29
TEACHING HEALTH ETHICS PENDAHULUAN Ilmu pengobatan dan pembedahan kuno sudah dikenal sejak jaman Mesir Kuno sekitar 5000 tahun yang lalu. Baru sekitar 500 tahun sebelum masehi, Hippocrates (460-377 SM) memperkenalkan ilmu kedokteran modern yang didasarkan atas rasio dan ilmu pengetahuan alam, kimia, matematika, biologi dan sebagainya. Ilmu kedokteran modern dan etik kedokteran bertumpu pada kebudayaan dan etik Barat yang berurat akar pada kebudayaan dan peradaban Yunani Kuno. Istilah etik berasal dari kata Yunani, ethos yang berarti adat istiadat, atau dari kata ethos yang berarti watak, sikap, kelakuan, sepak terjang, tingkah laku, kesusilaan, moral. Etika berarti ilmu pengetahuan tentang asas-asas akhlak atau moral. Sedangkan istilah moral berasal dari kata mos (Latin), atau kata mores (Yunani) yang berarti adat-istiadat. Etik kedokteran bertumpu pada etika umum yang ada sejak manusia lahir, berlaku seumur hidup, dimana pun, dalam segala situasi dan kondisi, di lingkungan apapun, tetapi selalu dinamis dan harmonis dengan kehidupan kemanusiaan, kemasyarakatan dan kebangsaan. Dalam proses pemeriksaan pasien, seorang dokter harus berpedoman pada etik kedokteran yang pada umumnya berlaku seperti misalnya: 1) memberi kesempatan kepada pasien dan keluarganya untuk mengiformasikan keluhan, gejala, 1

Teaching Health Ethics

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Teaching Health Ethics

TEACHING HEALTH ETHICS

PENDAHULUAN

Ilmu pengobatan dan pembedahan kuno sudah dikenal sejak jaman Mesir Kuno sekitar

5000 tahun yang lalu. Baru sekitar 500 tahun sebelum masehi, Hippocrates (460-377

SM) memperkenalkan ilmu kedokteran modern yang didasarkan atas rasio dan ilmu

pengetahuan alam, kimia, matematika, biologi dan sebagainya. Ilmu kedokteran modern

dan etik kedokteran bertumpu pada kebudayaan dan etik Barat yang berurat akar pada

kebudayaan dan peradaban Yunani Kuno.

Istilah etik berasal dari kata Yunani, ethos yang berarti adat istiadat, atau dari

kata ethos yang berarti watak, sikap, kelakuan, sepak terjang, tingkah laku, kesusilaan,

moral. Etika berarti ilmu pengetahuan tentang asas-asas akhlak atau moral. Sedangkan

istilah moral berasal dari kata mos (Latin), atau kata mores (Yunani) yang berarti adat-

istiadat.

Etik kedokteran bertumpu pada etika umum yang ada sejak manusia lahir,

berlaku seumur hidup, dimana pun, dalam segala situasi dan kondisi, di lingkungan

apapun, tetapi selalu dinamis dan harmonis dengan kehidupan kemanusiaan,

kemasyarakatan dan kebangsaan.

Dalam proses pemeriksaan pasien, seorang dokter harus berpedoman pada etik

kedokteran yang pada umumnya berlaku seperti misalnya: 1) memberi kesempatan

kepada pasien dan keluarganya untuk mengiformasikan keluhan, gejala, pengamatan,

riwayat sakit dan sebagainya tanpa interupsi, 2) tanya jawab untuk penjelasan dan

kejelasan, tanya jawab yang terarah dengan selalu menghormati integritasnya,

kepercayaan dan kerahasiaan dari pasien dan keluarganya, 3) memberi informasi,

penyuluhan dan pembinaan yang cukup dan dapat dimengerti pasien dan keluarganya,

sehingga mampu mengambil keputusan yang perlu untuk informed consent pasien.

Ada dua jenis etika yang harus diperhatikan, yaitu:

1. Etika jabatan (medical ethics)

Etika jabatan kedokteran menyangkut masalah yang berkaitan dengan sikap para

dokter terhadap teman sejawat, para pembantunya serta terhadap masyarakat dan

pemerintah.

2. Etika asuhan kedokteran (ethics of medical care)

1

Page 2: Teaching Health Ethics

Etika asuhan kedokteran merupakan etika kedokteran untuk kehidupan sehari-hari,

yaitu mengenai sikap dan tindakan seorang dokter terhadap penderita yang

menjadi tanggungjawabnya.

Kehidupan pada masa lalu agaknya lebih mudah dibandingkan dengan

kehidupan masa kini. Hal ini disebabkan timbulnya masalah konflik karena terdapat

perbedaan nilai antara karyawan kesehatan dan pasien selaku pihak yang harus

mengambil keputusan. Adanya perubahan yang mendasar dalam ilmu kedokteran dan

pelayanan kesehatan di bawah pengaruh ilmu dan teknologi kedokteran dengan segala

kemungkinannya membawa dampak bagi penilaian etik.

Sesuai dengan perkembangan jaman, maka sampai dengan saat ini paling tidak

telah terjadi tiga jenis transformasi etik kedokteran, yaitu:

1. Transformasi sosial, karena perubahan sosio-budaya masyarakat (dari ilmu

pengobatan kuno ke ilmu kedokteran modern dan dari kedokteran individual ke

kedokteran atau kesehatan masyarakat (community medicine/ community health).

2. Transformasi teknologi, akibat perubahan teknologi kedokteran (dari teknologi

sederhana atau manual ke teknologi canggih atau instrumental/ machinal).

3. Transformasi konseptual, akibat perubahan konsep dari dan dalam ilmu kedokteran

atau kesehatan modern.

Untuk memperjelas sifat radikal dari transformasi konseptual ini, dapat

dikemukakan beberapa paradoks yang telah diakui dan dibenarkan, kadang-kadang

dianggap terlalu jahat dan kadang-kadang juga dianggap melampaui batas.

Paradoks 1: Ilmu kedokteran modern memungkinkan, dan kadang-kadang malah

perlu, mempertahankan orang yang sudah mati agar tetap hidup.

