Upload
others
View
31
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
TAFSIR SURAT IBRÂHÎM AYAT 18, SURAT AL-
BAQARAH AYAT 68, DAN SURAT YÛSUF AYAT 41
(Kajian Tentang Metode Amśâl dalam Pembelajaran
Agama Islam)
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar
Sarjana Pendidikan Islam (S. Pd. I)
Oleh
Fathurrohmah Aviciena
NIM 1111011000059
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1437 H/2015
i
ABSTRAK
Fathurrohmah Aviciena (1111011000059). TAFSIR SURAT IBRÂHÎM
AYAT 18, SURAT AL-BAQARAH AYAT 68, dan SURAT YÛSUF AYAT
41: Kajian Tentang Metode Amśâl dalam Pembelajaran Agama Islam.
Perumusan masalah yang diangkat dalam penelitian ini yaitu mengenai apa
kandungan dari surat Ibrâhîm ayat 18, surat al-Baqarah ayat 68, dan surat Yȗsuf
ayat 41, serta bagaimana analisis metode pembelajaran amśâl yang terkandung di
dalamya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui isi kandungan surat Ibrâhîm
ayat 18, surat al-Baqarah ayat 68, dan surat Yȗsuf ayat 41, mengenai kajian
metode amśâl dalam pembelajaran Agama Islam.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis library research
(penelitian kepustakaan) dengan tehnik analisis deskriptif kualitatif, dengan cara
mengumpulkan data atau bahan-bahan yang berkaitan dengan tema pembahasan
dan permasalahannya, yang diambil dari sumber-sumber kepustakaan, kemudian
dianalisis dengan metode tahlilî, yaitu metode tafsir yang menjelaskan kandungan
ayat al-Qur`ân dari seluruh aspeknya.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam surat Ibrâhîm ayat 18, surat al-
Baqarah ayat 68, dan surat Yȗsuf ayat 41 terkandung pendekatan pembelajaran
amśâl, yang pada masing-masing surat mengandung jenis amśâl yang berbeda.
Dalam surat Ibrâhîm ayat 18, metode amśâl yang terkandung adalah amśâl
muşarrahah, yaitu jenis perumpamaan yang jelas terlihat pada teks atau
ucapannya. Dalam surat al-Baqarah ayat 68, jenis amśâl yang terkandung adalah
amśâl kâminah, yaitu jenis perumpamaan yang tersembunyi yang tidak nampak
pada lafadz atau teksnya, namun memiliki persamaan arti dengan ungkapan-
ungkapan Arab, atau peribahasa yang berlaku. Dan dalam surat Yȗsuf ayat 41,
jenis amśâl yang terkandung adalah amśâl mursalah, yaitu jenis perumpamaan
yang tidak tampak dari teksnya dan tidak ada persamaan dengan ungkapan-
ungkapan atau peribahasa yang berlaku, namun tetap dihukumi sebagai
amśâl/perumpamaan.
ii
KATA PENGANTAR
يمبسم الله الرحمن الرح
Assalamu’alaikum Warahmatullâhi Wabarakâtuh
Kiranya tiada kalimat yang pantas diucapkan selain Alhamdulillâh, yang
merupakan kalimat terindah yang dapat penulis sampaikan. Segala puji hanya
bagi Allah, merupakan manifestasi rasa syukur terhadap kehadirat Ilâhi Rabbi
dengan rahmat dan hidâyahnya telah menghadiahkan anugerah yang begitu
mahal nilainya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Şalawat dan
salâm semoga senantiasa tercurahkan kepada baginda Nabi Muhammad Saw,
orang yang begitu mencintai kita sehingga di akhir hayatnya yang beliau
sebut dan kenang hanyalah kita umatnya.
Skripsi ini penulis susun dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Islam pada Jurusan Pendidikan Agama
Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
Menyadari bahwa suksesnya penulis dalam menyelesaikan skripsi ini
bukan semata-mata karena usaha penulis sendiri, melainkan tidak lepas dari
bantuan beberapa pihak, baik batuan moril ataupun materil. Oleh karena itu
sudah menjadi kepatutan untuk penulis sampaikan penghargaan yang tulus
dan terima kasih yang tak terhingga kepada:
1. Orang tua penulis, yaitu: Bapak. H. Sangidun, M.A dan Ibunda Amah
yang telah merawat, mendidik putra-putrinya dengan tulus ikhlas, dan
mencukupi kebutuhan moril dan materil serta membimbing,
memotivasi dan mendo’akan penulis dalam menempuh langkah hidup
di dunia yang sementara ini. Tak lupa juga kepada Bapak
Misbahuddin dan Ibu Salamah (almh) yang telah memberikan
pengorbanan yang tak terhitung nilainya dan tak terbalas bagi penulis.
2. Bapak Prof. Dr. Dede Rosyada, MA selaku rektor Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatulah Jakarta
iii
3. Bapak Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, MA selaku Dekan Fakultas Ilmu
Tarbiyah dan Keguruan (FITK).
4. Bapak H. Dr. Abdul Majid Khon, M.Ag. Dan ibu Hj. Marhamah
Saleh, Lc. MA selaku ketua dan sekretaris Jurusan Pendidikan Agama
Islam. Semoga kebijakan yang telah dilakukan selalu mengarah
kepada kontinuitas eksistensi mahasiswanya.
5. Bapak Abdul Ghafur, MA selaku pembimbing skripsi yang telah
memberikan perhatian, bimbingan, nasehat, kritik dan saran, serta
motivasi yang besar dalam proses penulisan skripsi ini.
6. Ibu Hj. Marhamah Saleh, Lc, MA selaku dosen pembimbing
akademik yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan
pelayanan konsultasi bagi penulis.
7. Seluruh dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan yang telah
memberikan ilmunya sehingga penulis dapat memahami berbagai
materi perkuliahan.
8. Staf Perpustakaan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan dan
Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah
menyediakan berbagai referensi yang menunjang dalam penulisan
skripsi ini.
9. Bapak Prof. Dr. H. D. Hidayat, MA selaku direktur Pesantren Luhur
Sabilussam serta jajaran pengurus Pesantren Luhur Sabilussalam yang
senantiasa membimbing penulis sebagai mahasantriawati.
10. Bapak Dr. H Muslih Idris, Lc, MA dan ibu Dra. Djunaidatul
Munawwaroh, MA selaku pemilik asrama putri Pesantren Luhur
Sabilussalam yang selama kurang lebih empat tahun terakhir ini tak
pernah lelah memberikan bimbingan, nasehat, kritik dan saran serta
motivasinya bagi penulis.
11. Kakak dan Adikku tersayang, Mas Randhu Ahimsa Asa dan dede
Nahaary Fortuna Averoes yang selalu memberikan semangat kepada
penulis, semoga kita selalu menjadi anak-anak yang bisa
membanggakan kedua orang tua kita.
iv
12. Teman-teman “S-11” Pesantren Luhur Sabilussalam angkatan 2011
yang selalu memberikan contoh dan motivasi, sekaligus sebagai
keluarga bagi penulis.
13. Teman-teman sejawat jurusan PAI angkatan 2011, khususnya sahabat
TWO PAI (PAI B) yang selalu ada untuk menemani membimbing dan
terus memberikan semangat kepada penulis.
14. Kepada keluarga “al-Barkah” yaitu: Ka Nafisah beserta suami dan
buah hatinya, Ka Masmuhah Oecha, Feni Syarifaeni Fahdiah, dan
Ulfah Zakiyah, mereka adalah keluarga yang selalu memberikan
semangat, nasehat, inspirasi, dan motivasi penulis dari awal kami
menempuh pendidikan S1 di kampus UIN Jakarta ini.
15. Kepada sahabat yang selalu sedia untuk memberikan nasehat, arahan,
serta semangatnya untuk penulis, yaitu: Anisya Ulfah, Eka Maharani,
Marsita Eka Yuliani, Nailah Alfiani, Nuni Nuraini, Ummu Hanifah,
Yohanna Makatangin, dan Yolla Diatry Marlian yang sama-sama
menepuh studi pada jurusan PAI UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
16. Semua pihak yang tidak penulis sebutkan satu persatu yang telah
berjasa membatu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
Akhirnya penulis berharap semoga amal baik dari semua pihak yang
telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini mendapat balasan
pahala dan rahmat Allah SWT. Dan semoga apa yang telah ditulis dalam
skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak. Âmîn Yâ Rabbal ‘Âlamîn.
Jakarta, 15 Juni 2015
Fathurrohmah Aviciena
v
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB–LATIN
Transliterasi kata-kata Arab yang dipakai dalam penyusunan skripsi ini
berpedoman pada buku Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
1. Konsonan Tunggal
No. Huruf Arab Huruf Latin No. Huruf Arab Huruf Latin
Tidak ا 1
dilambangkan
ţ ط 16
ť ظ b 17 ب 2
‘ ع t 18 ت 3
ġ غ ś 19 خ 4
f ف j 20 ج 5
q ق h 21 ح 6
k ك kh 22 خ 7
l ل d 23 د 8
m م ż 24 ذ 9
n ن r 25 ر 10
w و z 26 ز 11
h ه s 27 س 12
` ء sy 28 ش 13
y ي ş 29 ص 14
h ة đ 30 ض 15
2. Vokal Tunggal
Tanda Huruf Latin
a ـ
i ـ
u ـ
vi
3. Vokal Rangkap
Tanda dan Huruf Huruf Latin
ai ـي
Au ــو
4. Mâdd
Harakat dan Huruf Huruf Latin
â ــا
î ــي
ȗ ــو
5. Tâ’ Marbuţah
Tâ’ Marbuţah hidup translitrasiya adalah /t/.
Tâ’ Marbuţah mati transliterasinya adalah /h/.
Jika pada suatu kata yang akhir katanya adalah Tâ’ Marbuţah diikuti oleh
kaya sandang al, serta kata kedua itu terpisah maka Tâ’ Marbuţah itu
ditransliterasikan dengan /h/.
Contoh:
اتان و ي الح ة يق د ح = hadîqat al-hayawânât atau hadîqatul hayawânât
ة س ر د الم يةائ د ح ب ال = al-madrasat al-ibtidâ`iyyâh atau al-madrasatul
ibtidâ`iyyâh
6. Syaddah (Tasydîd)
Syaddah/tasydid ditransliterasikan dengan huruf yang sama dengan huruf
yang diberi tanda syaddah (digandakan).
لن Ditulis ‘allama ع
ر ر Ditulis yukarriru ي ك
7. Kata Sandang
a. Kata sandang diikuti oleh huruf Syamsiyah ditransliterasikan dengan
huruf yang mengikuti dan dihubungkan dengan kata sambung/hubung.
vii
Contoh:
لا ة aş-şalâtu = الص
b. Kata sadang diikuti dengan hufuf Qamariyah ditransliterasikan sesuai
dengan bunyinya. Contoh:
الف ل ك = al-falaqu
8. Penulisan Hamzah
a. Bila hamzah terletak di awal kata, maka ia tidak dilambangkan dan ia
seperti alif, contoh:
ل ث أك = akaltu ج ي و ȗtiya = أ
b. Bila di tengah dan di akhir, ditransliterasikan dengan aprostof, contoh:
syai`un = ش ي ئ ta’kulȗna = ج أكلون
9. Huruf Kapital
Huruf kapital dimulai pada awal nama diri, nama tempat, bukan pada kata
sandangnya. Contoh:
al-Qur`ân = القرآن
al-Madînatul Munawwarah = المدينةالمنورة
viii
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING
LEMBAR PENGESAHAN UJIAN SKRIPSI
LEMBAR PERNYATAAN KARYA SENDIRI
ABSTRAK ................................................................................................................ i
KATA PENGANTAR .............................................................................................. ii
PEDOMAN TRANSLITERASI ............................................................................. v
DAFTAR ISI ............................................................................................................. viii
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ................................................................................ 1
B. Identifikasi Masalah ....................................................................................... 11
C. Pembatasan Penelitian .................................................................................... 11
D. Perumusan Masalah ....................................................................................... 11
E. Tujuan dan Kegunaan Penelitian .................................................................. 11
BAB II : KAJIAN TEORITIK METODE AMŚÂL
A. Acuan Teori .................................................................................................... 13
1. Pengertian Metode Pembelajaran Amśâl .................................................. 13
2. Kedudukan Amśâl dalam Pembelajaran ................................................... 20
3. Macam-Macam Istilah Metode Amśâl .................................................... 24
4. Syarat-Syarat Metode Amśâl .................................................................... 28
5. Tujuan Metode Amśâl .............................................................................. 30
B. Hasil Penelitian Yang Relevan ....................................................................... 32
BAB III : METODOLOGI PENELITIAN
A. Objek dan Waktu Penelitian ........................................................................... 33
B. Metode Penelitian ........................................................................................... 33
C. Fokus Penelitian ............................................................................................. 34
D. Prosedur Penelitian ......................................................................................... 35
ix
BAB IV: TEMUAN PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Tafsir Surat Ibrâhîm Ayat 18, Surat Al-Baqarah Ayat 68 dan Surat
Yȗsuf Ayat 41 ................................................................................................ 38
1. Tafsir Surat Ibrâhîm Ayat 18
a) Teks Ayat dan Terjemah Surat Ibrâhîm Ayat 18 ............................... 38
b) Makna Kosa Kata Inti ........................................................................ 38
c) Tafsir Surat Ibrâhîm Ayat 18 ............................................................. 41
2. Tafsir Surat al-Baqarah Ayat 68 .............................................................. 46
a) Teks Ayat dan Terjemah Surat al-Baqarah Ayat 68 ........................... 46
b) Makna Kosa Kata Inti ......................................................................... 46
c) Tafsir Surat al-Baqarah Ayat 68 ......................................................... 49
3. Tafsir Surat Yȗsuf Ayat 41 ...................................................................... 54
a) Teks Ayat dan Terjemah Surat Yȗsuf Ayat 41 .................................. 54
b) Makna Kosa Kata Inti ......................................................................... 54
c) Tafsir Surat Yȗsuf Ayat 41................................................................. 56
B. Analisis Metode Amśâl dalam Surat Ibrâhîm Ayat 18,Surat al-Baqarah
Ayat 68 dan Surat Yȗsuf Ayat 41 .................................................................. 60
1. Analisis Metode Amśâl dalam Surat Ibrâhîm Ayat 18 ............................ 60
2. Analisis Metode Amśâl dalam Surat al-Baqarah Ayat 68 ....................... 65
3. Analisis Metode Amśâl dalam Surat Yȗsuf Ayat 41 ............................... 69
BAB V: PENUTUP
A. Kesimpulan .................................................................................................... 72
B. Implikasi ......................................................................................................... 73
C. Saran ............................................................................................................... 73
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 75
LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dari sejak awal kehadiran Islam di muka bumi, ia telah memberikan
perhatian yang besar terhadap pendidikan, sehingga mampu mengubah
pusat kebudayaan dan peradaban yang semula ada di Cina, India,
Romawi, Persia dan lainnya berpindah ke dunia Islam, sebagaimana
terlihat di Baghdad, Mesir dan lainnya.1
Tidak dapat dipungkiri bahwa pendidikan mempunyai peranan yang
sangat penting dalam kehidupan. Karena pendidikanlah yang akan
mengembangkan potensi manusia. Berkaitan dengan hal ini, pendapat
Muhammad Amin yang dikutip oleh Abudin Nata menyatakan bahwa
pendidikan merupakan usaha untuk mengembangkan bakat-bakat dan
kemampuan individual sehingga potensi-potensi tersebut dapat
diaktualisasikan secara sempurna. Potensi-potensi itu sesungguhnya
merupakan kekayaan manusia yang amat berharga.2 Oleh karena
pentingnya peranan pendidikan, maka sebagai umat Islam dalam
menjalankan sebuah pendidikan hendaknya pendidikan tersebut dilandasi
dengan nilai-nilai keislaman.
Al-Qur`ân sebagai kitab suci sekaligus pedoman hidup umat Islam,
banyak membicarakan dan menjelaskan tentang seluk beluk dan hal-hal
yang berkaitan dengan pendidikan. Ia juga mendorong umat manusia
untuk mencari ilmu dan mendudukannya sebagai sesuatu yang utama dan
mulia. Sebagaimana dalam Surat al-Qalam/68 ayat 1
ن والقلم وما يسطرون
1Abudin Nata, Studi Islam Komprehensif, (Jakarta: Prenada Media Group, 2011), h. 207
2Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005), h. 103
2
Nun. Demi pena dan apa saja yang mereka tuliskan.3
Musthafa Husni Assiba’i menjelaskan bahwa yang dimaksud pada
Surat al-Qalam ayat pertama yaitu Allah telah menjadikan alat menulis
(pena) untuk bahan bersumpah, sebagaimana juga yang ditafsirkan oleh
jumhȗr ahli al-Qur`ân. Barang siapa yang suka menyelidiki Kitabullah
yang Mulia, maka ia pasti mengetahui bahwa Allah bersumpah dengan
makhluk-Nya adalah untuk menyatakan betapa sangat pentingnya apa
yang disumpahkan itu, juga untuk menarik perhatian seluruh manusia
kepadanya.4
Menurut Quraish Shihab, al-Qur`ân secara harfiah berarti “bacaan
yang mencapai puncak kesempurnaan”.5 Kemudian beliau juga
menuturkan bahwa “al-Qur’an memperkenalkan dirinya hu-dan li al-nas
(petunjuk untuk seluruh manusia). Inilah fungsi utama kehadirannya”.6
Al-Qur`ân merupakan salah satu sumber hukum agama Islam, di
dalamnya banyak terdapat aturan hukum bagi kehidupan manusia yang
akan menjamin kebahagiaan pemeluknya di dunia dan akhirat nanti. Dan
para ulama juga sepakat bahwa dalam penggunaan sumber hukum Islam,
al-Qur`ân lah yang menjadi prioritas utama dibandingkan sumber hukum
Islam lainnya.7 Karena al-Qur`ân mempunyai fungsi untuk memberi
petunjuk ke jalan yang sebaik-baiknya.
Allah berfirman dalam Q.S. Al-Isrâ` ayat 9,
إن هذا القرءان ي هدى للت هي أق وم . . . Sesungguhnya al-Qur`ân ini memberikan petunjuk kepada (jalan)
yang paling lurus … 8
Menurut ulama besar kontemporer, Muhammad Husein Ath-
Thabathaba’iy sebagaimana yang dikutip oleh guru besar kita Quraish
3Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung: Syamil Al-Qur’an,
2007), h. 564
4Musthafa Husni Assiba’i, Kehidupan Sosial Menurut Islam, (Bandung: Diponegoro,
1993), Cet III, h. 112 5M.Quraish Shihab, Lentera Al-Qur’an, (Jakarta: PT Mizan Pustaka, 2008), Cet. II, h.21
6Ibid, h. 26
7Sapiuddin Shiddiq, Ushul Fiqh, (Jakarta: KENCANA, 2011), h. 25
8Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Op Cit.,h. 283
3
Shihab menyatakan bahwa “sejarah al-Qur`ân demikian jelas dan
terbuka, sejak turunnya hingga masa kini. Al-Qur`ân sudah dibaca oleh
kaum muslimin sejak dulu hingga sekarang, sehingga dengan demikian
al-Qur`ân tidak membutuhkan sejarah untuk membutikan
keotentikannya”.9
Dengan semua bukti-bukti keistimewaan al-Qur`ân, maka sudah
sepatutnya sebagai manusia harus menjadikan al-Qur`ân sebagai dasar,
landasan serta hukum dalam setiap langkah kehidupannya. Semua urusan
manusia secara menyeluruh telah diatur sebaik-baiknya dalam al-Qur`ân.
Hal ini juga menjadi salah satu prinsip yang terkandung dalam tujuan
pendidikan Islam, sebagaimana yang dijelaskan oleh Prof. Abudin Nata
bahwa, “agama Islam yang menjadi dasar pendidikan islami itu bersifat
menyeluruh dalam pandangan terhadap agama, manusia, masyarakat, dan
kehidupan”.10
Menurut Syafri, al-Qur`ân berperan besar dalam proses pendidikan
yang dilakukan kepada umat manusia, beliau berpendapat bahwa ada dua
alasan pokok yang membuktikan hal tersebut. Alasan pertama karena al-
Qur`ân banyak menggunakan term-term yang mewakili dunia
pendidikan, kemudian alasan yang kedua, al-Qur`ân mendorong umat
manusia untuk berfikir dan melakukan analisis pada fenomena yang ada
di sekitar kehidupan mereka.11
Mengacu pada pernyataan di atas, dapat penulis katakan bahwa al-
Qur`ân sudah memberi anjuran dan aturan dalam pendidikan. Ini berarti
bahwa dalam kajian pendidikan, al-Qur`ân sebagai kitab suci umat Islam
turut mengatur jalannya pendidikan. Hal ini senada dengan pendapat
Erwati Aziz yang menjelaskan bahwa “dalam pendidikan Islam, al-
Qur’an merupakan sumber pertama utama. Hal ini dikarenakan al-Qur’an
yang diturunkan Allah swt lebih dari 14 abad yang lalu telah memuat
9M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 2003), cet. IV, h. 21 10
Abudin Nata, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Grafindo Persada, 2012), cet. III, h. 12
11Ulil Amri Syafri, Pendidikan Karakter Berbasis Al-Qur’an, (Jakarta: Rajawali Press,
2012), h. 59-60
4
prinsip-prinsip dasar yang dibutuhkan manusia dalam menjalani hidup
dan kehidupan di muka bumi ini termasuk pendidikan.”12
Maka sudah
seharusnya al-Qur`ân dijadikan acuan pokok dalam melaksanakan
pendidikan, karena al-Qur`ân adalah sumber nilai utama dalam
kehidupan manusia. Dan tujuan hidup manusia dapat dicapai hanya
dengan proses pendidikan.
Dalam hal pendidikan, banyak para ahli mendefinisikan arti dari
pendidikan tersebut, diantaranya adalah Ara Hidayat dan Imam Machali,
menurut mereka “pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana
untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta
didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa, dan negara”.13
Alisuf Sabri menyimpulkan definisi pendidikan dari beberapa ahli
pendidikan bahwa, “pendidikan itu adalah usaha sadar dari orang dewasa
untuk membantu atau membimbing pertumbuhan dan perkembangan
anak/peserta didik secara teratur dan sistematis ke arah kedewasaan”.14
Sementara itu, Hasan Langgulung menjelaskan definisi pendidikan
sebagaimana yang dikutip oleh Abudin Nata, bahwa pendidikan adalah
“suatu proses yang mempunyai tujuan yang biasanya diusahakan untuk
menciptakan pola-pola tingkah laku tertentu pada kanak-kanak atau
orang yang sedang dididik.”15
Kemudian Ara Hidayat dan Imam Machali menjelaskan kembali
tentang pendidikan lebih spesifik dari perspektif Islam bahwa:
Dalam perspektif Islam, kata pendidikan merujuk pada beberapa
istilah yaitu “al-tarbiyah”, “al-ta`dib”, dan “al-ta’lim” ( التأديب –التربية
12Ernawati Azizi, “Keberhasilan Pendidikan Perspektif Al-Qur’an”, Jurnal At-Tarbawi
Kajian Kependidikan Islam, Vol.2, 2005, h. 169
13Ara Hidayat dan Imam Machali, Pengelolaan Pendidikan: Konsep, Prinsip, dan Aplikasi
dalam Mengelola Sekolah dan Madrasah, (Yogyakarta: Kaukaba, 2012), h. 29
14Alisuf Sabri, Pengantar Ilmu Pendidikan, (Jakarta: UIN Jakarta PRESS, 2005), h. 7
15
Abudin Nata, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012),
Cet. II, h. 28
5
التعليم - ). Dari ketiga istilah tersebut, yang paling popular digunakan
dalam menyebutkan praktik pendidikan Islam adalah terminologi “al-
tarbiyah” seperti penggunaan istilah “at-Tarbiyah al-
Islamiyah”/(التربية الإسلامية) yang berarti pendidikan Islam. Syed
Muhammad Al-Nuqaib Al-Atas -seorang tokoh pemikiran pendidikan
Islam- berpendapat bahwa sesungguhnya istilah yang paling tepat
untuk pendidikan Islam adalah “ta`dib”, sebab struktur konsep ta`dib
sudah mencakup unsur-unsur ilmu intruksi (ta’lim) dan pembinaan
yang baik (tarbiyah).16
Kemudian banyak para ahli yang mendefinisikan pendidikan Islam
merupakan pendidikan yang berbasis al-Qur`ân, sebagaimana menurut
Hasan Bashri, “ilmu pendidikan Islam adalah seperangkat pengetahuan
yang berbasis pada al-Qur’an dan as-Sunnah yang dijadikan landasan
untuk pembelajaran dalam kehidupan”.17
Muhammad Hamid An-Nashir dan Kaulah Abd al-Qadir Darwis
mendefinisikan pendidikan Islam sebagaimana yang telah dikutip oleh
Moh. Roqib sebagai “proses pengarahan perkembangan manusia
(ri’ayah) pada sisi jasmani, akal, bahasa, tingkah laku, dan kehidupan
sosial dan keagamaan yang diarahkan pada kebaikan menuju
kesempurnaan.”18
Sejalan dengan definisi di atas, M. Arifin menjelaskan bahwa,
“pendidikan Islam adalah usaha orang dewasa muslim yang bertaqwa
secara sadar mengarahkan dan membimbing pertumbuhan serta
perkembangan fiţrah (kemampuan dasar) anak didik melalui ajaran Islam
ke arah titik maksimal pertumbuhan dan perkembangannya”.19
Lebih luas lagi Ramayulis menjelaskan bahwa,” pendidikan agama
Islam adalah upaya sadar terencana dalam menyiapkan peserta didik
untuk mengenal, memahami, menghayati, mengimani, bertaqwa,
berakhlak mulia, mengamalkan ajaran agama Islam, dari sumber
16Ara Hidayat dan Imam Machali, Op Cit., h. 30
17
Hasan Bashri, Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2009) h. 14 18
Moh. Roqib, Ilmu Pendidikan Islam: Pengembangan Pendidikan Integratif di Sekolah,
Keluarga, dan Masyarakat, (Yogyakarta: LKiS Printing Cemerlang, 2011), h. 17
19M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam: Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan
Pendekatan Interdisipliner, (Jakarta: Bumi Aksara, 2003), h. 22
6
utamanya kitab suci al-Qur`ân dan al-Hadiś melalui kegiatan bimbingan,
pengajaran, latihan, serta penggunaan pengalaman”.20
Kemudian Abudin Nata menjelaskan tentang perbedaan pendidikan
Islam dengan pendidikan lainnya bahwa, ”perbedaan pendidikan Islam
dengan pendidikan lainnya ditentukan oleh adanya dasar ajaran Islam
tersebut. Jika pendidikan lainnya didasarkan pemikiran rasional sekuler
dan impristik semata, maka pendidikan Islam selain menggunakan
pertimbangan rasional dan data empiris juga berdasarkan pada al-Qur’an,
al-Sunnah, pendapat para ulama dan sejarah tersebut”.21
Jika berbicara tentang pendidikan, maka tidak dapat dilewatkan
begitu saja mengenai hal-hal yang menyangkut dengan metode
pendidikan. Lebih spesifiknya adalah metode pendidikan Islam. Yang
dimaksud metode pedidikan Islam menurut Abdullah Nashih Ulwan
sebagaimana yang dikutip oleh Aat Syafa’at adalah “jalan atau cara yang
dapat ditempuh untuk menyampaikan bahan atau materi pendidikan
Islam kepada anak didik agar terwujud kepribadian muslim”.22
Metodologi pendidikan Islam merupakan jalan untuk memudahkan
pendidikan dalam membentuk pribadi muslim yang berkepribadian Islam
dan sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang digariskan oleh al-Qur’an
dan Hadith. Oleh karena itu penggunaan metode dalam pendidikan tidak
harus terfokus pada satu bentuk metode, tetapi dapat memilih diantara
metode-metode yang ada sesuai dengan situasi dan kondisi, sehingga
dapat memudahkan sipendidik dalam mencapai tujuan yang diinginkan.23
Melanjutkan penjelasannya, Abdulah Nashih Ulwan menyatakan
bahwa tehnik atau metode pendidikan Islam itu ada lima macam, yaitu:
1) Pendidikan dengan keteladanan, 2) Pendidikan dengan adat kebiasaan,
20Ramayulis, Metodologi Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2005), Cet.
