21
LAPORAN KASUS TERAPI SUPORTIF TETANUS dr. Kadek Agus Heryana Putra, SpAn DEPARTEMEN ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA RSUP SANGLAH DENPASAR 2019

TERAPI SUPORTIF TETANUS - erepo.unud.ac.id

  • Upload
    others

  • View
    11

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: TERAPI SUPORTIF TETANUS - erepo.unud.ac.id

LAPORAN KASUS

TERAPI SUPORTIF TETANUS

dr. Kadek Agus Heryana Putra, SpAn

DEPARTEMEN ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA

RSUP SANGLAH DENPASAR

2019

Page 2: TERAPI SUPORTIF TETANUS - erepo.unud.ac.id

1

BAB I

PENDAHULUAN

Meskipun saat ini kasus tetanus jarang ditemukan di dunia barat, dengan jumlah

hanya 35 kasus pada tahun 2000 di Amerika Serikat, tetanus tetap merupakan permasalahan

yang sering ditemukan di negara berkembang, dimana 80% kasusnya terjadi di Afrika dan

Asia Tenggara.1 Tetanus secara geografis lazim terjadi pada daerah pedesaan dengan

kebersihan lingkungan dan fasilitas kesehatan yang buruk.2 Tetanus terjadi di seluruh dunia

dan masih merupakan penyebab kematian yang penting dengan perkiraan jumlah kematian

800.000 – 1.000.000 orang per tahunnya.3 Pada negara berkembang sebagian besar kasus

kematian karena tetanus terjadi pada neonatus, dan tetanus pada neonatus adalah penyebab

kematian kedua di seluruh dunia pada penyakit-penyakit yang dapat dicegah melalui

vaksinasi. Diperkirakan kematian tetanus pada neonatus sebesar 248.000 kematian per

tahun.1

Tetanus memiliki gambaran klinis dengan ciri khas trias rigiditas otot, spasme otot,

dan ketidakstabilan otonom. Gejala awalnya meliputi kekakuan otot, pada kelompok-

kelompok otot dengan jalur neuronal pendek yang terlebih dahulu terkena, maka dari itu

trismus, kekakuan leher, dan nyeri punggung yang tampak pada lebih dari 90% kasus pada

saat masuk rumah sakit. Keterlibatan dari otot-otot wajah dan faringeal menimbulkan ciri

khas “rhisus sardonicus”, sakit tenggorokan, dan disfagia. Peningkatan tonus pada otot-otot

trunkal mengakibatkan opisthotonus. Kelompok otot yang berdekatan dengan tempat infeksi

seringkali terlibat, menghasilkan penampakan yang tidak simetris.1,3,4,5

Spasme muncul secara spontan, namun juga dapat diprovokasi oleh stimulus fisik,

visual, auditori, atau emosional. Spasme laring dapat terjadi segera yang mengakibatkan

obstruksi saluran nafas atas akut dan respiratory arrest. Pernafasan juga dapat terpengaruh

Page 3: TERAPI SUPORTIF TETANUS - erepo.unud.ac.id

2

akibat spasme yang melibatkan otot-otot dada. Selama spasme yang memanjang, dapat terjadi

hipoventilasi berat dan apnea yang mengancam nyawa.3,4 Tanpa fasilitas ventilasi mekanik,

gagal nafas akibat spasme otot adalah penyebab kematian yang paling sering. Hipoksia biasa

terjadi pada tetanus akibat dari spasme atau kesulitan membersihkan sekresi bronkial yang

berlebihan dan aspirasi.1 Tetanus yang berat berkaitan dengan hiperkinetik sirkulasi, terutama

bila spasme otot tidak terkontrol dengan baik. Tanda-tanda overaktivitas simpatis biasanya

dominan berupa periode takikardi dan hipertensi. Autonomic storm berkaitan dengan

peningkatan kadar katekolamin. Hal ini silih berganti dengan episode hipotensi, bradikardia

dan asistole yang tiba-tiba. Gambaran gangguan otonom lainnya meliputi salivasi,

berkeringat, meningkatnya sekresi bronkus, hiperpireksia, stasis lambung dan ileus.1,3 Gagal

ginjal akut merupakan komplikasi tetanus yang dapat dikenali akibat dari dehidrasi,

rhabdomiolisis oleh karena spasme, dan gangguan autonom. Komplikasi lainnya meliputi

thrombosis vena, thromboemboli, atelektasis, penumonia aspirasi, ulkus peptikum, dan ulkus

dekubitus.1,3

Sampai saat ini tetanus masih sebagai masalah kesehatan masyarakat yang signifikan

pada negara-negara yang sedang berkembang, oleh karena akses program imunisasi yang

buruk, ditambah lagi penatalaksanaan tetanus yang modern membutuhkan fasilitas intensive

care unit (ICU), yang sangat jarang tersedia pada sebagian besar populasi yang menderita

tetanus yang berat. Pada negara berkembang, mortalitas tetanus melebihi 50%. Kematian

utamanya terjadi karena kegagalan respirasi akut.2,3

Ada tiga sasaran penatalaksanaan tetanus, yakni: (1) membuang sumber

tetanospasmin; (2) menetralisasi toksin yang tidak terikat; (3) memberikan perawatan

penunjang (suportif) sampai tetanospasmin yang berikatan dengan jaringan telah habis

dimetabolisme.6 Khususnya di ruang ICU, penatalaksanaan tetanus yang bisa diberikan

berupa terapi suportif. Sebagain besar kasus membutuhkan 4-6 minggu pengobatan suportif.3

Page 4: TERAPI SUPORTIF TETANUS - erepo.unud.ac.id

3

Keberhasilan dalam memberikan terapi suportif kepada pasien-pasien tetanus akan

menentukan outcome penyakit ini, disamping ditentukan pula oleh severitas penyakit.

