118
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user TINJAUAN YURIDIS MALPRAKTEK MEDIS DALAM SISTEM HUKUM INDONESIA Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Derajat Sarjana S1 Dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta Oleh: Amalia Taufani E0007071 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2011

TINJAUAN YURIDIS MALPRAKTEK MEDIS DALAM SISTEM

  • Upload
    vandung

  • View
    221

  • Download
    4

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: TINJAUAN YURIDIS MALPRAKTEK MEDIS DALAM SISTEM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

TINJAUAN YURIDIS MALPRAKTEK MEDIS DALAM

SISTEM HUKUM INDONESIA

Penulisan Hukum

(Skripsi)

Disusun dan Diajukan untuk

Melengkapi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Derajat Sarjana S1

Dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret

Surakarta

Oleh:

Amalia Taufani E0007071

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

2011

Page 2: TINJAUAN YURIDIS MALPRAKTEK MEDIS DALAM SISTEM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

PERSETUJUAN PEMBIMBING

Penulisan Hukum (Skripsi)

TINJAUAN YURIDIS MALPRAKTEK MEDIS DALAM SISTEM HUKUM INDONESIA

Oleh Amalia Taufani NIM. E 0007071

Disetujui untuk dipertahankan di hadapan Dewan Penguguji Penulisan

Hukum (Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

Surakarta, April 2011

Dosen Pembimbing

Rahayu Subekti, S.H.,M.Hum

NIP. 19711102 200604 2 001

Page 3: TINJAUAN YURIDIS MALPRAKTEK MEDIS DALAM SISTEM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

PENGESAHAN PENGUJI

Penulisan Hukum (Skripsi)

TINJAUAN YURIDIS MALPRAKTEK MEDIS DALAM SISTEM HUKUM

INDONESIA

Oleh

Amalia Taufani

NIM. E 0007071

Telah diterima dan diperatahankan di hadapan

Dewan Penguji Penulisan Hukum (Skripsi)

Fakultas Hukum Universitas Sebelas Marer Surakarta

Pada:

Hari : Kamis

Tanggal : 14 April 2011

DEWAN PENGUJI

1. Pius Triwahyudi, S.H., M.Si : .........................................................

Ketua

2. Purwono Sungkowo Raharjo, S.H : .........................................................

Sekretaris

3. Rahayu Subekti, S.H.,M.Hum : .........................................................

Anggota

Mengetahui

Dekan,

Mohamad Yamin, S.H.,M.Hum

NIP. 196109301986011001

Page 4: TINJAUAN YURIDIS MALPRAKTEK MEDIS DALAM SISTEM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

PERNYATAAN

Nama : Amalia Taufani

NIM : E 0007071

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum (skripsi) berjudul :

“TINJAUAN YURIDIS MALPRAKTEK MEDIS DALAM SISTEM

HUKUM INDONESIA” adalah betul-betul karya sendiri. Hal-hal yang bukan

karya saya dalam penulisan hukum (skripsi) ini diberi tanda citasi dan

ditunjukkan dalam daftar pustaka. Apabila di kemudian hari terbukti pernyataan

saya tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa

pencabutan penulisan hukum (skripsi) dan gelar yang saya peroleh dari penulisan

hukum (skripsi) ini.

Surakarta, 28 Maret 2011

Yang membuat pernyataan

Amalia Taufani

NIM. E0007071

Page 5: TINJAUAN YURIDIS MALPRAKTEK MEDIS DALAM SISTEM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

ABSTRAK

Amalia Taufani, E 0007071. 2011. TINJAUAN YURIDIS MALPRAKTEK MEDIS DALAM SISTEM HUKUM INDONESIA. Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pengaturan dan ketentuan yuridis bila terjadi malpraktek medis sesuai sistem hukum Indonesia dilihat dari ketentuan peraturan perundang-undangan menurut hierarki peraturan perundang-undangan yang diatur oleh Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan.

Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif bersifat preskriptif dengan pendekatan perundang-undangan. Penelitian ini menggunakan jenis dan sumber penelitian sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer dan sekunder. Teknik pengumpulan sumber penelitian dilakukan dengan teknik kepustakaan dan cyber media. Teknik analisis sumber penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah teknik berfikir deduksi dan interpretasi.

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dihasilkan kesimpulan, sampai saat ini Indonesia belum memiliki Undang-Undang tentang malpraktek medis. Dari sistem hukum Indonesia, tidak semua mengatur malpraktek medis. Yang mengaturnya, yaitu Hukum Perdata, Hukum Pidana dan Hukum Administrasi. Undang-Undang yang bersangkutan, antara lain : UU No 23 Tahun 1992, UU No 29 Tahun 2004, UU No 36 Tahun 2009, UU No 44 Tahun 2009. Serta UUPK memberikan dasar bagi pasien untuk mengajukan upaya hukum. Peraturan yang tidak masuk dalam hierarki sistem hukum Indonesia tetapi berkaitan dengan malpraktek medis antara lain: Peraturan Menteri Kesehatan No 269/Menkes/Per/III/2008 tentang Rekam Medis, Peraturan Menteri Kesehatan No 512/Menkes/Per/IV/2007 tentang Izin Praktik dan Pelaksanaan Praktik Kedokteran, Peraturan Menteri Kesehatan No: 585/Men.Kes/Per/IX/1989 Tentang Persetujuan Tindakan Medik. Dari pengaturan tersebut yang sudah tidak berlaku lagi yakni, UU No 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan yang sudah diganti dengan UU No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Secara yuridis kasus malpraktek medis di Indonesia dapat diselesaikan dengan bersandar pada beberapa dasar hukum yaitu: KUHP, KUHPerdata, UU No 23 Tahun 1992, UU No 8 Tahun 1999, UU No 29 Tahun 2004, UU No 36 Tahun 2009, UU Nomor 44 Tahun 2009, Peraturan Menteri Kesehatan No 585/Menkes/Per/IX/1989, Peraturan Menteri Kesehatan No 512/Menkes/Per/IV/2007, Peraturan Menteri Kesehatan No 269/Menkes/Per/III/2008.

Kata Kunci: Tenaga kesehatan, Penerima jasa kesehatan, malpraktek medis

Page 6: TINJAUAN YURIDIS MALPRAKTEK MEDIS DALAM SISTEM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

ABSTRACT

Amalia Taufani, E 0007071. 2011. REVIEW JURIDICAL MEDICAL MALPRACTICE LEGAL SYSTEM IN INDONESIA. Faculty of Law, Sebelas Maret University. This study aims to determine how the regulatory and legal provisions in case of medical malpractice according to Indonesian legal system viewed from the provisions of the legislation according to the hierarchy of laws and regulations are governed by Act No. 10 of 2004 concerning the establishment of laws and regulations. This research is a normative law is prescriptive approach to legislation. This research uses secondary research and sources which consist of primary and secondary legal materials. Engineering studies conducted by collecting source library research techniques and cyber media. Technical analysis of research sources used in this study is the technique of deductive thinking and interpretation. Based on the results of research and discussion of the resulting conclusions, until recently Indonesia has not had the Law on medical malpractice. From the Indonesian legal system, not every set of medical malpractice. That govern it, namely the Civil Law, Criminal Law and Administrative Law. Law is concerned, among other things: Act No. 23 of 1992, Act No. 29 of 2004, Act No. 36 of 2009, Act No. 44 of 2009. And UUPK provide the basis for patients to file legal action. Regulations that are not included in the hierarchy of the Indonesian legal system, but related to medical malpractice, among others: Regulation of the Minister of Health No 269/Menkes/Per/III/2008 of Medical Record, Health Minister 512/Menkes/Per/IV/2007 of Practice Permit No. and Implementation of Medical Practice, Regulation of the Minister of Health No: 585/Menkes/Per/IX/1989 About Action Medical Approval. From the settings that are no longer valid ie, Law No. 23 of 1992 on Health which has been replaced by Law No. 36 Year 2009 concerning Health. Legally medical malpractice cases in Indonesia can be solved by relying on some legal basis, namely: KUHP, KUHPerdata, Law No. 23 of 1992, Law No. 8 of 1999, Law No. 29 Year 2004, Law No. 36 of 2009, Law Number 44 Year 2009, Regulation of the Minister of Health No 585/Menkes/Per/IX/1989, , Ministry of Health Regulation No. 512/Menkes/Per/IV/2007, the Minister of Health Regulation No. 269/Menkes/Per/III/2008. Keywords: Health workers, recipients of health services, medical malpractice

Page 7: TINJAUAN YURIDIS MALPRAKTEK MEDIS DALAM SISTEM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala limpahan nikmat dan

karuniaNya sehingga penulisan hukum (skripsi) yang berjudul “TINJAUAN

YURIDIS MALPRAKTEK MEDIS DALAM SISTEM HUKUM INDONESIA”

ini dapat terselesaikan. Penulisan hukum ini membahas mengenai pengaturan

malpraktek medis dalam sistem hukum Indonesia serta ketentuan yuridis terhadap

terjadinya malpraktek medis sesuai sistem hukum Indonesia.

Keberhasilan dan kesuksesan bukan hanya dari kerja keras semata,

melainkan kekuatan dan dukungan dari berbagai pihak. Dengan terselesainya

penulisan hukum ini, penulis hendak mengucapkan terima kasih yang sebesar-

besarnya kepada:

1. Allah SWT, atas nikmat dan karuniaNya sehingga penulis dapat

menyelesaikan penulisan hukum ini.

2. Keluargaku tercinta, Bapak, Ibu, kakak-kakak ku tersayang untuk setiap doa,

pengorbanan, dukungan dan kasih sayang yang selalu diberikan.

3. Bapak Mohammad Jamin, S.H.,M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum UNS

dan seluruh jajaran dekanat Fakultas Hukum UNS.

4. Ibu Rahayu Subekti, S.H, M.Hum selaku Dosen Pembimbing atas segala

kesabaran dan arahannya sehingga penulisan hukum ini dapat terselesaikan.

5. Bapak Wasis Sugandha, S.H.,M.H selaku Pembimbing Akademik selama

menimba ilmu di Fakultas Hukum UNS.

6. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum UNS, atas segala ilmu dan bimbingan

yang diberikan kepada penulis selama perkuliahan di Fakultas Hukum UNS.

7. Perpustakaan Fakultas Hukum UNS dan perpustakaan Pusat UNS atas

keramahan dan bantuannya.

8. Andria Luhur Prakosa yang telah memberikan dukungan, kasih sayang dan

batuannya selama ini.

9. Teman-teman terbaik, Yuni Asih, Sri Wahyu, Ardatila Intan, Ayu Agustina

dan Amelia Intiastuti atas persahabatan, keceriaan, kasih sayang, dukungan

dan semuanya selama ini yang telah menemani hari-hari selama di solo.

Page 8: TINJAUAN YURIDIS MALPRAKTEK MEDIS DALAM SISTEM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

10. Rekan-rekan seperjuangan angkatan 2007 Fakultas Hukum UNS yang tidak

dapat disebutkan satu per satu dimana penulis tidak hanya mendapatkan

kawan tetapi juga keluarga

11. Serta semua pihak yang telah membantu terselesaikannya penulisan hukum

ini.

Surakarta, 28 Maret 2011

Penulis

Amalia Taufani

Page 9: TINJAUAN YURIDIS MALPRAKTEK MEDIS DALAM SISTEM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL………………………………………………………………i HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING…………………………………..ii HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI………………………………………...iii HALAMAN PERNYATAAN……………………………………………………iv ABSTRAK………………………………………………………………………...v ABSTRACT………………………………………………………………………vi KATA PENGANTAR…………………………………………………………...vii DAFTAR ISI……………………………………………………………………...ix DAFTAR GAMBAR…………………………………………………………….xii BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah………………………………………………1 B. Rumusan Masalah……………………………………………………..7 C. Tujuan Penelitian……………………………………………………...7 D. Manfaat Penelitian…………………………………………………….7 E. Metode Penelitian…………………………………………………......8 F. Sistematika Penulisan Hukum……………………………………….13

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teori….................................................................................15 1. Tinjauan Tentang Malpraktek........................................................15

a. Pengertian Malpraktek………………………………..……...15 b. Unsur-Unsur Malpraktek……………………...……………..15 c. Aspek Hukum Malpraktek...…………………………………17

2. Tinjauan Tentang Medis....................................…………………17 3. Tinjauan Tentang Malpraktek Medis.........…………………........18

a. Pengertian Malpraktek Medis…….........………………….....18 b. Kategori Malpraktek Medis..………………………………...18

4. Tinjauan Tentang Sistem................................................................20 5. Tinjauan Tentang Sistem Hukum Indonesia..................................20

a. Pengertian Sistem Hukum Indonesia......................................20 b. Jenis Sistem Hukum Indonesia...............................................21 c. Hierarki Sistem Hukum Indonesia..........................................23 d. Fungsi Hukum.........................................................................24

6. Teori Hukum Mengenai Efektivitas Peraturan Perundang- undangan........................................................................................25 a. Teori Fuller...............................................................................25 b. Teori J.B.J.M. Ten Berge.........................................................26 c. Teori Hans Kelsen (Prinsip Validitas).....................................28

B. Kerangka Pemikiran….………………………………………………30

BAB III PEMBAHASAN A. Pengaturan Malpraktek Medis Dalam Sistem Hukum

Indonesia..............................................................……………………33

Page 10: TINJAUAN YURIDIS MALPRAKTEK MEDIS DALAM SISTEM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

1. Pengaturan Aspek Hukum Perdata Malpraktek Medis...………...35 2. Pengaturan Aspek Hukum Pidana Malpraktek Medis…...............36 3. Pengaturan Aspek Hukum Administrasi Malpraktek Medis.........38 4. Pengaturan Malpraktek Medis Berdasar Sistem Hierarki Hukum

Indonesia.........................................................................................40 a. UU No 23 Tahun 1992............................................................40 b. UU No 29 Tahun 2004............................................................42 c. UU No 36 tahun 2009..............................................................49 d. UU No 44 tahun 2009..............................................................51

5. Pengaturan Malpraktek Medis di Luar Hierarki Sistem Hukum Indonesia.........................................................................................54 a. Permen No 585/Menkes/Per/IX/1989.....................................54 b. Permen No 512/Menkes/Per/IV/2007.....................................55 c. Permen No 269/Menkes/Per/III/2008......................................56

6. Upaya Hukum Bagi Pasien Terhadap Malpraktek.........................56 a. Ditinjau Dari UU No 23 Tahun 1992......................................56 b. Ditinjau Dari UU No 8 Tahun 1999........................................58 c. Ditinjau Dari UU No 36 Tahun 2009......................................62

B. Ketentuan Yuridis Malpraktek Medis Sesuai Sistem Hukum Indonesia..............................................................................................63 1. Ketentuan Yuridis Malpraktek Medis Dalam Hukum Perdata......63

a. Hubungan Hukum dokter dan Pasien dalam Kontrak Terapeutik...............................................................................63

b. Wanprestasi dalam Malpraktek Medis....................................64 c. Perbuatan Melawan Hukum dalam Malpraktek Medis...........66 d. Zaakwarneming.......................................................................67

2. Ketentuan Yuridis Malpraktek Medis dalam Hukum Pidana........68 a. Perbuatan Salah dalam Malpraktek Medis..............................68 b. Sikap Batin dalam Malpraktek Medis.....................................68 c. Adanya Akibat Kerugian Pasien.............................................71 d. Penerapan Pasal 351, 359, 360, 344, 346, 347 dan 348

KUHP......................................................................................72 3. Ketentuan Yuridis Malpraktek Medis dalam Hukum

Administrasi...................................................................................80 a. Pelanggaran Hukum Administrasi Kedokteran.......................80 b. Pelanggaran Hukum Administrasi tentang Kewenangan........81 c. Pelanggaran Hukum Administrasi tentang Pelayanan

Medis.......................................................................................82 4. Pertanggungjawaban Hukum Malpraktek Medis...........................87

a. Pertanggungjawaban Hukum Dokter......................................88 b. Pertanggungjawaban Perdata dalam Pelayanan Kesehatan....89 c. Pertanggungjawaban Pidana dalam Pelayanan Kesehatan.....91 d. Pertanggungjawaban Hukum Administrasi dalam Pelayanan

Kesehatan................................................................................93 e. Pertanggungjawaban Rumah Sakit.........................................95

Page 11: TINJAUAN YURIDIS MALPRAKTEK MEDIS DALAM SISTEM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

f. Pertanggungjawaban Hukum dan Etik dalam Pelayanan Kesehatan................................................................................98

BAB IV PENUTUP A. Simpulan……………………………………………………...…….100 B. Saran………………………………………………………………..102

DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………..104

Page 12: TINJAUAN YURIDIS MALPRAKTEK MEDIS DALAM SISTEM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Kerangka Berfikir...............................................................................30

Page 13: TINJAUAN YURIDIS MALPRAKTEK MEDIS DALAM SISTEM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia adalah Negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari

17.508 pulau, dengan populasi sebesar 222 juta jiwa pada tahun 2006, dan negara

berpenduduk terbesar keempat di dunia. Wilayah Indonesia terbentang sepanjang

3.977 mil di antara Samudra Hindia dan Samudra Pasifik. Luas daratan Indonesia

adalah 1.922.570 km² yang terdiri dari daratan non-air: 1.829.570 km² dan daratan

berair: 93.000 km² serta memiliki luas perairan 3.257.483 km²

(http://id.wikipedia.org/wiki/Geografi_Indonesia ).

Berdasarkan hal tersebut maka Indonesia layak disebut negara besar yang

memiliki sumber daya alam dan manusia yang melimpah. Ketersediaan potensi

yang melimpah tersebut merupakan modal awal dan bekal yang sangat potensial

untuk mendukung pembangunan nasional di segala bidang. Pembangunan

nasional merupakan rangkaian upaya pembangunan yang berkesinambungan yang

meliputi seluruh kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara untuk melaksanakan

tugas mewujudkan tujuan nasional dan cita-cita bangsa Indonesia yang termaktub

dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 yaitu

melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan

untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut

melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi,

dan keadilan sosial. Hakikat pembangunan nasional adalah pembangunan manusia

Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya.

Pembangunan nasional adalah pembangunan dari rakyat, oleh rakyat, dan

untuk rakyat yang dilaksanakan di semua aspek kehidupan bangsa, termasuk juga

pembangunan kesehatan secara menyeluruh dan terpadu yang didukung oleh

sistem kesehatan nasional. Untuk mencapai pembangunan kesehatan tersebut

diselenggarakan upaya pembangunan yang berkesinambungan yang merupakan

suatu rangkaian pembangunan yang menyeluruh terarah dan terpadu dibidang

Page 14: TINJAUAN YURIDIS MALPRAKTEK MEDIS DALAM SISTEM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

pelayanan kesehatan. Pembangunan kesehatan diarahkan untuk mempertinggi

derajat kesehatan yang besar, bagi pembangunan dan pembinaan sumber daya

manusia dan sebagai modal bagi pelaksanaan pembangunan nasional. Kesehatan

sebagai salah satu unsur kesejahteraan umum harus diwujudkan melalui berbagai

upaya kesehatan. Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur

kesejahteraan yang harus diwujudkan.

Dokter sebagai salah satu komponen utama pemberi pelayanan kesehatan

kepada masyarakat mempunyai peranan yang sangat penting karena terkait

langsung dengan pemberian pelayanan kesehatan dan mutu pelayanan yang

diberikan. Landasan bagi dokter untuk dapat melaksanakan tindakan medis

terhadap orang lain adalah ilmu pengetahuan, teknologi, dan kompetensi yang

dimiliki yang diperoleh melalui pendidikan dan pelatihan. Pengetahuan yang

dimilikinya, harus terus menerus dipertahankan dan ditingkatkan sesuai dengan

kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dokter dengan perangkat keilmuan

yang dimilikinya mempunyai karakteristik yang khas. Kekhasannya terlihat dari

pembenaran yang dibenarkan oleh hukum yaitu diperkenankannya melakukan

tindakan medis terhadap tubuh manusia dalam upaya memelihara dan

meningkatkan derajat kemanusiaan.

Maraknya tuntutan hukum yang diajukan masyarakat dewasa ini,

menunjukkan berkurangnya kepercayaan masyarakat terhadap dokter, selain itu

sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen memicu masyarakat gemar menuntut, ataupun sebab lain yang

seringkali diidentikkan dengan kegagalan upaya penyembuhan yang dilakukan

dokter. (Kayus Koyowuan Lewloba, 2008:181)

Seseorang yang mengalami ganguan kesehatan pasti mendatangi seorang

dokter untuk mendapatkan penyembuhan penyakit yang dideritanya. Kemudian

muncul hubungan hukum antara dokter dan pasien, yang menimbulkan hak dan

kewajiban. Dalam melaksanakan kewajiban bagi dokter itulah dapat menimbulkan

penderitaan bagi pasien, akibat kelalaian atau kekurang hatian-hatian dokter

dalam menjalankan profesinya. Dikenal dengan istilah malpraktek (malpractice)

Page 15: TINJAUAN YURIDIS MALPRAKTEK MEDIS DALAM SISTEM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

medis dan dapat membebani tanggung jawab hukum terhadap akibat buruk bagi

pasien.

Malpraktek adalah istilah untuk dunia kedokteran yang artinya mal atau

mala artinya buruk, sedang praktek artinya pelaksanaan pekerjaan (Kamus Besar

Bahasa Indonesia; 1999:620;785). Sedangkan malpractice “an instance of

negligence on incompetence on the part of a profesional (Black Law Dictionary,

2004:978), terjemahan bebas oleh penulis yaitu kelalaian merupakan bagian dari

ketidakkompetenan sebuah profesionalitas. Dari sudut harfiah istilah malpraktek

artinya praktek yang buruk.

Semakin terdidiknya masyarakat dan banyaknya buku pengetahuan

tentang kesehatan menjadikan masyarakat semakin kritis terhadap pelayanan

medis yang diterimanya. Perbuatan dalam pelayanan medis yang dapat menjadi

malpraktek medis terletak pada pemeriksaan, cara pemeriksaan, alat yang dipakai

pada pemeriksaan, menarik diagnosis atas fakta hasil pemeriksaan, wujud

perlakuan terapi, maupun perlakuan untuk menghindari kerugian dari salah

diagnosis dan salah terapi serta tidak sesuai standar profesi. (Adami Chazawi,

2007:5).

Bila diamati secara umum, Indonesia sekarang ini memasuki era “krisis

malpraktek”. Hubungan dokter dan pasien yang awalnya saling percaya, sekarang

menjadi hubungan yang saling curiga. Tuntutan hukum yang diajukan oleh pasien

atau keluarganya kepada pihak rumah sakit dan atau dokternya semakin

meningkat. Tuntutan hukum tersebut dapat berupa tuntutan pidana maupun

perdata, dengan hampir selalu mendasarkan kepada teori hukum kelalaian.

Perilaku yang dituntut merupakan kumpulan dari kelompok perilaku profesional

medis yang “menyimpang” dari standar profesi medis dan mengakibatkan cedera,

kematian atau kerugian bagi pasiennya. Kasus-kasus dugaan malpraktek yang

pernah terekspos media antara lain kasus malpraktek terhadap Pramita Wulansari.

Wanita ini meninggal dunia tidak lama setelah menjalani operasi caesar di Rumah

Sakit Surabaya Medical Service. Korban mengalami infeksi pada saluran urin dan

kemudian menjalar ke otak. (www.indosiar.com/tags/malpraktek).

Page 16: TINJAUAN YURIDIS MALPRAKTEK MEDIS DALAM SISTEM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

“In most countries the prevailing rule of liability for medical injuries is same farm of negligence rule (Schwartz, 1992). Many countries, including the UK, the US, and Canada, are increasingly dissatisfied with this traditional system. In theory, the tort system is designed to deter medical negligence and compensate patients injured as a result of negligent care” (Patricia M. Donzon, 2011:1).

Terjemahan bebas oleh penulis yaitu “bahwa di sebagian besar negara,

aturan yang berlaku untuk malpraktek medis adalah aturan yang sama dengan

bentuk aturan kelalaian (Schwartz, 1992). Banyak negara, termasuk Inggris,

Amerika Serikat, dan Kanada, semakin tidak puas dengan sistem tradisional.

Dalam teori, yang terakhir sistem kerugian dirancang untuk mencegah kelalaian

medis dan kompensasi trauma pasien sebagai akibat kelalaian perawatan”.

Di Indonesia, fenomena ketidakpuasan pasien pada kinerja profesi dokter

terus berkembang. Tuntutan masyarakat untuk membawa kasus dugaan

malpraktek medis ke pengadilan, dapat dipahami mengingat sangat sedikit jumlah

kasus malpraktek medis yang diselesaikan di pengadilan. Baik secara hukum

perdata, hukum pidana atau dengan hukum administrasi. Padahal media massa

nasional juga daerah berkali-kali melaporkan adanya dugaan malpraktek medis

yang dilakukan dokter tetapi tidak berujung pada penyelesaian melalui sistem

peradilan.

Masyarakat sering beranggapan keliru bahwa tindakan medis yang

menimbulkan kerugian dapat dikategorikan sebagai malpraktek medis. Hal

tersebut dikarenakan, hukum kedokteran Indonesia belum dapat merumuskan

secara mandiri sehingga batas-batas tentang malpraktek medis belum dapat

dirumuskan, akibatnya isi, pengertian, dan batasan-batasan malpraktek medis

belum seragam bergantung pada sisi mana orang memandangnya. (Adami

Chazawi, 2007: 4).

Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran tidak

memuat ketentuan tentang malpraktek kedokteran. Pasal 66 Ayat (1) mengandung

kalimat yang mengandung pada kesalahan praktik kedokteran, yakni “Setiap

orang yang mengetahui atau kepentingannya dirugikan atas tindakan dokter dalam

menjalankan praktik kedokteran dapat mengadukan secara tertulis kepada Ketua

Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia”. Pasal ini hanya memberi

Page 17: TINJAUAN YURIDIS MALPRAKTEK MEDIS DALAM SISTEM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

dasar hukum untuk melaporkan dokter ke organisasi profesinya apabila terdapat

indikasi tindakan dokter yang membawa kerugian, bukan dasar untuk menuntut

ganti rugi atas tindakan dokter. Pasal tersebut hanya mempunyai arti dari sudut

hukum administrasi praktik kedokteran. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992

tentang Kesehatan, pada Pasal 54 ayat (1) merumuskan kalimat yang lebih jelas

dari istilah kepentingannya dirugikan atas tindakan dokter dengan istilah

“...melakukan kesalahan atau kelalaian dalam melaksanakan profesinya...” tetapi

tidak dijelaskan apa arti dan isinya sehingga kriterianya tidak jelas. Apalagi norma

pasal itu sudah mati karena ditiadakan kekuatan berlakunya oleh Pasal 85

Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Sedangkan

dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, pada Pasal 29

mengandung istilah kelalaian yaitu “Dalam hal tenaga kesehatan diduga

melakukan kelalaian dalam menjalankan profesinya, kelalaian tersebut harus

diselesaikan terlebih dahulu melalui mediasi”. Undang-Undang Nomor 44 tahun

2009 tentang Rumah Sakit pada Pasal 46 juga mengandung istilah kelalaian, yaitu

”Rumah sakit bertanggung jawab secara hukum terhadap semua kerugian yang

ditimbulkan atas kelalaian yang dilakukan oleh tenaga kesehatan rumah sakit”.

Dengan adanya Undang-Undang No 44 Tahun 2009, telah memberikan dasar

hukum bagi masyarakat untuk meminta tanggung jawab hukum rumah sakit bila

terjadi kelalaian yang menyebabkan kerugian bagi pasien. Dari keempat Undang-

Undang tersebut tidak cukup memberikan pengertian, isi, batasan-batasan

malpraktek medis. Sedangkan di dalam KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana) dikenal dengan istilah "Kelalaian", dalam KUHPdt (Kitab Undang-

Undang Hukum Perdata) dikenal dengan istilah “wanprestasi” dan “kerugian”.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

memberikan upaya hukum bagi para korban untuk menuntut keadilan melalui

jalur pengadilan maupun luar pengadilan.

Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 585/Menkes/Per/IX/1989 tentang

Persetujuan Tindakan Medik, Peraturan Menteri Kesehatan Nomor

512/Menkes/Per/IV/2007 tentang Izin Praktik dan Pelaksanaan Praktik

Kedokteran, Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 269/Menkes/Per/III/2008

Page 18: TINJAUAN YURIDIS MALPRAKTEK MEDIS DALAM SISTEM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

tentang Rekam Medis memberikan pengaturan teknis bagi pasien dan dokter bila

timbul kerugian dalam pelayanan medis.

Suatu perundang-undangan dikatakan efektif setelah adanya sistem

hukum, penegakan hukumnya kemudian dilihat apakah peraturan itu ditaati dan

mengikat bagi masyarakat. Hal tersebut berdasarkan teoti priciples of legality dari

Fuller, Teori penegakan hukum oleh Ten Berge dan Teori validitas oleh Hans

Kelsen. Untuk melihat apakah aturan malpraktek medis yang ada sudah efektif

dan dapat dilaksanakan untuk penegakan hukum malpraktek medis atau tidak.

Kelemahan sistem hukum kesehatan di Indonesia karena Indonesia belum

memiliki hukum normatif (Undang-Undang) tentang malpraktek medis sehingga

pengaturan dan ketentuan yuridis bila terjadi malpraktek tidak ada. Permasalahan

lain yakni, kesediaan dokter yang dijadikan saksi ahli dalam suatu kasus dugaan

malpraktek karena diantara dokter itu sendiri terdapat perlindungan korps dan

saling berusaha untuk tidak membeberkan kesalahan dokter lainnya. Namun, tidak

berarti upaya-upaya hukum untuk menuntut hak pasien berkaitan dengan kasus

malpraktek selamanya akan gagal. Pasien dengan bekal pembuktian yang kuat dan

bila dokter benar-benar terbukti melakukan malpraktek, pasti hak pasien akan

diterima kembali. Oleh karena itu, pasien yang merasa memiliki keluhan atas

pelayanan medis yang diterimanya di institusi kesehatan, harus mengumpulkan

informasi sebanyak mungkin agar upaya menuntut keadilan atas haknya tidak sia-

sia.

Kasus-kasus dugaan malpraktek seperti gunung es, hanya sedikit yang

muncul dipermukaan. Ada banyak tindakan dan pelayanan medis yang dilakukan

dokter atau tenaga medis lainnya yang berpotensi merupakan malpraktek yang

dilaporkan masyarakat tapi tidak diselesaikan secara hukum. Bagi para korban,

pertanyaan yang menjadi perhatian untuk penegak hukum mengapa begitu sulit

membawa kasus dugaan malpraktek “dari meja operasi ke meja hijau”. Apakah

perangkat hukum dan peraturan perundangan yang ada tidak cukup untuk

membawa persoalan dugaan malpraktek medis ke ranah hukum.

Berdasarkan pemaparan di atas, maka hal-hal tersebut yang mendasari dan

melatarbelakangi penulis untuk menyajikan penulisan hukum dengan judul

Page 19: TINJAUAN YURIDIS MALPRAKTEK MEDIS DALAM SISTEM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

“TINJAUAN YURIDIS MALPRAKTEK MEDIS DALAM SISTEM

HUKUM INDONESIA”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka dalam penelitian ini penulis

merumuskan dalam dua pokok permasalah, yaitu:

1. Bagaimana pengaturan malpraktek medis dalam sistem hukum Indonesia ?

2. Bagaimana ketentuan yuridis terhadap terjadinya malpraktek medis sesuai

sistem hukum Indonesia ?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian adalah hal-hal tertentu yang hendak dicapai dalam suatu

penelitian. Tujuan penelitian akan memberikan arah dalam pelaksanaan

penelitian. Adapun tujuan dari penelitian ini yaitu:

1. Tujuan Obyektif

a. Untuk mengetahui pengaturan mengenai malpraktek medis dalam

sistem hukum Indonesia.

b. Untuk memperoleh jawaban atas permasalan mengenai ketentuan

yuridis terhadap terjadinya malpraktek medis sesuai sistem hukum

Indonesia.

2. Tujuan Subyektif

a. Untuk menambah pengetahuan penulis di bidang Hukum

Administrasi Negara khususnya malpraktek medis dalam sistem

hukum Indonesia.

b. Untuk melengkapi syarat-syarat guna memperoleh gelar akademik

sarjana dalam bidang Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas

Sebelas Maret Surakarta.

D. Manfaat Penelitian

Page 20: TINJAUAN YURIDIS MALPRAKTEK MEDIS DALAM SISTEM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

Suatu penelitian tentunya diharapkan dapat memberikan manfaat bagi

berbagai pihak. Adapun manfaat dari penelitian ini yaitu:

1. Manfaat Teoritis

a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat pada

pengembangan ilmu pengetahuan di bidang ilmu hukum pada

umumnya dan bidang Hukum Administrasi Negara pada khususnya.

b. Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya referensi dan literatur

dalam dunia kepustakaan tentang kajian mengenai malpraktek medis.

c. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai acuan terhadap

penelitian sejenis untuk tahap berikutnya.

2. Manfaat Praktis

a. Penelitian ini diharapkan dapat mengembangkan penalaran, pola pikir

dinamis dan untuk mengetahui kemampuan penulis dalam

menerapkan ilmu hukum yang diperoleh selama bangku kuliah.

b. Penelitian ini diharapkan dapat membantu, memberikan tambahan

masukan dan pengetahuan kepada pihak-pihak terkait dengan

masalah yang sedang diteliti, juga kepada berbagai pihak yang

berminat pada permasalahan yang sama.

E. Metode Penelitian

Penelitian Hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum,

prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum

yang dihadapi (Peter Mahmud Marzuki, 2005:35). Penelitian hukum dilakukan

untuk mencari pemecahan atas isu hukum yang timbul. Oleh karena itu, penelitian

hukum merupakan suatu penelitian di dalam kerangka know-how di dalam hukum.

Hasil yang dicapai adalah untuk memberikan preskripsi dalam menyelesaikan

masalah yang dihadapi (Peter Mahmud Marzuki, 2005:41).

Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian sebagai

berikut.

1. Jenis Penelitian

Page 21: TINJAUAN YURIDIS MALPRAKTEK MEDIS DALAM SISTEM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

Jenis penelitian yang digunakan penulis dalam menyusun penelitian

ini adalah penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan.

Penelitian hukum normatif memiliki definisi yang sama dengan penelitian

doktrinal yaitu penelitian berdasarkan bahan-bahan hukum yang fokusnya

pada membaca dan mempelajari bahan-bahan hukum primer dan sekunder

(Johny Ibrahim, 2006:44). Maka penulis dalam penelitian ini akan

mengkaji tinjauan yuridis malpraktek medis dalam sistem hukum

Indonesia.

2. Sifat Penelitian

Ilmu hukum hukum mempunyai karakteristik sebagai ilmu yang

bersifat preskriptif dan terapan (Peter Mahmud Marzuki: 2005: 22). Dari

hasil telaah dapat dibuat opini atau pendapat hukum. Opini atau pendapat

dikemukakan oleh ahli hukum merupakan suatu preskripsi. Begitu juga

tuntutan jaksa, petitum atau eksepsi dalam pokok perkara di litigasi berisi

preskriosi. Untuk dapat memberikan preskripsi itulah guna praktik

penelitian hukum (Peter Mahmud Marzuki, 2005:37). Berdasarkan definisi

tersebut karakter preskriptif akan dikaji pada ketentuan yuridis bila terjadi

malpraktek medis sesuai sistem hukum Indonesia.

3. Pendekatan Penelitian

Di dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan. Dengan

pendekatan tersebut, peneliti akan mendapatkan informasi dari berbagai

aspek mengenai isu yang sedang dicoba untuk dicari jawabnya.

Pendekatan-pendekatan yang digunakan di dalam penelitian hukum adalah

pendekatan undang-undang (Statute Approach), pendekatan kasus (Case

Approach), pendekatan historis (Historical Approach), pendekatan

komparatif (Comparative Approach), dan pendekatan konseptual

(Conceptual Approach) (Peter Mahmud Marzuki, 2005:93).

Adapun pendekatan yang penulis gunakan dalam penelitian ini

adalah pendekatan undang-undang (Statute Approach). Pendekatan

undang-undang dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan

regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani.

Page 22: TINJAUAN YURIDIS MALPRAKTEK MEDIS DALAM SISTEM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

Dalam metode pendekatan perundang-undangan peneliti perlu memahami

hierarki, dan asas-asas dalam peraturan perundang-undangan (Peter

Mahmud Marzuki, 2005:93)

4. Jenis Dan Sumber Data Penelitian

Dalam buku Penelitian Hukum karangan Peter Mahmud Marzuki,

mengatakan bahwa pada dasarnya penelitian hukum tidak mengenal

adanya data, sehingga yang digunakan adalah bahan hukum. Dalam hal ini

Peneliti menggunakan jenis dan sumber penelitian sekunder yang terdiri

dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat

autoratif, artinya mempunyai otoritas. Bahan hukum primer terdiri

dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi, atau risalah di dalam

pembuatan peraturan perundang-undangan dan putusan-putusan

hakim. Bahan hukum primer dalam penelitian ini adalah:

1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

2) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

3) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan

4) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen

5) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan

6) Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik

Kedokteran

7) Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit

8) Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

585/Menkes/Per/IX/1989 tentang Persetujuan Tindakan Medik.

9) Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

512/Menkes/Per/IV/2007 tentang Izin Praktik dan Pelaksanaan

Praktik Kedokteran

10) Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

269/Menkes/Per/III/2008 tentang Rekam Medis.

Page 23: TINJAUAN YURIDIS MALPRAKTEK MEDIS DALAM SISTEM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

b. Bahan Hukum sekunder

Bahan hukum sekunder berupa publikasi tentang hukum yang

bukan merupakan dokumen-dokumen resmi (Peter Mahmud

Marzuki, 2005:141). Bahan hukum sekunder sebagai pendukung dari

data yang digunakan dalam penelitian ini ini yaitu buku-buku teks

yang ditulis para ahli hukum, jurnal hukum, artikel, internet, kamus

hukum dan sumber lainnya yang memiliki korelasi untuk

mendukung penelitian ini.

5. Teknik Pengumpulan Data

Prosedur pengumpulan bahan hukum yang digunakan dalam

penelitian ini adalah studi kepustakaan yaitu pengumpulan data dengan

jalan membaca peraturan perundang-undangan, dokumen-dokumen resmi

maupun literatur-literatur yang erat kaitannya dengan permasalahan yang

dibahas kemudian dikategorisasi menurut jenisnya.

6. Teknik Analisis Data

Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan

metode silogisme dan interpretasi dengan menggunakan pola berpikir

deduktif. Pola berpikir deduktif yaitu berpangkal dari prinsip-prinsip

dasar, kemudian peneliti tersebut menghadirkan objek yang hendak

diteliti. Sedangkan metode silogisme yang menggunakan pendekatan

deduksi menurut yang diajarkan Aristoteles yaitu berpangkal dari

pengajuan premis mayor. Kemudian diajukan premis minor, dari kedua

premis ini kemudian ditarik suatu kesimpulan atau conclusion (Peter

Mahmud Marzuki, 2005:46).

Mengutip pendapat dari Von Savigny, interpretasi merupakan suatu

rekonstruksi buah pikiran yang tak terungkapkan di dalam undang-undang.

Untuk kajian akademis, seorang peneliti hukum juga dapat melakukan

interpretasi. Bukan tidak mungkin hasil penelitian itu akan digunakan oleh

praktisi hukum dalam praktek hukum. Dalam hal demikian, penelitian

tersebut telah memberikan sumbangan bagi pengembangan ilmu dan

praktek hukum. Interpretasi dibedakan menjadi interpretasi berdasarkan

Page 24: TINJAUAN YURIDIS MALPRAKTEK MEDIS DALAM SISTEM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

kata undang-undang, interpretasi berdasarkan kehendak pembentuk

undang-undang, interpretasi sistematis, interpretasi historis, interpretasi

teleologis, interpretasi antisipatoris, dan interpretasi modern (Peter

Mahmud Marzuki, 2005:106-107).

Adapun metode interpretasi yang penulis gunakan dalam penelitian

ini adalah :

a. Interpretasi berdasarkan kata undang-undang

Interpretasi ini beranjak dari makna kata-kata yang tertuang di dalam

undang-undang. Interpretasi ini akan dapat dilakukan apabila kata-

kata yang di gunakan dalam undang-undang itu singkat artinya tidak

bertele-tele, tajam, artinya akurat mengenai apa yang dimaksud dan

tidak mengandung sesuatu yang bersifat dubious atau makna ganda.

Hal itu sesuai dengan karakter undang-undang sebagai perintah atau

aturan ataupun larangan. (Peter Mahmud Marzuki, 2005:112)

b. Interpretasi sistematis

Menurut pendapat P.W.C. Akkerman, interpretasi sistematis adalah

interpretasi dengan melihat kepada hubungan di antara aturan dalam

suatu undang-undang yang saling bergantung. Di samping itu juga

harus dilihat bahwa hubungan itu tidak bersifat teknis, melainkan juga

harus dilihat asas yang melandasinya. Landasan pemikiran

interpretasi sistematis adalah undang-undang merupakan suatu

kesatuan dan tidak satu pun ketentuan di dalam undang-undang

merupakan aturan yang berdiri sendiri (Peter Mahmud Marzuki,

2005:111-112).

F. Sistematika Penulisan Hukum

Sistematika penulisan dalam penelitian hukum ini terdiri dari empat

(4) bab yaitu pendahuluan, tinjauan pustaka, pembahasan, dan penutup. Selain

Page 25: TINJAUAN YURIDIS MALPRAKTEK MEDIS DALAM SISTEM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

itu ditambah dengan daftar pustaka dan lampiran. Adapun sistematika yang

terperinci adalah sebagai berikut:

BAB I : PENDAHULUAN

Pada bab ini penulis mengemukakan mengenai latar

belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian,

manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika

penulisan hukum.

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

Pada bab ini penulis memaparkan sejumlah landasan teori

dari para pakar dan doktrin hukum berdasarkan literatur-

literatur yang berhubungan dengan permasalahan penelitian

yang diangkat. Tinjauan pustaka dibagi menjadi dua (2)

yaitu :

1. Kerangka teori, yang berisikan tinjauan mengenai

malpraktek medis dan tinjauan mengenai sistem hukum

Indonesia.

2. Kerangka pemikiran, yang berisikan gambaran alur

berpikir dari penulis berupa konsep yang akan

dijabarkan dalam penelitian ini.

BAB III : PEMBAHASAN

Pada bab ini penulis hendak menguraikan pembahasan dan

hasil perolehan dari penelitian yang dilakukan. Berpijak

dari rumusan masalah yang ada, maka dalam bab ini

penulis akan membahas dua (2) pokok permasalahan yaitu

pengaturan malpraktek medis dalam sistem hukum

Indonesia serta ketentuan yuridis terhadap terjadinya

malpraktek medis sesuai sitem hukum Indonesia.

BAB IV : PENUTUP

Page 26: TINJAUAN YURIDIS MALPRAKTEK MEDIS DALAM SISTEM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

Pada bab ini penulis mengemukakan kesimpulan dari hasil

penelitian serta memberikan saran yang yang relevan

dengan penelitian terhadap pihak-pihak yang terkait dengan

penelitian tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teori

Page 27: TINJAUAN YURIDIS MALPRAKTEK MEDIS DALAM SISTEM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

1. Tinjauan Tentang Malpraktek

a. Pengertian Malpraktek

Ada berbagai istilah yang sering digunakan di Indonesia antara

lain, malpraktek, malapraktek, malapraktik, malpraktik dan sebagainya.

Akan tetapi, istilah yang benar menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia

Departemen Pendidikan Nasional yang diterbitkan Balai Pustaka adalah

“malapraktik”, sedangkan menurut kamus kedokteran adalah

“malapraktek” (Y.A Triana Ohoiwutun, 2007:47). Secara harfiah istilah

“malpraktik” artinya praktek yang buruk (bad practice), praktek yang

jelek.

Malapraktek adalah praktik kedokteran yang dilakukan salah, tak

tepat, menyalahi Undang-Undang, kode etik (Kamus Kedokteran

Indonesia, 2008, 500). Malpraktek adalah pengobatan suatu penyakit atau

perlukaan yang salah kerena ketidaktahuan, kesembronoan atau

kesengajaan kriminal. (Agus Irianto, 2006:16)

Istilah malapraktek di dalam hukum kedokteran mengandung arti

praktek dokter yang buruk. (Danny Wiradharma, 1996:87)

b. Unsur-Unsur Malpraktek

Dikemukakan adanya "Three elements of liability" antara lain:

1) Adanya kelalaian yang dapat dipermasalahkan ("culpability");

2) Adanya kerugian ("damages"); dan

3) Adanya hubungan kausal ("causal relationship"). (Van der Mijn,

dalam Y.A Triana Ohoiwutun, 2007:64)

Perlu diketahui bahwa unsur-unsur tersebut berlaku kumulatif,

artinya harus terpenuhi seluruhnya. Dokter dikatakan melakukan

malpraktek jika:

1) Dokter kurang menguasai IPTEK kedokteran yang umum berlaku di

kalangan profesi kedokteran;

2) Memberikan pelayanan kedokteran dibawah standar profesi;

Page 28: TINJAUAN YURIDIS MALPRAKTEK MEDIS DALAM SISTEM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

3) Melakukan kelalaian yang berat atau memberikan pelayanan yang

tidak hati-hati; dan

4) Melakukan tindak medis yang bertentangan dengan hukum. (M. Jusuf

Hanafiah, 1998:88)

Suatu tindakan medis tidak bertentangan dengan hukum apabila

dipenuhi ketiga syarat berikut:

1) Mempunyai indikasi medis ke arah suatu tujuan perawatan yang

kongkrit;

2) Dilakukan menurut ketentuan yang berlaku di dalam ilmu kedokteran;

dan

3) Telah mendapat persetujuan pasien. (Danny Wiradharma, 1996:87-88)

Jika dokter hanya melakukan tindakan yang bertentangan dengan

etik kedokteran, maka penggugat harus membuktikan 4 (empat) unsur

sebagai berikut.

1) Adanya suatu kewajiban bagi dokter terhadap pasien;

2) Dokter telah melanggar standar pelayanan medis yang lazim

dipergunakan;

3) Pengugat telah menderita kerugian yang dapat dimintakan ganti

ruginya; dan

4) Secara faktual kerugian itu disebabkan oleh tindakan di bawah

standar. (M.Jusuf Hanafiah, 1999:89)

Dalam bidang kedokteran suatu kesalahan kecil dapat

menimbulkan akibat berupa kerugian besar. Pada umumnya masyarakat

tidak dapat membedakan mana yang merupakan kasus pelanggaran etik

dan mana yang dikategorikan melanggar hukum. Tidak semua

pelanggaran etik merupakan malpraktek, sedangkan malpraktek sudah

pasti merupakan pelanggaran etik profesi medis.

Muncul konsep 4D bertujuan untuk menjembatani adanya kerugian

akibat munculnya kejadian tidak diinginkan tersebut apakah benar-benar

sebagai kejadian tidak dinginkan yang termasuk malpraktek atau bukan.

Page 29: TINJAUAN YURIDIS MALPRAKTEK MEDIS DALAM SISTEM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

Konsep 4D terdiri dari duty, derilection of duty, damage, dan direct

causation.

1) Duty artinya tugas atau kewajiban yang dimiliki oleh dokter. Artinya dokter memiliki kewajiban-kewajiban yang muncul asli karena kedokterannya dan juga dokter memiliki kewajiban akibat dari adanya hubungan dokter dan pasien yaitu kontrak terapetik,

2) Derilection of duty artinya dokter menelantarkan tugas yang dibebankan pada pundaknya. Kewajiban atau tugas tersebut tidak dilaksanakan oleh dokter, padahal dokter harus menyerahkan prestasinya kepada pasien,

3) Damage artinya kerusakan yang terjadi pada pasien. Kerusakan pada pasien diartikan sebagai adanya kejadian tidak diinginkan. Kejadian tidak diinginkan tersebut ada menimbulkan kecurigaan adanya malapraktek, dan

4) Direct causation, artinya hubungan langsung antara Derilection of duty dan Damage yaitu adanya penelantaran kewajiban yang dilakukan oleh dokter secara langsung mengakibatkan adanya kerusakan. (Hari Wujoso, 2008:20)

c. Aspek Hukum Malpraktek

Aspek hukum malpraktek terdiri dari 3 hal, yaitu sebagai berikut:

1) Penyimpangan dari Standar Profesi Medis;

2) Kesalahan yang dilakukan dokter, baik berupa kesengajaan ataupun

kelalaian; dan

3) Akibat yang terjadi disebabkan oleh tindakan medis yang

menimbulkan kerugian materiil atau non materiil maupun fisik atau

mental. (Danny Wiradharma, 1996: 92).

2. Tinjauan Tentang Medis

Pengertian Medis menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah

termasuk atau berhubungan dengan bidang kedokteran (Kamus Besar Bahasa

Indonesia, 2005: 628)

Medis menurut arti kamus adalah merupakan salah satu cabang ilmu

kesehatan yang mengupayakan perawatan kesehatan beserta upaya-upayanya

untuk menyembuhkan penyakit. Dunia medis merupakan ilmu kedokteran

yang juga memiliki cabang-cabang spesialis di bidang organ tubuh manusia

tertentu atau penyakit tertentu (pusatmedis.com/pengertianmedis_70htm).

Page 30: TINJAUAN YURIDIS MALPRAKTEK MEDIS DALAM SISTEM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

3. Tinjauan Tentang Malpraktek Medis

a. Pengertian Malpraktek Medis

Malpraktek medis menurut WMA (World Medical Association)

Tahun 1992 adalah kegagalan dokter untuk memenuhi standar pengobatan

dan perawatan yang menimbulkan cedera pada pasien atau adanya

kekurangan ketrampilan atau kelalaian dalam pengobatan dan perawatan

yang menimbulkan cedera pada pasien (Kayus Koyowuan Lewloba,

2008:183)

Malpraktek medis adalah kelalaian seorang dokter untuk

mempergunakan tingkat keterampilan dan ilmu pengetahuan yang lazim

dipergunakan dalam mengobati pasien atau orang yang terluka menurut

ukuran di lingkungan yang sama. (M. Yusuf Hanafiah, 1999:87).

Malpraktik kedokteran adalah dokter atau tenaga medis yang ada di bawah perintahnya dengan sengaja atau kelalaian melakukan perbuatan (aktif atau pasif) dalam praktik kedokteran pada pasiennya dalam segala tingkatan yang melanggar standar profesi, standar prosedur, prinsip-prinsip profesional kedokteran atau dengan melanggar hukum (tanpa wewenang) karena tanpa informend consent atau di luar informed consent, tanpa Surat Izin Praktik atau tanpa Surat Tanda Registrasi, tidak sesuai dengan kebutuhan medis pasien dengan menimbulkan (casual verband) kerugian bagi tubuh, kesehatan fisik, mental atau nyawa pasien sehingga membentuk pertanggungjawaban dokter (Adami Chazawi, 2007:10)

b. Kategori Malpraktek Medis

Menurut Kasimin dalam blognya (www.bantuanhukum.info,

malpraktek tenaga keperawatan), kategori malpraktek medis secara hukum

dibagi dalam 3 kategori sesuai bidang hukum yang dilanggar, yakni

Criminal malpractice, Civil malpractice dan Administrative malpractice.

1) Criminal malpractice, manakala perbuatan tersebut memenuhi

rumusan delik pidana yakni:

a) Perbuatan tersebut (positive act maupun negative act) merupakan

perbuatan tercela;

Page 31: TINJAUAN YURIDIS MALPRAKTEK MEDIS DALAM SISTEM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

b) Dilakukan dengan sikap batin yang salah (mens rea) yang berupa

kesengajaan (intensional), kecerobohan (reklessness) atau kealpaan

(negligence).

Criminal malpractice yang bersifat sengaja (intensional)

misalnya melakukan euthanasia (pasal 344 KUHP), membuka rahasia

jabatan (Pasal 332 KUHP), membuat surat keterangan palsu (Pasal 263

KUHP), melakukan aborsi tanpa indikasi medis (Pasal 299) KUHP.

Criminal malpractice yang bersifat ceroboh (recklessness) misalnya

melakukan tindakan medis tanpa persetujuan pasien. Criminal

malpractice yang bersifat negligence (lalai) misalnya kurang hati-hati

mengakibatkan luka, cacat atau meninggalnya pasien, ketinggalan

klem dalam perut pasien saat melakukan operasi. Pertanggung jawaban

didepan hukum pada criminal malpractice adalah bersifat

individual/personal dan oleh sebab itu tidak dapat dialihkan kepada

orang lain atau kepada rumah sakit/sarana kesehatan.

2) Civil malpractice, apabila tenaga kesehatan tidak melaksanakan

kewajiban atau tidak memberikan prestasinya sebagaimana yang telah

disepakati (ingkar janji). Tindakan yang dapat dikategorikan civil

malpractice antara lain:

a) Tidak melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib

dilakukan;

b) Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan

tetapi terlambat melakukannya;

c) Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan

tetapi tidak sempurna; dan

d) Melakukan apa yang menurut kesepakatannya tidak seharusnya

dilakukan.

Pertanggung jawaban civil malpractice dapat bersifat individual

atau korporasi dan dapat pula dialihkan pihak lain berdasarkan

principle of vicarius liability. Dengan prinsip ini maka rumah

sakit/sarana kesehatan dapat bertanggung jawab atas kesalahan yang

Page 32: TINJAUAN YURIDIS MALPRAKTEK MEDIS DALAM SISTEM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

dilakukan karyawannya (tenaga kesehatan) selama tenaga kesehatan

tersebut dalam rangka melaksanakan tugas kewajibannya.

3) Administrative malpractice, manakala tenaga perawatan tersebut telah

melanggar hukum administrasi. Perlu diketahui bahwa dalam

melakukan police power, pemerintah mempunyai kewenangan

menerbitkan berbagai ketentuan di bidang kesehatan, misalnya tentang

persyaratan bagi tenaga perawatan untuk menjalankan profesinya

(Surat Ijin Praktek), batas kewenangan serta kewajiban tenaga

perawatan. Apabila aturan tersebut dilanggar maka tenaga kesehatan

yang bersangkutan dapat dipersalahkan melanggar hukum

administrasi.

4. Tinjauan Tentang Sistem

Sistem berasal dari bahasa Latin (systēma) dan bahasa Yunani

(sustēma) adalah suatu kesatuan yang terdiri komponen atau elemen yang

dihubungkan bersama untuk memudahkan aliran informasi, materi atau

energi. (http://www.google.co.id/search?q="pengertian+sistem)

Sedangkan pengertian sistem menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia

adalah “perangkat unsur yang secara teratur saling berkaitan sehingga

membentuk suatu totalitas; susunan yang teratur dari padangan, teori, asas

dsb; metode. (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1999:998)

Pengertian yang paling umum, sebuah sistem adalah sekumpulan

benda yang memiliki hubungan di antara mereka.

5. Tinjauan Tentang Sistem Hukum Indonesia

a. Pengertian Sistem Hukum Indonesia

Dua cara yang selama ini digunakan untuk mengartikan istilah sistem hukum. Pertama, yang mengartikan sistem hukum sebagai kesatuan dari komponen atau unsur (sub-sistem) sebagai berikut: hukum materiil, hukum formil, hukum perdata, hukum publik. Termasuk di dalam pandangan ini adalah yang melihat sistem hukum sebagai kesatuan antar berbagai peraturan perundang-undangan, atau kesatuan antar peraturan perundang-undangan dengan asas-asas hukum. Kedua, yang mengartikan

Page 33: TINJAUAN YURIDIS MALPRAKTEK MEDIS DALAM SISTEM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

sistem hukum sebagai kesatuan dari komponen: struktur hukum, substansi hukum dan budaya hukum. (http: //id.wikipedia.org/wiki/Hukum Indonesia)

Sistem hukum di Indonesia merupakan campuran dari sistem hukum

Eropa, hukum Agama dan hukum Adat. Sebagian besar sistem yang

dianut, baik perdata maupun pidana, berbasis pada hukum Eropa

kontinental, khususnya dari Belanda karena aspek sejarah masa lalu

Indonesia yang merupakan wilayah jajahan dengan sebutan Hindia

Belanda (Nederlandsch-Indie). Hukum Agama, karena sebagian besar

masyarakat Indonesia menganut Islam, maka dominasi hukum atau

Syari'at Islam lebih banyak terutama di bidang perkawinan, kekeluargaan

dan warisan. Selain itu, di Indonesia juga berlaku sistem hukum Adat yang

diserap dalam perundang-undangan atau yurisprudensi, yang merupakan

penerusan dari aturan-aturan setempat dari masyarakat dan budaya-budaya

yang ada di wilayah Nusantara.

b. Jenis-Jenis Sistem Hukum Indonesia

1) Hukum Perdata

Hukum perdata adalah serangkaian peraturan hukum yang

mengatur hubungan hukum anatara orang satu dengan yang lain,

dengan menitik beratkan pada kepentingan perseorangan. (Kansil.