IV, h. 21
21Abudin Nata, Pendidikan Dalam Perspektif Al-Qur’an, (Jakarta: UIN Jakarta PRESS,
2005), h. 15
22TB Aat Syafa’at, Sohari Sahrani dan Muslih, Peranan Pendidikan Agama Islam Dalam
Mencegah Kenakalan Remaja (Juvenile Delinquency), (Jakarta: Rajawali Press, 2008), h. 40
23 Armai Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat Press,
2002) , h. 22
7
3) Pendidikan dengan nasehat, 4) Pendidikan dengan memberi perhatian,
5) Pendidikan dengan memberi hukuman24
Selanjutnya Moh. Roqib mengatakan bahwa, “metode pendidikan
Islam adalah prosedur umum dalam menyampaikan materi untuk
penyampaian tujuan pendidikan yang didasarkan pada asumsi tertentu
tentang hakikat Islam sebagai supra sistem”.25
Lebih lanjut Abdurrahman An-Nahlawi menjelaskan terkait metode
pendidikan Islam, bahwa:
Metode pendidikan Islam sangat efektif dalam membina kepribadian
anak didik, dan memotifasi mereka sehingga aplikasi metode ini
memungkinkan puluhan ribu kaum mukminin dapat membuka hati
manusia untuk menerima petunjuk Ilahi dan konsep-konsep peradaban
Islam. Selain itu, metode pendidikan Islam akan mampu
menempatkan manusia di atas luasnya permukaan bumi dan dalam
lamanya masa yang tidak diberikan kepada penghuni bumi lainnya.26
Sementara itu M. Arifin berasumsi tentang metode pendidikan yang
baik yaitu apabila, “memiliki watak dan relevansi yang senada dengan
tujuan pendidikan Islam”.27
Kemudian, beberapa metode yang dianggap penting dan paling
menonjol menurut Abdurrahman An-Nahlawi antara lain: 1) Metode
dialog Qur`ani dan Nabawi, 2) Mendidik melalui kisah Qur’ani dan
Nabawi, 3) Mendidik melalui perumpamaan Qur’ani dan Nabawi, 4)
Mendidik melalui keteladanan, 5) Mendidik melalui aplikasi
pengalaman, 6) Mendidik melalui ibrah dan nasihat, 7) Mendidik melalui
tarġîb dan tarhîb28
Sejalan dengan pendapat an-Nahlawi di atas, Jejen juga berpendapat
bahwa metode pendidikan dalam perspektif Islam mencakup tujuh
metode, antara lain: Metode Perumpamaan (Amśâl), Metode Kisah,
Metode Tarġîb-Tarhîb, Metode Dialog (Hiwâr), Metode Teladan (Uswah
24Ibid, h. 40-47
25
Moh. Roqib, Op, Cit., h. 9
26Abdurrahman An-Nahlawi, Pendidikan Islam di Rumah Sekolah dan Masyarakat, terj:
Shihabuddin, (Jakarta: Gema Insani, 1995), h. 204
27M. Arifin, Op Cit., h. 144
28Abdurrahman An-Nahlawi, Loc Cit.
8
Hasanah), Metode Latihan dan Praktik (Tajrîbah), dan Metode
Nasehat.29
Pada penelitian ini, penulis akan mengedepankan salah satu metode
pendidikan Islam, yaitu metode amśâl atau perumpamaan. Al-Qur`ân
dalam menyampaikan pesan-pesan di dalamnya banyak menggunakan
amśâl, seperti dalam Surat ar-Ra’d ayat 17:
مثلا كلمةا طيبةا كشجرة طيبة أصلها ثابت وفرعها ف السماء أل ت ر كيف ضرب الل
ا الأمثال للناس لعلهم ي تذكرون تؤتى أكلها كل حين بذن رب ويضرب الل
Tidakkah kamu memperhatikan bagaimana Allah telah membuat
perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya
kuat dan cabangnya (menjulang) ke langit. (pohon) itu menghasilkan
buahnya pada setiap waktu dengan seizin Tuhannya. Dan Allah
membuat perumpamaan itu untuk manusia agar mereka selalu ingat.
Ayat 24-25 Surat Ibrahim di atas menjelaskan bahwa kalimat yang
baik itu seperti pohon yang baik yang menghasilkan buah di setiap
musimnya, dan bermanfaat untuk orang lain. Masih banyak contoh
contoh perumpamaan yang disebutkan dalam al-Qur`ân, seperti Surat al-
Hasyr ayat 21:
ن خشية خ ۥجبل لرأي ته لقرءان على ٱذا لو أنزلنا ه ل نضرب ها لأمث ٱوتلك لل ٱشعاا متصدعاا م للناس لعلهم ي ت فكرون
Kalau sekiranya Kami turunkan Al-Quran ini kepada sebuah gunung,
pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah disebabkan
ketakutannya kepada Allah. Dan perumpamaan-perumpamaan itu
Kami buat untuk manusia supaya mereka berfikir.
Surat al-Hasyr di atas menjelaskan bahwa seandainya al-Qur`ân
dibuat untuk gunung, niscaya gunung tersebut akan tunduk dan patuh
terhadap perintah dan ajaran dalam al-Qur`ân.
Dengan adanya metode pendidikan Islam, maka diharapkan
terwujudnya tujuan dari pendidikan Islam itu sendiri. Tujuan pendidikan
Islam menurut Imam Ghazali sebagaimana yang dikutip oleh Prof. Armai
29Jejen Musfah, “Metode Pendidikan dalam Perspektif Islam”, TAHDZIB Jurnal
Pendidikan Agama Islam, Vol.3, 2009, h. 107
9
Arief, yaitu “untuk membentuk insan purna yang pada akhirnya dapat
mendekatkan diri kepada Allah Swt. dan membentuk insan purna untuk
memperoleh kebahagiaan hidup, baik di dunia maupun di akhirat”.30
Sejalan dengan pendapat di atas, tokoh pemikiran pendidikan Syeid
Naquib al-Atas sebagaimana yang dikutip oleh Moh. Roqib menyatakan
bahwa, “pendidikan yang penting harus diambil dari pandangan
(philosophy of life). Jika pandangan hidup itu Islam maka tujuannya
adalah membentuk manusia sempurna (insân kâmil) menurut Islam”.31
Sementara itu Ramayulis juga berpendapat bahwa tujuan dari
pendidikan agama Islam ini untuk “meningkatkan keimanan,
pemahaman, penghayatan, dan pengamalan peserta didik tentang agama
Islam sehingga menjadi manusia muslim yang beriman dan bertaqwa
kepada Allah SWT serta berakhlak mulia dalam kehidupan pribadi,
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara”.32
Namun, Abdurrahman An-Nahlawi merumuskan tujuan pendidikan
Islam sebagai berikut:
Pendidikan harus mempunyai tujuan yang sama dengan tujuan
penciptaan manusia. Bagaimana pun, pendidikan Islam sarat dengan
pengembangan nalar dan penataan perilaku serta emosi manusia
dengan landasan dînul Islam. Dengan demikian, tujuan pendidikan
Islam adalah merealisasikan penghambaan kepada Allah dalam
kehidupan manusia, baik secara individual maupun secara sosial.33
Kemudian Abudin Nata menguraikan tujuan pendidikan Islam secara
universal sebagaimana yang dirujuk pada hasil kongres sedunia tentang
pendidikan Islam, yaitu sebagai berikut:
Education should aim at the balanced growth of total personality of
man through the training of man’s spirit, intellect the rational self,
feeling and bodily sense. Education should therefore cater for the
growth of man in all it’s aspects, spiritual, intellectual, imaginative,
physical, scientific, linguistic, both individual and collectivally, and
motivate all thes aspect toward goodness and attainment of perfection
30Armai Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat Press,
2002) , h. 22
31Moh. Roqib, Loc Cit., h. 27
32
Ramayulis, Op Cit., h. 22
33Abdurrahman An-Nahawi, Op Cit., h. 117
10
. The ultimate aim of education lies in the realization of complete
submission to Allah on the level individual, the community and
humanity at large. 34
Dari pernyataan tersebut, dapat dipahami bahwa pendidikan harus
ditujukan untuk menciptakan keseimbangan pertumbuhan kepribadian
manusia secara menyeluruh, dengan cara melatih jiwa, akal pikiran,
perasaan, serta fisik manusia. Dengan demikian pendidikan harus
mengupayakan tumbuhnya seluruh potensi manusia, baik bersifat
spiritual, intelektual, daya khayal, fisik, ilmu pengetahuan maupun
bahasa, baik secara perorangan maupun kelompok, dan mendorong
tumbuhnya seluruh aspek tersebut agar mencapai kebaikan dan
kesempurnaan. Tujuan akhir pendidikan terletak pada terlaksananya
pengabdian yang penuh kepada Allah, baik pada tingkat perseorangan,
kelompok, maupun kemanusiaan dalam arti yang seluas-luasnya.35
Untuk itu, dalam proses pendidikan terutama pendidikan Islam, salah
satu hal yang tak kalah penting adalah metode. Karena dengan metode
pembelajaran yang tepat guna, akan mengantarkan peserta didik
mencapai inti dari pendidikan yaitu tujuan pendidikan Islam itu sendiri.
Setelah mengkaji pentingnya pendidikan yang berbasis Islam,
dengan berbagai macam metode untuk mencapai tujuannya, maka
hendaknya sebagai pelaku pendidikan, diharapkan dapat menjalankan
dengan sebaik-baiknya. Berdasarkan beberapa penjelasan di atas, penulis
tertarik untuk melakukan penelitian terkait kajian tentang metode
pendidikan yang terdapat dalam al-Qur`ân, yaitu metode amśâl. Untuk
itu penulis mengambil judul “TAFSIR SURAT IBRÂHÎM AYAT 18,
SURAT AL-BAQARAH AYAT 68, DAN SURAT YÛSUF AYAT 41
(Kajian Tentang Metode Amśâl dalam Pembelajaran Agama Islam).
34Abudin Nata, Ilmu Pendidikan Islam, Op Cit., h. 61
35
Ibid.
11
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka penulis
mengidentifikasi masalah yang berkaitan dengan judul yang akan dibahas
dalam skripsi ini, diantaranya yaitu:
1. Masih banyak guru yang belum mengimplementasikan metode
amśâl dalam pembelajaran, terutama pembelajaran Agama Islam
masa kini.
2. Kurangnya pengetahuan tentang kegunaan metode amśâl dalam
pembelajaran Agama Islam.
3. Tumbuhnya pendidikan yang mengadopsi budaya sekuler tanpa
melihat nilai-nilai yang bersumber dari al-Qur`ân.
C. Pembatasan Masalah
Untuk memperjelas dan memberi arah yang tepat serta menghindari
meluasnya pembahasan dalam penelitian ini, dan dengan adanya
identifikasi masalah di atas, penulis akan membatasi beberapa hal yang
berkatian dengan masalah, yaitu: “Kandungan Surat Ibrâhîm ayat 18,
Surat al-Baqarah ayat 68, dan Surat Yȗsuf ayat 41 mengenai metode
amśâl”.
D. Perumusan Masalah
Adapun rumusan masalah pada penelitian ini antara lain:
1. Apa saja kandungan surat Ibrâhîm ayat 18, surat al-Baqarah ayat 68,
dan surat Yȗsuf ayat 41?
2. Bagaimana analisis metode amśâl yang terkandung dalam surat
Ibrâhîm ayat 18, surat Al-Baqarah ayat 68, dan surat Yȗsuf ayat 41?
E. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan dari penelitian adalah untuk mengetahui isi kandungan surat
Ibrâhîm ayat 18, surat al-Baqarah ayat 68, dan surat Yȗsuf ayat 41.
12
2. Kegunaan dari penelitian ini antara lain untuk:
a. Menambah khazanah keilmuan pada bidang tafsir pendidikan,
serta membuka kemungkinan adanya penelitian lebih lanjut dan
peninjauan kembali dari hasil penelitian ini.
b. Memberi sumbangsih pemikiran terkait konsep dan teori tentang
pendidikan dalam al-Qur`ân, serta menambah khazanah
kepustakaan dalam meneliti dan memahami al-Qur’an sebagai
petunjuk.
c. Mengetahui bagaimana pandangan al-Qur`ân terhadap metode
pendidikan.
d. Untuk memenuhi syarat memperoleh gelar Sarjana Program
Strata Satu (S-1) pada Jurusan Pendidikan Agama Islam
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
13
BAB II
KAJIAN TEORI METODE PEMBELAJARAN AMŚÂL
A. Acuan Teori
1. Pengertian Metode Amśâl
Dalam pelakasaan pendidikan Islam sangat dibutuhkan adanya metode
yang tepat, efektif, dan efisien dengan tujuan untuk menghantarkan
tercapainya suatu tujuan pendidikan yang telah direncanakan dan dicita-
citakan. Materi yang baik dan benar saja tidak akan tercover dengan baik
jika tidak diimbangi dengan metode yang baik pula. Oleh karena itu,
kebaikan suatu materi yang akan disampaikan dalam ranah pendidikan
harus ditopang dengan adanya metode pendidikan.
Istilah metode pembelajaran terdiri dari dua kata yaitu “metode” dan
“pembelajaran”. Untuk itu, agar bisa memahami lebih dalam maka penulis
akan sampaikan uraian arti dari masing-masing kata tersebut. Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia kata metode berarti “cara teratur yang
digunakan untuk melaksanakan suatu kegiatan agar tercapai sesuai dengan
yang dikehendaki, cara kerja yang besistem untuk memudahkan
pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan”.1
Kata metode jika dilihat dari segi bahasa, M. Arifin menjelaskan
“suatu jalan yang dilalui untuk mencapai suatu tujuan”. Metode berasal
dari dua kata yaitu, “Meta” dan “Hodos”. Meta berarti “melalui” dan
Hodos berarti “jalan atau cara”.2
Sejalan dengan pendapat di atas, Nur Uhbiyati juga menjelaskan
tentang pengertian metode, menurutnya “metoda berasal dari dua
perkataan yaitu meta yang artinya melalui dan hodos yang artinya jalan
1Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia: Edisi
Keempat, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008) h. 910
2M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam (Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan
Interdisipliner), (Jakarta: Buna Aksara, 2005) Cet. I, h. 65.
14
atau cara. Jadi metoda artinya suatu jalan yang dilalui untuk mencapai
suatu tujuan”.3
Aat Syafaat juga mengatakan bahwa “dalam bahasa Arab metode
disebut thariqah artinya jalan, cara, sistem, atau ketertiban dalam
mengerjakan sesuatu. Menurut istilah, metode ialah suatu sistem atau cara
yang mengatur suatu cita-cita”.4
Kemudian Abdul Majid menuturkan pendapatnya tentang definisi
metode, menurutnya “metode adalah cara yang digunakan untuk
mengimplementasikan rencana yang sudah disusun dalam kegiatan nyata
agar tujuan yang telah disusun tercapai secara optimal”.5
Prof. Abudin Nata berpendapat bahwa “metode dapat berarti cara atau
jalan yang harus dilalui untuk mencapai suatu tujuan. Metode lebih
memperlihatkan sebagai alat untuk mengolah dan mengembangkan suatu
gagasan sehingga menghasilkan suatu teori atau temuan.6
Pada literatur lain beliau juga menjelaskan bahwa, “metode dapat
diartikan sebagai cara-cara atau langkah-langkah yang digunakan dalam
menyampaikan sesuatu gagasan, pemikiran, atau wawasan yang disusun
secara sistematik dan terencana serta didasarkan pada teori, konsep dan
prinsip tertentu yang terdapat dalam berbagai disiplin ilmu terkait,
terutama ilmu psikologi, manajemen, dan sosiologi”.7
Zakiyah Daradjat menjelaskan bahwa, “metode berarti suatu jalan
kerja yang sistematik dan umum, seperti cara kerja ilmu pengetahuan”.8
Sementara itu Moh. Roqib menjelaskan bahwa metode “secara bahasa
berarti cara yang telah teratur dan terpikir baik-baik untuk mencapai suatu
maksud. Metode juga dapat diartikan sebagai cara yang dipakai oleh
3Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam II, (Bandung: CV Pustaka Setia, 1999), Cet. II, h. 99
4TB Aat Syafa‟at,Sohari Sahrani dan Muslih, Peranan Pendidikan Agama Islam Dalam
Mencegah Kenakalan Remaja (Juvenile Delinquency), (Jakarta: Rajawali Press, 2008), h. 39
5Abdul Majid, Strategi Pembelajaran, (Bandung: Rosda Karya, 2013), h. 193
6Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005) h, 143
7Abudin Nata, Prespektif Islam Tentang Strategi Pembelajaran, (Jakarta: Kencana, 2009), h.
176
8Zakiyah Daradjat, Metodik Khusus Pengajaran Agama Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995) h.
1
15
pendidik dalam menyampaikan materi dengan menggunakan bentuk
tertentu, seperti ceramah, diskusi (halaqah), penugasan, dan cara-cara
lainnya”.9
Sedikit berbeda Ahmad Tafsir mendefinisikan istilah metode sebagai
“cara yang paling tepat dan cepat dalam melakukan sesuatu”.10
Sementara
itu, Kadar M. Yusuf menjelaskan pengertian metode secara spesifik dari
segi pendidikan, yaitu:
Metode merupakan cara yang dapat digunakan oleh guru dalam
menyampaikan materi pelajaran kepada peserta didik. Dalam bahasa
Arab metode disebut juga dengan al-ţarîqah. Kata ini selain diartikan
kepada metode, ia juga diartikan kepada jalan. Dengan demikian,
metode dapat pula diartikan kepada suatu jalan yang dapat ditempuh
dalam menyampaikan materi pelajaran.11
Begitu pun dengan Ramayulis, beliau mengatakan bahwa:
Metode dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah ţarîqah yang berarti
langkah-langkah strategis dipersiapkan untuk melakukan suatu
pekerjaan. Bila dihubungkan dengan pendidikan, maka strategi tersebut
haruslah diwujudkan dalam proses pendidikan, dalam rangka
pengembangan sikap mental dan kepribadian agar peserta didik
menerima materi ajar dengan mudah, efektif dan dapat dicerna dengan
baik.12
Dari beberapa definisi yang telah dikemukakan, dapat penulis
simpulkan bahwa yang dimaksud dengan metode itu adalah suatu jalan
atau cara yang ditempuh seseorang demi mencapai suatu tujuan yang telah
direncanakan sebelumnya.
Beralih ke definisi pembelajaran, kata pembelajaran berasal dari kata
“belajar” yang dibubuhkan dengan sambungan pem- dan -an. Untuk itu
sebagai langkah awal maka harus dipahami pula makna dari kata belajar
itu sendiri.
9Moh. Roqib, Ilmu Pendidikan Islam: Pengembangan Pendidikan Integratif di Sekolah,
Keluarga, dan Masyarakat, (Yogyakarta: LKiS Group, 2011), h. 91
10Ahmad Tafsir, Metodologi Pengajaran Agama Islam, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
2003), Cet. VII, h. 9
11Kadar M. Yusuf, Tafsir Tarbawi: Pesan-Pesan Al-Qur’an Tentang Pendidikan, (Jakarta:
AMZAH, 2013), h. 114
12Ramayulis, Metodologi Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2005), Cet. IV, h.
2-3
16
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata belajar berasal dari kata
“ajar” yang memiliki makna secara etimologi “berusaha memperoleh
kepandaian atau ilmu”.13
Sedangkan secara terminologis, belajar menurut B.F. Skinner
sebagaimana yang dikutip oleh Muhibbin Syah berpendapat bahwa belajar
adalah “… a process of progressive behavior adaption”, yaitu suatu
proses adaptasi (penyesuaian tingkah laku) yang berlangsung secara
progresif”.14
Pendapat Chaplin dalam Dictionary of Pschology sebagaimana yang
dikutip oleh Muhibbin Syah membatasi belajar dengan dua macam
rumusan, yaitu “… acquisition of any relatively permanent change in
behavior is a result of practice and experience (perolehan perubahan
tingkah laku yang relatif menetap sebagai akibat latihan dan pengalaman)
dan process of acquiring responses as a result of special practice (proses
memperoleh respon-respon sebagai akibat adanya latihan khusus)”.15
Lebih lanjut Degeng menjelaskan tentang definisi belajar sebagaimana
yang telah dikutip oleh Yatim Riyanto, bahwa:
Belajar merupakan pengaitan pengetahuan baru pada struktur kognitif
yang sudah dimiliki si belajar. Hal ini mempunyai arti bahwa dalam
proses belajar, siswa akan menghubung-hubungkan pengetahuan atau
ilmu yang telah tersimpan dalam memorinya dan kemudian
menghubungkan dengan pengetahuan yang baru. Dengan kata lain
belajar adalah suatu proses untuk mengubah performansi yang tidak
terbatas pada keterampilan, tetapi juga meliputi seperti fungsi-fungsi,
seperti skill, persepsi, emosi, proses berfikir, sehingga dapat
menghasilkan perbaikan performansi.16
Dari beberapa pengertian belajar di atas, dapat disimpulkan bahwa
belajar adalah proses perubahan yang menetap dari tingkah laku individu
13Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Op Cit., h. 23
14
Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan Dengan Pendekatan Baru, (Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2011), Cet. XVII, h. 88
15Muhibbin Syah, Psikolgi Belajar, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001) Cet. III, h. 60.
16
Yatim Riyanto, Paradigma Baru Pembelajaran: Sebagai Referensi Bagi Pendidik Dalam
Implementasi Pembelajaran Yang Efektif dan Berkualitas, (Jakarta: Prenada Media Group, 2009)
h. 5-6
17
sebagai hasil pengalaman, ilmu pengetahuan, dan interaksi dengan
lingkungan.
Setelah memahami pengertian belajar, selanjutnya adalah istilah
pembelajaran. Secara etimologi, kata pembelajaran berasal pula dari kata
ajar dan belajar. Penambahan imbuhan pem- dan akhiran –an membuat
kata pembelajaran memiliki arti “proses, cara, perbuatan menjadikan orang
atau mahluk hidup belajar”.17
Menurut Rusman “pembelajaran merupakan suatu sistem yang terdiri
atas berbagai komponen yang saling berhubungan satu dengan yang lain.
Komponen tersebut meliputi tujuan, materi, metode, dan evaluasi”.18
Sedangkan menurut Hamzah, “istilah pembelajaran memiliki hakikat
perencanaan atau perancangan (desain) sebagai upaya untuk
membelajarkan siswa. Itulah sebabnya dalam pembelajaran siswa tidak
hanya berinteraksi dengan guru sebagai salah satu sumber belajar, tetapi
mungkin berinteraksi dengan keseluruhan sumber belajar yang dipakai
untuk mencapai tujuan pembelajaran yang diinginkan”.19
Menurut Abudin Nata, “yang diharapkan dari penggunaan istilah
pembelajaran adalah usaha membimbing peserta didik dan menciptakan
lingkungan yang memungkinkan terjadinya proses belajar untuk belajar”.20
Setelah dua kata tersebut diketahui definisinya, dapat ditarik
kesimpulan bahwa metode pembelajaran berarti suatu jalan atau cara yang
ditempuh seseorang guru kepada muridnya untuk mencapai suatu tujuan
yang telah direncanakan sebelumnya.
