Upload
others
View
4
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
i
STUDI BATUAN VULKANIK DAERAH KOLAKA UTARA
SULAWESI TENGGARA SERTA IMPLIKASINYA
TERHADAP MINERALISASI SULFIDA
STUDY OF VOLCANIC ROCK AT NORTH KOLAKA AREA
SOUTHEAST SULAWESI AND THE IMPLICATIONS OF
SULFIDE MINERALIZATION
AYUB PRATAMA ARIS
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2019
ii
STUDI BATUAN VULKANIK DAERAH KOLAKA UTARA
SULAWESI TENGGARA SERTA IMPLIKASINYA
TERHADAP MINERALISASI SULFIDA
Tesis
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar Magister
Program Studi Magister Teknik Geologi
Universitas Hasanuddin
Disusun dan diajukan oleh
AYUB PRATAMA ARIS
kepada
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2019
iv
PERNYATAAN KEASLIAN TESIS
Yang bertanda tangan di bawah ini
Nama : Ayub Pratama Aris
Nomor Pokok : D062171001
Program Studi : Teknik Geologi
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa Tesis yang saya tulis ini
benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan merupakan
pengambilalihan tulisan atau pemikiran orang lain. Apabila di kemudian hari
terbukti atau dapat dibuktikan bahwa sebagian atau keseluruhan tesis ini
hasil karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan
tersebut.
Makassar, 18 Juli 2019
Yang Menyatakan
Ayub Pratama Aris
v
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada kehadirat Tuhan Yang
Maha Esa, atas segala rahmat dan karunia-Nya, sehingga tesis dengan
judul “Studi Batuan Vulkanik Daerah Kolaka Utara Sulawesi Tenggara serta
Implikasinya Terhadap Mineralisasi Sulfida”, dapat diselesaikan
Pada kesempatan ini penulis tidak lupa mengucapkan rasa hormat
dan terima kasih kepada Bapak Dr. Ir. Musri Mawaleda, M.T selaku
Pembimbing Utama dan Bapak Dr. Ir. Adi Tonggiroh, M.T selaku
Pembimbing Pendamping, atas segala curahan ilmu, saran pemikiran,
motivasi dan nasehatnya sehingga penilitian ini dapat terselesaikan tepat
pada waktunya. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Bapak Dr. Ir.
Eng. Asri Jaya HS, M.T, Dr. Eng. Adi Maulana, S.T., M.Phil, dan Ibu Dr. Ir.
Ulva Ria Irfan, M.T selaku dosen penguji, serta Ibu Dr. Ir. Hj. Ratna Husain
L, M.T selaku Ketua Program Studi Magister Teknik Geologi Unhas dan
Bapak Dr. Ir. Eng. Asri Jaya HS, M.T selaku Ketua Departemen Teknik
Geologi Unhas atas bantuan yang telah diberikan kepada penulis dalam
rangka pengumpulan informasi mengenai permasalahan terkait penelitian
ini, Bapak dan Ibu dosen Departemen Teknik Geologi Unhas yang telah
memberikan bimbingannya, Staf Departemen Teknik Geologi Unhas,
ucapan terima kasih kepada kedua orangtua penulis atas segala dukungan
yang telah diberikan kepada penulis selama menjalani pendidikan dan
vi
penelitian, serta seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu,
atas segala bantuan dan dukungan yang diberikan selama ini.
Akhir kata, semoga penyusunan tesis ini dapat bermanfaat bagi
seluruh pembaca, khususnya bagi penulis. Amin.
Makassar, 18 Juli 2019 Penulis,
Ayub Pratama Aris NIM. D062171001
vii
ABSTRAK
AYUB PRATAMA ARIS. Studi Batuan Vulkanik Daerah Kolaka Utara Sulawesi tenggara serta Implikasinya Terhadap Mineralisasi Sulfida (dibimbing oleh Musri Mawaleda dan Adi Tonggiroh). Tujuan utama dari penelitian ini yaitu (1) menentukan kedudukan batuan vulkanik terhadap batuan metamorf di daerah penelitian, (2) Mengetahui hubungan pembentukan batuan vulkanik trakit dengan alterasi dan mineralisasi hydrothermal pada batuan metamorf, (3) Mengetahui tipe alterasi dan mineralisasi hidrothermal di daerah penelitian, dan (4) membuat model geologi tentative alterasi dan mineralisasi hidrothermal di daerah penelitian. Penelitian ini dilaksanakan di daerah Kolaka Utara, Provinsi Sulawesi Tenggara. Metode yang digunakan dalam penelitian adalah survei lapangan dilakukan dengan pengambilan sampel batuan vulkanik baik yang masih segar, maupun batuan vulkanik yang sudah terubah (altered) pada setiap lokasi yang representatif di daerah penelitian. Data dianalisis dengan menggunaan analisis petrografi, mineragrafi dan geokimia (ICP-MS). Hasil penelitian menunjukkan bahwa kedudukan batuan vulkanik Ryodasitik (intrusi dangkal), merupakan batuan yang menerobos terhadap batuan metamorf (Sekis Muskovit-Kuarsa) di daerah penelitian. Hubungan pembentukan batuan ryodasitik dengan alterasi dan mineralisasi hidrotermal pada batuan metamorf terjadi pada lingkungan tektonik zona Arc volcanic incl. Alkaline varieties. Berdasarkan hal tersebut dapat diinterpretasikan bahwa larutan hidrotermal yang berperan dalam proses alterasi di daerah penelitian adalah larutan hidrotermal sisa pendinginan magma dari batuan ryodasitik. Tipe alterasi yang berkembang di daerah penelitian yaitu tipe alterasi Propilitik dan Argilik. Mineral penciri alterasi propilitik yang dijumpai yaitu mineral klorit, epidote dan mineral karbonat berupa kalsit. Sedangkan mineral penciri alterasi argilik yaitu mineral kalsit dan mineral lempung dengan mineral aksesoris berupa mineral muskovit. Tahap pembentukan mineral alterasi dimulai dari tahap isokimia, tahap metasomatisme dan tahap retrograde. Model tentatif geologi memperlihatkan bahwa endapan epitermal sulfidasi rendah berasosiasi dengan lingkungan vulkanik, tempat pembentukan yang relatif dekat permukaan serta larutan yang berperan dalam proses pembentukannya berasal dari campuran air magmatik dengan air meteorit. Kata Kunci: batuan vulkanik, alterasi, mineralisasi, geokimia
viii
ABSTRACT
AYUB PRATAMA ARIS. Study of Volcanic Rock at North Kolaka Area Southeast Sulawesi and The Implications of Sulfide Mineralization (Supervised by Musri Mawaleda and Adi Tonggiroh). The aims of this research are (1) to determine the position of volcanic rocks on metamorphic rocks in the study area, (2) to find out the relationship between volcanic rock formation and alteration and hydrothermal mineralization in metamorphic rocks, (3) to determine the types of alteration and hydrothermal mineralization in the research area , and (4) to make tentative geological models of alteration and hydrothermal mineralization in the research area. This research was carried out in the North Kolaka area, Southeast Sulawesi Province. The method used in this research was field survey by taking sample of volcanic rocks that are still fresh, as well as altered volcanic rocks at each representative location in the research area. The data were analyzed using petrography, mineragraphy and geochemical (ICP-MS) analysis. The result of study show that the position of Ryodasitic volcanic rocks (shallow intrusion), is a rock that breaks through metamorphic rocks (Sekis Muskovit-Quartz) in the study area. The relationship of formation of ryodasitic rocks with alteration and hydrothermal mineralization in metamorphic rocks occurs in the tectonic environment of Arc volcanic zone incl. Alkaline varieties. Based on this, it can be interpreted that hydrothermal solutions which play a role in alteration processes in the study area are the remaining hydrothermal solutions of cooling of magma from rhyodasitic rocks. Alteration types that develop in the research area are Propylitic and Argillic alteration types. Propylitic alteration minerals found are chlorite, epidote and carbonate minerals in the form of calcite. Whereas argillic alteration minerals are calcite and clay minerals with mineral minerals in the form of muscovite minerals. The stage of formation of alteration minerals starts from the isochemical stage, the metasomatism stage and the retrograde stage. The tentative geological model shows that low sulfidation epithermal deposits are associated with a volcanic environment, a place of formation that is relatively close to the surface and a solution that plays a role in the formation process derived from a mixture of magmatic water with meteorite water. Keywords: volcanic rocks, alteration, mineralization, geochemistry
ix
DAFTAR ISI
halaman
HALAMAN JUDUL i
HALAMAN TUJUAN ii
HALAMAN PENGESAHAN iii
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN iv
PRAKATA v
ABSTRAK vii
ABSTRACT viii
DAFTAR ISI ix
DAFTAR TABEL xi
DAFTAR GAMBAR xii
DAFTAR LAMPIRAN xvi
BAB I. PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang 1
B. Rumusan Masalah 3
C. Tujuan Penelitian 4
D. Manfaat Penelitian 4
E. Batasan Penelitian 5
F. Peneliti Terdahulu 5
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 7
A. Geologi Regional 7
1. Geomorfologi Regional 9
2. Stratigrafi Regional 11
3. Struktur Geologi Regional 19
B. Landasan Teori 22
1. Batuan Beku 22
2. Batuan Vulkanik 40
x
3. Batuan Metamorf 47
4. Hidrothermal, Sistem Hidrothermal, dan Alterasi 54
BAB III. METODE PENELITIAN 59
A. Rancangan Penelitian 59
B. Lokasi dan Kesampaian Daerah 60
C. Alat dan Bahan 62
D. Pengumpulan Data 63
E. Teknik Pengambilan Data 64
F. Analisis Laboratorium 65
1. Analisis Petrografi 65
2. Analisis Mineragrafi 65
3. Analisis ICP-MS 66
G. Pengolahan Data 66
H. Kompilasi Data dan Penyusunan Laporan 66
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 68
A. Litologi Daerah Penelitian 68
B. Tipe Alterasi Hidrotermal 75
C. Mineral bijih 79
D. Mineralisasi 81
E. Tipe Endapan 82
F. Geokimia Batuan Vulkanik 83
G. Implikasi Batuan Trakit Terhadap Batuan Metamorf 90
BAB V. PENUTUP 93
A. Kesimpulan 93
B. Saran 94
DAFTAR PUSTAKA 95
xi
DAFTAR TABEL
nomor halaman
1 Klasifikasi batuan beku berdasarkan letak/keterdapatannya (Wilson, 1989) 30
2 Klasifikasi magma berdasarkan kandungan major
element (Alzwar dkk.,1988) 35
3 Klasifikasi magma berdasarkan kandungan SiO2 (%) atau derajat keasaman (Alzwar dkk.,1988) 35
4 Persentase kandungan oksida dari beberapa batuan
beku vulkanik (Carmichael, 1974 dalam Alzwar dkk., 1988) 37
5 Himpunan mineral, tipe, dan zona alterasi
hidrothermal 76
6 Hasil analisis petrografi dan geokimia pada sampel
AGK 01, AGK 05 dan AGK 14 pada klasifikasi jenis
magma (Alzwar dkk.,1988). 84
xii
DAFTAR GAMBAR
nomor halaman
1 Peta Pembagian Mandala Geologi Pulau Sulawesi (Kadarusman dkk.,2004). 8
2 Peta Geologi Regional Lembar Lasusua-Kendari,
Sulawesi Tenggara (Rusmana, E., Sukido, sukarna, D.,Haryono, E. Dan Simandjuntak, T.O.,1993). 9
3 Peta Satuan Morfologi, Lembar Kendari 1:1.000.000
(Rusmana dkk., 1993) 10
4 Pembagian Lajur Geologi Lembar Lasusua-Kendari (Rusmana dkk., 1993) 11
5 Korelasi Satuan Peta Geologi Regional Lembar
Lasusua- Kendari, Sulawesi Tenggara (Rusmana dkk., 1993) 13
6 Peta Geologi daerah kolaka sebagai lokasi
pembentukan Intrusi Dasit, (White, et al, 2014)
15
7 Singkapan batuan Intrusi Dasit pada batuan sekis Mika Kompleks Mengkoka (White dkk.,2014) 16
8 Strutur Geologi Sulawesi dan sekitarnya
(disederhanakan oleh Silver dkk.,1983 dan Rehahult dkk., 1991 dalam Surono, 2010) 19
9 Bagan Struktur Batuan Beku Instrusif (Noor, 2012) 24
10 Klasifikasi afinitas magma berdasarkan perbandingan K2O dan SiO2 (Peccerillo dan Taylor, 1976 dalam Rollinson, 1993) 36
11 Klasisfikasi batuan beku vulkanik (Cox et al., 1979) 38
12 Klasifikasi batuan beku vulkanik (Le Bas et al., 1986 dalam Rollinson, 1993) 38
13 Klasifikasi lingkungan tektonik Th-Hf-Ta (Wood,
1980 dalam Rollinson, 1993) 40
xiii
nomor halaman
14 Klasifikasi batuan gunung api fragmental menurut Pettijohn (1975; kiri) dan Fisher (1966; kanan) 42
15 Siklus batuan (Noor, 2009) 43
16 Bowen Reaction Series (Novan, 1992) 47
17 Hubungan antara Tekanan (P), Temperatur (T), Kedalaman (D) dan Derajat Metamorfosa (Noor, 2014) 51
18 Hubungan antara Derajat Metamorfosa dengan
Tekanan, Temperatur dan Kedalaman (Noor, 2014)
53
19 Mineralogi alterasi di dalam sistem hidrotermal (Corbett dan Leach, 1996) 58
20 Peta tunjuk lokasi penelitian Daerah Kolaka Utara
Sulawesi Tenggara 61
21 Peta Stasiun Pengambilan Sampel 65
22 Diagram Alir Penelitian 67
23 Peta Geologi Daerah Kolaka Utara (dimodifikasi dari Rusmana dkk. 1993) 69
24 Kolom Stratigrafi daerah penelitian (dimodifikasi dari
Rusmana dkk. 1993) 70
25 Kenampakan singkapan di daerah penelitian (a) batuan trakit di stasiun AGK 06, dan (b) batuan trakit di stasiun AGK 14 71
26 Fotomikrograf conto sayatan batuan AGK 14 dengan
perbesaran 50x 72
27 Kenampakan singkapan batuan metamorf Sekis Muskovit-Kuarsa di stasiun AGK 03 daerah Penelitian. 72
28 Fotomikrograf conto sayatan batuan AGK 03 dengan
perbesaran 50x. 73
xiv
nomor halaman
29 Kenampakan singkapan batuan metamorf Sekis Kuarsa-Muskovit di stasiun AGK 12 daerah penelitian. 74
30 Fotomikrograf conto sayatan batuan AGK 12 dengan
perbesaran 50x. 75
31 Fotomikrograf sayatan batuan AGK 03 (a) dan sayatan batuan AGK 08 (b) yang memperlihatkan mineral-mineral penciri alterasi propilitik berupa kalsit (Ca), epidot (Ep), kuarsa (Qtz) dan klorit (Chl). 77
32 Fotomikrograf sayatan batuan AGK 09 (a) dan
sayatan batuan AGK 12 (b) yang memperlihatkan kehadiran mineral-mineral penciri alterasi argilik berupa mineral kalsit (Ca), mineral lempung (Cly), kuarsa (Qtz) dan klorit (Chl). 78
33 Fotomikrograf sayatan poles yang memperlihatkan
kehadiran mineral kalkopirit (Cp) 79
34 Fotomikrograf sayatan poles yang memperlihatkan kehadiran mineral pyrit (Py) 80
35 Fotomikrograf sayatan poles yang memperlihatkan
kehadiran mineral sfalerit (Sf) 81
36 Model geologi endapan epitermal sulfidasi rendah (Hedenquist dkk., 1996 dalam Nagel, 2008). 82
37 Plotting pada klasifikasi afinitas magma berdasarkan
perbandingan K2O dan SiO2 (Peccerillo dan Taylor, 1976 dalam Rollinson, 1993). 85
38 Plotting pada klasifikasi batuan beku vulkanik (Le
Bas et al, 1986). 86
39 Plotting kandungan major element terhadap SiO2 (Harker, 1909 dalam Rollinson, 1993). 87
40 Plotting pada klasifikasi Spider plot - MORB
(Pearce, 1996). 88
xv
nomor halaman
41 Model geologi endapan epitermal sulfidasi rendah (Hedenquist dkk., 1996 dalam Nagel, 2008) 89
42 Model geologi endapan epitermal sulfidasi rendah
(Hedenquist dkk., 1996 dalam Nagel, 2008) 92
xvi
DAFTAR LAMPIRAN
nomor halaman
1 Deskripsi Petrografi (Litologi) 98
2 Deskripsi Mineragrafi 112
3 Deskripsi Petrografi (Alterasi) 122
4 Analisis Geokimia ICP-MS 126
LAMPIRAN PETA
5 Peta Stasiun dan Pengambilan Sampel
6 Peta Geologi Daerah Penelitian
7 Peta Zona Tipe Alterasi
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penelitian khusus tentang batuan vulkanik di Kompleks Mekongga
yang berhubungan dengan endapan hidrothermal masih sangat terbatas.
