Surimi_Gabriella Rosalita_13.70.0027_B4_UNIKA SOEGIJAPRANATA

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Surimi merupakan produk setengah jadi (intermediate product) dari hasil olahan ikan, yaitu berupa hancuran daging ikan yang melalui proses pencucian dengan larutan garam dingin, pengepresan, pemberian bahan tambahan (food additive), pengepakan dan pembekuan.

Citation preview

SURIMI

laporan resmi praktikum TEKNOLOGI HASIL LAUT

Disusun oleh:Nama : Gabriella RosalitaNIM : 13.70.0027 Kelompok B4

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGANFAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIANUNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATASEMARANG2015

1. MATERI METODE

1.1. Materi1.1.1. AlatAlat-alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah kain saring, pisau, penggiling daging, dan freezer.

1.1.2. BahanBahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah daging ikan, garam, gula pasir, polifosfat, es batu.

1.2. Metode

RUMUS :Luas Atas = LA= 1/3 a (h0 + 4 h1 + 2h2 + 4 h3 + hn )Luas Bawah = LB = 1/3 a (h0 + 4 h1 + 2h2 + 4 h3 + hn )Luas Area Basah = LA - LBMg H2O = 2

1

2. HASIL PENGAMATAN

Hasil pengamatan surimi dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Hasil Pengamatan SurimiKelompokPerlakuanHardness (gf)WHC (mg)Sensoris

KekenyalanAroma

B1Sukrosa 2,5%129,74280.917,72++++

Garam 2,5%

Polifosfat 0,1%

B2Sukrosa 2,5%292,02218.185,65++++++

Garam 2,5%

Polifosfat 0,3%

B3Sukrosa 5%112,7318.565,40+++

Garam 2,5%

Polifosfat 0,3%

B4Sukrosa 5%151,29303.858,12++++

Garam 2,5%

Polifosfat 0,5%

B5Sukrosa 5%134,31301.219,49++

Garam 2,5%

Polifosfat 0,5%

Keterangan:KekenyalanAroma+: Tidak kenyal+: Tidak amis++: Kenyal++: Amis+++: Sangat kenyal+++: Sangat amis

Pada tabel 1, dapat dilihat bahwa pada pembuatan surimi dilakukan penambahan sukrosa, garam 2,5%, dan polifosfat. Penambahan sukrosa dan polifosfat tiap-tiap kelompok berbeda. Kelompok 1 dan kelompok 2 menambahkan 2,5% sukrosa dari berat sampel, sedangkan kelompok 3, 4, dan 5 menambahkan 5% sukrosa dari berat sampel. Penambahan polifosfat pada kelompok B1 hingga B5 secara berturut-turut adalah 0,1%, 0,3%, 0,3%, 0,5%, dan 0,5%. Kekerasan/ hardness tertinggi pada pembuatan surimi dihasilkan oleh kelompok B2 dengan penambahan sukrosa 2,5%, garam 2,5%, dan polifosfat 0,3% dari berat sampel. Dan WHC (Water Holding Capacity) tertinggi dihasilkan oleh kelompok B3 dengan penambahan sukrosa 5%, garam 2,5%, dan polifosfat 0,3% dari berat sampel. Pada uji sensori, kekenyalan yang dihasilkan tiap kelompok beragam, yaitu tidak kenyal (kelompok B5), kenyal (kelompok B1 dan B3), dan sangat kenyal (kelompok B2 dan B4). Serta aroma surimi yang dihasilkan tiap kelompok pun beragam, yaitu tidak amis (kelompok B3, B4, dan B5), amis (kelompok B1), dan sangat amis (kelompok B2).1. 3. PEMBAHASAN

Surimi merupakan produk setengah jadi (intermediate product) dari hasil olahan ikan, yaitu berupa hancuran daging ikan yang melalui proses pencucian dengan larutan garam dingin, pengepresan, pemberian bahan tambahan (food additive), pengepakan dan pembekuan (Tri Winarni et al, 2008). Menurut teori dari Peranginangin et al dalam jurnal milik Fabiola H.S et al (1999), surimi merupakan daging yang telah dihaluskan atau lumat yang dibersihkan dan dicuci berulang kali sehingga komponen seperti darah, bau, pigmen, dan lemak akan hilang. Selain itu, pencucian juga dapat menghilangkan bau amis, bahan yang tidak diinginkan, komponen lain yang larut air serta meningkatkan konsentrasi dari protein myofibril (Hosseini-Shekarabi et al, 2015). Menurut Ali Jafarpour et al (2012), surimi merupakan produk olahan daging ikan yang digiling hingga halus dan dicuci dalam larutan. Dalam proses penyimpanan, surimi dapat disimpan dalam keadaan beku dengan penambahan garam dan bahan anti denaturasi protein (cryoprotectan) yang diolah dengan pemanasan untuk mengatur tekstur dan mengembangkan gelnya.

