31
Copy @2011 pasca-unpak ”TEORI DAN PRAKTEK KEGIATAN PENYULUHAN DALAM PERSPEKTIF HUMANISTIC ” Oleh: J.Soenarmo dan Eka Suhardi ABSTRACK Humanist Extension activities which are extension activities which place more emphasis on emotion and affective development . Humanistic theories encourage the development of self-perception and self-potentials of a farmer as a participant counseling extension activities. In the area of motivation, extension humanist emphasis on the intrinsic variables, as exemplified by the theories of Abraham Maslow and Carl Rogers. . Proponents argue that the humanist theory of humanistic theory is also applicable in extension activities, The Extension Specialist wanted a change from the conventional process of extension / traditional "bound" to the process of freeing the participants extension activities more humanist. The desired changes that include: 1) schedule of activities is more open; 2) counseling process should be more active; 3) encourage and more freedom and creativity of participants in counseling; 4) extension activities focused on cooperation; 5) participants extension that is able to

Teori dan Praktek Kegiatan Penyuluh

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Teori dan Praktek Kegiatan Penyuluh

Copy @2011 pasca-unpak

”TEORI DAN PRAKTEK KEGIATAN PENYULUHAN DALAM

PERSPEKTIF HUMANISTIC ”

Oleh:

J.Soenarmo dan Eka Suhardi

 

ABSTRACK

 

Humanist  Extension  activities which are extension activities which place more

emphasis on emotion and affective development . Humanistic theories encourage the

development of self-perception and self-potentials of a farmer as a participant counseling

extension activities. In the area of motivation, extension humanist emphasis on the intrinsic

variables, as exemplified by the theories of Abraham Maslow and Carl Rogers.

.

Proponents argue that the humanist theory of humanistic theory is also applicable in

extension activities, The Extension Specialist  wanted a change from the conventional process

of extension / traditional "bound" to the process of freeing the participants extension

activities more humanist. The desired changes that include: 1) schedule of activities is more

open; 2) counseling process should be more active; 3) encourage and  more freedom and

creativity of participants in counseling; 4) extension activities focused on cooperation; 5)

participants extension that is able to evaluate themselves, and 6) greater emphasis on

personal integrity, intrinsic potential participants and the curriculum.

 

Keywords : Humanist  Extension  activities,  The Extension Specialist,   participants.

Page 2: Teori dan Praktek Kegiatan Penyuluh

 

 

 

I.    PENDAHULUAN

 

1.      Latar Belakang

 

Manusia adalah mahluk ciptaan Tuhan yang mana eksistensinya di muka bumi

mengundang segudang tanya oleh manusia itu sendiri. Banyak orang cerdas yang terkemuka,

bahkan sampai dengan saat ini masih tetap pada paradoks yang sama. Apakah manusia hanya

di lihat terutama sebagai individu seperti yang dianjurkan oleh eksistensialisme dan banyak

psikologi modern?. Ataukah sebagai masyarakat seperti yang ditekankan pada sosiolog dan

Marxisme?. Ataukah harus pesimis dalam penafsiran psikilogis?. Ataukah manusia harus

optimis seperti yang dianjurkan oleh para penganut humanis dan para hedonisme popular?.

Pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas menggaris-bawahi pandangan yang berbeda

tentang relevansi dan hakekat eksistensi manusia di muka bumi. Tetapi apapun tentang

manusia, adalah sebaik-baik makhluk yang pernah diciptakan oleh Tuhan. Dan apapun yang

dikatakan tentang manusia adalah tindakan kreatif Tuhan dalam proses penciptaannya.

Kemampuan rasional, kesadaran moral, pengutamaan keindahan, rasa takut akan punah dan

persepsi spritual adalah wujud - keunikan Tuhan dalam kerangka penciptaan manusia.

Selain itu, manusia berbeda dengan makhluk lain apapun, karena satu sifat yang luar biasa.

Manusia menemukan kebahagiaan dalam memberi, dan suka cita dalam mencintai dan

dicintai. Disamping manusia juga punya hati nurani yang mengganggu jika manusia dalam

kehidupannya  menyimpang.

Selain sebagai mahluk sosial, sebagaimana yang ditekankan dalam perspektif humanis,

manusia harus dipandang sebagai pribadi/individu yang memiliki kemampuan dalam dirinya

sendiri untuk mengerti dan dimengerti, menentukan hidup, serta manusia secara

pribadi/individu dengan bebas dapat mengaktualisasikan diri dalam lingkungan dan dalam

kehidupan sosialnya. Selain itu, secara psikologis, manusia memiliki kebutuhan dasar akan

Page 3: Teori dan Praktek Kegiatan Penyuluh

kehangatan, penghargaan, penerimaan, pengagungan, dan cinta-kasih dari orang lain.

Kebutuhan manusia dinyatakan oleh Roggers  sebagai need for positive regard, baik

bersayarat (conditional positive regard) maupun yang tidak bersyarat (unconditional positive

regard).

 

2.       Permasalahan

 

Para penggagas teori humanis percaya bahwa sejak lahir manusia sudah dibekali

berbagai kesanggupan untuk belajar, meskipun kemudian  bukan berarti keahlian untuk

belajar. Oleh karena itu perkembangan kepribadian seseorang adalah objek yang sangat

penting yang harus mendapat perhatian dan dikaji oleh para penganut humanistis.

Untuk memenuhi potensi dasarnya sebagai manusia, psikologi humanis menekankan

pentingnya pemahaman tentang bagaimana mereka memahami atau mempersepsikan diri

sendiri, orang lain serta lingkungan sekitarnya sebagai dasar perkembangan afektifnya,

disamping itu bagaimana konsep individu atau pemikirannya terhadap sesuatu

kejadian/peristiwa dapat diintegrasikan sebagai perkembangan kognitifnya. Dan untuk

menjadikan manusia yang manusiawi, sebagian para penggagas teori humanis ini bahkan

tidak perduli apakah  penyuluhan humanis dapat meningkatkan penampilan dan prestasi  atau

tidak, tetapi kajian humanis tetaplah menjadi sesuatu yang sangat penting.

