TOLERANSI OSMOTIK.docx

  • Upload
    winda

  • View
    538

  • Download
    13

Embed Size (px)

Citation preview

LAPORAN PRAKTIKUM FISIOLOGI HEWANToleransi Osmotic Eritrosit Hewan Poikilotermik Dan Homoiotermik Terhadap Berbagai Tingkat Kepekatan Medium

Disusun oleh :Nama : Winda AlfiantiNIM: 120210103068Kelas: AKelompok : 2

Fakultas Keguruan dan Ilmu PendidikanUNIVERSITAS JEMBER2014

I. JUDULToleransi Osmotik Eritrosit Hewan Poikilotermik dan Homoiotermik terhadap Berbagai Tingkat Kepekatan Medium

II. TUJUANUntuk mengetahui besarnya toleransi osmotik eritrosit hewan poikilotermik dan homoiotermik terhadap berbagai tingkat kepekatan medium

III. TINJAUAN PUSTAKADarah merupakan salah satu cairan tubuh yang terdapat dalam pembuluh darah dan mengalir ke seluruh tubuh, tersusun dari cairan yang disebut plasma (60-70%) terdiri dari air, protein, lemak, karbohidrat, mineral, enzim, hormon, dan sisanya sel-sel darah yang terdiri dari eritrosit, leukosit dan trombosit (Safrida, 2010). Eritrosit merupakan komponen sel darah terbesar. morfologi dan ukuran eritrosit sangat bervariasi diantara spesies hewan. Eritrosit pada mammalia mempunyai inti dan berukuran lebih besar dibandingkan dengan unggas. Komponen-komponen penyusun eritrosit terdiri dari 60 persen air dan 40 persen konjungsi protein yang membentuk protein dan heme. Jumlah eritrosit pada satu individu sangat dipengaruhi oleh bangsa atau jenis, kondisi nutrisi, aktivitas fisik, kondisi tubuh, jenis kelamin, umur, musim, dan temperatur lingkungan(Lovita, 2011).Di dalam eritrosit terdapat berbagai senyawa seperti glukosa, enzim katalase, enzim karbonat anhidrase, garam organik dan garam anorganik. Kadar ion kalium relatif lebih tinggi daripada ion natrium. Keberadaan glukosa dalam eritrosit sangat penting sebagai sumber energi seluler yang akan mempertahankan kelangsungan fungsional eritrosit. Dikemasnya hemoglobin dalam eritrosit sangat erat kaitannya dengan upaya pencegahan efek viskositas dan tekanan osmotik yang dapat berubah akibat adanya molekul besar seperti hemoglobin jika berada di dalam plasma darah. Dengan terisolasinya letak hemoglobin, maka stabilitas sistem dapat dijaga (Santoso, 2009 : 56)Sel-sel darah merah mempunyai bentuk cakram. Seperti halnya sel-sel lainnya, sel darah merah juga memiliki organel-organel sel, sperti nukleus, sitoplasma, membran sel, serta organel-organel sel lainnya. Tetapi dari semua organel tersebut, yang paling menonjol adalah inti sel atau nukleus (Kimball, 1983: 515).Sel darah merah (eritrosit) adalah jenis sel darah yang paling banyak dan berfungsi membawa oksigen ke jaringan-jaringan tubuh melalui darah. Bagian dalam eritrosit terdiri dari hemoglobin, sebuah biomolekul yang dapat mengikat oksigen. Warna merah sel darah merah berasal dari warna hemoglobin yang unsur pembuatnya adalah zat besi (Mifbakhuddin, 2010).Fragilitas eritrosit adalah reaksi