Upload
others
View
11
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
JSTFI
Indonesian Journal of Pharmaceutical Science and Technology
Vol.VII , No.1, Januari 2018
1
STUDI PENGGUNAAN OBAT ANTIHIPERTENSI PADA WANITA HAMIL YANG
DIDIAGNOSIS HIPERTENSI DI RUMAH SAKIT PMI KOTA BOGOR
Lidya Indhayani
Program Studi S1 Farmasi Sekolah Tinggi Farmasi YPIBCirebon
Jl. Perjuangan-Majasem, Cirebon 45315
_____________________________________________________________________________
Abstrak
Hipertensi merupakan salah satu penyebab utama kematian pada ibu hamil, disamping penyebab
lainnya seperti infeksi dan pendarahan. Metildopa merupakan agen lini pertama yang dianjurkan
untuk terapi hipertensi pada masa kehamilan. Dalam penanganan hipertensi pada masa
kehamilan saat ini banyak digunakan obat lini kedua dan ketiga. Penelitian ini bertujuan
mengevaluasi penggunaan obat antihipertensi pada ibu hamil sudah sesuai dengan panduan
terapi hipertensi pada kehamilan. Penelitian ini merupakan penelitian observasional-deskriptif
yang dilakukan secara konkuren pada pasien rawat jalan dan rawat inap selama bulan April –
Juli 2015 di Rumah Sakit PMI Kota Bogor. \ Dari 89 pasien, terdapat 43 pasien dengan
hipertensi tingkat 1 yang tidak mendapatkan pengobatan farmakologi, hanya pengelolaan gaya
hidup. Sejumlah 46 pasien mendapatkan terapi farmakologi. Sebanyak 27 pasien mendapatkan
terapi tepat regimen obat dan tepat dosis, sedangkan 19 pasien lainnya menggunakan kombinasi
obat yang tidak tercantum dalam pedoman terapi baik dalam standar Depkes RI maupun JNC 7.
Dari segi outcome tekanan darah yang dikontrol pada pasien rawat inap ketika akan pulang,
semua pasien (32 pasien) berhasil diturunkan tekanan darahnya, dan sesuai dengan target terapi
penanganan hipertensi yang tercantum pada pedoman terapi NICE. Pemilihan regimen obat
antihipertensi pada kehamilan di RS PMI Kota Bogor belum dapat dikatakan sesuai dengan
pedoman terapi hipertensi dalam kehamilan.
Kata Kunci: Hipertensi, kehamilan, hipertensi dalam kehamilan, penanganan hipertensi,
antihipertensi.
Abstract
Hypertension is one of the leading causes of death in pregnant women, in addition to other
causes such as infection and bleeding. Methyldopa is the recommended first-line agent used for
therapeutic treatment of hypertension during pregnancy. However, in the treatment of
hypertension during pregnancy are widely used second and third-line drugs.This study aims to
evaluation the use of antihypertensive drugs in pregnant women in accordance with guidelines
for treatment of hypertension in pregnancy. This study is an descriptive –observational that
conducted concurrently in outpatient and inpatient during April to july 2015 in PMI Hospital
Bogor. From the 89 patients, there were 43 patients with stage 1 hypertension who did not
receive pharmacological treatment, only a change in lifestyle management. As many as 46
patients received pharmacological therapy, only 27 patients on the proper selection and proper
dosage of the drug regimen, while 19 other patients using a combination of drugs that are not
listed in either the standard treatment guidelines for MOH and JNC 7. In terms of the output of
blood pressure controlled in hospitalized patients when coming home, all of the patients (32
patients) successfully lowered blood pressure, and in accordance with therapeutic target in the
treatment of hypertension listed NICE treatment guidelines. The regimen choice of
antihypertensive drug during pregnancy has not been in accordance with the guidelines for the
treatment of hypertension during pregnancy.
Keywords: Hypertension, pregnancy, hypertension during pregnancy, treatment of
hypertension, antihypertensive
JSTFI
Indonesian Journal of Pharmaceutical Science and Technology
Vol.VII , No.1, Januari 2018
2
PENDAHULUAN
Hipertensi merupakan salah satu
penyebab utama kematian pada ibu hamil,
di samping penyebab lainnya seperti infeksi
dan pendarahan. Hipertensi saat kehamilan
(pre-eklampsia) menyebabkan sekitar 13%
kematian pada ibu hamil, sedangkan infeksi
sekitar 15% dan pendarahan 45%
(R.Haryono Roeshadi, 2006). Menurut
WHO, definisi hipertensi adalah tekanan
darah lebih dari 140 mmHg untuk sistolik
dan lebih dari 90 mmHg untuk diastolik.
Pada kebanyakan kasus, hipertensi
terdeteksi saat pemeriksaan fisik karena
penyakit tertentu, sehingga sering disebut
sebagai “the silent killer” dan tanpa disadari
penderita mengalami komplikasi pada
organ-organ vital seperti jantung, otak, atau
ginjal. Hipertensi menjadi penyebab
kematian nomor 3 (tiga) setelah stroke dan
tuberkulosis, yakni mencapai 6,7% dari
populasi kematian pada semua umur di
Indonesia (Depkes RI, 2006).
Penyebab terjadi hipertensi pada
masa kehamilan sampai saat ini belum
diketahui pasti. Dari teori yang ada,
hipertensi pada masa kehamilan terjadi
diduga karena faktor nullipara yaitu
kehamilan yang terjadi pada usia kurang
dari 20 tahun, adanya riwayat menderita
hipertensi pada kehamilan-kehamilan
terdahulu, adanya riwayat penderita
hipertensi dalam keluarga, kehamilan
ganda, diabetes melitus, hidrop fetalis,
sindrom antibodi antifosfolipid, dan infeksi
saluran kemih; riwayat hipertensi dan
penyakit ginjal, multipara dengan umur
lebih dari 35 tahun (R. Haryono Roeshadi,
2006).
Penggunaan obat-obatan selama
masa kehamilan perlu mempertimbangkan
tidak hanya efek farmakokinetika saja,
tetapi perlu pula memperhatikan faktor
fisiko-kimia obat, terutama dalam
menembus sawar plasenta. Hal tersebut
karena plasenta merupakan organ
penghubung ibu dengan janin. Besarnya
dosis, rute pemberian serta waktu
pemberian juga mempengaruhi keamanan
penggunaan obat selama masa kehamilan.
Sifat teratogenik zat aktif sangat
diperhatikan dalam melakukan pemberian
obat-obatan kepada ibu hamil (Direktorat
Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, 2006).
Metildopa merupakan agen lini
pertama yang dianjurkan digunakan untuk
terapi pengobatan hipertensi pada masa
kehamilan. Tetapi dalam penanganan
hipertensi pada masa kehamilan dapat
digunakan obat lini kedua dan ketiga.