 

II. KAJIAN TEORI DAN PEMBAHASAN

 

 

1   Problem Penyuluhan  dalam Perspektif Humanistik

Carl Rogers adalah seorang pendidik humanistik, menyatakan bahwa banyak aspek

Pendidikan dan  penyuluhan yang belum enerapkan prinsip-prinsip humanis. Ide pokok dari

teori - teori Rogers yaitu individu memiliki kemampuan dalam diri sendiri untuk mengerti

Page 4: Teori dan Praktek Kegiatan Penyuluh

diri, menentukan hidup, dan menangani masalah-masalah psikisnya asalkan konselor

menciptakan kondisi yang dapat mempermudah perkembangan individu untuk

mengaktualisasikan dirinya.

Menurut Rogers motivasi orang yang sehat adalah aktualisasi diri. Aktualisasi diri

adalah proses menjadi diri sendiri dan mengembangkan sifat-sifat dan potensi-potensi

psikologis yang unik. Aktualisasi diri akan dibantu atau dihalangi oleh pengalaman dan oleh

belajar khususnya dalam masa lalu. Aktualisasi diri akan berubah sejalan dengan

perkembangan hidup seseorang. Ketika mencapai usia dewasa seseorang akan mengalami

pergeseran aktualisasi diri dari fisiologis ke psikologis.

Dalam memotivasi proses penyuluhan yang lebih humanis, Rogers menawarkan

beberapa prinsip dasar yang harus diperhatikan oleh seorang penyuluh, yaitu:

1.      Manusia mempunyai potensi alami untuk belajar dan mengembangkan dirinya,

2.      Materi penyuluhan harus sesuai dengan tujuan penyuluhan,

3.      Belajar mandiri tanpa tekanan,

4.      Teori harus diikuti dengan praktek,

5.      Peserta penyuluhan harus berpartisipasi aktif,

6.      Kebebasan dan kreatifitas, serta

7.      Belajar sambil berubah .

Pertanyaannya adalah apakah semua penyuluh telah menerapkan prinsip-prinsip dasar

penyuluhan humanis tersebut? Jawabannya ternyata masih sangat sulit. Sebagai contoh, di

satu sisi para  Penyuluh ingin agar supaya peserta penyuluhan menjadi kritis, namun di sisi

yang lain masih banyak  Penyuluh yang tidak ingin dikritisi.

Prinsip-prinsip  penyuluhan humanis tersebut menurut Roggers dimaksudkan agar para

Penyuluh memberi motivasi pada dasar-dasar intrinsic, dan kurikulum diperlukan jika semua

instrumen/unsur-unsur  penyuluhan sudah dapat memenuhi kebutuhan dasar peserta 

penyuluhan. Prinsip  penyuluhan humanis tersebut diharapkan agar  Penyuluh dapat

membantu prestasi peserta penyuluhan berdasarkan kepercayaan mereka tentang apa yang

penting dalam pengajaran dan bagaimana memotivasi mereka. Strateginya adalah, di ruang

pertemuan peran  Penyuluh terutama harus focus untuk membantu peserta penyuluhan belajar

tentang bagaimana setiap individu peserta  penyuluhan dapat mengenal dirinya sendiri, dan

kemudian mengenal orang lain.

Page 5: Teori dan Praktek Kegiatan Penyuluh

2.   Perkembangan Afektif dalam Perspektif Humanis

Dalam perspektif ini seorang  Penyuluh harus membimbing peserta penyuluhan belajar

untuk menemukan dirinya  melalui pengalaman yang konkrit dan umpan balik dari yang

lainnya, dengan demikian sedikit demi sedikit setiap individu peserta  penyuluhan akan

membentuk konsep tentang siapa dirinya, apa yang akan, dapat dan tidak dia lakukan, dan

pada akhirnya, sudut pandang diri dibentuk oleh kualitas dari pengalaman awal

kehidupannya.

            Bagi orang tua di rumah, harus menciptakan suasana nyaman pada diri anak-anaknya.

Dalam studinya kemudian Rogers menawarkan tiga prinsip bagaimana seharusnya orang tua

memperlakukan anak-anaknya di rumah, yaitu: (1). Orang tua harus benar-benar menerima

seorang anak sebagai seorang pribadi yang utuh, (2). Orang tua harus membuat harapan dan

standar yang jelas bagi anak, dan (3). Orang tua harus merasa peduli dan memberikan

kebebasan (ruang gerak) bagi inisiatif anak dan membatasinya pada keadaan tertentu.

Sebuah hipotesis yang masuk akal, minimal untuk pra-sekolah atau tahun-tahun awal

di sekolah dasar, Bahwa tingkah laku mereka sama dengan apa yang mereka perhatikan.

Penghargaan orang tua yang tinggi akan sangat mendukung perkembangan anak di sekolah.

Sementara itu perkembangan afektif, seperti perkembangan kognitif, tergantung dari

kemampuan individu untuk mencocokkan diri sesama individu dan  kegiatan penyuluhan

terhadap tugas yang diberikan.

Penyuluh seharusnya memberikan tugas dan struktur  penyuluhan yang seimbang

kepada peserta penyuluhan sesuai dengan kemampuan kognitifnya. Variabel yang dapat

dijadikan contoh dalam mengukur konsep diri dan prestasi peserta  penyuluhan menurut

Roggers, 1983 adalah sebagai berikut:Penyuluh harus mendengarkan suara dan keinginan

peserta penyuluhan serta biarkan peserta penyuluhan mengekspresi diri dan perasaannya,

Penyuluh berkewajiban memberikan apresiasi yang tulus atas prestasi yang diraih oleh

peserta penyuluhan/peserta  penyuluhannya.

3  Taksonomi pada Penyuluhan Afektif

Ringness (1975) menyatakan bahwa taksonomi diharapkan dapat membantu para

Penyuluh untuk mengklarifikasi pemahaman mereka tentang bagaimana mengajar untuk

Page 6: Teori dan Praktek Kegiatan Penyuluh

meningkatkan perkembangan afektif  peserta  penyuluhan. Sebagai contoh, jika seorang

Penyuluh menerangkan sebuah polusi maka hal itu akan berguna untuk menyadarkan bahwa

dengan hanya sebuah kesadaran dan kepedulian pada polusi sebagai suatu masalah membuat

mereka tidak penting untuk membangun kemauan untuk mengambil tindakan.

