47
TINJAUAN HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF TERHADAP PERNIKAHAN WANITA HAMIL AKIBAT ZINA Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (S.H.I) Oleh : KHOIRUDDIN NIM. 102044225091 KONSENTRASI ADMINISTRASI KEPERDATAAN ISLAM PROGRAM STUDI AL-AHWAL AL-SYAKHSIYYAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1428 H/ 2007 M

Tinjauan hukum islam dan hukum positif terhadap pernikahan ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7241/1/... · Perbedaan dalam perumusan itu disebabkan karena perkawinan

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Tinjauan hukum islam dan hukum positif terhadap pernikahan ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7241/1/... · Perbedaan dalam perumusan itu disebabkan karena perkawinan

TINJAUAN HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF

TERHADAP PERNIKAHAN WANITA HAMIL AKIBAT ZINA

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum Islam (S.H.I)

Oleh :

KHOIRUDDIN NIM. 102044225091

KONSENTRASI ADMINISTRASI KEPERDATAAN ISLAM PROGRAM STUDI AL-AHWAL AL-SYAKHSIYYAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

1428 H/ 2007 M

Page 2: Tinjauan hukum islam dan hukum positif terhadap pernikahan ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7241/1/... · Perbedaan dalam perumusan itu disebabkan karena perkawinan

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................... i

DAFTAR ISI................................................................................................... iv

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah.............................................................. 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah.......................................... 4

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................... 5

D. Metode Penelitian ....................................................................... 5

E. Sistematika Penulisan ................................................................. 6

BAB II SEKILAS TENTANG HUKUM PERNIKAHAN MENURUT

HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF

A. ............................................................................................ Perni

kahan Menurut Hukum Islam ..................................................... 7

a. Pengertian Pernikahan........................................................... 7

b. Syarat-syarat dan Rukun-rukun Pernikahan.......................... 12

c. Tujuan dan Hikmah Pernikahan............................................ 16

B. ............................................................................................ Perni

kahan Menurut Hukum Positif .................................................... 19

a. Pengertian Pernikahan........................................................... 19

b. Syarat-syarat dan Rukun-rukun Pernikahan.......................... 20

Page 3: Tinjauan hukum islam dan hukum positif terhadap pernikahan ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7241/1/... · Perbedaan dalam perumusan itu disebabkan karena perkawinan

c. Tujuan dan Hikmah Pernikahan............................................ 23

BABIII PERZINAHAN MENURUT HUKUM ISLAM DAN HUKUM

POSITIF

A. Zina Menurut Hukum Islam........................................................ 25

B. Zina Menurut Hukum Positif ...................................................... 30

C. Akibat Hukum Perzinahan Menurut Hukum Islam dan

Hukum Positif ............................................................................. 31

BAB IV HUKUM PERNIKAHAN WANITA HAMIL AKIBAT ZINA

A. ............................................................................................ M

enikahi Wanita Hamil Akibat Zina Menurut Hukum

Islam............................................................................................ 38

B. ............................................................................................ M

enikahi Wanita Hamil Akibat Zina Menurut Hukum

Positif .......................................................................................... 46

C. ............................................................................................ K

edudukan Anak dari Pernikahan Wanita Hamil Akibat

Zina Menurut Hukum Islam dan Hukum Positif ........................ 47

BAB V PENUTUP

A. ............................................................................................ K

esimpulan .................................................................................... 59

B. ............................................................................................ S

aran-saran .................................................................................... 60

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 61

Page 4: Tinjauan hukum islam dan hukum positif terhadap pernikahan ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7241/1/... · Perbedaan dalam perumusan itu disebabkan karena perkawinan

BAB 11

SEKILAS TENTANG HUKUM PERNIKAHAN MENURUT

HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF

A. Pernikahan Menurut Hukum Islam

a. Pengertian Pernikahan

Dalam Islam 'pernikahan' berarti satu perjanjian yang mengikat

perjodohan laki-laki dengan perempuan menjadi suami isteri. Lembaga

Perkawinan disyariatkan oleh Islam berdasarkan Kitab Suci Al-Quran, Hadits

Rasulullah s.a.w.dan Ijma / consensus para ulama Islam.1

Perkawinan tidak sah melainkan dengan adanya seorang wali dari calon

isteri yang bersifat sebagai pengasuh pengantin perempuan pada ketika nikah

dengan pengantin pria dan dua orang saksi, sedangkan mahar / mas kawin wajib

diberikan kepada calon isteri semata untuk kepentingannya belaka. Mahar

merupakan satu hadiah yang harus dilakukan di dalam perkawinan yang sifatnya

merupakan satu simbol dari nilai ikatan yang diadakan untuk menunjukan hidup

baru yang dilaksanakan dengan satu upacara serah-menyerahkan dari suatu

kehidupan bersama.

Mahar tidak musti berbentuk benda tertentu, tetapi bisa merupakan ayat-

ayat suci Al-Qur’an, yang mempunyai arti. Pada dasarnya kata-kata mahar dari

sumber yang sama Muhr yang artinya Stemple. Maka Mahar itu artinya stempel

yang mensahkan / mengabsahkan perkawinan itu. Perkawinan adalah berdasarkan

1 Fuad Mohd Fachruddin., Masalah Anak dalam Hukum Islam ; Anak Kandung, Anak

Tiri, Anak Angkat dan Anak Zina,(Jakarta, CV Pedoman Ilmu Jaya : 1991), h. 27

Page 5: Tinjauan hukum islam dan hukum positif terhadap pernikahan ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7241/1/... · Perbedaan dalam perumusan itu disebabkan karena perkawinan

suka sama suka antara calon isteri, maka ijab dan qobul ialah terima sama terima

antara mereka berdua.2

Perkawinan di dalam Islam tidak mempunyai syarat apapun yang

melanggar suasana hidup abadi antara satu pasangan yang telah diikat oleh

perjanjian yang kuat. Perkawinan di dalam Islam bukanlah hidup bergaul semata,

tetapi menyatukan diri di dalam segala bidang hingga terpadu dua badan menjadi

satu jiwa.

Dari itu Islam menjaga perkawinan dari segala segi baik perbuatan,

pakaian, pergaulan, dan tanggung jawabnya. Dewasa ini kalau ditinjau keadaan

dan situasi, sewajarnyalah wanita dijaga secara ketat sehingga harus diwajibkan

oleh pemerintah peraturan untuk menyelamatkan hidup bangsa dan umat agar

manusia-manusia kita dimasa depan tidak menjadi anak-anak haram belaka.

Islam mengajak manusia berpikir jauh dan jangan hanya menuruti hawa

nafsu angkara murka atau mengikuti kemajuan Eropa yang berlainan nilai

hidupnya dalam segala bidang.

Perkawinan mengandung arti kasih sayang kepada Allah, karena

perkawinan itu merupakan hasil dari seluruh kasih sayang antara manusia satu

sama lain. Perkawinan secara langsung dapat dilihat sebagai prosedur

menghasilkan manusia hamba Allah yang diserahkan tugas ini kepada manusia

sebagai khalifah-Nya. Menghasilkan makhlik manusia melalui perkawinan sangat

besar artinya, sebab Allah menginginkan adanya makhluk manusia ini, hingga

untuk itu Allah menciptakan makhluk pertama Adam.3

2 Fuad Mohd Fahruddin., h. 28

3 Ibid, h. 28-29

Page 6: Tinjauan hukum islam dan hukum positif terhadap pernikahan ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7241/1/... · Perbedaan dalam perumusan itu disebabkan karena perkawinan

Perkawinan adalah satu-satu jalan dalam sistem biasa dan lumrah bagi

manusia untuk mendapatkan keturunan. Allah memberikan jalan ini kepada

manusia untuk membuktikan bahwa selain dari pada jalan ini bukanlah jalan yang

biasa atau lumrah. Kekuasaan Allah itu dapat menciptakan manusia tanpa ibu dan

bapak atau tanpa bapak.4

Sebagai hasil usaha mempelajari Al-Quran dan Sunnah Rasullah dalam

kitab-kitab hadis, para ahli hukum Islam telah menyusun suatu teori yang

merupakan penilaian mengenai perbuatan manusia. Jumlahnya lima, karena itu

disebut al-ahkam al-khamsah. Artinya lima kaidah, lima ukuran untuk menilai

perbuatan manusia dan benda.

Nikah adalah suatu perbuatan dan sebagai perbuatan (manusia) ia juga

dapat dinilai menurut ukuran tesebut. Sebagai ajaran, lima kaidah itu meliputi

segala aspek kehidupan yang dalam bahasa sehari-hari kadangkala disebut hukum

yang lima.

Kalau perbuatan nikah ditautkan dengan kaidah atau hukum yang lima itu,

maka kaidah asalnya adalah ja'iz atau mubah atau ibahah, di Indonesiakan

menjadi kebolehan. Tetapi, karena perubahan illat (motif, alasan)-nya, maka

hukum perkawinan dapat berubah kebolehan, menjadi sunnat, wajib, makruh, atau

haram. Contoh dalam uraian berikut, mungkin dapat memberi penjelasan.

(A) Perbuatan nikah yang dilakukan oleh orang yang telah cukup umurnya yang

hukum atau kaidah asalnya mubah atau kebolehan itu dapat berubah

hukumnya menjadi anjuran atau sunnat kalau dilakukan oleh seseorang yang

pertumbuhan rohani dan jasmaninya dianggap telah wajar benar untuk hidup

4 Ibid., h. 29

Page 7: Tinjauan hukum islam dan hukum positif terhadap pernikahan ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7241/1/... · Perbedaan dalam perumusan itu disebabkan karena perkawinan

berumah tangga. Telah mampu membiayai atau mengurus rumah tangga.

Kalau ia kawin dalam keadaan yang demikian, ia akan mendapat pahala dan

kalau ia belum mau berumah tangga, asal mampu menjaga dirinya ia tidak

berdosa.

(B) Perbuatan nikah itu akan berubah hukumnya menjadi wajib (kewajiban) atau

fardh kalau seseorang dipandang telah mampu benar mendirikan rumah

tangga, sanggup memenuhi kebutuhan dan mengurus kehidupan keluarganya,

telah matang betul pertumbuhan rohani dan jasmaninya. Dalam keadaan

seperti ini, ia wajib kawin atau berumah tangga, sebab kalau ia tidak kawin ia

akan cenderung berbuat dosa, terjerumus, misalnya, melakukan perbuatan-

perbuatan yang dilarang Allah, baik ia pria ataupun wanita.

(C) Perbuatan nikah berubah hukumnya menjadi makruh atau celaan bila

dilakukan oleh orang-orang yang relatif muda (belum cukup umur), belum

mampu menafkahi dan mengurus rumah tangga. Kalau orang kawin juga

dalam usia demikian, ia akan membawa sengsara bagi hidup dan kehidupan

keluarganya. Memang, dalam keadaan ini, ia tidak berdosa kalau berubah

tangga, tetapi perbuatannya untuk menikah dapat dikelompokkan ke dalam

kategori perbuatan tercela.

