Upload
lemien
View
222
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
1
TELAAH STRATEGI PENGGABUNGAN PERKARA
DALAM DAKWAAN PENUNTUT UMUM TERHADAP PENANGANAN
TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM PERSPEKTIF
PENGHORMATAN HAK ASASI MANUSIA TERDAKWA
(STUDI KASUS NOMOR PERKARA PDS-06/PREJO/09/2009, PDS-
01/PREJO/01/2010 DAN PDS-02/PREJO/02/2010 DENGAN TERDAKWA
BUDI SANTOSO DI KEJAKSAAN NEGERI PURWOREJO)
Penulisan Hukum
(Skripsi)
Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi
Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Derajat Sarjana S1 dalam
Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Disusun Oleh :
SYLVI AYU BRILIANA
E 1107077
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2011
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Penulisan Hukum (Skripsi)
TELAAH STRATEGI PENGGABUNGAN PERKARA
DALAM DAKWAAN PENUNTUT UMUM TERHADAP PENANGANAN
TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM PERSPEKTIF
PENGHORMATAN HAK ASASI MANUSIA TERDAKWA
(STUDI KASUS NOMOR PERKARA PDS-06/PREJO/09/2009, PDS-
01/PREJO/01/2010 DAN PDS-02/PREJO/02/2010 DENGAN TERDAKWA
BUDI SANTOSO DI KEJAKSAAN NEGERI PURWOREJO)
Oleh
Sylvi Ayu Briliana
NIM. E1107077
Disetujui untuk dipertahankan di hadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum
(Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Surakarta, 16 Maret 2011
Dosen Pembimbing
Pembimbing I Pembimbing II
Edy Herdyanto, S.H., M.H Muhammad Rustamaji, S.H., M.H
NIP.195706291985031002 NIP. 198210082005011001
ii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iii
PENGESAHAN PENGUJI
Penulisan Hukum (Skripsi)
TELAAH STRATEGI PENGGABUNGAN PERKARA
DALAM DAKWAAN PENUNTUT UMUM TERHADAP PENANGANAN
TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM PERSPEKTIF
PENGHORMATAN HAK ASASI MANUSIA TERDAKWA
(STUDI KASUS NOMOR PERKARA PDS-06/PREJO/09/2009, PDS-
01/PREJO/01/2010 DAN PDS-02/PREJO/02/2010 DENGAN TERDAKWA
BUDI SANTOSO DI KEJAKSAAN NEGERI PURWOREJO)
Oleh
Sylvi Ayu Briliana
NIM. E1107077
Telah diterima dan dipertahankan di hadapan
Dewan Penguji Penulisan Hukum (skripsi)
Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Pada :
Hari : Selasa
Tanggal : 5 April 2011
DEWAN PENGUJI
1. Bambang Santoso, S.H., M.Hum :…………………………………………
Ketua
2. Muhammad Rustamaji, S.H.,M.H :…………………………………………
Sekretaris
3. Edy Herdyanto, S.H., M.H :…………………………………………
Anggota
Mengetahui
Dekan,
Mohammad Jamin, S.H., M.Hum.
NIP. 19610930 198601 1 001
iii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iv
PERNYATAAN
Yang bertandatangan dibawah ini:
Nama : Sylvi Ayu Briliana
NIM : E1107077
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum (Skripsi) berjudul:
TELAAH STRATEGI PENGGABUNGAN PERKARA DALAM
DAKWAAN PENUNTUT UMUM TERHADAP PENANGANAN TINDAK
PIDANA KORUPSI DALAM PERSPEKTIF PENGHORMATAN HAK
ASASI MANUSIA TERDAKWA (STUDI KASUS NOMOR PERKARA
PDS-06/PREJO/09/2009, PDS-01/PREJO/01/2010 DAN PDS-
02/PREJO/02/2010 DENGAN TERDAKWA BUDI SANTOSO DI
KEJAKSAAN NEGERI PURWOREJO) adalah betul-betul karya sendiri. Hal-
hal yang bukan karya saya dalam penulisan hukum ini diberi tanda citasi dan
ditunjukkan dalam daftar pustaka. Apabila dikemudian hari terbukti pernyataan
saya tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa
pencabutan penulisan hukum (skripsi) dan gelar yang saya peroleh dari penulisan
hukum (skripsi) ini.
Surakarta, 16 Maret 2011
Sylvi Ayu Briliana
NIM. E1107077
iv
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
v
MOTTO
“Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, maka apabila kamu telah
selesai (dari suatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang
lain, dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap”
(Q.S Alam Nasyrah: 6-8)
“Alloh tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.
Dia mendapat pahala dari (kebajikan) yang dikerjakannya dan dia mendapat
siksa dari kejahatan yang (diperbuatnya)”.
(Q.S Al-Baqarah : 286)
“Jika kau ingin naik lebih tinggi gunakan kakimu sendiri! jangan buat dirimu
dibawa keatas. Jangan pula dengan menginjak bahu atau kepala orang lain ”
(Frederich Nietzsche)
“ Dan katakanlah, ‘kebenaran telah datang dan yang batil telah lenyap’.
Sungguh yang batil itu pasti lenyap.” (QS. Al-Isra’ 81)
”Kebahagiaan terbesar dalam hidup ini adalah bila kita berhasil melakukan apa
yang menurut orang lain tidak dapat kita lakukan”
(Walter Beganhot)
“If you love somebody, let them go, for if they return, they were always yours.
And if they don't, they never were”
(Kahlil Gibran)
“Mengetahui kekurangan diri sendiri adalah tangga untuk mencapai cita-cita dan
berusaha mengisi kekurangan tersebut adalah keberanian luar biasa”
(Hamka)
v
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vi
PERSEMBAHAN
Karya kecil ini penulis persembahkan kepada:
� Allah SWT yang telah memberikan kenikmatan tak terhingga
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan lancar.
� Nabi Muhammad SAW, sebagai ”Suri tauladan bagiku”.
� Bapak dan Ibuku tercinta yang senantiasa mendukung kuliah,
memberikan doa dan nasihat, semangat, cinta dan kasih sayang serta
kerja keras yang tak ternilai harganya demi mewujudkan cita-citaku
menjadi seorang Sarjana Hukum dan membuatku lebih menghargai
setiap waktu dan kesempatan di dalam hidupku.
� Adikku tesayang ”Lydia Fisca Ayu Briliani” yang selalu ada serta
keceriannya yang selalu memberi semangat.
� Sahabat-sahabatku di rumah dan di Solo yang memberikan percikan
dan bumbu dalam kehidupanku selama kuliah.
vi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vii
ABSTRAK
Sylvi Ayu Briliana E1107077. 2011. TELAAH STRATEGI
PENGGABUNGAN PERKARA DALAM DAKWAAN PENUNTUT UMUM
TERHADAP PENANGANAN TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM
PERSPEKTIF PENGHORMATAN HAK ASASI MANUSIA TERDAKWA
(STUDI KASUS NOMOR PERKARA PDS-06/PREJO/09/2009, PDS-
01/PREJO/01/2010 DAN PDS-02/PREJO/02/2010 DENGAN TERDAKWA
BUDI SANTOSO DI KEJAKSAAN NEGERI PURWOREJO). Fakultas
Hukum Universitas Sebelas Maret.
Penulisan hukum ini bertujuan untuk mengetahui dasar hukum Penuntut
Umum menyusun penggabungan perkara dalam satu surat dakwaan atas nama
Budi Santoso pada perkara nomor PDS-06/PREJO/09/2009, PDS-
01/PREJO/01/2010 dan PDS- 02/PREJO/02/2010 dan manfaat yang diperoleh
atas penggabungan perkara korupsi pada perkara nomor PDS-06/PREJO/09/2009,
PDS-01/PREJO/01/2010 dan PDS-02/PREJO/02/2010 dalam perspektif hak asasi
manusia terdakwa.
Penulisan hukum ini merupakan penulisan hukum normatif yang bersifat
preskriptif, menggunakan pendekatan undang-undang dan pendekatan konseptual.
Penulisan ini menggunakan bahan hukum primer, sekunder, dan tersier. Metode
dalam pengumpulan bahan hukum tersebut adalah studi kepustakaan. Bahan
hukum yang telah terkumpul kemudian dianalisis dengan pendekatan kasus (case
approach).
Berdasarkan hasil penelitian yang dituangkan dalam pembahasan ditarik
kesimpulan, bahwa dasar hukum penuntut umum menyusun penggabungan
perkara dalam satu surat dakwaan atas nama Budi Santoso pada perkara nomor
PDS-06/PREJO/09/2009, PDS-01/PREJO/01/2010, dan PDS-02/PREJO/02/2010
adalah Pasal 141 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Melihat
dari tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa, maka menghubungkannya
dengan Pasal 65 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), karena
tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa kesemuanya adalah tindak pidana
yang mempunyai ancaman hukuman pokok sejenis. Mencermati ketentuan
KUHAP yang dihubungkan dengan kasus korupsi oleh terdakwa Budi Santoso
terdapat suatu sinkronisasi antara kewenangan Jaksa Penuntut Umum dengan hak
asasi terdakwa. Maka dari itu, dalam penggabungan ini dihubungkan dengan
penjelasan umum, Pasal 1 ayat (6), dan Pasal 3 ayat (2) Undang-undang Nomor
39 Tahun 1999 tentang hak asasi manusia (HAM). Bahwa manfaat yang diperoleh
atas penggabungan tersebut salah satunya adalah mampu menghormati hak asasi
manusia terdakwa. Selain itu, melalui penggabungan perkara ini juga akan
bermanfaat bagi aparat penegak hukum (Hakim dan Penuntut Umum) yang
bermanfaat dari segi efisiensi waktu dan berpengaruh dalam proses kinerja bagi
masing-masing pihak.
Kata Kunci : Penggabungan perkara, penghormatan hak asasi manusia terdakwa.
vii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
viii
ABSTRACT
Sylvi Ayu Briliana E1107077. 2011. A STUDY ON THE CASE
INTEGRATION STRATEGY IN THE PUBLIC PROSECUTOR’S
INDICTMENT AGAINST THE CORRUPTION CRIME MANAGEMENT
IN THE PERSPECTIVE OF THE DEFENDANT’S HUMAN RIGHT
RESPECTING (A CASE STUDY ON THE CASE NUMBER PDS-
06/PREJO/09/2009, PDS-01/PREJO/01/2010 AND PDS-02/PREJO/02/2010
WITH THE DEFENDANT BUDI SANTOSO IN PURWOREJO DISTRICT
ATTORNEY OFFICE). Law Faculty of Sebelas Maret University.
This writing aims to find out what the law rationale of Public Prosecutor is
in arranging the case integration in one indictment document on the behalf of
Budi Santoso in the case number PDS-06/PREJO/09/2009, PDS-
01/PREJO/01/2010 and PDS-02/PREJO/02/2010 and the benefit taken from the
corruption case integration in the case number PDS-06/PREJO/09/2009, PDS-
01/PREJO/01/2010 and PDS-02/PREJO/02/2010 in the perspective of the
defendant’ human rights.
This study belongs to a normative law research that is prescriptive in
nature, using statute and conceptual approaches. The research employed primary,
secondary, and tertiary law materials. Method of collecting such law materials
employed was library study. The law materials collected was then analyzed using
case approaches.
Considering the result of research put in the discussion, it can be
concluded that the law rationale used by the Public Prosecutor in arranging the
case integration in one indictment document on the behalf of Budi Santoso in the
case number PDS-06/PREJO/09/2009, PDS-01/PREJO/01/2010 and PDS-
02/PREJO/02/2010 is the article 141 of Criminal Procedural Code (KUHAP).
Viewed from the crime committed by the defendant, it is related to the article 65
clause (1) of Penal Code (KUHP), because the crime committed by the defendant
has similar primary punishment imposition. Observing the provision of KUHAP
related to the corruption case by the defendant Budi Santoso, there is
synchronization between the authority of Public Prosecutor and the defendant’s
human rights. Therefore, in this integration, it is related to general explanation,
articles 1 clause (6) and 3 clause (2) of Act Number 39 of 1999 about human
rights. The benefit taken from such integration is the capability of respecting the
defendant’s human right, among others. In addition, this case integration will also
be beneficial to the law enforcement apparatuses (Judge and Public Prosecutor) in
the term of time efficiency and contribution to the performance process for each
party.
Keywords: Case integration, defendant’s human right respecting
viii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ix
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Puji syukur penulis haturkan kehadapan Allah SWT yang Maha pengasih
dan Maha Penyayang yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga
penulis dapat menyelesaikan penyusunan penulisan hukum (skripsi) yang berjudul
“TELAAH STRATEGI PENGGABUNGAN PERKARA DALAM
DAKWAAN PENUNTUT UMUM TERHADAP PENANGANAN TINDAK
PIDANA KORUPSI DALAM PERSPEKTIF PENGHORMATAN HAK
ASASI MANUSIA TERDAKWA (STUDI KASUS NOMOR PERKARA
PDS-06/PREJO/09/2009, PDS-01/PREJO/01/2010 DAN PDS-
02/PREJO/02/2010 DENGAN TERDAKWA BUDI SANTOSO DI
KEJAKSAAN NEGERI PURWOREJO)”.
Penulis menyadari bahwa terselesaikannya laporan penulisan hukum
(skripsi) ini tidak terlepas dari bantuan serta dukungan baik meteriil maupun non
materiil yang diberikan oleh berbagai pihak. Dalam kesempatan ini, penulis ingin
menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak
yang telah memberi dukungan, semangat, doa, saran dan kritik serta sarana dan
prasarana bagi Penulis untuk menyelesaikan penulisan hukum ini, oleh sebab itu
dengan segala kerendahan hati, Penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Bapak Mohammad Jamin, S.H., M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta;
2. Bapak Edy Herdyanto, S.H., M.H., selaku dosen pembimbing serta Ketua
Bagian Hukum Acara Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret
Surakarta;
3. Bapak Muhammad Rustamaji, S.H, M.H selaku pembimbing terimakasih
atas bantuan menyusun judul dan sumbangan pemikiran serta pencerahan
terhadap Penulis dalam penulisan hukum ini;
4. Bapak Harjono, S.H., M.H., selaku Ketua Program Non Reguler
terimakasih atas saran yang memberikan kemudahan-kemudahan bagi
ix
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
x
penulis selama menempuh pendidikan strata satu ini, serta segala
dukungan dalam penulisan hukum ini;
5. Segenap Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum UNS yang telah memberi
dan membagikan ilmu pengetahuan dan pengalaman berharga kepada
penulis hingga menjadi seorang sarjana hukum yang dapat dijadikan bekal
dalam penyelesaian skripsi ini serta menghadapi persaingan di lingkungan
masyarakat luas;
6. Bapak Dwi Samudji, S.H., M.Hum., selaku Kepala Kejaksaan Negeri
Sukoharjo yang telah memberikan banyak materi-materi mengenai hukum
dan kehidupan serta informasi dan petunjuk kepada penulis selama
Kegiatan Magang Mahasiswa di Kejaksaan Negeri Sukoharjo;
7. Kedua orang tua Penulis, Bapak Suhardi dan Ibu Siswanti, atas segala doa,
cinta kasih, dukungan tanpa henti baik moril maupun materiil, kesabaran,
dan kepercayaan yang diberikan kepada Penulis tanpa pamrih apapun,
sehingga penulis dapat menghargai setiap waktu dan kesempatan di dalam
hidup.
8. Adikku tersayang Lydia Fisca Ayu Briliani, atas kasih sayang, dan
pengertiannya untuk berbagi disemua sisi hidup dengan Penulis selama
proses penulisan ini;
9. Pakdhe Slamet Wayudi, atas bimbingan dan spiritnya yang selalu
memberikan kemudahan saat penulis menemukan kesulitan dalam proses
penulisan hukum ini.
10. Om, Tante, Budhe, Pakdhe, Mas, Mbak, dan segenap saudara, yang tidak
dapat Penulis sebutkan satu-persatu atas segala dukungan doa yang telah
diberikan pada Penulis selama proses penulisan ini, sehingga semuanya
dapat terselesaikan dengan baik.
11. Teman-teman mahasiswa Fakultas Hukum UNS angkatan 2007 Tiara
Rizcky Ammellia “Besan”, Novaeny Titik “Nupha”, Henggar “Buheng”,
Ayu Kusuma “Ayu Smada”, Pratiwi Suryadewi “Tiwi”, Eka Apriliawati
Mei , Elvira, Wawan, Mahardika, Bibianus Hengky “Pengky”, Arifin Dwi
“Iypin”, Tangguh Safridah K “Ganyout”, Mz Nunung Irawan “Nungsky”
x
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xi
dan semua teman-teman yang tidak dapat Penulis sebutkan satu persatu
atas dukungan yang diberikan pada seminar proposal. You all are my
inspiration, tanpa kalian kuliahku selama di FH tidak akan berwarna.
12. Sahabatku Tiara Rizcky Ammellia “Besan”, Meilin Saffail Chamami
“Memei”, Nur Hidayati, Dhepe, Dartii, Fadlya Sabbilah “Diloo”, Mas
Wahyu “Paimin” terimakasih atas doa, waktu, dan kesabarannya untuk
mendengarkan segala curahan hati Penulis selama masa perkuliah dan
dikala segala proses ini terasa begitu berat. Terimakasih untuk semua
kasih sayang dan hiburan yang kalian berikan bagi Penulis;
13. Teman Kos Wisma Kunthi, Mba Ivul, Mba Maya, Mba Fiah, Mba Meiy,
Mba Hilda, Eli, Gina, Mba Gita, Ida, Maya, Fatiah, Vivit, Lele, Arti,
Diana, Ully, Yanti, Lia dan lainnya yang tidak bisa saya sebutkan satu per
satu, terimakasih untuk persaudaraan, persahabatan, kasih sayang dan
perhatiannya selama ini, semoga menjadi kenangan terindah. Serta Bapak
dan Ibu Wiji yang selalu membantu, menyayangi dan perhatian pada
penulis selama hidup di kost;
14. Semua pihak yang telah membantu terselesaikannya seluruh proses
penulisan hukum ini yang tidak dapat Penulis sebutkan satu-persatu.