Pada tingkat yang lebih tinggi dari taksonomi menyuguhkan cara untuk

mengembangkan komitmen peserta  penyuluhan pada nilai-nilai dan kepercayaan. Pada

awalnya, para peserta  penyuluhan hanya memverbalkan posisi para  Penyuluh, tetapi ketika

mereka menjadi ingin untuk menyampaikan dan mempertahankan posisinya di hadapan

publik. Pada level ketiga dari taksonomy, para peserta  penyuluhan mulai menginternalisasi

keyakinan dalam diri mereka, sebagai contoh mereka menerima kebutuhan untuk mengelola

lingkungan, sehingga mereka tidak lagi dikontrol oleh opini dari yang lainnya. Peserta 

penyuluhan setelah itu dapat mengintegrasikan keyakinannya tentang lingkungan dengan

keyakinan yang lainya dan bahkan mungkin menggeneralisasikan lebih jauh dan menjadi

kesadaran yang menyatu dan berhubungan atau dengan sukarela memberikan waktu untuk

masalah-masalah lingkungan.

Kunci pertanyaan yang menjadi perhatian adalah perluasan dimana pengalaman di

dalam ruang pertemuan akan membantu peserta penyuluhan membangun struktur nilai yang

terpadu. Sebuah topik yang dipelajari menjadi sebuah nilai pemeriksaan, dengan demikian

sebuah kurikulum dapat dirancang dengan cara ini. Dengan waktu yang relatif singkat sebuah

tujuan dapat diselesaikan dan direspons, dan waktu yang lebih lama diperlukan untuk

mencapai tingkat yang lebih tinggi dari taksonomi.

Taksonomi ini menyediakan referensi konsep yang berguna yang menyarankan

bagaimana level yang beragam dari pengaruh peserta  penyuluhan dapat berhubungan dengan

kandungan kurikulum, dan termasuk di dalamnya prinsip-prinsip Roggers (1983), seperti

membantu peserta  penyuluhan untuk membangkitkan kepercayaan diri mereka. Namun

demikian, Patterson (1973) mengkritik methode ini (taksonomi), karena menurutnya hanya

sedikit memberikan kontribusi pada perkembangan afektif.

Menurut Patterson, Penyuluhan afektif adalah perkembangan kesadaran. Perkembangan

yang pertama adalah ekspresi diri, bagaimana seorang/individu  dapat melihat atau menerima

dirinya sendiri seperti apa adanya. Dan yang paling utama adalah bagaimana ia merasa bebas,

menjadi terbuka dan jujur pada dirinya sendiri. Perkembangan yang kedua adalah

Page 7: Teori dan Praktek Kegiatan Penyuluh

seorang/individu harus mampu untuk mengeksplorasi, mencari, dan mengevaluasi dirinya

sendiri. Bagian dari proses ini termasuk umpan balik dan ia diterima dalam kelompoknya.

Taksonomi bukan satu-satunya methode dinamik yang digunakan dalam membantu

perkembangan kepribadian afektif peserta penyuluhan. Tetapi cara ini berguna untuk

mempertimbangkan tujuan afektif sehingga memudahkan para  Penyuluh untuk memilih

metode, prosedur, dan kandungannya untuk membantu peserta  penyuluhan dalam berprestasi

dan menginternalisasi keyakinannya.

 

 

4          Penerapan Prinsip-Prinsip Humanis

Untuk mencapai tujuan  penyuluhan yang lebih humanistis Patterson memberikan solusi

ke arah pencapaian perubahan dimaksud, diantaranya adalah (a). Jadwal harus terbuka

disesuaikan dengan kebutuhan peserta penyuluhan; (b) penyuluhan yang lebih aktif; (c)

Pembebasan (memudahkan aktualisasi diri dan perasaannya; (d) Penekanan lebih pada

kreativitas;  (e) penyuluhan yang lebih kooperatif;  (f) Kesempatan yang lebih pada evaluasi

diri;dan (g) Integritas pribadi (jati diri), potensi non-akademik dan kurikulum harus bersifat

intrinsic.

Apakah sampai sejauh ini  seorang  Penyuluh memberi kebebasan pada peserta

penyuluhan untuk menentukan tujuan  penyuluhannya ? De Charms (1984) mencoba

memodifikasi beberapa pemikiran awalnya tentang bagaimana  Penyuluh membantu

memfungsikan peserta penyuluhan sebagai “Origins” setelah berada di ruang kelas.

De Charms (1984) menulis :Sebuah sudut pandang romantic tentang seorang Origin

sebagai jiwa yang bebas tak terhalang oleh tekanan dari yang lainnya. Pada perspektif ini,

seseorang tidak memikul tanggung jawab untuk mempertahankan kewenangannya. Kita akan

menjadi lebih skeptis pada  cara pandang tersebut..... tidak bermaksud untuk menekan orang-

orang disekitarnya tetapi adalah sebuah permulaan dalam memperlakukan orang-orang

sebagai Origins, tapi kita akan segera menemukan bahwa membiarkan mereka melakukan

apa yang mereka ingin lakukan bukan berarti kita tidak memperlakukan mereka sebagai

Origins. (p.83)

Page 8: Teori dan Praktek Kegiatan Penyuluh

DeCharms menekankan perlunya peran  Penyuluh dalam memotivasi peserta

penyuluhannya. Para  Penyuluh yang ingin membantu peserta penyuluhan  untuk

memfungsikan Origin dapat melakukan hal serupa dengan membantu mereka untuk

menyusun tujuan realistis, menemukan kekuatan serta kelemahan mereka, membuat rencana

konkret untuk mencapai tujuan, dan memonitor usaha mereka.

Praktek-praktek  penyuluhan konservarif sering membatasi ruang gerak peserta

penyuluhan dalam belajar dan waktu yang digunakanpun sering dibatasi. Sementara

penyuluhan humanis lebih menekankan pentingnya keterbukaan  sesuai dengan kebutuhan

peserta  penyuluhan. Sebagai contoh, banyak para peserta penyuluhan yang sudah memiliki

pekerjaan lain  akan mengekspresikan jadwal yang lebih fleksibel. Sebagian waktunya

digunakan untuk kegiatan-kegiatan pelatihan dalam hal mencari pengalaman kerja.

Akomodasi yang bijak ini disebut dengan fleksibilitas, dengan usaha yang berkelanjutan

terhadap pertumbuhan akademik peserta penyuluhan dan tidak mengganti nilai-nilai

penyuluhan dengan nilai-nilai budaya mereka. Untuk mengilustrasikan terjadinya reaksi

kimia, contohnya, sangat berguna untuk membuat peserta  penyuluhan membatasi waktunya

dua jam jika jadwalnya dapat dimodifikasi sehingga peserta  penyuluhan dapat sewaktu-

waktu menggunakan waktu tambahan pada mata pelajaran tertentu ketika pembelajaran

eksakta atau percobaan yang membutuhkan waktu yang lebih banyak.

