Upload
truongphuc
View
274
Download
4
Embed Size (px)
Citation preview
TINJAUAN PUSTAKA
Keamanan Pangan
Sesuai dengan Undang-undang RI N0. 7 tahun 1996, keamanan pangan
adalah suatu kondisi atau upaya untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran
biologis, kimia dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan dan
membahayakan kesehatan manusia. Ruang lingkup keamanan pangan adalah bahaya
biologis (bahaya mikrobiologis), kimia dan fisik. Ketiga jenis bahaya ini menurut
Winarno (1997) akan selalu ada dalam industri katering, karena beragamnya bahan
baku yang berasal dari produk hasil peternakan dan pertanian yang berpotensi
sebagai tempat pertumbuhan mikroorganisme. Pengembangan sistem mutu dan
keamanan pangan disesuaikan dengan penerapan sistem jaminan mutu pangan untuk
setiap mata rantai dalam setiap proses.
Daging
Daging merupakan semua jaringan hewan beserta produk hasil
pengolahannya yang dapat dimakan dan tidak menimbulkan gangguan kesehatan
bagi yang memakannya. Otot hewan berubah menjadi daging setelah pemotongan
karena fungsi fisiologisnya telah berhenti. Otot merupakan komponen utama
penyusun daging. Daging juga tersusun atas jaringan ikat, epitel, jaringan-jaringan
saraf, pembuluh darah dan lemak (Soeparno, 2005).
Secara umum, kandungan gizi daging terdiri atas protein, air, lemak,
karbohidrat dan mineral (Aberle et al., 2001). Berbeda dengan daging segar, daging
olahan mengandung lebih sedikit protein dan air, serta lebih banyak lemak dan
mineral. Kenaikan persentase mineral daging olahan disebabkan penambahan
bumbu-bumbu dan garam, sedangkan kenaikan nilai kalorinya disebabkan
penambahan karbohidrat dan protein yang berasal dari biji-bijian, tepung dan susu
skim (Soeparno, 2005).
Sosis
Sosis adalah makanan yang dibuat dari daging yang digiling dan dibumbui
yang umumnya dibentuk menjadi bentuk yang simetris (Kramlich, 1973). Menurut
DSN (1995) sosis adalah produk makanan yang diperoleh dari campuran daging
halus (tidak kurang dari 75%) dengan tepung atau pati dengan atau tanpa
4
penambahan bumbu-bumbu dan bahan tambahan makanan lain yang diizinkan dan
dimasukan ke dalam selongsong sosis. Bahan baku yang digunakan untuk membuat
sosis terdiri dari bahan utama dan bahan tambahan. Bahan utama yaitu daging, es,
minyak, garam dan lemak. Sedangkan bahan tambahannya yaitu bahan pengisi,
bahan pengikat, bumbu-bumbu, bahan penyedap dan bahan makanan lain yang
diizinkan (bahan inovasi).
Istilah sosis berasal dari kata dalam bahasa latin “salsus”, yang memiliki arti
garam, sehingga sosis dapat diartikan sebagai daging giling yang diawetkan dengan
garam. Sosis didefinisikan sebagai makanan yang dibuat dari daging yang dicacah
serta dibungkus dalam casing menjadi bentuk silinder (Kramlich, 1973). Sosis
merupakan salah satu jenis emulsi, namun emulsi sosis bukanlah emulsi
sesungguhnya seperti mayonnaise atau emulsi minyak dalam air lainnya. Emulsi
sosis yang secara umum dimaksud oleh industri sosis adalah campuran daging yang
digiling halus, lemak, dan bumbu-bumbu. Lemak pada sosis dibungkus oleh protein
daging lean dengan struktur serupa dengan emulsi, walaupun bukan emulsi minyak
dalam air yang sesungguhnya. Protein larut garam, terutama myosin, diekstrak
dengan garam dan selama proses pencacahan membentuk sejenis emulsi yang
membungkus partikel lemak (Pearson dan Tauber, 1985). Komposisi nutrisi sosis
daging sapi menurut DSN (1995) dapat dilihat pada Tabel 1.
Daging yang banyak digunakan untuk membuat sosis adalah daging penutup ,
pendasar gandik, lemusir, pada depan, dan daging iga. Sebenarnya hampir semua
jenis daging dari bagian karkas dapat digunakan, namun karena perbedaan
kandungan lemak dan jaringan ikat tiap bagian daging maka penggunaannya
disesuaikan dengan mutu produk yang dihasilkan (Effie, 1980). Daging digunakan
sebagai bahan baku pada sosis karena memiliki daya ikat terhadap air dan memiliki
daya mengemulsi lemak. Bahan utama sosis ialah jaringan daging hewan selain
daging murni, juga ditambah daging berlemak untuk memberi rasa lezat. Jumlah
penambahan lemak dibatasi untuk mempertahankan tekstur selama pengolahan dan
penanganan (Wilson et al., 1981), yaitu tidak boleh lebih dari 30% bobot daging
(Kramlich, 1973).
5
Tabel 1. Komposisi Nutrisi Sosis Daging Sapi
Komposisi nutrisi Persentase (%)
Air Maks 67,0
Protein Min 13,0
Abu Maks 3,0
Lemak Maks 25,0
Karbohidrat Maks 8
Sumber: Dewan Standarisasi Nasional (1995)
Jumlah penambahan lemak dibatasi untuk mempertahankan tekstur selama
pengolahan dan penanganan (Wilson et al., 1981), yaitu tidak boleh lebih dari 30%
bobot daging (Kramlich, 1973). Proses pembutan sosis sapi dimulai dengan
penggilingan daging sapi yang telah dicacah menggunakan glinder. Menurut
Rust (1977), dalam proses pembuatan sosis, faktor kehalusan penggilingan
menentukan jenis sosis. Tahap selanjutnya dilakukan penggilingan dan pencampuran
bumbu dalam cutter. Proses pencampuran berfungsi sebagai proses homogenisasi
semua bahan-bahan yang digunakan untuk membuat adonan sosis. Alat yang
digunakan sebagai cutter bowl mixer. Tahap ini juga ditambahkan serpihan es atau
air dingin, garam dapur, bahan pengikat, dan bahan tambahan lainnya sehingga
terdistribusi merata (Kramlich, 1973).
