Upload
others
View
34
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
TEMBESU KAYU RAJA ANDALAN SUMATERA
Editor:
Nina Mindawati
Hani Siti Nurohmah
Choirul Akhmad
Penerbit
FORDA PRESS
2014
TEMBESU KAYU RAJA ANDALAN SUMATERA
Editor:
Nina Mindawati
Hani Siti Nurohmah
Choirul Akhmad
Disain Sampul dan Tata Letak:
Hendra Priatna
Copyright © 2014 Penulis
Cetakan Pertama, November 2014
Perpustakaan Nasional, Katalog Dalam Terbitan
x + 130 halaman; 160 x 242 mm
ISBN: 978-602-71770-3-1
Diterbitkan oleh:
FORDA PRESS
Anggota IKAPI No. 257/JB/2014
Jln. Gunung Batu No.5 Bogor, Jawa Barat, Indonesia
Telp./Fax.: +62251-7520093
Email: [email protected]
Dicetak oleh Percetakan PT Rambang, Palembang
Isi di luar tanggung jawab Percetakan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta
Lingkup Hak Cipta
Pasal 2
(1) Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
Ketentuan Pidana
Pasal 72
(1) Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
(2) Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu Ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
iii
KATA PENGANTAR
Tembesu (Fragraea fragrans Roxb.) merupakan salah satu jenis
tanaman yang banyak dimanfaatkan dan mempunyai nilai ekonomi tinggi
sehingga potensial dikembangkan di wilayah Sumatera Bagian Selatan.
Secara sosial tembesu telah dikenal dan kayunya telah banyak
dimanfaatkan oleh masyarakat.
Balai Penelitian Kehutanan (BPK) Palembang sebagai salah satu
Unit Pelaksana Teknis Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan
telah benyak meneliti tembesu. Secara detail, hasil-hasil penelitian tersebut
dituangkan di dalam buku ini yang dikemas dalam bentuk bunga rampai,
mengupas tuntas berbagai aspek tembesu mulai dari pengenalan dan
ekologi, perbenihan, budidaya, perlindungan, hasil dan pertumbuhan serta
sosial, ekonomi dan kebijakan.
Apresiasi diberikan kepada para peneliti yang telah berkontribusi
dalam penyusunan buku ini. Terimakasih juga disampaikan kepada semua
pihak yang telah membantu dalam proses editing, penyajian, penerbitan,
pencetakan, dan pendistribusiannya hingga dapat tersebarluaskan dengan
baik.
Semoga buku ini bermanfaat dan menjadi sumber inspirasi bagi ilmu
pengetahuan serta kemajuan bidang kehutanan khususnya dalam
pengembangan/pengusahaan dan peningkatan produktivitas hutan tanaman
tembesu.
Kepala Pusat Litbang Peningkatan Produktivitas Hutan,
Dr. Ir. Bambang Trihartono, MF NIP. 195610051982031006
v
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ............................................................................. iii
DAFTAR ISI .......................................................................................... iv
1. PENDAHULUAN ........................................................................... 1
2. MENGENAL KARAKTERISTIK TANAMAN TEMBESU
Junaidah, Agus Sofyan dan Nasrun .............................................. 3
3. PENANGANAN DAN PENGUJIAN BENIH TEMBESU
Muhammad Zanzibar ..................................................................... 13
4. PEMBIBITAN JENIS TEMBESU (Fagraea fragrans Roxb)
Agus Sofyan dan Abdul Hakim Lukman ........................................ 27
5. BUDIDAYA TANAMAN TEMBESU
Abdul Hakim Lukman dan Agus Sofyan ........................................ 41
6. POTENSI DAN PERTUMBUHAN TEMBESU DALAM
PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT
Agus Sumadi dan Hengki Siahaan ................................................ 57
7. HAMA DAN PENYAKIT TEMBESU
Asmaliyah ...................................................................................... 73
8. TEKNIK PENGENDALIAN GULMA PADA TANAMAN
TEMBESU
Etik Erna Wati Hadi dan Fatahul Azwar ........................................ 93
9. SIFAT DASAR DAN PEMANFAATAN KAYU TEMBESU
Sahwalita ....................................................................................... 107
10. UPAYA KOMODITISASI TEMBESU DALAM PERSPEKTIF
SOSIAL BUDAYA PETANI DAN PASAR
Edwin Martin dan Bambang Tejo Premono .................................. 117
1 Tembesu
Kayu Raja Andalan Sumatera
PENDAHULUAN
Tembesu adalah salah satu jenis kayu andalan yang populer di
Sumatera Bagian Selatan, memiliki nilai ekonomi dan nilai budaya yang
tinggi bagi masyarakat lokal. Berdasarkan sifat kayunya, tembesu memiliki
kelas kuat I-II dan kelas awet I sehingga pemanfaatannya dapat dilakukan
secara luas untuk dipakai, baik di dalam ruangan maupun terbuka.
Masyarakat menggunakan tembesu yang bersifat agak keras
(Fagraea fragrans) sebagai tiang penyangga baik untuk rumah, kapal,
jembatan, konstruksi rumah dan bahan furniture. Sebagai bahan konstruksi
rumah, tembesu mempunyai nilai budaya tinggi dan menambah nilai
prestise bagi pemiliknya. Adapun tembesu yang bersifat lembut (Fagraea
crenulata) dipakai untuk bahan baku produk ukiran karena kayu tembesu ini
mudah dibentuk, tidak mudah retak dalam pengerjaannya dan nilai
penyusutannya kecil
Kemanfaatan dan keekonomian kayu tembesu cukup tinggi, namun
demikian sumber kayu tembesu saat ini masih mengandalkan tegakan alam.
Sampai saat ini belum ada upaya budidaya yang dilakukan masyarakat
sehingga populasi tembesu di alam terus menurun.
Pada dasarnya tembesu merupakan jenis adaptif dan mudah
tumbuh pada berbagai jenis tanah dengan kondisi drainase buruk dan
mudah dalam regenerasi alaminya. Penanaman tembesu sangat mungkin
dilakukan karena teknologi pengadaan bibit baik dengan cara generatif
maupun vegetatif sederhana sudah diketahui. Teknik pertanaman terkait
pemilihan pola tanam dan alternatif tindakan silvikulturnya masih harus terus
dikembangkan.
Meskipun termasuk jenis kayu mahal, sayangnya tembesu belum
menjadi komoditas pilihan utama petani untuk menanamnya. Hal ini
dikarenakan tembesu termasuk salah satu jenis pohon lambat tumbuh
dengan daur tebang sekitar 25 tahun. Dalam pertumbuhannya pun tembesu
menghasilkan percabangan yang banyak dan tidak rontok secara alami,
2 Bunga Rampai
Tembesu (Fagraea fragrans)
sehingga diperlukan pengelolaan intensif agar kayu tembesu yang
dihasilkan berbentuk lurus dan panjang. Penghambat lainnya dalam
komoditisasi tembesu adalah tingginya nilai komoditas lain seperti karet dan
sawit di wilayah Sumatera. Secara praktis masyarakat cenderung memilih
komoditas karet dan sawit sebagai alternatif utama penopang ekonomi
keluarga.
Sehubungan dengan hal di atas, maka pemerintah dan para pihak
seharusnya mendorong upaya komoditisasi tembesu melalui penelitian dan
pengembangan yang berfokus pada penyediaan IPTEK agar tembesu lebih
cepat tumbuh, pembangunan hutan tanaman baik dalam bentuk campuran
atau monokultur, program revitalisasi meubel dan ukiran tembesu, serta
peningkatan brand tembesu dalam pemasaran produk kayu di Sumatera
Bagian Selatan.
Secara kultural, dulu tembesu dikenal sebagai “kayu raja” karena
konon penanamannya merupakan perintah raja (pengusaha/pemerintah)
pada waktu itu. Kini tembesu yang tumbuh secara alami dipelihara juga oleh
masyarakat, sehingga sekarang bisa juga disebut kayu rakyat. Ke depan
tembesu akan menjadi kayu utama jika “sang raja” (pemerintah) dan rakyat
memiliki keinginan yang sama dan berupaya untuk menjadikannya sebagai
komoditas primadona.
Buku “Tembesu, Kayu Raja Andalan Sumatera” ini disusun sebagai
langkah awal untuk membuka peluang dan prospek pengembangan
budidaya dan pengelolaan hutan tanaman tembesu lebih lanjut, baik pada
aspek teknis maupun sosial ekonominya.
3 Tembesu
Kayu Raja Andalan Sumatera
MENGENAL KARAKTERISTIK TANAMAN TEMBESU
Oleh: Junaidah, Agus Sofyan dan Nasrun
I. GAMBARAN UMUM TANAMAN TEMBESU
Tembesu (Fagraea fragrans Roxb.) merupakan salah satu jenis dari
famili Loganiaceae yang mempunyai wilayah penyebaran alami sangat luas.
Menurut Lemmens et al, (1995), penyebaran Fagraea fragrans mulai dari
Bengal di India, Myanmar, Andaman Islands, Indo-Cina, Filipina, Thailand,
Peninsular Malaysia, Singapura, Sumatera, Jawa Barat, Kalimantan,
Sulawesi dan Yapen Island di Papua.
Untuk wilayah Sumatera Bagian Selatan (Sumatera Selatan, Jambi
dan Lampung) kayu tembesu termasuk jenis yang sangat populer dan
mempunyai nilai ekonomi serta budaya yang sangat tinggi bagi sebagian
masyarakatnya. Menurut Heyne (1987), khususnya di wilayah Sumatera
Selatan, tembesu dikenal sebagai kayu unggul dengan sebutan kayu raja,
yang pada masa lalu hak penebangannya diatur oleh para kepala adat.
Untuk mencegah kepunahannya, kepala adat menetapkan peraturan, yaitu
untuk setiap penebangan satu pohon tembesu harus diganti dengan
menanam sebanyak sepuluh pohon pada tempat-tempat yang telah
ditentukan. Berkat peraturan tersebut, kemudian banyak terbentuk kebun
tembesu di berbagai wilayah di Sumatera Bagian Selatan (Heyne, 1987).
Dengan adanya perubahan dan perkembangan zaman, walaupun
tidak lagi diterapkan peraturan menanam kembali jika menebang pohon
tembesu, namun budaya tersebut ternyata masih berlangsung hingga saat
ini, dimana masyarakat seringkali menanam dan atau memelihara tembesu
yang tumbuh alami sebagai tanaman sela pada kebun-kebun mereka, baik
pada kebun karet maupun sawit yang mereka usahakan.
Usaha pengembangan tembesu, baik sebagai tanaman pokok
maupun sebagai tanaman sela, tentunya harus didukung dengan informasi
serta teknologi budidaya yang tepat, yang didasarkan pada hasil-hasil kajian
dan penelitian berbagai aspek, sehingga produktivitas hasil yang maksimal
dapat tercapai dan berkelanjutan.
4 Bunga Rampai
Tembesu (Fagraea fragrans)
II. TAKSONOMI, BOTANI DAN SEBARAN
A. Taksonomi
Dalam taksonomi tumbuhan tembesu termasuk dalam famili
Loganiceae dan digolongkan ke dalam :
Phylum : Tracheophyta
Class : Magnoliopsida
Famili : Loganiaceae
Genus : Fagraea
Spesies : Fagraea fragrans Roxb
B. Nama umum
Secara umum tembesu dikenal sebagai ironwood. Di Indonesia
dikenal sebagai ki badak (Sunda), kayu tammusu, tembesu (Sumatera),
ambinaton, tembesu (Kalimantan). Di Malaysia dikenal sebagai tembesu
hutan, tembesu padang dan tembesu tembaga (Peninsular). Di Philipina
secara umum dikenal dengan nama urung, dolo (Tagbanua), susulin
(Tagalog). Di Burma atau Myanmar dikenal sebagai kayu anan, ahnyim. Di
Cambodia disebut sebagai tatraou. Di Thailand dan Vietnam dikenal sebagai
tanaman kankrao dan trai (Martawijaya et al., 2005 dan Lemmens et al.,
1995).
C. Botani
Tembesu merupakan jenis pohon yang mempunyai sifat hijau
sepanjang tahun (evergreen) dengan percabangan yang banyak. Tinggi
tanaman dapat mencapai 40 m, tinggi bebas cabang sampai 25 m dengan
diameter dapat mencapai 150 cm (Lemmens et al., 1995, Martawijaya et al.,
2005). Batang pohon tembesu memiliki ciri fisik bergelombang lemah tanpa
banir. Kulit batangnya tebal dan cukup keras, warna coklat sampai hitam,
beralur dangkal sampai dalam (Gambar 1).
5 Tembesu
Kayu Raja Andalan Sumatera
Gambar 1. Tipe permukaan kulit tembesu (umur tanaman 7 tahun)
Tajuk pohon berbentuk kerucut (cone) dan daunnya berbentuk
lanset hingga bulat telur-lonjong, dengan ukuran panjang 4 -15 cm dan lebar
1,5 – 6 cm (Lemmens et al., 1995). Tembesu dalam pertumbuhan dan
perkembangannya termasuk jenis tanaman yang menghasilkan cabang atau
percabangan sangat banyak yang secara alami sukar mengalami peluruhan,
sehingga cabang menjadi semakin besar dengan bertambahnya umur
tanaman.
Bunga tembesu berwarna putih (Gambar 2a), merupakan bunga
tunggal dengan aroma berbau harum, tabung daun mahkota bunga
berbentuk corong dengan panjang berkisar 0,7 - 2,3 cm. Buah tembesu,
pada musim berbuah akan menghasilkan buah dalam jumlah sangat
banyak, buah berbentuk bulat dengan diameter sekitar 0,5 – 1 cm, berwarna
hijau atau kuning pada saat muda dan berwarna merah atau orange bila
telah masak (Gambar 2b).
6 Bunga Rampai
Tembesu (Fagraea fragrans)
Gambar 2. Bunga dan buah muda tembesu (a); Buah tembesu masak (b)
Buah tembesu termasuk tipe buah buni, berdaging dan berisi biji
dengan ukuran relatif kecil (diameter kurang dari 1 mm). Semakin besar
ukuran buah, semakin banyak biji terkandung di dalamnya. Jumlah buah
dalam satu kilogram sebanyak 6.600 buah (Martawijaya et al., 2005),
sedangkan jumlah biji dalam satu kilogram adalah sekitar 5 juta biji
(Lemmens et al., 1995). Biji tembesu yang masih muda berwarna coklat
muda sampai coklat, sementara biji yang telah masak berwarna hitam
dengan kulit biji relatif keras dan permukaan kulit tidak rata dan kasar
(Gambar 3).
Gambar 3. Biji/benih muda (a) dan benih tua atau masak (b)
(b) (a)
(a) (b)
7 Tembesu
Kayu Raja Andalan Sumatera
D. Fenologi dan pembungaan
Tanaman tembesu umumnya mulai berbuah pada umur 5 - 6 tahun.
Menurut Martawijaya et al. (2005), tembesu dapat berbuah setiap tahun dan
umumnya pada bulan Nopember – Januari. Namun demikian dalam tiga
tahun terakhir (2011-2013), untuk wilayah Sumatera Selatan telah terjadi
perubahan atau pergeseran waktu berbuah yaitu berkisar antara bulan
Maret – Juni, dengan masa pembungaan dan pembuahan yang tidak
serempak, baik antar tanaman dalam satu populasi maupun antar populasi.
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa hasil produksi buah pada berbagai
populasi relatif menurun dibanding periode-periode sebelumnya (Sofyan et
al., 2013). Hal ini diduga karena adanya pengaruh iklim yang telah
mempengaruhi proses pembungaan dan pembuahan tanaman tembesu,
dimana jumlah bunga yang dihasilkan relatif sedikit, sementara buah-buah
yang masih muda (belum sempat masak) mengalami kerontokan karena
cuaca yang relatif kering.
E. Sebaran dan tempat tumbuh
Di Indonesia tembesu tumbuh tersebar secara alami di beberapa
wilayah seperti Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Jawa Barat, Maluku dan
Irian Jaya. Tembesu secara alami tumbuh sebagai tanaman pionir pada
areal terbuka bekas terbakar, lahan alang-alang atau pada hutan sekunder
yang lembab. Menurut Lemmens et al. (1995) tembesu merupakan jenis
yang sangat adaptif dan dapat tumbuh pada berbagai jenis tanah dan
kondisi lingkungan, seperti pada tanah datar dan sarang, tanah pasir atau
tanah liat berpasir, serta tanah miskin. Selanjutnya dikatakan pula bahwa
tembesu dapat tumbuh baik pada tanah dengan drainase yang buruk dan di
rawa tembesu tumbuh berasosiasi dengan gelam (Melaleuca spp.). Secara
umum, jenis ini menghendaki iklim basah sampai agak kering dan tumbuh
baik pada ketinggian 0-500 m dari permukaan laut (Martawijaya et al.,
2005).
8 Bunga Rampai
Tembesu (Fagraea fragrans)
F. Pertumbuhan
Pertumbuhan tanaman tembesu di alam relatif lambat dan seringkali
menghasilkan batang pokok yang tidak lurus, jumlah cabang sangat banyak,
dan tajuk yang berat (Gambar 4a). Regenerasi alami tembesu umumnya
berasal dari tunas akar, sangat jarang dijumpai regenerasi alami yang
berasal dari biji atau benih. Dengan karakter tersebut, tembesu dapat
membentuk tegakan yang berasal dari akar (Heyne, 1987)
Tembesu termasuk jenis tanaman dengan kemampuan meluruhkan
cabang secara alami (self prunning) sangat rendah, sehingga dalam
pembudidayaannya harus dilakukan pemangkasan cabang secara intensif
sejak pertumbuhan awal (mulai umur 1 tahun). Jika tidak dilakukan
pemangkasan maka seiring dengan pertumbuhannya, cabang-cabang yang
tumbuh/terbentuk akan semakin bertambah besar dan dalam jumlah yang
relatif banyak karena tidak mengalami peluruhan. Pada pertanaman
tembesu dengan jarak tanam relatif rapat yaitu 2 m x 3 m, menunjukkan
bahwa sampai umur tanaman 7 tahun, cabang-cabang yang tumbuh tidak
mengalami peluruhan atau rontok secara alami (Gambar 4b).
Gambar 4. Penampilan tegakan tanpa pemangkasan (a) dan percabangan pada umur 7 tahun (b)
(b) (a)
9 Tembesu
Kayu Raja Andalan Sumatera
Hasil penelitian pemangkasan cabang tembesu pada tanaman umur
di bawah 2 tahun menunjukkan bahwa pemangkasan dengan intensitas 40-
50%, dapat meningkatkan rerata riap pertumbuhan diameter sebesar
23,67% dibanding tidak dipangkas (Lukman et al., 2010). Pemangkasan
cabang yang dilakukan pada umur tanaman lebih tua (3,5 tahun), tidak
memberikan hasil nyata terhadap pertumbuhan diameter maupun tinggi
sampai umur 7 tahun atau 3,5 tahun setelah pemangkasan (Sofyan et al.,
2013).
Perlakuan pemangkasan, selain dapat meningkatkan pertumbuhan
diameter tanaman tembesu, juga dapat meningkatkan kualitas batang yang
dihasilkan, karena dengan perlakuan pemangkasan akan dihasilkan
batang/kayu yang relatif besar dan lurus bebas mata kayu yang dapat
menurunkan kualitas kayu. Penampilan batang kondisi tegakan tembesu
yang diberi perlakuan pemangkasan, dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5. Penampilan batang hasil pemangkasan (a), dan penampilan
tegakan hasil pemangkasan
(b) (a)
10 Bunga Rampai
Tembesu (Fagraea fragrans)
G. Karakteristik dan kegunaan kayu
Karakteristik kayu dari pohon tembesu termasuk kelas berat,
sedang, sampai tinggi. Kayu terasnya berwarna kuning muda sampai coklat,
kayu gubalnya berwarna lebih muda. Berat jenis kayu tembesu 0,72-0,93
g/cm3. Tekstur kayu halus sampai agak halus dan merata (Lemmens et al.,
1995). Menurut Martawijaya et al. (2005), kayu tembesu termasuk kayu
kelas kuat I-II dan kelas awet I.
Kayu tembesu termasuk kayu yang mudah diolah. Hasil pengujian
sifat pengolahan kayu tembesu menunjukkan bahwa kayu tembesu mudah
diserut dan dibentuk, dibubut dan diamplas dengan baik (Martawijaya et al.,
2005). Selain itu, menurut Lemmens et al. (1995), kayu tembesu memiliki
sifat pemakuan, perekatan (menggunakan perekat urea-formaldehida) dan
sifat pengupasan (untuk dijadikan veneer dengan ketebalan 1,5 mm) yang
baik.
Dengan karakteristik yang dimilikinya, kayu tembesu sangat cocok
digunakan untuk konstruksi berat di tempat terbuka maupun yang
berhubungan dengan tanah, balok jembatan atau tiang rumah, lantai dan
barang bubutan (Martawijaya et al., 1989). Hal senada dikemukakan oleh
Lemmen et al. (1995) yang menyatakan bahwa kayu tembesu dapat
digunakan untuk bantalan rel kereta api, daun jendela dan pintu serta
meubelair. Masyarakat di Sumatera Selatan, menggunakan kayu tembesu
selain untuk kontruksi juga untuk produk-produk ukiran.
III. PENUTUP
Mengenalkan dan mempromosikan tembesu di wilayah Sumatera,
khususnya Sumatera Bagian Selatan, tentunya bukanlah hal yang sulit,
mengingat jenis ini secara kultural sudah sangat dikenal dan digunakan
untuk berbagai keperluan dalam menunjang kehidupan masyarakatnya.
Namun demikian upaya untuk terus mendorong dan mendukung
pengembangan tembesu pada usaha yang lebih produktif, tetap perlu dan
harus dilakukan oleh para pihak. Balai Penelitian Kehutanan Palembang,
melalui penelitian-penelitian yang telah dihasilkan, diharapkan dapat
11 Tembesu
Kayu Raja Andalan Sumatera
memberi kontribusi, terutama dalam mewujudkan pembangunan hutan
tanaman, khususnya hutan rakyat jenis tembesu yang produktif, baik dalam
bentuk pola campuran (tembesu sebagai tanaman sela diantara karet atau
sawit) maupun pola monokultur.
DAFTAR PUSTAKA
Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia. Jilid III. Badan Penelitian
dan Pengembangan Kehutanan. Departemen Kehutanan. Jakarta.
Martawijaya, A., Kartasujana, I., Mandang, Y.I., Prawira, S.A, Kadir, K. 2005.
Atlas Kayu Indonesia. Jilid II. Badan Penelitian dan Pengembangan
Kehutanan. Departemen Kehutanan.
Lemmens, R.H.M.J., Soerianegara, I., Wong, W.C. 1995. Plant Resources of
South-East Asia 5. (2) Timber trees: Minor commercial timber.
PROSEA. Bogor Indonesia.
Lukman, A.H., A. Sofyan, Junaidah dan R. Effendi. 2010. Pengaruh
Pemangkasan terhadap Petumbuhan Tembesu (Fagraea fragrans
Roxb.) pada Dua Jarak Tanam Berbeda. Prosiding Seminar Nasional.
Kontribusi Litbang dalam Peningkatan Produktivitas dan Kelestarian
Hutan. Bogor, 29 November 2010. Pusat Litbang Peningkatan
Produktivitas Hutan. Bogor
Sofyan, A., A.H. Lukman dan Nasrun. 2013. Laporan Hasil Penelitian Teknik
Silvikultur Jenis Tembesu. Balai Penelitian Kehutanan Palembang.
Tidak Dipublikasi.
13 Tembesu
Kayu Raja Andalan Sumatera
PENANGANAN DAN PENGUJIAN BENIH TEMBESU
Oleh: Muhammad Zanzibar
I. PENANGANAN BENIH TEMBESU
Benih adalah bahan tanaman berupa bagian generatif atau bagian
vegetatif tanaman, antara lain berupa biji, mata tunas, akar, daun, jaringan
tanaman yang digunakan untuk memperbanyak dan atau mengembang-
biakkan tanaman. Penanganan benih secara tepat berimplikasi
meningkatkan efisiensi pengelolaan dan produktivitas tanaman karena benih
relatif lebih tahan disimpan, kecambah akan menjadi bibit sehat, tumbuh
cepat dan serempak. Penanganan mencakup serangkaian prosedur yang
dilakukan sesaat setelah pemanenan hingga benih menjadi bibit siap tanam.
Setiap elemen dari kegiatan penanganan sangat menentukan
derajat kualitas genetik yang diemban oleh kelompok benih tersebut.
Tahapan teknologi penanganan benih tembesu dan aspek-aspek dominan
yang berpengaruh adalah sebagai berikut:
A. Klasifikasi Buah dan Kriteria Masak Fisiologis Benih
Buah tembesu tergolong buah “majemuk - berdaging”, dimana buah
berasal dari peleburan putik dari beberapa bunga-air dan gula terakumulasi
di dalam buah. Dalam suatu musim buah dan tandan yang sama, dapat
diperoleh perbedaan tingkat kemasakan benih (Gambar 1 dan Gambar 2),
yaitu benih muda (buah berwarna hijau), benih masak fisiologis (buah
berwarna kuning hingga oranye) serta benih memiliki vigor kekuatan tumbuh
dan daya simpan maksimum. Kondisi ini merupakan waktu pemanenan
yang tepat.
Musim buah tembesu tergolong relatif singkat, saat benih masak
cepat tersebar, dan mudah diserang hama (Schmidth, 2002). Di Sumatera
Selatan, Riau dan Jambi masak fisiologis benih tembesu diperoleh pada
bulan Maret – Juni. Hingga saat ini, belum ada sumber benih tembesu yang
dikukuhkan. Buah umumnya diunduh dari lahan pekarangan dengan jumlah
pohon yang sangat terbatas.
14 Bunga Rampai
Tembesu (Fagraea fragrans)
B. Pengumpulan Buah, Ekstraksi dan Pengeringan Benih
Benih seharusnya dikumpulkan pada saat panen raya atau pada
tegakan yang berbunga lebat dan sedikit serangan hama. Pengumpulan
buah dilakukan dengan cara pemanjatan karena pohon tembesu relatif tinggi
dan cabang yang menghasilkan buah tidak dapat dicapai dengan galah
berkait dari tanah. Buah hasil pemanenan dikumpulkan dalam karung plastik
dari beberapa pohon (bulk).
Prinsip utama kegiatan ekstraksi adalah memudahkan penanganan
serta meningkatkan kemampuan penyimpanan. Khusus untuk benih
berdaging, berserat lunak dan berukuran kecil, kegiatan ekstraksi terdiri dari:
perendaman/penjenuhan, pencucian, penyaringan dan pengeringan.
Daging buah tembesu harus segera dihilangkan karena benih dari buah
yang terfermentasi umumnya berakibat buruk yaitu cepat menurunkan
Gambar 1. Variasi tingkat kemasa-
kan benih tembesu ber-
dasarkan warna buah.
Pada saat sebagian be-
sar buah telah berwarna
kuning-oranye merupa-
kan saat yang tepat un-
tuk dipanen. (dok.
Zanzibar et al., 2010)
Gambar 2. Penampilan benih tembe-
su pada pembesaran 600
kali. Benih muda (a) dan
benih masak fisiologis (b).
(dok. Zanzibar et al.,
2010)
b
a
15 Tembesu
Kayu Raja Andalan Sumatera
viabilitas. Ekstraksi benih menggunakan metoda basah-kering, dilakukan
dengan cara merendam buah selama 12 jam, diremas-remas, disaring
menggunakan ayakan 0.001 m kemudian dikering anginkan selama 5 hari
pada suhu kamar (BPTH Palembang, 2000).
C. Pembersihan dan Sortasi
Kelompok benih hasil ekstraksi, umumnya masih tercampur dengan
kotoran; sangat sulit membedakan antara benih dan daging buah/sisa
eksokarp (kotoran) karena memiliki ukuran dan penampilan yang relatif
sama. Benih yang masih kotor sangat rentan terhadap serangan
hama/penyakit karena kotoran merupakan media yang baik bagi
pertumbuhan mikroorganismea, utamanya selama penyimpanan.
Pembersihan dan sortasi mutlak dilakukan sebelum dikecambahkan atau
disimpan. Penggunaan ayakan untuk pembersihan dan sortasi benih yang
berukuran kecil cukup efektif meningkatkan kemurnian sehingga mutu fisik
dan fisiologisnya dapat meningkat (Boland et al., 1980).
Metoda pembersihan dan sortasi benih tembesu menggunakan
pengayakan bertingkat. Pengayakan diawali dari ukuran lubang paling besar
hingga terkecil. Penelitian Zanzibar et al. (2010) menunjukkan bahwa
penggunaan ayakan (L = lolos, T = tertahan) T840 (2.935.000 kecambah/kg)
dan L840 T710 (2.910 kecambah/kg) menghasilkan jumlah kecambah
tertinggi dan berbeda nyata dengan kontrol (1.300.000 kecambah/kg).
Berdasarkan ukuran ayakan, diperoleh dua klasifikasi mutu fisik-
fisiologis (MFF) benih tembesu, yaitu: MFF1= T840 (26.54%) dan L840 T710
(32.60%), MFF2 = L710 T600 (37.86%), MFF3 dan kotoran = L600 T420
(3.00%). MFF1 memiliki komposisi jumlah benih paling besar (59.14%)
sedangkan kotoran dan benih bervigor rendah berukuran lebih kecil dari 600
mikrometer yang diperlihatkan pada penggunaan L600 T420 (3.00%).
Pengelompokkan mutu benih mengikuti kaidah bila benih berukuran besar
maka memiliki mutu fisik-fisiologis terbaik (MFF1), dan seterusnya. Benih
tembesu berukuran antara 600–840 mikrometer, sedangkan kotoran lebih
kecil dari 600 mikrometer.
16 Bunga Rampai
Tembesu (Fagraea fragrans)
D. Watak dan Metoda Penyimpanan
Benih tembesu berwatak intermediate; benih yang tidak toleran
terhadap pengeringan dan suhu rendah (di bawah 15 oC), sedangkan kadar
air dapat dibuat sesuai klasifikasi ortodoks (rendah = 8-10%) (Schmidth,
2002). Hasil analisis biokimia menunjukkan bahwa benih tembesu tergolong
benih berkarbohidrat, namun juga memiliki kandungan protein dan lemak
relatif tinggi (Tabel 1) (Zanzibar, 2010).
