Upload
darmosoewito-luna
View
930
Download
3
Embed Size (px)
Citation preview
KEUANGAN PERUSAHAAN LANJUTAN
TAKEOVER DEFENSES(Pro Side)
Oleh:
Citra Aryani Sjahrir
Luna Mantyasih Makarti
Program Pascasarjana Ilmu ManajemenFakultas Ekonomi
Universitas Indonesia2010
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Salah satu strategi untuk menjadi perusahaan yang lebih besar dan mampu bersaing dan
bertahan dalam menghadapi kompetitor dalam industri yang sama adalah dengan melakukan
ekspansi baik secara internal maupun eksternal. Ekspansi internal dilakukan melalui capital
budgeting sedangkan ekspansi eksternal dapat dilakukan dalam bentuk penggabungan usaha
dengan perusahaan lain menjadi perusahaan yang lebih besar. Proses penggabungan usaha
dilakukan melalui proses merger dan akuisisi.
Merger adalah penggabungan dua perusahaan atau lebih menjadi satu, perusahaan yang
melakukan merger (bidder firm) mengambil/membeli semua assets dan liabilities perusahaan
yang dimerger (target firm). Akuisisi adalah pengambil-alihan (take-over) sebuah perusahaan
dengan membeli saham atau aset perusahaan tersebut, perusahaan yang dibeli tetap ada
(Brealey, Myers, & Marcus, 1999, p.598).
Adapun jenis takeover, dilihat dari sisi target, yaitu hostile takeover dan friendly
takeover. Hostile takeover merupakan takeover yang kurang disenangi oleh perusahaan
target. Friendly takeover adalah takeover yang lebih disenangi oleh perusahaan target. Tidak
semua perusahaan menganggap bahwa takeover merupakan hal yang baik, maka jika target
merasa terancam oleh hostile takeover maka target akan melakukan suatu strategi
perlawanan. Strategi tersebut biasanya disebut takeover defense.
Namun strategi takeover defense ini masih menjadi kontroversi diantara para
akademisi dan praktisi selama dua dekade (Lynn A. Stout, 2010). Secara teoritis dan
penelitian ilmiah terdapat dua sisi dari masalah ini, yaitu takeover defense mengurangi atau
meningkatkan shareholder wealth. Selain itu dikatakan juga takeover defense menurunkan
atau meningkatkan kinerja perusahaan. Takeover defense dapat mengurangi shareholder
wealth karena mereka memaksakan manager yang tidak efisien untuk tetap menempati
posisinya. Sementara takeover defense dapat meningkatkan shareholder wealth karena
dengan cara ini manager dapat melakukan tawar-menawar untuk memperoleh keuntungan
yang lebih besar bagi shareholder.
Penelitian yang dilakukan oleh Morris G. Danielson, Jonathan M. Karpoff (2006)
menyatakan bahwa kinerja operasi perusahaan meningkat selama periode 5 tahun setelah
ditetapkan poison pill. Hal ini tidak konsisten dengan pandangan bahwa pil mendegradasi
kinerja. Selain itu dinyatakan juga perlindungan yang ditawarkan oleh poison pill paling kuat
ketika digabungkan dengan staggered board, perubahan kinerja juga tidak ada hubungannya
dengan staggered board. Bukti ini melemahkan pandangan luas bahwa poison pill telah
memberikan efek negatif terhadap kinerja perusahaan. Kemudian Richard Scoenberg dan
Daniel Thornton (2006) mengatakan bahwa strategi takeover defense yang paling efektif
adalah white knight. Bila dilihat dari sisi takeover yang disetujui, hostile bid tidak hanya
memberikan return yang lebih tinggi untuk shareholder perusahaan target, tetapi juga
memiliki probabilitas yang lebih rendah menghasilkan proses akuisisi. Oleh karena itu,
daripada menyetujui takeover, menolak tawaran pendekatan yang dapat melayani
kepentingan kedua pihak akan lebih baik.
Penelitian terdahulu lainnya juga menyatakan bahwa dalam jangka pendek terdapat
berbagai akibat di sekitar pengumuman dari takeover defense. Linn and McConnell (1983),
DeAngelo and Rice (1983), Brickley et al., (1988) menyatakan bahwa terdapat pengaruh
positif atau tidak ada efek dari takeover defense terhadap shareholder wealth. Jarrell and
Poulsen (1987), Malatesta and Walkling (1988), Bhagat and Jefferis (1991) menemukan
bahwa takeover defense memiliki pengaruh yang negatif terhadap shareholder wealth.
Studi terbaru mengenai pengaruh jangka panjang, seperti Gompers et al. (2003) dan
Bebchuk et al. (2009) dalam (Str´aska dan Waller, 2010), menemukan terdapat hubungan
negatif yang kuat antara berbagai antitakeover indeks yang menghitung jumlah antitakeover
provision yang dimiliki perusahaan di suatu tempat, dengan kinerja perusahaan, seperti
abnormal return saham atau nilai perusahaan (Tobin's Q).
Terdapat beberapa hipotesis mengenai pengaruh antitakeover provision terhadap
perusahaan, yaitu perusahaan menggunakan antitakeover provision untuk meningkatkan
kesejahteraan shareholder. Namun karena biaya yang dibutuhkan untuk melakukan
antitakeover provision, maka jumlah yang mereka miliki akan lebih sedikit dibandingkan
jumlah di perusahaan normal. Sehingga terdapat hubungan yang positif antara jumlah
antitakeover provision dengan firm value. Di lain pihak mungkin saja perusahaan
menggunakan takeover defense untuk entrenchment, dimana shareholder tidak mengetahui
bahwa pengaruh buruk dari provision ini. Hal ini menyebabkan terdapat hubungan negatif
antara jumlah antitakeover provision dengan firm value.
Berbagai pendapat yang muncul tentang takeover defense inilah yang mendorong
penulis untuk membahas pengaruh dari takeover defense terhadap perusahaan yang akan
ditakeover.