Tahap ini ditambahkan serutan es yang bertujuan untuk menjaga suhu
penggilingan agar tetap dibawah 20 oC dan untuk mencegah pecahnya emulsi
(Tauber, 1977). Adonan yang telah terbentuk dimasukkan ke dalam casing dengan
alat filler. Penggunaan filler dimaksudkan untuk mempertahankan kestabilan emulsi
dan mengurangi terbentuknya kantong-kantong udara yang akan mempengaruhi
mutu sosis (Henrickson, 1978). Tahap pemasakan selain bertujuan untuk
menghasilkan jenis sosis masak, juga untuk mengurangi kandungan mikroba dan
membersihkan permukaan sosis (Girard, 1992).
Bahan-bahan dalam pembuatan sosis memiliki fungsi agar sosis memiliki
rasa yang berbeda dan lebih gurih dari yang beredar di pasaran pada umumnya.
Bahan tersebut diantaranya adalah minyak merupakan salah satu faktor yang penting
karena dapat menentukan aroma dan rasa selain itu juga dapat mempengaruhi
palatabilitas daging. Air es berfungsi untuk meningkatkan keempukan dan juice (sari
6
minyak) daging, melarutkan protein larut air, membentuk larutan garam untuk
melarutkan protein larut garam, sebagai fase kontinu dari emulsi daging, menjaga
temperatur produk serta mempermudah penetrasi bahan-bahan curing
(Soeparno, 2005).
Lemak merupakan bahan utama dalam emulsi daging karena lemak berperan
sebagai fase diskontinu pada emulsi sosis. Kadar lemak berpengaruh pada
keempukan dan jus daging. Emulsi dari lemak sapi cenderung lebih stabil karena
lemak sapi mengandung lebih banyak asam lemak jenuh. Sosis masak harus
mengandung lemak tidak lebih dari 30 % (Kramlich, 1973). Penambahan bumbu
pada pembuatan sosis terutama ditujukan untuk menambah atau meningkatkan
flavour. Garam dan merica merupakan bahan penyedap utama dalam pembuatan
sosis (Soeparno, 2005). Dalam beberapa hal bumbu juga bersifat sebagai
bakteriostatik dan antioksidan. Garam mempunyai sifat mendehidrasi dan mampu
mengubah tekanan osmotik, dengan demikian garam bisa mengurangi pertumbuhan
mikroba dan menjadikan daging olahan menjadi lebih awet (Pearson dan Tauber,
1985). Garam berfungsi untuk menambah citarasa, sebagai pengawet, dan juga
melarutkan protein.
Bahan Baku Pembuatan Sosis
Bahan baku yang digunakan untuk membuat sosis umumnya terdiri dari
bahan utama dan bahan tambahan. Bahan utama yaitu daging, es atau air es, garam,
dan lemak atau minyak, sedangkan bahan tambahan yaitu bahan pengisi, bahan
pengikat, bumbu-bumbu, bahan penyedap dan bahan makanan lain yang diizinkan.
Formulasi menurut Soeparno (2005) adalah menghasilkan daging proses dengan
penampakan yang kompak, cita rasa dan sifat fisik yang stabil serta seragam.
Penambahan bahan penyedap dan bumbu terutama ditujukan untuk menambah atau
meningkatkan flavour.
Bahan Pengisi
Bahan pengisi adalah bahan yang mampu mengikat sejumlah air tetapi
mempunyai pengaruh yang kecil terhadap emulsifikasi. Bahan pengisi berfungsi
memperbaiki stabilitas emulsi, memperbaiki sifat irisan, mengurangi proses
penyusutan selama proses pemasakan, peningkatan cita rasa dan mereduksi biaya
produksi. Bahan pengisi ternyata dapat meningkatkan daya mengikat air karena
7
mampu menahan air selama proses pengolahan dan pemanasan. Tepung dapat
mengabsorbsi air dua sampai tiga kali lipat dari berat semula. Contoh dari bahan
pengisi ialah tepung gandum dan tepung terigu (Soeparno, 2005). Tapioka adalah
pati yang berasal dari ekstra umbi ketela pohon yang telah mengalami pencucian dan
pengeringan. Tepung berpati sebagai bahan pengisi dapat digunakan untuk
meningkatkan daya mengikat air karena mempunyai kemampuan menahan air selama
proses pengolahan dan pemanasan. Disamping itu, tepung berpati dapat mengabsorbsi
air dua sampai tiga kali dari berat semula, sehingga adonan bakso menjadi lebih besar
(Ockerman, 1983). Salah satu bahan pengisi yang biasa digunakan dalam pembuatan
sosis adalah tepung tapioka.
Es atau Air Es
Fungsi air es adalah untuk meningkatkan keempukan dan juice (sari minyak)
daging, menggantikan sebagian air yang hilang selama proses pembuatan,
melarutkan protein yang mudah larut dalam air, membentuk larutan garam yang
diperlukan untuk melarutkan protein larut garam, berperan sebagai fase kontinu dari
emulsi daging, menjaga temperatur produk serta mempermudah penetrasi bumbu
pada saat curing (Soeparno, 2005). Menurut Kramlich (1973), pada proses
pembuatan sosis biasanya ditambahkan air dalam bentuk es sebanyak 20-30%.
Nitrit
Nitrit dan nitrat sebagai garam natrium atau kalium dipergunakan dalam
daging cured dengan tujuan untuk mengembangkan warna daging menjadi warna
merah muda terang, mempercepat proses curing (Soeparno, 2005). Fungsi utama
nitrit dalam pembuatan sosis adalah untuk memperbaiki warna daging. Perbaikan
warna daging, untuk sosis masak dianjurkan penggunaannya sebanyak 3-50 ppm
(Ockerman, 1983). Jumlah maksimum nitrit yang bisa ditambahkan dalam curing
daging adalah 62,8 g/100 Kg. Dosis nitrit yang lebih dari 15-20 mg/Kg berat badan
akan menimbulkan kematian (Aberle et al., 2001). Penggunaan natrium nitrit sebagai
pengawet untuk mempertahankan warna daging ternyata dapat menimbulkan efek
yang membahayakakan kesehatan. Nitrit dapat berikatan dengan amino dan amida
yang menghasilkan turunan nitrosamin yang bersifat karsinogenik
(Husni et al., 2007). Penambahan nitrit tidak terlalu mempengaruhi karakteristik
8
sensori, akan tetapi nitrit mempengaruhi proses oksidatif dan pembentukan
komponen volatil yang berasal dari mikroorganisme (Marco et al., 2006).