Tabel 1. Kandungan biokimia benih tembesu hasil radiasi
Parameter Unit (%)
Kadar air 15.9
Kadar Abu 1.66
Lemak Total 28.92
Protein 12.82
Karbohidrat Total 40.69 Sumber: Zanzibar et al. (2010)
Benih hasil seleksi dan sortasi yang berkadar air 9 - 12% dikemas
dalam kantong plastik (kedap air dan udara) (Gambar 3), selanjutnya
disimpan dalam lemari es (refrigerator) pada suhu 15-18 oC, RH = 70-80%.
Penyimpanan pada kondisi ini, setelah 2 tahun belum menurun viabilitasnya
dan kondisinya sama dengan kelompok benih awal (panenan baru),
sedangkan penyimpanan pada suhu kamar selama 6 bulan menyebabkan
benih sudah kehilangan semua viabilitasnya (Zanzibar et al., 2010).
Gambar 3. Persiapan pengemasan benih tembesu
sebelum disimpan (dok. Zanzibar et al.,
2010)
17 Tembesu
Kayu Raja Andalan Sumatera
E. Perlakuan Pendahuluan dan Tipe Dormansi
Perlakuan pendahuluan terbaik untuk mematahkan dormansi benih
tembesu adalah metoda imbibisi dengan H2O2 5% selama 24 jam
(2.780.000 kecambah/kg), dibanding jika tanpa perlakuan (langsung ditabur)
hanya diperoleh 1.300.000 kecambah/kg. Perlakuan imbibisi dengan H2O2
5% mampu menyediakan oksigen terlarut dalam jumlah optimum selama
perkecambahan (Zanzibar, 2010). Berdasarkan hasil perlakuan perendaman
dalam H2O2 5% selama 24 jam, benih tembesu memiliki dormansi
morfologis yang tidak terlalu kuat (after ripening) karena tingkat morfologis
dari embrio belum matang (Nitsch, 1971; Zanzibar et al., 2009 dan Zanzibar
et al., 2010).
F. Peningkatan Produktivitas Bibit
Peningkatan produktivitas bibit dapat dilakukan dengan iradiasi sinar
gamma (60
Co). Beberapa hasil penelitian iradiasi sinar gamma pada benih
memperlihatkan bahwa dosis tinggi dapat bersifat menghambat (inhibitory),
namun pada dosis rendah berperan memacu pertumbuhan (stimulatory)
(Raghava dan Raghava, 1989; Kumari dan Singh, 1996; Radhevi dan
Nayar, 1996; Chan dan Lam, 2002; Zanzibar dan Witjaksono, 2011). Selain
mempengaruhi pertumbuhan, iradiasi sinar gamma memiliki kemampuan
menginduksi mutasi pada materi genetik. Kemampuan tersebut dimung-
kinkan karena sinar gamma memiliki energi cukup tinggi untuk menimbulkan
perubahan pada struktur dan komposisi materi genetik tanaman. Perubahan
tersebut terjadi secara mendadak, acak dan diwariskan pada generasi
berikutnya (IAEA, 1977). Keragaman petumbuhan tembesu akibat iradiasi
sinar gamma dapat dilihat pada Gambar 4 dan Tabel 2.
18 Bunga Rampai
Tembesu (Fagraea fragrans)
Secara umum, perlakuan iradiasi mulai dari 5-120 Gy mampu
meningkatkan nilai peubah diameter dan tinggi. Perlakuan iradiasi mulai dari
5-120 Gy maupun meningkatkan nilai peubah diameter dan tinggi.
Perlakuan iradiasi pada dosis di atas 30 Gy menyebabkan daya hidup bibit
menurun dan pada dosis di antara 120 Gy kematian bibit terjadi.
Penggunaan dosis 30 Gy menghasilkan bibit dengan pertumbuhan terbesar;
volume bibit mencapai 2.391,4 mm3 ( 3,14 x 1,55 mm x 1,55 mm x 317 mm),
sedangkan bibit dari benih tanpa iradiasi (kontrol) rata-rata memiliki diameter
2,1 mm dan tinggi 15,4 cm sehingga diperoleh volume sebesar 533,1 mm3.
Iradiasi benih tembesu pada kisaran kadar air kesetimbangan (8-10%),
dosis 30 Gy meningkatkan produktivitas bibit (umur 8 bulan) lebih dari 4,5
kali terhadap kontrol (Zanzibar et al., 2011).
Gambar 4. Keragaman pertumbuhan bibit tembesu pada umur 4
bulan
19 Tembesu
Kayu Raja Andalan Sumatera
Tabel 2. Keragaman pertumbuhan bibit tembesu umur 8 bulan akibat pengaruh iradiasi sinar gamma pada benih
II. STANDARDISASI METODA PENGUJIAN BENIH
Jaminan mutu benih edar dalam sistem sertifikasi diperoleh dari
suatu rangkaian pengujian standar. Standar pengujian tersebut tertuang
dalam Peraturan Pemerintah No. 44 Tahun 1995. Sertifikasi merupakan
konsekuensi komersialisasi benih, bertujuan untuk menjamin kebenaran
mutu dan memberikan perlindungan bagi pengada, pengedar dan pengguna
benih yang pada akhirnya dapat meningkatkan produktivitas tegakan
(Sadjad, 1997; Kartiko, 2002).
Syarat dan ketentuan pengujian benih, tertuang di dalam pedoman
pengujian yang dikeluarkan oleh International Rules for Seed Testing
(ISTA), namun untuk jenis tanaman hutan masih sangat terbatas. ISTA
(2006) menentukan bahwa peubah mutu fisik terdiri dari kadar air,
kemurnian dan berat 1000 butir, sedangkan mutu fisiologisnya adalah daya
berkecambah. Peubah-peubah tersebut mencerminkan kinerja penanganan
yang sangat berpengaruh terhadap keberhasilan persemaian di lapangan.
A. Penarikan contoh
Tujuan penarikan contoh adalah mendapatkan contoh benih untuk
mewakili suatu kelompok benih yang akan diuji mutunya. Buah hasil
pengunduhan dari suatu lokasi diekstraksi dan dijadikan satu kelompok
Dosis Iradiasi
(Gy)
Peubah pertumbuhan bibit
Daya hidup (%)
Stdev
Diameter (mm)
Stdev Tinggi (cm)
Stdev
0 58.3 5.2 2.1 0.113 15.4 1.2
5 59.6 12.2 2.6 0.353 19.3 4.9
10 60.5 5.2 2.7 0.335 26.4 3.0
15 53.5 6.3 2.7 0.173 26.8 3.4
20 44.6 6.3 2.8 0.306 23.8 2.6
30 48.9 8.4 3.1 0.381 31.7 4.4
60 37.1 8.9 2.9 0.229 25.5 3.1
120 33.5 6.3 2.8 0.260 25.2 1.2
Sumber: Zanzibar dan Witjaksono (2011)
20 Bunga Rampai
Tembesu (Fagraea fragrans)
benih. Kelompok benih tersebut diasumsikan sebagai contoh kiriman.
Contoh kerja dibuat dari contoh kiriman menggunakan alat pembagi benih
(seed sample devider) atau dengan cara acak parohan hingga diperoleh
contoh kerja yang diinginkan (ISTA, 2006).
B. Peubah kadar air
Tingkat kadar air benih mengindikasikan tingkat kemasakan, daya
simpan dan perlakuan yang harus diterapkan untuk penanganan
selanjutnya. Penanganan kadar air yang tepat dapat membatasi terjadinya
kerusakan, setiap penurunan 1% dari nilai kadar air (benih ortodoks) akan
memperpanjang periode simpan selama 4-5 tahun. Selain itu, kadar air yang
terlalu tinggi dari tingkat kadar air kesetimbangannya merupakan lingkungan
ideal bagi pertumbuhan jamur dan bakteri (Zanzibar, 2010).
Metoda penentuan kadar air yang paling tepat adalah bila mampu
memberikan nilai kadar air tertinggi (Wilan, 1985). Metode dirancang untuk
mengurangi oksidasi, dekomposisi atau hilangnya zat yang mudah menguap
bersamaan dengan pengurangan kelembaban sebanyak mungkin (ISTA,
2006). Metode oven tetap yang menguapkan air saja yang diuapkan selama
pengeringan banyak digunakan sebagai metode standar (Edward, 1987;
ISTA, 2006) bila dibandingkan dengan metode lainnya yang masih harus
dikalibrasi. Nilai kadar air kesetimbangan kelompok benih awal tembesu
(benih baru dipanen) berkisar antara 9.2-12.2%, diukur berdasarkan metode
oven tetap dengan 2 (dua) ulangan, masing-masing ulangan terdiri dari 1.0
gram. Menurut Widyani et al. (2010) penentuan kadar air tembesu dapat
menggunakan suhu tinggi maupun rendah; suhu tinggi pada 130 - 133C
selama 4 jam, sedangkan suhu rendah pada 103 ± 2C selama 22 jam.
C. Peubah kemurnian
Benih yang baru dipanen meskipun telah dibersihkan kemungkinan
masih tercampur dengan kotoran, baik berupa potongan daun, ranting,
daging buah, benih tanaman lain, atau benih dari jenis yang sama namun
telah mengalami kerusakan. Kotoran benih berakibat buruk pada infeksi
21 Tembesu
Kayu Raja Andalan Sumatera
hama penyakit, kualitas fisik yang rendah, melembabkan atmosfer sekitar
benih, meningkatkan kadar air dan memacu metabolisma. Pengetahuan
tentang determinasi dan penampilan benih sangat menentukan keakuratan
hasil pengujian. Selain itu, peubah kemurnian digunakan untuk memprediksi
kebutuhan benih serta pengelompokkan mutu benih (Zanzibar, 2010).
Kemurnian benih tembesu berkisar antara 84,8% - 94,8% (Widyani
et al., 2010). Metoda pengukurannya berdasarkan analisis manual di atas
meja kemurnian dengan 2 (dua) ulangan, masing-masing ulangan terdiri dari
2.0 gram; antara benih murni dan daging/kulit buah sebagai kotoran
dipisahkan satu sama lain. Nilai kemurnian sangat dipengaruhi oleh kinerja
pengada. Semakin baik metoda pembersihan benih maka nilai kemurnian
benih akan makin tinggi, begitu pula sebaliknya.
D. Peubah Berat 1000 Butir
Setiap jenis benih memiliki ukuran berbeda dengan jenis lainnya,
demikian halnya dalam satu jenis yang sama. Perbedaan ukuran dalam satu
jenis yang sama dapat disebabkan oleh: perbedaan klimatis - edafik antar
tapak, perbedaan klimatis pada saat pembentukan buah, perubahan
(evolusi) terhadap kondisi alaminya, atau intensifitas pengelolaan.
Perbedaan ukuran kemungkinan dapat menyebabkan perbedaan viabilitas
dan vigor benih. Ukuran benih juga digunakan untuk memprediksi
kebutuhan benih untuk tujuan penanaman serta pengelompokkan mutu
(Zanzibar, 2010).
Jumlah benih per kg untuk benih-benih halus seperti tembesu
dinyatakan dengan istilah benih hidup murni (Thomson, 1979). Perhitungan
berat 1000 butir menggunakan 6 (enam) ulangan berdasarkan hasil
pengukuran keragaman, koefisiennya dan standar deviasi. Menurut Widyani
et al. (2011) berat 1000 butir benih tembesu berkisar antara 0,26-0,29 gram,
sedangkan jumlah benih per kg berkisar antara 3.478.260 – 3.813.155 butir.
22 Bunga Rampai
Tembesu (Fagraea fragrans)
E. Peubah daya berkecambah
Daya berkecambah memberikan informasi kepada pengguna benih
akan kemampuan benih tumbuh normal menjadi tanaman yang berproduksi
normal pada kondisi sub optimum. Pengamatan dilakukan terhadap
pertumbuhan kecambah normal pada kondisi yang sesuai dalam jangka
waktu tertentu. Sebelum ditabur, benih diberi perlakuan pendahuluan berupa
imbibisi dengan H2O2 5% atau air dingin selama 24 jam.
Uji perkecambahan di laboratorium menggunakan germinator,
ulangan sebanyak 2 (dua) kali, masing-masing ulangan terdiri dari 0.05
gram. Kriteria kecambah normal bila telah muncul sepasang daun serta
tidak terserang penyakit (Gambar 5). Perhitungan awal dimulai pada hari ke
17 dan diakhiri pada hari ke-26. Uji di atas kertas (UDK) merang merupakan
metoda uji terbaik, berkisar antara 129-142 kecambah/0.05 gram. Pada uji
antar kertas (UAK) sebesar 121-140 kecambah/0.05 gram. Hal ini
mengindikasikan bahwa perkecambahan benih tembesu relatif
membutuhkan cahaya yang cukup sehingga germinator harus dilengkapi
lampu neon yang selalu menyala selama pengujian.
Berdasarkan pengujian di rumah kaca diperoleh bahwa media
perkecambahan berupa media campuran serbuk sabut kelapa (cocopeat)
Gambar 5. Kecambah normal tembesu pada hari
ke-14 (dok. Zanzibar dan Witjaksono,
2011)
23 Tembesu
Kayu Raja Andalan Sumatera
dan pasir (1:1)(v/v) atau campuran arang sekam dan pasir (1:1)(v/v) pada
bak-bak kecambah ditutup plastik transparan memberikan hasil terbaik.
Perhitungan awal dimulai pada hari ke-17 dan diakhiri pada hari ke-44. Ke
dua metoda tersebut, masing-masing antara 132-250 kecambah/0.05 gram
dan 179-253 kecambah/0.05 gram.
III. PENUTUP
Benih tembesu yang umumnya dari buah (Biji) mempunyai
sifat/karakteristik tertentu. Musim buah yang relatif singkat dan mudah
terserang hama serta karakteristik benih yang tergolong intermediate,
memerlukan penanganan yang tepat dari pengunduhan hingga
penyimpanan benih. Penanganan benih yang tepat dapat meningkatan
efisiensi pengelolahan dan produktivitas, meningkatkan daya simpan dan
daya kecambah serta meningkatkan kemungkinan bibit tumbuh sehat,
cepat, dan serentak.
DAFTAR PUSTAKA
Boland, D.J dan J.W. Turnbull, and D.A. Kleinig, 1980. Eucalyptus Seed.
Division of Forest Research CSIRO, Canberra.
BPTH - Palembang, 2000. Informasi Teknis Budidaya Tembesu. Balai
Perbenihan Tanaman Hutan Wilayah Sumatera. Ditjen RLPS.
Palembang.
Chan, Y.K. and P.F. Lam, 2002. Irradiation-induced mutations in papaya
with special emphasis on papaya ringspot resistance and delayed fruit
ripening. Working material – Improvement of tropical and subtropical
fruit trees through induced mutations and biotechnology. IAEA,
Vienna, Austria. 35 – 45 pp
Edwards, D.G.W. 1987. Methods and Procedures for Testing Tree Seeds in
Canada. Forestry Technical Report 36. Canadian Forestry Service.
Ottawa.
24 Bunga Rampai
Tembesu (Fagraea fragrans)
IAEA, 1977. Manual on Mutation Breeding. Second Edition. Join FAO/IAEA
division of atomic energy in food and agriculture. Vienna, Austria.
ISTA. 2006. International Rules for Seed Testing: Edition 2006. The
International Seed Testing Association. Bassersdorf. CH-.
Switzerland.
Kartiko. H.D.P. 2002. Penanganan Perbenihan untuk Mendukung
Pengelolaan Hutan Secara Lestari. Dalam Industri Benih di Indonesia.
Aspek Penunjang Pengembangan. Kerjasama Laboratorium Ilmu dan
Teknologi Benih. Institut Pertanian Bogor dengan PT. Sang Hyang
Seri. Bogor.
Kumari, R. and Y.Singh, 1996. Effect of gamma rays and EMS on seed
germination and plant survival of Pisum sativum and Lens culinaris
Medic. Neo Botanica 4(1) : 25 – 29.
Nitsch, J.P,1971. Perennation through seeds and other structures: Fruit
development. In : Plant physiology, a treatise. AP. pp 413 – 501
Radhadevi,D.S., and N.K.Nayar, 1996. Gamma rays induce fruit character
variations in Nendran, a varieties of banana (Musa paradasiaca L.).
Geobios : 23(2-3): 88-93.
Raghava,R.P., dan N.Raghava, 1989. Effect of gamma irradiation on fresh
on dry weight of plant part in Physsalis L. Geobios: 16(6): 261-264.
Sadjad. S. 1997. Membangun Industri Benih dalam Era Agribisnis Indonesia.
PT. Gramedia Widiasarana Indonesia. Jakarta.
Schmidth, L. 2002. Penanganan Benih Tropis dan Hutan Tropis. Ditjen
Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial. Indonesia Forest Seed
Project (IFSP). Jakarta.
Thomson, L.O. 1979. An Introduction to Seed Technology. Thomson Litho
Ltd. East Kilbride. Scotland.
Widyani N, Dede JS, Eliya S, Enoch RK, Nurkim M, Abay, Emuy S, 2010.
Standardisasi Pengujian Mutu Benih Tembesu (Fagraea fragrans
25 Tembesu
Kayu Raja Andalan Sumatera
Roxb). Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan. Tidak
diterbitkan.
Wilan, R.L. 1985. A Guide to Forest Seed Handling. FAO. United Nation.
Rome, Italy.
Zanzibar, M., N. Yuniarti, E. Suita, Megawati, D. Haryadi, dan E. Supardi.
2010. Hasil Penelitian Teknologi Perbenihan Jenis Tembesu (Fagraea
fragrans Roxb). Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Tanaman
Hutan. Tidak Diterbitkan.
Zanzibar, M, 2010. Materi Kursus Teknologi Penanganan Benih Tanaman
Hutan (Teori dan Praktek). Balai Penelitian Teknologi Perbenihan
Tanaman Hutan. Tidak Diterbitkan.
Zanzibar, M dan Witjaksono, 2011. Pengaruh Penuaan dan Iradiasi Benih
dengan Sinar Gamma (60 C) Terhadap Pertumbuhan Bibit Suren
(Toona Sureni Blume Merr). Jurnal Penelitian Hutan Tanaman: 8(2):
81 - 87.
27 Tembesu
Kayu Raja Andalan Sumatera
PEMBIBITAN JENIS TEMBESU (Fagraea fragrans Roxb)
Oleh: Agus Sofyan dan Abdul Hakim Lukman
Salah satu kendala dalam pembangunan kehutanan, baik program
pembangunan hutan tanaman, reboisasi, rehabilitasi serta kegiatan lainnya
adalah masalah ketersediaan benih atau bibit yang tidak selalu tersedia saat
dibutuhkan. Penguasaan teknik pembibitan dalam rangka pengembangan
jenis-jenis komersial sangat perlu untuk dilakukan.
Tulisan ini bertujuan untuk memberikan gambaran dan informasi
tentang hasil-hasil penelitian teknik pembibitan tembesu, baik secara
generatif maupun vegetatif agar menghasilkan bibit bermutu tinggi dalam
jumlah yang banyak dan seragam, sehingga ketersediaan bibit berkualitas
dapat tercapai.
I. TEKNIK PEMBIBITAN JENIS TEMBESU
A. Permudaan dan pengumpulan buah
1. Permudaan
Tembesu termasuk jenis tanaman pionir yang mempunyai
kemampuan regenerasi alami relatif mudah. Hasil pengamatan pada
berbagai lokasi di wilayah Sumatera Bagian Selatan (Sumatera Selatan,
Lampung dan Jambi) menunjukkan bahwa regenerasi alami tembesu terjadi
pada areal atau lahan terbuka di sekitar daerah sebaran alaminya, yang
umumnya berasal dari tunas akar (Gambar 1).
Gambar 1. Regenerasi alami tembesu melalui tunas akar
(Dok. Sofyan, 2012.)
28 Bunga Rampai
Tembesu (Fagraea fragrans)
Hal yang menarik dari jenis ini adalah bahwa, sekalipun tembesu
dapat menghasilkan atau memproduksi buah dan benih yang sangat
banyak, bahkan seringkali berlimpah pada saat musim buah (Gambar 2),
namun regenerasi alami yang berasal dari benih/biji sangat jarang dijumpai.
Pada tegakan tembesu, baik alam maupun tanaman, sangat jarang
ditemukan anakan yang berasal dari biji atau benih. Sementara pada sisi
lain, jika dilakukan pengujian perkecambahan (daya kecambah), benih
tembesu mempunyai daya kecambah yang sangat tinggi dan dapat
mencapai 100%, dengan persentase jadi bibit siap tanam yang sangat tinggi
(83,5 % - 100%).
Gambar 2. Kelimpahan bunga dan buah tembesu pada saat musim buah
2. Pengumpulan buah
Pengumpulan buah atau benih sebaiknya dilakukan dengan cara
pengumpulan langsung dari batang atau tangkai pohon. Pengumpulan buah
dapat dilakukan dengan cara memanjat atau dengan cara memotong
tangkai buah yang terdapat pada ujung-ujung ranting atau tajuk dengan
menggunakan galah pangkas.
Buah tembesu berbentuk bulat, berwarna hijau pada saat masih
muda dan berwarna merah pada saat matang. Buah yang telah masak
secara fisiologis akan gugur dengan sendirinya. Buah yang dipanen adalah
29 Tembesu
Kayu Raja Andalan Sumatera
buah-buah yang telah masak. Menurut Mulawarman et al. (2002),
pengumpulan atau pengunduhan buah sebaiknya dilakukan dengan cara
mengunduh langsung dari pohonnya, karena buah yang diambil dari bawah
tegakan (telah gugur atau rontok), seringkali kualitasnya tidak sebaik
buah/benih yang dipanen langsung dari pohon.
Buah tembesu mempunyai ukuran yang cukup variatif, baik antar
pohon maupun dalam pohon yang sama. Jumlah biji atau benih dalam satu
buah bervariasi antara 8 – 50 biji tergantung besarnya ukuran buah,
semakin besar ukuran buah maka akan semakin besar ukuran dan banyak
jumlah benih yang dikandungnya. Menurut Martawijaya et al. (2005), jumlah
buah tembesu per kilogram dapat mencapai 6.600 buah.
Mengingat tujuan pengumpulan buah adalah untuk keperluan
penanaman dengan produktivitas maksimal, maka terhadap buah dan benih
yang akan digunakan, harus dilakukan sortasi dan seleksi. Buah dan benih
yang dipilih adalah yang telah masak serta berukuran besar. Umumnya
buah dan benih yang telah masak dan berukuran besar mempunyai vigoritas
dan daya kecambah yang lebih baik (dapat mencapai 100%), dengan
demikian akan diperoleh pertumbuhan bibit yang maksimal.
Gambar 3. Benih/biji muda (a) dan benih masak/tua (b) (Dok. Sofyan, 2012)
(b) (a)
30 Bunga Rampai
Tembesu (Fagraea fragrans)
B. Ekstraksi dan penyimpanan benih
1. Ekstraksi benih
Ekstraksi adalah proses pengeluaran atau pemisahan biji atau benih
dari bagian-bagian buah lainnya, seperti tangkai, daging dan kulit buah.
Ekstraksi benih tembesu dilakukan dengan cara ekstraksi basah, yaitu
dengan menggunakan air (Gambar 4). Sebelum dilakukan ekstraksi, buah
dilepaskan terlebih dahulu dari tangkainya, kemudian dimasukkan ke dalam
wadah atau mangkuk berukuran sedang yang telah berisi air. Ekstraksi
dilakukan dengan cara meremas-remas buah sehingga benih keluar dan
terpisah dari bagian-bagian buah lainnya. Kemudian benih dibersihkan
secara berulang-ulang dengan cara menambahkan dan mengganti air yang
digunakan untuk pembersihan benih. Setelah benih sudah relatif bersih,
kemudian ditiriskan dengan menggunakan saringan halus, lalu
dikeringanginkan di atas kertas sampai seluruh benih berada pada kondisi
kering angin. Pada saat pengeringan, hindari sinar matahari secara
langsung. Setelah kering angin kemudian benih dibersihkan kembali dari
berbagai kotoran yang tersisa sehingga benar-benar bersih dan dapat
digunakan untuk keperluan pembibitan/penanaman. Untuk keperluan
penyimpanan, benih dapat disimpan di dalam refrigerator atau kulkas.
Gambar 4. Ekstraksi benih tembesu (ekstraksi basah)
31 Tembesu
Kayu Raja Andalan Sumatera
2. Penyimpanan benih
Penyimpanan benih dilakukan setelah masing-masing benih diberi
keterangan tentang status benih (nama benih, asal benih, tanggal
pengunduhan, kolektor serta keterangan lain yang diperlukan). Pada saat
penyimpanan, kondisi benih harus dipastikan dalam keadaan kering dan
tidak tercampur dengan sisa-sisa bagian buah lainnya, hal ini sangat penting
untuk menghindari munculnya jamur selama masa penyimpanan. Benih
dikemas dalam kantong plastik yang tertutup rapat, kemudian dimasukkan
dalam wadah yang kedap dan disimpan dalam refrigerator atau kulkas.
Dengan kondisi penyimpanan tersebut benih masih dapat disimpan selama
3 tahun dengan daya kecambah sebesar 62% (Sofyan et al, 2013). Benih
tembesu termasuk benih yang dapat disimpan dalam waktu relatif lama dan
berwatak intermediate.
C. Propagasi atau perbanyakan
Propagasi atau perbanyakan tanaman tembesu dapat dilakukan
dengan dua cara, yaitu secara generatif dengan menggunakan bahan atau
organ generatif berupa benih/biji dan secara vegetatif dengan menggunakan
bahan vegetatif, berupa tunas yang berasal dari batang maupun akar.
1. Perbanyakan generatif
a. Penyemaian benih
Penyemaian atau penaburan benih tembesu diawali dengan
perlakuan pendahuluan berupa perendaman benih ke dalam air selama satu
malam, kemudian benih dikering-anginkan beberapa jam di tempat teduh
(tidak terkena sinar matahari langsung). Setelah kering angin, benih
dicampur secara merata dengan pasir halus (perbandingan 1 : 5). Benih
ditabur ke dalam bak tabur yang telah berisi media pasir halus
lembab/basah yang telah steril (disangrai atau di siram fungisida cair).
Kemudian seluruh permukaan media kembali ditaburi dengan pasir halus
kira-kira setebal 1-2 mm secara merata dan disusun di atas pasir basah
(jenuh) dengan ketebalan lebih kurang 10 cm di dalam bedeng tabur yang
32 Bunga Rampai
Tembesu (Fagraea fragrans)
dibuat dengan sistem sungkup tetutup rapat (Gambar 5), agar tidak terjadi
penguapan yang keluar dari sistem sungkup.
(a) (b)
Gambar 5. Hasil semai/kecambah dalam bak tabur (a) dalam sistem sungkup (b)
Penyemaian dengan menggunakan sistem sungkup tertutup rapat,
selain aman dari berbagai gangguan, dari sisi pemeliharaan juga lebih
efesien karena tingkat kelembaban serta kebutuhan air dan suhu untuk
proses perkecambahan dapat terjaga secara optimal, sehingga benih lebih
cepat berkecambah dan penyiraman tidak perlu dilakukan setiap hari, cukup
1 kali seminggu pada saat pengamatan kecambah atau terjadi kekeringan
media. Penyiraman dilakukan dengan menggunakan sprayer secara
pengkabutan atau fogging ke dalam sungkup. Dengan sistem ini, benih
tembesu umumnya mulai berkecambah 15 - 25 hari setelah penaburan.
b. Penyapihan dan pemeliharaan
Penyapihan adalah kegiatan memindah-tanamkan atau mentrans-
plasikan semai atau kecambah yang sehat dari bak tabur ke dalam polybag
yang berisi media sapih pada umur dan ukuran tertentu. Waktu penyapihan
terbaik untuk semai tembesu adalah pada umur 7 - 8 minggu (Gambar 5a)
setelah berkecambah dengan rerata tinggi kecambah ± 1 cm (Sofyan et al.,
2006).
33 Tembesu
Kayu Raja Andalan Sumatera
Media sapih yang dapat digunakan antara lain campuran tanah
lapisan atas dengan pasir dan kompos serbuk gergaji (3:1:5) atau campuran
tanah lapisan atas dengan sabut kelapa atau cocopeat (3:1). Untuk memacu
pertumbuhan semai dapat diberikan pupuk NPK sebanyak 0,25 g/bibit atau
urea dengan dosis 0,4 g/bibit (Martin dan Sofyan, 2001). Mengingat ukuran
semai relatif kecil (+ 1 cm), maka sapihan diletakkan dalam bedeng yang
menggunakan sungkup atau naungan dengan intensitas cahaya masuk 50%
agar semai tidak mudah rusak oleh air hujan (semai terlepas atau keluar dari
dalam media sapih).
Setelah 2-3 bulan pasca penyapihan, sungkup dapat dibuka.
Pemeliharaan berupa penyiraman semai selanjutnya dilakukan dengan
menggunakan embrat atau gembor dengan ukuran lubang yang relatif kecil
dan dilakukan secara hati-hati.
Untuk melindungi bibit dari serangan hama atau penyakit, dapat
dilakukan penyemprotan fungisida atau insektisida yang berbahan aktif
ramah lingkungan serta pengaturan jarak antar bibit, terutama setelah daun
atau tajuk antar bibit sudah mulai saling bersilangan. Jika jarak antar bibit
tidak dijarangi saat/setelah tajuknya saling bersilangan, selain mudah
munculnya jamur, pertumbuhan bibit juga menjadi tidak normal dimana
pertumbuhan tinggi dan diameter menjadi tidak seimbang (tidak
proporsional).
Pada kondisi tertentu, dimana saat penyapihan dan pemeliharaan
sapihan (calon bibit) terjadi kekeringan (musim kemarau), maka penyapihan
dapat dilakukan dengan sistem „bedeng genangan‟ (ketinggian air 1 – 2 cm),
dengan menggunakan plastik pada alas atau dasar bedeng sapih.
Pada kondisi normal, bibit tembesu umumnya sudah siap ditanam
pada umur 6 – 10 bulan setelah sapih, dengan rerata tinggi 30 – 40 cm.
Pertumbuhan bibit tembesu di persemaian tentunya sangat dipengaruhi
kualitas benih (vigoritas dan daya kecambah benih), musim (penghujan atau
kemarau), serta intensitas pemeliharaan.