1.2 Perumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, maka dapat dikemukakan pembatasan masalah mengenai
takeover defenses: “Apakah takeover defense menguntungkan atau merugikan shareholder
dari perusahaan target?”
1.3 Tujuan Kajian
Sesuai dengan perumusan masalah tersebut, maka kajian ini bertujuan untuk
mengetahui:
a. Pengaruh dari takeover defense terhadap perusahaan target dilihat dari kepentingan
shareholder dan manajemen.
b. Motivasi perusahaan target untuk melakukan takeover defense.
1.4 Manfaat Kajian
Kajian ini diharapkan mampu memberikan informasi mengenai pengaruh dari strategi
takeover defense perusahaan target terhadap shareholder dan manajemen sehingga para
investor dapat membuat keputusan investasi yang tepat. Kajian ini juga diharapkan akan
memberikan informasi kepada para shareholder agar mengetahui efek yang mungkin muncul
dari tindakan takeover defense yang dilakukan suatu perusahaan sehingga shareholder dapat
mengambil suatu tindakan yang tepat. Selain itu, kajian ini juga diharapkan dapat membantu
manajemen perusahaan target untuk menentukan strategi takeover defense yang paling tepat
untuk digunakan ketika berhadapan dengan hostile takeover.
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Pengertian Merger dan Akuisisi
Merger adalah penggabungan dua perusahaan atau lebih menjadi satu. Perusahaan yang
melakukan merger (bidder firm) mengambil/membeli semua assets dan liabilities perusahaan
yang dimerger (target firm) sehingga perusahaan bidder memiliki minimal 50% saham,
perusahaan target berhenti beroperasi dan pemegang sahamnya menerima uang tunai atau
saham di perusahaan yang baru terbentuk (Brealey, Myers, & Marcus, 1999, p.598).
Merger juga memiliki pengertian sebagai penyerapan dari suatu perusahaan oleh
perusahaan yang lain. Dalam hal ini perusahaan yang membeli akan melanjutkan nama dan
identitasnya. Perusahaan pembeli juga akan memiliki aset dan kewajiban dari perusahaan
yang dibeli. Setelah proses merger dilakukan, perusahaan yang dibeli akan berhenti
beroperasi (Harianto dan Sudomo, 2001, p.640).
Akuisisi adalah pengambil-alihan (take-over) sebuah perusahaan dengan membeli
saham atau aset perusahaan tersebut, perusahaan yang dibeli tetap ada (Brealey, Myers, &
Marcus, 1999, p.598).
1.1. Motivasi dan Manfaat Perusahaan Melakukan Merger Dan Akuisisi
Terdapat beberapa motivasi perusahaan melakukan penggabungan melalui tindakan
merger maupun akuisisi. Beberapa motivasi tersebut yaitu:
a. Sinergi
Ketika merger menghasilkan tingkat skala ekonomis (economies of scale) uang
memperkecil biaya overhead, sinergi akan tercapai. Sinergi finansial yaitu skala ekonomis
yang dicapai dengan pengurangan biaya pembiayaan internal dengan cara menyesuaikan
kesempatan investasi yang tersedia dengan arus kas internal. Sinergi operasional yaitu skala
ekonomis yang dicapai dengan pengurangan biaya operasional pada tingkat aktivitas tertentu.
b. Meningkatkan Keahlian Manajerial dan Kemajuan Teknologi
Beberapa perusahaan tidak dapat berkembang karena kurangnya keahlian manajerial
dan teknologi sehingga beberapa perusahaan melakukan penggabungan dengan harapan dapat
berkembang lebih pesat dengan adanya efisiensi pada manajemen dan meningkatnya
teknologi di perusahaan tersebut.
c. Pertumbuhan atau Diversifikasi
Diharapkan terjadinya pertumbuhan perusahaan dalam ukuran atau pangsa pasar
maupun diversifikasi produk. Strategi ini membutuhkan biaya yang lebih kecil bila
dibandingkan dengan pembangunan kapabilitas dan kapasitas produksi yang diperlukan.
d. Meningkatkan Likuiditas Pemilik
Likuiditas kepemilikan akan meningkat jika perusahaan-perusahaan kecil melakukan
merger atau diakuisisi oleh perusahaan besar.
e. Pertimbangan Pajak
Dalam suatu merger, kerugian pajak salah satu perusahaan dapat digunakan untuk
sejumlah pendapatan di masa mendatang selama kurang dari 20 tahun atau sampai total
kerugian pajak tersebut telah sepenuhnya tertutupi.
Seth (1990) mengelompokkan hipotesis yang mencoba menjawab pertanyaan mengapa
terjadi akuisisi dalam dua kategori yakni:
1. Value maximizing yang beranggapan bahwa akuisisi terjadi berlandaskan motivasi
untuk maksimalisasi nilai perusahaan semata-mata demi kepentingan pemegang saham.
2. Maksimalisasi nilai yang beranggapan bahwa akuisisi terjadi berlandaskan motivasi
untuk mengejar pertumbuhan perusahaan. Teori maksimalisasi nilai menjelaskan bahwa
akuisisi terjadi berlandaskan motivasi untuk memperoleh:
a. Kekuatan pasar, yakni kemampuan suatu perusahaan atau sekelompok perusahaan
untuk mengendalikan harga dan jumlah produksi sehingga dapat menghasilkan laba
di atas rata-rata industri.
b. Skala ekonomis. Skala ekonomis dapat dicapai pada fungsi produksi, pembelian, dan
persediaan jika perusahaan yang berakuisisi mempunyai kesamaan penggunaan
bahan baku atau komponen.
c. Ekonomi jangkauan. Ekonomi jangkauan ini dapat diperoleh bila biaya produksi
suatu produk dari perusahaan yang berakuisisi lebih kecil daripada penjumlahan
biaya produksi dari produk yang sama dari perusahaan yang tidak berakuisisi.
d. Jaminan kerjasama dan diversifikasi resiko keuangan. Perusahaan yang berakuisisi
dengan laba berkorelasi negatif akan menghasilkan pengurangan tingkat
kemungkinan kebangkrutan perusahaan karena perusahaan beroperasi pada pasar
dan produk yang berbeda.