Garam
Garam merupakan komponen yang penting dalam pembuatan produk sosis.
Garam mempunyai fungsi (1) meningkatkan citarasa, (2) pelarut protein yaitu miosin
sehingga dapat menstabilkan emulsi daging, (3) sebagai pengawet, karena dapat
mencegah pertumbuhan mikroba sehingga memperlambat kebusukan dan (4) untuk
meningkatkan daya mengikat air yang biasanya dipadukan dengan alkali fosfat
(Buckle et al., 1987). Penggunaan garam bervariasi, umumnya 2-2,5% karena
penggunaan garam yang berlebihan dapat menyebabkan penyakit, salah satunya
adalah penyakit darah tinggi.
Sodium Tripolifosfat (STPP)
Tujuan utama penambahan fosfat yaitu untuk mengurangi kehilangan lemak
dan air selama pemasakan, pengalengan, atau penggorengan. Penambahan polifosfat
dalam bentuk kering rata-rata sekitar 0,3% (Wilson et al., 1981). Fungsi penambahan
alkali fosfat pada produk daging adalah (1) meningkatkan pH daging dan
mengakibatkan meningkatnya daya mengikat air, (2) fosfat dan garam mempunyai
fungsi sinergis sehingga mempengaruhi daya mengikat air, (3) dapat menurunkan
penyusutan makanan karena dapat mengurangi air yang hilang selama pemasakan,
(4) meningkatkan keempukan dan memudahkan pengirisan, (5) menstabilkan warna
dan keseragaman, (6) menghambat ketengikan karena fosfat memiliki sifat sebagai
antioksidan, dan (7) selain dapat meningkatkan mutu produk daging, harganya relatif
murah (De Freitas et al., 1997; Ockerman, 1983).
Lemak
Lemak atau minyak pada pembuatan sosis berfungsi untuk memberikan rasa
lezat, mempengaruhi keempukan dan juicenes daging dari produk yang dihasilkan.
Lemak menghasilkan fase dispersi (diskontinyu) dari emulsi daging sehingga lemak
merupakan komponen struktural utama. Lemak yang mengandung asam lemak jenuh
lebih mudah diemulsi daripada asam lemak tak jenuh. Sosis masak harus
mengandung lemak maksimum 30% (Kramlich. 1973).
9
Rosela
Rosela (Hibiscus sabdariffa Linn) adalah tanaman yang berkembang biak
dengan biji, bermanfaat untuk kesehatan antara lain meningkatkan stamina tubuh,
mengandung vitamin C dan mineral essensial yang cukup tinggi yang mampu
menangkal radikal bebas penyebab kanker (Maria dan Ramli, 2008). Wianti et al.,
(2008) menyebutkan bahwa kandungan senyawa kimia dalam kelopak bunga rosela
untuk TBC yaitu campuran asam sitrat dan asam malat 13%, anthocianin
(Hydroxyflavone) dan Hibiscin 2%, asam askorbat (vitamin C) 0,004%-0,005%,
protein (6,7% BS dan 7,9% BK), flavonol glucoside hibiscritin, flavonoid
gossypetine, hibiscetine dan sabdaretine, delphinidine 3-monoglucoside, cyanidin 3-
monoglucoside dan delphinidine. Dalam 100 g kelopak bunga rosela, mengandung
unsur-unsur, seperti berikut ini: kalori 49 kal, H2O 84,5%, protein 1,9 gr, lemak 0,1
gr, 12,3 g karbohidrat, serat 1,2 gr, kalsium 0,0172 gr, phospor 0, 57 gr, logam 0,029
gr, karotene B-3 gr, asam askorbat gr 0,14, abu 6,90 gr, 0117 mg thiamine dan
riboflavin 0,277 mg. Gambar kelopak bunga rosela dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Kelopak Bunga Rosela (Amanda dan Prima, 2008)
Penyimpanan ekstrak rosela selama tujuh hari pada suhu kamar menyebabkan
penurunan konsentrasi antosianin serta kenaikan nilai pH dari ekstrak rosela tersebut,
sedangkan penyimpanan ekstrak selama tujuh hari pada suhu dingin menyebabkan
kenaikan nilai pH tetapi tidak menyebabkan penurunan konsentrasi antosianin
(Retno et al., 1999). Bridle dan Timberlake (1996) menambahkan, warna merah dari
antosianin lebih baik atau cerah pada pH yang sangat rendah (pH<2). Pada nilai pH
di atas 3,5 warna merah dari antosianin mulai memudar. Adapun komposisi kimia
dari bunga Rosela jenis Hibiscuss Sabdariffa L dapat dilihat pada Tabel 2.
10
Tabel 2. Komposisi Kimia Bunga Rosela Jenis Hibiscuss Sabdariffa L dalam 100 g
Komposisi Jumlah Protein 1,14 g Lemak 2,61 g Serat 12,0 g Kalsium 1,26 mg Fosfor 273,2 mg Besi 8,98 mg Karoten 0,029 mg Tiamin 0,117 mg Riboflavon 0,277 mg Niasin 3,76 mg Sumber : Amanda dan Prima (2008)
Pigmen Angkak
Pigmen angkak merupakan pigmen yang dihasilkan oleh kapang, yang
digunakan sebagai zat pewarna makanan dan minuman di negara-negara Asia seperti
Cina, Jepang, Taiwan, Filipina dan Indonesia (Sutrisno, 1987). Angkak dapat dilihat
pada Gambar 2.
Gambar 2. Beras Merah Cina atau Angkak
(Kasim et al., 2005)
Pigmen angkak dapat diproduksi dengan cara fermentasi media padat maupun
dengan cara menggunakan sistem fermentasi media cair (Wong dan Koehler, 1981).
