Upload
others
View
1
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Kajian Hukum dan Kebijakan dalam Penyelenggaraan Program Imunisasi Wajib Kanun Jurnal Ilmu Hukum Any Fitriyani, Endang Sutrisno, Waluyadi Vol. 22, No. 3, (Desember, 2020), pp. 515-530.
Kanun: Jurnal Ilmu Hukum. Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh. 23111. ISSN: 0854-5499 │e-ISSN: 2527-8482. Open access: http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/kanun
KAJIAN HUKUM DAN KEBIJAKAN DALAM PENYELENGGARAAN PROGRAM
IMUNISASI WAJIB
THE LEGAL STUDY AND POLICY IN IMPLEMENTING OF COMPULSORY
IMMUNIZATION PROGRAM
Any Fitriyani, Endang Sutrisno, Waluyadi
Magister Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sunan Gunung Jati Jl. Terusan Pemuda No. 01A, Cirebon 45131
E-mail: [email protected]; Telp. 0231-488924
Diterima: 13/09/2019; Revisi: 17/10/2019; Disetujui: 05/12/2019.
DOI: https://doi.org/10.24815/kanun.v22i3.14620
ABSTRAK
Tujuan penelitian ini adalah untuk memahami dan menganalisis kebijakan Pemerintah
Kabupaten Cirebon dalam pemenuhan hak anak memperoleh imunisasi, mengkaji dan
menelaah kepatuhan hukum petugas kesehatan dalam memberikan imunisasi,
mengetahui kesadaran orang tua untuk memperoleh imunisasi bagi anak. Paradigma
penelitianya adalah positivistik. Jenis peneltianya bersifat kualitatif-naturalistik.
Pendekatan yang digunakan yuridis empiris. Hasil penelitian menunjukan pelaksanaan
kebijakan pemerintah daerah kabupaten Cirebon belum sepenuhnya mengacu pada
aturan normatif dan kesadaran hukum masyarakat tentang imunisasi masih rendah.
Kondisi fakta yang ditemukan berdasarkan pada dimensi minimnya pemahaman norma
imunisasi. Tidak adanya sanksi bagi orang tua yang tidak mengikutsertakan anak pada
imunisasi menenjadi salah satu faktor rendahnya kesadaran hukum. Peneliti
menyarankan seyogyanya dilakukan penyuluhan hukum tentang imunisasi, baik untuk
petugas imunisasai ataupun untuk masyarakat.
Kata Kunci: kebijakan pemerintah; program imunisasi; kesadaran hukum.
ABSTRACT
The purpose of this research is to understand and analyze the Government Cirebon
policy to fulfill the right of the child for immunization, to review the health officer
obedience in giving immunization, to know the parent’s awareness for immunizing
child. The paradigm of this research is positivistic. This research is naturalistic-
qualitative with empirical juridic approach. The result shows that the implementation of
immunizing policy in Cirebon District has not fully referred to the normative and the
society awareness of immunizing child is still low. Facts finding based on the modest of
understanding on immunization. There are no sanctions for the parents who ignore the
right of the child to get immunization, it should be there is a legal counseling about
immunization for both of immunizing officer and society.
Key Words: government policy; immunization program; legal awareness.
Kanun Jurnal Ilmu Hukum Kajian Hukum dan Kebijakan dalam Penyelenggaraan Program Imunisasi Wajib Vol. 22, No. 3, (Desember, 2020), pp. 515-530. Any Fitriyani, Endang Sutrisno, Waluyadi
516
PENDAHULUAN
Pemerintah berkewajiban memberikan hak kesehatan kepada rakyatnya. Salah satu komponen
kesehatan yang sangat penting adalah tersedianya obat sebagai bagian dari pelayanan kesehatan
masyarakat. Program imunisasi di Indonesia diatur oleh Kementerian Kesehatan. Pemerintah
bertanggung jawab menetapkan sasaran jumlah penerima imunisasi, kelompok umur serta tata cara
memberikan imunisasi pada sasaran.
Pelaksanaan kebijakan program imunisasi dilakukan oleh unit pelayanan kesehatan
pemerintah dan swasta. Institusi swasta dapat memberikan pelayanan imunisasi sepanjang
memenuhi persyaratan perizinan yang telah ditetapkan oleh Kementerian Kesehatan, di Indonesia
pelayanan imunisasi dasar/imunisasi rutin dapat diperoleh pada: (1) Pusat pelayanan yang dimiliki
oleh pemerintah, seperti Puskesmas, Posyandu, Puskesmas pembantu, Rumah Sakit atau Rumah
Bersalin; (2) Pelayanan di luar gedung, namun diselenggarakan oleh pemerintah misalnya pada saat
diselenggarakan program bulan imunisasi anak sekolah, pekan imunisasi nasional, atau melalui
kunjungan dari rumah ke rumah; (3) Imunisasi rutin juga dapat diperoleh pada bidan praktik swasta,
dokter praktik swasta atau rumah sakit swasta.
