86
ANALISA KOORDINASI SINYAL ANTAR SIMPANG (Studi kasus : Jl. Jamin Ginting – Jl. Pattimura – Jl. Mongonsidi) Tugas Akhir Diajukan untuk melengkapi syarat penyelesaian pendidikan sarjana teknik sipil Disusun oleh: M E I M A N Z E G A 06 0404 039 BIDANG STUDI TRANSPORTASI DEPARTEMEN TEKNIK SIPIL FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2013

teknik

Embed Size (px)

DESCRIPTION

teknik

Citation preview

  • ANALISA KOORDINASI SINYAL ANTAR SIMPANG

    (Studi kasus : Jl. Jamin Ginting Jl. Pattimura Jl. Mongonsidi)

    Tugas Akhir

    Diajukan untuk melengkapi syarat penyelesaian

    pendidikan sarjana teknik sipil

    Disusun oleh:

    M E I M A N Z E G A06 0404 039

    BIDANG STUDI TRANSPORTASIDEPARTEMEN TEKNIK SIPIL

    FAKULTAS TEKNIKUNIVERSITAS SUMATERA UTARA

    MEDAN2013

  • ABSTRAK

    Banyaknya persimpangan di kota besar seperti Medan ternyata menimbulkan

    permasalahan tersendiri, terlebih pada jarak antar simpang yang pendek seperti pada ruas

    Jalan Jamin Ginting Jalan Pattimura Jalan Mongonsidi.

    Permasalahan yang terjadi adalah kendaraan terkadang harus selalu berhenti

    pada tiap simpang karena selalu mendapat sinyal merah. Tentu saja hal ini menimbulkan

    ketidaknyamanan pengendara.

    Data yang diperoleh digunakan untuk mendapatkan kondisi eksisting terjenuh

    yang akan menjadi acuan dalam merencanakan waktu siklus baru dengan memperhatikan

    teori koordinasi simpang. Kinerja terbaik pada setiap simpang kemudian dikoordinasikan

    menggunakan waktu offset antar simpang. Dari hasil analisa, diketahui bahwa kedua

    simpang belum terkoordinasi. Dari beberapa perencanaan waktu siklus, didapatkan waktu

    siklus baru sebesar 112 detik. Waktu siklus kedua simpang disamakan untuk

    mempermudah koordinasi sinyal dan sebagai syarat koordinasi. Dari kecepatan eksisting

    sebesar 32 km/jam, didapatkan waktu offset sebesar 16 detik untuk kedua arah. Sedangkan

    yang dihasilkan dari diagram koordinasi, didapat bandwidth sebesar 25 detik untuk arah

    Utara - Selatan dan 40 detik untuk arah Selatan - Utara.

    Untuk kondisi eksisting pada saat peak hour, kinerja simpang rata-rata pada

    arus utama yang dikoordinasikan berupa Derajat Kejenuhan (DS), Panjang Antrian(QL),

    dan Tundaan (Delay) adalah 0,645 untuk DS, 177,143 meter untuk QL, dan Delay sebesar

    31,811 detik. Sedangkan setelah dilakukan perencanaan waktu siklus baru berdasarkan

    pada teori koordinasi simpang, didapat DS sebesar 0,718, QL sebesar 137,143 meter, dan

    Delay sebesar 27,313 detik.

    Kata Kunci: Koordinasi , Offset time, Bandwidth

  • DAFTAR ISI

    Abstrak .. i

    Kata pengantar .. ii

    Daftar Isi ... iv

    Daftar Notasi .................................................................................................... vii

    Daftar Tabel ..................................................................................................... ix

    Daftar Gambar ................................................................................................ x

    BAB I Pendahuluan . 1

    1.1 LatarBelakang .............. 1

    1.2 Perumusanmasalah . 2

    1.3 TujuanPenelitian . 2

    1.4 BatasanMasalah . 2

    1.5 ManfaatPenelitian .. 3

    1.6 Sistematika Penulisan ............................................................. 4

    BAB II StudiPustaka 6

    2.1 Persimpangan .. 6

    2.2 LampuLalu-lintas 7

    2.3 Area Traffic Control System (ATCS) ..................................... 9

    2.4 KoordinasiSinyalBersimpang . 10

    2.4.1 SyaratKoordinasiSinyal . 14

    2.4.2 Koordinasi Simpang pada Jalan Satu Arah .. 16

    2.4.3 Koordinasi Simpang pada Jalan Dua Arah ...... 17

    2.5 Metode Koordinasi Sinyal Pada Jalan Dua Arah ................... 19

    2.5.1 Metode Maksimasi Green Bandwidth ......................... 19

  • 2.5.2 Metode Minimasi Perbedaan offset .............................. 21

    2.5.3 Diagram Waktu Jarak .................................................. 25

    2.6 Keuntungan dan Efek Negatif Sistem Koordinasi ................... 25

    2.7 Teori MKJI 26

    2.7.1 KarakteristikSinyalLampuLalu-lintas 26

    2.7.2 ArusLalu-lintas 28

    2.7.3 KapasitasSimpang 30

    2.7.4 DerajatKejenuhan 33

    2.7.5 PanjangAntrian 33

    2.7.6 Tundaan 35

    2.8 Penelitian Sejenis ..................................................................... 36

    BAB III Metodologi . 40

    3.1 Metode Pengerjaan . 40

    3.2 MetodePemilihan Waktu Siklus Baru ................ 41

    3.3 Jenis Data 41

    3.3.1 Data Primer .. 41

    3.3.2 Data Sekunder . 42

    3.4 Volume Kendaraan .. 42

    3.5 MetodeSurvey .. 44

    3.6 WaktuSinyal 46

    3.7 GeometrikSimpang . 46

    BAB IV Pengumpulan Data 48

    4.1 Data Primer .. 48

    4.1.1 GeometrikSimpang .. 48

  • 4.1.2 WaktuSinyaldanFasePergerakan . 49

    4.2 KapasitasSimpang .. 51

    4.3 Kecepatan Rata-rata . 55

    BAB V Analisa Data danPerencanaan .. 58

    5.1 AnalisaKoordinasiSimpangEksisting 58

    5.2 AnalisKondisiEksisting . 59

    5.3 Analisa Data . 61

    5.4 WaktuSiklus Optimum ...... 67

    5.5 Penentuan Waktu Siklus Terbaik ............................................ 70

    5.6 KoordinasiSinyalAntarSimpang .. 72

    BAB VI Kesimpulandan Saran .. 76

    6.1 Kesimpulan 76

    6.2 Saran .. 77

    DaftarPustaka 79

    Lampiran 80

  • DAFTAR NOTASI

    emp = Faktor dari berbagai tipe kendaraan sehubungan dengan keperluan waktu

    hijau untuk keluar dari antrian apabila dibandingkan dengan sebuah

    kendaraan ringan (untuk mobil penumpang dan kendaraan ringan lainnya,

    emp=1,0).

    smp = Satuan arus lalu-lintas dari berbagai tipe kendaraan yang diubah menjadi

    kendaraan ringan (termasuk mobil penumpang) dengan menggunakan

    faktor emp.

    LTOR = Indeks untuk lalu-lintas belok kiri yang diijinkan lewat pada saat sinyal merah.

    LT = Indeks untuk lalu-lintas yang belok kiri.

    ST = Indeks untuk lalu-lintas yang lurus.

    RT = Indeks untuk lalu-lintas yang belok kekanan.

    Q = Jumlah unsur lalu-lintas yang melalui titik tak terganggu di hulu, pendekat

    per satuan waktu (sbg. contoh: kebutuhan lalu-lintas kend./jam; smp/jam).

    S = Besarnya keberangkatan antrian didalam suatu pendekat selama kondisi

    yang ditentukan (smp/jam hijau).

    So = Besarnya keberangkatan antrian di dalam pendekat selama kondisi ideal

    (smp/jam hijau).

    DS = Rasio dari arus lalu-lintas terhadap kapasitas untuk suatu pendekat

    (Qc/Sg).

    FR = Rasio arus terhadap arus jenuh (Q/S) dari suatu pendekat.

    IFR = Jumlah dari rasio arus kritis (= tertinggi) untuk semua fase sinyal yang

    berurutan dalam suatu siklus.

  • C = Arus lalu-lintas maksimum yang dapat dipertahankan. (sbg.contoh, untuk

    bagian pendekat j: Cj = Sjgj//c; kend./jam, smp/jam).

    D = Waktu tempuh tambahan yang diperlukan untuk melalui simpang apabila

    dibandingkan lintasan tanpa melalui suatu simpang.

    QL = Panjang antrian kendaraan dalam suatu pendekat (m).

    NQ = Jumlah kendaraan yang antri dalam suatu pendekat (kend; smp).

    CT = Waktu untuk urutan lengkap dari indikasi sinyal (sbg. contoh, diantara dua

    saat permulaan hijau yang berurutan di dalam pendekat yang sama; det.).

    GT = Fuse untuk kendali lalu-lintas aktuasi kendaraan (det.).

    IG = Periode kuning + merah semua antara dua fase sinyal yang berurutan (det.).

    LTI = Jumlah semua periode antar hijau dalam siklus yang lengkap (det). Waktu

    hilang dapat juga diperoleh dari beda antara waktu siklus dengan jumlah

    waktu hijau dalam semua fase yang berurutan.

    GR = Dalam suatu pendekat (GR = g/c).

  • DAFTAR TABEL

    Tabel.2.1 : Waktu Antar Hijau ...................................................................... 27

    Tabel.2.2 : Nilai Ekivalen Mobil Penumpang............................................... 29

    Tabel.2.3 : Pengaruh Ukuran Kota................................................................ 32

    Tabel.4.1a : Kondisi Lingkungan Simpang I ................................................. 49

    Tabel.4.1b : Kondisi Lingkungan Simpang II ................................................ 49

    Tabel.4.2a : Data Geometrik Simpang I.......................................................... 49

    Tabel.4.2b : Data Geometrik Simpang II ....................................................... 49

    Tabel.4.3a : Data Lampu Lalu-lintas Simpang I ............................................ 50

    Tabel.4.3b : Data Lampu Lalu-lintas Simpang II ........................................... 50

    Tabel.4.4a : Kapasitas Simpang I (pagi) ........................................................ 52

    Tabel.4.4b : Kapasitas Simpang II (pagi)........................................................ 53

    Tabel.4.5a : Kapasitas Simpang I (sore) ......................................................... 54

    Tabel.4.5b : Kapasitas Simpang II (sore) ........................................................ 55

    Tabel.4.6 : Kecepatan Rata-rata Total Kendaraan ........................................ 56

    Tabel.5.1 : Hasil Perhitungan Arus Lalu-lintas dan Arus Jenuh ................... 62

    Tabel.5.2 : Hasil Perhitungan Rasio Arus Jenuh........................................... 63

    Tabel.5.3 : Hasil Perhitungan Kapasitas dan Derajat Kejenuhan.................. 64

    Tabel.5.4 : Hasil Perhitungan NQmax ............................................................ 66

    Tabel.5.5 : Perhitungan Waktu Siklus........................................................... 67

    Tabel.5.6 : Perhitungan Kinerja Simpang ..................................................... 70

    Table.5.7 : Data Waktu Hijau Simpang II sebelum Koordinasi.................. .. 72

    Tabel.5.8 : Hasil Perubahan Waktu Hijau Simpang II .................................. 73

    Tabel.6.1 : Lampu Lalu-lintas Terkoordinasi................................................ 78

  • DAFTAR GAMBAR

    Gambar.1.1 : Peta Lokasi ................................................................................. 4

    .....................................................................................................

    Gambar.2.1 : Prinsip Koordinasi Sinyal dan Green Wave ............................... 13

    Gambar.2.2 : Prinsip Koordinasi Sinyal Pada Jalan Satu Arah ....................... 17

    Gambar.2.3 : Koordinasi Sinyal Lampu Lalu-lintas pada Jalan Dua Arah dengan

    Jarak Persimpangan Seragam ..................................................... 18

    Gambar.2.4 : Koordinasi Sinyal Lampu Lalu-lintas pada Jalan Dua Arah dengan

    Jarak Persimpangan tidak Seragam............................................. 18

    Gambar.2.5 : Bandwidth pada Diagram Time-Space ........................................ 20

    Gambar.2.6 : Waktu Offset untuk Satu Siklus ................................................. 22

    Gambar.2.7 : Waktu Offset untuk Dua Siklus ................................................. 22

    Gambar.2.8 : Offset dan Bandwitdh dalam Diagram Koordinasi ..................... 24

    Gambar.2.9 : Arus Jenuh .................................................................................. 30

    Gambar.3.1 : Alur Metode Pengerjaan Penelitian ........................................... 47

    Gambar.4.1a : Diagam Fase Pergerakan Simpang I ........................................... 51

    Gambar.4.1b : Diagam Fase Pergerakan Simpang II .......................................... 51

    Gambar.4.2 : Denah Lokasi Eksisting .............................................................. 57

    Gambar.5.1 : Diagram Time Travel Simpang Eksisting .................................. 60

    Gambar.5.2 : Diagram Peluang untuk Pembebanan POL .................................. 65

    Gambar.5.3 : Diagram Time Travel Simpang Setelah Koordinasi .................. 75

  • BAB I

    PENDAHULUAN

    1.1 Latar Belakang

    Keberadaan persimpangan tidak dapat dihindari pada sistem transportasi perkotaan.