Secara tradisoinal, umumnya pembuatan angkak dilakukan dengan sistem fermentasi
media padat, karena tekniknya lebih sederhana dan praktis. Menurut Palo et al.
(1960), suhu optimum untuk memproduksi pigmen angkak adalah 27 oC dengan
kisaran 20 oC-37 oC. Produksi pigmen Monascus purpureus dapat pula dihasilkan
dengan menggunakan sumber karbon selain beras seperti gadung, kentang, ganyong,
seweg, ubi jalar, gaplek dan tapioka. Tabel 3 berikut ini menyajikan komposisi
kimiawi dari angkak.
11
Tabel 3. Komposisi Kimiawi Angkak
Kandungan Jumlah (%) Air 7-0 Pati 53-60 Nitrogen 2,4-2,6 Protein kasar 15-16 Lemak kasar 6-7 Abu 0,9-1 Sumber : Steinkraus (1983)
Angkak dapat dijadikan pewarna makanan yang baik, tetapi sebelumnya
perlu diperhatikan pula kondisi fermentasinya untuk menghasilkan pigmen angkak
yang baik, serta sedikit atau tidak mengandung citrinin sama sekali
(Pattanagul et al, 2007). Masalah utama dalam penggunaan zat pewarna alami
adalah stabilitas pigmen. Pewarna alami sangat sensitif terhadap suhu, cahaya,
keasaman, udara dan perubahan aktivitas air (Wong dan Koehler, 1981). Menurut
Sutrisno (1987), pigmen angkak yang diproduksi oleh Monascus sp ini sedikit larut
dalam air dan kurang stabil terhadap pengaruh-pengaruh fisika dan kimia. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa pigmen angkak yang dimodifikasi dengan
menggunakan asam amino asetat, asam p-amino benzoat dan asam glutamat lebih
stabil terhadap pengaruh fisik dan kimia serta kelarutan yang lebih baik dalam air.
Sutrisno (1987) telah melakukan penelitian terhadap sifat fisik pigmen
angkak. Kesimpulan yang diperoleh dari hasil penelitiannya adalah pigmen angkak
yang dipengaruhi oleh sinar matahari, sinar ultraviolet, pH, suhu dan indikator.
Pengaruh suhu akan menyebabkan zat warna mengalami dekomposisi dan berubah
strukturnya, sehingga dapat terjadi pemucatan. Pigmen angkak paling stabil pada
pH 9,2 bila dibandingkan dengan pH 7 dan pH 3. pemanasan pada suhu 100oC
selama satu jam tidak mengakibatkan kerusakan yang nyata terhadap pigmen
angkak.
Sifat Antimikroba Pigmen Angkak
Hasil penelitian Fardiaz et al. (1996), yang melakukan serangkaian
pengujian toksisitas pigmen angkak yang diproduksi dari limbah cair tapioka
terhadap jenis tikus wistar, terlihat bahwa pemberian pigmen angkak sampai dosis
tertinggi yaitu 3,913 g/kg selama 4 minggu tidak menyebabkan pembengkakan
12
hati, ginjal, dan pankreas. Selain itu, dari hasil pengujian imunogenisitasnya,
pigmen angkak yang dihasilkan dari limbah cair tapioka tidak menyebabkan
ketidakabnormalan sel limfosit, yang berarti tidak mengganggu sistem kekebalan.
Jenie dan Kuswanto (1994) telah membuktikan pada penelitiannya bahwa
pigmen angkak dapat menghambat pertumbuhan bakteri patogen, yaitu B. Cereus
dan bakteri perusak Pseudomonas sp. Selanjutnya sifat antimikroba dari pigmen
angkak ini diterapkan oleh Justiawan (1997) dengan kesimpulan konsentrasi
pigmen angkak 7,5 g cukup efektif dalam menghambat pertumbuhan sel bakteri
B. Stearothermophilus bahkan konsentrasi 40 ppm nitrit yang dimodifikasi dengan
5,0 g angkak lebih baik penghambatannya daripada konsentrasi 125 ppm nitrit.
Pigmen Angkak Sebagai Bahan Pewarna Sosis
Warna merupakan salah satu faktor penting yang menentukan tingkat
kualitas dari sosis. Intensistas warna dapat dihasilkan diantaranya dari konsentrasi
larutan curing (Shehata et al., 1998). Penggunaan nitrit dalam pengolahan
makanan telah lama dilakukan yaitu sebagai senyawa ”curing” terutama untuk
produk-produk olahan daging. Awalnya nitrit digunakan untuk memperoleh warna
merah pada daging, sebagai bahan pengawet dan sebagai bahan pembentuk faktor-
faktor sensori (warna, aroma dan citarasa). Nitrit dapat berikatan dengan amino
dan amida dalam protein daging dan membentuk turunan nitrosamin. Perhatian
terhadap nitrosamin meningkat pada awal tahun enampuluhan, mengikuti suatu
bencana penyakit hati berat pada biri-biri di Norwegia, yang menunjukkan bahwa
biri-biri menjadi sakit setelah mengkonsumsi tepung ikan yang diawetkan dengan
nitrit (Muchtadi, 1987).
Menteri kesehatan telah mengeluarkan peraturan mengenai penggunaan
nitrat dan nitrit dalam daging yang diawetkan. Menurut standar USDA (2000),
batas maksimum nitrit (dalam bentuk NaNO2) yang digunakan untuk sosis masak
adalah 156 ppm (Justiawan, 1997). Hasil penelitian Fabre et al. (1993)
menyatakan bahwa pigmen angkak dapat mewarnai sosis. Semakin banyak pigmen
angkak yang ditambahkan, maka intensitas warna merah sosis semakin tinggi.
Selain itu dijelaskan lebih lanjut bahwa penambahan angkak justru memperbaiki
tekstur dan flavour.
13
Pengujian angkak sebagai subtitusi nitrit pada sosis daging sapi telah
dilakukan oleh Justiawan (1997). Hasil pengujian organoleptik menunjukkan dari
segi warna dan penampakan penelis lebih menyukai sosis daging sapi dengan
jumlah penambahan angkak 2,5 g/kg daging. Hasil penelitian Justiawan (1997)
dijadikan sebagai acuan dalam penelitian ini untuk menentukan jumlah angkak
yang ditambahkan dalam formulasi.