Page 5: TERAPI SUPORTIF TETANUS - erepo.unud.ac.id

4

BAB II

LAPORAN KASUS

Pasien adalah laki-laki usia 55 tahun dengan diagnosis Tetanus Generalisata. Pasien

merupakan rujukan RSUD Badung, MRS di RSUP Sanglah pada tanggal 20 Oktober 2012

pukul 01.00 WITA. Di RSUD Badung pasien sudah mendapatkan penanganan berupa

pemberian Tetagam 3000 IU. Riwayat sebelumnya, 1 minggu SMRS, telapak kaki kanan

pasien terkena pecahan botol saat bekerja di sawah. Empat hari kemudian pasien mengeluh

demam, perut terasa kaku, susah menelan dan sakit tenggorokan. Riwayat kejang seluruh

tubuh disertai mulut mengeluarkan liur berbusa pertama kali pada tanggal 19 Oktober 2012,

selanjutnya pasien mengalami kejang sebanyak tiga kali, sampai akhirnya dibawa ke RSUD

Badung.

Di triage bedah RSUP Sanglah, setelah dilakukan debridement pada luka pada telapak

kaki kanan pasien, selanjutnya pasien dikonsulkan untuk menjalani perawatan intensif. Saat

itu pasien dalam kondisi febris dengan suhu tubuh 38˚Celcius, kesadaran berada dibawah

pengaruh obat Diazepam 60 mg/24 jam yang diberikan secara drip kontinu melalui syringe

pump sejak dari RSUD Badung, bernafas spontan dengan bantuan oropharyngeal airway dan

O2 sungkup muka 10 liter/menit, laju nafas 28 kali/menit, tekanan darah pasien 146/85

mmHg, laju jantung 112 kali/menit. Perut pasien teraba keras dan kaku seperti papan,

peristaltik usus normal, tanpa distensi. Dawer kateter sudah terpasang di RSUD Badung,

dengan residu urine 100 cc berwarna kuning pekat.

Pasien tiba di RTI pukul 03.30 WITA. Kesadaran pasien dibawah pengaruh obat

Midazolam 3 mg/jam yang diberikan secara drip kontinu melalui syringe pump. Pasien masih

dalam keadaan febris dengan suhu tubuh 39˚Celcius. Pasien bernafas spontan dengan bantuan

Page 6: TERAPI SUPORTIF TETANUS - erepo.unud.ac.id

5

oropharyngeal airway dan O2 sungkup muka 10 liter/menit, laju nafas 24 kali/menit, pada

pulse oxymetri didapatkan saturasi O2 98%. Fluktuasi tekanan darah pasien 120-140/70-90

mmHg, laju jantung 90-110 kali/menit. Produksi urine 100 cc per 3,5 jam (0,4 cc/kgBB/jam)

berwarna kuning pekat. Pasien mengalami kejang berulang 1 kali setiap jam dengan durasi

lebih 10 menit. Pada pasien didapatkan trismus, opistotonus, hipertermi, dan produksi liur

yang berlebihan. Setiap pasien kejang, diberikan injeksi Midazolam 5 mg intravena. Terapi

lainnya antibiotika Ceftriaxone 1 gr setiap 12 jam, Metronidazole 500 mg setiap 8 jam,

antipiretik Paracetamol 1 gr setiap 8 jam, dan H2-blocker Ranitidin 50 mg setiap 12 jam.

Posisi kepala pasien head up 30 derajat. Cairan parenteral Ringer Laktat 1000 cc +

Aminofusin L600 1000 cc per 24 jam, sedangkan enteral Dextrose 5% 500 cc per 24 jam

melalui nasogastric tube.

Pukul 07.30 WITA pasien mengalami kejang yang kemudian disertai apneu,

desaturasi, dan bradikardia, kemudian dilakukan tindakan resusitasi. Pasien diintubasi dan

selanjutnya mendapatkan bantuan ventilasi dengan ventilator, mode ventilasi yang digunakan

adalah pressure controll. Pasien masih dibawah pengaruh obat, saat ini dengan drip kontinu

Diazepam 60 mg/24 jam, dan bolus Midazolam 5-15 mg saat pasien mengalami kejang. Suhu

tubuh mengalami peningkatan menjadi 40˚Celcius. Fluktuasi tekanan darah 100-160/50-80

mmHg, laju jantung 110-130 kali/menit. Produksi urine 1400 cc per 24 jam (0,8

cc/kgBB/jam) berwarna kuning. Pada pasien juga dilakukan pemasangan CVC Fr 7 untuk

tujuan pemberian cairan dan nutrisi parenteral. Dari pemeriksaan kimia darah didapatkan

SGOT 197 U/L; SGPT 206 U/L; Alb 4,0 gr/dL; BUN 17 mg/dL; SC 1,0 mg/dL; GDS 168

mg/dL; Na 149 mmol/L; K 4,7 mmol/L. Cairan parenteral Ringer Laktat balance, Aminofusin

L600 1000 cc, Clinoleic 20% 100 cc, Dextrose 15% 500 cc per 24 jam, sedangkan enteral

Nutrensol 100 cc setiap 4 jam per 24 jam melalui nasogastric tube.