Surimi memiliki nilai ekonomis yang tinggi pada pengembangan produk hasil olahan ikan. Hal ini dikarenakan surimi dapat diolah kembali menjadi macam-macam produk makanan dan juga dapat digunakan sebagai bahan campuran olahan seperti bakso, sosis, abon, dan berbagai produk olahan lainnya. Pada umumnya, surimi dibedakan menjadi 2 jenis surimi yang biasa diproduksi yaitu mu-en surimi dan ka-en surimi. Perbedaan dari 2 jenis surimi ini adalah ada atau tidaknya penambahan garam pada proses pembuatannya. Mu-en surimi merupakan produk surimi yang dibuat tanpa menggunakan penambahan garam, sedangkan ka-en surimi merupakan produk surimi yang menggunakan garam pada konsentrasi tertentu. Hal tersebut sesuai dengan teori dari Agustiani et al. (2006).

Pada proses pembuatan surimi dapat melalui 2 cara, yaitu cara manual dan cara mekanis. Proses pembuatan surimi secara manual meliputi proses filleting, mixing, leaching, dewatering, dan straining. Proses pembuatan surimi secara manual dapat dilihat pada gambar 1 berikut ini.Gambar 1. Proses Manual Pembuatan Surimi (Agustiani et al., 2006)

Sedangkan proses pembuatan surimi secara mekanis dilakukan dengan menggunakan mesin. Mesin-mesin yang digunakan pada proses pembuatan surimi secara mekanis antara lain fish washer, meat separator, leaching tank, rotary screen, refiner, dan screw press. Proses pembuatan surimi secara mekanis umumnya dilakukan secara kontinyu. Proses pembuatan surimi secara mekanis dapat dilihat pada gambar 2 berikut ini.

Gambar 2. Proses Mekanis Pembuatan Surimi (Agustiani et al., 2006)

Selama proses pembuatan surimi terdapat beberapa faktor utama yang perlu diperhatikan, yaitu suhu air proses pencucian dan penggilingan daging ikan. Jumlah protein larut air yang dapat hilang selama pencucian tergantung dari suhu air pencuci yang dilakukan, dimana hal tersebut dapat mempengaruhi kekuatan dari gelnya (Simazamaninejad et al, 2013). Hossain et al (2004) mengungkapkan bahwa proses yang paling penting merupakan tahap pencucian, dimana pencucian itu sendiri diperlukan untuk menghilangkan substansi yang larut air, terutama protein sarkoplasma, lemak, dan bahan lainnya yang tidak diinginkan seperti pigmen. Bourtooma et al (2009) mengungkapkan juga bahwa proses pencucian akan mempengaruhi kandungan gizi dari surimi yang akan dihasilkan nantinya. Ada sebagian kandungan yang akan terlarut pada air pencucian yang salah satunya adalah protein miofibril yang akan mempengaruhi tekstur dari surimi yang dihasilkan. Suhu air pencuci yang lebih dari 150C dapat melarutkan protein larut air lebih banyak. Kekuatan gel terbaik dapat dihasilkan apabila daging ikan dicuci dengan air yang bersuhu 100C-150C. Hal tersebut sesuai dengan teori dari Andini (2006).

Djazuli, N et al (2009) mengungkapkan bahwa untuk bahan baku yang segar akan mempengaruhi kualitas surimi, dimana protein yang ada dalam kandungan ikan tidak mengalami denaturasi. Apabila surimi akan disimpan dalam bentuk beku, maka dapat dilakukan penambahan bahan antidenaturasi protein (cryoprotectant). Dalam proses pembuatan surimi, terdapat syarat mutu bahan baku antara lain bahan baku harus dalam keadaan bersih, bebas dari bau busuk, bebas dari proses dekomposisi dan pemalsuan, bebas dari sifat-sifat yang dapat menurunkan mutu serta tidak membahayakan bagi kesehatan manusia (Standar Nasional Indonesia 1992). Secara organoleptik bahan baku perlu memiliki karakteristik kesegaran sekurang-kurangnya sebagai berikut:a. Rupa dan warna : bersih, warna daging spesifik jenis ikan.b. Daging : elastis dan kompak.c. Bau : segar spesifik jenis ikan.d. Rasa : netral agak manis.