(D) Hukumnya berubah menjadi haram kalau dilakukan oleh seorang laki-laki

dengan maksud menganiyaya wanita itu. Hal ini disebutkan misalnya, dalam

al-Quran surat al-Nisa (dibaca an-Nisa) ayat 24 dan 25. Atau menurut

perhitungan yang umum dan wajar perkawinan itu secara langsung atau tidak

langsung akan mendatangkan mala petaka bagi mitranya. Kalau perkawinan

yang hukumnya dapat dimasukkan ke dalam kategori haram itu juga dilakukan

Page 8: Tinjauan hukum islam dan hukum positif terhadap pernikahan ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7241/1/... · Perbedaan dalam perumusan itu disebabkan karena perkawinan

oleh seseorang, ia akan berdosa, misalnya perkawinan seorang laki-laki

dengan wanita yang masih terikat dalam perkawinan dengan orang lain,

jumlahnya melampaui batas yang dibolehkan agama, gemar menyakiti

pasangannya.5

Lebih lanjut para sarjana muslim memberikan pengertian tentang

perkawinan, antara lain adalah :

Prof.Dr.H.Mahmud Yunus :

" Perkawinan adalah akad antara calon suami dengan calon isteri untuk memenuhi hajat jenisnya menurut yang diatur syari'at ".6

Sayuti Thalib,SH :

" Pengertian perkawinan itu ialah perjanjian, suci membentuk keluarga antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan."7

M.Idris Ramulyo,S H :

" Perkawinan menurut Islam adalah suatu perjanjian suci yang kuat dan kokoh untuk hidup bersama-sama secara sah antar seorang laki-laki dengan seorang permpuan untuk membentuk keluarga yang kekal, santun menyantuni, kasih mengasihi, aman tentram dan kekal".8

Berbagai pendapat telah dikemukakan orang tentang arti perkawinan,

sudah pula diberikan rumusannya dalam versi yang berbeda-beda. Perbedaan

dalam perumusan itu disebabkan karena perkawinan sebagai suatu lembaga

mempunyai banyak segi dan dapat dilihat dari berbagai sudut pandangan,

misalnya dari sudut agama, hukum masyarakat, dan sebagainya. Jika dipandang

5 Mohammad Daud Ali., Hukum Islam dan Peradilan Agama ; Kumpulan Tulisan,

(Jakarta, PT Raja Grafindo Persada :2002), Cet. Ke- 2., h. 3-5 6 Mahmud Yunus., Hukum Perkawinan dalam Islam,(Jakarta, PT Hidakarya Agung :

1996), Cet. Ke-15. h. 1 7 Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta, UI Press), h. 47 8 Idris Ramulyo., Beberapa Masalah tentang Hukum Acata Peradilan Agama dan Hukum

Perkawinan Islam, (Jakarta, Ind.Hill Co : 1984/1985), h. 174

Page 9: Tinjauan hukum islam dan hukum positif terhadap pernikahan ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7241/1/... · Perbedaan dalam perumusan itu disebabkan karena perkawinan

dari segi ajaran agama dan hukum Islam perkawinan adalah suatu lembaga yang

suci.

Bahwa perkawinan merupakan lembaga yang suci dapat dibuktikan dari

tata cara melangsungkannya, tata hubungan suami isteri, cara melakukan dan

menyelesaikan perceraian yang pokok-pokok pengaturannya yang dilakukan oleh

Nabi Muhammad. "Berbaktilah kamu kepada Allah yang atas (dengan) nama-Nya

kamu saling meminta untuk menjadi pasangan hidup", demikian firman Tuhan

dalam al-Qur'an surat 4 ayat 1. "Takutlah kamu kepada Allah mengenai urusan

wanita, karena kamu telah mengambil mereka (dari orang tuanya) dengan amanat

Allah", demikian pesan Nabi Muhammad 82 hari sebelum beliau barpulang ke

Rahmatullah.9

Dalam hukum Islam, kata perkawinan dikenal dengan istilah nikah.

Menurut ajaran Islam melangsungkan pernikahan berarti melaksanakan ibadah.

Melakukan perbuatan ibadah berarti juga melaksanakan ajaran agama."Barang

siapa yang kawin berarti ia telah melaksanakan separuh (ajaran) agamanya, yang

separuh lagi, hendaklah ia taqwa kepada Allah "demikian sunnah qauliyah

(sunnah dalm bentuk perkataan) Rasulullah. Rasulullah memerintahkan orang-

orang yang telah mempunyai kesanggupan, kawin, hidup berumah tangga karena

perkawinan akan memeliharanya dari (melakukan) perbuatan-perbuatan yang

dilarang Allah. 10

b. Syarat-syarat dan Rukun Pernikahan

Berbicara mengenai hukum perkawinan sebenarnya kita membicarakan

berbagai aspek kehidupan masyarakat. Bahwa bentuk masyarakat ditentukan atau

9 Mohammad Daud Ali., h. 1-2 10 Muhammad Daud Ali., h. 3

Page 10: Tinjauan hukum islam dan hukum positif terhadap pernikahan ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7241/1/... · Perbedaan dalam perumusan itu disebabkan karena perkawinan

sekurang-kurangnya banyak dipengaruhi oleh bentuk dan system perkawinan,

sebelum kita membicarakan tentang syarat dan rukun perkawinan tersebut

alangkah lebih baik jika kita melihat bahwa perkawinan menurut Islam dapat

ditinjau dari tiga sudut, yaitu :

Pertama. Dari sudut hukum, perkawinan merupakan suatu perjanjian

antara pria dan wanita agar dapat melakukan hubungan kelamin secara syah dalam

waktu yang tidak tertentu.11

Kedua, dari sudut agama, perkawinan itu dianggap sebagai suatu lembaga

yang suci dimana antara suami dan istri agar dapat hidup tentram, saling cinta

mencintai, santun menyantuni dan kasih mengasihi antara satu terhadap yang lain

dengan tujuan mengembangkan keturunan.12 Perkawinan adalah suatu jalan yang

halal untuk melanjutkan keturunan dan dengan perkawinan itu akan terpelihara

agama, kesopanan dan kehormatan. Banyak penyakit jiwa yang sembuh sesudah

melakukan perkawinan, umpamanya penyakit kurang darah (anemia). Dengan

demikian perkawinan dapat menimbulkan keunggulan, keberanian, dan rasa

tanggung jawab terhadap keluarga, masyarakat dan Negara. Perkawinan juga

dapat memperhubungkan silaturrahmi, persaudaraan dan kegembiraan dalam

menghadapi perjuangan hidup dalam kehidupan masyarakat dan sosial.

Ketiga, dari sudut kemasyarakatan, bahwa orang-orang yang telah kawin

atau berkeluarga telah memenuhi salah satu bagian syarat dan kehendak

masyarakat, serta mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dan lebih dihargai dari

mereka yang belum kawin.13

11 Nazwar Syamsu., Al-quran tentang Manusia dan Masyarakat, (Jakarta, Ghalia

Indonesia :1983), Cet. Ke-1, h. 159 12 Ibid., h. 159 13 Ibid., h. 160

Page 11: Tinjauan hukum islam dan hukum positif terhadap pernikahan ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7241/1/... · Perbedaan dalam perumusan itu disebabkan karena perkawinan

Adapun mengenai syarat dan rukun perkawinan tersebut sebagai berikut :

1. Ada calon pengantin pria dan wanita, yang pria benar-benar pria dan yang

wanita benar-benar wanita. Adanya calon pengantin pria dan calon

pengantin wanita adalah satu hal yang logis atau rasional. Logis, karena

tanpa adanya salah satu calon pengantin tersebut maka sudah barang tentu

perkawinan tidak dapat dilangsungkan.

2. Calon pengantin pria dan wanita sudah aqil baligh, sehat jasmani dan

rohani. Kedua calon baik pria maupun wanita harus Islam, sesuai menurut

Al-quran surat ke-X1 ayat 221 dan pengecualian dalam Al-quran surat ke-

V ayat 5 yang membolehkan pria Islam kawin dengan wanita non Islam

dari golongan ahli kitab.

3. Harus ada persetujuan bebas antara calon pengantin pria dengan pengantin

wanita, tidak ada paksaan dari manapun datangnya, sesuai dengan hadits

Rasul diriwayatkan oleh Ibnu Majah, bahwa seorang wanita perawan telah

dating kepada Rasul mengatakan bapaknya telah mengawinkannya dengan

seorang pria padahal ia tidak suka, malah disuruh oleh Rasul kepada

wanita itu salah satu dari dua alternative, tetap sebagai istri atau minta

cerai. Jadi, menurut Islam kawin paksa itu tidak sah atau dilarang.

4. Harus ada wali nikah bagi calon pengantin wanita. Menurut mazhab

Syafi’I tidak sah nikah seorang wanita tanpa wali, namun sebagi unsure

akad nikah tidak selalu pada mempelai perempuan, walaupun hamper

semua akad nikah yang dipraktekkan dalam masyarakat penentuan wali

sebagai unsur akadnya selalu untuk mempelai perempuan saja.

Jadi,penentuan wali untuk mempelai laki-laki jarang terjadi.

Page 12: Tinjauan hukum islam dan hukum positif terhadap pernikahan ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7241/1/... · Perbedaan dalam perumusan itu disebabkan karena perkawinan

5. Secara teoritis, sekali peristiwa mungkin saja mempelai laki-laki dalam

melakukan akad menampilkan walinya yang harus bertindak, bahkan wali

itu sendiri yang berinisiatif mengambil prakaranya.14

6. Harus ada sekurang-kurangnya dua orang saksi, hal ini sangat penting

untuk kemaslahatan kedua belah pihak, maka para fuqaha sepakat bahwa

saksi dalam majlis akad tidak bisa diabaikan dalam arti bahwa saksi

menjadi bagian penting dari akad tersebut.15

قال رسول اهللا صلعم النكاح اال بولي : عن ابي هريرة بن ابي موس عن ابيه قال

.بلوغ المرام, آتاب النكاح) رواه احمد واالربعة( مرشد وشاهدي عدل Artinya : “Dari Abu Hurairah ibn Abi Musa dari bapaknya ia berkata : “tidaklah dianggap sah suatu perkawinan kecuali dengan wali yang cakap dan dua orang saksi yang adil”. (HR. Ahmad dan al-Arba’ah).

7. Ijab dan Qabul.

8. Meskipun pembicaraan mengenai ijab qabul diletakkan pada urutan akhir,

namun kedudukan ijab qabul itu sendiri sebagai unsure akad nikah

sangatlah sentral dan mendominasi. Bahkan menurut Abu Hanifah unsur-

unsur selain ijab qabul merupakan konsekuensi logis berhubungan adanya

ijab qabul.

9. Ijab adalah perkataan yang mewujudkan kehendak pihak pertama dengan

contoh sebagai berikut :

زوجتك وانكحتك مخطوبتك مريم بنتي احمد بمهر مائة الف ربية حا ل

10. Sedang qabul adalah persetujuan pihak kedua terhadap isi kehendak pihak

pertama.

14 Ahmad Kuzair., Nikah sebagai Perikatan, (Jakarta, PT Raja Grafindo Persada : 1996), Cet. Ke-1, h. 41 15 As-Sayyid Imam Muh. Ibn Ismail al-Khalany, Bulughul Maram, (Bandung, Dahlan, T.th), Jilid- 1, h. 117

Page 13: Tinjauan hukum islam dan hukum positif terhadap pernikahan ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7241/1/... · Perbedaan dalam perumusan itu disebabkan karena perkawinan

16قبلت تزوجها لنفس بذالك

Adapun untuk rukun perkawinan merupakan hal-hal yang harus dipenuhi

saat melangsungkan perkawinan.Dalam islam sebenarnya banyak perbedaan

pendapat yang terjadi antara Imam Mazhab,akan tetapi pada kali ini penulis hanya

mengemukakan pendapat yang berkembang di Indonesia yang juga telah menjadi

hukum tertulis di Indonesia diantaranya adalah :

- Calon Suami

- Calon Isteri

- Wali Nikah

- Dua orang Saksi,dan

- Ijab dan Qabul17

c. Tujuan dan Hikmah Pernikahan

Tujuan Perkawinan adalah :

a. Mendapatkan dan melangsungkan perkawinan

b. Memenuhi hajat manusia untuk menyalurkan syahwatnya dan

menempuhkan kasih sayang.

c. Memenuhi panggilan agama, memelihara diri dari kejahatan dan

kerusakan.

d. Menumbuhkan kesungguhan untuk bertanggungjawab menerima hak serta

kewajiban, juga bersungguh-sungguh memperoleh harta yang halal.

e. Membangun rumah tangga untuk membentuk masyarakat yang tentram

atas dasar cinta dan kasih sayang.

