22
TARSIOIDEA (Moderator + pengantar putu sasmita) Tarsius adalah salah satu famili Tarsiidae yang termasuk dalam ordo primata (Young, 1981). Hewan ini merupakan satwa primata kecil dan berekor panjang, melompat dari pohon ke pohon dan hanya memakan binatang kecil. Warna tubuh abu - abu kekuningan sampai coklat kehitaman, ekor telanjang kecuali seberkas rambut pada ujungnya, kukunya relatif runcing. Tarsius merupakan hewan nocturnal, yaitu aktif di malam hari (Yasuma dan Alikodra, 1990). Menurut Niemitz dan Verlag (1984), Tarsius bancanus tersebar di pulau Kalimantan, Bangka, Natuna dan Sumatera. Tarsius termasuk salah satu satwa endemik Indonesia dan merupakan salah satu sumberdaya alam hayati yang keberadaannya senantiasa berhubungan erat dengan kehidupan manusia, baik secara langsung maupun tidak langsung misalnya sebagai objek wisata, pendidikan dan penelitian untuk pengembangan ilmu pengetahuan. Melihat fenomena selama ini, maka disamping usaha perlindungan melalui Undang-undang ataupun Peraturan Pemerintah, diperlukan pula perhatian yang lebih seksama terhadap upaya berdasarkan asas kelestarian jenis satwa langka tersebut

TARSIOIDEA

Embed Size (px)

DESCRIPTION

tentang tarsius

Citation preview

Page 1: TARSIOIDEA

TARSIOIDEA

(Moderator + pengantar putu sasmita)

Tarsius adalah salah satu famili Tarsiidae yang termasuk dalam ordo

primata (Young, 1981). Hewan ini merupakan satwa primata kecil dan berekor

panjang, melompat dari pohon ke pohon dan hanya memakan binatang kecil. Warna

tubuh abu - abu kekuningan sampai coklat kehitaman, ekor telanjang kecuali

seberkas rambut pada ujungnya, kukunya relatif runcing. Tarsius merupakan

hewan nocturnal, yaitu aktif di malam hari (Yasuma dan Alikodra, 1990).

Menurut Niemitz dan Verlag (1984), Tarsius bancanus tersebar di pulau

Kalimantan, Bangka, Natuna dan Sumatera.

Tarsius termasuk salah satu satwa endemik Indonesia dan merupakan salah

satu sumberdaya alam hayati yang keberadaannya senantiasa berhubungan erat

dengan kehidupan manusia, baik secara langsung maupun tidak langsung

misalnya sebagai objek wisata, pendidikan dan penelitian untuk pengembangan

ilmu pengetahuan. Melihat fenomena selama ini, maka disamping usaha

perlindungan melalui Undang-undang ataupun Peraturan Pemerintah, diperlukan

pula perhatian yang lebih seksama terhadap upaya berdasarkan asas kelestarian

jenis satwa langka tersebut

Tarsius merupakan satwa yang dilindungi berdasar UU No 5/1990 dan PP No.

7/1999. Menurut IUCN (2008), Tarsius dalam Red Data Book IUCN (International

Union for Conservation of Nature and Natural Resources) termasuk dalam kategori

vulnerable (rentan). Tarsius merupakan hewan yang sangat pemalu dan lebih memilih

untuk menjauh dari kontak dengan manusia. Hingga saat ini Tarsius tidak dapat

bertahan hidup dengan baik di captivity/ penangkaran karena sangat membutuhkan

susunan ransum yang belum dapat diketahui dengan pasti sepeti apa yang terbaik dan

program breeding belum pernah sukses. Tarsius-tarsius yang merupakan tangkapan

liar yang ditangkaran mayoritas hanya memiliki probabilitas 50% bertahan di

penangkaran dan kebanyakan kasus kematian terjadi dikarenakan stress.

