Upload
meiksilano-pabala
View
34
Download
23
Embed Size (px)
DESCRIPTION
tentang tarsius
Citation preview
TARSIOIDEA
(Moderator + pengantar putu sasmita)
Tarsius adalah salah satu famili Tarsiidae yang termasuk dalam ordo
primata (Young, 1981). Hewan ini merupakan satwa primata kecil dan berekor
panjang, melompat dari pohon ke pohon dan hanya memakan binatang kecil. Warna
tubuh abu - abu kekuningan sampai coklat kehitaman, ekor telanjang kecuali
seberkas rambut pada ujungnya, kukunya relatif runcing. Tarsius merupakan
hewan nocturnal, yaitu aktif di malam hari (Yasuma dan Alikodra, 1990).
Menurut Niemitz dan Verlag (1984), Tarsius bancanus tersebar di pulau
Kalimantan, Bangka, Natuna dan Sumatera.
Tarsius termasuk salah satu satwa endemik Indonesia dan merupakan salah
satu sumberdaya alam hayati yang keberadaannya senantiasa berhubungan erat
dengan kehidupan manusia, baik secara langsung maupun tidak langsung
misalnya sebagai objek wisata, pendidikan dan penelitian untuk pengembangan
ilmu pengetahuan. Melihat fenomena selama ini, maka disamping usaha
perlindungan melalui Undang-undang ataupun Peraturan Pemerintah, diperlukan
pula perhatian yang lebih seksama terhadap upaya berdasarkan asas kelestarian
jenis satwa langka tersebut
Tarsius merupakan satwa yang dilindungi berdasar UU No 5/1990 dan PP No.
7/1999. Menurut IUCN (2008), Tarsius dalam Red Data Book IUCN (International
Union for Conservation of Nature and Natural Resources) termasuk dalam kategori
vulnerable (rentan). Tarsius merupakan hewan yang sangat pemalu dan lebih memilih
untuk menjauh dari kontak dengan manusia. Hingga saat ini Tarsius tidak dapat
bertahan hidup dengan baik di captivity/ penangkaran karena sangat membutuhkan
susunan ransum yang belum dapat diketahui dengan pasti sepeti apa yang terbaik dan
program breeding belum pernah sukses. Tarsius-tarsius yang merupakan tangkapan
liar yang ditangkaran mayoritas hanya memiliki probabilitas 50% bertahan di
penangkaran dan kebanyakan kasus kematian terjadi dikarenakan stress.
BAB IITINJAUAN PUSTAKA
2.1 Klasifikasi
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Kelas : Mammalia
Ordo : Primata
Sub ordo : Tarsioidae
Famili : Tarsiidae
Genus : Tarsius, Cephalopachus, Carlito
Spesies :
Western Tersier
─ Cephalopachus bancanus
─ Cephalopachus bancanus bancanus
─ Cephalopachus bancanus naturensis
─ Cephalopachus bancanus borneanus
─ Cephalopachus bancanus saltator
Eastern Tersier
─ Tarsius dentatus
─ Tarsius lariang
─ Tarsius pelengenensis
─ Tarsius pelengenensis
─ Tarsius tarsier
─ Tarsius tumpara
─ Tarsius pumilus
─ Tarsius wallacei
─ Tarsius fuscus
Philippine Tersier
─ Carlito syrichta
─ Carlito syrichta syrichta
─ Carlito syrichta fraterculus
─ Carlito syrichta carbonarius
2.2 Morfologi Tarsius (adhis)
Tarsius bertubuh kecil dengan mata yang sangat besar; tiap bola matanya
berdiameter sekitar 16 mm dan keseluruhan berukuran sebesar otaknya. Ukuran tubuh
Tarsius sangat kecil, berat badannya sekitar 110-120 gram. Panjang tubuh sekitar
115- 120 mm, panjang ekor antara 135-275 mm dengan bagian ujungnya berambut
kasar, telinga dan matanya besar, melebihi ukuran otaknya, kepala bulat dan
berleher pendek, kaki panjang dan sangat membantu dalam berpindah dahan
dengan meloncat. Tulang tarsus di kakinya sangat panjang dan dari tulang tarsus
inilah nama tarsius berasal. Jari-jari mereka juga memanjang, dengan jari ketiga kira-
kira sama panjang dengan lengan atas. Di ujung jarinya ada kuku namun pada jari
kedua dan ketiga dari kaki belakang berupa cakar yang mereka pakai untuk merawat
tubuh. Warna tubuh cokelat kemerahan dengan warna kulit kelabu. Bagian
ventral yaitu dada dan perut berwarna abu – abu keputihan dan bagian leher
kekuningan. Telinga tipis dan transparan, berwarna gelap atau cokelat kemerahan.