Sebagian tokoh humanis tidak sepakat dengan tata ruang kelas yang sering

dipraktekkan oleh penyuluhan konvensional/tradisional, atau gagasan memberikan

sesuatu/tugas yang sama pada waktu yang sama kepada peserta penyuluhan padahal

kemampuan dan minat peserta penyuluhan terhadap pelajaran berbeda-beda. Yang mesti

dilakukan adalah kegiatan penyuluhan yang lebih adaptif disesuaikan dengan kebutuhan

individu peserta penyuluhan, seperti memberikan kesempatan peserta penyuluhan dalam

mengembangkan minat, memilih pelajaran yang sesuai dengan kemampuan  dll.  ”Kebebasan

peserta penyuluhan” dan penyuluhan terbuka adalah dua hal yang sangat penting dalam

model  penyuluhan yang adaptif.

         Wang dan Lindvall (1984) menawarkan tujuh prinsip dalam penyuluhan adaptif, yaitu:

1)      Tujuan Instruksional berdasarkan pada kemampuan setiap peserta  penyuluhan,

2)      Memilih materi dan prosedur yang sesuai dengan minat dan kemampuan peserta

penyuluhan,

Page 9: Teori dan Praktek Kegiatan Penyuluh

3)      Evaluasi periodik,

4)      Mengidentifikasi kebutuhan, kemampuan, rencana aktifitas, dan evaluasi

penguasaan belajar,

5)      Membantu keahlian atau keterampilan akademis yang dibutuhkan dalam kegiatan

alternatif;

6)      Menetapkan tujuan penyuluhan, luaran dan aktivitas, serta

7)      Kerjasama kelompok dalam rangka mencapai tujuan.

Banyak program instruksi individualisasi dikembangkan dengan rancangan yang

menitikberatkan pada prestasi akademik dibandingkan kepribadian peserta  penyuluhan atau

perkembangan afektif, walaupun keuntungan afektif seringkali dibutuhkan oleh peserta

penyuluhan. Dengan pengecualian dari program yang mengandung elemen  penyuluhan

kerjasama (Slavin, 1983). Bagaimanapun, program individualisasi tidak mencatat kesuksesan

dalam mendorong kepribadian peserta  penyuluhan atau perkembangan afektif. Alasan utama

untuk ini bahwa beberapa program menggantungkan pada kebutuhan peserta  penyuluhan

untuk bekerja melalui modul kurikulum individualiasi, sebuah bentuk instruksi yang cocok

untuk digerakkan dan dipraktekkan pada fakta dasar, konsep dan keterampilan tetapi tidak

untuk instruksi pada proses kognitif yang lebih tinggi. (penyelesaian masalah, berfikir,

kreativitas) atau untuk mengembangkan pernyataan disposisi yag umum seperti minat,

tingkah laku atau nilai-nilai (Jackson, 1985). Konsekuensinya, banyak dari program-program

ini mengandung sedikit karakter pertama pada catatan Wang dan Lindvall (1984). Aktivitas

membaca sering dikorbankan untuk aktivitas-aktivitas kerja yang mengandalkan subskill

mendengar, kreatifitas menulis dikorbankan pada pengejaan dan pemberian tanda-tanda baca,

bekerja dengan manipulasi yang konkret, pelajaran matematika dikorbankan oleh latihan

perhitungan, dan menghilangkan  penyuluhan sains dan ilmu sosial yang sebenarnya (Kepler

&Randall, 1977). Meskipun sebuah tingkat individualisasi, seperti instruksi sering

membosankan, diulang-ulang dan dengan kata lain kurang memuaskan dibandingkan

instruksi tradisional (Carlson, 1982; Everhart, 1983).

5   Korikulum Afektif dalam Perspektif Humanis

Brown (1971) menggunakan istilah penyuluhan tatap-muka (confluent education) untuk

merefleksikan integrasi dari pengaruh kedalam materi ajaran. Simpson & Gray menyebutkan

Lingkaran Magis (Magic Circle) (berdasarkan program pengembangan manusia yang

Page 10: Teori dan Praktek Kegiatan Penyuluh

dikembangkan oleh Harold Bessell dan Ualdo Palomares). Selama pertemuan kelompok

lingkaran magis, peserta  penyuluhan memiliki kesempatan untuk saling menukar persepsi

dan opini dengan teman sebaya mereka tentang suatu topik seperti, “ sesuatu yang saya suka

darimu”, “Sesuatu yang saya suka dari diri sendiri”, atau,”Jika saya dapat melakukan sesuatu

saya ingin kamu suka”.

Pada tingkat kedua, satu aktivitas Simpson & Gray menggambarkan Mars Terompet

(Trumpet March)  (dikembangkan di pusat penyuluhan humanis di University of

Massachussetts). Pada aktivitas ini peserta  penyuluhan mengumpulkan dan mengevaluasi

data tentang tingkah laku mereka dengan yang lainnya. Cara lain untuk menjadikan afektif

sebagai kurikulum sekolah di beberapa ruang kelas melalui aktivitas klarifikasi nilai-nilai.

Simon, Howe, dan Kirschenbaum (1972) berpendapat bahwa banyak orang tidak memahami

nilai-nilai mereka dengan jelas.

Jantz dan asosiasinya (1976), dari pusat Aging di University of Maryland, telah

menghasilkan sebuah panduan kurikulum untuk perilaku anak-anak dan orang tua. Termasuk

di dalamnya buku-buku yang mengundang reaksi anak-anak. Informasi ini menawarkan

Informasi yang akurat bagi individu orang tua. Sebuah kesempatan untuk melihat tingkah

laku dari orang-orang dewasa yang berbeda-beda bentuknya, dan kesempatan untuk

mengembangkan perasaan positif tentang pertumbuhan.

Cara lain yang dipandang efektif yang difikirkan peserta penyuluhan adalah melalui

penyuluhan estetika. Beberapa orang beralasan bahwa peserta penyuluhan dapat menjadi

sensitif pada pengalaman estetika (lihat laporan Berangkat dari perasaan kita: Signifikansi

seni pada Penyuluhan Amerika. Ketertarikannya di sini bukan pada pentingnya

menyempurnakan kemampuan peserta penyuluhan untuk belajar tetapi membuat mereka

peduli terhadap permasalahan-permasalahan estetika. Bagaimana responnya ke seni, music,

dan objek-objek keindahan lainnya, bagaimana seseorang mengevaluasi penampilan teater

dengan pengajaran langsung, program penyuluhan estetika membantu peserta penyuluhan

untuk mengembangkan dan memahami kriteria respon untuk pengalaman estetika.

