Upload
agung-eka-putra
View
85
Download
1
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Salah satu upaya pemerintah dalam menangani aset yang belum terampas oleh pemerintah
Citation preview
1
PROSES PERAMPASAN ASET HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI MELALUI GUGATAN PERDATA (CIVIL PROCEDURE) BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 YANG TELAH DI UBAH DENGAN UNDANG-UNDANG
NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI
Oleh Agung Eka Putra
Abstrak
Korupsi di Indonesia sudah sampai pada titik nadir. Korupsi negeri ini begitu parah, mengakar, bahkan sudah membudaya. Praktik korupsi terjadir hampir di semua lapisan birokrasi, baik legislatif, eksekutif, maupun yudikatif, serta telah pula menjalar ke dunia usaha. Salah satu upaya yang dapat menghidarkan keterpurukan Indonesia akibat korupsi tersebut adalah dengan cara pengembalian aset tindak pidana korupsi. Maka dari itu pemerintah Indonesia telah melakukan beberapa upaya untuk melakukan pemulihan agar terbebas dari keterpurukan akan beberapa masalah akibat dari tindak pidana korupsi. Beberapa upaya tersebut adalah dengan meratifikasi United Nations Convention Againts Corrupton (UNCAC), dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan Konvesi Perserikatan Bangsa-bangsa Anti Korupsi. Dalam mekanisme ini, adanya pelaku kejahatan yang dinyatakan secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan kejahatan berdasarkan suatu putusan pengadilan bukan merupakan suatu prasyarat yang harus dipenuhi guna dilakukannya perampasan aset (sarana/hasil tindak pidananya). Dengan mekanisme ini terbuka kesempatan yang luas untuk merampas segala aset yang diduga merupakan hasil pidana (proced of criminal) dan aset-aset lain yang patut diduga akan digunakan atau telah digunakan sebagai sarana untuk melakukan tindak pidana. Di dalam mekanisme gugatan perdata disini yang diutamakan ialah objeknya bukan personalnya, dimana Jaksa Pengacara Negara selaku penggugat hanya ingin mengembalikan aset yang yang terdapat di ahli waris dari Alm. Yusuf Setiawan yang merupakan hasil dari tindak pidana korupsi, bukan untuk memberikan efek jera seperti halnya dalam pidana. Penulisan hukum ini menggunakan metode deskriptif analisis, yang selanjutnya disusun secara kualitatif agar tersusun suatu materi pembahasan yang sistematis dan mudah dipahami atau dimengerti.
Pendahuluan
Korupsi di Indonesia sudah
sampai pada titik nadir. Korupsi negeri
ini begitu parah, mengakar, bahkan
sudah membudaya. Praktik korupsi
terjadir hampir di semua lapisan
birokrasi, baik legislatif, eksekutif,
maupun yudikatif, serta telah pula
menjalar ke dunia usaha. Ibarat penyakit,
korupsi merupakan penyakit yang sudah
kronis, sehingga sangat sulit untuk
2
mengobatinya.1 Korupsi tidak saja akan
menggerus struktur kenegaraan secara
perlahan, akan tetapi menghancurkan
segenap sendi-sendi penting yang
terdapat dalam negara.2
Gambaran terjadinya praktik
korupsi di Indonesia setidaknya tercemin
dalam indeks persepsi korupsi yang
dikeluarkan beberapa lembaga survei,
diantaranya Indeks Persepsi Korupsi
(Corruption Perception Index) yang di
keluarkan oleh Transparacy
International dan Politically and
Economic Risk Consultancy (PERC).
Survei yang dilakukan oleh
Transparancy International menunjukan
skor Indonesia sangat rendah dan tidak
mengalami kenaikan signifikan sampai
dengan tahun 2010.3 PERC bahkan
menempatkan Indonesia sebagai negara
terkorup di Asia Pasific pada tahun 2009
dan 2010.
Korupsi di tempatkan sebagai
salah satu kejahatan terorganisir dan
1 M. Akil Mochtar, Memberantas Korupsi,
Efektifitas Sistem Pembalikan Beban Pembuktian dalam Gratifikasi, (Jakarta: Q-Communication, 2006), hlm. 103.
2 Mansyur Semma, Negara dan Korupsi; Pemikiran Mochtar Lubis Atas Negara, Manusia Indonesia, dan perilaku Politik, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008), hlm. 203.