Terimakasih atas dukungannya.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan hukum ini masih jauh dari
sempurna, baik dari segi materi maupun penulisannya baik dari segi materi
pembahasan maupun penulisannya, hal ini karena manusia tidak terlepas dari
kesalahan dan kekhilafan serta keterbatasan materi, waktu, pengetahuan, serta
kadar keilmuan dari Penulis. Oleh karena itu, penulis mengharapkan masukan dan
saran yang menunjang kesempurnaan penulisan hukum ini.
xi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xii
Semoga penulisan hukum ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu
pengetahuan pada umumnya dan ilmu hukum pada khususnya, sehingga dapat
diamalkan dalam pengembangan dan pembangunan hukum nasional dan tidak
menjadi suatu karya yang sia-sia. Amin.
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Surakarta, 25 Maret 2011
Penulis
xii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xiii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ...................................................................................... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING .............................................. ii
HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI ........................................................ iii
HALAMAN PERNYATAAN………………………………………………. iv
MOTTO ........................................................................................................... v
PERSEMBAHAN............................................................................................ vi
ABSTRAK....................................................................................................... vii
KATA PENGANTAR ..................................................................................... ix
DAFTAR ISI.................................................................................................... xiii
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... xvi
BAB I PENDAHULUAN ................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ..................................................... 1
B. Rumusan Masalah ............................................................... 4
C. Tujuan Penulisan ................................................................. 4
D. Manfaat Penulisan............................................................... 5
E. Metode Penulisan ................................................................ 6
F. Sistematika Penulisan Hukum ............................................. 10
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .......................................................... 12
A. Kerangka Teori .................................................................. 12
1. Tinjauan Tentang Penggabungan Perkara dalam
Dakwaan Penuntut Umum .......................................... 12
2. Tinjauan Tentang Tindak Pidana Korupsi ................... 27
3. Tinjauan Tentang Hak Asasi Manusia (HAM) ........... 32
B. Kerangka Pemikiran ........................................................... 36
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ....................... 38
A. Dasar Hukum Penuntut Umum Menyusun Penggabungan
Perkara dalam Satu Surat Dakwaan Atas Nama Budi Santoso
Pada Perkara Nomor PDS-06/PREJO/09/2009,
xiii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xiv
PDS-01/PREJO/01/2010,
dan PDS-02/PREJO/02/2010 ........................................... 38
1. Analisis Dasar Hukum Penuntut Umum Menyusun
Penggabungan Perkara dalam Satu Surat Dakwaan
Atas Nama Budi Santoso Pada Perkara Nomor
PDS-06/PREJO/09/2009, PDS-01/PREJO/01/2010,
dan PDS-02/PREJO/02/2010 ...................................... 38
2. Analisis Penggabungan Perkara Oleh Penuntut Umum
atas Nama Budi Santoso Pada Perkara Nomor
PDS-06/PREJO/09/2009, PDS-01/PREJO/01/2010,
dan PDS-02/PREJO/02/2010 ..................................... 53
B. Manfaat yang Diperoleh atas Penggabungan
Perkara dalam Perkara Nomor PDS-06/PREJO/09/2009,
PDS-01/PREJO/01/2010, dan PDS-02/PREJO/02/2010
dalam Perspektif Hak Asasi Manusia................................ 58
BAB IV PENUTUP ............................................................................... 64
A. Simpulan ........................................................................... 64
B. Saran ................................................................................. 65
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
xiv
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xv
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1 Kerangka Pemikiran ....................................................................... 36
Tabel 1 Tabel Dasar Hukum Penggabungan Perkara dalam Perspektif Hak Asasi
Manusia ......................................................................................... 40
Gambar 2 Skema Penggabungan Perkara oleh Penuntut Umum ……………. 57
xv
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
1
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pernyataan yang selalu diungkapkan oleh orang-orang Indonesia yang
kemudian menggema ke seluruh dunia bahwa Indonesia merupakan negara
terkorup di dunia masih perlu diteliti kebenarannya. Dalam era globalisasi yang
semakin canggih di segala aspek kehidupan manusia, hal ini ditandai dengan
maraknya korupsi di seluruh dunia. Korupsi seringkali dipandang oleh masyarakat
sebagai perbuatan yang ditentang dan dikutuk, serta digambarkan sebagai
perbuatan yang tidak bermoral berkaitan dengan keserakahan dan ketamakan,
sekelompok masyarakat dengan menggunakan kekayaan negara serta melawan
hukum, penyalahgunaan jabatan serta perbuatan lain yang dipandang sebagai
hambatan dan gangguan dalam membangun negara.
Seperti halnya tindak kejahatan pada umumnya, korupsi hanya terjadi
apabila ada niat yang mendorong untuk melakukan korupsi dan adanya
kesempatan yang memungkinkan seseorang untuk melakukan tindak pidana
korupsi. Korupsi tidak akan terjadi meskipun seseorang mempunyai niat untuk
melakukan korupsi apabila yang bersangkutan tidak memiliki kesempatan untuk
melakukannya. Sebaliknya meski terbuka kesempatan untuk melakukan korupsi,
namun korupsi tidak akan terjadi oleh karena yang bersangkutan tidak punya niat
untuk melakukannya. Dengan demikian ada dua faktor yang menyebabkan
terjadinya korupsi yaitu faktor subyektif yang ada pada dalam diri pelaku yaitu
berupa niat dan faktor obyektif yang ada di luar diri pelaku berupa kesempatan
yang ditimbulkan oleh kondisi atau keadaan yang memungkinkan dilakukan
korupsi.
Korupsi disebut sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime) karena
korupsi membawa dampak kerusakan yang luar biasa pada masyarakat, bangsa
dan negara. Dampak yang dihasilkan dari tindak pidana korupsi tersebut merusak
beberapa bidang yang merupakan penopang berdirinya suatu negara, yaitu dalam
bidang ekonomi, politik, sosial maupun budaya (http://korupsi sebagai salah satu
kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) Syarifblackdolphin's Blog htm).
1
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2
Karena dampak korupsi yang sangat luar biasa itulah pemerintah
khususnya lembaga hukum berkewajiban mampu dalam mengungkap,
menghadapi, serta menyelesaikan tindak pidana tersebut. Aparat penegak hukum
dituntut tegas dalam proses mendapatkan kebenaran yang nyata serta dilandaskan
pada asas kebenaran. Jadi pada intinya para penegak hukum harus bertindak tegas
kepada siapapun yang menimbulkan kerugian terhadap keuangan negara,
meskipun yang bersangkutan adalah abdi negara atau seseorang yang bekerja
dalam salah satu instansi negara. Namun dalam proses penegakan hukum harus
memperhatikan batasan-batasan yang perlu ditaati, hal ini berhubungan dengan
hak asasi manusia seseorang.
Penegakan hukum secara tegas khususnya mengenai kejahatan korupsi
dengan menghormati hak asasi manusia kepada terdakwa, dimaksudkan agar
aparat penegak hukum mampu menindak tegas tentang kesalahan yang dilakukan
oleh terdakwa dengan tetap menjunjung tinggi serta menghormati hak-hak
dasarnya sebagai manusia. Bahwa hak asasi terdakwa harus benar-benar
dilindungi apalagi sebelum putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan
hukum tetap. Dengan mengkaji lebih lanjut mengenai aturan tersebut, dapat
dikaitkan dengan langkah Jaksa Penuntut Umum yang berperan sebagai aparat
penegak hukum dalam menghormati hak asasi manusia terdakwa pada kasus
korupsi. Langkah Penuntut Umum tersebut benar-benar sangat menguntungkan
terutama kepada terdakwa, khususnya bagi terdakwa yang melakukan beberapa
tindak pidana yang sama dalam kurun waktu yang hampir bersamaan.
Mencermati dalam kasus tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Budi
Santoso yaitu salah satu pegawai negara yang ditempatkan di instansi daerah
(Pemerintah Daerah Purworejo), dalam hal ini Penuntut Umum Kejaksaan Negeri
Purworejo mengambil langkah penggabungan perkara dalam satu surat dakwaan
dalam proses pembuktiannya. Hal itu dilakukan karena terdakwa melakukan tiga
kasus korupsi yang dilakukan dalam waktu yang hampir bersamaan. Dengan
demikian Penuntut Umum dalam menghormati hak asasi manusia terdakwa maka
mengambil langkah untuk menggabungkan tiga surat dakwaan tersebut menjadi
satu surat dakwaan yaitu dakwaan dengan nomor perkara PDS-
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
3
06/PREJO/09/2009, PDS-01/PREJO/01/2010 dan PDS-02/PREJO/02/2010.
Langkah Penuntut Umum tersebut diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum
Acara Pidana (KUHAP) dalam Pasal 141.
Melihat kasus korupsi yang dipandang sebagai tindak pidana yang masuk
dalam ranah kejahatan luar biasa adalah sah apabila pemerintah khususnya aparat
penegak hukum sangat berhati-hati dan sangat memberikan perhatian lebih dalam
penanganan kasus ini. Hal ini dikaitkan dengan dampak yang ditimbulkan oleh
kejahatan korupsi itu sendiri, maka khusus masalah tindak pidana korupsi sangat
penting untuk dikaji. Mengenai penaganannya yang tegas dan tidak memandang
ras, suku, agama ataupun kedudukan sekalipun dalam pelaksanaannya diharuskan
untuk tetap menjunjung tinggi nilai-nilai hak asasi manusia terdakwa itu sendiri.
Hal yang demikian itu diwujudkan oleh aparat penegak hukum dalam proses
mengungkap bukti-bukti yang ada, yaitu dengan penggabungan surat dakwaan.
Apakah dalam hal yang demikian dibenarkan dalam upaya menghormati hak asasi
manusia kepada terdakwa, ataukah hanya untuk meringankan tugas Penuntut
Umum?, pertanyaan selanjutnya apakah negara ini berhasil dalam upaya
memberantas korupsi jika dalam penanganannya menunjukkan hak terdakwa yang
pada dasarnya sangat merugikan negara ?.
Mencermati pertanyaan-pertanyaan dalam penanganan kejahatan korupsi
dengan tetap menghormati hak asasi manusia yang diwujudkan oleh Penuntut
Umum dalam menggabungkan tiga perkara menjadi satu surat dakwaan pada
kasus Budi Santoso dirasa harus dikaji lebih lanjut. Hal yang demikian itu
dilakukan guna menjunjung tinggi hak dasar terdakwa, maka disarankan dalam
Pasal Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) agar Penuntut
Umum menggabungkan perkara atau beberapa surat dakwaan menjadi satu. Jika
hal yang demikian tidak dikaji lebih lanjut, maka upaya penghormatan hak asasi
manusia tidak didapatkan oleh terdakwa. Padahal hak asasi manusia itu dimiliki
oleh siapapun dan wajib untuk dihormati tidak terkecuali bagi terdakwa sekalipun.
Berdasarkan permasalahan tersebut diatas serta masih sedikitnya penelitian
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
4
terhadap hal tersebut, penulis sangat tertarik untuk meneliti dan menuangkannya
dalam sebuah penulisan hukum dengan judul:
“TELAAH STRATEGI PENGGABUNGAN PERKARA DALAM
DAKWAAN PENUNTUT UMUM TERHADAP PENANGANAN TINDAK
PIDANA KORUPSI DALAM PERSPEKTIF PENGHORMATAN HAK
ASASI MANUSIA TERDAKWA (STUDI KASUS NOMOR PERKARA
PDS-06/PREJO/09/2009, PDS-01/PREJO/01/2010 DAN PDS-
02/PREJO/02/2010 DENGAN TERDAKWA BUDI SANTOSO DI
KEJAKSAAN NEGERI PURWOREJO)”.
B. Rumusan Masalah
Adapun hal-hal yang menjadi pertimbangan dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1. Apa yang menjadi dasar hukum Penuntut Umum menyusun penggabungan
perkara dalam satu surat dakwaan atas nama Budi Santoso pada perkara
nomor PDS-06/PREJO/09/2009, PDS-01/PREJO/01/2010 dan PDS-
02/PREJO/02/2010 ?
2. Apa manfaat yang diperoleh atas penggabungan perkara korupsi pada
perkara nomor PDS-06/PREJO/09/2009, PDS-01/PREJO/01/2010 dan
PDS-02/PREJO/02/2010 dalam perspektif hak asasi manusia terdakwa ?
C. Tujuan Penelitian
Dalam suatu kegiatan penelitian pasti terdapat suatu tujuan yang jelas yang
hendak dicapai. Tujuan penelitian ini adalah untuk memberi arah dalam
melangkah sesuai dengan maksud penelitian. Adapun tujuan yang ingin dicapai
oleh penulis dalam penelitian ini adalah:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
5
1. Tujuan Obyektif
a. Untuk mengetahui dasar hukum Penuntut Umum dalam menyusun
penggabungan perkara dalam satu surat dakwaan pada perkara nomor
PDS-06/PREJO/09/2009, PDS-01/PREJO/01/2010 dan PDS-
02/PREJO/02/2010 atas nama Budi Santoso.
b. Untuk mengetahui manfaat yang diperoleh atas penggabungan perkara
korupsi pada perkara nomor PDS-06/PREJO/09/2009, PDS-
01/PREJO/01/2010 dan PDS-02/PREJO/02/2010 dalam perspektif hak
asasi manusia terdakwa.
2. Tujuan Subyektif
a. Untuk memperoleh sumber bahan hukum dan informasi sebagai bahan
utama dalam menyusun karya ilmiah guna memenuhi persyaratan yang
diwajibkan dalam meraih gelar kesarjanaan di bidang Ilmu Hukum pada
Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
b. Untuk menambah, memperluas, mengembangkan pengetahuan dan
pengalaman penulis serta pemahaman aspek hukum di dalam teori dan
praktek lapangan hukum yang sangat berarti bagi penulis sendiri
khususnya dan dapat memberi manfaat bagi masyarakat pada umumnya.
D. Manfaat Penelitian
Dalam penelitian tentunya sangat diharapkan adanya manfaat dan
kegunaan yang dapat diambil dalam penelitian tersebut. Adapun manfaat yang
didapat dari penelitian ini adalah:
1. Manfaat Teoritis
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
6
a. Untuk memberi sumbangan pikiran dan manfaat dalam mengembangkan
ilmu pengetahuan pada umumnya dan ilmu hukum pada khususnya.
b. Hasil Penelitian ini dapat memberikan jawaban yang jelas mengenai
benar-tidaknya strategi penggabungan perkara dalam proses beracara
pidana.
c. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi suatu tambahan referensi,
masukan data ataupun literatur bagi penulisan hukum selanjutnya yang
berguna bagi para pihak-pihak yang berkepentingan.
2. Manfaat Praktis
a. Untuk memberikan jawaban atas permasalahan-permasalahan yang diteliti
oleh penulis yaitu mengetahui dasar hukum Penuntut Umum menyusun
penggabungan perkara dalam satu surat dakwaan atas nama Budi Santoso
pada perkara nomor PDS-06/PREJO/09/2009, PDS-01/PREJO/01/2010
dan PDS-02/PREJO/02/2010 serta untuk mengetahui manfaat yang
diperoleh atas penggabungan perkara korupsi tersebut.
b. Dengan penulisan skripsi ini diharapkan dapat meningkatkan dan
mengembangkan kemampuan penulis dalam bidang hukum sebagai bekal
untuk terjun ke dalam masyarakat nantinya.
c. Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu memberi masukan dan
sumbangan pemikiran bagi pihak-pihak terkait dengan masalah yang
diteliti.
E. Metode Penelitian
Penelitian hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum,
prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum
yang dihadapi. Penelitian hukum dilakukan untuk menghasilkan argumentasi,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
7
teori atau konsep baru sebagai preskripsi dalam menyelesaikan masalah yang
dihadapi (Peter Mahmud Marzuki, 2005:35).
Dua syarat utama yang harus dipenuhi sebelum mengadakan penelitian
dengan baik dan dapat dipertanggung jawabkan adalah peneliti harus terlebih
dahulu memahami konsep dasar ilmunya dan metodologi penelitian disiplin
ilmunya (Johnny Ibrahim, 2006:26). Didalam penelitian hukum, konsep ilmu
hukum dan metodologi yang digunakan di dalam suatu penelitian memainkan
peran yang sangat signifikan agar ilmu hukum beserta temuan-temuannya tidak
terjebak dalam kemiskinan relevansi dan aktualitasnya (Johnny Ibrahim,
2006:28). Adapun metode penelitian yang digunakan penulis dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian
Ditinjau dari sudut penelitian hukum itu sendiri, maka pada penelitian
ini penulis menggunakan jenis penelitian hukum normatif atau penelitian
hukum kepustakaan. Penelitian hukum normatif memiliki definisi yang sama
dengan penelitian doktrinal (doctrinal research) yaitu penelitian berdasarkan
bahan-bahan hukum (librabry based) yang fokusnya pada membaca dan
mempelajari bahan-bahan hukum primer dan sekunder (Johnny Ibrahim,
2006:44).
2. Sifat Penelitian
Sifat penelitian hukum ini tentunya sejalan dengan sifat ilmu hukum
itu sendiri. Ilmu hukum mempunyai sifat sebagai ilmu yang preskriptif.
Artinya sebagai ilmu yang besifat preskriptif, ilmu hukum mempelajari
tujuan hukum, konsep-konsep hukum, dan norma-norma hukum (Peter
Mahmud Marzuki, 2005:22).
