Upload
dodang
View
217
Download
2
Embed Size (px)
Citation preview
1
PERAN LEMBAGA ADAT DALAM PENERAPAN QANUN
NOMOR 14 TAHUN 2003 TENTANG KHALWAT/MESUM DI
KOTA BANDA ACEH
Oleh:
RIKI YUNIAGARA
ZULKHAIRI NURHAS
FIATUL HAMDI
MUHAJIR
MAHMUDDIN AIFA
Peneliti Muda The Aceh Institute
THE ACEH INSTITUTE
ULEE KARENG-BANDA ACEH
2010
2
KATA PENGANTAR
ب الل ب الل س ب الل ب يب ــــ ب س
Assalamu‟alaikum Wr. Wb
Alhamdulillah dan puji syukur atas kehadirat Allah Swt, karena dengan kuasa
dan kehendakNyalah, penelitian yang berjudul “Peran Lembaga Adat Dalam
Penerapan Qanun Nomor 14 Tahun 2003 Tentang Khalwat/Mesum di Kota Banda
Aceh ”, dapat diselesaikan. Selanjutnya shalawat dan salam disampaikan kepada
Nabi Besar Muhammad Saw yang telah membawa manusia dari alam kegelapan
sampai ke alam yang berilmu pengetahuan.
Penulisan penelitian ini dimaksudkan guna mengetahui seberapa jauh peran
lembaga adat dalam penerapan qanun nomor 14 tahun 2003 di kota banda aceh,
penelitian ini tidak mungkin berhasil diselesaikan tanpa kesempatan, bantuan,
bimbingan, arahan, serta dorongan semangat dari berbagai pihak yang diberikan
pada penulis. Untuk itu, ucapan terima kasih penghargaan setinggi-tingginya
disampaikan kepada :
1. Kanda Chairul Fahmi M.A selaku pembimbing yang telah memberikan petunjuk
dan bimbingan serta nasehat-nasehat yang sangat berguna dalam penulisan
peneitian ini.
2. Kanda Muhammad Syuib, selaku Pembina yang telah memberikan arahan dalam
mencapai kesuksesan hasil penelitian ini.
3. Semua teman-teman The Aceh Institute yang telah memberikan motivasi
sehingga penelitian ini selesai.
3
4. Kemudian untuk instansi terkait yang telah bersedia mmemberikan keterangan,
sehingga penelitian ini sukses dilaksanakan.
5. Selanjutnya ucapan terima kasih juga disampaikan kepada tokoh lembaga adat
dalam memberikan data untuk mendukung selesainya penelitian ini.
6. Kemudian ucapan terimakasih kepada semua elemen The aceh Institute yang
telah membuat penelitian pada tingkat Mahasiswa.
Penelitian ini telah diupayakan semaksimal mungkin, namun pada
kenyataannya masih ditemukan banyak kekurangan yang disebabkan karena
keterbatasan ilmu penulis. Oleh karena itu, diharapkan kritik dan saran yang bersifat
membangun guna kesempurnaannya.
Akhirnya kepada Allah Swt dimohonkan taufiq dan hidayah-Nya semoga
hasil penellitian ini dapat memberi manfaat dan berguna bagi semua pihak terutama
bagi penulis sendiri, Amin Ya Rabbal „Alamin.
Banda aceh, 28 Juni 2010
Penulis
4
DAFTAR ISI
BAB I : PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang Masalah
1.2 Research Question
1.3 Tujuan Penelitian
1.4 Literature Review
1.5 Metodelogi
1.5.1. Lokasi penelitian
1.5.2. populasi dan sampel
1.5.3. Teknik Pengumpulan data
1.5.4. Teknik Analisis data
1.6 Time Line
BAB II:TINJAUAN TEORITIS
2.1. Pengertian Hukum Adat
2.2. Azaz-azaz Hukum Adat
2.3. Peran Adat dalam Pelaksanaan Syari‟at
2.4. Hukum Adat dan Hubungannya dengan Syari‟at Islam
2.4.1. Syari‟at Dalam Realitas Kehidupan
BAB III: PERAN LEMBAGA ADAT DALAM PENERAPAN QANUN
NOMOR 14 TAHUN 2003 TENTANG KHALWAT/MESUM
Penyelesaian Kasus Khawat Secara Adat
3.2 Kebijakan dan Strategi Lembaga Adat
DAFTAR PUSTAKA
5
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 LATARBELAKANG MASALAH
Aceh merupakan daerah yang telah diberlakukan Syari‟at Islam oleh
Pemerintah pusat sebagaimana termuat dalam Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 44 Tahun 1999 Tentang Pemberlakuan Keistimewaan bagi Provinsi Daerah
Istimewa Aceh. Puncaknya Aceh memperoleh keistimewaannya yaitu dengan adanya
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006, tentang Pemerintahan Aceh di mana
disebutkan bahwa Aceh adalah daerah Provinsi yang merupakan kesatuan
masyarakat hukum yang bersifat istimewa, yang diberikan kewenangan khusus untuk
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat
setempat, sesuai dengan peraturan perundang-undangan dalam sistem dan prinsip
Negara Kesatuan Republik Indonesia tahun 1945 yang dipimpin oleh seorang
Gubernur.1
Pelaksanaan syari‟at Islam di Aceh secara formal oleh pemerintah provinsi
telah dicanangan pada 1 Muharam 1425 H, bertepatan pada tanggal 15 Maret 2002.
Pencanangan tersebut bukanlah akhir dari perjuangan, justru awal dari pelaksanaan
tugas berat dalam rangka mengantarkan masyarakat Aceh ke suasana yang Islami
sesuai dengan (pelaksanaan secara kaffah) dengan visi Propinsi Aceh yakni
mewujudkan masyarakat Aceh yang madani berdasarkan Islam.
Sebagai wujud pelaksanaan syari‟at Islam di Provinsi Aceh, Pemerintah
Daerah telah mensahkan Qanun Nomor 10 Tahun 2002 tentang Peradilan syari‟at
Islam, yang diberikan wewenang kepada Mahkamah Syari‟ah untuk memeriksa,
memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara pada tingkat pertama, dalam bidang
Ahwal al-Syakhshiyah, Mu‟amalah dan Jinayah. Dalam kasus Jinayah, Pemerintah
Daerah Aceh telah menetapkan Qanun Nomor 14 Tahun 2003 Tentang
Khalwat/Mesum yang akan diselesaikan melalui Mahkamah Syari‟ah.
1Himpunan Undang-Undang Keputusan Presiden Peraturan daerah/Qanun Instruksi
gubernur Edaran gubernur Berkaitan Pelaksanaan Syari‟at Islam, (Banda Ach: Dinas Syari‟at Islam
2009) hlm 75.
6
Di samping adanya lembaga hukum formal yaitu Mahkamah Syari‟ah yang
menangani pelanggaran syari‟at Islam, juga ada lembaga informal yaitu lembaga adat
yang sangat berpengaruh pada pola kehidupan masyarakat Aceh. Lembaga adat
memiliki landasan hukum yaitu Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2000 Tentang
Penyelenggaraan Kehidupan Adat dan Qanun Nomor 5 Tahun 2003 Tentang
Pemerintahan Gampong dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Dalam penyelenggaraan kehidupan adat, daerah dapat menetapkan berbagai
kebijakan dalam upaya pemberdayaan, pelestarian, dan pengembangan adat serta
lembaga adat di wilayahnya yang dijiwai dan sesuai dengan syari‟at Islam.
Kemudian, daerah juga dapat membentuk lembaga adat dan mengakui lembaga adat
yang sudah ada sesuai dengan kedudukannya masing-masing di Provinsi,
Kabupaten/Kota, Kecamatan, Kemukiman dan Kelurahan/Desa atau Gampong.
Kewenangan lembaga adat dalam penyelesaian kasus khalwat/mesum di
Provinsi Aceh yaitu untuk mendamaikan perkara dengan rapat adat gampong, yang
dipimpin oleh Geuchik. Apabila dalam jangka waktu dua bulan kasus tersebut tidak
dapat diselesaikan, maka kasus itu dapat diteruskan ke tingkat kemukiman yang
dipimpin oleh imum Mukim dan seterusnya bila imum Mukim dalam jangka waktu
satu bulan tidak dapat menyelesaikannya, kasus tersebut baru dapat diteruskan
kepada aparat hukum yaitu Mahkamah Syari‟ah. Tata cara dan syarat-syarat
penyelesaian dilaksanakan sesuai dengan ketentuan adat pada masing-masing daerah
kabupaten/kota/kecamatan/mukim dan gampong.2
Pelanggaran Syari‟at khalwat/mesum yang dilakukan oleh warga gampong
dapat diselesaikan terlebih dahulu melalui Rapat Adat Gampong (RAG). Ketentuan
ini seyogianya diketahui oleh pihak penyidik, yaitu petugas Wilayatul Hisbah, dan
masyarakat umum, sehingga siapa saja dari ketiga unsur ini yang melakukan
penangkapan, maka ia menyerahkan pelakunya kepada aparat gampong, sedangkan
jika pelaku khalwat/mesum bukan warga gampong, maka diserahkan langsung
kepada penyidik.