Hidrothermal yang merupakan larutan sisa magma yang bersifat aqueous
yang kaya akan logam-logam, merupakan sumber cebakan cebakan bijih
hidrothermal. Endapan mineral hidrothermal dapat terbentuk karena
sirkulasi fluida hidrotermal yang melindi, mentranspor, dan mengendapkan
mineral-mineral baru sebagai respon terhadap perubahan fisik maupun
kimiawi (Pirajno, 1992).
Interaksi antara fluida hidrothermal dengan batuan yang dilewatinya
yaitu batuan dinding akan menyebabkan terubahnya mineral secara
kimiawi menjadi mineral alterasi, maupun fluida itu sendiri (Pirajno, 1992).
Proses alterasi merupakan suatu bentuk metasomatisme, yakni pertukaran
komponen kimiawi antara larutan dengan batuan dinding/samping. Alterasi
hidrotermal tergantung pada karakter batuan dinding/samping, karakter
fluida, kondisi tekanan dan temperatur pada saat reaksi berlangsung. Pada
kesetimbangan tertentu, proses hidrotermal akan menghasilkan kumpulan
mineral tertentu yang dikenal sebagai himpunan mineral. Pada
2
kesetimbangan tertentu, proses hidrotermal akan menghasilkan kumpulan
mineral tertentu yang dikenal sebagai himpunan mineral (Sutarto, 2004).
Batuan vulkanik, umumnya terbentuk dari pembekuan magma yang
sangat cepat (misalnya akibat letusan gunung api) sehingga teksturnya
lebih halus. Contohnya adalah basalt, trakkit, andesit (yang sering dijadikan
pondasi rumah), dan dacite. Batuan vulkanik dapat dikenal melalui tekstur,
struktur dan komposisi mineral. Tekstur batuan vulkanik memberikan
informasi mengenai proses pembekuan magma dan struktur batuan
vulkanik mencirikan batuan tersebut intrusi atau ekstrusi. Sedangkan
komposisi mineral pada batuan vulkanik berkaitan dengan ekspresi warna
batuan, yang juga mencerminkan asal magma (Mulyaningsih, 2013).
Daerah penelitian tercakup dalam wilayah administrasi Kabupaten
Kolaka Utara Provinsi Sulawesi Tenggara. Daerah ini merupakan bagian
dari Kompleks Mekongga (Pzm) yang merupakan batuan metamorf
paleozoikum yang terdiri atas batuan metamorf berupa sekis, geneis, filit
dan kuarsit. Secara Regional daerah penelitian tercakup dalam Peta
Geologi Regional Lembar Lasusua-Kendari (Rusmana dkk., 1993).
Berdasarkan data awal yang didapat di lokasi penelitian, kondisi litologi
pada daerah penelitian di dominasi oleh batuan metamorf berupa sekis
muskovit, sekis klorit dan gneis. Selain batuan metamorf juga dijumpai
batuan beku yang diindikasikan merupakan batuan intrusi.
Penelitian mengenai intrusi dasit di daerah Kolaka Utara dilaporkan
oleh White et al (2014). Hasil dating radiometrik diketahui bahwa dasit
3
tersebut berumur ±4,2 juta tahun yang lalu. Penelitian lainnya yang
dilakukan oleh Mawaleda et al (2016), bahwa alterasi dan mineralisasi di
Lengan Tenggara Sulawesi dijumpai pada batuan sekis albit di Kompleks
Rumbia berupa alterasi tipe porpilitik dan filik, berasosiasi dengan mineral-
mineral sulfida (pirit, arsenopirit, antimoni, galena dan cinabar).
Atas referensi tersebut, memberikan inspirasi pentingnya penilitian
ini dilakukan untuk melihat dan memahami lebih jauh hubungan
pembentukan batuan vulkanik di daerah Kolaka Utara Sulawesi Tenggara,
terutama implikasinya terhadap mineralisasi sulfida yang dijumpai pada
batuan host metamorf.
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah pada penelitian ini dapat diuraikan sebagai
berikut :
1. Bagaimana kedudukan batuan vulkanik terhadap batuan metamorf di
daerah penelitian.
2. Bagaimana hubungan intrusi batuan vulkanik dengan alterasi dan
mineralisasi hidrothermal pada batuan metamorf di daerah penelitian.
3. Bagaimana tipe alterasi dan mineralisasi hidrothermal di daerah
penelitian.
4. Bagaimana model geologi tentatif alterasi dan mineralisasi hidrothermal
di daerah penelitian.
4
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan permasalahan yang diuraikan diatas maka
tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Menentukan kedudukan batuan vulkanik terhadap batuan metamorf di
daerah penelitian.
2. Mengetahui hubungan pembentukan batuan vulkanik dengan alterasi
dan mineralisasi hidrothermal pada batuan metamorf.
3. Mengetahui tipe alterasi dan mineralisasi hidrothermal di daerah
penelitian.
4. Membuat model geologi tentatif alterasi dan mineralisasi hidrothermal di
daerah penelitian.
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah terhadap
alterasi dan mineralisasi hidrothermal di daerah penelitian.
2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan acuan pemerintah
daerah dalam perencanaan pembangunan daerah terutama tentang
informasi potensi cebakan bijih.
3. Penting bagi pihak investor untuk mendapatkan data awal tentang
potensi mineral bijih serta data geologi lainnya di daerah penelitian.
5
E. Batasan Penelitian
Penelitian ini dibatasi pada alterasi dan mineralisasi hydrothermal,
serta geokimia batuan vulkanik trakit di daerah penelitian.
1. Metode yang dipakai adalah pemetaan geologi, terutama sampling
batuan khususnya batuan vulkanik di setiap lokasi yang representatif.
2. Analisis laboratorium terhadap sampel batuan meliputi Analisis
petrografi, mineragrafi dan geokimia batuan.
F. Peneliti Terdahulu
a. Sukamto, 1975, membagi Pulau Sulawesi dan pulau-pulau sekitarnya
dalam tiga mandala geologi serta secara regional membahas tektonik
sulawesi dan sekitarnya berdasarkan teori tektonik lempeng.
b. Sartono dan Astadireja, 1981, mengadakan penelitian tentang geologi
Kuarter di Sulawesi Selatan dan Tenggara.
c. E. Rusmana, Sukido, D. Sukarna, E. Haryono dan T.O. Simandjuntak,
1984, memetakan geologi lembar Lasusua – Kendari.
d. Sultan, 1994, mengadakan penelitian geologi pada daerah Pohu
kecamatan Lasusua, Kabupaten Kolaka Sulawesi Selatan
e. Musri, Suparka, E., & Tambun, B. (2011). Geology model of alteration
and hydrothermal mineralization, Latuppa area, Palopo, South Sulawesi,
Proceedings JCM Makassar 2011. The 36th HAGI and 40th IAGI Annual
Convention and Exhibition, Makassar.
6
f. Mawaleda, M., Suparka, E., Abdullah, C.I., Basuki, N.I., Jamal,
Kaharuddin & Forster M. A. (2016). Hydrothermal alteration and timing of
gold mineralisation in the Rumbia Complex, Southeast Arm of Sulawesi,
Indonesia, Proceeding of 2nd International Conference of
Transdiciplinaryn Research on Environmental Problems in Southeast
Asia (TREPSEA) 2016.
g. White, L.T., Hall, R., Armstrong, R.A., 2014. The age of undeformed
dacite intrusions within the Kolaka fault zone, SE Sulawesi, Indonesia.
Journal of Asian Earth Sciences.
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Geologi Regional
Indonesia merupakan wilayah yang terletak pada pertemuan tiga
lempeng besar yaitu lempeng benua Eurasia yang relatif ke arah selatan
tenggara, lempeng samudra Indo-Australia yang bergerak ke Utara dan
lempeng samudra Pasifik yang bergerak kebarat (Hamilton, 1979).
Pulau Sulawesi adalah salah satu dari 5 pulau besar di Indonesia
yang terletak di bagian timur, mempunyai bentuk yang khas menyerupai
huruf “K”. Kadarusman (2004) membagi pulau Sulawesi menjadi empat
mandala geologi yaitu (1) Mandala barat (West & North Sulawesi Volcano-
Plutonic Arc), (2) Mandala tengah (Central Sulawesi Metamorphic Belt), (3)
Mandala timur (East Sulawesi Ophiolite Belt), (4) Pecahan benua bagian
Banggai-Sula dan Tukang Besi (Gambar 1).
Secara umum daerah penelitian ini termasuk Mandala Geologi
Sulawesi Timur (East Sulawesi Ophiolite Belt), yang dicirikan oleh
himpunan batuan metamorf, dan batuan sedimen penutupnya serta ofiolit
yang terjadi dari hasil proses pengangkatan (Obduction) selama Miosen
(Surono, 2013).
8
Gambar 1 Peta Pembagian Mandala Geologi Pulau Sulawesi (Kadarusman dkk.,2004).
Batuan-batuan yang tersingkap di daerah penelitian berumur mulai
dari Paleozoikum sampai Kuarter, menurut E. Rusmana, dkk. (1993) pada
9
Peta Geologi Lembar Lasusua – Kendari, Sulawesi, sekala 1 : 250.000
(Gambar 2) (Lampiran 4).
Gambar 2 Peta Geologi Regional Lembar Lasusua-Kendari, Sulawesi Tenggara (Rusmana, E., Sukido, sukarna, D.,Haryono, E. Dan Simandjuntak, T.O.,1993).
1. Geomorfologi Regional
Menurut Rusmana, dkk.,(1993) dalam peta geologi regional lembar
Lasusua-Kendari skala 1:250.000 membagi dalam empat bentang alam
morfologi yaitu, pegunungan, perbukitan, karst dan dataran rendah
(Gambar 3).
Secara umum daerah penelitian mempunyai bentangalam yang
terdiri dari perbukitan, dataran rendah dan karst. Sebagian besar
merupakan daerah perbukitan dengan ketinggian antara 75m sampai 750m
10
di atas permukaan laut. Umumnya disusun atas batu gamping dan
konglomerat oleh molas Sulawesi. Satuan ini umumnya membentuk
perbukitan bergelombang yang ditumbuhi semak dan alang-alang. Sungai
di daerah penelitian ini berpola aliran dendritik.
Bentang alam dataran rendah menempati daerah pantai dan
sepanjang aliran sungai besar dan muaranya yang memiliki ketinggian
berkisar dari beberapa meter hingga 75m diatas muka laut (Rusmana dkk,
1993).
Gambar 3 Peta Satuan Morfologi, Lembar Kendari 1:1.000.000 (Rusmana dkk., 1993)
11
2. Stratigrafi Regional
Berdasarkan himpunan batuan dan pencirinya, geologi pra-tersier di
Lembar Lasusua-Kendari dapat dibedakan dalam dua Lajur Geologi; yaitu
Lajur Tinondo dan Lajur Hialu. Lajur Tinondo dicirikan oleh batuan endapan
paparan benua, dan lajur Hialu oleh endapan kerak samudra/ofiolit,
(Rusmana, dkk., 1993). Secara garis besar kedua mandala ini dibatasi oleh
Sesar Lasolo (Gambar 4).
Gambar 4 Pembagian Lajur Geologi Lembar Lasusua-Kendari (Rusmana dkk., 1993)
12
Batuan yang terdapat di Lajur Tinondo yang merupakan batuan alas
adalah Batuan Malihan Paleozoikum (Pzm) dan diduga berumur Karbon;
terdiri dari sekis mika, sekis kuarsa, sekis klorit, sekis mika grafit, batusabak
dan geneis. Pualam Paleozoikum (Pzmm) menjemari dengan Batuan
Malihan Paleozoikum terutama terdiri dari pualam dan batugamping
terdaunkan (Rusmana dkk., 1993).
Pada Permo-Trias di daerah ini diduga terjadi kegiatan magma yang
menghasilkan terobosan aplit kuarsa, latit kuarsa dan andesit (Tr Ga), yang
menerobos Batuan Malihan Paleozoikum. Formasi Meluhu (Tr Jm) yang
berumur Trias Tengah sampai Jura, secara takselaras menindih Batuan
malihan Paleozoikum. Formasi ini terdiri dari batupasir kuarsa yang
termalihkan lemah dan kuarsit yang setempat bersisipan dengan serpih
hitam dan batu gamping yang mengandung Holabia sp.,dan Daonella sp.,
serta batusabak pada bagian bawah (Rusmana dkk., 1993).
Pada Zaman yang sama terendapkan Formasi Tokala (Trjt), terdiri
dari batugamping berlapis dan serpih bersisipan batupasir. Hubungan
dengan Formasi Meluku adalah menjemari. Pada Kala Eosen hingga
Miosen Tengah (?), pada lajur ini terjadi pengendapan Formasi Salodik
(Terms); yang terdiri dari Kalkarenit dan setempat batugamping ofiolit
(Rusmana dkk., 1993).
Batuan yang terdapat di Lajur Hialu adalah batuan ofiolit (Ku) yang
terdiri dari peridotit, harsburgit, dunit dan serpentinit. Batuan ofiolit ini
13
tertindik takselaras (?) oleh Formasi Matano (Km) yang berumur Kapur
Akhir, dan terdiri dari batugamping berlapis bersisipan rijang pada bagian
bawahnya (Rusmana dkk., 1993).
Batuan sedimen tipe molasa berumur Miosen Akhir-Pliosen Awal
membentuk Formasi Pandua (Tmpp), terdiri dari konglomerat aneka bahan
dan batupasir bersisipan lanau. Formasi ini menindih takselaras semua
formasi yang lebih tua, baik di Lajur Tinondo maupun di Lajur Hialu. Pada
Kala Plistosen Akhir terbentuk batugamping terumbu koral (Ql) dan formasi
Alangga (Qpa) yang terdiri dari batupasir dan konglomerat. Batuan termuda
adalah Aluvium (Qa) yang terdiri dariendapan sungai, rawa, dan pantai
(Rusmana dkk., 1993).
Gambar 5 Korelasi Satuan Peta Geologi Regional Lembar Lasusua- Kendari, Sulawesi Tenggara (Rusmana dkk., 1993)
Bedasarkan dalam Peta Geologi Lembar Lasusua-Kendari
(Rusmana dkk, 1993) secara regional diketahui bahwa batuan yang
14
menyusun daerah penelitian Kabupaten Kolaka Utara dan sekitarnya terdiri
dari Kompleks Mekongga (pzm), Batuan Terobosan (PTR(g)), Formasi
Tokala (TRJt), Kompleks Ultramafik (Ku), dan Alluvial (Qa) (Gambar 5).
