentikan
siklus infeksi rekuren.
Pertimbangan dan pengalaman ahli dalam menilai manfaat indikasi-indikasi ini yang
akan diberikan pada pasien, tentu saja semuanya sama penting. Seperti juga indikasi
pembedahan, tentu terdapat non-indikasi dan kontraindikasi tertentu yang juga harus
diperhatikan, karena telah menjadi mode untuk melakukan jenis pembedahan ini untuk
mengatasi masalah-masalah ini.
Tabel 1. Indikasi Absolut dan Relatif Tonsilektomi
NO
.
SUMBER INDIKASI
1. American Academy of
Otolaryngology-Head and Neck
Surgery (AAO-HNS)14
Indikasi Absolut
Pembengkakan tonsil yang menyebabkan obstruksi saluran napas,
disfagia berat, gangguan tidur dan komplikasi kardiopulmoner
Abses peritonsil yang tidak membaik dengan pengobatan medis dan
drainase
Tonsilitis yang menimbulkan kejang demam
Tonsilitis yang membutuhkan biopsi untuk menentukan patologi
anatomi
9
Indikasi Relatif
Terjadi 3 episode atau lebih infeksi tonsil per tahun dengan terapi
antibiotik adekuat
Halitosis akibat tonsilitis kronik yang tidak membaik dengan
pemberian terapi medis
Tonsilitis kronik atau berulang pada karier streptokokus yang tidak
membaik dengan pemberian antibiotik β-laktamase resisten
Hipertrofi tonsil unilateral yang dicurigai merupakan suatu keganasan.
2. Scottish Intercollegiate
Guidelines Network55
Indikasi tonsilektomi pada anak dan dewasa berdasarkan bukti ilmiah, observasi
klinis dan hasil audit klinis dimana pasien harus memenuhi semua kriteria di
bawah:
Sore throat yang disebabkan oleh tonsilitis
5 atau lebih episode sore throat per tahun
Gejala sekurang-sekurangnya dialami selama 1 tahun.
Keparahan episode sore throat sampai mengganggu pasien dalam
menjalani fungsi kehidupan normal
3. Evidence Based Medicine
Guidelines56
Tonsilitis bakterialis berulang (>4x/tahun). Dengan catatan
hasil kultur bakteri harus dicantumkan dalam surat rujukan
Tonsilitis akut dengan komplikasi: abses peritonsiler,
septikemia. Pasien dengan abses peritonsiler berusia <40
tahun langsung diterapi dengan tonsilektomi.
Curiga adanya keganasan (pembesaran asimetri atau
ulserasi)
Sumbatan jalan napas yang disebabkan tonsil (T3-T3),
sleep apnea, kelainan oklusi gigi
Tonsilitis kronik, merupakan indikasi relatif tonsilektomi. Tindakan dianjurkan
apabila pasien mengalami halitosis, nyeri tenggorok, gagging, dan keluhan tidak
hilang dengan pengobatan biasa.
4. INSALUD (National Institute of
Health) Spanyol3
Indikasi absolut
Kanker tonsil
Penyumbatan saluran nafas berat pada rinofaring dengan desaturasi
10
atau retensi CO2
Indikasi relatif
Infeksi rekuren dengan eksudat, dapat dibedakan dengan jelas dari
common cold, dengan 7 atau lebih episode pada tahun ini, atau 5
episode pertahun pada 2 tahun sebelumnya, atau 3 episode pertahun
pada 3 tahun sebelumnya.