CST, dalam Amiek Sumindriyatmi, 2007:20)

2) Hukum Pidana

Menurut Kansil, hukum pidana adalah hukum yang

mengatur tentang pelanggaran dan kejahatan terhadap kepentingan

umum, dimana perbuatan tersebut diancam dengan hukuman yang

merupakan siksaan (Kansil CST, dalam Amiek Sumindriyatmi,

2007:84).

3) Hukum Tata Negara

Hukum Tata Negara adalah hukum yang mengatur tentang

bentuk dan susunan negara, serta alat-alat perlengkapan negara

beserta tugasnya masing-masing.

4) Hukum Administrasi Negara

Page 34: TINJAUAN YURIDIS MALPRAKTEK MEDIS DALAM SISTEM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

Hukum Administrasi Negara adalah hukum yang mengatur

kegiatan administrasi negara. Yaitu mengatur tata pelaksanaan

pemerintah dalam menjalankan tugasnya.

5) Hukum Acara Perdata

Hukum Acara Perdata adalah hukum yang mengatur

bagaimana cara mempertahankan ditaatinya hukum perdata materiil

dengan perantara hakim. Ditinjau dari tugasnya hukum acara

perdata berfugsi untuk menyelesaikan perkara perdata, yaitu

perkara yang timbul apabila hukum perdata materiil dilanggar atau

tidak ditaati.

6) Hukum Acara Pidana

Hukum Acara Pidana adalah peraturan yang mengatur

bagaimana cara mempertahankan berlakunya hukum pidana

materiel. Hukum acara pidana mengatur bagaimana prosedurnya

apabila ada suatu perbuatan pidana yang dilakukan.

7) Hukum Adat

Adanya suatu kenyataan bahwa setiap kesatuan masyarakat

tentu ada tingkah laku yang hidup dan terpelihara dalam

penyelengaraan kehidupan masyarakat. Sebagai tata cara yang

sudah terbiasa atau lazim dilakukan sedari dahulu dan selalu

dipakai berdasarkan kenyataan bahwa itu patut maka tingkah laku

atau tata cara tersebut dalam masyarakat akan di “adat”kan.

Dengan berbagai cara anggota masyarakat melaksanakan,

memperlakukan, mempertahankan aturan-aturan tingkah laku itu

dengan disertai akibat-akibat tertentu. Pengertian hukum adat

menurut R. Sopepomo adalah hukum yang tidak tertulis yang

meliputi peraturan hidup yang tidak ditetapkan oleh pihak

berwajib, tetapi ditaati masyarakat berdasar keyakinan bahwa

peraturan tersebut mempunyai kekuatan hukum. (Amiek

Sumindriyatmi, 2007: 56).

8) Hukum Islam

Page 35: TINJAUAN YURIDIS MALPRAKTEK MEDIS DALAM SISTEM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

Hukum Islam adalah hukum yang bersumber dan menjadi

bagian dari agama Islam. Sebagai sistem hukum, hukum islam

mempunyai berbagai istilah kunci yaitu: hukum, syari’ah, fiqh.

Hukum Islam mengatur hubungan antara mahluk dengan

khaliknya, antara manusia yang satu dengan manusia yang lain dan

hubungan antara manusia dengan benda-benda yang ada di alam

ini.

Hukum Islam di Indonesia belum bisa ditegakkan secara

menyeluruh, karena belum adanya dukungan yang penuh dari

segenap lapisan masyarakat secara demokratis baik melalui pemilu

atau referendum maupun amandemen terhadap UUD 1945 secara

tegas dan konsisten. Aceh merupakan satu-satunya provinsi yang

banyak menerapkan hukum Islam melalui Pengadilan Agama,

sesuai pasal 15 ayat 2 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004

tentang Kekuasaan Kehakiman yaitu :

“Peradilan Syariah Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darrussalam merupakan pengadilan khusus dalam lingkungan peradilan agama sepanjang kewenangannya menyangkut kewenangan peradilan agama, dan merupakan pengadilan khusus dalam lingkungan peradilan umum sepanjang kewenangannya menyangkut kewenangan peradilan umum”.

c. Hierarki Sistem Hukum Indonesia

Hukum di Indonesia memiliki tujuan untuk mencapai ketertiban

masyarakat. Untuk dapat mencapai tujuannya, tidak terlepas begitu saja

antara aturan hukum yang satu dengan aturan hukum yang lainnya, dimana

aturan-aturan hukum tersebut saling kait mengkait secara tertib teratur dan

merupakan tatanan. Aturan hukum yang lebih rendah tidak boleh

bertentangan dengan aturan hukum yang lebih tinggi. Oleh sebab itu

aturan yang begitu banyak, saling terkait satu sama lain sehingga

merupakan tata hukum. Berdasar Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004

Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dalam Pasal 7 ayat

Page 36: TINJAUAN YURIDIS MALPRAKTEK MEDIS DALAM SISTEM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

(1) mengatur tentang Jenis dan Hierarki Peraturan Perundang-Undangan,

adalah sebagai berikut:

1) Undang-Undang Dasar 1945;

2) Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;

3) Peraturan Pemerintah;

4) Peraturan Presiden; dan

5) Peraturan Daerah.

d. Fungsi Hukum

Memahami fungsi hukum, perlu dipahami dulu bidang pekerjaan

hukum. Sedikitnya ada 4 (empat) bidang pekerjaan yang dilakukan oleh

hukum:

1) Merumuskan hubungan-hubungan diantara anggota masyarakat

dengan menunjukkan perbuatan apa saja yang dilarang dan yang

boleh dilakukan;

2) Mengalokasikan dengan menegaskan siapa saja yang boleh

melakukan kekuasaan atau siapa berikut prosedurnya;

3) Menyelesaikan sengketa yang timbul di dalam masyarakat; dan

4) Mempertahankan kemampuan adaptasi masyarakat dengan cara

mengatur kembali hubungan-hubungan dalam masyarakat

manakala ada. (Satjipto Raharjo, 1984:45 dalam Agus Irianto,

2006:48)

Secara sosiologis terdapat dua fungsi utama hukum yaitu:

a) Social Control (kontrol sosial), merupakan fungsi hukum yang

mempengaruhi warga masyarakat agar bertingkah laku sejalan

dengan apa yang telah digariskan sebagai aturan hukum, termasuk

nilai-nilai yang hidup di masyarakat. Lingkup kontrol sosial adalah

sebagai berikut,

(1) Perbuatan norma-norma hukum, baik yang memberikan

peruntukan maupun yang menentukan hubungan antara orang

dengan orang;

(2) Penyelesaian sengketa di dalam masyarakat; dan

Page 37: TINJAUAN YURIDIS MALPRAKTEK MEDIS DALAM SISTEM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

(3) Menjamin kelangsungan kehidupan masyarakat, yaitu dalam

hal terjadi perubahan-perubahan sosial.

b) Social Engineering (rekayasa sosial), penggunaan hukum secara

sadar untuk mencapai suatu tertib atau keadaan masyarakat

sebagaimana diinginkan oleh pembuat hukum. Berbeda dengan

fungsi kontrol sosial yang lebih praktis, yaitu untuk kepentingan

waktu sekarang, maka fungsi rekayasa sosial dari hukum lebih

mengarah pada pembahasan sikap dan perilaku masyarakat di masa

mendatang sesuai dengan keinginan pembuat Undang-Undang.

Perubahan-perubahan yang dikehendaki itu apabila berhasil pada

akhirnya melembaga sebagai pola-pola tingkah laku yang baru di

masyarakat. (Satjipto Rahardjo, 1984:119-120 dalam Agus Irianto,

2006:48-49).

6. Tinjauan Mengenai Efektivitas Peraturan Perundang-Undangan.

a. Teori Fuller

Fuller mengajukan satu pendapat untuk mengukur apakah kita pada

suatu saat dapat berbicara mengenai adanya suatu sistem hukum. Ukuran

tersebut diletakkannya pada delapan asas yang dinamakan principles of

legality, yaitu (Satjipto Rahardjo, 2000: 51-52) :

1) Suatu sistem hukum harus mengandung peraturan-peraturan. Yang

dimaksud disini adalah, bahwa ia tidak boleh mengandung sekedar

keputusan-keputusan yang bersifat ad hoc.

2) Peraturan-peraturan yang telah dibuat itu harus diumumkan.

3) Tidak boleh ada peraturan yang berlaku surut, oleh karena apabila

yang demikian itu ditolak, maka peraturan itu tidak bisa dipakai untuk

menjadi pedoman tingkah laku. Membolehkan pengaturan secara

berlaku surut berarti merusak integritas peraturan yang ditujukan untuk

berlaku bagi waktu yang akan datang.

4) Peraturan-peraturan harus disusun dalam rumusan yang bisa

dimengerti.

Page 38: TINJAUAN YURIDIS MALPRAKTEK MEDIS DALAM SISTEM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

5) Suatu sistem tidak boleh mengandung peraturan-peraturan yang

bertentangan satu sama lain.

6) Peraturan-peraturan tidak boleh mengandung tuntutan yang melebihi

apa yang dapat dilakukan.

7) Tidak boleh ada kebiasaan untuk sering mengubah peraturan sehingga

menyebabkan seorang akan kehilangan orientasi.

8) Harus ada kecocokan antara peraturan yang diundangkan dengan

pelaksanaannya sehari-hari.

Fuller sendiri mengatakan, bahwa kedelapan asas yang

diajukannya itu sebetulnya lebih dari sekedar persyaratan bagi adanya

suatu sistem hukum, melainkan memberikan pengkualifikasian terhadap

sistem hukum yang mengandung suatu moralitas tertentu. Kegagalan

untuk menciptakan sistem yang demikian itu tidak hanya melahirkan

sistem hukum yang jelek, melainkan sesuatu yang tidak bisa disebut

sebagai sistem hukum sama sekali.

Prinsip kelima yang berbunyi “Suatu sistem tidak boleh

mengandung peraturan-peraturan yang bertentangan satu sama lain”

paralel atau ekuivalen dengan sinkronisasi aturan. Sinkronisasi aturan

adalah mengkaji sampai sejauh mana suatu peraturan hukum positif

tertulis tersebut telah sinkron atau serasi dengan peraturan lainnya.

b. Teori J.B.J.M. Ten Berge

Ten Berge menyebutkan mengenai beberapa aspek yang harus

diperhatikan atau dipertimbangkan dalam rangka penegakan hukum, yaitu

sebagai berikut (Ridwan H.R., 2006:310).

a) Een regel moet zo weinig mogelijk ruimte laten voor

interpretatiegeschillen;

b) Uitzonderingsbepalingen moeten tot een worden beperkt;

c) Regels moeten zo veel mogelijk zijn gericht op zichtbare dan wel

objectief constateerbare feiten;

d) Regels moeten werkbaar zijn voor degenentot wie de regels zijn

gericht en voor de personen die met handhaving zijn belast.

Page 39: TINJAUAN YURIDIS MALPRAKTEK MEDIS DALAM SISTEM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

Terjemahannya :

a) Suatu peraturan harus sedikit mungkin membiarkan ruang bagi

perbedaan interpretasi;

b) Ketentuan perkecualian harus dibatasi secara minimal;

c) Peraturan harus sebanyak mungkin diarahkan pada kenyataan yang

secara objektif dapat ditentukan;

d) Peraturan harus dapat dilaksanakan oleh mereka yang terkena

peraturan itu dan mereka yang dibebani dengan (tugas) penegakan

(hukum).

Teori yang dikemukakan J.B.J.M. Ten Berge pada huruf a tersebut

diatas paralel atau ekuivalen dengan prinsip keempat dari Prinsip-Prinsip

Legalitas (Principles Of Legality) teori Fuller yaitu, “Peraturan-peraturan

harus disusun dalam rumusan yang bisa dimengerti”. Keparalelan dari

teori tersebut terletak pada bagaimana suatu peraturan hukum dapat

menampilkan norma hukum sehingga dapat ditangkap oleh masyarakat.

Berkaitan dengan hal di atas, Satjipto Rahardjo mengemukakan

bahwa suatu peraturan hukum merupakan pembadanan dari norma hukum.

Peraturan hukum menggunakan berbagai unsur atau kategori sarana untuk

menampilkan norma hukum sehingga dapat ditangkap oleh masyarakat.

Unsur-unsur peraturan hukum tersebut meliputi; Pengertian Hukum atau

Konsep Hukum, Standar Hukum, dan Asas Hukum (Satjipto Rahardjo,

2000: 41)

Peraturan hukum menggunakan pengertian-pengertian atau konsep-

konsep untuk menyampaikan kehendaknya. Pengertian-pengertian tersebut

merupakan abstraksi dari barang-barang yang pada dasarnya bersifat

konkrit dan individual, ada yang diangkat dari pengertian sehari-hari dan

ada pula yang diciptakan secara khusus sebagai suatu pengertian teknik

(Satjipto Rahardjo, 2000: 42-43)

Pengertian hukum mempunyai isi dan batas-batas yang jelas serta

dirumuskan secara pasti. Dalam hal pengertian hukum memiliki kadar

kepastian yang relatif kurang, maka pengisiannya untuk menjadi pasti

Page 40: TINJAUAN YURIDIS MALPRAKTEK MEDIS DALAM SISTEM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

diserahkan kepada praktek penafsiran, terutama oleh pengadilan.

Pengertian hukum yang mempunyai kadar kepastian yang kurang itu

disebut sebagai Standar Hukum. Menurut Paton standar tersebut

merupakan suatu sarana bagi hukum untuk berkembang sesuai dengan

perkembangan masyarakatnya (Satjipto Rahardjo, 2000: 43-45)

Unsur yang penting dan pokok dari peraturan hukum adalah Asas

Hukum. Asas hukum merupakan landasan yang paling luas bagi lahirnya

suatu peraturan hukum. Ini berarti bahwa peraturan-peraturan hukum itu

pada akhirnya bisa dikembalikan kepada asas-asas tersebut. Asas hukum

bukan peraturan hukum, namun tidak ada hukum yang bisa dipahami

tanpa mengetahui asas-asas hukum yang ada di dalamnya, karena hal

inilah yang memberi makna etis kepada peraturan-peraturan hukum serta

tata hukum (Satjipto Rahardjo, 2000: 45-47)

c. Teori Hans Kelsen (Prinsip Validitas)

Validitas hukum berarti bahwa norma hukum itu mengikat, bahwa

orang harus berbuat sesuai dengan yang diharuskan oleh norma hukum,

bahwa orang harus mematuhi dan menerapkan norma hukum (Hans

Kelsen, 2007: 47). Norma hukum satuan tetap valid selama norma tersebut

merupakan bagian dari suatu tata hukum yang valid. Jika konstitusi yang

pertama ini valid, maka semua norma yang telah dibentuk menurut cara

yang konstitusional adalah valid juga.

Untuk menilai apakah peraturan perundang-undangan dapat

mendorong alih pengetahuan digunakan indikator validitas kewajiban

hukum dan sanksi. Konsep kewajiban merupakan suatu konsep khusus

dari lapangan moral yang menunjuk kepada norma moral dalam

hubungannya dengan individu terhadap siapa tindakan tertentu diharuskan

atau dilarang oleh norma tersebut, konsep ini pun tidak lain kecuali

sebagai pasangan dari konsep norma hukum (Hans Kelsen, 2007: 72).

Kewajiban hukum semata-mata merupakan norma hukum dalam

hubungannya dengan individu yang terhadap perbuatannya sanksi

dilekatkan di dalam norma hukum tersebut (Hans Kelsen, 2007: 73).

Page 41: TINJAUAN YURIDIS MALPRAKTEK MEDIS DALAM SISTEM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

Sedangkan sanksi diberikan oleh tata hukum dengan maksud untuk

menimbulkan perbuatan tertentu yang dianggap dikehendaki oleh pembuat

undang-undang. Sanksi hukum memiliki karakter sebagai tindakan

memaksa (Hans Kelsen, 2007: 61)

B. Kerangka Pemikiran

Pembangunan Bidang

Pembangunan Nasional

Page 42: TINJAUAN YURIDIS MALPRAKTEK MEDIS DALAM SISTEM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

Gambar 1. Kerangka Berfikir Keterangan:

Kerangka pemikiran tersebut menjelaskan alur pemikiran penulis dalam

mengangkat, menggambarkan, menelaah dan menjabarkan serta menemukan

jawaban atas permasalahan hukum yaitu tinjauan yuridis malpraktek medis dalam

sistem hukum di Indonesia.

Berdasarkan kerangka pemikiran tersebut, dapat dijelaskan bahwa

pembangunan nasional adalah agenda wajib yang harus dilaksanakan oleh

pemerintah guna mewujudkan masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera

sesuai amanat Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945. Untuk

meraih cita-cita mulia bangsa tersebut, diperlukan upaya maksimal melalui

pembangunan nasional yang berkelanjutan yaitu pembangunan nasional yang

berkesinambungan secara merata dan menyeluruh di segala aspek kehidupan

masyarakat, berbangsa, dan bernegara, tak terkecuali di bidang kesehatan.

Pembangunan di bidang kesehatan pada dasarnya ditujukan untuk meningkatkan

kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup bagi setiap orang untuk mewujudkan

derajat kesehatan yang optimal.

Permasalahan Hukum

Tinjauan Yuridis Malpraktek Medis

Dalam Sistem Hukum Indonesia

Teori Hukum 1. Principles of Legality ( Teori

Fuller) 2. Aspek-aspek penegakan hukum

(Teori J.B.J.M. Ten Berge) 3. Validitas (Teori Hans Kelsen)

Peraturan Perundang-undangan 1. KUHP 2. KUHPerdata 3. UU No. 23 Tahun 1992 4. UU No. 8 Tahun 1999 5. UU No. 29 Tahun 2004 6. UU No. 36 Tahun 2009 7. UU No. 44 Tahun 2009 8. Permen No.

585/Menkes/Per/IX/1989 9. Permen No

512/Menkes/Per/IV/2007

1. Bagaimana pengaturan malpraktek

medis dalam sistem hukum Indonesia

?

2. Bagaimana ketentuan yuridis

terhadap terjadinya malpraktek medis

Kesimpulan : Kepastian Hukum Pengaturan

Malpraktek Medis Dalam Sistem Hukum

Page 43: TINJAUAN YURIDIS MALPRAKTEK MEDIS DALAM SISTEM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

Upaya untuk menciptakan kesehatan di tengah masyarakat tersebut

seringkali menciptakan gesekan antara tenaga medis/dokter dengan konsumen

kesehatan/pasien. Kemudian muncul hubungan hukum antara dokter dan pasien,

yang menimbulkan hak dan kewajiban. Dalam melaksanakan kewajiban bagi

dokter itulah dapat menimbulkan penderitaan bagi pasien, akibat kelalaian atau

kekurang hatian-hatian dokter dalam menjalankan profesinya. Yang dikenal

dengan istilah malpraktek medis. Dari sudut harfiah istilah malpraktek artinya

praktek yang buruk. Tindakan yang salah dari profesi medis disebut malpraktek

medis. Makin terdidiknya masyarakat dan semakin banyaknya buku pengetahuan

tentang kesehatan menjadikan masyarakat semakin kritis terhadap pelayanan

medis yang diterimanya.

Pemerintah sebagai penyelenggara negara mengeluarkan beberapa

peraturan untuk mengatur perihal kesehatan, penyelenggaraan rumah sakit serta

praktik kedokteran dan termasuk di dalamnya hubungan antara dokter dan pasien

tersebut yaitu Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan dengan

Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Undang-Undang

Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran dan Undang-Undang Nomor

44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit serta para praktisi hukum seringkali

menggunakan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-

Undang Hukum Perdata (KUHPdt) untuk menjerat para pelaku malpraktek medis

tersebut. Undang-Undang Perlindungan Konsumen memberikan upaya hukum

bagi para korban untuk menuntut keadilan. Peraturan Menteri Nomor

585/Menkes/Per/IX/1989 tentang Persetujuan Tindakan Medik, , Peraturan

Menteri Nomor 512/Menkes/Per/IV/2007 tentang Izin Praktik dan Pelaksanaan

Praktik Kedokteran, Peraturan Menteri Nomor 269/Menkes/Per/III/2008 tentang

Rekam Medis memberikan pengaturan teknis bagi pasien dan dokter bila timbuk

kerugian dalam pelayanan medis.

Namun undang-undang itu tidak sempurna. Tidak mungkin undang-

undang itu mengatur segala kegiatan kehidupan manusia secara tuntas. Ada

kalanya undang-undang itu tidak lengkap dan tidak jelas. Meskipun tidak lengkap

atau tidak jelas undang-undang harus dilaksanakan (Sudikno Mertokusumo, 1999:

Page 44: TINJAUAN YURIDIS MALPRAKTEK MEDIS DALAM SISTEM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

147). Sehingga perlu adanya pengkajian peraturan perundang-undangan dengan

menggunakan teori hukum yaitu :

1. Principles of Legality (Teori Fuller);

2. Aspek-aspek penegakan hukum (Teori J.B.J.M Ten Berge);

3. Validitas (Teori Hans Kelsen).

Ketiga teori ini kemudian dijadikan landasan bagi penulis untuk

menganalisis ataupun meninjau secara yuridis normatif terhadap pengaturan

malpraktek medis dan ketentuan yuridis terhadap terjadinya malpraktek medis

sesuai sitem hukum Indonesia hingga nantinya akan muncul beberapa fakta

hukum yang mengarahkan penulis pada suatu kesimpulan yaitu bagaimanakah

kepastian hukum dalam menyelesaikan masalah hukum berupa malpraktek medis

sesuai dengan sistem hukum di Indonesia.

BAB III

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Pengaturan Malpraktek Medis Dalam Sistem Hukum Indonesia

Pelaksanaan praktik kedokteran banyak menghadapi kendala, salah

satunya dikenal dengan istilah malpraktek medis. Belum adanya hukum

normatif (Undang-Undang) yang mengatur malpraktek medis menyebabkan

malpraktek medis sulit dibuktikan yang tentunya menimbulkan kerugian bagi

korban. Hal tersebut juga merugikan pihak tenaga kesehatan, karena tidak

terdapat ketentuan yang jelas bagaimana kriteria perlakuan medis yang

dinyatakan sebagai malpraktek medis.

Pada prinsipnya, malpraktek medis dapat dicegah apabila pihak tenaga

kesehatan menaati aturan praktik kedokteran dengan baik. Menurut Patricia

M. Danzon,

“Physicians and other medical providers are subject to a negligence rule of liability. To prevail, a plaintiff must show that he or she sustained damages that were caused by the failure of the physician to take due care, defined as a customary practice of physicians in good standing with the profession, or a significant minority of such physicians. In a simple model, with perfect information and homogeneous physicians, a negligence rule of

Page 45: TINJAUAN YURIDIS MALPRAKTEK MEDIS DALAM SISTEM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

liability with an appropriately defined due care standard should induce complete compliance: there should be no malpractice, no malpractice claims and no demand for malpractice insurance” (“Patricia M. Daanzon, 1991:51-69”).

Terjemahan bebas oleh penulis sebagai berikut “Dokter dan penyedia

pelayanan medis lainnya tunduk terhadap ketentuan hukum yang mengatur

pertanggungjawaban medis. Untuk dapat mengajukan gugatan, penggugat

harus mampu membuktikan terjadinya kelalaian yang disebabkan oleh

ketidakhati-hatian dokter, dalam melakukan perawatan yang tepat, pasti

sebagaimana praktik dokter yang sesuai standar profesi medis secara umum

atau dalam hubungannya dengan profesi dokter itu sendiri. Secara sederhana,

dengan adanya informasi yang lengkap dan seragam sebuah kelalaian

terhadap hukum dengan batas peraturan yang jelas dan standar yang tepat

akan menyebabkan pemenuhan hukum yang lengkap. Itu seharusnya bukan

menjadi malpraktek, tidak ada klaim malpraktek dan tidak ada tuntutan untuk

asuransi malpraktek”.

Sistem hukum Indonesia sebagai kesatuan dari komponen atau unsur

(sub-sistem) terdiri dari: hukum materiil, hukum formil, hukum perdata,

hukum publik. Sistem hukum Indonesia terdiri dari: (“http:

//id.wikipedia.org/wiki/Hukum Indonesia”)

1. Hukum Perdata;

2. Hukum Pidana;

3. Hukum Tata Negara;

4. Hukum Administrasi Negara;

5. Hukum Acara Perdata;

6. Hukum Acara Pidana;

7. Hukum Adat; dan

8. Hukum Islam.

Hierarki sistem hukum Indonesia terdiri dari (Undang-Undang No 10

tahun 2004 Pasal 7 ayat (1):

1) Undang-Undang Dasar 1945;

2) Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;

Page 46: TINJAUAN YURIDIS MALPRAKTEK MEDIS DALAM SISTEM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

3) Peraturan Pemerintah;

4) Peraturan Presiden; dan

5) Peraturan Daerah.

Aturan hukum untuk pengaturan malpraktek medis sudah dapat

dikatakan sebagai sistem hukum karena sudah memenuhi sebagian besar

ukuran yang ditetapkan oleh Fuller. Setelah peraturan hukum dinyatakan

sebagai sitem hukum kemudian dilihat penegakan hukumnya, apakah aturan

tersebut sudah dapat ditegakkan di masyarakat. Bedasarkan teori Ten Berge

dalam rangka penegakan hukum peraturan tersebut harus dapat

diimplementasikan langsung untuk kasus di masyarakat. Pengaturan

menngenai malpraktek medis memenuhi ketentuan penegakan hukum karena

aturan tersebut dapat diselesaikan untuk menyelesaikan kasus yang terjadi

dalam sengketa konsumen dan produsen contohnya: Undang-Undang No 8

Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

1. Pengaturan Aspek Hukum Perdata Malpraktek Medis

Dua kemungkinan yang dapat dipakai untuk dijadikan sebagai

dasar yuridis gugatan malpraktek medis yaitu:

a. Gugatan berdasarkan adanya wanprestasi terhadap suatu kontrak;

b. Gugatan berdasarkan perbuatan melawan hukum (onrechtmatigedaad)

Apabila gugatan berdasarkan wanprestasi, diberlakukan ketentuan

Pasal 1329 KUHPerdata yang berbunyi:

“Tiap-tiap perikatan untuk berbuat sesuatu atau, untuk tidak berbuat sesuatu, apakah si berhutang tidak memenuhi kewajibannya, mendapatkan penyelesaiannya dalam kewajiban memberikan pergantian biaya, rugi dan bunga”.

Hukum mensyaratkan setiap gugatan yang berdasarkan wanprestasi

adalah adanya perjanjian terapeutik yang dilanggar. Perjanjiannya

meliputi perjanjian tertulis maupun tidak tertulis. Menurut hukum yang

berlaku asal syarat-syarat sahnya perjanjian dipenuhi maka perjanjian

tersebut sudah berlaku dan mempunyai konsekuensi yuridis. Syarat

sahnya perjanjian tersebut, terdapat dalam Pasal 1320 KUHPerdata, yaitu

Page 47: TINJAUAN YURIDIS MALPRAKTEK MEDIS DALAM SISTEM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

jika memenuhi unsur-usur: kesepakatan kedua belah pihak, kecakapan

berbuat, suatu hal tertentu, kausa yang diperbolehkan. (Salim H.S,

2003:33).