Kompleks Mekongga (Pzm); Penyebaran Kompleks Malihan
Mekongga terdahulu telah dilakukan studi batuan malihan antara lain oleh
Roever (1947,1956) dalam Surono (2013), sedangkan studi komprehensif
dilakukan oleh Helmers dkk, (1989). Kompleks Malihan tersebut
diperkirakan berumur Karbon sampai Perm dan mempunyai hubungan
menjemari dengan satuan pualam paleozoikum (Pzmm) (Rusmana
dkk.,1993), disusun oleh sekis, gneiss, filit, kuarsit, batusabak dan sedikit
pualam. Gneiss berwarna kelabu sampai kelabu kehijauan; bertekstur
heteroblas, xenomorf sama butiran, terdiri dari mineral granoblas berbutir
halus sampai sedang. Jenis batuan ini terdiri atas gneiss kuarsa biotit dan
gneiss muskovit. Bersifat kurang padat sampai padat.
Dijumpainya asosiasi mineral malihan seperti glukofan, lawsonit,
epidot, kloritoid dan garnet didalam derajat tinggi sampai sekis biru yang
menunjukkan bahwa batuan malihan dalam kompleks malihan Mekongga
berbeda dengan yang berada di wilayah tengah Sulawesi (de Roever, 1947
dalam Surono, 2013) terutama dengan kehadiran mineral jedeit-agirin,
krosit, lawsonit dan ferrokarfolit.
Kompleks malihan mengkoka memperlihatkan sekistositi yang
dibentuk oleh glaukofan. Batuan malihan disusun oleh sekis grafit-mika dan
15
mika kuarsit dengan sisipan pualam. Sementara batuan-batuan malihan
metabasit masih memperilihatkan tekstur relik batuan beku yang
ditunjukkan reaksi teori mineral augit dan plagioklas. Analisis kimia
menunjukkan bahwa batuan metabasit berasosiasi dengan toleitik dari
MORB dan sebagian lainnya berasal dari grauwake.
Berdasarkan hasil perhitungan P-T terhadap pasangan mineral
garnet-pengit, albit-omfasit dan pengit menunjukkan batuan terbentuk pada
suhu 400-4400C dan tekanan 8,5-6 kbar. Pengukuran suhu diperkuat
dengan ketidakhadiran biotite dalam paragenesa pengit menunjukkan suhu
dibawah 4500C. Batuan malihan derajat tinggi kemungkinan telah
mengalami pengangkatan atau eksumasi ke permukaan secara cepat
akibat erosi atau lainnya (Helmers dkk, 1989 dalam Surono, 2013).
Menurut White dkk, (2014) dalam penelitiannya menyatakan bahwa
di Kompleks Mekongga terdapat Intrusi Dasit pada Sesar Kolaka, dapat
dilihat pada (Gambar 6 dan 7).
Gambar 6 Peta Geologi daerah Kolaka Utara menunjukkan lokasi Intrusi Dasit (White, et al, 2014)
16
Berdasarkan analisis geokimia dengan menggunakan major element
SiO2 (68-70%), MgO (1.86-1.93%) and TiO2 (0.49%) dan trace element
dengan jumlah besar berupa Cs, Rb, Th, U, Pb dan Sr, dan jumlah kecil
berupa Nb, Ta, La, Nd, Sm, Hf, Zr, Y and Yb. Menunjukkan batuan dasit
tersebut hasil dari produk subdaksi ( Elburg and Foden 1999a;b; Elburg et
al. 2003 dalam White, et al, 2014).
Gambar 7 Singkapan batuan Intrusi Dasit dan batuan sekis Mika Kompleks Mengkoka (White dkk.,2014)
17
Batuan Terobosan (PTR(g)); Batuan Terobosan terdiri atas aplit
kuarsa, andesit dan latit kuarsa. Satuan ini menerobos satuan batuan
malihan paleozoikum dan diperkirakan berumur perm (Rusmana
dkk.,1993).
Formasi Tokala (TRJt); Formasi Tokala terdiri atas kalsilutit,
batugamping, batupasir, serpih dan napal. Kalsilutit berwarna kelabu muda,
kelabu sampai merah jambu, berbutir halus, sangat padu, serta memiliki
perlapisan yang baik, dengan kekar yang diisi urat kalsit putih kotor.
Umumnya telah mengalami pelipatan kuat; tidak jarang ditemukan sinklin
dan antiklin, serta lapisan yang hampir tegak (melebihi 80 derajat).
Setempat terdaunkan. Batugamping, mengandung fosil Halobia, Amonit
dan Belemnit. Batupasir berukuran halus sampai kasar, berwarna kelabu
kehijauan sampai merah kecoklatan terakat lempung dan oksida besi lunak,
setempat padat, mengandung sedikit kuarsa, berlapis baik. Serpih dan
napal berwarna kelabu sampai kekbu tua, memiliki perlapisan baik, tebal
lapisan antara 10 - 20 cm. Lempung pasiran, berwarna kelabu sampai
kecoklatan, perlapisan baik, tebal lapisan antara 1 - 10 cm berselingan
dengan batuan yang disebutkan terdahulu. Formasi ini diperkirakan
berumur Trias - Jura Awal dengan lingkungan pengendapan pada laut
dangkal (neritik). Tebal formasi ini diperkirakan lebih dari 1000 meter
(Rusmana dkk.,1993).
18
Kompleks Ultramafik (Ku); Kompleks Ultramafik terdiri atas peridotit,
dunit dan serpentinit. Serpentinit berwarna kelabu tua sampai kehitaman;
padu dan pejal. Batuannya bertekstur afanitik dengan susunan mineral
antigorit, lempung dan magnetit. Umumnya memperlihatkan struktur kekar
dan cermin sesar yang berukuran megaskopis. Dunit, kehitaman; padu dan
pejal, bertekstur afanitik. Mineral penyusunnya ialah olivin, piroksin,
plagioklas, sedikit serpentin dan magnetit; berbutir halus sampai sedang.
Mineral utama olivin berjumlah sekitar 90%. Tampak adanya
penyimpangan dan pelengkungan kembaran yang dijumpai pada piroksin,
mencirikan adanya gejala deformasi yang dialami oleh batuan ini. Di
beberapa tempat dunit terserpentinkan kuat yang ditunjukkan oleh struktur
sisa seperti rijang dan barik-barik mineral olivin dan piroksin, serpentin dan
talkum sebagai mineral pengganti. Peridotit terdiri atas jenis harzburgit dan
lherzolit. Harzburgit, hijau sampai kehitaman, holokristalin, padu dan pejal.
Mineralnya halus sampai kasar, terdiri atas olivin (60%) dan piroksin (40%).
Di beberapa tempat menunjukkan struktur perdaunan. Hasil penghabluran
ulang pada mineral piroksin dan olivin mencirikan batas masing-masing
kristal bergerigi. Lherzolith, hijau kehitaman; holokristalin, padu dan pejal.
Mineral penyusunnya ialah olivin (45%), piroksin (25%), dan sisanya epidot,
yakut, klorit, dan bijih dengan mineral berukuran halus sampai kasar.
Satuan batuan ini diperkirakan berumur Kapur (Rusmana dkk.,1993).
19
Alluvial (Qa); Alluvial terdiri atas kerikil, kerakal, pasir lempung dan
lumpur. Satuan ini merupakan hasil dari endapan sungai, rawa dan
endapan pantai. Umur satuan ini adalah holosen (Rusmana dkk.,1993).
3. Struktur Geologi Regional
Struktur regional yang terbentuk di Pulau Sulawesi dan kawasan
sekitarnya meliputi penunjaman dan zona tumbukan, Sesar Naik, dan
Sesar Geser. Struktur geologi regional tersebut adalah Parit Sulawesi
Utara (North Sulawesi Trench), Sistem Sesar Palu-Koro, Sesar Naik Batui,
Sesar Naik Poso, Sesar Walanae, dan pemekaran Samudra di Selat
Makassar (Gambar 2.10) (Surono, 2010; 2013).
Gambar 8 Strutur Geologi Sulawesi dan sekitarnya (disederhanakan oleh Silver dkk.,1983 dan Rehahult dkk., 1991 dalam Surono, 2010)
20
Secara regional Lengan Timur Sulawesi, dimana daerah penelitian
berada, adalah daerah dengan pola tektonik kompresi berarah relatif Barat-
Baratlaut-Timur-Tenggara (WNW-ESE).
Sistem kompresi utama berkaitan dengan pergerakan lempeng
mikro-kontinen Banggai-Sula ke arah barat dan bertemu dengan bagian
Sulawesi. Sistem kompresi yang menerus sejak zaman Miosen Tengah-
Akhir (Rangin dkk., 1990) menjepit lempeng samudera yang berada di
antara Banggai-Sula dengan Sulawesi, melipatnya, mematahkannya, dan
mendorongnya naik (obduksi) ke atas masa batuan di sisi timurnya. Hal
inilah yang menyebabkan mengapa batuan lempeng samudera
(berkomposisi ofiolitik) yang umumnya berada di bagian bawah tertutupi
batuan lain, bisa tersingkap di permukaann, di hampir semua bagian lengan
Timur Sulawesi.
Sistem kompresi ini memberikan pola struktur anjakan, geser, dan
lipatan yang kompleks. Secara umum sesar anjakan mempunyai arah
anjakan ke timur atau ke barat dengan pola penyebaran utara-selatan.
Sesar geser baik sesar utama maupun sesar sekunder cenderung
melampar pada arah timur-barat, umumnya berupa sesar geser mendatar.
Sistem kompresi ini, melipat-menggeser-mematahkan pula batuan-
batuan yang terbentuk lebih muda dari Miosen Tengah, bahkan sampai
pada batuan berumur Pleistosen (Simanjuntak dkk., 1977).
21
Sesar dan kelurusan yang dijumpai di lembar Lasusua-Kendari
umumnya berarah baratlaut-tenggara searah dengan Sesar Lasolo
(Rusmana, dkk., 1993). Sesar Lasolo berupa sesar geser jurus mengiri
yang diduga masih aktif hingga sampai saat ini; hal ini dibuktikan dengan
adanya mataair panas di Desa Sonai, Kecamatan Pondidaha pada
batugamping terumbu yang berumur Holosen pada jalur sesar tersebut di
tenggara Tinobu. Sesar Lasolo ini diduga ada kaitannya dengan Sesar
Sorong yang aktif kembali pada kala Oligosen (Simandjuntak dkk.,1983).
Sesar naik ditemukan di daerah Wawo, sebelah barat Tampakura
dan di Tanjung Labuandala di selatan Lasolo; yaitu beranjaknya batuan
ofiolit ke atas Batuan Malihan Mekonga, Formasi Meluhu dan Formasi
Matano. Sesar Lasolo berarah baratlaut-tenggara dan membagi Lembar
Kendari menjadi dua bagian, sebelah timurlaut sesar di sebut Lajur Hialu
dan sebelah baratdaya di sebut lajur Tinondo (Rusmana dan Sukarna,
1993). Ditafsirkan bahwa sebelum Oligosen Lajur Hialu dan lajur Tinondo
bersentuhan secara pasif, kemudian sesar ini berkembang menjadi suatu
“transform fault” dan menjadi sesar lasolo sejak Oligosen, yaitu pada saan
mulai giatnya kembali Sesar Sorong.
Lipatan pada batuan tersier berupa lipatan dengan kemiringan
lapisan berkisar 15-30°. Kekar terdapat pada semua jenis batuan. Pada
batugamping kekar ini tampak teratur yang membentuk kelurusan,
22
sedangkan kekar pada batuan beku umumnya menunjukkan arah tak
beraturan (Rusmana dkk, 2010).
B. Landasan Teori 1. Batuan Beku
a. Pengertian Batuan Beku
Batuan beku (dari Bahasa Latin: ignis, "api") adalah jenis batuan
yang terbentuk dari magma yang mendingin dan mengeras, dengan atau
tanpa proses kristalisasi, baik di bawah permukaan sebagai batuan intrusif
(plutonik) maupun di atas permukaan sebagai batuan ekstrusif (vulkanik).
Magma ini dapat berasal dari batuan setengah cair ataupun batuan yang
sudah ada, baik di mantel ataupun kerak bumi. Umumnya, proses pelelehan
terjadi oleh salah satu dari proses-proses berikut: kenaikan temperatur,
penurunan tekanan, atau perubahan komposisi. Lebih dari 700 tipe batuan
beku telah berhasil dideskripsikan, sebagian besar terbentuk di bawah
permukaan kerak bumi (Noor, 2012).
b. Struktur Batuan Beku
Berdasarkan tempat pembekuannya batuan beku dibedakan
menjadi batuan beku extrusive dan intrusive. Hal ini pada nantinya akan
menyebabkan perbedaan pada tekstur masing masing batuan tersebut.
Kenampakan dari batuan beku yang tersingkap merupakan hal pertama
23
yang harus kita perhatikan. Kenampakan inilah yang disebut sebagai
struktur batuan beku.
1. Struktur batuan beku ekstrusif
Batuan beku ekstrusif adalah batuan beku yang proses
pembekuannya berlangsung dipermukaan bumi. Batuan beku ekstrusif ini
yaitu lava yang memiliki berbagia struktur yang memberi petunjuk mengenai
proses yang terjadi pada saat pembekuan lava tersebut. Struktur ini
diantaranya:
a. Masif, yaitu struktur yang memperlihatkan suatu masa batuan yang
terlihat seragam.
b. Sheeting joint, yaitu struktur batuan beku yang terlihat sebagai
lapisan
c. Columnar joint, yaitu struktur yang memperlihatkan batuan terpisah
poligonal seperti batang pensil.
d. Pillow lava, yaitu struktur yang menyerupai bantal yang bergumpal-
gumpal. Hal ini diakibatkan proses pembekuan terjadi pada
lingkungan air.
e. Vesikular, yaitu struktur yang memperlihatkan lubang-lubang pada
batuan beku. Lubang ini terbentuk akibat pelepasan gas pada saat
pembekuan.
f. Amigdaloidal, yaitu struktur vesikular yang kemudian terisi oleh
mineral lain seperti kalsit, kuarsa atau zeolit
24
g. Struktur aliran, yaitu struktur yang memperlihatkan adanya
kesejajaran mineral pada arah tertentu akibat aliran
2. Struktur Batuan Beku Intrusif
Batuan beku ekstrusif adalah batuan beku yang proses
pembekuannya berlangsung dibawah permukaan bumi. berdasarkan
kedudukannya terhadap perlapisan batuan yang diterobosnya struktur
tubuh batuan beku intrusif terbagi menjadi dua yaitu konkordan dan
diskordan.
Gambar 9 Bagan Struktur Batuan Beku Instrusif (Noor, 2012)
A. Konkordan
Tubuh batuan beku intrusif yang sejajar dengan perlapisan
disekitarnya, jenis jenis dari tubuh batuan ini yaitu :
a. Sill, tubuh batuan yang berupa lembaran dan sejajar dengan perlapisan
batuan disekitarnya.
25
b. Laccolith, tubuh batuan beku yang berbentuk kubah (dome), dimana
perlapisan batuan yang asalnya datar menjadi melengkung akibat
penerobosan tubuh batuan ini, sedangkan bagian dasarnya tetap datar.
Diameter laccolih berkisar dari 2 sampai 4 mil dengan kedalaman ribuan
meter.
c. Lopolith, bentuk tubuh batuan yang merupakan kebalikan dari laccolith,
yaitu bentuk tubuh batuan yang cembung ke bawah. Lopolith memiliki
diameter yang lebih besar dari laccolith, yaitu puluhan sampai ratusan
kilometer dengan kedalaman ribuan meter.
d. Paccolith, tubuh batuan beku yang menempati sinklin atau antiklin yang
telah terbentuk sebelumnya. Ketebalan paccolith berkisar antara ratusan
sampai ribuan kilometer.
