11
1 PROSES PERAMPASAN ASET HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI MELALUI GUGATAN PERDATA (CIVIL PROCEDURE) BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 YANG TELAH DI UBAH DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI Oleh Agung Eka Putra Abstrak Korupsi di Indonesia sudah sampai pada titik nadir. Korupsi negeri ini begitu parah, mengakar, bahkan sudah membudaya. Praktik korupsi terjadir hampir di semua lapisan birokrasi, baik legislatif, eksekutif, maupun yudikatif, serta telah pula menjalar ke dunia usaha. Salah satu upaya yang dapat menghidarkan keterpurukan Indonesia akibat korupsi tersebut adalah dengan cara pengembalian aset tindak pidana korupsi. Maka dari itu pemerintah Indonesia telah melakukan beberapa upaya untuk melakukan pemulihan agar terbebas dari keterpurukan akan beberapa masalah akibat dari tindak pidana korupsi. Beberapa upaya tersebut adalah dengan meratifikasi United Nations Convention Againts Corrupton (UNCAC), dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan Konvesi Perserikatan Bangsa-bangsa Anti Korupsi. Dalam mekanisme ini, adanya pelaku kejahatan yang dinyatakan secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan kejahatan berdasarkan suatu putusan pengadilan bukan merupakan suatu prasyarat yang harus dipenuhi guna dilakukannya perampasan aset (sarana/hasil tindak pidananya). Dengan mekanisme ini terbuka kesempatan yang luas untuk merampas segala aset yang diduga merupakan hasil pidana (proced of criminal) dan aset-aset lain yang patut diduga akan digunakan atau telah digunakan sebagai sarana untuk melakukan tindak pidana. Di dalam mekanisme gugatan perdata disini yang diutamakan ialah objeknya bukan personalnya, dimana Jaksa Pengacara Negara selaku penggugat hanya ingin mengembalikan aset yang yang terdapat di ahli waris dari Alm. Yusuf Setiawan yang merupakan hasil dari tindak pidana korupsi, bukan untuk memberikan efek jera seperti halnya dalam pidana. Penulisan hukum ini menggunakan metode deskriptif analisis, yang selanjutnya disusun secara kualitatif agar tersusun suatu materi pembahasan yang sistematis dan mudah dipahami atau dimengerti. Pendahuluan Korupsi di Indonesia sudah sampai pada titik nadir. Korupsi negeri ini begitu parah, mengakar, bahkan sudah membudaya. Praktik korupsi terjadir hampir di semua lapisan birokrasi, baik legislatif, eksekutif, maupun yudikatif, serta telah pula menjalar ke dunia usaha. Ibarat penyakit, korupsi merupakan penyakit yang sudah kronis, sehingga sangat sulit untuk

Tindak Pidana Korupsi Melalui Gugatan Perdata

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Salah satu upaya pemerintah dalam menangani aset yang belum terampas oleh pemerintah

Citation preview

  • 1

    PROSES PERAMPASAN ASET HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI MELALUI GUGATAN PERDATA (CIVIL PROCEDURE) BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 YANG TELAH DI UBAH DENGAN UNDANG-UNDANG

    NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI

    Oleh Agung Eka Putra

    Abstrak

    Korupsi di Indonesia sudah sampai pada titik nadir. Korupsi negeri ini begitu parah, mengakar, bahkan sudah membudaya. Praktik korupsi terjadir hampir di semua lapisan birokrasi, baik legislatif, eksekutif, maupun yudikatif, serta telah pula menjalar ke dunia usaha. Salah satu upaya yang dapat menghidarkan keterpurukan Indonesia akibat korupsi tersebut adalah dengan cara pengembalian aset tindak pidana korupsi. Maka dari itu pemerintah Indonesia telah melakukan beberapa upaya untuk melakukan pemulihan agar terbebas dari keterpurukan akan beberapa masalah akibat dari tindak pidana korupsi. Beberapa upaya tersebut adalah dengan meratifikasi United Nations Convention Againts Corrupton (UNCAC), dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan Konvesi Perserikatan Bangsa-bangsa Anti Korupsi. Dalam mekanisme ini, adanya pelaku kejahatan yang dinyatakan secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan kejahatan berdasarkan suatu putusan pengadilan bukan merupakan suatu prasyarat yang harus dipenuhi guna dilakukannya perampasan aset (sarana/hasil tindak pidananya). Dengan mekanisme ini terbuka kesempatan yang luas untuk merampas segala aset yang diduga merupakan hasil pidana (proced of criminal) dan aset-aset lain yang patut diduga akan digunakan atau telah digunakan sebagai sarana untuk melakukan tindak pidana. Di dalam mekanisme gugatan perdata disini yang diutamakan ialah objeknya bukan personalnya, dimana Jaksa Pengacara Negara selaku penggugat hanya ingin mengembalikan aset yang yang terdapat di ahli waris dari Alm. Yusuf Setiawan yang merupakan hasil dari tindak pidana korupsi, bukan untuk memberikan efek jera seperti halnya dalam pidana. Penulisan hukum ini menggunakan metode deskriptif analisis, yang selanjutnya disusun secara kualitatif agar tersusun suatu materi pembahasan yang sistematis dan mudah dipahami atau dimengerti.

    Pendahuluan

    Korupsi di Indonesia sudah

    sampai pada titik nadir. Korupsi negeri

    ini begitu parah, mengakar, bahkan

    sudah membudaya. Praktik korupsi

    terjadir hampir di semua lapisan

    birokrasi, baik legislatif, eksekutif,

    maupun yudikatif, serta telah pula

    menjalar ke dunia usaha. Ibarat penyakit,

    korupsi merupakan penyakit yang sudah

    kronis, sehingga sangat sulit untuk

  • 2

    mengobatinya.1 Korupsi tidak saja akan

    menggerus struktur kenegaraan secara

    perlahan, akan tetapi menghancurkan

    segenap sendi-sendi penting yang

    terdapat dalam negara.2

    Gambaran terjadinya praktik

    korupsi di Indonesia setidaknya tercemin

    dalam indeks persepsi korupsi yang

    dikeluarkan beberapa lembaga survei,

    diantaranya Indeks Persepsi Korupsi

    (Corruption Perception Index) yang di

    keluarkan oleh Transparacy

    International dan Politically and

    Economic Risk Consultancy (PERC).

    Survei yang dilakukan oleh

    Transparancy International menunjukan

    skor Indonesia sangat rendah dan tidak

    mengalami kenaikan signifikan sampai

    dengan tahun 2010.3 PERC bahkan

    menempatkan Indonesia sebagai negara

    terkorup di Asia Pasific pada tahun 2009

    dan 2010.

    Korupsi di tempatkan sebagai

    salah satu kejahatan terorganisir dan

    1 M. Akil Mochtar, Memberantas Korupsi,

    Efektifitas Sistem Pembalikan Beban Pembuktian dalam Gratifikasi, (Jakarta: Q-Communication, 2006), hlm. 103.

    2 Mansyur Semma, Negara dan Korupsi; Pemikiran Mochtar Lubis Atas Negara, Manusia Indonesia, dan perilaku Politik, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008), hlm. 203.

    3 Indeks persepi korupsi Indonesia per tahun berdasarkan data Transparancy International sebagai berikut: 2005: 2,2; 2006: 2,4; 2007: 2,3; 2008: 2,6; 2009: 2,8; 2010: 2,8.

    bersifat transnasional berdasarkan

    United Nations Convention Againts

    Transnational Oraganized Crime

    (UNTOC) atau Konvensi Kejahatan

    Transnasional Terorganisasi pada tahun

    2000, dengan pertimbangan sebagai

    berikut:4

    1. Modus operandi korupsi telah

    menyatu dengan sistem birokrasi

    hampir di semua negara termasuk

    dan tidak terbatas pada negara-

    negara di Asia dan Afrika, dan

    dilakukan secara besar-besaran oleh

    sebagian terbesar pejabat tinggi

    bahkan seorang Presiden seperti di

    Filipina, Nigeria, dan beberapa

    negara Afrika lainnya; kasus terbaru

    menyangkut mantan Perdana Menteri

    Thaksin di Thailand.