Gugatan yang didasari atas perbuatan melawan hukum diatur

dalam Pasal 1365 KUHPerdata yang berbunyi:

“Tiap perbuatan melawan hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”

Salah satu unsur dari perbuatan melawan hukum adalah dokter

yang melakukan malpraktek medis haruslah benar-benar melanggar

hukum, artinya dokter melanggar hukum dengan kesengajaan atau kurang

hati-hati, misal; salah memberikan obat atau tidak memberikan informed

consent.

Tuntutan Perdata harus memenuhi 5 (lima) unsur yaitu:.

1. Adanya suatu kontrak antara penggugat dan tergugat;

2. Salah atau pelaksanaan buruk dari kewajiban oleh penggugat;

3. Kegagalan tergugat untuk mempergunakan standar yang lazim

dipakai;

4. Penggugat menderita kerugian karenanya; dan

5. Tindakan atau sikap tergugat menyebabkan timbulnya kerugian yang

diderita penggugat. (Achmad Biben, 1994: 31 dalam Agus Irianto,

2006:40)

2. Pengaturan Aspek Hukum Pidana Malpraktek Medis

Suatu perbuatan merupakan perbuatan pidana apabila memenuhi

unsur-unsur yang telah ditentukan secara limitatif dalam perundang-

undangan pidana. Dalam hukum pidana maka kesalahan dapat disebabkan

karena kesengajaan atau karena kelalaian (culpa).

Dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik

Kedokteran mengenai perbuatan yang dapat dipidana antara lain:

1. Melakukan praktek kedokteran tanpa memiliki Surat Tanda Register

(Pasal 75 ayat (1));

Page 48: TINJAUAN YURIDIS MALPRAKTEK MEDIS DALAM SISTEM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

2. Melakukan Praktek kedokteran tanpa memiliki Surat Ijin Praktek

(Pasal 76);

3. Menggunakan identitas berupa gelar atau bentuk lain yang

menimbulkan kesan bagi masyarakat seolah-olah yang bersangkutan

adalah dokter atau dokter gigi (Pasal 77);

4. Menggunakan alat, metode atau cara lain dalam memberikan

pelayanan kepada masyarakat yang menimbulkan kesan seolah-olah

yang bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi (Pasal 78);

5. Tidak memasang papan nama (Pasal 79 huruf a);

6. Tidak membuat rekam medis (Pasal 79 huruf b);

7. Tidak memenuhi kewajiban sesuai dengan ketentuan Pasal 51 (Pasl 79

huruf c), dan;

8. Korporasi atau perseorangan yang mempekerjakan dokter atau dokter

gigi tanpa tidak memiliki surat tanda registrasi dan ijin praktek (Pasal

80).

Ketentuan perbuatan yang dapat dipidana diatur juga dalam

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan antara lain:

1. Melakukan tindakan medis tertentu terhadap ibu hamil yang tidak

memenuhi ketentuan (Pasal 80 ayat 1);

2. Melakukan perbuatan dengan tujuan komersial dalam pelaksanaan

transplantasi organ tubuh atau jaringan tubuh atau transfusi darah

(Pasal 80 ayat 3);

3. Tanpa keahlian dan kewengangan melakukan transplantasi organ dan

atau jaringan tubuh (pasal 81 ayat 1 huruf a);

4. Tanpa keahlian dan kewenangan melakukan implan alat kesehatan

(Pasal 81 ayat 1 huruf b);

5. Tanpa keahlian dan kewenangan melakukan bedah plastik dan

rekontruksi (pasal 81 huruf c);

6. Mengambil organ dari seorang donor tanpa memperhatikan kesehatan

donor atau tanpa persetujuan donor dan ahli waris dan keluarganya

(Pasal 82 ayat 2 huruf c);

Page 49: TINJAUAN YURIDIS MALPRAKTEK MEDIS DALAM SISTEM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

7. Tanpa keahlian atau kewenangan untuk melakukan pengobatan dan

perawatan (pasal 82 ayat 1 huruf a);

8. Tanpa keahlian dan kewenangan melakukan transfusi darah (Pasal 62

ayat 1 huruf b);

9. Tanpa keahlian dan kewenangan melakukan implan obat (Pasal 82

ayat 1 huruf c);

10. Tanpa keahlian dan kewenangan melakukan bedah mayat (Pasal 82

ayat 1 huruf e);

11. Melakukan upaya kehamilan di luar cara lain yang tidak sesuai

ketentuan (Pasal 82 ayat 2 huruf a);

12. Menyelenggarakan sarana kesehatan yang tidak memenuhi

persyaratan (Pasal 84 point 5).

Pengaturan yang ada dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

(KUHP) yang terkait malpraktek medis antara lain:

1. Menipu pasien (pasal 378);

2. Membuat surat keterangan palsu (Pasal 263, 267);

3. Abortus Provokatus Kriminalis (Pasal 299, 348, 349, 350);

4. Melakukan kealpaan (culpa) yang mengakibatkan kematian atau luka

(Pasal 359, 360, 361);

5. Melakukan pelanggaran kesopanan (Pasal 290 ayat (1), 294 ayat (2),

pasal 285 dan Pasal 286);

6. Membocorkan rahasia pasien dengan pengaduan pasien (Pasal 322);

7. Tidak memberikan pertolongan atau bantuan (Pasal 351);

8. Memberikan atau membuat obat palsu (Pasal 386);

9. Euthanasia (Pasal 344).

3. Pengaturan Aspek Hukum Administrasi Malpraktek Medis

Hukum Administrasi memandang seorang dokter melakukan

pelanggaran bila:

a. Melakukan praktek kedokteran tanpa ijin yang sah dan masih berlaku

Page 50: TINJAUAN YURIDIS MALPRAKTEK MEDIS DALAM SISTEM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

b. Melanggar wajib simpan rahasia kedokteran yang tidak dapat

dikenakan.

Kelalaian/kealpaan dalam arti luas dalam melakukan tindakan

profesi medis antara lain: (Agus Irianto, 2006:41-43)

1. Keahlian tidak merujuk

Apabila dokter mengetahui seharusnya kondisi atau kasus pasien

itu berada di luar kemampuannya dan dengan merujuknya kepada

dokter spesialis akan dapat menolongnya maka ia wajib

melakukannya. Hal ini sesuai Kode Etik Kedokteran Indonesia dalam

Pasal 11 yang berbunyi:

“Setiap dokter wajib bersikap tulus ikhlas dan mempergunakan segala ilmu dan ketrampilannya untuk kepentingan penderita. Dalam hal ia tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan maka ia wajib merujuk penderita kepada dokter lain yang mempunyai keahlian penyakit tersebut”

Seorang dokter dianggap telah melakukan wanprestasi dimana lalai

merujuk kepada dokter spesialis apabila ia mengetahui bahwa kasus

tersebut diluar jangkauan kemampuannya, bahwa ilmu pengetahuan

yang dimilikinya tidak cukup untuk dapat memberikan pertolongan

kepada pasien dan seorang spesialis akan dapat melakukannya.

2. Lalai tidak konsultasi dengan dokter terlebih dahulu

Terkadang pasien sudah pernah mendapat pengobatan dari seorang

dokter atau beberapa dokter, maka dokter berikutnya dianjurkan untuk

mengadakan konsultasi kepada dokter-dokter terdahulu guna

mencegah salah penerapan pengobatan berikutnya.

3. Lalai Tidak Merujuk Pasien Ke Rumah Sakit dengan

Peralatan/Tenaga yang Terlatih

Seorang dokter bukan saja harus sadar akan ilmu pengetahuannya

secara pribadi dan keterbatasannya, tetapi juga akan peralatan yang

sesuai dalam mengobati pasien. Dalam praktik kedokteran

memerlukan instrumen khusus dan prosedur yang tidak dipunyainya.

Dalam keadaan ini dokter dituntut untuk merujuk ke rumah sakit yang

tersedia peralatan dan asisten terlatih.

Page 51: TINJAUAN YURIDIS MALPRAKTEK MEDIS DALAM SISTEM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

4. Tidak Mendeteksi adanya Infeksi

Kegagalan dokter untuk mendeteksi bahwa pasien menderita

semacam infeksi tidaklah berarti kelalaian. Apabila tidak ditemukan

infeksi tersebut disebabkan karena keadaan yang tidak memungkinkan

untuk melakukan pemeriksaan yang singkat, maka tanpa adanya

justifikasi yang dapat diterima dapat dipersalahkan karena kurang

ketelitian.

5. Lalai karena kurang pengalaman

Kurangnya pengalaman tidak dapat dipakai sebagai pemaaf

kelalaian, karena adanya standar profesi yang harus dilakukan dokter

dalam merawat/mengobati pasien.

Bentuk pelanggaran lain yang dapat dikategorikan sebagai

kesalahan dokter yaitu penelantaran, tindakan dokter dengan tanpa

memberikan kesempatan kepada pasien untuk mencari dokter lain

sehingga menyebabkan pasien menderita cedera atau meninggal

dunia.

Hal ini dapat dikenakan Pasal 304 KUHP, yang menyatakan:

“Barang siapa yang dengan sengaja terhadap siapapun ia berkewajiban untuk memelihara, merawat atau mengurusnya berdasarkan peraturan yang berlaku padanya atau berdasarkan perjanjian, menyebabkan orang tersebut dalam keadaan tidak berbahaya, dihukum penjara selama-lamanya dua tahu delapan bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 4.500,-“

Tindakan yang dapat dikategorikan sebagai penelantaran antara

lain:

1. Penolakan dokter untuk mengobati sesudah ia memeriksa pasien;

2. Menolak untuk memegang suatu kasus dan ia sudah menerima

tanggungjawab;

3. Tidak memberikan perhatian;

4. Tidak menyediakan dokter pengganti pada waktu dokter tidak ada

atau tidak dapat dihubungi.

Page 52: TINJAUAN YURIDIS MALPRAKTEK MEDIS DALAM SISTEM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

4. Aspek Hukum Pengaturan Malpraktek Medis Berdasar Sistem

Hierarki Hukum Indonesia

a. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan

Pasal-pasal dalam UU No 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan yang

berkaitan dengan malpraktek medis baik dari segi perdata, pidana

maupun administratif antara lain:

Pasal 32 (1) Pelaksanaan pengobatan dan atau perawatan berdasarkan ilmu

kedokteran atau ilmu keperawatan hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu.

Pasal 34 (2) Transplantasi organ dan atau jaringan tubuh hanya dapat

dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu dan dilakukan di sarana kesehatan tertentu.

Pasal 35 (1) Transfusi darah hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan

yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu. Pasal 36 (1) Implan obat atau alat kesehatan ke dalam tubuh manusia hanya

dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu dan dilakukan di sarana kesehatan tertentu.

Pasal 37 (1) Bedah plastik dan rekontruksi hanya dapat dilakukan oleh tenaga

kesehatan yang mempunyai kewenangan untuk itu dan dilakukan di sarana kesehatan tertentu.

Pasal 53 (2) Tenaga kesehatan dalam melakukan tugasnya berkewajiban untuk

mematuhi standar profesi dan menghormati hak pasien. Pasal 54 (1) Terhadap tenaga kesehatan yang melakukan kesalahan atau

kelalaian dalam melaksanakan profesinya dapat dikenakan tindakan disiplin.

Pasal 55 (1) Setiap orang berhak atas ganti rugi akibat kesalahan atau kelalaian

yang dilakukan tenaga kesehatan Pasal 70 (2) Bedah mayat dapat dilakukan oleh tenaga yang mempunyai

keahlian dan kewenangan untuk itu dengan memperhatikan norma yang berlaku dalam masyarakat.

Pasal 80

Page 53: TINJAUAN YURIDIS MALPRAKTEK MEDIS DALAM SISTEM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

(1) Barang siapa dengan sengaja melakukan tindakan medis tertentu terhadap ibu hamil yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling banyak Rp 500.000.000 (lima ratus juta rupiah).

Pasal 81 (1) Barang siapa tanpa keahlian dan kewenangan dengan sengaja:

a. Melakukan transplantasi organ dan atau jaringan tubuh sebagaimana dimaksud dalam pasal 34 ayat (1);

b. Melakukan implan alat kesehatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 36 ayat (1);

c. Melakukan bedah plastik dan rekontruksi sebagaimana dimaksud dalam pasal 37 ayat (1);

Dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan denda paling banyak Rp. 140.000.000 (seratus empat puluh juta rupiah)

Pasal 82 (1) Barang siapa yang tanpa keahlian dan kewenangan dengan sengaja:

a. Melakukan pengobatan dan atau perawatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (4);

b. Melakukan transfusi darah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1);

c. Melakukan implan obat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1);

d. Melakukan pekerjaan kefarmasian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (1);

e. Melakukan bedah mayat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (2);

Dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling banyak Rp 100.000.000 (seratus juta rupiah).

Pasal yang memuat norma pidana yakni, pasal 80, 81, 82. Tetapi

pengaturan tersebut sudah tidak belaku lagi karena, lahirnya Undang-

Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.

b. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik

Kedokteran

Beberapa pasal dalam Undang-Undang No 29 Tahun 2004

tentang Praktik Kedokteran yang berkaitan dengan malpraktek medis,

baik dari aspek hukum perdata, pidana dan administrasi antara lain:

Pasal 29 (1) Setiap dokter dan dokter gigi yang melakukan praktik kedokteran

di Indonesia wajib memiliki surat tanda registrasi dokter dan surat tanda registrasi dokter gigi.

Page 54: TINJAUAN YURIDIS MALPRAKTEK MEDIS DALAM SISTEM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

Pasal 30 (1) Dokter dan dokter gigi lulusan luar negeri yang akan

melaksanakan praktik kedokteran di Indonesia harus dilakukan evaluasi.

(3) Dokter dan dokter gigi warga negara asing selain memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) juga harus melengkapi surat izin kerja sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan kemampuan berbahasa Indonesia.

Pasal 31 (1) Surat tanda registrasi sementara dapat diberikan kepada dokter

dan dokter gigi warga negara asing yang melakukan kegiatan dalam rangka pendidikan, pelatihan, penelitian, pelayanan kesehatan di bidang kedokteran atau kedokteran gigi yang bersifat sementara di Indonesia.

Pasal 32 (1) Surat tanda registrasi bersyarat diberikan kepada peserta program

pendidikan dokter spesialis atau dokter gigi spesialis atau dokter gigi spesialis warga negara asing yang mengikuti pendidikan dan pelatihan di Indonesia.

Pasal 36 “ Setiap dokter dan dokter gigi yang melakukan praktik kedokteran di

Indonesia wajib memiliki surat izin praktik” Pasal 41 (1) Dokter atau dokter gigi yang telah mempunyai surat izin praktik

dan menyelenggarakan praktik kedokteran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 wajib memasang papan nama praktik kedokteran.

Pasal 42 “Pimpinan sarana pelayanan kesehatan dilarang mengizinkan dokter

atau dokter gigi yang tidak memiliki surat izin praktik untuk melakukan praktik kedokteran di sarana pelayanan kesehatan tersebut”

Pasal 44 (1) Dokter atau dokter gigi dalam menyelenggarakan praktik

kedokteran wajib mengikuti standar pelayanan kedokteran atau kedokteran gigi.

Pasal 45 (1) Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan

dilakukan oleh dokter atau dokter gigi terhadap pasien harus mendapat persetujuan.

(5) Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang mengandung risiko tinggi harus diberikan dengan persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang berhak memberikan persetujuan.

Pasal 46 (1) Setiap dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktik

kedokteran wajib membuat rekam medis.

Page 55: TINJAUAN YURIDIS MALPRAKTEK MEDIS DALAM SISTEM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

Pasal 47 (2) Rekam medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus

disimpan dan dijaga kerahasiaannya oleh dokter atau dokter gigi dan pimpinan sarana pelayanan kesehatan.

Pasal 48 (1) Setiap dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik

kedokteran wajib menyimpan rahasia kedoketran Pasal 52 Pasien dalam menrima pelayanan pada praktik kedokteran, mempunyai hak: a. Mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (3); b. Meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain; c. Mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis; d. Menolak tindakan medis; e. Mendapatkan isi rekam medis. Pasal 53 Pasien dalam menerima pelayanan pada praktik kedokteran, mempunyai kewajiban: a. Memberikan informasi yang lengkap dan jujur tentang masalah

kesehatannya; b. Mematuhi nasihat dan petunjuk dokter atau doker gigi; c. Mematuhi ketentuan yang berlaku di sarana pelayanan kesehatan;

dan d. Memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang diterima. Pasal 66 (1) Setiap orang yang mengetahui atau kepentingannya dirugikan atas

tindakan dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokteran dapat mengadukan secara tertulis kepada Ketua Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia.

(3) Pengaduan sebagaimana dmaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menghilangkan hak setiap orang untuk melapor adanya dugaan tindak pidana kepada pihak yang berwenang dan/atau menggugat kerugian perdata ke pengadilan.

Pasal 73 (2) Setiap orang dilarang menggunakan identitas berupa gelar atau

bentuk lain yang menimbulkan kesan bagi masyarakat seolah-olah yang bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi dan/atau surat izin praktik.

(3) Setiap orang dilarang menggunakan alat, metode, cara lain dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang menimbulkan kesan seolah-olah yang bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi dan/atau surat izin praktik

Pasal 75 merumuskan:

Page 56: TINJAUAN YURIDIS MALPRAKTEK MEDIS DALAM SISTEM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

(1) Setiap dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja melakukan praktik kedokteran tanpa memiliki surat tanda registrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp 100.000.000 (seratus juta rupiah)

(2) Setiap dokter atau dokter gigi warga negara asing yang dengan sengaja melakukan praktik kedokteran tanpa memiliki surat tanda registrasi sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp 100.000.000 (seratus juta rupiah)

(3) Setiap dokter atau dokter gigi warga negara asing yang dengan sengaja melakukan praktik kedokteran tanpa memiliki surat tanda registrasi bersyarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp 100.000.000 (seratus juta rupiah).

Pasal 76: “Setiap dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja melakukan praktik kedokteran tanpa memiliki surat izin praktik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp 100.000.000 (seratus juta rupiah).”

Pasal 77: “Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan identitas berupa gelar atau bentuk lain yang menimbulkan kesan bagi masyrakat seolah-olah yang bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi dokter atau surat tanda registrasi dokter gigi dan/surat izin praktik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp 150.000.000 (seratus lima puluh juta rupiah).” Pasal 78: “Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan alat, metode, atau cara lain dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang menimbulkan kesan seolah-olah yang bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi atau surat tanda registrasi dokter gigi atau surat izin praktik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp 150.000.000 (seratus lima puluh juta rupiah).” Pasal 79: “Dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp 50.000.000 (lima puluh juta rupiah) setiap dokter atau dokter gigi yang: a. Dengan sengaja tidak memasang papan nama sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1); b. Dengan sengaja tidak membuat rekam medis sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 46 ayat (1); atau

Page 57: TINJAUAN YURIDIS MALPRAKTEK MEDIS DALAM SISTEM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

c. Dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, atau huruf e.”

Pasal 80: (1) Setiap orang yang dengan sengaja mempekerjakan dokter atau

dokter gigi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paling banyak Rp 300.000.000 (tiga ratus juta rupiah)

(2) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh koorporasi, maka pidana yang dijatuhkan adalah pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah sepertiga atau dijatuhi hukuman tambahan berupa pencabutan izin. Pasal-pasal diatas bila dilanggar oleh tenaga kesehatan memiliki

potensi timbulnya malpraktek medis. Tindak pidana bidang kesehatan

dirumuskan dalam Pasal 75-80. Berikut rumusan pasalnya:

1. Tindak pidana praktik kedokteran tanpa Surat Tanda Registrasi (STR),

Pasal 75;

2. Tindak pidana praktik kedokteran tanpa Surat Izin Praktik (SIP), Pasal

76;

3. Tindak pidana menggunakan identitas gelar atau bentuk lain yang

menimbulkan kesan dokter yang memiliki STR dan SIP, Pasal 77;

4. Tindak pidana menggunakan alat, metode pelayanan kesehatan yang

menimbulkan kesan dokter yang memiliki STR dan SIP, Pasal 78;

5. Tindak pidana dokter praktik yang tidak memasang papan nama, tidak

membuat rekam medis, dan tidak berdasarkan standar profesi, Pasal

79;

6. Tindak pidana mempekerjakan dokter tanpa SIP, Pasal 80; (Adami

Chazawi, 2007:149)

Tindak pidana berdasar pasal 75, 76, 79, dan 80 termasuk

pelanggaran hukum administrasi kedokteran yang diberi ancaman pidana.

1. Tindak Pidana Praktik Dokter Tanpa STR (Surat Tanda

Registrasi)

Tindak pidana Pasal 75 bersumber dari pelanggaran kewajiban

hukum administrasi kedokteran. Tidak memiliki STR dari sudut

hukum administrasi sama saja tidak memiliki wewenang untuk untuk

menyelenggarakan praktik kedokteran. Perbuatan demikian diancam

Page 58: TINJAUAN YURIDIS MALPRAKTEK MEDIS DALAM SISTEM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

dengan sanksi pidana. Bila praktik kedokteran tanpa STR

menimbulkan penderitaan bagi pasien maka telah terjadi malpraktek

medis meskipun sudah mendapat informed consent dan tidak

melanggar standar profesi.

2. Tindak Pidana Praktik Kedokteran Tanpa SIP (Surat Izin

Praktik)

Perbuatan yang dilarang berupa melakukan praktik kedokteran,

tanpa memiliki SIP. Pasal 36 mewajibkan setiap dokter untuk terlebih

dahulu memiliki SIP sebelum melakukan praktik kedokteran di

Indonesia. Kewajiban dokter ini semula adalah kewajiban hukum

administrasi yang diangkat menjadi kewajiban hukum pidana karena

pelanggaran terhadap kewajiban itu diancam.

3. Tindak Pidana Menggunakan Identitas-Seperti Gelar yang

Menimbulkan Kesan Dokter yang Memiliki STR dan SIP

Perbuatan yang dilarang adalah menggunakan gelar atau bentuk

lain “seolah-olah yang bersangkutan adalah dokter” Unsur perbuatan

menggunakan gelar, berupa gelar yang digunakan harus berupa gelar

yang ada hubungannya dengan ilmu kedokteran, dan si pembuat

sesungguhnya tidak memiliki gelar tersebut.

Tujuan dibentuknya Pasal 77 yakni, sebagai upaya preventif

agar tidak terjadi penyalahgunaan cara-cara praktik kedokteran oleh

orang-orang yang bukan ahli kedokteran, melindungi kepentingan

hukum orang agar tidak menjadi korban dari perbuatan-perbuatan yang

meniru praktik kedokteran oleh orang yang tidak berwenang,

melindungi martabat dan kehormatan profesi kedokteran oleh orang-

orang yang melakukan praktik kedokteran yang tidak berwenang.

4. Tindak Pidana Menggunakan Alat, Metode Pelayanan Kesehatan

yang Menimbulkan Kesan Dokter yang Memiliki STR dan SIP

Pasal 78 adalah larangan menjadi tindak pidana karena diberi

ancaman pidana. Tujuan dibentuknya Pasal 78 untuk menghindari agar

penggunaan alat atau cara atau metode praktik kedokteran tidak

Page 59: TINJAUAN YURIDIS MALPRAKTEK MEDIS DALAM SISTEM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

dilakukan oleh orang-orang yang tidak berwenang, melindungi

kepentingan hukum masyarakat khususnya pasien agar tidak menjadi

korban perbuatan yang bersifat menipu oleh orang yang bukan ahli

kedokteran.

5. Tindak Pidana Dokter Praktik yang Tidak Memasang Papan

Nama, Tidak Membuat Rekam Medis, dan Tidak Berdasarkan

Standar Profesi

Tindak pidana dalam Pasal 79 ada tujuh macam, (Adami Chazawi,

2007:165):

1. Dokter berpraktik yang tidak memasang papan nama;

2. Dokter berpraktik tidak membuat rekam medis;

3. Dokter memberikan pelayanan medis yang tidak sesuai dengan

standar profesi dan standar prosedur operasional serta kebutuhan

medis pasien;

4. Dokter tidak mampu memberikan pelayanan medis tidak merujuk

ke dokter lain yang lebih ahli dan lebih mampu;

5. Dokter yang membuka rahasia dokter tentang pasiennya;

6. Dokter tidak menjalankan pertolongan darurat; dan

7. Dokter tidak menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti

perkembangan ilmu kedokteran.

Tindak pidana yang bersumber pada Pasal 79 berasal dari

kewajiban administrasi bila dilanggar menjadi tindak pidana dengan

diberi ancaman pidana. Pelanggaran kewajiban hukum administrasi

yang dapat menjadi syarat timbulnya malpraktek medis ialah:

a. Praktik kedokteran yang tidak sesuai dengan standar profesi

kedokteran, tidak sesuai dengan standar prosedur operasional dan

tidak sesuai dengan kebutuhan medis pasien;

b. Dokter tidak mampu melaksanakan praktik kedokteran tidak

merujuk pada dokter ahli lain yang lebih mampu;

c. Dokter tidak melaksanakan pertolongan darurat pada saat-saat ia

wajib melaksanakannya. (Adami Chazawi, 2007:166)

Page 60: TINJAUAN YURIDIS MALPRAKTEK MEDIS DALAM SISTEM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

6. Tindak Pidana Mempekerjakan Dokter Tanpa SIP (Surat Izin

Praktik)

Unsur kesalahan dalam tindak pidana ini adalah dengan sengaja.

Pembuat menghendaki perbuatan mempekerjakan dokter pada

pelayanan kesehatan.

Jika penyebab timbulnya malpraktek medis, misalnya doker

menunjukkan SIP yang palsu, maka pimpinan sarana kesehatan tersesat

hukum dan ia dapat dipidana. (Adami Chazawi, 2007:168)

c. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan

Dalam Undang-Undang Kesehatan mencakup beberapa pasal yang

mengandung kesalahan dokter baik dari sudut perdata, pidana maupun

administrasi. Antara lain,

Pasal 23 (3) Dalam menyelenggarakan pelayanan kesehatan, tenaga kesehatan

wajib memiliki izin dari pemerintah. Pasal 24 (1) Tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 harus

memenuhi ketentuan kode etik, standar profesi, hak pengguna pelayanan kesehatan, standar pelayanan, dan standar prosedur operasional.

Pasal 29 “Dalam hal tenaga kesehatan diduga melakukan kelalaian dalam menjalankan profesinya, kelalaian tersebut harus diselesaikan terlebih dahulu melalui mediasi” Pasal 34 (2) Penyelenggara fasilitas pelayanan kesehatan dilarang mempekerjakan

tenaga kesehatan yang tidak memiliki kualifikasi dan izin melakukan pekerjaan profesi.

Pasal 57 (1) Setiap orang berhak atas rahasia kondisi kesehatan pribadinya yang

telah dikemukakan kepada penyelenggara pelayanan kesehatan. Pasal 58 (1) Setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap seseorang, tenaga

kesehatan, dan/atau penyelenggara kesehatan yang menimbulkan kerugian akibat kesalahan atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan yang diterimanya”

Page 61: TINJAUAN YURIDIS MALPRAKTEK MEDIS DALAM SISTEM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

Pasal 63 (4) Pelaksanaan pengobatan dan/atau perawatan berdasarkan ilmu

kedokteran atau ilmu keperawatan hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu.

Pasal 65 (1) Transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh hanya dapat dilakukan

oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu dan dilakukan difasilitas pelayanan kesehatan tertentu.

Pasal 68 (1) Pemasangan implan obat dan/atau alat kesehatan ke dalam tubuh

manusia hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan serta dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan tertentu.

