Upload
lyquynh
View
227
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
TINJAUAN PUSTAKA
Kekayaaan keanekaragaman hayati bio-farmaka memberikan potensi
pemberdayaan ekonomi kerakyatan, yang tercermin dari berkembang pesatnya
industri obat tradisional. Berbagai bentuk tanaman obat dapat digunakan sebagai
bahan baku obat-obatan. Salah satu tanaman obat yang memanfaatkan rimpang
untuk digunakan adalah temu putih.
Gambar 1. Tanaman temu putih (Curcuma zedoaria (Berg) Roscoe).
Temu putih (Curcuma zedoaria (Berg) Roscoe) berasal dari daerah
Himalaya, kemudian menyebar ke beberapa daerah di kawasan Indo-Malaya. Di
Indonesia, temu putih tumbuh subur pada ketinggian 1000 m di atas permukaan
laut yaitu di daerah Sumatera dan Jawa. Temu putih merupakan salah satu
tanaman semak yang tergolong tanaman apotik hidup, yang digunakan sebagai
bahan baku dalam industri obat-obatan, minyak atsiri dan jamu tradisional.
Klasifikasi temu putih dapat dilihat di bawah ini :
divisi : Spermatophyta
sub-divisi : Angiospermae
kelas : Monocotyledoneae
ordo : Zingiberales
famili : Zingiberaceae
genus : Curcuma
species : Curcuma zedoaria (Berg) Roscoe.
5
Menurut Syukur (2003), temu putih (Curcuma zedoaria (Berg) Roscoe)
dapat mengatasi beberapa jenis penyakit dan gangguan kesehatan antara lain
kanker dan tumor, peradangan dalam seperti maag, menurunkan kolesterol,
penurun demam dan peluruh keringat. Pemanfaatan temu putih dapat digunakan
dalam bentuk segar, simplisia, kapsul serbuk, dan kapsul ekstrak.
Menurut Depkes RI dalam SP. NO 383/12.01/1999, sejak lama temu putih
dimanfaatkan oleh masyarakat untuk terapi penyakit diare, muntah dan disentri.
Dari hasil penelitian diketahui bahwa temu putih sangat baik untuk penyakit yang
diakibatkan oleh gangguan paru-paru, diantaranya asma, TBC, dan sinusitis. Saat
ini temu putih telah banyak diolah secara modern sehingga menghasilkan rasa
enak dan bermanfaat untuk pengobatan alternatif.
Komposisi Kimia Temu Putih
Temu putih berbentuk rimpang mengandung komponen minyak atsiri,
cineole, resin, camphene, zingeberene, borneol, camhor, tepung, curcumin, dan
zedoarin. Minyak atsiri yang mudah menguap (volatil oil) merupakan komponen
pemberi aroma yang khas.
Menurut Rukmana (1994) kandungan minyak atsiri dalam temu putih
sekitar 0.85%. Komponen utama minyak atsiri temu putih yang menyebabkan
bau harum adalah zingiberene. Kadar pati pada temu putih sekitar 55.54%, kadar
serat 3.83%, dan kadar abu sekitar 5.87%. Indeks bias dan bobot jenis masing-
masing bernilai 1.49% dan 0.98%. Sedangkan warna minyak dari ekstraksi
rimpang temu putih ini berwarna putih jernih.
Perkembangan Biofarmaka
Perkembangan perdagangan biofarmaka dunia mencatat penjualan obat-
obatan tahunan dunia sekitar USD 300 milyar, dengan pertumbuhan 6% pertahun.
Total nilai pasar Eropa tahun 2002 mencapai USD 7 Milyar, dimana Jerman dan
Perancis merupakan konsumen terbesar yaitu masing-masing 37 dan 21%.
Sebagai gambaran, di Amerika Serikat sekitar 25% bahan farmasi diperoleh dari
ekstrak tumbuhan, sedangkan di Jerman sekitar 70% dokter yang berpraktrek
memberikan resep obat dari ekstrak tumbuhan kepada para pasiennya. Pada 2005
6
nilai ekspor biofarmaka Indonesia mencapai US $ 30-40 juta. Sementara itu
pangsa pasar biofarmaka dalam negeri berkisar USD 210 juta pertahun (Ditjen
Hortikultura 2006).
Susenas tahun 2001 menunjukkan bahwa penduduk yang meminum dan
memakai jamu/obat tradisional cukup tinggi, yaitu total 31.7%. Dari jumlah itu,
pengguna di lapisan ekonomi menengah ke bawah dan masyarakat pedesaan
jumlahnya jauh lebih besar yaitu 70%. Hal ini didukung oleh data omzet
penjualan industri jamu nasional yang mencapai Rp 4 triliun dari sekitar 900
pengusaha. Pelaku usaha industri biofarmaka tahun 1981 sebanyak 165 pelaku,
tumbuh menjadi 443 pelaku pada tahun 1990, dan meningkat lagi menjadi 997
pelaku pada tahun 2001. Nilai jual produk farmaka Indonesia terus meningkat,
pada tahun 1991 sebanyak Rp 95.5 miliar menjadi Rp 600 miliar pada tahun 1999,
dan total agribisnis biofarmaka diperkirakan mencapai Rp 4 triliun pada tahun
2013 (Sumarno 2004).