membran eritrosit untuk melawan tekanan osmosis media di sekelilingnya, guna mengetahui berapa besar fragilitas atau daya tegang dinding eritrosit dapat diketahui dengan menaruh eritrosit kedalam berbagai larutan (biasanya NaCl) dengan tekanan osmose beragam. Konsentrasi larutan dengan tekanan osmosis tertentu akan memecah eritrosit, yang menunjukkan fragilitas eritrosit .Darah mengandung berjuta-juta eritrosit yang umurnya tidak sama. Umur eritrosit sangat berpengaruh terhadap daya fragilitasnya (Guyton, 1995).Hemolisis adalah pecahnya membran eritrosit, sehingga hemoglobin bebas ke dalam medium sekelilingnya (plasma).Kerusakan membran eritrosit dapat disebabkan oleh antara lain penambahan larutan hipotonis, hipertonis ke dalam darah, penurunan tekanan permukaan membran eritrosit, zat/unsur kimia tertentu, pemanasan dan pendinginan, rapuh karena ketuaan dalam sirkulasi darah dan lain-lain. Apabila medium di sekitar eritrosit menjadi hipotonis (karena penambahan larutan NaCl hipotonis) medium tersebut (plasma dan larutan NaCl) akan masuk ke dalam eritrosit melalui membran yang bersifat semipermiabel dan menyebabkan sel eritrosit menggembung. Bila membran tidak kuat lagi menahan tekanan yang ada di dalam sel eritrosit itu sendiri, maka sel akan pecah, akibatnya hemoglobin akan bebas ke dalam medium sekelilingnya. Sebaliknya bila eritrosit berada pada medium yang hipertonis, maka cairan eritrosit akan keluar menuju ke medium luar eritrosit (plasma), akibatnya eritrosit akan keriput (krenasi). Keriput ini dapat dikembalikan dengan cara menambahkan cairan isotonis ke dalam medium luar eritrosit (Dietor, 1992).Sel eritrosit hewan Homoioterm isotonis terhadap larutan 0,9% NaCl, oleh karena itu hemolisis akan terjadi apabila eritrosit hewan homoioterm dimasukkan ke dalam larutan NaCl dengan konsentrasi di bawah 0,9% sedangkan untuk eritrosit hewan poikiloterm adalah larutan NaCl yang lebih rendah dari 0,7%. Namun perlu diketahui bahwa membran eritrosit (teramasuk membran sel yang lain) ememiliki konsentrasi osmotik, artinya sampai batas konsentrasi medium tertentu sel belum mengalami lisis. Kadang-kadang pada suatu konsentrasi larutan NaCl tertentu tidak semua eritosit mengalami hemolisis. Hal ini menunjukkan bahwa toleransi osmotis membran eritrosit berbeda-beda. Pada eritrosit tua membran selnya memiliki toleransi rendah (mudah pecah), sedangkan membran eritrosit muda memiliki toleransi osmotik yang lebih besar (tida mudah pecah). Peristiwa sebaliknya dari hemolisis adalah krenasi, yaitu peristiwa mengkerutnya membran sel akibat keluarnya air dari dalam eritrosit. Krenasi dapat terjadi apabila eritrosit dimasukkan ke dalam medium hipertonis terhadap isi eritrosit, misalnya untuk eritrosit hewan Homoioterm adalah larutan NaCl yang lebih pekat dari 0,9%, sedangkan untuk hewan Poikiloterm adalah larutan NaCl yang lebih pekat dari 0,7% (Soewolo,2000:88-89).