Ekor Tarsius lebih panjang dari badannya danhanya pada ujung ekor yang memiliki
bulu kira-kira 7 cm, dan ini biasa digunakan untuk menjaga keseimbangan disaat
memanjat dan melompat (Wharton, 1974 dalam Kiroh, 2002: 9).
Dalam hal penglihatan, tidak seperti kebanyakan binatang nokturnal lain,
tarsius tidak memiliki daerah pemantul cahaya (tapetum lucidum) di matanya.
Mereka juga memiliki fovea, suatu hal yang tidak biasa pada binatang nokturnal.
Otak tarsius berbeda dari primata lain dalam hal koneksi kedua mata dan lateral
geniculate nucleus, yang merupakan daerah utama di talamus yang menerima
informasi visual. Rangkaian lapisan seluler yang menerima informasi dari bagian
mata ipsilateral (sisi kepala yang sama) dan contralateral (sisi kepala yang berbeda) di
lateral geniculate nucleus membedakan tarsius dari lemur, kukang, dan monyet, yang
semuanya sama dalam hal ini.
Terdapat tiga kelompok Tarsius yang dideskripsikan menurut penampakannya.
Western grup memiliki ukuran mata yang paling besar dan Eastern memiliki ukuran
mata yang paling kecil dibandingkan dengan kedua grup Tarsius yang lain. Western
grup memiliki ukuran daun telinga terkecil dan Eastern grup memiliki ukuran telinga
terbesar sedangkan Philippine grup memiliki ukuran di antara kedua grup Tarius
lainnya. Ukuran tungkai kaki belakang terpanjang dimiliki oleh Western grup dan
ukuran Philippine grup merupakan ukuran intermediate dan ukuran terpendek
dimiliki oleh Eastern grup. Ukuran rambut pada ujung ekor juga dapt dibedakan
menurut grup spesies Tarsius dimana perbedaan sangat bervariasi, pada Eastern grup
ukuran rambut pada ekor lebat dan panjang sedangkan pada Philippine grup cukup
lebat tetapi ukurannya pendek sedangkan pada grup Western ukuran rambut sedang
dibandingkan dengan Eastern dan Philippine grup. Ukuran panjang ekor hanya dapat
dilihat perbedaannya pada Tarsius Pygmy dimana ukuran tubuh paling kecil dimiliki
oleh Tarsius Pygmy maka dari itu ukuran ekor terpendek juga dimiliki oleh Tarsius
Pygmy.
Cukup sulit untuk membedakan morfologi Tarsius dari subspesiesnya dan
beberapa dibedakan hanya dari distribusi populasi dan vokalisasi, bukan dari
bagaimana penampakan dari Tarsius itu sendiri. Tetapi walaupun demikian masih
terdapat sedikit perbedaan menciri contohnya pada T. tarsier yang memiliki rambut di
ujung ekor yang menutupi hampir setengah dari panjang ekornya dengan warna
rambut keabuan terang. T. fuscus memiliki warna rambut yang lebih gelap dengan
untaian rambut ujung ekor yang lebih lebat, T. punilus memiliki ekor berambut yang
pendek, T. sangirensis memiliki warna rambut kecoklatan dan hampir keseluruhan
bagian ekornya tidak berambut, T. pelengensis merupakan perpaduan warna
kecoklatan dan keabuan dengan kekhususan ciri pada ekornya yang pajang. T.
dentatus memiliki ukuran yang kecil dengan warna rambut keabuan serta warna
rambut pada ekor yang lebih gelap. T. tumpara memiliki warna paduan antara coklat
dan abu-abu dengan rambut berwarna kecoklatan membentuk huruf ‘V’ pada bagian
atas dari nasal, T. lariang memiliki ujung mata yang berwarna kehitaman dengan
rambut tebal kehitaman pada ujung ekor, sedangkan pada T. wallacei memiliki ukuran
telinga yang cukup besar dengan warna coklat kekuningan
Perbedaan morfologi antara spesies yang satu dengan spesies yang lainnya
dapat diidentifikasi dengan melihat ekornya.