3 Indeks persepi korupsi Indonesia per tahun berdasarkan data Transparancy International sebagai berikut: 2005: 2,2; 2006: 2,4; 2007: 2,3; 2008: 2,6; 2009: 2,8; 2010: 2,8.
bersifat transnasional berdasarkan
United Nations Convention Againts
Transnational Oraganized Crime
(UNTOC) atau Konvensi Kejahatan
Transnasional Terorganisasi pada tahun
2000, dengan pertimbangan sebagai
berikut:4
1. Modus operandi korupsi telah
menyatu dengan sistem birokrasi
hampir di semua negara termasuk
dan tidak terbatas pada negara-
negara di Asia dan Afrika, dan
dilakukan secara besar-besaran oleh
sebagian terbesar pejabat tinggi
bahkan seorang Presiden seperti di
Filipina, Nigeria, dan beberapa
negara Afrika lainnya; kasus terbaru
menyangkut mantan Perdana Menteri
Thaksin di Thailand.
2. Korupsi telah terbukti melemahkan
sistem pemerintahan dari dalam alias
virus berbahaya dan penyebab proses
pembusukan dalam kinerja
pemerintahan serta melemahkan
demokrasi.
3. Sangatlah sulit pemberantasan
korupsi diperangi di dalam sistem
birokrasi yang juga koruptif sehingga
memerlukan instrument hukum yang
4 Muhammad Yusuf, Merampas Aset
Koruptor, (Jakarta : Kompas Media Nusantara, 2013), hlm. 2.
3
luar biasa untuk mencegah dan
memberantasnya.
Korupsi tidak lagi merupakan
masalah dalam negeri atau masalah
nasional suatu negara, melainkan sudah
merupakan masalah antar negara atau
hubungan antara dua negara atau lebih
sehingga memerlukan kerja sama aktif.
antar negara-negara yang
berkepentingan atau dirugikan karena
korupsi. Hal ini disebabkan sangat
banyak bukti bahwa asset hasil korupsi
di tempatkan di negara yang di anggap
aman oleh pelakunya seperti: kepulauan
Caymand, Swiss, Austria, dan beberapa
negara di Asia dan Afrika. Kecanggihan
modus operandi korupsi dan
perlindungan aset hasil korupsi yang di
dukung oleh teknologi informasi modern
telah diakui sangat menyulitkan
pemberantasan korupsi hampir di semua
negara terutama dalam proses
pembuktiannya.
Tinjauan Umum Tentang Gugatan
Perdata Dan Perampasan Aset Tindak
Pidana Korupsi Melalui Gugatan Perdata
Gugatan dapat disimpulkan
sebagai suatu tuntutan hak, dari setiap
orang atau pihak (kelompok) atau badan
hukum yang merasa hak dan
kepentingannya dirugikan dan
menimbulkan perselisihan, yang
ditujukan kepada orang lain atau pihak
lain yang menimbulkan kerugian itu
melalui pengadilan, yang objek
pembahasan ini adalah pengadilan
negeri.5 Tidak lain adalah suatu tindakan
yang bertujuan memperoleh
perlindungan hukum yang diberikan oleh
pengadilan untuk mencegah tindakan
main hakim sendiri. Oleh karena itu,
sebagai syarat mutlak untuk menggugat
ke pengadilan haruslah atas dasar adanya
perselsihan atau sengketa. Tidak ada
perselisahan tentu tidak akan ada
gugatan.
Perkara perdata yang tidak dapat
diselesaikan secara kekeluargaan
(damai), tidak boleh diselesaikan dengan
cara main hakim sendiri tetapi harus
diselesaikan dengan cara melalui
pengadilan. Pihak yang merasa di
rugikan hak perdatanya dapat
mengajukan perkaranya ke pengadilan
untuk memperoleh penyelesaian
sebagaimana mestinya, yakni dengan
menyampaikan gugatan terhadap pihak
yang dirasa merugikan.
5 Sophar maru hutagalung, praktik peradilan
perdata dan alternatif penyelesaian sengketa, (Jakarta: PT. Kompas Media Indonesia, 2013), hlm 4
4
Perkara perdata di bagi lagi ke
dalam dua bagian yaitu, perkara
contentiosa dan perkara volluntaira.
Perkara contentiosa (gugatan) adalah
perkara yang di dalamnya terdapat
sengketa 2 pihak atau lebih yang sering
disebut dengan gugatan perdata. Artinya
ada konflik yang harus diselesaikan dan
harus ada putusan pengadilan, apakah
berakhir dengan kalah atau damai,
tergantung pada proses hukum.