Sebagaimana yang dikatakan Jejen dalam “Metode Pendidikan dalam
Perspektif Islam, bahwa:
Metode pengajaran atau pendidikan adalah suatu cara yang digunakan
pendidik untuk menyampaikan materi pelajaran, keterampilan, atau
sikap tertentu agar pembelajaran dan pendidikan berlangsung efektif,
17Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Loc Cit., h. 23
18
Rusman, Model-Model Pembelajaran: Mengembangkan Profesionalisme Guru, (Jakarta:
Rajawali Pers, 2013), h. 1
19Hamzah B. Uno, Perencanaan Pembelajaran, (Jakarta: Bumi Aksara, 2010), Cet. VI, h. 2
20
Abudin Nata, Prespektif Islam .. Op Cit., h. 87
18
dan tujuannya tercapai dengan baik. Guru harus menguasai materi
pembelajaran dengan baik, sehingga ia mudah memilih metode yang
tepat untuk mengajarkannya.21
Berkaitan dengan penelitian ini, metode pembelajaran yang akan
dibahas adalah metode pembelajaran amśâl. Maka selanjutnya dipahami
terlebih dahulu perngertian kata amśâl. Kata amśâl “merupakan bentuk
jama’ dari kata berbahasa Arab yaitu maśal (مثم).22
Syekh Manna‟ Al-
Qaththan menjelaskan bahwa amśâl merupakan “penyerupaan suatu
keadaan dengan keadaan yang lain demi tujuan yang sama, yaitu pengisah
menyerupakan sesuatu dengan yang aslinya”.23
Kemudian Hasani Ahmad Syamsuri menjelaskan definisi amśâl secara
etimologis bahwa:
Kata amśâl merupakan bentuk jamak dari maśal yang berarti serupa
atau sama. Dilihat dari pola (wazan) nya, kata maśal, miśl dan maśil
satu pola dengan kata syabah, syibh dan syabih. Pengertian maśal
secara etimologis ini ada tiga macam. Pertama, bisa berarti
perumpamaan, gambaran, atau perserupaan. Kedua, bisa berarti kisah
atau cerita, jika keadaanya sangat menakjubkan. Ketiga, bisa berarti
sifat, keadaan, atau tingkah laku yang menakjubkan.24
Sedangkan secara terminologis sebagaimana yang telah didefinisikan
oleh para ahli sastra maśal atau amśâl adalah “ucapan yang banyak
disebutkan yang telah biasa dikatakan orang dimaksudkan untuk
menyamakan keadaan sesuatu yang diceritakan dengan keadaan sesuatu
yang akan dituju”.25
Sejalan dengan pendapat yang telah dikemukakan di atas, Kadar M.
Yusuf juga mejelaskan bahwa, secara harfiah kata maśal semakna dengan
syabah yang berarti serupa, sama atau seperti. Dalam bahasa Arab kata ini
selalu digunakan untuk menyamakan sesuatu dengan sesuatu yang lain.
21Jejen Musfah, “Metode Pendidikan dalam Perspektif Islam”, TAHDZIB Jurnal Pendidikan
Agama Islam, Vol.3, 2009, h. 107
22Syaikh Manna‟ Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Qur’an, Terj. Mifdhol Abdurrahman dan
Aunur Rofiq El-Mazni, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2006), h. 353
23Ibid, h. 354
24
Hasani Ahmad Syamsuri, Studi Ulumul Qur’an, (Jakarta: Zikra-Press, 2009), h. 173-174
25Ibid., h. 174
19
Maśal juga berarti suatu ungkapan yang menyerupakan keadaan sesuatu
atau seseorang dengan apa-apa yang terkandung dalam ungkapan itu.26
Selanjutnya Ibnu Qayyim juga menjelaskan tentang amśâl,
sebagaimana yang dikutip oleh Manna‟ al-Qaththan bahwa amśâl adalah
“menyerupakan sesuatu dengan sesuatu yang lain dalam hukum,
mendekatkan yang rasional kepada yang indrawi, atau salah satu dari dua
indra dengan yang lain karena ada kemiripan”.27
Jejen menjelaskan bahwa, metode perumpamaan atau metode amśâl
adalah, “metode pendidikan yang digunakan pendidik kepada anak didik
dengan cara memajukan berbagai perumpamaan agar materinya mudah
dipahami.”28
Dengan memperhatikan beberapa definisi yang telah dikemukakan
oleh beberapa ahli, dapat dipahami bahwa metode amśâl dalam
pembelajaran merupakan sebuah cara guru menjelaskan sesuatu kepada
muridnya dengan menggunakan perumpamaan sesuatu tersebut dengan hal
yang lainnya karena adanya kemiripan dengan tujuan mempermudah nalar
siswa untuk memahami sesuatu.
Dalam beberapa literatur yang penulis dapatkan, mayoritas
narasumber menjelaskan bahwa amśâl termasuk metode pendidikan Islam.
Meskipun demikian, amśâl dalam pembelajaran atau pendidikan dapat
dikategorikan pula dalam istilah approach atau yang sering dikenal
sebagai pendekatan dalam pembelajaran.
Dalam literatur asli berbahasa Arab (bukan terjemahan), kata amśâl
termasuk dalam kategori minhâj ( جهنه ) yang berarti pendekatan, bukan
kategori ţarîqah (طريقة) yang diartikan sebagai metode. Kata هنهج sendiri
berasal dari akar kata نهج . Dalam Kamus Lisânul „Arab kata نهج memiliki
persamaan arti dengan kata طريق.
26Kadar M. Yusuf, Op Cit., h. 118-119
27
Syekh Manna‟ Al-Qaththan, Op Cit., h. 355
28Jejen Inong, Loc Cit.
20
29نهج: طريق نهج : بين واضح، وىو النهج Menurut Ramayulis, pendekatan merupakan pandangan falsafi
terhadap subject matter yang harus diajarkan dapat juga diartikan sebagai
pedoman mengajar yang bersifat realistis/konseptual.30
Pendekatan dalam
pembelajaran dapat diartikan sebagai sudut pandangan terhadap terjadinya
suatu proses pembelajaran. Dan pendekatan inilah yang akan
menginspirasi lahirnya suatu metode pembelajaran. Jadi, pengertian
pendekatan lebih luas dibandingkan dengan metode.
Jika kata amśâl (perumpamaan) ini dikaitkan dengan istilah al-miśâl
pemberian contoh, maka dalam pendidikan hal ini juga merupakan (انمثال)
sesuatu yang sangat penting. Sebagaimana Muhammad Quthb mengatakan
dalam karyanya yang berjudul Minhaj al-Tarbiyah al-Islâmiyah:
الباب الحادي عشر: بين الىاقع والوثال
متهمة بأنها ترسم نماذج مثالية خيالية لا تتحقق في -والتربية الإسلامية من بينها -نظم التربية كلها عالم الواقع، لأنها غير قابلة للتحقيق.
لتدقيق لا يلبث أن يزول.وفي ظاىر الأمر يبدو في ذلك شيء من الحق، ولكنو عند اإن مهمة كل منهج من مناىج التربية أن يرسم الصورة الصحيحة التي "ينبغي" أن تكون، والتي يرجع إليها دائما في تصحيح الأوضاع وضبط المقاييس. وبغير ىذه الصورة المتكاملة لا يمكن أن
د الذي ينبغي أن يبذل، نعرف بالضبط كم قطعنا من الشوط، وكم بقي في الطريق، لنقيس الجه 31ونقيس طاقتنا إلى ىذا الجهد المطلوب.
2. Kedudukan Amśâl dalam Pembelajaran
Dalam beberapa literatur yang penulis dapatkan, mayoritas
narasumber menjelaskan bahwa amśâl termasuk metode pendidikan Islam.
Seperti dalam buku “Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah dan
Masyarakat” karya Abdurahman an-Nahlawi yang menyebutkan bahwa
amśâl merupakan salah satu metode pendidikan.
29 Jamaluddin Abi Al-Fadhli Muhammad, Lisânul ‘Arab, (Beirut Libanon: Dar Al Kotob Al-
Ilmiyah, 2003) vol. 2, h. 446
30 Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2005), Cet. IV, h. 23
31
Muhammad Quthb, Minhaj al-Tarbiyah al-Islâmiyah.
21
Beliau menyebutkan bahwa beberapa metode yang dianggap penting
dan paling menonjol antara lain: 1) Metode dialog Qur`ani dan Nabawi, 2)
Mendidik melalui kisah Qur‟ani dan Nabawi, 3) Mendidik melalui
perumpamaan Qur‟ani dan Nabawi, 4) Mendidik melalui keteladanan, 5)
Mendidik melalui aplikasi pengalaman, 6) Mendidik melalui ibrah dan
nasihat, 7) Mendidik melalui tarġîb dan tarhîb 32
.
Selain itu, hal semacam ini juga terdapat pada jurnal pendidikan
Islam. Salah satu tulisan yang menyebutkan bahwa amśâl merupakan suatu
metode adalah tulisan dari Jejen Musfah, beliau menyatakan bahwa
metode pendidikan dalam perspektif Islam mencakup tujuh metode, antara
lain: Metode Perumpamaan (Amśâl), Metode Kisah, Metode Tarġîb-
Tarhîb, Metode Dialog (Hiwâr), Metode Teladan (Uswah Hasanah),
Metode Latihan dan Praktik (Tajrîbah), dan Metode Nasehat.33
Di dalam kitab تعهيم اندين الإسلامى : بين اننظرية و انتطبيق disebutkan
bahwa dalam pembelajaran tidak hanya terdapat satu metode, melainkan
ada beberapa macam, salah satunya adalah metode pemberian amśâl
(perumpamaan).
يجب الالتفات إلى أنو ليست ىناك طريقة واحدة للتعليم، فهناك طرق متعددة المتعلمين، وتعدد مستوياتهم، أغراض التعلم ومحتوياتو وبتنوع استعدادات متنوعة بتنوع
غير أن ىناك اعتبارات يجب أن تراعى فى طرق التدريس.
التربية الإسلامية لم تتخذ طريقة واحدة ةفى تربية أبنائها،بل إنها اتخذت وسائل العقلي والعقلى والوجدانى لديهم، كما راعت وأساليب كثيرة راعت فيها خصائص لمو
والز الموررة فيهم والدوافع الى يمكن أن تثير معاشرىم و تهيء استوى إدراكهم والحشخصية و نشاطهم الذاتى ومشاركتهم نفوسهم للتلقى و التعليم مع احترام مبادئهم ال
32
Abdurrahman An-Nahlawi, Pendidikan Islam di Rumah Sekolah dan Masyarakat, terj:
Shihabuddin, (Jakarta: Gema Insani, 1995), h. 204
33Jejen Musfah, “Metode Pendidikan dalam Perspektif Islam”, TAHDZIB Jurnal Pendidikan
Agama Islam, Vol.3, 2009, h. 107
22
الفعالة فى عملية التعليم و المترتبة بفهم ووعى وتبصر، وليس عن طريق التلقين وحشوا استيعابها .الأذىان بالمعلومات والمعارف دون فهمها و
ىى معالجة الكائن البشرى كلو معالجة شاملة لاتترك إن طريقة الإسلام فى التربية منو شيئا ولاتغفل عن شىء، جسمو وعقلو وروحو، حياة المادية والمعنوية وكل نشاطو
34على الأرض.
Dari teks kitab تعهيم اندين الإسلامى : بين اننظرية و انتطبيق di atas dapat
dipahami bahwa, dalam dunia pendidikan Islam tidak hanya terdapat satu
metode pembelajaran saja, akan tetapi terdapat berbagai macam metode
pembelajaran, metode tersebut disesuaikan dengan tujuan pembelajaran itu
sendiri maupun disesuaikan dengan kesiapan para pengajarnya.
Kemudian dalam buku tersebut tertulis beberapa metode pembelajaran
agama Islam antara lain sebagai berikut:
:ىطرق تعليم الدين الإسلام فيما يل و يمكن غرض أىم القدوة الحسنة -1 القصص -2 النصح والإرشاد وضرب الأمثال -3 الحوار -4 يبالترغيب و الترى -5 التعلم عن طريق العمل -6 الثواب و العقاب -7 الأمر بالمعروف و النهى عن المنكر -8 الأحداث الجارية -9 الموعظة الحسنة -11 غرس العادة أو إزالتها -11 طريقة الملاحظة -12 التعليم بالحزم -13 35التعليم بالتجيو الطاقة -14
34، 3(، ط 3991مكتبة اندار انعربية انكتاب، : ، )مدينة نصرتعلين الدين الإسلاهى : بين النظرية و التطبيقحسن شحاتة،
65-65ص.
23
Dapat dipahami dari teks yang dikutip dari kitab : تعهيم اندين الإسلامى
bahwa amśâl atau pemberian perumpamaan termasuk بين اننظرية و انتطبيق
salah satu metode dari beberapa metode pembelajaran agama Islam
khususnya. Jadi, sebagaimana yang dijelaskan dalam buku tersebut amśâl
termasuk dalam kategori metode atau طريقة , bukan kategori pendekatan
(approach) atau هنهج.
Dalam buku tersebut juga dijelaskan tujuan dari metode amśâl,
sebagai berikut:
انى المجردة إلى عقل المسلم فى القرآن الكريم وقد كثر استخدام الأمثلة للتوضيح و تقريب المع و الحديث النبوى. ويطلق على الحال و القصة العجيبة ،وفيو تمثيل للأشياء المجردة وغير المنظورة وتشبيو لها نقربها إلى المحسوس. و ىي تؤرر على المشاعر والعواطف، وتدعو إلى السلوك المحبوب،
لإقناع و إقامة الحجة والتذكرة والعبرة وإثارة السامع والتشويق لأنها أوقع فى النفس و أقدر على ا عليم والإرشاد والشرح والتفسير.والت
وتستخدم ىذه الطريقة لتقريب غير المحسوس و تمثيل الأشياء غير المادية وغير المنظورة، ريب ىعقول من بحيث تصبح فى متناول الإنسان ليفهمها و يتدبرىا ، وىي طريقة تعتمد على تق
و المثل القرآنى ىو تشبيو شيء بشيء فى محسوس ، أو محسوس من أكثر منو حسا و وضوحا ، حكمو، و تقريب المعقول من المحسوس أو أحد المحسوسين من الآخر و اعتبار أحدهما بالآخر.
أرير على السلوك والأمثال كثيرة فى القرآن، وتلعب دورا بالغا فى التأرير فى العواطف و فى الت نسانى، فيما لو استعملت بحكمة وفى ظروف المناسبة ، وقد أكثر الله تعالى من الأمثال فى القرآن الإ
للتذكرة و العبرة، وقد ضربها النبي صلالله عليو وسلم فى حديثو و استعان بها الداعون فى كل عصر ضاح والتشويق ، و نها من وسائل الإيلنصرة الحق و إقامة الحجة ، و يستعين بها المربون و يتخذو
36وسائل التربية فى الترغيب أو التنفير فى المدح أو الذم . Demikianlah beberapa referensi yang menyatakan bahwa amśâl
meupakan salah satu dari berbagai maca metode pembelajaran, khususnya
metode pembelajaran Islam.
Disamping itu, ada juga referensi lain yang menyatakan secara
implisit bahwa amśâl tergolong pendekatan (approach/ هنهج ), di dalamnya
tertulis sebagai berikut:
35Ibid., h. 59-77
36
Ibid., h. 64-65
24
وقد يكون المنهج واقعيا، وقد يكون مثاليا ، و فى الحالين يستمد وجوده من المجتمع . فالمنهج ، يستقى كيانو من المجتمع القائم ؛ بينما المنهج المثالى , وىو ما الواقع ، وىو ما يدرس بالفعل
37يطلب بو المفكرون فى مدنهم الفاضلة .
Jadi kesimpulannya, mayoritas ahli pendidikan Islam menyebutkan
bahwa amśâl merupakan salah satu dari beberapa metode pembelajaran.
Dimana istilah metode itu diungkapkan dengan kata ريقةط . Namun
demikian, ada referensi juga yang menyatakan secara implicit bahwa
amśâl merupakan suatu manhaj (هنهج ) atau pendekatan (approach).
3. Macam-Macam Istilah Metode Amśâl
Selain istilah amśâl, ada beberapa istilah lagi yang digunakan untuk
menjelaskan metode ini. Beberapa istilah tersebut antara lain:
a. Perumpamaan
Abdurrahman An-Nahlawi menyebutkan, mendidikan melalui
perumpamaan adalah salah satu metode yang dugunakan dalam
pendidikan Islam. Kemudian beliau mengatakan bahwa:
Perumpamaan al-Qur`ân memiliki maksud-maksud tertentu,
antara lain: 1) menyerupakan suatu perkara yang hendak dijelaskan
kebaikan atau keburukannya, dengan perkara lain yang sudah wajar
atau diketahui secara umum ihwal kebaikan dan keburukannya. 2)
menceritakan suatu keadaan dari berbagai keadaan dan
membandingkan keadaan itu dengan keadaan lain yang sama-sama
memiliki akibat dari keadaan tersebut. 3) menjelaskan kemustahilan
adanya persamaan antara dua perkara.38
b. Metafora
Menurut M Arifin, metode metafora ini termasuk kedalam metode
yang tidak bertentangan dengan metode modern yang diciptakan oleh
ahli pendidikan saat ini.39
Mengacu pada Kamus Besar Bahasa
Indonesia, kata “metafora” memiliki arti, “pemakaian kata atau
351(، ص. 3951)مصر : دار انمعارف بمصر ، التربية فى الإسلام ، أحمد فؤاد الأحوانى ، 37
38Abdurrahman An-Nahlawi, Pendidikan islam di Rumah Sekolah dan Masyarakat, terj:
Shihabuddin, (Jakarta: Gema Insani, 1995), h.252-254
39M. Arifin, Op Cit., h. 157
25
kelompok kata bukan dengan arti yang sebenarnya, melainkan sebagai
lukisan yang berdasarkan persamaan atau perbandingan”.40
Sebagai contoh, M. Arifin mengemukakan contoh penggunaan
metode metafora yang ada di dalam al-Qur`ân yang dapat
diimplementasikan dalam pembelajaran, yaitu surat An-Nur ayat 35:
Dalam surat ini M. Arifin menjelaskan bahwa terdapat
perumpamaan:
Yang menggambarkan tentang sifat-sifat Allah dengan sinar
lampu di kaca yang kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya)
seperti mutiara dan seterusnya, yang menujukkan tentang sifat-sifat
Allah yang yang amat terang cahayanya, sehingga segala sesuatu
akan lenyap dalam cahaya Allah itu. Perumpamaan ini dimaksudkan
untuk menafikan (menghilangkan) cahaya dari kepercayaan
menyembah objek-objek pemujaan selain Allah.41
c. Analogi
Dilihat dari definisinya kata analogi juga dapat dikatakan
merupakan salah satu nama lain dari amśâl. Seperti salah satu definisi
yang ada dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dikatakan bahwa kata
analogi sedikitnya memiliki empat definisi yang diutarakan, yaitu:
Pertama, persamaan atau persesuaian antara dua benda atau hal
yang berlainan. Kedua, kesepadanan antara bentuk bahasa yang
menjadi dasar terjadinya bentuk lain. Ketiga, sesuatu yang sama
dalam bentuk, susunan, atau fungsi, tetapi berlaianan asal-usulnya
sehingga tidak ada hubungan kekerabatan. Keempat, kesamaan
40Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional., h. 908
41
M. Arifin, Loc Cit.
26
sebagai ciri dua benda atau hal yang dapat dipakai untuk dasar
perbandingan.42
Jadi, jika seorang guru dalam menjelaskan materi pembelajaran
menggunakan metode analogi, maka dapat dikatakan bahwa guru
tersebut juga sedang menggunakan metode pembelajaran amśâl.
d. Personifikasi
Syekh Manna‟ al-Qaththan menjelaskan bahwa ayat yang
mengandung amtsâl, “biasanya dilakukan dengan metode
“mempersonifikasikan” sesuatu yang ghaib dengan sesuatu yang hadir,
yang abstrak dengan yang konkret, atau dengan menganalogikan
sesuatu hal dengan hal yang serupa”.43
Sebagaimana pendapat di atas, maka dapat dikatakan bahwa
personifikasi juga merupakan nama lain dari amśâl, hal ini didukung
dengan definisi yang tertera dalam Kamu Besar Bahasa Indonesia
bahwa, personifikasi memiliki arti pengumpamaan (pelambangan),
hanya saja kata personifikasi lebih khusus kepada pengumpamaan
benda mati sebagai orang atau manusia, seperti bentuk pengumpamaan
alam dan rembulan menjadi saksi sumpah setia.44
e. Peribahasa
Menurut Quraish Shihab dalam al-Qur‟an ada ayat-ayat amśâl yang
maknanya serupa dengan peribahasa yang digunakan oleh masyarakat.
Berdasarkan pendapat tersebut, artinya ada beberapa ayat amśâl yang
memiliki kesamaan dengan peribahasa. Oleh karena itu peribahasa juga
dapat dikategorikan sebagai nama lain dari jenis amśâl.45
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata peribahasa sedikitnya
memiliki dua arti, pertama: kelompok kata atau kalimat yang tetap
42Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional., h. 59
43
Syaikh Manna‟ Al-Qaththan.,, h. 352
44Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional., h. 1062
45
Quraish Shihab, Kaidah Tafsir: Syarat, Ketentuan, dan Aturan Yang Patut Anda Ketahui
Dalam Memahami Al-Qur’an, (Jakarta: Lentera Hati, 2013), Cet. II, h. 265
27
susunannya, biasanya mengiaskan maksud tertentu (peribahasa
termasuk juga bidal, ungkapan, perumpamaan). Kedua: ungkapan atau
kalimat ringkas padat, berisi perbandingan, perumpamaan, nasihat,
prinsip hidup, atau aturan tingkah laku.46
f. Qiyâs
Kata qiyâs juga merupakan salah satu nama lain dari amśâl, hal ini
dapat diketahui dari beberapa definisi yang sudah dinyatakan oleh
beberapa ahli, terutama ahli fiqih. Berikut beberapa definisi qiyâs yang
dapat disampaikan.
Dalam bahasa Indonesia, kata qiyâs disebut dengan “kias”, dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia, tercantum beberapa definisi dari kata
kias yaitu, “perbandingan (persamaan); ibarat; contoh yang telah ada
(terjadi)”.47
“Dilihat dari segi bahasa, kata انقياس berasal dari bahasa Arab. Ia
merupakan bentuk maşdar dari kata قاس ,يقيس ,قياسا, artinya mengukur
dan membandingkan sesuatu dengan yang semisalnya”.48
Menurut Abu Zahra sebagaimana yang dikutip oleh Sapiuddin
Siddiq, menurut istilah syara’ adalah
إلحاق أمرغير مصوص على حكمو بأمر آخر منصوص على حكمو لاشتراك ب ينهما فى علة الحكم
“Menghubungkan suatu perkara yang tidak ada hukumnya dalam
nash dengan perkara lain yang ada naş hukumnya karena ada
persamaan „illat.”49
Abdul Wahab Khallaf menjelaskan makna kata qiyâs menurut
bahasa adalah “mengukur sesuatu dengan benda lain yang dapat
menyamainya”. Juga dikatakan: Qiyâs ialah menyamakan, karena
46Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional., h. 1055
47
Ibid., h. 695
48Sapiuddin Shiddiq, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2011), h. 69
49
Ibid.
28
mengukur sesuatu dengan benda yang lain yang dapat menyamainya,
berarti menyamakan diantara dua benda tersebut”.50
Dalam istilah ilmu Uşul al-Fiqh, kata qiyâs juga terkenal sebagai
salah satu metode untuk meng-istinbaţ-kan hukum Islam yang tidak ada
dalam al-Qur`ân maupun as-Sunnah.
Menurut Sulaiman Abdullah kata qiyâs menurut istilah ulama
Uşul, “qiyâs” adalah mempersamakan satu peristiwa hukum yang tidak
ditentukan hukumnya oleh naş, dengan peristiwa hukum yang
ditentukan oleh naş bahwa ketentuan hukumnya sama dengan hukum
yang ditentukan naş.51
4. Syarat-syarat Metode Amśâl
Jika dalam ilmu al-Qur`ân dikenal dengan amśâl, maka dalam istilah
fiqh sebagaimana yang sudah dijelaskan di atas, definisi amśâl ini dapat
disamakan dengan istilah qiyâs. Dalam ilmu uşul fiqh ketika membahas
tentang qiyâs, maka terdapat beberapa syarat atau rukun untuk melakukan
qiyâs tersebut. Dalam hal ini, penulis dapat mengatakan bahwa syarat dan
rukun yang harus ada ketika akan melakukan qiyâs juga berlaku untuk
melakukan amśâl, terlebih jika amśâl ini digunakan untuk pembelajaran.
Sebagaimana yang dikatakan Sapiuddin, ada 4 rukun qiyâs yang harus
dipenuhi:
a. Al-Aşlu,
Yaitu sesuatu yang sudah ada hukumnya dalam naş. Al-Aşlu juga
disebut maqîs ‘alaihi (yang dijadikan ukuran) atau mahmul ‘alaihi
(yang dijadikan tangguhan) atau musyabbah bih (yang dibuat
keserupaan). 52
50Abdul Wahab Khallaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam: Ilmu Ushulul Fiqh, Terj. Noer Iskandar
al-Barsany dan Moh Tolchah Mansoer, (Jakarta: Grafindo Persada, 2002), Cet. VIII, h. 74
51Sulaiman Abdullah, Sumber Hukum Islam: Permasalahan dan Fleksibilitasnya, (Jakarta:
Sinar Grafika, 2007), Cet. III, h. 82
52Sapiuddin Shiddiq, Op. Cit., h. 71
29
Dalam hal amśâl, maka al-aşlu disini lebih cocok disebut dengan
musyabbah bih (yang dibuat keserupaan). Yaitu suatu hal atau materi
yang bersifat konkret yang dapat menjelaskan materi-materi abstrak
dalam pembelajaran.
b. Al-Far’u,
Yaitu sesuatu yang tidak ada hukumnya dalam naş. Tetapi
hukumnya dapat dihubungkan dengan al-aşlu. Al-Far’u disebut juga al-
maqîs (yang diukur) atau al-mahmul (yang dibawa) atau al-musyabbah
(yang diserupakan).53
Dalam pengertian amśâl, maka al-far’u ini lebih cocok disebut
dengan al-musyabbah (yang diserupakan). Yaitu suatu materi yang
masih bersifat abstrak, yang masih sulit dipahami oleh siswa.
c. Hukum aşal,
Yaitu hukum syara‟ yang ada naş nya sebagai pangkal hukum bagi
cabang.54
Dalam kaitannya dengan amśâl, maka hukum aşal ini dapat
dikatakan dengan persamaan yang ada antara hal yang diserupakan
(abstrak) dan hal yang dibuat keserupaan (konkret).
d. ‘Illat (sebab),
„Illat adalah sifat yang ada pada hukum aşal.55
Jika kita kaitkan
dengan amśâl, maka „illat ini merupakan sifat yang ada dalam
persamaan yang ada pada dua hal antara yang abstrak dan yang konkret.
