Upload
others
View
19
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
TEORI BATAS HUKUM ISLAM: STUDI TERHADAP PEMIKIRAN
MUHAMMAD SHAHRUR DALAM HUKUM WARIS.
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh:
SYARDI HAKIM
NIM: 1111044100060
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
(AHWAL SYAKHSHIYYAH)
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2017 M / 1438 M
TEORI BATAS ⅡUKUDIISLAM:STUDI TERIIADAP PEMIKIRAN
MU¨ SHAⅡRUR DALAPI ⅡUKUPI WARIS.
SICRIPSI
Dttukan kepada Fakultas Syariah danHukm Untuk Mcmenuhi Salah Sttu
Syarat Memperolch Gelar Saゴ ana Hunm(SH)
OLEH:
Syardi ⅡakimNIDI:1111044100060
Penrbimbing:
PROGRAⅣISTUDI ⅡUKUPI KELUARGA
体 IIWAL SYAKIISIIYYAⅡ )
FAKllrLTAS SYARIAⅡ DAN ⅡUKUM
UNIVERSITASISLAM NEGERI
SYA』田F ΠIDAYATULLAⅡ
JAICARTA
2017P1/1438M
1991031001
LEⅣIBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya incnyatakall bah、 vai
Shipsi ini merupakan hasil karya asli saya yang dittukan untuk mcmcnuhi
salah satu pcrsyaratan mempcrolch gelar saゴ ana Strata sttu(Sl)di Univcrsitts
131am Ncgcri(UIN)S〕「語fHtta)ratullah Jaka■ a.
Selnua sumbcr yang saya gunak‐an dalam pcnulisan ini tclah sava cantumkan
scsuai dcngan kctcntuan yang berlaku di Universitas lslalll Ncgcri(UIN)Syarif
Hidayatullah Jaka■ a
Jika dikcnludian hari terbukti bahwa kawa ini bukan hasil kava asli saya atall
lnerupttan hasiljiplakan dari kawa Orang lain,maka stta bcrscdia mcncrima
3anksi b′ ang bcrlよ u al U.1lrcisitas lsIGttl Ncgcri(UIN)S)′ arif Hidayttulla島
Jakarta
Jakarta,10 Apri1 2017 ⅣI
3
1111044100060
PENGESAHAN PANITIA UЛ AN SKRIPSI
Skripsi yang bettudul“TEORI BATAS HUKURII ISLA■ I:STUDI
TERHADAP PEⅣIIKIRAN IⅥ UⅡAIIPIAD SIAHRUR DALAⅣl ⅡUKUpI
WARIS Tclah dittikan dalam sidang munaqasah Fakultas Syttiah dan HuklLllll
Univcrsitas lslaln Ncgcri(UN)Syarif IIidayatullah Jakarta Pada tanggal 13 April
2017 Skripsi ini tclah ditcrilna scbagai salah satu syarat unttlk mcmpcrolch gclar
SaJana Hukum(SH)pada Program Studi Hukum Kcluarga
言隼
嗜 “
Jakarta. i3 April 2017Dekan Fakultas Syariah dan Hukurn
一ヽイ
Ketua
Sekretaris
Pcmbimbing l prs Sirrn wafa、 M_ANIP 196003181991031001
PANITIA UJIAN ⅣlUNAQ
Dr H Abdul Halim,M AgNIP 196706081994031005
NIP 1979904272003121002
Dr.H.Ahnad Tholabi Kharlie,S.H.ぅ 4ヽ.
NI]P197608072003121001
Dr Hi lsnawati Rais.MANIP 195701271985032001
NIP.196912161996031001
iv
بســـــــم اهلل الرحمن الرحيـــــــــم
KATA PENGANTAR
Alhamdu Lillahi Rabbi al-‘Alamin, segala puji hanya bagi Allah Swt,
yang senantiasa melimpahkan rahmat dan karunia nikmat-Nya kepada hamba-
Nya. Shalawat beriring salam tak luput selalu tercurahkan kepada Rasulullah
yakni Baginda Nabi Besar Muhammad SAW.
Menuntut ilmu adalah suatu kewajiban yang harus dijalankan untuk
setiap manusia, karena menuntut ilmu dapat menghantarkan manusia menuju
gerbang masa depan yang cerah. Disebabkan hal itu penulis mencoba untuk
menyelesikan suatu karangan ilmiah yang merupaka salah satu syarat demi
menggapai masa depan tersebut dengan cara menyelesaikan skripsi ini. Namun
penulis sadar dalam menulis skripsi ini masih banyak kekurangan didalamnya,
akan tetapi penulis berharap hasil tulisan ini dapat bermanfaat bagi penulis
khususnya dan umumnya bagi orang banyak.
Perlu diketahui penulis tidaklah dapat menyelesaikan skripsi ini tanpa
bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis
mengucapkan terimakasih kepada yang terhormat:
1. Bapak Dr. Asep Saepudin Jahar, MA. Selaku Dekan Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Dr. H. Abdul Halim, M.Ag. selaku Ketua Program Studi Hukum
Keluarga dan Bapak Arip Purkon, MA. selaku sekertaris Program Hukum
Keluarga UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
v
3. Afwan Faizin, MA selaku dosen pembimbing akademik yang telah banyak
meluangkan waktu dan arahannya dalam menyelesaikan skripsi ini. Semoga
beliau senantiasa diberikan kesehatan oleh Allah SWT.
4. Drs. Sirril Wafa, MA selaku dosen pembimbing skripsi yang telah banyak
meluangkan waktu dan arahannya dalam menyelesaikan skripsi ini. Semoga
beliau senantiasa diberikan kesehatan oleh Allah SWT.
5. Para dosen Fakultas Syriah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang
telah banyak memberikan ilmu yang bermanfaat kepada penulis semasa kuliah
dahulu, semoga senantiasa dimudahkan segala urusannya.
6. Yang tercinta dan selalu penulis sayangi sepanjang hayat, Ayahanda Syamsul
Madi dan Ibunda Dra. Suherni, MH. Selaku orangtua penulis. Serta adik
tercinta Nisaul Hakimah. Terima kasih yang tak terhingga atas do’a,
semangat, kasih sayang, pengorbanan dan ketulusan dalam mendapingi
penulis sehingga penulis dapat menyeleseikan pendidikan di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, semoga senantiasa dalam lindungan Allah SWT.
7. Seluruh dosen dan staff karyawan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
8. Adinda tercinta Arinda D. P. S. yang selalu menemani dan memberikan
semangat kepada penulis hingga terselesaikannya skripsi ini.
9. Para sahabat dan keluarga besar Prodi Akhwal Syakhsiyah. Terimakasih atas
kebersamaannya dalam berjuang menimba ilmu di Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
10. Para Dosen Pembimbing cadangan yaitu Nurul Aini, S.Sos. dan Iis Sudiyanti,
S. KomI
11. Sahabat-sahabat terbaik serta teman seperjuangan, Edi Jon, Ma’mun, Ojan,
Reja, Acung, Razak, Fachri, zaim, jidas, uday, jumili, ibnu, mampar, andi dan
teman-teman triji.
12. Dan seluruh pihak yang terkait dengan penulisan skripsi ini, yang tidak dapat
penulis sebutkan satu-persatu. Semoga senantiasa dalam lindungan Allah
SWT.
13. Hanya untaian kata terimakasih serta doa yang dapat penulis berikan. Semoga
semua pihak yang telah membikan semangat, motifasi serta arahannya kepada
vi
penulis senantiasa diridhoi setiap langkah kehidupannya serta mendapatkan
balasan yang lebih baik di akhirat kelak.
Saran serta kritik yang membangun sangatlah dinanti serta dibutuhkan
demi kesempurnaan penulisan skripsi ini. Semoga amal baik mereka dibalas
oleh Allah SWT dengan balasan yang berlpat ganda. Penulispun berharap agar
skripsi ini dapat memberikan manfaat khususnya bagi penulis dan bagi
pembaca pada umumnya.
Jakarta: 08 April 2017 M
11 Rajab 1438 H
Penulis
vii
ABSTRAK
Syardi Hakim, NIM 1111044100060, “TEORI BATAS HUKUM ISLAM:
STUDI TERHADAP PEMIKIRAN MUHAMMMAD SHAHRUR DALAM
HUKUM WARIS”, Konsentrasi Peradilan Agama Program Studi Hukum
Keluarga, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 1438 H /
2017 M. 1-105 halaman.
Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui pandangan Teori Batas Hukum Islam:
Studi Terhadap Pemikiran Muhammad Shahrur Dalam Hukum Waris, salah satu
kontribusi baru dalam kajian fiqh kontemporer yang disumbangkan oleh
Muhammad Shahrur adalah gagasan tentang teori batas hukum. Dalam karyanya
yang sangat kontroversial. Muhammad Shahrur menegaskan bahwa teori batas
merupakan salah satu pendekatan dalam berijtihad, yang digunakan untuk
mengkaji ayat-ayat dalam al-Qur’an.
Hasil penelitian menunjukan bahwa apa yang menjadi pemikiran Shahrur selama
ini khususnya dalam buku Muhammad Shahrur itu tidak seharusnya digunakan
untuk menjadi final atau hasil akhir pemikiran kita dalam mempelajari arti dan
istilah huddud atau hukum batas. Karena pada dasarnya Muhammad Sahrur
menganalisis apa yang menjadi dasar pemikirannya itu dengan melihat
perkembangan zaman yang semakin maju, dan akan ditakutkan jika nanti ijtihad
atau usaha manusia akan dibatasi dengan hukum yang ditentukan Allah dan
menjadi penghalang mereka untuk menjadi manusia yang lebih modern.
kelemahan Muhammad Shahrur dalam menentukan sebuah hukum, dimana
beliau hanya melakukan kajian Al-Qur’an tanpa menggunakan hadist. Hadist
berkedudukan sebagai sumber hukum islam yang kedua setelah Al-Qur’an.
Adanya hadist berfungsi sebagai penjelas ayat-ayat Al-Qur’an
Adapun penelitian skripsi ini menggunakan metodologi penelitian kualitatif yang
menggunakan metode deskriptif-analitis, dimana mendiskripsikan pemikiran-
pemikiran Muhammad Shahrur tentang tema yang diangkat dan menganalisa
pemikiran-pemikiran Shahrur apakah bisa dijadikan sebagai tawaran alternatif
baru dalam menafsirkan teks waris.
Kata Kunci : Teori Batas, Waris, Muhammad Shahrur
Pembimbing :Drs. Sirril Wafa, MA
Daftar Pustaka : Tahun 1978 sampai tahun 2015
viii
DAFTAR ISI
PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................................ i
LEMBAR PERNYATAAN ........................................................................... ii
LEMBAR PENGESAHAN ........................................................................... iii
KATA PENGANTAR .................................................................................... iv
ABSTRAK ...................................................................................................... vii
DAFTAR ISI ................................................................................................... viii
BAB I : PENDAHULUAN ............................................................. 1
A. Latar Belakang Masalah............................................... 1
B. Identifikasi masalah ..................................................... 8
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah .......................... 8
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian .................................... 9
E. Riview Studi Terdahulu ............................................... 10
F. Metode Penelitian ........................................................ 11
G. Pedoman Penulisan Skripsi .......................................... 12
H. Sistematika Penulisan .................................................. 12
BAB II : BIOGRAFI DAN PEMIKIRAN MUHAMMAD
SHAHRUR ........................................................................ 14
A. Biografi Muhammad Shahrur ...................................... 14
B. Karya Muhammad Shahrur…………………………... 17
C. Pemikiran Teori Batas Muhammad Shahrur ................ 18
D. Pemikiran Hukum Waris Muhammad Shahrur ............ 36
BAB III : TINJAUAN UMUM TEORI BATAS DAN WARIS
DALAM HUKUM ISLAM .............................................. 48
A. Teori Batas ................................................................... 48
B. Waris dalam Hukum Islam .......................................... 51
BAB IV : ANALISIS HUKUM WARIS MENURUT
MUHAMMAD SHAHRUR DALAM TEORI
BATAS DENGAN HUKUM WARIS
MENURUT ISLAM ......................................................... 62
A. Muhammad Shahrur dan Teori Batas .......................... 62
B. Hukum Waris dalam Perspektif
Muhammad Shahrur ..................................................... 64
BAB V : PENUTUP ......................................................................... 75
A. Kesimpulan ................................................................. 75
B. Saran .......................................................................... 80
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 81
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Hukum keluarga Islam merupakan aturan yang mengonsep keperdataan
umat Islam mengenai perihal pernikahan, kewarisan dan hal-hal mengenai ruang
lingkup ahwal asy-syakhshiyyah. Fenomena yang muncul di dunia Muslim dalam
abad 20 adalah adanya usaha pembaruan hukum keluarga (perkawinan, perceraian
dan warisan) di negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim.
Salah satu keistimewaan Islam ialah memperhatikan dan menghargai
kedudukan wanita, yaitu memberinya hak untuk memegang urusan dan memiliki
sesuatu. Di zaman Jahiliyah, hak perempuan itu dihilangkan dan disia-siakan
sehingga walinya dengan semena-mena dapat menggunakan hartanya dan tidak
memberikan kesempatan untuk mengurus hartanya serta menggunakannya. Islam
datang membebaskan belenggu ini.1
Dalam hukum Islam segala bentuk peraturan diatur di dalamnya, salah
satunya ialah perkawinan. Di Indonesia yang mayoritas penduduknya Muslim
memiliki Undang-undang perkawinan yaitu Undang-undang No. 1 tahun 1974
tentang perkawinan yang berlaku secara nasional. Perkawinan adalah ikatan lahir
batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan
1 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Jilid 3, Terj. Nor Hasanuddin, (Jakarta: Pena Pundi
Aksara, 2006), h. 40
2
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa.
Dalam pembahasan mengenai perkawinan juga dijelaskan tentang hukum-
hukum kewarisan. Hukum kewarisan Islam merupakan salah satu persoalan yang
penting dalam Islam dan merupakan tiang diantara tiang-tiang hukum yang secara
mendasar tercermin langsung dari teks-teks suci yang telah disepakati
keberadaannya. Keberadaan hukum kewarisan Islam dipresentasikan dalam teks-
teks yang rinci, sistematis, konkrit dan realistis, sehingga tidak terlalu terbuka
lebar (multiinterpretasi). Di antara sekian banyak ayat-ayat tentang hukum (ayat
ahkam) dalam Al-Qur’an, menurut Abdul Wahhab Khallaf ayat hukum tersebut
berjumlah 228.2 Hanya ayat tentang warislah yang secara rigid dan detail
diterangkan oleh Al-Qur’an dengan ad nauseum (secara panjang lebar). Beberapa
ahli hukum mengakui bahwa tidak ada satu aspek hukumpun yang secara teknis
menunjukkan keistimewaan hukum Islam selain dari pada hukum waris,3 yang
diyakini sebagai model hukum yang canggih dan lengkap, mengutip istilah Nasr
Hamid Abu Zayd yaitu merupakan harga mati yang tidak bisa ditawar-tawar lagi.
Konsepsi ini terbentuk karena teks (nash) yang mendasarinya dipandang sebagai
qat’iyy as-subut dan qat’iyy ad-dalalah yang dalam agama dianggap sebagai
sesuatu yang wajib diterima sebagaimana adanya, yang berlaku secara mutlak
(compulsory law).
2 Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam; (Ilmu Ushul Fiqih) (Jakarta:
Rajawali Pres, 1996), Cet. 6. h. 41-42 3 J.N.D Anderson, Hukum Islam di Dunia Modern, penerjemah M. Husein (Yogyakarta:
Tiara Wacana, 1994), h.72
3
Disisi lain ulama kontemporer menganggap bahwa pada hal-hal tertentu
yang dianggap tidak prinsipal, bisa saja kewarisan Islam ditafsirkan dan
direkonstruksi sesuai dengan kondisi dan kemungkinan yang dapat
dipertimbangkan, sehingga hukum waris Islam mampu diterjemahkan dalam
lingkup masyarakat yang mengitarinya.4
Meski demikian, dalam tatanan aplikasinya di masyarakat, dalam
kenyataannya masalah waris tidak bebas dari perdebatan. Ungkapan dari Munawir
Sadzali terhadap hukum waris Islam yang menawarkan peninjauan kembali
mengenai ta’lil al- ahkam atau ratio legis. Peninjauan tersebut difokuskan pada
perumusan pembagian harta waris yaitu dua banding satu (2:1) bagi anak laki-laki
maupun anak perempuan yang mana ketentuan ini memiliki latar belakang
sosiokultural dimana segi sosial dan budaya masyarakat setempat jadi
pembentuknya, sehingga dengan demikian dimungkinkan dengan adanya
modifikasi atau pembentukan ulang atas ketentuan tersebut agar dirasa dapat lebih
adil.5
Secara fakta dapat dibuktikan penyebab munculnya gagasan tersebut
dikarenakan ketentuan perumusan dua banding satu dalam pembagian waris di
Indonesia sudah banyak ditinggalkan. Seperti daerah Sulawesi selatan,
Kalimantan selatan, dan beberapa daerah lainnya.
4 Abdul Ghofur Anshori, Filsafat Hukum Kewarisan Islam Konsep Kewarisan Bilateral
Hazairin (Yogyakarta:UII Press, 2005), h. 15 5 M. Wahyu Nafis dkk. (ed.), Kontekstualisasi Ajaran Islam; 70 Tahun Prof. Dr. H.
Munawir Sadzali, MA (Jakarta: paramadina, 1995), h. 89
4
Adapun menurut Komaruddin Hidayat yang menyatakan bahwa
seharusnya pembagian Hukum waris itu menggunakan perumusan satu banding
dua, dikarenakan perumusan pembagian harta dua banding satu merupakan
bentukan yang didapat karena situasi sosial masyarakat Arab pada waktu itu, yang
menganggap bahwa kaum perempuan ialah barang bukanlah manusia atau
seseorang yang memiliki hak dan kewajiban layaknya kaum laki-laki. Sehingga.
beliau berpendapat alangkah lebih baiknya mengikuti tradisi orang Minang
dimana pembagian harta jauh lebih banyak diberikan pada kaum perempuan
dibandingkan kaum laki-laki.6
Di samping itu, masyarakat modern kini semakin menguat atas kesadaran
kesetaraan Gender sehingga dalam hal ini sangat menguatkan posisi perempuan
untuk memposisikan diri sejajar dengan laki-laki, sehingga hak dan kewajibannya
pun dapat setara, termasuk di dalam pembagian harta warisan.
Dengan terbentuknya persepsi-persepsi baru mengenai ketentuan waris,
maka timbulah juga pertanyaan-pertanyaan mendasar mengenai Al-Qur’an,
seperti bagaimana memahami teks Al-Qur’an agar sesuai dengan syari’at Islam
dan kondisi objektif yang dihadapi oleh masyarakat sekarang ini. Maka perlu
diteliti model pendekatan apakah yang sesuai untuk menafsirkan teks al qu’an
tersebut sehingga tidak terjadi hal-hal yang bertentangan antara teks dan realitas
yang terjadi di dalam masyarakat, sehingga dapat tercapainya bukti bahwa ajaran
Islam ialah ajaran yang saalih li kulli zaman wa makan.