16 Ahmad Kuzair, h. 54 17 Moh.Zahroh., Al-Ahwalu asy-Syahsiyah, (Kairo, Dar al-Fikr :1957), h. 45

Page 14: Tinjauan hukum islam dan hukum positif terhadap pernikahan ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7241/1/... · Perbedaan dalam perumusan itu disebabkan karena perkawinan

f. Mendekatkan dan saling menimbulkan pengertian antar golongan manusia

untuk menjaga keselamatan hidup.

g. Melanjutkan perkembangan dan ketentraman hidup rohaniah antara pria

dan wanita.

h. Memenuhi atau mencukupkan kodrat hidup manusia yang telah menjadi

hukum bahwa antara pria dan wanita utu saling membutuhkan.18

Allah telah menciptakan manusia dengan mempunyai naluri manusiawi

yang perlu mendapatkan pemenuhan dari lawan jenisnya, pemenuhan naluri

manusiawi merupakan kebutuhan pokok yang harus ada bidang dalam

penyalurannya, kebutuhan itu antara lain adalah kebutuhan biologis. Agar tercipta

kehidupan yang teratur maka Allah mengatur manusia dengan perkawinan,

perkawinan menurut Islam merupakan tuntunan agama yang perlu mendapatkan

perhatian yang mendalam, sehingga tujuan melangsungkan perkawinan pun

hendaknya untuk memenuhi kebutuhan agama. Sehingga kalau diambil intinya

ada dua tujuan diballik hikmah adanya perkawinan yaitu memnuhi naluri

manusiawinya dan memenuhi petunjuk agama dalam rangka mendirikan keluarga

yang harmonis.

Di sini letak arti perkawinan di dalam membentuk manusia disertai dengan

lebih adanya hubungan manusia dengan Allah di mana, Allah memperlihatkan

bahwa di dalam hidup ini tetap ada hubungan sebab dengan musabbab

(Casuality), yang kokoh dan mendalam hubungan sebab dan musabbab inilah

yang menggairahkan arti hidup dunia, dan yang merangsang manusia berusaha,

bergiat dan berjuang mati-matian. Manusia yang inderteminis sifatnya hendaklah

18 R.abdul Djamali, Hukum Islam ;Berdasarkan ketentuan kurikulum konsorsium Ilmu Hukum (Bandung, Mandar Maju.1997) cet.11.Hal. 79-80

Page 15: Tinjauan hukum islam dan hukum positif terhadap pernikahan ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7241/1/... · Perbedaan dalam perumusan itu disebabkan karena perkawinan

mencari, sebab ia bertanggung jawab terhadap segala langkah hidupnya, dunia

merupakan instansi tempat ia bertugas mencari rezeki dan berbakti serta

mengabdi.

Oleh karena itu perkawinan dianjurkan oleh Islam dengan firman Allah

dan sabda Rasul-Nya. Perkawinan diperlukan oleh masyarakat manusiawi yang

beradab. Dan perkawinan itupun merupakan suatu landasan yang mengatur

lembaga rumah tangga untuk menyusun masyarakat dan membentuk umat. Ikatan

pria dan wanita dalam perkawinan bukanlah semat hubungan kelamin belaka,

tetapi lebih jauh daripada itu yaitu menyusun rumah tangga yang menjadi soko

guru dari masyarakat manusia.19

Maka perkawinan merupakan satu ikatan lahir dan bathin yang

mempunyai rukun dan syarat serta tanggung jawab yang terus-menerus sekalipun

suami istri telah meninggal dunia kalau manusia di kebumikan, hanya jasadnya

yang di kuburkan, tetapi jiwa dan amal ibadahnya serta namanya tetap tinggal dan

menjelma di dalam sejarah itu dan menjadi pusaka hidup keluarga, bangsa dan

agama.

Untuk itu bahwa sifat-sifat yang ada pada diri Rasullah SAW dan amal

yang dilakukan Beliau itulah yang menjadi suri tauladan bagi manusia. Kita tidak

dapat mencontoh kecantikan Rasulullah SAW secara lahiriyah, tetapi budi pekerti,

amal ibadat, perbuatan yang baik, kata yang berguna, tetap kekal abadi dan tidak

akan mati sekalipun jasmani sudah menghilang dan sudah hancur lebur.

Keturunan yang ditinggalkan dan anak yang lucu yang mewarisi seseorang akan

selalu menjunjung tinggi dan mencontoh suri tauladan yang telah diberikan itu.20

19 Fuad Mohd. Fachruddin., h. 30 20 Ibid., h. 31-32

Page 16: Tinjauan hukum islam dan hukum positif terhadap pernikahan ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7241/1/... · Perbedaan dalam perumusan itu disebabkan karena perkawinan

Cinta kasih, mawaddah dan rahmah yang dianugerahkan Allah kepada

sepasang suami istri adalah untuk satu tugas yang berat tetapi mulia. Malaikat pun

berkeinginan untuk melaksanakannya, tetapi kehormatan itu diserahkan Allah

kepada manusia.21

B. Pernikahan Menurut Hukum Positif

a. Pengertian Pernikahan

Pernikahan ialah pertalian yang sah antara seorang lelaki dan seorang

perempuan untuk waktu yang lama. Undang-undang memandang perkawinan

hanya dari hubungan keperdataan, demikian pasal 26 Burgerlijk Wetboek.

Pasal tersebut hendak meyatakan, bahwa suatu perkawinan yang sah,

hanyalah perkawinan yang memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan dalam kitab

Undang-undang Hukum Perdata.

Perkawinan merupakan institusi yang sangat penting dalam masyarakat.

Eksistensi institusi ini adalah melegalkan hubungan hukum antara seorang laki-

laki dengan seorang wanita. Yang dimaksud dengan perkawinan adalah ikatan

lahir bathin antara pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri.22

Undang-undang 1 Tahun 1974 dan hukum Islam memandang bahwa

perkawinan itu tidak hanya dilihat dari aspek formal semata-mata, tetapi juga

dilihat dari aspek agama dan sosial. Aspek agama menetapkan tentang keabsahan

perkawinan, sedangkan aspek formal adalah menyangkut aspek administratif,

yaitu pencatatan di KUA dan catatan sipil. Asser, Scholten, Wirarda, Pitlo, Petit,

dan Melis mengartikan perkawinan adalah : " Persekutuan antara seorang pria dan

21 Quraish Shihab., Wawasan al-Quran Tafsir Maudhu’i Atas Berbagai Persoalan Umat, (Bandung, Mizan Anggota IKAPI : 1996), Cet. Ke-1. h. 214

22 Subekti., Pokok-pokok Hukum Perdata, ( Jakarta, PT Intermasa : 1994), Cet. Ke-26. h. 23

Page 17: Tinjauan hukum islam dan hukum positif terhadap pernikahan ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7241/1/... · Perbedaan dalam perumusan itu disebabkan karena perkawinan

seorang wanita yang diakui oleh negara untuk hidup bersama / bersekutu yang

kekal "(dalam R Soetojo Prawirohamidjojo, 1988 : 35). Esensi pengertian

perkawinan yang dikemukakan pakar diatas adalah bahwa perkawinan sebagai

lembaga hukum, baik apa yang ada di dalamnya, maupun karena apa yang

terdapat di dalamnya.

Dalam konsepsi hukum perdata barat, perkawinan itu dipandang dalam

hubungan keperdataan saja. Maksudnya bahwa UU tidak ikut campur dalam

upacara-upacara yang diadakan oleh gereja. UU hanya mengenal "perkawinan

perdata", yaitu perkawinan yang dilangsungkan di hadapan seorang pegawai

catatan sipil (Vollmar, 1983 : 50).23

b. Syarat-syarat dan rukun pernikahan

Pada dasarnya tidak semua pasangan laki-laki dan wanita dapat

melangsungkan perkawinan. Namun, yang dapat melangsungkan perkawinan

adalah mereka-mereka yang telah memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan

di dalam peraturan perundang-undangan.

Dalam KUH Perdata, syarat untuk melangsungkan perkawinan dibagi dua

macam adalah : (1) syarat materiil dan (2) syarat formal. Syarat materiil, yaitu

syarat yang berkaitan dengan inti atau pokok dalam melangsungkan perkawinan.

Syarat ini dibagi dua macam, yaitu :

1. Syarat materiil mutlak,merupakan syarat yang berkaitan dengan pribadi

seseorang yang harus di indahkan untuk melangsungkan perkawinan pada

umumnya. Syarat itu meliputi:

23 Salim HS dan R.M Sudikno Merto Kusumo, Pengantar Hukum Perdata Tertulis, (

Jakarta, Sinar Grafika, T.th), h. 61

Page 18: Tinjauan hukum islam dan hukum positif terhadap pernikahan ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7241/1/... · Perbedaan dalam perumusan itu disebabkan karena perkawinan

a. monogami, bahwa seorang pria hanya boleh mempunyai seorang

isteri,seorangwanita hanya boleh mempunyai seorang suami (pasal 27

BW);

b. Persetujuan antara suami isteri ( pasal 28 KUH Perdata );

c. Terpenuhinya batas umur minimal.Bagi laki-laki berumur 18 tahun dan

wanita berumur 15 tahun (pasal 29 KUH Perdata );

d. Harus ada izin sementara dari orang tuanya atau walinya bagi anak-anak

yang belum dewasa dan belum pernah kawin (pasal 35 sampai dengan

pasal 49 KUH Perdata ).

2. Syarat materiil relatif, ketentuan yang merupakan larangan bagi seseorang

untuk kawin dengan orang tertentu. Larangan itu ada dua macam, yaitu :

a. larangan kawin dengan orang yang sangat dekat dalam kekeluargaan

sedarah dan karena perkawinan;

b. larangan kawin karena zina;

c. larangan kawin untuk memperbarui perkawinan setelah adanya

perceraian,jika belum lewat waktu satu tahun.

Syarat formal adalah syarat yang berkaitan dengan formalitas-formalitas

dalam pelaksanaan perkawinan. Syarat ini dibagi dalam dua tahapan. Syarat-

syarat yang harus dipenuhi sebelum perkawinan dilangsungkan adalah :

1. Pemberitahuan tentang maksud kawin dan pengumuman tentang maksud

kawin (pasal 50 sampai pasal 51 KUH Perdata). Pemberitahuan untuk maksud

kawin dilakukan kepada Pegawai Catatan Sipil. Pengumuman untuk maksud

kawin dilakukan sebelum dilangsungkannya perkawinan, dengan jalan

menempelkan pada pintu utama dari gedung dimana register-register catatan

Page 19: Tinjauan hukum islam dan hukum positif terhadap pernikahan ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7241/1/... · Perbedaan dalam perumusan itu disebabkan karena perkawinan

sipil diselenggarakan, dan jangka waktunya selama 10 hari. Maksud

pengumuman ini adalah untuk memberitahukan kepada siapa saja yang

berkepentingan untuk mencegah maksud dari perkawinan tersebut karena

alasan-alasan tertentu. Sebab, dapat saja terjadi bahwa sesuatu hal yang

menghalangi suatu perkawinan lolos dari perhatian Pegawai Catatan Sipil.

