Upload
trannguyet
View
296
Download
6
Embed Size (px)
Citation preview
i
STUDI TENTANG INTERPRETASI SERAT KALANG
DALAM PEMB ANGUNAN KEMBALI KERATON
KASUNANAN SURAKARTA TAHUN 1987
SKRIPSI
Oleh :
ERNI BUDIHASTUTI
K 4402507
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2010
ii
STUDI TENTANG INTERPRETASI
SERAT KALANG DALAM PEMBANGUNAN KEMBALI
KERATON KASUNANAN SURAKARTA TAHUN 1987
Oleh:
ERNI BUDIHASTUTI
K. 4402507
Skripsi
Ditulis dan diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan mendapatkan gelar
Sarjana Pendidikan Program Pendidikan Sejarah
Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2010
iii
HALAMAN PERSETUJUAN
Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan di hadapan Tim
Penguji skripsi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas
Maret Surakarta.
Persetujuan Pembimbing
Pembimbing I
Drs. Hermanu Joebagio, M.Pd NIP. 19560303 198603 1 001
Pembimbing II
Drs. Djono, M. Pd NIP. 19630702 199003 1 005
iv
PENGESAHAN
Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan Tim Penguji Skripsi Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta dan diterima
untuk memenuhi persyaratan mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan.
Pada hari : Rabu
Tanggal : 27 Januari 2010
Tim Penguji Skripsi : Tanda Tangan
Nama Terang
Ketua : Dra. Sri Wahyuni, M.Pd ……………
Sekretaris : Drs.Akhmad Arif M, M.Pd ……………
Anggota I : Drs. Hermanu Joebagio, M.Pd ……………
Anggota II : Drs. Djono, M.Pd ……………
Disahkan oleh,
Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Sebelas Maret
Prof. Dr. H. M. Furqon Hidayatullah, M.Pd
NIP: 19600727 198702 1 001
v
ABSTRAK
Erni Budihastuti. K. 4402507. STUDI TENTANG INTERPRETASI SERAT KALANG DALAM PEMBANGUNAN KEMBALI KERATON KASUNANAN SURAKARTA TAHUN 1987. Skripsi. Surakarta : Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Universitas
Sebelas Maret Surakarta. Januari 2010.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui 1) Sebab-sebab Keraton Kasunanan Surakarta mengalami kebakaran pada tahun 1985, 2) Apakah dalam proses pembangunan kembali Keraton Kasunanan Surakarta mendasarkan pada Serat Kalang, 3) bagaimanakah hasil dari pembangunan kembali Keraton Kasunanan Surakarta tahun 1987.
Penelitian ini menggunakan metode histories, yang terdiri dari empat tahap kegiatan, yaitu Heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi. Sumber data yang digunakan adalah sumber primer dan sekunder. Sumber primer adalah sumber yang
autentik atau sumber yang ditulis dari tangan pertama tentang permasalahan yang akan diungkapkan. Sumber primer yang digunakan adalah Serat Kalang dan Surat kabar. Sedangkan sumber sekuner adalah sumber yang ditulis oleh orang yang tidak terlibat langsung dengan peristiwa yang dikisahkannya. Sumber sekunder yang dipergunakan berupa buku-buku yang berkaitan dengan penelitian. Teknik pengumpulan data yang dipergunakan adalah wawancara dan studi pustaka. Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis histories, yaitu analisis yang mengutamakan ketajaman dan kekuatan di dalam menginterpretasikan fakta sejarah.
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan : (1) Kebakaran yang dialami Keraton Kasunanan Surakarta pada tahun 1987 disebabkan oleh hubungan arus pendek listrik. Sementara menurut pendapat yang lain ada yang menghubungkan musibah yang
dialami Keraton Kasunanan Surakarta dengan ramalan kuno yang menyebutkan tentang umur Keraton Kasunanan Surakarta hanya akan bertahan selama 200 tahun, terhitung sejak didirikan Sinuhun Pakoe Boewono II pada hari rabu, 17 suro tahun Je 1670 atau Februari 1745. Sinuhun Pakoe Boewono XII sendiri cenderung berpendapat hubungan
arus pendek sebagai penyebab musibah. Loncatan bunga api akibat hubungan arus pendek memang mudah terbakar setelah kemudian memakan bangunan keraton yang umumnya terdiri dari bahan kayu jati tua dan kering. Jauh sebelumnya ia memang sudah
mencemaskan instalasi dan jaringan kabel listrik di keraton yang sudah rapuh karena hampir tak pernah diganti. (2) Pembangunan kembali keraton Kasunanan Surakarta pada tahun 1987 mendasarkan pada Serat Kalang. Persoalan utama renovasi adalah membangun kembali keraton sesuai bentuk aslinya. Ini bukan hal yang mudah, karena arsitektur keraton bukan hanya bersifat fisik teknis, melainkan juga sarat masalah spiritual tentang lambang-lambang kekuatan dari setiap bagian bentuk dan pembagian ruangan yang bermuara pada satu tujuan besar, yakni keselamatan raja dan kerajaan.
Padahal, hampir setiap bagian bangunan keratin kasunanan Surakarta tidak pernah didokumentasikan secara detil dalam bentuk gambar atau cetak biru dari berbagai sudut pandang serta penampang. Sementara kalaupun ada naskah- naskah tua yang ditemukan
kebanyakan hanya menjelaskan tentang jenis dhapur atau bentuk bangunannya. (3) Hasil dari pembangunan kembali Keraton Kasunanan Surakarta tidak berbeda jauh dengan Keraton Kasunanan sebelum mengalami musibah kebakaran tahun 1985. Proses pembangunan kembali Keraton Kasunanan Surakarta membutuhkan waktu kurang lebih
dua tahun. Keraton Kasunanan Surakarta adalah salah satu warisan budaya dari nenek moyang yang harus dilestarikan.
vi
ABSTRACT
Erni Budihastuti. K. 4402507. STUDY ABOUT SERAT KALANG INTERPRETATION IN RESTRUCTURING SURAKARTA KASUNANAN PALACE ON YEAR 1987. Minithesis. Surakarta. Faculty of Teacher Training and Education Science. Sebelas Maret University. January 2010.
The aim of this research is to know: 1) the reasons of Surakarta Palace fire on 1985, 2) whether in restructuring of Kasunanan Surakarta Palace based on Serat Kalang, 3) How restructuring result of Kasunanan Surakarta Palace on 1987. This research used histories method which included four activities such as heuristic, critic, interpretation and historiography. It used primary and secondary data source. Primary source is authentic source that related with part icular event like Serat Kalang and newspaper. Secondary source is source from somebody else with no directly relation with the event like related handbook. Data sampling through interview and literature review. This research used analytical historical method, that emphasizing power of histories interpretation, to analyze data. Result of the research shows that: 1) Surakarta Kasunanan Palace on 1987 caused by a short current . But someone told that it related to ancient forecast mentioning if Kasunanan Surakarta Palace age not more than 200 years, from its founding by Sinuhun Pakoe Boewono II on Wednesday, 17 Suro on year Je 1670 or February 1745.However, Sinuhun Pakoe Boewono XII told that fire caused by a short current . The flammable firework was burn palace that built from dry and old teak. He also worried with bad electric installation and network which never changed before. 2) Restructuring Surakarta Kasunanan Palace on 1987 was based on Serat Kalang. But restructuring Surakarta Kasunanan Palace like before will be major problem. This is not simple work because its architecture just not technical matter, but spiritual matter, power symbol, and room division that affect king and palace safety must considered. No detail documentation for nearly all of palace corner as actual figure or blueprint. Codex just explained palace exhibit, not more. 3) No significant different between restructuring result of Surakarta Kasunanan Palace with before performance when firing accident on 1985. 2 years is needed to restructuring Kasunanan Surakarta Palace. Kasunanan Surakarta Palace is one of cultural heritages which must preserve.
vii
MO TTO
Bangunan tua dapat menjadi awal cerita sejarah, akan peradaban sebuah
masyarakat yang tercermin dalam kepeduliannya untuk memperdayakan demi
generasi yang apresiatif dan tahu akan akar bangsanya.
K.M. Tanjung
Gumregeting ati ora bisa mbedah Khutaning Pesthi, bhudi dayane
manungsa durung bisa ngungkuli garising kang Maha Kuasa.
(Kehendak hati tidak bisa mengungkap Kodrat, upaya manusia tidak dapat
melebihi Kuasa Tuhan).
Pakoe Boewono XII
viii
PERSEMBAHAN
Ku persembahkan kepada
v Ibu dan Bapak
v Kakak dan Adik Tersayang
v Calon Suamiku
v Teman-teman baikku
v Almamater
ix
KATA PENGANTAR
Assalam u’alaikum Wr. Wb
Untaian syukur senantiasa penulis panjatkan teruntuk Illahi Robbi yang
telah melimpahkan rahmat-Nya sehingga penyusunan skripsi ini dapat
terselesaikan. Shalawat dan salam semoga tercurah limpah kepada Nabi
Muhammad SAW, keluarga, sahabat serta umatnya yang setia hingga akhir
zaman.
Penulisan skripsi ini bertujuan untuk memenuhi sebagian persyaratan
mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Banyak hambatan yang menimbulkan kesulitan dalam penyelesaian
penulisan skripsi ini, namun berkat bantuan dari berbagai pihak akhirnya
kesulitan-kesulitan yang ada dapat teratasi. Untuk itu, atas segala bentuk
bantuannya, disampaikan terima kasih yang sebanyak-banyaknya kepada :
1. Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan yang telah berkenan
mengizinkan penulis untuk menyusun skripsi.
2. Ketua Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial yang telah
berkenan pula mengizinkan penulis untuk meyelesaikan skripsi ini.
3. Ketua Program Pendidikan Sejarah yang telah memberi petunjuk dan
pengetahuan kepada penulis.
4. Drs. Hermanu Joebagio, M.Pd, selaku pembimbing I yang telah
memberikan bimbingan, petunjuk, pengarahan dan saran kepada
penulis.
5. Drs. Djono, M.Pd, selaku pembimbing II yang telah memberikan
bimbingan petunjuk, pengarahan dan saran kepada penulis.
x
6. Segenap staf pengajar Program Pendidikan Sejarah FKIP Universitas
Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan bekal ilmu yang
sangat berharga bagi penulis.
7. Semua pihak yang telah memberikan bantuan dan pengarahan kepada
penulis, yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Semoga mendapat
balasan yang lebih baik dari Allah.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini belum
sempurna. Akan tetapi dari ketidak sempurnaan ini kiranya dapat diambil hikmah
dan pelajaran yang berharga sehingga tidak terulang kesalahan untuk kedua
kalinya. Semoga bermanfaat
Wassalamu’alaikum Wr. Wb
Surakarta, Januari 2010
Penulis
xi
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ......................................................................................... i
HALAMAN PENGAJUAN............................................................................... ii
HALAMAN PERSETUJUAN........................................................................... iii
HALAMAN PENGESAHAN............................................................................ iv
ABSTRAK ......................................................................................................... v
ABSTRACT....................................................................................................... vi
HALAMAN MOTTO ...................................................................................... vii
HALAMAN PERSEMBAHAN ........................................................................ viii
KATA PENGANTAR ....................................................................................... ix
DAFTAR ISI..................................................................................................... xi
DAFTAR TABEL............................................................................................. xiii
DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... xiv
BAB I. PENDAHULUAN ................................................................................. 1
A. Latar Belakang Masalah ................................................................. 1
B. Perumusan Masalah ........................................................................ 5
C. Tujuan Penelitian ............................................................................ 5
D. Manfaat Penelitian .......................................................................... 6
BAB II. LANDASAN TEORI.......................................................................... 7
A. Kajian Teori.................................................................................... 7
1. Kalang ....................................................................................... 7
2. Keraton ..................................................................................... 11
3. Kebudayaan................................................................................ 14
4. Upacara Tradisi ......................................................................... 20
B. Kerangka Pemikiran ....................................................................... 24
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN ........................................................ 25
A. Tempat dan W aktu Penelitian........................................................ 25
xii
B. Metode Penelitian .......................................................................... 26
C. Sumber Data .................................................................................. 27
D. Teknik Pengumpulan Data ............................................................ 28
E. Teknik Analisis Data ..................................................................... 30
F. Prosedur Penelitian ........................................................................ 31
BAB IV. HASIL PENELITIAN ....................................................................... 34
A. Deskripsi Keraton Surakarta .......................................................... 34
1. Struktur dan Tata Letak............................................................ 34
2. Makna Filosofis ......................................................................... 52
3. Adat Keagamaan ....................................................................... 54
4. Adat Istiadat Keraton................................................................ 64
5. Aspek Simbolis pada pola bangunan keraton........................... 65
B. Sebab-sebab Keraton Kasunanan Surakarta mengalami
Kebakaran Tahun 1985 ................................................................. 75
C. Penggunaan Serat Kalang Sebagai Pedoman dalam Pelaksanaan
Pembangunan Kembali Keraton Kasunanan Surakarta
Tahun 1987.................................................................................... 82
D. Keberhasilan Pembangunan Kembali Keraton Kasunanan
Surakarta Tahun 1987 ................................................................... 87
1. Pendopo Ageng Sasono Sewoko ............................................... 87
2. Sasono Hondrowino .................................................................. 103
3. Pedoman Pemeliharaan Fasilitas Bangunan
Keraton Kasunanan Surakarta ................................................... 112
BAB. V PENUTUP .......................................................................................... 145
A. Kesimpulan ................................................................................... 145
B. Implikasi ......................................................................................... 146
C. Saran ............................................................................................... 147
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................ 149
LAMPIRAN
xiii
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1 : Daftar cat tembok ............................................................................. 119
Tabel 2 : Daftar cat kayu.................................................................................. 119
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1 : Foto-foto/dokumentasi dari Keraton Kasunanan Surakarta ........ 152
Foto 1 Detail Tralis untuk vent ilasi Sanggar Singan …………. . 152
Foto 2 Doorloop Probo Suyoso Sasono Prabu............................ 152
Foto 3 Detail struktur atas Dhalem Ageng Probo Suyoso........... 152
Foto 4 Daun pintu Krobongan Probo Suyoso.............................. 153
Foto 5 Kusen Krobongan Gebyok Probo Suyoso........................ 153
Foto 6 Ukir tembaga Probo Suyoso............................................. 153
Foto 7 Soko Bentung Probo Suyoso............................................ 154
Foto 8 Tebeng Gebyok pintu Probo Suyoso................................ 154
Foto 9 Mayangkoro Sasono Sewoko ........................................... 154
Foto 10 Tebeng kusen Probo Suyoso .......................................... 155
Foto 11 Ukiran Penutup Singup Sasono Sewoko ........................ 155
Foto 12 Mayangkoro Rowo Sasono Sewoko .............................. 155
Foto 13 Lis Kuse Parasdyo ......................................................... 156
Foto 14 Mayangkoro soko guru Sasono Sewoko ........................ 156
Foto 15 Ukir Tebeng Sasana Parasdyo ....................................... 156
Foto 16 Ukiran Soko Rowo tipe B Sasono Sewoko .................... 157
Foto 17 Ukiran Soko tipe A Parasdyo ........................................ 157
Foto 18 Ukiran Soko Guru tipe A Sasono Sewoko ..................... 157
Foto 19 Ukiran Soko Rowo tipe A Sasono Sewoko.................... 158
Foto 20 Kom pleks Probo Suyoso tampak melintang
( samping kiri/ kanan )................................................... 158
Foto 21 Kom plek Probo Suyoso tampak muka.......................... 158
Foto 22 Detail Parasdyo .............................................................. 159
Foto 23 Denah penempatan pondasi Sasono Sewoko sesuai t ipe 159
Foto 24 Balok ring Parasdyo....................................................... 159
Foto 25 Tampak depan Sasono Sewoko dari timur.................... 160
Foto 26 Rencana Pyan Paningrat Bedhayan Sasono Sewoko ..... 160
xv
Foto 27 Rencana Pyan Maligi Sasono Sewoko ........................... 160
Foto 28 Detail struktur atas Pracimasono ................................... 161
Foto 29 Detail system sambungan pendopo Pracimasono ......... 161
Foto 30 Denah dan potongan pendopo Pracimasono ................. 161
Foto 31 Potongan melintang Dhalem Ageng Probo Suyoso ....... 162
Foto 32 Detail struktur atas Dhalem Ageng Probo Suyoso ....... 162
Foto 33 Detail struktur atas Parasdyo ......................................... 162
Foto 34 Detail pertemuan atap Probo Suyoso dengan Parasdyo 163
Foto 35 Detail sambungan panit ih BRJ dan hubungannya
dengan blantar Brunjung Probo Suyoso ........................ 163
Foto 36 Soko Pananggap Dhalem Ageng Probo Suyoso ............ 163
Foto 37 Rencana Usuk Rowo Penyulak bagian timur
Dhalem Ageng Probo Suyoso ........................................ 164
Foto 38 Hubungan Talalang Pendopo Pracimasono dengan
Praba Suyasa ................................................................... 164
Foto 39 Soko Guru Dhalem Ageng Probo Suyoso...................... 164
Foto 40 Detail struktur atas Sasono Sewoko ............................... 165
Foto 41 Detail potongan m elintang Sasono Sewoko................... 165
Foto 42 Puing-puing bangunan setelah mengalami kebakaran... 165
Foto 43 Detail struktur Turatas Sasono Sewoko ......................... 166
Foto 44 Detail sambungan Tumpang Sari Sasono Sewoko......... 166
Foto 45 Detail struktur atas Sasono Sewoko ............................... 166
Foto 46 Pemasangan paku emas pada Soko Guru ..................... 167
Foto 47 Tari Bedhaya Pangkur ................................................... 167
Foto 48 Pemotongan kayu Donoloyo yang dilakukan
G Koes Moertiyah ......................................................... 167
Foto 49 Sasono Hondrowino sesudah mengalami kebakaran..... 168
Foto 50 Upacara peletakan batu pertama pembangunan
Sasono Hondrowino ....................................................... 168
Foto 51 Soko Guru Sasono Hondrowino..................................... 168
Foto 52 Bagian bawah kolom yang mempunyai cirri khas
xvi
tersendiri......................................................................... 169
Foto 53 Pagelaran wayang kulit dengan lakon
Babat Alas Wanamarta oleh dalang Ruwat Keraton
KRT Redi Suta sebelum dilaksanakannya
penebangan pohon. ........................................................ 169
Foto 54 Suasana Panik Saat Mengatasi Kobaran Api
yang sedang Melalap Sasana Handrawina ...................... 170
Foto 55 Proses Pemotongan Kayu .............................................. 170
Foto 56 Bangunan Sasana Handrawina Sebelum
Mengalami Kebakaran Tahun 1985 .............................. 170
Foto 57 Pengaruh Kebudayaan Tionghoa Arab dan Eropa
Terlihat pada Bentuk Bangunan Patung dan Elemen
Estetik ............................................................................ 171
Foto 58 Sasana Sewaka................................................................ 172
Foto 59 Sasana Handrawina......................................................... 172
Foto 60 Radyalaksana Lambang Keraton Surakarta ................... 173
Foto 61 Panggung Sangga Buwana ............................................. 174
Foto 62 Sasana Parasdya ............................................................. 175
Foto 63 Pengaruh Kebudayaan Eropa Terlihat Pada
Bentuk Bangunan Patung dan Elemen Estetik .............. 176
Foto 64 Kori Kamandungan ........................................................ 176
Foto 65 Pengaruh Kebudayaan Arab dan Tionghoa Terlihat
Pada Bentuk Bangunan dan Elemen Estetik ................. 176
Lampiran 2 : Peta wilayah Keraton Surakarta................................................... 177
Lampiran 3 : Peta Kedhaton Keraton Surakarta................................................ 178
Lampiran 4 : Gambar Tata Letak Bangunan Keraton ...................................... 179
Lampiran 5 : Gambar Tampak Pakubuwanan ................................................... 180
Lampiran 6 : Gambar Tampak Sasana Sewaka ................................................. 181
Lampiran 7 : Gambar Bentuk Pakubuwanan ..................................................... 182
Lampiran 8 : Gambar Tampak Sasana Praba Suyasa ........................................ 183
Lampiran 9 : Gambar Bentuk Sasana Praba Suyasa.......................................... 184
xvii
Lampiran 10: Gambar Bentuk Sasana Sewaka.................................................. 185
Lampiran 11: Berita dari Surat Kabar dan Majalah.......................................... 186
Lampiran 12 : Surat ijin Menyusun Skripsi ...................................................... 215
Lampiran 13 : Surat permohonan Ijin Menyusun Skripsi ................................. 216
Lampiran 14 : Surat permohonan ijin Penelitian .............................................. 217
Lampiran 15 : Surat Permohonan Ijin Penelitian ............................................. 218
Lampiran 16 : Surat ijin penelitian dari Keraton Kasunanan Surakarta........... 219
Lampiran 17 : Surat Keterangan Mengadakan Penelitian di Keraton
Kasunanan Surakarta .................................................................. 220
Lampiran 18 : Surat Keterangan Telah Melaksanakan Wawancara ................. 221
Lampiran 19 : Pedoman Wawancara ................................................................ 222
Lampiran 20: Pedoman Observasi..................................................................... 223
Lampiran 21 : Daftar Pertanyaan ..................................................................... 224
Lampiran 22 : Field Note (Catatan Lapangan Hasil Wawancara) .................... 225
Lampiran 23 : Nara Sumber .............................................................................. 228
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Keraton Kasunanan Surakarta merupakan kelanjutan dari kerajaan
Mataram yang didirikan oleh Sutawijaya yang bergelar Panembahan Senopati Ing
Ngalaga Sayidin Panatagama pada akhir abad XVI. Kerajaan Mataram pada tahun
1755 M dibelah menjadi dua berdasarkan perjanjian Giyanti antara Sunan Pakoe
Boewono III dan Pangeran Mangkubumi yaitu Surakarta Hadiningrat yang di
kenal dengan nama Keraton Kasunanan Surakarta dan Ngayogyakarta
Hadiningrat yang di kenal dengan nama Keraton Yogyakarta.
Sementara itu pada tahun 1757 M terjadi perjanjian Salatiga antara Sunan
Pakoe Boewono III dan Raden Mas Said yang membelah kerajaan Surakarta
menjadi dua, selanjutnya Raden Mas Said bergelar Kanjeng Gusti Pangeran
Adipati Arya Mangkunegara I.
Perpindahan Keraton dari Kartasura ke Surakarta di sebabkan oleh adanya
pemberontakan cina, Keraton Kartosuro diserbu pemberontak dan Pakoe
Boewono II melarikan diri ke Ponorogo yaitu ke Pesantren Tegalsari meminta
perlindungan kepada Kiai Kasan Besari.
Pakoe Boewono II melakukan perundingan dengan kompeni untuk
kembali memegang tampuk pimpinan Mataram, selanjutnya Pakoe Boewono II
memindah kerajaan dari Kartasura ke Surakarta yaitu di desa Sala.
Pakoe Boewono II melakukan pembangunan keraton dilanjutkan secara
terus menerus oleh pewarisnya yaitu PB III, PB IV, PB V, PB VI, PB VII, PB
VIII, PB IX, dan PB X. Susushunan Pakoe Boewono X memerintah selama 46
tahun dan merupakan masa keemasan atau kejayaan Keraton Kasunanan Surakarta
Hadingrat. Bangunan-bangunan yang didirikan Pakoe Boewono X yaitu :
a. Bangsal Sewayana di Sitihinggil Lor pada tahun 1843 Jawa atau 1913 Masehi
b. Membuat bangunan tambahan pada Bangsal Smarakata dan Mercukunda pada
1919 Masehi
1
2
c. Mendirikan sekolah Kasatriyan paa tahun 1910 Masehi, sekolah Pamardi Siwi
pada tahun 1925 Masehi, dan sekolah Pamardi Putri pada tahun 1929 Masehi
d. Membangun Sasana Dayinta pada tahun Jimawal 1845 Jawa
e. Memperbaharui Sasana Handrawina pada tahun Alib 1851 atau 1919 Masehi.
f. Membangun Pagelaran Sasana Sumewa pada tahun 1843 Jawa atau 1913
Masehi
g. Membangun Masjid Pudyasana pada tahun 1912 Masehi
h. Membangun Gapura Gladag pada tahun Je 1860 atau 1930 Masehi
i. Membangun Keraton (Keraton Kilen) pada tanggal 22 Jumadil akhir atau
1925 Masehi. Sumber lain, menurut KGPH Poeger dibangun sekitar tahun
1904 Masehi pada jaman Pakoe Boewono X
j. Membuat miniature Gunung yaitu Argopura, pada tahun 1911 pada jaman
Pakoe Boewono X
k. Mendirikan tugu peringatan didepan pagelaran pada tahun 1939 Masehi,
bersamaan dengan di bangunnya pintu gerbang Keraton Kilen.
Pada tahun 1985 Keraton Kasunanan Surakarta mengalami musibah
kebakaran. Kebakaran itu menghanguskan bangunan utama, yaitu Pendopo
Sasono Sewoko tempat atau ruang raja bertahta, gedung Sasono Handrowino
ruang pesta makan kerajaan serta Sasono Parasdyo tempat para tamu menghadap
raja.
Akibat terbakarnya bangunan int i Keraton Kasunanan Surakarta itu secara
fisik telah memusnahkan bangunan peninggalan sejarah bangsa Indonesia yang
telah berusia lebih dari 200 tahun. Dari segi budaya, maka kebakaran Keraton itu
melenyapkan wadah akt ivitas seni budaya keraton yang sejak dulu menjadi
sumber pengembangan nilai-nilai budaya Nasional yang adiluhung. Itu merupakan
kehilangan besar karena nilai-nilai budaya nasional khas daerah Jawa Tengah
tersebut serta kaitannya dengan nilai-nilai luhur kepribadian bangsa Indonesia
pada umumnya. Karena Keraton Surakarta sebagai cagar budaya, maka
pemerintah orde baru di bawah pimpinan Jendral Suharto menghendaki
pembangunan kembali Keraton Kasunanan Surakarta.
3
Memperhatikan berbagai aspek dari keberadaan. Keraton sebagai pusat
kegiatan seni budaya nasional, sumber kegiatan adat dan tradisi dengan nilai-nilai
luhur di dalamnya sebagai warisan nenek moyang sudah selayaknya wajib
dilestarikan.
Pembangunan kembali Keraton Kasunanan Surakarta harus berpijak pada
Serat Kalang yang isinya menguraikan tentang kerangka bangunan, prinsip-
prinsip ukurannya, hingga bahan yang seharusnya digunakan untuk rumah rakyat
hingga rumah raja. Nilai-nilai yang berhubungan dengan masalah tata ruang pada
khususnya dan Keraton Kasunanan Surakarta pada umumnya sebagai karya
arsitektur tradisional Jawa yang selayaknya wajib dilestarikan pula baik secara
fisik maupun spiritualnya yang erat hubungannya dengan pandangan hidup orang
Jawa.
K.R.M.H Yosodipuro dalam bukunya : “Kebudayaan Jawi Keraton
Surakarta“. Mengatakan, bahwa Keraton Surakarta merupakan sumber
kebudayaan Jawa, yang berarti bahwa Keraton Surakarta merupakan pelindung
lahir / bathin bagi penghuni dan kerabatnya di dalam melaksanakan tugas–tugas /
wahyu Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan (Ratu). Kebudayaan yang bersumber
dari keraton tersebut termasuk tata wewangunan (tata bangunan) dan sebagainya.
Suatu bangunan atau yang disebut dengan arsitektur, secara umum
didasarkan pada latar belakang sejarah dan penelitian-penelitian/konsepsi
mwerupakan pelaku utama, sehingga dapat dikatakan bahwa “Ruang“ merupakan
faktor utama dari suatu bangunan. Hal tersebut sepert i diungkapkan dalam buku
“Space Protogonist Of Architecture” yaitu bahwa sejarah arsitektur pada
dasarnya adalah sejarah konsepsi ruang dan bahwa ruang harus menjadi pelaku
utama arsitektur betapapun adalah alamiah. Juga dikatakan mengenai bangunan
sebagai suatu karya yang tidak bisa lepas dari lingkungan fisik dan kehidupan
yang saling memberikan makna, yaitu bahwa : arsitektur adalah lingkungan,
panggung belangsungnya kehidupan.
Kebakaran yang terjadi pada tanggal 13 Januari 1985 yang
menghanguskan bangunan utama, yaitu Pendopo Sasono Sewoko, ndalem Ageng
4
dan Sasono Hondrowino membutuhkan waktu yang sangat lama dalam proses
pembangunannya kurang lebih dua tahun waktu yang dibutuhkan.
Selain peran pemerintah dalam proses pembangunan kembali Kraton
Kasunanan Surakarta yang terbakar tersebut pembangunan kembali kraton
Kasunanan Surakarta yang terbakar itu memperoleh partisipasi sangat besar dari
masyarakat yang dengan sukarela memberi sumbangan dana yang jumlahnya
cukup besar.
Dalam pelaksanaannya pembangunan kembali bangunan inti keraton
Kasunanan Surakarta tersebut diharap secara gotong royong dari unsur teknisi
anggota ABRI, karyawan Departemen Pekerja Umum/cipta Karya, PN
pembangunan perumahan, unsur dari keraton Kasunan Surakarta, pemerintah
Daerah, kalangan seniman ukir/pahat dari jepara dan Serenan dan lain-lain
berdasarkan Serat Kalang.
Serat kalang adalah ilmu tentang ruang, yaitu kitab berhuruf jawa yang
isinya menguraikan tentang kerangka bangunan, prinsip-prinsip ukurannnya,
hingga bahan yang seharusnya digunakan untuk rumah rakyat hingga rumah raja.
Kitab ini ditulis oleh pihak Dalem Kepat ihan Solo, pada tahun 1882 pada zaman
pemerintahan Susuhunan Pakoe Boewono IX (1861- 1893)
Dalam Serat kalang bisa diketahui bahwa dalam hal membangun rumah,
orang jawa tidak bisa lepas untuk memperhat ikan masalah-masalah yang
berkaitan dengan religi. Pandangan-pandangan orang jawa tentang hari-hari yang
baik untuk mendirikan rumah, arah yang baik untuk menghadapnya sebuah
rumah serta bahan- bahan kayu yang baik untuk mendirikan rumah, adalah
menjadi ciri-ciri sikap hidup orang jawa yang selalu menghubungkan antara
hal-hal yang riil dengan religi.
Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat sebagai pusat seni budaya dan
pemerintahan, dalam pembangunannya juga tidak lepas dari pandangan atau sikap
hidup orang Jawa terhadap hal-hal yang bersifat batiniah/rohaniah, dikatakan
sebagai keraton karena bangunan tersebut merupakan tempat kediaman ratu.
Adapun mengenai pembangunannya, bangunan keraton yang selanjutnya
dikatakan sebagai sumber kebudayaan Jawa tersebut ialah disertai langkah-
5
langkah “Lampah batos“ atau “Pamesu budi“ atau “kasutapan”, sesuai dengan apa
yang dinamakan kebudayaan menurut pengert ian didalam keraton, yaitu hasil
pengolah“ Pamesu budi “ yang disertai dengan kebesaran batin.
Bentuk-bentuk bangunan keraton Kasunanan Surakarta adalah merupakan
penggambaran yang nyata dari ciri bentuk bangunan rumah tradisional Jawa,
bentuk seni bangunan rumah tradisional Jawa yang ada berdasarkan bentuk-
bentuk bangunan yang terdapat di dalam Keraton sebagai titik pusatnya. Maka
tidaklah mengherankan bila Keraton dikatakan sebagai pusat seni dan budaya
Jawa.
Dalam penelitian ini akan diamati sejauh mana pembangunan kembali
Keraton Kasunanan Surakarta menggunakan aturan-aturan yang termaktub dalam
Serat Kalang.
Berdasarkan uraian di atas penulis tertarik mengambil judul “Studi tentang
Interpretasi Serat Kalang Dalam Pembangunan Kembali Keraton Kasunanan
Surakarta Tahun 1987”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat dirumuskan permasalahan
sebagai berikut :
1. Mengapa Keraton Kasunanan Surakarta mengalami kebakaran pada tahun
1985?
2. Apakah dalam pembangunan kembali Keraton Kasunanan Surakarta
mendasarkan pada Serat Kalang?
3. Bagaimanakah hasil dari pembangunan kembali keraton Kasunanan Surakarta
yang dibangun pada tahun 1987?
C . Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penulisan ini adalah mendeskripsikan dari rumusan masalah di
atas, yaitu sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui sebab-sebab mengapa Keraton Kasunanan Surakarta
mengalami kebakaran pada tahun 1985.
6
2. Untuk mengetahui apakah dalam pembangunan kembali Keraton Kasunanan
Surakarta mendasarkan pada Serat Kalang.
3. Untuk mengetahui bagaimanakah hasil dari pembangunan kembali keraton
Kasunanan Surakarta yang dibangun pada tahun 1987.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat Teoritis
1. Untuk menambah wawasan dan pengetahuan penulis mengenai Studi tentang
interpretasi Serat Kalang dalam pembangunan kembali keraton Kasunanan
Surakarta tahun 1987.
2. Memperluas wawasan bagi penulis pada khususnya dan para pembaca pada
umumnya.
Manfaat Praktis
1. Memenuhi salah satu syarat untuk meraih gelar Sarjana Pendidikan Sejarah
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta.
2. Menambah koleksi penelitian ilmiah di perpustakaan khususnya mengenai
studi tentang Interpretasi Serat Kalang dalam pembangunan kembali keraton
Kasunanan Surakarta tahun 1987.
7
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Kajian Teori
1. Kalang
Dengan perkembangan ilmu pengetahuan yang sekarang berkembang di
kalangan masyarakat luas, dikenal dengan perencanaan dan pelaksanaan
pembangunan. Yang sudah sangat dikenal sejak lama adalah pelaksanaan
pembangunan, meskipun tidak dengan prosedur serta mekanisme kerja sepert i
sekarang. Di dalam pelaksanaan pembangunan yang sekarang berlaku dan di masa
yang lalu belum adalah mekanisme administrasi dan pengawasan teknik oleh
pihak ke tiga atau pihak lain. Perkembangan saat sekarang memerlukan hal itu,
karena berkembangnya pengertian kode etik teknik, yang memerlukan
keterlibatan pihak pengawasan teknik yang lain dengan pelaksananya, dengan
pelaksana pembangunan juga dengan pihak lain, yang bekerja secara komersial
atau mengambil keuntungan material. Pada masa yang lalu, pekerjaan pelaksanaan
pembangunan dilakukan dengan cara gotong royong, yang tidak memungut
keuntungan material, tetapi semata-mata suatu kewajiban sosial sebagai anggota
masyarakat, yang bersikap saling tolong menolong. Sedang pada kegiatan
perencanaan dan perancangan terutama yang dikenal di Jawa, bukan berarti tidak
ada, tetapi tidak seperti apa yang dikenal sekarang, berupa dokumen gambar dan
uraian teknik yang dapat dibaca dan dipelajari maksud dan maknanya. Waktu
yang lampau kegiatan perencanaan dan perancangan dilakukan oleh seseorang
yang dianggap ahli oleh lingkungan masyarakat tersebut, yang diserahi tanggung
jawab untuk mengembangkan pemikiranya untuk menciptakan bangunan rumah
tinggal. Rumah tinggal yang diciptakan lebih banyak tergantung pada pemuka ahli
tersebut, dari pada pihak calon pemakainya. Sehingga kesamaan atau perubahan
yang terjadi, sangat tergantung pada perubahan yang diinginkan oleh pemuka ahli
tersebut. Suatu masalah timbul, dari mana mereka, pemuka ahli teknik itu belajar
tentang keahlian tersebut ? Mereka yang biasa di Jawa disebut "Kalang", yang
artinya tukang kayu ahli bangunan rumah, adalah para tenaga kerja yang dilatih
7
8
dan dididik oleh para guru adat, yang kebanyakan dari lingkungan keraton,
sebagai pengabdi keraton atau "Abdi dalem Keraton". Mereka belajar dari guru
adat dengan cara latihan, sedang guru adat mengetahui hal-hal tersebut dari
membaca ajaran-ajaran yang bersifat simbolik, yang dibuat oleh para pujangga
keraton. Bentuk ajaran itu pada umumnya diterjemahkan dari puisi atau
"tembang", yang maksudnya melambangkan misi atau pesan luhur yang
dikehendaki oleh para raja atau pujangga pada waktu itu. Lambang itu diperlukan
pada waktu itu, karena raja atau para pujangga tidak ingin semua kehendaknya
diketahui dengan mudah, yang maknanya hendaknya diketahui dengan cara
berfikir dan menggunakan nalar lebih dahulu. Memang adakalanya bahwa makna
itu akan berubah tidak sepert i apa yang semula diinginkan, tetapi perubahan itu
bukannya tidak mungkin, sebab justru perubahan itu akan menggambarkan
perbedaan kadar berfikir yang bersangkutan dengan cara berfikir masyarakat
Keraton. Hal ini dapat dilihat dengan nyata pada kerumitan dan keaneka ragaman
corak yang terlihat pada bangunan rumah tinggal di dalam lingkungan keraton,
yang tidak terdapat pada bangunan rumah tinggal biasa. (Arya Ronald, 1990 :
291-293)
Dilihat dari perkembangan pengalaman manusia Jawa yang
dikembangkan dengan suatu pengarahan yang tertib, maka hasil karya budaya
yang datang berikutnya, akan tidak banyak berbeda dengan karya budaya
sebelumnya, atau dengan perkataan lain adalah tetap terus sepanjang masa. Tentu
untuk mengatakan atau menyatakan tetap, perlu ditinjau lebih jauh lagi apakah itu
berlaku secara keseluruhan, atau masih ada sebagian yang mengalami perubahan.
Pada satu sisi, yang perlu ditinjau adalah segi pandangan hidup, kebutuhan hidup
dan kepent ingan hidup manusia Jawa, yang dianggap sangat mendasar bagi tindak
lanjut membuat bangunan rumah tinggal. Sedang pada sisi yang lain, adalah
proses perencanaan perancangan dan pelaksanaan pembangunan rumah Jawa ,
yang dianggap menjadi dasar bagi perwujudan fisik bangunan rumah tinggal
Jawa. Dari sudut pandangan hidup, kebutuhan hidup dan kepentingan hidup
manusia Jawa, dapat diketahui bahwa ada perubahan tetapi tidak terlalu mendasar,
baik dalam hal kepercayaan, daya pemikiran dan penalaran, etika sosial maupun
9
pengungkapan segi estetikanya yang berart i perubahan perilaku dan ungkapan
batin, tidak banyak mempengaruhi mutu hasil karya manusia Jawa, mutu dalam
arti nilai-nilai yang mendasar. Yang masih perlu ditinjau kemudian adalah sisi
yang lain, yang banyak kaitanya denngan pengelolaan, teknologi dan teknik
membangun.
Pada umumnya orang Jawa menyebut seseorang yang ahli atau yang
mempunyai pekerjaan khusus di bidang bangunan, baik ahli dalam merancangkan
maupun ahli dalam mendirikan bangunan itu disebutnya dengan istilah "Kalang".
Jabatan kalang ini pada jaman dulu diberi pangkat dengan nama bupati Kalang
Kaba di dalam tulisannya R.M. Sutomo, ada empat golongan Kalang Kaba,
yaitu:
(1). Kalang Blandong yang disebut juga Kalang Kamplong
(2). Kalang Obong
(3). Kalang Adeg
(4). Kalang Breg
Keempat golongan Kalang Kaba ini masing-masing mempunyai tugasnya sendiri-
sendiri (Spesialisasi). Walaupun demikian semua itu bekerja atau mempunyai
keahlian yang ada hubungannya dengan soal bangunan. Kalang Blandong
misalnya ahli dalam menebang pohon atau memotong kayu, Kalang Obong
mempunyai pekerjaan khusus yang ada hubungannya di bidang pembersihan
hutan tempat bahan bangunan itu diambil, Kalang Adeg yang ahli dalam hal
mendirikan bangunan dan Kalang Breg yang mempunyai tugas untuk merobohkan
bangunan yang lama.
Dengan demikian apabila kita membicarakan tentang tenaga perancang
membuat bangunan itu yang dimaksud adalah Kalang. Dalam pengertian orang
Jawa, Kalang adalah seorang yang ahli dalam soal bangunan Jawa. Sebab
golongan-golongan Kalang tadi semuanya mempunyai pengetahuan tentang
segala macam persoalan yang ada hubunganya dengan bangunan Jawa, baik
mengenai bentuk bangunan maupun mengenai pengadaan bahannya. (Gatut
Murniatmo, 1987: 125)
Kalang sebagai ahli bangunan Jawa ini harus dibedakan pengertiannya
10
dengan "Kalang" yang digunakan untuk menyebutkan sekelompok orang yang
merasa dirinya dalam satu keturunan nenek moyang tertentu. Sekelompok orang
yang menamakan diri sebagai orang Kalang ini mempunyai kepercayaan tertentu
dan upacara-upacara khusus yang disebut upacara "Kalang Obong". Yaitu upacara
pembakaran mayat dari keluarga orang "Kalang" sebagai unsur pokok dalam
upacara pembakaran mayat ini adalah "Puspa" yaitu boneka orang-orang yang
menggambarkan mayat orang akan dibakar. Kelompok orang "Kalang" ini tinggal
di daerah Tegal Gendu Kecamatan kota Gede dan di daerah Wonosari Gunung
Kidul. (Gatut Murniatmo, 1987: 126)
Jabatan kalang bukan diperoleh dari pendidikan kejuruan tetapi mereka
peroleh dari pengalaman. Sepert i telah disebutkan di dalam uraian di atas bahwa
mereka yang dianggap ahli bangunan Jawa yakni mulai dari pengadaan bahan
sampai merencanakan bangunan adalah Kalang. Jabatan Kalang ini diperoleh
bukan melalui pendidikan kejuruan, tetapi mereka peroleh dari pengalaman.
Dengan demikian anak seorang Kalang karena sering membantu orang tuanya
melakukan pekerjaan ini. Melalui jangka waktu yang cukup lama, akhirnya iapun
akan bisa melakukan pekerjaan sepert i orang tuanya itu, sebagai Kalang.
Akan tetapi dalam praktek pembuatan rumah atau bangunan, Kalang
dibantu oleh beberapa orang yang juga dianggap mampu untuk melakukan
pekerjaan yang telah dirancangkan Kalang. Mereka inilah yang digolongkan
sebagai tenaga ahli bangunan, dan sebenarnya berkedudukan tidak lebih sebagai
pelaksana dalam mendirikan bangunan. Tenaga-tenaga ahli ini antara lain sepert i
ahli dalam bidang sambung menyambung kerangka bangunan, ahli membuat saka
dengan ukuran yang pas, ahli dalam hal pemasangan reng sekaligus ahli
memasang atapnya dan lain sebagainya.
Jadi dalam membangun bangunan dan rumah ini dibutuhkan tenaga ahli
dalam bidangnya. Hasil dari pekerjaan mereka ini bisa kita lihat pada bentuk-
bentuk bangunan kuno yang tetap berdiri kokoh sampai sekarang ini. Misalnya
bangunan-bangunan kuno di kota Gede, bangunan bangsal yang ada di Keraton
Yogyakarta dan lain sebagainya.
Para tenaga ahli dalam pengert ian tradisional adalah mereka yang terlibat
11
pada peristiwa mendirikan bangunan ini, yaitu mereka yang setiap mendirikan
bangunan melakukan pekerjaan yang sama secara terus menerus. Dengan
pekerjaan yang sejenis ini maka ia memperoleh pengalamannya. Sehingga bila
ada pekerjaan semacam orang yang sama pulalah yang akan mengerjakannya.