Hak anak memperoleh imunisasi wajib, telah tertuang dalam Pasal 130 dan Pasal 132 ayat (3)
dan (4) Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Pasal 130 menyebutkan pemerintah
wajib memberikan imunisasi lengkap kepada setiap bayi dan anak. Pasal 132 ayat (3) menentukan
setiap anak berhak memperoleh imunisasi dasar sesuai dengan ketentuan yang berlaku untuk
mencegah terjadinya penyakit yang dapat dihindari melalui imunisasi. Pasal 132 ayat (4)
menentukan jenis-jenis imunisasi dasar ditetapkan dengan peraturan menteri. Peraturan menteri
dalam hal ini adalah Peraturan Menteri Kesehatan No. 12 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan
Imunisasi Wajib. Titik tolak pemikiran ini beranjak dari komitmen negara hukum bahwa negara
berdasarkan atas hukum (Yasin, 2014). Norma hukum telah memasuki ruang privat hal ini sebagai
bentuk argumen tepat hukum tidak bekerja dalam ruang yang hampa, untuk itu problem-problem
Kajian Hukum dan Kebijakan dalam Penyelenggaraan Program Imunisasi Wajib Kanun Jurnal Ilmu Hukum Any Fitriyani, Endang Sutrisno, Waluyadi Vol. 22, No. 3, (Desember, 2020), pp. 515-530.
517
sosial harus ditangani luar biasa oleh hukum dan harus bekerja secara luar biasa pula (Sutrisno,
2014). Apalagi mengingat kondisi ada empat model hukum, yaitu: (1) model hukum kolonial yang
sangat represif; (2) model hukum pembangunan; (3) model hukum progresif; dan (4) model hukum
integratif (Atmasasmita, 2012).
Meningkatkan kesadaran hukum melalui penyuluhan mengenai hak anak memperoleh
imunisasi wajib dapat dilakukan untuk memngurangi terjadinya kendala-kendala dalam penerapan
hukum tersebut. Pelatihan untuk tenaga kesehatan untuk pemenuhan hak anak dalam memperoleh
imunisasi wajib juga perlu dilakukan untuk meningkatkan keberhasilan berjalannya kebijakan
tersebut. Law enforcement refers to implementing the textual of legal norms in the social realities of
society. The contens of the substance of the norm is hoped to be clarified through legal behavior so
that questions about legal awareness, legal compliance, legal feelings, legal attitude will be more
prominent (Sutrisno, 2017).
Pada umumnya semua usaha pembangunan yang berhubungan dengan kesehatan masyarakat
tidak akan berhasil dengan baik bila tidak diikuti oleh peranserta masyarakat, demikian pula
pelaksanaan program penyelenggaraan imunisasi wajib. Berdasarkan kondisi faktual, permasalahan
yang ingin dijawab adalah bagaimana implementasi kebijakan pemerintah dalam penyelenggaraan
program imunisasi wajib untuk Anak, dan bagaimanakah kesadaran hukum masyarakat terhadap
kebijakan pemerintah dalam penyelenggaraan program imunisasi wajib untuk anak tersebut.
METODE PENELITIAN
Penelitian menggabungkan kajian normatif untuk melihat bagaimana pengaturan hukum di
satu sisi, dengan kajian empiris dalam hal menemukan realitas di sisi yang lain (Warassih, 2014;
Sulaiman, 2019). Selain menggunakan bahan hukum, penelitian ini juga menggunakan data utama
dari hasil wawancara dengan narasumber. Analisis data dilakukan dengan mengorganisasikan data,
Kanun Jurnal Ilmu Hukum Kajian Hukum dan Kebijakan dalam Penyelenggaraan Program Imunisasi Wajib Vol. 22, No. 3, (Desember, 2020), pp. 515-530. Any Fitriyani, Endang Sutrisno, Waluyadi
518
kemudian mengatur, mengurutkan, mengelompokkan, memberikan kode tertentu, dan
mengategorikannya. Validasi dilakukan dengan triangulasi.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
1) Pelaksanaan Kebijakan Pemerintah terhadap Pemenuhan Hak Anak
Pemerintah mewajibkan lima jenis imunisasi bagi anak, yang disebut Program Pengembangan
Imunisasi (PPI) atau Program Imunisasi Wajib. Sedangkan tujuh jenis lainnya dianjurkan untuk
menambah daya tahan tubuh terhadap beberapa jenis penyakit. Wajib artinya semua anak yang
tinggal di Indonesia wajib diberikan lima jenis imunisasi untuk mencegah tujuh jenis penyakit.
Lima jenis imunisasi tersebut adalah: Pertama, BCG. Vaksin BCG diberikan pada bayi sejak lahir,
untuk mencegah penyakit TBC. Jika bayi sudah berumur lebih dari tiga bulan, harus dilakukan uji
tuberkulinter lebih dulu. BCG dapat diberikan apabila hasil uji tuberkulin negatif. Kedua, Hepatitis
B. Hepatitis B diberikan 3 (tiga) kali, yang pertama dalam waktu 12 jam setelah lahir. Imunisasi ini
dilanjutkan saat bayi berumur satu bulan, kemudian diberikan lagi saat 3- 6 bulan. Ketiga, polio.
Imunisasi yang satu ini belakangan sering disosialisasikan Pemerintah karena telah memakan
korban cukup banyak. Target pemerintah membebaskan anak-anak Indonesia dari penyakit polio.