Pendeknya, tujuan pada pelatihan tersebut adalah untuk membuat peserta  penyuluhan

mendapatkan pengalaman yang lebih baik lagi.

Baskin dan Hess (1980) mengevaluasi program-program penggunaan kurikulum

afektif untuk mencapai tujuan afektif, yang diimplementasikan pada waktu yang spesifik

Page 11: Teori dan Praktek Kegiatan Penyuluh

selama di kelas/sekolah, dan diperoleh hasil evaluasinya sebagai berikut : (1). Pendekatan

Kognitif dapat menyelesaikan masalah ; (2). Perkembangan pemahaman diri sendiri dan

orang lain; (3). Program pengembangan manusia; (4). Proyek pelatihan keterampilan

interpersonal; (5). Kepedulian; (6). Sekolah tanpa kegagalan; (6). Pelatihan efektifitas bagi

Penyuluh (TET).

Lebih lanjut Baskin dan Hess mengklasifikasikan tujuh program tersebut ke dalam

tiga wilayah, yaitu (1). Emosi-internal atau dimensi internal meliputi perasaan, emosi,

persepsi diri, dan sikap; (2) Wilayah kognitif mencakup wilyah kognitif ini mengacu kepada

pemahaman mahapeserta penyuluhan tentang prinsip-prinsip sosial dan kemampuannya

mengahadapi pilihan situasi sosial yang tidak menentu); dan (3). Dimensi Tingkah

laku/tindakan; (dimensi tingkah laku meliputi tingkah laku interpersonal yang diamati seperti

interaksi sesama teman atau dengan orang dewasa).

Elardo (1976) merangkum informasi tentang program yang berhubungan dengan

perkembangan sosial dan mengkritisi empat program yang telah dan sedang

diimplementasikan di sekolah dasar (SD), yaitu :

1)      Pendekatan Causal Ojemann’s untuk tingkah laku manusia;

2)      Program perkembangan manusia;

3)      Terapi realitas/sekolah tanpa kegagalan; dan

4)      Perkembangan pemahaman untuk diri sendiri dan orang lain.

Elardo menyimpulkan bahwa empat program yang dicobakan untuk penyuluhan 

humanisasi selama anak usia awal dan pertengahan sekolah dan menyediakan contoh-contoh

dan cara dimana kurikulum sekolah tradisional dapat diperpanjang tetapi program-program

tersebut mengecewakan. Hal ini disebabkan karena, pertama; deskripsi kegiatan tidak

mengandung pernyataan yang jelas berkaitan dengan mekanisme perkembangan pemahaman

manusia, kedua; sangat menyulitkan untuk menentukan dasar perencanaan kurikulum, ketiga;

program tersebut tidak terintegrasi dengan baik dengan teori dan penalitian anak terkini,

keempat; setiap program mengekspresikan banyak penghargaan pribadi, tetapi sedikit yang

fokus pada hubungan peserta penyuluhan dengan yang lainnya. Untuk itu Elardo beralasan

bahwa untuk mendapatkan tingkah laku yang proporsional harus keluar dari individu peserta

Page 12: Teori dan Praktek Kegiatan Penyuluh

penyuluhan dengan mencari kelompok dan ruang kelas yang membutuhkan peserta

penyuluhan.

Hudgin (1979) menampilkan data dari sebuah tes tentang efek dari program Toward

Afektif Development (TAD. Hudgin menyatakan bahwa tidak ada pengaruh signifikan dari

program ini pada peserta penyuluhan tentang konsep diri atau penyesuaiannya. Ia mencatat

bahwa ada pertimbangan anekdot yang memuji beberapa program afektif pada literatur-

literatur, tetapi beberapa data mendukung advokasi. Lebih jauh lagi, dia menyatakan bahwa

permohonan intuisi yang kuat untuk penyuluhan afektif untuk beberapa orang dapat

menyebabkan mereka mendukung sebuah program bahkan tanpa mempertimbangkan

penelitian tentang keefektifannya.

6   Kerjasama Afektif dalam Perspektif Humanis

Disamping menempatkan objek afektif secara langsung melalui inklusi dari kurikulum

afektif pada program sekolah, hal tersebut mungkin untuk menyempurnakan objeknya secara

tidak langsung dengan mengubah kondisi dimana peserta penyuluhan berpartisipasi ke dalam

aktivitas akademik. Pada ruang kelas konvensional/tradisional, tipe-tipe peserta

penyuluhannya memiliki kepedulian hanya pada diri mereka sendiri, tidak dibolehkan

membantu satu sama lainnya, dan bersaing untuk sebuah nilai. Pendekatan  penyuluhan

kerjasama diinstruksikan untuk mengubah kondisi ini. Sering dengan pengaruh positif pada

luaran afektif. Pendekatan  penyuluhan kerjasama mengganti tempat kerja yang independent

dengan aktivitas  penyuluhan kerjasama pada kelompok kecil peserta penyuluhan (5 sampai 6

orang) bekerja bersama dalam praktek dan pelatihan terapan. Beberapa yang terbaik terkenal

dan penelitian yang lebih luas mengenai program  penyuluhan kerjasama yang dijelaskan

sebelumnya. Sebagai informasi tambahan mengenai hal ini dan program-program kerjasama

yang lainya, lihat Sharan et al (1984), slavin (1983), atau Slavin et al.(1985).

Pendekatan  penyuluhan kerjasama diinstruksikan untuk mengubah pola-pola peserta

penyuluhan yang memiliki kepedulian hanya pada diri mereka sendiri, tidak kooperatif, dan

bersaing hanya untuk mendapatkan sebuah nilai. Johnson et al., 1984; membagi Model ini ke

dalam  empat  elemen dasar, yaitu:

1)      Interdependensi positif (menyelesaikan tugas secara bersama-sama dan saling

berkontribusi untuk meraih kesuksesan bersama);

Page 13: Teori dan Praktek Kegiatan Penyuluh

2)      Saling berinteraksi sesama anggota kelompok (tugas membutuhkan lebih banyak

interaksi dibandingkan dikerjakan sendiri);

3)      Pertanggungjawaban individu (setiap anggota harus mengetahui secara jelas apa

yang harus mereka pertanggungjawabkan);

4)      Keterampilan interpersonal (saling menghargai, diskusi, berpartisipasi aktif dalam

menghidupkan kelompoknya.

