9
  Metropilar Volume 8 Nomor 1 Januari 2010 Fakultas Teknik – Universitas Haluoleo 108 STUDI KARAKTERISTIK PENGGUNAAN RUANG PEDAGANG KAKI LIMA (PKL) DI KAWASAN EKS PASAR LAWATA STUDI KASUS : JL. TAMAN SURAPATI KOTA KENDARI Study of characteristic spatial using of Street Vendors in the Ex Lawata Market Area Case Study : Jl. Taman Surapati Kendari City Ishak Kadir 1)  ABSTRACT Street vendors as a real sector in urban life, the existence of the street vendors almost all the time was being neglected in the city spatial planning. The street vendors take place almost in the entire city, mostly in the city functional space. It be happens because they have no place to run their earnings, makes them use the  public area, and bring another city problems. The article tries to analyze the character of street vendors in the spatial using and locating characteristic in the ex Lawata Market area and to understand the connection between the location and the activity of the street vendors that take place in the location which show some specific character. The result of this study, it has shown that the activity of the street vendors have the strong relationship with the main activity happens in the ex Lawata Market area. Key Words : Character, Spatial, Street Vendors PENDAHULUAN Penurunan kualitas kehidupan di kawasan  permukiman di tengah-tengah kota, memaksa mereka yang tidak mampu menanggung beban ekonomis pemeliharaan tingkat kualitas yang ada, untuk berpindah ke tempat lain umumnya ke  pinggiran kota dan membentuk kawasan ”rumah  petak” yang paralel pola penyebarannya dengan  penyebaran lapisan-lapisan lebih mampu. Pola  pemekaran wilayah pemukiman tidak memecahkan masalah penurunan kualitas kehidupan di tengah kota, kalau ditinjau dari sudut sosiologis. Selain itu  juga terjadi labilitas struktur pelapisan masyarakat di kawasan pemukiman karena tidak memungkinkan penggalangan kepemimpinan antar lapisan yang kuat, yang hanya terjadi karena interaksi yang datang dari pergaulan berjangka waktu lama (Wahid dalam Budiharjo,1984). Sebagian terbesar masyarakat miskin di kota  berasal dari pedesaan yang pindah ke kota-kota  besar karena sempitnya kesempatan mencari nafkah di desa. Perubahan esensial terjadi dalam kehidupan mereka. Kalau semula mereka adalah petani-petani di desanya, maka sekarang menjadi buruh dan  pekerja di kota. Jadi semula mereka hidup dari kegiatan sektor produksi pangan yang vital sifatnya, sekarang mereka hidup dari kegiatan sektor jasa umum yang kurang vital atau sama sekali tidak vital. Masyarakat pedesaan yang masih hidup dari sektor produksi pangan perannya bahkan meningkat selama adanya krisis. masyrakat di kota-kota besar masih bisa memanfaatkan kekayaannya untuk mengatasi krisis. Sedangkan masyarakat miskin di kota-kota besar sama sekali tidak bisa berbuat apa- apa. Oleh karena itu program perbaikan kampung dan permukiman golongan ekonomi lemah seharusnya dilihat dalam konteks ini. Suatu usaha  perbaikan kampung yang bertujuan memperkokoh eksistensi masyarakat kampung dengan memberikan mereka peran yang lebih esensial dalam kehidupan kota akan memberikan manfaat ganda ( Soemarjan dalam Budiharjo, 1984). Pembangunan ekonomi di Indonesia, tidak hanya menumbuhkan dan mengembangkan industri-industri besar serta program resmi  pemerintah, yang dikenal dengan sektor formal, namun juga menumbuhkan usaha-usaha kecil yang dikelola oleh pribadi-pribadi yang sangat bebas menentukan cara bagaimana dan dimana usaha mereka yang dijalankan yang distilahkan dengan sektor ekonomi informal. Salah satu masalah yang  paling sering muncul adalah kegiatan informal di  bidang perdagangan, yaitu kegiatan pedagang kaki lima (PKL). Tidak berbeda dengan sektor ekonomi informal, PKL yang merupakan bagian di dalamnya  juga selalu dikonotasikan dan dijadikan penyebab dari masalah kota yang ada. 1)  Dosen Tetap Pada Fakultas Teknik Universitas Haluoleo

Studi Karakteristik Penggunaan Ruang Pedagang Kaki Lima (Pkl)

Embed Size (px)

Citation preview

  • Metropilar Volume 8 Nomor 1 Januari 2010

    Fakultas Teknik Universitas Haluoleo 108

    STUDI KARAKTERISTIK PENGGUNAAN RUANG PEDAGANG KAKI LIMA (PKL) DI KAWASAN EKS PASAR LAWATA

    STUDI KASUS : JL. TAMAN SURAPATI KOTA KENDARI Study of characteristic spatial using of Street Vendors in the Ex Lawata Market Area

    Case Study : Jl. Taman Surapati Kendari City

    Ishak Kadir1)

    ABSTRACT

    Street vendors as a real sector in urban life, the existence of the street vendors almost all the time was being neglected in the city spatial planning. The street vendors take place almost in the entire city, mostly in the city functional space. It be happens because they have no place to run their earnings, makes them use the public area, and bring another city problems. The article tries to analyze the character of street vendors in the spatial using and locating characteristic in the ex Lawata Market area and to understand the connection between the location and the activity of the street vendors that take place in the location which show some specific character.