2www.perkembangan hukum Adat.com
7
Akan tetapi, dalam penyelesaian kasus khalwat/mesum di kota Banda Aceh,
lembaga adat sangat berperan aktif, di mana kasus khalwat/mesum kebanyakan
hanya diselesaikan oleh lembaga adat saja, tanpa melibatkan Mahkamah Syari‟ah. Ini
merupakan fakta yang terjadi dalam masyarakat Kota Banda Aceh, seakan-akan tidak
adanya lembaga formal yang lebih berwenang dalam menangani kasus
khalwat/mesum dan menjadi pokok permasalahan dalam penelitian ini.
Fenomena di atas dapat dilihat pada penelitian awal penulis yang
mendapatkan data dari dinas syari‟at Islam Kota Banda Aceh, dimana pelaku
khalwat/mesum yang diberikan hukuman oleh Mahkamah Syari‟ah, hanya beberapa
kasus saja yang mendapat hukuman badan berupa hukuman cambuk, selebihnya
pelaku khalwat/mesum hanya mendapat hukuman berupa teguran, nasehat, dan
dikawinkan. Selanjutnya, kepala Wilayatul Hisbah Dinas Syariat Islam Kota Banda
Aceh menyatakan bahwa banyak kasus khalwat/mesum hanya diselesaikan oleh
Lembaga Adat gampong saja tanpa melibatkan mereka sehingga mereka kewalahan
untuk mendapatkan data-data pelaku khalwat/mesum di Kota Banda Aceh.
Sementara beberapa tokoh adat di seputaran Darussalam mengatakan bahwa
peran lembaga adat Gampong sangat besar dalam menangani kasus khalwat/mesum
dalam Gampong mereka dan banyak pelaku khalwat/mesum diberikan hukuman
langsung oleh lembaga adat Gampong baik berupa nasehat maupun dikawinkan
langsung bagi pelaku khalwat/mesum tanpa melaporkan kepada Wilayatul Hisbah
atau pihak lain yang berwenang, dari peran dan fungsinya sesuai dengan apa yang
tertera dalam Qanun aceh No 13 tahun 2003 di jelaskan bahwa tidak ada aturan
hukum adat yang megatur tentang di bolehkan lembaga adat untuk
memutuskan/menjatuhkan hukuman terhadap pelaku khalwat/mesum baik hukuman
berupa cambukan atau di kawinkan.
Namun di sini terlihat bahwa lembaga adat sudah mulai berperan sampai
kepada tahap memberikan/menjatuhkan hukuman kepada pelaku khalwat/meuseum,
sementara dalam aturan hukum/Qanun, tidak ada satu pasal pun yang mengatur
tentang di bolehkannya lembaga adat untuk memberikan/menjatuhkan hukuman bagi
pelaku khalwat/meuseum, dari penjelasan tersebut di atas, maka penulis tertarik
8
untuk mengadakan penelitian tentang sampai dimana peran lembaga adat terhadap
penyelesaian kasus khalwat/meuseum.3
1.2 RESEARCH QUESTION
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis merumuskan masalah pokok yang
akan dikaji dalam penelitian ini yaitu: “Bagaimana Peran Lembaga Adat di Kota
Banda Aceh dalam Menyelesaikan Penerapan Qanun Nomor 14 Tahun 2003 tentang
Khalwat/Mesum”. Dari permasalahan pokok tersebut, penulis menguraikan kedalam
beberapa prtanyaan yang lebih khusus yaitu:
1. Bagaimana kedudukan lembaga adat dalam menyelesaikan kasus
khalwat/meuseum dalam menyelesaikan kasus khalwat/mesum menurut
Qanun Nomor 14 Tahun 2003.
2. Mengapa masyarakat lebih memilih lembaga adat dalam menyelesaikan
kasus khalwat/mesum di Kota Banda Aceh. Sehingga masyarakat
(tokoh/lembaga adat) sering menyelesaikan kasus khalwat/meuseum
degan hukum adat
3. Bagaimana persepsi masyarakat terhadap peran lembaga adat dalam
penyesaikan kasus khalwat/mesum di Kota Banda Aceh.
1.3 TUJUAN PENELITIAN.
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui kedudukan lembaga adat terhadap penyelesaian kasus
khalwat/mesum menurut Qanun Nomor 14 Tahun 2003.
2. Untuk mengetahui alasan masyarakat lebih memilih lembaga adat dalam
penyelesaian kasus khalwat/mesum di kota banda aceh.
3. Untuk mengetahui tanggapan masyarakat terhadap peran lembaga adat dalam
menyelesaikan kasus khalwat/mesum di kota banda aceh.
3http://santunanjadid.blogspot.com/2010/01/sosialisasi-qanun-syariat-islam-di.html
9
1.4 METODELOGI
Penelitian awal penulis mewancarai beberapa tokoh masyarakat dan tokoh
adat dalam Kota Banda Aceh diantaranya tokoh masyarakat adat Gampong inong
balee, ulee kareng dan rukoh, semua tokoh adat tersebut di wawancarai untuk
pendukung penelitian yang penulis lakukan.
Adapun metode yang penulis lakukan Dalam membahas penelitian ini,
menggunakan dua bentuk metode penelitian yaitu
1. Metode Field Research
Yaitu proses pengumpulan data lapangan, yang digunakan untuk
mendapatkan data-data yang diperlukan dilapangan (lokasi penelitian) yang
berkenaan dengan penelitian yang sedang dilakukan, maka penulis menggunakan
beberapa teknik pengumpulan data lapangan sebagai berikut:
a. Interview (wawancara)
Wawancara dilakukan dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan secara
lisan dan tulisan yang berkenaan dengan pokok pembahasan yang diteliti dalam
penulisan ini. Pihak yang akan diwawancarai dalam penelitian ini yaitu tokoh
masyarakat adat Gampong kota Banda Aceh, Majelis Adat Aceh (MAA) Kota Banda
Aceh, Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Kota Banda Aceh, Dinas syari‟at
Islam kota Banda Aceh, Kepolisian kota Banda Aceh.
b. Angket.
Angket merupakan mengajukan pertanyaan berkenaan dengan pokok bahasan
yang dilengkapi dengan jawaban ganda. Responden tinggal memilih jawaban yang
paling benar menurut apa yang dirasakan, dilihat dan didengar.
2. Metode pengumpulan data pustaka (library research)
Dalam melengkapi data yang dibutuhkan dalam penulisan penelitian ini,
penulis juga menelaah buku-buku sebagaimana telah disinggung di atas. Sebagai data
penunjang (data sekunder).
10
1.5.1 Lokasi Penelitian
Metode penelitian yang akan dilaksanakan adalah metode Survei. Penelitian
akan dilaksanakan di kota Banda Aceh, lokasi penelitian ini dipilih secara purposive
berdasarkan pertimbangan bahwa kotamadya ini adalah sentral penyelesaian kasus
khalwat melalui adat di kota Banda Aceh.
1.5.2 Populasi dan Sampel
Populasi penelitian adalah pihak yang terkait dalam Lembaga Adat serta
Tokoh-Tokoh Masyarakat di Kota Banda Aceh. Sampel ditarik secara simple random
sampling.
Istilah populasi dan sampel tepat digunakan jika penelitian yang dilakukan
mengambil sampel sebagai subjek penelitian, akan tetapi jika sasaran penelitiannya
adalah seluruh anggota populasi akan lebih cocok digunakan istilah subjek
penelitian, terutama dalam penelitian eksperimental. Dalam survai, sumber data
lazim disebut responden dan dalam penelitian kualitatif disebut informan atau subjek
tergantung pada cara pengambilan datanya. Penjelasan yang akurat tentang
karakteristik populasi penelitian perlu diberikan agar besarnya sampel dan cara
pengambilannya dapat ditentukan secara tepat. Tujuannya adalah agar sampel yang
dipilih benar-benar representatif, dalam arti dapat mencerminkan keadaan
populasinya secara cermat. Kelengkapan sampel merupakan kriteria terpenting dalam
pemilihan sampel penelitian dalam kaitannya dengan maksud menggeneralisasikan
hasil-hasil penelitian sampel terhadap populasinya. Jika keadaan sampel semakin
berbeda dengan kakarteristik populasinya, maka semakin besar kemungkinan
kekeliruan dalam generalisasinya. Jadi, hal-hal yang dibahas dalam bagian Populasi
dan Sampel adalah (a) identifikasi dan batasan-batasan tentang populasi atau subjek
penelitian, (b) prosedur dan teknik pengambilan sampel, serta (c) besarnya sampel.
1.5.3 Teknik Pengumpulan Data
Bagian ini penulis menguraikan (a) langkah-langkah yang ditempuh dalam
teknik yang digunakan untuk mengumpulkan data, (b) kualifikasi dan jumlah petugas
yang terlibat dalam proses pengumpulan data, serta (c) jadwal waktu pelaksanaan
pengumpulan data. Jika penelitian menggunakan orang lain sebagai pelaksana
11
pengumpulan data, perlu dijelaskan cara pemilihan serta upaya mempersiapkan
mereka untuk menjalankan tugas. Proses mendapatkan ijin penelitian, menemui
pejabat yang berwenang pada, lembaga adat.
1.5.4 Teknik Analisis Data
Untuk menganalisa data penulis menggunakan metode deskriptif analisis
yaitu menganalisa dan memecahkan masalah yang terjadi berdasarkan gambaran
yang dilihat dan didengar serta hasil penelitian baik lapangan maupun teori berupa
data-data dan buku-buku yang berkaitan dengan topik pembahasan.