Salah satu sumber menyatakan bahwa yang di maksud dengan Kalang
adalah nama dari sebuah suku (volksstam) di Jawa, yang dahulu hidupnya
berpindah-pindah di hutan (Warto,2001:100).
Wong Kalang dahulu mempunyai profesi yang sama sepert i orang
Kalang yang sekarang tinggal di Keraton Surakarta dan Yogyakarta, yaitu sebagai
penebang kayu dan tukang kayu, dan mereka itu bukan keturunan
bangsawan.Cerita itu menunjukkan bahwa orang Kalang sudah ada sejak lama dan
mereka mempunyai posisi khusus dalam masyarakat Jawa (Warto,2001:101).
2. Keraton
a. Pengert ian Keraton
Menurut Purwadarminto (1976: 489) dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia, keraton diartikan sebagai : (1) Istana Raja; (2) Kerajaan. Kata
Keraton berasal dari kata dasar (Jawa : Lingga) “Ratu” di tambah awalan “Ka”
dan akhiran “an” menjadi “ka-ra-tu-an”. Kemudian dipercepat pengucapannya
menjadi karaton yang berarti tempat tinggal atau kediaman resmi ratu atau raja
dengan keluarganya (Sri Winarti, 2004 : 26)
Berdasarkan istilah tersebut Sri Winarti menterjemahkan Keraton
menjadi 2 macam pengertian yaitu :
1. Keraton berarti rumah atau tempat tinggal ratu. Dalam pengertian ini
keraton sama dengan Istana (palace)
2. Keraton berarti Negara (nagari), yaitu daerah atau wilayah tertentu yang
diperintah oleh ratu. Dalam pengertian ini keraton sama dengan kerajaan
(kingdom )
Berdasarkan pandangan orang Jawa Keraton berasal dari “karatyan” atau
“karatun” yang umum disebut sebagai kedhaton, pura, atau puri yang
merupakan tempat raja bermukim (W.D. Miranti, 2003: 13)
12
Darsiti Soeratman (1989: 1) istilah keraton menunjuk pada tempat
kediaman ratu/raja, keraton menunjuk pada tempat kediaman ratu/raja, keratin
mempunyai beberapa makna: (1) berart i negara/kerajaan; (2) berart i
pekarangan raja meliputi wilayah di dalam Cepuri (tembok yang mengelilingi
halaman) Baluwart i; (3) pekarangan raja meliputi wilayah di dalam Cepuri
ditambah alun-alun.
Pengertian keraton menurut KGPH Puger ada 7 (Sapta Wedha) yaitu:(1)
Keraton berart i Kerajaan (2)Keraton berarti kekuasaan Raja yang mengandung
2 aspek kewarganegaraan (Staatsrechtelijk) dan Magisch-Religius(3)Keraton
berarti penjelmaan “Wahyu nubuah” yang menjadi pepunden dalam
kejawen(4) Keraton berarti istana,Kedhaton, dhatulaya (rumah)(5) Bentuk
bangunan keraton yang unik dan khas mengandung makna simbolik yang
tinggi, yaitu menggambarkan tuntunan perjalanan hidup/ jiwa menuju kearah
kesempurnaan (6)Keraton sebagai lembaga sejarah kebudayaan menjadi
sumber dan pemancar kebudayaan (7) Keraton sebagai badan yang mempunyai
barang- barang hak milik atau wilayah kekuasaan sebagai sebuah dinasti.
Bangunan yang dinamakan Keraton merupakan kediaman ratu/ Raja dan
sekaligus menjadi “Pepundhen” bagi kerabat Keraton.Keraton didirikan
berdasarkan” pangolahing budi” yaitu “pakarti lahiriyah” bersamaan dengan
pakarti “Badaniyah”.Pakarti lahiriyah mengandung tuntutan bahwa manusia
hidup dalam tingkah laku serta ucapannya selalu tidak menyimpang dari budi
pekerti luhur.Pekerti batiniah ialah dengan cara semedi, konsentrasi, bertapa
dan sebagainya dengan maksud mendekatkan diri pada Tuhan (Yosodipuro,
1994:2).
Keraton merupakan bangunan yang unik, berukuran luas dengan struktur
bangunan yang bersifat khusus. Keraton adalah monopoli raja, oleh karena itu
penguasa tradisional lainnya, misalnya kadipaten tiddak diperkenankan duduk
di dhampar (singgasana raja), jadi keraton merupakan tempat kedudukan
khusus untuk raja (Darsiti Soeratman (1989 : l)
K.M Tanjung (2005:16) juga mengatakan bahwa istilah keraton
13
merupakan kediaman ratu atau raja yang meliputi tempat tinggal (kedhaton)
dengan halaman atau pekarangannya yang dibatasi pagar atau tembok Cepuri
Baluwarti.
Dari beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa keraton adalah
pekarangan raja yang meliputi wilayah di dalam Cepuri (tembok yang
mengelilingi keraton), Baluwarti, dan alun-alun, yang dihuni oleh raja atau ratu
bersama keluarganya, dengan bangunan-bangunan tempat pangeran dan para
bangsawan tinggal dan bekerja.
b. Fungsi Keraton
Dahulu keraton Surakarta merupakan sebuah negara (nagari) yang
memiliki susunan asli, berpemerintahan sendiri (otonomi), memiliki daerah
atau wilayah tertentu dan rakyat (kawula alit) tertentu. Keraton Surakarta telah
ada jauh sebelum berdirinya negara Republik Indonesia, yaitu sebagai negara
yang mempunyai pemerintahan sendiri (berdaulat) yang dikepalai oleh seorang
raja dengan sistem pemerintahan yang bersifat turun temurun. Sebelum
Indonesia merdeka Keraton Surakarta memiliki pemerintahan sendiri sering
dikenal dengan istilah "swapraja" (atau Pemerintahan sendiri), atau di dalam
bahasa Belanda dikenal dengan istilah "Vorstanlande" (daerah kekuasaan raja).
Dengan demikian Keraton Surakarta merupakan peninggalan kenegaraan asli
Indonesia.
Pada tahun 1746 keraton Surakarta didirikan oleh Paku Buwana II untuk
dijadikan penggant i keraton Kartasura yang telah hancur karena serangan
musuh, semula adalah pusat kerajaan Mataram. Setelah mendiami keraton
selama 3 tahun Paku Buwana wafat (1749) dan penggantinya memerintah
sebagai raja Mataram sampai tahun 1755. Dengan demikian, selama sembilan
tahun keraton Surakarta berkedudukan sebagai pusat kerajaan Mataram (Darsiti
Soeratman, 1989 : 1)
Sebelum terbentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia keraton
Surakarta merupakan sebuah lembaga masyarakat yang berdasarkan ikatan
kekeluargaan atau kekerabatan dari trah Mataram yang memiliki hubungan
14
darah atau keturunan Susuhunan Paku Buwana sebagai pengayom / pelindung
kerabat keraton serta pengemban budaya Jawa ( Sri Winarti, 2004 ).
Setelah Indonesia merdeka tanggal 17 Agustus 1945, maka lahirlah
Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ikut mempengaruhi keberadaan
keraton Surakarta. Mulai tanggal 5 Juni 1947, distrik Surakarta termasuk
keraton Surakarta menjadi bagian dari wilayah Republik Indonesia. Sejak itu
keraton dengan segala aparaturnya sudah tidak lagi memiliki kekuasaan politik,
berbeda dengan yang dahulu bahwa keraton merupakan sebuah negara (Jawa :
nagari) yang bernama Nagari Surakarta Hadiningrat, yang berfungsi layaknya
sebuah negara.
Adapun Fungsi keraton menurut Sri Winarti (2004 : 28) adalah sebagai
berikut :
1. Sebagai wahyu Ratu.
2. Sumber budaya Jawa atau peninggalan kebudayaan leluhur Ratu Jawa.
3. Sebagai wujud atau bentuk peninggalan sejarah.
4. Sebagai bentuk negara asli Indonesia yang merniliki tata susunan asli
kultur Jawa, yang diperintah oleh raja Jawa secara turun temurun dan
menjadi pusat pemerintahan.
5. Sebagai tempat tinggal atau kediaman resmi ratu Jawa beserta kerabat atau
keluarganya.
3. Kebudayaan
a. Pengert ian Kebudayaan
Dalam kehidupan manusia mempunyai kebutuhan yang harus dipenuhi.
Untuk memenuhi kebutuhan tersebut manusia menciptakan sesuatu yang
disebut kebudayaan. Kebudayaan pada dasarnya adalah sesuatu yang rumit
untuk dirumuskan secara definitif.
Menurut Koentjaraningrat (1986: 181) “Kata kebudayaan berasal dari
kata Sansekerta Budhayah yaitu bentuk jamak dari Budhi yang berart i “budi”
atau “akal”. Dengan demikian kebudayaan itu dapat diartikan sebagai hal yang
15
bersangkutan dengan akal
Arti kebudayaan menurut Selo Sumarjan dan Soelema Soemardi (1974:
113) adalah hasil karya rasa, cipta masyarakat. Karya masyarakat
menghasilkan teknologi, kebudayaan kebendaan, dan kebudayaan jasmaniah
(material culture) yang diperlukan manusia untuk menguasai alam. Rasa yang
meliputi jiwa manusia, mewujudkan segala kaidah-kaidah dan nilai-nilai
kemasyarakatan yang perlu untuk mengatur masalah-masalah kemasyarakatan
dalam arti luas. Di dalamnya termasuk misalnya agama, ideologi, kebatinan,
kesenian, dan semua unsur yang merupakan hasil ekspresi dari jiwa manusia
yang hidup sebagai anggota masyarakat. Selanjutnya cipta merupakan
kemampuan mental, kemampuan berfikir dari orang-orang yang hidup dalam
bermasyarakat antara lain menghasilkan filsafat serta ilmu pengetahuan, baik
yang berwjud teori murni, maupun yang disusun urtuk diamalkan dalam
kehidupan bermasyarakat.
Kebudayaan diartikan sebagai warisan masyarakat baik yang berupa
material maupun spiritual yang menentukan hari ini dan hari depan melalui
pendukungnya sejak dulu. Kebudayaan merupakan cara yang ditempuh
masyarakat untuk menghadapi tantangan alam dan jaman menjaga
kelangsungan hidupnya. Sejak abad ke-9 pengertian kebudayaan merupakan
istilah untuk menunjukkan segala hasil karya manusia yang berkaitan erat
dengan pengungkapan bentuk. Dalam hubungan dengan alam, kebudayaan
menunjukkan segala pengharapan manusia dari hasil alam dan dirinya sendiri.
Kebudayaan meliputi perlengkapan hidup, peralatan, bahasa, negara, hukum,
ilmu pengetahuan, agama, (Ensiklopedi Indonesia, edisi khusus. 3 : 1705).
Menurut E.B. Taylor dalam Harsojo (1999:92) kebudayaan adalah
keseluruhan yang kompleks yang di dalamnya terkandung ilmu pengetahuan,
kepercayaan, kesenian, moral, hukum, dan adat istiadat, kemampuan lain serta
kebiasaan yang didapat oleh manusia sebagai anggota masyarakat.
Dari beberapa pengert ian di atas maka dapat disimpulkan bahwa
kebudayaan merupakan keseluruhan tingkah laku dan kebiasaan manusia
dalam masyarakat. Begitu eratnya hubungan antara masyarakat dengan
16
kebudayaan sehingga manusia sering disebut makhluk berbudaya. Kebudayaan
mempunyai unsur-unsur yang universal. Artinya unsur-unsur tersebut dapat
ditemukan dalam kebudayaan dimanapun di dunia, baik yang kecil maupun
yang besar dan kompleks, dengan jaringan yang luas. Unsur ini terdiri dari
tujuh macam yang merupakan isi dari kebuduyaan tersebut. Tujuh unsur
kebudayaan tersebut menurut Koentjaraningrat (1983: 2) adalah : (1) Peralatan
dan perlengkapan hidup manusia (pakaian, peralatan, alat rumah tangga,
senjata, alat-alat produksi, dan transportasi), (2) mata pencaharian dan sistem
ekonomi (pertanian, peternakan, sistem produksi, dan cara distribusi), (3)
sistem kemasyarakatan (sistem hukum dan perkawinan), (4) bahasa (lisan
maupun tulisan), (5) kesenian (seni suara, seni rupa, dan seni gerak), (6) sistem
pengetahuan (sistem menghitung hari), dan (7) kepercayaan.
Berdasarkan definisi tersebut terdapat tiga wujud kebudayaan yaitu ; (1)
Wujud kebudayaan sebagai suatu komplek dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai,
norma-norma, peraturan dan sebagainya. Wujud kebudayaan ini merupakan
wujud ideal dari kebudayaan. Kebudayaan ide inilah yang disebut adat
kelakuan, maksudnya adalah kebudayaan ideal itu juga berfungsi sebagai tata
kelakuan dan perbuatan manusia di dalam masyarakat. (2) Wujud kebudayaan
sebagai suatu kompleks, akt ivitas tindakan berpola dari manusia dalam
masyarakat. Wujud kebudayaan ini disebut dengan sistem sosial. Sistem sosial
ini terdiri dari aktivitas-akt ivitas manusia yang berinteraksi, berhubungan serta
bergaul satu sama lainnya yang terus-menerus menurut pola tertentu yang
berdasarkan pada adat kelakuan. Sistem sosial ini bersifat konkrit, terjadi di
sekeliling kita dalam kehidupan sehari-hari dan dapat diobservasi atau diteliti.
(3) Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia. Wujud
kebudayaan ini disebut kebudayaan fisik, akt ivitas, perbuatan dan karya
manusia di dalam masyarakat. Sifatnya paling konkrit dan merupakan benda-
benda yang dapat diraba maupun dilihat dan diambil gambarnya atau difoto.
b. Kebudayaan Jawa
Bersama pulau yang lain, pulau Jawa termasuk yang sering disebut
kepulauan Sunda Besar yang merupakan sebagian dari kepulauan Indonesia
17
(Frans Magnis-Suseno SJ, 1988 : 9).
Kebudayaan Jawa mempunyai keanekaragaman tersendiri.
Kebudayaannya tidak merupakan suatu kesatuan yang homogen. Mereka sadar
akan adanya suatu keanekaragaman yang sifatnya regional. Pembagian
kebudayaan itu sendiri terbagi menjadi tiga golongan, yaitu pertama adalah
kebudayaan Bagelan. Orang Jawa memiliki pandangan bahwa kebudayaan
Bagelan adalah kebudayaan Banyumas yang daerahnya meliputi bagian barat
daerah kebudayaan Jawa. Kecuali logat Banyumas yang sangat berbeda, juga
masih ada sisa-sisa dari bentuk-bentuk organisasi sosial kuno.
Yang kedua adalah kebudayaan Negarigung yaitu daerah istana-istana
Jawa. Peradaban ini mempunyai suatu sejarah kesusastraan, memiliki kesenian
yang maju (beberapa tarian dan seni tari kraton), serta ditandai oleh suatu
kehidupan keagamaan yang sangat sinkretik, campuran dari unsur-unsur agama
Hindu, Budha, dan Islam. Hal ini terutama terjadi di kota kraton Solo dan
Yogya yang merupakan peradaban orang Jawa yang berakar di kraton.
Yang ket iga aalah kebudayaan Pesisir yaitu suatu kebudayaan yang
terdapat di kota-kota pantai utara Pulau Jawa. Kebudayaan ini meliputi daerah
dari lndramayu-Cirebon di sebelah barat , sampai ke kota Gresik di sebelah
timur. Penduduk daerah pesisir ini pada umumnya memeluk agama Islam
puritan yang juga mempengaruhi kehidupan sosial budaya mereka. Orang Jawa
membedakan antara sub-daerah Barat yang pusatnya di Cirebon, dan suatu sub-
daerah Timur yang berpusat di Demak (Koent jaraningrat, 1984:25-26).
Pulau Jawa adalah bagian dari suatu formasi geologi tua berupa deretan
pegunungan yang menyambung dengan deretan pegunungan Himalaya dan
Pegunungan di Asia Tenggara, dimana arahnya menikung ke arah tenggara
kernudian kearah timur melalui tepi daratan Sunda yang merupakan landasan
kepulauan Indonesia ( Koentjaraningrat . 1984 : 3).
Suku bangsa Jawa yang merupakan bagian dari bangsa Indonesia tentu
saja mempunyai riwayat atau sejarah yang tak berbeda. Pada jaman Es sebelum
mencair, Semenanjung Malaka, Kalimantan, Sumatera, dan Jawa masih
menjadi satu daratan yang disebut Daratan Sunda, yang tidak terpisahkan dari
18
benua Asia. Namun setelah jaman Es berakhir dan daratan-daratan rendah
berubah menjadi lautan, muncullah beberapa daratan yang terpisah. Pulau Jawa
sebagai pulau terbesar ke tiga di bekas wilayah daratan Sunda, dalam sejarah
kebudayaan Indonesia memiliki peranan yang pent ing. Dari hasil penemuan-
penemuan hasil penggalian disimpulkan bahwa nenek moyang suku bangsa
Jawa, yang ditemukan fosil-fosilnya di daerah lembah Bengawan Solo, adalah
manusia Indonesia tertua yang sudah ada kira-kira satu juta tahun yang lalu
(Budiono Herusatoto. 1982 : 52-53).
Tiga ribu tahun sebelum masehi, gelombang pertama imigran Melayu
Yang berasal dari Cina Selatan mulai membanjiri Asia Tenggara, disusul oleh
beberapa gelombang lagi selama dua ribu tahun berikut. Orang Jawa dianggap
keturunan dari orang Melayu gelombang berikut itu. Orang Melayu itu hidup
dari pertanian, mereka sudah mengenal persawahan. Dengan demikian bentuk
organisasi desa mereka sudah relatif tinggi. Garis-garis besar organisasi sosial
itu direkonstruksikan dan bertahan sampai sekarang.
Dalam wilayah kebudayaan Jawa dibedakan antara penduduk pesisir
utara dimana hubungan perdagangan, pekerjaan nelayan, dan pengaruh Islam
lebih kuat menghasilkan kebudayaan Jawa yang khas, yaitu kebudayaan pesisir
dan daerah-daerah Jawa pedalaman, sering disebut juga "kejawen", yang
mempunyai pusat budaya dalam kota kerajaan. Kebudayaan pesisir merupakan
kerajaan-kerajaan pantai yang didasarkan atas perdagangan, yang berkembang
di sekeliling kota pelabuhan. Mereka memiliki suatu armada perdagangan yang
besar, terdiri dari kapal-kapal layar bercadik.
Orang Jawa membedakan dua golongan kelas sosial, yaitu (1) wong cilik
( orang kecil ) yang terdiri dari petani dan mereka yang berpenghasilan kecil,
(2) kaum priyayi dimana mereka termasuk kaum pegawai dan orang-orang
intelektual. Kaum priyayi ini sering disebut kaum ningrat atau ndoro.
Disamping lapisan sosial-ekonomi ini masih dibedakan dua kelompok atas
dasar keagamaan. Keduanya secara nom inal termasuk agama Islam, tetapi
golongan pertama dalam cara hidupnya lebih ditentukan oleh tradisi Jawa pra
Islam, sedang golongan ke dua memahami diri sebagai orang Islam dan
19
berusaha hidup menurut ajaran Islam. Golongan pertama di sebut kejawen dan
yang ke dua disebut santri.
c. Kebudayaan Islam
Kebudayaan Islam adalah cara berfikir dan merasa taqwa, yang
menyatakan diri dalam seluruh segi kelompok manusia yang membentuk
kesatuan sosial ( Sidi Gazalba: 1988 : 26 ). Cara berfikir dan merasa itu
terwujud dalam bentuk laku, perbuatan dan tindakan lelompok manusia dalam
sosial, ekonomi, politik, ilmu pengetahuan dan teknik, kesenian dan falsafah.
Dalam tiap segi kehidupan selalu ditemukan pola : asas atau prinsipnya berasal
dari Al-Qur'an dan Hadits, sedangkan cara pelaksanaan atas prinsip itu atau
norma-normanya berasal dari hidup Islam, disebut kebudayaan Islam.
Kebudayaan adalah cara hidup yang isinya cara berlaku dan berbuat
dalam tiap fase kehidupan. Dalam Islam cara itu adalah taqwa. Maka
kebudayaan Islam adalah kebudayaan Taqwa. Secara terperinci dirumuskan :
cara berfikir ( budi dan rasa ) taqwa, yang menyatakan diri dalam seluruh segi
kehidupan dari segolongan manusia yang membebntuk kesatuan sosial, dalam
suatu ruang dan wakiu ( Sidi Gazalba. 1992 : 97 ).
Hakekat taqwa adalah menjaga hubungan dengan Tuhan. Dalam Islam
praktek agamanya disebut ibadat ( pengabdian ). Bentuk pengabdian orang
Islam tercermin dalam hukum Islam, yaitu Syahadat, Sholat, Puasa, Zakat dan
Naik haji. Kelima unsur ini adalah pernyataan hubungan dengan Tuhan.
Apabila bentuk-bentuk pengabdian ini dilakukan dengan sempurna ( dengan
syareat-syareat yang cukup, pengertian dan kesadarannya yang penuh, dengan
penghayatan maksud dan tujuan), selanjutnya dilakukan dengan ikhlas, maka
ibadat itu dinamakan taqwa. T aqwa itulah yang dimaksud menjaga hubungan
dengan Tuhan.
Lanjutan hubungan langsung dengan Tuhan adalah hubungan dengan
manusia yang membentuk kehidupan sosial. lsi kehidupan sosial itu ialah
kebudayaan. Taqwa adalah sikap menjaga hubungnan dengan Tuhan, yang
dijadikan pangkal dalam melakukan hubungan dengan manusia. Jadi jelaslah
20
kebudayaan taqwa dalam ajaran Islam sebagai ujung agama ( ibadat ) dan
pangkal kebudayaan ( hubungan dengan manusia ).
Antropologi budaya memandang manusia sebagai makhluk yang berfikir,
memberikan jawaban terhadap kebutuhan-kebutuhannya dengan cara
bert ingkah laku terhadap lingkungannya. Antropologi Islam memandang
manusia sebagai hamba Allah ( Sidi Gazalba. 1992 : 98-101 ).
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kebudayaan Islam tidak
berdiri sendiri, ia adalah bagian dari ajaran atau apa yang diistilahkan dengan
Diinul Islam . Isi dari Diinul Islam adalah agama dan kebudayaan. Agama
Islam adalah sistem hubungan manusia dengan Allah. Jadi kebudayaan Islam
adalah sistem hubungan manusia dengan manusia yang berpangkal dari
hubungan dengan Tuhan.
4. Upacara tradisi
a. Upacara
Dalam Kamus Besar Bahasa lnadonesia (2001:1250) Upacara adalah
rangkaian perbuatan atau tindakan terkait pada aturan-aturan tertentu menurut
adat atau norma.
Upacara merupakan wujud dari sistem sosial yang telah terbentuk dan
tcrpola sedemikian rupa, sehingga telah menjadi keyakinan dan kepercayaan
bahwa Upacara tersebut wajib dijalankan secara terus menerus (Frans Magnis
Suseno, 1991: 45).
Upacara berart i melakukan suatu perbuatan menurut adat kebiasaan
yang berlaku dalam kehidupan masyarakat, dalam rangka memperingati
peristiwa penting, serta dalam Upacara tersebut dipakai do'a-do'a, gerak gerik
tangan dan badan.
Berbagai perlengkapan upacara disesuaikan dengan keperluan. Alat-alat
itu dapat berupa alat-alat sesaji, patung, bunyi-bunyian seperti gamelan, rebana
21
dan sebagainya. Bertindak sebagai pelaku upacara adalah seorang pendeta,
dukun, bhiksu, pejabat pemerintah, tokoh masyarakat, dan lain-lain. Semua
unsur ini sebaiknya ada dalam pelaksanaan upacara, agar dapat berjalan sesuni
yang diinginkan.
Dalam pelaksanaan upacara dibedakan dalam beberapa bentuk, sepert i
(1) upacara dalam lingkaran hidup seseorang sepert i hamil tujuh bulan,
kelahiran, upacara potong rambut untuk yang pertama kali, upacara menyentuh
tanah untuk yang pertama kali, upacara menusuk telinga (bagi yang
perempuan), sunat, perkawinan, khitanan, kemat ian dan setelah kemat ian; (2)
upacara yang berhubungan dengan bersih desa serta pengerjaan atau
penggarapan tanah pertanian setelah panen; (3) upacara yang berhubungan
dengan hari-hari besar Islam seperti: maulid nabi, grebeg syuro, grebeg besar,
dan lain-lain; (4) upacara pada saat tidak menentu karena berkenaan dengan
kejadian-kegadian tertentu, sepert i membuat rumah, menolak bahaya atau
ruwatan, kaul, dan sebagainya.
b. Tradisi
Menurut Kamus Bahasa Indonesia (2001:1208) tradisi adalah adat
kebiasaan turun temurun (dari nenek moyang yang masih dijalankan oleh
masyarakat) yang merupakan penilaian atau anggapan bahwa cara-cara yang
telah ada merupakan yang paling baik dan benar.
Van Peursen (1976:11) berpendapat bahwa tradisi merupakan
pewarisan atau penerusan norma-norma, adat istiadat, kaidah-kaidah dan harta
benda. Pewarisan tersebut dilakukan agar norma-norma, adat istiadat, kaidah-
kaidah yang telah dimiliki oleh nenek moyang akan terus bertahan dan di
warisi oleh generasi penerus.
Pengert ian lain dari tradisi adalah suatu budaya yang di dalam
melaksanakan hak seseorang berdasarkan aturan-aturan yang pernah dilakukan
oleh generasi sebelumnya. Selanjutnya berkembang menjadi tradisional yang
berarti segala sesuatu seperti adat, kepercayaan, kebiasaan, dari ajaran yang
turun temurun. Dalam Ensiklopedi Nasional Indonesia (1991 : 414) tradisi
22
adalah hal atau isi sesuatu yang diserahkan dari sejarah masa lampau dalam
bidang adat, bahasa, tata kemasyarakatan dan keyakinan maupun proses
penyerahan atau penerusan kepada generasi berikutnya.
Sidi Gazalba (1974 : 147) dalam tinjauannya mengenai tradisi
dikatakan bahwa kehidupan kebudayaan berlaku dalam waktu kebudayaan
mempertahankan diri dengan jalan tradisi yaitu pewarisan unsur-unsur
kebudayaan dari suatu angkatan menuju angkatan berikutnya, karena sesuatu
tidak dengan tiba-t iba untuk menjadi suatu kebudayaan. Tanpa kehidupan
kebudayaan itu akan selalu diakhiri dengan kemusnahan. Tradisi merupakan
syarat kesinambungan seluruh kehidupan, syarat bagi kesinambungan seluruh
kehidupan kebudayaan ada dalam waktu yaitu bentuk masa lalu, masa kini, dan
masa yang akan dartang.
Dari berbagai pendapat mengenai tradisi di atas dapat disimpulkan
bahwa tradisi adalah suatu adat kebiasaan yang secara turun temurun diperoleh
dari para pendahulunya atau nenek moyangnya.
c. Upacara Tradisi
Upacara tradisi dapat diartikan sebagai suatu bentuk kegiatan sosial
dengan melibatkan warga masyarakat dalam usahamya untuk mencapai tujuan
bersama dan merupakan bagian yang integral dari kehidupan masyarakat
pendukungnya.
Upacara tradisi juga sebagai suatu perilaku atau rangkaian tindakan
aktifitas manusia yang didorong perasaan manusia yang dihinggapi oleh suatu
emosi keagamaan yang ditata oleh adat atau hukum atau peraturan yang pernah
dilakukan oleh generasi sebelumnya dalam masyarakat dan berlangsung turun
temurun dari generasi kegenerasi sampai sekarang.
Upacara tradisi biasanya berlangsung berulang-ulang baik setiap hari,
setiap musim, kadang-kadang tergantung dari acaranya. Suatu ritus atau tradisi
biasanya terdiri suatu kom binasi yang merangkaikan satu, dua atau beberapa
tindakan, seperti: berdo'a, bersujud, bersesaji, berkorban, makan bersama,
menari dan menyanyi, berprosesi, berseni drama sici, bertapa, dan bersemedi.
23
Tradisi yang berlangsung dalam masyarakat ada yang di anggap
bermakna religius oleh masyarakat pendatangnya. Karena tindakan tersebut
diwujudkan dalam upacara keagamaan yang bersifat keramat dalam-tujuannya
mencari hubungan dengan Tuhan, Dewa atau dengan kekuatan gaib. Pada
umumnya upacara tersebut merupakan rangkaian lambang yang dapat berupa
benda materi, kegiatan fisik, dan kejadian-kejadian tertentu. Oleh karena itu
dalam mempelajari berbagai ragam upacara orang dapat meninjaunya melalui
wujud lahiriahnya serta penafsiran orang kenyataan dan para ahli kebudayaan
yang terlibat dalam upacara.
Suatu tradisi biasanya selalu dihubungkan dengan sesuatu yang bersifat
sakral atau mempunyai nilai sakral. Nilai sakral tersebut merupakan salah satu
faktor yang mendorong generasi penerus untuk tetap mempertahankan warisan
leluhur tersebut. Bertahan tidaknya suatu tradisi tergantung dari pendukungnya,
apakah masyarakat pendukungnya masih ingin menjaga melangsungan suatu
tradisi tertentu maka tradisi tersebut akan terus berlangsung sampai para
pendukungnya mewariskan tradisi tersebut kepada generasi berikutnya,
demikian seterusnya.
Tradisi dapat bertahan selama mampu menyelaraskan diri serta
bermanfaat bagi kehidupan masyarakat. Suatu tradisi meskipun dipengaruhi
berbagai situasi dan kondisi, keberadaannya dalam masyarakat akan ditentukan
oleh masyarakat pendukungnya itu sendiri selama tradisi tersebut disesuaikan
dengan perkembangan jaman.
24
B. Kerangka Berfikir
Keterangan:
Pada umumnya orang Jawa menyebut seseorang yang ahli atau
mempunyai pekerjaan khusus di bidang bangunan baik ahli dalam
merancangkan maupun ahli dalam mendirikan bangunan itu disebut dengan
istilah Kalang. Mereka yang biasa disebut Kalang tersebut adalah para tenaga
kerja yang dilatih dan di didik oleh para guru adat, yang kebanyakan dari
lingkungan Keraton, sebagai pengabdi keraton atau abdi dalem keraton.
Keraton Surakarta mempunyai fungsi sebagai sumber seni budaya
Nasional khas daerah Jawa Tengah dan sebagai wadah kegiatan adat istiadat
serta tradisi yang erat kaitanya dengan corak nilai kepribadian serta hubungan
dengan daya t ahan bangsa dan negara Indonesia.
Setelah keraton Surakarta mengalami musibah kebakaran pada tahun
1985 sudah barang tentu dalam usaha pembangunan kembali keraton Surakarta
di butuhkan orang-orang yang ahli dibidang bangunan (kalang). Orang-orang
tersebut adalah salah satu pendukung pelaksanaan pembangunan Keraton
Surakarta yang terbakar tersebut.
Serat kalang atau kawruh kalang adalah kitab yang berisi ilmu tentang
ruang yang berhuruf Jawa yang didalamnya menguraikan tentang kerangka
bangunan, prinsip-prinsip ukuranya, hingga bahan yang seharusnya digunakan
untuk membangun rumah rakyat hingga rumah raja.
Bangunan
keraton Kawruh/serat
kalang
Kebudayaan
Kalang
Tradisi
Upacara
25
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian
1. Tem pat Penelitian
Penelitian yang dilakukan dalam rangka penyusunan skripsi yang berjudul
Studi tentang Interpretasi Serat Kalang dalam Pembangunan Kembali Keraton
Kasunanan Surakarta Tahun 1987 dilaksanakan dilingkungan perpustakaan.
Adapun yang digunakan sebagai tempat penelitian adalah sebagai berikut :
a. Perpustakaan Pusat Universitas Sebelas Maret Surakarta.
b. Perpustakaan Fakultas Keguruan dan llmu Pendidikan Universitas Sebelas
Maret Surakarta
c. Perpustakaan Program Sejarah Fakultas Keguruan dan Itmu Pendidikan
Universitas Sebelas Maret Surakarta
d. Perpustakaan Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret
Surakarta.
e. Perpustakaan Monumen Pers Surakarta
f. Perpustakaan Reksa Pustaka Keraton Mangkunegaran Surakarta .
g. Perpustakaan Sasana Poestaka Keraton Kasunanan Surakarta.
2. Waktu Penelitian
Waktu yang direncanakan dalam penelitian ini adalah sejak disetujuinya
judul skripsi pada bulan Agustus 2008 sampai bulan April 2010.
Adapun kegiatan yang dilakukan dalam jangka waktu penelitian tersebut
diantaranya adalah mengumpulkan sumber baik sumber primer maupun sekunder,
melakukan kritik untuk menyelidiki keabsahan sumber, melakukan wawancara
menetapkan makna yang, saling berhubungan dari fakta-fakta yang diperoleh dan
terakhir menyusun laporan hasil penelitian.
25
26
B. Metode Penelitian
Bentuk penelitian adalah penelitian historis, sehingga penelitian ini
menggunakan strategi atau metode historis. Pemilihan metode historis didasarkan
pada pokok permasalan yang dikaji yaitu peristiwa masa lampau, untuk
direkonstruksikan menjadi kisah sejarah melalui langkah atau metode historis.
Menurut Koent joroningrat (1977 : 12) metode berasal dari bahasa Yunani,
yaitu Methods yang berarti jalan atau cara. Karena berhubungan dengan hal
ilmiah, maka yang dimaksud dengan metode yaitu cara kerja yang sistematis
mengacu pada aturan baku yang sesuai dengan permasalahan ilmiah yang
bersangkutan dan hasilnya dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah.
Sedangkan Louis Got tschalk (1975 : 11) berpendapat bahwa penelitian
historis adalah "kegiatan mengumpulkan, mengkaji dan menganalisa daya yang
diperoleh dari peninggalan masa lampau". Sedangkan aturan atau langkah metode
sejarah menurut Nugroho Notosusanto (1971 : 28) adalah meliputi heuristik,
kritik, interprestasi dan historiografi.
Berdasarkan ket iga pendapat tersebut, penelitian historis dilakukan dengan
kegiatan mengumpulkan, mengkaji dan menganalisa secara kritis peninggalan
sejarah masa lampau menjadi bahan penulisan, mendasarkan pada metodologi
historis dan dijadikan hasil penulisan sejarah sebagai karya ilmiah.
Metode berasal dari bahasa Yunani yaitu m ethodos (methods adalah cara
atau jalan) dan theodos adalah masalah. Jadi metode dapat diartikan sebagai jalan
atau cara untuk menyelesaikan masalah. Sedangkan menurut Hellius Sjamsudin
(1996:2), metode berhubungan dengan suatu prosedur, proses atau teknik yang
sistematis dalam penyelidikan disiplin ilmu tertentu untuk mendapatkan objek
atau bahan-bahan yang diteliti. Sesuai dengan permasalahan dan tujuan dari
penelitian ini, maka metode yang digunakan adalah metode sejarah.
Menurut Hadari Nawawi (1995:81) metode sejarah adalah prosedur
pemecah masalah dengan menggunakan data masa lampau dan peninggalan-
peninggalan baik untuk memahami kejadian atau suatu keadaan masa sekarang
maupun untuk memahami hubungan kejadian atau keadaan masa sekarang dengan
27
kejadian atau keadaan masa lampau. Menurut Gilbert J. Garraghan dalam Dudung
Abdurrahman (1999 : 43) metode historis adalah seperangkat aturan dan prinsip
sisteniatis untuk mengumpulkan sumber-sumber sejarah secara efektif, menilainya
secara kritis dan mengajukan sintesis dari hasil-hasil yang dicapai dalam bentuk
tertulis. Menurut T Ibrahim Alvian (1994 : 22), bahwa metode penelitian historis
adalah seperangkat aturan dan prinsip yang sistimatis untuk mengumpulkan
sumber sejarah, menilai secara kritis guna mendapatkan sintesa sejarah yang
ditulis sebagai hasil penelitian
C . Sumber Data
Sumber data dalam sejarah merupakan keberadaan atau lahan penemuan
bahan penelitian sejarah yang memerlukan proses pengolahan, penyeleksian dan
pengkategorian sumber sejarah (Kuntowijoyo, 1995 : 96).
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan sumber data yang berupa
sumber data tertulis. Sumber tertulis menurut Nugroho Notosusanto (1971 : 26)
dibagi menjadi sumber tertulis primer dan sumber tertulis skunder. Sumber
tertulis primer yaitu sumber yang autentik atau sumber yang ditulis dari tangan
pertama tentang permasalahan yang akan diungkapkan. Sumber tertulis skunder
yaitu sumber yang ditulis oleh orang yang tidak terlibat langsung dari peristiwa
yang dikisahkannya. Menurut Louis Gottschalk (1996 : 350), sumber primer
adalah kesaksian dan seorang saksi dengan mata kepala sendiri atau dengan alat
mekanis yang lain. Sumber ini biasa di sebut saksi pandangan mata. Sedangkan
sumber skander adalah kesaksian dari siapapun yang bukan merupakan Saksi
pandangan mata, yakni, dari seseorang yang tidak hadir pada peristiwa yang
dikisahkannya.
Sumber yang digunakan dalam penelitian ini adalah sumber tertulis.
Dalam penelitian ini penulis menggunakan sumber primer dan sumber skunder.
Sumber primer yang digunakan adalah Serat Kalang Sono Poestoko Keraton
Kasunanan Surakarta no 7 wa, Serat Kalang Sasono Poestoko Keraton Surakarta
no 9 wa, dan Serat Kalang Bab Griyo Jawi. Rekso Poestoko Mangkunegaran.
Sumber skunder yang digunakan adalah buku-buku yang relevan dengan
28
penelitian.
Sumber yang digunakan dalam penelitian ini adalah sumber tertulis.
Dalam penelitian ini penulis menggunakan sumber primer dan sumber skunder.
Sumber primer yang digunakan adalah Serat Kalang Sasono Poestoko Keraton
Kasunanan Surakarta Hadiningrat no 7 wa, Serat kalang Sasono Poestoko Kraton
Surakarta Hadiningrat no 9 wa, dan Serat Kalang Bab griyo Jawi. Rekso Pustoko
Mangkunegaran Sumber Skunder yang digunakan adalah buku-buku yang relavan
dengan penelitian.
D. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam penelitian histories merupakan salah satu
langkah yang pent ing. Berdasarkan data yang digunakan dalam penelitian ini,
maka dalam pengumpulan data dilakukan melalui dua macam cara yaitu :
1. Studi Pustaka
Studi pustaka merupakan teknik yang dilakukan untuk mengumpulkan
data dengan cara membaca data yang berasal dari arsip, buku, majalah, surat
kabar yang terbit pada masa itu atau yang terbit kemudian. Bahan ini dapat
digunakan untuk menjelaskan peristiwa yang diteliti. Teknik studi pustaka
yang digunakan dalam penelitian adalah dengan sistim kartu atau
menggunakan catalog dengan cara mencatat beberapa sumber tertentu
mengenai masalah dengan mencantumkan keterangan mengenai subjek, dan
judul buku maupun keterangan tahun terbit dan sebagainya.
Kegiatan studi pustaka dalam penelitian ini di laksanakan dengan cara
sebagai berikut :
1) Mengumpulkan sumber primer dan skunder yang berupa buku-buku
literature dan ensiklopedi yang berkaitan dengan tema mengenai. Studi
tentan interpretasi Serat Kalang dalam Pembangunan kembali Keraton
Kasunanan Surakarta tahun 1987 yang tersimpan di beberapa
perpustakaan.
2) Membaca, mencatat, meminjam dan memfoto copy buku-buku literature
karangan sejarawan yang dianggap penting dan relevan dengan tema
29
penelitian yang tersimpan di perpustakaan berdasarkan periodisasi waktu
atau secara kronologis.
3) Mengumpulkan data yang telah diperoleh dari perpustakaan untuk
digunakan dalam menyusun karya ilmiah.
2. Wawancara
Menurut Koent jaraningrat (1986 : 129) metode wawancara atau metode
Interview mencakup cara yang dipergunakan kalau seseorang untuk tujuan
suatu tugas tertentu, membaca mendapatkan keterangan atau pendirian secara
lisan dari seorang responden, dengan bercakap-cakap berhadapan muka
dengan orang itu.
Wawancara adalah sebuah proses untuk memperoleh keterangan untuk
tujuan penelitian dengan cara Tanya jawab, sambil bertatap muka antara
penanya atau pewanwancara dengan penjawab atau responden dengan
menggunakan alat yang dinamakan Interview guide (panduan
wawancara).walaupun wawancara adalah proses percakapan yang terbentuk
Tanya jawab dengan tatap muka, namun wawancara merupakan suatu proses
pengumpulan data untuk suatu penelitian (Moh- Nasir, 1988 : 234).
Adapun maksud dari wawancara adalah untuk mengonstruksikan
mengenai orang, kejadian, organisasi, perasaan, motif, tuntutan kepedulian
dan lain-lain. Suatu wawancara mempunyai tujuan untuk mengumpulkan
keterangan tentang kehidupan manusia di dalam masyarakat sehingga untuk
memperoleh data yang dapat dipertanggung jawabkan maka diadakan
pemilihan personel yang diwawancarai yaitu orang yang memiliki
kemampuan dan pengetahuan tentang masalah yang diteliti. Dalam penelitian
ini penulis menggunakan wawancara berencana, yaitu wawancara yang terdiri
dari suatu daftar pertanyaan yang telah direncanakan dan disusun sebelumnya
(Koentjaraningrat 1986 :138).
Dengan tujuan memperoleh data yang dipertanggung jawabkan, maka
diadakan pemilihan personil yang diwawancarai. Selain itu penelitian ini juga
menggunakan wawancara terbuka dimana wawancaranya di lakukan dengan
memberikan pertanyaan yang memungkin kan informan dapat menjawab
30
pertanyaan dengan panjang lebar.
E. Teknik Anal isis Data
Analisis data merupakan pengerjaan dan pemanfaatan data sampai pada
kesimpulan yang dapat digunakan untuk menjawab persoalan-persoalan dalam
penelitian. (Koent jaraningrat, 1977 : 269). Analisis data merupakan upaya
mencari dan menata secara sistimatis catatan hasil observasi, wawancara dan
lainnya untuk meningkatkan pemahaman peneliti tentang kasus yang diteliti dan
menyajikanya sebagai teman bagi orang lain. (Noeng Muhadjir, 1996:104).
Dalam penelitian ini, penulis melakukan analisa data melalui pengumpulan
data, baik data primer maupun data skunder, kemudian diklasifikasikan
selanjutnya diseleksi dan membandingkan data, untuk kemudian diinterpretasikan
guna didapat keterangan lengkap sehingga dapat dijadikan fakta sejarah. Fakta
merupakan bahan utama dalam menyusun historiografi dan fakta merupakan hasil
pemikiran yangn mengandung subyekt ifitas.
Teknik analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisa
sejarah. Analisa data sejarah yaitu analisis yang mengutamakan ketajaman dan
kekuatan didalam menginterpretasikan data sejarah. (Louis Gottschalk, 1975 : 95).
