16
Nikmat Allah Syukurilah dan Ujian-Nya Sabarilah

Syukurilah dan Ujian Nikmat Allah

Embed Size (px)

DESCRIPTION

agama islam

Citation preview

Page 2: Syukurilah dan Ujian Nikmat Allah

Nikmat Allah Syukurilah dan Ujian-Nya Sabarilah

penulis Al-Ustadz Abu Usamah bin Rawiyah An-Nawawi

Syariah Akhlak 21 - Juni - 2007 19:01:11

Demikian banyak ni‟mat Allah Subhanahu wa Ta‟ala. Tidak ada satupun manusia yg bisa

menghitung meski menggunakan alat secanggih apapun. Pernahkah kita berpikir utk apa

Allah Subhanahu wa Ta‟ala memberikan demikian banyak ni‟mat kepada para hamba-Nya?

Untuk sekedar menghabiskan ni‟mat-ni‟mat tersebut atau ada tujuan lain?

Luas Pemberian Allah Subhanahu wa Ta‟ala

Sungguh betapa besar dan banyak ni‟mat yg telah dikaruniakan Allah Subhanahu wa Ta‟ala

kepada kita. Setiap hari silih berganti kita merasakan satu ni‟mat kemudian beralih kepada

ni‟mat yg lain. Di mana kita terkadang tdk membayangkan sebelum akan terjadi dan

mendapatkannya. Sangat besar dan banyak krn tdk bisa utk dibatasi atau dihitung dgn alat

secanggih apapun di masa kini.

Semua ini tentu mengundang kita utk menyimpulkan betapa besar karunia dan kasih sayang

Allah Subhanahu wa Ta‟ala kepada hamba-hamba-Nya. dlm realita kehidupan kita

menemukan keadaan yg memprihatinkan. Yaitu mayoritas manusia dlm keingkaran dan

kekufuran kepada Pemberi Nikmat. Puncak adl menyamakan pemberi ni‟mat dgn makhluk yg

keadaan makhluk itu sendiri sangat butuh kepada Allah Subhanahu wa Ta‟ala. Tentu hal ini

termasuk dari kedzaliman di atas kedzaliman sebagaimana dijelaskan oleh Allah Subhanahu

wa Ta‟ala di dlm firman-Nya:

“Sesungguh kesyirikan itu adl kedzaliman yg paling besar.”

Kendati demikian Allah Subhanahu wa Ta‟ala tetap memberikan kepada mereka sebagian

karunia-Nya disebabkan “kasih sayang-Nya mendahului murka-Nya” dan membukakan bagi

mereka pintu utk bertaubat. Oleh sebab itu tdk ada alasan bagi hamba ini untuk:

- Ingkar dan kufur kepada Allah Subhanahu wa Ta‟ala serta menyamakan Allah Subhanahu

wa Ta‟ala dgn makhluk-Nya yg sangat butuh kepada-Nya.

- Menyombongkan diri serta angkuh dgn tdk mau melaksanakan perintah Allah Subhanahu

wa Ta‟ala dan meninggalkan larangan-larangan-Nya atau tdk mau menerima kebenaran dan

mengentengkan orang lain.

- Tidak mensyukuri pemberian Allah Subhanahu wa Ta‟ala. Allah Subhanahu wa Ta‟ala

berfirman:

“Dan ni‟mat apapun yg kalian dapatkan adl datang dari Allah.”

“Dan jika kalian menghitung ni‟mat Allah niscaya kalian tdk akan sanggup.”

Pemberian Allah Subhanahu wa Ta‟ala utk Satu Tujuan yg Mulia

Dari sekian ni‟mat yg telah dikaruniakan oleh Allah Subhanahu wa Ta‟ala kepada kita mari

kita mencoba menghitungnya. Sudah berapakah dlm kalkulasi kita ni‟mat yg telah kita

syukuri dan dari sekian ni‟mat yg telah kita pergunakan utk bermaksiat kepada-Nya. Jika kita

menemukan kalkulasi yg baik mk pujilah Allah Subhanahu wa Ta‟ala krn Dia telah

memberimu kesempatan yg baik. Jika kita menemukan sebalik mk janganlah engkau mencela

melainkan dirimu sendiri.1

Page 3: Syukurilah dan Ujian Nikmat Allah

Setiap orang bisa mengatakan bahwa semua yg ada di dunia ini merupakan pemberian Allah

Subhanahu wa Ta‟ala. Tahukah anda apa rahasia di balik pemberian Allah Subhanahu wa

Ta‟ala tersebut?

Ketahuilah bahwa keni‟matan yg berlimpah ruah bukanlah tujuan diciptakan manusia dan

bukan pula sebagai wujud cinta Allah Subhanahu wa Ta‟ala kepada manusia tersebut. Allah

Subhanahu wa Ta‟ala menciptakan manusia utk sebuah kemuliaan bagi dan menjadikan

segala ni‟mat itu sebagai perantara utk menyampaikan kepada kemuliaan tersebut. Tujuan itu

adl utk beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta‟ala saja sebagaimana hal ini disebutkan

dlm firman-Nya:

“Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka menyembah

kepada-Ku.”

Bagi orang yg berakal akan berusaha mencari rahasia di balik pemberian Allah Subhanahu

wa Ta‟ala yg berlimpah ruah tersebut. Setelah dia menemukan jawaban yaitu utk beribadah

kepada-Nya saja mk dia akan mengetahui pula bahwa dunia bukan sebagai tujuan.

Sebagai bukti yaitu ada kematian setelah hidup ini dan ada kehidupan setelah kematian

diiringi dgn persidangan dan pengadilan serta pembalasan dari Allah l. Itulah kehidupan yg

hakiki di akhirat nanti. Kesimpulan seperti ini akan mengantarkan kepada:

1. Dunia bukan tujuan hidup.

2. Keni‟matan yg ada pada bukan tujuan diciptakan manusia akan tetapi sebagai perantara utk

suatu tujuan yg mulia.

3. Semangat beramal utk tujuan hidup yg hakiki dan kekal.

Ibnu Qudamah rahimahullahu menjelaskan: “Ketahuilah bahwa ni‟mat itu ada dua bentuk

ni‟mat yg menjadi tujuan dan ni‟mat yg menjadi perantara menuju tujuan. Nikmat yg

merupakan tujuan adl kebahagiaan akhirat dan nilai akan kembali kepada empat perkara.

Pertama: Kekekalan dan tdk ada kebinasaan setelah

Kedua: Kebahagian yg tdk ada duka setelahnya

Ketiga: Ilmu yg tdk ada kejahilan setelahnya

Keempat: Kaya yg tdk ada kefakiran setelahnya.

Semua ini merupakan kebahagiaan yg hakiki. Adapun bagian yg kedua adl sebagai perantara

menuju kebahagiaan yg disebutkan dan ini ada empat perkara:

Pertama: Keutamaan diri sendiri seperti keimanan dan akhlak yg baik.

Kedua: Keutamaan pada badan seperti kekuatan dan kesehatan dan sebagainya.

Ketiga: Keutamaan yg terkait dgn badan seperti harta kedudukan dan keluarga.

Keempat: Sebab-sebab yg menghimpun ni‟mat-ni‟mat tersebut dgn segala keutamaan seperti

hidayah bimbingan kebaikan pertolongan dan semua ni‟mat ini adl besar.”