12
BAB II
TINJAUAN TEORITIS/ LITERATURE REVIEW
2.1 Pengertian Hukum Adat.
Kajian terhadap permasalahan penerapan syari‟at islam, khususnya dalam
masalah khalwat/meuseum secara umum dapat dilihat dari beberapa sumber, di
antaranya yang terdapat dalam Qanun Nomor 14 tahun 2003 dalam pasal 8 ayat (1)
yang menjelaskan bahwa Masyarakat berperan serta dalam membantu upaya
penceganan dan pemberantasan perbuatan khalwat/mesum. Sementara dalam ayat (2)
Dinyatakan bahwa masyarakat wajib melapor kepada pejabat yang berwenang baik
secara Lisan maupun tulisan apabila mengetahui adanya pelanggaran terhadap
larangan khalwat/mesum.
Lembaga adat yang berkembang dalam kehidupan masyarakat Aceh sejak
dahulu hingga sekarang mempunyai fungsi dan berperan dalam membina nilai-nilai
budaya, norma-norma adat dan aturan untuk mewujudkan keamanan,
keharmonisasian, ketertiban, ketentraman, kerukunan dan kesejahteraan bagi
masyarakat Aceh sebagai manifestasi untuk mewujudkan tujuan-tujuan bersama
sesuai dengan keinginan dan kepentingan masyarakat setempat. Untuk meningkatkan
peran dan melestarikan lembaga adat, sebagai salah satu wujud pelaksanaan
kekhususan dan keistimewaan Aceh di bidang adat istiadat perlu dilakukan
pembinaan dan pemberdayaan yang berkesinambungan terhadap lembaga-lembaga
adat dimaksud sesuai dengan dinamika dan perkembangan masyarakat Aceh.
Dari tinjauan kajian bahasa, khalwat berasal dari kata khulwah dari akar kata
khala yang berarti “sunyi” atau “sepi”. Sedangkan menurut istilah khalwat adalah
keadaan seseorang yang menyendiri dan jauh dari pandangan orang lain.
Dalam penggunaannya, istilah khalwat ini dapat berkonotasi ganda, positif
dan negative, khalwat adalah menarik diri dari keramaian dan menyepi untuk
mendekatkan diri kepada Allah. Sedangkan dalam arti negative, khalwat berarti
perbuatan berdua-duaan ditempat sunyi atau terhindar dari pandangan orang lain
antara seseorang pria dan seseorang wanita yang bukan muhrim dan tidak terikat
perkawinan.
13
Sementara definisi hukum adat menurut Spradley dan Mc Curdy, ialah sikap
legal ethnocentrism, yakni: the tendency to view the law of other cultures through the
concepts and assumptions of Western. Padahal, sikap legal ethnocentrism itu
mengundang kritik, antara lain: a) cenderung meniadakan eksistensi dari hukum pada
pelbagai masyarakat; dan b) cenderung mengambil bentuk sistem hukum barat
sebagai dasar dari penelaahan dan penyusunan kebijakan.4
Hukum adat dieksplorasi secara ilmiah pertama kali dilakukan oleh William
Marsden (1783), orang Irlandia yang melakukan penelitian di Bengkulu, semasa
dikuasai Inggris, kemudian diikuti oleh Muntinghe, Raffles. Namun kajian secara
sistimatis dilakukan oleh Snouck Hourgronye, yang pertama kali menggunakan
istilah adatrecht (hukum adat), dan ia sebagai peletak teori Receptie ia memandang
hukum adat identik dengan hukum kebiasaan. Istilah Hukum Adat atau adatrecht
pertama kali digunakan pada tahun 1906, ketika Snouck Hurgronye menggunakan
istilah ini untuk menunjukkan bentuk-bentuk adat yang mempunyai konsekwensi
hukum. Kemudian dilanjutkan oleh van Vallenhoven dengan pendekatan positivisme
sebagai acuan berfikirnya, ia berpendapat ilmu hukum harus memenuhi tiga
prasyarat, yaitu: (1). memperlihatkan keadaan (gestelheid), (2) kelanjutan (veloop),
dan (3) menemukan keajekannya (regelmaat).
Berdasarkan itu, ia memetakan Hindia Belanda (Indonesia-sekarang) ke
dalam 19 lingkungan hukum adat secara sistematik, berdasarkan itu ia sering disebut
Bapak Hukum Adat. Ia mengemukakan konsep hukum adat, seperti: masyarakat
hukum atau persekutuan hukum (rechtsgemeenschap), hak ulayat atau pertuanan
(beschikings-rechts), lingkaran hukum adat (adatrechtskringen).
Selanjutnya Teer Haar, berdasarkan analisisnya pada Teori Keputusan yang
dikemukakan oleh John Chipman Grey yang menyatakan, semua hukum dibuat oleh
hakim (Judge made law), ia mengemukakan Teori Keputusan (beslissingenleer-
theorie).
Mengkaji hukum adat dari berbagai sudut pandang, namun tetap
menunjukkan apa yang disebut hukum adat, akan menentukan bagaimana hukum
4Muhammad Siddiq, Chairul Fahmi, problematika Qanun Khalwat-Analisa Terhadap
Perspektif Mahasiswa Aceh, Aceh Justice resource Centre, Banda Aceh, 2009.hlm 32-33
14
adat dalam perkembangannya, dan hukum adat akan mampu menyesuaian dengan
kebutuhan dan tuntutan dalam masyarakat yang akan terus berubah. Oleh karena itu
pemahaman pengertian, pendekatan metodologis menjadi penting sekali untuk dapat
melihat, memahami dan mempelajari perkembangan hukum adat atau hukum adat
dalam perkembangannya.
Hukum adat sebagai hukum yang dibangun berdasarkan paradigma atau nilai-
nilai: harmoni, keselarasan, keutuhan menentukan corak, sifat, karakter hukum adat.
Hukum adat merupakan istilah tehnis ilmiah, yang menunjukkan aturan-
aturan kebiasaan yang berlaku di kalangan masyarakat yang tidak berbentuk
peraturan-perundangan yang dibentuk oleh penguasa pemerintahan.5 Beberapa
definisi hukum adat yang dikemukakan para ahli hukum, antara lain sebagai berikut:
Menurut Prof.Van Vallenhoven, yang pertama kali menyebut hukum adat
memberikan definisi hukum adat sebagai : “Himpunan peraturan tentang perilaku
yang berlaku bagi orang pribumi dan timur asing pada satu pihak yang mempunyai
sanksi (karena bersifat hukum) dan pada pihak lain berada dalam keadaan tidak
dikodifikasikan (karena adat). Abdulrahman , SH menegaskan rumusan Van
Vallenhoven dimaksud memang cocok untuk mendeskripsikan apa yang dinamakan
Adat Recht pada jaman tersebut bukan untuk Hukum Adat pada masa kini.
Menurut Prof. Soepomo, merumuskan Hukum Adat: Hukum adat adalah
synomim dari hukum yang tidak tertulis di dalam peraturan legislative (statuary law),
hukum yang hidup sebagai konvensi di badan-badan hukum Negara (Parlemen,
Dewan Propinsi dan sebagainya), hukum yang hidup sebagai peraturan kebiasaan
yang dipertahankan di dalam pergaulan hidup, baik di kota maupun di desa-desa.
Prof. Soekanto, merumuskan hukum adat: Komplek adat adat inilah yang
kebanyakan tidak dikitabkan, tidak dikodifikasikan dan bersifat paksaan mempunyai
sanksi ( hukum), jadi mempunyai akibat hukum, komplek ini disebut Hukum Adat.
Prof. Soeripto: Hukum adat adalah semua aturan-aturan/ peraturan-peraturan adat
tingkah laku yang bersifat hukum di segala kehidupan orang Indonesia, yang pada
umumnya tidak tertulis yang oleh masyarakat dianggap patut dan mengikat para
5Abbas, syahrizal, syari‟at Islam di Aceh-Ancanagan metodologis dan penerapannya, Dinas syari‟at
Islam,Banda aceh, 2009.hlm 23-24.
15
anggota masyarakat, yang bersifat hukum oleh karena ada kesadaran keadilan umum,
bahwa aturan-aturan/ peraturan itu harus dipertahankan oleh petugas hukum dan
petugas masyarakat dengan upaya paksa atau ancaman hukuman (sanksi).
Menurut Hardjito Notopuro, Hukum Adat adalah hukum tidak tertulis, hukum
kebiasaan dengan ciri khas yang merupakan pedoman kehidupan rakyat dalam
menyelenggarakan tata kedilan dan kesejahteran masyarakat dan bersifat
kekeluargaan.
Menurut Suroyo Wignjodipuro, Hukum adat adalah suatu kompleks norma-
norma yang bersumber apada perasaan keadilan rakyat yang selalu berkembang serta
meliputi peraturan tingkat laku manusia dalam kehidupan sehari-hari dalam
masyarakat, sebagian besar tidak tertulis, karena mempunyai akibat hukum (sanksi).
Seminar Hukum Adat dan pembinaan Hukum Nasional: Hukum adat
diartikan sebagai Hukum Indonesia asli yang tidak tertulis dalam bentuk perundang-
undangan Republik Indonesia, yang disana sini mengandung unsur agama. Sudjito
Sastrodiharjo menegaskan, Ilmu hukum bukan hanya mempelajari apa yang disebut
das sollen, tetapi pertama kali harus mengingat das sein. Hukum adat merupakan
species dari hukum tidak tertulis, yang merupakan genusnya. Selanjutnya dalam
memahami perkembangan hukum adat dalam masyarakat, maka Prof. Van
Vallenhoven merumuskan, Jikalau dari atas (penguasa) telah diputuskan untuk
mempertahankan Hukum Adat padahal hukum itu sudah mati, maka penetapan itu
akan sia-sia belaka. Sebaliknya seandainya telah diputuskan dari atas bahwa Hukum
Adat harus diganti, padahal di desa-desa, di ladang-ladang dan di pasar-pasar hukum
itu masih kokoh dan kuat, maka hakim-pun akan sia-sia belaka. Dengan kata lain
memahami hukum adat harus dilakukan secara dinamik, dan selaras antara atas –
yang memutuskan – dan bawah yang menggunakan - agar dapat diketahui dan
dipahami perkembangannya.