Di dalam penelitian ini penulis memberikan preskriptif mengenai
pengaturan mengenai strategi penggabungan perkara dalam dakwaan
penuntut umum terhadap penanganan tindak pidana korupsi dalam perspektif
penghormatan hak asasi manusia terdakwa.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
8
3. Pendekatan Penelitian
Sehubungan dengan tipe penelitian yang digunakan yaitu penelitian
normatif, maka terdapat beberapa pendekatan penelitian hukum antara lain
pendekatan Undang-Undang (statue approach), pendekatan kasus (case
approach), pendekatan historis (historical approach), pendekatan komparatif
(comparative approach), dan pendekatan konseptual (conseptual approach)
(Peter Mahmud Marzuki, 2005:93). Dari beberapa pendekatan tersebut,
penelitian ini menggunakan pendekatan kasus (case approach).
4. Sumber Penelitian
Sumber penelitian yang digunakan ini adalah bahan hukum primer
dan sekunder. Dalam buku Penelitian Hukum karangan Peter Mahmud
Marzuki, mengatakan bahwa pada dasarnya penelitian hukum tidak mengenal
adanya data. Sehingga yang yang digunakan adalah bahan hukum, dalam hal
ini adalah bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.
a. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat
autoritatif, artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum primer terdiri
dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi, atau risalah dalam
pembuatan peraturan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim
(Peter Mahmud Marzuki, 2005:141). Bahan hukum primer dalam
penelitian ini adalah Surat dakwaan dan Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana (KUHAP)
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder berupa publikasi tentang hukum yang
bukan merupakan merupakan dokumen-dokumen resmi (Peter Mahmud
Marzuki, 2005:141). Bahan hukum sekunder sebagai pendukung dari
bahan yang akan digunakan di dalam penelitian ini yaitu buku-buku teks
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
9
yang ditulis para ahli hukum, jurnal hukum, artikel, internet, dan sumber
lainnya yang memiliki korelasi untuk mendukung penelitian ini.
5. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan dalam penelitian
ini adalah studi dokumen atau bahan pustaka. Peneliti mengumpulkan bahan
hukum sekunder yang berhubungan dengan masalah yang diteliti untuk
kemudian dikategorikan, dibaca, dikaji, selanjutnya dipelajari, diklarifikasi
dan dianalisis dari peraturan perundang-undangan, dokumen-dokumen resmi,
buku-buku, literatur, artikel, karangan ilmiah, makalah, jurnal dan sebagainya
yang berkaitan dengan pokok permasalahan yang dikaji. Mengenai bahan
hukum tersebut kemudian dianalisis dan dirumuskan sebagai penunjang di
dalam penelitian ini.
6. Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum
Dalam penelitian ini akan dianalisis dengan menggunakan logika
deduktif. Dalam hal ini sumber penelitian yang diperoleh dengan
menggunakan intervariasi sekaligus mengkaji dari penelitian studi
kepustakaan, aturan perundang-undangan beserta dokumen-dokumen yang
membantu menafsirkan norma terkait. Kemudian sumber penelitian tersebut
diolah dan dianalisis untuk menjawab permasalahan yang diteliti.
Dalam penelitian hukum ini permasalahan hukum dianalisa oleh
penulis dengan metode deduksi. Menurut Philipus M. Hadjon sebagaimana
dikutip oleh Peter Mahmud Marzuki, metode deduksi sebagaimana silogisme
yang diajarkan oleh Aristoteles penggunaan deduksi berpangkal dari
pengajuan premis mayor (pernyataan bersifat umum). Kemudian diajukan
premis minor (bersifat khusus) dari kedua premis itu ditarik suatu kesimpulan
atau conclusion (Peter Mahmud Marzuki, 2005:47). Didalam logika silogistik
untuk penalaran umum yang bersifat premis mayor adalah aturan hukum
sedangkan premis minornya adalah fakta hukum. Dihubungkan dengan
penelitian yang saya tulis, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
10
Hak Asasi Manusia sebagai premis mayor sedangkan premis minornya adalah
dasar hukum yang digunakan oleh Penuntut Umum dalam menggabungkan
perkara menjadi satu surat dakwaan serta manfaat yang diperoleh dari
penggabungan perkara tersebut dalam perspektif hak asasi manusia terdakwa.
F. Sistematika Penulisan Hukum
Untuk lebih mempermudah dalam melakukan pembahasan, penganalisaan,
serta penjabaran isi dari penelitian ini, maka penulis menyusun sistematika
penulisan hukum ini sebagai berikut:
BAB I : PENDAHULUAN
Dalam bab ini penulis menguraikan tentang Latar Belakang
Masalah, Perumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat
Penelitian, Metode Penelitian, dan Sistematika Penulisan
Hukum.
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
Kajian pustaka ini terdiri dari Tinjauan tentang Penggabungan
Perkara Dalam Dakwaan Penuntut Umum, Tinjauan tentang
Tindak Pidana Korupsi, Tinjauan tentang Hak Asasi Manusia
Terdakwa. Selain itu untuk memudahkan pemahaman alur
berpikir, maka di dalam bab ini juga disertai dengan Kerangka
Pemikiran.
BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Bab ini akan menguraikan hasil dari penelitian yang membahas
tentang dasar hukum yang digunakan bagi Penuntut Umum
menyusun penggabungan perkara dalam satu surat dakwaan atas
nama Budi Santoso pada perkara nomor PDS-
06/PREJO/09/2009, PDS-01/PREJO/01/2010 dan PDS-
02/PREJO/02/2010 serta manfaat yang diperoleh atas
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
11
penggabungan perkara korupsi dalam perkara nomor PDS-
06/PREJO/09/2009, PDS-01/PREJO/01/2010 dan PDS-
02/PREJO/02/2010.
BAB IV : PENUTUP
Dalam bab ini diuraikan simpulan dari hasil pembahasan dan
saran-saran mengenai permasalahan yang ada.
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
12
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori
1. Tinjauan Tentang Penggabungan Perkara dalam Dakwaan Penuntut
Umum
a. Pengertian Surat Dakwaan
Pada periode HIR surat dakwaan disebut surat tuduhan atau acte van
beschuldinging, sedang KUHAP seperti yang ditegaskan pada Pasal 140
ayat (1), diberi nama surat dakwaan. Dimasa yang lalu surat dakwaan
lazim disebut acte van verwijzing, dalam istilah hukum inggris disebut
imputation atau indictment. Banyak pendapat yang berbeda dalam
mendefinisikan mengenai dakwaan, akan tetapi maksud dari beberapa
pendapat tersebut pada intinya sama. Harun M. Husein mencoba
mendefinisikan perihal dakwaan.
Surat dakwaan ialah suatu surat yang diberi tanggal dan
ditandatangani oleh penuntut umum, yang memuat uraian tentang
identitas lengkap terdakwa, perumusan tindak pidana yang
didakwakan yang dipadukan dengan unsur-unsur tindak pidana
sebagaimana dirumuskan dalam ketentuan pidana yang bersangkutan,
disertai uraian tentang waktu dan tempat tindak pidana dilakukan oleh
terdakwa, surat mana menjadi dasar dan batas ruang lingkup
pemeriksaan di sidang pengadilan (Harun M. Husein, 1994:43).
Devinisi lain mengenai surat dakwaan juga dikemukakan oleh M.
Yahya Harahap.
Surat dakwaan adalah surat atau akta yang memuat rumusan tindak
pidana yang didakwakan kepada terdakwa yang disimpulkan dan
ditarik dari hasil pemeriksaan penyidikan, dan merupakan dasar serta
landasan bagi hakim dalam pemeriksaan di muka sidang pengadilan
(M. Yahya Harahap, 2002:386)
Mengenai devinisi dakwaan antara pendapat satu dengan yang lain
memang berbeda, seperti halnya uraian diatas mengenai pendapat yang
mendefinisikan mengenai dakwaan. Namun demikian, bila diteliti dengan
12
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
13
seksama maka dalam perbedaan itu terkandung pula persamaan. Inti dari
persamaan tersebut berkisar pada hal-hal sebagai berikut:
1) Bahwa surat dakwaan merupakan suatu akte, sebagai suatu akte
tentunya surat dakwaan harus mencantumkan tanggal pembuatannya
dan tandatangan pembuatannya. Suatu akte yang tidak mencantumkan
tanggal dan tanda tangan pembuatnya tidak memiliki kekuatan sebagai
akte, meskipun mungkin secara umum dapat dikatakan sebagai surat.
2) Bahwa setiap definisi surat dakwaan tersebut selalu mengandung
element yang sama yaitu adanya perumusan tentang tindak pidana
yang didakwakan beserta waktu dan tempat dilakukannya tindak
pidana.
3) Bahwa dalam merumuskan tindak pidana yang didakwakan kepada
terdakwa, haruslah dilakukan secara cermat, jelas dan lengkap,
sebagaimana diisyaratkan dalam ketentuan perundang-undangan.
4) Bahwa surat dakwaan merupakan dasar pemeriksaan perkara di sidang
pengadilan.
b. Syarat Surat Dakwaan
Pasal 143 ayat (2) KUHAP menetapkan syarat-syarat yang harus
dipenuhi dalam menyusun surat dakwaan, Penuntut Umum membuat surat
dakwaan yang ditandatangani dan diberi tanggal. Syarat-syarat tersebut
adalah sebagai berikut :
1) Syarat Formal
Yaitu mencakup: nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir,
jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan
tersangka (terdakwa).
2) Syarat Materiil
Yaitu mencakup: uraian secara cermat, jelas dan lengakap mengenai
tindak pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan
tempat tindak pidana itu dilakukan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
14
Dengan adanya syarat pembuatan dakwaan yaitu syarat formal dan
materiil, maka kedua syarat ini harus dipenuhi dalam menyusun surat
dakwaan. Akan tetapi undang-undang sendiri membedakan kedua syarat
ini berdasarkan ketentuan Pasal 143 ayat (3), yang menegaskan surat
dakwaan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2) huruf b, “batal demi hukum”. Lebih meneliti bunyi penegasan
ketentuan Pasal 143 ayat (3) M. Yahya Harahap (2002:391) memberikan
penjelasan sebagai berikut:
a) Kekurangan syarat formal, tidak menyebabkan surat dakwaan batal
demi hukum.
(1) Tidak dengan sendirinya batal menurut hukum, pembatalan
surat dakwaan yang diakibatkan kekurang sempurnaan syarat
formal maka dapat dibatalkan, jadi tidak batal demi hukum
(van rechtswege nietig atau null and void) tapi dapat
dibatalkan atau vernietigbaar (voidable) karena sifat
kekurangsempurnaan pencantuman syarat formal dianggap
bernilai imperfect (kurang sempurna)
(2) Kesalahan syarat formal tidak prinsipil sekali. Misalnya
kesalahan penyebutan umur tidak dapat dijadikan alasan untuk
membatalkan surat dakwaan. Kesalahan atau
ketidaksempurnaan syarat formal dapat dibetulkan hakim
dalam putusan, sebab pembetulan syarat formal surat dakwaan,
pada pokoknya tidak menimbulkan seuatu akibat hukum yang
dapat merugikan terdakwa.
b) Kekurangan syarat materiil, mengakibatkan surat dakwaan batal
demi hukum. Jelas dilihat perbedaan diantara kedua syarat tersebut.
Pada syarat formal, kekurangan memenuhi syarat tersebut tidak
mengakibatkan batalnya surat dakwaan demi hukum, akan tetapi
masih dapat dibetulkan. Sedang pada syarat materiil, apabila syarat
tersebut tidak dipenuhi surat dakwaan batal demi hukum.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
15
Pencantuman syarat formal dan material dalam penyusunan surat
dakwaan sangat erat kaitannya dengan tujuan daripada surat dakwaan itu
sendiri. Tujuan surat dakwaan tiada lain ialah dalam proses pidana surat
dakwaan itu adalah sebagai dasar pemeriksaan sidang pengadilan, dasar
pembuktian dan tuntutan pidana dasar pembelaan diri bagi terdakwa dan
merupakan dasar penilaian serta dasar putusan pengadilan. Kesemuanya
itu guna menentukan perbuatan apa yang telah terbukti, apakah perbuatan
yang terbukti tersebut dirumuskan dalam surat dakwaan, siapa yang
terbukti bersalah melakukan pebuatan yang di dakwakan itu.
Tentang tujuan surat dakwakan lebih rinci dikemukakan oleh A.
Karim Nasution yang dimuat dalam buku karya Harun M.Husein
(1994:47), adalah sebagai berikut:
Tujuan utama dari suatu surat tuduhan ialah bahwa undang-undang
ingin melihat ditetapkannya alasan-alasan yang menjadi dasar
penuntutan sesuatu peristiwa pidana, untuk itu maka sifat-sifat khusus
dari sesuatu tindak pidana yang telah dilakukan itu harus dicantumkan
dengan sebaik-baiknya. Terdakwa harus dipersalahkan karena telah
melanggar suatu peraturan hukum pidana, pada suatu saat dan tempat
tertentu, serta dinyatakan pula keadaan-keadaan sewaktu
melakukannya. (A. Karim Nasution,1972:77)
Berdasarkan uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa tujuan
utama dari surat dakwaan itu adalah untuk menetapkan secara nyata,
tentang orang tertentu yang telah melakukan perbuatan tertentu pada
waktu dan tempat yang tertentu pula. Oleh karena itulah Pasal 143 ayat (2)
KUHAP menghendaki pencantuman identitas lengkap terdakwa, uraian
yang cermat, jelas, dan lengkap tentang tindak pidana yang didakwakan
serta waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan oleh terdakwa.
c. Wewenang Penyusunan Surat Dakwaan
Pada prinsinya, hanya Jaksa Penuntut Umum yang berhak dan
berwenang dalam menyusun surat dakwaan, mendakwa serta
menghadapkan seseorang terdakwa kepada hakim di muka sidang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
16
pengadilan. Akan tetapi tentu terhadap prinsip umum ini terdapat
pengecualian, pada tindak pidana acara ringan dan acara pelanggaran
lalulintas jalan (Pasal 205 ayat (2) dan Pasal 212). Dalam acara
pemeriksaan tindak pidana ringan seperti yang sudah pernah dijelaskan,
penyidik atas kuasa penuntut umum menghadapkan dan mendakwa
terdakwa kepada hakim dalam sidang pengadilan (Pasal 205 ayat (2)).
Demikian juga pada acara pemeriksaan pelanggaran lalu lintas jalan,
penyidik langsung menghadapkan terdakwa kepada hakim dalam sidang
pengadilan. Namun demikian kedua pengecualian diatas, tidak mengurangi
arti prinsip bahwa hanya jaksa yang berhak mendakwakan seseorang
terdakwa yang melakukan tindak pidana kepada hakim di muka sidang
pengadilan.
Di dalam sidang pengadilan, fokus pemeriksaan harus tetap mengarah
pada pembuktian surat dakwaaan. Apabila tidak terbukti, terdakwa
dibebaskan dan apabila terbukti sebagai tindak pidana maka terdakwa
dijatuhi pidana. Dengan demikian, terdakwa hanya dapat dipidana jika
terbukti telah melakukan delik yang disebut dalam dakwaan. Jika terdakwa
terbukti melakukan delik tetapi tidak disebut dalam dakwaan, maka ia
tidak dapat dipidana (Andi Hamzah, 1985:168).
Selain sesuai ketentuan KUHAP maka bagi Penuntut Umum juga
harus memperhatikan Pedoman Pembuatan Surat Dakwaan terbitan
Kejaksaan Agung Republik Indonesia, 1985. Di dalam buku pedoman
tersebut dijelaskan pengertian-pengertian dari cermat, jelas dan lengkap,
seperti yang disyaratkan oleh Pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP.
Cermat adalah ketelitian Jaksa Penuntut Umum dalam
mempersiapkan surat dakwaan yang didasarkan kepada undang-undang
yang berlaku bagi terdakwa, tidak terdapat kekurangan dan atau kekeliruan
yang dapat mengakibatkan batalnya surat dakwaan atau dakwaan tidak
dapat dibuktikan. Misalnya, adakah pengaduan dalam hal delik aduan,
apakah terdakwa dapat dipertanggungjawabkan dalam melakukan tindak
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
17
pidana tersebut, apakah tindak pidana tersebut belum atau sudah
kadaluwarsa, apakah tindak pidana itu tidak nebis in idem.
Jelas yaitu Penuntut Umum harus mampu merumuskan unsur-unsur
delik yang didakwakan sekaligus memadukan dengan uraian perbuatan
materiil (fakta) yang dilakukan terdakwa dalam surat dakwaan.
Lengkap adalah uraian dakwaan harus mencakup semua unsur-unsur
yang ditentukan undang-undang secara lengkap.
d. Peranan dan Sifat Hakekat Surat Dakwaan
Bahwa surat dakwaan mempunyai peranan yang sangat penting dalam
proses penuntutan perkara pidana dimuka sidang. Bahwa ruang lingkup
pemeriksaan dibatasi oleh fakta yang didakwakan dalam surat dakwaan,
sehingga Hakim dalam menjatuhkan putusannya semata-mata berdasarkan
hasil pemeriksaan dan penilaian terhadap fakta yang diuraikan dalam surat
dakwaan yang dianggap terbukti.
Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, yang berbunyi :
“Tiada seorang juapun dapat dijatuhi pidana kecuali apabila
pengadilan karena alat pembuktian yang sah menurut Undang-undang
mendapat keyakinan bahwa seorang yang dianggap bertanggung
jawab bersalah atas perbuatan yang dituduhkan atas dirinya”.
Dalam hal ini merupakan asas dari Hukum Acara Pidana bahwa surat
dakwaan memegang peranan penting sekali dalam proses perkara pidana.
Bahwa surat dakwaan dapat mempunyai dua (2) segi, yaitu:
1) Segi positif : Bahwa keseluruhan isi surat dakwaan yang terbukti
dalam persidangan, harus dijadikan dasar oleh Hakim dalam
putusannya.