Abses peritonsilar
Tidak diindikasikan
Otitis media akut atau kronik
Sinusitis akut atau kronik
Ketulian
Infeksi saluran nafas atas atau bawah
Penyakit sistemik
5. National Health & Medical
Research Council, 1991
(Australia)3
Faringitis rekuren
Faringitis kronik
Obstruksi jalan nafas
Dugaan neoplasma
6. Henry Ford Medical Group,
1995 (USA)3
Berdasarkan hasil literatur review:
Tonsilitis
Hipertrofi tonsil
Experience
7. Infectious Disease Society of
America3
Berdasarkan hasil literatur review:
Faringitis streptokokus rekuren
8. American Academy of
Pediatrics3
Berdasarkan hasil literatur review:
Faringitis rekuren
Diunduh dari http://www.yanmedik-depkes.net/hta/Hasil%20Kajian%20HTA/2004/Tonsilektomi%20pada
%20Anak%20dan%20Dewasa.do
3.4 Kontraindikasi Tonsilektomi
Terdapat beberapa keadaan yang disebutkan sebagai kontraindikasi, namun bila
sebelumnya dapat diatasi, operasi dapat dilaksanakan dengan tetap memperhitungkan imbang
“manfaat dan risiko”. Kontraindikasi tonsilektomi ialah, sebagai berikut:
11
1. Kadar hemoglobin yang kurang dari 10 g%
2. Adanya infeksi akut dari saluran napas atas, bahkan tonsilitis akut. Perdarahan dapat
semakin meyakinkan bukti infeksi akut
3. Anak-anak di bawah usia 3 tahun, yang memiliki risiko buruk terhadap operasi
4. Cleft palate yang overt atau submukosa
5. Kelainan perdarahan seperti leukemia, purpura, anemia aplastik atau hemofilia
6. Saat polio sedang bersifat epidemik
7. Penyakit sistemik yang tidak terkontrol, seperti diabetes, penyakit jantung, hipertensi
atau asma
8. Tonsilektomi dihindari selama periode menstruasi.6
3.5 Persiapan Praoperasi
Keputusan untuk melakukan operasi tonsilektomi pada seorang pasien terletak di
tangan dokter ahli di bidang ini, yaitu dokter spesialis telinga, hidung dan tenggorok atau
dokter yang bertanggungjawab bila dalam keadaan tertentu tidak ada dokter spesialis THT.7
Mengingat tonsilektomi umumnya dilakukan di bawah anestesi umum, maka kondisi
kesehatan pasien terlebih dahulu harus dievaluasi untuk menyatakan kelayakannya menjalani
operasi tersebut. Karena sebagian besar pasien yang menjalani tonsilektomi adalah anak-anak
dan sisanya orang dewasa, diperlukan keterlibatan dan kerjasama dokter umum, dokter
spesialis anak dan dokter spesialis penyakit dalam untuk memberikan penilaian preoperasi
terhadap pasien. Dalam beberapa literatur disebutkan bahwa konsultasi kepada dokter
spesialis anak maupun penyakit dalam hanya dilakukan untuk kondisi tertentu oleh dokter
spesialis THT atau anestesi. Misalnya anak dengan malnutrisi, kelainan metabolik atau
penyakit tertentu yang dapat meningkatkan mortalitas dan morbiditas selama dan
pascaoperasi. Konsultasi ini dapat dilakukan baik oleh dokter spesialis THT maupun spesialis
anestesi.7
Penilaian preoperasi pada pasien rawat jalan dapat mengurangi lama perawatan di
rumah sakit dan meminimalkan pembatalan atau penundaan operasi (American Family
Physician). Penilaian preoperasi secara umum terdiri dari penilaian klinis yang diperoleh dari
anamsesis, rekam medik dan pemeriksaan fisik. Penilaian laboratoris dan radiologik kadang
dibutuhkan. Sampai saat ini masih terdapat perbedaan baik di kalangan klinisi maupun
institusi pelayanan kesehatan dalam memilih pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan secara
rutin atau atas indikasi tertentu. Hal ini memiliki dampak pada keselamatan pasien selain
meningkatnya biaya kesehatan yang harus dikeluarkan pasien, pemerintah atau pihak ketiga.7
12
3.6 Persiapan Bedah
3.6.1 Persiapan Pasien
Ketika dicapai keputusan untuk melakukan tonsilektomi, harus disadari bahwa
mungkin tindakan ini merupakan prosedur pembedahan yang pertama kali bagi pasien yang
masih muda. Riwayat penyakit yang komplit dan pemeriksaan fisik sebaiknya dilakukan
dengan perhatian khusus terhadap adanya gangguan-gangguan yang bersifat familial atau
diturunkan dan terutama kecendrungan terjadinya perdarahan. Di samping itu, riwayat
saudara pasien yang mungkin mengalami kesulitan dengan anestesi umum sebaiknya dicari
dalam usaha untuk menyingkirkan kemungkinan kecil adanya hipertermia maligna. Uji
penyaringan terhadap gangguan darah yang paling disukai adalah waktu tromboplastin
parsial, waktu protombin, dan jumlah trombosit. Pasien sebaiknya tidak makan aspirin selama
dua minggu sebelum pembedahan. Anamnesis tetap merupakan pedoman yang paling
berharga untuk kemungkinan adanya kecenderungan perdarahan. Pemeriksaan hitung darah
komplit dan urinalisis selalu dibutuhkan sebelum anestesi umum. Radiografi dada dan
elektrokardiogram dianjurkan pada pasien dewasa yang berusia lebih dari 40 tahun.