Tujuan dari analisis data dalam penelitian sejarah adalah untuk melakukan sintesis
akan sejumlah fakta yang diperoleh dari sumber-sumber sejarah dan bersama
dengan teori disusunlah fakta kedalam suatu interpretasi yang menyeluruh
(Dudung Abdurrahman, 1999:64).
Kegiatan menganalisis data sejarah didalam penelitian ini dilaksanakan
sebagai berikut: (1) kritik ekstern yaitu menganalisis fisik sumber data sejarah
tertulis untuk mendapatkan data sejarah yang otent ik atau asli, (2) kritik intern
yaitu menganalisis isi sumber data sejarah tertulis untuk mendapatkan data sejarah
yang kredibel dan reliabel, (3) interpretasi fakta dilakukan dengan
menghubungkan antara fakta yang satu dengan fakta yang lain sehingga diketahui
hubungan sebab akibat.
31
F. Prosedur Penelitian
Louis Gottshalk (1975:17) mengemukakan prosedur penelitian sejarah
terdiri dari empat kegiatan yaitu: (1) Heuristik, (2) Kritik sumber, (3) interpretasi,
(4) Historiografi.
1. Heuristik
Heuristik berasal dari bahasa Yunani yaitu heurishein yang berart i
memperoleh (Dudung Abdurrahman, 1999:55). Menurut Sidi Gazalba (1981:114)
heuristik adalah pencarian dan penyelidikan sumber sejarah untuk mendapatkan
bahan. Pada tahap ini, penulis berusaha untuk mencari dan mengumpulkan
surnber-sumber yang sesuai dengan penelitian. Sumber sejarah yang digunakan
dalam penelitian ini ialah sumber tertulis yang berupa sumber primer dan sumber
sekunder.
a. Sumber Primer
Sumber yang digunakan adalah dokumen, yaitu transkrip atau naskah serat
kuno. Sumber primer adalah sumber yang keterangannya didapat secara
langsung oleh yang menyaksikan peristiwa dengan mata kepala sendiri.
(Daliman, 1971:19)
b. Sumber Sekunder
Sumber sekunder yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari buku-buku,
Literatur-literatur yang ada hubungannya dengan permasalahan. Sumber
sekunder adalah sumber yang keterangan pengarangnya diperoleh dari orang
lain atau sumber lain. (Daliman, 1971:19)
2. Kritik
Setelah sumber-sumber terkumpul, tahap berikutnya adalah verifikasi atau
kritik untuk mempemleh keabsahan sumber. Kritik ini dimaksudkan untuk
menentukan keabsahan tentang keaslian sumber dan keabsahan tentang kesahihan
sumber. (Dudung Abdurrahman, 1999:58). Dalam prosedur sejarah cara tersebut
dilakukan melalui proses kritik sumber, yaitu:
a. Kritik Intern
Kritik ini bertujuan untuk meneliti tingkat kebenaran isi (data) dari sumber data
yang digunakan. (Hadari Nawawi, 1995:80). Kritik ini memastikan peristiwa
32
yang dinyatakan oleh bahan, misalnya. hubungan dokumen dengan fakta atau
peristiwa, nilai dokumen dan lain-lain. (Sidi Gazalba, 1981:115). Menurut
Daliman (1971:21) untuk mengetahui suatu sumber dapat dipercaya atau tidak,
dapat dilakukan dengan cara: (1) penilaian intrinsik daripada sumber-sumber,
(2) membandingkan kesaksian dari berbagai sumber. Selain itu juga harus
diperhatikan hasil karya yang mencerminkan keahlian penulis atau
pengarangnya, apakah asli atau karya turunan orang lain.
b. Kritik ekstern
Kritik ini bertujuan untuk mengetahui tingkat keaslian sumber data dan
relevansinya dengan penelitian. (Hadari Nawawi, 1995:80). Sidi Gazalba
(1981:115) mengatakan bahwa kritik luar memastikan kesejatian atau
ketulenan dan hubungan antara bahan-bahan, misalnya sejak kapan suatu bahan
dibuat, dari dan untuk apa. Kritik ekstern bertugas menjawab tiga pertanyaan
yang mengenai sumber-sumber, yaitu: (1) apakah sumber itu memang sumber
yang dikehendaki?, (2) apa sumber itu asli atau turunan?, (3) apakah sumber itu
utuh atau diubah-ubah?. (Daliman, 1971:20). Kritik ekstern dilakukan dengan
melihat tanggal, bulan dan tahun penerbitan sumber.
3. Interpretasi
Menurut Kuntowijoyo dalam Dudung Abdurrahm an (1999:64-65)
Interpretasi atau penafsiran sejarah sering disebut juga dengan analisis sejarah.
Analisis secara terminologi berarti menguraikan, berbeda dengan sintesa yang
berarti menyatukan. Walaupun demikian, analisis dan sintesis digunakan sebagai
metode-metode utama dalam interpretasi. Interpretasi digunakan untuk melakukan
sintesis atas sejumlah fakta yang diperoleh dari sumber-sumber sejarah dan
bersama teori dan fakta disusun ke dalam interpretasi yang menyeluruh.
Interpretasi dapat dilakukan dengan cara memperbandingkan data guna
menyingkap peristiwa-peristiwa mana yang terjadi pada waktu ,yang sama.
Menurut Daliman (1997:23) interpretasi adalah proses menafsirkan fakta-
fakta sejarah serta proses penyusunannya menjadi suatu kisah sejarah yang
integral menyangkut proses seleksi sejarah. Pelbagai fakta dirangkaikan dan
dihubung-hubungkan satu dengan yang lain menjadi kesatuan yang harmonis dan
33
masuk akal. Dalam melakukan kegiatan interpretasi, penulis harus meninggalkan
unsur-unsur subyektivitas yang disebabkan keanekaragaman data yang diperoleh
sehingga penulis harus membandingkan sumber satu dengan sumber lain dan
bersikap obyekt if.
Dalam tahap ini langkah-langkah yang harus dilakukan adalah membaca
buku-buku yang relevan dengan penelitian kemudian dianalisis. Setelah itu
dibandingkan hasilnya dari satu sumber dengan sumber yang lain sehingga
melahirkan fakta-fakta yang relevan. Langkah terakhir adalah menyimpulkan dan
menafsirkan semua hasil untuk dihubungkan dengan sumber satu dengan sumber
lain sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh dan menyeluruh kemudian menjadi
suatu data sejarah yang akan dijadikan fakta sejarah.
4. Historiografi
Historiografi adalah menyampaikan sintesa yang diperoleh dalam bentuk
sesuatu kisah. (Daliman, 1971:17). Menurut Hellius Sjamsuddin (1996:17)
historiografi adalah rekonstruksi rekaman peninggalan masa lampau secara kritis
dan imajinatif berdasarkan bukt i atau data-data yang diperoleh melalui masa
proses itu. Daya imajinasi dari penulis diperlukan agar fakta-fakta yang diperoleh
dapat dirangkaikan menjadi kisah yang menarik untuk dibahas. Historiografi
merupakan fase terakhir dalam metode sejarah yang merupakan penulisan,
pelaporan hasil penelitian sejarah yang telah dilakukan. (Dudung Abdurrahman,
1999: 67). Historiografi dipaparkan dengan bahasa ilmiah dengan seni yang khas
menjelaskan apa yang diketemukan, beserta argumentasinya secara sistematis.
Dalam historiografi memerlukan kemahiran mengarang seorang sejarawan.
Bahasa yang baik digunakan untuk menyampaikan emosi dan pikiran. Dalam
penelitian ini, fakta sejarah yang telah diinterpretasikan secara kritis disusun
dalam suatu rangkaian kisah yang logis dengan menggunakan bahasa baku ilmiah
dalam bahasa Indonesia, sehingga menjadi kesatuan karya ilmiah yang berjudul
“Studi tentang Interpretasi Serat Kalang dalam Pembangunan kembali Keraton
Kasunanan Surakarta Tahun 1987”
34
34
BAB IV
HASIL PENELITIAN
A. Deskripsi Keraton Surakarta
1. Struktur dan Tata Letak
a. Alun-alun Utara (Lor)
Alun-alun ini sebenarnya merupakan sebuah halaman luas yang aslinya
berpasir. Di tengahnya membelah sebuah jalur jalan disebut Jl.Pakoe Boewono
sehingga membuat alun-alun terkesan menyerupai dua halaman sama besar dan
sebangun berjajar di sisi kiri dan kanan.
Tepat di tengah alun-alun tumbuh dua pohon beringin Kiai Jayadaru
artinya kemenangan terletak di tepi Timur Jl.Pakoe Boewono. Dan, Kiai
Dewandaru mengartikan keluhuran terletak di sisi Barat jalan. Terdapat 4
pohon serupa. Beringin jantan Kiai Jenggot tumbuh di arah Barat Daya, yang
betina Beringin Wok di Timur Laut. Sedang Beringin Guna tumbuh di
Tenggara. Beringin Bitur di Barat Laut. Sementara sejumlah beringin lain yang
tumbuh rapat di sepanjang jalan Gladag tak lebih sebagai pohon peneduh.
Di masa lalu, fungsi alun-alun Utara selain untuk latihan keprajuritan,
juga tempat menyelenggarakan perayaan adat, misalnya, Sekaten. Bahkan
sering pula dipakai oleh para kawula buat unjuk rasa dalam bentuk "pepe" atau
berjemur di terik matahari untuk menarik perhatian raja. Dalam kesempatan ini
rakyat diperkenankan menghadap biasanya rakyat mengadukan segala
persoalan dan ketidakadilan.
Dalam kawasan ini terdapat sejumlah besar bangunan dengan urutan
sebagai berikut:
1) Gapura Gladag
Terletak di ujung paling utara. Gapura berhiaskan dua arca Gupala
atau Pandita Yaksa yang pernah mengalami perbaikan di tahun 1930 M
35
bertepatan 8 windu (tumbuk ageng) usia Sinuwun Pakoe Boewono X ini,
merupakan pintu masuk utama. Dua gapura lainnya terdapat di sisi Timur
dan Barat. Yang masing-masing menghubungkan kampung Kedung lumbu
dan Pasar Klewer.
Dalam konsep kosmologi Hindu tata gapura semacam ini
mengartikan sebuah dunia pusat kosmos. Sedang menurut sikap batin
masyarakat Jawa dimaknakan sebagai perlambang pengendalian nafsu.
Gladag sendiri dalam bahasa Jawa berarti menyeret. Dahulu, di
tempat inilah hewan-hewan hasil buruan "digladag" sebelum disembelih.
2) Pam urakan
Tempat untuk membagi daging hewan sembelihan kepada kawula.
3) Pekapalan
Bangsal yang berjumlah dua unit ini untuk berkumpul para prajurit
sebelum berlatih ketrampilan.
4) Pam andegan
Istilah tempat m enambatkan kuda.
5) Bangsal Seton
Gedung tempat gamelan Kiai Singakrura yang ditabuh pada setiap
hari Sabtu guna mengiringi latihan keprajuritan.
6) Paseban
Berjumlah 3 unit , bangsal ini dipakai sebagai pondokan atau transit
para Bupati Mancanegara yang akan sowan atau menghadap raja.
7) Masjid Agung
Masjid Agung dibangun secara bertahap semasa pemerintahan
Sinuhun Pakoe Boewono III. Pemancangan tiang saka guru dilakukan pada
tahun Wawu 1659 (1764 M). Selain menjadi tempat raja bersholat jamaah
pada setiap hari besar Islam, di masjid ini pulalah setiap Raja baru Keraton
36
Kasunanan diwajibkan beribadah seusai upacara penobatan, Masjid Agung
memiliki t ingkat kesakralan yang tersusun sepert i lingkaran konsentris.
Kompleks bangunannya meliputi dua Bangsal Pagongan yang
terletak saling berhadapan di sebelah Selatan dan Utara, menara (dibuat
tahun 1923/1924), jam matahari, serambi, ruang utama, serta pawestren
(ruang putri).
Seperti bangunan sakral kuno lainnya, bentuk atap masjid bersusun
ganjil yang mengandung arti transendental yakni hirarki menuju ke dunia
atas. Dalam kebatinan Jawa masjid merupakan lambang kiblat ke
selamatan.
8) Sasana Sumewu atau Pagelaran
Dulu disebut Tratak Rambat karena saat pertama kali didirikan
bersamaan dengan pembangunan Keraton Surakarta sebagai penggant i
Kartasura, dan bangunan ini berwujud sebuah pendapa luas berpagar dan
beratap anyaman bambu.
Di zaman Pakoe Boewono X. Tratag Rambat dipugar hingga
menjadi sepert i bentuknya sekarang. Bangunan berpilar beton sejumlah 48
ini merupakan tempat abdi dalem untuk menghadap dan mendengarkan
berbagai rencana kebijakan dan peraturan keraton yang dikemukakan raja.
9) Bangsal Pengrawit
Merupakan bagian dari Sasana Sumewa tempat duduk raja saat
menerima pisowanan
10) Bangsak Pacikeran
Berada di sisi Barat Pagelaran diperuntukkan bagi para pesakitan
yang sedang menunggu hukuman.
11) Bangsal Pacekotan
Dibangun di sebelah Timur, tempat mereka yang akan menerima
hadiah.
12) Siti Hinggil
37
Terletak di bagian belakang Pagelaran berdiri di atas tanah yang
agak lebih tinggi. Dibangun tahun 1774 M saat pemerintahan Sinuhun
Pakoe Boewono III, bangunan yang terkesan menyatu dengan Pagelaran
Sasana Sumewa ini sebenarnya dapat dikelompokkan sebagai kompleks
tersendiri mengingat banyaknya bangsal yang berdiri di sekitarnya.
Bangsal atau bangunan-bangunan itu antara lain:
a) Kori Wijil
Berupa gerbang atau regol besi yang menghubungkan dengan
Pagelaran. Di sepanjang gerbang ini berjajar meriam tua peninggalan
VOC. Masing-masing dari arah Timur ke Barat bernama: Kiai Maesa
Kumali, Kiai Alus, Kiai Sadewa, Kiai Kumbarawi. Kiai Kumbarawa,
Kiai Nakula. Kiai Bagus dan Kiai Bringsing. Di antara deretan meriam-
meriam ini terdapat makam Ki Gede Sala yang sudah sangat tersamar
karena (nampaknya) sengaja diratakan dengan tanah halaman Siti
Hinggil.
b) Bangsal Sewayana
Bangunan ini berada dalam Siti Hinggil. Fungsinya sebagai
tempat duduk putra sentana dan abdi dalem golongan riyo nginggil ke
atas waktu menghadap raja saat perayaan Grebeg.
c) Bangsal Manguntur Tangkil
Merupakan bagian dari Bangsal Sewayana. Di tempat inilah raja
duduk di atas“watu gilang” (batu pipih halus sebagai gant i singgasana).
d) Bangsal Witana
Bangsal Witana terletak di belakang Manguntur Tangkil, tempat
para emban abdi dalem pembawa benda-benda regalia (perlengkapan
upacara).
e) Bale Manguneng
Masih berada dalam Siti Hinggil. tepatnya di sisi Timur
Manguntur Tangkil. Bale Manguneng bentuknya mirip joli berdinding
38
separuh papan kayu kaca dengan penutup kelambu di bagian dalam. Di
sinilah tersimpan meriam Kangjeng Nyai Satomi, salah satu pusaka
yang dikeramatkan Keraton Kasunanan.
f) Bangsal Gandhek Kiwa dan Tengen
Bangsal Gandek Kiwa berada di sebelah Barat Laut bangunan
induk Siti Hinggil, fungsinya untuk menyiapkan perlengkapan upacara
disamping sebagai pos para abdi dalem caos (pelaksana sesaji).
Sementara Bangsal Gandhek Tengen berada di Timur Laut, tempat
gamelan Kodhok Ngorek ditabuh.
g) Bale Bang
Terletak di bagian Barat Daya, tempat penyimpanan gamelan.
h) Bale Angun-angun
Berada di sisi Tenggara, merupakan pasangan Bangsal Gandhek
Tengen. Bedanya, yang ditabuh di sini adalah gamelan Monggang.
i) Kori Renteng
Pintu belakang Siti Hinggil yang berhadapan dengan Kori
Brajanala. Kori Renteng dan Brajanala dipisahkan Jalan Supit Urang.
b. Kom pleks Baluwarti
Kompleks ini merupakan kawasan keraton bagian tengah yang di
kelilingi benteng tembok tebal dan tinggi untuk memisahkan dengan
perkampungan luar. Di sinilah dulu para pangeran serta sebagian besar abdi
dalem tinggal.
Sekarang Baluwart i cenderung telah berubah menjadi pemukiman
umum. Kalaupun tidak, penghuninya sudah merupakan keturunan jauh dari
abdi dalem yang kebanyakan tak lagi mengabdi di keraton.
Kini mulai muncul pengalihan hak kepemilikan tanah serta rumah di
kawasan ini secara diam-diam. Untuk mencegah kecenderungan tersebut,
Parentah Keraton tengah mendata kembali seluruh penghuninya dan
39
menertibkannya dalam bentuk perjanjian sewa.
Di tengah Baluwart i masih terdapat pagar tembok berkeliling. Di bagian
dalam tembok inilah terletak inti keraton yang sering disebut pula sebagai
cepuri atau keraton.
Struktur letak bangunan di kawasan ini dimulai dari:
1) Kori Brajanala
Pintu gerbang terdepan yang terletak di sebelah Utara ini berhiaskan
potongan kecil kulit sapi segi empat yang melambangkan candrasengkala
“Walulang Sapi Siji”, yang menunjukkan angka 1708 sebagai tahun
pembuatan menurut kalender Jawa atau 1782 Masehi.
2) Made Rata
Semacam emperan tempat raja turun atau naik dari dan ke kereta.
3) Kam andungan
Sebuah teras luas dengan dua pintu masuk ukuran besar ke dalam
istana.
4) Bangsal Mercukunda
Terletak di bagian Barat halaman dalam Kamandungan, tempat
menghadap abdi dalem prajurit.
5) Bangsal Sm arakata
Dibangun di sisi Timur berhadapan dengan Mercukunda. Bangsal ini
untuk menghadap Patih pada setiap hari Kamis. Selain hari tersebut
dimanfaatkan sebagai tempat berkumpul abdi dalem Wedana.
6) Panti Pidana
Rumah tahanan bagi sentana dan kerabat keraton yang sedang
menjalani hukuman penjara.
7) Sidhikara
Ruang rapat yang sekaligus difungsikan menjadi tempat pemeriksaan
perkara perdata.
8) Kadipaten
40
Kantor urusan warisan bagi putra sentana.
9) Wismayana
Kantor bagian kontrol.
10) Srimanganti
Sri mangant i mempunyai dua fungsi. Yakni, tempat menanti para
tamu sebelum dterima menghadap raja. Dan tempat raja menjemput
kunjungan pembesar serta tamu kehormatan. Di atas pintu bangsal bercorak
Sernar Tinandu ini berhiaskan relief Sri Makuta Raja.
Srimanganti lebih mirip "koridor" karena menghubungkan langsung
antara halaman Kamandungan dengan pelataran dalam keraton. Di kawasan
inilah berdiri bangunan-bangunan pokok keraton. Antara lain:
a) Panggung Sangga Buwana
Berbentuk menara segi delapan, nama lengkap bangunan ini
adalah Panggung Luhur Sinangga Bawana yang sebenarnya merupakan
candrasengkala. Panggung dalam perwatakan angka melambangkan 8.
Luhur mengart ikan 0, Sinangga dan Bawana masing-masing menunjuk
angka 7 dan 1.
Jika keseluruhannya dirangkai dari belakang akan menghasilkan
angka 1708 sebagai tahun pembuatan berdasarkan tarikh Jawa. Ini,
cocok dengan hiasan di atas atapnya yang berujud orang naik di atas
punggung seekor naga bersayap yang menyimbolkan Naga (8) Muluk
(0), Tinit ihan (7) Jalma (1).
Ruang teratas dari panggung berketinggian 30 meter ini sangat
dikeramatkan, karena menurut mitos dipercaya merupakan sanggar
semadi dan tempat pertemuan antara Raja-raja Kasunanan dengan
Kangjeng Ratu Kidul, penguasa gaib Samudera Selatan.
Sementara berdasarkan analisa modern, fungsi panggung
sebenarnya untuk memata-matai kegiatan militer Belanda dalam
Benteng Vastenburg yang dibangun hanya beberapa puluh meter di
Utara Gladag. Sangga Buwana pernah terbakar di tahun 1954. Setelah
41
direnovasi, wujudnya berhasil dipulihkan kebentuk aslinya seperti yang
terlihat sekarang.
Sedang Vasternburg sendiri kini justru telah diruntuhkan, dan di
atas bekas pekarangannya yang luas akan dibangun hotel berbintang
lima oleh pemilik modal.
b) Maligi
Maligi merupakan bagian terdepan dari Sasono sewoko. Joglo
model Limasan Jubang ini dalam arsitektur modern disebut kanopi
dipakai sebagai tempat sunat/khitan para pangeran putra raja.
c) Sasono sewoko
Berbentuk pendapa luas dengan dapur Joglo Pengrawit. Sasono
sewoko berarti tempat untuk siniwaka atau duduk raja di kursi tahta
dihadap abdi dalem berpangkat tinggi. Pada masa Sinuhun Pakoe
Boewono IX, pisowanan diselenggarakan setiap Senin, dan Kamis.
Sedang, Pakoe Boewono XI melakukannya hanya pada hari Senin.
Dibangun tahun 1767 M (Wawu 1697), Sasono sewoko berdiri
di atas halaman inti keraton yang teduh oleh sejumlah tanaman pohon
sawo kecik, simbol dari "sarwo becik" atau serba baik.
Sasono sewoko yang sekarang merupakan hasil pembangunan
kembali setelah dalam kebakaran hebat 1985 lampau musnah menjadi
abu bersama bangsal utama lainnya.
d) Paningrat
Emperan atau teras yang mengelilingi Sasono sewoko dengan
lantai yang agak lebih rendah.
e) Pringgitan Parasdya
Berbentuk Joglo Kepuhan Jubungan, bangunan ini
menghubungkan Sasono sewoko dengan Dalem Agung Prabasuyasa.
Dari pringgitan inilah Sinuhun sering menonton pagelaran wayang kulit
yang digelar dalang-dalang keraton maupun gladi kesenian termasuk
latihan tari Bedaya Ketawang oleh putri-putri bedaya, terutama
42
menjelang upacara tinggalan-Jumenengan (upacara peringatan ulang
tahun kenaikan tahta).
f) Praba Suyasa
Berarsitektur Joglo Limasan Sinom Mangkurat, Dalem Ageng
Prabasuyasa terbagi menjadi 4 ruangan penting: Kamar Gading, Kamar
Ageng, Gedong Pusaka dan Prabasana.
Sebagai bagian paling utama dari keraton, Praba Suyasa
dibangun di atas berbagai jenis tumbal dan rajah serta inti dari segala
emas, perak, permata berlian, tembaga dan besi yang ditanam sebagai
alas lantai bangunan.
Tanah urug Praba Suyasa diambilkan dari Desa Talawangi dan
Sana Sewu yang pernah dicalonkan sebagai bakal keraton baru
penggant i Kartasura sebelum akhirnya memilih Desa Sala.
Pembatalan kedua daerah itu dilatarbelakangi oleh ramalan yang
mengatakan pembangunan keraton di Talawangi hanya mampu
bertahan 150 tahun. Sementara jika didirikan di Sana Sewu umur
keraton akan lebih singkat, sekitar 50 tahun.
Dengan memanfaatkan campuran tanah urug dari Talawangi
dan Sana Sewu, diharapkan usia Keraton Surakarta mampu mencapai
200 tahun.
g) Sasana Handrawina
Terletak tepat di samping Selatan Sasono sewoko. Bangunan
dhapur Limasan Klabang Nyander ini dibuat semasa pemerintahan
Sinuhun Pakoe boewono V sekitar tahun 1823.
Penyempurnaan dilakukan, oleh Pakoe Boewono X. Dinding
keliling ruangan digant i kaca, lantai mempergunakan marmer putih,
tiang soko ditinggikan dan plafon lama dibongkar digant i baru yang
berornamen. Sasana Handrawina merupakan tempat, perjamuan resmi
saat keraton menerima kunjungan tamu-tamu terhormat.
Sasana Handrawina yang sekarang merupakan hasil
43
pembangunan kembali Bangsal yang sama setelah terbakar habis pada
akhir Januari 1985. Selesai dibangun sesuai bentuk aslinya tanggal 19
Desember 1997 menghabiskan dana Rp 5,3 milyar bantuan dari
pemerintah dan 15 pengusaha nasional. Sasana Handrawina diformat
untuk penyelengararaan perjamuan modern dengan kelengkapan sistem
pendingin udara, pantry dan fasilitas lainnya.
h) Keputren
Kompleks tempat tinggal para isteri dan puteri-puteri raja.
Terletak di halaman belakang Praba Suyasa, Keputren terdiri dari dua
gedung, Panti Rukm i dan Pant i Astuti.
Keputren merupakan kawasan terlarang bagi pria. Dulu, dalam
kompleks ini dilengkapi dengan pasar yang para bakul atau penjualnya
terdiri atas para abdi dalem wanita.
i) Banon Cinawi
Sering pula disebut Tursinopuri. Bangunan ini dibuat Pakoe
Boewono X untuk tinggal 40 selirnya. Berbeda dengan Panti Rukmi
dan Panti Astuti yang masih dihuni dan terawat baik. Tursinopuri sudah
dalam kondisi rusak parah.
j) Keraton Kilen
Berada di Utara Keputren. Keraton kilen mempunyai art i
simbolis penyelamatan wahyu raja-raja Jawa.
Menjelang jatuhnya tempo ramalan akan habisnya Keraton
Kasunanan setelah berdiri selama 2 abad, Sinuhun Pakoe Boewono X
membangun istana baru, yakni Keraton Kilen, di Barat gunung..
Dengan kepindahan ini diharapkan Keraton Surakarta terbebaskan dari
ramalan tersebut. Gunung yang dimaksudkan dinamakan Junggring
Saloka adalah tanah yang ditimbun tinggi dibentuk mirip gunung,
lengkap ditanami berbagai jenis pohon menyerupai hutan yang
dibangun tepat di tengah memisahkan Praba Suyasa dengan Keraton
Kilen.
44
Keraton Kasunanan Surakarta telah diramalkan usianya hanya
200 tahun. Oleh karena itu, Susuhunan Pakoe Boewono X setelah
mendapat petunjuk gaib, mewiradati supaya Keraton Kasunanan
Surakarta dapat langgeng sepanjang masa dengan membuat Keraton
Kilen, ( Keraton yang berada di dalam keraton ). Untuk itu namanya ”
Keraton Kilen Hing Probosono ”. Makna simbolisme pada Probosono
yaitu memancarkan kesegaran yang alami sebagai alam tumbuh-
tumbuhan ( tetuwuhan ) terutama tanaman padi ( parisepuh/ hijau daun
padi tua ), warna hijau sebagai lambang kasih sayang atau kecintaan
antar keluarga raja dan cinta raja sebagai pengayoman rakyat atau
kawula yang merujuk pada makna dasar pertumbuhan suatu keturunan
keraton yang diharapkan akan memancarkan sinar secara alami yang
memiliki kekuatan dan keastian/ percaya diri secara seimbang. Pada
gilirannya, para raja yang kelak memimpin kerajaan diharapkan
memiliki ketegaran dan teguh pendirian dalam menjalankan cita-cita
luhur keraton ( wawancara : KGPH Poeger ).
Dalam Keraton Kilen Hing Probosono terdapat motif bunga
wijaya kusuma yang merupakan sumber kekuatan bagi keraton. Bunga
wijaya kusuma adalah sejenis pohon yang masih sekerabat dengan
Kolbanda. Bunga wijaya kusuma dipakai untuk penobatan raja dan
permaisuri raja yang sedang hamil sebagai sumber kekuatan dan
keharumannya. Apabila sedang mekar, dapat mencapai sepuluh meter
wanginya. Tanaman wijaya kusuma hanya terdapat di daerah tertentu
seperti Pulau Bali, Kepulauan Karimun Jawa, Pulau Nusakambangan,
Pulau Puteran ( dekat Madura ), dan Ambon
k) Argapura dan Argapeni
Dua bangunan kembar yang berdiri berjajar di Argasoka. taman
dalam keraton. Fungsi kedua bangunan ini sebagai tempat pemujaan.
Argapura dan Argapeni dianggap sebagai pengejawantahan
Krendhawahana, satu diantara pusat ''pedhanyangan" (kerajaan
makhluk halus) di 4 kiblat (arah mata angin) yang diagungkan
45
Keraton Surakarta.
l) Bandegan
Bandengan merupakan tempat meditasi dan shalat raja.
Bangunan ini terletak di tengah sebuah kolam. Di sisi Barat
Bandengan terdapat semacam cungkup untuk menyimpan Kiai Pamor,
pecahan batu meteorit yang pernah jatuh di sekitar Prambanan semasa.
Pakoe Boewono X. agak di sebelah Selatan terdapat pershalatan, juga
tempat shalat tahajud dan shalat hajat raja yang berbentuk bangunan
terbuka berlantai tinggi.
m) Masjid Pudyasono
Didirikan tahun 1912 M, masjid yang terletak di bagian dalam
kompleks keraton ini khusus dipergunakan shalat sehari-hari raja serta
keluarganya. Di masjid ini pula jenazah raja dan permaisuri yang
mangkat disucikan sebelum dimakamkan.
n) Madusuko
Tempat tinggal Sinuhun Pakoe Boewono X.
o) Langen Katong
Bangunan bert ingkat bekas rumah pribadi Pakoe Boewono II.
Salah satu ruangan di lantai atas dinamakan Sanagar Wewarungan
yang dipakai Sinuhun melihat perang.
p) Bangsal Puspan
Terdiri dari dua bangunan bersebelahan, tempat abdi dalem
yang khusus melayani raja saat berada di Madusuko.
q) Sasana Hadi
Didirikan oleh Pakoe Boewono IX ketika masih menjadi putra
mahkota.4 Gedung ini dilengkapi pendapa yang disebut Parankarsa.
Sinuhun Pakoe Boewono X menambahkan sebuah pintu dinamakan
Kori Talangpaten menghadap ke Utara arah garasi kereta. Sekarang,
Sasana Hadi merupakan tempat tinggal resmi Sinuhun Pakoe
46
Boewono XII
r) Wismayana
Bangsal yang awalnya dipakai sebagai kantor pengawas
keuangan keraton
s) Sasana Dayinta
Dibangun Sinuhun Pakoe Boewono IX sebagai rumah tinggal
resmi. Semasa Pakoe Boewono X gedung ini dijadikan kediaman
permaisurinya, Gusti Kangjeng Ratu Hemas, sehingga disebut pula
Gedung Kemasan. Nama ini berubah lagi menjadi Dalem Paku
Buwanan, karena dipakai sebagai tempat tinggal Gusti Kangjeng Ratu
Pakoe Boewono, permaisuri Sinuhun Pakoe Boewono XI.
Selain bangunan-bangunan di atas, masih terdapat sejumlah besar
bangsal atau gedung lainnya yang berada dalam kawasan keraton.
Diantaranya yang penting adalah:
(1) Kadipaten Anom
Semacam istana kecil khusus bagi calon pewaris tahta. Gedung di
sebelah Timur Sasono sewoko yang dibatasi pagar tembok pemisah
dengan halaman dalam keraton ini, sekarang beralih fungsi menjadi art
galeri yang terbuka untuk kunjungan wisatawan domestik maupun
asing.
(2) Sasana Prabu
Gedung kantor raja.
(3) Bangsal Pradangga
Tempat menabuh gamelan saat berlangsung upacara resmi Keraton.
(4) Bale Kretarta
Kantor Keuangan Keraton.
(5) Bale Sitaradya
Kantor Pangageng Parentah Keraton.
(6) Bangsal Mandrasana
Kantor Administrasi Inventaris Keraton.
47
(7) Bale Karta
(8) Karyabaksana
(9) Sasana Wilapa
Kantor Sekretariat yang membuat surat dari raja dan mengurus surat-
surat masuk ke keraton.
(10) Nguntarasana
Tempat transit para pangeran dan abdi dalem sebelum diperkenankan
naik menghadap di Sasono sewoko.
(11) Bale Drawisana
Tempat menyiapkan minuman untuk perjamuan.
(12) Panti W ardaya
Kantor Perbendaharaan.
(13) Sasana Pustaka
Gedung perpustakaan keraton.
(14) Gandarasan
Rumah abdi dalem Gandarasa, ahli membuat sesaji serta tumbal.
(15) Kori Gadung Mlathi
Pintu di kompleks Magangan yang menghubungkan keraton dengan
alun-alun Kidul atau Selatan. Kemudian Reksa Wahana, Amongraras,
Marta Reksa Cangkrama, Gedung Reksa Panjuta, Gedung Joli, Gedung
Langen Taya, Gedung Bekakas, Gedung Duryareka, Kori Srimangant i
Kidul, Pendapa Pamagangan, Gedhong Cebolan, Gedhong Magasen,
(tempat penyimpanan senjata-senjata api prajurit keraton). Di luar
cepuri atau bangunan inti keraton namun masih dalam kawasan
Baluwarti bertebaran bangunan-bangunan pendukung kelengkapan
keraton, antara lain :
(a) Gedong Kereta
Berupa dua bangunan berjajar memanjang. Satu diantaranya
sekarang telah berubah menjadi human. Sedang gedung satunya
masih berfungsi sebagai bangsal penyimpanan kereta. Sedikitnya
keraton memiliki 9 kereta yang masing-masing dipergunakan untuk
48
kepentingan berbeda. Nama kereta-kereta itu adalah:
1. Kiai Garudha Kencana
Dipakai kirab raja seusai penobatan t ahta.
2. Kiai Garudha Putra
Kereta jemputan bagi tamu agung.
3. Kiai Manik Kumala
Dipergunakan raja saat memeriksa barisan atau parade prajurit
keraton.
4. Kiai Retna Juwita
Kereta untuk petinggi keraton yangg mewakili raja ketika
menghadiri undangan perjamuan.
5. Kiai Siswanda
Kereta jemputan bagi putra sentana.
6. Kiai Mara Seba
Kereta jemputan bagi pejabat pent ing.
7. Kiai Retna Sewaka
Kereta untuk melayat.
8. Kiai Raja Peni
9. Kiai Retna Pambagya
(b) Kestalan
Berasal dari kata istal. Bangsal ini merupakan kediaman abdi
dalem.
(c) Sasana Mulya
Bangunan berbentuk joglo dengan topengan di bagian depan ini
dipakai sebagai tempat penyelenggaraan perhelatan. Persemayaman
jenazah bangsawan dan resepsi pengant in keraton berlangsung di
tempat ini.
Sasana Mulya sempat beralih fungsi saat dipinjam sebagai kampus
49
Akademi Seni Karawitan Indonesia (ASKI) kini Sekolah Tinggi
Seni Indonesia (STSI) Surakarta, antara 1967-1980.
(d) Suryoham ijayan
Tempat tinggal Pangeran Suryohamijoyo, putra Sinuhun Pakoe
Boewono X. Rumah pribadi berpekarangan sangat luas ini dulu
pernah direncanakan menjadi lokasi hotel Argosonya yang dibiayai
dengan dana rampasan perang dari Jepang. namun, proyek itu tak
pernah terealisasikan tanpa alasan jelas. Sementara proyek serupa
yang dijatahkan kepada Kasultanan Yogyakarta berlangsung mulus
dalam bentuk pembangunan Hotel Ambarukm a.
(e) Mangkubumen
Rumah Kangjeng Gusti Pangeran Haryo Mangkubumi, sulung
Pakoe boewono XI. Kondisinya kini rusak parah tak terawat.
(f) Bratadiningratan
Lebih dikenal sebagai Bratan, kediaman Kangjeng Raden Mas
Tumenggung Bratadiningrat yang kemudian kepemilikannya jatuh
ke tangan Kangjeng Raden Mas Haryo Purwohamijoyo, putra
almarhum Soedjonohumardani, menantu Sinuhun Pakoe Boewono
XII.
Selain itu masih terdapat sejumlah rumah sejenis di antaranya:
Pakuningratan, Cokrodiningratan, Suryoputran, Ngabean,
Wiryodiningratan, Purwodiningratan, Mlayakusuman. Di luar
kawasan Baluwarti masih banyak aset keraton. Bangunan-
bangunan yang bertebaran sampai di berbagai daerah ini rata-rata
sudah beralih ke tangan pemerintah. antara lain:
a. Kebon Raja atau Taman Sriwedari .
b. Stadion Sriwedari, dibangun semasa Pakoe Boewono X.
c. Perpustakaan Radya Pustaka, dikelola oleh sebuah yayasan
Paheman Radya Pustaka.
d. Pasanggrahan Langenharjo, Madegondo, Parangjoro,
50
Tegalgondo, Pengging, Pracim oharjo dan Indromarto yang
kesemuanya berada di Kabupaten Sukoharjo serta Boyolali.
c. Kom pleks Alun-alun Selatan
Orang umumnva menganggap Alun-alun Selatan atau Kidul merupakan
halaman belakang keraton. Tetapi sesungguhny a adalah halaman depan.
Menurut konsep Jawa, kiblat sebuah rumah ditentukan oleh arah
menghadap rumah tersebut. Dalam kaitan ini, Dalem Ageng PrabaSuyasa
sebagai pusat dari seluruh bangunan keraton, jelas menghadap ke arah selatan
dengan demikian alun-alun Selatan dapat disimpulkan sebagai halaman depan.
"Kiai Tumenggung Wiraguna dumugi Alun-alun pengkeran lajeng nyengkal
masjid ageng, beteng dalah sadaya griyanipun Kumpeni... "
Artinya, Kiai Tumenggung Wiraguna setelah sampai di alun-alun belakang
lalu mengukur masjid besar, beteng serta loji-loji rumah Kumpeni.
Padahal keseluruhan bangunan itu tidak terletak di alun-alun Selatan,
melainkan berada di kawasan alun-alun Utara. Namun, ditilik dari ragam dan
kualitasnya, bangunan yang terdapat di alun-alun Selatan memang lebih sedikit
dan sederhana dibandingkan dengan yang ada di alun-alun Utara.
Bangunan atau bangsal-bangsal itu antara lain:
1) Siti Hinggi l Kidul
2) Lumbung Silayur
Terletak di kanan dan kiri dibalik tembok pagar Siti Hinggil.
3) Ringin Kurung
Berupa dua pohon beringin di tengah alun-alun yang masing-masing
ditanam dalam pagar besi.
4) Kandang Gajah
Kini telah berubah menjadi perkampungan padat yang disebut Kampung
Gajahan.
5) Gapura Gading
51
Gapura Gading mengandung nilai penting karena menghubungkan keraton
dengan arah Selatan yang mistis. Gerbang ini juga dinamakan Gapurendra,
dari asal kata Gapura (gerbang) dan Narendra (raja). Pada bagian atas
Gapura Gading, terpahat relief timbul Radyalaksana, simbul kebesaran
Keraton Kasunanan Surakarta yang dibuat atas perintah Sinuhun Pakoe
Boewono X.
Bentuk dan Arti Radyalaksana
Lambang Radyalaksana berbentuk elips atau oval mirip perisai berdiri
berwarna biru dengan garis tepi emas. Di luar perisai melingkar gambar padi
dan kapas yang gagang bawahnya dijalin sebuah pita merah putih. Sedang pada
bagian atasnya berhiaskan mahkota raja atau topong.
Dibagian dalam perisai sisi bawah terdapat gambar bola dunia (Jawa:
Boewono) serta sebuah paku besar yang menancap di tengahnya. Sementara di
atasnya terlukis matanari yang tengahnya bersinar, bulan sabit serta sebuah
bintang yang membentuk sudut segitiga. Ketiga benda alam ini melambangkan
arti raja-raja Keraton Kasunanan Surakarta merupakan persatuan darah dari 3
putra Pakoe Boewono I di Kartasura, yakni Pangeran Suryaputra
(surya=matahari), Raden Mas Gusti Sasangka (bintang) dan Raden Mas Gusti
Sudama (bulan).
Sepeninggal Paku Boewono I tahta Kartasura jatuh ke tangan putra
sulungnya. Pangeran Suryaputra yang kemudian begelar Sinuhun Amangkurat
IV yang terkenal disebut Amangkurat Jawi. Setelah wafat ia digant ikan
putranya Sinuhun Pakoe Boewono II.
Raden Mas Gusti Sasangka yang kemudian bergelar Gusti Panembahan
Purbaya antara lain mempunyai Putri Raden Ajeng Suwiyah, yang kemudian
diambil istri Sinuhun Pakoe Boewono III. Sampai pada tataran ini berart i
keturunan Surya Putra telah menyatu dengan Sasongko. Sementara Raden Mas
Gusti Sudoma kemudian diwisuda menjadi Kanjeng Gusti Pangeran Harjo.
Balitar mempunyai seorang putri bernama Raden Ajeng Wulan yang
diperisteri Kangjeng Gusti Pangeran Arya Mangkunagara, putra tertua Sinuhun
52
Amangkurat Jawi. Dari pernikahan ini lahir Raden Mas Sahid alias
Sambernyawa kelak menjadi Kanjeng Gusti Pangeran Arya Adipati
Mangkunagara I.
Dalam perkawinannya dengan seorang wanita asal Desa Nglaroh, Raden
Ayu Sepuh, Mangkunagara I memperoleh putra Kanjeng Pangeran Harya
Prabuwijaya. Setelah dewasa Prabuwijaya menikah dengan Kanjeng Ratu Alit,
putri Pakoe Boewono III, menurunkan putra Mangkunagara II.
Mangkunagara II menyunting putri Adipati Sindureja, mempunyai putra
Kangjeng Pengeran Haryo Hadiwijaya, yang kemudian kawin dengan putri
Pakoe Boewono VIII, Kanjeng Ratu Bendara. Dari pernikahannya ini
Mengkunagara II memperoleh putri Raden Ajeng Kustiyah. Setelah dewasa
Kustiyah dipermaisuri Pakoe Boewono IX dan melahirkan putra Sinuhun
Pakoe Boewono X. Setelah berproses selama 10 generasi inilah darah
keturunan matahari, bulan dan bintang bertemu pada Pakoe Boewono X,
sebagaimana yang tergambar dalam lambang Radyalaksana.
2. Makna Filosofis
Rangkaian dan tata letak bangunan-bangunan jelas menunjukkan adanya
pemisahan antara keraton dengan dunia luar. Selain itu setiap pembagian ruangan
terkesan diorentasikan ke satu titik tahta raja.
Struktur semacam itu mengartikan keraton dianggap sebagai pusat
mikrokosmos tempat pulung atau wahyu keraton bersemayam. Sedang pulung
mengandung makna prinsip kekuasaan dari wangsa yang sedang memerintah,
yang keberadaannya memancarkan pengaruh ke segenap penjuru.
Dalam art i lain keraton dimitoskan sebagai orde kosmis sumber kekuatan
sakral transendental yang berperan menjadi penghubung dengan makrokosmos.
Mitos ini menuntut untuk senant iasa diaktualisasikan dalam bentuk ritual sebagai
perilaku simbolis yang terwujudkan dalam berbagai ragam dan jenis kebudayaan.
Mitologisasi dan ritualisasi ini pada gilirannya akan menempatkan keraton sebagai
pusat keselarasan antara mikro dengan makrokosmos.