Pasal 69 (1) Bedah plastik dan rekontruksi hanya dapat dilakukan oleh tenaga

kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu. Pasal 76

“Aborsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 hanya dapat dilakukan: a. Sebelum kehamilan berumur 6 (enam) minggu dihitung hari pertama

haid terakhir, kecuali dalam hal kedaruratan medis; b. Oleh tenaga kesehatan yang memiliki ketrampilan dan kewenangan

yang memiliki sertifikat yang ditetapkan oleh menteri; c. Dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan; d. Denga izin suami, kecuali korban perkosaan; dan e. Penyedia layanan kesehatan yang memenuhi syarat yang ditetapkan

oleh menteri. Pasal 108 (1) Praktik kefarmasian yang meliputi pembuatan termasuk pengendalian

mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan

Pasal 121 (1) Bedah mayat klinis dan bedah mayat anatomis hanya dapat dilakukan

oleh dokter sesuai dengan keahlian dan kewenangannya. Pasal 124 “Tindakan bedah mayat oleh tenaga kesehatan harus dilakukan sesuai norma agama, norma kesusilaan dan etika profesi” Pasal 190

(1) Pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga kesehatan yang melakukan praktik atau pekerjaan pada fasilitas pelayanan kesehatan yang dengan sengaja tidak memberikan pertolongan pertama terhadap pasien yang dalam keadaan gawat darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) atau Pasal 85 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara

Page 62: TINJAUAN YURIDIS MALPRAKTEK MEDIS DALAM SISTEM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp 200.000.000 (dua ratus jurta rupiah).

(2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan terjadinya kecacatan atau kematian, pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga kesehatan tersebut dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 1.000.000.000 (satu miliar rupiah).

Pasal 198 “Setiap orang yang tidak memiliki keahlian dan kewenangan untuk melakukan praktik kefarmasian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp 100.000.000 (seratus juta rupiah) Pasal 201 (1) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 190 ayat

(1), Pasal 191, Pasal 192, Pasal 196, Pasal 197, Pasal 198, Pasal 199 dan Pasal 200 dilakukan oleh korporasi, selain pidana penjara dan denda terhadap pengurusnya, pidana yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi berupa pidana denda dengan pemberatan 3 (tiga) kali dari pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 190 ayat (1), Pasal 191, Pasal 192, Pasal 196, Pasal 197, Pasal 198, Pasal 199 dan Pasal 200.

(2) Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), korporasi dapat dijatuhi pidana tambahan berupa: a. Pencabutan izin usaha; dan/atau b. Pencabutan status badan hukum.

Norma pidana terletak dalam Pasal 190, 198 dan 201. Bila pasal-

pasal dalam UU kesehatan tersebut dilanggar membuka jalan bagi

timbulnya malpraktek medis, baik secara perdata, pidana maupun

administrasi.

d. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit

Dalam Undang-Undang tentang Rumah Sakit terdapat beberapa pasal

yang mengandung kesalahan dokter baik dari sudut perdata, pidana maupun

administrasi:

Pasal 13 (1) Tenaga medis yang melakukan praktik kedokteran di Rumah Sakit wajib

memiliki Surat Izin Praktik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2) Tenaga kesehatan tertentu yang bekerja di Rumah Sakit wajib memiliki izin sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(3) Setiap tenaga kesehatan yang bekerja di Rumah Sakit harus bekerja sesuai dengan standar profesi, standar pelayanan rumah sakit, standar

Page 63: TINJAUAN YURIDIS MALPRAKTEK MEDIS DALAM SISTEM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

prosedur operasional yang berlaku, etika profesi, menghormati hak pasien dan mengutamakan keselamatan pasien.

Pasal 14 (1) Pendayagunaan tenaga kesehatan asing sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) hanya dilakukan bagi tenaga kesehatan asing yang telah memiliki Surat Tanda Registrasi dan Surat Ijin Praktik.

Pasal 25 (1) Setiap penyelenggara Rumah Sakit wajib memiliki izin (2) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari izin mendirikan dan

izin operasional. Pasal 29 (1) Setiap Rumah Sakit mempunyai kewajiban:

a. Memberikan informasi yang benar tentang pelayanan Rumah Sakit kepada masyarakat;

b. Memberikan pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, anti diskriminatif, dan efektif dengan mengutamakan kepentingan pasien sesuai dengan standar pelayanan Rumah Sakit;

c. Memberikan pelayanan gawat darurat kepada pasien sesuai dengan kemampuan pelayanannya;

d. Berperan aktif dalam memberikan pelayanan kesehatan pada bencana, sesuai dengan kemampuan pelayanannya;

e. Menyediakan sarana dan pelayanan bagi masyarakat tidak mampu atau miskin;

f. Melaksanakan fungsi sosial antara lain dengan memberikan fasilitas pelayanan pasien tidak mampu/miskin, pelayanan gawat darurat tanpa uang muka, ambulan gratis, pelayanan korban bencana dan kejadian luar biasa, atau bakti sosial bagi misi kemanusiaan;

g. Membuat, melaksanakan dan menjaga standar mutu pelayanan kesehatan di Rumah Sakit sebagai acuan dalam melayani pasien;

h. Menyelenggarakan rekam medis; i. Menyediakan sarana dan prasarana umum yang layak antara lain

sarana ibadah, parkir, ruang tunggu, sarana untuk orang cacat, wanita menyusui, anak-anak, lanjut usia;

j. Melaksanakan sistem rujukan; k. Menolak keinginan pasien yang bertentangan dengan standar profesi

dan etika serta peraturan perundang-undangan; l. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai hak dan

kewajiban pasien; m. Menghormati dan melindungi hak pasien; n. Melaksanakan etika Rumah Sakit; o. Memiliki sistem pencegahan kecelakaan dan penanggulangan

bencana; p. Melaksanakan program pemerintah di bidang kesehatan baik secara

regional maupun nasional; q. Membuat daftar tenaga medis yang melakukan praktik kedokteran

atau kedoketeran gigi dan tenaga kesehatan lainnya;

Page 64: TINJAUAN YURIDIS MALPRAKTEK MEDIS DALAM SISTEM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

r. Menyusun dan melaksanakan peraturan internal rumah sakit; s. Melindungi dan memberikan bantuan hukum bagi semua petugas

Rumah Sakit dalam melaksanakan tugas; dan t. Memberlakukan seluruh lingkungan Rumah Sakit sebagai kawasan

tanpa rokok. Pasal 32 Setiap pasien mempunyai hak: a. Memperoleh informasi mengenai tata tertib dan peraturan yang

berlaku di Rumah Sakit; b. Memperoleh informasi tentang hak dan kewajiban pasien; c. Memperoleh layanan yang manusiawi, adil, jujur, dan tanpa

diskriminasi; d. Memperoleh layanan kesehatan yang bermutu sesuai dengan standar

profesi dan standar prosedur operasional; e. Memperoleh layanan yang efektif dan efisien sehingga pasien

terhindar dari kerugian fisik dan materi; f. Mengajukan pengaduan dan kualitas pelayanan yang didapatkan; g. Memilih dokter dan kelas perawatan sesuai dengan keinginannya dan

peraturan yang berlaku di Rumah Sakit; h. Meminta konsultasi tentang penyakit yang dideritanya kepada dokter

lain yang mempunyai Surat Izin Praktik (SIP) baik di dalam maupun di luar Rumah Sakit;

i. Mendapatkan privasi dan kerahasiaan penyakit yang diterima termasuk data-data medisnya;

j. Mendapatkan informasi yang meliputi diagnosis dan tata cara tindakan medis, tujuan tindakan medis, alternatif tindakan, risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi, dan prognosis terhadap tindakan yang dilakukan serta perkiraan biaya pengobatan;

k. Memberikan persetujuan atau menolak atas tindakan yang akan dilakukan oleh tenaga kesehatan terhadap penyakit yang dideritanya;

l. Didampingi keluarganya dalam keadaan kritis; m. Menjalankan ibadah sesuai agama atau kepercayaan yang dianutnya

selama hal itu tidak mengganggu pasien lainnya; n. Memperoleh keamanan dan keselamatan dirinya selama dalam

perawatan di Rumah Sakit; o. Mengajukan usul, saran, perbaikan atas perlakuan rumah sakit

terhadap dirinya; p. Menolak pelayanan bimbingan rohani yang tidak sesuai agama dan

kepercayaan yang dianutnya; q. Menggugat dan/atau menuntut Rumah Sakit apabila Rumah Sakit

diduga memberikan pelayanan yang tidak sesuai dengan standar baik secara perdata ataupun pidana; dan

r. Mengeluhkan pelayanan Rumah Sakit yang tidak sesuai dengan standar pelayanan melalui media cetak dan elektronik seuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 34

Page 65: TINJAUAN YURIDIS MALPRAKTEK MEDIS DALAM SISTEM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

(1) Kepala Rumah Sakit harus seorang tenaga medis yang mempunyai kemampuan dan keahlian di bidang perumahsakitan.

Pasal 37 (1) Setiap tindakan kedokteran yang dilakukan di Rumah Sakit harus

mendapat persetujuan pasien atau keluarganya. Pasal 38 (1) Setiap Rumah Sakit harus menyimpan rahasia kedokteran (2) Rahasia kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat

dibuka untuk kepentingan kesehatan pasien, untuk pemenuhan permintaan aparat penegak hukum dalam rangka penegakan hukum, atas persetujuan pasien sendiri, atau berdasarkan ketentuan perundang-undangan

Pasal 46 “Rumah Sakit wajib bertanggung jawab secara hukum terhadap semua kerugian yang ditimbulkan atas kelalaian yang dilakukan oleh tenaga kesehatan di Rumah Sakit” Pasal 62 “Setiap orang yang dengan sengaja menyelenggarakan Rumah Sakit tidak memiliki izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp 5.000.000.000 (lima milyar rupiah) Pasal 63 (1) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62

dilakukan oleh korporasi, selain pidana penjara dan denda terhadap pengurusnya, pidana yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi berupa pidana denda dengan pemberatan 3 (tiga) kali dari pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62.

(2) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 dilakukan oleh korporasi, selain pidana penjara dan denda terhadap pengurusnya, pidana yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi berupa pidana denda dengan pemberatan 3 (tiga) kali dari pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62.

Ketentuan pidana terletak pada Pasal 62 dan Pasal 63. Bila pasal-

pasal dalam UU Rumah Sakit dilanggar maka membuka jalan bagi

timbulnya malpraktek medis, baik secara perdata, pidana maupun

administrasi.

5. Pengaturan Malpraktek Medis di Luar Hierarki Sistem Hukum

Indonesia

a. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

585/Menkes/Per/IX/1989 tentang Persetujuan Tindakan Medik

Pasal-Pasal yang berkaitan dengan malpraktek medis antara lain:

Page 66: TINJAUAN YURIDIS MALPRAKTEK MEDIS DALAM SISTEM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

Pasal 2 (2) Semua tindakan medik yang akan dilakukan terhadap pasien harus

mendapat persetujuan. Pasal 3

(1) Setiap tindakan medik yang mengandung resiko tinggi harus dengan persetujuan tertulis yang ditanda tangani oleh yang berhak memberikan persetujuan.

Pasal 4 (1) Informasi tentang tindakan medik harus diberikan kepada pasien, baik

diminta maupun tidak diminta. (2) Dokter harus memberikan informasi yang selengkap-lengkapnya, kecuali

bila dokter menilai bahwa informasi tersebut dapat merugikan kepentingan kesehatan pasien atau pasien menolak memberikan informasi. Dalam hal sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dokter dengan persetujuan pasien dapat memberikan informasi tersebut kepada keluarga terdekat dengan didampingi oleh seorang perawat/paramedik lainnya sebagai saksi.

Pasal 6 (1) Dalam hal tindakan bedah (operasi) atau tindakan invasif lainnya,

informasi harus diberikan oleh dokter yang akan melakukan operasi itu sendiri.

Pasal 11 “Dalam hal pasien tidak sadar/pingsan serta tidak didampingi oleh keluarga terdekat dan secara medik berada dalam keadaan gawat darurat yang memerlukan tindakan medik segera untuk kepentingannya, tidak diperlukan persetujuan dari siapa pun” Pasal 12

(1) Dokter bertanggung jawab atas pelaksanaan ketentuan tentang persetujuan tindakan medik.

(2) Pemberian persetujuan tindakan medik yang dilaksanakan di rumah sakit/klinik, maka rumah sakit/klinik yang bersangkutan ikut bertanggung jawab.

Pasal 13 “Terhadap dokter yang melakukan tindakan medik tanpa adanya persetujuan dari pasien atau keluarganya dapat dikenakan sanksi administratif berupa pencabutan surat izin praktiknya”.

Bila pasal-pasal tersebut dilanggar maka membuka jalan bagi

timbulnya malpraktek medis, baik secara perdata, pidana maupun

administrasi.

b. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

512/Menkes/Per/IV/2007 tentang Izin Praktik dan Pelaksanaan

Praktik Kedokteran

Pasal-pasal yang berkaitan dengan malpraktek medis:

Page 67: TINJAUAN YURIDIS MALPRAKTEK MEDIS DALAM SISTEM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

Pasal 2 (2) Setiap dokter dan dokter gigi yang akan melakukan praktik kedokteran

wajib memiliki SIP. Pasal 14

(1) Praktik kedokteran dilaksanakan berdasarkan pada kesepakatan berdasarkan hubungan kepercayaan antara dokter atau dokter gigi dengan pasien dalam upaya pemeliharaan kesehatan, pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan, pengobatan penyakit dan pemulihan kesehatan.

Pasal 16 (1) Pimpinan sarana pelayanan kesehatan wajib membuat daftar dokter dan

dokter gigi yang melakukan praktik kedokteran di sarana pelayanan kesehatan yang bersangkutan.

Pasal 17 (1) Dokter dan dokter gigi yang telah memiliki surat izin praktik dan

menyelenggarakan praktik perorangan wajib memasang papan nama praktik kedokteran.

Pasal 18: (1) Dokter dan dokter gigi yang berhalangan melaksanakan praktik atau telah

menunjuk dokter pengganti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (3) wajib membuat pemberitahuan.

Pasal 19: (1) Dokter dan dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran harus

sesuai dengan kewenangan dan kompetensi yang dimiliki serta kewenangan lainnya yang ditetapkan oleh Konsil Kedokteran Indonesia.

(2) Dokter dan dokter gigi, dalam rangka memberikan pertolongan pada keadaan gawat darurat guna penyelamatan jiwa atau pencegahan kecacatan, dapat melakukan tindakan kedokteran dan kedokteran gigi diluar kewenangannya sesuai dengan kebutuhan medis.

Bila pasal-pasal tersebut dilanggar maka membuka jalan bagi

timbulnya malpraktek medis, baik secara perdata, pidana maupun

administrasi.

c. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

269/Menkes/Per/III/2008 tentang Rekam Medis

Pasal-pasal yang berkaitan tentang malpraktek medis:

Pasal 5 (3) Setiap dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokteran

wajb membuat rekam medis. Pasal 6 “Dokter, dokter gigi dan/atau tenaga kesehatan tertentu bertanggungjawab atas catatan dan/atau dokumen yang dibuat pada rekam medis” Pasal 7 “Sarana pelayanan kesehatan wajib menyediakan fasilitas yang diperlukan dalam rangka penyelenggaraan rekam medis”

Page 68: TINJAUAN YURIDIS MALPRAKTEK MEDIS DALAM SISTEM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

Pasal 10 (1) Informasi tentang identitas, diagnosis, riwayat penyakit, riwayat

pemeriksaan dan riwayat pengobatan pasien harus dijaga kerahasiaannya oleh dokter, dokter gigi, tenaga kesehatan tertentu, petugas pengelola dan pimpinan sarana pelayanan kesehatan”

Pasal 14 “Pimpinan sarana pelayanan kesehatan bertanggungjawab atas hilang, rusak, pemalsuan, dan/atau penggunaan oleh orang atau badan yang tidak berhak terhadap rekam medis”

Bila pasal-pasal tersebut dilanggar maka membuka jalan bagi

timbulnya malpraktek medis, baik secara perdata, pidana maupun

administrasi.

6. Upaya Hukum Bagi Pasien Terhadap Malpraktek

Bila terjadi penyimpangan dalam ketentuan pelayanan kesehatan,

pasien dapat menuntut haknya yang dilanggar oleh pihak penyedia jasa

kesehatan dalam hal ini rumah sakit dan dokter/tenaga kesehatan.

Dokter/tenaga kesehatan dan rumah sakit dapat dimintakan tanggung

jawab hukum, apabila melakukan kelalaian atau kesalahan yang

menimbulkan kerugian bagi pasien sebagai konsumen. Pasien dapat

menggugat tanggung jawab hukum kedokteran (medical liability), dalam

hal dokter tersebut berbuat kesalahan/kelalaian. Dokter tidak dapat

berlindung dengan dalih perbuatan yang tidak sengaja, sebab

kesalahan/kelalaian dokter yang menimbulkan kerugian terhadap pasien

menimbulkan hak bagi pasien untuk menggugat ganti rugi.

a. Upaya Hukum Penyelesaian Sengketa Pasien Sebagai Konsumen

Jasa Pelayanan Medis Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 23

Tahun 1992 tentang Kesehatan

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan

memberikan perlindungan hukum, baik kepada pasien sebagai

konsumen dan produsen jasa pelayanan kesehatan diantaranya Pasal

53, 54, dan 55 UU No 23 Tahun 1992. Jika terjadi sengketa dalam

pelayanan kesehatan, untuk menyelesaikan perselisihan harus mengacu

Page 69: TINJAUAN YURIDIS MALPRAKTEK MEDIS DALAM SISTEM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

pada UU No 23 Tahun 1992 dan UUPK serta prosesnya melalui

lembaga perdilan, mediasi.

Dalam hal terjadi sengketa antara produsen jasa pelayanan

kesehatan dengan konsumen jasa pelayanan, tersedia 2 jalur, yaitu

jalur litigasi dan jalur non litigasi yaitu penyelesaian sengketa melalui

peradilan. Proses penyelesaian dari peselisihan atau kelalaian

kesehatan dapat dilakukan di luar pengadilan dan di pengadilan

berdasarkan kesepakatan para pihak yang berselisih. Penyelesaian

yang paling sering dilakukan adalah melalui mediasi di luar pengadilan

dengan sistem Alternative Dispute Resolution (ADR).

Profesi kedokteran banyak berkaitan dengan problema etik

yang berpotensi menimbulkan sengketa medik, karena itu dibutuhkan

suatu wadah/lembaga yang khusus dapat menjadi penyaring untuk

menyelesaikan sengketa antara pemberi jasa kesehatan (rumah sakit,

dokter dan tenaga kesehatan) dan penerima jasa kesehatan (pasien).

Salah satu lembaga yang bisa menyelesaikan sengketa adalah

Ombudsman yang melibatkan orang luar, agar peradilan sengketa

antara tenaga kesehatan dan rumah sakit dengan pasien dapat

diberlakukan secara adil.

Hal yang harus diperhatikan dalam penyelesaian sengketa

model Ombudsman, yaitu:

1) Ombudsman tidak akan mempertimbangkan suatu pengaduan, jika

proses hukum tengah ditempuh;

2) Peran utama Ombudsman sesuai yuridiksinya yaitu mengupayakan

perbaikan pelayanan kepada pihak yang diadukan/pelaku usaha;

dan

3) Keputusan Ombudsman terbatas pada rekomendasi yang berupa

langkah-langkah tertentu yang perlu diambil untuk memperbaiki

perilaku pelaku usaha. (Titik Triwulan Tutik, 2010:64-65)

Page 70: TINJAUAN YURIDIS MALPRAKTEK MEDIS DALAM SISTEM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

b. Upaya Hukum Penyelesaian Sengketa Pasien sebagai Konsumen

Jasa Pelayanan Medis Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 8

Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

Sengketa konsumen adalah sengketa berkenaan dengan

pelanggaran hak-hak konsumen. Lingkupnya mencakup semua segi

hukum, baik keperdataan, pidana maupun tata usaha negara.

Menurut UUPK, penyelesaian sengketa konsumen memiliki

kekhasan. Para pihak yang bersengketa, pihak konsumen dapat

menyelesaikan sengketa itu mengikuti beberapa lingkungan peradilan

ataupun memilih jalan penyelesaian di luar pengadilan, yaitu

penyelesaian sengketa melalui peran komisi ombudsman.

1) Penyelesaian Sengketa di Peradilan Umum

Pasal 45 ayat (1) UUPK, menyatakan;

“Setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha yang berugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha melalui lembaga peradilan yang berbeda di lingkungan peradilan umum”.

“Penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa”.

Pilihan untuk berperkara di pengadilan atau di luar

pengadilan adalah pilihan sukarela para pihak. Penjelasan Pasal 45

UUPK menyebut adanya kemungkinan perdamaian di antara para

pihak sebelum mereka berperkara di pengadilan atau di luar

pengadilan. Kata sukarela diartikan sebagai pilihan para pihak baik

sendiri maupun bersama-sama untuk menempuh jalur penyelesaian

di dalam maupun di luar pengadilan, karena upaya perdamaian

gagal atau sejak semula mereka tidak mau menempuh alternatif

perdamaian.

Pasal 45 ayat (3) UUPK “Penyelesaian sengketa di luar

pengadilan tidak menghilangkan tanggung jawab pidana

sebagaimana diatur dalam undang-undang”.

Page 71: TINJAUAN YURIDIS MALPRAKTEK MEDIS DALAM SISTEM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

Bukan hanya tanggung jawab pidana yang tetap di buka

kesempatannya untuk diperkarakan melainkan juga tanggung

jawab di bidang lainnya seperti administrasi negara. Konsumen

yang dirugikan haknya, tidak hanya diwakili oleh jaksa dalam

penuntutan di peradilan umum untuk kasus pidana, tetapi ia sendiri

dapat menggugat pihak lain di lingkunagan peradilan tata usaha

negara jika terdapat sengketa administratif di dalamnya.

Dalam kasus perdata di lingkungan pengadilan negeri,

konsumen diberi hak mengajukan gugatan, menurut Pasal 46

UUPK:

a. Seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang

bersangkutan;

b. Sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang

sama;

c. Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang

memenuhi syarat;

d. Pemerintah dan/atau instansi terkait jika barang/jasa yang

dikonsumsi mengakibatkan kerugian materi yang besar atau

korban yang tidak sedikit.

Seorang konsumen atau ahli warisnya dapat melayangkan

gugatannya kepada Majelis Kode Etik Kedokteran Indonesia

(MKEKI), pengadilan dan terhadap pihak terkait karena merasa

dirugikan dan diperlakukan tidak manusiawi. Maka dapat

menggugat ganti rugi kepada dokter/tenaga kesehatan dan rumah

sakit karena telah melakukan perbuatan melawan hukum, dengan

menimbulkan kerugian di akibatkan oleh kelalaian atau kesalahan

dalam melakukan tindakan medik.

Gugatan dapat dilakukan oleh sekelompok konsumen yang

mempunyai kepentingan yang sama. Pasal 46 ayat (1) b UUPK

berbunyi:

Page 72: TINJAUAN YURIDIS MALPRAKTEK MEDIS DALAM SISTEM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

“Undang-undang ini mengakui gugatan kelompok atau class action. Gugatan kelompok atau class action harus diajukan oleh konsumen yang benar-benar dirugikan atau dapat dibuktikan secara hukum. Salah satu diantaranya adalah adanya bukti transaksi.”

Klasifikasi ke tiga adalah lembaga swadaya masyarakat,

dipakai istilah perlindungan konsumen swadaya masyarakat dan

berkaitan dengan legal standing. Keberadaan LSM ini menurut

Pasal 1 angka (9) dan Pasal 44 ayat (1) UUPK harus terdaftar dan

diakui oleh Pemerintah.

Terkait dengan gugatan oleh pemerintah, mereka baru akan

menggugat pelaku usaha jika ada kerugian materi yang besar atau

korban yang tidak sedikit. (Titik Triwulan Tutik, 2010:68)

2) Penyelesaian Sengketa di Peradilan Tata Usaha Negara

Pasal 46 ayat (2) menyatakan:

“Gugatan yang dilakukan oleh sekelompok konsumen, LPKSM, dan pemerintah harus diajukan ke pengadilan umum, sementara untuk gugatan yang diajukan konsumen atau ahli warisnya secara individual tidak ditetapkan lingkungan peradilannya”

Pasal 46 Ayat (2) UUPK terkesan membolehkan gugatan

konsumen diajukan ke lingkungan peradilan umum. Hal ini

menghalangi konsumen yang perkaranya menyentuh kompetensi

pengadilan tata usaha negara.

Bila konsumen diartikan secara luas, yakni mencakup

penerima jasa layanan publik tentu Peradilan Tata Usaha Negara

(PTUN) patut melayani gugatan tersebut. Dengan syarat sengketa

tersebut berawal dari penetapan tertulis, bersifat kongkret, dan

final.

3) Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan

Untuk mengatasi kerumitan proses peradilan, UUPK

memberi jalan alternatif dengan menyediakan penyelesaian di luar

pengadilan. Pasal 45 ayat (4) UUPK menyebutkan;

“Jika telah dipilih upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh

Page 73: TINJAUAN YURIDIS MALPRAKTEK MEDIS DALAM SISTEM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

jika upaya itu dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para pihak yang bersengketa”.

Penyelesaian di pengadilan tetap di buka setelah para pihak

gagal menyelesaikan sengketa mereka di luar pengadilan.

Penafsiran yang lebih dalam dari ketentuan pasal tersebut bahwa;

(1) penyelesaian di luar pengadilan merupakan upaya perdamaian

di antara para pihak yang bersengketa; dan (2) penyelesaian di luar

pengadilan dapat dilakukan melalui suatu badan independen seperti

Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). Jika

penyelesaian melalui BPSK maka salah satu pihak tidak dapat

menghentikan perkaranya di tengah jalan sebelum BPSK

menjatuhkan putusan. Artinya mereka terikat untuk menempuh

proses pemeriksaan sampai saat penjatuhan putusan.

c. Upaya Hukum Penyelesaian Sengketa Pasien Sebagai Konsumen

Jasa Pelayanan Medis Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 36

Tahun 2009 tentang Kesehatan

Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan

memberikan perlindungan hukum, baik kepada pasien sebagai

konsumen dan dokter. Yang tercantum dalam Pasal 27 dan Pasal 29.

Jika terjadi sengketa antara pasien selaku konsumen dan dokter selaku

penyedia jasa kesehatan, menggunakan dasar hukum tersebut.

Pasal 27 merumuskan “Tenaga kesehatan berhak mendapatkan

imbalan dan perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas sesuai

dengan profesinya”

Pasal 29 merumuskan “Dalam hal tenaga kesehatan diduga

melakukan kelalaian dalam menjalankan profesinya, kelalian tersebut

harus diselesaikan dahulu melalui mediasi”

Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan,

memberikan perlindungan kepada dokter untuk bekerja sesuai standar

profesinya, sehingga bila ada pasien yang menuntut dokter karena

malpraktek medis hal tersebut perlu diperiksa lebih lanjut, apakah

dokter telah melaksanakan pekerjaan sesuai standar profesinya atau

Page 74: TINJAUAN YURIDIS MALPRAKTEK MEDIS DALAM SISTEM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

tidak. Bila terbukti dokter bekerja sesuai dengan profesinya, maka

tidak dapat dipersalahkan.

Selain memberikan perlindungan, Undang-Undang tersebut

juga memberi kesempatan kepada konsumen selaku penerima jasa

kesehatan untuk menyelesaikan sengketa pelayanan medis yang

diterimanya melalui mediasi terlebih dahulu (jalur non litigasi) tetapi

bila melalui mediasi tidak mampu menyelesaikan diperbolehkan

menggunakan jalur pengadilan.

B. Ketentuan Yuridis Terjadinya Malpraktek Medis Sesuai Sistem Hukum

Indonesia

1. Ketentuan Yuridis Malpraktek Medis dalam Hukum Perdata

Malpraktek medis selain dapat dituntut secara pidana juga dapat

dituntut secara perdata dalam bentuk pembayaran ganti rugi. Dasar hukum

malpraktek perdata atau sipil adalah transaksi atau kontrak terapeutik antara

dokter dengan pasien yaitu hubungan dokter dengan pasien, dimana dokter

bersedia memberikan pengobatan atau perawatan medis kepada pasien dan

pasien bersedia membayar sejumlah imbalan kepada dokter. Ketentuan

terkait dengan KUHPerdata adalah Pasal 1366 KUHPerdata.”Setiap orang

bertanggung jawab hukum hanya kerugian yang disebabkan perbuatannya,

tetapi juga kerugian yang disebabkan karena kelalaian atau kekurang hati-

hatian” (Kayus Kayowuan Lewolebah , 2008:185)

a. Hubungan Hukum Dokter-Pasien Dalam Kontrak Terapeutik

Pengertian Perikatan tercantum dalam Pasal 1313 jo 1234

KUHPerdata. “Perikatan hukum adalah suatu ikatan antara dua subjek

hukum atau lebih untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan

sesuatu atau memberikan sesuatu yang disebut prestasi”

Page 75: TINJAUAN YURIDIS MALPRAKTEK MEDIS DALAM SISTEM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

Disamping melahirkan hak dan kewajiban, hubungan dokter dan

pasien juga membentuk pertanggungjawaban hukum. Bagi pihak

dokter, prestasi berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu dalam

perlakuan medis yang ditujukan bagi kepentingan kesehatan pasien

adalah kewajiban hukum yang sangat mendasar dalam kontrak

terapeutik.