Pengolahan Simplisia Biofarmaka Rimpang
Dalam proses pengolahan biofarmaka rimpang (jahe, kunyit, kencur, temu-
temuan dan lain sebagainya), pengolahan bahan mentah menjadi bahan setengah
jadi harus memperhatikan kandungan senyawa yang berperan dalam
performansinya, karena berkaitan dengan mutu hasil akhir olahan. Bahan baku
biofarmaka rimpang dapat diproses menjadi berbagai produk yang sangat
bermanfaat dalam menunjang industri obat tradisional, farmasi, kosmetik dan
pangan (makanan/minuman). Ragam bentuk hasil olahannya antara lain berupa
simplisia, tepung hasil penggilingan, oleoresin, minyak atsiri dan tepung kristal
(Paramawati 2006).
Simplisia adalah bahan alamiah yang dipergunakan sebagai obat yang
belum mengalami pengolahan apapun juga kecuali pengeringan. Simplisia
dapat berupa simplisia nabati, simplisia hewani dan simplisia plikan atau mineral.
Simplisia nabati adalah simplisia berupa tanaman utuh atau bagian tanaman.
Tahapan pengolahan temu putih meliputi penyortiran, pencucian,
pengirisan, pengeringan, pengemasan dan penyimpanan. Setelah panen, rimpang
harus secepatnya dibersihkan untuk menghindari kotoran yang tidak diinginkan.
7
Gambar 2. Rimpang temu putih (Curcuma zedoaria (Berg) Roscoe).
Setelah pencucian, rimpang diangin-anginkan untuk mengeringkan air
pencucian. Pengupasan kulit rimpang merupakan tahap terpenting bila rimpang
akan dikeringkan. Pengupasan rimpang dimaksudkan untuk mempercepat proses
pengeringan dan meningkatkan kualitas karena penampakannya akan lebih baik
atau bersih. Pengupasan kulit rimpang dapat menggunakan jari atau pisau
(Syukur 2003).
Rimpang yang sudah dikupas, selanjutnya diiris. Ketebalan pengirisan
untuk temulawak dan jahe sekitar 7-8 mm, sedangkan untuk kunyit dan kencur
adalah 3-5 mm (Sembiring 2007). Ketebalan pengirisan untuk temu putih 3-5
mm. Setelah itu temu putih dikeringkan dengan energi surya atau dengan
pengering buatan/oven. Umumnya suhu pengeringan 36 ºC - 46 °C. Bila kadar air
telah mencapai sekitar 8 - 10%, yaitu bila rimpang bisa dipatahkan, pengeringan
telah dianggap cukup. Rimpang kering dapat dikemas dalam peti, karung atau
plastik yang kedap udara, dan dapat disimpan dengan aman, apabila kadar airnya
rendah.
Pengeringan
Menurut Bala (1997) penelitian pertama pada teori pengeringan dilakukan
oleh Lewis pada tahun 1921 dan Sherwood pada 1929, dimana Sherwood
mengklasifikasikan mekanisme dasar yang terjadi selama proses pengeringan
dalam tiga bagian :
7
Gambar 2. Rimpang temu putih (Curcuma zedoaria (Berg) Roscoe).
Setelah pencucian, rimpang diangin-anginkan untuk mengeringkan air
pencucian. Pengupasan kulit rimpang merupakan tahap terpenting bila rimpang
akan dikeringkan. Pengupasan rimpang dimaksudkan untuk mempercepat proses
pengeringan dan meningkatkan kualitas karena penampakannya akan lebih baik
atau bersih. Pengupasan kulit rimpang dapat menggunakan jari atau pisau
(Syukur 2003).
Rimpang yang sudah dikupas, selanjutnya diiris. Ketebalan pengirisan
untuk temulawak dan jahe sekitar 7-8 mm, sedangkan untuk kunyit dan kencur
adalah 3-5 mm (Sembiring 2007). Ketebalan pengirisan untuk temu putih 3-5
mm. Setelah itu temu putih dikeringkan dengan energi surya atau dengan
pengering buatan/oven. Umumnya suhu pengeringan 36 ºC - 46 °C. Bila kadar air
telah mencapai sekitar 8 - 10%, yaitu bila rimpang bisa dipatahkan, pengeringan
telah dianggap cukup. Rimpang kering dapat dikemas dalam peti, karung atau
plastik yang kedap udara, dan dapat disimpan dengan aman, apabila kadar airnya
rendah.