Polio-0 diberikan saat kunjungan pertama setelah lahir. Selanjutnya vaksin ini diberikan tiga kali,
saat bayi berumur dua, empat, dan enam bulan. Pemberian vaksin ini diulang pada usia 18 bulan
dan lima tahun. Keempat, DTP. DTP diberikan untuk mencegah tiga macam penyakit sekaligus,
yaitu difteri, tetanus, dan pertusis. Vaksin ini diberikan pertama kali saat bayi berumurlebih dari
enam minggu. Lalu saat bayi berumur empat dan enam bulan. Ulangan DTP diberikan umur 18
bulan dan lima tahun. Pada anak umur 12 tahun, imunisasi ini diberikan lagi dalam program BIAS
(Bulan Imunisasi Anak Sekolah) SD kelas VI. Kelima, campak. Campak pertama kali diberikan saat
anak umur sembilan bulan. Campak kedua diberikan pada program BIAS (Bulan Imunisasi Anak
Sekolah) SD kelas 1, umur enam tahun.
Kajian Hukum dan Kebijakan dalam Penyelenggaraan Program Imunisasi Wajib Kanun Jurnal Ilmu Hukum Any Fitriyani, Endang Sutrisno, Waluyadi Vol. 22, No. 3, (Desember, 2020), pp. 515-530.
519
Untuk imunisasi wajib, Pemerintah memberikan secara cuma-cuma, jika datang ke instansi
kesehatan yang ada di Pemerintah, misalnya Rumah Sakit Pemerintah, Posyandu, dan Puskesmas,
terkecuali tempat praktek dokter swasta. Imunisasi yang dianjurkan, tidak diberikan secara cuma-
cuma. Imunisasi tersebut adalah Hib, Pneumokokus (PCV), Influenza, MMR, Tifoid, Hepatitis A,
dan Varisela.Hib serta Pneumokokus (PCV) mencegah penyakit paru-paru dan radang otak. Vaksin
diberikan mulai umur dua bulan dengan interval dua bulan, sebanyak tiga kali. Imunisasi Hib
kemudian diulang saat anak berumur 15-18 bulan, sedangkan PCV diulang saat anak berusia 12-15
bulan.Vaksin Influenza dapat diberikan setahun sekali sejak umur enam bulan. Vaksin ini dapat
terus diberikan hingga dewasa. MMR merupakan pengulangan vaksin campak, ditambah dengan
Gondongan dan Rubela (Campak Jerman). Diberikan saat anak usia 15 bulan dan diulang saat anak
berusia enam tahun. Tiga vaksin lain yang dianjurkan adalah Tifoid untuk mencegah Typus,
Hepatitis A, dan Varisela untuk mencegah penyakit cacar air. Tifoid dan Hepatitis A diberikan pada
anak usia di atas dua tahun. Tifoid dapat diulang setiap tiga tahun, sedangkan Hepatitis A hanya
diberikan dua kali dengan interval 6-12 bulan. Varisela mulai diberikan saat anak berusia di atas 10
tahun.
Realita yang terjadi pada penyelenggaraan imunisasi wajib di sekolah-sekolah selalu terbentur
dengan izin dari orang tua murid. Hanya sekitar setengah dari kelas saja yang memperbolehkan
anaknya mendapatkan imunisasi. Begitu pula program imunisasi yang diselenggarakan di Puskes-
mas-Puskesmas, seringkali sepi pengunjung. Banyak orang tua yang menyesali kelalaiannya ketika
anak sakit. Seperti terjadinya kejadian luar biasa polio pada tahun lalu. Sehingga pemerintah perlu
mencanangkan “Indonesia Bebas Polio”. Peristiwa itu seakan “membangunkan” kita akan penting-
nya imunisasi, terutama bagi balita.
Maraknya propaganda mengenai kehalalan bahan vaksin membuat sebagian masyarakat
menolak memberikan imunisasi bagi anaknya. Hal ini diduga menjadi penyebab lainnya dari
penurunan cakupan imunisasi di Indonesia. Diperlukan klarifikasi yang jelas, baik dari produsen
Kanun Jurnal Ilmu Hukum Kajian Hukum dan Kebijakan dalam Penyelenggaraan Program Imunisasi Wajib Vol. 22, No. 3, (Desember, 2020), pp. 515-530. Any Fitriyani, Endang Sutrisno, Waluyadi
520
maupun dari Majelis Ulama Indonesia, sebagai lembaga sertifikasi halal di Indonesia mengenai isu
ini. sebagai pemerintah. Sedangkan untuk imunisasi pilihan atau imunisasi tambahan memiliki
regulasi tersendiri.
Data di Puskesmas Tegalgubug Kabupaten Cirebon untuk tiga tahun terakhir mengalami
penurunan pada pelaksanaan imunisasi campak yang hanya dilakukan pada hari Rabu. Masih
ditemukannya kasus penyakit campak yang tidak sedikit walaupun belum menjadi kejadian luar
biasa. Ditemukan pula kasus penyakit polio,namun dalam jumlah yang tidak banyak (Anshori,
2020). Mutu pelayanan kesehatan di Puskesmas sangat dipengaruhi oleh kualitas secara fisik, jenis
tenaga yang tersedia, obat dan alat kesehatan serta proses pemberian pelayanan. Oleh karena itu,
peningkatan mutu faktor-faktor tersebut termasuk sumber daya manusia dan profesionalisme sangat
diperlukan agar pelayanan kesehatan yang bermutu dan pemerataan pelayanan kesehatan dapat
dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat (Sutrisno & Rahayu, 2017). Hal ini penting mengingat
masalah kemiskinan masih menjadi isu sentral, oleh karena itu orientasi terhadap pola pengentasan
kemiskinan mesti lebih berbasis pada masyarakat dimana terjadi kemiskinan (Yasa, 2008).