Schlomo sharan dan lembaganya (1984) telah mengembangkan apa yang mereka sebut

sebagai metode penelitian kelompok di Israel yang mirip dengan metode  penyuluhan

kelompok yang dikembangkan di USA oleh Johnsons. Penelitian kelompok peserta

penyuluhan berbentuk kelompok dengan anggota dua sampai enam orang menggunakan

penyelidikan kerjasama, diskusi kelompok, dan proyek serta perencanaan kerjasama. Mereka

memilih sub-topik dari sebuah unit yang dipelajari oleh seluruh kelas, membawa mereka ke

tugas individu, dan membawa aktivitas yang diperlukan untuk mempersiapkan laporan pada

sub-topik tersebut. Bahkan sewaktu-waktu kelompok membuat sebuah presentasi atau

menampilkannya untuk mengkomunikasikan penemuannya ke seluruh kelas dan dinilai

berdasarkan kualitas laporan.

Aronson et, al, 1978 mengembangkan suatu metode yang disebutnya “metode gergaji”.

Metode ini lebih menekankan pada partisipasi individu aktif dan kerjasama kelompok dengan

menyusun tugas sehingga setiap anggota kelompok memiliki informasi yang unik dan

kemudian memiliki peran yang unik untuk dimainkan. Produk dari kelompok tidak dapat

dilengkapi tanpa setiap anggota kelompok melengkapi pekerjaannya, seperti puzzle gergaji

yang tidak bisa dilengkapi tanpa melingkupi semua bagiannya. Informasi diperlukan untuk

menyusun sebuah biografi, sebagai contoh, dapat dipecah menjadi kehidupan awal,

penyempurnaan pertama, latarbelakang utama, kehidupan kemudian, dan peristiwa-peristiwa

dunia yang terjadi selama waktu hidup seseorang. Setiap anggota kelompok yang berbeda

diberikan informasi yang diperlukan dan diberikan tanggungjawab untuk setiap lima bagian

ini. Anggota-anggota dar kelompok yang berbeda yang bekerja dengan bagian yang sama

bisa bertemu bersama di “Kelompok keahlian” untuk mendiskusikan bagian ini. Kemudian

mereka kembali ke kelompok regular dan mendapatkan giliran mengajarkan sesama anggota

kelompoknya tentang bagian mereka. selama seorang peserta penyuluhan hanya mempelajari

bagiannya kemudian mereka akan sangat mendengarkan dengan hati-hati bagian yang di

bawakan oleh teman lainnya sesama angota kelompok, mereka dimotivasi untuk mendukung

Page 14: Teori dan Praktek Kegiatan Penyuluh

dan menunjukkan ketertarikan dengan pekerjaan yang lainnya. Para peserta penyuluhan

kemudian menyiapkan biografi atau membuat kuis dengan bahan-bahan mereka sendiri.

Robert Slavin dan yang lainnya di John Hopkins University, secara kolektif

mengembangkan sebuah metode  penyuluhan kelompok yang dikenal dengan istilah Student

Team Learning. Empat metode  penyuluhan kelompok peserta penyuluhan dimaksud adalah :

Teams-Games-Tournament (TGT), Student Teams- Ahievement Divisions (STAD), Jigsaw

(model gergaji) II, dan Team Assisted Indivizualitation (TAI).

 

Teams-Games-Tournament (TGT).

Metode ini melibatkan seluruh  peserta penyuluhan yang bekerja bersama dengan empat

atau lima angota kelompok yang heterogen untuk menolong satu sama lainnya menguasai isi

materi dan menyiapkan kompetisi melawan kelompok yang lainnya (Slavin, 1983). Sesudah

para  Penyuluh mempresentasikan bahan yang dipelajari, anggota kelompok bekerja bersama

untuk belajar dari kertas kerja dengan mendiskusikan bahan dan yang diterangkan  Penyuluh

atau saling bertanya dan memberi kuis satu sama lain. Praktek kerjasama bentuk ini terus

berlanjut selama seminggu untuk mempersiapkan turnamen yang diselenggarakan hari jumat.

Untuk turnamennya, disertakan tiga peserta penyuluhan dimana yang disusun dari peserta 

penyuluhan-peserta  penyuluhan dari tim yang berbeda yang memiliki prestasi yang sama.

Tiga orang pada setiap meja berkompetisi pada games akademik yang terdiri dari kandungan

pemikiran serta praktek selama seminggu. Peserta penyuluhan mendapatkan poin dengan

menjawab dengan benar sebuah pertanyaan atau berhasil bersaing atau membetulkan jawaban

salah dari lawan, dua orang lainnya pada meja. Semenjak mereka bersaing dengan teman

sebaya yang prestasinya sama, peserta penyuluhan yang prestasinya rendah juga memiliki

kesempatan mengumpulkan poin untuk tim mereka dengan cara yang sama dengan yang

dilakukan peserta penyuluhan berprestasi tinggi. Poin dijumlahkan untuk menentukan skor

tiap tim, dan para  Penyuluh menyiapkan sebuah koran untuk mengabadikan kesuksesan tim

tersebut.

Student Teams- Ahievement Divisions (STAD)

Page 15: Teori dan Praktek Kegiatan Penyuluh

STAD adalah sebuah penyederhanaan dari TGT (Slavin,1983). Yang digunakan pada

pengelompokan anggota yang heterogen dan prosedur  penyuluhan kerjasama tetapi

mengganti turnamen dengan kuis. Skor kuis di translate kedalam kompetisi poin tim

berdasarkan pada skor peserta penyuluhan yang satu kemudian dibandingkan dengan skor

peserta penyuluhan yang lainnya pada “divisi prestasi” mereka ( Terdiri dari peserta 

penyuluhan-peserta  penyuluhan dengan prestasi yang sama), dan poin individu

dikombinasikan ke total tim. Baik TGT maupun STAD mengkombinasikan struktur tugas

penyuluhan kolektif dengan kompetisi tim dan reward kelompok dengan performa kolektif

individu, Bagimanapun STAD menguraikan personalisasi elemen kompetitif. Dibandingkan

berkompetisi berhadap-hadapan melawan teman sekelas mereka pada meja turnamen,

peserta  penyuluhan-peserta  penyuluhan pada kelas STAD mencoba untuk melakukan yang

terbaik dalam kuis yang mereka kerjakan secara individu. Mereka tahu bahwa poin akan

diberikan tergantung dari bagaimana mereka lakukan dibandingkan dengan teman sebayanya

pada divisi prestasi yang sama, tetapi mereka tidak mengetahui siapa peserta penyuluhan-

peserta penyuluhan ini ( Penyuluh tidak memperlihatkan prestasi anggota divisi). Slavin dan

lembaganya sedikit-demi sedikit menempatkan penekanan yang lebih pada STAD dan sedikit

pada TGT, karena STAD lebih mudah diimplementasikan dan dapat mereduksi kompetisi

yang terlalu mencolok.