2) Segi negatif : Bahwa apa yang dinyatakan terbukti dalam
persidangan, harus dapat diketemukan kembali dalam surat
dakwaan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
18
Berdasarkan uraian tersebut diatas betapa pentingnya surat dakwaan
dalam persidangan pidana, bukan saja untuk Penuntut Umum dan Hakim
tetapi penting pula bagi terdakwa. Jadi, surat dakwaan sangat penting bagi
Jaksa, terdakwa, dan Hakim (Anonim, 1985:8).
a) Jaksa, sebagai dasar untuk melakukan penuntutan perkara ke
Pengadilan dan kemudian untuk dasar pembuktian dan
pembahasan yuridis dalam surat melakukan upaya hukum;
b) Terdakwa, sebagai dasar dalam pembelaan dan menyiapkan
bukti-bukti kebalikan terhadap apa yang telah didakwakan
terhadapnya;
c) Hakim, sebagai dasar untuk pemeriksaan di sidang pengadilan
dan putusan yang akan dijatuhkan tentang terbukti atau
tidaknya kesalahan terdakwa sebagaimana dimuat dalam surat
dakwaan.
e. Bentuk Dakwaan
Penyusunan surat dakwaan, kecuali harus memenuhi syarat formal
(Pasal 143 ayat (3) huruf a) dan syarat materiil (Pasal 143 ayat (2) huruf
b) juga terikat dengan bentuk-bentuk surat dakwaan. Penyusunan surat
dakwaan dikenal ada 5 (lima) bentuk (Anonim, 1985:24-28).
1) Tunggal
Dakwaan tunggal, apabila Jaksa Penuntut Umum
berpendapat dan yakin benar bahwa:
a) Perbuatan yang dilakukan terdakwa hanya merupakan satu
tindak pidana saja;
b) Terdakwa melakukan satu perbuatan, tetapi dalam beberapa
ketentuan pidana (eendaadsche semenloop=Concursus
idealis), sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (1)
KUHP;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
19
c) Terdakwa melakukan perbuatan yang berlanjut (voorgezette
handeling), sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (1)
KUHP.
2) Kumulatif (cumulative ten laste legging)
Dalam satu surat dakwaan, beberapa tindak pidana yang
masing-masing berdiri sendiri, artinya tidak ada hubungan antara
tindak pidana yang satu dengan yang lain, didakwakan secara
serempak. Yang penting dalam hal ini, bahwa subjek pelaku
tindak pidana adalah terdakwa yang sama. Konsekuensi
pembuktianya adalah bahwa masing masing dakwaan harus
dibuktikan.
3) Subsidiair (subsidiair ten laste legging)
Dalam surat dakwaan, didakwakan beberapa perumusan
tindak pidana dan Perumusan itu disusun sedemikian rupa secara
bertingkat dari dakwaan yang paling berat sampai dakwaan yang
paling ringan.
Jadi pada hakikatnya, dalam bentuk surat dakwaan
subsidair ini hanya satu tindak pidana saja yang sebenarnya akan
didakwakan kepada terdakwa.
4) Alternatif (Alternatif Ten Last Legging)
Dalam surat dakwaan, didakwakan beberapa perumusan
tindak pidana tetapi pada hakikatnya yang merupakan tujuan
utama ialah hanya ingin membuktikan satu tindak pidana saja
diantara rangkaian tindak pidana yang didakwakan. Dalam hal itu
Jaksa Penuntut Umum belum mengetahui secara pasti, apakah
tindak pidana yang satu atau yang lain yang dapat dibuktikan, dan
ketentuan manakah yang akan diterapkan oleh Hakim. Jadi, disini
Jaksa Penuntut Umum mengajukan bentuk dakwaan yang bersifat
altenatif atau pilihan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
20
Konsekuensi pembuktiannya adalah apabila dakwaan yang
dimaksudkan telah terbukti maka yang lain tidak perlu dihiraukan
lagi.
5) Kombinasi
Sekarang ini dalam praktek berkembang, bentuk surat
dakwaan yang disusun secara kombinasi, yang didalamnya
mengandung bentuk dakwaan kumulatif, yang masing-masing
dapat terdiri pula dari dakwaan subsidair dengan kumulatif.
akhir-akhir ini sering dipermasalahkan penggabungan
dalam satu surat dakwaan antara dakwaan tindak pidana khusus
misalnya dengan tindak pidana umum, sebagai dakwaan
subsidairnya atau alternatifnya. Demikian juga, sejauh mana
kemungkinannya terhadap berkas perkara tindak pidana khusus
yang disidik oleh Jaksa, dalam surat dakwaanya disamping
dakwaan tindak pidana khusus, ditambahkan pula dakwaan tindak
pidana umum. Hal ini dipersoalkan, karena Jaksa berdasarkan
Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tidak
berwenang menyidik perkara tindak pidana umum.
Dengan demikian, dikhawatirkan apabila ternyata dimuka
persidangan yang terbukti adalah tindak “pidana umum” nya,
sedangkan berkas perkara itu merupakan hasil penyidikan Jaksa
dalam perkara tindak pidana khusus. Maka permasalahanya
adalah, apakah hakim memutus perkara yang demikian.
f. Penggabungan Perkara Dalam Penyusunan Dakwaan
Pada dasarnya penggabungan perkara dalam dakwaan ini merupakan
suatu bentuk dakwaan kumulatif, yang dimaksudkan bahwa dalam
dakwaan itu terdapat beberapa tindak pidana yang didakwakan dan
kesemuanya harus dibuktikan. Bentuk dakwaan ini dipergunakan dalam
perihal hubungannya dengan apa yang dinamakan samenloop/concursus
atau deelneming. Pada pokoknya dakwaan ini dipergunakan dalam hal
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
21
menghadapi seorang yang melakukan beberapa tindak pidana atau
beberapa orang yang melakukan satu tindak pidana. Jadi dakwaan ini
dipergunakan dalam hal terjadinya kumulasi, baik kumulasi perbuatan
maupun kumulasi pelakunya (M.Yahya Harahap, 2002:472).
Hal ini berarti, pada saat yang sama dan dalam pemeriksaan sidang
pengadilan yang sama, kepada terdakwa diajukan gabungan beberapa
dakwaan sekaligus. Tata cara pengajuan surat dakwaan yang seperti ini
dimungkinkan berdasar ketentuan Pasal 141 Kitab Undang-undang Hukum
Acara Pidana (KUHAP), yang disebut “penggabungan perkara” dalam
“satu surat dakwaan”. Sehubungan dengan gabungan beberapa dakwaan,
Pasal 141 KUHAP telah mengatur tentang penggabungan atau kumulasi
perkara atau tindak pidana, maupun kumulasi tentang terdakwanya.
Menurut Pasal 141 KUHAP, penuntut umum dapat mengajukan
dakwaan yang bebentuk kumulasi apabila dalam waktu yang sama atau
hampir bersamaan menerima beberapa berkas perkara dalam hal:
1) Beberapa tindak pidana yang dilakukan oleh seorang yang sama dan
kepentingan pemeriksaan tidak menjadikan halangan terhadap
penggabungan,
2) Beberapa tindak pidana yang bersangkut-paut satu dengan yang lain.
KUHAP memberi penegasan lebih lanjut dalam penjelasan Pasal 141
ke 2, yang dimaksud dengan tindak pidana dianggap mempunyai sangkut-
paut dengan yang lain”, apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh :
a) Lebih dari seorang yang bekerja sama yang dilakukan pada saat
yang bersamaan,
b) Lebih dari seorang pada saat dan tempat yang berbeda akan tetapi
merupakan pelaksanaan dari mufakat jahat yang dibuat oleh
mereka sebelumnya,
c) Satu orang atau lebih dengan maksud mendapatkan alat yang akan
dipergunakan untuk melakukan tindak pidana lain atau
menghindarkan diri dari pemidanaan karena tindak pidana.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
22
3) Beberapa tindak pidana yang tidak bersangkut-paut satu dengan yang
lain, akan tetapi yang satu dengan yang lain itu ada hubungannya,
yang dalam hal ini penggabungan tersebut perlu bagi kepentingan
pemeriksaan.
Dari rumusan bunyi dan penjelasan Pasal 141 KUHAP, kesimpulan
yang dapat ditarik adalah adanya wewenang penuntut umum untuk
mengajukan dakwaan yang berbentuk kumulasi, baik “kumulasi perkara
tindak pidana” maupun sekaligus “kumulasi terdakwa” dengan kumulasi
dakwaannya. Akan tetapi jika masalahnya semata-mata dipersoalkan dari
ketentuan Pasal 141 KUHAP saja, mungkin tidak mampu memberi
gambaran yang jelas. Oleh karena itu, supaya masalah dakwaan yang
berbentuk kumulasi terhadap beberapa orang terdakwa dapat dijelaskan
secara terang dan menyeluruh, terpaksa menghubungkan ketentuan
ketentuan Pasal 141 KUHAP dengan Pasal-Pasal Kitab Undang-undang
Hukum Pidana (KUHP) yang berkenaan dengan “penyertaan” dalam
perbuatan tindak pidana atau “pengambilan bagian” (deelneming) dalam
perbuatan tindak pidana, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 55 KUHP.
Begitu pula mengenai kumulasi perbarengan tindak pidana atau
perbarengan perbuatan. Kumulasi atau penggabungan dakwaan baru dapat
dibahas secara menyeluruh, apabila Pasal 141 KUHAP dikaitkan dengan
ketentuan “perbarengan” atau concursus (samenloop) yang diatur dalam
Pasal-Pasal 63, 64, 65, 66, dan Pasal 70 KUHP.
(M.Yahya Harahap 2002:394)
Untuk lebih jelasnya akan diuraikan satu per satu mengenai bentuk
dakwaan kumulasi, baik kumulasi dalam hal penyertaan tindak pidana
(deelneming) maupun kumulasi dalam hal perbarengan tindak pidana
(concursus).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
23
1) Dakwaan Kumulasi dalam Penyertaan Perbuatan Tindak Pidana
(deelneming)
Dakwaan kumulasi yang berkaitan dengan penyertaan ini diatur
dalam Pasal 55 KUHP, yang dibedakan menjadi beberapa bentuk
pengambilan bagian dalam suatu tindak pidana yaitu:
a) Kawan berbuat (mededaderschap) atau accomplice
Pengertian kawan berbuat menurut Pasal 55 KUHP disebut juga
sebagai orang yang turut serta melakukan atau medeplegen.
Sebagian orang mengartikan turut serta melakukan perbuatan
tindak pidana ialah setiap orang yang benar-benar ikut aktif
ambil bagian dalam pelaksanaan perbuatan.
Bentuk surat dakwaan Penuntut Umum dalam kasus yang seperti
ini adalah:
(1) Menggabungkan atau mengumpulkan para terdakwa dalam
satu surat dakwaan,
(2) Merumuskan dengan terang dan jelas unsur-unsur delik
yang mereka langgar serta menyebut tempat dan waktu
peristiwa pidana, juga dirumuskan secara rinci peran
masing-masing terdakwa dalam pelaksanaan perbuatan
tindak pidana,
(3) Sekaligus para terdakwa dihadapkan, diperiksa dan diadili
dalam satu persidangan pengadilan,
(4) Pengadilan menjatuhkan putusan kepada para terdakwa
dalam satu putusan dengan merinci peran masing-masing
serta menyebut satu per satu hukum yang dikenakan.
Dalam bentuk kasus yang seperti ini, sama sekali tidak
mengurangi wewenang Penuntut Umum untuk mendakwa para
terdakwa secara terpisah dengan mempergunakan ketentuan
Pasal 142 KUHAP.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
24
b) Ambil bagian sebagai pembantu
Bentuk kedua dalam penyertaan melakukan tindak pidana ialah
orang yang memberi bantuan (medeplichtig), yakni orang yang
sengaja meberi bantuan baik sebelum, atau pada saat maupun
sesudah tindak pidana dilakukan. Dalam hal ini terdapat 2 (dua)
pilihan bagi Penuntut Umum, yaitu mengajukan dakwaan
kumulasi terhadap semua orang yang terlibat dalam tindak
pidana yang bersangkutan atau mengajukan dakwaan secara
terpisah (Pasal 142 KUHAP).
c) Penganjur
Penganjur adalah merupakan pelaku tindak pidana yang cerdik,
atau intellectuele dader, yang bersembunyi dibalik pelaku tindak
pidana yang dianjurkan. Terdakwa penganjur didakwa dalam
surat dakwaan tersendiri. Demikian juga pelaku tindak pidana
materiil, didakwa dalam dakwaan tersendiri. Masing-masing
diperiksa, diadili, dan diputus dalam pemeriksaan pengadilan
yang terpisah dan berdiri sendiri.
2) Dakwaan Kumulasi dalam Perbarengan Perbuatan Tindak Pidana
(concursus)
a) Surat dakwaan kumulasi dalam concursus idealis
concursus idealis diatur dalam Pasal 63 KUHP. Apabila terjadi
satu peristiwa pidana yang sekaligus mencakup atau mengenai
lebih dari satu (beberapa) Pasal peraturan pidana, hanya satu saja
hukuman yang dijatuhkan, yakni hukuman “pokok” yang
terberat. Pengertian concursus idealis atau keadaan “perbarengan
peraturan”yang lazim juga disebut eendaadsche samenloop :
(1) Apabila terjadi satu perbuatan tindak pidana,
(2) Tetapi sekalipun perbuatan tindak pidananya hanya satu,
(3) Perbuatan itu mengenai atau mencakup sekaligus lebih dari
satu (beberapa) ketentuan pidana,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
25
(4) Maka cara penjatuhan hukuman pidananya dilakukan
dengan mempergunakan “sistem absorbsi”, yaitu hanya
satu saja hukuman pidana yang dijatuhkan dan hukuman
pidana yang terberat yang menjadi ancaman hukumannya.
b) Bentuk dakwaan pada perbuatan berlanjut (continuando,
continutus)
Tentang perbuatan pidana yang dilanjutkan atau
voorgezettehandeling diatur dalam Pasal 64 KUHP. Sebelumnya
menguraikan bentuk surat dakwaan dalam perkara yang
mengandung perbuatan tindak pidana berlanjut, yang ada baiknya
dijelaskan serba ringkas arti perbuatan berlanjut.
Rumusan Pasal 64 KUHP, tidak menjelaskan secara terang
apa yang dimaksud dengan pengertian perbuatan tindak pidana
yang berlanjut, pada intinya perbuatan berlanjut itu mengandung
unsur-unsur :
(1) Harus ada kesatuan kehendak
(2) Mengenai peristiwa yang sama
(3) Jarak antara setiap rangkaian perulangan perbuatan
dilakukan dalam jangka waktu yang “relatif tidak terlampau
lama.”
c) Bentuk surat dakwaan dalam concursus realis
Dalam peristiwa pidana yang mengandung “perbarengan
perbuatan” atau concursus realis, dijumpai beberapa jenis
penyususnan surat dakwaan komulasi, disesuaikan dengan jenis
concursus realis yang diatur dalam KUHP sebagaimana termuat
dalam Pasal 65, 66, dan Pasal 70. Pengertian perbarengan
perbuatan atau concursus realis dapat disingkat sebagai berikut :
(1) Adanya perbarengan beberapa (lebih dari satu) perbutan
kejahatan yang dilakukan oleh seseorang,
(2) Dan setiap perbuatan itu mengenai beberapa (lebih dari
satu) kejahatan yang diatur dalam Pasal-Pasal pidana,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
26
(3) Dengan demikian setiap perbuatan itu dianggap sebagai
perbuatan yang masing-masing berdiri sendiri,
(4) Serta perbarengan perbuatan itu biasa bersifat:
(a) Bentuk surat dakwaan dalam concursus realis yang
ancaman “hukuman pokoknya sejenis”
Bentuk concursus realis yang ancaman hukuman
pokoknya sejenis diatur dalam Pasal 65 KUHP.
Menurut ketentuan tersebut, sesuatu peristiwa dianggap
mengandung concursus realis yang ancaman hukuman
pokoknya sejenis, apabila dalam perkara yang
bersangkutan terdapat ciri-ciri:
(i) Adanya perbarengan perbuatan dalam peristiwa
pidana,
(ii) Dan setiap perbuatan dipandang tindak pidana yang
berdiri sendiri,
(iii) Akan tetapi hukuman pokok yang diancamkan pada
setiap tindak pidana yang berdiri sendiri tadi
“sejenis” (sebagai contoh, misalkan hukuman
pokoknya sama-sama hukuman penjara),
(iv) Maka sistem penghukumannya diterapkan
“absorpsi yang dipertajam”,
(v) Berupa hukuman pokok yang terberat + 1/3.
(b) Bentuk surat dakwaan dalam concursus realis yang
ancaman “hukuman pokoknya tidak sejenis”
Bentuk concursus realis yang ancaman hukuman
pokoknya tidak sejenis diatur dalam Pasal 66 KUHP.
Pada hakikatnya tidak ada perbedaan yang prisipil
dengan concursus realis yang hukuman pokoknya
“sejenis”. Pengertian antara kedua concursus tersebut
adalah sama-sama merupakan “perbarengan” lebih dari
satu perbuatan. Letak perbedaan antara concursus realis
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
27
yang hukuman pokoknya sejenis dengan yang hukuman
pokoknya tidak sejenis bukan terletak pada
pengertiannya, akan tetapi terletak pada:
(i) Akibat perbarengan perbuatan dihubungkan dengan
Pasal tindak pidana yang berkenaan dengan setiap
perbuatan. Yaitu, pada concursus realis yang
hukuman pokoknya sejenis diatur dalam Pasal 65
KUHP, sedangkan concursus realis yang hukuman
pokoknya tidak sejenis diatur dalam Pasal 66
KUHP.