Surimi akan dikatakan bermutu baik apabila mempunyai ciri-ciri seperti warna yang putih, flavor yang baik, dan elastisitas yang tinggi. Kesegaran dari ikan yang akan digunakan dalam pembuatan surimi dapat mempengaruhi elastisitas dari surimi yang dihasilkan. Semakin segar ikan yang akan digunakan maka elastisitas surimi akan semakin tinggi juga. Apabila dalam pembuatan surimi mempunyai elastisitas yang rendah maka biasanya elastisitas surimi akan ditingkatkan dengan cara menambahkan daging ikan jenis yang lain, diberikan penambahan gula, pati, atau protein nabati. Menurut Nopianti et al (2012), salah satu faktor yang mempengaruhi elastisitas pada surimi adalah pH dari ikan, dimana tingkat keasaman atau pH ikan yang paling ideal dalam pembuatan surimi adalah 6,5 hingga 7 (pH netral). Hordur et al (2005) menambahkan juga bahwa degradasi protein miofibril akan dipengaruhi oleh tingkat keasaman selama proses pembuatan surimi, dimana pada suasana yang asam, protein miofibril yang ada pada daging lebih banyak yang dapat dipertahankan dibandingkan saat suasana basa. Ikan yang digunakan sebagai bahan dalam pembuatan surimi juga disarankan memiliki lemak yang rendah karena lemak dapat mempengaruhi daya gelatinasi dan akan mengakibatkan produk surimi cepat mengalami ketengikan. Apabila ikan yang digunakan mempunyai kandungan lemak yang tinggi, maka ikan tersebut harus melalui proses pengekstrakan lemak terlebih dahulu. Hal tersebut sesuai dengan teori dari Koswara et al. (2001).

Phatcharat et al (2006) juga mengungkapkan bahwa kesegaran ikan adalah faktor yang dianggap paling penting karena dapat menentukan kemampuan pembentukan gel pada surimi. Waktu dan suhu penyimpanan saat ikan telah ditangkap dan proses pengolahannya akan mempengaruhi kualitas akhir produk surimi, dimana waktu penyimpanan yang semakin lama dapat membuat kualitas gel yang lebih rendah. Kualitas gel surimi dapat diperoleh dengan beberapa langkah seperti dengan penambahan aditif protein, penggunaan mikroba transglutaminase, serta proses pencucian yang akan meningkatkan kekuatan gel surimi.

a. Proses Pembuatan SurimiTidak semua jenis ikan dapat dijadikan sebagai produk surimi. Ikan yang berdaging putih, tidak amis dan tida berbau lumpur memiliki kemampuan membentuk gel yang bagus dapat menghasilkan surimi yang lebih baik. Pembentukan gel juga dipengaruhi oleh kandungan protein miofibril yang ada dalam ikan tersebut. Semakin tinggi kandungan protein miofibril maka pembentukan gel yang dihasilkan semakin baik. Hal tersebut diungkapkan oleh Peranginangin et al. (1999). Pada praktikum kali ini, ikan yang digunakan adalah ikan bawal, dimana jenis ikan tersebut sudah memenuhi persyaratan yang sesuai untuk dijadikan produk surimi.

Menurut Dahar (2003), pada umumnya proses pembuatan surimi meliputi penerimaan bahan baku, penyiangan dan pencucian, pemisahan daging dari tulang dan kulit, leaching, straining (bertujuan untuk menghilangkan jaringan ikan, sisa sisik, duri , membran, serta bagian lainnya yang tidak diperlukan dalam pembuatan surimi supaya surimi yang dihasilkan mempunyai mutu yang baik), pengepresan (bertujuan untuk mengurangi kadar air surimi hingga sekitar 85%), penambahan gula dan sodium polyphosphate, pencetakan dan pembekuan, serta pengemasan. Hal tersebut sesuai dengan praktikum yang dilakukan, dimana mula-mula dilakukan pemfiletan daging ikan bawal sebanyak 100 gram, kemudian dilakukan penggilingan atau pemblenderan hingga halus. Setelah itu, dilakukan penambahan dengan sukrosa dari berat sampel, dimana kelompok B1 dan kelompok B2 ditambahkan 2,5% sukrosa, sedangkan kelompok B3, B4, dan B5 ditambahkan 5% sukrosa. Selanjutnya, ditambahkan dengan garam 2,5% pada semua kelompok dan STTP atau polifosfat dengan konsentrasi yang berbeda-beda tiap kelompok. Penambahan polifosfat pada kelompok B1 hingga B5 secara berturut-turut adalah 0,1%, 0,3%, 0,3%, 0,5%, dan 0,5%. Kemudian fillet daging ikan bawal tersebut dimasukkan ke dalam kantong plastik polietilen dan disimpan dalam freezer selama semalam. Menurut Anonim_a (1987), tujuan pengemasan dengan plastik jenis PE (Polyethylene) dikarenakan surimi yang sudah dikemas membutuhkan penyimpanan pada suhu dingin dan untuk menghindari kontak udara selama penyimpanan, dimana salah satu plastik yang cocok untuk produk surimi adalah plastik jenis PE. Setelah dibekukan selama 1 malam, jika surimi akan diolah lebih lanjut perlu melalui proses thawing terlebih dahulu kemudian diamati hardness, water holding capacity, dan kualitas sensorisnya (aroma dan kekenyalan). Menurut Nopianti et al (2010), pada proses pembekuan akan memberikan pengaruh terhadap karakteristik gel pada surimi, dimana selama proses pembekuan pembentukan gelnya akan semakin menurun. Dan juga, proses pembekuan akan menyebabkan denaturasi protein. Oleh karena itu, dilakukan penambahan cryoprotectant pada pembuatan surimi sehingga dapat melindungi fungsi protein selama pembekuan.