Sedangkan dalam ilmu balaġah kata amśâl disebut dengan tasybîh.
Ahli balaġah memberikan empat syarat atau rukun amśâl (tasybîh),
sebagaimana yang dijelaskan oleh Ahmad Syadali dan Ahmad Rofi‟i,
empat rukun tersebut antara lain: 1) Wajah Syabah, yaitu pengertian yang
bersama-sama ada pada musyabbah dan musyabbah bih; 2) Âlat Tasybîh,
53Ibid.
54
Ibid., h. 72
55Ibid.
30
yaitu kaf, mitsil, ka`anna dan semua lafadz yang menunjukan makna
perserupaan; 3) Musyabbah, yaitu sesuatu yang diserupakan (menyerupai)
musyabbah bih; 4) Musyabbah bih, yaitu sesuatu yang diserupai oleh
musyabbah.56
Pendapat mengenai rukun tasybîh tersebut juga dibenarkan dalam
kitab al-Balaġah al-Wađihah :
اة د أ , و و ي ب ش الت في ر ط ان ي م س ي شبو و المشبو بو, و م أركان التشبيو أرب عة ,ىي : ال 57.و ب ش م ال في و ن م و ب و ب ش م ال في ر ه ظ أ ى و و ق أ ن و ك ي ن أ ب يج , و و ب الش و ج و و و ي ب ش الت
5. Tujuan Metode Amśâl dalam Pembelajaran
Adapun tujuan dari metode pembelajaran amśâl salah satunya adalah
“untuk memudahkan pengertian manusia didik tentang suatu konsep
dengan melalui pertimbangan akal”.58
Maśal dapat pula diartikan kepada menggambarkan sesuatu yang
abstrak secara konkret, agar yang abstrak itu mudah dipahami dan
berpengaruh pada jiwa manusia.59
Seperti halnya dalam al-Qur`ân terdapat
beberapa ayat yang mengandung metode amśâl, misalnya Surat an-Nahl
ayat 75-76, dalam ayat ini tidak hanya bertujuan untuk memahami sesuatu
yang abstrak (memahami ketauhidan dan kemusyrikan) akan tetapi
mempengaruhi jiwa manusia tersebut (menarik jiwa manusia untuk
mencintai ketauhidan). Sebagaimana pula yang dijelaskan oleh Kadir,
bahwasannya melalui metode amśâl ini para peserta didik tidak hanya
diharapkan memahami dan mengetahui konsep syirik, tetapi lebih dari itu
mereka juga diharapkan membenci perbuatan syirik tersebut, sebagaimana
mereka tidak menyukai perbudakan, bisu dan menjadi beban bagi orang
lain.60
56Ahmad Syadali dan Ahmad Rofi‟i, Ulumul Qur’an II, (Bandung: Pustaka Setia, 2002), cet. II,
h. 35-36
57Ali Jarim dan Musthafa Amin., Loc Cit.
58
M. Arifin, Loc Cit.
59Kadar. M Yusuf, Loc Cit.
60
Ibid., h. 121
31
Selanjutnya Abdurrahman An-Nahlawi menjelaskan tujuan edukatif
yang terkandung dalam metode amtsâl antara lain:
Pertama, Memudahkan pemahaman mengenai suatu konsep. Untuk
memahami makna spiritual suatu perkara manusia itu cenderung
menyukai penyerupaan persoalan-persoalan abstrak pada perkara-
perkara yang kongkret. Kedua, mempengaruhi emosi yang sejalan
dengan konsep yang diumpamakan, dan untuk mengembangkan aneka
perasaan ketuhanan. Ketiga, membina akal untuk terbiasa berpikir
secara valid dan analogis. Pada dasarnya, hampir setiap perumpamaan
bersumber pada analogi melalui penyebutan premis-premis. Selain itu,
perumamaan pun mengiring akal pada kesimpulan yang kerap tidak
dirinci dalam al-Qur`ân. Keempat, mampu menciptakan motivasi yang
menggerakan aspek emosi dan mental manusia. Mental akan
menggerakan dan mendorong hati untuk berbuat kebaikan dan menjauhi
berbagai kemungkaran. Karena itu kita dapat mengatakan bahwa
perumpamaan-perumpamaan itu ikut andil dalam mengarahkan manusia
pada perbuatan baik sehingga hidup individu dan masyarakat tumbuh
dalam kestabilan menuju peradaban ideal, sejahtera, dan adil.61
Kemudian Hasani Ahmad juga menjelskan terkait tujuan dari amtsâl,
antara lain: 1) menonjolkan sesuatu yang abstrak dalam bentuk konkrit
yang dapat dirasakan indra manusia, sehingga akal dapat menerimanya; 2)
Amśâl lebih berpengaruh kepada jiwa, lebih efektif dalam memberikan
nasehat, lebih kuat dalam memberikan peringatan, dan lebih dapat
memuaskan hati; 3) mengungkap hakikat-hakikat dan mengemukakan
sesuatu yang jauh dari pikiran sebagai sesuatu yang dekat pada pikiran.62
Senada dengan pendapat di atas, Hasbi Ash-Shidieqy juga
berpendapat bahwa amśâl juga bertujuan untuk melahirkan sesuatu yang
dapat dipahami dengan akal dalam bentuk rupa yang dapat dirasakan oleh
panca indera, sehingga mudah diterima oleh akal. Juga untuk
mengumpulkan makna yang indah dalam suatu ibarat yang pendek.63
Imam Zarkasyi juga mengatakan sebagaimana yang dijelaskan oleh
Didin bahwa tujuan amśâl antara lain memperingatkan, menasehati,
mendorong, melarang, menyuruh mengambil pelajaran, memantapkan,
61Abdurrahman An-Nahlawi, Op cit., h. 254-259
62
Hasani Ahmad Syamsuri, Op Cit., h. 183-184
63Hasbi Ash-Shidiieqy, Ilmu-Ilmu Al-Qur’an: Media-Media Pokok Dalam Menafsirkan Al-
Qur’an, (Jakarta: Bulan Bintang, 1988) Cet. II, h. 175
32
menertibkan bantahan-bantahan terhadap akal dan menggambarkannya
dalam bentuk sesuatu yang dapat diungkapkan oleh panca indra. Amtsâl
juga bertujuan untuk menggerakan kemampuan berfikir.64
Syekh Manna‟ al-Qaththan juga mengatakan bahwa tamśîl
(perumpamaan) merupakan kerangka yang dapat menampilkan makna-
makna dalam bentuk yang hidup di dalam pikiran. Hakikat-hakikat yang
tinggi dalam makna dan tujuan akan menampilkan gambaran lebih
menarik jika dituangkan dalam retrorika yang indah. Dengan analogi yang
benar, ia akan lebih dekat dengan pemahaman suatu ilmu yang diketahui
secara yakin.65
Kemudian beliau juga menyetujui bahwa amśâl lebih berbekas dalam
jiwa, lebih efektif dalam memberikan nasihat, lebih kuat dalam
memberikan peringatan, dan lebih dapat memuaskan hati.66
Dengan mempertimbangkan beberapa pendapat di atas, dan jika amśâl
diimplementasikan dalam pembelajaran maka dapat disimpulkan bahwa
tujuan metode amśâl dalam pembelajaran yaitu untuk mempermudah guru
untuk menjelaskan materi ajar yang bersifat abstrak sehingga menjadi
lebih real dan konkret. Dengan metode ini pula dapat mempermudah siswa
untuk menalar dan memahami materi ajar yang bersifat abstrak tersebut.
B. Hasil Penelitian Yang Relevan
Adapun hasil penelitian yang relevan dengan penelitian yang penulis
lakukan adalah sebagai berikut:
1. Cindi Pratiwi, dengan judul penelitian “Metode Pendidikan Dalam
Perspektif Al-Qur`ân Kajian QS. An-Nahl Ayat 125-127”. Karya ini
menjelaskan tentang metode pendidikan Islam dalam perspektif Al-
Qur`ân Surat An-Nahl 125-127. Hasil penelitian ini disimpulkan bahwa
terdapat lima metode pedidikan Islam yang sudah ditafsirkan oleh ahli
64Didin Saefudin Buchori, Pedoman Memahami Kandungan Al-Qur’an, (Bogor: Granada
Sarana Pustaka, 2005), h.167
65Syekh Manna‟ al-Qaththan., h. 352
66
Ibid, h. 362
33
tafsir dan dianalisa oleh penulis tersebut, antara lain: 1) Al-Hikmah;
perkataan yang kuat diserti dengan dalil. 2) Al-Mau’izah Hasanah;
Perkataan yang lembut dan benar. 3) Al-Jidâl; Membantah dengan cara
yang baik. 4) Al-Muhtadin: Memberikan bantahan yang setimpal. 5)
Ash-Şabru; Perasaan tabah dan menahan diri.67
2. Zain Fanani, dengan judul penelitian “Tafsir Surat An-Nahl Ayat 125
(Kajian Tentang Metode Pembelajaran)”. Karya ini menjelaskan
tentang metode pembelajaran yang terkandung dalam Al-Qur`ân Surat
An-Nahl ayat 125. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dalam Surat
An-Nahl/16 ayat 125 terkandung tiga metode pendidikan, yakni:
Hikmah, Mau’idzah Hasanah, dan Jidâl, Hikmah merupakan ilmu
pengetahuan yang dimiliki seorang guru. Dengan alat ilmu pengetahuan
tersebut, ia menjadi orang yang berhak untuk memberikan
pembelajaran keagamaan kepada anak didik. Sementara itu Mau’idzah
Hasanah dan Jidal adalah metode yang terbaik yang bisa digunakan
sesuai situasi dan kebutuhan dalam mendidik.68
67Cindi Pratiwi, Metode Pendidikan Dalam Prespektif Al-Qur’an Kajian QS. An-Nahl Ayat
125-127, (Jakarta: UIN Jakarta, 2014)
68Zain Fannani, Tafisr Surat An-Nahl Ayat 125 (Kajian Tentang Metode Pembelajaran),
(Jakarta: UIN Jakarta, 2014)
33
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Objek dan Waktu Penelitian
Objek dalam penelitian ini adalah mengenai kajian tentang tafsir surat
Ibrâhîm ayat 18, surat al-Baqarah ayat 68, dan surat Yȗsuf ayat 41.
Adapun waktu penelitian yang dilakukan oleh penulis yaitu selama satu
semester terhitung dari tanggal 17 Januari 2015.
B. Metode Penelitian
Dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan penelitian
kualitatif dengan menggunakan metode deskriprif analisis yang menggunakan
tehnik analisis kajian melalui studi kepustakaan (Library Research).
Karena penelitian ini merupakan library research, maka sumber data
pada penelitian ini adalah literatur-literatur yang berkaitan. Sebagaimana
yang dikatakan oleh Maman, “sumber data penelitian kualitatif ialah tindakan
dan perkataan manusia dalam suatu latar yang bersifat alamiah. Sumber data
lainnya ialah bahan-bahan pustaka, seperti: dokumen, arsip, koran, majalah,
jurnal ilmiah, buku, laporan tahunan dan lain sebagainya”.1
Adapun literatur yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari data
primer, yaitu kitab suci al-Qur`ân, dan kitab-kitab tafsir al-Qur`ân yang
menjelaskan surat Ibrâhîm ayat 18, surat Al-Baqarah ayat 68, dan surat Yȗsuf
ayat 41 diantaranya: kitab al-Qur`ân dan Tafsirnya, Tafsir Al-Misbah karya
M. Quraish Shihab, Tafsir Ath-Thabari, dan kitab Al-Bayan: Tafsir Penjelas
Al-Qur’an. Dan data sekunder, yaitu buku-buku yang membahas metode
pendidikan amśâl.
Mengenai analisis data, menurut Imam Gunawan, “analisis data kualitatif
sesungguhnya sudah dimulai saat peneliti mulai mengumpulkan data, dengan
1U. Maman Kh, dkk., Metodologi Penelitian Agama Teori dan Praktek, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada Press, 2006), h. 80
34
cara memilah mana data yang sesungguhnya penting atau tidak. Ukuran
penting atau tidaknya mengacu pada kontribusi data tersebut pada upaya
menjawab fokus penelitian”.2
Karena penelitian ini merupakan penelitian tafsir, dalam meneliti ayat-
ayat al-Qur`ân dengan mengacu pada pandangan al-Farmawi yang dikutip
oleh Abudin Nata bahwa metode tafsir yang bercorak penalaran (bukan jalur
riwayat) ini terbagi menjadi empat macam metode, yaitu: tahlilî, ijmalî,
muqârin, dan mauđu’î.3
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode tahlilî. Metode tafsîr
tahlilî adalah satu metode tafsir yang mufassirnya berusaha menjelaskan
kandungan ayat-ayat al-Qur`ân dari berbagai seginya dengan memperhatikan
runtutan ayat-ayat al-Qur`ân sebagaimana tercantum di dalam muşhaf. Dalam
hubungan ini, mufassir mulai dari ayat ke ayat berikutnya, atau dari surat ke
surat berikutnya dengan mengikuti urutan ayat atau surat sesuai yang
termaktub di dalam muşhaf. 4
Dengan demikian, tafsîr tahlilî merupakan suatu metode yang bermaksud
menguraikan dan menjelaskan kandungan ayat-ayat al-Qur`ân dari seluruh
isinya, sesuai dengan urutan yang ada dalam al-Qur`ân.
C. Fokus Penelitian
Menurut Sugiyono, “batasan masalah dalam penelitian kualitatif disebut
dengan fokus, yang berisi fokus masalah yang masih bersifat umum”.5
Dengan melihat pendapat Sugiyono, maka penulis mencantumkan apa yang
ada dalam batasan masalah menjadi fokus penelitian dalam penulisan ini,
yaitu mengenai tafsir surat Ibrâhîm ayat 18, surat al-Baqarah ayat 68, dan
surat Yȗsuf ayat 41.
2Imam Gunawan, Metode Penelitian Kualitatif Teori dan Praktik, (Jakarta: Bumi Aksara,
2013), h. 209
3Abudin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 2011), h. 219
4Ibid.
5Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan Kombinasi (Mixed Methods),
(Bandung: Alfabeta, 2011), h.287
35
Jadi, dalam penelitian ini penulis bermaksud mengkaji tentang tafsir surat
Ibrâhîm ayat 18, surat al-Baqarah ayat 68, dan surat Yȗsuf ayat 41, dengan
mencari data-data dan sumber yang membahas mengenai ayat tersebut.
D. Prosedur Penelitian
Dalam penelitian tafsir yang menggunakan metode tafsîr tahlilî, ada
beberapa prosedur atau langkah yang harus diperhatikan. Mengacu pada
penjelasan Abudin Nata dalam buku Studi Islam Komprehensif, maka
prosedur penelitian tafsir surat Ibrâhîm ayat 18, surat al-Baqarah ayat 68, dan
surat Yȗsuf ayat 41 adalah sebagai berikut:
1. Memulai penjelasan dari kosa kata yang terdapat pada ayat 18 surat
Ibrâhîm, ayat 68 surat al-Baqarah, dan ayat 41 surat Yȗsuf. Pada tahap
ini penulis memulai dengan menjelaskan kosa kata yang terdapat dari
masing-masing ayat yaitu ayat 18 surat Ibrâhîm, ayat 68 surat al-
Baqarah, dan ayat 41 surat Yȗsuf dengan mengacu pada kitab-kitab
tafsir.6
2. Setelah menjelaskan kosa kata ayat per ayatnya, kemudian penulis
menjelaskan munâsabah ayat atau hubungan ayat 18 surat Ibrâhîm, ayat
68 surat Al-Baqarah, dan ayat 41 surat Yȗsuf dengan ayat-ayat
sebelumnya. Disini penulis akan menjelaskan munâsabah, yaitu
hubungan atau keterkaitan ayat 18 surat Ibrâhîm, ayat 68 surat al-
Baqarah, dan ayat 41 surat Yȗsuf dengan ayat sebelumnya. Hal ini
sangat dibutuhkan untuk mengetahui kejelasan makna ayat.7
3. Menjelaskan makna yang terkandung dalam ayat 18 surat Ibrâhîm, ayat
68 surat al-Baqarah, dan ayat 41 surat Yȗsuf dengan dibantu dari
penjelasan dari ayat lain, hadits Rasulullah SAW, atau ilmu pendidikan
yang berkaitan dengan ayat tersebut. Dalam tahap ini penulis akan
mencoba menjelaskan makna yang terkandung dalam ayat 18 Surat
Ibrâhîm, ayat 68 Surat al-Baqarah, dan ayat 41 Surat Yȗsuf dengan
6Abudin Nata, Studi Islam Komprehensif, (Jakarta: Prenada media Group, 2011) h, 169
7Ibid.
36
menggunakan literatur dari kitab tafsir, kemudian hadiś-hadiś
Rasulullah yang berkaitan dengan makna ayat tersebut, dan juga buku-
buku penunjang seperti buku-buku pendidikan yang membicarakan
seputar makna ayat tersebut. Selain itu, pada tahap ini juga penulis
menganalisis kajian tentang metode pembelajaran amśâl yang
terkandung di dalam ayat tersebut.8
4. Setelah menjelaskan makna ayat dan menganalisisnya, selanjutnya
adalah menarik kesimpulan dari ayat 18 surat Ibrâhîm, ayat 68 surat al-
Baqarah, dan ayat 41 surat Yȗsuf. Kesimpulan dari penelitian ini
berkaitan tentang apa saja kandungan ayat 18 surat Ibrâhîm, ayat 68
surat al-Baqarah, dan ayat 41 surat Yȗsuf kemudian bagaimana analisis
metode amśâl yang terkandung dalam ayat tersebut.9
Dalam metode tafsîr tahlilî, para mufassir menguraikan makna yang
dikandung oleh al-Qur`ân ayat demi ayat dan surat demi surat, sesuai urutan
di dalam muşhaf. Dalam penelitian ini, uraian ayat dan surah yaitu Surah
Ibrâhîm ayat 18, Surah al-Baqarah ayat 68, dan Surah Yȗsuf ayat 41. Uraian
ayat tersebut termasuk berbagai aspek yang dikandung oleh ayat 18 Surah
Ibrâhîm, ayat 68 Surah al-Baqarah, dan ayat 41 Surah Yȗsuf yang ditafsirkan
dengan pengertian/makna kosa kata, konotasi kalimat, kaitannya dengan ayat
lain, baik sebelum atau sesudahnya (munâsabah ayat), dan pendapat-pendapat
yang telah diberikan berkenaan dengan tafsiran ayat 18 surat Ibrâhîm, ayat 68
surat al-Baqarah, dan ayat 41 surat Yȗsuf baik yang disampaikan oleh Nabi,
sahabat, para tâbi’in maupun tafsir lainnya.
Dalam kaitannya dengan penelitian ini, penulis mencoba menafsirkan
ayat-ayat yang mengandung amśâl berdasarkan pendapat para mufassir. Pada
ayat-ayat yang mengandung amśâl, Syekh Manna’ al-Qaththan menjelaskan
bahwa, “biasanya dilakukan dengan metode “mempersonifikasikan” sesuatu
8Ibid.
9Ibid.
37
yang ghaib dengan sesuatu yang hadir, yang abstrak dengan yang konkret,
atau dengan menganalogikan sesuatu hal dengan hal yang yang serupa”.10
Para mufassir kontemporer ketika menafsirkan ayat amtsâl tidak hanya
memperhatikan kedudukan amśâl dalam kedudukan sebagai satu kesatuan
susunan kata-kata, tetapi juga berusaha memahami dan menarik makna,
hikmah, dan pelajaran dari bagian demi bagian maśal yang ditafsirkannya.
Mereka menganalisisnya kemudian menarik dari masing-masing bagian
makna dan hikmah, disamping memahami maśal pada ayat yang mereka
tafsirkan sebagai satu kesatuan.11
Selain memperhatikan beberapa hal di atas, menurut Quraish Shihab
dalam al-Qur`ân ada ayat-ayat amśâl yang maknanya serupa dengan
peribahasa yang digunakan oleh masyarakat. Ketika memahami ayat amśâl
yang seperti ini, selain memperhatikan hal-hal yang sudah dijelaskan
sebelumnya, hendaknya harus memahami pula lafadz-lafadz tersebut ketika
pertama kali terucap, yakni sebelum ia menjadi peribahasa.12
Berdasarkan pendapat di atas, maka untuk memahami ayat-ayat yang
mengandung amśâl perlu dipahami unsur-unsur yang terkandung di
dalamnya, seperti objek yang dibuat keserupaan, objek yang diserupakan, dan
lain sebagainya yang termasuk dalam syarat-syarat amśâl yang telah
dijelaskan pada bab sebelumnya. Quraish Shihab berkata bahwa maśal
menampung banyak makna, karena itu ia memerlukan perenungan yang
mendalam untuk memahaminya secara baik.13
10Manna’ Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Qur’an, Terj. Mifdhol Abdurrahman dan Aunur
Rofiq El-Mazni, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2006), h. 352
11Quraish Shihab, Kaidah Tafsir: Syarat, Ketentuan dan Aturan Yang Patut Anda Ketahui
Dalam Memahami Al-Qur’an, (Jakarta: Lentera Hati, 2013), Cet. II,h. 267
12Ibid, h. 265
13
Ibid, h. 272
38
BAB IV
TEMUAN PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Tafsir Surat Ibrâhîm Ayat 18, Surat Al-Baqarah Ayat 68,
dan Surat Yȗsuf Ayat 41
1. Tafsir Surat Ibrâhîm Ayat 18
a) Teks dan Terjemah Surat Ibrâhîm Ayat 18
Orang-orang yang kafir kepada Tuhannya, amalan-amalan
mereka adalah seperti Abu yang ditiup angin dengan keras pada
suatu hari yang berangin kencang. mereka tidak dapat mengambil
manfaat sedikitpun dari apa yang telah mereka usahakan (di
dunia). Yang demikian itu adalah kesesatan yang jauh.(Q.S.
Ibrâhîm/14: 18) 1
b) Kosa Kata Inti
Kata مثو merupakan bentuk mufrad, dan bentuk jama’ nya
adalah اه أمث yang berarti perumpamaan, bidal, pepatah, dan juga
bandingan.2 Kata مثو juga memiliki tiga makna lainnya, makna
pertama adalah contoh atau tauladan ( اه : اىعثشج اىمثو ج أمث ), makna
kedua yaitu peribahasa atau pepatah ( قىه سائش تيه اىىاس), dan
1Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya Special for Women, (Bandung: Syamil
Al-Qur‟an, 2007), h. 257
2Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1990), h. 410
39
makna ketiga adalah allegori parabel/cerita perumpamaan ( ح قص
(مجاصيح 3.
Pada dasarnya, menurut bahasa kata مثو juga dikatakan
dengan (ميمح ذسىيح ) “kalimat persamaan”, sebagaimana yang
dijelaskan dalam kamus Lisânul ‘Arab:
مثلو كما يقال شبهة و شب هو مثل : مثل : كلمة تسوية. يقال ىذا مثلو و بممعنى, قال ابن بري : الفرق بين المماثلة و المساواة أن المساواة تكون بين المختلفين فى الجنس و المتفقين, لأن التساوي ىو التكافؤ فى المقدار لا يزيد ولا
ه و فقهو كفقهو ينقص, وأما المماثلة فلا تكون إلا فى المتفقين, تقول : نحوه و نحو 4 و لونو كلونو وطعمو كطعمو.
Dari penjelasan teks Lisânul ‘Arab di atas, dapat dipahami
bahwa, maśal disebut juga dengan kalimat taswiyah/kalimat
persamaan. Namun demikian, menurut Ibnu Bari ada perbedaan
antara maśal (al-mumâśalah) dengan taswiyah (al-musâwâh).
Menurutnya, taswiyah merupakan persamaan yang terjadi pada dua
hal yang berimbang dalam ukurannya, tidak bertambah dan tidak
berkurang. Sedangkan maśal tidak demikian, maśal merupakan
persamaan yang terjadi berdasarkan kesepakatan para ahli tanpa
ada ukuran yang persis.
Selanjutnya adalah kata مشماد , terdiri dari satu kata dan satu
huruf jar yaitu ك, dalam istilah ilmu balaġah huruf ك termasuk
dalam âdat tasybîh (أداج اىرشثيه), sebagaimana dijelaskan oleh Al-
Hasyim dalam Jawahir al-Balaghah:
5 التشبيو, ويربط المشبو باالمشبو بو اللفظ الذي يدل على
3Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir: Kamus Bahasa Arab-Indonesia Terlengkap,
(Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), h.1309
4Jamaluddin Abi Al-Fadhli Muhammad, Lisânul ‘Arab, (Beirut Libanon: Dar Al Kotob Al-
Ilmiyah, 2003) vol. 11, h. 726-727
5Ahmad Al-Hasyim, Jawahir al-balaghah Fi al-Ma’ani wa al-Bayani wa al-Badi’, (Indonesia:
Maktabah Daar Ihya al-Kutub al-Arabiyyah, 1960), h.248
40
Âdat tasybîh adalah lafaż yang menujukkan kepada tasybîh, dan
mengikat musyabbah dengan musyabbah bih.