B. Diskordan
Tubuh batuan beku intrusif yang memotong perlapisan batuan
disekitarnya. Jenis-jenis tubuh batuan ini yaitu:
a. Dyke, yaitu tubuh batuan yang memotong perlapisan disekitarnya dan
memiliki bentuk tabular atau memanjang. Ketebalannya dari beberapa
sentimeter sampai puluhan kilometer dengan panjang ratusan meter.
b. Batolith, yaitu tubuh batuan yang memiliki ukuran yang sangat besar yaitu
> 100 km2 dan membeku pada kedalaman yang besar.
c. Stock, yaitu tubuh batuan yang mirip dengan Batolith tetapi ukurannya
lebih kecil
26
c. Tekstur Batuan Beku
Magma merupakan larutan yang kompleks. Karena terjadi
penurunan temperatur, perubahan tekanan dan perubahan dalam
komposisi, larutan magma ini mengalami kristalisasi. Perbedaan kombinasi
hal-hal tersebut pada saat pembekuan magma mengakibatkan
terbentuknya batuan yang memilki tekstur yang berbeda. Ketika batuan
beku membeku pada keadaan temperatur dan tekanan yang tinggi di bawah
permukaan dengan waktu pembekuan cukup lama maka mineral-mineral
penyusunya memiliki waktu untuk membentuk sistem kristal tertentu
dengan ukuran mineral yang relatif besar. Sedangkan pada kondisi
pembekuan dengan temperatur dan tekanan permukaan yang rendah,
mineral-mineral penyusun batuan beku tidak sempat membentuk sistem
kristal tertentu, sehingga terbentuklah gelas (obsidian) yang tidak memiliki
sistem kristal, dan mineral yang terbentuk biasanya berukuran relatif kecil.
Berdasarkan hal di atas tekstur batuan beku dapat dibedakan berdasarkan:
1. Tingkat kristalisasi
a) Holokristalin, yaitu batuan beku yang hampir seluruhnya disusun
oleh kristal
b) Hipokristalin, yaitu batuan beku yang tersusun oleh kristal dan gelas
c) Holohyalin, yaitu batuan beku yang hampir seluruhnya tersusun oleh
gelas
27
2. Ukuran butir
a) Phaneritic, yaitu batuan beku yang hampir seluruhmya tersusun oleh
mineral-mineral yang berukuran kasar.
b) Aphanitic, yaitu batuan beku yang hampir seluruhnya tersusun oleh
mineral berukuran halus.
3. Bentuk kristal
Ketika pembekuan magma, mineral-mineral yang terbentuk pertama kali
biasanya berbentuk sempurna sedangkan yang terbentuk terakhir biasanya
mengisi ruang yang ada sehingga bentuknya tidak sempurna. Bentuk
mineral yang terlihat melalui pengamatan mikroskop yaitu:
a) Euhedral, yaitu bentuk kristal yang sempurna
b) Subhedral, yaitu bentuk kristal yang kurang sempurna
c) Anhedral, yaitu bentuk kristal yang tidak sempurna.
4. Berdasarkan kombinasi bentuk kristalnya
a) Unidiomorf (Automorf), yaitu sebagian besar kristalnya dibatasi oleh
bidang kristal atau bentuk kristal euhedral (sempurna)
b) Hypidiomorf (Hypautomorf), yaitu sebagian besar kristalnya
berbentuk euhedral dan subhedral.
c) Allotriomorf (Xenomorf), sebagian besar penyusunnya merupakan
kristal yang berbentuk anhedral.
5. Berdasarkan keseragaman antar butirnya
a) Equigranular, yaitu ukuran butir penyusun batuannya hampir sama
28
b) Inequigranular, yaitu ukuran butir penyusun batuannya tidak sama
d. Klasifikasi Batuan Beku Berdasarkan Genetik
Batuan beku yang merupakan hasil pemadatan magma,
berdasarkan tempat pembekuannya dikelompokkan menjadi batuan beku
dalam (plutonic or intrussive rocks) dan batuan beku luar (volcanic or
extrussive rocks). Pada umumnya pembagian batuan beku didasarkan atas
tekstur dan komposisi, baik komposisi mineral maupun komposisi kimia.
Kriteria dalam pengklasifikasian batuan beku (O.Hirokawa, 1980
dalam Alzwar dkk., 1988), antara lain:
1. Kehadiran mineral atau sekelompok mineral dapat dijadikan sebagai
dasar pembagian untuk menunjukkan keadaan alami batuan beku.
Mineral atau kelompok mineral terang (felsic mineral) seperti feldspar (K–
feldspar dan plagioklas), feldspatoid, mineral–mineral silika, dan
sebagainya akan menunjukkan derajat kejenuhan SiO2 dan jumlah alkali
terhadap SiO2 sedangkan tipe batuan beku luar pada umumnya
didasarkan atas jumlah mineral gelap (mafic mineral) seperti olivin,
piroksin, dan hornblende.
2. Unsur Na dan K dalam feldspar digunakan untuk menentukan jenis
feldspar, dimana unsur–unsur tersebut mencirikan perkembangan
proses diferensiasi–kristalisasi. Feldspar yang kaya akan Na dan K
merupakan hasil lanjutan diferensiasi–kristalisasi magma.
29
3. Perbandingan jumlah kuarsa, K–feldspar, dan plagioklas digunakan
sebagai salah satu dasar pembagian batuan beku plutonik.
4. Indeks warna yang merupakan persentase isi mineral–mineral gelap
dalam batuan beku atau mineral felsic–mafic dalam batuan kristalinitas
rendah atau gelasan dapat digunakan sebagai pembagian sub–kelas
batuan beku.
a) Batuan felsik (felsic rock) merupakan batuan beku yang terdiri dari
mineral berwarna terang atau yang memiliki indeks warna kurang
dari 20. Contoh dasit, riolit, dan sebagainya.
b) Batuan mafik (mafic rock) adalah batuan beku yang terdiri dari
mineral berwarna gelap atau yang memiliki indeks warna antara 40
– 70. Contoh gabro, basal, dan sebagainya. Istilah gelap juga
digunakan untuk mineral–mineral ferro–magnesia atau berwarna
gelap seperti olivin, piroksin, hornblende, biotit, dan sebagainya.
c) Batuan intermediet (intermediate rock) merupakan batuan beku
peralihan antara gelap dan terang.
d) Batuan ultramafik (ultramafic rock) adalah batuan beku yang
dominan tersusun oleh mineral–mineral gelap seperti olivin, piroksin,
grup amfibol, dan sebagainya. Umumnya mempunyai indeks warna
lebih dari 70.
5. Berdasarkan tekstur, terutama ukuran butir, didapatkan klasifikasi seperti
batuan dengan ukuran mineral lebih kecil (batuan beku luar), batuan
30
dengan ukuran mineral sedang (batuan hipabisal), dan batuan dengan
ukuran mineral lebih besar (batuan beku dalam).
Menurut keterdapatannya, berdasarkan tatanan tektonik dan posisi
pembekuannya (tabel 1), batuan beku diklasifikasikan sebagai batuan
intrusi plutonik berupa granit, syenit, diorit, dan gabro. Intrusi dangkal yaitu
dasit, andesit, andesitik–basaltik, riolit, dan batuan gunungapi (ekstrusi
yaitu riolit, lava andesit, dan lava basal).
Tabel 1. Klasifikasi batuan beku berdasarkan letak/keterdapatannya (Wilson, 1989).
Keterdapatannya Asam Intermediet Basa
Plutonik (intrusi) Granit, Syenit
Diorit Gabro
Intrusi Dangkal Dasit-Riodasit
Andesit Basaltik-Andesitik
Vulkanik;
Dengan
Tatanan
tektonik
Busur magmatik
Riolitik Andesitik Basaltik
Belakang busur
Trakitik Trakitik Basal
Trakitik
Mid oceanic ridges
- - Lava basal
e. Klasifikasi Batuan Beku Berdasarkan Komposisi Kimia dan
Mineral
Senyawa kimia magma yang dianalisis melalui hasil konsolidasinya
di permukaan dalam bentuk batuan gunungapi, dapat dikelompokkan
menjadi :
31
a. Senyawa–senyawa volatile, terutama terdiri dari fraksi gas seperti CH4,
CO2, HCl, H2S, SO2, NH3, dan sebagainya.
b. Senyawa–senyawa yang bersifat non–volatile dan merupakan unsur–
unsur oksida dalam magma. Karena jumlahnya yang mencapai 99%
maka unsur ini juga merupakan major element, terdiri dari oksida–oksida
SiO2, Al2O3, Fe2O3, FeO, MnO, MgO, CaO, Na2O, K2O, TiO2, dan P2O5.
c. Unsur–unsur lain yang disebut unsur jejak (trace element), seperti
Rubidium (Rb), Barium (Ba), Stronsium (Sr), Nickel (Ni), Cobalt (Co),
Vanadium (V), Croom (Cr), Lithium (Li), Sulphur (S), dan Plumbum (Pb).
Unsur–unsur jejak ini bukan sebagai unsur oksida dan tidak dapat
digunakan sebagai dasar penggolongan magma. Unsur ini digunakan
dalam penentuan genesa magma, misalnya komposisi Sr dan Pb, dalam
basal samudera mencirikan asalnya dari selubung bumi. Gejala
pelelehan sepihak (partial melting) akan mengkonsentrasikan isotop Sr87
dan Rb87 sedangkan pelelahan selubung yang menghasilkan magma
primer basaltik di samudera ditunjukkan oleh perbandingan Sr87/Sr86 >
0,704 dan Pb206/Pb204 < 18,6. Lava basaltik dari lantai samudera akan
memiliki nilai perbandingan K/Rb tinggi (Charmichael, 1974 dalam
Alzwar dkk., 1988), sedangkan basal benua tersusun atas Ni, Cr, dan Co
yang lebih rendah dari yang dikandung tholeiitic samudera (Pingwood,
1975 dalam Alzwar dkk., 1988). Unsur jejak (trace element) yang
umumnya digunakan adalah elemen LILE (Large Ion Lithophile
32
Elements) dan HFSE (High Field Strength Elements). Unsur yang
termasuk LILE yaitu, Cs, Rb, K, Ba, Sr, dan Pb. Sifat unsur ini memiliki
ukuran atom yang lebih besar, umumnya berupa fluida mobile sehingga
cenderung tidak akurat (incompatible), dan karena rentan akan
pelapukan sehingga butuh ketelitian dalam penggunaan unsur sebagai
indikator petrogenesa. Unsur yang termasuk HFSE yaitu, Sc, Y, Th, U,
Pb, Zr, Hf, Ti, Nb, dan Ta. Sifat unsur ini umumnya berupa fluida
immobile sehingga cenderung tidak akurat (incompatible), kecuali dalam
beberapa fase tertentu, dan rentan pelapukan serta merupakan salah
satu indikator yang baik dalam petrogenesa.
d. REE (Rare Earth Element) atau unsur bumi yang jarang. Unsur ini terbagi
dalam 15 grup yaitu La, Ce, Pr, Nd, Pm, Sm, Eu, Gd, Tb, Dy, Ho, Er, Tm,
Yb, dan Lu dengan nomor atom dari 57 (La) sampai 71 (Lu). Unsur yang
mempunyai nomor atom yang kecil secara umum dikenal dengan
sebutan light REE (REE ringan) sedangkan yang mempunyai nomor
atom besar dikenal secara umum sebagai heavy REE (REE berat),
begitupula yang mempunyai nomor atom sedang dikenal sebagai middle
REE (REE sedang). REE adalah salah satu yang digunakan dalam studi
petrogenesa bagi batuan beku (Rollinson, 1993).
Tabel data geokimia batuan beku, metamorf, atau sedimen awalnya
akan memperlihatkan variasi yang tidak sesuai pada konsentrasi individu
dari setiap unsur penyusunnya. Parameter yang biasa digunakan dan telah
33
terbukti akurat digunakan pada uji geokimia adalah diagram variasi.
Diagram variasi adalah bivariate graph atau scattergram yang
menggunakan dua variabel terpilih. Diagram ini dipopulerkan pada tahun
1909 oleh Alfred Harker dalam bukunya “Natural History of Igneous Rocks”.
Salah satu tipe diagram variasi berupa kombinasi plotting senyawa SiO2
pada sumbu-x dan senyawa oksida lainnya pada sumbu-y yang dikenal
sebagai diagram Harker (Rollinson, 1993).
Kristalisasi fraksional adalah proses utama pada sebagian besar
evolusi batuan beku dan secara berulang menjadi penyebab kenampakan
arah utama pada diagram variasi. Kristalisasi fraksional ditandai dengan
kehadiran fenokris. Pentingnya kristalisasi fraksional dikemukakan oleh
Bowen pada tahun 1928 dalam bukunya “The Evolution of Igneous Rocks”.
Bowen berpendapat bahwa kecenderungan geokimia batuan vulkanik
mewakili liquid line (Rollinson, 1993). Pola diambil dari cairan sisa selama
evolusi diferensiasi mineral magma. Ide Bowen ini harus diklarifikasi sesuai
dengan penemuan modern (Rollinson, 1993), yaitu:
1. Adanya partial melting (pelelehan separuh).
2. Pola cairan hanya ditunjukkan oleh batuan vulkanik yang miskin fenokris.
3. Satuan batuan vulkanik jarang memperlihatkan perubahan kimia erupsi
sesuai sekuen waktu.
Jika komposisi fenokris tidak bisa dijelaskan pada satu seri batuan
dan model kristalisasi fraksional tidak terlihat, maka diinstruksikan untuk
34
mempertimbangkan simultan asimilasi dari batuan asal dan kristalisasi
fraksional. Proses ini kadang dihubungkan dengan AFC dan pertama kali
dicanangkan oleh Bowen pada tahun 1982, yang beralasan bahwa panas
kristalisasi selama kristalisasi fraksinasi dapat menghasilkan sebuah energi
untuk melelehkan batuan asal (Rollinson, 1993).
Peleburan fraksional akan memperlihatkan kecenderungan digram
variasi yang dikontrol oleh sifat kimia fase solid pada peleburan. Tetapi,
akan sangat sulit untuk membedakan kecenderungan kristalisasi fraksinasi
pada digram variasi unsur utama. Pada kedua proses yang mewakili
keseimbangan kristal liquid melibatkan hampir semua cairan yang
teridentifikasi dan kristal yang telah teridentifikasi. Suatu situasi pada partial
melting dan fraksinasi kristalisasi dapat dibedakan jika kedua proses berada
pada kondisi fisik yang berbeda. Sebagai contoh, jika partial melting berada
pada kedalaman paling bawah di mantel bumi dan kristalisasi fraksinasi
pada fenomena di lempeng bumi, maka fase yang terlibat pada peleburan
akan berbeda dengan fase pada kristalisasi fraksinasi (Rollinson, 1993).
Klasifikasi magma berdasarkan kandungan unsur–unsurnya, yaitu :
1. Berdasarkan kandungan oksidanya
35
Tabel 2. Klasifikasi magma berdasarkan kandungan major element (Alzwar dkk., 1988).
Major element Magma Asam (%) Magma Basa (%)
SiO2 65-75 45-58
Al2O3 12-16 13-17
Fe2O3 4-8 9-14
FeO
MgO 4-6 5-8
CaO
Na2O 6-9 3-5
K2O
P2O5 0,02-0,54 0,15-0,53
MnO < 0,19 0,12-0,19
TiO2 0,15-1,2 1,3-3,1
2. Berdasarkan derajat keasaman (acidity) atau kandungan SiO2
Tabel 3 Klasifikasi magma berdasarkan kandungan SiO2 (%) atau derajat keasaman (Alzwar dkk., 1988)
Nama Batuan Kandungan Silika
Batuan Asam >66% Batuan Intermediet 52-66%
Batuan Basa 45-52% Batuan Ultrabasa <15%
Hasil analisis kimia batuan beku vulkanik menunjukkan bahwa
kandungan rata–rata SiO2 adalah antara 35 – 75%, Al2O3 sekitar 12 – 18%.
