101
TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PERKAWINAN TELECONFERENCE Oleh : DEDE YUSIPA NIM : 103044128068 K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A PROGRAM STUDI AHWAL SYAKHSHIYAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A 1431H/2010 M

TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PERKAWINAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5673/1/DEDE... · yang ada di dalam masyarakat, baik itu norma agama, kesopanan, kesusilaan

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PERKAWINAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5673/1/DEDE... · yang ada di dalam masyarakat, baik itu norma agama, kesopanan, kesusilaan

TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP

PERKAWINAN TELECONFERENCE

Oleh :

DEDE YUSIPA

NIM : 103044128068

K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A

PROGRAM STUDI AHWAL SYAKHSHIYAH

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A

1431H/2010 M

Page 2: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PERKAWINAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5673/1/DEDE... · yang ada di dalam masyarakat, baik itu norma agama, kesopanan, kesusilaan

TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP

PERKAWINAN TELECONFERENCE

SkripsiDiajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum

Untuk Memenuhi Persyaratan MemperolehGelar Sarjana Hukum Islam (SHI)

Oleh:

Dede YusipaNIM : 103044128068

Di Bawah Bimbingan

&eProf. Dr. Hasanuddin. AF. MA

NIP. 1500s0917

KONSENTRA SI PERADILAN AGAMAPROGRAM STUDI AHWAL SYAKHSHIYAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUMUNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAHJAKARTA

t43t H/2011 M

Page 3: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PERKAWINAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5673/1/DEDE... · yang ada di dalam masyarakat, baik itu norma agama, kesopanan, kesusilaan

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

SKTiPSi Yang beTJudul TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PERKAWINAN

TELECONFERENCE telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum

Universitas Islam Negeri ruf$ Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 3l Maret20lL Skripsi

ini telah diterima sebagai salah sahr syarat memperoleh gelar Sarjana Syariah (S.sy) pada

program studi Ahwal al-Syakhsiyyah.

Jakarta, 04 egustus 2011Mengesahkan

-<<'D€kan F/ yariah dan Hukum

NIP: 1955'0505 1982 0310 12

PANITIA UJIAN

Ketua: Drs.H.A.BasiqDjalil. SH. MANIP : 19500306197 603 1001

l-y---- -...4.... ...........)

Sekretaris: Hj..Rosdiana" MANIP : I 96906102003 122001 +,,d'

Pembimbing: Prof. Dr. Hasanuddin.AF MANIP : 150050917

Penguji I : H. Jasir. SH. MHNIP : I 94407 09196604 1 001

Penguji II: Hj. Rosdiana. MANIP : 196906102003 122001

(,

( l#?,

Page 4: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PERKAWINAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5673/1/DEDE... · yang ada di dalam masyarakat, baik itu norma agama, kesopanan, kesusilaan

ii

KATA PENGANTAR

بسم اهلل الرحمن الرحيم

Puji syukur kepada Allah SWT, yang telah memberikan kenikmatan

berupa Ilmu kepada kita sebagai hamba-Nya, sehingga dengan ilmu itu kita bisa

membedakan kebaikan dan keburukan di atas bumi ini. Dan patutlah kalimat

Alhamdulillahi Rabbi Al-‘Alamin yang pertama kali terucap oleh penulis karena

penulis telah dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta Salam semoga

senantiasa dicurahkan kepada Rasulullah Muhammad SAW, keluarganya, para

sahabatnya serta para pengikutnya dan mudah-mudahan kita termasuk di

dalamnya.

Dalam penulisan skripsi ini, tidak sedikit kesulitan dan hambatan yang

penulis jumpai, namun syukur Alhamdulillah berkat rahmat dan dengan inayah-

Nya serta kesungguhan, kerja keras dan kerja cerdas disertai dukungan dan

bantuan dari berbagai pihak, baik langsung maupun tidak langsung, segala

kesulitan dapat diatasi dengan sebaik-baiknya sehingga pada akhirnya skripsi ini

dapat diselesaikan.

Oleh sebab itu, sudah sepantasnya-lah pada kesempatan kali ini penulis

ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum, Prof. Dr. H. Muhammad Amin

Suma, SH, MA., MM

2. Prof. Dr. Hasanuddin, AF, MA, sebagai dosen pembimbing yang telah

banyak meluangkan waktunya untuk membantu penulis dalam

meyelesaikan skripsi ini.

Page 5: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PERKAWINAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5673/1/DEDE... · yang ada di dalam masyarakat, baik itu norma agama, kesopanan, kesusilaan

iii

3. Ketua Program Studi Al-Akhwalu As-syakhsiyah, Drs. H. A. Basiq Djalil,

SH.,MA

4. Sekretaris Program Studi Al-Akhwalu As-syakhsiyah, Hj. Rosdiana. MA

5. Kepala unit perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta, yang telah memberikan fasilitas kepada penulis

untuk mengadakan studi kepustakaan sehingga selesainya skripsi ini.

6. Ayahanda Drs. Wildan A. Yus dan Ibunda Hj. Fatimah Nurlaelis yang

senantiasa memberikan motivasi, arahan serta doa yang tiada henti-

hentinya dan bantuan moril maupun materiil.

7. Teman-teman diskusi Peradilan Agama Fakultas Syariah dan Hukum UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta Angkatan 2003 Mudah-mudahan jalinan

persahabatan kita tak terhenti sampai di sini dan bisa terjalin sampai kapan

pun dan di manapun kita berada.

8. Muhammad Yusuf Daulay, Andreansyah Syafi’i, Firman Assalamsyah

sebagai sahabat pertama yang membantu penulis dalam berbagai

permasalahan, dan banyak lagi yang lainnya yang tidak bisa penulis

sebutkan satu-persatu.

9. Secara khusus, penulis haturkan terima kasih sebesar-besarnya kepada

adinda Heryani Arman, yang telah memberikan motivasi kepada penulis

dalam menyelesaikan skripsi ini, terima kasih atas segala bantuanya,

Semoga Allah membalas kebaikannya.

Semoga amal baik semua dibalas oleh Allah SWT dengan balasan yang

berlipat ganda. Amin.

Page 6: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PERKAWINAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5673/1/DEDE... · yang ada di dalam masyarakat, baik itu norma agama, kesopanan, kesusilaan

iv

Akhirnya, penulis berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat, bagi

penulis khususnya dan bagi pembaca pada umumnya. Oleh karena itu, kritik dan

saran yang membangun senantiasa penulis harapkan untuk kesempurnaan skripsi

ini.

Jakarta, 1 Maret 2011

Penulis,

Page 7: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PERKAWINAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5673/1/DEDE... · yang ada di dalam masyarakat, baik itu norma agama, kesopanan, kesusilaan

v

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................... ii

DAFTAR ISI .............................................................................................. v

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ............................................................

B. Batasan dan Perumusan Masalah ...................................................

C. Maksud dan Tujuan Penelitian ...................................................

D. Kegunaan Penelitian……….………………………………………

E. Kerangka Pemikiran……………………………………………….

F. Metode Penelitian…………………………………………………

G. Sistematika Penulisan Skripsi..........................................................

1

5

5

6

6

9

12

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERKAWINAN

A. Perkawinan Menurut Undang-Undang…........................................

B. Perkawinan Menurut Fiqih………………….……………………..

14

31

BAB III PERKAWINAN JARAK JAUH

A. Telekomunikasi Dan Perkembangannya………….........................

B. Pengaruh Telekomunikasi Terhadap Perkawinan Di Indonesia…

C. Perkawinan Teleconference Di Indonesia…...................................

51

56

62

Page 8: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PERKAWINAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5673/1/DEDE... · yang ada di dalam masyarakat, baik itu norma agama, kesopanan, kesusilaan

vi

BAB IV HUKUM PERKAWINAN TELECONFERENCE

A. Pengaturan Perkawinan Teleconference…..………………………

B. Prosedur Perkawinan Teleconference….………………………….

C. Kendala-kendala Perkawinan Media Teleconference…..…………

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ………………………………………………………..

B. Saran ………………………………………………………………

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................

68

78

85

88

90

91

Page 9: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PERKAWINAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5673/1/DEDE... · yang ada di dalam masyarakat, baik itu norma agama, kesopanan, kesusilaan

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Manusia merupakan mahluk yang paling sempurna diciptakan oleh Tuhan

Yang Maha Esa, yang dikaruniai akal dan pikiran, kesempurnaan untuk berjalan

serta kemampuan berkomunikasi dan berbicara yang membedakan manusia

dengan mahluk lain yang ada di muka bumi ini.

Bertambahnya jumlah populasi manusia di muka bumi menyebabkan

tersebarnya manusia ke berbagai tempat yang dipisahkan oleh jarak, sedangkan

manusia itu sendiri merupakan mahluk sosial yang membutuhkan manusia lain di

sekitarnya, yang dalam persepsi sosiologis diartikan sebagai mahluk yang tidak

dapat hidup sendiri, oleh karena setiap manusia (secara individual) masing-masing

memiliki kelebihan dan kekurangan serta membutuhkan individu lain, untuk dapat

saling menutupi kekurangannya, sehingga timbul suatu motivasi agar sesama

manusia itu dapat saling mencintai antar sesamanya tanpa mempermasalahkan

perbedaan warna kulit, ras, etnis ataupun perbedaan fisik, dengan proporsi yang

seimbang dalam arti adanya penyeimbangan antara cinta pada diri sendiri dengan

cinta pada sesama manusia lain dengan membatasi penunjukan rasa cinta mereka.1

Rasa saling membutuhkan antar sesama manusia di ajarkan dalam agama

Islam, bahwa setiap manusia itu diciptakan hidup berpasangan, guna melengkapi

kekurangan dan membagi kelebihan yang dimiliki oleh masing-masing individu.

1 M. Munandar Sulaeman, Ilmu Budaya Dasar , Suatu Pengantar. PT. Eesco, Bandung.

1995. Hlm. 51

Page 10: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PERKAWINAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5673/1/DEDE... · yang ada di dalam masyarakat, baik itu norma agama, kesopanan, kesusilaan

2

Setiap individu telah di gariskan takdirnya pasti mendapatkan pasangan hidup

masing-masing, akan tetapi tidak dengan jalan yang melanggar norma-norma

yang ada di dalam masyarakat, baik itu norma agama, kesopanan, kesusilaan

maupun norma hukum, melainkan dengan melangsungkan perkawinan sebagai

suatu ibadah.

Agama Islam memberikan suatu himbauan bagi semua manusia pada

umumnya dan umat Islam pada Khususnya, jika telah berkemampuan secara

jasmani maupun rohani serta lahir maupun batin, untuk melangsungkan

perkawinan sebagai jalan yang terbaik dalam membina suatu hubungan yang sah

dari adanya pergaulan hidup antar manusia, yang semakin menunjukkan adanya

kebebasan yang sebebas-bebasnya dalam pergaulan antara pria dan wanita,

walaupun pada masyarakat Indonesia itu yang adat istiadat sangat menjunjung

tinggi kesopanan dan kesusilaan dalam pergaulan hidup. Pengaruh globalisasi dan

keterbukaan informasi yang mengakibatkan masuknya nilai-nilai budaya barat

(yang sifatnya lebih objektif dengan penekanan kepada masalah rasio, berbeda

dengan budaya timur yang sangat menjunjung perasaan atau intuisi yang lebih

menekankan inti kepribadian pada hati)2, ke dalam beberapa sendi kehidupan

masyarakat Indonesia yang sedikit demi sedikit mengubah pola tatanan ketimuran

mengenai pentingnya makna dari suatu perkawinan.

Perkawinan, menurut pandangan masyarakat adat di Indonesia, merupakan

tahapan akhir atau stage along the life circle dalam rangkaian hidup seorang

manusia dan bersifat sangat sakral, sehingga dalam pelaksanannnya harus dilalui

2 Ibid M. Munandar Sulaeman,. hlm. 36-38

Page 11: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PERKAWINAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5673/1/DEDE... · yang ada di dalam masyarakat, baik itu norma agama, kesopanan, kesusilaan

3

dengan tahapan-tahapan upacara pelepasan status atau sering disebut Rites de

Passage, hal ini tidak lain karena hakekat perkawinan sebagai penyatuan dua

keluarga besar, yang bertujuan untuk3 :

1. melangsungkan hidup kelompoknya secara tertib – teratur ;

2. melahirkan generasi baru sebagai pelanjut garis hidup kelompoknya.

3. meneruskan garis keluarga tertentu yang termasuk dalam persekutuan

tersebut.

Banyaknya tata cara dan atau aturan yang harus dilalui untuk mencapai

sahnya suatu perkawinan, menimbulkan pemikiran untuk menyederhanakan dan

membuat praktis. Keinginan kuat penyederhanaan sahnya perkawinan ini semakin

terwujud, dengan adanya perubahan sahnya perkawinan secara adat menjadi

secara agama. Sahnya suatu perkawinan secara agama semakin diperkuat dengan

keluarnya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, terutama Pasal 2 ayat (1) yang

berbunyi sebagai berikut :

“Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-

masing agamanya dan kepercayaannya itu”

Berdasarkan pada ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 1

Tahun 1974 tentang perkawinan (UU perkawinan) ini, maka suatu perkawinan itu

tidak akan ada, jika dilakukan di luar hukum masing-masing agamanya dan

kepercayaannya sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945. Setelah dilakukan

perkawinan sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat (1), segera dilanjutkan dengan

pencatatan perkawinan tidak hanya sebagai suatu bentuk tata tertib administrasi,

3 Iman Sudiyat, Hukum Adat : Sketsa Asas. Liberty, Yogyakarta, 1981, Hlm. 107

Page 12: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PERKAWINAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5673/1/DEDE... · yang ada di dalam masyarakat, baik itu norma agama, kesopanan, kesusilaan

4

akan tetapi adanya pencatatan perkawinan ini membuktikan telah dilaksanakan

atau belum perbuatan hukum perkawinan yang ditentukan dalam ketentuan Pasal

2 ayat (1) tersebut di atas. Oleh karena itulah, pencatatan perkawinan sesuai

ketentuan Pasal 2 ayat (2) UU perkawinan ini, sangat penting kedudukannya

dalam hal terjadinya akibat hukum dari adanya perbuatan hukum perkawinan

tersebut.

Sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan (2) tersebut, maka timbul

suatu hal yang menarik dalam masyarakat mengenai perkawinan dengan

memanfaatkan teknologi telekomunikasi khususnya media teleconference, suatu

hal yang dulu dirasakan tidak mungkin terjadi, akan tetapi pada saat ini telah

dapat dilakukan. Hal ini tidak terlepas dari semakin canggih dan berkembangnya

sarana teknologi telekomunikasi.

Fenomena menarik berkaitan dengan pemanfaatan media teleconference

dalam suatu perkawinan menimbulkan suatu kajian baru berkaitan dengan sah

atau tidaknya perkawinan yang dilangsungkan secara jarak jauh, yang mendorong

penulis melakukan penelitian mengenai : Tinjauan Hukum Islam Terhadap

Perkawinan Teleconference

Page 13: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PERKAWINAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5673/1/DEDE... · yang ada di dalam masyarakat, baik itu norma agama, kesopanan, kesusilaan

5

B. Batasan dan Rumusan Masalah

1. Batasan Masalah

Agar pokok permasalahan dalam memahami skripsi ini tidak terlalu

meluas dan tetap pada jalurnya, penulis membatasi ruang lingkup pembahasan

dalam penulisan skripsi ini hanya berkisar pada “Hukum Perkawinan

Teleconference”.

2. Rumusan Masalah

Berdasarkan pada latar belakang penelitian tersebut maka dapat

dimunculkan rumusan masalah sebagai berikut :

1. Bagaimana status hukum bagi pernikahan Teleconference?

2. Bagaimanakah prosedur perkawinan yang dilakukan melalui media

teleconference?

3. Kendala-kendala apa saja yang timbul dalam pelaksanaan perkawinan

melalui media teleconference?

C. Maksud dan Tujuan Penelitian

Untuk memperoleh gambaran yang sesungguhnya tentang bagaimana

Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengatur tentang

perkawinan teleconference. Adapun tujuan dapat dirinci sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui sejauh mana Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang

perkawinan mengatur tentang perkawinan khususnya mengenai perkawinan

melalui media teleconference.

2. Untuk mengetahui prosedur perkawinan yang dilakukan dengan memanfaatkan

Page 14: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PERKAWINAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5673/1/DEDE... · yang ada di dalam masyarakat, baik itu norma agama, kesopanan, kesusilaan

6

media teleconference secara hukum.

3. Untuk mengetahui kendala-kendala yang timbul dan bagaimana solusinya

dalam menangani kendala-kendala tersebut.

D. Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kegunaan dan manfaat bagi pihak-

pihak yang berkepentingan, baik secara :

1. Teoritis

Yaitu dalam rangka pengembangan llmu Hukum Perdata pada umumnya

dan Hukum Perkawinan pada khususnya

2. Praktis

a. Memberikan suatu masukan bagi instansi yang terkait dalam bidang

perkawinan dan juga masyarakat.

b. Memberikan suatu alternatif atau terobosan baru dalam pelaksanaan

proses perkawinan melalui media perantara.

c. Penelitian ini dapat berguna untuk bahan rujukan atau acuan untuk

penelitian yang diadakan berikutnya.

E. Kerangka Pemikiran

Berdasarkan penelitian yang berkaitan dengan adanya perkawinan melalui

pemanfaatan media teleconference, berlandaskan pada teori atau pemikiran yang

timbul dari Pasal 2 UU Perkawinan, pada ayat (1) dan (2) yang berbunyi :

Page 15: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PERKAWINAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5673/1/DEDE... · yang ada di dalam masyarakat, baik itu norma agama, kesopanan, kesusilaan

7

(1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing

masing agamanya dan kepercayaannya itu

(2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang- undangan

yang berlaku.”

Selain kedua pasal di atas, landasan pemikiran lainnya adalah Pasal 10

Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 19754, khususnya pada ayat (3), yang

berbunyi:

“Dengan mengindahkan tatacara perkawinan menurut masing-masing

agamanya dan kepercayaannya itu, perkawinan dilaksanakan dihadapan pegawai

pencatat dan dihadiri oleh dua orang saksi”

Berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) UU Perkawinan serta

Pasal 10 ayat (3) PP No. 9/1975 tersebut, dapat diambil suatu kesimpulan bahwa

peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang perkawinan dan tatacara

perkawinan tidak menentukan dengan cara bagaimanakah perkawinan itu

harus dilangsungkan, karena tidak adanya ketentuan mengenai cara

berlangsungnya suatu proses perkawinan, maka akan dapat dimunculkan dua

penafsiran, yaitu apakah perkawinan harus dilangsungkan dengan

mempertemukan kedua mempelai atau sebaliknya, bahwa proses perkawinan

dapat dilangsungkan tanpa perlu kedua mempelai bertemu langsung.

Untuk menjawab dua penafsiran di atas, jika mengacu pada ketentuan

pasal tersebut, hanya akan mendapat jawaban yang sama. Hal ini tidak lain,

karena Pasal 2 ayat (1) yang menentukan sahnya perkawinan hanya memberikan

4 Untuk selanjutnya disingkat menjadi PP No. 9/1975

Page 16: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PERKAWINAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5673/1/DEDE... · yang ada di dalam masyarakat, baik itu norma agama, kesopanan, kesusilaan

8

arahan bahwa sahnya perkawinan itu kembali pada ketentuan hukum agama dan

kepercayaannya yang dianut oleh ara pihak yang bersangkutan, sedangkan

ketentuan Pasal 2 ayat (2) hanya merupakan ketentuan mengenai ketertiban

administrasi saja. Begitu pula halnya Pasal 10 ayat (3) PP No. 9/1975 hanya

menyatakan tatacara perkawinan dilangsungkan dihadapan Pegawai Pencatat dan

dihadiri oleh dua orang saksi. Dengan demikian, karena masalah sahnya

perkawinan itu kembali pada hukum agama, dapat dilihat pada agama islam,

memberikan persyaratan berupa adanya :

1. Calon mempelai pria dan wanita ;

2. Wali nikah ;

3. Saksi ;

4. Ijab-kabul

5. Mahar.

Keharusan mengenai ijab-kabul atau ucapan janji setia secara

berkesinambungan yang kemudian menimbulkan penafsiran, bahwa proses

perkawinan harus dilangsungkan dalam satu majelis atau satu tempat yang tidak

terpisah oleh jarak. Namun jika dilakukan penafsiran terbalik, maka proses

perkawinan yang dilakukan dengan jarak atau di sela oleh suatu perantara tetaplah

memenuhi keempat keharusan tersebut di atas, hanya saja tidak dilakukan di satu

majelis.

Berkaitan dengan hal tersebut di atas maka dapat diketahui bahwa fungsi

hukum adalah melindungi kepentingan manusia, sehingga dengan demikian

Page 17: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PERKAWINAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5673/1/DEDE... · yang ada di dalam masyarakat, baik itu norma agama, kesopanan, kesusilaan

9

penemuan hukum yang mengacu kepada kepentingan pencari keadilan lebih

diutamakan. Namun demikian Undang-undang tidak mengatur perkawinan

dengan tata cara melalui media teleconference, oleh karena itu terdapat

kekosongan hukum. Dalam hal kekosongan hukum yang demikian Mahkamah

Agung berpendapat :

“Bahwa tidaklah dapat dibenarkan kalau karena kekosongan hukum maka

kenyataan dan kebutuhan sosial seperti tersebut diatas dibiarkan tidak

terpecahkan secara hukum, karena membiarkan masalah tersebut berlarut-

larut pasti akan menimbulkan dampak-dampak negatif di segi kehidupan

bermasyarakat maupun beragama yang berupa penyelundupan-

penyelundupan nilai-nilai sosial maupun agama dan atau hukum positif,

maka Mahkamah Agung berpendapat haruslah dapat ditemukan dan

ditentukan hukumnya”.