Pengeringan
Menurut Bala (1997) penelitian pertama pada teori pengeringan dilakukan
oleh Lewis pada tahun 1921 dan Sherwood pada 1929, dimana Sherwood
mengklasifikasikan mekanisme dasar yang terjadi selama proses pengeringan
dalam tiga bagian :
7
Gambar 2. Rimpang temu putih (Curcuma zedoaria (Berg) Roscoe).
Setelah pencucian, rimpang diangin-anginkan untuk mengeringkan air
pencucian. Pengupasan kulit rimpang merupakan tahap terpenting bila rimpang
akan dikeringkan. Pengupasan rimpang dimaksudkan untuk mempercepat proses
pengeringan dan meningkatkan kualitas karena penampakannya akan lebih baik
atau bersih. Pengupasan kulit rimpang dapat menggunakan jari atau pisau
(Syukur 2003).
Rimpang yang sudah dikupas, selanjutnya diiris. Ketebalan pengirisan
untuk temulawak dan jahe sekitar 7-8 mm, sedangkan untuk kunyit dan kencur
adalah 3-5 mm (Sembiring 2007). Ketebalan pengirisan untuk temu putih 3-5
mm. Setelah itu temu putih dikeringkan dengan energi surya atau dengan
pengering buatan/oven. Umumnya suhu pengeringan 36 ºC - 46 °C. Bila kadar air
telah mencapai sekitar 8 - 10%, yaitu bila rimpang bisa dipatahkan, pengeringan
telah dianggap cukup. Rimpang kering dapat dikemas dalam peti, karung atau
plastik yang kedap udara, dan dapat disimpan dengan aman, apabila kadar airnya
rendah.
Pengeringan
Menurut Bala (1997) penelitian pertama pada teori pengeringan dilakukan
oleh Lewis pada tahun 1921 dan Sherwood pada 1929, dimana Sherwood
mengklasifikasikan mekanisme dasar yang terjadi selama proses pengeringan
dalam tiga bagian :
8
1. Penguapan air pada permukaan bahan dan internal resistance dari difusi
cairan sangat kecil dibandingkan daya tahan menguapnya air dari
permukaan bahan.
2. Penguapan air pada permukaan bahan dan internal resistance dari difusi
cairan lebih besar dibandingkan daya tahan menguapnya air dari
permukaan bahan.
3. Penguapan air pada bagian dalam padatan dan internal resistance dari
difusi cairan lebih besar dibandingkan jumlah daya tahan menguapnya
keseluruhan air
Proses pengeringan menyangkut perpindahan massa uap dari bahan dan
energi panas ke bahan secara simultan Proses pengeringan merupakan proses
pengambilan atau penurunan kadar air sampai batas tertentu sehingga dapat
menghambat laju kerusakan bahan pertanian akibat aktivitas biologis dan kimia
(Henderson dan Perry (1989); Brooker et al. (1992). Mujumdar dan Devahastin
(2001) dalam Mulyantara (2008) menyebutkan bahwa pengeringan adalah operasi
yang rumit yang meliputi perpindahan panas dan massa transien serta beberapa
laju proses, seperti transformasi fisik atau kimia yang pada akhirnya dapat
menyebabkan perubahan mutu.
Pengeringan biasanya menggambarkan proses thermal dimana panas
dipindahkan dari medium fluida menjadi partikel cairan solid yang mudah
menguap. Pindah panas dapat terjadi dalam bentuk konduksi, konveksi dan
radiasi.
Pengeringan yang umum digunakan untuk bahan temu-temuan adalah
pengeringan lapisan tipis, dimana tiap permukaan bahan menerima panas dari
udara pengering. Menurut Hall (1980), pada proses pengeringan bahan pertanian
terjadi dua proses dasar yaitu pindah panas untuk menguapkan cairan bahan dan
pindah massa akibat adanya perbedaan tekanan uap. Beberapa hal yang harus
diperhatikan dalam mengontrol perpindahan kadar air dalam bahan adalah: a)
difusi antara cairan dan uap, b) gaya kapilaritas, c) gradien penyusutan dan
tekanan uap, d) gravitasi, dan e) penguapan kadar air.
Mekanisme pengeringan identik dengan teori tekanan uap. Air yang
diuapkan terdiri dari air bebas dan air terikat. Air bebas terdapat pada permukaan
9
bahan dan yang pertama-tama mengalami penguapan. Laju penguapan air bebas
sebanding dengan perbedaan tekanan uap pada permukaan air terhadap tekanan
uap pengering. Bila konsentrasi air permukaan cukup besar, maka akan terjadi
laju penguapan yang konstan.
Kandungan air dalam bahan merupakan indikator dari kualitas dan kunci
untuk proses penyimpanan (Bala 1997). Air dalam bahan terdiri dari air bebas
dan air terikat. Air bebas adalah bagian air yang terdapat pada permukaan bahan
dan mudah menguap pada proses pengeringan. Air bebas dapat digunakan oleh
mikroba untuk pertumbuhannya serta dijadikan sebagai media reaksi-reaksi kimia.