53
Untuk mencapai tingkat tersebut jenjang kom unitas menjadi unsur
menentukan. Penghayatan akan nilai-nilai kedudukan raja, alat-alat upacara,
regalia serta pusaka-pusaka bukan saja perlu ditanamkan. Terlebih juga menuntut
untuk dilembagakan.
Ragam kesenian dan budaya yang faktual bisa ditemukan dalam daerah
persebaran yang luas setidaknya membuktikan sejauh mana keraton telah berhasil
membumikan aspek etis, estetis maupun ide-ide kebudayaannya dalam kehidupan
masyarakat luas.
Tata letak bangunan Keraton Surakarta dilandasi oleh konsep spiritual
kosmogoni yang sudah lama dikenal masyarakat Jawa sejak masa pra-Islam. Int i
dari konsep ini ialah kepercayaan adanya keselarasan antara jagad kecil
(mikrokosmos berarti dunia manusia) dan jagad besar (makrokosmos berarti alam
semesta).''
Kosmogoni menurut paham Hindu lebih dipertegas lagi dalam pengertian
raja sebagai titisan dewa-dewa penguasa mikrokosmos. Kemudian serta
ketentraman dunia dapat dicapai dengan cara menyelaraskan keadaan yakni
menyusun keraton sebagai gambaran dari alam semesta dalam bentuk kecil.
Karenanya, istana secara fisik diarahkan untuk memenuhi konsep kosmogoni.
Nilai-nilai keselarasan antara mikro dengan makrokosmos tersebut
banyak yang kemudian dijabarkan dalam pembagian wilayah, ragam hias maupun
bentuk-bentuk bangunan. Menurut pandangan tradisi masyarakat Jawa, Bangsal
Srimangant i, misalnya, diibaratkan jalan menuju surga. Sebab itu, segala bentuk
nafsu duniawi harus ditanagalkan sebelum orang masuk ke dalam keraton.
Sementara menilik perbedaan seni bangun dan seni hias bangsal-bangsal
di bagian Utara dibandingkan yang di Selatan menyimpulkan sikap seorang raja
yang mendahulukan kepentingan umum. Ini selaras dengan bangunan-bangunan
di alun-alun Utara yang rata-rata lebih megah karena berfungsi sebagai tempat
penyelenggaraan upacara bagi masyarakat. Sedang bangsal-bangsal yang berada
di alun-alun Selatan lebih bersifat untuk memenuhi kepentingan keraton.
Secara skematis halaman dan bangunan yang terdapat di dalam kompleks
keraton merupakan gambaran mikrokosmos. Pintu-pintu gerbang tak lain adalah
54
gambaran dari benua, sedang halaman-halamannya menyimbolkan lautan.
Gambaran Meru atau puncak gunung dalam konsep Hindu dengan istana
dewa diwakili oleh Dalem Ageng Praba Suyasa. Tempat tinggal raja ini
merupakan gedung paling sakral di antara bangunan-bangunan lain dalam
kom pleks keraton, karena dianggap sebagai pusat spiritual dan kekuatan magis
kerajaan.
Nama-nama bangunan di sekitar Probo Suyoso juga disesuaikan dengan
nama-nama pada pusat kosmos seperti : Junggring Saloka, tak lain adalah istana
para dewa dipuncak Meru.
Bangunan-bangunan yang terdapat di halaman keraton penataannya
berderet ke Utara-Selatan dan Timur-Barat. Bangunan utama yang berada di
tengah diwakili Praba Suyasa, Sasono Sewoko dan Sasana Handrawina. Sisi
Timur diwakili Kadipaten dan bagian Barat oleh Keputren.
Struktur penataan bangunan yang sedimikian ini, lebih banyak
dipengaruhi unsur kepercayaan Jawa dari masa Majapahit. Sesuai mitos, Timur
dianggap arah yang paling tua. Arah ini menempati posisi pent ing, karena
berkaitan dengan Dewa Matahari, lambang awal kehidupan.
Titik sentrum dari seluruh rangkaian bangunan dalam kompleks keraton
adalah Panggung Sangga Buwana. Bangunan berbentuk menara ini membagi
keraton menjadi imbangan dua kekuatan kehidupan dunia-akhirat.
Sisi kiri Sangga Buwana mewakili konsep rohani hablum inallah. Sebaliknya
sebelah kanan panggung melambangkan aktivitas duniawi habluminannas. Itu
sebabnya keraton membangun tempat-tempat peribadatan keagamaan selalu di
sebelah Barat . Sedang sisi Timur merupakan kawasan pengembangan
perekonomian, seperti pasar, pertokoan dan sebagainya.
3. Adat Keagam aan
Masih ada sejumlah upacara adat keraton yang terkait erat dengan
keagamaan, dalam hal ini agama Islam. Tradisi ini merupakan warisan sistem
syiar Islam yang dilakukan Wali Songo dan juga Sultan Agung. Menurut sejarah.
Islamisasi di tanah Jawa diawali setelah runtuhnya kerajaan Majapahit (1518 M)
55
dan sejak berdirinya Keraton Demak di bawah kekuasaan Raden Patah.
Melalui peran Wali Songo Islamisasi berlangsung interaktif antara
kebudayaan keraton dengan Islam. Para pujangga menyebutnya era ini sebagai
masa peralihan dari zaman Kabudan (tradisi Hindu, Budha) ke zaman Kewalen
(jaman para wali/Islam). Peralihan disini tidak bermakna sebagai pembuangan dan
pergant ian tradisi, melainkan peng-Islaman seni budaya warisan Hindu-Budha.
Seni budaya nenek moyang yang adiluhung diberi warna Islam.
Jadi sejak kerajaan Islam pertama di tanah Jawa berdiri abad ke-16 M,
telah terjadi proses akulturasi kebudayaan istana yang bersifat Hindu-Jawa dengan
kebudayaan Islam. Proses itu merupakan Islamisasi budaya istana. Ada empat
pert imbangan yang melatar belakangi terjadinya proses Islamisasi tradisi lama di
antaranya disebutkan warisan budaya istana yang dinilai amat halus, adiluhung
serta kaya pada zaman Islam tentu bisa dipertahankan dan di masyarakatkan
apabila dipadukan dengan unsur-unsur islam.Kemudian pihak istana sendiri
sebagai pendukung dan pelindung agama merasa perlu mengulurkan tangan untuk
menyemarakkan syiar Islam.
Wayang sebagai salah satu produk kebudayaan istana yang berbau unsur
Hinduisme tidak harus dibuang. Wayang oleh Walisongo tetap dimanfaatkan
secara opt imal dalam kegiatan dakwah. Islamisasi wayang ini terlihat dengan
masuknya jimat layang kalimosodho (kalimat syahadad) yang dijadikan pusaka
Kerajaan Amarta (Pandawa). Jimat ini merupakan pemikiran dalam memberikan
legalitas Syahadat pada pewayangan yang jelas-jelas menjadi inti dari kebudayaan
Keraton.
Kreasi para wali dalam bidang pewayangan juga menghasilkan
perlengkapan-perlengkapan kelir (layar) yang melambangkan langit serta alam
semesta. Kemudian debog (batang pisang) yang disimbolkan sebagai bumi,
balencong (pelita besar) yang melambangkan matahari dan dalang perlambang
cara Tuhan mengatur makhluk-Nya.Disamping Sunan Kalijaga juga memberikan
warna Islam, terhadap bentuk dan karakter para tokohnya sehingga tidak
bertentangan dengan Islam. Sementara Sunan Bonang membuat detail dan bagian
seperti hutan dengan aneka margasatwanya yang melambangkan makhluk Tuhan.
56
Begitupun Raden Fatah Sultan Demak m enciptakan gunungannya.
Kerja kolekt if para wali itu akhirnya melahirkan permainan yang
bermutu dan menarik. Tujuannya tak lain untuk mendidik dan mengajarkan secara
tidak langsung nilai-nilai keislaman khususnya mengenai tarekat dan mistik
kepada orang Jawa yang menggemari wayang.
Sementara Sunan Giri juga melakukan terobosan yang sangat berart i. Ia
mengarang kitab ilmu falak yang disesuaikan dengan alam dan disesuaikan
dengan pikiran orang Jawa. Kitab ini dapat dijumpai di museum Radya Pustaka
Solo, suatu kitab yang digubah Pujangga Ranggawarsita berdasarkan hasil-hasil
buah pikiran Sunan Giri II dengan nama kitab atau serat Widya Praddana.
Dalam Widya Praddana dapat dijumpai ilmu falak sebagai astronomi dan
memuat penanggalan atau almanak yang berlaku bagi orang Jawa didasarkan atas
prinsip-prinsip ilmu falak Islam, antara lain meliputi nama-nama hari, tanggal,
tahun, windu dan sebagainya. Dari istilah-istilah Hindu Budha, diubah menjadi
istilah Islam. Selain memugar aspek kebudayaan, tindakan ini menunjukkan suatu
proses Islamisasi.
Disamping itu dikarang juga ilmu falak sebagai astrologi sepert i
perhitungan nasib, kitab tentang naas atau apes, nasib malang atau keburuntungan
dengan nama nujum atau ramal dan kitab ilmu Firasat. Masih banyak lagi kreasi
Walisongo yang menjadi wasilah (penghubung) mengislamkan tanah Jawa.
Misalnya, mengadakan upacara tradisi guna memeriahkan peringatan-peringatan
hari besar Islam. Peringatan tersebut dikemas secara kreatif sehingga menarik
perhatian banyak orang.
a. Sekaten
Sekaten.adalah salah satu upacara tradisi peringatan hari besar Islam
karya Walisongo yang hingga kini masih menarik perhatian masyarakat. Sekaten
diselenggarakan untuk menyambut peringatan lahirnya Nabi Muhammaad Saw
yang jatuh pada tanggal 12 Rabbingul-awal (Robiul Awal). Upacara adat
keagamaan tahunan ini dipusatkan di Masjid Agung dari tanggal 5 sampai dengan
12 Rabbingul awal.
57
Sekaten berdasarkan tafsir etika moral berasal dari kata `sekat i' yang
memiliki arti setara di dalam menimbang hal baik atau buruk. Sedangkan
berdasarkan tafsir ketaukhidan, berasal dari kata: Syahadatain yakni meyakini
kebenaran perkara dua: yakin kepada Allah SWT (Syahadat Taukhid) serta yakin
dan percava kepada Nabi Muhammad sebagai utusan Allah (Syahadat Rassul)
Upacara sekaten diawali dengan prosesi turunnya dua perangkat gamelan
dari Keraton menuju halaman Masjid Agung. Dua perangkat pusaka gamelan
bernama Kiai Guntur Madu dan Kiai Guntur Sari ini melambangkan kalimat
syahadatain (dua kalimat sahadat). Kiai Guntur Madu di sebelah Selatan yang
ditabuh pertama melambangkan Syahadat Taukhid, sedangkan Kiai Guntur Sari
yang berada di bagian Utara sebagai Syahadat Rassul.
Itulah kreasi peninggalan Walisongo dalam melakukan Islamisasi di
tanah Jawa. Mereka tetap mempertahankan unsur-unsur kebudayaan peninggalan
lama untuk kepentingan masing-masing dua perangkat gamelan di atas juga
mengandung makna Islam. Rambu berasal dari kata arab Rabbuna (Allah
Pangeranku) sedangkan rangkung atau Roukhun jika diartikan menjadi jiwa besar
atau jiwa agung.
Saat pertama gending Rambu akan ditabuh seusai sholat Ashar tanggal 5
Rabbingulawal (Maulud), banyak ibu-ibu yang berduyun-duyun masuk ke
halaman masjid Agung guna mendekati gamelan. Mereka ingin mendengarkan
langsung gending pembuka sembari makan sirih. Karena di kaalangan masyarakat
sejak lama beredar kepercayaan siapa yang makan sirih saat gamelan Sekaten
diperdengarkan bakal awet muda. Begitu pun petani yang membeli pecut
(cambuk) ternaknya akan cepat berkembang. Dari kepercayaan itu akhirnya
turunnya gamelan selalu diikuti datangnya para penjual sirih, pecut dan makanan
khas tradisional nasi liwet, telur asin, wedang ronde dan sebagainya.
Dengan daya tarik perayaan sekaten di atas, masyarakat mau berduyun-
duyun menuju masjid kemudian mengerti hari besar Islam khususnya kelahiran
Rasulullah Saw. Bahkan ada pula yang langsung bisa mengucapkan dua kalimat
Syahadat. sebagai ikrar dirinya memeluk agama Islam. Asyhadu an laa ilaaha
illallah, wa asyhadu anna Muhammadarrasulullah (Tidak ada Tuhan kecuali
58
Allah dan Muhammad Rasul utusan Allah).
Itulah strategi Walisongo dalam melakukan Islamisasi. Perjuangan
dakwahnya terhadap masyarakat Jawa yang masih tebal rasa Syiwa dan
Budhanya. tidak sekaligus membanjiri Islam dalam format keakraban, melainkan
memberikan keislaman dalam kemasan tradisi Jawa yang banyak dipengaruhi
Hindu dan Budha semuanya tentu dilakukan tetap berdasarkan hukum ketentuan
Sunatullah yang telah digariskan dalam Alquran.
b. Grebeg
Setelah sekaten berlangsung tujuh hari, sebagai acara penutup diadakan
upacara grebeg, sedekah makanan dari Sinuhun Pakoe Boewono. Upacara ini juga
sering disebut ‘Gunungan’, karena sejumlah makanan disajikan dalam bentuk
gunung. Secara rinci Kangjeng Gusti Pangeran Haryo Hadiwijaya menguraikan
bahwa gunungan terdiri 24 jodang (usungan tempat makanan) besar yang terbagi
12 jodang gunungan laki-laki dan 12 lainnya jodang gunungan perempuan. Selain
itu juga diselingi anak-anak (saradan) dan 24 ancak-catoka (jodang ukuran kecil).
Gunungan laki-laki berbentuk tumpengan, mengerucut setinggi melebihi
orang berdiri. Dipuncaknya dihias ento-ento (sejenis makanan yang berbentuk
bulat) sebanyak 4 buah dan diatasnya lagi satu buah. Ini melambangkan
manunggalnya rasa sejati. Kemudian pada puncaknya ditancapkan bendera kecil
gulo-klopo (merah putih) yang melambangkan laki-laki perempuan.
Sedangkan gunungan perempuan bentuknya seperti gender (instrumen
gamelan), karenanya juga disebut ‘gegenderan’. Segala sesuatunya tak beda
dengan gunungan laki-laki.
Prosesi ‘Gunungan’ dari keraton menuju masjid Agung dipimpin patih
dengan diiringi pembesar keraton. Dalam memimpin prosesi ini patih selalu
tampil tegap dan berwibawa, menghindar dari segala pandangan yang
mengganggu pelaksanaan hajat raja. Dan untuk menguji iman di depannya
ditampilkan tarian lucu “cantang balung”. Tarian yang dulu dilakukan para
Brahmana ini memang sengaja untuk menguji, jika tertawa pertanda masih dapat
tergoda.
59
Formasi iring-iringan Gunungan dari halaman Kamandungan menuju
masjid, yang paling depan Gunungan laki-laki diikuti anak-anak dan Gunungan
perempuan. Berikutnya adalah acak catoka dalam formasi berjajar dua-dua diapit
abdi dalem diiringi gending Munggang, sedangkan pada rombongan ancak-
cantoka gending Kodok Ngorek.
Sesampainya Gunungan di serambi masjid Agung dibacakan doa oleh
Kiai Penghulu Tapsiranom. Setelah itu Gunungan dan tumpeng sewu dibagi-
bagikan kepada semua hadirin termasuk dikirim kepada Sinuhun. Namun karena
banyak pengunjung yang ingin mendapatkan tuah dari berkat hajad Raja tersebut,
seringkali abdi dalem kewalahan membendung serbuan orang yang berebut
makanan.
Sebagai pendukung dan pelindung agama keraton wajib menyemarakkan
syiar Islam. Para Sunan/Sultan senantiasa rasa sejati berusaha menyelaraskan
lingkungan budaya dengan membangun berbagai sarana, baik yang bersifat
struktural maupun kultural demi tercapainya syiar Islam. Sehinga sejak zaman
Demak telah bermunculan upacara-upacara keagamaan sepert i sekaten, Grebeg
Maulud. Grebeg Syawal. Dalam setahun Keraton setidaknva melangsungkan tiga
kali Grebeg dan yang paling besar Grebeg Maulud. Apalagi bertepatan dengan
tahun Dal Grebeg dirayakan secara besar-besaran.
c. Malam Selikuran
Bulan Puasa juga tak luput dari perhatian Keraton. Bulan suci Ramadan
adalah bulan yang mulia yang penuh berkah. Di dalam Al Qur’an telah ditegaskan
bahwa dalam bulan ini terdapat satu malam yang amat utama yang disebut Malam
Lailatul Qadar atau malam kemuliaan.
"Sesungguhnya Kami telah menurunkan (A1 Quran) pada malam kemuliaan. Dan tahukah engkau apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan ijin Allah untuk mengatur segala urusan. Malam itu penuh kesejahteraan sampai terbit fajar." (QS Al Qadar 1-5)
60
Surat Al Qodar tersebut secara jelas menunjukkan keistimewaan Lailatul
Qodar. Keistimewaan pertama. malam diturunkannya kitab Al Quran. Kedua,
malam penuh berkat, di mana ibadah yang dilakukan pada malam itu mendapat
gangjaran jauh lebih besar dari ibadah yang dikerjakan selama seribu bulan.
Ketiga, pada malam itu malaikat-malaikat dan rahmat bertebaran di muka bumi.
Keempat, sepanjang malam sampai terbit fajar penuh diliputi kedamaian.
kebahagiaan dan kenikmatan.
Malam Lailatul Qodar baik untuk beribadah dan memanjatkan doa
meminta kepada Allah SWT tentang hajat yang didambakan. Rasulullah Saw.
menganjurkan kepada umat Islam agar menyambut dan menghidupkan malam
Lailatul Qodar di penghujung bulan. atau sepuluh hari terakhir dari bulan
Ramadhan. Karena itu pula Sinuhun Pakoe Boewono yang juga mendapat sebutan
Waliyullah dengah gelar Sayidin Panatagama (kerabat nabi penata agama Islam)
memiliki tradisi Malam Selikuran (Malam 21). Sebuah tradisi peninggalan Wali
Sanga untuk menyambut turunnya wahyu A1 Quran.
Tradisi itu diawali dengan pisowanan patih dan seluruh bawahannya
serta abdi dalem penghulu, penasehat urusan agama Islam, kepada Sinuhun di
Pagelaran Sasana Sumawa pada malam 21 mengadakan acara hajatan Maleman
yang lebih sering disebut selamatan “Rosulan”. Acara makan bersama ini sebagai
tanda syukur kepada Allah atas rohmat dan anugerah yang telah diturunkan
kepada Rosulullah Saw. Jenis makanan yang dihidangkan yakni nasi uduk
lengkap dengan lauknya serta sejumlah panganan Baladan. Disebut demikian
karena dibuat di kampung Baladan tepatnya dibarat masjid Agung sisi Selatan.
Jenis panganan yang dibuat setahun sekali itu diantaranya kuping gajah dan kue
kembang jambu.
Seperti yang telah dianjurkan Rasulullah Saw, upacara adat menyambut
turunnya Lailatul Qodar masih berlanjut setiap malam ganjil. Untuk malam 23
khusus bagi putra-putri dan sentana, kemudian malam 25 jadwal untuk patih,
malam 27 kembali untuk putra-putri dan kerabat sedangkan m alam ganjil terakhir
29 seluruh rakyat. Selama itu tempat tinggal sentana maupun gapura keraton
diberi tambahan lampu penerang.
61
Anak-anak pun menyambut dengan suka ria. Mereka berjalan beriringan
menuju taman Sriwedari dengan membawa lampu minyak yang disebut “ting”
pawai thing-thing. Untuk lebih menyemarakkan acara di taman Sriwedari dibuat
keramaian pasar malam. Pasar malam itu hingga sekarang masih berlanjut dan
oleh Dinas Pariwisata Pemerintah Daerah Tingkat II Surakarta diberi nama Pekan
Pariwisata Maleman Sriwedari (PPMS)
Perubahan nama menjadi (PPMS) tak lain untuk menarik minat
pemasang stand, pedagang maupun penonton. Melalui tradisi tahunan ini Pemda
dapat meraup pemasukan lumayan. Sehingga untuk lebih menarik perhatian
masyarakat. Dinas Pariwisata bersamaan pihak keraton juga menggarap
prosesinya Perjalanan dari Keraton Kasunanan hingga Sriwedari dikemas
sedemikian rupa sehingga menarik sebagai suguhan wisatawan salah satu upaya
yang ditempuh dalam meningkatkan penampilan adalah dengan mengadakan
lomba ting, lentera yang dihias kertas warna-warni.
d. Peringatan 1 Suro/1 Muharam
Tradisi 1 Suro adalah perpaduan antara warisan nenek moyang Jawa dan
Hindu. Kemudian keduanya dijalin dengan unsur Islam. Warna Islam merasuki
tradisi pergant ian tahun (tanggap warsa), setelah Sultan Agung Anyakrakusuma
bertahta sebagai raja Mataram. Raja yang terkenal patuh kepada agama Islam ini
mengubah kalender Saka (perpaduan Jawa-Hindu) menjadi kalender Sultan
Agung.
Perhitungan kalender Sultan Agung berlandaskan sistem Komariah
(perjalanan rembulan mengitari bumi) sepert i halnya yang diikuti kalender
Hijriyah atau kalender Islam. Sedangkan perhitungan kalender Saka mengikuti
sistem solar atau Syamsiyah (perjalanan matahari mengitari bumi). Meski
perhitungannya berbeda, tapi Sultan Agung dalam memberlakukan kalendernya
melanjutkan angka tahun Saka. Perubahan ini dimulai dengan 1 Sura tahun Alip
1555 yang bertepatan tanggal 1 Muharam tahun 1043 Hijriyah atau 8 Juli 1633.
Kebiiakan Sultan Agung diatas di antaranya bermaksud untuk
memperluas pengaruh agama Islam. Karena awal tahun baru Islam
62
perhitungannya dimulai saat hijrah Nabi Muhammad Saw dari Makkah ke
Madinah. Sultan Agung merasa perlu menyesuaikan dengan kalender Hijriyah,
agar hari-hari raya Islam (Mau1id Nabi, Idul Fitri, Idul Adha) yang dirayakan
Keraton dengan acara Grebeg dapat dilaksanakan pada hari dan tanggal yang
sesuai dengan kalender Hijriyah.
Memperingati 1 SuroTahun Baru Jawa dengan demikian merupakan
peringatan yang Islami yakni mengenang kembali hijrah Nabi Muhamm ad Saw.
Dalam bulan Suro/Muharam terdapat hari yang disebut Asyura, yang berasal dari
kata Arab berarti hari kesepuluh atau tanggal 10 bulan Muharam. Pada hari
kesepuluh ini umat Islam disunatkan berpuasa. Dalam hadits yang diriwayatkan
Abu Gatadah al-Anshari ra, disebutkan ketika Nabi ditanya tentang puasa Asyura
(10 Muharam) Nabi mengatakan: ‘Puasa itu menghapuskan dosa setahun yang
lalu’.
Jadi tahun baru Hijriyah mempunyai makna yang lebih dalam. Berbicara
tahun baru Hijriyah berart i mengingat akan hijrahnya Rasulullah. Di sini memiliki
satu perjuangan dan satu makna. Sebuah kesempatan yang paling tepat untuk
melakukan instrospeksi dan penilaian diri terhadap kehidupan setahun yang lalu
dan setahun yang akan datang. Dari sini kita diharapkan dapat mensyukuri segala
nikmat yang dilimpahkan Allah, sehingga senant iasa menjadi orang yang takwa
Bersyukur dapat dengan bertafakur, takarruf kepada Allah di masjid atau
di mana pun tempatnya. Bagi Keraton Surakarta, upacara spiritual bertafakur dan
takarruf dipusatkan di Masjid Pujosono, sejauh ini upacara tradisi penyambutan 1
Suro yang agamis ini kurang terpublikasi kepada masyarakat. Sehingga yang lebih
banyak diketahui adalah tradisi kirab pusaka.
Bagi keraton Surakarta upacara kirab pusaka 1 Suro tergolong tradisi
baru, karena dimulai sekitar tahun 1973. Tradisi kirab 1 Suro dilaksanakan setelah
menerima pesan Presiden Soeharto. Pesan yang disampaikan lewat, Soediono
Hoemardani (almarhum) kepada Sinuhun Pakoe Boewono XII ini, int inya
meminta agar keraton mengadakan tirakatan (laku batin) demi keselamatan dan
keutuhan bangsa.
Pesan presiden setelah diolah dan direnungkan Sinuhun akhirnya muncul
63
gagasan mengadakan kirab pusaka yang didasarkan pada upacara religius kuno
penolak bala. Perbedaannya, jika tradisi kirab tolak bala dilakukan berkeliling
dalam tembok Baluwarti, prosesi kirab 1 Suro mengelilingi luar tembok keraton.
Jadi kesannya lebih terbuka untuk masyarakat .
Ternyata tradisi baru produk Sinuhun Pakoe Boewono XII mendapat
sambutan masyarakat. Setiap menjelang datangnya tahun baru 1 Suro/1 Muharam,
masyarakat tumpah-ruah di jalan-jalan. Mereka ada yang sekedar ingin melihat
prosesi kirab pusaka keraton, tapi ada juga yang menjalankan laku batin. Jadi
meski di jalan-jalan banyak orang, namun suasananya cukup hening. Apalagi
disaat rombongan kirab lewat. Diam dan prihatin memang menjadi ciri orang
Jawa dalam menyambut tahun barunya.
Prosesi kirab pusaka pada tengah malam ini berlangsung cukup unik,
karena diawali barisan kawanan kerbau bule Kiai Slamet. Menurut cerita kerbau
ini termasuk hewan piaraan kesayangan raja yang memiliki turunan lansung dari
hewan sejenis milik keraton Mataram. Jadi kerbau Kiai Slamet dipercaya berbeda
dengan kerbau kebanyakan. Pada hari-hari biasa, ia lebih banyak meninggalkan
kandangnya di kampung Gurawan, sebelah Timur alun-alun Selatan. Namun di
saat menjelang datangnya 1 Suro kerbau itu kembali menetap di alun-alun
Selatan.
Walau kerbau tersebut banyak hidup di tengah kota, namun sejauh ini tak
seorang pun mencoba mengganggu apalagi meyakitinya. Para bakul sayuran dan
buah di sepanjan jalan Veteran Pasar Gading sepert inya lebih bersikap ngemong.
Art inya sebelum kerbau itu menyerbu barang dagangannya, para pedagang lebih
dulu menyisihkan sebagian sayur atau buahnya untuk diberikannya. Ada
kepercayaan dengan memberikan pelayanan baik pada kerbau nant inya
dagangannya akan laris.
Kerbau menjadi dikultuskan. Sehingga mengikuti kirab 1 Suro, sering
muncul pemandangan penonton berebut kotoran kerbau. Masyarakat tradisi dari
daerah pinggiran yang selalu datang berbondong menyaksikan Kirab Suro, sangat
mempercayai adanya tuah dari kerbau. Tindakan musyrik inilah yang kemudian
sering disayangkan para ulama dan dijauhi umat Islam.
64
Terlepas dari itu, jalannya prosesi kirab sejauh sekitar 5 kilom eter sangat
dramatik. Begitu pancaran sinar petromak menerangi jalan dan kerbau melangkah
pelan, suasananya menjadi khidmat. Pawai bergerak pelan keluar Kori Brojonolo
menuju alun-alun Utara-Gladak-Mayor Kusmanto-Jalan Kapten Mulyadi-Jalan
Veteran-Jalan Yos Sudarso-Jalan Slamet Riyadi kembali ke Keraton. Banyak
pusaka yang diikutkan dalam kirab termasuk jenis pusaka tertentu disesuaikan
kebutuhan. Ketika menghadapi musim kemarau panjang pernah dikeluarkan
seolah tombak pemanggil hujan. Dan, berkat rahmat Allah hujan pun mendadak
turun sepert i dicurahkan dari langit.
4. Adat Istiadat Keraton
Masih banyak upacara lain yang menjadi adat istiadat dalam kehidupan
keraton sepert i jamasan atau memandikan pusaka. Secara lahiriah jamasan
dimaksudkan untuk menghilangkan kotoran yang melekat pada pusaka-pusaka.
Dari sisi mistis bermaksud memuliakan pusaka yang dianggap memiliki tuah dan
daya magis. Dari jamasan diharapkan memberikan keselamatan seluruh keraton
beserta isinya termasuk masyarakat diluar tembok keraton. Secara tamsil
dimaksudkan agar seseorang membersihkan batin atau nuraninya sebagai pusaka
diri yang paling utama, dan secara historis memelihara warisan leluhur.
Jenis pusaka yang disucikan terdiri dari tombak, pedang, bendera
(pataka), kereta dan sebagainya. Di antaranya kereta Kiai Retna Pembagya, Kiai
Raja Peni, Kiai Retna Sewaka, Kiai Mara Seba, Kiai Siswanda, Kiai Retna Juwita,
Kiai Manik Kumala, Kiai Garuda Putra serta Kiai Garudha Kencana yang
berfungsi untuk kirap jumenengan. Sedangkan pusaka berupa gamelan di
antaranya Kiai Guntur Sari dan Kiai Guntur Madu.
Upacara pisowanan ngabekten, memberikan tanda bakti dan mohon
berkah kepada raja. Acara yang dilangsungkan 1 Syawal diikuti putra-putri, para
pejabat di dalam keraton dan kerabat. Sedangkan halal bihalal dengan masyarakat
umum dilakukan di Sasana Mulya. Ngabekten masa lalu dilaksanakan secara utuh
dan meriah, sekarang dikemas dalam kesederhanaan meski makna yang
65
terkandung di dalamnya tetap sama.
Selanjutnya upacara Nyadran, tradisi ziarah kubur para leluhut keraton.
Tradisi ini lebih bersifat terbatas yakni khusus bagi kalangan kerabat.
Dilaksanakan setiap 15 Ruwah (sya’ban) menjelang bulan puasa. Tempat-tempat
yang dikunjungi yakni makam Selo, Tegalarum, Kotagede, dan Imogiri.
Upacara lainnya adalah Labuhan yaitu upacara membuang sajian atau
barang yang dianggap keramat. Upacara ini dilakukan di empat tempat yakni
Gunung Lawu mewakili arah Timur, Parangtritis (Selatan), Hutan Krenda Wahana
(Utara) dan gunung merapi (Barat). Benda-benda yang dilabuh diantaranya berupa
pakaian lengkap, potongan rambut, kuku, minyak wangi, sutera. Upacara ini
dilakukan pada waktu-waktu tertentu dengan maksud memohon keselamatan dari
para tokoh penjaga empat mata angin.
Pada Tinggalan Jumeneng ke-57, 31 November 2000, Sinuhun kembali
melakukan udik-udik, adat para raja Jawa menyebar uang kepada kawula.
Sedikitnya Rp 5 Juta dalam bentuk uang receh kepingan Rp 500 dan Rp 1000 di
tebar di tengah masyarakat yang sudah berkumpul sejak pagi di depan
Kamandungan.
Seperti para pendahulunya tradisi ini sempat dilakukan Pakoe Boewono
XII di tahun-tahun awal penobatannya. Setiap Jumat malam ia berkeliling keraton
membagi uang kepada rakyat. Namun adat ini terhent i ketika Belanda kembali
menjajah.
Upaya menghidupkan lagi udik-udik mmpunyai tujuan ganda. Selain
sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan yang memberinya kesempatan
panjang menjadi raja pewaris dinasti Mataram, sekaligus juga untuk
mengingatkan kepada seluruh kalifatullah fil ardhi, seluruh pemangku jagad atau
rad pemegang filosofi keratuan, kepada seluruh pemimpin bangsa, agar sungguh-
sungguh dengan segala daya upaya menyejahterakan rakyat.
5. Aspek sim bol is pada Pola bangunan Keraton
Bangunan keraton Kasunanan Surakarta sebagai salah satu hasil karya
66
budaya Jawa selain mempunyai fungsi kegunaan juga mempunyai fungsi simbolik
Secara umum bangunan Keraton Kasunanan Surakarta menyerupai bentuk semar
dalam wayang kulit yang mempunyai makna. Diawali dari bangunan paling depan
yaitu yang disebut dengan Topengan atau Kuncungan. Topengan berasal dari kata
Topeng yang berarti wajah. Topengan ibarat Topeng, maka daari itu wajahnya
sulit untuk ditebak, ibarat watak dan pribadi manusia yang sulit untuk ditebak atau
diterka. Sedangkan Kuncungan berasal dari kata kuncung. Kuncung tersebut
melambangkan sesuatu yang terhormat karena letaknya di atas kepala. Oleh
karena itu semua pendatang atau tamu sejak berada di tempat tersebut sudah
bersopan-santun. Kuncungan pada bangunan keraton disebut dengan nama Maligi
a. Simbolisme pada Bagian Tata Ruang Bangunan Keraton
Bangunan keraton adalah merupakan susunan kosmis dengan bagian-
bagiannya. Setiap bagian tata ruang mempunyai simbolisme. Pada hakekatnya
yang melekat pada bagian tata ruang bangunan keraton adalah merupakan proses
perjalanan manusia dalam mencapai kesempurnaan hidup. Oleh karena itu bagian
tata ruang bangunan keraton adalah merupakan satu kesatuan yang tidak
terpisahkan.
Bangunan paling luar dari komplek Keraton Kasunanan Surakarta adalah
berbentuk gapura. Gapura tersebut terdiri atas bangunan yang pada awalnya
berbentuk pilar di atasnya terdapat besi melengkung. Gapura tersebut disebut
disebut dengan Gapura Gladak. Gladak berart i Giring. Jadi di sekitar gapura
Gladak tersebut adalah merupakan suatu tempat untuk mengumpulkan hewan
buruan yang di Gladak (digiring) atau diseret dengan gerobak. Hal tersebut
mengandung makna bahwa manusia dalam menuju ke kamulyan jati atau ke
pangkuan Tuhan Yang Maha Esa, harus mampu mengendalikan dan menaklukkan
dalam arti menguasai nafsu-nafsu jahat yang melekat pada diri manusia yang oleh
Tuhan juga sebenarnya telah dilarang untuk dilakukan setiap manusia. Dalam
bangunan gapura gladak tersebut terdapat arca Brahmana Yaksa yang
menakutkan. Makna dari arca arca Pandita Yaksa tersebut adalah bahwa setiap
perjalanan menuju ke Kamulyanjati akan selalu menghadapi rintangan. Oleh
67
karena itu rintangan yang menakutkan tersebut harus dihadapi dengan tabah.
Itulah makna simbolik gapura gladak yang merupakan pintu masuk ke alun-alun
Utara.
Setelah melewati Gapura Gladak terus memasuki gapura yang kedua
yaitu gapura Pamurakan. Gapura Pamusakan tersebut mempunyai art i bahwa di
tempat tersebutlah hewan-hewan disembelih dan dibagi-bagikan kepada yang
wajib menerima. Adapun art i simboliknya adalah merupakan suatu lambang
bagaimana beratnya seseorang menguasai hawa nafsu hewani tersebut. Nafsu
hewani tersebut merupakan godaan yang berat bagi setiap manusia yang ingin ke
kamulyan jati.
Proses selanjutnya apabila orang sudah berhasil melewati Gapura Gladak
dan Gapura Pamurakan, secara lahiriyah memasuki alun-alun Utara. Pada awalnya
alun-alun utara tersebut merupakan padang pasir yang rata, sehingga setiap orang
yang berjalan siang hari akan merasakan panas. Namun apabila malam hari tiba,
akan terasa sejuk dan nyaman. Kesemuanya itu adalah merupakan simbolisme,
yaitu keadaan alam yang agung. Alam atau dunia yang merupakan ciptaan Tuhan
yang di dalamnya terdapat dua hal yang selalu betentangan dan harus selalu
dialami oleh setiap umat manusia. Pada alun-alun utara juga terdapat dua buah
pohon beringin kurung yang diberi nama Dewadaru dan Jayadaru. Kedua buah
pohon beringin tersebut merupakan simnbolisme pengayoman, kewibawaan,
kesejukan, hayem dan hayu.
Perjalanan selanjutnya setelah melewati alun-alun Utara akan dijumpai
sebuah bangunan yang dinamakan Pagelaran Sasono Sumewo. Sewaktu Keraton
Surakarta menjadi pusat pemerintahan, Sasono Sumewo tersebut berfungsi
sebagai tempat duduk Pepatih Dalem atau Pepatih Kerajaan bersama seluruh staf
bawahannya. Dalam masa kerajaan ini, Sasana Sumewa bersama “Perdana
Menteri bersama stafnya” merupakan simbolisme penguasa. Oleh karena itu
pagelaran Sasana Sumewa dan perdana menteri merupakan simbolisme penguasa
yang menjalankan pemerintahan.
Perjalanan selanjutnya setelah melewati pagelaran Sasana sumewa, orang
akan memasuki keraton melalui siti hinggil. Di dalam siti hinggil tersebut terdapat
68
bangunan yang dinamakan dengan manguntur tangkil. Di tempat inilah raja
duduk, tempat tersebut mengandung simbolisme sekaligus sebagai pusat
kewibawaan atau prabowo dan daya magis. Pada salah satu bangunan yang
terdapat di siti hinggil tersebut, yaitu pada Bale Angun-Angun sering
diperdengarkan gamelan lokananta. Gamelan lokananta tersebut merupakan
lambang dari “Suwaraning Hasepi”, yang merupakan simbolisme bahwa
kehidupan ini hanya sebentar dan dilanjutkan menuju kepangkuan Tuhan Yang
Maha Esa.
Setelah melewati manguntur tangkil, perjalanan memasuki kraton akan
sampai ke kori mangu. Kori mangu tersebut terletak disebelah selatan siti hinggil.
Sampai di kori mangu, perjalanan tersebut akan berhenti sejenak. Bangunan kori
mangu tersebut adalah merupakan simbolisme bahwa setiap orang selalu
dihadapkan pada pemikiran yang ganda untuk menuju kehidupan yang kekal.
Sehingga selalu terdapat keragu-raguan dalam dirinya. Ditempat ini orang tidak
akan berhenti lama sebab didesak waktu dalam mengarungi kehidupannya.
Kemudian perjalanan dilanjutkan melewati kori Brojonolo, di tempat
inilah dalam batin manusia terjadi pembersihan atau saringan. . Maksud dari
saringan di sini adalah untuk menilai hal-hal apa saja yang dapat dibawa dalam
perjalanan menuju proses kehidupan selanjutnya. Kemudian perjalanan dilanjut-
kan dengan harus melalui sebuah pintu yang dinamakan dengan Kori
Kamandungan. Dalam Kori Kamandungan tersebut orang masih dapat melihat
pada dirinya sendiri, apakah busananya sudah sesuai dengan kesusilaan atau sopan
santun. Hal ini mengandung simbolisme bahwa cipta, rasa, dan karsa masih me-
ngelompok menjadi satu dan belum berubah meskipun nafsu sudah mereda.
Dalam suasana sepert i itu perjalanan sudah mendekati pada suasana yang heneng-
hening serta hawas-heling, yaitu mendekati suasana yang hening/sunyi, awas dan
waspada yang berarti selalu ingat kepadaNya.
Dalam melanjutkan perjalanan menuju Keraton, orang pasti melihat
Panggung Songgo Buwono, Panggung Songgo Buwono tersebut dibangun
berdekatan dengan Kori Sri Mangant i. Bentuk Panggung dan kori Sri Mangant i
tersebut diibaratkan sebagai 1ingga dan yoni yang melambangkan bahwa lingga
69
adalah penggoda yoni, sedang yoni adalah penggoda lingga. Dalam artian
selanjutnya bangunan tersebut dapat diartikan bahwa seseorang laki-laki dalam
manghadapi sakaratul maut, ia akan selalu teringat dan tergoda oleh wanita atau
kekasihnya, demikian juga sebaliknya wanita akan digoda oleh laki-laki.
Setelah melewati Kori Sri Mangant i, maka akan sampai pada pelataran
dalam dimana disitu terdapat Pendhopo Agung Sasono Sewoko yang sangat
megah, anggun dan berwibawa. Bangunan tersebut mempunyai simbolisme
bahwa orang harus waspada dan berhati-hati dalam bert indak bila menghadapi
hal-hal yang serba gemerlapan.
Demikianlah arti simbolisme dari bagian-bagian bangunan Keraton
Surakarta. Apabila diperhat ikan maka setiap bangunan tersebut merupakan proses
kehidupan manusia.
b. Aspek seni dan Budaya pada Bangunan Tradisional Jawa.
Hasil seni dan budaya pada masyarakat Jawa, tidak bisa lepas dari konteks
masyarakat. Masyarakat Jawa mempunyai pandangan hidup yang sinkritisme.
Hal ini mempengaruhi orang Jawa untuk mewujudkan bentuk bangunan
tradisionalnya sehingga tidak mengherankan bila adanya beberapa unsur pengaruh
yang datang dari luar.
Dalam pembahasan berikut ini akan dipaparkan mengenai hasil
kebudayaan di atas pada bangunan Keraton Surakarta yang merupakan
perwujudan dari hasil percampuran antara kebudayaan asli (animisme) dengan
kebudayaan-kebudayaan luar, antara lain kebudayaan Hindhu-Budha, Islam dan
Eropa.
1) Unsur Hindhu-Budha pada bangunan Keraton Surakarta.
Hasil percampuran antara kepercayaan asli Jawa (animisme) dan
agama Hindhu-Budha yang datang dari India disebut sebagai kebudayaan
Hindhu-Jawa. Kebudayaan tersebut berkembang di tanah Jawa antara abad
VIII sampai dengan abad XV. Adapun hasil karya yang dihasilkan oleh
kebudayaan tersebut antara lain berupa candi-candi dan tempat pemujaan.
Bentuk-bentuk candi inilah yang kemudian dijadikan inspirasi dalam
70
perkembangan rumah tradisional Jawa.
Dalam lingkungan kom pleks Keraton Surakarta, seni bangunan
tradisional Jawa merupakan unsur utama yang sangat kuat. Disamping
falsafah Hindhu-Jawa yang mendasari bentuk rumah tradisional paling
megah, karena ini dipandang sebagai penerus hidup tradisi dari jaman.
Kerajaan Mataram masa lampau. Adapun yang dimaksud dengan.rumah
tradisional yang megah adalah variasi yang mewah dari rumah tradisional.
bentuk asal, dengan atau tanpa penerapan unsur-unsur arsitektur asing.
Pada bangunan-bangunan yang ada dilingkungan Keraton Surakarta,
unsur-unsur tradisi tersebut tercermin pada beberapa bagian bangunan yang
penting yang ada dalam kompleks bangunan Keraton, antara lain yang paling
utama tampak pada Pendhapa Agung Sasono sewoko dan Dalem Ageng
Probosuyoso.