Weston et all (2004) mengungkapkan terdapat berbagai teori mengenai pengaruh dari
merger dan akuisisi terhadap firm value, yaitu:
1. Merger sebagai keputusan yang meningkatkan nilai
a. Transaction Cost Efficiency
Merger meningkatkan nilai karena perusahaan yang melakukannya akan dapat
menyeimbangkan antara biaya untuk menggunakan pasar atau pengoperasian secara
internal yang akan menimbulkan efisiensi dalam transaction cost.
b. Synergy
Dengan adanya merger dan akuisisi (M&A) maka akan tercipta sinergi dari economies
of scale, dimana manajemen perusahaan akan menjadi lebih efektif, mampu
meningkatkan teknik produksi dan kombinasi sumberdaya gabungan.
c. Disciplinary
M&A merupakan komponen dari pasar untuk corporate control, dengan adanya M&A
maka karyawan terdahulu yang memiliki performa yang buruk dapat dihilangkan.
2. Merger sebagai keputusan yang menurunkan nilai
a. Agency Cost of Free Cash Flow
Free cash flow merupakan sumber dari value-reducing merger. Sebuah perusahaan
dengan free cash flow tinggi merupakan perusahaan dengan internal fund melebihi
investasi yang dibutuhkan untuk mendanai NPV yang positif. Manager pada
perusahaan dengan CF yang berlebihan memperbesar perusahaannya baik itu akan
menguntungkan atau merugikan.
b. Management Entranchment
Pada model ini manager membuat keputusan yang menguntungkan bagi dirinya sendiri,
tapi tidak meningkatkan nilai bagi shareholder.
3. Merger sebagai keputusan yang tidak mengubah nilai
Hubris theory mengatakan bahwa pihak pengakuisisi membayar terlalu mahal untuk
perusahaan yang diakuisisi.
2.3 Jenis-Jenis Merger dan Akuisisi
Menurut Ross, Westerfield, dan Jaffe (2002), terdapat tiga cara suatu perusahaan
melakukan akuisisi, yaitu:
a. Merger atau Konsolidasi
Merger adalah penggabungan satu perusahaan dengan perusahaan lain. Bidding firm
(perusahaan yang mengakuisisi) tetap berdiri dengan identitas dan namanya, dan memperoleh
semua aset dan kewajiban target firm (perusahaan yang diakuisisi). Setelah merger terjadi,
target firm berhenti beroperasi. Sedangkan konsolidasi adalah kedua perusahaan sama-sama
saling menghilangkan keberadaan perusahaan secara hukum dan membentuk suatu
perusahaan baru.
b. Acquisition of Stock
Akuisisi dapat dilakukan dengan cara membeli voting stock perusahaan secara tunai,
saham, atau surat berharga lain.
c. Acquisition of Assets
Perusahaan dapat mengakuisisi perusahaan lain dengan membeli semua aset dari
perusahaan yang akan diakuisisi.
Sedangkan berdasarkan jenis perusahaan yang bergabung, merger dapat dibedakan
menjadi 4, yaitu:
a. Merger horizontal terjadi ketika dua atau lebih perusahaan yang bergerak di bidang
industri yang sama bergabung.
b. Merger vertikal terjadi ketika suatu perusahaan mengakuisisi perusahaan supplier atau
customer-nya.
c. Merger konglomerasi terjadi ketika dua perusahaan yang memiliki aktivitas bisnis
berbeda melakukan merger. Keuntungan yang diperoleh adalah terjadinya pengurangan
resiko.
d. Merger congeneric terjadi ketika perusahaan dalam indsutri yang sama tetapi tidak
dalam garis bisnis yang sama dengan supplier atau costumer-nya. Keuntungannya
adalah perusahaan dapat menggunakan penjualan dan distribusi yang sama.
2.4 Proses Terjadinya Merger
Merger dapat terjadi dengan cara friendly atau hostile.
a. Friendly Takeover
Manajemen bidding firm melakukan identifikasi pada target firm kemudian melakukan
diskusi dan mengajukan proposal merger. Jika manajemen target firm menerima proposal
yang diajukan, maka merger akan disahkan dengan persetujuan pemegang saham.
b. Hostile Takeover
Manajemen target firm tidak menerima proposal merger dari bidding firm sehingga
tindakan akuisisi tidak terjadi. Bidding firm dapat mengambil alih kontrol perusahaan dengan
membeli saham target firm di pasar modal sehingga dilaksanakan tender offers. Tender offers
merupakan penawaran formal untuk membeli beberapa saham dengan harga tertentu
(Gitman, 2003, p.713).
2.5 Taktik Menolak Merger dan Akuisisi
Sepanjang tahun 1980, beberapa cara dikembangkan untuk bertahan melawan proposal
takeover yg tidak diinginkan. Takeover Defenses adalah tindakan terus-menerus dari
manajemen sebuah perusahaan untuk mencegah pengambilalihan yang tidak diinginkan.
Salah satu contoh takeover defenses adalah the macaroni defense, yaitu perusahaan
mengeluarkan sejumlah besar obligasi dengan syarat bahwa mereka harus ditebus dengan
harga tinggi jika perusahaan diambil alih. Metode-metode untuk melakukan takeover defense
secara umum dibagi menjadi 3, yaitu corporate charter amendments, preventive measures,
dan active measures.
2.5.1 Corporate Charter Amendments
Corporate charter adalah piagam/anggaran dasar perusahaan berupa hukum/peraturan-
peraturan pemerintah mengenai perusahaan sehingga perusahaan memiliki kekuatan hukum.