F. Metode Penelitian

Dalam skripsi ini penulis menggunakan metode penelitian sebagai berikut:

1. Spesifikasi Penelitian

Penelitian yang digunakan dalam skripsi ini bersifat deskriptif analitis

yaitu menggambarkan dan menganalisis fakta-fakta apa adanya sesuai

dengan persoalan yang menjadi objek kajian penelitian5.

2. Metode Pendekatan

Metode Pendekatan utama yang dilakukan adalah metode penelitian

5 Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1990

Halaman 97-98

Page 18: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PERKAWINAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5673/1/DEDE... · yang ada di dalam masyarakat, baik itu norma agama, kesopanan, kesusilaan

10

secara Yuridis Normatif yaitu penelitian hukum yang menggunakan

sumber data sekunder yang berupa penilaian kepustakaan, penelitian

yang menekankan pada ilmu hukum, berusaha menelaah kaidah-kaidah

hukum yang berlaku dalam masyarakat dan sebagai penunjang dilakukan

metode penelitian secara Normatif6.

3. Jenis Penelitian

Berkenaan dengan pendekatan yuridis normatif yang digunakan, maka

penelitian dilakukan melalui dua jenis penelitian :

a. Penelitian Kepustakaan

Hal ini dimaksud untuk mendapat data sekunder, yaitu :

1) Bahan-bahan hukum primer, berupa Undang-Undang No. 1

Tahun 1974 tentang Perkawinan.Bahan-bahan hukum

sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai

bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisa dan

memahami bahan hukum primer.

2) Bahan hukum sekunder ini berupa Peraturan Presiden, dan

sumber pendukung lainnya.

3) Bahan-bahan tersier, yaitu bahan-bahan yang memberikan

informasi tentang bahan hukum primer dan bahan hukum

sekunder, berupa kamus hukum, kamus bahasa inggris, kamus

bahasa Indonesia, surat kabar, internet.

6 Ibid Ronny Hanitijo Soemitro, Hlm 24

Page 19: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PERKAWINAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5673/1/DEDE... · yang ada di dalam masyarakat, baik itu norma agama, kesopanan, kesusilaan

11

b. Alat Penelitian

Alat penelitian yang dimaksud adalah dalam hal peraturan perundang-

undangan tidak jelas, maka dipakailah metode interpretasi atau

metode penafsiran. Dalam hal ini penulis memakai metode

Interpretasi Teologis dan atau dinamakan juga interpretasi sosiologis,

metode ini dipakai apabila ketentuan undang-undang yang sudah

usang digunakan sebagai sarana untuk memecahkan atau

menyelesaikan sengketa yang terjadi sekarang, metode ini baru

digunakan apabila kata-kata dalam undang-undang dapat ditafsirkan

dengan pelbagai cara7.

4. Analisis Data

Dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan terhadap bahan-bahan

hukum primer (Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan) dan penelitian terhadap bahan-bahan hukum sekunder (buku,

majalah, makalah, surat kabar).

5. Metode Analisis Data

Dilakukan secara Normatif Kualitatif yaitu menganalisa masalah dari

data-data yang telah dikumpulkan yang berkenaan dengan masalah yang

sedang dibahas, lalu disusun permasalahannya dan selanjutnya dianalisa,

apakah undang-undang sudah benar-benar dilaksanakan oleh penegak

hukum.

7 Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum, sebuah pengantar. Liberty, Yogyakarta.

2004. Hlm 61

Page 20: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PERKAWINAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5673/1/DEDE... · yang ada di dalam masyarakat, baik itu norma agama, kesopanan, kesusilaan

12

6. Lokasi Penelitian

Guna menyelesaikan skripsi ini penulis melakukan penelitian-penelitian

sebagai berikut :

a. Perpustakaan.

b. Selain itu pun penulis juga melakukan penelitian dengan

browsing internet.

G. Sistematika Penulisan Skripsi

Untuk memberikan gambaran yang jelas dan terarah, maka diperlukan

suatu sistematika dalam penulisan skripsi. Oleh karena itu dalam sekripsi ini

sistematika penulisannya adalah sebagai berikut :

BAB I. PENDAHULUAN

Dalam bab ini dibahas latar belakang permasalahan, pembatasan dan

perumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, kajian pustaka, kerangka

konsep, metode penelitian dan tekhnik penulisan serta sistematika penulisan.

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERKAWINAN

Dalam bab ini dibahas tentang tinjauan umum mengenai perkawinan yang

meliputi perkawinan menurut undang-undang dan perkawinan menurut fiqih.

BAB III PERKAWINAN JARAK JAUH

Bab ini menjelaskan tentang telekomunikasi dan perkembangannya,

pengaruh telekominikasi terhadap perkawinan di Indonesia dan perkawinan

teleconference di Indonesia.

Page 21: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PERKAWINAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5673/1/DEDE... · yang ada di dalam masyarakat, baik itu norma agama, kesopanan, kesusilaan

13

BAB IV STATUS HUKUM PERKAWINAN TELECONFERENCE

Menjelaskan tentang pengaturan perkawinan teleconference, prosedur

perkawinan teleconference dan kendala-kendala dalam perkawinan

teleconference.

BAB V PENUTUP

Mencakup kesimpulan dan saran

DAFTAR PUSTAKA

Page 22: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PERKAWINAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5673/1/DEDE... · yang ada di dalam masyarakat, baik itu norma agama, kesopanan, kesusilaan

14

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN

A. Perkawinan Menurut Undang-Undang

1. Pengertian Perkawinan

Perkawinan merupakan hal yang penting dalam kaitannya dengan dasar

pembentukan keluarga yang sejahtera dan merupakan lembaga yang akan

menjamin halalnya pergaulan antara seorang pria dan wanita menjadi pasangan

suami dan istri, karena dapat melampiaskan seluruh rasa cinta dengan media yang

sah.1

Oleh karena pentingnya kedudukan perkawinan itu, maka pada saat

terbentuk dan diundangkannya undang-undang perkawinan yang bersifat nasional

yaitu Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang disahkan di

Jakarta pada tanggal 2 Januari 1974, memasukkan pengertian perkawinan pada

Bab I Pasal 1, yang berbunyi :

“Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang

wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah

tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa”

Berdasarkan pada pengertian perkawinan tersebut, maka perkawinan itu

mengandung unsur-unsur, yaitu :

a. Adanya landasan Ketuhanan Yang Maha Esa dalam membentuk

1 Abdurrahman Al-Mukaffi Pacaran Dalam Kacamata Islam, Media Dakwah, Jakarta, 1996,

hal. 38

Page 23: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PERKAWINAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5673/1/DEDE... · yang ada di dalam masyarakat, baik itu norma agama, kesopanan, kesusilaan

15

sebuah keluarga ;

b. Adanya suatu ikatan, baik lahir maupun batin ;

c. Adanya subjek pelaku, yaitu antara seorang pria dan wanita ;

d. Adanya tujuan untuk membentuk rumah tangga yang bahagia dan

kekal, guna mewujudkan suatu keluarga.

Unsur-unsur yang terdapat dalam pengertian perkawinan tersebut dapat

dilihat dari 3 segi pandangan, yaitu :2

1. Segi agama, bahwa perkawinan itu merupakan lembaga yang suci, karena

adanya “ikatan batiniah” antara seorang pria dan wanita untuk membentuk

suatu keluarga;

2. Segi hukum, bahwa perkawinan itu merupakan suatu perjanjian atau

merupakan “ikatan lahir” yang terjadinya hubungan hukum atau formil

nyata bagi yang mengikatkan dirinya ataupun bagi orang lain;

3. Segi sosial, bahwa dengan adanya perkawinan akan lebih mendapat

kedudukan yang dihargai oleh masyarakat daripada yang belum

melangsungkan perkawinan.

Pengertian perkawinan dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan, telah memberikan suatu ketentuan yang bersifat nasional. Dalam

kaitannya menyaring pelbagai persepsi yang selama ini berkembang dalam

membuat pengertian perkawinan yang timbul dari pluralisme hukum dalam

masyarakat Indonesia yang berkaitan dengan masalah hukum keluarga, khususnya

dalam hukum perkawinan. Pengertian perkawinan yang dimaksud adalah

2 Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia,. UI-Press, Jakarta. 1986. Hlm. 47-48

Page 24: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PERKAWINAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5673/1/DEDE... · yang ada di dalam masyarakat, baik itu norma agama, kesopanan, kesusilaan

16

menurut:

a. Hukum Adat

Erat kaitannya dengan corak konkrit, kontan dan komunalnya bahwa

perkawinan adalah mempersatukan anggota warganya yaitu antara seorang

pria dan seorang wanita sebagai sarana untuk melangsungkan hidup

kelompoknya secara tertib, sarana untuk melahirkan generasi baru sebagai

pelanjut garis hidup kelompoknya dan juga sarana untuk meneruskan garis

keluarga dari suatu persekutuan.3

b. Hukum positif

Perkawinan adalah merupakan suatu hubungan hukum antara seorang pria

dengan seorang wanita untuk hidup bersama dengan kekal, yang diakui

oleh negara (pendapat Scholten dalam menterjemahkan pengertian

menurut BW).4

Walaupun terdapat perbedaan, akan tetapi semuanya memuat materi yang

sama dalam suatu pengertian perkawinan. Materi muatan yang mengandung

kesamaan tersebut adalah dalam hal :

1. Subjeknya harus antara pria dan wanita,

2. Timbulnya suatu ikatan,

3. Dalam proses pengikatannya harus dilakukan sesuai dengan ketentuan

atau peraturan yang berlaku dalam setiap sistem hukum tersebut,

sehingga terdapat suatu pengakuan atas ikatan yang timbul.

3 Iman Sudiyat, Hukum Adat : Sketsa Asas. Liberty, Yogyakarta, 1981, hal 78

4 R. Soetojo Prawirohamidjojo dan Asis Safioedin, Hukum Orang dan Keluarga, Alumni,

1982,hal 63

Page 25: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PERKAWINAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5673/1/DEDE... · yang ada di dalam masyarakat, baik itu norma agama, kesopanan, kesusilaan

17

Dengan demikian terlihat secara jelas bahwa kesamaan yang terdapat

dalam memberikan pengertian perkawinan itu telah pula diresepsi oleh undang-

undang perkawinan nasional yang diberlakukan bagi seluruh masyarakat

Indonesia.

2. Tujuan Perkawinan

Sehubungan dengan bunyi ketentuan Pasal 1 UU Perkawinan dapat dilihat

bahwa tujuan perkawinan adalah untuk :

“...membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal

berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”

Berdasarkan ketentuan di atas, maka tujuan perkawinan yang dimaksudkan

dalam Pasal 1 UU Perkawinan tersebut, meliputi beberapa aspek yang

dikehendaki, yaitu :

a. Perkawinan bertujuan untuk membentuk keluarga yang terdiri dari ayah, ibu

dan anak, sehingga kehadiran anak itu menimbulkan hubungan-hubungan

hukum dengan ayah maupun dengan ibu.

b. Untuk menempatkan kedudukan yang seimbang antara suami dan istri dalam

membentuk suatu rumah tangga, untuk itulah antara suami dan istri perlu dan

harus saling membantu dan melengkapi dengan maksud agar kedua belah pihak

dapat membantu dan mencapai kesejahteraan baik spirituil maupun materil.

c. Oleh karena bertujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal, maka

tujuan lain yang dikehendaki adalah perkawinan yang berlangsung seumur

hidup dengan menghindari sebesar mungkin terjadinya perceraian dan

mempersulit terjadinya suatu perceraian.

Page 26: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PERKAWINAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5673/1/DEDE... · yang ada di dalam masyarakat, baik itu norma agama, kesopanan, kesusilaan

18

3. Sahnya Perkawinan

UU perkawinan, yang memuat mengenai sahnya perkawinan secara

materiil dalam pasal 2 ayat (1) dan secara formil dalam pasal 2 ayat (2), maka

secara nasional mengenai sahnya perkawinan tersebut berlaku bagi seluruh

masyarakat Indonesia.

Menurut Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan sebagai syarat materil suatu

perkawinan, menentukan bahwa :

“Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum agamanya

masing-masing dan kepercayaannya itu”

Dengan perumusan pada Pasal 2 ayat (1) ini, tidak ada perkawinan diluar

hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, sesuai dengan Undang-

undang Dasar 1945. Yang dimaksud dengan hukum masing-masing agamanya

dan kepercayaannya itu termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku

bagi golongan agamanya dan kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan

atau tidak ditentukan lain dalam UU Perkawinan. Setelah perkawinan

dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat (1), maka untuk selanjutnya

dilaksanakan pencatatan perkawinan sebagai syarat formil, sesuai dengan

ketentuan Pasal 2 ayat (2) yang berbunyi :

“Tiap-tiap Perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang

berlaku”

Diberlakukannya undang-undang perkawinan yang bersifat nasional ini,

secara perlahan telah berpengaruh dalam hal proses perkawinan. Serta membatasi

berlakunya ketentuan hukum adat menyangkut perkawinan, apabila ada yang

Page 27: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PERKAWINAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5673/1/DEDE... · yang ada di dalam masyarakat, baik itu norma agama, kesopanan, kesusilaan

19

bertentangan dengan ketentuan hukum agama dan ketentuan perundang-undangan

dalam bidang hukum agama. Oleh sebab itulah, hukum adat yang biasanya

berpengaruh dalam pelaksanaan proses perkawinan, semakin banyak ditinggalkan.

Kesulitan dalam pelaksanaan perkawinan menurut adat, serta besarnya pengaruh

hukum agama, yang kemudian diserap oleh undang-undang perkawinan

memperbesar pergeseran pelaksanaan proses perkawinan. Walaupun dalam

kenyataannya tidak mutlak hukum adat ditinggalkan, karena hukum adat sifatnya

fleksibel dan plastis sehingga mampu untuk menerima intervensi dari hukum

agama dan menyerap hukum agama tersebut (khususnya hukum agama Islam

yang telah lama diserap oleh hukum adat dalam kaitannya dengan perkawinan,

sehingga sahnya perkawinan dan syarat perkawinan menurut hukum agama juga

telah diresepsi oleh hukum adat). Adanya resepsi hukum adat dalam ke dalam

hukum agama (Islam) tidak menimbulkan perubahan yang besar atau drastis bagi

seorang pemeluk agama Islam yang juga memegang teguh hukum adatnya.

Untuk itulah, guna menghindari timbulnya persepsi yang berbeda

diharuskan adanya Hukum Negara yang ditetapkan oleh pihak yang berwajib

dengan syarat harus sinkron dengan hukum masing-masing agama dan

kepercayaan, sesuai dengan penjelasan Pasal 1 UU Perkawinan :

“Bahwa sebagai negara yang berdasarkan Pancasila, di mana sila yang

pertama ialah Ketuhanan Yang Maha Esa, maka perkawinan mempunyai

hubungan yang erat sekali dengan Agama/kerokhanian, sehingga

perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir/jasmani, tetapi juga unsur

bathin/rokhani juga mempunyai peranan yang penting membentuk

Page 28: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PERKAWINAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5673/1/DEDE... · yang ada di dalam masyarakat, baik itu norma agama, kesopanan, kesusilaan

20

keluarga yang bahagia rapat hubungan dengan keturunan, yang pula

merupakan tujuan perkawinan, pemeliharaan dan pendidikan menjadi hak

dan kewajiban orangtua.”

Juga seperti yang tercantum dalam butir ketiga dari penjelasan umum UU

Perkawinan, yang berbunyi :

“Sesuai dengan landasan falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945,

maka Undang-undang ini di satu pihak harus dapat mewujudkan prinsip-prinsip

yang terkandung dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, sedangkan di

lain pihak harus dapat pula menampung segala kenyataan yang hidup dalam

masyarakat dewasa ini. Undang-undang Perkawinan ini telah menampung di

dalamnya unsur-unsur dan ketentuan-ketentuan Hukum Agamanya dan

Kepercayaannya itu dari yang bersangkutan.”

Terlepas dari adanya kelemahan Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan seperti

yang telah diuraikan di atas. Maka sudah menjadi ketentuan yang pasti, bahwa

sahnya suatu perkawinan harus dijalankan dengan agama masing-masing dan

kepercayaannya itu. Dalam hal ini terlihat bahwa hukum negara, yaitu UU

Perkawinan telah melakukan suatu bentuk sinkronisasi terhadap hukum agama

yang berlaku di masyarakat. Atau dengan kata lain, menyerahkan sepenuhnya

persyaratan yang timbul atau yang datangnya dari hukum agama dan

kepercayaannya selama tidak bertentangan dengan hukum negara yang ada.

Misalnya bagi penganut agama islam, untuk melangsungkan suatu pernikahan

harus memenuhi rukun dan syarat nikah sesuai dengan yang ditentukan dalam

agama Islam., maka hukum negara akan menguatkan atau mengukuhkan

Page 29: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PERKAWINAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5673/1/DEDE... · yang ada di dalam masyarakat, baik itu norma agama, kesopanan, kesusilaan

21

perkawinan itu dengan mencatatkan perkawinan tersebut. Sesuai yang tercantum

pada Pasal 2 PP No.9 Tahun 1975, yaitu pada Kantor Urusan Agama (KUA) bagi

yang beragama Islam dan Kantor Catatan Sipil (KCS) bagi yang beragama di luar

agama Islam, sebagai suatu syarat administrasi guna mengadakan suatu tertib

administrasi bagi setiap perkawinan yang dilangsungkan.

Sahnya suatu perkawinan yang berdasarkan hukum agama, tidak akan

menimbulkan masalah jika kedua mempelai memiliki agama yang sama. Akan

tetapi akan timbul masalah jika terdapat perbedaan agama. Untuk mengatasi

permasalahan ini, maka Mahkamah Agung memberi kemungkinan, yaitu 5 adanya

musyawarah antara suami dan istri untuk memilih hukum agama yang

diberlakukan, sesuai dengan prinsip keseimbangan yang dianut dalam UU

Perkawinan.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka menurut UU Perkawinan, suatu

perkawinan dianggap sah :6

a. Diselenggarakan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya,

artinya perkawinan yang dilaksanakan menurut tata tertib aturan salah satu

agama, agama calon suami atau calon istri, bukan perkawinan yang

dilaksanakan oleh setiap agama yang dianut kedua calon suami istri dan atau

keluarganya7 ;

b. Dilaksanakan menurut tata tertib yang ditentukan oleh hukum masing-masing

5 Djuhaendah Hasan, Hukum Keluarga : Setelah Berlakunya UU No. 1 Tahun 1974 (Menuju

Ke Hukum KeluargaNasional), Armico. Bandung, 1998. Hlm. 60-62 6 Martimah Prodjohamidjojo, Tanya Jawab UU Perkawinan dan Peraturan Pelaksanaan,

PT. Pradnya Paramita Jakarta, 1991. Hlm. 23. 7 Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat,

Hukum Agama., Mandar Maju Bandung, 1990. Hlm. 26-27.

Page 30: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PERKAWINAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5673/1/DEDE... · yang ada di dalam masyarakat, baik itu norma agama, kesopanan, kesusilaan

22

agama dan kepercayaan ;

c. Dicatatkan menurut perundang-undangan, dengan dihadiri oleh pegawai

pencatat nikah.

4. Syarat Perkawinan

Suatu perkawinan yang sah, selain memenuhi ketentuan Pasal 2 ayat (1)

dan 2 ayat (2), maka harus pula memenuhi syarat-syarat perkawinan, baik materil

maupun formil, yang ditentukan oleh undang-undang. Syarat-syarat perkawinan

yang dimaksud adalah terdiri dari :

a. Syarat Materil (Menurut UU Perkawinan)

1. Perkawinan harus dengan persetujuan kedua mempelai (Pasal 6 ayat (1))

guna menghindari terjadinya pemaksaan perkawinan ;

2. Bagi seorang pria telah diizinkan melakukan perkawinan pada usia 19 tahun

sedangkan wanita 16 tahun (Pasal 7 ayat (1)), kecuali jika terdapat

penyimpangan dapat dimintakan dispensasi kepada Pengadilan atau pejabat

lain yang ditunjuk (Pasal 7 ayat (2)). Bagi yang berusia belum mencapai 21

tahun, sesuai ketentuan Pasal 6 ayat (1), harus mendapat izin dari kedua

orangtua (kecuali kalau salah seorang telah meninggal atau tidak mampu

menyatakan kehendak, maka dapat diwakilkan oleh orangtua yang masih

ada) atau wali (jika kedua orang tua sudah tidak ada).

3. Ketiadaan halangan perkawinan sesuai dengan ketentuan Pasal 8, yaitu

karena hubungan darah yang sangat dekat, hubungan semenda, hubungan

susuan, hubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau kemenakan

Page 31: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PERKAWINAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5673/1/DEDE... · yang ada di dalam masyarakat, baik itu norma agama, kesopanan, kesusilaan

23

dari istri (dalam hal poligami), hubungan yang oleh agamanya atau

peraturan lain yang berlaku terdapat suatu larangan.