IV. Metode Pengamatan4. 1 Alat dan BahanAlat :1. Mikroskop2. Gelas benda3. Gelas penutup4. Pipet tetes5. Papan seksio6. Alat seksio7. Gelas piala

Bahan :1. Kadal2. Tikus3. Akuades4. Larutan garam fisiologis (NaCl) 0,15%, 0,3%, 0,5%, 0,7%, 0,9%, 1%, 2% dan 3%

4. 2 Cara kerjaa. Membius kadalHewan poikilotermik

Membedah kadal di bagian ventral di atas papan seksio hingga nampak jantung dan pembuluh-pembuluh besarnya

Menusuk salah satu pembuluh darah sehingga darahnya keluar

Mengambil darah menggunakan pipet tetes

Meletakkan darah di atas kaca benda

Meneteskan garam fisiologis dengan akuades sebagai kontrol

Mengamati bentuk sel darah kadal di bawah mikroskop

Mengambil darah baru yang kemudian ditetesi dengan berbagai konsentrasi larutan garam fisiologis mulai dari 0,1%; 0,3%; 0,5%; 0,7%; 0,9%; 1%; 2%; dan 3% (tiap ganti konsentrasi menggunakan darah baru)

Mengamati bentuk sel darah di bawah mikroskop untuk masing-masing konsentrasi

b. Membius tikuskemudian membedahnya di atas papan seksioHewan Homoiotermik

Membedah tikus di bagian ventral di atas papan seksio hingga nampak jantung dan pembuluh-pembuluh besarnya

Menusuk salah satu pembuluh darah sehingga darahnya keluar

Mengambil darah menggunakan pipet tetes

Meletakkan darah di atas kaca benda

Meneteskan garam fisiologis dengan akuades sebagai kontrol

Mengamati bentuk sel darah tikus di bawah mikroskop

Mengambil darah baru yang kemudian ditetesi dengan berbagai konsentrasi larutan garam fisiologis mulai dari 0,1%; 0,3%; 0,5%; 0,7%; 0,9%; 1%; 2%; dan 3% (tiap ganti konsentrasi menggunakan darah baru)

Mengamati bentuk sel darah di bawah mikroskop untuk masing-masing konsentrasi

V. HASIL PENGAMATANKel Konsentrasi larutan Poikilotermik Keterangan Homoiotermik Keterangan

10,15%Lisis Lisis

20,3%LisisLisis

30,5%LisisLisis

40,7%LisisNormal

50,9%NormalNormal

61%KrenasiKrenasi

72%KrenasiKrenasi

83%KrenasiKrenasi

9Aquades LisisKrenasi

VI. PEMBAHASANPada praktikum kali ini percobaan yang dilakukan adalah toleransi osmotik eritrosit hewan poikilotermik dan homoiotermik terhadap berbagai tingkat kepekatan medium. Medium/larutan yang digunakan dalam percobaan ini adalah NaCl dengan berbagai konsentrasi, mulai dari 0,1%; 0,3%; 0,5%; 0,7%; 0,9%; 1%; 2%; dan 3% serta aquades sebagai kontrol. Tujuan digunakannya larutan NaCl dengan berbagai beda konsentrasi adalah untuk mengetahui perubahan bentuk eritrosit, mengalami hemolisis atau krenasi. Sehingga variabel dalam percobaan ini adalah sebagai berikut :Variabel bebas:Konsentrasi larutan NaCl (0,1%; 0,3%; 0,5%; 0,7%; 0,9%; 1%; 2%; dan 3%), jenis hewan uji (poikiloterm dan homoioterm)