Menurut Soepomo, Hukum adat adalah suatu hukum yang hidup karena ia
menjelmakan perasaan hukum yang nyata dari rakyat. Dalam berbagai seminar,
maka berkembang kemudian hukum yang hidup dalam masyarakat (living law) yang
lazim dipergunakan untuk, menunjukkan berbagai macam hukum yang tumbuh dan
16
berkembang dengan sendirinya di dalam masyarakat, yang menurut Satjipto Raharjo,
akan tetap ada sebagai kelengkapan dari Hukum Nasional. Penyebutan Hukum Adat
untuk hukum yang tidak tertulis tidak mengurangi peranannya dalam memberikan
penyaluran dari kebiasaan, kepentingan-kepentingan yang tidak terucapkan dalam
hukum tertulis.
2.2 Azas azas Hukum Adat
Hukum adat yang tumbuh dari cita-cita dan alam pikiran masyarakat
Indonesia, yang bersifat majemuk, namun ternyata dapat dilacak azas-azasnya, yaitu:
1. Azas Gotong royong;
2. Azas fungsi sosial hak miliknya;
3. Azas persetujuan sebagai dasar kekuasaan umum;
4. Azas perwakilan dan musyawaratan dalam sistem pemerintahan6
2.3 Hukum Adat dan Hubungannya dengan Syari’at Islam
2.4.1 Syariat Dalam Realitas Kehidupan
Syari‟at dalam realitas kehidupan sesungguhnya dapat berjalan seiring
dengan perkembangan zaman. syari‟at Islam selalu kontekstual dan layak untuk
setiap generasi.
Banyak manusia yang merasakan kehidupan yang bahagia dan merasa cocok
untuk mengemban risalah islam guna membebaskan dunia dari berbagai belenggu
kezaliman, kebodohan dan kesetaraan. Syari‟at bersifat konrehensif yang mampu
mengayomi seluruh umat manusia dimanapun mereka berada meskipun tempatnya
berjauhan, tabi‟at dan warna kulitnya. Namun demikian, karena permasalahan dan
prolem kehidupan umat manusia selalu beerkembang dan tidak terbatas, maka
merupakan suatu kekeliruan bila umat Islam selalu terpaku dan terkungkung pada
teks literal al-Qur‟an dan al-Hadis, ketika merespon hal yang kontemporer
bedasarkan prinsip syari‟at Islam.
6www. Hukum Adat.blogspot
17
Semangat dasar dari syari‟at Islam nampaknya juga sudah terakomodir dalam
Qanun yang dibuat pemerintah aceh demi terlaksananya syari‟at Islam, hal ini bisa
dilihat dalam pasal yang terdapat dalam Qanun aceh, berikut kutipan qanun tersebut;
Qanun No. 14 Tahun 2003 tentang khalwat/mesum pada pasal 8 disebutkan:
(1) Masyarakat berperan serta dalam memebantu upaya pencegahan dan
pemberantasan perbuatan khalwat/mesum.
(2) Masyarakat wajib melapor kepada pejabat yang berwenang baik secara lisan
maupun tulisan apabila mengetahui adanya pelanggaran terhadap pelanggaran
khalwat/mesum.
Adanya kesadaran masyarakat untuk ikut terlibat aktif dalam mensukseskan
penerapan syari‟at Islam di Aceh telah memberikan dampak yang sangat positif bagi
terlaksananya syari‟at Islam ini. Hal ini bila dilihat minimal dari dua aspek
mendasar; pertama, masyarakat sangat mendukung dengan terlaksananya syari‟at
islam, sehinggga begitu wacana tentang penerapan syari‟at Islam ini digulirkan tidak
membutuhkan waktu lama untuk melaksanakannya ini bisa dilihat bila dibandingkan
dengan Negara lain yang sama-sama ingin menerapkan syari‟at Islam, karena pada
dasarnya memang masyarakat sudah lama mengharapkan diterapkan syari‟at Islam
ini.
Kedua, peran serta masyarakat juga ditunjukkan dengan kepedulian mereka
ikut menjaga partisifasi aktif agar pelaksanaan syari‟at ini tidak dinodai oleh hal-hal
yang bertentangan dengan tujuan syari‟at itu sendiri. Contoh, pada tahap tertentu
masyarakat tanpa diminta secara sukarela melakukan pengawasan dan bahkan pada
tingkat tertentu juga melakukan tindakan represif terhadap oknum masyarakat yang
dianggap telah menodai pelaksanaan sayri‟at.
Namun demikian, ada kenyataan lain yang sangat disesalkan dari peran serta
masyarakat ini. karena tidak sedikit praktek yang terjadi dimasyarakat akibat peran
ini telah menimbulkan dampak yang negatif, dimana pada akhirnya tindakan ini
menjadi suatu tindakan yang secara tidak langsung juga mengarah pada pelanggaran
syari‟at itu sendiri. Ada beberapa kasus yang juga bisa dijadikan contoh, antara lain,
ketika masyarakat melakukan penangkapan terhadap pasangan yang diduga
melakukan khalwat, masyarakat sering kali memberikan hukuman, ini saja
18
sebenarnya sudah pelanggaran karena bukan kewenangannya yang tidak dibenarkan
oleh syari‟at. Misalnya, ketika mereka menelanjangi pasangan tersebut dan
mengaraknya keliling gampong.7
Selain contoh tersebut, terdapat banyak lagi peran masyarakat yang bertolak
belakang dengan kewenangan mereka yang sebenarnya telah dibatasi oleh qanun
tersebut di atas. Belum lagi adanya ketumpang tindihan keadaan ini bila dikaitkan
dengan kewenangan adat, dimana lembaga adat telah diberikan kewenangan yang
seluas-luasnya sehingga terkadang kebablasan dan berujung bukannya pada
keberpihakan terhadap syari‟at, tetapi malah bertolak belakang dan melanggar
syari‟at itu. Contohnya: beberapa waktu sekitar bulan April 2009 yang lalu
ditemukan pasangan yang diduga melakukan khalwat, setelah tertangkap keduanya
bersama keluarganya sepakat di adili dengan hukum adat. Keputusan dari adat adalah
menikahkan pelaku khalwat tersebut. Tanpa ada pertimbangan lain dengan terpaksa;
pernikahan dilangsungkan. Tiga hari kemudian suami menjatuhkan thalaq.
Bukankah hal ini telah bertentangan dengan syari‟at, bagaimana tidak, pertama dalil
mana yang menguatkan untuk bisa mengalihkan hukuman perbuatan khalwat diganti
dengan cara dinikahkan, kedua, sudah jelas bahwa pernikahan yang dipaksakan
hukumannya tidak sah. Ketiga, perceraian adalah perbuatan yang dibenci oleh
syari‟at. Inilah sekelumit kasus dari sekian banyak kasus yang terjadi sebagai salah
satu konsekuensi akan peran serta masyarakat.
Wanita Aceh yang secara umum berhadapan dengan tatanan sosial budaya
dan syari‟at Islam sebagai tuntunan dianggap sebagai penghalang bagi usaha-usaha
pencapaian hak-hak mereka. Sedangkan disisi lain, mereka menuntut untuk
mendapatkan kesetaraan hidup sebagaimana yang dirasakan oleh kaum adam.
Dalam pelaksanaan syari‟at Islam di Aceh, keberadaan lembaga WH juga
sangat berperan untuk mengawasi, menjaga serta melakukan penyidikan terhadap
pelaku khalwat/mesum dan semua instansi yang ada sudah mempunyai pembagian
masing-masing.8
7Ibid, hlm23-24
8Ibrahim, Soufyan, Toleransi dan Kiprah Perempuan dalam Penerapan Syari‟at Islam, Dinas
syari‟at Islam aceh, Banda Aceh, 2009.hlm.66-67
19
2.4.2 Peran serta Masyarakat dalam mewujudkan syari’at Islam di Aceh
Menurut Muin Fahmal, peran serta merupakan suatu pengertian yang sering
kali di pertukarkan dengan istilah „partisipasi”. Dalam kepustakaan Belanda, peran
serta inspraak merupakan salah satu bentuk dari partisipasi. Unsur-unsur dari peran
serta tersebut yaitu:
1. Tersedianya suatu kesempatan yang terorganisir bagi masyarakat untuk
mengemukakan pendapat dan pemikirannya terhadap pokok-pokok
kebijaksanaan pemerintah;
2. Dengan demikian, adanya kesempatan bagi masyarakat untuk melakukan
diskusi dengan pemerintah dan perencanaan;
3. Dalam batas-batas yang wajar, diharapkan bahwa hasil diskusi tersebut dapat
mempengaruhi pengambilan keputusan. Peran serta merupaka hal untuk ikut
memutuskan (medebslisingsrecht).