Untaian Indah dari Ibnu Qudamah

“Ketahuilah bahwa segala yg dicari oleh tiap orang adl ni‟mat. Akan tetapi keni‟matan yg

hakiki adl kebahagiaan di akhirat kelak dan segala ni‟mat selain akan lenyap. Semua perkara

yg disandarkan kepada kita ada empat macam:

Pertama: Sesuatu yg bermanfaat di dunia dan di akhirat seperti ilmu dan akhlak yg baik.

Inilah keni‟matan yg hakiki.

Kedua: Sesuatu yg memudaratkan di dunia dan di akhirat. Ini merupakan bala‟ yg hakiki.

Ketiga: Bermanfaat di dunia akan tetapi memudaratkan di akhirat seperti berlezat-lezat dan

mengikuti hawa nafsu. Ini sesungguh bala bagi orang yg berakal sekalipun orang jahil

menganggap ni‟mat. Seperti seseorang yg sedang lapar lalu menemukan madu yg bercampur

racun. Bila tdk mengetahui dia menganggap sebuah ni‟mat dan jika mengetahui dia

menganggap sebagai malapetaka.

Keempat: Memudaratkan di dunia namun akan bermanfaat di akhirat sebagai ni‟mat bagi

Page 4: Syukurilah dan Ujian Nikmat Allah

orang yg berakal. Contoh obat bila dirasakan sangat pahit dan pada akhir akan

menyembuhkan .

Seorang anak bila dipaksa utk meminum dia menyangka sebagai malapetaka dan orang yg

berakal akan menganggap sebagai ni‟mat. Demikian juga bila seorang anak butuh utk

dibekam sang bapak berusaha menyuruh dan memerintahkan anak utk melakukannya.

Namun sang anak tdk bisa melihat akibat di belakang yg akan muncul berupa kesembuhan.

sang ibu akan berusaha mencegah krn cinta yg tinggi kepada anak tersebut krn sang ibu tdk

tahu tentang maslahat yg akan muncul dari pengobatan tersebut.

Sang anak menuruti apa kata ibunya. Hal ini disebabkan oleh ketidaktahuan sehingga ia lbh

menuruti ibu daripada bapaknya. Bersamaan dgn itu sang anak menganggap bapak sebagai

musuh. Jika sang anak berakal niscaya dia akan menyimpulkan bahwa sang ibu merupakan

musuh sesungguh dlm wujud teman dekat. Karena larangan sang ibu utk berbekam akan

menggiring kepada penyakit yg lbh besar dibandingkan sakit krn berbekam.

Karena itu teman yg jahil lbh berbahaya dari seorang musuh yg berakal. Dan tiap orang

menjadi teman diri sendiri akan tetapi nafsu merupakan teman yg jahil. Nafsu akan berbuat

pada diri apa yg tdk diperbuat oleh musuh.”

Syukur dlm Tinjauan Bahasa dan Agama

Syukur secara bahasa adl nampak bekas makan pada badan binatang dgn jelas. Binatang yg

syakur artinya: Apabila nampak pada kegemukan krn makan melebihi takarannya.

Adapun dlm tinjauan agama syukur adalah: Nampak pengaruh ni‟mat Allah Subhanahu wa

Ta‟ala atas seorang hamba melalui lisan dgn cara memuji dan mengakuinya; melalui hati dgn

cara meyakini dan cinta; serta melalui anggota badan dgn penuh ketundukan dan ketaatan.

Ada juga yg mendefinisikan syukur dgn makna lain seperti:

1. Mengakui ni‟mat yg diberikan dgn penuh ketundukan.

2. Memuji yg memberi ni‟mat atas ni‟mat yg diberikannya.

3. Cinta hati kepada yg memberi ni‟mat dan anggota badan dgn ketaatan serta lisan dgn cara

memuji dan menyanjungnya.

4. Menyaksikan keni‟matan dan menjaga keharaman.

5. Mengetahui kelemahan diri dari bersyukur.

6. Menyandarkan ni‟mat tersebut kepada pemberi dgn ketenangan.

7. Engkau melihat dirimu orang yg tdk pantas utk mendapatkan ni‟mat.

8. Mengikat ni‟mat yg ada dan mencari ni‟mat yg tdk ada.

Masih banyak lagi definisi para ulama tentang syukur akan tetapi semua kembali kepada

penjelasan Ibnul Qayyim sebagaimana disebutkan di atas.

Yang jelas syukur adl sebuah istilah yg digunakan pada pengakuan/ pengetahuan akan sebuah

ni‟mat. Karena mengetahui ni‟mat merupakan jalan utk mengetahui Dzat yg memberi ni‟mat.

Oleh krn itu Allah Subhanahu wa Ta‟ala menamakan Islam dan iman di dlm Al-Qur`an dgn

syukur. Dari sini diketahui bahwa mengetahui sebuah ni‟mat merupakan rukun dari rukun-

rukun syukur.

Apabila seorang hamba mengetahui sebuah ni‟mat mk dia akan mengetahui yg memberi

ni‟mat. Ketika seseorang mengetahui yg memberi ni‟mat tentu dia akan mencintai-Nya dan

terdorong utk bersungguh-sungguh mensyukuri ni‟mat-Nya.

Syukur Tidak Sempurna Melainkan dgn Mengetahui Apa yg Dicintai Allah l

Ibnu Qudamah rahimahullahu menjelaskan: “Ketahuilah bahwa syukur dan tdk kufur tdk

akan sempurna melainkan dgn mengetahui segala apa yg dicintai oleh Allah l. Sebab makna

syukur adl mempergunakan segala karunia Allah Subhanahu wa Ta‟ala kepada apa yg

dicintai-Nya dan kufur ni‟mat adl sebaliknya. Bisa juga dgn tdk memanfaatkan ni‟mat

tersebut atau mempergunakan pada apa yg dimurkai-Nya.”

Page 5: Syukurilah dan Ujian Nikmat Allah

Makna Syukur

Syukur memiliki tiga makna.

Pertama: Mengetahui adl sebuah ni‟mat. Arti dia menghadirkan dlm benak mempersaksikan

dan memilahnya. Hal ini akan bisa terwujud dlm benak sebagaimana terwujud dlm

kenyataan. Sebab banyak orang yg jika engkau berbuat baik kepada namun dia tdk

mengetahui . Gambaran ini bukan termasuk dari syukur.

Kedua: Menerima ni‟mat tersebut dgn menampakkan butuh kepadanya. Dan bahwa sampai

ni‟mat tersebut kepada bukan sebagai satu keharusan hak bagi dari Allah Subhanahu wa

Ta‟ala dan tanpa membeli dgn harga. Bahkan dia melihat diri di hadapan Allah Subhanahu

wa Ta‟ala seperti seorang tamu yg tdk diundang.

Ketiga: Memuji yg memberi ni‟mat. dlm hal ini ada dua bentuk yaitu umum dan khusus.

Pujian yg bersifat umum adl menyifati pemberi ni‟mat dgn sifat dermawan kebaikan luas

pemberian dan sebagainya. Pujian yg bersifat khusus adl menceritakan ni‟mat tersebut dan

memberitahukan bahwa ni‟mat tersebut sampai kepada dia krn sebab Sang Pemberi tersebut.

Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta‟ala:

“Dan adapun tentang ni‟mat Rabbmu mk ceritakanlah.” (Madarijus Salikin 2/247-248)

Menceritakan Sebuah Nikmat Termasuk Syukur

Menceritakan sebuah ni‟mat yg dia dapatkan kepada orang lain termasuk dlm kategori

syukur. Hal ini berdasarkan hadits Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam:

“Barangsiapa yg diberikan kebaikan kepada hendaklah dia membalas dan jika dia tdk

mendapatkan sesuatu utk membalas hendaklah dia memujinya. Karena jika dia memuji

sungguh dia telah berterima kasih dan jika dia menyembunyikan sungguh dia telah kufur.

Dan barangsiapa yg berhias dgn sesuatu yg dia tdk diberi sama hal dgn orang yg memakai

dua baju kedustaan.”

Allah Subhanahu wa Ta‟ala berfirman:

“Dan adapun tentang ni‟mat Rabbmu mk ceritakanlah.”

Menceritakan ni‟mat yg diperintahkan di dlm ayat ini ada dua pendapat di kalangan para

ulama.

Pertama: Menceritakan ni‟mat tersebut dan memberitahukan kepada orang lain seperti dgn

ucapan: “Allah Subhanahu wa Ta‟ala telah memberiku ni‟mat demikian dan demikian.”

Kedua: Menceritakan ni‟mat yg dimaksud di dlm ayat ini adl berdakwah di jalan Allah

Subhanahu wa Ta‟ala menyampaikan risalah-Nya dan mengajarkan umat.

Dari kedua pendapat tersebut Ibnul Qayyim rahimahullahu dlm Madarijus Salikin mentarjih

dgn perkataan beliau: “Yang benar ayat ini mencakup kedua makna tersebut. Karena masing-

masing adl ni‟mat yg kita diperintahkan utk mensyukuri menceritakan dan menampakkan

sebagai wujud kesyukuran.”

Beliau berkata: “Dalam sebuah atsar yg lain dan marfu‟ disebutkan:

“Barangsiapa tdk mensyukuri yg sedikit mk dia tdk akan mensyukuri atas yg banyak dan

barangsiapa yg tdk berterima kasih kepada manusia mk dia tdk bersyukur kepada Allah.

Menceritakan sebuah ni‟mat kepada orang lain termasuk dari syukur dan meninggalkan adl

kufur bersatu adl rahmat dan bercerai berai adl azab.” (Madarijus Salikin 2/248)

Page 6: Syukurilah dan Ujian Nikmat Allah

Dengan Apa Seorang Hamba Bersyukur?

Ibnu Qudamah rahimahullahu menjelaskan: “Syukur bisa dilakukan dgn hati lisan dan

anggota badan. Adapun dgn hati adl berniat utk melakukan kebaikan dan menyembunyikan

pada khayalak ramai. Adapun dgn lisan adl menampakkan kesyukuran itu dgn memuji Allah

Subhanahu wa Ta‟ala. Arti menampakkan keridhaan kepada Allah k. Dan hal ini sangat

dituntut sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam:

„Menceritakan ni‟mat itu adl wujud kesyukuran dan meninggalkan adl wujud kekufuran.‟

Adapun dgn anggota badan adl mempergunakan ni‟mat-ni‟mat Allah Subhanahu wa Ta‟ala

tersebut dlm ketaatan kepada-Nya dan menjaga diri dari bermaksiat dengannya. Termasuk

kesyukuran terhadap ni‟mat kedua mata adl dgn cara menutup tiap aib yg dilihat pada

seorang muslim. Dan termasuk kesyukuran atas ni‟mat kedua telinga adl menutup tiap aib yg

didengar. Penampilan seperti ini termasuk wujud kesyukuran terhadap anggota badan.”

Ibnul Qayyim rahimahullahu menjelaskan: “Syukur itu bisa dilakukan oleh hati dgn tunduk

dan kepasrahan oleh lisan dgn mengakui ni‟mat tersebut dan oleh anggota badan dgn ketaatan

dan penerimaan.”

Derajat Syukur

Syukur memiliki tiga tingkatan:

Pertama: Bersyukur krn mendapatkan apa yg disukai.

Tingkat syukur ini bisa juga dilakukan orang Islam dan non Islam seperti Yahudi dan Nasrani

bahkan Majusi. Namun Ibnul Qayyim rahimahullahu menjelaskan: “Jika engkau mengetahui

hakikat syukur dan di antara hakikat syukur adl menjadikan ni‟mat tersebut membantu dlm

ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta‟ala dan mencari ridha-Nya niscaya engkau akan

mengetahui bahwa kaum musliminlah yg pantas menyandang derajat syukur ini.

„Aisyah radhiyallahu „anha telah menulis surat kepada Mu‟awiyah radhiyallahu „anhu:

„Sesungguh tingkatan kewajiban yg paling kecil atas orang yg diberi ni‟mat adl tdk

menjadikan ni‟mat tersebut sebagai jembatan utk bermaksiat kepada-Nya‟.”

Kedua: Mensyukuri sesuatu yg tdk disukai. Orang yg melakukan jenis syukur ini adl orang

yg sikap sama dlm semua keadaan sebagai bukti keridhaannya.

Ibnul Qayyim rahimahullahu menjelaskan: “Bersyukur atas sesuatu yg tdk disukai lbh berat

dan lbh sulit dibandingkan mensyukuri yg disenangi. Oleh sebab itulah syukur yg kedua ini

di atas jenis syukur yg pertama. Syukur jenis kedua ini tdk dilakukan kecuali oleh salah satu

dari dua jenis orang:

Seseorang yg semua keadaan sama. Arti sikap sama terhadap yg disukai dan tdk disukai

dan dia bersyukur atas semua sebagai bukti keridhaan diri terhadap apa yg terjadi. Ini

merupakan kedudukan ridha.

Seseorang yg bisa membedakan keadaannya. Dia tdk menyukai sesuatu yg tdk

menyenangkan dan tdk ridha bila menimpanya. Namun bila sesuatu yg tdk menyenangkan

menimpa dia tetap mensyukurinya. Kesyukuran sebagai pemadam kemarahan sebagai

penutup dari berkeluh kesah dan demi menjaga adab serta menempuh jalan ilmu. Karena

sesungguh adab dan ilmu akan membimbing seseorang utk bersyukur di waktu senang

maupun susah.

Tentu yg pertama lbh tinggi dari yg kedua.

Ketiga: Seseorang seolah-olah tdk menyaksikan kecuali Yang memberi keni‟matan. Arti bila

dia melihat yg memberi keni‟matan dlm rangka ibadah dia akan menganggap besar ni‟mat

tersebut. Dan bila dia menyaksikan yg memberi keni‟matan krn rasa cinta niscaya semua yg

berat akan terasa manis baginya.

Page 7: Syukurilah dan Ujian Nikmat Allah

Manusia dan Syukur

Kita telah mengetahui bahwa syukur merupakan salah satu sifat yg terpuji dan sifat yg

dicintai oleh Allah Subhanahu wa Ta‟ala. Akan tetapi tdk semua orang bisa mendapatkannya.