Kemudian kata سماد mempunyai arti abu api 6 juga سماد ,
berarti abu atau debu api ( ذشاب اىىاس).7 Sementara itu, dalam
Lisânul ‘Arab juga dijelaskan bahwa: ه دشاقح م اىفذم اىشماد : دقاق
اس اىى , dari penjelasan teks tersebut, dapat dipahami bahwa سماد
merupakan serbuk (debu halus) arang yang berasal dari kobaran
api .8
Kemudian kata إشرذخ berasal dari kata إشرذ yang disandingkan
dengan خ muannaś, yang berakar dari kata شذج -يشذ -شذ yang
berarti kuat, keras, dan kokoh. Kata إشرذ ini juga memiliki
kesamaan arti dengan kata ذشذد yaitu keras (dalam urusannya)9
atau menjadi kuat (ي 10.(ذقى
Kata يخ ’merupakan bentuk mufrad, dan bentuk jama اىش
(plural) nya adalah سياح yang artinya angin atau bau. Sedangkan
kata سيخ bermakna angin keras.11
Dan kata سيخ juga berarti
tertimpa/terserang angin ( يخ 12(أصاتره اىش. Sementara itu, dalam
Lisânul ‘Arab tertulis bahwa: اىشيخ : وسيم اىهىي ، ومزاىل وسيم مو
يخ dari teks tersebut dapat dipahami bahwa kata , شيء bermakna اىش
bertiupnya udara sebagaimana bertiupnya segala sesuatu.13
6Mahmud Yunus, Op Cit., h. 147
7Ahmad Warson Munawwir, Op Cit., h. 531
8Jamaluddin Abi Al-Fadhli Muhammad, Lisânul ‘Arab, (Beirut Libanon: Dar Al Kotob Al-
Ilmiyah, 2003) vol. 3, h. 228
9Mahmud Yunus., h. 192
10
Ahmad Warson Munawwir., h. 702
11
Mahmud Yunus. , h. 149
12
Ahmad Warson Munawwir ., h. 544
13
Jamaluddin Abi Al-Fadhli Muhammad, Lisânul ‘Arab, (Beirut Libanon: Dar Al Kotob Al-
Ilmiyah, 2003) vol. 2, h. 543
41
Selanjutnya lafaż لا يقذسون merupakan kata kerja yang
sebelumnya ditambahkan Laa Nafî, kata يقذسون berasal dari kata
قذسج ومقذسج -يقذس -قذس dan kata يقذس -قذس yang berarti “dapat” اسرطاع ,
jika kata tersebut di sambung dengan lafaż maka artinya عي
menjadi kuasa atau mampu mengerjakan sesuatu.14
Kemudian lafaż مسثىا merupakan kata kerja yang
disambungkan đomir orang ketiga jamak. Lafaż ini berasal dari
kata مسث ا-ينسة -مسة yang berarti memperoleh atau mendapatkan,
namun jika disandingkan dengan kata اىشيء , maka artinya berubah
menjadi .yaitu mengumpulkan جمع 15
Sejalan dengan pendapat
tersebut, dalam Lisânul ‘Arab juga dijelaskan bahwa: مسة : اىنسة
dari teks tersebut dapat dipahami , : طية اىشصق ، و أصيه اىجمع
bahwa makna asli dari مسة adalah mengumpulkan. 16
c) Tafsir Surat Ibrâhîm Ayat 18
1) Munâsabah Ayat
Sebelum menjelaskan tafsir dari ayat 18 Surat Ibrâhîm ini,
akan dijelaskan terlebih dulu Munâsabah atau hubungan ayat ini
dengan ayat-ayat sebelumnya. Pada ayat 18 Surah Ibrâhîm ini
merupakan lanjutan dari ayat-ayat sebelumnya yakni ayat 13
sampai 17 yang menceritakan tentang siksaan dan ancaman yang
ditimpakan Allah kepada umat-umat terdahulu sebagai akibat dari
kekafiran, disamping kerugian mereka yang besar karena pahala
amalan mereka yang dihapus.17
14Ibid., h. 1905
15
Mahmud Yunus., h. 373
16
Jamaluddin Abi Al-Fadhli Muhammad, Lisânul ‘Arab, (Beirut Libanon: Dar Al Kotob Al-
Ilmiyah, 2003) vol. 1, h. 840
17
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya (Edisi Yang Disempurnakan) , Jilid. V,
(Jakarta: Lentera Abadi, 2010), h. 135
42
Pada ayat 16 dijelaskan bahwa orang-orang yang menolak
kebenaran dan mengingkari rasul bahkan berani mengancam dan
mengusirnya adalah orang-orang yang ingin menandingi kebesaran
dan kekuasaan Allah. Mereka bersifat keras kepala, takabur dan
sewenang-wenang, mereka telah berada di depan neraka
Jahannam, dan di dunia mereka sudah seperti di tepi neraka,
mereka selalu merasa gelisah, khawatir dan penuh keraguan.
Hukuman bagi mereka di neraka kelak akan dimasukan ke neraka
dan diberi minuman kotor seperti nanah.18
Kemudian pada ayat selanjutnya yaitu ayat 17 Allah
menggambarkan siksaan bagi mereka yang zalim, kelak mereka
akan disiksa dengan api neraka yang sangat panas, diberi minuman
kotor seperti nanah tapi mereka sangat sukar untuk meneguknya.
Dan Allah datangkan kepada mereka bahaya maut dari segala
penjuru, tapi kematian mereka ditangguhkan oleh Allah agar
mereka merasakan kepedihan azab.19
2) Tafsir Ayat
Pada ayat sebelumnya, yakni ayat 17 Surat Ibrâhîm ini telah
dijelaskan bagaimana siksaan dan azab yang diberikan Allah
kepada orang-orang kafir. Menurut Quraish Shihab, jika ada yang
mengatakan dan bertanya bahwa diantara orang-orang kafir itu juga
ada yang telah melakukan amal-amal baik bahkan berjasa kepada
banyak orang, apakah mereka juga harus disiksa? maka pada ayat
inilah pertanyaan itu akan dibahas.20
Ayat ini menjelaskan kerugian besar yang orang-orang kafir
itu derita, yaitu amal-amal perbuatan mereka di dunia dihapuskan.
Mereka tidak bisa merasakan manfaat dari amal kebaikan mereka
18Ibid., h. 136
19
Ibid.
20
Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, vol. 6 (Jakarta:
Lentera Hati, 2002), h. 349
43
yang mungkin pernah mereka perbuat di dunia. Keadaan yang
seperti ini adalah akibat dari penyelewengan dan kesesatan mereka
yang jauh sekali dari petunjuk Allah swt.21
Dalam Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir dijelaskan bahwa:
Inilah perumpamaan yang diberikan oleh Allah terhadap
berbagai perbuatan kaum kafir yang menyembah pihak lain
selain Allah, mendustakan rasul-rasul-Nya, dan mendirikan
amalnya di atas fondasi yang tidak şahih. Maka amal itu pun
hancur dan musnah padahal saat itu mereka sangat
membutuhkannya. Maka Allah berfirman, “Perbuatan-perbuatan
orang yang kafir kepada Tuhannya.” Yakni perumpamaan amal-
amal mereka pada hari kiamat tatkala mereka meminta
pahalanya dari Allah lantaran mereka menduga bahwa mereka
telah melakukan sesuatu, maka mereka tidak menemukan pahala
apapun dan tidak memperoleh hasil apapun kecuali seperti abu
yang diperoleh seseorang tatkala diterpa angin yang sangat
kencang “pada musim angin kencang”. Mereka tidak dapat
mengambil manfaat sedikitpun dari amal mereka, kecuali seperti
kesanggupan mereka mengumpulkan abu terebut pada musim
angin kencang.22
Allah menjelaskan keadaan amal-amal perbuatan mereka
dengan satu perumpamaan, bahwa amal-amal mereka yang
dilakukan di dunia yang dianggap baik itu seperti abu yang ditiup
keras oleh angin. Angin yang meniup abu itu terjadi pada suatu
hari yang berangin kencang sehingga menerbangkan segala sesuatu
(apalagi abu) ke segala penjuru.23
Demikianlah keadaan amal-amal baik mereka sehingga mereka
tidak kuasa, dalam arti mereka tidak dapat mengambil manfaat
sedikitpun dari apa yang telah mereka usahakan. Hal ini terjadi
karena amal-amal mereka tidak berlandaskan sesuatu yang kukuh
yang tidak dibarengi oleh iman. Dan keadaan mereka yang seperti
itu adalah sebuah kesesatan yang jauh.24
21Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, jilid.5, Loc Cit.
22
Muhammad Nasib Ar-Rifa‟I, Kemudahan dari Allah: Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, Terj.
Syihabuddin, jilid. 2 (Jakarta: Gema Insani Press, 1999), h.948-949
23
Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, vol.6, Op Cit., h. 350
24
Ibid.
44
Menurut Abu Ja‟far, Firman Allah راىل هى اىضلاه اىثعيذ “Yang
demikian itu adalah kesesatan yang jauh”. Maksudnya amal
perbuatan yang mereka kerjaan di dunia, menyekutukan Allah
dengan para sekutu itu merupakan amal-amal yang dikerjakan
tanpa didasari petunjuk dan istiqâmah, melainkan dalam keadaan
menyimpang jauh dari petunjuk dan sangat menyalahi sifat
istiqâmah (lurus).25
Pendapat di atas selaras dengan yang dijelaskan oleh
Muhammad Nasib Ar-Rifa‟i bahwa راىل هى اىضلاه اىثعيذ berarti
bahwa “ upaya dan amal mereka itu berdasar dan tidak istiqâmah,
sehingga mereka kehilangan pahalanya pada saat mereka
membutuhkannya.”26
Lebih lanjut Quraish Shihab menjelaskan terkait kualitas amal
seseorang. Beliau juga mengumpamakan amal dengan bangunan,
ada bangunan yang cepat hancur hanya dengan guncangan yang
tidak terlalu besar, ada juga bangunan yang kokoh seperti pyramid
yang utuh dan bertahan hingga kini. Itu karena kualitas
pembuatannya tidak memenuhi standar yang bisa menjadikannya
dapat bertahan lama. Begitu juga dengan amal manusia, jika
kualitasnya tidak sempurna, ia akan hancur berantakan bagaikan
debu yang beterbangan. Standar kualitas yang mutlak harus
dipenuhi untuk kokohnya amal hingga hari Kemudian adalah
keikhlasan kepada Allah swt. Tanpa hal ini, secara lahiriah amal
dapat terlihat berpenampilan sangat baik, tetapi ia keropos,
kualitasnya sangat buruk walaupun kemasannya sangat indah.27
Dalam literatur lainnya, Quraish Shihab juga menjelaskan
bahwa, meskipun melakukan kebaikan untuk hal-hal kemanusiaan
25Abu Ja‟far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari, Tafsir Ath-Thabari, Terj. Ahsan Askan, , jilid.
15 (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), h. 480
26
Muhammad Nasib Ar-Rifa‟I, Op Cit., h. 949
27
Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, vol.6, Loc Cit.
45
yang mestinya dapat membebaskan dari azab, tetapi jika amal yang
diduga baik itu tidak dilandasi sesuatu yang kukuh dan tidak
dibarengi keimanan, maka amal tersebut tidak mempunyai nilai
apapun.28
Setelah penulis telusuri dari pendapat beberapa mufassir di
atas, pada ayat 18 Surat Ibrâhîm ini terdapat amśâl atau
perumpamaan yang sangat jelas. Yaitu perumpamaan perbuatan
orang-orang yang kafir itu seperti abu yang beterbangan di hari
yang berangin sangat kencang. Berdasarkan pendapat para
mufassir tersebut, penulis menyimpulkan bahwa keadaan
perbuatan orang-orang kafir itu seperti abu yang ditiup oleh angin
di hari yang berangin sangat kencang, sehingga mustahil sekali abu
tersebut tidak terbang dan tetap pada posisinya. Hal ini terjadi
karena pondasi dari amal perbuatan mereka tidak kokoh. Mereka
melakukan amal kebaikan tetapi tidak beriman kepada Allah dan
tidak ada keikhlasan di hati mereka ketika melakukan amal
tersebut.
Disini dapat dipahami bahwa, perbuatan orang-orang kafir
merupakan sesuatu yang abstrak, yang belum dapat dipahami.
Kemudian diumpamakan dengan debu yang ditiup oleh angin di
hari yang berangin sangat kencang, merupakan hal yang konkret
atau real yang lebih bisa dipahami. Jadi, seperti tujuan amśâl yang
sudah dijelaskan pada bab sebelumnya, pengguanan amśâl pada
ayat ini bertujuan untuk menjelaskan sesuatu yang masih abstrak,
yaitu keadaan perbuatan orang-orang kafir dengan sesuatu yang
lebih konkret, yaitu seperti abu yang ditiup angin di hari yang
berangin sangat kencang. Merujuk pada ayat 18 Surat Ibrâhîm
tersebut, maka dalam dunia pendidikan, terutama sebagai pendidik
hendaknya untuk bisa mengimplementasikan ayat tersebut dalam
28Quraish Shihab, Al-Lubâb: Makna, Tujuan, dan Pelajaran Surah-Surah Al-Qur’an,
(Tangerang: Lentera Hati, 2012), h. 96
46
pembelajaran sehari-hari. Pendidik hendaknya selalu memberi
amśâl atau perumpamaan kepada peserta didik untuk menjelaskan
sesuatu yang abstrak agar terlihat lebih konret dan lebih mudah
dipahami.
2. Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 68
a) Teks dan Terjemah Surat Al-Baqarah Ayat 68
Mereka menjawab: " mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk
Kami, agar Dia menerangkan kepada kami; sapi betina Apakah
itu." Musa menjawab: "Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi
betina itu adalah sapi betina yang tidak tua dan tidak muda;
pertengahan antara itu; Maka kerjakanlah apa yang diperintahkan
kepadamu". (Q.S Al-Baqarah/2: 68) 29
b) Kosa Kata Inti
Kata ادع merupakan fi’il `amr (kata perintah) dari kata دعا-
دعاء -يذعىا yang bermakna memanggil, mendo‟a, dan memohon.30
Kemudian kata ini disambungkan dengan huruf ه dan đamîr
sehingga artinya menjadi mendoakan kebaikan.31
Kemudian kata تقشج memiliki arti sapi atau lembu, tanpa
menjelaskan jantan atau betina.32
“Pendapat yang masyhur
mengatakn maksudnya adalah sapi betina, karena adanya ta
marbuţah dan disebut dengan nama al-Baqarah karena adanya
29Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Op Cit., h. 10
30
Ahmad Warson Munawwir ,, h. 406
31
Mahmud Yunus,,, h. 127
32
Ibid. h. 69
47
kisah penyembelihan sapi betina.33
Dan kata فاسض jika diartikan
dalam konteks kata تقشج memiliki arti lembu yang tua umurnya.34
Hal ini juga dibenarkan dalam Lisânul ‘Arab bahwa : تقشج فاسض
.مسىح 35
Abu Ja‟far Ath-Thabari juga menyebutkan bahwa yang
dimaksud فاسض dalam ayat ini adalah tidak tua.36
Dalam potongan
ayat إوها تقشج لا فاسض ولا تنش), al-Farâ menjelaskan bahwa yang
dimaksud اىفاسض adalah yang tua renta, sedangkan اىثنش adalah
yang muda (untuk perempuan/betina), sebagaimana yang
dijelaskan dalam Lisanul ‘Arab: يمح واىثنش قاه اىفشاء : اىفاسض اىهش
. اىشاتح37
Selanjutnya kata تنش memiliki arti اىثقشج اىفريح anak lembu.
Kata اىثنش dengan kasrah berarti jenis betina dari binatang maupun
manusia, kata ini tidak ditemukan akar katanya. Dan yang
dimaksud ولا تنش Dalam ayat ini adalah tidak kecil dan tidak
beranak”.38
Sedangkan dalam Lisânul ‘Arab dijelaskan bahwa اىثنش adalah:
اىثنش: اىجاسيح اىر ىم ذفرط ، وجمعها أتناس اىثنش
تقشج تنش : فريح ىم ذذمو 39
Dari teks Lisanul ‘Arab di atas, dapat dipahami bahwa kata
berarti gadis yang perawan dan bentuk jama’ nya adalah اىثنش
33 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya (Edisi Yang Disempurnakan),jilid.1,
(Jakarta: Lentera Abadi, 2010), h. 127
34Ahmad Warson Munawwir ., h. 1047
35
Jamaluddin Abi Al-Fadhli Muhammad, Lisânul ‘Arab, (Beirut Libanon: Dar Al Kotob Al-
Ilmiyah, 2003) vol. 7, h. 229
36
Abu Ja‟far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari, Tafsir Ath-Thabari, Terj. Ahsan Askan, jilid. 2
(Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), h. 71
37
Jamaluddin Abi Al-Fadhli Muhammad, Loc Cit.
38
Abu Ja‟far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari, Jilid. 2 Op Cit., h. 73
39
Jamaluddin Abi Al-Fadhli Muhammad, Lisânul ‘Arab, (Beirut Libanon: Dar Al Kotob Al-
Ilmiyah, 2003) vol. 4, h. 91
48
berarti sapi اىثنش kata , تقشج Kemudian dalam konteks kata .أتناس
muda yang belum hamil. “Kata ini digunakan untuk hewan betina
dan juga manusia yang belum pernah digauli. Untuk sebutan
hewan kadang juga digunakan sebagai sebutan anak-anak
hewan.”40
Dan kata عىان memiliki arti yang setengah umur.41
“Kata
artinya pertengahan yang telah melahirkan satu anak atau اىعىان
lebih, tapi tidak disebut kecil”42
. Dalam konteks ayat ini kata عىان
diartikan sebagai pertengahan antara umur sapi yang tua dan muda.
Sejalan dengan pendapat Mahmud Yunus, bahwa kata عىان
memiliki arti setengah umur, dalam Lisânul ‘Arab disebutkan
sebagai berikut:
العوان من البقر ووغيرىا : النصف في سنها. وفي التنزيل العزيز:)لا فارض ولا بكر ؛قال الفراء انقطع الكلام عند قولو:) ولا بكر(،ثم استأنف فقال عوان بين ذلك(
)عوان بين ذلك(، وقيل: العوان من البقر والخيل التي نتجت بعد بطنها البكر. أبو زيد: عانت البقرة تعون عؤونا إذا صارت عوانا؛ و العوان: النصف التى بين
43 الفارض وىي المسنة، وبين البكر وىي الصغيرة. Dari penjelasan teks Lisanul ‘Arab di atas, dapat dipahami
bahwa yang dimaksud اىعىان dari sapi dan sejenisnya adalah yang
telah mencapai setengah umurnya. Kemudian Al-Farâ menjelaskan
bahwa yang dimaksud عىان pada potongan ayat لا فاسض ولا تنش(
adalah sapi atau kuda yang melahirkan setelah , عىان تيه رىل(
muda. Dan Abu Zaid mengatakan bahwa اىعىان disini berarti
40Muhammad bin Ali bin Muhammad Asy-Syaukani, TafsirFathul Qadir, Terj. Amir Hamzah
Fachruddin dan Asep Saefullah, jilid. 1, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), h. 382
41
Mahmud Yunus., h.287
42
Abu Ja‟far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari, jilid. 2 ., h. 74
43
Jamaluddin Abi Al-Fadhli Muhammad, Lisânul ‘Arab, (Beirut Libanon: Dar Al Kotob Al-
Ilmiyah, 2003) vol. 13, h. 364
49
pertengahan antara اىفاسض yaitu yang berumur dan اىثنش yang
masih kecil/muda.
c) Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 68
1) Munâsabah Ayat
Pada ayat sebelumnya yaitu kelompok ayat 63-66, Allah
menerangkan sifat keras kepala Bani Israil dalam menunaikan
perintah-perintah Allah yakni kewajiban mereka mengamalkan isi
Taurat dan beribadah pada Hari Sabat. Kemudian pada ayat ini
Allah menerangkan sikap keras kepala mereka kepada Nabi Musa
untuk menyembelih sapi.44
Jika pada kelompok ayat 63-66 Surat al-Baqarah menguraikan
tentang kedurhakaan mereka menyangkut hak-hak Allah secara
umum, maka pada kelompok ayat 67-72 ini akan menggambarkan
kekerasan hati dan kedangkalan pengetahuan mereka tentang
makna keberagamaan serta bagaimana seharusnya sikap kepada
Allah dan Nabi-Nya.45
Pada dasarnya ayat 68 yang akan dibahas ini adalah satu
kesatuan cerita dari ayat 67 sampai dengan ayat 72. Sebelum
menjelaskan ayat yang dimaksud yaitu ayat 68, maka penulis akan
mengutip pejelasan untuk ayat sebelumnya.
Pada masa Nabi Musa as. ada seorang terbunuh yang tidak
diketahui siapa pembunuhnya oleh Bani Israil. Mereka ingin
mengetahui siapa pembunuhnya, untuk menghilangkan tuduh
menuduh diantara mereka. Dengan ayat 67 ini, Bani Israil
diperintahkan untuk menyembelih sapi. Sapi apapun itu, jantan
atau betina. Tapi mereka enggan melakukannya karena berbagai
macam dalih, mereka tidak percaya bahwa itu adalah perintah
44 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, Jilid. I, Loc Cit.
45
Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, vol. 1, (Jakarta:
Lentera Hati, 2002), h. 267
50
Allah. Kemudian mereka berkata kepada Nabi Musa, “ apakah
kamu hendak menjadikan kami buah ejekan atau bahan olokan?”,
pertanyaan mereka ini mengandung keraguan terhadap kekuasaan
Allah.46
Dalam Tafsir Ibnu Katsir disebutkan bahwa Ibnu Hatim
meriwayatkan dengan sanad yang bersambung hingga Muhammad
bin Sirrin, dari Ubadah As-Silmani, ia berkata bahwa:
Ada seorang laki-laki Bani Israel mandul yang mempunyai
harta banyak dan anak saudaranya merupakan pewarisnya.
Maka ia membunuh anak saudaranya itu. Pada malam hari ia
membawa mayatnya, lalu diletakan di depan pintu salah seorang
Bani Israel. Ketika pagi tiba, maka pihak korban menuduh si
pemilik rumah dan warganya sehingga mereka pun mengangkat
senjata dan saling menyerang. Salah satu yang berpikiran lebih
bijak berkata,” Mengapa kalian saling membunuh padahal kita
punya Rasul!” Maka mereka menemui Musa a.s. dan
menceritkan kejadian tersebut. Musa berkata,” Sesungguhnya
Allah menyuruhmu untuk menyembelih seekor sapi betina.
Mereka berkata, „Apakah kamu hendak menjadikan kami bahan
ejekan? Musa menjawab,‟Aku berlindung kepada Allah
sekiranya aku termasuk orang-orang yang bodoh‟.”47
Dan perkataan mereka yang seperti itu sudah menjadi bukti
bahwa mereka sangat kasar tabiatnya dan tidak mengakui
kekuasaan Allah swt. kemudian Nabi Musa menjawab,”Aku
berlindung kepada Allah dari memperolok manusia, karena
perbuatan itu termasuk perbuatan orang yang jahil, terlebih bagi
seorang rasul yang akan menyampaikan risalah dan hukum Allah
kepada manusia.48
2) Tafsir Ayat
Setelah Nabi Musa menjawab demikian, mereka memunculkan
pertanyaan lagi, padahal dengan jawaban Nabi Musa saja
46Ibid.
47
Muhammad Nashib Ar-Rifa‟I, Kemudahan dari Allah: Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, Terj.,
Budi Permadi, jilid.1, (Jakarta: Gema Insani 2011), h. 119
48
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, jilid. I, Op Cit., h. 128
51
sebenarnya sudah cukup, apalagi di dalam jawaban beliau terdapat
sindiran bahwa bisa jadi merekalah orang-orang yang jahil yang
menduga Nabi mereka
berolok-olok atau Allah berbuat tanpa alasan.49
Bani Israil berkata lagi kepada Nabi Musa,”Tanyakanlah
kepada Tuhanmu agar diterangkan kepada kami tanda-tanda sapi
yang dimaksudkan itu”. Nabi Musa menjawab,” sapi yang harus
disembelih itu bukan sapi yang tua atau sapi yang muda, tetapi
yang sedang umurnya. Turutilah perintah itu dan laksanakanlah
segera.”50
Hamka menafsirkan ayat ini dalam Tafsir Al-Azhar:
“Mereka berkata: Serukanlah kepada kami kepada
Tuhanmu, supaya diterangkannya bagaimana lembu itu?”.
Lembu betina banyak berkeliaran di padang rumput. Kami mau
jelas bagaimana macamnya lembu itu. Menjatuhkan perintah
hendaklah yang terang! Cobalah tanyakan kembali pada
Tuhanmu itu, lembu betina yang macam mana yang
dikehendaki. Berkata dia: “Sesungguhnya Dia bersabda, bahwa
hendaklah lembu betina itu yang belum tua benar dan tidak
sangat muda, pertengahanlah diantara itu, maka kerjakanlah apa
yang diperintahkan kepadamu itu.”51
Pada potongan ayat قاىىا ادع ىىا ستل (Mereka berkata,
“Mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami”), dalam Tafsir
Fathul Qadir dijelaskan bahwa ini merupakan salah satu bentuk
keras kepala mereka yang sudah mendarah daging, karena mereka
biasa bersikap seperti ini kepada kebanyakan apa yang
diperintahkan Allah kepada mereka. Jika seandainya mereka tidak
keras kepala dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan, tentu akan
cukup bagi mereka menyembelih sapi apapun, namun mereka
49Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, vol. 1, Op Cit., h. 268
50
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, jilid. I, Loc Cit.