Sedangkan volluntaira adalah
permohonan.
Adapun perbedaan dari gugatan
dan permohonan yakni dimana dalam
perkara gugatan ada sengketa, suatu
konflik yang harus diselesaikan dan
harus diputus oleh pengadilan,
sedangkan dalam permohonan tidak ada
sengketa atau perselisihan, misalnya
segenap ahli waris secara bersama-sama
menghadap ke pengadilan untuk
mendapat suatu penetapan perihal bagian
masing-masing dari warisan almarhum.
Atau permohonan untuk mengganti
nama dari Liem Sio Liong menjadi
Sudono Salim, atau permohonan
pengangkatan seorang anak, wali,
pengapu, perbaikan akta catatan sipil,
dalam suatu gugatan ada dua atau lebih
pihak yaitu penggugat dan tergugat yang
merasa haknya atau hak mereka
dilanggar, sedangkan dalam permohonan
hanya ada satu pihak yaitu pihak
pemohon, hasil suatu gugatan adalah
putusan (vonis) sedangkan hasil suatu
permohonan adalah penetapan
(beschikking).
Menurut RUU acara perdata pada
Psl 1 angka 2, gugatan adalah tuntutan
hak yang mengandung sengketa dan
diajukan ke pengadilan untuk
mendapatkan putusan.6
Sudikno Mertokusumo, tuntutan
hak adalah tindakan yang bertujuan
memperoleh perlindungan yang
diberikan oleh pengadilan untuk
mencegah main hakim sendiri
(eigenrichting).
Darwan Prinst, gugatan adalah
suatu permohonan yang disampaikan
kepada Ketua Pengadilan Negeri yang
berwenang mengenai suatu tuntutan
terhadap pihak lainnya dan harus
diperiksa menurut tata cara tertentu oleh
pengadilan serta kemudian diambil
putusan terhadap gugatan tersebut.7
Dari pengertian yang telah di
paparkan di atas maka gugatan pun dapat
6 RUU Acara Perdata: psl 1 angka 2 7 Anonim, tersedia di
http://tiarramon.wordpress.com/2010/06/04/bab-ii-perihal-gugatan/, di unduh pada tanggal 31 Juli 2013.
5
di bagi ke dalam beberapa sub bagian
seperti, jenis jenis gugatan, bentuk
gugatan, syarat dan isi gugatan, dan teori
gugatan.
Didalam pengajuan gugatan
secara tertulis pada tahap pertama
gugatan tertulis tersebut doserahkan
pada panitera muda yang akan di
sampaikan pada ketua pengadilan, tahap
kedua setelah memberikan gugatan
tertulis kepada panitera muda penggugat
atau kuasanya menuju pada ruang ahli
taksir dalam menentukan biaya perkara.
Proses Perampasan Aset Tindak Pidana
Korupsi Melalui Gugatan Perdata (Civil
Procedure)
Melihat pada kenyataan terhadap
apa yang telah ditimbulkan oleh tindak
pidana korupsi maka diperlukannya
upaya-upaya luar biasa dalam hal
penanggulangan dan pemberantasan
tindak pidana korupsi. Salah satu upaya
yang dapat menghidarkan keterpurukan
Indonesia akibat korupsi tersebut adalah
dengan cara pengembalian aset tindak
pidana korupsi. Maka dari itu
pemerintah Indonesia telah melakukan
beberapa upaya untuk melakukan
pemulihan agar terbebas dari
keterpurukan akan beberapa masalah
akibat dari tindak pidana korupsi.
Beberapa upaya tersebut adalah dengan
meratifikasi United Nations Convention
Againts Corrupton (UNCAC),8 dalam
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006
tentang Pengesahan Konvesi
Perserikatan Bangsa-bangsa Anti
Korupsi pada tanggal 18 April 2006.