Variabel kontrol:Jumlah tetes larutan NaCl yang diberikan

Variabel terikat:Keadaan sel eritrosit

Pada percobaan ini hewan yang digunakan adalah kadal yang merupakan poikilotermik dan tikus yang merupakan hewan homoiotermik. Hewan poikilotermik adalah hewan yang tidak mampu menyesuaikan dan mengatur suhu tubuhnya sedangkan hewan homoiotermik adalah hewan yang mampu mengatur dan menyesuaikan suhu tubuhnya terhadap lingkungan. Mula-mula kedua hewan tersebut dibius kemudian dibedah hingga terlihat jantung dan pembuluh darahnya, kemudian pembuluh darahnya ditusuk hingga darah keluar. Kemudian darah tersebut diletakkan pada kaca benda dan pada masing-masing kaca benda yang sudah ditetesi darah kemudian masing-masing ditetesi larutan NaCl dengan serial konsentrasi yang berbeda. Setiap kelompok bertugas mengamati sel darah merah setiap hewan yang digunakan terhadap suatu serial konsentrasi. Dari hasil pengamatan didapatkan hasil bahwa untuk hewan poikilotermik, ketika sel darahnya ditetesi NaCl dengan konsentrasi 0,15%, sel darah tersebut mengalami lisis. Hal ini juga terjadi pada saat sel darah hewan poikilotermik ditetesi larutan NaCl dengan konsentrasi 0,3%, 0,5% dan 0,7%. Hal tersebut terjadi karena larutan NaCl yang diteteskan memiliki konsentrasi yang lebih rendah dari konsentrasi sel darah merah, atau dengan kata lain dalam hal ini larutan NaCl bersifat hipotonik, sehingga larutan NaCl masuk kedalam eritrosit dan menyebabkan eritrosit menggembung. Ketika membrane eritrosit sudah tidak mampu lagi menahan tekanan zat pelarut yang masuk maka eritrosit akan mengalami lisis. Dari data tersebut terdapat keganjalan dimana kadal yang digunakan merupakan hewan poikilotermik, sedangkan hewan poikilotermik memiliki eritrosit yang dapat isotonis dengan larutan NaCl 0,7%, jika eritrosit tersebut dapat isotonis dengan NaCl 0,7%, maka seharusnya keadaan eritrosit pada saat ditetesi NaCl 0,7% adalh normal atau tetap, namun hal ini tidak sesuai dengan teori. Hal ini kemungkinan karena kelalaian praktikan dalam menggunakan pipet tetes secara acak, ada kemungkinan praktikan menggunakan pipet tetes milik NaCl konsentrasi tinggi dipakai untuk mengambil NaCl 0,7% sehingga konsentrasi NaCl berubah dan konsentrasinya meningkat. Sedangkan berdasarkan hasil pengamatan selanjutnya pada eritrosit yang ditetesi NaCl 0,9% keadaannya normal dan tetap, hal ini tentu tidak sesuai dengan teori dimana sel darah merah poikilotermik hanya isotonis dengan NaCl 0,7% bukan 0,9%. Hal tersebut terjadi kemungkinan terjadi karena kelalaian praktikan seperti kesalahan yang sudah dilakukan sebelumnya. Pada saat eritrosit hewan poikilotermik ditetesi larutan NaCl dengan konsentrasi 1%, sel-sel eritrositnya mengalami krenasi, yaitu sel-sel eritrosit mengkerut atau mengecil karena konsentrasi NaCl yang diberikan lebih tinggi dan bersifat hipertonik sehingga cairan yang ada didalam sel akan terserap keluar dan mengakibatkan eritrosit mengalami krenasi. Sedangkan ketika eritrosit ditetesi aquades, sel eritrosit tersebut mengalami lisis dimana eritrositnya menggembung dan apabila membrane eritrosit tidak kuat menahan tekanan cairan yang masuk maka eritrosit akan mengalami lisis. Hal ini sesuai dengan teori dimana aquades memiliki konsentrasi lebih rendah daripada cairan didalam eritrosit dan aquades bersifat hipotonik. Sehingga mengakibatkan aquades terserap kedalam eriteosit dan lama-lama dapat mengakibatkan eritrosit lisis.Pada hasil pengamatan eritrosit hewan homoiotermik, ketika eritrosit diberi larutan NaCl dengan konsentrasi 1,5% eritrosit mengalami lisis. Hal ini berlaku sama ketika eritrosit hewan poikilotermik di tetesi larutan NaCl dnegan konsentrasi 0,3%, 0,5% dan 0,7%. Hal tersebut karena larutan NaCl yang diteteskan memiliki konsentrasi yang lebih rendah daripada cairan didalam sel eritrosit, sehingga larutan NaCl bersifat hipotonik