Pemerintah Kabupaten Cirebon memiliki peraturan yang berkaitan dengan penyelenggaraan
Program Imunisasi Wajib yang berkenaan dalam pemenuhan hak anak dalam mendapatkan
imunisasi, yaitu Peraturan Daerah Kabupaten Cirebon No. 3 Tahun 2009 tentang Kesehatan Ibu,
Bayi Baru Lahir, Bayi dan Anak Balita di Kabupaten Cirebon, didalam peraturan tersebut hanya
menyebutkan sanksi administratif apabila tempat pelayanan kesehatan tidak menyelenggarakan
program imunisasi wajib. Tidak ada penjelasan mengenai tata laksana yang sesuai dengan prosedur
yang ada.
Imunisasi secara medis merupakan tindakan yang aman, namun sesekali terancam oleh efek
samping atau efek buruk yang disebut KIPI (Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi). Dalam bentuk
program, imunisasi massal akan memunculkan kekerapan KIPI yang dapat merugikan jasmani dan
bahkan nyawa pasien yang semula sebagai klien petugas kesehatan. Hal tersebut tertuang dalam
Kajian Hukum dan Kebijakan dalam Penyelenggaraan Program Imunisasi Wajib Kanun Jurnal Ilmu Hukum Any Fitriyani, Endang Sutrisno, Waluyadi Vol. 22, No. 3, (Desember, 2020), pp. 515-530.
521
Keputusan Menkes No. 1626/ Menkes/SK/XII/2005 tentang Pedoman Pemantauan dan Penanggu-
langan Kejadian Ikutan Paska Imunisasi (KIPI).
Kejadian Luar Biasa (KLB) yang terjadi ketika pelaksaanaan program imunisasi wajib ini
berlangsung merupakan suatu ketidak berhasilan pelaksanaan tersebut.penolakan orang tua terhadap
pelaksanaan imunisasi wajib di sekolah sekolah ataupun lembaga kesehatan dan tenaga kesehatan
yang tidak melaksanaan Program Imunisasi Wajib merupakan cerminan tidak bekerjanya suatu
hukum.
Kementerian Kesehatan menyatakan Program Imunisasi Bayi Universal (Universal Child
Immunization/UCI) tahun lalu baru mencakup 69,6% dari seluruh desa/kelurahan di Indonesia.
Fakta tersebut disebabkan antara lain karena kurang perhatian dan dukungan dari pemerintah daerah
terhadap program imunisasi, kurangnya dana operasional untuk imunisasi baik rutin maupun
tambahan, dan tidak tersedianya fasilitas dan infrastruktur yang memadai. Selain itu juga kurangnya
koordinasi lintas sektor termasuk pelayanan kesehatan swasta, kurang sumber daya yang memadai
serta kurangnya pengetahuan masyarakat tentang program dan manfaat imunisasi.
Pelayanan imunisasi dilakukan oleh dokter spesialis dan dokter umum karena memerlukan
keterampilan dan kompetensi yang khusus. Bidan dapat memberikan pelayanan imunisasi wajib
yang telah diprogramkan oleh Pemerintah, baik di Puskesmas atau tempat praktik pribadi. Sedang-
kan di Puskesmas Kabupaten Cirebon pelaksanaan pelayanan imunisasi dilakukan oleh perawat
yang tidak memiliki kompetensi tersebut. Artinya sebagian besar petugas imunisasi belum
kompeten sehingga pengetahuan bagaimana cara memberikan imunisasi yang sesuai dengan standar
operasional yang berlaku. Perawat dapat melakukan imunisasi selama perawat tersebut mendapat
wewenang dari dokter Puskesmas sesuai dengan kompetensinya, pendelegasian harus memiliki
bukti tertulis bukan hanya sekedar lisan.
Standar operasional, standar profesi dan standar pelayanan harus menjadi acuan bagi petugas
pemberi imunisasi di lapangan, sedangkan di Puskesmas Tegal Gubug, hampir semua petugas
Kanun Jurnal Ilmu Hukum Kajian Hukum dan Kebijakan dalam Penyelenggaraan Program Imunisasi Wajib Vol. 22, No. 3, (Desember, 2020), pp. 515-530. Any Fitriyani, Endang Sutrisno, Waluyadi
522
pelaksana imunisasi kurang memahami standar operasional yang ada, seharusnya petugas imunisasi
dapat memahami dan harus memperhatikan keamanan vaksin, kualitas vaksin, dan penyuntikan
yang benar agar tidak terjadi penularan penyakit terhadap tenaga kesehatan pelaksana imunisasi dan
masyarakat, serta menghindari terjadinya Kejadian Ikutan Paska Imunisasi (KIPI). Kehadiran
negara dalam persoalan kesehatan menjadi masalah yang urgen, mengingat eksistensi tanggung
jawab negara terhadap jaminan pemenuhan dan perlindungan hak manusia tidak terlepas dari
prinsip-prinsip pokok hak asasi manusia (Sutrisno & Dewi, 2016).