    The result of this study, it has shown that the activity of the street vendors have the strong relationship with the main activity happens in the ex Lawata Market area. Key Words : Character, Spatial, Street Vendors PENDAHULUAN

    Penurunan kualitas kehidupan di kawasan permukiman di tengah-tengah kota, memaksa mereka yang tidak mampu menanggung beban ekonomis pemeliharaan tingkat kualitas yang ada, untuk berpindah ke tempat lain umumnya ke pinggiran kota dan membentuk kawasan rumah petak yang paralel pola penyebarannya dengan penyebaran lapisan-lapisan lebih mampu. Pola pemekaran wilayah pemukiman tidak memecahkan masalah penurunan kualitas kehidupan di tengah kota, kalau ditinjau dari sudut sosiologis. Selain itu juga terjadi labilitas struktur pelapisan masyarakat di kawasan pemukiman karena tidak memungkinkan penggalangan kepemimpinan antar lapisan yang kuat, yang hanya terjadi karena interaksi yang datang dari pergaulan berjangka waktu lama (Wahid dalam Budiharjo,1984). Sebagian terbesar masyarakat miskin di kota berasal dari pedesaan yang pindah ke kota-kota besar karena sempitnya kesempatan mencari nafkah di desa. Perubahan esensial terjadi dalam kehidupan mereka. Kalau semula mereka adalah petani-petani di desanya, maka sekarang menjadi buruh dan pekerja di kota. Jadi semula mereka hidup dari kegiatan sektor produksi pangan yang vital sifatnya, sekarang mereka hidup dari kegiatan sektor jasa umum yang kurang vital atau sama sekali tidak vital. Masyarakat pedesaan yang masih hidup dari

    sektor produksi pangan perannya bahkan meningkat selama adanya krisis. masyrakat di kota-kota besar masih bisa memanfaatkan kekayaannya untuk mengatasi krisis. Sedangkan masyarakat miskin di kota-kota besar sama sekali tidak bisa berbuat apa-apa. Oleh karena itu program perbaikan kampung dan permukiman golongan ekonomi lemah seharusnya dilihat dalam konteks ini. Suatu usaha perbaikan kampung yang bertujuan memperkokoh eksistensi masyarakat kampung dengan memberikan mereka peran yang lebih esensial dalam kehidupan kota akan memberikan manfaat ganda ( Soemarjan dalam Budiharjo, 1984).

    Pembangunan ekonomi di Indonesia, tidak hanya menumbuhkan dan mengembangkan industri-industri besar serta program resmi pemerintah, yang dikenal dengan sektor formal, namun juga menumbuhkan usaha-usaha kecil yang dikelola oleh pribadi-pribadi yang sangat bebas menentukan cara bagaimana dan dimana usaha mereka yang dijalankan yang distilahkan dengan sektor ekonomi informal. Salah satu masalah yang paling sering muncul adalah kegiatan informal di bidang perdagangan, yaitu kegiatan pedagang kaki lima (PKL). Tidak berbeda dengan sektor ekonomi informal, PKL yang merupakan bagian di dalamnya juga selalu dikonotasikan dan dijadikan penyebab dari masalah kota yang ada.

    1) Dosen Tetap Pada Fakultas Teknik Universitas Haluoleo

  • Metropilar Volume 8 Nomor 1 Januari 2010

    Fakultas Teknik Universitas Haluoleo 109

    Kecenderungan PKL adalah tidak terlepas dari eksistensi sektor formal di daerah tersebut, dan dalam hal ini pemerintah pada umumnya hanya melakukan kegiatan sporadis dengan membebaskan jalanan dari kegiatan perdagangan liar, dimana hasilnya justru menciptakan masalah baru dan kebijakan yang lahir bukan untuk menyelesaikan akar masalah yang sebenarnya. Hal itu terjadi karena Pemerintah Kota tidak pernah menyediakan ruang bagi PKL dalam Rencana Tata Ruang Kota terutama di ruang-ruang fungsional kota dimana memiliki potensi untuk berkembangnya PKL.

    Lokasi berdagang PKL sering terkait dengan sektor formal yang ada disekitarnya. Dalam studi di Bali, oleh Bromley dalam Mannning (1996:232) para pedagang kaki lima dijumpai dalam semua sektor kota, namun terutama berpusat di tengah kota di sekitar stadion dan pusat-pusat hiburan lainnya ketiak ada pertunjukan yang bisa menarik sejumlah besar penduduk dan sekitar tempat-tempat pemberhentian sepanjang jalur bus. Hasil penelitian yang dikemukakan oleh Waworontoe dalam Widjajanti (2000:28), PKL biasanya akan tumbuh dan berkembang pada ruang-ruang fungsional kota(pusat perdagangan/pusat perbelanjaan/pertokoan, pusat rekreasi/hiburan, pasar, terminal/pemberhentian kendaraan umum, pusat pendidikan, pusat perkantoran).