Sedangkan corporate charter amendments adalah perubahan khusus pada peraturan
perusahaan yang menjadi aktif hanya bila upaya takeover diumumkan kepada pemegang
saham dengan tujuan membuat upaya takeover menjadi kurang menarik atau kurang
menguntungkan perusahaan pengakuisisi.
Sejumlah kebijakan yang diambil oleh perusahaan untuk mencegah upaya
pengambilalihan yang tidak diinginkan di dalam proses corporate charter amendments
dinamakan shark repellent. Kebanyakan perusahaan ingin menentukan nasib mereka sendiri
di pasar, sehingga ketika pengakuisisi yang diibaratkan sebagai ”hiu” menyerang, shark
repellent dapat mengusir predator tersebut sehingga hiu akan mencari target lain yang kurang
agresif. Meskipun tujuannya baik, banyak tindakan shark repellent tidak memihak
kepentingan terbaik pemegang saham karena kemungkinan dapat merusak posisi keuangan
perusahaan dan mengganggu kemampuan manajemen untuk fokus pada tujuan penting
perusahaan.
Contoh tindakan-tindakan corporate charter amendments adalah sebagai berikut:
Classified boards (staggered board of directors)
Classified board bertujuan untuk meningkatkan posisi dewan direksi dengan tetap
menjaga kekuasaannya. Dalam taktik ini, anggota dewan direksi tidak semua dipilih dalam
satu waktu. Misalnya, sembilan anggota dewan hanya akan memiliki tiga anggota dewan
dipilih untuk masa jabatan 3 tahun, setiap tahun. Pada tahun pertama, kelas pertama dari tiga
anggota dewan akan dipilih, tahun kedua kelas berikutnya tiga anggota, tahun ketiga kelas
terakhir dari tiga anggota, dan pada tahun keempat proses akan dimulai lagi dengan kursi
dewan dari kelas satu, dst. Ketentuan ini menjamin bahwa para pemegang saham mayoritas
baru harus menunggu dua siklus (atau 2 tahun) sebelum mendapatkan/memenangkan kontrol
dewan. Dengan mencegah penggantian keseluruhan direksi di saat yang bersamaan, maka
transfer kontrol dalam takeover dapat ditunda karena banyak perusahaan pengakuisisi tidak
ingin menunggu terlalu lama untuk mendapatkan kontrol perusahaan.
Super Majority Provisions
Strategi ini memerlukan persetujuan pemegang saham dengan setidaknya dua pertiga
suara dan kadang-kadang sebanyak 80 bahkan 90 % suara dari saham yang beredar untuk
akuisisi apapun yang melibatkan perubahan pengendalian. Dewan direksi memiliki
kewenangan dalam memaksakan aturan supermajority, yaitu dapat menerapkannya dalam
kasus unfriendly takeover dan tidak menerapkannya dalam kasus friendly takeover. Oleh
karena itu, aturan supermajority mungkin tidak berlaku dalam kasus merger yang disetujui
oleh pengurus (dewan). Taktik ini mempersulit pengakuisisi untuk melakukan
pengambilalihan dengan membeli saham yang cukup untuk kepentingan pengendalian
perusahaan.
Fair Price Amendments
Taktik ini mensyaratkan bahwa pengakuisisi membayar harga yang wajar untuk semua
saham perusahaan yang beredar. Harga wajar dapat ditentukan dari laba perusahaan di masa
lalu (historical price) atau laba yang telah ditentukan sebelumnya atau nilai buku perusahaan
target. Ketentuan dalam fair price amendments memaksa pengakuisisi untuk membayar
seluruh pemegang saham perusahaan target dalam jumlah yang sama dalam kasus penawaran
tender dua tingkat sehingga mampu memelihara tingkat kesetaraan bagi pemegang saham
perusahaan target yang melakukan tender saham di tingkat kedua dengan yang melakukan
tender saham di tingkat pertama. Pengakuisisi tidak dapat menawarkan harga lebih mahal ke
kelompok pertama, dengan kata lain menempatkan tekanan yang berlebihan pada pemegang
saham target yang tidak ingin cepat-cepat melakukan tender saham.
Dual Capitalization
Dual capitalization merupakan taktik defensif dimana perusahaan dapat mengeluarkan
saham dengan perbedaan jumlah suara per saham. Salah satu kelas saham memiliki suara
lebih banyak per saham dibandingkan saham kelas lain. Perusahaan dapat menerbitkan saham
dengan hak suara yang lebih sedikit atau bahkan tanpa hak suara kepada publik. Dengan cara
itu investor dapat membeli saham, tetapi mereka tidak dapat membeli kendali perusahaan
sehingga manajemen dapat mempertahankan kekuatan suaranya.
2.5.2 Preventive measures
Preventive measures merupakan pertahanan yang dilakukan sebelum proposal takeover
diajukan kepada manajemen perusahaan target. Strategi yang umum dilakukan yaitu:
Poison Pill
Poison pill merupakan strategi defensif yang melibatkan suatu sekuritas yang dapat
dieksekusi bila dipicu oleh suatu event, sebagai contoh pengumuman akan terjadinya suatu
akuisisi atau suatu akumulasi beberapa persen saham yang dilakukan oleh suatu perusahaan
lain. Ada 2 jenis poison pill yang dapat dilakukan secara bersamaan, yaitu flip-over dan flip-
in plans.
Pada flip-over plan, shareholder dari perusahaan target memiliki opsi untuk membeli
stock dengan harga discount setelah takeover dilakukan. Sedangkan flip-in plan merupakan
ketentuan atau peraturan yang memberikan hak kepada shareholder perusahaan target untuk
membeli saham tambahan di perusahaan target pada harga diskon. Hak ini muncul sebelum
terjadi takeover dan dieksekusi ketika pengakuisisi melampaui titik batas tertentu untuk
mendapatkan saham yang beredar (biasanya 20 - 50%).