34 Bunga Rampai
Tembesu (Fagraea fragrans)
(a) (b)
Gambar 5. Penyapihan semai tembesu (a) dan semai/bibit umur 5 bulan (b)
2. Perbanyakan vegetatif
a. Cara perbanyakan
Tembesu termasuk salah satu jenis tanaman hutan yang mudah
dikembangkan secara vegetatif, terutama dengan teknik stek. Perbanyakan
atau pembuatan bibit tembesu melalui teknik stek, dapat dilakukan dengan
menggunakan bahan atau materi berupa tunas yang berasal dari bibit hasil
semai (stek pucuk atau stek batang), trubusan buatan hasil pangkasan
(Gambar 6a), hasil teresan (Gambar 6b) atau hasil trubusan alami (Gambar
6c) yang berasal dari pohon-pohon induk hasil seleksi.
(a) (b) (c)
Gambar 6. Tunas/trubusan hasil pangkasan batang (a), teresan/girdling (b)
dan trubusan alami (c)
35 Tembesu
Kayu Raja Andalan Sumatera
Hasil penelitian menunjukkan bahwa materi asal semai/bibit maupun
trubusan buatan serta trubusan alami, mempunyai peluang besar untuk
digunakan sebagai materi dalam pembibitan vegetatif khususnya melalui
teknik stek, sebagaimana disajikan dalam Tabel 1.
Tabel 1. Beberapa hasil penelitian pembibitan tembesu dengan teknik stek
No
Asal bahan,
media
Berakar
(%)
Bertunas
(%)
Hidup
(%)
Keterangan
Sumber
1.
Bibit umur 1 ta-hun, media pasir
93,33%
100,00%
100,00%
4 bulan setelah tanam
Sofyan
dan Muslimin (2006)
2. Trubusan alam, media pasir
58,33% 93,33% 93,33% 4 bulan setelah tanam
Sofyan dan
Muslimin (2006)
3. Bibit umur 1 ta-hun, media pasir
92,50% 92,50% 92,50% 4 bulan setelah tanam
Sofyan et al. (2013)
4. Trubusan buat-an pada pohon induk umur 6 ta-hun, umur tru-busan 10 bulan, media pasir
78,00% 87,5-96,5% 96,50% 4 bulan setelah tanam
Sofyan et al.
(2013)
Tingkat keberhasilan pembibitan dengan teknik stek sangat
dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti :
1). Faktor materi yang digunakan, terkait asal bahan, umur
bahan/trubusan, waktu pengambilan bahan. Bahan stek yang
digunakan berupa tunas muda (juvenile) yang sudah mulai berkayu
namun belum terlalu tua dan waktu pengambilan bahan stek sebaiknya
dilakukan pagi atau sore hari. Untuk menjaga kelembaban dan
mengurangi penguapan, sebelum pembuatan stek, bahan stek atau
bagian yang diambil perlu disiram terlebih dahulu, kemudian
dimasukkan ke dalam ember berisi air. Jika bahan stek tidak langsung
digunakan, maka bahan stek harus dalam keadaan basah/lembab dan
dapat disimpan dalam kantong plastik selama 2-3 hari atau direndam
dalam ember.
36 Bunga Rampai
Tembesu (Fagraea fragrans)
2). Faktor lingkungan, seperti kelembaban, temperatur dan intensitas
cahaya dalam sistem sungkup serta media yang digunakan sangat
penting bagi keberhasilan teknik stek (Hartmann et al., 1983).
Kelembaban dalam sungkup harus dijaga pada tingkat 80-95%, suhu
28-32oC, intensitas cahaya 40-50%, dengan media campuran pasir, top
soil dan kompos (2:2:3) atau campuran serbuk kulit kelapa (cocopeat),
top soil dan sekam padi.
3). Faktor teknik yang terkait dengan tingkat kecakapan pelaksana dalam
proses penyetekan, mulai dari waktu pengumpulan dan seleksi bahan
stek, cara pembuatan/pemotongan bahan stek, penanaman dan
pemeliharaan stek. Pembuatan bahan stek dilakukan dengan
memotong batang stek, minimal dua ruas (3 nodul), dipotong tepat di
bawah nodul ke tiga dengan sudut 45o. Untuk mengurangi penguapan,
bahan stek langsung direndam dalam air bersih dalam ember,
selanjutnya ditanam ke dalam polybag (dengan media campuran) yang
diletakkan di atas pasir lembab di dalam sungkup. Setelah penanaman,
perlu dilakukan pemadatan media di sekitar batang stek dengan
menggunakan dua jari, sehingga posisi stek kuat dan tidak bergoyang
saat penyiraman. Penyiraman dapat dilakukan dengan menggunakan
hand sprayer secara hati-hati.
b. Pemeliharaan selama pembentukan akar dan tunas
Pemeliharaan stek di dalam sungkup merupakan masa atau fase
yang sangat penting, karena stek belum mempunyai akar untuk menyerap
air maupun hara yang dibutuhkan. Faktor utama yang harus dijaga selama
proses pembentukan akar adalah terjaganya atau terjaminnya tingkat
kelembaban dalam sistem sungkup, sehingga stek tetap berada pada
kondisi yang segar dan dapat melakukan proses fotosintesisa dengan baik
sehingga proses pertumbuhan tunas dan akar dapat berlangsung dengan
baik. Jika terjadi penurunan kelembaban dapat dilakukan dengan
penyemprotan air secara fogging dengan menggunakan hand sprayer.
Dengan sistem sungkup dan pemeliharaan yang baik, stek tembesu mulai
menghasilkan akar sekitar 25-30 hari setelah penanaman.
37 Tembesu
Kayu Raja Andalan Sumatera
Penyapihan stek tembesu dapat dilakukan sekitar 3-4 minggu
setelah terbentuknya akar (sekitar 2 bulan setelah tanam). Pada umur
tersebut stek sudah mempunyai perakaran yang baik dan dapat ditanam ke
dalam media sapih. Penyapihan dilakukan dengan mencabut stek atau
mencongkel secara hati-hati sehingga akarnya tidak terganggu atau rusak.
Untuk memudahkan penyapihan/penanaman stek, maka pengisian media ke
dalam polybag cukup setengahnya, kemudian sesaat setelah
penanaman/penyapihan, sambil dipadatkan, medianya ditambahkan lagi,
hingga seluruh akar dan sebagian pangkal batang stek terkubur sehingga
dapat berdiri kokoh dalam polybag. Setelah proses penyapihan selesai,
kemudian susun polybag ke dalam bedeng sapih yang diberi naungan.
Proses penyapihan bibit merupakan fase penting dalam pembuatan bibit
melalui teknik stek. Menurut Sakai dan Subiakto (2007), penyapihan
merupakan tahapan kritis kedua dalam keberhasilan produksi bibit stek.
3. Pemeliharaan bibit di persemaian
Pertumbuhan bibit yang berasal dari biji maupun stek (generatif dan
vegetatif) sangat ditentukan oleh tindakan atau pemeliharaan selama bibit
berada di persemaian. Tindakan utama dalam pemeliharaan di persemaian
adalah penyiranam, penyiangan dan penyortiran. Penyiraman dilakukan
setiap hari (pagi dan sore). Pembersihan gulma atau penyiangan dapat
dilakukan 1 bulan sekali terhadap gulma-gulma yang tumbuh dalam media
atau di sekitar tanaman di persemaian. Penyortiran dilakukan pada bibit-bibit
yang mati dan pengelompokan bibit berdasarkan ukurannya, sehingga bibit
dapat tumbuh secara maksimal. Untuk memacu pertumbuhan, selama
pemeliharaan dapat diberikan pupuk urea dengan dosis 0,4 gr atau 0,25 gr
NPK per bibit/anakan, yang diberikan 1-2 bulan setelah penyapihan.
II. PENUTUP
Penguasaan teknik pembibitan atau propagasi tanaman sangat
penting dalam pembangunan hutan tanaman. Pembibitan tembesu dapat
dilakukan baik secara generatif maupun vegetatif.
38 Bunga Rampai
Tembesu (Fagraea fragrans)
Pembuatan bibit tembesu secara vegetatif dapat dilakukan dengan
materi yang berasal dari beberapa sumber, seperti semai atau bibit, tunas
atau trubusan alami dari pohon-pohon induk (umur 6 tahun), trubusan
buatan dari hasil teresan maupun hasil pemotongan atau pemangkasan
batang utama (umur 6 tahun).
Dari hasil-hasil penelitian yang telah diuraikan di atas, menunjukkan
bahwa pembuatan atau perbanyakan bibit tembesu melalui teknik stek relatif
mudah dilakukan, sehingga upaya peningkatan produktivitas dalam
pembangunan dan pengembangan hutan tanaman tembesu sangat
dimungkinkan dan mempunyai prospek yang cukup besar.
DAFTAR PUSTAKA
Hartmann, H.T., D.E. Kester and Davies, F.T. 1983. Plant Propagation
Principle and Practices. Prentice Hall. Inc. Engelwood Clift. New
Jersey.
Martawijaya, A., Kartasujana, I., Mandang, Y.I., Prawira, S.A, Kadir, K. 2005.
Atlas Kayu Indonesia. Jilid II. Badan Penelitian dan Pengembangan
Kehutanan. Departemen Kehutanan.
Martin, E. dan A. Sofyan. 2001. Perangsangan Pertumbuhan Tembesu
(Fagraea fragrans) dengan Pengaturan Intensitas Naungan dan
Pemupukan di Persemaian. Prosiding Ekspose Hasil-Hasil Penelitian
Balai Teknologi Reboisasi Palembang. Palembang, 12 November
2001. Pp.113-121. Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam. Bogor.
Mulawarman., J.M. Roshetko., S.M. Sasongko., I. Djoko. 2002. Pengelolaan
Benih Pohon, Sumber Benih, Pengumpulan dan Penanganan Benih.
Pedoman Lapang Untuk Petugas Lapang dan Petani.International
Centre for Research in Agroforestry dan Winrock International.
Sakai, C., Subiakto, A. 2007. Pedoman Pembuatan Stek Jenis-Jenis
Dipterokarpa Dengan KOFFCO System. Kerjasama Badan Litbang
Kehutanan dengan Komatsu dan JICA. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam.
Sofyan, A., A.H. Lukman dan Nasrun. 2013. Laporan Hasil Penelitian Teknik
Silvikultur Jenis Tembesu. Balai Penelitian Kehutanan Palembang.
Tidak Dipublikasi.
39 Tembesu
Kayu Raja Andalan Sumatera
Sofyan, A., I. Muslimin. 2006. Pengaruh Asal Bahan dan Media Terhadap
Pertumbuhan Stek Batang Tembesu (Fagraea fragrans Roxb).
Prosiding Ekspose Hasil-Hasil Penelitian Penelitian “Konservasi dan
Rehabilitasi Sumber daya Hutan”, Palembeng 20 September 2006.
ISBN. 9789793145358.
Sofyan, A., M. Rahmat dan Kusdi. 2006. Teknik Pembibitan Tembesu.
Prosiding Seminar Hasil-Hasil Penelitian Hutan Tanaman. Baturaja, 7
Desember 2005. Pp 15-19. Pusat Litbang Hutan Tanaman. Bogor.
41 Tembesu
Kayu Raja Andalan Sumatera
BUDIDAYA TANAMAN TEMBESU
Oleh: Abdul Hakim Lukman dan Agus Sofyan
I. PENANAMAN TEMBESU
Kegiatan penanaman merupakan salah satu bagian dari rangkaian
kegiatan dalam pembangunan hutan tanaman. Penanaman yang tepat
waktu dan tepat tempat tumbuh akan berimplikasi terhadap efisiensi
pengelolaan dan produktivitas tanaman. Penanaman yang tepat waktu, yaitu
yang dilaksanakan pada musim hujan sangat berpengaruh terhadap
keberhasilan tumbuhnya tanaman. Lokasi yang tepat, baik edafis mupun
klimatis yang sesuai dengan persyaratan tumbuh suatu jenis tanaman
berperan terhadap pertumbuhan dan produktivias hutan tanaman yang
dibangun. Tidak kalah pentingnya juga cara penanaman yang tepat dapat
berdampak terhadap keberhasilan tegakan hutan tanaman. Cara/teknik
penanaman merupakan serangkaian kegiatan yang dilakukan dalam
membangun suatu pertanaman, yang diawali dengan kegiatan penyiapan
lahan, pengaturan jarak tanam awal, penanaman bibit siap tanam, dan
pemeliharaan. Tahapan cara/teknik penanaman tembesu dan pemeliharaan
di lapangan diuraikan dalam bahasan di bawah ini.
A. Persiapan lahan
Penyiapan lahan merupakan kegiatan awal untuk mempersiapkan
tempat tumbuh sebaik mungkin bagi bibit yang akan ditanam, sehingga
kegiatan ini dapat juga disebut sebagai upaya manipulasi faktor tempat
tumbuh agar layak dan menguntungkan untuk pertumbuhan bibit yang akan
ditanam. Tujuan penyiapan lahan adalah untuk meningkatkan persentase
hidup tanaman dan pertumbuhan awal tanaman agar seragam. Beberapa
faktor yang harus dipertimbangkan dalam kegiatan penyiapan lahan adalah
kondisi vegetasi sebelum dan saat penanaman, iklim, topografi, jenis (tipe)
tanah, kesuburan tanah, peralatan, dan ketersediaan tenaga kerja, karena
akan berpengaruh terhadap pertumbuhan awal, persentase tumbuh
(survival) dan biaya pembangunan hutan tanaman (Srivastava, 1993).
42 Bunga Rampai
Tembesu (Fagraea fragrans)
Tembesu merupakan salah satu jenis tanaman yang memerlukan
cahaya penuh untuk pertumbuhannya atau intoleran terhadap naungan,
sehingga cara penyiapan lahan yang baik dalam pembuatan pertanaman
tembesu adalah dengan tebas total. Hasil penelitian Kusnandar (2002),
menunjukkan pertumbuhan awal (umur < 12 bulan) tembesu pada lahan
dengan penyiapan/pembersihan lahan manual secara total lebih baik
dibandingkan dengan pertumbuhan tembesu pada lokasi dengan penyiapan
lahan tebas jalur (semak belukar).
Kegiatan pembersihan lahan dapat dilakukan secara manual,
mekanis, kimiawi, atau kombinasinya. Lahan yang didominasi oleh alang-
alang dan mempunyai topografi datar sampai agak datar dapat disiapkan
dengan menggunakan alat mekanik (alat berat). Pada lahan berupa semak
belukar dan hutan sekunder, penyiapan lahan dilakukan secara manual,
yaitu dengan melakukan penebasan, penebangan pohon, dan
pencincangan. Biomassa hasil pembersihan lahan dirumpuk (windrowed) di
antara jalur-jalur tanam tanpa dilakukan pembakaran (Gambar 1).
Penggunaan api dalam penyiapan lahan telah dilarang oleh pemerintah
sejak tahun 1996.
Gambar 1. Perumpukan biomassa hasil pembersihan lahan diantara jalur tanam
Tahapan kegiatan penyiapan lahan berikutnya adalah mem-bera-
kan (mengistirahatkan) lahan yang telah dibersihkan selama kurang lebih
satu bulan, kemudian dilakukan penyemprotan herbisida untuk menang-
gulangi gulma yang tumbuh kembali setelah penebasan (Gambar 2). Untuk
43 Tembesu
Kayu Raja Andalan Sumatera
jenis-jenis gulma yang tidak bisa ditanggulangi dengan penyemprotan,
penanggulangan gulma dilakukan dengan penebasan. Herbisida yang
digunakan untuk memberantas gulma daun jarum sebaiknya yang bersifat
sistemik yang mengandung zat aktif glifosat, sedangkan untuk gulma daun
lebar menggunakan herbisida yang mengandung zat aktif 2,4 D Amin.
Herbisida yang mengandung zat aktif glifosat pada dosis (takaran) sebanyak
5 liter per hektar, dapat menekan pertumbuhan alang-alang selama 6 bulan
(Hendromono et al., 2006).
Gambar 2. Penyemprotan herbisida setelah satu bulan penebasan
Selesai penyemprotan herbisida, kemudian dilakukan pemasangan
ajir. Pengajiran dimaksudkan sebagai penanda tempat bibit akan ditanam
dimana jarak antar ajir disesuaikan dengan jarak tanam yang telah
ditetapkan. Ajir dibuat dari cabang atau batang tanaman dengan diameter
sekitar 1,5 – 2 cm dan panjang sekitar 1,5 – 2 m. Kegiatan selanjutnya
adalah pembuatan lubang tanam (Gambar 3) dengan ukuran 20 x 20 x 20
cm untuk tempat meletakkan bibit yang akan ditanam dan juga merupakan
salah satu cara pengolahan tanah terbatas, yang dapat memperbaiki sifat
fisik tanah agar drainase dan aerasi tanah menjadi baik untuk mendukung
pertumbuhan tanaman (Falah et al., 2005 dan Indriyanto, 2010).
44 Bunga Rampai
Tembesu (Fagraea fragrans)
Gambar 3. Pembuatan lubang tanam tepat di samping ajir tanaman
Tahapan penyiapan lahan berikutnya adalah pemberian pupuk
dasar. Pemberian pupuk dasar dapat menggunakan pupuk kandang
sebanyak 1 kg/lubang tanam. Pupuk kandang yang digunakan adalah
kotoran ayam padat atau kotoran ternak lainnya yang telah mengalami
proses pembusukan. Tujuan pemberian pupuk kandang adalah untuk
membantu menetralkan pH tanah, membantu menetralkan racun akibat
adanya logam berat dalam tanah, memperbaiki struktur tanah menjadi lebih
gembur, mempertinggi porositas tanah dan secara langsung meningkatkan
ketersediaan hara tanah, serta membantu mempertahankan suhu tanah
agar stabil. Pemberian pupuk dasar berupa kotoran ayam (pupuk kandang)
sebanyak 1 kg/lubang tanam pada tanah podsolik merah kuning
berpengaruh positif terhadap pertambahan diameter awal tembesu (Tabel 1)
dibanding tanpa pemberian pupuk dasar (Lukman et al., 2005).
Tabel 1. Pengaruh pupuk kandang terhadap pertumbuhan awal tembesu
Pupuk kandang
PertambahanTinggi (cm)
Pertambahan Diameter (cm)
20 bst Pertambahan/th 20 bst Pertambahan /th
0 kg/lubang tanam 154,7 92,82 2,4 1,44
1 kg/lubang tanam 148,4 89,04 2,9 1,75
Keterangan: bst = bulan setelah tanam
45 Tembesu
Kayu Raja Andalan Sumatera
B. Pengangkutan bibit ke lapangan
Bibit tembesu yang akan ditanam adalah bibit-bibit hasil seleksi dari
persemaian yang mempunyai kualitas yang baik, yaitu batangnya lurus
tunggal dan berkayu; daun segar hijau; dan tidak terserang penyakit; dan
pertumbuhannya relatif seragam, dengan kisaran tinggi 30-50 cm dan
diameter 4 - 6 mm. Bibit yang sudah terpilih diangkut ke lokasi penanaman.
Waktu pengangkutan sebaiknya pada pagi hari dan dilakukan penyiraman
terlebih dahulu dengan tujuan untuk mengurangi penguapan yang terlalu
besar sehingga kematian bibit akibat transportasi dapat diminimalkan.
Sesampainya di lokasi penanaman, bibit-bibit diistirahatkan/dibiarkan
beberapa waktu (± 2 minggu) untuk beradaptasi dengan kondisi lingkungan
sekitar areal penanaman. Selanjutnya bibit siap untuk ditanam pada lubang-
lubang tanam yang telah disiapkan (Gambar 4).
Gambar 4. Bibit tembesu siap tanam
46 Bunga Rampai
Tembesu (Fagraea fragrans)
C. Pola tanam tembesu
Pola tanam dalam pembangunan hutan tanaman tembesu dapat
diklasifikasikan pada 2 (dua) pola, yaitu monokultur (murni) dan campuran.
1. Monokultur
Pola tanam monokultur merupakan cara penanaman yang hanya
terdiri dari satu jenis tanaman pokok (tembesu) dan dusahakan secara
seragam. Jarak tanam awal dalam pola monokultur biasanya lebih rapat
dibandingkan dengan pola campuran. Penanaman tembesu dengan pola
monokultur menggunakan jarak tanam awal yang rapat yaitu 2,5 m x 1 m
atau 3 m x 2 m (Lemmens et al.,1995, dan Lukman et al., 2010). Percobaan
penanaman dengan jarak tanam yang lebih lebar (3 m x 5 m) menyebabkan
munculnya percabangan yang lebih banyak dengan tinggi bebas cabang
yang rendah (Lukman, 2005).
Penanaman bibit tembesu dilakukan pada lubang tanam yang telah
dibuat pada tahapan penyiapan lahan. Bibit tembesu ditanam dengan
terlebih dahulu membuka kantong plastik (polybag), memasukkan ke dalam
lubang tanam, menutup lubang dengan lapisan topsoil, memadatkan tanah
di sekitar tanaman dan memasang kantong plastik (polybag) pada kepala
ajir sebagai tanda bahwa pada tempat tersebut sudah diadakan
penanaman. Waktu penanaman tembesu sebaiknya dilaksanakan pada saat
musim atau kondisi hujan merata sepanjang hari.
Pemilihan jarak tanam awal ditentukan terutama berdasarkan
pemanfaatan akhir hasil kayu, dan untuk perolehan bentuk batang. Pada
umumnya tanaman dengan jarak tanam lebar menghasilkan batang dengan
percabangan yang berat (rimbun), sukar luruh, dan bahkan berbatang ganda
(multishoots). Untuk pemanfaatan sebagai kayu chip (kayu pulp) dan kayu
bakar, bentuk batang tidak begitu penting, karena produksi biomasa total
dari pohon yang berbatang ganda dan banyak cabang menghasilkan volume
yang lebih besar. Sebaliknya penanaman yang ditujukan untuk
menghasilkan kayu gergajian, membutuhkan jumlah pohon persatuan luas
47 Tembesu
Kayu Raja Andalan Sumatera
yang optimal untuk menghasilkan kualitas batang yang baik pada akhir daur
(Gambar 5).
Gambar 5. Tegakan tembesu pada pola tanam monokultur
2. Campuran
Pada pola tanam campuran, tegakan tembesu bercampur dengan
jenis-jenis tanaman lain selain tembesu, dapat dengan jenis tanaman
pertanian atau perkebunan seperti karet. Di dalam pola campuran ini, pada
umumnya di masyarakat keberadaan tanaman tembesu tidak secara
sengaja ditanam, melainkan tumbuh secara alami dan terus dipelihara
sampai tanaman besar. Tanaman tembesu muda akan dimatikan/tidak
dipelihara, jika jarak antar tanaman tembesu dengan tanaman karet terlalu
dekat atau dianggap akan mengganggu terhadap pertumbuhan tanaman
karet (Gambar 6).
Tingkat kerapatan tanaman tembesu di dalam areal kebun karet
mempengaruhi pertumbuhan dan produktivitas hasil latek maupun
pertumbuhan tembesunya sendiri. Tingkat kerapatan tanaman yang tinggi
atau jarak antar tanaman terlalu rapat, akan menurunkan pertumbuhan dan
produktivitas hasil latek, begitu juga terhadap pertumbuhan tembesu.
Jumlah populasi tembesu per hektar yang optimum di dalam areal kebun
karet dengan populasi antara 400-450 pohon/ha adalah 25-50 pohon/ha,
48 Bunga Rampai
Tembesu (Fagraea fragrans)
yang dapat menghasilkan pertumbuhan lilit batang tembesu terbaik.
Sedangkan pertumbuhan lilit batang karet dan hasil latek yang terbaik
dihasilkan dari populasi tembesu maksimal 25 pohon/ha (Rosyid, 2011).
Gambar 6. Pola campuran karet dengan tembesu
II. PEMELIHARAAN TEMBESU
A. Penyiangan
Pemeliharaan tanaman tembesu pada awal pertumbuhan mutlak
harus dilakukan karena pertumbuhan tanaman awal, khususnya pada tahun
pertama akan menentukan produktivitas tanaman di akhir daur (Hardiyanto,
2005). Penyiangan (pengendalian gulma) merupakan salah satu kegiatan
pemeliharaan yang menentukan kecepatan pertumbuhan awal suatu
tanaman. Hal ini karena gulma akan berkompetisi dengan tanaman pokok
dalam menyerap hara, air, dan sinar matahari, sehingga pertumbuhan
tanaman pokok akan terganggu.
Kegiatan pembersihan tumbuhan bawah (penyiangan) pada
pertanaman tembesu dilakukan secara tebas total dengan periode 3 – 4 kali
pada tahun pertama dan kedua, kemudian pada tahun berikutnya dapat
dikurangi menjadi 2 kali setahun. Pada saat tajuk antar pohon sudah saling
49 Tembesu
Kayu Raja Andalan Sumatera
bertemu atau kanopi telah menutup, kegiatan penyiangan tidak diperlukan
lagi, karena pertumbuhan gulma dengan sendirinya akan tertekan akibat
berkurangnya intensitas cahaya yang masuk ke lantai hutan.
Aplikasi herbisida untuk pengendalian gulma hutan tanaman juga
diperlukan. Pada umumnya aplikasi herbisida lebih efektif dalam
pengendalian gulma dibandingkan dengan cara manual. Untuk pertanaman
tembesu, kombinasi penyiangan cara manual (tebas total) dengan
penyemprotan herbisida yang dilakukan 1-2 minggu setelah penebasan
lebih baik dalam menekan pertumbuhan gulma.
B. Pemupukan
Kegiatan pemupukan pada hutan tanaman saat ini sudah menjadi
bagian yang penting dalam praktek silvikultur. Menurut Hardiyanto (2005),
kebanyakan hutan tanaman di luar Jawa dikembangkan pada tanah podsolik
merah kuning (ultisol, oxisol) yang secara alami memiliki tingkat kesuburan
rendah. Dengan demikian, pada tanah seperti ini kegiatan pemupukan
(managemen hara) sangat penting untuk menunjang produktivitas yang
tinggi.
Hasil ujicoba yang dilakukan Balai Penelitian Kehutanan Palembang
di Kebun Percobaan Way Hanakau, Lampung, menunjukkan aplikasi pupuk
NPK sebanyak 75 – 100 g/tanaman yang dikombinasikan dengan pupuk
kandang 1 kg per lubang tanam menghasilkan pertumbuhan tembesu
dengan riap diameter 1,3 cm/tahun, lebih baik dibanding tanpa pemupukan
(Lukman, 2005). Sedangkan hasil ujicoba lainnya yang dilakukan di
Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Benakat, Kabupaten
Muara Enim, Sumatera Selatan, menunjukkan bahwa aplikasi pupuk
kandang (kotoran ayam) dan pupuk SP36 sebanyak 100 g/tanaman
menghasilkan pertumbuhan tinggi dan diameter batang tembesu sampai
umur 3 tahun, sebesar 4,9 m dan 7,4 cm (Junaidah et al., 2009).
C. Pemangkasan
Pemangkasan cabang dan penjarangan merupakan aspek silvikultur
yang sangat penting untuk produksi kayu pertukangan. Kegiatan
50 Bunga Rampai
Tembesu (Fagraea fragrans)
pemangkasan cabang umumnya dilakukan pada jenis-jenis pohon yang
memiliki kemampuan melepaskan cabang secara alami (self pruning)
rendah, seperti jenis tembesu. Pemangkasan cabang dimaksudkan untuk
menghasilkan kayu yang bebas mata kayu (knot free), sementara
penjarangan bertujuan untuk mendapatkan pohon berdiameter lebih besar
yang secara ekonomis memiliki nilai lebih tinggi.
Pemangkasan pada tanaman tembesu perlu dilakukan sedini
mungkin untuk mencegah menurunnya kualitas kayu akibat banyaknya mata
kayu, selain itu pemangkasan cabang pada umur muda lebih efektif karena
ukuran cabang kecil (Government of South Australia, tanpa tahun). Alat
yang digunakan dalam kegiatan pemangkasan cabang tergantung dari
ukuran diameter cabang yang akan dipangkas dan ketinggian cabang dari
permukaan tanah. Untuk tanaman tembesu yang berumur 1-2 tahun dan
diameter cabang 0,5-1,5 cm, pemangkasan cabang dapat menggunakan
gunting pruning atau gergaji pruning manual, sedangkan pada tanaman
yang berumur 3 tahun ke atas dan berdiameter cabang lebih dari 2 cm, alat
pangkas yang digunakan adalah gergaji pruning bergagang (manual atau
bermesin) (Gambar 7).
Gambar 7. Kegiatan pemangkasan cabang tembesu pada berbagai fase pertumbuhan tanaman
b
51 Tembesu
Kayu Raja Andalan Sumatera
Pemangkasan cabang di samping ditujukan untuk menghasilkan
batang bebas cabang yang tinggi dan bebas mata kayu, juga berpengaruh
positif terhadap pertumbuhan tanaman tembesu. Hasil ujicoba
pemangkasan pada tanaman tembesu umur 16 bulan, setelah 20 bulan
dipangkas menunjukan pertumbuhan diameter yang lebih tinggi dibanding
dengan tanaman yang tidak dipangkas. Intensitas pemangkasan cabang
tembesu yang terbaik adalah 50% dari tinggi total. Perlakuan ini
menghasilkan pertambahan diameter batang 23,7 % lebih tinggi
dibandingkan dengan tanpa pemangkasan (Gambar 8 dan Tabel 2),
walaupun tidak berpengaruh secara nyata terhadap pertambahan tinggi
(Lukman et al., 2010).
Gambar 8. Tegakan tembesu yang tidak dipangkas dan setelah pemangkasan dengan tumpukan sampah hasil pangkasan diantara jalur tanaman
Tabel 2. Pertumbuhan tanaman tembesu setelah 20 bulan dipangkas
(Umur pada saat pemangkasan 16 bulan)
Intensitas pemang-
kasan (% )
3 m x 1 m 3 m x 2 m
Pert. Tinggi (cm)
Pert. Diameter
(cm)
Pert. Cabang
(btg)
Pert. Tinggi (cm)
Pert. Diameter
(cm)
Pert. Cabang (buah)
0 (kontrol) 392,91 2,19 6,51 315,69 2,81 8,52
40 404,90 2,27 9,72 342,89 3,47 11,69
50 432,10 2,23 12,93 325,44 3,48 11,78
60 404,41 2,29 15,83 333,74 3,11 15,65
Keterangan: Pert. = pertambahan
a
52 Bunga Rampai
Tembesu (Fagraea fragrans)
Pemangkasan cabang tembesu harus dilakukan secara bertahap
yang dimulai pada umur di bawah 24 bulan. Kegiatan pemangkasan
tembesu pada umur di atas 36 bulan (41 bulan), dengan intensitas 40 – 60%
dari tinggi total, tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap
pertumbuhan setelah 41 bulan dipangkas (Tabel 3). Walaupun demikian,
dengan adanya perlakuan pemangkasan cabang bagian bawah, menjadikan
tinggi bebas cabangnya bertambah.