    Keberadaan PKL yang umumnya berada di kota-kota besar yang padat penduduknya, juga muncul di Kota Kendari. Beberapa kawasan fungsional di Kota Kendari saat ini berkembang aktivitas PKL yang cukup pesat yang keberadannya mulai menimbulkan permasalahan yang serius bagi lingkungan disekitarnya. Salah satu kawasan fungsional dimana PKL berkembang dengan pesat adalah di kawasan kali Kadia dan Kawasan Eks Pasar Lawata Jl. Taman Suropati Kota Kendari. Hal ini terkait dengan yang dikemukakan oleh McGee (1977:20) bahwa PKL hadir dimana-mana dan bergerak sepanjang jalan-jalan yang menjual barangnya, mengerumuni sekitar pasar umu atau mereka berada disepanjang tepi jalan di berbagai bagian kota. Awalnya para PKL berkembang di daerah kota lama, kemudian berkembang ke Jl. Syech Yusuf (dekat kantor Bank Mandiri Kendari), namun karena perkembangan pembangunan di kawasan tersebut menyebabkan PKL yang menjual buah-buahan segar oleh Pemerintah Kota Kendari dipindahkan ke lokasi PKL di Kawasan Kali Kadia Kota Kendari.

    Tujuan penelitian ini adalah untuk menemukenali karakteristik penggunaan ruang bagi pedagang kaki lima (PKL) sesuai dengan aktivitasnya pada kawasan Eks Pasar Lawata Kota Kendari. Ruang lingkup wilayah studi meliputi

    kawasan Eks Pasar Lawata Kota Kendari tepatnya di Jl. Taman Suropati yang pada tahun 2003-2005 kawasan tersebut dimanfaatkan sebagai pasar yang sifatnya sementara akibat pembangunan pasar Mandonga yang statusnya ditingkatkan dari pasar tradisional menjadi pasar modern (Mall Mandonga) Kota Kendari. Yang menjadi pertanyaan penelitian, bagaimana penggunaan ruang PKL pada kawasan Eks Pasar Lawata Jl. Taman Surapati Kendari? Mengapa PKL masih tetap eksis pada kawasan tersebut?

    Konsep sektor informal lahir pada tahun 1971 yang dipelopori oleh Keith Hart berdasarkan penelitiannya di Ghana. Kemudian konsep itu diterapkan dalam sebuah laporan oleh tim ILO tahun 1972 dalam usaha mencari pemecahan masalah tenaga kerja di Kenya. Menurut Ahmad 2002:73) sektor informal disebut sebagai kegiatan ekonomi yang bersifat marjinal (kecil-kecilan) yang memperoleh beberapa ciri seperti kegiatan yang tidak teratur, tidak tersentuh peraturan, bermodal kecil dan bersifat harian, temapt tidak tetap berdiri sendiri, berlaku di kalangan masyarakat yang berpenghasilan rendah, tidak membutuhkan keahlian dan keterampilan khusus, lingkungan kecil atau keluarga serta tidak mengenal perbankan, pembukuan maupun perkreditan.

    Keberadaan sektor informal dalam kegiatan perdagangan dan jasa merupakan suatu dikotomi karena disatu sisi sektor informal mampu menyerap tenaga kerja terutama pada golongan masyarakat yang memilki tingkat pendidikan dan keterampilan yang rendah serta modal kecil. Namun disisi lain sektor ini merupakan sektor yang tidak memiliki legalitas atau perlindungan hukum dan merugikan sektor formal karena menyebabkan permasalahan lingkungan kota. Seiring dengan perkembangan masyarakat, kegiatan sektor informal pun berkembang dan mengambil berbagai macam bentuk dan bidang pekerjaan yang ada, menurut Alisjahbana (2005:14) salah satu yang dominan dan menonjol aktivitasnya adalah pedagang kaki lima.

    Pedagang kaki lima sebagai bagian sektor informal perkotaan, istilah pedagang kaki lima konon berasal dari jaman pemerintahan Rafles, Gubernur Jenderal pemerintahan Kolonial Belanda, yaitu dari kata five feet yang berarti jalur pejalan kaki di pinggir jalan selebar 5 (lima) kaki. Ruang tersebut digunakan untuk kegiatan berjualan pedagang kecil sehingga disebut dengan pedagang kaki lima (dalam Widjajanti, 2000:28). Kemudian muncul beberapa ahli yang mengemukakan defenisi dari pedagang kaki lima diantaranya menurut McGee (1977:28) menyebutkan PKL sebagai hawkers adalah orang-orang yang menawarkan barang-barang atau jasa untuk dijual

  • Metropilar Volume 8 Nomor 1 Januari 2010

    Fakultas Teknik Universitas Haluoleo 110

    di tempat umum, terutama jalan-jalan trotoar. Defenisi tidak termasuk PKL yang berpindah-pindah dari satu rumah ke rumah lain menjual barangnya atau menawarkan jasanya.