Pada UNCAC 2003, perampasan
aset tindak pidan pidana korupsi dapat
dilakukan melalui jalur pidana atau
perdata. Proses perampasan aset
kekayaan melalui jalur pidana ada 4
tahap yaitu : pertama, pelacakan aset
dengan tujuan mengidentifikasi, bukti
kepemilikian, lokasi penyimpanan harta
yang berhubungan dengan delik yang
dilakukan. Kedua, pembekuan atau
perampasan aset sesuai dengan Bab I
Pasal 2 huruf (f) UNCAC 2003 dimana
dilarang sementara mentransfer,
mengkonvensi, mendisposisi, atau
memindahkan kekayaan atau untuk
sementara menanggung beban dan
tanggungjawab untuk mengurus dan
memelihara serta mengawasi kekayaan
berdasarkan penetapan pengadilan atau
penetepan dari otoritas lain yang
berkompeten. Ketiga, penyitaan aset
8 Muhammad Yusuf, op.cit, hal 10
6
sesuai Bab I Pasal 2 huruf (g) UNCAC
2003 diartikan sebagai pencabutan
kekayaan untuk selamanya berdasarkan
penetapan pengadilan atau penetapan
dari otoritas lain yang berkompeten.
Keempat, pengembalian dan penyerahan
aset kepada negara. Selanjutnya, pada
UNCAC 2003 maka perampasan harta
pelaku tindak pidana korupsi melalui
pengambilan secara langsung melalui
proses pengadilan yang dilandaskan
kepada sistem negatiation plea atau
plea barganin system, dan melalui
pengembalian aset secara tidak langsung
yaitu melalui proses penyitaan
berdasarkan putusan pengadilan (Pasal
53 UNCAC 2003).
Pengembalian aset hasil tindak
pidana melalui mekanisme gugatan
terhadap aset yang berasal dari tindak
pidana atau instrumen kejahatan yang
menekankan perampsan aset hasil tindak
pidana atau dikenal dengan Non-
Conviction Based Asset Forfeiture
(NCB) atau Civil Forfeiture. Dalam
mekanisme ini, adanya pelaku kejahatan
yang dinyatakan secara sah dan
menyakinkan bersalah melakukan
kejahatan berdasarkan suatu putusan
pengadilan bukan merupakan suatu
prasyarat yang harus dipenuhi guna
dilakukannya perampasan aset
(sarana/hasil tindak pidananya).9
Dengan mekanisme ini terbuka
kesempatan yang luas untuk merampas
segala aset yang diduga merupakan hasil
pidana (proced of criminal) dan aset-aset
lain yang patut diduga akan digunakan
atau telah digunakan sebagai sarana
untuk melakukan tindak pidana.
Mekanisme baru ini juga dapat
digunakan sebagai alternatif untuk
memperoleh kompensasi atau uang
pengganti atas adanya kerugian negara.10
Di samping itu, kendala-kendala
yang timbul dalam upaya pengembalian
aset melalui mekanisme pidana dapat
teratasi. Walaupun pelakunya sakit atau
tidak diketemukan atau meninggal
dunia, perampasan aset tetap dapat
dilakukan secara fair kerana tetap
melalui suatu sidang pengadilan. Dengan
mekanisme baru ini, sistem pembalikan
beban pembuktian dapat ditempatkan
secara tepat sesuai standar internasional
yang menggariskan, bahwa sistem
pembalikan beban tidak patut diterapkan
dalam peradilan pidana dimana
kegagalan dalam pembuktian menurut
9 Ibid. 10 Berdasarkan data dari Bidang Pidana
Khusus Kejaksaan RI tahun 2010.
7
sistem tersebut dijadikan sebagai dasar
untuk menghukum atau mempidana
seseorang secara fisik.
Analisis Kasus Perampasan Aset Tindak
Pidana Korupsi Melalui Gugatan Perdata
(Civil Procedure)
Perkara tindak pidana korupsi
terkait penyimpangan penggunaan dana
APBD Provinsi Jawa Barat Tahun
Anggaran 2003 dan 2004. Bahwa
perkara tindak pidana atas nama
Tergugat alm. Yusuf Setiawan yang
telah disidangkan /diperiksa pokok
perkaranya berdasarkan Surat Dakwaan
Nomor: Dak-06/24/II/2009 tanggal 19
Februari 2009 dan terdaftar pada
Pengadilan Negeri Tindak Pidana
Korupsi dengan register perkara Nomor:
06/PID.B/TPK/2009/PN.JKT.PST
merupakan bagian yang tidak dapat
terpisahkan dari perkara tindak pidana
korupsi atas nama Drs. Dany
Setiawan.M.Si, dkk yang telah
berkekuatan hukum tetap berdasarkan
putusan pengadilan tindak pidana
korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat Nomor:
05/PID.B/TPK/2009/PN.JKt.PST
tanggal 30 Juni 2009 yang salah satu
amarnya berbunyi: Menyatakan
terdakwa I Drs. H. Dani Setiawan, M.Si,
terdakwa II Drs. Wahyu Kurnia, MBA
dan terdakwa III Drs. H. Ijuddin
Budhyana, M.Si terbukti secara sah dan
meyakinkan bersalah melakukan tindak
pidana korupsi secara bersama-sama
sebagai perbuatan perbarengan.