    Hal ini pula yang terjadi pada kota Medan. Sebagai salah satu kota terbesar di Indonesia

    dengan jumlah penduduk yang tinggi, akan timbul permasalahan pada saat semua orang

    bergerak bersamaan. Persimpangan pun menjadi salah satu bagian yang harus diperhatikan

    dalam rangka melancarkan arus transportasi di perkotaan. Oleh karena itu, keberadaaanya

    harus dikelola sedemikian rupa sehingga didapatkan kelancaran pergerakan yang

    diharapkan. Hal yang dapat dilakukan untuk memperoleh kelancaran pergerakan tersebut

    adalah dengan menghilangkan konflik atau benturan pada persimpangan. Cara yang dapat

    digunakan adalah dengan mengatur pergerakan yang terjadi pada persimpangan.

    Adapun fasilitas yang dapat difungsikan adalah lampu lalu-lintas (traffic light).

    Meski demikian, banyaknya persimpangan yang terdapat di kota besar seperti kota Medan

    mampu menimbulkan permasalahan tersendiri. Hal tersebut terjadi pada beberapa ruas

    jalan yang memiliki banyak persimpangan, ditambah dengan jarak antar simpang yang

    pendek. Permasalahan yang terkadang terjadi adalah kendaaraan harus berhenti pada tiap

    simpang karena mendapat sinyal merah. Tentu saja hal ini menimbulkan ketidaknyamanan

    pengendara, disamping lamanya tundaan yang terjadi. Kondisi inilah yang terjadi pada

    Jalan Jamin Ginting Jalan Pattimura Jalan Mongonsidi Medan yang menjadi objek

    studi seperti terlihat pada gambar 1.1. Dalam hal ini, Jalan Jamin Ginting menuju Jalan

    Mongonsidi menjadi jalan utama yang diprioritaskan kelancarannya karena hirarkinya

  • yang merupakan jalan arteri sekunder dan volumenya yang lebih besar daripada jalan

    pendekat lainnya.

    Terdapat dua simpang bersinyal yang berdekatan pada ruas tersebut. Keduanya

    adalah simpang antara Jalan Jamin Ginting Jalan Iskandar Muda Jalan Pattimura

    (Simpang I), Jalan Pattimura Jalan Mongonsidi (Simpang II). Dengan jarak antar

    simpang yang dekat, pengendara kerap kali berhenti pada tiap simpangnya karena terkena

    sinyal merah. Untuk itu, perlu dilakukan analisa terhadap sinyal kedua simpang tersebut.

    Penyelesaian yang dapat dilakukan adalah dengan mengkoordinasikan sinyal lampu lalu-

    lintas pada kedua simpang. Perlakuan ini dilakukan dengan mengutamakan jalur utama

    yang bervolume lebih besar sehingga dapat menghindari tundaan akibat lampu merah.

    Dengan demikian, kelambatan dan antrian panjang pun dapat diminimalisir.

    1.2 Perumusan Masalah

    Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

    1. Kedua simpang belum terkoordinasi.

    2. Tundaan dan panjang antrian yang disebabkan waktu sinyal yang tidak tepat.

    3. Kendaraan berhenti pada setiap simpang.

    1.3 Tujuan Penelitian

    Tujuan dari penelitian ini diantaranya adalah:

    1. Menganalisa simpang di Jalan Jamin Ginting Jalan Pattimura Jalan

    Mongonsidi dengan menggunakan MKJI 1997.

    2. Mendapatkan waktu siklus baru.

  • 3. Mendapatkan koordinasi yang tepat untuk dapat mengurangi waktu tundaan dan

    panjang antrian.

    1.4 Batasan Masalah

    Sesuai dengan tujuan penelitian, agar pembahasan lebih jelas dan terarah, maka

    diberikan batasan-batasan penelitian yang meliputi hal-hal sebagai berikut:

    1. Penelitian dilakukan pada jenis kendaraan berat, kendaran ringan, sepeda motor,

    dan kendaraan tak bermotor.

    3. Metode penghitungan menggunakan Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI)

    1997.

    4. Survei lalu-lintas dilakukan satu hari pada jam sibuk pagi dan sore.

    5. Tidak merencanakan pelarangan gerakan belok kanan untuk menambah kapasitas.

    6. Pola pengaturan waktu yang diterapkan hanya satu, tidak berubah-ubah (fixed time

    control).

    7. Tidak menghitung penghematan energi bahan bakar, pengurangan jumlah

    kecelakaan, dan dampak lingkungan.

    1.5 Manfaat Penelitian

    Maanfaat dari dilakukannya penelitian ini adalah:

    1. Terkoordinasinya pengaturan sinyal antar simpang di Jalan Jamin Ginting Jalan

    Pattimura Jalan Mongonsidi dengan lebih baik.

    2. Mengetahui nilai perbandingan kinerja simpang sebelum dan sesudah

    dikoordinasikan.

  • 3. Sebagai alternatif masukan dan pertimbangan bagi instansi yang terkait yaitu

    Pemerintah Daerah Kota Medan dan Dinas Perhubungan Kota Medan untuk

    melakukan tindakan yang tepat sehingga kinerja koordinasi simpang tersebut

    menjadi lebih baik.

    Gambar 1.1: Peta LokasiSumber : Google Earth

    1.6 Sistematika Penulisan Tugas Akhir

    Untuk mencapai tujuan penulisan tugas akhir ini, maka dilakukan beberapa tahapan

    yang dianggap penting. Metode dan prosedur pelaksanaannya secara garis besar adalah

    sebagai berikut :

    Bab I Pendahuluan

    Bab ini menjelaskan latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian,

    batasan masalah, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.

  • Bab II Tinjauan Pustaka

    Bab ini meliputi pengambilan teori dari beberapa sumber bacaan yang mendukung

    analisis pemasalahan yang berkaitan dengan tugas akhir ini.

    BAB III Metodologi Penulisan

    Bab ini membahas tentang lokasi penelitian, metode survey, pengambilan data

    primer (geometrik, waktu siklus, jumlah kendaraan, kecepatan rata-rata) dan sekunder

    (peta lokasi dan jumlah penduduk).

    BAB IV Pengumpulan Data

    Bab ini membahas tentang pengelompokan data hasil survey.

    BAB V Analisa Data dan Perencanaan

    Bab ini akan membahas tentang kondisi eksisting daerah penelitian, hasil penelitian

    beserta pembahasan hasil penelitian.

    BAB VI Kesimpulan dan Saran

    Bab ini berisikan tentang uraian beberapa kesimpulan hasil penelitian dan saran-

    saran dari peneliti.

  • BAB II

    STUDI PUSTAKA

    2.1 Persimpangan

    Persimpangan jalan dapat didefinisikan sebagai daerah umum dimana dua jalan atau

    lebih bergabung atau bersimpangan, termasuk jalan dan fasilitas tepi jalan untuk

    pergerakan fasilitas di dalamnya (AASHTO, 2001).

    Persimpangan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari semua sistem jalan.

    Persimpangan- persimpangan merupakan faktor yang paling penting dalam menentukan

    kapasitas dan waktu perjalanan pada suatu jaringan jalan, khususnya di daerah - daerah

    perkotaan. Ketika berkendara di dalam kota, orang dapat melihat bahwa kebanyakan jalan

    di daerah perkotaan biasanya memiliki persimpangan, di mana pengemudi dapat

    memutuskan untuk jalan terus atau berbelok dan pindah jalan.

    Lalu-lintas pada masing-masing kaki persimpangan bergerak secara bersama-sama

    dengan lalu-lintas lainnya. Oleh karena persimpangan dipergunakan setiap orang, maka

    persimpangan tersebut harus dirancang dengan hati-hati, dengan mempertimbangkan

    efisiensi, keselamatan, kecepatan, biaya operasi, dan kapasitas. Pergerakan lalu-lintas yang

    terjadi dan urutan-urutannya dapat ditangani dengan berbagai cara, tergantung pada jenis

    persimpangan yang dibutuhkan.

    Menurut Khisty (2003), persimpangan dibuat dengan tujuan untuk mengurangi

    potensi konflik diantara kendaraan (termasuk pejalan kaki) dan sekaligus menyediakan

    kenyamanan maksimum dan kemudahan pergerakan bagi kendaraan. Secara umum

    terdapat tiga jenis persimpangan, yaitu persimpangan sebidang, pembagian jalur jalan

    tanpa ramp, dan simpang susun atau interchange. Persimpangan sebidang (intersection at

    grade) adalah persimpangan di mana dua jalan atau lebih bergabung pada satu bidang

  • datar, dengan tiap jalan raya mengarah keluar dari sebuah persimpangan dan membentuk

    bagian darinya.

    Sedangkan menurut Hobbs (1995), terdapat tiga tipe umum pertemuan jalan, yaitu

    pertemuan jalan sebidang, pertemuan jalan tak sebidang, dan kombinasi antara keduanya.

    2.2 Lampu Lalu-lintas

    Satu metode yang paling penting dan efektif untuk mengatur lalu-lintas di

    persimpangan adalah dengan menggunakan lampu lalu-lintas. Menurut Khisty (2003),

    lampu lalu-lintas adalah sebuah alat elektrik (dengan sistem pengatur waktu) yang

    memberikan hak jalan pada satu arus lalu-lintas atau lebih sehingga aliran lalu-lintas ini

    bisa melewati persimpangan dengan aman dan efisien.

    Oglesby (1999) menyebutkan bahwa setiap pemasangan lampu lalu-lintas bertujuan

    untuk memenuhi satu atau lebih fungsi-fungsi yang tersebut di bawah ini:

    1. Mendapatkan gerakan lalu-lintas yang teratur.

    2. Meningkatkan kapasitas lalu-lintas pada perempatan jalan.

    3. Mengurangi frekuensi jenis kecelakaan tertentu.

    4. Mengkoordinasikan lalu-lintas di bawah kondisi jarak sinyal yang cukup baik, sehingga

    aliran lalu-lintas tetap berjalan menerus pada kecepatan tertentu.

    5. Memutuskan arus lalu-lintas tinggi agar memungkinkan adanya penyeberangan

    kendaraan lain atau pejalan kaki.

    6. Mengatur penggunaan jalur lalu-lintas.

    7. Sebagai pengendali ramp pada jalan masuk menuju jalan bebas hambatan

    (entrancefreeway).

    8. Memutuskan arus lalu-lintas bagi lewatnya kendaraan darurat (ambulance).

  • Oglesby (1999) juga menyebutkan bahwa terdapat hal-hal yang kurang

    menguntungkan dari lampu lalu-lintas, antara lain adalah:

    1. Kehilangan waktu yang berlebihan pada pengemudi atau pejalan kaki.

    2. Pelanggaran terhadap indikasi sinyal umumnya sama seperti pada pemasangan khusus.

    3. Pengalihan lalu-lintas pada rute yang kurang menguntungkan.

    4. Mengurangi frekuensi kecelakan, terutama tumbukan bagian belakang kendaraan

    dengan pejalan kaki.

    Permasalahan yang sering muncul dalam penanganan masalah pengaturan sinyal

    lampu lalu-lintas adalah arus belok kanan yang cukup besar. Apabila tidak disediakan fase

    tersendiri untuk gerakan belok kanan maka dapat mengakibatkan pengurangan kapasitas

    persimpangan dan juga meningkatkan kemungkinan terjadinya kecelakaan lalu-lintas.

    Untuk itu Manual Kapasitas Jalan Indonesia Tahun 1997 memberikan suatu kriteria

    batasan besar arus lalu-lintas belok kanan yang harus menggunakan fase tersendiri yaitu

    apabila melampauhi 200 smp/jam.

    Upaya yang sering dilakukan dalam menangani belok kanan adalah dengan

    menggunakan fasilitas early cut-off, late-start, dan kombinasi keduanya.

    1. Early cut-off : waktu hijau dari kaki simpang pada arah berlawanan diberhentikan

    beberapa saat lebih cepat untuk memberi kesempatan kendaraan belok kanan (webster,

    1996). Fasilitas ini diberikan kepada kaki persimpangan yang jumlah kendaraan belok

    kanan cukup besar. Adanya fasilitas early cut-off mengakibatkan sinyal untuk

    pergerakan kedua arah berlawanan tidak sama.

    2. Late start (late release) : menunda beberapa detik waktu hijau dari arah berlawanan

    untuk memberikan kesempatan kendaraan belok kanan. Adanya fasilitas ini

    mengakibatkan sinyal hijau untuk pergerakan kedua simpang tidak sama.