Fe, Fe2O3, MgO, dan CaO pada batuan beku yang berkadar SiO2 rendah
berkisar antara 20 – 30%. Sedang pada batuan yang kadar SiO2–nya tinggi
hanya sekitar 5%. Pada batuan beku, Na2O umumnya berkisar antara 2,5
– 4% dan K2O antara 0,5 – 5%. Kandungan Na2O yang lebih dari 8% dan
K2O 6% hanya dijumpai pada batuan yang bersifat alkalin (Carmichael,
1974 dalam Alzwar dkk., 1988). Pembagian seri magma pada batuan beku
36
didasarkan pada persentase kandungan kimia K2O dan SiO2 (Peccerillo
dan Taylor, 1976 dalam Rollinson, 1993). Klasifikasi ini kemudian membagi
menjadi tiga seri magma, yaitu seri shoshonite, calc – alkaline (High K &
Medium K), dan seri thoeliite (Low K). Secara umum seri calc–alkaline
hanya terdapat pada daerah konvergen sedangkan seri tholeiitic terdapat
pada daerah konvergen ataupun divergen, adapun seri shoshonite adalah
magma tipe peralihan.
Gambar 10 Klasifikasi afinitas magma berdasarkan perbandingan K2O dan SiO2 (Peccerillo dan Taylor, 1976 dalam Rollinson, 1993).
Berdasarkan hasil analisis kimia, batuan beku vulkanik menunjukkan
kandungan rata–rata SiO2 adalah antara 35 – 75%, Al2O3 sekitar 12 – 18%
(pada kebanyakan batuan beku) dan mencapai 20% pada batuan
intermediet yang mempunyai kandungan SiO2 sekitar 45%. Fe, Fe2O3,
MgO, dan CaO pada batuan beku berkadar SiO2 rendah berkisar antara 20
37
– 30%, sedangkan pada batuan yang kadar SiO2–nya tinggi hanya sekitar
5%. Na2O umumnya berkisar antara 2,5% – 4% dan K2O antara 0,5 – 5%.
Kandungan Na2O yang lebih dari 8% dan K2O 6% (jarang yang mencapai
10%) hanya dijumpai batuan beku yang bersifat alkalin (Carmichael, 1974
dalam Alzwar dkk., 1988).
Tabel 4 Persentase kandungan oksida dari beberapa batuan beku vulkanik (Carmichael, 1974 dalam Alzwar dkk., 1988).
Unsur Non-volatile/Oksida
Riolit Dasit Andesit Basal Fonolit
SiO2 73,66 63,58 54,20 50,83 56,90
TiO2 0,22 0,64 1,31 2,03 0,59
Al2O3 13,45 16,67 17,17 14,07 20,17
Fe2O3 1,25 2,24 3,48 2,88 2,26
FeO 0,75 3,00 5,49 9,05 1,85
MnO 0,03 0,11 0,15 0,18 0,19
MgO 0,32 2,12 4,36 6,34 0,58
CaO 1,13 5,35 7,92 10,42 1,88
Na2O 2,99 3,98 3,67 2,23 8,72
K2O 5,35 1,40 1,11 0,82 5,42
P2O5 0,07 0,17 0,28 0,23 0,17
H2O 0,78 0,56 0,86 0,91 0,96
Total (%) 100 100 100 100 100
Klasifikasi batuan beku berdasarkan kandungan kimianya adalah
sebagai berikut :
1. Klasifikasi batuan beku berdasarkan major element yaitu perbandingan
jumlah (%) Na2O + K2O dengan silika (SiO2) oleh Cox et al. (1979).
38
Gambar 11 Klasisfikasi batuan beku vulkanik (Cox et al., 1979).
2. Klasifikasi batuan beku vulkanik berdasarkan major element yaitu
perbandingan jumlah (%) Na2O + K2O dengan silika (SiO2) oleh Le Bas et
al. (1986) yang diadaptasi oleh Rollinson (1993).
Gambar 12 Klasifikasi batuan beku vulkanik (Le Bas et al., 1986 dalam Rollinson, 1993).
39
Kelebihan klasifikasi ini antara lain (Rollinson, 1993) :
a. Dalam klasifikasi di atas menggunakan seluruh major element.
b. Klasifikasi ini cukup untuk diaplikasikan kepada semua jenis batuan
beku.
c. Komposisi mineral juga dapat diplot dalam diagram klasifikasi
sehingga kita dapat membandingkan antara data kimia dan modal.
d. Derajat kejenuhan silika dan perubahan komposisi feldspar dapat
terlihat.
3. Klasifikasi lingkungan tektonik berdasarkan kandungan kimianya
Lingkungan tektonik dapat diketahui dengan melihat komposisi kimia
batuannya dengan Klasifikasi lingkungan tektonik menurut Wood (1980)
yang diadaptasi oleh Rollinson (1993) dengan menggunakan trace
element/HFSE (immobile) berupa perbandingan unsur Th-Hf-Ta.
Penggunaan unsur HFSE (High Field Strength Elements) pada klasifikasi ini
dikarenakan sifat dari unsur ini umumnya berupa fluida immobile sehingga
cenderung akurat (compatible), namun dalam beberapa fase tertentu, dan
rentan pelapukan serta merupakan salah satu indikator yang baik dalam
petrogenesa. Klasifikasi ini secara umum membagi empat jenis lingkungan
tektonik yaitu;
1. N-MORB (Mid Ocean Ridge Basalt)
2. E-MORB (Mid Ocean Ridge Basalt) dan WPT (Within Plate Thoeliite)
40
3. WPA (Within Plate Alkaline)
4. IAT (Island Arc Thoeliite) dan CAB (Island Arc Calc-Alkaline Basalt)
Gambar 13 Klasifikasi lingkungan tektonik Th-Hf-Ta (Wood, 1980 dalam Rollinson, 1993).
2. Batuan Vulkanik
a. Pengertian Batuan Vulkanik
Batuan beku vulkanik adalah batuan yang terbentuk sebagai hasil
dari kegiatan gunung api. Kegiatan gunung api diartikan sebagai proses
keluarnya magma dari dalam bumi kepermukaan. Batuan beku vulkanik
41
dapat dikenal melalui dari tekstur, struktur dan komposisi mineral. Tekstur
batuan vulkanik memberikan informasi mengenai proses pembekuan
magma dan struktur batuan vulkanik mencirikan batuan tersebut intrusi atau
ekstrusi, sedangkan komposisi mineral pada batuan beku vulkanik
berkaitan dengan warna batuan dan asal magma batuan. (Mulyaningsih,
2013).
Didasarkan atas komposisi materialnya, endapan piroklastika terdiri
dari tefra (pumis dan abu gunung api, skoria, Pele’s tears dan Pele’s hair,
bom dan blok gunung api, accretionary lapilli, breksi vulkanik dan fragmen
litik), endapan jatuhan piroklastika, endapan aliran piroklastika, tuf
terelaskan dan endapan seruakan piroklastika. Aliran piroklastika
merupakan debris terdispersi dengan komponen utama gas dan material
padat berkonsentrasi partikel tinggi. Mekanisme transportasi dan
pengendapannya dikontrol oleh gaya gravitasi bumi, suhu dan kecepatan
fluidisasinya. Material piroklastika dapat berasal dari guguran kubah lava,
kolom letusan, dan guguran onggokan material dalam kubah (Fisher, 1984).
Material yang berasal dari tubuh kolom letusan terbentuk dari proses
fragmentasi magma dan batuan dinding saat letusan. Dalam endapan
piroklastika, baik jatuhan, aliran maupun seruakan; material yang
menyusunnya dapat berasal dari batuan dinding, magmanya sendiri,
batuan kubah lava dan material yang ikut terbawa saat tertransportasi.
42
Batuan gunung api yang keluar dengan jalan efusif mengahasilkan
aliran lava, sedangkan yang keluar dengan jalan eksplosif menghasilkan
batuan fragmental (rempah gunung api).
Menurut Pettijohn (1975), endapan gunung api fragmental bertekstur
halus dapat dikelompokkan dalam tiga kelas yaitu vitric tuff, lithic tuff dan
chrystal tuff. Menurut Fisher (1966), endapan gunung api fragmental
tersebut dapat dikelompokkan ke dalam lima kelas didasarkan atas ukuran
dan bentuk butir batuan penyusunnya. (Gambar 14) adalah klasifikasi
batuan vulkanik menurut keduanya.
Gambar 14 Klasifikasi batuan gunung api fragmental menurut Pettijohn
(1975; kiri) dan Fisher (1966; kanan)
43
b. Siklus Batuan dan Pembentukan Batuan Beku Vulkanik
Gambar 15 Siklus batuan (Noor, 2009).
(Gambar 15) merupakan gambar siklus dari batuan, dalam siklus
tersebut, batuan beku terbentuk sebagai akibat dari pendinginan dan
pembekuan magma. Pendinginan magma yang berupa pelelehan silikat,
akan diikuti oleh proses penghabluran (perubahan wujud zat, dari gas
menjadi padat) yang dapat berlangsung dibawah atau diatas permukaan
bumi melalui erupsi gunung berapi. Kelompok batuan beku tersebut,
apabila kemudian tersingkap dipermukaan, maka ia akan bersentuhan
dengan atmosfir dan hidrosfir, yang menyebabkan berlangsungnya proses
pelapukan (Noor, 2009).
44
Melalui proses ini batuan akan mengalami penghancuran.
Selanjutnya, batuan yang telah dihancurkan ini akan berpindah dari
tempatnya terkumpul karena adanya gaya berat yang dibantu dengan
adanya air yang mengalir diatas dan dibawah permukaan, angin yang
bertiup, gelombang dipantai dan gletser dipegunungan-pegunungan yang
tinggi. Media pengangkut tersebut juga dikenal sebagai alat pengikis, yang
dalam prosesnya berupaya untuk meratakan permukaan bumi. Bahan-
bahan yang diangkutnya baik itu berupa fragmenfragmen atau bahan yang
larut, kemudian akan diendapkan ditempat-tempat tertentu sebagai
sedimen (Noor, 2009).
Proses berikutnya adalah terjadinya ubahan dari sedimen yang
bersifat lepas, menjadi batuan yang keras, melalui pembebanan dan
perekatan oleh senyawa mineral dalam larutan, dan kemudian disebut
batuan sedimen. Apabila terhadap batuan sedimen ini terjadi peningkatan
tekanan dan suhu sebagai akibat dari penimbunan dan atau terlibat dalam
proses pembentukan pegunungan, maka batuan sedimen tersebut akan
mengalami ubahan untuk menyesuaikan dengan lingkungan yang baru,
dan terbentuk batuan malihan atau batuan metamorfis. Apabila batuan
metamorfis ini masih mengalami peningkatan tekanan dan suhu, maka ia
akan kembali leleh dan berubah menjadi magma.
Arah panah pada gambar menunjukan bahwa jalannya siklus dapat
terganggu dengan adanya jalan-jalan pintas yang dapat ditempuh, seperti
45
dari batuan beku menjadi batuan metamorfis, atau batuan metamorfis
menjadi sedimen tanpa melalui pembentukan magma dan batuan beku.
Batuan sedimen dilain pihak dapat kembali menjadi sedimen akibat
tersingkap ke permukaan dan mengalami proses pelapukan (Noor, 2009).
c. Proses Pengkristalan Batuan Beku Vulkanik
Pada tahun 1922, Novan Levi Bowen mengemukakan sebuah teori
mengenai proses urutan pengkristalan magma atau yang biasa disebut
“deret bowen”. Beliau mengemukakan bahwa deret bowen menjelaskan
bagaimana proses pembentukan mineral, khususnya mineral pada batuan
beku, yaitu mineral yang mengandung silikat yang kemudian mengkrsital
langsung dari magma berdasarkan penurunan temperatur. Riset ini
dilakukan dengan cara mengambil sampel magma cair dan
memasukkannya ke dalam suatu alat yang fungsinya memberi tekanan dan
suhu yang dianggap sama dengan keadaan di bumi. Dengan berjalannya
waktu serta dengan diturunkannya suhu dan tekanannya dengan
perumpamaan seperti penurunan magma itu seperti magma yang sudah
keluar ke permukaan bumi, maka didapat suatu hasil dari eksperimen ini
yaitu ternyata magma itu mulai membeku dan terus berubah membentuk
suatu urutan mineral. Sehingga dari riset ini dibuatlah deret bowen yang
sampai sekarang digunakan tabel untuk menjelaskan tentang urutan
pembekuan magma. Mineral silikat merupakan mineral utama pembentuk
batuan atau juga disebut RFM (Rock Forming Mineral). Unsur-unsur
46
utamanya adalah O (oksigen), Si (silikat), Al (aluminium), Fe (besi), Ca
(Kalsium), Na (natrium), K (kalium) dan Mg (magnesium). Sehingga batuan
beku adalah batuan yang terbentuk langsung dari magma melalui proses
pengkristalan magma.
Dalam deret bowen terdapat dua deret pembentukan mineral-
mineral ini dari yang terbentuk pada suhu tinggi yang bersifat ultrabasa
hingga ke bawah menjadi mineral asam, yaitu deret kontinyu dan deret
diskontinyu. Derek kontinyu digambarkan pada reaksi pada bagian kanan
deret reaksi bowen dan deret diskontinyu pada bagian kiri deret reaksi
bowen. Deret kontinyu menggambarkan pembentukan feldspar plagioklas
yang dimulai dari anorthite yang kaya akan Ca (kalsium) menjadi Oligoklas
yang kaya akan Na (natrium). Disebut deret kontinyu karena pembentukan
mineral yang satu dengan mineral yang lain dalam satu deret memiliki
hubungan yang dekat. Pada deret diskontinyu menggambarkan
pembentukan mineral-mineral seperti olivine, piroksen, amfibol dan biotit.
Disebut deret diskontinyu dikarenakan tidak terdapat hubungan dalam
pembentukan mineral-mineral ini. Akan tapi kedua deret ini bertemu pada
satu titik dimana dalam deret ini membentuk huruf seperti (Y). Kedua deret
ini bertemu pada pembentukan K-Feldspar, kemudian berlanjut ke
pembentukan muscovite, dan kuarsa. Susunan deret bowen ditunjukkan
pada (Gambar 16).
47
Gambar 16 Bowen Reaction Series (Noor, 2009)
3. Batuan Metamorf
a. Pengertian Batuan Metamorf
Kata “metamorfosa” berasal dari bahasa Yunani, yaitu
“metamorphism” dimana “meta” yang artinya “berubah” dan “morph” yang
artinya “bentuk”. Dengan demikian pengertian “metamorfosa” dalam
geologi adalah merujuk pada perubahan dari kelompok mineral dan tekstur
batuan yang terjadi dalam suatu batuan yang mengalami tekanan dan
48
temperatur yang berbeda dengan tekanan dan temperatur saat batuan
tersebut pertama kalinya terbentuk. Sebagai catatan bahwa istilah
“diagenesa” juga mengandung arti perubahan yang terjadi pada batuan
sedimen. Hanya saja proses diagenesa terjadi pada temperatur dibawah
200°C dan tekanan dibawah 300 MPa (MPa = Mega Pascal) atau setara
dengan tekanan sebesar 3000 atmosfir, sedangkan “metamorofsa” terjadi
pada temperatur dan tekanan diatas “diagenesa”. Batuan yang dapat
mengalami tekanan dan temperatur diatas 300 Mpa dan 200°C umumnya
berada pada kedalaman tertentu dan biasanya berasosiasi dengan proses
tektonik, terutama di daerah tumbukan lempeng atau zona subduksi. Batas
atas antara proses metamorfosa dan pelelehan batuan masih menjadi
pertanyaan hingga saat ini. Sekali batuan mulai mencair, maka proses
perubahan merupakan proses pembentukan batuan beku.
