15
TEOLOGI PEMBEBASAN: “Sebuah pengalaman iman, cinta, dan harapan dalam solidaritas dengan mereka yang miskin dan tertindas” Tugas Mata Kuliah Sejarah Doktrin Gereja Oleh: Andry Kurniawan, Hubertus (FT. 3147) Anggoro Ratri, Vincentius (FT. 3148) Didik Susanto, Isidorus (FT. 3156) FAKULTAS TEOLOGI

Teo Pembebasan

Embed Size (px)

Citation preview

TEOLOGI PEMBEBASAN:

“Sebuah pengalaman iman, cinta, dan harapan

dalam solidaritas dengan mereka yang miskin dan tertindas”

Tugas Mata Kuliah Sejarah Doktrin Gereja

Oleh:

Andry Kurniawan, Hubertus (FT. 3147)

Anggoro Ratri, Vincentius (FT. 3148)

Didik Susanto, Isidorus (FT. 3156)

FAKULTAS TEOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

2012

TEOLOGI PEMBEBASAN:

“Sebuah pengalaman iman, cinta, dan harapan

dalam solidaritas dengan mereka yang miskin dan tertindas”

1. Pengantar

Sejak pertengahan abad ke-20, mulailah bertiup angin baru lagi dalam teologi, dan angin baru

itu bertiup kencang di luar Eropa Barat. Apa yang dimaksudkan ialah gejala majemuk yang

diistilahkan sebagai “teologi pembebasan.” Oleh karena relatif baru dan masih muda, Teologi

Pembebasan memang cukup sulit untuk dinilai sebagaimana mestinya. Teologi Pembebasan belum

mantap dan stabil, serta agak simpang siur.

Akan tetapi, Teologi Pembebasan merupakan teologi yang paling banyak dibicarakan, dikritik,

dan diagung-agungkan pada akhir-akhir ini. Selain itu, Teologi Pembebasan juga merupakan teologi

yang paling sulit untuk dimengerti. Timbul pertanyaan apakah “teologi” itu benar-benar teologi

dengan arti sempit atau terlebih “pastoral” (teologi pastoral), ataupun suatu “spiritualitas” tertentu.

Dalam tulisan ini, kelompok hendak meninjau gebrakan baru dalam teologi dengan nama

Teologi Pembebasan ini, konteks zaman, unsur-unsur pokoknya, dan sumbangannya bagi ilmu

teologi dan perkembangan doktrin Gereja.

2. Konteks Zaman

Teologi Pembebasan lahir di akhir tahun enam puluhan di Amerika Latin. Penduduknya

mayoritas beragama Kristen-Katolik. Mereka menjadi kelompok sosial yang amat kuat dan

masyarakat merupakan suatu kesatuan, tak terpisahkan. Meskipun dalam agama terdapat banyak

unsur dari agama pra-Kristen dan tercampur dengan takhayul, namun rakyat Amerika Latin benar-

benar beriman Kristen. Namun justru di sana merajalela ketidakadilan dan penindasan, berarti dalam

rangka umat Kristen sendiri. Hampir 70 % penduduk Amerika latin saat itu hidup dalam kekurangan,

miskin dan terinjak-injak hak asasinya.

Teologi Pembebasan muncul di kawasan Amerika Latin sebagai respon atas kondisi sosial,

ekonomi dan politik saat itu. Sejak tahun 1950-an negara-negara kawasan Amerika Latin ini

melakukan proses industrialisasi di bawah arahan modal multinasional. Namun karena

1

mementingkan pertumbuhan ekonomi, industrialisasi telah menciptakan kesenjangan sosial yang

begitu tajam. Urbanisasi meningkat tajam. Kaum proletar –kelas buruh– tumbuh dengan cepat.

Inflasi melambung, biaya hidup membubung. Ketidakpuasan meluas. Situasi politik menjadi tegang

dan labil. Kudeta terjadi di mana-mana dan membuahkan pemerintahan diktator militer.

Pada saat yang sama, otoritas Gereja Katolik mulai terbuka terhadap perubahan dan

pandangan-pandangan dari luar1. Pada waktu itu, gereja katolik sedang merombak dan membaharui

diri, sesuai dengan ajaran Konsili Vatikan II. Sebagaimana halnya gereja, teologi pun harus ber

aggiornamento, memperbaharui diri, terjun ke dalam tanda-tanda zaman dan mendasarkan

refleksinya pada tanda-tanda zaman itu.