Paradoks 2: Ilmu kedokteran modern berusaha dan mencoba menyembuhkan keadaan

yang tidak ada perasaan sakit atau keadaan yang dirasakan tidak ada

penyakit; artinya menyamakan kondisi medis yang tanpa gejala sebagai

penyakit. Kadang ilmu kedokteran modern malah menggolongkan risiko

sebagai penyakit (seperti misalnya hipertensi ringan). Pada umumnya

ilmu kedokteran modern mengaburkan perbedaan antara penyakit dan

risiko. Bagi awam, hal tersebut seperti menyamakan mendung hitam

dengan angin ribut disertai guntur.

Prof. John Ladd dari Brown University, Providence, Rhode Island (USA) dalam

makalahnya Paradoxes of Modern Medicine, pada 7th World Congress on Medical Law

di Gent, 18-22 Agustus 1985, mengatakan bahwa "Apa yang tidak boleh kita lupakan

2

Page 3: Teaching Health Ethics

ialah bahwa tujuan ilmu kedokteran adalah menanggulangi problem-problem manusia,

daripada menanggulangi penyimpangan-penyimpangan yang didapat antara molekul-

molekul, meskipun pengetahuan tentang penyimpangan antara molekul-molekul itu

sering membantu dalam menanggulangi problem manusia".

Sebagian besar orang menganut dua teori etika, yaitu:

1. Teori Deontologi

Deontologi mengajarkan bahwa baik-buruknya suatu perbuatan harus dilihat dari

perbuatannya itu sendiri (I Kant). Deontologi lebih mendasarkan kepada ajaran

agama, tradisi, dan budaya.

2. Teori Teleologi.

Teleologi mengajarkan untuk menilai baik-buruk tindakan dengan melihat hasilnya

atau akibatnya (D Hume, J Bentham, JS Mills). Teleologi lebih ke arah penalaran

(reasoning) dan pembenaran (justifikasi) kepada azas manfaat (aliran utilitarian).

Beauchamp and Childress (1994) menguraikan bahwa untuk mencapai ke suatu

keputusan etik diperlukan empat kaidah dasar moral (moral principle) dan beberapa

rules di bawahnya. Keempat kaidah dasar moral tersebut adalah:

1. Prinsip beneficence, yaitu prinsip moral yang mengutamakan tindakan yang

ditujukan ke kebaikan pasien. Dalam beneficence tidak hanya dikenal perbuatan

untuk kebaikan saja, melainkan juga perbuatan yang sisi baiknya (manfaat) lebih

besar daripada sisi buruknya (mudharat);

2. Prinsip non-maleficence, yaitu prinsip moral yang melarang tindakan yang

memperburuk keadaan pasien. Prinsip ini dikenal sebagai "primum non nocere"

atau "above all do no harm".

3. Prinsip otonomi, yaitu prinsip moral yang menghormati hak-hak pasien, terutama

hak otonomi pasien (the rights to self determination). Prinsip moral inilah yang

kemudian melahirkan doktrin informed consent;

4. Prinsip justice, yaitu prinsip moral yang mementingkan fairness dan keadilan

dalam bersikap maupun dalam mendistribusikan sumber daya (distributive

justice).

Sedangkan hal yang lainnya adalah veracity (berbicara benar, jujur dan terbuka),

privacy (menghormati hak privasi pasien), confidentiality (menjaga kerahasiaan

pasien) dan fidelity (loyalitas dan promise keeping).

Selain prinsip atau kaidah dasar moral di atas yang harus dijadikan pedoman

dalam mengambil keputusan klinis, profesional kedokteran juga mengenal etika profesi

3

Page 4: Teaching Health Ethics

sebagai panduan dalam bersikap dan berperilaku (code of ethical conduct). Nilai-nilai

etika profesi tersebut tercermin di dalam sumpah dokter dan kode etik kedokteran.

Dalam dunia kedokteran, terdapat beberapa kode etik yang berlaku secara

internasional dan nasional untuk negara tertentu. Kode etik internasional yang

dideklarasikan oleh Ikatan Dokter Sedunia antara lain :

1. Deklarasi Helsinki tahun 1964 tentang penelitian dengan Objek Manusia,

2. Deklarasi Sydney tahun 1968 dan Deklarasi Venice tahun 1983 tentang Kriteria

Mati dan Penyakit Terminal yang dikaitkan dengan Transplantasi Organ,

3. Deklarasi Oslo tahun 1970 tentang Pengguguran Kandungan,

4. Deklarasi Munich tahun 1973 tentang Penerapan Teknologi Administrasi,

5. Deklarasi Tokyo tahun 1975 tentang pengguguran Obat-obatan Terlarang

6. Deklarasi Brussel tahun 1985 tentang Bayi Tabung, dan

7. Deklarasi Madrid tahun 1987 tentang Euthanasia dan Rekayasa Genetika.

Sedangkan di Indonesia Kode Etik Kedokteran Indonesia pertama kali disusun

tahun 1969 dalam musyawarah kerja Susila Kedokteran yang dilaksanakan di Jakarta.

Bahan rujukan yang digunakan adalah Kode Etik Kedokteran Internasional yang telah

disempurnakan pada tahun 1968 melalui Muktamar ke-22 Ikatan Dokter Sedunia. Kode

Etik tersebut mengalami beberapa kali perubahan, pada musyawarah kerja nasioal IDI

XIII, 1993, Kode Etik Kedokteran Indonesia itu telah diubah menjadi 20 pasal yang

dibagi menjadi lima bagian, yaitu :

1. Kewajiban umum seorang dokter (sembilan pasal)

2. Kewajiban dokter terhadap penderita (lima pasal)

3. Kewajiban dokter terhadap teman sejawat (dua pasal)

4. kewajiban dokter terhadap diri sendiri (dua pasal)

5. Penutup (satu pasal)

KASUS

The conflict between clinical care and a seminar

Physician: In the ward setting we have shortage of doctors. We had patients and there

was another very important programme coming up. We are three doctors and all

required in another activity. So we have to deal with the rest of the activities on a low-

priority basis. Suppose WHO asked us to conduct a seminar. Conducting a seminar at

the expense of patient care in the hospital is big dilemma, which bothers us. If we are

engaged in a seminar, we are supposed to work very hard, morning to evening with full

4

Page 5: Teaching Health Ethics

attention because we have to arrange so many things. We have to stay away from OPD.