Pembuatan Sosis
Proses pembutan sosis sapi dimulai dengan penggilingan daging sapi yan
telah dicacah menggunakan glinder. Dalam proses pembuatan sosis, faktor kehalusan
penggilingan menentukan jenis sosis (Rust, 1977). Tahap selanjutnya dilakukan
penggilingan dan pencampuran bumbu dalam cutter. Proses pencampuran berfungsi
sebagai proses homogenisasi semua bahan-bahan yang digunakan untuk membuat
adonan sosis. Alat yang digunakan sebagai cutter bowl mixer. Tahap ini juga
ditambahkan serpihan es atau air dingin, garam dapur, bahan pengikat, dan bahan
tambahan lainnya sehingga terdistribusi merata (Kramlich, 1973). Tahap ini
ditambahkan serutan es yang bertujuan untuk menjaga suhu penggilingan agar tetap
dibawah 20 oC dan untuk mencegah pecahnya emulsi (Tauber, 1977).
Adonan yang telah terbentuk dimasukkan ke dalam casing dengan alat filler.
Penggunaan filler dimaksudkan untuk mempertahankan kestabilan emulsi dan
mengurangi terbentuknya kantong-kantong udara yang akan mempengaruhi mutu
sosis (Henrickson, 1978). Tahap pemasakan selain bertujuan untuk menghasilkan
jenis sosis masak, juga untuk mengurangi kandungan mikroba dan membersihkan
permukaan sosis (Girard, 1992).
Umur Simpan
Umur simpan adalah rentang waktu antara produk mulai dikemas atau
diproduksi sampai digunakan dengan mutu yang memenuhi syarat untuk dikonsumsi.
Kerusakan pangan diukur laju degradasinya dengan menggunakan model matematis
tertentu (Labuza, 1982). Penyimpangan produk dari mutu awalnya disebut
deteriorasi. Produk pangan mengalami deteriorasi segera setelah diproduksi. Reaksi
deteriorasi dimulai dengan persentuhan produk dengan udara, oksigen, uap air,
cahaya atau akibat perubahan suhu. Reaksi ini juga dapat diawali oleh hentakan
mekanis seperti vibrasi dan kompresi (Arpah, 2001). Tingkat kerusakan produk
14
dipengaruhi oleh lamanya penyimpanan, sedangkan laju kerusakan dipengaruhi oleh
kondisi lingkungan penyimpanan. Reaksi deteriorasi pada produk pangan dapat
disebabkan oleh faktor intrinsik maupun ekstrinsik yang selanjutnya akan memicu
reaksi di dalam produk berupa reaksi kimia, reaksi enzimatis atau lainnya seperti
proses fisika dalam bentuk penyerapan uap air atau gas dari sekeliling. Ini akan
menyebabkan perubahan-perubahan terhadap produk yang meliputi: perubahan
tekstur, flavor, warna, penampilan fisik, nilai gizi dan lain-lain (Arpah, 2001).
Pengaruh beberapa faktor terhadap reaksi kerusakan pada produk pangan disajikan
pada Tabel 4.
Tabel 4. Pengaruh Beberapa Faktor dan Efek Deterioratif Pada Pangan
Faktor Utama Efek Deterioratif
Oksigen Oksidasi lipida Kerusakan vitamin Kerusakan protein Oksidasi pigmen
Uap air Kehilangan/kerusakan vitamin Perubahan organoleptik Oksidasi lipida
Cahaya Oksidasi Pembentukan bau/perubahan flavor Kerusakan vitamin
Kompresi/bantingan, vibrasi, abrasi, penanganan secara kasar
Perubahan organoleptik Kebocoran pada pengemas
Bahan kimia toksik/bahan kimia off-flavor
Off-flavor Perubahan organoleptik Perubahan kimia Pembentukan racun
Kerusakan lemak yang utama adalah timbulnya bau dan rasa tengik yang
disebut proses ketengikan. Hal ini disebabkan oleh otooksidasi radikal asam lemak
tidak jenuh dalam lemak. Otooksidasi dimulai dengan pembentukan radikal-radikal
bebas yang disebabkan oleh faktor-faktor yang dapat mempercepat reaksi seperti
cahaya, panas, peroksida lemak atau hidroperoksida, logam-logam berat seperti Cu,
Fe, Co dan Mn serta enzim-enzim lipooksidase (Winarno, 1997).
Penyimpangan-penyimpangan ini menyebabkan produk pangan tidak
menyerupai tekstur seperti aslinya pada awal produksi. Tergantung pada tingkat
deteriorasi yang berlangsung. Perubahan tersebut dapat menyebabkan produk pangan
15
tidak dapat lagi digunakan untuk tujuan seperti yang seharusnya atau bahkan tidak
dapat dikonsumsi sehingga dikategorikan sebagai bahan kadaluarsa (Arpah, 2001).
Menurut Syarief et al. (1989), penentuan umur simpan bahan pangan dapat
dilakukan dalam tiga metode yaitu metode konvensional, metode akselerasi kondisi
penyimpanan dan metode nilai paruh waktu (half value point). Metode konvensional
menitikberatkan pada pengaruh kadar air dan perubahan yang terjadi pada produk
yang dikemas dengan RH beragam. Metode akselerasi kondisi penyimpanan
dilakukan dengan pengamatan kenaikan atau penyusutan berat produk yang dikemas
dengan menggunakan berbagai jenis kemasan, sedangkan metode nilai paruh waktu
juga memperhitungkan kadar air yang diserap pengemas dan kadar air kritis produk.
Persamaan Arrhenius menunjukkan ketergantungan laju reaksi deteriorasi terhadap
suhu. Keadaan suhu ruang penyimpanan sebaiknya tetap dari waktu ke waktu, tetapi
seringkali keadaan suhu penyimpanan berubah-ubah (Syarief dan Halid, 1993).