  • 3. Kombinasi early cut-off dengan late start : biasanya digunakan apabila pada kedua arah

    jumlah kendaraan yang belok kanan cukup besar. Biasanya early cut-off digunakan pada

    kaki simpang yang memiliki jumlah belok kanan yang lebih besar dari arah yang

    berlawanan, sedangkan untuk yang lebih ringan digunakan fasilitas late start.

    2.3 Area Traffic Control System (ATCS)

    Penataan ritme lalu lintas akan lebih baik apabila pemerintah kota menerapkan

    teknologi Area Traffic Control System (ATCS) pada semua persimpangan lalu lintas yang

    ada di kota tersebut. ATCS adalah sebuah sistem pengaturan lalu lintas bersinyal

    terkoordinasi yang diatur mencakup satu wilayah secara terpusat. Dengan ATCS maka

    dapat dilakukan upaya manajemen rekayasa lalu lintas yang mengkoordinasikan semua

    titik-titik persimpangan bersinyal melalui pusat kontrol ATCS, sehingga diperoleh suatu

    kondisi pergerakan lalu lintas secara efisien. Teknologi ATCS sendiri telah banyak

    diterapkan di berbagai kota-kota besar di negara-negara maju.

    Dengan ATCS, penataan siklus lampu lalu lintas dilakukan berdasar input data lalu

    lintas yang diperoleh secara real time melalui kamera CCTV pemantau lalu lintas pada

    titik-titik persimpangan. Penentuan waktu siklus lampu persimpangan dapat diubah

    berkali-kali dalam satu hari sesuai kebutuhan lalu lintas paling efisien yang mencakup

    keseluruhan wilayah tersebut.

    Untuk itu maka pengoperasian ATCS diatur dengan sebuah sistem kontrol terpadu

    yang melibatkan beberapa komponen berupa :

    Pengatur arus persimpangan berupa lampu lalu lintas

    Penginput data lalu lintas berupa kamera CCTV pemantau

    Pengirim data berupa jaringan kabel data atau pemancar gelombang

  • Software sistem ATCS

    Ruang kontrol (Central Control Room) ATCS plus operatornya

    Beberapa penelitian berhasil membuktikan bahwa penerapan ATCS dapat

    berpengaruh secara signifikan dalam memecahkan masalah-masalah lalu lintas di

    perkotaan. Indikator perbaikan kinerja persimpangan dapat dilihat dengan adanya

    penurunan waktu tundaan, panjang antrian, derajat kejenuhan dan waktu tempuh

    perjalanan yang lebih singkat. Sekalipun demikian sistem ATCS tetap memiliki kelemahan

    berupa biaya investasi, perawatan dan operasional yang relatif mahal terlebih jika

    mengingat beberapa kebiasaan buruk kalangan masyarakat kita yang kurang merawat

    bahkan suka menjahili perlengkapan fasilitas-fasilitas umum.

    2.4 Koordinasi Simpang Bersinyal

    Koordinasi sinyal antar simpang diperlukan untuk mengoptimalkan kapasitas

    jaringan jalan karena dengan adanya koordinasi sinyal ini diharapkan tundaan (delay) yang

    dialami kendaraan dapat berkurang dan menghindarkan antrian kendaraan yang panjang.

    Kendaraan yang telah bergerak meninggalkan satu simpang diupayakan tidak mendapati

    sinyal merah pada simpang berikutnya, sehingga dapat terus berjalan dengan kecepatan

    normal. Sistem sinyal terkoordinasi mempunyai indikasi sebagai salah satu bentuk

    manajemen transportasi yang dapat memberikan keuntungan berupa efisiensi biaya

    operasional (Arouffy dalam Sandra Chitra Amelia 2008 ).

    Upaya sering dibuat untuk menempatkan sinyal lalu lintas pada sistem terkoordinasi

    sehingga pengemudi menemukan lintasan panjang lampu hijau. Perbedaan antara sinyal

    terkoordinasi dan sinyal disinkronisasi sangat penting. Disinkronkan sinyal perubahan

    semua pada waktu yang sama dan hanya digunakan dalam kasus khusus. Sistem

  • terkoordinasi dikendalikan agar kendaraan dapat melanjutkan melalui serangkaian terus

    menerus dari lampu hijau. Sebuah representasi grafis pada bidang dua sumbu jarak

    terhadap waktu jelas menunjukkan "band hijau" yang telah ditetapkan berdasarkan jarak

    simpang bersinyal dan kecepatan kendaraan yang diharapkan. Di beberapa negara sistem

    digunakan untuk membatasi kecepatan di daerah tertentu. Lampu dihitung sedemikian rupa

    sehingga pengendara dapat melewati tanpa berhenti jika kecepatan mereka lebih rendah

    dari batas yang diberikan, sebagian besar 50 km/jam (30 mph) di daerah perkotaan.

    Dalam modern sistem sinyal terkoordinasi, adalah mungkin bagi pengemudi untuk

    melakukan perjalanan jarak jauh tanpa menghadapi lampu merah. Koordinasi ini dilakukan

    dengan mudah hanya pada jalan satu arah dengan tingkat yang cukup konstan lalu lintas.

    Jalan dua arah sering diatur agar sesuai dengan jam-jam sibuk untuk mempercepat arah

    volume yang lebih berat. Kemacetan sering dapat membuang koordinasi apapun, namun di

    sisi lain beberapa sinyal lalu lintas yang terkoordinasi untuk mencegah pengemudi dari

    serangkaian lampu merah. Praktek ini menghambat volume lalu lintas yang tinggi dengan

    menginduksi delay belum mencegah kemacetan. Kecepatan diatur dalam sistem sinyal

    terkoordinasi, pengemudi bepergian terlalu cepat akan tiba pada indikasi merah dan

    akhirnya berhenti, pengemudi bepergian terlalu lambat tidak akan tiba di sinyal berikutnya

    dalam waktu untuk memanfaatkan indikasi hijau.

    Baru-baru ini metode canggih telah digunakan. Lampu lalu lintas kadang-kadang

    terpusat dikendalikan oleh monitor atau komputer untuk memungkinkan mereka untuk

    dikoordinasikan secara real time untuk menangani perubahan pola lalu lintas. Video

    kamera, atau sensor terkubur di trotoar dapat digunakan untuk memonitor pola lalu lintas

    di seluruh kota. Non-terkoordinasi sensor sesekali menghambat lalu lintas dengan

    mendeteksi jeda dan memerah seperti mobil tiba dari sinyal sebelumnya. Hal ini

  • mengurangi kebutuhan untuk langkah-langkah lain (seperti jalan baru) yang bahkan lebih

    mahal. Manfaat koordinasi meliputi:

    Meningkatkan kapasitas simpang.

    Mengurangi tabrakan, baik kendaraan dan pejalan kaki. Mendorong perjalanan dalam

    atas kecepatan untuk memenuhi lampu hijau.

    Mengurangi berhenti tidak perlu dan akan mengurangi konsumsi bahan bakar, polusi

    udara, kebisingan.

    Mengurangi waktu perjalanan.

    Mengurangi frustrasi pengemudi.

    Menurut Taylor dkk (1996), koordinasi antar simpang bersinyal merupakan salah

    satu jalan untuk mengurangi tundaan dan antrian. Adapun prinsip koordinasi simpang

    bersinyal menurut Taylor ditunjukan dalam Gambar 2.1 di bawah. Gambar 2.1,

    menjelaskan beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam mengkoordinasikan sinyal, yaitu:

    1. Waktu siklus pada sinyal tiap simpang diusahakan sama, hal ini untuk mempermudah

    menentukan selisih nyala sinyal hijau dari simpang yang satu dengan simpang

    berikutnya.

    2. Sebaiknya pola pengaturan simpang yang dipergunakan adalah fixed time signal, karena

    koordinasi sinyal dilakukan secara terus menerus.

  • Gambar 2.1: Prinsip Koordinasi Sinyal dan Green WaveSumber : Taylor dkk (1996)

    Sistem koordinasi sinyal dibagi menjadi empat macam sebagai berikut ini:

    1. Sistem serentak (simultaneous system), semua indikasi warna pada suatu koridor jalan

    menyala pada saat yang sama.

    2. Sistem berganti-ganti (alternate system), sistem dimana semua indikasi sinyal berganti

    pada waktu yang sama, tetapi sinyal atau kelompok sinyal pada simpang di dekatnya

    memperlihatkan warna yang berlawanan.

    3. Sistem progresif sederhana (simple progressive system), berpedoman pada siklus yang

    umum tetapi dilengkapi dengan indikasi sinyal jalan secara terpisah.

    4. Sistem progresif fleksibel (flexible progressive system), memiliki mekanisme pengendali

    induk yang mengatur pengendali pada tiap sinyal. Pengendalian ini tidak hanya

    memberikan koordinasi yang baik diantara sinyal-sinyal tetapi juga memungkinkan

    panjang siklus dan pengambilan siklus pada interval di sepanjang hari.

  • Pola pengaturan waktu yang sering dilakukan untuk koordinasi lampu lalu-lintas

    adalah sebagai berikut:

    1. Pola pengaturan waktu tetap (Fixed Time Control). Pola pengaturan waktu yang

    diterapkan hanya satu, tidak berubah-ubah. Pola pengaturan tersebut merupakan pola

    pengaturan yang paling cocok untuk kondisi jalan atau jaringan jalan yang

    terkoordinasikan. Pola-pola pengaturan tersebut ditetapkan berdasarkan data-data dan

    kondisi dari jalan atau jaringan yang bersangkutan.

    2. Pola pengaturan waktu berubah berdasarkan kondisi lalu-lintas (Vihicle Responsive

    System). Pola pengaturan waktu yang diterapkan tidak hanya satu tetapi diubah-ubah

    sesuai dengan kondisi lalu-lintas yang ada. Biasanya ada tiga pola yang diterapkan yang

    sudah secara umum ditetapkan berdasarkan kondisi lalu-lintas sibuk pagi (morning peak

    condition), kondisi lalu-lintas sibuk sore (evening peak condition), dan kondisi lalu-

    lintas di antara kedua periode waktu tersebut (off peak condition).

    3. Pola pengaturan waktu berubah sesuai kondisi lalu-lintas (traffic responsive system).

    Pola pengaturan waktu yang diterapkan dapat berubah-ubah setiap waktu sesuai dengan

    perkiraan kondisi lalu-lintas yang ada pada waktu yang bersangkutan. Pola-pola tersebut

    ditetapkan berdasarkan perkiraan kedatangan kendaraan yang dilakukan beberapa saat

    sebelum penerapannya. Sudah tentu metode ini hanya dapat diterapkan dengan

    peralatan-peralatan yang lengkap.

    2.4.1 Syarat Koordinasi Sinyal

    Pada situasi di mana terdapat beberapa sinyal yang mempunyai jarak yang cukup

    dekat, diperlukan koordinasi sinyal sehingga kendaraan dapat bergerak secara efisien

    melalui kumpulan sinyal-sinyal tersebut. Pada umumnya, kendaraan yang keluar dari suatu

  • sinyal akan tetap mempertahankan grupnya hingga sinyal berikutnya. Ada beberapa

    pendapat tentang kriteria yang digunakan untuk menentukan bahwa dua simpang

    bersebelahan perlu dikoordinasikan atau tidak, yaitu :

    1. Berdasarkan panjang ruas.

    2. Berdasarkan nilai couple index yaitu perbanding besar arus dengan panjang ruas.

    Kriteria yang berdasarkan panjang ruas yaitu apa bila jarak antara dua simpang

    kurang dari 800 meter, maka lampu lalu lintas yang dipasang sebaiknya dikordinasikan

    (Mc. Shane, 1990). Kriteria yang berdasarkan nilai couple index yaitu apabila nilai I 0,5

    maka kedua simpang bersinyal tersebut perlu dikoordinasikan. Besar couple index dapat

    dihitung dengan persamaan :

    =dimana: I = couple index

    Q = volume lalu lintas pada dua arah (kend/jam)

    D = jarak antara dua persimpangan bersinyal (ft)

    Pendapat lain (McShane dan Roess, 1990), untuk mengkoordinasikan beberapa

    sinyal, diperlukan beberapa syarat yang harus dipenuhi yaitu:

    1. Jarak antar simpang yang dikoordinasikan tidak lebih dari 800 meter. Jika lebih dari 800

    meter maka koordinasi sinyal tidak akan efektif lagi.

    2. Semua sinyal harus mempunyai panjang waktu siklus (cycle time) yang sama.

    3. Umumnya digunakan pada jaringan jalan utama (arteri, kolektor) dan juga dapat

    digunakan untuk jaringan jalan yang berbentuk grid.

    4. Terdapat sekelompok kendaraan (platoon) sebagai akibat lampu lalu-lintas di bagian

    hulu.

  • Taylor, dkk (1996) juga mengisyaratkan bahwa fungsi dari system koordinasi sinyal

    adalah mengikuti volume lalu-lintas maksimum untuk melewati simpang tanpa berhenti

    dengan mulai waktu hijau (green periods) pada simpang berikutnya mengikuti kedatangan

    dari kelompok (platoon).