6 Komaruddin Hidayat, Tragedi Raja Midas; Moralitas Agama dan Krisis Modernisme
(Jakarta: Paramadina, 1999), h. 121
5
Namun, bagaimana apabila pendekatan tekstual diangap selalu tidak
relevan, sementara pendekatan kontekstual cenderung larut bersama relativitas
dan kenisbian dinamika sosiokultural masyarakat? Lantas pendekatan apalagi
yang dapat digunakan dalam menyelesaikan permasalahan warisan yang dianggap
kurang memenuhi rasa keadilan? Maka, berangkat dari pertanyaan inilah,
Muhammad Shahrur menawarkan teori hukumnya, yang ia sebut dengan istilah
Teori Batas (nazariyah al-hudud). Penjelasan teori limit ini sebagaimana dikutip
dari buku Epistemologi Tafsir Kontemporer karya Abdul Mustaqim didasarkan
atas pemahaman dua istilah, yaitu al-hanif (gerak dinamis) dan al-istiqomah
(gerak konstan). Al-hanif menggambarkan waktu serta konteks waktu dan sejarah,
sedangkan al-istiqomah menggambarkan undang-undang atau batasan yang telah
di tentukan oleh Allah SWT.7
Secara umum teori batas ini menjelaskan bahwa dalam ketentuan Allah
yang disebutkan dalam Al-Kitab dan Sunah terdapat batas bawah dan batas atas
bagi seluruh perbuatan manusia. Batas bawah merupakan batas minimal yang di
tuntut oleh hukum dalam kasus tertentu, sedangkan batas atas merupakan batas
maksimalnya. Perbuatan yang kurang dari batas minimal tidak sah, demikian juga
yang melebihi batas maksimal. Ketika batas-batas ini di langgar maka hukuman
harus dijatuhkan menurut proporsi pelanggaran yang telah dilakukan. Menurut
Shahrur, di situlah letak kekuatan ketentuan hukum Islam. Dengan memahami
teori ini, maka akan dapat dilahirkan banyak ketentuan hukum. Oleh karena itu
7Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer (Yogyakarta: PT. LKiS Printing
Cemerlang, 2010), h 195.
6
risalah Muhammad SAW dinamakan umm al-kitab karena sifatnya yang hanif
bedasarkan teori batas ini.
Menurut beliau, para ahli hukum perlu selalu berusaha mengembangkan
teori-teori hukum baru sesuai dengan latar belakang sosiokultural dan
pengetahuan objektif masyarakat kontemporer. Shahrur menganggap, berhentinya
pemikiran Islam saat ini, lebih disebabkan karena tidak adanya gaya penafsiran
baru yang bersifat rasional, tetapi juga tidak menentang teks.8
Shahrur berpendapat, bahwa dalam memahami Al-Qur’an, ummat Islam
hendaknya bersifat sebagai generasi awal Islam. Selanjutnya Shahrur menjelaskan
bahwa dalam memahami ayat waris, tidak memahami teks (nash) sebagai
pembuktian hukum yang hendak membatalkan atau menetapkan hukum syari’at,
akan tetapi memahami ayat sebagai salah satu bentuk aturan yang mengatur
proses perpindahan harta kepemilikan (tharwah), baik harta bergerak maupun
tidak bergerak, dari seorang kepada pihak lain yang namanya disebut dalam
wasiat orang yang telah meninggal yang di dalamnya terdapat penjelasan bagian
masing-masing penerima. Namun, jika wasiat tidak ada, maka pembagian harta
pada pihak yang berhak didasarka atas ketentuan dalam ayat-ayat At-Tanzil Al-
Hakim yang membahas mengenai warisan9
8 M. Amin Abdullah, Paradigma Alternatif Pengembangan Ushul Fiqh dan dampaknya
pada Fiqh Kontemporer, dalam Ainurrofiq (ed.), “Mazhab Yogya; Menggagas Paradigma Ushul
Fiqh Kontemporer” (Yogyakarta: Ar-Ruz, 2002), h. 136. 9 Muhammad Shahrur, Metodologi Fiqih Islam Kontemporer, terj. (Yogyakarta: eLSAQ
Press, 2004). Cet. 2. h. 318.
7
Berlatarbelakang pendidikan tehnik, Shahrur menawarkan suatu
pendekatan metode dalam menafsirkan teks yang lebih rasional. Selain seorang
Doktor Teknik, Shahrur juga merupakan ahli bahasa, sehingga kajian-kajian
keIslaman yang dilakukannya berawal dari kajian kebahasaan yang kemudian
dipadukan dengan ilmu eksakta yang dimilikinya. Sehingga munculnya gagasan
teori batas (teori limit/nazariyyah al-hudud) adalah perpaduan antara ilmu tafsir
dengan ilmu eksakta yang dilakukan oleh Shahrur.
Namun Muhammad Shahrur dianggap sebagai pemikir yang sangat
kontroversial dan memancing debat publik, jika dibandingkan dengan pemikir
umat muslim lain.10 Ia membuang hampir seluruh peninggalan tradisi fiqh dan
mengajak seluruh umat Islam memiliki komitmen pada diri mereka untuk
memikirkan berbagai permasalahan yang kurang dikembangkan dalam fiqh
tradisonal. Muhammad Shahrur menekankan pembacaan ulang terhadap
pembahasan waris yang termuat dalam ayat-ayat al-tanzil al-hakim (ayat ahkam
dalam Al-Qur’an). Dan inilah alasan kuat penulis untuk mencoba mendalami
pemikiran Shahrur yang penulis angkat dalam sebuah skripsi. Berangkat dari latar
belakang inilah, penulis tertarik untuk mengkaji lebih jauh lagi pemikiran-
pemikiran Muhammad Shahrur terutama dalam masalah waris. Untuk itulah,
skripsi ini dirumuskan dengan judul: TEORI BATAS HUKUM ISLAM:
STUDI TERHADAP PEMIKIRAN MUHAMMAD SHAHRUR DALAM
HUKUM WARIS.
10 Muhammad Shahrur, Metodologi Fiqh Islam Kontemporer, terj. Sahiron Syamsudin
dan Burhanudin, (Yogyakarata: eLSAQ, Press, 2004) h. 563
8
B. Identifikasi Masalah
1. Apa alasan dan latar belakang pemikiran Muhammad Shahrur
sehingga memunculkan teori batas tersebut?
2. Bagaimana pemikiran Muhammad Shahrur dalam hukum waris ?
3. Apakah tawaran yang diberikan Muhammad Shahrur, sehingga mampu
menjembatani permasalahan antara tekstual dan kotekstual dalam
permasalahan warisan?
4. Bagaimana metode istinbat Hukum yang digunakan Muhammad
Shahrur?
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Mengingat begitu luasnya cakupan teori batas yang digagas oleh
Muhammad Shahrur, yakni mencakup hampir seluruh masalah hukum
Islam, maka pembahasan skripsi ini, penulis akan membatasi pada
permasalahan di sekitar bagian waris saja, namun tidak menutup
kemungkinan, untuk memperjelas pembahasan ini, penulis akan
menambahkan dengan permasalahan tersebut. Sebagai pembatas masalah,
penulis akan mengarahkan pembahasan pada bagaimana teori batas ini
dipergunakan dalam menyelesaikan permasalahan waris yang selama ini
menjadi polemik antara penganut tekstual dan kontekstual.
Adapun masalah dalam pembahasan ini yang penulis jadikan acuan
dalam penjabaran dan penguraian agar tidak keluar dari permasalahan dan
pembahasan dari skripsi ini adalah:
9
1. Apa alasan dan latar belakang pemikiran Muhammad Shahrur
sehingga memunculkan teori batas tersebut?
2. Bagaimana pemikiran Muhammad Shahrur dalam hukum waris?
3. Apakah tawaran yang diberikan Muhammad Shahrur mampu
menjembatani permasalahan antara tekstual dan kotekstual dalam
permasalahan warisan?
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
a. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan latar belakang dan rumusan masalah di atas, maka
tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui alasan dan latar belakang pemikiran
Muhammad Shahrur sehingga memunculkan teori batas tersebut.
2. Mengetahui pemikiran Muhammad Shahrur dalam hukum waris.
3. Untuk mengetahui apakah tawaran yang diberikan Muhammad
Shahrur mampu mengetengahkan problematika antara tekstual dan
kotekstual dalam permasalahan warisan.
b. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah:
1. Bagi para akademisi dapat memberikan sumbangan pemikiran, ide
atau gagasan untuk menambah literatur atau bahan, referensi pada
Perpustakaan Fakultas Syari’ah UIN Syarif Hidayatullah dan
tentunya sumbangsih dalam bidang pendidikan.
10
2. Bagi para decission maker dalam merumuskan hukum waris di
Indonesia, dapat menambah referensi dalam menetapkan hukum.
Bahwa dalam menetapkan hukum tidak hanya berpatokan pada
teks (nash) semata, akan tetapi juga melihat sosiokultural yang
berkembang di masyarakat.
3. Manfaat bagi penulis adalah dapat menambah wawasan mengenai
hukum waris serta teori-teori yang dikembangkan oleh pemikir
Islam.
E. Riview Studi Terdahulu
Untuk menemukan pembahasan dan penulisan skripsi ini penulis
menelaah literature yang sudah membahas tentang judul yang akan
penulis kemukakan dalam penulisan skripsi.
Akhmaludin Sya’ban tahun 2011, skripsi dengan judul “Perempuan
Dalam Kewarisan Islam”. Skripsi ini membahas tentang pemikiran
Muhammad Shahrur terhadap kedudukan perempuan dalam kewarisan
Islam. Perbedaan dengan skripsi ini dengan penulis bahwa skripsi ini lebih
menekankan pada kajian kedudukan perempuan dalam kewarisan Islam
sedangkan pembahasan penulis adalah pemikiran kewarisan Muhammad
Shahrur.
Fahrur Rozi tahun 2007, tesis dengan judul “Wasiat dan waris
dalam al-qur'an perspektif Muhammad Shahrur” tesis ini membahas
tentang pemikiran Muhammad Shahrur terhadap wasiat dan waris dalam
Al-Qur’an. Perbedaan pembahasan tesis dengan pembahasan dalam skripsi
11
ini yaitu, tesis ini lebih menekankan pada kajian wasiat dan waris dalam
Al-Qur’an sedangkan pembahasan penulis adalah pemikiran kewarisan
Muhammad Shahrur.
Arip Purkon tahun 2008, tesis dengan judul “Metodologi Fiqih
Islam Kontemporer Menurut Muhammad Shahrur” tesis ini membahas
tentang bagaimana Muhammad Shahrur dalam memperoleh kebenaran
fiqih Islam kontemporer. Perbedaan dengan tesis ini dengan penulis bahwa
tesis ini lebih menekankan pada kajian metedologi fiqih Islam
kontemporer sedangkan pembahasan penulis adalah pemikiran kewarisan
Muhammad Shahrur.
F. Metode Penelitian
Metodologi penelitian, dari jenis data penelitian yang digunakan
bersifat kualitatif. Secara metodologis, metode yang digunakan dalam
mengkaji masalah ini adalah metode penelitian kepustakaan (library
research), dengan menggali sumber-sumber primer. Dan untuk lebih
mempertajam yang dibahas, penulis menggunakan metode deskriptif-
analaitis. Deskriptif disini dimaksudkan sebagai upaya untuk
mendiskripsikan pemikiran-pemikiran Muhammad Shahrur tentang tema
yang diangkat. Analitis berarti menganalisa pemikiran-pemikiran Shahrur
apakah bisa dijadikan sebagai tawaran alternatif baru dalam menafsirkan
teks waris.11
11
Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Jakarta (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta, Pedoman Penulisan Skripsi (Jakarta : Pusat Peningkatan dan Jaminan Mutu
(PPJM) Fakultas Syariah dan Hukum, 2012), h. 23.
12
1. Teknik Pengumpulan data
Pengumpulan data menggunakan studi dokumenter, yakni dengan
memamfaatkan bahan-bahan primer dan sekunder. Adapun sumber
primer dalam masalah ini adalah buku Metodologi Fiqh Islam
Kontemporer, Hermeneutika Al-Qur’an Kontemporer dan Islam dan
Iman yang dikarang oleh Muhammad Shahrur. Adapun sumber
sekundernya adalah data-data yang berhubungan dengan masalah yang
dibahas.
2. Teknik analisis data
Analisis data menggunakan teknik analisis isi secara kualitatif
(Qualitative Content Analysis). Dalam analisis ini semua data yang
dianalisis berupa teks. Dalam hal ini berupa teks-teks pemikiran
Muhammad Shahrur. Analisis isi kualitatif digunakan untuk
menemukan, mengindetifikasi dan menganalisis teks atau dokumen
untuk memahami makna, signifikansi dan relevansi teks atau dokumen
tersebut.
G. Pedoman Penulisan Skripsi
Dalam penulisan skripsi ini, penulis berpedoman pada buku
Pedoman Penulisan Skripsi Tahun 2012 yang diterbitkan oleh Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Jakarta.
H. Sistematika Penulisan
Pembahasan dalam skripsi ini dituangkan dalam lima bab. Adapun
rincian sistematika penulisan yang penulis susun adalah:
13
BAB I adalah pendahuluan meliputi dari latarbelakang masalah,
pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian,
metodologi penelitian dan ditutup dengan sistematika penulisan.
BAB II akan mengulas profil dari Muhammad Shahrur. Dalam bab
ini akan dijelaskan latar belakang kehidupan, pendidikan, karir akademik
dan birokrasi serta karya-karya dan tanggapan atas karya Muhammad
Shahrur.
BAB III akan membahas tentang teori batas, meliputi pengertian,
konsep dan cakupan teori tersebut dalam hukum Islam. Serta, membahas
mengenai hukum waris dalam Islam.
BAB IV akan mempertajam pembahasan ini, dengan
mengkolaborasikan pemikiran Shahrur dalam waris. Kemudian mencoba
menggali tawaran Shahrur dalam masalah waris dengan menggunakan
teori batas. Kemudian ditutup dengan sebuah analisis penulis.
BAB V sebagai penutup. Seluruh pembahasan di atas kemudian
diikat dalam beberapa kesimpulan dan dibubuhi beberapa saran yang
penulis ajukan dalam bagian ini.
14
BAB II
BIOGRAFI DAN PEMIKIRAN MUHAMMAD SHAHRUR
A. Biografi Muhammad Shahrur
Muhammad Shahrur Ibnu Dhaib lahir di Damaskus, Syiria, 11 April 1938
M12
. ia merupakan anak kelima dari pasangan Deyb bin Deyb dengan Siddiqah
binti Salih Filyun13
. Dalam kehidupan pribadinya Muhammad Shahrur menikah
dengan istri nya Azizah. Muhammad Shahrur di karuniai lima orang anak Tariq,
Lays, Rima, Basil dan Mas’un. dan sudah memperoleh cucu dari anak anaknya.
Pendidikan Muhammad Shahrur diawali dengan pendidikan dasar dan
menengah di lembaga pendidikan Abdurrahman Al-Kawakib, Damaskus. Ia
berhasil menamatkan kedua studinya tersebut pada tahun 1957 M.14
Pada tahun
1958, setelah Muhammad Shahrur menyelesaikan pendidikan menengahnya,
beliau melanjutkan studinya di kota Saratow dekat Moskow, Uni Soviet
(Sekarang Rusia) dengan mendapatkan beasiswa dari pemerintah Damaskus
untuk mempelajari Tehnik Sipil, dan menyeleseikan diplomanya pada 1964. Di
Negara inilah Muhammad Shahrur memulai berkenalan dan kemudian
mengagumi pemikiran Marxisme, walau ia tidak memproklamirkan diri sebagai
12Muhammad Shahrur, Al-Kitab Wa Al-Qur‟an: Qira‟ah Mu‟asirah, (Damaskus: Al-
Ahali li al- Tiba’ah Wa al- Nasyr, 1999) h.823
13Ahmad Syarqawi ismail, Rekontruksi Konsep Wahyu Muhammad Shahrur (Yogyakarta:
eLSAQ Press, 2003) h.43
14 Muhammad Shahrur, Islam dan Konferensi Dunia Untuk Perempuan, dalam Charles
Kurzman (ed), Wacana Islam Liberal, Pemikiran Islam kontemporer tentang isu-isu Global,
terjemahan Bahrul Ulum, (Jakarta: Paramadina, 2001) h.210
15
penganut aliran tersebut15
. Namun demikian, sebagaimana dikemukakannya
sendiri pada Peter Clark, ia banyak mengakui berhutang budi pada sosok Hegel
dan Alfred North Whitehead. Setelah menyeleseikan studi bidang Tehnik Sipil
nya ia kembali ke Syiria pada tahun 1965 dan bekerja sebagai dosen serta
mengabdi di Universitas Damaskus. Ditahun yang sama Muhammad Shahrur
melanjutkan studi ke Irlandia tepatnya di Universitas College, Dublin dalam
bidang studi yang sama.
Pada tahun 1967, Shahrur memperoleh kesempatan melakukan penelitian
pada Imperial College, London, Inggris. Karena pada tahun itu, terjadi konflik
politik antara Syria dan Israel, lalu ia tepaksa pulang kembali ke Syiria.
Selanjutnya Universitas Damaskus mengirimkannya ke Irlandia untuk
melanjutkan program Megister dan Doktoralnya (Ph.D) di bidang tehnik sipil
konsentrasi Mekanika Pertanahan (Soil mechanich) dan tehnik pembangunan
(Fondation Engineering) di Universitas Nasional Irlandia. Gelar Magisternya ia
dapat pada tahun 1969 dan gelar Doktoralnya pada tahun 1972 dan sejak itulah,
Shahrur secara resmi menjadi staf pengajar di Universitas Damaskus, dikota
kelahirannya16
.
Setelah tercapainya gelar Doktor, Shahrur diangkat menjai dosen di
Fakultas Tehnik Sipil Universitas Damaskus di Bidang Mekanika Tanah dan
dasar bumi sejak tahun 1972. Dari hasil belajarnya diluar negeri, ia tidak hanya
belajar tehnik sipil, akan tetapi ia juga belajar ilmu Filsafat, Fiqh Lughah, dan
15Muhammad Shahrur, Islam dan Konferensi Dunia Untuk Perempuan, dalam Charles
Kurzman (ed), Wacana Islam Liberal, Pemikiran Islam kontemporer tentang isu-isu Global,
terjemahan Bahrul Ulum, (Jakarta: Paramadina, 2001) h.210
16Peter Clark, The Shahrur Phenomenom…, h.337
16
ilmu Linguistik. Ia menguasai dua macam bahasa selain bahasa Ibunya sendiri
(bahasa Arab) yaitu bahasa Rusia dan bahasa Inggris. Disamping itu, ia juga
menekuni bidang yang menarik perhatiannya yaitu filsafat humanisme dan
pendalaman Bahasa Arab .
Pada tahun 1982-1983, Sharur kembali dikirim oleh pihak Universitas
untuk menjadi tenaga ahli pada al-Saud Consult, Arab Saudi. Dia juga bersama
beberapa temannya di Fakultas membuka Biro Konsultan Tehnik Dar al-
Istisyarat al- Handasiyyah di Damaskus.17
Kemudian pada tahun 1995, Shahrur
juga pernah di undang menjadi peserta kehormatan dan terlibat dalam debat
publik mengenai pemikiran keIslaman di Libanon dan Maroko.