    2. Korupsi telah terbukti melemahkan

    sistem pemerintahan dari dalam alias

    virus berbahaya dan penyebab proses

    pembusukan dalam kinerja

    pemerintahan serta melemahkan

    demokrasi.

    3. Sangatlah sulit pemberantasan

    korupsi diperangi di dalam sistem

    birokrasi yang juga koruptif sehingga

    memerlukan instrument hukum yang

    4 Muhammad Yusuf, Merampas Aset

    Koruptor, (Jakarta : Kompas Media Nusantara, 2013), hlm. 2.

  • 3

    luar biasa untuk mencegah dan

    memberantasnya.

    Korupsi tidak lagi merupakan

    masalah dalam negeri atau masalah

    nasional suatu negara, melainkan sudah

    merupakan masalah antar negara atau

    hubungan antara dua negara atau lebih

    sehingga memerlukan kerja sama aktif.

    antar negara-negara yang

    berkepentingan atau dirugikan karena

    korupsi. Hal ini disebabkan sangat

    banyak bukti bahwa asset hasil korupsi

    di tempatkan di negara yang di anggap

    aman oleh pelakunya seperti: kepulauan

    Caymand, Swiss, Austria, dan beberapa

    negara di Asia dan Afrika. Kecanggihan

    modus operandi korupsi dan

    perlindungan aset hasil korupsi yang di

    dukung oleh teknologi informasi modern

    telah diakui sangat menyulitkan

    pemberantasan korupsi hampir di semua

    negara terutama dalam proses

    pembuktiannya.

    Tinjauan Umum Tentang Gugatan

    Perdata Dan Perampasan Aset Tindak

    Pidana Korupsi Melalui Gugatan Perdata

    Gugatan dapat disimpulkan

    sebagai suatu tuntutan hak, dari setiap

    orang atau pihak (kelompok) atau badan

    hukum yang merasa hak dan

    kepentingannya dirugikan dan

    menimbulkan perselisihan, yang

    ditujukan kepada orang lain atau pihak

    lain yang menimbulkan kerugian itu

    melalui pengadilan, yang objek

    pembahasan ini adalah pengadilan

    negeri.5 Tidak lain adalah suatu tindakan

    yang bertujuan memperoleh

    perlindungan hukum yang diberikan oleh

    pengadilan untuk mencegah tindakan

    main hakim sendiri. Oleh karena itu,

    sebagai syarat mutlak untuk menggugat

    ke pengadilan haruslah atas dasar adanya

    perselsihan atau sengketa. Tidak ada

    perselisahan tentu tidak akan ada

    gugatan.

    Perkara perdata yang tidak dapat

    diselesaikan secara kekeluargaan

    (damai), tidak boleh diselesaikan dengan

    cara main hakim sendiri tetapi harus

    diselesaikan dengan cara melalui

    pengadilan. Pihak yang merasa di

    rugikan hak perdatanya dapat

    mengajukan perkaranya ke pengadilan

    untuk memperoleh penyelesaian

    sebagaimana mestinya, yakni dengan

    menyampaikan gugatan terhadap pihak

    yang dirasa merugikan.

    5 Sophar maru hutagalung, praktik peradilan

    perdata dan alternatif penyelesaian sengketa, (Jakarta: PT. Kompas Media Indonesia, 2013), hlm 4

  • 4

    Perkara perdata di bagi lagi ke

    dalam dua bagian yaitu, perkara

    contentiosa dan perkara volluntaira.