Berdasarkan hal tersebut, maka perlu
dilakukan evaluasi penggunaan obat
antihipertensi pada ibu hamil dengan
kondisi hipertensi agar diperoleh data-data
yang akurat tentang efektivitas terapi yang
dilakukan.
METODOLOGI
Penelitian ini merupakan penelitian
observasional-deskriptif yang dilakukan
secara konkuren yaitu melakukan
pembuatan kriteria penggunaan obat
JSTFI
Indonesian Journal of Pharmaceutical Science and Technology
Vol.VII , No.1, Januari 2018
3
antihipertensi pada wanita hamil yang
didiagnosis hipertensi di instalasi rawat
jalan dan rawat inap. Pada penelitian ini
terlebih dahulu dilakukan studi pustaka
tentang rumah sakit, pelayanan Instalasi
Farmasi Rumah Sakit, hal yang berkaitan
dengan obat antihipertensi (memasukkan
nama obat yang digunakan berdasarkan
golongan farmakologi yang sesuai), dan
hipertensi kehamilan (memasukkan standar
penatalaksana hipertensi dalam kehamilan).
Kemudian dilakukan pengorganisasian
data, analisis data dan pengambilan
kesimpulan.
Kriteria inklusi sampel pada
penelitian ini meliputi wanita hamil dengan
tekanan darah 140/90 mmHg atau
proteinuria 300mg/24 jam. Jenis data
yang digunakan meliputi identitas pasien
(no. rekam medik, nama, usia, dan
pekerjan), usia kehamilan, diagnosa,
pengukuran tekanan darah dan riwayat
pengobatan. Penggunaan obat meliputi
golongan dan jenis obat yang digunakan,
dosis, lama/frekuensi penggunaan, rute
pemberian. Sedangkan sumber data
diperoleh dari hasil rekam medik di RS
PMI Bogor dan wawancara langsung
kepada pasien di RS. PMI Bogor secara
random.
Analisis data dikelompokkan
menjadi 2 (dua) jenis, yaitu analisis data
kuantitatif dan data kualitatif. Analisis data
kuantitatif diperoleh dari riwayat
kehamilan, usia kehamilan, pengukuran
tekanan darah awal dan selama monitoring,
pilihan obat antihipertensi yang diresepkan,
dosis, lama/frekuensi penggunaan obat,
sedangkan analisis data kualitatif dilakukan
dengan mengevaluasi efek obat. Penarikan
kesimpulan berdasarkan hasil data yang
diperoleh dari pemilihan jenis obat
antihipertensi yang diresepkan
dibandingkan dengan standar penggunaan
obat antihipertensi pada kehamilan,
terhadap efek terapi yang diharapkan
maupun efek samping yang terjadi.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Dari pengumpulan sampel selama
bulan April hingga Juli 2015, diperoleh 67
pasien rawat jalan dan 32 pasien rawat inap
dan sebanyak 10 pasien yang dari rawat
jalan langsung dirujuk ke rawat inap.
Sehingga total sampel yang diperoleh
adalah 89 pasien RS. PMI Bogor. Pasien
tersebut selanjutnya dikelompokkan dan
dievaluasi (Tabel 1).
Tabel 1 menunjukkan hipertensi
kronik hanya diderita oleh seorang pasien,
sedangkan preeklampsia terjadi sebanyak
22,47% dari total pasien, sedangkan
hipertensi gestasional mencapai 75,28%.
Angka kejadian hipertensi kronik ini kecil,
diduga terjadi karena tidak terdeteksinya
sejak awal kehamilan, pasien tidak
memeriksakan kehamilannya, sehingga
baru terdeteksi setelah lewat minggu ke-20
kehamilan. Pasien juga kurang mengerti
akan riwayat kesehatannya, apakah
memiliki riwayat orang tua yang hipertensi
atau tidak. Selain itu, kedatangan pertama
JSTFI
Indonesian Journal of Pharmaceutical Science and Technology
Vol.VII , No.1, Januari 2018
4
kali pasien ke RS PMI Kota Bogor dengan
riwayat kontrol sebelumnya yang tidak
lengkap juga mempengaruhi
ketidakakuratannya data jumlah pasien
berdasarkan tipe hipertensi dalam
kehamilan. Hal ini dikarenakan pada
umumnya pasien datang pada minggu
terakhir mendekati persalinan, dan
sebelumnya melakukan kontrol ke bidan
atau puskesmas.
Menurut data yang didapatkan
bahwa ada beberapa faktor resiko yang
diduga menjadi penyebab terjadinya
hipertensi dalam kehamilan yaitu umur
pasien, status kehamilan, BMI (Body Mass
Index), dan kehamilan kembar. Berdasarkan
kategori umur pasien, sebanyak 3,37% dari
jumlah pasien merupakan ibu hamil dengan
umur dibawah usia ideal kehamilan yaitu
20-35 tahun. Dan sebanyak 29,21% hamil
di atas usia 35 tahun. Untuk pasien dibawah
usia ideal kehamilan faktor penyebab
hipertensi diduga diakibatkan oleh stres,
sedangkan untuk usia ibu hamil di atas 35
tahun diduga karena faktor hipertensi yang
sudah terjadi sebelum kehamilan tetapi
tidak terdeteksi sebelumnya.
Untuk status kehamilan hidup,
faktor nullipara (kehamilan pertama) terjadi
pada 34,83% pasien. Hal ini juga diduga
akibat stress yang dialami oleh ibu yang
baru pertama kali mengalami kehamilan,
sehingga terjadi invasi trofoblast yang
abnormal atau mengalami invasi yang
inkomplit. Selain itu faktor multipara juga
mempengaruhi terutama bila ibu hamil
Tabel 1. Data Jumlah Pasien Berdasarkan Tipe Hipertensi Kehamilan yang Diderita
Tipe Hipertensi Kehamilan Kriteria N %
Hipertensi Kronik
- TD 140/90 mmHg
- sudah ada sejak 20 minggu
kehamilan
- tidak disertai protein urea
1 1,12
Preeklampsia
- TD 140/90 mmHg
- terjadi setelah 20 minggu
kehamilan
- disertai proteinuria 300 mg/24
jam, atau 30mg untuk sekali
pengkuran
20 22,47
Hipertensi Kronik dengan
superimposed preeclampsia
- TD 140/90 mmHg
- sudah ada sejak 20 minggu
kehamilan
- disertai kemunculan proteinuria
300 mg setelah 20 minggu
kehamilan
1 1,12
Hipertensi Gestasional
- TD 140/90 mmHg
- setelah 20 minggu kehamilan
- tanpa disertai proteinuria
67 75,28
N Total= 89 Keterangan : N = jumlah pasien setiap kategori ; % = persentase jumlah pasien per kategori dibandingkan
dengan jumlah total pasien yang menderita hipertensi dalam kehamilan.
