80
UNIVERSITAS INDONESIA WACANA DAN IMPLEMENTASI PROTEKSIONISME PERDAGANGAN INTERNASIONAL DI SEKTOR PERTANIAN MELALUI BERBAGAI TEMA FAIR TRADE TUGAS KARYA AKHIR Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sosial pada Program Studi Ilmu Hubungan Internasional SABIL PERBAWA 1006764201 FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK PROGRAM STUDI ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL DEPOK JUNI 2014 Wacana dan..., Sabil Perbawa, FISIP UI, 2014

TA-Sabil Perbawa.pdf

  • Upload
    lykhanh

  • View
    243

  • Download
    12

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: TA-Sabil Perbawa.pdf

UNIVERSITAS INDONESIA

WACANA DAN IMPLEMENTASI PROTEKSIONISME

PERDAGANGAN INTERNASIONAL DI SEKTOR PERTANIAN

MELALUI BERBAGAI TEMA FAIR TRADE

TUGAS KARYA AKHIR Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sosial pada

Program Studi Ilmu Hubungan Internasional

SABIL PERBAWA

1006764201

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

PROGRAM STUDI ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL

DEPOK

JUNI 2014

Wacana dan..., Sabil Perbawa, FISIP UI, 2014

Page 2: TA-Sabil Perbawa.pdf

ii

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Tugas Karya Akhir ini adalah hasil karya saya sendiri,

dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk

telah penulis nyatakan dengan benar.

Nama : Sabil Perbawa

NPM : 1006764201

Tanda tangan :

Tanggal : 20 Juni 2014

Wacana dan..., Sabil Perbawa, FISIP UI, 2014

Page 3: TA-Sabil Perbawa.pdf

iii

HALAMAN PENGESAHAN

Tugas Karya Akhir ini diajukan oleh :

Nama : Sabil Perbawa

NPM : 1006764201

Program Studi : Ilmu Hubungan Internasional

Judul TKA :

“Wacana dan Implementasi Proteksionisme Perdagangan Internasional di Sektor

Pertanian melalui Berbagai Tema Fair Trade”

Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima

sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar

Sarjana Sosial pada Program Studi Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas

Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia

DEWAN PENGUJI

Ketua Sidang : Dra. Nurul Isnaeni, M.A. ( )

Sekretaris Sidang : Andrew W. Mantong, S.Sos., M.Sc. ( )

Pembimbing : Asra Virgianita, S.Sos., M.A. ( )

Penguji Ahli : Shofwan A.B. Choiruzzad, S.Sos., M.A., Ph.D. ( )

Ditetapkan di : Depok

Tanggal : 20 Juni 2014

Wacana dan..., Sabil Perbawa, FISIP UI, 2014

Page 4: TA-Sabil Perbawa.pdf

iv

KATA PENGANTAR

Sebelum memulai studi pustaka untuk pembuatan Tugas Karya Akhir ini,

penulis tertarik dengan pernyataan Candace Archer dan Stefan Fritsch yang

mengeluhkan minimnya perhatian Ekonomi Politik Internasional terhadap fair

trade, khususnya studi tentang Fair Trade Movement dan Fair Trade Laws.

Ekonomi Politik Internasional sendiri adalah sub-domain Ilmu Hubungan

Internasional yang muncul pada tahun 1970-an. Melihat keluhan ini, penulis

terpacu untuk membantu Archer dan Fritsch dalam meramaikan khazanah

Ekonomi Politik Internasional dengan tulisan tentang fair trade. Penulis melihat

banyak hal menarik sekaligus menantang yang bisa dieksplorasi dari fair trade

dalam lingkup kajian Ekonomi Politik Internasional.

Fair trade bukan merupakan fenomena baru dalam perdagangan

internasional. Perkembangan fair trade dimulai dari dua Negara, yaitu Belanda

dan Amerika Serikat, yang masing-masing kemudian menghasilkan Fair Trade

Movement dan Fair Trade Laws. Lalu, pada tahun 2005, muncul Fair Trade

menurut Stiglitz di Amerika Serikat, yang diajukan oleh Joseph Eugene Stiglitz.

Studi tentang fair trade ini masih jarang dilakukan, padahal isu fair trade

tidak hanya melibatkan negara maju akan tetapi juga negara berkembang dan

Least Developed Countries. Oleh karena itu studi ini diharapkan memberikan

sumbangsih dalam memahami perkembangan wacana dan perdebatan tentang fair

trade khususnya di sektor pertanian yang dilakukan oleh negara maju, negara

berkembang, dan Least Developed Countries.

Walau demikian, penulis menyadari bahwa Tugas Karya Akhir ini masih

jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis sangat terbuka terhadap semua saran,

masukan, dan kritik yang konstruktif untuk dapat membuat tulisan ini menjadi

lebih baik lagi. Penulis berharap bahwa TKA ini bermanfaat bagi pembaca, dan

juga memperkaya kajian tentang fair trade dalam studi Ilmu Hubungan

Internasional, terutama dalam sub-domain Ekonomi Politik Internasional.

Depok, 20 Juni 2014

Sabil Perbawa

Wacana dan..., Sabil Perbawa, FISIP UI, 2014

Page 5: TA-Sabil Perbawa.pdf

v

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas rahmatnya

penulis dapat menyelesaikan TKA ini yang berjudul “Wacana dan Implementasi

Proteksionisme Perdagangan Internasional di Sektor Pertanian melalui Berbagai

Tema Fair Trade”. Penulis menyadari sangatlah sulit untuk menyelesaikan TKA

ini tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Untuk itu, penulis

mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada:

1. Asra Virgianita, S.Sos., M.A. selaku dosen pembimbing yang telah

memberikan banyak masukan dan arahan kepada penulis selama dalam

proses penulisan tugas karya akhir ini. Penulis merasa sangat terberkati

dengan adanya bimbingan, masukan, dan arahan dari beliau.

2. Shofwan Al Banna Choiruzzad, S.Sos., M.A., Ph.D. selaku penguji ahli

yang telah memberikan masukan, saran, sanggahan dan koreksi sehingga

TKA ini dapat lebih baik. Masukan yang diberikan tidak hanya bermanfaat

bagi Tugas Karya Akhir ini, namun juga bagi kajian fair trade selanjutnya.

3. Dra. Nurul Isnaeni, M.A. dan Andrew Wiguna Mantong, S.Sos, M.Sc.

selaku ketua sidang dan sekretaris sidang, sekaligus pengajar colloquium

yang sudah membina penulis dan teman-teman seperjuangan colloquium

lainnya tentang bagaimana menulis karya akhir berformat literature review.

Terima kasih juga untuk input-input substantif pada karya akhir ini.

4. Dra. Evi Fitriani, M.A., Ph.D. selaku pembimbing akademis.

5. Staf Pengajar Departemen Ilmu Hubungan Internasional FISIP UI, yang

telah mengajarkan mengenai cara menulis secara akademis.

6. Staf Administrasi Departemen Ilmu Hubungan Internasional FISIP UI, yang

seringkali direpotkan oleh penulis, terutama Mas Roni, Mas Andre, Pak

Dahlan, Mbak Ayu, dan Mbak Lina.

7. Teman-teman HI UI 2010, yang telah memberikan dukungan dan menjadi

keluarga yang baik selama penulis kuliah.

8. Pihak-pihak yang telah berkontribusi dalam perjalanan penulis selama 4

tahun belajar di Departemen Ilmu Hubungan Internasional FISIP UI.

Wacana dan..., Sabil Perbawa, FISIP UI, 2014

Page 6: TA-Sabil Perbawa.pdf

vi

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI

TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di

bawah ini:

Nama : Sabil Perbawa

NPM : 1006764201

Program Studi : Ilmu Hubungan Internasional

Departemen : Hubungan Intemasional

Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Jenis Karya : Tugas Karya Akhir

Demi perkembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada

Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive Royalty-

Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul:

“Wacana dan Implementasi Proteksionisme Perdagangan Internasional di

Sektor Pertanian melalui Berbagai Tema Fair Trade”

Beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti

Noneksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan,

mengalihmedia/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database).

Merawat, dan mempublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan

nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di : Depok

Pada tanggal : 20 Juni 2014

Yang menyatakan

(Sabil Perbawa)

Wacana dan..., Sabil Perbawa, FISIP UI, 2014

Page 7: TA-Sabil Perbawa.pdf

vii Universitas Indonesia

ABSTRAK

Nama : Sabil Perbawa

Program Studi : Ilmu Hubungan Internasional

Judul : Wacana dan Implementasi Proteksionisme Perdagangan

Internasional di Sektor Pertanian melalui Berbagai Tema Fair Trade

Kajian literatur ini menjelaskan bahwa kepentingan aktor Non-Governmental

Organization dan negara turut berperan dalam pemilihan tema fair trade yang diadopsi

oleh berbagai aktor dalam hubungan internasional. Masuknya fair trade ke dalam

proteksionisme tidak lepas dari adanya publisitas negatif terhadap salah satu tema fair

trade. Kajian ini memetakan tiga tema utama dari fair trade, yakni: Fair Trade

Movement, Fair Trade Laws, dan Fair Trade menurut Stiglitz. Kajian literatur ini juga

menemukan bahwa dari tiga istilah tersebut terindikasi bahwa Fair Trade Movement

mungkin proteksionisme, Fair Trade Laws adalah proteksionisme, dan Fair Trade

menurut Stiglitz bukanlah proteksionisme.

------

Kata kunci:

Fair Trade, Sektor Pertanian, Protektionisme, Perdagangan Internasional.

Wacana dan..., Sabil Perbawa, FISIP UI, 2014

Page 8: TA-Sabil Perbawa.pdf

viii Universitas Indonesia

ABSTRACT

Name : Sabil Perbawa

Study Program: International Relations

Title : Discourse and Implementation of International Trade

Protectionism in the Agricultural Sector through Various Themes of

Fair Trade

This literature review explains that the interests of Non-Governmental Organizations

and state played a role in the selection of fair trade theme adopted by various actors in

international relations. The inclusion of fair trade into protectionism is caused by

negative publicity against one of the themes of fair trade. This literature review

identifies three major themes of Fair Trade. They are Fair Trade Movement, Fair Trade

Laws, and Fair Trade according to Stiglitz. This literature review found that the Fair

Trade Movement could be protectionism, Fair Trade Laws is protectionism, and Fair

Trade in general is not protectionism.

------

Keywords:

Fair Trade, Agricultural Sector, Protectionism, International Trade.

Wacana dan..., Sabil Perbawa, FISIP UI, 2014

Page 9: TA-Sabil Perbawa.pdf

ix Universitas Indonesia

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ........................................................................................................ i

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS .......................................................... ii

HALAMAN PENGESAHAN ....................................................................................... iii

KATA PENGANTAR ................................................................................................... iv

UCAPAN TERIMA KASIH .......................................................................................... v

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS

AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ...................................................... vi

ABSTRAK .................................................................................................................... vii

ABSTRACT ................................................................................................................ viii

DAFTAR ISI .................................................................................................................. ix

DAFTAR TABEL ........................................................................................................... x

DAFTAR GAMBAR ..................................................................................................... xi

GLOSARIUM ............................................................................................................... xii

BAB 1. GAMBARAN UMUM ..................................................................................... 1 1.1. Pengantar ....................................................................................................... 1

1.2. Definisi dan Posisi Fair Trade dalam Hubungan Internasional ................... 5

BAB 2. PERDEBATAN DAN KETERKAITAN FAIR TRADE DENGAN

PROTEKSIONISME DALAM PERDAGANGAN INTERNASIONAL . 11

2.1. Ragam Wacana yang Menggunakan istilah Fair Trade: Fair Trade

Movement, Fair Trade Laws, dan Fair Trade Menurut Stiglitz dalam

konteks Proteksionisme dan Free Trade ..................................................... 11

2.2. Keterkaitan Fair Trade dengan Proteksionisme dalam Perdagangan

Internasional ................................................................................................ 19

2.2.1 Fair Trade Movement dan Proteksionisme ................................... 19

2.2.2 Fair Trade Laws dan Proteksionisme ............................................ 23

2.2.3 Fair Trade Menurut Stiglitz dan Proteksionisme .......................... 24

BAB 3. FAIR TRADE DAN PROTEKSIONISME DI SEKTOR PERTANIAN

DALAM KERANGKA AGREEMENT ON AGRICULTURE ................... 27

3.1. Proteksionisme Perdagangan Internasional Di Sektor Pertanian melalui

Tiga Pilar Agreement on Agriculture .......................................................... 27

3.2. Perkembangan Gagasan Proteksionisme Sektor Pertanian di

Least Developed Countries ......................................................................... 36

3.3. Perkembangan Gagasan Proteksionisme Sektor Pertanian

di Negara Maju............................................................................................ 45

BAB 4. KESIMPULAN............................................................................................... 49

DAFTAR REFERENSI ................................................................................................ 51

LAMPIRAN .................................................................................................................. 55

Wacana dan..., Sabil Perbawa, FISIP UI, 2014

Page 10: TA-Sabil Perbawa.pdf

x Universitas Indonesia

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1: Perbandingan Antara Fair Trade Laws, Fair Trade Movement, Fair Trade

menurut Stiglitz, dan Free Trade ................................................................. 18

Tabel 2.2: Pembayaran Premium Fair Trade Movement di Amerika Serikat kepada

Produsen di Negara-negara Berkembang dan LDCs (1998–2012) .............. 21

Tabel 3.1: Produk yang Termasuk Kedalam Agreement on Agriculture, Sesuai dengan

Standarisasi WCO ........................................................................................ 34

Wacana dan..., Sabil Perbawa, FISIP UI, 2014

Page 11: TA-Sabil Perbawa.pdf

xi Universitas Indonesia

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1: Posisi Fair Trade dalam Kajian Ekonomi Politik Internasional ............... 10

Gambar 2.1: Hubungan Antara Free Trade, Proteksionisme, Fair Trade Movement, dan

Fair Trade Law Menurut Sean D. Ehrlich ................................................ 16

Gambar 2.2: Posisi Fair Trade Movement dan Fair Trade Law dalam Pengkontrasan

antara Proteksionisme dan Free Trade Menurut Geoff Moore ................. 16

Gambar 2.3: Hubungan Antara Free Trade, Fair Trade menurut Stiglitz, Fair Trade

Movement, Fair Trade Laws, dan Proteksionisme .................................... 17

Gambar 2.4: Keterkaitan Fair Trade Movement, Fair Trade Laws, dan Fair Trade

Menurut Stiglitz dengan Proteksionisme ................................................... 26

Gambar 3.1: Visualisasi Potensi ODC sebagai Instrumen Proteksionisme .................... 33

Gambar 3.2: Visualisasi Mengenai Perdebatan Proteksionisme Sektor Pertanian di

Negara Maju, Negara Berkembang, dan LDC .......................................... 48

Wacana dan..., Sabil Perbawa, FISIP UI, 2014

Page 12: TA-Sabil Perbawa.pdf

xii Universitas Indonesia

GLOSARIUM

AFL American Federation of Labor

AFL–CIO American Federation of Labor and Congress of Industrial Organizations

AGST Agricultural Supporting Tables

AHTN ASEAN Harmonized Tariff Nomenclature

AMS Aggregate Measurement of Support

ATF Agreement on Trade Facilitation

BTKI Buku Tarif Kepabeanan Indonesia

BWIs Bretton Woods Institutions

CDP Committee for Development Policy

EBA Everything But Arms

EFTA European Fair Trade Association

EPI Ekonomi Politik Internasional

EVI Economic Vulnerability Index

FINE FLO, IFTA, NEWS!, EFTA

FLO Fairtrade Labelling Organizations International

FTA Free-Trade Agreement

FTL Fair Trade Laws

FTM Fair Trade Movement

GATT General Agreement on Tariffs and Trade

GNI Gross National Income

GSP Generalized System of Preferences

HAI Human Assets Index

HS-6 Harmonized System-6

IFAD International Fund for Agricultural Development

IFAT International Federation for Alternative Trade

IMF International Monetary Fund

LDC Least Developed Country

LDCs Least Developed Countries

LLDCs Landlocked Developing Countries

MFN Most Favoured Nation

Wacana dan..., Sabil Perbawa, FISIP UI, 2014

Page 13: TA-Sabil Perbawa.pdf

xiii Universitas Indonesia

MNC Multinational Corporation

NEWS! Network of European World Shops

NGO Non-Governmental Organization

NGOs Non-Governmental Organizations

ODC Other Duties and Charges

OECD Organisation for Economic Co-operation and Development

PTA Preferential Trade Agreement

SCM Subsidies and Countervailing Measures

SIDS Small Island Developing States

SPLs Social Product Labels

SPS Sanitary and Phytosanitary

UN United Nations

UNCTAD United Nations Conference on Trade and Development

UN-ECOSOC United Nations Economic and Social Council

UN-OHRLLS United Nations Office of the High Representative for the Least

Developed Countries, Landlocked Developing Countries and Small

Island Developing States

TLL Tariff Line Level

UPDHI Unit Perpustakaan dan Dokumentasi Hubungan Internasional

VER Voluntary Export Restraints

WCO World Customs Organization

WTO World Trade Organization

Wacana dan..., Sabil Perbawa, FISIP UI, 2014

Page 14: TA-Sabil Perbawa.pdf

1

Universitas Indonesia

BAB 1

GAMBARAN UMUM

“Laboratorium sejarah telah menunjukkan bahwa free trade yang simetris, yaitu

free trade antara bangsa-bangsa di tingkat pembangunan yang relaif sama, akan

menguntungkan kedua belah pihak. Sedangkan free trade yang asimetris akan

mengarah pada negara miskin yang mengkhususkan diri dalam menjadi miskin,

sementara negara kaya akan mengkhususkan diri dalam menjadi kaya. Untuk

mendapatkan keuntungan dari free trade, negara miskin harus terlebih dahulu

membersihkan diri mereka dari pengkhususan menjadi miskin di tingkat

internasional. Selama 500 tahun hal ini tidak pernah terjadi tanpa intervensi pasar”

- Erik Steenfeldt Reinert, 2007, How Rich Countries Got Rich and Why Poor Countries Stay Poor, LS. -

1.1. Pengantar

Proteksionisme nerupakan salah satu cara membatasi perdagangan

antarnegara untuk kepentingan negara yang menerapkannya. Negara menerapkan

kebijakan proteksionisme dengan cara menutup pasarnya bagi negara-negara lain

dan membuat hambatan-hambatan perdagangan, sehingga transaksi perdagangan

berlangsung secara terbatas. Secara sederhana, proteksionisme, menurut

pendukungnya, adalah kebijakan perdagangan pemerintah yang dirancang untuk

membantu produsen domestik dalam melawan produsen asing di industri tertentu,

dengan cara menaikkan harga barang impor dan menurunkan biaya yang

dibebankan kepada produsen domestik, serta membatasi akses produsen asing ke

pasar domestik. Argumen yang mendukung proteksionisme contohnya adalah

pertahanan nasional, defisit perdagangan, ketenagakerjaan, infant industries, dan

fair trade.1 Namun, ahli ekonomi politik internasional (EPI) seperti Robert Gilpin

berpendapat bahwa proteksionisme akan membebankan perekonomian, karena

proteksionisme melindungi industri yang tidak kompetitif.

1 Suhail Abboushi, “Trade Protectionism: Reasons and Outcomes,” Competitiveness Review, 20,

no. 5 (2010), 387, http://search.proquest.com/docview/756100864?accountid=17242 (diakses pada

24 Maret 2014).

Wacana dan..., Sabil Perbawa, FISIP UI, 2014

Page 15: TA-Sabil Perbawa.pdf

2

Universitas Indonesia

Di sisi lain, free trade menurut Adam Smith dan David Ricardo adalah

penghapusan hambatan perdagangan agar barang dapat bebas bergerak, sehingga

memungkinkan pemanfaatan sumber daya dunia secara optimal. Teori free trade

berakar dari buku Adam Smith yang berjudul The Wealth of Nations. Adam Smith

percaya bahwa free trade akan memaksa aktor negara untuk melakukan

spesialisasi dan memanfaatkan sumber daya yang mereka miliki secara optimal.

Gilpin telah menyempurnakan teori Adam Smith dengan mengatakan

bahwa “Yang mendasari komitmen kaum liberal terhadap free trade adalah

keyakinan bahwa tujuan dari kegiatan ekonomi adalah untuk menguntungkan

konsumen dan memaksimalkan kekayaan global. Free trade juga memaksimalkan

pilihan konsumen, mengurangi harga, dan memfasilitasi efisiensi penggunaan

sumber daya yang langka di dunia”.2 Pertanian adalah salah satu sektor primer

strategis, selain sektor perikanan dan pertambangan. Namun, liberalisasi sektor

pertanian masih relatif tertinggal jika dibandingkan dengan sektor-sektor lain

dalam General Agreement on Tariffs and Trade (GATT). GATT adalah traktat

internasional yang menjadi mekanisme fundamental untuk mengatur perdagangan

internasional di sektor primer. Sektor lainnya yang diatur oleh GATT adalah

sektor sekunder. Berlangsungnya Multilateral Trade Negotiations ke-8 GATT,

tepatnya pada periode 1986-1994, yang lebih dikenal dengan nama Putaran

Uruguay, telah menciptakan Agreement on Agriculture (AoA).

AoA berlaku sejak berdirinya World Trade Organization (WTO) pada

tanggal 1 Januari 1995. Banyak penulis yang mengatakan bahwa AoA tidak

mengatasi masalah food security yang dialami oleh negara-negara berkembang

dan Least Developed Countries (LDCs), karena AoA melayani kepentingan

negara-negara maju dengan cara mengorbankan kepentingan negara-negara

berkembang dan LDCs. AoA telah gagal dalam mengurangi tingkat subsidi negara

maju secara signifikan dan dalam membuka pasar negara-negara maju terhadap

produk unggulan negara-negara berkembang dan LDCs. Negara maju seperti

Amerika Serikat telah diuntungkan dengan adanya AoA. Di saat yang sama, AoA

menuntut tarif yang lebih rendah dan pasar yang lebih terbuka di negara-negara

2 Robert Gilpin dan Jean M. Gilpin, “The Trading System,” Global Political Economy

Understanding the International Economic Order (Princeton: Princeton University Press, 2001),

198.

Wacana dan..., Sabil Perbawa, FISIP UI, 2014

Page 16: TA-Sabil Perbawa.pdf

3

Universitas Indonesia

berkembang dan LDCs, serta memaksakan tingkat subsidi yang rendah di negara-

negara berkembang dan LDCs. AoA juga terlalu menyamaratakan kebutuhan

khusus dari negara-negara berkembang dan LDCs. Negara berkembang yang

mempunyai keunggulan komparatif dalam memproduksi barang pertanian, seperti

Indonesia, telah dirugikan dengan adanya AoA.

WTO mendefinisikan LDCs sesuai dengan yang telah ditentukan oleh

United Nations (UN). Saat ini, ada 48 LDCs yang diakui oleh UN, dimana 33

diantaranya telah menjadi anggota WTO.3 Committee for Development Policy

(CDP) sebagai badan pendukung dari United Nations Economic and Social

Council (UN-ECOSOC) telah diberikan mandat untuk meninjau kategori LDCs

setiap 3 tahun sekali dan memantau perkembangan mereka setelah melampaui

kategori LDCs.