Dilain pihak unsur-unsur animisme masih nampak kuat dalam setiap
benda-benda Keraton yang dikeramatkan. Juga setiap pohon yang ditanam di
lingkungan Keraton, kesemuanya itu mengandung unsur-unsur animisme
yang sulit dimengert i oleh orang awam. Dengan jelas nampak bahwa unsur-
unsur animisme tercermin dalam pemberian nama-nama pada beberapa benda
kerajaan yang dianggap keramat . Lain dari pada itu benda-benda yang ada di
lingkungan Keraton, senant iasa mengandung makna yang magis. Sikap
animistik ini yang masih jelas nampak, antara lain adanya meriam. Meriam
yang ada di lingkungan Keraton masih dikeramatkan dan diberi nama Nyai
Satomi, terletak di Siti Hinggil Lor, dianggap mempunyai sifat-sifat seorang
wanita yang memiliki sifat dapat memberikan berkah kepada setiap orang
yang datang kepadanya. Sejumlah pohon beringin yang ditanam di Alun-alun
Utara, diantaranya dianggap keramat adalah sepasang pohon beringin kurung
yang diberi nama Dewa-daru dan Jaya-daru, dianggap memiliki kekuatan atau
yang dapat melindungi setiap orang yang benaung di bawahnya.
Ha1-hal yang telah diuraikan di atas setidak-tidaknya menunjukkan
betapa kuatnya pengaruh kepercayaan Hindhu-Jawa pada bangunan Keraton.
Dalam kehidupan orang Jawa, khususnya di lingkungan Keraton, pengaruh
71
Hindhu-Jawa telah berakar dan menjadi adat turun-temurun. Bagaimana pun
juga Keraton Surakarta adalah kelanjutan dari dinasti Mataram yang memiliki
serta memegang teguh adat tatacara kerajaan dimasa-masa sebelumnya.
2) Pengaruh Islam pada Bangunan Keraton Surakarta.
Sampai sekarang belum ada kesepakatan kapan masuk dan
berkembangnya Islam di Indonesia, namun ada beberapa ahli yang
mengemukakan, bahwa Islam mulai memasuki Indonesia pada akhir abad
XIII dan berkembang di tanah Jawa sekitar pada abad XV. Pada dasamya
kebudayaan Islam masuk ke Indonesia tidak melalui dominasi politik,
melainkan melalui lalu-lintas perdagangan, yaitu dibawa oleh para pedagang
Gujarat India. Oleh karena itu kebudayaan Islam di Jawa, bermula dari
daerah-daerah pesisir utara, antara lain Kasultanan Demak, Cirebon dan
Banten.
Dilihat dari segi bangunannya hal-hal yang khas pada kebudayaan
Islam, pada umumnya terbatas pada bangunan tempat ibadah, istana dan
makam-makam raja. Walaupun demikian ditinjau dari segi bentuknya,
bangunan-bangunan tersebut tetap tidak lepas dari unsur-unsur ke-candi-an.
Hal tersebut dapat diterima karena disamping kebudayaan Hindhu-Jawa telah
menjadi tradisi yang sangat kuat, juga masalahnya Islam masuk ke Indonesia
itu bersamaan dengan masa-masa dimana bangsa-bangsa barat (Portugis,
Belanda dan Inggris) juga mulai berdatangan dan menanamkan pengaruhnya.
Tekanan serta intrik-intrik dari bangsa-bangsa barat tersebut membuat Islam
tidak dapat berkembang secara leluasa, khususnya di tanah Jawa.
Semenjak masuknya Islam di lingkungan kerajaan-kerajaan Jawa,
mesjid atau tempat-tempat ibadah menjadi salah satu unsur atau bagian yang
tak dapat dipisahkan dari kompleks bangunan Keraton. Pada umumnya
mesjid ini dibangun atau didirikan di sisi sebelah barat. Alun-alun,
sehubungan dengan falsafah yang mendasari tata bangunan Keraton, bangun-
an mesjid yang ada di lingkagan kosmis paling luar (samodra raya dan tanah
sabrang) merupakan perlambang tanah suci Mekah yang letaknya di sebelah
72
barat. pulau Jawa.
Di lingkungan Keraton Surakarta, pengaruh kehidupan Islam pada
bangunan tidak begitu menonjol. Pada umumnya pengaruh ini terbatas pada
bangunan-bangunan tempat ibadah atau masjid. Di lingungan Keraton
Surakarta terdapat tiga masjid yaitu dua diantaranya terdapat di lingkungan
Keraton yaitu Masjid Pudyasana dan Masjid Suranatan (di dalam Baluwarti)
dan sebuah lagi ada di sisi sebelah barat Alun-alun Lor yaitu Masjid Agung
atau Masjid Gede.
Bangunan Masjid di lingkungan Keraton Surakarta tersebut apabila
ditinjau dari segi bangunan Islam fungsinya sama yaitu sebagai tempat
ibadah, namun masing-masing mempunyai peranan sendiri. Bangunan-
bangunan tersebut masih memegang pola unsur lama (Hindhu-Jawa), yaitu
memakai bentuk rumah adat Jawa. Bahkan menurut informasi dari salah satu
Abdi Dalem Keraton Surakarta, yang dikatakan sebagai Masjid Bandhengan
fungsinya lebih menyerupai tempat pemujaan. Karena disamping bentuknya
terla1u kecil untuk ukuran sebuah masjid, bangunan tersebut tertutup dan
berada di tengah kolam. Masjid Agung atau masjid Gede berbentuk Tajug
Mangkurat dengan empat buah soko guru (tiang utama). Atapnya dibangun
bersusun sepert i pada umumnya masjid-masjid yang dibangun di Jawa sekitar
pada abad XVII, yaitu menyerupai bentuk pagoda.
Pengaruh Islam yang nampak disini adalah bentuk disini adalah
bentuk gapuranya, yaitu terdiri dari pilar-pilar tinggi yang pada puncaknya
dibentuk seperti kubah. Pintu-pintunya dibuat melengkung sepert i pada
umumnya pada bangunan masjid di daerah Jawa Tengah. Namun ada sesuatu
yang menarik pada bangunan Masjid Agung tersebut, yaitu adanya sepasang
bangsal tempat untuk mempergelarkan gamelan sekaten.
Pengaruh Islam dalam bangunan di lingkungan Keraton Surakarta
sejauh ini pengaruh unsur tersebut hanya terdapat di sebagian bangunan
masjid yang berada di lingkungan Keraton Surakarta. Bentuk bangunan itu
tidak sepenuhnya sepert i gaya bangunan masjid asli yang berasal dari negeri
Arab. Namun sudah di sesuaikan dengan kondisi masyarakat Jawa pada
73
umumnya.
3) Unsur Barat pada Bangunan Tradisional Jawa
Kebudayaan barat masuk di Indonesia adalah sekitar abad XVI, yaitu
pada waktu bangsa Belanda dan Portugis berlayar ke Indonesia pada tahun
1509 Masehi dengan tujuan perdagangan. Sasaran yang utama pada waktu
itu, adalah kepulauan Maluku, karena kepulauan tersebut merupakan
penghasil rempah-rempah.
Adanya persaingan Perdagangan yang semakin keras mendorong
mereka (Belanda dan Portugis) untuk mendirikan benteng-benteng
pertahanan. Dari sini lah awal berdirinya bangunan-bangunan kolonial yang
makin meluas ke beberapa kepulauan di Indonesia, dan akhimya VOC
membangun pusat perdagangan di pulau Jawa dan mendirikan benteng di
Batavia. Setelah kerajaan Mataram, mengalami kemunduran, maka bukan
hanya secara politis dibawah pengaruh Belanda, namun juga gaya bangunan
Eropa mulai memasuki di lingkungan Keraton.
Keraton Surakarta sebagai kelanjutan dari rajakulo (dinasti) Mataram
secara langsung tidak lepas dari kebudayaan Eropa. Karena sejak berakhirnya
pemerintahan Susuhunan Paku Buwana II, Keraton Surakarta secara langsung
berada dibawah pemerintahan Hindia Belanda. Dalam beberapa hal pengaruh
Eropa tersebut nampak jelas pada kehidupan Keraton, antara lain tatacara
kerajinan, susunan organisasi pemerintahan, dan dalam hal-hal yang
menyangkut bangunan. Dalam hal bangunan ini akan membahas mengenai
pengaruh unsur kebudayaan Eropa terhadap bangunan Keraton Surakarta.
Keraton Surakarta pada dasarnya merupakan terjemahan dari falsafah
Hindhu-Jawa, dengan bentuk asal bangunan adat Jawa. Namun sejalan
dengan perkembangan masyarakat, bangunan Keraton mengalami perubahan
atau penambahan bentuk-bentuk unsur-unsur dari luar. Dalam hal ini adalah
perubahan serta penambahan bangunan dibawah pengaruh Eropa (kolonial).
Pengaruh Eropa nampak jelas terutama dalam hal pemakaian bahan
bangunan, bentuk bangunan, penerapan Sriwidya (estetik). Dalam hal ini
74
dapat dilihat pada sebagian besar bangunan Keraton, terutama bangunan-
bangunan yang ada didaerah resmi (ceremonial area).
Dilihat dari bahan bangunan Keraton Surakarta, sebagian besar
menggunakan bahan bangunan dari Eropa. Sebelum pengaruh Eropa tersebut
masuk ke Indonesia, bahan-bahan bangunan yang biasanya dipakai adat Jawa
adalah menggunakan tanah bakar atau batu merah yang digunakan sebagai
tembok. Bahan perekatnya adalah pasir yang telah dicampur dengan putih te-
lor atau cairan gula, sedangkan yang lainnya menggunakan gebyok dan
gedheg atau bilik bambu.
Sejalan dengan kemajuan teknik bangunan yang dibawa bangsa Eropa
khususnya Belanda, sebagian besar dinding bangunan Keraton dibuat dengan
menggunakan batu bata yang direkat dengan adukan semen, pasir dan kapur.
Pada bangunan lantai khususnya di bagian bangunan resmi digunakan batu
pualam putih yang didatangkan dari Italia.
Dari sisi bentuk bangunan Keraton, sebagian dari bangunan Keraton
merupakan perpaduan adat Jawa dan bangunan gaya Eropa. Sebagai contoh
dapat dilihat pada bangunan Kori Sri Mangant i. Pada dasarnya atap dari Sri
Manganti berbentuk Semar Tinandhu dengan menggunakan genting sirap
bersisik lebar, sedangkan tiang-tiangnya dibuat sepert i pada bangunan-
bangunan Eropa Klasik yaitu meniru bentuk Korinta.
Bangunan yang lain dapat dilihat pada beberapa bentuk bangunan yang
ada di pelataran, antara lain pada Paningrat Pendhapa Agung Sasono sewoko dan
Sasana Hondrowino. Pendhapa Agung adalah pendhapa utama yang berbentuk
Joglo Pangrawit lengkap dengan ragam khasnya yang bercorak Hindhu-Jawa.
Paningrat atau Serambinya bercorak Eropa dengan menggunakan atap seng
gelombang dan disangga oleh tiang-t iang bulat dari besi cor. Kesan Eropa
diperkuat dengan ditempatkannya patung-patung manusia gaya Itali di sepanjang
Paningrat, menghadap ke arah pelataran. bentuk-bentuk bangunan yang lain dapat
dilihat pada bangunan Sasana Hondrowino. Sasana Handrawina tersebut adalah
bangunan yang berbentuk Limasan Klabang Nyander. Sekeliling pendhapa
tersebut diberi dinding kaca bening dengan rangka kayu. Pengaruh Eropa tersebut
75
ditunjang pula oleh adanya ornamen misalnya adanya hiasan lampu yang bergaya
Eropa. Demikianlah:pengaruh Eropa yang berada di bangunan Keraton Surakarta.
B. Sebab-sebab Keraton Kasunanan Surakarta Mengalami Kebakaran Pada
Tahun 1985
Pada tanggal 31 Januari 1985. Lonceng di atas Kori Brajanala berdentang 9
kali. Keraton sudah didekap sepi. Sudah tidak nampak hilir mudik abdi dalem,
kecuali yang tengah berjaga di Kamandungan. Dalam kesenyapan, sepercik
cahaya bak kunang-kunang hinggap di atas Bangsal Parasdya. Ditiup semilirnya
angin, cahaya biru kemerahan tersebut berpendar-pendar membesar menjadi
kobaran api, kemudian Keraton terbakar.
Usaha penyelamatan awal gagal membawa hasil. Tabung pemadam
kebakaran ukuran besar sumbangan PT.Caltex yang disemprotkan Kanjeng Gusti
Pangeran Harya Hangabehi - putra tertua Sinuhun - tak mampu menjinakkan
nyala api yang justru mengamuk semakin ganas.
Teriakan saling mengomando, suara-suara kaki berlarian dan derit barang-
barang berat yang digeser serta diangkat dari tempatnya berbaur riuh dengan
gemeretak kayu dimakan api yang meninggalkan desis keras di tengah asap
berjelaga berkepul-kepul mirip lokomotif uap yang terengah-engah setelah
menempuh perjalanan jauh serta melelahkan.
Dua perangkat gamelan Kiai Kadukmanis, Manisrenggo dan Kiai
Semarngigel Lokananta yang tersimpan di Sasana Handrawina pertama kali
diselamatkan. Bersama gamelan pusaka Sekaten, Kiai Gunturmadu dan
Guntursari yang berada di Bangsal Langenkatong, diungsikan ke Purwohamijayan
sisi Selatan keraton masih dalam tembok Baluwart i. Sementara gamelan-gamelan
di Smarakata dipindah ke Bangsal Witana yang dinilai lebih aman. Begitu pula
dengan wayang kulit Kiai Kadung di Sasana Wilapa diamankan ke keraton Kilen.
Api yang bertambah besar tak memungkinkan penyelamatan Kiai Remeng.
Lampu kristal besar yang tergantung tepat di tengah Sasono sewoko ini hancur
terbant ing, ke lantai bersama dengan ambruknya atap pendapa ageng tersebut.
Sejumlah mobil pemadam kebakaran Pemerintah Daerah Kotamadya
76
Surakarta yang dibantu unit-unit dari luar kota seperti Kabupaten Sukoharjo,
Sragen, Klaten maupun TNI Angkatan Udara Pangkalan Adisumarmo sulit
menerobos mendekati lokasi. Pintu Magangan di pelataran Selatan yang relatif
sempit t idak m emungkinkan mobil-mobil itu masuk ke halaman dalam keraton.
Penyemprotan air terpaksa harus dilakukan dengan mengulur selang dari
jarak cukup jauh. Ditambah gerak pergantian unit-unit mobil pemadam yang ikut
tersendat, menjadikan kebakaran sulit dikuasai.
Bangsal Parasdya menjadi korban pertama. Api sepert i melawan arah t iupan
angin ke Barat-justru menjalar ke arah Timur terus berbelok menuju Selatan
berturut-turut menghabiskan Sasono sewoko, Paningrat, Maligi dan Sasana
Handrawina. Setelah itu api kembali marak ke Barat meloncati bangunan-
bangunan yang sudah hangus menjilat dan melahap Prabasuyasa berikut
Krobongan; Kamar Gadhing, Gedong Pusaka dan Bangsal Prabasana. Beruntung
sebagian besar pusaka bertuah yang semula tersimpan rapat di dalam Gedong
Pusaka berhasil diungsikan ke Keraton Kilen.
Menjelang tengah malam kebakaran mulai tampak menyusut. Dan baru
benar-benar padam pada Jumat dini hari, 1 Februari dengan meninggalkan bekas
memilukan. Keraton Kasunanan yang dibangun bertahap selama hampir sepuluh
generasi sejak Pakoe Boewono II di sekitar tahun 1745 hinaga Pakoe Boewono X
pada tahun 1939 tersebut telah musnah menjadi abu. Menurut kesaksian Kangjeng
Raden Mas Haryo Riyo Yosodipuro-kini almarhum – api kembali ke satu titik di
tengah puing Parasdya sebelum akhirnya melambung ke angkasa bak komet
berwarna merah kuning kebiruan.
Silang pendapat segera muncul. Tim peneliti yang belakangan dibentuk
menyimpulkan, kebakaran disebabkan karena hubungan arus pendek listrik.
Sementara versi lain menghubungkan musibah dengan ramalan kuno yang
rnenyebut tentang umur Kasunanan yang hanya akan bertahan selama 200 tahun,
terhitung sejak didirikan Sinuhun Pakoe Boewono II pada hari Rabu, 17 Sura
tahun Je 1670 atau Februari 1745.
Sinuhun Pakoe Boewono XII sendiri cenderung berpendapat hubungan arus
pendek listrik sebagai penyebab musibah. Loncatan bunga api akibat hubungan
77
arus pendek mudah berkobar setelah memakan bangunan keraton yang umumnya
terdiri dari bahan kayu jati tua dan kering. Jauh sebelumnya ia memang sudah
mencemaskan instalasi dan jaringan kabel listrik di keraton yang sudah rapuh
karena hampir tak pernah diganti.
Kebakaran yang terjadi tanggal 31 Januari 1985 secara kasat mata
disebabkan oleh hubungan arus pendek listrik (hasil wawancara kepada
narasumber KGPH Poeger).Nyala api yang berasal dari hubungan arus pendek
listrik tersebut hanya merupakan kelalaian para abdi dalem maupun kerabat
keraton. Tetapi ini bukan merupakan hal yang aneh sebab pengamanan akan
kemungkinan bahaya semacam itu bagi bangunan-bangunan tua justru lebih sulit
dilakukan.
Sunan Pakoe Boewono XII mengatakan bahwa musibah keraton Kasunanan
Surakarta sudah pinasti (tak bisa diingkari) lebih jauh ia mengemukakan bahwa
menurut ramalan pujangga Ageng Surakarta Ronggowarsito, usia keraton
Kasunanan Surakarta memang tidak sampai 250 tahun. Hal ini tertera dalam buku
Jangka Ronggowarsito. Pakoe Boewono XII juga menyebutkan kebakaran keraton
itu terjadi tepat pada wafatnya Kangjeng Ratu (Ibu Sri Sunan). (Berita Buana, 5
Pebruari 1985).
Jumat siang hari itu pula, puing-puing reruntuhan keraton langsung
dibersihkan. Bersama personil militer dari kesatuan Brigif VI Kostrad dan petugas
Dinas Pekerjaan Umum Kotapraja Surakarta, para abdi dalem dikerahkan lembur
siang malam. Sedikitnya dibutuhkan 2115 karung ukuran satu kuintal untuk
mewadahi abu dan arang bekas kebakaran.
Sementara reruntuhan Dalem Ageng Prabasuyasa khusus dikerjakan oleh
putra-putri Sinuhun sendiri dibantu kerabat dekat dan abdi dalem terpercaya
lainnya. Persoalannya selain beberapa pusaka masih tercecer, banyak pula berlian
serta emas perhiasan maupun kelengkapan upacara regalia lainnya belum
ditemukan.
Sedikitnya 10 pusaka berupa tombak dan keris hilang dalam musibah
tersebut. Satu diantaranya yang terpenting, menurut Sinuhun Pakoe Boewono XII
adalah pusaka sarana mendatangkan hujan.
78
Kuat dugaan benda bertuah tersebut hancur saat terpanggang kobaran api
menjadi serpihan kecil yang ikut terserak dalam timbunan abu bekas Bangsal
Prabasuyasa. Sementara pusaka pasangannya yang dipakai untuk menolak hujan
beruntung dapat diselamatkan. Padahal, di puncak musim kemarau keraton sering
memohon turunnya hujan lewat tuah pusaka yang hilang itu untuk membantu
kehidupan masyarakat tani. Sekarang hal yang sama tak memungkinkan lagi
dilakukan.
Pada tanggal 4 Februari 1985 Sinuhun bertolak ke Jakarta untuk menghadap
Presiden Soeharto. Kepada Kepala Negara ia mengaku sangat terpukul disamping
amat menyesal karena seolah tak mampu menjaga keselamatan keraton sebagai
warisan budaya yang tak ternilai.
Pada kesempatan t ersebut Presiden menyatakan tak hendak menyalahkan
siapapun. Bahkan ia menjanjikan akan membantu pembangunan kembali
secepatnya mengingat keraton merupakan salah satu aset budaya nasional.
Kebutuhan anggaran, akan diusahakan dicukupi sepenuhnya secara
swadaya. Di antaranya didukung dari sumbangan pribadi. Bersama para menteri
kabinet yang bersedia bersimpati, Kepala Negara menyumbangkan beberapa
bulan gajinya. Sementara sejumlah besar koran membuka dompet bencana untuk
menggalang dana part isipan dari masyarkat luas.
Tanggal 5 Februari 1985, Presiden Soeharto membentuk Panitia Swasta
Pembangunan Kembali Keraton Surakarta (PSPKKS). Panitia terdiri atas 13
orang- sehingga populer di sebut tim 13 – dengan susunan sebagai berikut :
Ketua : H. Surono (Menko Polkam)
Anggota : 1. Dr. R. Soedjarwo (Meteri Kehutanan)
2. L. Benny Murdani (Menhakam-Pangab)
3. Prof. Dr. Subroto (Menteri Pertambangan)
4. Dr. Ir. Suyono Sosrodarsono
5. H. Harmoko (Menteri Penerangan)
6. Dr. Ir Purnomosidi Hadjisarosa (Menteri PU)
7. Ir. Hartarto (Menteri Perindustrian)
8. Ir Tungki Ari Wibowo
79
9. Sudwikatmono (Pengusaha Nasional)
10. Kanjeng Pangeran Haryo Mardjono Poerbonagoro (Sekjen
Departemen Kesehatan)
11. Soedjono Humardani
12. Arjodarmoko
Sementara keraton sendiri telah pula menyiapkan penasihat-penasihat yang
akan membantu bergerak di bidang spiritual. Langkah yang kemudian ditempuh di
antarnya :
Senin, 11 Februari pukul 01.00 lewat tengah malam, Sinuhun Pakoe
Boewono XII didampingi Kanjeng Pangeran Haryo Mloyomiluhur bersama
beberapa putranya melakukan sesaji di Parangkusuma, disusul bertikarat
berendam dan menabur bunga di Parangtritis, tepian Laut Kidul.
Empat puluh hari setelah kebakaran, tepatnya 4 April diselenggarakan
upacara melabuh abu dan arang keraton. Persiapan dimulai sejak pukul 04.00 di
depan Kori Kamandungan ditunggui langsung oleh Sinuhun.
Sebanyak 30 mobil truk yang disediakan ternyata hanya dapat menganggkut
1115 dari 2000 lebih karung berisi reruntuhan keraton. Sekitar 100 abdi dalem
Pakasa harus bekerja keras untuk menatanya di atas bak kendaraan.
Pukul 10.00 rombongan diberangkatkan dalam kawalan petugas polisi
menuju Parangtritis di Laut Kidul yang masuk dalam wilayah Yogyakarta.
Tampak hadir pada saat pemberangkatan, Walikotamadya Surakarta Hartomo.
Hari yang sama pukul 21.00 gelombang II peserta upacara Labuhan bertolak
dari Bangsal Balerata, Kamandungan. Mengerahkan 15 mobil, rombongan yang
terdiri dari keluarga keraton ini di bawah pimpinan Pengageng Putra Sentana,
Gusti Pangeran Haryo Hadiprabowo. Termasuk di dalamnya adalah Pengageng
Parentah Keputren, Raden Ayu Mandayaningrum didampingi NyaiTumenggung
Pamardi-srimpi.
Tepat tengah malam - setelah kesemuanya berkumpul. Kanjeng Pangeran
Haryo Mloyomiluhur salah seorang tokoh spiritual Kasunanan, mengawali sesaji
di Parangkusuma, sebuah petilasan Panembahan Senapati, pendiri dinasti
Mataram. Tirakat dengan membakar kemenyan dan dupa, setanggi berlanjut di
80
tepian Samudera Selatan hanya 500 m dari Parangkusuma.
Ketika ombak laut mulai mengecil, Gusti Pangeran Haryo Hadiprabowo
mulai memerintahkan melabuh seluruh abu dan arang keraton. Satu persatu ikatan
karung dibuka. Isinya di tumpahkan kepermukaan samudera. Butuh waktu 3 Jam
untuk merampungkan pekerjaan.
Menjelang dini hari Sinuhun Pakoe Boewono XII menyusul ke lokasi sesaji.
Setelah menerima laporan, ia memperkenankan rombongan kembali ke keraton.
Upacara yang sama diulang pada 6April. Sebanyak 1000 karung, sisanya
dilabuh dalam kesempatan ini.
Sejak itu Parangtritis beruhah menjadi pasar tiban. Setiap huri ribuan
penduduk berduyun-duyun menyerbu pantai. Bukan hanya untuk melihat
unpacara. tetapi sekaligus saling desak berebut rejeki.
Abu yang tercecer di pesisir pantai dikorek-korek. Malah ada pula yang
mencoba mendulang pasir di tepian laut. Ada di antaranya yang beruntung
memperoleh butiran-butiran berlian atau emas beberapa gram, mungkin bekas
perhiasan regalia yang meleleh ketika Prabasuyasa dan Gedong Pusaka hangus
dilalap kobaran api.
Temuan-temuan kecil tersebut segera menjadi buah mulut. Tak pelak
mengundang jumlah pendatang yang semakin bertambah. Tidak ketinggalan para
pedagang emaspun ikut beraksi lengkap dengan peralatan timbangannya.
Transaksi jual beli langsung marak di Parangtritis dan Parangkusuma.
Tak ada laporan tentang berat emas yang terkumpul. Namun. sesuai
kesaksian abdi dalem Suripno, jumlahnva diduga cukup besar. "Saya
menyaksikan sendiri, ketika ikut dipercaya membersihkan keraton, benda-benda
kecil berkerlap-kerlip layaknya bintang di langit bertebaran di antara abu bekas
puing Sasono sewoko, Parasdya, Prabasuyasa dan Gedong Pusaka". Tak aneh
kalau keramaian berburu perhiasan Pantai Laut Selatan sempat bertahan selama
beberapa hari.
Selasa,13 Agustus pagi. Sinuhun membentuk 7 kelompok utusan ke
berbagai tempat tujuan yanga berbeda. Rombongan pertama, diketuai Kanjeng
Gusti Pangeran Haryo Hangabehi. Tugasnya mengambil tanah makam leluhur di
81
Sela, Demak dan Kadilangu. Sela adalah desa kelahiran Ki Ageng Sela, cikal
bakal raja-raja Mataram yang dimitoskan mampu menangkar petir. Sedang
Kadilangu di Demak merupakan pusara Sunan. Kalijaga atau Syech Malaya, satu
di antara 9 Wali penyiar Islam paling terkemuka di tanah Jawa.
Rombongan kedua, dipimpin Gusti Pangeran Haryo Hadiprabowo,
diperintahkan mengambil bunga tabur dari makam Sultan Agung di Pajimatan
Imogiri-Yogyakarta.
Rombongan ketiga, bertugas "caos dahar" atau melakukan sesaji di Pandan
Segege yang dipercaya merupakan pintu gerbang pertama menuju ke keraton gaib
Laut Kidul Rombongan dipimpin Kangjeng Pangeran Haryo Mloyomiluhur.
Rombongan keempat, Gusti Pangeran Haryo Puspo hadikusumo bersama
beberapa saudaranya diminta mencari tanah dari makam Sunan Bayat serta air
umbul Pengging Nggonowelang, Mungup serta Jolotundo dekat Cokrotulung
Kabupaten Klaten.
Rombongan kelima. Gusti Pangeran Haryo Puger disertai abdi dalem Juru
Suranata ditugasi mengadakan sesaji dan mengambil tanah dari makam Ki Ageng
Butuh di daerah Banyubiru.
Rombongan keenam, Gusti Pangeran Haryo Suryo Darsono ditemani Gusti
Raden Mas Nur Muhamad diminta mencari air bening dari Dlepih. Kahyangan
Kabupaten Wonogiri, tempat petilasan Panembahan Senapati saat mencari wahyu
keraton Mataram.
Rombongan ketujuh. Gusti Raden Mas Suryo Suparto bersama saudaranya,
Gusti Raden Mas Suryo Suharso, bertugas mengambil air dari Candi Cetha di
daerah Kemuning, lereng Gunung Lawu.
Rabu malam hari, 14 Agustus. seluruh barang tersebut dikumpulkan
menjadi satu di Keraton Kulon. Dua hari kemudian. Jum’at. 16 Agustus malam
diselenggarakan selamatan dan sesaji di bekas Bangsal Prabasuyasan Dilanjutkan
keesokan harinya. tepat 17 Agustus puku 15.00 dilakukan upacara Sesaji Raja
Suya berupa penanaman tumbal kepala harimau, menjangan. sato iwen (unggas)
dan iber-iberan (burun) disamping berbagai air, tanah serta bunga dari makam dan
tempat keramat yang, berhasil dikumpulkan oleh kelompok utusan.
82
Sesaji Raja Suya sekaligus untuk menandai peletakan batu pertama calon
bangunan Dalem Ageng Prabasuyasa oleh Kanjeng Gusti Pangeran Haryo
Hangabehi, putra sulung Sinuhun Pakoe Boewono XII. Dengan demikian tahap
paling awal dari rangkaian panjang serta rumit kegiatan renovasi Keraton
Kasunanan telah dimulai.
Pengerjaan struktur bangunan bagian bawah berlangsung lancar tanpa
hambatan berarti. Batas setiap bangsal lama masih terlihat jelas. sehingga luas
bangunan baru penggantinya tak mungkin berubah dari ukuran yang semestinya.
Pembuatan fondasi cor beton dipercayakan kepada CV.Ciptorini,
perusahaan jasa konstruksi milik Kanjeng Raden Tumenggung Ciptonegoro.
seorang abdi dalem keraton. Tahap berikutnya, mulai awal Desember, renovasi
fisik dilanjutkan oleh PT. Pembangunan Perumahan (PP), Departemen Pekerjaan
Umum. Ditunjuk sebagai Ketua Pelaksana Proyek adalah Kolonel Soemarno.
C. Penggunaan Serat Kalang sebagai Pedom an dalam Pelaksanaan
Pembangunan Kem bali Keraton Kasunanan Surakarta tahun 1987
Dalam Pelaksanaan pembangunan kembali Keraton Kasunanan Surakarta
masih berpedoman pada serat kalang (hasil wawancara kepada narasumber KGPH
Poeger).
Serat kalang adalah dokumen tua bertuliskan huruf jawa dan didalamnya
menjelaskan tentang prinsip-prinsip pembagian ruang serta ukurannya, kerangka
bangunan serta persyaratan bahan-bahan bangunan yang seharusnya
dipergunakan.
Persoalan utama dalam proses membangun kembali keraton sesuai bentuk
aslinya. Ini bukan hal mudah. Karena, arsitektur keraton bukan hanya bersifat
fisik teknis, melainkan juga sarat masalah spiritual tentang lambang-lambang
kekuatan dari setiap bagian bentuk dan pembagian ruangan yang bermuara pada
satu tujuan besar, yakni keselamatan raja dan kerajaan.
Hampir setiap bagian bangunan Keraton Kasunanan tak pernah
didokumentasikan secara detil dalam bentuk gambar atau cetak biru dari berbagai
sudut pandang serta penampang. Sementara kalaupun ada naskah-naskah tua yang
83
ditemukan kebanyakan hanya menjelaskan tentang jenis dhapur atau bentuk
bangunannya.
Sasono sewoko, misalnya, berdhapur Joglo Pangrawit Bangsal Parasdya
bermodel Joglo Kepuhan. Dalem Ageng Prabasuyasa yang terdiri dari 4 ruangan -
Kamar Gadhing, Kamar Ageng, Gedhong Pusaka dan Prabasana - mempunyai
bentuk Joglo Limasan. Sedang Sasana Handrawina yang berdinding kaca
seluruhnya bermodelkan Limasan Klabang Nyander.
Untuk merekonstruksi ragam arsitektur tradisi itu, Tim 13 mencoba
mendasarkan pada konsep Serat Kalang. Dokumen tua bertuliskan huruf Jawa ini
menjelaskan tentang prinsip-prinsip pembagian ruang serta ukurannya, kerangka
bangunan serta persyaratan bahan-bahan bangunan yang seharusnya dipergunakan
Berlandaskan teori tersebut. dengan memperbandingkan luas bekas lantai dan
jumlah saka guru atau tiang penyangga utama pada setiap bangsal yang terbakar,
diharapkan dhapur; ukuran tinggi maupun luas bangunan baru penggant i dapat
dihitung mendekati ketepatan
Hiasan tatah sungging (ukiran) di setiap tiang, dicoba direka ulang melalui
foto-foto dalam jumlah terbatas yang pernah dibuat. Khusus untuk pekerjaan seni
ini dipercayakan kepada para juru ukir dari Serenan Kabupaten Klaten yang
merupakan generasi keturunan ahli ukir keraton.
Dengan seijin Menteri Kehutanan Sudjarwo, kayu yang akan dipergunakan
sebagai bahan bangunan diambilkan dari Donoloyo. Dari hutan jati di kawasan
Kecamatan Slogohimo, Kabupaten Wonogiri inilah dulu seluruh kebutuhan kayu
untuk pembangunan Keraton Kartusura sampai Kasunanan Surakarta dicukupi.
Setelah kemerdekaan, Donoloyo oleh Departemen Kehutanan dijadikan
sebagai alas tutupan atau hutan lindung Penebangan kayu jati dari kawasan ini
termasuk kebutuhan renovasi keraton, harus memperoleh ijin pemerintah.
Kamis, 11 April 1985, Gusti Pangeran Haryo Hadiprabowo, Gusti Pangeran
Haryo Suryo Bandono dan Kangjeng Raden Mas Haryo Riyo Yosodipuro diutus
ke hutan Donoloyo. Ketiganya bersepakat memilih 21 batang jati tua berdiamater
lebih dari dua rangkulan tangan dewasa yang diduga sedikitnya telah berumur dua
abad guna keperluan pembangunan kembali keraton.
84
Di masa lampau pengangkutan kayu tebangan cukup dihanyutkan lewat
Bengawan Solo yang mengalir di dekat Donoloyo. Oleh abdi-abdi dalem, kayu-
kayu tersebut dicegat di bagian hilir pinggiran kota Solo. Pilihan paling praktis
dan ekonom is pada zamannya meski membutuhkan tempo relatif lama.
Resiko kehilangan di tengah perjalanan karena dibajak penduduk pedesaan
di sekitar aliran bengawan kecil kemungkinan terjadi. Sebab, telah kuat terpateri
citra tentang keangkeran kayu jati asal Donoloyo.
Kini sejalan dengan perkembangan transportasi, kayu-kayu kualitas sangat
prima berumur ratusan tahun itu diangkut truk langsung masuk menuju shawmill
atau perusahaan penggergajian di Kali Jenes. Cara mengirim dengan menghilirkan
kayu melalui aliran Bengawan Solo dinilai tak lagi aman. Kisah kekuatan mistis
kayu Donoloyo tak lagi menakutkan. Nilai jual tinggi kayu jati langka, lebih
menarik dibanding sekedar dongeng seram.
Setelah selesai dipotong menjadi berbagai ukuran sesuai kebutuhan. kayu-
kayu tersebut tak langsung dipakai, tetapi direndam terlebih dulu dalam kolam
Bandengan di keraton dengan sesaji komplet untuk mempertinggi kualitas. Sekitar
20 abdi dalem wanita dikerahkan guna mempersiapkan kelengkapan sesaji.
Sementara abdi dalem Suranata membacakan salawat.
Sehari sebelumnya diselenggarakan selamatan di Masjid Pujosono.
Mengemban perintah Sinuhun, Kangjeng Raden Mas Haryo Riyo Yosodipuro
meminta Kangjeng Raden Tumenggung Pudjodipuro memohonkan doa kepada:
Kangjeng Nabi Adam serta Siti Hawa, Kangjeng Nabi Rasulullah beserta keluarga dan seluruh sahabat, Kangjeng Nabi Khidir, Kangjeng Nabi Ilyas, Kangjeng Sunan Bonang, Kangjeng Sunan Kalijaga, Kangjeng Sultan Prabu Hanyakrakusuma dan raja-raja keturunanrrya, Para pepunden di empat kiblat (mnata angin), Kangjeng Sunan Lawu, Kangjeng Ratu Kencanasari, Kangjeng Ratu Kedaton dan Kangjeng Ratu Kalayuwati, serta Para leluhur lain agar memberkahi kayu-kayu Donoloyo sebagai bakal calon pendirian keraton pengganti yang telah terbakar.
85
Usai selamatan, khusus bagi Kolonel Soemarno dipersyaratkan makan ketan
biru. sawo manila dan jadah pisang: Ketan biru mengandung makna luas
wawasannya, sawo manila mendapat kemudahan apa yang di minta. sedangkan
jadah pisang berart i bersatu dan mendapat titik terang.
Ketiganya jika disimpulkan memberikan makna agar Soemarno dalam
mengerjakan pembangunan kembali keraton Kasunanan senantiasa bisa
mengerahkan seluruh komponen yang ada, tak mendapatkan kesulitan dan
memiliki sikap terbuka (bersatu) dalam menerima masukan.
Pembangunan Dalem Ageng Prabasuyasa yang sudah dimulai sejak 17
Agustus 1986 dengan sesaji lengkap ternyata masih menuntut persyaratan lain.
Saat menggarap krobongan satu dari 4 kamar dalam Prabasuyasa - membutuhkan
syarat sebongkah batu marmer.
Pada 26 April 1987, Sinuhun Pakoe Boewono XII mengirim utusan ke
perusahaan pertambangan marmer di Tulungagung. Rombongan keraton terdiri
dari Kolonel Soemarno, Gusti Pangeran Haryo Hadiprabowo, Kangjeng Raden
Mas Haryo Riyo Yosodipuro serta 4 abdi dalem Suranata di samping beberapa
abdi dalem wanita. Tugas khusus kedua kelompok abdi tersebut adalah meracik
sesaji sebelum dimulai penambangan marmer dari perut Gunung Besole.
Selamatan berlangsung pukul 16.00 di lokasi pabrik yng berjarak sekitar 30
km arah selatan Tulungagung. Ikut hadir pada kesempatan itu Drs. Sani Chandra,
pimpinan pabrik.
Setelah menunggu 3 bulan lebih diperoleh kabar bongkahan marmer telah
selesai diproses. Persoalannya, Tulungagung tidak berani mengirim langsung
sebelum ada perintah lanjutan dari pihak keraton.
Pada 6 Agustus 1987, Kolonel Soemarno disertai Kangjeng Gusti Pangeran
Haryo Hangabehi kembali ke Tulungagung. Malam hari sekitrar puku! 19.00,
bongkahan marmer diusung ke atas truk yang sudah disediakan pabrik setelah
sebelumnya diselenggarakan upacara sesaji. Sesuai wangsit, perjalanan menuju ke
Surakarta diisyaratkan tak boleh herhenti untuk keperluan apapun.
Sepanjang jalur Tulungagung-Solo sedikitnya terdapat 4 pos penimbangan
angkutan yang semestinya disinggahi. Karenanya, pimpinan rombongan, Kolonel
86
Soemarno yang berada paling depan harus melaju lebih cepat setiap akan
memasuki pos penimbangan Nganjuk, Mantingan dan Ngawi untuk melakukan
pendekatan dengan petugas Dinas Lalu Lintas Angkutan Jalan.
Pada keesokan paginya, 7 Agustus pukul 04.00 utusan tiba kembali di
keraton. Marmer sementara diturunkan di Magangan, menunggu saat tepat
sebelum dibawa masuk ke Krobongan.
Untuk mengangkut ke dalam keraton telah dipasang rel dan gerbong lori -
jenis kereta api kecil pengangkut tebu - dari Srimangant i Kidul menjulur lewat
pelataran depan Sasana Pustaka, berbelok ke Utara naik ke atas fondasi Paningrat,
Parasdya dan berakhir di Prabasuyasa. Sebuah unit katrol disediakan untuk
menurunkan batu marmer ke tempatnya.
Menghabiskan waktu 7 jam, bongkahan marmer berpermukaan rata dengan
ukuran sekitar 2 X 1 meter dan tinggi 70 senti meter sebagai tempat duduk
sementara Sinuhun sebelum keluar dari istana menuju Sasono Sewoko dalam
upacara resmi keraton ini akhirnya terpasang di Krobongan. Sebagai penutup
dilakukan sesaji pembakaran dupa setanggi oleh Raden Ayu Mandayaningrum,
Pengageng Parentah Keputren, disaksikan Drs.Sani Chandra, pimpinan pabrik
marmer Tulungagung.
Dua bulan sebelumnya, tepatnya Kamis, 8 Juni selamatan serupa dilakukan
di Bangsal Pradangga Kidul untuk keperluan pendirian saka guru Sasono sewoko.
lSesaji diawali dengan; "tuQuran" atau samadi semalam suntuk di keraton,
dilanjutkan pada hari-hari berikutnya berziarah dan berzikir di makam Sultan
Agung, Pakoe Boewono I sampai X di Im ogiri dan Amangkurat I di Tegal.
Selain itu masih banyak sesaji-sesaji kecil lain untuk menandai awal
kegiatan setiap pembangunan bangsal yang merupakan satu rangkaian panjang
dari keseluruhan renovasi: Pembuatan Maligi, semacam kanopi yang me!ekat
pada Sasono sewoko, misalnva, disertai selamatan penanaman kain jarik corak
parangkusuma dan ampo atau irisan tanah liat merah yang ditanam di tempat
sudut arah mata angin. Wilujengan.(selamatan) dilakukan pula ketika membuat
benda-benda kelengkapan – termasuk mebel pengganti yang terbakar.
Meski telah dicoba digarap sangat teliti, cermat dan melewati tahapan
87
upacara-upacara ritual, hambatan bahkan musibah tetap saja tak terhindarkan
sepenuhnya. Atap Maligi yang sudah rampung terpasang, secara tak terduga
terbakar. Beruntung nyala api secepatnya dapat dikuasai, sehingga tak sampai
menimbulkan kerugian berarti. Hasil pengusutan menunjukkan, penyebab
kebakaran diduga kuat berasal dari percikan api peralatan las yang kemudian
menyulut alumunium foil sebagai pelapis bagian bawah atap. Akibatnya, seorang
tukang las yang pada waktu kejadian diketahui tengah memasang talang air
Sasono sewoko harus berhadapan dengan hukum di pengadilan.
D. Keberhasilan Pembangunan Kembali Keraton Kasunanan Surakarta
Tahun 1987
Setelah melalui proses pembangunan yang cukup lama akhirnya keraton
kasunanan Surakarta yang mengalami kebakaran pada tahun 1985 telah selesai
dibangun. Hasil dari pembangunan kembali keraton Kasunanan Surakarta
dipandang secara fisik sama dengan wujud bangunan Keraton saat sebelum
terbakar tahun 1985 (hasil wawancara dengan narasumber KGPH Poeger),
meskipun ada sedikit perbedaan yang berkaitan dengan usia kayu yang digunakan
untuk kerangka bangunan.
1. Pendopo Ageng Sasono Sewoko
Makna sebutan “keraton Surakarta “menurut ajaran Jawa yang terdapat
pada kesusasteraan Jawa bahwa keraton adalah bangunan keraton, yaitu tempat
kediaman para pangeran yang mengemban tugas yang disebut dengan wahyu dari
Ratu (Ratu: untuk sebutan Raja di Keraton Surakarta Hadiningrat). Berhubung
bangunan tersebut sebagai tempat kediaman Ratu, maka dinamakan dengan Ka-
ra-ton, dengan ucapan Kra-ton.
Keraton Surakarta ditinjau dari kebudayaan Jawa, justru dapat disebut
bahwa “kebudayaan Jawa bersumber dari keraton Surakarta” (K.R.M.H.
Yosodipuro). Dari kata tersebut dapat disimak, bahwa pada dasarnya manusia itu
hanya melaksanakan petunjuk Tuhan (papadhanging pangeran). Dan
Papadhanging Pangeran tersebut terkadang (sinuksma) di dalam budi manusia.