Page 7: TERAPI SUPORTIF TETANUS - erepo.unud.ac.id

6

Pada tanggal 21-22 Oktober 2012, pasien masih dibawah pengaruh obat, dengan drip

kontinu Diazepam 120 mg/24 jam, dan bolus Diazepam 10 mg dan Vecuronium 2 mg saat

pasien mengalami kejang. Suhu tubuh berkisar antara 38-39,2˚Celcius. Fluktuasi tekanan

darah 90-160/50-90 mmHg, laju jantung 90-150 kali/menit, CVP 6 cmH2O. Produksi urine

1500 cc per 24 jam (0,9 cc/kgBB/jam) berwarna kuning. Fluktuasi GDS 225-439 mg/dL,

kemudian mendapatkan terapi insulin intravena antara 2-6 IU. Pasien diberikan analgetik

Morphine 10 mcg/kgBB/jam. Untuk gastroprotectornya diberikan Omeprazole 40 mg setiap

12 jam. Cairan parenteral Ringer Laktat balance, Aminofusin L600 1000 cc, Clinoleic 20%

100 cc per 24 jam, sedangkan enteral Diabetasol 200 cc setiap 4 jam per 24 jam melalui

nasogastric tube. Pasien masih mengalami kejang, hipertermia, hemodinamik yang fluktuatif,

takikardi, hiperglikemia, dan produksi liur yang berlebihan.

Pada tanggal 22-23 Oktober 2012, pasien masih dibawah pengaruh obat dengan drip

kontinu Diazepam 300 mg/24 jam, dan bolus Diazepam 10 mg dan Vecuronium 2 mg saat

pasien mengalami kejang. Suhu tubuh berkisar antara 37-40,6˚Celcius. Fluktuasi tekanan

darah 80-150/50-80 mmHg, laju jantung 70-150 kali/menit, CVP 8 cmH2O. Produksi urine

1900 cc per 24 jam (1,1 cc/kgBB/jam) berwarna kuning. Fluktuasi GDS 196-259 mg/dL,

insulin intravena antara 1-2 IU. Pemeriksaan elektrolit didapatkan kadar Na 153 mmol/L dan

K 3,5 mmol/L. Cairan enteral Diabetasol 200 cc setiap 4 jam per 24 jam dan air putih 250 c

setiap 6 jam per 24 jam melalui nasogastric tube. Perubahan terapi, antibiotika Ceftriaxone

diganti dengan Meropenem 1 gr setiap 8 jam dan Gentamycin 480 mg setiap 24 jam.

Antikejang mendapatkan tambahan Phenitoin 100 mg setiap 8 jam, MgSO4 bolus 5 gr

dilanjutkan drip kontinu 1 gr/24 jam, Phenobarbital 60 mg setiap 12 jam, dan Citicholin 500

mg setiap 8 jam.

Pada tanggal 23-24 Oktober 2012, pasien masih mengalami kejang, hipertermia,

hemodinamik yang fluktuatif, takikardi, hiperglikemia, hipernatremia, dan produksi liur yang

Page 8: TERAPI SUPORTIF TETANUS - erepo.unud.ac.id

7

berlebihan. Fluktuasi tekanan darah 90-150/50-70 mmHg, laju jantung 100-120 kali/menit,

CVP 9-10 cmH2O. Pasien mendapatkan topangan hemodinamik (vasopressor)

norepinephrine 0,1-0,2 mcg/kgBB/menit. Produksi urine 1150 cc per 24 jam (0,6

cc/kgBB/jam) berwarna kuning. Kadar BUN 37 mg/dL sedangkan SC 1,6 mg/dL. Fluktuasi

GDS 138-201 mg/dL, insulin intravena antara 1-2 IU. Dari analisa gas darah didapatkan pH

7,5; pCO2 37; pO2 89; HCO3- 28,9; BE 5,7; SpO2 98%; Na 150 mmol/L; K 3,1 mmol/L.

Tambahan terapi Enoxaparine 0,6 IU subcutan sebagai antithrombolitik dan drip KCl 50

mEq/24 jam untuk koreksi hipokalemia.

Pada tanggal 24-25 Oktober 2012, pasien dibawah pengaruh obat dengan drip kontinu

Diazepam 600 mg/24 jam, dan bolus Diazepam 10 mg dan Vecuronium 2 mg saat pasien

mengalami kejang. Suhu tubuh berkisar antara 38,5-41˚Celcius. Fluktuasi tekanan darah 80-

180/30-110 mmHg, laju jantung 100-120 kali/menit, CVP 13 cmH2O. Pasien mendapatkan

topangan hemodinamik (vasopressor) norepinephrine 0,3-0,5 mcg/kgBB/menit. Produksi

urine 2100 cc per 24 jam (1,2 cc/kgBB/jam) berwarna kuning. Fluktuasi GDS 145-199

mg/dL, insulin intravena antara 1-2 IU.

Pada tanggal 25-26 Oktober 2012, suhu tubuh pasien berkisar antara 40-41˚Celcius.

Terdengar rhonki pada kedua lapang paru. SpO2 menurun menjadi 92-93%. Kemudian FiO2

dinaikkan menjadi 100%. Pada thorax foto tampak gambaran kardiomegali, pneumonia, dan

efusi pleura bilateral. Fluktuasi tekanan darah 90-160/50-80 mmHg, laju jantung 100-150

kali/menit, CVP 13 cmH2O. Pasien mendapatkan topangan hemodinamik (vasopressor)

norepinephrine 0,3-0,5 mcg/kgBB/menit. Produksi urine 1800 cc per 24 jam (1,1

cc/kgBB/jam) berwarna kuning. Fluktuasi GDS 209-287 mg/dL, insulin intravena antara 2-3

IU. Pukul 17.00 WITA dilakukan trakeostomi oleh TS Bedah Saraf di RTI. Hasil AGD paska

trakeostomi didapatkan pH 7,39/ pCO2 49/ pO2 64/ HCO3- 29,7/ BE 4,7/ SaO2 92%/ Na 156

mmol/L: K 4,1 mmol/L. Tambahan terapi nebulizer Farbivent dan Bisolvon setiap 6 jam.