    Pembagian tipe komoditas yang dijual PKL, oleh MCGee dan Yeung (1977:81) dibedakan 4 (empat) kelompok yakni : (1) Makanan yang tidak diproses dan semi olahan (unprocessed and semi processed food). Makanan yang tidak diproses, termasuk makanan mentah seperti daging, buah-buahan atau sayuran. Sedangkan makanan yang semi olahan seperti beras. (2) Makanan siap saji (Prepared food), yakni penjual makanan yang sudah dimasak. (3) Barang bukan makanan (nonfood items), kategori ini terdiri dari barang-barang dalam skala yang luas, mulai dari tekstil hingga obat-obatan. (4) Jasa (services), yang terdiri dari beragam aktivitas seperti jasa perbaikan sol sepatu dan tukang cukur.

    Berdasarkan sifat layanannya, MCGee & Yeung (1977 :82-83) membagi ke dalam 3 (tiga) tipe, yaitu : (1) Pedagang keliling (mobile), pedagang yang dengan mudah dapatmembawa barang daganngannya, mulai dari menggunakan sepeda atau keranjang. (2) Pedagang semi menetap (semistatic), pedagang ini mempunyai sifat menetap sementara, dimana kios dan tempat usahanya akan berpindah setelah beberapa waktu berjualan di tempat tersebut. (3) Pedagang Menetap (static), sifat layanan pedagang ini memiliki frekuensi

    menetap yang paling tinggi, dimana lokasi tempat usahanya permanen di suatu tempat seperti di jalan atau ruang-ruang publik.

    Menurut waworoento (dalam Widjajanti, 2000 :39-40), bentuk sarana fisik berdagang yang digunakan oleh pedagang kaki lima adalah : (1) Gerobak/kereta dorong, bentuk ini terdiri dari 2 macam, yaitu gerobak yang beratap dan tidak beratap. (2) Pikulan/keranjang, yaitu digunakan oleh PKL keliling (mobile) ataupun semi menetap. (3) Tenda, bentuk ini terdiri dari beberapa gerobak/kereta dorong yang diatur sedemikian rupa secara berderet dan dilengkapi dengan kursi dan meja, biasanya dilengkapi dengan penutup. (4) Kios, menggunakan papan atau sebagian menggunakan batu bata, sehingga menyerupai bilik semi permanen, yang mana pedagang bersangkutan juga tinggal di tempat tersebut, pedagang ini dikategorikan sebagai pedagang menetap. (5) Gelaran/alas, pedagang bentuk ini menggunakan alas berupa tikar, kain atau lainnya untuk menjajakan dagangannya. (6) Jongko/meja, sarana berdagang yang menggunakan meja jongko dan beratap, sarana ini dikategorikan jenis PKL yang menetap.

    Pada dasarnya , pola penyebaran dari lokasi PKL memiliki ciri tertentu, yang menurut McGee (1977:37-38) dapat dibedakan dalam dua tipe konsentrasi (pemusatan), yakni :

    1. Pola Penyebaran Mengelompok (Market Focused Agglomeration)

    Gambar 1. Pola Penyebaran Mengelompok PKL Sumber : McGee & Yeung (1977:37)

    Pedagang pada tipe ini pada umumnya

    mengelompok dan terfokus pada satu kegiatan, seperti mengelilingi pasar umum, ruang-ruang terbuka/lapangan kota, taman-taman dan sebagainya. Pola penyebaran pada tipe ini

    dipengaruhi oleh pertimbangan aglomerasi, dimana terjadi pemusatanatau pengelompokan dari pedagang yang menjual barang yang sejenis atau memiliki sifat sama dengan area/sektor formal yang dikelilinginya.

  • Metropilar Volume 8 Nomor 1 Januari 2010

    Fakultas Teknik Universitas Haluoleo 111

    2. Pola Penyebaran Linear (street Concentrations)

    Gambar 2. Pola Penyebaran Linear PKL

    Sumber : McGee & Yeung (1977:37)

    Pola penyebaran pedagang tipe ini adalah terjadi di sepanjang atau di pinggir jalan utama atau jalan yang menghubungkan jalan utama. Tempatnya bisa di jalan itu sendiri ataupun di trotoar. Pola kegiatan Linear banyak dipengaruhi oleh pertimbangan aksesibilitas yang tinggi pada lokasi yang bersangkutan, misalnya pada jalan dengan lalulintas yang padat dan pada kegiatan perdagangan dimana terdapat pertokoan. Hal ini dimaksudkan untuk mendekatkan pedagang dengan konsumen,

    PKL dalam studi ini adalah orang-orang yang menawarkan barang dan jasa dengan menempati ruang-ruang publik kota, baik trotoar, badan jalan, bantaran sungai maupun RTH, berada di sekitar pasar atau pertokoan dimana mereka tidak memiliki legalitas hukum berusaha, sifat layanannya adalah yang menetap, menetap sementara ataupun datang dan menetap sesaat pada waktu-waktu tertentu di lokasi studi.