Meskipun dasar pendidikan Muhammad Shahrur adalah tehnik, namun
tidak berarti sama sekali ia kosong mengenai wawasan keIslaman. Sebab akhirnya
ia tertarik untuk mengkaji Al-Qur’an dan Hadits secara lebih serius dengan
pendekatan filsafat bahasa dan dibingkai dengan teori ilmu eksaktanya, bahkan ia
juga menulis artikel tentang pemikiran keIslaman18
.
Konsen Shahrur terhadap kajian ilmu keIslaman sebenarnya dimulai sejak
ia berada di Dublin, Irlandia pada tahun 1970-1980 ketika mengambil program
Magister dan Doktoralnya. Di samping itu, peranan temannya DR. Ja’far Dik al-
Bab juga sangat besar. Sebagaimana diakuinya, berkat pertemuannya dengan
17Muhammad Firdaus, Dialektika Kosmos dan Manusia, Dasar- Dasar Epistmologi
Qur‟ani, terjemahan. Bab dua dari Al-kitab Wa Al-Qur‟an ; Qira‟at Mu‟asirah, (Bandung: Nuansa
Cendikia, 2004), h.5 18
Abdul Mustaqim, Mempertimbangkan Metodologi Muhammad Shahrur, Dalam
Shohiron Syamsuddin,dkk, (ed), Hermeneutika Al-Qur‟an Mazhab Yogya, (Yogyakarta: Islamika,
2003), h.124
17
Ja’far pada tahun 1958 dan 1964, Shahrur dapat belajar banyak tentang ilmu-ilmu
Bahasa.19
Sekilas dari latar belakngan pendidikan, Muhammad Shahrur secara formal
belum pernah menempuh pendidikan tentang ke Islaman terutama dalam bidang tafsir.
Namun Muhammad Shahrur belajar secara non-formal atau otodidak tentang kajian ke
Islaman terutama dalam penafsiran Al-Qu’ran. Dalam hal ini Muhammad Shahrur terus
belajar selama puluhan tahun dan pemikiran-pemikiran Muhammad Shahrur harus
diapresiasi dengan kritis untuk memperluas khazanah keilmuan tentang dunia Islam.
B. Karya Muhammad Shahrur
Buku pertama yang ia terbitkan adalah al-Kitab wa Al-Qur‟an: al-Qira‟ah
al-Mu‟asirah pada tahun 1990.20
Pada tahun 1994, Shahrur merampungkan buku
keduanya dengan judul Dirasat Islamiyah Mua‟sirah fi al-Daulah wa al-
Mujtama‟.21
Di tahun 1996 Shahrur meluncurkan buku ketiganya yang berjudul
al-Islam wa al-Iman: Manzumah al-Qiyam. Buku terakhir Shahrur adalah, Nahw
Usul Jadidah LiI al-Fiqh al-Islami, ditulis pada tahun 2000.
Shahrur menerbitkan beberapa buku antara lain: Handasah al-Asasiyah
(tiga Juz), Handasah al-Turabiyah. Selain dalam bentuk buku Shahrur juga
menulis di majalah dan jurnal antara lain dapat dijumpai Muslim Politic Report
(14 Agustus 1997) dengan judul : “The Devine Text and Pluralism in Moslem
19
Abdul Mustaqim, Mempertimbangkan Metodologi Muhammad Shahrur, Dalam
Shohiron Syamsuddin,dkk, (ed), Hermeneutika Al-Qur‟an Mazhab Yogya, (Yogyakarta: Islamika,
2003), h.129 20
Muhammad Shahrur, Islam dan Iman: aturan-aturan pokok, (Yogyakarta: IRCiSoD,
2015), h.5 21
Muhammad Shahrur, Islam dan Iman: aturan-aturan pokok, (Yogyakarta: IRCiSoD,
2015), h.7
18
Socities” dan “Islam in The 1995 Beijing World Conference On Women” dalam
Kuwait Newspaper. Berikutnya tentang “Mitsaq al-Amal al-Islami (1999) yang
di terbitkan oleh al-Ahali Publising House, dalam edisi bahasa inggris
diterjemahkan oleh Dale F. Eickelman dan Islamil S. Abu Shehadeh dengan
judul “Proposal for An Islamic Covenant” (2000). Masih banyak juga
makalah dan tulisan ilmiahnya yang berbahasa Inggris dan Bahasa Arab.
Bahkan buku-buku dan makalah Muhammad Shahrur ini dapat di akses di
website http://www.shahrour.org.
C. Pemikiran Teori Batas Muhammad Shahrur
Muhammad Shahrur menegaskan bahwa teori batas merupakan salah satu
pendekatan dalam berijtihad, yang digunakan dalam mengkaji ayat-ayat ahkam
(ayat-ayat yang berisi pesan hukum) dalam Al-Qur’an. Teori limit (hudud) yang
digunakan Shahrur mengacu pada pengertian batas-batas ketentuan Allah yang
tidak boleh dilanggar, tapi di dalamnya terdapat wilayah ijtihad yang bersifat
dinamis, fleksibel, dan elastis.
Muhammad Shahrur membangun teori batas berdasarkan pengalaman
beliau dalam dunia tehnik. Latar belakang bagaimana ia menyusun teori batasnya
berawal dari kuliah yang ia berikan kepada mahasiswanya. Ia menuturkan :
“Suatu hari sebuah ide muncul di kepala saya ketika saya menyampaikan
mata kuliah tehnik di jurusan Tehnik Sipil tentang bagaimana membuat jalan
padat kami sedang melakukan apa yang disebut sebagai „uji keamanan‟, yang
kami gunakan sebagai contoh dan cara menguji tanah yang digunakan untuk
mengisi tanggul. Dalam ujian ini kami mengeluarkan dan menambahkan (tanah).
Kami mendapatkan sumbu x dan sumbu y, sebuah hiperbola. Kami menemui
resiko yang mendasar. Lalu kami menggambarkan sebuah kurva dan meletakan
garis di atasnya. Garis ini adalah batas maksimum. Kemudian timbul ide dalam
pikiran saya tentang „batasan Tuhan‟ (hududullah). Sampai di sini, saya kembali
ke rumah dan membuka Al-Qur‟an. Dalam matematika, kita hanya mendapatkan
19
lima cara menyuguhkan batas (limits). Saya menemukan lima kasus yang dapat
menampung ide tentang batas hukum Tuhan. Pemahaman yang sudah umum
adalah bahwa Allah tidak menentukan aturan tingkah laku secara tepat, tetapi
hanya menciptakan batas-batas yang di dalamnya masyarakat dapat menyusun
aturan dan hukum mereka sendiri. Saya telah menulis ide tentang
intergritas/keutuhan (al-istiqamah) dan aturan moral atau etika yang universal.
Pada awalnya ide ini hanya menjadi catatan saya dalam pembahasan terakhir
dalam buku saya tetapi saya melihat bahwa teori ini merupakan perujudan ide
utama saya, maka saya mengoreksi semua yang telah saya tulis tentang
hududullah di buku agar pembahasan menjadi konsisten. Hingga saya menilai
bahwa pendapat saya telath benar.”22
Berawal dari pengalaman inilah Muhammad Shahrur kemudian
merumuskan teori batasnya. Muhammad Shahrur menandaskan bahwa jalan lurus
yang telah disediakan Tuhan bagi manusia agar mereka dapat bergerak sepanjang
jalan lengkung di dalam teori batas Tuhan, sesuai dengan hukum manusia yang
diperkenankan di antara batas batas (hudud) bahwa alkitab telah menetapkan
seluruh tindakan manusia dan fenomena alam. Karena ia menegaskan bahwa
variasi hukuman secara rinci disebut dalam Al-Qur’an menandakan batas tertinggi
yang menetapkan hukum maksimal bagi pelanggaran tertentu, bukan
menggambarkan hukum yang mutlak. Demikian pula, alkitab telah menetapkan
sejumlah hukuman minimum bagi berbagai kejahatan.
Muhammad Shahrur merumuskan teori batasnya diambil dari QS. an-
Nisa: 13-14 yang terkait dalam pembagian waris. Pada ayat 13, terdapat kalimat
tilka hududullah dan pada ayat ke 14 terdapat kalimat wa yata‟adda hududahu.
Kata hudud di sini berbentuk jamak (plural) bentuk mufrodnya hadd artinya batas
(limit). Pemakaian bentuk plural disini menandakan bahwa hadd yang ditentukan
oleh Allah berjumlah banyak, dan manusia memiliki keleluasan untuk memilih
22Muhammad Shahrur, Islam dan Iman, Aturan-aturan Pokok, Rekontruksi Epistemologis
Rukun Islam dan Rukun Iman, (Yogyakarta: 2015) h.10
20
batasan-batasan tersebut sesuai dengan tuntutan dan kondisi yang melingkupinya.
Selama ini berada dalam koridor batasan terebut, manusia tidak menanggung
dosa. Pelanggaran Tuhan jika manusia melanggar batasan-batasan tersebut.23
Menurut Muhammad Shahrur, ayat ini secara eksplisit menyebutkan
bahwa masalah pembagian waris merupakan salah satu batasan dari sekian
batasan (hudud) hukum syariat yang di tentukan oleh Allah. Redaksi tilka
hududallah merujuk pada penjelasan ayat 11-12, dan pada saat yang sama juga
menegaskan bahwa batasan hukum yang di maksud dari Allah. Pada ayat 14,
kalimat wa yata‟adda hududahu berarti melanggar batas batas hukum tuhan.
Penggunaan kata hudud disini dinisbatkan kepada dhamir mufrad (kata ganti
tunggal) hu (dia) yang merujuk kepada tuhan (Allah) saja. Sedangkan potongan
ayat yang sebelumnya yang berbunyi wa man ya‟sillaha wa rosulahu wa ya
ta‟adda hududahu menegaskan bahwa perbuatan maksiat (menolak untuk
dilaksanakan) dapat dilakukan terhadap Allah dan Rasulnya. Tetapi pelanggaran
hukum hanya terjadi pada Tuhan saja, karena otoritas penentuan hukum syariat
yang terus berlaku hingga hari kiamat itu hanya milik Allah. Dia tidak pernah
memberikan otoritas kepada yang lain, bahkan kepada nabi Muhammad
sekalipun. Karena jika diberikan penentuan hukum ini, maka ayat tersebut akan
berubah menjadi wa man ya‟sillaha wa rosulahu wa ya ta‟adda hududahuma
dengan kata ganti huma, tetapi ternyata tidak demikian.24
Sebagaimana
23 Burhanuddin, Artikulasi Teori Batas (Nazariyyah Alhudud) Muhammad Shahrur
dalam Pengembangan Epistemologi Islam di Indonesia, editor Sohiron Syamsuddin, dkk,
Hermeneutika Al-Quran, (yogyakarta: Islamik, 2003) h. 152
24 Burhanuddin, Artikulasi Teori Batas (Nazariyyah Alhudud) Muhammad Shahrur
dalam Pengembangan Epistemologi Islam di Indonesia, (yogyakarta: Islamik, 2003) h.152-153
21
disebutkan di atas bahwa otoritas penentuan hukum hanya di miliki Allah saja,
karena Allah adalah satu-satunya penentu hukum yang berlaku hingga akhir
zaman. Hukum yang bersifat dari Tuhan memiliki sifat universal, berlaku untuk
situasi dan kondisi, sesuai disetiap waktu dan tempat (shallih li kulli zaman wa
makan).
Dalam batas-batas hukum ini, manusia tidak hanya bebas, tetapi
diwajibkan untuk mengembangkan dan mengadopsi hukum mereka menurut
kesepakatan dan keadaan sosiopolitik masyarakat mereka. Muhammad Shahrur
melihat teori batasnya menampakkan makna modern dari apa yang dia pandang
sebagai prinsip inti Al-Qur’an, sebagai contoh, adalah tuntutan untuk menjawab
persoalan hukum bagi kebijakan modern dalam batas yang ditentukan Allah.
Hasil yang didapat dari hasil musyawarah ini hendaknya bersifat relatif terhadap
lingkungan khusus, keadaan khusus secara sosial ekonomi dan politik pada
masing masing komunitas politik. Pendirian politik Muhammad Shahrur sendiri
secara jelas juga tampak sebagaimana yang telah disimpulkan bahwa “pada masa
kita musyawarah yang asli berarti pandangan pluralisme dan demokrasi”25
Tampaknya teori Muhammad Shahrur tentang batas-batas hukum Tuhan
merupakan bagian paling menarik untuk dikaji dari proyeknya, bukan karena teori
itu secara mendasar diartikulasikan atas dasar hermeneutik yang valid atau pada
analisis tekstual, tetapi lebih pada Muhammad Shahrur membawakan salah satu
aspek struktur Al-Qur’an, bukan sebagai teks, tetapi sebagai sebuah wacana.
Akan tetapi untuk analisis tekstual atau pendekatan hermeneutik yang valid, karya
25 Burhanuddin, Artikulasi Teori Batas (Nazariyyah Alhudud) Muhammad Shahrur
dalam Pengembangan Epistemologi Islam di Indonesia, (yogyakarta: Islamik, 2003) h.169
22
Muhammad Shahrur masih jauh untuk disebut sebagai sebuah usaha kesarjanaan
serius dalam pengertian yang selayaknya.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa semua syariat yaitu ketentuan
hukum yang berasal dari Nabi Muhammad bersifat temporal (marhali) dan tidak
ada keharusan untuk memberlakukan hingga akhir zaman. Pada kasus ini
tersembunyi rahasia dan hikmah bahwa adanya sunnah untuk diakui pada satu
sisi, sedangkan pada sisi lain adanya posisi Nabi sebagai suri tauladan untuk
berijtihad dalam lingkup batasan ketentuan Allah dan di kondisikan dengan
obyektif sejarah manusia.
Muhammad Shahrur menyatakan bahwa mereka yang berpegang teguh
pada pembacaan Al-Qur’an masa lalu beresiko menerjemahkan dan memahami
teks secara keliru. Muhammad Shahrur akan membuktikan relevansi Islam terus
berlanjut. Mereka yang sejak awal takut terhadap konsekuensi meninggalkan
penafsiran tradisional Islam, memiliki keimanan yang lebih sedikit dibanding
mereka yang lebih yakin dalam kelangsungan hidup Islam di dunia modern.
1. Sumber-sumber Teori Batas Muhammad Shahrur
Dalam merumuskan teori batas yang digagas oleh Muhammad Shahrur,
beliau mendasarkan teorinya pada dua hal, yaitu:
a. Dalil ayat ayat Al-Qur’an
Shahrur mendasarkan konsepnya untuk menyusun teori
batas pada Al-Qur’an Surat al-Nisa’ ayat 13-14. Selengkapnya
akan dicantumkan berikut ini:
تهك حدود انهـ وزسىن ج ۥوي يطع انهـ جسيت تيدخه
23
ه فيها س خي تحتها انؤ ٣١نك انفىش انعظيى :وذ هدي
وزسىن ۥوي يعص انهـ ازا خ ۥويتعد حدود هدا يدخه : ۥفيها ون ٣١عراب يهي
Artinya : "(Hukum-hukum tersebut) adalah ketentuan dari
Allah. barang siapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya
Allah memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di
dalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya, dan
itulah kemenangan yang besar. Dan barang siapa
yangmendurhakai Allah dan rasulnya dan melanggar
ketentuann-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api
neraka sedang ia kekal di dalamnya, dan baginya siksa yang
menghinakan."
Shahrur mencermati penggalan ayat "tilka hududullah" yang
menegaskan bahwa pihak yang memiliki otoritas untuk menetapkan
batasan-batasan hukum adalah Allah semata. Dia berpendapat
bahwa otoritas penetapan hukum (haqq al-Tashri‟) hanya dimiliki
Allah, sedangkan Nabi Muhammad SAW, walaupun beridentitas
sebagai Nabi dan Rasul, pada hakikatnya bukanlah seorang penentu
hukum yang mempunyai otoritas penuh (al-Shari‟), Nabi
Muhammad adalah seorang pelopor ijtihad dalam Islam. Pendapat
ini didasarkan pada pemahaman dari penanggalan ayat setelah wa
yata‟adda hududahu yang berarti "dan melanggar batas ketetapan
hukumnya". Kata ganti (damir) “hu” pada penggalan ayat di atas
merujuk kepada Allah saja, dan penggalan ayat secara lengkap akan
lebih menegaskan pemahaman berikut : “Dan barang siapa yang
24
bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya dan melanggar batas-batas
ketetapan-Nya”26
Ayat ini harus dipahami bahwa ketetapan hukum hanya ada
pada Allah saja, seandainya Nabi Muhammad berhak atau memiliki
otoritas tashri’ tentulah ayat tersebut akan berbunyi wa yata‟adda
hududahuma yang artinya "Dan melanggar batas-batas penetapan
hukum keduanya (yaitu Allah dan Rasul-Nya).
Dengan demikian, haruslah dipahami bahwa ketetapan hukum
yang berasal dari Nabi tidak semuanya identik dengan penetapan
hukum dari Allah. Hukum yang ditetapkan oleh Nabi lebih bersifat
temporal kondisional sesuai dengan derajat pemahaman, nalar
zaman dan peradaban masyarakat pada waktu itu. Karenanya
ketetapan hukum tersebut tidak bersifat mengikat hingga akhir
zaman.
Di sinilah menurut Muhammad Shahrur, letak keutamaan
Muhammad sebagai Nabi. Beliau adalah uswah hasanah dalam
pengertian suri tauladan dan ijtihad dan penerapannya. Shahrur
mengajukan motivasi kepada para cendekiawan Muslim untuk tidak
ragu berijtihad meskipun masalah-masalah hukum tersebut telah
diklaim memiliki justifikasi nass Hadis Nabi. Bagi Muhammad
Shahrur kondisi masyarakat yang dinamis dan selalu berubah sesuai
26 Buranuddin, Artikulasi Teori Batas (Nazariyyah al-Hudud) Muhammad Shahrur
Dalam Pengembangan Epistemologi Islam Di Indonesia, (Yogyakarta: Islamika, 2003) h. 157.
25
tuntutan situasi dan kondisi yang dilatarbelakangi kemajuan ilmu
pengetahuan, merupakan alasan utama pemberlakuan ijtihad.
b. Analisis Matematis
Shahrur merumuskan teori-teorinya dengan analisis matematis
(al-tahlili al-Riyadi).27
Ia menggambarkan hubungan antara al-
Hanifiyyah dan al-Istiqamah, bagaikan kurva dan garis lurus yang
bergerak pada sebuah matriks.
Sumbu X menggambarkan zaman atau konteks waktu, sumbu
Y sebagai undang-undang yang ditetapkan Allah SWT, kurva (al-
Hanifiyah) menggambarkan dinamika ijtihad manusia, bergerak
sejalan dengan sumbu X. namun gerakan itu dibatasi dengan hukum
yang telah ditentukan Allah SWT (sumbu Y). Dengan demikian,
hubungan antara kurva dan garis lurus secara keseluruhan bersifat
dialetik, yang tetap dan berubah senantiasa saling terkait
(Interwined). Dialektika adalah kemestian untuk menunjukkan
bahwa hukum itu adaptabel terhadap konteks ruang dan waktu.