Identifikasi LDCs saat ini didasarkan pada tiga kriteria, yaitu: Gross

National Income (GNI) per kapita, Human Assets Index (HAI), dan Economic

Vulnerability Index (EVI). Berdasarkan World Bank Atlas Method, suatu negara

akan masuk kategori LDCs apabila berpenghasilan rendah (rata-rata perkiraan tiga

tahun GNI per kapita di bawah US$992). Apabila ada LDCs yang telah

berpenghasilan tinggi (rata-rata perkiraan tiga tahun GNI per kapita di atas

US$1190), maka negara tersebut dapat dikeluarkan dari kategori LDCs. Jumlah

penduduk negara dengan kategori LDCs juga tidak boleh melebihi 75 juta orang.4

Namun, negara yang populasinya melebihi 75 juta orang dan sudah

dikategorisasikan menjadi LDCs sebelum tahun 1991 tetap dikategorisasikan

sebagai LDCs.5 Sehingga, negara seperti Republik Rakyat Bangladesh, Republik

Demokratik Federal Ethiopia, dan Republik Demokratik Kongo tetap

dikategorisasikan sebagai LDCs. Penurunan status dari negara berkembang

menjadi LDCs juga dapat terjadi, tetapi harus disetujui oleh negara itu sendiri.

Contohnya, pada tahun 2006, CDP menyarankan Zimbabwe menurunkan

3 World Trade Organization, “Least-Developed Countries,”

http://www.wto.org/english/thewto_e/whatis_e/tif_e/org7_e.htm (diakses pada 15 April 2014). 4 United Nations Office of the High Representative for the Least Developed Countries,

Landlocked Developing Countries and Small Island Developing States, “Criteria for Identification

and Graduation of LDCs,” http://unohrlls.org/about-ldcs/criteria-for-ldcs/ (diakses pada 15 April

2014). 5 United Nations, “Least Developed Countries Criteria,”

http://www.un.org/en/development/desa/policy/cdp/ldc/ldc_criteria.shtml#population (diakses

pada 6 Mei 2014).

Wacana dan..., Sabil Perbawa, FISIP UI, 2014

Page 17: TA-Sabil Perbawa.pdf

4

Universitas Indonesia

statusnya dari negara berkembang menjadi LDCs, tetapi ditolak oleh Presiden

Robert Mugabe, sehingga Zimbabwe masih menjadi negara berkembang.

Diadopsinya Bab 2 dari Bali Ministerial Declaration and decisions (atau

Bali Package) pada tanggal 7 Desember 2013 telah berhasil menciptakan satu

perjanjian yang mengikat secara hukum, yaitu Agreement on Trade Facilitation

(ATF). ATF akan menghapus hambatan birokrasi perdagangan pita merah

(peraturan yang dianggap mengurangi produktifitas) dan menyederhanakan bea

cukai.6 Di sisi lain, liberalisasi sektor pertanian masih memakai solusi interim,

misalnya India masih membutuhkan proteksionisme di sektor pertanian demi

menjalankan program food security mereka. Namun, India sendiri hanya boleh

mensubsidi 10% dari total agricultural output mereka.

Sektor pertanian adalah sektor yang mampu mendukung sektor-sektor

lainnya, termasuk sektor jasa. Perdagangan internasional di sektor jasa disebabkan

oleh keuntungan komparatif (comparative advantage) dan keuntungan yang

didapat dari spesialisasi.7

Namun, beberapa negara memiliki keuntungan

komparatif di sektor pertanian dan bukan di sektor jasa, karena mereka belum

terspesialisasi ke dalam sektor jasa.

Ada banyak cara yang bisa digunakan negara untuk memproteksi sektor

pertanian. Salah satu cara yang paling terbaru, dan mungkin yang paling kompleks,

adalah dengan menggunakan istilah fair trade. Dalam perdebatan tentang

standarisasi lingkungan dan buruh di negara berkembang di antara anggota WTO,

terdapat perdebatan tentang apa itu “Free and Fair Trade” dan bagaimana

keterkaitan keduanya. Oleh karena itu, studi ini ini akan melakukan penelusuran

terhadap perkembangan wacana tentang fair trade dan mencoba melihat posisi

fair trade, proteksionisme, dan free trade dalam perdagangan internasional

khususnya di sektor pertanian.

6 World Trade Organization, “Days 3, 4 and 5: Round-The-Clock Consultations Produce Bali

Package,” http://www.wto.org/english/news_e/news13_e/mc9sum_07dec13_e.htm (diakses pada 4

Maret 2014). 7 Robert Cleverdon dan Angela Kalisch, “Fair Trade in Tourism,” The International Journal of

Tourism Research, 2, no. 3 (2000), 87–89,

http://search.proquest.com/docview/214524798?accountid=17242 (diakses pada 20 November

2013).

Wacana dan..., Sabil Perbawa, FISIP UI, 2014

Page 18: TA-Sabil Perbawa.pdf

5

Universitas Indonesia

1.2. Definisi dan Posisi Fair Trade dalam Hubungan Internasional

Joseph Stiglitz menjelaskan dalam beberapa bukunya,8 bahwa fair trade

adalah sebuah istilah yang mengacu pada tiga tema, yaitu Fair Trade Laws (FTL),

Fair Trade Movement (FTM), dan diskursus Fair Trade menurut Stiglitz yang

dalam studi ini hanya disebut sebagai “Fair Trade menurut Stiglitz”. FTL adalah

beberapa undang-undang yang digunakan terutama oleh kelas buruh untuk

melindungi pekerjaan mereka. Di Amerika Serikat hal ini didukung oleh serikat

buruh seperti American Federation of Labor and Congress of Industrial

Organizations (AFL–CIO) dan dilaksanakan oleh aktor negara (Amerika Serikat).

Dua FTL yang paling penting dalam merepresentasikan hambatan non-tarif adalah

hukum antidumping (Antidumping Act of 1921) dan Countervailing Duties

(GATT Agreement on Subsidies and Countervailing Measures).9

Sedangkan FTM adalah sebuah bentuk perdagangan yang mengutamakan

dialog, transparansi, dan saling menghormati untuk mencapai kesetaraan dalam

perdagangan internasional, yang dilaksanakan oleh aktor Non-Governmental

Organization (NGO) dan standar NGO tersebut dipakai oleh aktor Multinational

Corporation (MNC). Di sisi lain, Fair Trade menurut Stiglitz hanyalah sebuah

diskursus.

FTL dan FTM mungkin dapat digunakan untuk memproteksi sektor

pertanian, karena FTL adalah sebuah undang-undang dan FTM adalah sebuah

gerakan sosial. Akan tetapi Fair Trade menurut Stiglitz sulit digunakan untuk

memproteksi sektor pertanian, karena hanya sebuah “himbauan” untuk meminta

negara maju untuk tidak memproteksi sektor pertanian.

Menurut Sean D. Ehrlich, tidak ada hubungan yang logis antara FTL dan

FTM, sehingga seseorang bisa mendukung FTL tanpa mendukung FTM, ataupun

sebaliknya. Namun, keduanya memiliki kepedulian dasar yang sama, yaitu

kepedulian pada dampak dari perdagangan terhadap standar tenaga kerja dan

8 Ketiga tema dari Fair Trade tersebut dibahas dalam Joseph E. Stiglitz, “Making Trade Fair,”

Making Globalization Work (New York: W.W. Norton & Co, 2006), 73; Joseph E. Stiglitz, dan

Carl E. Walsh. “International Trade and Trade Policy,” Economics, fourth edition (New York:

W.W. Norton, 2006), 437; Joseph E. Stiglitz, dan Andrew Charlton. Fair Trade: How Trade Can

Promote Development (Oxford: Oxford University Press, 2005), 12-13. 9 Joseph E. Stiglitz dan Carl E. Walsh, “International Trade and Trade Policy,” Economics, fourth

edition (New York: W.W. Norton, 2006), 437.

Wacana dan..., Sabil Perbawa, FISIP UI, 2014

Page 19: TA-Sabil Perbawa.pdf

6

Universitas Indonesia

lingkungan. Dengan demikian tidak dapat dihindari terdapat tumpang tindih yang

signifikan antara masing-masing definisi.10

Bukti dari penelitian Sean D. Ehrlich

ini dapat dilihat dari definisi fair trade menurut Luther G. Tweeten.

Luther G. Tweeten mendefinisikan free trade sebagai perdagangan antar

negara tanpa terbebani oleh hambatan, kecuali yang diperbolehkan oleh WTO,

sedangkan fair trade adalah perdagangan yang konsisten dengan perlindungan

pekerja, perempuan, anak dari kaum minoritas, pertanian, dan lingkungan yang

berkelanjutan. Free trade membiarkan isu-isu sosial dan lingkungan diputuskan

oleh masing-masing aktor negara, sedangkan fair trade akan memberlakukan

aturan-aturan sosial dan lingkungan di semua negara.11

Dapat dilihat bahwa

definisi fair trade menurut Luther G. Tweeten adalah campuran dari FTM dan

FTL, karena menginginkan bentuk perdagangan FTM dengan memaksakan FTL.

Lebih jauh, Candace Archer dan Stefan Frisch berargumen bahwa adanya

FTM menyajikan anomali yang menarik, karena menunjukkan kelemahan

ontologis dasar dari studi EPI yang secara keseluruhan tidak cukup perhatian

terhadap isu-isu normatif. Teori mainstream EPI disajikan sebagai ilmu sosial

obyektif yang berfokus pada menjelaskan dan memahami fenomena ekonomi,

yang seringkali tidak tertarik pada keprihatinan moral. Adanya FTM dan agenda

moral dari mereka yang mempraktikkan prinsip-prinsip FTM akan

mempertanyakan ontologi yang mendasari EPI.12

Menurut Graham Dunkley, argumen pendukung proteksionisme di negara

maju yang paling tidak disukai adalah “argumen buruh murah” yang mengatakan

bahwa negara maju harus melindungi industri dalam negeri, karena industri di

negara maju tidak bisa melawan industri di negara berkembang dan LDCs yang

menggaji buruhnya dengan sangat murah. Padahal, upah buruh yang murah

tersebut dapat dianggap sebagai keuntungan komparatif.13

Eksploitasi buruh di

10

Sean D. Ehrlich, “The Fair Trade Challenge to Embedded Liberalism,” International

Studies Quarterly, 54, no. 4 (2010), 1014. 11

Luther G. Tweeten, “Antiglobalists,” Terrorism, radicalism, and populism in agriculture

(Ames: Iowa State Press, 2003), 37. 12

Candace Archer dan Stefan Fritsch, “Global Fair Trade: Humanizing Globalization and

Reintroducing the Normative to International Political Economy,” Review of International

Political Economy, 17, no. 1 (2010), 104. 13

Graham Dunkley, “Is There Life After GATT?,” The Free Trade Adventure: The WTO, The

Uruguay Round and Globalism (London: Zed Books, 2001), 120.

Wacana dan..., Sabil Perbawa, FISIP UI, 2014

Page 20: TA-Sabil Perbawa.pdf

7

Universitas Indonesia

negara berkembang dan LDCs dapat menjadi dasar dari munculnya kebijakan

proteksionis bernama FTL.14

FTL telah menjadi bagian dari kebijakan perdagangan Amerika Serikat

sejak abad kesembilan belas. Antidumping Act of 1921 dan Reciprocal Tariff Act

of 1934 di Amerika Serikat adalah FTL Amerika Serikat yang berusaha untuk

mencegah dumping oleh perusahaan asing di pasar Amerika Serikat dan berusaha

untuk mendapatkan akses ke pasar luar negeri untuk menjual komoditas Amerika

Serikat. Misalnya, terbukanya akses ke pasar Amerika Serikat oleh produsen kopi

Brasil akan tergantung pada terbukanya akses ke pasar Brasil oleh produsen

gandum Amerika Serikat.15

Stiglitz mengkritik FTL, khususnya Antidumping Act of 1921, karena

“argumen buruh murah” seharusnya tidak menjadi alasan untuk menuduh negara

berkembang dan LDCs telah melakukan dumping. Menurut Stiglitz, negara

berkembang dan LDCs juga menderita dari tingginya biaya modal, infrastruktur

yang buruk, tingkat keterampilan yang lebih rendah, dan produktivitas yang

rendah. Perusahaan Amerika Serikat seringkali merasa bahwa mereka adalah

perusahaan yang paling efisien, sehingga mereka yakin akan selalu menang dalam

level playing field.16

Dalam level playing field, perusahaan akan menang jika

mereka berusaha paling keras diantara semua kompetitor, sehingga efisiensi

perusahaan Amerika Serikat yang tinggi tentunya akan membantu usaha tersebut.

Level playing field dalam dunia nyata dapat diilustrasikan sebagai sebuah

dunia tanpa orang tua, dimana setiap orang memulai hidup dengan peluang yang

sama. Tanpa orang tua dan nepotisme, masing-masing yatim piatu dibiarkan

sendiri untuk terus bersaing dengan yatim piatu lainnya, sehingga mereka yang

terkuat, terpintar, dan bekerja paling keras memiliki kesempatan terbaik untuk

berhasil dalam kehidupan.

Ditinjau dari kacamata Ilmu Hubungan Internasional, dependency theory

telah menyatakan bahwa negara-negara maju akan mengatur negara berkembang

14

Ibid., 121. 15

Stanley D. Nollen dan Dennis P. Quinn, “Free Trade, Fair Trade, Strategic Trade, and

Protectionism in the U.S. Congress, 1987–88,” International Organization,. 48, no. 03 (1994),

495. 16

Joseph E. Stiglitz, “Making Trade Fair,” Making Globalization Work (New York: W.W. Norton

& Co, 2006), 73.

Wacana dan..., Sabil Perbawa, FISIP UI, 2014

Page 21: TA-Sabil Perbawa.pdf

8

Universitas Indonesia

dan LDCs melalui perjanjian perdagangan internasional (seperti AoA) dan serikat

pekerja (seperti AFL–CIO) pada tingkat formal, serta melalui interaksi NGO dan

MNC pada tingkat informal, dalam rangka mengintegrasikan mereka ke dalam

sistem kapitalisme global. Semua itu dilakukan agar negara maju dapat secara

strategis merampas Sumber Daya Alam negara berkembang dan LDCs yang

harganya sudah direndahkan oleh negara maju, serta mendorong ketergantungan

ekonomi dan politik negara berkembang dan LDCs terhadap negara maju.

Dependency theory masih mempengaruhi beberapa kampanye NGO, seperti

kampanye FTM.

Perlu dicatat bahwa Pasal 7 dari International Covenant on Economic,

Social and Cultural Rights yang ditetapkan pada tahun 1966 mengakui hak setiap

orang untuk mendapatkan kondisi kerja yang “adil dan menguntungkan,” yang

dapat didefinisikan sebagai gaji yang adil dengan memberikan upah yang sama

dalam melakukan pekerjaan yang sama, gaji yang cukup untuk memberikan

kehidupan yang layak bagi pekerja dan tanggungan mereka, kondisi kerja yang

aman, kesempatan yang sama di tempat kerja, dan istirahat dan rekreasi yang

cukup, termasuk jam kerja yang terbatas, dan hari libur yang tetap diberikan

gaji.17

Pada kenyataannya, masih banyak masyarakat kurang mampu (terutama di

negara-negara berkembang dan LDCs) yang belum mendapatkan hak buruh

dengan memadai atau bahkan belum tersentuh standar perburuhan internasional.

Para pendukung FTM akhirnya melabeli produk yang sesuai dengan

prinsip tersebut, seperti Fair Trade Coffee, yang harganya lebih mahal apabila

dibandingkan dengan Free Trade Coffee, namun menjamin bahwa produsen di

negara berkembang dan LDCs tidak dieksploitasi oleh pihak manapun. Starbucks

adalah salah satu MNC yang menyediakan Fair Trade Coffee tersebut.

Studi tentang proteksionisme sektor pertanian adalah salah satu

pembahasan yang berada dalam domain EPI. Diskusi EPI berkaitan dengan cara

di mana kekuatan politik aktor negara (yang paling besar) sampai aktor individu

(yang paling kecil) membentuk sistem interaksi ekonomi, serta menganalisa efek

dari interaksi ekonomi tersebut terhadap struktur politik.

17

Office of the High Commissioner for Human Rights, “International Covenant on Economic,

Social and Cultural Rights,” http://www.ohchr.org/EN/ProfessionalInterest/Pages/CESCR.aspx

(diakses pada 10 Maret 2014).

Wacana dan..., Sabil Perbawa, FISIP UI, 2014

Page 22: TA-Sabil Perbawa.pdf

9

Universitas Indonesia

EPI muncul sebagai sub-domain Ilmu Hubungan Internasional setelah

perkembangan ekonomi global pada tahun 1970-an, yang memicu gelombang

proteksionisme baru dalam perdagangan internasional dalam bentuk hambatan

tarif dan non-tarif. Pada saat itu, negara-negara maju mencoba untuk mengurangi

impor dari negara-negara berkembang dengan menggunakan hambatan non-tarif.

Kebijakan proteksionis dari negara-negara maju ini akhirnya dikritik oleh negara-

negara berkembang, serta oleh negara-negara yang pada saat itu baru merdeka.18

Tiga paragraf sebelumnya telah menerangkan keterkaitan antara studi

tentang proteksionisme di sektor pertanian dengan Ilmu Hubungan Internasional.

Alasan utama yang mendasari signifikansi studi tentang proteksionisme

perdagangan internasional di sektor pertanian dalam ranah Ilmu Hubungan

Internasional adalah karena sektor pertanian, sebagai sektor primer yang lazim

diketahui sebagai tanggung jawab negara, dikomersialisasikan menjadi komoditas

perdagangan antarnegara.

Metode tinjauan pustaka yang penulis lakukan dalam studi ini adalah

memfokuskan kepada literatur-literatur Stiglitz, khususnya yang membahas

mengenai Fair Trade. Jumlah literatur yang dibahas dalam studi ini adalah 15

jurnal penilaian sejawat (peer-reviewed journal) dan buku yang membahas

mengenai Fair Trade. Studi ini menganalisis literatur tersebut dengan mengaitkan

dan membandingkan berbagai literatur tersebut dengan literatur-literatur Stiglitz.

Cara yang dipakai penulis dalam mendapatkan berbagai literatur tersebut adalah

dengan mencari kata kunci “fair trade” di berbagai pangkalan data daring yang

dilanggan oleh Universitas Indonesia seperti Journal Storage (JSTOR), Proquest,

dan Sciencedirect. Penulis juga menggunakan beberapa buku koleksi Unit

Perpustakaan dan Dokumentasi Hubungan Internasional (UPDHI), yaitu buku

Dani Rodrik dan Graham Dunkley. Sebelum studi ini dilakukan, Graham Dunkley

dan Jagdish Natwarlal Bhagwati sudah mengklasifikasikan fair trade menjadi tiga

tema terlebih dahulu. Namun, penulis ingin melakukan klasifikasinya sendiri

dengan mengkhususkan kepada literatur- literatur dan pemahaman Stiglitz.

18

Gokhan Ozkan, “Emergence of International Political Economy as a Sub-Discipline of

International Relations and Impact of the Global Crisis on International Political Economy,”

International Journal of Business and Social Science, 3, no. 13 (2012),

http://search.proquest.com/docview/1022660703?accountid=17242 (diakses pada 4 Maret 2014).

198-199.

Wacana dan..., Sabil Perbawa, FISIP UI, 2014

Page 23: TA-Sabil Perbawa.pdf

10

Universitas Indonesia

Dari penjelasan diatas, dapat disimpulkan dalam bentuk ilustrasi sebagai

berikut. Ilustrasi tersebut menempatkan fair trade sebagai bagian dari fenomena

perdagangan internasional yang merupakan kajian dalam EPI. Fair Trade menurut

Stiglitz adalah free trade yang simetris. FTM mungkin merupakan bagian dari

proteksionisme. Sedangkan FTL merupakan kontradiksi dari free trade yang lahir

dari upaya untuk membuat perdagangan yang adil untuk kepentingan negara maju.

Gambar 1.1. Posisi Fair Trade dalam Kajian Ekonomi Politik Internasional

Sumber: Disarikan oleh penulis dari berbagai sumber

Gambaran umum tentang fair trade yang diuraikan dalam bab pertama ini

merupakan awal dari pembahasan mengenai fair trade dan proteksionisme dalam

perdagangan internasional di sektor pertanian yang dilakukan oleh studi ini.

Selanjutnya, bab kedua akan menguraikan perdebatan dan keterkaitan antara

FTM, FTL, dan Fair Trade menurut Stiglitz dengan proteksionisme, terutama

proteksionisme di sektor pertanian. Bab ketiga akan menjabarkan perkembangan

wacana dan implementasi proteksionisme perdagangan internasional di sektor

pertanian di negara berkembang/LDCs dan negara maju. Setelah itu, sebagai

bagian akhir dibuat kesimpulan yang akan dipaparkan dalam bab keempat.

Wacana dan..., Sabil Perbawa, FISIP UI, 2014

Page 24: TA-Sabil Perbawa.pdf

11

Universitas Indonesia

BAB 2

PERDEBATAN DAN KETERKAITAN FAIR TRADE DENGAN

PROTEKSIONISME DALAM PERDAGANGAN INTERNASIONAL

2.1. Ragam Wacana yang Menggunakan istilah Fair Trade: Fair Trade

Movement, Fair Trade Laws, dan Fair Trade Menurut Stiglitz dalam

konteks Proteksionisme dan Free Trade

Adanya kesenjangan antara kondisi kerja buruh di negara berkembang dan

LDCs apabila dibandingkan dengan kondisi kerja buruh di negara maju, telah

menyebabkan para aktor dalam hubungan internasional, yang merasa bahwa level

playing field bagi para buruh di negara berkembang dan LDCs belum tercapai,

memberontak terhadap doktrin free trade yang digembar-gemborkan oleh WTO.

Menurut Candace Archer dan Stefan Fritsch, meskipun menonjol di publik, FTM

seringkali tidak hadir dalam diskusi teoritis Ekonomi Politik Internasional.

Terdapat dua alasan yang dapat menjelaskan pengabaian tersebut. Pertama,

produk FTM sebagian besar terdiri dari komoditas seperti kopi, pisang, kakao,

gula, madu, teh, atau bunga yang mewakili sebagian kecil dari jumlah total

perdagangan global. Kedua, FTM tidak cocok dengan model mainstream EPI

mengenai aktor rasional.19

Archer dan Fritsch juga mengatakan bahwa selain FTM, ada juga FTL

yang bertujuan untuk membangun level playing field di antara mitra dagang,

dimana sebagian besar mitra dagang tersebut adalah aktor negara. FTL

mengatakan bahwa perdagangan akan mencapai level playing field jika semua

mitra dagang mematuhi prinsip-prinsip, norma-norma, dan aturan yang sama.

Berdasarkan definisi ini, praktik yang menentang FTL akan mencakup bidang

yang luas dari hambatan non-tarif, seperti subsidi atau standar sosial, tenaga kerja,

kesehatan, dan lingkungan yang menyebabkan distorsi dalam perdagangan

internasional dan memberikan keuntungan bagi negara yang menentang FTL.20

19

Candace Archer dan Stefan Fritsch, Global Fair Trade: Humanizing Globalization and

Reintroducing the Normative to International Political Economy, 104. 20

Candace Archer dan Stefan Fritsch, Global Fair Trade: Humanizing Globalization and

Reintroducing the Normative to International Political Economy, 105.

Wacana dan..., Sabil Perbawa, FISIP UI, 2014

Page 25: TA-Sabil Perbawa.pdf

12

Universitas Indonesia

Sementara itu, menurut Sushil Mohan, standarisasi seperti label FTM

dapat dilihat sebagai bentuk halus dari proteksionisme. Ada kekhawatiran bahwa

kampanye dari kelompok gerakan sosial tersebut bisa menciptakan perjanjian

perdagangan, sehingga membentuk hambatan non-tarif untuk masuk ke pasar.