Penggugat mengajukan Gugatan a
quo berdasarkan Pasal 34 Undang-
Undang Nomor 31 tahun 1999
sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi yang menyatakan : dalam hal
terdakwa meninggal dunia pada saat
dilakukan pemeriksaan di sidang
Pengadilan, sedangkan secara nyata telah
ada kerugian keuangan negara, maka
Penuntut Umum segera menyerahkan
salinan berkas berita acara sidang tersebut
kepada Jaksa Pengacara Negara atau
diserahkan kepada instansi yang
dirugikan untuk dilakukan gugatan
perdata terhadap ahli warisnya .
Dalam perkara tindak pidana
Korupsi pada Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi dengan register perkara Nomor :
06/Pid.B/TPK/2009/PN.JKT.PST yang
menjadi subyek hukumnya adalah
Terdakwa Alm. Yusuf Setiawan.
8
Menimbang, bahwa yang dapat
menjadi subyek hukum dalam Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999
sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001
Pasal 1 ayat 3 adalah orang perseorangan
atau termasuk Korporasi baik yang
berbentuk badan hukum atau tidak
berbadan hukum.
Bahwa berdasarkan uraian di atas
jelaslah bahwa yang menjadi subyek
hukum dalam perkara tindak pidana
korupsi adalah alm. Yusuf Setiawan
sebagai orang dan bukan sebagai badan
hukum yang didakwa sebagai turut
melakukan bersama-sama melakukan
tindak pidana korupsi.
Bahwa Alm Yusuf Setiawan telah
diajukan kemuka Persidangan Pengadilan
Tindak Pidana Korupsi dengan Register
Nomor :
06/Pid.B/TPK/2009.PN.JKT.PST dalam
penuntutan telah meninggal dunia
sebelum perkaranya diputus, sehingga
dengan sendirinya demi hukum
berdasarkan Pasal 77 KUHP Majelis
Hakim Pengadian Tindak Pidana Korupsi
pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
menyatakan penuntutan atas diri
Terdakwa Alm Yusuf Setiawan gugur,
dengan meninggalnya Alm Yusuf
Setiawan maka Jaksa Pengacara Negara
(in Casu Penggugat) berdasarkan Pasal 34
Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999
sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
tentang Pemberantasan Tindak pidana
Korupsi telah mengajukan Gugatan
terhadap ahli warisnya.
Berdasarkan azas hukum lex
specialis derogate legi generalis artinya
azas hukum yang menyatakan peraturan
perundang-undangan atau undang-
undang yang bersifat khusus
mengenyampingkan peraturan atau
undang-undang yang umum tersebut,
maka Majelis berpendapat penerapan
Pasal 34 Undang- Undang Nomor : 31
Tahun 1999 sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor : 20
Tahun 2001 tentang Tindak Pidana
Korupsi yang dijadikan dasar Penggugat
untuk melakukan gugatan a quo. bahwa
dalam kedudukannya Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana adalah Undang-
Undang yang bersifat umum, sedangkan
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor : 20 Tahun
2001 tentang tindak pidana Korupsi
adalah bersifat khusus, maka dengan
9
kata lain hak menunut keperdataan tidak
dapat gugur dengan sendirinya.
Persoalan hukum selanjutnya
adalah apakah dengan adanya perbuatan
Alm. Yusuf Setiawan tersebut secara
nyata telah ada kerugian negara ?
Pasal 32 Undang-Undang Nomor
: 31 Tahun 1999 sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor :
20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi ayat (1)
menyatakan Dalam hal penyidik
menemukan dan berpendapat bahwa satu
atau lebih unsur tindak pidana korupsi
tidak terdapat cukup bukti, sedangkan
secara nyata telah ada kerugian
keuangan negara, maka penyidik segera
menyerahkan berkas perkara hasil
penyidikan tersebut kepada Jaksa
Pengacara Negara untuk dilakukan
gugatan perdata atau diserahkan kepada
instansi yang dirugikan untuk
mengajukan gugatan.