Pengaruh Pembekuan dan Penyimpanan Dingin pada Pertumbuhan Mikroorganisme
Perubahan kualitas daging beku sangat minimal pada temperatur
penyimpanan -18 oC, sehingga temperatur pembekuan ini digunakan sebagai dasar
penyimpanan beku. Penyimpanan beku pada temperatur di bawah -10 oC akan sangat
menurunkan dan menghambat pertumbuhan mikroorganisme pembusuk
(Soeparno, 2005). Pertumbuhan mikroorganisme pada makanan pada suhu di bawah
kira-kira -12 oC belum dapat diketahui dengan pasti. Jadi penyimpanan makanan
beku pada suhu sekitar -18 oC dan di bawahnya akan mencegah kerusakan
mikrobiologis, dengan persyaratan tidak terjadi perubahan suhu yang besar.
Mikroorganisme psikofilik mempunyai kemampuan untuk tumbuh pada suhu
lemari es, terutama di antara 0 oC dan 5 oC. Jadi penyimpanan yang lama pada suhu-
suhu ini dapat mengakibatkan terjadinya kerusakan oleh mikroorganisme. Walaupun
jumlah mikroba biasanya menurun selama pembekuan dan penyimpanan beku
(kecuali spora), makanan beku tidak steril dan seringkali cepat membusuk.
Pembekuan dan penyimpanan makanan beku juga mempunyai pengaruh nyata pada
kerusakan sel mikroba. Jika sel yang rusak atau luka tersebut mendapat kesempatan
menyembuhkan dirinya, maka pertumbuhan yang cepat akan terjadi jika lingkungan
sekitarnya memungkinkan (Buckle et al., 1987).
16
Berdasarkan temperatur maksimum dan optimum untuk pertumbuhan,
mikroorganisme dibagi menjadi 3 kelompok yaitu mesophylles yang tumbuh pada
suhu optimum antara 15 oC sampai 40 oC, sedangkan thermophylles tumbuh
optimum pada suhu 45 oC sampai 60 oC dan psychrophillic tumbuh optimum pada
suhu -1 sampai 3 oC. pertumbuhan bakteri pada dan di dalam daging dapat di bagi
menjadi 4 fase, yaitu fase lag, fase pertumbuhan logaritmik, fase konstan dan fase
kematian.
Berdasarkan definisi pembekuan atau penyimpanan beku daging, pembekuan
dilaksanakan pada suhu dimana mikroorganisme tidak dapat tumbuh dan pada suhu
dimana daging dalam kondisi yang cukup keras dan tahan pada penimbunan. Dalam
pelaksanaannya ialah penggunaan suhu di bawah -15 oC. Dalam tubuh hewan yang
masih hidup terdapat suatu mekanisme organisme biologi tertentu yang tidak
berfungsi lagi setelah hewan mati, dan yang akan mengakibatkan enzim pencernaan
akan menyerang jaringan tubuh (Desroisier, 1988).
Kerusakan yang menyebabkan penurunan mutu daging segar terutama
disebabkan oleh mikroorganisme. Mikroorganisme yang masuk ke dalam daging
hewan yang telah mati berasal dari daerah sekitarnya dan terjadi mulai dari saat
pemotongan hewan serta pada proses penanganan lebih lanjut. Dalam daging, bakteri
tumbuh dan berkembang biak dengan baik dan untuk itu bakteri mengambil
kebutuhan pangannya dari daging yang setempat. Tingkat kerusakan daging
tergantung dari tingkat kebutuhan bahan pangan (nutrisi) bakteri. Kebanyakan
bakteri termasuk bakteri pembusuk daging dari genus pseudomonas, mempunyai
kebutuhan energi tingkat menengah. Temperatur pembekuan dan pendinginan
sebenarnya tidak jauh berbeda, suhu pembekuan yaitu -15 oC. Ini dapat mengurangi
bahaya dari bakteri pathogen dan memperlambat pertumbuhan dan pembusukan yang
terjadi karena mikroorganisme. Kebanyakan bakteri patogen termasuk Pseudomonas
sp, adalah bakteri yang paling menonjol pada permukaan daging, pada penyimpanan
dingin dan beku pada penyimpanan daging. Jika pendinginan dilakukan dengan cepat
di bawah suhu 10 oC sebelum pH di otot menjadi 6, maka serat pada otot akan
berkontraksi dan daging akan mengeras pada saat pemasakan (USDA, 2000).
Daging seperti bahan biologis yang lain, tidak mempunyai titik beku tertentu,
akan tetapi mempunyai kisaran titik beku, jumlah air yang terdapat sebagai es
17
ditentukan oleh rendahnya suhu. Jadi pada suhu 0 oC belum terdapat es, pada suhu
-10 oC kira-kira 83% beku dan baru pada suhu -40 oC semua air yang ada membeku
pada titik beku. Menurut Buckle et al. (1987), daging yang dibekukan mengalami
kerusakan yang lambat selama penyimpanan beku, terutama yang disebabkan oleh
oksida lemak, dapat mempengaruhi rasa terutama pada daging yang mengandung
banyak lemak. Lama penyimpanan dingin (≤0 oC) dari produk segar dan sudah
dimasak ditampilkan pada Tabel 5.
Tabel 5. Penyimpanan Dingin untuk Produk Segar dan Sudah Dimasak
Produk Lama Waktu Penyimpanan
Unggas 1 atau 2 hari
Daging sapi, daging kambing 3 sampai 5 hari
Hari, otak, jantung (organ bagian dalam) 1 atau 2 hari
Daging yang telah diasinkan, dimasak
sebelum dimakan
5 sampai 7 hari
Sosis, kalkun yang belum dimasak 1 sampai 2 hari
Telur 3 sampai 5 hari
Sumber: USDA (2000)
Banyak cara yang dapat dilakukan untuk mempertahankan keawetan daging,
diantaranya adalah pendinginan. Menurunkan suhu penyimpanan dapat berdampak:
(1) berkurangnya pertumbuhan mikroorganisme dan (2) melambatnya aktifitas
fisiologis pada jaringan tumbuhan dan aktivitas metabolisme dari jaringan hewan
post-mortem. Penyimpanan dingin biasanya dilakukan untuk mengontrol beberapa
komponen seperti suhu, kelembaban (RH), kecepatan udara, komposisi udara, dll
(Ramaswamy dan Marcotte, 2006). Pendinginan akan dapat mempertahankan
kesegaran serta dapat memperpanjang masa simpan suatu bahan pangan
(Desroisier, 1988).