Untuk menguapkan air bebas diperlukan energi yang lebih kecil daripada
menguapkan air terikat.
Air terikat dibagi menjadi dua, yaitu air yang terikat secara fisik dan air
yang terikat secara kimiawi. Air yang terikat secara fisik merupakan bagian air
yang terdapat dalam jaringan matriks bahan karena adanya ikatan-ikatan fisik.
Apabila kandungan ini diuapkan maka pertumbuhan mikroba, reaksi pencoklatan
(browning), hidrolisis atau oksidasi lemak dapat dikurangi.
Gambar 3. Kurva pengeringan (Brooker et al. 1992)
Proses pelepasan air dan uap dari bahan ke permukaan terdiri dari beberapa
proses, yaitu pelepasan ikatan air dari bahan, difusi air dan uap air ke permukaan
bahan, perubahan fase menjadi uap, transfer uap dari permukaan bahan ke udara
10
sekitar. Semua proses terjadi karena perbedaan konsentrasi atau tekanan uap pada
bagian dalam dengan bagian luar bahan.
Sherwood (1929) dalam Bala (1997) menyebutkan bahwa pada proses
pengeringan terdapat laju pengeringan konstan (constant rate period) dan laju
pengeringan menurun (first falling rate period) dan laju pengeringan menurun
kedua (second falling rate period). Umumnya laju pengeringan konstan
merupakan periode yang singkat sehingga dapat diabaikan dalam proses
pengeringan (Henderson dan Perry 1976).
Besarnya laju pengeringan pada laju pengeringan konstan tergantung pada
(1) luas hamparan produk yang dikeringkan, (2) perbedaan kelembaban antara
udara yang mengalir dan permukaan yang masih basah, (3) koefisien pindah
massa, dan (4) kecepatan udara pengering. Hal ini seperti yang digambarkan pada
persamaan (Brooker et al. 1992; Bala 1997) :
( )wbfg
TTh
Ah
t
M −∞=∂
∂….............................................................(1)
Nilai h dipengaruhi oleh kecepatan udara pengering. Persamaan tersebut di
atas belum dapat digunakan untuk menentukan laju pengeringan konstan secara
teliti, karena nilai-nilai h, hfg dan A (luas permukaan pindah panas) sulit
ditentukan secara teliti (Brooker et al. 1992) .
Laju pengeringan menurun pertama terjadi pada saat berkurangnya
permukaan bahan yang basah karena kecepatan pergerakan air dari dalam lebih
kecil dibandingkan kecepatan penguapan di permukaan (Heldman dan Singh
1981). Sedangkan laju pengeringan menurun kedua terjadi pada saat air dari
bagian dalam bahan menguap dan uap air berdifusi ke permukaan.
Grafik laju pengeringan ini dapat dilihat pada Gambar 3. Menurut Brooker
et al. (1992), laju pengeringan konstan terjadi pada awal proses pengeringan pada
produk dengan kadar air lebih besar dari 70% bb dan merupakan fungsi dari suhu,
kelembaban udara, dan kecepatan udara pengering.
Laju pengeringan menurun terjadi setelah akhir laju pengeringan konstan,
dimana kadar air bahan pada perubahan laju pengeringan ini disebut kadar air
kritis (critical moisture content) (Henderson dan Perry 1976).
11
Kadar air kritis adalah kadar air terendah dimana laju air bebas dari dalam
bahan ke permukaan tidak terjadi lagi. Pada periode laju pengeringan menurun
terjadi penurunan tekanan uap dari permukaan produk di bawah tekanan uap
jenuh. Karena uap air secara terus menerus meninggalkan bahan, maka tekanan
uap dalam bahan semakin kecil, yang berarti perbedaan tekanan uap antara bahan
dengan udara disekitarnya semakin kecil. Kondisi tersebut akan menghasilkan
penurunan pada laju pengeringan produk, sehingga disebut dengan laju
pengeringan menurun (Gambar 4).
M
Gambar 4. Kurva karakteristik pengeringan (Bala, 1997)
dimana:
A-B : adalah periode pemanasan
B-C : adalah laju pengeringan konstan
C : adalah kadar air kritis
C-D : adalah periode penurunan laju pengeringan pertama
D-E : adalah periode penurunan laju pengeringan kedua
Besarnya laju pengeringan berbeda-beda pada setiap bahan. Faktor-faktor
yang mempengaruhi laju pengeringan tersebut adalah:
1. Bentuk bahan, ukuran, volume dan luas permukaan.
Laju pengeringan menurun Laju pengeringan tetap
E
D
CB
A
12
2. Sifat termofisik bahan, seperti: panas laten, panas jenis spesifik,
konduktifitas termal dan emisivitas termal.