51
Hamka, Tafsir Al-Azhar, juz.1, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 2001), h. 283-284
52
sendiri yang mempersulit sehingga Allah pun mempersulit
mereka.52
Ketika mereka bertanya kepada Nabi Musa, “sapi apakah
itu?”, Nabi Musa menjawab, “Sesungguhnya Dia berfirman”, Nabi
Musa menegaskan bahwa ini adalah firman Allah, bukan ucapan
berdasarkan kemauan dan pendapatnya, bahwa “sapi itu adalah
sapi yang tidak tua dan tidak pula muda, pertengahan antara itu”.53
Dalam menafsirkan ayat ini Abu Ja‟far berkata dalam kitab
Tafsir Ath-Thabari:
Maka setelah mereka yakin apa yang diperintahkan Musa
kepada mereka adalah benar dan sungguh-sungguh, mereka
mengatakan, coba mohonkan kepada Tuhanmu agar Dia
menerangkan kepada kami sapi betina apa itu? Mereka bertanya
kepada Musa dengan nada membangkang, padahal jika menuruti
apa yang diperintahkan Allah niscaya cukuplah bagi mereka
sapi betina apa saja.54
Hamka juga menjelaskan, “kesombongan mereka dan cara
mereka bertanya sebenarnya telah mempersulit mereka sendiri.
Dengan jawaban Nabi Musa yang demikian, menyuruh mencari
lembu betina yang belum tua, tetapi tidak muda lagi, supaya dicari
pertengahan antara tua dan muda, mereka telah mempersulit diri.”55
Perintah Allah seharusnya diterima dan langsung
dilaksanakan. Tetapi mereka masih belum beranjak
mengerjakannya walaupun penjelasan itu sudah cukup. Bahkan
Nabi Musa sudah mengisyaratkan tidak perlu lagi ada pertanyaan
dengan mengatakan,” maka kerjakanlah apa yang diperintahkan
kepada kamu.” Karena semakin banyak pertanyaan yang diajukan,
maka semakin banyak pula jawaban yang akan memberi ciri dan
syarat, dan pada gilirannya akan semakin mempersulit.56
52Muhammad bin Ali bin Muhammad Asy-Syaukani, Op Cit,, h. 381
53
Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, vol. 1, Loc Cit.
54
Abu Ja‟far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari, jilid. 2,, h. 70
55
Hamka, Op Cit,, h. 284
56
Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah,, vol.,1 h. 269
53
Melanjutkan penjelasannya, Hamka mengatakan bahwa:
Tadinya jika mereka menangkap saja sembarangan lembu
betina, entah muda atau tua, perintah itu telah terlaksana dengan
baik. Tetapi dengan perintah yang sekarang ini, mereka sudah
menyaring dengan benar dan menaksir umur lembu-lembu
betina yang hendak disembelih itu. Nabi Musa memerintahkan
lekas-lekaslah laksanakan perintah itu, dengan maksud supaya
mereka tidak bertanya lagi. 57
Menurut Abu Ja‟far pada bagian akhir ayat ini, yaitu فافعيىا ما
bahwa Allah berfirman bahwa: “Kerjakanlah apa yang Aku ذأمشون
perintahkan kepada kalian, niscaya kalian akan mendapatkan apa
yang kalian cari di sisi-Ku, dan sembelihlah sapi betina yang Aku
perintahkan kepada kalian, niscaya dengan menaati perintahku
tersebut kalian akan mengetahui siapa pelaku pembunuhan itu”.58
Menurut Imam Asy-Syaukani potongan ayat “ فافعيىا (Maka
kerjakanlah), merupakan pembaharuan perintah dan penegasannya,
serta sebagai dampratan bagi mereka karena keras kepala, namun
ini tidak berguna dan tidak mempan bagi mereka, bahkan mereka
kembali kepada tabi‟at dan makar mereka serta melanjutkan
kebiasaan mereka yang telah mendarah daging itu.”59
Pada ayat 68 Surat al-Baqarah terdapat potongan ayat yang
mengandung amśâl, yaitu لا فاسض ولا تنش عىان تيه راىل .
Potongan ayat tersebut mengandung makna amśâl meskipun tidak
secara jelas terdapat lafaż tamśîl yang mengindikasikan amśâl,
karena bentuk amśâl seperti ini termasuk amśâl kâminah. Dan
potongan ayat tersebut memiliki persamaan makna dengan pepatah
sebaik-baiknya perkara adalah yang di) خيش المىس أوسطها
pertengahannya).
Dalam pembelajaran, amśâl kâminah seperti ini dapat
diimplementasikan. Contoh sederhananya adalah ketika seorang
57Hamka, Loc Cit.
58
Abu Ja‟far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari ,, h. 77
59
Muhammad bin Ali bin Muhammad Asy-Syaukani, Op Cit., h. 382
54
guru menjelaskan materi pelajaran kepada peserta didik, maka
hendaknya guru tersebut menjelaskan jangan terlalu cepat dan juga
terlalu lambat, tetapi pertengahan diantara keduanya.
3. Tafsr Surat Yȗsuf Ayat 41
a) Teks dan Terjemah Surat Yȗsuf Ayat 41
Hai kedua penghuni penjara: "Adapun salah seorang diantara
kamu berdua, akan memberi minuman tuannya dengan khamar;
Adapun yang seorang lagi Maka ia akan disalib, lalu burung
memakan sebagian dari kepalanya. telah diputuskan perkara
yang kamu berdua menanyakannya (kepadaku)." (Q.S Yȗsuf/12:
41) 60
b) Kosa Kata Inti
Kata جه - يسجه berasal dari akar kata اىس yang artinya سجه
menahan atau memenjarakan. Kata جه memiliki persamaan arti اىس
dengan kata اىمذثس yang artinya penjara.61
Pendapat tersebut juga
dibenarkan dalam Lisânul ‘Arab, bahwa kata جه dengan kasrah اىس
pada huruf sin sama artinya dengan kata اىمذثس yang merupakan
isim, dan jika huruf sin nya di fathah maka merupakan maşdar.62
Kemudian kata يسق merupakan fi’il mudhâri’ dari kata سق yang
berarti memberi minum.63
60Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya Special for Women, h. 41
61
Ahmad Warson Munawwir ,, h. 613
62
Jamaluddin Abi Al-Fadhli Muhammad, Op Cit., Vol. 13, h. 247
63
Mahmud Yunus,,, h.173
55
Kata selanjutnya yaitu يصية merupakan fi’il mudhâri’ majhȗl
dari akar kata يصية -صية yang berarti menyalib. Karena kata
merupakan fi’il majhȗl , maka artinya berubah menjadi يصية
disalib, kemudian karena şigatnya juga fi’il mudhâri’ yang
mengandung waktu yang akan datang, maka kata يصية diartikan
akan disalib.64
Kata قضي adalah bentuk majhȗl dari kata يقض -قض . Kata
ضق sendiri memiliki arti melaksanakan, menyelesaikan. Karena
kata قضي adalah bentuk majhȗl dan disandingkan dengan kata
,maka artinya menjadi keputusan (perkara) sudah diambil المش
diselesaikan.65
Selanjutnya kata فريان ذسر merupakan fi’il mudhâri’ dari kata
yang berarti meminta fatwa, yang kemudian disambungkan اسرفر
dengan đamîr antumâ, sehingga kata ذسرفريان memiliki arti yang
kalian berdua minta fatwanya. Meminta fatwa dalam konteks ayat
ini berarti juga menanyakan.66
Meskipun dalam kamus Lisânul ‘Arab tidak menjelaskan
dengan khusus arti dari kata ذسرفريان, tetapi ada dua kata yang
dijelaskan dalam kamus ini yang memiliki asal kata yang sama
Di dalam Lisanul ‘Arab .يسرفرىول dan فاسرفرهم yaitu kata (اسرفر)
tertulis:
سؤال وقال أبو إسحاق في قولو تعالى: )فاست فتهم أىم أشد خلقا ( ؛ أي فسألهممن خلقنا من الأمم السالفة. وقولو عز وجل : ع ىم أشد خلقا تقرير أ
67يست فت ونك قل الله ي فتيكم(؛ أي يسألونك سؤال تعلم.)
64Ahmad Warson Munawwir ,, h. 787
65
Ibid, h. 1130
66
Ibid, h. 1034
67
Jamaluddin Abi Al-Fadhli Muhammad, Lisânul ‘Arab, (Beirut Libanon: Dar Al Kotob Al-
Ilmiyah, 2003) vol. 15, h. 170
56
Dari pernyataan teks Lisanul ‘Arab di atas, dapat dipahami
bahwa makna kata فاسرفرهم dalam potongan ayat ) ( فاسرفرهم أهم أشذ
maka tanyakanlah”. Dan“ فاسأىهم سؤاه mengandung makna خيقا
pada kata يسرفرىول dalam potongan ayat (يسرفرىول قو الله يفرينم)
mengandung makna يسأىىول سؤاه. Dengan melihat contoh ayat di
atas, maka kata ذسرفريان dalam ayat ini dapat diartikan dengan
menanyakan atau kalian berdua tanyakan.
c) Tafsir Surat Yȗsuf Ayat 41
1) Munâsabah Ayat
Pada ayat-ayat sebelumnya, yaitu ayat 39-40 Surat Yȗsuf
dijelaskan bahwa Nabi Yȗsuf mengajak kedua penghuni penjara
untuk memeluk agama tauhid, yaitu hanya menyembah kepada
Allah Yang Maha Esa.68
Selain itu, Nabi Yȗsuf juga
menyampaikan pokok-pokok ajaran agama yang dianutnya, yakni
agama Islam.69
Pada ayat 36 Surah Yȗsuf ini , dua teman Nabi Yȗsuf di
penjara pura-pura bermimpi agar mimpi itu ditakwilkan oleh Nabi
Yȗsuf dengan niat untuk menjajaki ilmunya. Salah satu dari
mereka berkata, ”sesungguhnya aku bermimpi memeras anggur”
dan yang lain berkata, “sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku
membawa roti di atas kepalaku, sebagiannya dimakan burung”,
berikanlah kepada kami ta‟birnya. Sesungguhnya kami
memandangmu termasuk orang-orang yang pandai.70
Akan tetapi, setelah ditanya seperti itu Nabi Yȗsuf tidak
langsung menjawab ta’bir mimpi yang ditanyakan. Seperti yang
68Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya (Edisi Yang Disempurnakan), Jilid. IV,
(Jakarta: Lentera Abadi, 2010), h. 531
69
Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Vol. 6, Op Cit., h. 99
70
Muhammad Ahmad Isawi, Tafsir Ibnu Mas’ud: Studi Tentang Ibnu Mas’ud dan Tafsirnya,
Terj. Ali Murtadho Syahudi, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2009), h. 604-605
57
dikatakan Quraish Shihab sebelumnya, pada ayat 37-40 Surah
Yȗsuf ini dijelaskan bahwa Nabi Yȗsuf menyampaikan pokok-
pokok ajaran Islam kepada kedua orang penghuni penjara
tersebut.71
Dan pada ayat 41 nanti baru akan dijelaskan ta’bir dari
mimpi kedua orang penghuni penjara tersebut.
2) Tafsir Ayat
Pada ayat sebelumnya yaitu ayat 39-40, telah dijelaskan bahwa
Nabi Yȗsuf dimasukan ke dalam penjara, dan di penjara beliau
melakukan dakwah. Di penjara tersebut terdapat dua orang yang
bermimpi dan menanyakan takwilnya kepada Nabi Yȗsuf.
Dan kemudian pada ayat ini, barulah dijelaskan oleh beliau
takwil mimpi yang dialami dua pemuda itu. Yȗsuf berkata, “Hai
dua penghuni penjara, adapun mimpi yang pertama takwilnya
adalah bahwa engkau akan segera keluar dari penjara dan kembali
bekerja seperti dulu sebelum masuk penjara, yaitu sebagai tukang
siram kebun raja dan akan memberi minum raja dengan khamar.
Takwil mimpi kedua bahwa engkau akan dihukum salib, lalu
bangkaimu dan sebagian kepalamu akan dimakan burung.
Begitulah takwil mimpi yang kamu tanyakan kepada saya sebagai
wahyu yang telah diwahyukan kepadaku.72
Muhammad Nasib Ar-Rifa‟I menjelaskan bahwa:
Yȗsuf berkata kepada keduanya, “Hai kedua temanku di
dalam penjara, adapun salah seorang diantara kamu berdua,
maka dia akan memberi minum kepada tuannya berupa khamr.”
Yȗsuf menggembirakan dengan menakbirkan mimpi keduanya
setelah Yȗsuf merasa puas karena telah menyampaikan dakwah
ketauhidan serta menyajikannya selaras dengan kepentingannya
terhadap pentakbiran. Maka Yȗsuf berkata, adapun salah
seorang diantara kamu berdua, maka dia akan kembali bekerja
menyajikan khamr kepada raja. “Adapun yang seorang lagi, ia
akan disalib kemudian burung akan memakan sebagian
71Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Vol. 6, Loc Cit.
72
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, jil. 4, Op Cit., h. 531-532
58
kepalanya.” Raja akan menyalibnya, burung mendatanginya,
lalu memakan daging kepalanya. Demikianlah Yȗsuf tidak
menentukan secara tegas siapa yang mendapat takbir itu agar ia
tidak bersedih. Oleh karena itu Yȗsuf menyamarkannya dengan
kata “adapun yang lain”. Yang dimaksud adalah orang yang
membawa roti di atas kepalanya.73
Menurut Abu Ja‟far Firman Allah ا أدذمما جه أم ياصادثي اىس
ا Hai kedua penghuni penjara, adapun salah satu" فيسق سته خمش
diantara kalian berdua akan memberi minum tuannya dengan
khamer" , yaitu orang yang memeras anggur, ia akan memberi
minum khamer kepada tuannya, yakni rajanya. Menjadi juru saji
minumannya.74
Kemudian Abu Ja‟far meneruskan penjelasannya, “adapun
yang seorang lagi, yakni yang bermimpi membawa roti diatas
kepalanya, sementara burung memakannya, maka ia akan disalib
dan burung memakan kepalanya”.75
Abu Ja‟far juga menjelaskan kembali bahwa:
Ketika Yȗsuf menabirkan mimpi kedua orang tersebut,
keduanya berkata kepada Yȗsuf, “Kami tidak bermimpi
apapun”. Yȗsuf kemudian berkata kepada keduanya قضي المش
Telah diputuskan perkara yang kamu berdua“ اىزي فيه ذسرفريان
menanyakannya (kepadaku)”. Yȗsuf berkata ,”Telah selesai
masalah yang kalian berdua tanyakan, maka ketentuan Allah
pasti akan terjadi kepada kalian berdua seperti yang aku
beritahukan kepada kalian.76
Pendapat seperti ini selaras dengan pendapat para ahli takwil,
salah satunya menyebutkan riwayat dibawah ini:
Muhammad bin Amr menceritakan kepadaku, ia berkata:
Isa Abu Ashim menceritakan kepada kami, ia berkata: Isa
menceritakan kepada kami dari Ibnu Abi Najih dari Mujahid
tentang ayat قضي المش اىزي فيه ذسرفريان “Telah diputuskan
73Muhammad Nasib Ar-Rifa‟I,, h.857-858
74
Abu Ja‟far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari, Tafsir Ath-Thabari, Terj. Ahsan Askan, jilid.
14, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), h. 690
75
Ibid, h. 691
76
Ibid.
59
perkara yang kalian berdua menayakannya (kepadaku)”, ia
berkata, “ketika kedua orang tersebut berkata, „kami tidak
bermimpi kami hanya bercanda‟, Yȗsuf berkata, ‟Mimpi akan
menjadi kenyataan, sebagaimana yang telah aku tabirkan.” 77
Dalam buku Tafsir Ibnu Mas‟ud juga dijelaskan bahwa pada
ayat ini Nabi Yȗsuf baru menjawab ta‟bir mimpi dari kedua
penghuni penjara tersebut. Nabi Yȗsuf menjawab, “Hai kedua
penghuni penjara, adapun salah satu dari kalian berdua akan
memberi minuman tuannya dengan khamr, adapun yang satu lagi ia
akan disalib, lalu burung memakan sebagian dari kepalanya”.
Setelah Nabi Yȗsuf menta‟birkan mimpi dari keduanya, maka
keduanya berkata, “Sebenarnya kami tidak bermimpi apa-apa”.
Maka Nabi Yȗsuf berkata قضي المش اىزي فيه ذسرفريان Telah
diputuskan perkara yang kalian berdua menanyakannya kepadaku
(Sesuai yang dita‟birkan oleh Nabi Yȗsuf).78
Hal senada juga terdapat dalam Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir,
dikatakan bahwa Ats-Tsauri meriwayatkan dari Ibrâhîm bin
Abdullah, dia berkata bahwa, setelah Nabi Yȗsuf menyampaikan
ta’birnya, lalu kedua berkata, “Sebenarnya kami tidak bermimpi
apapun.” Maka Yȗsuf berkata, “Telah diputuskan perkara yang
ditanyakan oleh kalian berdua.” Kemudian disimpulkan kembali
bahwa barang siapa bermimpi kebatilan kemudian ditakwilkannya,
maka tetaplah baginya ta‟bir itu.79
Pada ayat 41 Surat Yȗsuf ada potongan ayat yang berlaku
sebagai amśâl, meskipun secara żahirnya tidak terlihat ada lafaż-
lafaż tamśîl. Potongan ayat tersebut adalah ( قضي المش اىزي فيه
فريان ذسر ) “Telah diputuskan perkara yang kalian berdua tanyakan
kepadaku”.
77Ibid. h. 694
78
Muhammad Ahmad Isawi, Op Cit., h. 605
79
Muhammad Nasib Ar-Rifa‟I,, Op Cit., h.858
60
B. Analisis Metode Amśâl dalam Surat Ibrâhîm Ayat 18,
Surat Al-Baqarah Ayat 68, dan Surat Yȗsuf Ayat 41
1. Analisis Metode Amśâl dalam Surat Ibrâhîm Ayat 18
Sebagaimana yang telah di jelaskan di atas, bahwa pada ayat 18
Surat Ibrâhîm ini mengandung sebuah perumpamaan atau amśâl yang
jelas (amśâl muşarrahah). Yaitu perumpamaan keadaan perbuatan
orang-orang yang kafir itu bagaikan abu yang ditiup oleh angin di
suatu hari yang sedang berangin kencang.
Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya dalam Lisânul
Arab bahwa kata amśâl mempunyai makna persamaan/taswiyah. Akan
tetapi terdapat perbedaan antara amśâl/mumâśalah dengan
taswiyah/musâwah, kata taswiyah/musâwah berlaku untuk dua hal
yang berimbang dalam jenis dan ukurannya, tidak lebih dan tidak
berkurang. Sedangkan kata amśâl/mumâśalah berlaku hanya pada dua
hal yang telah disepakati persamaannya, akan tetapi tidak ada ukuran
persisnya. Kata amśâl/mumâśalah juga sering diartikan dengan istilah
“serupa tapi tak sama”.
Dalam ayat ini yakni ayat 18 Surat Ibrâhîm , yang terjadi adalah
amśâl/mumâśalah. Sesuatu yang bersifat abstrak dan akan diserupakan
adalah keadaan perbuatan orang-orang kafir, sedangkan hal yang
nyata/real dan yang menyerupakannya adalah abu yang beterbangan
karena ditiup angin di hari yang berangin sangat kencang.
Selain mempunyai fungsi untuk menjelaskan dan mempermudah
pemahaman dari sesuatu yang bersifat abstrak menjadi konkret. Amśâl
seperti ini juga berfungsi untuk mempengaruhi emosi yang sejalan
dengan konsep yang diumpamakan dan untuk mengembangkan aneka
perasaan ketuhanan.80
80Abdurrahman An-Nahlawi, Pendidikan Islam di Rumah Sekolah dan Masyarakat, Terj.
Shihabuddin, (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), Cet. I, h. 256
61
Sebagai contoh, ketika al-Qur`ân menjelaskan keadaan hilangnya
pahala sedekah karena menyebut-nyebutnya dan menyakiti perasaan si
penerima sedekah tersebut bagaikan batu licin yang di atasnya terdapat
tanah, kemudian batu itu diguyur hujan lebat sehingga menjadi bersih
tidak bertanah lagi. Perumpamaan seperti ini mampu menumbuhkan
perasaan takut terhadap kerugian akibat terhapusnya pahala amal
sedekah mereka. Dan dari perasaan inilah tumbuh motivasi dalam diri
untuk menggerakan dan mendorong hati agar menjauhi keburukan dan
terus melakukan kebaikan. Dan dengan adanya perumpamaan seperti
ini, mampu melatih akal untuk terbiasa berpikir valid dan analogis.
Dalam al-Qur`ân masih banyak terdapat ayat-ayat lainnya yang
juga menunjukan amśâl seperti pada ayat 18 surat Ibrâhîm ini. Salah
satunya pada ayat 12 surat Al-Hujurât, dalam ayat ini Allah
menjelaskan tentang larangan berprasangka buruk kepada orang lain.
Karena berprasangka buruk termasuk perbuatan yang berdosa, ayat ini
juga menjelaskan larangan mencari-cari kesalahan orang lain dan
menggunjing. Kemudian Allah mengumpamakan orang-orang yang
demikian itu seperti orang yang memakan daging saudaranya yang
sudah mati.
Tak hanya dalam al-Qur‟an, pada sebuah hadits misalnya yang
diriwayatkan oleh Abu Musa rađiyallahu’anhu:
ا مثل الليس الصمالح و موسى, عن النبي صل عن أبي لله عليو وسلم قال :إنموء, كحامل المسك و نفخ الكي, فحامل المسك إمما أن يذيك وإمما الليس الس
تاع منو وإمما أن تد منو ريا ط يبا, ونفخ الكي إمما أن يرق ثيابك وإمما أن أن ت ب ثة. )رواه صحيح ومسلم( تد ريا خبي
Dari Nabi saw, beliau bersabda: Sesungguhnya perumpamaan
teman dekat yang bai dan teman dekat yang buruk adalah seperti
seorang penjual minyak wangi (misk) dan seorang tukang pandai
besi. Penjual minyak wangi terkadang mengoleskan wanginya
kepadamu dan terkadang kamu membeli darinya sebagian atau
62
minimal kamu menhirup semerbak aroma harum dar minyak
wangi itu. Sedangkan tukang pandai besi, adakalanya dia akan
membakar pakaiamu, atau kamu akan mendapati aroma yang
tidak sedap.81
Dari beberapa contoh perumpamaan yang terdapat dalam al-
Qur`ân dan al-Hadîś, sebaiknya perumpamaan-perumpamaan tersebut
maupun yang serupa tentu dapat digunakan dalam dunia pendidikan.
Dalam mengimplementasikan metode amśâl ini, seorang guru yang
akan menyampaikan materi pelajarannya dapat menggunakan
perumpamaan-perumpamaan untuk menjelaskan sesuatu yang sifatnya
masih abstrak agar terasa lebih nyata, real dan mudah dipahami.
Misalnya dalam pembelajaran fiqih, seorang guru ingin
menjelaskan tentang perbedaan-perbedaan di beberapa mazhab dalam
ketentuan dalam beberapa persoalan. Kemudian guru tersebut
mengibaratkan dengan seorang ayah yang menyuruh ketiga anaknya
untuk membeli apel. Kemudian anak pertama membeli apel malang
yang berwarna hijau, lalu anak kedua membeli apel fuji yang berwarna
merah, sedangkan anak ketiga membeli apel golden dengan warna
hijau kekuning-kuningan. Ketiga anak tersebut sama-sama membeli
apel namun dengan jenis yang berbeda, dan tidak ada yang salah dari
ketiganya. Begitupun perbedaan-perbedaan yang terjadi di beberapa
mazhab.
Contoh lainnya yang terjadi dalam pembelajaran misalnya,
seorang guru akan menjelaskan tentang perjalanan kehidupan,
kemudian guru tersebut mengumpamakan kehidupan dengan aliran air
disungai yang akan bermuara di tepat yang luas nan indah yaitu lautan.
Sebelum air tersebut dapat sampai ke lautan yang luas, air itu akan
mengalir dari pegunungan melalui sungai dan melewati berbagai
rintangan seperti melewati benturan dari bebatuan, tebing, bahkan tak
81Al-Hafidz Dzaqiyuddin Abdul Adzim bin Abdul Qawi Al-Mundziri, Muktashar Shahih
Muslim (Ringkasan Shahih Muslim), Terj. Pipih Imran Nurtsani dan Fitri Nurhayati, (Solo: Insan
Kamil, 2012), h. 933-934
63
jarang melewati jurang, serta menerima banyak sampah, yang
kemudian setelah itu barulah akan merasakan kebahagiaan yaitu
sampai di lautan yang luas dan indah. Begitu pula dalam kehidupan
ini, sebelum menuju ke kehidupan yang kekal nanti, kita akan
melewati berbagai macam cobaan kehidupan, musibah, dan menerima
banyak cemooh dan perkataan yang tidak menyenangkan. Akan tetapi
jika kita menghadapinya dengan cara yang benar, maka kelak akan
sampai pada kebahagiaan di kehidupan yang kekal nanti.
Contoh lain misalnya, seorang guru menjelaskan keadaan orang
yang sangat putus asa dalam belajar dengan mengumpamakan layang-
layang yang telah putus talinya. Maka layang-layang itu tak dapat
berbuat apa-apa kecuali menerima nasibnya yang dibawa oleh angin,
kemana ia akan terdampar, masih utuhkah bentuknya? Atau sudah
robek terkena ranting pepohonan dan yang lainnya. Begitu juga orang
yang putus asa dalam belajar atau putus asa karena hal lainnya. Ia
hanya bisa pasrah dengan keadaan, atau hanya akan mengandalkan
belas kasihan orang lain untuknya.
Pemberian perumpamaan seperti ini juga tidak hanya berlaku dari
guru terhadap muridnya, dalam hal lain misalnya ketika seorang guru
akan memberikan motivasi kepada rekan sesama guru, ia
menyampaikan dengan cara memberikan perumpamaan bahwa guru itu
diibaratkan seperti sebuah piala besar yang disimpan dalam kaca
transparan, sehingga dapat terlihat seluruh bagiannya dari segala arah.
Sebuah piala yang sangat diidam-idamkan oleh semua orang.