Budi tersebut merupakan cahaya yang dapat membuka /menunjukkan kebenaran
88
(pepadhang),terhadap manusia dan harus diamalkan. Setelah diamalkan dengan
baik maka disebut dengan budaya. Hasil dari budaya manusia tersebut dapat
berarti sebagai kebudayaan, sehingga menurut perilaku orang Jawa berart i
kebudayaan Jawa.
Pada pokoknya bahwa budi itu segala sesuatu yang halus dan luhur
seperti: suci, asih, adil, rahayu, utama dan sebagainya. Sedangkan kebudayaan
yang bersumber dari Keraton Surakarta tersebut dapat kita artikan secara lahiriyah
seperti: Tata cara, adat, kesusilaan, tata karma/kesopanan, gamelan, gendhing,
begsan, kesusasteraan, tata bahasa, tata bangunan yang semuanya itu dapat
memberikan rasa temtram lahir dan batin m anusia (raos hayem-hayom-temteram-
aprabowo).
Keraton juga dapat disebut sebagai manunggalnya tiga perkara, yaitu:
1. Pangemban wahyu bagi Hingkang Sinuwun Kangjeng Susuhunan.
2. Kerabat keraton (sentono, abdi dalem, kawula hangadep)
3. Keraton sebagai pengayom /pelindung lahir dan batin para kerabatnya
Sedangkan yang disebut dengan bangunan keraton Surakarta Hadiningrat
secara keseluruhan adalah mulai dari Gapura Gladhag ke selatan sampai gapura
alun-alun Gadhing yang luasnya sekitar 127.500 m2 yang di dalamnya terdapat
banyak bangunan termasuk bangunan Keraton Utara.
Bangunan Keraton Utama adalah dari Kamandungan ke selatan sampai
kom plek Waroenggoendeng, dan dari kantor Sjaikara ke barat sampai sampai
Wreksodipuran seluas 235.000 m2 yang di dalamnya terdapat bangunan ndalem
Ageng dan Pendopo Sasono sewoko serta Keraton Kulon.
Pada prinsipnya bahwa susunan bangunan keraton di Jawa selalu
menghadap ke timur sejak jaman Sultan Agung. Menurut pimulang Sunan
Kalijaga bahwa timur berarti menghadap sinar matahari yang mempunyai makna
sumber kekuatan. Disini dapat kita lihat seperti pada keraton Surakarta, maka
Pendopo Ageng Kedhaton / Pendopo Sasono Sewoko dan Sasono Parasdyo
menghadap ke Timur.
Pendopo Sasono Dajinto dan Sasono Praboe menghadap ke Selatan
(segoro Kidul). Menurut kepercayaan mempunyai makna bahwa Ratu kidul
89
merupakan kekuatan batin, sedangkan pendopo sasono Probosuyoso menghadap
ke barat yang berart i keagamaan terutama agama Islam. Dan Sri Mangant i
menghadap ke utara yang berarti lahirlah atau kepandaian ilmu dan sebagainya.
Bangunan utama pada Keraton, baik Kratron Surakarta maupun Keraton
Yogyakarta selalu terdiri dari Pendopo dan nDalem Ageng, sepert i juga bangunan
rumah tradisional Jawa pada umumnya. Namun bangunan Keraton memiliki
kekhususan yaitu bentuknya dan ukuran yang lebih besar di banding dengan
rumah tradisional Jawa biasa.
Pendopo Sasono Sewoko merupakan bangunan utama Keraton Surakarta
Hadiningrat yang didirikan pada masa Pakoe Boewono ke II pada tahun 1698
(tahun Jawa) dengan seorang arsitektur yaitu Sultan Hamengku Boewono ke I.
bangunan tersebut didirikan di desa Surakarta (sekarang kodya Surakarta).
Menurut informasi bahwa bangunan Pendopo Sasono Sewoko tersebut di
perkirakan bukan merupakan bangunan yang berasal dari pendopo pindahan dari
Keraton Kartosuro. Padahal menurut kepercayaan pada jaman Mataram,
Panembahan Senopati dari Mataram mendapat wahyu, bahwa kalau membuat
Keraton harus dari kayu yang berasal dari hutan Donoloyo secara turun temurun,
sehingga kalau terjadi perpindahan Keraton, maka soko guru pada pendopo
tersebut selalu dibawa pindah dimana Keraton didirikan kembali. Oleh karena itu
maka Pakoe Boewono II waktu itu tetap melestarikan hal-hal tertentu saja yang
tetap digunakan pada Pendopo Sasono Sewoko tersebut. Sepert i sesajian kain
tumbal pada saka guru, juga kayunya diambil dari Donoloyo tersebut.
Bangunan Pendopo yang asli dari Keraton Kartosuro pada waktu
perpindahan ke Surakarta tahun 1770, oleh Pakoe Boewono ke III diberikan dan
didirikan di Mangkunegaran yang kini disebut Istana Mangkunegaran. Hal ini
terjadi dikarenakan oleh kepercayaan Pakoe Boewono III pada waktu itu.
Pendopo Sasono Sewoko dalam kondisi sekarang setelah mengalami
pemugaran akibat kebakaran pada tanggal 5 Januari 1995, bahkan penggunaan
kayu Soko Guru dan soko-soko lainnya, semuanya dari hutan Donoloyo. Hal ini
dikarenakan sulitnya mendapatkan jumlah kayu maupun kwalitas yang
diinginkan, sebab semakin kurang jumlah kayu tersebut yang ada di hutan.
90
Donoloyo. Demikian juga bahan –bahan lainnya, kebanyakan digunakan bahan-
bahan produk baru dan dalam negeri yarg tidak sesuai dengan aslinya lagi. Hal ini
dikarenakan sulitnya mendapatkan bahan-bahan yang sesuai dengan aslinya, juga
karena terbatasnya biaya pemugaran Keraton tersebut. Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa pendopo Sasono Sewoko yang kini selesai dipugar, disebut
sebagai monumen bukan lagi sebagai Keraton aslinya. Namun demikian, fungsi
Pendopo Sasono Sewoko sampai sekarang masih tetap dilestarikan sesuai dengan
aturan-aturan (Jawa: pakem) menurut kebudayaan Keraton, baik yang bersifat
tradisi maupun keagamaan yang dibawa secara turun temurun sejak berdirinya
Keraton Surakarta Hadiningrat tersebut.
Ruang-ruang pada Pendopo Ageng Sasono Sewoko
a. Ruang Maligi
Maligi atau malige merupakan nama ruang yang berada pada
bangunan pendopo Ageng Sasono Sewoko. Nama tersebut tidak mempunyai
art i khusus. Ruarg tersebut berfungsi sobagai tempat untuk khitanan ( bahasa
Jawa : supitan) bagi para putra dalem yaitu, putra ratu dan para petra
pangeran Keraton. Juga pernah diikutsertakan para putra abdi dalem
dikhitankan bersama-sama di sekitar tempat tersebut yang dilakukan secara
masal.
Dahulu ruang ini hanya berupa halaman tanah pasir saja yang berada
di bagian depan bangunan Pendopo Ageng Sasono Sewoko tepatnya bagian
timur yang berfungsi sejak berdirinya pendopo tersebut yaitu pada tahun
Wawu 1697. Acara supitan tersebut biasanya dilakukan pada waktu hari
Jumat 19 Robingulakhir. Upacara supitan dilakukan di Ruang Maligi
tersebut, yaitu putra-putra yang disupit didudukkan pada sebuah krobongan
yang dinamakan dengan Kadorengga (nama tempat supitan yang terbuat dari
kayu jati membentuk segi empat dengan ukuran ± 2 m X 2 m dengan ukiran
motif Mataram Pada waktu acara supitan tersebut, supitan tersebut
dilakukan di Ruang Maligi menghadap ke timur., yaitu menghadap menuju
91
terbitnya matahari dan biasanya pada waktu pagi hari /subuh, menjelang
matahari terbit. Hal ini dikarenakan bahwa sinar matahari dianggap sebagai
sumber kehidupan.
Upacara supitan tersebut disaksikan oleh Ratu yang duduk/lenggah di
kursi (dampar) yang berada di ruang Sasono Sewoko, tepatnya di bagian
ruang antara keempat saka guru yaitu di sebelah barat ruang maligi. Beliau
menyaksikan upacara tersebut menghadap ke timur dengan didampingi para
pangeran serta para sentana yang duduk silo di lantai sekitar ruang Paringrat
bagian Timur dekat sekali, juga Ruang Sasono Sewoko dimana ruang untuk
duduk Ratu langsung berhadapan dengan ruang Maligi. Sedangkan para tamu
yang berhadapan dengan Ruang Maligi. Sedangkan para tamu yang
berpangkatkan abdi dalem duduk silo di tanah pasir plataran/ halaman bagian
timur, selatan dan utara Maligi maupun Pendopo tersebut.
Acara supitan tersebut dilakukan dengan upacara khusus berdasarkan
agama Islam yaitu dengan doa-doa yang dipimpin oleh tokoh agama secara
hikmat , sehingga ruang Maligi tersebut dapat bersifat spiritual. Untuk
halaman maka krobongan tersebut ditutup, dikelilingi dengan kain dan
trataknya /atap dengan tarup. Jika acara sudah selesai, krobongan tersebut
diambil dan disimpan di Bale Mercukunda. Ruang Maligi juga bisa
digunakan sebagai tempat untuk berdiri Ratu, yaitu pada waktu Ratu dan para
pandampingnya berdiri untuk memberi hormat menyaksikan upacara
pertunjukan "detile" (baris berbaris) tentara maupun satuan-satuan Keraton
yang berbaris di halaman Timur Maligi tersebut, juga baris-berbaris satuan
pandu / Pramuka dan anak-anak sekolah. Disamping itu ruang Maligi juga
sebagai tempat untuk sowan / bertemu para abdi dalem Sentono Panji serta
para buyutnya (keturunannya). Bentuk Maligi mengalami perubahan yaitu
setelah dibangun menjadi bangunan yang manpunyai ruang dan atap serta
lantai yang permanen dengan bentuk yang disebut. Topengan yang manempel
di bagian Timur Pendopo Sasona Sewoko tersebut . Topengan ini dibangun
o1eh Pakoe Boewono ke IX sejak beliau bertahta yaitu pada bari Jumat
tanggal 19 Rabingulakhir tahun Alip 1811 (1 0 Maret 1882 Masehi). Sejak
92
itu ruang Maligi pernah digunakan supitan Pakoe Boewono ke XII waktu
kecil serta para putra Pakoe Boewono ke XII .
Ruang Maligi mempunyai luas lantai 8,5 m kali 18,10 m dengan
bentuk atap “limasan Jubungan” dan Saka (tiang) 8 buah dengan lantai
marmer alam bersih dan mengkilat yang membuat kesan mewah. Ruang ini
sering digunakan untuk keluar masuk para abdi dalem yang berkunjung
menghadap Ratu maupun dalam upacara-upacara tradisi lainnya. Dengan
demikian ruang ini bisa disebut sebagai pintu masuk utama, sebab merupakan
ruang yang paling depan / timur dari Pendopo Sasono Sewoko.
b. Ruang Pendopo Sasono Sewoko.
Ruang Pendopo Sasono Sowoko, pada dasarnya adalah ruang Sasono
Sewoko yang merupakan bagian utama yang terpent ing dari bangunan
Pandopo Sasono Sewoko. Arti dari nama Sasono Sewoko tersebut adalah :
Sasono berart i tempat dan Sewoko berart i menghadap ke suatu arah ialah
Tuhan Yang Maha Esa. Ruang tersebut tidak sembarang orang diperbolehkan
masuk, dikarenakan hubungannya dengan kepercayaan dan berfungsi untuk
Siniwoko(semedhi).
Sesuai dengan art i nama Sasono Sewoko tersebut maka fungsi utama
dari ruang tersebut adalah digunakan Ratu /Sri Susuhunan untuk duduk
"lenggah Siniwoko”. Yang dimaksud dengan lenggah siniwoko ialah Ratu
duduk di atas sebuah kursi untuk melakukan semedhi (mengheningkan cipta)
memohon kesejahteraan Keraton seisinya dan lingkungan sekitarnya. secara
lahir dan bathin. Keselamatan lahir dalam hal ini merupakan tanggung jawab
pepatih dalem untuk menjaga keselamatan bathin dilakukan oleh Ratu sendiri.
Di dalam melakukan semedhi, Ratu dalam posisi duduk siniwoko
yang berarti dilayani (dihadap), yaitu Ratu duduk di Dampar Kencono
(bangku tempat duduk Ratu tanpa sandaran tangan dan belakang) yang di
tempatkan sebelah barat Soko Guru dan menghadap ke timur. Menurut
kepercayaan Ratu duduk siniwoko menghadap ke timur menyongsong
terbitnya matahari, dimana matahari merupakan sumber kehidupan.
93
Pada upacara Ratudi dampingi oleh orang-orang yang hadir
menghadap (sewoko), yaitu para Pangeran, para Sentono dan keluarganya
yang duduk silo di sampingnya, bersama-sama semedhi menghadap ke timur
juga. Para pendamping yang hadir tersebut semuanya duduk silo di lantai
berkelompok-kelompok menurut hirarkhi Kepangkatannya. Yang duduk silo
disamping kanan - kiri dan belakang Ratu di ruang daerah Soko Penanggap
dan Soko Rowo adalah untuk para pangeran, di ruang tepi / daerah Paningrat
utara dan selatan adalah para Riyo Inggil / atas dan sentono,
serta di daerah luar/ halaman utara dan Selatan untuk para abdi dalem.
Semasa Keraton mempunyai pemerintahan sendiri, upacara semedhi
siniwoko tersebut dilakukan setiap hari Senin dan Kamis. Pada masa Pakoe
Boewono ke X upacara tersebut dilakukan hanya sebulan sekali pada hari
Senin atau Kamis karena beliau sibuk mengurusi perjuangan masa perang Ke-
merdekaan Republik Indonesia. Dan setelah jaman R.I hanya dilakukan
secara tetap yaitu setiap peringatan hari penobatan Jumenengan Ratu pada
tanggal 2 Ruwah setahun sekali.
Di dalam jalannya Upacara hari Ulang Tahun Penobatan Ratu
tersebut, terdapat suatu acara khusus yaitu pagelaran tari Bedhaya Ketawang
yang diiringi dengan musik gamelan khusus pula. Tari Bedhaya Ketawang ini
dilakukan setelah upacara semedhi lenggah sinuwoko. Tarian ini dimainkan
oleh putra-putri abdi dalem yang digelarkan di tengah-tengah ruang sasono
sewoko, menghadap kearah Ratu yang duduk siniwoko di dampar Kencono,
dan disaksikan.pula oleh para abdi dalem yang hadir duduk silo di lantai.
Menurut kepercayaan, tarian Bedhaya Ketawang ini bersifat magis-
spiritual. Yang dimaksudkan adalah merupakan ungkapan secara fisik yang
menggambarkan tentang perkawinan antara sinuhun dengan roh halus
Kangjeng Ratu Kidul. Sehingga, tari Bedhaya Ketawang dianggap sebagai
simbol yang mempunyai kekuatan magis bagi Ratu Keraton Surakarta dan
para abdi pengikutnya. Dengan demikian ruang Pendopo Sasono Sewoko,
juga berfungsi sebagai tempat pagelaran tari Bedhaya Ketawang sebagai
acara khusus di dalam upacara Ulang Tahun Penobatan Raja Keraton
94
Surakarta.
Sasana Sewoko disamping sebagai tempat upacara semedhi siniwoko
juga digunakan untuk keperluan kerajaan yang bersifat Keraton maupun
Keagamaan.
Fungsi lainnya dari ruang Sasono Sewoko tersebut adalah untuk
upacara keagamaan seperti: sekaten, maleman, malam satu suro, mahesa
lawung dan juga untuk mantu(pernikahan putra-putri Raja). Upacara-upacara
keagamaan tersebut dilaksanakan setahun sekali dan merupakan tradisi turun-
temurun sampai sekarang masih diselenggarakan. Hal tersebut dikarenakan
menurut kepercayaan piwulang Sunan Kalijogo, bahwa Keraton merupakan
titik temu antara Islam dan Jawa, sehingga tradisi Jawa di dalam Keraton
dilakukan berdasarkan agama Islam.
Upacara tradisi Sekaten merupakan peristiwa yang bersifat spiritual
dari agama Islam, yaitu hubungan manusia dengan Tuhannya dan untuk
memperingati hari lahirnya Nabi Muhammad Saw sebagai Rasul Allah,
tepatnya pada tanggal 12 Maulud. Sehingga upacara Sekaten tersebut
dilakukan setiap bulan Maulud tanggal 5 sampai 12 di lingkungan Keraton
Surakarta, seperti halnya di Keraton Yogyakarta.
Upacara Sekaten dipusatkan di Ruang Sasono Sewoko, yaitu
diwujudkan dengan nasi tumpengan berbentuk gunungan besar dan sesajian
sebagai sarat-sarat tertentu menurut kepercayaan. Gunungan tersebut
diletakkan di tengah-tengah daerah Soko Guru dan diberi doa oleh seorang
tokoh Agama Islam Keraton, disaksikan Ratu yang duduk di dampar kencono
bersama-sama pula dengan para abdinya yang hadir duduk silo di sekitarnya.
Jumlah gunungan tersebut disesuaikan menurut jumlah tahun Raja tersebut
bertahta. Jadi setiap tahun jumlah gunungan bertambah.
Setelah upacara doa selesai, maka gunungan tersebut dibawa para abdi
dalem disaksikan oleh khalayak (dahulu rakyat penganutnya) diarak sambil
berbaris ke alun-alun Utara menuju ka halaman Masjid Agung Keraton
Surakarta pada siang hari. Sesampainya di halaman masjid, gunungan
tersebut dibagi-bagikan kepada para jemaah yang berada di Masjid dan
95
khalayak sebagai santapan. Menurut kepercayaan, barang siapa yang
mendapat bagian makan gunungan tersebut akan mendapatkan banyak rejeki
dan ketenteraman lahir dan batin dari Allah yang Maha Kuasa (Kejawen:
Sang Murbaing Jagad).
Sejak keraton tidak memiliki kekuasaan lagi (Negara) seperti dulu,
yaitu sejak Pakoe Boewono ke XII bertahta, maka jumlah gunungan tersebut
hanya berjumlah dua. Hal tersebut karena hanya faktor biaya yang tidak
mencukupi, namun upacara Sekaten tetap dilakukan secara hikmat . Disam
ping itu juga upacara pesta tradisi rakyat di sekitar alun-alun Utara untuk
menyambut gunungan Sekaten tersebut, kini sudah berkembang menjadi
sarana promosi perdagangan dan industri.
Upacara tradisi Maleman yang dilakukan satu tahun sekali di bulan
puasa, yaitu pada hari Puasa ke 21 sampai selesai puasa. Upacara Maleman
tersebut juga dipusatkan di ruang Sasono Sewoko dengan upacara doa yang
dipimpin oleh seorang tokoh agama Islam dari Keraton. Dalam upacara
Maleman yang dilakukan pada malam hari tersebut, Ratu duduk di dampar
Kencono menghadap ke Timur. Para abdi dalem yang hadir, bersama-sama
duduk silo di lantai ruang sekitar Soko Penanggap, Soko Rowo dan Paningrat
mengelilingi Nasi Tumpengan yang akan dibagikan kepada semua yang
hadir. Disamping itu juga ada sesajian sebagai syarat untuk memenuhi
kepercayaan Jawa yang mengandung makna-makna tertentu menurut
kepercayaan Keraton.
Selanjutnya untuk upacara malam Satu Suro yang juga di lakukan di
Ruang Sasono Sewoko tersebut, sama sepert i halnya upacara malam Satu
Suro ini dilaksanakan setahun sekali pada malam tanggal 1 Bulan Suro. Pada
malam tersebut merupakan upacara khusus, yaitu upacara kirap Pusaka
Keraton.
Pusaka-pusaka milik Keraton yang disimpan berada di nDalem Ageng
Probosuyoso dikeluarkan semua dan dibawa keluar melalui Sasono Parasdya
dan Ruang Sasono Sewoko. Setelah melalui upacara doa yang dipimpin oleh
seorang tokoh Agama Islam di Ruang Sasono Sewoko tersebut dan
96
disaksikan Ratu beserta para abdinya, Pusaka-pusaka tersebut kemudian
diarak keliling Keraton luar dan melalui Sri Manganti. dan Kori
Kamandungan. Setelah itu dikembalikan lagi sepert i semula.
Upacara keagamaan yang disebut Mahesa Lawung yang juga di
pusatkan di Ruang Sasono Sewoko, dilakukan setahun sekali pada hari Senin
atau Kamis di Bulan Robingulakhir (Bulan terakhir pada bulan Jawa).
Upacara ini menggunakan sesajian dan yang utama ialah dalam bentuk kepala
kerbau sebagai simbol rasa syukur kepada Tuhan. Kerbau tersebut disembelih
di halaman muka Ruang Maligi. Kepala kerbau tersebut kemudian dibawa
melalui ruang Maligi yang diletakkan di ruang Sasono Sewoko untu diberi
doa oleh seorang tokoh Agama Islam, disaksikan oleh Ratu yang duduk di
dampar bersama-sama dengan para abdinya yang duduk silo mengelilingi
sesajian tersebut. Para abdi yang hadir mengikuti upacara tersebut duduk silo
di lantai sesuai dengan hirarkhi kepangkatan Keraton sepert i waktu upacara
keagamaan yang lain setelah upacara doa selesai, maka sesajian kepala
kerbau tersebut diangkut oleh para abdinya dan diletakkan di daerah
Kaliyoso.
Ruang Sasono Sewoko disamping berfungsi sebagai tempat untuk
upacara-upacara keagamaan, juga untuk upacara mantu (pernikahan putra
Ratu). Upacara mantu ini dilakukan dengan cara Agama Islam dan
upacara pernikahan adat Jawa kebesaran Keraton Surakarta Hadiningrat .
Jalannya upacara mantu ini antara lain, yaitu diawali dengan upacara
ijab kedua mempelai dipimpin oleh tokoh / penghulu agama islam dan
dilakukan di ruang tengah/ Soko Guru yang disaksikan oleh orang tua kedua
belah pihak. Selanjutnya kedua mempelai duduk dikursi pengant in yang
menghadap ke Timur di ruang tersebut. Sementara itu, Ratu dan Mertua
mempelai duduk sebelah kanan kiri mempelai. Dan undangan yang hadir
duduk silo di lantai menurut hirarkhi/ urutan tingkat kapangkatannya
mengelilingi mempelai.
Aengelompokan secara hirarkhis tersebut, pada dasarnya dibagi
menjadi 3 kelompok sesuai dengan pengelompokan Ruang yang ada ada pada
97
Pandopo Ageng Sasono Sewoko tersebut. Ruang-ruang tersebut adalah :
1) Daerah yang utama, yaitu ruang bagian, tengah (Ruang Sasono Sewoko)
yang memiliki empat buah soko Guru, 12 buah Soko Penanggap dan 20
buah Soko Rowo dengan luas lantai 21,35 m 23,35 m serta bentuk atap
“Joglo Pangrawit” ruang ini memiliki lantai yang paling tinggi sekitar 75
cm dari tanah. Yang berhak duduk di ruang ini yaitu disamping Ratu itu
sendiri, juga para abdi dalem yang memiliki pangkat tert inggi sesuai
dengan lantainya yang paling tinggi tersebut. Disini duduk berurutan
seperti para Adipati dan Kanjeng Pangeran serta Pepatih.
2) Daerah yang kedua, yaitu ruang daerah tepi (Paningrat Timur, Selatan,
Barat dan Utara) yang mengelilingi Sasono Sewoko, Ruang ini memiliki
40 buah tiang besi dengan atap emperan yang menempel pada Sasono
Sewoko, dengan lantai yang lebih rendah dari Sasono Sewoko. Yang
berhak duduk di ruang ini yaitu untuk para abdi dalem yang memiliki
kepangkatan yang lebih rendah dari kepangkatan yang berada di Sasono
Sewoko, sepert i para Riyo Inggil / tinggi, Sentono dan Bupat i.
3) Daerah yang ketiga yaitu daerah halaman luar di bagian depan dan kanan
kiri Pendopo Sasono Sewoko, merupakan urutan tingkatan yang terendah,
karena halaman yang terbuka ini rendah dan luas. Yang berhak duduk di
halaman dengan tanah pasir yang bersih dari Gunung Merapi ini, yaitu
golongan pangkat yang paling rendah, sepert i para Riyo Ngandap / rendah,
sampai para abdi dalem Jajar.
Pada dasarnya Ruang Pendopo Sasono Sewoko ini menghadap ke
Timur sesuai dengan art i dari “lenggah siniwiko” tersebut. Ruang ini juga
mempunyai hubungnn yang dekat dan erat sekali dengan fungsi ruang yang
berada di Paningrat dan Maligi. Juga hubungannya dengan Sasono Parasya
karena dekat dan terbuka berhadapan langsung dengan Paningrat bagian
Barat. Sifat dari ruang Sasono Sewoko ini bersifat khusus (bahasa Inggris :
Private) karena fungsi kegiatannya untuk Ratu dan para Abdi dalem tingkatan
tertinggi dan sebagai pusat upacara, adat dan keagamann yang bersifat
spiritual batiniyah.
98
Menurut kepercayaan, bahwa ruang Pendopo Sasono Sewoko ini
mempunyai kekuatan magis. Hal ini dapat dilihat dari fungsi utama ruang
tersebut, yaitu sebagai pusat upacara-upacara tradisi Keraton. Hal ini juga
terbukt i bahwa pada jaman Belanda masa Pakoe Boewono II, pernah akan
diadakan suatu perundingan antara pihak Belanda dengan Keraton tentang
tanah Jawa dan permasalahannya. Setelah rombongan Gubernur Belanda
diterima pihak Ratu di Pendopo Sasono Sewoko, rombongan dijamu makan-
minum dan tari Bedhaya Ketawang yang sakral. Sehingga, pihak Belanda
menjadi lupa akan tujuan semula dan kemudian pamitan pulang tidak jadi
berunding.
Presiden Republik Indonesia Soekarno juga pernah berkunjung
menghadap Pakoe Boewono XI. Tetapi pada waktu Presiden akan memasuki
Pendopo Sasono Sewoko, tiba-t iba Presiden menolak karena saat itu ada
perasaan tertentu hingga terpaksa diterima di ruang lain yaitu di Sasono
Handriwino.
Pada akhir Pakoe Boewono ke XI bertakta, tradisi duduk silo dilantai
tersebut mulai berubah menjadi duduk di kursi. Demikian pula yang duduk di
Paningrat maupun di halaman, semua duduk di kursi. Hal tersebut
dikarenakan pada waktu itu merupakan masa pergolakan penjajahan Belanda,
sehingga pihak Keraton sering dikunjungi Belanda. Untuk menghormat i tamu
Belanda tersebut, maka Ratu Paku Boewono ke XI berani memberikan ijin-
ijin tertentu diluar peraturan Keraton yang disebut dengan lilah dalem (ijin),
sepert i menerima tamu dengan duduk di kursi tersebut.
Perubahan tradisi menjadi duduk di kursi tersebut, diteruskan oleh
Pakoe Boewono ke XII bahkan pada waktu upacara Keraton lainnya. Hal
tersebut juga dikarenakan untuk menyesuaikan dengan kondisi masyarakat
setelah jaman kemerdekaan, yang agaknya kurang berminat duduk dengan
silo, sebab kurang menghargai martabat seseorang. Sekalipun demikian,
upacara-upacara Keraton tersebut tetap dilakukan secara hikmat sesuai
dengan aturan-aturan atau pernatan Keraton yang berlaku.
Tetapi setelah Pendopo Sasono Sewoko mengalami kebakaran dan
99
tidak bisa berfungsi, sementara upacara adat dan keagamaan Keraton
dilakukan di Keraton Kulon yang terletak di sebelah Barat Keraton Utama
yang terbakar tersebut. Selama di Keraton Kilen ini yaitu selama tahun 1985
sampai 1987, upacara-upacara adat dan keagamaan tersebut kembali lagi
dilakukan seperti cara adat tradisi semula, yaitu dengan tradisi duduk silo
di.lantai. Hal ini dilakukan karena kepercayaan dan adat berdasarkan ilham
atau sasmito Sinuhun. Disamping, itu, juga karena. atas dorongan rasa dari
Ratu dan penganutya untuk menikmati suasana duduk silo agar merasa
tentram.
Selama pembangunan keraton yang terbakar tersebut, upacara-upacara
keraton tetap dilakukan di keraton kilen. Tetapi untuk tumpengan, gunungan
dan sajian kepala kerbau, ditempatkan di Pendopo Mariokoto yang terletak di
Sri Manganti. Hal ini dilakukan karena hubungan dengan adat yang
berdasarkan ilham atau sasmito Sinuhun tersebut. Sebab, menurut sejarah
bahwa sejak Pakoe Boewono ke X, Pakoe Boewono XI sampai Pakoe
Boewono XII. Ratu dianggap sebagai Pujangga yang memegang penuh
urusan kebatinan atau spiritual dalam kerajaan.
Setelah Pendopo Ageng Sasono Sewoko selesai dipugar kembali dan
mulai berfungsi tahun 1988, upacara-upacara Keraton dilakukan di Pendopo
Ageng Sasono Sewoko lagi. Demikian pula tradisi duduk silo di lantai dan
urutan sesuai dengan hirarkhi kepangkatan, dilakukan sepert i tradisi semula
yang dibawa dari Keraton Kilen tersebut. Jadi tidak dilakukan duduk di kursi
lagi sampai sekarang. Hal ini disebabkan oleh keinginan Ratu untuk tetap
melestarikan tradisi Keraton tersebut secara turun temurun.
c. Ruang Paningrat
Nama Paningrat dalam hal ini tidak memiliki art i khusus, sebab
Paningrat merupakan bagian ruang penunjang saja untuk melengkapi
bangunan tradisional pada umumnya, maupun pada Pendopo di Keraton.
Ruang Paningrat ini dahulu dibuat tidak permanen, yaitu hanya dengan
emperan lantai biasa dan tratak tarup yang sangat sederhana. Paningrat ini
100
dibangun pada masa Pakoe Boewono ke X dan berangsur-angsur
disempurnakan menjadi bangunan Paningrat yang permanen, hingga sekarang
menjadi satu dengan Pendopo Sasono Sewoko.
Lantai Paningrat ini berlantai marmer, dengan bentuk atap “trajumas”
yng memanjang mengelilingi dan menyatu dengan Pendopo Sasono Sewoko.
Lantai Paningrat ini lebih rendah dari lantai di Ruang Pendopo Sasono
Sewoko, dikarenakan berdasarkan fungsi menurut hirarkhi tingkat
kepangkatan di bawah tingkat kepangkatan yang ada di Sasono Sewoko
tersebut.
Fungsi utama dari Ruang Paningrat ini adalah untuk menerima para
abdi dalem tingkatan menengah, yaitu para Riyo Inggil atau Sentono dan
Bupati untuk menghadap Ratu dalam upacara-upacara tradisi Keraton yang
dipusatkan di Ruang Sasono Sewoko tersebut.
Di Ruang Paningrat yang terdiri dari Paningrat Timur, Utara, Barat
dan Selatan, para abdi dalem yang menghadap harus duduk silo di lantai,
disebabkan berdasarkan aturan adat atau tradisi dan tingkatan kepangkatan
pada keraton tersebut. Mereka yang menghadap tersebut, duduk mengelilingi
Ratu dan para pendampingnya yang berada di Ruang Sasono sewoko untuk
mengikuti upacara-upacara tradisi tersebut dengan hikm at.
Fungsi lain dari Paningrat tersebut, terutama Paningrat Barat, adalah
untuk latihan Bedhaya Ketawang yang dianggap sakral lengkap dengan
seperangakt gamelan tari tersebut yang diletakkan di bagian selatan ruang
tersebut. Latihan tari tersebut hanya dilakukan sebulan sekali pada hari
anggoro kasih atau Selasa Kliwon, dimana tarian tersebut menghadap ke
Barat untuk disaksikan oleh Ratu yang duduk di kursi singgasana Sasono
Parasdya (sebelah barat Peningrat tersebut).
Ruang Pangningrat Barat dan Utara berfungsi juga untuk menerima
para utusan dari luar maupun dari rakyatnya, maupun tamu para menteri dan
pejabat pemerintahan republik Indonesia. Mereka biasanya diterima oleh Ratu
dibagian Utara Paningrat tersebut, tetap diterima dengan cara duduk silo di
lantai tersebut sesuai dengan adat keraton.
101
Fungsi Paningrat Selatan, disamping digunakan untuk menabuh
gamelan pengiring latihan maupun Pegelaran tari Bedhoyo Ketawang dan
upacara-upacara lainya, juga untuk menerima tamu kunjungan pada waktu
akan dijamu makan besar di Sasono Handrowino (Pendhopo Khusus untuk
menjamu makan para tamu ratu).
Hubungan kegiatan yang ada di ruang Peningrat tersebut sangat erat
dengan Ruang Sasono Sewoko, sebab termasuk di dalam kegiatan upacara-
upacara tradisi yang ada di Ruang Sasono tersebut, sepert i upacara Siniwoko,
maleman, sekaten, malem satu Suro, mahesa lawung, tari Bedhayo Ketawang
dan mantu juga supitan. Paningrat juga berhubungan erat dengan Sasono
Parasdya karena untuk latihan tari Bedhaya ketawang. Demikian juga
hubungannya dengan Sasana Handrawina dalam acara jamuan makan dengan
tamu dari luar atau umum, Sehingga ruang Paningrat disamping bersifat
khusus untuk upacara dengan Sasono Sewoko, juga bersifat semi umum
karena hubunganya dengan tamu umum atau luar.
d. Ruang Parasdya.
Ruang Parasdya merupakan bagian dari dalem Ageng Probosuyoso.
Ruang Parasdya ini sebagai perantara antara Pendopo Ageng Sasono Sewoko
dengan dalem Ageng Probosuyoso tersebut. Sehingga leteknya di bagian
Barat Pendopo Ageng Sasono Sewoko.
Fungsi utama Ruang Parasdya tersebut sebagai tempat untuk duduk
harian Ratu di kursi singgasana yang dilengkapi dengan dua buah meja kecil
di kanan kiri kursi tersebut. Biasanya Ratu duduk di tempat tersebut,
menghadap ke Timur (ke Ruang Panigrat Barat) sambil menyaksikan latihan
tari Bedhaya Ketawang yang berada di Paningrat Barat tersebut dibarengi
dengan iringan gendingnya latihan ini dilakukan sebulan sekali setiap hari
Selasa Kliwon. Disamping itu juga berfungsi untuk menerima para kurir atau
utusan yanng diberi tugas tertentu untuk disampaikan kepada para
pengikutnya atau rakyat, sepert i pepatih, Bupati dan sebagainya. Di dalam
memberi tugas maupun pesan-pesan tersebut, disini Ratu bisa dengan cara
102
lesan maupun tertulis, sehingga Ratu sering juga menulis sendiri surat-surat
tersebut dengan menggunakan meja kecil yang berada di sampingnya.
Demikian juga untuk menerima pesan atau surat-surat dari Pemerintah
Republik Indonesia maupun dari Kerajaan lain untuk dibacakan
dihadapannya oleh seorang kurir utusan keraton.
Mereka menghadap, duduk silo di lantai yang lebih rendah dari lantai
Parasdya tersebut. Dengan demikian, dahulu ruang tersebut dapat dikatakan
membagi ruang kerja / kantor. Sekarang ruang kerja pribradi Ratu yakni Sri
Susuhunan Pakoe Boewono XII. Dimana bertempat di ruang khusus yang
berada di sebelah Utara dan Selatan Parasdya yang tertutup dengan pintu
jendela kaca.
Ruang Parasdya juga berfungsi untuk menerima kunjungan tamu dari
luar, seperti para menteri dan pejabat tinggi Republik Indonesia. Tamu
tersebut diterima di bagian Utara Parasdya dengan duduk silo di lantai dan
Ratu duduk di kursi Singgasana Parasdya. Tapi, sejak akhir Paku Boewono
XI bertahta sampai Paku Boewono ke XII sekarang cara menerima tamu
tersebut tidak dengan duduk silo, melainkan dengan duduk di kursi karena
bersifat umum. Untuk menerima kunjungan tamu dari keluarga Ratu sendiri,
diterima dibagian selatan Parasdya, yaitu dengan duduk silo di lantai dan
Ratu duduk di Kursi singgasana Parasdya tersebut.
Ruang Parsdya tersebut bisa disebut sebagai ruang yang bersifat
antara khusus dan umum. Hal ini karena merupakan ruang yang berfungsi
untuk kegiatan harian menyaksikan latihan tari dan menerima tamu keluarga
maupun kenegaraan yang bersifat umum, tetapi untuk utusan surat menyurat
secara rahasia. Jadi sifat ruang ini disamping khusus, juga lebih banyak untuk
umum sehingga disebut semi umum.
Ruang Parasdya ini menghadap ke Timur sesuai dengan arah hadap
kursi singgasana Ratu tersebut dan dibagian belakang terdapat tiga buah pintu
gerbang tengah dan kanan-kiri atau Kori Gebyok Parasdya yang
menghubungkan dengan Dalem Ageng Probosuyoso
Ruang ini memiliki empat buah Soko Guru di tengah dan delapan
103
buah tiang besi ditepi dengan peninggian lantai yang sama dengan lantai
Pendopo Sasono Sewoko. Peninggian lantai ini mempunyai luas sekitar
1400m 850m = 1.190.000m2, dengan bentuk atap "Joglo Kepuhan" yang
menyatu dengan atap ruang Paningrat Barat.
Hirarkhi urutan duduk di Pendopo Ageng Sasono Sewoko menurut
kepangkatan Keraton :
1. Panembahan
2. Adipati
3. Pangeran
4. Sentono
5. Riyo Inggil
6. Bupati
7. Riyo Ngandap
8. Bupati Anom
9. Panji
10. Panewu
11. Mantri
12. Lurah
13. Jajar
2. Sasana Handrawina
a. Sejarah Sasana Handrawina
Keraton Surakarta Hadiningrat berdiri pada hari rabu Pahing 17 Suro Je
1670 atau tanggal 17 Februari 1745 atas prakasa Ingkang Sinuhun kanjeng
Susuhunan Pakoe Boewono II
Pada masa pemerintahan ingkang sinuhun Kanjeng Susuhunan Pakoe
Boewono III (1749 – 1788) beliau membangun kori (pintu gerbang) brojonolo
sebagai pintu masuk ke Istana, tembok baluwarti, Bangsal semorokoto, bangsal
Mercukundo, menara yang diberi nama Panggung Songgobuwono, Pendopo
Ageng Sasono Sewoko, semuanya itu dimaksudkan untuk melengkapi dan
Di Ruang tengah Pendopo
Sasono Sewoka
Di Ruang Paningrat
Di halaman Pasir / luar
104
menyempurnakan Istana sebagai pusat Pemerintahan Surakarta hadiningrat.
Susuhunan Pakoe Boewono III digantikan oleh Ingkang sinuhun kanjeng
susuhunan Pakoe Boewono IV. Salah satu buku ajaran beliau yang sangat terkenal
sampai sekarang adalah buku “wulangreh”. Beliau juga menciptakan berbagai
jenis tarian, misalnya tari Kusumo Asmoro dan tari Tunggal Sakt i. Karya beliau
yang lain adalah gamelan sekaten yang diberi nama Kyai Guntur Madu.
Salah satu bagian dari keraton Kasunanan Surakarta adalah sasono
Handrowino yang didirikan oleh Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Pakoe
Boewono V, Pada hari Selasa kliwon tanggal 17 Rajab Je 1750 “Luhuring gati
Sukaning Janma”, wuku Dhukut windu kunthara. Bangsal seluas 1040 m2
yang
terletak menyambung disisi selatan Sasono Sewoko ini merupakan tempat untuk
menjamu tamu-tamu kehormatan saat Keraton Kasunanan Surakarta
menyelenggarakan perhelatan resmi. Berarsitektur cakrik atau model limasan
Sinom Klabang Nyander, Sasono Handriwino dilengkapi paningrat semacam
emperan disamping kiri dan kanannya. Seperti bangunan-bangunan tradisional
pada umumnya, dinding sekelilingnya berbentuk gebyok kayu jati bercat hijau
sehingga sering pula disebut pendopo ijo.
Semasa Pemerintahan Sinuhun Pakoe Boewono X, sekitar tahun 1919
Sasono Handrowino pernah mengalami rehabilitasi total. Bangunan dipert inggi
dengan mengangkat tiang-t iang saka serta menambah panjang umpak
penyangganya. Sementara dinding keliling maupun lantainya digant i dengan kaca
tebal bening dan marmer putih yang didatangkan dari Italia. Sedangkan atap
plafont dibangun baru penuh dengan ornamen rumit. Bersamaan dengan itu,
dibangun pula Bangsal Bujono yang berhadapan dengan sisi timur Sasono
handrowino. Bangsal yang berfungsi sebagai tempat penjamu para abdi dalem
serta mengantar tamu agung ini, diapit dua bangunan kembar Pradonggo Lor di
bagian utara dan Pradonggo kidul di bagian selatan sebagai tempat menabuh
gamelan selama perhelatan berlangsung.
Beberapa kejadian pent ing yang pernah berlangsung di Sasono
Handrowino :
1) Tahun 1963 : Pertemuan SESKOAD yang melahirkan TRI UBHAYA
105
SAKTI sebagai embrio konsep dwi fungsi ABRI.
2) Tahun 1965 : Pertemuan RPKAD (Sarwo Edi) dalam pemamtapan
Hamkamnas.
3) Tahun 1970 : Konfrensi Pankomwilham I, II, III
4) Tahun 1982 : Kunjungan Ratu Juliana
5) Tahun 1983 : Kunjungan David Bowie
6) Tahun 1984 : Kunjungan Raja Sihanouk.
Beberapa kali menjadi tempat konferensi PATA
Dalam musibah kebakaran 31 januari 1985 , Sasono Handrowino musnah
menjadi abu bersama sejumlah besar bangsal lainya. Seperti Sasono Sewoko,
Malige, Paningrat, Sasono Prasdyo, Dalem Ageng Probosuyoso dan Bangsal
Pakoe Boewono. Kecuali Sasono Handrowino bangunan-bangunan inti Keraton
dengan total luas 5.217 m2 tersebut berhasil rampung dibangun kembali pada 17
Desember 1987 atas prakarsa Presiden Soeharto dan menghabiskan dana sekitar
Rp 4 milyar.
Jumlah anggaran sudah termasuk dana untuk merehabilitasi bangunan
keraton yang lapuk maupun terjilat api, diantaranya adalah Srimanganti lor serta
kidul, Sasono Pustaka, Wiworo kenya, Sasono Wilopo, Selasar Pokoe Boewono.
Selebihnya dana tersebut digunakan untuk membiayai fasilitas pendukung serta
pengadaan perabot , sepert i drainase dalam serta luar keraton. Pembelian 200 kursi
tegak, 30 lemari dan 40 buah meja yang berbagai ragam.
b. Keraton Kasunanan Surakarta Mengalami Musibah Kebakaran
Sebagian besar Keraton Kasunanan Surakarta terbakar habis hari kamis
malam. Tepatnya tanggal 31 Januari 1985. kobaran api mulai terlihat pada pukul
21 : 30 dan baru dapat dikuasai pukul 03 : 00 Jum’at dini hari. Kebakaran ini
merupakan yang terbesar menimpa Keraton Kasunanan Surakarta sejak tahun
1745. Api diperkirakan dari bangsal Paningrat dan dalam waktu yang sangat
singkat kobaran api terus menjalar dan memusnahkan gedung Sasono Sewoko,
tempat dimana para bangsawan menghadap raja pada upacara kebesaran.