Inisiatif pelabelan oleh FTM juga dituding mencegah negara-negara berkembang

dan LDCs dalam mengembangkan standar sosial dan praktik-praktik yang lebih

relevan dengan keadaan mereka sendiri.21

Hal ini sudah terjadi di Belanda, dimana

Max Havelaar Foundation berhasil membuat label FTM-nya menjadi standar

komoditas kopi yang dijual di Provinsi Groningen. International Labor

Organization selama 90 tahun tidak pernah berhasil menciptakan perjanjian yang

tegas tentang standar ketenagakerjaan. Di sisi lain, nsegara-negara berkembang,

seperti Tiongkok, Indonesia, dan India, secara tegas menolak gagasan standar

ketenagakerjaan seperti FTL dalam negosiasi WTO, karena akan melemahkan

keunggulan komparatif mereka dalam produksi padat karya. 22

Hal ini sesuai

dengan argumen Sushil Mohan bahwa negara berkembang (dan LDCs)

sebenarnya ingin memakai standar ketenagakerjaan mereka sendiri. Selain itu,

para ekonom politik yang mempelajari politik perdagangan telah mengatakan

bahwa kampanye untuk menghubungkan standar ketenagakerjaan dengan

perjanjian perdagangan (dan sanksi perdagangan) adalah proteksionisme yang

terselubung.23

Oleh karena itu perlu dipahami beberapa tujuan dari FTM. Pertama, tujuan

utama dari FTM adalah untuk melawan kemiskinan di negara Dunia Ketiga yang

diakibatkan oleh praktik kolonial dan politik dependency. Kedua, FTM

menghubungkan konsumen dengan produsen. Ketiga, FTM membantu produsen

21

Sushil Mohan, “Fair Trade as A Long-Term Development Strategy,” Fair Trade Without The

Froth: A Dispassionate Economic Analysis of ‘Fair Trade’ (London: Institute of Economic

Affairs, 2010), 88. 22

Michael J. Hiscox dan Nicholas F. B. Smyth, “Is There Consumer Demand for Improved Labor

Standards? Evidence from Field Experiments in Social Labeling” (Paper presented at the Murphy

Institute of Political Economy Conference on the „New Political Economy of Globalization‟, New

Orleans, Louisiana, 20-21 April, 2007), 4-5,

http://www.nottingham.ac.uk/gep/documents/conferences/2007/april07conf/hiscox-april07.pdf

(diakses pada 9 Juni 2014). 23

Ibid., 5.

Wacana dan..., Sabil Perbawa, FISIP UI, 2014

Page 26: TA-Sabil Perbawa.pdf

13

Universitas Indonesia

berskala kecil. Keempat, metode FTM bertujuan untuk memperkuat dan

meningkatkan posisi tawar mitra bisnis mereka.24

Setelah membahas FTL dan FTM di atas, dapat dipahami bagaimana

keduanya dapat menjadi bentuk proteksionisme di sektor pertanian. Selanjutnya,

akan dibahas mengenai free trade dan Fair Trade menurut Stiglitz. Joseph Stiglitz

dan Andrew Charlton menjelaskan Fair Trade menurut Stiglitz dengan

mengatakan bahwa sekarang ini kita tidak benar-benar memiliki rezim free trade,

karena dalam rezim free trade negara harus menghapus semua hambatan

perdagangan, sedangkan produsen hanya boleh mengandalkan pasar untuk

memperoleh pendapatan. Saat ini, Amerika Serikat dan Uni Eropa mensubsidi

produk pertanian mereka, sehingga sebagian pendapatan yang diperoleh produsen

produk pertanian di negara-negara tersebut berasal dari subsidi pemerintah dan

tidak hanya mengandalkan pasar.25

Walaupun Stiglitz dan Charlton menggunakan kata fair trade dalam judul

bukunya, mereka tidak pernah mendefinisikan apa itu fair trade. Namun, Stiglitz

dalam buku Making Globalization Work berusaha mendefinisikan fair trade

sebagai rezim perdagangan barang, jasa, dan tenaga kerja antar negara tanpa

subsidi dan proteksionisme perdagangan dalam bentuk apapun.26

Sehingga, tema

fair trade yang diajukan sendiri oleh Stiglitz, yang dalam studi ini dinamakan Fair

Trade menurut Stiglitz, menginginkan free trade yang benar-benar bebas dari

hambatan dan dilakukannya liberalisasi pasar secara simetris seluruh negara.

Stiglitz juga mengkritik Free-Trade Agreement (FTA), karena telah menciptakan

pembukaan pasar secara asimetris yang hanya akan menguntungkan sebagian

kecil kelompok.27

Argumen Stiglitz mengenai FTA ini sama dengan argumen

Jagdish Natwarlal Bhagwati yang mengatakan bahwa FTA itu sama dengan

Preferential Trade Agreement (PTA), karena menggabungkan free trade dengan

proteksionisme, yang kemudian merugikan negara yang tidak masuk FTA.

Lebih jauh, Stiglitz membedakan antara Fair Trade menurut Stiglitz

dengan FTM dengan mengatakan bahwa FTM berusaha untuk melindungi para

24

Robert Cleverdon dan Angela Kalisch, Fair Trade in Tourism, 174-175. 25

Joseph E. Stiglitz dan Andrew Charlton, Fair Trade for All: How Trade Can Promote

Development (Oxford: Oxford University Press, 2005), 12-13. 26

Joseph E. Stiglitz, Making Globalization Work, 73. 27

Joseph E. Stiglitz, Making Globalization Work, 73-74.

Wacana dan..., Sabil Perbawa, FISIP UI, 2014

Page 27: TA-Sabil Perbawa.pdf

14

Universitas Indonesia

petani, khususnya petani di negara berkembang dan LDCs dari eksploitasi yang

dilakukan oleh makelar. Sedangkan Fair Trade menurut Stiglitz berusaha untuk

mengubah peraturan permainan dalam perdagangan internasional agar lebih adil

bagi orang-orang di negara berkembang dan LDCs.28

Sushil Mohan juga setuju bahwa negara maju harus menghilangkan

kebijakan proteksionisme dan subsidi pertanian yang merusak pasar. Kebijakan

pertanian yang merusak pasar tersebut telah memperburuk kemiskinan di negara-

negara miskin seperti negara-negara di bagian Sub-Sahara Afrika, dimana orang-

orang sangat bergantung pada sektor pertanian.29

Argumen tersebut

memperlihatkan secara tidak langsung bahwa Sushil Mohan adalah pendukung

Fair Trade menurut Stiglitz, karena mendukung ide pembukaan pasar secara

simetris milik Stiglitz. Untuk memudahkan ilustrasi tema fair trade, kita bisa

melihat dari berlangsungnya 9th WTO Bali Ministerial Conference 2013, dimana

NGO yang melakukan protes di luar Pusat Konvensi Bali Nusa Dua dan para

menteri perdagangan sama-sama menggunakan istilah fair trade, tetapi kelompok

NGOs menggunakan tema FTM, sedangkan para menteri perdagangan

menggunakan tema Fair Trade menurut Stiglitz dan FTL.

Menurut David Alan Crocker, Stiglitz mengadopsi pendekatan liberal

internasionalisme, karena Stiglitz berasumsi bahwa tatanan global terdiri dari

negara-negara berdaulat, institusi global (yang anggotanya mewakili negara-

bangsa), MNC, dan Global Civil Society. Reformasi yang direkomendasikan

Stiglitz jauh lebih baik, apabila dibandingkan dengan reformasi World Bank yang

hanya berupa retorika. Seperti penganut Liberal Internasionalisme lainnya, Stiglitz

tidak mengusulkan bahwa tatanan global saat ini dibentuk kembali secara radikal,

melainkan diubah secara bertahap.30

Studi ini melihat bahwa pendukung Fair

Trade menurut Stiglitz pada umumnya memakai pendekatan liberal

internasionalisme.

28

Joseph E. Stiglitz, Making Globalization Work, 304. 29

Sushil Mohan, Fair Trade Without The Froth: A Dispassionate Economic Analysis Of 'Fair

Trade', 112-113. 30

David Alan Crocker, “Development Ethics, Democracy, and Globalization” dalam Democracy

in A Global World: Human Rights And Political Participation In The 21st Century, ed. Deen K.

Chatterjee (Lanham: Rowman & Littlefield Publishers, 2008), 59.

Wacana dan..., Sabil Perbawa, FISIP UI, 2014

Page 28: TA-Sabil Perbawa.pdf

15

Universitas Indonesia

Sedangkan pendekatan liberalisme adalah pendekatan yang diadopsi oleh

pendukung free trade. Liberalisme percaya akan positive-sum gain, sehingga FTL

dianggap sebagai proteksionisme oleh para kaum liberalis. Perlu dicatat bahwa

liberalisme muncul dan berkembang sebagai reaksi terhadap tren dan peristiwa

penting di dunia nyata yang mengkritisi pendekatan nasionalisme ekonomi.31

Pendekatan nasionalisme ekonomi adalah pendekatan yang berevolusi dari

pendekatan merkantilisme pada akhir abad ke-18 dan ke-19, dan diadopsi oleh

para pendukung FTL. Pendekatan nasionalisme ekonomi menolak globalisasi,

karena pendekatan ini menekankan pada kontrol domestik yang kuat terhadap

ekonomi. Kontrol domestik ini biasanya berbentuk hambatan tarif dan non-tarif,

infant industries, eco label, dan human rights label.32

Sementara itu, pendekatan

marxisme adalah pendekatan yang diadopsi oleh para pendukung FTM.

Pendekatan marxisme memaksa kita untuk menganalisis masalah, isu, dan

peristiwa yang mungkin akan diabaikan jika kita membatasi diri kita pada sudut

pandang liberal dan merkantilis. Pendekatan marxisme memberikan suara bagi

mereka yang tidak berdaya. 33

Sean D. Ehrlich menduga bahwa pendukung proteksionisme menggunakan

retorika fair trade, karena proteksionisme telah didiskreditkan oleh teori ekonomi

neoliberal. Sehingga menurutnya, pendukung fair trade saat ini sebenarnya adalah

pendukung proteksionisme di masa lalu, yang tidak mau mengakui bukti nyata

bahwa negara yang mengadopsi proteksionisme lebih buruk apabila dibandingkan

dengan negara yang mengadopsi free trade.34

Dari argumen tersebut dapat dilihat

bahwa Ehrlich adalah pendukung free trade. Menurut Ehrlich, semua oposisi

terhadap free trade dalam penelitian akademis seringkali digabungkan menjadi

satu kategori, yaitu proteksionisme. Proteksionisme telah memperoleh konotasi

yang jelek, karena teori ekonomi neoliberal menunjukkan bahwa proteksionisme

dapat memperburuk kesejahteraan agregat suatu negara.35

31

David N. Balaam dan Michael Veseth, “Laissez-Faire: The Economic Liberal Perspective,”

Introduction to International Political Economy, second edition (Upper Saddle River: Prentice

Hall, 2001), 47. 32

Ibid., 30. 33

Ibid., 72. 34

Sean D. Ehrlich, “The Fair Trade Challenge to Embedded Liberalism,” International Studies

Quarterly, 54, no. 4 (2010), 1017. 35

Ibid., 1014.

Wacana dan..., Sabil Perbawa, FISIP UI, 2014

Page 29: TA-Sabil Perbawa.pdf

16

Universitas Indonesia

Salah satu penulis, Geoff Moore, mengatakan bahwa fair trade memiliki

ciri-ciri dasar sebagai sebuah jalan tengah di antara free trade di satu sisi dan

proteksionisme di sisi lainnya. Namun, proteksionisme juga dapat disamakan

dengan fair trade, apabila kita merujuk pada FTL, yang meminta standar

lingkungan dan buruh yang sama antara negara maju, negara berkembang, dan

LDCs.36

Argumen Ehrlich dan Moore tersebut dapat diilustrasikan secara

berurutan pada gambar 2.1. dan gambar 2.2. di bawah ini.

Gambar 2.1. Hubungan Antara Free Trade, Proteksionisme, Fair Trade

Movement, dan Fair Trade Law Menurut Sean D. Ehrlich

Sumber: Disarikan oleh penulis dari Sean D. Ehrlich, “The Fair Trade Challenge to Embedded

Liberalism,” International Studies Quarterly, Vol. 54, No. 4 (2010), 1014.

Gambar 2.2. Posisi Fair Trade Movement dan Fair Trade Law dalam

Pengkontrasan antara Proteksionisme dan Free Trade Menurut Geoff Moore

Sumber: Disarikan oleh penulis dari Geoff Moore, “The Fair Trade Movement: Parameters, Issues

and Future Research” Vol. 53, No. 1-2 (2004), 76.

36

Geoff Moore, “The Fair Trade Movement: Parameters, Issues and Future Research,” Journal of

Business Ethics, 53, no. 1-2 (2004), 76.

Wacana dan..., Sabil Perbawa, FISIP UI, 2014

Page 30: TA-Sabil Perbawa.pdf

17

Universitas Indonesia

Dengan menggabungkan argumen Geoff Moore dan Sean D. Ehrlich serta

beberapa pemikiran lain yang sudah dibahas di atas, studi ini menyimpulkan

bahwa FTL adalah proteksionisme, karena didukung oleh aktor negara yang

memiliki power yang besar. Di sisi lain, pelabelan barang oleh FTM belum tentu

proteksionisme, karena NGO sebagai aktor tidak memiliki power yang besar.

Ilustrasi dari keterkaitan antar tema fair trade diatas dapat dilihat pada gambar 2.3.

Gambar 2.3. Hubungan Antara Free Trade, Fair Trade Menurut Stiglitz, Fair

Trade Movement, Fair Trade Laws, dan Proteksionisme

Sumber: Disarikan oleh penulis dari berbagai sumber

Adapun perbandingan ketiga tema fair trade tersebut di rangkum secara

detail dalam tabel 2.1. dibawah ini.

Wacana dan..., Sabil Perbawa, FISIP UI, 2014

Page 31: TA-Sabil Perbawa.pdf

18

Universitas Indonesia

Tabel 2.1. Perbandingan Antara Fair Trade Laws, Fair Trade Movement, Fair Trade Menurut Stiglitz, dan Free Trade

Perbedaan Fair Trade Laws Fair Trade Movement Fair Trade Menurut Stiglitz Free Trade

Aktor utama State NGO State dan Institusi Global State

Apakah termasuk

proteksionisme? Proteksionisme Mungkin Proteksionisme Bukan Proteksionisme

Anti

Proteksionisme

Pendekatan yang

mendukungnya Nasionalisme Ekonomi Marxisme Liberal Internasionalisme Liberalisme

Fokus Melindungi pekerja di negara maju (khususnya di

Amerika Serikat)

Mengkompensasi petani di

LDCs Membuka Pasar secara Simetris

Membuka Pasar

secara Asimetris

Bentuk nyata Antidumping Act of 1921, Reciprocal Tariff Act of

1934, dan SCM Agreement

Pelabelan produk oleh berbagai

anggota gerakan sosial Fair

Trade Movement

Diskursus

Teori

Comparative

Advantage

Persamaan Fair Trade Laws Fair Trade Movement Fair Trade Menurut Stiglitz Free Trade

Fokus Memperjuangkan Labour Rights para pekerja Membuka Pasar

Sasaran dalam

perdagangan

internasional

Menginginkan Level Playing Field dalam Perdagangan Internasional Menginginkan diakuinya argumen Comparative

Advantage dalam Perdagangan Internasional

Persepsi

terhadap Free

Trade

Melawan Liberalisasi Sektor Pertanian Mendukung Liberalisasi Sektor Pertanian

Tujuan akhir Meningkatkan Pertumbuhan Ekonomi Negara baik Negara maju, berkembang & LDCs

Sumber: Disarikan oleh penulis dari berbagai sumber

Wacana dan..., Sabil Perbawa, FISIP UI, 2014

Page 32: TA-Sabil Perbawa.pdf

19

Universitas Indonesia

2.2. Keterkaitan Fair Trade dengan Proteksionisme dalam Perdagangan

Internasional

2.2.1. Fair Trade Movement dan Proteksionisme

Penjualan produk FTM sebenarnya sudah dilakukan sejak tahun 1940-an.

Namun, produk FTM baru menjadi Social Product Labels (SPLs) ketika Max

Havelaar Foundation mulai memberi label Fairtrade Certification Mark pada

tahun 1997. Social Product Labels diterapkan pada barang-barang untuk

menginformasikan konsumen bahwa metode produksi yang adil telah digunakan

untuk memproduksi barang yang akan dikonsumsi oleh konsumen tersebut.

Produk FTM memungkinkan produsen di negara-negara berkembang dan LDCs

untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik dengan cara memastikan bahwa

produsen di negara berkembang dan LDCs dibayar dengan adil dan bahwa mereka

bekerja dalam kondisi yang aman, dengan cara melarang pekerja anak dan

diskriminasi.37

Berbeda dengan barang konvensional, barang FTM diproduksi

karena adanya rasa tanggung jawab moral dalam mengkonsumsi barang.

Penamaan Max Havelaar Foundation sebenarnya terinspirasi dari nama

novel Max Havelaar, of de koffie-veilingen der Nederlandse Handel-

Maatschappij yang diterbitkan pada tahun 1860 dan diterjemahkan kedalam

bahasa Inggris pada tahun 1868 dengan judul Max Havelaar: Or the Coffee

Auctions of the Dutch Trading Company, yang menceritakan tentang sistem

cultuurstelsel, yang dilaksanakan oleh Belanda di Hindia Belanda (Indonesia),

khususnya mengenai tanam paksa gula dan kopi, tanpa menanam makanan pokok

seperti beras. Sehingga, dari awal fokus dari pelabelan produk Fair Trade

Movement adalah pelabelan produk makanan dan pertanian.

Di Amerika Serikat, sertifikasi FTM sebagai Social Product Labels

diselenggarakan oleh Transfair USA, yang diciptakan pada tahun 1998. Transfair

USA dan Max Havelaar Foundation tergabung dalam Fairtrade Labelling

Organizations (FLO), walaupun Transfair USA akhirnya berganti nama menjadi

37

Jeanine P. Stratton dan Matt J. Werner, “Consumer Behavior Analysis of Fair Trade Coffee:

Evidence from Field Research,” The Psychological Record, 63, no. 2 (Spring, 2013), 364,

http://search.proquest.com/docview/1352860908?accountid=17242 (diakses pada 4 Maret 2014).

Wacana dan..., Sabil Perbawa, FISIP UI, 2014

Page 33: TA-Sabil Perbawa.pdf

20

Universitas Indonesia

Fair Trade USA dan keluar dari FLO. Fair Trade USA telah mengembangkan

serangkaian standar FTM pada berbagai produk pertanian seperti kopi, teh, kakao,

pisang, gula, beras, dan kapas. Standar tersebut berisi harga minimum bagi petani

dan premi perdagangan yang adil; kondisi aman dan kebebasan berserikat bagi

pekerja; larangan perekrutan pekerja anak; dan larangan atas tindakan

diskriminasi. Sertifikat Fairtrade Certification Mark dikeluarkan oleh FLO dan

digunakan oleh anggota FLO seperti Cafédirect, sedangkan Fair Trade USA

menggunakan sertifikatnya sendiri yang bernama Fair Trade Certified Mark. Fair

Trade USA memiliki slogan Fair Trade for All, namun tidak ada hubungannya

dengan buku Stiglitz dengan nama yang sama, karena slogan Fair Trade for All

tersebut menandakan perbedaan visi antara Fair Trade USA dengan anggota FLO.

Perbedaan tersebut dikarenakan Fair Trade USA tidak hanya memberikan label

Fair Trade Certified Mark kepada perkebunan kecil, tetapi juga kepada

perkebunan berskala besar yang menurut FLO tidak berhak mendapatkan label

Fair Trade, sehingga melahirkan publisitas negatif mengenai Fair Trade USA.

Selain FLO, sebenarnya ada organisasi FTM lainnya seperti International

Federation for Alternative Trade (IFAT), Network of European World Shops

(NEWS!), dan European Fair Trade Association (EFTA). Keempat organisasi

tersebut seringkali disingkat dengan nama FINE (diambil dari huruf depan nama

masing-masing organisasi). Namun, studi ini hanya membahas Fair Trade USA

dan Cafédirect karena studi ini akan membandingkan implementasi FTM antara

anggota dan bekas anggota FLO. Tabel 2.2 akan menunjukkan pertumbuhan

persentase kontribusi FTM di Amerika Serikat di berbagai sektor (khususnya

sektor pertanian) dalam hal pembayaran premium kepada produsen negara-negara

berkembang di dunia dari tahun 2011 sampai tahun 2012, sedangkan sejarah

penjualannya juga diperlihatkan selama kurun waktu 1998–2012. Tabel tersebut,

yang sesuai dengan publikasi laporan Fair Trade USA di Amerika Serikat pada

tahun 2012, menampilkan sejarah dan tren kenaikan jumlah kontribusi

pembayaran premium FTM kepada produsen di negara-negara berkembang dan

LDCs di dunia dari tahun 1998 hingga 2012, dimana pembayaran produk

(khususnya produk pertanian) yang lebih mahal dari harga pasar tersebut mungkin

dapat membantu pembangunan di negara-negara berkembang dan LDCs.

Wacana dan..., Sabil Perbawa, FISIP UI, 2014

Page 34: TA-Sabil Perbawa.pdf

21

Universitas Indonesia

Tabel 2.2. Pembayaran Premium Fair Trade Movement di Amerika Serikat kepada

Produsen di Negara-negara Berkembang dan LDCs (1998–2012)

Sumber: Fair Trade USA, “Fair Trade USA Almanac 2012,” http://fairtradeusa.org/sites/default/files/2012_Fair-Trade-USA_Almanac.pdf (diakses pada 3 Maret 2014).

“Telah diolah kembali”.

Wacana dan..., Sabil Perbawa, FISIP UI, 2014

Page 35: TA-Sabil Perbawa.pdf

22

Universitas Indonesia

Secara umum, tabel 2.2 menunjukkan bahwa proporsi sektor pertanian,

terutama kopi, mengalami peningkatan pembayaran premium yang cukup berarti

sejak tahun 1998 sampai tahun 2012. Sepanjang periode tersebut, penurunan

persentase kontribusi kopi hanya terjadi pada tahun 2009–2010. Perlu diketahui

bahwa data pada tahun 1998–2010 menunjukkan pembayaran premium TransFair

USA sebagai anggota FLO, sedangkan data pada tahun 2011–2012 menunjukkan

pembayaran premium Fair Trade USA yang bukan bagian dari FLO.