(ii) Perbedaan yang terletak pada sistem
penghukumannya, Pada concursus realis yang
ancaman hukuman pokoknya sejenis, sistem
penjatuhan hukumannya didasarkan pada cara
“absorbsi yang dipertajam”, yakni satu hukuman
saja yang dijatuhkan berupa hukuman maksimum
tindak pidana yang terberat + 1/3. Sedang pada
concursus realis yang ancaman hukuman pokoknya
tidak sejenis, sistem penghukumannya dilakukan
berdasarkan cara “kumulasi yang diperlunak”, yakni
setiap tindak pidana masing-masing dijatuhi
hukuman, tapi maksimum hukuman yang dapat
dijatuhkan ialah ancaman hukuman tindak pidana
yang terberat +1/3.
2. Tinjauan Tentang Tindak Pidana Korupsi
a. Pengertian Korupsi
Menurut Fockema Andreae istilah korupsi berasal dari bahasa Latin
corruption atau corruptus (Webster student dictionary: 1960). Selanjutnya
disebutkan bahwa corruption itu bersal pula dari kata asal corrumpere,
suatu kata latin yang lebih tua. Dari bahasa latin itulah turun ke banyak
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
28
bahasa eropa seperti inggris, yaitu corruption, corrupt; di prancis yaitu
corruptin; dan belanda, yaitu corruptive (korruptie). Kita dapat
memberanikan diri bahwa dari bahasa belanda inilah kata itu turun ke
bahasa Indonesia, yaitu korupsi (Andi Hamzah, 2007:4). Secara harfiah,
korupsi mengandung arti kebusukan, keburukan, kebejatan,
ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral.
Menurut Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-undang
Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Pasal 2 dan 3 mendefinisikan korupsi antara lain sebagai berikut :
1) Setiap orang yang secara sengaja melawan hukum melakukan
perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian
negara.
2) Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau
orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan,
kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau
kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara.
Dalam Black’s Law Dictionary, korupsi merupakan suatu perbuatan
yang dilakukan dengan maksud untuk memberikan suatu keuntungan yang
tidak resmi dengan hak-hak dari pihak lain secara salah dengan
menggunakan jabatannya atau karakternya untuk mendapatkan suatu
keuntungan untuk dirinya sendiri atau orang lain (Rohim, 2008:2).
Dalam arti sempit, korupsi berarti pengabaian standar perilaku tertentu
oleh pihak yang berwenang demi memenuhi kepentingan diri sendiri.
Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) mendefinisikan
korupsi sebagai tindakan yang merugikan kepentingan umum dan
masyarakat luas demi keuntungan pribadi atau kelompok tertentu.
Terdapat suatu uraian tentang pengertian korupsi yang dihubungkan
dengan pertumbuhan ekonomi, yaitu: “Corruption is a major problem with
long history. Strong link exists between corruption and economic growth.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
29
It is inappropriate to relate it with third world absolute poverty only.
Relative poverty also generates corruption to a significant extent. So it is
not aproblem exists in developing countries only. There could always be
interested parties in all countries who are the direct beneficiaries to
maintain the system with high element of corruption” (Pariks K Basu,
Vol.2, No.4, 2006).
Pengertian dari penjabaran uraian diatas adalah: “Korupsi adalah
merupakan masalah pokok dengan sejarah yang panjang. Terdapat
hubungan yang erat antara korupsi dan pertumbuhan ekonomi. Hal ini
tidak tepat jika hanya menghubungkan antara korupsi, pertumbuhan
ekonomi dan kemiskinan dunia. Korupsi menibulkan masalah yang
signifikan yaitu kemiskinan. Jadi permasalahan ini tidak hanya timbul di
negara berkembang. Permasalahan itu juga terdapat di semua negara yang
berkaitan langsung untuk menjaga sistem pemberantasan korupsi”.
Dikarenakan tindak pidana korupsi yang semakin menjadi, ditetapkan
strategi yang tepat melalaui pencegahan dan pemberantasan korupsi di
Indonesia merumuskan tiga bentuk strategi pemberantasan korupsi secara
nasional, yaitu strategi persuasif, strategi detektif, dan strategi represif
(Chaerudin dkk:2009:20).
b. Bentuk-bentuk korupsi
Korupsi telah didefinisikan secara jelas oleh Undang-undang Nomor
31 Tahun 1999 jo Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 dalam Pasal-
Pasalnya. Berdasarkan Pasal-Pasal tersebut korupsi dirumuskan ke dalam
30 (tiga puluh) bentuk atau jenis tindak pidana korupsi yang dapat
dikelompokkan sebagai berikut :
1) Korupsi yang terkait dengan keuangan negara, yaitu melawan hukum
untuk memperkaya diri dan dapat merugikan keuangan negara.
2) Korupsi yang terkait dengan suap menyuap, yaitu menyuap pegawai
negeri; memberikan hadiah kepada pegawai negeri karena jabatannya;
pegawai negeri menerima suap; pegawai negeri menerima hadiah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
30
yang berhubungan dengan jabatannya; menyuap hakim; menyuap
advokat; advokat yang menerima suap; hakim yang menerima suap.
3) Korupsi yang terkait penggelapan dalam jabatan, yaitu pegawai
negeri yang menggelapkan uang atau membiarkan penggelapan;
pegawai negeri memalsukan buku untuk pemeriksaan administrasi;
pegawai negeri merusakkan bukti; pegawai negeri membiarkan orang
lain merusakkan bukti; pegawai negeri membantu orang lain
merusakkan bukti.
4) Korupsi yang terkait dengan perbuatan pemerasan, yaitu pegawai
negeri melakukan pemerasan; pegawai negeri memeras pegawai lain.
5) Korupsi yang terkait dengan perbuatan curang, yaitu pemborong
berbuat curang; pengawas proyek membiarkan perbuatan curang;
rekanan TNI/POLRI berbuat curang; penerima barang TNI/POLRI
membiarkan perbuatan curang; pegawai negeri menyerobot tanah
negara sehingga merugikan orang lain.
6) Korupsi yang terkait dengan benturan kepentingan dalam pengadaan,
yaitu pegawai negara turut serta dalam pengadaan yang diurusnya.
7) Korupsi yang terkait dengan gratifikasi yaitu, pegawai negeri
menerima gratifikasi dan tidak lapor KPK.
Selain tujuh kelompok jenis tindak pidana korupsi tersebut, maka
masih ada 6 (enam) tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak
pidana korupsi, yaitu merintangi proses pemeriksaan perkara korupsi;
tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar;
bank yang tidak memberikan keterangan rekening tersangka; saksi atau
ahli yang tidak memberi keterangan palsu; orang yang memegang rahasia
jabatan tidak memberikan keterangan atau memberi keterangan palsu;
saksi membuka identitas pelapor. (“Memahami untuk membasmi”, Komisi
Pemberantasan Korupsi, Cetakan Kedua, Jakarta, September 2006).
c. Modus Operandi Korupsi
Dalam bahasa Latin modus operandi berarti cara bertindak atau
procedure. Jadi modus operandi adalah cara melaksanakan atau cara
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
31
bertindak. Dapat disimpulkan bahwa modus operandi korupsi adalah cara-
cara bagaimana korupsi itu dilakukan. Modus operandi korupsi telah
berkembang pesat mulai dari cara konvensional sampai kepada
pemanfaatan hi-tech yang memunculkan kejahatan berdimensi baru,
seperti bank crime, crime as bussines, manipulatin crime, corporation
crime, custom crime, money laundering, illegal logging illegal fishing, dan
berbagai modus cybercrime lainnya. Sebagai extraordinary crime,
pemberantasan tindak pidana korupsi seakan-akan berpacu dengan
munculnya beragam modus operandi korupsi yang semakin canggih.
David Bayle menginventarisasi biaya-biaya yang terjadi sebagai
akibat perilaku korupsi, yaitu :
1) Tindak korupsi mencerminkan kegagalan mencapai tujuan-tujuan
yang ditetapkan pemerintah (misalnya, korupsi dalam pengangkatan
pejabat atau salah alokasi sumberdaya menimbulkan inefisiensi dan
pemborosan).
2) Korupsi akan segera menular ke sektor swasta dalam bentuk upaya
mengejar laba dengan cepat dalam situasi yang sulit diramalkan, atau
melemahkan investasi dalam negeri, dan menyisihkan pendatang
baru, dengan demikian mengurangi partisipasi dan pertumbuhan
sektor swasta.
3) Korupsi mencerminkan kenaikan harga administrasi (pembayar pajak
harus ikut menyuap, karena membayar beberapa kali lipat untuk
pelayanan yang sama.
4) Jika korupsi merupakan bentuk pembayaran yang tidak sah, hal ini
akan mengurangi jumlah dana yang disediakan untuk publik.
5) Korupsi merusak mental aparat pemerintah, melunturkan keberanian
yang diperlukan untuk mematuhi standar etika yang tinngi.
6) Korupsi dalam pemerintahan menurunkan rasa hormat kepada
kekuasaan, dan akhirnya menurunkan rasa legitimasi pemerintah.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
32
7) Jika elit politik dan pejabat tinggi pemerintah secara luas dianggap
korup, maka publik akan menyimpulkan tidak ada alasan bagi publik
untuk tidak boleh korup juga.
8) Seorang pejabat atau politisi yang korup adalah pribadi yang hanya
memikirkan dirinya sendiri dan tidak mau berkorban demi
kemakmuran bersama dimasa mendatang.
9) Korupsi menimbulkan kerugian yang sangat besar dari sisi
produktivitas, karena waktu dan energi habis untuk menjalin
hubungan guna menghindari atau mengalahkan sistem, daripada
untuk meningkatkan kepercayaan dan memberikan alasan obyektif
mengenai permintaan layanan yang dibutuhkan.
10) Korupsi karena merupakan ketidak adilan yang dilembagakan mau
tidak mau akan menimbulkan perkara yang harus dibawa ke
pengadilan dan tuduhan-tuduhan palsu yang digunakan pada pejabat
yang jujur untuk tujuan pemerasan.
11) Bentuk korupsi yang paling menonjol dibeberapa negara yaitu uang
pelicin menyebabkan keputusan ditimbang berdasarkan uang, bukan
berdasarkan kebutuhan manusia.
3. Tinjauan Tentang Hak Asasi Manusia
a. Pengaturan dan Penerapan Hak Asasi Manusia Pada Sistem Peradilan
Guna mewujudkan sistem peradilan pidana yang adil dan benar, hal
ini dapat dicermati lebih lanjut pada bunyi undang-undang nomor 39 tahun
1999 tentang hak asasi manusia pada Pasal 17, yaitu :
“Setiap orang, tanpa diskriminasi, berhak memperoleh keadilan
dengan mengajukan permohonan, pengaduan, dan gugatan, baik
dalam perkara pidana, perdata maupun administrasi serta diadili
melalui proses peradilan yang bebas dan tidak memihak, sesuai
dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaanyang obyektif oleh
hakim yang jujur dan adil untuk memperoleh putusan yang adil dan
benar”.
Salah satu upaya dalam hal penerapan hak asasi manusia pada sistem
peradilan adalah dibentuknya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
33
Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Sehubungan
dengan tujuan pembentukan KUHAP, karena bahwa dalam hukum acara
pidana modern dikenal beberapa asas yang sangat berkaitan dengan hak-
hak asasi manusia. Antara lain yaitu asas peradilan cepat atau contante
justitie, semakin ditekankan dalam KUHAP. Ketentuan ini dijelaskan
dalam penjelasan umum dalam butir 3e dikatakan: “Peradilan yang harus
dilakukan dengan cepat, sederhana dan biaya ringan, jujur dan tidak
memihak harus diterapkan secara konsekuen dalam seluruh tingkat
perdilan”
Selain itu tertuang prinsip legalitas yang disebut dalam konsideran
KUHAP seperti yang dapat dibaca pada huruf a, yang berbunyi “bahwa
negara republik Indonesia adalah negara hukum yang berdasarkan
pancasila dan Undang-Undang dasar 1945 yang menjunjung tinggi hak
asasi manusia serta menjamin segala warga negara bersamaan
kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung
tinggi hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Selain
itu, dalam penjelasan umum butir 3 huruf c KUHAP menyatakan “setiap
orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan
dimuka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya
putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh
kekuatan hukum tetap”.
b. Perlindungan Hak-Hak Tersangka atau Terdakwa Dalam Proses Peradilan
Pidana
Definisi di dalam KUHAP tentang tersangka dan terdakwa terdapat
pada Pasal 1 butir 14, mengenai tersangka sebagai berikut: “Tersangka
adalah seseorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan
bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana”. Sedangkan
butir 15 mengenai terdakwa ialah sebagai berikut: “Terdakwa adalah
seorang tersangka yang dituntut, diperiksa dan diadili di sidang
pengadilan”
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
34
Mengenai hak asasi yang melekat pada diri tersangka ataupun juga
kepada terdakwa maka semakin dipertajam lagi dalam Undang-Undang
Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yaitu pada penjelasan
umum, Pasal 1 ayat (6), dan Pasal 3 ayat (2), yaitu :
Penjelasan bagian umum Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia berbunyi :
“Undang-Undang tentang Hak Asasi Manusia ini adalah merupakan
payung dari seluruh peraturan perundang-undanagan tentang hak
asasi manusia. Oleh karena itu, pelanggaran baik langsung maupun
tidak langsung atas hak asasi manusia dikenakan sanksi pidana,
perdata, dan atau administratif sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan”
Pasal 1 ayat (6) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia berbunyi:
“Pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap perbuatan seseorang
atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun
tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum
mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut hak asasi
manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh undang-
undang ini, dan tidak mendapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan
memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan
mekanisme hukum yang berlaku”
Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia berbunyi:
“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan
perlakuan hukum yang adil serta mendapat kepastian hukum dan
perlakuan yang sama di depan hukum”
Dalam penjelasan KUHAP dapat ditemukan 10 (sepuluh) asas yang
mengatur perlindungan KUHAP terhadap “keluhuran harkat serta martabat
manusia”, Yaitu: a) Perlakuan yang sama dimuka hukum tanpa
diskriminasi apapun, b) Praduga tidak bersalah, c) Hak untuk memperoleh
kompensasi (ganti rugi) dan rehabilitasi, d) Hak untuk mendapat bantuan
hukum, e) Hak kehadiran terdakwa dimuka pengadilan, f) Peradilan yang
bebas dan dilakukan dengan cepat dan sederhana, g) Peradilan yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
35
terbuka untuk umum, h) Pelanggaran atas hak-hak warga negara
(penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan) harus
didasarkan pada undang-undang dan dilakukan dengan surat perintah
(tertulis), i) Kepada seorang tersangka sejak saat dilakukan penangkapan
dan atau penahanan selain wajib diberi tahu dakwaan dan dasar hukum apa
yang didakwakan kepadanya juga wajib diberitahu haknya itu termasuk
hak menghubungi dan minta bantuan penasihat hukum, j) Kewajiban
pengadilan untuk mengendalikan pelaksanaan putusan-putusannya.
Menurut pendapat Mardjono dalam pidatonya yang dimuat dalam
buku karya Mien Rukmini (2003:91), dia berpendapat bahwa “hak-hak
yang diberikan oleh KUHAP bukan tertuju kepada tersangka atau
terdakwa sebagai pelanggar hukum, akan tetapi sebagai manusia yang
mempunyai hak dan kewajiban, manusia sebagai obyek dan subyek
anggota masyarakat. Jika seorang tersangka atau terdakwa yang diperiksa
karena kebenaran materiel sungguh-sungguh adalah pelaku delik, hal itu
merupakan suatu resiko perbuatannya sendiri yang melanggar hukum itu.
Akan tetapi seorang tersangka atau terdakwa belum tentu sungguh-
sunnguh bersalah seperti yang dilaporkan, diadukan atau didakwakan.
Setiap orang dianggap tidak bersalah sampai ada keputusan hakim yang
tetap bahwa ia bersalah (presumption of innocence)”
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
36
B. Kerangka Pemikiran
Gambar 1.
Skema Kerangka Pemikiran
Keterangan :
Korupsi dipandang sebagai kejahatan yang luar biasa (exstraordinary
crime), karena dampak dari kejahatan tersebut sangat merugikan beberapa
aspek didalam sistem suatu negara. Mengenai hal itulah maka penegakan
hukum dalam menghadapi serta menyelesaikan kasus korupsi harus benar-
benar tegas. Mencermati kasus korupsi yang dilakukan oleh Budi Santoso di
wilayah purworejo-jawa tengah, dalam hal ini Budi Santoso melakukan tindak
Kasus Korupsi
Strategi Penggabungan Perkara oleh
Penuntut Umum
Hak Asasi Manusia
Terdakwa
Pasal 141
3 kasus korupsi dalam waktu
yang bersamaan
Penggabungan 3 (tiga) Perkara
menjadi
1 (satu) Surat Dakwaan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
37
pidana korupsi dalam waktu yang hampir bersamaan. Seperti yang telah
dikemukakan penegakan hukum dalam kasus korupsi harus benar-benar tegas
dilaksanakan, akan tetapi dalam melaksanakan proses penegakan hukum yang
tegas harus mempertimbangkan aspek hak asasi manusia (HAM). Bahwa
sebelum orang tersebut mendapat putusan yang sah atau putusan yang sudah
berkekuatan hukum tetap maka hak asasi manusia wajib untuk dilindungi,
terlepas dari putusan tersebut menyatakan bahwa dia bersalah atau tidak
bersalah.
Adanya proses penegakan hukum yang tegas tanpa mengabaikan hak asasi
manusia, oleh penuntut umum mengambil langkah menggabungkan 3 (tiga)
perkara untuk menjadi 1 (satu) surat dakwaan. Langkah penuntut umum
tersebut dilandasi oleh Pasal 141 KUHAP. Oleh karena itu, penulis akan
menelaah mengenai strategi penggabungan perkara dalam dakwaan oleh
Penuntut Umum terhadap penanganan tindak pidana korupsi dalam perspektif
penghormatan hak asasi manusia terdakwa.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
38
BAB III.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Dasar Hukum Penuntut Umum Menyusun Penggabungan Perkara dalam
Satu Surat Dakwaan Atas Nama Budi Santoso Pada Perkara Nomor
PDS-06/PREJO/09/2009, PDS-01/PREJO/01/2010, dan PDS-
02/PREJO/02/2010.