Batuan metamorf adalah batuan yang terbentuk dari batuan asal
(batuan beku, sedimen, metamorf) yang mengalami perubahan
Temperatur(T) dan Tekanan(P) secara bersamaan yang berakibat pada
pembentukan mineral-mineral baru dan tekstur batuan yang baru (Noor,
2012).
b. Tipe Metamorfosa
1. Metamorfosa Kataklastik adalah metamorfosa yang diakibatkan oleh
deformasi mekanis, seperti yang terjadi pada dua blok batuan yang
mengalami pergeseran satu dan lainnya disepajang suatu zona sesar /
49
patahan. Panas yang ditimbulkan oleh gesekan yang terjadi disepanjang
zona patahan inilah yang mengakibatkan batuan tergerus dan
termetamorfosokan disepanjang zona ini. Metamorfosa kataklastik
jarang dijumpai dan biasanya menyebaran terbatas hanya disepanjang
zona sesar.
2. Metamorfosa Burial adalah metamorfosa yang terjadi apabila batuan
sedimen yang berada pada kedalaman tertentu dengan temperaturnya
diatas 300°C serta absennya tekanan diferensial. Pada kondisi tersebut
maka mineral-mineral baru akan berkembang, akan tetapi batuan
tampak seperti tidak mengalami metamorfosa. Mineral utama yang
dihasilkan dalam kondisi tersebut adalah mineral zeolite. Metamorfosa
burial umumnya saling overlap dengan diagenesa dan akan berubah
menjadi metamorfosa regional seiring dengan meningkatnya tekanan
dan temperatur.
3. Metamorfosa Kontak adalah metamorfosa yang terjadi didekat intrusi
batuan beku dan merupakan hasil dari kenaikan temperatur yang tinggi
dan berhubungan dengan intrusi batuan beku. Metamorfosa kontak
hanya terjadi disekeliling intrusi yang terpanaskan oleh magma dan
bagian kontak ini dikenal sebagai “aureole metamorphic”. Derajat
metamorfosa akan meningkat kesegala arah kearah luar dari tubuh
intrusi. Metamorfosa kontak biasanya dikenal sebagai metamorfosa yang
bertekanan rendah dan temperatur tinggi dan batuan yang dihasilkan
50
seringkali batuan berbutir halus tanpa foliasi dan dikenal sebagai
hornfels.
4. Metamorfosa Regional adalah metamorfosa yang terjadi pada wilayah
yang sangat luas dimana tingkat deformasi yang tinggi dibawah tekanan
diferensial. Metamorfosa jenis ini biasanya akan menghasilkan batuan
metamorf dengan tingkat foliasi yang sangat kuat, seperti Slate, Schists,
dan Gneisses. Tekanan diferensial berasal dari gaya tektonik yang
berakibat batuan mengalami tekanan (kompresi), dan tekanan ini
umumnya berasal dari dua masa benua yang saling bertumbukan satu
dengan lainnya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa batuan
metamorfosa regional terjadi pada inti dari rangkaian pegunungan atau
pegunungan yang mengalami erosi. Hasil dari tekanan kompresi pada
batuan yang terlipat dan adanya penebalan kerak dapat mendorong
batuan kearah bagian bawah sehingga menjadi lebih dalam yang
memiliki tekanan dan temperatur lebih tinggi.
c. Derajat Metamorfosa
Berdasarkan tekanan dan temperatur yang berada diatas kondisi
diagenesa, maka ada 3 tingkat derajat metamorfosa yang dapat dikenal,
yaitu derajat metomorfosa rendah, sedang dan tinggi. Adapun batas antara
metamorfosa dan peleburan sangat dipengaruhi oleh jenis batuan dan
jumlah air yang terdapat dalam batuan. Pada (Gambar 17-18) diperlihatkan
hubungan antara Tekanan (P), Temperatur (T), Kedalaman (D) dan
51
Tipe/Jenis Metamorfosa. Metamorfosa Burial dicirikan oleh tekanan,
temperatur, yang rendah dan kedalaman yang relatif dangkal. Tipe
metamorfosa akan meningkat seiring dengan meningkatnya tekanan,
temperatur, dan kedalaman, yaitu dari Burial Metamorfosa berubah menjadi
Metamorfosa Regional Derajat Rendah dan kemudian dengan semakin
meningkatnya tekanan, temperatur dan kedalaman Metamorfosa Regional
Derajat Rendah dapat berubah menjadi Metamorfosa Regional Derajat
Tinggi, sedangkan pada kedalaman (D > 20 km), Tekanan (P > 7 kilobars),
dan Temperatur (T > 700°C ) batuan akan mengalami peleburan (mencair)
menjadi magma.
Gambar 17 Hubungan antara Tekanan (P), Temperatur (T), Kedalaman (D) dan Derajat Metamorfosa (Noor, 2014)
Kecepatan dimana suatu batuan akan mengalami perubahan dari
sekumpulan mineral-mineralnya untuk mencapai keseimbangan pada
52
kondisi tekanan dan temperatur yang baru tergantung pada 3 (tiga) faktor,
yaitu:
1. Kandungan fluida (terutama air) yang ada dalam batuan. Air yang ada
dalam batuan berfungsi sebagai katalisator dalam mentransformasi
mineral-mineral yang terdapat dalam batuan.
2. Temperatur, reaksi kimia akan terjadi lebih cepat pada temperatur yang
lebih tinggi.
3. Waktu, untuk dapat tumbuhnya kelompok mineral mineral metamorfik
yang baru pada suatu batuan sangat dipengaruhi oleh tekanan dan
temperatur yang bekerja terhadap batuan tersebut, oleh karena itu
batuan tersebut harus mendapat tekanan dan temperatur yang cukup
lama (umumnya ribuan hingga jutaan tahun).
Perubahan yang terjadi didalam kelompok mineral mencerminkan
suatu peningkatan dalam derajat metamorfosa (contoh, burial sedimentary
atau penebalan kerak akibat tektonik) yang dikenal dengan “prograde
metamorphism”. Perubahan yang disebabkan oleh suatu penurunan dalam
derajat metamorfosa (contoh, adanya pengangkatan tektonik dan erosi)
dikenal dengan “retrograde”. Perubahan dalam kelompok mineral pada
suatu batuan metamorf didorong oleh komponen-komponen kimiawinya
untuk mencapai konfigurasi energi yang terendah pada kondisi tekanan dan
temperatur yang ada. Jenis jenis mineral yang terbentuk tergantung tidak
saja pada T dan P tetapi juga pada komposisi mineral yang terdapat dalam
53
batuan. Apabila suatu tubuh batuan mengalami peningkatan tekanan dan
atau temperatur maka batuan tersebut berada dalam keadaan “prograde
metamorphism” atau batuan mengalami peningkatan derajat
metamorfosanya. Derajat metamorfosa adalah istilah yang umum yang
dipakai untuk menjelaskan kondisi tekanan dan temperatur dimana batuan
metamorf terbentuk.
Gambar 18 Hubungan antara Derajat Metamorfosa dengan Tekanan, Temperatur dan Kedalaman (Noor, 2014)
Metamorfosa derajat rendah terjadi pada temperatur antara 200° –
320°C dan tekanan yang relatif rendah. Batuan metamorf derajat rendah
dicirikan oleh berlimpahnya mineral-mineral hydrous, yaitu mineral-mineral
yang mengandung air (H2O) didalam struktur kristalnya). Contoh dari
mineral-mineral hydrous yang terdapat pada batuan-batuan metamorf
derajat rendah:
1. Mineral Lempung
2. Serpentine
3. Chlorite
54
Metamorfosa derajat tinggi terjadi pada temperatur lebih besar dari
320° C dan tekanan yang relatif tinggi. Seiring dengan meningkatnya
derajat metamorfosa, maka mineral-mineral hydrous akan semakin kurang
hydrous dikarenakan hilangnya unsur H2O dan mineral-mineral non-
hydrous menjadi bertambah banyak. Contoh mineral-mineral yang kurang
hydrous dan mineral-mineral non-hydrous yang mencirikan batuan
metamorfosa derajat tinggi adalah:
1. Muscovite - mineral hydrous yang akan menghilang pada
metamorfosa derajat tinggi
2. Biotite - mineral hydrous yang stabil pada meskipun pada
metamorfosa derajat tinggi sekalipun.
3. Pyroxene - mineral non-hydrous
4. Garnet - mineral non-hydrous
4. Hidrothermal, Sistem Hidrothermal, dan Alterasi
Hidrothermal adalah larutan sisa magma yang bersifat “aqueous”
sebagai hasil differensiasi magma. Hidrothermal ini kaya akan logam-logam
yang relative ringan, dan merupakan sumber terbesar (90%) dari proses
pembentukan endapan. Berdasarkan cara pembentukan endapan, dikenal
dua macam endapan hidrothermal, yaitu :
1. Cavity filing, mengisi lubang-lubang (opening-opening) yang sudah ada
di dalam batuan.
55
2. Metasomatisme, mengganti unsur-unsur yang telah ada dalam batuan
dengan unsur-unsur baru dari larutan hidrothermal.
Sistem hidrotermal didefinisikan sebagai sirkulasi fluida panas (50° –
>500°C), secara lateral dan vertikal pada temperatur dan tekanan yang
bervariasi di bawah permukaan bumi. Sistem ini mengandung dua
komponen utama, yaitu sumber panas dan fase fluida. Sirkulasi fluida
hidrotermal menyebabkan himpunan mineral pada batuan dinding menjadi
tidak stabil dan cenderung menyesuaikan kesetimbangan baru dengan
membentuk himpunan mineral yang sesuai dengan kondisi yang baru, yang
dikenal sebagai alterasi (ubahan) hidrotermal. Endapan mineral hidrotermal
dapat terbentuk karena sirkulasi fluida hidrotermal yang melindi (leaching),
mentranspor, dan mengendapkan mineral-mineral baru sebagai respon
terhadap perubahan fisik maupun kimiawi (Pirajno, 1992, dalam Sutarto,
2004).
Alterasi merupakan perubahan komposisi mineralogi batuan (dalam
keadaan padat) karena adanya pengaruh Suhu dan Tekanan yang tinggi
dan tidak dalam kondisi isokimia menghasilkan mineral lempung, kuarsa,
oksida atau sulfida logam. Proses alterasi merupakan peristiwa sekunder,
berbeda dengan metamorfisme yang merupakan peristiwa primer. Alterasi
terjadi pada intrusi batuan beku yang mengalami pemanasan dan pada
struktur tertentu yang memungkinkan masuknya air meteorik (meteoric
water) untuk dapat mengubah komposisi mineralogi batuan.
56
Alterasi hidrotermal adalah suatu proses yang sangat kompleks yang
melibatkan perubahan mineralogi, kimiawi, dan tekstur yang disebabkan
oleh interaksi fluida panas dengan batuan yang dilaluinya, di bawah kondisi
evolusi fisio-kimia. Proses alterasi merupakan suatu bentuk
metasomatisme, yaitu pertukaran komponen kimiawi antara cairan-cairan
dengan batuan dinding (Pirajno, 1992).
Interaksi antara fluida hidrotermal dengan batuan yang dilewatinya
(batuan dinding), akan menyebabkan terubahnya mineral-mineral primer
menjadi mineral ubahan (mineral alterasi), maupun fluida itu sendiri
(Pirajno, 1992, dalam Sutarto, 2004).
Alterasi hidrotermal akan bergantung pada :
1. Karakter batuan dinding.
2. Karakter fluida ( Eh, pH ).
3. Kondisi tekanan dan temperatur pada saat reaksi berlangsung ( Guilbert
dan Park, 1986, dalam Sutarto, 2004 ).
4. Konsentrasi.
5. Lama aktivitas hidrotermal ( Browne, 1991, dalam Sutarto, 2004 ).
Walaupun faktor-faktor di atas saling terkait, tetapi temperatur dan
kimia fluida kemungkinan merupakan faktor yang paling berpengaruh pada
proses alterasi hidrotermal (Corbett dan Leach, 1996, dalam Sutarto, 2004).
Henley dan Ellis (1983, dalam Sutarto, 2004), mempercayai bahwa alterasi
hidrotermal pada sistem epitermal tidak banyak bergantung pada komposisi
57
batuan dinding, akan tetapi lebih dikontrol oleh kelulusan batuan,
tempertatur, dan komposisi fluida.
Batuan dinding (wall rock/country rock) adalah batuan di sekitar
intrusi yang melingkupi urat, umumnya mengalami alterasi hidrotermal.
Derajat dan lamanya proses alterasi akan menyebabkan perbedaan
intensitas alterasi dan derajat alterasi (terkait dengan stabilitas
pembentukan). Stabilitas mineral primer yang mengalami alterasi sering
membentuk pola alterasi (style of alteration) pada batuan (Pirajno, 1992,
dalam Sutarto, 2004). Pada kesetimbangan tertentu, proses hidrotermal
akan menghasilkan kumpulan mineral tertentu yang dikenal sebagai
himpunan mineral (mineral assemblage) (Guilbert dan Park, 1986, dalam
Sutarto, 2004). Setiap himpunan mineral akan mencerminkan tipe alterasi
(type of alteration). Satu mineral dengan mineral tertentu seringkali dijumpai
bersama (asosiasi mineral), walaupun mempunyai tingkat stabilitas
pembentukan yang berbeda, sebagai contoh klorit sering berasosiasi
dengan piroksen atau biotit. Area yang memperlihatkan penyebaran
kesamaan himpunan mineral yang hadir dapat disatukan sebagai satu zona
alterasi. Host rock adalah batuan yang mengandung endapan bijih atau
suatu batuan yang dapat dilewati larutan, di mana suatu endapan bijih
terbentuk. Intrusi maupun batuan dinding dapat bertindak sebagai host
rock.
58
Gambar 19 Mineralogi alterasi di dalam sistem hidrotermal (Corbett dan
Leach, 1996)
59
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Rancangan Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan beberapa tahapan. Tahapan awal
dilakukan untuk mendapatkan informasi dan gambaran mengenai
keadaan geologi regional daerah penelitian. Tahap ini meliputi studi
literatur, latar belakang, rumusan masalah, maksud dan tujuan, batasan
penelitian dan administrasi.
Studi literatur dilakukan sebelum dan selama penelitian
berlangsung yang dimaksudkan untuk menentuan rancangan penelitian
serta persiapan yang menyangkut segala sesuatu yang dibutuhkan
selama pelakasanaannya. Tahapan ini meliputi studi tentang geologi
regional daerah penelitian, laporan atau jurnal dari peneliti terdahulu yang
mencakup daerah penelitian serta literatur-literatur geologi yang masih
berkaitan dengan batasan masalah penelitian.
Pada tahap kedua dilakukan pengambilan sampel di lapangan.
Lokasi pengambilan sampel dilakukan di daerah Kolaka Utara Provinsi
Sulawesi Tenggara. Pengambilan sampel dilakukan pada singkapan
batuan yang dijumpai di lapangan.
60
Tahap ketiga dilakukan analisis petrografi, mineragrafi dan
geokimia dari sampel yang telah diperoleh dari lapangan. Analisis
geokimia yaitu ICP-MS.
Tahapan keempat yaitu mengetahui pembentukan batuan vulkanik
pada daerah penelitian dan implikasinya terhadap mineralisasi sulfida.
Setelah itu ditarik kesimpulan dari hasil pembahasan. Tahapan ini juga
merupakan tahap pembuatan tesis.