Karena harga kopi dan teh yang bersifat volatile, anggota FLO

menetapkan harga pasar minimum (floor price) yang dibayarkan untuk membeli

produk yang disertifikat oleh FTM, untuk menutupi biaya produksi komoditas

pertanian. Sebagai contoh, harga minimum untuk jenis kopi Arabika adalah

US$131/Pon. Maka, setiap kali harga pasar dunia melewati batas harga minimum

ini, FTM akan menjamin pembelian harga yang lebih tinggi dibandingkan harga

pasar dunia, melalui pembayaran social premium tambahan antara 5 dan 15 sen

per kg, tergantung pada jenis produknya. Untuk kopi, ini sama dengan membayar

harga pasar ditambah US$10/Pon. Melalui mekanisme penetapan harga ini, FTM

bertujuan untuk menjamin komitmen jangka panjang berkelanjutan untuk petani,

memberikan mereka lebih banyak kesempatan untuk merencanakan masa depan

dan untuk berinvestasi di lahan pertanian dan komunitas mereka.38

Anggota FTM lainnya, seperti Cafédirect, juga harus berurusan dengan

publisitas negatif tentang FTM yang muncul di media dari waktu ke waktu, seperti

tuduhan bahwa FTM tidak menepati janjinya kepada petani atau bahwa FTM telah

digerogoti oleh kepentingan MNC (dikarenakan produk Nestlé yang bernama

Nescafé® Partners‟ Blend® diberikan sertifikat FTM, setelah Nestlé digeluti

berbagai kontroversi). Organisasi FTM juga dikritik karena berkolusi dengan

supermarket dengan menyetujui tingkat keuntungan supermarket dari produk

FTM. Cafédirect bahkan telah dituduh mendestabilisasi pasar dengan melawan

arus ekonomi pasar, sehingga seakan-akan mewakili proteksionisme dan merusak

fondasi free trade di seluruh pasar kopi. Namun, argumen ini berasumsi bahwa

free trade sudah bekerja sesuai dengan teori. Untuk petani kopi skala kecil yang

hanya menerima sedikit dari penjualan produk mereka sehingga tidak sebanding

38

Iain A. Davies, Bob Doherty dan Simon Knox, “The Rise and Stall of a Fair Trade Pioneer: The

Cafédirect Story,” Journal of Business Ethics, 92, no. 1 (2010), 128.

Wacana dan..., Sabil Perbawa, FISIP UI, 2014

Page 36: TA-Sabil Perbawa.pdf

23

Universitas Indonesia

dengan biaya yang mereka keluarkan untuk memproduksi secara berkelanjutan,

sulit untuk melihat teori free trade dapat bekerja untuk masyarakat tersebut.39

Perkembangan FTM secara langsung bertanggung jawab terhadap

peningkatan produk bersertifikat FTM dan pertumbuhan pangsa pasar mereka.

Namun, akibat masalah kualitas data, akan sulit untuk menyajikan gambaran yang

koheren tentang bagaimana sektor ini telah berkembang sejak awal tahun 1940-an.

Pada tahun 1990-an semakin banyak konsumen yang dididik tentang keberadaan

produk Fair Trade. Gambaran mengenai penjualan produk FTM menjadi lebih

jelas sejak akhir 1990-an, dimana pada saat itu pangsa pasar produk FTM telah

meluas secara dramatis. Sejak tahun 1999 penjualan produk bersertifikat FTM

telah meningkat sebesar 319% di Eropa dan 440% di Amerika Utara. Kopi dan

Pisang adalah dua produk FTM tertua yang dapat menggambarkan peningkatan

penjualan produk FTM di Eropa. Sejak tahun 1999, pertumbuhan pangsa pasar

FTM dalam komoditas pisang dan kopi telah meningkat secara pesat. Meskipun

sulit untuk menarik kesimpulan umum hanya dari dua komoditas, kedua

komoditas tersebut dapat menggambarkan tren secara keseluruhan.40

Kesimpulannya, keterkaitan antara wacana FTM dengan proteksionisme dapat

dilihat dari fakta bahwa baik Cafédirect dan Fair Trade USA sama-sama

mengalami publisitas negatif yang mengatakan bahwa FTM adalah

proteksionisme karena telah melawan arus ekonomi pasar.

2.2.2. Fair Trade Laws dan Proteksionisme

Robert Howse dan Michael J. Trebilcock mengatakan bahwa pendukung

free trade melihat tuntutan standar lingkungan dan tenaga kerja oleh negara maju

termotivasi oleh keinginan untuk melindungi pekerjaan di negara maju, dengan

cara melawan kompetisi dari Dunia Ketiga. Pendukung free trade juga melihat

pendukung FTL sebagai penipu (proteksionis yang menyamar sebagai moralis).41

Negara-negara yang tidak memiliki hambatan perdagangan berarti telah

39

Ibid., 141-142. 40

Candace Archer dan Stefan Fritsch. Global Fair Trade: Humanizing Globalization and

Reintroducing the Normative to International Political Economy, 9. 41

Robert Howse dan Michael J. Trebilcock, The Fair Trade-Free Trade Debate: Trade, Labour

and the Environment (Toronto: Canadian Law and Economics Association, 1994), 61.

Wacana dan..., Sabil Perbawa, FISIP UI, 2014

Page 37: TA-Sabil Perbawa.pdf

24

Universitas Indonesia

mempraktikkan free trade, tetapi pada kenyatannya sebagian besar negara terlibat

dalam beberapa bentuk proteksionisme. Kebijakan yang mempengaruhi baik

impor atau ekspor disebut sebagai Commercial Policy.42

Ada lima kategori utama

hambatan perdagangan, yaitu tarif, kuota, Voluntary Export Restraints (VER),

hambatan nontarif lainnya, dan FTL.43

Menurut Stiglitz, FTL juga menghukum

perusahaan negara berkembang dan LDCs yang mengeksploitasi “buruh murah”

di negaranya, dengan menggunakan Antidumping Laws dan Countervailing Duties.

Negara-negara maju secara teratur menggunakan FTL sebagai tema Fair

Trade karena mereka ingin melindungi pasar domestik mereka dari barang impor

luar negeri yang lebih murah harganya dibandingkan dengan barang produksi

sendiri. Sebagai contoh, biaya tenaga kerja yang lebih rendah atau peraturan

lingkungan yang lebih lemah di negara berkembang dan LDCs telah menurunkan

harga produk negara berkembang dan LDCs, sehingga daya saing negara

berkembang dan LDCs meningkat di pasar global. Praktik-praktik ini dianggap

telah meremehkan daya saing produsen di negara maju dan digunakan sebagai

contoh bahwa produsen di negara berkembang dan LDCs tidak berdagang secara

adil.44

Sikap negara-negara maju ini sesuai dengan pernyataan Menteri

Perdagangan Amerika Serikat ke-26, Howard M. Baldrige, Jr., yang mengatakan

bahwa “Our fair trade laws are the bedrock on which free trade stands.”45

Kesimpulannya, keterkaitan antara FTL dengan proteksionisme, menurut Stiglitz,

adalah dimasukkannya FTL sebagai bagian dari hambatan non-tarif.

2.2.3 Fair Trade Menurut Stiglitz dan Proteksionisme

Dalam diskursus Fair Trade menurut Stiglitz, Stiglitz dan Charlton

mengusulkan bahwa putaran Doha harus menjadi putaran pembangunan dengan

cara mengadopsi kebijakan yang mendorong pertumbuhan dan stabilitas di negara

42

Joseph E. Stiglitz dan Carl E. Walsh, Economics, 434-435. 43

Joseph E. Stiglitz dan Carl E. Walsh, Economics, 435. 44

Candace Archer dan Stefan Fritsch, Global Fair Trade: Humanizing Globalization and

Reintroducing the Normative to International Political Economy, 5. 45

James Bovard, “U.S. Fair Trade Laws Are Anything But Fair,” The Wall Street Journal (New

York), 3 Juni, 1987.

http://www.jimbovard.com/Bovard_Wall_Street_Journal_1987_US_Fair_Trade_Laws_Are_Anyt

hing_But.htm (Diakses pada 2 Mei 2014).

Wacana dan..., Sabil Perbawa, FISIP UI, 2014

Page 38: TA-Sabil Perbawa.pdf

25

Universitas Indonesia

berkembang dan LDC. Fair Trade menurut Stiglitz terfokus kepada penghilangan

subsidi pertanian, karena menurut mereka itu adalah isu yang paling penting untuk

negara-negara berkembang dan LDCs. Stiglitz dan Charlton menganggap bahwa

negosiasi Putaran Doha hanya membuat sedikit kemajuan dalam setiap pertemuan,

karena negara maju tidak mau menghapus subsidi pertanian mereka.

Stiglitz dan Charlton dengan bercanda menunjukkan bahwa sapi di Eropa

memiliki pendapatan lebih dari setengah penduduk bumi, karena subsidi US$2 per

hari yang diterima sapi Eropa sama dengan garis batas yang mendefinisikan

kemiskinan. Contoh ini menggambarkan ketidakadilan nyata dari sistem

perdagangan internasional saat ini. MNC dan pemerintah negara Eropa, Amerika,

dan Jepang telah menyatakan mendukung free trade, tetapi mereka menolak untuk

melepaskan subsidi pertanian. Hal ini sangat merugikan negara berkembang dan

LDCs yang sangat bergantung kepada pertanian. Bahkan, Paul Alexander Baran

pernah mengatakan bahwa ciri khas dari negara-negara ekonomi terbelakang

adalah mayoritas penduduknya yang bergantung pada pertanian.46

Negara

berkembang dan LDCs akan tertolong jika negara-negara maju berhenti

mensubsidi pertanian mereka dan membuka pasar mereka terhadap impor dari

negara berkembang dan LDCs. Stiglitz dan Charlton mendukung putaran

pembangunan yang dipimpin oleh WTO dengan berfokus kepada negara

berkembang dan LDC, tanpa terburu-buru dan secara buta mengadopsi free trade.

Stiglitz mengatakan bahwa Fair Trade menurut Stiglitz lebih unggul

dibandingkan free trade berdasarkan fakta bahwa free trade dapat membuat

keadaan semua orang menjadi lebih buruk ketika pasar tidak berfungsi dengan

efisiensi yang ideal. Kekayaan dan ukuran perusahaan berjalan seiringan dalam

free trade, sehingga perusahaan besar telah membuat perusahaan yang lebih kecil

cenderung mendapatkan keuntungan lebih sedikit dari pasar, apabila dibandingkan

dengan keuntungan yang didapatkan oleh perusahaan besar.

Stiglitz mengklaim bahwa diterapkannya Fair Trade menurut Stiglitz akan

membuat jumlah pemenang lebih besar dibandingkan pecundang, dan semua

orang akan mendapat manfaat dari perdagangan dengan lebih rata. Stiglitz tidak

ingin menghapus semua aspek free trade, melainkan menginginkan liberalisasi

46

Paul Alexander Baran, “A Morphology of Backwardness,” The Political economy of growth

(New York: Monthly Review Press, 1962), 195-196.

Wacana dan..., Sabil Perbawa, FISIP UI, 2014

Page 39: TA-Sabil Perbawa.pdf

26

Universitas Indonesia

perdagangan dengan manajemen yang lebih baik. Tanpa manajemen yang lebih

baik, perusahaan-perusahaan besar akan terus berjalan di atas perusahaan-

perusahaan kecil, kecuali apabila perusahaan-perusahaan besar tersebut

memberikan kompensasi kepada pecundang dari porsi keuntungan mereka, tetapi

dengan sifat manusia saat ini sepertinya kompensasi tersebut tidak akan pernah

terjadi (kecuali apabila FTM benar-benar altruis). Kesimpulannya, tidak ada

keterkaitan antara wacana Fair Trade menurut Stiglitz dengan proteksionisme,

karena Fair Trade menurut Stiglitz sebenarnya hanya menginginkan free trade

dengan liberalisasi yang simetris, agar jumlah pemenang dari perdagangan

internasional semakin banyak, sehingga kesejahteraan akan semakin merata.

Ilustrasi dari penjelasan tentang keterkaitan FTM, FTL dan Fair Trade menurut

Stiglitz dengan proteksionisme dirumuskan oleh studi ini pada gambar 2.4.

Gambar 2.4 Keterkaitan Fair Trade Movement, Fair Trade Laws, dan

Fair Trade Menurut Stiglitz dengan Proteksionisme

Sumber: Disarikan oleh penulis dari berbagai sumber

Setelah menganalisis perdebatan dan keterkaitan antara tiga jenis fair trade

dengan proteksionisme dalam perdagangan internasional, bab selanjutnya akan

membahas lebih spesifik wacana dan implementasi fair trade di sektor pertanian

dalam kerangka AoA dengan membandingkan kondisi berbagai negara.

Wacana dan..., Sabil Perbawa, FISIP UI, 2014

Page 40: TA-Sabil Perbawa.pdf

27

Universitas Indonesia

BAB 3

FAIR TRADE DAN PROTEKSIONISME DI SEKTOR PERTANIAN

DALAM KERANGKA AGREEMENT ON AGRICULTURE

Dari penjelasan di bab-bab sebelumnya kita telah mengetahui bahwa FTM

mungkin proteksionisme, FTL adalah proteksionisme, dan Fair Trade menurut

Stiglitz bukanlah proteksionisme. Selanjutnya, bab tiga ini akan menjelaskan

mengenai perdebatan antara liberalisasi dan proteksionisme sektor pertanian di

LDCs dan negara maju, dengan berfokus kepada AoA, dan dikaitkan kepada tiga

tema fair trade yang sudah dijabarkan di bab-bab sebelumnya.

3.1. Proteksionisme Perdagangan Internasional Di Sektor Pertanian melalui

Tiga Pilar Agreement on Agriculture

Perdebatan mengenai sektor pertanian di tingkat internasional selalu

dikaitkan dengan dimensi perdagangan, karena perdagangan berpengaruh

terhadap harga produk pertanian dan pendapatan petani. Selain itu, pada saat studi

ini dibuat, dari 48 LDCs yang diakui UN dan WTO,46

sudah ada 33 LDCs yang

menjadi anggota WTO. Subsidi pertanian negara maju telah mengurangi harga

produk pertanian di tingkat internasional, sehingga mengurangi pendapatan petani

di negara-negara berkembang dan LDCs. Kendala ini memaksa negara-negara

berkembang dan LDCs untuk terus mengekspor komoditas pertanian mereka,

tanpa memiliki kesempatan untuk mengembangkan industri transformasi mereka,

terutama industri manufaktur (sektor sekunder) dan jasa (sektor tersier).

46

Seperti diketahui, WTO (1 Januari 1995) menggantikan GATT yang telah ada sejak tahun 1947

sebagai organisasi yang mengawasi sistem perdagangan multilateral. Awalnya, pemerintah negara

yang telah menandatangani GATT secara resmi dikenal sebagai “pihak kontraktor GATT,” tetapi

setelah penandatanganan perjanjian WTO (yang sekarang meliputi GATT 1994) mereka secara

resmi dikenal sebagai “anggota WTO”. Anggota awal WTO adalah European Communities dan

pihak-pihak yg mengadakan perjanjian GATT 1947, yang menyetujui Perjanjian Pendirian WTO

(Marrakech Agreement Establishing the World Trade Organization); melampirkan Schedules of

Concessions and Commitments pada GATT 1994; dan melampirkan Schedules of Specific

Commitments pada GATS. Sedangkan untuk anggota baru sejak tahun 1995 (seperti Ekuador yang

masuk pada tanggal 21 Januari 1996), Schedules of Concessions and Commitments dilampirkan

pada Protocol of Accession. Teks asli GATT (GATT 1947) masih berlaku dalam kerangka WTO,

dan tunduk pada modifikasi GATT pada tahun 1994 (GATT 1994). Schedules of Concessions

adalah dokumen di mana komitmen khusus tercantum yang dilampirkan pada GATT dan, menurut

Pasal II GATT, bersifat mengikat (bound).

Wacana dan..., Sabil Perbawa, FISIP UI, 2014

Page 41: TA-Sabil Perbawa.pdf

28

Universitas Indonesia

Seperti diketahui, negosiasi WTO menghasilkan aturan umum yang

berlaku untuk semua anggota, dan komitmen khusus yang dibuat oleh pemerintah

anggota individu. Untuk perdagangan barang, menurut Stiglitz terdiri dari tingkat

tarif maksimum (Ceiling). Sedangkan untuk perdagangan barang pertanian juga

dimasukkan kuota tarif, batas terhadap subsidi ekspor, dan batas terhadap

beberapa jenis bantuan domestik yang nantinya menjadi tiga pilar AoA.

Terkait AoA, tiga pilar utamanya adalah bantuan domestik, akses pasar,

dan subsidi ekspor. Pilar bantuan domestik mengatur subsidi yang diberikan

pemerintah suatu negara kepada produsen (pemilik perkebunan di sektor

pertanian), yang direpresentasikan dengan 4 kotak subsidi domestik dengan

analogi lampu lalulintas (Merah, Kuning, Biru, dan Hijau). Pilar akses pasar

meminta penurunan tarif di negara maju dan berkembang. Berdasarkan AoA,

LDCs dibebaskan dari penurunan tarif tersebut, tetapi harus mengubah hambatan

non-tarif menjadi hambatan tarif, melalui proses yang disebut dengan

Tariffication, atau dengan cara menetapkan batas atas tarif bound (ceiling). Pada

saat mendaftar menjadi anggota WTO, setiap negara (kecuali LDCs) diharuskan

menetapkan batas atas tarif bound yang tidak boleh dan tidak akan bisa diubah.

Apabila LDCs tidak mau melakukan tariffication, maka LDCs harus menetapkan

batas atas tarif bound mereka. Dibebaskannya LDCs dari penurunan tarif adalah

contoh dilaksanakannya ketentuan perlakuan khusus dan berbeda (Special and

Differential Treatment). Di sisi lain, pilar subsidi ekspor (yang seharusnya masuk

kedalam kotak merah di pilar bantuan domestik) beserta dengan kebijakan subsidi

yang disediakan secara khusus baik kepada barang maupun non-barang, yang

merupakan bagian dari Aggregate Measurement of Support (AMS) atau yang

dikenal dengan nama Kotak Kuning dalam pilar bantuan domestik, harus

dikurangi selama periode pelaksanaan yang ditetapkan dalam Putaran Uruguay.47

47

Pasal 9 ayat 1(c) AoA mendefinisikan subsidi ekspor sebagai pembayaran pada ekspor produk

pertanian yang dibiayai berdasarkan tindakan pemerintah, dengan atau tanpa keterlibatan publik,

termasuk pembayaran yang dibiayai dari hasil retribusi yang dikenakan pada produk pertanian

yang bersangkutan atau pada produk pertanian dari mana produk yang diekspor berasal. Dalam

kasus European Community-Sugar, ditafsirkan bahwa subsidi ekspor itu termasuk subsidi yang

tidak ada pencairan dana pemerintah tetapi dibolehkan peraturan pemerintah atau bahkan

pemberian subsidi oleh kelompok produsen. Patrick Low, Gabrielle Marceau dan Julia Reinaud,

“The Interface between the Trade and Climate Change Regimes: Scoping the Issues,” Journal of

World Trade, 46, no. 3 (2012), 531,

http://search.proquest.com/docview/1035328836?accountid=17242 (diakses pada 18 Maret 2014).

Wacana dan..., Sabil Perbawa, FISIP UI, 2014

Page 42: TA-Sabil Perbawa.pdf

29

Universitas Indonesia

Tujuan keseluruhan dari AoA adalah untuk mengintegrasikan barang-

barang pertanian kedalam aturan WTO, termasuk kedalam GATT Agreement on

Subsidies and Countervailing Measures (SCM Agreement) yang sebelumnya

sudah mengatur subsidi produksi (bantuan domestik) dan subsidi ekspor, serta

agar negara anggota WTO berkomitmen mengurangi subsidi mereka dengan

mematuhi pilar bantuan domestik.48

Namun dari tiga pilar tersebut, studi ini hanya akan memakai data dari

pilar akses pasar dengan beberapa alasan. Pertama, pilar akses pasar menempati

posisi penting karena akan dapat menunjukkan apakah kebijakan tarif suatu

negara sudah sesuai dengan kebutuhan domestik mereka, terutama dalam

kebutuhan makanan yang terkait dengan food security. Kedua, berdasarkan data

pada tahun 2013, tidak ada LDCs yang mengadopsi kebijakan subsidi ekspor

karena terlalu mahal untuk dilaksanakan. Dengan demikian tidak relevan untuk

dibahas dalam konteks LDCs. Ketiga, bantuan domestik memiliki banyak rahasia,

contohnya rumus konversi AGST (Agricultural Supporting Tables) ke AMS

sampai sekarang belum diketahui publik, bahkan India dikabarkan mengubah

rumus tersebut agar dapat terus memberi bantuan domestik. Selain itu, data AGST

sejak base period paling pertama (1986-1988), menunjukkan bahwa base period

AGST di setiap negara ternyata tidaklah sama, sehingga sulit dipakai untuk

membandingkan tingkat proteksionisme antar-negara.

Informasi AGST, yang sebagian besar berbentuk tabel memberikan

informasi mengenai latar belakang data dan metode yang digunakan negara untuk

memperoleh komitmen mereka dalam hal bantuan domestik dan subsidi ekspor,

terutama mengenai informasi rinci tentang penyediaan bantuan domestik dan

subsidi ekspor oleh anggota awal WTO selama periode tahun 1986-1988 sebagai

dasar AMS. AGST memberikan rincian tentang tiga pilar komitmen anggota

WTO dalam AoA, termasuk pilar bantuan domestik yang dibebaskan dari

komitmen pengurangan (misalnya Kotak Hijau); pilar bantuan domestik yang

mendistorsi perdagangan yang dikenal sebagai AMS (kadang-kadang disebut

Amber Box atau kotak kuning); dan pilar subsidi ekspor yang tunduk pada

komitmen pengurangan (LDCs dikecualikan dari komitmen subsidi ekspor

48

Patrick Low, Gabrielle Marceau dan Julia Reinaud, Journal of World Trade, 531.

Wacana dan..., Sabil Perbawa, FISIP UI, 2014

Page 43: TA-Sabil Perbawa.pdf

30

Universitas Indonesia

tersebut). Sesuai dengan alasan-alasan yang sudah dijabarkan sebelumnya, LDCs

tidak mempublikasikan data rumus konversi AGST ke AMS dan tidak memakai

subsidi ekspor, sehingga studi ini hanya akan melampirkan data terbaru mengenai

komitmen LDCs kepada pilar akses pasar AoA.

Untuk menerapkan komitmen pengurangan subsidi pertanian yang

mendistorsi perdagangan, pilar bantuan domestik AoA diklasifikasikan menjadi

beberapa kotak dengan menggunakan pendekatan lampu lalu lintas dimana warna

merah untuk subsidi yang dilarang, warna kuning untuk subsidi yang harus

diperlambat (dikurangi), dan warna hijau untuk subsidi yang tidak mendistorsi

perdagangan. Namun, para negosiator memutuskan untuk memperlakukan subsidi

ekspor secara terpisah, sehingga kotak merah menghilang, sementara dibuat kotak

baru bernama “kotak biru” yang mengatur pembayaran langsung kepada produsen

melalui program pembatasan produksi. Kotak kuning dinyatakan dalam Total

AMS dan dihitung sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 6, Lampiran 3, dan

Lampiran 4 dari AoA. Dasar untuk pengurangan bantuan domestik ditetapkan

dengan melihat bantuan keuangan berdasarkan produk dan program selama base

period AGST (1986-1988). Masing-masing negara anggota WTO sepakat untuk

mengurangi bantuan berdasarkan base period AGST.49

Walaupun, base period

AGST untuk anggota-anggota baru WTO memakai periode yang berbeda (bukan

1986-1988).