Menurut pasal 53 UU No. 10 Tahun 2004 tentang pembentukan peraturan
perundang-undangan bahwa “masyarakat berhak memberikan masukan lisan
ataupun tertulis dalam rangka penetapan maupun pembahasan rancangan undang-
undang dan peraturan daerah”.
Peran serta masyarakat akan lebih mengerucut pada peran sertanya dalam
penegakan qanun, partisipasi masyarakat dalam penegakan qanun, tidak saja hanya
didasari oleh jurisprudensi Negara semata namun juga oleh nash. Al-Qur‟an sebagai
kalamullah merupakan petunjuk syari‟at bagi manusia, yang didalamnya terdapat
banyak tuntunan bagaimana manusia mempertanngung jawabkan hidupnya.
Dengan adanya peran serta masyarakat untuk ikut terlibat aktif dalam
mensukseskan penerapan syari‟at Islam di Aceh, telah memberikan dampak yang
sangat positif bagi terlaksananya syari‟at Islam ini. Hal ini bisa dilihat minimal dari
dua aspek mendasar; pertama, masyarakat sangat mendukung dengan
dilaksanakannya syri‟at islam. Kedua, ini juga di tunjukkan dengan kepedulian
mereka yang menjaga dan berpartisipasi aktif agar syari‟at ini tidak dinodai.
20
BAB III
PERAN LEMBAGA ADAT DALAM PENERAPAN QANUN NOMOR 14
TAHUN 2003 TENTANG KHALWAT/MESUM
3.1 Peran adat dalam pelaksanaan syari'at.
Pasal 79 Draft RUU PA versi DPRD NAD dan pasal 80 versi Pemerintah
ayat (2), menyebutkan Penyelesaian masalah sosial kemasyarakatan secara adat
ditempuh melalui lembaga adat. Klausul ini di lapangan akan memperkuat praktik
penegakan hukum adat yang selama ini terjadi, dan disarkan pada UU No.44/ 1999
tentang Keistimewaan Aceh dan UU No. 18/2001 tentang Otonomi Khusus NAD.
Bagi Komnas Perempuan, Lembaga adat cukup diberi peran sebagaimana disebutkan
dalam pasal yang sama ayat sebelumnya. Pasal 79 Draft RUU PA versi DPRD NAD
dan pasal 80 versi Pemerintah ayat (1) menyebutkan:
“Lembaga adat berfungsi dan berperan sebagai alat kontrol dalam penyelenggaraan
Pemerintahan Aceh, bidang keamanan, ketentraman, kerukunan dan ketertiban
masyarakat”.
Lembaga adat memang menjadi salah satu mekanisme penyelesaian berbagai
persoalan. Peka terhadap kearifan lokal diakui menjadi salah satu pilihan pagi
penyelesaian masalah sosial. Tapi tafsir sepihak oleh otoritas adat juga berpotensi
terjadinya pelanggaran Hak Asasi Manusia. Temuan Komnas Perempuan dalam
pemantauan pelaksanaan syariat Islam, lembaga adat menjadi salah satu penyumbang
terjadinya pelangaran Hak Asasi Manusia. Khususnya dalam menghadapi kasus-
kasus khalwat (mesum). Jika tindakan mesum dianggap sebagai sebuah tindak
pidana, semestinya penyelesaian secara adat tidak lagi dibenarkan, apalagi
penyelesaian yang ditempuh melanggar Hak Asasi Manusia. Akibatnya, seorang
pelaku mesum mengalami dua kali hukuman atas satu tindak pidana yang
dilakukannya Pembatasan peran lembaga adat dilakukan khususnya terhadap
perkara-perkara yang sudah diatur di dalam perundang-undangan nasional dan
qanun-qanun. Di sini perlu dirumuskan pembatasn yang tegas, kapan masing-masing
sistem hukum itu beroperasi.
21
Di beberapa daerah di Indonesia peran adat untuk mewujudkan terlaksananya
syari'at Islam, sangat dominan yang tercermin dalam pelaksanaan berbagai kegiatan
dalam masyarakatnya yang hidup dan berkembang dalam kehidupan kesehariannya.
Di Aceh masyarakatnya yang terkenal sangat religius yang memiliki adat
yang identik dengan Islam, hal ini sesuai dengan ungkapan yang sangat popular
dalam masyarakat Aceh “Adat bak po Teumeureuhom Hukom bak Syiah Kuala,
antara Hukom ngon Adat lage zat ngon sipheut‟. (Adat pada yang punya wilayah/
penguasa, hukum pada syiah kuala/ ulama, hukum dengan adat seperti zat dengan
sifat).
Islam datang ke Aceh telah kawin dengan adat Aceh dan telah melahirkan
identitas Aceh yang sangat khas "Aceh Serambi Mekah" dan perkawinan ini terjadi
proses harmonisasi yang menimbulkan kekuatan dan melekatnya identitas baru di
Aceh.
Kehidupan adat Aceh dengan Islam tidak dapat dipisahkan. Harmonisasi
antara adat dan Islam ini berkembang dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat.
Sistem pemerintahan di Aceh mencerminkan kedua unsur ini, dwi tunggal antara
Geucik dan Teungku sebagai pemimpin masyarakat desa adalah cerminan
harmonisasi tersebut. Persoalan- persoalan hukum Islam dalam masyarakat,
diselesaikan dengan sistem musyawarah dan tumbuh menjadi adat dalam
penyelesaian konflik di desa.
Geucik dan Teungku adalah orang yang dituakan di Gampong/ Desa. Mereka
melayani masyarakat dalam segala macam persoalan sengketa antara warga, bahkan
termasuk pidana sebelum diteruskan ke Pengadilan, diselesaikan terlebih dahulu
didesa (Gampong), demikian pula permasalahan sengketa rumah tangga.
Penyelesaian sengketa biasanya dilakukan di meunasah atau balai desa, melalui
musyawarah. Bila upaya damai di desa gagal, barulah diteruskan ke pengadilan.
Masyarakat Aceh memiliki suatu budaya yang mengutamakan penyelesaian
sengketa apa saja melalui perdamaian. Ada beberapa ungkapan populer yang
berkembang dalam masyarakat Aceh, misalnya: "Yang rayek tapeu ubit, nyang ubit
tapeugadoh" artinya masalah besar diperkecil, yang kecil dihilangkan. Juga
22
ungkapan yang menggambarkan betapa masyarakat Aceh sebenarnya sangat
mencintai perdamaian dalam penyelesaian sengketa seperti misalnya: "Meunyo tatem
to megot got harta bansot syedara piha" artinya, bila mau berbaik baik harta/ biaya
tidak habis, persaudaraan tetap terpelihara.
Masyarakat Aceh sangat menghormati penegakan keadilan, baik dalam
lingkungan keluarga, ketika orang tua memberikan hibah kepada anak- anaknya
maupun penegakan keadilan dalam penyelesaian perkara di pengadilan.
Beberapa waktu dimasa lalu kita sering mendengar ungkapan dalam
masyarakat “Pancuri manok lam tutupan, pencuri intan lam istana " artinya, Pencuri
ayam masuk penjara, pencuri intan dalam istana (dibebaskan). Apakah ini
merupakan kritikan atau sindiran terhadap penegakan hukum yang berjalan pada
waktu itu, atau merupakan harapan kepada penegak hukum untuk berlaku adil atau
menegakkan hukum terhadap siapapun tanpa pandang bulu.
Oleh karena budaya Aceh yang sangat religius, maka masyarakat Aceh tidak
henti- hentinya meminta kepada Pemerintah pusat untuk dapat diberlakukan Syari'at
Islam.
Atas permintaan masyarakat Aceh yang tidak kenal lelah tersebut pemerintah
pusat telah mengeluarkan beberapa undang- undang yang telah kita kemukakan
diatas. Kita berharap daerah-daerah lain yang Islamnya mayoritas dapat diberlakukan
syari'at Islam sebagaimana yang telah diberikan kepada masyarakat Aceh.9
3.2 Penyelesaian Kasus Khalwat Secara adat
Sebagaimana dijelaskan pada bab sebelumnya, meskipun tidak adanya
undang-undang yang mengatur tentang penjatuhan hukuman oleh lembaga adat,
namun selalu ada kasus khalwat/mesum yang di selesaikan oleh masyarakat melalui
adat gampong. Beragam bentuk penyelesaian yang dilakukan oleh warga setempat
baik hukuman berupa ditelanjangi lalu diarak, dan ada juga yang dinikah paksakan
tanpa adanya kemauan dari korban tersebut.
Perlakuan seperti ini cukup sering ditemukan di gampong-gampong yang ada
di kawasan banda aceh, sebagaimana pernyatan dari seorang tokoh adat gampong
9M. Rusli Ali Basyah, Geucik Kopelma darussalam, wawancara Tgl 05 Mei 2010
23
Lamglumpang Ulee kareng yang menyatakan “ sebenarnnya peran lembaga adat
dalam rangka mewujudkan syari‟at Islam di aceh, memang sudah dari dulu di
praktekkan dalam kehidupan masyarakat, sebelun Undang-undang syari‟at ada dari
dulu lembaga adat selalu dapat menyelesaiakn sengketa yang ada digampong dengan
baik, arif dan bijaksana tanpa pandang bulu”. Makanya apabila ada kasus tentang
khalwat/mesum, diselesaikan secara adat dulu.