Cryoprotectant merupakan senyawa yang dapat berfungsi sebagai anti denaturasi protein pada proses pembekuan maupun penyimpanan beku. Penambahan senyawa cryoprotectant berupa sukrosa yang memiliki fungsi untuk meningkatkan N-aktomiosis dan kekuatan gel. Selama penyimpanan, surimi akan mengalami proses denaturasi protein yang dikarenakan terjadi peningkatan konsentrasi garam mineral dan substansi organik terlarut pada fase sebelum terjadi pembekuan di dalam sel. Apabila terjadi pemisahan dan denaturasi protein, maka konsentrasi garam mineral menjadi sangat tinggi dimana cairan dalam sel menjadi membeku. Berdasarkan teori dari Wong (1989), denaturasi protein dapat mengakibatkan lapisan molekul protein pada bagian dalam yang bersifat hidrofobik akan terbalik keluar dan bergabung dengan fase cair. Proses hidrasi hidrofobik tersebut akan menghasilkan energi bebas positif yang dapat meningkatkan permukaan protein. Permukaan protein yang semakin lebih luas ini secara termodinamik tidak stabil dibandingkan dengan bentuk yang tidak terdenaturasi (Fennema 1985). Dan oleh karena itu, proses hidrofobik tersebut akan dicegah dengan antidenaturan, khususnya gula.

Pada praktikum ini, jenis surimi yang digunakan adalah ka-en surimi, dimana pada proses pembuatannya surimi ditambahkan dengan garam pada kosentrasi tertentu. Hal tersebut sesuai dengan teori dari Suzuki (1981). Berdasarkan teori dari Anonim_a (1987), penambahan garam berfungsi untuk mempercepat proses penurunan jumlah air pada fillet daging ikan yang kemudian akan dibuat surimi. Menurut Okada, et al. (1973), surimi merupakan daging ikan cincang halus yang diproses sedemikian rupa dengan menghilangkan tulangnya, dicuci dengan air dingin, dan sebagian kadar air pada daging akan hilang.

Selain itu, saat pembuatan surimi juga ditambahkan dengan polyphosphate (STPP). Penambahan polyphosphate berfungsi untuk meningkatkan sifat elastisitas/kekenyalan dan memberikan sifat lembut pada surimi yang dihasilkan. Polyphosphate tidak termasuk dalam senyawa cryoprotectant, namun ditambahkan untuk meningkatkan daya ikat air (water holding ability). Jumlah polyphosphate yang ditambahkan pada proses pembuatan surimi sebanyak 0,2-0,3% berupa garam natrium tripolifosfat atau natrium pirofosfat. Hal tersebut diungkapkan oleh Tan et al. (1988).

b. Pengaruh Sukrosa, Garam, dan Polifosfat terhadap Kualitas SurimiMenurut Winarno et al. (1980), proses pembuatan surimi sering ditambahkan dengan beberapa macam jenis bahan tambahan yang sering diberikan dengan maksud dan tujuan tertentu, misalnya untuk meningkatkan cita rasa, konsistensi nilai gizi, mengendalikan keasaman dan kebasaan serta memberikan tekstur, bentuk dan rupa. Jenis-jenis bahan tambahan yang sering ditambahkan dalam proses pembuatan surimi adalah gula, garam, dan polifosfat.