Tabel 3. Pertumbuhan tanaman tembesu setelah 41 bulan dipangkas (Umur pada saat pemangkasan 41)
Intensitas pemangkasan
(%)
Diameter (cm) Tinggi (m)
41 bst
58 bst
70 bst
82 bst
41 bst
58 bst
70 bst
82 bst
Kontrol (0) 8.3 10.5 11.8 12.9 5.7 8.1 9.6 12.2
40 8.3 10.8 12.1 13.3 5.6 8.1 9.7 11.5
50 8.9 10.8 12.2 13.0 6.5 8.4 10.0 11.4
60 8.7 10.1 11.8 12.8 5.9 8.5 10.6 12.0 Keterangan: bst = bulan setelah tanam
D. Penjarangan
Penjarangan merupakan tindakan pemeliharaan dalam mengatur
ruang tumbuh dengan cara mengurangi kerapatan tegakan untuk
meningkatkan pertumbuhan dan kualitas pohon (Direktorat Jenderal
Pengusahaan Hutan,1990). Menurut Kosasih et al. (2002), penjarangan
merupakan tindakan pengurangan jumlah batang per satuan luas untuk
mengatur kembali ruang tumbuh pohon dalam rangka mengurangi
persaingan antar pohon dan meningkatkan kesehatan pohon dalam
tegakan. Pada umumnya, untuk jenis pohon yang lambat tumbuh, seperti
tembesu, penjarangan yang pertama dilakukan pada umur 5-10 tahun.
Menurut Lemmens et al. (1995), penjarangan tegakan tembesu dilakukan
mulai umur 5 tahun ke atas, dan selanjutnya penjarangan dilakukan setiap
10 tahun.
Hasil ujicoba penjarangan pertama pada tegakan tembesu umur 5
tahun dengan jarak tanam awal 3 m x 2 m (Tabel 4), menunjukkan bahwa
pola penjarangan untu walang (Gambar 9) menghasilkan pertumbuhan
53 Tembesu
Kayu Raja Andalan Sumatera
diameter yang lebih tinggi dibanding kontrol (tidak ada perlakuan
penjarangan). Peningkatan diameter pohon pada pola penjarangan untu
walang berkisar antara 4,1 – 8,2 % dari kontrol.
Tabel 4. Pengaruh penjarangan terhadap pertumbuhan diameter dan tinggi tembesu
Pola Penjarangan
Diameter (cm) Tinggi (m)
awal 1 tsp 2 tsp 3 tsp awal 1 tsp 2 tsp 3 tsp
Kontrol 9,2 10,7 11,7 13,1 6,5 8,6 10,2 11,8
Untu walang 9,0 11,1 12,6 13,7 6,7 8,5 10,1 11,6
Tebang baris 9,1 11,0 12,2 13,5 6,5 8,5 10,6 11,8
Keterangan: tsp = tahun setelah penjarangan
x x x x x x x x
x x x x
x x x x
x x x x x x x x
x
x
x
x
x
x
x
x
x x x x x x x x
x
x
x
x
x
x
x
x
x x x x x x x x
x
x
x
x
x
x
x
x
x x x x x x x x
x
x
x
x
x
x
x
x
x x x x x x x x
x
x
x
x
x
x
x
x
x x x x x x x x
x
x
x
x
x
x
x
x
x x x x x x x x
x x x x
x x x x
Kontrol Untu walang Tebang 1 baris
Gambar 9. Tiga macam pola penjarangan yang diujicobakan pada tegakan tembesu umur 5 tahun di KHDTK Benakat, Sumatera Selatan
III. PENUTUP
Membangun pertanaman tembesu sebaiknya dilaksanakan dengan
perencanaan yang matang yang dimulai dari kesiapan pengadaan bibit yang
berkualitas, penyiapan lahan secara tebas total, pengaturan jarak tanam
sesuai tujuan peruntukan, dan pemeliharaan yang intensif yang dimulai dari
pemberian pupuk kandang sebagai pupuk dasar, pemberian pupuk lanjutan
NPK, perlakuan pemangkasan cabang sejak umur muda, dan penjarangan
pada umur 5-10 tahun. Dengan mengikuti tahapan-tahapan di atas
54 Bunga Rampai
Tembesu (Fagraea fragrans)
diharapkan pertumbuhan tembesu akan optimal dengan produktivitas yang
tinggi dan lestari, baik dari aspek produksi maupun aspek lingkungan.
DAFTAR PUSTAKA
Direktorat Jenderal Pengusahaan Hutan, 1990. Pedoman dan Petunjuk
Teknis Pemeliharaan. Jakarta.
Falah, M. D., H. Supriyo, dan S. Hardiwinoto. 2005. Pengaruh Cara
Penyiapan Lahan, Pupuk Kompos dan Olah Tanah terhadap
Pertumbuhan Gmelina arborea Roxb. Prosiding Seminar Nasional
Peningkatan Produktivitas Hutan. Fakultas Kuhutanan UGM dan
ITTO. Yogyakarta.
Governnment of South Australia. _________. Forestry. Pruning for
clearwood in Radia pine plantation. Forestry Development Fact
Sheet. Number 07.
Hardiyanto, E. B. 2005. Beberapa Isu Silvikultur dalam Pengembangan
Hutan Tanaman. Prosiding Seminar Nasional Peningkatan
Produktivitas Hutan. Yogyakarta, 26-27 Mei 2005. Peran Konservasi
Sumber Daya Genetik, Pemuliaan dan Silvikultur dalam Mendukung
Rehabilitasi Hutan. ITTO dan Fakultas Kehutanan UGM. Yogyakarta.
Hendromono, Y. Heryati, dan N. Mindawati. 2006. Teknik Silvikultur Hutan
Tanaman Industri. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan
Tanaman. Bogor.
Indriyanto. 2010. Pengantar Budidaya Hutan. PT. Bumi Aksara. Jakarta.
Junaidah, A. H. Lukman, D. Prakosa, dan Nasrun. 2009. Teknik Silvikultur
Tembesu (Fagraea fragrans Roxb.). Laporan Hasil Penelitian Tahun
2009. Balai Penelitian Kehutanan. Palembang. (Tidak dipublikasi).
Kosasih, A.S. 2002. Petunjuk Teknis Pemeliharaan dan Perlindungan pada
introduksi Jenis Pohon Hutan. Info Hutan No. 151. Pusat Penelitian
dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam. Bogor.
55 Tembesu
Kayu Raja Andalan Sumatera
Kusnandar, E. 2002. Laporan Uji Coba Teknik Persemaian dan Penanaman
Tembesu (Fagraea fragrans) di Sumatera Selatan. Proyek Penelitian
Hutan Tanaman Tahun 2001. Palembang.
Lemmens, R.H.M.J., Soerianegara, I., dan Wong, W.C. (Editor). 1995.
Plants Resources of South East Asia No. 5(2). Timber Trees : Minor
Commercial Timbers, Backhuys Publishers, Leiden.
Lukman, A.H., A. Sofyan, Kusdi dan T.R. Saepuloh. 2005. Laporan
Teknologi Silvikultur Tanaman Jenis-Jenis Prioritas. Laporan Proyek
Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman Kawasan Barat
Indonesia Tahun Anggaran 2004. Palembang.
Lukman, A.H. 2005. Aspek Teknik Silvikultur dalam Menunjang
Pembangunan Hutan Tanaman Tembesu. Prosiding Seminar Hasil-
hasil Penelitian Hutan Tanaman, Baturaja 7 Desember 2005. Pusat
Penelitian dan Pengembanganan Hutan Tanaman. Badan Litbang
Kehutanan. Bogor.
Lukman, A.H., A. Sofyan, Junaedah dan R. Effendi. 2010. Pengaruh
Pemangkasan terhadap Petumbuhan Tembesu (Fagraea fragrans
Roxb.) pada Dua Jarak Tanam Berbeda. Prosiding Seminar Nasional.
Kontribusi Litbang dalam Peningkatan Produktivitas dan Kelestarian
Hutan. Bogor, 29 November 2010. Pusat Litbang Peningkatan
Produktivitas Hutan. Bogor.
Rosyid, M.J. 2011. Pembangunan Hutan Tanaman dengan Pola Tanam
Campuran Karet dan Kayu-kayuan. Prosiding Seminar Hasil
Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang. 13 Juli 2011. Pusat
Litbang Peningkatan Produktivitas Hutan. Bogor.
Srivastava, P.B.L. 1993. Silvicultural Practices. Acacia mangium Growing
and Utilization. Awang, K dan D. Taylor (Eds). Winrock International
dan FAO. Bangkok.
57 Tembesu
Kayu Raja Andalan Sumatera
POTENSI DAN PERTUMBUHAN TEMBESU DALAM
PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT
Oleh: Agus Sumadi dan Hengki Siahaan
I. PENDAHULUAN
Tembesu (Fagraea fragrans) merupakan salah satu jenis tanaman
unggulan lokal di wilayah Sumatera Bagian Selatan. Secara sosial,
masyarakat di wilayah ini telah mengenal jenis tembesu sebagai tanaman
budidaya penghasil kayu walaupun pemeliharaan dan pengelolaannya
belum dilakukan secara baik dan terencana. Umumnya jenis ini tumbuh
secara alami, baik pada hutan alam maupun pada kebun-kebun milik petani,
namun demikian beberapa petani juga telah melakukan budidaya dengan
sengaja menanamnya secara campuran dengan jenis tanaman lainnya.
Budidaya tembesu pada lahan milik yang dikenal sebagai hutan rakyat
tembesu, umumnya dikembangkan dalam bentuk agroforestri terutama
dengan jenis karet. Tujuan utamanya adalah produk tanaman pertanian,
misalnya getah karet, dan produk kayu adalah hasil sampingan.
Kayu tembesu mempunyai beberapa keunggulan, yaitu kayunya
termasuk ke dalam kelas kuat II-I, kelas awet I, ketahanannya terhadap
serangan jamur dengan kelas ketahanan jamur II dan kemudahan
pengerjaannya karena tidak mudah retak dalam pengolahannya
(Martawijaya et al., 2005). Karena keunggulan ini, kayu tembesu sangat
disukai oleh pengrajin ukiran dan meubelair terutama di Kota Palembang.
Tingginya permintaan terhadap kayu tembesu mengakibatkan
terjadinya ekploitasi yang berlebihan terhadap tegakan tembesu, baik dari
hutan alam maupun dari lahan masyarakat. Dampaknya saat ini telah terjadi
kelangkaan bahan baku tembesu dan sekalipun dapat diperoleh, harganya
menjadi sangat tinggi sehingga pengrajin ukiran dan meubel beralih pada
jenis kayu lainnya yang mempunyai kelas yang lebih rendah dibanding kayu
tembesu. Dampak lanjutan yang terjadi adalah melambungnya harga produk
ukiran dan meubel berbahan kayu tembesu, sehingga tidak terjangkau oleh
58 Bunga Rampai
Tembesu (Fagraea fragrans)
masyarakat pengguna, dan pasar produk tembesu menjadi surut dan tidak
berkembang.
Beberapa faktor yang mengakibatkan rendahnya suplai kayu
tembesu antara lain adalah riap tembesu yang relatif rendah, kegiatan
budidaya yang sangat terbatas, dan pengelolaan yang sangat konvensial
pada lahan-lahan milik masyarakat. Berdasarkan model pertumbuhan
tembesu pada hutan rakyat, diameter tembesu pada umur 20 tahun adalah
26,6 cm (riap diameter = 1,3 cm/tahun), tinggi 21,1 m (riap tinggi = 1,1
m/tahun), volume rata-rata per pohon sebesar 0,39 m3 dan kerapatan efektif
438 pohon/ha, maka diperoleh hasil sebesar 170,2 m3 atau riap volume
sebesar 8,51 m3/ha/tahun (Sumadi dan Saepuloh, 2011). Oleh karena itu,
agar pengelolaan hutan rakyat tembesu dapat memberikan hasil yang
optimal perlu dilakukan upaya peningkatan riap melalui perlakuan silvikultur
intensif (penggunaan bibit unggul, manipulasi lingkungan, dan pengendalian
hama dan penyakit secara terpadu). Selain itu pengelolaan harus dilakukan
secara terencana, antara lain pemilihan pola tanam yang sesuai, misalnya
penerapan pola agroforestri dengan jenis-jenis tanaman jangka pendek dan
bersifat kontinu seperti karet, karena produk kayu baru dapat diperoleh pada
akhir daur atau periode penjarangan.
Pengelolaan hutan rakyat tembesu memerlukan berbagai perangkat
yang memungkinkan pengelolaan dilakukan secara terencana mulai dari
penanaman hingga pemanenan. Penentuan jarak tanam, pengaturan
kerapatan sepanjang daur, penilaian potensi tegakan, serta pertumbuhan
dan hasil merupakan serangkaian informasi yang sangat dibutuhkan oleh
pemilik hutan rakyat untuk melakukan pengelolaan yang optimal
(Harbagung, 2010). Tulisan ini menyajikan hasil-hasil penelitian
pertumbuhan tembesu pada hutan rakyat di berbagai lokasi di Provinsi
Sumatera Selatan dan Jambi. Penyusunan model yang diperlukan
didasarkan pada data hasil pengukuran berseri petak ukur permanen yang
dibangun pada berbagai lokasi pengembangan. Walaupun hasil yang
diperoleh disajikan dalam bentuk model, persamaan atau tabel hasil namun
pembahasan lebih ditekankan pada pemahaman dan aplikasi model
59 Tembesu
Kayu Raja Andalan Sumatera
sehingga lebih mudah untuk dipahami dan diterapkan oleh pengelola hutan
rakyat yang mengembangkan jenis tembesu.
II. PENILAIAN POTENSI TEGAKAN TEMBESU
A. Inventarisasi Potensi Tegakan
Inventarisasi tegakan dilakukan untuk mengetahui potensi tegakan
pada waktu tertentu (Loetsch et al, 1973; Vanclay, 1994). Inventarisasi
tegakan dapat dilakukan dengan teknik sampling maupun secara sensus.
Teknik sampling dilakukan pada hutan tanaman yang dikembangkan dalam
skala luas, sedangkan pada hutan rakyat tembesu yang umumnya memiliki
luasan yang relatif kecil (sekitar 1 ha), inventarisasi potensi tegakan dapat
dilakukan secara sensus.
Inventarisasi pada hutan rakyat dilakukan dengan mencatat
diameter setinggi dada dan tinggi setiap pohon yang terdapat pada lahan
yang dimiliki. Pada kegiatan inventarisasi, penomoran pohon diperlukan
agar pengukuran dapat dilakukan secara teratur dan mudah. Di samping itu
penomoran dapat bermanfaat untuk mengetahui pertumbuhan setiap
individu pohon, jika dilakukan pengukuran berulang. Data yang diperoleh
melalui kegiatan inventarisasi pada hutan rakyat adalah nilai diameter
setinggi dada dan tinggi setiap pohon dalam tegakan. Untuk memperoleh
volume tegakan per pohon maka diperlukan model penduga volume pohon
ataupun tabel volume. Jika volume per pohon telah diketahui, maka potensi
tegakan dapat diperoleh dengan menjumlahkan volume seluruh pohon
dalam tegakan. Demikian pula potensi tegakan per satuan luas (misalnya
volume per hektar) dapat diketahui dengan membagi total seluruh volume
individu pohon dengan luas lahan yang dimiliki.
B. Model Penduga dan Tabel Volume Tembesu
Model penduga volume diperlukan untuk mengetahui secara akurat
volume setiap individu pohon yang telah diketahui diameternya atau
diameter dan tingginya (Clutter et al, 1983). Volume pohon yang diduga
adalah volume batang hingga diameter ujung 10 cm, dengan pertimbangan
60 Bunga Rampai
Tembesu (Fagraea fragrans)
bahwa pemanfaatan kayu tembesu dapat dilakukan hingga diameter terkecil
10 cm. Model disusun dengan menggunakan 33 pohon sampel yang
terdapat pada hutan rakyat tembesu di Kabupaten Sarolangun Jambi.
Pohon sampel memiliki kisaran diameter antara 11,69 sampai 37,58 cm
dengan tinggi dari 12,2 m sampai 20,8 m. Volume pohon didekati dengan
membagi batang menjadi beberapa seksi yang panjangnya 1 meter
sehingga bentuknya mendekati silinder. Volume pohon merupakan
penjumlahan dari seluruh seksi batang yang dapat diperoleh. Pengukuran
diameter seksi batang ini dilakukan dengan cara memanjat (Gambar 1).
Gambar 1. Pengukuran diameter seksi tegakan tembesu untuk penyusunan model penduga volume pohon
Penyusunan model penduga volume jenis tembesu dilakukan
dengan cara membuat hubungan regresi antara volume pohon
(penjumlahan volume seksi batang) dengan satu variabel yaitu diameter
setinggi dada atau dengan dua variabel yaitu tinggi dan diameter. Dengan
cara demikian diperoleh model penduga volume pohon dengan prediktor
tunggal diameter setinggi dada dan model dengan prediktor ganda, yaitu
tinggi dan diameter (Tabel 1). Model penduga volume dapat disajikan dalam
bentuk tabel hasil agar pemanfaatannya dapat lebih praktis (Clutter et al,
61 Tembesu
Kayu Raja Andalan Sumatera
1983). Pada Tabel 2 disajikan tabel volume berdasarkan model penduga
dengan variabel tunggal diameter setinggi dada, yang lebih dikenal sebagai
tarif volume.
Kedua model penduga volume pada Tabel 1 merupakan model yang
akurat dan valid dalam menduga volume tegakan tembesu. Simpangan rata-
rata (SR) model penduga prediktor tunggal diameter adalah 2,39% dan akan
berkurang menjadi 2,15% apabila menggunakan model dengan prediktor
ganda diameter dan tinggi. Demikian pula dengan simpangan agregat (SA)
yang berkurang dari 0,41% menjadi 0,07%. Hal ini berarti bahwa pendugaan
dengan prediktor ganda mempunyai tingkat kesalahan yang lebih kecil.
Namun pada dasarnya kedua model telah memenuhi persyaratan yang
diperlukan untuk menduga volume tegakan, yaitu SR < 10% dan SA < 1%
(Spurr, 1951; Husch et al, 2003; Huang et al, 2003).
Tabel 1. Nilai R2, simpangan rata-rata (SR) dan Simpangan agregat (SA)
model penduga volume pohon tembesu
No. Model penduga R
2 adj
(%) SR (%)
SA (%)
1. V=0.000275 D 2.187
97 2.39 0.41
2. V = 0.0000912 D 2.129
H 0.451
97 2.15 0.07
Tabel 2. Tabel volume tembesu berdasarkan model penduga dengan prediktor tunggal diameter (tarif volume)
D* (cm)
V10 (m
3)
D* (cm)
V10
(m3)
D* (cm)
V10
(m3)
18 0,15 29 0,43 40 0,88
19 0,17 30 0,47 41 0,93
20 0,19 31 0,50 42 0,98
21 0,21 32 0,54 43 1,03
22 0,24 33 0,58 44 1,08
23 0,26 34 0,61 45 1,13
24 0,29 35 0,65 46 1,19
25 0,31 36 0,70 47 1,25
26 0,34 37 0,74 48 1,31
27 0,37 38 0,78 49 1,37
28 0,40 39 0,83 50 1,43
Ket.: * D = diameter at breast heigh (diameter setinggi dada)
Pemilihan penggunaan kedua model penduga disesuaikan dengan
ketersediaan data dari pengelolaan hutan. Jika yang tersedia hanya data
62 Bunga Rampai
Tembesu (Fagraea fragrans)
diameter setinggi dada maka cukup menggunakan persamaan pertama.
Selain itu persamaan pertama lebih praktis karena pengukuran diameter
cukup mudah dilakukan sehingga datanya mudah diperoleh sedangkan
persamaan kedua memerlukan data tinggi dalam pendugaan volume pohon
berdiri. Pengukuran tinggi di lapangan mempunyai tingkat kesulitan
tersendiri, yaitu alat ukur yang cukup mahal, kesulitan pengukuran karena
kondisi tajuk yang saling berhimpitan, dan waktu pengukuran yang cukup
lama (Krisnawati, 2007). Oleh karena itu, untuk pendugaan nilai tegakan
dalam skala luas, lebih dianjurkan menggunakan persamaan pertama
karena dapat menghemat waktu dan biaya.
III. PERTUMBUHAN TEGAKAN TEMBESU
Tembesu merupakan jenis pohon yang memiliki pertumbuhan
lambat dengan daur sekitar 25 tahun. Pola pembangunan tembesu cocok
dikembangkan menggunakan sistem campuran dengan tanaman lain agar
dapat memberikan hasil yang lebih cepat dari tanaman lainnya, seperti karet
yang dapat diproduksi mulai umur 5 tahun. Pengembangan pola campuran
untuk jenis tembesu merupakan salah satu solusi tepat yang dapat
diterapkan pada hutan rakyat. Winarno & Waluyo (2007) menjelaskan
bahwa pola tanam yang dikembangkan di hutan rakyat disesuaikan dengan
kondisi dan luas lahan yang tersedia serta kondisi pasar dan kebutuhan
masyarakat. Salah satu pola tanam yang ada berupa pola campuran antara
tanaman kehutanan dan tanaman perkebunan.
Pengembangan tembesu pola campuran banyak ditemukan pada
hutan rakyat di Kabupaten OKU Timur. Tradisi masyarakat untuk
membudidayakan tembesu telah ada sejak lama. Tembesu di lokasi tersebut
tumbuh secara alami pada saat pembukaan lahan untuk penanaman karet.
Pada kegiatan pembukaan lahan, masyarakat dengan sengaja memelihara
trubusan atau anakan tembesu liar yang ada di lahan. Pada umumnya
kondisi pohon tembesu saat pembukaan lahan masih kecil dan
pertumbuhannya tertekan. Setelah penanaman karet masyarakat terus
memelihara tembesu yang ada di antara sela-sela karet.
63 Tembesu
Kayu Raja Andalan Sumatera
Berdasarkan pengamatan di lapangan, tembesu dan karet dapat
tumbuh berdampingan dalam pola agroforestri. Berdasarkan informasi yang
diperoleh dari masyarakat yang membudidayakan tembesu pola campuran,
produksi getah karet tidak mengalami penurunan pada pola agroforestri
dengan tembesu dibanding tanaman karet yang dibudidayakan dengan pola
monokultur. Jumlah tanaman tembesu pada pola agroforestri tembesu
dengan karet umumnya berkisar antara 25-50 batang/ha. Tanaman karet
masih dominan dalam pengembangan hutan rakyat pola campuran ini.
Komposisi agroforestri dengan jumlah tanaman karet yang lebih besar
merupakan pilihan rasional dari petani untuk memperoleh pendapatan rutin
yang lebih besar dari hasil penjualan getah karet. Hal ini sesuai dengan
pendapat Suryanto et al (2006) bahwa pola campuran banyak menjadi
pilihan prioritas dalam sistem pertanaman karena memiliki beberapa
kelebihan dibandingkan dengan pola monokultur, di antarannya produk
ganda yang dihasilkan sepanjang pengelolaan (baik kayu maupun non kayu
dan termasuk jasa lingkungan).
A. Pertumbuhan Diameter
Diameter pohon merupakan parameter yang mudah diukur dan
memiliki keakuratan tinggi. Pengukuran diameter dilakukan setinggi dada
atau pada ketinggian 1.3 m dari lokasi tempat tumbuh. Hasil pengukuran
tegakan tembesu (Gambar 2) pada hutan rakyat pola campuran berumur 2
tahun memiliki rata-rata diameter sebesar 3.41 cm dengan riap rata-rata
tahunan (MAI) 1.71 cm/tahun. Umur 3 tahun memiliki rata-rata diameter
sebesar 5.47 cm dengan MAI sebesar 1,82 cm/tahun sedangkan tegakan
tertua yang teridentifikasi umurnya pada tegakan berumur 18 tahun memiliki
diameter setinggi dada 24.15 cm dengan nilai MAI 1.34 cm/tahun (Sumadi
dan Saepuloh, 2011).
64 Bunga Rampai
Tembesu (Fagraea fragrans)
Gambar 2. Perkembangan diameter tegakan tembesu berdasarkan umur tegakan
Pemodelan hubungan antara umur dan diameter tegakan dibangun
berdasarkan regresi logaritmatik. Persamaan regresi disusun berdasarkan
data pengukuran petak-petak tegakan pada berbagai umur dan berbagai
lokasi. Persamaan regresi hubungan antara diameter setinggi dada dan
umur tegakan dilakukan pada petak-petak tanaman yang diketahui informasi
umurnya. Persamaan yang diperoleh adalah Dbh = e2.0235-2.7851/A+0.4657Ln(A)
dengan nilai R2 sebesar 98.4%. Persamaan regresi ini dapat disajikan dalam
bentuk tabel hasil maupun grafik (Gambar 2) untuk memudahkan dalam
pemanfaatannya.
Riap rata-rata (MAI) diameter sebagai perbandingan antara dimensi
diameter tegakan dengan umur tegakan dapat memberikan gambaran
penambahan dimensi pohon tiap tahun pada saat umur tertentu. Persamaan
regresi hubungan antara umur tegakan dan riap tembesu adalah MAI =
1.5812 (0.95015X) (x
0.26147) dengan nilai R
2 sebesar 83,6% (Sumadi dan
Saepuloh, 2011). Grafik persamaan ini (Gambar 3) memberikan gambaran
perkembangan riap tahunan sesuai dengan perkembangan umur tegakan.
Pola grafik MAI pada tegakan tembesu memberikan gambaran pertumbuhan
diameter relatif cepat pada awal-awal pertumbuhan sampai dengan umur
0,00
5,00
10,00
15,00
20,00
25,00
30,00
35,00
0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20
Db
h (
Cm
)
Umur (Thn )
65 Tembesu
Kayu Raja Andalan Sumatera
lima tahun, kemudian pertumbuhan diameter pohon cenderung mengalami
penurunan dengan bertambahnya umur tegakan. Grafik pertumbuhan
diameter juga menunjukkan bahwa riap diameter mencapai puncak pada
umur lima tahun. Kecenderungan pola pertumbuhan diameter tegakan
tembesu dapat dijadikan dasar dalam pengelolaan tegakan dalam rangka
memperoleh hasil yang optimal. Informasi pola pertumbuhan ini dapat
dijadikan sebagai dasar pemberian perlakuan silvikultur, misalnya
perlakukan pemupukan atau perlakukan lain untuk mempercepat
pertumbuhan akan efektif dilakukan pada saat tegakan berumur muda atau
pada saat tegakan memiliki kecenderungan pertumbuhan cepat.
Gambar 3. Riap tahunan berjalan (MAI) diameter jenis tembesu pola
campuran
B. Pertumbuhan Tinggi
Tinggi tegakan merupakan parameter yang sering digunakan dalam
perhitungan potensi tegakan karena tinggi pohon akan mempengaruhi
volume suatu pohon. Pertumbuhan tinggi juga menggambarkan tingkat
kesuburan atau kelas kualitas tempat tumbuh suatu lahan, sehingga tinggi
dominan (peninggi) sering dijadikan sebagai indikator kualitas tempat
tumbuh (Gambar 4). Pertumbuhan tinggi tembesu dinyatakan dengan
0,00
0,50
1,00
1,50
2,00
2,50
0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20
MA
I Db
h (
cm/t
hn
)
Umur (Thn)
66 Bunga Rampai
Tembesu (Fagraea fragrans)
persamaan H=e1.83081-1.75897/A+0.436295Ln(A)
dengan nilai R2 sebesar 98,7%.
Besarnya nilai R2 ini memberikan gambaran keragaman tinggi pohon yang
diterangkan oleh variabel umur tegakan sebesar 98,7%. Berdasarkan
informasi ini terdapat hubungan yang erat antara umur tegakan dengan
tinggi tegakan.
Gambar 4. Grafik perkembangan tinggi tegakan tembesu berdasarkan umur tegakan
Riap tinggi tembesu pada hutan rakyat pola campuran dengan karet
adalah MAI = 2.03156 (0.9517x) (x
0.0785) (Hoerl Model) (R
2 = 95%) dengan
grafik pertumbuhan sebagaimana disajikan pada Gambar 5 (Sumadi dan
Saepuloh, 2011). Sebagaimana pertumbuhan diameter, riap tinggi juga
menunjukkan pertumbuhan yang tinggi pada saat tanaman berumur muda
dan semakin menurun dengan semakin bertambahnya umur tanaman. Riap
tinggi maksimum terjadi pada saat tanaman berumur 2 tahun.
0,00
5,00
10,00
15,00
20,00
25,00
0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20
Tin
gg
i (m
)
Umur (Thn)
67 Tembesu
Kayu Raja Andalan Sumatera
Gambar 5. Riap tahunan berjalan (MAI) tinggi jenis tembesu pola campuran
Gambar 6. Tegakan tembesu umur 2 tahun (kiri) dan 6 tahun (kanan)
yang ditanam dengan pola agroforestri dengan karet
IV. PENGATURAN KERAPATAN TEGAKAN
Pengaturan kerapatan tegakan dan hubungannya dengan ukuran
pohon telah lama menjadi topik penelitian penting, terutama untuk tegakan
seumur (Vanclay, 2009; Zuhaidi, 2009). Salah satu metode yang banyak
digunakan adalah metode persaingan tajuk. Metode persaingan tajuk
0,00
0,50
1,00
1,50
2,00
2,50
0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20
MA
I H (
m/t
hn
)
Umur (Thn)
68 Bunga Rampai
Tembesu (Fagraea fragrans)
didasarkan pada karakteristik biologis pohon, yaitu adanya korelasi yang
kuat antara lebar tajuk dengan diameter batangnya (Daniel et al, 1987).
Penggunaan ukuran tajuk sebagai variabel untuk mengatur kerapatan
tegakan didasarkan pada kenyataan bahwa setiap individu pohon
memerlukan ruang perkembangan tajuknya agar dapat tumbuh dengan baik.