3. Komposisi kimia bahan, misalnya kadar air awal
4. Keadaan diluar bahan, seperti suhu, kelembaban udara
Pengeringan Lapisan Tebal
Pengeringan lapisan tebal dapat dianggap sebagai pengeringan lapisan tipis
yang berlapis-lapis, atau biasa dikenal dengan pengeringan tumpukan. Pada
pengeringan ini terjadi proses dimana difusi internal pergerakan air dari dalam
bahan (bagian bawah tumpukan) lebih besar jika dibandingkan difusi eksternal
pergerakan air dari permukaan (bagian atas tumpukan) ke udara luar.
Pengeringan lapisan tebal adalah pengeringan yang di dalam prosesnya
terdapat gradien kadar air pada lapisan pengeringan untuk setiap waktu
(Henderson dan Perry 1976).
Pengeringan lapisan tebal biasanya digunakan untuk pengeringan biji-
bijian, dimana bahan ditumpuk sampai ketinggian tertentu. Udara pengering
bergerak dari bawah tumpukan ke bagian atas melewati bahan akan dikeringkan.
Pengeringan ini tidak cocok jika digunakan untuk bahan-bahan pertanian dengan
kadar air awal bahan yang tinggi.
Pengeringan Lapisan Tipis
Pada proses pengeringan lapisan tipis pergerakan air yang terjadi pada
bagian permukaan ke udara lebih cepat dibandingkan pergerakan air dari bagian
dalam bahan ke permukaan bahan.
Pengembangan model pengeringan memberikan perhatian yang lebih pada
laju pengeringan menurun. Brooker et al. (1992), mengemukakan untuk
memprediksi pengeringan lapisan tipis telah dikembangkan berbagai model
pendekatan, diantaranya adalah model teoritis, model semi-teoritis dan model
empiris. Persamaan teoritis dinyatakan dalam persamaan Luikov, dalam Brooker
et al. (1992), yang dinyatakan sebagai berikut :
13
PKTKMKP
PKTKMKT
PKTKMKM
332
322
312
232
222
212
132
122
112
∇+∇+∇=∂∂
∇+∇+∇=∂∂
∇+∇+∇=∂∂
....................... (2)
Dengan pendekatan teoritis, Luikov mengembangkan persamaan penduga
pengeringan lapisan tipis dalam bentuk persamaan diferensial berdasarkan
karakteristik fisik air atau uap air pada bahan berpori, dimana migrasi uap yang
terjadi disebabkan : perbedaan konsentrasi air, gaya kapiler, perbedaan tekanan,
perbedaan suhu, perbedaan konsentrasi uap dan difusi. Koefisien yang ada dalam
persamaan diferensial merupakan perpaduan dari keadaan suhu, uap air, gradient
tekanan uap air, energi dan total perpindahan massa.
Pada prakteknya menurut Brooker et al. (1992), pengaruh suhu dan tekanan
yang terdapat dalam model Luikov dapat diabaikan, sehingga menjadi :
DMM
atauMKM
2
112 ,
∇=∂∂
∇=∂∂
.............................................. (3)
Untuk menduga laju perubahan kadar air bahan pada pengeringan lapisan
tipis, parameter yang dianggap paling berpengaruh adalah parameter geometri dan
parameter difusi bahan. Distribusi air pada bahan diasumsikan seragam dan
pindah massa terjadi secara simetris pada bagian tengah, dimana kadar air
permukaan bahan mencapai kadar air keseimbangan jika penyusutan bahan
diabaikan maka MR (moisture ratio) untuk lapisan tipis menjadi :
( )
+−+
=−−= ∑
∞
=2
22
022
0 4
.)12(exp
12
18
h
tDn
nMeM
MeMMR
n
.............. (4)
Untuk periode dehidrasi yang lama (MR<0.6), persamaan (4) untuk
pengeringan lapisan tipis dapat disederhanakan dengan mengambil hanya pada
segmen pertama (n=0) sehingga persamaan diatas menjadi :
−=2
2
2 4
.exp
8
h
tDMR
.......................................................(5)
Nilai dari difusi uap air efektif diperoleh dengan metode kemiringan (slop),
dimana perbandingan dengan ketepatannya diperoleh melalui difusi Fick’s dan
14
metode implisit Euler. Menurut (Rizvi 2005 dan Wang et al. 2007), hubungan
antara kondisi pengeringan dan nilai dari difusivitas efektif dapat dilihat dengan
memakai persamaan Arrhenius seperti :
−=
abs
a
TR
EDD
.exp0
...........................................................................(6)
Model Semi Teoritis Pengeringan Lapisan Tipis
Henderson dan Perry (1976), memberikan model semi-teoritis untuk
memprediksi pengeringan lapisan tipis yang juga berdasarkan parameter difusi
dan geometri bahan seperti persamaan (7) berikut :
K
K
AeMR
atauAeMeM
MeM
−
−
=
=−−
,0 ........................................................... (7)
dimana A adalah konstanta yang ditentukan berdasarkan geometri bahan. Untuk
bahan berbentuk lempeng = 0.811, untuk bentuk bola = 0.608 dan 0.533 untuk
tumpukan balok.