Pemahaman Teologi Barat (Eropa) yang bersifat transendental dan rasional, yang berkutat

dalam upaya memahami Tuhan dan iman secara rasional2, menurut para uskup Amerika Latin

menimbulkan kemandekan berpikir, bertindak, dan menjauhkan gereja dari masalah-masalah

kongkret. Teologi Barat, dianggap hanya sibuk mengkotbahkan ajaran Yesus sejauh menyangkut

hidup pribadi, mengimbau orang agar tetap bertahan dan sabar menghadapi penderitaan, menghibur

kaum miskin dan tertindas dengan iming-iming surga setelah kematian.

Menurut mereka, gereja harus secara nyata melibatkan diri dan berpihak pada rakyat yang tak

berdaya. Agama dan teologi, lanjut mereka, tak boleh meninabobokan umat beriman, melainkan

harus memberikan dorongan kepada rakyat untuk melakukan perubahan. Rakyat harus disadarkan

bahwa penderitaan, kemiskinan, dan keterbelakangan bukan nasib turunan, melainkan buah dari

struktur sosial-ekonomi-politik yang berlaku.

Sesuai dengan semangat pembaharuan, para uskup Amerika Latin dalam konferensi di

Medellin, Kolumbia 1968, melihat bahwa di Amerika latin, tanda-tanda zaman seperti dimaksudkan

Konsili vatikan II adalah penderitaan dan nasib kaum miskin, yang menjadi mayoritas penduduk

Amerika Latin, dan kerinduan mereka akan pembebasannya. Konferensi di Medellin dengan tegas

menyatakan bahwa Tuhan dan rencana keselamatan-Nya tak bisa lagi dilepaskan dari kenyataan

sosial di Amerika latin itu3.

Teologi itu memang cocok dengan situasi di sana, situasi sosio-politis-ekonomis. Di Amerika

Latin, teologi itu menjadi teologi pembebasan dengan mengembangkan lebih lanjut pendekatan

itu.Tokoh utama ialah: Gustavo Guitierrez (Peru), Hugo Assmann (Brasil), Segundo Galilea,

Ronaldo Munoz, John Sobrino (El-Salvador), Juan Louise Segundo (Uruguay), Leonardo Boff.

1 Michael Lowy, Teologi Pembebasan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1999, 40.2 Bdk. F. Wahono Nitiprawiro, Teologi Pembebasan, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1987, 19.3 G.P Sindhunata, “Teologi Pembebasan”, Basis 51 (2002) 9.

2

3. Unsur-unsur Pokok Teologi Pembebasan

3.1. Istilah Pembebasan dan Teologi Pembebasan

Bagi para teolog pembebasan, istilah “pembebasan” adalah istilah yang kaya dan kompleks.

Hampir semua teolog pembebasan memberi arti yang utuh dan integral terhadap istilah

“pembebasan” kecuali L. Boff yang memberi definisi yang agak kurus. Dalam matriks

“pembebasan”, ada tiga macam pembebasan yang berkaitan satu sama lain4:

a. Pembebasan dari belenggu penindasan ekonomi, sosial, dan politik (Gutierrez) atau alienasi

kultural (Galilea) atau kemiskinan dan ketidakadilan (Munoz).

b. Pembebasan dari kekerasan yang melembaga yang menghalangi terciptanya manusia baru

dan digairahkannya solidaritas antar-manusia (Gutierrez) atau lingkaran setan kekerasan yang

menantang orang untuk berperan serta dalam kematian Kristus (Galilea) atau praktik-praktik

yang menentang usaha pemanusiaan manusia sebagai tindakan pembebasan Tuhan (Munoz).

c. Pembebasan dari dosa yang memungkinkan manusia masuk dalam persekutuan dengan

Tuhan dan semua manusia (Gutierrez) atau pembebasan spiritual menuju pemenuhan Kerajaan

Allah (Munoz) atau pembebasan mental, yakni penerjemahan dan penginkarnasian iman dan

cinta dalam sejarah yang konkret yang ditandai oleh salib Kristus sebagai salib cinta yang

mengalahkan kuasa dosa yang terjelma dalam situasi kekerasan (Galilea)

Sedangkan Boff mendefinisikan pembebasan sebagai sebuah proses menuju ke kemerdekaan.