    Karakteristik lokasional berdagang PKL McGee & Yeung (1977 :63-64) mengatakan bahwa PKL tidak berlokasi di seluruh ruanh kota, menurutnya terdapat beberapa kecenderungan dari mereka dalam berlokasi, yakni : (1) PKL cenderung untuk berkonsentrasi pada area dengan kepadatan populasi yang tinggi pada titik-titik persimpangan transportasi, atau berdekatan dengan aktivitas-aktivitas seperti kompleks hiburan, pasar umum dan area komersial/perdagangan dimanamereka mendapat keuntungan dari produk-produk yang melengkapi dan tarikan konsumen secara bersama. (2) Kecenderungan berjualan pada area dengan komoditas yang sama (adanya bentuk cluster). Penelitian yang dilakukan di Hongkong dan kota-kota di Asia Tenggara lainnya, mengindikasikan bahwa pola-pola konsentrasi komoditas PKL umumnya memiliki hubungan simbiotik dengan

    aktivitas retail yang berdekatan. (3) Keterkaitan dengan tipe unit usaha PKL dengan kecenderungan untuk berlokasi di pinggir jalan dan pintu masuk pasar dimana aliran pejalan kaki berada pada waktu puncak (peak hour). (4) Kecenderungan PKL untuk berada di wilayah dengan kepadatan populasi yang tinggi.

    Berdasarkan hasil studi yang dilakukan oleh Joedo dalam Widjajanti (2000:35), penentuan lokasi yang diminati sektor informal adalah sebagai berikut : (1) Terdapat akumulasi orang yang melakukan kegiatan bersama-sama pada waktu yang relatif sama, sepanjang hari. (2) Berada pada kawasan tertentu yang merupakan pusat kegiatan perekonomian kota dan pusat non ekonomi perkotaan, tetapi sering dikunjungi dalam jumlah besar. (3) Memiliki kemudahan untuk terjadinya hubungan antara PKL dengan calon pembeli. (4) tidak membutuhkan ktersediaan fasilitas dan utilitas pelayanan umum. Gejala aglomerasi yang terjadi pada PKL terkait dengan teori lokasi yang dikemukakan oleh Palander dan Hoover dalam teori mengenai ketergantungan lokasi. Lokasi usaha lebih ditentukan oleh penyebaran permintaan dan ketergantungan lokasi terhadap usaha lain yang sejenis (Djojodipuro, 1992:119-120). Keuntungan yang tinggi akan mengundang masuknya pedagang lain ke dalam lokasi tersebut. Hal ini akan menimbulkan persaingan dalam menguasai pasar seluas mungkin, tanpa membanting harga tetapi dengan mengaturlokasinya terhadap saingannya. Adanya pengelompokan tersebut akan memudahkan pembeli dalam memilih barang terbaik yang diinginkannya.

  • Metropilar Volume 8 Nomor 1 Januari 2010

    Fakultas Teknik Universitas Haluoleo 112

    METODE PENELITIAN Kajian karaktersitik berlokasi pedagang kaki

    lima (PKL) ini merupakan penelitian dengan pendekatan kuantitatif dimana menjadikan teori yang sudah diketahui sebelumnya sebagai dasar dalam merumuskan variabel-variabel penelitian, yang nantinya akan digunakan dalam proses pengumpulan data penelitian survei (Survey research). Dalam prosesnya, penelitian ini memerlukan metode kuantitatif dan kualitatif untuk mempertajam analisis dan memperoleh rumusan karakteristik berlokasi PKL. Penelitian ini melibatkan baik PKL maupun pengunjung PKL. Penentuan sampel PKL menggunakan teknik stratified random sampling, dimana populasi terbagi atas tingkat-tingkat dan strata, pengambilan sampel tidak boleh dilakukan secara random dan setiap strata harus diwakili sebagai sampel, sehingga penyebaran dilakukan secara proporsional (Arikunto, 1997:115). Penentuan sampel kepada pengunjung PKL ini dilakukan dengan teknik accidental sampling, dimana dalam teknik sampel ini siapa saja yang kebetulan bertemu dengan peneliti dapat digunakan sebagai sampel, bila dipandang orang yang kebetulan ditemui itu cocok

    sebagai sumber data (Sugiyono, 2000:60). Hal ini karena jumlah populasi pengunjung PKL tidak dapat diketahui secara pasti. Teknik analisis yang diperlukan dalam studi mengenai kajian karakteristik berlokasi PKL kawasan perdagangan Eks Pasar Lawata Kota Kendari adalah : Distribusi Frekuensi/Deskriptif, teknik analisis deskriptif kualitatif dan komparatif. HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis karakteristik Aktivitas Usaha PKL pada Kawasan Eks Pasar Lawata Kota Kendari (Jl. Taman Surapati)

    Berdasarkan analisis karakteristik aktivitas usaha PKL di Kawasan Pasar Lawata temuan yang diperoleh adalah : 1. Kecenderungan PKL berlokasi di pasar lawata

    di karenakan koridor jalan tersebut memiliki tarikan pengunjung yang paling tinggi. Kawasan ini telah dinyatakan sebagai kawasan bebas kegiatan perdagangan, namun tempat ini masih sangat diminati untuk menjajakan berbagai dagangan kebutuhan sehari-hari.

    2. Jenis dagangan berupa kebutuhan sehari-hari antara lain : beras, sembako, sayur-sayuran, ikan, kelapa,

    pisang dan ayam kampung dan potong yang masih hidup.