B. Lokasi dan Kesampaian Daerah
Penelitian Mineralisasi sulfida pada batuan vulkanik didasarkan
pada karakteristik petrografi, mineragrafi dan geokimia, dilakukan pada
daerah Kolaka Utara, Provinsi Sulawesi Tenggara.
Secara administratif, daerah penelitian terletak di Kabupaten
Kolaka Utara yang berada di daratan tenggara Pulau Sulawesi dan secara
geografis terletak pada bagian barat. Kabupaten Kolaka Utara memanjang
dari utara ke selatan berada diantara 2°46'45"-3°50'50" Lintang Selatan
(LS) dan membentang dari barat ke timur diantara 120°41'16"-121°26'31"
Bujur Timur (BT) (Gambar 20). Daerah penelitan terpetakan dalam peta
Rupa Bumi Indonesia skala 1:50.000 Lembar Lasusua dengan nomor
lembar 2112 – 24. Terbitan Bakosurtanal edisi I tahun 1992, Cibinong -
Bogor.
Daerah penelitian dapat dijangkau melalui perjalanan darat, laut
dan udara. Perjalanan melalui laut yaitu dari Kota Makassar ke Bone
dengan waktu tempuh + 3 jam dengan jarak tempuh + 141 km dengan
61
menggunakan roda dua maupun roda empat, setelah itu menyebrang
dengan menggunakan kapal ferry dari pelabuhan di Bone menuju Kolaka
dengan mengggunakan waktu tempuh + 8 jam dengan jarak tempuh
+ 145 km. Perjalanan melalui udara yaitu dari Kota Makassar ke Kota
Kendari dengan waktu tempuh + 1 jam dengan jarak tempuh + 350 km
dengan menggunakan pesawat terbang. Setelah tiba di Kota Kendari
menuju ke Kota Kolaka dengan waktu tempuh + 4 jam dengan jarak
tempuh + 165 km. Lokasi penelitian dari Kota Kolaka dapat dijangkau
melalui jalur darat dengan menggunakan kendaraan beroda dua maupun
roda empat selama ± 3-4 Jam dengan jarak tempuh ± 85 km.
Gambar 20 Peta tunjuk lokasi penelitian Daerah Kolaka Utara Sulawesi Tenggara.
62
C. Alat dan Bahan
1. Alat
Peralatan yang digunakan saat pengambilan data di lapangan
antara lain, yaitu kompas geologi, palu geologi, GPS (Global Positioning
System) untuk plotting titik dan tracking lintasan pengamatan (navigasi
dan orientasi medan), loupe dengan pembesaran 20x, kamera digital, alat
tulis menulis, clipboard, dan ransel lapangan. Adapun alat yang akan
digunakan pada saat analisa laboratorium, pengolahan data dan
penyusunan laporan yaitu: laptop, ICP-MS, serta sayatan tipis untuk
pengamatan petgrografi.
2. Bahan
Bahan yang digunakan saat pengambilan data di lapangan antara
lain, yaitu peta topografi berskala 1:25.000 yang merupakan hasil
perbesaran dari Peta Rupa Bumi Lembar Lasusua skala 1:50.000 terbitan
Badan Informasi Geospasial tahun 2013, Peta geologi regional berskala
1:25.000 yang merupakan hasil perbesaran dari Peta Geologi Lembar
Lasusua-Kendari skala 1:250.000 terbitan Pusat Penelitian dan
Pengembangan Geologi tahun 1993, peta citra satelit daerah penelitian
dan sekitarnya, buku catatan lapangan, kantong sampel, larutan asam
klorida (HCl) 0,1M dan perlengkapan pribadi. Adapun bahan yang akan
digunakan pada saat analisa laboratorium, pengolahan data dan
penyusunan laporan yaitu sampel batuan dari lokasi penelitian, software
63
Garmin Mapsource ver.6.1, Global Mapper ver.19 dan ArcGIS ver.10.4.1
untuk digitasi peta.
D. Pengumpulan Data
Pengumpulan data adalah tahapan yang dilakukan untuk
mendapatkan data-data yang diperlukan untuk melakukan analisis yang
terdiri dari data primer dan data penunjang lainnya yang dianggap perlu
(sekunder).
Pengumpulan data primer dilakukan untuk mendapatkan data yang
berhubungan langsung dengan objek masalah yang akan dianalisis yaitu
pengamatan dan penentuan lokasi pengambilan sampel Batuan Vulkanik
di daerah penelitian dilakukan dengan menggunakan pendekatan
geomorfologi berdasarkan data citra satelit, peta topografi berskala
1:25.000 yang merupakan hasil perbesaran dari Peta Rupa Bumi Lembar
Lasusa skala 1:50.000 terbitan Badan Informasi Geospasial tahun 2013,
peta geologi berskala 1:25.000 yang merupakan hasil perbesaran dari
Peta Geologi Lembar Lasusua-Kendari skala 1:250.000 terbitan Pusat
Penelitian dan Pengembangan Geologi tahun 1993, serta dengan
menyesuaikan kondisi medan di lapangan yang kemudian dituangkan ke
dalam peta geomorfologi dan peta geologi daerah penelitian sebagai data
sekunder penelitian serta hasil yang telah ada dari penelitian terdahulu
berupa publikasi ilmiah.
Pengumpulan data lapangan dilakukan dengan pendekatan berupa
pengambilan data singkapan batuan vulkanik dan conto batuan vulkanik
64
baik yang masih segar, maupun batuan vulkanik yang sudah terubah
(altered) pada setiap lokasi yang representatif pada daerah lokasi
penelitian.
E. Teknik Pengambilan Data
Pengambilan sampel dilakukan langsung di lapangan. Pengambilan
sampel batuan dilakukan langsung di lapangan secara acak (Random) di
setiap titik singkapan batuan yang dijumpai di lapangan. Setiap singkapan
yang dijumpai dilapangan dilakukan pengambilan sampel, plotting lokasi,
foto dan pemberian label pada sampel.
Gambar 21 Peta Stasiun Pengambilan Sampel
65
F. Analisis Laboratorium
1. Analisis Petrografi
Dengan analisis petrogafi dimaksudkan untuk dapat melihat
komposisi mineral penyusun batuan dan untuk mengetahui jenis batuan
vulkanik pada daerah penelitian. Selain itu analisis petrografii juga
digunakan untuk menganalisis tekstur-tekstur alterasi tertentu seperti
tekstur penggantian (replacement) atau tekstur pengisian (fug filling).
Informasi tersebut sangat diperlukan untuk melakukan studi paragenesis
mineral. Pada analisis petrografi sampel dibuat menjadi sayatan tipis dan
di analisis di bawah mikroskop polarisasi. Preparasi sampel dilakukan di
Laboratorium Preparasi dan analisis petrografi dilakukan di Laboratorium
Mineral Optik Departemen Geologi Universitas Hasanuddin.
2. Analisis Mineragrafi
Analisis mineragrafi dimaksudkan untuk mengetahui jenis mineral
bijih, tekstur mineral bijih dan menentukan paragenesis endapan bijih
yang terjadi pada daerah penelitian. Pada analisis ini sampel dibuat
menjadi sayatan poles dan diamati dibawah mikroskop bijih. Preparasi
sampel untuk sayatan poles dilakukan di Laboratorium Preparasi dan
analisis mineragrafi dilakukan di Laboratorium Mineral Optik Departemen
Geologi Universitas Hasanuddin.
66
3. Analisis ICP-MS (inductively coupled plasma – mass
spectrometry)
Analisis ICP-MS digunakan untuk mengetahui unsur jarang atau
rare earth element (REE) dan trace element pada daerah penelitian.
Kegiatan analisis ini sepenuhnya dilakukan oleh PT. Intertek Utama
Services.
G. Pengolahan Data
Hasil pengolahan data pada daerah penelitian disajikan dalam
bentuk laporan dan hasil analisa laboratorium dengan menggunakan
rumus-rumus dan teori-teori yang telah ada, dengan menggunakan grafik
sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai pada penelitian ini, yaitu dari
hasil pengamatan secara petrografi, mineragrafi dan kimia, yang berkaitan
dengan proses alterasi dan mineralisasi hidrothermal yang terjadi pada
daerah penelitian.
H. Kompilasi Data dan Penyusunan Laporan
Hasil penelitian berupa analisis laboratorium maupun pengolahan
hasil dan interpolasi data lapangan (data primer dan data sekunder)
disusun menjadi sebuah laporan sesuai dengan format atau aturan
penulisan yang telah ditentukan dan disusun secara sistematis (Gambar
22).
67
Gambar 22 Diagram Alir Penelitian
Pengumpulan Data
Persiapan
Preparasi Sampel
Analisis Petrografi
(Thin Section)
o Studi Literatur o Administrasi o Perlengkapan Lapangan o Estimasi Biaya & Waktu
Data Primer Data Sekunder
Sampel Batuan
Metamorf Vulkanik
Analisis Laboratorium
Analisis Mineragrafi
(Polish Section)
Analisis Geokimia
(ICP-MS)
Struktur Geologi Stratigrafi Geologi Regional
Litologi Kedudukan Batuan Zona Alterasi
Pengolahan Data
1. Peta Geologi Daerah Penelitian
2. Peta Zona Alterasi Daerah Penelitian
3. Peta Stasiun dan Pengambilaan
Sampel
Pengolahan Data
1. Kedudukan batuan vulkanik terhadap batuan metamorf
2. Hubungan pembentukan batuan vulkanik dengan alterasi dan
mineralisasi hidrotermal pada batuan metamorf
3. Tipe alterasi dan mineralisasi hidrotermal
4. Model geologi tentatif alterasi dan mineralisasi hidrotermal
Kompilasi Data
Formasi Batuan Vulkanik pada Daerah
Kolaka Utara Sulawesi Tenggara serta
Implikasinya terhadap Mineralisasi Sulfida
KETERANGAN :
Tahap Persiapan
Data Primer
Data Sekunder
Penyusunan Tesis
68
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Litologi Daerah Penelitian
Pengelompokan dan penamaan satuan batuan pada daerah
penelitian didasarkan pada litostratigrafi tidak resmi, yang bersandikan
pada ciri litologi, dominasi batuan, keseragaman gejala litologi dan
hubungan stratigrafi antara batuan yang satu dengan batuan yang lain,
serta hubungan tektonik batuan, sehingga dapat disebandingkan baik
secara vertikal maupun lateral dan dapat dipetakan dalam sekala 1 : 25.000
(Sandi Stratigrafi Indonesia, 1996).
Di daerah penelitian dijumpai adanya satuan dasit terdiri atas batuan
beku vulkanik berupa dasit. Satuan ini menerobos satuan batuan metamorf,
satuan batugamping paleozoikum dan batuan ultramafik serta diperkirakan
berumur Miosen-Pliosen di daerah penelitian terjadi kegiatan magma yang
menghasilkan terobosan batuan dasit yang menerobos Batuan Metamorf
(White et al.,2014) (Gambar 23).
69
Gambar 23 Peta Geologi Daerah Penelitian (dimodifikasi dari
Rusmana dkk. 1993)
Berdasarkan hasil studi lapangan dan kompilasi Peta Geologi
Regional Lembar Lasusua dan Kendari (Rusmana, 1993), diketahui litologi
daerah penelitian secara umum disusun oleh Batuan Metamorf Kompleks
Mekongga (Pzm), Batuan Terobosan (PTR(g)), Formasi Tokala (TRJt),
Kompleks Ultramafik (Ku), dan Alluvial (Qa).
70
Gambar 24 Kolom Stratigrafi daerah penelitian (dimodifikasi dari
Rusmana dkk. 1993)
Litologi di daerah penelitian diketahui dengan menggunakan analisis
petrografi. Sampel batuan yang dijumpai pada daerah penelitian terdiri dari
batuan beku dan batuan metamorf. Sebanyak 14 sampel batuan yang
dilakukan analisis petrografi diketahui sebagai batuan beku Dasit (Travis,
1955), serta batuan metamorf terdiri dari atas Sekis Muskovit-Kursa, Sekis
Kuarsa-Muskovit (IUGS-SCMR, 2007) dapat dilihat hasil deksripsi
(Lampiran 1) Secara terperinci hasil dari analisis petrografi dijelaskan
dalam penjelasan berikut :
71
1. Dasit
Di daerah penelitian dijumpai batuan Trakit pada stasiun AGK 01,
AGK 04, AGK 05, AGK 06, AGK 07 dan AGK 14, kenampakan lapangan
(megaskopis) dari batuan dasit dalam keadaan segar berwarna abu-abu
dan coklat kehitaman dalam keadaan lapuk (Gambar 25).
Gambar 25 Kenampakan singkapan di daerah penelitian (a) batuan dasit
di stasiun AGK 06, dan (b) batuan dasit di stasiun AGK 14.
Dari hasil analisis petrografi yang telah dilakukan batuan beku ini
memiliki warna putih kecoklatan pada kenampakan nikol sejajar dan abu-
abu kehitaman pada kenampakan nikol silang, dengan tekstur kristalinitas
hipokristalin, granularitas faneroporfiritik, bentuk mineral euhedral-
anhedral, relasi inequigranular, tekstur khusus porfiritik, struktur masif,
ukuran mineral <0.02-3.94 mm, komposisi mineral terdiri dari plagioklas,
hornblende, ortoklas, biotit, kuarsa, mineral opak dan massa dasar berupa
kristalit plagioklas dan gelas (Gambar 26).
b a
72
Gambar 26 Fotomikrograf conto sayatan batuan AGK 14 dengan perbesaran 50x
2. Sekis Muskovit-Kuarsa
Batuan Sekis Muskovit-Kuarsa terdapat pada stasiun AGK 02, AGK
03, AGK 08, AGK 09, AGK 10, AGK 11, dan AGK 13. kenampakan
lapangan (megaskopis) dari batuan metamorf memiliki warna segar hijau
kecoklatan dan coklat kehitaman dalam keadaan lapuk (Gambar 27).
Gambar 27 Kenampakan singkapan batuan metamorf
Sekis Muskovit-Kuarsa di stasiun AGK 03 daerah Penelitian.
73
Dari hasil analisis petrografi yang telah dilakukan batuan metamorf
ini berwarna putih kecoklatan pada kenampakan nikol sejajar dan abu-abu
kehitaman pada kenampakan nikol silang. Bentuk mineral subhedral –
anhedral, tekstur lepidoblastik dan struktur schistose (foliasi) dengan
ukuran mineral 0,02 – 4,26 mm. Terdiri dari mineral kuarsa, muskovit,
epidot, klorit, kalsit, serisit dan mineral opak (Gambar 28).
Gambar 28 Fotomikrograf conto sayatan batuan AGK 03 dengan perbesaran 50x.
Umur dari batuan Sekis Muskovit-Kuarsa di daerah penelitian
mempunyai nilai kesebandingan dengan satuan Batuan Kompleks
Mekongga (Pzm). Berdasarkan hal tersebut, maka batuan Sekis Muskovit-
Kuarsa pada daerah Kolaka Utara disebandingkan dengan Batuan
Kompleks Mekongga (Pzm) Kompleks Mekongga tersebut diperkirakan
berumur Karbon sampai Perm dan mempunyai hubungan menjemari
dengan satuan pualam paleozoikum (Pzmm) (Rusmana dkk.,1993).
74
3. Sekis Kuarsa-Muskovit
Di daerah penelitian dijumpai batuan Sekis Kuarsa-Muskovit pada
stasiun AGK 12. Kenampakan lapangan (megaskopis) dari batuan
metamorf memiliki warna abu-abu kecoklatan dan coklat kehitaman dalam
keadaan lapuk.
Gambar 29 Kenampakan singkapan batuan metamorf Sekis Kuarsa-Muskovit di stasiun AGK 12 daerah penelitian.
