Upload
praktikumhasillaut
View
34
Download
7
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Praktikum ini membahas mengenai proses pengolahan surimi serta beberapa faktor yang mempengaruhi kualitas surimi.
Citation preview
Fillet ikan ditimbang dan diambil 100 gr
1. MATERI METODE
1.1. Materi
1.1.1. Alat
Alat yang digunakan dalam praktikum ini yaitu pisau, telenan, kain saring, penggiling
daging, plastic, freezer, texture analyzer dan pengepres.
1.1.2. Bahan
Bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah daging ikan, garam, gula pasir,
polifosfat dan es batu.
1.2. Metode
1
Pencucian ikan bawal hingga bersih
Pemisahan ikan dari kepala, sirip, ekor dan isi perut
(Fillet daging ikan)
)
2
2
Fillet ikan dihaluskan dengan menggunakan alat penggiling daging dan ditambah es batu
Daging yang sudah halus dicuci dengan air es batu sebanyak 3 kali
Penyaringan daging giling hingga kering (tidak menggumpal)
Penambahan sukrosa sebanyak 2,5% (kelompok 1,2); 5% (kelompok 3, 4, 5), garam sebanyak 2,5% dan polifosfat sebanyak 0,1% (kelompok 1); 0,3%
(kelompok 2, 3); 0,5% (kelompok 4, 5)
Daging dibekukan selama 1 malam di dalam freezer
3
3
Thawing
Pengujian sensori meliputi kekenyalan dan aroma
Uji hardness menggunakan texture analyzer
Surimi dipress menggunakan presser untuk mengetahui WHC
Hasil press digambar di milimeter blok
4
4
Penghitungan WHC :
2. HASIL PENGAMATAN
Hasil pengamatan surimi berdasarkan uji hardness, WHC dan uji sensori dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Pengamatan Surimi
Kel. PerlakuanHardness
(gf)WHC
(mg H2O)Sensori
Kekenyalan Aroma
1Sukrosa 2,5% + garam 2,5%
+ polifosfat 0,1%108,24 188832,63 + + +
2Sukrosa 2,5% + garam 2,5%
+ polifosfat 0,3%121,52 216793,25 + + + +
3Sukrosa 5% + garam 2,5% +
polifosfat 0,3%188,05 130435,97 + + + + +
4Sukrosa 5% + garam 2,5% +
polifosfat 0,5%103,44 271751,05 + + + +
5Sukrosa 5% + garam 2,5% +
polifosfat 0,5%91,87 273975,32 + + + + +
Keterangan :Kekenyalan Aroma + : tidak kenyal + : tidak amis + + : kenyal + + : amis+ + + : sangat kenyal + + + : sangat amis
Hasil pengamatan diatas dapat dilihat dengan beberapa perlakuan terhadap fillet ikan,
didapatkan hasil yang berbeda. Penambahan sukrosa sebanyak 5%, garam 2,5%, dan
polifosfat 0,3% menghasilkan fillet ikan dengan nilai hardness tertinggi yaitu 188,05 gf,
tekstur yang kenyal dan aroma yang sangat amis. Hasil tersebut dapat dilihat pada hasil
pengamatan kelompok D3. Kelompok D5 dengan perlakuan yang berbeda memiliki
nilai hardness paling rendah yaitu 91,87 gf. Pada kelompok ini diberi perlakuan dengan
penambahan sukrosa sebesar 5%, garam sebesar 2,5%, dan polifosfat sebesar 0,5%.
Pada tabel hasil pengamatan juga dijelaskan nilai WHC pada masing-masing perlakuan.
Kelompok D5 memiliki nilai WHC paling tinggi yaitu 273975,32 mgH2O dengan
perlakuan penambahan sukrosa sebesar 5%, garam sebesar 2,5%, dan polifosfat sebesar
0,5%. Kelompok D3 memiliki nilai WHC paling rendah yaitu 130435,97 mgH2O
dengan perlakuan penambahan sukrosa sebanyak 5%, garam 2,5%, dan polifosfat 0,3%
5
6
3. PEMBAHASAN
Ikan merupakan sumber utama dari asam lemak n-3. EPA dan DHA merupakan
substansi yang berguna pada ikan (Ozogul et al., 2005). Teori Watabe (1990)
menjelaskan bahwa di dalam daging ikan terdapat protein miofibril yang merupakan
bagian terbesar dalam jaringan daging ikan, sifat protein ini dapat larut dalam larutan
garam. Protein ini terdiri dari miosin, aktin, dan juga protein regulasi seperti
(tropomiosin, troponin, dan aktinin). Dalam praktikum teknologi hasil laut ini
membahas mengenai surimi, dimana pengertian surimi menurut Chairita et al., (2009)
yaitu salah satu produk teknologi hasil laut berupa produk setengah jadi yang dihasilkan
dari daging ikan. Dalam teori ini juga dijelaskna bahwa terdapat dua jenis surimi, yaitu
ka-en surimi dan mu-en surimi. Pengertian dari ka-en surimi adalah surimi yang dibuat
dengan adanya penambahan garam pada konsentrasi tertentu, sementara pengertian mu-
en surimi adalah surimi yang dibuat tanpa adanya penambahan garam.