dan menyebabkan larutan NaCl masuk kedalam eritrosit dan menyebabkan eritrosit menggembung, ketika membrane eritrosit sudah tidak mempu menahan tekanan cairan yang masuk maka eritrosit akan mengalamai lisis.Perlakuan berikutnya eritrosit ditetesi larutan NaCl 0,7% dan eritrosit tidak mengalami perubahan atau normal, hal ini tidak sesuai teori dimana eritrosit hewan homoiotermik isotonis dengan larutan NaCl 0,9% bukan larutan NaCl 0.7%, seharusnya ketika ditetesi larutan NaCl 0,7% eritrosit mengalami lisis karena konsentrasi larutan NaCl 0,7% lebih rendah dari cairan didalam eritrosit sehingga larutan NaCl masuk kedalam eritrosit dan menyebabkan eritrosit lisis,hal tersebut bukan kesalahan praktikan namun kemungkinan ini merupakan larutan yang masih dapat ditoleransi oleh eritrosit hewan homoiotermik. Pengamatan selanjutnya eritrosit di tetesi dengan larutan NaCl 0,9% dan hal ini mengakibatkan eritrosit tidak mengalami perubahan artinya pada saat ditetesi NaCl 0,9% eritrosit hewan homoiotermik bersifat normal atau tetap. Hal ini sesuai dengan teori dimana eritrosit hewan homoiotermik dapat isotonis dengan NaCl 0,9%. Selanjutnya hasil pengamatan pada eritrosit yang ditetesi NaCl 1%, 2% dan 3%, eritrosit mengalami krenasi, hal ini sesuai dengan teori dimana larutan NaCl yang diteteskan memiliki konsentrasi lebih tinggi daripada cairan didalam eritrosit sehingga larutan NaCl bersifat hipertonik terhadap eritrosit dan hal ini menyebabkan cairan yang ada didalam eritrosit terserap keluar dan mengakibatkan eritrosit mengalami krenasi. Pada pengamatan selanjutnya eritrosit ditetesi dengan akuades dan hal ini menyebabkan eritrosit mengalami krenasi, hal ini tidak sesuai dengan teori karena seharusnya eritrosit mengalami lisis, karena akuades memiliki konsentrasi lebih rendah dari cairan eritrosit sehingga seharusnya akuades terserap masuk kedalam eritrosit dan menyebabkan eritrosit menggembung dan mengalami lisis. Pemberian aquades sebagai kontrol dalam percobaan ini seharusnya memberikan efek lisis pada sel eritrosit baik sel eritrosit tikus maupun sel eritrosit kadal. Hal tersebut karena aquades merupakan larutan hipotonis bagi sel, artinya aquades merupakan kontrol plasmolisis sempurna bagi semua sel.Toleransi osmotik antara hewan poikilotermik dan homoiotermik memiliki perbedaan, hal tersebut dikarenakan kedua jenis hewan ini memiliki perbedaan dimana hewan poikilotermik merupakan hewan yang tidak mampu mengatur dan menyeimbangkan suhu tubuhnya atau dengan kata lain hewan ini adalah hewan berdarah dingin yaitu hewan yang suhu tubuhnya mayoritas dibawah suhu lingkungan (250C). sedangkan hewan homoiotermik adalah hewan yang mampu menyesuaikan suhu tubuhnya dengan lingkungan atau hewan berdarah panas, atau dengan kata lain merupakan hewan yang mayoritas suhu tubuhnya lebih dari suhu lingkungan 250C.Hewan poikilotermik lebih toleran terhadap larutan NaCl yang lebih pekat sedangkan hewan homoiotermik lebih toleran terhadap larutan NaCl yang lebih encer, hal tersebut dapat dibuktikan, yaitu ketika sama-sam diberi perlakuan dengan larutan NaCl 0,7% eritrosit poikilotermik bersifat normal sedangkan eritrosit homoiotermik mengalami juga normal. Namun larutan NaCl merupakan larutan isotonik bagi eritrosit poikilotermik dan merupakan larutan hipotonik bagi eritrosit hewan homoiotermik sehingga eritrosit poikilotermik lebih toleran terhadap NaCl encer daripada eritrosit homoiotermik. Sedangkan pada saat diberi perlakuan dengan NaCl 0,9%, eritrosit poikilotermik mengalami krenasi sedangkan eritrosit homoiotermik bersifat normal, hal ini berati larutan NaCl 0,9% bersifat hipertonik bagi eritrosit hewan poikilotermik dan bersifat isotonic bagi eritrosit hewan homoiotermik. Hal ini berati eritrosit hewan homoiotermik lebih toleran terhadap larutan NaCl yang lebih pekat dari pada eritrosit hewan poikilotermik.