Pengumuman itu berfungsi sebagai pengawas yang dilakukan oleh

masyarakat;

2. syarat-syarat yang harus dipenuhi bersamaan dengan dilangsungkannya

perkawinan.

Apabila kedua syarat di atas, baik itu syarat intern, ekstern, maupun syarat

materiil dan formal sudah dipenuhi maka perkawinan itu dapat dilangsungkan.

a. Kedua pihak harus telah mencapai umur yang ditetapkan dalam undang-

undang,yaitu untuk seorang lelaki 18 tahun dan untuk seorang permpuan

15 tahun

b. harus ada persetujuan bebas antara kedua pihak ;

c. untuk seorang perempuan yang sudah pernah kawin harus lewat 300 hari

dahulu sesudahnya putusan perkawinan pertama ;

d. tidak ada larangan dalam undang-undang bagi kedua pihak ;

e. untuk pihak yang masih dibawah umur,harus ada izin dari dari orang tua

atau walinya.

Tentang hal larangan untuk kawin dapat diterangkan, bahwa seorang tidak

diperbolehkan kawin dengan saudaranya, meskipun saudara tiri ; seorang tidak

diperbolehkan kawin dengan iparnya ; seorang paman dilarang kawin dengan

keponakannya dan sebagainya.

Page 20: Tinjauan hukum islam dan hukum positif terhadap pernikahan ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7241/1/... · Perbedaan dalam perumusan itu disebabkan karena perkawinan

Tentang hal izin dapat diterangkan bahwa kedua orang tua harus

memberikan izin, atau ada kata sepakat antera ayah dan ibu masing-masing

pihak.Jikalau ada wali, wali ini pun harus memberikan izin, dan kalau wali ini

sendiri hendak kawin dengan anak yang dibawah pengawasannya, harus ada izin

dari wali pengawas ( toeziende voogd ). Kalau kedua orang tua sudah meninggal,

yang memberikan izin ialah kakek nenek, baik pihak ayah maupun pihak ibu,

sedangkan izin wali masih pula diperlukan.

Untuk anak-anak yang lahir diluar perkawinan, tetapi diakui oleh orang

tuanya, berlaku pokok aturan yang sama dengan pemberian izin, kecuali jikalau

tidak terdapat kata sepakat antara kedua orang tua, hakim dapat diminta campur

tangan, dan kakek nenek tidak menggantikan orang tua dalam hal memberikan

izin.24

c. Tujuan dan Hikmah Pernikahan

Yang menjadi tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang

bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Ini berarti bahwa

perkawinan itu : (1) berlangsung seumur hidup, (2) cerai diperlukan syarat-syarat

yang ketat dan merupakan jalan terakhir, dan (3) suami isteri membantu untuk

mengembangkan diri. Suatu keluarga dikatakan bahagia apabila terpenuhi dua

kebutuhan pokok, yaitu kebutuhan jasmaniah dan rohaniah.25

Membentuk keluarga artinya membentuk kesatuan masyarakat terkecil

yang terdiri dari suami, istri, dan anak-anak. Membentuk rumah tangga artinya

membentuk kesatuan hubungan suami istri dalam satu wadah yang disebut rumah

kediaman bersama.

24 Salim HS dan RM Sudikno Mertokusumo., h. 62-63 25 Ibid., h. 62

Page 21: Tinjauan hukum islam dan hukum positif terhadap pernikahan ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7241/1/... · Perbedaan dalam perumusan itu disebabkan karena perkawinan

Perkawinan tidak begitu saja menurut kemauan pihak-pihak, melainkan

sebagai karunia Tuhan kepada manusia sebagai makhluk beradab.

Dalam kenyataannya, berdasarkan hasil pengamatan, tujuan perkawinan

itu banyak juga yang tercapai secara tidak utuh. Tercapainya itu baru mnegenai

pembentukan keluarga atau pembentukan rumah tangga, karena dapat diukur

secara kuantitatif. Sedangkan predikat bahagia dan kekal belum bahkan tidak

tercapai sama sekali. Hal ini terbukti dari banyaknya terjadi perceraian.

Dalam rumusan perkawinan menurut Undang-undang No. 1 tahun 1974 itu

tercantum juga tujuan perkawinan yaitu untuk membentuk keluarga yang bahagia

dan kekal. Ini berarti bahwa perkawinan dilangsungkan bukan untuk sementara

atau untuk jangka waktu tertentu yang direncanakan, akan tetapi untuk seumur

hidup atau untuk selamanya. Dengan adanya perkawinan, maka suami istri dapat

hidup bersama dengan ikatan bathin, yang tercermin dari adanya kerukunan suami

istri yang bersangkutan dalam membina keluarga bahagia.26

Dengan demikian, perkawinan yang sah bagi suami istri mempunyai

hubungan yang erat dan kekal, terutama dengan adanya perkawinan ikatan lahir

ini merupakan hubungan formil yang sifatnya nyata, baik bagi yang mengikatkan

dirinya maupun bagi orang lain atau masyarakat.

26 Riduan Syahrani., Seluk-beluk dan Asas-asas Hukum Perdata, (Bandung, Penerbit Alumni : 1992), Cet. Ke-III, h. 67

Page 22: Tinjauan hukum islam dan hukum positif terhadap pernikahan ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7241/1/... · Perbedaan dalam perumusan itu disebabkan karena perkawinan

BAB IV

HUKUM PERNIKAHAN WANITA HAMIL AKIBAT ZINA

A. Menurut Hukum Islam

Dalam bab sebelumnya telah di bahas bahwa pernikahan merupakan satu-

satunya jalan yang paling mulia dalam menyalurkan kebutuhan biologis dan

menghasilkan keturunan yang sah dalam masyarakat. Maka sewajarnyalah bila

masalah pernikahan menjadi perhatian khusus dalam membina sebuah rumah

tangga yang bahagia. Karena pembinaan ruman tangga berdampak bagi

keselamatan dan kebahagiaan individu, masyarakat, serta kemuliaan umat itu

sendiri.

Dalam memilih seorang suami atau istri, Islam menganjurkan hendaknya

di dasari oleh Agama atau moral, yakni calon tersebut harus berakhlak mulia dan

bukan berdasarkan atas kecantikan, bangsawan bahwa kepopulerannya semata.

Karena agama yang baik akan membawa keberuntungan yang gemilang di dunia

maupun di akhirat, dan mendapat ketenangan lahir dan batin.

Perbandingan antara Agama dengan kecantikan atau harta benda atau

bangsawan sebagai dasar/penentuan seorang calon pasangan hidup adalah lebih

baik terletak pada nilai Agamanya.

Dalam Islam, juga dikenal dengan perkawinan antara seorang laki-laki

dengan seorang perempuan dalam keadaan hamil (kecelakaan), dengan laki-laki

yang menzinai atau laki-laki yang bukan yang menzinainya.

Seorang gadis bukan perawan atau janda hamil tanpa suami dalam

kehidupan masyarakat biasanya dicarikan seorang calon suami yang bersedia

Page 23: Tinjauan hukum islam dan hukum positif terhadap pernikahan ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7241/1/... · Perbedaan dalam perumusan itu disebabkan karena perkawinan

untuk menutupi aib atau cela yang ditanggungnya. Baik seorang calon suami

sekedar untuk menutupi malu atau suami sungguh-sungguh. Baik calon suami itu

orang yang menghamili ataupun bukan.

Perbuatan zina yang dilakukan laki-laki dan perempuan itu tidak dilihat

statusnya. Apakah telah beristri atau bersuami ataupun ia masih perawan atau

perjaka, semua tetap dinamakan perzinahan.

Para ulama sepakat mengenai kebolehan menikahi wanita pezina bagi

orang yang menzinahi. Akan tetapi mereka berbeda pendapat tentang hukum

menikahinya bagi orang yang bukan menzinahinya. Terjadinya perbedaan

pendapat di kalangan ulama tersebut disebabkan oleh perbedaan mereka dalam

memahami ”larangan menikahi pezina” yang terdapat dalam surat an-Nur ayat 3

sebagai berikut :

الزاني الينكح إال زانية أو مشرآة والزانية الينكحهآ إالزان أو مشرك وحرم ذلك على المؤمنينا

)3: النور(

Artinya : Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina atau perempuan yang musyrik. Dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan bagi orang-orang mukmin. (Q.S. al-Nur :3)

Mayoritas ulama berpendapat, ayat tersebut hanya menunjukkan celaan

terhadap orang-orang yang melakukan pernikahan antara orang yang baik-baik

dengan seorang pezina dan bukan keharaman. Sedangkan lafadz ( ذلكوحرم (

ditujukan pada pelacur, pezina, kumpul kebo dan bukan kepada bentuk

pernikahannya.

Di dalam pernikahan wanita hamil karena zina banyak terjadi perbedaan

pendapat. Sebagian ulama sepakat bahwa laki-laki pezina halal menikahi wanita

pezina, akan tetapi mereka berbeda pendapat tentang hukum menikahinya bagi

Page 24: Tinjauan hukum islam dan hukum positif terhadap pernikahan ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7241/1/... · Perbedaan dalam perumusan itu disebabkan karena perkawinan

orang yang bukan menzinainya. Terjadi perbedaan pendapat dikalangan ulama

tersebut disebabkan oleh perbedaan mereka dalam memahami “larangan menikahi

pezina”.

Syaikhul Islam Rahimakumullah berkata: “nikah orang zina itu haram

hingga dia harus taubat. Baik dengan pasangan zina atau dia itu orang lain. Inilah

yang benar di ragukan lagi. Demikian pendapat segolongan salaf dan khalaf,

diantara mereka yaitu Ahmad bin Hambal dan lain-lain.

Tetapi kebanyakan ulama salaf dan khalaf membolehkan, yaitu pendapat

imam yang tiga, hanya saja imam Malik mensyaratkan (rahimnya) bersih, sedang

Imam Abu Hanifah membolehkan akad sebelum istibra (bersih) apabila dia

ternyata hamil, tetapi apabila ia hamil maka tidak boleh mencampurinya, karena

air sperma zina itu tidak terhormat, dan hukumnya tidak bisa dihubungkan

nasabnya, inilah pengambilan alasan Imam Syafi’i.

Sedang Imam Abu Hanifah memberi rincian antara hamil dan tidak hamil,

karena wanita hamil apabila dicampuri itu menghubungkan anak yang bukan

anaknya sama sekali berbeda dengan yang tidak hamil. Imam Malik dan Ahmad

mensyaratkan istibra, dan itulah yang benar tetapi Imam Malik dan Imam Ahmad

dalam satu riwayat masyarakat bersih dengan haidh. Sedang riwayat yang lain

dari Ahmad yaitu yang di ikuti oleh kebanyakan sahabat-sahabatnya bahwa istibra

itu harus tiga kali haidh, tetapi yang benar bahwa itu tidak wajib melainkan istibra

kesuciannya (beristibra) yang akan menghubungkan anaknya kepada orang

tuanya, yang mana dalam hal ini siwanita itu wajib istibra, ini lebih utama.27

27 Ibnu Tamiyah, Hukum Perkawinan,(Jakarta,Pustaka al-Kausar,1997) Hal: 105

Page 25: Tinjauan hukum islam dan hukum positif terhadap pernikahan ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7241/1/... · Perbedaan dalam perumusan itu disebabkan karena perkawinan

Sebagian pendapat para ulama itu telah tertuang dalam Kompilasi Hukum

Islam pasal 53 yang berbunyi :

a. Seorang wanita hamil diluar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang

menghamilinya.

b. Perkawinan dengan wanita hamil yang tersebut pada ayat (1) dapat

dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya.

c. Dengan dilangsungkan perkawinan pada saat wanita hamil,tidak

diperlukan perkawinan ulang setelah anak dikandungnya lahir.28

Para ulama berselisih pendapat mengenai pernikahan wanita hamil diluar

nikah dengan orang yang bukan menghamilinya. Sebagian pendapat sah akah

nikahnya dan sebagian lagi berpendapat tidak sah. Masing-masing mereka

mempunyai argumentasi berupa ayat-ayat Al-Quran maupun hadits Nabi Saw.