Bangunan utama Keraton sepert i Sasono Sewoko, SasonoHandrowino, Sasono
106
parasdyo, Paningrat. Dalem Ageng Probo Suyoso, dan kamar Pusoko serta
bangsar Malige dan Singgasana raja ikut terbakar.
Musibah serupa sebenarnya sudah beberapa kali terjadi di Keraton
Surakarta. Pada tahun 1955, kebakaran terjadi di sekitar Panggung Sangga
Buwana, namun bangunannya sendiri tidak mengalami kerusakan. Pada tahun
1971 Sasono parasedyo juga pernah mengalami hal yang sama. Sedangkan di
tahun 1981 gedung pusaka tempat menyimpan dandang (tempat memasak nasi)
Kyai Dudo nyaris hangus terbakar.Walaupun alat pemadam kebakaran tersedia
disekitar keraton, api tidak mudah ditangani karena sebagian besar bangunan
keraton terbuat dari kayu. Beberapa unit mobil pemadam kebakaran yang tiba di
lokasi juga mengalami kesulitan untuk mendekati bangunan yang terbakar karena
terhalang oleh kori (pintu gerbang) taman pemandangan yang berundak tinggi.
Menjelang pukul 03:00 WIB Jumat dini hari, api baru mengecil setelah melalap
habis 10 bangunan di dalam keraton.
Dalam kesempatan terpisah, Pakoe Boewono XII mengatakan bencana
yang melanda Keraton Surakarta sudah merupakan ramalan seperti yang ditulis
pujangga Keraton raden Ngabehi ranggo Warsito (14 maret 1802 sampai 24
desember 1873) bahwa usia Keraton tidak akan mencapai 250 tahun.
Sejauh ini kebakaran diduga akibat dari arus pendek listrik berdasarkan
bukt i-bukti berupa potongan kabel 100 volt yang sudah rapuh. Juga diperkirakan
bahwa kebakaran berawal dari percikan-percikan api yang berasal dari kabel-
kabel yang sudah rapuh tadi, kemudian menyulut bagian atap bangunan yang
terbuat dari ijuk-ijuk kayu jati, sehingga membentuk gugusan api yang semakin
membesar dan merambat ke bagian lainya.
Tiga jenis pusaka Kasunanan, masing – masing golongan Kanjeng Kyai
Ageng yang merupakan cikal bakal pusaka warisan Majapahit, jenis Kanjeng Kyai
berupa sekelompok pusaka lebih muda dari kerajaan Mataram islam serta
golongan Kyai yang merupakan pusaka generasi muda buatan raja-raja Surakarta
sendiri,hampir seluruhnya dapat diselamatkan dan kini disimpan di Keraton
Kulon.
Diakui pula bahwa sebagian besar pusaka terselamatkan, namun beberapa
107
pusaka jenis kyai sampai kini masih belum ditemukan. Disamping itu banyak pula
atribut yang berwujud kelengkapan busana kebesaran upacara tercecer dalam
reruntuhan.
Atas musibah yang melanda Keraton Kasunanan Surakarta, Bapak
Presiden menyampaikan rasa prihatin yang dalam serta menyatakan bencana
kebakaran tersebut merupakan bencana Nasional.
c. Pem ugaran Sasana Handrawina
Tanpa Sasana Handrawina, Keraton terasa kurang utuh.Perasaan ini telah
menggugah keluarga Kasunanan untuk menyelesaikan bangsal tersebut,yang pada
saat istana selesai direnovasi oleh Panitia 13 di tahun 1987,hanya memperoleh
jatah pembuatan pondasi berlantai plester semen.
Ide dasar pembangunan kembali Sasana Handrawina pernah dicoba
direalisasikan melalui penggalangan dana mandiri sebagai modal awal.Apabila
jumlah yang bisa terkumpul kurang mencukupi,sisa kekurangannya akan
dimohonkan kepada Panit ia 13. Tetapi rencana itu sulit terwujud,sebab diantara
keluarga internal Keraton tak ada yang bersedia tampil menjadi pemrakarsa
penggalangan dana.Masyarakatpun nyaris melupakan Sasana Handrawina.Sempat
tenggelam selama hampir sewindu,keinginan serupa mulai muncul lagi setelah
didorong perkembangan baru yang menyusul terjadi. Pertengahan 1995, arus
kunjungan wisatawan Keraton Kasunanan Surakarta sebagai obyek pariwisata
budaya unggulan di Jawa Tengah mengalami perkembangan yang sangat pesat.
Tawaran penyelenggaraan jamuan makan malam maupun jamuan makan
siang dan acara-acara serupa lainnya mulai banyak diterima.Karena tak
mempunyai tempat khusus, kegiatan – kegiatan ini terpaksa dilaksanakan dengan
memanfaatkan fasilitas seadanya yang sesungguhnya kurang layak untuk kegiatan
perjamuan tingkat Keraton.
Dari sejumlah surat yang masuk dalam kotak suara, umumnya tamu
termasuk wisatawan asing menghendaki penyelenggaraan yang lebih khas ,
mereka ingin memperoleh kesan sebagai tamu kenegaraan atau royal guest
ataupun tamu raja.
108
Berdasarkan hal tersebut disimpulkan bahwa Sasana Handrawina perlu
secepatnya diupayakan untuk di bangun kembali. Ketika usulan pembangunan
kembali Sasana Handrawina diajukan kepada Sinuhun Pakoe Boewono XII,
terbesit pertanyaan, “Lalu, siapa yang bersedia mempelopori?”.
Merasa sebagai anggota keluarga dalam, KRMH Wirabhumi bersama
istrinya GRAy. Koes Moertiyah salah seorang putri Sinuhun Pakoe Boewono XII
mencoba merintis langkah untuk menghadap Menparpostel Joop Ave. Dari lobi
awal inilah muncul proposal resmi pembangunan kembali Sasana Handrawina
pada akhir 1995, dengan pengajuaan dana sebesar Rp 5,3 milyar.
Usulan tersebut selanjutnya dilaporkan Menteri Pariwisata Pos dan
Telekomunikasi kepada Presiden Soeharto. Dalam pengarahannya Presiden
menggariskan 3 prinsip :
1) Sisa pekerjaan pembangunan kembali Keraton yang belum tergarap
Panit ia 13, disetujui diselesaikan sejauh bermanfaat untuk mendukung
pengembangan kepariwisataan dan budaya.
2) Pengart ian Keraton bukan hanya terbatas pada Kasunanan di Solo,
melainkan juga mengartikan Mangkunegaran Cirebon maupun keraton-
keraton lain di Indonesia.
3) Bantuan pembangunan untuk keperluan tersebut bukan berasal dari
anggaran negara.
Menindaklanjuti kebijakan yang sudah digariskan Presiden tersebut,
Menteri Joop Ave mulai melakukan pendekatan terhadap sejumlah pengusaha
nasional. Langkah ini berhasil menghimpun 15 perusahaan terkemuka maupun
perseorangan (pada umumnya) dari Jakarta yang mempunyai kepedulian tinggi
terhadap kelestarian peninggalan kebudayaan tradisi, khususnya nasib keraton
Indonesia. Sebagian dari dana yang terkumpul telah ditetapkan untuk membantu
pelestarian dan pengembangan aset wisata budaya keraton.
d. Tahap Pelaksanaan
Sementara khusus untuk Sasana Handrawina sebelum persetujuan dana
ditetapkan, keraton Kasunanan telah diundang guna mempresentasikan rencana
109
pembangunan bangsal bersejarah tersebut. Di depan forum para donatur utusan
Kasunanan mengemukakan kegiatan pembangunan kembali Sasana Handrawina
menyangkut sebuah konsepsi besar.
Tujuan proyek ini bukan semata-mata didasarkan pada pembangunan
keraton secara lengkap dan utuh sebagaimana yang pernah ada di jaman silam,
tetapi justru lebih terkait pada aspek masa depan yakni pemberdayaan Keraton
Kasunanan Surakarta dalam posisinya sebagai salah satu pusat kebudayaan Jawa.
Keraton menyadari bahwa bobot keberadaannya kini akan lebih ditentukan
oleh seberapa jauh manfaat yang bisa diberikan kepada masyarakat. Sehubungan
dengan itu, seluruh aset keraton yang tetap dalam bingkai nilai-nilai adat maupun
kepercayaan religius pada prinsipnya terbuka untuk dinikmati khalayak umum.
Pengert ian aset keraton termasuk diantaranya Sasana Handrawina seusai
dibangun kembali penggunaannya bukan hanya terbatas lagi kepent ingan acara
keraton kasunanan, melainkan akan dikembangkan fungsinya sebagai tempat
penyelenggaraan sajian pariwisata. Dengan demikian, keraton pada gilirannya
diharapkan mampu menghidupi serta mengembangkan dirinya sendiri pada
kerinduan masa lampau dengan melihat hadirnya lagi secara selffinancing atau
swadana.
Mempertimbangkan konsep tersebut Menteri Pariwisata Pos dan
Telekomunikasi RI Joop Ave kemudian meminta para donatur menunjuk sebuah
perusahaan guna mempelajari dan meninjau proposal pembangunan kembali
Sasana Handrawina baik dari aspek teknis maupun pembiayaannya. Pada akhirnya
setelah dilakukan penyempurnaan pada rancangan fisik maupun struktur
bangunan, proyek ini direkomendasikan dan memperoleh dana sebesar Rp 3,6
milyar dari anggaran yang pernah diusulkan Keraton Sebesar Rp 5,3 milyar.
Dalam upaya menjamin kelancaran pelaksanaan program besar
pelestarian dan pengembangan warisan budaya dan obyek wisata termasuk
pembangunn Sasono Handrowino tersebut dibentuk suatu kepanitiaan.
e. Pengadaan Kayu
Sejarah mencatat bahwa semua bangunan keraton Kasunanan Surakarta
110
terutama untuk bagian saka guru mempersyaratkan penggunaan unsur kayu jati
dari hutan Donoloyo, demikian pula pembangunan kembali Sasono Handrowino.
Dari 12 tiang penyangga utama berukuran 30 x 30 cm, dua diantaranya di pasang
berjajar nomor 3 dari utara, merupakan kayu dari hutan legenda tersebut. Idealnya
kedua belas saka guru Sasana Handrawina tersebut dari jati Donoloyo, hanya
karena Donoloyo sekarang berstatus sebagai hutan lindung, maka penebangan
kayu di kawasan hutan ini menjadi sangat dibatasi. Untuk keperluan Sasana
Handrawina, Departemen Kehutanan hanya mengijinkan pengambilan dua batang
pohon tua berumur 150 tahun di mana masing-masing berdiameter 1 meter dan
tinggi sekitar 35 meter.
Kebutuhan kayu lainnya dicukupi dari enam wilayah kesatuan
pemangkuan hutan (KPH) Perhutani di Jawa Tengah, yaitu KPH Randu Blatung,
Cepu, Blora, Purwodadi, Mantingan dan KPH Kebonharjo. Untuk bisa memilih
kayu berkualitas prima dari enam wilayah hutan jati yang berbeda ini meski masih
dibawah mutu Donoloyo bukanlah hal yang mudah. Pohon jati yang diinginkan
Keraton sering berada diluar kawasan jadwal tebang yang yang telah
direncanakan KPH setempat, tetapi berkat bantuan Perum Perhutani Jawa Tengah,
memungkinkan penebangan diprioritaskan tanpa harus menunggu terlampau lama
sampa jadwal tebang mencapai kawasan yang di maksud.
Sementara itu rencana waktu penebangan yang ditawarkan Perhutani tak
jarang mengalami penundaan lagi, karena harus mengikuti perhitungan hari baik
dari Keraton yang mempersyaratkan penyelenggaraan upacara sesaji pada setiap
tahap pembangunan Sasana Handrawina.akibatnya jadwal penyelesaian bangsal
ini mengalami penjadwalan kembali, mengingat pengerjaan konstruksi kayu pada
bangunan adat tidak dapat dilakukan terpisah bagian-demi bagian.
f. Penyelesaian akhir
Setelah melewati tahap persiapan panjang yang penuh diwarnai upacara
ritual serta berbagai kendala, bangsal bersejarah peninggalan Sinuhun Pakoe
Boewono V yang kemudian musnah terbakar ini akhirnya berhasil dihadirkan
kembali dengan bentuk yang sama dengan aslinya.
111
Sementara dengan mempert imbangkan aspek masa kini dan masa depan
sesuai peran dan fungsi baru Sasana Handrawina dipandang perlu adanya
penyempurnaan pada beberapa bagian antara lain:
1) Pondasi yang pada bangunan lama hanya berupa pasangan batu merah, kini
menggunakan beton sumuran sedalam 2 meter.
2) Bangunan lantai yang dulu berstruktur bata merah, sekarang berlantaikan
marmer Tulungagung di atas lapisan pelat beton setebal 7 centimeter.
3) Sistim vent ilasi yang semula berupa lubang-lubang angin pada dinding kini
memakai sistim Air Condisioner (AC) sentral.
4) Gebyok dinding kaca yang semula polos, ditambah dengan ornamen ukir.
5) Struktur plafont yang pada bangunan lama dipasang dibawah usuk, sekarang
dibalik berada di atas. Dengan menonjolkan garis-garis usuk akan diperoleh
kesan lebiih art istik sebagai mana terlihat pada Sasono Sewoko.
6) Perlengkapan furnitur terutama meja dan kursi diperbesar dalam standar
Internasional, sehingga lebih lapang serta nyaman dipakai.
7) Dinding kaca tebal 8 milimeter berhiaskan grafir ornamen Radya laksana-
simbol Keraton Surakarta lengkap dengan tulisan Pakoe Boewono XII.
8) Sistem pasak dalam penyambungan kayu diperkuat dengan klem besi.
Masih dalam rangkaian proyek pembangunan kembali Sasana
Handrawina, dilakukan pembuatan sejumlah sarana penunjang serta fasilitas
tambahan seperti:
a) Renovasi bangsal kokem (dhapur) yang selain dilengkapi peralatan masak
moderen, juga berusaha mempertahankan tungku bakar peninggalan lama.
b) Membangun kamar kecil disebelah Kori Wiworo Kenya, terpisah dengan
Sasana Handrawina.
c) Pembuatan koridor yang menghubungkan bangunan utama Sasana
Handrawina dengan menggeser tiang emperan Sasono Pustaka, untuk meraih
aspek simetris.
d) Pengadaan dapur bersih untuk memisahkan makanan yang sudah siap di
hidangkan dengan makanan yang masih dalam proses pemasakan
Lewat penyempurnaan dan penguatan konstruksi tersebut Sasono Sewoko
112
diharapkan menjadi lebih kokoh serta art istik, sehingga mampu mendukung
pengembangan kepariwisataan keraton yang membutuhkan ketersediaan sarana
penuh daya pikat serta nyaman.
Ucapan terimakasih kepada penyandang dana atas dibangunnya kembali
Sasana Handrawina. Antara lain kepada:
PT. Telkomsel = Ir. Koesmarihat i
PT. Bahana Securities = Sudjiono Timan
Barito Pasific Group = Prayogo Pangestu
PT. Indocita Graha Buwana = Henri Pribadi dan Gunawan S
PT. Makindo Securities = Ny. Rachmiwaty dan Gunawan Yusuf
PT. Jardine Fleming Nusantara = Jonathan
PT. Astratel Nusantara = Abdulrachman Ramli dan Thomas B. Sugiyanto
PT. Danareksa = Glenn S. Yusuf
PT. Jatimas Fajar Satriya = Boyke P. Soebroto
PT. Batara Ismaya = Edwin Suryajaya
PT. Indo Trias Mukti Jaya = Dewi Motik Pramono
PT. Dewata Agung Wibawa = Henri Liem
Ponco Sutowo
Amir Abdulrachman
3. Pedom an Pemeliharaan Fasilitas Bangunan Keraton Surakarta
a. Arsitektur
1) Atap
Sebagian besar atap adalah dari bahan sirap kayu jati. Jenis sirap
tersebut adalah :
a). Sirap besar : ukuran lebar = 39 cm
panjang = 90 cm
tebal = 3 cm.
b). Sirap kecil : ukuran lebar = 24 cm
panjang = 60 cm
113
tebal = 2 cm.
Pemasangan atap sirap ini adalah berlapis 3, yang dipakukan pada reng,
dibawah reng terdapat lapisan Aluminium foil.
Pemeliharaan :
Secara umum, maka kayu jati ketahanannya bila tidak terkena
pengaruh cuaca adalah tidak terbatas, sedangkan bila terkena cuaca adalah 20
s/d 30 tahun. Dengan demikian maka yang perlu diperhatikan adalah lapisan
teratas sirap yang terkena pengaruh cuaca secara langsung. Adapun kerusakan
yang terjadi adalah :
(1) Sirap pecah atau retak.
Untuk ini sirap harus diganti.
(2) Sirap menipis karena pelapukan (proses weathering).
Untuk ini sirap harus diganti.
(3) Permukaan sirap memudar, karena catnya aus, terkelupas atau rusak.
Harus dilakukan pengecatan ulang, disarankan menggunakan cat yang
berkwalitas baik. Untuk cat sirap, warna cat disesuaikan dengan warna cat
sebelumnya.
Persediaan :
Untuk penggantian sirap, maka disediakan sirap cadangan bagi
kebutuhan penggant ian, adapun jumlah sirap yang disediakan adalah :
Sirap kecil = 340 buah.
Metode Penggantian :
Disarankan untuk penggantian sirap ini menggunakan tenaga tukang
kayu yang ahli. Cara membongkar sirap adalah dengan mencabut pakunya
terlebih dahulu. Jangan mencoba membongkarnya dengan mengungkit lembar
sirapnya untuk membuka pakunya. Bongkar sampai bagian sirap yang akan
diganti.
Cara memasang sirap adalah dengan memakukan pada lapisan di
bawahnya, sebelum dipaku maka tempat/posisi pemakuan harus dibor
secukupnya agar sirap tidak pecah/retak. Untuk paku yang terakhir (sirap
paling atas), maka lubang pengeboran diberi flinkote atau sejenisnya sehingga
114
hasil pemakuan kedap air.
Pengecatan & Penambalan
Atap sirap harus diperiksa setiap tahun (satu tahun sekali), pengecatan
dilakukan 1 (satu) tahun sekali, dan sebaiknya pengecatan dilakukan sebelum
musim hujan.
Bagian-bagian sirap yang retak dapat dilakukan dengan menambalnya
(sebelum pengecatan). Bahan yang digunakan untuk menambal kebocoran
tersebut adalah sejenis Aquaseal.
2) Ta l a n g
Seluruh talang yang dipasang adalah talang dari bahan tembaga yang
telah diberi coat ing/lapisan hitam.
Pemeliharaan: Periksa talang datar (naik dengan tangga) apakah banyak
kotoran (daun-daunan) yang tertimbun di permukaan talang
dan juga periksa apakah saringan tembaga tertutup oleh
kotoran. Bersihkan kotoran-kotoran tersebut.
Wa k t u : Pemeriksaan talang datar dilakukan 1 (satu) bulan sekali.
Apabila telah banyak daun-daun yang tertimbun di talang
dilakukan pembersihan, sehingga kotoran tersebut tidak
menutupi lubang saringan talang tegak.
Peralatan : - Tangga besi.
- Sapu lidi kecil.
- Tem pat sampah.
3) Langit-Langit/Plafond
Langit-langit adalah dari papan jati dan usuk yang diekspose. Akhiran
(finishing) dengan cat atau politur.
a). Akhiran (finishing) dengan politur
Pemeliharaan : - Pembersihan adalah dengan bulu ayam (sulak) untuk
membersihkan debu/kotoran yang menempel.
- Menghilangkan kotoran yang melekat dan tidak bisa
dibersihkan dengan sulak adalah menggunakan wax
politur yang disemprotkan, kemudian digosok dengan
115
kain halus/kain kaos.
W a k t u : Pembersihan dilakukan setiap bulan apabila dipandang
perlu.
b). Akhiran (finishing) dengan cat
Pemeliharaan : - Pembersihan dengan sulak dan lap dari kain
lembut/halus.
- Apabila cat mengelupas, pecah dan rusak diadakan
pengecatan ulang. Sebelum pengecatan ulang maka
bagian yang akan dicat dikerok dan dibersihkan dari sisa
cat lama, diampelas dengan kertas ampelas no.1 sehingga
halus kemudian baru dicat.
W a k t u : - Pembersihan dilakukan setiap bulan serta saat lainnya
yang dipandang perlu.
- Pemeriksaan dan pembersihan untuk mengetahui perlu
dicat kembali atau tidak adalah setiap 2 (dua) tahun.
c). Peralatan :- Sebuah steiger-werk beroda.
- Sebuah sulak atau sapu yang lembut dipasang pada
bambu/galah sepanjang lebih kurang 2 s/d 3 meter.
- Tangga apabila perlu.
- Kain halus flanel atau kain kaos (untuk membersihkan
polituran)
- Wax-politur untuk mengkilatkan dan membersihkan
polituran, dapat dipakai jenis spray misalnya buatan
Johnson.
- Vaccum-cleaner.
4) C at-Catan & Polituran
Yang dimaksudkan dalam hal ini adalah akhiran (finishing) berupa
pengecatan baik pengecatan biasa maupun sungging, serta polituran pada
konstruksi kolom, panil, ukiran, tebeng, gebyok, daun pintu dan jendela,
plafond, lis-lis dan sebagainya.
Untuk akhiran yang menggunakan politur maka permukaan tersebut
116
harus dilap dengan kain halus (flanel) dan apabila terdapat kotoran yang
melekat gunakan semprotan wax (Johnson - Wax).
5) Prodo
Terdapat akhiran/finishing pada ukiran, kuku-bimo, lis-lis dan lain-
lainnya dengan cat prodo. Cara pemeliharaannya dengan membersihkan dari
debu-debu yang melekat adalah dengan bulu-ayam (sulak), ataupun
menggunakan vaccum-cleaner untuk bagian-bagian yang sulit (tebeng, ukir-
ukiran dll.) serta tinggi.
Perlu diperhatikan bahwa pekerjaan prodo hanya boleh dilakukan oleh
orang yang mahir (umumnya adalah orang yang berkeahlian
menyungging/memprodo wayang kulit).
6) Lantai
Secara umum terdapat 2 jenis lantai yang dipasang, yakni marmer dan
Keramik. Adapun pemeliharaannya adalah :
a) Marmer : - Sapu/bersihkan dari debu - kotoran setiap hari.
- Hindari terperciknya air hujan dengan menggunakan kain
krei (untuk Paningrat Sasono Sewoko).
- Hindari tertumpahnya air teh, kopi, sofdrink dan
sebagainya ke lantai. Jika tertumpah segera bersihkan.
- Hindari jatuhnya benda-benda keras, tajarn dan berat
yang dapat berakibat cacatnya permukaan marmer.
- Hindari terkena cairan asam dan basa, misalnya asam
cuka, air aki dll.
- Untuk membersihkan marmer, cukup menggunakan kain
pel yang airnya telah diperas, sehingga kain pel tersebut
lembab.
- Air pengepel dilarang untuk dicampur dengan bahan
kimia pembersih, misalnya Porstex, Lysol, Karbol atau
bahan lainnya. Jadi hanya menggunakan air bersih saja.
- Cadangan:
Telah disiapkan marmer untuk penggant i kemungkinan
117
terdapatnya kerusakan marmer.
b) Keramik : - Umumnya keramik lebih tahan terhadap cairan daripada
marmer karena permukaannya dilapis glasir.
- Pemeliharaan umumnya cukup disapu atau dilap.
- Jikalau terdapat noda-noda yang sulit dibersihkan
gunakan cairan Porstex atau sejenisnya untuk
membersihkannya.
7) K a c a
Untuk membersihkan kaca pada jendela, pintu, bovenlicht atau pada
tempat lainnya, baik berupa kaca etsa, kaca "glass in lead", kaca biasa, kaca
buram serta cermin digunakan cairan pembersih kaca (glass-cleaner) misalnya
merk "Clear", dan alat yang digunakan adalah kain halus/flanel.
Sebelum dibersihkan dengan kain, maka kotoran pada kaca "glass in
lead" disedot dulu dengan vaccum-cleaner.
8) Tembok
Tembok harus dicat minimum satu tahun sekali dan jenis cat tembok
dapat diperiksa pada bab I. daftar bahan di bawah ini.
9) Alat Gantung
Terdapat berbagai jenis alat gantung dari bahan logam/ metal yang
dipasang pada pintu dan jendela.
a). Slot.
Periksa dan beri m inyak secara berkala 1 (satu) tahun sekali.
b). Engsel .
Periksa, bersihkan jika ada kotoran dan beri minyak 1 (satu) tahun sekali.
c). Espanyolet.
Periksa dan bersihkan jika ada kotoran dan beri minyak pada bagian
penjepit dan grendelnya. Pemberian minyak adalah 1 (satu) tahun sekali.
d). Kunci .
Periksa kelancarannya, dan beri minyak pada mekanismenya setahun
sekali.
e). Jenis Minyak.
118
Minyak pelumas yang digunakan adalah dari jenis "light", sebagai contoh
minyak mesin jahit .
f). Hak Angin.
Periksa baut yang menahan hak dengan ram jendela/ pintu biasanya t erjadi
kendor, lalu kencangkan.
10) Kuningan
Logam kuningan digunakan sebagai pengikat /kemben pada ujung
bawah daripada kolom/tiang kayu. Selain sebagai hiasan maka kuningan ini
berfungsi sebagai pengikat ujung kayu agar tidak retak menahan beban.
Pemeliharaan kuningan ini adalah dengan menggosoknya, bahan
penggosok digunakan kain halus/flanel diberi Brasso ataupun Autosol.
11) Tembaga Ukir
Tembaga ukir yang menempel sebagai hiasan, telah dilapis bahan
coating, namun terdapat kemungkinan pula akan luntur dalam waktu yang
lama.
Peralatan pembersihnya sehari-hari adalah cukup dengan kain lap,
sulak ataupun vaccum cleaner.
12) Teral is
Teralis besi yang dipasang pada jendela, lubang angin maupun lubang
cahaya (boven-licht), cukup dibersihkan dengan kain lap, sulak ataupun
vaccum cleaner untuk mencegah adanya sarang laba-laba, ataupun debu.
Periksa setiap tahun terhadap adanya karat, cat terkelupas atau kerusakan lain.
Apabila terdapat cat terkelupas atau karat dilakukan tindakan dengan
mengampelas bagian yang berkarat atau terkelupas dengan ampelas halus
(no.0 atau 1) kemudian dicat meni atau zinc chromat, kemudian setelah kering
dicat sepert i warna semula.
13) Batu Candi
Batu candi dipasang pada halaman-halaman dalam (openspace),
pemeliharaan yang perlu dilakukan adalah dengan memeriksanya secara tetap
2 (dua) bulan sekali akan tumbuhnyn lumut. Apabila permukaan batu candi ini
ditumbuhi lumut maka harus dibersihkan dengan menggunakan sikat kawat
119
sampai bersih.
14) K r e i
Krei yang dipasang sekeliling Paningrat Sasono Sewoko, harus sering
diperiksa secara berkala, terutama setelah dipasang waktu hujan. Krei ini
sebaiknya digulung dalam keadaan kering. Jikalau masih basah (setelah hujan)
agar ditunggu dulu sampai kering, kemudian dapat digulung.
Mekanisme penggulungnya perlu diperiksa setiap bulan, untuk
mengetahui adanya karat, timbunan kotoran maupun kerusakan lain. Apabila
perlu bagian-bagian yang bergerak baru; diberi pelumas jika bagian tersebut
kering.
Periksa kabel baja penariknya dari atas sampai pada penggulungnya,
jika terdapat tumpukan kotoran segera bersihkan.
15) Daftar C at
Tabel 1 Cat Tembok
WARNA MERK TYPE NAMA NOMOR
1. Putih I.C.I. D u 1 u x White 1501
2. Putih I.C.I. D u 1 u x Brilliant 2290
3. Kuning I.C.I. Catylac White Lime 45120
4. Merah jambu I.C.I. Catylac Romantic 43107
NB : No.1 untuk tembok luar, no.2,3 & 4 untuk tembok dalam.
Tabel 2 C at Kayu
WARNA MERK TYPE NAMA NOMOR
1. Biru Muda Sigma Dof Acrylic Siesta 114
2. Biru Sigma Dof Acrylic Shinta 110
3. Biru Tua Sigma Dof Acrylic Peacocok 140
4. Kuning Sigma Dof Acrylic Lime Pesanan
5. Abu-abu Sigma Dof Acrylic Mirage 270
6. Coklat (sirap) Sanlex ------- Leather 909
NB : - Jenis cat untuk cat kayu/sungging adalah dof Acrylic
- Merk cat adalah Sigma Dof produksi PT. Sigma Utama, Jln. Jagorawi,
120
Cibinong Bogor
C at Prodo
Untuk cat prodo menggunakan cat prodo ex luar negeri dengan cap
Gajah untuk Sasono Sewoko dan cap Dua Naga atau cap Kidang untuk
Probosuyoso.
b. Furniture/ Mebel
Furniture yang dipasang di dalam ruangan keraton terdiri dari bermacam-
macam jenis, dengan berbagai finishing. Adapun cara pemeliharaannya adalah :
- pindahkan barang-barang yang ada di atas meja/lemari ke tempat
aman/sudut lain.
- untuk membersihkan meja, almari, buffet dan lainnyn siapkan politur-wax
(misalnya Shine-Up buatan Johnson), kain lap dan botol semprot (spray-
bottle).
- gosoklah sampai mengkilat dan bersih.
- kembalikan barang-barang ke tempat semula.
Furniture ataupun benda interior yang termasuk dalam bidang
pemeliharaan ini adalah :
1) Meubel Politur
Meubel dengan akhiran politur harus dicegah terkena tumpahan minuman,
maupun terkena panas.
a) Pembersihan
ü Dengan lap atau sulak/ bulu ayam dilakukan setiap hari
ü Gosok dengan politur Wax setiap bulan sekali. Penggosokan dilakukan
dengan kain flannel/ kain halus setelah dilakukan penyemprotan
dengan politur Wax pada permukaannya.
b) Hindarkan penempatan meubel terkena sinar matahari langsung.
2) Meubel C at dan Prodo
Untuk mebel dengan akhiran cat atau prodo dilakukan dengan :
a) Mengelap setiap hari.
b) Pengelapan dilakukan dengan sulak/bulu ayam atau kain halus.
121
c) Hindarkan terkena tumpahan air atau minuman.
3) Bahan Penutup (Upholstery)
Yang dimaksud dengan bahan penutup/Upholstery ialah bahan-bahan dari
tekstil/kain yang digunakan sebagai alas/ sandaran tempat duduk.
Pemeliharaan :
- Cegah terhadap tumpahan air.
- Lakukan penyedotan terhadap debu dengan Vaccum Cleaner minimum
satu minggu sekali.
- Jika akan disimpan lama; tidak digunakan dalam waktu yang lama agar
diberi tutup (dari plastik).
- Hindarkan sinar matahari langsung.
- Jangan disimpan di gudang yang udaranya lembab.
4) C e r m i n
Cermin-cermin besar yang dipasang, memerlukan perawatan yang minim,
perawatan diperlukan untuk menjaga permukaan kaca agar tetap bersih/t idak
ada noda-noda atau lapisan rami/chrom di bagian belakangnya tidak
rusak/cacat.
Pemeliharaan :
- Tutup cermin dengan kain penutup bila lama tidak digunakan.
- Bersihkan dengan lap/Vaccum Cleaner untuk membersihkan debu-debu
yang melekat, pembersihan ini dilakukan 1 (satu) kali seminggu.
- Lap permukaan kaca dengan Glass Wax dan gosok sehingga noda-noda
hilang.
- Periksa bagian belakang cermin dan bersihkan dari debu-debu atau sarang
laba-laba yang ada.
- Periksa paku-paku/baut pemegang cermin ke dinding, jika kendor perbaiki.
5) P a t u n g
Terdapat 4 macam jenis patung, yakni :
a). Patung Perunggu (cat hitam).
- Bersihkan dari debu-debu/kotoran dengan lap bersih/ sulak atau
Vaccum Cleaner.
122
- Periksa tempat alas patung apakah masih rata/baik.
- Periksa kabel-kabel lampu, perbaiki jika ada lampu yang rusak/kendor.
- Periksa bola lampu yang terpasang dan ganti jika sudah rusak/putus.
b). Patung Gips.
- Patung dari bahan gips berwarna putih umumnya harus dibersihkan
dari kotoran/debu dengan sulak/lapkering. Apabila perlu disedot
dengan Vaccum Cleaner. Pembersihan dilakukan setiap minggu.
- Patung perlu dicat dengan type cat yang tahan cuaca, pengecatan cukup
tipis-tipis saja dengan warna White/Putih.
c). Patung Kuningan.
Patung kuningan yang ada sebanyak 2 (dua) buah, yakni di Parasedyo,
pembersihan dilakukan dengan mengelap. Apabila perlu dapat dibersihkan
dengan Brasso atau Autosol.
d). Patung Kayu
Patung-patung kayu yang dipasang harus dilap dengan kain kering satu
minggu sekali.
Periksa akan adanya rayap, dan hindarkan penyimpanan pada tempat yang
lembab.
6) Pot Porselin
Pembersihan pot porselin dilakukan dengan cairan Porstex atau yang
sejenisnya, dilaksanakan 6 bulan sekali.
7) K o r d e n
Kain korden dibersihkan dengan sulak atau debu yang melekat diisap dengan
vaccum-cleaner setiap 1 (satu) minggu. Korden sebaiknya dicuci 6 (enam)
bulan sekali, penicucian kain korden adalah dengan air-hangat dan diberi
campuran detergent. Jangan peras terlalu keras, dan setelah dibilas hingga
bersih jemurlah dengan mengangin-anginkannya dalam ruangan.
8) K a r p e t
Sesungguhnya terdapat bermacam-macam jenis pengotoran karpet namun jika
ditinjau bahwa penggunaan karpet dalam keraton ternyata tidaklah seberat
penggunaan karpet di hotel-hotel atau perkantoran, sehingga lingkup
123
pembersihan karpet dalam hal ini adalah dari jenis pembersihan ringan hingga
berat . Untuk pemeliharaan harian cukup dilakukan dengan vaccum cleaner
setiap minggu, atau pada saat karpet akan digunakan. Namun apabila karpet
tersebut sudah kotor, maka harus dilakukan pencucian/pembersihan.
Terdapat 2 (dua) cara pembersihan, yakni dengan alat :
a). Polisher Machine.
Alat yang digunakan : Polisher machine, tanki/jerigen plastik, sikat nilon.
Bahan pembersih : Shampo untuk karpet misalnya Rugbee
Concentrate.
Caranya : (1) Vaccum-cleaner terlebih dahulu seluruh permukaan
karpet.
(2) Campurkan Shampoo dengan 1 : 12 bag. air hangat.
(3) Masukkan campuran tadi ke dalam plastik dan lakukan
polisher permukaan karpet.
(4) Bila karpet telah selesai dishampoo, biarkan mengering
kemudian divaccum untuk menghilangkan sisa-sisa
shampoo dan kotoran lain yang masih tertinggal.
(5) Kemudian sikatlah dengan sikat nilon yang kaku agar
bulu-bulu karpet kembali tegak.
b). Shampoo Machine.
Alat yang digunakan : Sham poo machine.
Bahan yang digunakan : Shampoo karpet (misalnya Rugbee Shampoo) dan
defoamer.
Caranya :
(1) Campurlah shampoo dengan perbandingan 1 : 8 bag. air hangat.
(2) Masukkan shampoo dalam tanki plastik mesin shampoo dan
teteskan Defoamer pada kotak penampung busa mesin shampoo
secukupnya.
(3) Lakukan pembersihan dengan mesin shampoo ini pada seluruh
permukaan karpet.
(4) Setelah selesai, biarkan karpet mengering.
124
c. Listrik
Daya listrik yang dipasang adalah sebesar 33 KVA, rneteran listrik
dipasang di Ruang Panel lama yang terletak di sebelah Morokoto. Dari Meter
PLN disalurkan melalui kabel tanah dengan jalur ke arah barat, kemudian
membelok ke selatan menuju Ruang Panel baru di sebelah utara Sasono Sewoko
(lihat gambar).
Di ruang panel ini daya dibagi menuju 4 panel pembagi yakni untuk
bangunan Sasono Sewoko, Probosuyoso, Pakubuanan dan Panel Cadangan.
1) Panel
Panel yang dipasang adalah berbentuk kotak dicat abu-abu. Peralatan
pengaman yang terdapat di dalamnya adalah :
- ELCB (Earth Leakage Circuit Breaker).
Alat ini berfungsi untuk memutuskan daya listrik bila terjadi kebocoran
terhadap ground. Pada alat ini dipasang tombol untuk test/uji kebocoran.
Peralatan di dalamnya sangat peka akan adanya kebocoran, oleh karena itu
bila alat ini suatu saat pada posisi off (listrik terputus), harus dicari dahulu
penyebab terjadinya kebocoran listrik sebelum dihidupkan kembali.
- MCB (Mini Circuit Breaker).
Alat ini berfungsi untuk memutuskan daya listrik apabila:
a). Besarnya daya listrik melebihi kapasitas yang telah ditetapkan pada
MCB tersebut.
b). Terjadi hubung-pendek (korstluiting) pada jaringan listrik yang
melewati MCB bersangkutan.
Sesungguhnya fungsi MCB adalah sama dengan sekring biasa yang
berbentuk bulat dan pemutusnya dari kawat, kelebihan MCB ini adalah
tidak diperlukan pengantian sekring dengan kawat yang 1ebih besar
dan membahayakan dapat di hindarkan.
- MCCB (Moulded Case Circuit Breaker).
Alat ini dipasang sebelum jaringan ke MCB, berfungsi sebagai sekering
induk dari sejumlah MCB. Sekering ini adalah semacarn MCB namun
dibuat dari box tertutup.
125
- Lampu petunjuk daya.
Terdapat 3 buah lampu petunjuk daya berwarna merah, kuning dan hijau.
Lampu ini untuk menunjukkan jaringan R, S, T.
Pada lampu ini terdapat sekering untuk melindungi lampu tersebut,
sehingga kalau lampu-lampu tersebut tidak menyala maka terdapat 3
kemungkinan :
(1) daya listrik tidak ada.
(2) lampu tersebut putus.
(3) sekring lampu putus.
- Voltmeter.
Untuk menunjukkan tegangan listrik yang di catu dari PLN, tegangan
listrik normal adalah 220 Volt.
- Amper meter.
Untuk menunjukkan besarnya arus listrik yang digunakan.
Pemliharaan Panel :
(1) Buka pintu panel, periksa secara visuil dan perhatikan bila terjadi kelainan.
(2) Bila lampu petunjuk mati :
- Daya listrik tidak ada.
- Lampu petunjuk mati/ putus, buka draad lampu dan penutupnya, serta
gant i lampu tersebut.
- Sekering lampu putus : buka penutup sekering lampu (mini fuse) dang
anti dengan yang sesuai jenisnya.
(3) Periksa klem-klem dan baut-baut apakah ada yang kendor. Matikanlah
aliran listrik dan pastikan sewaktu memperbaiki menggunakan alat-alat
berisolasi.
(4) Apabila mendapatkan kabel yang panas melebihi suhu ruang/biasanya,
segera panggil ahli listrik untuk meakukan perbaikan.
(5) Untuk memudahkan pemeriksaan, periksa gambar jaringan listrik yang
bersangkutan yang dicantumkan di bagian dalam pintu panel.
Jumlah Panel Listrik dan Peralatannya adalah sbb. :
(a) Panel Utama I/AI, 220/380 volt.
126
- MCCB 100 Amp. = 1 buah
- MCB 40 Amp. = 2 buah.
- MCB 16 Amp. = 2 buah
- Pilot Lamp. = 3 buah
- Fuse 1 Amp. = 3 buah.
- Ampere Meter = 3 buah.
- Volt Meter = 1 buah.
- Selector Switch = 1 buah
Letak Panel : Ruang Panel sebelah utara Sasono Sewoko
(b) Panel Utama II/AII. 220/380 V.
- MCCB 50 Amp. = 1 buah.
- MCB 40 Amp. = 1 buah.
- MCB 25 Amp. = 2 buah.
- MCB 10 Amp. = 1 buah.
- Pilot Lamp. = 3 buah.
- Fuse 1 Amp. = 3 buah.
- Amper meter = 3 buah.
- Volt Meter = 1 buah.
- Selector Switch = 1 buah.
Lokasi di Ruang Panel Seb. utara Sasono Sewoko.
(c) Panel B. (Panel Instalasi untuk Sasono Sewoko) 220/380 Volt.
- ELCB 40 Amp = 1 buah.
- MCB 10 Amp. =18 buah.
- Fuse 1 Amp. = 3 buah.
- Pilot Lamp. = 3 buah.
Letak di Ruang panel Seb. Utara Sasono Sewoko
(d) Panel C (Panel Instalasi untuk Probosuyoso) 220/380 Volt.
- ELCB 40 Amp. = 1 buah.
- MCB 10 Amp. = 3 buah.
- MCB 6 Amp. =15 buah.
- Fuse 1 Amp. = 3 buah.
127
- Pilot Lamp. = 3 buah.
Letaknya di Pracimosono/sebelah Selatan Panti Busono.
(e) Panel D. (Panel Instalasi untuk Pakubuanan) 220/380 Volt.
- ELCB 40 Amp. = 1 buah.
- MCB 10 Amp. = 2 buah.
- MCB 6 Amp. = 16 buah.
- Fuse 1 Amp. = 3 buah.
- Pilot Lamp = 3 buah.
Letaknya di Sebelah Timur K. Dahar Pakubuanan.
(f) Panel E. (Panel Instalasi untuk Argopeni) 220/380 Volt.
- MCB 10 Amp. = 1 buah.
- MCB 6 Amp. = 3 buah.
- Fuse 1 Amp. = 3 buah.
- Pilot Lamp = 3 buah.
Letaknya di Argopeni
(g) Panel F (Panel Cadangan untuk Hondrowino) 220/380 Volt.
- MCB 25 Amp. = 1 buah.
- MCB 10 Amp. = 2 buah.
- MCB 6 Amp. = 1 buah.
- Fuse 1 Amp. = 3 buah.
- Pilot Lamp = 3 buah.
Letaknya di depan Pintu Wiworokenyo.
2) Jaringan
Seluruh jaringan listrik disiapkan untuk catu daya 3 (tiga) fasa,
walaupun daya listrik dari PLN pada saat ini adalah 1 fasa. Kabel listrik yang
dipasang seluruhnya dimasukkan dalam pipa baja yang galvanis (steel-
conduit) merk Matsushita.
Kecuali jaringan dari panel utama ke panel pembagi (lihat gambar),
ynkni menggunakan kabel tanah (NYfGbY) yang ditanam di dalam tanah
dengan dilindungi oleh pipa PVC.