Gambar 1. Enam spesies Tarsius di Pulau Sulawesi ( Shekelle dkk, 2008: 60)
Pertumbuhan gigi berkembang sebagai binatang pemakan serangga (Sapriatna
dan Hendras, 2000: 36). Struktur susunan geligi dari Tarsius terdiri dari incisivus,
caninus, molar dan premolar dengan formula gigi❑=2−1−3−31−1−3−3
Gambar 2. Struktur gigi Tarsius
2.3 Penyebaran Tarsius
Philippine Tarsier
Spesies Carlito syrichta merupakan spesies yang endemik di bagian selatan
Kepulauan Filipina mulai dari Kepulauan Bohol, Samar, Leyte dan Mindanao.
Sebaran mayoritas tinggal di bagian hutan dan semak-semak yang rimbun. Diketahui
dan pernah ditemukan juga di hutan bakau. Setiap subspesies memiliki distribusi
yang terbatas dan pasti seperti contoh C. s. syrichta hanya ditemukan di Kepulauan
Leyte dan Samar. C. s. carbonarius hanya ditemukan di Pulau Mindanao dan C. s.
fraterculus hanya terdapat di Kepulauan Bohol.
Western tarsier
Spesies Cephalopachtus bancanus merupakan spesies endemik di daerah
Borneo, Sumtera, Bangka-Belitung, Karimata dan beberapa kepulauan kecil di
sekitarnya. Distribusinya sama seperti Tarsius Filipina dimana subspesies yang
spesifik menempati daerah yang spesifik pula. C. bancanus memiliki distribusi yang
spesifik dan dapat membantu untuk membedakannya dari C.b. borneanus yang
ditemukan di bagain dataran rendah di Sabah, Brunei, Serawak dan Kalimantan Barat
dan bagian dataran tinggi dari Kelabit di bagian utara Serawak dimana kebanyakan
populasi tinggal di hutan-hutan primer dan sekunder. T.b.bancanus ditemukan di
Pulau Bangka dan beberapa area di selatan Sumatera. C.b. naturensis hanya tinggal di
Kepulauan Serasan. Diketahui juga bahwa terjadang C. bancanusis dikenal dengan
nama Horsfield’s Tarsier dinamakan berdasarkan peneliti yang menemukan spesies
Tarsius ini pertama kali.
Eastern Tarsier
Spesies termasuk dalam Tarsius yang menempati bagian timur terutama di
Sulawesi dan kepulauan kecil yang berada di sekitarnya. Tarsius tarsier atau lebih
dikenal dengan nama Tarsius spectrum atau spectral tarsier ditemukan di Pulau
Selayar dan sebelumnya diprediksikan menembati bagian barat laut Sulawesi, tetapi
diketahui sekarang ini bahwa populasi yang berada di daerah tersebut dibedakan
menjadi T. fuscus atau lebih dikenal dengan Fisher’s Tarsier dan diketahui
penyebarannya di daerah Makassar. T. dentatus atau yang lebih dikenal dengan
Dian’s Tersier ditemukan di bagian dataran rendah dan beberapa area di Sulawesi
Tengah dekat dengan daerah Labuan Sore, sedangkan T. pumillus (tarsius pygmy)
ditemukan hanya di daerah dataran tinggi di area Sulawesi Tengah dekat dengan
daerah Rano Rano dan ini menunjukkan perbedaan distribusi yang sangat membantu
untuk menjabarkan spesies yang berbeda. T. sangirensis atau Tarsius sangihe yang
penamaannya menyesuaikan dengan tempat populasinya berada yaitu Pulau Sangihe
sejauh 200 km di bagian utara Sulawesi. T. pelengensis (Tarsius Peleng) hanya
ditemukan di Pulau Peleng, Sulawesi Tenggara. T. lariang ditemukan di daerah
Sungai Lariang bagian barat dari Sulawesi Tengah yang dinamakan sesuai dengan
distribusi populasinya. T. tumpara atau Tarsius Pulau Siau dengan jarak 130km Utara
dari Sulawesi, T. wallaceii atau Tarsius wallace ditemukan di dua area yang spesifik
di Sulawesi Tengah dan dideskripsikan pertama kali pada tahun 2010.