Pemerintah memiliki tanggung jawab untuk membuat dan melaksanakan kebijakan serta
program untuk kesejahteraan masyarakat, khususnya Program Imunisasi Wajib. Namun faktanya,
kebijakan pemerintah terhadap imunisasi belum mampu berjalan sesuai dengan harapan
masyarakat. Keberhasilan program imunisasi tersebut dapat dilihat dari ada atau tidaknya ketim-
pangan kebijakan, cakupan sasaran program, peran penyedia pelayanan kesehatan serta pemerintah
sebagai regulator. Oleh sebab itu pemerintah daerah harus memiliki kemampuan untuk
mengidentifikasi masalah sampai dengan memilih prioritas masalah yang sesuai dengan kemampu-
an dan kebutuhan daerah, serta mencari sumber-sumber dana yang dapat digunakan untuk
menyelesaikan masalah. Dalam hal ini imunisasi merupakan upaya prioritas yang dapat dipilih oleh
semua wilayah, mengingat imunisasi merupakan upaya efektif dan diperlukan oleh semua daerah.
Petugas imunisasi sebagai aparatur pemerintah dalam pelayanan publik harus mengetahui dan
memahami hukum yang berlaku. Betapa hukum itu ada dalam masyarakat untuk keperluan mela-
yani masyarakat, dalam keadaan yang demikian ini maka apa yang bisa dilakukan hukum turut
ditentukan oleh sumber daya yang ada dan tersedia dalam masyarakatnya (Sutrisno, 2013).
Dalam pengelolaan dan pelaksanaan pelayanan imunisasi selain berpedoman kepada standar
profesi dan kode etik profesi, petugas harus berpedoman kepada Peraturan Menteri Kesehatan No.
12 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Imunisasi yang tercantum pada Bab Empat yaitu
Pelaksanaan Pelayanan Imunisasi.
Kajian Hukum dan Kebijakan dalam Penyelenggaraan Program Imunisasi Wajib Kanun Jurnal Ilmu Hukum Any Fitriyani, Endang Sutrisno, Waluyadi Vol. 22, No. 3, (Desember, 2020), pp. 515-530.
523
2) Kesadaran Hukum Masyarakat Terhadap Penyelenggaraan Progam Imunisasi
Faktor-faktor yang mempengaruhi kesadaran hukum masyarakat sebagaimana dikemukakan
Soerjono Soekanto (Soekanto, 1982), dapat dijadikan indikator untuk mengukur tingkat kesadaran
hukum masyarakat terhadap kebijakan pemerintah dalam program penyelenggaraan program
imunisasi yang tertuang dalam Peraturan Menteri Kesehatan No. 12 Tahun 2017 tentang
Penyelenggaraan Imunisasi dalam rangka pemenuhan hak anak memperoleh imunisasi yang
tertuang di dalam Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, yaitu (Soekanto, 1982):
Pertama, pengetahuan hukum (law awarness). Pengetahuan hukum merupakan pengetahuan
seseorang bahwa perilaku-perilaku tertentu itu telah diatur oleh hukum. Peraturan hukum yang
dimaksud disini adalah hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis. Perilaku tersebut menyangkut
perilaku yang dilarang oleh hukum maupun perilaku yang diperbolehkan oleh hukum, untuk
mengukur indikator pengetahuan hukum masyarakat (orang tua anak yang diimunisasi), sangat
penting untuk mengetahui persepsi mereka tentang hukum. Untuk mengukur indikator pengetahuan
hukum masyarakat, sangatlah penting untuk mengetahui persepsi hukum dimata masyarakat, untuk
mengetahui pengetahuan hukum masyarakat dan petugas imunisasi.
Persepsi masyarakat dalam memaknai hukum dengan makna yang berbeda-beda, dari
responden kelompok petugas imunisasi didapat jawaban bahwa mereka mengetahui pengertian
penyelenggaraan program imunisasi adalah wajib dilaksanakan di Puskesmas, namun sebagian
besar tidak mengetahui mengapa hal tersebut wajib, yang mereka pahami karena imunisasi dapat
mencegah penyakit mematikan, mereka tidak mengetahui bahwa imunisasi adalah hak anak yang
diatur dalam undang-undang. Sebagian petugas imunisasi tidak mengetahui undang-undang mana
saja yang mengatur hal tersebut. Sedangkan dari responden masyarakat, bahwa mereka tidak
mengetahui peraturan-peraturan tentang penyelenggaraan program imunisasi sama sekali, mereka
hanya mengetahui kapan dan di mana imunisasi itu diselenggarakan, kemudian mereka hanya tahu
bahwa imunisasi hanya untuk mencegah penyakit (Narasumber, 2020).