    Semua pendapat yang disebut di atas hanyalah pendekatan yang dilakukan

    berdasarkan hasil penelitian pada lokasi tertentu. Namun yang terpenting adalah bentuk

    arus yang terjadi ketika memasuki suatu persimpangan, apabila yang keluar dari satu

    persimpangan dan saat memasuki persimpangan dihilir masih berbentuk pleton, maka

    kedua persimpangan tersebut sebaiknya dikoorsinasikan. Demikian sebaliknya, apabila

    arus saat tiba pada simpang di hilir berbentuk seragam (tidak berbentuk pleton) maka

    kedua persimpangan tidak perlu dikoordinasikan. Jadi ada kemungkinan kriteria yang

    disebutkan di atas tidak berlaku pada jalan tertentu. Hal ini terbukti dengan adanya

    pendapat yang menyatakan bahwa untuk jarak yang lebih besar dari 800 meter hingga

    1200 meter dinilai masih lebih efektif bila dikoordinasikan.

    2.4.2 Koordinasi Sinyal Pada Jalan Satu Arah

    Koordinasi sinyal pada jalan satu arah lebih mudah dilakukan dibandingkan dengan

    dua arah. Karena arah pergerakannya hanya satu arah maka penentuan offset akan lebih

    mudah. Dengan mengamati kecepatan rata-rata melintasi masing-masing ruas maka offset

    dapat diperoleh yaitu panjang ruas dibagi dengan kecepatan. Contoh koordinasi sinyal pada

    jalan satu arah diperlihatkan pada gambar 2.2. Apabila kendaraan bergerak dengan

    kecepatan tertentu sehingga kendaraan dalam batas bandwidth, maka diharapkan

    kendaraan tersebut tidak mengalami tundaan akibat sinyal merah.

  • Trajectory of last vihicle

    Trajectory of first vihicle

    Effective Effective red

    Distance

    Time

    Gambar 2.2 : Prinsip Koordinasi Sinyal Pada Jalan Satu Arah

    2.4.3 Koordinasi Sinyal Pada Jalan Dua Arah

    Mengkoordinasikan sinyal lampu lalu-lintas pada jalan dua arah lebih sulit

    dilakukan. Beberapa factor penyebab lebih sulit adalah :

    Jarak antar persimpangan tidak seragam.

    Volume lalu-lintas tidak sama pada kedua arah.

    Kecepatan kendaraan mungkin berbeda pada kedua arah.

    Lama lampu hijau untuk keseluruhan lampu yang dikoordinasikan tidak sama.

    Adanya disperse pleton.

    Secara berturut-turut gambar 2.3 dan gambar 2.4 menunjukkan koordinasi sinyal

    untuk panjang ruas yang seragam dan tidak seragam.

    Bandwit

  • Gambar 2.3. Koordinasi sinyal lampu lalu-lintas pada jalan dua arah dengan jarak persimpangan seragam

    Gambar 2.4. Koordinasi sinyal lampu lalu-lintas pada jalan dua arah dengan jarak persimpangan tidak seragam

    Arus lalu-lintas dua arah dan jarak antar simpang perempatan tidak sama, maka

    situasinya lebih kompleks, seperti terlihat pada gambar 2.4. Dengan sistem laju yang

  • fleksibel, waktu siklus pada setiap persimpangan adalah tetap tetapi indikasi hijau

    digantikan agar cocok dengan kecepatan jalan yang dipilih dan merupakan suatu

    kompromi yang didasarkan pada arus searah, jarak sinyal, dan kebutuhan lalu-lintas

    persilangan jalan (Hobbs, 1995).

    2.5 Metode Koordinasi Sinyal Pada Jalan Dua Arah

    Sesuai dengan kasus dilapangan bahwa persimpangan bersinyal yang ditinjau adalah

    jalan dua arah, maka metode koordinasi yang digunakan adalah koordinasi sinyal pada

    jalan dua arah. Dalam metode ini, hal yang harus diperhatikan adalah Green Bandwidth

    dan Offset.

    2.5.1 Metode Maksimasi Green Bandwidth

    Metode maksimasi Green Bandwidth adalah salah satu metode yang umum

    digunakan dalam mengkoordinasikan sinyal persimpangan pada jalan dua arah. Dalam

    metode ini offset diatur sedemikian sehingga diperoleh suatu jalur hijau (Green Bandwidth)

    untuk jalur inbound dan outboud. Untuk lebih jelasnya lihat gambar 3.1. Asumsi yang

    diambil dalam metode ini adalah :

    1. Kendaraan bergerak dalam pleton yang bersamaan.

    2. Tidak ada disperse pleton.

    3. Volume lalu-lintas yang rendah (undersaturated).

    4. Tidak ada atau sedikit kendaraan yang masuk jalan arterial dari jalan samping.

    Kondisi seperti yang diasumsikan pada gambar 2.5 jarang dijumpai. Walaupun

    demikian konsep pendekatan ini sangat sering digunakan karena Green Bandwidth mudah

  • dilihat secara visual dan hasil yang baik dapat diperoleh secara manual, yaitu dengan cara

    coba-coba (McShane and Roess, 1990).

    Ukuran effisiensi pada metode ini didefinisikan sebagai perbandingan bandwidth

    terhadap panjang siklus, yang biasanya dinyatakan dalam persentase:

    efesiensi = x 100% (3.1)

    Gambar 2.5. Bandwidth pada diagram time-space (McShane and Roess, 1990)

    System koordinasi dikatakan baik, apabila efesiensi berkisar dari 40-50 % (McShane,

    1990). Nilai efesiensi yang besar akan memberikan volume kendaraan yang dapat lewat

    tanpa henti yang besar pula. Besar volume ini dapat dihitung dengan persamaan berikut:

    nonstop volume = ( )( )( )( ) (3.2)

    dimana: BW = bandwidth yang ada (sec)

    L = jumlah lajur lalu-lintas yang ditinjau

  • h = headway dalam pergerakan pleton (sec/veh)

    C = panjang siklus (sec)

    Perhitungan offset untuk koordinasi sinyal dengan metode ini dapat dilakukan

    dengan cara manual dan dengan program komputer. Perhitungan manual dapat dilakukan

    secara grafis dengan cara coba-coba untuk mendapatkan bandwith yang paling besar.

    Sedangkan, perhitungan dengan program komputer telah dibuat algoritmanya.

    Kelemahan metode ini adalah:

    1. Tidak memperhitungakan adanya dispersi pleton.

    2. Tidak memperhitungkan volume lalulintas.

    3. Besar saturation flow rate untuk setiap simpang dianggap sama.

    2.5.2 Metode Minimasi Perbedaan offset aktual dan offset ideal

    Metode ini adalah mencari offset aktual yang mana perbedaan offset aktual dan offset

    ideal memberikan hasil yang minimal. Metode ini hampir sama dengan metode maksimasi

    Green Bandwidth, perbedaannya adalah dalam hal perhitungannya. Sasarannya adalah

    mendapatkan jalur hijau maksimum dikedua arah. Asumsi yang diambil sama dengan

    metode maksimasi Green Bandwidth. Perbedaan utama konsep ini dengan metode

    maksimasi Green Bandwidth adalah turut diperhitungkannya volume lalu-lintas dalam

    perhitungannya.

    Offset aktual adalah offset yang mana jumlah offset inbound dan outbound pada satu

    ruas sama dengan bilangan bulat. Untuk lebih jelasnya lihat gambar 2.6 dan 2.7. Secara

    umum hubungan antara offset aktual arah inbound dengan offset aktual arah outbound

    adalah sebagai berikut:

    tNB+ tSB = nC (3.3)

  • dimana: tNB = offset aktual arah north bound (inbound)tSB = offset aktual arah south bound (outbound)n = bilangan bulatC = panjang siklus

    Pendekatan yang diambil adalah mengasumsikan bahwa kendaraan yang melintasi

    sejumlah simpang bersinyal bergerak dalam bentuk pleton. Pleton kendaraan tersebut

    dalam pergerakannya melintasi ruas mengalami dispersi sehingga bertambah panjang.

    Prinsip metode koordinasi yang diusulkan ini mencoba untuk mengatur offset sinyal

    sedemikian sehingga pleton dapat melintasi sejumlah persimpangan bersinyal dengan

    tundaan total paling kecil. Dalam kajian ini data masukan yang diasumsikan sudah

    diketahui adalah :

    Gambar 2.6 : Waktu offset untuk satu siklus

    Gambar 2.7 : Waktu offset untuk dua siklus

  • 1. Waktu hijau masing-masing simpang

    2. Saturation flow rate untuk masing-masing simpang

    3. Kecepatan rata-rata lalu lintas dikedua arah

    4. Besar arus lalu lintas

    Pada simpang kedua, jumlah kendaraan belok kanan cukup besar. Oleh sebab itu,

    perlu diberikan fasilitas late start, yaitu menunda beberapa detik waktu hijau dari arah

    berlawanan untuk memberikan kesempatan kendaraan belok kanan. Adanya fasilitas ini

    mengakibatkan sinyal hijau untuk pergerakan kedua simpang tidak sama. Waktu hijau

    simpang pertama lebih duluan dari simpang kedua. Maka terlebih dahulu dilakukan analisa

    persimpangan untuk mengetahui panjang siklus optimum berdasarkan data geometrik dan

    arus lalu lintas. Kemudian diambil panjang siklus koordinasi yaitu panjang siklus optimum

    terbesar dari kedua simpang. Selanjutnya dihitung kembali alokasi waktu hijau

    berdasarkan panjang siklus koordinasi tersebut untuk kedua simpang. Analisa dilakukan

    dengan cara manual sesuai dengan metode pada Manual Kapasitas Jalan Indonesia tahun

    1997.

    Semua metode koordinasi umumnya sasaran akhirnya adalah untuk mendapat offset

    antar dua simpang bersinyal yang bersebelahan. Offset merupakan waktu (dalam detik)

    antara permulaan fase lampu hijau di satu persimpangan dengan permulaan lampu hijau di

    persimpangan berikutnya (Khisty, 2003).

    McShane (1990), memberikan beberapa pengertian offset diantaranya :

    1. Perbedaan waktu munculnya sinyal hijau antara dua sinyal bersebelahan.

    2. Perbedaan waktu munculnya sinyal merah antara dua sinyal bersebelahan.

    3. Perbedaan munculnya tengah-tengah hijau antara sinyal bersebelahan.

  • Ketiga defenisi di atas memberikan hasil besaran yang berbeda, namun tujuannya

    sama yaitu untuk menyatakan offset dalam detik atau dapat pula dinyatakan sebagai

    persentase terhadap panjang siklus. Besar offset yang diberikan akan berpengaruh terhadap

    besar tundaan (delay) yang terjadi. Besar offset dipengaruhi oleh panjang ruas dan

    kecepatan rata-rata kendaraan.

    Menurut James (2002), bandwidth adalah perbedaan waktu dalam lintasan paralel

    sinyal hijau antara lintasan pertama dan lintasan terakhir. Keduanya berada dalam

    kecepatan yang konstan dan merupakan platoon yang tidak terganggu sinyal merah sama

    sekali.

    Untuk lebih jelasnya, offset dan bandwidth dapat dilihat pada gambar 2.8, diagram

    koordinasi empat simpang di bawah ini.

    Gambar 2.8 : Offset dan Bandwidth dalam Diagram Koordinasi

    2.5.3 Diagram Waktu Jarak

    Konsep koordinasi pengaturan lampu lalu-lintas biasanya dapat digambarkan dalam

    bentuk Diagram Waktu-Jarak (Time Distance Diagram) seperti diperlihatkan pada Gambar

    2.8. Diagram waktu-jarak adalah visualisasi dua dimensi dari beberapa simpang yang

    terkoordiansi sebagai fungsi jarak dan pola indikasi lampu lalu-lintas di masing-masing

    simpang yang bersangkutan sebagai fungsi waktu.

  • 2.6 Keuntungan dan Efek Negatif Sistem Terkoordinasi

    Menurut Pedoman Sistem Pengendalian Lalu-lintas Terpusat No.AJ401/1/7/1991

    Keputusan Direktur Jenderal Perhubungan Darat, terdapat beberapa hal yang harus

    diperhatikan dalam mengkoordinasikan lalu-lintas dalam perkotaan, beberapa diantaranya

    adalah keuntungan dan efek negatif dari penerapan sistem tersebut. Dalam penerapan

    sistem pengaturan terkoordinasi, beberapa keuntungannya adalah:

    Diperolehnya waktu perjalanan total yang lebih singkat bagi kendaraan-kendaraan

    dengan karakteristik tertentu.

    Penurunan derajat polusi udara dan suara.

    Penurunan konsumsi energi bahan bakar.

    Penurunan tundaan.