GaramPenambahan garam dalam pembuatan surimi berfungsi untuk melepaskan miosin dari serat-serat ikan yang sangat penting untuk pembentukan gel yang sangat kuat. Dan juga, garam sering digunakan sebagai penyedap rasa, bumbu dan penambah aroma. Tetapi jika diberikan dalam kadar yang cukup tinggi akan mengubah cita rasa makanan tersebut. PolifosfatPolifosfat yang sering dipakai dalam proses pembuatan surimi yaitu natrium tripolifosfat (STTP). Polifosfat dapat memisahkan aktomiosin dan berikatan dengan miosin. Miosin dan poliposfat akan saling berikatan dengan air dan dapat menahan mineral serta vitamin. Pada proses pemasakan, miosin dapat membentuk gel dan polifosfat dapat membantu menahan air dengan cara menutup pori-pori mikroskopis dan kapiler. Hal ini didukung oleh teori dari Haryati (2001). Seperti pada umumnya, polifosfat biasanya sering ditambahkan sebanyak 0,2 %-0,3 % berupa garam natrium tripolifosfat (Peranginangin et al. 1999). Bahan cryoprotectantCryoprotectant merupakan bahan yang umum digunakan untuk proses pembuatan surimi yang dapat menjadi produk perantara atau tidak langsung diolah, sehingga harus disimpan terlebih dahulu pada suhu beku dalam jangka waktu yang lama. Cryoprotectant juga dapat berfungsi untuk menginaktifkan kondensasi dengan cara mengikat molekul air melalui ikatan hidrogen. Berdasarkan teori dari P. Santana (2012), cryoprotectant yang biasa digunakan adalah sorbitol, sukrosa dan polyols yang dapat mencegah denaturasi protein. Cryoprotectant juga dapat digunakan untuk meningkatkan kemapuan air sebagai energi pengikat, mencegah pertukaran molekul air dari protein, dan dapat menstabilkan protein. Hal tersebut diungkapkan oleh Zhou et al. (2006). Pipatsattayanuwong et al. (1995) menambahkan juga bahwa cryoprotectant dapat berfungsi sebagai zat antidenaturan. Cryoprotectant akan menghambat proses denaturasi protein selama proses pembekuan dan penyimpanan beku. Pada praktikum pembuatan surimi, dilakukan penambahan sukrosa, garam 2,5%, dan polifosfat. Penambahan polifosfat dan sukrosa pada setiap kelompok berbeda-beda. Pada kelompok 1 dan kelompok 2 ditambahkan 2,5% sukrosa dari berat sampel, serta kelompok 3, 4, dan 5 ditambahkan 5% sukrosa dari berat sampel. Berdasarkan teori dari Wiguna (2005), pada proses pembuatan surimi, penambahan sukrosa dapat digunakan sebagai gula pereduksi yang bereaksi dengan gugus amino dari protein sehingga membentuk senyawa melanoidin yang berwarna coklat. Sukrosa juga salah satu contoh cryoprotectant yang dapat digunakan untuk menghambat proses denaturasi protein pada produk surimi. Penambahan polifosfat pada kelompok B1 hingga B5 secara berturut-turut adalah 0,1%, 0,3%, 0,3%, 0,5%, dan 0,5%.

Berdasarkan hasil yang diperoleh dalam percobaan, WHC (Water Holding Capacity) tertinggi dihasilkan oleh kelompok B3 dengan penambahan sukrosa 5%, garam 2,5%, dan polifosfat 0,3% dari berat sampel. Sedangkan WHC terendah pada pembuatan surimi dihasilkan oleh kelompok B2 dengan penambahan sukrosa 2,5%, garam 2,5%, dan polifosfat 0,3% dari berat sampel. Berdasarkan teori dari Fennema (1985), gula memiliki gugus polihidroksi yang akan bereaksi dengan molekul air oleh ikatan hidrogen, sehingga akan meningkatkan tegangan permukaan dan mencegah keluarnya molekul air dari protein serta membuat stabilitas protein tetap terjaga. Penggunaan sukrosa pada proses pembuatan produk surimi berfungsi sebagai pelindung fungsi protein dalam surimi, dimana akan menghambat denaturasi protein selama masa pembekuan. Berdasarkan teori tersebut, dapat dikatakan bahwa gula memiliki kemampuan untuk mengikat air sehingga semakin banyak penambahan gula pada surimi maka daya ikat air (WHC) yang dimiliki juga akan semakin tinggi. Pada percobaan ini, sesuai dengan teori tersebut dimana WHC tertinggi ada pada surimi dengan konsentrasi sukrosa 5%.

Selain itu, saat proses pembuatan surimi juga ditambahkan dengan garam. Berdasarkan teori dari Roussel dan Cheftel (1988), penambahan garam bertujuan untuk membentuk gel yang elastis dan fleksibel pada surimi yang dihasilkan. Jika surimi dicampurkan dengan garam dan diikuti dengan proses pelumatan, akan menyebabkan terbentuknya sol dan jika dilakukan pemanasan maka gel akan terbentuk. Lan et al. (1995) menambahkan juga bahwa terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi pembentukan gel dalam surimi yaitu pH, suhu, bahan baku, kekuatan ion dan laju pemanasan, serta jenis ikan yang digunakan. Penambahan garam berfungsi untuk melepaskan miosin dari serat-serat ikan yang dapat dalam pembentukan gel yang kuat. Pembentukan gel tersebut dapat mempengaruhi daya ikat air (WHC) pada surimi. Penggunaan garam juga bertujuan untuk bahan pelarut protein miofibril. Jika penambahan konsentrasi garam dibawah 12%, maka protein miofibril tidak dapat larut, tetapi jika penambahan konsentrasi garam diatas 12%, maka protein miofibril akan terhidrasi dan menimbulkan salting out. Konsentrasi garam yang biasanya digunakan untuk pembuatan surimi sekitar 2% hingga 3% (Shimizu et al., 1992). Hal tersebut sesuai dengan praktikum ini dimana pada proses pembuatan surimi diberikan penambahan garam sebanyak 2,5% dari berat sampel.