Heldman dan Singh (1988) menyatakan bahwa semakin rendah suhu
lingkungan, aktivitas mikroorganisme serta sistem enzim menjadi semakin
berkurang. Penyimpanan dengan cara pendinginan menggunakan suhu yang tidak
begitu juah dibawah suhu pembekuan dan biasanya melibatkan sistem pendinginan
dengan es atau refrigerasi mekanik. Cara ini digunakan sebagai pengawetan utama
18
untuk bahan pangan atau untuk pengawetan sementara sampai proses pengawetan
lebih lanjut dilakukan (Frazier, 1967).
Penyimpanan karkas atau daging pada suhu dingin, meskipun dalam waktu
yang singkat diperlukan untuk mengurangi kontaminasi atau untuk mengendalikan
kerusakan dan perkembangan mikroorganisme. Kemungkinan kerusakan daging atau
karkas selama masa penyimpanan dingin dapat diperkecil dengan cara menyimpan
karkas dalam bentuk yang belum dipotong-potong (Soeparno, 2005). Pada
umumnya, makin besar ukuran karkas dan lemak eksternal, makin lama waktu yang
dibutuhkan untuk pendinginan pada suhu kecepatan udara pendingin tertentu
(Bouton et al., 1978). Suhu, kecepatan udara dan kelembaban merupakan parameter
penting yang mempengaruhi kekeringan/ pengeringan produk. Semakin tinggi suhu
udara semakin cepat proses pengeringan. Semakin cepat aliran angina akan
memperlambat proses pengeringan. Menurut Ramaswamy dan Marcotte (2006)
ukuran, bentuk dan luas permukaan produk sangat mempengaruhi kekeringan serta
kecepatan kering produk.
Sifat Fisik Sosis
Daya Serap Air (DSA)
Muchtadi dan Sugiono (1992), menyatakan bahwa daya serap air (DSA)
menunjukan kemampuan daging untuk mengikat air bebas. Sifat ini sangat penting
dalam pembuatan produk emulsi daging, seperti sosis dan bakso. Produk sosis dan
bakso diperlukan DSA yang tinggi.
Menurut Ellinger (1972), keberadaan air dalam daging mempengaruhi susut
berat, sifat kekerasan dan kekenyalan. Natrium Chlorida (NaCl) mempunyai peranan
untuk meningkatkan mutu, menekan susut berat dan daya mengikat air terutama pada
penggunaan daging segar. Semakin tinggi konsentrasi NaCl yang digunakan terjadi
peningkatan daya mengkat air.
Derajat Keasaman (pH)
Nilai pH merupakan salah satu faktor yang perlu diketahui dalam setiap
pembuatan produk olahan daging. Nilai pH dipengaruhi oleh bahan-bahan yang
digunakan dalam produk tersebut terutama daging yang digunakan. Nilai pH
berpengaruh terhadap sifat-sifat produk yang dihasilkan, yaitu masa simpan, DMA,
tekstur, stabilitas emulsi, kekenyalan, dan warna produk (Indriyani, 2007).
19
Kekenyalan
Faktor yang mempengaruhi kekenyalan daging digolongkan menjadi faktor
antemortem (genetik, spesies, bangsa, tipe ternak, jenis kelamin, dan umur) dan
faktor postmortem (metode pelayuan, stimulasi listrik, metode pemasakan, dan pH
daging). Bertambahnya penggunaan tapioka menjadikan sosis lebih kenyal
(Gadiyaram dan Kannan, 2004). Menurut Moedjiharto (2003) pembentukan
kekenyalan berkaitan dengan daya elastisitas dan berhubungan dengan kemampuan
pengikatan air oleh pati dan kelarutan protein miosin, campuran dengan lemak, gula,
garam, dan pati.
Sifat Organoleptik
Sifat mutu subjektif pangan disebut organoleptik atau indrawi karena
penilaiannya menggunakan organ indra manusia. Kadang-kadang juga disebut sifat
sensorik karena penilaiannya berdasarkan pada rangsangan sensorik pada organ
indra. Palatabilitas panelis dapat ditujukan melalui uji organoleptik yang meliputi
warna, rasa, aroma, kekenyalan, dan tekstur (Soekarto, 1990).
Bakteri Patogen
Bakteri yang dapat digunakan untuk menguji aktivitas antibakteri pada bahan
pangan meliputi bakteri gram positif dan bakteri gram negatif. Mikroba-mikroba
tersebut dapat digolongkan dalam mikroba bakteri perusak. Mikroba yang dapat
menyebabkan keracunan dan infeksi saat ikut terkonsumsi disebut mikroba patogen.
Escherichia coli
E. coli tergolong dalam famili Enterobacteriaceae dan termasuk bakteri gram
negatif, berbentuk batang dengan ukuran panjang 2,0-6,0 mikrometer, E. coli
terdapat dalam bentuk tunggal atau berpasangan, bersifat motil atau non motil.
Aktivitas air (aw) minimum yang memungkinkan pertumbuhan E. coli adalah antara
0,95 sampai 0,96 (Fraizer dan Westhoff, 1998).
E. coli merupakan flora normal yang hidup dalam saluran pencernaan
manusia dan hewan. Sel bakteri ini terdapat pada feses dan air yang terkontaminasi
oleh feses. Bakteri ini stabil dalam medium yang mengandung glukosa, amonium
20
sulfat dan sedikit garam mineral (Salle, 1961). Gambar bakteri E. coli dapat dilihat
pada Gambar 3.
Gambar 3. Escherichia Coli
(http://www.lintasberita.com/go/226395)
Bakteri Asam Laktat
Bakteri asam laktat (BAL) merupakan mikroflora normal yang berada dalam
daging yang dapat disebabkan oleh terdapatnya kontaminasi selama pengolahan.
Bakteri asam laktat dapat memfermentasi karbohidrat menjadi asam laktat sehingga
dapat menyebabkan turunnya pH daging. Turunnya pH daging dapat membantu
menekan pertumbuhan bakteri patogen pembusuk yang ada (Fardiaz, 1992). Bakteri
asam laktat termasuk bakteri gram positif, tidak berspora, selnya berbentuk batang
atau bulat, baik tunggal, berpasangan maupun berantai dan kadang berbentuk tetrad
(Banwart, 1983).