Page 9: TERAPI SUPORTIF TETANUS - erepo.unud.ac.id

8

Pada tanggal 26 Oktober 2012, pasien dibawah pengaruh obat, saat ini dengan drip

kontinu Diazepam 900 mg/24 jam dan Propofol 10 mg/jam, dan bolus Diazepam 10 mg dan

Vecuronium 2 mg saat pasien mengalami kejang. Suhu tubuh berkisar antara 41-

41,6˚Celcius. Terdengar rhonki pada kedua lapang paru, SpO2 berkisar antara 90-91%.

Fluktuasi tekanan darah 100-130/50-60 mmHg, laju jantung 140-150 kali/menit, CVP 11

cmH2O. Pasien mendapatkan topangan hemodinamik norepinephrine 0,5-1 mcg/kgBB/menit

dan dobutamin 10-20 mcg/kgBB/menit. Produksi urine 100 cc per 6 jam (0,2 cc/kgBB/jam)

berwarna kuning pekat. Fluktuasi GDS 57-161 mg/dL, insulin intravena dihentikan. Pukul

12.00 WITA pasien mengalami bradikardi, hipotensi, dan disertai desaturasi. Kemudian

dilakukan resusitasi selama ± 45 menit, namun tidak ada respon. Pukul 12.45 pasien

mengalami VT, dilakukan DC Shock 200 joule sebanyak 3 kali, kemudian terjadi asistole,

resusitasi dilanjutkan namun tetap tidak ada respon. Pukul 13.15 pasien dinyatakan

meninggal dunia.

Page 10: TERAPI SUPORTIF TETANUS - erepo.unud.ac.id

9

BAB III

PEMBAHASAN

Ada tiga sasaran penatalaksanaan tetanus, yakni: (1) membuang sumber

tetanospasmin; (2) menetralisasi toksin yang tidak terikat; (3) memberikan perawatan

penunjang (suportif) sampai tetanospasmin yang berikatan dengan jaringan telah habis

dimetabolisme.6 Tindakan awalnya adalah memberikan imunisasi pasif dan membersihkan

luka, selanjutnya meminimalisir efek toksin yang sudah berikatan pada sistem saraf dan

memberikan terapi suportif.2 Khususnya di ruang terapi intensif, penatalaksanaan tetanus

berupa terapi suportif, dengan menitikberatkan pada sistem respirasi, instabilitas otonom, dan

spasme otot.7,8

Penatalaksanaan lebih lanjut terdiri dari terapi suportif sampai efek dari toksin yang

telah terikat habis. Semua pasien yang dicurigai tetanus sebaiknya ditangani di ICU, dimana

mereka bisa dimonitoring dan diobservasi secara kontinu. Untuk meminimalkan risiko

spasme paroxysmal yang dipresipitasi oleh stimulus ekstrinsik, pasien sebaiknya dirawat di

ruangan yang gelap dan tenang.3,6,8 Pasien diposisikan sedemikian rupa dengan hati-hati

untuk mencegah pneumonia aspirasi. Cairan intravena harus diberikan, dan elektrolit serta

analisa gas darah sangatlah penting sebagai penuntun terapi.6 Pada pasien diatas, pasien

ditempatkan di pojok icu untuk meminimalisir rangsangan ekstrinsik yang dapat memicu

terjadinya kejang. Lampu penerangan pasien dimatikan dan ruang perawatan diupayakan

setenang mungkin.

Pasien diatas tidak segera dilakukan intubasi ataupun trakeostomi karena terkendala

sirkuit ventilator yang masih disteril, sehingga jalan nafas pasien pada awalnya dijaga dengan

oropharyngeal airway. Dengan semakin beratnya spasme, akhirnya pasien mengalami gagal

nafas sampai dilakukanlah intubasi. Pada fase akut, penyebab kematian yang paling sering

Page 11: TERAPI SUPORTIF TETANUS - erepo.unud.ac.id

10

adalah gagal nafas akut akibat dari paralisis diafragma atau juga spasme laring. Dengan

intervensi medis yang intensif, meliputi penggunaan pelumpuh otot dan ventilasi mekanik,

angka mortalitas tetanus mengalami perbaikan.7 Airway management merupakan prioritas

pada tetanus. Hal ini harus dilakukan setiap saat dan dibutuhkan kewaspadaan yang konstan.

Spasme otot general, spasme laring, aspirasi, atau dosis besar sedatif semuanya dapat

mengganggu respirasi, dan ancaman pada jalan nafas harus diantisipasi. Sekresi bronkial

yang berlebihan terjadi pada tetanus, dan pasien-pasien membutuhkan suctioning yang sering

untuk menarik sekret.1 Tindakan trakeostomi ditujukan untuk menjaga jalan nafas terutama

tetanus dengan opistotonus dan keterlibatan otot-otot punggung dan dada atau mengalami

distres pernafasan, meskipun intubasi endotrakeal dapat diterima sebagai tindakan awal.