Notifikasi dalam WTO didefinisikan sebagai kewajiban transparansi yang

mewajibkan pemerintah negara anggota WTO untuk melaporkan langkah-langkah

perdagangan kedalam tubuh WTO yang relevan, apabila langkah-langkah tersebut

mungkin memiliki efek pada anggota WTO lainnya. Prinsip-prinsip dasarnya

dikodifikasikan pada saat penciptaan WTO, berdasarkan praktik dalam GATT

yang telah berkembang sejak tahun 1947.50

Banyak negara berkembang dan LDCs

yang mengalami masalah dalam pelaksanaan komitmen Putaran Uruguay,

terutama dalam pelaksanaan pilar bantuan domestik dari AoA, sehingga mereka

memberikan notifikasi kepada WTO mengenai posisi AMS-nya yang berada di

49

Cream Wright, “Youth and The Challenge of Food Security in Africa: Thoughts on The

Potential Role of Talent Academies,” Development, 56, no. 2 (2013), 31. 50

Olivier Cadot, “How Much Light Do WTO Notifications Shed on NTMs,” Non-Tariff

Measures: A Fresh Look At Trade Policy's New Frontier” (London: Centre for Economic Policy

Research, 2012), 35-38.

Wacana dan..., Sabil Perbawa, FISIP UI, 2014

Page 44: TA-Sabil Perbawa.pdf

31

Universitas Indonesia

angka nol dan mengenai komitmen yang pengukurannya menggunakan mata uang

domestik yang sudah terkikis oleh inflasi.

Masalah lainnya adalah mengenai apakah kebijakan tertentu dapat

memenuhi syarat untuk dimasukkan dalam “kotak hijau” atau untuk langkah-

langkah pembangunan negara yang dibebaskan dari aturan (Pasal 6.2 AoA). Hal

ini sangat penting karena bantuan untuk “produsen berpenghasilan rendah atau

miskin sumber daya” dalam pasal ini dibebaskan dari komitmen pengurangan.

Namun tidak selalu jelas petani mana yang memenuhi syarat, sehingga usaha

untuk membantu buruh tani sesuai dengan yang diinginkan oleh pendukung FTL

dan FTM terganjal oleh ketakutan pemerintah negara melanggar AoA.

Ada tiga jenis tarif Perdagangan, yaitu tarif bound (tarif yang disepakati

diawal keanggotaan untuk negara Maju dan berkembang), tarif most favoured

nation (MFN; tarif yang diberikan kepada negara anggota WTO yang memiliki

status MFN), dan tarif preferential (tarif yang diberlakukan apabila terdapat

FTA/PTA diantara negara yang biasanya diberlakukan dalam kerangka kerjasama

regional). Dalam hal MFN, hal ini merupakan prinsip negara anggota WTO

bahwa suatu negara tidak boleh memberikan keistimewaan yang menguntungkan

hanya satu atau sekelompok negara tertentu. Menurut Stiglitz, anggota WTO

harus memberikan status MFN kepada sesama anggota WTO, sehingga tarif yang

diberikan suatu negara kepada anggota WTO lainnya cenderung sama, walaupun

India dan Pakistan dikecualikan karena mereka dulunya adalah satu negara yang

akhirnya terpisah. Pengecualian India dan Pakistan ini dijelaskan dalam Paragraf

11 dari GATT Pasal XXIV. Banyak negara yang senang mendapatkan status MFN,

sehingga mereka bisa mengekspor komoditas pertanian dengan harga murah ke

pasar Amerika Serikat, malah kehilangan industri pertanian lokal mereka. Hal ini

disebabkan oleh subsidi ekspor dan domestik Amerika Serikat yang mencegah

kompetisi dari LDCs, baik di tingkat internasional maupun domestik.

Apabila dilihat dari nilai tarif maksimum, menurut Stiglitz jenis tarif

dengan persentase paling maksimal adalah tarif bound. Tarif MFN adalah

persentase tarif yang digunakan oleh sesama anggota WTO, yang awalnya

dikecualikan untuk beberapa negara seperti India dan Pakistan. Sedangkan tarif

preferential adalah persentase tarif paling minimum dan dapat dilaksanakan

Wacana dan..., Sabil Perbawa, FISIP UI, 2014

Page 45: TA-Sabil Perbawa.pdf

32

Universitas Indonesia

kepada sesama negara yang mengadopsi PTA atau FTA.51

Perlu diketahui bahwa

standar kategorisasi tarif ditetapkan oleh World Customs Organization (WCO).

Lampiran 1 dari AoA menjelaskan produk yang termasuk ke dalam AoA, sesuai

dengan standar yang ditetapkan oleh WCO (lihat tabel 3.1). WCO

mengkategorikan produk dengan menggunakan Harmonized System (HS) 6 digit,

dari HS Sub-pos 0101.10 (purebred breeding live horses, asses, and ninnies)

sampai HS Sub-pos 9706.00 (antique works of art exceeding 100 years in age).

Digit ke-7 dan seterusnya disebut dengan National Tariff Line Level (TLL) dan

tidak diatur pengkategoriannya oleh WCO. Untuk kasus Indonesia, ASEAN

Harmonized Tariff Nomenclature (AHTN) mengatur digit ke-7 dan 8, sedangkan

untuk digit ke-9 dan 10 diatur oleh Buku Tarif Kepabeanan Indonesia (BTKI).

GATT dan WTO menganggap bahwa negara anggota tidak akan dibebani

melewati batas atas (ceiling) dari tarif bound. Pada kenyataanya, tarif bound akan

menjadi tidak berarti jika biaya impor lainnya dapat bervariasi sesuai keinginan

masing-masing negara.52

Ketentuan GATT mengakui bahwa tarif hanyalah salah

satu jenis pajak impor, sedangkan yang penting bagi eksportir adalah tingkat

perpajakan di perbatasan secara keseluruhan.53

Sehingga, tarif bound akan

menjadi tidak berarti jika biaya impor lainnya, seperti Other Duties and Charges

(ODC),54

dapat bervariasi sesuai dengan keinginan masing-masing negara.55

ODC adalah stamp taxes, special customs taxes, revenue taxes, landing

taxes, economic development taxes, special retribution taxes, commodity taxes,

fiscal taxes, standard import taxes, maritime freight taxes, dan import surcharges.

Anggota WTO diminta untuk menunjukkan ODC mereka sejak tanggal 15 April

1994 kepada Anggota WTO lainnya (yang pada saat itu masih bernama GATT).

51

The World Bank, “Types of Tariffs,”

http://wits.worldbank.org/WITS/wits/WITSHELP/Content/Data_Retrieval/P/Intro/C2.Types_of_T

ariffs.htm (diakses pada 12 Mei 2014). 52

Thomas Friedheim, “Domestic Taxes and Administrative and Technical Barriers to Trade on

Goods and Services” dalam Implications of the Uruguay Round agreement for South Asia: the

case of agriculture, eds. Benoit Blarel, et al. (Washington, D.C.: World Bank, 1999), 88. 53

Ibid. 54

ODC adalah hambatan yang bukan merupakan Bea maupun Tarif. Dalam beberapa sumber,

kepanjangan dari ODC juga disebut Other Duties or Charges, yang sebenarnya sama dengan

Other Duties and Charges, namun pemilihan pemakaiannya tergantung dari konteks dan aturan

dalam Bahasa Inggris di beberapa sumber tersebut. 55

Thomas Friedheim, “Domestic Taxes and Administrative and Technical Barriers to Trade on

Goods and Services” dalam Implications of the Uruguay Round agreement for South Asia: the

case of agriculture, 88.

Wacana dan..., Sabil Perbawa, FISIP UI, 2014

Page 46: TA-Sabil Perbawa.pdf

33

Universitas Indonesia

ODC bukanlah bagian dari antidumping duties maupun countervailing duties,

sehingga anggota WTO dapat dengan bebas memungut biaya ODC. Aturan yang

berkaitan dengan biaya tersebut diuraikan dalam Pasal VIII GATT pada bagian

“fees and formalities connected with importation and exportation.”56

Namun,

ODC suatu negara tidak boleh membebani negara lain melewati batas atas dari

tarif bound yang sudah menjadi komitmen negara tersebut di WTO. Tabel di

Lampiran I, II, dan III akan menunjukkan ODC yang diterapkan oleh LDCs

dengan menghitung jumlah TLL dalam HS Sub-pos yang terkena ODC, sehingga

kita tahu komoditas mana yang paling dilindungi LDCs dan yang paling tidak bisa

distandarisasi oleh WTO pada saat studi ini dilakukan. ODC dapat dianggap

sebagai hambatan tarif tersembunyi yang masih bisa dikurangi maupun ditambah

oleh negara anggota WTO, selama jumlah dari ODC dan Tarif MFN yang

dikenakan oleh sesama anggota WTO tidak melewati Ceiling dari Tarif Bound.

Visualisasi potensi pemanfaatan ODC sebagai instrumen proteksionisme, dengan

mengisi kekosongan antara Tarif MFN dan Bound, dapat dilihat pada gambar 3.1.

Gambar 3.1 Visualisasi Potensi ODC sebagai Instrumen Proteksionisme

Sumber: The World Bank, “Types of Tariffs,”

http://wits.worldbank.org/WITS/wits/WITSHELP/Content/Data_Retrieval/P/Intro/C2.Types_of_T

ariffs.htm (diakses pada 12 Mei 2014). “Telah diolah kembali”.

56

Thomas Friedheim, “Domestic Taxes and Administrative and Technical Barriers to Trade on

Goods and Services” dalam Implications of the Uruguay Round agreement for South Asia: the

case of agriculture, 88.

Wacana dan..., Sabil Perbawa, FISIP UI, 2014

Page 47: TA-Sabil Perbawa.pdf

34

Universitas Indonesia

Tabel 3.1 Produk yang Termasuk Kedalam Agreement on Agriculture, Sesuai dengan Standarisasi WCO

Sumber: World Trade Organization, “Agreement on Agriculture,” http://www.wto.org/english/docs_e/legal_e/14-ag_02_e.htm (diakses pada 15 April 2014). Telah

diolah kembali berdasarkan Buku Tarif Kepabeanan Indonesia tahun 2012 yang telah menterjemahkan 10025 nomor dalam Harmonized System-6.

Nomor Produk yang Termasuk Kedalam Agreement on Agriculture berdasarkan Kategorisasi Harmonized System-6 (HS-6)

1 Harmonized System Bab 1 sampai 24, kecuali ikan dan produk ikan

2 HS Sub-pos 2905.43 Manitol

3 HS Sub-pos 2905.44 D-glusitol (Sorbitol)

4 HS Pos 33.01 Minyak atsiri (mengandung terpena ataupun tidak), termasuk konkrit dan absolute

5 HS Pos 35.01 to 35.05 Zat albuminoidal, Pati yang dimodifikasi, Lem

6 HS Sub-pos 3809.10 Bahan untuk penyempurnaan

7 HS Sub-pos 3824.60 Sorbitol selain yang dimaksud dalam HS Sub-pos 2905.44

8 HS Pos 41.01 to 41.03 Jangat dan kulit

9 HS Pos 43.01 Kulit berbulu mentah, selain jangat dan kulit mentah dari HS Pos 41.01, 41.02 atau

41.03 10 HS Pos 50.01 to 50.03 Sutra mentah dan sisa sutra

11 HS Pos 51.01 to 51.03 Wol dan bulu hewan

12 HS Pos 52.01 to 52.03 Kapas mentah, sisa kapas , dan kapas digaruk ataupun disisir

13 HS Pos 53.01 Flax hemp (Lena), mentah atau sudah dikerjakan tetapi tidak dipintal

14 HS Pos 53.02 True hemp (Cannabis Sativa Linnaeus), mentah atau diolah tetapi tidak dipintal

Wacana dan..., Sabil Perbawa, FISIP UI, 2014

Page 48: TA-Sabil Perbawa.pdf

35

Universitas Indonesia

Perlu diketahui bahwa United Nations Office of the High Representative

for the Least Developed Countries, Landlocked Developing Countries and Small

Island Developing States (UN-OHRLLS) mengatur tiga kategori negara, yaitu

LDCs, Landlocked Developing Countries (LLDCs), dan Small Island Developing

States (SIDS). Sebagian anggota LLDCs dan SIDS adalah anggota LDCs,

sehingga studi ini membagi LDCs menjadi tiga kategori, yaitu: Landlocked Least-

Developed Countries (anggota LLDCs yang juga anggota dari LDCs), Small

Island Least-Developed Countries (anggota SIDS yang juga anggota dari LDCs),

dan Other Least-Developed Countries (anggota LDCs yang bukan anggota

LLDCs maupun SIDS).

Dari ketiga kategori negara yang diatur oleh UN-OHRLLS, hanya SIDS

yang tidak memiliki definisi resmi. Ekspor pertanian di SIDS (termasuk Small

Island Least-Developed Countries) terus menurun, karena kondisi mereka sebagai

negara-negara kecil, rentan, dan terpencil, mengakibatkan SIDS hanya

memproduksi beberapa produk pertanian.57

Penurunan ekspor dan produksi

komoditas pertanian ini dapat dilihat di Lampiran II, dimana terlihat bahwa Small

Island Least-Developed Countries tidak memberikan ODC agar bisa mengimpor

komoditas pertanian dengan lebih murah, sehingga kelompok ini akan dirugikan

dari liberalisasi sektor pertanian di negara maju.

Peningkatan transportasi logistik yang efisien dan hemat biaya sangatlah

penting untuk pemasaran dan mengurangi harga komoditas pertanian. Namun, di

Landlocked Least-Developed Countries, biaya transportasi dan logistik umumnya

sekitar 9 persen lebih tinggi dibandingkan negara anggota OECD (Organisation

for Economic Co-operation and Development). Peningkatan jasa logistik negara-

negara di Benua Afrika (yang diukur dengan menggunakan Indeks Kinerja

Logistik), akan memberikan manfaat paling besar dibandingkan perubahan

komponen biaya perdagangan lainnya. Biaya transportasi dan logistik merupakan

penentu variasi harga pangan negara pengimpor di tingkat domestik. Investasi

dalam infrastruktur transportasi di Nepal terbukti mampu mengurangi biaya yang

57

Daneswar Poonyth dan Deep Ford. “The Future of SIDS’ Agricultural Trade,” Small island

developing States: Agricultural Production and Trade, Preferences and Policy (Rome: Food and

Agriculture Organization of the United Nations, 2004), 73.

Wacana dan..., Sabil Perbawa, FISIP UI, 2014

Page 49: TA-Sabil Perbawa.pdf

36

Universitas Indonesia

ditanggung konsumen.58

Lampiran I menunjukkan bahwa 12 negara Landlocked

Least-Developed Countries berada di Afrika.

Kesimpulan dari pembahasan mengenai tiga pilar AoA diatas adalah LDCs

dan beberapa negara berkembang telah diberikan posisi yang menguntungkan

dalam memproteksi sektor pertaniannya. Namun, banyak negara berkembang dan

LDCs yang mengalami masalah dalam pelaksanaan komitmen Putaran Uruguay.

Hal ini dikarenakan oleh berbagai faktor, seperti faktor geografis dan kurangnya

infrastruktur yang memadai. Selain itu, perlu dicatat bahwa untuk praktik

proteksionisme dalam bentuk hambatan non-tarif sulit dideteksi secara langsung.

Hambatan non tarif seringkali baru diketahui ketika negara anggota WTO

menotifikasi bahwa negara lain telah menerapkan hambatan non-tarif.

3.2. Perkembangan Gagasan Proteksionisme Sektor Pertanian di LDCs

Dalam buku Fair Trade for All, Stiglitz mengatakan bahwa free trade

hanya akan menaikkan tingkat kemiskinan, apabila perusahaan besar terus-

menerus mendapatkan keuntungan terbesar dari liberalisasi perdagangan. Free

trade di negara-negara yang memiliki upah tinggi juga akan menurunkan upah

pekerja yang kurang terampil, karena setiap perusahaan dapat membeli barang

atau jasa darimana saja, sehingga upah kerja semua orang di seluruh dunia

menjadi sama. Dari argumen Stiglitz, kita mengetahui bahwa free trade akan

menyebabkan negara maju melakukan race to the bottom59

hingga upah buruh

mereka menyamakan upah LDCs, sehingga buruh negara maju di sektor pertanian

akan terus mendukung FTL.

Pernyataan Stiglitz yang seakan-akan anti terhadap free trade tersebut

dibantah dalam salah satu tulisan Arvind Panagariya yang mengatakan bahwa

Stiglitz sebenarnya hanya menuntut liberalisasi perdagangan secara bertahap dan

penghilangkan hambatan perdagangan oleh negara-negara kaya, khususnya

58

International Bank for Reconstruction and Development, “Using Trade Policy to Overcome

Food Insecurity,” Global Monitoring Report: Food Prices, Nutrition, and the Millennium

Development Goals (Washington, D.C.: The World Bank, 2012), 131. 59

Race to the bottom adalah keadaan dimana terdapat penurunan upah pekerja di negara maju,

karena perusahaan domestik di negara maju menekan biaya upah buruh dan pelestarian lingkungan

serendah-rendahnya demi memenangkan kompetisi dalam pasar global. Race to the bottom

membawa dampak negatif berupa kerusakan lingkungan dan penurunan kesejahteraan buruh.

Wacana dan..., Sabil Perbawa, FISIP UI, 2014

Page 50: TA-Sabil Perbawa.pdf

37

Universitas Indonesia

produk pertanian, dimana subsidi domestik dan ekspor negara maju akan merusak

kepentingan negara-negara berkembang dan LDCs yang berpotensi menjadi

eksportir neto produk pertanian.60

Mantan Kepala Ekonom Bank Dunia, Nicholas

Stern, pernah meminta LDCs untuk tidak membuka pasarnya jika negara maju

memproteksi pasarnya sendiri.61

Menurut Panagariya, ini adalah buah pikiran

yang keliru, karena walaupun negara-negara maju memproteksi pasarnya sendiri,

LDCs secara unilateral harus meliberalisasi perdagangan demi mendorong

pertumbuhan ekonomi.62

Bahkan, hambatan perdagangan seringkali bentuknya

berpori-pori dan tidak sepenuhnya keras, sehingga negara-negara dengan

kebijakan perdagangan yang berorientasi keluar seringkali berhasil dalam

memperluas ekspor, walaupun negara-negara mitra dagang mereka tidak

sepenuhnya terbuka.63

Panagariya juga mengatakan bahwa LDCs saat ini

sebenarnya lebih proteksionis (memiliki rata-rata hambatan tarif lebih tinggi)

dibandingkan negara-negara maju. Sebagai contoh, tarif negara-negara maju

terhadap produk industri sekunder rata-rata sekitar 3 persen, sedangkan di LDCs

sebesar 13 persen. Namun, tidak semua LDCs mengadopsi kebijakan

proteksionisme, bahkan ada beberapa LDCs yang lebih liberal dibandingkan

negara-negara maju.64

Terlebih lagi LDCs belum mampu untuk mengekspor

produk industri sekunder, sehingga data yang diajukan Panagariya tersebut

bukanlah dasar yang kuat untuk mendukung free trade.

Dalam WTO, tidak ada kepastian mengenai definisi dari negara

berkembang dan negara maju. Sehingga semua negara dapat memakai ketentuan

WTO yang hanya diberikan kepada negara berkembang, seperti ketentuan dalam

pilar akses pasar AoA dimana negara berkembang hanya diharuskan mengurangi

tarif sebesar 24% sedangkan negara maju harus mengurangi tarif sebesar 36%,

walaupun negara anggota WTO lainnya dapat menantang negara yang meminta

ketentuan tersebut. Dalam tulisannya, Panagariya juga berargumen bahwa yang

60

Arvind Panagariya, “Trade Policy and Trade Liberalization” dalam Handbook of trade policy for

development, eds. Arvid John Lukauskas, et al. (Oxford: Oxford University Press, 2013), 437. 61

Arvind Panagariya, “In Defense of International Trade” dalam Debating Globalization:

International Perspectives on The Global Economic and Social Order, ed. John M. Balonze

(Bruxelles: TellerBooks, 2005), 17. 62

Ibid., 17-18. 63

Ibid., 17-18. 64

Ibid., 13.

Wacana dan..., Sabil Perbawa, FISIP UI, 2014

Page 51: TA-Sabil Perbawa.pdf

38

Universitas Indonesia

paling diuntungkan dari liberalisasi sektor pertanian adalah negara maju dan

negara-negara berkembang yang merupakan anggota Cairns Group. Cairns Group

adalah koalisi yang terdiri atas 19 negara pengekspor produk pertanian yang

terdiri atas Argentina, Bolivia, Brasil, Chili, Kolombia, Kosta Rika, Guatemala,

Indonesia, Malaysia, Selandia Baru, Pakistan, Paraguay, Peru, Filipina, Afrika

Selatan, Thailand, dan Uruguay (dua anggota lainnya, Australia dan Kanada,

menurut IMF termasuk negara maju). Oleh karena itu, Cairns Group mendukung

masuknya liberalisasi pertanian dalam Deklarasi Punta del Este yang

meluncurkan perundingan Putaran Uruguay.65

Nama Cairns Group dipilih karena,

pada tahun 1986, mereka pertamakali mengadakan pertemuan di Kota Cairns,

Australia.

Sementara itu, untuk konteks LDCs, sebanyak 45 dari 48 LDCs adalah

importir neto makanan dan 33 LDCs adalah importir neto pertanian. Ironisnya,

beberapa LDCs dalam pertemuan WTO di Cancun, Meksiko pada tahun 2003

menuntut pengakhiran subsidi kapas, karena LDCs percaya dengan retorika

populer bahwa subsidi negara kaya akan menyakiti LDCs.66

Sebagai importir neto,

LDCs memiliki akses terhadap produk pertanian yang disubsidi oleh negara maju.

Apabila subsidi ekspor negara maju tersebut dihapus, harga produk pertanian akan

naik, sehingga merugikan LDCs yang mengimpor produk makanan dan

pertanian.67

Panagariya mengatakan bahwa negara-negara maju harus mengadopsi

kebijakan proteksionisme, karena hanya sebagian LDCs yang akan menjadi

eksportir neto produk pertanian dan diuntungkan dari liberalisasi sektor pertanian

oleh negara-negara maju. Contoh LDCs yang dirugikan dari penghapusan subsidi

ekspor negara maju adalah Senegal, yang pada tahun 2001 menghabiskan US$450

juta untuk mengimpor makanan, yang setara dengan sekitar 10 persen dari GDP

dan sepertiga dari pendapatan ekspor tahunan Senegal. Pada intinya, kemungkinan

65

Ibid., 16-17. 66

Arvind Panagariya, “Agricultural Liberalisation and the Least Developed Countries: Six

Fallacies,” The World Economy, 28, no. 9 (2005), 1289. 67

Arvind Panagariya, “Farm Liberalisation Will Hurt LDCs,”

http://www.columbia.edu/~ap2231/ET/et76_March23_05.htm (diakses pada 2 Mei 2014).