Proses pembebasan ini dapat dibagi ke dalam bentuk: pembebasan dari segala sistem yang menindas

dan pembebasan untuk realisasi pribadi manusia, yang memungkinkan manusia untuk menentukan

bagi dirinya sendiri tujuan-tujuan hidup politis, ekonomis, dan kulturalnya5. Yang hilang dari

rumusan Boff adalah unsur pembebasan yang ketiga yaitu pembebasan dari dosa untuk merajut

kembali persekutuan dengan Tuhan dan sesama.

Dari pendefinisian istilah “pembebasan”, maka Teologi Pembebasan dapat didefinisikan

sebagai berikut6: (a) Menurut Gutierrez, teologi pembebasan sebagai “refleksi kritis atas praksis

Kristiani dalam terang Sabda…”; (b) Hugo Assmann merumuskan teologi pembebasan sebagai

“refleksi kritis atas proses sejarah pembebasan dalam arti iman yang muncul dari tindakan”; (c)

Segundo Galilea merumuskan teologi pembebasan sebagai “refleksi atas pengalaman iman yang

4 F. Wahono Nitiprawiro, Teologi Pembebasan, 16.5 Leonardo Boff, “Salvation in Jesus Christ and the Process of Liberation”, dalam Concilium 96, New York, Herder and Herder, 78 sebagaimana dikutip oleh Wahono Nitiprawiro, Teologi Pembebasan, 17.6 Bdk. Wahono Nitiprawiro, Teologi Pembebasan, 17-18.

3

konkret yang dihidupi oleh orang-orang Kristen baik sebagai individu-individu maupun sebagai

komunitas dalam situasi dewasa ini, situasi Amerika Latin, dengan kerlingan untuk mempromosikan

evangelisasi”.

Unsur-unsur yang ada pada ketiga definisi ini adalah unsur refleksi kritis atas iman. Iman yang

dihayati dalam konteks sejarah konkret Amerika Latin. Iman yang dalam penghayatannya dibimbing

oleh wahyu Tuhan baik dalam bentuk verbal maupun dalam bentuk “tanda-tanda zaman”. Refleksi

itu tidak mandeg untuk dirinya sendiri, melainkan ia merupakan refleksi untuk evangelisasi,

transformasi, dan yang terpenting untuk pembebasan manusia seutuhnya.

3.2. Maksud Teologi Pembebasan

Teologi pembebasan di Amerika latin adalah teologi yang tidak terpisahkan dari kaum miskin,

dan mau tidak mau harus berkenan dengan pembebasan kaum miskin dari ketertindasannya7. Dalam

Teologi Pembebasan, teologi berarti “suatu refleksi dalam iman dan tentang iman sebagai praksis

yang membebaskan”8.

Pertanyaan pokok (status questionis) yang diajukan oleh teologi pembebasan, menurut

Gutierrez, ialah: bagaimana mewartakan kepada orang-orang, yang hampir tidak dapat disebut

“manusiawi”, bahwa Allah itu cinta kasih, dan bahwa cinta kasih Allah menghimpun mereka

menjadi satu keluarga9. Teologi pembebasan hendak menunjukkan bahwa Allah dan kerajaan-Nya

tidak lagi ditemukan hanya dalam jiwa manusia melainkan dalam hidup manusia dalam relasinya

satu sama lain dan dalam masyarakat yang menyejarah. Teologi pembebasan adalah teologi yang

ingin memandang serius sejarah manusia dan pertanggungjawaban manusia di dalamnya10.

Sebagai moment, teologi pembebasan datang sesudah praksis pembebasan sendiri. Sebelum

teologi pembebasan lahir, umat Amerika Latin telah mengenal dan menjalankan “praksis

pembebasan”. Dalam praksis pembebasan tersebut, Gereja Amerika Latin dipandang sebagai umat

Allah yang memperjuangkan dan merindukan pembebasan Ini berarti, teologi pembebasan

“hanyalah” teologi dari gereja yang sudah mempraktikkan pembebasan, yang memilih solider

dengan kaum miskin dan mengutamakannya. Teologi pembebasan bisa mengenai kaum miskin

karena di Amerika Latin, praksis pembebasan tak lain dan tak bukan adalah praksis pembebasan

kaum miskin, yang menjadi mayoritas penduduk di sana11.