    Di samping keuntungan-keuntungan yang dapat diperoleh dari penerapan system

    pengaturan lalu-lintas terkoordinasi ini, perlu pula diperhatikan akibat negatifnya, seperti:

    Kemungkinan terjadi waktu perjalanan yang lebih panjang bagi lalu-lintas kendaraan

    yang karakteristik operasinya berbeda dengan karakteristik operasi kendaraan yang

    diatur secara terkoordinasi.

    Manfaat penerapan sistem ini akan berkurang jika mempertimbangkan jenis lalu-lintas

    lain seperti pejalan kaki, sepeda, dan angkutan umum. Umumnya, keuntungan lebih

    besar akan diperoleh jika sistem ini diterapkan di suatu jaringan jalan arteri utama

    dibandingkan dengan jaringan jalan yang memiliki banyak hambatan.

    Koordinasi lampu lalu-lintas pada jalan arteri utama akan efektif jika satu simpang

    dengan simpang yang lain berjarak kurang lebih 800 meter. Jika jarak lebih dari itu,

    maka keefektifannya akan berkurang.

  • 2.7 Teori MKJI

    2.7.1 Karakteristik Sinyal Lalu-lintas

    Penggunaan sinyal dengan lampu tiga warna (hijau, kuning, merah) diterapkan untuk

    memisahkan lintasan dari gerakan-gerakan lalu-lintas yang saling bertentangan dalam

    dimensi waktu.

    1. Fase Sinyal

    Pemilihan fase pergerakan tergantung dari banyaknya konflik utama, yaitu konflik yang

    terjadi pada volume kendaraan yang cukup besar. Menurut MKJI (1997), jika fase

    sinyal tidak diketahui, maka pengaturan dengan dua fase sebaiknya digunakan sebagai

    kasus dasar. Pemisahan gerakan-gerakan belok kanan biasanya hanya dilakukan

    berdasarkan pertimbangan kapasitas kalau gerakan membelok melebihi 200 smp/jam.

    2. Waktu Antar Hijau (intergreen) dan Waktu Hilang

    Waktu antar hijau adalah periode kuning dan merah semua antara dua fase yang

    berurutan, arti dari keduanya sebagai berikut ini:

    a. Panjang waktu kuning pada sinyal lalu-lintas perkotaan di Indonesia menurut MKJI

    1997 adalah 3,0 detik.

    b. Waktu merah semua pendekat adalah waktu dimana sinyal merah menyala

    bersamaan dalam semua pendekat yang dilayani oleh dua fase sinyal yang berurutan.

    Fungsi dari waktu merah semua adalah memberi kesempatan bagi kendaraan terakhir

    (melewati garis henti pada akhir sinyal kuning) berangkat sebelum kedatangan

    kendaraan pertama dari fase berikutnya. Waktu hilang (lost time) adalah jumlah

    semua periode antar hijau dalam siklus yang lengkap. Waktu hilang dapat diperoleh

    dari beda antara waktu siklus dengan jumlah waktu hijau dalam semua fase.

    LTI = (semua merah + kuning) .... (2.1)

  • Ketentuan waktu antar hijau berdasarkan ukuran simpang menurut MKJI (1997)

    dapat dilihat pada Tabel 2.1.

    Tabel 2.1 : Waktu Antar Hijau

    Ukuran Simpang Lebar Jalan Rata-rata

    (meter)

    Nilai Normal Waktu Antar Hijau

    (detik/fase)Kecil 6 - 9 4

    Sedang 10 - 14 5

    Besar > 15 >6

    3. Waktu Siklus dan Waktu Hijau

    Waktu siklus adalah urutan lengkap dari indikasi sinyal (antara dua saat permulaan hijau

    yang berurutan di dalam pendekat yang sama). Waktu siklus yang paling rendah akan

    menyebabkan kesulitan bagi pejalan kaki untuk menyeberang, sedangkan waktu siklus

    yang lebih besar menyebabkan memanjangnya antrian kendaraan dan bertambahnya

    tundaan, sehingga akan mengurangi kapasitas keseluruhan simpang.

    a. Waktu siklus sebelum penyesuaian

    C = (1,5 x LTI + 5) / (1 - FRcrit) (detik) ..(2.2)

    di mana:

    C = Waktu siklus sinyal (detik)

    LTI = Jumlah waktu hilang per siklus (detik)

    FR = Arus dibagi dengan arus jenuh (Q/S)

    FRcrit = Nilai FR tertinggi dari semua pendekat yang berangkat pada suatu fase

    sinyal.

    IFR = (FRcrit) = Rasio arus simpang = jumlah FRcrit dari semua fase pada

    siklus tersebut.

  • Terdapat waktu siklus yang layak sesuai dengan jumlah fasenya dalam MKJI,

    yaitu : 40-80 detik untuk 2 fase, 50-100 detik untuk 3 fase, 80-130 detik untuk 4 fase.

    Rumus waktu siklus yang disesuaikan berdasarkan waktu hijau yang diperoleh dan telah

    dibulatkan dan waktu hilang:

    C = g + LTI (detik) (2.3)

    b. Waktu hijau (gi)

    Waktu hijau untuk masing-masing fase :

    gi = (C-LTI) x PRi (detik) (2.4)

    Dengan : gi = tampilan waktu hijau pada fase i

    PRi = Rasio fase FR/ FR

    LTI = (merah semua + kuning)

    c. Waktu siklus yang disesuaikan (c)

    c = g+ LTI (detik) (2.5)

    2.7.2 Arus lalu-lintas (Q)

    Arus lalu-lintas (Q) untuk setiap gerakan (belok-kiri QLT, lurus QST dan belok-

    kanan QRT) dikonversi dari kendaraan per-jam menjadi satuan mobil penumpang (smp)

    per-jam dengan menggunakan ekivalen kendaraan penumpang (emp) untuk masing-masing

    pendekat terlindung dan terlawan. Nilai faktor smp pada persimpangan adalah seperti pada

    tabel berikut :

    Tabel 2.2 : Nilai Ekivalen Mobil Penumpang

    Jenis kendaraan Terlindung Terlawan

    Kendaraan ringan (LV) 1,0 1,0

    Kendaraan berat (HV) 1,3 1,3

    Sepeda motor (MC) 0,2 0,4

  • Dalam penentuan waktu sinyal dipersimpangan terdapat dua macam tipe pendekat,

    yaitu :

    Tipe Pendekat Terlindung, yaitu arus berangkat tanpa konflik dengan lalu lintas

    dari arah berlawanan.

    Tipe Pendekat Terlawan, yaitu arus berangkat dengan konflik dengan lalu lintas

    dari arah berlawanan

    2.7.3 Kapasitas Simpang

    Kapasitas simpang adalah jumlah maksimum kendaran yang dapat melewati kaki

    persimpangan tersebut. Besarnya dipengaruhi oleh arus jenuh yang tergantung kepada

    jumlah yang lepas pada saat hijau dan waktu hijau serta waktu siklus yang telah

    ditentukan.

    C = S x g/c ....(2.6)

    Dimana:

  • C = Kapasitas (smp/jam)

    S = Arus jenuh (smp/jam)

    c = Waktu siklus (detik)

    g = Waktu Hijau (detik)

    Lebih rinci mengenai faktor tersebut adalah :

    a. Arus Jenuh (S)

    Pada saat awal hijau, kendaraan membutuhkan beberapa waktu untuk memulai

    pergerakan dan kemudian sesaat setelah bergerak sudah mulai terjadi antrian pada

    kecepatan normal. Keadaan ini disebut arus jenuh.Waktu hijau tiap fase adalah waktu

    untuk melewatkan arus jenuh menerus. Sebagai ilustrasi mengenai arus jenuh menurut

    MKJI adalah sebagai berikut :

    Gambar 2.9 : Arus Jenuh MKJI 1997

    Arus jenuh mempunyai apa yang disebut arus jenuh dasar seperti halnya Webster,

    tetapi besarnya sangat tergantung pada tipe pedekat.

    Tipe P (arus terlindung), maka So = 600 We (smp/jam)

    Tipe O (arus terlawan), besarnya So dipengaruhi oleh adanya pendekat yang

    mempunyai lajur belok kanan atau tanpa lajur belok kanan.

    Selanjutnya untuk mendapatkan besarnya arus jenuh, menggunakan rumus

    sebagai berikut:

  • S = So x Fcs x Fsf x Fg x Fp x Frt x Flt ....(2.7)

    Dimana :

    So = Arus jenuh dasar = 600 x We

    Fcs = Faktor penyesuaian ukuran kota

    Fsf = Faktor penyesuaian tipe lingkungan jalan, hambatan samping, dan

    kendaraan tak bermotor

    Fg = Faktor penyesuaian untuk kelandaian

    Fp = Faktor penyesuaian

    Frt = Faktor penyesuaian belok kanan

    Flt = Faktor penyesuaian belok kiri

    We = Lebar efektif

    a. Pengaruh ukuran kota (Fcs)

    Faktor ini mengikuti jumlah penduduk kota seperti pada table 2.3 berikut, untuk tipe

    O maupun tipe P.

    Table 2.3 : Pengaruh Ukuran Kota

    Jumlah penduduk (juta)

    Faktor ukuran kota (Fcs)

    Ukuran kota (cs)

    >3,0 1,05 Sangat besar

    1,0-3,0 1,00 Besar

    0,5-1,0 0,94 Sedang

    0,1-0,5 0,83 Kecil

  • b. Pengaruh Hambatan Samping (Fsp)

    Pengaruh ini merupakan fungsi dari jenis lingkungan jalan, tingkat hambatan

    samping dan rasio kendaraan tidak bermotor. Jika hambatan samping tidak

    diketahui, maka dianggap tinggi.

    c. Pengaruh Kelandaian (Fg)

    Merupakan fungsi dari kelandaian jalan seperti tercatat dalam data geometrik jalan.

    Simbol (+) adalah tanjakan dan (-) adalah turunan.

    d. Akibat Pengaruh Belok Kanan (Frt)

    Faktor penyesuian ini dipakai apabila pendekat bertipe P/terlindung, tanpa media

    jalan 2 arah lebar efektif ditentukan oleh lebar masuk, dengan ketentuan :

    Frt = 1,0 + Prt x 0,26 ....(2.8)

    e. Pengaruh Belok Kiri (Flt)

    Faktor ini hanya berlaku pada pendekat tipe P, tanpa LTOR, lebar efektif ditentukan

    oleh lebar masuk, dengan ketentuan :

    Flt = 1,0 Plt x 0,16 ....(2.9)

    f. Pengaruh Kendaraan Parkir (Fp)

    Pengaruh parkir merupakan fungsi jarak dari garis henti sampai kendaraan yang

    diparkir pertama dan lebar pendekat. Faktor ini tidak perlu diperhitungkan apabila

    lebar efektif ditentukan oleh lebar keluar. Parkir dapat dihitung dengan rumus :

    Fp = { Lp/3 (WA - 2) x (Lp/3 - g) / WA } /g (2.10)

    Dimana :

    Lp = jarak garis henti dan kendaraan parkir pertama

  • WA = lebar pendekat

    g = waktu hijau pendekat

    2.7.4 Derajat Kejenuhan :

    DS = Q/C ..(2.11)

    Dengan :

    DS = derajat kejenuhan

    Q = arus lalu-lintas pada pendekat tersebut (smp/jam)

    C = kapasitas

    2.7.5 Panjang Antrian

    Panjang Antrian adalah panjang antrian kendaraan dalam suatu pendekat dan

    antrian dalam jumlah kendaraan yang antri dalam suatu pendekat.

    Untuk menghitung jumlah antrian smp (NQ1) :

    1. Untuk DS > 0.5 maka :

    ..(2.12)

    Dengan :

    NQ1 = jumlah smp yang tertinggal dari fase hijau sebelumnya (smp)

    2. Untuk DS 0.5 maka NQ1 = 0

    Untuk menghitung antrian smp yang datang selama fase merah (NQ2) :

    ..(2.13)

    Dimana : NQ2 = jumlah smp yang datang selama fase merah (smp)

    GR = rasio hijau

    c = waktu siklus

    Qmasuk = arus lalu-lintas pada tempat masuk luar LTOR (smp/jam)

  • Penyesuaian arus:

    Qpeny = (Qmasuk Qkeluar) (smp/jam)

    Jumlah kendaraan antrian:

    NQ = NQ1 + NQ2 (smp) .(2.14)

    Panjang antrian:

    .(2.15)

    Kendaraan terhenti:

    Angka henti (NS) masing-masing pendekat :

    (2.16)

    Jumlah kendaraan terhenti (Nsv) masing-masing pendekat:

    Nsv = Q x NS (smp/jam) .(2.17)

    Angka henti seluruh simpang:

    .(2.18)

    2.7.6 Tundaan

    Tundaan adalah waktu tempuh tambahan yang diperlukan untuk melewati

    simpang bila dibandingkan dengan situasi tanpa simpang.