Sebaiknya terdapat dokumentasi pada grafik kebutuhan dan indikasi prosedur pembedahan.1
Dokter sebaiknya menjelaskan kepada pasien terutama anak kecil agar dapat mengerti
secara pasti prosedur pembedahan yang akan dilakukan dan hal ini dilakukan dalam usaha
menolong pasien dan mencegah episode infeksi yang berulang dan memperbaiki
pendengaran. Sebaiknya juga dijelaskan bahwa mungkin terdapat rasa tidak enak pada
periode segera setelah pembedahan, tetapi dokter, perawat, dan orang tua akan dapat
membantu pada saat ini. Kemudian keluarga sebaiknya ditanya untuk memperkuat hal ini dan
menjawab pertanyaan-pertanyaan anak secara jujur. Kunjungan sebelum pembedahan ke
rumah sakit akan membantu menghilangkan rasa takut yang terjadi pada anak. Petunjuk-
petunjuk pada keluarga mengenai perawatan setelah pembedahan dalam hal diet, aktivitas,
kembali ke sekolah, gejala-gejala yang mungkin dapat terjadi seperti nyeri telinga selama
minggu pertama setelah pembedahan, dan kemungkinan perdarahan yang terlambat
sebaiknya dijelaskan. Aktivitas setalah pembedahan bersifat individual terhadap respons dan
keinginan anak. Adalah perlu tidak adanya batas absolut terhadap aktivitas. Di samping itu,
jika dimasukkan saluran ventilasi pada waktu dilakukan adenoidektomi dan tonsilektomi,
maka perawatan dan pencegahan masuknya air pada saluran telinga sebaiknya dijelaskan.1
3.6.2 Teknik Anestesi
13
Anestesi untuk tonsilektomi biasa dilakukan dengan anestesi umum dengan intubasi
endotrakeal. Pada orang dewasa, dapat pula dilakukan dengan anestesi lokal. Posisi yang
digunakan untuk prosedur tonsilektomi ialah posisi Rose, dimana pasien berbaring telentang
dengan kepala diekstensikan menggunakan bantal yang ditaruh di bawah bahu. Sebuah bantal
bulat dari kare berbentuk lingkaran ditempatkan di bawah kepala untuk menstabilkan.
Hiperekstensi sebaiknya dihindari.
3.6.2 Evaluasi Preoperatif
Riwayat menyeluruh ialah dasar daripada evaluasi preoperatif. Karena pasien yang
membutuhkan tonsilektomi dan adenoidektomi dapat mengalami infeksi yang sering, orang
tua pasien sebaiknya ditanyakan mengenai penggunaan antibiotik, antihistamin, atau obat-
obatan lain saat ini. Riwayat dari sleep apnea juga sebaiknya ditelusuri. Pemeriksaan fisik
sebaiknya dimulai dengan melakukan observasi pada pasien. Kehadiran suara respirasi yang
dapat didengar, pernapasan melalui mulut, dan retraksi dada sebaiknya dicatat. Pernapasan
melalui mulut dapat merupakan akibat dari obstruksi kronik nasofaringeal. Orofaring juga
baiknya dilakukan inspeksi untuk dilakukan evaluasi dari ukuran tonsil untuk menentukan
seberapa mudah dilakukan ventilasi menggunakan masker dan intubasi trakea. Adanya
wheezing dan ronki pada dilakukan pemeriksaan auskultasi pada dada dapat merupakan
manifestasi klinis gangguan pada saluran napas bawah akibat faringitis atau tonsilitis.
Kehadiran stridor insipiratoir atau ekspirasi memanjang dapat mengindikasikan obstruksi
jalan napas parsial akibat tonsil yang mengalami hipertrofi. Pengukuran hematokrit dan
parameter koagulasi disarankan. Segala bentuk medikasi untuk demam dan penggunaan
antihistamin yang tidak diresepkan sebaiknya dicatat, termasuk pula di dalamnya ialah
penggunaan obat yang dapat menyebabkan gangguan koagulasi darah, seperti aspirin dan
antikoagulan. Pemeriksaan EKG dan radiografi dada tidak rutin dilakukan kecuali bila
terdapat abnormalitas spesifik mengenai penyakit yang pernah/sedang dialami seperti
pneumonia, bronkitis, infeksi saluran napas atas, atau riwayat kor pulmonale sebelumnya
yang dapat terlihat pada pasien anak dengan OSAS. Pada pasien anak yang memiliki riwayat
abnormalitas jantung, pemeriksaan ekokardiogram dapat diindikasikan.8
Tabel 2. Persiapan Bedah
PERSIAPAN ANAK (0-18 tahun) DEWASA (>18 tahun)
14
Jawaban Rekomendasi Jawaban Rekomendasi
Darah tepi YA Pemeriksaan darah tepi
lengkap rutin (Hb, Ht, leukosit,
hitung jenis, trombosit)
dilakukan pada anak usia<5
tahun, sedangkan untuk anak usia
≥ 5 tahun pemeriksaan darah tepi
dilakukan atas indikasi, yaitu
pasien yang diperkirakan
menderita anemia defisiensi,
pasien dengan penyakit jantung,
ginjal, saluran napas atau
infeksi .
TIDAK Pemeriksaan darah tepi
lengkap dilakukan pada pasien
dengan penyakit hati, riwayat
anemia, perdarahan dan kelainan
darah lainnya, serta tergantung
tipe dan derajat invasif prosedur
operasi.