The inpatients would need attention which we will not be able to give. We have one

instance where a patient had a fracture of the femur. A massive pressure sore went into

the facial plains; it went into the muscle and involve a bone. The bone got fractured and

came out of the skin. The patient was a young boy of 18 years and he was in such a bad

shape. He required dressing 4-5 times a day. In case he had gas gangrene he might not

survive. It was a life-threatening condition. Of course, we were doing all the necessary

things for him but we were not able to pay sufficient attention to this patient because the

impending seminar. At the same time we could not neglect him completely. As soon as

his medical condition stabilized and his infection came under control, which was some

3-4 weeks before the seminar, we told him that we did not have the means then because

we were engaged in another activity. “In case you can get dressing at home by another

doctor, you would be better off. The danger phase is over, and you can now go home,”

we told him. But had the seminar not been there, we would not have told him to go.

I. MASALAH MORAL YANG TERJADI

1. Bagaimana peran dokter dalam hubungan dokter-pasien dalam kasus tersebut?

2. Apa hal yang bisa kita lakukan dan seberapa banyak?

3. Bagaimana sikap anda sebagai dokter bila menghadapi kasus tersebut?

II. FAKTA-FAKTA

2.1 Dimensi Sosial

Hubungan dokter-pasien. Jenis hubungan dokter-pasien sangat dipengaruhi oleh etika

profesi kedokteran, sebagai konsekuensi dari kewajiban-kewajiban profesi yang

memberikan batasan atau rambu-rambu hubungan tersebut. Kewajiban-kewajiban

tersebut tertuang di dalam prinsip-prinsip moral profesi, yaitu otonomi, beneficence,

nonmaleficence, dan justice, yang disebut sebagai prinsip utama; dan veracity, fidelity,

privacy, dan confidentiality sebagai prinsip turunannya.

Pada awalnya hubungan dokter-pasien adalah hubungan yang bersifat

paternalistik, dengan prinsip moral utama adalah beneficence. Sifat hubungan

paternalistik ini kemudian dinilai telah mengabaikan nilai otonomi pasien, dan dianggap

tidak sesuai dengan perkembangan moral (orang barat) saat ini, sehingga

berkembanglah teori hubungan kontraktual (sekitar tahun 1972 - 1975). Konsep ini

muncul dengan merujuk kepada teori social contract di bidang politik. Veatch (1972)

5

Page 6: Teaching Health Ethics

mengatakan bahwa dokter dan pasien adalah pihak-pihak yang bebas, yang meskipun

memiliki perbedaan kapasitas dalam membuat keputusan, tetapi saling menghargai.

Dokter akan mengemban tanggungjawab atas segala keputusan teknis, sedangkan

pasien tetap memegang kendali keputusan penting, terutama yang terkait dengan nilai

moral dan gaya hidup pasien. Hubungan kontrak mengharuskan terjadinya pertukaran

informasi dan negosiasi seblum terjadinya kesepakatan, namun juga memberikan

peluang kepada pasien untuk menyerahkan pengambilan keputusan kepada dokter.

Walaupun hubungan dokter-pasien ini bersifat kontraktual, namun mengingat

sifat praktek kedokteran yang berdasarkan ilmu empiris, maka prestasi kontrak tersebut

bukanlah hasil yang akan dicapai (resultaat verbintennis) melainkan upayanya yang

sungguh-sungguh (inspanning verbintennis). Hubungan kontrak semacam ini harus

dijaga dengan peraturan perundang-undangan dan mengacu kepada suatu standar atau

benchmark tertentu. Oleh karena itu sejak sebelum Masehi telah ada Code of

Hammurabi yang mengancam dengan pidana bagi dokter yang karena salahnya telah

mengakibatkan cedera atau matinya pasiennya, dan Code of Hittites yang mewajibkan

dokter untuk membayar ganti rugi kepada pasiennya yang terbukti telah dirugikan

karena kesalahannya/kelalaiannya.

Dengan menganggap bahwa teori kontrak telah terlalu menyederhanakan nilai

hubungan dokter dengan pasien, maka Smith dan Newton (1984) lebih memilih

hubungan yang berdasar atas virtue sebagai hubungan yang paling cocok bagi

hubungan dokter-pasien. Hubungan kontrak mereduksi hubungan dokter-pasien

menjadi "peraturan" dan "kewajiban" saja, sehingga seseorang dokter dianggap "baik"

bila ia telah melakukan kewajiban dan peraturan (followed the rules). Hubungan

kontrak tidak lagi mengindahkan empathy. compassion, perhatian, keramahan,

kemanusiaan, sikap saling mempercayai, itikad baik, dan lainnya yang merupakan

bagian dari virtue-based ethics (etika berdasar nilai kebajikan/keutamaan). Pada

hubungan dokter-pasien yang virtue-based dirumuskan bahwa hubungan itu bertumbuh

dan berkembang sedemikian rupa sehingga tidak ada satu pun ketentuan yang

ditentukan pada permulaan dapat menentukan masa depan. Baik dokter maupun pasien

harus tetap berdialog untuk menjaga berjalannya komunikasi dalam rangka mencapai

tujuan bersama, yaitu kesejahteraan pasien. Tentu saja komunikasi yang baik tersebut

membutuhkan prinsip-prinsip moral di atas, termasuk informed consent yang berasal

dari prinsip otonomi.

6

Page 7: Teaching Health Ethics

Keseimbangan Hak dan Kewajiban. Pembahasan filosofis tentang keseimbangan

antara hak dan kewajiban selayaknya mengingat ucapan Mahatma Gandhi: “I learnt

from my illiterate but wise mother that all rights to be deserved and preserved came

from duty well done". Jadi, hak yang patut didapat dan dilindungi adalah imbalan

terhadap kewajiban yang telah dilaksanakan dengan baik. Hak atas kesembuhan dan

kesehatan tidak terdapat dalam hak asasi. Dokter dan rumah sakit tidak dapat

menjanjikan dan menjamin kesembuhan dan kesehatan.