Mengkaji dasar hukum penggabungan perkara berdasarkan Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang dikaitkan dengan terdakwa
Budi Santoso, maka dapat diuraikan menjadi dua bahasan. Bahasan tersebut
adalah, pertama bahasan mengenai analisis dasar hukum dalam
penggabungannya dan yang kedua analisis mengenai penggabungan perkara
itu sendiri.
1. Analisis dasar hukum Penuntut Umum dalam menyusun dakwaan atas
nama Budi Santoso pada perkara nomor PDS-06/PREJO/09/2009, PDS-
01/PREJO/01/2010, dan PDS-02/PREJO/02/2010.
Kasus korupsi yang dilakukan oleh terdakwa Budi Santoso
merupakan suatu hal yang menarik untuk dikaji lebih lanjut. Mengapa
demikian, bukan karena inti permasalahan korupsinya akan tetapi tekhnik
dalam menerapkan hukumnya yaitu penggabungan perkara menjadi satu
surat dakwaan. Budi Santoso ialah pejabat negara yang menjabat sebagai
Kepala Bagian Keuangan Daerah Pemerintah Kabupaten Purworejo.
Terdakwa Budi Santoso melakukan tiga kasus korupsi yaitu pertama,
kasus pencairan dan penggunaan SPM (Surat Perintah Membayar) untuk
biaya pinjaman kepada BPD Jawa tengah dan biaya hutang bank, kedua
dalam hal pelaksanaan pemberian dana bantuan imbal swadana sekolah
tahun anggaran 2007 dan tahun anggaran 2008, serta ketiga dalam hal
pengadaan alat kesehatan tahun 2004. Dikarenakan terdakwa melakukan
tiga tindak pidana dalam waktu yang hampir bersamaan, maka hal itu
38
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
39
sangat berpengaruh pada langkah Penuntut Umum guna menggabungkan
ketiga perkara tersebut menjadi satu surat dakwaan.
Mencermati ketentuan KUHAP yang dihubungkan dengan kasus
korupsi oleh terdakwa Budi Santoso terdapat suatu sinkronisasi antara
kewenangan Jaksa Penuntut Umum dengan hak asasi terdakwa. Hal itu
dapat dibuktikan pada bunyi Pasal 141 KUHAP, yang menyatakan bahwa:
Penuntut Umum dapat melakukan penggabungan perkara dan
membuatnya dalam satu surat dakwaan apabila dalam waktu yang sama
atau hampir bersamaan ia menerima beberapa berkas perkara dalam hal:
a. Beberapa tindak pidana yang dilakukan oleh seorang yang sama
dan kepentingan pemeriksaan tidak menjadikan halangan terhadap
penggabungan,
b. Beberapa tindak pidana yang bersangkut-paut satu dengan yang
lain,
c. Beberapa tindak pidana yang tidak bersangkut-paut satu dengan
yang lain, akan tetapi yang satu dengan yang lain itu ada
hubungannya, yang dalam hal ini penggabungan tersebut perlu
bagi kepentingan pemeriksaan.
Dari ketentuan Pasal 141 KUHAP di atas, penulis mencoba
menghubungkan dengan Pasal-Pasal yang tertera dalam Undang-Undang
Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Dari hal itu, dapat
dilihat bahwa dengan adanya penggabungan perkara menjadi satu surat
dakwaan mampu menghormati Hak Asasi Manusia (HAM) terdakwa.
Akan lebih jelasnya mengenai dasar hukum bagi Penuntut Umum
dalam menerapkan tekhnik penggabungan perkara menjadi satu surat
dakwaan, penulis akan menyajikannya dalam bentuk tabel berikut ini:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
40
Tabel 1.
Tabel Dasar Hukum Penggabungan Perkara dalam Perspektif
Hak Asasi Manusia Terdakwa
No Dasar Hukum Fakta Hukum
(Kasus TIPIKOR dengan terdakwa
Budi Santoso)
1. Pasal 141 KUHAP
Penuntut Umum dapat
melakukan penggabungan
perkara dan membuatnya dalam
satu surat dakwaan apabila
dalam waktu yang sama atau
hampir bersamaan ia menerima
beberapa berkas perkara dalam
hal:
a. Beberapa tindak pidana
yang dilakukan oleh
seorang yang sama dan
kepentingan pemeriksaan
tidak menjadikan halangan
terhadap penggabungan
b. Beberapa tindak pidana
yang bersangkut-paut satu
dengan yang lain,
c. Beberapa tindak pidana
yang tidak bersangkut-paut
satu dengan yang lain, akan
tetapi yang satu dengan
yang lain itu ada
Terdakwa Budi Santoso adalah
Kabag keuangan Sekertaris Daerah
Pemerintah kabupaten Purworejo.
Dia melakukan 3 tindak pidana
dengan kurun waktu yang hampir
bersamaan, yaitu : pertama, kasus
pencairan dan penggunaan SPM
untuk biaya pinjaman kepada BPD
Jawa tengah dan biaya hutang
bank, kedua dalam hal pelaksanaan
pemberian dana bantuan imbal
swadana sekolah tahun anggaran
2007 dan tahun anggaran 2008,
serta ketiga dalam hal pengadaan
alat kesehatan tahun 2004.
Berdasarkan ketentuan Pasal 141
KUHAP maka Penuntut Umum
berwenang untuk melakukan
penggabungan perkara dan
membuatnya dalam satu surat
dakwaan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
41
hubungannya, yang dalam
hal ini penggabungan
tersebut perlu bagi
kepentingan pemeriksaan.
2. Pasal 152 KUHAP
1. Dalam hal Pengadilan Negeri
menerima surat pelimpahan
perkara dan berpendapat
bahwa perkara itu termasuk
wewenangnya, Ketua
pengadilan menunjuk hakim
yang akan menyidangkan
perkara tersebut dan hakim
yang ditunjuk itu menetapkan
hari sidang.
2. Hakim dalam menetapkan
hari sidang sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1)
memerintahkan kepada
penuntut umum supaya
memanggil terdakwa dan
saksi untuk datang di sidang
pengadilan.
Bunyi dari Pasal 152 KUHAP
tersebut adalah langkah awal yang
menunjukan proses pemeriksaan di
persidangan dengan jenis “acara
pemeriksaan biasa”. Ketentuan
mengenai proses acara
pemeriksaan yang dianut oleh
KUHAP ada tiga, yaitu acara
pemeriksaan biasa, acara
pemeriksaan singkat, dan acara
pemeriksaan cepat.
Mencermati tindak pidana yang
dilakukan oleh terdakwa Budi
Santoso yang mana ketiganya
adalah kasus korupsi yang sama-
sama menggunakan acara
pemeriksaan biasa, maka tidak ada
halangan dan semakin
mempermudah Penuntut Umum
dalam penggabungan perkaranya
menjadi satu surat dakwaaan. Hal
itu mengingat bahwa dalam
penggabungan perkara jika di
dalamnya terdapat perbedaan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
42
dalam bentuk acara pemeriksaan
akan menjadikan halangan dalam
proses penggabungan, akan tetapi
hal itu tidak menutup kemungkinan
untuk tetap digabungkannya
perkara meskipun terdapat proses
acara pemeriksaan yang berbeda di
dalamnya.
3. Penjelasan umum KUHAP
butir 3e
Peradilan yang harus dilakukan
dengan cepat, sederhana, dan
biaya ringan serta bebas, jujur
dan tidak memihak harus
diterapkan secara konsekuen
dalam seluruh tingkat peradilan.
Salah satu tujuan dalam
penggabungan perkara menjadi
satu surat dakwaan dalam kasus
tindak pidana korupsi oleh
terdakwa Budi Santoso adalah
tercapainya peradilan yang cepat,
sederhana dan biaya ringan. Jika
satu per satu perkara di sidangkan
maka akan membutuhkan waktu
yang sangat lama, serta tidak akan
tercipta sistem beracara yang
efektif dan efisien.
4. Pasal 65 ayat (1) KUHP
Dalam hal perbarengan
beberapa perbuatan yang harus
dipandang sebagai perbuatan
yang berdiri sendiri-sendiri,
sehingga merupakan beberapa
Tindak pidana dengan terdakwa
Budi Santoso adalah suatu tindak
pidana yang berdiri sendiri (tidak
bersangkut paut satu dengan yang
lainnya). Dari ketiga tindak pidana
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
43
kejahatan, yang diancam dengan
pidana pokok yang sejenis,
maka hanya dijatuhkan satu
pidana.
yang dilakukan oleh terdakwa
adalah merupakan TIPIKOR, yang
mana korupsi merupakan bentuk
kejahatan. Karena sama-sama
bentuk kejahatan maka ancaman
hukuman pokoknya juga sejenis,
sehingga Penuntut Umum
menggunakan Pasal ini guna
menjadi dasar pelengkap dalam
penggabungan perkara.
5. Penjelasan Umum UU No.39
tahun 1999 Tentang HAM
Undang-Undang tentang Hak
Asasi Manusia ini adalah
merupakan payung dari seluruh
peraturan perundang-undangan
tentang hak asasi manusia.
Oleh karena itu, pelanggaran
baik langsung maupun tidak
langsung atas HAM dikenakan
sanksi pidana, perdata, dan atau
administrasi sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Tindak pidana yang dilakukan oleh
Budi Santoso adalah suatu bentuk
kejahatan yang secara langsung
merugikan keuangan negara dan
pastinya harus dikenakan sanksi
pidana. Akan tetapi, langkah
Penuntut Umum dalam
menggabungkan perkara ini
memberikan warna tersendiri
sehingga hal ini cukup menarik
untuk dikaji. Menengenai UU
HAM sebagai payung hukum bagi-
seluruh peraturan perundang-
undangan, hal ini benar adanya jika
diimpretasikan dengan aturan Pasal
141 KUHAP. Dengan adanya
penggabungan perkara menjadi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
44
satu surat dakwaan, mampu
menghormati HAM terdakwa.
6. Pasal 1 ayat (6) UU No. 39
Th. 1999 tentang HAM
Pelanggaran hak asasi manusia
adalah setiap perbuatan
seseorang atau kelompok orang
termasuk aparat negara baik
disengaja maupun tidak
disengaja atau kelalaian yang
secara melawan hukum
mengurangi, mengahalangi,
membatasi, dan atau mencabut
HAM seseorang atau kelompok
orang yang dijamin oleh
undang-undang ini, dan tidak
mendapatkan atau
dikhawatirkan tidak akan
memperoleh penyelesaian
hukum yang adil dan benar,
berdasarkan mekanisme hukum
yang berlaku.
Tindak pidana yang dilakukan oleh
Budi Santoso sudah memenuhi
unsur-unsur Pasal 141 KUHAP,
sehingga Penuntut umum wajib
menggabungkan ketiga perkara
menjadi satu surat dakwaan.
Terdakwa adalah aparat negara
yang secara sengaja melawan
hukum mengambil kekayaan
negara, yang nyata-nyata bukan
menjadi haknya. Akan tetapi pada
Pasal ini tetap menghormati HAM
terdakwa yang dalam hal ini adalah
Budi Santoso untuk tetap
mendapatkan penanganan hukum
yang benar berdasarkan
mekanisme yang berlaku. Hal ini
berarti UU HAM menjamin
terdakwa Budi Santoso, guna
mendapatkan sistem penyelesaian
hukum yang adil dan benar yaitu
Pasal 141 KUHAP.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
45
7. Pasal 3 ayat (2) UU No.39
tahun 1999 Tentang HAM
Setiap orang berhak atas
pengakuan, jaminan,
perlindungan dan perlakuan
hukum yang adil serta
mendapat kepastian hukum dan
perlakuan yang sama di depan
hukum.
Menegaskan bahwa semua orang
tidak menutup kemungkinan
bahwa ia adalah tersangka ataupun
terdakwa berhak mendapatkan
perlindungan, perlakuan, serta
kepastian hukum yang adil.
Mengacu pada Pasal ini, sesuai
dengan fakta hukum yang terjadi
terdakwa Budi Santoso berhak atas
pemberlakuan hukum yang adil,
yang mana hal itu sudah di tertera
dalam Pasal 141 KUHAP. Pasal
141 KUHAP tentang kewenangan
Penuntut Umum menggabungkan
perkara tersebut adalah bentuk dari
pemenuhan keadilan bagi
terdakwa.
Dengan melihat tabel di atas yang menggambarkan antara dasar
hukum dengan fakta hukum yang terjadi, sekiranya mampu dijadikan
gambaran awal bahwa penggabungan perkara menjadi satu surat dakwaan
itu boleh dilakukan oleh Penuntut Umum. Sudah menjadi keharusan bagi
Penuntut Umum untuk menggabungkannya jika Penuntut Umum
menerima berkas perkara dalam waktu yang bersamaan. Mengenai
penggabungan perkara tersebut terdapat suatu korelasi yang kuat bahwa
dengan adanya ketentuan pada Pasal 141 KUHAP, mampu menghormati
hak asasi manusia terdakwa. Hal yang demikian tertuang dalam Undang-
Undang Hak Asasi Manusia yang berperan sebagai payung hukumnya. Di
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
46
bawah ini akan dijelaskan lebih lanjut mengenai dasar-dasar hukum di
atas, sehingga mampu dijadikan dasar hukum bagi Penuntut Umum dalam
penggabungan perkara atas kasus korupsi oleh terdakwa Budi Santoso.
a. Pasal 141 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
Ketentuan Pasal 141 KUHAP inilah yang dijadikan dasar
utama bagi Penuntut Umum dalam menggabungkan perkara
menjadi satu surat dakwaan bagi kasus korupsi oleh terdakwa Budi
Santoso. Mengenai isi dari Pasal 141 KUHAP sudah tertera dalam
tabel 1, dalam hal ini penulis mencoba menganalisis unsur-unsur
Pasal yang disesuaikan dengan fakta hukumnya.
1) “Penuntut Umum dapat melakukan penggabungan perkara dan
membuatnya dalam satu surat dakwaan, apabila dalam waktu
yang sama atau hampir bersamaan ia menerima beberapa
berkas perkara.”
Unsur yang pertama ini menjelaskan mengenai kewenangan
Penuntut Umum untuk melakukan penggabungan perkara dan
membuatnya dalam satu surat dakwaan. Hal itu dilakukan jika
Penuntut Umum menerima berkas perkaranya dalam waktu
yang hampir bersamaan. Dapat di cermati antara perkara
pertama di berkas pada bulan September tahun 2009, perkara
kedua di berkas bulan januari tahun 2010 dan perkara ketiga di
berkas bulan februari tahun 2010. Kurun waktu demikianlah
yang menunjukkan bahwa perkara tersebut diterima oleh
Penuntut Umum dalam waktu yang hampir bersamaan.
Pada hakekatnya unsur ini adalah suatu bentuk wewenang
dan perintah yang mewajibkan Penuntut Umum untuk
melaksanakan tugas tersebut. Jika dalam pemeriksaan
penyidikan terhadap masing-masing tindak pidana dibuat
dalam berita acara pemeriksaan penyidikan (BAP) yang
terpisah, maka tidak mengurangi kewenangan Penuntut Umum
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
47
untuk menggabungkan perkara tersebut menjadi satu surat
dakwaan.
Mencermati kasus tindak pidana korupsi dengan terdakwa
Budi Santoso, yang mana melakukan tiga tindak pidana khusus
tersebut, maka wajib bagi Penuntut Umum untuk
menggabungkan perkara. Hal itu didasarkan karena Penuntut
Umum menerima berkas perkara dari ketiga tindak pidana
tersebut dalam waktu yang hampir bersamaan.
2) “Beberapa tindak pidana yang dilakukan oleh seorang yang
sama dan kepentingan pemeriksaan tidak menjadikan halangan
terhadap penggabungannya.”
Mengenai unsur yang kedua ini, menjelaskan bahwa satu
orang melakukan beberapa tindak pidana maka dari itu
dilakukan penggabungan perkara atas beberapa tindak pidana
tersebut untuk menjadi satu surat dakwaan, karena dengan
penggabungan tersebut dirasa tidak menjadikan halangan
dalam kepentingan pemeriksaan.
Tindak pidana korupsi dengan terdakwa Budi Santoso,
bahwa ia melakukan beberapa (tiga) tindak pidana yang
kesemuanya adalah tindak pidana korupsi.
Menghubungkan dengan pertanggungjawaban pidana, yang
mana dalam perspektif hukum acara pidana terdakwa Budi
Santoso sebagai orang yang sehat jasmani dan rohani serta
tidak berada di bawah pengampuan maka dapat dimintai
pertanggungjawaban atas tindak pidana yang dilakukannya.
Mengenai penggabungan ini tidak menjadikan halangan bagi
Penuntut Umum dalam kepentingan pemeriksaannya, karena
kelengkapan berkas perkaranya sudah diperoleh Penuntut
Umum secara lengkap dari penyidik guna proses pemeriksaan.
Justru dalam penggabungan perkara menjadi satu surat
dakwaan memberi kemudahan bagi Penuntut Umum dalam hal
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
48
efisiensi waktu. Efisiensi yang dimaksud berkesesuaian dengan
asas peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan. Dalam hal
pembuktiannya, jika alat bukti dirasa cukup (Pasal 184
KUHAP) maka semakin mudah pula bagi Penuntut Umum
dalam upaya pembuktiannya.
Mengenai penggabungan perkara pada kasus Korupsi oleh
terdakwa Budi Santoso, bunyi pada point inilah yang
digunakan dasar yang kuat bagi Penuntut Umum dalam
melaksanakan kewenangannya.
3) “beberapa tindak pidana yang bersangkut-paut satu dengan
yang lain.”