Gambar 3. Penyebaran Tarsius
2.4 Habitat Tarsius (rischi)
Tarsius Filipina dan Western Tarsius dideskripsikan sebagai spesies dataran
rendah, tetapi juga pernah terlihat di hutan-hutan di kaki pegunungan. Western tarsier
juga diketahui menempati daerah dengan ketinggian 900 meter pada dataran tinggi
dan dataran rendah. Tarsius Belitung diketahui memiliki habitat mayoritas di hutan
dengan vegetasi yang sangat lebat, tetapi dengan adanya pengaruh dari manusia maka
sekarang ini mulai mulai beradaptasi dengan keadaan yang ada selama keadaan
tersebut masih mendukung kemampuan hidupnya.
Tarsius Filipina ditemukan terdapat di habitat pertanian dimana umur vegetasi
masih muda yang kebanyakan merupakan spesies vegetasi muda peralihan ke dewasa,
area argoteknik kehutanan dan hutan dataran rendah serta hutan pegunungan hingga
ketinggian 800 meter.
Kebanyakan Eastern Tarsius tinggal di kawasan habitat dengan perbedaan
ketinggian, kecuali pada Tarsius Pygmy, dimana luas area vegetasi hingga lebih dari
1.600 meter yang merupakan ketinggian dimana tidak terdapat spesies Tarsius lain
yang pernah ditemukan. Tarsius umumnya ditemukan dalam keadaan menggantung di
dahan pohon dengan ketinggian sekitar dua hingga tiga meter dari tanah, ketinggian
tersebut merupakan ketinggian yang tepat untuk dapat menghindari predator dan juga
sebagai ketinggian yang tepat untuk memangsa pakan.
2.5 Siklus Reproduksi Tarsius
Tarsius betina memiliki kurun waktu kebuntingan selama enam bulan dan
melahirkan satu anak pada setiap kelahiran dengan berat dapat mencapai 25 gr.
Proses kawin dapat berlangsung dimana saja dengan jangka waktu hingga satu tahun.
Fetus terlahir dengan keadaan yang sudah memiliki rambut dengan kedua mata yang
terbuka dan sudah mampu bergelantungan di pohon setelah 1 jam pasca-kelahiran dan
sudah mampu melompat dari dahan ke dahan yang lain pada usia satu bulan. Hal ini
merupakan fisiologis yang mendukung masa hidup mereka untuk dapat menghindari
predator. Sebagai mamalia, tarsius memproduksi susu untuk menyusui dengan jangka
waktu produksi susu aktif selama enam puluh hari, setelah itu Tarsius muda akan
mulai mengkonsumsi apa yang induknya konsumsi. Tarsius akan dewasa kelamin
pada usia dua tahun dan beberapa spesies dapat hidup hingga dua puluh tahun di alam
liar.
Tarsius tidak membuat sarang dan selalu membawa anaknya dengan cara
diangkat dengan menggunakan mulut dan terkadang anak akan menggelantung dan
berpegangan di punggung. Induk betinadari hampir seluruh jenis Tarsius diketahui
lebih sering memilih menempatkan bayinya pada suatu tempat yang aman kemudian
Sang Induk akan melakukan aktivitas seperti mencari makan disekitar tempat
anaknya disembunyikan dan tetap mengawasi anaknya tersebut. Pada Tarsius spectral
diketahui bahwa induk biasanya melakukan grooming dan bermail bersama dengan
anaknya yang lebih dikenal dengan istilah allocare di alam liar tetapi hal ini belum
pernah didokumentasikan baik di penangkaran maupun di alam liar dan belum pernah
ada pelaporan terhadap tingkah laku ini pada spesies Tarsius yang lainnya.