JSTFI
Indonesian Journal of Pharmaceutical Science and Technology
Vol.VII , No.1, Januari 2018
5
multipara pada usia lebih dari 35 tahun.
Untuk status kehamilan hidup, faktor
nullipara lebih tinggi mempengaruhi
hipertensi (pre-eklampsia) bila
dibandingkan dengan kehamilan multipara.
Persalinan yang berulang-ulang akan
mempunyai banyak resiko terhadap
kehamilan. Pada The New England Journal
of Medicine tercatat bahwa persalinan
kedua dan ketiga adalah persalinan yang
paling aman (Rozhikan, 2007).
Nilai BMI juga menjadi faktor
resiko penyebab hipertensi dalam
kehamilan. Depkes RI menyebutkan bahwa
BMI ibu hamil di atas 30kg/m2, beresiko
tinggi mengalami hipertensi dalam
kehamilan, dan dari data yang diperoleh,
semua pasien dengan nilai BMI lebih dari
30 kg/m2
adalah sebanyak 11 pasien
(12,36%). Sedangkan faktor resiko untuk
kehamilan ganda diperoleh data sebanyak 2
pasien yang mengalami hipertensi dalam
kehamilan dan 87 pasien yang mengalami
hipertensi pada janin tunggal. Menurut
Agung Supriandono dan Sulchan Sofoewan
bahwa kasus preeklampsia berat terjadi
pada janin lebih dari satu. Hal ini
dikarenakan pada kehamilan ganda terjadi
perubahan fisiologis uterus lebih besar
daripada kehamilan tunggal, maka distensi
rahim akan berlebihan sehingga
menyebabkan tekanan darah naik (Maria
Magdalena dan Dyah Historyati, 2013).
Hasil penelitian tersebut berbanding
terbalik dengan hasil penelitian yang
didapatkan. Hal ini dimungkinkan terjadi
karena ada faktor lain seperti usia, riwayat
preeklampsia pada keluarga, riwayat
hipertensi, ataupun status gizi pasien.
Adapun komplikasi yang menyertai
hipertensi yang paling tinggi pada ibu hamil
yaitu leukositosis dan anemia. Hal ini
sangat beresiko terhadap terhambatnya
perkembangan janin, sehingga menginduksi
IUGR (Intrauterine Growth Restriction)
atau berat badan janin yang rendah.
Leukositosis terjadi biasanya disebabkan
oleh infeksi bakteri pada ibu hamil dan
menggambarkan proses inflamasi yang
terjadi pada pre-elampsia/eklampsia
(Sumarni, 2016). Penggunaan antibiotik
diharapkan membantu mengatasi infeksi
dan akan menstabilkan kembali angka
leukosit tubuh. Komplikasi anemia terjadi
akibat kurangnya asupan suplemen zat besi
selama kehamilan sehingga pembentukkan
hemoglobin kurang tercapai.
Oligohidramnion dijumpai pada
salah satu pasien sampel, hal ini dapat
dihubungkan dengan hipertensi.
Oligohidramnion adalah keadaan dimana
air ketuban kurang dari normal yaitu < 500
mL. Penggunaan obat yang tidak tepat
selama kehamilan seperti angiotensin-
converting enxyme inhibitor (ACEI), dapat
merusak ginjal janin dan menyebabkan
oligohidramnion parah dan kematian janin.
Oleh karena itu penderita hipertensi
sebaiknya mengkonsultasikan dulu
pengobatannya bila menginginkan
kehamilan. Penurunan perfusi ginjal diduga
juga dapat menyebabkan produksi urin
JSTFI
Indonesian Journal of Pharmaceutical Science and Technology
Vol.VII , No.1, Januari 2018
6
berkurang, dalam keadaan normal, ginjal
membentuk cairan ketuban (sebagai urin).
Berdasarkan Tabel 2, data yang
rujukan yang paling banyak ditemukan
pada pasien adalah proteinuria yaitu sebesar
45,71%, hal ini menunjukkan klasifikasi
hipertensi kehamilan preeklampsia. Ada
beberapa indikator tes urine yang dapat
menggambarkan resiko hipertensi yang
dapat memicu kerusakan organ lain, di
antaranya nilai serum kreatinin yang tinggi
dan albuminuria yang mengindikasikan
hipertensi yang diderita telah menyebabkan
induksi disfungsi renal. Salain itu nilai
SGOT dan SGPT juga dapat
menggambarkan kerusakan fungsi hati.
Dari hasil tes leukosit yang tinggi
juga ditemukan pada 74,29% pasien, namun
data leukosit yang tinggi dirasa kurang
menggambarkan resiko preeklampsia,
karena hasil yang tinggi dapat terjadi akibat
penyakit infeksi yang diderita oleh pasien
(Magee dkk, 2008). Hasil tes urine ini
sangat berperan dalam menentukan terapi
hipertensi bagi yang telah mengalami
kerusakan fungsi organ. Tetapi dari tabel di
atas, banyak pasien yang tidak melakukan
tes urine lengkap, padahal hal ini sangat
Tabel 2. Pengelompokan Data Hasil Tes Urine Sebagai Monitor Resiko Preeklampsia
Jenis Pemeriksaan Deskripsi resiko
preeklampsia
Terindikasi Tidak
terindikasi
Tidak ada
data*
N % N % N %
Hemoglobin ** > 12-14 rb g/dl - - 35 100,00 - -
Leukosit > 4-10rb /µl 26 74,29 9 25,72 - -
Trombosit / platelet < 150-450rb µl 1 2,86 34 97,14 - -
Blood film positif 9
25,72 18 51,43 8 22,8
6
Kreatinin serum > 1,1mg/dl -
- 21 60,00 14 40,0
0
Glukosa Negatif -
- 25 71,43 10 28,5
7
AST atau SGOT** > 9-40 µ/L 2
5,71 17 48,57 16 45,7
1
ALT atau SGPT** > 13-48 µ/L 2
5,71 17 48,57 16 45,7
1
Albumin < 3,5-5g/dl 2
5,71 - - 33 94,2
9
Bilirubin Positif 2
5,71 25 71,43 8 22,8
6
Proteinuria
1x pengukuran atau
24 jam pengukuran
30mg/dl
≥300 mg/dl
16
45,71
13
37,14
6
17,1
4
N Total= 35 Keterangan : N = jumlah pasien setiap kategori ; % = persentase jumlah hasil per kategori dibandingkan
dengan jumlah total hasil tes urine yang terdata; *) = tidak ada data karena pasien tidak melakukan tes
urine untuk keseluruhan indikator. **) = dari hasil data yang diperoleh beberapa kadar hemoglobin ibu
hamil justru rendah.