Trakeostomi memberi keuntungan pembersihan bronkopulmoner yang lebih baik.6,9 Selain itu

trakeostomi juga berguna sebagai fasilitas ventilatory support jangka panjang.7 Kematian

yang disebabkan oleh spasme laring yang mendadak, paralisis diafragma, dan kontraksi otot

respirasi yang tidak adekuat sering terjadi di sebagian negara yang sedang berkembang

dimana tidak tersedia akses topangan ventilator yang siap saat.3,4,5,10

Spasme otot dan rigiditas pada pasien diatas pada awalnya diatasi menggunakan

diazepam 60 mg/24 jam yang diberikan secara drip kontinu melalui syringe pump sejak dari

RSUD Badung. Kemudian sejak tiba di ruang intensif, digunakan midazolam 3 mg/jam atau

72 mg/24 jam yang juga diberikan secara drip kontinu melalui syringe pump. Meskipun

demikian, pasien tetap mengalami kejang berulang dengan frekuensi 1 kali setiap jam, dan

durasi untuk setiap kali kejang adalah lebih 10 menit. Perut pasien teraba keras dan kaku

seperti papan dan juga terjadi trismus serta opistotonus. Setiap pasien mengalami kejang

berulang, diberikanlah tambahan injeksi midazolam 5 mg intravena. Spasme otot dan

rigiditas diatasi secara efektif dengan sedasi. Pasien yang tersedasi lebih sedikit dipengaruhi

oleh stimulus perifer dan kecil kemungkinannya mengalami spasme otot. Tujuan dari

Page 12: TERAPI SUPORTIF TETANUS - erepo.unud.ac.id

11

pendekatan ini adalah untuk memberikan sedasi ringan pada pasien tanpa mempengaruhi

fungsi respirasi.6 Berbagai macam obat-obatan tunggal dan dalam kombinasi telah digunakan

untuk tujuan ini. Sedasi dengan benzodiazepine merupakan terapi standar tetanus, baik

diazepam maupun midazolam intravena telah digunakan secara luas dan seringkali

dibutuhkan dosis lebih dari 200 mg/hari. Obat ini menghambat reseptor antagonis endogen

GABAA dan dapat meniadakan efek toksin tetanus serta dapat mencegah atau mengontrol

kejang.1,9,10,11 Tidak ada literatur yang menjelaskan mengenai dosis pemberian

benzodiazepine secara intermittent apabila pasien tetap mengalami kejang selama pemberian

kontinu.

Beberapa jam setelah perawatan di ruang intensif, pasien mengalami kejang yang

kemudian disertai apneu, desaturasi, dan bradikardia. Kemudian dilakukan tindakan

resusitasi, pasien diintubasi dan selanjutnya mendapatkan bantuan ventilasi dengan ventilator,

mode ventilasi yang digunakan adalah pressure controll. Sedasi pada pasien kembali

menggunakan diazepam 60 mg/24 jam, dan bolus midazolam 5-15 mg saat pasien mengalami

kejang. Dasar pemikiran kembali menggunakan diazepam sebagai sedasi pada pasien ini

adalah untuk mendapatkan efek kumulatif diazepam sehingga diharapkan kadar obat dalam

plasma tetap tinggi, dibandingkan dengan midazolam yang efek kumulatifnya lebih sedikit.

Untuk pemberian sedasi intermittent pada saat kejang berulang, dipilih midazolam karena

onset kerjanya yang lebih cepat dibandingkan dengan diazepam.12

Pada hari berikutnya, dosis sedasi diazepam ditingkatkan menjadi 120 mg/24 jam, dan

karena pasien tetap mengalami kejang berulang, maka digunakan diazepam 10 mg dan

vecuronium 2 mg intravena. Pemberian sedasi intermittent akhirnya diputuskan

menggunakan diazepam dengan pertimbangan untuk meningkatkan kadar diazepam dalam

plasma mengingat obat ini telah digunakan secara kontinu, sehingga diharapkan dapat

memperkuat efek sedasinya. Pasien juga diberikan drip morphine 10 mcg/kgBB/jam untuk

Page 13: TERAPI SUPORTIF TETANUS - erepo.unud.ac.id

12

membantu efek sedasi benzodiazepine. Terdapat pendekatan terapi yang berbeda untuk

mengontrol spasme otot yang berat pada tetanus yakni menggunakan depresan sistem saraf

pusat yang mengakibatkan relaksasi otot dan menggunakan obat-obat penghambat saraf otot.6

Vecuronium dipilih pada pasien ini karena kestabilannya pada jantung.3,10,11 Morphine bisa

digunakan sebagai tambahan sedasi benzodiazepine. Morphine memiliki kerja sentral yang

dapat meminimalisir efek tetanospasmin.2,3

Pasien tetap mengalami kejang berulang, selanjutnya sedasi diazepam ditingkatkan

300 mg/24 jam, dan setiap pasien mengalami kejang diberikan bolus diazepam 10 mg dan

vecuronium 2 mg. Sebagai tambahan antikejang, diberikan phenitoin 100 mg setiap 8 jam,

MgSO4 bolus 5 gr dilanjutkan drip kontinu 1 gr/24 jam, phenobarbital 60 mg setiap 12 jam,

dan citicholin 500 mg setiap 8 jam sebagai neuroprotektor. Sebagai tambahan efek sedasi,

bisa didapat dari antikonvulsan barbiturat khususnya phenobarbital (yang meningkatkan

aktivitas GABA), telah digunakan sejak lama dan penggunaannya dapat memberikan

keuntungan bagi pasien-pasien dengan gangguan autonom.1,3 Barbiturat kerja pendek seperti

secobarbital dan phenobarbital sangat berguna bagi pasien yang tersedasi pada tetanus yang

ringan. Dosisnya 100-200 mg/hari bagi dewasa yang diberikan secara intravena. Ketika

spasme bertambah berat dan sering, penggunaan diazepam bersama barbiturat secara

intravena dibenarkan.4,9 Saat ini, perhatian difokuskan pada penggunan magnesium sulfat

intravena untuk mengendalikan spasme dan mengobati disfungsi autonom, baik sebagai

tambahan sedasi atau sebagai obat lini pertama.1,4,10

Meskipun sudah diberikan tambahan antikejang, pasien tetap mengalami kejang.