Peneliti lainnya (Nellist 1974; Sharaf-Eldeen et al. 1979; Sharma et al.
1982; Bala dan Woods 1984; dalam Bala 1997) menggunakan persamaan two-
term eksponensial untuk menggambarkan pengeringan lapisan tipis pada bijian,
jagung, padi dan gandum dengan persamaan :
M = A exp (-k1t) + B exp (-k2t) + Me ………………………………… (8)
Dimana A dan B merupakan spesifik bahan dan juga fungsi dari suhu dan
kadar air, t adalah waktu pengeringan sedangkan MR adalah moisture rasio.
(Wang et al. 1978 dalam Brooker et al. 1992) merekomendasikan persamaan
empiris dimana a dan b merupakan fungsi dari suhu bahan dan RH udara seperti
persamaan 9 dibawah ini :
MR = 1 + at + bt2 ……………………………………………………………. (9)
Model difusi pada persamaan (4) diatas disederhanakan menjadi model
semi teoritis dengan k adalah koefisien laju pengeringan yang merupakan fungsi
difusivitas dan geometri bahan dan merupakan penyederhanaan dalam
15
memecahkan persamaan difusi, sehingga persamaan lapisan tipis menjadi
(Henderson dan Pabis 1961 dalam Bala 1997).
)exp(0
ktAMeM
MeMMR −=
−−= ...................................(10)
2
2
4h
Dk= ................................................................................... (11)
Model semi teoritis lainnya yang digunakan pada penelitian ini adalah model yang
dikemukakan oleh (Lewis 1921; Page 1949; dalam Bala 1997), dimana n
merupakan konstanta.
)exp(0
ktMeM
MeMMR −=
−−=
………………….(12)
)exp(0
nktMeM
MeMMR −=
−−=
………………… (13)
Penelitian eksperimental umumnya menggunakan model semi-teoritis untuk
mendapatkan model pengeringannya. Dari model-model semi teoritis yang ada
kemudian dibandingkan untuk mendapatkan salah satu model yang paling sesuai
dengan error paling minimum.
Penelitian karakteristik pengeringan temu putih (Curcuma zedoaria (Berg)
Roscoe) telah dilakukan Chrysanty (2009) dengan menggunakan mesin pengering
berakuisisi dengan sumber pemanas dari energi listrik 2000 Watt, dengan
beberapa perlakuan suhu, RH dan kecepatan aliran udara. Suhu 70 oC, RH 20%
dan kecepatan aliran udara 0.78 – 0.95 m/s memiliki waktu pengeringan 330
menit dengan kadar air keseimbangan 4.01 %bk, sedangkan suhu 40 oC, RH 60%
dan kecepatan aliran udara 0.15 – 0.28 m/s memiliki waktu pengeringan 1390
menit dengan kadar air keseimbangan 35.00 %bk.
Manalu et al. (2009) meneliti pengeringan temu putih dengan suhu 40 oC –
60 oC, dan RH 20 – 80%. Performa dari model pengeringan ini dibandingkan
dengan nilai efisiensi model dan disimpulkan bahwa model yang cocok untuk
pengeringan lapisan tipis temu putih adalah model yang dikemukakan oleh Page.
Penelitian pengeringan ampas buah zaitun (Doymaz et al. 2007 dalam
Kurniady et al. 2009), dimana metode yang digunakan untuk menentukan
16
koefisien difusi efektif persamaan difusi diselesaikan dengan menggunakan
persamaan difusi Crank untuk lapisan tipis.
Penyusutan dan Model Pengeringan
Permintaan untuk produk kering dengan kualitas tinggi sangatlah besar di
seluruh dunia. Oleh karena itu penting untuk mengetahui kerusakan dan retak
yang terjadi pada produk kering tersebut. Berbagai model telah dikembangkan
untuk pemodelan proses pengeringan. Dalam sebagian besar model, penyusutan
selama pengeringan diasumsikan tidak terjadi (diabaikan).
Namun asumsi yang solid dan kaku jarang berlaku dalam pengeringan.
Teori penyusutan telah diterapkan oleh beberapa peneliti. Pendekatan lain yang
sesuai untuk mendeskripsikan perubahan bentuk dalam beberapa produk yang
ditemukan menjadi karakteristik viskoelastis.
Pada tahun 1988, Haghighi mempelajari persamaan modern dari analisis
stres dalam bahan viskoelastis selama pengeringan. Itaya (1995) melakukan
analisis perubahan 3 dimensi dan Kowalski (2001) mencoba satu pendekatan
termomekanik untuk melihat penyusutan dan keretakan yang terjadi selama
pengeringan (Chemkhi et al. 2004).