Kimia darah TIDAK Pemeriksaan kimia
darah dilakukan bila terdapat
risiko kelainan ginjal, hati,
endokrin, terapi perioperatif, dan
pemakaian obat alternatif.
TIDAK Pemeriksaan kimia darah
rutin hanya dilakukan pada pasien
usia lanjut, adanya kelainan
endokrin, kelainan fungsi ginjal
dan hati, pemakaian obat tertentu
atau pengobatan alternatif.
Hemostatis TIDAK Pemeriksaan hemostasis
dilakukan pada pasien dengan
riwayat atau kondisi klinis
mengarah pada kelainan
koagulasi, akan menjalani
operasi yang dapat menimbulkan
gangguan koagulasi (seperti
cardiopulmonary by-pass),
ketika dibutuhkan hemostasis
yang adekuat (seperti
tonsilektomi), dan kemungkinan
perdarahan pascabedah (seperti
operasi saraf).
TIDAK Pemeriksaan hemostasis
dilakukan pada pasien yang
memiliki riwayat kelainan
koagulasi, atau riwayat terbaru
yang mengarah pada kelainan
koagulasi, atau sedang memakai
obat antikoagulan, pasien yang
memerlukan antikoagulan
pascabedah, pasien yang
memiliki kelainan hati dan ginjal.
Urinalisis TIDAK Pemeriksaan urin rutin
dilakukan pada operasi yang
melibatkan manipulasi saluran
TIDAK Pemeriksaan urin rutin
dilakukan pada operasi yang
melibatkan manipulasi saluran
15
kemih dan pasien dengan gejala
infeksi saluran kemih.
kemih dan pasien dengan gejala
infeksi saluran kemih.
Foto toraks TIDAK Pemeriksaan foto toraks
rutin prabedah tidak perlu
dilakukan.
TIDAK Pemeriksaan foto toraks
dilakukan pada pasien usia di atas
60 tahun, pasien dengan tanda
dan gejala penyakit
kardiopulmonal, infeksi saluran
napas akut, riwayat merokok.
EKG TIDAK Hanya dilakukan atas
indikasi
TIDAK Pemeriksaan EKG
dilakukan pada pasien dengan
diabetes mellitus, hipertensi,
nyeri dada, gagal jantung
kongestif, riwayat merokok,
penyakit vaskular perifer, dan
obesitas, yang tidak memiliki
hasil EKG dalam 1 tahun terakhir
tanpa memperhatikan usia. Selain
itu EKG juga dilakukan pada
pasien dengan gejala
kardiovaskular periodik atau
tanda dan gejala penyakit jantung
tidak stabil (unstable), dan semua
pasien berusia usia >40 tahun.
Fungsi Paru TIDAK Hanya dilakukan atas
indikasi
TIDAK Pemeriksaan spirometri
dilakukan pada pasien dengan
riwayat merokok atau dispnea
yang akan menjalani operasi
pintasan (bypass) koroner atau
abdomen bagian atas; pasien
dengan dispnea tanpa sebab atau
gejala paru yang akan menjalani
operasi leher dan kepala,
ortopedi, atau abdomen bawah;
semua pasien yang akan
menjalani reseksi paru dan semua
16
pasien usia lanjut.
Puasa YA Lihat tabel 3 YA Lihat tabel 3
Diunduh dari http://www.yanmedik-depkes.net/hta/Hasil%20Kajian%20HTA/2004/Tonsilektomi%20pada
%20Anak%20dan%20Dewasa.do
Tabel 3. Jadwal Puasa Prabedah
Usia Jangka waktu puasa
Makanan padat Cairan jernih
Anak <6 bulan 4 jam 2 jam
6 –36 bulan 6 jam 3 jam
>36 bulan 8 jam 3 jam
Dewasa 8 jam 3 Jam
Diunduh dari http://www.yanmedik-depkes.net/hta/Hasil%20Kajian%20HTA/2004/Tonsilektomi%20pada
%20Anak%20dan%20Dewasa.do
3.7 Pelaksanaan bedah tonsilektomi
3.7.1 Metode dan teknik pembedahan
Metode dalam tonsilektomi : (1) Metode guilotin dikerjakan secara luas sejak akhir
abad ke 19 dan dikenal sebagai teknik yang cepat dan praktis untuk mengangkat tonsil, di
Inggris metode ini masuh digunakan karena dikatakan merupakan teknik pengangkatan tonsil
tertua yang aman. Metode ini sudah banyak ditinggalkan oleh banyak negara maju, dan di
Indonesia terutama di daerah masih lazim dilakukan cara ini dibandingkan dengan cara
diseksi. Metode ini bisa dikerjakan apabila tonsil dapat digerakkan dan bila dasar tonsil
belum memiliki ulserasi hasil dari infeksi. Kepustakaan lama menyebutkan beberapa
keuntungan metode ini adalah cepat, komplikasi anastesi kecil, biaya kecil. (2) Metode
diseksi merupakan metode terbanyak yang dikerjakan saat ini. Di negara barat, sejak para
pakar bedah mengenal anastesi umum dengan endotrakeal pada posisi Rose yang
mempergunakan alat pembuka mulut davis, mereka lebih banyak mengerjakan tonsilektomi
dengan cara diseksi. Cara ini juga banyak digunakan pada pasien anak. Walaupun telah ada
17
modifikasi teknik dan penemuan peralatan dengan desain yang lebih baik untuk tonsilektomi,
prinsip dasar teknik tonsilektomi tidak berubah. Teknik operasi meliputi secara garis besar
pemegangan tonsil, membawa tonsil ke garis median, insisi membran mukosa, mencari
kapsul tonsil, mengangkat dasar tonsil dan mengangkatnya dari fossa tonsilaris dengan
manipulasi hati-hati. Lalu dilakukan hemostasis dengan elektrokauter atau ikatan.