Wacana dan..., Sabil Perbawa, FISIP UI, 2014

Page 52: TA-Sabil Perbawa.pdf

39

Universitas Indonesia

besar hanya negara berkembang anggota Cairns Group yang akan mendapatkan

keuntungan dari liberalisasi sektor pertanian oleh negara-negara maju.68

Panagariya juga tidak setuju dengan argumen Stiglitz bahwa negara maju

harus meliberalisasi sektor pertanian. Hal ini dikarenakan di bawah Generalized

System of Preferences (GSP)69

Uni Eropa yang bernama Everything But Arms

(EBA),70

LDCs dapat menjual produk ekspor mereka dengan harga internal Uni

Eropa. Apabila Uni Eropa melakukan liberalisasi, maka harga internal Uni Eropa

tersebut akan sama dengan harga dunia, sehingga LDC menjadi semakin tidak

mampu untuk melakukan ekspor.71

Negara maju juga sudah meningkatkan

hambatan non-tarif mereka dengan membentuk peraturan Sanitary dan

Phytosanitary (SPS),72

yang akan menghambat beberapa komoditas LDCs apabila

belum memenuhi syarat SPS tersebut.73

Kesimpulan dari tulisan-tulisan Arvind Panagariya adalah, liberalisasi

secara unilateral oleh negara maju akan menguntungkan negara maju dan negara

berkembang yang termasuk kedalam kelompok Cairns Group, karena ekspor

mereka ke negara maju akan meningkat, dan merugikan LDCs yang harus

bersaing dengan komoditas pertanian kelompok Cairns Group di pasar negara

maju. Terlebih, liberalisasi secara unilateral oleh negara maju yang telah

bergabung menjadi negara anggota Uni Eropa akan lebih menyakiti LDCs, karena

akan menghapus inisiatif EBA, yang selama ini telah menguntungkan LDCs.

Selain itu, dalam konteks hasil, produk pertanian seringkali mengalami

penurunan tingkat pengembalian yang tidak memungkinkan suatu negara untuk

sukses melaksanakan pembangunan. Produk pertanian yang mengalami

peningkatan tingkat pengembalian hanyalah beberapa produk pertanian yang

68

Arvind Panagariya, In Defense of International Trade, 16. 69

GSP adalah sistem tarif Preferential ciptaan United Nations Conference on Trade and

Development (UNCTAD) yang membebaskan anggota WTO dari prinsip MFN, untuk

meningkatkan impor mereka terhadap produk manufaktur dan pertanian dari negara berkembang

dan LDCs, tanpa membuka pasar mereka terhadap produk negara maju. 70

EBA diatur dalam pasal 12 dan 13 GSP Uni Eropa dengan tujuan untuk membebaskan semua

impor ke Uni Eropa dari LDCs, kecuali impor persenjataan, dari bea dan kuota impor. 71

Arvind Panagariya, Farm Liberalisation Will Hurt LDCs. 72

SPS adalah standar keamanan makanan yang harus dipatuhi oleh negara anggota WTO. Standar

ini seringkali berdasarkan penelitian ilmiah negara maju, sehingga ada beberapa kasus dimana

ekspor makanan LDCs dari spesies hewan tertentu dilarang, walaupun negara maju diperbolehkan

mengekspor spesies hewan yang serupa. Standar yang tinggi juga harus ditanggung LDCs dengan

biaya yang tinggi. 73

Arvind Panagariya, Farm Liberalisation Will Hurt LDCs.

Wacana dan..., Sabil Perbawa, FISIP UI, 2014

Page 53: TA-Sabil Perbawa.pdf

40

Universitas Indonesia

langka (seperti daging sapi Wagyu dari Jepang), produk khas (seperti keju swiss),

dan bahan bakar hayati (biofuel). Produk yang dapat mengalami tingkat

pengembalian yang tinggi sebagian besar diproduksi di sektor manufaktur dan

jasa. Sehingga seorang ekonom Norwegia, yang bernama Erik Steenfeldt Reinert,

mengkritik structural adjustment IMF dan World Bank yang seringkali

meliberalisasikan sektor manufaktur negara berkembang dan LDCs, walaupun

negara berkembang dan LDCs akhirnya dapat mengekspor komoditas pertanian ke

negara maju. Sektor industri manufaktur sendiri dalam GATT dikategorisasikan

sebagai sektor sekunder. 74

Dalam bukunya, Reinert mencontohkan Ekuador dan Afrika sebagai

korban dari structural adjustment IMF dan World Bank. Pada tahun 1994, Bretton

Woods Institutions (BWIs) menjanjikan hibah dan pinjaman kepada Presiden

Ekuador, Sixto Durán Ballén, dengan syarat Ekuador menghapus tarif komoditas

sektor manufaktur dan melakukan spesialisasi dalam mengekspor pisang ke pasar

global. Akibatnya, terjadi proses deindustrialisasi yang telah menurunkan jumlah

pekerjaan dan upah riil di Ekuador. Namun, hibah dan pinjaman yang dijanjikan

BWIs tidak juga muncul, dan Uni Eropa malah memberikan bea impor yang berat

pada pisang Ekuador.75

Negara-negara di Benua Afrika juga telah melakukan

deindustrialisasi secara besar-besaran. Akibatnya, banyak organisasi dan negara-

negara maju yang memberikan kontribusi besar-besaran untuk meringankan

penderitaan Afrika, tanpa menerapkan solusi jangka panjang yang, menurut

Reinert, membutuhkan pengembangan industri di sektor manufaktur dan jasa.

Hukum tingkat pengembalian yang menurun (law of diminishing returns)

telah mengatakan bahwa ketika salah satu faktor produksi suatu industri

diproduksi oleh alam (contohnya industri di sektor primer seperti pertanian,

perikanan, atau pertambangan), maka pada titik tertentu menambah modal

ataupun tenaga kerja akan menghasilkan pengembalian yang lebih kecil

dibandingkan penambahan sebelumya.76

Saat ini, outsourcing produk yang tidak

bisa dimekanisasi dari Amerika Serikat ke Meksiko dan negara-negara tetangga

74

Erik S. Reinert, “The Evolution of the Two Different Approaches,” How Rich Countries Got

Rich and Why Poor Countries Stay Poor (London: Constable, 2007), EPUB edition, bab. 2. 75

Ibid. 76

Ibid.

Wacana dan..., Sabil Perbawa, FISIP UI, 2014

Page 54: TA-Sabil Perbawa.pdf

41

Universitas Indonesia

lainnya telah menurunkan rata-rata upah Meksiko, karena upah mereka lebih

rendah dibandingkan upah buruh di industri tradisional. Contohnya adalah industri

maquila di dekat perbatasan Amerika, yang tumbuh dengan mengorbankan

industri tradisional. Efek maquila tersebut juga ditemukan di sektor pertanian,

contohnya produk pertanian yang bisa dimekanisasi (gandum dan jagung) saat ini

diambil alih oleh Amerika Serikat, sementara Meksiko mengkhususkan diri dalam

memproduksi produk yang tidak bisa dimekanisasi (stroberi, buah jeruk,

mentimun, dan tomat). Hal ini menyebabkan Meksiko menjadi bergantung pada

kegiatan yang hanya memakai proses padat karya, dan mengurangi peluang

Meksiko untuk melakukan inovasi, serta menghalangi Meksiko untuk

mengembangkan teknologi.77

Pada tahun 1992, Francis Fukuyama memuji berakhirnya Perang Dingin

dalam buku The End of History and the Last Man. Namun, pada tahun 2006,

dalam buku After the Neocons: America at the Crossroads, Fukuyama menarik

pujiannya, karena dia melihat kaum neo-konservatif percaya bahwa demokrasi

adalah kondisi default masyarakat ketika terjadi perubahan dari rezim koersif,

bukan sebagai proses jangka panjang dari pembangunan lembaga dan reformasi.

Reinert lalu menciptakan argumen paralel tentang ekonomi, bahwa ekonom neo-

liberal percaya bahwa pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan adalah kondisi

default jika intervensi pasar telah dihapus, bukan sebagai hasil dari proses jangka

panjang dalam membangun struktur ekonomi khusus.78

Menurut Reinert, pembangunan harus dilihat sebagai hasil dari kebijakan

yang sadar dan terencana, bukan semata-mata dari penghapusan hambatan

perdagangan.79

Menurut pengalaman Reinert saat bekerja sama dengan

penggembala rusa Saami di Norwegia utara, para penggembala menjual kulit rusa

mereka kepada penyamakan kulit di Swedia dengan harga 50 kroner, dan membeli

kembali kulit yang sama yang sudah menjadi kulit samak dengan harga 500

kroner, sehingga Swedia memiliki industri manufaktur dengan multiplier sebesar

10. Keuntungan dari memproduksi produk manufaktur adalah terciptanya banyak

77

Ibid. 78

Erik S. Reinert, “Introduction,” How Rich Countries Got Rich and Why Poor Countries Stay

Poor (London: Constable, 2007), xviii-xix. 79

Ibid., xix-xx.

Wacana dan..., Sabil Perbawa, FISIP UI, 2014

Page 55: TA-Sabil Perbawa.pdf

42

Universitas Indonesia

lapangan kerja untuk buruh, laba yang meningkat untuk pengusaha, dan

penghasilan pajak yang banyak untuk pemerintah.80

Saat ini retorika yang populer di WTO adalah LDCs tetap miskin karena

negara maju melindungi sektor pertaniannya. Reinert berusaha untuk

menunjukkan bahwa LDCs tidak akan menjadi kaya jika mereka hanya diizinkan

untuk menjual produk makanan dan pertanian mereka ke negara maju. Reinert

berpendapat bahwa harus dibuat kesepakatan dimana negara maju diperbolehkan

untuk melindungi sektor pertaniannya (tetapi tidak boleh membuang surplus

produksi pertanian ke pasar dunia), sedangkan LDCs diperbolehkan untuk

melindungi sektor manufaktur dan jasa mereka.81

Namun, Reinert juga tidak secara buta mendukung dan meminta suatu

negara mengadopsi proteksionisme. Oleh karena itu, Reinert membandingkan

antara dua jenis proteksionisme yang ideal di dunia ini berdasarkan lokasi

geografis, yaitu antara jenis proteksionisme di Asia Timur dan Amerika Latin.

Dalam kaitannya dengan studi ini, Reinert mengatakan bahwa proteksionisme di

Asia Timur menekankan investasi besar-besaran dalam kebijakan di sektor

pendidikan dan industri, yang menciptakan permintaan besar untuk pendidikan,

sehingga pasokan orang berpendidikan menjadi cocok dengan permintaan dari

industri. Kebalikannya, proteksionisme di Amerika Latin kurang menekankan

investasi pada pendidikan ataupun industri, sehingga tidak menyebabkan

permintaan besar untuk pendidikan. Bahkan, investasi di bidang pendidikan malah

cenderung mendorong emigrasi.82

Lebih jauh, Reinert ingin mencaritahu penyebab perbedaan pendapatan riil

antara buruh yang berada di negara yang berbeda, tetapi tingkat produktivitas dan

efisiensinya sama. Pada saat ini, ekonom mainstream cenderung mengklaim

bahwa free trade adalah sistem dengan semua pemenang dan tanpa pecundang

yang akan meningkatkan pemerataan ekonomi, serta meratakan upah antara yang

kaya dan miskin di dunia ini.83

Klaim-klaim tersebut tentu saja tidak tepat,

sehingga Reinert berniat untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh

80

Ibid., 316. 81

Ibid., xxvi. 82

Ibid., 311. 83

Ibid., 2.

Wacana dan..., Sabil Perbawa, FISIP UI, 2014

Page 56: TA-Sabil Perbawa.pdf

43

Universitas Indonesia

pendukung FTL dan FTM, yaitu perbedaan upah antara negara maju dengan

negara-negara lainnya dan eksploitasi yang mengakibatkan rendahnya upah buruh

di LDCs dan negara berkembang. FTL ingin menaikkan upah buruh di LDCs dan

negara berkembang, tetapi solusi Reinert akan mengakibatkan bertambahnya

kompetitor bagi negara maju, sehingga tidak semua pendukung FTL yang

memakai perspektif nasionalisme ekonomi akan mendukung ide-ide Reinert.

Dengan mengambil contoh komoditas Gandum dan Arloji (merujuk teori

Comparative Advantage) Reinert membuktikan bahwa negara yang memiliki

keunggulan komparatif dalam memproduksi komoditas pertanian akan mengalami

kerugian, karena masuk ke area tingkat pengembalian yang menurun (diminishing

returns), sehingga memiskinkan petani. Namun, Reinert mengakui bahwa

mekanisasi di sektor pertanian tidak akan memecahkan masalah kemiskinan di

sektor pertanian, karena peningkatan produktivitas malah akan cenderung

merendahkan harga ekspor produk pertanian, bukan menaikkan pendapatan

petani.84

Hal ini memperlihatkan bahwa teori keunggulan komparatif hanya

menjanjikan keuntungan dari terlaksananya free trade kepada suatu negara secara

keseluruhan, bukan untuk individu atau kelompok tertentu. Sehingga ada

kemungkinan dimana perekonomian suatu negara secara keseluruhan mendapat

keuntungan dari free trade, namun banyak orang di dalam negara tersebut yang

kehilangan pendapatan mereka.

Menurut Reinert, salah satu argumen yang kuat untuk mendukung free

trade adalah perubahan teknologi dan inovasi, padahal tidak semua barang dan

jasa dapat diproduksi dengan peningkatan tingkat pengembalian seiring dengan

meningkatnya hasil produksi. Contohnya, salinan pertama dari produk Microsoft

mungkin menghabiskan biaya US$100 juta untuk diproduksi, sedangkan salinan

selanjutnya (jika didistribusikan secara elektronik) mungkin biayanya hanya

beberapa sen US$ untuk diproduksi dan didistribusikan. Biaya tetap (fixed costs)

yang tinggi menciptakan hambatan yang sangat tinggi untuk masuknya pesaing,

dan mengarah kepada struktur pasar oligopolistik, akibatnya perusahaan dengan

struktur biaya seperti Microsoft akan sangat sulit untuk disaingi oleh perusahaan

84

Ibid., 310.

Wacana dan..., Sabil Perbawa, FISIP UI, 2014

Page 57: TA-Sabil Perbawa.pdf

44

Universitas Indonesia

di LDCs.85

Sehingga salah satu penyebab perbedaan upah antar buruh di negara

maju dan LDCs adalah tingginya biaya tetap dalam memproduksi beberapa jenis

barang dan jasa. Buruh yang bekerja di industri pertanian dengan biaya tetap yang

rendah, akan bersaing dengan buruh murah dan buruh ilegal. Oleh karena itu,

tidak ada buruh di LDCs yang bisa mendekati tingkat pendapatan Bill Gates.86

Argumen ini memfalsifikasi asumsi yang dipakai teori keunggulan komparatif

bahwa tidak ada perbedaan kualitatif diantara kegiatan ekonomi. Sehingga, jika

dibiarkan, pasar akan menyamakan perbedaan, terutama perbedaan upah, antara

pekerja Microsoft di Amerika Serikat dan penggembala kambing di Mongolia.87

Dani Rodrik memberikan contoh bagaimana proteksionisme mungkin

dapat lebih membantu pembangunan LDCs, dengan membandingkan antara

Vietnam dengan Haiti pada tahun 2001. Vietnam pada tahun 2001 terlibat dalam

perdagangan antar-negara, walaupun belum menjadi anggota WTO, dengan tetap

mempertahankan monopoli dan kuota impor, serta menerapkan tarif yang tinggi

atas impor produk-produk pertanian dan industri sekunder (sekitar 30-50 persen).

Di sisi lain, Haiti adalah anggota WTO yang telah memangkas tarif impor menjadi

sekitar 15 persen dan menghapus semua kuota impor, serta mendapatkan pujian

dari Departemen Luar Negeri Amerika Serikat. Hasilnya, Vietnam tidak hanya

mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan mampu mengentaskan

kemiskinan, tetapi juga lebih integrasi ke dalam ekonomi dunia meskipun

hambatan perdagangannya tinggi. Di sisi lain, Haiti stagnan meskipun negara itu

melakukan liberalisasi perdagangan pada periode 1994-1995.88

Kesimpulannya, kesenjangan upah dapat diselesaikan melalui FTL dengan

meminta standar upah yang sama antara negara maju dengan negara berkembang

dan LDCs (dalam rangka menciptakan level playing field, atau aturan yang sama

mengenai upah di seluruh negara di dunia ini), sedangkan FTM menyelesaikan

kesenjangan upah tersebut dengan memberikan kompensasi kepada petani di

negara berkembang dan LDCs melalui harga premium saat konsumen di negara

maju membeli komoditas pertanian dari negara berkembang dan LDCs.

85

Ibid. 86

Erik S. Reinert, How Rich Countries Got Rich and Why Poor Countries Stay Poor, bab. 2. 87

Erik S. Reinert, How Rich Countries Got Rich and Why Poor Countries Stay Poor, 177. 88

Dani Rodrik, The Global Governance Of Trade: As If Development Really Mattered (New York:

UNDP, 2001), 22-23.

Wacana dan..., Sabil Perbawa, FISIP UI, 2014

Page 58: TA-Sabil Perbawa.pdf

45

Universitas Indonesia

Namun, Reinert menolak kedua ide tersebut, karena buruh di negara

berkembang dan LDCs tidak bisa dipaksa mendapatkan upah yang lebih tinggi

apabila negara tersebut belum menciptakan industri dengan tingkat pengembalian

yang tinggi. Reinert meminta agar negara berkembang dan LDCs meniru negara

maju sebelum memilih keunggulan komparatif mereka, agar sektor manufaktur

menjadi keunggulan komparatif mereka. Reinert justru mengajukan ide yang

mirip dengan Fair Trade menurut Stiglitz, walaupun Reinert tidak berpikir bahwa

liberalisasi sektor pertanian di negara maju akan secara otomatis menjadikan

LDCs dan negara berkembang menjadi kaya raya.

3.3 Perkembangan Gagasan Proteksionisme Sektor Pertanian di Negara

Maju

Paparan selanjutnya akan mengupas mengenai sejarah liberalisasi dan

proteksionisme sektor pertanian di negara-negara maju, lalu dilanjutkan dengan

memfokuskan analisa kepada Amerika Serikat. Dalam sejarahnya, periode dari

tahun 1820 ke 1879 adalah periode penurunan tingkat tarif di benua Eropa, yang

dimulai di Inggris pada tahun 1820 dengan pengurangan bea dan hambatan

perdagangan lainnya. Pada tahun 1846, penghapusan Corn Laws juga mengakhiri

proteksionisme sektor pertanian di Inggris. Masa keemasan free trade dimulai

pada tahun 1860, ketika Inggris dan Perancis menandatangani Cobden–Chevalier

Treaty, yang hampir mengeliminasi seluruh hambatan perdagangan antara Inggris

dan Perancis. Hal ini diikuti oleh serangkaian perjanjian perdagangan bilateral

antara hampir semua negara di Eropa.89

Namun, gerakan menuju liberalisasi berbalik arah pada akhir tahun 1870-

an. Hanya Inggris, Belgia, Belanda, dan Swiss yang terus mengikuti kebijakan

free trade sampai tahun 1880-an. Inggris lalu mulai membangun PTA di negara

jajahannya pada tahun 1898. Amerika Serikat pada dasarnya proteksionis

sepanjang abad kesembilan belas. Tarif tinggi yang dikenakan Amerika Serikat

selama Perang Saudara dilanjutkan dengan pengecualian pada tahun 1890, bahkan

89

Stephen D. Krasner, “State Power and The Structure of International Trade” dalam International

Political Economy Perspectives on Global Power and Wealth, fourth edition, ed. Jeffry A. Frieden

(London: Routledge, 2000), 25.

Wacana dan..., Sabil Perbawa, FISIP UI, 2014

Page 59: TA-Sabil Perbawa.pdf

46

Universitas Indonesia

tidak ada pengurangan bea yang signifikan sebelum tahun 1914. Selama tahun

1920-an persentase tarif meningkat lebih lanjut, karena negara-negara Eropa Barat

melindungi sektor pertanian mereka terhadap impor dari wilayah Danube,

Australia, Kanada, dan Amerika Serikat, dimana perang telah mendorong

peningkatan jumlah produksi di sektor pertanian.90

Sebuah pembenaran yang sering digunakan oleh suatu negara untuk

melakukan proteksionisme adalah subsidi yang dilakukan oleh negara mitra

dagang. Apabila negara mitra dagang mensubsidi produsen dalam yurisdiksinya,

maka free trade dan spesialisasi produsen sesuai dengan keunggulan komparatif

tidak akan terlaksana.91

Biasanya tujuan subsidi ekspor adalah untuk

meningkatkan ekspor suatu negara relatif terhadap impor. Biaya subsidi tersebut

ditanggung oleh warga negara yang pemerintahnya menggunakan subsidi,

sedangkan manfaat dari subsidi dinikmati oleh mitra dagang negara yang

mensubsidi.92

Negara maju seperti Amerika Serikat seringkali memproteksi sektor

pertaniannya, walaupun warga negaranya menanggung biaya dari subsidi tersebut.

Untuk membahas proteksionisme di sektor pertanian, kita harus

memahami bahwa kebijakan luar negeri suatu negara tergantung kepada politik

dalam negeri di negara tersebut. Contohnya, di Amerika Serikat, apabila partai

demokrat menang maka kemungkinan besar tarif akan turun, sedangkan apabila

partai republik menang maka kemungkinan besar tarif akan naik. Hal inilah yang

menyebabkan munculnya Reciprocal Trade Agreement Act di Amerika Serikat

yang merupakan salah satu FTL Amerika Serikat. Dalam membahas mengenai

perkembangan gagasan proteksionisme sektor pertanian di negara maju, studi ini

mengambil contoh Amerika Serikat, karena FTL seringkali digunakan oleh

pemerintah Amerika Serikat dan AFL (American Federation of Labor) untuk

menjustifikasi proteksionisme. Sejak tahun 1920, AFL diakui sebagai kelompok

yang paling tangguh di Amerika Serikat, selain partai politik.93

90

Ibid. 91

Donald J. Boudreaux, “Do Subsidies Justify Retaliatory Protectionism?,” Economic Affairs, 31,

no. 3 (2011), 4. 92

Ibid., 5. 93

Barry Eichengreen, “The Political Economy of the Smoot-Hawley Tariff” dalam International

Political Economy Perspectives on Global Power and Wealth, fourth edition, ed. Jeffry A. Frieden

(London: Routledge, 2000), 39.

Wacana dan..., Sabil Perbawa, FISIP UI, 2014

Page 60: TA-Sabil Perbawa.pdf

47

Universitas Indonesia

Saat ini, aktor negara adalah sandera dari kelompok komoditas dan

kepentingan khusus lainnya. Bahkan, ekonom Amerika Serikat yang bernama

Barry Eichengreen mengatakan bahwa Amerika Serikat hanya perlu menghapus

subsidi gandum, biji minyak, dan kapas domestik untuk meningkatkan pendapatan

nasional dan internasional. Sedangkan penghapusan subsidi susu, tembakau, gula,

dan kacang akan sulit dilakukan oleh Amerika Serikat.94

Kebijakan komoditas

pertanian domestik Amerika Serikat dan kebijakan perdagangan internasional di

seluruh dunia tidak dapat dipisahkan, karena liberalisasi program komoditas

domestik dan perdagangan internasional cenderung untuk berjalan bersama-sama,

walaupun hubungan kausalitasnya belum diketahui.95

Pada tahun 2000, subsidi asuransi tanaman dan pendapatan Amerika

Serikat mencapai sekitar US$2,5 miliar. Tanaman berasuransi ini terutama

ditanam di daerah yang berisiko tinggi di negara bagian Great Plains seperti

Texas dan North Dakota. Asuransi Tanaman dan pendapatan menyebabkan lebih

banyak tanah yang dapat ditanam tanaman, dan menyebabkan lahan dapat ditanam

lebih intensif.96

Namun, sebuah panel WTO memutuskan bahwa subsidi asuransi

dan pembayaran langsung Amerika Serikat harus dihitung sebagai subsidi yang

mendistorsi perdagangan. Oleh karena itu, notifikasi Amerika Serikat kepada

WTO pada tahun 2010 seharusnya bukanlah US$4 miliar melainkan US$15 miliar.