A. Imam Abu Yusuf dan Za’far berpendapat tidak boleh menikahi wanita hamil

karena zina dan tidak boleh berhubungan seksual dengannya. Karena wanita

tersebut dari hubungan tidak sah dengan laki-laki lain maka haram

menikahinya sebagaimana haram menikahi wanita hamil dari hubungan yang

sah. Keadaan hamil mencegah bersetubuh, maka juga mencegah akad nikah

sebagaimana hamil yang ada nasabnya. Oleh karena tujuan nikah itu

menghalalkan hubungan kelamin, dan apabila tidak boleh berhubungan

kelamin maka nikah itu tidak ada artinya.29

28 Abdurrahman., Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta, Akademik Presindo : 1992), Cet. Ke-

1, h. 125 29 Lembaga Studi Islam dan Kemasyarakatan, Problematika Hukum Islam Kontemporer

1,(Jakarta:PT.Pustaka Firdaus,1996)cet.11, h.45

Page 26: Tinjauan hukum islam dan hukum positif terhadap pernikahan ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7241/1/... · Perbedaan dalam perumusan itu disebabkan karena perkawinan

B. Menurut pendapat Imam Ahmad bin Hambal, perempuan yang berzina baik

hamil maupun tidak, tidak boleh dinikahi oleh laki-laki yang mengetahui

keadaannya itu kecuali dengan syarat :

1). Iddahnya habis dengan melahirkan anaknya.

2). Perempuan tersebut telah bertaubat dari perbuatan zina, dan jika ia belum

betaubat maka ia tidak boleh menikahinya, meskipun telah habis masa

iddahnya. Kalau ada laki-laki yang menikahinya sebelum ia bertaubat ia

berarti tetap berzina dengan perempuan itu. Apabila telah sempurna kedua

syarat diatas, maka halal menikah dengan perempuan itu bagi yang

menzinainya atau orang lain.30

C. Menurut Imam Malik, perkawinan wanita hamil dari berzina dengan pria yang

lain yang tidak menghamilinya, tidak boleh dan tidak sah. Wanita tersebut

baru bisa dinikahi secara sah sesudah ia melahirkan. Bahkan menurut Imam

Malik, jika pria yang dinikahi tidak mengetahui kehamilan wanita tersebut,

maka setelah pria itu mengetahuinya pria tersebut wajib menceraikannya, dan

jika ia telah menggaulinya, maka ia wajib memberikan mahar mitsil, hal ini

didasarkan kepada:

Wanita yang sedang hamil dari zina juga mempunyai masa iddah, oleh karena

itu, ia tidak sah dinikahi sebelum ia melahirkan, sebagaimana difirmankan

Allah SWT dalam surat Ath-Thalaq ayat 4 yang berfirman :

)4: الطالق (زوأوالت األحمال أجلهن أن يضعن حملهن …..

Artinya: “Dan wanita-wanita yang hamil, masa iddah mereka itu ialah sampai ia melahirkan (Ath-Thalaq :4) "

30 Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan Dalam Islam, Menurut Imam Mazhab,(Jakarta,

PT. Hidakarya Agung,1996) h. 47

Page 27: Tinjauan hukum islam dan hukum positif terhadap pernikahan ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7241/1/... · Perbedaan dalam perumusan itu disebabkan karena perkawinan

Dengan menikahi wanita yang sedang hamil dari zina, maka

dikhawatirkan akan terjadi percampuran antara sperma dua laki-laki, dengan

demikian akan terjadi ketidakjelasan status anak, hal ini didasarkan sabda

Rasululloh SAW:

)داورواه ابوا د (من آان يؤمن باهللا واليوم االخر فال يسقى ماءه زرع غيره

Artinya: “Barang siapa beriman kepada Allah dari hari kiamat, maka janganlah ia menyirami air spermanya keladang orang lain (H.R. Abu Daud)”.31

Imam Abu Hanifah juga berpendapat bahwa boleh hukumnya menikahi

wanita hamil karena zina, tapi dengan syarat jika laki-laki yang menikahinya itu

bukan laki-laki yang menghamilinya, ia tidak boleh menggauli istrinya sebelum

melahirkan. Alasan mereka yang membolehkan menikahi wanita hamil karena

zina sebagai berikut :

a. Firman Allah swt. dalam Surat An-Anisa : 24

المحصنات من النسآء إال ماملكت أيمانكم آتاب اهللا عليكم وأحل لكم ماورآء ذالكم أن تبتغوا و)24: النساء ( بأموالكم محصنين

Artinya: “dan (diharamkan juga mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi mu selain yang demikian itu (yaitu) mencari istri-istri dengan hartamu untuk mengawini bukan untuk berzina…” (Q.S. An-Nisa:24) Oleh karena perempuan hamil karena zina tidak disebutkan dalam

golongan perempuan-perempuan yang haram dinikahi (lihat surat Al-

Nisa ayat 23-24) maka hukumnya boleh dinikahi.

31Ibid, h. 94

Page 28: Tinjauan hukum islam dan hukum positif terhadap pernikahan ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7241/1/... · Perbedaan dalam perumusan itu disebabkan karena perkawinan

b. Sperma zina itu tidak dihargai dengan alasan tidak ditetapkan keturunan

anak zina kepada ayah, tetapi hanya kepada ibunya saja. Kalau sperma

zina tidak dihargai, maka jelas ia tidak dapat menghalangi apalagi

membatalkan akad nikah wanita hamil karena zina tersebut. Namun

menurut Imam Abu Hanifah, tetap saja tidak diperbolehkan menggauli

istrinya hinga ia melahirkan. Alasannya pelarangan adalah hadits Nabi

saw :

)ا داودرواه ابو(من آان يؤمن باهللا واليوم االخر فال يسقى ماءه زرع غيره Artinya: “Barang siapa yang beriman kepada Allah swt, dan Hari Akhir maka janganlah menyiramkan airnya ketanaman orang lain” (H.R. Abu Daud)32 Larangan kawin kepada kiasan ini bertujuan untuk menghindari

percampuran keturunan dalam satu rahim.

Pendapat Imam Syafi’i dan Imam Abu Hanifah di atas terlihat sejalan

namun ada sedikit perbedaan diantara mereka, yakni dalam hal kebolehan

menggauli wanita hamil akibat zina yang dinikahi oleh laki-laki yang bukan

menghamilinya.

Pendapat Imam Abu hanifah yang melarang menggauli wanita hamil

karena zina dalam pandangan penulis, terdapat inkonsistensi pemikiran Imam Abu

Hanifah. Disisi lain Imam Abu Hanifah menghalalkan menikahi wanita hamil

akibat zina dengan alasan bahwa sperma zina tidak dihargai.

Sedang disisi lain beliau melarang menggauli wanita hamil yang telah

dinikahi oleh laki-laki yang bukan menghamilinya, dengan alasan dikhawatirkan

bercampuran keturunan dalam satu rahim. Apabila Imam Abu Hanifah melarang

32 Imam Abi Ishaq as-Sairazi.al-Muhazzab,(Bairut,Dar al-Fikr) jilid II, h.43

Page 29: Tinjauan hukum islam dan hukum positif terhadap pernikahan ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7241/1/... · Perbedaan dalam perumusan itu disebabkan karena perkawinan

menggauli wanita tersebut seharusnya beliau juga melarang menikahi wanita

yang hamil akibat zina oleh laki-laki lain.

Pandangan Imam Syafi’i yang membolehkan menggauli istri (wanita

hamil akibat zina) bagi orang lain yang menikahinya, disamping Karena tidak ada

nash yang melarang hal tersebut seperti dalam analisis bantahan terhadap

pendapat Imam Abu Hanifah diatas, juga pendapat Imam Syafi’i ini sejalan

dengan perspektif biologis yakni seorang calon ibu yang usia kehamilan mencapai

ke-36 hari, terdapat satu liter ketuban yang merendam janin, sampai janin menjadi

embrio (berumur 8 minggu), ia dapat bergerak bebas dikantong ketuban. Tetapi

bila terjadi benturan pada calon ibu, janin terlindungi dari cedera cairan, ia

bertindak sebagai peredam goncangan.33

Dengan demikian tercampurnya keturunan dalam satu rahim seperti yang

dikhawatirkan oleh Imam Abu Hanifah, tidak akan terjadi. Karena janin yang

sudah menjadi embrio berada dalam kantung ketuban, yang menjadi

melindunginya dari goncangan apapun termasuk dari siraman sperma yang akan

datang kemudian.

Setelah menelusuri pendapat para ulama mazhab diatas, penulis cenderung

kepada pendapat imam Syafi’i dan Imam Abu Hanifah yang mengatakan sah akad

nikah yang dilakukan oleh seorang wanita hamil karena zina baik laki-laki yang

telah menghamilinya maupun bukan. Karena tidak terdapat larangan yang nyata

dari Al-Qur’an dan hadits mengenai hal itu. Dan jika ditinjau dari sudut

sosiologis, pendapat mereka sangat menguntungkan pihak wanita karena dapat

menutup aibnya. Disamping itu juga terdapat unsur kemaslahatan dalam

33 Derek Liewenllyn Jones,Setiap Wanita,,(Jakarta,Delapratasa,1997) hal.155

Page 30: Tinjauan hukum islam dan hukum positif terhadap pernikahan ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7241/1/... · Perbedaan dalam perumusan itu disebabkan karena perkawinan

kebolehan menikahinya, diantaranya dapat membuka jalan kearah kehidupan yang

lebih baik bagi wanita tersebut. Dan tentu saja hal ini akan membawa dampak

positif bagi keadaan kejiwaan anak yang akan lahir.

B. Menurut Hukum Positif

Di dalam hukum perdata pernikahan tidak jauh berbeda dengan hukum

Islam, didalam hukum perdata perkawinan adalah suatu hal yang mempunyai

akibat yang luas didalam hubungan hukum antara suami dan istri.

Dengan perkawinan itu timbul ikatan yang berisi hak dan kewajiban

misalnya; kewajiban untuk bertempat tinggal yang sama, yang tidak kalah penting

adalah hukum yang terjadi antara anak yang lahir dari perkawinan.

Menurut kitab undang-undang hukum perdata, perkawinan adalah

persatuan seorang laki-laki dan perempuan secara hukum untuk hidup bersama-

sama, maksudnya untuk hidup berlansung selama lamanya sampai akhir hayat.

Menurut undang-undang perdata, Perkawinan yang sah adalah perkawinan

yang dilakukan dimuka petugas kantor pencatat sipil. Perkawinan yang dilakukan

oleh petugas dilakukan menurut tata cara sesuatu agama sah. Perkawinan wanita

hamil karena zina itu sah selama mengikuti/memenuhi syarat-syarat dan rukun

nikah yang telah ditentukan oleh undang-undang.34

Dalam pasal 32 hukum perdata dengan keputusan hakim telah dinyatakan

orang yang berzina dilarang kawin dengan teman zina.