Secara teoritis, Shahrur menggunakan analisis matematis
sebagai landasan bangunan teorinya, yaitu rumusan-rumusan
matematika yang dikembangkan oleh Isac Newton khususnya yang
berkaitan dengan persamaan fungsi. Persamaan fungsi dirumuskan
27 Muhammad Shahrur, Al-Kitab wa AlQur‟an; Qira‟ah Mu‟asirah. (Damaskus: al Ahali
li al-Tiba’ah wa al-Nasyr, 1999), h.579
26
dengan Y = f (x) jika mempunyai satu variabel atau Y = f (x,2)28
jika
mempunyai dua variabel atau lebih. Rumusan ini berbentuk suatu
garis yang memanjang keatas yang disimbolkan dengan Y dan garis
memanjang ke samping yang disimbolkan X.
Bagi Shahrur, persamaan fungsi ini dapat dijadikan basis teori
pengembangan hukum Islam,29
karena teori ini mencakup dua
karakter dari hukum Islam. Pertama, karakter permanen (sabit)
dalam arti tetap dan tidak berubah dan universal. Karakter ini
disebut sebagai al-istiqamah, dalam arti berlaku secara umum dan
terus menerus. Kedua, karakter dinamis dan cenderung pada
perubahan, disebut sebagai (al-hanifiyyah).
Sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa, teori batas
dibangun atas dua pemahaman yakni al-istiqamah dan al-hanifiyah.
Melalui analisis linguistik, Shahrur menjelaskan bahwa kata hanif
berasal dari kata hanafa, yang dalam bahasa Arab berarti bengkok,
melengkung, (hanafa) atau juga bisa dikatakan orang yang berjalan
diatas dua kakinya (ahnafa).
Adapun kata al-Istiqamah, derivasi dari kata qawm yang
memiliki dua arti, yaitu kumpulan laki-laki dan berdiri tegak (al-
intisab) atau kuat (al-„azm). Dari kata al-intisab muncul kata al-
mustaqim dan al-istiqama, lawan dari melengkung (al-inhiraf).
28 Muhammad Shahrur, Al-Kitab wa AlQur‟an; Qira‟ah Mu‟asirah. (Damaskus: al Ahali
li al-Tiba’ah wa al-Nasyr, 1999), h.450
29 Muhammad Shahrur, Al-Kitab wa AlQur‟an; Qira‟ah Mu‟asirah. (Damaskus: al Ahali
li al-Tiba’ah wa al-Nasyr, 1999), h.449
27
Sedangkan kata al-azm, muncul kata ad-din al-qayyim (agama yang
kuat dalam kekuasaannya).
Berbagai analisis linguistik terhadap term al-hanifiyyah dan
al-istiqamah inilah yang kemudian membuat Shahrur sampai pada
surat al-An’am :161.
ملة قيما ديىا مستقيم صزاط إلى ربي هداوي إوىي قل
المشزكيه مه كان وما حىيفا إبزاهيم
Terdapat tiga terma pokok dalam ayat tersebut, yaitu: ad-din
al-qayyim, al-mustaqim dan al-hanif yang kemudian
menggelisahkannya. Bagaimana mungkin Islam menjadi kuat jika
harus disusun dari dua hal yang kontradiktif? Setelah menganalisa
surah Al-An‟am, Shahrur memperoleh pemahaman bahwa al-
hunafa adalah sifat alami dari seluruh alam. Langit dan bumi yang
nota bene sebagai susunan kosmos adalah bergerak dalam garis
lengkung. Sifat inilah yang membuat tata kosmos menjadi teratur
dan dinamis. Dengan demikian, ad-din al-hanif adalah agama yang
selaras dengan kondisi ini, karena al-hanif merupakan pembawaan
yang bersifat fitrah. Manusia sebagai bagian dari alam materi juga
memiliki sifat pembawaan fitrah ini.
Sejalan dengan fitrah alam tersebut, dalam aspek hukum juga
terjadi. Realitas masyarakat senantiasa bergerak secara harmonis
dalam wilayah tradisi sosial serta kebiasaan atau adat. Oleh karena
28
itu, sebuah as-sirat al-mustaqim adalah keniscayaan untuk
mengontrol dan mengarahkan perubahan tersebut. Itulah sebabnya,
mengapa al- Qur’an tidak pernah ditemui ayat “ihdina ila al-
hanifiyah” melainkan “ihdina as-sirat al-mustaqim”, karena
memang al-hanifiyah adalah fitrah. Dengan demikian, as-sirat al-
mustaqim menjadi batasan ruang gerak dinamika manusia dalam
menentukan hukum. Dari hal inilah kemudian munculah teori batas
hukum.
Buah dari penelitian yang dilakukannya di atas adalah lahirnya
sebuah teori yang aplikatif, yakni nazhariyyah al-hudud (limit
theory/teori batas). Teori batasnya terdiri dari batas bawah (al-hadd
al-adna/minimal) dan batas atas (al-hadd al-a‟la/maksimal).
Selanjutnya Shahrur menetapkan enam prinsip batas (hudud) yang
dibentuk oleh daerah hasil (range) dari perpaduan kurva terbuka dan
tertutup pada sumbu X dan sumbu Y. Perincian prinsip-prinsip
tersebut sebagai berikut :
Pertama, Halah al-Hadd al-A‟la (posisi batas maksimal)30
.
Dari hasil (range) dari fungsi y (Y= f(x)) berbentuk kurva tertutup
yang hanya memiliki satu titik balik maksimum. Titik ini terletak
berhimpit dengan garis lurus yang sejajar dengan sumbu x.31
30 Muhammad Shahrur, Al-Kitab wa AlQur‟an; Qira‟ah Mu‟asirah. (Damaskus: al Ahali
li al-Tiba’ah wa al-Nasyr, 1999), h.450 31
Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer (Yogyakarta: PT. LKiS Printing
Cemerlang, 2010), h 199.
29
y
Garis(batas) Maksimal
Y = F(x)
x
0
Pada posisi ayat-ayat hudud dalam umm al-Kitab hanya
mempunyai batas maksimal saja sehingga penetapan hukum
diperbolehkan bergerak tepat digaris batas atau dibawah garis batas
maksimal dan tidak diperbolehkan melampauinya. Ayat-ayat hudud
yang termasuk dalam kategori ini adalah ayat-ayat yang menjelaskan
hukum-hukum bagi kasus pencurian Q.S. al-Maidah: 38 dan
pembunuhan Q.S. al-Isra’: 33, Q.S. al-Baqarah: 178, dan Q.S. an-
nisaa: 92,32
yang termasuk kategori ini adalah ayat-ayat yang
menjelaskan tentang hukuman setimpal (qishash).
ا جصآء اطعىوانسازق وانسازقت فاق ا كسبا ك أيديه ب ها ي عصيص حكيى انهـ ١٣انائدة:﴿وانهـ
Artinya: “laki- laki yang mencuri dan perempuan yang
mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi
apa yang mereka kerjakan dan sebagian dari siksaan dari Allah.
Dan Allah Maha Perkasa Lagi maha Penyayang.” (al-Maidah:
38).
Menurut Shahrur, hukuman qishash ataupun potong tangan
merupakan batas hukuman maksimal. Dengan demikian, seorang
32 Muhammad Shahrur, Al-Kitab wa AlQur‟an; Qira‟ah Mu‟asirah. (Damaskus: al Ahali
li al-Tiba’ah wa al-Nasyr, 1999), h.455-457
30
hakim tidak boleh menetapkan hukuman kepada pembunuh atau
pencuri melebihi batas maksimal yang telah ditentukan Allah
tersebut. Akan tetapi, hakim boleh menetapkan hukuman yang
lebih rendah dari hukuman qishash atau hukum potong tangan
sesuai dengan situasi dan kondisi objektif.33
Kedua, Halah al-Hadd al-Adna (posisi batas minimal).34
Daerah
hasilnya berbentuk kurva terbuka yang memiliki satu titik balik
minimum. Titik ini terletak berhimpit dengan garis lurus yang sejajar
dengan sumbu x.
y
Y=F(x)
Garis (batas) Minimal
0
Pada posisi ini ayat-ayat hudud dalam umm al-Kitab hanya
mempunyai batas minimal saja, sehingga penetapan hukum hanya
diperbolehkan bergerak tepat digaris dan diatas minimal dan tidak
boleh melampauinya. Ayat-ayat hudud yang termasuk kategori ini
adalah ayat-ayat tentang pakaian wanita QS. An-nur: 31, ayat-ayat
tentang muharramat (orang-orang yang haram dinikahi) QS. an-Nisa:
22-23, ayat tentang jenis-jenis makanan yang haram dimakan QS. al-
33
Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, h 200.
34 Muhammad Shahrur, Al-Kitab wa AlQur‟an; Qira‟ah Mu‟asirah. (Damaskus: al Ahali
li al-Tiba’ah wa al-Nasyr, 1999), h.450
31
Maidah: 3, ayat tentang utang piutang QS. al-Baqarah: 283-284,35
Contoh: mengenai pakaian dan aurat wanita. Ketika menafsirkan QS.
An-Nur: 31.36
الىساء عىرات على يظهزوا لم الذيه الطفل أو
“Atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita”.
Menurut Shahrur aurat adalah apa yang membuat seseorang
malu apabila terlihat, dan aurat tidak berkaitan dengan halal haram,
baik dari dekat maupun jauh.37
Ketiga, Halah al-Haddayn al-A‟la wa al-Adna ma‟an (posisi
batas maksimal bersamaan dengan batas minimal).38
Daerah hasilnya
berupa kurva gelombang yang merupakan gabungan antara kurva
tertutup dan terbuka yang masing-masing memiliki titik balik
maksimum dan minimum. Kedua titik balik tersebut terletak berimpit
dengan garis lurus yang sejajar dengan sumbu x. diantara kedua kurva
ini terdapat titik singgung (nuqtah al-In‟itaf) yang tepat berada di
antara keduanya. Posisi ini juga disebut dengan halah al-Mustaqim
atau halah al-Tashri‟ al-‟Ayni (posisi penetapan hukum secara
mutlak).
35 Muhammad Shahrur, Al-Kitab wa AlQur‟an; Qira‟ah Mu‟asirah. (Damaskus: al Ahali
li al-Tiba’ah wa al-Nasyr, 1999), h.453-455 36
Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, h 202 37
Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, h 201.
38 Muhammad Shahrur, Al-Kitab wa AlQur‟an; Qira‟ah Mu‟asirah. (Damaskus: al Ahali
li al-Tiba’ah wa al-Nasyr, 1999), h.450
32
y
Batas Maksimal
-------------------------------------------- Titik Belok (Pembeda)
Batas Minimal
x
0
Ayat-ayat hudud pada posisi ini mempunyai batas maksimal
sekaligus batas minimalnya, sehingga penetapan hukumnya berkisar
antara dua batas tersebut, atau mungkin saja bisa jadi produk hukum
yang dihasilkan berada tepat pada garis dua batas tersebut. Ayat-ayat
hudud yang termasuk dalam kategori ini adalah ayat tentang waris
Q.S. an-Nisa’: 11-14, 176 dan ayat tentang poligami Q.S. an-Nisa’:
3.39
Contoh yang memiliki batas atas dan bawah sekaligus.
Maksudnya, batas minimum dan maksimum telah ditetapkan al-
Quran, adapun ijtihad posisinya ada di antara kedua batas minimum
dan maksimum tersebut.40
Keempat, halat al-hadd al-adna wa halat a-hadd al-a‟la
ma‟an fi nuqthatin wahidah (Posisi batas minimal dan maksimal
berada pada titik secara bersamaan) atau diistilahkan dengan Halah
al-Mustaqim (posisi lurus tanpa alternatif). Daerah hasilnya berupa
garis lurus sejajar dengan sumbu x. karena berbentuk garis lurus,
posisi ini meletakkan titik balik maksimum, yang tidak memiliki
39 Muhammad Shahrur, Al-Kitab wa AlQur‟an; Qira‟ah Mu‟asirah. (Damaskus: al Ahali
li al-Tiba’ah wa al-Nasyr, 1999), h.457-463 40
Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, h 203.
33
titik balik minimum, dengan aman, kedua titik tersebut berada pada
satu titik secara bersamaan sehingga titik balik maksimum identik
dengan titik balik minimum.
y
Di sini Y bersifat tetap, walau X berubah
Y = F(x) X
0
Maksud dari tipe ini adalah dalam ayat-ayat hudud terdapat
ayat-ayat yang tidak mempunyai batas maksimal atau minimal,
ayat tersebut berada pada posisi lurus dan harus berada pada
batas itu sendiri, sehingga ia tidak mempunyai alternatif lain dalam
penetapan hukumnya. Dengan demikian apa yang ada dalam ayat
hudud itu sendirilah yang nantinya akan menjadi penetapan hukum.
Ayat-ayat hudud yang termasuk kategori ini adalah ayat yang
menerangkan tentang hukuman bagi pelaku zina. Lihat an-Nur :2 :41
ا ياكم و انصايت وانصا فاجهدوا ه ونا ئت جهدة حد ي وانيىو بانهـ إ كتى تؤيى انهـ ا زأفت ف دي تؤخركى به
الءاخس ؤيي ان ا طآئفت ي ٢انىز:﴿ونيشهد عرابه
Artinya: “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang
berzina, maka deralah tiap-tiap orang dari keduanya seratus kali
dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah
kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada
Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman
mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang
beriman” (QS. An-Nur: 2)
41 Muhammad Shahrur, Al-Kitab wa AlQur‟an; Qira‟ah Mu‟asirah. (Damaskus: al Ahali
li al-Tiba’ah wa al-Nasyr, 1999), h.463
34
Menurut Shahrur, dalam kasus zina tidak ada pilihan lain bagi
kita kecuali harus menerapkan hukuman cambuk seperti yang
disebutkan dalam ayat di atas. Sebab dalam ayat tersebut ditegaskan
walaa ta‟khudzkum bihimaa rafa‟tun fi dinillah (dan janganlah belas
kasihan kepada keduanya mencehag kamu untuk menjalankan
agama Allah).42
Kelima, Halah al-Hadd al-A’la bi Khat Muqarib li Mustaqim
duna al-Mamas bi al-Hadd Abadan (posisi batas maksimal
cenderung mendekat tanpa bersentuhan kecuali daerah yang tak
terhingga) rangenya berupa kurva terbuka dengan titik final yang
cenderung mendekati sumbu Y, sehingga bertemu pada daerah
tak terhingga („ala la-nihayah). Demikian pula pada titik
pangkalnya yang terletak pada daerah tak terhingga terhimpit
dengan sumbu X. y
Zina Garis yang mendekati zina
X
0
Daerah hasilnya berupa kurva terbuka yang terbentuk dari
titik pangkal yang hampir berhimpit dengan sumbu X dan titik
final yang berhimpit dengan sumbu Y. Secara matematis, titik
42
Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, h 204.
35
final hanya benar-benar berhimpit dengan sumbu Y pada daerah
tak terhingga („ala la nihayah).43
Posisi batas maksimal ini cenderung mendekat namun tanpa ada
persentuhan sama sekali, kecuali pada daerah tak terhingga. Jika
diaplikasikan dalam ayat hudud maka contohnya adalah fenomena
hubungan laki-laki dan perempuan. Hubungan tersebut berawal dari
hubungan biasa, tanpa melibatkan hubungan fisik, kemudian
meningkat perlahan-lahan pada hubungan fisik sampai mendekati
garis lurus, yaitu batas perzinaan.44
Keenam, halah al-hadd al-„ala mujaban mugallaqun la yajuzu
tajawuzuhu wa al-hadd al-adna saliban yajuzu tajawuzuhu atau
posisi batas maksimal positif dan minimal negatif,45
daerahnya
berupa kurva gelombang dengan titik balik maksimal yang berada di
daerah positif, berhimpit dengan garis lurus yang sejajar dengan
sumbu X dan titik balik minimum berada di daerah negatif
berhimpit dengan garis lurus yang sejajar sumbu X.
y
Batas Maksimal Positif
Y = F (x)
0 x Batas minimal negatif
43 Muhammad Shahrur, Al-Kitab wa AlQur‟an; Qira‟ah Mu‟asirah. (Damaskus: al Ahali
li al-Tiba’ah wa al-Nasyr, 1999), h.450-451 44
Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, h 205.
45 Muhammad Shahrur, Al-Kitab wa AlQur‟an; Qira‟ah Mu‟asirah. (Damaskus: al Ahali
li al-Tiba’ah wa al-Nasyr, 1999), h.451
36
Aplikasi posisi ini dalam ayat hukum dapat dilihat dalam
masalah riba sebagai batas maksimal positif yang tidak boleh
dilanggar dan zakat merupakan batas minimal negatif yang boleh
dilampaui. Ketentuan ini mengandung arti bahwa riba yang berlipat
ganda (adh‟afan mudha‟afan) tidak boleh dilanggar, sedangkan
zakat di atas 2,5 % sebagai batas minimal, boleh untuk dilampaui.
Kelebihan zakat itulah yang kemudian menjadi shadaqah. Shadaqah
ini memiliki dua batas yakni batas maksimal yang ada pada daerah
positif dan batas minimal yang ada pada daerah negatif.46
Posisi tersebut secara otomatis mempunyai batas tengah, tepat
berada diantara keduanya yang disimbolkan dengan titik nol pada
persilangan kedua sumbu.itulah riba tanpa bunga (qardh al-hasan).
Dalam kondisi tertentu, sangat mungkin pihak bank memberi kredit
tanpa bunga terhadap mereka yang berhak menerima sedekah. Hal
itu merupakan bentuk aplikasi dari batas minimal (bunga nol persen)
dalam masalah bunga bank, sebagai salah satu bentuk tawaran bank
Islami.47
D. Pemikiran Hukum Waris Muhammad Shahrur
Waris atau kewarisan adalah proses pemindahan harta yang dimiliki
seseorang yang sudah meninggal kepada pihak penerima (warathah) yang
jumlah dan ukuran bagian (nasib) yang diterimanya telah ditemukan dalam
mekanisme wasiat, atau jika tidak ada wasiat maka penentuan pihak penerima,
46
Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, h 207. 47
Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, h 207.
37
jumlah dan ukaran bagiannya (hazh) ditentukan dalam mekanisme pembagian-
pembagian warisan, seperti yang termaktub dalam ayat-ayat waris.48
Adapun ayat-ayat yang berkaitan tentang masalah waris, yaitu surat
an-Nisa ayat 11, 12, dan 176. Namun dari beberapa ayat tersebut, Shahrur
lebih melihat dalam ayat 11 surat an-Nisa dianggapnya sebagai nash yang
mencakup seluruh prinsip-prinsip waris yang menggambarkan hudud Allah
(batas-batas hukum Allah), redaksi ayat yang datang setelahnya
merupakan penjelasan kasus spesifik dari ketiga kasus yang disebut sebagai
hudud Allah. Adapun kasus spesifik yang dimaksud adalah mencakup pihak
keluarga menurut keluarga garis atas (usul; kedua orang tua keatas), keluarga
menurut garis cabang (furu'; anak-anak ke bawah) pasangan suami atau isteri
dan saudara.49
Shahrur mengawali pembahasannya yakni perintah melakukan wasiat.