Adapun hak-hak pasien dalam hukum kedokteran yang bertumpu dan

berdasarkan atas dua hak asasi manusia, yaitu :

1. Hak atas pemeliharaan kesehatan (The Right to Health Care)

2. Hak untuk menentukan nasib sendiri (The Right to Self Determination)

Untuk mengatur hal tersebut maka dibuatlah Deklarasi Lisabon 1981 yang

mengatur tentang hak yang dimiliki oleh pasien, yaitu :

1. Pasien berhak memilih dokternya secara bebas.

Seseorang mempunyai hak unutuk memilih dokter yang ia harapkan dapat

memberikan suatu pertolongan. Seseorang memilih dokter mungkin didasarkan atas

beberapa pertimbangan lain, seperti:

a. keadaan sosial ekonomi pasien,

b. kepopuleran dokter,

c. kelengkapan peralatan kedokteran,

d. jarak tempat antara dokter dan pasien, atau

e. prestise pasien.

2. Pasien berhak menerima atau menolak tindakan pengobatan sesudah ia memperoleh

informasi yang jelas. Informasi ini meliputi:

1. tindakan yang diambil,

2. resikonya,

3. kemungkinan akibat yang timbul berikut jenis tindakan yag dilakukan untuk

dapat mengatasinya,

4. Kemungkinan yang akan terjadi bila tindakan tidak dilakukan, dan

5. prognosis.

3. Pasien berhak mengakhiri atau memutuskan hubungan dengan dokternya dan bebas

untuk memilih atau menggantinya dengan dokter lain. Dengan perkataan lain,

7

Page 8: Teaching Health Ethics

dokter tidak berhak mencegah/melarang/menghalangi pasien yang ingin berobat ke

dokter lain.

4. Pasien berhak dirawat oleh dokter yang secara bebas menentukan pendapat klinis

dan pendapat etisnya tanpa campur tangan dari pihak luar.

5. Pasien berhak atas privacy yang harus dilindungi, ia pun berhak atas sifat

kerahasiaan data-data mediknya.

6. Pasien berhak mati secara bermartabat dan terhormat.

Hidup adalah anugrah dari Tuhan sehingga kita wajib memelihara dan menjaganya

sebaik mungkin dan selayaknya seorang doktr menghargainya.

7. Pasien berhak menerima/menolak bimbingan moril ataupun spiritual.

8. Pasien berhak mengadukan dan berhak atas penyelidikan pengaduannya serta

berhak diberi tahu hasilnya.

Di sisi lain pasien juga memiliki kewajiban yang harus dipenuhi antara lain:

1. Provision of accurate and complete information, current and past history, yaitu

memberi informasi yang tepat dan lengkap mengenai riwayat sakit yang telah lalu.

2. Respect to professional dignity, privacy and confidentiality, yaitu menghormati

profesi dokter, kepribadian atau kesendirian, atau tidak diganggu dan rahasia dokter.

3. Compliance to recommendations and instructions for medical care, yaitu mentaati

nasehat dan petunjuk pelayanan medis.

4. Respect rules and regulation for health care, yaitu menghormati aturan dan

pengaturan mengenai pelayanan kesehatan.

5. Fulfill all financial obligations of his health care as promptly as possible, yaitu

memenuhi semua kewajiban membayar mengenai pelayanan kesehatan baginya

secepat mungkin.

6. Respect and consideration to other patient and health personnel yaitu menghormati

dan memperhatikan kepentingan milik pasien lain dan petugas kesehatan.

7. Responsible for refusal of treatment, yaitu bertanggung jawab sendiri atas

penolakan pengobatannya.

8. Mentaati segala peraturan dan tata tertib RS.

Dokter juga mempunyai hak, yaitu :

1. Hak untuk menolak bekerja di luar standar profesi medik.

Seseorang dokter dapat saja menolak untuk melakukan tindakan medik tertentu

walaupun pihak pasien mendesaknya. Hal ini perlu ditegakkan agar setiap dokter

8

Page 9: Teaching Health Ethics

memperoleh kepastian bahwa tindakan-tindakannya perlu dipercayai sebagai suatu

tindakan medik yang profesional.

2. Hak untuk menolak tindakan yang tidak sesuai dengan kode etik profesi dokter. Hak

ini dimiliki oleh dokter agar setiap dokter diberi kesempatan untuk menjaga

martabat profesinya.

3. Hak untuk memilih pasien dan mengakhiri hubungan dengan pasien, kecuali dalam

keadaan gawat darurat.

4. Hak atas privacy dokter.

Dalam hubungan dokter dengan pasien dapat saja pasien ingin mengetahui

kehidupan pribadi dokter.

5. Hak untuk menerima balas jasa atau honorarium yang pantas.

6. Menuntut apabila nama baiknya dicemarkan oleh pasien dengan ucapan atau

tindakan yang melecehkan atau memalukan.

Selain itu dokter memiliki kewajiban:

1. Mematuhi peraturan RS sesuai dengan hubungan hukum antara dokter dengan RS.

2. Memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan menghormati hak

pasien.

3. Merujuk pasien ke dokter atau ke RS lain yang mempunyai keahlian dan

kemampuan yang lebih baik, apabila dokter tidak mampu melakukan sesuatu

pameriksaan atau pengobatan.

4. Melakukan pertolongan darurat sebagai tugas perikemanusiaan, kecuali bila dokter

yakin ada orang lain yang bersedia dan mampu memberikannya.

5. Bekerjasama dengan profesi dan pihak lain yang terkait, secara timbal balik dalam

memberikan pelayanan kepada pasien.

Pihak Rumah Sakit berhak:

1. Mensyaratkan bahwa pasien harus mentaati segala peraturan RS.

2. Mensyaratkan bahwa pasien harus mentaati segala instruksi dokter yang diberikan

kepadanya.

3. Menuntut pihak-pihak yang telah melakukan wanprestasi (ingkar janji), termasuk

pasien, pihak ketiga, dan lainnya.

4. Melaksanakan rencana pemeriksaan dan pengobatan yang diperintahkan dokter,

dengan peralatan dan tenaga yang tersedia sesuai peraturan RS.