Pada unsur yang ketiga ini, KUHAP memberikan
penjelasannya yaitu:
yang dimaksud dengan “tindak pidana dianggap mempunyai
sangkut paut satu dengan yang lain”, apabila tindak pidana
tersebut dilakukan oleh:
a) Oleh lebih dari serang yang bekerja sama dan dilakukan
pada saat yang bersamaan,
b) Oleh lebih dari serang dilakukan pada saat dan tempat yang
berbeda akan tetapi merupakan pelaksanaan dari mufakat
jahat yang dibuat oleh mereka sebelumnya,
c) Oleh seorang atau lebih dengan maksud mendapatkan alat
yang akan dipergunakan untuk melakukan tindak pidana
lain atau menghindarkan diri dari pemidanaan karena
tindak pidana.
Dari penjelasan diatas dapat diambil kesimpulan, bahwa
tindak pidana yang bersangkut-paut satu dengan lainnya
mempunyai penjabaran lebih lanjut. Dari uraian diatas
diperjelas lagi yaitu dapat dilihat penjelasan pada point (c)
yang menyatakan bahwa tindak pidana dianggap mempunyai
sangkut paut satu dengan yang lain, apabila tindak pidana
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
49
tersebut dilakukan oleh seorang atau lebih dengan maksud
mendapatkan alat yang akan dipergunakan untuk melakukan
tindak pidana lain atau menghindarkan diri dari pemidanaan
karena tindak pidana.
Pada point ini menjelaskan bahwa tindak pidana yang
dilakukan tidak ada hubungannya antara satu dengan yang lain,
akan tetapi ia melakukan tindak pidana dengan maksud
mendapatkan alat yang dipergunakan untuk melakukan tindak
pidana lain. Dengan melakukan beberapa tindak pidana
tersebut, terdakwa mempunyai maksus menghindarkan diri dari
pemidanaan karena tindak pidana lain.
4) “Beberapa tindak pidana yang tidak bersangkut-paut satu
dengan yang lain, akan tetapi yang satu dengan yang lain itu
ada hubungannya, yang dalam hal ini penggabungan tersebut
perlu bagi kepentingan pemeriksaan.”
Unsur keempat ini menjelaskan bahwa tidak ada kaitan
antara tindak pidana yang satu dengan yang lain. Akan tetapi
dengan adanya penggabungan perkara ini maka dirasa perkara
itu saling berhubungan, yang mana hal itu penting bagi upaya
pemeriksaan.
Pada unsur ini harus diperhatikan, tindak pidana yang
dilakukan oleh terdakwa sama sekali tidak berkaitan antara satu
dengan yang lainnya. Akan tetapi karena penggabungannya,
beberapa tindak pidana tersebut mempunyai hubungan yang
dalam hal ini penting bagi upaya pemeriksaan.
Dapat diperinci lagi, dalam hal ini hubungan yang
diperoleh dari beberapa tindak pidana yang tidak ada sangkut-
pautnya adalah terdapat hubungan antara peristiwa tindak
pidana dengan pelakunya. Selain itu terdapat kepentingan
pemeriksaan sehubungan dengan cara penerapan sistem
penjatuhan hukuman yang dikenakan kepada pelakunya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
50
b. Pasal 65 (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
Dakwaan kumulasi yang diajukan oleh Penuntut Umum dengan
beralaskan ketentuan Pasal 141 KUHAP mengenai kewenangan
Penuntut Umum dalam penggabungan perkara tidak dapat
dijelaskan secara terang dan menyeluruh. Agar mampu
memberikan kepastian maka Pasal 141 KUHAP dihubungkan
dengan Pasal 55 KUHP ataupun dengan Pasal 63, 64, 65, 66 dan
Pasal 70 KUHP, yang mana perincian penjelasan Pasal-Pasal
KUHP tersebut sudah dijelaskan dalam sub bahasan sebelumnya.
Melihat dari tindak pidana yang dilakukan oleh Budi Santoso
mengapa menggunakan Pasal 65 (1) KUHP?, jawabnya karena
tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa Budi Santoso
kesemuanya adalah tindak pidana korupsi yang mana mempunyai
ancaman hukuman pokok sejenis. Pasal 65 (1) KUHP atau yang
disebut dengan concursus realis terdapat ciri-ciri, yaitu:
1) Adanya perbarengan perbuatan dalam peristiwa pidana,
2) Dan setiap perbuatan dipandang tindak pidana yang berdiri
sendiri,
3) Akan tetapi hukuman pokok yang diancamkan pada setiap
tindak pidana yang berdiri sendiri tadi “sejenis” (sebagai
contoh, misalkan hukuman pokoknya sama-sama hukuman
penjara),
4) Maka sistem penghukumannya diterapkan “absorpsi yang
dipertajam”,
5) Berupa hukuman pokok yang terberat + 1/3
Dengan demikian unsur pada Pasal ini telah terpenuhi, maka
sangat benar adanya jika ketiga tindak pidana korupsi dengan
terdakwa Budi Santoso oleh Penuntut Umum digabung. Dalam hal
ini bentuk dakwaannya adalah dakwaan kumulatif, yang
kesemuanya harus dibuktikan sehingga dapat diperiksa dan diputus
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
51
dalam waktu yang bersamaan dan dalam sidang pengadilan yang
sama pula.
c. Penjelasan umum Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang
Hak Asaasi Manusia
Menjelaskan bahwa undang-undang hak asasi manusia itu
sebagai acuan atau dasar bagi peraturan-peraturan khususnya
mengenai hak asasi manusia. Maka dari itu tekhnik penggabungan
perkara yang diatur dalam Pasal 141 KUHAP dapat
diintrepretasikan guna menghormati hak asasi manusia bagi
terdakwa.
Berhubungan mengenai penggabungan yang diterapkan oleh
Penuntut Umum pada kasus Budi Santoso adalah benar adanya jika
dikorelasikan dengan upaya penghormatan hak asasi manusia bagi
terdakwa. Dengan bunyi penjelasan umum diatas bahwa undang-
undang HAM merupakan payung hukum dari seluruh peraturan
perundang-undangan, yang dalam hal ini dapat dipahami bahwa
Pasal 141 KUHAP menjunjung tinggi hak dasar manusia. Jika
aparat negara (Penuntut Umum) melanggar aturan Pasal 141
KUHAP yang dalam hal ini terdapat korelasi dengan Undang-
undang HAM, maka ia akan menerima sanksi secara administratif.
d. Pasal 1 ayat (6) Undang- Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang
Hak Asasi Manusia
Dari bunyi Pasal tersebut dapat diambil suatu kesimpulan
bahwa undang-undang hak asasi manusia tidak saja memberikan
perlindungan terhadap korban akan tetapi juga tetap memberikan
perlindungan terhadap pelakunya. Perlindungan itu diterapkan
dengan menjamin bagi seseorang (pelaku atau korban) untuk
mendapatkan atau memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan
benar berdasarkan mekanisme yang berlaku.
Sehubungan dengan penggabungan perkara dalam dakwaan
tindak pidana korupsi oleh terdakwa Budi Santoso, Pasal ini harus
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
52
benar-benar diperhatikan. Pasal inilah yang menjadi dasar utama
bagi terangkatnya hak asasi manusia terdakwa dalam hal
penggabungan perkara menjadi satu surat dakwaan (Pasal 141
KUHAP). Korupsi memang kejahatan yang luar biasa
(extraordinary crime) yang berdampak kerusakan yang luar biasa
pula bagi segala aspek kehidupan. Dikarenakan dampak korupsi
yang luar biasa itu maka pemerintah khususnya semua aparat
penegak hukum berkewajiban mampu dalam mengungkap,
menghadapi serta menyelesaikan tindak pidana tersebut. Aparat
penegak hukum dituntut tegas dalam proses mendapatkan
kebenaran yang nyata serta dilandaskan pada asas kebenaran. Jadi
pada intinya para penegak hukum harus bertindak tegas kepada
siapapun yang menimbulkan kerugian terhadap keuangan negara,
meskipun yang bersangkutan adalah abdi negara atau seseorang
yang bekerja dalam salah satu instansi negara. Namun dalam
proses penegakan hukum harus memperhatikan batasan-batasan
yang perlu ditaati, hal ini berhubungan dengan hak asasi manusia
seseorang.
Pada Pasal ini lebih ditekankan pada bunyi “aparat negara baik
disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara
melawan hukum mengurangi, mengahalangi, membatasi, dan atau
mencabut HAM seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh
undang-undang ini.” Aparat negara dalam hal ini adalah Penuntut
Umum, yang mana akan dianggap membatasi dan mencabut hak
asasi manusia terdakwa jika ia lalai dalam menerapkan mekanisme
hukum yang benar. Mekanisme hukum yang benar dalam hal ini
adalah Pasal 141 KUHAP.
Mencermati kasus korupsi yang dilakukan oleh terdakwa Budi
Santoso yang berlipat ganda merugikan kekayaan negara dirasa sah
dengan ketentuan hukum jika terdakwa harus mendapatkan sanksi
pidan terberat. Akan tetapi pada Pasal 1 ayat (6) undang-undang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
53
hak asasi manusia ini memberikan suatu titik nyata bahwa
seberapapun kesalahan seseorang harus tetap menghormati HAM.
Penghormatan HAM yang dalam hal ini terdakwa Budi Santoso
untuk tetap mendapatkan penanganan hukum yang benar
berdasarkan mekanisme yang berlaku. Intinya undang-undang hak
asasi manusia menjamin terdakwa Budi Santoso guna
mendapatkan penyelesaian hukum yang adil dan benar yaitu
mekanisme hukum Pasal 141 KUHAP.
e. Pasal 3 ayat (2) Undang- Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang
Hak Asasi Manusia
Bunyi dari Pasal ini menegaskan bahwa semua orang (tidak
menutup kemungkinan bahwa ia adalah tersangka ataupun
terdakwa) berhak mendapatkan perlindungan, perlakuan, serta
kepastian hukum yang adil. Mengacu pada Pasal ini, terdakwa
Budi Santoso berhak atas pemberlakuan hukum yang adil, yang
mana hal itu sudah di tertera dalam Pasal 141 KUHAP. Pasal 141
KUHAP tentang kewenangan Penuntut Umum menggabungkan
perkara tersebut adalah bentuk dari pemenuhan keadilan bagi
terdakwa
2. Analisis penggabungan perkara oleh Penuntut Umum dalam dakwaan atas
nama Budi Santoso pada perkara nomor PDS-06/PREJO/09/2009, PDS-
01/PREJO/01/2010, dan PDS-02/PREJO/02/2010.
Penggabungan perkara dilakukan oleh Penuntut Umum jika pada
waktu yang sama atau hampir bersamaan menerima beberapa berkas
perkara. Bentuk dakwaan yang seperti ini merupakan dakwaan kumulatif
(multiple), artinya kesemua dakwaan harus dibuktikan. Dalam hal ini
sesuai dengan pandangan M. Yahya Harahap, bahwa pada saat yang sama
dan dalam pemeriksaan sidang pengadilan yang sama, kepada terdakwa
diajukan gabungan beberapa dakwaan sekaligus. Tata cara pengajuan surat
dakwaan yang seperti ini dimungkinkan berdasar ketentuan Pasal 141
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang disebut
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
54
dengan “penggabungan perkara” dalam “satu surat dakwaan” (M.Yahya
Harahap, 2002:393).
Penggabungan beberapa dakwaan yang diatur dalam Pasal 141
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) terdapat dua
alternatif. Pertama, penggabungan atau kumulasi mengenai tindak pidana
dan yang kedua penggabungan atau kumulasi sehubungan dengan jumlah
pelakunya. Mengenai hal yang demikian M. Yahya Harahap memberikan
pendapatnya, yaitu:
Jika pemeriksaan penyidikan terhadap peristiwa dilakukan dan
digabungkan penyidik dalam satu berita acara pemeriksaan, lebih
tepat apabila perkara itu diajukan dalam satu surat dakwaan secara
kumulatif. Atau seandainya pemeriksaan penyidikan terhadap
masing-masing tindak pidana diperbuat dalam berita acara
pemeriksaan penyidikan yang terpisah. Sama sekali hal itu tidak
mengurangi kewenangan Jaksa Penuntut Umum untuk
menuntutnya dengan surat dakwaan yang berbentuk kumulasi
(M. Yahya Harahap, 2002:406)
Pendapat diatas sejalan dengan ketentuan Pasal 141 KUHAP yang
menegaskan:
a. Penuntut Umum dapat melakukan penggabungan perkara
b. Membuatnya dalam “satu” surat dakwaan dengan syarat:
1) Apabila pada waktu yang sama atau hampir bersamaan
Penuntut Umum menerima “beberapa” berkas perkara, dan
2) Ternyata tindak–tindak pidana itu dilakukan oleh seorang
pelaku yang sama
3) Serta kepentingan pemeriksaan tidak menghalangi
penggabungan.
Mencermati kasus korupsi terhadap terdakwa Budi Santoso yang
dihubungkan dengan rincian ketentuan Pasal 141 KUHAP di atas, maka
oleh Jaksa Penuntut Umum wajib menggabungkan perkara tersebut
menjadi satu surat dakwaan. Hal itu dikuatkan karena:
a. Penuntut Umum menerima berkas perkara dalam kurun waktu
yang hampir bersamaan. Dapat di cermati antara perkara pertama
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
55
di berkas pada bulan September tahun 2009, perkara kedua di
berkas bulan januari tahun 2010 dan perkara ketiga di berkas bulan
februari tahun 2010. Kurun waktu demikianlah yang menunjukkan
bahwa perkara tersebut diterima oleh Penuntut Umum dalam waktu
yang hampir bersamaan.
b. Penggabungan perkara dalam kasus korupsi ini dilakukan atas
dasar kumulasi perkara atau tindak pidananya, yaitu sama-sama
kasus korupsi. Adapun mengenai uraian perkaranya yaitu antara
lain: Pertama, kasus pencairan dan penggunaan SPM (Surat
Perintah Mebayar) untuk biaya pinjaman kepada BPD Jawa tengah
dan biaya hutang bank, kedua dalam hal pelaksanaan pemberian
dana bantuan imbal swadana sekolah tahun anggaran 2007 dan
tahun anggaran 2008, serta ketiga dalam hal pengadaan alat
kesehatan tahun 2004. Dalam hal itu antara ketiga tindak pidana
tersebut tidak saling berhubungan, akan tetapi tindak pidana
dimaksud dilakukan oleh satu orang yaitu Budi Santoso.
c. Adapun mengenai penggabungan yang demikian tentu tidak
menjadikan halangan dalam pemeriksaannya, karena kelengkapan
berkas perkaranya sudah diperoleh Penuntut Umum secara lengkap
dari penyidik guna proses pemeriksaan.
Bunyi Pasal 141 huruf a “beberapa tindak pidana yang dilakukan
oleh seorang yang sama dan kepentingan pemeriksaan tidak menjadikan
halangan terhadap penggabungannya” adalah samenloop atau concursus
yang diterjemahkan dengan perbarengan. Menurut bentuknya perbarengan
dapat dibagi menjadi:
a. Perbarengan peraturan (Concursus Idealis)
Yaitu dalam hal seseorang yang melakukan satu perbuatan
tersebut seseorang telah melanggar beberapa peraturan (Pasal 63
KUHP)
b. Perbarengan perbuatan (Concursus Realis)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
56
Yaitu seseorang dalam hal beberapa perbuatan yakni
perbuatan-perbuatan tersebut merupakan perbuatan sendiri-sendiri.
Dalam KUHP Concursus realis dibedakan dalam: pertama,
perbarengan perbuatan atas kejahatan (Pasal 65 dan 66 KUHP),
kedua, perbarengan perbuatan atas pelanggaran (Pasal 70 KUHP).
c. Perbuatan berlanjut
Yaitu dalam hal seseorang melakukan beberapa perbuatan
dan beberapa perbuatan itu merupakan perbuatan pidana yang
masing-masing berdiri sendiri, akan tetapi perbuatan tersebut ada
hubungannya sedemikian rupa eratnya yang satu dengan yang lain,
sehingga perbuatan tersebut harus dianggap satu perbuatan
berlanjut (Pasal 64 KUHP).
Melihat dari acuan di atas, penggabungan perkara dalam tindak
pidana korupsi oleh terdakwa Budi Santoso dapat dikategorikan sebagai
concursus realis. Sudah dijelaskan pada bab sebelumnya bahwa concursus
realis adalah suatu peristiwa pidana yang mengandung “perbarengan
perbuatan” yaitu ditemukannya beberapa jenis perkara yang disusun dalam
satu surat dakwaan. Concursus realis pengaturannya ada di dalam KUHP
yaitu diatur dalam Pasal 65, 66 dan Pasal 70. Dari ketiga Pasal tersebut
yang digunakan dalam kasus korupsi terdakwa Budi Santoso adalah Pasal
65 ayat (1) KUHP. Mengapa demikian, karena ketiga tindak pidana yang
dilakukan oleh terdakwa adalah tindak pidana yang mempunyai hukuman
pokok sejenis.
Berdasarkan uraian-uraian mengenai penggabungan perkara
menjadi satu surat dakwaan dalam kasus korupsi oleh terdakwa Budi
Santoso, maka dapat digambarkan dengan pola sebagai berikut:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
57
Hak Terdakwa P. 141
KUHAP
- Undang-undang HAM
- Asas peradilan sedehana,
cepat, dan biaya ringan
Gambar 2.
Skema Penggabungan Perkara oleh Penuntut Umum
Pola diatas dapat diartikan bahwa penggabungan perkara
memberikan konstribusi yang positif baik bagi terdakwa maupun dalam
pelaksanaan sistem peradilan. Dalam hal ini memang terlihat sangat
kontras antara sistem pemidanaan dengan pemenuhan hak terdakwa, yang
mana terdakwa telah melakukan kesalahan dan wajib menerima hukuman
yang terberat. Jika pemenuhan hak terdakwa selalu dipenuhi dirasa sistem
hukum di negeri ini kurang berjalan maksimal, akan tetapi penggabungan
perkara ini merupakan suatu kewenangan Penuntut Umum yang telah
diatur dalam KUHAP.