    Pelebaran jalan Lawata dengan pemisahan kendaraan dan pejalan kaki, semakin menarik PKL untuk tetap bertahan

    Gambar 3 Kondisi jalan Taman Surapati Sumber : Hasil Observasi, Oktober 2009

    Gambar 4 PKL penjual Ayam dan Kelapa, sayuran Sumber : Hasil Observasi 2009

  • Metropilar Volume 8 Nomor 1 Januari 2010

    Fakultas Teknik Universitas Haluoleo 113

    3. Adanya ketidaksesuaian aktivitas PKL Lawata

    dengan Kebijakan Pemerintah Kota Kendari yang telah menyatakan bahwa lokasi tersebut tidak lagi difungsikan sebagai aktivitas berdagang sebagaimana layaknya dulu sewaktu masih berfungsi sebagai pasar yang sifatnya sementara. Kenyataan sekarang masih dimanfaatkan sebagai kawasan perdagangan khususnya PKL walaupun telah ada pelarangan dari pemerintah daerah Kota Kendari. Apa yang menarik dengan lokasi ini, sehingga sangat sulit ditinggalkan oleh PKL?

    Analisis Penggunaan Ruang bagi PKL pada Kawasan Eks Pasar Lawata Kendari (Jl. Taman Surapati) Analisis ini bertujuan untuk melihat karakteristik penggunaan ruang bagi PKL di Kawasan Eks Pasar lawata. Variabel yang kaji dalam analisis ini meliputi : Akasesibilitas bagi pengunjung yaitu kemudahan pencapaian pengunjung untuk berbelanja, Status Ruang meliputi jalan, halaman rumah dan area hijau.Temuan yang diperoleh antara lain :

    1. Sekitar 50% PKL menggunakan badan jalan dan trotoar sebagai area untuk melaksanakan aktivitas berjualan, hal ini untuk memudahkan pengunjung untuk mendapatkan barang dagangan kebutuhan sehari-hari tanpa meninggalkan kendaraan jauh. Hal ini senada dengan Joedo dalam Widjajanti (2000:35) menyatakan bahwa pemilihan lokasi bagi pedagang sektor informal salah satunya adalah lokasi tersebut memiliki kemudahan untuk terjadinya hubungan antara PKL dengan calon pembeli. Begitupula dengan pernyataan McGee dan Yeung (1977) menyatakan bahwa keterkaitan dengan tipe unit usaha PKL dengan kecenderungan untuk berlokasi di pinggir jalan dan pintu masuk pasar dimana aliran pejalan kaki berada pada waktu puncak (peak hour). PKL menjajakan dagangannya dengan menggunakan badan jalan sangat mengganggu jalur lalulintas kendaraan karena terjadi konsentrasi pembeli yang berjalan kaki dan pengunjung yang menggunakan kendaraan baik roda dua maupun kendaraan roda empat. Kondisi tersebut dapat dilihat pada gambar 7 dan 9.

    Badan jalan dan trotoar jl. Taman Suropati digunakan sebagai area Penjualan PKL

    Gambar 6 PKL Penjual Ayam diArea Hijau/Ruang terbuka Sumber : Hasil Observasi Oktober 2009

    Gambar 7 PKL Penjual Kelapa di Trotoar Sumber : Hasil Observasi Oktober 2009

    Area hijau dimanfaatkan oleh PKL sebagai area penjualan

    PKL Penjual ikan

    PKL Penjual buah-buahanPKL

    Sembako

    PKL Penjual pisang, sayuran dan sembako

    PKL Penjual Ayam

    PKL Penjual Barang Pecah Belah dan perlengkapan dapur

    Gambar 5 Layout Eksisting Kawasan Eks Lawata Sumber : Hasil Observasi Oktober 2009

    Permukiman

    Permukiman

  • Metropilar Volume 8 Nomor 1 Januari 2010

    Fakultas Teknik Universitas Haluoleo 114

    2. Sekitar 30% PKL menggunakan area hijau sebagai area untuk melaksanakan aktivitas berjualan. Area hijau dan ruang terbuka terletak di depan rumah masyarakat dan kawasan tersebut pada umumnya juga disewakan oleh masyarakat kepada PKL. Area hijau ini sebenarnya harus dimanfaatkan sebagai taman hijau yang merupakan elemen kota yang harus tetap dipertahankan keberadaannya. Namun kenyataan yang terjadi adalah lokasi tersebut tertutup oleh barang dagangan dan tenda-tenda lapak PKL yang tentunya sangat mengganggu estetika kota Kendari. Kondisi tersebut dapat dilihat pada gambar 6 dan 9.

    3. Sekitar 20% PKL menggunakan halaman rumah dan lahan kosong milik warga masyarakat

    sebagai area untuk melaksanakan aktivitas berjualan. Halaman rumah warga masyarakat sepanjang jl. Lawata semestinya bebas dari kios bangunan semi permanen dan tenda-tenda lapak PKL. Namun kenyataan yang kita lihat bahwa halaman rumah bisa jadi disewakan ke PKL untuk membangun kios yang sifatnya semi permanen seperti PKL yang menjual barang pecah belah, peralatan masaka dan perlengkapan dapur lainnya. Begitupula dengan lahan-lahan kosong milik masyarakat disewakan ke PKL untuk dibanguni bangunan semi permanen misalnya PKL yang menjual kebutuhan sembako. Kondisi tersebut dapat dilihat pada gambar 8 dan 9.