4. Seseorang yang masih terikat perkawinan dengan orang lain, tidak dapat

kawin lagi kecuali karena izin Pengadilan, sesuai Pasal 9.

5. Suami istri yang melakukan cerai untuk kedua kalinya, maka tidak boleh

ada perkawinan lagi sepanjang tidak ditentukan lain oleh hukum agama dan

kepercayaannya, sesuai dengan Pasal 10.

6. Bagi seorang wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu

tunggu, untuk dapat melangsungkan perkawinan baru, sesuai ketentuan

Pasal 11.

b. Syarat Formil

Syarat formil ini berkaitan dengan hal mengenai tatacara pelaksanaan

perkawinan (Pasal 12 UU Perkawinan), yang diatur dalam Pasal 10 dan 11 PP.

No 9/1975.

5. Tatacara Perkawinan

Sejak diberlakukannya UU Perkawinan dan juga PP No. 9/1975, maka

perkawinan diatur dengan kedua ketentuan di atas. Termasuk dalam hal yang

berkaitan dengan tatacara perkawinan.

Tatacara perkawinan merupakan syarat formil dalam perkawinan. Dalam

kaitannya dengan syarat formil dalam suatu perkawinan, maka UU Perkawinan

maupun peraturan pelaksanaanya yaitu PP No. 9/1975, mengatur mengenai

tatacara perkawinan. Dengan tujuan supaya perkawinan sah secara hukum.

Page 32: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PERKAWINAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5673/1/DEDE... · yang ada di dalam masyarakat, baik itu norma agama, kesopanan, kesusilaan

24

Ketentuan mengenai tatacara perkawinan dicantumkan dalam Pasal 12 UU

Perkawinan, yang berbunyi :

“Tata cara pelaksanaan perkawinan diatur dalam peraturan perundang-

undangan tersendiri”

Sehubungan dengan ketentuan yang telah diberikan UU Perkawinan, maka

ketentuan Pasal 12 UU Perkawinan, dilaksanakan melalui ketentuan PP. No.

9/1975, yang tercantum dalam Pasal 10, yang berbunyi :

1) Perkawinan dilangsungkan setelah hari kesepuluh sejak pengumuman

kehendak perkawinan oleh Pegawai Pencatat seperti yang dimaksud dalam

Pasal 8 Peraturan Pemerintah ini.

2) .Tatacara perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya

dan kepercayaannya.

3) Dengan mengindahkan tatacara perkawinan menurut masing-masing hukum

agamnya dan kepercayaannya itu, perkawinan dilaksanakan dihadapan

Pegawai Pencatat dan dihadiri oleh dua orang saksi

Kemudian pada Pasal 11 menyebutkan :

1) Sesaat sesudah dilangsungkannya perkawinan sesuai dengan ketentuan pasal

10 Peraturan Pemerintah ini, kedua mempelai menandatangani akta

perkawinan yang telah disiapkan oleh Pegawai Pencatat berdasarkan

ketentuan yang berlaku.

2) Akta perkawinan yang telah ditandatangani oleh mempelai itu, selanjutnya

ditandatangani pula oleh kedua saksi dan Pegawai Pencatat yang menghadiri

perkawinan dan bagi yang melangsungkan menurut agama Islam,

Page 33: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PERKAWINAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5673/1/DEDE... · yang ada di dalam masyarakat, baik itu norma agama, kesopanan, kesusilaan

25

ditandatangani pula oleh wali nikah atau yang mewakilinya.

3) Dengan penandatanganan akta perkawinan, maka perkawinan telah tercatat

secara resmi.

6. Pencatatan Perkawinan

Pencatatan perkawinan dalam pelaksanaanya diatur dengan PP. No.9/1975

dan Peraturan Menteri Agama No.3 dan 4 Tahun 1975 bab II Pasal 2 ayat (1)

No.9/1975. mengenai Pencatatan Perkawinan dari mereka yang

melangsungkannya menurut Agama Islam dilakukan oleh Pegawai Pencatat yang

diangkat oleh menteri Agama atau oleh Pegawai yang ditunjuk olehnya, sesuai

UU No. 32 Tahun 1954 tentang Nikah, Talak dan Rujuk. Pencatatan perkawinan

harus dilakukan oleh Pegawai Pencatat perkawinan dan juga setiap perkawinan

harus dilangsungkan di hadapan dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatat

Nikah, karena apabila suatu perkawinan dilakukan di luar pengawasan Pegawai

Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan hukum sesuai dengan Pasal 5 dan

Pasal 6 Kompilasi Hukum Islam. Maka berkaitan dengan ketentuan undang-

undang tersebut, Kementrian Agama melaksanakan secara vertikal sampai dengan

KUA pada tingkat Kecamatan dalam kegiatannya untuk melaksanakan tugas-

tugas sebagai Pencatat Perkawinan atau Pencatat Nikah, termasuk di dalam

tugasnya adalah Pencatatan Talak, Cerai dan Rujuk.

Bagi yang melakukan perkawinan dengan cara-cara yang ditentukan oleh

agama selain agama Islam, maka pencatatan perkawinannya dilakukan oleh

Pegawai Pencatatan Perkawinan pada KCS.

Page 34: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PERKAWINAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5673/1/DEDE... · yang ada di dalam masyarakat, baik itu norma agama, kesopanan, kesusilaan

26

Sehubungan dengan ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) UU

Perkawinan, mengenai sahnya perkawinan dan pencatatan perkawinan. Terdapat 2

golongan sarjana hukum yang memberikan penafsiran, yaitu8 :

a. Golongan Pertama

Golongan ini lebih cenderung menafsirkan untuk memisahkan antara

ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) UU Perkawinan. Oleh karena itulah

perkawinan adalah telah sah apabila perkawinan tersebut dilaksanakan

sesuai dengan ketentuan hukum agama. Sedangkan pencatatan perkawinan

itu hanyalah merupakan bagian dari tertib administrasi. Atau dengan kata

lain suatu perkawinan yang tidak dicatatkan bukan merupakan suatu cacat

atau menyebabkan perkawinan menjadi tidak sah.

b. Golongan Kedua

Golongan ini cenderung memberikan penafsiran bahwa Pasal 2 ayat (1)

dan ayat (2) tidak hanya dipandang dari segi yuridis semata, tetapi juga

harus dipandang dari segi sosiologisnya. Oleh karena itulah, menurut

pendapat golongan kedua ini, ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) tidak

dapat dipisahkan sedemikian rupa karena merupakan satu kesatuan.

Terlepas dari adanya perbedaan pendapat terhadap penafsiran Pasal 2

tersebut, maka perbedaan ini pada dasarnya dapat diambil jalan tengahnya dengan

melihat dari sisi bahwa perkawinan itu merupakan suatu ikatan yang tentu saja

akan menimbulkan akibat-akibat, seperti :

1. Halalnya hubungan seksual antara seorang pria dan wanita sebagai suami

dan istri ;

2. Mahar (mas kawin) menjadi milik istri ;

3. Timbulnya hak-hak dan kewajiban-kewajiban suami maupun istri ;

4. Lahirnya anak-anak yang berstatus anak yang sah ;

5. Kewajiban suami dan istri untuk memelihara dan mendidik anak;

6. Hak bapak menjadi wali nikah bagi anak perempuannya ;

8 Idha Aprilyana, Keabsahan Suatu Perkawinan Melalui Pemanfaatan Media Telekomunikasi

Dihubungkan Dengan Penetapan Pengadilan Agama Jakarta Selatan Nomor 1751/P/1989

Tanggal 20 April 1990 Mengenai Sahnya Perkawinan Melalui Telepon, Skripsi, 1997., Hlm. 43

Page 35: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PERKAWINAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5673/1/DEDE... · yang ada di dalam masyarakat, baik itu norma agama, kesopanan, kesusilaan

27

7. Hak saling mewarisi antara suami, istri maupun anak yang dilahirkan dari

perkawinan yang sah tersebut ;

8. Hak menjadi wali pengawas terhadap harta maupun anak-anak (kecuali

hak tersebut dicabut oleh Pengadilan), apabila salah seorang suami atau

istri meninggal dunia.

Sehubungan dengan banyaknya timbul akibat hukum dari suatu

perkawinan, maka perlu kiranya menjadi pertimbangan apabila perkawinan

tersebut tidak dicatatkan. Banyak contoh buruk akibat tidak dicatatkannya

perkawinan. Misalnya sebagai salah satu contoh kasus yang terjadi mengenai

hilangnya hak waris seorang anak dari perkawinan kedua, karena ketiadaan akta

nikah dari perkawinan ibunya (sebagai istri kedua) dan ayahnya.

Mengingat kemungkinan timbul hal-hal yang tidak diinginkan seperti di

atas, perlu kiranya untuk menghindari dilakukan perkawinan di bawah tangan atau

perkawinan yang tidak dicatatkan yang selama ini banyak terjadi di masyarakat.

Pentingnya pencatatan perkawinan ini dapat pula dikaji kembali dengan

mendasarkan pada ketentuan agama, dalam hal ini adalah agama Islam. Analogi

dari pentingnya pencatatan perkawinan ini terdapat dalam QS. Al-baqoroh :282,

yaitu tentang utang-piutang dan perjanjian dalam waktu yang lama dibutuhkan

kesaksian 2 (dua) orang saksi laki-laki yang adil dan dituliskan dengan seorang

penulis yang dipercayai. Kalimat “dituliskan” yang disebutkan dalam QS. Al

Baqarah : 282 tersebut, telah menekankan pentingnya pencatatan dalam suatu

utang piutang maupun perjanjian disamping 2 saksi dan wali.

Page 36: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PERKAWINAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5673/1/DEDE... · yang ada di dalam masyarakat, baik itu norma agama, kesopanan, kesusilaan

28

Berdasarkan pada surah Al Baqarah : 282 tersebut, dapat dilihat bahwa

dalam suatu utang-piutang dan perjanjian yang terjadi dalam hitungan waktu saja,

harus pula dicatatkan. Apalagi suatu perkawinan yang merupakan suatu perjanjian

suci atau mitsaaghan ghaliizhan dan merupakan suatu perjanjian untuk waktu

yang lama (abadi). Selain itu tidak lain bahwa fungsi dari adanya pencatatan

perkawinan dalam suatu akta atau surat nikah adalah untuk mendapatkan

kepastian hukum bagi generasi yang akan datang.

Sesuai ketentuan Bab II PP No.9/1975, rangkaian kegiatan pelaksanaan

perkawinan sampai dengan pencatatan perkawinan itu, terdiri dari beberapa

tahapan, yaitu :

a). Pemberitahuan Perkawinan

Tahap ini merupakan tahapan pemberitahuan kehendak untuk menikah

kepada Pegawai Pencatat di wilayah tempat berlangsungnya perkawinan,

yang dilakukan 10 (sepuluh) hari sebelum perkawinan dilangsungkan.

Namun jangka waktu 10 (sepuluh) hari ini dapat dikecualikan karena

adanya alasan penting yang diberikan oleh camat atas nama Bupati Kepala

Daerah (dalam praktik langsung, persetujuan Camat tidak sering digunakan,

cukup dengan persetujuan Pegawai Pencatat bersangkutan). Pemberitahuan

ini dapat dilakukan secara lisan maupun tertulis oleh calon mempelai,

keluarga atau wakilnya, dengan memuat identitas dan keterangan-

keterangan lainnya (misal ; calon mempelai yang sudah pernah menikah

harus pula mencantumkan nama suami atau istri terdahulunya).

Page 37: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PERKAWINAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5673/1/DEDE... · yang ada di dalam masyarakat, baik itu norma agama, kesopanan, kesusilaan

29

b). Pemeriksaan oleh Pegawai Pencatat

Tahapan ini merupakan tahapan pemeriksaan terhadap syarat-syarat

perkawinan dan kemungkinan terjadinya halangan perkawinan. Selain itu

dilakukan pemeriksaan terhadap kutipan akta lahir calon mempelai,

identitas orangtua, izin tertulis dari pengadilan (apabila calon mempelai

melakukan perkawinan poligami atau karena di bawah usia 21 tahun),

surat kematian dari suami-istri terdahulu, izin Menhankam/Pangab apabila

salah seorang mempelai atau keduanya anggota Angkatan Bersenjata, serta

surat kuasa otentik atau di bawah tangan apabila terjadi perkawinan

mewakilkan atau perkawinan yang tidak dihadiri oleh salah seorang calon

mempelai.

c). Pengumuman Kehendak Nikah

Pengumuman ini dilakukan setelah terpenuhi semua persyaratan serta

tidak terdapat halangan terhadap perkawinan yang akan dilangsungkan.

Pengumuman kehendak nikah ini dilakukan dengan cara menempelkan

surat pengumuman menurut formulir yang telah ditetapkan oleh Kantor

Pencatatan Perkawinan yang kemudian ditempatkan pada tempat yang

telah ditentukan dan mudah dibaca oleh umum.

Sesuai dengan ketentuan Pasal 9 PP No.9/1975, maka Pengumuman ini

disertai dengan identitas calon mempelai dan orangtua calon mempelai,

serta hari, tanggal, jam dan tempat perkawinan yang akan dilangsungkan.

Surat pengumuman ini tidak boleh diambil ataupun dirobek selama 10

(sepuluh) hari sejak ditempelkan, sesuai dengan ketentuan Pasal 8 dan 9

Page 38: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PERKAWINAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5673/1/DEDE... · yang ada di dalam masyarakat, baik itu norma agama, kesopanan, kesusilaan

30

PP No.9/1975 jo. Pasal 10 PMA No.3 Tahun 1975.

d). Pencatatan Perkawinan

Apabila semua prosedur diatas telah terpenuhi, maka pelaksanaan

perkawinan dilangsungkan setelah hari kesepuluh sejak diumumkan

pengumuman kehendak nikah. Hal ini dilakukan untuk memberikan

kesempatan bagi pihak ketiga yang hendak mengajukan keberatan dan

memohon untuk dilakukan pencegahan perkawinan, dengan catatan

pencegahan yang hendak dilakukan harus terlebih dulu diberitahukan pada

Pegawai Pencatat. Yang nantinya memberitahukan pada para calon

mempelai dan kemudian dapat diajukan ke Pengadilan pada daerah hukum

tempat dilangsungkannya perkawinan. Sesaat setelah perkawinan yang

dilaksanakan sesuai dengan ketentuan agama yang dianut oleh calon

mempelai dan keluarga, serta dilakukan di hadapan Pegawai Pencatat dan

dihadiri dua (2) orang saksi. Maka dilakukan pencatatan perkawinan

dengan menandatangani akta perkawinan yang telah ditetapkan oleh

Pegawai Pencatat Perkawinan, yang juga ditandatangani oleh saksi-saksi,

wali nikah dan Pegawai Pencatatnya sendiri. Setelah selesainya

keseluruhan penandatanganan, maka secara resmi pula perkawinan yang

dilangsungkan tercatat. Akta Perkawinan merupakan sebuah Daftar Besar,

yang memuat identitas pada pihak yaitu mempelai (suami dan istri), wali

nikah, orangtua mempelai (suami dan istri), saksi-saksi, wakil atau kuasa

jika perkawinan dilakukan dengan seorang kuasa serta mencantumkan pula

surat-surat yang diperlukan lainnya seperti izin kawin, izin dari

Page 39: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PERKAWINAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5673/1/DEDE... · yang ada di dalam masyarakat, baik itu norma agama, kesopanan, kesusilaan

31

Menhamkan/Pangab, sesuai dengan ketentuan Pasal 12 PP No.9/1975.

Akta perkawinan ini dibuat rangkap dua, yang akan dipegang oleh Kantor

Pencatatan Perkawinan dan Pengadilan yang daerah hukumnya

mewilayahi pula wilayah Kantor Pencatatan Perkawinan tersebut. Bagi

suami dan istri sendiri, akan diberikan berupa salinan akta yang disebut

buku nikah. Buku nikah hanya memuat catatan yang sifatnya penting, akan

tetapi buku nikah ini juga mempunyai kekuatan pembuktian yang sifatnya

otentik bagi para pihak yang bersangkutan, oleh karena dibuat oleh

Pegawai Umum.

B. PERKAWINAN MENURUT FIQIH

1. Pengertian Nikah secara Bahasa

Para ulama' berbeda pendapat mengenai pengertian nikah secara bahasa.

Al-'A'sya' berpendapat bahwa kata (نخ) bermakna Al-Azhary menguatkan (ذضوج)

pendapat ini dengan menyatakan bahwa makna kata (نخ) adalah (ذضوج) Seperti

dalam Firman-Nya:

..... إال صا أوششكينكها إال ص ايح ومزىل واىضايح ال ينكحاىضاي ال ...

Sehingga takwil ayat tersebut menjadi seperti ini:

..... إال اىضاييتزوجها اىضاي إال اىضايح ومزىل اىضايح ال يتزوجال....

Dijumpai pula pendapat yang menyatakan bahwa makna (اىناح) yang terdapat

pada ayat ini adalah (اىىطء) Sehingga takwilnya menjadi seperti ini:

...... إال صا يطؤها إال صايح ال يطاال....

Page 40: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PERKAWINAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5673/1/DEDE... · yang ada di dalam masyarakat, baik itu norma agama, kesopanan, kesusilaan

32

Tapi menurut Al-Azhary pendapat tersebut harus dijauhi, karena setiap

ayat dalam Al-Quran yang memuat kata (اىناح) ini selalu bermakna (اىرضوج)

Seperti dalam Firman-Nya pula:

....... األ ياى زموأنكحىا.....

Tidak ada keraguan mengenai pengertian kata (اىناح) di sini yang

bermakna (اىرضوج) Al-Azhary juga menyatakan bahwa secara asal memang orang

Arab memakai kata (اىناح) untuk maksud (اىىطء) Dan sebaliknya, kata (ذضوج)

bermakna (ناح) karena dengan melaksanakan akad (ذضوج) menjadi sebab

halalnya Bersenggama (اىىطء)

Lalu ada pendapat lain yang datang dari Al-Jauhary. Menurut beliau,

makna (اىناح ) adalah (اىىطء) Sedangkan makna اىعقذ dipakai apabila konteks

kalimatnya memberikan qarinah kepada makna tersebut.

2. Pengertian Nikah secara Istilah

Secara istilah, pengertian nikah , ulama' berselisih paham. Berikut adalah

pendapat para Imam Madzhab tentang pengertian nikah:

a. Golongan Hanafiyah berpendapat bahwa pengertian nikah adalah:

اىناح تأه عقذ يفيذ يل اىرعح قصذا

"Nikah itu adalah akad yang berguna untuk menguasai dan

bersenangsenang dengan sengaja".

b. Lalu golongan Syafi'iyah mendefinisikan nikah sebagai:

اىناح تأه عقذ يرض يل وطء تيفظ اىناح أو ذضويج أوعا عزا ها

Page 41: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PERKAWINAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5673/1/DEDE... · yang ada di dalam masyarakat, baik itu norma agama, kesopanan, kesusilaan

33

"Nikah adalah akad yang mengandung hak watha' dengan lafaz nikah

atau tazwij atau kata yang semakna dengan dua kata tersebut".

c. Kemudian golongan Malikiyah memberikan pengertian nikah sebagai:

اىخ .... اىناح تأه عقذ عيى جشد رعح اىريز ر

"Nikah adalah akad yang semata-mata membolehkan bersenang-senang

(dengan wanita)...dst"

d. Selanjutnya golongan Hanabilah memberikan definisi nikah sebagai:

هى عقذ تيفظ اىناح أوذضويج عيى رقعح اال سرراع

"Nikah adalah akad (dengan memakai) lafaz nikah atau tazwij atas guna

bersenang-senang/ menikmati (wanita)6".

Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa para ulama' zaman

dahulu memandang nikah hanya dari satu segi saja, yaitu kebolehan hukum antara

seorang laki-laki dengan seorang wanita untuk berhubungan yang semula

dilarang. Mereka tidak memperhatikan tujuan, akibat atau pengaruh nikah tersebut

terhadap hak dan kewajiban suami isteri yang timbul.9

Berbeda pula dengan ulama' mutaakhirin. Mereka mendefinisikan nikah

dengan memasukkan unsur hak dan kewajiban suami isteri. Selain itu, mereka

juga memasukkan unsur tujuan pernikahan, yaitu membentuk keluarga dan

memperoleh keturunan. Seperti pengertian yang dikemukakan oleh Muhammad

Abu Ishrah berikut ini:

عقذ يفيذ عششج تي اىشجو واىشأج وذعاوها ويجذ ا ىنيها دقىق وا عييه

واجثاخ

9 Djamaan Nuur, Fiqh Munakahat, Dina Utama, Semarang, tt, hlm. 3

Page 42: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PERKAWINAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5673/1/DEDE... · yang ada di dalam masyarakat, baik itu norma agama, kesopanan, kesusilaan

34

"Nikah adalah akad yang memberikan faedah hukum kebolehan mengadakan

hubungan keluarga (suami isteri) antara pria dan wanita dan mengadakan

tolong-menolong serta memberi batas hak bagi pemiliknya dan pemenuhan

kewajiban masing-masing".10

Dan pengertian yang dilontarkan oleh Syaikh Shalih Al-Utsaimin berikut ini:.