Pengeringan produk yang mempunyai kadar air yang tinggi dan sensitif
terhadap suhu tinggi memerlukan pengetahuan yang tepat dan kinetika kontrol
yang handal selama proses pengeringannya. Model fisika-matematika disusun
untuk mendeskripsikan panas dan perpindahan massa, dan ditambah dengan
perilaku elastis material. Untuk memeriksa keabsahan model matematis,
percobaan pengeringan dilakukan. Chemkhi et al. (2004) mengembangkan model
matematika dalam pengeringan dengan menggunakan kentang sebagai produknya.
Menguapnya air pada proses pengeringan menyebabkan penyusutan pada
bahan. Besar kecilnya penyusutan yang terjadi tidak berakibat terlalu penting
pada bahan bernilai ekonomis rendah, namun penyusutan ini akan menjadi
masalah jika terjadi pada bahan-bahan yang bernilai (mahal). Penyusutan dan
perubahan bentuk bahan yang dikeringkan tergantung pada struktur awal bahan
dan komposisi kimia (Lewicki et al. 1994). Penyusutan biasanya merupakan
17
karakteristik yang dapat diketahui dengan menentukan perubahan yang terjadi
pada volume dan atau dimensi bahan (Wang et al. 2002).
Penyusutan pada permukaan bahan menyebabkan pengerutan, keretakan dan
pembengkokan. Difusifitas pada bahan akan berkurang sejalan dengan
berkurangnya kadar air. Pada kasus yang ekstrim, difusivitas air terhalang oleh
kulit yang kedap air, sehingga kadar air pada bagian dalam bahan tidak berubah
(tetap). Hal ini disebut case hardening.
Pengerutan, pembengkokan, keretakan dan case hardening dapat
diminimalkan dengan penurunan laju pengeringan, sehingga penyusutan pada
permukaan bahan berkurang dan difusivitas bahan akan mendekati konstan.
Untuk itu perlu mengontrol laju pengeringan dengan mengontrol kelembaban
udara pengering.
Menurut Bala (1997) penyusutan dalam produk pertanian selama
pengeringan adalah kejadian yang dipengaruhi oleh laju pengeringan dan
distribusi udara. Beberapa peneliti yang meneliti tentang hal ini (Boyce 1966;
Nellist 1974 dan Spencer 1972 dalam Bala 1997) mengatakan bahwa penyusutan
sangat tergantung pada perubahan kadar air, sedangkan hasil penelitian Bala
(1983) menyebutkan bahwa penyusutan tidak dipengaruhi oleh penurunan kadar
air tetapi laju dari penyusutan selama pengeringan menurun dengan meningkatnya
penurunan kadar air.
Rohaeni (2003), menganalisa penyusutan biji coklat selama pengeringan
dengan menggunakan pengolahan citra. Biji coklat yang telah difermentasi
diambil citranya dengan menggunakan kamera digital. Citra dari memori kamera
dipindahkan ke komputer dengan resolusi 256x256 piksel. Diperoleh hasil bahwa
RH dan suhu selama pengeringan tidak banyak berpengaruh terhadap penyusutan
biji coklat, dan penyusutan terjadi sekitar 20%.
Analisis citra untuk mengetahui perubahan warna, bentuk dan penyusutan
selama pengeringan berlangsung juga telah dilakukan oleh Fernandez et al. (2004)
pada buah apel. Dengan menggunakan sistem standar pengambilan citra berupa
kamera digital, illuminasi, komputer (hardware dan software) semua parameter
yang berhubungan dengan bentuk (area, perimeter, fourier energi dll) diteliti.
Terjadi perubahan ukuran dan bentuk (penyusutan) serta perubahan warna
18
(browning) pada bahan selama pengeringan yang berlangsung dengan interval
waktu 3 – 7 jam. Kadar air akhir diperoleh sebesar 12%bb. Nilai-nilai dari
parameter yang diukur berubah drastis pada pengeringan 6 jam pertama, kecuali
pada bentuk kebundaran buah apel yang hampir mencapai konstan setelah 6 jam
pengeringan.
Esmaiili dan Sotudeh (2006), membuat model mengenai proses pengeringan
buah anggur dengan memperhatikan variabel difusivitas pada penyusutan, dimana
anggur dikeringkan dengan suhu 40 ºC – 70 0C dengan kecepatan alitan udara 0.5
– 1.5 m/s.
Peneliti lainnya Sturm dan Hofacker (2008), meneliti tentang perubahan
bentuk dan warna pada pengeringan irisan buah apel. Dengan bantuan analisis
citra, dimana sangat diperlukan sistem kontrol otomatis dan pengukuran secara
real time untuk menentukan bentuk dan warna pada bahan.