JSTFI
Indonesian Journal of Pharmaceutical Science and Technology
Vol.VII , No.1, Januari 2018
7
mempengaruhi ketepatan terapi yang akan
dilakukan dengan mempertimbangkan
penyakit lainnya.
Metildopa merupakan golongan
agonis α2 sentral menurunkan tekanan
darah terutama dengan merangsang reseptor
α2 adrenergik di otak. Perangsangan ini
menurunkan aliran simpatetik dari pusat
vasomotor di otak dan meningkatkan tonus
vagal. Penurunan aktivitas simpatetik,
bersamaan dengan meningkatnya aktivitas
parasimpatetik, dapat menurunkan denyut
jantung, curah jantung, total peripheral
resistance, aktivitas plasma renin, dan
refleksbaroreseptor (Departemen
Farmakologi dan Terapeutik FKUI, 2009).
Metildopa adalah obat lini pertama
untuk hipertensi pada kehamilan karena
bukti keamanannya selama ini. Namun
paling menonjol dari penggunaan metildopa
secara kronis adalah akan menyebabkan
retensi natrium dan air, sehingga sebaiknya
diberikan bersama diuretik untuk mencegah
tumpulnya efek antihipertensi yang terjadi
dengan penggunaan jangka panjang, kecuali
pada kehamilan. Seperti dengan
penggunaan obat antihipertensi yang
bekerja sentral lainnya, metildopa dapat
menginduksi terjadinya depresi. Kejadian
hipotensi ortostatik dan pusing lebih tinggi
daripada dengan obat antihipertensi lainnya,
sehingga harus digunakan dengan hati-hati
pada lansia (Pionas BPOM RI, 2015).
Metildopa dapat menyebabkan
hepatitis atau anemia hemolitik, walaupun
jarang terjadi. Kenaikan sementara serum
transaminase liver kadang-kadang terlihat
dengan terapi metildopa tetapi secara klinis
irrelevant kecuali bila nilainya diatas tiga
kali batas normal. Metildopa harus
diberhentikan segera apabila kenaikan
serum transaminase atau alkalin fosfatase
liver menetap karena ini menunjukkan
onset dari hepatitis fulminan, yang dapat
menimbulkan kematian (Chobanian dkk,
2004).
Antagonis kalsium atau Calcium
channel blockers (CCB) bukan agen lini
pertama terapi antihipertensi tetapi obat ini
merupakan antihipertensi yang efektif
sebagai obat tambahan atau pengganti.
CCB bekerja dengan menghambat influx
kalsium sepanjang membran sel. Ada dua
tipe voltage gated calcium channel: kanal
tegangan tinggi (tipe L) dan kanal tegangan
rendah (tipe T). Nifedipin yang bekerja
cepat (immediate-release) telah dikaitkan
dengan meningkatnya insiden efek samping
kardiovaskular dan tidak disetujui untuk
pengobatan hipertensi. Efek samping yang
lain adalah pusing, flushing, sakit kepala,
gingival hyperplasia, edema perifer, mood
changes, dan gangguan gastrointestinal
(Priyanto, 2008).
Penyekat Beta (β- blocker)
menunjukkan berkurangnya resiko
kardiovaskular apabila digunakan pasca
infark miokard, pada sindroma koroner
akut, atau pada angina stabil kronis.
Atenolol merupakan penyekat beta dengan
farmakodinamik yang bersifat
kardioselektif yang mempunyai afinitas
JSTFI
Indonesian Journal of Pharmaceutical Science and Technology
Vol.VII , No.1, Januari 2018
8
yang lebih besar terhadap reseptor beta-1
dari pada reseptor beta-2. Beta-1 reseptor
lebih banyak pada jantung dan ginjal, dan
beta-2 reseptor lebih banyak ditemukan
pada paru paru, liver, pankreas, dan otot
halus arteri. Perangsangan reseptor beta-1
menaikkan denyut jantung, kontraktilitas,
dan pelepasan renin. Perangsangan reseptor
beta-2 menghasilkan bronchodilatatasi dan
vasodilatasi. Penyekat beta yang
kardioselektif kecil kemungkinannya untuk
mencetuskan spasme bronkus dan
vasokonstriksi. Sekresi insulin dan
glikogenolisis secara adrenergik dimediasi
oleh reseptor beta-2 (Pionas BPOM RI,
2015).
Pemberian penyekat beta tiba-tiba
dapat menyebabkan angina tidak stabil,
infark miokard, dan bahkan kematian pada
pasien dengan resiko tinggi penyakit
koroner. Pemberhentian tiba-tiba juga dapat
menyebabkan rebound hypertension
(naiknya tekanan darah melebihi tekanan
darah sebelum pengobatan). Untuk
mencegah ini, penyekat beta harus
diturunkan dosis dan diberhentikan secara
perlahan-lahan selama 1 -2 minggu. Seperti
diuretic, penyekat beta menaikkan serum
kolesterol dan glukosa, tetapi efek ini
transien dan secara klinis bermakna sedikit.
Penyekat beta dapat menaikkan serum
trigliserida dan menurunkan kolesterol
HDL (Tan Han Tjay dan Kirana Rahardja,
2007).
Penghambat enzim konversi
angiotensin (ACEI), menghambat
perubahan angiotensin I menjadi
angiotensin II, dimana angiotensin II adalah
vasokonstriktor poten yang juga
merangsang sekresi aldosteron. ACEI juga
memblok degradasi bradikinin dan
merangsang sintesa zat-zat yang
menyebabkan vasodilatasi, termasuk
prostaglandin E2 dan prostasiklin.
Peningkatan bradikinin meningkatkan efek
penurunan tekanan darah dari ACEI, tetapi
juga bertanggung jawab terhadap efek
samping batuk kering yang sering dijumpai
pada penggunaan ACEI. ACEI secara
efektif mencegah dan meregresi hipertrofi
ventrikel kiri dengan mengurangi
perangsangan langsung oleh angiotensin II
pada sel miokardial. JNC 7 mencantumkan
6 indikasi khusus dari ACEI, menunjukkan
banyak kegunaan yang berdasarkan bukti
(evidence-based) dari kelas obat ini.
Beberapa studi menunjukkan kalau ACEI
mungkin lebih efektif dalam menurunkan
resiko kardiovaskular dari pada obat
antihipertensi lainnya. Pada DM tipe 2, dua
studi menunjukkan kalau ACEI lebih baik
daripada CCB. ACEI menurunkan
morbiditas dan mortalitas pada pasien
dengan gagal jantung dan memperlambat
progres penyakit ginjal kronis. Golongan
ACEI harus digunakan sebagai pengobatan
lini pertama dalam terapi pada pasien-
pasien ini, kecuali terdapat kontraindikasi
absolut. ACEI lebih baik dalam
menurunkan resiko kardiovaskular pada
angina stabil kronis pada pasien pasca
infark miokard, berkurangnya resiko stroke
JSTFI
Indonesian Journal of Pharmaceutical Science and Technology
Vol.VII , No.1, Januari 2018
9
yang kedua kali juga ditunjukan dengan
kombiasi ACEI dan diuretik tiazid. ACEI
memiliki efek samping mengurangi
aldosteron dan dapat menaikkan kosentrasi
kalium serum. Angiodema adalah
komplikasi yang serius dari terapi dengan
ACEI. ACEI merupakan kontraindikasi
absolut untuk perempuan hamil dan pasien
dengan riwayat angioedema (Departemen
Farmakologi dan Terapeutik FKUI, 2009).