Jigsaw II (Gergaji II)

Jigsaw II adalah penyederhanaan dan adaptasi dari Jigsaw asli (Slavin, 1983).

Penyederhanaan ini adalah  Penyuluh tidak perlu menyediakan setiap peserta penyuluhan

dengan materi yang berbeda atau unik. Selain itu, setiap peserta penyuluhan dimulai dengan

membaca narasi yang biasa tetapi kemudian setiap peserta penyuluhan pada kelompok

diberikan topik yang terpisah yang membuat mereka menjadi seorang ahli. Juga, dimana

Jigsaw digunakan untuk mendapatkan nilai individu berdasarkan skor kuis. Jigsaw II

menggabungkan elemen penambahan dari menghitung skor tim dan menyempurnakan tim

melalui surat kabar (koran) kelas.

Team Assisted Indivizualitation (TAI).

TAI adalah sebuah adaptasi dari instruksi individualisasi matematika yang

mengenalkan metode  penyuluhan kerjasama dan kompetisi tim dengan penilaian kelompok,

seperti pada STAD (slavin, 1985). Peserta  penyuluhan-peserta  penyuluhan TAI bekerja

Page 16: Teori dan Praktek Kegiatan Penyuluh

secara bekerjasama dengan berpasangan atau tiga orang dengan tutorial, kuis, dan bentuk

yang lainnya yang membantu yang lainya menguasai kandungan penugasan individu. Di

akhir minggu, diadakan ujian berdasarakan referensi tugas individu, dan nilai mereka

digunakan baik pada penilaian individu maupun bertujuan memberikan penilaian pada

kelompok.

Slavin (1983) telah merangkum banyak penelitian pada metode  penyuluhan kerjasama.

Pengaruhnya pada prestasi pada umumnya positif, walaupun mereka menggunakan penilaian

kelompok dan mendapatkan penilaian pribadi dengan struktur tugas kerjasama. Kemudian

metode  penyuluhan kelompok peserta penyuluhan yang menggunakan nilai kelompok (TGT,

STAD, Jigsaw II, TAI) tetap dipertahankan untuk mendapatkan pengaruh positif yang

konsisten terhadap prestasi peserta penyuluhan, dimana lebih murni metode kerjasama

(belajar bersama, penelitian kelompok, atau original Jigsaw) yang lebih sedikit menghaslkan

keuntungan positif melalui pengajaran tradisional (Moskowitz et al., 1985; Okebukola, 1985;

Slavin, 1983).

Pengaruh dari out-put afektif ini lebih mengesankan. Penyusunan belajar kerjasama

ditemukan untuk mendorong pilihan persahabatan dan bentuk prososial yaitu interaksi

diantara sesama peserta penyuluhan yang berbeda secara prestasi, jenis kelamin, ras atau etnis

dan mendorong penerimaan dari peserta  penyuluhan yang menghalangi mereka menjadi

teman sekelas yang tidak menghalangi mereka. Metode kerjasama juga terkadang memiliki

pengaruh yang positif pada luaran afektif seperti penghargaan diri, kepercayaan diri

akademik, menyukai klas, menyukai dan merasakan suka terhadap teman sekelas, empati dan

kerjasama sosial (Slavin, 1983).

Metode  penyuluhan kerjasama tidak mengganti secara keseluruhan pendekatan

tradisional tapi mengadaptasi dimana pengenalan  Penyuluh dan konsep yang berkembang

dengan cara biasa tetapi kemudian ditambahkan praktek dan penerapan aktivitas yang

dikerjakan secara bersama-sama dibandingkan hanya dengan secara individu. Metode

penyuluhan kelompok tersebut para peserta penyuluhan merasa lebih cocok untuk

mempraktekkan keterampilan dasar,dimana metode kerjasama yang lebih murni terlhat lebih

cocok untuk aktivitas penelitian dan proyek kerja yang lainnya di pelajaran ilmu pengetahuan

sosial maupun sains. Beberapa aktivitas  penyuluhan kerjasama dapat menjadi cara yang

efektif untuk menyusun pengalaman sehingga baik out-put kognitif maupun afektif dapat

Page 17: Teori dan Praktek Kegiatan Penyuluh

diteruskan, khususnya jika aktivitasnya dirancang sehingga tiap peserta  penyuluhan berperan

aktif dalam memainkan peranannya.

 

7   Tingkah Laku Prososial dalam Perpektif Humanis

Mussen dan Eisenberg-Berg (1977) menyatakan bahwa tingkah laku prososial adalah

“Tindakan untuk membantu orang lain, dengan tanpa pamrih, tanpa tekanan, dan tidak

dengan harapan memperoleh sesuatu hadiah. Meskipun beberapa tindakan sering

memerlukan biaya dan pengorbanan dirinya sebagai konsekuensi dari perannya”. Dan orang

tua yang prososial adalah orang tua yang memiliki tanggung-jawab pengatur anak-naknya

dengan baik pada usia dini, mendorong mereka untuk mengekspresikan perasaan mereka ke

yang lainnya, dan menjelaskan alasan dibalik aturan yang mereka buat. Demikian juga peran

para  Penyuluh dalam perspektif  penyuluhan prososial ini. Setiap tugas yang diberikan

kepada peserta penyuluhan sebisa mungkin diselesaikan atau dikerjakan secara bersama-sama

dalam bentuk kerja sama demikian juga laporannya, karena efek yang ditimbulkan dari

aktifitas ini dapat dirasakan manfaatnya secara langsung. Para  Penyuluh juga dapat

mengeksplor topik prososial secara langsung dengan menjadwalkan diskusi mengenai dilema

moral, memainkan peranan atau simulasi situasi sosial, atau aktivitas lain yang dirancang

untuk mengembangkan prososial, tindakan kerjasama, dan penempatannya pada peserta

penyuluhan.