Yadollahinia dan Jahangiri (2009), meneliti tentang penyusutan terhadap
buah kentang selama pengeringan dengan pengolah citra. Hasilnya menunjukkan
bahwa penyusutan dari irisan kentang meningkat sejalan dengan menurunnya
kadar air bahan, dimana juga terlihat bahwa laju aliran udara pada suhu 70 0C
sangat berpengaruh terhadap pengecilan pada bahan dengan diameter 60 inci.
Penyusutan dari wortel selama pengeringan dengan menggunakan fluidized
bed dryer juga telah diteliti oleh Hatamipour dan Mowla (2002), sedangkan untuk
penyusutan selama pengeringan pada potongan buah apel diteliti oleh Sjoholm
dan Gekas (1994).
Pengolahan Citra
Pengolahan citra merupakan proses mengolah piksel-piksel dalam citra
digital untuk suatu tujuan tertentu. Beberapa alasan dilakukannya pengolahan
citra pada citra digital antara lain untuk memperoleh citra dengan karakteristik
tertentu dan cocok secara visual yang dibutuhkan untuk tahap lebih lanjut dalam
pemrosesan analisis citra. Dalam proses akuisisi, citra yang akan diolah
ditransformasikan dalam suatu representasi numerik (Rachmawati 2008).
Satuan atau bagian terkecil dari suatu citra disebut piksel (pixel atau picture
element). Umumnya citra dibentuk dari kotak-kotak persegi empat yang teratur
19
sehingga jarak horizontal dan vertikal antar piksel adalah sama pada seluruh
bagian citra (Ahmad 2005).
Kebanyakan kamera menangkap citra dalam bentuk gelombang analog yang
kemudian dilakukan pengambilan sampel dan dikuantisasi untuk
mengkonversinya ke dalam bentuk citra digital. Pada proses selanjutnya
representasi tersebutlah yang akan diolah secara digital oleh komputer.
Pengolahan citra pada umumnya sangat erat kaitannya dengan computer aided
analysis yang umumnya bertujuan untuk mengolah suatu objek citra dengan cara
mengekstraksi informasi penting yang terdapat di dalamnya. Dari informasi
tersebut dapat dilakukan proses analisis dan klasifikasi secara cepat
memanfaatkan algoritma perhitungan komputer.
Pengolahan citra sangat berhubungan dengan teknologi komputer dan
algoritma matematik untuk mengenali, membedakan serta menghitung gambar
dan terdiri dari langkah : Perolehan citra dan segmentasi
Sistem pengambilan citra (gambar) terdiri dari 4 (empat) komponen dasar
yaitu : illuminasi, kamera, hardware dan software. Untuk memperoleh gambar
digunakan penerangan yang juga berguna untuk memperoleh kontras ketajaman
pada bidang dari satu gambar (Hong et al. 2001).
Proses segmentasi suatu objek citra dilakukan dengan beberapa tahap : (1).
Menerapkan threshold dan mengurangi latar belakang untuk memperoleh citra
biner; (2). Memperkecil nilai noisy (gangguan) pada gambar (Da Fontoura dan
Marcondes 2001).
Thresholding atau binerisasi yaitu pengelompokan piksel-piksel dalam citra
berdasarkan batas nilai intensitas tertentu. Pada operasi ini hasil proses suatu titik
atau piksel tidak tergantung pada kondisi piksel-piksel disekitarnya. Dalam
operasi binerisasi, satu piksel pada citra asal akan dipetakan menjadi piksel objek
atau latar belakang (Ahmad 2005).
Menurut Ahmad (2009) operasi thresholding dapat dilakukan dengan hanya
melihat nilai-nilai intensitas sinyal merah, sinyal hijau, atau sinyal biru, ataupun
dengan citra grayscale yang dihasilkan dengan merata-ratakan nilai intensitas
ketiga sinyal diatas. Keempat cara thresholding ini di gunakan untuk memberi
20
keleluasaan kepada pengguna untuk menghasilkan citra terbaik berdasarkan
kondisi citra warna yang akan diproses.
Analisis citra biner dapat dihasilkan dengan menjalankan sub menu
tersendiri, dalam hal ini adalah dengan menganalisis atau mengkalkulasi ukuran
obyek yang sudah dipisahkan dengan latar belakangnya melalui operasi
thresholding, dan diperbaiki melalui operasi morfologi. Ukuran obyek yang akan
dianalisis atau dikalkulasi adalah area, tinggi dan lebar obyek (Ahmad 2009).
Dalam ruang, cahaya harus datang dari segala arah agar tidak menimbulkan
bayangan, dan tidak terlalu kuat agar tidak menimbulkan efek pantulan pada
permukaan obyek, terutama untuk obyek-obyek yang mempunyai permukaan licin
dan berkilap. Adanya pantulan pada permukaan obyek akan menghilangkan
informasi warna karena permukaan akan menjadi putih dan sangat terang yang
berarti warna telah dinetralkan.