Poison pill merupakan pertahanan yang tidak hanya melindungi perusahaan tapi juga
melindungi shareholder. Poison pill ini dapat memperkuat posisi dewan direksi pada saat
negosiasi. Jika perusahaan pengakuisisi datang dengan tawaran yang substansial, maka
dewan dapat mengeluarkan posison pill. Dead-hand provision memungkinkan hanya anggota
dewan yang memprakarsai poison pill dan yang dapat mengubah atau menghilangkan poison
pill. Jadi dead-hand provision dapat mencegah perusahaan pengakuisisi yang tidak
diinginkan untuk merebut kendali atas dewan dan menghilangkan poison pill.
Back-end plan merupakan salah satu metode yang agak berbeda. Back-end plan
memberikan opsi kepada shareholder dari perusahaan target, yaitu shareholder dapat
menukar saham yang dimiliki dengan sejumlah uang tunai atau memperoleh senior debt pada
harga tertentu yang telah ditetapkan oleh dewan. Hal Ini secara efektif mengkomunikasikan
harga yang diminta dewan untuk perusahaan.
Poison Puts
Poison puts atau event risk covenants memberikan pemegang obligasi di perusahaan
target hak untuk menjual (put) obligasi apabila terjadi perubahan pengendalian (misalnya
takeover). Hal ini akan memberikan cash demand yang besar bagi pemilik baru karena
adanya peningkatan biaya akuisisi. Tujuannya adalah melindungi dari resiko takeover bagi
bondholder, karena M&A memiliki pengaruh yang buruk bagi bondholder terutama ketika
digunakan leverage yang besar. Alasan poison put disertakan dalam corporate debt:
a. Entrenchment hypothesis
Put membuat perusahaan menjadi tidak menarik sebagai target takeover.
b. Bondholder protection hypothesis
Melindungi wealth transfer karena debt financed takeover dan leverage recapilaization.
c. Mutual interest hypothesis
Parachute
Strategi ini merupakan suatu kesepakatan mengenai pemutusan hubungan karyawan
yang disebabkan karena adanya perubahan kontrol dalam suatu perusahaan. Jika terjadi
takeover, maka manajemen yang diberhentikan akan diberi kompensasi atau ganti rugi
sebesar kesepakatan awal. Terdapat tiga jenis strategi parachute berdasarkan lingkup
manajemen yang mendapatkan kompensasi:
- Golden parachute: top management
- Silver Parachute: top management + manager
- Tin Parachute: top management + manager + karyawan dibawahnya
Pertahanan ini membuat pengeluaran untuk men-takeover perusahaan menjadi besar
karena harus membayar karyawan-karyawan yang keluar. Sebagian berpendapat bahwa
golden parachute tidak begitu efektif karena persentase biaya yang dikeluarkan untuk
membayar karyawannya kecil. Jadi tin parachute lebih efektif karena biaya yang harus
dikeluarkan lebih besar.
2.5.3 Active Measures
Active measures merupakan tindakan pertahanan yang dilakukan oleh perusahaan target
ketika proposal takeover telah diajukan pada manajemen perusahaan target. Metode ini terdiri
dari:
Greenmail
Situasi di mana sebuah blok besar saham dipegang oleh hostile firm memaksa
perusahaan target untuk membeli kembali saham dengan premi substansial untuk mencegah
pengambilalihan. Greenmail adalah praktik ”paying off” siapapun yang menguasai sebuah
blok besar saham perusahaan dan meningkatkan ancaman akuisisi. Untuk mengurangi
ancaman tersebut, perusahaan hanya dapat membayar premi individual atas apa yang dibayar
ketika saham perusahaan diakumulasi. Akan tetapi, membayar greenmail dapat merugikan
karena dapat mengakibatkan perusahaan pengakuisisi lain maju untuk menerima greenmail
tersebut.
Standstill Agreement
Manajer target firm dapat merundingkan perjanjian perhentian. Perjanjian perhentian
adalah suatu kontrak atau perjanjian dimana bidding firm setuju untuk membatasi saham atas
target firm. Perjanjian ini biasanya berakhir dengan usaha atau percobaan pengambilalihan.
Perjanjian perhentian sering terjadi pada waktu yang bersamaan dengan penyusunan
pembelian kembali perusahaan target (target repurchase). Dalam sebuah pembelian kembali,
sebuah perusahaan membeli sejumlah tertentu sahamnya sendiri dari investor dengan
premium yang besar. Premium tersebut dianggap sebagai pembayaran atas penawar (bidder)
yang potensial untuk menghapus usaha pengambilalihan secara unfriendly.
White Knight
Sebuah perusahaan yang berhadapan dengan tawaran unfriendly merger mungkin
mengatur agar didapatkan oleh perusahaan friendly yang diistilahkan sebagai white knight
(ksatria putih). Target mungkin lebih memilih pengakuisisi lain karena percaya bahwa kedua
perusahan akan diuntungkan. Tujuan akuisisi ini adalah untuk menghindari pengambilalihan
obyek kepentingan oleh entitas yang dianggap kurang menguntungkan. Ksatria itu bisa
mengalahkan entitas yang tidak diinginkan dengan tawaran menarik misalnya menawar
dengan harga lebih tinggi atau memukul kesepakatan menguntungkan dengan pengelolaan
objek akuisisi. White knight biasanya adalah pemegang saham minoritas yang terkadang tidak
mempunyai niat mengakuisisi tetapi hanya digunakan sebagai alat atau boneka dalam
menyelamatkan perusahaan dari upaya hostile takeover.
White Squire
White squire (pengawal putih) hampir mirip dengan white knight. Namun white squire
tidak mengambil alih perusahaan target. Target hanya menjual blok saham kepada pihak
ketiga yang dianggap friendly. Sebagai imbalannya, white squire mungkin menerima: kursi
dewan, dividen, atau saham diskon. Seorang investor yang bertindak untuk kepentingan
terbaik perusahaan tetap memiliki saham mayoritas perusahaan dalam upaya untuk mencegah
upaya hostile takeover.