VII. PENUTUP7.1 KESIMPULANDari percobaan diatas dapat disimpulkan bahwa kisaran toleransi osmotik eritrosit hewan poikiloterm yaitu larutan NaCl dengan konsentrasi 0,7% saja dan hewan homoioterm berkisar 0,7%-0.9%. Di mana isotonis untuk eritrosit hewan poikiloterm adalah 0,7% dan untuk eritrosit hewan homoioterm adalah 0,9%. Dengan demikian maka yang lebih toleran terhadap larutan yang lebih encer daripada garam fisiologisnya adalah eritrosit hewan poikiloterm, dan yang lebih toleran terhadap larutan yang lebih pekat daripada garam fisiologisnya adalah eritrosit hewan homoioterm.7.2 SARANSeharusnya pengamatan di bawah mikroskop menggunakan perbesaran yang sama semua, sehingga ukuran sel eritrosit yang lisis, krenasi, dan normal bisa terlihat.

DAFTAR PUSTAKADietor, delman H. 1992.Histologi veterinner. Jakarta: UI pressGuyton AC. 1995. Fisiologi Manusia dan Mekanisme Penyakit (Human Physiology and Mechanism of disease). Diterjemahkan oleh Ken Ariata. Ed ke-3. Jakarta: Buku Kedokteran EGC.Kimball, John W. 1983. Biologi Edisi kelima Jilid 2. Jakarta : Erlangga Lovita. 2011. Komposisi Dan Imbangan Bakteri Pada Pembuatan Yoghurt Terhadap Nilai Hematologik Mencit. Biodiversitas.ISSN 9812-3265.Vol 2(1)Mifbakhuddin.2010. Hubungan Antara Paparan Gas Buang Kendaraan (Pb) Dengan Kadar Hemoglobin Dan Eritrosit Berdasarkan Lama Kerja Pada Petugas Operator Wanita Spbu Di Wilayah Semarang Selatan. Jurnal Natur Indonesia. ISSN 1410-9379.Vol 6(2)Safrida. 2010. Gambaran Diferensiasi Sel Darah Putih Tikus (Ratitus norvegicus) Betina Pada Starvasi. Biodiversitas. ISSN 1416-8801. Vol 11(1). 18Santoso, Putra. 2009. Buku Ajar Fisiologi Hewan. Padang : Universitas AndalasSoewolo. 2000. Pengantar Fisiologi Hewan. Jakarta : Proyek Pengembangan Guru Sekolah Menengah

Jurnal natur Indonesia. Oktober 2010ISSN 1410-9379Vol 6, No 2 tahun 2010HUBUNGAN ANTARA PAPARAN GAS BUANG KENDARAAN (Pb)DENGAN KADAR HEMOGLOBIN DAN ERITROSIT BERDASARKANLAMA KERJA PADA PETUGAS OPERATOR WANITA SPBU DIWILAYAH SEMARANG SELATANMifbakhuddin1, Wulandari Meikawati2, Puji Mumpuni3Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Muhammadiyah SemarangEmail: [email protected] Belakang: Adanya pertumbuhan kendaraan di kota Semarang berpotensi besar terhadap pencemaran udara yang akan memberikan efek terhadap kesehatan. Dampak paparan Pb terhadap kesehatan adalah adalah hipertensi, anemia, penurunan kemampuan otak dan dapat menghambat pembentukan darah merah. Mengetahui hubungan Pb dalam darah dengan hemoglobin dan eritrosit berdasarkan lama kerja pada wanita petugas operator SPBU di wilayah Semarang Selatan. Metode: Penelitian ini menggunakan desain cross sectional dengan 30 sampel. Variabel bebas penelitian yaitu kadar Pb dalam darah dan lama kerja, sedangkan variabel terikatnya adalah hemoglobin dan eritrosit. Uji statistik yang digunakan adalah uji Korelasi Pearson Product Moment. Hasil: Rata-rata lama kerja responden 5 bulan dengan jumlah 8 orang (26,7%). Sebagian besar kadar Pb dalam darah >20 g/dl yang ditetapkan WHO sebanyak 22 orang (73,3%), kadar hemoglobin sebagian besar operator wanita SPBU masih normal yaitu sebanyak 21 orang (70%), kadar eritrosit sebagian besar operator wanita SPBU masih normal yaitu sebanyak 25 orang (83,3%). Tidak ada hubungan yang signifikan antara lama kerja dengan Pb dalam darah pada petugas SPBU wanita di wilayah Semarang Selatan dengan nilai r = -0,202 dan p = 0,283 (p>0,05). Kata kunci: kadar Pb dalam darah, lama kerja, hemoglobin, eritrosit, operator wanita SPBU