Ayat tersebut mewajibkan orang yang telah dekat dengan kematian dan akan
meninggalkan harta (sedikit atau banyak) agar menentukan pihak-pihak yang
kelak diserahi harta peninggalannya. Ayat tersebut adalah QS. Al-Baqarah [2]:
180. Penjelasan QS. Al-Baqarah [2]: 180, shahrur menjalaskan bahwa terdapat
kesamaan posisi seluruh manusia. Bagian yang diberikan kepada seorang pewaris
dalam hukum waris ditentukan oleh posisinya dalam kondisi pihak-pihak yang
menerima harta (sebagai bapak, ibu, anak, suami, isteri, saudara laki-laki atau
saudara perempuan). Persamaan merupakan sifat yang umum, sedangkan
48Shahrur, Muhammad, Metodologi Fiqih Islam Kontemporer, terj. Cet. Ke-2,
(Yogyakarta: eLSAQ Press, 2004), h. 334
49 Shahrur, Muhammad, Metodologi Fiqih Islam Kontemporer, terj. Cet. Ke-2,
(Yogyakarta: eLSAQ Press, 2004), h. 334
38
perbedaan adalah sifat yang khusus. Waris dan wasiat menggambarkan hubungan
antara para pihak-pihak yang berlawanan antara kesamaan dan perbedaan.
Komunitas manusia berdiri di atas keragaman kondisi penghidupan, keluarga,
sosial dan kebutuhan hidup50
.
Maksudnya ayat tersebut dimulai dengan bentuk kalimat pembebanan
(taklif); كتب عهىكم (diwajibkan atas kamu). Shahrur menjelaskan bahwa wasiat
ditujukan kepada orang-orang yang bertakwa dari seluruh penduduk dimuka
bumi.51
Bagi penerima wasiat, mereka adalah انواندان وانقربون (kedua orang tua dan
kerabat). Mayoritas orang tua terdari dari seorang bapak dan seorang ibu.
Perspektif ini menuntun untuk membedakan konsep al-walid (bapak kandung)
dengan al-abb (bapak pengasuh) dan antara konsep al-walidah (ibu kandung)
dengan al-umm (ibu asuh). Perbedaan perlu diperhatikan, khususnya ketika ayat
waris menunjuk pada pengertian orang tua pengasuh, bukan orang tua kandung.
Dari perbedaan ini akan tercipta hubungan antara realitas dengan maksud firman
Allah.52
Menurut Shahrur, jika orang yang hampir meninggal memberlakukan ayat
ini dan mewasiatkan harta nya untuk diberikan kepada orang tua kandungnya
( نواندانا ) dan keluarga dekat (انقربون) berdasarkan batasan yang wajar, maka wasiat
ini harus dilaksanakan dan tidak seorang pun mengubahnya. Larangan ini
sebagaimana di tegaskan dalam QS. Al-Baqarah [2]: 181.
50
Muhammad Shahrur, Metodologi Fiqh Islam Kontemporer, terj. Sahiron Syamsudin
dan Burhanudin (Sleman: eLSAQ, Press, 2004), h. 325 51
Muhammad Shahrur, Metodologi Fiqh Islam Kontemporer, terj. Sahiron Syamsudin
dan Burhanudin, h. 326 52
Muhammad Shahrur, Metodologi Fiqh Islam Kontemporer, terj. Sahiron Syamsudin
dan Burhanudin, h. 326
39
Jika pewasiat melakukan kesalahan, baik disengaja atau tidak, dalam
membagi wasiatnya tidak sesuai dengan ketentuan al-walidani wa al-aqrabun
(bagi kedua orang tua dan keluarga dekat), sementara ia masih memiliki saudara
laki-laki, saudara perempuan dan anak-anak atau melebihi batas wajar yang
berlaku, seperti memberikan bagian yang lebih besar kepada paman dan bibinya
dari pada kedua orang tuanya, 53
maka dalam hal ini berlaku firman Allah QS. Al-
Baqarah [2]: 182.
Shahrur menegaskan bahwa alternatif penentuan dalam pemberian wasiat
terbuka luas dan bahwa ketentuan kepada wasiat diberikan sepenuhnya menjadi
hak pewasiat. Dalam hal ini tidak ada batasan ataupun ketentuan yang ditetapkan
oleh syariat kecuali standar ketakwaan dan rasa takut kepada Allah. Hal ini bisa
saja pewasiat bisa memberikan bagian yang lebih besar kepada anaknya yang
cacat daripada anaknya yang sehat. Wasiat juga dapat menjangkau hal-hal yang
tidak dapat dijangkau oleh ketentuan pembagian warisan. Pemahaman ini Shahrur
perpegang pada QS. Al-Baqarah [2]: 240, seakan-akan Allah hendak memberikan
jalan kemudahan kepada siapa saja untuk mengaplikasikan perintah serta
memberikan keleluasaan untuk merambah wilayah lain yang dikehendaki.54
Shahrur melihat ayat-ayat waris dimulai dengan surat an-Nisa’ [4]: 11 dan
diakhiri dengan QS. An-Nisa [4]: 12. Selain itu Allah juga berfirman tentang
wasiat kepada kita dalam QS. Al-Baqarah [2]: 180, dengan pola kalimat yang
sama sebagaiman Allah menetapkan kewajiban shalat, puasa, dan perang kepada
53
Muhammad Shahrur, Metodologi Fiqh Islam Kontemporer, terj. Sahiron Syamsudin
dan Burhanudin, h. 330 54
Muhammad Shahrur, Metodologi Fiqh Islam Kontemporer, terj. Sahiron Syamsudin
dan Burhanudin, h. 329.
40
kita yaitu dengan redaksi kutiba „alaikum. Shahrur juga memaparkan pernyataan
bagaimana fiqih dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari yang diantaranya
adalah sebagai berikut:55
1. Mengutamakan masalah waris dan hukumnya, tetapi mengesampingkan
wasiat beserta hukum yang menyertainya.
2. Memaksakan penghapusan naskh ayat-ayat wasiat, khususnya firman
Allah al- wasiyatu li al- walidayni wa al-aqrabin (wasiat untuk kedua
orang tua dan kerabat), bedasarkan hadis ahad yang statusnya terputus
(munqathi‟) diriwayatkan oleh ahl al-Maghazi, yaitu: la wasiyyata li
warithin (tiada wasiat untuk ahli waris).
3. Mencampuradukan antara dua konsep yang berbeda, yaitu al-hazz (jatah
pada warisan) dan al-nasib (bagian dalam wasiat), sehingga memunculkan
kerancuan pemahaman antara ayat-ayat waris dan ayat-ayat wasiat.
Firman Allah, نهرجال وصيب مما ترك انو اندان وانقربون “bagi laki-laki ada (hak)
bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, dan bagi
perempuan ada (hak) bagi (pula) dari harta peninggalan ibu-bapak dan
kerabat nya, baik sedikit atau banyak menurut yang telah ditetapkan” (QS.
An-Nisa [4]: 7), di pahama sebagai ayat yang membicarakan masalah
waris, padahal ayat ini secara jelas menjelaskan tentang wasiat.
4. Tidak membedakan antara keadilan universal dalam ayat-ayat waris dan
keadilan spesifik dalam ayat-ayat wasiat, padahal ketentuan yang bersifat
tidak berarti menghapus yang bersifat khusus.
55
Muhammad Shahrur, Metodologi Fiqh Islam Kontemporer, terj. Sahiron Syamsudin
dan Burhanudin, h. 320
41
5. Firman Allah, fa in kunna nisa‟an fawqa itsnatayni dipahami dengan
pengertian: “jika kalian (para perempuan) berjumlah dua atau lebih “.
Padahal ayat tersebut tidak bisa dipahami dengan pengertia yang tidak
masuk akal tersebut.
6. Term al-walad dalam ayat-ayat waris dipahami sebagai anak laki-laki,
bahwa hanya anak laki-laki yang menjadi sebab terhalangnya dan
tertutupnya suatu pewarisan dalam pihak lain. Pemahaman semacam ini
merupakan reduksi besar-besaran terhadap firman Allah: يصيكم اهلل في اوالدكم
ييهنهذكر مثم حظ االوث “Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian
pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu bagian seorang anak laki-laki sama
dengan bagian dua orang anak perempuan”, karena dalam hal ini term al-
walad mencakup kedua jenis kelamin baik laki-laki maupun perempuan.
Di samping itu, pemaknaan reduktif tersebut juga menyalahi salah satu
keistimewaan bahasa Arab yang memiliki kosakata berbentuk maskulin
yang sekaligus arti feminim. Seperti kata „abus (kegentingan), armal
(janda/duda), zawj (pasangan suami-isteri) dan walad (anak). Karena
dalam bahasa Arab tidak dijumpai pemakaian kata abusah, armalah,
zawjah dan waladah.
7. Mempertahankan konsep „awl (menggenapkan prosentase ke atas) dan
radd (menggenapkan prosentase kebawah), dua konsep yang terakhir dari
pemaksaan terhadap pemberlakuan empat pola perhitungan („amaliyyat al-
hisab al-arba‟) sehingga mengakibatkan beberapa pihak lain dikurangi
haknya secara tidak adil.
42
8. Para cucu meskipun yatim, tidak diperbolehkan menerima bagian warisan
dari kakek mereka -dalam keadaan mereka sebelumnya telah ditinggal
mati oeh bapaknya- meskipun cucu juga disebutkan dalam ayat waris.
9. Memberikan bagian tertentu kepada pihak yang sama sekali tidak disebut
dalam ayat-ayat waris, seperti paman (dari pihak bapak) dan sebagainya.
Penetapan ketentuan ini merupakan akibat dari nalar sosial dan politik
partiakis masa lalu.56
Beralih pada target firman Allah Qs. An-Nisa [4]: 8, akan mendapati
tambahan kategori ketiga selain dua kategori dalam QS. Al-Baqarah, yaitu
kategori anak-anak yatim dan kaum miskin.57
Shahrur menjelaskan yang
dimaksud dengan kategori ketiga adalah yang memiliki unsur berbeda yang
tidak disebut dalam ayat waris, yaitu mereka memiliki bagian dalam wasiat,
namun tidak memiliki bagian dalam jatah dalam waris.58
Konsep kewarisan islam secara global menurut Shahrur, patut diketahui
sebelum membahas pemikran Shahrur tentang kalalah. Hal ini dikarenakan,
konsep Shahrur ini memiliki ciri khas tersendiri dalam pembagian harta waris.
Shahrur berpendapat bahwa ayat-ayat tentang waris diturunkan dan
diberlakukan bagi seluruh manusia secara kolektif yang hidup dimuka bumi,
bukan untuk pribadi atau keuarga tertentu. Ayat-ayat waris menggambarkan
aturan universal yang ditetapkan berdasarkan aturan analisis matematis dan
56
Muhammad Shahrur, Metodologi Fiqh Islam Kontemporer, terj. Sahiron Syamsudin
dan Burhanudin,h. 322. 57
Muhammad Shahrur, Metodologi Fiqh Islam Kontemporer, terj. Sahiron Syamsudin
dan Burhanudin), h. 328. 58
Muhammad Shahrur, Metodologi Fiqh Islam Kontemporer, terj. Sahiron Syamsudin
dan Burhanudin, h. 328.
43
empat oprasional ilmu hitung (penjumlahan, pengurangan, perkalian dan
pembagian).59
Dalam hukum waris, Shahrur simbolkan laki-laki dengan (Y) sebagai
variabel pengikut dan perempuan dengan simbol (X) sebagai variabel
perubah. Dalam hal ini, perempuan adalah dasar dalam perhitungan waris dan
bagian laki-laki ditetapkan batasannya setelah bagian perempuan ditetapkan,
karena sebagai variabel pengikut (Y) nilainya berubah dan bergerak sesuai
dengan perubahan bagian perempuan (X). Oleh karena itu, dalam QS. An-
Nisa [4]: 11, jumlah laki-laki hanya disebut sekali dalam ayat, sedangkan
jumlah perempuan memiliki kemungkinan nilai yang sangat beragam, sejak
dari angka satu hingga tak terbatas. Digambarkan dalam rumus persamaan
fungsi Y=f(x).60
Pembagian waris menurut Shahrur, termasuk dalam batas-batas hukum
yang telah ditentukan oleh Allah dimana dalam firman-Nya: Tilka hudud
Allah yang berada diawal QS. An-Nisa [4]: 13, setelah Allah menetapkan dan
menjelaskan batasan-batasan hukum waris pada ayat 11 dan 12. Adapun
batas-batas hukum Allah dalam pembagian waris, Shahrur mengelompokan
tiga batas-batas hukum.61
a. Batas pertama hukum waris: li adh-dhakari mithlu hazzi al untsayayni.62
59
Muhammad Shahrur, Metodologi Fiqh Islam Kontemporer, terj. Sahiron Syamsudin
dan Burhanudin, h. 324. 60
Muhammad Shahrur, Metodologi Fiqh Islam Kontemporer, terj. Sahiron Syamsudin
dan Burhanudin, h. 341. 61
Muhammad Shahrur, Metodologi Fiqh Islam Kontemporer, terj. Sahiron Syamsudin
dan Burhanudin, h. 359. 62
Muhammad Shahrur, Metodologi Fiqh Islam Kontemporer, terj. Sahiron Syamsudin
dan Burhanudin, h. 340.
44
Batasan ini adalah batas hukum yang membatasi jatah-jatah atau
bagian-bagian (huzuz) bagi anak-anak si mayit jika mereka terdiri dari
seorang laki-laki dan dua anak perempuan. Pada saat yang bersamaan ini
merupakan kriteria yang dapat diterapkan pada segala kasus, dimana
jumlah perempuan dua kali lipat dari jumlah laki-laki. Jika dipaksakan
untuk menerapkan sebuah batasan pada wilayah yang bukan semestinya,
maka kita akan tersesat dan terjebak dalam maslah sebenarnya yang sudah
diperingatkan oleh Allah untuk menjauhinya sebagaimana dalam firman
Allah يبيه اهلل نكم ان تضهوا، واهلل بكم شيء عهيم “Allah menerangkan hukum ini
kepadamu, supaya kamu tidak sesat. Dan Allah maha mengetahui segala
sesuatu” QS. An-Nisa [4]: 176.63
Jumlah Pewaris Jatah laki-laki Jatah Perempuan
1 laki-laki + 2 Perempuan Setengah (½) bagi
1 laki-laki
Setengah (½) bagi 2
permpuan
2 laki-laki + 4 perempuan Setengah (½) bagi
2 laki-laki
Setengah (½) bagi 4
perempuan
3 laki-laki + 6 perempuan Setengah (½) bagi
3 laki-laki
Setengah (½) bagi 6
perempuan
Pembagian pada kasus ini dapat dirumuskan dengan persamaan: F/M= 2
F = Jumlah perempuan (female)
M = Jumlah laki-laki (male)
63
Muhammad Shahrur, Metodologi Fiqh Islam Kontemporer, terj. Sahiron Syamsudin
dan Burhanudin, h. 360.
45
b. Batas kedua hukum waris: fa in kunna nisa‟an fawqa itsnatayni.64
Batas hukum ini membatasi jatah warisan anak-anak jika mereka
terdiri dari seorang laki-laki dan tiga perempuan, serta selebihnya
(3,4,5...dst). satu laki-laki + perempuan lebih dari dua. Maka bagi laki-laki
adalah 1/3 dan bagi pihak perempuan 2/3 berapa pun jumlah mereka
(diatas dua). batasan ini berlaku pada seluruh kondisi ketika jumlah
perempuan lebih dari dua kali jumlah laki-laki.
Jumlah Pewaris Jatah Laki-laki JatahPerempuan
2 laki-laki + 5
perempuan
1/3 bagi 2 laki-laki 2/3 bagi 5 perempuan
1 laki-laki + 7
perempuan
1/3 bagi 1 laki-laki 2/3 bagi 7 perempuan
Dirumuskan dengan persamaan: F/M > 2
F = Jumlah perempuan (female)
M = Jumlah laki-laki (male)
c. Batas ketiga hukum waris: wa in kanat wahidatan fa laha an-nisfu.65
Batas hukum ketiga ini membatasi jatah warisan anak-anak dalam
kondisi ketika jumlah pihak laki-laki sama dengan jumlah pihak
perempuan, dirumuskan dengan persamaan: F/M < 2
F = jumlah perempuan (female)
M= jumlah laki-laki (male)
64
Muhammad Shahrur, Metodologi Fiqh Islam Kontemporer, terj. Sahiron Syamsudin
dan Burhanudin, h. 340. 65
Muhammad Shahrur, Metodologi Fiqh Islam Kontemporer, terj. Sahiron Syamsudin
dan Burhanudin, h. 340.
46
Jumlah Pewaris Jatah Laki-laki Jatah Perempuan
1 laki-laki+ 1
perempuan
½ bagi 1 laki-laki ½ bagi 1 perempuan
2 laki-laki+ 2
perempuan
½ bagi 2 laki-laki
(1/4)
½ bagi 2 perempuan
(1/4)
3 laki-laki + 3
perempuan
½ bagi 3 laki-laki (
1/6)
½ bagi 3 perempuan
(1/6)
Tiga hal tersebut di atas adalah tiga batasan hukum yang
ditetapkan Allah untuk pembagian harta warisa dan tidak keluar dari
batasan dalam ayat-ayat waris. Berbagai problem yang membingungkan
para ahli fiqh yang menyebabkan mereka terbagi dalam berbagai majhab
fiqh dalam menetukan problematika berikut: pertama, problematika radd
dan awl. Kedua, problematika superioritas laki-laki dan problem bahwa
anak perempuan tidak bisa menjadi hajib (penghalang ahli waris lain dari
menerima harta warisan). Ketiga, problematika jumlah perempuan di atas
dua. Keempat, problematika 1/3 sisa harta dan ½ sisa harta, hendak
diberikan kepada siapa dan kemana perginya telah teruraikan pada batas-
batas hukum di atas.66
Shahrur menyimpulkan bahwa bagi Allah wasiat lebih utama dan
lebih penting dari pada waris. Permasalahan ini sebagaimana dijelaskan
dalam QS. Al-Maidah [5]: 106, menjelaskan perintah wasiat yang
66
Muhammad Shahrur, Metodologi Fiqh Islam Kontemporer, terj. Sahiron Syamsudin
dan Burhanudin, h. 363.
47
diwajibkan bagi orang-orang yang beriman dalam kondisi apapun, baik
ketika berdiam maupun bepergian.67
67
Muhammad Shahrur, Metodologi Fiqh Islam Kontemporer, terj. Sahiron Syamsudin
dan Burhanudin, h. 331.
48
BAB III
TINJAUAN UMUM TEORI BATAS DAN WARIS DALAM HUKUM ISLAM
A. Teori Batas
Term hudud dalam interpretasi Muhammad Shahrur berbeda dengan
pengertian hudud dalam pemahaman mayoritas ulama Islam selama ini, ulama
Islam memahami hudud dengan mencegah dari perbuatan yang diharamkan oleh
Allah dengan jalan memukul atau memberi hukuman bahkan membunuh.68
Sedangkan Muhammad Shahrur memahami bahwa hudud adalah ketentuan-
ketentuan atau hukuman Allah, bukannya hukuman (sebagaimana yang
pehamanan ulama fiqh).