عقذ يعصذته اإلصدواج تي سجو واشاج ىال سرراع واىعششجو اإليالد

"Nikah adalah akad yang bertujuan untuk mengumpulkan/ menjodohkan

antara laki-laki dan wanita untuk saling menikmati, membangun keluarga dan

memperoleh keturunan".11

3. Nash-nash Pensyari’atan perkawinan

Ulama' bersepakat tentang pensyariatan perkawinan dalam Islam. Berikut

ini adalah nash-nash dari Al-Quran dan Al-Hadits yang memiliki kandungan

syariat perkawinan dalam Islam:

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaanNya, ialah Dia menciptakan untukmu

isteri-isteri dari jenismu sendiri supaya, kamu cenderung dan merasa

tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang.

Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi

kaum yang berfikir.”(QS. Ar-Ruum:21)

“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak)

perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah

wanitawanita (lain) yang kamu senangi; dua, tiga atau empat. Kemudian jika

kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja,

10

Ibid Djamaan Nuur, hlm 4 11

Al-Utsaimin, At-Tafsir wa Ushuluhu, Wizarah At-Ta'lim Al-Aly, Riyadh, 1980, hal. 63

Page 43: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PERKAWINAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5673/1/DEDE... · yang ada di dalam masyarakat, baik itu norma agama, kesopanan, kesusilaan

35

atau budakbudak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat

kepada tidak berbuat aniaya.”(QS. An-Nisaa':3)

“Dan kawinilah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-

orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki

danhamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan

memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas

(pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. An-Nuur:32)

ياعششاىشثاب اسرطاع ن اىثاءج فييرضوج و ى يسرطع فعييه تاىصى فائه ىه وجاء

“Wahai para pemuda, barangsiapa di antara kalian yang sanggup untuk

menikah, maka menikahlah. Dan barangsiapa yang tidak sanggup maka

berpuasalah, karena (puasa) itu (adalah sebagai) penahan baginya”.

(HR.Bukhary No. 4778)

ىني أصيى وأا واصى وأذضوج اىساء ف سغة ع سري فييس ي ...

“Sedangkan aku shalat, aku tidur, aku puasa, aku berbuka, aku menikahi

wanita, maka barangsiapa yang membenci sunnahku bukanlah termasuk

umatku.”(HR. Muslim No. 1401)

ذضوجىا اىىدود اىىىىد فإي ناثش تن األ

“Nikahilah perempuan yang penyayang dan subur, karena aku akan menjadi

umat yang paling banyak dengan kalian.” (HR. Abu Daud No. 2050)

4. Rukun Perakawinan

Pada dasarnya, sebuah perkawinan terbangun atas dua hal, yang tanpa dua

hal ini maka sebuah perkawinan tidak akan sempurna dan terwujud. Hal yang

pertama adalah ijab, yaitu lafadz yang diucapkan oleh wali atau orang yang

mewakilinya. Dan yang kedua adalah qabul, yaitu lafadz yang diucapkan oleh

Page 44: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PERKAWINAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5673/1/DEDE... · yang ada di dalam masyarakat, baik itu norma agama, kesopanan, kesusilaan

36

calon suami atau yang mewakilinya. Dan ini menurut kalangan Hanafy.12

Kedua

hal ini memerlukan lagi satu hal, sehingga sebuah akad perkawinan terdiri dari

tiga unsur, dua yang pertama adalah unsur yang kongkrit dan nampak, yaitu ijab

dan qabul, sedangkan unsur terakhir yang abstrak dan tak nampak adalah

keterikatan antara ijab dan qabul.

Sebelum memaparkan rukun perkawinan, perlu diberikan arti dari rukun

itu sendiri. Pengertian rukun adalah: “Sesuatu yang hakikat syariat tidak terwujud

kecuali dengannya”.13

Kemudian, berikut ini adalah berbagai pendapat mengenai rukun perkawinan :

a. Menurut Madzhab Maliki

Menurut madzhab Maliki, rukun perkawinan terdiri dari lima perkara, yaitu:

Wali si perempuan. Sehingga, sebuah perkawinan tidak sah tanpa wali.

As-Shadaq (mahar). Yaitu pemberian sukarela yang mutlak dan harus ada

dalam sebuah perkawinan. Tapi penyebutannya tidak disyaratkan ketika

dilangsungkannya akad.

Calon suami.

Calon istri yang terbebas dari larangan syariat. Semisal: ihram dan iddah.

Sighat, yaitu kalimat ijab qabul. Jadi, sebuah akad perkawinan haruslah

terdiri atas 'aaqidain (dua pelaku akad); yakni calon suami dan wali si

perempuan, maq'ud alaihi (obyek yang diakadkan); yakni si perempuan dan

mahar -walaupun tidak mengapa apabila tidak disebutkan, karena mahar

12

Al-Jaziri, Al-Fiqh 'Ala Madzahib Al-Arba'ah, Al-Maktabah As-Syamilah Ver. 1.0, jilid 4

hal. 11 13

Ibid Al-Jaziri, hal. 11

Page 45: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PERKAWINAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5673/1/DEDE... · yang ada di dalam masyarakat, baik itu norma agama, kesopanan, kesusilaan

37

adalah sebuah kelaziman sebuah perkawinan dan yang terakhir adalah

sighat yang berupa lafadz khusus yang dengannya akad sebuah perkawinan

diwujudkan menurut syariat Islam. Ada pula dijumpai pendapat yang

menyatakan bahwa shadaq (mahar) tidak termasuk rukun, juga tidak

termasuk syarat, karena sebuah akad tetap sah tanpa keberadaannya.14

b. Menurut Madzhab Syafi'i

Sedangkan menurut kalangan Syafi'iyah, mereka berpendapat bahwa rukun

perkawinan ada lima, yaitu: calon suami, calon istri, wali calon istri, dua saksi dan

sighat. Dan ada pula pendapat yang menganggap bahwa dua saksi adalah syarat,

bukan rukun, dengan beralasan bahwa keberadaan dua saksi itu keluar dari

hakikat akad.15

5. Syarat Perkawinan

Perkawinan mempunyai syarat-syarat tertentu. Kadangkala keberadaan

syarat ini dihitung sebagai rukun bagi sebagian madzhab dan kadang-kadang

sebagian madzhab memasukkannya sebagai syarat. Penjelasan lebih lanjut akan

dipaparkan berikut ini:

a. Menurut Madzhab Hanafi

Menurut kalangan Hanafiyah, perkawinan mempunyai syarat-syarat yang

14

Ibid Al-Jaziri hal 11 15

Ibid Al-Jaziri hal 11

Page 46: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PERKAWINAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5673/1/DEDE... · yang ada di dalam masyarakat, baik itu norma agama, kesopanan, kesusilaan

38

terkait dengan tiga hal, yakni sighat, pelaku akad dan saksi.

1. Syarat Sighat Akad

Menurut madzhab Hanafy, nikah dianggap sah bila sighat akad

memenuhi kriteria sebagai berikut:

Memakai lafadz khusus, baik sharih (kata yang jelas) atau kinayah (kata

kiasan). Lafadz sharih yang jamak dipakai dalam sebuah perkawinan adalah

kata (ذضويج) Atau (اىناح) Sedangkan apabila memakai lafadz kinayah, maka

disyaratkan lafadz tersebut terucap dibarengi niat dan maksud untuk

menikahkan, serta ada qarinah (bukti) atas niat tersebut. Dan disyaratkan pula

para saksi paham maksud lafadz kinayah tersebut. Berikut ini adalah empat

macam dan jenis kinayah:

Lafadz kinayah tanpa perselisihan atas keabsahan akad dengannya,

yaitu kata-kata (اىجعو) (ىصذقح) ،(اىهيح) dan (ىجعوا)

Lafadz kinayah dengan perselisihan atas keabsahan akad dengannya,

yaitu kata-kata (اىششاء) dan (اىثيع)

Lafadz kinayah dengan perselisihan atas kebatilan akad dengannya,

yaitu kata- kata (اإل يجاسج) dan (اىىصيح)

Lafadz kinayah tanpa perselisihan atas kebatilan akad dengannya, yaitu

katakata (اإلداله) ,(اىشه) ,(اىررع) ,(اإلقاىح) ,(اىخيع) (,اإلعاسج) dan

(اإلتادح)

Lalu syarat sighat selanjutnya adalah

Sighat akad berupa ijab qabul harus ada dalam satu majelis. Tidak ada

Page 47: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PERKAWINAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5673/1/DEDE... · yang ada di dalam masyarakat, baik itu norma agama, kesopanan, kesusilaan

39

perselisihan antara konteks ijab dan qabul. Misal: Seorang wali

mengucapkan akad, “Aku nikahkan engkau dengan putriku dengan

mahar 1000 dirham”, lalu si calon suami menjawab, “Aku terima

nikahnya, dan aku tidak menerima mahar sejumlah itu”, maka akad

seperti ini tidak sah.

Sighat akad harus bisa didengar oleh kedua pelaku akad. Harus ada

kepastian bahwa kedua pihak pelaku akad mendengar lafadz masing-

masing secara hakikat (berbentuk suara bila si pelaku akad hadir) atau

secara tertulis (bila si pelaku akad ghaib). Karena pembacaan akad

tertulis dapat menjadi ganti lafadz yang diucapkan/ dibunyikan.

Sighat tidak boleh terikat waktu. Misal: bila seorang laki-laki

mengucapkan, aku nikahi kamu sebulan dengan mahar sekian, lalu si

perempuan menjawab, aku kau nikahi, maka hal ini batil, dan ini

adalah nikah mut'ah.

2. Syarat untuk Pelaku Akad

Berakal. Dengan ini maka tidak sah akad orang gila atau anak kecil.

Baligh dan merdeka.

Khusus untuk calon istri, sedang dalam keadaan halal dinikahi dan

melakukan akad. Misal: tidak sedang berakad dengan orang lain, tidak

dalam keadaan iddah, tidak berstatus sebagai istri orang.

Untuk suami dan istri, disyaratkan jelas identitasnya. Misal: Seorang

bapak mempunyai dua putri, lalu ia menikahkan salah satu putrinya

tanpa menyebutkan nama, maka akad seperti ini tidak sah. Kecuali bila

Page 48: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PERKAWINAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5673/1/DEDE... · yang ada di dalam masyarakat, baik itu norma agama, kesopanan, kesusilaan

40

salah satu nya sudah menikah, maka yang dimaksudkan tentu putrinya

yang belum menikah. Misal lain: Seorang bapak yang mempunyai

putri bernama Fatimah, tapi ketika mengakadkan putrinya tersebut

dengan nama Aisyah, maka akad tidak sah.

Menyandarkan sighat kepada kata perempuan atau bagian tubuh yang

mewakili seluruh tubuh (semisal kepala atau leher). Selain itu maka

tidak sah. Misal: Seorang wali berakad dengan kalimat “Aku nikahkan

engkau dengan tangan anakku”, maka akadnya tidak sah.

3. Syarat untuk Saksi

Saksi harus berjumlah dua orang, tidak sah bila kurang dari itu. Tidak

disyaratkan harus dua laki-laki, tapi sah bila saksinya satu laki-laki

disertai dua perempuan. Hal ini karena sebuah perkawinan tidak sah

bila disaksikan dengan dua perempuan saja, karena itu harus ada

seorang laki-laki yang menyertai dua perempuan itu. Tidak disyaratkan

saksi tidak sedang ihram. Maka akad tetap sah bila saksi sedang ihram.

Saksi secara personal harus memenuhi kriteria berikut, yakni: berakal,

baligh, merdeka dan beragama Islam. Maka akad tidak sah dengan

kesaksian orang gila atau anak kecil maupun budak. Akad tidak sah

pula bila disaksikan kafir dzimmy, kecuali saksi kafir dzimmy tersebut

perempuan, maka tidak mengapa selama ada saksi laki-laki yang

muslim. Bila hal ini terjadi maka akad sah, baik dua saksi kafir dzimmy

tersebut mempunyai agama yang sama atau berbeda. Akad boleh

disaksikan oleh orang buta atau orang yang mendapat had akibat

Page 49: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PERKAWINAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5673/1/DEDE... · yang ada di dalam masyarakat, baik itu norma agama, kesopanan, kesusilaan

41

menuduh atau berzina.Akad nikah seorang perempuan boleh

disaksikan oleh dua anak kandungnya. Dan dengan dikiaskan dengan

hal ini, maka boleh pula disaksikan dengan hubungan ke atas anak

(bapak/kakek) dan ke bawah (cucu). Perlu diketahui bahwa saksi

dihadirkan untuk menyaksikan dua hal yaitu keberadaan akad dan hal

isbat. Mengenai keberadaan akad, maka kesaksian dapat dilakukan

oleh orang buta, orang fasik maupun bapak dan anak. Tapi kesaksian

untuk pengisbatan nikah tidak dapat dipenuhi oleh orang-orang

tersebut di atas, dan harus dilakukan oleh orang lain. Misal: bila

seorang laki-laki mewakilkan nikahnya pada orang lain, maka si wakil

yang melakukan akad ini dapat dianggap merangkap sebagai saksi

(saksi isbat akad), dan si wali dapat dianggap merangkap sebagai saksi

pula (saksi keberadaan akad), maka akad semacam ini sah.

Saksi harus mampu mendengar ucapan akad kedua pihak. Maka

kesaksian orang tidur tidak sah. Akad juga sah bila disaksikan orang

bisu selama mereka mendengar dan paham. Tidak disyaratkan bagi

para saksi tersebut untuk paham lafadz akad secara khusus, selama

mereka mengetahui bahwa yang sedang mereka dengar adalah lafadz

yang dimaksudkan untuk akad.

Perkawinan orang Arab sah dengan saksi orang 'Ajam (non Arab),

selama mereka mengerti lafadz ijab qabul. Bahkan kesaksian orang

mabuk atas sebuah akad dianggap sah, bila ia tahu yang sedang ia

saksikan adalah akad.

Page 50: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PERKAWINAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5673/1/DEDE... · yang ada di dalam masyarakat, baik itu norma agama, kesopanan, kesusilaan

42

Khiyar dalam perkawinan bukan merupakan syarat. Akad tetap sah

walau ada perasaan tidak suka dari suami atau istri. Perkawinan

mempunyai sifat yang sama seperti perceraian dan memerdekakan

budak, tidak membutuhkan kerelaan dan kesungguh-sungguhan. Jadi

akad dianggap sah walau dilakukan dengan bercanda.16

b. Menurut Madzhab Syafi'i

Menurut kalangan Syafi'iyah, syarat-syarat perkawinan terkait dengan

empat hal, yakni sighat, wali, kedua mempelai dan saksi-saksi.

1. Syarat untuk Sighat

Syarat untuk sighat ada tiga belas macam seperti dalam sighat jual beli,

diantaranya adalah:

Tidak bergantung dengan syarat lain. Misal: sighat akad “Aku

nikahkan kamu dengan putriku bila kamu memberiku rumah”, maka

akad semacam ini tidak sah.

Tidak boleh terikat dengan waktu. Misal: sighat akad “Aku nikahi

kamu sekian bulan”, maka akad ini tidak boleh karena termasuk dalam

nikah mut'ah. Perkawinan ini jelas terlarang seperti yang tercantum

dalam hadits muttafaq alaihi.

Tambahan syarat yang membedakan sighat jual beli dengan sighat

akad nikah yakni keharusan pemakaian lafadz (ذضويج) atau ( اىناح)

16

Ibid Al-Jaziri hal 13

Page 51: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PERKAWINAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5673/1/DEDE... · yang ada di dalam masyarakat, baik itu norma agama, kesopanan, kesusilaan

43

Seperti dalam sighat berikut: (أنذرل ىميري) dan (صوجرل اتري) Tapi

pemakaian dua lafadz tersebut tidak boleh dalam bentuk mudhari'

(kata kerja sedang/akan), karena mengandung unsur janji di dalamnya.

Hal ini seperti yang terdapat dalam sighat berikut: (صوجرل اتري) Tapi

bila kata tersebut ditambah keterangan waktu semisal ( صوجرل اتري

(اآل maka boleh. Boleh pula jika memakai bentuk isim fail (kata ganti

subyek) disertai kata taukid (peneguhan) semisal: (إي ضوجل اتري)

Karena hakikat isim fail pada kalimat ini tidak mengandung unsur

janji.

Sah berakad dengan bahasa asing, walaupun saksi mengerti bahasa

Arab, dengan syarat selama para saksi paham maknanya.

Sighat tidak boleh menggunakan kalimat-kalimat seperti yang tertera

berikut ini ( ينرل اياها). (,وهثرها ىل) ,(تعرها ىل) (,دييد ىل ايريا) dan

semisalnya.

Kemudian karena semua kalimat Allah yang dijumpai dalam Al-Quran

hanyalah kata ( اىناح) Atau (ذضويج) maka tidak dibenarkan

mengkiaskannya dengan kata lain, dan tidak pula dengan kinayah.

Sebab kinayah membutuhkan niat, sedangkan niat adalah hal yang

abstrak.

Untuk kalimat qabul, maka haruslah dengan ucapan ( قييد فيه صواجه

(أونذها atau (أدثيره) ,(سضيد نادها) dan (أسدذه) Tapi bila yang

diucapkan qabiltu saja lalu diam, maka tidak sah. Qabul boleh

Page 52: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PERKAWINAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5673/1/DEDE... · yang ada di dalam masyarakat, baik itu norma agama, kesopanan, kesusilaan

44

didahulukan dari ijab.

2. Syarat untuk Wali

Orang yang dikehendaki, bukan orang yang dibenci.

Laki-laki. Tidak sah bila perempuan ataupun khunsa (berkelamin

ganda).

Mahram si perempuan.

Baligh.

Berakal, tidak gila.

Adil, tidak fasik.

Tidak mahjur (terhalang wali lain).

Tidak buta.

Tidak berbeda agama.

Merdeka, bukan budak.

3. Syarat untuk Kedua Mempelai

Syarat untuk suami, adalah:

Bukan mahram si perempuan. Tidak sah bila berhubungan darah,

semenda ataupun susuan dengan si calon istri.

Orang yang dikehendaki.

Mu'ayyin (nampak), dalam arti identitas jelas.

Syarat untuk istri, adalah:

Bukan mahram si laki-laki.

Terbebas dari halangan nikah, semisal: sedang iddah atau berstatus

istri orang.

Page 53: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PERKAWINAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5673/1/DEDE... · yang ada di dalam masyarakat, baik itu norma agama, kesopanan, kesusilaan

45

4. Syarat untuk Saksi-Saksi

Berjumlah dua, bukan budak, bukan perempuan dan bukan orang fasik.

Wali tidak bisa merangkap sebagai saksi walaupun ia memenuhi

kualifikasi sebagai saksi. Ini berlawanan dengan pendapat kalangan

Hanafiyah.

Disunnahkan saksi dalam keadaan rela dan tidak terpaksa, sehingga

tidak ada pengingkaran atas akad yang terjadi.17

c. Menurut Madzhab Hambali

Sedang menurut kalangan Hanabilah, perkawinan mempunyai lima syarat,

yakni:

1. Syarat pertama: Ta'yiin (tertentu/pasti). Untuk syarat pertama ini, berikut

penjelasan yang menyertainya:

Misal: sighat akad sah bila memakai kalimat ( صوجرل ايري فالح) . Namun bila

memakai kalimat (صوجرل اىثري) padahal si wali mempunyai lebih dari satu

putri, maka tidak sah. Penyebutan sifat atau nama untuk membedakan calon

suami atau istri adalah sebuah keharusan untuk mencapai keabsahan akad.

Untuk kalimat ijab, madzhab ini sepakat dengan pendapat Syafi'iyah, tapi

untuk kalimat qabul cukup dengan kata (سضيد). Tidak disyaratkan

melengkapi kalimat qabul seperti pendapat Syafi'iyah. Dan bertentangan

dengan Syafi'iyah, qabul tidak boleh mendahului ijab. Disyaratkan

kesinambungan dalam ijab qabul. Bila terputus dan terpisah maka akad tidak

17

Ibid Al-Jaziri hal 14

Page 54: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PERKAWINAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5673/1/DEDE... · yang ada di dalam masyarakat, baik itu norma agama, kesopanan, kesusilaan

46

sah. Tidak diwajibkan menggunakan bahasa Arab selama bahasa yang dipakai

dimaksudkan untuk makna ijab dan qabul. Dan tidak boleh menyampaikannya

dengan isyarat, kecuali bagi orang bisu, dan isyarat yang disampaikan dapat

dipahami.

2. Syarat kedua: Ada kemauan dan kerelaan dari kedua pihak.

3. Syarat ketiga: Syarat khusus bagi wali, yaitu: laki-laki, sehat akal, baligh,

merdeka, beragama sama, lurus beragama dan paham atas akad tersebut.

4. Syarat keempat: Syarat khusus bagi saksi, yaitu: berjumlah dua orang, lakilaki,

baligh, sehat akal, adil (walau dzahirnya saja), tidak mesti merdeka (boleh

budak), mampu berbicara, muslim, mampu mendengar (tidak boleh orang tuli,

kafir), bukan dari keluarga bergaris keturunan ke atas dan ke bawah, tidak

harus mempunyai penglihatan.

5. Syarat kelima: Tidak ada halangan syar'i antara si laki-laki dan si perempuan

dalam melangsungkan perkawinan.18

d. Menurut Madzhab Maliki

Menurut kalangan Malikiyah, setiap rukun nikah mempunyai syarat-syarat

tersendiri, seperti yang terpapar berikut ini:

1. Syarat untuk Sighat

Menggunakan lafadz khusus, misal: (أمذد تري) dan ( صوجي فيح)

Qabul tidak mesti dengan lafadz khusus, semisal kalimat-kalimat berikut

18

Ibid Al-Jaziri hal 15

Page 55: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PERKAWINAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5673/1/DEDE... · yang ada di dalam masyarakat, baik itu norma agama, kesopanan, kesusilaan

47

ini: قثيد) ) dan (فزخ) ,(سضيد) ,( أذد)

Tidak disyaratkan berucap qabul dengan ( قثيد نذها أوصاجها) berlawanan

dengan pendapat Syafi'iyah terdahulu.