Page 2: TARSIOIDEA

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

2.1 Klasifikasi

Kingdom : Animalia

Filum : Chordata

Kelas : Mammalia

Ordo : Primata

Sub ordo : Tarsioidae

Famili : Tarsiidae

Genus : Tarsius, Cephalopachus, Carlito

Spesies :

Western Tersier

─ Cephalopachus bancanus

─ Cephalopachus bancanus bancanus

─ Cephalopachus bancanus naturensis

─ Cephalopachus bancanus borneanus

─ Cephalopachus bancanus saltator

Eastern Tersier

─ Tarsius dentatus

─ Tarsius lariang

─ Tarsius pelengenensis

─ Tarsius pelengenensis

─ Tarsius tarsier

─ Tarsius tumpara

─ Tarsius pumilus

─ Tarsius wallacei

─ Tarsius fuscus

Philippine Tersier

─ Carlito syrichta

─ Carlito syrichta syrichta

─ Carlito syrichta fraterculus

─ Carlito syrichta carbonarius

Page 3: TARSIOIDEA

2.2 Morfologi Tarsius (adhis)

Tarsius bertubuh kecil dengan mata yang sangat besar; tiap bola matanya

berdiameter sekitar 16 mm dan keseluruhan berukuran sebesar otaknya. Ukuran tubuh

Tarsius sangat kecil, berat badannya sekitar 110-120 gram. Panjang tubuh sekitar

115- 120 mm, panjang ekor antara 135-275 mm dengan bagian ujungnya berambut

kasar, telinga dan matanya besar, melebihi ukuran otaknya, kepala bulat dan

berleher pendek, kaki panjang dan sangat membantu dalam berpindah dahan

dengan meloncat. Tulang tarsus di kakinya sangat panjang dan dari tulang tarsus

inilah nama tarsius berasal. Jari-jari mereka juga memanjang, dengan jari ketiga kira-

kira sama panjang dengan lengan atas. Di ujung jarinya ada kuku namun pada jari

kedua dan ketiga dari kaki belakang berupa cakar yang mereka pakai untuk merawat

tubuh. Warna tubuh cokelat kemerahan dengan warna kulit kelabu. Bagian

ventral yaitu dada dan perut berwarna abu – abu keputihan dan bagian leher

kekuningan. Telinga tipis dan transparan, berwarna gelap atau cokelat kemerahan.

Ekor Tarsius lebih panjang dari badannya danhanya pada ujung ekor yang memiliki

bulu kira-kira 7 cm, dan ini biasa digunakan untuk menjaga keseimbangan disaat

memanjat dan melompat (Wharton, 1974 dalam Kiroh, 2002: 9).

Dalam hal penglihatan, tidak seperti kebanyakan binatang nokturnal lain,

tarsius tidak memiliki daerah pemantul cahaya (tapetum lucidum) di matanya.

Mereka juga memiliki fovea, suatu hal yang tidak biasa pada binatang nokturnal.

Otak tarsius berbeda dari primata lain dalam hal koneksi kedua mata dan lateral

geniculate nucleus, yang merupakan daerah utama di talamus yang menerima

informasi visual. Rangkaian lapisan seluler yang menerima informasi dari bagian

mata ipsilateral (sisi kepala yang sama) dan contralateral (sisi kepala yang berbeda) di

lateral geniculate nucleus membedakan tarsius dari lemur, kukang, dan monyet, yang

semuanya sama dalam hal ini.

Terdapat tiga kelompok Tarsius yang dideskripsikan menurut penampakannya.

Western grup memiliki ukuran mata yang paling besar dan Eastern memiliki ukuran

mata yang paling kecil dibandingkan dengan kedua grup Tarsius yang lain. Western

grup memiliki ukuran daun telinga terkecil dan Eastern grup memiliki ukuran telinga

Page 4: TARSIOIDEA

terbesar sedangkan Philippine grup memiliki ukuran di antara kedua grup Tarius

lainnya. Ukuran tungkai kaki belakang terpanjang dimiliki oleh Western grup dan

ukuran Philippine grup merupakan ukuran intermediate dan ukuran terpendek

dimiliki oleh Eastern grup. Ukuran rambut pada ujung ekor juga dapt dibedakan

menurut grup spesies Tarsius dimana perbedaan sangat bervariasi, pada Eastern grup

ukuran rambut pada ekor lebat dan panjang sedangkan pada Philippine grup cukup

lebat tetapi ukurannya pendek sedangkan pada grup Western ukuran rambut sedang

dibandingkan dengan Eastern dan Philippine grup. Ukuran panjang ekor hanya dapat

dilihat perbedaannya pada Tarsius Pygmy dimana ukuran tubuh paling kecil dimiliki

oleh Tarsius Pygmy maka dari itu ukuran ekor terpendek juga dimiliki oleh Tarsius

Pygmy.