    Analisis Persepsi Pengunjung Terhadap Keberadaan Aktivitas PKL pada Kawasan Eks Pasar Lawata Kendari (Jalan Taman Surapati)

    Analisis ini bertujuan untuk mengkaji hubungan antara karakteristik pengunjung dengan persepsinya terhadap keberadaan lokasi PKL di Kawasan eks Pasar Lawata. Variabel yang dikaji dalam analisis ini meliputi : motivasi kunjungan, aksesibilitas, tujuan kunjungan serta kenyamanan. Temuan yang diperoleh antara lain :

    1. Dominasi motivasi pengunjung datang ke PKL Kawasan Eks Pasar Lawata karena ketersediaan barang sembako dan khususnya kebutuhan sehari-hari seperti sayur-sayuran, ikan dan sebagainya dapat ditemukan di kawasan ini dengan mudah. Ketersediaan bahan pokok yang menjadi kebutuhan masyarakat sehari-hari menyebabkan tingkat penghasilan ataupun tingkat pendidikan pengunjung tidak mempengaruhi atau mengurangi motivasi

    Halaman rumah digunakan sebagai kios barang pecah belah dan peralatan dapur lainnya

    Gambar 8 PKL Penjual barang pecah belah Sumber : Hasil Observasi Oktober 2009

    Gambar 9 Layout Penggunaan Ruang PKL Sumber : Hasil Observasi Oktober 2009

    PKL memanfaatkan area hijau

    PKLmemanfaatkan area hijau/ruang terbuka

    PKL memanfaatkan halamn rumah/tanah kosong

  • Metropilar Volume 8 Nomor 1 Januari 2010

    Fakultas Teknik Universitas Haluoleo 115

    pengunjung untuk datang karena keberadaan PKL Eks Pasar Lawata dikunjungi oleh berbagai lapisan masyarakat dan tidak dominasi konsumen tertentu. Kekhasan jenis dagangan PKL Lawata yakni khusus menjual kebutuhan pokok sehari-hari serta harga yang relatif murah sehingga pengunjung tertarik untuk datang dan membeli.

    2. Kemudahan dalam pencapaian ke kios dan PKL yang menjajajakan kebutuhan sehari-hari. Kemudahan akses tersebut berupa kemudahankendaraan untuk masuk ke dalam kawasan eks Pasar lawata dikarenakan kawasan tersebut memanfaatkan bahu jalan dan badan jalan untuk menjajakan dagangannya. Selain itu para pedagang juga memanfaatkan halaman rumah penduduk untuk mebangun kios yang sifatnya sementara.Kemudahan kendaraan roda dua dan kendaraan roda empat untuk masuk ke dalam kawasan, menimbulkan permasalahan kemacetan lalulintas pada jam-jam tertentu yakni antara jam 15.30 sampai dengan jam 18.00 sore hari, hal ini dikarenakan pada jam tersebut para karyawan dan PNS pulang kantor dan singgah berbelanja di kawasan Eks Pasar Lawata karena lokasi tersebut sangat strtegis dan sangat dekat dengan lokasi perkantoran.

    3. Kedekatan Lokasi Kawasan Eks Pasar Lawata dengan pusat aktivitas lainnya , menyebabkan persepsi pengunjung akan aksesibilitas dari dan ke dalam kawasan mayoritas yang relatif asangat mudah.Kedekatan tersebut antara lain : Ketersediaan angkutan umum, lokasi kawasan yang sangat strategis di tengah- tengah kawasan permukiman yang padat tengah kota, dekat dengan lokasi perkantoran, dekat dengan kawasan perdagangan Mall Mandonga, dekat dengan perbankan dan dekat dengan lokasi pembangunan Peddys Market yang memang konsepnya mirip dengan lokasi studi serta fasilitas umum lainnya. Kondisi tersebut

    Implikasi Karakteristik Penggunaan Ruang PKL kawasan Eks Pasar Lawata terhadap Perkembangan Kota Kendari

    Implikasi dari karakteristik penggunaan ruang PKL yang mendekati kawasan fungsional kota adalah pertumbuhan PKL yang sporadis karena berada di ruang-ruang kota terutama sepanjang jalan-jalan protokol yang memiliki populasi dan arus lalulintas tinggi, sehingga muncul titik/spot dalam ruang kota yang menjadi incaran PKL.

    Implikasi terhadap ketersediaan prasarana/utilitas yaitu pola operasi PKL yang menempati ruang publik dengan membuang sisa

    dagangan di sembarang tempat menyebabkan timbulnya kekumuhan kawasan terlebih adanya keterbatasan akses akan prasarana bagi golongan tersebut. Oleh sebab itu perlu peningkatan pengelolaan prasarana berdagang PKL. Selain itu adanya kecenderungan sarana dagangan PKL sebagai tempat tinggal atau memanfaatkan jalan lingkungan untuk menyimpan sarana sehingga berdampak pada menurunnya fungsi jalan.