Diuretik dapat menurunkan tekanan
darah terutama dengan mekanisme
extrarenal. Diuretik sangat efektif
menurunkan tekanan darah bila
dikombinasi dengan kebanyakan obat
antihipertensif lain. Kebanyakan obat
antihipertensi menimbulkan retensi natrium
dan air; masalah ini diatasi dengan
pemberian diuretik bersamaan. Efek
samping diuretik tiazid termasuk
hipokalemia, hipomagnesia, hiperkalsemia,
hiperurisemia, hiperglisemia,
hiperlipidemia, dan disfungsi seksual.
Diuretik loop dapat menyebabkan efek
samping yang sama, walau efek pada lemak
serum dan glukosa tidak begitu bermakna,
dan kadang-kadang dapat terjadi
hipokalsemia. Sedangkan diuretik penahan
kalium dapat menyebabkan hiperkalemia
(Priyanto, 2008).
Dari uraian efek samping dan
mekanisme kerja masing-masing obat
hipertensi di atas, maka terlihat pada Tabel
3. bahwa penanganan hipertensi kehamilan
di RS PMI Kota Bogor hanya 22,47% dari
total pasien yang mendapatkan metildopa
sebagai obat lini pertama dalam
penatalaksana hipertensi dalam kehamilan,
sedangkan obat antihipertensi golongan
antagonis kalsium atau CCB digunakan
pada 43,82% pasien hipertensi kehamilan.
Hal ini kemungkinan besar disebabkan
faktor ekonomis karena hampir sebagian
besar pasien yang pada penelitian ini
merupakan pasien dengan Jaminan
Kesehatan Nasional (JKN). Di samping itu,
faktor efek samping metildopa yang lebih
berat juga merupakan alasan mengapa
penggunaan nifedipin lebih dipilih. Dari
tabel 3 juga terlihat 48,31% pasien tidak
mendapatkan penanganan secara
farmakologi, hal ini dimungkinkan untuk
pasien dengan TD < 150/100 karena
diharapkan kontrol tekanan darah dapat
dilakukan dengan perubahan gaya hidup
saja, seperti istirahat yang cukup, olah raga
ringan, diet rendah garam dan diet makanan
tertentu (Chobanian dkk, 2004).
Data penanganan hipertensi pada
ibu hamil berdasarkan tingkat TD yang
terukur yaitu sebanyak 77 pasien atau
86,52% pasien merupakan hipertensi stage
1, yang sebagian besar hanya dikontrol
tekanan darahnya melalui perubahan gaya
hidup, hal ini sesuai dengan acuan
intenasional (NICE) yang hanya
memberikan perlakuan modifikasi gaya
hidup bagi ibu hamil dengan TD ≤ 149/99
mmHg. Kemudian sebanyak 17 pasien atau
19,1% diterapi menggunakan nifedipin dan
hanya 4 pasien atau 4,49% yang diterapi
menggunakan metildopa sebagai agen lini
JSTFI
Indonesian Journal of Pharmaceutical Science and Technology
Vol.VII , No.1, Januari 2018
10
pertama, yang diduga karena faktor
ekonomis dan efek samping yang kurang
menguntungkan dari metildopa.
Hipertensi stage 1 ini juga
menggunakan terapi kombinasi obat
sebanyak 14,6%, di mana kombinasi antara
Tabel 3. Data Penggunaan Regimen Obat Antihipertensi Dalam Penanganan Hipertensi
Kehamilan
Obat antihipertensi Efek samping N* %
Agonis α2
Sentral
Metildopa
(lini pertama)
- retensi natrium dan air
- menginduksi terjadi nya depresi
- hipotensi ortostatik dan pusing
- hepatitis atau anemia hemolitik
- kenaikan sementara serum transaminase liver
20 22,47
Antagonis Kalsium
(CCB)
Nifedipin oral
- pusing
- flushing
- sakit kepala
- gingival hyperplasia
- edema perifer
- mood changes
- gangguan gastrointestinal.
36
40,45
Amlodipin 3 3,37
Penyekat Beta
(β- blocker)
Atenolol
- bronkospasma
- hiperglikemi
- angina tidak stabil
- infark miokard
- pemberhentian tiba menyebabkan rebound
hypertension
- menaikkan serum kolesterol dan glukosa
- gangguan sirkulasi perifer
- insomnia, letih,
- bradikardi
- trigliserida meningkat
3
3,37
Inhibitor ACE
Captopril
- Batuk kering
- angioedema
- hiperkalemia
- rash
- disfungsi renal
- kontraindikasi absolut pada kehamilan
2
2,25
Diuretik
Furosemide
- hypokalemia
- hipomagnesia
- hiperkalsemia
- hiperurisemia
- hiperglisemia
- hiperlipidemia
- disfungsi seksual
3
3,37
Tidak menerima
terapi obat
antihipertensi
43 48,31
Total Pasien = 89* Keterangan: N = jumlah pasien setiap kategori ; % = persentase jumlah pasien per kategori
dibandingkan dengan jumlah total pasien yang menderita hipertensi dalam kehamilan; *) terdapat
kombinasi pengobatan 19 pasien dan pengobatan terputus diganti dengan obat lainnya sebanyak 2
pasien, sehingga nilai N total lebih besar dari pada total pasien; ACE = Angiotensin converting enzyme;
CCB = Calcium channel blocker.
JSTFI
Indonesian Journal of Pharmaceutical Science and Technology
Vol.VII , No.1, Januari 2018
11
nifedipin dan metildopa merupakan yang
paling banyak digunakan. Hal ini mungkin
dimaksudkan untuk meningkatkan
kemampuan penurunan tekanan darah dari
obat antihipertensi karena efek yang
sinergis, pada kasus hipertensi yang
resisten. Terapi kombinasi antara nifedipin
dan metildopa dirasa kurang tepat karena
bukan merupakan terapi kombinasi yang
direkomendasikan dalam guideline therapy
hipertensi. Kombinasi nifedipin dan
atenolol pun demikian. Atenolol juga bukan
merupakan pilihan utama dalam hipertensi
kehamilan karena efek samping bradikardia
yang menyebabkan keamanannya yang
belum terbukti pada janin. Bradikardia
dapat menyebabkan turunnya curah jantung
yang dapat berakibat kurangnya oksigen
dan nutrisi kepada janin (Chobanian dkk,
2004). Kombinasi metildopa dan nifedipin
dengan diuretik furosemid pada 2 atau
2,25% pasien digunakan pada pasien
dengan edema untuk menurunkan retensi
air dan natrium, tetapi penggunaannya perlu
pertimbangan karena akan mengganggu
keseimbangan elektrolit tubuh ibu yang
akan mempengaruhi janin, sehingga
diuretik tidak menjadi obat pilihan
penatalaksana hipertensi dalam kehamilan.