Sedangkan ayat (2) menyatakan
Putusan Bebas dalam perkara tindak
pidana korupsi tidak menghapuskan hak
menuntut kerugian terhadap keuangan
negara .
Selanjutnya apakah yang
dimaksud dengan secara nyata telah
ada kerugian keuangan negara menurut
penjelasan Pasal 32 ayat (1) bahwa yang
dimaksud dengan secara nyata telah ada
kerugian negara adalah kerugian negara
yang sudah dapat dihitung jumlahnya
berdasarkan hasil temuan instansi yang
berwenang atau akuntan yang ditunjuk,
sedangkan yang dimaksud dengan
akuntan yang ditunjuk dengan sendirinya
adalah akuntan yang ditunjuk oleh
Penyidik.
Bahwa di dalam gugatanya
penggugat telah secara nyata
membuktikan ada kerugian negara yang
sudah dapat dihitung jumlahnya
berdasarkan hasil temuan instansi
berwenang.
Berdasarkan surat BPKP Nomor :
SR-88/D6/1/2009 tanggal 29 Januari
2009 perihal Laporan Hasil Perhitungan
Kerugian Keuangan Negara/Daerah atas
dugaan Tindak Pidana Korupsi
pengadaan kendaraan mobil pemadam
kebakaraan, truck sampah, stoomwalls,
ambulance untuk Kabupaten/Kota oleh
Pemerintah Provinsi Jawa Barat tahun
2003 dan tahun 2004.
Penutup
Berdasarkan dengan Konvensi
Internasional yang salah satu anggotanya
adalah Indonesia yang mana membahas
10
mengenai pemberantasan tindak pidana
korupsi yang akhirnya melahirkan
United Nations Convention Againts
Corrupton (UNCAC) 2003 yang mana
Indonsesia sudah meratifikasinya
kedalam Undang-Undang Nomor 7
Tahun 2006, Pengembalian aset hasil
tindak pidana melalui mekanisme
gugatan terhadap aset yang berasal dari
tindak pidana atau instrumen kejahatan
yang menekankan perampsan aset hasil
tindak pidana atau dikenal dengan Non-
Conviction Based Asset Forfeiture
(NCB) atau Civil Forfeiture. Dalam
mekanisme ini, adanya pelaku kejahatan
yang dinyatakan secara sah dan
menyakinkan bersalah melakukan
kejahatan berdasarkan suatu putusan
pengadilan bukan merupakan suatu
prasyarat yang harus dipenuhi guna
dilakukannya perampasan aset
(sarana/hasil tindak pidananya).
Ketentuan perampasan aset tindak
pidana korupsi melalui jalur gugatan
perdata dalam UU PTPK merupakan
jalan alternatif manakala perampasan
aset tersebut melalui tuntutan pidana
tidak dapat dilakukan karena alasan yang
dibenarkan undang-undang, seperti
tersangka atau terdakwa meninggal
dunia mengingat meninggalnya seorang
tersangka atau terdakwa menyebabkan
hilangnya kewenangan menuntut
sebagaimana dimaksud dalam pasal 77
KUHP. Letak karakteristik gugatan
perdata untuk tindak pidana korupsi
ialah diajukan setelah upaya pidana tidak
dimungkinkan lagi dilakukan, artinya
pengembalian kerugian keuangan negara
melalui perampasan, uang pengganti,
tidak berhasil dilakukan. Gugatan
perdata untuk tindak pidana korupsi
dengan demikian mengandung
karakteristik yang spesifik, yaitu
dilakukan setelah upaya pidana tidak
dimungkinkan lagi untuk diproses
karena dihadapkan pada kondisi-kondisi
tertentu sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 32, 33, 34, dan Pasal 38 C UU
PTPK, meskipun telah terjadi kerugian
negara.
11
DAFTAR PUSTAKA
Hutagalung, Sophar maru. praktik peradilan perdata
dan alternatif penyelesaian sengketa.
Jakarta: PT. Kompas Media Indonesia,
2013.
Mochtar, M. Akil. Memberantas Korupsi, Efektifitas
Sistem Pembalikan Beban Pembuktian
dalam Gratifikasi. Jakarta: Q-
Communication, 2006.
Semma, Mansyur, Negara dan Korupsi; Pemikiran
Mochtar Lubis Atas Negara, Manusia
Indonesia, dan perilaku Politik. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 2008.
Yusuf, Muhammad. Merampas Aset Koruptor.
Jakarta : Kompas Media Nusantara, 2013.