Ukuran perkembangan tajuk yang umum digunakan adalah diameter tajuk,
yaitu jarak horizontal permukaan bagian atas tajuk atau daerah proyeksi
tajuk.
Metode persaingan tajuk memberikan informasi jumlah ruang
tumbuh maksimum yang dapat dimanfaatkan oleh suatu pohon pada ruang
terbuka dan jumlah ruang tumbuh minimum yang diperlukan oleh pohon
untuk dapat tumbuh pada suatu tegakan (Krajicek et al, 1961). Dengan
demikian penyusunan hubungan regresi antara diameter tajuk dan diameter
batang dilakukan dengan menggunakan data dari pohon-pohon yang di
tempat terbuka atau pohon tumbuhnya bebas dari persaingan.
Penyusunan model hubungan diameter batang dan diameter tajuk
jenis tembesu telah dilakukan pada tegakan tembesu yang tumbuh bebas di
hutan rakyat di Kabupaten Sarolangun, Propinsi Jambi. Model hubungan
terbaik berdasarkan keakuratan pendugaannya adalah model kuadratik
dengan persamaan Cd = 1.10 + 0.146 Dbh +0.000591 Dbh2. (Cd = crown
diameter (diameter tajuk) dan Dbh = diameter breast height (diameter
batang setinggi dada). Persamaan ini dapat digunakan untuk menduga
diameter tajuk pada ukuran diameter batang tertentu. Diameter tajuk
digunakan untuk menentukan luas tajuk yang diperlukan suatu pohon, dan
selanjutnya, luas tajuk dapat digunakan untuk menentukan jumlah pohon
yang dapat tumbuh dalam satu satuan lahan. Jika persamaan pertumbuhan
diameter tegakan telah tersedia, maka hubungan umur tegakan dengan
kerapatan tegakan dapat disajikan dalam bentuk tabel sebagaimana
disajikan pada Tabel 3.
Pada Tabel 3 terlihat bahwa penanaman tembesu dapat dilakukan
dengan jarak tanam rapat 2 m x 2.5 m atau kerapatan sekitar 2.000
pohon/ha. Tembesu yang memiliki percabangan banyak, pada awal
69 Tembesu
Kayu Raja Andalan Sumatera
penanaman memerlukan kerapatan yang tinggi sehingga dapat menekan
pertumbuhan cabang kesamping dan mendorong pertumbuhan meninggi.
Pada umur 6 tahun dapat dilakukan penjarangan sehingga meninggalkan
tegakan tinggal sekitar 1660 batang/ha. Pada umur 10 tahun dapat
dilakukan penjarangan kedua sehingga tegakan yang tersisa menjadi 926
pohon/ha atau memiliki jarak tanam 4 m x 2.5 m. Penjarangan selanjutnya
dapat dilakukan secara bertahap sehingga pada umur 17 tahun kerapatan
tegakan tembesu tinggal 520 pohon/ha atau memiliki kisaran jarak tanam 4
m x 5 m.
Tabel 3. Pendugaan diameter tajuk, luas tajuk dan jumlah pohon tembesu/ha berdasarkan model persamaan Cd = 1.10 + 0.146 Dbh +0.000591 Dbh
2
Umur (thn) Dbh (cm) CD (m) CA (m2) N/ha
5 9.17 2.49 4.86 2057
6 10.95 2.77 6.02 1660
7 12.58 3.03 7.21 1388
8 14.07 3.27 8.40 1191
9 15.45 3.50 9.60 1042
10 16.73 3.71 10.80 926
11 17.94 3.91 12.00 833
12 19.08 4.10 13.20 757
13 20.16 4.28 14.41 694
14 21.19 4.46 15.61 641
15 22.18 4.63 16.82 595
16 23.12 4.79 18.02 555
17 24.03 4.95 19.23 520
18 24.90 5.10 20.43 489
19 25.75 5.25 21.64 462
20 26.56 5.39 22.85 438
21 27.35 5.54 24.06 416
22 28.12 5.67 25.26 396
23 28.87 5.81 26.47 378
24 29.59 5.94 27.68 361
25 30.30 6.07 28.89 346
Keterangan: CD : Crown Diametre (Diameter tajuk) CA : Crown Area (Luas tajuk)
N : Jumlah pohon per Ha
70 Bunga Rampai
Tembesu (Fagraea fragrans)
Pengaturan kerapatan dapat menjadi sarana untuk mengoptimalkan
pertumbuhan diameter tegakan sesuai dengan tujuan yang diharapkan
(Davis et al, 2001). Misalnya jika pengelola menghendaki tegakan tembesu
dengan diameter 30 cm, maka kerapatan tegakan terakhir yang optimal
adalah 346 pohon/ha. Tabel kerapatan tegakan ini dapat menjadi dasar
dalam pengembangan tembesu secara monokultur baik pada skala hutan
rakyat maupun pada skala industri. Tabel ini berguna untuk mengatur
kerapatan tegakan sehingga dihasilkan tegakan tembesu sesuai dengan
ukuran yang dikehendaki.
V. PENUTUP
Pengelolaan hutan rakyat tembesu pada berbagai lokasi
pengembangan di Sumatera Bagian Selatan, umumnya belum dilakukan
secara efektif. Efektivitas pengelolaan dapat ditingkatkan melalui
serangkaian penelitian yang telah dilakukan. Serangkaian paket informasi
yang disusun dalam bentuk model, tabel hasil, maupun grafik yang telah
disajikan dalam tulisan ini dapat digunakan sebagai dasar dalam
pengambilan keputusan manajemen, terkait pemilihan pola tanam,
penentuan jarak tanam serta alternatif-alternatif tindakan silvikultur seperti
penjarangan dan pengaturan kerapatan tegakan. Informasi terkait potensi
tegakan yang dimiliki saat ini dan potensi tegakan yang diperoleh pada
masa yang akan datang, merupakan informasi penting yang harus diketahui
oleh pengelola untuk memilih alternatif-alternatif pengelolaan, baik selama
perkembangan tegakan maupun pada akhir daur.
Penelitian mengenai pengelolaan tembesu perlu terus dilakukan
sejalan dengan penelitian pada aspek lainnya seperti aspek silvikultur dan
pemuliaan pohon. Hal ini menjadi penting karena hasil-hasil penelitian
menunjukkan bahwa riap tembesu pada hutan rakyat masih rendah
sehingga menjadi faktor penghambat dalam pengembangan dan
pengelolaan tegakan tembesu. Peningkatan riap dapat mendorong petani
atau pengelola lainnya untuk mengembangkan hutan tanaman tembesu
dalam skala yang lebih luas.
71 Tembesu
Kayu Raja Andalan Sumatera
DAFTAR PUSTAKA
Clutter JL, Fortson JC, Pienar LV, Brister GH, RL Bailey. 1983. Timber
Management: A Quantitative Approach. New York: John Wiley & Sons
Inc.
Daniel T.W., J.A. Helms, dan F.S. Baker. 1987. Prinsip-Prinsip Silvikultur.
Terjemahan D. Marsono, editor O.H. Soeseno. Gajah Mada University
Press. Yogyakarta.
Davis LS, Johnson KN, Bettinger PS, Howard TE. 2001. Forest
Management, To Sustain Ecological, Economic, and Sosial Values.
Forth Edision. New York: MC Graw-Hill Book Co.
Harbagung. 2010. Teknik dan Perangkat Pengaturan Hasil: Sintesa Hasil
Penelitian Kuantifikasi Pertumbuhan dan Hasil Tegakan Hutan
Tanaman. Puslitbang Peningkatan Produktivitas Hutan. Bogor.
Huang, Yang Y, Wang Y. 2003. A critical look at procedures for validating
growth and yield models. Di dalam: Amaro A, Reed D, Soares P,
editor. Modelling Forest Systems. London: CABI Publishing.
Husch B., T.W. Beers, and J.A. Kersaw. 2003. Forest Mensuration. Fourth
Edition. John Wiley and Son Inc. New York.
Krajicek, J.E., K.A. Brinkman, dan S. F. Gingrich. 1961. Crown competition A
measure of density, For. Scince, 7 : 3542.
Krisnawati, H. 2007. Modelling stand growth and yield for optimizing
management of Acacia mangium Willd. Plantation in Indonesia.
Desertasi. University of Melbourne.
Loetsch F., F. Zohrer and K. E. Haller. 1973. Forest Inventory. Volume II.
BLV Verlagsgesellschaft. Munchen.
Martawijaya A., I. Kartasujana, Y.I. Mandang, K. Kadir dan S.A. Prawira.
2005. Atlas Kayu Indonesia Jilid I. Badan Litbang Kehutanan. Bogor.
Spurr, S.H. 1951. Forest Inventory. The Roland Press Company. United
State of America.
Suryanto P., W.B. Aryono dan M. S. Sabarnurdin. 2006. Model Bera dalam
Sistem Agroforestri. Jurnal Manajemen Hutan Tropika Vol. XII No.2:
15-26.
Sumadi A., dan T.R. Saepuloh. 2011. Pertumbuhan tembesu pada pola
campuran dengan karet di hutan rakyat. Prosiding Seminar Introduksi
Tanaman Penghasil Kayu pertukangan di Lahan Masyarakat melalui
Pembangunan Hutan Tanaman Pola Campuran. Musi Rawas, 13 Juli
2011. Puslitang Peningkatan Produktivitas Hutan, Bogor.
Zuhaidi Y. A. 2009. Local Growth Model In Modelling The Crown Diameter
Of Plantation-Grown Dryobalanops Aromatica. Journal of Tropical
Forest Science 21(1): 66–71
Vanclay JK., 1994. Modelling Forest Growth and Yield. Application to Mixed
Tropical Forest. Centre for Agriculture and Bio-sciences International,
Wallingford.
Vanclay JK., 2009. Tree diameter, height, and stocking in even-aged forests.
Annals of Forest Science 66 (702).
Winarno B. dan E.A. Waluyo. 2007. Potensi pengembangan hutan rakyat
dengan jenis tanaman kayu lokal. Prosiding Seminar “Optimalisasi
Iptek dalam Mendukung Revitalisasi Kehutanan”. Pangkalan Balai, 21
Agustus, 2007. Puslitbang Hutan Tanaman. Bogor.
73 Tembesu
Kayu Raja Andalan Sumatera
HAMA DAN PENYAKIT TEMBESU
Oleh: Asmaliyah
Salah satu faktor yang dapat menjadi kendala dalam
pembudidayaan tanaman di hutan tanaman adalah adanya serangan hama
dan penyakit. Serangan hama dan penyakit dapat menghambat
pertumbuhan tanaman, menurunkan kualitas kayu bahkan dapat
menyebabkan kematian tanaman. Begitu juga dengan pembudidayaan
tanaman tembesu yang ada di Sumatera Selatan tidak terlepas dari adanya
serangan hama dan penyakit. Serangan hama dan penyakit ditemukan
hampir pada semua stadia perkembangan tembesu, mulai dari
semai/anakan sampai tegakan tembesu yang sudah berumur puluhan
tahun. Untuk mencegah dan menekan meluas dan berkembangnya
serangan hama dan penyakit maka perlu tindakan pengendalian. Kunci
keberhasilan tindakan pengendalian adalah diketahuinya jenis hama dan
penyakit yang menyerang. Pengetahuan tentang hama dan penyakit disertai
dengan teknik pengendalian yang tepat dapat menekan terjadinya ledakan
(outbreak), sehingga di masa kini atau di masa depan serangan hama dan
penyakit ini tidak menjadi ancaman yang serius dalam pembudidayaan
tanaman tembesu. Oleh karena itu dalam tulisan ini disampaikan jenis hama
dan penyakit tembesu beserta alternatif cara pengendaliannya.
I. HAMA DAN PENYAKIT PADA TANAMAN TEMBESU
A. Beberapa Hama yang Menyerang Tembesu
1. Rayap
a. Gejala serangan
Adanya serangan rayap pada tanaman tembesu di lapangan dapat
terlihat jelas dari adanya sarang-sarang rayap di sepanjang batang dan
cabang pohon (Gambar 1). Serangan rayap ini menyebabkan batang
mengalami kerusakan berat, rapuh dan berlubang-lubang sehingga
berdampak pada menurunnya kualitas kayu, bahkan pada serangan berat
dapat mengakibatkan kematian tanaman. Di Kebun Percobaan Way
74 Bunga Rampai
Tembesu (Fagraea fragrans)
Hanakau, luas serangan rayap pada tegakan tembesu tahun tanam 2003
sudah mencapai 80 persen dengan tingkat kerusakan tanaman rata-rata
sudah cukup berat, bahkan beberapa di antaranya ada yang mati dengan
tingkat kerusakan batang di atas 80 persen (Asmaliyah et al., 2012).
b. Penyebab
Berdasarkan hasil identifkasi di Laboratorium Entomologi Museum
Zoologi Bogor, Widya Satwaloka-LIPI, jenis rayap tersebut adalah jenis
Nasutitermes matangensis Haviland, termasuk dalam ordo Isoptera dan
famili Termitidae. Koloni dalam famili ini sangat besar dengan kasta dan
ukuran yang jelas berbeda di dalam gundukan sarang. Beberapa species
Nasutitermes atau Eutermes ini hidup di pohon dan prajuritnya disebut
nasutes. Sarangnya seringkali terbuat dari bahan seperti kertas yang
banyak ditemukan pada bagian atas pohon atau di atap bangunan, juga
ditemukan di tanah antara akar dan tunggul pohon. Beberapa species
Nasutitermes umumnya ditemukan pada pohon buah, pohon pelindung,
pohon taman dan lain-lain, tetapi secara ekonomi tidak merugikan karena
serangan rayap ini tidak masuk sangat dalam di dalam kayu (Kalshoven,
1981).
Gambar 1. Gejala serangan (a) dan rayap N. matangensis pada tanaman tembesu (b,c)
c. Pengendalian
Untuk mencegah atau mengurangi agar serangan rayap tidak
sampai berkembang dan meluas, beberapa peluang pengendalian yang bisa
dilakukan adalah: 1). Mengeradikasi pohon-pohon yang telah mati akibat
c a b
75 Tembesu
Kayu Raja Andalan Sumatera
serangan rayap, tunggul-tunggul bekas tanaman dan sarang-sarang rayap
dari areal pertanaman, karena dapat menjadi sumber infeksi (Asmaliyah et
al., 2012); 2). Melakukan kegiatan pemangkasan untuk mengurangi
penutupan tajuk, sehingga sinar matahari bisa lebih banyak sampai ke
permukaan tanah atau ke pangkal batang (Asmaliyah et al., 2012); 3)
Menggunakan insektisida mikroba cendawan Metarrhizium anisopliae
(Kartika et al., 2007), isolat cendawan entomopatogenik Peacilomyces
fumosoroseus dan Beauveria bassiana (Rayati dan Widayat, 2006), yang
diaplikasikan dengan cara ditabur atau disemprot; dan 4) Bila diperlukan
dapat menggunakan insektisida kimia yang berbahan aktif imidakloprid
(http://www.chemigarindustry.com, 2011).
2. Penggerek pucuk
a. Gejala serangan
Serangan hama ini ditemukan pada tegakan tembesu alami dan
tegakan tembesu yang dibudidaya, baik pada lahan basah maupun lahan
kering umur 1-3 tahun. Gejala serangan terlihat dari adanya serbuk-serbuk
hasil gerekan pada pucuk sehingga daun menjadi layu dan berwarna
kuning, kemudian mengering dan berwarna coklat, selanjutnya daun gugur
dan pucuk dari batang utama atau cabang akan mati (Gambar 2).
Gambar 2. Gejala serangan hama penggerek pucuk pada tanaman
tembesu: daun menguning (a); daun kering (b)
Dampak matinya pucuk dari batang utama atau cabang ini dapat
mengganggu pertumbuhan tanaman, karena pertumbuhan tanaman akan
terhenti untuk sementara sampai pucuk baru tumbuh kembali. Luas
a b
76 Bunga Rampai
Tembesu (Fagraea fragrans)
serangan hama bisa mencapai 50% dengan tingkat kerusakan tanaman
masih kategori serangan ringan (Asmaliyah et al., 2010).
b. Penyebab
Hasil identifikasi di Laboratorium Entomologi Museum Zoologi
Bogor, Widya Satwaloka-LIPI, jenis serangga penggerek pucuk tanaman
tembesu ini termasuk dalam famili Gelechiidae, ordo Lepidoptera.
Kebiasaan serangga ini senang beristirahat di atas tanah (Pracaya, 2003).
Serangga hama ini menyerang tanaman dalam bentuk ulat, dengan cara
menggerek pucuk batang utama atau cabang tembesu.
c. Pengendalian
Untuk menekan meluasnya serangan hama penggerek pucuk dapat
digunakan beberapa cara, yaitu: 1) memotong cabang atau ranting yang
terserang dan 2) menggunakan bioinsektisida yang berbahan aktif bakteri
Bacillus thuringiensis
3. Penggerek batang
a. Gejala serangan
Serangan hama penggerek batang ditemukan pada tegakan
tembesu yang dibudidaya berumur 4 tahun sampai 8 tahun. Serangga
penggerek ini menyerang batang tembesu dalam stadia ulat dengan cara
menggerek batang. Gejala serangannya pada bagian batang yang
terserang, menunjukkan adanya serbuk hasil gerekan berwarna coklat.
Bentuk kerusakan yang diakibatkan oleh serangga penggerek adalah
batang menjadi berlobang dengan kedalaman sekitar 3-5 cm dengan arah
gerekan berbelok-belok. Sedangkan di kebun percobaan Way Hanakau,
kerusakan batang hasil gerekan menyebar pada permukaan batang dengan
lubang hasil gerekan lebih dangkal dibandingkan lubang yang terjadi pada
tegakan tembesu di KHDTK Benakat. Ulat yang menyerang berwarna
keputihan dengan kepala berwarna coklat muda (Gambar 3). Luas serangan
hama penggerek batang sudah mencapai 48 persen, namun tingkat
77 Tembesu
Kayu Raja Andalan Sumatera
kerusakan batang pohon masih kategori serangan ringan (Asmaliyah et al.,
2010).
b. Penyebab
Hasil identifikasi jenis serangga penggerek batang pada tanaman
tembesu di KHDTK Benakat termasuk famili Gelechiidae dan ordo
Lepidoptera (Gambar 3), sedangkan jenis serangga penggerek batang di
Kebun Percobaan Way Hanakau termasuk ordo Tricoptera. Berdasarkan
hasil penelusuran pustaka, ordo Trichoptera ini mempunyai daerah sebaran
di seluruh dunia, khususnya di Amerika Utara (http://bugguide.net, 2009).
Menurut Coulson dan Witter (1984); Anderson (1960), serangga ini
mempunyai karakteristik: (1) sayapnya membran, biasanya memiliki rambut
yang menutupi sebagian besar tubuh dan sayapnya berbentuk seperti atap
di atas abdomen ketika istirahat; (2) larva mempunyai tipe alat mulut
penggigit pengunyah sedangkan dewasa memiliki tipe alat mulut vestigial;
(3) metamorfose sempurna; (4) ukuran dari kecil sampai sedang (3-25 mm);
(5) penampakannya seperti kupu; (6) antenanya panjang dan ramping,
seperti benang (filiform); dan (7) kepala berbentuk kapsul yang berkembang
baik (http://www.cals.ncsu.edu, 2005). Beberapa larva dari Trichoptera ini
dilaporkan sebagai hama pada tanaman padi, walaupun secara ekonomi
belum membahayakan (http://www.cals.ncsu.edu, 2005).
Gambar 3. Gejala serangan penggerek batang (a) dan hama penggerek
batang di Benakat (b), gejala serangan, ulat dan pupa
penggerek batang di Way Hanakau (c)
c. Pengendalian
1) Pengambilan serangga hama kemudian dimusnahkan
a c b
78 Bunga Rampai
Tembesu (Fagraea fragrans)
2) Menggunakan cendawan Erynia rhizospora, yang merupakan musuh
alami dewasa Trichoptera. Akibat infeksi E. rhizospora dapat
menyebabkan kematian dewasa Trichoptera (http://bugguide.net,
2009).
4. Ulat daun
a. Gejala serangan
Serangan ulat daun paling sering ditemukan pada lokasi areal
pertanaman tembesu alami. Serangga hama pemakan daun ini menyerang
daun dalam stadia ulat, dengan cara memakan daging dan urat daun
sampai yang tersisa hanya epodermis. Akibat serangannya daun menjadi
kering, berwarna coklat dan berlobang atau gugur (Gambar 4). Luas
serangan hama pemakan daun pada semua lokasi pertanaman tembesu
yang terserang sudah mencapai 100 persen, dengan tingkat kerusakan
masih kategori serangan ringan.
b. Penyebab
Hasil identifikasi serangga hama pemakan daun ini termasuk famili
Gelechiidae, ordo Lepidoptera. Ulat daun berukuran kecil, tubuhnya berwar-
na hijau kekuningan dan kepalanya berwarna coklat muda (Gambar 4).
Gambar 4. Gejala serangan (a) dan ulat pemakan daun tembesu (b)
c. Pengendalian
1) Pengambilan dan pengumpulan ulat kemudian dimusnahkan
2) Menggunakan insektisida mikroba berbahan aktif bakteri Bacillus
thuringiensis yang diaplikasikan dengan cara menyemprotkan larutan
a b
79 Tembesu
Kayu Raja Andalan Sumatera
bioinsektisida ke seluruh bagian tanaman yang terserang sampai
jenuh/menetes.
5. Kutu daun
a. Gejala serangan
Serangan hama ini ditemukan pada beberapa tegakan tembesu
alami. Kutu daun biasanya menyerang daun tanaman tembesu yang masih
muda dengan cara mengisap cairan daun. Daun yang terserang kutu ini
menjadi agak mengeriting, warnanya berubah menjadi coklat kehitaman
berawal dari pinggir daun atau dari tempat yang ada kutunya, kemudian
melebar, mengering dan gugur. Akibat selanjutnya daun menjadi rusak atau
sebagian daun hilang (Gambar 5). Luas serangan hama kutu daun sudah
mencapai 100 persen, namun tingkat kerusakannya masih kategori
serangan ringan.
b. Penyebab
Hasil identifikasi, kutu daun ini dari jenis Aonidiella sp., yang
termasuk ordo Homoptera dan famili Diaspididae. Kutu daun ini dikenal
dengan nama scale insect atau kutu perisai. Kutu daun menyerang tanaman
pada stadium nimfa dan dewasa. Stadium nimfa dan dewasa berwarna
coklat kemerahan; ukuran tubuh sekitar 2,3 mm; bersifat polifag; merupakan
hama yang penting pada tanaman jeruk di Kalifornia, tetapi hama minor di
Asia Tenggara (Kalshoven, 1981).
Gambar 5. Gejala serangan akibat serangan kutu daun
80 Bunga Rampai
Tembesu (Fagraea fragrans)
c. Pengendalian
Kutu daun dapat dikendalikan dengan cara-cara berikut:
1) Mengeradikasi tanaman atau bagian tanaman yang terserang dari areal
pertanaman, kemudian dibakar;
2) Melakukan penyemprotan dengan menggunakan campuran berbagai
bahan tanaman, yaitu daun brotowali, kapur dan kunyit. Ketiga bahan
tersebut ditumbuk kemudian diperas diambil airnya lalu dicampur
dengan air (Dinas Pertanian Kabupaten Ponorogo, 2014);
3) Jika diperlukan dapat menggunakan campuran insektisida kimia yang
berbahan aktif abamektin dan imidakloprit (Dinas Pertanian Kabupaten
Ponorogo, 2014).
B. Beberapa Penyakit yang Menyerang Tembesu
1. Penyakit bercak daun Diplodia
a. Gejala Serangan
Serangan penyakit bercak daun diplodia pada daun tembesu
menunjukkan gejala awal serangan berupa adanya bercak berbentuk
mozaik berwarna kuning. Bercak lokal yang berwarna kuning mengalami
mati jaringan sehingga pada bekas bercak tersebut berlubang (shot hole).
Pada serangan lanjut daun berubah warna menjadi kuning dan coklat yang
akhirnya daun gugur sebelum waktunya (Gambar 6).
Gambar 6. Gejala bercak daun yang disebabkan cendawan D. mutila (a),
isolat (b) dan konidia (c) tua cendawan D. mutila
b c a c
81 Tembesu
Kayu Raja Andalan Sumatera
b. Penyebab
Hasil identifikasi menunjukkan penyebab penyakit bercak daun
diplodia adalah cendawan Diplodia mutila yang masuk dalam famili
Sphaeropsidaceae, ordo Sphaeropsidales (Alexopoulos dan Mims, 1979;
Dwidjoseputro, 1978; Barnet and Hunter (2006). Cendawan membentuk
piknidium yang di dalamnya terbentuk piknidiospora/konidium berbentuk
lonjong atau jorong (elip), berdinding tebal dan warna hyalin (transparan)
apabila masih muda yang kemudian berubah menjadi coklat tua dengan
satu sekat (Gambar 6).
c. Pengendalian
1) Melakukan pemupukan untuk meningkatkan ketahanan tanaman
2) Mengatur Jarak tanam jangan terlalu rapat
3) Melakukan pemangkasan untuk mengurangi kelembaban dan
meningkatkan banyaknya sinar matahari yang masuk ke area
penanaman
4) Sanitasi dan eradikasi areal tanaman dari bagian tanaman atau
tanaman yang sudah terinfeksi
5) Menggunakan agens antagonis yaitu Trichoderma sp., Gliocladium sp.
dan Pseudomonas fluorescens
6) Jika diperlukan dapat menggunakan fungisida kimia berbahan aktif
captan, thiram dan thinkendazole ditambah dengan adjuvan
2. Penyakit bercak daun Curvularia
a. Gejala serangan
Serangan penyakit bercak daun Curvularia pada daun tembesu
menunjukkan gejala awal berupa adanya bercak bulat berukuran kecil,
awalnya berwarna hijau pada bagian bawah permukaan daun. Selanjutnya
bercak kecil akan menyatu dan terlihat kumpulan bercak semakin melebar
pada permukaan daun. Semakin lama bercak akan berubah warna menjadi
coklat kemerahan yang diikuti dengan warna daun berubah menjadi kuning,
kering dan akhirnya gugur (Gambar 7). Serangan penyakit ini tidak sampai
82 Bunga Rampai
Tembesu (Fagraea fragrans)
mematikan tanaman, namun serangan pada stadia bibit dapat menghambat
pertumbuhan bibit (Semangun, 2007).
Gambar 7. Gejala bercak daun yang disebabkan cendawan Curvularia sp.,
Isolat (a) dan konidia (b) cendawan Curvularia sp.
b. Penyebab
Berdasarkan hasil identifikasi patogen bercak daun ini adalah
cendawan Curvularia sp., yang termasuk ke dalam kelas Deuteromycetes
dan ordo Moniliales (Alexopoulos dan Mims, 1979; Dwidjoseputro, 1978).
Konidiofor dan konidia berwarna coklat tua dengan sel-sel ujungnya agak
jernih. Konidia bersel 3 sampai 5 mempunyai ciri khas melengkung dan sel-
sel tengahnya membesar (Gambar 7). Curvularia sp. adalah cendawan yang
dapat terbawa benih, sehingga penyakit bercak daun ini dimulai sejak bibit
masih berada di persemaian sampai berbentuk tanaman di lapangan.
c. Pengendalian
Untuk mencegah meluasnya serangan penyakit ini dapat dilakukan
dengan beberapa cara, di antaranya:
1) Menggunakan benih yang sehat dan memperbaiki drainase tanah serta
sanitasi areal penanaman
2) Melakukan pemupukan untuk meningkatkan ketahanan tanaman
3) Membuang tanaman atau bagian tanaman yang telah terinfeksi
kemudian dimusnahkan dengan cara dibakar, agar tidak menginfeksi
tanaman lainnya.
4) Jika diperlukan dapat menggunakan fungisida kimia berbahan aktif
karbamat
a b c
83 Tembesu
Kayu Raja Andalan Sumatera
3. Penyakit bercak daun Pestalotiopsis
a. Gejala serangan
Serangan penyakit ini pada daun tembesu menunjukkan gejala awal
berupa adanya bercak-bercak kuning seperti gejala klorosis. Bercak-bercak
tersebut kemudian menyatu membentuk bercak yang lebih luas dengan
batas yang jelas, pusat bercak berwarna kelabu/kelabu kehijauan dengan
tepi (di sekeliling bercak) berwarna coklat agak kemerah-merahan.
Selanjutnya bercak akan mengering, rapuh dan akhirnya gugur, akibatnya
daun akan berlobang. Kadang pada pusat bercak terdapat bintik berwarna
hitam yang merupakan piknidium (Gambar 8).
b. Penyebab
Berdasarkan hasil identifikasi penyebab penyakit bercak daun ini
adalah cendawan Pestalotiopsis sp. yang termasuk dalam kelas
Deuteromycetes dan famili Melanconiaceae (Alexopoulos dan Mims, 1979;
Dwidjoseputro, 1978). Ciri makroskopisnya adalah koloni berwarna putih,
miselium merata, pertumbuhan koloni rata dan tebal. Ciri mikroskopisnya
adalah hifa berwarna putih dan mempunyai tubuh buah yang disebut
aservuli yang terletak di bawah epidermis tanaman inang. Dalam aservuli
terdapat konidia yang bersekat 2-5 dengan dinding tebal. Konidia berbentuk
lonjong yang agak meruncing pada kedua ujungnya. Pada salah satu ujung
konidia terdapat seperti bulu cambuk berjumlah 3 atau 5 (Gambar 8).
Gambar 8. Gejala bercak daun yang disebabkan cendawan Pestalotiopsis
sp. (a), isolat (b) dan konidia (c) cendawan Pestalotiopsis sp.
a b c
84 Bunga Rampai
Tembesu (Fagraea fragrans)
c. Pengendalian
Penyakit bercak daun pada umumnya tidak sampai mematikan
tanaman, tetapi serangannya dapat mempengaruhi proses fotosintesis. Oleh
karena itu tindakan pengendalian yang perlu dilakukan adalah:
1) Melakukan eradikasi secara intensif dengan cara menyingkirkan bagian
tanaman yang terserang dan kemudian dimusnahkan dengan cara
dibakar untuk mengurangi sumber inokulum patogen
2) Jika diperlukan dapat menggunakan fungisida kimia yang berbahan
aktif propineb, copper oxychloride, dan mankozeb
4. Penyakit bercak daun Phyllosticta
a. Gejala serangan
Serangan penyakit bercak daun Phyllosticta pada daun tembesu
menunjukkan gejala awal berupa adanya bercak berbentuk bulat, berukuran
kecil dan berwarna coklat. Selanjutnya bercak akan semakin melebar,
meluas dan membentuk batas yang tegas. Pada bercak yang sudah
melebar dan meluas pada bagian tengah bercak berwarna agak lebih lebih
terang dibandingkan dengan bercak disekelingnya atau tepi. Pada bercak ini
kadang-kadang terdapat bintik-bintik hitam yang jika diraba, permukaan
bercak agak kasar (Gambar 9).