Dipandang dari sudut hukum perdata, malpraktek medis terjadi

bila perlakuan salah yang dilakukan oleh dokter dalam hubungannya

dengan pemberian pelayanan medis kepada pasien menimbulkan

kerugian perdata. Kerugian kesehatan fisik, jiwa, maupun nyawa pasien

akibat salah perlakuan oleh dokter merupakan unsur penting timbulnya

malpraktek medis. Dengan timbulnya akibat hukum kerugian perdata

terbentuklah pertanggung jawaban hukum perdata bagi dokter terhadap

kerugian yang timbul.

Hubungan hukum dokter dan pasien timbul berdasarkan

kesepakatan dan Undang-undang. Perikatan karena kesepakatan

membawa suatu keadaan wanprestasi, sedangkan pelanggaran hukum

dokter atas kewajiban hukum dokter karena undang-undang disebut

perbuatan melawan hukum (onrechmatigedaad) dalam Pasal 1365

KUHPerdata.

Selain pelanggaran hukum karena kesepakatan, dapat pula

terjadi pelanggaran kewajiban hukum karena UU yang disebut

Zaakwaarneming. Zaakwaarneming adalah melakukan sesuatu dengan

diam-diam dan sukarela bagi kepentingan orang lain tanpa persetujuan

dan sepengetahuannya menimbulkan kewajiban pelaksanaan dengan

sebaik-baiknya sehingga melahirkan tanggungjawab terhadap akibat

yang timbul apabila ada kesalahan dalam pelaksanaan sesuatu tersebut

(Pasal 1354 BW). (Adami Chazawi, 2007:43)

b. Wanprestasi dalam Malpraktek Medis

Pertanggungjawaban dokter akibat malpraktek medis karena

wanprestasi lebih luas dari pertangggungjawaban karena perbuatan

Page 76: TINJAUAN YURIDIS MALPRAKTEK MEDIS DALAM SISTEM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

melawan hukum. Hal tersebut berdasar Pasal 1236 jo 1239

KUHPerdata, selain penggantian kerugian, pasien juga dapat menuntut

biaya dan bunga. Kerugian yang dituntut pada perbuatan melawan

hukum lebih luas dari kerugian akibat wanprestasi. Tuntutan terhadap

kerugian immateriil akibat perbuatan melawan hukum dapat dilakukan,

sedangkan wanprestasi tidak.

Hubungan hukum antara dokter dan pasien, dilandasi sikap saling percaya antara kedua belah pihak. Kesembuhan merupakan tujuan akhir kontrak terapeutik tetapi bukan objek kewajiban dokter yang dapat dituntut oleh pasien. Kewajiban pokok seorang dokter adalah inspanning, yakni suatu usaha keras dari dokter yang harus dijalankan untuk menyembuhkan kesehatan pasien. (Adami Chazawi, 2007:45)

Pasien yang tidak sembuh tidak dapat dijadikan alasan

wanprestasi bagi dokter selama perlakuan medis yang dilakukan tidak

menyimpang dari standar profesi, karena hubungan hukum pasien dan

dokter bukan hubungan yang menuntut pada hasil pelayanan medis,

melainkan kewajiban untuk memberikan perlakuan medis sebaik-

baiknya dimana dokter tidak mampu menjamin hasil akhir.

Hasil dari perlakuan penyembuhan, pemulihan, atau

pemeliharaan kesehatan pasien tidak menjadi kewajiban hukum bagi

dokter, melainkan suatu kewajiban moral belaka akibatnya bukan

sanksi hukum tetapi sanksi moral dan sosial. Sepanjang perlakuan

medis terhadap pasien dilakukan sesuai standar profesi dan standar

prosedur operasional meskipun tanpa hasil penyembuhan yang

diharapkan tidak melahirkan malpraktek medis dari sudut hukum.

Perlakuan medis dokter yang menyalahi standar profesi maka

dokter dianggap melakukan malpraktek medis. Dengan syarat, tidak

sembuh atau lebih parah penyakit dari pasien setelah mendapat

perlakuan medis dari sudut standar profesi. Jika hal tersebut merupakan

akibat langsung dari salah perlakuan medis oleh dokter melahirkan

malpraktek medis, pasien berhak menuntut ganti kerugian atas

kesalahan perlakuan medis tersebut.

Page 77: TINJAUAN YURIDIS MALPRAKTEK MEDIS DALAM SISTEM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

Pelayanan medis dengan resiko tinggi wajib dibuat dalam

bentuk tertulis untuk dimintakan persetujuan (informed consent).

Tujuannya untuk membebaskan risiko hukum bagi timbulnya akibat

yang tidak dikehendaki.

Bentuk wanprestasi dokter dalam pelayanan medis yaitu:

a) Tidak memberikan pelayanan kesehatan sama sekali seperti yang

diperjanjikan;

b) Memberikan pelayanan kesehatan tidak sebagaimana mestinya,

tidak sesuai kualitas dan kuantitas dengan yang diperjanjikan;

c) Memberikan pelayanan kesehatan tetapi terlambat tidak tepat

waktu sebagaimana telah diperjanjikan;

d) Memberikan pelayanan kesehatan lain dari pada yang diperjanjikan

semula. (Adami Chazawi, 2007:48-49)

Setiap wanprestasi terkandung aspek kerugian bagi pihak lain.

Unsur kerugian terdapat dalam kalimat “penggantian biaya, rugi dan

bunga”. Akibat kerugian pasien ini menjadi pangkal penilaian terhadap

ada atau tidaknya malpraktek medis. Setelah terbukti adanya kerugian,

kemudian dilihat bagaimana wujud perlakuan medis yang dilakukan

oleh dokter.

Wujud kerugian akibat wanprestasi berupa kerugian materiil

yang dapat diukur dengan nilai uang, terutama biaya perawatan, biaya

perjalanan dan biaya obat-obatan dengan syarat kerugian ini harus

dapat dibuktikan.

c. Perbuatan Melawan Hukum Dalam Malpraktek Medis

Tercantum dalam bunyi Pasal 1365 KUHPerdata:

“Tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menimbulkan kerugian itu untuk mengganti kerugian tersebut”.

Dari bunyi pasal tersebut, diartikan bila perlakuan medis dokter

menyimpang dari standar profesi dan menimbulkan kerugian pasien

termasuk kategori perbuatan melawan hukum. Kerugian harus benar-

Page 78: TINJAUAN YURIDIS MALPRAKTEK MEDIS DALAM SISTEM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

benar diakibatkan perlakuan medis yang salah dan harus dapat

dibuktikan baik dari sudut ilmu hukum maupun ilmu kedokteran.

Malpraktek medis yang telah masuk lapangan hukum pidana

atau menjadi kejahatan sekaligus merupakan perbuatan melawan

hukum yang dapat dituntut pertanggungjawaban perdata terhadap

kerugian yang ditimbulkan melalui pasal 1365 jo 1370 dan 1371

KUHPerdata. Indikator malpraktek medis masuk dalam perbuatan

melawan hukum, yaitu malpraktek medis telah masuk ke ranah hukum

pidana otomatis termasuk perbuatan melawan hukum.

Perbuatan melawan hukum adalah perbuatan aktif maupun pasif yang dilakukan baik sengaja maupun kealpaan yang bertentangan dengan hak orang lain, dengan kewajiban hukumnya sendiri dengan nilai-nilai kesusilaan yang harus diindahkan dalam pergaulan masyarakat. Mencakup pula syarat untuk menuntut ganti kerugian oleh perbuatan melawan hukum yakni harus ada perbuatan dan sifat melawan hukum. (Adami Chazawi, 2007:61)

Empat syarat yang harus dipenuhi untuk menuntut kerugian

adanya perbuatan melawan hukum:

Adanya perbuatan yang termasuk kualifikasi perbuatan melawan

hukum;

Adanya kesalahan si pembuat;

Adanya akibat kerugian;

Adanya hubungan perbuatan dengan akibat kerugian orang lain.

d. Zaakwaarneming

Pasal 1354 BW merumuskan zaakwaarneming adalah;

“Jika seseorang dengan sukarela mewakili urusan orang lain dengan atau tanpa pengetahuan orang ini, maka ia secara diam-diam mengikat dirinya untuk meneruskan serta menyelesaikan urusan tersebut hingga orang yang diwakili kepentingannya dapat mengerjakan sendiri urusan itu“

Mengikatkan diri secara sukarela menurut Undang-Undang

berarti ia terbebani kewajiban hukum untuk melaksanakan urusan orang

lain itu dengan sebaik-baiknya. Timbul kewajiban hukum apabila tidak

dijalankan sebagaimana mestinya hingga menimbulkan akibat kerugian

bagi orang yang diwakilinya maka ia bertanggungjawab untuk

Page 79: TINJAUAN YURIDIS MALPRAKTEK MEDIS DALAM SISTEM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

mengganti kerugian, biaya dan bunga. Zaakwaarneming bukanlah

penyebab malpraktek medis. Zaakwarneming merupakan salah satu

bentuk perikatan hukum yang timbul karena undang-undang. Berbeda

dengan onrechmatigedaad yang melahirkan malpraktek medis,

zaakwaarneming dapat melahirkan malpraktek medis bila terdapat

penyimpangan dalam melaksanakan kewajiban hukum dokter dan

menimbulkan kerugian pasien. (Adami Chazawi, 2007: 77-78)

Apabila pelayanan medis diberikan saat keadaan darurat, dokter

atau rumah sakit memiliki kewajiban untuk berbuat segala sesuatu

dengan segera untuk kepentingan menyelamatkan jiwa pasien. Bila

dokter atau rumah sakit tidak memberikan pertolongan dengan alasan

tidak ada informed consent dari keluarga sehingga pasien meninggal

maka petugas RS dapat dipersalahkan telah melakukan tindak pidana

menurut ketentuan Pasal 531 KUHP dan Rumah Sakit dapat dituntut

ganti rugi.

Dalam keadaan emergency, dokter atau rumah sakit dapat

memberikan pelayanan medis tanpa persetujuan. Dokter atau rumah

sakit tidak dapat dituntut oleh pasien kecuali tindakan medis yang

dijalankan melanggar standar profesi baik sengaja maupun culpa

sehingga merugikan pasien.

2. Ketentuan Yuridis Malpraktek Medis dalam Hukum Pidana

Malpraktek medis masuk dalam lapangan hukum pidana, bila

terpenuhi syarat: sikap batin dokter, perlakuan medis, dan akibat. Syarat

dalam perlakuan medis adalah perlakuan medis yang menyimpang. Syarat

sikap batin adalah syarat sengaja dalam malpraktek medis. Syarat akibat

adalah mengenai timbulnya kerugian bagi kesehatan atau nyawa pasien.

a. Perlakuan Salah Dalam Malpraktek Medis

Perbuatan adalah wujud dari bagian perlakuan pelayanan medis.

Terjadinya malpraktek medis menurut hukum, di samping perbuatan

dalam perlakuan medis tersebut masih ada syarat sikap batin dan akibat.

Page 80: TINJAUAN YURIDIS MALPRAKTEK MEDIS DALAM SISTEM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

b. Sikap Batin Dalam Malpraktek Medis

Sikap batin adalah sesuatu yang ada dalam batin sebelum

seseorang berbuat. Sikap batin ini berupa, kehendak, pikiran, perasaan

dan apapun yang melukiskan keadaan batin seseorang sebelum berbuat.

Kemampuan mengarahkan dan mewujudkan alam batin ke dalam

perbuatan tertentu yang dilarang disebut kesengajaan. Bila kemampuan

berpikir, berperasaan, dan berkehendak itu tidak digunakan

sebagaimana mestinya dalam hal melakukan suatu perbuatan yang pada

kenyataannya dilarang maka dinamakan kelalaian (culpa). (Adami

Chazawi, 2007:85).

Sebelum perlakuan medis di wujudkan oleh dokter, ada 3 (tiga)

arah sikap batin dokter, (Adami Chazawi, 2007:85):

a. Sikap batin mengenai wujud perbuatan (terapi);

b. Sikap batin mengenai sifat melawan hukum perbuatan; dan

c. Sikap batin mengenai akibat dari wujud perbuatan.

Sikap batin yang diarahkan pada perbuatan umumnya berupa

kesengajaan artinya mewujudkan perbuatan memang dikehendaki. Bisa

juga sikap batin pada perbutan, baik aktif maupun pasif merupakan

sikap batin kelalaian. Bila perlakuan yang akan dijalankan pada pasien

disadari melanggar standar profesi, namun tetap dijalankan maka sikap

batin yang demikian disebut kesengajaan. Sikap batin yang tidak

menyadari atau tidak mengetahui apa yang hendak diperbuat dokter

sebagai menyalahi standar dan dijalankan juga maka sikap batin yang

demikian disebut kelalaian. Kewajiban dokter yang hendak dijalankan

dokter harus dipertimbangkan sebagai hal yang melanggar standar

profesi atau tidak. Akan tetapi, dokter tidak mempertimbangkan dan

setelah dijalankan ternyata melanggar standar profesi, hal tersebut

termasuk kelalaian. Seorang profesional tidak dibenarkan memiliki

sikap batin yang ceroboh mengenai standar profesinya sendiri. Sikap

batin dalam malpraktek medis pada umumnya adalah sikap batin

kealpaan. (Adami Chazawi, 2007:87-88)

Page 81: TINJAUAN YURIDIS MALPRAKTEK MEDIS DALAM SISTEM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

1) Ajaran Culpa Subjektif

Mengukur adanya culpa, dapat dilihat dari beberapa unsur:

a. Apa wujud perbuatan, cara perbuatan dan alat untuk melakukan

perbuatan;

b. Sifat tercelanya perbuatan;

c. Objek perbuatan; dan

d. Akibat yang timbul dari wujud perbuatan. Adami Chazawi,

2007:89)

Sikap batin culpos dalam hubungannya dengan wujud dan cara

perbuatan adalah sikap batin yang tidak memperhatikan mengenai cara

atau alat yang digunakan dalam perbuatan. Perbuatan memberikan

suntikan, diwajibkan kehati-hatiannya bukan sekedar pada pelaksanaan

perbuatan menyuntikkan saja tetapi juga obat yang diisikan, dosisnya,

alat suntiknya, dan lain-lain.

Sikap batin lalai dalam hubungannya dengan akibat terlarang dari

suatu perbuatan dapat terletak pada salah satu diantara tiga hal berikut:

a. Terletak pada ketiadaan berpikir sama sekali terhadap akibat yang

dapat timbul karena suatu perbuatan;

b. Terletak pada pemikiran tentang akibat dari suatu perbuatan.

Berdasarkan pertimbangan dari kepintaran, pengalaman, dan alat

yang digunakan ia yakin akibat tidak akan terjadi, tetapi ternyata

setelah perbuatan dilakukan benar-benar terjadi; dan

c. Terletak pada pemikiran bahwa akibat bisa terjadi. Namun,

berdasarkan kepintarannya dengan telah menguasai cara-caranya

secara maksimal akan berusaha menghindari akibat itu. (Adami

Chazawi, 2007:93)

2) Ajaran Culpa Objektif

Pandangan culpa objektif menilai sikap batin lalai pada diri

seseorang dengan membandingkan antara perbuatan yang dilakukan

orang lain yang memiliki kualitas sama dalam keadaan yang sama

pula.

Page 82: TINJAUAN YURIDIS MALPRAKTEK MEDIS DALAM SISTEM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

Kelalaian seorang dokter melakukan perbuatan yang lain yang

tidak sama dengan dokter lain dalam hal dokter lain menghadapi hal

yang sama dengan kondisi yang sama dengan apa yang dihadapi dokter

tersebut. Tolak ukurnya ialah apakah dokter telah melakukan sesuai

dengan apa yang dilakukan oleh teman sejawatnya dalam keadaan

yang sama.

Sikap batin dokter dalam culpa malpraktek medis diwujudkan

seridak-tidaknya dalam 4 hal yakni:

a. Pada wujud perbuatan;

b. Pada sifat melawan hukumnya perbuatan;

c. Pada pasien-objek perbuatan; dan

d. Pada akibat perbuatan, beserta unsur-unsur yang menyertainya.

Culpa pada pasien sebagai objek perbuatan adalah apa yang patut

diketahui tentang segala sesuatu yang terdapat pada diri pasien

terutama mengenai penyakit pasien tersebut. Segala hal yang

seharusnya diketahuinya ini tidak boleh diabaikan dan ternyata

diabaikan, bila pengabaian terjadi akan sangat kuat pengaruhnya

terhadap perbuatan apa yang dilakukan dokter pada pasien beserta

akibatnya.

Culpa mengenai sifat melawan hukumnya perbuatan terletak pada

tiada kesadaran atau pengetahuna bahwa dokter tidak memahami dan

tidak mengerti standar profesi medis, padahal seorang dokter dituntut

untuk mengetahuinya. Inilah sikap batin yang dipersalahkan medis dari

sudut hukum.

Sikap batin culpa diwujudkan dalam, (Adami Chazawi, 2007:100):

a. Dokter tidak menyadari bahwa dari perbuatan yang hendak

dilakukannya menimbulkan akibat yang terlarang bagi hukum;

b. Akibat itu disadari bisa timbul namun karena dasar pemikiran

kepintarannya dokter meyakini akibat tidak akan timbul, tetapi

ternyata akibat terlarang itu timbul;

c. Akibat disadari dapat saja timbul.

Page 83: TINJAUAN YURIDIS MALPRAKTEK MEDIS DALAM SISTEM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

Sikap batin culpa dalam malpraktek pidana harus berupa culpa lata

yaitu suatu bentuk kelalaian berat.

c. Adanya Akibat Kerugian Pasien

Dari sudut hukum pidana akibat yeng merugikan masuk dalam

lapangan pidana. Bila jenis kerugian tersebut masuk rumusan

kejahatan menjadi unsur tindak pidana akibat kematian, luka

merupakan unsur kejahatan Pasal 359 dan 360 KUHP, bila kelalaian

perlakuan medis terjadi dan mengakibatkan kematian atau luka sesuai

jenis yang ditentukan dalam pasal 359 dan 360 KUHP maka perlakuan

medis masuk dalam kategori malpraktek pidana.

Dokter dari kedudukan atau kualitasnya sebagai profesional

wajib mengetahui seluruh aspek yang dapat berpengaruh oleh

perlakuan medis yang hendak dijalankan yang dapat menimbulkan

akibat buruk bagi pasien.

d. Penerapan Pasal 351, 359, 360, 344, 346, 347 Dan 348 KUHP Pada

Malpraktek Medis

Akibat malpraktek medis yang menjadi tindak pidana harus

berupa akibat yang sesuai dengan yang ditentukan oleh Undang-

Undang. Akibat berupa kematian, luka berat, rasa sakit atau luka yang

mendatangkan penyakit, atau luka yang menghambat tugas dan mata

pencaharian dapat membentuk pertanggungjawaban pidana yang

wujudnya bukan sekedar penggantian kerugian (perdata) saja tetapi

boleh jadi pemidanaan.

1) Penganiayaan

Malpraktek medis dapat menjadi penganiayaan jika ada

kesengajaan, baik terhadap perbuatan maupun akibat perbuatan.

Pembedahan tanpa informed consent termasuk penganiayaan. Sifat

melawan hukumnya terletak pada tanpa informed consent.

Sedangkan saat keadaan emergency, dokter dibenarkan

melakukan tindakan medis tanpa informed consent, apabila

informed consent memang tidak mungkin diperoleh. Asalkan

Page 84: TINJAUAN YURIDIS MALPRAKTEK MEDIS DALAM SISTEM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

tindakan medis darurat itu menjadi kompetensi dokter dan sesuai

standar profesi.

KUHP membedakan lima macam penganiayaan, yakni:

penganiayaan bentuk standar (Pasal 351); penganiayaan ringan

(Pasal 352); penganiayaan berencana (Pasal 353); penganiayaan

berat (Pasal 354); dan penganiayaan berat berencana (Pasal 355).

Unsur-unsur yang harus dibuktikan bila terjadi penganiayaan yaitu:

a. Adanya kesengajaan;

b. Adanya wujud perbuatan;

c. Adanya akibat perbuatan; dan

d. Adanya hubungan kausal antara wujud perbuatan dan

timbulnya akibat yang terlarang.

Sengaja ialah menghendaki perbuatan dan akibat perbuatan.

Perbuatan penganiayaan harus berwujud, misal pembedahan tubuh

yang dilakukan oleh dokter. Bisa diwujudkan dalam perbuatan

pasif, contohnya, sengaja tidak segera melakuakan pembedahan

yang menurut ilmu kedokteran harus dilakukan segera dengan

maksud agar pasien mati.

Akibat perbuatan penganiayaan ialah, timbulnya rasa sakit pada

tubuh, luka pada tubuh, mendatangkan penyakit/timbulnya

penyakit bahkan kematian. Akibat tersebut harus merupakan

akibat langsung yang layak disebabkan oleh wujud perbutan.

Unsur akibat harus dapat dibuktikan, rasa sakit, luka tubuh,

timbulnya penyakit, atau kematian yang disebabkankan langsung

oleh wujud perbuatan penganiayaan. Akibat penganiayaan harus

ada hubungan dengan sikap batin pembuat, yakni dikehendaki.

(Adami Chazawi, 2007:108).

Kematian dapat digolongkan akibat penganiayaan bila

kematian itu tidak dikehendaki. Melakukan pembedahan, rasa

sakit pasti disadari, artinya rasa sakit itu dikehendaki. Jika

kematian tidak dikehendaki namun pembedahan itu menimbulkan

Page 85: TINJAUAN YURIDIS MALPRAKTEK MEDIS DALAM SISTEM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

kematian atau pembedahan tanpa informed consent atau tanpa

wewenang tindakan medis tersebut menimbulkan penganiayaan

yang menyebabkan kematian.

2) Kealpaan yang Menyebabkan Kematian

Pasal 359 KUHP selalu didakwakan terhadap kematian yang

diduga disebabkan kesalahan dokter. Pasal 359 merumuskan

“barangsiapa karena kesalahannya menyebabkan orang lain mati”

disamping adanya sikap batin culpa seta kalimat “menyebabkan

orang lain mati”, yakni:

a. Harus ada wujud perbuatan;

b. Adanya akibat perbuatan berupa kematian; dan

c. Adanya hubungan kausal antara wujud perbuatan dengan akibat

kematian.;

Sikap batin culpa bukan ditujukan pada perbuatan, tetapi pada

akibat kematian. Culpa dapat dibedakan tiga macam, berdasarkan

sudut tingkatannya:

a. Kelalaian yang tidak disadari, pembuat tidak menyadari bahwa

perbutan yang hendak dilakukan dapat menimbulkan akibat

terlarang dalam hukum. Hubungannya dengan pelayanan

kesehatan, dokter tidak mengetahui bahwa perbuatan yang

hendak diperbuatnya dapat mengakibatkan kematian;

b. Kealpaan yang disadari, adanya kesadaran terhadap timbulnya

akibat dari tindakan medis yang hendak diwujudkan. Dokter

meyakini bahwa akibat tersebut tidak akan timbul, namun

setelah tindakan medis dilakukan ternyata akibat tersebut

timbul; dan

c. Termasuk dalam kealpaan yang disadari, telah disadari bahwa

akibat bisa timbul, namun yakin tidak akan timbul. Setelah

tindakan dilakukan dan timbul gejala-gejala yang mengarah

pada timbulnya akibat. Telah berbuat yang cukup untuk

Page 86: TINJAUAN YURIDIS MALPRAKTEK MEDIS DALAM SISTEM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

menghindarinya, namun kenyataanya setelah tindakan akibat

pun timbul. (Adami Chazawi, 2007:112).

3) Kealpaan yang Menyebabkan Luka-Luka

Pasal 360 KUHP lazim digunakan untuk menuntut dokter

atas dugaan malpraktek medis. Pasal 359 digunakan bila

menyebabkan kematian. Dua macam tindak pidana menurut Pasal

360 yakni:

(1) “...karena kesalahannya menyebabkan orang lain mendapat luka berat...” (2) “...karena kesalahannya menyebabkan orang lain luka-luka sedemikian rupa sehingga timbul penyakit atau halangan menjalankan pekerjaan jabatan atau pencarian selama waktu tertentu...”

Dari Ayat (1) dapat dirinci unsur-unsurnya:

a. Adanya kelalaian;

b. Adanya wujud perbuatan;

c. Adanya akibat luka berat;

d. Adanya hubungan kausal antara luka berat dengan wujud

perbuatan.

Ayat (2) mengandung unsur-unsur:

a. Adanya kelalaian;

b. Adanya wujud perbuatan;

c. Adanya akibat: luka yang menimbulkan penyakit; luka yang

menjadikan halangan menjalankan pekerjaan jabatan atau

pencaharian selama waktu tertentu;

d. Adanya hubungan kausal antara perbuatan dengan akibat.

Kalimat “menyebabkan orang luka”, mengandung tiga

unsur, yakni:

a. Adanya wujud perbuatan sebagai penyebab;

b. Adanya akibat orang lain luka;

c. Adanya hubungan kausal antara wujud perbuatan dengan

akibat orang lain luka.

Page 87: TINJAUAN YURIDIS MALPRAKTEK MEDIS DALAM SISTEM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

Luka adalah perbuatan sedemikian rupa pada permukaan

tubuh sehingga berbeda dengan bentuk semula. Pasal 360

menyebutkan tiga macam luka, yaitu:

a. Luka berat;

b. Luka yang menimbulkan penyakit;

c. Luka yang menjadikan halangan menjalankan pekerjaan jabatan

atau pencarian selama waktu tertentu.

Pasal 90 menyebutkan macam-macam luka berat:

a. Jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak memberi harapan

akan sembuh sama sekali, atau yang menimbulkan bahaya maut;

b. Tidak mampu terus-menrus untuk menjalankan tugas jabatan

atau pekerjaan pencaharian;

c. Kehilangan salah satu pancaindra;

d. Mendapat cacat berat;

e. Menderita sakit lumpuh;

f. Terganggu daya pikir selama empat minggu lebih;

g. Gugur atau matinya kandungan seorang perempuan.

4) Aborsi

Aborsi menurut istilah umum adalah pengguguran

kandungan. Praktik aborsi terdapat dua bentuk perbuatan, yaitu:

perbuatan menggugurkan kandungan; dan perbuatan mematikan

kandungan.

Hukum pidana dalam memandang praktik aborsi

mengenakan tiga pasal yakni 346, 347, dan 348 KUHP. Menurut

KUHP setiap tindakan aborsi dalam motif apapun, indikasi apapun

merupakan kejahatan. Namun, dalam hukum kesehatan Undang-

Undang No 23 Tahun 1992 ketentuan tersebut dapat disimpangi.

Pasal 15 memuat norma demi menyelamatkan jiwa ibu hamil dan

atau janinya boleh dilakukan tindakan medis tertentu yang dapat

saja berupa menggugurkan atau mematikan kandungan

Page 88: TINJAUAN YURIDIS MALPRAKTEK MEDIS DALAM SISTEM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

sebagaimana yang dimaksud oleh Pasal 346, 347 atau 348 KUHP.

Syarat untuk dapat memenuhi tindakan aborsi ialah:

a. Harus dengan indikasi medis;

b. Dilakukan oleh tenaga kesehatan keahlian dan wewenang

untuk itu;

c. Harus berdasarkan pertimbangan tim ahli;

d. Dengan persetujuan ibu hamil, suaminya, atau keluarganya

(informed consent);

e. Dilakukan pada sarana kesehatan tertentu.