Pernyataan seperti yang dikemukakan diatas, oleh tokoh adat Gampong
lamglumpang ingin menekankan bahwa, kasus khalwat yang ditangkap oleh warga
masyarakat dalam suatu gampong kemudian diselesaikan oleh gampong tersebut
akan lebih baik dampaknya di bandingkan bila kasus tersebut dilaporkan kepihak
yang berwenang. Ini menunjukkan bahwa apabila ada suatu sengketa atau kasus
khalwat/mesum selama masih bisa diselesaikan secara adat tidak perlu dilaporkan
kepada pihak yang berwenang. alasan ini dikemukan karena mereka beranggapan
bahwa bila masyarakat yang menangkap lalu diserahkan kepada pihak yang
berwenanng/petugas WH, sementara WH dalam menjalankan tugasnya mendapat
gaji dari pemerintah sementara masyarakat tidak mendapat apa-apa. Padahal peran
dan fungsi masyarakat dalam suatu gampong, jauh lebih aktif di bandingkan petugas
WH yang hanya datang lalu membawa pergi pelaku khalwat/mesum. Namun ada
perbedaan pendapat mengenai peran dan fungsi WH dalam menangani kasus
khalwat seperti yang dikemukakan oleh Geuchik kopelma Darussalam “dimana
peran lembaga adat belum banyak terlihat dalam kasus khalwat, sehingga masih
banyaknya kasus khalwat yang belum mampu untuk diselesaikan pada tataran adat
gampong seputaran Darussalam, disini yang berperan aktif dalam penyelesaian kasus
khalwat lebih dominan diselesaikan oleh petugas WH Sementara itu bila dilihat dari
segi penyelesaian kasus lembaga adat ”.
Walaupun Qanun khalwat sudah diberlakukan, penyelesaian kasus khalwat
dalam masyarakat mempunyai keragaman. Keragaman ini bisa disebabkan oleh
penafsiran yang beragam terhadap partisipasi masyarakat dalam Qanun khalwat.
Terhadap peran serta masyarakat dalam Qanun khalwat disebutkan bahwa:
Pasal 8 ayat (1)
24
“Masyarakat berperanserta dalam membantu upaya pencegahan dan
pemberantasan perbuatan khalwat/mesum”.
Penafsiran terhadap pasal 8 diatas melahirkan beberapa proses penyelesaian
kasus khalwat dalam masyarakat, seperti dicambuk setelah menjalani proses
persidangan, diberi pembinaan dan dilepaskan, dinikahkan secara paksa oleh
masyarakat, dimandikan warga, diarak keliling desa dan lain-lain.
Penyelesaian kasus khalwat secara sepihak, sebagai bentuk partisipasi
masyarakat, tidak sepenuhnya benar karena pada pasal 9 Qanun khalwat
menyebutkan:
“Dalam hal pelaku pelanggaran tertangkap tangan oleh warga masyarakat,
maka pelaku beserta barang bukti segera diserahkan pada pejabat yang
berwenang”.
Dari sini dapat dilihat bahwa masyarakat tidak dibenarkan berpartisipasi
dalam upaya penghakiman masa. Karena telah ada pihak yang berwenang yang
betugas untuk memutuskan hukuman yang sebenarnya. Disinilah proses peradilan
suatu perkara (due proces of law) harus dilaksanakan. due proces of law merupakan
persyaratan utama dari suatu Negara hukum.10
3.3 Kebijakan dan Strategi Lembaga Adat
`Qanun Aceh Tahun 2008 tentang lembaga adat, menegaskan bahwa lembaga
adat yang berkembang dalam kehidupan masyarakat Aceh sejak dahulu hingga
sekarang mempunyai peranan penting dalam membina nilai-nilai budaya, norma-
norma adat dan aturan untuk mewujudkan keamanan, ketertiban, ketentraman,
kerukunan dan kesejahteraan bagi masyarakat Aceh sesuai dengan nilai Islami.
Qanun Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam nomor 14 tahun 2003 Tentang
Khalwat dalam pasal 8) menyatakan bahwa, “Masyarakat berperan serta dalam
membantu upaya pencegahan dan pemberantasan perbuatan khalwat/mesum.
Masyarakat wajib melapor kepada pejabat yang berwenang baik secara Lisan
10
M. Zaini yunus, Geucik Lamglumpang Ulee Kareng, wawancara Tgl 03 Mei 2010
25
maupun tulisan apabila mengetahui adanya pelanggaran terhadap larangan
khalwat/mesum”.
Sesuai dengan adanya peran serta dari lembaga adat dalam mewujudkan
suatu kesejahteraan bagi masyarakat Aceh, yang telah ada ketentuan yang mengatur
sampai dimana lembaga adat boleh mengambil suatu kebijakan untuk menyelesaiakn
kasus khalwat/mesum. Kebijakan yang dilakukan oleh lembaga adat tersebut, berupa
larangan-larangan kepada warga yang melakukan pelanggaran syri‟at. Dalam
menyelesaikan sebuah kasus lembaga adat lebih memilih untuk diselesaikan secara
kekeluargaan.
Sebagai tindaklanjut berlakunya UUPA telah diundangkan Qanun Aceh
Nomor 9 Tahun 2008 tentang Pembinaan Kehidupan Adat dan Adat Istiadat. Qanun
tersebut memberikan alternatif solusi untuk mengeleminir kesulitan-kesulitan dalam
penyelesaian perkara, yaitu melalui peradilan hukum adat gampong. Penyelesaian
semacam ini, dalam bahasa sehari-hari disebut dengan penyelesaian secara adat.
Lahirnya qanun tersebut didasarkan pada pertimbangan bahwa Adat dan Adat
Istiadat yang berkembang dalam kehidupan masyarakat Aceh sejak dahulu hingga
sekarang melahirkan nilai-nilai budaya, norma adat dan aturan yang sejalan dengan
Syari‟at Islam yang merupakan kekayaan budaya yang perlu dibina, dikembangkan,
dan dilestarikan. Upaya-upaya tersebut perlu dilaksanakan secara berkesinambungan
dari generasi ke generasi berikutnya sehingga dapat memahami nilai-nilai adat dan
budaya yang berkembang dalam kehidupan masyarakat Aceh.
Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2008 dapat pula dikatakan sebagai kelanjutan
dari Qanun NAD Nomor 5 Tahun 2003 tentang Pemerintah Gampong, yang telah
menegaskan bahwa salah satu fungsi gampong adalah penyelesaian permasalahan
hukum dalam hal adanya persengketaan atau perkara-perkara adat dan adat istiadat di
Gampong, dimana keuchiek karena jabatannya (ex officio) bertindak selalu ketua
majelis hakim persidangan pada tingkat gampong.
Dalam Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2008 tentang Pembinaan Kehidupan dan
Adat Istiadat telah diatur secara tegas dalam bab tersendiri mengenai penyelesaian
sengketa dan mekanismenya. Pasal 13 ayat (1), ditegaskan bahwa jenis
sengketa/perselisihan adat dan adat istiadat meliputi:
26
1. perselisihan dalam rumah tangga;
2. sengketa antara keluarga yang berkaitan dengan faraidh;
3. perselisihan antar warga;
4. khalwat meusum;
5. perselisihan tentang hak milik;
6. pencurian dalam keluarga (pencurian ringan);
7. perselisihan harta sehareukat;
8. pencurian ringan;
9. pencurian ternak peliharaan;
10. pelanggaran adat tentang ternak, pertanian, dan hutan;
11. persengketaan di laut;
12. persengketaan di pasar;
13. penganiayaan ringan;
14. pembakaran hutan (dalam skala kecil yang merugikan komunitas adat);
15. pelecehan, fitnah, hasut, dan pencemaran nama baik;
16. pencemaran lingkungan (skala ringan);
17. ancam mengancam (tergantung dari jenis ancaman); dan
18. perselisihan-perselisihan lain yang melanggar adat dan adat istiadat.
Dari pasal di atas, secara tegas telah ditentukan 18 macam perkara yang dapat
diselesaikan melalui peradilan adat gampong. Sebagaimana lazimnya dalam
paradigma hukum adat, Jenis-jenis perkara tidak dibedakan dalam kelompok bidang
hukum publik , administratif, ataupun hukum privat. Bagi hukum adat, semua jenis
perkara adalah bersifat publik atau communal..
Selanjutnya, ditegaskan pula bahwa penyelesaian sengketa/perselisihan adat
dan adat istiadat sebagaimana dimaksud di atas diselesaikan secara bertahap. Ini
maksudnya, sedapat mungkin, perkara-perkara sebagaimana dimaksudkan di atas,
diselesaikan terlebih dahulu pada tingkat peradilan gampong, tidak langsung dibawa
keluar gampong untuk menyelesaikan kasus-kasus di atas. Bahkan, dalam ayat yang
lain ditegaskan lagi, bahwa aparat penegak hukum (polisi) memberikan kesempatan
27
agar sengketa/perselisihan diselesaikan terlebih dahulu secara adat di gampong atau
nama lain.
Ketentuan di atas tentu saja jika diterapkan akan menimbulkan implikasi,
disatu sisi pada penguatan otonomi gampong dan sekaligus mengurangi beban kerja
aparat penegak hukum (petugas WH, satpol PP, dan Mahkamah syar‟iyah ). Namun
disisi lain, sangat diperlukan adanya peningkatan kapasitas para peutua gampong,
sehingga kearifan, kebijakan, dan kepiawaiannya dalam menyelesaikan berbagai
perkara di gampong dapat memberikan rasa adil bagi para warganya.