Gambar 9. Gejala karat daun yang disebabkan oleh cendawan P.
capitalensis (a), isolat (b) dan konidia (c) cendawan P.
capitalensis
a b c
85 Tembesu
Kayu Raja Andalan Sumatera
b. Penyebab
Berdasarkan hasil identifikasi penyebab penyakit bercak daun ini
adalah cendawan Phyllosticta capitalensis, yang termasuk kelas
Deuteromycetes, ordo Sphaeropsidales dan famili Sphaeropsidaceae
(Alexopoulos dan Mims, 1979; Dwidjoseputro, 1978). Memiliki ciri
makroskopis koloni berwarna hitam serta pertumbuhan koloni rata dan tebal.
Ciri mikroskopisnya konidia bersel satu, hialin, mempunyai bentuk jorong
atau bulat telur (Gambar 9). Cendawan ini merupakan parasit lemah yang
lebih banyak menyerang tanaman yang lemah.
c. Pengendalian
1) Melakukan pemupukan untuk meningkatkan ketahanan tanaman
2) Melakukan sanitasi terhadap daun-daun sakit yang telah kering dan
gugur karena patogen ini dapat bertahan pada daun-daun tersebut.
Daun-daun tersebut kemudian dibakar
3) Jarak tanam jangan terlalu rapat
4) Jika diperlukan dapat menggunakan fungsida kimia yang berbahan aktif
mankozeb, karbendazim, benomyl dan oksiklorida tembaga
(Semangun, 2007).
5. Penyakit embun jelaga
a. Gejala serangan
Serangan penyakit ini pada daun tembesu ditandai dengan adanya
noda-noda atau bercak-bercak berwarna hitam pada permukaan atas daun
seperti jelaga yang kurang merata, berkelompok, agak bertepung dan
apabila disentuh, warna hitam tersebut akan terlepas atau hilang. Bercak
hitam tersebut merupakan kumpulan miselium yang menutupi permukaan
daun (Semangun, 2007) (Gambar 10). Pada tingkat serangan berat, daun
akan menjadi kuning dan gugur sebelum waktunya.
b. Penyebab
Berdasarkan hasil identifikasi secara makroskopis dan mikroskopis
penyebab penyakit embun jelaga ini adalah cendawan Meliola sp. Meliola
86 Bunga Rampai
Tembesu (Fagraea fragrans)
sp. termasuk kelas Ascomycetes, ordo Meliolales, famili Meliolaceae (Old et
al., 2000). Fungi ini bersifat parasit obligat, mempunyai hifa yang disebut
dengan hipopodia (hifa yang mempunyai tonjolan-tonjolan di kedua sisi dan
berfungsi sebagai alat untuk merekat dan absorpsi pada daun) dan
askokarp/askus (tubuh buah) yang disebut peritesium karena berbentuk
agak bulat yang pada ujungnya terdapat ostiol (lubang untuk keluarnya
spora). Spora yang dibentuk dalam askokarp disebut askospora, berbentuk
lonjong mempunyai warna coklat agak kehitaman dan berseptat (bersekat)
(Ismail dan Anggraeni, 2008) (Gambar 10). Jamur dapat bertahan pada
gulma atau tanaman lain di sekitar pertanaman. Keberadaan dan
perkembangan jamur sangat dipengaruhi oleh kelembaban tinggi, udara
kering dan intensitas matahari yang kurang (Rahayu, 1999).
Gambar 10. Gejala embun jelaga pada daun tanaman tembesu (a), hipopodia (b) dan konidia (c) cendawan Meliola sp.
c. Pengendalian
1) Pengendalian serangan penyakit ini dapat dilakukan dengan
pemangkasan cabang (pruning) dan jarak tanam yang lebih lebar
karena dapat mengurangi kelembaban dan meningkatkan jumlah sinar
matahari yang masuk ke pertanaman.
2) Melakukan penyiangan terhadap gulma dan rumput-rumputan di sekitar
pertanaman untuk menghilangkan inang alternatif jamur embun jelaga
mengurangi sumber inokulum potensial dan menekan populasi
serangga yang menyebarkan penyakit ini (Rahayu, 1999).
b c a
87 Tembesu
Kayu Raja Andalan Sumatera
6. Penyakit bercak daun Fusarium
a. Gejala serangan
Serangan penyakit ini ditemukan pada daun anakan tembesu
dengan gejala awal pada permukaan daun atas dan bawah terdapat bercak-
bercak yang tidak beraturan berwarna coklat muda yang dikelilingi warna
kuning. Bercak-bercak menyebar ke seluruh permukaan daun dan dapat
menyatu menjadi bercak yang lebar dalam jangka waktu yang relatif singkat.
Di tingkat infeksi lebih lanjut bercak yang sudah melebar berwarna coklat
dan kering hingga akhirnya daun gugur (Gambar 11).
b. Penyebab
Hasil identifikasi menunjukkan bahwa penyebab penyakit bercak
daun pada anakan tembesu adalah fungi patogen Fusarium sp. Fusarium
sp. termasuk ke dalam kelas Deuteromycetes (fungi imperfect), ordo
Moniliales dan famili Tuberculariaceae (Alexopoulos dan Mims, 1979). Ciri
makroskopis koloni berwarna putih, tumbuh menggumpal dan konsentris
seperti kapas (Gambar 11). Ciri mikroskopis menunjukkan bahwa hifa
Fusarium sp. memiliki tipe percabangan sederhana. Fungi menghasilkan 3
jenis spora aseksual yaitu mikrokonidia, makrokonidia dan klamidospora.
Bentuk Makrokonidia menyerupai bulan sabit dengan kedua ujungnya
meruncing, bersekat (Gambar 11) dan spora inilah yang menjadi ciri khas
dari fungi Fusarium. Spora jenis ini dihasilkan pada permukaan tanaman
yang terserang lanjut. Miseliumnya bercabang-cabang dan berseptat
(Agrios, 2005; Alexopoulos dan Mims, 1979).
Gambar 11. Gejala serangan penyakit Fusarium sp. pada daun anakan tembesu (a), biakan murni Fusarium sp. (b) dan makrokonidia Fusarium sp. (c)
a b c
88 Bunga Rampai
Tembesu (Fagraea fragrans)
c. Pengendalian
Pengendalian terhadap penyakit ini dapat dilakukan dengan cara:
1) Menjaga kelembaban dipersemaian agar tidak terlalu tinggi dengan
cara mengurangi kerapatan semai/anakan atau mengurangi naungan.
2) Meletakkan semai ditempat terbuka yang mendapat sinar matahari
penuh.
3) Menyingkirkan dan memusnahkan semai yang terserang penyakit
dengan cara dibakar.
4) Untuk pencegahan sebelum ditanam biji direndam dalam larutan
fungisida kimia berbahan aktif karbendazim atau direndam dalam
formulasi Trichoderma viridae.
5) Menggunakan campuran cendawan mikoriza arbuskular dengan
Trichoderma harzianum yang diaplikasikan ke dalam media tanam
(tanah) (Alfizar et al., 2011).
6) Menggunakan biofungisida berbahan aktif Gliocladium sp. yang
diaplikasikan dengan cara menyiramkan larutan biofungsida ke dalam
tanah di sekitar pokok tanaman (Departemen Pertanian, 2014)
7) Jika diperlukan dapat menggunakan fungisida kimia yang berbahan
aktif kaptan dan benlate.
7. Penyakit rebah kecambah
a. Gejala serangan
Gejala penyakit rebah kecambah atau damping-off yang terjadi pada
jenis tembesu ditandai dengan rebahnya kecambah yang berumur sekitar 1-
2 minggu dan selanjutnya dalam waktu yang tidak begitu lama kecambah
akan mati (Gambar 12). Tingkatan serangan damping-off seperti ini
termasuk dalam fase lodoh batang (Post emergence damping-off).
89 Tembesu
Kayu Raja Andalan Sumatera
Gambar 12. Gejala penyakit rebah kecambah jenis tembesu
b. Penyebab
Penyakit rebah kecambah disebabkan oleh berbagai fungi penghuni
tanah (Soil born pathogen), seperti Phytium sp., Rhizoctonia sp., Fusarium
sp. Lasiodiplodia sp., Phytophthora sp. dan Cylindrocladium sp. Fungi ini
bersifat parasit fakultatif, dapat hidup sebagai saprofit di atas permukaan
tanah dan berubah menjadi parasit apabila ada tanaman inang dan kondisi
lingkungan yang baik untuk pertumbuhan patogen (Anggraeni dan Lelana,
2011).
c. Pengendalian
Pengendalian penyakit rebah kecambah dapat dilakukan dengan
cara (Rahayu, 1999):
1) Menghindari penggunaan tanah yang berat sebagai media semai.
Komposisi media semai harus seimbang antara pasir, lempung dan
kompos, sehingga drainase baik dan dapat mendukung pertumbuhan
akar tanaman.
2) Apabila memungkinkan, pengecambahan dilakukan di green house
karena suhu dan kelembabannya dapat diatur.
3) Membenamkan biji tidak terlalu dalam.
4) Menjaga kelembaban dengan cara mengurangi kerapatan semai
segera setelah biji berkecambah.
5) Jangan mencampur media semai dengan bahan organik yang belum
terdekomposisi secara sempurna.
90 Bunga Rampai
Tembesu (Fagraea fragrans)
6) Melakukan sterilisasi media semai sebelum digunakan. Sterilisasi dapat
dilakukan dengan cara menggoreng, menggunakan air panas atau
desinfektan seperti formaldehyde, asam asetat, chloropicrin dan methyi
bromide.
7) Meletakkan semai yang telah tumbuh di tempat terbuka yang mendapat
sinar matahari penuh.
8) Menyingkirkan dan memusnahkan semai yang menunjukkan gejala
serangan penyakit.
9) Untuk pencegahan, sebelum ditanam biji direndam dalam larutan
fungisida kimia berbahan aktif karbendazim atau direndam dalam
formulasi Trichoderma viridae.
II. PENUTUP
Dampak kerusakan tanaman akibat serangan hama dan penyakit
pada tanaman tembesu sampai saat ini belum begitu mengkhawatirkan,
kecuali serangan rayap yang akibat serangannya menyebabkan beberapa
tanaman tembesu mati. Namun demikian untuk mencegah agar keberadaan
dan serangan hama dan penyakit tersebut tidak semakin meluas dan
berkembang ke depannya, maka perlu dilakukan kegiatan monitoring secara
terus menerus, sehingga keberadaan hama dan penyakit dapat terdeteksi
dan serangannya dapat dicegah sedini mungkin hingga tidak terjadi
outbreak (ledakan). Keterlambatan dalam mengatasi masalah ledakan hama
dan penyakit akan merusak dan menggagalkan penanaman dan
pengembangan tanaman tembesu.
DAFTAR PUSTAKA
Agrios, G.N. 2005. Plant Pathology. 5th eds. Elsevier Academic Press. USA.
Alexopoulos, C.J. and C.W. Mims. 1979. Introductory Mycology. John
Wiley & Sons.
Alfizar, Marlina dan N. Hasanah. 2011. Upaya pengendalian penyakit layu
Fusarium oxysporum dengan pemanfaatan agen hayati cendawan
FMA dan Trichoderma harzianum. Jurnal Floratek No.6.
91 Tembesu
Kayu Raja Andalan Sumatera
Anderson, R.F. 1960. Forest and Shade Tree Entomology. John Wiley and
Sons, New York, Chichester, Brisbane, Toronto.
Anggraeni, I dan N.E. Lelana. 2011. Diagnosis Penyakit Tanaman Hutan.
Kementerian Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan
Kehutanan, Pusat Litbang Peningkatan Produktivitas Hutan.
Asmaliyah, N. Andriani dan A. Sofyan. 2010. Serangan Hama Pada
Pertanaman Tembesu (Fagraea fragrans) dan Peta Sebarannya di
Sumatera Selatan. Prosiding Workshop Sintesa Hasil Penelitian
Hutan Tanaman 2010, Bogor.
Asmaliyah, A. Imanullah dan W. Darwiati. 2012. Identifikasi dan Potensi
Kerusakan Rayap Pada Tanaman Tembesu (Fagraea fragrans) di
Kebun Percobaan Way Hanakau Lampung Utara. Jurnal Penelitian
Hutan Tanaman Vol. 9, No. 4, Desember 2012.
Barnett, H.I. and B. Hunter. 2006. Illustrated Genera of Imperfect Fungi.
Fourth Edistion. APS Press. The American Phytopathological Society.
St. Paul, Monnesota
Coulson, R.N dan J.A. Witter. 1984. Forest Entomology, Ecology and
Management. A Wiley-Interscience Publication John Wiley and Sons,
New York, Chichester, Brisbane, Toronto, Singapore.
Departemen Pertanian. 2014. Pupuk dan Pengendali Hayati. Fertilizer and
Biological Control. http://hortikultura.litbang.deptan.go.id.
Dinas Pertanian Kabupaten Ponorogo. 2014. Pengendalian dan
pencegahan daun cabe keriting. http://pertanian.ponorogo.go.id.
Dwidjoseputro. 1978. Pengantar Mikologi. Penerbit Alumni. Bandung
http://bugguide.net. 2009. Order Trichoptera-Caddisflies. Di akses tanggal
27 Oktober 2009
http://www.cals.ncsu.edu 2005. Trichoptera. Di akses tanggal 14 Juni 2010.
92 Bunga Rampai
Tembesu (Fagraea fragrans)
http://www.chemigarindustry.com. 2011. Rayap dan pengendaliannya.
Diakses tanggal 16 Juni 2011.
Ismail, B dan Anggraeni, I. 2008. Identifikasi penyakit jati (Tectona grandis)
dan akasia (Acacia auriculiformis) di hutan rakyat Kabupaten
Wonogiri, Jawa Tengah.
Kalshoven, L.G.E. 1981. Pests of Crops In Indonesia. PT. Ichtiar Baru-Van
Hoeve, Jakarta.
Kartika, T., S. Yusuf, D. Tarmadi, A.H. Prianto dan I. Guswenrivo. 2007.
Pengembangan formula bahan infeksi cendawan sebagai alternatif
biokontrol rayap tanah Coptotermes sp. Jurnal Ilmu dan Teknologi
Kayu Tropis Vol. 5, No. 2. UPP BPP Biomaterial – Lembagan Ilmu
Pengetahuan Indonesia
Old, K.M., Lee Su See, Jyoti K. Sharma dan Zi Qing Yuan. 2000. A Manual
of Diseases of Tropical Acacias in Australia, South East Asia and
India. Center for International Forestry Research (CIFOR). Jakarta.
Pracaya. 2003. Hama dan Penyakit Tanaman. Cetakan VII. Penebar
Swadaya Anggota IKAPI.
Rahayu, S. 1999. Penyakit Tanaman Hutan Di Indonesia. Gejala, Penyebab
dan Teknik Pengendaliannya. Penerbit Kanisius.
Rayati, D.J dan W. Widayat. 2006. Patogenitas jamur Beauveria bassiana,
Metarrhizium anisopliae dan Peacilomyces fumosoroseus terhadap
rayap pada tanaman teh. Jurnal Penelitian Teh dan Kina Vol.9, No.3.
Pusat Penelitian Teh dan Kina Gambung.
Semangun, H. 2007. Penyakit-penyakit tanaman hortikultura di Indonesia
(Revisi). Gadjah Mada University Press - Yogyakarta.
93 Tembesu
Kayu Raja Andalan Sumatera
TEKNIK PENGENDALIAN GULMA PADA TANAMAN
TEMBESU
Oleh: Etik Erna Wati Hadi dan Fatahul Azwar
I. PENDAHULUAN
Gulma didefinisikan sebagai tumbuhan yang tidak dikehendaki oleh
para penanam, karena tumbuhnya salah tempat dan merugikan
(Moenandir,1990). Wibowo (2006) mendefinisikan gulma sebagai tumbuhan
apa saja yang dipandang mengganggu dan tidak disukai kehadirannya.
Kaidah pengendalian gulma adalah pengelolaan untuk memberikan fasilitas
pertumbuhan yang optimal pada jenis yang diusahakan dan menekan
pertumbuhan tanaman yang tidak diusahakan (Sumardi dan Widyastuti,
2004). Potensi suatu tumbuhan berperan sebagai gulma di antaranya
ditentukan oleh penyebaran yang luas, kecepatan tumbuh, kemampuan
menghasilkan biji sepanjang tahun, mempunyai agen penyerbuk banyak,
kemampuan bertunas setelah dipangkas dan dibakar, menghasilkan biji
yang tahan kekeringan dan melimpah, kemampuan membentuk tajuk yang
rapat, kemampuan untuk menghasilkan senyawa allelopathy dan
kemampuan membelit (Muzik, 1972). Kerugian tanaman pokok yang
disebabkan oleh adanya gulma yaitu pertumbuhan terhambat dan
penurunan hasil panen yang diakibatkan adanya persaingan dalam
memperoleh unsur hara, air, cahaya dan ruang tumbuh. Selain itu gulma
dapat menjadi tanaman inang bagi jasad lain (hama dan penyakit).
Timbulnya kerugian akibat adanya gulma menjadi dasar perlunya
perlakuan terhadap gulma. Perlakuan terhadap gulma dibedakan menjadi
pemberantasan dan pengendalian. Pemberantasan adalah menghilangkan
gulma selama periode tumbuh pertanaman berlangsung, sedangkan
pengendalian adalah menghilangkan gulma pada sebagian periode tumbuh
pertanaman (Moenandir, 1990). Pengendalian gulma dimaksudkan untuk
menekan atau mengurangi pertumbuhan populasi gulma sehingga tidak
mengakibatkan penurunan hasil (Triharso, 1994). Pada pengelolaan hutan
tanaman pengendalian gulma dilakukan untuk menekan pertumbuhan jenis-
94 Bunga Rampai
Tembesu (Fagraea fragrans)
jenis yang menyaingi, menaungi dan menjadi parasit bagi tanaman pokok
terutama pada awal pertumbuhan. Dalam menentukan kebijakan
pengendalian gulma, status gulma perlu diketahui. Status gulma adalah
potensi suatu jenis gulma dalam menimbulkan kerugian/gangguan pada
suatu pengelolaan tanaman. Tingkat kerugian dan gangguan yang
ditimbulkan gulma secara nyata tergantung pada pertumbuhan gulma
(periode tumbuh, penutupan, kerapatan dan tinggi), periode pertumbuhan
tanaman yang dikelola (umur tanaman) dan kondisi lingkungan setempat.
Gulma yang umum terdapat pada hutan tanaman dikelompokkan
dalam 5 kategori, yaitu: 1) Vegetasi bermanfaat; 2) Vegetasi yang tidak
merugikan (gulma semusim, mati setelah berbunga); 3) Vegetasi tahunan
(umumnya bermanfaat sebagai penutup tanah, dalam keadaan berlebih
perlu dikurangi); 4) Vegetasi semak menahun (umumnya merugikan dan
perlu dikendalikan); dan 5) Vegetasi yang harus diberantas. Sedangkan
ditinjau dari pengelompokan berdasarkan famili, gulma pada hutan tanaman
dibedakan menjadi 7 kelompok/famili, yaitu kelompok tumbuhan paku/pakis
(Pteridophyta), rumput-rumputan (Poaceae), teki-tekian (Cyperaceae),
tumbuhan merambat (Climbers), putri malu (Mimosaceae) dan tumbuhan
herba (Herbs).
II. JENIS GULMA DI BAWAH TANAMAN TEMBESU
Potensi tanaman tembesu (Fagraea fagrans) sebagai kayu
pertukangan membuka peluang pengembangan kearah hutan tanaman.
Pada pembangunan hutan tanaman, pemeliharaan merupakan kegiatan
penting salah satunya adalah pengendalian gulma. Pengendalian gulma
perlu dilakukan pada tanaman umur muda (0-2 tahun), hal ini karena tajuk
tanaman belum tumbuh dengan sempurna yang menyebabkan tumbuhan
bawah tumbuh dengan cepat. Keberadaan tumbuhan bawah menghasilkan
persaingan dengan tanaman tembesu dalam hal memperoleh unsur hara,
air, cahaya dan ruang tumbuh. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Hadi
et al. (2007) menyebutkan terdapat 36 jenis tumbuhan bawah pada hutan
tanaman tembesu (Tabel 1).
95 Tembesu
Kayu Raja Andalan Sumatera
Tabel 1. Jenis-jenis tumbuhan bawah yang berpotensi sebagai gulma di bawah tanaman tembesu
No. Nama Status
potensi Lokal Ilmiah Famili
1 Alang-alang Imperata cylindrica Gramineae E
2 Atuman biasa/ kebo Eupatorium pallescens DC. Compositae Unidentified
3 Belinyu/atuman Lantana camara Verbenaceae D
4 Gadung Dioscorea hispida Dioscoraceae Melilit
5 Harendong bulu Clidemia hirta DON. Melastomataceae B
6 Jelumpang Helicteres hirsuta Sterculiaceae Unidentified
7 Godong puser Hyptis capitata Labiatae B
8 Katuk Sauropus androgynus MERR. Euphorbiaceae Unidentified
9 Klemento Cyrtococcum acrescens Gramineae C
10 Lemidang/belidang Scleria sumatrensis Cyperaceae D
11 Lengkenai Selaginella plana Selaginellaceae Unidentified
12 Mengkirai Trema orientale BL. Ulmaceae Unidentified
13 Meniran Phyllanthus niruri L. Euphorbiaceae B
14 Pacar berduri Lawsonia inermis LINN. Lytraceae Unidentified
15 Pakis darat Lycopodium cernuum Lycopodiaceae Unidentified
16 Patikan Euphorbia hirta LINN. Euphorbiaceae B
17 Pecah piring Borreria latifolia Rubiaceae C
18 Putri malu Mimosa pudica Mimosaceae C
19 Riteng bulu/lawatan Mikania micrantha H.B.K. Asteraceae E
20 Rumput bambu Paspalum conjugatum Berg. Gramineae C
21 Rumput D Oplismenus compositus Poaceae B
22 Rumput duri Opuntia monachantha Cactaceae Unidentified
23 Rumput empritan/klemento
Crytococcum acrescens (Trin.) Stapf
Poaceae B
24 Rumput kemeti Axonopus compressus Gramineae C
25 Rumput pait Paspalum conjugatum Berg. Gramineae C
26 Rumput spalet Oxtochloa nodosa Gramineae C
27 Rumput tebuan Cyperus rotundus L. Cyperaceae D
28 Rumput tekian Cyperus kyllingia Cyperaceae C
29 Senduduk Melastoma malabathricum Melastomataceae D
30 Serunai Chromolaena odorata Asteraceae D
31 Si Kentut Paederia foetida LINN. Rubiaceae Unidentified
32 Sintrong Gynura crepidioides Compositae Unidentified
33 Tali kucing Coleus sp. Labiatae Unidentified
34 Terung hutan Solanum toruum Solanaceae Unidentified
Pengelompokan gulma berdasarkan statusnya: A : vegetasi bermanfaat B : vegetasi yang tidak merugikan (gulma semusim, mati setelah berbunga) C : vegetasi tahunan (umumnya bermanfaat sebagai penutup tanah dalam keadaan berlebih
perlu dikurangi D : vegetasi semak menahun (umumnya merugikan dan perlu dikendalikan) dan E : vegetasi yang harus diberantas
Jenis yang perlu diperhatikan dan dikendalikan adalah jenis yang
termasuk dalam kategori vegetasi semak menahun (D) dan vegetasi yang
harus diberantas (E). Beberapa jenis yang termasuk dalam vegetasi semak
menahun adalah Lantana camara (fam. Verbenaceae), Scleria sumatrensis
(fam. Cyperaceae), Cyperus rotundus (fam. Cyperaceae), Melastoma
96 Bunga Rampai
Tembesu (Fagraea fragrans)
malabathricum (fam. Melastomataceae) dan Chromolaena odorata (fam.
Asteraceae). Sedangkan yang termasuk dalam kategori vegetasi yang harus
diberantas antara lain Imperata cylindrica (fam. Gramineae), Mikania
micrantha (fam. Asteraceae) dan Dioscorea hispida (fam. Dioscoraceae).
Wibowo (2006) menjelaskan banyaknya laporan tentang gangguan gulma
pada hutan tanaman yang disebabkan oleh alang-alang (Imperata
cylindrica), Mikania spp., dan Chromolaena odorata. Gangguan I. cylindrica,
Mikania sp. dan D. hispida pada tanaman tembesu dapat dilihat pada
Gambar 1.
III. TEKNIK PENGENDALIAN GULMA
Pengendalian gulma tidak hanya dilakukan sebagai perlakuan
pratanam, tetapi harus diikuti dengan tindakan pada tahun-tahun awal
sampai pohon mampu tumbuh dan bersaing dengan baik (Sumardi dan
Widyastuti, 2004). Intensitas pengendalian gulma tergantung pada beberapa
faktor yaitu: jenis tanaman pokok, tempat tumbuh dan iklim. Tahapan dalam
pengendalian gulma adalah: 1) Identifikasi masalah, yaitu kegiatan untuk
mengetahui jenis dan parameter pertumbuhan gulma, sehingga dapat
diketahui status gulma pada lokasi tersebut; 2) Pemilihan teknik
pengendalian, dalam hal ini harus diperhitungkan biaya yang akan
dikeluarkan, ketersediaan alat dan bahan, keterampilan teknik serta dampak
ekologinya; 3) Pelaksanaan pengendalian; dan 4) Evaluasi, tahapan ini
A C B
Gambar 1. Gangguan gulma oleh I. cylindrica (A), Mikania sp. (B) dan D. hispida (C) pada tanaman tembesu umur muda
97 Tembesu
Kayu Raja Andalan Sumatera
penting dilakukan dalam hal efikasi, biaya dan dampak lingkungan yang
dihasilkan sehingga dapat dijadikan pertimbangan pada pelaksanaan
pengendalian dimasa yang akan datang.
Beberapa teknik pengendalian gulma yang biasa dilakukan, yaitu:
cara preventif/pencegahan, ekologis/sistem budidaya, biologis, kimiawi, fisik
dan terpadu. Teknik pengendalian gulma yang efektif dan efisien dapat
dicapai dengan memperhatikan beberapa hal, yaitu teknik pelaksanaan di
lapangan (teknis), biaya yang diperlukan (ekonomi) dan kemungkinan
dampak yang ditimbulkan (Sukman dan Yakup, 1991). Teknik pengendalian
gulma secara kimiawi banyak dipilih oleh pengelola tanaman, karena
penggunaan bahan kimia memberikan hasil yang lebih cepat. Namun
demikian, saat ini pengendalian gulma dengan bahan kimia merupakan
pilihan terakhir untuk diaplikasikan, hal ini dikarenakan munculnya dampak
negatif dari bahan-bahan kimia tersebut baik yang mengganggu tanaman
pokok, tanah, air serta pada manusia. Oleh sebab itu, pemilihan teknik
pengendalian harus dilakukan berdasarkan beberapa pertimbangan,
diantaranya biaya serta dampak ekologisnya. Terdapat 11 jenis gulma pada
tanaman tembesu yang termasuk dalam kategori merugikan dan harus
dikendalikan (status D dan E). Berikut adalah jenis gulma pada tanaman
tembesu dan teknik pengendaliannya:
A. Lantana camara (Tembelekan)
Lantana camara merupakan gulma perdu berkayu, terdapat di hutan
sekunder, semak-semak, dan tebing. L. camara berkembangbiak dengan biji
dan penyebarannya dibantu oleh binatang. Gangguan yang ditimbulkan
adalah adanya duri di bagian batang jenis ini, sehingga menyulitkan
kegiatan pemeliharaan. Teknik pengendalian yang efektif adalah dengan
cara mendongkel sampai kebagian akarnya (manual). Pengendalian dengan
pembabatan kurang efektif, karena tunas-tunas akan muncul pada batang
yang dipotong, sehingga akan mempercepat regenerasi. Pemakaian
herbisida yang efektif adalah jenis untuk semak berkayu, contohnya 2,4-D,
2,4,5-T, picloram dan triclopyr (Nasution, 1990).
98 Bunga Rampai
Tembesu (Fagraea fragrans)
Gambar 2. Gulma Lantana camara
B. Scleria sumatrensis (Rumput belidang)
Scleria sumatrensis merupakan teki tahunan berumpun dan jarang
dominan disuatu tempat, karena gulma jenis ini tumbuh berkelompok atau
satu-satu. Gulma ini termasuk dalam gulma yang tangguh, dapat hidup baik
diruang terbuka maupun di bawah naungan. Gangguan yang ditimbulkannya
adalah mempersulit pekerjaan pemeliharaan di lapangan, karena batang
dan daunnya dapat melukai kulit bila tersentuh. Pengendalian gulma ini
efektif menggunakan cara manual dengan mendongkel sampai rimpangnya.
Selanjutnya dapat juga digunakan herbisida sistemik dengan bahan aktif
glyphosate.
Gambar 3. Gulma Scleria sumatrensis
99 Tembesu
Kayu Raja Andalan Sumatera
C. Cyperus rotundus (Rumput teki)
Cyperus rotundus merupakan teki tahunan yang berumbi dan
memiliki rimpang. Di dalam tanah rimpang dapat membentuk tunas-tunas
baru. Gulma ini sering mendominasi pada perkebunan karet dengan jenis
tanah alluvial/hidromorfik. Gangguan yang ditimbulkan oleh gulma ini adalah
adanya zat allelopati berupa asam salisil (o-hydroxybenzoic acid) yang
bekerja menghambat penyerapan unsur hara (Nitrogen) dan air. Dengan
adanya zat allelopati tersebut dapat menyebabkan terhambatnya
pertumbuhan tanaman tembesu. Pengendalian yang efektif dengan cara
manual (mendongkel sampai umbinya, rimpangnya diangkat dan
disingkirkan), sedangkan penggunaan bahan kimia yang efektif adalah
herbisida sistemik (bahan aktif glyphosate).