Selain menggunakan kata (اىرضو يج) dan (اىناح ) maka akad tidak sah.

Perkecualian untuk kata (اىهثح) boleh dengan disyaratkan penyebutan

shadaq (mahar) seperti dalam kalimat (وهثد ىل اترى تصذق مزا)

Adapun bila menggunakan kata lain yang berarti memindahkan

kepemilikan semisal (أدذا ىد) ,(أعطايد) ,(ذصذقد) ,(ز دد) (,تعد)

dan (يند) dengan disertai penyebutan mahar, maka hal ini masih

diperselisihkan. Tapi pendapat yang rajih adalah akad tidak sah. Bila kata-

kata di atas tidak disertai penyebutan mahar, maka tidak ada perselisihan

tentang kebatilan akad tersebut.

Disyaratkan ijab qabul harus berkesinambungan dan segera. Bila terpisah

antara ijab dan qabul namun hanya sebentar maka tidak mengapa. Semisal

semisal terpisah dengan khutbah pendek.

Kemudian akad tidak boleh tertentu batasan waktunya, dan bila terjadi,

maka nikah termasuk nikah mut'ah yang telah diharamkan

pelaksanaannya.

Tidak mengandung syarat yang menyalahi akad seperti pendapat

Syafi'iyah.

2. Syarat untuk Wali

Laki-laki

Merdeka

Page 56: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PERKAWINAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5673/1/DEDE... · yang ada di dalam masyarakat, baik itu norma agama, kesopanan, kesusilaan

48

Sehat akal

Baligh

Tidak dalam keadaan ihram

Beragama Islam

Tidak bodoh (bila ternyata bodoh tapi mempunyai penglihatan, maka

kebodohannya tidak membatalkan hak perwaliannya).

Tidak fasik

Mempunyai hak paksa atas perempuan yang berada dalam perwaliannya.

3. Syarat untuk Mahar

Mahar adalah barang yang berhak dimiliki secara syar'i. Misal: Akad tidak

sah bila mahar yang diberikan adalah khamr, atau bangkai.

Mahar adalah barang yang dibolehkan diperjualbelikan menurut syar'i.

Misal: Akad tidak sah bila mahar yang diberikan adalah seekor anjing.

Bila akad terjadi dengan dua jenis mahar tersebut di atas, maka

perkawinan wajib di fasakh (batal) sebelum hubungan intim terjadi. Bila

hubungan intim terlanjur terjadi, maka si suami wajib memberikan mahar

mistly (mas kawin yang umum di kalangan masyarakat).

4. Syarat untuk Saksi

Sunnah menghadirkan saksi pada saat pelaksanaan akad. Bila tidak

hadir,maka tidak mengapa.

Bila pada saat akad tidak ada saksi, maka ketika dukhul wajib menghadirkan

saksi. Bila dukhul terjadi tanpa saksi, maka perkawinan tersebut harus

fasakh dengan talak ba'in. Dan ini untuk menghindari terbukanya pintu zina.

Page 57: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PERKAWINAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5673/1/DEDE... · yang ada di dalam masyarakat, baik itu norma agama, kesopanan, kesusilaan

49

Kesaksian boleh berupa syahadatul abdaad (saksi silang), dan akad yang

terjadi sah. Misal: Seorang wali berakad dengan seorang laki-laki tanpa

saksi, lalu keduanya berpisah. Kemudian si wali menemui dua orang yang

hendak ia jadikan saksi dengan cara menyatakan kesaksiannya atas

terjadinya akad dengan kalimat seperti berikut:

(أشهذما يأري صوجد فالا ىفالح)

“aku bersaksi pada kalian bahwa aku telah mengawinkan si Polan dengan si

Polanah.”

Di tempat lain, si laki-laki yang berakad dengan wali tersebut bertemu pula

dengan dua orang yang hendak ia jadikan saksi dengan cara menyatakan

kesaksiannya atas terjadinya akad dengan kalimat seperti berikut:

أشهذ ما صوجد فالا ىفالح

“aku bersaksi pada kalian bahwa aku dikawinkan dengan si Polanah. “

Bila hal seperti di atas terjadi, namun orang yang dijadikan saksi oleh si

wali dan si suami adalah orang yang sama, maka akad juga sah. Tapi

kesaksian tidak lagi bernama syahadatul abdaad. Dan jumlahnya cukup

dengan dua orang saja.

Bila pada perkawinan yang akadnya tanpa saksi, kemudian si suami

melakukan dhukul kepada istrinya tanpa saksi, maka jatuh had zina atas

keduanya.

5. Syarat untuk Mempelai

Untuk mempelai, disyaratkan bagi keduanya terbebas dari larang

melakukan perkawinan, semisal: bagi calon istri tidak sedang ihram, bukan istri

Page 58: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PERKAWINAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5673/1/DEDE... · yang ada di dalam masyarakat, baik itu norma agama, kesopanan, kesusilaan

50

orang, tidak sedang iddah. Dan bagi keduanya tidak mempunyai hubungan

darah, hubungan susuan dan semenda.19

19

Ibid hal Al-Jaziri hal 16

Page 59: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PERKAWINAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5673/1/DEDE... · yang ada di dalam masyarakat, baik itu norma agama, kesopanan, kesusilaan

51

BAB III

PERKAWINAN JARAK JAUH

A. Telekomunikasi dan Perkembangannya

1. Pengertian Telekomunikasi

Secara Harfiah, kata telekomunikasi dapat dipisahkan menjadi 2 bagian,

yaitu tele dan komunikasi. Komunikasi atau communication adalah pernyataan

antar manusia yang bersifat umum dengan menggunakan lambang-lambang yang

berarti1. Proses terjadinya suatu komunikasi itu harus memuat tiga unsur

2, yaitu

adanya komunikator, pesan yang akan disampaikan, dan komunikan.

a. Komunikator adalah orang yang menyampaikan /meneruskan pesan kepada

orang lain dan atau penyebar pesan.

b. Pesan adalah suatu gagasan atau ide yang telah dituangkan dalam lambang

untuk disebarkan/diteruskan oleh komunikator.

c. Komunikan adalah penerima pesan atau tujuan.

Istilah tele yang berarti jarak jauh dan komunikasi yang berarti kegiatan

menyampaikan informasi atau berita, kemudian diresepsi ke dalam Pasal 1

Undang-undang nomor 36 tahun 1999 tentang telekomunikasi, yang menetapkan

bahwa3:

“Telekomunikasi adalah setiap pemancaran, pengiriman, dan atau

penerimaan dari setiap informasi dalam bentuk tanda-tanda, isyarat, tulisan,

1 Santoso Sastropoetro, Komunikasi Internasional : Sarana Interaksi antar Bangsa, Alumni,

Bandung, 1984. hlm. 3 2 Ibid Santoso Sastropoetro. hlm. 5

3 Gouzali Saydam, Sistem Telekomunikasi di Indonesia, Penerbit Angkasa, Bandung, 1995.

hlm. 5

Page 60: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PERKAWINAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5673/1/DEDE... · yang ada di dalam masyarakat, baik itu norma agama, kesopanan, kesusilaan

52

gambar, suara dan bunyi melalui sistem kawat, optik, radio, atau sistem

elektromagnetik lainnya.”

2. Perkembangan Telekomunikasi

Pada mulanya, komunikasi jarak jauh yang sering dilakukan oleh manusia

berupa pemanfaatan bunyi-bunyian dan alat lainnya. Sejak ditemukannya sinyal

listrik atau elektro optik lebih memungkinkan manusia melakukan komunikasi

dalam jarak yang tidak terbatas serta keefisienan penyampaian informasi karena

kecepatannya yang sangat tinggi.

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan di atas, maka dapat dibuat

sistematik dari sejarah perkembangan telekomunikasi, yaitu4 :

a. Komunikasi berita dan gambar

Jenis informasi yang dikirimkan di dalam komunikasi ini adalah

berbentuk gambar hidup dan gambar diam. Komunikasi ini terdiri dari

telegraf, telex, faksimilie, televisi.

b. Komunikasi suara

Komunikasi ini adalah bentuk komunikasi yang paling umum

digunakan, serta mempunyai suatu kelebihan dibandingkan dengan

komunikasi gambar yaitu dalam hal kecepatan dan juga jumlah

penyampaian informasinya. Contoh telepon dan radio

c. Komunikasi Data

Komunikasi data merupakan bentuk khusus dari komunikasi pada

umumnya. Jenis komunikasi ini merupakan jenis komunikasi yang

mulai mendominasi jaringan telekomunikasi. Dalam komunikasi data

ini diadakan penggabungan atau kombinasi dari komunikasi gambar

dengan komunikasi suara, sehingga dalam satu waktu yang sama

penerima informasi akan menerima informasi atau berita sekaligus

gambar dari pengirim, dikenal dengan istilah Integrated Service Digital

Network (ISDN) atau Jaringan Digital Layanan Terpadu.5

4 Lukas Tanutama, Pengantar Komunikasi Data, PT. Elex Media Komputindo, Jakarta, 1997.

Hlm. 4-8 5 Dedi Supriadi, Era Baru Bisnis Telekomunikasi, STT Telkom dan PT. Rosda Jayaputra,

Bandung, 1996. Hlm. 7

Page 61: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PERKAWINAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5673/1/DEDE... · yang ada di dalam masyarakat, baik itu norma agama, kesopanan, kesusilaan

53

Kombinasi dalam komunikasi data terdiri dari dua macam tekhnik, yaitu

tekhnik telekomunikasi dengan tekhnik pengolahan data. Tekhnik telekomunikasi

merupakan kegiatan penyaluran informasi dari titik ke titik yang lain, sedangkan

pengolahan data merupakan kegiatan mengolah suatu data. Dua kombinasi

tekhnik ini pula yang memberi nilai lebih bagi komunikasi data. Terdapat 3

komponen dasar dalam komunikasi ini, yaitu6 :

1.) Sumber pengirim informasi atau terminal, yaitu komputer.

2.) Medium transmisi, yaitu yang menyalurkan infromasi dan dapat

berupa kabel, udara maupun cahaya.

3.) Penerima, bisa berupa sistem komputer lain atau printer.

Sistem kerja komunikasi data yang dikembangkan saat ini, merupakan

penggunaan jaringan atau network (internet). Yaitu suatu komunikasi yang dapat

terjadi dengan melibatkan beberapa pemancar, sehingga memudahkan terjadinya

komunikasi multi arah atau multi point. Jenis perangkat komunikasi data yang

semakin banyak dipergunakan dan dikembangkan saat ini, antara lain adalah :

a.) Video-Phone atau Point to Point

Perangkat komunikasi data yang dihubungkan dengan Sambungan

Telepon Langsung Internasional (SLI) TELKOM sebagai penyalur data-

data yang disampaikan sumber ke penerima di tempat lain, dengan

pemakaian pulsa telepon internasional. Komunikasi video-phone ini

menghasilkan tampilan visual pengirim dan penerima berita dari

penghubungan kamera video dengan komputer dan tampilan suara yang

6 Lukas Tanutama, Opcit. Hlm. 13-22

Page 62: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PERKAWINAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5673/1/DEDE... · yang ada di dalam masyarakat, baik itu norma agama, kesopanan, kesusilaan

54

jelas dengan menghubungkan komputer dengan speaker.

b.) Video-Conference atau Multi Point (Internet)

Berbeda dengan Video-phone yang hanya menghasilkan hubungan

komunikasi searah, maka dengan Video-conference akan menghasilkan

hubungan komunikasi multi arah, yaitu penyaluran melalui telepon yang

disambungkan ke internet, setelah itu disalurkan ke seluruh pemancar

penerima yang diinginkan di berbagai tempat berbeda. Kelebihan Video-

conference ini adalah karena penyaluran teleponnya melalui internet

sehingga tidak menggunakan SLI dan juga menghasilkan tampilan visual

serta suara dari penerima dan pengirim berita.

3. Perkembangan Telekomunikasi Di Dalam Hukum

Pemerintah berpandangan bahwa dalam mewujudkan peranan

telekomunikasi tidak dapat lagi dipisahkan dari hakekat telekomunikasi yang

berdimensi global dan berkembang dengan sangat pesat. Dengan demikian

pengaruh global sangat terasa dan tidak mungkin ditolak. Maka dibuatlah undang-

undang No. 3 Tahun 1989 tentang Telekomunikasi. Tetapi karena perkembangan

tekhnologi terutama dalm hal ini di bidang telekomukasi, sehingga undang-

undang mengenai tekomunikasi ini mengalami perubahan menjadi Undang-

undang No. 36 Tahun 1999 Tentang Telekomunikasi.

Kemajuan tekhnologi khususnya dalam bidang telekomunikasi

berkembangan sangat pesat. Dari awalnya hanya surat menyurat menjadi telepon

kemudian muncul teleconference, yang selain bisa mendengarkan secara audio

Page 63: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PERKAWINAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5673/1/DEDE... · yang ada di dalam masyarakat, baik itu norma agama, kesopanan, kesusilaan

55

juga bisa melihat secara visual siapa yang menjadi lawan bicara.

Dengan kemajuan tekhnologi yang sedemikian pesat, maka Undang-

Undang No. 3 Tahun 1989 Tentang Telekomunikasi yang dahulu dirasa telah

cukup oleh pemerintah Indonesia dalam menangani masalah mengenai

telekomunikasi mengalami perubahan menjadi Undang-Undang No. 36 Tahun

1999 Tentang Telekomunikasi.

Setidaknya ada lima landasan filosofis, yang sekaligus menjadi alasan kuat

mengapa Undang-undang Nomor 3 Tahun 1989 tentang Telekomunikasi diubah7

Pertama, bahwa tujuan pembangunan nasional antara lain memajukan

kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa guna mewujudkan

masyarakat adil dan makmur yang merata material dan spritual berdasarkan

Pancasila dan UUD 1945. Kedua, bahwa penyelenggaraan telekomunikasi

mempunyai arti strategis dalam upaya memperkukuh persatuan dan kesatuan

bangsa, memperlancar kegiatan pemerintahan dan mendukung terciptanya tujuan

pembangunan dan pertumbuhan ekonomi nasional, serta meemperkuat hubungan

antar bangsa. Ketiga, bahwa pengaruh era globalisasi dan perkembangan

teknologi telekomunikasi yang sangat pesat telah mengakibatkan perubahan yang

sangat mendasar dalam penyelenggaraan dan cara pandang terhadap

telekomunikasi. Keempat, bahwa segala sesuatu yang berkaitan dengan perubahan

mendasar dalam penyelenggaraan dan cara pandang terhadap tele-komunikasi

tersebut, perlu dilakukan pengaturan kembali penyelenggaraan telekomunikasi

nasional. Kelima, bahwa sehubungan dengan hal-hal tersebut di atas, maka UU

7 Hinca IP Pandjaitan, Undang-undang Telekomunikasi. Partisipasi Publik dan Pengaturan

Setengah Hati, Internews Indonesia, Februari 2000, Hlm. 20.

Page 64: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PERKAWINAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5673/1/DEDE... · yang ada di dalam masyarakat, baik itu norma agama, kesopanan, kesusilaan

56

Nomor 3 Tahun 1989 tentang Telekomunikasi tidak sesuai lagi, sehingga perlu

disusun Undang-Undang Telekomunikasi yang baru.

Dilihat dari filosofis pertama yang mengatakan bahwa tujuan dari

pembangunan nasional adalah guna mewujudkan masyarakat adil dan makmur

yang merata material dan spiritual berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Spiritual

disini dapat diartikan salah satunya adalah mengenai perkawinan, karena

perkawinan selain merupakan hubungan antar sesama manusia juga merupakan

suatu ibadah. Dan juga perkawinan merupakan salah satu hak asasi bagi setiap

manusia, sesuai dengan Pasal 10 ayat (1) Undang-undang No. 36 Tahun 1999

tentang Hak Asasi Manusia yang mengatakan bahwa : Setiap orang berhak

membentuk suatu keluarga dan melanjutkan keturunan melalui pernikahan yang

sah.

B. Pengaruh Telekomunikasi Terhadap Perkawinan Di Indonesia

Dengan semakin banyaknya penduduk di dalam satu negara, terutama di

Indonesia dan juga karena semakin globalnya dunia. Maka penyebaran penduduk

Indonesia semakin meluas, karena tidak memungkinkan apabila seluruh penduduk

Indonesia tinggal di dalam satu pulau saja yang ada di Indonesia. Penyebaran

penduduk ini tidak hanya tersebar di dalam negeri saja, tetapi juga meluas ke luar

negeri.

Banyak alasan orang melakukan Transmigrasi (perpindahan penduduk dari

kota ke desa) ataupun Urbanisani (perpindahan penduduk dari desa ke kota).

Tetapi umumnya masyarakat melakukan perpindahan ini dikarenakan untuk

Page 65: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PERKAWINAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5673/1/DEDE... · yang ada di dalam masyarakat, baik itu norma agama, kesopanan, kesusilaan

57

mengubah nasib mereka untuk mencari penghidupan yang layak, ataupun untuk

menimba ilmu.

Karena jumlah pencari kerja lebih banyak dibandingkan dengan lowongan

pekerjaan yang ada, maka banyak pulalah penduduk Indonesia yang berpindah ke

luar negeri untuk mencari pekerjaan. Dengan berbagai konsekuensi, yaitu

diantaranya berpisah jauh dengan keluarga ataupun kerabat dan teman yang

berada di Indonesia.

Tetapi dengan perkembangan jaman, hal itu tidak terlalu terasa sekarang.

Apabila dahulu diperlukan waktu berhari-hari untuk bertukar kabar melalui surat,

maka sekarang hanya perlu mengangkat telepon untuk mendengarkan suara

kerabatnya ataupun melalui SMS (short message service) untuk mengetahui

keadaan satu sama lain.

Dahulu diperlukan biaya dan waktu yang sangat besar untuk berbicara

tatap muka, karena harga tiket dan waktu perjalan pesawat atau alat tranportasi

yang lain membutuhkan biaya dan waktu yang tidak sedikit. Maka sekarang

dalam hal tersebut manusia dapat melakukannya melalui internet, dengan cara

chatting memakai webcam ataupun melalui media teleconference sehingga kedua

belah pihak dapat saling mendengar suara sekaligus melihat wajah secara

langsung. Dengan begitu manusia dapat menghemat biaya dan waktu yang

dibutuhkan.

Dengan banyaknya cara untuk berkomunikasi ini pula, membuat banyak

orang memakai sarana telepon dan lain sebagainya ini selain dipakai

berkomunikasi dengan teman dan keluarga tetapi juga untuk melakukan bisnis

Page 66: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PERKAWINAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5673/1/DEDE... · yang ada di dalam masyarakat, baik itu norma agama, kesopanan, kesusilaan

58

jual beli, bahkan melakukan pernikahan atau biasa disebut perkawinan.

Melakukan perkawinan memakai sarana telepon pun sampai sekarang

masih dianggap aneh oleh sebagian besar masyarakat Indonesia karena dianggap

tidak wajar. Bahkan dapat menimbulkan perdebatan di antara para pakar atau

aparat hukum dalam hubungannya untuk menetapkan keabsahan perkawinan

memakai media telepon ataupun teleconference. Tetapi meskipun begitu,

perkawinan yang dilakukan melalui media telepon ataupun teleconference ini

sudah mulai sering dilakukan oleh masyarakat Indonesia.

Selama ini, perkawinan biasanya dilangsungkan dalam satu majelis atau

satu tempat. Namun seiring dengan perkembangan tekhnologi komunikasi,

terdapat kemungkinan dilangsungkannya perkawinan tidak dalam satu majelis.

Salah satu kasus menarik serta merupakan terobosan pertama dalam mengatasi

permasalahan ketidakmungkinan perkawinan satu majelis, adalah perkawinan

yang pada saat pengucapan ijab dan kabul antara mempelai pria dan mempelai

wanita dilakukan melalui telepon yang dilakukan oleh pasangan Aria dan Noer

pada tanggal 13 Mei 19898.

Aria Sutarto bin Drs. Suroso Darmoatmojo atau biasa dipanggil Aria

menjalin cinta dengan Nurdiani binti Prof. Dr. Baharudin Harahap atau biasa

dipanggil Noer, keduanya adalah pemeluk agama Islam.

Pada mulanya Aria, seorang dosen di Unversitas Terbuka (UT) dan Noer

mereka berdua bertempat tinggal di Jakarta. Tetapi kemudian Aria

ditugasbelajarkan ke Amerika Serikat (USA) untuk memperdalam ilmu yang

8 Majalah Varia Peradilan Tahun VI No.62 Tahun 1990, Hlm. 5.

Page 67: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PERKAWINAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5673/1/DEDE... · yang ada di dalam masyarakat, baik itu norma agama, kesopanan, kesusilaan

59

menjadi bidangnya.