Mengenai Abortus Provokatus ada anggapan sebagai

perbuatan medical malpraktek yang dilakukan dengan sengaja

(dolus). Hal ini berarti perbuatan malpraktek terdapat dua bentuk

yaitu:

a. Medical malpraktek oleh dokter yang dilakukan dengan

sengaja misalnya abortus tanpa indikasi medis;

b. Medical malpraktek yang dilakukan dengan kelalaian (culpa)

semisalnya tertinggalnya alat operasi di dalam rongga badan

pasien (Lilik Purwastuti Yudaningsih, 2007:99)

Dokter yang melaksanakan aborsi berdasar Pasal 15

Undang-Undang No 23 tahun 1992 tetap melakukan kejahatan atau

malpraktek medis (dengan sengaja). Akan tetapi, tidak dipidana

karena tindakan yang memenuhi syarat Pasal 15 tersebut menjadi

hapus sifat terlarangnya sebagai pembenaran tindakan medis dokter.

(Adami Chazawi, 2007:118).

a) Pasal 346 KUHP

Pasal ini merumuskan: “Seorang perempuan yang sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun”

Jika dokter diminta untuk melaksanakan pengguguran dan

pembunuhan kandungan seorang perempuan atas dasar permintaan

si perempuan maka dokter telah melakukan malpraktek medis.

Page 89: TINJAUAN YURIDIS MALPRAKTEK MEDIS DALAM SISTEM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

b) Pasal 347 KUHP

Pasal ini merumuskan:

(1) Barangsiapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang perempuan tanpa persetujuannya diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun

(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya perempuan tersebut diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun

Aborsi tanpa persetujuan perempuan pemilik kandungan

tanggung jawab pidananya lebih berat daripada aborsi atas

persetujuan perempuan pemilik kandungan. Jika menimbulkan

kematian perempuan itu sama saja dengan pembunuhan. Tanpa

persetujuan diartikan pada akibat bukan pada perbuatan tertentu.

Bisa jadi perempuan setuju pada wujud perbuatan tertentu yang

dikatakan pembuat berupa pengobatan atau perawatan.

Kesengajaan pembuat ditujukan pada perbuatan akibat

gugurnya kandungan. Kesengajaan harus diartikan tiga bentuk

kesengajaan, yakni: sebagai maksud; kemungkinan; atau

kesengajaan sebagai kepastian.

c) Pasal 348 KUHP

Pasal 348 KUHP merumuskan:

(1) Barangsiapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang perempuan dengan persetuannya diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan.

(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya perempuan tersebut diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.

Perbedaan pokok aborsi dalam Pasal 348 terletak pada

aborsi terhadap perempuan yang mengandung disetujui oleh

pemilik kandungan sendiri. Pasal 346, di mana jelas inisiatif aborsi

berasal dari perempuan. Jika tindakan aborsi dilakukan oleh dokter,

persetujuan oleh perempuan yang mengandung tidak dapat disebut

informed consent. Karena informed consent harus persetujuan untuk

melakukan tindakan yang sesuai hukum atau tidak melawan hukum.

Persetujuan menurut Pasal 348 adalah persetujuan untuk melakukan

tindak pidana.

Page 90: TINJAUAN YURIDIS MALPRAKTEK MEDIS DALAM SISTEM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

5) Euthanasia

Euthanasia secara harfiah, artinya kematian yang baik atau

kematian yang menyenangkan. Menurut Seutonius euthanasia

artinya mati cepat tanpa derita. Kemudian istilah ethunasia

diartikan membunuh atas kehendak korban sendiri (Adami

Chazawi, 2007, 124).

Euthanasia menjadi persolan karena menyangkut hak dasar

manusia yakni hak untuk berbuat sesuatu terhadap dirinya sendiri.

Hak untuk mati adalah hak asasi manusia sehingga penolakan atas

pengakuan terhadap hak untuk mati merupakan pelanggaran

terhadap hak asasi manusia. Kewajiban dokter untuk

mempertahankan hak hidup manusia, merupakan kewajiban yang

harus dijalankan.

Dalam hukum Indonesia jelas setiap perbuatan

menghilangkan nyawa orang lain adalah kejahatan. Peraturan

Pemerintah No. 18 Tahun 1981 tentang Bedah Mayat Klinis dan

Bedah Mayat Anatomis serta Transplantasi Alat atau Jaringan

Tubuh Manusia. Pasal 1 merumuskan:

“Meninggal dunia adalah keadaan insani yang diyakini oleh ahli kedokteran yang berwenang bahwa fungsi otak, pernapasan, dan atau denyut jantung seseorang telah berhenti”. Syarat konkret adanya kematian ditentukan tiga hal takni terhentinya fungsi otak, pernapasan dan jantung.

Chrisdiono memaparkan adanya istilah “pseudo

euthanasia” artinya euthanasia semu. Empat bentuk pseudo

euthanasia yakni:

b. Pengakhiran perawatan medis karena gejala mati batang otak.

Jantung masih berdenyut, peredaran darah dan pernapasan

masih berjalan, tetapi tidak ada kesadaran karena otak tidak

berfungsi sama sekali. Misalnya karena kecelakaan;

c. Pasien menolak perawatan atau bantuan medis terhadap

dirinya. Dasarnya, dokter tidak dapat melakukan sesuatu jika

tidak dikehendaki pasien;

Page 91: TINJAUAN YURIDIS MALPRAKTEK MEDIS DALAM SISTEM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

d. Berakhirnya kehidupan akibat keadaan darurat karena kuasa

tidak terlawan. Dalam hal terjadi dua kepentingan hukum yang

tidak bisa memenuhi kedua-duanya;

e. Penghentian perawatan/pengobatan/bantuan medis yang

diketahui tidak ada gunanya. (Adami Chazawi, 2007:128)

UU Indonesia tidak mentoleransi salah satu alasan

pengakhiran hidup manusia tersebut. Pasal 344 KUHP

merumuskan:

“Barangsiapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan, kesungguhan hati diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun”

Nilai jahatnya pembunuhan atas permintaan korban ini,

sedikit lebih ringan daripada pembunuhan biasa yang diancam

pidana penjara setinggi-tingginya 15 tahun penjara. Lebih ringan

dari pembunuhan biasa disebabkan pembunuhan atas permintaan

korban ini terdapat unsur “atas permintaan korban itu sendiri yang

dinyatakan dengan kesungguhan hati”.

Permintaan adalah suatu pernyataan kehendak yang

ditujukan pada orang lain agar orang lain itu melakukan perbuatan

tertentu bagi kepentingan orang yang meminta nyawa dihilangkan.

Dalam membuktikan adanya permintaan korban perlu diperhatikan:

a. Inisiatif bunuh diri harus terbukti berasal dari korban itu

sendiri;

b. Permintaan harus ditujukan pada si pembuat, bukan pada orang

lain; dan

c. Isinya pernyataan harus jelas, jelas dimengerti bagi yang

menerim pernyataan yang sama seperti apa yang dinyatakan

oleh pemilik nyawa. (Adami Chazawi, 2007:130)

3. Ketentuan Yuridis Malpraktek Medis Dalam Hukum Administrasi

a. Pelanggaran Hukum Administrasi Kedokteran

Page 92: TINJAUAN YURIDIS MALPRAKTEK MEDIS DALAM SISTEM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

Pelanggaran hukum administrasi kedokteran kini menjadi tindak

pidana. Terdapat dalam Pasal 75, 76, 77, 78 Undang-Undang No 29

Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Tindak pidana tersebut

bermula dari pelanggaran hukum administrasi. Sebelum terbit UU No

29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, dokter yang praktik

menyalahi hukum administrasi seperti Pasal 42 “mempekerjakan dokter

yang tidak memiliki surat izin praktik atau memberikan pelayanan di

luar standar profesi” dianggap penipuan (Pasal 378 KUHP).

Hubungan pelanggaran administrasi dengan malpraktek medis

terjadi bila selama pelanggaran hukum administrasi kedokteran tidak

membawa kerugian kesehatan, fisik, mental atau nyawa bagi pasien,

dokter dapat dipidana dengan pasal 75-80 Undang-Undang No 29 tahun

2004 tentang Praktik Kedokteran. Tetapi bila pelanggaran hukum

administrasi kedokteran menimbulkan kerugian kesehatan bagi pasien

maka dapat menjadi malpraktek medis pidana atau perdata. Dokter yang

melakukan pelanggaran hukum administrasi kedokteran, sudah

membuka jalan menuju malpraktek medis. Bila menimbulkan kerugian

fisik, mental, nyawa bagi pasien maka terjadi malpraktek medis.

Pelanggaran hukum administrasi kedokteran, adalah

pelanggaran terhadap kewajiban-kewajiban hukum administrasi

kedokteran. Kewajiban administrasi kedokteran terdiri dari 2 (dua) hal

yakni:

a. Kewajiban administrasi yang berhubungan dengan kewenangan

sebelum dokter berbuat;

b. Kewajiban administrasi pada saat dokter sedang melakukan

pelayanan medis. (Adami Chazawi, 2007:131-133).

Pelanggaran terhadap kewajiban administrasi dapat menjadi

malpraktek medis. Dua macam pelanggaran administrasi tersebut yaitu:

a. Pelanggaran hukum administrasi tentang kewenangan praktik

kedokteran (dokter atau dokter gigi);

b. Pelanggaran administrasi mengenai pelayanan medis.

Page 93: TINJAUAN YURIDIS MALPRAKTEK MEDIS DALAM SISTEM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

b. Pelanggaran Hukum Administrasi Tentang Kewenangan

Lahirnya UU No 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran

mengatur mengenai tata laksana praktik dokter di Indonesia. Ada

beberapa syarat yang harus dipenuhi seorang dokter, agar berwenang

menjalankan praktik kedokteran, tidak hanya keahlian yang diperoleh

dari pendidikan dokter. Syarat administrasi tersebut antara lain:

1. Memiliki Surat Tanda Registrasi (STR) dokter atau dokter gigi

yang diterbitkan oleh Konsil Kedokteran Indonesia yang berlaku 5

tahun dan setiap 5 (lima) tahun di registrasi ulang (Pasal 29);

2. Dokter lulusan Luar Negeri yang praktik di Indonesia harus lulus

evaluasi. Bagi dokter asing selain lulus evaluasi harus memiliki izin

kerja di Indonesia. Setelah memenuhi syarat lainnya, baru dokter

asing dapat diberikan Surat Tanda Registrasi (STR) (Pasal 30);

3. Memiliki Surat Izin Praktik (SIP) yang dikeluarkan oleh pejabat

kesehatan yang berwenang di kabupaten atau kota tempat praktik

(Pasal 36 jo 37).

Untuk dokter spesialis, ada Peraturan Menteri Kesehatan No.

561/Menkes/Per/X/1981 tentang Pemberian Izin Menjalankan

pekerjaan dan izin Praktik bagi Dokter Spesialis. Tiga macam surat izin

Praktik dokter:

a. Surat izin dokter (SID) adalah izin yang dikeluarkan bagi dokter

spesialis yang menjalankan pekerjaan sesuai bidang profesinya di

wilayah NKRI.

b. Surat izin praktik (SIP) adalah izin yang dikeluarkan bagi dokter

spesialis yang menjalankan pekerjaan sesuai dengan bidang

profesinya sebagai swasta perorangan di samping tugas/fungsi lain

pada pemerintah atau unit pelayanan kesehatan swasta.

c. Surat izin praktik (SIP) perorangan semata-mata adalah izin yang

dikeluarkan bagi dokter spesialis yang menjalankan pekerjaan

sesuai dengan profesinya sebagai swasta perseorangan semata-mata

tanpa tugas pada pemerintah atau unit pelayanan kesehatan swasta.

Page 94: TINJAUAN YURIDIS MALPRAKTEK MEDIS DALAM SISTEM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

Masing-masing surat izin dokter dan surat izin praktik berlaku

5 (lima) tahun dan dapat diperbaharui dengan mengajukan

permohonan kembali. Dengan dipenuhinya syarat administrasi dokter

berwenang melakukan pelayanan medis karena dimilikinya SIP, SID,

STR.

c. Pelanggaran Hukum Administrasi Tentang Pelayanan Medis

Ada sebagian kewajiban hukum administrasi kedokteran

berhubungan dengan pelayanan medis yang harus dipenuhi.

Pelanggaran kewajiban hukum administrasi dapat menjadi malpraktek

medis bila menimbulkan kerugian kesehatan atau kematian pasien.

Pasal 51 menetapkan ada lima kewajiban dokter atau dokter gigi dalam

menjalankan praktik kedokteran:

a. Kewajiban memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar

profesi dan standar prosedur operasional serta kebutuhan medis

pasien;

b. Kewajiban merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi lain yang

mempunyai keahlian atau kemampuan yang lebih baik, apabila

tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan;

c. Kewajiban merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang

pasien, bahkan setelah pasien itu meninggal dunia;

d. Kewajiban melakukan pertolongan darurat atas dasar

perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain yang bertugas

dan mampu melaksanakannya; dan

e. Kewajiban menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti

perkembangan ilmu kedokteran dan kedokteran gigi.

Apabila lima kewajiban tersebut dilanggar, potensial menimbulkan

malpraktek medis.

1) Kewajiaban Pelayanan Medis Sesuai Dengan Standar Profesi,

Standar Prosedur Operasional, dan Kebutuhan Medis Pasien

Page 95: TINJAUAN YURIDIS MALPRAKTEK MEDIS DALAM SISTEM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

Kewajiban ketika melakukan pelayanan medis ada 3 (tiga) yaitu:

sesuai standar profesi; sesuai standar prosedur operasional; sesuai

dengan kebutuhan medis pasien.

Pengertian standar profesi, standar prosedur operasional tercantum

dalam Pasal 50, yaitu:

Standar Profesi adalah batasan kemampuan minimal yang harus

dikuasai oleh seorang individu untuk melakukan kegiatan

profesionalnya pada masyarakat secara mandiri yang dibuat oleh

organisasi profesi.

Standar Prosedur Operasional adalah suatu perangkat

instruksi/langkah-langkah yang dibakukan untuk menyelesaikan

suatu kerja rutin tertentu.

Pelayanan medis harus sesuai kebutuhan pasien, meliputi:

a. Kepentingan pasien harus menjadi tujuan utama dari pelayanan

medis;

b. Dokter tidak dapat dibenarkan, bila dalam hal pilihan metode

pelayanan semata-mata berdasarkan pertimbangan pada

pembayaran prestasi;

c. Langkah yang diambil dokter harus pada langkah yang

mengandung resiko paling kecil dari sekian banyak kemungkinan

resiko;

d. Langkah yang diambil dokter adalah langkah yang sudah cukup

bagi kepentingan pasien dan tidak mengambil langkah yang lebih

beresiko dengan pertimbangan yang tidak sesuai etika dan moral,

walaupun dengan harapan menguntungkan pasien. (Adami

Chazawi, 2007:139)

2) Kewajiban Merujuk Pasien ke Dokter Lain yang Mempunyai

Keahlian atau Kemampuan yang Lebih Baik

Tidak merujuk pada dokter lain yang lebih ahli melainkan

menanganinya sendiri termasuk pelanggaran kode etik kedokteran

Page 96: TINJAUAN YURIDIS MALPRAKTEK MEDIS DALAM SISTEM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

(Pasal 11). Pelanggaran kode etik berpotensi menimbulkan malpraktek

medis bila menimbulkan kerugian bagi pasien.

3) Kewajiban Merahasikan Segala Sesuatu Mengenai Pasien

(Memegang Rahasia Dokter)

Sifat khusus kedudukan dokter ialah dokter mendapatkan

kepercayaan luar biasa dari pasien dan keluarganya. Kepercayaan untuk

berbuat maksimal dan mampu menyembuhkan pasien. Kepercayaan

tersebut diwujudkan berupa jaminan bahwa segala sesuatu yang

disampaikan dokter maupun yang diketahuinya harus dirahasiakan.

Kewajiban merahasikan tercantum dalam Pasal 14 Kode Etik

Kedokteran. Rahasia adalah semua hal mengenai diri pasien, terutama

penyakitnya, diagnosis, dan terapinya.

Hak pasien untuk mendapat keterangan dari dokter mengenai

segala sesuatu mengenai penyakitnya (Pasal 52). Segala sesuatu yang

dirahasiakan oleh dokter adalah apa yang menjadi kewajiban dokter

untuk disampaikan pada pasien. Dalam Pasal 52 jo 45 Ayat (3)

Undang-Undang No 29 Tahun 2004, hak pasien adalah segala sesuatu

yang harus disampaikan dokter tentang pasien yang terdiri:

a. Diagnosis dan tata cara tindakan medis;

b. Tujuan tindakan medis yang dilakukan;

c. Alternatif tindakan lain dan risikonya;

d. Risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan

e. Prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.

4) Kewajiban Melakukan Pertolongan Darurat atas Dasar

Perikemanusiaan

Dalam keadaan darurat, Undang-Undang meletakkan kewajiban

hukum pada dokter untuk melakukan upaya pertolongan. Dalam

keadaan darurat persetujuan medis (informed consent) tidak diperlukan.

Kewajiban dokter untuk mendapatkan informed consent dapat

disimpangi terlebih dahulu.

Page 97: TINJAUAN YURIDIS MALPRAKTEK MEDIS DALAM SISTEM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

Apabila dokter tidak memberikan pertolongan dan akibat fatal

disebabkan langsung karena tidak segera mendapatkan pertolongan,

dokter atau rumah sakit dapat dibebani tanggung jawab hukum terhadap

timbulnya akibat tersebut. Jika segera diberi pertolongan maka akibat

fatal tersebut dapat dihindari. Menurut pertimbangan ilmu kedokteran,

akibat tersebut tidak akan terjadi. Tidak memberikan pertolongan sama

sekali disamakan dengan berbuat salah karena melanggar kewajiban

hukum untuk berbuat.

Dokter dibebankan kewajiban hukum untuk memberi pertolongan

medis pada pasien dalam keadaan darurat berdasarkan:

a. Dari sudut hukum pidana, merujuk Pasal 531 KUHP mewajibkan

setiap orang melakukan perbuatan menolong orang yang dalam

keadaan bahaya maut, apabila orang itu mampu menolong tanpa

membahayakan jiwanya sendiri. Dan, jika karena tidak memberikan

pertolongan menyebabkan orang yang membutuhkan pertolongan

itu benar-benar meninggal maka orang yang melalaikan kewajiban

hukum telah bersalah dan dapat dipidana.

b. Dari sudut moral-etika. Dokter adalah orang yang diberi kelebihan

oleh Tuhan berupa ilmu yang tinggi (kedokteran) serta kemampuan

melakukan penyembuhan penyakit atau pengobatan yang tidak

dimiliki oleh kebanyakan orang.

Saat kewajiban hukum disandang dokter, dimanapun berada ada

dua kemungkinan:

a. Pertama, berdasar hukum pidana (Pasal 531 KUHP) kewajiban

hukum itu mengikuti orangnya.

b. Kedua, berdasar Pasal 51 huruf d berbunyi “kecuali ia yakin ada

orang lain yang bertugas dan mampu melakukannya” dapat

ditafsirkan dokter tersebut harus dalam keadaan bertugas. Frasa

“ada orang lain” kurang pas, seharusnya adalah orang sebagai

dokter. (Adami Chazawi, 2007: 144-145)

Page 98: TINJAUAN YURIDIS MALPRAKTEK MEDIS DALAM SISTEM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

5) Kewajiban Menambah Ilmu Pengetahuan dan Mengikuti

Perkembangan Ilmu Kedokteran

Dokter dapat melakukan kesalahan praktik karena kurangnya

pengetahuan disamping ceroboh atau kurang teliti maupun kurang hati-

hati. Terjebaknya dokter ke dalam masalah malpraktek medis bisa

terjadi karena dokter kurang pengetahuan, kurang pemahaman, dan

pengalaman.

6) Kewajiban Memberikan Penjelasan pada Pasien Sebelum

Melakukan Tindakan Medis

Kewajiban hukum untuk memberi penjelasan secara lengkap

terhadap pasien sebelum ia memberikan persetujuan terapi terhadap

dirinya (Pasal 45 ayat 1 Undang-Undang No 29 Tahun 2004 tentang

Praktik Kedokteran). Kewajiban tersebut timbul karena hak pasien yang

tidak dapat diganggu gugat yakni hak menentukan diri sendiri, hak

untuk menentukan apa yang boleh diperbuat dan tidak boleh terhadap

dirinya.

Dokter tidak sedikit pun mempunyai hak untuk menyentuh tubuh

pasien tanpa mendapat persetujuan terlebih dahulu. Dokter yang

melakukan tindakan medis terhadap pasien sebelum memberikan

penjelasan secara lengkap mengenai segala hal, telah membuka jalan

malpraktek medis. Berujung pada malpraktek medis atau tidak

bergantung pada tindakan medis dokter membawa akibat fatal atau

tidak bagi pasien.

4. Tanggung Jawab Hukum Pemberi Pelayanan Kesehatan Terhadap

Dugaan Kasus Malpraktek Medis

Menurut hukum, setiap pertanggungjawaban harus mempunyai

dasar, yaitu hal yang menyebabkan timbulnya hak hukum seseorang untuk

menuntut orang lain sekaligus berupa hal yang melahirkan kewajiban

hukum orang lain itu untuk memberi pertanggungjawabannya.

Page 99: TINJAUAN YURIDIS MALPRAKTEK MEDIS DALAM SISTEM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

Dalam hukum perdata dasar pertanggungjawaban ada dua macam

yaitu kesalahan dan tanggungjawab. Dikenal pertanggungjawaban atas

dasar kesalahan (liability based on fault) dan pertanggungjawaban tanpa

kesalahan (liability based without fault) yang dikenal dengan

pertanggungjwaban tanpa resiko (risk liability) atau tanggung jawab

mutlak (strict liability).

Prinsip dasar pertanggungjawaban atas dasar kesalahan

mengandung arti seseorang harus bertanggungjawab karena ia telah

bersalah melakukan sesuatu yang merugikan orang lain. Sebaliknya

dengan prinsip pertanggungjwaban risiko adalah sebagai dasar

pertanggungjawaban, maka konsumen tidak diwajibkan lagi membuktikan

kesalahan produsen sebab menurut prinsip ini dasar pertanggungjawaban

bukan lagi kesalahan melainkan produsen langsung bertanggungjawab

sebagai risiko usahanya.

Tanggung jawab hukum pemberi pelayanan kesehatan dalam hal

ada dugaan malpraktek medis menimbulkan tanggung jawab hukum.

Yakni, pertanggungjawaban hukum dokter, pertanggungjawaban perdata

dalam pelayanan kesehatan, pertanggungjawaban pidana dalam pelayanan

kesehatan, pertanggungjawaban administrasi dalam pelayanan kesehatan,

pertanggungjawaban hukum rumah sakit, dan pertanggungjawaban

hukum dan etik dalam pelayanan kesehatan. (Titik Triwulan Tutik,

2010:49)

a. Pertanggungjawaban Hukum Dokter

Pertanggungjawaban karena kesalahan, yaitu merupakan bentuk

klasik pertanggungjawaban yang didasarkan atas tiga prinsip, yaitu:

a. Setiap tindakan yang mengakibatkan kerugian atas diri orang lain,

menyebabkan orang yang melakukannya harus membayar

kompensasi sebagai pertanggungjawaban kerugian;

b. Seseorang harus bertanggungjawab tidak hanya karena kerugian

yang dilakukannya dengan sengaja tetapi juga dengan kelalaian

dan kurang hati-hati; dan

Page 100: TINJAUAN YURIDIS MALPRAKTEK MEDIS DALAM SISTEM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

c. Seseorang harus memberikan pertanggungjawaban tidak hanya

atas kerugian yang dilakukannya sendiri, tetapi juga karena

tindakan orang lain yang berada di bawah pengawasannya.

Pertanggungjawaban karena resiko, sebagai pertanggungjawaban

dihubungkan dengan produk tertentu, misalnya; obat, peralatan medis,

atau alat-alat lainnya.

Pertanggungjawaban seorang dokter yang diduga melakukan

malpraktek atau kelalaian medis maka langkah pertama yang

dilakukan adalah dokter diperiksa dan diputuskan oleh Majelis

Kehormatan Etika Kedokteran (MKEK), dengan memberi sanksi

antara lain sebagai berikut:

a. Sanksi yang diberikan tergantung dari berat ringannya kesalahan

yang dilakukan;

b. Sanksi tersebut dapat berupa:

1) Peringatan lisan

2) Peringatan tertulis

3) Pemecatan sementara sebagai anggota IDI yang diikuti dengan

mengajukan secara tertulis kepada kepala dinas kesehatan

kabupaten/kotamadya untuk mencabut ijin praktek selama:

a) 3 (tiga) bulan untuk pelanggaran ringan

b) 6 (enam) bulan untuk pelanggaran sedang

c) 12 (dua belas) bulan untuk pelanggaran berat

c. Dilakukan pemecatan tetap apabila 3 (tiga) kali peringatan lisan,

yang dilanjutkan 3 (tiga) kali peringatan tertulis yang

disampaikan kepada dokter yang bersangkutan tidak ada

perbaikan. (Agus Irianto, 2006: 34-35)

b. Pertanggungjawaban Perdata dalam Pelayanan Kesehatan

Transaksi terapeutik antara dokter dan pasien adalah sederajat,

dengan demikian hukum menempatkan keduanya memiliki tanggung

gugat hukum. Gugatan pasien terhadap dokter untuk meminta

Page 101: TINJAUAN YURIDIS MALPRAKTEK MEDIS DALAM SISTEM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

pertanggungjawaban dokter bersumber dari dua dasar hukum, yaitu:

wanprestasi dan perbuatan melanggar hukum (onrechmatigedaad).

Wanprestasi dalam pelayanan medis timbul karena tindakan

seorang dokter berupa pemberian jasa perawatan yang tidak patut

sesuai dengan apa yang diperjanjikan. Perawatan yang tidak patut

dapat berupa tindakan kekurang hati-hatian, atau akibat kelalaian dari

dokter yang bersangkutan sehingga menyalahi tujuan terapeutik.

Wanprestasi dalam pelayanan medis terjadi, bila memenuhi unsur:

1. Hubungan dokter dengan pasien terjadi berdasarkan kontrak

terapeutik;

2. Dokter telah memberikan pelayanan kesehatan yang tidak

patut yang menyalahi tujuan kontrak terapeutik;

3. Pasien menderita kerugian akibat tindakan dokter yang

bersangkutan.

Dasar hukum kedua untuk melakukan gugatan adalah perbuatan

melawan hukum. Jika terdapat fakta-fakta yang berwujud suatu

perbuatan melawan hukum, walaupun di antara pihak-pihak tidak

terdapat suatu perjanjian. Untuk mengajukan gugatan harus dipenuhi 4

(empat) syarat sebagaimana diatur dalam pasal 1365 KUHPerdata:

1. Pasien harus mengalami kerugian;

2. Ada kesalahan;

3. Ada hubungan kausal anatara kesalahan dengan kerugian; dan

4. Perbuatan itu melawan hukum.

Ciri khas gugatan berdasarkan perbuatan melawan hukum dapat

dilihat dari model pertanggungjawaban yang diterapkan yaitu:

pertanggungjawaban karena kesalahan (fault liability) yang bertumpu

pada ketiga unsur yang diatur dalam Pasal 1365, 1366, dan 1367

KUHPerdata:

1. Setiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian

kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya

menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut;

Page 102: TINJAUAN YURIDIS MALPRAKTEK MEDIS DALAM SISTEM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

2. Setiap orang bertanggung jawab tidak saja untuk kerugian

yang disebabkan karena perbuatannya, tetapi juga kerugian

yang disebabkan karena kelalaian atau kekurang hati-

hatiannya;

3. Setiap orang tidak saja bertanggung jawab untuk kerugian

yang disebabkan karena perbuatannya sendiri, tetapi juga

kerugian yang disebabkan karena perbuatan orang-orang yang

berbeda di bawah tanggung jawabnya atau disebabkan oleh

barang-barang yang berada di bawah pengawasannya. (Bahder

Johan Nasution, 2005:67).

Kesalahan berdasarkan perbuatan melanggar hukum melahirkan

pertanggung jawaban hukum, baik perbuatannya sendiri maupun

terhadap perbuatan orang yang berada di bawah tanggung jawab dan

pengawasannya. Dalam pelayanan kesehatan seorang dokter tidak

selamanya melakukan perawatan secara mandiri, sebagian besar

menggunakan jasa tenaga kesehatan lainnya seperti paramedis untuk

membantu tugas-tugas perawatan pasien.