Secara etimologis, hudud merupakan bentuk jamak dari kata had yang
berarti (larangan, pencegahan). Adapun secara terminologis, Al-Jurjani
mengartikan sebagai sanksi yang telah ditentukan dan wajib dilaksanakan secara
haq karena Allah SWT.69
Sementara itu, sebagian ahli fiqih sebagaimana dikutip
oleh Abdul Qadir Audah, berpendapat bahwa had ialah sanksi yang telah
ditentukan secara syara‟.70
68
Burhanuddin, artikulasi teori batas (nazariyyah alhudud) Muhammad Shahrur dalam
pengembangan epistemologi islam di indonesia, editor sohiron syamsuddin, dkk, hermeneutika al-
Quran mazha yogya, (yogyakarta: islamik, 2003) h. 60
69
Ali bin Muhammad Al-Jurjani, Kitab Al- Ta’rifat , (jakarta: Dar Al-Hikmah) , h. 88.
70
Abdul Qadir Audah, Al-Tasyri’ Al-Jina’i Al-Islami, h. 343.
49
Dengan lebih mendetail, Al-Sayyid Sabiq mengemukakan bahwa hudud
secara bahasa berarti pencegahan. Sanksi-sanksi kemaksiatan disebut dengan
hudud, karena pada umumnya dapat mencegah pelaku dari tindakan mengulang
pelanggaran. Adapun arti kata had mengacu kepada pelanggaran sebagaimana
firman Allah (QS. Al-Baqarah (2): 187), “itulah larangan Allah, maka janganlah
kamu mendekatinya.”71
Sementara itu, had secara syara‟ berfungsi untuk
menghalang-halangi seseorang pelaku tindak pidana agar tidak kembali
melakukan perbuatan yang telah dilakukannya.72
Definisi hudud terakhir dikemukakan oleh Abu Ya‟la yang mengutip
pendapat Al-Mawardi: Al-Mawardi berkata, “hudud adalah ancaman-ancaman
yang ditetapkan Allah untuk mencegah seseorang agar tidak melanggar apa yang
dilarang dan tidak meninggalkan apa yang diperintahkan ketika syahwat
membuatnya terlena dari ancaman-ancaman siksa di akhirat lantaran
mendahulukan kenikmatan sesaat.73
Ditinjau dari segi dominasi hak, terdapat dua jenis hudud, yaitu sanksi
(hudud) yang termasuk hak Allah dan hudud yang termasuk hak manusia.
Menurut Abu Ya‟la hudud jenis pertama adalah semua jenis sanksi yang wajib
diberlakukan kepada pelaku karena ia meninggalkan semua hal yang
diperintahkan, seperti salat, puasa, zakat, dan haji. Adapun hudud dalam kategori
71Al-Sayyid Sabiq. Fiqh Al-Sunnah, (Beirut:Dar Al-Fikar, 1983), cet.ke-4 ,jilid II , h. 302.
72
Muhyiddin Abu Zakaria Yahya bin Syaraf Al-Nawawi, Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab,
(Mesir Mathba‟ah Al-Ahram), jilid XVIII, h. 239.
73
Abu Ya‟la, Al-Ahkam Al-Sulthaniyah, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 1983), h.260.
50
yang kedua adalah semua jenis sanksi yang diberlakukan pada seseorang karena
ia melanggar larangan Allah, seperti berzina, mencuri, dan meminum khamar.
Hudud jenis kedua ini terbagi menjadi dua. Pertama, hudud yang
merupakan hak Allah, seperti hudud atas jarimah zina, meminum minuman
keras, pencurian, dan pemberontakan. Kedua, hudud yang merupakan hak
manusia, seperti haq qadzf dan qishash. Kemudian jika ditinjau dari segi materi
jarimah, hudud terbagi menjadi tujuh, yaitu hudud atas jarimah zina, qadzf,
meminum minuman keras, pemberontakan, murtad, pencurian, dan perampokan.
Salah satu kontribusi baru dalam kajian fiqh kontemporer yang diusung
oleh Shahrur dalam karyanya yang monumental sekaligus kontroversial, yaitu al-
Kitab wa Al-Qur‟an: al-Qira’ah al-Mu’asirah adalah teori limit (teori batas/
Nazariyat al-Hudud). Muhammad Shahrur menegaskan bahwa teori batas
merupakan salah satu pendekatan dalam berijtihad, yang digunakan dalam
mengkaji ayat-ayat ahkam (ayat-ayat yang berisi pesan hukum) dalam Al-
Qur‟an. Teori limit (hudud) yang digunakan Shahrur mengacu pada pengertian
batas-batas ketentuan Allah yang tidak boleh dilanggar, tapi di dalamnya terdapat
wilayah ijtihad yang bersifat dinamis, fleksibel, dan elastis.
B. WARIS DALAM HUKUM ISLAM
51
1. Pengertian Waris
Faraidh atau yang biasa disebut dengan hukum waris merupakan hal-
hal tentang pembagian waris dimana pembagian ini telah dicantumkan
penjelasannya di dalam Al-Qur‟an. Pembagian mengenai waris dalam Islam
sering kali mendapat perhatian karena beberapa kali dianggap tidak
menguntungkan.74
Secara etimologis, faraidh (bentuk jamak dari kata faridhah) diambil
dari kata fardh yang berarti takdir “ketentuan”. Dalam istilah syara‟ bahwa
kata fardh adalah bagian yang telah ditentukan bagi ahli waris.75
Sedangkan
hukum kewarisan menurut fiqh mawaris adalah fiqih yang berkaitan dengan
pembagian harta warisan, mengetahui perhitungan agar sampai kepada
mengetahui bagian harta warisan dan bagian-bagian yang diterima dari harta
peninggalan untuk setiap yang berhak menerimanya.
Dalam bahasa Arab berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada orang
lain atau dari suatu kaum kepada kaum lain disebut Al-miirats.76
Sedangkan
makna Al-miirats menurut istilah yang dikenal para ulama ialah berpindahnya
hak kepemilikan dari orang yang meninggal kepada ahli warisnya yang masih
74 Ahmad Rofiq , Hukum Islam di Indonesia,( Jakarta : PT Raja GrafindoPersada, 1995),
h.355.
75
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, (Jakarta Selatan : Pena Pundi Aksara, 2006), h.479.
76
Muhammad Ali Ash-Shabuni, Pembagian Waris Menurut Islam,(Jakarta : Gema Insani
Press,1995), h.33.
52
hidup, baik yang ditinggalkan itu berupa harta (uang), tanah atau apa saja
yang berupa hak milik legal menurut syari‟i.
Pengertian hukum kewarisan menurut Pasal 171 huruf a Kompilasi
Hukum Islam adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak
pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang
berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing. Dalam
konteks yang lebih umum, warisan dapat diartikan sebagai perpindahan hak
kebendaan dari orang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya yang masih
hidup.77
Mawaris berarti menggantikan tempat dari seseorang yang meninggal
dalam hubungan hukum harta kekayannya. Hubungan-hubungan hukum yang
lain, misalnya hubungan hukum dalam hukum keluarga.78
Adapun menurut
Hasby Ash-Shiddieqy, hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur siapa-
siapa orang yang mewarisi dan tidak mewarisi, bagian penerimaan setiap ahli
waris dan cara-cara pembagiannya.79
Waris dalam bahasa Indonesia disebut pusaka, yaitu harta benda dan hak
yang ditinggalkan oleh orang yang mati untuk dibagikan kepada yang berhak
77 Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris, (Jakarta : PT Raja GrafindoPersada, 2002), h .4.
78
R Soetojo Prawirohamidjojo, Hukum Waris Kodifikasi,( Surabaya : Airlangga University
Press), h. 3.
79
Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris, (Jakarta : PT Raja GrafindoPersada, 2002), h. 355
53
menerimanya. Pembagian itu lazim disebut Faraidh, artinya menurut syara‟
ialah pembagian pusaka bagi yang berhak menerimanya.80
2. DASAR HUKUM WARIS
a. Al-Qur‟an
Yang menjadi dasar hukum kewarisan ialah alquran yaitu QS. al-
Nisa‟ (4) ayat: 7, 8, 10, 11, 12, 13, 33, 176, QS. al-Anfal (8): 75; hadits-
hadits Nabi SAW, dan ijma‟.
للرجال نصب مما ترك الىالدان والأقربىن وللنساء
نصب مما ترك الىالدان والأقربىن مما قل منه أو مثر
نصبا مفروضا
Artinya: “Bagi laki-laki ada hak bagian harta peninggalan ibu
bapak dan karib kerabat; dan bagi perempuan ada hak bagian (pula)
dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau
banyak menurut bagian yang telah ditetapkan.”
Sebab turunnya ayat waris yang pertama bermula saat
meninggalnya Aus bin Thabit al-Ansari, dan ia meninggalkan seorang
isteri dan tiga orang anak perempuan. Namun dua orang sepupu Aus bin
Thabit datang mengambil semua harta Aus tanpa memberikan sedikitpun
harta tersebut kepada isteri dan anak-anak Aus, karena dalam tradisi
jahiliyah, perempuan dan anak kecil (walaupun anak tersebut laki-laki)
80 Moh Rifai, Ilmu Fiqih Islam,( Semarang : CV Toha Putra, 1978), h. 513.
54
tidak berhak mendapatkan warisan. Yang berhak mendapatkan warisan
hanyalah laki-laki yang telah dewasa. Melihat hal ini, isteri Aus bin
Thabit kemudian datang kepada Nabi SAW, dan mengadukan hal
tersebut, maka turunlah QS. Al-Nisa‟: 7.81
تامى والمسامن وإذا حضر القسمة أولى القربى وال
فارزقىهم منه وقىلىا لهم قىلا معروفا
“Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat, anak yatim
dan orang miskin, maka berilah mereka dari harta itu (sekedarnya) dan
ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik.”
Para mufassir berbeda pendapat tentang ayat ini, apakah ayat ini
mansukh (dinasakh dengan ayat-ayat bagian waris untuk ahli waris) atau
muhkam. Menurut Mujahid dan Sa‟id bin Jabir, perintah dalam ayat di
atas adalah kewajiban bagi ahli waris.82
Ayat ini mengandung tiga garis hukum yang berkaitan dengan
pelaksanaan hukum kewarisan Islam, yaitu: pertama, jika ahli waris
membagi harta warisannya dan ada orang yang bukan ahli waris ikut
hadir, maka berilah kepada orang yang ikut hadir dari bagian yang telah
diperoleh ahli waris, dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik.
Kedua, jika ahli waris membagi harta warisannya dan ada anak yatim ikut
81 Abi Hasan Ali bin Ahmad al-Wahdi al-Nisaburi, Asbab al-Nuzul (Beirut: Dar al-Fikr,
1988), h. 95
82
Abi Ja‟far Muhammad bin Jarir al-Tabari, Tafsir al-T}abari, juz III (Beirut: Dar al-Kutub
al- „Ilmiah, 1992), h. 605
55
hadir, maka berilah mereka yang ikut hadir dari pembagian yang telah
diperolah ahli waris, dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik.
Ketiga, jika ahli waris membagi harta warisannya dan ada orang miskin
ikut hadir, maka berilah mereka yang ikut hadir dari pembagian yang
diperoleh ahli waris, dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang
baik.83
Adapun Asbab al-nuzul QS. An-Nisa ayat 176 sebagaimana
diriwayatkan oleh Ibnu Zubair dari Ibnu Jabir, bahwa Ibnu Jabir telah
bertanya kepada Rasulullah, sesungguhnya ia mempunyai tujuh saudara
perempuan, dan telah mewasiatkan kepada mereka dua pertiga dari
hartanya. Maka Rasulullah kemudian meninggalkan jabir, lalu turunlah
ayat ini.84
Menurut Abu Ja‟far al-Tabari, saudara laki-laki maupun
saudara perempuan dalam ayat di atas adalah khusus untuk saudara
sekandung atau saudara seayah.85
b. Hadits Nabi
Adapun hadits Nabi SAW yang membahas mengenai waris yaitu :
حدثنا زآراء بن عدي حدثنا محمد بن عبد الرحم
حدثنا مروان عن هاشم بن هاشم عن عامر بن سعد عن
83 Zainuddin Ali, Pelaksanaan Hukum Waris di Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), h. 34
84
Abi Hasan Ali bin Ahmad al-Wahdi al-Nisaburi, Asbab, 123.
85
Abi Ja‟far Muhammad bin Jarir al-Tabari, Tafsir al-Tabari, juz IV, 378
56
صلى الله الله عنه قال: مرضت فعادن النب أبه رض
ه وسلم فقلت ا رسىل الله ادع الل ه أن لا ردن على عل
عقب قال لعل الله رفعل ونفع بل ناسا قلت أرد أن
وإنما ل ابنة قلت أوص بالنصف قال النصف أوص
قال فأوصى بر آثر أو آ قلت فالثلث قال الثلث والثلث آثر
الناس بالثلث وجاز ذلل له
“Telah menyampaikan kepada kami Muhammad ibn
‟Abdirrahim, telah menyampaikan kepada kami Zakariyya ibn ‟Adi,
telah menyampaikan kepada kami Marwan dari Hisham ibn Hashim,
dari ‟Amir ibn Sa‟d dari ayahnya, bahwasanya ia berkata: saya sakit,
kemudian Nabi SAW menjengukku. Maka saya berkata, ya
Rasulullah berdoalah kepada Allah, semoga tidak mengembalikan
penyakitku lagi di akhir hayatku. Rasulullah berdoa, semoga Allah
mengangkat derajatmu dan kamu memberi manfaat terhadap
manusia. Saya berkata, saya hendak berwasiat, dan sesungguhnya
saya mempunyai seorang anak perempuan. Saya berkata bahwa saya
hendak berwasiat separuh (dari harta). Rasulullah bersabda, separuh
itu banyak. Saya berkata, bagaimana jika sepertiga. Rasulullah
bersabda, sepertiga. Adapun sepertiga itu banyak atau besar. Saya
berkata, manusia berwasiat sepertiga, dan Rasulullah
memperbolehkannya”.86
(HR. AlBukhari)
Hadits Rasulullah dari Huzail bin Syurahbil yang diriwayatkan oleh
Bukhari, Abu Dawud, At-Tirmizi, dan Ibn Majah. Abu Musa ditanya
tentang pembagian harta warisan seorang anak perempuan, cucu
perempuan dari anak laki-laki dan saudara perempuan. Abu Musa
berkata: “Untuk anak perempuan seperdua dan untuk saudara perempuan
86 Abu Abdillah Muhammad bin Isma‟il al-Bukhari, Sahih al-Bukhari juz 9 (Beirut: Dar al-
Afkar, tt), 274.
57
seperdua. Datanglah kepada Ibnu Mas’ud, tentu ia akan mengatakan
seperti itu pula”. Kemudian ditanyakan kepada Ibnu Mas’ud dan ia
menjawab : “Saya menetapkan atas dasar apa yang telah ditetapkan oleh
Rasulullah, yaitu untuk anak perempuan seperdua, untuk melengkapi dua
pertiga cucu seperenam, dan selebihnya adalah untuk saudara
perempuan”.87
c. Ijtihad
Masalah-masalah yang menyangkut warisan ada yang sudah
dijelaskan permasalahannya dalam Al-Qur‟an atau sunnah dengan
keterangan yang kongkret, sehingga tidak timbul macam-macam
interpretasi, bahkan mencapai ijma‟ (konsensus) di kalangan ulama dan
umat Islam. Selain dari itu masih banyak masalah warisan yang
dipersoalkan atau diperselisihkan.88
Penyebab timbulnya bermacam-
macam pendapat dan fatwa hukum dalam berbagai masalah waris ada
cukup banyak. Tetapi ada dua hal yang menjadi penyebab utamanya,
yakni:89
1) Metode dan pendekatan yang digunakan oleh ulama dalam
melakukan ijtihad berbeda
2) Kondisi masyarakat dan waktu kapan ulama melakukan ijtihad juga
berbeda.
Hal-hal tersebut itulah yang menyebabkan timbulnya berbagai
mazhab atau aliran dalam hukum fiqh Islam, termasuk hukum waris.
87 Zainuddin Ali,Pelaksanaan Hukum Waris Di Indonesia,Sinar Grafika, Jakarta, 2008, h.40.
88
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, Lentera, Jakarta, 2000, h.535.
89
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, Lentera, Jakarta, 2000, h.535.
58
Maka dengan maksud mempersatukan dan memudahkan umat Islam
dalam mencari kitab pegangan hukum Islam, Ibnu Muqqafa (wafat tahun
762 M) menyarankan Khalifah Abu Ja‟far al-Mansur agar disusun sebuah
Kitab Hukum Fiqh Islam yang lengkap berdasarkan Al-Qur‟an, Sunnah,
dan ra‟yu yang sesuai dengan keadilan dan kemaslahatan umat.90
3. PEMBAGIAN WARIS
a. Syarat Pembagian Waris
Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam pembagian warisan,
yaitu:
1) Meninggal dunianya pewaris.91
2) Hidupnya Ahli Waris.92
3) Mengetahui status kewarisan Agar seseorang dapat mewarisi harta
orang meninggal dunia, haruslah jelas hubungan antara keduanya.93
b. Rukun Pembagian Waris
Adapun beberapa rukun pembagian waris yaitu pewaris, harta warisan,
dan ahli waris. Ketiga unsur tersebut saling berkaitan, dan masing-masing
mempunyai ketentuan tersendiri. Hal ini diuraikan sebagai berikut:
1) Adanya pewaris (Al-Muwarris).94
90 Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, Lentera, Jakarta, 2000, h.535.
91
Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1993),h.28.
92
A.Rachmad Budiono, Pembaharuan Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, (Bandung :
PT.Citra Aditya Bakti, 1999), h.10.
93
A.Rachmad Budiono, Pembaharuan Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, (Bandung :
PT.Citra Aditya Bakti, 1999), h.10.
59
2) Adanya harta warisan (Al Mauuruts).95
3) Adanya ahli wwaris (Al Waarits).96
c. Tatacara Pembagian waris
Allah SWT menetapkan hak kewarisan dalam Al-Qur‟an dengan
angka yang pasti yaitu ½, ¼, 1/8, 1/3, 2/3 dan 1/6, dan menyebutkan pula
orang yang memperoleh harta warisan menurut angka-angka tersebut.
Dalam hukum Islam ahli waris yang berhak menerima kewarisan
ada dua puluh lima orang, dengan perincian lima belas orang dari pihak
laki-laki dan sepuluh orang dari pihak perempuan.97
Ahli waris dari pihak
laki-laki adalah anak laki-laki, cucu laki-laki dari anak laki-laki, bapak
,kakek, saudara laki-laki sekandung, saudara laki-laki sebapak, saudara
laki-laki seibu, anak laki-laki saudara lakilaki sekandung, anak laki-laki
saudara laki-laki sebapak, paman sekandung, paman sebapak, anak laki-
laki paman sekandung, anak laki-laki paman sebapak, suami dan laki-laki
yang telah memerdekakan hamba sahaya.