Pada teori Nurkhoeriyati et al., (2008) menjelaskan bahwa produk surimi merupakan
produk yang digunakan sebagai bahan baku antara untuk pembuatan berbagai macam
produk makanan laut, seperti daging kepiting tiruan, bakso ikan, sosis ikan dan
beberapa produk makanan laut lainnya. Selain itu, dalam jurnal Comparisons of the
Properties of Whitemouth Coaker (Micropoginias furnieri) Surimi and Mechanically
Deboned Chicken Meat Surimi-Like Material dijelaskan bahwa surimi merupakan
bukan hanya produk yang digunakan sebagai bahan dasar dalam pembuatan bakso ikan.
Tetapi surimi juga dapat bermanfaat sebagai salah satu sumber protein hewani. Selain
itu dalam jurnal Recovery and Utilization of Protein Derived From Surimi Wash-water
dijelaskan bahwa dengan proses recovery air pencucian protein, dapat digunakan
kembali atau dapat ditambahkan dalam persentase yang rendah dalam pembuatan
produk surimi.
Nopianti et al., (2010) menyebutkan bahwa surimi merupakan produk ikan yang protein
miofibrilnya distabilisasi, kemudian daging ikan tersebut dihancurkan atau dihaluskan,
dan diberi penambahan krioprotektan untuk memperpanjang umur simpan produk.
6
7
Secara proses leaching, maka komponen larut air termasuk protein sarkoplasma yang
terdapat dalam tubuh ikan akan hilang. Proses penghilangan protein sarkoplasma dari
dalam daging ikan ini bertujuan agar daging ikan dapat membentuk gel secara
sempurna. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa surimi merupakan produk yang
dihasilkan dari daging ikan tanpa tulang yang dibersihkan dengan air, serta dibekukan.
Pada praktikum ini, tahapan yang dilakukan dalam pembuatan surimi yaitu pertama –
tama ikan bawal harus dicuci bersih dengan air mengalir kemudian ikan bawal
ditimbang beratnya. Pada tahap pencucian ini sesuai dengan teori Ng dan Huda (2011)
yang menjelaskan bahwa pada proses pencucian surimi dapat berpengaruh terhadap sifat
pembentukan gel dan kualitas dari produk surimi yang dihasilkan. Dalam jurnal
Alternatives for Efficient and Sustainable Production of Surimi: A Review dijelaskan
bahwa tidak hanya proses pencucian yang menjadi faktor utama dalam kemampuan
pembentukan gel pada surimi, tetapi tingkat kesegaran dari bahan baku yang digunakan
juga menjadi faktor pembentukkan gel pada surimi. Proses pencucian ini akan lebih
efektif untuk mengkonsentrasikan protein myofibril dengan tujuan untuk meningkatkan
sifat fungsional dari produk surimi. Dalam teori ini ditambahkan bahwa pada proses
pencucian dengan menggunakan larutan alkali lebih menguntungkan dibandingkan
pencucian dengan menggunakan air biasa. Proses pencucian ini bertujuan untuk
menghilangkan lemak serta protein sarkoplasma yang dapat berefek negatif terhadap
kualitas produk surimi yang dihasilkan. Kombinasi paling baik dalam proses ini adalah
pencucian dengan menggunakan 0.04M sodium fosfat dan dilakukan sebanyak 3 kali
pencucian. Selain itu teori Shahidi (1994) menambahkan bahwa tujuan dari proses
pencucian dengan air terhadap daging lumat ikan yaitu untuk menghilangkan darah, bau
ikan, dan juga membuang protein sarkoplasma yang dapat menghambat pembentukan
gel. Protein stroma merupakan protein yang dapat membentuk jaringan ikat dan bersifat
tidak dapat larut dalam cairan dengan kekuatan ion yang tinggi.