Kanun Jurnal Ilmu Hukum Kajian Hukum dan Kebijakan dalam Penyelenggaraan Program Imunisasi Wajib Vol. 22, No. 3, (Desember, 2020), pp. 515-530. Any Fitriyani, Endang Sutrisno, Waluyadi
524
Kedua, pemahaman akan ketentuan-ketentuan hukum (legal acquaintance). Pengetahuan
masyarakat terhadap ketentuan-ketentuan hukum, berarti bahwa masyarakat mengetahui isi/substan-
si dan kegunaan dari norma-norma hukum tertentu, artinya ada suatu derajat pemahaman yang
tertentu terhadap ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku. Namun hal ini belum merupakan
jaminan bahwa warga masyarakat yang mengakui ketentuan- ketentuan hukum tertentu dengan
sendirinya mematuhinya, tetapi juga perlu diakui bahwa orang-orang yang memahami suatu
ketentuan hukum adakalanya cenderung untuk mematuhinya.
Mengingat pengetahuan yang ada pada petugas imunisasi adalah pengetahuan mengenai
keberadaan peraturan penyelenggaraan program imunisasi, pengetahuan yang dimaksud yaitu
indikator pemahaman hukum adalah pengetahuan petugas imunisasi tentang isi (substansi) dari
peraturan tentang Penyelenggaraan Program Imunisasi yaitu Peraturan Menteri Kesehatan No. 12
Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Program Imunisasi. Pemahaman masyarakat di wilayah study
hanyalah mengenai regulasi penyelenggaran program imunisasi yang harus dilakukan di Puskes-
mas, jadi hanya sebatas kewajiban melaksanakan program tersebut tanpa mengetahui ada regulasi
lain.
Ketiga, sikap hukum (legal attitude). Sikap hukum merupakan ketika seseorang mempunyai
kecenderungan untuk mengadakan penilaian tertentu terhadap hukum. Penghargaan atau sikap
terhadap ketentuan- ketentuan hukum, yaitu sampai sejauhmana suatu tindakan atau perbuatan yang
dilarang hukum diterima oleh sebagian besar besar warga masyarakat. Juga reaksi masyarakat yang
didasarkan pada sistem nilai-nilai yang berlaku. Masyarakat mungkin menentang atau mungkin
mematuhi hukum, karena kepentingan mereka terjamin pemenuhannya (Soekanto, 1982). Berdasar-
kan penelitian kelompok Petugas Imunisasi mendukung Penyelenggaraan Program Imunisasi,
sedangkan ditemukan pula ada masyarakat yang tidak mendukung penyelenggaraan Program
Imunisasi tersebut, sehingga tidak memberikan imunisasi kepada anaknya, disebabkan oleh
kurangnya tingkat pemahaman masyarakat terhadap aspek kesehatan serta rendahnya pengetahuan
Kajian Hukum dan Kebijakan dalam Penyelenggaraan Program Imunisasi Wajib Kanun Jurnal Ilmu Hukum Any Fitriyani, Endang Sutrisno, Waluyadi Vol. 22, No. 3, (Desember, 2020), pp. 515-530.
525
masyarakat terhadap norma hukum yang menjadi dasar hukum keberlakuan Program Imunisasi
tersebut.
Salah satu tugas hukum yang penting adalah mengatur kepentingan-kepentingan para warga
masyarakat. Kepentingan para warga masyarakat tersebut lazimnya bersumber pada nilai-nilai yang
berlaku, yaitu anggapan tentang apa yang baik dan apa yang dihindari. Dengan demikian sedikit
banyak tergantung apakah kepentingan-kepentingan warga masyarakat dalam bidang-bidang
tertentu dapat ditampung oleh ketentuan-ketentuan hukum. Ada juga suatu anggapan bahwa
kepatuhan hukum disebabkan karena adanya rasa takut pada sanksi, karena ingin memelihara
hubungan baik dengan rekan-rekan sekelompok atau pimpinan karena kepentingannya terlindungi,
karena cocok dengan nilai-nilai yang dianutnya. Terkait upaya mewujudkan sistem hukum yang
efektif perlu penataan kembali kelembagaan hukum yang didukung oleh kualitas sumber daya
manusia dan kultur dan kesadaran hukum masyarakat yang terus meningkat, seiring dengan
pembaharuan materi hukum yang terstruktur secara harmonis tanpa pertentangan dan tumpang
tindih dan hukum secara terus menerus diperbaharui sesuai dengan tuntutan perkembangan
kebutuhan (Prentha, 2011).
Perlu disadari bahwa untuk menciptakan keadilan hukum diperlukan peran aktif dari berbagai
pihak mulai dari pembentukan produk hukum hingga penegakan produk hukum (Bureni, 2013).
Hukum memiliki kedaulatan yang berpijak pada kedaulatan rakyat, dapat dibuat “hipotesis”
(Widjojanto, 2012) bahwa kedaulatan hukum bukanlah ditujukan semata-mata untuk kepentingan
hukum itu sendiri, tetapi justru harus ditujukan dan berpihak bagi kepentingan masyarakat.