5. Memegang teguh jadwal pemeriksaan dan pengobatan sesuai perintah dokter.

9

Page 10: Teaching Health Ethics

6. Menolak dan mengeluarkan pasien yang menyatakan menolak atas pemeriksaan dan

pengobatan, atau pasien yang tidak mentaati perintah dokter dan perawat.

7. Memperoleh imbalan atas semua biaya pelayanan RS sesuai peraturan RS, dan

dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.

Pihak Rumah Sakit memiliki kewajiban:

1. Mematuhi peraturan perundang-undangan dan peraturan yang dikeluarkan oleh

pemerintah.

2. Memberikan pelayanan kepada pasien tanpa membedakan suku, ras, agama, seks,

atau status sosial pasien.

3. Merawat pasien dengan sebaik-baiknya dengan tidak membedakan kelas perawatan

(duty of care).

4. Menjaga mutu perawatan dengan tidak membedakan kelas perawatan (quality of

care).

5. Memberikan pertolongan pengobatan di unit gawat darurat tanpa meminta jaminan

materi terlebih dahulu.

6. Melindungi dokter, memberikan bantuan administrasi dan hukum bilamana seorang

dokter dalam melaksanakan tugasnya mendapat perlakuan tidak wajar atau tuntutan

hukum dari pasien atau keluarganya.

7. Menghormati hak dan keluhuran pasien.

8. Memberikan perincian mengenai semua tagihan biaya kepada pasien.

Etika klinik. Jonsen, Siegler, dan Winslade (2002) mengembangkan teori etik yang

menggunakan empat topik yang esensial dalam pelayanan klinik, yaitu:

1. Medical indication

Dalam topik medical indication dimasukkan semua prosedur diagnostik dan terapi

yang sesuai untuk mengevaluasi keadaan pasien dan mengobatinya. Penilaian aspek

indikasi medis ini ditinjau dari sisi etiknya, terutama menggunakan kaidah

beneficence dan nonmaleficence. Pertanyaan etika pada topik ini adalah serupa

dengan seluruh informasi yang selayaknya disampaikan kepada pasien pada doktrin

informed consent.

2. Patient preferrences

Pada topik patient preferrence kita memperhatikan nilai (value) dan penilaian

pasien tentang manfaat dan beban yang akan diterimanya, yang berarti cerminan

kaidah otonomi. Pertanyaan etiknya meliputi pertanyaan tentang kompetensi

10

Page 11: Teaching Health Ethics

pasien, sifat volunter sikap dan keputusannya, pemahaman atas informasi, siapa

pembuat keputusan bila pasien tidak kompeten, nilai dan keyakinan yang dianut

pasien, dan lainnya.

3. Quality of life

Topik quality of life merupakan aktualisasi salah satu tujuan kedokteran, yaitu

memperbaiki, menjaga atau meningkatkan kualitas hidup insani. Apa, siapa, dan

bagaimana melakukan penilaian kualitas hidup merupakan pertanyaan etik sekitar

prognosis, yang berkaitan dengan beneficence, nonmaleficence dan otonomi.

4. Contextual features

Dalam contextual features dibahas pertanyaan etik seputar aspek non medis yang

mempengaruhi keputusan, seperti faktor keluarga, ekonomi, agama, budaya,

kerahasiaan, alokasi sumber daya dan faktor hukum.

Imbalan jasa. Pertolongan dokter terutama didasarkan pada perikemanusiaan; di-

berikan tanpa perhitungan terlebih dahulu tentang untung ruginya, setiap penderita

harus diperlakukan sebaik-baiknya dan sejujur-jujurnya. Meskipun demikian hasil dari

pekerjaan itu hendaknya juga dapat memenuhi keperluan hidup sesuai dengan

kedudukan dokter dalam masyarakat. Alat-alat kedokteran seperlunya, kendaraan,

perpustakaan sederhana, santapan rohani, kewajiban sosial, dan lain-lain, semuanya itu

memerlukan anggaran belanja. Jadi sudah selayaknya kalau dokter menerima imbalan

jasa untuk pengabdian profesinya. Karena sifat perbuatan dokter yang mulia, maka

uang yang diterimanya tidak diberi nama upah atau gaji, melainkan honorarium atau

imbalan jasa.

Pedoman dasar imbalan jasa dokter adalah sebagai berikut:

1. Imbalan jasa dokter disesuaikan dengan kemampuan pasien.

2. Karya dan tanggung jawab dokter.

3. Dikomunikasikan dengan jelas. Besarnya imbalan jasa dokter dikomunikasikan

dengan jelas kepada penderita.

4. Tidak dapat diseragamkan. Imbalan jasa dokter sifatnya tidak mutlak dan pada

dasarnya tidak dapat diseragamkan. Imbalan jasa dapat diperingan atau sama sekali

dibebaskan, misalnya: 1. Jika ternyata bahwa biaya pengobatan seluruhnya terlalu

besar untuk penderita, 2. karena penyakit-penyakit yang tidak terduga membuat

biaya pengobatan jauh di luar perhitungan semula. Bilamana pasien yang dirawat di

rumah sakit menanggung biaya pengobatan seluruhnya terlalu berat, imbalan jasa

11

Page 12: Teaching Health Ethics

untuk dokter dapat diperingan atau dibebaskan sama sekali.

5. Mengutamakan pertolongan pertama. Bagi pasien yang mengalami musibah akibat

kecelakaan, pertolongan lebih diutamakan daripada imbalan jasa.

6. Pengajuan keringanan. Seorang pasien dapat mengajukan permohonan untuk

mendapat keringanan imbalan jasa dokter, langsung kepada dokter yang

merawatnya.

Dalam hal ketidakserasian mengenai imbalan jasa dokter jika perlu dapat diselesaikan

melalui Ikatan Dokter Indonesia setempat. Dalam hal ini pihak IDI akan mendengarkan

kedua belah pihak sebelum menetapkan keputusannya.

2.2 Dimensi Kedokteran

Selain empat kaidah dasar moral (moral principle) yang harus dijadikan pedoman

dalam mengambil keputusan klinis, profesional kedokteran juga mengenal etika

profesi sebagai panduan dalam bersikap dan berperilaku (code of ethical conduct).