Penanganan hipertensi stage 2 (TD
> 160/110 mmHg) pada hipertensi
kehamilan (biasa disebut dengan hipertensi
berat yang mengiinduksi preeklampsia)
agen lini pertama menurut JNC 7 adalah
injeksi hidralazin atau injeksi labetalol (lini
kedua), tetapi jika dilihat dari data yang
didapatkan, nifedipin oral masih menjadi
pilihan utama penanganannya. Kaptopril
yang merupakan kontraindikasi untuk
penanganan hipertensi dalam kehamilan
juga terdeteksi penggunaannya. Hal ini
ternyata dilakukan pada kasus terapi
kombinasi nifedipin dan metildopa yang
dihentikan kemudian diganti dengan
kaptopril tunggal atau kombinasi bersama
nifedipin tetapi setelah ibu melahirkan.
Kaptopril menjadi kontraindikasi pada
wanita hamil, karena dapat menimbulkan
gangguan pada janin bahkan kematian.
Nifedipin oral termasuk obat lini
ketiga dalam penanganan hipertensi berat
dalam kehamilan yang keamanannya masih
belum terbukti. Dari data yang diperoleh
sebanyak 12 pasien yang menderita
hipertensi berat, semuanya diberikan
pengobatan CCB, 11 pasien diterapi dengan
nifedipin oral baik tunggal maupun
kombinasi, dan 1 pasien lagi diberikan
terapi amlodipin. Pengunaan nifedipin oral
masih memungkinkan, tetapi bila obat lini
pertama tidak tersedia. Penggunaan
amlodipine untuk wanita hamil kurang
tepat, hal ini dikarenakan mekanisme kerja
amlodipin untuk merelaksasi dinding
pembuluh darah sehingga darah yang
kembali ke jantung akan berkurang,
keadaan ini mengakibatkan hipoksia pada
janin. Selain itu juga obat tersebut dapat
mencapai air susu ibu (Departemen
Farmakologi dan Terapeutik FKUI, 2009).
Selain itu, jika dilihat dari data
terdapat 3 pasien atau 3,37% yang TD nya
JSTFI
Indonesian Journal of Pharmaceutical Science and Technology
Vol.VII , No.1, Januari 2018
12
baik saat pengukuran, tetapi mendapatkan
terapi pengobatan farmakologi. Hal ini
diduga pasien sebelumnya mengalami
hipertensi stage 1 atau 2, sehingga terus
diberikan obat antihipertensi untuk menjaga
tekanan darahnya tetap dikisaran 130-155
mmHg sistolik atau 80-105 mmHg
diastolik.
Berdasarkan data penurunan
tekanan darah rata-rata pada hipertensi
kehamilan stage 1 pasien rawat inap,
penggunaan metildopa tunggal adalah yang
tertinggi yaitu sebesar 4,07 ± 2,79 mmHg,
sedangkan untuk nifedipin tunggal sebesar
2,75 ± 2,30 mmHg dan kombinasi nifedipin
dan metildopa adalah -1,21 ± 3,15 mmHg.
Dari hasil tersebut, metildopa memiliki
kemampuan menurunkan tekanan darah
yang lebih baik dibandingkan dengan
nifedipin pada hipertensi stage 1 dalam
kehamilan. Kombinasi metildopa dan
nifedipin memberikan hasil negatif hal ini
menunjukkan bahwa tidak terjadi
penurunan tekanan darah oleh kombinasi
keduanya.
Untuk hipertensi kehamilan stage 2
pasien rawat inap, penurunan tekanan darah
rata-rata tertinggi didapatkan pada terapi
kaptopril tunggal yakni 20 mmHg, tetapi
dari data yang diperoleh penggunaan
kaptopril hanya pada 1 (satu) pasien dan
digunakan setelah melahirkan yang berarti
penurunan tekanan darah dapat didukung
oleh faktor pascapersalinan. Penggunaan
nifedipin tunggal menghasilkan penurunan
tekanan darah rata-rata diastolik yang
cukup baik yaitu 7,14 ± 5,23 mmHg,
dibandingkan dengan kombinasinya dengan
metildopa sebesar 3,71 ± 1,83mmHg,
maupun kombinasi Nifedipin + metildopa +
atenolol sebesar 5,51 ± 3,08 mmHg. Hal
ini menunjukkan penggunaan nifedipin
tunggal mempunyai penurunan tekanan
darah yang lebih baik dibandingkan
kombinasinya, pada terapi hipertensi stage
2 pada kehamilan.
Dari kedua kelompok data yang
didapatkan (penurunan tekanan darah rata-
rata pada hipertensi stage 1 dan 2
kehamilan) diperoleh data bahwa
penggunaan tunggal nifedipin mempunyai
efek penurunan tekanan darah yang lebih
baik dibandingkan penggunaan bentuk
kombinasinya. Banyaknya penggunaan
regimen obat lain dalam penanganan pasien
disebabkan oleh kondisi kehamilan,
sehingga obat-obat yang digunakan bukan
hanya untuk terapi hipertensi kehamilan
saja tetapi juga untuk membantu proses
persalinan ataupun terapi penyakit lain
selama kehamilan, misalnya anemia.
Dari data penggunaan regimen obat
paling tinggi adalah dari golongan
analgesik, hal ini biasanya digunakan untuk
penangganan nyeri pasca persalinan baik
operasi maupun spontan. Antibiotik juga
banyak diresepkan, yang bertujuan untuk
penanganan infeksi baik selama kehamilan
maupun setelah persalinan. MgSO4 juga
banyak diresepkan sebagai profilaksis
terhadap eklampsia pada pasien
preeklampsia berat. Kortikosteroid
JSTFI
Indonesian Journal of Pharmaceutical Science and Technology
Vol.VII , No.1, Januari 2018
13
antenatal biasanya digunakan untuk
mempercepat pematangan paru janin bagi
pasien yang mengalami preeklampsia berat
tetapi kehamilan belum mencapai 38
minggu. Hal ini agar supaya bila
diperlukan, proses persalinan bisa segera
dilaksanakan, karena persalinan merupakan
penatalaksana terakhir dari hipertensi dalam
kehamilan.