7 G.P Sindhunata, “Teologi Pembebasan”, 8.8 G.Gutierrez, Fe cristina y cambio social en America Latina, 244, sebagaimana dikutip oleh Dr.R.Hardawiryana, SJ, dalam “Teologi Pembebasan dalam konteks teologi-teologi masa kini”, Orientasi 15 (1983) 73.9 R. Hardawiryana, “Teologi Pembebasan dalam konteks teologi-teologi masa kini”, Orientasi 15 (1983) 73.10 G.P Sindhunata, “Teologi Pembebasan”, 9.11 G.P Sindhunata, “Teologi Pembebasan”, 9.

4

3.3. Metode yang digunakan

Teologi pembebasan merupakan suatu metode khusus berteologi. Karena itu teologi itu

menyangkut semua tema, yang didekati secara khusus, seperti tentang Allah, Kristus, Gereja,

sakramen, dan manusia. Metode itu berpusatkan praksis pembebasan, yang bertitik tolak pada

ketegangan antara “penindasan-pembebasan menyeluruh.” Semua tema disoroti dari segi itu. Teologi

pembebasan mengutamakan “praksis” dari “teori” (= teologi ilmiah). Ilmu, termasuk ilmu teologi,

sebaiknya “pragmatik.” Praksis menjadi ukuran kebenaran teori (teologi). Tidak ada ilmu yang

“netral,” objektif, dan bebas dari nilai-nilai. Ilmu adalah “benar,” kapan dan sejauh mencetuskan

praksis yang sesuai.

Karena itu teologi pembebasan mau mendasarkan diri pada praksis, yaitu pengalaman dan

praksis umat beriman, khususnya mereka yang tidak berdaya, miskin secara sosio-politis dan

ekonomis (opsi untuk orang miskin). Pengalaman itu menjadi locus theologicus khusus dan amat

penting.

Menurut Sobrino, substansi pokok teologi pembebasan adalah Kitab Suci dan tradisi. Kitab

Suci dan tradisi adalah deposito iman yang senantiasa dijadikan kriterium dan regulasi untuk

menangkap dan menafsirkan kehadiran Tuhan dalam kenyataan dan realitas aktual12. Supaya orang

tidak jatuh dalam penyederhanaan seakan kehadiran Tuhan begitu saja dibaca dalam suatu realitas

sosial, diperlukan suatu hermeneutika baru yang bisa membantu untuk menafsirkan Kitab Suci dan

tradisi secara baru, agar orang dapat menangkap tanda-tanda zaman dan tanda-tanda keselamatan

dalam suatu realitas sosial. Selain itu, orang harus berani menganalisa realitas sosial dengan metode

dan cara yang tajam dan mengena, sampai ia dapat menemukan gerak dan dinamika pembebasan

yang hidup dan relevan. Pada pihak inilah, teologi pembebasan menggunakan analisis marxis13.

Era 60-an dan awal 70-an, praksis pembebasan di Amerika latin sangat diwarnai dengan

pendekatan dan inspirasi marxis. Karena pengalaman pahit akan penindasan dan ketidakadilan sistem

kapitalis, mereka mencita-citakan terbentuknya suatu masyarakat sosialis. Konteks ini, mau tidak

mau berimbas pada teologi pembebasan. Teologi pembebasan memang menggunakan marxisme,

sejauh marxisme membantu analisa mereka. Yang dimaksudkan disini adalah teori analisis ilmiah,

yang dikembangkan berdasarkan ajaran marx tentang materialisme historis. Dengan materialisme

historis, orang dibantu untuk memahami dengan tajam dan rasional perbedaan kaya dan miskin yang

membuahkan ketidakadilan, lalu memahami dialektika dalam masyarakat tersebut, yang kemudian

membawa pada pemahaman praksis pembebasan yang bisa dipertanggungjawabkan secara moral.

12 G.P Sindhunata, “Teologi Pembebasan”, 10.13 G.P Sindhunata, “Teologi Pembebasan”, 10.

5

Materialisme historis juga membantu orang untuk tidak terlalu menspiritualisasikan pembebasan,

seakan pembebasan itu hanya mengenai yang spiritul-rohani saja dan tidak mengenai yang material-

insani14.