Arti ada yg diberi oleh Allah Subhanahu wa Ta‟ala dan ada pula yg tidak.

Manusia dan syukur terbagi menjadi tiga golongan:

Pertama: Orang yg mensyukuri ni‟mat yg diberikan oleh Allah Subhanahu wa Ta‟ala.

Kedua: Orang yg menentang ni‟mat yg diberikan alias kufur ni‟mat.

Ketiga: Orang yg berpura-pura syukur padahal dia bukan orang yg bersyukur. Orang yg

seperti ini dimisalkan dgn orang yg berhias dgn sesuatu yg tdk dia tdk miliki.

Dalil-dalil tentang Syukur

“Bersyukurlah kalian kepada Allah jika hanya kepada-Nya kalian menyembah.”

“Maka ingatlah kalian kepada-Ku niscaya Aku akan mengingat kalian dan bersyukurlah

kalian kepada-Ku dan jangan kalian kufur.”

“Dan sembahlah Dia dan bersyukurlah kepada-Nya dan kepada-Nya kalian dikembalikan.”

“Dan Allah akan membalas orang2 yg bersyukur.”

“Dan ingatlah ketika Rabb kalian memaklumkan: Jika kalian bersyukur niscaya Kami akan

menambah dan jika kalian mengkufuri sungguh azab-Ku sangat pedih.”

Dari „Aisyah radhiyallahu „anha ia berkata:

:

:

“Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam bangun di malam hari sampai pecah-pecah kedua kaki

beliau lalu „Aisyah berkata: „Ya Rasulullah kenapa engkau melakukan yg demikian padahal

Allah telah mengampuni dosamu yg telah lewat dan akan datang?‟ Beliau menjawab:

„Apakah aku tdk suka menjadi hamba yg bersyukur?‟”

Masih banyak dalil lain yg menjelaskan tentang keutamaan syukur dan anjuran dari Allah

Subhanahu wa Ta‟ala dan Rasul-Nya. Semoga apa yg dibawakan di sini mewakili yg tdk

disebutkan.

Ancaman bagi orang2 yg Tidak Bersyukur

Yang tdk bersyukur lbh banyak dari yg bersyukur. Hal ini tdk bisa dipungkiri oleh orang yg

berakal bersih. Sebagaimana orang yg ingkar kepada Allah Subhanahu wa Ta‟ala lbh banyak

dari yg beriman. Demikianlah keterangan Allah Subhanahu wa Ta‟ala di dlm firman-Nya:

“Dan sedikit dari hamba-hambaKu yg bersyukur.”

Sebuah peringatan tentu akan bermanfaat bagi orang yg beriman. Di mana Allah Subhanahu

wa Ta‟ala telah memperingatkan dari kufur ni‟mat setelah memerintahkan utk bersyukur dan

menjelaskan keutamaan yg akan di dapati sebagaimana penjelasan Al-Imam As-Sa‟di

rahimahullahu dlm tafsir beliau: “Jika seseorang bersyukur niscaya Allah Subhanahu wa

Ta‟ala akan mengabadikan ni‟mat yg dia berada pada dan menambah dgn ni‟mat yg lain.”

Allah Subhanahu wa Ta‟ala berfirman:

“Dan Rabb kalian telah mengumumkan jika kalian bersyukur niscaya Kami akan menambah

dan jika kalian mengkufuri sungguh azab-Ku sangat pedih.”

Page 8: Syukurilah dan Ujian Nikmat Allah

Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullahu menjelaskan: “Jika kalian mengkufuri ni‟mat menutup-

nutupi dan menentang mk yaitu dgn dicabut ni‟mat tersebut dan siksa Allah Subhanahu wa

Ta‟ala menimpa dgn sebab kekufurannya. Dan disebutkan dlm sebuah hadits: „Sesungguh

seseorang diharamkan utk mendapatkan rizki krn dosa yg diperbuatnya‟.”

Syukur dan Sabar

Kita akan bertanya: “Jika engkau ditimpa sebuah musibah lalu engkau mensyukuri mk tentu

pada sikap kesyukuranmu terdapat sifat sabar dan sifat ridha terhadap musibah yg menimpa

dirimu. Dan kita mengetahui bahwa ridha merupakan bagian dari kesabaran. Sementara

syukur merupakan buah dari sifat ridha.”

Ibnul Qayyim rahimahullahu menjelaskan: “Syukur termasuk kedudukan yg paling tinggi dan

lbh tinggi -bahkan jauh libih tinggi- daripada kedudukan ridha. Di mana sifat ridha masuk

dlm syukur krn mustahil syukur ada tanpa ridha.”

Kenapa Kebanyakan Orang Tidak Bersyukur?

Ibnu Qudamah rahimahullahu menjelaskan: “Makhluk ini tdk mau mensyukuri ni‟mat krn

pada ada dua yaitu kejahilan dan kelalaian. Kedua sifat ini menghalangi mereka utk

mengetahui ni‟mat. Karena tdk tergambar bahwa seseorang akan bisa bersyukur tanpa

mengetahui ni‟mat . Jika pun mereka mengetahui ni‟mat mereka menyangka bahwa

bersyukur itu hanya sebatas mengucapkan alhamdulillah atau syukrullah dgn lisan. Mereka

tdk mengetahui bahwa makna syukur adl mempergunakan ni‟mat pada jalan ketaatan kepada

Allah l.”

Kesimpulan ucapan Ibnu Qudamah rahimahullahu adl bahwa manusia banyak tdk bersyukur

krn ada dua perkara yg melandasi yaitu kejahilan dan kelalaian.

Mengobati Kelalaian dari Bersyukur

Ibnu Qudamah rahimahullahu menjelaskan: “Hati yg hidup akan menggali segala macam

ni‟mat diberikan. Adapun hati yg jahil tdk akan menganggap sebuah ni‟mat sebagai ni‟mat

kecuali setelah bala‟ menimpanya. Cara hendaklah dia terus memandang kepada yg lbh

rendah dari dan berusaha berbuat apa yg telah dilakukan oleh orang2 terdahulu. Mendatangi

tempat orang yg sedang sakit dan melihat berbagai macam ujian yg sedang menimpa mereka

kemudian berpikir tentang ni‟mat sehat dan keselamatan. Menyaksikan jenazah orang yg

terbunuh dipotong tangan mereka kaki-kaki mereka dan diazab lalu dia bersyukur atas

keselamatan diri dari berbagai azab.”

Wallahu a‟lam.

1 Demikianlah makna yg telah disabdakan oleh Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam dlm

hadits yg diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim dari shahabat Abu Dzar radhiyallahu „anhu.

Sumber: www.asysyariah.com

Page 9: Syukurilah dan Ujian Nikmat Allah

Mengingkari Nikmat Allah

Memang benar jika dikatakan bahwa sebagian besar manusia itu adalah orang yang tidak mau

bersyukur atau tidak pandai berterima kasih. Bagaimana tidak, ketika Alloh Ta‟ala telah

begitu banyak memberinya nikmat, baik yang sifatnya dzohir maupun batin, hal itu tidak

membuat mereka sadar dan tergerak untuk semakin menambah ibadah mereka kepada Alloh.