    Implikasi terhadap Perkembangan Permukiman, indikasi adanya PKL Taman Suropati yang berasal dari luar Kota Kendari mempengaruhi kecenderungan tumbuh suburnya sektor informal sewa menyewa, kontrak rumah di kawasan fungsional yang berdekatan dengan aktivitas PKL.

    Implikasi terhadap Kebijakan, semakin berkembangnya PKL yang memenuhi sudut kota menyebabkan perlunya penyediaan ruang bagi PKL terutama dari segi spatial hingga kedalaman RTBL maupun ekonomi. Selain dari segi spatial dimana PKL selalu tidak diberi ruang, dalam pengaturannya pun terjadi tumpang tindih. Kebijakan Pemkot yang selama ini selalu melakukan penataan secara represif tanpa memperhatikan karakteristik PKL harus diubah dengan cara yang lebih menguntungkan semua pihak. Setelah menyediakan ruang, pembatasan-pembatasan dengan ketegasan aparat sangat diperlukan. KESIMPULAN

    Keberadaan PKL di kawasan Eks Pasar Lawata atau tepatnya di Jl. Taman Suropati sangat diperlukan oleh masyarakat umum dari berbagai golongan, baik tingkat pendidikan, pendapatan maupun pekerjaan. PKL dapat memberikan kenyamanan yang tidak hanya murah dan berkualitas namun juga dapat dicapai dengan dengan tingkat aksesibilitas yang sangat tinggi tanpa meninggalkan kendaraan. Karaktersitik secara makro PKL Eks Pasar Lawata antara lain: (1) Karakteristik Penggunaan ruang secara umum, (2) Lokasi yang strategis berada di tengah kota dan dilalui oleh berbagai jenis kendaraan, (3) Kemudahan aksesibilitas dengan jalan yang baik, (4) Keterkaitan aktivitas usaha PKL dengan Pasar Mall mandonga dan, (5) adanya Pengelompokan jenis dagangan. Karakteristik mikro PKL Eks Pasar Lawata antara lain (1) Karakteristik Penggunaan ruang terutama badan jalan/trotoar, area hijau dan halaman runah/tanah kosong milik warga masyarakat, (2)Kemudahan berbelanja karean arus kendaraan dua arah dapat secara langsung melintasi PKL yang ada di sepanjang jalan taman Suropati, (3) Tidak adanya dominasi dagangan tertentu karean memang lebih banyak menawarkan

  • Metropilar Volume 8 Nomor 1 Januari 2010

    Fakultas Teknik Universitas Haluoleo 116

    dagangan untuk kebutuhan sehar-hari, (4) PKL lebih banyak menempati area di pinggir jalan dan trotoar karena lebih mudah menjajakan dagangannya. Kondisi tersebut berdampak kepada masih eksisnya PKL di kawasan tersebut, meskipun telah ditegaskan oleh Pemda bahwa kawasan tersebut tidak lagi difungsikan sebagai pasar Lawata yang sifatnya sementara. Perlu ada ketegasan kebijakan dari Pemkot Kendari.

    Karakteristik penggunaan ruang PKL Eks Pasar Lawata berimplikasi terhadap antara lain : (1) Perlunya ketersediaan prasarana dan utilitas yang memadai untuk mendukung kebutuhan PKL yang selama ini belum ada akses bagi golongan tersebut, (2) Kebijakan dalam hal perlunya penyediaan ruang bagi PKL yang sesuai dan, (3) Perkembangan Permukiman terutama makin tumbuh suburnya permukiman ilegal dan menciptakan kawasan kumuh pada sudut-sudut kawasan fungsional Kota Kendari.

    DAFTAR PUSTAKA Ahmad, Ahmaddin, 2002, Redesain Jakarta 2020,

    Kota Press, Jakarta. Alisjahbana, 2005, Sisi Gelap Perkembangan

    Kota: Resistensi Sektor Informal dalam

    Perspektif Sosiologis, Laksbang Pressindo, Yogyakarta.

    Arikunto, Suharsimi, 1997, Prosedur Penelitian : Suatu Pendekatan Praktek, Edisi Revisi V, Rineke Cipta, Yogyakarta.

    Budihardjo, Eko. (1984), Sejumlah Masalah Permukiman Kota, Alumni, Bandung.

    Djojodipuro, Marsudi, 1992, Teori Lokasi, Lembaga Penerbit fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta.

    Manning, Chris dan Tadjuddin Noer Effendi, 1996, Urbanisasi, Pengangguran dan Sektor Informal di Kota, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.

    McGee, T.G dan Y.M. Yeung, 1977, Hawkers in Southeast Asian Cities: Planning for the Bazaar Economy, IDRC Publisher, Canada.

    Sugiyono, 2000, Statistika untuk Penelitian, CV. Alfabeta, Bandung.

    Widjajanti, Retno, 2000, Penataan Fisik Pedagang Kaki Lima pada Kawasan Komersial di Pusat Kota, Studi Kasus : Simpang Lima Semarang, Tesis tidak diterbitkan, Magister Teknik Pembangunan Kota Institut Teknologi Bandung.