Menurut Jay (1996), bakteri asam laktat bersifat mesofilik dan termofilik,
beberapa dapat tumbuh pada suhu 5 oC dan suhu maksimum 45 oC, dapat bertahan
pada pH 3,2 dan pada pH yang lebih tinggi 9,6 serta beberapa bakteri asam laktat
dapat tumbuh pada kisaran pH yang sangat sempit (4,0-4,5). Bakteri asam laktat
menghasilkan beberapa senyawa antimikroba berupa asam-asam organik berupa
asetat, asam laktat dan karbondioksida (Ouwehand, 1998). Selain itu juga dihasilkan
hidrogen peroksida dan senyawa diasetil serta senyawa-senyawa reuterin dan 2-
pirolidon-5asam karboksilat, sehingga efektif dalam menghambat bakteri.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Mikroorganisme
Faktor Intrinsik
Kandungan Nutrisi. Mikroorganisme membutuhkan nutrisi untuk kehidupan dan
pertumbuhannya yaitu sebagai sumber karbon, nitrogen, energi dan faktor
pertumbuhan yaitu mineral dan vitamin. Nutrisi tersebut dibutuhkan untuk
21
membentuk energi dan menyusun komponen-komponen sel (Jay, 2000). Ray (2004)
menyatakan bahwa pertumbuhan mikroorganisme disempurnakan melalui sintesis
komponen-komponen sel dan energi. Kebutuhan akan nutrisi proses tersebut berasal
dari lingkungan yang dekat dengan sel-sel mikroorganisme. Sel-sel tersebut apabila
tumbuh, maka akan mensuplai nutrisi. Nutrisi-nutrisi ini terdiri atas karbohidrat,
protein, lemak, mineral dan vitamin.
Nilai pH dan TAT (Total Asam Tertitrasi). Nilai pH medium sangat
mempengaruhi jenis mikroorganisme yang dapat tumbuh. Mikroorganisme
umumnya dapat tumbuh pada kisaran pH 3-6. Kebanyakan bakteri memiliki pH
optimum yaitu pH untuk pertumbuhan maksimum sekitar 6,5-7,5 (Fardiaz, 1992).
Pengukuran TAT adalah jumlah hidrogen total (dalam bentuk terdisosiasi dan tidak
terdisosiasi), sedangkan dalam pengukuran pH yang terukur adalah jumlah ion
hidrogen dalam bentuk terdisosiasi. Pengontrolan terhadap nilai TAT dan pH
merupakan suatu parameter yang penting, karena adanya perubahan nilai TAT dan
pH pada bahan pangan akan mempengaruhi kualitas bahan pangan tersebut. Nilai pH
dan TA dipengaruhi oleh produksi asam laktat dan asam organik lainnya sehingga
hasil metabolisme starter terhadap karbohidrat daging. Varnam dan Sutherland
(1995) menyatakan bahwa pembentukan asam laktat tergantung pada tingkat
aktivitas mikroba yang digunakan.
Aktivitas Air (aw). Adalah jumlah air bebas yang dapat digunakan oleh mikroba
untuk pertumbuhannya (Syarief dan Halid, 1993). Kandungan air suatu bahan tidak
dapat digunakan sebagai indikator nyata dalam menentukan ketahanan simpan suatu
produk pangan. Ray (2004) menambahkan, bahwa aktivitas air merupakan
pengukuran ketersediaan air untuk menjalankan fungsi-fungsi biologis. Aktivitas air
berkaitan dengan keberadaan air dalam bahan pangan dalam bentuk bebas. Air yang
terkandung dalam bahan pangan, apabila terikat kuat dengan komponen bukan air
lebih sukar digunakan baik untuk aktivitas mikrobiologis maupun aktivitas kimia
hidrolitik. Fardiaz (1992) menyatakan bahwa mikroorganisme memiliki aw minimal
yang berbeda.
Komponen Antimikroba. Bahan pangan kemungkinan dapat mengandung
komponen-komponen yang dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme.
22
Komponen antimikroba tersebut terdapat dalam bahan pangan melalui beberapa cara,
yaitu: (1) terdapat secara alamiah di dalam bahan pangan, (2) ditambahkan dengan
sengaja ke dalam bahan pangan dan (3) terbentuk selama pengolahan atau oleh jasad
renik yang tumbuh selama fermentasi bahan pangan (Fardiaz, 1992). Bakteri asam
laktat dapat menghasilkan bakteriosin yang dapat menghambat petumbuhan bakteri
patogen atau pembusuk (Ray, 2004). Proliferasi mikroorganisme dapat dipenaruhi
oleh komponen penghambat. Bahan-bahan yang dapat menghambat aktivitas
mikroorganisme disebut bacteriostat, sedangkan yang dapat membunuh
mikroorganisme disebut bactericide (Marriott, 1989).
Faktor Ekstrinsik
Suhu. Marriott (1989) menyatakan bahwa mikroorganisme memiliki suhu optimum,
minimum dan maksimum. Suhu di bawah minimum dan di atas maksimum, aktivitas
enzim akan berhenti atau bahkan terdenaturasi pada suhu yang terlalu tinggi.
Menurut Fardiaz (1992) suhu tempat suatu bahan pangan disimpan berpengaruh
besar terhadap mikroorganisme yang dapat tumbuh serta kecepatan
pertumbuhanannya.
Kelembaban Relatif (RH). Kelembaban relatif merupakan faktor ekstrinsik yang
mempengaruhi pertumbuhna mikroorganisme dan dipengaruhi oleh suhu. Semua
mikroorganisme memiliki kebutuhan air yang tinggi untuk mendukung pertumbuhan
dan aktivitasnya. RH yang tinggi dapat menyebabkan uap air terkondensasi pada
makanan, peralatan, dinding dan langit-langit ruangan. Kondensasi tersebut dapat
menyebabkan permukaan menjadi lembab atau basah, sehingga kondusif bagi
pertumbuhan mikroorganisme dan kerusakan (Marriott, 1989). RH optimal bagi
bakteri adalah 92% atau lebih, sedangkan khamir membutuhkan 90% atau lebih, dan
kapang membutuhkan RH yang lebih kecil yaitu 85%-90%.