Berdasarkan percobaan yang dilakukan, kekerasan/hardness tertinggi pada pembuatan surimi terdapat pada kelompok B2 dengan penambahan sukrosa 2,5%, garam 2,5%, dan polifosfat 0,3% dari berat sampel. Sedangkan nilai hardness terendah pada pembuatan surimi terdapat pada kelompok B3 dengan penambahan sukrosa 5%, garam 2,5%, dan polifosfat 0,3% dari berat sampel. Berdasarkan teori dari Tan et al. (1988), penambahan polyphosphate berfungsi supaya meningkatkan kelembutan dan sifat elastisitas dari surimi yang dihasilkan. Berdasarkan teori tersebut dapat disimpulkan bahwa apabila polifosfat ditambahkan makin banyak maka semestinya hardness yang dihasilkan akan semakin kecil. Hal tersebut tidak sesuai dengan hasil percobaan yang dilakukan, dimana saat diberikan penambahan polifosfat sebanyak 0,1% dihasilkan nilai hardness sebesar 129,74 gf. Sedangkan diberikan penambahan polifosfat 0,3% menghasilkan rata-rata hardness sebesar 202,36 gf, serta diberikan penambahan polifosfat 0,5% menghasilkan rata-rata hardness sebesar 142,8 gf.

Pada umumnya, polyphosphate ditambahkan supaya meningkatkan daya ikat air (water holding ability). Djazuli, N et al (2009) menyatakan bahwa uji daya ikat air atau WHC berfungsi untuk mengetahui seberapa besar kemampuan bahan dalam mengikat molekul air. Interaksi antara protein dan air terutama pada daya ikat air sangat berperan dalam pembentukan gel. Tekstur gel dapat semakin baik jika daya serap air semakin baik pula. Hal tersebut tidak sesuai dengan hasil percobaan, dimana WHC tertinggi dihasilkan pada saat penambahan polifosfat sebanyak 0,3% dari berat sampel.

Ketidaksesuaian dalam praktikum ini dapat dikarenakan kualitas ikan yang digunakan. Phatcharat et al (2006) menambahkan juga bahwa kesegaran ikan merupakan indikator yang dianggap paling penting karena dapat mempengaruhi kemampuan pembentukan gel pada surimi. Selain itu, waktu dan suhu penyimpanan antara ikan yang sudah ditangkap dan cara pengolahannya akan mempengaruhi kualitas akhir produk surimi. Apabila waktu penyimpanan semakin lama akan membuat kualitas gel lebih rendah, sehingga kemampuan dalam mengikat air atau WHC pun rendah. Selama proses pembuatan surimi pun akan dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu suhu air pencuci dan penggilingan pada daging ikan. Jumlah protein yang larut air akan hilang selama proses pencucian yang dipengaruhi suhu air pencuci, dimana akan mempengaruhi kekuatan gel pada surimi tersebut. Kekuatan gel terbaik akan diperoleh apabila hancuran daging ikan dicuci dengan air yang bersuhu 100C-150C. Hal tersebut merupakan pendapat dari Andini (2006).

Seperti pada umumnya, surimi mempunyai sifat kenyal, kecuali pada kelompok B5, yaitu tidak kenyal. Menurut pendapat Tanaka (2001), surimi memiliki tekstur yang kenyal dan elastis, dikarenakan surimi mempunyai kandungan protein miofibril dengan konsentrasi yang sangat tinggi. Selain itu, aroma surimi yang diperoleh tiap kelompok pun beragam, yaitu tidak amis (kelompok B3, B4 dan B5), amis (kelompok B1), dan sangat amis (kelompok B2).