Meskipun bukan berarti Alloh butuh terhadap ibadah tersebut sebagai balasan atas nikmat

yang telah Alloh berikan. Bahkan sebaliknya, kenikmatan itu justru membuat mereka

semakin jauh dari ibadah kepada Alloh Ta‟ala. Lalu bagaimana sikap yang benar yang harus

dilakukan oleh seorang hamba?

Kewajiban Seorang Hamba Adalah Bersyukur Serta Tidak Kufur

Banyak sekali dalil-dalil yang terdapat di dalam Al-Kitab maupun As-Sunnah yang

memerintahkan kita untuk senantiasa bersyukur kepada Alloh „Azza wa Jalla dan melarang

kita untuk kufur terhadap nikmat-Nya.

Alloh Ta‟ala berfirman yang artinya, “Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku

ingat pula kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku dan janganlah kamu kufur terhadap

(nikmat)-Ku.” (QS. 2: 152)

Syaikh Abdurrahman Naashir As-Sa‟di rohimahulloh berkata, “Yakni bersyukurlah kalian

terhadap nikmat yang telah Allah berikan kepada kalian dan juga terhadap tercegahnya adzab

dari kalian. Di dalam syukur harus terkandung pengakuan dan kesadaran bahwa nikmat itu

semata-mata dari Alloh semata, dzikir dan pujian yang diucapkan melalaui lisannya serta

ketaatan anggota badannya untuk semakin tunduk dan patuh dalam melaksanakan perintah-

perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya”. Beliau menambahkan, “Dan karena

lawan dari syukur adalah kufur, maka Alloh Ta‟ala telah melarang darinya: „Dan janganlah

kamu kufur terhadap (nikmat)-Ku‟. Yang dimaksud dengan kufur di sini adalah sesuatu yang

menjadi lawan dari syukur, yakni kufur terhadap nikmat-Nya. Namun terkandung juga di

dalamnya, makna kufur yang sifatnya umum, yang paling besar adalah kufur kepada Alloh,

kemudian berbagai macam dan jenis maksiat.” (Taisir Karimir Rohman)

Di tempat lain Alloh juga berfirman yang artinya, “Mereka mengetahui nikmat-nikmat Alloh,

(tetapi) kemudian mereka meningkarinya dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang

kafir.” (QS. 16: 83)

Dalam menafsirkan ayat ini, Mujahid berkata bahwa maksudnya adalah kata-kata seseorang,

„Ini adalah harta kekayaan yang diwariskan oleh nenek moyangku‟. Aun bin Abdulloh

mengatakan, “Yakni kata mereka, „Kalau bukan karena fulan tentu tidak akan menjadi

begini‟.” Dan menurut tafsiran Ibnu Qutaibah, “Mereka mengatakan, „Ini berkat syafaat

sesembahan-sesembahan kita‟.” (Kitaabut Tauhid, Syaikh Muhammad At-Tamimy)

Segala Nikmat yang Kita Terima adalah Murni Datangnya dari Alloh

Page 10: Syukurilah dan Ujian Nikmat Allah

Alloh berfirman yang artinya, “Dan tidak ada kenikmatan yang ada pada kalian kecuali

datangnya dari Alloh.” (QS. 16: 3). Syaikh Sholih Alusy-Syaikh hafidzohulloh berkata, “Ini

adalah dalil yang tegas dan jelas yang menunjukkan bahwa nikmat apa saja itu adalah dari

Alloh, karena lafadz „nikmat‟ dalam ayat ini datang dalam bentuk „nakiroh‟ dan dalam

konteks penafian. Sehingga ketika lafadz „nikmat‟ dalam ayat ini menunjukkan sesuatu yang

umum (maksudnya nikmat apa saja -ed), maka tidak bisa dikecualikan darinya suatu macam

nikmat tertentu itu datangnya selain dari Alloh. Maka nikmat apa saja, baik yang besar

maupun yang kecil, yang banyak maupun yang sedikit, itu semua datangnya dari Alloh

semata.

Adapun hamba hanyalah merupakan sebab sampainya nikmat tersebut ke tangan mereka atau

kepadamu. Apabila ada hamba yang menjadi sebab terselamatkannya dirimu dari kesusahan

atau menjadi sebab dalam keberhasilanmu, maka tidaklah menunjukkan bahwa hamba

tersebut adalah waliyyun ni‟mah (yang memberikan nikmat), kerena sesungguhnya waliyyun

ni‟mah hanyalah Alloh Azza wa Jalla. Keyakinan seperti ini termasuk kesempurnaan tauhid

seorang hamba, karena seorang muwahhid (orang yang sempurna tauhidnya) akan meyakini

dengan seyakin-yakinnya di dalam hatinya bahwa di sana tidak ada yang dapat memberikan

manfaat dan mudhorot kecuali hanyalah Alloh Robbul „alamin.” (At Tamhid Lii Syarhi

Kitabit Tauhid).

Menjadi Hamba yang Bersyukur

Syukur merupakan salah satu maqom (derajat) yang tinggi dari seorang hamba. Rasa syukur

itulah yang dapat membuat seorang hamba menjadi sadar dan termotivasi untuk terus

beribadah kepada Alloh. Seperti yang diceritakan dari Nabi bahwasanya beliau sholat malam

sampai bengkak kakinya. Ketika ditanyakan kepada beliau, “Mengapa engkau melakukan ini

wahai Rosululloh, padahal sungguh Alloh telah mengampuni seluruh dosa-dosamu baik yang

telah lewat ataupun yang akan datang?” Maka Rosululloh menjawab, “Tidakkah aku ingin

menjadi hamba-Nya yang bersyukur?” (HR. Bukhori dan Muslim)

Sehingga ketika mengetahui ini, Iblis la‟natulloh alaih, sebelum dia terusir ke dunia, berjanji

kepada Alloh „Azza wa Jalla untuk menggelincirkan manusia dan akan menghalangi mereka

untuk menjadi hamba-hamba-Nya yang bersyukur.

Alloh menceritakan perkataan Iblis ini, “Kemudian sungguh akan kami datangi mereka (bani

Adam) dari arah depan, arah belakang, samping kanan dan samping kiri mereka, sehingga

tidak akan Kau dapati kebanyakan di antara mereka yang bersyukur.” (QS. 7: 17)

Dan terbuktilah apa yang dikatakan oleh iblis, sebagaimana yang difirmankan oleh Alloh

yang artinya, “Dan sedikit sekali golongan hamba-Ku yang mau bersyukur.” (QS. 34: 13)

Termasuk bersyukur adalah kita menerima apa pun yang ada pada kita saat ini, baik yang

sedikit maupun yang banyak. Karena pada hakekatnya kenikmatan yang kita terima itu tiada

terkira banyaknya. Alloh berfirman yang artinya, “Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat

Alloh, niscaya kamu tidak dapat menghitungnya.” (QS. 16: 18)

Rosululloh shollallohu „alaihi wa sallam pun bersabda, “Lihatlah orang yang yang ada di

bawahmu dan janganlah kamu melihat orang yang ada di atasmu. Hal itu akan lebih baik

bagimu agar kamu tidak meremehkan nikmat Alloh yang yang diberikan kepadamu.” (HR.