Maksud pasal tersebut adalah berupa larangan, jangan terjadi hubungan-

hubungan yang asusila, contoh hubungan diluar nikah antara laki-laki yang belum

34Sudarsono,.Hukum Perkawinan Nasional,(Jakarta,Rineka Cipta,1991) Cet.1, h. 112

Page 31: Tinjauan hukum islam dan hukum positif terhadap pernikahan ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7241/1/... · Perbedaan dalam perumusan itu disebabkan karena perkawinan

beristri dengan perempuan yang sudah bersuami, atau hubungan antara

perempuan yang belum bersuami dengan laki-laki yang sudah beristri.

Dengan demikian, kalau terjadi hal-hal diatas apakah dia telah melakukan

zina harus ada keputusan hakim, sehingga diantara pihak-pihak yang telah

melakukan zina tadi di larang untuk melakukan perkawinan.

Akan tetapi, dalam praktek ketentuan hukum pasal 32 KUHP ini jarang

sekali hakim didalam menjatuhkan putusan tidak wajib menyebutkan nama orang

yang diajak melakukan zina tersebut.35

C. Kedudukan Anak Dari Pernikahan Wanita Hamil Akibat Perzinahan

a. Hukum Islam

Di berbagai macam lingkungan masyarakat Indonesia seorang anak

sebagai keturunan dari kedua orang tuanya. Sehingga anak tersebut mempunyai

hubungan kerabat yang ditarik melalui bapak dan ibunya.

Anak sebagai salah satu unsur dari sesuatu kekeluargaan mengalami

hubungan-hubungan antara pribadi yang pertama adalah keluarga, misalnya

hubungan anak dengan orang tua.

Dalam undang-undang perkawinan No I Tahun 1974, anak yang sah

adalah (1) anak yang lahir dalam perkawinan yang sah (2) anak yang lahir sebagai

akibat perkawinan yang sah. Jadi kalau seorang wanita yang telah mengandung

karena berbuat zina dengan orang lain, kemudian ia kawin sah dengan pria yang

bukan pemberi benih kandungan wanita itu, maka jika anak itu lahir itu adalah

anak sah dari pernikahan itu dengan pria lain.

35 Soedharyo Soimin..Hukum Orang dan Keluarga,Perspektif Hukum Perdata,Hukum

Islam Dan Hukum Adat,(Jakarta,Sinar Grafika,2002) Cet.1, h. 16

Page 32: Tinjauan hukum islam dan hukum positif terhadap pernikahan ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7241/1/... · Perbedaan dalam perumusan itu disebabkan karena perkawinan

Mengenai anak yang tidak ada berbapak ini yang dikenal sebagai anak

diluar kawin, dimana si anak hanya mempunyai hubungan hukum dengan ibunya

dan keluarga ibunya,diatur dalam pasal 43 Undang-Undang Perkawinan No 1

Tahun 1974. bahkan dalam Kompilasi Hukum Islam sekarang ini, kemungkinan

bagi seorang wanita yang hamil di luar nikah untuk kemungkinan dengan pria

yang menghamilinya (pasal 53) yang perlu dicatat adalah bahwa perkawinan ini

dapat segera dilaksanakan dan tidak usah menunggu sampai anak lahir.

Dalam usahanya untuk menghindari keadaan seorang anak tidak

mempunyai bapak. Maka seorang anak perempuan yang hamil diluar perkawinan,

itu agak dipaksakan untuk kawin, sedapat mungkin tentunya dengan seorang pria

yang pernah bersetubuh dengan si wanita itu juga dianggap penyebab hamilnya

perempuan itu.36

Menurut ajaran Islam setiap anak mempunyai hubungan erat dengan

ibunya dan bapaknya. Apabila salah satu meninggal, maka yang lain menjadi ahli

warisnya. Para ulama sepakat bahwa anak yang lahir karena zina hanya

mempunyai nasab kepada ibunya, namun mereka berbeda pendapat.

a. Mazhab Hanafy, jika istri melahirkan anaknya dalam masa kurang dari

dua tahun, dihitung dari tanggal perpisahan dengan suaminya, karena

masa hamil yang paling lama adalah dua tahun, kalau wanita itu

melahirkan anaknya setelah berlalu dua tahun atau lebih dari tanggal

perpisahan dengan suaminya, baik perpisahan karena thalaq bain (thalaq

tiga), atau suami meninggal, maka anak yang dilahirkannya itu tidak

jelas diakui hubungan keturunannya dengan suaminya itu. Karena yakin,

36 Hazairin.Tinjauan Mengenai Undang-undang Perkawinan no.1 / 1974.(Jakarta,Tinta Mas,1996). h. 125

Page 33: Tinjauan hukum islam dan hukum positif terhadap pernikahan ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7241/1/... · Perbedaan dalam perumusan itu disebabkan karena perkawinan

bahwa anak itu terjadi setelah berakhirnya perkawinan wanita itu dengan

suaminya tadi, karena anak itu lahir setelah lewat dua tahun atau lebih

dari tanggal perpisahannya dengan suaminya. Dan hanya mempunyai

hubugnan dengan ibunya saja dan keluarga ibunya.37

b. Jumhur ulama berbeda pendapat, jika seorang laki-laki mengawini

seorang yang sudah dikumpuli maka apabila dalam waktu kurang 6

bulan sejak dikumpulnya, maka anak yang dilahirkan itu tidak dapat

dipertalikan nasabnya kepada laki yang mengawini ibunya dan hanya

mempunyai nasab kepada ibunya dan keluarga ibunya.38

c. Imam Abu Hanifah. Berpendapat bahwa wanita yang melahirkan itu

dianggap dalam ranjang suaminya. Oleh karena itu anak yang

dilahirkannya kawasannya dapat dipertalikan kepada bapak sebagai anak

sah apabila anak tersebut lahir setelah waktu enam bulan sejak

perkawinannya. Abu Hanifah melihat masalah ini dari tinjauan yuridis

formal bulan dari segi hubungan suami istri.39

Menurut pandangan Imam Syafi’i dan Imam Maliki ialah jika seseorang

laki-laki mengawini seorang wanita belum pernah dikumpuli atau sudah

pernah dikumpuli, maka bila dalam waktu kurang dari enam bulan dari

pada aqad pekawinan dan bukan terhitung dari masa perkumpulnya

maka anak yang dilahirkan itu tidak dapat dipertalikan nasab/garis

keturunannya kepada laki-laki yang menyebabkan mengandung.

Perhitungan enam bulan itu dimulai dari waktu berkumpul bukan dari

37 Zakaria Ahmad al-Barry,Hukum Anak-anak Dalam Islam,(Jakarta,Bulan Bintang,1990) 38 Abdurrahman. h. 113

39 Fathur Rahman,Ilmu Waris,(Bandung,P.T.Al-Ma'arif,1996) h. 221

Page 34: Tinjauan hukum islam dan hukum positif terhadap pernikahan ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7241/1/... · Perbedaan dalam perumusan itu disebabkan karena perkawinan

aqad nikah. Masalah perbedaan pendapat itu hanya terletak pada

persetubuhan dan pernikahan yang menjadi pilihan alternativ pedoman.

Imam Syafi’i dan Maliki melihat sengama ialah sebagai dasar

penentuan, sedangkan Imam Abu Hanifah. Memilih aqad nikah yang

menjadi rujukan. Dan masing-masing pihak sependapat bahwa batas

menentukan keabsahan anak itu mempunyai keturunan terhadap

bapaknya ialah bila anak itu lahir sesudah enam bulan terhitung dari

pernikahan kedua orang tuanya.

Akan tetapi hubungan nasab anak zina dengan bapaknya tersebut hanya

sebatas bahasa dan urf (tradisi), pendapat Imam Abu Hanifah di atas beralasan

kepada keumuman hadits Rasul yang berbunyi sebagai berikut :

اهر الولد للفراش وللع: وسلم قال عن ابى هريرة رضي اهللا عنه ان النبي صلى اهللا عليه )رواه البخاري ومسلم(الحجر

Artinya : ”Dari Abu Hurairah bahwasanya Nabi SAW bersabda : Seorang

anak adalah milik orang yang seranjang dan bagi pezina hukuman rajam.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Menurut Imam Abu Hanifah pada lafaz Firasyi menunjukkan terdapat

dhomir ghoib untuk laki-laki yang tersembunyi. 40 Akan tetapi Imam Abu Hanifah

mengatakan bahwa sebenarnya nasib nasab anak tersebut tergantung kepada

suami (wanita tersebut), jikalau wanita yang berzina mempunyai suami, karena

ketika suami mengakui anak tersebut sebagai anaknya, maka anak tersebut

menjadi anaknya yang sah secara syar’i, yang memiliki hak-hak sebagaimana

mestinya anak yang sah, dan dia pun (ayah) punya hak pula atas anak-anak seperti

40 Azhari Abdul Ghofur, Islam dan Problematika Sosial Sekitar Pergaulan Muda-mudi, (Jakarta, Akademika Pressindo : 2000), Cet. Ke-1, h. 48

Page 35: Tinjauan hukum islam dan hukum positif terhadap pernikahan ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7241/1/... · Perbedaan dalam perumusan itu disebabkan karena perkawinan

itu.41 Keadaan seperti ini adalah bagi perempuan yang berzina tetapi telah

mempunyai suami. Namun, sebenarnya yang lebih mengetahui secara pasti nasab

seorang anak adalah ibunya.

Pendapat Syafi’i dan Maliki beranggapan bahwa wajah istidhal atau

bentuk pengambilan hukum dari kata “Lil Firosy” yang tersebut dalam hadits

diatas adalah bermakna ibu, sehingga garis keturunan (keluarga) anak hasil zina

hanya kembali kepada ibunya saja. Demikian pula bagi pendapat yang pertama ini

beranalog dengan ketentuan jumlah minimal bagi wanita hamil, yakni anak yang

lahir kurang dari enam bulan sejak saat perkumpulan suami istri tanpa perhatikan

perkawinan, maka anak yang lahir tesebut hanya akan diakui oleh ibunya saja,

laksana kewangsaan matrinial dimana seorang anak tidak diakui sebagai kelaurga

bapak.

Bagi pendapat yang kedua, disamping berpegang teguh kepada yuridis

formal, artinya keabsahan seorang anak sebagai keluarga yang sah dilihat dari

masa lahirnya tidak kurang dari jangka wktu enam bulan terhitung sejak

pernikahan ibu dengan ayahnya. Juga pendapat ini berpedoman kepada Hadits

Riwayat Bukhori dari Abu Hurairoh RA yang artinya :

“Jelas dari Nabi saw, Beliau telah bersabda, jika seorang laki-laki

mengajak kepada istrinya keranjang tidurnya kemudia ia menolak, maka

datanglah malaikat untuk melaknati sampai pagi hari (Fathul Bari XI, hal 205).

Abu Hanifah, mengambil pegangan bahwa wajan istidhal (bentuk

pengambilan hukum) dari keterangan kata “Firosy” yang terdapat dalam hadits

tersebut tadi diartikan sebagai seorang laki-laki (bapak).42

41 Muhammad Jawad Mughniyah., Fiqh Lima Madzhab, (Jakarta, PT. Lentera Basritama : 2000), Cet. Ke-V, h. 386

Page 36: Tinjauan hukum islam dan hukum positif terhadap pernikahan ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7241/1/... · Perbedaan dalam perumusan itu disebabkan karena perkawinan

kehadiran seorang anak mengokohkan ikatan perkawinan, kegairahan

mencari nafkah meningkat karena termotivasi oleh semangat untuk membina dan

mendidik anak agar kelak menjadi manusia yang berguna.