A. PENDAHULUAN

Kota Semarang merupakan salah satu kota metropolitan dimana angka peningkatan jumlah kendaraan bermotor rata-rata pertahun mencapai 59 %.Adanya pertumbuhan kendaraan di kota Semarang berpotensi besar terhadap pencemaran udara yang akan memberikan efek terhadap kesehatan. Paparan Pb dengan kadar rendah yang berlangsung secara terus menerus dalam jangka waktu lama akan menimbulkan dampak kesehatan diantaranya adalah Hipertensi, Anemia, penurunan kemampuan otak dan dapat menghambat pembentukan darah merah (eritrosit) Timbal (Pb) atau secara umum dikenal dengan sebutan timah hitam merupakan sumber polutan udara utama di udara perkotaan selain sulphur dioksida (SO 2 ), partikulat tersuspensi (Suspended Particulate Matter), nitrogen oksida (NO x ) dan karbon monoksida (CO) Akumulasi Pb dalam darah yang relatif tinggi akan menyebabkan sindroma saluran pencernaan, kesadaran menurun (cognitive effect), anemia, kerusakan ginjal, Hipertensi, neuromuscular dan konsekuensi psikologis serta kerusakan saraf pusat dan perubahan tingkah laku. Menurut Child, J.A (1995), hemoglobin adalah protein utama tubuh manusia yang terdapat dalam eritrosit dan berperan mengangkut oksigen dariparu-paru ke jaringan dan mengangkut karbon dioksida dari jaringan ke paru-paru untuk diekskresi. Sel darah merah (eritrosit) adalah jenis sel darah yang paling banyak dan berfungsi membawa oksigen ke jaringan-jaringan tubuh melalui darah. Bagian dalam eritrosit terdiri dari hemoglobin, sebuah biomolekul yang dapat mengikat oksigen. Warna merah sel darah merah berasal dari warna hemoglobin yang unsur pembuatnya adalah zat besi. Tujuan dari penelitian ini adalah unutuk mengetahui hubungan antara Pb dalam darah dengan hemoglobin dan eritrosit berdasarkan lama kerja pada petugas operator wanita SPBU di wilayah Semarang Selatan.

Biodiversitas, Januari 2011Vol 2. No 1 Tahun 2011ISSN 9812-3265ABSTRAKKOMPOSISI DAN IMBANGAN BAKTERI PADA PEMBUATAN YOGHURTTERHADAP NILAI HEMATOLOGIK MENCITOleh : Lovita AdrianiPenelitian bertujuan untuk mengetahui pengaruh imbangan jumlah bakteri campuranantara spesies Lactobacillus bulgaricus, Streptococcus thermophillus, Lactobacillus acidophilus dan Bifidobacterium terhadap keadaaan hematologik mencit.Penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) 12 perlakuan, ulangan 4 kali,sehingga terdapat 48 unit percobaan, masing-masing 5 ekor, total 240 ekor. Uji lanjut dengan uji Tukeys program minitab. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah eritrosit darah mencit kontrol (Eritrosit =3,55 x 106butir/mm3, hemoglobin = 10,50 g/100 mL, nilai hematokrit = 45,50%) , lebih rendah dibandingkan dengan semua perlakuan eritrosit = ( 3,63 5,83 ) x 106, hemoglobin (10,10-16,10) g/100 mL, nilai hematokrit = ( 45,63-50,25) % .Kesimpulan pemberian yoghurt yang mengandung tambahan probiotik Lactobacillus acidophilus dan Bifidobacterium memperbaiki keadaan hematologik, terutama terjadi peningkatan jumlah eritrosit dan hemoglobin tetapi masih dalam kisaran normal.Bifidobacterium dan Lactobacillus acidophilus merupakan dua mikroba yang dapat bertahan didalam saluran pencernaan yang paling bawah (kolon) dibandingkan dengan Lactobacillus bulgaricus dan Streptococcus thermophillus sehingga kedua mikroba tersebut layak disebut probiotik. Mengkonsumsi yoghurt dengan imbangan yang tepat dapat menyeimbangkan keadaan hematologik pada mencit yang dapat diplkasikan pada manusiaKeyword : yoghurt, Lactobacillus acidophillus, Bifidobacterium, probiotic PENDAHULUANHematologik adalah ilmu yang mempelajari tentang darah, meliputi pembentukan dan penghancuran darah. Darah adalah suspensi dari partikel dalam larutan koloid cairan yang mengandung elektrolit. Peranannya sebagai medium pertukaran antara sel-sel yang terfiksasi dalam tubuh dan lingkungan luar serta memiliki sifat-sifat protektif terhadap organisme, pula merupakan jaringan yang bersirkulasi di dalam tubuh dan berperan dalam mempertahankan homeostase dan menjaga keseimbangan fungsi-fungsi organ tubuh agar berjalan dengan sempurna (Baldy, 1995). Darah berfungsi sebagai media transportasi yang membawa zat-zat makanan dari saluran pencernaan ke jaringan tubuh, membawa oksigen dari paru-paru dan membawa sekresi kelenjar endokrin ke seluruh tubuh serta sebagai pertahanan melawan mikroba. Untuk mengetahui nilai hematologik dari seseorang dapat dilakukan dengan mengetahui jumlah eritrosit, kadar hemoglobin dan nilai hematokritnya (Swenson, 1987).Eritrosit pada mammalia mempunyai inti dan berukuran lebih besar dibandingkan dengan unggas. Komponen-komponen penyusun eritrosit terdiri dari 60 persen air dan 40 persen konjungsi protein yang membentuk protein dan heme. Jumlah eritrosit pada satu individu sangat dipengaruhi oleh bangsa atau jenis, kondisi nutrisi, aktivitas fisik, kondisi tubuh, jenis kelamin, umur, musim, dan temperatur lingkungan. Jumlah eritrosit akan konstan pada lingkungan yang relatif normal, karena eritropoesis yang terjadi akan seimbang dengan destruksi eritrosit (Brown, 1989). Eritrosit dibentuk dalam sumsum tulang belakang dan dialirkan di dalam sirkulasi darah. Umur eritrosit kurang lebih 28 hari, setelah itu akan mengalami perombakan di limpa, sumsum tulang belakang, dan hati.