Nilai-nilai dalam etika profesi tercermin di dalam sumpah dokter dan kode etik

kedokteran. Sumpah dokter berisikan suatu "kontrak moral" antara dokter dengan

Tuhan sang penciptanya, sedangkan kode etik kedokteran berisikan "kontrak

kewajiban moral" antara dokter dengan peer-groupnya, yaitu masyarakat profesinya.

Baik sumpah dokter maupun kode etik kedokteran berisikan sejumlah

kewajiban moral yang melekat kepada para dokter. Meskipun kewajiban tersebut

bukanlah kewajiban hukum sehingga tidak dapat dipaksakan secara hukum, namun

kewajiban moral tersebut haruslah menjadi "pemimpin" dari kewajiban dalam

hukum kedokteran.

Lafal Sumpah Dokter Indonesia. Lafal sumpah dokter Indonesia pertama kali

dikukuhkan dengan Peraturan Pemerintah No. 26 Tahun 1960. Kemudian melalui

Musyawarah Kerja Nasional Etik Kedokteran ke-2 (1981) dilakukan beberapa

perubahan, dan akhirnya lafal sumpah dokter (Indonesia) disahkan melalui Surat

Keputusan Menteri Kesehatan No. 434/Menkes/SK/X/1983, lafal sumpah dokter ini

wajib diucapkan pada saat pelantikan seorang dokter baru.

“Demi Allah saya bersumpah/berjanji, bahwa:Saya akan membaktikan hidup saya guna kepentingan perikemanusiaan;Saya akan menjalankan tugas saya dengan cara yang terhomat dan bersusila, sesuai

dengan martabat pekerjaan saya sebagai dokter;Saya akan memelihara dengan sekuat tenaga martabat dan tradisi luhur jabatan

kedokteran;

12

Page 13: Teaching Health Ethics

Saya akan merahasiakan segala sesuatu yang saya ketahui karena keprofesian saya;Saya akan tidak mempergunakan pengetahuan kedokteran saya untuk sesuatu yang

bertentangan dengan perikemanusiaan, sekalipun diancam;Saya akan senantiasa mengutamakan kesehatan penderita;Saya akan berikhtiar dengan sungguh-sungguh supaya saya tidak terpengaruh oleh

pertimbangan keagamaan, kesukuan, perbedaan kelamin, politik kepartaian, atau kedudukan sosial dalam menunaikan kewajiban terhadap penderita;

Saya akan menghormati setiap hidup insani mulai dari saat pembuahan;Saya akan memberikan kepada guru-guru dan bekas guru-guru saya penghormatan dan

pernyataan terima kasih yang selayaknya;Saya akan memperlakukan teman sejawat saya sebagaimana saya sendiri ingin

diperlakukan;Saya akan menaati dan mengamalkan Kode Etik Kedokteran Indonesia;Saya ikrarkan sumpah ini dengan sungguh-sungguh dan dengan mempertaruhkan

kehormatan diri saya.”

Kode Etik Kedokteran Indonesia. Etika kedokteran merupakan pedoman yang ideal

bagi dokter dalam menjalankan profesinya, dan yang semula tidak tertulis, hanya

tersirat dalam sumpah dokter. Oleh World Medical Association (WMA) dalam

Muktamarnya di London pada Oktober 1949, dirumuskan secara tertulis menjadi

Internasional Code of Medical Ethics. Ikatan Dokter Indonesia yang juga menjadi

anggota WMA pada tahun 1960 merumuskannya menjadi Kode Etik Kedokteran

Indonesia (KODEKI).

Surat Keputusan Menteri Kesehatan (SK Menkes) RI No. 80/DPK/I/K/196,

menetapkan KODEKI berlaku bagi semua dokter di Indonesia. Pada Tahun 1981,

KODEKI diubah dan disempurnakan, dan dengan SK Menkes No.

434/MENKES/SK/X/1983, ditetapkan berlakunya bagi para dokter di Indonesia.

Pedoman pelaksanaan KODEKI yang ditetapkan oleh IDI pada tahun 1991 memberi

petunjuk lebih terperinci dalam pelaksanaan KODEKI.

Sumpah dokter dan beberapa ketentuan dalam KODEKI sudah diatur dalam

peraturan perundang-undangan, sedang KODEKI sendiri sudah diberlakukan dengan

keputusan Menteri Kesehatan, sehingga sebagian dari etik kedokteran sudah masuk

dalam wilayah hukum kedokteran. Hal ini membawa konsekuensi bahwa pelanggaran

memang sulit dinilai dan sulit dibuktikan, dan juga tidak dapat dihukum karena adanya

hak dasar individu (the right of self-determination), berdasar The Universal Declaration

of Human Rights.

Bunyi pasal-pasal KODEKI sesuai dengan S.K. P.B. IDI No. 221/PB/A.4/04/2002

adalah sebagai berikut:

13

Page 14: Teaching Health Ethics

Pasal 1. Setiap dokter harus menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan sumpah dokter.

Pasal 2. Seorang dokter harus senantiasa berupaya melaksanakan profesinya sesuai dengan standar profesi yang tertinggi.

Pasal 3. Dalam melaksanakan pekerjaan seorang dokter tidak boleh dipengaruhi oleh sesuatu yang mengkibatkan hilangnya kebebasan dan kemandirian profesi.

Pasal 4. Setiap dokter harus menghindari diri dari perbuatan yang bersifat memuji diri.

Pasal 5. Setiap perbuatan atau nasehat yang mungkin melemahkan daya tahan psikis maupun fisik hanya diberikan untuk kepentingan dan kebaikan pasien, setelah memperoleh persetujuan pasien.

Pasal 6. Setiap dokter harus senantiasa berhati-hati dalam mengumumkan dan menerapkan setiap penemuan teknik atau pengobatan baru yag belum diuji kebenarannya dan hal-hal yang dapat menimbulkan keresahan masyarakat.

Pasal 7. Setiap dokter hanya memberi surat keterangan dan pendapat yang telah diperiksa sendiri kebenarannya.

7a. Seorang dokter harus, dalam setiap praktik medisnya memberikan pelayanan medis yang kompeten dengan kebebasan teknis dan moral sepenuhnya, disertai rasa kasih sayang (compasion) dan penghormatan atau martabat manusia.