Teologi Pembebasan menerima teori marxis sebagai metode ilmiah, namun menolak marxisme

sebagai doktrin, ideologi dan praksis filosofis yang materialistis dan ateistis. Marxisme sebagai

doktrin, ideologi dan praksis filosofis mendasarkan diri pada materialisme dialektis. Materialisme

dialektis mempersempit realitas manusia hanya sebagai materi dan apa yang transenden dan yang

spiritual tidak mendapat tempat15.

Marxisme yang pada awal lahirnya teologi pembebasan sangat menonjol, dalam sejarah

perkembangan teologi pembebasan rupanya sama sekali tidak memadai lagi bagi refleksi teologis

teologi pembebasan16. Alasan pokok mengapa menolak marxisme adalah karena fakta sejarah dua

puluh lima tahun terakhir dimana banyak kaum miskin terbunuh dan menjadi martir. Fakta ini

menumbuhkan spiritualitas baru yang sama sekali tidak bisa dianalisa dengan teori sosial manapun

termasuk marxis. Spiritualitas ini hanya bisa dipahami dalam cahaya Injil, praksis umat sendiri dan

refleksi atasnya17.

Hubungan antara spiritualitas dan praksis pembebasan berlatar belakang pandangan teologis

Sobrino, bahwa ada korelasi fundamental antara sejarah keselamatan dan keselamatan dalam sejarah.

Keselamatan terjadi dalam sejarah, dan keselamatan yang menyejarah itulah pembebasan. Karena

pengalaman keselamatan hanya bisa dialami secara historis sebagai suatu pembebasan yang historis

pula, spiritualitaspun hanya bisa dialami secara historis dalam kaitannya denga pembebasan yang

historis pula. Spiritualitas disini tidak hanya mengenai kebatinan manusia melainkan juga mengenai

aspek kesosialannya, kematerialannya, kesejarahannya dan di Amerika Latin berarti aspek

pembebasannya. Spiritualitas menuntut orang tidak hanya untuk berdoa tapi untuk ikut dalam praksis

pembebasan yang menentang ketidakadilan dan kedosaan sosial.

Di Amerika latin, praksis pembebasan mengacu pada kaum miskin dan mengistimewakan

kaum miskin sebagai kelompok yang harus diperjuangkan. Menurut Sobrino, jika korelasi antara

Injil dan kaum miskin dipertahankan, maka Yesus akan ditemukan dan itu akan membuat hidup

rohani menjadi subur dan tetap tertambat pada misteri Tuhan yang membawa keselamatan. Namun,

spiritualitas ini akan membawa resiko penderitaan, bahkan kematian sebagaimana ribuan awam,

14 G.P Sindhunata, “Teologi Pembebasan”, 10.15 Bdk.G.P Sindhunata, “Teologi Pembebasan”, 11.16G.P Sindhunata, “Teologi Pembebasan”, 12. 17 G.P Sindhunata, “Teologi Pembebasan”, 14.

6

puluhan rohaniwan yang memperjuangkan keadilan. Mereka ini adalah kaum beriman yang dijiwai

oleh spiritualitas yang hidup dari dan untuk orang miskin18.

Dalam refleksi Sobrino, ada hubungan erat yang timbal balik antara pembebasan dan

spiritualitas, antara praksis dan karya roh. Praksis pembebasan membutuhkan spiritualitas sebab

pembebasan yang dicita-citakan manusia lebih dari sekedar pembebasan sosial ekonomi semata19.

Praksis pembebasan membutuhkan spiritualitas untuk menjaga agar praksis itu tidak terjerumus ke

dalam kesalahan dan kekeliruan. Kesalahan dan kekeliruan ini, tampak misalnya dalam kesalahan

pada para pejuang kebebasan sendiri. Pembebasan mereka sering memanipulasi kereligiusan dan

mengedepankan kekerasan dan kekuasaan20. Padahal, Teologi Pembebasan menghimbau supaya

menurut teladan Kristus, kekerasan tidak dijawab dengan kekerasan. Namun, hal itu tidak berarti

membiarkan kekerasan berlangsung terus.”tanpa kekerasan” berarti pertama-tama supaya

“kekerasan tidak ada lagi”21.

4. Sumbangan

Teologi Pembebasan secara khusus memikirkan nasib kaum miskin, yang umumnya menjadi

penghuni negara-negara ketiga. Teologi Pembebasan telah memilih kaum miskin sebagai basis

refleksinya, lalu dari sana memuat sistematisasi teologi tentang kaum miskin dan pembebasannya.