    1. Menghitung tundaan lalu-lintas

    Tundaan lalu-lintas rata-rata untuk setiap pendekat akibat pengaruh timbal balik dengan

    gerakan-gerakan lainnya pada simpang berdasarkan MKJI 1997 sebagai berikut :

    .(2.19)

  • dengan :

    DT = tundaan lalu-lintas rata-rata untuk pendekat j

    C = waktu siklus yang disesuaikan (det)

    A = .(2.20)

    A = Konstanta

    2. Menentukan tundaan geometri rata-rata (DG)

    Tundaan geometri untuk masing-masing pendekat akibat pengaruh perlambatan dan

    percepatan ketika menunggu giliran pada suatu simpang atau ketika dihentikan oleh

    lampu merah.

    (2.21)

    dengan :

    DGj = tundaan geometri rata-rata untuk pendekat j

    Psv = rasio kendaraan terhenti pada suatu pendekat

    3. Menghitung tundaan geometri gerakan belok kiri langsung (LTOR).

    Tundaan lalu-lintas dengan belok kiri langsung (LTOR) diasumsikan tundaan geometri

    rata-rata = 6 detik

    4. Menghitung tundaan rata-rata (det/jam)

    Tundaan rata-rata dihitung dengan menjumlahkan tundaan lalu-lintas (DT) dan tundaan

    geometri rata-rata untuk pendekat j (DGj)

    5. Menghitung tundaan total

    Tundaan total dalam detik dengan mengalihkan tundaan rata-rata dengan arus lalu-

    lintas.

    6. Menghitung tundaan rata-rata untuk seluruh simpang (D1)

    Tundaan rata-rata untuk seluruh simpang (D1) dihitung dengan membagi jumlah nilai

  • tundaan dengan jumlah arus total (Qtot) dalam smp/jam.

    .(2.22)

    2.8 Penelitian Sejenis

    1. Tesis

    Judul : Pengembangan Model Analisis Performansi Koordinasi Sinyal Lalu-lintas Pada

    Suatu Jalan Dua Arah

    Peneliti : Nusa Sebayang

    Lokasi : Bandung

    Universitas/Tahun : Institut Teknologi Bandung, 1998

    Pembahasan : Membahas model koordinasi sinyal lampu lalu-lintas yang dipasang pada

    suatu jalan dua arah. Model koordinasi sinyal yang dikembangkan hanya

    berlaku pada kondisi arus tidak jenuh (undersaturated) dan panjang siklus

    seluruh simpang sama besar. Data yang diperlukan adalah waktu hijau

    masing-masing simpang, besar pemutusan hijau dan perlambatan hijau,

    parameter disperse pleton pada masing-masing ruas, besar arus jenuh pada

    masing-masing simpang, kecepatan rata-rata arus lalu lintas pada masing-

    masing ruas, dan panjang masing-masing ruas. Koordinasi simpang

    dilakukan dengan mengasumsikan arus masuk dan keluar masing-masing

    simpang berbentuk pleton persegi panjang tunggal. Pleton kendaraan

    tersebut mengalami disperse saat bergerak melintasi ruas. Metode ini

    dilengkapi dengan program komputernya.

    Kesimpulan : Koordinasi simpang memberikan hasil yang lebih baik apabila dalam

    perhitungan turut diperhitungkan disperse pleton sesuai kondisi lapangan.

  • Perubahan volume mengakibatkan perubahan offset optimum. Offset

    optimum dan tundaan total dipengaruhi oleh faktor kecepatan rata-rata

    kendaraan, panjang ruas dan besar arus, dan parameter disperse.

    2. Skripsi

    Judul : Analisa dan Koordinasi Sinyal Antar Simpang Pada Ruas Jalan Diponegoro

    Surabaya

    Peneliti : Emal Zain MTB

    Lokasi : Surabaya

    Universitas/Tahun : Institut Teknologi Sepuluh November, 2010

    Pembahasan : Terdapat empat simpang yang berada dalam jarak 930 meter pada ruas Jalan

    Diponegoro. Permasalahan yang terjadi adalah kendaraan yang terkadang

    harus berhenti pada tiap simpang karena selalu mendapat sinyal merah.

    Tentu saja hal ini menimbulkan ketidaknyamanan pengendara.

    Pengumpulan data dilakukan dengan cara survey langsung pada keempat

    simpang. Adapun data yang diambil adalah volume kendaraan yang

    melalui tiap simpang, waktu sinyal, kecepatan tempuh kendaraan yang

    melalui keempat simpang, dan geometrik simpang. Data yang diperoleh

    digunakan untuk mendapatkan kondisi eksisting terjenuh yang akan

    menjadi acuan dalam merencanakan waktu siklus baru dengan

    memperhatikan teori koordinasi. Kinerja terbaik pada setiap simpang

    kemudian dikoordinasikan menggunakan waktu offset antar simpang. Dari

    hasil analisa, diketahui bahwa keempat simpang pada ruas Jalan

    Diponegoro belum terkoordinasi. Untuk itu, dilakukanlah beberapa

    perencanaan untuk melakukan koordinasi sinyal antar simpang pada

  • keempat simpang tersebut. Perencanaan yang dilakukan adalah

    menentukan waktu siklus baru yang sama untuk semua simpang.

    Kesimpulan : Dari tujuh perencanaan, didapatkan waktu siklus baru sebesar 130 detik.

    Waktu siklus semua simpang disamakan untuk mempermudah koordinasi

    sinyal. Dari kecepatan rencana sesuai regulasi batas maksimum kendaraan

    dalam kota sebesar 40 km/jam, didapatkan waktu offset sebesar 84 detik

    untuk kedua arah. Sedangkan untuk bandwidth yang dihasilkan dari diagram

    koordinasi, didapat bandwidth sebesar 56 detik arah dari Utara dan 33 detik

    dari arah Selatan.

    3. Skripsi

    Judul : Koordinasi Persimpangan Signal Lalu Lintas pada Suatu Kawasan di Kota Medan

    Peneliti : Sahat Situmorang

    Lokasi : Ruas Jalan Ir. Juanda - Medan

    Universitas/Tahun : Universitas Sumatera Utara, 2000

    Pembahasan : Pada simpang-simpang yang jaraknya berdekatan pengaturan lampu lalu

    lintas dengan pengkoordinasian diharapkan dapat melewatkan dengan

    semaksimal mungkin arus lalu lintas, sehingga mengurangi tundaan dan

    antrian yang terjadi. Pengkoordinasian dilakukan pada jalan dua arah

    dengan membentuk system yang saling berhubungan antar masing-masing

    lampu simpang dalam satu atau lebih pengaturan.

    Kesimpulan : Hasil pengkoordinasian menurunkan derajat kejenuhan rata-rata sebesar 15,4

    %, tundaan 65,77%, antrian 49,4%.

  • BAB III

    METODOLOGI

    Secara umum, inti dari dibuatnya metode penelitian adalah untuk menguraikan

    bagaimana tata cara penelitian ini dilakukan. Tujuan dari adanya metodologi ini adalah

    untuk mempermudah pelaksanaan dalam melakukan pekerjaan guna memperoleh

    pemecahan masalah dengan maksud dan tujuan yang telah ditetapkan. Selain itu,

    metodologi juga disusun dengan prosedur kerja yang sistematis, teratur, dan tertib,

    sehingga dapat diterjemahkan secara ilmiah.

    3.1 Metode Pengerjaan

    Secara garis besar, metodologi yang digunakan dalam menyelesaikan permasalahan

    pengkoordinasian sinyal antar simpang ini adalah:

    1. Tahap persiapan, berupa studi kepustakaan mengenai hal-hal yang berhubungan dengan

    pengkoordinasian antar simpang yang dapat diperoleh dari berbagai literatur.

    2. Tahap pengumpulan data, di mana data diperoleh dengan survey lapangan berupa

    kondisi lingkungan, geometrik jalan, volume kendaraan yang melewati simpang, dan

    waktu sinyal pada tiap simpang.

    3. Tahap analisa data dari survey yang didapat di lapangan. Dari analisa ini, dapat

    langsung diperoleh kondisi kedua simpang apakah telah terkoordinasi. Dari analisa ini

    juga akan didapatkan kinerja simpang pada kondisi eksisting.

    4. Perencanaan cycle time baru yang didasarkan pada kondisi terjenuh saat eksisting.

    Perencanaan dilakukan dengan memperhatikan teori koordinasi persimpangan dan

  • rumusan dalam MKJI 1997. Diharapkan cycle time baru dapat memberi kinerja simpang

    yang lebih baik.

    5. Merencanakan koordinasi antar simpang dari cycle time baru yang telah didapat dengan

    menggunakan waktu offset dan bandwitdh yang telah ditentukan sebelumnya.

    3.2 Metode Pemilihan Waktu Siklus Baru

    Untuk mendapatkan cycle time baru, akan dilakukan beberapa perencanaan. Hal ini

    dilakukan untuk mengetahui karakteristik kinerja simpang yang didasarkan pada cycle time

    yang berbeda-beda. Kinerja terbaik akan dipilih, untuk selanjutnya cycle time terpilih

    digunakan dalam mengkoordinasikan simpang. Perencanaan terbaik akan dipilih menurut

    kinerja simpang, yaitu derajat kejenuhan (DS), panjang antrian (QL), dan tundaan (Delay).

    Perencanaan terpilih merupakan perencanaan yang memiliki nilai hasil yang terkecil.

    3.3 Jenis Data

    Data-data yang dibutuhkan dalam kasus kali ini adalah data primer dan data

    sekunder. Data primer diperoleh dari survey lapangan. Sedangkan data sekunder didapat

    dari instansi terkait dan data penelitian lainnya yang berhubungan dengan ruas jalan

    tersebut.

    3.3.1 Data Primer

    Data primer yaitu data yang diperoleh langsung dari pengamatan di lokasi penelitian

    pada kedua simpang, yang meliputi:

    1. Volume kendaraan yang melewati setiap lengan simpang, di mana dalam hal ini

    dilakukan pencatatan kendaraan berdasarkan jenis dan arah pergerakan.

    2. Jumlah fase dan waktu sinyal pada masing-masing simpang.

  • 3. Kondisi geometrik, pembagian jalur, dan jarak antar simpang.

    4. Lingkungan simpang yang diamati secara visual.

    3.3.2 Data Sekunder

    Data sekunder adalah data yang diperoleh dari beberapa instansi terkait dan dari

    beberapa penelitian tentang ruas jalan yang diteliti sebelumnya. Data sekunder tersebut

    berupa data jumlah penduduk kota Medan.

    3.4 Volume Kendaraan

    Untuk mendapatkan volume kendaraan, diharapkan survey dilakukan dengan

    serentak pada semua simpang. Berikut beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam survey

    volume kendaraan.

    1. Waktu survey

    Hari yang diambil untuk melakukan survey adalah satu hari sibuk antara Senin hingga

    Kamis. Sedangkan waktu yang diambil adalah waktu yang diperkirakan terjadi volume

    lalu lintas besar. Hal yang paling penting dalam perancangan jalan dan pengendalian

    lalu lintas adalah volume pada jam puncak, yang biasanya 8-10% dari arus harian total

    atau 2 sampai 2,5 kali volume harian rata-rata. Hal yang paling menonjol pada area-area

    kota dan kurang terdapat pada area-area desa, ialah adanya dua jam puncak yang

    dominan pada pola-pola hari kerja. Dua jam tersebut adalah jam puncak pagi dan jam

    puncak sore. Pola-pola ini meliputi berbagai perjalanan ke tempat kerja yang waktunya

    relatif stabil dan agak kurang peka terhadap perubahan dari hari ke hari dan terhadap

    cuaca dan kondisi perjalanan lainnya (Hobbs,1995). Berdasarkan survei pendahuluan

    yang telah dilakukan sebelumnya, maka jam puncak pagi adalah pukul 06.00 - 08.00

    dan jam puncak sore adalah pukul 16.00 - 18.00. Penghitungan dilakukan per 15 menit.

  • Dalam menentukan waktu survey, terdapat beberapa kondisi tertentu yang harus

    dihindari, yaitu:

    Libur, mogok kerja, pekan raya, kunjungan pejabat negara, dan acara khusus yang

    dapat mempengaruhi ruas jalan studi.

    Cuaca yang tidak normal.

    Halangan di jalan seperti kecelakaan dan perbaikan jalan.

    2. Klasifikasi tipe kendaraan.

    Kendaraan tipe kendaraan yang diamati disesuaikan dengan metode penghitungan, yang

    mana dikelompokkan dalam empat kategori, yaitu:

    a. Kendaraan Ringan (Light Vehicle/LV)

    Adalah semua jenis kendaraan bermotor beroda empat yang termasuk didalamnya :

    Mobil penumpang, yaitu kendaraan bermotor beroda empat yang digunakan untuk

    mengangkut penumpang dengan maksimum 10 (sepuluh) orang termasuk pengemudi

    (Sedan, Jeep, Minibus)

    Pick-up, mobil hantaran dan mikro truck, dimana kendaraan beroda empat dan

    dipakai untuk angkutan barang dengan berat total (kendaraan + barang) kurang dari

    2,5 ton.

    b. Kendaraan Berat (Heavy Vehicle /HV)

    Yang termasuk kedalam kelompok kendaraan ini diantaranya sebagai berikut.