Begitulah perumpamaan seorang guru, yang seluruh aspek dari
kepribadiannya dapat dilihat oleh muridnya, dan sangat diinginkan
oleh siswanya untuk dijadikan teladan yang baik.
Penggunaan amśâl atau perumpamaan ini disamping bertujuan
untuk menjelaskan sesuatu yang masih abstrak sehingga terlihat lebih
konkret, juga dapat digunakan dengan tujuan memotivasi peserta didik
agar tidak mudah putus asa, karena sebuah motivasi yang disampaikan
64
dengan perumpamaan biasanya lebih melekat di hati bahkan peserta
didik lebih memahaminya.
Sebagai contoh, seorang guru PAI menjelaskan manfaat
berpakaian muslim atau muslimah kepada siswanya. Guru tersebut
mengibaratkan seorang wanita muslimah yang berpkaian sesuai
syaria`at Islam seperti sebuah kue mahal yang di jual dan diletaan di
etalase sebuah toko, yang hanya bisa dilihat oleh orang lain dari luar
kaca dan tidak bisa menyentuhnya, hanya orang yang siap membelinya
saja yang boleh menyentuh dan membawanya pulang. Begitu juga
seorang wanita muslimah yang berpakaian islami, mereka terjaga dari
kejahatan manusia yang jahil dan tidak bertanggung jawab, hanya
orang yang siap untuk menjadi seseorang yang halal baginyalah yang
bisa menyentuhnya. Dan wanita yang berpakaian tidak sesuai syari`at
Islam bahkan terkesan seksi, diibaratkan seperti kue yang di jual di
pinggir jalan tanpa penutup dan etalase yang bisa saja dihinggapi lalat.
Sama halnya dengan kue tersebut, wanita yang berpakaian minim
mereka rentan terhadap godaan manusia yang jahil dan tak
bertanggungjawab.
Contoh lain ketika seorang guru memberi motivasi kepada peerta
didiknya tentang kesabaran dan kesungguhan dalam menuntut ilmu.
Guru tersebut mengumpamakan belajarnya seorang murid di sekolah
dengan seorang bayi yang belajar berjalan. Bayi yang belajar berjalan
tidak serta merta lansung dapat berjalan dan berlari begitu saja,
melainkan melaui proses dari mulai belajar duduk, merangkak, berdiri,
melangkah perlahan selangkah demi selangkah, hingga akhirnya dapat
berjalan dan berlari. Terkadang dalam beberapa tahapan dan proses itu
pula banyak terjadi kesulitan seperti rasa sakit pada lutut ketika
merangkak, jatuh ketika belajar berdiri, kesulitan melangkah dan
kemudian jatuh lagi. Akan tetapi, hal semacam itu akan terlewati dan
membuahkan hasil. Begiu juga para persta didik yang sedang belajar,
tidak serta merta akan dengan mudahnya memahami materi dan bahan
65
ajar. Tidak instan langsung bisa mendapatkan hasil yang baik, semua
itu perlu proses tahapan demi tahapan, dan tak jarang akan menemui
kesulitan. Tapi dari kesulitan tersebut, peserta didik bisa belajar arti
kesabaran dan kesungguhan sehingga akan mendapatkan hasil yang
memuaskan.
Setelah penulis uraikan analisis dan beberapa contoh, dapat
dikatakan bahwa amśâl yang terkandung seperti pada ayat 18 Surat
Ibrâhîm ini merupakan jenis perumpamaan yang jelas, dan tergolong
dalam kategori amśâl yang ringan, sehingga siapapun yang diberikan
perumpamaan seperti ini maka akan mudah memahami maksud yang
terkandung di dalamnya.
2. Analisis Metode Amśâl dalam Surat Al-Baqarah Ayat 68
Selanjutnya dalam Surat al-Baqarah ayat 68 terkandung amśâl,
meskipun jika dilihat secara kasar dalam ayat ini tidak dicantumkan
secara jelas perumpamaannya. Berdasarkan penjelasan para mufassir,
potongan ayat dari surat al-Baqarah ayat 68 ini, yang mengandung
amśâl adalah kalimat (لا فاسض ولا تنش عىان تيه رىل(.
Bila ditinjau secara lafżi, dalam ayat ini pun tidak menjelaskan
sebagai bentuk perumpamaan terhadap suatu makna, namun
kandungan dari ayat ini menunjukan suatu bentuk perumpamaan.
Sebagaimana yang dikatakan Hasani: “Perlu dicatat disini, bahwa
sebenarnya al-Qur`ân sendiri tidak menjelaskan sebagai bentuk
perumpamaan terhadap makna tertentu, hanya saja isi kandungannya
menunjukan salah satu bentuk perumpamaan. Tegasnya, amśâl
kâminah ini termasuk maśal ma’nawî yang tersembunyi, bukan amśâl
lafżî yang jelas.”82
Kalimat tersebut mengindikasikan adanya amśâl meskipun tidak
dicantumkan dengan jelas lafaż tamśîlnya, tetapi kalimat ini
82Hasani Ahmad Syamsuri, Studi Ulumul Qur’an, (Jakarta: Penerbit Zikra Press, 2009), Cet. I,
h. 179
66
menunjukan makna yang indah dan menarik. Kalimat ini senada
dengan perumpamaan orang Arab “sebaik-baik perkara adalah yang
tidak berlebihan, adil, dan seimbang. Atau dalam bahasa Arab disebut
.(خيش لمىس أوسطها)83
Menurut Hasani, seorang ulama pernah mengatakan bahwa orang
Arab tidak mengucapkan suatu perumpamaan, kecuali karena ada
persamaanya di dalam al-Qur‟an.84
Maka ungkapan Arab ( خيش لمىس
.ada persamaannya dengan ayat al-Qur‟an (أوسطها
Pada potongan ayat (لا فاسض ولا تنش عىان تيه رىل) , terkandung
makna خيش لمىس أوسطها yakni sapi yang dimaksud adalah sapi betina
yang tidak tua/berumur dan tidak juga muda, akan tetapi sapi betina
yang pertengahan diantara tua dan muda. Jadi yang dikehendaki dalam
ayat ini adalah pertegahan dari dua perkara yaitu antara yang tua dan
yang muda.
Berdasarkan penjelasan para mufassir, ungkapan seperti ini
termasuk jenis amśâl kâminah. Untuk memahami jenis amśâl seperti
ini membutuhkan pemikiran yang lebih mendalam dibandingkan jenis
amśâl sebelumnya yaitu amśâl muşarrahah, karena seperti yang sudah
dijelskan sebelumnya bahwa dalam amśâl kâminah ini tidak terdapat
lafaż tamśîl dan perumpamaan yang ditunjukan pun tidak disebutkan
dengan jelas.
Dalam al-Qur`ân ada beberapa ayat lagi yang memiliki persamaan
makna dengan ayat 68 Surat al-Baqarah ini. Pertama, pada ayat 67
Surat al-Furqân (ا (واىزيه ارا أوفقىا ىم يسشفىا وىم يقرشوا ومان تيه راىل قىام
“Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta) mereka tidak
berlebihan, dan tidak (pula) kikir, adalah pembelanjaan itu di tengah-
tengah antara yang demikian”.
83Manna‟ Al-Qaththan, Pengantar Ilmu Studi Al-Qur’an, Terj. Mifdhol Abdurrahman, (Jakarta:
Pustka Al-Kausar, 2005), Cet.I, h. 358
84
Hasani Ahmad Syamsuri, Loc Cit.
67
Kedua, terdapat pada ayat 29 Surat al-Isrâ ( ولا ذجعو يذك مغيىىح إى
ا ذسىس ا م Dan janganlah kamu“ (عىقل ولا ذثسطها مو اىثسظ فرقعذ ميىم
menjadikan tanganmu terbelenggu ada lehermu, dan jangan pula kamu
terlalu mengulurkannya agar kamu tidak menjadi tercela dan
menyesal”. Maksud dari ayat ini adalah, hendaknya agar manusia
tidak terlalu kikir dan tidak juga teralalu pemurah (boros).
Dan ketiga, terdapat pada ayat 110 dalam surat yang sama yaitu
Surat al-Isrâ ( اذذعىا فيه السماءاىذسى دمه أيام قو ادعىالله أوادعىا اىش
ل سثيلا ولاذجهش تاىصلاذل ولا ذخافد تها واترغ تيه راى ), “Katakanlah,
„Serulah Allah atau serulah Ar-Rahman dengan nama yang mana saja
kamu seru. Dia mempunyai al-asmâul husnâ dan janganlah kamu
mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan janganlah pula kamu
merendahkannya, dan carilah jalan tengah dari kedua itu.”
Menurut Syamsuri, ungkapan “tidak berlebihan” dan “tidak
boros”, ungkapan “tidak kikir” dan “tidak terlalu boros”, dan
ungkapan “mengeraskan suara” dan “merendahkannya”, menurut
sebagian ulama disebut dengan amśâl kâminah, karena memiliki
makna yang sesuai dengan ungkapan sebaik-baik perkara itu yang
pertengahan (خيش لمىس أوسطها).85
Dengan adanya ayat-ayat amśâl kâminah seperti ini, maka akan
terkumpul makna-makna yang indah, singkat, padat dan menarik
dalam ungkapannya. Selain itu ayat-ayat seperti ini juga dapat
membantu melatih penalaran dan pemahaman seseorang. Terlebih
bagi siswa, jika seorang guru menggunakan perumpamaan yang
sejenis dengan amśâl kâminah ini, maka siswa juga akan berlatih
menalar dan memahami apa yang dikatakan oleh guru.
Ketika seorang guru hendak mengimplementasikan metode amśâl
dari jenis amśâl kâminah ini, secara sederhana misalnya: seorang guru
85
Hasani Ahmad Syamsuri, Op Cit., h. 181
68
memberikan nasehat kepada murid-muridnya berkaitan dengan
strategi belajar mereka, kemudian guru tersebut memberikan saran
agar muridnya belajar tidak dengan terlalu memforsir waktu mereka
untuk belajar sehingga melupakan hal-hal lainnya, tetapi tidak juga
bermalas-malasan dalam belajar, akan tetapi pertengahan diantara
keduanya. Karena yang demikian adalah cara yang terbaik.
Jika di analogikan proses belajar yang baik adalah yang tidak
terlalu berlebihan dan tidak pula terlalu jarang belajar (malas). Sebuah
botol, ketika hendak diisi air dengan menggunakan gayung, maka cara
mengisi yang paling tepat adalah dengan mengisinya secara perlahan,
tidak terburu-buru dan sekaligus menuangkan semuanya, maupun
tidak juga setetes demi setetes. Isilah botol tersebut dengan perlahan
dan sabar, maka botol itu akan terisi penuh tanpa ada air yang
terbuang sia-sia.
Jenis amśâl kâminah ini merupakan perumpamaan yang memiliki
persamaan makna yang terkandung dalam uşlub Arab. Jika
diiplementasikan dalam pembelajaran, maka boleh jadi dalam
menggunakan amśâl kâminah ini, seorang guru dapat mengutarakan
suatu maksud tertentu dengan mengatakannya sesuai dengan uşlub
atau peribahasa dalam bahasa Indonesia.
Contoh sederhananya misalnya, peribahasa Indonesia yang
berbunyi “bagai tulisan di atas air”. Peribahasa ini mengandung arti
seseorang yang mengerjakan sesuatu tapi hasilnya sia-sia. Contoh,
seorang guru memberi nasehat kepada muridnya agar senantiasa
menjaga kebersihan, akan tetapi guru tersebut juga tidak menjaga
kebersihan dan perilaku itu terlihat oleh muridnya, maka nasehat dari
guru itu pun hasilnya bagaikan tulisan di atas air, sia-sia tak berarti.
Setelah penulis uraikan tentang metode amśâl yang terkandung
dalam Surat Al-Baqarah ayat 68 ini, maka dapat ditarik kesimpulan
bahwa amśâl yang terkandung pada ayat ini termasuk jenis amśâl
kâminah atau amśâl yang tersembunyi, dan tergolong pada amśâl
69
dengan tingkat sedang. Sehingga seseorang yang mendapatkan amśâl
seperti ini tidak dengan mudah memahaminya seperti jenis amśâl
sebelumnya yaitu amśâl muşarrahah, melainkan perlu pemahaman
yang lebih mendalam, karena jenis amśâl muşarrahah ini
mengandung pengertian yang serupa dengan uşlȗb bahasa Arab atau
yang dapat disamakan dengan peribahasa dalam bahasa Indonesia.
3. Analisis Metode Amśâl dalam Surat Yȗsuf Ayat 41
Pada ayat 41 dari Surat Yȗsuf, di dalamnya terdapat potongan ayat
yang juga berlaku sebagai amśâl. Sama seperti jenis amśâl sebelumnya
yaitu amśâl kâminah, amśâl dalam ayat 41 Surat Yȗsuf ini juga tidak
memiliki lafaż tamśîl secara jelas, namun tetap berlaku dan dihukumi
sebagai amśâl.
Menurut para mufassir, amśâl pada ayat 41 Surat Yȗsuf ini
termasuk dalam jenis amśâl mursalah. Yaitu “kalimat-kalimat bebas
yang tidak menggunakan lafaż tasybîh secara jelas. Tetapi kalimat-
kalimat itu berlaku sebagai amśâl.”86
Karena jenis amśâl seperti ini tidak memiliki lafaż tasybîh/lafaż
tamśîl, dan juga tidak memiiki persamaan makna dengan ungkapan-
ungkapan tertentu, maka untuk memahami jenis amśâl seperti
membutuhkan pemikiran dan penalaran yang lebih mendalam
dibandingkan memahami jenis amśâl sebelumnya, yaitu amśâl
muşarrahah dan amśâl kâminah.
Meskipun jenis amśâl mursalah dan amśâl kâminah merupakan
jenis maśal ma’nawiy, yaitu jenis amśâl yang tidak nampak
perumpamaan, dan lafaż tamśîlnya, akan tetapi terdapat perbedaan
diantara keduanya. Pada amśâl kâminah, yang dijadikan amśâl adalah
potongan ayat yang memiliki persamaan makna dengan beberapa
ungkapan Arab.
86
Manna‟ Al-Qaththan, Op Cit., h. 359
70
Pada ayat 41 Surat Yȗsuf ini, potongan ayat yang
mengindikasikan adanya amśâl yaitu pada kalimat “ قضي المش اىزي فيه
telah diputuskan perkara yang kamu berdua menanyakannya) ”ذسرفريان
kepadaku).
Ketika Nabi Yȗsuf mentakwilkan mimpi kedua penghuni penjara
tersebut, kemudian mereka berkata bahwa mereka hanya bergurau,
sebenarnya mereka tidak bermimpi apapun, mereka hanya ingin
menjajaki ilmu Nabi Yȗsuf saja. Akan tetapi Nabi Yȗsuf menjawab,
telah diputuskan perkara yang kamu) قضي المش اىزي فيه ذسرفريان
berdua menanyakannya kepadaku).
Penjelasan kalimat ”telah diputuskan perkara yang kamu berdua
menanyakannya kepadaku” dapat dijadikan amśâl dengan maksud dan
tujuan yang baik. Dengan adanya kalimat ini, seakan menghimpun
makna dan kalimat-kalimat indah untuk disampaikan kepada orang
lain. Karena sebuah nasehat yang disampaikan melalui amśâl akan
lebih mengena di hati dan lebih kuat pengaruhnya.
Jenis amśâl seperti ini yang terdapat pada ayat 41 Surat Yȗsuf ini
merupakan amśâl mursalah, oleh karena itu amśâl ini tergolong dalam
kategori amśâl yang tinggi/berat, karena amśâl ini memiliki tingkat
perumpamaan yang cukup tinggi dibandingkan amśâl sebelumnya.
Disamping amśâl ini tidak terdapat lafaż tasybîh, di dalamnya juga
tidak terdapat kesesuaian makna dengan ungkapan-ungkapan Arab.
Sehingga dalam memahami amśâl ini dibutuhkan penalaran yang
dalam.
Dikarenakan amśâl ini merupakan jenis amśâl yang tersembunyi,
yang artinya perumpamaan dalam jenis amśâl ini tidaklah terlihat
sama sekali, bahkan untuk mencari persamaan makna dengan uşlȗb
atau peribahasa sekalipun tidak terdapat di dalamnya, maka
71
implementasi dari jenis amśâl yang tersembunyi seperti ini jarang
ditemukan. Bisa saja seorang guru yang sedang mengajar, hendak
menyampaikan suatu maksud tertentu kepada muridnya dengan cara
memberikan penegasan-penegasan yang tertuju pada maksud tersebut.
72
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan analisa yang sudah peneliti lakukan, dapat ditarik
menjadi sebuah kesimpulan bahwa:
Di dalam al-Qur`ân surat Ibrâhîm ayat 18, surat al-Baqarah ayat 68,
dan surat Yȗsuf ayat 41 terkandung pendekatan amśâl, dimana dalam
ketiga surat tersebut terkandung jenis amśâl yang berbeda-beda.
Dari beberapa pendapat mufassir yang telah dikemukakan oleh penulis
dalam penelitian ini, dapat dipahami bahwa:
1. Dalam surat Ibrâhîm ayat 18, jenis amśâl yang terkandung adalah
amśâl muşarrahah, yaitu jenis amśâl yang jelas terlihat baik dari segi
lafadznya maupun dari segi maknanya. Dan amśâl ini juga tergolong
dalam kategori amśâl yang ringan, sehingga seseorang yang diberikan
perumpamaan seperti ini maka akan dengan mudah memahami
maksud yang terkandung di dalamnya. Dalam mengimplementasikan
amśâl muşarrahah ini, pengajar dapat memberi perumpamaan bagi
suatu hal yang abstrak dengan sesuatu yang lebih konkret.
2. Dalam surat al-Baqarah ayat 68, jenis amśâl yang terkandung adalah
amśâl kâminah, yaitu perumpamaan yang tersembunyi yang tidak
nampak pada lafadz atau teksnya, namun memiliki persamaan arti
dengan ungkapan-ungkapan Arab, atau peribahasa yang berlaku. Dan
amśâl ini tergolong dalam kategori amśâl yang sedang, sehingga
butuh penalaran lebih untuk memahaminya dibandingkan dengan jenis
amśâl muşarrahah. Dalam mengimplementasikan amśâl kâminah ini,
pengajar dapat memberi perumpamaan yang serupa dengan
peribahasa.
3. Dan dalam surat Yȗsuf ayat 41, jenis amśâl yang terkandung adalah
amśâl mursalah yaitu jenis perumpamaan yang tidak tampak dari
73
teksnya dan tidak ada persamaan dengan ungkapan-ungkapan atau
peribahasa yang berlaku, namun tetap dihukumi sebagai
amśâl/perumpamaan. Dan amśâl ini tergolong dalam kategori amśâl
yang berat, sehingga butuh penalaran lebih dalam untuk
memahaminya.
B. Implikasi
Seorang guru harus rajin membaca, berfikir, dan tentu harus kreatif
agar dapat menemukan perumpamaan-perumpamaan saat akan mengajar,
atau saat secara tiba-tiba ia akan menyampaikannya. Seorang guru
menyampaikan perumpamaan tersebut, agar siswa yang belum paham
dapat mengerti maknanya. Guru dapat menemukan perumpamaan tersebut
dari al-Qur`ân, al-Hadîś, uşlȗb atau peribahasa dan sumber lainnya.
C. Saran
Sesuai dengan hasil penelitian dan kesimpulan yang didapatkan
penulis pada penelitian ini, penulis akan mengemukakan masukan atau
saran, antara lain sebagai berikut:
1. Bagi seluruh pendidik baik pendidik formal ataupun informal,
terutama yang berada dalam lingkungan pendidikan Islam, hendaknya
turut mengimplementasikan metode pendidikan Islam yang bersumber
dari al-Qur’an seperti metode amśâl. Karena dengan adanya metode
amśâl ini materi-materi pembelajaran yang sifatnya masih abstrak
dapat lebih mudah dipahami dan terlihat lebih konkret.
2. Meskipun saat ini sudah banyak terlahir metode pembelajaran yang
bervariatif, akan tetapi metode amśâl atau metode dengan
perumpamaan ini merupakan salah satu metode yang cocok dan dapat
di aplikasikan pada masa kini.
3. Penelitian ini sudah penulis lakukan secara maksimal, akan tetapi
penulis menyadari bahwa masih terdapat beberapa kekurangan dalam
penelitian ini. Salah satunya adalah penulis hanya meneliti terkait
74
metode amśâl yang terkandung dalam surat Ibrâhîm ayat 18, surat al-
Baqarah ayat 68, dan surat Yȗsuf ayat 41 yang sebatas dalam varian
metode amśâl nya saja, dan bagaimana pendapat para ahli tafsir terkait
metode tersebut. Sehingga disarankan untuk penulis selanjutnya yang
akan meneliti terkait masalah ini, hendaknya berlanjut pada tujuan
pendidikan yang hendak dicapai, kesesuaian metode dengan materi dan
perkembangan peserta didik, dan berakhir pada evaluasi pendidikan.
Yang demikian ini dimaksudkan agar penelitian tersebut menghasilkan
sesuatu yang lebih komprehensif.
75
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Sulaiman. Sumber Hukum Islam: Permasalahan dan Fleksibilitasnya.
Jakarta: Sinar Grafika, Cet. III, 2007.
Al-Mundziri, Al-Hafidz Dzaqiyuddin Abdul Adzim bin Abdul Qawi. Muktashar
Shahih Muslim (Ringkasan Shahih Muslim), Terj. Pipih Imran Nurtsani, Lc
dan Fitri Nurhayati, Lc. Solo: Insan Kamil, 2012
Al-Hasyim, Ahmad. Jawahir al-balaghah Fi al-Ma’ani wa al-Bayani wa al-
Badi’. Indonesia: maktabah Daar Ihya al-Kutub al-Arabiyyah, 1960.
Al-Qaththan, Manna’. Pengantar Studi Ilmu Qur’an, Terj. Mifdhol Abdurrahman
dan Aunur Rofiq El-Mazni. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2006.
An-Nahlawi, Abdurrahman. Pendidikan islam di Rumah Sekolah dan Masyarakat,
terj: Shihabuddin. Jakarta: Gema Insani, 1995.
Arief, Armai. Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam. Jakarta: Ciputat
Press, 2002.
Arifin, M. Ilmu Pendidikan Islam: Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan
Pendekatan Interdisipliner. Jakarta: Bumi Aksara, 2003.
Ar-Rifa’i, Muhammad Nasib. Kemudahan dari Allah: Ringkasan Tafsir Ibnu
Katsir, Terj. Syihabuddin, jilid. 1 dan 2. Jakarta: Gema Insani Press, 1999.
Ash-Shidiieqy, Hasbi. Ilmu-Ilmu Al-Qur’an: Media-Media Pokok Dalam
Menafsirkan Al-Qur’an. Jakarta: Bulan Bintang, Cet. II, 1988.
Assiba’I, Musthafa Husni. Kehidupan Sosial Menurut Islam. Bandung:
Diponegoro, 1993.
Asy-Syaukani, Muhammad bin Ali bin Muhammad. TafsirFathul Qadir, Terj.
Amir Hamzah Fachruddin dan Asep Saefullah, jilid. 1. Jakarta: Pustaka
Azzam, 2008.
Ath-Thabari, Ja’far Muhammad bin Jarir. Tafsir Ath-Thabari, Terj. Ahsan Askan,
jilid. 2, 14 dan 15. Jakarta: Pustaka Azzam, 2007a.
Azizi, Ernawati . Keberhasilan Pendidikan Perspektif Al-Qur’an. Jurnal At-
Tarbawi Kajian Kependidikan Islam. 2, 2005
Bashri, Hasan. Filsafat Pendidikan Islam. Bandung: Pustaka Setia, 2009.
76
Buchori, Didin Saefudin. Pedoman Memahami Kandungan Al-Qur’an. Bogor:
Granada Sarana Pustaka, 2005.
Daradjat, Zakiyah. Metodik Khusus Pengajaran Agama Islam. Jakarta: Bumi
Aksara, 1995.
Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahnya Special for Women.
Bandung: Syamil Al-Qur’an, 2007.
Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan Tafsirnya (Edisi Yang Disempurnakan),
Jilid. 1, 4 dan 5. Jakarta: Lentera Abadi, 2010a.
Fannani, Zain. “Tafisr Surat An-Nahl Ayat 125 (Kajian Tentang Metode
Pembelajaran)”, Skripsi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: 2014. tidak
dipulikasikan.
Gunawan, Imam. Metode Penelitian Kualitatif Teori dan Praktik. Jakarta: Bumi
Aksara, 2013.
Hamka, Tafsir Al-Azhar, juz.1. Jakarta: Pustaka Panjimas, 2001.
Hidayat, Ara., dan Machali, Imam. Pengelolaan Pendidikan: Konsep, Prinsip,
dan Aplikasi dalam Mengelola Sekolah dan Madrasah. Yogyakarta:
Kaukaba, 2012.
Inong, Jejen. Metode Pendidikan dalam Perspektif Islam. TAHDZIB Jurnal
Pendidikan Agama Islam. 3, 2009
Jarim, Ali dan Amin, Musthafa. Al-Balaġah al-Wađihah: al-Bayânu wa al-Ma’âni
wa al-Badî’. Jakarta: Raudhah Press, 2007.
Khallaf, Abdul Wahab. Kaidah-Kaida Hukum Islam: Ilmu Ushulul Fiqh, Terj.
Noer Iskandar al-Barsany dan Moh Tolchah Mansoer. Jakarta: Grafindo
Persada, Cet. VIII , 2002.
Majid, Abdul. Strategi Pembelajaran. Bandung: Rosda Karya, 2013.
Maman Kh, U., dkk. Metodologi Penelitian Agama Teori dan Praktek. Jakarta:
Raja Grafindo Persada Press, 2006.
Muhammad Ahmad Isawi. Tafsir Ibnu Mas’ud: Studi Tentang Ibnu Mas’ud dan
Tafsirnya, Terj. Ali Murtadho Syahudi. Jakarta: Pustaka Azzam, 2009.