Selanjutnya diirigasi dengan salin. (3) eletrokauteri metode ini mengurangi perdarahan
namun meningkatkan luka bakar pada jaringan. Awalnya bedah listrik tidak bisa digunakan
bersama anastesi umum, karena mudah memicu terjadinya ledakan. Namun, dengan makin
berkembangnya zat anastetik yang tidak mudah terbakar dan perbaikan alat operasi maka
penggunaan teknik bedah listrik makin luas. Pada bedah listrik transfer energi berupa radiasi
elektromagnetik untuk menghasilkan efek pada jaringan. Frekuensi radio yang digunakan
dalam spektrum elektromagnetik berkisar pada 0,1 hingga 4 MHz. Penggunaan gelombang
konduksi saraf atau jantung. Pada teknik ini elektroda tidak menjadi panas, panas dalam
jaringan terbentuk karena adanya aliran baru yang dibuat dari teknik ini. Teknik ini
menggunakan listrik 2 arah (AC) dan pasien termasuk dalam jalur listrik. (4) Tonsilektomi
laser diindilkasikan untuk kelainan koagulasi, laser yang digunakan adalah laser KTP-512
dan CO2 telah digunakan namun yang dipilih adalah laser CO2 teknik yang digunakan sama
seperti metode diseksi. (5) Tonsilotomi laser metode ini bertujuan untuk mengurangi ukuran
dari tonsil. Teknik ini diindikasikan pada pasien yang tidak bisa menoleransi anastesi umum.
(6) Tonsilektomi intrakapsular teknik ini membuang tonsil tapi menjaga kapsul untuk
mengurangi nyeri setelah operasi. (7) Metode radiofrekuensi, pada teknik radiofrekuensi,
elektroda disisipkan langsung ke jaringan. Densitas baru di sekitar ujung elektroda cukup
tinggi untuk membuat kerusakan bagian jaringan melalui pembentukan panas. Selama eriode
4-6 minggu, daerah jaringan yang rusak mengecil dan total volume jaringan berkurang.
Pengurangan jaringan juga dapat terjadi bila energi radiofrekuensi diberikan pada medium
penghantar seperti larutan salin. Partikel yang terionisasi pada daerah ini dapat menerima
cukup energi untuk memecah ikatan kimia di jaringan. Karena proses ini terjadi pada suhu
rendah (400C-700C), mungkin lebih sedikit jaringan sekitar yang rusak. (8) Pisau harmonik
menggunakan teknik ultrasound untuk memotong dan mengkoagulasikan jaringan. Teknik ini
mengurangi cedera jaringan dan nyeri post-op jika dibandingkan dengan elektrokauter. (9)
Teknik ablasi dengan mediasi plasma, teknik ini menggunakan proton untuk mengahncurkan
sambungan molekuler antar jaringan, teknik ini tidak menyebabkan cedera karena panas. (10)
Teknik bedah kryo, teknik ini membekukan tonsil dengan penggunaan cryoprobe. Diberikan
18
dua kali, dan pada tiap pemberian selama 3-4 menit. Jaringan tonsil akan nekrosis dan lepas.