Sedangkan ahli waris dari pihak perempuan adalah anak
perempuan, cucu perempuan dari anak laki-laki, ibu, nenek pihak ayah,
94 F. Satrio Wicaksono, Hukum Waris: Cara Mudah & Tepat Membagi Harta Warisan, Visi
Media, (Jakarta, 2011), H. 6
95
Zainuddin Ali,Pelaksanaan Hukum Waris Di Indonesia,( Jakarta : Sinar Grafika, 2008),
h.46.
96
Zainuddin Ali,Pelaksanaan Hukum Waris Di Indonesia,(Jakarta : Sinar Grafika, 2008),
h.46.
97
Asrory zain Muhammad dan Mizan, 1981, Al-faraidh (Pembagian Pusaka dalam Islam),
(Surabaya : Bina Ilmu), h. 9
60
nenek pihak ibu, saudara perempuan sekandung, saudara perempuan
sebapak, saudara perempuan seibu, isteri, dan perempuan yang telah
memerdekakan hamba sahaya.
Dari lima belas ahli waris laki-laki apabila bersama-sama menjadi
ahli waris maka ahli waris yang tetap menerima bagian hanya tiga orang
yaitu : anak laki-laki, bapak dan suami. Sedangkan dari pihak perempuan
apabila bersama-sama menjadi ahli waris maka ahli waris yang tetap
menerima waris hanya lima orang yaitu, anak perempuan, cucu
perempuan dari anak laki-laki, ibu, saudara perempuan sekandung dan
isteri. Dan apabila berkumpul seluruh ahli waris, baik laki-laki maupun
perempuan maka hanya lima orang yang berhak menerima warisan yaitu
suami/isteri, anak laki-laki, anak perempuan, bapak dan ibu.
Menurut hukum kewarisan Islam besar kecilnya bagian warisan
setiap kerabat adalah berdasarkan derajat kekerabatan mereka. Oleh
karena itu, kerabat-kerabatnya lebih kuat mendapatkan bagian yang lebih
banyak. Bahkan tidak semua kerabat akan mendapatkan warisan, karena
hak-hak yang dimiliki oleh sebagian kerabat akan timbul jika terdapat
kerabat tertentu. Hal ini telah diatur secara jelas dalam al-Quran dan as-
Sunnah. Dalam hukum kewarisan Islam, sebelum harta peninggalan
dibagikan maka harta peninggalan tersebut dikeluarkan dulu yang telah
61
digunakan untuk biaya perawatan/penguburan, melunasi hutang piutang
pewaris, dan melaksanakan wasiat yang dibuat oleh pewaris.
Ada beberapa ayat dalam Al-Qur‟an yang langsung atau tidak
langsung berkenaan dengan kewarisan seperti surat an-Nisa ayat 7, 8, 11,
12, 13, 14, 33 dan 176. Dan surat al-Anfal ayat 75. Namun yang langsung
berbicara tentang furudh atau faraid (rincian bagian dalam waris) hanya
3 ayat dalam surat an-Nisa yaitu ayant 11, 12 dan 176.
62
BAB IV
ANALISIS HUKUM WARIS MENURUT MUHAMMAD SHAHRUR DALAM
TEORI BATAS DENGAN HUKUM WARIS MENURUT ISLAM
A. Muhammad Shahrur dan Teori Batas
Salah satu kontribusi baru dalam kajian fiqh kontemporer yang disumbangkan
oleh Muhammad Shahrur adalah gagasan tentang teori batas hukum. Dalam karyanya
yang sangat kontrofersial Muhammad Shahrur menegaskan bahwa teori batas
merupakan salah satu pendekatan dalam berijtihad, yang digunakan untuk mengkaji
ayat-ayat dalam al-Qur’an.
Hudud menurut Muhammad Shahrur berbeda dengan pengertian hudud dalam
pemahaman menurut mayoritas para ulama Islam, Shahrur menegaskan bahwa teori
batas merupakan salah satu pendekatan dalam berijtihad, yang digunakan dalam
mengkaji ayat-ayat ahkam (ayat-ayat yang berisi pesan hukum) dalam al-Qur’an dan
juga Muhammad Shahrur memahami bahwa hudud adalah ketentuan-ketentuan atau
hukum Allah, bukannya hukuman (sebagaimana yang di pahami oleh ulama fiqh).
Sedangkan dalam pandangan Islam, menurut Abu Ya’la hudud adalah
ancaman-ancaman yang ditetapkan Allah untuk mencegah seseorang untuk tidak
melanggar apa yang dilarang dan tidak meninggalkan apa yang diperintahkan ketika
syahwat membuatnya terlena dari ancaman siksa di akherat. Kemudian, menurut
Abdullah Al-Bustani mengemukakan bahwa arti kata had adalah pelajaran
63
(hukuman) bagi pelaku perbuatan dosa dengan sesuatu yang dapat mencegahnya dari
kebiasaan buruk dan juga berfungsi agar pihak lain agar tidak melakukan perbuatan
dosa.
Muhammad Shahrur membangun teorinya berdasarkan pengalaman dalam
dunia teknik. Latar belakang bagaimana ia menyusun teori batasnya berawal dari
kuliah yang ia berikan kepada mahasiswanya. Hal tersebut menunjukan kepada
pembaca tentang metodenya dalam mempertautkan sains modern dan teori
linguistiknya dalam menafsirkan al-Qur’an. Kemudian Muhammad Shahur
menyatakan bahwa mereka yang berpegang teguh pada pembacaan al-Qur’an masa
lalu beresiko menerjemahkan dan memahami text secara keliru.
Dalam hal ini, Muhammmad Shahrur memasukan hukum waris dalam teori
batas yang dibuat olehnya. Sedangkan dalam hukum Islam, waris dan hudud
pembahasannya sudah termuat dalam bab dalam fikih. Maka dari itu penulis
mengkaji bahwa apa yang menjadi pemikiran Shahrur selama ini khususnya dalam
buku Muhammad Shahrur itu tidak seharusnya digunakan untuk menjadi final atau
hasil akhir pemikiran kita dalam mempelajari arti dan istilah hudud atau hukum
batas. Karena pada dasarnya Muhammad Sahrur menganalisis apa yang menjadi
dasar pemikirannya itu dengan melihat perkembangan zaman yang semakin maju,
dan akan ditakutkan jika nanti ijtihad atau usaha manusia akan dibatasi dengan
hukum yang ditentukan Allah dan menjadi penghalang mereka untuk menjadi
manusia yang lebih modern.
64
Secara umum teori batas memang perlu diapresiasi dalam perkembangan
kajian fiqh kontemporer, namun pada sisi tertentu, teori ini haruslah dikaji lebih
mendalam apakah layak untuk dijadikan alternatif penyelesaian dalam permasalahan-
permasalahan hukum Islam terutama dalam permasalahan waris.
B. Hukum Waris dalam Perspektif Muhammad Shahrur
Apa yang diungkapkan Shahrur ketika menegaskan bahwa wasiat lebih utama
daripada waris, merupakan wacana yang sangat kontroversial dalam kajian
Islamic Studies. Karena itu, hal ini nampaknya perlu untuk dikaji ulang, mengingat
dalam persoalan pembagian harta pusaka Islam, para ulama lebih tertarik untuk
mengangkat waris dari pada wasiat sebagai mekanismenya.
Wacana inilah yang kemudian didekonstruksi dan rekonstruksi oleh
Shahrur dengan cara membalik relasi wasiat dan waris yang selama ini
dipahami oleh para ulama. Konsep yang digagas Shahrur ini pada dasarnya
terjadi karena beberapa alasan, pertama, ayat wasiat lebih banyak dari pada ayat
waris 10/3 secara kuantitas. Ini menandakan bahwa wasiat lebih legitimit
daripada waris itu sendiri. 10 ayat wasiat, yaitu semua perintah yang termaktub
dalam surat al-An’am ayat 151-153. Sedangkan waris hanya ada dalam Surat an-
Nisa ayat 11 dan 12.
Kedua dalam kutipan ayat terakhir pada surat an-Nisa ayat 11“min ba’di
wasiyyatin yushii bihaa aw dain” sudah secara tegas bahwa wasiat harus
didahulukan sebelum dilaksanakannya waris dan mengutamakan pelaksanaan
65
wasiat, meskipun harta yang ditinggalkan berjumlah sedikit. Seperti petikan
firman Allah dalam surat an-Nisa: mimma qalla minhu aw katsura.
Ketiga, perintah wasiat adalah wajib, karena dalam ayat wasiat didahului
dengan kata “kutiba” (diwajibkan). Dan kewajiban wasiat kadarnya melebihi dari
kewajiban sholat maupun puasa. Parameternya adalah ketika dalam keadaan
apapun wasiat harus dilakukan, sebagai contoh dalam keadaan berpergian,
semantara sholat dan puasa-dalam keadaan berpergian- mendapat rukhsoh
(keringanan).98
Keempat, dalam aplikasinya -wasiat- manusia diberikan kebebasan
membagikan harta pusaka sesuai dengan kehendaknya, tanpa adanya paksaan.
Karenanya dalam wasiat tidak ada batasan tertentu-seperti yang didengungkan para
ulama terpatok pada 1/3 sebagai batas maksimal- melainkan prosentasenya
mengikuti keinginan pewasiat sendiri berdasarkan pandangan yang terbaiknya.99
Kelima, dalam aplikasinya, wasiat bisa menciptakan keadilan yang bersifat
spesifik dalam setiap kondisi dan situasi yang berbeda dalam setiap keluarga.
Orang-orang yang mendapatkan warisan hanya mereka yang termaktub dalam ayat-
ayat waris. Sehingga jika dikaitkan dengan persoalan- persoalan spesifik yang ada
dalam realitas masyarakat, hukum waris tidak sepenuhnya bisa diaplikasikan.
98 Muhammad Shahrur, Metodelogi Fikih Islam Kontemporer, terj. Cet. Ke-2, (Yogyakarta:
eLSAQ Press, 2004) h. 325
99 Muhammad Shahrur, Metodelogi Fikih Islam Kontemporer, terj. Cet. Ke-2, (Yogyakarta:
eLSAQ Press, 2004) h. 325
66
Keenam, cakupan wilayah wasiat itu lebih luas daripada waris. Pasalnya,
terdapat sejumlah unsur yang disebut dalam ayat-ayat wasiat namun tidak disebut
dalam ayat-ayat waris. Ketujuh, sasaran wasiat tidak mendasar pada jenis
kelamin, laki-laki atau perempuan, semuanya dipandang sama. Hal ini mendasar
pada surat an-Nisa ayat 7 :
للرجال نصيب مما ترك الوالدان واألقربون وللنساء نصيب مما
ر نصيبا مفروضا كثترك الوالدان واألقربون مما قل منه أو
( ٧)النساء :
Artinya : “Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-
bapak dan kerabatnya, dan bagi perempuan ada hak bagian (pula)
dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau
banyak menurut bagian yang telah ditetapkan” (QS. an-Nisa : 7)
Sementara di sisi lain, makna al-walad dalam ayat-ayat waris dipahami hanya
sebatas anak laki-laki. Padahal maknanya jamak, anak laki-laki dan anak
perempuan. Pemahaman semacam inilah yang menyebabkan anak laki- laki
sebagai parameter terhalang atau tidaknya bagi ahli waris lainnya. Ini tentunya
bagian dari reduksi besar-besaran atas makna surat an-Nisa ayat 7.
Yusikumullahu Fi Awladikum Li Adhakari Mitsluhadzil Al-Untsayayni (Allah
mensyari’atkan bagimu tentang pembagian pusaka untuk anak-anakmu, yaitu bagian
seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan).
67
Sedangkan mayoritas ulama berpendapat, bahwa wasiat telah di- nasakh oleh
waris, baik secara menyeluruh (kulli) maupun sebagian (juz’i) dengan berbagai
alasan. Pertama, orang tua (lil walidayni) dan para kerabat (aqrobien) yang menjadi
ahli wasiat dan wajib untuk diwasiati, namun setelah turun ayat waris-dalam surat
an-Nisa ayat 7, 11, 12, 13, dan 14, maka status hukum wasiat tidak lagi wajib
dengan alasan bahwa ayat-ayat waris dianggap sebagai penjelas (mubayyin) bagian
mereka kerabat dan orang tua. Oleh karena itu jika merujuk pada disiplin ilmu
ushul fikih dan ulumul Qur’an, bahwa ayat-ayat mujmal sering kali perlu
untuk di-nasakh oleh hukum ayat yang bersifat mubayyin.100
Kedua, seperti yang dikatakan Alusy, bahwa dalam berwasiat tidak lagi
memperhatikan batas-batas yang diperkenankan sebagaimana yang diisyaratkan al-
Qur’an dalam kata bil ma’aruf. Ketiga, seperti yang dikatakan Ibnu Hazm (tokoh
Mazhab az-Zahiri), Imam Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Al-Tabari (225 H / 839
M-310 H/ 923 M :Mukasir) dan Abu Bakar bin Abdul Aziz (tokoh fiqih mazhab
Hambali) melihat bahwa status hukum wasiat masih dilabeli wajib, namun
pengertian wajib disini tiada lain hanya diberikan kepada kerabat yang
terhalang untuk mendapatkan harta warisan dalam mekanisme waris. Inilah yang
sering disebut dengan wasiat wajibah, seperti yang termaktub dalam KHI
100 Hafidz Abdurrahman, Ulmul Qur’an Praktis: Metode Memahami al-Qur’an,( Bogor: CV
IDeA Pustaka Utama, 2004), h. 221.
68
(Kompilasi Hukum Islam) pasal 209, meskipun sekarang makna wasiat wajibah
sudah mengandung pengertian khusus, yaitu anak dan orang tua angkat.101
Ketiga, pembagian harta wasiat yang hanya sebatas 1/3 sebagai batas
maksimal yang disepkati seluruh mayoritas ulama dijustifikasi sebagai hujjah yang
bersifat qath’i dalam wasiat. Aturan ini mendasar pada beberapa Hadits yang
dianggapnya shahih karena driwayatkan Imam Bukhori dan Imam Muslim.102
Persoalan ini pun kemudian dituangkan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI)
pada pasal 209 ayat 1 yang menjadi pedoman kewarisan Islam.
Berangkat dari asumsi ini, jika dihubungkan dengan potongan ayat waris
“minba’di wasiyyatin yuusibihaa.” (pembagian-pembagian tersebut di atas
sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya),
maka dapat dilihat sekilas bahwa wasiat harus didahulukan tidak lain hanyalah
seperti yang dikatakan Quraish Shihab dalam tafsirnya al- Misbah- sebatas
penyisihan harta yang tidak boleh lebih dari sepertiga, dan ditujukan bukan
kepada ahli waris.103
Bukan hal utama yang benar-benar menjadi konsep dalam
pendistribusian harta pusaka secara menyeluruh.
101 Ahmad Rofiq. Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. Grafindo Persada, 2003), h. 447
102
Ibnu Rusyd mengungkapkan hal yang sama bahwa hadits tersebut adalah shahih dari
NabiSAW1, dan ini merupakan alasan mengapa semua fuqaha melarang pemberian wasiat lebih dari
sepertiga harta bagi orang yang mempunyai ahli waris. Lihat Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, t.tp.:
Dar al-Kutub al-Islamiyah, Jilid II, 595 H, h. 251
103 M.Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, Vol.2,
(Tangerang: Lentera, 2005), h.362
69
Dari deskripsi di atas, maka penulis lebih sepakat kepada pendapat para
ulama dalam konteks pembagian harta pusaka. Penulis sepakat bahwasannya
pembagian wasiat dilakukan setelah pembayaran hutang selesai dan wasiat dibuat
pewaris kepada pihak yang berhak untuk menerimanya. Adanya ketentuan tentang
wasiat terdapat dalam surat al-Baqarah ayat 180.
Dan menurut al-Kahlaniy dalam ayat ini Allah SWT menyatakan wasiat
untuk orang tua dan kerabat yang pada umumnya adalah ahli waris sebagaimana
yang terdapat dalam surat an-Nisa ayat 11, 12 dan 176. Kemudian pelaksanaan ayat
180 surat al-Baqarah yang bersifat umum itu dibatasi oleh hadits Nabi dari Abu
Umamah menurut riwayat Ahmad yang bunyinya رثالوصية لوا yang artinya
“tidak boleh wasiat untuk ahli waris”. Dengan menyatukan pengertian hadits Nabi
dengan maksud ayat 180 surat al-Baqarah di atas dapat dipahami bahwa orang tua
dan kerabat berhak menerima wasiat bila orang tua dan kerabat itu, oleh sesuatu hal
tertentu tidak berhak menerima warisan karena terhalang atau tertutup oleh yang
lebih berhak. Dalam keadaan terhalang ini, maka yang diperolehnya adalah wasiat,
sedangkan dalam keadaan tidak terhalang yang diperolehnya adalah warisan.
Mereka tidak dapat menerima keduanya.104
Tentang batas maksimal suatu wasiat ditentukan dalam hadits Nabi dari Sa’ad
bin Waqqash menurut riwayat al-Bukhari dan Muslim yang menyatakan bahwa
104 Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media Grup,
2008), h. 283
70
wasiat tidak boleh lebih dari sepertiga, dengan pertimbangan bahwa meninggalkan
anak dalam keadaan berkecukupan lebih baik daripada meninggalkannya dalam
keadaan sengsara. Alasan Nabi dalam memberi batas sepertiga ialah agar tidak
menghilangkan atau mengurangi hak ahli waris. Dan dapat disimpulkan bahwa
batas sepertiga itu ialah sepertiga dari harta yang tinggal sesudah dikeluarkan untuk
biaya jenazah dan hutang-hutang, bukan sepertiga dari keseluruhan harta.
Muhammad Shahrur melihat bahwa ayat waris yang sudah secara rinci
dan detail, pada dasarnya hanyalah sekadar contoh penerapan pewarisan yang
dianggap relevan pada masa abad ke 7H saat itu. Karena itu sudah saatnya kita
tidak lagi mengaca pada ayat waris yang sifatnya historis tersebut. Fenomena
sekarang telah jauh berbeda, baik dari situasi dan kondisi historis, sehingga tidak
masuk akal ketika persoalan kekinian harus dihadirkan dalam wacana historis.
Untuk mengurai masalah konsep pembagian harta warisan, Shahrur
memulainya dengan memahami surat an-Nisa ayat 11 yang berbunyi “li adh-
dhakari mitslu hadzi al-untsayayni” yang dianggapnya sebagai prinsip pertama
dalam pembagian harta warisan. Dimana, perempuan menjadi dasar atau titik tolak
dalam penentuan masing-masing pihak.
Adapun untuk memahami hukum dan pembagian harta warisan, Shahrur
menggambarkan sebuah persamaan yaitu Y = f (x), dimana Y merupakan variabel
pengikut simbol untuk laki-laki dan X sebagai variabel pengubah untuk simbol
perempuan. Konsep seperti ini dapat diaplikasikan pada surat an-Nisa ayat 11, yang
71
artinya bahwa jumlah ahli waris perempuan tidak hanya terbatas pada dua person
aja, tapi bisa lebih dan perempuan menjadi penentu laki-laki. Dan melihat ayat ini
juga, Shahrur memperhatikan dua hal yang dapat dipahaminya. Pertama, jumlah
perempuan berubah dan berganti. Kedua, jatah laki-laki tidak mencapai dua kali
lipat jatah perempuan.