Cukup sulit untuk membedakan morfologi Tarsius dari subspesiesnya dan

beberapa dibedakan hanya dari distribusi populasi dan vokalisasi, bukan dari

bagaimana penampakan dari Tarsius itu sendiri. Tetapi walaupun demikian masih

terdapat sedikit perbedaan menciri contohnya pada T. tarsier yang memiliki rambut di

ujung ekor yang menutupi hampir setengah dari panjang ekornya dengan warna

rambut keabuan terang. T. fuscus memiliki warna rambut yang lebih gelap dengan

untaian rambut ujung ekor yang lebih lebat, T. punilus memiliki ekor berambut yang

pendek, T. sangirensis memiliki warna rambut kecoklatan dan hampir keseluruhan

bagian ekornya tidak berambut, T. pelengensis merupakan perpaduan warna

kecoklatan dan keabuan dengan kekhususan ciri pada ekornya yang pajang. T.

dentatus memiliki ukuran yang kecil dengan warna rambut keabuan serta warna

rambut pada ekor yang lebih gelap. T. tumpara memiliki warna paduan antara coklat

dan abu-abu dengan rambut berwarna kecoklatan membentuk huruf ‘V’ pada bagian

atas dari nasal, T. lariang memiliki ujung mata yang berwarna kehitaman dengan

rambut tebal kehitaman pada ujung ekor, sedangkan pada T. wallacei memiliki ukuran

telinga yang cukup besar dengan warna coklat kekuningan

Perbedaan morfologi antara spesies yang satu dengan spesies yang lainnya

dapat diidentifikasi dengan melihat ekornya.

Page 5: TARSIOIDEA

Gambar 1. Enam spesies Tarsius di Pulau Sulawesi ( Shekelle dkk, 2008: 60)

Pertumbuhan gigi berkembang sebagai binatang pemakan serangga (Sapriatna

dan Hendras, 2000: 36). Struktur susunan geligi dari Tarsius terdiri dari incisivus,

caninus, molar dan premolar dengan formula gigi❑=2−1−3−31−1−3−3

Gambar 2. Struktur gigi Tarsius

2.3 Penyebaran Tarsius

Philippine Tarsier

Spesies Carlito syrichta merupakan spesies yang endemik di bagian selatan

Kepulauan Filipina mulai dari Kepulauan Bohol, Samar, Leyte dan Mindanao.

Page 6: TARSIOIDEA

Sebaran mayoritas tinggal di bagian hutan dan semak-semak yang rimbun. Diketahui

dan pernah ditemukan juga di hutan bakau. Setiap subspesies memiliki distribusi

yang terbatas dan pasti seperti contoh C. s. syrichta hanya ditemukan di Kepulauan

Leyte dan Samar. C. s. carbonarius hanya ditemukan di Pulau Mindanao dan C. s.

fraterculus hanya terdapat di Kepulauan Bohol.

Western tarsier

Spesies Cephalopachtus bancanus merupakan spesies endemik di daerah

Borneo, Sumtera, Bangka-Belitung, Karimata dan beberapa kepulauan kecil di

sekitarnya. Distribusinya sama seperti Tarsius Filipina dimana subspesies yang

spesifik menempati daerah yang spesifik pula. C. bancanus memiliki distribusi yang

spesifik dan dapat membantu untuk membedakannya dari C.b. borneanus yang

ditemukan di bagain dataran rendah di Sabah, Brunei, Serawak dan Kalimantan Barat

dan bagian dataran tinggi dari Kelabit di bagian utara Serawak dimana kebanyakan

populasi tinggal di hutan-hutan primer dan sekunder. T.b.bancanus ditemukan di

Pulau Bangka dan beberapa area di selatan Sumatera. C.b. naturensis hanya tinggal di

Kepulauan Serasan. Diketahui juga bahwa terjadang C. bancanusis dikenal dengan

nama Horsfield’s Tarsier dinamakan berdasarkan peneliti yang menemukan spesies

Tarsius ini pertama kali.

Eastern Tarsier

Spesies termasuk dalam Tarsius yang menempati bagian timur terutama di

Sulawesi dan kepulauan kecil yang berada di sekitarnya. Tarsius tarsier atau lebih

dikenal dengan nama Tarsius spectrum atau spectral tarsier ditemukan di Pulau

Selayar dan sebelumnya diprediksikan menembati bagian barat laut Sulawesi, tetapi

diketahui sekarang ini bahwa populasi yang berada di daerah tersebut dibedakan

menjadi T. fuscus atau lebih dikenal dengan Fisher’s Tarsier dan diketahui

penyebarannya di daerah Makassar. T. dentatus atau yang lebih dikenal dengan

Dian’s Tersier ditemukan di bagian dataran rendah dan beberapa area di Sulawesi

Tengah dekat dengan daerah Labuan Sore, sedangkan T. pumillus (tarsius pygmy)