    Perkara contentiosa (gugatan) adalah

    perkara yang di dalamnya terdapat

    sengketa 2 pihak atau lebih yang sering

    disebut dengan gugatan perdata. Artinya

    ada konflik yang harus diselesaikan dan

    harus ada putusan pengadilan, apakah

    berakhir dengan kalah atau damai,

    tergantung pada proses hukum.

    Sedangkan volluntaira adalah

    permohonan.

    Adapun perbedaan dari gugatan

    dan permohonan yakni dimana dalam

    perkara gugatan ada sengketa, suatu

    konflik yang harus diselesaikan dan

    harus diputus oleh pengadilan,

    sedangkan dalam permohonan tidak ada

    sengketa atau perselisihan, misalnya

    segenap ahli waris secara bersama-sama

    menghadap ke pengadilan untuk

    mendapat suatu penetapan perihal bagian

    masing-masing dari warisan almarhum.

    Atau permohonan untuk mengganti

    nama dari Liem Sio Liong menjadi

    Sudono Salim, atau permohonan

    pengangkatan seorang anak, wali,

    pengapu, perbaikan akta catatan sipil,

    dalam suatu gugatan ada dua atau lebih

    pihak yaitu penggugat dan tergugat yang

    merasa haknya atau hak mereka

    dilanggar, sedangkan dalam permohonan

    hanya ada satu pihak yaitu pihak

    pemohon, hasil suatu gugatan adalah

    putusan (vonis) sedangkan hasil suatu

    permohonan adalah penetapan

    (beschikking).

    Menurut RUU acara perdata pada

    Psl 1 angka 2, gugatan adalah tuntutan

    hak yang mengandung sengketa dan

    diajukan ke pengadilan untuk

    mendapatkan putusan.6

    Sudikno Mertokusumo, tuntutan

    hak adalah tindakan yang bertujuan

    memperoleh perlindungan yang

    diberikan oleh pengadilan untuk

    mencegah main hakim sendiri

    (eigenrichting).

    Darwan Prinst, gugatan adalah

    suatu permohonan yang disampaikan

    kepada Ketua Pengadilan Negeri yang

    berwenang mengenai suatu tuntutan

    terhadap pihak lainnya dan harus

    diperiksa menurut tata cara tertentu oleh

    pengadilan serta kemudian diambil

    putusan terhadap gugatan tersebut.7

    Dari pengertian yang telah di

    paparkan di atas maka gugatan pun dapat

    6 RUU Acara Perdata: psl 1 angka 2 7 Anonim, tersedia di

    http://tiarramon.wordpress.com/2010/06/04/bab-ii-perihal-gugatan/, di unduh pada tanggal 31 Juli 2013.

  • 5

    di bagi ke dalam beberapa sub bagian

    seperti, jenis jenis gugatan, bentuk

    gugatan, syarat dan isi gugatan, dan teori

    gugatan.

    Didalam pengajuan gugatan

    secara tertulis pada tahap pertama

    gugatan tertulis tersebut doserahkan

    pada panitera muda yang akan di

    sampaikan pada ketua pengadilan, tahap

    kedua setelah memberikan gugatan

    tertulis kepada panitera muda penggugat

    atau kuasanya menuju pada ruang ahli

    taksir dalam menentukan biaya perkara.

    Proses Perampasan Aset Tindak Pidana

    Korupsi Melalui Gugatan Perdata (Civil

    Procedure)

    Melihat pada kenyataan terhadap

    apa yang telah ditimbulkan oleh tindak

    pidana korupsi maka diperlukannya

    upaya-upaya luar biasa dalam hal

    penanggulangan dan pemberantasan

    tindak pidana korupsi. Salah satu upaya

    yang dapat menghidarkan keterpurukan

    Indonesia akibat korupsi tersebut adalah

    dengan cara pengembalian aset tindak

    pidana korupsi. Maka dari itu

    pemerintah Indonesia telah melakukan

    beberapa upaya untuk melakukan

    pemulihan agar terbebas dari

    keterpurukan akan beberapa masalah

    akibat dari tindak pidana korupsi.