Bukhori Muslim)

Page 11: Syukurilah dan Ujian Nikmat Allah

Bagaimana Menjadi Hamba-Nya yang Bersyukur

Imam Ibnul Qoyyim rohimahulloh berkata, “Syukur itu menurut asalnya adalah adanya

pengakuan akan nikmat yang telah Alloh berikan dengan cara tunduk kepada-Nya, merasa

hina di hadapan-Nya dan mencintai-Nya. Maka barangsiapa yang tidak merasakan bahwa itu

adalah suatu kenikmatan maka dia tidak akan mensyukurinya. Barangsiapa yang mengetahui

itu adalah nikmat namun dia tidak mengetahui dari mana nikmat itu berasal, dia juga tidak

akan mensyukurinya. Barangsiapa yang mengetahui itu adalah suatu nikmat dan mengetahui

pula dari mana nikmat itu berasal, namun dia mengingkarinya sebagaimana orang yang

mengingkari Alloh yang memberi nikmat, maka dia telah kafir. Barangsiapa yang

mengetahui itu adalah suatu nikmat dan dari mana nikmat itu berasal, mengakuinya dan tidak

mengingkarinya, akan tetapi ia tidak tunduk kepada-Nya dan tidak mencintai-Nya atau ridho

kepada-Nya, maka ia tidak mensyukurinya. Barangsiapa yang mengetahui itu adalah nikmat

dan dari mana nikmat itu berasal, mengakuinya, tunduk kepada yang memberi nikmat,

mencintai-Nya dan meridhoi-Nya, dan menggunakan dalam kecintaan dan ketaatan kepada-

Nya, maka inilah baru disebut sebagai orang yang bersyukur.”

Ancaman dan Bahaya Untuk Orang yang Kufur Nikmat

Alloh berfirman yang artinya, “Dan (ingatlah juga) ketika Robb kalian mengatakan,

„Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan

jika kamu mengingkari (nikmat-Ku) maka ketahuilah sesungguhnya adzab-Ku sangat

pedih‟.” (QS. 14: 7). Dalam ayat yang mulia ini, Alloh Azza wa Jalla memberikan janji

kepada para hamba-Nya yang mau bersyukur, sekaligus memberikan ancaman yang keras

bagi mereka yang berani untuk kufur kepada-Nya.

Bukti dari ancaman Alloh ini dapat kita lihat dari kisah-kisah orang di sekitar kita, atau dari

apa yang Alloh ceritakan langsung dalam ayat-Nya tentang kisah Qorun. Alloh berfirman

yang artinya, “Qorun berkata, „Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu karena ilmu yang

ada padaku‟. Dan apakah ia tidak mengetahui, bahwasannya Alloh sungguh telah

membinasakan umat-umat sebelumnya yang lebih kuat darinya dan lebih banyak

mengumpulkan harta? Dan tidaklah perlu ditanya kepada orang-orang yang berdosa itu,

tentang dosa-dosa mereka. Maka keluarlah Qorun kepada kaumnya dalam kemegahannya.

Berkatalah orang-orang yang menghendaki kehidupan dunia, „Semoga kiranya kita

mempunyai seperti apa yang telah diberikan Qorun, sesungguhnya ia benar-benar

mempunyai keberuntungan yang besar. Maka Kami benamkan Qorun beserta rumahnya ke

dalam bumi. Maka tidak ada baginya suatu golongan pun yang menolongnya terhadap adzab

Alloh dan tiadalah ia termasuk orang-orang (yang dapat) membela (dirinya).” (QS 28: 78-

79 & 81). Wal iyyadzu billah… semoga Alloh menjadikan kita termasuk ke dalam golongan

hamba-Nya yang bersyukur. Amiin.

***

Penulis: Abu Hudzaifah Yusuf

Dari artikel Mengingkari Nikmat Allah — Muslim.Or.Id by null

Tampakkanlah Nikmat Allah

Page 12: Syukurilah dan Ujian Nikmat Allah

Kategori: Tafsir

1 Komentar // 27 Oktober 2011

Bagian syukur dari nikmat adalah dengan menampakkan nikmat tersebut secara lahiriyah.

Bukan malah kita menjadi orang pelit dan pura-pura “kere” (miskin). Kalau memang Allah

beri kelapangan rizki, nampakkanlah nikmat tersebut pada makanan dan pakaian kita.

Allah Ta‟ala berfirman,

“Dan terhadap nikmat Rabbmu, maka hendaklah kamu siarkan.” (QS. Adh Dhuha: 11).

Berikut beberapa pendapat ulama mengenai ayat di atas.

Dari Abu Nadhroh, ia berkata,

كان المسلمىن يرون أن مه شكر النعم أن يحّدث بها.

“Dahulu kaum muslimin menganggap dinamakan mensyukuri nikmat adalah dengan

seseorang menyiarkan (menampakkan) nikmat tersebut.” Diriwayatkan oleh Ath Thobari

dalam kitab tafsirnya, Jaami‟ Al Bayaan „an Ta‟wili Ayyil Qur‟an (24: 491).

Al Hasan bin „Ali berkata mengenai ayat di atas,

“Kebaikan apa saja yang kalian perbuat, maka siarkanlah pada saudara kalian.” Disebutkan

oleh Ibnu Katsir, dari Laits, dari seseorang, dari Al Hasan bin „Ali (Tafsir Al Qur‟an Al

„Azhim, 14: 387).

Tentu saja nikmat atau kebaikan disampaikan pada orang lain jika mengandung maslahat,

bukan dalam rangka menyombongkan diri dan pamer atau ingin cari muka (cari pujian, alias

“riya‟ “). Lihat perkataan Syaikh „Abdurrahman bin Nashir As Sa‟di dalam kitab tafsirnya,

“Yang dimaksud dalam ayat tersebut mencakup nikmat din (akhirat) maupun nikmat dunia.

Adapun “fahaddits” bermakna “pujilah Allah atas nikmat tersebut”. Bentuk syukur di sini

adalah dengan lisan dan disebut khusus dalam ayat, dibolehkan jika memang mengandung

maslahat. Namun boleh juga penampakkan nikmat ini secara umum (tidak hanya dengan

lisan). Karena menyebut-nyebut nikmat Allah adalah tanda seseorang bersyukur. Perbuatan

semacam ini membuat hati seseorang semakin cinta pada pemberi nikmat (yaitu Allah

Ta‟ala). Itulah tabiat hati yang selalu mencintai orang yang berbuat baik padanya.” (Taisir Al

Karimir Rahman, 928)

Ulama besar dari negeri „Unaizah, Syaikh Muhammad bin Sholeh Al „Utsaimin dalam tafsir

Juz „Amma menjelaskan, “Tahadduts ni‟mah (menyebut-nyebut nikmat Allah) adalah dengan

ditampakkan yaitu dilakukan dalam rangka syukur kepada pemberi nikmat (yaitu Allah

Ta‟ala), bukan dalam rangka menyombongkan diri pada yang lain. Karena jika hal itu

dilakukan karena sombong, maka itu jadi tercela.”