Kriteria perbuatan melawan hukum:

1. Perbuatan itu bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku;

2. Perbuatan itu melanggar hak orang lain;

3. Perbuatan itu melanggar kaidah tata susila; dan

4. Perbuatan itu bertentangan dengan asas kepatutan, ketelitian

serta sikap hati-hati.

Dalam pelayanan kesehatan, bila pasien atau keluarganya

menganggap bahwa dokter telah melakukan perbuatan melawan

hukum, pasien atau keluarganya dapat mengajukan tuntutan ganti rugi

dengan ketentuan Pasal 55 Undang-Undang No 23 Tahun 1992

Tentang Kesehatan.

c. Pertanggungjawaban Pidana dalam Pelayanan Kesehatan

Hukum pidana menganut asas “Tiada pidana tanpa kesalahan”.

Pasal 2 KUHP disebutkan “ketentuan pidana dalam perundang-

Page 103: TINJAUAN YURIDIS MALPRAKTEK MEDIS DALAM SISTEM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

undangan Indonesia diterapkan bagi setiap orang yang melakukan

suatu delik di Indonesia”. Menentukan bahwa setiap orang yang

berada dalam wilayah hukum Indonesia, dapat dimintakan

pertanggungjawaban pidana atas kesalahan yang dibuatnya.

Hukum pidana mengenal adanya alasan penghapus pidana dalam

pelayanan kesehatan, yaitu: alasan pembenar dan alasan pemaaf.

Namun tidak serta merta alasan pemenar dan pemaaf tersebut

menghapuskan suatu tindak pidana bagi profesi dokter. Persetujuan

(informed consent) sebagai peniadaan pidana. Tidak berarti bahwa

bagi profesi dokter dibebaskan dari segala tanggung jawab pidana,

sebab alasan pembenar dan pemaaf bagi tindakan dokter, hanya

terdapat pengecualian tertentu seperti dalam Pasal 15 Undang-Undang

No 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan. Tenaga kesehatan dibenarkan

melakukan abortus berdasarkan indikasi medis untuk menyelamatkan

ibu hamil.

Alasan penghapus pidana bagi tindakan yang dilakukan oleh

dokter, yaitu alasan penghapus pidana yang berada di luar undang-

undang. Bagi setiap dokter yang melakukan perawatan, jika terjadi

penyimpangan terhadap suatu kaidah pidana, sepanjang doker yang

bersangkutan melakukannya dengan memenuhi standar profesi dan

standar kehati-hatian, dokter tersebut masih tetap dianggap telah

melakukan peristiwa pidana, hanya saja kepadaanya tidak dikenakan

suatu tindak pidana.

Seorang dokter dalam melakukan perawatan hampir selalu

menghadapi resiko. Menurut J Guwandi (1989:15), risiko yang

dihadapi doker dalam melakukan perawatan dapat digolongkan

menjadi tiga macam, yaitu: kecelakaan (accident), tindakan medis

(risk of treatment), salah penilaian (error of judgement). (Bahder

Johan Nasution, 2005:78)

Risiko kecelakaan dalam perawatan terjadi, apabila seorang dokter

yang telah berbuat dengan kesungguhan dan kehati-hatian namun

Page 104: TINJAUAN YURIDIS MALPRAKTEK MEDIS DALAM SISTEM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

karena sulitnya tindakan perawatan yang dilakukannya risiko tidak

bisa dihindarkan. Risiko yang kedua bersumber dari tindakan medis,

yaitu suatu bentuk risiko perawatan yang terjadi sebagai akibat

sampingan diagnosis dan terapi yang dilakukan terhadap pasien.

Risiko yang ketiga yaitu risiko karena kesalahan penilaian adanya

kesalahan penilaian yang dilakukan oleh dokter.

Hak dan kewajiban kedua belah pihak yang terikat dalam transaksi

terapeutik, yaitu pasien dan dokter. Hak dan kewajiban tersebut

meliputi:

1) Masalah informasi yang diterima oleh pasien sebelum dia

memberikan persetujuan untuk menerima perawatan;

2) Masalah pesetujuan tindakan medis yang akan dilakukan oleh

dokter atau tenaga kesehatan;

3) Masalah kehati-hatian dokter atau tenaga kesehatan yang

melaksanakan perawatan.

Ketiga masalah pokok ini dipandang dalam kerangka hukum

kesehatan pada garis besarnya mengatur dua pokok persoalan: standar

pelayanan medis yang membicarakan kewajiban-kewajiban dokter,

standar profesi medis yang timbul karena adanya dasar kealpaan yang

berbentuk:

a) Kewajiban;

b) Pelanggaran kewajiban;

c) Penyebab;

d) Kerugian.

Seorang dokter baru dihadapkan ke pengadilan bila sudah timbul

kerugian bagi pasien. Kerugian ini timbul akibat pelanggaran

kewajiban di mana sebelumnya telah dibuat suatu persetujuan. Standar

pelayanan medis dibuat berdasarkan hak dan kewajiban dokter, baik

yang diatur kode etik maupun yang diatur perundang-undangan.

Dengan diundangkannya Undang-Undang No. 23 Tahun 1992

Tentang Kesehatan, ancaman pidana terhadap kesalahan atau kelalaian

Page 105: TINJAUAN YURIDIS MALPRAKTEK MEDIS DALAM SISTEM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

yang dilakukan oleh dokter yang mengakibatkan pasien menderita

cacat atau luka-luka, tidak lagi semata-mata mengacu pada ketentuan

Pasal 359, 360, dan 361 KUHP, karena dalam Undang-Undang

kesehatan telah dirumuskan ancaman pidananya. Ancaman tersebut

dimuat dalam pasal 82 Undang-Undang No 23 Tahun 1992 tentang

kesehatan pada ayat (1) huruf (a) disebutkan “barang siapa yang tanpa

keahlian dan kewenangan dengan sengaja melakukan pengobatan atau

perawatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (4) “dipidana

dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan atau pidana denda

paling banyak seratus juta rupiah”

d. Pertanggungjawaban Hukum Administrasi dalam Pelayanan

Kesehatan

Aspek hukum administrasi dimulai dari sudut kewenangan, yaitu:

apakah dokter yang bersangkutan berwenang atau tidak melakukan

perawatan. Untuk melakukan pekerjaan sebagai dokter diperlukan

berbagai persyaratan, salah satu persyaratan yang paling penting

adalah adanya izin Menteri Kesehatan RI.

Untuk dapat menjalankan pekerjaan sebagai dokter, dikenal tiga

jenis surat izin sesuai dengan Permenkes RI No. 560 dan

561/Menkes/Per/1981, yaitu sebagai berikut:

a. Surat Izin Dokter (SID) merupakan izin yang dikeluarkan bagi

dokter yang menjalankan pekerjaan sesuai dengan bidang

profesinya di wilayah Negara RI;

b. Surat Izin Praktik (SIP), yaitu izin yang dikeluarkan bagi

dokter yang menjalankan pekerjaan sesuai bidang profesinya

sebagai swasta perseorangan di samping tugas/fungsi lain pada

pemerintahan atau unit pelayanan kesehatan swasta;

c. Surat Izin Praktik (SIP) semata-mata, yaitu izin yang

dikeluarkan bagi dokter yang menjalankan pekerjaan sesuai

dengan profesinya swasta perseorangan semata-mata, tanpa

tugas pada pemerintah atau unit pelayanan kesehatan.

Page 106: TINJAUAN YURIDIS MALPRAKTEK MEDIS DALAM SISTEM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

Dengan adanya izin tersebut, barulah seorang dokter berwenang

melakukan tugas sebagai pelayan kesehatan, baik pada instansi

pemerintah maupun instansi swasta atau melakukan praktik

perseorangan.

Dari status kepegawaiannya, profesi kesehatan dapat dibagi

menjadi dua: pertama yang bekerja pada Pemerintah atau PNS dan

anggota TNI/POLRI; kedua yang berstatus sebagai tenaga swasta

yang terdiri dari: Pensiunan PNS/TNI POLRI, dokter yang telah

menyelesaikan wajib kerja sarjana dan para pegawai tidak tetap pada

Departemen Kesehatan. Bagi golongan pertama, dokter yang

bersangkutan tunduk pada UU Kepegawaian. Bagi golongan kedua,

mereka tunduk pada ketentuan yang berlaku di luar ketentuan-

ketentuan yang mengatur tentang PNS.

Kesalahan seorang dokter dalam perawatan yang menimbulkan

kerugian bagi pasien mengandung pertanggungjawaban di bidang

hukum administrasi. Terdapat dalam ketentuan Pasal 54 ayat (1) UU

No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, yang berbunyi “terhadap

tenaga kesehatan yang melakukan kesalahan dan atau kelalaian dalam

melaksanakan profesinya dapat dikenankan tindakan disiplin”.

Tindakan disiplin adalah salah satu bentuk tindakan administratif,

misalnya pencabutan izin untuk jangka waktu tertentu atau hukuman

lain sesuai dengan kesalahan yang dilakukannya.

Tujuan hukuman disiplin yang dijatuhkan tehadap tenaga kesehatan

yang melakukan kesalahan, adalah untuk memperbaiki dan mendidik

tenaga kesehatan yang bersangkutan. Jika hukuman disiplin dalam

bidang pelayanan kesehatan diterapkan bagi tenaga kesehatan, maka

akan timbul rasa tanggung jawab yang mendalam dan mendorong

mereka untuk melakukan kewajiban profesi dan mematuhi ketentuan-

ketentuan hukuman yang telah digariskan.

e. Pertanggungjawaban Rumah Sakit

Page 107: TINJAUAN YURIDIS MALPRAKTEK MEDIS DALAM SISTEM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

Hampir kebanyakan tuntutan terhadap malpraktek medis terjadinya

di rumah sakit. Jika ada tuntutan malpraktek medis, rumah sakit pun

pasti akan ikut bertanggungjawab. Bila di rumah sakit pemerintah ada

tuntutan dugaan malpraktek medis, maka yang bertanggungjawab

adalah pemerintah itu sendiri. Jika rumah sakit swasta yang

bertanggungjawab adalah badan hukumnya sebagai pemilik (Yayasan,

Perseroan Terbatas, Perkumpulan, dan lain-lain).

Jika dilihat dari segi hukum, tanggung jawab rumah sakit baik

dimiliki pemerintah ataupun swasta tanggungjawabnya sama yakni

dapat dituntut dan dimintakan ganti rugi apabila terbuktikan adanya

kelalaian, baik dari pihak dokter, perawat, bidan ataupun adanya

kelalaian di bidang manajemen rumah sakit.

Salah satu prinsip organisasi, yaitu prinsip “authority”

menentukan bahwa dalam setiap organisasi apa pun, termasuk juga

organisasi rumah sakit harus ada pucuk pimpinan tertinggi yang

memikul tanggung jawab. Tanggung jawab yuridis dari sebuah rumah

sakit mencakup, (J. Guwandi, 2006:83-88):

1) Tanggungjawab terhadap Personalia

Berdasar prinsip Vicarious Liability, tanggung jawab rumah

sakit terhadap pasien:

a) memilih tenaga dokter yang kompeten dan berkualifikasi;

b) memerikan perintah dan melakukan pengawasan;

c) menyediakan fasilitas dan peralatan yang baik;

d) menentukan sistem yang dibutuhkan untuk keamanan

jalannya rumah sakit.

2) Tanggungjawab terhadap mutu perawatan/Pengobatan (Duty of

Due care)

Tanggungjawab ini termasuk pemberian pelayanan kesehatan,

baik oleh dokter, perawat dan tenaga kesehatan lainnya, harus

berdasarkan ukuran standar profesi.

3) Tanggungjawab terhadap sarana dan peralatan

Page 108: TINJAUAN YURIDIS MALPRAKTEK MEDIS DALAM SISTEM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

Tanggungjawab termasuk peralatan dasar perumahsakitan,

peralatan medik, dan lain-lain. Yang dipentingkan adalah

peralatan tersebut setiap saat harus berada dalam keadaan siap

pakai.

4) Tanggungjawab terhadap keamanan bangunan dan

perawatannya

Misal bangunan yang roboh, genting jatuh sampai mencederai

orang, lantai yang licin sampai ada pengunjung/pasien yang

jatuh dan terjadi fraktur, pasien jatuh dari tingkat atas.

5) Tanggungjawab yuridis dokter-dokter di rumah sakit,

Harus dibedakan antara tiga golongan:

(1) Dokter purna waktu (Organik) yang dapat dibedakan antara:

(a) Pasien rumah sakit

(b) Pasien pribadi dokter

(2) Dokter paruh waktu

(3) Dokter tamu

(1) Dokter Organik:

(a) Pasien rumah sakit

Kelompok dokter organik adalah para dokter yang hanya

menerima imbalan dari rumah sakit dan tidak memungut

honor langsung dari pasien. Mereka bekerja dan

bertindak untuk dan atas nama Rumah sakit.

Prinsip Vicarious Liability yang bertanggungjawab

secara hukum dan harus mengganti kerugian adalah

rumah sakit dimana dokter itu bekerja. Jika tuntutannya

pidana, maka yang bertanggungjawab adalah dokter itu

sendiri, karena tanggungjawab pidana bersifat pribadi.

(b) Pasien Pribadi Dokter

Dokter dalam kelompok ini bisa membuka praktek

sendiri. Jika pasien menuntut ganti rugi, maka yang

Page 109: TINJAUAN YURIDIS MALPRAKTEK MEDIS DALAM SISTEM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

bertanggungjawab adalah dokter organik itu sendiri.

Karena ialah yang menerima honor langsung dari pasien.

(2) Dokter Paruh waktu (Part Time)

Di rumah sakit swasta yang merupakan dokter paruh waktu

adalah: dokter spesialis bedah, dokter spesialis anastesi,

dokter obgin, radiolog dan dokter patologi klinik. Dalam

hukum medik terdapat suatu doktrin yang dinamakan

Captain of the Ship doctrine bertanggung jawab terhadap

segala sesuatu yang terjadi selama operasi yang dilakukan

itu berlangsung. Termasuk juga kelalaian tenaga

perawatnya yang juga harus ditanggung secara perdata oleh

dokter tersebut.

(3) Dokter Tamu (Visiting)

Dokter tamu adalah para dokter yang tidak terikat kepada

rumah sakitnya, namun sudah diterima dan diperbolehkan

untuk memakai fasilitas rumah sakit untuk jangka waktu

tertentu. Dokter tamu bisa dari berbagai spesialisasi; bedah,

jantung, anestesi, penyakit dalam, obgin, anak, dan lain-

lain.

Pertanggungjwaban hukum rumah sakit dalam hal badan hukum

yang memilikinya bisa dituntut atas kerugian yang terjadi, bisa secara:

1. Langsung sebagai pihak, pada suatu perjanjian bila ada

wanprestasi;

2. Tidak langsung sebagai majikan bila karyawannya dalam

pengertian peraturan perundang-undangan melakukan perbuatan

melanggar hukum. (Titik Triwulan Tutik, 2010:52)

f. Pertanggungjawaban Hukum dan Etik dalam Pelayanan

Kesehatan

Penilaian mengenai sejauh mana tindakan dokter jika terjadi

kesalahan atau kelalaian dalam perawatan atau pelayanan kesehatan

dapat dilihat dari dua sisi, pertama dinilai dari sudut etik dan dari

Page 110: TINJAUAN YURIDIS MALPRAKTEK MEDIS DALAM SISTEM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

sudut hukum. Dari segi etika profesi, dengan memilih profesi di

bidang kesehatan sudah disyaratkan adanya kecermatan yang tinggi

termasuk berbagai ketentuan yang berlaku bagi dokter. Dengan tidak

mematuhi peraturan itu saja sudah dianggap telah berbuat kesalahan.

Dilihat dari sudut hukum, kesalahan yang diperbuat dokter

meliputi beberapa aspek hukum, yaitu aspek hukum perdata, pidana

dan administrasi. Ketiga aspek ini saling berkaitan satu sama lain.

Untuk dapat menyatakan dokter melakukan suatu kesalahan,

penilaiannya harus beranjak dari transaksi terapeutik, kemudian diihat

dari sudut hukum administrasi, apakah dokter yang bersangkutan

mampu dan berwenang melaksanakan perawatan. Dari sudut hukum

pidana dilihat apakah seorang dokter melakukan kesengajaan dan atau

kelalaian dalam melaksanakan tugasnya sehingga menimbulkan

kerugian bagi orang yang dirawatnya, dan perbuatan itu telah diatur

terlebih dahulu dalam hukum pidana.

Secara yuridis kesalahan yang dilakukan oleh seorang dokter

mempunyai implikasi yang luas dan bersifat multidisipliner. Karena

kode etik dalam kehidupan hukum sangat memegang peranan,

menunjukkan bahwa kode etik membawa peranan yang positif bagi

perkembangan hukum. Misalnya, tindakan seorang dokter yang

mengeluarkan “surat keterangan dokter” untuk kepentingan

persidangan, “visum dokter” yang menerangkan keadaan korban.

(Bahder Johan Nasution, 2005:61-63).

Page 111: TINJAUAN YURIDIS MALPRAKTEK MEDIS DALAM SISTEM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

BAB IV

PENUTUP

A. SIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian yang penulis lakukan maka dapat ditarik

kesimpulan sebagai berikut:

1. a. Sampai saat ini di Indonesia belum memiliki Undang-Undang yang

secara implisit mengatur mengenai malpraktek medis, yang ada

pengaturan mengenai kesalahan dokter yang menyebabkan larangan

dan bentuk perbuatan dokter yang dapat dijatuhi sanksi pidana,

perdata dan administrasi karena menimbulkan kerugian bagi pasien.

Page 112: TINJAUAN YURIDIS MALPRAKTEK MEDIS DALAM SISTEM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

Menyebabkan tenaga kesehatan maupun penerima jasa kesehatan

tidak mengetahui kriteria jelas terjadinya malpraktek medis sehingga

bila terjadi kerugian kedua belah pihak tidak mendapat perlindungan

hukum.

b. Dari sistem hukum Indonesia diatas, tidak semua sistem hukum

Indonesia berkaitan dengan malpraktek medis. Hanya beberapa

sistem hukum yang mengaturnya, yaitu Hukum Perdata yang

tercantum dalam KUHPerdata, Hukum Pidana tercantum dalam

KUHP dan Hukum Administrasi. Ditinjau dari hierarki sistem hukum

Indonesia tidak semuanya berkaitan dengan malpraktek medis. Dalam

Undang-Undang Dasar 1945 tidak ada mengenai malpraktek medis.

Sedangkan Undang-Undang yang ada, tidak mengatur secara tegas

dan jelas tetapi beberapa menggambarkan kesalahan dokter yang

menimbulkan kerugian bagi pasien, antara lain : UU No 23 Tahun

1992, UU No 29 Tahun 2004, UU No 36 Tahun 2009, UU No 44

Tahun 2009. UUPK memberikan upaya hukum bagi pasien yang

menjadi korban malpraktek medis dapat menuntut upaya hukum

untuk memperoleh keadilan. Peraturan yang tidak masuk dalam

hierarki sistem hukum Indonesia tetapi berkaitan dengan malpraktek

medis antara lain: Peraturan Menteri Nomor 585/Menkes/Per/IX/1989

tentang Persetujuan Tindakan Medik, Peraturan Menteri Kesehatan

Republik Indonesia Nomor 512/Menkes/Per/IV/2007 tentang Izin

Praktik dan Pelaksanaan Praktik Kedokteran, Peraturan Menteri

Kesehatan Republik Indonesia Nomor 269/Menkes/Per/III/2008

tentang Rekam Medis.

c. Belum adanya pengaturan secara khusus tentang malpraktek medis

sampai saat ini, maka sistem hukum yang dapat digunakan untuk

menjerat dugaan malpraktek medis yaitu Undang-Undang Nomor 8

Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Dengan mendasarkan

pada pasien selaku konsumen dan dokter, rumah sakit selaku

penyedia jasa kesehatan atau produsen. Bila produsen melakukan

Page 113: TINJAUAN YURIDIS MALPRAKTEK MEDIS DALAM SISTEM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

pelanggaran terhadap hak pasien maka dapat dilakukan tuntutan ganti

rugi kepada produsen yang telah menimbulkan kerugian konsumen.

d. Dari Undang-Undang diatas terdapat Undang-Undang yang sudah

tidak berlaku lagi yakni, Undang-Undang No 23 Tahun 1992 tentang

Kesehatan. Hal tersebut berdasarkan Pasal 85 Undang-Undang

Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran yang memberikan

rumusan:

“ Dengan disahkannya Undang-Undang ini maka Pasal 54 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan yang berkaitan dengan dokter dan dokter gigi dinyatakan tidak berlaku lagi” Dan lahirnya Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang

Kesehatan, dalam Pasal 204 berbunyi:

“Pada saat Undang-Undang ini berlaku, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 100, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3495) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

2. Secara yuridis, kasus malpraktek medis di Indonesia dapat diselesaikan

dengan bersandar pada pengaturan-pengaturan:

a. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

b. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

c. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan;

d. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan

Konsumen;

e. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran;

f. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan;

g. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit;

h. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

585/Menkes/Per/IX/1989 Tentang Persetujuan Tindakan Medik;

i. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

269/Menkes/Per/III/2008 tentang Rekam Medis;

Page 114: TINJAUAN YURIDIS MALPRAKTEK MEDIS DALAM SISTEM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

j. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

512/Menkes/Per/IV/2007 Tentang Izin Praktik dan Pelaksanaan

Praktik Kedokteran.

B. SARAN

1. Belum adanya hukum dan kajian hukum khusus tentang malpraktek medis

yang dapat dijadikan pedoman dalam menentukan adanya malpraktek

medis, maka perlu disusun peraturan perundang-undangan tentang

malpraktek medis yang jelas, tertata secara sitematis, tersusun

komprehensif dan aplikatif tentang malpraktek medis guna menjamin

terciptanya tertib hukum di Indonesia, yang didalamnya mencakup mulai

dari ketentuan umum malpraktek medis, kriteria, hingga sanksi yang

diterapkan bila terjadi malpraktek medis.

2. Minimnya pengetahuan masyarakat akan kesehatan, dan kepercayaan

masyarakat yang tinggi terhadap dokter menyebabkan masyarakat awam

belum memahami perbuatan-perbuatan dan kesalahan dokter yang dapat

dilaporkan sebagai dugaan malpraktek medis, sehingga masyarakat perlu

mendapat sosialisasi dan pemberitahuan mengenai hak-hak dan kewajiban

baik yang dilakukan oleh dokter maupun rumah sakit serta perlunya

mendapat pendampingan hukum bila terhadap malpraktek medis yang

menimbulkan kerugian pasien.

3. Adanya pembenahan terhadap pola hubungan antar stakeholders (dokter,

perawat, bidan, rumah sakit, klinik, pasien) yang ada sehingga kejadian

malpraktek medis bisa dicegah atau diminimalisir. Pencegahan yang

diberikan berupa adanya lembaga independen yang melakukan pembinaan

dan pengawasan antar stakeholder tersebut bila terjadi malpraktek medis.

Page 115: TINJAUAN YURIDIS MALPRAKTEK MEDIS DALAM SISTEM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

DAFTAR PUSTAKA

Adami Chazawi. 2007. Malpraktik Kedokteran. Malang: Bayumedia.

Agus Irianto. 2006. Analisis Yuridis Kebijakan Pertanggungjawaban Dokter

Dalam Malpraktik. Surakarta: Fakultas Hukum Universitas Sebelas

Maret.

Amiek Sumindriyatmi, 2007. Pengantar Hukum Indonesia. Surakarta: Fakultas

Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Anonim. Geografi Indonesia. (http://id.wikipedia.org/wiki/Geografi_Indonesia) [5

Oktober 2010 pukul 16.00].

Page 116: TINJAUAN YURIDIS MALPRAKTEK MEDIS DALAM SISTEM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

_______. (http://www.google.co.id/search?q="pengertian+sistem”) [5 Oktober

2010 pukul 16.05].

_______. (www.indosiar.com/tags/malpraktek) [5 Oktober 2010 pukul 16.23].

_______. http: //id.wikipedia.org/wiki/Hukum Indonesia . [9 Oktober 2010 pukul

19.56].

_______. Pusatmedis.com/pengertian medis_70htm). [10 Oktober 20101 pukul

12.40 WIB].

Bahder Johan Nasution. 2005. Hukum Kesehatan dan Pertanggungjawaban

Dokter. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Bryan A Garner. 2004. Black Law Dictionary Eight Edition. West: Thomson.

Danny Wiradharma. 1996. Hukum Kedokteran. Jakarta: Binarupa Aksara.

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2008. Kamus Kedokteran Indonesia.

Jakarta: Universitas Indonesia Press.

Hans Kelsen, 2007. Teori Hukum Murni Dasar Ilmu Hukum Normatif. Bandung:

Nusamedia&nuansa.

Hari Wujoso. 2008. Analisis Hukum Tindakan Medik. Surakarta: UNS Press.

J. Guwandi. 2006. Dugaan Malpraktek Medis dan Draft RPP “Perjanjian

Terapetik Antara Dokter dan Pasien”. Jakarta: Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia.

Johny Ibrahim. 2006. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Malang: Bayumedia.

Kasimin. www.bantuanhukum.info, malpraktek tenaga keperawatan. [8 Oktober

2010 pukul 20.00].

Kayus Koyowuan Lewloba. 2008. “Malpraktek Dalam Pelayanan Kesehatan

(Malpraktek Medis)”. Bina Widya. Vol. 19, No 3. Jakarta.

http://jurnal.pdii.lipi.go.id/index.php/Search.html?act=tampil&id=53789&

idc=21 [14 Maret 2011 pukul 20.00].

Lilik Purwastuti Yudaningsih. 2007. Tinajuan Yuridis Terhadap Malpraktek

Medik Dilihat Dari Aspek Hukum Pidana. Majalah Hukum Forum

Medika. Vol. 15, No 1. Jambi.

http://jurnal.pdii.lipi.go.id/index.php/Search.html?act=tampil&id=53569&

idc=21 [14 Maret 2011 pukul 20.50].

Page 117: TINJAUAN YURIDIS MALPRAKTEK MEDIS DALAM SISTEM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

M. Jusuf Hanafiah. 1999. Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan. Jakarta:

Penerbit Buku Kedokteran EGC..

Patricia M. Danzon. 1991. “Liabillity For Medical Malpractice”. Journal Of

Economic Perspectives. Vol 5, No 33. Pennsylvania.

http://hc.wharton.upenn.edu/danzon/html/CV%20pubs/1991_Danzon_Lia

bilityForMedicalMalpractice_JEconPerspectives5.3.pdf. [14 Maret 2011

pukul 19.00].

________________. 2011. “Tort Reform : The Case Of medical Malpractice”.

Oxford Review of Economic Policy Ltd and Oxford University Press. Vol.

10 No 1. Oxford. http://oxrep.oxfordjournals.org/content/10/1/84.extract. [

15 Maret 2011 Pukul 16.00].

Peter Mahmud Marzuki. 2005. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana Prenada

Media Group.

Ridwan HR. 2006. Hukum Administrasi Negara. Yogyakarta: UII Press.

R. Subekti. 1999. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Jakarta: PT Pradnya

Paramita.

Salim HS. 2003. Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak. Jakarta:

Sinar Grafika.

Satjipto Rahardjo. 2000. Ilmu Hukum. Bandung: PT Citra Aditya Bakti.

Sudikno Mertokusumo. 1999. Mengenal Hukum (Suatu Pengantar).Yogyakarta:

Liberty.

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Pusat Bahasa. 1999.

Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kedua. Jakarta: Balai Pustaka.

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Pusat Bahasa. 2005.

Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka.

Titik Triwulan Tutik. 2010. Perlindungan Hukum Bagi Pasien. Jakarta: Prestasi

Pustaka Publiser.

Y.A. Trianan Ohoiwutun. 2007. Bunga Rampai Hukum Kedokteran. Malang:

Bayumedia.

Page 118: TINJAUAN YURIDIS MALPRAKTEK MEDIS DALAM SISTEM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user