    Mikro Bus: semua kendaraan yang digunakan untuk angkutan penumpang dengan

    jumlah tempat duduk 20 buah termasuk pengemudi.

    Bus: semua kendaraan yang digunakan untuk angkutan penumpang dengan jumlah

    tempat duduk sebanyak 40 atau lebih termasuk pengemudi.

  • Truck: semua kendaraan angkutan bermotor beroda empat atau lebih dengan berat

    total lebih dari 2,5 ton. Termasuk disini adalah Truck 2-as, Truck 3-as, Truck Tanki,

    Mobil Gandeng, Semi Trailer, dan Trailer.

    c. Sepeda Motor

    Kendaraan bermotor beroda dua dengan jumlah penumpang maksimum 2 (dua)

    orang termasuk pengemudi. Termasuk disini adalah sepeda motor, scooter, sepeda

    kumbang dan sebagainya.

    d. Kendaraan Tak Bermotor (UnMotorized/UM)

    Kendaraan yang tidak meggunakan motor sebagai tenaga penggeraknya, termasuk

    didalamnya adalah sepeda dan becak.

    3.5 Metode Survey

    Metode yang digunakan untuk memperoleh volume kendaraan adalah dengan

    menggunakan surveyor yang mencatat volume secara manual. Surveyor ditempatkan pada

    masing-masing lengan simpang untuk mencatat volume masing-masing pergerakan.

    Adapun perinciannya adalah sebagai berikut.

    a. Simpang I (Jalan Jamin Ginting - Jalan Iskandarmuda - Jalan Patimura)

    Setidaknya dibutuhkan 10 surveyor pada simpang pertama ini. Untuk simpang I diberi

    kode A. Adapun pembagiannya adalah:

    1. Surveyor A1, mencatat kendaraan lurus dari pendekat Selatan berupa Light Vehicle

    (LV) dan Heavy Vehicle (HV).

    2. Surveyor A2, mencatat kendaraan lurus dari pendekat Selatan berupa Motor Cycle

    (MC) dan Un-Motorized (UM)

  • 3. Surveyor A3, mencatat kendaraan belok kiri dari pendekat Selatan berupa LV,

    HV,MC, dan UM

    4. Surveyor A4, mencatat kendaraan belok kiri dari pendekat Barat berupa LV, HV,

    dan MC

    5. Surveyor A5, mencatat kendaraan lurus dari pendekat Barat berupa LV, dan HV

    6. Surveyor A6, mencatat kendaraan lurus dari pendekat Barat berupa MC

    7. Surveyor A7, mencatat kendaraan belok kanan (Jalan Iskandar muda) dari pendekat

    Utara berupa MC, LV, dan HV

    8. Surveyor A8, mencatat kendaraan belok kanan (jalan Wahid Hasym) dari pendekat

    Utara berupa MC

    9. Surveyor A9, mencatat kendaraan belok kanan (jalan Wahid Hasym) dari pendekat

    Utara berupa LV dan HV

    10. Surveyor A10, mencatat kendaraan lurus (dari jalan Wahid Hasym ke jalan

    Pattimura) berupa MC, LV, dan HV

    b. Simpang II (Jalan Patimura - Jalan Sudirman - Jalan Mongonsidi)

    Setidaknya dibutuhkan 7 (tujuh) surveyor pada simpang kedua ini. Untuk simpang II

    Jalan diberi kode B. Adapun pembagiannya adalah:

    1. Surveyor B1, mencatat kendaraan lurus dari pendekat Selatan berupa Light Vehicle

    (LV) dan Heavy Vehicle (HV).

    2. Surveyor B2, mencatat kendaraan belok kanan dari pendekat Selatan berupa LV

    dan HV

    3. Surveyor B3, mencatat kendaraan belok kanan dari pendekat Selatan berupa MC

    4. Surveyor B4, mencatat kendaraan lurus dari pendekat Utara berupa LV, HV, dan

    MC

  • 5. Surveyor B5, mencatat kendaraan belok kiri dari pendekat Utara berupa LV, HV,

    dan MC

    6. Surveyor B6, mencatat kendaraan belok kanan dari pendekat Timur berupa LV,

    HV, dan MC

    7. Surveyor B7, mencatat kendaraan belok kiri dari pendekat Timur berupa MC, LV,

    dan HV

    3.6 Waktu Sinyal

    Survey waktu sinyal dilakukan untuk mengetahui pengaturan tiap-tiap waktu pada

    masing-masing simpang bersinyal. Survey ini dilakukan dengan pengukuran langsung di

    tiap kaki pada masing-masing simpang dengan menggunakan stopwatch. Data yang

    diambil adalah waktu siklus, waktu hijau, waktu merah, dan waktu antar hijau. Waktu

    siklus lapangan diperoleh dengan mencatat lamanya waktu suatu fase dari saat menyala,

    berhenti, hingga menyala kembali.

    3.7 Geometrik Simpang

    Survey geometrik simpang dilakukan untuk mengetahui keadaan di persimpangan

    secara geometrik. Cara yang dilakukan adalah pengukuran langsung di lapangan

    menggunakan alat ukur meteran biasa. Beberapa hal yang diukur adalah:

    Lebar pendekat

    Lebar masuk

    Lebar keluar

    Pembagian jalur

    Ada atau tidaknya median dan lebarnya

    Jarak antar simpang

  • Gambar 3.1 : Alur Metode Pengerjaan Penelitian

    Identifikasi Masalah

    Studi Pustaka

    Menentukan Tujuan

    Menentukan Metodologi Survey: Lokasi Penelitian Metodologi Survey

    Survey Pendahuluan

    Pengumpulan Data Primer :- Kapasitas Lalu Lintas- Waktu Sinyal- Geometrik Simpang- Kondisi Lingkungan- Kecepatan rata-rata

    Pengumpulan Data Sekunder :- Peta Lokasi- Jumlah Penduduk

    Analisa dan Evaluasi : Perhitungan kinerja simpang kondisi eksisting Perencanaan Cycle Time baru dengan memperhatikan teori koordinasi dan

    rumusan MKJI Perencanaan didasarkan atas kondisi terjenuh pada analisa

    Pengkoordinasian simpang dengan metode bandwitdh dan offset time :

    Kecepatan rata-rata Diagram time travel Waktu tempuh antar simpang Penyesuaian besar lintasan (waktu hijau)

    Kesimpulan dan Saran

  • BAB IV

    PENGUMPULAN DATA

    Sebagian besar data yang digunakan dalam analisa permasalahan dan perencanaan

    tugas akhir ini adalah data primer. Data primer merupakan data yang diambil langsung

    dilapangan, dalam hal ini lokasi studi di Jalan Jamin Ginting - Jalan Patimura -

    Jalan Mongonsidi. Adapun metode yang digunakan untuk mendapatkan data primer adalah

    melalui survey dan pengamatan langsung.

    4.1 Data Primer

    Terdapat empat data primer yang digunakan dalam analisa dan perencanaan. Data-

    data tersebut diantaranya adalah data waktu sinyal dan fase tiap simpang, serta volume

    kendaraan pada semua simpang.

    4.1.1 Geometrik Simpang

    Data geometrik dan kondisi simpang digunakan dalam perhitungan kinerja

    simpang menggunakan Manual Kapasitas Jalan Indonesia tahun 1997. Adapun data tiap

    pendekat pada setiap simpang yang dipakai adalah lebar efektif. Berikut data kondisi

    lingkungan dan lebar efektif eksisting pada setiap simpang yang didasarkan pada masing-

    masing pendekatnya, dapat dilihat pada tabel 4.1 dan 4.2.

    Untuk mengetahui lebar masuk dan lebar keluar setiap pendekat pada kedua

    simpang selengkapnya dapat dilihat pada gambar geometrik simpang. Sedangkan untuk

    jarak antar simpang, didapatkan total jarak dari Simpang I ke Simpang II atau dari ujung ke

    ujung sebesar 140 meter.

  • Tabel 4.1a : Kondisi lingkungan simpang I(Jalan Jamin Ginting-Jalan Iskandar Muda-Jalan Patimura)

    Pendekat Utara Timur Selatan Barat

    Hambatan samping Tidak ada - Tidak ada Tidak ada

    Median ada - ada ada

    Belok kiri jalan terus Tidak ada - ada Tidak ada

    Tabel 4.1b : Kondisi lingkungan simpang II(Jalan Patimura-Jalan Sudirman-Jalan Mongonsidi)

    Pendekat Utara Timur Selatan Barat

    Hambatan samping Tidak ada Tidak ada Tidak ada -

    Median Ada Ada Ada -

    Belok kiri jalan terus Ada Ada Tidak ada -

    Tabel 4.2a : Data geometrik simpang I(Jalan Jamin Ginting - Jalan Iskandar Muda - Jalan Patimura)

    Arah 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

    Lebar (w)

    (meter)4,5 4,5 3,5 3,5 5,75 3,5 3,5 9,0 5,0 3,5

    Tabel 4.2b : Data geometrik simpang II(Jalan Patimura - Jalan Sudirman - Jalan Mongonsidi)

    Arah 1 2 3 4 5 6 7 8

    Lebar (w)

    (meter)2 7 6,5 5,0 2,0 8,5 5,0 2,0

    4.1.2 Waktu Sinyal dan Fase Pergerakan

    Terdapat dua simpang yang akan dikoordinasikan dalam perencanaan ini. Pada

    kondisi eksisting, kedua simpang memiliki bentuk fase serta waktu sinyal yang berbeda-

    beda. Berikut ini akan digambarkan bentuk pergerakan setiap fasenya serta waktu sinyal

    berupa waktu hijau, waktu hilang perfase dan waktu siklus.

  • Table 4.3a : Data lampu lalu-lintas simpang I

    (Jalan Jamin Ginting-Jalan Iskandar Muda-Jalan Patimura)

    PendekatWaktu Nyala (detik) Waktu Siklus

    (detik)Hijau Kuning Merah All red

    Selatan 58 3 82 5 148

    Utara 31 3 109 5 148

    Barat 35 3 105 5 148

    Timur 35 3 105 5 148

    Table 4.3b : Data lampu lalu-lintas simpang II

    (Jalan Patimura - Jalan Sudirman - Jalan Mongonsidi)

    PendekatWaktu Nyala (detik) Waktu Siklus

    (detik)Hijau Kuning Merah All red

    Selatan 82 3 75 5 165

    Utara 37 3 120 5 165

    Barat 22 3 135 5 165

  • Selatan

    Utara

    Barat-Timur

    Gambar 4.1a : Diagram fase pergerakan simpang I

    Selatan

    Utara

    Barat

    Gambar 4.1b : Diagram fase pergerakan simpang II

    4.2 Kapasitas Simpang

    Survey kapasitas simpang dilakukan dalam satu hari pada Senin, 20 Februari 2012.

    Data yang diambil adalah peak hour pagi dan sore. Survey dilaksanakan serentak pada

    kedua simpang untuk mendapatkan kondisi yang sama. Selengkapnya dapat dilihat pada

    tabel-tabel berikut ini.

    a. Peak hour pagi

    Untuk peak hour pagi, data diambil pada pukul 06.00-08.00 WIB. Hasil

    rekapitulasi kedua simpang dapat dilihat pada tabel-tabel berikut ini.

    58 detik 82 detik

    61 detik 48 detik31 detik

    95 detik 1035 detik

    CT=148

    82 detik 75 detik

    85 detik 35 detik37 detik

    125 detik 1022 detik

    CT=165

  • Table 4.4a : Kapasitas simpang I (pagi)

    (Jalan Jamin Ginting - Jalan Iskandar Muda - Jalan Patimura)

    Pendekat KendaraanArah

    LT/LTOR ST RT

    Utara

    Mobil

    Penumpang,

    Sedan, Angkot

    31 761 0

    Truk 2-as & 3-as 0 5 0

    Sepeda Motor 6 91 0

    37 858 0

    Selatan

    Mobil

    Penumpang,

    Sedan, Angkot

    976 1478 0

    Truk 2-as & 3-as 5 7 0

    Sepeda Motor 211 237 0

    1192 1721 0

    Barat

    Mobil

    Penumpang,

    Sedan, Angkot

    739 447

    Truk 2-as & 3-as 14 0

    Sepeda Motor 175 73

    928 520

    Timur

    Mobil

    Penumpang,

    Sedan, Angkot

    0 186 0

    Truk 2-as & 3-as 0 3 0

    Sepeda Motor 0 31 0

    0 219 0

  • Table 4.4b : Kapasitas simpang II (pagi)

    (Jalan Patimura - Jalan Sudirman - Jalan Mongonsidi)

    Pendekat KendaraanArah

    LT/LTOR ST RT

    Utara

    Mobil

    Penumpang,

    Sedan, Angkot

    313 467

    Truk 2-as & 3-

    as0 0

    Sepeda Motor 168 76

    481 543

    Selatan

    Mobil

    Penumpang,

    Sedan, Angkot

    486 1156

    Truk 2-as & 3-

    as1 5

    Sepeda Motor 70 185

    558 1346

    Barat

    Mobil

    Penumpang,

    Sedan, Angkot

    652 313

    Truk 2-as & 3-

    as0 0

    Sepeda Motor 209 81

    861 394

    b. Peak hour sore

    Untuk peak hour sore, data diambil pada pukul 16.00-18.00 WIB. Hasil

    rekapitulasi kedua simpang dapat dilihat pada tabel-tabel berikut ini.