Untuk penjelasan posisi jaringan dari panel utama ke panel pembagi
128
periksa gambar-gambar listrik pelaksanaan (as built drawing)
3) Dimmer, Saklar & Stopkontak
a). Dimmer
Dimmer yang digunakan adalah berfungsi untuk mengatur intensitas
cahaya lampu pijar, terutama pada lampu-lampu robyong. Perlu
diperhatikan bahwa kapasitas maximum dimmer adalah 1500 watt.
Dilarang untuk : - merubah watt lampu pijar pada lampu robyong
sehingga lebih besar dari semula.
- merubah lampu pijar dengan lampu lain yang berbeda
sifatnya dengan lampu pijar misalnya lampu TL (neon),
lampu SL atau PL, atau lampu dari type SON & SOX.
- mengganti dimmer dengan kapasitas lebih tinggi/besar
dari semula.
- membuka dimmer dan menggant i komponen listriknya
(misalnya SCR, ZENER) dengan merk ataupun jenis
yang berbeda.
b). Saklar.
Saklar yang digunakan adalah jenis yang menggunakan pilot lamp. Lampu
kecil ini menyala bila saklar tidak digunakan (tidak menyalakan lampu)
dan pilot lamp. ini tidak menyala apabila tidak ada aliran listrik, atau
lampu dinyalakan. Guna lampu pilot ini adalah untuk memudahkan
mencari saklar lampu bila gelap dan mengetahui ada tidaknya aliran listrik.
c). Stopkontak
Stopkontak yang dipasang adalah dari beberapa jenis, yakni :
- Stopkontak merk National pada ruangan-ruangan.
- Stopkontak Ebonit pada Tiang Probosuyoso serta gebyognya berwarna
hitam-coklat dan dipasang outbow.
- Stopkontak tutup, warna putih dipasang di tangga Sasono Sewoko.
- Pemasangan lampu-lampu Robyong menggunakan stopkontak/steker
yang mudah dilepas, hal ini bertujuan agar lampu Robyong bisa
diturunkan untuk dibersihkan/diganti lampunya.
129
4) Lampu-Lam pu
Adapun lampu-lampu yang digunakan adalah :
- Lampu Pijar 40 dan 60 watt.
- Lampu TL bulat 20 dan 32 watt.
- Lampu SL ex Philips 25 watt.
- Lampu PL Com bi ex Philips 2 x 5 watt.
- Lampu Clipsal & 60 watt untuk penangkal petir.
- Lampu Taman ex Philips type HPL-N 80 watt.
- Lampu Robyong seluruhnya menggunakan bola lampu pijar.
Untuk penggant ian lampu-lampu jika telah putus/mati ialah :
- matikan daya/aliran listrik ke lampu tersebut.
- gunakan alat pencapaian yang baik, misalnya tangga aluminium.
- tidak m enggant i lampu tersebut dengan daya/watt yang lebih besar.
- jika terpaksa mengganti dengan daya/watt yang lebih besar pelajari
terlebih dahulu kapasitasnya berdasarkan perhitungan pada Gambar
Jaringan Listrik.
Petunjuk Pemeliharaan Lampu Robyong Kristal.
- Pembersihan lampu kristal dilakukan minimum 1 (satu) tahun sekali, atau
jika telah terlihat kotor walaupun dalam jangka waktu 6 (enam) bulan
setelah dibersihkan.
- Peralatan yang digunakan :
a) Steiger beroda.
b) Plastik tebal untuk alas steiger (2x3 m).
c) Spons/busa 2 x 1 m.
d) Ember plastik.
e) Botol semprot.
f) Lap flanel.
- Cara pembersihan.
a) Matikan aliran listrik ke lampu yang bersangkutan.
b) Gelar alas plastik, dan tempatkan steiger dibawah lampu.
c) Naik ke atas steiger dan pasang spon/busa, spons ini digunakan untuk
130
alas jika ada kristal yang jatuh tidak pecah.
d) Isi botol semprot dengan air yang dicampur alkohol perbandingan 1 : 1.
e) Isi ember plastik dengan campuran air dan alkohol perbandingan 1 : 1.
f) Lepas untaian kristal pada ujung-ujungnya (untaian ini berupa kristal
oktagon yang dirangkai sepert i kalung), dan celupkan ke ember.
g) Semprotkan air + alkohol ke piringan gelas sampai merata, dan lap.
(ulangi sampai bersih).
h) Kristal batang juga disemprot dan bersihkan, lap hingga kering.
i) Bersihkan untaian kristal dalamember, dan letakkan berjajar di atas
spon, lap hingga kering.
j) Pasang untaian kristal.
k) Periksa jangan sampai ada lampu dan fitting yang masih basah.
l) Bekerja dengan tenang dan sabar, jangan terburu-buru.
Penting
1) Apabila daya listrik selalu tidak bekerja (mati) karena pengaman ELCB
bekerja (posisi off), maka berart i terjadi gangguan kebocoran arus. Pengaman
ELCB sangat peka terhadap kebocoran arus, misalnya karena pada jaringan
listrik/stopkontak dll, terdapat sarang laba-laba atau kotoran lain.
2) Untuk mengatasi hal tersebut di atas, diadakan pemeriksaan :
a) Stop kontak : - bersihkan lubang stop kontak dari kotoran-kotoran, sarang
laba-laba, sarang semut ataupun percikan air.
- Cara membersihkan, gunakan kapas bersih yang dililitkan
pada batang isolator (misalnya lidi, test pen dll.)
b) Lampu : - periksa seluruh fitting lampu dari kotoran-kotoran, sarang
laba-laba, sarang semut & percikan air.
- buka lampu-lampu dari fittingnya dan bersihkan fitting
dari kotoran-kotoran tersebut di atas dengan lap kering.
c) Terjadi penggunaan alat-alat listrik (misalnya seterika, lemari es dll.) yang
tidak t erisolasi sempurna.
131
d. Alarm Kebakaran (Fire Alarm)
1) Sistim
Untuk mendukung sistim pemadam kebakaran, maka dalam Pembangunan
Kembali Keraton Surakarta di dalam Komplek bangunan Sasono Sewoko,
Probosuyoso dan Pakubuanan dipasang suatu sistim deteksi bahaya api (Early
Warning Fire Detection).
2) Peralatan
Adapun Peralatan yang dipasang adalah :
a). Detektor Asap (Smoke Detector).
Alat ini adalah sangat peka t erhadap asap.
Karena kepekaannya, kadang-kadang oleh asap rokok saja alat ini
langsung bekerja. Detektor asap ini terutama dipasang di plafond. Tidak
dipasangnya alat ini di bawah plafond karena dikhawatirkan akan aktif bila
terkena asap dupa/kemenyan pada saat acara-acara tradisional/ritual.
Adapun spesifikasinya :
( 1 ) Merk : Nittan, buatan Jepang.
( 2 ) Bahan Deteksi: Radioactive Am ericium -24i kekuatan 0,7 m icrocurie.
( 3 ) Cara kerja : Ionisasi.
b). Detektor Panas (Heat Detector).
Alat ini adalah dapat mendeteksi bahaya kebakaran dengan cara
membedakan kenaikan suhu. Alat yang dipasang adalah dari jenis Rate of
Rise Heat Detector, yakni suhu naik di atas 50 derajat Celcius, dalam
waktu 15 detik. Sedangkan dari jenis Fixed Heat Detector dipasang pada
ruangan yang temperaturnya sering berubah yakni di dapur.
c). Bell Alarm.
Bell akan berbunyi jika mendapat sinyal elektronik dari Master Panel
(Panel Utama).
d). Panel Kombinasi.
A1at ini merumakan suatu kombinasi bell, break glass dan lampu merah.
e). Panel Pengulang (Repeater Panel).
Panel ini akan mengikuti sinyal sesuai yang bekerja pada Panel utama.
132
Alat ini dipasang pada tempat-tempat tertentu yang berjauhan dari Panel
utama.
f).Panel Utama (Master Panel).
Panel Utama ini merupakan "Otak" dari sistim deteksi bahaya kebakaran.
Berfungsi untuk menyeleksi dan mengevaluasi sinyal bahaya dari alat-alat
deteksi. Dengan adanya alat ini maka pengawasan dapat dilakukan secara
terpusat.
Merk : Nittan, buatan Jepang.
Type : PR-INKB-15L.
Alat ini bekerja dengan tegangan PLN 220 volt dan dilengkapi batteray
dengan alat charger automatic, sehingga walaupun daya PLN terputus,
masih dapat bekerja beberapa jam.
Pada sistim yang dipasang adalah dengan kapasitas : 15 Zone (15 daerah
deteksi).
3) C ara Kerja
Alarm akan berbunyi serta bell akan berdering bila :
a). Detektor asap mengindra adanya asap.
b). Detektor panas mengindra panas yang tidak normal.
c). Break Glass ditekan (Manual).
Daerah bahaya akan ditunjukkan oleh lampu Zone yang menyala.
Kondisi alarm akan terus berbunyi sampai tombol reset ditekan. Dengan
mengetahui adanya bahaya kebakaran pada suatu zone maka dapat dibunyikan
bell alarm di seluruh bangunan untuk memberitahukan kepada seluruh
penghuni.
Apabila lampu Zone pada Master Panel (Panel Utama) menyala maka terjadi
hal yang serupa pada Panel Repeater. Sehingga terjadinya alarm tidak hanya
pada satu tempat saja.
Terdapat 15 zone/daerah pembagian bahaya yang meliputi seluruh
bangunan. Zone ini adalah pengelompokan detektor-detektor yang dipasang
pada langit-langit maupun di dalam plafond.
Detektor yang dipasang di plafond (menempel pada langit-langit) ataupun
133
pada blandar, topengan dll., yang terdapat pada suatu ruangan adalah dari jenis
Rate of Rise Heat Detector & Fixed Heat Detector. Detektor yang dipasang di
dalam plafond (antara atap dan plafond) adalah dari jenis Smoke detector dan
Rate of Rise heat detector.
Dengan adanya detektor pada ruangan-ruangan yang mungkin jarang
terdapat penghuninya maka adanya bahaya api/kebakaran yang tidak segera
diketahui di ruang tersebut akan dapat diketahui lebih cepat /dini. Sehingga
tindakan Penanggulangan bahaya kebakaran dapat dilakukan dengan segera.
Namun perlu diingatkan bahwa kemampuan alat ini sangat dipengaruhi
perawatan yang baik, dalam arti kata pemeliharaan sistim ini sangat
menentukan keandalannya.
4) Jaringan
Pengkabelan yang digunakan adalah menggunakan kabel 1,5 mm yang
dipasang di dalam pipa PVC. Pada beberapa tempat tertentu pengkabelan ke
Detektor dilindungi dengan besi persegi, hal ini bertujuan untuk menyesuaikan
dengan tampak arsitekturalnya. Besarnya tegangan adalah 16 - 24 volt DC.
Dipasang beberapa terminal box untuk memudahkan pemeliharaan
yakni untuk melakukan test jaringan dapat melakukannya dari terminal box
ini.
5) Pem eliharaan
a) Panel utama
Bersihkan sisi luar panel utama dengan lap halus. Periksa tegangan baterai
ni-cad dengan menekan tombol yang bersangkutan.
Buka pintu panel dan periksa komponen serta wiringnya secara visuil.
b) Panel kombinasi.
Bersihkan dengan lap bersih dan kering, buka panel dan bersihkan
dalamnya dan periksa secara visuil.
c) Detektor.
Detektor panas dari jenis fixed heat maupun rate of rise, adalah dengan
melapnya dengan kain yang agak basah (kain yang digunakan adalah kain
flanel). Jika ada perbaikan berupa pengecatan plafond atau lainnya maka
134
dilarang mengecat permukaan detektor.
Detektor asap atau smoke detector yang dipasang didalam plafond
hendaknya dibersihkan dengan lap basah. Perlu diperhatikan bahwa
apabila plafond penuh debu dapat mengaktifkan detektor ini. Dengan
demikian plafond dalam waktu 1 (satu) tahun sekali sebaiknya dibersihkan
dari debu.
d) Pengujian.
Dilakukan test simulasi kebakaran setiap 6 (enam) bulan sekali. Simulasi
panas dilakukan dengan lampu down light 60 watt yang diarahkan pada
heat detector. Alarm harus berbunyi dalam jangka waktu 5 s/d 15 detik.
Pengujian dilaksanakan pada seluruh zone.
e. Hydrant Kebakaran
Di sekeliling komplek keraton yang dibangun kembali dipasang sistem
hydrant kebakaran. Sistim ini adalah sistim "basah" (Wet System), yakni seluruh
jaringan pipanya telah diisi air. Air untuk hydrant ini dicatu oleh sebuah "Water-
Reservoir" dan kolam terbuka, kesemuanya ini terdapat dalam lokasi Bandengan.
Di sepanjang jalan yang mengelilingi Keraton sebenarnya terdapat jaringan
Pipa PVC 4" dari PDAM, tetapi karena debitnya rendah dan tidak ada hydrant
connection, maka untuk hydrant keraton menggunakan sumber air tersendiri.
1) Sumber Air.
Di Bandengan terdapat 2 buah tempat cadangan air yakni:
a) Tandon Air (Water Reservoir) :
Ukuran : 15,5 m (p) x 8.25 m (1) x 2,3 m (t )
Volume : 294,1125 M3 (penuh).
b) Kolam Air :
Ukuran : 35,5 x 25,45 x 1 m = 903,475 M3
Dikurangi (9x12) + (8,5x3) = 138 M3
765,475 M3
Jadi jumlah cadangan air : 765,475 + 294,1125 : 1059,5845 M3
135
2) Mesin Pompa.
Untuk menekan air agar dapat dipancarkan oleh selang dengan baik,
maka air dari Water Reservoir maupun kolam air ditekan oleh sebuah Pompa
di rumah Pompa.
Spesifikasi Mesin Pompa tersebut :
a ) Merk : Ziegler.
b) Penggerak : 4 silinder, 1600 cc.
c) Bahan bakar : Bensin 17 liter, untuk operasi selama 2 jam.
d) Daya isap : Minimal 1600 lt./menit.
e) Pompa : Trokomat self-primming.
Jumlah mesin pompa ini sebanyak 2 (dua) buah, sebuah di Bandengan
dan sebuah lagi disimpan di rumah pompa di dekat panggung Sanggabuana.
Mesin pom pa yang disimpan di dekat panggung Sanggabuana dilengkapi roda
agar memudahkan mobilitasnya.
Mengenai penggunaannya dapat dilihat pada Petunjuk yang dilampirkan
di Mesin tersebut.
Pemeliharaan :
( 1 ) Setiap minggu dilakukan :
( a ) periksa bensin, tambahkan bensin bila kurang.
( b ) periksa katup karburator.
( c ) periksa air baterai.
( d ) periksa katup pompa.
( e ) perbaiki bila terjadi kelainan pada hal tersebut di atas.
( f ) periksa oli pompa dan oli mesin, tambahkan bila terjadi
kekurangan.
( g ) bersihkan seluruh mesin dengan lap.
( 2 ) Hidupkan mesin, (sesuai cara menghidupkan yang terlampir)
selama lebih kurang 5 s/d 10 menit , hanya untuk pemanasan. Pemanasan
mesin dilakukan satu kali setiap minggu.
3) Pillar Hydrant
Di sekeliling bangunan yang baru, dipasang 9 buah pillar hydrant
136
lengkap dengan Box yang berisi selang dan nozzle. Sesungguhnya jumlah pilar
hydrant yang dibutuhkan hanya 6 buah, namun karena pertimbangan bahwa
banyak bangunan lama yang letaknya tersebar dan rawan kebakaran, maka di-
pasang tambahan 3 buah.
Adapun jenis pillar hydrantnya memiliki kombinasi standar Van der
Heyde dan Machino, sehingga terdapat flexibilitas terdapat penggunaan selang
dari luar.
Untuk pillar di dekat pintu Sri Manganti Kidul dan Sangga Buana dapat
dihubungkan ke mesin Ziegler melalui pipa inlet 4” Penggunaan mesin di sini
adalah sebagai relay pump/pompa untuk mendorong air lebih jauh. Misalnya
terjadi kebakaran di luar Komplek Keraton, melalui pintu Sri Manganti Kidul.
a) Type pilarnya :
(1) 7 buah dengan 2 outlet masing-masing 2,5 inch.
(2) 2 buah dengan 4 outlet, yakni 2 buah @ 2,5 inch, 1 buah untuk inlet ke
Mesin Ziegler 4 inch, 1 buah untuk inlet ke mesin Tohatsu 3 inch.
b) Pemeliharaan :
(1) Setiap 2 (dua) bulan sekali harus dilakukan pemeriksaan untuk
mengetahui kerusakan yang mungkin terjadi.
(2) Pemeriksaan meliputi :
( a ) buka/tutup kran utama, gunakan kuncinya.
( b ) kelancaran kran stop/open.
( c ) kelancaran sambungan selang.
c) Seluruh pillar-hydrant dilengkapi dengan box (kotak) berwarna merah
yang berisi sebuah selang dan nozzlenya. Bagi box/kotak hydrant yang
"out-door" pintunva dikunci, dan kuncinya digantung di jendela kacanya.
Untuk membukanya pecahkan kacanya dan ambil kuncinya untuk
membuka (jika terjadi bahaya kebakaran). Untuk membuka pintunya
dalam rangka pengecekan/pemeliharaan gunakan kunci yang disediakan
(bukan kunci di dalam box). Sedangkan box hydrant yang "in-door",
pintunya tidak dikunci.
4) Selang & Nozzle
137
Di dalam Box Hydrant dan Rumah Mesin dekat Sanggabuana, disimpan
selang-selang dan nozzle.
a) Jumlah selang semprot :
( 1 ) 6 buah @ 30 meter, type Machino.
( 2 ) 10 buah @ 20 meter, type Van der Heyde.
b) Jumlah Nozzle :
( 1 ) 6 buah Variable, type Machino.
( 2 ) 4 buah Fixed, type Van der Heyde.
c) Jumlah selang inlet : 3 buah @ 2,5 meter diameter 4 inch. disimpan dalam
kotak di sebelah luar/timur bangunan rumah pompa di sebelah
Sanggabuana.
d) Pemeliharaan :
(1) Pemeliharaan selang :
(a) Setiap bulan periksa selang dengan menggelar selang di tempat
yang kering, rata dan bersih.
(b) Periksa kebersihan selang, bila kotor bersihkan dengan
mencucinya di kolam bandengan. Pembersihan kotoran cukup
dengan sikat halus.
(c) Selang hanya boleh digulung setelah kering.
(2) Pemeliharaan Nozzle :
(a) Periksa Nozzle bersamaan dengan pemeriksaan selang.
(b) Bersihkan kotorannya (jika ada) dan periksa mekanisme putarnya
pada selang variabel.
5) Jaringan Pipa
Untuk menyalurkan air ke pillar hydrant , maka dari Kolam maupun
Water Reservoir dibuat jaringan pipa 4 dan 3 inch menuju ke pilar-pilar.
Pemilihan cadangan air yang akan dipilih untuk memadamkan api diatur
dengan mengatur katup-katup sebelum pompa pendorong. Jaringan ini untuk
lebih jelasnya dapat dilihat di gambar Fire-Hydrant terlampir.
6) Tabung Pemadam Api
a). Type ABC : 30 buah.
138
b). Type BC : 6 buah.
Tabung pemadam api yang digunakan sebagian besar adalah dari jenis
ABC, yakni disesuaikan dengan kondisi bangunan. Type ABC adalah untuk
klasifikasi kebakaran oleh kayu, tekstil, karet (A) kemudian minyak (B) dan
listrik (C). Untuk type BC adalah diutamakan dipasang di Ruang Panel, yakni
untuk memadamkan minyak (B) dan listrik (C).
Pemeliharaan :
Untuk pemeliharaan secara mendetail, dapat dilihat pada petunjuk pabrik.
Namun secara garis besar adalah :
(1) Tiap bulan harus diadakan pemeriksaan berkala :
- apakah penempatan tabung masih baik sepert i semula?
- apakah ada bagian-bagian peralatan yang rusak, misalnya seal nozzle,
segel dsb.
(2) Setiap 6 (enam) bulan sekali harus diadakan pemeriksaan :
- apakah beratnya masih sesuai semula, jika beratnya berkurang
melebihi 10% maka harus dikirim ke dealer untuk diperbaiki.
- apakah terjadi kerusakan karena karat?
(3) Setiap tahun harus diadakan pengecekan oleh dealer alat tersebut.
(4) Setelah 10 tahun semua tabung yang belum terpakai harus dikirim kembali
ke pabriknya untuk diadakan pengetesan yang lebih teliti.
Perhatian :
Pemadam api jenis Serbuk Kimia Kering (Dry Powder Chemical) ini
digunakan untuk memadamkan api yang masih kecil. Apabila api telah besar
maka alat ini tidak efektif
f. Penangkal Petir
1) Jenis
Penangkal petir yang dipasang adalah dari jenis nonradioakt if sebanyak
2 (dua) unit. Masing-masing dipasang 41 Argopeni dengan ket inggian 25
meter di atas permukaan tanah dan di atas menara Sanggabuana dengan
139
ketingginn 35 meter di atas muka tanah.
Penangkal petir ini adalah dengan merk EF buatan Australia dan
masing-masing unit memiliki radius perlindungan lebih dari 100 m. bila
dipasang di atas ketinggian 24 meter.
2) Jaringan
Adakan pemeriksaan jaringan down kondutor, memeriksa sambungan-
sambungan (klem-klem). Serta adakan t est tahanan tanah setiap 5 (lima) tahun
sekali. Apabi1a hasil1 test tahanan tanah tersebut kurang dari 5 (limn) ohm,
dilakukan perbaikan pada groundingnya.
3) Lampu Bahaya
Sesuai dengan peraturan maka pada penangkal di pasang lampu bahaya
berwarna merah. Satu buah lampu pada penangkal petir di Argopeni, 2 (dua)
buah lampu di pasang di penangkal petir Sanggabuana.
Pemeliharaan :
- Periksa jaringan listriknya, jika terjadi sambungan yang kendor,
lakukan perbaikan.
- Adakan pemeriksaan pada : - lampu Clipsal 60 watt.
- saklar cahaya.
- sekring (MCB).
- Adakan penggant ian pada bagian yang rusak.
- Pemeriksaan di atas dilakukan setiap 3 (t iga) bulan atau jika terjadi
kerusakan.
g. Plambing & Sant ter
1) Jaringan
Pemasangan plambing adalah pada bangunan Probosuyoso dan
Pakubuanan. Menggunakan air bersih dari PDAM, yang dicatu dari jaringan
air PDAM yang dipasang di bag. belakang keraton.
Meteran air dipasang di sebelah belakang pintu gerbang belakang (depan
sekolah) dari pintu luar keraton.
140
Jaringan pipa air bersih di dalam keraton menggunakan pipa GIP. Air
bersih dari PAM ini digunakan sebagai sumber utama air minum di dalam
keraton.
2) Alat Saniter
Alat dan perlengkapan saniter digunakan agar ruangan dan lingkungan
menjadi bersih dan sehat. Ciri khas dari alat saniter adalah alat tersebut dari
bentuk dan konstruksinya maupun bahannya sulit untuk menjadi kotor oleh
sesuatu sebab.
Apabila kotor atau rusak, alat tersebut harus mudah dibersihkan dan
diperbaiki. Bagian permukaan alat saniter yang berhubungan dengan air
biasanya dibuat sangat halus dan licin, sehingga debu atau kotoran yang jatuh
padanya mudah disingkirkan oleh air penggelontor. Dalam melakukan
pembersihan agar dihindarkan permukaan alat saniter menjadi kasar atau
rusak, yakni dengan mencegah penggunaan bahan kimia yang keras ataupun
ampelas.
Berikut ini akan dijelaskan beberapa cara pemeliharaan berbagai alat
saniter.
a) Kloset.
Kloset hanya dirancang untuk membuang kotoran manusia dan
kertas khusus untuk kloset (toilet paper), serta dapat mengalirkannya
ke dalam pipa pembuangan dengan lancar. Kloset memang tidak
pernah dirancang untuk mengalirkan benda-benda lain sepert i
saputangan, handuk, kertas surat , karton apalagi benda-benda keras.
Agar memudahkan pemeliharaan maka perlu dijaga supaya
pemakaian kloset t idak semena-mena, antara lain dengan :
- Memberi penjelasan bahwa yang boleh dibuang ke dalam kloset
hanya kotoran manusia dan kertas khusus kloset.
- Dengan menyediakan bak sampah tertutup dalam ruang kakus
untuk menampung kotoran lainnya.
- Memperbaiki kerusakan atau kelainan yang timbul bagaimana
pun kecilnya.
141
- Tidak mencuci kain pel dan membuang airnya ke dalam kloset.
b) Bak Cuci Tangan (Washtafel)
Umumnya kerusakan yang terjadi pada bak cuci tangan adalah
tersumbat/penuhnya perangkap plambing, Biasanya karena kotoran
berupa benda-benda yang sulit larut dan terkumpul di perangkap
udara.
Penanggulangan hal tersebut ialah pipa perangkap harus dibuka dan
dibersihkan.
3) Pemeliharaan .
Pemeliharaan meliputi :
a) Alat Plambing.
Terdapat bermacam-m acam alat plambing, namun yang sering mendapat
kerusakan/kemacetan adalah :
(1) Perangkap Pipa.
Perangkap pipa biasanya dipasang pada bak cuci tangan (washtafel),
bak cuci dll. Kotoran yang sering menyumbat adalah terutama rambut,
potongan sabun, jepitan rambut dan puntung rokok. Pembersihan
dilakukan dengan melepaskan bagian bawah perangknp dari alat
plambingnya dan membuang segala macam kotoran yang ada. Sewaktu
memasang kembali perangkap harus diperhatikan aking untuk
mencegah kebocoran. Setelah dipasang perlu diuji apakah
pemasangannya cukup rapat dan tidak bocor.
(2) Perangkap pengering lantai (floor drain trap).
Perangkap jenis genta atau mangkuk terbalik ini sangat mudah
tersumbat endapan pasir, tanah atau rambut. Pembersihan alat ini harus
sering dilakukan, karena ukurannya yang biasanya sempit di aliran air
kotor.
b) Alat Saniter.
(1) Kloset :
(a) Penumpukan kotoran dan kerak, sehingga penampang perangkap
pipa atau pipa pembuangan berkurang.
142
(b) Jumlah air penggelontor berkurang, mungkin karena ada kotoran
dalam tangki atau katup bekerja kurang baik.
(c) Penggunaan kertas yang tidak tepat, misalnya kertas koran, bukan
yang khusus untuk toilet.
(d) Adanya benda-benda lain dibuang dalam kloset.
(2) Bak Cuci Tangan :
(a) Penampang pipa pembuangan bak sudah berkurang oleh kotoran
seperti rambut, endapan pasir dsb.
(b) Pada bak dengan penutup lobang pembuangan yang bisa disetel,
kurang tinggi penyetelannya.
(3) Keran Air :
(a) Sekrup pengencang menjadi kendor, sehingga keran mudah lepas.
(b) Perlu diperhatikan bahwa katup pada keran akan jadi aus dalam
waktu 3-4 tahun.
(c) Periksa terhadap sambungan pipa dan keran akan jadi aus dalam
waktu 3-4 tahun.
(d) Periksa terhadap sambungan pipa dan keran yang sangat mudah
menjadi bocor karena pemakaian keran yang kasar.
h. Drainase
1) Jaringan
Di dalam keraton telah dibangun jaringan drainase untuk mengalirkan
air hujan dan air kotor. Jaringan ini berpangka di sebelah utara lokasi dan
pembuangannya adalah ke sebeln timur dan selatan sesuai dengan kondisi
kemiringan tanah.
Permasalahan yang pokok adalah bahwa halaman Keraton terutama dari
pasir laut yang butirannya kecil/halus. Pasir ini sangat mudah larut dalam air
hujan. Hal ini akan menimbulkan pengendapan dalam saluran, selain itu
butiran pasir sering menyumbat saringan ijuk pada konstruksi penyadap pasir.
Penyumbatan pasir ini menumpuk pada kerikil dan saringan ijuk, sehingga
143
menahan aliran air yang mengalir ke saluran pembuang.
Denah jaringan ini dapat dilihat pada gambar Drainase yang terlampir.
2) Konstruksi.
Konstruksi bangunan drainase pada umumnya adalah buis-beton yang
ditanam di dalam tanah. Ukuran buis-beton untuk saluran utama pembuangan
adalah berdiameter 80 cm, sedangkan untuk saluran dari talang-tegak pada
umumnya dengan diameter 30 cm. Sedangkan saluran yang menuju pembuang
ke luar kom pleks Keraton adalah konstruksi pasangan bata.
Untuk konstruksi penyadapnya dipasang di dekat/di bawah cucuran
talang atau tempat-tempat tertentu yang dirasa penting.
3) Pemeliharaan.
a) Penyadap
- Konstruksi penyadap harus dibersihkan setiap minggu pada musim
kemarau. Setiap musim hujan harus di bersihkan ketika cuaca cerah
(setiap hari bila mungkinkan).
- Pembersihan dengan membersihkan pasir yang menumpuk,
membongkar kerikilnya dan membersihka pasir yang menempel di
saringan ijuknya.
- Penyusunan saringan pada konstruksi penyadap ini harus baik sepert i
semula.
- Gunakan skop kecil untuk membersihkan pasir dan membongkar
kerikil.
b) Saluran
- Buka bak kontrol dan angkat pasir yang menumpuk. Pembersihan ini
dilakukan setiap cuaca memungkinkan bila musim penghujan.
- Buka penutup beton (beton plat) pada saluran dengan konstruksi bata,
bersihkan kotoran yang ada dan pasir yang mengendap.
- Untuk saluran buis beton gunakan pengeruk yang diperpanjang dengan
batang bambu/kayu.
- Pembersihan saluran ini harus dilakukan sebelum musim hujan.
c) Halaman
144
- Halaman pasir diratakan dengan menggunakan garu atau perata dari
papan.
- Angkat kotoran-kotoran daun dengan sapu lidi.
- Periksa pasir yang menyumbat konstruksi penyadap.
149
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Kebakaran yang dialami Keraton Kasunanan Surakarta pada tahun 1985
disebabkan oleh hubungan arus pendek listrik. Sementara menurut pendapat
yang lain ada yang menghubungkan musibah yang dialami Keraton
Kasunanan Surakarta dengan ramalan kuno yang menyebutkan tentang umur
Keraton Kasunanan Surakarta hanya akan bertahan selama 200 tahun,
terhitung sejak didirikan sinuhun Pakoe Boewono II pada hari rabu, 17 Sura
tahun Je 1670 atau Februari 1745. Sinuhun Pakoe Boewono XII sendiri
cenderung berpendapat hubungan arus pendek sebagai penyebab musibah.
Loncatan bunga api akibat hubungan arus pendek mudah terbakar setelah
memakan bangunan keraton yang umumnya terdiri dari bahan kayu jati tua
dan kering. Jauh sebelumnya Sinuhun Pakoe Boewono XII memang sudah
mencemaskan instalasi dan jaringan kabel listrik di keraton yang sudah
rapuh karena hampir tak pernah diganti.
2. Pembangunan kembali keraton Kasunanan Surakarta pada tahun 1987
mendasarkan pada Serat Kalang. Persoalan utama renovasi adalah
membangun kembali keraton sesuai bentuk aslinya. Ini bukan hal mudah,
karena arsitektur keraton bukan hanya bersifat fisik teknis, melainkan juga
sarat masalah spiritual tentang lambang-lambang kekuatan dari setiap bagian
bentuk dan pembagian ruangan yang bermuara pada satu tujuan besar, yakni
keselamatan raja dan kerajaan. Padahal, hampir setiap bagian bangunan
keraton kasunanan Surakarta tak pernah didokumentasikan secara detil
dalam bentuk gambar atau cetak biru dari berbagai sudut pandang serta
penampang . Sementara kalaupun ada naskah-naskah tua yang ditemukan
kebanyakan hanya menjelaskan tentang jenis dhapur atau bentuk
bangunannya.
149
150
3. hasil dari pembangunan kembali Keraton Kasunanan Surakarta tidak
berbeda jauh dengan keraton Kasunanan Surakarta sebelum mengalami
musibah kebakaran tahun 1985. Proses pembangunan kembali Keraton
Kasunanan Surakarta membutuhkan waktu kurang lebih dua tahun. Keraton
Kasunanan Surakarta adalah salah satu warisan budaya dari nenek moyang
yang harus kita lestarikan.
Kegiatan pengembangan dan inovasi beberapa warisan seni budaya
dan adat tata cara keraton merupakan tantanagan dimasa depan bagi pusat
kebudayaan Jawa Keraton Surakarta. Semua tantangan itu berkaitan dengan
fungsinya yang harus tetap melestarikan warisan budaya tersebut dan
mengembangkannya untuk mendinamisasi keberadaan dan peranannya.
Aktivitas pengembangan tersebut senant iasa terkait dengan usaha
memajukan kegiatan kepariwisataan keraton.
B. Implikasi
Dari hasil penelitian yang telah dilaksanakan, muncul implikasi yang dapat
dipandang dari berbagai segi :
1. Teoritis
Dari hasil penelitian muncul implikasi atau dampak tidak langsung.
Implikasi tersebut meliputi berbagai bidang yakni sosial, budaya, dan
ekonomi.
Dalam bidang sosial ditinjau dari keberadaan keraton yang
didalamnya terdapat para abdi dalem yang secara sukarela merawat semua
fasilitas yang ada di dalam keraton walaupun dengan gaji yang sangat kecil,
kerelaan mereka mengabdi di dalam keraton menunjukkan mereka sangat
berjiwa sosial
Dipandang dari segi budaya, Keraton Kasunanan Surakarta
merupakan salah satu peninggalan kebudayaan nenek moyang yang sampai
sekarang masih dilestarikan walaupun keadaan dan suasana didalam keraton
tidak sama dengan keraton yang dulu pada saat sekarang siapapun bias
memasuki keraton kasunanan berbeda dengan jaman dulu hanya orang
151
tertentu saja yang bisa bebas keluar masuk lingkungan keraton. Siapapun
yang gemar berwisata bisa langsung datang menikmati keindahan bangunan
keraton.
Dalam bidang ekonomi, didalam lingkungan keraton banyak sekali
para pedagang buku, pedagang makanan kecil dan pedagang pernak-pernik
perhiasan yang bebas menjajakan dagangannya. Selain keraton Kasunanan
Surakarta sebagai hasil peninggalan budaya nenek moyang juga bermanfaat
bagi masyarakat sekitar untuk mencari nafkah menambah penghasilan.
2. Prakt is
Penulisan skripsi ini dapat memberikan gambaran kepada pembaca
bahwa keberadaan keraton kasunanan Surakarta tidak hanya berfungsi
sebagai tempat wisata tapi juga bisa dimanfaatkan sebagai tempat penelitian
dan pusat pendidikan. Sebagai pusat penelitian, keraton kasunanan Surakarta
dapat dimanfaatkan sebagai tempat penelitian berbagai disiplin ilmu sepert i
antropologi, sosiologi dan historis. Sedangkan sebagai pusat pendidikan
keraton Kasunanan Surakarta dapat dimanfaatkan sebagai sumber
pembelajaran sejarah.
C . Saran
Dari hasil penelitian ini maka disarankan kepada:
1. Mahasiswa
Mahasiswa sebagai generasi penerus bangsa sebaiknya terus memupuk
rasa cinta kepada kebudayaan sendiri, dengan mencintai kebudayaan
sendiri berart i kita harus turut serta dalam mengembangkan dan
melestarikan budaya bangsa kita yang beraneka ragam macamnya
2. Peneliti lain
Bagi para peneliti terutama peneliti tentang bangunan keraton, hendaknya
memiliki kemampuan membaca dan memahami bahasa sumber atau
bahkan menterjemahkan bahasa sumber yaitu bahasa jawa kuno maupun
bahasa asing untuk kalangan yang lebih luas agar lebih mudah dalam
melakukan penelitian.
152
3. Untuk Pengelola Keraton Surakarta
Peneliti menyarankann kepada pengelola keraton Surakarta untuk
memberikan keringanan tiket masuk kepada pengunjung, khususnya
pelajar. Pengelola Keraton perlu mengadakan peningkatan dan
penambahan sarana-prasarana yang terkait dengan dunia pendidikan,
misalnya pembaharuan dan penambahan buku-buku di perpustakaan
Sasana Pustaka. Pengelola Keraton juga sebaiknya melakukan sosialisasi
kepada masyarakat tentang keberadaan keraton bukan sesuatu yang
keramat dan angker, tetapi sebagai peninggalan kebudayaan bangsa yang
mempunyai nilai budaya yang tinggi yang bisa digunakan dalam studi
sejarah dan kebudayaan bangsa.
DAFTAR PUSTAKA Buku: Ahmad Faidzin dan Ning Hadiati. 1989. Laporan Penelitian Studi Tentang Tata
Ruang pada Keraton Surakarta Hadiningrat. Surakarta : Fakultas Sastra UNS.
Alfian T Ibrahim.1985. Persepsi Masyarakat Jawa Tentang Kebudayaan. Jakarta:
Bharata. Arya Ronald. 1990. Ciri-Ciri Karya Budaya Dibalik Tabir Keagungan Rumah
Jawa. Yogyakarta: Universitas Atmajaya Yogyakarta. Bekti Wijayanti. 1989. Kebudayaan Jawa Dalam Seni Bangun Rumah
Tradisional Keraton Surakarta.Skripsi Fak Sastra UNS. Surakarta. Bram Setiadi, Qom arul Hadi dan DS Tri Handayani. 2000. Raja di Alam Republik : Keraton Kasunanan Surakarta dan Pakoe Boewono XII .Surakarta : PT
Bina Rena Pariwara. Broto Nagoro.1870. Terjemahan dari Bhs Belanda, buku”DJAWA” ( Tydschrift
u/h yav instituute ) dengan judul” Surakarta Adiningrat”200 Jaar Door MR.R Koesoemadi. Peringatan 200 Tahun Kepindahan Keraton Kartasura ke Surakarta.
Budiono Herustoto. 1982. Simbolisme Dalam Budaya Jawa. Yogyakarta:
Hanindita Daliman. 1971. Norm a-Norma Dasar Penelitian dan Penulisan Sejarah. Jakarta :
Dephankam Pusat Sejarah. Darsiti Soeratman. 1989. Kehidupan Dunia Keraton Surakarta 1830-1939.
Yogyakarta: Taman Siswa. Dudung Abdurahm an. 1999. Metode Penelitian Sejarah. Jakarta: PT Logos
Wacana Ilmu. Eko Adhy Setyawan. 2000. Konsep Sim bolisme Tata Ruang Luar Keraton
Surakarta Hadiningrat. Thesis. Program Pasca Sarjana Magister Teknik Arsitektur. UNDIP: Semarang.
Franz Magnis Susena.1991. Etika Jawa Dalam Tantangan. Yogyakarta: Yayasan
Kanisius.
149
Hadari Nawawi. 1995. Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: UGM Press. .
Harsojo. 1999. Tradisi Sosial .Yogyakarta: UGM Press. Hellius Sjamsuddin.1996. Metodologi Sejarah. Jakarta: Depdikbud.
Josef Prijotomo. 1995. Petungan: Sistem Ukuran Dalam Aksitektur Jawa. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Kawruh Kalang. Naskah asli dari: Sasana Pustaka Keraton Kasunanan Surakarta.
Alih aksara Endang Tri W inarni. Maret 1985. Kawruh Kalang. Naskah asli dari : Radya Pustaka. Alih Aksara Sri Sulistyawati.
Maret. 1985. Koendjaraningrat. 1983. Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta:
Gramedia. Krisnina M. Tanjung. 2005. Mencintai Sejarah Melalui Bangunan Kuno. Jakarta:
Yayasan Warna warni Indonesia. Kuntowijoyo. 1995. Metodologi Sejarah.Jakarta: Erlangga.
Louis Gottschalk.1986. Mengerti Sejarah ( Terjem ahan Nugroho Notosusanto ). Jakarta: UI Press.
Moh. Nasir. 1988. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Noeng Muhadjir. 1996. Metode Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Rake Sarasin.
Nugroho Notosusanto.1971. Norma-Norm a Dasar Penelitian dan Penulisan Sejarah. Jakarta: Dephankam.
Panitia Swasta Pembangunan Kembali Keraton Surakarta Hadiningrat. 1987.
Pedom an Pemeliharaan Fasilitas Bangunan Keraton Surakarta Hadiningrat 1987. Surakarta.
Poerwo Darminto. 1976. Kam us Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka
Sasono Hondrowino.1997. Masa Lam pau dan Kini. Joop Ave.
Selayang Pandang Keraton Surakarta Hadiningrat. PT Hayuningrat .
Selo Soemardjan dan Soeleman Soemadi. 1964. Setangkai Bunga Sosiologi. Jakarta: UI Press.
Serat Kalang Bab Griya Jawi Transkripsi naskah no. P 102. Alih Aksara: Suyatno
Trunosuroto. Rekso Pustoko Mangkunegaran. Serat Kawruh Kalang. Naskah asli dari: Sasana Pustaka Keraton Kasunanan
Surakarta. Alih Aksara: Sri Sulistyawati. Sasana Pustaka Keraton Kasunanan Surakarta.
150
Sidi Gazalba.1988. Pengantar Sejarah Sebagai Ilmu. Jakarta: Pustaka Antara.
Sri Winart i. 2004. Sekilas Sejarah Keraton Surakarta. Surakarta: Cendrawasih.
Sri Winart i. 2005. Yang Sah dan yang Resmi Susuhunan Pakoe Boewono XIII. Surakarta.
Suharto. 1985. Dioram a Keraton Surakarta Hadiningrat. Surakarta: Tiga
Serangkai. Suryo Wicaksono. 1995. Upacara Tradisional Tabot di Kota Bengkulu. Skripsi
FKIP UNS. Van, Peursen. 1976. Strategi Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius. Warto. 2001. Blandong Surakarta: Pustaka Cakra Surakarta.
Wibowo, Gatut Murniatmo dan Sukirman. 1986/1987. Arsitektur Tradisional Daerah Istim ewa Yogyakarta. Yogyakarta : Depdikbud. Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah.
Yosodipuro. 1994. Keraton Surakarta Hadiningrat Bangunan Budaya Jawa
Sebagai Tuntunan Hidup/ Pembangunan Budi Pekerti Kejawen. Yosodipuro.1988. Keraton Surakarta Hadiningrat, Kedhaton Mulya” Kombuling
Rerennggan Ruming Bawana”. Macrodata.
Surat Kabar:
Suara Merdeka, 9 Februari 1985
Suara Merdeka, 17 Desember 1987
Kompas ,3 Februari 1985
Kompas , Rabu 6 Februari 1985
Kompas, Minggu 10 Februari 1985
Berita Buana, Sabtu 2 Februari 1985
Berita Buana , Selasa 5 Februari 1985
Berita Buana, Sabtu 9 Februari 1985
Berita Buana, Senin 11 Februari 1985
Berita Buana, Minggu 17 Februari 1985
Suara Karya, Senin 4 Februari 1985
Suara Karya, Rabu 6 Februari 1985
Suara Karya, Sabtu 9 Februari 1985
Suara Karya, Jumat 16 Februari 1985
Sinar Harapan, Senin 14 Februari 1985 Sinar Harapan, Kamis 7 Februari 1985 Sinar Harapan, Kamis 6 Februari 1985
Majalah:
Tempo ,16 Februari 1985, halaman 19, Membuat Keraton Menurut Serat/ Kawruh Kalang
151