Ketentuan normatif tentang usaha kecil, menjadikan hukum harus benar-benar menampilkan wajah
keberpihakan pada kepentingan masyarakat kecil yang termarginalkan. Hal inilah yang menjadi
kunci dari arah pembangunan hukum yaitu mencapai tujuan yang paling hakiki dari eksistensi
hukum didalam kehidupan masyarakat. Hal ini sangat disadari sepenuhnya mengingat sejauh ini
pembangunan hukum di negeri ini cenderung bergerak dalam ruang yang artifisial dan tanpa arah
Kanun Jurnal Ilmu Hukum Kajian Hukum dan Kebijakan dalam Penyelenggaraan Program Imunisasi Wajib Vol. 22, No. 3, (Desember, 2020), pp. 515-530. Any Fitriyani, Endang Sutrisno, Waluyadi
526
(Dayanto, 2013). Indonesia today is faced with a very "unique" problem of law performance
regarding the formal truth treated as the most dominant consideration of legal decision embracing
reine Rechtslehre Kelsenian’s way of thinking. An approach that is still in further discussion
through a more holistic alternative paradigm (Sutrisno, 2015). Ajaran positivisme hukum yang
bersifat monistik, dimana hanya mengakui satu macam keadilan, yaitu keadilan yang lahir dari
hukum positif (Artadi, 2011).
Tingkat efektivitas hukum juga ditentukan oleh seberapa tinggi tingkat kepatuhan warga
masyarakat terhadap aturan hukum yang telah dibuat. Menurut Achmad Ali, jika suatu aturan
hukum dapat ditaati oleh sebagian besar target yang menjadi sasaran kepatuhannya, dapat diartikan
bahwa aturan hukum tersebut efektif (Ali, 2004). Namun demikian meskipun sebuah aturan yang
ditaati dapat dikatakan efektif, derajat keefektivanya masih bergantung pada kepentingan
menaatinya. Jika kepatuhan masyarakat terhadap suatu aturan hukum karena kepentingan yang
bersifat compliance (takut sanksi), maka derajat kepatuhannya dinilai sangat rendah. Berbeda ketika
kepatuhannya berdasarkan kepentingan yang bersifat internalization, yakni ketaatan karena aturan
hukum tersebut benar – benar cocok dengan nilai intrinsik yang dianutnya, maka derajat ketaatan
seperti inilah yang merupakan derajat ketaatan tertinggi.
Berdasarkan indikator-indikator di atas, dapat disimpulkan bahwa kesadaran hukum
stakeholders penyelenggara program imunisasi dan warga masyarakat terhadap peraturan
penyelenggaraan program imunisasi adalah sangat rendah. Hal ini dapat dilihat dari rendahnya
pengetahuan dan pemahaman tentang Peraturan Menteri Kesehatan No. 12 Tahun 2017 tentang
Penyelenggaraan Program Imunisasi sebagai pemenuhan hak anak akan imunisasi yang tertuang
dalam Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Puskesmas melaksanakan program
tersebut tidak maksimal, hanya sebatas pemenuhan kewajiban yang takut akan sanksi yang tertera
pada Peraturan Daerah Kabupaten Cirebon No. 3 Tahun 2009 tentang Kesehatan Ibu, Bayi Baru
Lahir, Bayi dan Anak Balita di Kabupaten Cirebon.
Kajian Hukum dan Kebijakan dalam Penyelenggaraan Program Imunisasi Wajib Kanun Jurnal Ilmu Hukum Any Fitriyani, Endang Sutrisno, Waluyadi Vol. 22, No. 3, (Desember, 2020), pp. 515-530.
527
Kesadaran hukum masyarakat terhadap pelaksanaan Program Imunisasi Wajib Bagi Anak
sangat rendah, selain dari rendahnya pemaham hukum dari masyarakat. Ada satu hal yang berkaitan
dengan hal tersebut, karena tidak adanya sanksi bagi orang tua yang tidak mengizinkan anaknya
memperoleh imunisasi wajib. Sedangkan Puskesmas mendapat sanksi administratif ketika tidak
menyelenggarakan Program Imunisasi Wajib, disebabkan tidak adanya ketegasan dalam peraturan
tersebut, membuat kesadaran hukum masyarakat akan penyelenggaraan Program Imunisasi sebagai
implementasi pemenuhan hak anak sangat kurang. Sanksi hanya diberikan kepada Puskesmas yang
tidak menyelenggarakan Program Imunisasi Wajib, hal tersebut terdapat dalam Peraturan Daerah
Kabupaten Cirebon No. 3 Tahun 2009 tentang Kesehatan Ibu, Bayi Baru Lahir, Bayi dan Anak
Balita di Kabupaten Cirebon.
SIMPULAN
Regulasi penyelenggaraan Program Imunisasi Wajib untuk Anak masih memiliki kekurangan
pada Keterangan Standar Operasional Penyelenggaraan Program Imunisasi Wajib untuk Anak,
sehingga masih banyak Petugas yang melakukan tugasnya tidak sesuai dengan standar
operasionalnya. Kurangnya sosialisai membuat keberhasilan program tersebut sering kali tidak
mencapai hasil yang maksimal.