Mekanisme pematangan paru janin
oleh kortikosteroid antenatal menurut
“Management of Preteem Premature
Ruptured” oleh Peebles (2005), bahwa
kortikosteroid yang diberikan pada ibu
dengan resiko persalinan preteem secara
signifikan menurunkan insiden respiratory
distress syndrome (RDS) pada bayi baru
lahir, utamanya jika persalinan terjadi
dalam waktu 7 hari setelah pemberian
steroid. Hasil yang signifikan pada luaran
bayi diperoleh apabila persalinan terjadi
setidaknya 48 jam setelah pemberian
kortikosteroid dan pada usia kehamilan di
atas 24 minggu (Rayne BD-Kamath et al,
2012). Pemberian kortikosteroid pada
kehamilan > 34 minggu, tidak akan
memberikan manfaat dan dapat
menyebabkan komplikasi pada janin
(Peebles, 2005).
Pemberian kortikosteroid sebelum
paru matang akan memberikan efek berupa
peningkatan sintesis fosfolipid surfaktan
pada sel pneumosit tipe II dan memperbaiki
tingkat maturitas paru/ kortokosteroid
bekerja dengan menginduksi enzim
lipogenik yang dibutuhkan oleh fosfolipid
surfaktan dan konversi fosfatidilkolin tidak
tersaturasi menjadi fosfatidilkolin
tersaturasi, serta menstimulasi produksi
antioksidan dan protein surfaktan (SP-A
hingga SP-D). Efek fisiologis
glukokortikoid pada paru meliputi
peningkatan komplians dan volume
maksimal paru, maturasi struktur parenkim,
memperbaiki fungsi respirasi, serta
memperbaiki respon paru terhadap
pemberian terapi surfaktan post natal
(Rembulan Ayu NP dan Ratna Dewi PS,
2017). Suplemen yang mengandung zat
besi juga banyak diresepkan untuk
mencegah anemia pada kehamilan. Hal ini
dimaksudkan pula untuk pencegahan IUGR
pada janin.
Dari data interaksi obat
antihipertensi dengan obat lain yang
digunakan selama penanganan hipertensi
kehamilan (furosemide+CCB,
furosemide+digoksin, kaptopril+aspirin,
CCB+Antagonis reseptor H2, CCB+aspirin,
dan CCB+MgSO4), interaksi obat yang
terjadi diharapkan bersifat meningkatkan
efek hipotensi sehingga mampu
memberikan efek terapi yang lebih baik
untuk kasus yang telah terjadi resistensi
hipertensi. Perlu diingat bahwa penggunaan
nifedipin bersama agen hipertensi lainnya
(golongan beta blocker) dapat
menyebabkan penurunan TD drastis yang
dapat mengakibatkan hipotensi parah dan
gagal jantung, sehingga pemantauan TD
yang lebih teliti perlu dilakukan dalam
penggunaan kombinasi nifedipine bersama
JSTFI
Indonesian Journal of Pharmaceutical Science and Technology
Vol.VII , No.1, Januari 2018
14
dengan antihipertensi lain (dr Andrie
Gunawan, 2014). Penggunaan diuretik pada
treatment bersama dengan antihipertensi
lain bertujuan untuk mengeluarkan cairan
tubuh pada pasien yang edema. Namun
bukan pilihan dalam penanganan hipertensi
kehamilan karena dapat mengganggu
keseimbangan elektrolit tubuh. Selain itu
juga penggunaan diuretik kemungkinan
terkandung pada susu ibu sehingga dapat
menghambat laktasi (Churchill, 2010).
Dari data di atas, penggunaan
nifedipin bersama dengan MgSO4
ditemukan dalam 18 kasus. Penggunaan
MgSO4 dalam penanganan hipertensi
kehamilan ditujukan untuk terapi
preeklampsia berat (PEB) dengan tujuan
sebagai tindakan profilaksis kejadian
eklampsia/kejang. Dari penelurusan pustaka
MgSO4 dapat digunakan untuk penanganan
kejang yang sudah terjadi pada kasus
eklampsia, dan dapat digunakan sebagai
terapi profilaksis untuk PEB. Namun
interaksi penggunaan nifedipin dengan
MgSO4 adalah peningkatan efek hipotensi
dari nifedipin, sehingga harus sangat hati-
hati dan perlu kontrol TD yang lebih teliti
untuk menghindari efek hipotensi berat
(Yossi D. Kusumaningtyas, 2014).
Dari pengamatan data yang
mengambarkan analisis ketepatan dosis
pengobatan hipertensi kehamilan sebanyak
48,31% pasien dengan hipertensi stage 1
tidak perlu mendapatkan terapi obat
antihipertensi, hal ini sudah sesuai dengan
pedoman terapi yang ada. Pada terapi
menggunakan obat tunggal yaitu metildopa
4 pasien (4,49%) dan nifedipin 22 pasien
(24,72%) mendapatkan dosis yang tepat
sesuai dengan pedoman yang ada. Namun
penggunaan nifedipin yang bukan
merupakan obat lini pertama penanganan
hipertensi kehamilan dirasa kurang tepat
bila masih tersedianya obat lini pertama, hal
ini dikarenakan keamanan nifedipin yang
masih kontroversial (Chobanian, 2004).
Penggunaan kaptopril untuk
menajemen hipertensi pasca persalinan
(pada kasus putus terapi
nifedipin+metildopa), berdasarkan
pedoman JOCC (Journal Obstetrics and
Gynaecology Canada) masih dapat
digunakan, karena akumulasinya pada ASI
(air susu ibu) dibawah 10% dan belum ada
laporan efek ketidakamanan dari kaptopril
pada wanita menyusui. Untuk efek
kombinasi captopril (ACEI) bersama
dengan amlodipin (CCB) pada wanita
menyusui, belum dapat dianalisa, karena
JNC 7 tidak menyebutkan secara jelas
kombinsi kedua obat tersebut, hanya bila
dilihat dari golongan obat hipertensinya
masih diperbolehkan yaitu ACEI+CCB.
Penggunaan kombinasi dengan
CCB bersama dengan diuretik masih
direkomendasikan oleh JNC 7, hal ini
bertujuan untuk meningkatkan eksresi air
dan natrium agar retensi air menurun
sehingga menyebabkan vasodilatasi
pembuluh darah, tetapi dalam pemilihan
diuretik sebagai obat antihipertensi pada
kehamilan tidak dianjurkan bila tidak
JSTFI
Indonesian Journal of Pharmaceutical Science and Technology
Vol.VII , No.1, Januari 2018
15
benar-benar dibutuhkan, hal ini karena
dapat mengganggu keseimbangan ion
tubuh, terutama Na, Cl dan Ca, yang dapat
mengakibatkan pertumbuhan janin
terganggu, bila digunakan dalam waktu
lama (Ghanem, 2008).