Muhammad, Jamaluddin Abi Al-Fadhli. Lisânul ‘Arab, vol. 1, 2, 3, 4, 7, 11, 13 dan 15.
Beirut Libanon: Dar Al Kotob Al-Ilmiyah, 2003a.
77
Munawwir, Ahmad Warson. Al-Munawwir: Kamus Bahasa Arab-Indonesia
Terlengkap. Surabaya: Pustaka Progresif, 1997.
Nata, Abudin. Studi Islam Komprehensif. Jakarta: Prenada Media Group, 2011.
----------. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005a.
----------. Pendidikan Dalam Perspektif Al-Qur’an, (Jakarta: UIN Jakarta PRESS,
2005b.
----------. Metodologi Studi Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 2011
----------. Prespektif Islam Tentang Strategi Pembelajaran, (Jakarta: Kencana,
2009.
----------. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Grafindo Persada, Cet. III, 2012a.
----------. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, Cet.II,
2012b.
Pratiwi, Cindi. “Metode Pendidikan Dalam Prespektif Al-Qur’an Kajian QS. An-
Nahl Ayat 125-127”, Skripsi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: 2014. tidak
dipulikasikan.
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia:
Edisi Keempat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008.
Quthb, Muhammad. Minhaj al-Tarbiyah al-Islâmiyah.
Ramayulis. Metodologi Pendidikan Agama Islam. Jakarta: Kalam Mulia, Cet. IV,
2005.
Riyanto, Yatim. Paradigma Baru Pembelajaran: Sebagai Referensi Bagi
Pendidik Dalam Implementasi Pembelajaran Yang Efektif dan Berkualitas.
Jakarta: Prenada Media Group, 2009.
Roqib, Moh. Ilmu Pendidikan Islam: Pengembangan Pendidikan Integratif di
Sekolah, Keluarga, dan Masyarakat. Yogyakarta: LKiS Printing Cemerlang,
2011.
Rusman. Model-Model Pembelajaran: Mengembangkan Profesionalisme Guru.
Jakarta: Rajawali Pers, 2013.
Sabri, Alisuf. Pengantar Ilmu Pendidikan. Jakarta: UIN Jakarta PRESS, 2005.
78
Shiddiq, Sapiuddin. Ushul Fiqh. Jakarta: KENCANA, 2011.
Shihab, M.Quraish. Lentera Al-Qur’an. Jakarta: Mizan Pustaka, 2008.
----------. Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, vol. 1 dan
6. Jakarta: Lentera Hati, 2002a.
----------. Kaidah Tafsir: Syarat, Ketentuan, dan Aturan Yang Patut Anda Ketahui
Dalam Memahami Al-Qur’an. Jakarta: Lentera Hati, Cet. II , 2013.
----------. Membumikan Al-Qur’an. Bandung: Mizan, 2003.
----------, AL-LUBÂB: Makna, Tujuan, dan Pelajaran dari Surah-Surah Al-
Qur’an. Tangerang: Lentera Hati, 2012
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan Kombinasi (Mixed
Methods). Bandung: Alfabeta, 2011.
Syadali, Ahmad dan Rofi’i, Ahmad. Ulumul Qur’an II. Bandung: Pustaka Setia,
cet. II, 2002.
Syafa’at, TB Aat., dkk. Peranan Pendidikan Agama Islam Dalam Mencegah
Kenakalan Remaja (Juvenile Delinquency). Jakarta: Rajawali Press, 2008.
Syafri, Ulil Amri. Pendidikan Karakter Berbasis Al-Qur’an. Jakarta: Rajawali
Press, 2012.
Syah, Muhibbin. Psikologi Pendidikan Dengan Pendekatan Baru. Bandung:
Remaja Rosdakarya, Cet. XVII, 2011.
----------. Psikolgi Belajar. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, Cet. III, 2001.
Syamsuri, Hasani Ahmad. Studi Ulumul Qur’an. Jakarta: Zikra-Press, 2009.
Tafsir, Ahmad. Metodologi Pengajaran Agama Islam. Bandung: Remaja
Rosdakarya, Cet. VII, 2003.
Uhbiyati, Nur. Ilmu Pendidikan Islam II. Bandung: CV Pustaka Setia, Cet. II,
1999.
Uno, Hazah B. Perencanaan Pembelajaran. Jakarta: Bumi Aksara, Cet. VI ,
2010.
Yunus, Mahmud. Kamus Arab-Indonesia. Jakarta: Hidakarya Agung, 1990.
79
Yusuf, Kadar M. Tafsir Tarbawi: Pesan-Pesan Al-Qur’an Tentang Pendidikan.
Jakarta: AMZAH, 2013.
مدينة نصر: مكتبة الدار العربية الكتاب، ،تعلين الدين الإسلاهى : بين النظرية و التطبيقحسن شحاتة،
3991
391. (، ص3991)مصر : دار المعارف بمصر ، التربية فى الإسلام ، أحمد فؤاد الأحوانى ،
LEMBAR UJI REFERENSI
Nama : Fathurrohmah Aviciena
NIM : 1111011000059
Fakultas : Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
Jurusan : Pendidikan Agama Islam
Judul : Tafsir Surat Ibrâhîm Ayat 18, Surat Al-Baqarah Ayat 68, dan
Surat Yȗsȗf Ayat 41: (Kajian Tentang Metode Amśâl dalam
Pembelajaran Agama Islam).
No Judul Buku No.
Footnote
Halaman
Skripsi
Paraf
Pembimbing
BAB I 1 Abudin Nata, Studi Islam
Komprehensif, (Jakarta: Prenada
Media Group, 2011), h. 207
1 1
2 Abudin Nata, Filsafat
Pendidikan Islam, (Jakarta:
Gaya Media Pratama, 2005), h.
103
2 1
3 Departemen Agama RI, Al-
Qur’an dan Terjemahnya
Special for Women, (Bandung:
Syamil Al-Qur’an, 2007), h.
564, dan 283
3 dan 8 2
4 Musthafa Husni Assiba’i,
Kehidupan Sosial Menurut
Islam, (Bandung: Diponegoro,
1993), Cet III, h. 112
4 2
5 M.Quraish Shihab, Lentera Al-
Qur’an, (Jakarta: PT Mizan
Pustaka, 2008), Cet. II, h.21 dan
26
5 dan 6 2
6 Sapiuddin Shiddiq, Ushul Fiqh,
(Jakarta: KENCANA, 2011), h.
25
7 2
7 M. Quraish Shihab,
Membumikan Al-Qur’an,
(Bandung: Mizan, 2003), cet.
IV, h. 21
9 3
8 Abudin Nata, Sejarah
Pendidikan Islam, (Jakarta:
Grafindo Persada, 2012), cet. III,
10 3
h. 12
9 Ulil Amri Syafri, Pendidikan
Karakter Berbasis Al-Qur’an,
(Jakarta: Rajawali Press, 2012),
h. 59-60
11 3
10 Ernawati Azizi, “Keberhasilan
Pendidikan Perspektif Al-
Qur’an”, Jurnal At-Tarbawi
Kajian Kependidikan Islam,
Vol.2, 2005, h. 109
12 3
11 Ara Hidayat dan Imam Machali,
Pengelolaan Pendidikan:
Konsep, Prinsip, dan Aplikasi
dalam Mengelola Sekolah dan
Madrasah, (Yogyakarta:
Kaukaba, 2012), h. 29
13, 16 4
12 Alisuf Sabri, Pengantar Ilmu
Pendidikan, (Jakarta: UIN
Jakarta PRESS, 2005), h. 7
14 4
13 Abudin Nata, Ilmu Pendidikan
Islam, (Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2012),
Cet. II, h. 28 dan 31
15, 34
dan 35
4, 5, 8
dan 9
14 Hasan Bashri, Filsafat
Pendidikan Islam, (Bandung:
Pustaka Setia, 2009) h. 14
17 5
15 Moh. Roqib, Ilmu Pendidikan
Islam: Pengembangan
Pendidikan Integratif di Sekolah,
Keluarga, dan Masyarakat,
(Yogyakarta: LKiS Printing
Cemerlang, 2011), h. 17, 21 dan
27
18, 25
dan 31
5, 6 dan 7
16 M. Arifin, Ilmu Pendidikan
Islam: Tinjauan Teoritis dan
Praktis Berdasarkan Pendekatan
Interdisipliner, (Jakarta: Bumi
Aksara, 2003), h. 22 dan 144
19 dan
26
5 dan 7
17 Ramayulis, Metodologi
Pendidikan Agama Islam,
(Jakarta: Kalam Mulia, 2005),
Cet. IV, h. 21 dan 22
20 dan
32
5 dan 8
18 Abudin Nata, Pendidikan Dalam
Perspektif Al-Qur’an, (Jakarta:
UIN Jakarta PRESS, 2005), h.
15
21 6
19 TB Aat Syafa’at, Sohari Sahrani
dan Muslih, Peranan Pendidikan
Agama Islam Dalam Mencegah
Kenakalan Remaja(Juvenile
Delinquency), (Jakarta: Rajawali
Press, 2008), h. 40-47
22 dan 6
20 Armai Arief, Pengantar Ilmu
dan Metodologi Pendidikan
Islam, (Jakarta: Ciputat Press,
2002) , h. 22
23, 24
dan 30
6
21 Abdurrahman An-Nahlawi,
Pendidikan islam di Rumah
Sekolah dan Masyarakat, terj:
Shihabuddin, (Jakarta: Gema
Insani, 1995), h. 204, 24 dan 117
26, 27
dan 33
6, 7 dan 8
22 Jejen Musfah, “Metode
Pendidikan dalam Perspektif
Islam”, TAHDZIB Jurnal
Pendidikan Agama Islam, Vol.3,
2009, h. 107
29 7
BAB II 23 Pusat Bahasa Departemen
Pendidikan Nasional, Kamus
Besar Bahasa Indonesia: Edisi
Keempat, (Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2008) h. 910,
23, 908, 59, 1062, 1055, 695
1, 13, 17,
31, 33,
35, 37
dan 38
13, 16,
17, 21,
22 dan 23
24 M. Arifin, Ilmu Pendidikan
Islam (Tinjauan Teoritis dan
Praktis Berdasarkan Pendekatan
Interdisipliner), (Jakarta: Buna
Aksara, 2005) Cet. I, h. 65, 157
2, 30, 32
dan 48
13, 21
dan 27
25 Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan
Islam II, (Bandung: CV Pustaka
Setia, 1999), Cet. II, h. 99
3 14
26 TB Aat Syafa’at,Sohari Sahrani
dan Muslih, Peranan Pendidikan
Agama Islam Dalam Mencegah
Kenakalan Remaja (Juvenile
Delinquency), (Jakarta: Rajawali
Press, 2008), h. 39
4 14
27 Abdul Majid, Strategi
Pembelajaran, (Bandung: Rosda
Karya, 2013), h. 193
5 14
28 Abudin Nata, Filsafat 6 14
Pendidikan Islam, (Jakarta:
Gaya Media Pratama, 2005) h,
143
29 Abudin Nata, Prespektif Islam
Tentang Strategi Pembelajaran,
(Jakarta: Kencana, 2009), h. 176,
87
7 dan 20 14 dan 17
30 Zakiyah Daradjat, Metodik
Khusus Pengajaran Agama
Islam, (Jakarta: Bumi Aksara,
1995) h. 1
8 14
31 Moh. Roqib, Ilmu Pendidikan
Islam: Pengembangan
Pendidikan Integratif di Sekolah,
Keluarga, dan Masyarakat,
(Yogyakarta: LKiS Group,
2011), h. 91
9 15
32 Ahmad Tafsir, Metodologi
Pengajaran Agama Islam,
(Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2003), Cet. VII, h.
9
10 15
33 Kadar M. Yusuf, Tafsir
Tarbawi: Pesan-Pesan Al-
Qur’an Tentang Pendidikan,
(Jakarta: AMZAH, 2013), h.
114, 118-119, 121
11, 26,
59 dan
60
15, 19,
30 dan
31
34 Ramayulis, Metodologi
Pendidikan Agama Islam,
(Jakarta: Kalam Mulia, 2005),
Cet. IV, h. 2-3
12 15
35 Muhibbin Syah, Psikologi
Pendidikan Dengan Pendekatan
Baru, (Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2011), Cet. XVII,
h. 88.
14 16
36 Muhibbin Syah, Psikolgi
Belajar, (Jakarta: Logos Wacana
Ilmu, 2001) Cet. III, h. 60
15 16
37 Yatim Riyanto, Paradigma Baru
Pembelajaran: Sebagai
Referensi Bagi Pendidik Dalam
Implementasi Pembelajaran
Yang Efektif dan Berkualitas,
(Jakarta: Prenada Media Group,
2009) h. 5-6
16 16
38 Rusman, Model-Model
Pembelajaran:Mengembangkan
Profesionalisme Guru, (Jakarta:
Rajawali Pers, 2013), h. 1
18 17
39 Hamzah B. Uno, Perencanaan
Pembelajaran, (Jakarta: Bumi
Aksara, 2010), Cet. VI, h. 2
19 17
40 Jejen Musfah, “Metode
Pendidikan dalam Perspektif
Islam”, TAHDZIB Jurnal
Pendidikan Agama Islam, Vol.3,
2009, h. 107
21, 28
dan 33
18, 19
dan 21
41 Syaikh Manna’ Al-Qaththan,
Pengantar Studi Ilmu Qur’an,
Terj. Mifdhol Abdurrahman dan
Aunur Rofiq El-Mazni, (Jakarta:
Pustaka Al-Kautsar, 2006), h.
353, 354, 355, 352, 362
22, 23,
27, 43,
65 dan
66
18, 19,
26 dan 32
42 Hasani Ahmad Syamsuri, Studi
Ulumul Qur’an, (Jakarta: Zikra-
Press, 2009), h. 173-174, 183-
184
24, 25
dan 62
18 dan 31
43 Jamaluddin Abi Al-Fadhli
Muhammad, Lisânul ‘Arab,
(Beirut Libanon: Dar Al Kotob
Al-Ilmiyah, 2003) vol. 2, h. 446
29 21
44 Muhammad Quthb, Minhaj al-
Tarbiyah al-Islâmiyah.
31 21
تعلين الدين الإسلاهى : بين حسن شحاتة، 45، )مدينة نصر: مكتبة النظرية و التطبيق
، ص. 3(، ط 3991الدار العربية الكتاب،
65-65
34, 35
dan 36
22 dan 23
التربية فى الإسلام ، أحمد فؤاد الأحوانى ، 46(، ص. 3951)مصر : دار المعارف بمصر ،
351
37 24
47 Abdurrahman An-Nahlawi,
Pendidikan islam di Rumah
Sekolah dan Masyarakat, terj:
Shihabuddin, (Jakarta: Gema
Insani, 1995), h.252-259
32, 38
dan 61
21, 24
dan 31
48 Quraish Shihab, Kaidah Tafsir:
Syarat, Ketentuan, dan Aturan
Yang Patut Anda Ketahui Dalam
Memahami Al-Qur’an, (Jakarta:
Lentera Hati, 2013), Cet. II, h.
265
36 20
49 Sapiuddin Shiddiq, Ushul Fiqh,
(Jakarta: Kencana, 2011), h. 69,
71, 72
48, 49,
52, 53,
54 dan
55
27, 28,
dan 29
50 Abdul Wahab Khallaf, Kaidah-
Kaida Hukum Islam: Ilmu
Ushulul Fiqh, Terj. Noer
Iskandar al-Barsany dan Moh
Tolchah Mansoer, (Jakarta:
Grafindo Persada, 2002), Cet.
VIII, h. 74
50 28
51 Sulaiman Abdullah, Sumber
Hukum Islam: Permasalahan
dan Fleksibilitasnya, (Jakarta:
Sinar Grafika, 2007), Cet. III, h.
82
51 28
52 Ahmad Syadali dan Ahmad
Rofi’i, Ulumul Qur’an II,
(Bandung: Pustaka Setia, 2002),
cet. II, h. 35-36
56 30
53 Hasbi Ash-Shidiieqy, Ilmu-Ilmu
Al-Qur’an: Media-Media Pokok
Dalam Menafsirkan Al-Qur’an,
(Jakarta: Bulan Bintang, 1988)
Cet. II, h. 175
63 31
54 Didin Saefudin Buchori,
Pedoman Memahami
Kandungan Al-Qur’an, (Bogor:
Granada Sarana Pustaka, 2005),
h.167
64 32
55 Cindi Pratiwi, Metode
Pendidikan Dalam Prespektif
Al-Qur’an Kajian QS. An-Nahl
Ayat 125-127, (Jakarta: UIN
Jakarta, 2014)
67 33
56 Zain Fannani, Tafisr Surat An-
Nahl Ayat 125 (Kajian Tentang
Metode Pembelajaran), (Jakarta:
UIN Jakarta, 2014)
68 33
BAB III 57 U. Maman Kh, dkk., Metodologi
Penelitian Agama Teori dan
Praktek, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada Press, 2006), h. 80
1 33
58 Imam Gunawan, Metode
Penelitian Kualitatif Teori dan
2 34
Praktik, (Jakarta: Bumi Aksara,
2013), h. 209
59 Abudin Nata, Metodologi Studi
Islam, (Jakarta: Rajawali Press,
2011), h. 219
3 dan 4 34
60 Sugiyono, Metode Penelitian
Kuantitatif, Kualitatif dan
Kombinasi (Mixed Methods),
(Bandung: Alfabeta, 2011),
h.287
5 34
61 Abudin Nata, Studi Islam
Komprehensif, (Jakarta: Prenada
media Group, 2011) h, 169
6, 7, 8
dan 9
35 dan 36
62 Nasaruddin Baidan, Metodologi
Penafsiran Al-Qur’an,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
1998), h. 31
10 30
63 Manna’ Al-Qaththan, Pengantar
Studi Ilmu Qur’an, Terj. Mifdhol
Abdurrahman dan Aunur Rofiq
El-Mazni, (Jakarta: Pustaka Al-
Kautsar, 2006), h. 352
11 37
64 Quraish Shihab, Kaidah Tafsir:
Syarat, Ketentuan dan Aturan
Yang Patut Anda Ketahui Dalam
Memahami Al-Qur’an, (Jakarta:
Lentera Hati, 2013), Cet. II,h.
267
12, dan
13
37
BAB IV 65 Departemen Agama RI, Al-
Qur’an dan Terjemahnya
Special for Women, (Bandung:
Syamil Al-Qur’an, 2007), h.
257, 10, 41
1, 29 dan
59
38, 48
dan 54
66 Mahmud Yunus, Kamus Arab-
Indonesia, (Jakarta: Hidakarya
Agung, 1990), h. 410, 147, 192,
149, 373, 127, 69, 287 dan 173
2, 6, 9,
11, 15,
31, 32,
40 dan
62
33, 34,
35, 40,
42 dan 48
67 Ahmad Warson Munawwir, Al-
Munawwir: Kamus Bahasa
Arab-Indonesia Terlengkap,
(Surabaya: Pustaka Progresif,
1997), h.1309, 531, 702, 544,
406, 1047, 613, 787, 1130,1034
3, 7, 10,
12, 30,
33, 60,
63, 64
dan 65
33, 34,
40, 48
dan 49
68 Jamaluddin Abi Al-Fadhli
Muhammad, Lisânul ‘Arab,
(Beirut Libanon: Dar Al Kotob
Al-Ilmiyah, 2003) vol. 11, h.
726-727
4 33
69 Ahmad Al-Hasyim, Jawahir al-
balaghah Fi al-Ma’ani wa al-
Bayani wa al-Badi’, (Indonesia:
maktabah Daar Ihya al-Kutub al-
Arabiyyah, 1960), h.248
5 34
70 Jamaluddin Abi Al-Fadhli
Muhammad, Lisânul ‘Arab,
(Beirut Libanon: Dar Al Kotob
Al-Ilmiyah, 2003) vol. 3, h. 228
8 34
71 Jamaluddin Abi Al-Fadhli
Muhammad, Lisânul ‘Arab,
(Beirut Libanon: Dar Al Kotob
Al-Ilmiyah, 2003) vol. 2, h. 543,
1905
13 dan
14
34
72 Jamaluddin Abi Al-Fadhli
Muhammad, Lisânul ‘Arab,
(Beirut Libanon: Dar Al Kotob
Al-Ilmiyah, 2003) vol. 1, h. 840
16 35
73 Departemen Agama RI, Al-
Qur’an dan Tafsirnya (Edisi
Yang Disempurnakan) , Jilid. V,
(Jakarta: Lentera Abadi, 2010),
h. 135, 136
17, 18,
19 dan
21
35, 36
dan 37
74 Quraish Shihab, Tafsir Al-
Misbah: Pesan, Kesan dan
Keserasian Al-Qur’an, vol. 6
(Jakarta: Lentera Hati, 2002), h.
349, 350, 267
20, 23,
24, 27,
68 dan
70
36, 37,
38, 50
dan 51
75 Muhammad Nasib Ar-Rifa’I,
Kemudahan dari Allah:
Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir,
Terj. Syihabuddin, jilid. 2
(Jakarta: Gema Insani Press,
1999), h.948-949
22, 26 37, 38
76 Abu Ja’far Muhammad bin Jarir
Ath-Thabari, Tafsir Ath-Thabari,
Terj. Ahsan Askan, , jilid. 15
(Jakarta: Pustaka Azzam, 2007),
h. 480
25 38
77 Quraish Shihab, Al-Lubâb:
Makna, Tujuan, dan Pelajaran
28 39
Surah-Surah Al-Qur’an,
(Tangerang: Lentera Hati, 2012),
h. 96
78 Jamaluddin Abi Al-Fadhli
Muhammad, Lisânul ‘Arab,
(Beirut Libanon: Dar Al Kotob
Al-Ilmiyah, 2003) vol. 7, h. 229
34 dan
36
41
79 Abu Ja’far Muhammad bin Jarir
Ath-Thabari, Tafsir Ath-Thabari,
Terj. Ahsan Askan, jilid. 2
(Jakarta: Pustaka Azzam, 2007),
h. 71, 73, 74, 70, 77
35, 37,
41, 53
dan 57
41, 42,
46 dan 47
80 Jamaluddin Abi Al-Fadhli
Muhammad, Lisânul ‘Arab,
(Beirut Libanon: Dar Al Kotob
Al-Ilmiyah, 2003) vol. 4, h. 91
38 41
81 Muhammad bin Ali bin
Muhammad Asy-Syaukani,
TafsirFathul Qadir, Terj. Amir
Hamzah Fachruddin dan Asep
Saefullah, jilid. 1, (Jakarta:
Pustaka Azzam, 2008), h. 382,
381
39, 51
dan 58
42, 45
dan 47
82 Jamaluddin Abi Al-Fadhli
Muhammad, Lisânul ‘Arab,
(Beirut Libanon: Dar Al Kotob
Al-Ilmiyah, 2003) vol. 13, h.
364, 247
42 dan
61
42 dan 48
83 Departemen Agama RI, Al-
Qur’an dan Tafsirnya (Edisi
Yang Disempurnakan),jilid.1,
(Jakarta: Lentera Abadi, 2010),
h. 127
43, 47
dan 49
43, 44
dan 46
84 Quraish Shihab, Tafsir Al-
Misbah: Pesan, Kesan dan
Keserasian Al-Qur’an, vol. 1,
(Jakarta: Lentera Hati, 2002), h.
267, 269
44, 45,
48, 52,
55
43, 44,
45, 46
85 Mumahammad Nashib Ar-
Rifa’I, Kemudahan dari Allah:
Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir,
Terj., Budi Permadi, jilid.1,
(Jakarta: Gema Insani 2011), h.
119, 857-858
46, 72
dan 78
44, 51
dan 53
86 Hamka, Tafsir Al-Azhar, juz.1,
(Jakarta: Pustaka Panjimas,
50, 54
dan 56
45, 46
dan 47
2001), h. 283-284
87 Jamaluddin Abi Al-Fadhli
Muhammad, Lisânul ‘Arab,
(Beirut Libanon: Dar Al Kotob
Al-Ilmiyah, 2003) vol. 15, h.
170
66 49
88 Departemen Agama RI, Al-
Qur’an dan Tafsirnya (Edisi
Yang Disempurnakan), Jilid. IV,
(Jakarta: Lentera Abadi, 2010),
h. 531
67 dan
71
50 dan 51
89 Muhammad Ahmad Isawi,
Tafsir Ibnu Mas’ud: Studi
Tentang Ibnu Mas’ud dan
Tafsirnya, Terj. Ali Murtadho
Syahudi, (Jakarta: Pustaka
Azzam, 2009), h. 604
69 dan
77
50 dan 53
90 Abu Ja’far Muhammad bin Jarir
Ath-Thabari, Tafsir Ath-Thabari,
Terj. Ahsan Askan, jilid. 14,
(Jakarta: Pustaka Azzam, 2007),
h. 690, 691, 694
73, 74,
75 dan
76
52 dan 53
91 Abdurrahman An-Nahlawi,
Pendidikan Islam di Rumah
Sekolah dan Masyarakat, Terj.
Shihabuddin, (Jakarta: Gema
Insani Press, 1995), Cet. I, h.
256
79 55
92 Al-Hafidz Dzaqiyuddin Abdul
Adzim bin Abdul Qawi Al-
Mundziri, Muktashar Shahih
Muslim (Ringkasan Shahih
Muslim), Terj. Pipih Imran
Nurtsani, Lc dan Fitri Nurhayati,
Lc, (Solo: Insan Kamil, 2012), h.
933-934
80 56
93 Hasani Ahmad Syamsuri, Studi
Ulumul Qur’an, (Jakarta:
Penerbit Zikra Press, 2009), Cet.
I, h. 179, 181
81, 83
dan 84
59 dan 61
94 Manna’ Al-Qaththan, Pengantar
Ilmu Studi Al-Qur’an, Terj.
Mifdhol Abdurrahman, (Jakarta:
Pustka Al-Kausar, 2005), Cet.I,
h. 358, 359
82 dan
85
59 dan 62