Lain halnya dengan anak yang dilahirkan dari hubungan yang tidak sah,

akan dicerca dan dihina kata-kata cemooh dari lingkungan senantiasa akan

diterimanya.walaupun anak yang baru dilahirkan belum mempunyai dosa,tetapi

masyarakat menghukumnya secara kejam dengan istilah " Anak haram jadah,anak

zina".

Menurut Hukum Islam anak yang lahir diluar nikah ( anak zina ) itu suci

dari segala dosa yang berdosa adalah orang yang menyebabkan eksistensinya

didunia ini,ini sesuai dengan firman Allah SWT yang berbunyi :

..… )38: النجم (أال تزر وازرة وزر أخرى

Artinya : "Bahwasanya seseorang tidak akan memikul dosa orang lain."(QS.An-Najm : 38) Rasulullah saw bersabda :

آل مولد يولد علي الفطرة حتي : قال رسول اهللا صلي اهللا عليه وسلم : عن انس رضي اهللا عنه 43)رواه ابو يعلي والطبرني وبيهقي (عرب عنه لسا نه فا بوا ه يهودانه او ينصرانه او يمجسا نه

Artinya : " Semua anak dilahirkan atas kesucian / kebersihan (dari segala dosa/noda) dan pembawaan beragama tauhid,sehingga ia jelas bicaranya.makanya menjadi Yahudi,Nasrani,atau Majusi"(HR.Abu Ya'la,Ath-Thabrani dan Al-Baihaqi).

Oleh karena itu anak zina harus diperlakukan secara manusiawi, diberi

pendidikan, dan keterampilan yang berguna untuk bekal hidupnya dimasyarakat

nanti.

42 Ibid, h.313 43 Jalaluddin Al-suyuti,Al-jami,'AAl-Shaghir,(kairo : Musthafa Al-Babi Al-

Halabi,1954),vol.11.hal.17

Page 37: Tinjauan hukum islam dan hukum positif terhadap pernikahan ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7241/1/... · Perbedaan dalam perumusan itu disebabkan karena perkawinan

Paling tidak ada empat dampak negatif bagi anak yang lahir di luar nikah,

sehingga kehilangan sebagian dari haknya :

1. Status Nasab

Istilah nasab berasal dari Bahasa Arab yang berarti kerabat,sebagian ahli

bahasa mengkhususkannya kepada (kerabat) ayah44. Nasab didefinisikan pertalian

atau hubungan yang ada dalam keluarga."Namun Ibnu Abidin menegaskan

pangkal atau sumber nasab adalah Ayah.45

2. Status Perwalian

"Perwalian " dalam istilah fiqh "penguasaan "dan "perlindungan ".Menurut

istilah fiqh yang dimaksud perwalian adalah penguasaan penuh yang diberikan

oleh agama kepada seseorang untuk menguasai dan melindungi orang atau

barang. Orang yang diberi kekuasaan perwalian disebut wali, yang dibicarakan di

sini adalah yang berhubungan dengan perwalian atas orang dalam

perkawinannya.46

3. Status kewarisannya

Kata waris itu berasal dari Bahasa Arab yaitu, akar kata yang berarti

pusaka.Harta peninggalan si mayit47. Lafal Wirts, irts, dan tutrs itu satu arti yaitu

suatu yang ditinggalkan seseorang kepada ahli warisnya.48

4. Status Nafkah

44 Ibnu Mandzur, Lisan Al-'Arobi,(Beirut : Dar Shadir,1994),jilid .1.h.755 45 .Ibn 'Abidin, Radd Al-Mukhtar 'ala Al-Daar Al-Mukhtar : Hasyiyah Ibn 'Abidin

,(Beirut : Daar Ihya Al-Turats Al-'Arabi,1987),juz.11,cet.11, h.623 46 Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta, Bulan Bintang : 1974), Cet. Ke-3, h. 92-93 47 Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta, Yayasan Penyelenggara Penterjemah/ Penafsiran Al-Quran : 1973). h. 496 48 Ibn Mandzur., h. 200

Page 38: Tinjauan hukum islam dan hukum positif terhadap pernikahan ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7241/1/... · Perbedaan dalam perumusan itu disebabkan karena perkawinan

Nafkah berasal dari Bahasa Arab yaitu yang berarti belanja, atau

"kebutuhan pokok". Maksudnya ialah kebutuhan pokok yang diperlukan oleh

orang-orang yang membutuhkannya.

Hukum anak zina :

1. Sekiranya seorang suami menuduh isterinya melakukan perzinaan tetapi

tidak dapat dibuktikan, maka anak yang lahir dalam waktu sang isteri

masih di bawah tangan sang suami, anak itu adalah anak dari sang suami

yang sah.

Bersabda Rasulullah s.a.w. Anak itu adalah bagi ranjang (yakni bagi suami

yang mempunyai ranjang itu) sedangkan sang isteri yang melacur itu

dirajam"(Bukhari).

2. Bila seorang pria atau wanita dipaksa melakukan zina, maka ia tidak

berdosa, kalau setelah itu ia melakukan perkawinan dengan wanita

tersebut secara sah, maka tidaklah terdapat persoalan apapun dalam

persoalan ini.Anak yang dilahirkan adalah anak yang sah, sebab perzinaan

yang dilakukan itu tidak membawa satu kesalahan didalam hukum Islam

berarti kedua pelaku perzinaan paksaan itu tidak didera atau dirajam.

3. Kalau sekiranya perzinaan itu dilakukan dengan penuh kesadaran, oleh

manusia yang dewasa dan atas keinginan masing-masing dengan

mengetahui hukumannya, maka perbuatan ini mengarah kepada

pelaksanaan hukum zina atas kedua manusia itu yakni didera masing-

masing mereka jika belum pernah kawin dan dirajam / dilontar batu

hingga meninggal dunia bila telah pernah kawin.

Page 39: Tinjauan hukum islam dan hukum positif terhadap pernikahan ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7241/1/... · Perbedaan dalam perumusan itu disebabkan karena perkawinan

4. Dewasa ini hukum dan hukuman itu tidak berlaku, sebab tidak ada Negara

Islam dimana perbuatan itu terjadi hingga perbuatan itu terkadang

dianggap enteng belaka.Terkadang perbuatan itu dilakukan muda-mudi

untuk memaksa orang tua mereka mengawinkan mereka berdua.Ini

merupakan paksaan yang melanggar aturan agama dan ajaran Islam.

Sekiranya mereka yang melakukan perzinaan itu mendapatkan anak, maka

anak itu adalah anak zina.

b. Hukum Positif

Di dalam hukum perdata bahwa setiap anak yang dilahirkan atau

dibesarkan dalam ikatan perkawinan, maka anak adalah anak yang sah. Anak sah

adalah anak yang dilahirkan dari sekurang-kurangnya 180 hari itu kemungkinan

bahwa anak itu tidak sah, kecuali sebelum perkawinan si calon suami sudah tahu

bahwa calon istri sudah mengandung.itu kemungkinan bahwa anak itu tidak sah,

kecuali sebelum perkawinan si calon suami sudah tahu bahwa calon istri sudah

mengandung.

Kemudian anak yang lahir di luar perkawinan karena berbuat zina antara

pria dan wanita, sebelum perkawinan telah mengakui bahwa anak yang lahir itu

adalah anak mereka telah mengakui. Kemudian pria dan wanita tersebut

melakukan perkawinan dan sebelum perkawinan ia telah mengakui bahwa anak

yang lahir itu adalah anak mereka, maka anak itu menjadi anak yang sah. Dengan

adanya pengakuan terhadap anak diluar perkawinan maka terjadilah hubungan

perdata antara anak dengan bapak dan ibu yang mengakuinya.

Page 40: Tinjauan hukum islam dan hukum positif terhadap pernikahan ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7241/1/... · Perbedaan dalam perumusan itu disebabkan karena perkawinan

Jika wanita yang melahirkan anak dan tidak melakukan perkawinan yang

sah, maka anak itu hanya mempunyai hubungan perdata dan akan hanya mendapat

warisan dari ibu dan keluarga ibunya saja.49

Dan disebut juga anak diluar perkawinan, hanya mempunyai hubungan

perdata dengan ibunya (pasal 42 BW)

Di dalam hukum perdata sistem yang berbeda masalah anak mempunyai

bapak, melainkan juga tidak mempunyai ibu dalam arti, bahwa antara seorang

anak dengan seorang wanita yang melahirkannya itu, tidak ada hubungan hukum

sama sekali, seperti mengenai pemberian nafkah, warisan dan lain-lain.

Pengakuan anak yang tidak sah ini juga di kemungkinan dilakukan

seorang pria, yang menyebabkan lahirnya anak itu. Cara pengakuan oleh si bapak

hanya mungkin, apabila ibunya menyetujuinya (pasal 284 BW).

Dengan pengakuan sebagai anak ini, tanpa diikuti dengan suatu

perkawinan antara bapak dan ibu hanyalah ada anak yang diakui, anak ini

belumlah dinamakan anak sah.

Cara untuk mengetahui bahwa sebelum perkawinan tersebut anak itu harus

diakui sebagai anak oleh ibunya dan bapaknya. Pengakuan anak itu tidak ada dan

pernikahan bapak dan ibu telah berlangsung tanpa mengakui anak pada waktu

pernikahan itu (akte pernikahan) atau sebelumnya pasal 274 BW.50

Anak yang lahir diluar perkawinan, dinamakan "natuurlijkkind" ia dapat

diakui tidak diakui oleh ayah atau ibunya.Menurut sistem yang dianut oleh

49 Hilman Hadi Kusuma.,Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan Hukum

Islam,Adat Dan Perdata,(Bandung,C.V Mandar Maju,1990) h.133

50 Abdul Kadir Muhammad.S.H,Hukum Perdata Indonesia (Bandung, PT. Citra Aditya,1990). H. 132

Page 41: Tinjauan hukum islam dan hukum positif terhadap pernikahan ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7241/1/... · Perbedaan dalam perumusan itu disebabkan karena perkawinan

B.W.dengan adanya keturunan di luar perkawinan saja belum terjadi suatu

hubungan keluarga antara anak dengan orang tuanya. Barulah dengan

"pengakuan" (erkenning) lahir suatu pertalian kekeluargaan dengan akibat-

akibatnya (terutama hak mewaris) antara anak dengan orang tua yang

mengakuinya. Tetapi suatu hubungan kekeluargaan antara anak dengan keluarga

si ayah atau ibu yang mengakuinya belum juga anak. Hubungan itu hanya dapat

diletakkan dengan "pengesahan"anak (wettiging), yang merupakan suatu langkah

lebih lanjut lagi dari pada pengakuan. Untuk pengesahan ini, diperlukan kedua

orang tua, yang telah mengakui anaknya, kawin secara sah. Pengakuan yang

dilakukan pada hari pernikahan juga membawa pengesahan anak. Jikalau kedua

orang tua yang telah kawin belum melakukan pengakuan terhadap anaknya yang

lahir sebelum pernikahan, pengesahan anak itu hanya dapat dilakukan dengan

"surat-urat pengesahan" (brieven van wettiging) oleh kepala negara. Dalam hal ini

presiden harus meminta pertimbangan Mahkamah Agung. Pengakuan anak tidak

dapat dilakukan secara diam-diam, tetapi harus dilakukan dimuka Pegawai

Pencatatan Sipil, atau dalam akte perkawinan orang tuanya (yang berakibat

pengesahan) atau dalam suatu akte tersendiri dari Pegawai Pencatatan Sipil,

bahkan dibolehkan juga dalam akte notaris.51

Perbuatan zina ("overspel") atau yang dilahirkan dari hubungan antara dua

orang yang dilarang kawin satu sama lain. Dengan demikian anak yang lahir

diluar perkawinan itu hanya dapat mewarisi harta benda yang ditinggalkan

ibunya dan keluarga ibunya, namun tidak dapat mewarisi harta benda yang

ditinggalkan ayahnya dan keluarga ayahnya. Dengan kata lain anak yang lahir di

51 Subekti,.Pokok Pokok Hukum Perdata (Jakarta,P.T Intermasa ,1985) cet.XX..h. 50

Page 42: Tinjauan hukum islam dan hukum positif terhadap pernikahan ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7241/1/... · Perbedaan dalam perumusan itu disebabkan karena perkawinan

luar perkawinan tersebut hanyalah menjadi ahli waris ibunya dan keluarga

ibunya.tetapi tidak menjadi ahli waris ayahnya dan keluarga ayahnya.

Seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan isterinya,

bila mana ia dapat membuktikan bahwa isterinya telah berbuat zina dan anak itu

akibat dari pada perzinaan tersebut. Pengadilan memberikan keputusan tentang

sah tidaknya anak yang disangkal itu atas permintaan yang berkepentingan

dengan lebih dahulu mewajibkan yang berkepentingan mengucapkan sumpah

(pasal 44).

Selanjutnya mengenai asal usul 'anak pasal 55 Undang-undang

Perkawinan menentukan :

(1) Asal usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan akte kelahiran yang

autentik, yang dikeluarkan oleh Pejabat yang berwenang.

(2) Bila akte kelahiran tersebut dalam ayat (1) pasal ini tidak ada, maka

Pengadilan dapat mengeluarkan penetapan tentang asal usul seorang anak

setelah diadakan pemeriksaan yang teliti berdasarkan bukti-bukti yang

memenuhi syarat.

(3) Atas dasar ketentuan Pengadilan tersebut ayat (2) pasal ini, maka instansi

pencatat kelahiran yang ada dalam daerah hukum pengadilan yang

bersangkutan mengeluarkan akte kelahiran bagi anak yang bersangkutan.52

52 Riduan Syahrani,Seluk Beluk Dan Asas-asas Hukum Perdata.(Bandung,Alumni.1992) cet,III. h. 101

Page 43: Tinjauan hukum islam dan hukum positif terhadap pernikahan ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7241/1/... · Perbedaan dalam perumusan itu disebabkan karena perkawinan

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari seluruh pembahasan yang dikemukakan pada bab sebelumnya, dapat

ditarik kesimpulan akhir sebagai berikut :

1. Zina menurut hukum Islam, setiap persetubuhan yang dilakukan antara

pria dan wanita di luar nikah, atau persetubuhan yang dilakukan tidak

dengan nikah yang sah. Sedangkan menurut hukum positif persetubuhan

yang dilakukan oleh laki-laki atau perempuan yang telah kawin dengan

perempuan atau laki-laki yang bukan isteri atau suaminya atas dasar suka

sama suka.

2. Wanita hamil karena zina boleh dinikahi oleh orang yang menghamilinya

maupun oleh orang lain yang bukan menghamilinya, karena tidak ada

laranganyang nyata dari Al-quran maupun Hadist. Dan status hukum akad

nikah sah selama memenuhi rukun dan syarat-syarat nikah yang yang telah

ditetapkan oleh hokum Islam, di samping itu juga terdapat unsur

kemaslahatan dalam kebolehan menikahinya, diantaranya dapat membaca

jalan kea rah kehidupan yang lebih baik bagi wanita tersebut. Sedangkan

menurut hukum positif bahwa menikahi wanita hamil di luar nikah itu

dibolehkan, kalau sudah cukup syaratnya.

3. Menurut hukum Islam, anak yang lahir di luar nikah (anak zina) itu suci

dari segala dosa, tidak bersalah dan tidak bernoda, sebab keseluruhan

kesalahan yang berlaku adalah dari dua manusia yang melakukan

Page 44: Tinjauan hukum islam dan hukum positif terhadap pernikahan ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7241/1/... · Perbedaan dalam perumusan itu disebabkan karena perkawinan

kesalahan itu. Status anak ini tidak dapat dikatakan secara hukum Islam

mempunyai ibu bapak, sebab tidak mempunyai dasar yang sah semenjak

mulanya. Seuatu yang berdasarkan kepada yang bathil maka bathil pulalah

hukumnya. Sedangkan menurut hukum positif anak yang lahir di luar

nikah, yang berstatus tidak sah, ia bisa menjadi sah apabila ia diakui oleh

ibunya, dan mendapatkan warisan sebagaimana anak yang lain.

B. Saran-saran

Dari kesimpulan itu penulis mengemukakan beberapa saran :

1. Untuk mencegah merebaknya praktek perzinahan dimasyarakat, perlulah

kiranya dilakukan terobosan-terobosan baru dengan mempewrtimbangkan

hukum pidana islam yang mampu memberikan sanksi terhadap para

pezina.

2. Kepada seluruh eleman masyarakat agar berperan untuk mempersempit

peluang-peluang terjadinya perzinahan.

3. Penulis menghimbau kepada muda-mudi agar berhati-hati dalam

pergaulan terhadap lawan jenis karena dorongan hawa nafsu, seringkali

menjerumuskan manusia ke lembah dan penyimpangan terhadap norma-

norma agama

DAFTAR PUATAKA

Page 45: Tinjauan hukum islam dan hukum positif terhadap pernikahan ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7241/1/... · Perbedaan dalam perumusan itu disebabkan karena perkawinan

Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam, Jakarta : Akademik Presindo, 1992 Ahmad, Idris., Fiqh Syafi’I, Jakarta : Wijaya, 1969 Al-Bajuri, Hasyiyah AL-Syaikh Ibrahim Al-Bajuri., T.tp : Maktabah wa

mathba’ah Sulaiman Maroi, T.th Al-Barry, Zakaria Ahmad., Hukum Anak-anak dalam Islam, Jakarta : Bulan

Bintang, 1990 Ali, Mohammad Daud, Hukum Islam dan Peradilan Agama ; Kumpulan Tulisan,

Jakarta : PT.Raja Grafindo Persada., 2002 Al-Munawir, Ahmad Warsom, Kamus Arab Indonesia Al-Munawir, Yogyakarta :

T.tp, 1984 As-Sairazi, Imam Abi Ishaq, Al-Muhazzab, Beirut : Dar al-Fikr As-Sayyid Imam Muh. Ibn Ismail al-Khalany, Bulughul Maram, Bandung :

Dahlan, T.th Audah, Abdul Qodir, at-Tasyri’al al-Jana’I al-Islami Muqoronan bi al-Qonun al-

Wadhi, Beirut : Muassasah Ar-Risalah, 1415 H/1994 M Darul Haq, Tim., Jangan Dekati Zina, Jakarta : Darul Haq, 2002 Dewan Redaksi, Ensiklopedia Islam, Jakarta : PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1993 Djamal, R. Abdul, Hukum Islam Berdasarkan Ketentuan Kurikulum Konsersium

Ilmu Hukum, Bandung : Penerbit CV.Mandar Maju., 1997 Fachruddin, Fuad Mohd., Masalah Anak dalam Hukum Islam; Anak Kandung,

Anak Tiri, Anak Angkat dan Anak Zina, Jakarta : CV.Pedoman Ilmu Jaya., 1991

Ghofar, Ashari Abdul., Pandangan Islam Zina dan Perkawinan sesudah Hamil,

Jakarta : Citra Harta Prima, 1995 Hazairin, Tinjauan Mengenai Undang-Undang Perkawinan No.1/1974, Jakarta :

Tinta Mas, 1996 Ibn ’Abidin., Radd AL-Mukhtar ’ala Al-Daar Al-Mukhtar ; Hasyiyah Ibn ’Abidin,

Beirut : Daar Ihya Al-Turats Al-’Arabi, 1987 Jalaluddin, Al-Suyuti, Al-Jami, Al-Shaghir, Kairo : Musthafa Al-Babi Al-Halabi,

1954 Jones, Derek Liewenllyn., Setiap Wanita, Jakarta : Delapratasa, 1997

Page 46: Tinjauan hukum islam dan hukum positif terhadap pernikahan ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7241/1/... · Perbedaan dalam perumusan itu disebabkan karena perkawinan

Kusama, Hilman Hadi., Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan Hukum Islam, Adat dan Perdata, Bandung : CV. Mandar Maju, 1990

Kuzair, Ahmad, Nikah Sebagai Perikatan, Jakarta : PT.Raja Grafindo Persada,

1996 Lembaga Studi Islam dan Kemasyarakatan, Problematika Hukum Islam

Kontemporer I, Jakarta : PT. Pustaka Firdaus, 1996 Mandzur, Ibnu., Lisan Al-’Arobi, Beirut : Dar Shadir, 1994 Mughniyah, M.Jawad., Fiqh Lima Mazhab, Jakarta : Lentera, 2000 Muhammad, Abdul Kadir, Hukum Perdata Indonesia, Bandung : PT. Citra

Aditya, 1990 Rahman, Fathur., Ilmu Waris, Bandung : PT.Al-Ma’arif, 1996 Ramulyo, Idris, Beberapa Masalah Tentang Hukum Acara Peradilan Agama dan

Hukum Perkawinan Islam, Jakarta : Ind.Hill Co, 1984/1985 R.Soesilo., Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-

komentarnya Lengkap Pasal demi Pasal, Bogor : Politeria, 1983 Rusyd, Ibnu., Bidayatul Mujtahid, Mekkah Riyadh : Daar al-Fikr, 1995 Sabik, Sayid., Fiqh as-Sunnah, Beirut : Daar al-Fikr, 1977 Salim HS dan RM. Sudikno Merto Kusumo, Pengantar Hukum Perdata Tertulis,

Jakarta : Sinar Grafika, T.th Soimin, Soedharyo., Hukum Orang dan Keluarga ; Perspektif Hukum Perdata,

Hukum Islam dan Hukum Adat, Jakarta : Sinar Grafika, 2002 Subekti., Pokok-pokok Hukum Perdata, Jakarta : PT.Intermasa, 1994 Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, Jakarta : Rineka Cipta, 1991 Syahrani, Riduan., Seluk Beluk dan Asas-asas Hukum Perdata, Bandung :

Alumni, 1992 Syamsu, Nazwar., Al-quran Tentang Manusia dan Masyarakat, Jakarta : Ghalia

Indonesia, 1993 Tamiyah, Ibnu., Hukum Perkawinan, Jakarta : Pustaka al-Kausar, 1997 Taqiyuddin, Imam., Kifayatul Akhyar, Surabaya : al-Maktabah al-Tikofiyah, 1986 Thalib, Sayuti., Hukum Kekeluargaan Indonesia, Jakarta : UI Press, T.th

Page 47: Tinjauan hukum islam dan hukum positif terhadap pernikahan ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7241/1/... · Perbedaan dalam perumusan itu disebabkan karena perkawinan

Umar, M.Ali Hasan, Kejahatan Sex dan Kehamilan di Luar Nikah dalam

Pandangan Islam, Semarang : CV.Panca Agung, 1990 Yunus, Mahmud, Hukum Perkawinan dalam Islam, Jakarta : PT.Hidakarya

Agung, 1996 Zahroh, Moh., Al-Ahwalu Asy-Syahsiyah, Kairo : Dar al-Fikr, 1957