Biodiversitas, Agustus 2010 ISSN: 1410-8801Vol. 11, No. 1, Hal. 18-23Gambaran Diferensiasi Sel Darah Putih Tikus (Ratitus norvegicus) Betina Pada Starvasi(The description of differential leukocyte count of female rat (rattus norvegicus) instarvation)SafridaDosen Program Studi Pendidikan Biologi FKIP Unsyiah Banda Aceh 23111Email: [email protected] causes food and liquid deficit that needed by body. Percentage differential leukocyte count includes neutrophil, eosinophil, basophil, limphosit and monosit will give indication towards infection reaction. The aim of this research is to detect influence starvation of the description differential leukocyte count in adult female rat during certain range of time. The experimental method used in this research is Randomized complete design with 3 blocks of treatments and 3 times repetition. The block of treatments are control (K), fasting eat rats (PMK),fasting drink rats (PMN). The data of percentage differential leukocyte count is analyzed by Analysis of Variance (ANOVA) and then continued by Duncan Multiple Range Test at 95% confidence interval (5% significance level). The result showed that statistically insignificant percentage of limphosit, neutrophil, and monosit in PMK and PMN bloks when compared with control, and basophil was not found. While, treatment PMK and PMN in 18 hours treatment, 42 hours treatment, and 66 hours treatment increase percentage eosinophil.Key words: Differential leukocyte count, Starvation, Rattus norvegicus

PENDAHULUANDarah merupakan salah satu cairan tubuh yang terdapat dalam pembuluh darah dan mengalir ke seluruh tubuh, tersusun dari cairan yang disebut plasma (60-70%) terdiri dari air, protein, lemak, karbohidrat, mineral, enzim, hormon, dan sisanya sel-sel darah yang terdiri dari eritrosit, leukosit dan trombosit (Swenson 1970, Widjajakusuma dan Sikar 1986). Pemeliharaan terhadap kestabilan zat-zat tersebut dilaksanakan oleh suatu mekanisme yang disebut homeostasis, yaitu istilah yang digunakan untuk mempertahankan keadaan statis atau konstan dalam lingkungan interna yang menjamin kelangsungan hidup individu (Guyton 1995).