Tarsius memiliki dua musim kawin dimulai dari awal April dan Juni, siklus
berikutnya adalah Oktober dan November dengan masa kehamilan enam bulan.
Siklus berikutnya diperkirakan memiliki jangka waktu sekitar tiga belas bulan untuk
kebuntingan berikutnya. Tarsius sudah mulai berpisah dari induknya pada usia 10
hari dan dapat bergerak bebas seperti yang dewasa pada usia 22 hari, induk sudah
tidak melakukan interaksi intensif dengan anaknya pada usia 40 hari.
2.6 Tingkah Laku Tarsius (ferdy)
Tarsius bersifat poligami di dalam keluarganya atau seringkali juga hidup
berpasangan atau beserta keluarganya. Umumnya individu muda bersifat soliter
atau berpasangan untuk mencari atau membentuk daerah teritorial dimana saja.
Sangat sedikit terjadi kontak antara jantan dan betina. Tarsius aktif pada malam
hari (nocturnal), hidup di pohon dan pergerakannya semi menggantung serta
meloncat. Mereka tidak dapat menggantung seperti primata tingkat tinggi lainnya.
Dapat meloncat seperti katak hingga beberapa meter, khususnya saat menangkap
mangsanya atau saat melakukan penjelajahan pada daerah teritorialnya, khususnya
bagi jantan. Loncatannya dapat terdiri dari gerakan tunggal atau ganda dan dapat
mencapai jarak 3 meter atau lebih, dengan ketinggian di atas 3 meter dari
permukaan tanah. Daerah jelajah antara jantan dan betina berbeda. Jantan antara
7 – 11 Ha, sedangkan betina lebih kecil yaitu antara 4 – 9 Ha (Supriatna dan
Wahyono, 2000). Menurut Rowe (1996), pergerakan tarsius lebih banyak berupa
gerakan vertikal dan melompat.
Primata ini hidup di pohon (arboreal), bergerak dengan meloncat dari satu
dahan ke dahan lainnya atau sering disebut vertical clinging and leaping. Setiap
malam hari primata ini melakukan perjalanan untuk mencari makanan. Perjalanan
harian antara jantan dan betina berbeda. Betina lebih kurang 500-an meter dari
sarang, sedangkan jantan dapat mencapai 2 km atau lebih. Hal ini dimungkinkan
karena jantan mengontrol wilayah teritorialnya. Luas jelajah Tarsius dapat mencapai
2-4 ha. Pada umumnya saat bangun atau aktif maka Tarsius jantan dewasa selalu
lebih dahulu melakukan aktivitasnya sebagai pimpinan dalam keluarga. Cara ini
dimaksudkan untuk pengintaian demi keamanan sebelum anggota keluarganya
yang lain keluar. Jika dirasanya aman maka Tarsius jantan akan berteriak dengan
suara yang melengking yang khas untuk memberi tahu anggota keluarga yang lain.
Jika dirasa tidak aman oleh adanya predator dan pemburu di sekitar sarang, maka
Tarsius jantan akan kembali masuk sarang dan beberapa saat lagi akan keluar
sarang untuk melakukan pengintaian sampai keadaan telah aman (Songkilawang
dkk 1998 dalam Kiroh 2002:18).
Dalam proses mencari makan, Tarsius menggerak-gerakkan kedua
telinganya untuk mendeteksi bunyi seranggayang sedang terbang di dekatnya dan
memastikannya dengan penglihatan, kemudian disertai gerakan melompat yang
sangat cepat langsung menangkap mangsanya. Tarsius terlebih dahulu akan
memakan mangsanya di bagian kepala, setelah itu memakan bagian yang lain. Tarsius
memakan berbagai jenis serangga seperti belalang, kepik, kimbang, ngengat dan
kecoa. Kadang kala mereka juga menangkap kadal, kepiting atau bahkan beberapa
jenis ular kecil.
Gambar 4. Tarsius
Gambar 5. Tarsius Memakan Serangga
Sewaktu berburu Tarsius sering berdekatan di antara anggota keluarganya,
dan saling berkomunikasi dengan suara dan bau (air kencing) yang mereka
tinggalkan. Ciri-ciri untuk penandaan Tarsius biasanya berasal dari urin yang
memiliki bau khas sehingga manusiapun akan mudah mendektesinya, baik jantan
maupun betina akan memberikan ciri yang berbau dengan menggunakan epigastric
glands (kelenjar antar kedua lipatan paha) (Rowe dkk 1996 dalam Kiroh 2002: 21).