Menurut Pasal 14, penyelesaian secara adat di gampong dilaksanakan oleh
tokoh-tokoh adat yang terdiri atas: Geuchik atau nama lain, Imeum Meunasah atau
nama lain, Tuha Peut atau nama lain; sekretaris Gampong atau nama lain, dan
Ulama, Cendekiawan dan Tokoh adat lainnya di Gampong atau nama lain yang
bersangkutan, sesuai dengan kebutuhan.
Sidang musyawarah penyelesaian sengketa/perselisihan dilaksanakan di
Meunasah atau nama lain pada tingkat Gampong atau tempat-tempat lain yang
ditunjuk oleh Geuchik. Pada prinsipnya, sidang peradilan adat dilaksanakan di
meunasah, tidak boleh di tempat lain. Hal ini penting karena menyangkut dengan
legalitas hasil musyawarah penyelesaian sengketa tersebut. Namun dalam hal-hal
tertentu, misalnya dalam hal perlu melibatkan tokoh perempuan, atau pihak
berperkara perempuan yang saat itu sedang datang bulan sehingga tidak boleh
memasuki meunasah, maka dapat disepakati dan diputuskan oleh keuchik agar
persidangan dilakukan di tempat lain.
Dalam Pasal 15 qanun tersebut ditentukan bahwa tata cara dan syarat-syarat
penyelesaian perselisihan/persengketaan, dilaksanakan sesuai dengan ketentuan adat
setempat. Walaupun ketentuan ini sangat singkat dan tegas, namun maknanya sangat
dalam dan luas. Tetapi, ini merupakan salah satu khas lainnya dari hukum adat,
disamping bersifat communal, ia juga bersifat fleksibilitas. Artinya, mengenai hukum
materil dan hukum formil atau mekanisme dan hukum acara dalam proses
penyelesaian perkara tersebut mengacu pada hukum adat setempat. Hal ini sesuai
dengan pepatah adat lain lubuk lain ikannya, lain padang lain pula belalangnya.
28
Prinsip proses penyelesaian perkara menurut adat setempat, dimana dasar
hukum keputusannya mengacu pada putusan masa lalu (precedent) yang
dimaksudkan untuk menimbulkan kembali keseimbangan dalam masyarakat
(equalibrium), merupakan hal yang sama dengan kebiasaan berperkara dalam system
hukum common law sebagaimana dipraktek di Inggris, Amerika, dan negara-negara
berbahasa Inggris lainnya, yang disebut dengan Anglo Saxon. Dalam negara-negara
Anglo Saxon, hakim dengan berpedoman pada asas stare decesis harus mendasarkan
diri dalam pengambilan keputusannya pada keputusan-keputusan hukum terdahulu
yang telah mengikat dan berkekuatan hukum tetap (jurisprudent). Hal ini sangat
penting mereka lakukan agar tidak terjadinya kesenjangan yang mencolok (disparity)
dalam pemberian keputusan.
perlu ditegaskan sedikit system hukum di atas, untuk menegaskan bahwa para
hakim dalam proses persidangan adat gampong bukanlah sebagai trompet
perundang-undangan. Karenanya, Putusan peradilan adat gampong bukan merupakan
vonis, yang berisi kalah atau menang. Tetapi merupakan perdamaian (meudamee)
sebagaimana telah pernah dipraktekkan pada masa lalu (asas stare decesis), yang
disertai dengan jenis-jenis sanksi lain. Yang penting adalah perdamaiannya.
Sedangkan jenis sanksi lainnya merupakan sarana perwujudan menuju kedamaian,
ketentraman, dan keadilan di dalam gampong.
Adapun jenis-jenis sanksi yang dapat dijatuhkan dalam penyelesaian
sengketa adat menurut Pasal 16 Qanun Pembinaan Kehidupan Adat Aceh adalah
sebagai berikut:
1. nasehat;
2. teguran;
3. pernyataan maaf;
4. sayam;
5. diyat;
6. denda;
7. ganti kerugian;
8. dikucilkan oleh masyarakat gampong atau nama lain;
9. dikeluarkan dari masyarakat gampong atau nama lain;
29
10. pencabutan gelar adat; dan
11. bentuk sanksi lainnya sesuai dengan adat setempat.
Satu hal lagi yang membedakan system penyelesaian perkara menurut hukum
adat Aceh dibandingan dengan system hukum nasional adalah ditegaskannya
tanggungjawab keluarga pelanggar atas terlaksananya sanksi adat yang dijatuhkan
kepada anggota keluarganya (Pasal 16). Ketentuan tersebut, telah mengembangkan
paham tanggungjawab sebagaimana selama ini dipraktekkan dalam system hukum
pidana nasional. Selama ini, kecuali dalam pidana korporasi, semua tanggungjawab
pidana dibebankan secara pribadi pada si terpidana, sebagai tanggungjawab masing-
masing atas segala kesalahan atau kejahatannya, tidak dibebankan pada
keluarganya.11
Masalahnya sekarang adalah diperlukan dukungan berbagai pihak, terutama
Pemerintah Aceh dan Majelis Adat Aceh (MAA) sebagai leading sector-nya beserta
dengan seluruh komponen aneuk nanggroe untuk sesegera mungkin melakukan
sosialisasi, menerapkan dan menegakkan Qanun tentang Pembinaan Kehidupan
Adat di tengah-tengah masyarakat. Sosialisasi qanun ini idealnya harus berorientasi
pada pengembangan nilai-nilai dan norma-norma adat Aceh, yang senyatanya dapat
mewujudkan dan memperkuat perdamaian di Nanggroe Aceh Darussalam. Sehingga,
mulai sekarang hingga masa selanjutnya, setiap aneuk nanggroe akan bangga akan
keluhuran nilai dan norma adatnya.
Namun ketika dilakukan wawancara dengan Majeis Adat Aceh (MAA) pada
Tanggal 5 Mei 2010 pihak majellis Adat Aceh (MAA) mengatakan “pihak kami
tidak ada urusan dengan adanya pelaksanaan hukuman yang menyimpang dari pihak
gampong manapun, karena tugas MAA adalah sebagai lembaga yang memberikan
pelatihan kepada Lembaga adat gampong, maka dalam urusan adanya suatu perkara
dalam gampong, adat gampong tersebut yang menuntaskan perkara itu”.
Permasalahan yang muncul di lapangan berdasarkan dari hasil wawancara
dengan Dinas Syari‟at Islam, mereka yang sekedar duduk berdua-duaan ditempat
sunyi sama hukuman/sanksinya dengan yang melakukan khalwat, terkesan sangat
11
Abdullah, Kepala Bina Hukum Dinas Syari‟at Islam Propinsi Aceh, Wawancara 06 Mei 2010
30
tidak adil jika hukuman yang di berikan oleh masyarakat terhadap korban dan
terkadang sampai terjadinya pemukulan pada pelaku khalwat.
Berdasarkan pengalaman pihak dinas syari‟at Islam, dalam menangani kasus
khalwat/mesum dimana terkadang adanya pertimbangan dari petugas WH yang di
ajukan oleh korban, dapat ditambah dan dikurangi hukumannya dengan
pertimbangan terhadap perbuatan sipelaku khalwat/mesum tersebut. Oleh karena itu,
dinas syari‟at Islam diharapkan memiliki rasa peka terhadap realitas hukum dan
sikap main hakim sendiri dari pihak masyarakat yang terkadang tidak mampu
mengontrol emosinya dalam menyikapi perbuatan melanggar syari‟at itu.
Kalau kita lihat lebih jauh, Qanun syariat Islam masih banyak kelemahan dan
sampai sekarang belum ada revisi. Seperti yang dijelaskan di atas adanya lembaga
adat yang memberikan sanksi adat terhadap pelaku khalwat, ini menunjukkan bahwa
perlu adanya penambahan qanun jinayat yang mengatur tentang lembaga adat
diperboleh memeberikan sanksi terhadap pelaku khalwat/mesum.
Perkembangan hukum biasanya sering tertinggal dengan perkembangan dan
kebutuhan masyarakat. Karena itu, hakim di pengadilan dalam menjalankan fungsi
mengadili kadang kala berhadapan dengan kasus atau peristiwa yang belum diatasi
hukumnya secara tertulis atau sudah diatur tapi tidak jelas. Seperti halnya dengan
lembaga adat yang memutuskan perkara secara adat gampong tanpa laporam kepada
pihak yang berwenang.
Hakim harus menciptakan Undang-undang baru sesuai dengan kondisi
masyarakat hari ini, kalau tidak maka, akan ada pihak-pihak tertentu yang akan
memanfaatkan kondisi hari ini dengan mangatakan Qanun Syari‟at itu tidak kuat
dengan alasan masih ada pelaku khalwat yang di berikan sanksi secara adat tanpa
pemberitahuan kepada pihak yang berwenang. Hakim wajib menggali, mengikuti dan
memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat
Berdasarkan ketentuan diatas, maka untuk menyelesaikan persoalan/kasus kongkrit,
diharapkan hakim harus menempuh jalan keluar yaitu melalui penemuan hukum
(Rachtsvinding).