ditemukan hanya di daerah dataran tinggi di area Sulawesi Tengah dekat dengan

daerah Rano Rano dan ini menunjukkan perbedaan distribusi yang sangat membantu

Page 7: TARSIOIDEA

untuk menjabarkan spesies yang berbeda. T. sangirensis atau Tarsius sangihe yang

penamaannya menyesuaikan dengan tempat populasinya berada yaitu Pulau Sangihe

sejauh 200 km di bagian utara Sulawesi. T. pelengensis (Tarsius Peleng) hanya

ditemukan di Pulau Peleng, Sulawesi Tenggara. T. lariang ditemukan di daerah

Sungai Lariang bagian barat dari Sulawesi Tengah yang dinamakan sesuai dengan

distribusi populasinya. T. tumpara atau Tarsius Pulau Siau dengan jarak 130km Utara

dari Sulawesi, T. wallaceii atau Tarsius wallace ditemukan di dua area yang spesifik

di Sulawesi Tengah dan dideskripsikan pertama kali pada tahun 2010.

Gambar 3. Penyebaran Tarsius

2.4 Habitat Tarsius (rischi)

Tarsius Filipina dan Western Tarsius dideskripsikan sebagai spesies dataran

rendah, tetapi juga pernah terlihat di hutan-hutan di kaki pegunungan. Western tarsier

juga diketahui menempati daerah dengan ketinggian 900 meter pada dataran tinggi

dan dataran rendah. Tarsius Belitung diketahui memiliki habitat mayoritas di hutan

dengan vegetasi yang sangat lebat, tetapi dengan adanya pengaruh dari manusia maka

sekarang ini mulai mulai beradaptasi dengan keadaan yang ada selama keadaan

tersebut masih mendukung kemampuan hidupnya.

Tarsius Filipina ditemukan terdapat di habitat pertanian dimana umur vegetasi

masih muda yang kebanyakan merupakan spesies vegetasi muda peralihan ke dewasa,

Page 8: TARSIOIDEA

area argoteknik kehutanan dan hutan dataran rendah serta hutan pegunungan hingga

ketinggian 800 meter.

Kebanyakan Eastern Tarsius tinggal di kawasan habitat dengan perbedaan

ketinggian, kecuali pada Tarsius Pygmy, dimana luas area vegetasi hingga lebih dari

1.600 meter yang merupakan ketinggian dimana tidak terdapat spesies Tarsius lain

yang pernah ditemukan. Tarsius umumnya ditemukan dalam keadaan menggantung di

dahan pohon dengan ketinggian sekitar dua hingga tiga meter dari tanah, ketinggian

tersebut merupakan ketinggian yang tepat untuk dapat menghindari predator dan juga

sebagai ketinggian yang tepat untuk memangsa pakan.

2.5 Siklus Reproduksi Tarsius

Tarsius betina memiliki kurun waktu kebuntingan selama enam bulan dan

melahirkan satu anak pada setiap kelahiran dengan berat dapat mencapai 25 gr.

Proses kawin dapat berlangsung dimana saja dengan jangka waktu hingga satu tahun.

Fetus terlahir dengan keadaan yang sudah memiliki rambut dengan kedua mata yang

terbuka dan sudah mampu bergelantungan di pohon setelah 1 jam pasca-kelahiran dan

sudah mampu melompat dari dahan ke dahan yang lain pada usia satu bulan. Hal ini

merupakan fisiologis yang mendukung masa hidup mereka untuk dapat menghindari

predator. Sebagai mamalia, tarsius memproduksi susu untuk menyusui dengan jangka

waktu produksi susu aktif selama enam puluh hari, setelah itu Tarsius muda akan

mulai mengkonsumsi apa yang induknya konsumsi. Tarsius akan dewasa kelamin

pada usia dua tahun dan beberapa spesies dapat hidup hingga dua puluh tahun di alam

liar.

Tarsius tidak membuat sarang dan selalu membawa anaknya dengan cara

diangkat dengan menggunakan mulut dan terkadang anak akan menggelantung dan

berpegangan di punggung. Induk betinadari hampir seluruh jenis Tarsius diketahui

lebih sering memilih menempatkan bayinya pada suatu tempat yang aman kemudian

Sang Induk akan melakukan aktivitas seperti mencari makan disekitar tempat

anaknya disembunyikan dan tetap mengawasi anaknya tersebut. Pada Tarsius spectral

diketahui bahwa induk biasanya melakukan grooming dan bermail bersama dengan

anaknya yang lebih dikenal dengan istilah allocare di alam liar tetapi hal ini belum

Page 9: TARSIOIDEA

pernah didokumentasikan baik di penangkaran maupun di alam liar dan belum pernah

ada pelaporan terhadap tingkah laku ini pada spesies Tarsius yang lainnya.