Great Plains sendiri disebut sebagai daerah yang berisiko tinggi untuk pertanian

karena kurangnya curah hujan untuk pertumbuhan jagung, dan di bagian utara

musim tanamnya pendek.

Kesimpulannya, pemerintah Amerika Serikat menggunakan FTL dan

subsidi karena dipaksa oleh kelompok komoditas dan kepentingan khusus lainnya,

walaupun proteksionisme sektor pertanian akan merugikan sebagian besar warga

negara Amerika Serikat. Namun, dapat dilihat bahwa baik free trade maupun

proteksionisme akan sama-sama menciptakan pemenang dan pecundang.

Sehingga FTM dan Fair Trade menurut Stiglitz muncul sebagai alternatif yang

berusaha untuk menengahi free trade dan proteksionisme. Ilustrasi dari

kesimpulan bab tiga ini dapat dilihat pada gambar 3.2.

94

Ibid., 90. 95

Ibid. 96

Ibid., 93.

Wacana dan..., Sabil Perbawa, FISIP UI, 2014

Page 61: TA-Sabil Perbawa.pdf

48

Universitas Indonesia

Gambar 3.2 Visualisasi Mengenai Perdebatan Proteksionisme Sektor Pertanian di

Negara Maju, Negara Berkembang, dan LDC

Sumber: Disarikan oleh penulis dari berbagai sumber

Wacana dan..., Sabil Perbawa, FISIP UI, 2014

Page 62: TA-Sabil Perbawa.pdf

49

Universitas Indonesia

BAB 4

KESIMPULAN

Berdasarkan analisis yang sudah dilakukan oleh studi ini, maka dapat

disimpulkan bahwa FTL adalah proteksionisme, FTM belum tentu proteksionisme,

dan Fair Trade menurut Stiglitz bukanlah proteksionisme. FTL adalah

proteksionisme, karena merupakan bagian dari hambatan non-tarif. FTM mungkin

proteksionisme, karena aktornya adalah non-negara (NGO/kelompok individu)

yang dianggap melawan pemikiran nasionalis bahwa proteksi hanya dilakukan

oleh aktor negara. Walau demikian diakui bahwa FTM telah melawan arus

ekonomi pasar, yang mengakibatkan publisitas negatif. Sementara itu, Fair Trade

menurut Stiglitz bukanlah proteksionisme, karena Fair Trade menurut Stiglitz

sebenarnya hanya menginginkan free trade dengan liberalisasi yang simetris, agar

jumlah pemenang dari perdagangan internasional semakin banyak, sehingga akan

terjadi pemerataan kesejahteraan di seluruh dunia.

Studi ini juga menemukan argumen yang menyatakan FTM mencegah

negara berkembang dan LDCs masuk ke fase industrialisasi tidak sepenuhnya

benar. Hal ini karena negara berkembang dan LDCs dapat menggunakan buruh di

sektor pertanian yang semakin makmur (karena buruh tani mendapatkan kenaikan

upah dari FTM) untuk dipindahkan ke sektor industri manufaktur ataupun jasa,

dengan asumsi bahwa buruh tani tersebut berinvestasi di bidang pendidikan.

Namun, FTM akan menjadi masalah apabila LDCs hanya memproduksi barang

bersertifikat FTM dengan harga yang cenderung mahal, karena akan

mengakibatkan permintaan produk pertanian dari LDCs menurun, dan hanya

sedikit orang yang bersedia membeli barang bersertifikat FTM tersebut.

Akibatnya, konsumen di negara maju rugi karena harus membayar dengan harga

yang mahal, dan hanya produsen makanan serta pertanian terbaik di LDCs yang

dapat terus menjual produk pertanian, sementara produsen yang bangkrut di LDCs

tidak mendapatkan kompensasi dari kekalahan mereka dalam sistem FTM.

Di sisi lain, pendukung FTL berpendapat bahwa keberadaan negara-negara

dengan buruh yang memiliki upah rendah telah merusak level playing field.

Sehingga, para pendukung FTL meminta upah yang sama antara buruh di negara

Wacana dan..., Sabil Perbawa, FISIP UI, 2014

Page 63: TA-Sabil Perbawa.pdf

50

Universitas Indonesia

maju dan LDCs. Pada kenyataannya, LDCs tidak bisa menetapkan upah minimum

buruh mereka setinggi di negara maju, dan negara maju tidak mau mengikuti race

to the bottom hingga upah buruh mereka menyamakan upah LDCs, walaupun

negara maju dapat melakukannya dengan cara menghapus subsidi di sektor

pertanian. Oleh karena itu, pendukung FTL berusaha menghapus keunggulan

komparatif LDCs terhadap negara maju dengan menggunakan antidumping laws

dan countervailing duties.

Lebih jauh, studi ini menemukan bahwa dari ketiga jenis fair trade yang

sudah dibahas dalam studi ini, yang paling menguntungkan bagi LDCs adalah

Fair Trade menurut Stiglitz, karena FTL hanya akan menuduh bahwa LDCs telah

mensubsidi atau melakukan dumping, sedangkan FTM tidak memiliki pengaruh

yang signifikan. Di sisi lain, Fair Trade menurut Stiglitz dari awal berniat untuk

membantu LDCs dalam situasi perdagangan bebas. Tidak hanya itu, Fair Trade

menurut Stiglitz juga akan menguntungkan negara maju yang menghapus subsidi

pertanian dan negara berkembang yang mengimpor komoditas makanan dan

pertanian. Walaupun dihapuskannya EBA akibat liberalisasi Uni Eropa akan

merugikan LDCs, Fair Trade menurut Stiglitz akan membuka pasar negara maju

yang tadinya tertutup, sehingga Fair Trade menurut Stiglitz juga akan

menguntungkan LDCs. Walaupun perhitungan keuntungan dan kerugian secara

riil memerlukan penelitian lebih lanjut.

Menurut Stiglitz, studi ini menyimpulkan bahwa proteksionisme akan

meningkatkan biaya hidup konsumen yang berada di negara importir dan tidak

berpartisipasi dalam FTM. Sebaliknya, free trade akan memberikan konsumen di

negara importir kemampuan untuk membeli dan mengkonsumsi berbagai barang

dan jasa dengan harga murah. Sehingga, konsumen di negara importir pada

umumnya diuntungkan dari adanya free trade. Di sisi lain, free trade akan

merugikan konsumen di negara eksportir, karena barang dalam negeri akan

menghadapi inflasi harga, akibat lebih banyak barang yang diekspor daripada

yang dikonsumsi di dalam negara. Sehingga ada pemenang dan pecundang dalam

kedua kebijakan. Hal ini memperjelas kondisi bahwa baik free trade maupun

proteksionisme akan menghasilkan kondisi yang merugikan sebagian pihak dan

menguntungkan sebagian pihak lainnya.

Wacana dan..., Sabil Perbawa, FISIP UI, 2014

Page 64: TA-Sabil Perbawa.pdf

51

Universitas Indonesia

DAFTAR REFERENSI

Sumber Buku:

Balaam, David N., dan Michael Veseth. Introduction to International Political

Economy, second edition. Upper Saddle River: Prentice Hall, 2001.

Baran, Paul A. The Political Economy of Growth. New York: Monthly Review

Press, 1962.

Cadot, Olivier. Non-Tariff Measures: A Fresh Look At Trade Policy's New

Frontier‖. London: Centre for Economic Policy Research, 2012.

Crocker, David Alan. ―Development Ethics, Democracy, and Globalization‖

dalam Democracy in a Global World: Human Rights and Political

Participation in the 21st Century, ed. Deen K. Chatterjee, 27-70. Lanham:

Rowman & Littlefield Publishers, 2008.

Dunkley, Graham. The Free Trade Adventure: The WTO, the Uruguay Round and

Globalism (London: Zed Books, 2001).

Eichengreen, Barry. ―The Political Economy of the Smoot-Hawley Tariff‖ dalam

International Political Economy Perspectives on Global Power and Wealth,

fourth edition, ed. Jeffry A. Frieden, 42-52. London: Routledge, 2000.

Friedheim, Thomas. ―Domestic Taxes and Administrative and Technical Barriers

to Trade on Goods and Services‖ dalam Implications of the Uruguay Round

Agreement for South Asia: the Case of Agriculture, eds. Benoit Blarel, Garry

Pursell, dan Alberto Valdes, 87-100.Washington, D.C.: World Bank, 1999.

Gilpin, Robert, dan Jean M. Gilpin. Global Political Economy Understanding the

International Economic Order. Princeton: Princeton University Press, 2001.

Howse, Robert dan Michael J. Trebilcock. The Fair Trade-Free Trade Debate:

Trade, Labour and The Environment. Toronto: Canadian Law and Economics

Association, 1994.

International Bank for Reconstruction and Development. Global Monitoring

Report: Food Prices, Nutrition, and the Millennium Development Goals.

Washington, D.C.: The World Bank, 2012.

Krasner, Stephen D. ―State Power and The Structure of International Trade‖

dalam International Political Economy Perspectives on Global Power and

Wealth, fourth edition, ed. Jeffry A. Frieden, 23-41. London: Routledge, 2000.

Mohan, Sushil. Fair Trade without the Froth: A Dispassionate Economic Analysis

of ‘Fair Trade’. London: Institute of Economic Affairs, 2010.

Wacana dan..., Sabil Perbawa, FISIP UI, 2014

Page 65: TA-Sabil Perbawa.pdf

52

Universitas Indonesia

Panagariya, Arvind. ―In Defense of International Trade‖ dalam Debating

Globalization: International Perspectives on The Global Economic and Social

Order, ed. John M. Balonze, 11-22. Bruxelles: TellerBooks, 2005.

——, Arvind. ―Miracles and Debacles: An Extension‖ dalam Handbook of Trade

Policy for Development, eds. Arvid John Lukauskas, Robert M. Stern, dan

Gianni Zanini, 417-443. Oxford: Oxford University Press, 2013.

Poonyth, Daneswar, dan Deep Ford. Small Island Developing States: Agricultural

Production and Trade, Preferences and Policy. Rome: Food and Agriculture

Organization of the United Nations, 2004.

Reinert, Erik S. How Rich Countries Got Rich and Why Poor Countries Stay

Poor. London: Constable, 2007. EPUB edition.

——, Erik S. How Rich Countries Got Rich and Why Poor Countries Stay Poor.

London: Constable, 2007.

Rodrik, Dani. The Global Governance of Trade: As If Development Really

Mattered. New York: UNDP, 2001.

Stiglitz, Joseph E. Making Globalization Work. New York: W.W. Norton & Co,

2006.

Stiglitz, Joseph E., dan Carl E. Walsh. Economics, fourth edition. New York:

W.W. Norton, 2006.

Stiglitz, Joseph E., dan Andrew Charlton. Fair Trade For All: How Trade Can

Promote Development. Oxford: Oxford University Press, 2005.

Tweeten, Luther G. Terrorism, Radicalism, and Populism in Agriculture. Ames:

Iowa State Press, 2003.

Artikel Jurnal:

Abboushi, Suhail. ―Trade Protectionism: Reasons and Outcomes‖.

Competitiveness Review, Vol. 20, No. 5 (2010), 384-394.

http://search.proquest.com/docview/756100864?accountid=17242 . Diakses

pada 24 Maret 2014.

Archer, Candace, dan Stefan Fritsch. ―Global Fair Trade: Humanizing

Globalization and Reintroducing the Normative to International Political

Economy‖. Review of International Political Economy, Vol. 17, No. 1 (2010),

103-128.

Boudreaux, Donald J. ―Do Subsidies Justify Retaliatory

Protectionism?‖. Economic Affairs, Vol. 31, No. 3 (2011), 4-6.

Wacana dan..., Sabil Perbawa, FISIP UI, 2014

Page 66: TA-Sabil Perbawa.pdf

53

Universitas Indonesia

Cleverdon, Robert, dan Angela Kalisch. ―Fair Trade in Tourism‖. The

International Journal of Tourism Research, Vol. 2, No. 3 (2000), 171–187.

http://search.proquest.com/docview/214524798?accountid=17242. Diakses

pada 20 November 2013.

Davies, Iain A., Bob Doherty dan Simon Knox, ―The Rise and Stall of a Fair

Trade Pioneer: The Cafédirect Story‖. Journal of Business Ethics, Vol. 92, No.

1 (2010), 127-147.

Ehrlich, Sean D. ―The Fair Trade Challenge to Embedded Liberalism‖.

International Studies Quarterly, Vol. 54, No. 4 (2010), 1013–1033.

Low, Patrick, Gabrielle Marceau dan Julia Reinaud. ―The Interface between the

Trade and Climate Change Regimes: Scoping the Issues‖. Journal of World

Trade, Vol. 46, No. 3 (2012), 485-544,

http://search.proquest.com/docview/1035328836?accountid=17242. Diakses

pada 18 Maret 2014.

Marvel, Howard P. ―How Fair Is Fair Trade?‖. Contemporary Policy Issues,

Vol. 3, No. 3 (Spring, 1985), 23–35,

http://search.proquest.com/docview/237239840?accountid=17242. Diakses

pada 9 Oktober 2013.

Moore, Geoff. ―The Fair Trade Movement: Parameters, Issues and Future

Research‖. Journal of Business Ethics, Vol. 53, No. 1-2 (2004), 73-86.

Nollen, Stanley D., dan Dennis P. Quinn. ―Free Trade, Fair Trade, Strategic

Trade, and Protectionism in the U.S. Congress, 1987–88‖. International

Organization, Vol. 48, No. 03 (1994), 491-525.

Ozkan, Gokhan. ―Emergence of International Political Economy as a Sub-

Discipline of International Relations and Impact of the Global Crisis on

International Political Economy‖. International Journal of Business and Social

Science, Vol. 3, No. 13 (2012), 198-204.

http://search.proquest.com/docview/1022660703?accountid=17242. Diakses

pada 4 Maret 2014.

Panagariya, Arvind. ―Agricultural Liberalisation and the Least Developed

Countries: Six Fallacies‖. The World Economy, Vol. 28, No. 9 (2005), 1277–

1299.

Stratton, Jeanine P., dan Matt J. Werner, ―Consumer Behavior Analysis of Fair

Trade Coffee: Evidence from Field Research‖. The Psychological Record,

Vol. 63, No. 2 (Spring, 2013), 363-374,

http://search.proquest.com/docview/1352860908?accountid=17242. Diakses

pada 4 Maret 2014.

Sumber Konferensi:

Wacana dan..., Sabil Perbawa, FISIP UI, 2014

Page 67: TA-Sabil Perbawa.pdf

54

Universitas Indonesia

Hiscox, Michael J., dan Nicholas F. B. Smyth. ―Is There Consumer Demand for

Improved Labor Standards? Evidence from Field Experiments in Social

Labeling‖. Paper presented at the Murphy Institute of Political Economy

Conference on the ‗New Political Economy of Globalization‘, New Orleans,

Louisiana, 20-21 April, 2007.

http://www.nottingham.ac.uk/gep/documents/conferences/2007/april07conf/his

cox-april07.pdf. Diakses pada 9 Juni 2014.

Sumber Elektronik: Bovard, James. ―U.S. Fair Trade Laws Are Anything But Fair.‖ The Wall Street

Journal (New York), 3 Juni, 1987.

http://www.jimbovard.com/Bovard_Wall_Street_Journal_1987_US_Fair_Trad

e_Laws_Are_Anything_But.htm. Diakses pada 2 Mei 2014.

Panagariya, Arvind. ―Farm Liberalisation Will Hurt LDCs‖.

http://www.columbia.edu/~ap2231/ET/et76_March23_05.htm. Diakses pada 2

Mei 2014.

Fair Trade USA. ―Fair Trade USA Almanac 2012‖.

http://fairtradeusa.org/sites/default/files/2012_Fair-Trade-USA_Almanac.pdf.

Diakses pada 3 Maret 2014.

Office of the High Commissioner for Human Rights. ―International Covenant on

Economic, Social and Cultural Rights‖.

http://www.ohchr.org/EN/ProfessionalInterest/Pages/CESCR.aspx. Diakses

pada 10 Maret 2014.

The World Bank. ―Types of Tariffs‖.

http://wits.worldbank.org/WITS/wits/WITSHELP/Content/Data_Retrieval/P/In

tro/C2.Types_of_Tariffs.htm. Diakses pada 12 Mei 2014.

United Nations. ―Least Developed Countries Criteria‖.

http://www.un.org/en/development/desa/policy/cdp/ldc/ldc_criteria.shtml#popu

lation. Diakses pada 6 Mei 2014.

United Nations Office of the High Representative for the Least Developed

Countries, Landlocked Developing Countries and Small Island Developing

States. ―Criteria for Identification and Graduation of LDCs‖.

http://unohrlls.org/about-ldcs/criteria-for-ldcs/. Diakses pada 15 April 2014.

World Trade Organization. ―Days 3, 4 and 5: Round-The-Clock Consultations

Produce Bali Package‖.

http://www.wto.org/english/news_e/news13_e/mc9sum_07dec13_e.htm.

Diakses pada 4 Maret 2014.

World Trade Organization. ―Least-Developed Countries‖.

http://www.wto.org/english/thewto_e/whatis_e/tif_e/org7_e.htm. Diakses pada

15 April 2014.

Wacana dan..., Sabil Perbawa, FISIP UI, 2014

Page 68: TA-Sabil Perbawa.pdf

Lampiran 1

Jumlah Other Duties and Charges Yang Dikenakan oleh Landlocked Least-Developed Countries

Universitas Indonesia

Landlocked Least-

Developed Countries

Tahun

Masuk

LDC

Status / Tanggal

Masuk WTO

Jenis Produk dalam 6 digit kategorisasi produk HS-6 dalam bentuk

paling rinci (HS Sub-pos)

Jumlah TLL dalam HS Sub-pos

yang terkena Other Duties and

Charges (ODC)

Afganistan 1971 Observer WTO - -

Bhutan 1971 Bukan anggota WTO - -

Burkina Faso 1971 3 Juni 1995 EDIBLE VEGETABLES AND CERTAIN ROOTS AND TUBERS 61

Burundi 1971 23 Juli 1995 EDIBLE VEGETABLES AND CERTAIN ROOTS AND TUBERS 61

Republik Afrika Tengah 1975 31 Mei 1995 EDIBLE VEGETABLES AND CERTAIN ROOTS AND TUBERS 61

Chad 1971 19 Oktober 1996 (tidak ada HS Sub-pos dengan jumlah ODC yang signifikan) 0

Ethiopia 1971 Observer WTO - -

Republik Demokratik

Rakyat Laos 1971 2 Februari 2013 (tidak ada HS Sub-pos dengan jumlah ODC yang signifikan) 0

Malawi 1971 31 Mei 1995 FISH AND CRUSTACEANS, MOLLUSCS AND OTHER

AQUATIC INVERTEBRATES 94

Mali 1971 31 Mei 1995 EDIBLE VEGETABLES AND CERTAIN ROOTS AND TUBERS 61

Nepal 1971 23 April 2004 (tidak ada HS Sub-pos dengan jumlah ODC yang signifikan) 0

Niger 1971 13 Desember 1996 FISH AND CRUSTACEANS, MOLLUSCS AND OTHER

AQUATIC INVERTEBRATES 86

Rwanda 1971 22 Mei 1996 (tidak ada HS Sub-pos dengan jumlah ODC yang signifikan) 0

Uganda 1971 1 Januari 1995 MEAT AND EDIBLE MEAT OFFAL 16

Zambia 1991 1 Januari 1995 (tidak ada HS Sub-pos dengan jumlah ODC yang signifikan) 0

Sumber: World Trade Organization, ―Tariff Download Facility,‖ http://tariffdata.wto.org (diakses pada 15 April 2014). ―Telah diolah kembali‖.

Wacana dan..., Sabil Perbawa, FISIP UI, 2014

Page 69: TA-Sabil Perbawa.pdf

Lampiran 2

Jumlah Other Duties and Charges Yang Dikenakan oleh Small Island Least-Developed Countries

Universitas Indonesia

Small Island Least-

Developed Countries

Tahun

Masuk

LDC

Status / Tanggal

Masuk WTO

Jenis Produk dalam 6 digit

kategorisasi produk HS-6

dalam bentuk paling rinci (HS

Sub-pos)

Jumlah National Tariff Line Level

(TLL) dalam HS Sub-pos yang

terkena Other Duties and Charges

(ODC)

Komoro 1977 Observer WTO - -

Kiribati 1986 Bukan anggota WTO - -

Sao Tome dan

Principe 1982 Observer WTO - -

Kepulauan Solomon 1991 26 Juli 1996 (tidak ada HS Sub-pos dengan

jumlah ODC yang signifikan) 0

Timor-Leste 2003 Bukan anggota WTO - -

Tuvalu 1986 Bukan anggota WTO - -

Vanuatu 1985 24 Agustus 2012 (tidak ada HS Sub-pos dengan

jumlah ODC yang signifikan) 0

Sumber: World Trade Organization, ―Tariff Download Facility,‖ http://tariffdata.wto.org (diakses pada 15 April 2014). ―Telah diolah kembali‖.

Wacana dan..., Sabil Perbawa, FISIP UI, 2014

Page 70: TA-Sabil Perbawa.pdf

Lampiran 3

Jumlah Other Duties and Charges Yang Dikenakan oleh Other Least Developed

Countries

Universitas Indonesia

Other Least-Developed

Countries

Tahun

Masuk

LDC

Status / Tanggal Masuk

WTO

Jenis Produk dalam 6 digit kategorisasi produk HS-6 dalam

bentuk paling rinci (HS Sub-pos)

Jumlah TLL dalam HS Sub-pos yang

terkena Other Duties and Charges

(ODC)

Angola 1994 23 November 1996 FISH AND CRUSTACEANS, MOLLUSCS AND OTHER

AQUATIC INVERTEBRATES 94

Bangladesh 1975 1 Januari 1995 EDIBLE VEGETABLES AND CERTAIN ROOTS AND

TUBERS 58

Benin 1971 22 Februari 1996 EDIBLE VEGETABLES AND CERTAIN ROOTS AND

TUBERS 61

Kamboja 1991 13 Oktober 2004 (tidak ada HS Sub-pos dengan jumlah ODC yang signifikan) 0

Republik Demokratik

Kongo 1991 1 Januari 1997 (tidak ada HS Sub-pos dengan jumlah ODC yang signifikan) 0

Djibouti 1982 31 Mei 1995 FISH AND CRUSTACEANS, MOLLUSCS AND OTHER

AQUATIC INVERTEBRATES 94

Guinea Khatulistiwa 1982 Observer WTO - -

Eritrea 1994 Bukan anggota WTO - -

Gambia 1975 23 Oktober 1996 (tidak ada HS Sub-pos dengan jumlah ODC yang signifikan) 0

Guinea 1971 25 Oktober 1995 EDIBLE VEGETABLES AND CERTAIN ROOTS AND

TUBERS 61

Guinea-Bissau 1981 31 Mei 1995 FISH AND CRUSTACEANS, MOLLUSCS AND OTHER

AQUATIC INVERTEBRATES 94

Haiti 1971 30 Januari 1996

CHEWING TOBACCO, SNUFF AND OTHER MANUFACTURED TOBACCO

AND MANUFACTURED TOBACCO SUBSTITUTES, AND TOBACCO

POWDER, TOBACCO EXTRACTS AND ESSENCES (EXCL. CIGARS,

CHEROOTS, CIGARILLOS AND CIGARETTES, SMOKING TOBACCO

WHETHER OR NOT CONTAINING TOBACCO SUBSTITUTES IN ANY

PROPORTION, "HOMOGENIZED" OR "RECONSTITUTED" TOBACCO,

NICOTINE EXTRACTED FROM THE TOBACCO PLANT AND

INSECTICIDES MANUFACTURED FROM TOBACCO EXTRACTS AND

ESSENCES)

6

Liberia 1990 Observer WTO

Madagaskar 1991 17 Nopember 1995 EDIBLE VEGETABLES AND CERTAIN ROOTS AND

TUBERS 61

Mauritania 1986 31 Mei 1995 EDIBLE VEGETABLES AND CERTAIN ROOTS AND

TUBERS 61

Mozambik 1988 26 Agustus 1995 EDIBLE VEGETABLES AND CERTAIN ROOTS AND

TUBERS 61

Myanmar 1987 01 Januari 1995 (tidak ada HS Sub-pos dengan jumlah ODC yang signifikan) 0

Senegal 2000 01 Januari 1995 MEAT AND EDIBLE MEAT OFFAL 59

Sierra Leone 1982 23 Juli 1995 FISH AND CRUSTACEANS, MOLLUSCS AND OTHER

AQUATIC INVERTEBRATES 94

Somalia 1971 Bukan anggota WTO - -

Sudan Selatan 2012 Bukan anggota WTO - -

Sudan 1971 Observer WTO - -

Togo 1982 31 Mei 1995 EDIBLE VEGETABLES AND CERTAIN ROOTS AND

TUBERS 61

Republik Persatuan

Tanzania 1971 1 Januari 1995 (tidak ada HS Sub-pos dengan jumlah ODC yang signifikan) 0

Yaman 1971 Observer WTO - -

Wacana dan..., Sabil Perbawa, FISIP UI, 2014

Page 71: TA-Sabil Perbawa.pdf

Lampiran 4

Pasal 6 Agreement on Agriculture (AOA)

Universitas Indonesia

Part IV: Article 6

Domestic Support Commitments

1. The domestic support reduction commitments of each Member contained in Part IV of its

Schedule shall apply to all of its domestic support measures in favour of agricultural producers with the

exception of domestic measures which are not subject to reduction in terms of the criteria set out in this

Article and in Annex 2 to this Agreement. The commitments are expressed in terms of Total Aggregate

Measurement of Support and ―Annual and Final Bound Commitment Levels‖.