    Beberapa upaya tersebut adalah dengan

    meratifikasi United Nations Convention

    Againts Corrupton (UNCAC),8 dalam

    Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006

    tentang Pengesahan Konvesi

    Perserikatan Bangsa-bangsa Anti

    Korupsi pada tanggal 18 April 2006.

    Pada UNCAC 2003, perampasan

    aset tindak pidan pidana korupsi dapat

    dilakukan melalui jalur pidana atau

    perdata. Proses perampasan aset

    kekayaan melalui jalur pidana ada 4

    tahap yaitu : pertama, pelacakan aset

    dengan tujuan mengidentifikasi, bukti

    kepemilikian, lokasi penyimpanan harta

    yang berhubungan dengan delik yang

    dilakukan. Kedua, pembekuan atau

    perampasan aset sesuai dengan Bab I

    Pasal 2 huruf (f) UNCAC 2003 dimana

    dilarang sementara mentransfer,

    mengkonvensi, mendisposisi, atau

    memindahkan kekayaan atau untuk

    sementara menanggung beban dan

    tanggungjawab untuk mengurus dan

    memelihara serta mengawasi kekayaan

    berdasarkan penetapan pengadilan atau

    penetepan dari otoritas lain yang

    berkompeten. Ketiga, penyitaan aset

    8 Muhammad Yusuf, op.cit, hal 10

  • 6

    sesuai Bab I Pasal 2 huruf (g) UNCAC

    2003 diartikan sebagai pencabutan

    kekayaan untuk selamanya berdasarkan

    penetapan pengadilan atau penetapan

    dari otoritas lain yang berkompeten.

    Keempat, pengembalian dan penyerahan

    aset kepada negara. Selanjutnya, pada

    UNCAC 2003 maka perampasan harta

    pelaku tindak pidana korupsi melalui

    pengambilan secara langsung melalui

    proses pengadilan yang dilandaskan

    kepada sistem negatiation plea atau

    plea barganin system, dan melalui

    pengembalian aset secara tidak langsung

    yaitu melalui proses penyitaan

    berdasarkan putusan pengadilan (Pasal

    53 UNCAC 2003).

    Pengembalian aset hasil tindak

    pidana melalui mekanisme gugatan

    terhadap aset yang berasal dari tindak

    pidana atau instrumen kejahatan yang

    menekankan perampsan aset hasil tindak

    pidana atau dikenal dengan Non-

    Conviction Based Asset Forfeiture

    (NCB) atau Civil Forfeiture. Dalam

    mekanisme ini, adanya pelaku kejahatan

    yang dinyatakan secara sah dan

    menyakinkan bersalah melakukan

    kejahatan berdasarkan suatu putusan

    pengadilan bukan merupakan suatu

    prasyarat yang harus dipenuhi guna

    dilakukannya perampasan aset

    (sarana/hasil tindak pidananya).9

    Dengan mekanisme ini terbuka

    kesempatan yang luas untuk merampas

    segala aset yang diduga merupakan hasil

    pidana (proced of criminal) dan aset-aset

    lain yang patut diduga akan digunakan

    atau telah digunakan sebagai sarana

    untuk melakukan tindak pidana.

    Mekanisme baru ini juga dapat

    digunakan sebagai alternatif untuk

    memperoleh kompensasi atau uang

    pengganti atas adanya kerugian negara.10

    Di samping itu, kendala-kendala

    yang timbul dalam upaya pengembalian

    aset melalui mekanisme pidana dapat

    teratasi. Walaupun pelakunya sakit atau

    tidak diketemukan atau meninggal

    dunia, perampasan aset tetap dapat

    dilakukan secara fair kerana tetap

    melalui suatu sidang pengadilan. Dengan

    mekanisme baru ini, sistem pembalikan

    beban pembuktian dapat ditempatkan

    secara tepat sesuai standar internasional

    yang menggariskan, bahwa sistem

    pembalikan beban tidak patut diterapkan

    dalam peradilan pidana dimana

    kegagalan dalam pembuktian menurut

    9 Ibid. 10 Berdasarkan data dari Bidang Pidana

    Khusus Kejaksaan RI tahun 2010.