Gambar 4. Gulma Cyperus rotundus
D. Melastoma malabathricum (Senduduk)
Melastoma malabathricum merupakan jenis gulma perdu berkayu,
tinggi 2-4 meter dengan perakaran yang kuat dan dalam. Termasuk jenis
yang tangguh, mampu hidup dalam lingkungan yang kurang
menguntungkan. Gulma ini dapat mendominasi suatu areal dengan cepat,
sehingga menyebabkan persaingan dengan tanaman yang diusahakan
dalam mendapatkan nutrisi dan air. Persaingan tersebut akan menyebabkan
terhambatnya pertumbuhan pada tanaman tembesu muda. Pengendalian
yang efektif secara manual dengan mendongkel sampai ke akarnya dan
100 Bunga Rampai
Tembesu (Fagraea fragrans)
penggunaan herbisida untuk gulma semak berkayu dengan bahan aktif 2,4-
D, 2,4,5-T, picloram dan triclopyr (Nasution, 1990).
Gambar 5. Gulma Melastoma malabathricum
E. Chromolaena odorata (Kirinyuh)
Chromolaena odorata menurut Wibowo (2006) bisa menjadi gulma
yang sangat dominan pada lokasi hutan tanaman. Biomas jenis ini dapat
mencapai 24,5 ton/ha dan dapat menguapkan air dari dalam tanah sebesar
1923 mm/tahun. Karena potensi biomasnya yang besar, dominasi jenis ini
pada suatu lokasi akan sangat berbahaya terhadap kemungkinan terjadinya
kebakaran. Api yang membakar C. odorata akan menciptakan lidah api dan
intensitas panas yang tinggi sehingga dapat menyebabkan kematian
tanaman pokok tembesu. Pengendalian yang efektif dengan cara manual
(mendongkel). Pengendalian dengan cara pembabatan tidak disarankan
karena dari batang yang terpotong akan muncul banyak tunas-tunas baru
yang dapat membentuk tajuk (Nasution, 1990). Penggunaan herbisida yang
efektif yang berbahan aktif 2,4-D, 2,4,5-T, picloram dan triclopyr untuk gulma
semak berkayu.
101 Tembesu
Kayu Raja Andalan Sumatera
Gambar 6. Gulma Chromolaena odorata
F. Imperata cylindrica (Alang-alang)
I. cylindrica (alang-alang) memiliki potensi sebagai gulma karena
jenis ini merupakan tumbuhan pionir, berkembangbiak dengan rimpang
(rhyzome) dan biji. Alang-alang memiliki rimpang yang sangat tangguh
didalam tanah, toleran terhadap kekeringan dan panas, sehingga tidak mati
meskipun daun diatas permukaan tanah terbakar. Alang-alang akan dengan
mudah tumbuh kembali setelah terjadi kebakaran. Bijinya yang ringan
mudah diterbangkan oleh angin sehingga dapat menyebar sampai ketempat
yang jauh. Selain itu alang-alang juga mengeluarkan zat allelopati dari
rimpang dan daunnya berupa senyawa phenol, asam vanilik dan asam
karbolik (Eussen et al., 1976).
Melihat sifat dan potensinya, banyak pengelola tanaman
menganggap alang-alang sebagai musuh, sehingga harus dikendalikan
bahkan dimusnahkan. Pengendalian biasanya dengan bahan kimia sistemik
(glyphosate), secara kultur teknis/budidaya dengan meminimalkan sinar
matahari yang sampai dibawah tegakan. Hasil penelitian yang telah
dilakukan menunjukkan bahwa apabila sinar matahari yang masuk ke lahan
alang-alang sekitar 10%, maka pertumbuhan alang-alang dapat
dikendalikan dalam waktu 4 bulan. Apabila sinar yang masuk 50%, maka
perlu waktu yang lebih lama yaitu sekitar 8 bulan. Naungan 25% (sinar yang
masuk sekitar 75%) tidak dapat digunakan untuk mengendalikan alang-
102 Bunga Rampai
Tembesu (Fagraea fragrans)
alang, hanya dapat menurunkan viabilitas rhizomanya (Purnomosidhi et al.,
2005).
Gambar 7. Gulma Imperata cylindrica
G. Mikania micrantha (Lawatan)
Mikania adalah jenis vegetasi yang unik, pada tempat yang satu dan
yang lainnya jenis ini memiliki sifat yang berbeda. Jenis ini bisa saja
bermanfaat pada suatu tempat dan ditempat lain bisa bersifat sebagai
gulma. Mikania di perkebunan sawit dan karet digunakan sebagai penutup
tanah sedangkan di kehutanan jenis ini lebih berbahaya dibandingkan
dengan gangguan alang-alang. Mikania mengganggu tanaman tembesu
dengan membentuk lilitan tebal dari batang hingga menutup tajuk. Lilitan
yang dibentuk dapat mengakibatkan batang atau cabang menjadi
melengkung bahkan sampai patah. Selain itu lilitan Mikania yang menutupi
tajuk tembesu akan mengganggu proses fotosíntesis sehingga pertumbuhan
tanaman menjadi terganggu. Kerusakan yang terjadi berupa batang/cabang
patah, pertumbuhan terhambat sampai pada kematian tanaman.
Pengendalian secara manual yang efektif hanya dengan mendongkel yang
diiringi dengan penyingkiran dari permukaan tanah agar tidak tumbuh
kembali, pembabatan tidak efektif karena kemampuan yang besar untuk
berkembang biak secara vegetatif (Nasution, 1990). Menurut Barus (2003)
pengendalian lawatan/sembung rambat sebaiknya dilakukan lebih awal
sebelum gulma menjadi banyak, karena pertumbuhannya sangat cepat.
103 Tembesu
Kayu Raja Andalan Sumatera
Herbisida yang dapat digunakan dalam pengendalian antara lain herbisida
dengan bahan aktif 2,4 D-amine dan fluroxypy.
Gambar 8. Gulma Mikania micrantha
H. Dioscorea hispida (Gadung)
Dioscorea hispida merupakan jenis pionir, biasanya ditemukan pada
areal-areal bekas terbakar dan cemnderung terbuka. Gadung tumbuh
dengan melilitkan batangnya pada tanaman pokok. Pada umur muda,
batang gadung cenderung lembut namun semakin bertambah umurnya
batangnya akan mengeras dan berkayu. Pada areal-areal dengan tanaman
muda gadung membelit tanaman pokok sehingga kondisi tanaman akan
melengkung bahkan patah. Semakin lama gadung akan semakin membelit
batang tembesu, sehingga menimbulkan bekas lilitan. Kondisi yang
demikian sangat mengganggu pertumbuhan, baik pada tanaman muda
maupun pada tanaman tua. Sampai saat ini cara pengendalian gadung
dilakukan secara mekanik, yaitu dengan pendongkelan sampai pada
umbinya. Pembersihan umbi tersebut harus benar-benar bersih, karena
gadung dapat memperbanyak diri dengan bagian umbinya.
104 Bunga Rampai
Tembesu (Fagraea fragrans)
Gambar 9. Gulma Dioscorea hispida
III. PENUTUP
Pengendalian gulma yang paling umum dilakukan adalah cara
manual dan mekanik (menggunakan alat bantu). Cara ini memiliki
keuntungan karena murah, mudah, dapat dikerjakan disemua lokasi dan
semua kondisi cuaca, namun demikian cara tersebut memiliki kekurangan
yaitu membutuhkan waktu yang lama dan tenaga kerja yang banyak. Cara
yang kemudian dipilih untuk mengatasi kekurangan tersebut adalah
penggunaan herbisida. Keuntungannya adalah efek pengendalian lebih
lama, gulma yang mati dapat dimanfaatkan sebagai mulsa, produktivitasnya
lebih tinggi dibandingkan dengan cara manual sehingga lebih murah. Di sisi
lain kerugian akibat pemakaian herbisida cukup banyak, yaitu matinya
organisme non-sasaran, menurunkan kualitas ekologis, harganya relatif
mahal baik bahan maupun peralatannya, dan membutuhkan tenaga yang
terampil. Berdasarkan keuntungan dan kerugian tersebut, saat ini
pengendalian gulma lebih diarahkan pada pengendalian hayati
(menggunakan organisme) dan pemberian mulsa. Pengendalian gulma
harus dilakukan dengan tepat, mulai dari identifikasi masalah (gulma),
perencanaan, pemilihan teknik, pelaksanaan dan evaluasi. Hal ini untuk
mencegah kerugian, baik secara ekonomi maupun ekologis.
105 Tembesu
Kayu Raja Andalan Sumatera
DAFTAR PUSTAKA
Barus, E., 2003. Pengendalian Gulma Di Perkebunan. Efektivitas dan
Efisiensi Aplikasi Herbisida. Kanisius. Yogyakarta.
Eussen, J.H.H., Slamet, , S. dan Soeroto, D. 1976. Competition between
alang-alang (Imperata cylindrical (L.) Beauv) and some crop plants.
BIOTROP Bulletin No. 10, SEAMEO Regional Centre for Tropical
Biology. Bogor.
Hadi, E. E. W., Azwar, F., Muara, J. dan Andriani, N., 2007. Teknik
Pengendalian Gulma Pada Hutan Tanaman (Jenis Tembesu).
Laporan Penelitian Tahunan 2007. Tidak Dipublikasikan. Balai
Penelitian Kehutanan Palembang.
Purnomosidhi, P., Hairiah, K., Rahayu, S., and Van Noordwijk, M. 2000.
Smallholder Options for Reclaiming and Using Imperata cylindrica L.
(Alang-Alang) Grasslands in Indonesia. Slash and Burn Agriculture,
The Search For Alternatives. Columbia University Press, New York.
Moenandir, J., 1990. Pengantar Ilmu dan Pengendalian Gulma (Ilmu Gulma
Buku I). Universitas Brawijaya. Rajawali Pers. 1990. Jakarta.
Muzik, T.Z., 1972. Weed Biology and Control. Mac Graw-Hill. New York.
Nasution, U., 1990. Gulma dan Pengendaliannya di Perkebunan Karet
Sumatera Utara dan Aceh.
Sukman, Y. dan Yakup, 1991. Gulma dan Teknik Pengendaliannya.
Rajawali Press. Jakarta.
Sumardi dan Widyastuti, S.M., 2004. Dasar-dasar Perlindungan Hutan.
Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Triharso, 1994. Dasar-dasar Perlindungan Tanaman. Gadjah Mada
University Press. Yogyakarta.
Wibowo, A., 2006. Gulma di Hutan Tanaman dan Upaya Pengendaliannya
(Weed in Forest Plantation and Its Control Efforts). Pusat Penelitian
dan Pengembangan Hutan Tanaman. Bogor.
107 Tembesu
Kayu Raja Andalan Sumatera
SIFAT DASAR DAN PEMANFAATAN KAYU TEMBESU
Oleh: Sahwalita
I. PENDAHULUAN
Secara luas pemanfaatan kayu belum dilakukan berdasarkan sifat
dasar kayu yang dimiliki. Sifat dasar kayu biasanya diperlukan pada kondisi
atau pemakaian dengan syarat-syarat tertentu untuk memudahkan dalam
pemanfaatan kayunya agar kualitas produk terjaga. Pemanfaatan kayu
selama ini dilakukan berdasarkan pada pengalaman para pemakai. Pada
masyarakat “lokal” sifat dasar kayu yang biasa digunakan adalah
berdasarkan pada kekuatan dan keawetan. Kayu tembesu disukai karena
awet (kelas awet I) dan kuat (kelas kuat II-I) (Martawijaya et al., 2005),
sehingga kayu tembesu biasa digunakan untuk keperluan sehari-hari yaitu
rumah, furniture dan konstruksi (jembatan, galangan rel, perahu). Sifat dasar
kayu yang lain kadang digunakan berhubungan dengan kemudahan dalam
pengerjaan (kekerasan kayu dan arah serat). Kayu tembesu termasuk yang
mudah dikerjakan dan tidak merusak alat karena kandungan silika di dalam
kayu hanya sekitar 0,3%. Selain itu kayu tembesu tidak mudah pecah dan
melengkung, walaupun hanya dilakukan pengeringan secara alami.
Kayu tembesu yang dimanfaatkan oleh masyarakat terdiri dari 2
(dua) jenis yaitu kayu tembesu lunak dan kayu tembesu agak keras. Istilah
ini digunakan oleh pengguna khusus pengrajin ukiran kayu berdasarkan
pada kemudahan dalam pengerjaannya. Kayu tembesu lunak lebih mudah
dalam pengerjaan ukiran karena memiliki berat jenis yang lebih rendah
dibandingkan kayu agak keras. Saat ini, kayu tembesu lunak sudah jarang
ditemukan, sehingga para pengrajin ukiran memanfaatkan kayu tembesu
agak keras.
Sifat dasar kayu tembesu secara lengkap dan terperinci pada setiap
bagian meliputi bagian pangkal, tengah dan ujung belum dimiliki. Karena
selama ini pemanfaatan kayu tembesu hanya sampai pada batang bebas
cabang. Padahal kayu dalam sebatang pohon, setiap bagiannya mempunyai
sifat dasar yang berbeda. Secara umum bagian pangkal pohon akan
108 Bunga Rampai
Tembesu (Fagraea fragrans)
memiliki sifat dasar yang lebih baik untuk kayu pertukangan, bagian tengah
untuk furniture dan bagian ujung untuk pulp dan kayu energi. Dengan
demikian sifat dasar akan menjadi patokan dalam pemanfaatan kayu
sebagai upaya penghematan bahan baku untuk menuju zero waste.
Selain itu sifat dasar kayu diperlukan untuk diversifikasi produk, hal
ini berhubungan dengan ketersediaan bahan baku. Satu jenis kayu misalnya
kayu tembesu, dapat dimanfaatkan untuk berbagai produk jika memenuhi
persyaratan. Sebaliknya satu jenis produk seperti meubel dapat
menggunakan berbagai jenis kayu sebagai bahan baku misalnya kayu
tembesu dapat diganti dengan kayu medang atau kayu meranti. Hal
dilakukan untuk mengantisipasi kelangkaan bahan baku kayu.
II. SIFAT DASAR KAYU TEMBESU
Sifat dasar kayu akan menentukan kualitas kayu dan
pemanfaatannya untuk berbagai kepentingan. Kayu dapat dimanfaatkan
antara lain sebagai bahan konstruksi, kayu gergajian, moulding, vener,
papan partikel, papan fiber, pulp, kotak pengemasan dan lain-lain. Sifat
dasar kayu adalah sifat asli kayu yang dipengaruhi oleh faktor internal
(genetik) dan eksternal (lokasi, kesuburan tanah, tinggi tempat, musim dan
tindakan manipulasi lingkungan). Sifat dasar kayu terbentuk selama proses
pertumbuhan pohon, sehingga sifat dasar kayu pada pohon muda akan
berbeda terhadap pohon tua. Selain itu, sifat dasar kayu dipengaruhi oleh
letak kayu pada bagian batang baik pada arah longitudinal dan arah
transversal. Haygreen & Bowyer (1996) mendefinisikan sifat dasar sebagai
konsep kualitas/karakteristik kayu yang mempengaruhi sifat produk yang
terbuat dari bahan tersebut. Secara umum sifat dasar kayu yang langsung
menentukan pemanfaatannya adalah sifat fisika, sifat mekanik dan sifat
kimia. Sedangkan sifat dasar yang lain hanya digunakan pada pemakaian
tertentu yang membutuhkan spesifikasi seperti sifat thermos, sifat elektrik,
sifat akuistik, daya layang dan daya apung serta sifat energi.
Sifat-sifat dasar kayu tembesu meliputi: struktur anatomi, fisika,
mekanik, kimia, keawetan, disajikan pada Tabel 1.
109 Tembesu
Kayu Raja Andalan Sumatera
Tabel 1. Karakteristik kayu tembesu (Fagraea fragrans Roxb. dan Fagraea crenulata Maingay ex C.B. Clarke)
Sifat dasar Nilai Keterangan
1. Struktur
- Pori
- Diameter
- Frekuensi
- Tilosis
- Serat
Diameter
Panjang
2. Sifat fisika
Berat jenis
Kelas kuat
Penyusutan kering tanur
Penyusutan Ka 15%
3. Sifat Mekanika
Tegangan pada batas proporsi
Tegangan pada batas patah
Kekerasan ujung
Kekerasan sisi
4. Sifat Kimia
Selulosa
Lignin
Pentosan
Abu
Silika
5. Keawetan kayu
165-200 π
2-3 mm3
1.438 π
24 π
0,81 (0,72-0,93)
II – I
3,4/6,6 %
1,1/1,6 %
665/750 (kg/cm2)
904/972 (kg/cm2)
630/555 (kg/cm2)
515/406 (kg/cm2)
46,8/44 %
28,5/25 %
11,2/13 %
0,7/0,7 %
0,3 %
I Kelas
Soliter
Sangat banyak
Radial/tangensial
Radial/tangensial
(F.crenulata)
Basah/kering
Basah/kering
Basah/ Kering
Basah/ Kering
F.fragrans/F.crenulata
F.fragrans/F.crenulata
F.fragrans/F.crenulata
F.fragrans/F.crenulata
Sumber: Martawijaya et al., 2005; Lemmens et al., 1995
Secara ilmiah perbedaan kedua sifat kayu tembesu tersebut
disebabkan sifat dasar kayu yang berbeda. Kerapatan kayu F. crenulata
pada kadar air 15% adalah (440-660 kg/m3) jauh lebih ringan daripada
spesies lainnya dan tidak memiliki tilosis serta berat jenis 0,56 (0,44-0,64),
kelas awet IV dan kelas kuat III. Jenis inilah yang paling cocok dimanfaatkan
sebagai bahan baku ukiran. Sedangkan tembesu agak keras F. fragrans
Roxb. pada kadar air 15% memiliki kerapatan (440) 510-1060 (1130) kg/m3
110 Bunga Rampai
Tembesu (Fagraea fragrans)
dan, berat jenis 0,81 (0,72-0,93), kelas awet 1 dan kelas kuat II-I, memiliki
banyak tilosis serta sering terdapat mata kayu sehingga sulit untuk diukir
(Lemmens et al., 1995; Damayanti dan Mandang, 2007). Kayu tembesu F.
fragrans Roxb. ini yang cocok untuk bahan baku konstruksi rumah.
Selain sifat dasar kayu, pengenalan terhadap kayu dapat dilakukan
melalui struktur anatomi kayu. Pengamatan struktur anatomi kayu dapat
dilakukan secara makroskopis dan mikroskopis. Pengenalan secara
makroskopis meliputi: warna, tekstur, arah serat, kesan raba, kilap, gambar,
rasa, bau, lingkar tahun, kayu gubal dan kayu teras. Sedangkan pengenalan
secara mikroskopis meliputi: pori, jari-jari, parenkim, dimensi serat dan
saluran interseluler (Haygreen & Bowyer, 1996).
Struktur anatomi kayu tembesu diuraikan sebagai berikut: kayu teras
berwarna cokelat-kekuningan sampai cokelat muda, tidak jelas batas kayu
teras dengan kayu gubal. Serat kayu lurus sedikit bergelombang atau saling
bertautan. Kayu mengkilap, lingkar tahun tidak ada atau tidak jelas.
Pembuluh menyebar, (2-) 6-20/mm2, kadang-kadang soliter, sering kelipatan
dalam radial dari 2-5-(8), kadang-kadang dalam klaster, dengan diameter
tangensial 100-200 πm. Serat kayu memiliki panjang 900-1800 πm, tidak
bersekat, berdinding tipis sampai sangat tebal, biasanya berdinding tebal,
dengan susunan sederhana. Parenkim paratrakeal relatif jarang dengan
membentuk selubung sempit 1-2 berseri lengkap atau tidak lengkap;
apotrakeal parenkim berlimpah tersusun kontinu, kadang-kadang terganggu
bergelombang dengan lebar (1-)2-4(-6). Kayu memiliki bau yang tidak
menyenangkan ketika baru dipotong yang menghilang pada proses
pengeringan, dan memiliki rasa tidak berbeda (Lemmens et al., 1995:
Martawijaya et al., 2005).
III. PEMANFAATAN KAYU TEMBESU
Kesesuaian kayu untuk suatu produk dipengaruhi oleh sifat dasar
kayu tersebut. Variasi persyaratan mutu industri kayu menentukan bahan
baku kayu yang sesuai untuk setiap produk. Kayu tembesu memiliki kelas
kuat dan kelas awet yang tinggi, dengan demikian pemanfaatannya dapat
111 Tembesu
Kayu Raja Andalan Sumatera
dilakukan baik indoor maupun outdoor. Kayu tembesu selain awet dan kuat
juga mudah dalam pengerjaannya seperti dipotong, dibelah, dipahat dan
dilem. Lemmens et al., 1995, menyatakan bahwa pengeringan secara alami
terhadap kayu tembesu dengan ketebalan papan 20 mm dapat menurunkan
kadar air dari 40% menjadi 14% dalam waktu 3 bulan.
Dengan mempertimbangkan sifat dasar kayunya, dapat dilakukan
diversifikasi pemanfaatan kayu tembesu menjadi berbagai produk, seperti
diuraikan di bawah ini.
A. Bahan Konstruksi Rumah
Pemanfaatan kayu tembesu sebagai bahan baku konstruksi rumah
sudah lama dilakukan. Masyarakat kalangan menengah keatas yang
mampu memanfaatkannya karena harganya yang lebih tinggi dibandingkan
kayu lain. Kayu tembesu dapat dimanfaatkan sebagai konstruksi rumah
meliputi semua bagian, seperti: kusin, daun pintu, dinding rumah, tiang dan
ornamen di dalam rumah, meskipun dalam praktiknya dalam suatu
bangunan rumah tidak semuanya memanfaatkan kayu tembesu. Bagian
yang biasa memanfaatkan kayu tembesu adalah kusen dan daun pintu.
Sebagian masyarakat masih fanatik terhadap pemakaian kayu tembesu,
selain tahan lama akan menambah ”pristise” bahwa pemakai kayu tembesu
termasuk orang kaya/terpandang. Contoh dapat dilihat bangunan rumah
yang hampir semua bagiannya memanfaatkan kayu tembesu di Martapura,
Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur Provinsi Sumatera Selatan (Gambar
1).
112 Bunga Rampai
Tembesu (Fagraea fragrans)
Gambar 1. Bangunan rumah hampir seluruhnya memanfaatkan kayu tembesu
B. Bahan Baku Ukiran
Ukiran adalah hasil kegiatan pengolahan permukaan suatu objek
dengan membuat perbedaan ketinggian dari permukaan sehingga diperoleh
kesan tertentu. Mengukir berbeda dengan memahat karena memahat
menghasilkan benda tiga dimensi seperti patung (http://majalah
handicraft.jogja.com).
Kualitas ukiran dipengaruhi oleh kualitas bahan baku yang dipilih.
Persyaratan/spesifikasi bahan baku kayu untuk produk ukiran antara lain:
ukuran log besar dan kecil, serat lurus, tekstur halus, liat tidak mudah patah,
tidak terlalu keras, sedikit silika, mudah dalam pengerjaan dengan kualitas
hasil baik (Sahwalita, 2007). Berdasarkan sifat dasar kayu yang dimiliki kayu
tembesu memenuhi persyaratan teknis yang ditentukan untuk bahan baku
ukiran kayu. Selain itu kayu tembesu tahan lama, mudah untuk diukir, nilai
penyusutan yang sangat kecil dan corak yang cukup indah. Persyaratan
ukuran panjang dan diameter log sangat berpengaruh terhadap kualitas
produk, yang berhubungan dengan kemudahan perakitan dan pengukiran
serta mengurangi sambungan. Bahan baku kayu dengan ukuran diameter
lebih besar akan meningkatkan kualitas produk serta efisien dalam
pengerjaan dan bahan tambahan (dempul dan cat).
Photo : Martin
113 Tembesu
Kayu Raja Andalan Sumatera
Kayu tembesu yang dimanfaatkan oleh pengrajin terdiri 2 kriteria,
yaitu kayu lembut dan agak keras. Kayu tembesu lembut memiliki sifat nilai
penyusutan kayu lebih kecil, warna lebih kuning dan mudah untuk
dikerjakan. Kayu tembesu agak keras memiliki sifat sulit untuk diukir, nilai
penyusutan kayu lebih besar dibanding kayu tembesu yang lembut, namun
memiliki corak yang dimiliki lebih bagus. Kayu lembut dan agak keras
merupakan istilah yang dipakai oleh pengrajin berhubungan dengan
pengerjaannya, untuk kayu tembesu lembut lebih mudah dikerjakan
dibandingkan kayu tembesu agak keras. Kayu tembesu lembut diperoleh
dari Sekayu, Jambi, Padang, dan Pekanbaru. Kayu tembesu agak keras
diperoleh dari Muara Enim, Banyuasin, Kayu Agung, dan Lampung
(Sahwalita, 2009).
Proses pengolahan kayu menjadi suatu produk ukiran memerlukan
waktu yang panjang dan melewati beberapa tahap pengerjaan. Bahan baku
yang dicari oleh para pengrajin biasanya berbentuk balok atau papan tebal.
Bahan yang berupa balok selanjutnya dibelah menjadi papan tebal dengan
ukuran tebal 2 cm dan 4 cm. Proses pengolahan produk ukiran palembang
berkisar 2-4 bulan (Sahwalita, 2009) disajikan pada Gambar 2.
Gambar 2. Diagram proses pembuatan ukiran kayu Palembang
Kayu tembesu lembut sudah lama tidak diperoleh oleh pengrajin,
sehingga pengrajin memanfaatkan kayu tembesu agak keras untuk bahan
Penggergajian
(2-4) cm
Pengeringan
(1-4)minggu Perakitan
(2 minggu) Pengukiran
(2-4) minggu
Pendempulan
(3-5) hari
Pengamplasan
(2-4) hari
Pengecatan
(2-4 )minggu
Pelukisan
(2-4) minggu
Produk
siap pakai
Produk
Setengah
Jadi
114 Bunga Rampai
Tembesu (Fagraea fragrans)
baku ukiran. Tingkat pengerjaan ukiran kayu agak keras lebih sulit dengan
resiko retak lebih tinggi. Dengan demikian akan lebih rumit dalam
pengerjaan akhir (finishing touch) sehingga memerlukan waktu lebih lama
dan penggunaan bahan tambahan lebih banyak. Produk-produk ukiran kayu
yang ada selama ini belum memiliki standar mutu dalam upaya menjaga
kualitas. Bahkan pengrajin sengaja memberikan variasi mutu sesuai dengan
keinginan konsumen, karena kualitas ini akan mempengaruhi harga. Produk
yang dihasilkan terdiri dari berbagai perabot rumah tangga seperti: almari
(rek) dengan berbagai tipe dan ukuran, almari hias, almari pakaian, almari
sudut, dipan, cermin, aquarium, bingkai foto, sofa, kotak sirih, meja king,
pembatas ruangan, perabot kamar pengantin sampai pelaminan, mimbar
dan lain-lain (Gambar 3).
Gambar 3. Produk-produk ukiran kayu khas Palembang
Ukiran kayu palembang telah banyak dikenal, bukan saja oleh
masyarakat Palembang tetapi juga oleh masyarakat dari daerah lain.
Selama ini, pembeli datang dari berbagai daerah seperti: Bogor, Bandung,
Jakarta, Tangerang, Lampung, Bengkulu, Jambi dan daerah lainnya.
Pembeli dari luar kota cenderung memesan dahulu, kemudian baru diambil
setelah produk selesai (Sahwalita, 2007). Walaupun demikian industri ukiran
kayu palembang masih tertekan dengan terbatasnya bahan baku dan jumlah
produk yang terjual terbatas.
Photo: Sahwalita
115 Tembesu
Kayu Raja Andalan Sumatera
Upaya yang dilakukan untuk kelangsungan industri ukiran kayu
palembang dengan bahan baku kayu tembesu, maka diperlukan strategi dan
kebijakan dari pemerintah untuk mengembangkan dan melestarikan
tanaman tembesu. Pengembangan tembesu perlu dilakukan dengan
menerapkan IPTEK agar produktivitas tanaman tembesu meningkat dan
menyediakan bahan baku kayu tembesu dapat berkelanjutan mengingat
ukiran dari kayu tembesu merupakan warisan budaya yang sangat berharga
dan menjadi khas Kota Palembang.
IV. PENUTUP
Kayu tembesu telah lama dimanfaatkan oleh masyarakat, yaitu
sebagai bahan konstruksi rumah dari jenis kayu tembesu agak keras
(Fagraea fragrans Roxb.) dan bahan baku ukiran dari jenis kayu tembesu
lembut (Fagraea crenulata Maingay ex C.B. Clarke). Kesulitan memperoleh
kayu tembesu lembut membuat pengrajin memanfaatkan kayu tembesu
agak keras sebagai bahan baku ukiran. Sedangkan untuk bahan konstruksi
rumah pemakaian kayu tembesu hanya terbatas pada kalangan tertentu
karena harganya yang mahal dan kelangkaan kayu tersebut.
Kelangkaan kayu tembesu harus disikapi oleh pemerintah melalui
perencanaan yang matang dalam penyediaan bahan baku kayu tembesu
karena ukiran kayu tembesu merupakan warisan leluhur yang harus
dilestarikan bersama.
DAFTAR PUSTAKA
http://majalah_handicraft.jogja.com. 2007. Membidik Pasar Furnitur. Majalah
Handicraft Indonesia. Edisi 06 Maret 2007. Yogyakarta. Diakses dari
pada tanggal 25 Juli 2007.
Damayanti, R dan Y.I Mandang. 2007. Pedoman Identifikasi Jenis Kurang
Dikenal. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor.
Haygreen JG & Bowyer JL. 1996. Forest Products and Wood Science. Lowa
State University Press. Iowa
116 Bunga Rampai
Tembesu (Fagraea fragrans)
Lemmens, R.H.M.J., Soerianegara, I., & Wongs, W.C. (Editors), 1995. Plant
Resources of South-East Asia No 5(2). Timbers trees: Minor
commercial timbers. Backhuys Publishers, Leiden.
Martawijaya. A, I. Kartasujana, Y.I. Mandang, K. Kadir dan S.A. Prawira.