SIMPULAN
Dari 89 pasien, terdapat 43 pasien yang
tidak mendapatkan pengobatan
farmakologi, hanya manajemen perubahan
gaya hidup. Sejumlah 46 pasien lagi
mendapatkan terapi farmakologi. Sebanyak
27 pasien mendapatkan terapi tepat regimen
obat dan tepat dosis, sedangkan 19 pasien
lainnya menggunakan kombinasi obat yang
tidak tercantum dalam kombinasi obat
antihipertensi yang direkomendasikan oleh
pedoman terapi baik dalam standar Depkes
RI maupun JNC 7. Berdasarkan data
tersebut, penanganan pasien hipertensi
dalam kehamilan di RS PMI Kota Bogor
belum sesuai dengan pedoman terapi yang
ada.
DAFTAR PUSTAKA
Ayu NP, Rembulan dan Ratna Dewi PS.
2017. Peran Kortikosteroid Dalam
Pematangan Paru Intrauterin.
Majority Vol 6 No 3, Juli 2017.
Lampung. http:
juke.kedokteran.unila.ac.id.
[Diakses pada tanggal 2 November
2017 pukul 21.00 WIB].
Chobanian, Aram V., George L. Bakris.,
Henry R. Black, William C.
Cushman., Lee A. Green., Joseph
L. Izzo., Jr, Daniel W. Jones., Barry
J. Materson., Suzanne Oparil.,
Jackson T. Wright, Jr., dan Edward
J. Roccella. 2004. The Seventh
Report of the Joint National
Committee on Prevention,
Detection, Evaluation, and
Treatment of High Blood Pressure.
U.S. Departement of Heealth and
Human Services. US. p 1206-1252.
Churchill,D., Beevers. G.D.G., Maher, S.
Rhodes, C. 2007. Diuretic for
Preventing Pre-eclampsia.
Cochrane Database Syst Rev,
(1):CD004451.
Departemen Farmakologi dan Terapeutik
FKUI. 2009. Farmakologi dan
Terapi. Edisi 5. Balai Penerbit
FKUI. Jakarta. hal: 348, 354-358.
Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan
Klinik Ditjen Bina kefarmasian dan
Alat Kesehatan. 2006.
Pharmaceutical Care untuk
Penyakit Hipertensi. PIO Depkes.
Departemen Kesehatan RI. Jakarta.
hal: 3-11.
Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan
Klinik Ditjen Bina kefarmasian dan
Alat Kesehatan. 2006. Pedoman
Pelayanan Farmasi Untuk Ibu
Hamil dan Menyusui. Departemen
Kesehatan RI. Jakarta
D. Kusumaningtyas, Yossi. 2014. Evaluasi
Penggunaan Antihupertensi Pada
Ibu Hamil Di Instalasi Rawat Inap
JSTFI
Indonesian Journal of Pharmaceutical Science and Technology
Vol.VII , No.1, Januari 2018
16
Rumah Sakit X. Fakultas Farmasi
Universitas Muhammadiyah
Surakarta. Surakarta. hal: 9-12
Ghanem, F.A., Movahed, A. 2008. Use
Antyhipertension Drugs During
Pregnancy and Lactation. Section
of Cardiology Departement of
Medicine The Broady School of
Medicine East Carolina University
Greenville. North Carolina USA. p
40.
Gunawan, dr. Andrie. 2014.
Penatalaksanaan Krisis Hipertensi.
http://dokterandrie.blogspot.co.id.
[Diakses pada tanggal 2 November
2017 pukul 21.00 WIB].
Hoan Tjay, Tan dan Kirana, Rahardja.
2007. Obat-Obat Penting Khasiat,
Penggunaan, dan Efek-Efek
Sampingnya. Edisi ke 6. Cetakan
pertama. PT. Gramedia. Jakarta.
Kamath-Rayne BD, De Franco EA,
Marcotte HP. 2012. Antenatal
Steroids for Treatment of Fetal
Lung Immaturity at the 34 weeks of
Gestation : an evaluation of
neonatal outcomes. Obstet
Gynecol. 119(5) : 909-16.
Magdalena, Maria dan Historyati, Dyah.
2013. Gambaran Faktor Penyebab
Preeklampsia Pada Kehamilan Di
Wilayah Kerja Puskesmas
Tembelang. Jombang.
http://jurnalbidanstikespemkabjom
bang.ac.id. [Diakses pada tanggal 2
November 2017 pukul 21.00 WIB].
Magee, A. Laura, Helewa Michael,
Moutquin Jean-Marie. 2008.
Diagnosis, Evaluation, and
Management of the Hypertensive
Disorders of Pregnancy. Journal of
Obstetrics and Gynaecology
Canada. The Society of Obstetrics
and Gynaecology of Canada.
Canada. p 1-37.
Peebles D. 2005. Management of Preterm
Premature Ruptured Membranes.
Dalam Norman J,Brees I. Editor.
Preterm I-bour : Managing Risk In
Clinical Practice. Cambridge
University Press. English. p 171-
91.
Pionas BPOM RI. 2015. Metildopa.
http://pionas.pom.go.id. [Diakses
pada tanggal 2 November 2017
pukul 21.00 WIB].
Priyanto. 2008. Farmakoterapi dan
Terminologi Medis. LESKONFI.
Jakarta. hal: 180-190.
Queeensland Health. 2013. Hypertensive
Disorders of Pregnancy.
Queensland Government.
Qeensland.
Roeshadi, R. Haryono. 2006. Upaya
Menurunkan Angka Kesakitan dan
Angka Kematian Ibu Pada
Penderita Preeklampsia dan
Eklampsia. Respsitory USU.
Medan. hal : 1-33.
Rozikhan. 2008. Faktor-Faktor Resiko
Terjadinya Preeklampsia Berat Di
Rumah Sakit Dr. H. Soewondo
JSTFI
Indonesian Journal of Pharmaceutical Science and Technology
Vol.VII , No.1, Januari 2018
17
Kendal. Tesis. Program Magister
Epidemiologi UNDIP. Semarang
Http://eprints.undip.ac.id/18342/1/
ROZIKHAN.pdf. [Diakses pada
tanggal 03 November 2017 pukul
20.00 WIB].
Safoewan, Sulchan. 2003. Preeklampsia-
Eklampsia di Beberapa RS Di
Indonesia, Patogenesis dan
Kemungkinan. Ikapindo. Semarang.
Sumarni. 2016. Profil Hematologi Pada Ibu
Hamil dengan Preeklampsia dan
Eklampsia di RSUD Margono
Soekardjo Purwokerto.Jurnal
Involusi Kebidanan Vol 7, No. 12,
Juni 2016. ejournal.
Stikesmukla.ac.id. [Diakses pada
tanggal 2 November 2017 pukul
21.00 WIB.