Kemudian dosis diazepam kembali ditingkatkan menjadi 600 mg/24 jam, dan bolus diazepam

10 mg dan vecuronium 2 mg saat pasien mengalami kejang berulang tetap diberikan.

Keesokan harinya dosis diazepam kembali ditingkatkan menjadi 900 mg/24 jam karena

kejang tetap terjadi dan intensitasnya semakin sering, dan diberikan tambahan terapi propofol

Page 14: TERAPI SUPORTIF TETANUS - erepo.unud.ac.id

13

10 mg/jam. Propofol juga telah digunakan dengan sukses pada tetanus untuk menghilangkan

rigiditas otot.2,3,11

Instabilitas otonom terjadi beberapa hari setelah onset spasme general. Pada pasien

diatas manifestasinya berupa hipertensi yang labil, takikardia, demam dan berkeringat,

hipersalivasi, serta hiperglikemia akibat aktivitas simpatis yang berlebihan. Sejak awal MRS

di RSUP Sanglah pasien sudah mengalami goncangan hemodinamik yang sangat fluktuatif.

Tekanan darah pasien selama perawatan adalah berkisar antara 80-180/30-110 mmHg dan

laju jantung antara 90-150 kali/menit. Terapi yang digunakan untuk mengatasi instabilitas

otonom pada pasien diatas adalah sedasi dalam menggunakan benzodiazepine, baik diazepam

maupun midalzolam, morphine dan MgSO4. Pasien diatas juga sampai mendapatkan

topangan hemodinamik norepinephrine anatara 0,1-1 mcg/kgBB/menit dan dobutamin 10-20

mcg/kgBB/menit. Instabilitas autonom sulit diobati. Terapi konvensional terdiri dari sedasi

dalam sebagai terapi lini pertama, menggunakan benzodiazepine dengan dosis besar, serta

morphine. Morfin sangat berguna dan efektif dalam menurunkan pelepasan katekolamin.1

Magnesium semakin meningkat penggunaannya sebagai bagian dari multimodal terapi

tetanus. Obat ini memiliki sejumlah aksi yang efektif dalam menghadapi keadaan

hiperaktivitas otonom, khususnya, dalam menghambat pelepasan katekolamin dari saraf dan

medula adrenal, dan menurunkan responsiveness reseptor akan katekolamin yang dilepaskan.

Obat ini merupakan suatu penghambat saraf otot presinap, menjadikannya suatu tambahan

dalam mengontrol rigiditas dan spasme.3 Dosis 1 sampai 3 gr/jam telah digunakan untuk

mendapatkan konsentrasi serum 2 sampai 4 mmol/L.6

Selama perawatan, suhu tubuh pasien berkisar antara 38-41,6˚Celcius. Terapi yang

diberikan adalah paracetamol 1 gram yang diberikan melalui intravena setiap 8 jam. Akibat

dari hiperpireksia yang menetap ini, disertai dengan berkeringat yang berlebihan,

menyebabkan insensible water loss pasien menjadi sangat besar dan pasien akhirnya

Page 15: TERAPI SUPORTIF TETANUS - erepo.unud.ac.id

14

mengalami dehidrasi dan hipernatremia. Gula darah sewaktu pasien pada awalnya berkisar

225-439 mg/dL, kemudian cenderung mengalami hipoglikemia sampai 57 mg/dL. Terapi

yang diberikan adalah drip insulin intravena antara 1-6 IU, sesuai dengan kadar gula darah

pasien. Saat gula darah mencapai 57 mg/dL, pemberian drip insulin dihentikan.

Fatality rate untuk instabilitas otonom pada tetanus adalah 11-28%. Henti jantung

yang tiba-tiba umum terjadi dan dikatakan dapat dipresipitasi oleh kombinasi kadar

katekolamin yang tinggi dan kerja langsung toksin tetanus pada miokardium. Aktivitas

simpatis yang memanjang dapat berakhir dengan hipotensi dan bradikardi yang dalam.

Aktivitas parasimpatis yang berlebihan dapat menyebabkan sinus arrest. Dikatakan karena

terjadi kerusakan langsung pada nukleus vagus oleh toksin tetanus.3,4,5 Terdapat gangguan

kardiovaskular lainnya yang menyebabkan kematian pada pasien tetanus. Hipertensi yang

diikuti oleh takikardia, kegagalan sirkulasi perifer, dan hiperpireksia dapat terjadi meskipun

telah diberikan intervensi terapi. Gangguan kardiovaskular ini dapat disebabkan oleh

intoksikasi tetanus yang masif.6

Pada pasien diatas diberikan nutrisi, baik enteral maupun parenteral. Cairan parenteral

Ringer Laktat balance, Aminofusin L600 1000 cc, dan Clinoleic 20% 100 cc per 24 jam,

sedangkan enteral Diabetasol 200 cc setiap 4 jam per 24 jam melalui nasogastric tube.