Langkah selanjutnya yang dilakukan dalam praktikum ini adalah dengan memisahkan
ikan bawal dari kepala, sirip, ekor, sisik, isi perut, dan kulit. Setelah dipisahkan, bagian
yang digunakan dalam tahap selanjutnya adalah daging ikan berwarna putih. Daging
yang digunakan sebanyak 100 gram. Setelah daging diambil sebnayak 100 gram,
7
8
kemudian daging ikan dihaluskan. Pada tahap penghaluskan ikan ini juga dilakukan
penambahan es batu agar suhu ikan tetap rendah. Hal ini sesuai dengan teori yang
dijelaskan oleh Koswara et al., (2001) bahwa dengan penambahan es batu atau air es
pada saat proses penghalusan bertujuan agar suhu adonan selama penghalusan dan
proses ekstraksi protein dapat berjalan dengan baik. Selain itu penambahan air juga
berfungsi untuk melarutkan garam dan menyebarkannya secara merata pada seluruh
bagian daging, serta memudahkan proses ekstraksi protein dari daging dan dapat
membantu dalam proses pembentukan emulsi.
Langkah selanjutnya dalam pembuatan surimi adalah dengan penambahan sukrosa
sebanyak 2,5% dari berat sampel untuk kelompok D1 dan D2, serta penambahan
sukrosa sebanyak 5% dari berat sampel untuk kelompok D3 - D5. Penambahan sukrosa
dalam tahap ini bertujuan untuk meningkatkan kapasitas dari protein myofibrillar dalam
menahan air. Hal ini disebabkan karena gula bersifat dapat meningkatkan tegangan
permukaan molekul protein, sehingga air dapat dipertahankan dalam jaringan denaturasi
protein (Utomo, et al., 2004). Dari hasil pengamatan, diperoleh nilai yang berbeda
untuk hardness dan WHC pada setiap kelompok. Hal ini disebabkan karena pemberian
sukrosa yang berbeda antar kelompok. Pada kelompok D1 dan D2 menggunakan
sukrosa dengan konsentrasi 2,5% menghasilkan nilai hardness sebesar 108,24 gf dan
121,52 gf. Pada kelompok D3 sampai dengan D5 didapatkan nilai hardness sebesar
188,05 gf, 103,44 gf, dan 91,873 gf. Perbedaan nilai hardness yang didapat ini
disebabkan karena konsentrasi sukrosa yang digunakan berbeda. Semakin besar
konsentrasi sukrosa yang digunakan, maka tingkat kekuatan untuk mengikat airnya akan
semakin tinggi. Hal ini sesuai dengan teori yang sudah dijelaskan sebelumnya dan hasil
yang didapat oleh kelompok D3, dengan penggunaan sukrosa sebesar 5%, nilai
hardness yang dihasilkan lebih besar dibandingkan dengan kelompok D1 dan D2 yang
menggunakan sukrosa dengan konsentrasi 2,5%.
Efek dari penambahan sukrosa terhadap nilai WHC pada masing-masing kelompok
adalah semakin tinggi konsentrasi sukrosa yang ditambahkan, maka nilai WHC akan
semakin tinggi. Hal ini dijelaskan pada teori Nowsad et al., (2000) yang menjabarkan
bahwa sukrosa memiliki sifat yang dapat meningkatkan kemampuan dalam
8
9
pembentukan gel. Selain itu sukrosa juga memiliki sifat meningkatkan kelarutan protein
dan menurunkan susut masak dari produk surimi yang dihasilkan. Berdasarkan teori
tersebut, dapat dilihat pada hasil pengamatan masing-masing kelompok didapat nilai
WHC yang berbeda. Pada kelompok D1 dan D2 dengan penambahan sukrosa sebesar
2,5% memiliki nilai WHC sebesar 1888832,63 mgH2O dan 216793,25 mgH2O. Pada
kelompok D3, D4 dan D5 dengan penambahan sukrosa sebesar 5%, didapatkan nilai
WHC sebesar 130435,97 mgH2O, 271751,05 mgH2O, dan 273975,32 mgH2O. Dari hasil
pengamatan yang didapat, terdapat kelompok yang tidak sesuai dengan teori. Pada
kelompok D3 didapatkan nilai WHC paling rendah, padahal pada kelompok tersebut
konsentrasi sukrosa yang ditambahkan sebanyak 5%. Hal ini tidak sesuai dengan teori
dari Utomo et al., (2004) yang menjelaskan bahwa penambahan sukrosa pada surimi
dapat meningkatkan kemampuan dari protein myofibrillar dalam menahan air. Hal ini
disebabkan karena gula dapat meningkatkan tegangan permukaan pada molekul protein
sehingga air dapat dipertahankan dalam jaringan denaturasi protein. Hasil pengamatan
yang didapat seharusnya dengan penambahan konsentrasi sukrosa, maka nilai WHC
yang didapat juga semakin tinggi. Hasil yang tidak sesuai ini dapat disebabkan karena
ketidaktepatan praktikan saat melakukan penimbangan sukrosa, pencucian ikan yang
kurang bersih, serta perhitungan yang kurang tepat.