Petugas pelaksana imunisasi belum kompeten karena sebagian besar belum mendapatkan
pelatihan, sehingga capaian program imunisasi wajib masih rendah, baik dalam cakupan desa yang
mencapai Universal child Imunization (UCI), maupun kualitas pelayanan. Pemerintah mempunyai
tanggung jawab untuk membuat dan melaksanakan kebijakan program-program untuk kesejahteran
masyarakat khususnya Program Imunisasi. Komitmen dan kerja sama Pemerintah Daerah dengan
masyarakat dalam melaksanakan Program Imunisasi belum berjalan dengan baik, peranserta
masyarakat masih kurang. Kebijakan Pemerintah dan respon yang tepat serta cepat dari pihak
Puskesmas dapat menjaga kepercayaan masyarakat terhadap pelayanan imunisasi. Kesadaran
Kanun Jurnal Ilmu Hukum Kajian Hukum dan Kebijakan dalam Penyelenggaraan Program Imunisasi Wajib Vol. 22, No. 3, (Desember, 2020), pp. 515-530. Any Fitriyani, Endang Sutrisno, Waluyadi
528
hukum petugas imunisasi dan masyarakat terhadap program imunisasi sesuai dengan Peraturan
Menteri Kesehatan No. 12 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Program Imunisasi sebagai bentuk
implementasi pemenuhan hak anak mendapat imunisasi yang diatur dalam Undang-Undang No. 36
Tahun 2009 tentang Kesehatan adalah rendah, dengan parameter pengetahuan hukum seseorang
berkaitan dengan tingkat pendidikan.
DAFTAR PUSTAKA
Buku-buku
Ali, A. (2004). Teorisasi Hukum. Surakarta: Muhammadiyah Press.
Warassih, E. (2014). Pranata Hukum: Sebuah Telaah Sosiologis, Semarang: Penerbit Pustaka
Magister.
Sulaiman. (2019). Diskursus Metodologi dalam Penelitian Hukum. Banda Aceh, Bandar.
Sutrisno, E. (2013). Rekonstruksi Budaya Hukum Masyarakat Nelayan untuk Membangun
Kesejahteraan Nelayan. Yogyakarta: Genta Press.
Soekanto, S. (1982). Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum. Jakarta: CV Rajawali.
Artikel Jurnal
Artadi, A. Dekonstruksi Pemahaman Penyelesaian Sengketa Bisnis (Ekonomi dan Keuangan)
Beraspek Pidana melalui Prosedur Perdamaian: Menuju Proses Peradilan Pidana
Rekonsiliatif. Jurnal Hukum Responsif, 1(1): 20-34.
Atmasasmita, R. (2012). Tiga Paradigma Hukum dalam Pembangunan Nasional. Jurnal Hukum
Prioris, 3(1): 1-16.
Bureni, Y. (2013). Moralitas Pembentukan Peraturan Daerah dalam Upaya Mencapai Keadilan
Substantif. Jurnal Legislasi Indonesia, 10(2): 110-126.
Kajian Hukum dan Kebijakan dalam Penyelenggaraan Program Imunisasi Wajib Kanun Jurnal Ilmu Hukum Any Fitriyani, Endang Sutrisno, Waluyadi Vol. 22, No. 3, (Desember, 2020), pp. 515-530.
529
Dayanto. (2013). Rekonstruksi Paradigma Pembangunan Negara Hukum Indonesia Berbasis
Pancasila. Jurnal Dinamika Hukum, 13(3): 486-498.
Prentha, B. (2011). Filsafat Hukum dan Nilai-Nilai Pancasila. Jurnal Ilmiah Kebijakan Hukum,
5(2): 160-178.
Sutrisno, E. (2014). Implementasi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Berbasis Pengelolaan Wilayah
Pesisir Secara Terpadu Untuk Kesejahteraan Nelayan. Jurnal Dinamika Hukum, 14(1): 1-18.
Sutrisno, E. (2015). Tracing the Performance of Law in Indonesia (A Perspective of Thomas
Kuhn’s “Normal Science”. Journal of Law, Policy and Globalization, 37: 120-126.
Sutrisno, E. (2017). The Study of River Pollution Related to Domestic Waste in the Perspective of
Community Legal Culture. South East Asia Journal Of Contemporary Business, Economics
and Law, 12: 134-140.
Sutrisno, E. & Rahayu, R. E. S. (2017). Budaya Hukum Dokter Gigi dalam Pelimpahan Wewenang
dan Konsekuensi Hukumnya. Kanun Jurnal Ilmu Hukum, 19(3): 389-404.
Sutrisno, E. & Dewi, E. K. (2016). Dampak Putusan Mahkamah Agung Nomor 365 K/PID 2012
terhadap Kinerja Dokter di Wilayah II Cirebon. Jurnal Media Hukum, 23(2): 160-170.
Widjojanto, B. (2012). Negara Hukum, Korupsi dan Hak Asasi Manusia: Suatu Kajian Awal.
Jurnal Hukum Prioris, 3(1): 20-34.
Yasa, I. W. M. (2008). Penanggulangan Kemiskinan Berbasis Partisipasi Masyarakat di Provinsi
Bali. Jurnal Ekonomi dan Sosial, 1(2): 80-92.
Yasin, R. (2014). Telaah Putusan MK dalam Sengketa PHPU Pilpres 2004 (Perspektif Negara
Demokrasi Konstitusional. Jurnal Konstitusi, 11(4), 2014: 649-662.
Wawancara
Anshori. (2020). Hasil Wawancara dengan Kepala Puskesmas Kecamatan Tegalgubug Kabupaten
Cirebon.