4. KESIMPULAN

Surimi merupakan produk setengah jadi (intermediate product) dari hasil olahan ikan, yaitu berupa hancuran daging ikan yang melalui proses pencucian dengan larutan garam dingin, pengepresan, penambahan bahan tambahan (food additive), pengepakan dan pembekuan. Surimi dibagi menjadi 2 jenis yang umumnya diproduksi yaitu mu-en surimi dan ka-en surimi. Mu-en surimi merupakan produk surimi yang dibuat tanpa peambahan garam. Ka-en surimi merupakan produk surimi yang diberikan penambahan garam pada konsentrasi tertentu. Jenis surimi yang digunakan pada praktikum ini adalah ka-en surimi. Dalam proses pembuatan surimi, ikan yang digunakan harus mempunyai tingkat kesegaran yang tinggi, daging berwarna putih, dan mempunyai kadar lemak yang rendah, serta memiliki kemampuan pembentukan gel yang baik. Kesegaran ikan merupakan indikator yang paling penting karena akan menentukan kemampuan dalam pembentukan gel pada surimi. Faktor yang harus diperhatikan selama proses pembuatan surimi yaitu suhu air pencuci dan proses penggilingan daging ikan. Jumlah protein yang larut air akan hilang selama proses pencucian daging ikan tergantung suhu air pencuci karena akan mempengaruhi kekuatan gel. Mutu surimi yang dapat diterima dengan baik yaitu memiliki warna yang putih, flavor yang baik, dan mempunyai elastisitas tinggi. Penambahan garam bertujuan untuk melepaskan miosin dari serat-serat ikan supaya dapat membentuk gel yang kuat. Gula mempunyai kemampuan mengikat air yang baik, dimana semakin banyak gula ditambahkan pada proses pembuatan surimi maka daya ikat air (WHC) akan semakin tinggi. Penambahan bahan polifosfat berfungsi supaya menambah kelembutan dan memperbaiki sifat pada surimi. Penambahan polifosfat juga dapat berfungsi supaya memperbaiki daya ikat air (WHC) pada surimi sehingga membuat daya ikat air semakin besar. Semakin tinggi penambahan jumlah polyphosphate pada proses pembuatan surimi maka hardness surimi akan semakin menurun atau semakin elastis.

Semarang, 27 September 2015Asisten Dosen: Yusdhika Bayu S

Gabriella Rosalita13.70.00275. DAFTAR PUSTAKA

Agustiani, T. W., Akhmad S.F, dan Ulfah, A. (2006). Modul Diversifikasi Produk Perikanan Universitas Diponegoro Press. Semarang.

Andini YS. 2006. Karakteristik surimi hasil ozonisasi daging merah ikan tongkol (Euthynnus sp.) [skripsi]. Bogor: Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Anonim_a. (1987). Petunjuk Praktis Pengolahan Surimi. Direktorat Jendral Perikanan Departemen Pertanian. Jakarta.

Bourtooma, T., Chinnan, M.S., Jantawat P., Sanguandeekul R. (2009). Recovery and Characterization of Proteins Precipitated from Surimi Wash-Water.

Dahar, D. (2003). Pengembangan Produksi Hasil Perikanan. Sidoarjo.

Djazuli, N et al. 2009. Modifikasi Teknologi Pengolahan Surimi Dalam Pemanfaatan By-Catch Pukat Udang di Laut Arafura. Jurnal Pengolahan Hasil Perikanan Indonesia. Institut Pertanian Bogor.

Fennema, O.R. (1985).Food Chemistry-Second Edition, Revised and Expanded.New York: Marcel Dekker, Inc.

Fogaca, Fabiola H.S et al. 2013. Optimization of The Surimi Production From Mechanically Recovered Fish Meat (MRFM) Using Response Surface Methodology. Journal of Food Quality ISSN 1745-4557. Wiley Periodicals, Inc.

Haryati S. 2001. Pengaruh lama penyimpanan beku surimi ikan jangilus (Istiophorus sp) terhadap kemampuan pembentukan gel ikan [skripsi]. Bogor: Program Studi Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Hordur G. Kristinsson, Ann E. Theodore, Necla Demir, And Bergros Ingadottir. (2005). A Comparative Study between Acid and Alkali-aided Processing and Surimi Processing for the Recovery of Proteins from Channel Catfish Muscle. Journal of Food Science.

Hossain, M.I., Muhammad M.K., Fatema H.S., & MD. Shahidul Hoque. (2004). Effect of Washing and Salt Concentration on the Gel Forming Ability of Two Tropical Fish Species. International Journal of Agriculture and Biology.Jafarpour A, Hajiduon HA, Rez aie M (2012) A Comparative Study on Effect of Egg White, Soy Protein Isolate and Potato Starch on Functional Properties of Common Carp (Cyprinus carpio) Surimi Gel. J Food Process Technol 3:190.

Koswara S, Hariyadi P, dan Purnomo EH. (2001). Tekno Pangan dan Agroindustri. Jakarta: UI Press.

Lan, H. Y.,MuW.,Nikolic-PatersonD.J.,and AtkinsR.C.(1995).A Novel, Simple, Reliable, and Sensitive Method for Multiple Immunoenzyme Staining: Use of Microwave Oven Heating to Block Antibody Cross-Reactivity and Retrieve Antigens.J Histochem Cytochem43:9710.