  • Table 4.5a : Volume simpang I (sore)

    (Jalan Jamin Ginting - Jalan Iskandar Muda - Jalan Patimura)

    Pendekat KendaraanArah

    LT/LTOR ST RT

    Utara

    Mobil

    Penumpang,

    Sedan, Angkot 51 548 0

    Truk 2-as & 3-as 0 0 0

    Sepeda Motor 7 137 0

    58 685

    Selatan

    Mobil

    Penumpang,

    Sedan, Angkot 627 835 0

    Truk 2-as & 3-as 3 14 0

    Sepeda Motor 173 512 0

    803 1362 0

    Barat

    Mobil

    Penumpang,

    Sedan, Angkot 871 618 0

    Truk 2-as & 3-as 7 4 0

    Sepeda Motor 205 99 0

    1082 721 0

    Timur

    Mobil

    Penumpang,

    Sedan, Angkot 0 219 0

    Truk 2-as & 3-as 0 7 0

    Sepeda Motor 0 37 0

    0 263 0

  • Table 4.5b : Volume simpang II (sore)

    (Jalan Patimura - Jalan Sudirman - Jalan Mongonsidi)

    Pendekat KendaraanArah

    LT/LTOR ST RT

    Utara

    Mobil

    Penumpang,

    Sedan, Angkot 276 622 0

    Truk 2-as & 3-

    as 0 0 0

    Sepeda Motor 145 86 0

    421 708 0

    Selatan

    Mobil

    Penumpang,

    Sedan, Angkot 160 1143

    Truk 2-as & 3-

    as 4 14

    Sepeda Motor 44 174

    208 1331 0

    Barat

    Mobil

    Penumpang,

    Sedan, Angkot 917 251 0

    Truk 2-as & 3-

    as 9 5 0

    Sepeda Motor 149 70 0

    1075 326 0

    4.3 Kecepatan Rata-rata

    Perbedaan kecepatan rata-rata masing-masing kendaraan merupakan penyebab utama

    terjadinya dispersi pleton. Perbedaan kecepatan mengakibatkan perbedaan waktu tempuh

  • rata-rata (average travel time) masing-masing kendaraan dalam melintasi suatu panjang

    ruas jalan, sehingga sehingga mempengaruhi tundaan total. Semakin besar tundaan total,

    maka semakin besar pula dispersi pleton yang terjadi. Kecepatan rata-rata masing-masing

    kendaraan diambil saat kondisi lalu lintas dalam keadaan normal. Adapun hasil survey

    kondisi eksisting pada ruas jalan antar simpang I dan II (Jalan Pattimura) dapat dilihat pada

    table 4.6.

    Table 4.6 : Kecepatan Rata-rata Total Kendaraan

    No. Jenis KendaraanKecepatan Rata-rata

    (Km/Jam)1 Mobil Penumpang dan Sedan 27,71

    2 Truk 2-as dan Truk 3-as 36,78

    3 Sepeda Motor 36,78

    4 Becak Bermotor 25,23

    Total 32

  • BAB V

    Analisa Data dan Perencanaan

    Terdapat dua hal yang akan dilakukan pada bab ini. Pertama, menganalisa kondisi

    eksisting apakah kedua simpang sudah terkoordinasi. Selanjutnya, akan dianalisa kinerja

    semua simpang pada peak hour pagi dan peak hour sore. Data Kinerja terjenuh akan

    digunakan sebagai dasar semua perencanaan.

    Langkah kedua adalah melakukan perencanaan waktu siklus baru dengan mengacu

    pada teori koordinasi. Waktu siklus yang akan dikoordinasikan adalah waktu siklus yang

    terpilih dari beberapa perencanaan yang dilakukan.

    5.1 Analisa Koordinasi Simpang Kondisi Eksisting

    Salah satu syarat bahwa beberapa simpang terkoordinasi adalah waktu siklus yang

    sama pada semua simpang tersebut. Dari data sinyal kondisi eksisting didapat waktu siklus

    untuk Simpang I adalah 148 detik dan Simpang II sebesar 165 detik. Dari data ini, jelas

    ruas tersebut tidak memenuhi syarat telah terkoordinasi karena memiliki waktu siklus yang

    berbeda. Untuk lebih jelasnya, akan dilakukan pembuktian melalui sebuah diagram aliran.

    Untuk membentuk diagram, perlu diketahui terlebih dahulu kecepatan platoon pada ruas

    tersebut, sehingga nantinya waktu dari simpang satu ke simpang lainnya dapat diketahui.

    Dalam analisa ini serta dalam perencanaan nantinya akan digunakan kecepatan

    maksimum sesuai dengan kondisi eksisting sebesar 32 km/jam. Dengan kecepatan tersebut,

    maka waktu platoon untuk berjalan dari satu simpang ke simpang lainnya bila dihitung

    dengan menggunakan kecepatan tersebut serta cycle time yang telah diketahui maka

    diagram koordinasi dapat disusun seperti terlihat pada gambar 5.1.

  • Dari gambar 5.1, terlihat cycle time kedua simpang berbeda dan tidak

    sebanding. Hal ini menyebabkan selisih nyala sinyal hijau dari simpang yang satu dengan

    simpang berikutnya tidak tetap. Hubungan sinyal kedua simpang pun menjadi acak,

    sehingga tidak terjadi koordinasi sinyal antar simpang.

    5.2 Analisa Kondisi Eksisting

    Terdapat dua kinerja simpang yang dihitung dalam hal ini, yaitu pada saat peak

    hours pagi dan peak hours sore. Waktu yang memiliki kinerja terjenuh akan digunakan

    sebagai dasar untuk merencanakan cycle time baru yang lebih baik. Kinerja simpang

    dihitung dengan menggunakan perhitungan Manual Kapasitas Jalan Indonesia tahun 1997.

    Perhitungan dapat dilihat pada lampiran.

  • 5.3 Analisa Data

    Data hasil pengukuran dilapangan berupa data geometrik simpang, waktu siklus

    volume lalu lintas, dan data kecepatan lalu lintas selanjutnya akan diolah dengan analisa

    MKJI 1997.

    Rumus yang digunakan pada kondisi eksisting untuk faktor arus jenuh, untuk arus

    terlindung adalah (SO = 600 x lebar efektif). Perhitungan evaluasi ini dilakukan

    berdasarkan data pada jam puncak senin pagi.

    Arus Jenuh

    Arus jenuh (S) dapat dinyatakan sebagai hasil perkalian arus untuk keadaan

    standar, dengan faktor penyesuaian (F) untuk kondisi sebenarnya dari kumpulan

    kondisi-kondisi (ideal) yang telah ditetapkan sebelumnya.

    S = SO x FCS x FSF x FG x FP x FRT x FLT

    Sebagai contoh perhitungan, untuk pendekat Utara (SimpangI : Jl. Jamin

    Ginting Jl. Iskandar Muda Jl. Pattimura Jl. Brimob).

    SO = 600 x We

    = 600 x 7 m

    = 4200 smp/jam

    S = SO x FCS x FSF x FG x FP x FRT x FLT

    = 4200 x 1,0 x 0,95 x 1,0 x 1,0 x 0,99 x 1,0

    = 4200 smp/jam

    Hasil perhitungan arus jenuh kondisi eksisting untuk seluruh pendekat dapat

    dilihat pada Tabel 5.1 berikut.

  • Tabel 5.1 : Hasil perhitungan arus lalu lintas dan arus jenuh

    Simpang Pendekat We

    (meter)

    Faktor Penyesuaian S

    (smp/jam)

    q

    (smp)FCS FSF FG FP FRT FLT

    I Utara 7 1,0 0,95 1,0 1,0 1,0 0,99 4200 758

    Selatan 9 1,0 0,95 1,0 1,0 1,0 0,92 5400 1521

    Barat 5 1,0 0,95 1,0 1,0 1,0 1,0 3000 492

    Timur 3.5 1,0 0,95 1,0 1,0 1,0 1,0 2100 156

    II Utara 5 1,0 0,95 1,0 1,0 1,0 1,0 3000 573

    Selatan 7 1,0 0,95 1,0 1,0 1,0 1,0 4200 1218

    Barat 5 1,0 0,95 1,0 1,0 1,0 1,0 3000 394

    Rasio Arus Jenuh

    Nilai arus jenuh untuk setiap pendekat menggunakan rumus : FR = Q/S.

    Sebagai contoh perhitungan, untuk pendekat Utara (Simpang I : Jl. Jamin Ginting

    Jl. Iskandar Muda Jl. Pattimura Jl. Brimob).

    FR = 858/4200

    = 0,2043

    Hasil perhitungan rasio arus jenuh kondisi eksisting untuk seluruh pendekat

    dapat dilihat pada Tabel 5.2 berikut.

  • Table 5.2 : Hasil perhitungan rasio arus jenuh

    Simpang Pendekat Q (smp) S (smp/jam) FR

    I

    Utara 858 4200 0.2043

    Selatan 1721 5400 0.3187

    Barat 538 3000 0.1793

    Timur 219 2100 0.1043

    II

    Utara 543 3000 0.1810

    Selatan 1346 4200 0.3205

    Barat 394 3000 0.1313

    Kapasitas dan Derajat Kejenuhan

    Kapasitas (C) diproleh dengan perkalian arus jenuh dengan rasio hijau (g/c)

    pada masing-masing pendekat, menggunakan rumus : C = S x g/c

    Derajat kejenuhan (DS) :

    DS = Q/C

    Q = (LV x 1) + (HV x 1,3) + (MC x 0,2)

    Sebagai contoh perhitungan, untuk pendekat Utara (Simpang I : Jl. Jamin

    Ginting Jl. Iskandar Muda Jl. Pattimura Jl. Brimob).

    S = 4200 smp/jam ; g = 31 ; c = 148

    Q = 858smp/jam

    C = 4200 x (31/148) = 880 smp/jam

    DS = 858 / 880 = 0,975 smp/jam

    Hasil perhitungan rasio arus jenuh kondisi eksisting untuk seluruh pendekat

    dapat dilihat pada Tabel 5.3 berikut.

  • Table 5.3: Hasil perhitungan Kapasitas dan Derajat Kejenuhan

    Simpang Pendekat g

    (detik)

    c

    (detik)

    Q

    (smp/jam)

    C

    (smp)

    DS

    (smp/jam)

    I Utara 31 148 858 880 0.975

    Selatan 58 148 1721 2116 0.813

    Barat 35 148 538 709 0.758

    Timur 35 148 219 497 0.441

    II Utara 37 165 543 673 0.807

    Selatan 82 165 1346 2087 0.645

    Barat 22 165 394 400 0.985

    Panjang Antrian (QL)

    Rumus yang digunakan : NQ = NQ1 + NQ2

    dengan :

    NQ1 = jumlah fase yang tersisa dari fase hijau sebelumnya

    NQ1 = 0,25 ( 1) + ( 1) + ( , )NQ2 = jumlah smp yang dating selama fase merah

    NQ2 = c x x

    QL =

    Sebagai contoh perhitungan, untuk pendekat Utara (Simpang I : Jl. JaminGinting

    Jl. Iskandar Muda Jl. Pattimura Jl. Brimob).

    NQ1 = 0,25 858 (0,975 1) + (0,975 1) + ( , , )

  • = 10,014 smp

    NQ2 = 148 x ,

    , , x

    = 35,064 smp

    NQ = 10,014 + 35,064

    = 45,058 smp

    Gunakan Gambar 5.2 dibawah ini, untuk menyesuaikan NQ dalam hal

    peluang yang diinginkan untuk terjadinya pembebanan lebih POL. Untuk

    perancangan dan perencanaan disarankan POL 5% untuk operasi suatu nilai POL=

    5% - 10% mungkin dapat diterima.

    Gambar 5.2 : Diagram Peluang untuk Pembebanan lebih POL

    Hasil perhitungan rasio arus jenuh kondisi eksisting untuk seluruh pendekat

    dapat dilihat pada Tabel 5.3 berikut.

  • Table 5.4: Hasil penyesuaian NQmax

    Simpang Pendekat NQ1

    (smp)

    NQ2

    (smp)

    NQ1 +

    NQ2

    (smp)

    NQ

    max

    QL

    (meter)

    DT

    (detik/smp)

    I Utara 10.014 35.044 45.058 62.000 177.143 100.135

    Selatan 1.663 63.152 64.815 78.000 173.333 43.645

    Barat 1.056 20.577 21.633 32.000 128.000 59.631