Pac-Man Defense
Pertahananan ini sangat agresif, perusahaan target melakukan penawaran balik dan
melakukan akuisisi terhadap pengakuisisi yang potensial. Sebagai contoh, perusahaan A
melakukan unfriendly takeover terhadap perusahaan T. Untuk menghalanginya, perusahaan T
mencoba mengakuisisi perusahaan A. Teknik ini efektif apabila calon pengakuisisi awal
nilainya lebih kecil daripada calon targetnya sehingga memberikan kesempatan kepada target
untuk membiayai kesepakatan yang potensial. Pertahananan ini sangat berisiko. Hasil yang
mungkin timbul jika gagal, mungkin berakhir dengan sangat destruktif misalnya menambah
hutang.
Restrukturisasi
1. Going Private
Pembelian kembali semua saham dari karyawan atau private investor. Perusahaan
mungkin ingin melakukan privatisasi dalam rangka untuk merestrukturisasi bisnis mereka
ketika merasa bahwa proses tersebut dapat memperburuk harga saham mereka dalam jangka
pendek.
2. Sales of attractive asset
Menjual aset yang diincar oleh hostile takeover. Sebuah perusahaan juga dapat
mempertimbangkan menjual lini bisnis atau divisi yang paling berharga yang disebut sebagai
crown jewels. Setelah melakukan divestasi, hasilnya dapat digunakan untuk membeli kembali
saham atau untuk membayar dividen luar biasa. Selain itu, setelah crown jewels didivestasi,
hostile acquirer dapat menarik tawarannya.
3. Liquidating the firm
Likuidasi adalah sebuah proses pembubaran sebuah perusahaan.
2.6 Penelitian Terdahulu
2.6.1 Pengaruh Merger terhadap Perusahaan
Penelitian yang dilakukan oleh Berkovitch dan Narayanan (1993) menyatakan bahwa
kekuatan utama yang memotori merger dan akuisisi adalah mayoritas keuntungan total positif
dan sinergi. Dalam penelitian tersebut terdapat lebih dari tiga per empat kasus dalam sampel
yang diteliti mendapatkan keuntungan yang positif serta korelasi antara return target firm dan
keuntungan total sangat positif.
Studi empirik yang dilakukan oleh Healy, Palepu, dan Ruback (1992) telah menemukan
bahwa reaksi awal pasar terhadap pengumuman merger merupakan prediktor yang baik
mengenai performa berikutnya.
2.6.2 Pengaruh insider ownership terhadap perusahaan
Penelitian terdahulu menunjukkan bahwa terdapat pengaruh positif dari insider
ownership terhadap firm value (McConnell, Servaes, dan Lins, 2008; Morck, Shleife, dan
Vishny, 1988) dan wealth effect (Gugler, Mueller, dan Yurtoglu, 2008). Baugeuss (2009),
Song dan Walking (1993) dan Stulz et al. (1990) menemukan bahwa terdapat hubungan
positif antara struktur kepemilikan perusahaan target dengan abnormal return. Sebaliknya
Moeller (2005) menemukan bahwa terdapat hubungan negatif antara kepemilikan CEO
dengan takeover premium.
2.6.3 Pengaruh insider ownership terhadap kemungkinan keberhasilan akuisisi
Morck, Schleifer, dan Vishny (1988) dalam Song dan Walkin (1993) juga menemukan
bahwa terdapat hubungan positif antara insider ownership dengan keberhasilan suatu akuisisi.
Hal yang serupa juga ditemukan, bahwa perusahaan dimana managernya tidak mengelola
perusahaannya dengan efisien dan dengan harga saham rendah akan menyebabkan
kemungkinan perusahaan tersebut menjadi target semakin besar (Manne, 1965; Mitchell dan
Lehn, 1990 dalam Offenburg, 2009). Di lain pihak Mikkelson dan Partch (1989) dalam Song
dan Walkin (1993) menemukan bahwa hal tersebut berhubungan negatif, sementara Ambrose
dan Megginson (1992) menemukan bahwa tidak terdapat hubungan antara keduanya.
2.7 Alasan Melakukan Takeover Defence
a. Target menolak untuk diambil alih untuk memperoleh harga yang lebih baik.
b. Managemen dari perusahaan target menilai bahwa perusahaan akan lebih baik apabila
tidak di-takeover
c. Manajemen ingin berkubu sendiri (management entrenchment)
Hipotesis entrenchment sejalan dengan Hartzell et al. (2004) yang menyatakan bahwa
pada tahun 1990an, para manajemen bertindak untuk kepentingan pribadi dengan
menggunakan kekuasaan untuk memperoleh penawaran yang lebih baik dari diri mereka
dan mempertaruhkan takeover premium yang lebih tinggi.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Studi Kasus
Kraft Foods Inc. adalah perusahaan food and beverage terbesar kedua di dunia.
Perusahaan ini berpusat di Northfield, Illinois, Amerika Serikat. Sedangkan Cadbury plc
merupakan perusahaan yang bergelut dalam bisnis gula-gula dan makanan (confectionery and
beverage) dan menempati urutan terbesar kedua di dunia dalam usahanya. Kantor pusatnya
terletak di Westminster City, London, Inggris.
Pada hari Senin, 7 September 2009, Kraft Foods meyakinkan Cadbury dengan
mengajukan proposal penawaran sebesar £ 10,5 milyar (setara dengan $ 16,7 milyar) dalam
bentuk uang tunai dan saham. Roger Carr, Dewan Direktur Perusahaan pembuat coklat
tersebut menolak penawaran karena nilainya secara fundamental terlalu rendah walaupun
tawaran tersebut sudah jauh melebihi harga saham Cadbury di pasar (37% premium).