Perdarahan kurang karena thrombosis pembuluh darah karena pembekuan.9
3.7.2 Langkah Operasi
Langkah-langkah operasi (metode dissection and snare)
1. Alat pembuka mulut Boyle-Davis digunakan untuk membuka mulut, kemudian
diletakkan pada bipod Draffin
2. Tonsil kemudian dipegang dengan cunam tonsil dan ditarik ke medial
3. Insisi kemudian dilakukan pada membran mukosa tonsil yang berdekatan dengan
pilar anterior, dan dapat diperluas sejalan dengan kutub atasnya hingga ke
membran mukosa di antara tonsil dan pilar posterior
4. Gunting tumpul kemudian dilakukan untuk mendiseksi tonsil dari mulai jaringan
peritonsiler dan memisahkannya dengan kutub atas
5. Kemudian tonsil ditahan di kutub atas dan dilakukan traksi ke bawah lalu medial.
Diseksi dilanjutkan degan disektor tonsil atau gunting hingga kutub bawah
6. Wire loop digunakan untuk melakukan snare pada tonsil, terutama di bagian
pedikelnya, kemudian dikencangkan dan pedikel dipotong lalu tonsil dibuang
7. Spons gauze diletakkan pada fossa dan diberikan tekanan selama beberapa menit
8. Titik-titik perdarahan kemudian diikat dan prosedur ini diulang di sisi sebelahnya9
3.7.3 Komplikasi
Insidens emesis setelah dilakukan tonsilektomi memiliki rentang antara 30% hingga
65%. Apakah emesis ini disebabkan oleh darah yang mengiritasi di dalam lambung atau
karena stimulasi refleks muntah oleh proses peradangan dan edema pada lokasi pembedahan
masih belum dapat dijelaskan. Stimulasi sistem saraf pusat yang berasal dari traktus
gastrointestnal, yang dapat dilihat dengan adanya distensi lambung akibat udara yang tertelan
atau mengembang, dapat memicu pusat muntah. Melakukan dekompresi lambung dengan
menggunakan pipa orogastrik dapat berguna untuk mencegah respons ini. Penatalaksanaan
dengan ondansetron, dengan dosis 0,10-0,15 mg/kg, baik dengan atau tanpa deksametason,
0,5mg/kg, telah menunjukkan efektivitas yang cukup baik untuk mengurangi muntah dan
mual post-tonsilektomi.
Pemberian meperidin setelah dilakukan operasi tonsilektomi dapat meningkatkan
kemungkinan emesis, sehingga obat analgesik alternatif lain sebaiknya dipikirkan. Dehidrasi
19
terjadi sekunder akibat intake oral yang buruk oleh karena mual, muntah, atau nyeri dapat
terjadi setelah tonsilektomi pada 1% kasus. Hidrasi intravena yang cukup selama
pembedahan dapat mengurangi efek intake oral postoperatif yang berkurang ini.
Komplikasi yang dianggap cukup serius setelah prosedur tonsilektomi ialah perdarahan
postoperatif, yang terjadi pada sekitar 0,1% hingga 8,1% kasus. Kurang lebih sebanyak 75%
perdarahan tonsiler postoperatif terjadi dalam kurun waktu 6 jam. Sisa 25% terjadi dalam
kurun waktu 24 jam, walaupun perdarahan masih dapat ditemukan hingga hari keenam
postoperatif. Enam puluh tujuh persen dari perdarahan postoperatif berasal dari fossa tonsiler,
26% pada nasofaring, dan 7% pada keduanya. Langkah awal untuk mengatasi perdaraha ini
ialah dengan menggunakan pharyngeal pack dan kauter. Bila hal ini gagal, maka pasien harus
kembali ke kamar operasi untuk dilakukan eksplorasi dan tindakan bedah hemostasis.
Sejumlah besar darah yang tidak diharapkan yang berasal dari dasar tonsil dapat tertelan, dan
pasien-pasien ini dianggap memiliki lambung yang penuh oleh karena itu pencegahan
anestetik terhadap situasi ini sebaiknya dilakukan. Karena jumlah darah yang tertelan ini
cukup banyak, tekanan darah sebaiknya diperiksa baik pada saat posisi tegak atau saat
berbaring untuk menyingkirkan kemungkinan perubahan ortostatik akibat penurunan volume
vaskuler. Akses intravena dan hidrasi harus dilakukan sebelum pasien diinduksi dengan
substansi anestesi. Blade laringoskop dan pipa endotrakeal, juga alat suction harus
dipersiapkan masing-masing dua karena darah pada jalur napas dapat mengganggu visualisasi
dari pita suara dan menyebabkan penyumbatan pada pipa endotrakeal. Nyeri setelah
tonsilektomi cenderung berat, hal ini dapat disebabkan oleh karena intake oral yang buruk