Hakim bukan mulut undang-undang atau mulut hukum positif pada
umumnya. Demikian pula hakim tidak sekedar menerapkan bunyi suatu perjanjian
31
yang merupakan undang-undang bagi pihak-pihak yang membuatnya. Hakim adalah
mulut kepatutan, keadilan, kepentingan umum dan ketertiban umum. Apabila
penerapan aturan hukum akan bertentangan, hakim wajib memilih kepatutan,
keadilan, kepentingan umum dan ketertiban umum. Dalam upaya memberi keadilan
yang diinginkan oleh masyarakat, seyogyanyalah hakim harus memahami dan
mendalami budaya masyarakat dimana dia bertugas.12
12
Badruzzaman, Ketua Majelis Adat Aceh Propinsi Aceh, Wawancara 05 Mei 2010
32
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Berdasarkan uraian dari Bab-bab sebelumnya, maka dapat diambil
kesimpulan bahwa corak dalam pemberian sanksi disetiap daerah berbeda-beda,
maka dalam hal ini, ada beberapa poin yan dapat penulis sampaikan, yaitu sebagai
berikut:
1. Sesuai dengan bunyi pasal 79 dan pasal 80 versi pemerintah Aceh, bahwa
lembaga adat berperan dan berfungsi sebagai alat kontrol dalam
penyelenggaraan pemerintah aceh, bidang keamanan, ketentraman,
kerukunan dn ketertiban dalam masyarakat. Namun walaupun sudah ada
aturan yang menngatur sejauh mana fungsi lembaga adat dalam suatu
masyarakat, masih saja ada perbedaan dalam pemberian sanksi adat, terutama
dalam kasus khalwat/Mesum ada yang memberikan sanksi berupa di Arak,
ditelanjangi, dan dinikahkan.
2. Dalam menyelesaikan sengketa yang ada di suatu daeah, lembaga adat lebih
memilih penyelesaikan pada tinngkat gampong, tanpa memberitahukan
kepada pihak yang berwajib, dengan alasan bahwa penyelesaian di tingkat
adat lebih mudah, kemudian tidak memerlukan waktu yang berlarut-larut dan
lebih bersifat kekeluargaan, sehingga tidak timbul nantinya sengketa baru.
3. Persepsi masyarakat terhadap peran lembaga adat dalam menyelesaikan kasus
khalwat/mesum sudah bagus dan sudah sepatutnya lembaga adat sebagai
kontrol sosial di dalam masyarakat menempuh penyelesaian di gampong
setempat, disamping mudah dan cepat penyelesaian kasusnnya.
4.2 Saran
Dari beberapa kesimpulan yang telah dipaparkan di atas, maka dalam beberapa
penjelasan yang telah dipaparkan di atas ada beberapa poin yang dapat penulis
sarankan:
33
1. Karena sudah ada ketentuan yang menatur tentang sejauh mana peran
lembaga adat di Gamponng, maka sebaiknya bentuk sanksi adat yang
diberikan jangan memicu sengketa baru terhadap pandangan luar, yang
nantinya mengatakan bahwa hukum adat itu tidak adil.
2. Alangkah baiknya ketika aa suatu masalah yang ada di suatu Gampong, pihak
lembaga adat memberikan laporan kepada pihak yang berwenang, sehingga
hukum yang diberlakukan di aceh, berjalan semestinya tidak tumpang tindih
sehingga tidak terkesan hukum adat yang ada di Aceh hanya kepentingan
sepihak.
3. Dalam hal penyelesaian kasus pada tataran adat sebenarnya ada baiknya,
namun bukan berarti suatu penyelesaian hanya di selesaikan pada tataran
gampong setempat saja, tapi juga harus ada laporan pada pihak yag berwajib
karena dalam pemberian sanksi sesuai dengan Qanun yang telah menngatur
tentang penjatuhan sanksi hanya boleh dilakukan oleh pihak yang berwajib.
34
DAFTAR PUSTAKA
Al Yasa Abubakar, Wilayatul Hisbah-Polisi Pamonng Praja dengan Kewenangan di
Aceh, Dinas Syari‟at Islam Propinsi Aceh, Banda Aceh, 2009.
Dinas Syari‟at Islam Propinsi Aceh, kompilasi teknis Operasional dinas Syari‟at
Islam Propinsi Aceh, Dinas Syari‟at Islam Propinsi Aceh, Banda Aceh, 2009.
Ibrahim, Sofyan, Toleransi dan Kiprah Perempuan Dalam Penerapan Syari‟at Isla,
Dinas Syari‟at Islam Aceh, Banda Aceh, 2009.
Muhammad Siddiq, Chairl Fahmi, Problematika Qanun khalwat Analisa Terhadap
Perspektif Mahasiswa Aceh, Aceh Justice resource Centre, Banda Aceh,
2009.
Syamsul Rijal, Isandar, Potret Wilayah Lokal di Wilayah Syari‟ah, Dinas Syari‟at
Islam Aceh, Banda Aceh, 2009.
Syari‟at Islam di aceh Problematika Implementasi Syari‟ah, Dinas Syari‟at
Islam Propinsi Aceh, Banda Aceh, 2009.
Htt:// santunan jadid. Blogspot.com/2010/01/sosialisasi-qanun-syari‟at-islam-di.html.
Soerjono, Soekanto, Masalah Kedudukan dan Peranan Hukum Adat, Academika,
Jakarta,2009.
35
BIODATA PENELITI
1. Koordinator peneliti
Nama : Zulkhairi Nurhas
TTL : Labuhan Haji Timur
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat : KAmpung keramat
Email : [email protected]
No handpone : 085277452885
Pekerjaan : Mahasiswa
Riwayat pendidikan
SD/MI : 2000
SLTP/MTS : 2003
SMA/MA : 2006
Pengalaman organisasi :
1. Ketua Umum Forsipppelmak (forum silaturrahmi ,pemuda, pelajar,dan
mahasiswa keumumu Periode 2008-2009
2. Ketua panitia pelantikan Gubernur-S periode 2009-2010
3. Kabid Sospol (sosial politik) periode 2008-2009
4. BRANTAS INDONESIA (relawan Anti Narkoba) Periode 2009 sampai
sekarang
5. Deputi Humas (hubungan masyarakat) BEMA IAIN AR-RANIRY periode
2009-2010
6. Sekretaris Letupan Aceh bergerak di bidanng narkoba peiode 2009 sampai
sekarang
7. Ketua panitia baksos Pidie Jaya
8. Ketua PAnitia BAksos IAIN AR-ARANIRY Periode 2009-20910
2. Angota-Angota Peneliti
Nama : Fiatul Hamdi Al_Fallumy
TTL : Labuhan Haji Timur 27 maret 1990
Jenis kelamin : laki-laki
Alamat : jl. Tgk diblang II Darussalam banda aceh.
36
Email : [email protected]
No handpone : 085360000498
Pekerjaan : Mahasiswa
Riwayat pendidikan
SD/MI : 2001
SLTP/MTS : 2004
SMA/MA : 2007
Pengalaman organisasi :
1. Bema IAIN Ar-Raniry bidang HRD (Human Research Depelopment) 2009-
2010.
2. Sekretaris Umum HMJ (Himpunan Mahasiswa Jurusan) SPH 2009-2010.
3. Anggota kabinet MPMF Fakultas Syariah 2008-2009.
4. HMI komisariat Fakultas Syariah 2009-2010.
5. Wakil ketua bidang organisasi Paguyuban WKM-PELATI, Labuhan Haji
Timur 2008-2009.
6. Ketua Muhadarah di MAN UNGGUL Tapaktuan 2006-2007.
7. Pramuka MAN UNGGUL Tapaktuan 2004-2007.
8. BAKSOS (bakti sosial) di kecamatan kuta blang kabupaten bireun 2009.
9. Staf mengajar TPA AL-MUKHAYYARAH Darussalam Banda Aceh 2008-
sampai sekarang.
Nama : Riki Yuniagara
TTL : Terbangan 02 juni 1989
Jenis kelamin : Laki-Laki
Alamat : jl.Rukoh utama, lr.lam ara Rukoh,Syah Kuala Banda Aceh
Email : [email protected]
No handpone : 085260008895
Pekerjaan : Mahasiswa
Riwayat pendidikan
SD/MI : 2001
37
SLTP/MTS : 2004
SMA/MA : 2007
Pengalaman organisasi :
1. Ketua Umum MPM Fakultas Syariah 2010-2011
2. Ketua Komisi Independen Pemilihan Raya (KIPR) Fakultas Syariah 2010
3. Ketua Litbang HMI komisariat Fakultas Syariah 2009-2010.
4. Wakil ketua HMJ SPH Fakultas Syariah 2009-2010.
5. Anggota kabinet MPMF fakultas syariah 2009-2010.
6. BAKSOS (Bakti Sosial) IAIN Ar-Raniry di kecamatan Simeulu Timur
kabupaten Simeulu Tahun 2009.
7. Wakil ketua LSMI-HMI 2008-2009.
Nama : Mahmudin Aifa
TTL : Leuhong 22 februari 1990
Jenis kelamin : Laki-Laki
Alamat : jl. Anggur no : 18, lambaro skep
Email : [email protected]
No handpone : 085260603105
Riwayat pendidikan
SD/MI : 2001
SLTP/MTS : 2004
SMA/MA : 2007
Pengalaman organisasi :
1. Ketua organisasi intra sekolah ( OSIS ) 2005-2006.
2. HMI komisariat fakultas syariah 2008-2010.
3. PMI cabang banda aceh 2008-2010.
4. Staf anggota LSM-JKSH 2009-sampai sekarang.
5. Gubernur BEMA Fakultas Syari‟ah 2010-2011
38
Nama : Muhajir
TTL :
Jenis kelamin : Laki-Laki
Alamat :
Email :
No handpone :
Riwayat pendidikan
SD/MI :
SLTP/MTS :
SMA/MA :
Pengalaman organisasi :
1.