  • 7

    sistem tersebut dijadikan sebagai dasar

    untuk menghukum atau mempidana

    seseorang secara fisik.

    Analisis Kasus Perampasan Aset Tindak

    Pidana Korupsi Melalui Gugatan Perdata

    (Civil Procedure)

    Perkara tindak pidana korupsi

    terkait penyimpangan penggunaan dana

    APBD Provinsi Jawa Barat Tahun

    Anggaran 2003 dan 2004. Bahwa

    perkara tindak pidana atas nama

    Tergugat alm. Yusuf Setiawan yang

    telah disidangkan /diperiksa pokok

    perkaranya berdasarkan Surat Dakwaan

    Nomor: Dak-06/24/II/2009 tanggal 19

    Februari 2009 dan terdaftar pada

    Pengadilan Negeri Tindak Pidana

    Korupsi dengan register perkara Nomor:

    06/PID.B/TPK/2009/PN.JKT.PST

    merupakan bagian yang tidak dapat

    terpisahkan dari perkara tindak pidana

    korupsi atas nama Drs. Dany

    Setiawan.M.Si, dkk yang telah

    berkekuatan hukum tetap berdasarkan

    putusan pengadilan tindak pidana

    korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta

    Pusat Nomor:

    05/PID.B/TPK/2009/PN.JKt.PST

    tanggal 30 Juni 2009 yang salah satu

    amarnya berbunyi: Menyatakan

    terdakwa I Drs. H. Dani Setiawan, M.Si,

    terdakwa II Drs. Wahyu Kurnia, MBA

    dan terdakwa III Drs. H. Ijuddin

    Budhyana, M.Si terbukti secara sah dan

    meyakinkan bersalah melakukan tindak

    pidana korupsi secara bersama-sama

    sebagai perbuatan perbarengan.

    Penggugat mengajukan Gugatan a

    quo berdasarkan Pasal 34 Undang-

    Undang Nomor 31 tahun 1999

    sebagaimana telah diubah dengan

    Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001

    tentang Pemberantasan Tindak Pidana

    Korupsi yang menyatakan : dalam hal

    terdakwa meninggal dunia pada saat

    dilakukan pemeriksaan di sidang

    Pengadilan, sedangkan secara nyata telah

    ada kerugian keuangan negara, maka

    Penuntut Umum segera menyerahkan

    salinan berkas berita acara sidang tersebut

    kepada Jaksa Pengacara Negara atau

    diserahkan kepada instansi yang

    dirugikan untuk dilakukan gugatan

    perdata terhadap ahli warisnya .

    Dalam perkara tindak pidana

    Korupsi pada Pengadilan Tindak Pidana

    Korupsi dengan register perkara Nomor :

    06/Pid.B/TPK/2009/PN.JKT.PST yang

    menjadi subyek hukumnya adalah

    Terdakwa Alm. Yusuf Setiawan.

  • 8

    Menimbang, bahwa yang dapat

    menjadi subyek hukum dalam Undang-

    Undang Nomor 31 Tahun 1999

    sebagaimana telah diubah dengan

    Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001

    Pasal 1 ayat 3 adalah orang perseorangan

    atau termasuk Korporasi baik yang

    berbentuk badan hukum atau tidak

    berbadan hukum.

    Bahwa berdasarkan uraian di atas

    jelaslah bahwa yang menjadi subyek

    hukum dalam perkara tindak pidana

    korupsi adalah alm. Yusuf Setiawan

    sebagai orang dan bukan sebagai badan

    hukum yang didakwa sebagai turut

    melakukan bersama-sama melakukan

    tindak pidana korupsi.