Tarsius memiliki dua musim kawin dimulai dari awal April dan Juni, siklus

berikutnya adalah Oktober dan November dengan masa kehamilan enam bulan.

Siklus berikutnya diperkirakan memiliki jangka waktu sekitar tiga belas bulan untuk

kebuntingan berikutnya. Tarsius sudah mulai berpisah dari induknya pada usia 10

hari dan dapat bergerak bebas seperti yang dewasa pada usia 22 hari, induk sudah

tidak melakukan interaksi intensif dengan anaknya pada usia 40 hari.

2.6 Tingkah Laku Tarsius (ferdy)

Tarsius bersifat poligami di dalam keluarganya atau seringkali juga hidup

berpasangan atau beserta keluarganya. Umumnya individu muda bersifat soliter

atau berpasangan untuk mencari atau membentuk daerah teritorial dimana saja.

Sangat sedikit terjadi kontak antara jantan dan betina. Tarsius aktif pada malam

hari (nocturnal), hidup di pohon dan pergerakannya semi menggantung serta

meloncat. Mereka tidak dapat menggantung seperti primata tingkat tinggi lainnya.

Dapat meloncat seperti katak hingga beberapa meter, khususnya saat menangkap

mangsanya atau saat melakukan penjelajahan pada daerah teritorialnya, khususnya

bagi jantan. Loncatannya dapat terdiri dari gerakan tunggal atau ganda dan dapat

mencapai jarak 3 meter atau lebih, dengan ketinggian di atas 3 meter dari

permukaan tanah. Daerah jelajah antara jantan dan betina berbeda. Jantan antara

7 – 11 Ha, sedangkan betina lebih kecil yaitu antara 4 – 9 Ha (Supriatna dan

Wahyono, 2000). Menurut Rowe (1996), pergerakan tarsius lebih banyak berupa

gerakan vertikal dan melompat.

Primata ini hidup di pohon (arboreal), bergerak dengan meloncat dari satu

dahan ke dahan lainnya atau sering disebut vertical clinging and leaping. Setiap

malam hari primata ini melakukan perjalanan untuk mencari makanan. Perjalanan

harian antara jantan dan betina berbeda. Betina lebih kurang 500-an meter dari

sarang, sedangkan jantan dapat mencapai 2 km atau lebih. Hal ini dimungkinkan

karena jantan mengontrol wilayah teritorialnya. Luas jelajah Tarsius dapat mencapai

2-4 ha. Pada umumnya saat bangun atau aktif maka Tarsius jantan dewasa selalu

Page 10: TARSIOIDEA

lebih dahulu melakukan aktivitasnya sebagai pimpinan dalam keluarga. Cara ini

dimaksudkan untuk pengintaian demi keamanan sebelum anggota keluarganya

yang lain keluar. Jika dirasanya aman maka Tarsius jantan akan berteriak dengan

suara yang melengking yang khas untuk memberi tahu anggota keluarga yang lain.

Jika dirasa tidak aman oleh adanya predator dan pemburu di sekitar sarang, maka

Tarsius jantan akan kembali masuk sarang dan beberapa saat lagi akan keluar

sarang untuk melakukan pengintaian sampai keadaan telah aman (Songkilawang

dkk 1998 dalam Kiroh 2002:18).

Dalam proses mencari makan, Tarsius menggerak-gerakkan kedua

telinganya untuk mendeteksi bunyi seranggayang sedang terbang di dekatnya dan

memastikannya dengan penglihatan, kemudian disertai gerakan melompat yang

sangat cepat langsung menangkap mangsanya. Tarsius terlebih dahulu akan

memakan mangsanya di bagian kepala, setelah itu memakan bagian yang lain. Tarsius

memakan berbagai jenis serangga seperti belalang, kepik, kimbang, ngengat dan

kecoa. Kadang kala mereka juga menangkap kadal, kepiting atau bahkan beberapa

jenis ular kecil.