Tahap selanjutnya yang dilakukan adalah dengan menambahkan garam dengan
konsentrasi sebesar 2,5% untuk semua kelompok. Tujuan utama dalam penambahan
garam pada tahap ini adalah untuk melepaskan miosin dari serat-serat ikan. Hal paling
penting dari penambahan garam yaitu untuk menghasilkan jeli yang kuat. Teori Niwa
(1992) menyebutkan bahwa tujuan lain dari penambahan garam pada praktikum ini
adalah untuk memudahkan keluarnya air dari daging ikan yang telah digiling.
Penambahan garam dapat melepaskan miosin dari serat-serat ikan yang sangat penting
untuk pembentukan gel yang kuat. Hasil pengamatan dengan penambahan garam
sebanyak 2,5% pada masing-masing kelompok berbeda. Nilai hardness paling tinggi
ada pada kelompok D3 yaitu sebesar 188,05 gf. Sedangkan nilai hardness paling rendah
ada pada kelompok D5 yaitu sebesar 91,87 gf. Hasil pengamatan ini tidak dapat
dibandingkan karena konsentrasi garam yang digunakan pada seluruh kelompok sama
yaitu 2,5%. Tetapi penambahan garam dalam pembuatan surimi ini juga harus
9
10
diperhatikan. Hal ini sesuai dengan teori yang dijelaskan Niwa (1992) bahwa adanya
penambahan garam dengan konsentrasi yang rendah (di bawah 2%) dapat
mengakibatkan protein miofibril menjadi tidak dapat larut, sedangkan penambahan
garam dengan konsentrasi yang cukup tinggi (di atas 12%) akan mengakibatkan daging
ikan terhidrasi dan akan menimbulkan salting-out dari garam tersebut. Salting-out ini
dapat terjadi ketika konsentrasi garam meningkat, sehingga beberapa molekul air
berikatan dengan ion garam. Pada jurnal Effect of Different Salts on Dewatering and
Properties of Yellowtail Barracuda Surimi dijelaskan bahwa pencucian dengan
menggunakan garam dapat berpengaruh terhadap tingkat kekenyalan dari surimi yang
dihasilkan. Hal ini disebabkan karena dengan adanya pencucian dengan menggunakan
garam tersebut dapat berpengaruh terhadap sifat pembentukkan gel pada surimi yang
akan berdampak pada tingkat kekenyalan surimi.
Sementara itu, langkah selanjutnya pada praktikum ini adalah diberikan perlakuan
dengan penambahan polifosfat. Pengertian mengenao polifosfat ini menurut (Nowsad et
al., 2000) merupakan salah satu krioprotektan yang dapat meningkatkan kekuatan
tekstur dan retensi kelembaban selama proses pengolahan surimi oleh peningkatan pH,
kekuatan ion, dan kelarutan protein. Pada tahap ini, konsentrasi yang digunakan setiap
kelompok berbeda. Kelompok D1 menggunakan polifosfat dengan konsentrasi sebesar
0,1% dari berat sampel, kelompok D2 dan D3 menggunakan polifosfat sebesar 0,3%
dari berat sampel, dan kelompok D4 serta D5 menggunakan polifosfat sebesar 0,5% dari
berat sampel. Fungsi penambahan senyawa polifosfat menurut teori Lanier (1992)
adalah untuk meningkatkan daya ikat air. Penambahan polifosfat juga dapat berfungsi
untuk membantu fungsi dari senyawa cryoprotectan. Dalam teori Utomo, et al., (2004)
menjelaskan bahwa tingkat kemampuan surimi dalam mengikat air akan semakin baik
dengan adanya penambahan sodium polyphosphat yang semakin tinggi. Hal ini
disebabkan karena dengan adanya penambahan senyawa sodium tripoliphosphat akan
menyebabkan terbentuknya pengikatan melintang antara aktin dan miosin, hal ini
menyebabkan pemerangkapan air dalam jaringan protein.