Page 13: Syukurilah dan Ujian Nikmat Allah

Syaikh „Abdul „Aziz bin „Abdillah bin Baz rahimahullah memberikan penjelasan menarik

tentang ayat di atas. Beliau rahimahullah berkata, “Allah memerintahkan kepada Nabi

shallallahu „alaihi wa sallam untuk menyebut-nyebut nikmat yang Allah berikan. Nikmat itu

disyukuri dengan ucapan dan juga ditampakkan dengan amalan. Tahadduts ni‟mah

(menyiarkan nikmat) dalam ayat tersebut berarti seperti seorang muslim mengatakan,

“Alhamdulillah, saya dalam keadaan baik. Saya memiliki kebaikan yang banyak. Allah

memberi saya nikmat yang banyak. Aku bersyukur pada Allah atas nikmat tersebut.”

Tidak baik seseorang mengatakan dirinya itu miskin (fakir), tidak memiliki apa-apa.

Seharusnya ia bersyukur pada Allah dan tahadduts ni‟mah (siarkan nikmat tersebut).

Hendaklah ia yakin bahwa kebaikan tersebut Allah-lah yang memberi. Jangan ia malah

menyebut-nyebut dirinya itu tidak memiliki harta dan pakaian. Janganlah mengatakan seperti

itu. Namun hendaklah ia menyiarkan nikmat yang ada, lalu ia bersyukur pada Allah Ta‟ala.

Jika Allah memberi pada seseorang nikmat, hendaklah ia menampakkan nikmat tersebut

dalam pakaian, makanan dan minumnya. Itulah yang Allah suka. Jangan menampakkan diri

seperti orang miskin (kere). Padahal Allah telah memberi dan melapangkan harta. Jangan

pula ia berpakaian atau mengonsumsi makanan seperti orang kere (padahal keadaan dirinya

mampu, pen). Yang seharusnya dilakukan adalah menampakkan nikmat Allah dalam

makanan, minuman dan pakaiannya. Namun hal ini jangan dipahami bahwa kita

diperintahkan untuk berlebih-lebihan, melampaui batas dan boros.” [Majmu‟ Fatawa wa

Maqolaat Mutanawwi‟ah, juz ke-4, http://www.ibnbaz.org.sa/mat/32]

Semoga kita diberi taufik untuk merealisasikan syukur kepada Allah.

Wallahu waliyyut taufiq.

Mensyukuri Nikmat

Sewaktu mengikuti pengajian tingkat RT, sang ustadz menceritakan sebuah kisah yang

nampaknya diambil dari sebuah Hadits. Berikut ini kisahnya yang ditulis ulang sedekat

mungkin dengan inti kisahnya.

Diceritakan tentang seorang ahli ibadah, yang demi menjaga ibadahnya dia mengasingkan

diri ke sebuah bukit, sepi, sendiri. Di sana dia khususkan hidupnya hanya untuk beribadah

selama 500 tahun.

Saat perhitungan amal di yaumul hisab, dia dengan bangga dan yakin bahwa dia akan masuk

surga karena amalannya yang sangat wah. Dia berkata, "Ya Alloh, masukkan aku ke surga

karena aku telah beribadah kepadamu selama 500 tahun"

Alloh berfirman kepada malaikat: "Wahai malaikat, masukkan orang ini ke neraka"

Si ahli ibadah terkejut, dan memprotes: "Bagaimana mungkin ya Alloh, aku telah

mengkhususkan hidupku untuk beribadah, tidak pernah sekalipun aku berbuat maksiat, tidak

sekalipun aku memakan makanan haram selain buah-buahan yang tersedia di bukit, tetapi

kenapa Engkau masukkan aku ke dalam neraka?"

"Wahai malaikat, ambil satu biji mata orang itu", perintah Alloh, "dan timbanglah dengan

amalan 500 tahunnya. Manakah yang lebih berat antara pahala ibadahnya dibandingkan

dengan nikmat mata yang Aku berikan?"

Page 14: Syukurilah dan Ujian Nikmat Allah

Dan ternyata lebih berat nikmat satu biji mata.

Ahli ibadah bisa menjalankan ibadahnya di puncak bukit itu karena mendapat nikmat mata.

Belum lagi nikmat pendengaran, nikmat pernafasan, nikmat jantung, dan banyak lagi yang

takkan mungkin terhitung.

Kita takkan bisa hidup tanpa bernafas beberapa menit saja. Namun seberapa sering kita

mensyukuri nikmat itu?

Apakah sebanding segala nikmat itu dengan amal ibadah yang kita lakukan?

Apalagi jika kita jarang beribadah.

Syukur Bertambah, Nikmat Melimpah Selasa, 19 Juli 2011 22:56 Abu Umar Abdillah, Lc

Ibnu Abbas meriwayatkan, bahwa suatu kali hujan turun di zaman

Nabi shallallahu alaihi wasallam. Lalu Nabi bersabda, ”Pagi ini, di

antara manusia ada yang bersyukur, namun ada juga sebagian yang

kufur. Mereka (yang bersyukur) berkata, ”Hujan ini adalah rahmat

dari Allah.” Namun sebagian lagi (yang kufur) berkata, ”Memang

benar (hujan turun karena) bintang ini dan bintang itu.” (HR

Muslim)

Ada yang Syukur dan Ada yang Kufur

Meski kasus di atas terkait dengan hujan, namun kaidah ini berlaku

untuk segela jenis nikmat yang Allah turunkan. Untuk setiap karunia

yang Allah berikan, selalu menjadi ujian untuk memisahkan dua

golongan, golongan orang yang bersyukur, dan golongan orang yang

kufur.

Dikatakan kufur atas nikmat Allah, karena mereka mengalamatkan asal nikmat dan rejeki yang disandangnya kepada selain

Allah. Bahwa rejeki datang karena kerja kerasnya, harta berlimpah karena kepiawaian dalam bisnisnya, atau karena semata-

mata kondisi ekonomi sedang bagus-bagusnya. Apalagi jika mengalamatkan rejeki diperoleh berkat jimat, pertolongan

leluhur, mendatangi dukun atau sesaji yang dilakukannya.

Sebagian lagi yang kurang, atau bahkan tidak bersyukur, mereka tidak peka atas nikmat yang tertuju kepadanya. Mereka

tidak menyadari tiap nikmat yang melekat pada dirinya. Karena fokus pikirannya hanya tertuju pada apa-apa yang belum

dimiliki.

Mereka baru sadar, ketika nikmat itu dicabut atau hilang dari genggaman. Inilah karakter kebanyakan manusia sebagaimana

yang difirmankan Allah,

”Sesungguhnya manusia itu sangat ingkar, tidak berterima kasih kepada Rabbnya” (QS al-‟Adiyaat 6)

Imam Hasan al-Bashri rahimahullah menyebutkan bahwa maksud ‟lakanuud‟ (sangat ingkar) adalah yang suka mengingat

musibah, namun melupakan nikmat.” Saat musibah datang, atau ada sesuatu yang hilang darinya, maka seakan ia tak pernah

memiliki apa-apa selain yang hilang itu. Maka bagaimana Allah akan memberikan nikmat tambahan jika mereka hanya

memandang nikmat dengan sebelah mata? Bagaimana pula mereka akan bahagia jika mereka tak mampu mendeteksi segala

Page 15: Syukurilah dan Ujian Nikmat Allah

nikmat yang disandangya? Begitulah siksa bagi orang yang kufur atas nikmat Allah di dunia, sebelum nantinya merasakan

pedihnya siksa di akhirat.