Setelah beberapa tahun ditugasbelajarkan di USA, Aria meminta agar

segera dilangsungkan perkawinan antara dirinya dengan Noer yang masih

menetap di Jakarta, seperti yang telah direncanankan sebelumnya yaitu pada

tanggal 13 Mei 1989. Akan tetapi muncul suatu hambatan, yaitu Aria sebagai

calon mempelai pria, tidak dapat pulang ke Indonesia. Karena tugas belajar

tersebut akan gugur atau batal jika peserta tugas belajar tersebut pulang ke negara

asalnya.

Adanya hambatan ini kemudian ditanggulangi oleh pihak keluarga Noer

dengan meminta nasehat ke Pejabat KUA dan Kanwil Departemen Agama

Jakarta. Kedua instansi ini memberikan jalan keluar yaitu dengan pengiriman

surat taukil oleh Aria. Surat Taukil adalah surat yang menerangkan bahwa salah

satu mempelai akan diwakilkan pada saat perkawinan berlangsung karena

berhalangan hadir. Maka terjadilah korespondensi antara Jakarta-USA, dengan

maksud agar dari calon mempelai pria mengirimkan surat taukil yang dimaksud

oleh KUA tersebut ke Indonesia. Setelah sekian lama menunggu, yang datang

bukanlah surat taukil, melainkan Surat Kuasa untuk menandatangani Akta Nikah.

Karena tiadanya surat taukil yang diharapkan itu, sedangkan pendaftaran

untuk rencana pernikahan di KUA sudah dilaksanakan dan dengan makin

mendekatnya hari dan tanggal serta bulan dilangsungkannya pernikahan, maka

pihak ayah mempelai wanita menemukan jalan keluar, yaitu acara pernikahan Ijab

dan Kabul antara wali mempelai wanita dengan mempelai pria akan dilaksanakan

melalui sarana telepon Internasional Jakarta-USA.

Page 68: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PERKAWINAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5673/1/DEDE... · yang ada di dalam masyarakat, baik itu norma agama, kesopanan, kesusilaan

60

Usulan ini kemudian disampaikan orang tua Noer ke KUA Kecamatan

Kebayoran Baru dan juga ke KASI URAIS Kodya Jakarta Selatan. Pihak KASI

URAIS sendiri hanya memberi jawaban “dapat dilaksanakan, walaupun tidak

sesuai dengan undang-undang, dan ketiadaan surat taukil itu dapat menyusul

setelah proses perkawinan”. Alasan yang membenarkan dilaksanakan perkawinan

melalui telepon ini adalah karena telah terpenuhinya syarat-syarat perkawinan

selain yang berkaitan dengan kehadiran mempelai pria dalam satu majelis.

Pernyataan pemberian izin dari KASI URAIS merupakan langkah awal

bagi KUA Kecamatan Kebayoran Baru dan juga sebagai jalan keluar bagi

keluarga Noer, untuk segera melaksanakan proses ijab-kabul tanpa adanya surat

taukil dan orang tua Noer segera menghubungi Aria untuk menyetel telepon terus

sampai selesai pada hari Sabtu tanggal 13 Mei 1989, pukul 10.00 WIB atau hari

jum’at pukul 22.00 waktu Indianan, Amerika, untuk menyelenggarakan proses

Ijab-Kabul.

Perkawinan tersebut benar-benar dilaksanankan pada tanggal 13 Mei 1989

melalui telepon yang disambungkan dengan pengeras suara (menurut surat

keterangan Perumtel No. 137/KP.))/W04.100/90, ditandatangani Iwan Krisnadi

MBA. PH, bahwa telepon yang disambungkan dengan pengeras suara akan

didengar oleh orang-orang yang berada di sekitarnya), disaksikan oleh kurang

lebih 100 undangan di Jakarta, termasuk juga pejabat dari KUA Kecamatan

Kebayoran Baru, yang hadir pada saat itu, bertindak untuk mengawasi dan

menyaksikan proses tersebut dan 10 sampai dengan 15 orang saksi di Amerika.

Page 69: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PERKAWINAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5673/1/DEDE... · yang ada di dalam masyarakat, baik itu norma agama, kesopanan, kesusilaan

61

Proses ijab-kabul itu sendiri berjalan lancar, diawali dengan adanya

percakapan antara ayah Noer, sebagai wali, dengan Aria, sebagai cara untuk

memastikan suara maupun kesiapan dari Aria. Dan juga percakapan dengan saksi-

saksi yang ada di Amerika, termasuk yang menjadi saksi dari pengantin pria.

Setelah pemastian suara dan kesiapan masing-masing pihak, proses ijab-kabul ini

dilanjutkan dengan percobaan pengucapan ijab oleh wali Noer dan kabul oleh

Aria. Dan setelah semua benar, baru diadakan ijab-kabul yang sebenarnya. Pada

akhir dari upacara akad nikah itu terdengar ucapan takbir oleh sebagian yang

hadir, termasuk kepala KUA Kecamatan Kebayoran Baru dan wali Noer,

dilanjutkan dengan pembacaan doa yang dipimpin oleh ayah Noer.

Namun masalah yang kemudian timbul adalah pada saat dimintakan

pencatatan nikah di buku nikah, pihak KUA Kecamatan Kebayoran Baru menolak

dilakukan pencatatan dan juga menolak memberikan buku nikah. Karena

beranggapan bahwa proses ijab-kabul yang dilakukan di tempat yang berjauhan

atau dengan kata lain, tidak terjadi pertemuan yang langsung antara kedua

mempelai, adalah tidak sah.

Adanya penolakan pencatatan oleh KUA Kecamatan Kebayoran Baru ini,

menyebabkan ayah Noer mengajukan permohonan ke Pengadilan Agama Jakarta

Selatan untuk menetapkan sah perkawinan yang dilangsungkan melalui sarana

telekomunikasi (dalam hal ini adalah melalui telepon), yang disebabkan keadaan

yang tidak memungkinkan untuk mengadakan ijab-kabul dalam satu majelis.

Untuk kemudian dapat kiranya perkawinan tersebut dicatatkan dan dibukukan ke

dalam suatu buku nikah, sesuai dengan ketentuan yang telah diatur dalam undang-

Page 70: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PERKAWINAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5673/1/DEDE... · yang ada di dalam masyarakat, baik itu norma agama, kesopanan, kesusilaan

62

undang perkawinan, khususnya Pasal 2 ayat (2) jo. Pasal 2 PP No. 9/1975

mengenai pencatatan perkawinan.

C. Perkawinan Teleconference di Indonesia

Kasus perkawinan yang dilakukan dengan jarak jauh (tidak dalam satu

majelis) tidak hanya terjadi pada perkawinan Aria dan Noer saja. Apabila pada

tahun 1989 mereka memakai sarana telepon. Dan untuk mengetahui bahwa yang

berbicara di ujung saluran telepon adalah benar-benar calon mempelai pria dengan

cara wali dari mempelai wanita berusaha melakukan dialog untuk memastikan

bahwa suara tersebut adalah benar-benar suara dari calon mempelai pria.

Maka dengan bertambah majunya tekhnologi dan perkembangan

telekomunikasi yang semakin canggih, masyarakat mulai memakai sarana

teleconference. Yaitu selain kita bisa mendengarkan suara (audio) dari ujung

saluran telepon, kita juga bisa melihat secara kasat mata (visual) melalui video.

Sehingga kita bisa secara langsung melihat siapa yang menjadi lawan bicara kita.

Salah satu kasus ini terjadi pada tanggal 4 Desember 2004 pada pasangan Dewi

Tarunawati dengan Syarif Aburahman Achmad9. Jarak Bandung, Indonesia –

Pittsburgh, Amerika Serikat dengan perbedaan waktu 12 jam, tidak menghalangi

mereka untuk melangsungkan pernikahan. Dewi yang berada di Bandung dan

Syarif di 304 Oakland Ave Apt 9 Pittsburgh PA 15213 Amerika Serikat

melangsungkan pernikahan di Kantor Indosat Landing Point Jln. Terusan Buah

Batu Bandung. Hal ini terjadi dikarenakan calon mempelai pria tidak dapat

9 Koran Pikiran Rakyat, Minggu 5 Desember 2004

Page 71: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PERKAWINAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5673/1/DEDE... · yang ada di dalam masyarakat, baik itu norma agama, kesopanan, kesusilaan

63

meninggalkan pekerjaannya di Amerika karena terikat kontrak dan begitupun

calon mempelai wanita yang tidak dapat meninggalkan studi S2-nya di Indonesia.

Pernikahan Dewi-Syarif sebenarnya hampir sama dengan pernikahan pada

umumnya, ada mempelai wanita, wali nikah, dan dua saksi. Perbedaannya,

mempelai pria hadir tidak secara fisik melainkan dalam bentuk gambar di televisi.

Sehingga televisi ukuran 29 inci menjadi pusat perhatian puluhan kerabat yang

hadir dalam acara tersebut, khususnya orang tua Dewi dan orang tua Syarif.

Sementara hadirin yang hadir dalam acara tersebut bisa menyaksikan mempelai

pria dari big screen (layar lebar) berukuran 1,5 m x 2 m.

Tepat pukul 8.45 WIB, akad nikah Dewi Tarumawati, S.Psi, putri pertama

H. Daddy S. Yudha Manggala dengan Syarif Aburahman Achmad Ph.D, putra

keempat H. Memed Achmad Diat T, dimulai. Dipimpin Petugas Pencatat Nikah

(PPN) Kec. Regol Syamsul Ma'arif dan Cecep Budiman, pembacaan ijab kabul

berjalan lancar.

Ijab dari H. Daddy (orang tua Dewi), "Saya nikahkan Dewi Tarumawati

putri kandung bapak kepada ananda dengan mas kawin seperangkat alat salat dan

uang Rp 5 juta dibayar tunai." Dijawab denga lancar oleh Syarif, "Saya terima

nikahnya Dewi Tarumawati putri kandung bapak dengan memakai mas kawin

seperangkat alat shalat dan uang Rp 5 juta rupiah dibayar tunai."

Setelah ijab kabul, pengantin pria membacakan sighat taklik, "Saya Syarif

Aburahman Achmad bin H. Memed berjanji dengan sesungguh hati, bahwa saya

akan menepati kewajiban saya sebagai seorang suami. Saya akan pergauli istri

saya bernama Dewi dengan baik (mu'asyarah bil ma'ruf) menurut syari'at Islam."

Page 72: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PERKAWINAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5673/1/DEDE... · yang ada di dalam masyarakat, baik itu norma agama, kesopanan, kesusilaan

64

Kemudian, "Sewaktu-waktu saya meninggalkan istri saya dua tahun berturut-

turut, atau saya tidak memberi nafkah wajib kepadanya tiga bulan lamanya, atau

saya menyakiti badan/jasmani istri saya, atau saya membiarkan (tidak

mempedulikan) istri saya enam bulan lamanya, kemudian istri saya tidak rida dan

mengadukan halnya kepada Pengadilan Agama dan pengaduannya dibenarkan

serta diterima pengadilan, dan istri saya membayar uang sebesar Rp 1.000,00

sebagai iwadh (pengganti) kepada saya, maka jatuhlah talak satu saya kepadanya."

Acara akad nikah diakhiri dengan sungkeman mempelai wanita kepada orang tua

dan mertuanya. Sementara mempelai pria sungkeman dengan kata-kata. Syarif

bersyukur kepada Allah SWT karena acara akad nikah berjalan lancar. Syarif

berharap istrinya dapat segera menyelesaikan studi S2-nya sehingga bisa segera

ke Amerika untuk secara bersama-sama membangun keluarga baru.

Walaupun dalam kedua kasus perkawinan tersebut dilangsungkan di luar

kebiasaan, yaitu dengan melalui media telekomunikasi atau jarak jauh, akan tetapi

segala sesuatunya dilakukan dengan cara-cara seperti perkawinan yang biasa,

yaitu10

:

a. Telah dilakukan pemberitahuan kehendak terlebih dahulu ke

Pegawai Pencatat sesuai dengan ketentuan Pasal 3 PP No.9/1975.

b. Telah terpenuhinya segala syarat sesuai Pasal 6 dan 7 Undang-

undang No.1/1974 jo. PP No.9/1975 dan tidak ada halangan

perkawinan terhadap ketentuan persyaratan perkawinan mereka.

c. Segala sesuatunya dilakukan dengan itikad baik. Tidak ada suatu

maksud sebagai penyelundupan hukum, yaitu bermaksud untuk

menghindari ketentuan undang-undang perkawinan yang berlaku

atas diri para pihak dengan memilih menggunakan undang-undang

perkawinan yang tidak berlaku atas para pihak. Semua tindakan

dengan maksud itikad baik ini, dapat dilihat dari dipenuhinya segala

sesuatu yang dipersyaratkan oleh peraturan yang berlaku. Hanya

10

Ibid Idha Aprilyana, Hlm. 59.

Page 73: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PERKAWINAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5673/1/DEDE... · yang ada di dalam masyarakat, baik itu norma agama, kesopanan, kesusilaan

65

saja kendala yang timbul adalah permohonan pencatatan perkawinan

terkadang tidak dapat diterima karena tidak dilaksanakannya

perkawinan dalam satu majelis.

Yang menjadi pokok permasalahan dalam proses perkawinan yang

dilakukan melalui media telepon ataupun teleconference adalah ketidak hadiran

secara fisik mempelai pria di domisili mempelai wanita. Namun ketidakhadiran

secara fisik ini tidak mengurangi keabsahan perkawinan, berdasarkan pada dalil-

dalil11

:

1) Sesuai dengan pendapat ahli Fiqih di dalam Fiqhus Sunah halaman 34

jilid Iia, ijab-kabul tidak di sela-selai harus diartikan bahwa antara ijab

dan kabul tidak diantarai dengan perkataan yang bukan berkenaan

dengan nikah atau sesuatu yang menurut adat dianggap tidak mau atau

telah membelah pada hal-hal yang lain selain nikah.

2) Hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Uqbah bin Amir R.A yang intinya

adanya pernikahan antara seorang laki-laki dengan seorang wanita

dengan perantaranya adalah Rasulallah SAW, walaupun dalam

perkawinan ini dilakukan tanpa mahar dan tidak ada pertemuan sama

sekali. Kedua mempelai tidak saling mewakilkan dirinya pada

Rasulallah, akan tetapi rasulallah hanya bertindak sebagai perantara

untuk menanyakan pernyataan kesepakatan dari kedua mempelai dan

Rasulallah hanya menguatkan kesepakatan tersebut.

3) Hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Umi Habibah, yang intinya adalah

perkawinan dilakukan di tempat yang berbeda dan berjauhan antara

Rasul dan Umi Habibah.

Berdasarkan pada dalil-dalil tersebut di atas, dapat dibuat suatu

kesimpulan bahwa proses perkawinan itu dapat dilangsungkan dengan berbagai

cara, asalkan telah memenuhi syarat, yaitu adanya :

1. Mempelai pria dan Wanita

2. Antara kedua mempelai bukanlah muhrim.

3. Antara kedua mempelai sama-sama rela atau telah sepakat untuk menikah.

4. Telah tercapainya usia Nikah bagi kedua mempelai (baligh).

11

Majalah Varia Peradilan Tahun VI No.62 Tahun 1990, Hlm. 9

Page 74: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PERKAWINAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5673/1/DEDE... · yang ada di dalam masyarakat, baik itu norma agama, kesopanan, kesusilaan

66

5. Tidak adanya larangan Nikah antara kedua mempelai.

6. Adanya wali.

7. Adanya Saksi.

8. Pembayaran mahar sebagai pelengkap.

9. Didaftarkan secara resmi sesuai dengan prosedur undang-undang.

10. Adanya ijab-kabul, maka perkawinan adalah sah.

Pemikiran bahwa, suatu perkawinan yang dilangsungkan menurut Hukum

Agama Islam dan telah memenuhi syarat-syarat sesuai peraturan perundang-

undangan adalah perkawinan yang tidak sah, hanya dikarenakan ketidakhadiran

mempelai pria secara fisik. Dalam hal perkawinan yang dilakukan melalui media

telekomunikasi, ketidak hadiran secara fisik ini perlu kiranya tetap menjadi

pertimbangan bahwa ijab-kabul melalui telepon/teleconference yang dilakukan

secara langsung pada saat pernikahan, tidak hanya sekedar mewakili

ketidakhadiran secara fisik mempelai pria, tetapi diucapkan langsung oleh

mempelai prianya melalui sebuah media.

Kedua kasus tersebut hanyalah merupakan sedikit dari contoh yang terjadi

di masyarakat yang hidup di dunia yang semakin modern ini. Bukanlah tidak

mungkin pada masa yang akan datang akan semakin banyak terjadinya pernikahan

melalui media telekomunikasi khususnya teleconference. Sehingga dirasa

perlunya aturan yang mengatur mengenai masalah perkawinan jarak jauh ini

supaya tidak lagi ada perdebatan atau kesulitan dalam masalah pencatatan

pernikahan.

Page 75: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PERKAWINAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5673/1/DEDE... · yang ada di dalam masyarakat, baik itu norma agama, kesopanan, kesusilaan

67

Karena pencatatan perkawinan sangatlah penting, terutama untuk

mendapatkan hak-hak seperti warisan dan nafkah bagi anak-anak hasil

perkawinan. Akibat hukum tidak dicatatnya perkawinan adalah :

a. Perkawinan Dianggap tidak Sah. Meski perkawinan dilakukan menurut

agama dan kepercayaan, namun di mata negara perkawinan dianggap

tidak sah jika belum dicatat oleh Kantor Urusan Agama

b. Anak Hanya Mempunyai Hubungan Perdata dengan Ibu dan Keluarga

Ibu. Anak-anak yang dilahirkan di luar perkawinan atau perkawinan

yang tidak tercatat, selain dianggap anak tidak sah, juga hanya

mempunyai hubungan perdata dengan ibu atau keluarga ibu (Pasal 42

dan 43 Undang-Undang Perkawinan). Sedang hubungan perdata dengan

ayahnya tidak ada.

c. Anak dan ibunya Tidak Berhak Mendapatkan Waris dan Nafkah. Akibat

lebih jauh dari perkawinan yang tidak tercatat adalah, baik isteri maupun

anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut tidak berhak

menuntut nafkah ataupun warisan dari ayahnya. Namun demikian,

Mahkamah Agung RI dalam perkara Nugraha Besoes melawan Desrina

dan putusan Pengadilan Negeri Yogyakarta dalam perkara Heria

Mulyani dan Robby Kusuma Harta, saat itu mengabulkan gugatan

nafkah bagi anak hasil hubungan kedua pasangan tersebut.

Page 76: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PERKAWINAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5673/1/DEDE... · yang ada di dalam masyarakat, baik itu norma agama, kesopanan, kesusilaan

68

BAB IV

HUKUM PERKAWINAN TELECONFERENCE

A. Pengaturan Perkawinan Teleconference

Perkawinan adalah suatu perbuatan hukum, merupakan suatu ikatan yang

menentukan sah atau tidaknya pergaulan antara seorang pria dan wanita. Dalam

hidup berumah tangga sudah tentu saja akan menimbulkan akibat hukum yang

sangat bergantung pada sah atau tidaknya terhadap perkawinan yang

dilangsungkan.

Tentunya suatu hal yang riskan (bahaya), apabila perkawinan telah

dilakukan atau dilangsungkan melalui media telepon atau teleconference, tetapi

dianggap tidak sah secara hukum positif disebabkan ketiadaan bukti yang

mendukung telah dilangsungkannya perkawinan tersebut. Dikatakan riskan karena

perkawinan tidak saja hanya dilakukan secara agama tetapi harus pula sah

menurut hukum positif. Oleh sebab itulah perlu kiranya suatu bukti yang dapat

mendukung sahnya perkawinan yang telah dilakukan, sehingga dapat menjamin

kepastian hukum terhadap keduanya, sehingga akibat hukum yang ditimbulkannya

dapat terlindungi. Yang dimaksud dengan bukti dalam hal ini adalah surat nikah

(akta nikah).

Negara Indonesia sebagai negara hukum, menghendaki agar segala

tindakan haruslah berdasarkan atas hukum. Oleh sebab itu pula dalam bidang

perkawinan haruslah sesuai dengan perundang-undangan perkawinan yang

berlaku. Sesuai dengan bunyi Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang No.1

Page 77: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PERKAWINAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5673/1/DEDE... · yang ada di dalam masyarakat, baik itu norma agama, kesopanan, kesusilaan

69

Tahun 1974 tentang Perkawinan, maka perkawinan yang sah dilakukan

berdasarkan agama, dan masing-masing harus pula dicatatkan pada KUA.

Adanya ketentuan yang ditetapkan ini menimbulkan suatu konsekuensi bahwa

perkawinan yang sah menurut Hukum Positif itu haruslah dicatatkan di kantor

Pencatatan Perkawinan.

Hal ini tidak lain karena dalam suatu negara yang berdasar atas hukum,

semua peristiwa hukum yang terjadi harus dapat dibuktikan. Menurut Hukum,

akibat hukum yang ditimbulkannya dapat diakui oleh negara sehingga dapat

menjamin kepastian hukum.

Berdasarkan ketentuan itu maka KUA sebagai lembaga atau institusi yang

bertugas untuk mencatatkan perkawinan, mempunyai kewajiban untuk

mengetahui dan meneliti syarat-syarat perkawinan lebih dulu. Oleh karena

kewajibannya sebagai pencatat perkawinan maka pegawai pencatat perkawinan

yang ada di KUA maupun dapat melakukan penolakan hingga tindakan

pembatalan terhadap perkawinan, hal ini tidak lain karena agar perkawinan tidak

saja sah menurut agama tetapi juga sah menurut negara.