Bagi teologi Pembebasan, Tuhan adalah Tuhan yang memihak kaum miskin dan tertindas dalam

sejarah manusia yang nyata ini22.

Secara metodologis, teologi pembebasan membawa kebaruan. Teologi mereka tidak mulai dari

teori tapi dari praksis. Refleksi teologis adalah tindakan kedua, yang sebelumnya sudah didahului

oleh praksis pembebasan dan pengalaman rohani akan Tuhan dalam kehidupan yang nyata23.

Agar sungguh memahami situasi penindasan dan ketidakadilan secara benar, teologi

pembebasan melakukan kebaruan dengan bekerjasama dengan ilmu-ilmu sosial. Analisis dari ilmu-

ilmu sosial membantu teologi pembebasan untuk memahami pengertian dosa secara baru, yakni dosa

struktural, yang membuahkan penindasan dan ketidakadilan24.

Teologi pembebasan merefleksikan secara serius pengejaran dan pembunuhan para pejuang

pembebasan kaum miskin di Amerika Latin. Refleksi ini melahirkan pemahaman baru tentang 18 Bdk. G.P Sindhunata, “Teologi Pembebasan”, 15.19 G.P Sindhunata, “Teologi Pembebasan”, 15.20 G.P Sindhunata, “Teologi Pembebasan”, 15.21 Bernard Kieser, “Menentang dan Berdamai: Pandangan Teologi Pembebasan terhadap kekerasan”, Gema Duta Wacana 50 (1995) 95.22 Bdk. G.P Sindhunata, “Teologi Pembebasan”, 16.23 G.P Sindhunata, “Teologi Pembebasan”, 17.24 Bdk. G.P Sindhunata, “Teologi Pembebasan”, 17.

7

kemartiran. Secara tradisional, kemartiran dimengerti sebagai kematian dan pengorbanan “demi

iman”. Dalam teologi pembebasan, misalnya dalam pemikiran Jon Sobrino, kemartiran tidak lagi

“demi iman” tapi “demi ketidakadilan dan demi tegaknya Kerajaan Allah di dunia”. Kemartiran

tidak lagi terkait dengan fundamentalisme iman atau agama, tapi dengan kemanusiaan dan

perjuangan keadilan25.

5. Penutup

Dari uraian tentang teologi pembebasan ini, kita melihat adanya gebrakan baru atau

breakthrough dalam teologi. Gebrakan baru itu ditandai oleh: pertama, konteks teologi yang

bergeser dari situasi Dunia Sentral atau Maju ke situasi Dunia Periferal atau Ketiga, khususnya

Amerika Latin. Kedua, oleh adanya kesadaran baru mengenai pelaku teologi. Berteologi bukan lagi

merupakan kegiatan “elit” bagi para profesional (teolog) melainkan merupakan kegiatan semua umat

beriman, juga yang miskin dan tertindas tanpa sarana kepustakaan dan ketrampilan. Ketiga,

berteologi bukan lagi merupakan kegiatan merumuskan ajaran iman semata melainkan praksis iman

yang direfleksikan dengan kritis dalam terang Sabda Allah.

Perjuangan pembebasan bersama orang miskin dan dalam kemiskinan merupakan perjuangan

yang panjang dan tiada habis-habisnya. Bagi Gutierrez, perjuangan pembebasan ini merupakan

pengalamannya sendiri “berjalan” bersama Tuhan, sesama, dan dirinya sendiri, di Amerika Latin

dalam situasi krisis perjuangan rakyat untuk pembebasan utuh dan menyeluruh. Sebuah pengalaman

iman, cinta, dan harapan dalam solidaritas dengan mereka yang miskin dan tertindas.

Daftar Pustaka

Hardawiryana, R.,

1983 “Teologi Pembebasan dalam konteks teologi-teologi masa kini”, Orientasi 15, hlm. 73.

Kieser, Bernard,

1995 “Menentang dan Berdamai: Pandangan Teologi Pembebasan terhadap kekerasan”, Gema

Duta Wacana 50, hlm. 83-87.

Lowy, Michael,

1999 Teologi Pembebasan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Nitiprawiro, Wahono F.,

1987 Teologi Pembebasan, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta,

Sindhunata, G.P.,

25 G.P Sindhunata, “Teologi Pembebasan”, 17.

8

2002 “Teologi Pembebasan”, Basis 51, hlm. 4-17.

9