Tahap terakhir dari proses pembuatan surimi adalah pengemasan dan pembekuan
selama satu malam. Tahapan pembuatan surimi ini sesuai dengan teori yang disebutkan
10
11
oleh Djazuli (2009). Pada teori ini dijelaskan bahwa tahap pembuatan surimi meliputi
tahapan pencucian dengan menggunakan larutan garam dingin, tahapan pengepresan,
tahapan penambahan bahan tambahan berupa bumbu, tahapan pengepakan dan tahapan
pembekuan. Pada tahapan ini, jika tidak dilakukan dengan tepat akan menyebabkan sifat
fungsional protein yang terdapat dalam surimi, seperti misalnya pembentukkan gel,
kelarutan protein dan juga sifat resistensi air. Fungsi tersebut dapat hilang karena
adanya proses denaturasi protein. Proses ini saling berkaitan karena dengan penggunaan
suhu yang rendah dapat berpengaruh terhadap peningkatan konsentrasi zat terlarut dan
juga dehidrasi, kedua hal tersebut dapat berkontribusi terhadap denaturasi protein
(Nowsad et al., 2000). Pada jurnal Influence of The Mixing Process On Surimi Seafood
Paste Properties and Structure dijelaskan bahwa dengan perbedaan suhu dapat
mempengaruhi tekstur pada produk surimi yang dihasilkan. Selain itu dalam jurnal ini
juga dijelaskan bahwa ukuran partikel yang digunakan dalam proses pembuatan surimi
juga menjadi faktor kekenyalan surimi yang dihasilkan.
Teori Agustini et al., (2008) menjelaskan bahwa ada dua faktor yang dapat
mempengaruhi tingkat kualitas produk surimi yang dihasikan,yaitu kesegaran bahan
baku yang digunakan dan kiropektan. Zat yang berperan sebagai anti denaturasi pada
proses pembekuan ini memiliki pengaruh yang signifikan terhadap tingkat kualitas
surimi yang dihasilkan. Dalam proses pembekuan, akan terjadi kerusakan pada produk
akibat proses denaturasi protein, dehidrasi, dan oksidasi lipid. Gula sebagai salah satu
contoh zat kriopektan berperan sebagai agen krioprotektif yang dapat meningkatkan
permukaan geser air dengan tujuan melindungi proses hilangnya molekul protein dalam
bahan. Adanya penambahan krioprotektan dapat berpengaruh untuk meningkatkan
kualitas dan daya ikat air surimi.
11
12
4. KESIMPULAN
Surimi adalah produk olahan ikan yang dianggap sebagai produk setengah jadi.
Surimi biasa diolah menjadi produk-produk beberapa pengembangan seperti bakso
ikan, sosis ikan, nugget ikan, dll.
Terdapat 2 jenis surimi, yaitu surimi yang dibuat tanpa penambahan garam (mu-en
surimi) dan surimi yang ditambah garam (ka-en surimi).
Surimi mempunyai sifat pembentukan gel dan daya ikat air yang tinggi.
Proses pembuatan surimi meliputi proses pencucian dengan larutan garam dingin,
pengepresan, penambahan bahan tambahan (food additive), pengepakan dan
pembekuan.
Bagian terbesar dalam jaringan daging ikan adalah protein miofibril.
Faktor- faktor yang mempengaruhi kualitas surimi adalah kesegaran bahan baku
dan krioprotektan.
Krioprotektan adalah zat yang bertindak sebagai agen anti denaturasi selama
penyimpanan beku.
Sukrosa merupakan salah satu bahan cryoprotectant (bahan anti denaturasi protein
terhdap pembekuan).
Penambahan gula akan meningkatkan kapasitas dari protein myofibrillar dalam
menahan air.
Penambahan polifosfat bertujuan untuk menambah kelembutan dan memperbaiki
sifat surimi, terutama sifat elastisitas atau kekenyalan.
Penambahan garam bertujuan untuk melepaskan miosin dari serat-serat ikan yang
sangat penting untuk pembentukan jeli yang kuat.
Semakin tinggi daya serap air maka semakin kenyal gel yang terbentuk.
Semarang, 27 Oktober 2015
Praktikan Asisten Praktikum
Caesar July Fiani Putri Yusdhika Bayu S.
13.70.0134
12
13
5. DAFTAR PUSTAKA
Agustini, Tri Winarni, YS. Darmanto dan Danar Puspita Kurnia Putri.2008. Evaluation On Utilization Of Small Marine Fish To Produce Surimi Using Different Cryoprotective Agents To Increase The Quality Of Surimi. Journal of Coastal Development ISSN : 1410-5217 Volume 11, Number 3,131-140.