Pencatatan perkawinan bertujuan untuk mewujudkan ketertiban

perkawinan dalam masyarakat. Ini merupakan suatu upaya yang diatur melalui

perundang-undangan, untuk melindungi martabat dan kesucian perkawinan, dan

lebih khusus untuk melindungi hak-hak perempuan dalam kehidupan berumah

tangga. Melalui pencatatan perkawinan yang dibuktikan dengan akta nikah,

apabila terjadi perselisihan di dalam perkawinan, maka salah satu dari pihak

suami ataupun istri dapat melakukan upaya hukum guna mempertahankan atau

Page 78: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PERKAWINAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5673/1/DEDE... · yang ada di dalam masyarakat, baik itu norma agama, kesopanan, kesusilaan

70

memperoleh hak masing-masing. Karena dengan akta tersebut, suami istri

memiliki bukti otentik atas perbuatan hukum yang telah mereka lakukan1.

Dilihat dari uraian di atas tersebut, maka kedudukan pencatatan

perkawinan semakin penting, khususnya apabila perkawinan tersebut

dilaksanakan dengan jarak jauh, artinya calon mempelai pria dan wanita berlainan

tempat. Atau pada pembahasan sekarang mengenai perkawinan yang

dilangsungkan dengan memanfaatkan media telekomunikasi (telepon atau

teleconference). Hal ini tidak lain karena adanya pencatatan perkawinan ini akan

menentukan telah terjadinya perbuatan hukum. Sebagaimana diketahui, apabila

dilakukan suatu perbuatan hukum maka akan menimbulkan akibat hukum.

Dalam menghadapi suatu kasus yang belum ada peraturan tertulisnya di

dalam undang-undang. Sudah sewajarnya petugas pencatat perkawinan ataupun

hakim memakai pandangan modern, atau biasa disebut dengan aliran problem

oriented.

Pokok dari aliran problem oriented ialah bahwa bukan sistem perundang-

undangan yang merupakan titik tolak, tetapi masalah kemasyarakatan yang

konkrit yang harus dipecahkan. Hukum (undang-undang) selalu ketinggalan dari

peristiwanya, itu memang sifat hukum. Lebih-lebih dengan berkembang pesatnya

tekhnologi dewasa ini maka hukum (undang-undang) akan jauh ketinggalan2.

Menurut Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja, S.H., LL.M. Hukum yang baik

adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup (the living law) dalam

1 Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1995. hlm.

107. 2 Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum, sebuah pengantar. Liberty, Yogyakarta, 2004.

Hlm.109.

Page 79: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PERKAWINAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5673/1/DEDE... · yang ada di dalam masyarakat, baik itu norma agama, kesopanan, kesusilaan

71

masyarakat yang tentunya sesuai pula atau merupakan pencerminan dari nilai-nilai

yang berlaku dalam masyarakat3. Undang-undang bukanlah penuh dengan

kebenaran dan jawaban, yang paling tidak membutuhkan beberapa penafsiran

untuk dapat dilaksanakan dalam situasi konkrit. Tetapi lebih merupakan usulan

untuk penyelesaian masalah, suatu pedoman dalam menemukan hukum. Undang-

undang bukan merupakan satu-satunya sumber hukum, tetapi masih banyak

faktor-faktor penting lainnya yang dapat digunakan untuk penyelesaian masalah-

masalah hukum.

Menurut aliran problem oriented diakui bahwa dalam penemuan hukum,

unsur terhadap kebutuhan masyarakat adalah sentral atau penting. Aliran problem

oriented pada umumnya menekankan bahwa masalah yuridis selalu berhubungan

dengan masalah kemasyarakatan dan dari sinilah harus dicari penyelesaian yang

paling dapat diterima dalam kenyataan yang berlangsung sehingga terdapat

kepastian hukum. Harus diakui bahwa penyelesaian hukum merupakan salah satu

cara untuk mengatur masalah kemasyarakatan. Dengan kata lain tujuan undang-

undang dapat digeser, dikoreksi, tetapi tidak boleh diabaikan. Di dalam Undang-

undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan belum ada aturan yang mengatur

secara jelas mengenai perkawinan melalui media telekomunikasi, sehingga disini

terdapat kekosongan hukum. Maka apabila ada masalah yang menyangkut

mengenai persoalan kemasyarakatan khususnya mengenai perkawinan melalui

media teleconference, akan dapat diselesaikan dengan melihat hukum yang

berlaku bagi kedua mempelai, karena persoalan perkawinan merupakan hal yang

3 Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-konsep Hukum Dalam Pembangungan, P.T. Alumni,

Bandung, 2006. Hlm. 10.

Page 80: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PERKAWINAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5673/1/DEDE... · yang ada di dalam masyarakat, baik itu norma agama, kesopanan, kesusilaan

72

sensitif.

Tujuan dari problem oriented adalah supaya adanya kepastian hukum.

Pemecahan masalah dengan mendasarkan pada sistem problem oriented terjadi

melalui beberapa tahap. Dalam hal ini dapat dicontohkan, apabila persoalan

hukum tersebut masuk dalam lingkup peradilan maka akan dapat diterapkan

tahap-tahap sebagai berikut : Pertama hakim meneliti masalah yang diajukan

kepadanya untuk diterjemahkan secara yuridis, maksudnya apabila hukum dapat

memecahkan persoalan yang sedang diajukan kepadanya, maka terhadap peristiwa

tersebut diterapkan peraturan yang sesuai dengannya sehingga relevan, sehingga

antara peristiwa dan peraturan saling berhubungan. Peristiwa menentukan

peraturan yang relevan, tetapi peraturannya menentukan peristiwa mana yang

penting. Penelitian Hakim dari sejak tahap seleksi dan analisis awal peristiwa

sampai dengan tahap penyelesaian akhir memegang peranan penting. Kalau

bagian pertama penelitian ke arah penyelesaian hukum telah dilakukan, maka

selanjutnya adalah nilai-nilai dan kepentingan yang harus ditelaah oleh hakim.

Sesudah itu semua dilakukan, baru dapat dilihat keseluruhan konteks masalah

sampai pada putusan, dimana hakim dapat menyesuaikan maksud pembentuk

undang-undang dengan situasi konkrit yang terjadi di masyarakat4.

Dalam perkawinan melalui media telekomunikasi sebagaimana diuraikan

pada BAB III, diketahui bahwa pegawai pencatat perkawinan turut hadir dan

mengikuti jalannya pelaksanaan perkawinan dengan ijab-kabul melalui media

teleconference, maka secara tidak langsung telah mengetahui dan menyetujui

4 Ibid Sudikno Mertokusumo, Hlm. 106.

Page 81: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PERKAWINAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5673/1/DEDE... · yang ada di dalam masyarakat, baik itu norma agama, kesopanan, kesusilaan

73

dilakukannya perkawinan yang ijab-kabulnya dilakukan melalui teleconference

tersebut. Yang pada kenyataannya tata cara perkawinan yang demikian tersebut

belum atau tidak secara tegas diatur dalam Undang-undang Perkawinan, artinya

tata cara perkawinan diserahkan sepenuhnya kepada mereka. Hanya yang

terpenting adalah perkawinan tersebut sah apabila dilakukan berdasarkan agama

masing-masing dan dicatatkan di kantor pencatatan perkawinan.

Merupakan kesalahan pihak mempelai apabila dalam perkawinan yang

dilaksanakan dengan memanfaatkan media teleconference tersebut tanpa

sepengetahuan pihak pencatat perkawinan, sehingga apabila terjadi penolakan

atau tidak dicatatnya perkawinan mereka oleh pihak Pegawai Pencatat Perkawinan

karena dirasa tidak mentaati ketentuan yang berlaku, adalah hal wajar. Sesuai

dengan Pasal 6 Kompilasi Hukum Islam yang mengatakan bahwa perkawinan

yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai

kekuatan hukum. Apabila menyimak isi Pasal 6 tersebut dapat ditafsirkan bahwa

perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak diketahui oleh pihak Pegawai

Pencatat Nikah maka perkawinan mereka tidak mempunyai kekuatan hukum

positif, meskipun sah menurut agama. Dapat diartikan pula bahwa apabila

perkawinan mereka tidak dicatatkan di Pegawai Pencatat Nikah maka perkawinan

mereka tidak diakui oleh negara/Undang-undang. Maka dari itu, apabila ada orang

yang hendak melangsungkan perkawinan secara teleconference hendaknya

memberitahukan keinginan tersebut ke Pegawai Pencatat Nikah, agar Pegawai

Pencatat Nikah mengetahui akan dilaksanakan perkawinan secara tertulis,

sehingga tidak akan terjadi penolakan pencatatat perkawinan dengan alasan

Page 82: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PERKAWINAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5673/1/DEDE... · yang ada di dalam masyarakat, baik itu norma agama, kesopanan, kesusilaan

74

Undang-undang belum mengatur tentang hal perkawinan melalui media telepon

atau teleconference. Apabila hal ini terjadi, maka sudah menjadi tugas hakim

untuk memberikan kepastian hukum bagi mereka yang menjalankan perkawinan,

namun ditolak pencatatannya oleh pihak Pegawai Pencatat Nikah.

Perkataan “agar Pegawai Pencatat Nikah mengetahui akan dilaksanakan

perkawinan secara telepon” tersebut karena tugas Pegawai Pencatat Nikah

menurut Pasal 2 ayat (2) Undang-undang Perkawinan adalah hanya mencatat

perkawinan mereka, dan apabila Pegawai Pencatat Nikah menolak untuk mencatat

maka berdasarkan Pasal 21 ayat (3) Undang-undang Perkawinan, para pihak

(mempelai) dapat mengajukan permohonan ke Pengadilan Negeri agar supaya

memberikan penetapan untuk memerintahkan Pegawai Pencatat Nikah mencatat

perkawinannya. Hal ini dapat dilakukan oleh mempelai didasarkan pada peraturan

perkawinan.

Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing

agamanya dan kepercayaannya itu. Dapat ditartikan bahwa selama tidak

bertentangan dengan agama dan atau kepercayaan dari kedua mempelai, maka

perkawinan yang dilakukan melalui media telepon dan teleconference adalah sah

apabila dilakukan oleh tata cara dan telah memenuhi syarat-syarat sahnya

perkawinan menurut agamanya. Selanjutnya untuk membuktikan perkawinan

tersebut, kedua mempelai harus mencatatkan ke Pegawai Pencatat Nikah agar

mendapatkan Akta Nikah.

Permasalahan yang muncul apabila membicarakan keabsahan perkawinan

melalui media telekomunikasi, tidak lain oleh karena menurut Hukum Islam,

Page 83: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PERKAWINAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5673/1/DEDE... · yang ada di dalam masyarakat, baik itu norma agama, kesopanan, kesusilaan

75

sebaiknya perkawinan dilakukan apabila dilaksanakan dalam satu majelis,

sehingga menunjang berkesinambungan waktu pengucapan ijab dan kabul yang

merupakan penentu sah atau tidaknya suatu perkawinan. Hal ini juga salah satu

kebiasaan warga Indonesia yang bermayoritas agama Islam dalam melangsungkan

perkawinan. Persoalan “satu majelis” diatas bukan merupakan suatu syarat sahnya

perkawinan, tetapi hanya sekedar tata cara dan atau suatu kebiasaan yang telah

lama dilakukan di Indonesia. Tata cara perkawinan melalui media telepon dan

atau teleconference tidak diatur dalam Undang-undang, artinya diserahkan

sepenuhnya kepada mereka yang hendak melaksanakan perkawinan tersebut.

Hanya bagi sebagian orang ketentuan satu majelis dan kesinambungan waktu

dapat menimbulkan keraguan sah atau tidaknya perkawinan yang dilaksanakan

melalui media telekomunikasi. Keterkaitan antara kesinambungan waktu dan satu

majelis sangat erat, oleh karena itulah terdapat 2 (dua) golongan besar fuquhua

yang menafsirkan pengertian keterkaitan ini :

Golongan fuquha pertama, dikemukakan oleh Syafi’i, Hanafi dan

Hambali, menafsirkan keterkaitan antara kesinambungan waktu dan kesatuan

majelis. Menurut golongan pertama ini, “berkesinambungan waktu” itu tidak lain

pelaksanaan ijab dan kabul yang masih saling berkait dan tidak ada jarak yang

memisahkan keduanya, oleh sebab itu perlu disaksikan secara langsung oleh para

saksi karena tugasnya untuk memastikan secara yakin keabsahan ijab dan kabul

tersebut secara redaksional maupun kepastiannya. Secara jelas terlihat bahwa

dengan adanya kesinambungan waktu antara pengucapan ijab dan kabul, maka

diperlukan adanya kesatuan majelis.

Page 84: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PERKAWINAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5673/1/DEDE... · yang ada di dalam masyarakat, baik itu norma agama, kesopanan, kesusilaan

76

Golongan fuquha kedua, dikemukanan oleh Maliki, menafsirkan

“berkesinambungan waktu” itu dapat diartikan ijab kabul tidak menjadi rusak

dengan adanya pemisahan sesaat. Misal dengan adanya khutbah sebentar. Jadi

dalam hal ini, pihak-pihak yang terlibat harus dalam satu majelis tidak menjadi

persyaratan perkawinan.

Di dalam dunia yang semakin maju dan modern maka alangkah lebih

baiknya apabila kita mengikuti golongan fuquha kedua yang dikemukakan oleh

Maliki yang intinya di dalam ijab kabul tidak diharuskan di dalam satu majelis,

mengingat dunia saat ini semakin global. Dan lagi pula di dalam agama Islam

mengenal dengan adanya surat Taukil sebagai surat mewakilkan dari pihak

mempelai yang tidak dapat menghadiri pernikahan.

Mengenai pertentangan yang ditimbulkan dengan adanya dua masalah

perihal “satu majelis” dan “kesinambungan waktu” seperti tersebut di atas, justru

dapat dikatakan bahwa kesinambungan waktu pengucapan ijab dan kabul itu tetap

terjaga dalam hal perkawinan melalui media telekomunikasi. Hal ini didasarkan

dan bisa dilihat pada kenyataan yang dapat ditemukan sehari-hari bahwa media

telekomunikasi memberikan fasilitas sambungan langsung, sehingga

menghasilkan percakapan berupa suatu dialog seperti halnya percakapan tanpa

media. Bahkan pada jarak yang sangat jauh sekalipun. Apalagi bila dikaitkan

dengan pemanfaatan media teleconference, selain kita dapat mendengarkan suara

lawan bicara, kita dapat pula melihat secara langsung secara kasat mata yang

menjadi lawan bicara kita.

Page 85: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PERKAWINAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5673/1/DEDE... · yang ada di dalam masyarakat, baik itu norma agama, kesopanan, kesusilaan

77

Kemampuan teleconference sebagai sarana penghubung langsung jarak

jauh, mempermudah untuk menilik hakekat satu majelis, seperti yang

dikemukakan oleh Pasal 10 ayat (3) PP No.9/1975, melalui pendeskripsian

suasana satu majelis dengan kalimat “dihadapan” dan “dihadiri”. Dari uraian

tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa hakekat satu majelis tetaplah ada dalam

perkawinan yang memanfaatkan media telekomunikasi (telepon dan atau

teleconference) atau perkawinan jarak jauh ini. Hal ini dapat terjadi apabila

pemikiran mengenai “dihadapan” dan “dihadiri” dikembangkan dengan

menterjemahkannya secara luas (umum), yaitu dengan mengartikannya sebagai :

di bawah pengawasan, baik oleh Pegawai pencatat perkawinan maupun oleh

saksi-saksi. Jadi dengan demikian kata “dihadapan” dan “dihadiri” di dalam Pasal

10 ayat (3) PP No.9/1975 tidak diartikan sempit, yaitu bahwa dalam tatacara

perkawinan harus dilaksanakan dihadapan dan dihadiri oleh dua orang saksi di

dalam satu majelis.

Melalui perluasan pengertian ini, maka tatacara dan keabsahan perkawinan

jarak jauh atau dengan memanfaatkan media telekomunikasi dapat tetap dianggap

sah, karena perkawinan yang demikian itu dapat diketahui dan diawasi secara

langsung, sehingga akan dapat pula dicatatkan.

Sehingga dapat ditarik kesimpulan perkawinan yang ijab-kabulnya

dilakukan melalui media teleconference adalah sah, apabila semua syarat formil

dan materiil perkawinan yang diatur di dalam Undang-undang Perkawinan telah

terpenuhi. Karena hal ini cukup memperhatikan Undang-Undang No.1 tahun 1974

tentang Perkawinan, bila telah dipenuhi persyaratan secara agama, maka sah

Page 86: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PERKAWINAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5673/1/DEDE... · yang ada di dalam masyarakat, baik itu norma agama, kesopanan, kesusilaan

78

pulalah di mata undang-undang5. Perkawinan yang demikian itu tampaknya sudah

pernah dilakukan oleh beberapa orang yang saling berjauhan tempat tinggalnya

yaitu perkawinan yang dilakukan melalui telepon sebagaimana penetapan

Pengadilan Agama Jakarta Selatan nomor 1751/P/1989 tanggal 20 April 1990

yang menyatakan bahwa penikahan melalui telepon antara calon suami dan calon

istri yang berjauhan tempat tinggalnya adalah sah6.

B. Prosedur Perkawinan Teleconference

Mengawali pembahasan prosedur perkawinan dengan pemanfaatan media

telekomunikasi ditinjau dari segi hukum. UU Perkawinan maupun PP No. 9

Tahun 1975 tidak mengatur secara tegas dan jelas tentang prosedur perkawinan,

yang diatur hanyalah sahnya bperkawinan mereka yang dilaksanakan mereka

berdasarkan agama dan kepercayannya, yakni sebagaimana yang diatur dalam

Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan, lebih lanjut perkawinan tersebut harus dicatatkan

ke Kantor Pencatat Perkawinan (Pasal 2ayat (2) Jo. Pasal 2 ayat (1) PP No. 9

Tahun 1975). Selanjutnya dalam Pasal 10 ayat (2) PP No. 9 Tahun 1975

disebutkan bahwa “tata cara perkawinan dilakukan menurut hukum masing-

masing agamanya dan kepercayaaannya itu”, maka dapat disimpulkan proses atau

tata cara perkawinan tersebut secara mutatis mutandis diserahkan sepenuhnya

kepada masing-masing ketentuan agama calon mempelai.

Sebagaimana dikemukakan di atas, UU Perkawinan dan PP No. 9 Tahun

1975 tidak secara tegas mengatur tentang prosedur atau tata cara perkawinan,

5 Majalah Varia Peradilan Tahun VI No.62 Tahun 1990, Hlm. 8.

6 Ibid Sudikno Mertokusumo, Hlm.109.

Page 87: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PERKAWINAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5673/1/DEDE... · yang ada di dalam masyarakat, baik itu norma agama, kesopanan, kesusilaan

79

namun demikian apabila menyimak Pasal 20 UU Perkawinan dapat mengisaratkan

bahwa bagi mereka yang hendak melakukan perkawinan seyogyanya dilakukan

dalam satu tempat (satu majelis) yang sama, sehingga akan dapat diawasi, dihadiri

dan diketahui secara langsung oleh petugas pencatat perkawinan. Hal ini berkaitan

dengan akan diikutinya penandatangan Akta Nikah oleh ke dua belah pihak

(mempelai) sebagai kelengkapan administrasi. Dalam perkembangannya

terkadang pelaksanaan perkawinan tidak sebagaimana ditempuh dengan prosedur

seperti di atas, yakni dalam mengucapkan ijab kabulnya tidak dilakukan dalam

satu tempat (satu majelis).

Setelah dilakukan penelitian, ternyata ketentuan agama pun tidak mengatur

secara tegas tentang tata cara atau prosedur perkawinan harus dilakukan dalam

satu majelis. Hal yang demikian itu dapat dibuktikan dengan adanya istilah

Perkawinan Taukil yang dapat diartikan adalah suatu perkawinan yang

pelaksanaannya tidak dihadiri oleh salah satu calon mempelai, akan tetapi

ketidakhadiran calon mempelai tersebut diwakilkan dengan sebuah surat kuasa

yang diberikan kepada seseorang wakil yang dapat dipercaya untuk membacakan

surat kuasa tersebut. Dalam hal ini yang terpenting adalah bagi mereka yang

hendak melaksanakan perkawinan haruslah memenuhi syarat dan rukun

perkawinan sebagaimana dikemukakan dalam Kompilasi Hukum Islam yakni

adanya wali nikah bagi mempelai wanita dan adanya saksi, serta dilakukan atau

mengucapkan ijab qabul (akad nikah), meskipun ijab qabulnya dibacakan oleh

wakil yang diberi kuasa untuk itu. Perkawinan yang tidak memenuhi syarat dan

rukun perkawinan tersebut, maka perkawinan tersebut dianggap tidak sah.

Page 88: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PERKAWINAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5673/1/DEDE... · yang ada di dalam masyarakat, baik itu norma agama, kesopanan, kesusilaan

80

Setelah dilakukan penelitian bahwa prosedur atau tata cara yang selama ini

dilakukan oleh mereka yang akan melangsungkan perkawinan sebenarnya hanya

berdasarkan kebiasaan yang berkembang di Indonesia. Kebiasaan atau lazimnya

perkawinan dilakukan dalam satu majelis, artinya mempelai wanita, wali, saksi,

pegawai pencatat perkawinan dan mempelai pria berada dalam satu tempat untuk

melangsungkan dan atau mengucapkan ijab qabul (akad nikah) sebagai penentu

sahnya perkawinan yang dilakukan secara berkesinambungan, dan biasanya

setelah akad nikah tersebut selesai pengantin pria diminta untuk mengucapkan

janji atau yang disebut dengan istilah sighat taklik talak dengan disaksikan oleh

semua yang hadir dalam acara akad nikah tersebut.