Tetanus terbukti secara klinis dan biokimia menyebabkan aktivitas simpatis yang berlebihan

dan katabolisme protein sehingga pemeliharaan nutrisi sangat diperlukan. Nutrisi yang buruk

dan penurunan berat badan terjadi begitu cepat karena disfagia, perubahan fungsi

gastrointestinal dan peningkatan kecepatan metabolisme.3,9 Nutrisi enteral sebaiknya

diberikan sesegera mungkin. Namun, berdasarkan penelitian keseimbangan nitrogen,

didapatkan bahwa teknik nutrisi enteral konvensional tidak sanggup menjaga homeostasis

nutrisi pada sebagian besar pasien tetanus yang berat. Kehilangan berat badan yang terjadi

merefleksikan penyusutan massa sel tubuh. Konsekuensi dari deplesi protein mengakibatkan

Page 16: TERAPI SUPORTIF TETANUS - erepo.unud.ac.id

15

penurunan daya tahan tubuh pasien sehingga memperburuk prognosis. Kehilangan massa sel

tubuh ini tidak dapat dielakkan kecuali bila keadaan hipermetabolik dapat ditekan. Alternatif

terapinya adalah menyesuaikan peningkatan kehilangan metabolik melalui nutrisi parenteral.

Total parenteral nutrisi yang mengandung glukosa hipertonis dan insulin, dalam jumlah yang

cukup untuk mengandalikan kadar gula darah, dapat menekan katabolisme protein ini.

Penggunaan formula asam amino adalah pendekatan lainnya yang sangat membantu untuk

membatasi katabolisme protein.6,8

Sebagai antithrombolitik, pasien diatas diberikan terapi enoxaparine 0,6 IU subcutan.

Emboli paru adalah masalah yang lebih spesifik, pemberian trombofilaksis sangatlah

penting.3 Emboli paru merupakan penyebab umum kematian pasien tetanus, sehingga banyak

yang menggunakan antikoagulan secara rutin selama pengobatan. Meskipun heparin subkutan

telah digunakan, perlindungan sempurna terhadap thromboemboli tidaklah selalu didapat dan

risiko perdarahan selalu ada. Apabila pelumpuh otot digunakan dalam pengobatan, gerakan

pasif tangan dan kaki pasien harus terus diberikan.6,8

Page 17: TERAPI SUPORTIF TETANUS - erepo.unud.ac.id

16

BAB IV

KESIMPULAN

Terdapat tiga sasarn penatalaksanaan tetanus, (1) membuang sumber tetanospasmin;

(2) menetralisasi toksin yang tidak terikat; (3) memberikan perawatan penunjang (suportif)

sampai tetanospasmin yang berikatan dengan jaringan telah habis dimetabolisme. Semua

pasien yang dicurigai tetanus sebaiknya ditangani di ICU, dimana mereka bisa dimonitoring

dan diobservasi secara kontinu.1,3,6

Airway management merupakan prioritas pada tetanus. Spasme otot general, spasme

laring, aspirasi, atau dosis besar sedatif semuanya dapat mengganggu respirasi, dan ancaman

pada jalan nafas harus diantisipasi. Sekresi bronkial yang berlebihan terjadi pada tetanus.1

Tindakan trakeostomi ditujukan untuk menjaga jalan nafas terutama tetanus dengan

opistotonus dan keterlibatan otot-otot punggung dan dada atau mengalami distres

pernafasan.6 Kematian yang disebabkan oleh spasme laring yang mendadak, paralisis

diafragma, dan kontraksi otot respirasi yang tidak adekuat sering terjadi di sebagian negara

yang sedang berkembang dimana tidak tersedia akses topangan ventilator yang siap saat.3

Spasme otot dan rigiditas diatasi secara efektif dengan sedasi, menggunakan depresan

sistem saraf pusat yang mengakibatkan relaksasi otot dan menggunakan obat-obat

penghambat saraf otot.4 Berbagai macam obat-obatan tunggal dan dalam kombinasi telah

digunakan untuk tujuan ini. Sedasi dengan benzodiazepine merupakan terapi standar tetanus.1

Sebagai tambahan efek sedasi, bisa didapat dari antikonvulsan barbiturat dan phenotiazine.1,3

Topangan ventilasi mekanik sering kali dibutuhkan untuk mengatasi depresi ventilasi yang

disebabkan oleh obat yang muncul pada interval diantara spasme.4 Sebagai alternatif, bila

spasme tidak cukup terkontrol dengan benzodiazepine, maka pelumpuh otot nondepolarisasi

Page 18: TERAPI SUPORTIF TETANUS - erepo.unud.ac.id

17

dan intermittent positive-pressure ventilation (IPPV) merupakan pilihannya.3 Morphine bisa

memiliki efek yang sama dan biasanya digunakan sebagai tambahan sedasi benzodiazepine.