2. In accordance with the Mid-Term Review Agreement that government measures of assistance,

whether direct or indirect, to encourage agricultural and rural development are an integral part of the

development programmes of developing countries, investment subsidies which are generally available

to agriculture in developing country Members and agricultural input subsidies generally available to

low-income or resource-poor producers in developing country Members shall be exempt from domestic

support reduction commitments that would otherwise be applicable to such measures, as shall domestic

support to producers in developing country Members to encourage diversification from growing illicit

narcotic crops. Domestic support meeting the criteria of this paragraph shall not be required to be

included in a Member‘s calculation of its Current Total AMS.

3. A Member shall be considered to be in compliance with its domestic support reduction

commitments in any year in which its domestic support in favour of agricultural producers expressed in

terms of Current Total AMS does not exceed the corresponding annual or final bound commitment

level specified in Part IV of the Member‘s Schedule.

4. (a) A Member shall not be required to include in the calculation of its Current Total AMS

and shall not be required to reduce:

(i) product-specific domestic support which would otherwise be required to be

included in a Member‘s calculation of its Current AMS where such support does not

exceed 5 per cent of that Member‘s total value of production of a basic agricultural

product during the relevant year; and

(ii) non-product-specific domestic support which would otherwise be required to be

included in a Member‘s calculation of its Current AMS where such support does not

exceed 5 per cent of the value of that Member‘s total agricultural production.

(b) For developing country Members, the de minimis percentage under this paragraph shall

be 10 per cent.

5. (a) Direct payments under production-limiting programmes shall not be subject to the

commitment to reduce domestic support if:

(i) such payments are based on fixed area and yields; or

(ii) such payments are made on 85 per cent or less of the base level of

production; or

(iii) livestock payments are made on a fixed number of head.

(b) The exemption from the reduction commitment for direct payments meeting the above

criteria shall be reflected by the exclusion of the value of those direct payments in a Member‘s

calculation of its Current Total AMS.

Wacana dan..., Sabil Perbawa, FISIP UI, 2014

Page 72: TA-Sabil Perbawa.pdf

Lampiran 5

Lampiran 1 Agreement on Agriculture (AOA)

Universitas Indonesia

Annex 1: Product Coverage

1. This Agreement shall cover the following products:

(i) HS Chapters 1 to 24 less fish and fish products, plus*

(ii) HS Code 2905.43 (mannitol)

HS Code 2905.44 (sorbitol)

HS Heading 33.01 (essential oils)

HS

Headings

35.01 to

35.05

(albuminoidal substances, modified starches,

glues)

HS Code 3809.10 (finishing agents)

HS Code 3823.60 (sorbitol n.e.p.)

HS

Headings

41.01 to

41.03

(hides and skins)

HS Heading 43.01 (raw furskins)

HS

Headings

50.01 to

50.03

(raw silk and silk waste)

HS

Headings

51.01 to

51.03

(wool and animal hair)

HS

Headings

52.01 to

52.03

(raw cotton, waste and cotton carded or combed)

HS Heading 53.01 (raw flax)

HS Heading 53.02 (raw hemp)

2. The foregoing shall not limit the product coverage of the Agreement on

the Application of Sanitary and Phytosanitary Measures.

*The product descriptions in round brackets are not necessarily exhaustive.

Sumber: World Trade Organization, ―Agreement on Agriculture,‖

http://www.wto.org/english/docs_e/legal_e/14-ag_02_e.htm (diakses pada 15 April 2014).

Wacana dan..., Sabil Perbawa, FISIP UI, 2014

Page 73: TA-Sabil Perbawa.pdf

Lampiran 6

Lampiran 3 Agreement on Agriculture (AOA)

Universitas Indonesia

Annex 3: Domestic support – Calculation of Aggregate Measurement of Support

1. Subject to the provisions of Article 6, an Aggregate Measurement of Support (AMS) shall

be calculated on a product-specific basis for each basic agricultural product receiving market price

support, non-exempt direct payments, or any other subsidy not exempted from the reduction

commitment (―other non-exempt policies‖). Support which is non-product specific shall be

totalled into one non-product-specific AMS in total monetary terms.

2. Subsidies under paragraph 1 shall include both budgetary outlays and revenue foregone by

governments or their agents.

3. Support at both the national and sub-national level shall be included.

4. Specific agricultural levies or fees paid by producers shall be deducted from the AMS.

5. The AMS calculated as outlined below for the base period shall constitute the base level for

the implementation of the reduction commitment on domestic support.

6. For each basic agricultural product, a specific AMS shall be established, expressed in total

monetary value terms.

7. The AMS shall be calculated as close as practicable to the point of first sale of the basic

agricultural product concerned. Measures directed at agricultural processors shall be included to

the extent that such measures benefit the producers of the basic agricultural products.

8. Market price support: market price support shall be calculated using the gap between a

fixed external reference price and the applied administered price multiplied by the quantity of

production eligible to receive the applied administered price. Budgetary payments made to

maintain this gap, such as buying-in or storage costs, shall not be included in the AMS.

9. The fixed external reference price shall be based on the years 1986 to 1988 and shall generally be the

average f.o.b. unit value for the basic agricultural product concerned in a net exporting country and the

average c.i.f. unit value for the basic agricultural product concerned in a net importing country in the base

period. The fixed reference price may be adjusted for quality differences as necessary.

10. Non-exempt direct payments: non-exempt direct payments which are dependent on a

price gap shall be calculated either using the gap between the fixed reference price and the applied

administered price multiplied by the quantity of production eligible to receive the administered

price, or using budgetary outlays.

11. The fixed reference price shall be based on the years 1986 to 1988 and shall generally be

the actual price used for determining payment rates.

12. Non-exempt direct payments which are based on factors other than price shall be

measured using budgetary outlays.

13. Other non-exempt measures, including input subsidies and other measures such as

marketing-cost reduction measures: the value of such measures shall be measured using

government budgetary outlays or, where the use of budgetary outlays does not reflect the full

extent of the subsidy concerned, the basis for calculating the subsidy shall be the gap between the

price of the subsidized good or service and a representative market price for a similar good or

service multiplied by the quantity of the good or service.

Wacana dan..., Sabil Perbawa, FISIP UI, 2014

Page 74: TA-Sabil Perbawa.pdf

Lampiran 7

Lampiran 4 Agreement on Agriculture (AOA)

Universitas Indonesia

Annex 4: Domestic support – Calculation of Equivalent Measurement of Support

1. Subject to the provisions of Article 6, equivalent measurements of support

shall be calculated in respect of all basic agricultural products where market price

support as defined in Annex 3 exists but for which calculation of this component

of the AMS is not practicable. For such products the base level for

implementation of the domestic support reduction commitments shall consist of a

market price support component expressed in terms of equivalent measurements

of support under paragraph 2 below, as well as any non-exempt direct payments

and other non-exempt support, which shall be evaluated as provided for under

paragraph 3 below. Support at both national and sub-national level shall be

included.

2. The equivalent measurements of support provided for in paragraph 1 shall

be calculated on a product-specific basis for all basic agricultural products as

close as practicable to the point of first sale receiving market price support and for

which the calculation of the market price support component of the AMS is not

practicable. For those basic agricultural products, equivalent measurements of

market price support shall be made using the applied administered price and the

quantity of production eligible to receive that price or, where this is not

practicable, on budgetary outlays used to maintain the producer price.

3. Where basic agricultural products falling under paragraph 1 are the subject

of non-exempt direct payments or any other product-specific subsidy not

exempted from the reduction commitment, the basis for equivalent measurements

of support concerning these measures shall be calculations as for the

corresponding AMS components (specified in paragraphs 10 through 13 of

Annex 3).

4. Equivalent measurements of support shall be calculated on the amount of

subsidy as close as practicable to the point of first sale of the basic agricultural

product concerned. Measures directed at agricultural processors shall be included

to the extent that such measures benefit the producers of the basic agricultural

products. Specific agricultural levies or fees paid by producers shall reduce the

equivalent measurements of support by a corresponding amount.

Wacana dan..., Sabil Perbawa, FISIP UI, 2014

Page 75: TA-Sabil Perbawa.pdf

Lampiran 8

Pasal 2 General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) 1994

Universitas Indonesia

Article II: Schedules of Concessions

1. (a) Each contracting party shall accord to the commerce of the other contracting

parties treatment no less favourable than that provided for in the appropriate Part of the

appropriate Schedule annexed to this Agreement.

(b) The products described in Part I of the Schedule relating to any contracting party,

which are the products of territories of other contracting parties, shall, on their importation

into the territory to which the Schedule relates, and subject to the terms, conditions or

qualifications set forth in that Schedule, be exempt from ordinary customs duties in excess

of those set forth and provided therein. Such products shall also be exempt from all other

duties or charges of any kind imposed on or in connection with the importation in excess of

those imposed on the date of this Agreement or those directly and mandatorily required to

be imposed thereafter by legislation in force in the importing territory on that date.

(c) The products described in Part II of the Schedule relating to any contracting party

which are the products of territories entitled under Article I to receive preferential

treatment upon importation into the territory to which the Schedule relates shall, on their

importation into such territory, and subject to the terms, conditions or qualifications set

forth in that Schedule, be exempt from ordinary customs duties in excess of those set forth

and provided for in Part II of that Schedule. Such products shall also be exempt from all

other duties or charges of any kind imposed on or in connection with importation in excess

of those imposed on the date of this Agreement or those directly or mandatorily required to

be imposed thereafter by legislation in force in the importing territory on that date. Nothing

in this Article shall prevent any contracting party from maintaining its requirements

existing on the date of this Agreement as to the eligibility of goods for entry at preferential

rates of duty.

2. Nothing in this Article shall prevent any contracting party from imposing at any time

on the importation of any product:

(a) a charge equivalent to an internal tax imposed consistently with the

provisions of paragraph 2 of Article III* in respect of the like domestic product or

in respect of an article from which the imported product has been manufactured or

produced in whole or in part;

(b) any anti-dumping or countervailing duty applied consistently with the

provisions of Article VI;*

(c) fees or other charges commensurate with the cost of services rendered.

3. No contracting party shall alter its method of determining dutiable value or of

converting currencies so as to impair the value of any of the concessions provided for in

the appropriate Schedule annexed to this Agreement.

Wacana dan..., Sabil Perbawa, FISIP UI, 2014

Page 76: TA-Sabil Perbawa.pdf

Lampiran 8 (Lanjutan)

Pasal 2 General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) 1994

Universitas Indonesia

4. If any contracting party establishes, maintains or authorizes, formally or in effect, a

monopoly of the importation of any product described in the appropriate Schedule annexed

to this Agreement, such monopoly shall not, except as provided for in that Schedule or as

otherwise agreed between the parties which initially negotiated the concession, operate so

as to afford protection on the average in excess of the amount of protection provided for in

that Schedule. The provisions of this paragraph shall not limit the use by contracting parties

of any form of assistance to domestic producers permitted by other provisions of this

Agreement.*

5. If any contracting party considers that a product is not receiving from another

contracting party the treatment which the first contracting party believes to have been

contemplated by a concession provided for in the appropriate Schedule annexed to this

Agreement, it shall bring the matter directly to the attention of the other contracting party.

If the latter agrees that the treatment contemplated was that claimed by the first contracting

party, but declares that such treatment cannot be accorded because a court or other proper

authority has ruled to the effect that the product involved cannot be classified under the

tariff laws of such contracting party so as to permit the treatment contemplated in this

Agreement, the two contracting parties, together with any other contracting parties

substantially interested, shall enter promptly into further negotiations with a view to a

compensatory adjustment of the matter.

6. (a) The specific duties and charges included in the Schedules relating to contracting

parties members of the International Monetary Fund, and margins of preference in specific

duties and charges maintained by such contracting parties, are expressed in the appropriate

currency at the par value accepted or provisionally recognized by the Fund at the date of

this Agreement. Accordingly, in case this par value is reduced consistently with the

Articles of Agreement of the International Monetary Fund by more than twenty per centum,

such specific duties and charges and margins of preference may be adjusted to take account

of such reduction;provided that the CONTRACTING PARTIES (i.e., the contracting

parties acting jointly as provided for in Article XXV) concur that such adjustments will not

impair the value of the concessions provided for in the appropriate Schedule or elsewhere

in this Agreement, due account being taken of all factors which may influence the need for,

or urgency of, such adjustments.

(b) Similar provisions shall apply to any contracting party not a member of the Fund,

as from the date on which such contracting party becomes a member of the Fund or enters

into a special exchange agreement in pursuance of Article XV.

7. The Schedules annexed to this Agreement are hereby made an integral part of Part I of

this Agreement.

Wacana dan..., Sabil Perbawa, FISIP UI, 2014

Page 77: TA-Sabil Perbawa.pdf

Lampiran 9

Pasal 8 General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) 1947

Universitas Indonesia

Article VIII: Fees and Formalities connected with Importation and Exportation*

1. (a) All fees and charges of whatever character (other than import and export duties

and other than taxes within the purview of Article III) imposed by contracting parties on or

in connection with importation or exportation shall be limited in amount to the approximate

cost of services rendered and shall not represent an indirect protection to domestic products

or a taxation of imports or exports for fiscal purposes.

(b) The contracting parties recognize the need for reducing the number and diversity

of fees and charges referred to in subparagraph (a).

(c) The contracting parties also recognize the need for minimizing the incidence and

complexity of import and export formalities and for decreasing and simplifying import and

export documentation requirements.*

2. A contracting party shall, upon request by another contracting party or by the

CONTRACTING PARTIES, review the operation of its laws and regulations in the light of

the provisions of this Article.

3. No contracting party shall impose substantial penalties for minor breaches of customs

regulations or procedural requirements. In particular, no penalty in respect of any omission

or mistake in customs documentation which is easily rectifiable and obviously made

without fraudulent intent or gross negligence shall be greater than necessary to serve

merely as a warning.

4. The provisions of this Article shall extend to fees, charges, formalities and

requirements imposed by governmental authorities in connection with importation and

exportation, including those relating to:

(a) consular transactions, such as consular invoices and certificates;

(b) quantitative restrictions;

(c) licensing;

(d) exchange control;

(e) statistical services;

(f) documents, documentation and certification;

(g) analysis and inspection; and

(h) quarantine, sanitation and fumigation.

Sumber: World Trade Organization, ―The General Agreement on Tariffs and Trade (GATT

1947),‖ http://www.wto.org/english/docs_e/legal_e/gatt47_01_e.htm (diakses pada 15 April

2014).

Wacana dan..., Sabil Perbawa, FISIP UI, 2014

Page 78: TA-Sabil Perbawa.pdf

Lampiran 10

Pasal 24 General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) 1947

Universitas Indonesia

Article XXIV: Territorial Application — Frontier Traffic — Customs Unions and

Free-trade Areas

1. The provisions of this Agreement shall apply to the metropolitan customs territories of

the contracting parties and to any other customs territories in respect of which this

Agreement has been accepted under Article XXVI or is being applied under Article

XXXIII or pursuant to the Protocol of Provisional Application. Each such customs territory

shall, exclusively for the purposes of the territorial application of this Agreement, be

treated as though it were a contracting party; Provided that the provisions of this paragraph

shall not be construed to create any rights or obligations as between two or more customs

territories in respect of which this Agreement has been accepted under Article XXVI or is

being applied under Article XXXIII or pursuant to the Protocol of Provisional Application

by a single contracting party.

2. For the purposes of this Agreement a customs territory shall be understood to mean

any territory with respect to which separate tariffs or other regulations of commerce are

maintained for a substantial part of the trade of such territory with other territories.

3. The provisions of this Agreement shall not be construed to prevent:

(a) Advantages accorded by any contracting party to adjacent countries in order

to facilitate frontier traffic;

(b) Advantages accorded to the trade with the Free Territory of Trieste by

countries contiguous to that territory, provided that such advantages are not in

conflict with the Treaties of Peace arising out of the Second World War.

4. The contracting parties recognize the desirability of increasing freedom of trade by the

development, through voluntary agreements, of closer integration between the economies

of the countries parties to such agreements. They also recognize that the purpose of a

customs union or of a free-trade area should be to facilitate trade between the constituent

territories and not to raise barriers to the trade of other contracting parties with such

territories.

5. Accordingly, the provisions of this Agreement shall not prevent, as between the

territories of contracting parties, the formation of a customs union or of a free-trade area or

the adoption of an interim agreement necessary for the formation of a customs union or of

a free-trade area; Provided that:

(a) with respect to a customs union, or an interim agreement leading to a

formation of a customs union, the duties and other regulations of commerce

imposed at the institution of any such union or interim agreement in respect of trade

with contracting parties not parties to such union or agreement shall not on the

Wacana dan..., Sabil Perbawa, FISIP UI, 2014

Page 79: TA-Sabil Perbawa.pdf

Lampiran 10 (Lanjutan)

Pasal 24 General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) 1947

Universitas Indonesia

whole be higher or more restrictive than the general incidence of the duties and

regulations of commerce applicable in the constituent territories prior to the

formation of such union or the adoption of such interim agreement, as the case may

be;

(b) with respect to a free-trade area, or an interim agreement leading to the

formation of a freetrade area, the duties and other regulations of commerce

maintained in each of the constituent territories and applicable at the formation of

such free-trade area or the adoption of such interim agreement to the trade of

contracting parties not included in such area or not parties to such agreement shall

not be higher or more restrictive than the corresponding duties and other regulations

of commerce existing in the same constituent territories prior to the formation of the

free-trade area, or interim agreement as the case may be; and

(c) any interim agreement referred to in subparagraphs (a)and (b) shall include a

plan and schedule for the formation of such a customs union or of such a free-trade

area within a reasonable length of time.

6. If, in fulfilling the requirements of subparagraph 5 (a), a contracting party proposes to

increase any rate of duty inconsistently with the provisions of Article II, the procedure set

forth in Article XXVIII shall apply. In providing for compensatory adjustment, due

account shall be taken of the compensation already afforded by the reduction brought about

in the corresponding duty of the other constituents of the union.

7. (a) Any contracting party deciding to enter into a customs union or free-trade

area, or an interim agreement leading to the formation of such a union or area, shall

promptly notify the CONTRACTING PARTIES and shall make available to them such

information regarding the proposed union or area as will enable them to make such reports

and recommendations to contracting parties as they may deem appropriate.

(b) If, after having studied the plan and schedule included in an interim

agreement referred to in paragraph 5 in consultation with the parties to that agreement and

taking due account of the information made available in accordance with the provisions

of subparagraph (a), the CONTRACTING PARTIES find that such agreement is not likely

to result in the formation of a customs union or of a free-trade area within the period

contemplated by the parties to the agreement or that such period is not a reasonable one,

the CONTRACTING PARTIES shall make recommendations to the parties to the

agreement. The parties shall not maintain or put into force, as the case may be, such

agreement if they are not prepared to modify it in accordance with these recommendations.

(c) Any substantial change in the plan or schedule referred to in paragraph 5

(c) shall be communicated to the CONTRACTING PARTIES, which may request the

Wacana dan..., Sabil Perbawa, FISIP UI, 2014

Page 80: TA-Sabil Perbawa.pdf

Lampiran 10 (Lanjutan)

Pasal 24 General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) 1947

Universitas Indonesia

contracting parties concerned to consult with them if the change seems likely to jeopardize

or delay unduly the formation of the customs union or of the free-trade area.

8. For the purposes of this Agreement:

(a) A customs union shall be understood to mean the substitution of a single

customs territory for two or more customs territories, so that

(i) duties and other restrictive regulations of commerce (except, where

necessary, those permitted under Articles XI, XII, XIII, XIV, XV and XX) are

eliminated with respect to substantially all the trade between the constituent

territories of the union or at least with respect to substantially all the trade in

products originating in such territories, and,

(ii) subject to the provisions of paragraph 9, substantially the same duties and

other regulations of commerce are applied by each of the members of the union

to the trade of territories not included in the union;

(b) A free-trade area shall be understood to mean a group of two or more customs

territories in which the duties and other restrictive regulations of commerce (except,

where necessary, those permitted under Articles XI, XII, XIII, XIV, XV and XX)

are eliminated on substantially all the trade between the constituent territories in

products originating in such territories.

9. The preferences referred to in paragraph 2 of Article I shall not be affected by the

formation of a customs union or of a free-trade area but may be eliminated or adjusted by

means of negotiations with contracting parties affected.* This procedure of negotiations

with affected contracting parties shall, in particular, apply to the elimination of preferences

required to conform with the provisions of paragraph 8 (a)(i) and paragraph 8 (b).

10. The CONTRACTING PARTIES may by a two-thirds majority approve proposals

which do not fully comply with the requirements ofparagraphs 5 to 9 inclusive, provided

that such proposals lead to the formation of a customs union or a free-trade area in the

sense of this Article.

11. Taking into account the exceptional circumstances arising out of the establishment of

India and Pakistan as independent States and recognizing the fact that they have long

constituted an economic unit, the contracting parties agree that the provisions of this

Agreement shall not prevent the two countries from entering into special arrangements

with respect to the trade between them, pending the establishment of their mutual trade

relations on a definitive basis.*

12. Each contracting party shall take such reasonable measures as may be available to it

to ensure observance of the provisions of this Agreement by the regional and local

governments and authorities within its territories.

Wacana dan..., Sabil Perbawa, FISIP UI, 2014