Nopianti, Rodiana., Nurul Huda., & Noryati Ismail. (2010). Loss of Functional Properties of Proteins During Frozen Storage and Improvement of Gel-forming Properties of Surimi. As. J. Food Ag-Ind. 2010 , 3(06), 535-547

Nopianti., R., Huda, N., Fazilah, A., Ismail., N., & Easa, A.M. (2012). Effect of Different Types of Low Sweetness Sugar on Physicochemical Properties of Threadfin Bream Surimi (Nemipterus spp.) During Frozen Storage. International Food Research Journal.

Okada, M, M. David, and G. Kudo. (1973). Kamaboko The Giant Among Japanese Processed Fishery Products. MFR Paper 1019.Marine Fisheries Review Vol 35 (12).

Peranginangin R, Wibowo S, Nuri Y, Fawza. 1999. Teknologi Pengolahan Surimi. Jakarta: Instalasi Penelitian Perikanan Laut Slipi, Balai Penelitian Perikanan Laut.

Phatcharat, S; Benjakul, S; Visessanguan, W. 2006. Effect of Washing with Oxidising Agents on The Gel-Forming Ability and Physicochemical Properties of Surimi Produced From Bigeye Snapper (Priacanthus tayenus). Department of Food Technology Prince of Songkla University Thailand.

Pipatsattayanuwong S, Park JW, Morissey MT. 1995. Functional properties and self life of fresh surimi from pacific whitting. Journal of Food Science 60(6):1241-1244.

Reinheimer et al. 2010. Quality Characteristics of Surimi Made From Sabalo (Prochilodus platensis) as Affected by Water Washing Composition. World Congress and Exhibiton Engineering. Argentina.

Roussel, H and Cheftel J.C. (1988).Characteristics of Surmi and Kamaboko from Sardines. International Journal of Food Science and Technology 23:607-623.

P., Santana., Huda. N., & Yang T.A. (2012). Technology for Production of Surimi Powder and Potential of Applications. International Food Research Journal 19(4): 1313-1323 (2012)

Shekarabi, H. et al. 2015. Effect of heat treatment on the properties of surimi gel from black mouth croaker (Atrobucca nibe). International Food Research Journal 22(1): 363-371.

Shimazamaninejad et al. 2013. Effect of Medium Temperature Setting on Gelling Characteristics of Surimi from Farmed Common Carp (Cyprinus carpio, Linnaeus, 1758). World Journal of Fish and Marine Sciences 5 (5): 533-539.

Shimizu Y, Toyohara H, Lanier TC. (1992). Surimi Production from Fatty and Dark-Fleshed Fish Species. Di dalam: Lanier TC, Lee CM, editor. Surimi Technology. New York: Marcel dekker. Page.425-442.

Suzuki, T. (1981). Fish and Krill Protein: Processing Technology. London: Applied Science Publ Ltd.

Tan SM, Ng MC, Fujiwara T, Kok KH, and Hasegawa H. (1988). Handbook on the Processing of Frozen Surimi and Fish Jelly Products in Southeast Asia.Marine Fisheries.Research Department-South East Asia Fisheries Development Center. Singapore.

Tanaka, M. (2001).Surimi and Surimi Products.Department of Food Science and Technology. Jepang.

Wiguna, A. N. 2005. Skripsi: Pengaruh Pengkomposisian dan Penyimpanan Dingin Daging Lumat Ikan Cucut Pisang (Carcharinus falciformis) dan Ikan Pari Kelapa (Trygon sephen) Terhadap Karakteristik Surimi yang Dihasilkan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.

Winarni, T et al. 2008. Evaluation on Utilization of Small Marine Fish to Produce Surimi Using Different Cryoprotective Agents to Increase The Quality of Surimi. Journal of Coastal Development. Fisheries Department, Faculty of Fisheries and Marine Science. Diponegoro University Semarang. Indonesia

Winarno F.G, Fardiaz S, Fardiaz D. 1980. Pengantar Teknologi Pangan. Jakarta: PT. Gramedia.

Wong, D.W.S. (1989).Mechanism and Theory in Food Chemistry. Pp. 4862. New York: Avi =Van Nostrand Reinhold.

Zhou A, Benjakul S, Pan K, Gong J, Liu X. 2006. Cryoprotective effect of trehalose and sodium lactate on tilapia (Sarotherodon nilotica) surimi durimg frozen storage. Journal of Food Chemistry 96(2):96-103.

6. 7. LAMPIRAN

6.1. PerhitunganRumus:1. 2. 3. Luas area basah = LA - LB4. Kandungan air bebas

Perhitungan WHC Kelompok B1

Perhitungan WHC Kelompok B2

Perhitungan WHC Kelompok B3

Perhitungan WHC Kelompok B4

Perhitungan WHC Kelompok B5

6.2. Laporan Sementara6.3. Diagram Alir6.4. Abstrak Jurnal