    Bahwa Alm Yusuf Setiawan telah

    diajukan kemuka Persidangan Pengadilan

    Tindak Pidana Korupsi dengan Register

    Nomor :

    06/Pid.B/TPK/2009.PN.JKT.PST dalam

    penuntutan telah meninggal dunia

    sebelum perkaranya diputus, sehingga

    dengan sendirinya demi hukum

    berdasarkan Pasal 77 KUHP Majelis

    Hakim Pengadian Tindak Pidana Korupsi

    pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat

    menyatakan penuntutan atas diri

    Terdakwa Alm Yusuf Setiawan gugur,

    dengan meninggalnya Alm Yusuf

    Setiawan maka Jaksa Pengacara Negara

    (in Casu Penggugat) berdasarkan Pasal 34

    Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999

    sebagaimana telah diubah dengan

    Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001

    tentang Pemberantasan Tindak pidana

    Korupsi telah mengajukan Gugatan

    terhadap ahli warisnya.

    Berdasarkan azas hukum lex

    specialis derogate legi generalis artinya

    azas hukum yang menyatakan peraturan

    perundang-undangan atau undang-

    undang yang bersifat khusus

    mengenyampingkan peraturan atau

    undang-undang yang umum tersebut,

    maka Majelis berpendapat penerapan

    Pasal 34 Undang- Undang Nomor : 31

    Tahun 1999 sebagaimana telah diubah

    dengan Undang-Undang Nomor : 20

    Tahun 2001 tentang Tindak Pidana

    Korupsi yang dijadikan dasar Penggugat

    untuk melakukan gugatan a quo. bahwa

    dalam kedudukannya Kitab Undang-

    Undang Hukum Pidana adalah Undang-

    Undang yang bersifat umum, sedangkan

    Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999

    sebagaimana telah diubah dengan

    Undang-Undang Nomor : 20 Tahun

    2001 tentang tindak pidana Korupsi

    adalah bersifat khusus, maka dengan

  • 9

    kata lain hak menunut keperdataan tidak

    dapat gugur dengan sendirinya.

    Persoalan hukum selanjutnya

    adalah apakah dengan adanya perbuatan

    Alm. Yusuf Setiawan tersebut secara

    nyata telah ada kerugian negara ?

    Pasal 32 Undang-Undang Nomor

    : 31 Tahun 1999 sebagaimana telah

    diubah dengan Undang-Undang Nomor :

    20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan

    Tindak Pidana Korupsi ayat (1)

    menyatakan Dalam hal penyidik

    menemukan dan berpendapat bahwa satu

    atau lebih unsur tindak pidana korupsi

    tidak terdapat cukup bukti, sedangkan

    secara nyata telah ada kerugian

    keuangan negara, maka penyidik segera

    menyerahkan berkas perkara hasil

    penyidikan tersebut kepada Jaksa

    Pengacara Negara untuk dilakukan

    gugatan perdata atau diserahkan kepada

    instansi yang dirugikan untuk

    mengajukan gugatan.

    Sedangkan ayat (2) menyatakan

    Putusan Bebas dalam perkara tindak

    pidana korupsi tidak menghapuskan hak

    menuntut kerugian terhadap keuangan

    negara .

    Selanjutnya apakah yang

    dimaksud dengan secara nyata telah

    ada kerugian keuangan negara menurut

    penjelasan Pasal 32 ayat (1) bahwa yang

    dimaksud dengan secara nyata telah ada

    kerugian negara adalah kerugian negara

    yang sudah dapat dihitung jumlahnya

    berdasarkan hasil temuan instansi yang

    berwenang atau akuntan yang ditunjuk,

    sedangkan yang dimaksud dengan

    akuntan yang ditunjuk dengan sendirinya

    adalah akuntan yang ditunjuk oleh

    Penyidik.

    Bahwa di dalam gugatanya

    penggugat telah secara nyata

    membuktikan ada kerugian negara yang

    sudah dapat dihitung jumlahnya

    berdasarkan hasil temuan instansi

    berwenang.