7b. Seorang dokter harus bersikap jujur dalam berhubungan dengan pasien dan sejawatnya yang dia ketahui memiliki kekurangan dalam karakter atau kompetensi, atau yang melakukan penipuan atau penggelapan, dalam menangani pasien.

7c. Seorang dokter harus senantiasa menghormati hak-hak pasien, hak-hak sejawatnya, dan hak tenaga kesehatan lainnya, dan harus menjaga kepercayaan pasien.

7d. Setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup makhluk insani.

Pasal 8. Dalam melakukan pekerjaannya seorang dokter harus memperhatikan kepentingan masyarakat dan memperhatikan semua aspek pelayanan kesehatan yang menyeluruh (promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif), baik fisik maupun psikososial, serta berusaha menjadi pendidik dan pengabdi masyarakat yang sebenar-benarnya.

Pasal 9. Setiap dokter dalam bekerja sama dengan para pejabat di bidang kesehatan dan bidang lainnya serta masyarakat, harus saling menghargai.

Pasal 10. Setiap dokter wajib bersikap tulus ikhlas dan mempergunakan segala ilmu dan keterampilannya untuk kepentingan pasien. Dalam hal ia tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan, maka atas persetujuan pasien, ia wajib merujuk pasien kepada dokter yang mempunyai keahlian dalam penyakit tersebut.

Pasal 11. Setiap dokter harus memberikan kesempatan kepada pasien agar senantiasa dapat berhubungan dengan keluarga dan penasehatnya dalam beribadat dan atau dalam masalah lainnya.

14

Page 15: Teaching Health Ethics

Pasal 12. Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang seorang pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal.

Pasal 13. Setiap dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai suatu tugas perikemanusiaan, kecuali bila yakin ada orang lain bersedia dan mampu memberikannya.

Pasal 14. Setiap dokter memperlakukan teman sejawat sebagaimana ia ingin diperlakukan.

Pasal 15. Setiap dokter tidak boleh mengambil alih pasien teman sejawat, kecuali dengan persetujuan berdasarkan prosedur yang etis.

Pasal 16. Setiap dokter harus memelihara kesehatannya dapat bekerja dengan baik.Pasal 17. Setiap dokter harus senantiasa mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan

dan teknologi kedokteran/kesehatan.

III. ASSESSMENT

Keadaan Pasien

Pasien laki-laki berumur delapan belas tahun dengan patah tulang paha yang parah Ia

berada dalam kondisi yang buruk, memerlukan penanganan yang cepat karena luka ini

mengancam jiwanya. Ia harus diobati empat sampai lima kali sehari, bila sampai

terbentuk gangrene maka ia tidak akan selamat. Sebagai dokter tentu kami melakukan

seluruh tindakan yang dibutuhkan, akan tetapi karena terdapat seminar dari WHO, kami

tidak bisa fokus kepadanya. Setelah kondisinya stabil dan tidak terdapat infeksi, kami

menyuruhnya untuk pulang dan mencari dokter lain. Kami mengatakan, ”Bila kamu

dapat ditangani oleh dokter lain, kamu lebih baik ke dokter itu. Masa kritis telah lewat,

dan kamu dapat pulang sekarang.” Andaikan seminar itu tidak ada, tentu kami tidak

perlu menyuruhnya untuk pergi.

Otonomi Pasien

Otonomi adalah prinsip yang mengakui hak setiap pribadi untuk memutuskan sendiri

mengenai masalah kesehatannya, kehidupannya, serta kematiannya. Jadi otonomi

merupakan bentuk kebebasan bertindak dari seseorang dalam mengambil keputusan

sesuai dengan rencana yang ditentukannya sendiri.

Tanggung Jawab Profesi Pelayanan Medis

Mengutip dari Deklarasi Geneva, dokter berjanji, ”Kesehatan pasien saya akan selalu

menjadi pertimbangan pertama saya”. Dan dari Deklarasi Helsinki menyebutkan,

”Dalam penelitian kedokteran dengan subjek manusia, pertimbangan mengenai

kesehatan manusia sebagai subjek uji haruslah menjadi pertimbangan awal di atas

15

Page 16: Teaching Health Ethics

kepentingan ilmu pengetahuan dan masyarakat”.

Hubungan dokter dengan pasien yang sempurna juga akan semakin terbangun

dengan kesadaran bahwa hak akan pelayanan kesehatan merupakan hasil kontrak antara

kedokteran dan masyarakat serta antara dokter dan pasien. Setiap orang berhak

mendapat kesempatan akan pelayanan kesehatan yang dibutuhkan seekstensif mungkin

dalam sistem yang sama untuk semua, dan bahkan dokter tidak boleh menolaknya bila

pasien tidak sanggup membayar. Pertolongan dokter terutama didasarkan pada

perikemanusiaan; diberikan tanpa perhitungan terlebih dahulu tentang untung ruginya,

setiap penderita harus diperlakukan sebaik-baiknya dan sejujur-jujurnya.

Profesi dokter adalah suatu profesi yang disertai dengan moralitas tinggi,

dimana setiap dokter harus siap setiap saat untuk memberi pertolongan kepada siapa

saja, kapan saja, dan dimana saja. Profesional kedokteran juga mengenal etika profesi

sebagai panduan dalam bersikap dan berperilaku (code of ethical conduct). Nilai--

nilai dalam etika profesi tercermin di dalam sumpah dokter dan kode etik

kedokteran. Sumpah dokter berisikan suatu "kontrak moral" antara dokter dengan

Tuhan sang penciptanya, sedangkan kode etik kedokteran berisikan "kontrak

kewajiban moral" antara dokter dengan peer-groupnya, yaitu masyarakat profesinya.

IV. PENGAMBILAN KEPUTUSAN

Rekapitulasi Masalah Moral

Menyelamatkan kehidupan adalah nilai etik yang baik dan sudah sepantasnya tiap

dokter memperhitungkan hal itu. Akan tetapi, kualitas kehidupan yang bagaimana yang

akan dipertahankan, ternyata telah menimbulkan konflik tersendiri.