Yang lebih baru, telah ditemukan pengalaman menggunakan remifentanil pada tetanus.3

Propofol juga telah digunakan dengan sukses, akan tetapi, dalam upaya untuk mencapai

konsentrasi plasma yang adekuat untuk menghilangkan rigiditas otot, dibutuhkan topangan

ventilasi mekanik.3

Berbagai gangguan kardiovaskular terjadi pada tetanus dan sering menyebabkan

kematian. Penyebab utama mortalitas pada tetanus adalah kolaps sirkulasi yang disebakan

oleh ketidakstabilan otonom. Tanda overaktifitas simpatis yakni takikardia yang fluktuatif,

hipertensi yang kadangkalnya diikuti oleh hipotensi, kepucatan di perifer, dan berkeringat.6

Aktivitas simpatis yang memanjang dapat berakhir dengan hipotensi dan bradikardi yang

dalam.3 Instabilitas autonom sulit diobati. Terapi konvensional terdiri dari sedasi dalam

sebagai terapi lini pertama, menggunakan benzodiazepine dengan dosis besar, morphine,

dan/atau chlorpromazine.1 Saat ini, perhatian difokuskan pada penggunan magnesium sulfat

intravena untuk mengendalikan spasme dan mengobati disfungsi autonom.6

Emboli paru adalah masalah yang lebih spesifik, pemberian trombofilaksis sangatlah

penting.3 Emboli paru merupakan penyebab umum kematian pasien tetanus, sehingga banyak

yang menggunakan antikoagulan secara rutin selama pengobatan. Meskipun heparin subkutan

telah digunakan, perlindungan sempurna terhadap thromboemboli tidaklah selalu didapat dan

risiko perdarahan selalu ada.4,8

Pada negara berkembang, mortalitas tetanus melebihi 50%. Kematian utamanya

terjadi karena kegagalan respirasi akut. Pada negara maju, dengan topangan intensive care,

mortalitasnya sekitar 10%, meningkat 20% pada kasus-kasus yang berat. Mortalitas

meningkat dengan bertambahnya umur (melebihi 50% apabila lebih dari 60 tahun) dan pada

Page 19: TERAPI SUPORTIF TETANUS - erepo.unud.ac.id

18

individu yang tidak mendapatkan vaksinasi sebelumnya (22%). Periode inkubasi yang singkat

(<5 hari) menandakan penyakit yang lebih berat.

Sampai saat ini tetanus masih sebagai masalah kesehatan masyarakat yang signifikan

pada negara-negara yang sedang berkembang, oleh karena akses program imunisasi yang

buruk, ditambah lagi penatalaksanaan tetanus yang modern membutuhkan fasilitas intensive

care unit (ICU), yang sangat jarang tersedia pada sebagian besar populasi yang menderita

tetanus yang berat. Sehingga diperkirakan tetanus akan terus berlanjut menginfeksi populasi

yang sedang berkembang pada masa-masa mendatang.2 Penatalaksanaan tetanus yang

berhasil memerlukan seluruh persenjataan intensive care unit modern. Pendekatan

multidisipliner adalah sangat penting.3

Page 20: TERAPI SUPORTIF TETANUS - erepo.unud.ac.id

19

DAFTAR PUSTAKA

1. Thwaites CL, Yen LM. Tetanus. In: Fink MP, Abraham E, Vincent JL, Kochanek

PM, editors. Textbook of critical care. 5th ed. Philadelphia: Elsevier Saunders;

2005. p. 1401-1404.

2. Lipman J. Tetanus. In: Bersten AD, Soni N, editors. Oh’s intensive care manual.

6th ed. Philadelphia: Butterworth Heinemann Elsevier; 2009. p. 593-597.

3. Taylor AM. Tetanus. Continuing education in anesthesia, critical are & pain. Vol.

6 No. 3. 2006. Available at: http://www.ceaccp.oxfordjournals.org

content/6/4/164.3.full.pdf. Accessed May 20, 2013.

4. Towey R. Tetanus: a review. Update in Anesthesia. Vol 43 No. 19. 2005.

Available at: http://www.update.anaesthesiologist.org/wp-content/tetanus-a-

review.pdf. Accessed May 20, 2013.

5. Cook TM, Protheroe RT, Handel JM. Tetanus: a review of the literature. British

Journal of Anesthesia. Vol 87 No. 3. 2001. Available at:

http://www.bja.oxfordjournals.org/content/87/3/477.full.pdf. Accessed May 20,

2013.

6. Edlich RF, Hill LC, Mahler CA, Cox MJ, Becker DG, Horowitz JH, et al.

Management and prevention of tetanus. Journal of Long-Term Effect of Medical

Implant. Vol. 13 No. 3. 2003. Available at:

http://www.dl.begellhouse.com/journals/JLT1303-139-154(184).pdf. Accessed

May 20, 2013.

7. Torbey MT, Suarez JI, Geocadin R. Less common causes of quadriparesis and

respiratory failure. In: Suarez JI, editor. Critical care neurology and neurosurgery.

1st ed. New Jersey: Humana Press; 2004. p. 493-495.

8. Dawn MT, Elisson RT. Tetanus. In: Irwin RS, Rippe JM, editors. Irwin and

Rippe’s intensive care medicine. 6th ed. Massachusetts: Lippincot Williams &

Wilkins. 2008. p. 1140-1141.

9. WHO. Current recommendations for treatment of tetanus during humanitarian

emergencies. WHO Technical Note. January 2010. Available at:

http://www.whqlibdoc.who.int/hq/2010/WHO_HSE_GAR_DCE_2010.2_eng.pdf.

Accessed May 20, 2013.

10. Quasim S. Management of tetanus.World Anaesthesia Tutorial of the Week. Vol

87 No. 3. 2001. Available at: http://www.aagbi. org/sites/default/files/17-

management-of-tetanus.pdf. Accessed May 20, 2013.

11. Witt MD, Chu LA. Infections in the critically ill. In: Bongard FS, Sue DY, editors.

Current critical care diagnosis and treatment. 2nd ed. California: McGraw-Hill;

2003. p. 432-434.

Page 21: TERAPI SUPORTIF TETANUS - erepo.unud.ac.id

20

12. Stoelting RK, Hillier SC. Pharmacology & physiology in anesthetic practice:

benzodiazepine. 4th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2006.p. 140-

154.