dan ketidaknyamanan menyeluruh pada pasien. Nyeri postoperatif yang membutuhkan
medikasi lebih, dikorelasikan pada pasien yang menjalani operasi tonsilektomi dengan laser
atau elektrokauter dibandingkan dengan yang menjalani operasi dengan teknik diseksi tajam
dan ligasi pembuluh darah untuk kondisi hemostasisnya. Administrasi kortikosteroid
intraoperatif dapat mengurangi proses edema dan ketidaknyamanan pasien. Walaupun
infiltrasi dari ruang peritonsiler dengan anestetik lokal dan epinefrin dapat mengurangi
kehilangan darah selama operasi, namun hal ini tidak mengurangi nyeri postoperatif.8
3.8 Penanganan Pasca Bedah
3.8.1 Observasi Pasca Operasi di Ruang Pemulihan (PACU-Post anesthesia care unit)
Pasca operasi, pasien dibaringkan dalam posisi tonsil. Yaitu dengan berbaring ke kiri
dengan posisi kepala lebih rendah dan mendongak.10 Pasien diobservasi selama beberapa
waktu di ruang pemulihan untuk meminimalkan komplikasi selain untuk memaksimalkan
20
efektivitas biaya dari pelayanan kesehatan. Saat ini, pasien yang menjalani tonsilektomi
sudah bisa pulang pada hari yang sama untuk pasien-pasien yang telah diseleksi secara tepat
sebelumnya. Belum ada kesepakatan mengenai lama observasi optimum sebelum pasien
dipulangkan. Umumnya, observasi dilakukan selama minimal 6 jam untuk mengawasi adanya
perdarahan dini. Evaluasi keadaan/status pasien di unit perawatan pascaanestesi (PACU)
memerlukan dokter spesialis anestesi, perawat dan dokter ahli bedah yang bekerja sebagai
sebuah tim. Sebagai tim, dilakukan observasi adanya masalah medis, bedah dan anestesi
dengan tujuan dapat memberikan terapi secara cepat dan tepat sehingga dapat meminimalkan
komplikasi yang dapat timbul. Idealnya, penilaian rutin postoperasi meliputi pulse oximetry,
pola dan frekuensi respirasi, frekuensi denyut dan irama jantung, tekanan darah dan suhu.
Frekuensi pemeriksaan tergantung kondisi pasien, namun paling sering dilakukan setiap 15
menit untuk satu jam pertama dan selanjutnya setiap setengah jam. Untuk menentukan secara
objektif kapan pasien bisa dipulangkan, dapat digunakan sistem skoring. Sistem yang saat ini
digunakan secara luas adalah Skor Aldrete yang dimodifikasi:11
- Kesadaran 2= sadar penuh
1= respons bila nama dipanggil
0= tidak ada respons
- Aktivitas atas perintah 2= menggerakkan semua ektrimitas
1= menggerakkan 2 ekstrimitas
0= tidak bergerak
- Pernapasan 2= bernapas dalam tanpa hambatan
1= dispneu, hiperventilasi, obstruksi pernapasan
0= apneu
- Sirkulasi 2= tekanan darah dalam kisaran 20% nilai preoperasi
1= tekanan darah dalam kisaran 50- 20% nilai preoperasi
0= tekanan darah 50% atau kurang dari nilai preoperasi
- Saturasi oksigen 2= SpO2 > 92% pada udara ruangan
1=dibutuhkan tambahan O2 untuk mempertahankan SpO2 > 92%
0= SpO2 <92% dengan tambahan O2 Skor total= 10; skor < atau = 9
membutuhkan PACU.11
21
3.8.2 Perawatan Paska Bedah
Perawatan postoperatif pasien tonsilektomi, ialah:
1. Perawatan umum secara segera
a. Pasien tetap dipertahankan pada posisi koma hingga benar-benar pulih dari efek
anestesi
b. Tetap perhatikan perdarahan dari hidung dan mulut
c. Lakukan pemeriksaan tanda-tanda vital, yaitu frekuensi nadi, frekuensi napas dan
tekanan darah secara berkala9
2. Diet
Dalam periode setelah operasi, dan setelah 3-4 hari, dianjurkan pasien untuk menjaga
hidrasi yang cukup. Cairan yang dingin dan berisi elektrolit adalah yang terbaik,
namun sebaiknya hindari minuman dengan kadar gula yang tinggi karena bisa
mengiritasi. Terdapat kontroversi mengenai tekstur diet post tonsilektomi. Dalam
beberapa tahun berbagai jenis diet lunak dipakai untuk mengurangi perdarahan.
Namun dalam penelitian terkini menunjukkan bahwa tidak ada keuntungan dari diet
lunak dibandingkan diet yang lain. Pencernaan dari makanan yang kasar dan garing
seperti pizza atau chiki, jika dapat ditoleransi tidak akan menimbulkan masalah.