Kewenangan Penuntut Umum mengenai penggabungan perkara
diatur dalam Pasal 141 KUHAP, yang mana memberikan kewenangan
kepada Penuntut Umum guna menggabungkan perkara dalam satu surat
dakwaan jika Penuntut Umum menerima beberapa berkas perkara dalam
waktu yang hampir bersamaan. Melalui penggabungan perkara ini, mampu
Penggabungan
Perkara
Kewenangan
Penuntut
Umum
Perlindungan Kepentingan
Terdakwa dalam Penegakan
Hukum
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
58
melindungi kepentingan terdakwa dalam penegakan hukum, hal ini dirasa
perlu karena undang–undang hak asasi manusia telah mengaturnya.
Mengenai kewenangan Penuntut Umum yang tertera dalam Pasal
141 KUHAP, jika ia tidak menggunakan kewenangannya sedangkan
beberapa berkas perkara ada ditangannya dalam waktu yang hampir
bersamaan, maka dirasa hal demikian itu telah membatasi hak asasi
manusia terdakwa. Mengapa demikian, karena Pasal 1 ayat (6) undang-
undang hak asasi manusia menjelaskan secara implisit bahwa semua orang
(terdakwa) harus memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar
berdasarkan mekanisme yang berlaku. Mekanisme yang berlaku dalam hal
ini adalah Pasal 141 KUHAP. Penggabungan perkara ini tidak hanya
memberikan perlindungan hak terhadap terdakwa, tetapi juga
melaksanakan salah satu prinsip KUHAP yaitu peradilan sederhana, cepat
dan biaya ringan. Mengenai sistem peradilan yang seperti itu, memberikan
kemudahan bagi Hakim dan Penuntut Umum dalam efisiensi waktu serta
efektif bagi pihak terdakwa yang dalam hal ini berhubungan dengan biaya
perkara.
B. Manfaat yang Diperoleh Atas Penggabungan Perkara Korupsi dalam
Perkara Nomor PDS-06/PREJO/09/2009, PDS-01/PREJO/01/2010, dan
PDS-02/PREJO/02/2010 dalam Perspektif Hak Asasi Manusia Terdaka
Mencermati tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh terdakwa Budi
Santoso ditemukan suatu hal yang tidak biasa, yaitu Penuntut Umum
menerima tiga berkas perkara dalam waktu yang hampir bersamaan. Mengenai
hal yang demikian KUHAP memeberikan kewenangan kepada Penuntut
Umum yang diuraikan dalam Pasal 141 KUHAP. Dihubungkan dengan kasus
tersebut, Penuntut Umum menggunakan kewenangannya yang terurai dalam
Pasal 141 KUHAP guna menggabungkan beberapa perkara menjadi satu surat
dakwaan. Hal itu dimungkinkan dalam kasus Budi Santoso, karena sudah
memenuhi unsur-unsur yang tertuang dalam Pasal 141 KUHAP. Adapun
mengenai perkara yang satu dengan yang lain itu tidak berhubungan, dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
59
dilakukan oleh seorang yang sama, yang mana telah tertuang dalam Pasal 141
huruf (a).
Manfaat yang diperoleh atas penggabungan perkara korupsi dalam perkara
nomor PDS-06/PREJO/09/2009, PDS-01/PREJO/01/2010, dan PDS-
02/PREJO/02/2010 dalam perspektif hak asasi manusia terdakwa, antara lain:
1. Terhindar dari penuntutan yang berulang terhadap tindak pidana yang
dilakukannya.
Melalui kewenangan Penunutut Umum yang dijelaskan dalam Pasal
141 KUHAP, maka penuntutan terhadap beberapa berkas perkara itu tidak
dilakukan secara berkala. Penuntutan hanya dilakukan satu kali, yang
mana sudah mencakup tuntutan dari ketiga jenis pidana yang dilakukan
oleh terdakwa Budi Santoso.
2. Memberikan kepastian hukum kepada terdakwa mengenai keputusan
peradilan yang harus dia terima, apakah dia harus mendapatkan hukuman
yang terberat atas perilakunya ataukah hanya hukuman ringan.
Dalam hal ini dipengaruhi dari sistem peradilan yang dihasilkan, jika
perkara-perkara itu digabung maka akan sangat berpengaruh terhadap
kepastian hukuman yang dibebankan kepada terdakwa. Sistem peradilan
yang cepat dan sederhana sebagai tujuan dari penggabungan perkara
tersebut, akan memberikan kepastian hukum yang harus
dipertanggungjawabkan oleh terdakwa.
Dalam ketentuan KUHAP sebagai penjabaran asas peradilan yang
cepat, sederhana dan biaya ringan antara lain tersangka atau terdakwa
berhak:
a) Segera mendapatkan pemeriksaaan dari penyidik,
b) Segera diajukan kepada Penuntut Umum oleh penyidik,
c) Segera diajukan ke pengadilan oleh Penuntut Umum,
d) Berhak segera diadili oleh pengadilan.
3. Memberikan manfaat bagi terdakwa dalam segi pemidanaannya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
60
Mengenai segi pemidanaan hal ini didasarkan atas kewenangan
Penuntut Umum yang terurai dalam Pasal 141 KUHAP dengan ketentuan
Pasal 65 ayat (1) KUHP.
Penuntut Umum menngunakan kewenagannya berdasarkan Pasal 141
KUHAP, dengan mencermati kasus yang dilakukan oleh terdakwa Budi
Santoso maka Penuntut Umum menghubungkannya dengan Pasal 65 ayat
(1) KUHP. Berdasarkan Pasal 65 ayat (1) KUHP, bahwa Jaksa Penuntut
Umum dalam surat tuntutannya (requisitoirnya) tidak perlu memintakan
tuntutan hukuman dari masing-masing perbuatan pidana yang didakwakan,
tetapi cukup menuntut satu hukuman saja dan begitu juga putusan majelis
hakim hanya satu (tunggal) putusan hukuman yang dijatuhkan. Dalam hal
ini sesuai dengan pandangan Osman Simanjutak bahwa walaupun
demikian tuntutan tunggal oleh Jaksa Penuntut Umum atau hukuman
tunggal oleh Hakim, bahwa maksimum hukuman tunggal itu, ialah
hukuman-hukuman yang tertinggi dari setiap perbuatan, akan tetapi tidak
boleh melebihi hukuman maksimum yang paling berat ditambah dengan
sepertiganya (Oman Simanjutak, 2005:62).
Pemidanaan yang seperti inilah yang membedakan negara Indonesia
dengan negara yang menganut sistem hukum anglo saxon, yang mana
akan mengakumulasi jumlah hukuman yang diterima oleh terdakwa. Dari
penjabaran diatas dapat dikatakan bahwa, dengan adanya penggabungan
perkara menjadi satu surat dakwaan tersebut pada akhirnya akan lebih
meringankan terdakwa dalam segi pemidanaannya.
Penggabungan perkara menjadi satu surat dakwaan bukan semata-mata
hanya bermanfaat bagi terdakwa, akan tetapi juga bermanfaat bagi aparat
penegak hukum seperti Penuntut Umum dan Hakim. Kemanfaatan yang
diperoleh bagi Penuntut Umum dan Hakim dalam hal ini bukan didasarkan
atas hak asasi manusia, akan tetapi lebih cenderung kepada efisiensi waktu
yang mana akan berpengaruh dalam proses kinerja bagi masing-masing pihak.
Dibawah ini akan diuraikan kemanfaatan bagi masing-masing pihak, yang
antara lain:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
61
1. Bagi Penuntut Umum
a) Penggabungan perkara menjadi satu surat dakwaan tersebut
menunjukkan bahwa Penuntut Umum menerapkan ketentuan dalam
KUHAP.
KUHAP merupakan acuan bagi proses peradilan di Indonesia dan
khususnya bagi Penuntut Umum dalam melaksanakan tugas-tuganya.
Aturan-aturan yang tertera dalam KUHAP wajib untuk dilaksanakan,
jika terdapat pihak yang lalai (aparat penegak hukum) akan mendapat
sanksi administratif. Ketentuan yang ada dalam KUHAP yaitu pada
Pasal 141, merupakan kewenangan Penuntut Umum yang harus
dilaksanakan jika menerima berkas perkara dalam waktu yang hampir
bersamaan.
b) Melalui penggabungan perkara ini, menghindarkan terjadinya
penumpukan berkas.
Dakwaan yang digunakan berbentuk dakwaan akumulasi, yang
mana harus dibuktikan kesemuanya dimuka sidang yang sama. Dari
penggabungan tersebut Jaksa Penuntut Umum memperoleh
kemudahan dalam penyusunan surat dakwaan. Mengapa demikian,
dikarenakan terdapat akumulasi tindak pidana maka dengan
penggabungan tersebut akan lebih efektif dari sudut pandang waktu
serta dari tekhnik penyusunannya.
Dengan penggabungan perkara tersebut, Penuntut Umum tidak
perlu menuntut hukuman dari ketiga tindak pidana yang dilakukan
oleh terdakwa. Akan tetapi, Penuntut Umum hanya menuntut satu
hukuman saja, maka dengan satu tuntutan hukuman itu sudah mewakili
dari ketiga jenis tindak pidana.
c) Asas perdilan sederhana, cepat dan biaya ringan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
62
Penggabungan tersebut akan lebih efektif dan efisien, efektif dalam
artin biaya yang harus dikeluarkan dan efisien dari waktu yang
digunakan dalam proses tuntutannya.
2. Bagi Hakim
a) Pemeriksaannya terfokus pada satu dakwaan
Hakim menjadikan surat dakwaan itu sebagai dasar untuk
pemeriksaan di sidang pengadilan dan putusan yang akan dijatuhkan
tentang terbukti atau tidaknya kesalahan terdakwa sebagaimana dimuat
dalam surat dakwaan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa surat
dakwaan benar-benar dijadikan dasar dalam pemeriksaan di sidang
pengadilan dan putusan hakim. Hal ini berarti bahwa pemeriksaan dan
putusan hakim itu semata-mata harus di dasarkan kepada apa yang
dimuat dalam surat dakwaan.
Mengenai penjelasan diatas yang dihubungkan dengan
penggabungan perkara pada terdakwa Budi Santoso, hakim semata-
mata terfokus pada satu bentuk dakwaan. Walaupun dakwaan tersebut
berbentuk akumulatif yang mana harus dibuktikan keseluruhan, tetap
saja hanya mengacu pada satu dakwaan. Hal itu dikarenakan Penuntut
Umum hanya menuntut satu hukuman atas beberapa hukuman dari
setiap tindak pidana yang digabung.
Dari ketentuan diatas maka akan berpengaruh pada putusan hakim,
yang mana majelis hakim juga harus menjatuhkan putusan tunggal.
Bentuk hukuman tersebut disertai dengan ketentuan yang mana bahwa
maksimum hukuman tunggal itu, ialah hukuman-hukuman yang
tertinggi dari setiap perbuatan, akan tetapi tidak boleh melebihi
hukuman maksimum yang paling berat ditambah dengan sepertiganya.
Mencermati dari penjabaran diatas, manfaat yang diperoleh bagi
hakim tidak lain adalah bahwa hakim dalam menjatuhkan putusan
hanya terfokus pada satu dakwaan saja. Karena terfokus hanya dalam
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
63
satu dakwaan, maka dapat dikatakan putusan tersebut merupakan
putusan yang efektif.
Kurang lebihnya demikianlah kemanfaatan-kemanfaatan yang diperoleh
atas penggabungan perkara menjadi satu surat dakwaan, bukan hanya dari sisi
hak asasi manusia terdakwa saja akan tetapi juga bermanfaat bagi aparat
penegak hukum (Penuntut Umum dan Hakim). Adapun kemanfaatan-
kemanfaatan yang diperoleh tidak menutup kemungkinan bahwa dalam
penggabungan perkara itu juga pasti akan mengalami beberapa kendala atau
kesulitan. Dalam mengimlementasikan Pasal 141 KUHAP tidak hanya
dikarenakan atas akumulasi tindak pidananya dan atau akumulasi pelakunya,
akan tetapi juga harus dilihat bentuk-bentuk perkaranya secara seksama. Maka
dari itu, kewenangan Penuntut Umum yang diatur dalam Pasal 141 KUHAP
dalam penggabungannya harus dihubungkan dengan Pasal-Pasal yang diatur
juga dalam KUHP, antara lain mengenai penyertaan (deelneming) yaitu Pasal
55 KUHP ataupun mengenai perbarengan (concursus) yaitu Pasal 63-70
KUHP. Korelasi antara Pasal 141 KUHAP dengan Pasal-Pasal dalam KUHP
yang mengatur mengenai penyertaan dan perbarengan itulah mampu
memberikan titik terang terhadap kendala-kendala dalam penggabungan
perkara.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
62
BAB IV. PENUTUP
A. Simpulan
1. Dasar hukum Penuntut Umum menyusun penggabungan perkara dalam
dakwaan atas nama Budi Santoso pada perkara nomor PDS-
06/PREJO/09/2009, PDS-01/PREJO/01/2010, dan PDS-
02/PREJO/02/2010 adalah Pasal 141 Kitab Undang-undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP). Penggabungan perkara dilakukan oleh Penuntut Umum
jika pada waktu yang sama atau hampir bersamaan menerima berkas
perkara. Bentuk dakwaan yang seperti ini merupakan dakwaan kumulatif
(multiple), artinya kesemua dakwaan harus dibuktikan. Ketentuan Pasal
141 KUHAP saja mungkin tidak mampu memberi gambaran yang jelas.
Oleh karena itu, mengenai kumulasi perbarengan tindak pidana atau
perbarengan perbuatan baru dapat dibahas secara menyeluruh, apabila
Pasal 141 KUHAP dikaitkan dengan ketentuan “perbarengan” atau
concursus (samenloop) yang ditur dalam Pasal-Pasal 63, 64, 65, 66, dan
Pasal 70 KUHP. Melihat dari tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa
Budi Santoso maka menggunakan Pasal 65 (1) KUHP, karena tindak
pidana yang dilakukan oleh terdakwa kesemuanya adalah tindak pidana
korupsi yang mana mempunyai ancaman hukuman pokok sejenis. Tidak
hanya itu saja, Mencermati ketentuan KUHAP yang dihubungkan dengan
kasus korupsi oleh terdakwa Budi Santoso terdapat suatu sinkronisasi
antara kewenangan Jaksa Penuntut Umum dengan hak asasi terdakwa.
Maka dari itu, bukan hanya Pasal 141 KUHAP dan Pasal 65 ayat (1)
KUHP saja yang dijadikan dasar dalam penggabungan ini, akan tetapi
penjelasan umum, Pasal 1 ayat (6), dan Pasal 3 ayat (2) Undang-undang
Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM juga digunakan sebagai acuan dalam
penerapan penggabungan perkara menjadi satu surat dakwaan dalam
perspektif penghormatan hak asasi manusia terdakwa.
64
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
65
2. Manfaat yang diperoleh atas penggabungan perkara korupsi dalam perkara
nomor PDS-06/PREJO/09/2009, PDS-01/PREJO/01/2010, dan PDS-
02/PREJO/02/2010 dalam perspektif hak asasi manusia salah satunya
adalah mampu menghormati hak asasi manusia terdakwa itu sendiri.
Selain hal itu, melalui penggabungan perkara ini juga akan bermanfaat
bagi aparat penegak hukum yang dalam hal ini Hakim dan Penuntut
Umum. Kemanfaatan yang diperoleh bagi Penuntut Umum dan Hakim
dalam hal ini bukan didasarkan atas hak asasi manusia, akan tetapi lebih
cenderung kepada efisiensi waktu yang mana akan berpengaruh dalam
proses kinerja bagi masing-masing pihak.
B. Saran
1. Mengingat korupsi terjadi secara sistematis dan meluas, tidak hanya
merugikan keuangan dan perekonomian negara, tetapi juga merupakan
pelanggaran terhadap hak-hak social dan ekonomi masyarakat secara luas,
menghambat pertumbuhan dan kelangsungan pembangunan nasional,
sehingga digolongkan sebagai extraordinary crime maka
pemberantasannya harus dilakukan dengan cara yang luar biasa. Akan
tetapi dalam upaya penanganan tindak pidana khusus ini, aparat penegak
hukum harus mampu menindak tegas tentang kesalahan yang dilakukan
oleh terdakwa dengan tetap menghormati hak-hak dasarnya sebagai
manusia. Bahwa hak asasi terdakwa harus benar-benar dilindungi apalagi
sebelum putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap.
2. Untuk menghormati hak asasi manusia seseorang walaupun orang itu salah
kalau ada peluang oleh peraturan perundang-undangan yang
memungkinkan untuk keringanan penjatuhan hukuman maka itu harus
dilaksanakan sungguh-sungguh oleh pejabat negara yang bersangkutan.
3. Dasar hukum mengenai penggabungan perkara sudah tercantum dalam
Pasal 141 KUHAP, akan tetapi hal yang demikian kurang dikaji lebih
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
66
jauh. Ada baiknya mengenai penggabungan perkara ini, lebih dikaji lagi
karena tekhnik ini hanya diberlakukan pada akumulasi pelaku ataupun
akumulasi tindak pidana, yang mana hal itu harus benar-benar
diperhatikan dalam pembuktiannya.
4. Jika Jaksa Penuntut Umum menerima berkas perkara dalam waktu yang
sama atau hampir bersamaan dalam akumulasi pelaku ataupun tindak
pidana, akan lebih sempurna jika berkas tersebut digabung menjadi satu
surat dakwaan. Selain itu sudah menjadi kewenangannya, hal yang
demikian akan lebih efektif dan efisien, disamping itu akan bermanfaat
pula bagi aparat penegak hukum (Hakim dan Penuntut Umum) serta
bermanfaat pula bagi terdakwa.