Beberapa hari kemudian, CEO Kraft Irene Rosenfield melakukan penawaran formal secara
langsung kepada pemegang saham Cadbury yang mengubah negosiasi dengan Cadbury
menjadi sebuah akuisisi paksa (hostile takeover).
Untuk melindungi pemegang sahamnya, Carr berusaha mempertahankan Cadbury
dengan mengatakan kepada pemegang saham untuk tidak membiarkan Kraft ”mencuri”
perusahaan mereka dan mendesak mereka untuk menolak tawaran akuisisi Kraft. Carr
mengklaim bahwa Cadbury masih bisa memberikan nilai lebih bagi pemegang saham jika
tetap independen. Tidak cukup dengan itu, bahkan Cadburry mempertimbangkan strategi
Pac-Man defense jika tidak ada tawaran dari perusahaan lain yang akan melawan akuisisi
Kraft untuk menyelamatkan Cadbury (White knight). Perusahaan pembuat coklat asal
Inggris ini berencana untuk berbalik membuat tawaran akuisisi untuk bisnis confectionery
Kraft yang lebih kecil yang masih memungkinkan bagi perusahaan tersebut secara finansial.
Pada akhirnya, taktik pertahanan tersebut tidak perlu dilakukan. Cadbury yang
merupakan perusahaan independen banyak menarik perhatian perusahaan sejenis yang
berminat untuk mengambil alih. Produsen cokelat dari Amerika, Hershey Co. berkolaborasi
bersama produsen asal Italia, Ferrero untuk bersaing memperebutkan Cadbury. Beberapa
sumber juga mengatakan bahwa Nestlé juga ikut serta di dalam tender offer. Di sisi lain,
ketidakpuasan Kraft terhadap penolakan Cadbury membuatnya makin gigih melakukan
penawaran-penawaran baru di tengah ketatnya persaingan.
Selasa, 19 Januari 2010, Cadbury akhirnya menerima lamaran akuisisi Kraft Foods
dengan harga penawaran akhir £ 11,9 milyar (setara dengan $ 18,9 milyar) dengan rasio 40%
saham dan 60% kas. Sukses diraih setelah pemegang saham terbesarnya, miliarder investor
Warren Buffett sempat membuat pernyataan publik bahwa dia tidak akan mendukung
proposal Kraft karena tawarannya dinilai overvalued. Setelah transaksi ini dipublikasikan,
saham Cadbury pun melesat sebesar 3,3%. Dengan diambil alihnya Cadbury, mungkin Kraft
akan tetap menjadi nomor dua setelah Nestlé dalam industri makanan dan minuman tapi
akuisisi ini akan mengalahkan Mars, perusahaan raksasa pembuat gula-gula, dalam bisnis
confectionery and beverage.
3.2 Analisis Kasus
Dalam mengembangkan aktivitas bisnisnya, Kraft dan Cadbury memiliki dua misi
besar yakni pengusaaan pangsa pasar bagi produk-produk yang dihasilkannya dan
mengembangkan aktivitas yang dapat memaksimalisasi perolehan profit.
Kraft dan Cadbury termasuk dalam kategori perusahaan besar dunia. Akan tetapi, Kraft
lebih berjaya di AS sementara Cadbury menguasai pasar Eropa. Di samping itu, Cadbury
lebih menonjol dalam hal bisnis permen karet terutama di Eropa dan Amerika Latin
sementara Kraft memiliki lebih sedikit pengalaman dalam hal tersebut (Economist, 19 Januari
2010). Kedua perusahaan dapat saling melengkapi dalam hal jenis produksi dan wilayah
pasar sehingga apabila terjadi akuisisi di antara kedua perusahaan ini, pangsa pasar Kraftbury
menjadi lebih luas.
Maksimalisasi perolehan profit akan terjadi menyusul terciptanya perluasan pangsa
pasar. Dengan akuisisi ini, Kraftbury dapat memperkuat kapasitas sumber daya manusia,
sumber daya teknologi, dan mampu mengembangkan ide-ide inovasinya. Meskipun Kraft
membeli Cadbury dengan harga mahal, imbal hasil yang diraih akan jauh lebih besar terlebih
kedua perusahaan harus menghadapi ancaman produk China yang merupakan produsen gula-
gula terbesar kedua di dunia. Produk-produk ternama Cadbury seperti dairy milk, créme eggs,
dan dentyne chewing gum adalah produk unggulan yang direspon sangat positif oleh pasar
negara berkembang.
CEO Cadbury, Roger Carr, menegaskan bahwa alasan bersatunya Cadbury dengan
Kraft bukan bukan karena Cadbury tidak lagi memiliki strategi operasional dan manajerial
ataupun alasan keuangan. Carr berujar, “It was about management achievement, and the
Kraft achievement relative to the Cadbury one was less. Therefore, you would only sell this
business for the right price.” (Reuters, 20 Januari 2010).
Kraft memastikan bahwa proses akuisisi ini justru akan menguntungkan seluruh pihak
karena inilah saat yang tepat bagi dua perusahaan untuk bersama-sama menciptakan kerajaan
confectionery and beverage terbesar dunia (Economist, 19 Januari 2010).
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1 Kesimpulan
Pengaruh dari takeover defense terhadap perusahaan target dilihat dari kepentingan
shareholder dan manajemen.
Motivasi perusahaan target untuk melakukan takeover defense…
4.2 Saran
Saat perusahaan yang tamak datang memburu, sebaiknya dilakukan usaha pertahanan
diri ibaratnya membuat racun dosis tertentu sebagai umpan. Berikut langkah-langkah defensif
yang dapat dilakukan agar tidak terjadi kerugian.
Menciptakan Poison Pill (Pil Racun)
1. Formulasikan pil racun yang tidak disukai hostile buyer, dapat berbentuk
shareholders right plan yang dapat membuat pengambilalihan mahal dengan
memberikan hak kepada pemegang saham yang ada untuk membeli saham baru
dengan harga yang sangat murah.