    Berdasarkan surat BPKP Nomor :

    SR-88/D6/1/2009 tanggal 29 Januari

    2009 perihal Laporan Hasil Perhitungan

    Kerugian Keuangan Negara/Daerah atas

    dugaan Tindak Pidana Korupsi

    pengadaan kendaraan mobil pemadam

    kebakaraan, truck sampah, stoomwalls,

    ambulance untuk Kabupaten/Kota oleh

    Pemerintah Provinsi Jawa Barat tahun

    2003 dan tahun 2004.

    Penutup

    Berdasarkan dengan Konvensi

    Internasional yang salah satu anggotanya

    adalah Indonesia yang mana membahas

  • 10

    mengenai pemberantasan tindak pidana

    korupsi yang akhirnya melahirkan

    United Nations Convention Againts

    Corrupton (UNCAC) 2003 yang mana

    Indonsesia sudah meratifikasinya

    kedalam Undang-Undang Nomor 7

    Tahun 2006, Pengembalian aset hasil

    tindak pidana melalui mekanisme

    gugatan terhadap aset yang berasal dari

    tindak pidana atau instrumen kejahatan

    yang menekankan perampsan aset hasil

    tindak pidana atau dikenal dengan Non-

    Conviction Based Asset Forfeiture

    (NCB) atau Civil Forfeiture. Dalam

    mekanisme ini, adanya pelaku kejahatan

    yang dinyatakan secara sah dan

    menyakinkan bersalah melakukan

    kejahatan berdasarkan suatu putusan

    pengadilan bukan merupakan suatu

    prasyarat yang harus dipenuhi guna

    dilakukannya perampasan aset

    (sarana/hasil tindak pidananya).

    Ketentuan perampasan aset tindak

    pidana korupsi melalui jalur gugatan

    perdata dalam UU PTPK merupakan

    jalan alternatif manakala perampasan

    aset tersebut melalui tuntutan pidana

    tidak dapat dilakukan karena alasan yang

    dibenarkan undang-undang, seperti

    tersangka atau terdakwa meninggal

    dunia mengingat meninggalnya seorang

    tersangka atau terdakwa menyebabkan

    hilangnya kewenangan menuntut

    sebagaimana dimaksud dalam pasal 77

    KUHP. Letak karakteristik gugatan

    perdata untuk tindak pidana korupsi

    ialah diajukan setelah upaya pidana tidak

    dimungkinkan lagi dilakukan, artinya

    pengembalian kerugian keuangan negara

    melalui perampasan, uang pengganti,

    tidak berhasil dilakukan. Gugatan

    perdata untuk tindak pidana korupsi

    dengan demikian mengandung

    karakteristik yang spesifik, yaitu

    dilakukan setelah upaya pidana tidak

    dimungkinkan lagi untuk diproses

    karena dihadapkan pada kondisi-kondisi

    tertentu sebagaimana dimaksud dalam

    Pasal 32, 33, 34, dan Pasal 38 C UU

    PTPK, meskipun telah terjadi kerugian

    negara.

  • 11

    DAFTAR PUSTAKA

    Hutagalung, Sophar maru. praktik peradilan perdata

    dan alternatif penyelesaian sengketa.

    Jakarta: PT. Kompas Media Indonesia,

    2013.

    Mochtar, M. Akil. Memberantas Korupsi, Efektifitas

    Sistem Pembalikan Beban Pembuktian

    dalam Gratifikasi. Jakarta: Q-

    Communication, 2006.

    Semma, Mansyur, Negara dan Korupsi; Pemikiran

    Mochtar Lubis Atas Negara, Manusia

    Indonesia, dan perilaku Politik. Jakarta:

    Yayasan Obor Indonesia, 2008.

    Yusuf, Muhammad. Merampas Aset Koruptor.

    Jakarta : Kompas Media Nusantara, 2013.