Seorang pasien memiliki hak untuk mendapatkan pelayanan sesuai dengan

prosedur yang ada. Dan seorang dokter wajib memberikan pelayanan tersebut kepada

pasien. Dengan itu dokter menjalankan tugas dan kewajiban sesuai dengan profesinya

yang telah diatur dalam undang-undang kedokteran.

Pada kasus di atas, seharusnya dokter tersebut menjalani tugas dan

kewajibannya sesuai standar profesi kedokteran. Situasi di atas merupakan situasi

yang sulit karena dokter dihadapkan pada dua tugas yang sama-sama memiliki

tanggung jawab yang besar. Sebagai seorang dokter yang profesional, ia harus

mampu memilih salah satu tugas yang harus diutamakan.

Dokter yang profesional adalah dokter yang mengutamakan pasiennya. Jika

16

Page 17: Teaching Health Ethics

dokter memilih untuk merawat pasien sampai sembuh dan tidak bisa mengikuti

seminar tersebut, dokter harus memberikan penjelasan kepada WHO mengenai

halangannya dan bersedia menerima konsekuensinya. Pilihan kedua, jika dokter

lebih memilih mengikuti seminar WHO karena berbagai alasan, dokter harus tetap

memperhatikan hak pasien dan tidak dapat meninggalkan begitu saja. Dalam situasi

seperti ini, Dokter harus mampu memberikan penjelasan atau informed concent yang

baik kepada pasien dan keluarga sebagai saksi mengenai permasalahan tersebut.

Keputusan yang diambil harus juga disesuaikan dengan keputusan dari pihak pasien

dan keluarganya. Hal ini bertujuan agar menghasilkan keputusan yang benar dan

tidak ada yang dirugikan. Kondisi pasien perlu diperhatikan, jika kondisi pasien

memungkinkan untuk pulang dan dirawat dirumah, dokter harus dapat menjelaskan

dan mengajarkan cara-cara perawatan pasien di rumah. Dokter harus tetap

mengontrol keadaan pasien hingga sembuh walaupun sedang menjalani tugas keluar.

Peran seorang dokter tidaklah mudah karena dalam situasi seperti ini dengan

memperhatikan hak pasien maka kepercayaan seorang pasien kepada dokternya

tetap terjaga.

Argumen

Hubungan dokter dengan pasien yang sempurna akan semakin terbangun dengan

kesadaran bahwa hak akan pelayanan kesehatan merupakan hasil kontrak antara

kedokteran dan masyarakat serta antara dokter dan pasien. Setiap orang berhak

mendapat kesempatan akan pelayanan kesehatan yang dibutuhkan seekstensif mungkin

dalam sistem yang sama untuk semua, dan bahkan dokter tidak boleh menolaknya

dengan alasan apapun. Hak ini penting karena kesejahteraan masyarakat tergantung

pada kesejahteraan perseorangan, sehingga semua orang wajib mendapat apa yang

dibutuhkan untuk memelihara kesehatannya. Supaya tiap-tiap orang mendapat haknya,

diperlukan keadilan dalam pelayanan kesehatan. Tidak adanya keadilan berarti tidak

adanya perikemanusiaan.

Keputusan Etik

Keputusan saya adalah mengutamakan kepentingan pasien. Alasan saya adalah :

1. Ditinjau dari kode etik kedokteran, seorang dokter wajib melaksanakan tugas

profesinya dan menghormati hak-hak pasien. Dimana pasien memiliki hak-hak

seperti mendapatkan pelayanan yang sesuai dengan ketentuan dan kebutuhan

17

Page 18: Teaching Health Ethics

pasien.

2. Ditinjau dari segi indikasi medis, pasien tersebut harus dirawat karena luka yang

diderita mengancam jiwa pasien. Perawatan harus dilakukan oleh dokter yang

bertanggungjawab atas kondisi pasien dan dokter tidak dapat meninggalkan

karena itu sudah merupakan tanggungjawabnya.

3. Ditinjau dari sumpah dokter bahwa seorang dokter senantiasa mengutamakan

kesehatan penderita. Jadi dengan pernyataan tersebut, dokter tidak dapat

meninggalkan pasien dengan kondisi yang sangat membutuhkan perawatan. Jika ini

tetap dilakukan maka dokter tersebut telah melanggar sumpah yang diucapkannya

sendiri.

Evaluasi

Dilema pada kasus ini adalah tindakan apa yang sebaiknya diambil oleh dokter.

Keputusan yang diambil harus berdasarkan etika yang berlaku dilandasi niat yang

murni untuk berbuat kebaikan. Pasien sebagai orang yang mempunyai penyakit harus

mendapatkan pelayanan kesehatan yang terbaik, terutama pasien yang berada dalam

keadaan gawat darurat. Segala akibat yang timbul akibat tindakan yang diambil harus

dipertanggungjawabkan.

DAFTAR PUSTAKA1. Gunawan. Memahami Etika Kedokteran. Yogyakarta: Penerbit Kanisius; 1992. 2. Darsono RS. Etik, Hukum Kesehatan Kedokteran (Sudut Pandang Praktikus),

Dalam: Suharto, G dan Prasetyo, A, editor. Semarang: Bagian Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal FK Universitas Diponegoro; 2004.

3. Maertens G, Wachter M, Bone E, Harvey JC, Bertens K. Bioetika, Refleksi Atas Masalah Etika Biomedis. Jakarta: PT Gramedia; 1990.

4. Sampurna B, Syamsu Z, Siswaja TD. Bioetik dan Hukum Kedokteran, Pengantar bagi Mahasiswa Kedokteran dan Hukum. Jakarta: Pustaka Dwipar; 2005.

5. Samil, RS. Etika Kedokteran Indonesia. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo; 2001.

6. Bertens K. Etika. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama; 1993.7. Majelis Kehormatan Etika Kedokteran Indonesia. KODEKI dan Pedoman

Penatalaksanaan KODEKI Indonesia. Ikatan Dokter Indonesia; 2002.8. Williams,J.R.(2005), ”Medical Ethics Manual”, Available from: www.ethics-

network.org.uk/Cases/archive.htm (Accessed: Mei 2008).

18