8   Siapakah  Penyuluh Humanis?

Menurut Patterson (1973) bahwa  Penyuluh yang humanis adalah  Penyuluh sejati.

Penyuluh seperti ini tidak khawatir terhadap peserta penyuluhan yang ia ajar dan selalu

memiliki keinginan untuk membagi pandangannya secara terbuka, ia tidak menyembunyikan

perasaannya dan tetap konsisten, ia menerima dan memposisikan peserta penyuluhannya

sebagai bagian dari perasaannya.  Penyuluh seperti ini kata Petterson adalah  Penyuluh yang

selalu mempertanggung-jawabkan setiap tindakannya. Ketika ia terluka atau marah, ia akan

mengatakan “Saya terluka”, “Saya marah”. Tentang kemarahan, Patterson menulis : “Saya

mengakui hal itu sebagai perasaannya dan bertanggungjawab atas perbuatannya. Jika ia

memarahi seorang anak, yang ia marahi adalah perbuatannya, bukan anaknya, dengan apa

yang telah ia perbuat.”

Page 18: Teori dan Praktek Kegiatan Penyuluh

Karakteristik kedua adalah penghargaan kepada anak sebagai seorang manusia, yang

ditunjukkan dengan menerima peserta  penyuluhan dengan aktivitas yang dilakukannya,

tentang keinginan, pendapat dan perasaannya. Patterson mengakui bahwa ketidak

sempurnaan, kesalahan, perubahan pada mood dan motivasi adalah manusiawi. Tetapi dibalik

semua itu ada kepercayaan bahwa ada kebaikan yang mendasari manusia dalam

kapasistasnya sebagai individu untuk tumbuh dan berkembang, dan dapat mengaktualisasikan

potensinya di lingkungan yang cocok”.

Pemahaman empati adalah karakteristik ketiga dari  Penyuluh humanistic. Hal ini

termasuk usaha yang aktif oleh para  Penyuluh yang menempatkan dirinya pada peserta

penyuluhan-peserta penyuluhannya sesuai posisinya dan memahami persepsi serta perasaan

para peserta penyuluhannya.

Menurut Rogers (1983) bahwa  Penyuluh yang berempati adalah  Penyuluh yang sering

memuji peserta penyuluhannya; selalu menggunakan ide peserta penyuluhan dalam

interaksi/proses belajar-mengajar di kelas; sering berdiskusi dengan peserta penyuluhannya;

rencana  penyuluhan disesuaikan dengan keadaan peserta penyuluhannya; tujuan  penyuluhan

disarikan secara bersama; ruang kelasnya tertata secara individualisasi; lebih bebasdan

fleksibel; serta lebih menekankan pada produktivitas dan kreatifitas dibandingkan dengan

evaluasi.

 

III. KESIMPULAN

 1   Kesimpulan

Dari berbagai teori yang telah dikemukakan di atas maka dapat disimpulkan beberapa

hal antara lain :

      Penyuluhan humanis merupakan salah satu teori penyuluhan yang mengarahkan

manusia pada pembebasan (proses memanusiakan manusia). Inti dari teori humanis

ini adalah aktualisasi diri, kepercayaan diri, keterbukaan, kooperatif, adaptif, tanpa

ancaman serta kreatifitas peserta penyuluhan dalam mengembangkan dirinya.

Page 19: Teori dan Praktek Kegiatan Penyuluh

       Penyuluh yang humanis adalah  Penyuluh sejati yang memiliki kepekaan dan

mempunyai keinginan untuk membagi pandangannya secara terbuka, tidak

menyembunyikan perasaannya dan tetap konsisten, menerima dan memposisikan

peserta penyuluhannya sebagai bagian dari diri dan perasaannya. Sering memuji

peserta penyuluhannya dan selalu menggunakan ide peserta penyuluhan dalam

interaksi/proses belajar-mengajar di kelas.

      Peran keluarga dan  Penyuluh dalam perspektif humanis memiliki peran yang

sama dalam proses perkembangan jati diri anak/peserta penyuluhan.

 

DAFTAR PUSTAKA

Bringham, J.G. 1991. Social Psychology. New York: Harper Gillins Publisher Inc.

Brophy, J. E. y Good, T. L. (1974): Teacher-student relationships: Causes and

consequences. New York: Holt, Rinehart & Winston.

Budiningsih C.A., 2005. Belajar dan Pembelajaran. PT. Asdi Maha Satya, Jakarta.

Coulhorn, J.F., & Acocella, J.R. 1990. Psychology of Adjustment and Human Relationship.

New York: McGraw-Hill Publishing Company.

Hawkins & A.W. Van Den Ban, 1999. Penyuluhan Pertanian. Kanisius, Yokyakarta.

Helmi, F.A. 1995. Konsep dan Teknik Pengenalan Diri. Buletin Psikologi, 2. Yogyakarta:

Fakultas Psikologi UGM.

Hurlock, E.B. (1974) 2002. Personality Development. New Delhi: Tata McGraw-Hill

Publishing Co. Ltd.

Jalaluddin Rahmat. 1988. Keterampilan Komunikasi. Bandung : CV. Karya Remaja.

Kartasapoetra, 1994. Teknologi Penyuluhan Pertanian, Radar Jaya Offset, Jakarta.

Kusnandar, 2007. Guru Profesional. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Page 20: Teori dan Praktek Kegiatan Penyuluh

Maslow, Abraham.(1954) 2001 Motivation and personality. Harper and Row New York,

New York.

Poedjijogdjanti, R.G. 1993. Konsep Diri dalam Proses Belajar Mengajar. Jakarta: Penelitian

Unika Atmajaya.

Roger, E.M. 2004, The  Diffusion Procces, Edisi ke enam New York: The Free Press.

Sanafiah Faisal. 1989. Sosiologi Pendidikan. Surabaya : Usaha Novel Indonesia.

Slavin, R. E. 1995. Cooperative learning: Theory, research, and practice (2nd ed.). Boston:

Allyn & Bacon.

Thomas L. Good dan Jere E. Brophy.2003 Educational Psychology-. Longman New York

dan London

 Sanjaya W, 1992. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses  Pendidikan. Kencana

Prenada Media Group, Jakarta.

Suhardiyono, 1992. Penyuluhan Petunjuk Bagi Penyuluh Pertanian. Erlangga, Jakarta.