2. Menetapkan exercise price, yaitu harga yang akan dibayarkan pemegang saham untuk
membeli saham tambahan (termasuk faktor penyesuaian dilusi). Sebagian besar
shareholders right plan mensyaratkan bahwa perusahaan akan menerbitkan saham
dengan harga pasar saat ini sama dengan dua kali exercise price.
3. Menetapkan harga penebusan (redemption price), yaitu jumlah nominal (biasanya
setara $0.01 per hak/opsi) yang harus ditebus pemegang saham sebelum haknya
dieksekusi.
4. Menciptakan pemicu untuk memulai shareholders right plan. Misalnya, membuat hak
yang berlaku ketika individu atau perusahaan mencoba mengakuisisi sejumlah saham
yang beredar (biasanya 15-20%, terendah 10%).
5. Menetapkan batas waktu ketentuan tersebut dilaksanakan (biasanya 10 tahun).
Melakukan Pertahanan Lainnya
1. Membeli kembali sebagian saham sendiri. Ini adalah langkah pertahanan umum bagi
perusahaan-perusahaan besar maupun kecil yang memiliki modal.
2. Memeriksa piagam perusahaan (corporate charter). Membuat klausul staggered
board supaya menyulitkan hostile buyer untuk menggantikan dewan direksi yang ada
saat terjadi hostile takeover.
3. Meneliti hukum perusahaan, termasuk hukum anti-takeover. Melakukan konsultasi
dengan pengacara mengenai penambahan amandemen ke peraturan perusahaan untuk
membuat pengambilalihan lebih sulit.
4. Menempatkan rencana keuntungan bagi perusahaan dengan ketentuan penggantian
kepemilikan yang mahal.
5. Melakukan spin-off anak perusahaan yang berkembang pesat sehingga mengurangi
daya tarik perusahaan. Pastikan untuk mendapatkan nasihat pengacara atas legalitas
divestasi tersebut.
6. Bergabung dalam kemitraan (partnership) dengan perusahaan lain dan sertakan
breakup fee yang besar di dalam perjanjian sehingga hostile acquirer harus membayar
biaya yang signifikan kepada partner perusahaan ketika ingin melakukan akuisisi.
7. Merespon dengan cepat dan sungguh-sungguh pada upaya awal pengambilalihan.
Taktik terbaik mungkin kombinasi dari pertahanan-pertahanan di atas. Sebagai
contoh, banyak perusahaan akan melawan sekaligus dengan stock repurchase dan
spin-off dari satu atau lebih divisi.
Dalam upaya pengambilalihan, perlu diwaspadai adanya perusahaan yang diam-diam
menguntit untuk mendapatkan kontrol atas target dan melawan keinginan manajemen,
biasanya melalui penawaran saham, tapi kadang-kadang melalui suatu usaha untuk
mengganti dewan direksi. Apabila berhadapan dengan hostile takeover, carilah perusahaan
yang berperan sebagai ksatria putih yang merupakan pembeli yang lebih menguntungkan. Di
beberapa sektor, 20-30% dari perusahaan yang diincar hostile buyer berusaha untuk
menemukan ksatria putih. Terakhir, hati-hati terhadap pil racun yang dapat berubah menjadi
pil bunuh diri jika menghasilkan utang begitu banyak sehingga perusahaan mengalami
kebangkrutan.
DAFTAR PUSTAKA
Bodie, Zvi., Alex Kane, & Alan J Marcus. 2009. Investment, 8th edition. McGraw-Hill,
Inc. Singapore.
Copeland, Weston, Shastri. 2005. Financial Theory and Corporate Policy, 4th Ed. Pearson
Education: International edition. New York.
Draper, P. & K.Paudyal. 1998. “Corporate Takeovers: Mode of Payment, Returns and
Trading Activity”. Journal of Business Finance & Accounting. Blackwell Publishers.
UK.
Gitman, I. 1997. Principle of Managerial Finance. Addison Wesley Longman Inc., USA.
Loughran, Tim & Vijh, Anand M. 1997. “Do Long Term Shareholders Benefit from
Corporate Aquisition?”. The Journal of Finance, 5, 1765.
Pearce, J. Robinson, R. 2004. “Hostile takeover defences that maximize shareholder
wealth”. Business Horizons 47/5: 15-24.
Ryngaert, M , Scholten, R. 2010. “Have changing takeover defense rules and strategies
entrenched management and damaged shareholders? The case of defeated takeover
bids”. Journal of Corporate Finance 16: 16–37.
Ross, Stephen A., Randolph W Westerfield, & Jeffrey Jaffe, & Bradford D. Jordan. 2009.
Modern Financial Management, 8th edition. McGraw-Hill. Singapore.
Weston, J.F., J.A.Siu, & B.A. Johnson. 2001. Takeovers,Restructuring, & Corporate
Governance. Prentice Hall International Inc. New Jersey. USA.
Artikel Kraftbury:
__________. Kraft and Cadbury: Kraft will take over Cadbury and become the world's
biggest confectioner. The Economist, January 19, 2010. http://www.economist.com
__________. Kraft Foods-Cadbury. The Deal Magazine, February 15, 2010.
Kosman, Josh. Revenge is sweet, Cadbury mulls Pac-Man bid for Kraft division. New
York Post, November 24, 2009.
http://www.nypost.com/p/news/business/revenge_is_sweet_inO3NA2nIo1lvK6gZd
V9HI#ixzz0nRpxvGcS
Wiggins, Jenny. The inside story of the Cadbury takeover. Financial Times, London,
March 12, 2010. http://www.ft.com/cms/s/2/1e5450d2-2be5-11df-8033-
00144feabdc0,dwp_uuid=a712eb94-dc2b-11da-890d-0000779e2340.html