Gambar 4. Tarsius

Page 11: TARSIOIDEA

Gambar 5. Tarsius Memakan Serangga

Sewaktu berburu Tarsius sering berdekatan di antara anggota keluarganya,

dan saling berkomunikasi dengan suara dan bau (air kencing) yang mereka

tinggalkan. Ciri-ciri untuk penandaan Tarsius biasanya berasal dari urin yang

memiliki bau khas sehingga manusiapun akan mudah mendektesinya, baik jantan

maupun betina akan memberikan ciri yang berbau dengan menggunakan epigastric

glands (kelenjar antar kedua lipatan paha) (Rowe dkk 1996 dalam Kiroh 2002: 21).

Tarsius aktif di malam hari (nocturnal), pada siang hari tidur bersama

kelompoknya, pasangan serta anaknya, pada lubang-lubang pohon atau di

kerimbunan bambu, tetapi tidak membuat sarang. Pada kondisi normal, tarsius

menggunakan jalur menuju ke pohon tidur atau sarang dengan rute yang sama. Bila

ada gangguan maka rute yang dilalui akan berubah untuk sementara waktu. Unit

sosial Tarsius pada umumnya adalah membentuk pasangan sebanyak 80%

(monogamous). Dan hanya sekitar 20% saja yang multimale-multifemale (lebih

banyak jantan atau betina),dalam suatu kelompok. Jumlah keluarga mencapai 2-6

ekor atau lebih. Masa hamil lebih kurang 180-190 hari di bulan Oktober dan

November, dan dapat hidup hingga 12 tahun (Sapriatna dan Hendras, 2000: 37)

2.7 Populasi dan Status Konservasi

Kebanyakan spesies Tarsius dan subspecsiesnya dikategorikan dalam keadaan

terancam punah terkecuali untuk tiga subspesies dari Tarsius Filipina yaitu Tarsius

Page 12: TARSIOIDEA

lariang, Tarsisu pygmy dan Tarsius Wallace serta Tarsius fisher yang dikarenakan

kurangnya data yang ada untuk menentukan kategori status konservasinya. C.b.

natunensis dikategorikan dalam critically endangered dikarenakan hilangnya habitat

asli dari hewan ini dan subspesiesnya sangat rentan terhadap kehilangan habitat

sekundernya. Sekitar 30% habitat dari Western tarsius sudah hilang sejak lebih dari

20 tahun yang lalu, walaupun demikian dampak nyata dari kejadian tersebut belum

banyak diketahui. Tarsius termasuk dalam daftar hewan-hewan liar atau satwa liar

yang rentan juga diperdagangkan sebagai hewan peliharaan yang akan menjadikan

suatu permasalahan dimana hal tersebut dapat mengeliminir potensi hewan-hewan

yang produktif untuk dapat bereproduksi dan meningkatkan populasi yang sudah

sangat rentan.

Page 13: TARSIOIDEA

Gambar 6. Status konservasi Tarsius

Page 14: TARSIOIDEA

DAFTAR PUSTAKA

Alikodra, H.S. 1990. Pengelolaan Liar. Jilid I. Pusat Antar Universitas Ilmu Hayat.

Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Anonymous. 2015. Tarsius http//:Wikipedia.com diakses tangal 02 April 2015

Alikodra, H. S. 1993. Pengelolaan Satwa Liar. Jilid II. Pusat Antar Universitas Ilmu

Hayat. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

IUCN, the International Union for Conservation of Nature, 2008. Red Data Book IUCN

Kiroh, H. J. 2002. Studi tentang beberapa aspek biologi tangkasi (Tarsius spectrum)

Tangkoko Sulawesi Utara dalam upaya penangkaran. Tesis. Program Pasca

Sarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Linburgh, G. D. 1980. The Macaques Studies in Ecology, Behavior and Evolution.

Litton Edurational Publishing Inc, New York.

MacKinnon, J and K. MacKinnon, 1980, The Behavior of Wild Spectral Tarsiers,

International Journal of Primatology, Vol. 1. No. 4, www.springerlink.com diakses

tanggal 02 April 2015

Napier, J. R. and P. H. Napier. 1967. A Hand Book of Living Primates; Morfologi,

Ecology, and Behavior of Non Human Primates. Academic Press. New York and

London.

Niemitz, C. and F. G. Verlag. 1984. Biology of Tarsier. Pustet Reagensburg, New

York.

Rowe, N. 1996. The Pictorial guide to the Living Primates. Pogonion Press. East

Hampton, New York.

Supriatna, J dan E. H. Wahyono 2000. Panduan Lapangan Primata Indonesia. Yayasan

Obor Indonesia, Jakarta.