Prosedur atau tata cara yang demikian tersebut dimaksudkan tidak lain

untuk mempermudah dan atau melancarkan administrasi, sehingga tidak ada

hambatan kepastian terhadap keabsahan perkawinan mereka, baik berdasarkan

agama maupun berdasarkan hukum positif.

Apabila hal tersebut dikaitkan dengan Pasal 10 ayat (3) PP No.9/1975

yang menyebutkan “perkawinan dilaksanakan dihadapan pegawai pencatat” dan

“dihadiri oleh dua orang saksi” , maka dapat disimpulkan meskipun menurut

kelaziman sebagaimana dikemukakan di atas, namun dalam perkembangannya hal

tersebut dapat dilakukan sebaliknya. Artinya tata cara perkawinan dapat dilakukan

tidak dalam satu majelis dan hal demikian itu dapat dibenarkan, yang terpenting

rukun dan syarat perkawinan tersebut dipenuhi serta perkawinan tersebut tidak

terhalang sebagaimana dikemukakan dalam Pasal 21 UU Perkawinan.

Page 89: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PERKAWINAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5673/1/DEDE... · yang ada di dalam masyarakat, baik itu norma agama, kesopanan, kesusilaan

81

Seiring dengan perkembangan teknologi dewasa, juga mempengaruhi

perkembangan dan perubahan sistem hukum, yang semula kaku menjadi lebih

luwes. Mengingat bahwa hukum bertujuan untuk melindungi kepentingan

manusia, oleh karena itu perlu pula memperhatikan perkembangan masyarakat

dan perkembangan teknologi, agar tidak terjadi kekosongan hukum.

Mahkamah Agung berpendapat dalam hal perkawinan, bahwa “tidaklah

dapat dibenarkan kalau karena kekosongan hukum maka kenyataan dan kebutuhan

sosial tersebut di atas dibiarkan tidak terpecahkan secara hukum, karena

membiarkan masalah tersebut berlarut-larut pasti akan menimbulkan dampak-

dampak negatif di segi kehidupan bermasyarakat maupun beragama yang berupa

penyelundupan-penyelundupan nilai-nilai sosial maupun agama dan atau hukum

positif, maka MA berpendapat haruslah dapat ditemukan dan ditentukan

hukumnya. Maka dari itu perkawinan yang dilakukan dengan prosedur atau tata

cara tidak satu majelis dikatakan tetap sah, sebagaimana dituangkan dalam

Penetapan Pengadilan Jakarta Selatan No. 1751/P/1989 tertanggal 20 April 1990

yang pada intinya menyebutkan bahwa, “pernikahan melalui telepon antara calon

suami dan calon istri yang berjauhan tempat tinggalnya (Indonesia-Amerika) itu

sah”.

Prosedur perkawinan melalui teleconfrence, harus tetap memenuhi syarat

dan rukunnya perkawinan, hanya saja tidak dilakukan dalam satu tempat

(Indonesia-Amerika). Apabila hal itu terjadi, maka pertama-tama yang dilakukan

adalah di Indonesia (pihak wanitanya misalnya), maka yang harus dipersiapkan

adalah wali, saksi dan pegawai pencatat perkawinan yang bertugas mencatat

Page 90: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PERKAWINAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5673/1/DEDE... · yang ada di dalam masyarakat, baik itu norma agama, kesopanan, kesusilaan

82

perkawinan melalui telpun tersebut. Kemudian dipihak pria (Amerika) yang harus

dipersiapkan adalah saksi, guna menyaksikan bahwa benar yang akan

mengucapkan akad nikah itu adalah calon suami (bukan orang lain). Kemudian

dari mempelai wanita harus meyakini dan mempercayai benar yang akan

mengucapkan akad nikah tersebut adalah mempelai pria. Dalam pelaksanaan akad

nikah yang dilakukan melalui telepon, meskipun tempatnya terpisah, namun

dalam mengucapkan akad nikah tetap dilaksanakan berkesinambungan ucapan

antara wali (mempelai wanita) dengan mempelai pria.

Lebih rinci dapat dikemukakan bahwa, untuk memastikan kebenaran

gambar dan suara dari calon mempelai yang berada di Amerika (perkawinan

melalui teleconference), sehingga tidak terjadi keraguan keabsahan perkawinan

yang tidak dilaksanakan dalam satu majelis, maka dalam hal ini diperlukan7 :

1. Kedua belah pihak sudah mengenal sebelumnya dalam kurun waktu

yang lama, guna memastikan kebenaran suara dan gambar.

2. Diadakan pengujian

Pengujian ini dimaksudkan untuk menguji apakah suara atau

gambar yang ada di telepon/televisi merupakan sebuah rekaman

atau langsung. pengujian ini bisa dilakukan dengan cara melakukan

percakapan berupa dialog dari kedua pihak yang berjauhan. Apabila

terjadi dialog yang tidak saling bersambung maka patut untuk

dicurigai kebenaran/keaslian bahwa suara ataupun gambarnya tidak

langsung. Atau ada orang yang mengaku sebagai pasangan dari

7 Ibid Idha Aprilyana, Hlm. 74.

Page 91: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PERKAWINAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5673/1/DEDE... · yang ada di dalam masyarakat, baik itu norma agama, kesopanan, kesusilaan

83

mempelai.

3. Peranan saksi

Peranan saksi dalam suatu perkawinan selain sebagai seorang yang

menyiarkan telah terjadinya suatu perkawinan, seorang saksi juga

sangat berperan dalam membuktikan atau sebagai alat bukti jika

terjadi pengingkaran terhadap perkawinan yang dilangsungkan.

Oleh karena saksi menjadi penting dalam suatu perkawinan,

terutama bagi perkawinan yang dilangsungkan secara jarak jauh.

Maka untuk itu pulalah persyaratan menjadi seorang saksi menjadi

bertambah. Selain saksi harus seiman, laki-laki, adil, dewasa, tidak

terganggu ingatan dan tuna rungu (tuli) ataupun buta, tetapi saksi

juga harus seorang yang benar-benar jujur dan dapat dipercaya.

Sehingga saksi benar-benar mampu untuk

mempertanggungjawabkan kebenaran dan keabsahan perkawinan

yang dilakukan melalui media telepon ataupun teleconference (jarak

jauh).

Di dalam PP No.9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-undang

Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan telah diatur mengenai tata cara

perkawinan, yaitu di dalam Pasal 10 yang berbunyi :

(1) Perkawinan dilangsungkan setelah hari kesepuluh sejak pengumuman

kehendak perkawinan oleh Pegawai Pencatat seperti yang dimaksud dalm

Pasal 8 Peraturan Pemerintah ini.

(2) Tatacara perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing

Page 92: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PERKAWINAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5673/1/DEDE... · yang ada di dalam masyarakat, baik itu norma agama, kesopanan, kesusilaan

84

agamanya dan kepercayaannya itu.

(3) Dengan mengindahkan tatacara perkawinan menurut masing-masing

hukum agamanya dan kepercayaannya itu, perkawinan dilaksanakan

dihadapan Pegawai Pencatat dan dihadiri oleh dua orang saksi.

Dan juga di dalam Pasal 11 yang berbunyi :

(1) Sesaat sesudah dilangsungkannya perkawinan sesuai dengan ketentuan-

ketentuan Pasal 10 Peraturan Pemerintah ini, kedua mempelai

menandatangani akta perkawinan yang telah disiapkan oleh Pegawai

Pencatat berdasarkan ketentuan yang berlaku.

(2) Akta perkawinan yang telah ditandatangani oleh mempelai itu,

selanjutnya ditandatangani pula oleh kedua saksi dan Pegawai Pencatat

yang menghadiri perkawinan dan bagi yang melangsungkan perkawinan

menurut agama Islam, ditandatangani pula oleh wali nikah atau yang

mewakilinya.

(3) Dengan penandatanganan akta perkawinan, maka perkawinan telah

tercatat secara resmi.

Oleh karena perkawinan (melalui teleconfrence) telah dicatat oleh pegawai

pencatat perkawinan pada waktu pelaksanaan ijab qabul atau akad nikah, namun

hanya dalam hal penandatanganan Akta Nikah yang belum dilaksanakan secara

sempurna. Hal ini akan dapat dilakukan penandatanganan oleh mempelai pria

setelah kemudian ia pulang ke Indonesia, agar dapat dijadikan bukti yang sah

menurut hukum positif, meskipun Akta Nikah tersebut hanya sebagai bukti

administratif.

Page 93: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PERKAWINAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5673/1/DEDE... · yang ada di dalam masyarakat, baik itu norma agama, kesopanan, kesusilaan

85

C. Kendala-kendala Perkawinan Melalui Media Teleconference.

Perkawinan melalui teleconfrence pada prakteknya jarang dilakukan

meskipun ada juga yang melakukan perkawinan demikian, hal itu semata-mata

hanya karena keadaan yang sifatnya terpaksa harus dilakukan dengan cara

demikian. Meskipun undang-undang tidak melarang perkawinan melalui

teleconfrence, namun pelaksanaannya banyak menemui kendala-kendala,

terutama tentang tata cara atau prosedur pelaksanaan perkawinannya.

Sebagaimana telah dikemukakan di atas bahwa kehendak akan menikah

harus lebih dulu diberitahukan kepada Pegawai Pencatat di tempat Perkawinan

tersebut akan dilangsungkan, kemudian kehendak tersebut diumumkan oleh

Pegawai Pencatat Perkawinan hingga 10 hari setelah pengumuman tersebut

barulah perkawinan dapat dilaksanakan (Pasal 10 dan Pasal 11 PP No. 9 tahun

1975). Perkawinan dilaksanakan dihadapan Pegawai Pencatat dan dihadiri oleh

dua orang saksi. Tetapi akan timbul kendala apabila perkawinan tersebut

dilakukan melalui teleconfrence.

Perkawinan melalui teleconfrence tata caranya juga harus berdasarkan

Pasal 8, 10 dan Pasal 11 PP No. 9 tahun 1975, perbedaannya hanya dalam

pelaksanaan perkawinan tersebut, yakni akad nikahnya melalui telepon. Dalam hal

melakukan perkawinan melalui teleconfrence selain pengucapan akad nikah

melalui telepon juga harus adanya saksi baik yang di Indonesia maupun yang di

luar Indonesia (Amerika) serta penandatangan Akta Nikah yang berdasarkan Pasal

11 dikemukakan “sesaat setelah dilangsungkan perkawinan, kedua mempelai, wali

Page 94: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PERKAWINAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5673/1/DEDE... · yang ada di dalam masyarakat, baik itu norma agama, kesopanan, kesusilaan

86

dan para saksi menandatangani Akta Nikah yang telah disiapkan oleh Pegawai

Pencatat Perkawinan”. Penandatangan inilah yang menjadi kendala karena

kedudukan kedua mempelai dan saksi yang terpisah satu sama lain. Maka hal

inilah yang akan dapat menghambat kepastian hukum bagi kedua mempelai,

karena dengan belum adanya salah satu tandatangan dari mempelai, Akta Nikah

tersebut belum dapat dikatakan sempuna atau mempunyai kekuatan hukum.

Meskipun perkawinannya sendiri dapat dikatakan sah menurut agama dan

kepercayaannya.

Akta Nikah tersebut akan dapat menjadi sempurna dan mempunyai

kekuatan hukum apabila telah ditandatangani oleh kedua mempelai dan para saksi

serta wali mempelai wanita. Meskipun Akta Nikah tersebut hanya bersifat

administratif, namun keberadaannya dapat membuktikan bahwa mereka itu

berstatus suami istri yang sah menurut hukum negara.

Pencatatan perkawinan selain memiliki kekuatan hukum sebagai

pembuktian status seseorang khususnya dalam segi keperdataannya, juga

berdimensi kewajiban negara dalam pelayanan publik yaitu melakukan pencatatan

dan menerbitkan akta perkawinan. Lebih lanjut lagi, dimensi hukum dalam ikatan

perkawinan yang sah, akan membawa kedudukan anak-anak yang dilahirkan

dalam perkawinan tersebut menjadi anak dalam perkawinan pula, bukan sekedar

anak dari seorang perempuan. Antara anak dan kedua orang tua, dan atau suami

dan istri memiliki hubungan hukum yang jelas, dan akibat-akibat hukum lainnya.

Pengakuan negara atas keseluruhan peristiwa penting seperti perkawinan,

kelahiran, kematian, perceraian, dan sebagainya tidak boleh dibeda-bedakan atau

Page 95: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PERKAWINAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5673/1/DEDE... · yang ada di dalam masyarakat, baik itu norma agama, kesopanan, kesusilaan

87

diskriminatif atas dasar etnis, agama, status sosial seseorang dan lain-lain. Adanya

penolakan pencatatan oleh pihak KUA terhadap perkawinan melalui telepon yang

dilakukan oleh pasangan Aria dan Noer yang menjadi pembuka awal mulanya

perkawinan melalui media telekonukasi (jarak jauh) menunjukkan bahwa instansi

yang seharusnya menjadi pencatat peristiwa penting, justru menjadi lembaga yang

menghakimi8. Hal itu sebenarnya karena kekurang pengetahuan para Pegawai

Pencatat Perkawinan, oleh karenanya perkawinan melalui telepon ini perlu

disosialisasikan kepada para Pegawai Pencatat Perkawinan, sehingga tidak akan

ada lagi yang merasa dipersulit dalam hal akan melaksanakan perkawinan

8 Ibid Idha Aprilyana, hal 79

Page 96: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PERKAWINAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5673/1/DEDE... · yang ada di dalam masyarakat, baik itu norma agama, kesopanan, kesusilaan

88

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil pembahasan yang dilakukan serta diperkuat dengan

data-data yang ditemukan di lapangan terhadap penelitian yang mengangkat

permasalahan mengenai perkawinan yang dilakukan melaui media

telekomunikasi (telepon dan teleconference), maka kesimpulannya adalah

sebagai berikut :

1. Perkawinan melalui pemanfaatan media telekomunikasi merupakan

perkawinan yang sah menurut hukum islam. Sepanjang dilaksanakan

sesuai ketentuan dalam perundang-undangan perkawinan (yang

mengembalikan keabsahan perkawinan pada ketentuan hukum

agama), maka sahnya perkawinan harus sesuai dengan ketentuan

hukum agama. Berkaitan dengan disahkannya perkawinan melalui

media telepon dan teleconference ini menunjukkan kefleksibelitas

hukum agama (khususnya agama Islam) dalam mengatisipasi

perkembangan jaman.

2. Perkawinan yang ijab-kabulnya dilakukan melalui media telepon dan

atau teleconference adalah sah menurut hukum islam, apabila semua

syarat formil dan materiil perkawinan yang diatur di dalam Undang-

undang Perkawinan telah terpenuhi. Karena hal ini cukup

memperhatikan Undang-Undang No.1 tahun 1974 tentang

Page 97: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PERKAWINAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5673/1/DEDE... · yang ada di dalam masyarakat, baik itu norma agama, kesopanan, kesusilaan

89

Perkawinan, bila telah dipenuhi persyaratan secara agama, maka sah

pulalah menurut hukum positif.

3. Dalam hal melakukan perkawinan melalui teleconfrence selain

pengucapan akad nikah melalui telepon juga harus adanya saksi baik

yang di Indonesia maupun yang di luar Indonesia (Amerika) serta

penandatangan Akta Nikah yang berdasarkan Pasal 11 dikemukakan

“sesaat setelah dilangsungkan perkawinan, kedua mempelai, wali dan

para saksi menandatangani Akta Nikah yang telah disiapkan oleh

Pegawai Pencatat Perkawinan”. Penandatangan inilah yang menjadi

kendala karena kedudukan kedua mempelai dan saksi yang terpisah

satu sama lain. Maka dalam hal ini dapat melihat kepada Pasal 56 ayat

(2) Undang-undang Perkawinan yang mengatakan “Dalam waktu 1

(satu) tahun setelah suami isteri itu kembali di wilayah Indonesia, surat

bukti perkawinan mereka harus didaftarkan di Kantor Pencatatan

perkawinan tempat tinggal mereka”. Maka dapat disimpulkan

penandatanganan Akta Nikah dapat dilakukan ketika kedua mempelai

telah ada di Indonesia dalam jangka waktu satu tahun setelah kedua

mempelai berada di wilayah Indonesia.

Page 98: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PERKAWINAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5673/1/DEDE... · yang ada di dalam masyarakat, baik itu norma agama, kesopanan, kesusilaan

90

B. Saran

Menyikapi kemungkinan terjadinya perkawinan melalui media

telekomunikasi di masa depan yang dapat dan mungkin banyak dilakukan oleh

masyarakat, maka hal-hal yang penting untuk tetap dipahami adalah perkawinan

dengan memanfaatkan media telekomunikasi harus didasari oleh alasan atau

keadaan yang benar-benar dapat diterima dan memungkinkan dilaksanakan akad

melalui media telekomunikasi. Tetapi tetap mematuhi peraturan perkawinan yang

telah jelas tercantum di dalam Undang-undang Perkawinan.

Pemerintah melengkapi dan atau merevisi Undang-undang Perkawinan

yang bisa dibilang tidak mengikuti perkembangan yang terjadi di dalam

masyarakat. Sehingga tidak lagi terdapat kebingungan atau pertentangan tentang

sah tidaknya perkawinan jarak jauh melalui media telekomunikasi secara hukum

(tidak terdapat kekosongan hukum dalam Undang-undang Perkawinan).

Setelah Undang-undang Perkawinan direvisi dan dilengkapi maka langkah

selanjutnya yang harus dilakukan adalah pensosialisasian kepada masyarakat luas,

para aparat hukum agar supaya diketahui secara luas bahwa perkawinan melalui

media teleconference telah ada aturan tertulisnya dan dianggap sah oleh negara.

Terutama kepada para petugas Pencatat Perkawinan supaya tidak terjadi masalah

ketika Pencatatan Perkawinan dilakukan seperti yang terjadi pada kasus Aria-

Noer.

Page 99: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PERKAWINAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5673/1/DEDE... · yang ada di dalam masyarakat, baik itu norma agama, kesopanan, kesusilaan

91

DAFTAR PUSTAKA

Abdurahman Al-Mukaffi, Pacaran Dalam Kacamata Islam, Media

Dakwah, Jakarta, 1996.

Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia, PT. RajaGrafindo Persada,

Jakarta, 1995.

Chuzaimah T. Yanggo dan Hafiz Anshary AZ. Problematika Hukum Islam

Kontemporer. PT. Pustaka Firdaus, Jakarta, 1996.

Djuhaendah Hasan, Hukum Keluarga : Setelah Berlakunya UU No. 1

Tahun 1974 (Menuju Ke Hukum Keluarga Nasional), Armico. Bandung, 1998.

Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut

Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama., Mandar Maju, Bandung, 1990.

Idha Aprilyana, Keabsahan Suatu Perkawinan Melalui Pemanfaatan

Media Telekomunikasi Dihubungkan Dengan Penetapan Pengadilan Agama

Jakarta Selatan Nomor 1751/P/1989 Tanggal 20 April 1990 Mengenai Sahnya

Perkawinan Melalui Telepon, Skripsi, 1997.

Iman Sudiyat, Hukum Adat : Sketsa Asas. Liberty, Yogyakarta, 1981.

Kompilasi Hukum Islam.

Loudoe, John R, Menemukan hukum melalui tafsir dan fakta., Bina

Aksara.

Lukas Tanutama, Pengantar Komunikasi Data, PT. Elex Media

Komputindo, Jakarta, 1997.

Page 100: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PERKAWINAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5673/1/DEDE... · yang ada di dalam masyarakat, baik itu norma agama, kesopanan, kesusilaan

92

Martimah Prodjohamidjojo, Tanya Jawab UU Perkawinan dan Peraturan

Pelaksanaan, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 1991.

M. Munandar Sulaeman, Ilmu Budaya Dasar , Suatu Pengantar, PT.

Eesco, Bandung, 1995.

Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-konsep Hukum Dalam Pembangungan,

P.T. Alumni, Bandung, 2006.

Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam. Bumi Aksara, Jakarta,

1996.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 9 Tahun 1975 Tentang

Pelaksanaan Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.

Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian hukum, Ghalia Indonesia,

Jakarta, 1990.

R. Soetojo Prawirohamidjojo dan Asis Safioedin, Hukum Orang dan

Keluarga, Alumni, 1982.

R. Soetojo Prawirohamidjojo, Pluralisme Dalam Perundang-undangan

Perkawinan di Indonesia, Airlangga University Press, 1988.

Santoso Sastropoetro, Komunikasi Internasional : Sarana Interaksi antar

Bangsa, Alumni, Bandung, 1984.

Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia,. UI-Press, Jakarta. 1986.

Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum, sebuah pengantar. Liberty,

Yogyakarta, 2004.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang

Perkawinan.

Page 101: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PERKAWINAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5673/1/DEDE... · yang ada di dalam masyarakat, baik itu norma agama, kesopanan, kesusilaan

93

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 1999 Tentang Hak

Asasi Manusia.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 1999 Tentang

Telekomunikasi.

Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perkawinan Di Indonesia. Sumur Bandung,

Jakarta,1960.