Chairita; Linawati Hardjito; Joko Santoso; dan Santoso. (2009). Karakteristik Bakso Ikan dari Campuran Surimi Ikan Layang (Decapterus spp.) dan Ikan Kakap Merah (Lutjanus sp.) pada Penyimpanan Suhu Dingin. Jurnal Pengolahan Hasil Perikanan Indonesia Vol XII Nomor 1Tahun 2009.
Djazuli, Nazori. (2002). Penanganan dan Pengolahan Produk Perikanan Budidaya dalam Menghadapi Pasar Global : Peluang dan Tantangan. Program Pasca Sarjana IPB. Bogor.
F. Ducept, T. de Broucker, J.M. Soulie, G. Trystram, G. Cuvelier. 2012. Influence of The Mixing Process On Surimi Seafood Paste Properties and Structure. Journal of Food Engineering 108, 557-562.
J.J. Stine, L. Pedersen, S. Smiley, P.J. Bechtel. 2012. Recovery and Utilization of Protein Derived From Surimi Wash-Water. Journal of Food Quality ISSN 1745-4557.
Kosol Lertwittayanon, Soottawat Benjakul, Sajid Maqsood, and Angel B Encarnacion. 2013. Effect of Different Salt On Dewatering and Properties Of Yellowtail Barracuda Surimi. Journal of International Aquatic Research, 5:10.
Koswara S, Hariyadi P, Purnomo EH. 2001. Tekno Pangan dan Agroindustri. Jakarta: UI Press.
Martin-Sanchez, C. Navarro, J.A. Perez-Alvarez, and V. Kuri. 2009. Alternatives for Efficient and Sustainable Production of Surimi:A Review. Comprehensive reviews in Food Science and Food Safety, Vol. 8.
Ng, X. Y. Dan N. Huda. 2011. Thermal Gelation Properties and Quality Characteristics of Duck Surimi-like Material (Duckrimi) as Affected by The Selected Washing Processes. International Food Research Journal 18:731-740 (2011).
Niwa, E. (1992). Chemistry Of Surimi Gelation. Dalam Lanier TC, Lee CM (editors). Surimi Technology. New York: Marcell Dekker Inc.Nopianti R., N. Huda, dan N. Ismail. 2010. Loss of Functional Properties of Proteins During Frozen Storage and Improvement of Gel-Forming Propertien of Surimi (review). Asian Journal of Food and Agro-Industry 2010, 3(06), 535-547.
13
14
Nurkhoeriyati, T.; Nurul Huda; dan Ruzita Ahmad. (2008). Perkembangan Terbaru Teknologi Surimi. Pusat Pengajian Teknologi Industri. Universitas Sains Malaysia. Pulau Pinang: Malaysia.
Ozogul, Yesim, Fatih Ozogul, and A.Ilkan Olgunoglu. (2005). Fatty Acid Profile and Mineral Content of The Wild Snail (Helix pomatia) from The Region of The South of The Turkey. Europe Food Research Technology 221: 547-549.
Shahidi, F. (1994). Seafood Protein and Preparation of Protein Concentrate. Di dalam: Shahidi F, Botta JR, editor. Seafood, Chemistry, Processing, Technology and Quality. London: Chapman and Hall. Page. 45-78.
Utomo, Adrianus Rulianto, Susana Ristiarini, Stephanus Rio Reynaldo. 2004. Penentuan Kombinasi Terbaik Penambahan Maltodekstrin De-12 Dan Stpp Pada Pengolahan Surimi Ikan Tongkol (Euthynnus Affinis). Seminar Nasional dan Kongres Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI). ISBN : 979-99965-0-3.
Watabe, S. (1990). The Chemistry Of Protein From Marine Mamal. In Science of Processing Marine Food Product. Japan: Japan International Agency.
William Renzo, Gustavo Graciano, Carlos Prentice. 2012. Comparisons of the
Properties of Whitemouth Croaker (Micropogonias furnieri) Surimi and Mechanically
Deboned Chicken Meat Surimi-Like Material. Journal of Food and Nutrition Sciences,
Number 3, 1480-1483.
14
15
6. LAMPIRAN
6.1. Perhitungan
Rumus:
Kelompok D1
Kelompok D2
Kelompok D3
15
16
Kelompok D4
Kelompok D5
6.2. Laporan Sementara
6.3. Diagram Alir
6.4. Abstrak Jurnal
16