Perihal kasus waris, secara sederhana Shahrur membedahnya dalam surat an-
Nisa ayat 11 pada kalimat keempat yang mengandung 3 kasus, pertama “wa in
kanat wahidatan fa laha an-nisfu” (Dan jika perempuan adalah sendiri, maka
bagiannya separuh), kedua “li adh-dhakari mitslu hazzi untsayayni” (Bagi anak
laki-laki sama dengan bagian kedua anak perempuan), ketiga “fa in kunna nisa’an
fawqa its natayni fa lahunna tsulusa ma taroka” (jika mereka perempuan itu lebih
dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta).
Untuk memecahkan masalah di atas Shahrur menggunakan rumus seperti ini,
dimana F disimbolkan untuk perempuan dan laki-laki dengan huruf M. Pada kasus
pertama, rumus yang digunakan Shahrur adalah F/M = 1, yang hasilnya adalah
jumlah perempuan sama dengan jumlah laki-laki. Kasus kedua, dirumuskan dengan
F/M = 2 dengan hasil jumlah perempuan dua kali jumlah laki-laki. Dan kasus
ketiga, dirumuskan dengan F/M > 2 dimana jumlah perempuan lebih besar dai dua
kali jumlah laki laki.
Inilah yang menjadi pemahaman Shahrur yang dianggap sebagai kaidah waris
yang ditetapkan oleh Allah yang disebut dengan hudud Allah, yaitu batas minimal
72
dan maksimal yang disebutkan juga dalam ayat yang lain dalam pembagian harta
warisan.
Waris dalam hukum Islam sudah dijelaskan dalam Al-Qur’an atau sunnah
dengan keterangan yang kongkret, sehingga tidak timbul macam-macam interpretasi,
bahkan mencapai ijma’ (konsensus) di kalangan ulama dan umat Islam. Dalam hal
ini sudah ada buku yang menjelaskan tentang Hukum Fiqh Islam yang lengkap
berdasarkan Al-Qur’an, Sunnah, dan ra’yu yang sesuai dengan keadilan dan
kemaslahatan umat.
Berikut penulis paparkan antara pemikiran Muhammad Shahrur dengan
hukum Islam dalam hukum waris, yaitu :
Pertama, anak laki-laki, sebagaimana firman Allah SWT dalam surat an-Nisa
ayat 11 yang artinya “Allah mewasiatkan (mensyariatkan) bagimu tentang
(pembagian waris untuk) anak-anakmu. Yaitu, bagian seorang anak laki-laki sama
dengan bagian dua orang anak perempuan…”. Pada ayat ini Allah memulainya
dengan anak laki-laki karena anak laki-laki menjadi pelanjut keturunan dan
penanggung jawab keluarga, termasuk didahulukan daripada ayah. Hal tersebut
dilakukan karena anak laki-laki merupakan furu’ (keturunan) si mayit, di mana
hubungan furu’ dengan asalnya lebih utama ketimbang hubungan asal dengan
furu’nya. Selain itu, ayat ini juga menjelaskan bahwa bagian anak laki-laki apabila
bersama anak perempuan ialah dua kali lipat bagian anak perempuan.
73
Kedua, pembagian waris untuk anak perempuan baik yang berjumlah 2 orang
atau lebih dari dua anak perempuan menurut Muhammad Shahrur bagiannya adalah
2/3, dimana perinciannya sebagai berikut: satu laki-laki mendapat bagian 1/3 dan
dua perempuan mendapat 2/3, serta bagian untuk dua laki-laki sebesar 1/3 dan
bagian untuk lima perempuan sebesar 2/3. Namun, mayoritas para ulama
berpendapat bahwasannya bagian untuk dua anak perempuan atau lebih dengan
tidak adanya anak laki-laki, maka pembagiannya 2/3 dari harta yang dibagikan.
Ketiga, Muhammad Shahrur mengatakan bahwasannya sudah saatnya kita
tidak lagi mengaca pada ayat waris yang sifatnya historis, dikarenakan
fenomena sekarang telah jauh berbeda baik dari situasi dan kondisi historis. Dalam
hal ini penulis tidak sependapat dengan ungkapan Muhammad Shahrur di atas,
dikarenakan hukum tentang waris maupun pembagiannya sudahlah sangat jelas.
ayat waris 11 dan ayat 12 pada surat an-Nisa sudah menjelaskan secara
terperinci hak masing-masing ahli waris secara individual menurut bagian
tertentu dan pasti. Hal itu disebutkan pula oleh para ulama bahwasanya ayat
tersebut merupakan ayat qath’I dimana penjelasan mengenai bagian dan
penetapan waris yang diterangkan dalam Qs. An-Nisa ayat 11 dan 12
merupakan jelas dalam artian sebenarnya dan juga tidak dapat ditafsirkan
dengan pengertian lainnya.105
Dan juga pembagian secara individual ini adalah
ketentuan yang mengikat dan wajib dijalankan oleh setiap Muslim dengan
105
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Semarang:Dina Utama, 1994), h. 36
74
sanksi berat di akhirat bagi yang melanggarnya sebagaimana yang dinyatakan
Allah dalam surat an-Nisa ayat 13 dan 14.
Oleh karena itu penulis juga tidak sependapat dengan pernyataan Shahrur
dalam hal dimana perempuan menjadi dasar atau titik tolak dalam penentuan
masing-masing pihak. Ayat di atas sudah sangat jelas maknanya.
75
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Bedasarkan dari kajian dan pembahasan mengenai Teori Batas Hukum
Islam: Studi Terhadap Pemikiran Muhammad Shahrur Dalam Hukum Waris dapat
disimpulkan menjadi beberapa poin. Pertama, tentang latar belakang dari
pemikiran Muhammad Shahrur dalam membangun teori batasnya, berdasarkan
pengalaman dalam dunia teknik. Latar belakang bagaimana ia menyusun teori
batasnya berawal dari kuliah yang ia berikan kepada mahasiswanya. Hal tersebut
menunjukan kepada pembaca tentang metodenya dalam mempertautkan sains
modern dan teori linguistiknya dalam menafsirkan al-Qur’an. Kemudian
Muhammad Shahur menyatakan bahwa mereka yang berpegang teguh pada
pembacaan al-Qur’an masa lalu beresiko menerjemahkan dan memahami text
secara keliru.
Kedua, pemikiran Muhammad Shahrur dalam hukum waris. Penjelasan
yang diuraikan dalam ayat waris tersebut meliputi pembagian waris bagi anak-
anak ke bawah (al-furu’ mahma nazalu), orang tua ke atas (al-usul mahma ‘alau),
suami isteri, saudara, maupun perihal orang meninggal (al-kalalah), yaitu tidak
meninggalkan al-furu’ dan al-usul. Adapun batasan-batasan dalam hukum waris
sebagai berikut:
76
1. Batas pertama hukum waris: li adh-dhakari mithlu hazzi al untsayayni.106
Batasan ini merupakan batas hukum yang mebatasi jatah-jatah atau
bagian-bagian (huzuz) bagi anak-anak si mayit jika mereka terdiri dari
seorang laki-laki dan dua anak perempuan. Dalam hal ini dapat
diterapkan bagi segala kasus, dimana jumlah anak perempuan dua kali
lipat dari jumlah anak laki-laki.
2. Batas Kedua Hukum Waris: Fa in kunna nisaa an fawqa ithnatayni.107
Batas hukum ini membatasi jatah warisan anak-anak jika mereka
terdiri dari seorang laki-laki dan tiga perempuan dan selebihnya
(3,4,5,..dst). satu anak laki-laki ditambah lebih dari dua anak
perempuan, maka bagi laki-laki mendapat sepertiga (1/3) dan bagi
pihak perempuan mendapat bagian duapertiga (2/3) berapa pun jumlah
mereka (di atas dua). Batasan ini berlaku pdada seluruh kondisi ketika
jumlah perempuan lebih dari dua kali jumlah laki-laki.
3. Batas ketiga hukum waris: wa in kanat wahidatan fa laha an-nisfu.108
Batas hukum ketiga ini membatasi jatah warisan anak-anak dalam
kondisi ketika jumlah pihak laki-laki sama dengan jumlah pihak
perempuan.
106
Muhammad Shahrur, Metodologi Fiqh Islam Kontemporer, terj. Sahiron Syamsudin dan
Burhanudin, h. 340. 107
Muhammad Shahrur, Metodologi Fiqh Islam Kontemporer, terj. Sahiron Syamsudin dan
Burhanudin, h. 340. 108
Muhammad Shahrur, Metodologi Fiqh Islam Kontemporer, terj. Sahiron Syamsudin dan
Burhanudin, h. 340.
77
Tiga hal tersebut di atas adalah tiga batasan hukum yang ditetapkan
Allah untuk pembagian harta warisa dan tidak keluar dari batasan dalam
ayat-ayat waris. Berbagai problem yang membingungkan para ahli fiqh
yang menyebabkan mereka terbagi dalam berbagai majhab fiqh dalam
menetukan problematika berikut: pertama, problematika radd dan awl.
Kedua, problematika superioritas laki-laki dan problem bahwa anak
perempuan tidak bisa menjadi hajib (penghalang ahli waris lain dari
menerima harta warisan). Ketiga, problematika jumlah perempuan di
atas dua. Keempat, problematika 1/3 sisa harta dan ½ sisa harta, hendak
diberikan kepada siapa dan kemana perginya telah teruraikan pada
batas-batas hukum di atas.109
Ketiga, pemikiran teori batas Muhammad Shahrur apakah mampu untuk
menjembatani permasalahan waris yang terjadi secara tekstual dan kontekstual?
Berkenaan dengan pembacaan al-Qur’an secara tekstual dan kontekstual, Shahrur
adalah tokoh pemikiran Islam yang memadukan kedua kategori tersebut.
Perpaduan itu, salah satunya di lakukan Shahrur melalui teori hududnya. Teori
hudud yang di gagas Shahrur selalu merujuk kepada teks al-Kitab, untuk
dikontektualisasikan dalam kontek kekinian atau modern.
Pendekatan tekstual yang dilakukan oleh Shahrur melalui teori hududnya,
sangat berbeda dengan logikan mainstream yang selama ini berkembang di
109
Muhammad Shahrur, Metodologi Fiqh Islam Kontemporer, terj. Sahiron Syamsudin dan
Burhanudin, h. 363.
78
kalangan kaum tekstualis, khususnya dengan nash al-Qur’an yang berkaitan
dengan masalah-masalah hukum. Bagi Shahrur, ayat-ayat hukum dalam al-Qur’an
bersifat hududiyyah, dengan pengertian Allah satu-satunya hakim yang berhak
menentukan batas-batas hukum, tetapi manusia diberikan kebebasan berijtihad
dalam menentukan batas-batas hukum Allah sesuai dengan kondisi tertentu,
misalnya ketika Allah mengharamkan untuk makan daging babi bagi umat
Islam, namun pada kondisi darurat mereka diperbolehkan memakannya.
Akan tetapi teori ini harus dianalisis secara mendalam terutama dalam
implementasinya dalam hukum waris yang sudah di tentukan pembagiannya oleh
Allah SWT. Apakah teori ini mampu menyelesaikan permasalahan yang ada
dalam persoalan pembagian waris atau bahkan menambah masalah dalam hukum
waris itu sendiri. Secara umum teori batas memang perlu diapresiasi dalam
perkembangan kajian fiqih kontemporer, namun pada sisi tertentu, teori ini
haruslah dikaji lebih mendalam apakah layak untuk dijadikan alternatif
penyelesaian dalam permasalahan-permasalahan hukum Islam terutama dalam
permasalahan waris.
Penulis beranggapan bahwa Muhammad Shahrur belum bisa
menjembatani permasalahan tekstual dan kontekstual yang terjadi, ditambah
adanya kelemahan Muhammad Shahrur dalam menentukan sebuah hukum,
dimana beliau hanya melakukan kajian Al-Qur’an tanpa menggunakan hadist.
79
Hadist berkedudukan sebagai sumber hukum islam yang kedua setelah Al-
Qur’an. Adanya hadist berfungsi sebagai penjelas ayat-ayat Al-Qur’an.
B. Saran
Untuk melengkapi skripsi ini dengan segala kerendahan hati penulis
mengemukakan saran dengan harapan bermanfaat bagi pembangunan konsep
kewarisan di masa mendatang dan umat Islam hendaknya mengkaji lebih dalam
lagi tentang hukum waris sesuai dengan al-Qur’an dan as-Sunnah. Tidak mudah
terdoktrin dengan pemahaman-pemahaman waris yang baru.
81
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, M. Amin, Paradigma Alternatif Pengembangan Ushul Fiqh dan dampaknya
pada Fiqh Kontemporer, dalam Ainurrofiq (ed.), “Mazhab Yogya;
Menggagas Paradigma Ushul Fiqh Kontemporer”, (Yogyakarta: Ar-Ruz,
2002)
Abdurrahman, Hafidz, Ulmul Qur’an Praktis: Metode Memahami al-Qur’an,( Bogor:
CV IDeA Pustaka Utama, 2004)
Ali, Zainuddin, Pelaksanaan Hukum Waris di Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika, 2008)
Anderson, J.N.D., Hukum Islam di Dunia Modern, terj, (Yogyakarta: Tiara Wacana,
1994)
Anshori, Abdul Ghofur, Filsafat Hukum Kewarisan Islam Konsep Kewarisan Bilateral
Hazairin, (Yogyakarta:UII Press, 2005)
Audah, Abdul Qadir, Al-Tasyri’ Al-Jina’i Al-Islami.
Budiono, A. Rachmat, Pembaharuan Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, (Bandung
: PT. Citra Aditya Bakti, 1999)
Burhanuddin, artikulasi teori batas (nazariyyah alhudud) Muhammad Shahrur dalam
pengembangan epistemologi islam di indonesia, editor sohiron syamsuddin,
dkk, hermeneutika al-Quran mazha yogya, (yogyakarta: islamik, 2003)
Bukhari, Al, Abu Abdillah Muhammad bin Isma’il, Sahih al-Bukhari, juz 9, (Beirut:
Dar al-Afkar, tt)
82
Clark, Peter, The Shahrur Phenomenom…, hal.337
Firdaus, Muhammad, Dialektika Kosmos dan Manusia, Dasar- Dasar Epistmologi
Qur’ani, terjemahan. Bab dua dari Al-kitab Wa Al-qur’an ; Qira’at Mu’asirah,
(Bandung: Nuansa Cendikia, 2004)
Hidayat, Komaruddin, Tragedi Raja Midas; Moralitas Agama dan Krisis Modernisme,
(Jakarta: Paramadina, 1999)
Ismail, Ahmad Syarqawi, Rekontruksi Konsep Wahyu Muhammad Shahrur
(Yogyakarta: eLSAQ Press, 2003)
Jurjani, Al, Ali Bin Muhammad, Kitab Al- Ta’rifat , (jakarta: Dar Al-Hikmah)
Khalaf, Abdul Wahhab, Kaidah-kaidah Hukum Islam; (Ilmu Ushul Fiqih), Cet. Ke- 6,
(Jakarta: Rajawali Pres, 1996)
Mughniyah, Muhammad Jawad, Fiqih Lima Mazhab, (Jakarta: Lentera, 2000)
M. Wahyu Nafis dkk. (ed.), Kontekstualisasi Ajaran Islam; 70 Tahun Prof. Dr. H.
Munawir
Mustaqim, Abdul, Mempertimbangkan Metodologi Muhammad Shahrur, Dalam
Shohiron Syamsuddin,dkk, (ed), Hermeneutika al-Qur’an Mazhab Yogya,
(Yogyakarta: Islamika, 2003)
Mustaqim, Abdul, Epistemologi Tafsir Kontemporer, (Yogyakarta : PT. LKis Printing
Cemerlang, 2010)
Muhammad, Asrory zain, dan Mizan, Al-faraidh (Pembagian Pusaka dalam Islam),
(Surabaya : Bina Ilmu, 1981)
83
Nawawi, Al, Muhyiddin Abu Zakaria Yahya bin Syaraf, Al-Majmu’ Syarh Al-
Muhadzdzab, Jilid XVIII, (Mesir Mathba’ah Al-Ahram)
Nisaburi, Al, Abi Hasan Ali bin Ahmad al-Wahdi, Asbab al-Nuzul, (Beirut: Dar al-Fikr,
1988)
Prawirohamidjojo, R. Soetojo, Hukum Waris Kodifikasi,( Surabaya : Airlangga
University Press)
Prawirohamidjojo, R. Soetojo, Pluralisme dalam Perundang-undangan Perkawinan di
Indonesia, (Airlangga University Press, 1988)
Rifai, Moh, Ilmu Fiqih Islam, ( Semarang : CV Toha Putra, 1978)
Rofiq, Ahmad, Hukum Islam di Indonesia,( Jakarta : PT Raja GrafindoPersada, 1995)
Rofiq, Ahmad, Fiqh Mawaris, (Jakarta : PT Raja GrafindoPersada, 2002)
Rusyd, Ibnu, Bidayatul Mujtahid, t.tp.: Dar al-Kutub al-Islamiyah, Jilid II, 595 H
Sabiq, sayyid, Fiqh Sunnah, Terj. Nor Hasanuddin, (Jakarta: Pena Pundi Aksara,
2006)
Sadzali, MA,. (Jakarta: paramadina, 1995)
Shahrur, Muhammad, Metodologi Fiqih Islam Kontemporer, terj. Cet. Ke-2,
(Yogyakarta: eLSAQ Press, 2004)
84
Shahrur, Muhammad, Al-Kitab Wa Al-Qur’an: Qira’ah Mu’asirah, (Damaskus: Al-
Ahali li al- Tiba’ah Wa al- Nasyr, 1999)
Shahrur, Muhammad, Islam dan Konferensi Dunia Untuk Perempuan, dalam Charles
Kurzman (ed), Wacana Islam Liberal, Pemikiran Islam kontemporer tentang
isu-isu Global, terjemahan Bahrul Ulum, (Jakarta: Paramadina, 2001)
Shahrur, Muhammad, Islam dan Iman, Aturan-aturan Pokok, Rekontruksi
Epistemologis Rukun Islam dan Rukun Iman, terjemahan. Al-Islam wa al-
Iman; Manzhumah al-Qiyam (Yogyakarta: 2015)
Shahrur, Muhammad, Nahw Ushul Jadidah Li al Fikihi al Islam, (Damaskus: Alhalali,
2000)
Shihab, M.Quraish, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, Vol.2,
(Tangerang: Lentera, 2005)
Syarifuddin, Amir, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media Grup,
2008)
Shabuni, Ash, Muhammad Ali, Pembagian Waris Menurut Islam, (Jakarta : Gema
Insani Press, 1995)
Tabari, Al, Abi Ja’far Muhammad bin Jarir, Tafsir al-Tabari, juz III, (Beirut: Dar al-
Kutub al- ‘Ilmiah, 1992)
Wicaksono, F. Satrio, Hukum Waris: Cara Mudah & Tepat Membagi Harta Warisan,
(Jakarta : Visi Media, 2011)
Ya’la, Abu, Al-Ahkam Al-Sulthaniyah, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 1983)