2005. Atlas Kayu Indonesia Jilid I. Badan Penelitian dan
Pengembangan Kehutanan. Departemen kehutanan. Bogor.
Indonesia. (Cetakan Ketiga).
Sahwalita. 2007. Peran IPTEK Dalam Mendukung Pengembangan Industri
Ukiran Kayu Palembang. Prosiding Seminar Hasil-Hasil Penelitian
Hutan Tanaman, Pangkalan Balai, 21 Agustus 2007. ISBN : 978-979-
3819-38-9. Palembang. Indonesia.
Sahwalita. 2009. Industri Ukiran Kayu di Kota Palembang, Sumatera
Selatan. Buletin Hasil Hutan Vol. 15 No. 2, Oktober 2009. Pusat
penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Badan Penelitian dan
Pengembangan Kehutanan. Departemen Kehutanan. Bogor-
Indonesia.
117 Tembesu
Kayu Raja Andalan Sumatera
UPAYA KOMODITISASI TEMBESU DALAM PERSPEKTIF
SOSIAL BUDIDAYA PETANI DAN PASAR
Oleh: Edwin Martin dan Bambang Tejo Premono
I. PENDAHULUAN
Komoditas adalah segala sesuatu yang bisa diperdagangkan. Selain
memiliki nilai (value), komoditas juga mengandung elemen nilai guna (use
value) dan nilai tukar (exchange value). Nilai pada komoditas terbentuk
akibat pencurahan sejumlah kerja tertentu. Proses terbentuknya nilai atau
penambahan nilai benda dalam ruang pasar inilah yang dikenal sebagai
Komoditisasi. Sebagai hasil dari proses, nilai komoditas tidak hanya dilihat
dari sifat fisiknya saja, namun juga oleh konstruksi sosial yang dibentuk oleh
pasar (Wright, 2006).
Pasar atau konsumen merupakan penentu dalam komoditisasi.
Komoditisasi muncul akibat dorongan seleksi oleh masyarakat yang
menginginkan ruang pasar dalam ruang interaksi sosial (Manno, 2010 dalam
Caputo, 2012). Komoditisasi tanaman berkayu dalam bidang kehutanan
dilakukan melalui sistem silvikultur/budidaya (Caputo, 2012). Hal ini
ditegaskan pula oleh Walters et al. (2005), bahwa adopsi teknik silvikultur
oleh masyarakat dipengaruhi oleh kelangkaan sumberdaya dan permintaan
pasar. Peran pasar (harga jual kayu) inilah yang memegang peran kunci
dalam memotivasi masyarakat menanam pohon dalam areal pertanian milik
mereka (Godoy, 1992; Shively, 1999), bahkan pada lahan yang tidak aman
secara tenurial (Godoy, 1992). Oleh karena itu, secara teoritis, jenis-jenis
pohon penghasil kayu akan menjadi komoditas masyarakat apabila memiliki
nilai guna (farmer driven) dan diminta oleh pasar (market-led).
Dalam kasus di Sumatera Selatan, jenis-jenis pohon penghasil kayu
masih jarang yang menjadi komoditas budidaya masyarakat, kecuali
bambang lanang (Michelia champaca) yang dibudidayakan oleh masyarakat
di wilayah sekitar dataran tinggi, dan akhir-akhir ini jabon (Anthocephalus
cadamba) yang ditanam masyarakat di sekitar Kota Palembang.
Komoditisasi kedua jenis tersebut didukung oleh persepsi bahwa umur
118 Bunga Rampai
Tembesu (Fagraea fragrans)
panen tanaman adalah relatif cepat (< 15 tahun untuk bambang lanang dan
< 10 tahun untuk jabon). Bagaimanakah dengan jenis pohon lain yang
memiliki nilai guna dan diminta oleh pasar namun tergolong lambat tumbuh?
Jenis-jenis seperti merawan (Hopea mangerawan), ulin (Eusideroxylon
zwageri), dan tembesu (Fagraea fragrans) telah dikenal oleh masyarakat di
Sumatera bagian Selatan sebagai penghasil kayu berkelas dan diminati
pasar, namun lambat tumbuh (slow growing species). Dapatkah jenis-jenis
tersebut menjadi komoditas budidaya masyarakat?. Apakah kasus jati
(Tectona grandis) yang diminati untuk dikembangkan oleh petani pemilik
lahan sempit di Jawa (Filius, 1997) akan dapat berlaku juga bagi masyarakat
luar Jawa?
Khusus untuk tembesu, berbagai program pemerintah telah
berupaya menjadikan jenis ini sebagai komoditas budidaya masyarakat,
namun hingga kini belum mampu mendorong petani untuk melakukan
budidaya secara swadaya. Bukankah tembesu merupakan jenis pohon
terkenal di Sumatera Selatan? Mengapa masyarakat belum/tidak
menjadikan tembesu sebagai komoditas budidaya sebagaimana terjadi pada
jati di Pulau Jawa. Tulisan ini bertujuan untuk menerangkan bagaimana
sesungguhnya relasi tembesu dan masyarakat serta menjelaskan prospek
tembesu menjadi komoditas budidaya masyarakat.
II. TINJAUAN TEORITIS DAN ANALISIS KOMODITISASI JENIS
POHON
A. Kerangka Kerja Teoritis
Malla (2000) melalui penelitiannya terhadap pengelolaan pohon oleh
masyarakat di Nepal memberikan rekomendasi bagi program intervensi dan
insentif untuk mendorong penanaman pohon oleh masyarakat.
Rekomendasi utama yaitu bahwa program atau proyek harus
mempertimbangkan kebutuhan subsistensi rumah tangga petani terhadap
kayu dan perkembangan usaha-usaha berbasis hutan. Ini berarti petani dan
pasar adalah komponen utama dalam menganalisis sebuah upaya
komoditisasi jenis pohon. Komoditisasi atau komersialisasi jenis pohon bagi
119 Tembesu
Kayu Raja Andalan Sumatera
petani pemilik lahan sempit disarankan Godoy (1992) melalui pola budidaya
campuran (mixed-cropping). Dalam pola agroforestri ini, menurut Mercer
(2004) petani akan bersedia berinvestasi apabila pendapatan yang
diharapkan (expected gains) dari sistem tanam baru lebih tinggi dari
alternatif lain dalam penggunaan lahan, tenaga kerja dan modal mereka.
Tinjauan teoritis ini menjadi acuan dalam analisis upaya komoditisasi
tembesu.
B. Kerangka Kerja Analisis
Analisis upaya komoditisasi tembesu dilakukan terhadap fenomena
eksistensi tembesu dalam kebun-kebun masyarakat di Kabupaten OKU
Timur, Sumatera Selatan dan pemanfaatan kayunya oleh industri ukiran
dalam Kota Palembang. Kabupaten OKU Timur, Sumatera Selatan
diidentifikasi sebagai salah satu tempat yang paling mudah mendapati
tembesu tumbuh di sekitar kebun dan pekarangan masyarakat. Dua
kecamatan di OKU Timur, yaitu Semendawai Barat dan Madang Suku I
adalah pusat sebaran tembesu. Dua desa di Kecamatan Madang Suku I,
yaitu Mengulak dan Jatisari dipilih sebagai tempat kajian. Mengulak
merupakan representasi desa asli yang penduduknya didominasi Suku
Komering, dan Jatisari dipilih untuk mewakili eks desa transmigrasi yang
banyak terdapat di OKU Timur.
Kajian dilaksanakan dengan metode survei yang dilengkapi dengan
Focus Group Discussion (FGD). Data status dan potensi pasar kayu
tembesu diperoleh dari usaha meubel ukiran Palembang, melalui kajian
aspek permintaan bahan baku kayu tembesu pada setiap unit usaha dalam
Kota Palembang.
III. SOSIAL BUDAYA PETANI TEMBESU
A. Penghidupan Petani
Kecamatan Madang Suku I OKU Timur merupakan kecamatan
utama yang memiliki potensi bagi pengembangan budidaya tembesu. Desa
Rasuan, Mengulak, Simpang Karto, Kartomulyo, dan Jati Sati teridentifikasi
120 Bunga Rampai
Tembesu (Fagraea fragrans)
sebagai desa yang banyak ditumbuhi tembesu, baik tumbuh secara tidak
beraturan di lahan-lahan sisa/pinggiran maupun di dalam perkebunan karet
rakyat. Desa Rasuan dan Mengulak selama ini dikenal sebagai desa
penghasil duku (Lansium domesticum). Sebagian besar masyarakat
Rasuan, Mengulak, dan Simpang Karto adalah orang komering. Orang
komering di desa-desa ini memiliki kebun campuran duku-durian, karet, dan
sawah. Kebun campuran duku-durian merupakan warisan tradisi nenek
moyang mereka yang terus dipertahankan keberadaannya dan sekaligus
sebagai identitas petani duku (duku komering). Di dalam kebun campuran
duku dan durian (Durio zibethinus), tumbuh beragam jenis tanaman seperti
tembesu, bungur (Lagerstroemia speciosa), jabon, dan seru (Schima
wallichii). Pohon-pohon penghasil kayu pertukangan ini dinilai orang
komering sebagai tanaman berharga dan menjadi tabungan masa depan.
Lahan-lahan yang dimiliki masyarakat, baik di Desa Jati Sari
(dominan suku Jawa) dan Desa Mengulak (dominan suku Komering)
merupakan lahan produktif, sehingga sulit mendapatkan lahan
kosong/terlantar di kedua desa tersebut. Kehidupan ekonomi di Desa
Jatisari saat ini relatif lebih baik dibandingkan dengan Desa Mengulak. Ini
terjadi karena penduduk Desa Jatisari mengandalkan karet sebagai
komoditas utama penghasil pendapatan keluarga. Sementara, penduduk
Desa Mengulak masih tergantung dengan pola tradisional kebun campuran,
namun mulai mengarah menjadi perkebunan karet intensif. Komoditisasi
karet di Kabupaten OKU Timur telah terjadi sejak tahun 1990-an, bahkan
mendorong terjadinya alih fungsi lahan padi sawah.
B. Relasi Petani dan Tembesu
Tembesu lebih banyak ditemui di dalam kebun-kebun yang dimiliki
oleh masyarakat Jatisari dibandingkan dengan Mengulak. Meskipun
pendatang, masyarakat Jatisari ternyata memiliki relasi budidaya tembesu
lebih kuat dibandingkan dengan masyarakat Mengulak (Tabel 1).
Masyarakat Jatisari memiliki motivasi lebih baik untuk melakukan budidaya
tembesu dibandingkan masyarakat Mengulak. Desa Jatisari baru dibuka
121 Tembesu
Kayu Raja Andalan Sumatera
menjadi pemukiman masyarakat pada tahun 1984, sementara Mengulak
merupakan salah satu desa tua di OKU Timur.
Tabel 1. Hubungan masyarakat Desa Jatisari dan Mengulak dengan
tembesu
Uraian relasi Besaran Desa Jatisari
(n=30)
Desa Mengulak
(n=40)
Kepemilikan tanaman tembesu (batang)
Max. 150 50
Min. 1 1
Rerata 39 15
Pernah menanam (%) 13,33 2,5
Pernah memangkas (%)
90 12,5
Pernah memanen (%)
16,66 15
Pernah menjual (%)
3,3 10
Tembesu sebagai kayu bangunan rumah (%)
60 80
Sumber: Data primer, 2010
Sebagian besar rumah yang ditempati oleh responden
menggunakan kayu tembesu sebagai salah satu bahan bangunannya,
terutama di Desa Mengulak. Kekuatan dan keawetan kayu tembesu telah
dibuktikan sendiri oleh masyarakat, termasuk di Desa Jatisari. Konsumsi
kayu lokal di desa-desa penelitian tergolong rendah, hanya 6 m3 untuk
pembangunan rumah baru. Laju pembangunan rumah baru setiap tahunnya
tidak lebih dari 5 (lima) buah rumah per desa per tahunnya. Selain kayu
tembesu, rumah masyarakat juga terdiri dari bahan kayu bungur, jabon,
seru, dan durian.
Sifat awet kayu tembesu mendorong orang untuk menggunakannya
dalam pembangunan rumah baru, namun penggunaan subsistensi jangka
panjang ini adalah juga penyebab rendahnya konsumsi kayu tembesu pada
tingkat lokal. Tembesu yang tumbuh liar di areal perkebunan sengaja tidak
dibuang guna mendapatkan kayunya untuk digunakan sendiri oleh masing-
masing pemilik kebun. Pasar kayu tingkat lokal lebih banyak dipenuhi oleh
kayu-kayu dari jenis bukan tembesu.
122 Bunga Rampai
Tembesu (Fagraea fragrans)
Harga jual beli kayu tembesu di tingkat desa berkisar antara Rp. 3
juta sampai dengan Rp. 4 juta per m3, biasanya diperdagangkan dalam
bentuk kayu olahan berdimensi 8/12 cm dan 5/10 cm. Meskipun tergolong
kayu mahal, tembesu belum menjadi komoditas budidaya atau ditanam
secara sengaja, masih merupakan hasil regenerasi alami yang
dipertahankan keberadaannya oleh masyarakat di dalam kebun-kebun
mereka. Tabel 2 menyajikan persepsi responden terhadap usaha budidaya
tembesu. Masyarakat sebetulnya meyakini bahwa menanam tembesu
merupakan usaha yang bernilai guna, namun enggan melakukan
penanaman secara khusus (monokultur) karena umur panen dianggap
terlalu lama dan tidak dapat diprediksi kapan masa panennya.
Tabel 2. Persepsi mengenai usaha menanam tembesu
Uraian Desa
Jatisari Desa
Mengulak
“Umur panennya lama” 86,66% 20%
“Mudah dilakukan tanpa perawatan” 86,6% 25%
“Tidak jelas kapan panennya” 3,33% 65%
“Tembesu dapat dibudidayakan seperti jati” 93% 100%
“Menanam tembesu merupakan usaha bermanfaat”
93% 80%
“Tembesu cocok ditanam bersama dengan tanaman pokok usahatani”
87% 57,5%
Sumber: Data primer, 2010
Masyarakat yang secara tradisional memiliki kebun campuran
(contoh kasus Desa Mengulak) memang tidak menganggap umur panen
tembesu sebagai masalah, karena bagi mereka pohon penghasil kayu
diorientasikan bagi subsistensi. Mereka memanen kayu tembesu apabila
terdapat kebutuhan untuk membangun atau memperbaiki rumah sendiri.
Hasil panen kayu tembesu juga tidak dapat banyak, karena karakteristik
batang dan cabang dari tembesu alami ini jarang berbentuk lurus panjang.
Tembesu yang tumbuh dalam kebun campuran belum menjadi alternatif
pendapatan tunai andalan petani. Komoditisasi tembesu melalui budidaya
belum terjadi di tingkat petani. Hal ini merupakan penjelasan mengapa
123 Tembesu
Kayu Raja Andalan Sumatera
masyarakat berperilaku mempertahankan tembesu yang tumbuh alami di
dalam kebun-kebun mereka, tanpa melakukan langkah-langkah budidaya
bagi tembesu.
C. Kelayakan Usaha Budidaya Tembesu
Keuntungan ekonomi usaha budidaya hutan tanaman yang
dilakukan secara berkelanjutan dapat dilihat dari Nilai Harapan Lahan (NHL)
(Bright, 2001). NHL merupakan cerminan nilai dari tanah atau lahan yang
diusahakan dalam rotasi yang tak terbatas. Tabel 3 merupakan hasil analisis
NHL dari simulasi berbagai pola tanam karet-tembesu untuk periode usaha
30 tahun, berdasarkan struktur biaya dan pendapatan masyarakat. NHL
tertinggi diperoleh pada pola tanam yang berlaku saat ini, khususnya di
Desa Jatisari, yaitu agroforestri karet-tembesu dengan jumlah pohon
tembesu 40 batang. NHL terendah akan diperoleh dari lahan yang ditanami
tembesu secara monokultur, meskipun dengan intensitas tegakan cukup
tinggi.
Tabel 3. Nilai Harapan Lahan (NHL) hutan tanaman tembesu di OKU Timur (masa proyek/umur daur 30 tahun)
Pola tanam NHL / ha (Rp.)
A. Faktual
Agoforestri karet-tembesu
(karet, 4m x 6 m; tembesu acak 40 pohon)
263,809,363
B. Faktual
Karet monokultur (4m x 6m)
254,940,367
C. Pilihan I
Agroforestri karet-tembesu
(karet, 4m x 6m; tembesu 6m x 8m)
258,329,154
D. Pilihan II
Tembesu monokultur (4m x 4m)
3,314,839
Sumber: Data primer disimulasi, 2010
Nilai Harapan Lahan usaha budidaya agroforestri karet-tembesu
dengan pola tanam teratur ternyata lebih rendah dibandingkan NHL pola
tanam tembesu acak. Hal ini dapat terjadi karena pola teratur dengan jumlah
124 Bunga Rampai
Tembesu (Fagraea fragrans)
pohon lebih banyak membutuhkan biaya pemapanan lebih tinggi sehingga
meningkatkan nilai biaya gabungan (compounded cost) pada masa analisis
30 tahun.
Hasil analisis finansial terhadap usaha budidaya tembesu juga
menunjukkan bahwa pola agroforestri karet-tembesu yang diterapkan
masyarakat lebih menguntungkan dari pola tanam tembesu secara
monokultur (Tabel 4). Hanya tembesu yang ditanam dengan intensitas tinggi
dapat memenuhi kriteria kelayakan ekonomi, namun secara teknis hal ini
sulit terjadi mengingat lebar tajuk tembesu dewasa yang tumbuh alami
umumnya lebih dari 4 (empat) meter.
Tabel 4. Hasil analisis finasial pada berbagai kemungkinan intensitas penanaman per hektar pada pembangunan hutan tanaman tembesu di OKU Timur
Intensitas penanaman Kriteria analisis
NPV BCR IRR
Jarak tanam 5m x 5m (400 pohon) (2,087,868) 0.7742 12%
Jarak tanam 4m x 5m (500 pohon) (958,095) 0.9033 13%
Jarak tanam 4m x 4m (625 pohon) 454,121 1.0423 13%
Acak 40 pohon + karet, 4m x 6m 200,885,415 6.0173 37%
Sumber: Data primer disimulasi, 2010
Usaha budidaya tembesu yang dicampur dengan karet bernilai
ekonomi lebih tinggi daripada budidaya tembesu monokultur. Faktor yang
dapat menyebabkan hal ini dapat terjadi adalah lamanya masa panen
tembesu (30 tahun). Waktu dalam analisis ekonomi merupakan komponen
biaya, sehingga satu-satunya cara untuk mengurangi biaya ini adalah
dengan mempersingkat masa panen tembesu melalui peningkatan riap
secara signifikan.
Bagi kebanyakan petani, menambah pendapatan tunai adalah
alasan penting dalam menanam pohon (Filius, 1997). Tambahan
pendapatan dari penebangan kayu tembesu memang didapatkan petani
pemilik lahan, namun belum cukup mampu memotivasi petani untuk
menanam kembali tembesu secara sengaja. Tanah yang dinilai subur lebih
125 Tembesu
Kayu Raja Andalan Sumatera
mendorong petani untuk memaksimalkan produktivitas komoditas pokok
seperti karet.
D. Tembesu dalam Kebun Karet; Upaya Komoditisasi dari Sisi Petani
Tembesu adalah jenis yang tumbuh alami di dataran rendah.
Dataran rendah di Sumatera dan Kalimantan saat ini dipenuhi oleh
komoditas kelapa sawit dan karet. Di Sumatera Selatan, sebagian besar
karet merupakan usaha masyarakat (rakyat). Lahan karet yang dimiliki
masyarakat rata-rata berkisar antara 1-2 hektar. Masyarakat dapat
menikmati hasil penjualan getah karet dengan produksi stabil sejak karet
berumur 7 atau 8 tahun sampai dengan 32 tahun. Setelah itu, mereka harus
menghadapi masa bera produksi, paling tidak selama 5 (lima) tahun. Ini
merupakan peluang bagi usaha budidaya tembesu secara agroforestri.
Tembesu dapat diposisikan sebagai asuransi masa regenerasi tersebut.
Ilustrasi biaya masa regenerasi disajikan seperti berikut:
- Biaya regenerasi karet (5 tahun) = Rp. 15.662.600
- Kompensasi pendapatan selama 5 tahun = Rp. 180.000.000
- Total biaya 5 tahun = Rp. 195.662.600
Total biaya masa regenerasi karet Rp. 195.662.600 dapat ditutupi
oleh hasil penjualan kayu tembesu sebanyak 65 m3, hasil penebangan 320
pohon dengan asumsi tingkat riap diameter 1 cm/tahun. Apabila mengikuti
pola tanam agroforestri karet-tembesu, maka kebutuhan kayu tembesu 65
m3 harus dicukupi dari tembesu yang ditanam di antara karet. Hasil simulasi
pada berbagai tingkat riap diameter rata-rata tahunan (MAI) tembesu
menunjukkan bahwa makin tinggi MAI maka makin sedikit jumlah pohon
tembesu yang harus ditanam/ditebang untuk dapat memenuhi kebutuhan
biaya masa regenerasi karet (Gambar 1).
126 Bunga Rampai
Tembesu (Fagraea fragrans)
Gambar 1. Jumlah pohon yang setara dengan 65 m3 kayu tembesu pada
berbagai tingkat riap diameter rata-rata tahunan
Pada tingkat MAI diameter antara 1,2-1,3 cm/tahun diperlukan
kurang lebih 200 pohon tembesu. Hasil simulasi ini dapat menjadi dasar
pengaturan jumlah pohon pada agroforestri tembesu karet. Jika merujuk
pada kondisi faktual saat ini, dimana jarak tanam karet 4m x 6m adalah
salah satu pilihan masyarakat, maka 200 pohon tembesu dapat ditanam di
antara jalur tanam karet dengan jarak tanam 6m x 8m (Gambar 2). Namun
demikian, pola tanam ini belum memperhitungkan penurunan produksi getah
karet.
0
50
100
150
200
250
300
350
1 1,1 1,2 1,3 1,4 1,5 1,6 1,7 1,8 1,9 2
Jum
lah
po
ho
n
MAI diameter (cm/tahun)
127 Tembesu
Kayu Raja Andalan Sumatera
Gambar 2. Desain model agroforestri karet-tembesu
B. Pangsa Pasar Berbasis Kayu Tembesu
A. Potensi Pasar Industri Meubel Ukiran Palembang
Meubel ukiran Palembang adalah furniture khas Palembang yang
memiliki pangsa pasar tidak hanya bagi masyarakat Sumatera Selatan,
tetapi juga konsumen-konsumen lainnya yang mencari keunikan dan
kekhasan warna dan motif khas “Bumi Sriwijaya”. Ukiran khas Palembang
ini menempati berbagai varian meubel, seperti lemari pajang, lemari sudut,
meja kursi, rak televisi, set pelaminan, mimbar khotib di masjid, dan
souvenir. Kayu tembesu adalah bahan baku utama meubel ukiran
Palembang. Karenanya, kayu tembesu selalu diminta oleh unit-unit kerajinan
meubel ukiran Palembang. Rincian permintaan dan potensi pembangunan
hutan tanaman tembesu bagi industri meubel ukiran Palembang disajikan
seperti berikut:
Jumlah workshop = 30 unit Kebutuhan kayu/workshop/minggu = 4 m
3
Permintaan tembesu/workshop/minggu = 2 m3
Permintaan tembesu total/tahun = 3.120 m3
Permintaan kayu tembesu oleh industri meubel ukiran Palembang
selama ini dipenuhi oleh penebangan tembesu yang tumbuh alami di areal
sekitar kebun, rumah, dan lahan hutan sekunder yang terdapat di
Kabupaten Musi Banyuasin, Banyuasin, Ogan Ilir, dan Ogan Komering Ilir.
128 Bunga Rampai
Tembesu (Fagraea fragrans)
Cara pemenuhan kebutuhan bahan baku seperti ini bersifat tidak lestari,
karena mengandalkan kemampuan regenerasi alami tembesu non
budidaya. Indikasi ini terlihat dari perilaku pengusaha industri meubel ukiran
Palembang yang melakukan substitusi kayu tembesu dengan jenis kayu
lainnya, seperti medang batu, malabira, gerunggang, dan jati. Mereka
beralasan bahwa tidak mudah untuk memenuhi kebutuhan total kayu jika
hanya mengandalkan kayu tembesu, selain faktor meningkatkan potensi
pendapatan dengan menggunakan kayu yang lebih murah. Kecenderungan
substitusi ini makin meningkat seiring makin sulitnya mendapatkan kayu
tembesu dan dimungkinkan pula oleh perilaku konsumen yang tidak
mengidentikkan ukiran palembang dengan tembesu. Furniture tembesu
memang berbeda dengan jati yang mengandalkan nilai dekoratif. Ukiran
Palembang menggunakan cat warna emas, sehingga kekhasan corak kayu
menjadi tersamar.
Industri meubel ukiran Palembang yang tidak terlalu banyak
menyerap kayu tembesu dan efek substitusi kayu merupakan disinsentif
komoditisasi tembesu. Padahal, dalam kasus jenis lambat tumbuh lainnya
seperti mahoni, penanaman komersial di lahan masyarakat dapat terjadi
karena meningkatnya permintaan industri furniture (Emtage dan Suh, 2004).
B. Tembesu Komersil; Upaya Komoditisasi dari Sisi Pasar
Permintaan kayu tembesu faktual (3120 m3/tahun) dapat dipenuhi
secara lestari apabila tersedia hutan tanaman tembesu. Jika diasumsikan,
MAI diameter tembesu 1 cm/tahun, diameter tebang ekonomis 30 cm, tinggi
bebas cabang tembesu 12 m, angka bentuk 0,5, rendemen penebangan
menghasilkan balok 0,5, jarak tanam 5m x 5m, maka volume 1 ha hutan
tanaman tembesu pada akhir daur adalah 84,82 m3 atau akan dilakukan
penebangan seluas 36,78 ha setiap tahunnya. Ini berarti dibutuhkan alokasi
lahan minimal seluas 1103 ha guna menjamin pasokan minimal industri
meubel ukiran khas Palembang secara lestari.
Di sisi lain, pemilik dan pemegang Hak Guna Usaha lahan-lahan
budidaya yang berpotensi menjadi hutan tanaman tembesu di daerah-
daerah sekitar Kota Palembang memiliki preferensi penggunaan lahan bagi
129 Tembesu
Kayu Raja Andalan Sumatera
usaha perkebunan karet dan kelapa sawit yang mereka anggap lebih
bernilai ekonomi. Lahan yang memiliki luasan lebih dari 10 ha umumnya
diperuntukan bagi kelapa sawit. Sehingga, perlu untuk melakukan inovasi
peningkatan produktivitas hutan tanaman tembesu pada tingkat yang
sebanding atau lebih dari produktivitas ekonomi kelapa sawit. Hasil simulasi
nilai ekonomi alokasi lahan bagi tembesu atau kelapa sawit pada berbagai
tingkat MAI diamater tembesu menunjukkan bahwa nilai ekonomi alokasi
lahan bagi hutan tanaman tembesu akan sebanding dengan jika lahan
tersebut dialokasikan bagi kelapa sawit pada tingkat MAI diameter lebih dari
2,5 cm/tahun (Tabel 5).
Tabel 5. Hasil simulasi perbandingan nilai output finansial antara hutan tanaman tembesu dan kebun kelapa sawit dengan peubah MAI diameter tembesu
MAI diameter
(cm/tahun)
Alokasi lahan untuk hasil lestari
(hektar)
Output finansial/tahun
(Rp.)
Output finansial/tahun jika lahan dialokasikan bagi kelapa sawit
(Rp.)
1,00 1.103,47 5.304.000.000 13,241,691,264
1,25 882,78 5.304.000.000 10,593,353,011
1,50 735,65 5.304.000.000 8,827,794,176
2,00 551,73 5.304.000.000 6,620,845,632
2,50 441,39 5.304.000.000 5,296,676,505
3,00 367,82 5.304.000.000 4,413,897,088
IV. PENUTUP
Upaya komoditisasi tembesu, sebagai salah satu jenis pohon lambat
tumbuh, bukan hanya terkendala oleh faktor umur panen, tetapi juga oleh
lebih kuatnya komoditisasi karet atau sawit dalam sistem usahatani petani
potensial. Selain itu, perilaku konsumen industri meubel ukiran sebagai
potensi pasar yang tidak peka terhadap kualitas produk turut menyumbang
pelemahan pasar kayu tembesu. Pemerintah dan para pihak dapat
mendorong upaya komoditisasi tembesu ini, melalui usaha penelitian dan
pengembangan yang mengambil fokus pada penyediaan tembesu yang
130 Bunga Rampai
Tembesu (Fagraea fragrans)
lebih cepat tumbuh (tree improvement) dan program masal penggunaan
meubel dan bangunan berukiran Palembang bagi kantor-kantor pemerintah
dan unit usaha swasta. Cara lain adalah dengan meminta industri ukiran
memasang label “tembesu” dalam pemasaran produknya.
DAFTAR PUSTAKA
Bright, G. 2001. Forestry Budgets and Accounts. CABI Publishing, New
York.
Caputo, J. 2012. Commoditization and the origins of American Silviculture.
Bulletin of Science Technology & Society 32: 86-95.
Emtage, N. dan Suh J. 2004. Socio-economic factors affecting smallholders
tree planting and management intentions in Leyte Provinces,
Phillippines. Small-scale Forest Economics, Management and Policy,
3 (2): 257-271.
Filius, AM. 1997. Factors changing farmers‟ willingness to grow trees in
Gunung Kidul (Java, Indonesia). Netherlands Journal of Agricultural
Science 45: 329-345.
Godoy, RA. 1992. Determinants of smallholder commercial tree cultivation.
World Development, Vol. 20 No. 55: 713-725.
Malla, YB. 2000. Farmers‟ tree management strategies in a changing rural
economy, and factors influencing decisions on tree growing in Nepal.
Int Tree Crops J 10(3):247–266.
Mercer, DE. 2004. Adoption in agroforestri innovations in the tropics:
a review. Agroforestri Systems 204411: 311-328.
Shively, GE. 1999. Prices and tree planting on hillside farms in Palawan.
World Development, Volume 27, Issue 6: 937-949.
Wright CJ. 2006. Welcome to the jungle of the real: Simulation,
commoditization, and survivor. The Journal of American Culture,
Volume 29, Number 2: 170-182.