Ikat Nikmat dengan Syukur

Berbanding terbalik dengan kufur nikmat. Begitu indahnya nikmat saat direspon dengan syukur. Sungguh kesyukuran itu

bahkan lebih berharga nilainya dari nikmat yang disyukuri. Karena ia akan melahirkan banyak sekali buah dan faedah yang

akan dirasakan nikmatnya dalam segala sisi, baik di dunia maupun di akhirat. Tidaklah mengherankan, jika target setan

menggoda manusia dari segala arah adalah untuk menjauhkan manusia dari kesyukuran, Iblis berjanji,

”Kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan

Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur.” (QS al-A‟raf 17)

Setan tidak ingin manusia mendapatkan faedah melimpah karena bersyukur. Karena orang yang bersyukur tak hanya

terhindar dari siksa akhirat, tapi juga bisa mengenyam selaksa kebahagiaan di dunia.

Kebahagiaan akan terpancar di hati orang yang bersyukur. Tiada orang yang lebih berbahagia dan lebih optimis dari orang

yang bersyukur. Syeikh Abdurrahman as-Sa‟di menggambarkan kondisi hati orang yang bersyukur, “Orang yang bersyukur

adalah orang yang paling bersih jiwanya, paling lapang dadanya, dan paling bahagia hatinya. Karena hati dipenuhi oleh

pujian terhadap-Nya, merasakan hadirnya setiap nikmat-nikmat dari-Nya, dia pun bahagia lantaran bisa menikmati karunia

dari-Nya. Lisannya senantiasa basah dengan ungkapan syukur dan dzikir kepada-Nya. Dan semua ini merupakan pondasi

terwujudnya kehidupan yang baik, inti dari kenikmatan jiwa, dan rahasia diperolehnya segala kelezatan dan kegembiraan.

Ketika hati menyadari dan mendeteksi hadirnya tambahan nikmat, maka harapan terhadap karunia Allah pun semakin

bertambah dan menguat.”

Tatkala seorang hamba merasa senang, mengakui nikmat dari Allah dan mensyukurinya, maka Allah tak ingin mencabut

nikmat itu darinya. Benarlah ungkapan para ulama bahwa asy-syukru qayyidun ni‟am, syukur adalah pengikat nikmat.

Dengannya, nikmat-nikmat yang tersandang menjadi langgeng dan lestari. Dan tak ada cara yang paling kuat untuk

mempertahankan nikmat selain dari syukur.

Hasan al-Bashri rahimahullah berkata, “Sesungguhnya Allah menurunkan nikmat atas hamba-Nya sesuai kehendak-Nya.

Jika ia tidak mensyukurinya, maka nikmat akan diganti dengan musibah. Karena itulah, syukur juga disebut dengan al-

haafizh (penjaga), karena ia bisa menjaga nikmat yang telah ada. Syukur disebut juga dengan al-jaalib (yang

mendatangkan), karena ia bisa mendatangkan nikmat yang belum di depan mata.”

Syukur bertambah, Nikmat Melimpah

Nikmat itu hadir karena syukur. Lalu syukur itu akan mengundang hadirnya tambahan nikmat. Tambahan nikmat akan terus

diturunkan kepada seorang hamba, dan tidak akan berhenti hingga hamba itu sendiri yang menghentikan syukurnya kepada

Allah. Begitulah kesimpulan cerdas dari sahabat Ali bin Abi Thalib radhiyallahu „anhu.

Sesuai dengan kadar syukur seseorang, sebanyak itu pula tambahan nikmat akan tercurah kepadanya. Tatkala menafsirkan

firman Allah,

“dan Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.” (QS Ali Imran 145)

Ibnu Katsier rahimahullah berkata, “Maksudnya adalah Kami akan menurunkan karunia dan rahmat Kami di dunia dan di

akhirat sesuai dengan kadar syukur dan amal perbuatannya.” Mereka akan mendapatkan karunia tersebut, dan tak akan

terkurangi sedikitpun. Ketika seorang mukmin bersyukur dengan menjalankan ketaatan, maka Allah akan memberikan

balasan kepadanya sesuai dengan kadar syukurnya. Hal ini dikuatkan dengan sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam,

Page 16: Syukurilah dan Ujian Nikmat Allah

Sesungguhnya Allah tidak akan menzhalimi atas satu kebaikan seorang mukmin, Allah akan memberikan imbalan di dunia,

dan memberinya pahala di akhirat.” (HR Muslim)

Namun hal ini tidak berarti bahwa setiap orang yang diberi kemudahan dalam memperoleh harta, atau rejeki datang silih

berganti itu selalu diartikan sebagai tambahan karunia. Ada kalanya kemudahan melimpah itu sebagai istidraj, Allah hendak

membiarkan mereka bersenang-senang sementara hingga nantinya akan disiksa secara tiba-tiba. Maka hendaknya seorang

mukmin segera mawas diri, apakah dia sedang berada dalam taat, ataukah maksiat, sehingga bisa dibedakan, apakah

kenikmatan itu berupa karunia atukah istidraj. Nabi saw bersabda,

”Jika kamu mendapatkan Allah memberikan kemudahan dunia kepada seorang hamba sementara ia bergelimang dengan

maksiat sesukanya, maka itu hanyalah istidraj.” (HR Ahmad)

Untuk merealisasikan syukur yang dengannya akan mengundang tambahan karunia, hendaknya kita senantiasa mengingat,

merenungi dan mencari-cari kenikmatan yang sudah kita miliki. Dengan cara seperti itu, kita pun akan merasakan nikmatnya

karunia, untuk kemudian bersyukur kepada Dzat yang telah memberikan karunia.

Inilah yang sering dilakukan oleh para ulama. Seperti Fudhail bin Iyadh dan Sufyan bin Uyainah, keduanya duduk bersama

di malam hari untuk saling mengingatkan nikmat yang telah Allah anugerahkan kepada keduanya. Sufyan mengatakan,

”Allah telah menganugerahkan kepada kita ini dan itu, Dia telah menolong kita tatkala ini dan itu..” Begitupun halnya

dengan Fudhail.

Maka barangsiapa yang ingin diberi tamhahan nikmat, baik dalam hal ilmu, harta, keharmonisan rumah tangga dan segala

kemaslahatan yang lain, maka hendaknya mengingat nikmat, lalu mensyukuri dengan lisan dan menggunakan nikmat untuk

ketaatan. Karena Allah tidak pernah ingkar janji dengan firman-Nya,

Dan (ingatlah juga), takala Rabbmu mema‟lumkan:”Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah

(nikmat) kepadamu.” (QS al-Maidah 7)

Sebagaimana Allah juga tidak akan mengingkari janji-Nya,

147(

“Mengapa Allah akan menyiksamu, jika kamu bersyukur dan beriman?” (QS an-Nisa‟ 147)

Qatadah mengatakan, “yakni Allah tidak akan menyiksa orang yang bersyukur dan beriman.” Allahumma a‟inna „alaa

dzikri-Ka wa syukri-Ka wa husni „ibaadati-Ka, ya Allah bantulah kami untuk senantiasa berdzikir kepada-Mu, bersyukur

kepada-Mu dan memperbagus ibadahku kepada-Mu. Amiin. (Abu Umar Abdillah)