Permen karet dipergunakan untuk mempercepat rehabilitasi otot mulut.12
3. Kebersihan oral
Pasien diberikan Condy’s atau dianjurkan berkumur dengan air asin selama 3 sampai
4 kali dalam sehari. Mencuci mulut dengan air jernih setiap makan akan menjaga
muut tetap bersih.9
4. Analgesik
Nyeri, secara lokal pada tenggorokan dan beralih ke telinga, dapat dilegakan dengan
menggunakan analgesik seperti parasetamol. Analgesik dapat diberikan setengah jam
sebelum makan. Hindari aspirin dan ibuprofen karena dapat menyebabkan perdarahan
yang disebabkan oleh gangguan adhesi platelet.9
5. Antibiotik
Antibiotik yang cocok dapat diberikan secara oral atau melalui injeksi selama
seminggu. Pasien kemudian dipulangkan 24 jam setelah operasi, kecuali terdapat
22
beberapa komplikasi. Pasien dapat melanjutkan aktivitas normalnya dalam kurun
waktu 2 minggu.9
BAB IV
KESIMPULAN
Tonsilektomi adalah operasi pengangkatan tonsil palatina baik unilateral maupun
bilateral. Tonsiloadenoidektomi adalah pengangkatan tonsil palatina dan jaringan limfoid di
nasofaring yang dikenal sebagai adenoid atau tonsil faringeal.2 Tonsilektomi merupakan
prosedur yang paling sering dilakukan dalam sejarah operasi.
Dari pembahasan yang telah dilakukan mengenai tonsilektomi, telah dikatakan
banyak sekali kontroversi yang dilaporkan mengenai tonsilektomi. Hal ini dikarenakan
pelaksanaan tonsilektomi dalam jumlah yang tidak tepat (seharusnya) pada anak-anak pada
tahun-tahun yang lalu. Besarnya jumlah ini karena keyakinan para dokter dan orangtua
tentang keuntungan tonsilektomi dan bukan berdasarkan bukti ilmiah atau studi klinis. Sering
kali pembesaran tonsil jarang merupakan indikasi untuk pengangkatan tonsil. Kebanyakan
anak-anak mempunyai tonsil yang besar, yang ukurannya akan menurun sejalan dengan
pertumbuhan usia. Saat ini walau jumlah operasi tonsilektomi telah mengalami penurunan
bermakna, namun masih menjadi operasi yang paling sering dilakukan. Sehingga American
Academy of Otolaryngology-Head and Neck Surgery telah mengeluarkan rekomendasi resmi
mengenai tindakan tonsilektomi yang merupakan kesepakatan para ahli. Berdasarkan indikasi
dan kontraindikasi serta mempertimbangkan komplikasi yang dapat terjadi, diharapkan
dokter spesialis THT yang melakukan tonsilektomi dapat lebih selektif dalam memilih
pasien.
23
Daftar Pustaka
1. Adam G L, Boies L R, Higler P A (Alih bahasa : Wijaya C). Boeis buku ajar penyakit
THT edisi 6. Tonsilektomi. EGC:Jakarta; 2013. h. 337-41.
2. Kajian Manfaat Tonsilektomi dalam Cermin Dunia Kedokteran diunduh dari
www.kalbefarma.com.com/cdk tanggal 28 Juli 2009 pukul 17.15
3. Tonsillectomy. Diunduh dari : reference.medscape.com/article/872119-overview.
Pada tanggal 7 April 2015 pukul 16.00
4. Bailey BJ. Tonsillectomy. In: Bailey BJ, Calhour KH, Friedman NR, Newlands SD, Vrabec JT, editors. Atlas of Head and Neck Surgery- Otolaryngology. Philadelphia:Lippincott Williams & Wilkins 2001.2nd edition.p.327-2- 327-6
5. Data operasi Tonsiloadenoidektomi tahun 1999-2003 Bagian THT FKUI-RSUPNCM.
6. Behrbohm H, Kaschke O, Nawka T, Swift A. Ear, nose, and throat diseases. 3rd ed.
Germany: Georg Thieme Verlag; 2009.p.268.
7. Indikasi tonsilektomi pada anak dan dewasa. Diunduh dari: http://74.125.153.132/search?q=cache:If3k7-2HsAgJ:www.yanmedik-depkes.net/hta/Hasil%2520Kajian%2520HTA/2004/Tonsilektomi%2520pada%2520Anak%2520dan%2520Dewasa.doc+tonsilektomi&cd=2&hl=id&ct=clnk&gl=id&client=firefox-a., 28 Juli 2009 pukul 17.00
8. Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK, Cahalan MK, Stock MC, Ortega R. Clinical
anesthesia. 7th ed. United States of America: Lippincott Williams & Wilkins;
2013.p.1357-60.
9. Sumber: Dhingra PL, Dhingra S, Dhingra D. Disease of ear, nose and throat & head and neck surgery. 6th ed. India: Elsevier; 2014.p.428-30.
10. Keith Allman, Iain Wilson. Oxford Handbook of Anaesthesia, 1 st Edition. Oxford
University Press, 2001, 517
11. Indikasi tonsilektomi pada anak dan dewasa. Diunduh dari:
https://www.scribd.com/doc/62914434/tonsilektomi Pada tanggal 7 April 2015 pukul
15.00
12. Post-operative instruction and diet for tonsillectomy and adenoidtomy .Diunduh dari :
http://plymouthent.com/content/post-operative-instructions-and-diet-tonsillectomy-
and-adenoidectomy
24