Tarsius aktif di malam hari (nocturnal), pada siang hari tidur bersama
kelompoknya, pasangan serta anaknya, pada lubang-lubang pohon atau di
kerimbunan bambu, tetapi tidak membuat sarang. Pada kondisi normal, tarsius
menggunakan jalur menuju ke pohon tidur atau sarang dengan rute yang sama. Bila
ada gangguan maka rute yang dilalui akan berubah untuk sementara waktu. Unit
sosial Tarsius pada umumnya adalah membentuk pasangan sebanyak 80%
(monogamous). Dan hanya sekitar 20% saja yang multimale-multifemale (lebih
banyak jantan atau betina),dalam suatu kelompok. Jumlah keluarga mencapai 2-6
ekor atau lebih. Masa hamil lebih kurang 180-190 hari di bulan Oktober dan
November, dan dapat hidup hingga 12 tahun (Sapriatna dan Hendras, 2000: 37)
2.7 Populasi dan Status Konservasi
Kebanyakan spesies Tarsius dan subspecsiesnya dikategorikan dalam keadaan
terancam punah terkecuali untuk tiga subspesies dari Tarsius Filipina yaitu Tarsius
lariang, Tarsisu pygmy dan Tarsius Wallace serta Tarsius fisher yang dikarenakan
kurangnya data yang ada untuk menentukan kategori status konservasinya. C.b.
natunensis dikategorikan dalam critically endangered dikarenakan hilangnya habitat
asli dari hewan ini dan subspesiesnya sangat rentan terhadap kehilangan habitat
sekundernya. Sekitar 30% habitat dari Western tarsius sudah hilang sejak lebih dari
20 tahun yang lalu, walaupun demikian dampak nyata dari kejadian tersebut belum
banyak diketahui. Tarsius termasuk dalam daftar hewan-hewan liar atau satwa liar
yang rentan juga diperdagangkan sebagai hewan peliharaan yang akan menjadikan
suatu permasalahan dimana hal tersebut dapat mengeliminir potensi hewan-hewan
yang produktif untuk dapat bereproduksi dan meningkatkan populasi yang sudah
sangat rentan.
Gambar 6. Status konservasi Tarsius
DAFTAR PUSTAKA
Alikodra, H.S. 1990. Pengelolaan Liar. Jilid I. Pusat Antar Universitas Ilmu Hayat.
Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Anonymous. 2015. Tarsius http//:Wikipedia.com diakses tangal 02 April 2015
Alikodra, H. S. 1993. Pengelolaan Satwa Liar. Jilid II. Pusat Antar Universitas Ilmu
Hayat. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
IUCN, the International Union for Conservation of Nature, 2008. Red Data Book IUCN
Kiroh, H. J. 2002. Studi tentang beberapa aspek biologi tangkasi (Tarsius spectrum)
Tangkoko Sulawesi Utara dalam upaya penangkaran. Tesis. Program Pasca
Sarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Linburgh, G. D. 1980. The Macaques Studies in Ecology, Behavior and Evolution.
Litton Edurational Publishing Inc, New York.
MacKinnon, J and K. MacKinnon, 1980, The Behavior of Wild Spectral Tarsiers,
International Journal of Primatology, Vol. 1. No. 4, www.springerlink.com diakses
tanggal 02 April 2015
Napier, J. R. and P. H. Napier. 1967. A Hand Book of Living Primates; Morfologi,
Ecology, and Behavior of Non Human Primates. Academic Press. New York and
London.
Niemitz, C. and F. G. Verlag. 1984. Biology of Tarsier. Pustet Reagensburg, New
York.
Rowe, N. 1996. The Pictorial guide to the Living Primates. Pogonion Press. East
Hampton, New York.
Supriatna, J dan E. H. Wahyono 2000. Panduan Lapangan Primata Indonesia. Yayasan
Obor Indonesia, Jakarta.