Dari hasil analisis petrografi yang telah dilakukan batuan metamorf
ini berwarna putih kehijauan pada kenampakan nikol sejajar dan kuning
hingga coklat kehitaman pada kenampakan nikol silang. Bentuk mineral
euhedral – anhedral, tekstur lepidoblastik dan struktur schistose (folasi)
dengan ukuran mineral 0,02 – 2,78 mm. Terdiri dari mineral muskovit,
kuarsa sekunder, epidot, klorit, serisit, mineral opak dan mineral lempung,.
75
Gambar 30 Fotomikrograf conto sayatan batuan AGK 12 dengan perbesaran 50x.
B. Tipe Alterasi Hidrotermal
Tipe alterasi diidentifikasi berdasarkan pengamatan petrografi dari
lima sampel sayatan tipis batuan. Analisis alterasi dan mineral hidrotermal
berdasarkan pengamatan petrografi dilakukan pada sampel AGK 03, AGK
08, AGK 09, AGK 12. Tipe alterasi ditentukan berdasarkan mineral-mineral
penciri alterasi dan himpunan mineral alterasi yang hadir. Secara
keseluruhan dari semua sampel alterasi yang dapat diidentifikasi meliputi:
kuarsa, muskovit, epidote, dan mineral lempung. Berdasarkan himpunan
mineral alterasi ini dengan menggunakan klasifikasi dan terminology
alterasi hidrothermal (Thompson and Thompson, 1996; Hedenquist et
al.,1996, 2000), maka tipe alterasi mineralisasi hidrotermal di daerah Kolaka
Utara adalah tipe propilitik dan tipe argilik.
76
Tabel 5. Himpunan mineral, tipe, dan zona alterasi hidrothermal
No Sampel Himpunan Mineral Alterasi Tipe
Alterasi
1 AGK 03 Epidot, Klorit, Kuarsa Propilitik
2 AGK 08 Klorite, Muskovit, Kuarsa Propilitik
3 AGK 09 Kalsit, Serisit, Kuarsa Argilik
4 AGK 12 Kalsit, Serisit, Mineral lempung Argilik
*Sumber: Lab. Petrografi Teknik Geologi Unhas
1. Tipe Propilitik
Tipe alterasi propilitik dijumpai pada sampel AGK 03 dan AGK 08.
Mineral penciri alterasi propilitik berupa mineral klorit, epidote dan mineral
karbonat berupa kalsit (Klorit-Kalsit-Kuarsa). Selain mineral klorit dan kalsit
juga dijumpai mineral bijih berupa kalkopirit. Mineral klorit dan karbonat
menggantikan mineral-mineral plagioklas, hornblende dan biotit (Pirajno,
2009). Menurut Wang et, al (2016) mineral klorit pada proses alterasi
propilitik terbentuk pada suhu 145-2400. Mineral kalsit terbentuk pada suhu
135-2160 (Kettanah et. Al, 2016). Sedangkan, mineral pirit dan kalkopirit
terbentuk pada suhu 214-2920 (Xie et. al, 2017).
77
Gambar 31 Fotomikrograf sayatan batuan AGK 03 (a) dan sayatan batuan
AGK 08 (b) yang memperlihatkan mineral-mineral penciri alterasi propilitik berupa kalsit (Ca), epidot (Ep), kuarsa (Qtz) dan klorit (Chl).
Alterasi propilitik ditandai dengan adanya penambahan H20 dan CO2
tanpa proses metasomatisme yang besar. Kondisi pH fluida pembentuk
alterasi propilitik berkisar antara 5-6 (Henley, 1991). Alterasi propilitik
cenderung dekat dengan sistem hidrothermal atau dekat dengan sumber
fluida (Pirajno, 2009). Pada daerah penelitian alterasi propilitik dijumpai di
batuan Sekis Muskovit-Kuarsa.
2. Tipe Argilik
Tipe alterasi argilik dijumpai pada sampel AGK 09 dan AGK 12.
Mineral penciri alterasi argilik berupa mineral epidote, kalsit dan kuarsa
a a
b b
78
sekunder dengan mineral aksesoris berupa mineral serisit. Selain mineral
kalsit dan lempung juga dijumpai mineral sulfida berupa Kalkopirit dan
Sfalerit. Mineral lempung pada alterasi argilik menggantikan mineral
plagioklas, muskovit dan biotit.
Gambar 32 Fotomikrograf sayatan batuan AGK 09 (a) dan sayatan batuan
AGK 12 (b) yang memperlihatkan kehadiran mineral-mineral
penciri alterasi argilik berupa mineral kalsit (Ca), mineral
lempung (Cly), kuarsa (Qtz) dan klorit (Chl).
Mineral kalsit pada tipe alterasi argilik terbentuk disuhu 214-2450 (Xie
et. al, 2017) dan mineral lempung terbentuk pada suhu 214-2920 (Xie et. al,
2017). Sedangkan mineral sulfide berupa kalkopirit terbentuk pada suhu
255-3930 (Wang et. al, 2016). Alterasi argilik menurut Pirajno (2009)
terbentuk akibat proses metasomatisme unsur H+ dengan suhu antara 100-
3000C dengan pelindihan unsur-unsur alkali. Kondisi pH fluida pembentuk
79
alterasi argilik berkisar antara 5-6 (Corbett dan Leach, 1998). Pada daerah
penelitian tipe alterasi ini dijumpai pada batuan Sekis Kuarsa-Muskovit.
C. Mineral bijih
Analisis mineragrafi pada enam sampel yang mengalami
mineralisasi. Analisis ini dilakukan untuk mengidentifikasi mineral bijih yang
terdapat pada daerah penelitian. Secara mikroskopis mineral bijih yang
dijumpai yaitu pirit, kalkopirit, spalerit.
1. Kalkopirit
Kalkopirit (CuFeS2), Sayatan poles ini merupakan batuan metamorf
berupa batuan sekis, mineral ini dijumpai berbutir halus, >0,1 mm, berwarna
kuning terang, berbentuk subhedral sampai anhedral, tidak dijumpai
pleokroisme, anisotropik. Kenampakan pada sayatan poles ini
memperlihatkan kehadiran mineral kalkopirit. Mineral bijih yang dijumpai
(5%) dalam bentuk disseminated dalam batuan
Gambar 33 Fotomikrograf sayatan poles yang memperlihatkan kehadiran mineral kalkopirit (Cp)
80
2. Pirit
Pirit (FeS2), sayatan poles ini merupakan batuan metamorf berupa
batuan gneiss, kenampakan pada sayatan poles ini memperlihatkan warna
kuning pucat, bentuk subhedral-euhedral, tidak dijumpai pleokrisme,
isotropik, ukuran mineral >0,1 mm, mineral bijih yang dijumpai (1%) dalam
bentuk disseminated dalam batuan.
Gambar 34 Fotomikrograf sayatan poles yang memperlihatkan kehadiran mineral pyrit (Py)
3. Sfalerit
Sfalerit (Zn,Fe)S, berwarna abu-abu, isotropik, ukuran butir (0,02-
0,8) mm, bentuk subhedral-anhedral, berikatan dengan mineral bijih yang
lain (pirit), sebagian mengelompok (berbutir kasar, anhedral, 0,5-0,8 mm)
dan sebagian menyebar (berbutir halus, subhedral, 0,02-0,06 mm). Mineral
sfalerit hadir menggantikan mineral kalkopirit. Mineral bijih yang dijumpai
dalam bentuk disseminated dalam batuan.
81
Gambar 35 Fotomikrograf sayatan poles yang memperlihatkan kehadiran mineral sfalerit (Sf)
D. Mineralisasi
Mineralisasi di daerah Kolaka Utara terbentuk dalam satu tipe, yaitu
tipe tersebar (disseminated), dimana mineral bijih sulfida tersebar dalam
pada host rock yang mengalami alterasi. Mineral-mineral bijih hipogen yang
teridentifikasi secara mikroskopis adalah kalkopirit dan pirit. Mineral
supergen juga teramati berupa sfalerit.
Tahap pembentukan mineral hipogen ditandai dengan kehadiran
mineral kalkopirit dan pirit terbentuk pada kisaran temperatur 214-2920C
(Xie et. al, 2015).
Tahap Supergen ditandai dengan pembentukan sfalerit dan oksida
besi berupa mineral geotit. Sfalerit diperkirakan terbentuk pada suhu 150-
2300C (Izagure et. al., 2017).
82
E. Tipe Endapan
Himpunan mineral alterasi hidrotermal dan mineral bijih sulfida yang
terbentuk memberikan informasi penting tentang lingkungan pembentukan
endapan mineral bijih. Berdasarkan keberadaan mineral alterasi,
temperatur dan pH fluida hidrothermal ditafsirkan tipe endapan mineral bijih
yang dijumpai daerah Kolaka Utara adalah tipe epithermal. Berdasarkan
suhu pembentukan endapan yang 150-3000C serta fluida hidrothermal ber-
pH hampir netral dapat diklasifikasikan sebagai tipe epitermal sulfida
rendah.
Gambar 36 Model geologi endapan epitermal sulfidasi rendah
(Hedenquist dkk., 1996 dalam Nagel, 2008).
Sitem Endapan
Daerah Penelitian
83
Endapan epithermal sulfida rendah terbentuk jauh dari tubuh intrusi
dan terbentuk melalui larutan sisa magma yang berpindah jauh dari
sumbernya kemudian bercampur dengan air meteoric yang dekat dengan
permukaan dan membentuk cebakan tipe sulfida rendah, dipengaruhi oleh
system boiling sebagai mekanisme pengendapan mineral-mineral bijih.
Proses boiling disertai pelepasan unsur gas, merupakan proses utama
untuk pengendapan Cu.
F. Geokimia Batuan Vulkanik
Berdasarkan hasil pengamatan petrografis diketahui ukuran kristal
mineral pada batuan ini adalah berkisar antara <0,02 – 3,94 mm yang
artinya batuan ini berteksur porfiritik. Tekstur porfiritik dapat diintepretasikan
secara umum terjadi karena adanya dua fase dalam pembekuan dan
pendinginan magma dimana pada awalnya beberapa kristal telah terbentuk
dengan pendinginan magma yang lambat di bawah permukaan sehingga
terbentuk kristal yang besar dan kasar, kemudian ketika terjadi erupsi
magma yang bergerak naik dengan membawa kristal–kristal yang telah
terbentuk terlebih dahulu (McPhie et al., 1993).
Berdasarkan klasifikasi jenis magma yang mengacuh pada
komposisi kimia (tabel 3) maka jenis magma dari batuan ini adalah magma
intermediate (Alzwar dkk., 1988). Fenokris pada conto sampel AGK 14,
AGK 01 dan AGK 05 ini berupa mineral feldspar, yaitu plagioklas jenis
labradorit dan andesin ((Na,Ca) AlSi3O8) dengan persentasi sekitar 10 –
84
25%. Pada batuan ini juga terdapat mineral K-feldspar (KalSi3O8) berupa
sanidin dan ortoklas sekitar 5-25% serta mineral biotit K(Mg, Fe)3 (Al,
Fe)Si3O10(OH,F)2 sekitar 10 – 15%. Kandungan mineral tersebut
memperlihatkan kesesuaian dengan komposisi unsur utama yakni SiO2,
Al2O3, Fe2O3, MgO, CaO, K2O dan Na2O yang merupakan komposisi dari
mineral plagioklas, K-feldspar dan biotit pada sampel batuan AGK 014,
AGK 01 dan AGK 05.
Tabel 6. Hasil analisis petrografi dan geokimia pada sampel AGK 01, AGK 05 dan AGK 14 pada klasifikasi jenis magma (Alzwar dkk.,1988).
AGK 14 AGK 01 AGK 05
Komposisi Mineral (%) Komposisi Mineral (%) Komposisi Mineral (%)
Plagioklas 25 Plagioklas 10 Plagioklas 10
Ortoklas 15 Epidote 5 Hornblende 25
Hornblende 20 Hornblende 20 Biotit 5
Biotit 10 Ortoklas 25 Sanidin 20
Kuarsa 5 Biotit 10 Kuarsa 10
Mineral Opak 2 Mineral Opak 3 Mineral Opak 5
Kristalit
Plagioklas 13
Kristalit
Plagioklas 12
Kristalit
Plagioklas 20
Gelas 10 Gelas 15 Gelas 10
Tekstur khusus porfiritik Tekstur khusus trakitik Tekstur khusus trakitik
Major element (ppm) Major element (ppm) Major element (ppm)
SiO2 62,87 SiO2 68,36 SiO2 68,17
Al2O3 16,04 Al2O3 14,85 Al2O3 14,88
Fe2O3 4,25 Fe2O3 2,41 Fe2O3 2,48
MgO 2,35 MgO 1,99 MgO 2,10
CaO 5,30 CaO 3,06 CaO 3,20
Na2O 3,11 Na2O 3,75 Na2O 3,83
K2O 2,68 K2O 3,15 K2O 3,14
P2O5 0,46 P2O5 0,16 P2O5 0,16
MnO 0,05 MnO 0,04 MnO 0,06
TiO2 0,65 TiO2 0,41 TiO2 0,44
*Sumber: Lab. Petrografi Teknik Geologi Unhas dan Lab. PT. Intertek Utama Services Jakarta
85
Berdasarkan hasil plotting afinitas magma yang menunjukkan
kesebandingan berat (%) K2O dan SiO2 maka seri magma dari sampel AGK
14, AGK 01 dan AGK 05 adalah seri High-K calc–alkaline pada klasifikasi
afinitas magma (Peccerillo dan Taylor, 1976 dalam Rollinson, 1993),
Kandungan major element pada sampel AGK 14 memperlihatkan nilai K2O
= 2,58% dan SiO2 = 62,87%, sampel AGK 01 memperlihatkan K2O = 3,15%
dan SiO2 = 68,36%, serta sampel AGK 05 memperlihatkan K2O = 3,14%
dan SiO2 = 68,17%. Pada conto sampel AGK 14, AGK 01, dan AGK 05 yang
memiliki jenis magma seri High-K calc-alkaline, diinterpretasikan bahwa
selama proses kristalisasi magma terjadi peningkatan potasium (K2O)
akibat asimilasi terhadap batuan samping yang kaya akan potasium. Hal ini
didukung oleh data lapangan berupa dijumpainya kontak batuan dasit
dengan batuan metamorf (Pzm) pada stasiun AGK 14 di daerah penelitian
(Gambar 25).
Gambar 37 Plotting pada klasifikasi afinitas magma berdasarkan perbandingan K2O dan SiO2 (Peccerillo dan Taylor, 1976 dalam Rollinson, 1993).
86
Berdasarkan kandungan dari major element pada sampel AGK 14,
V-A dan V-B maka hasil plotting klasifikasi batuan secara geokimia
menunjukkan bahwa batuan instrusif yang tersingkap di daerah penelitian
berada/menempati pada lingkungan Dasit, begitu pula oleh peneliti
sebelumnya menyebutnya Dasit (White et al, 2014). Hal tersebut didukung
oleh klasifikasi batuan beku yang berdasarkan kandungan SiO2 dan
Na2O+K2O (Le Bas et al., 1986) (Gambar 38). Klasifikasi ini juga dapat
mengidentifikasi seri magma yang terlihat dari garis melengkung putus-
putus membagi antara seri alkaline dan seri sub–alkaline. Hasil analisis
geokimia bahwa batuan Dasit termasuk dalam zona seri sub–alkaline
dimana seri calc–alkaline dan thoeliitic termasuk dalam seri sub–alkaline
(Wilson, 1989).
Gambar 38 Plotting pada klasifikasi batuan beku vulkanik (Le Bas et al, 1986).
87
Untuk mengetahui gambaran evolusi magma pada batuan beku
vulkanik di daerah penelitian yaitu dengan menggunakan diagram harker
yang memperlihatkan bahwa magma pembentukan batuan tersebut adalah
Co-Magmatik artinya terjadi penurunan MgO, FeOt dan TiO2 diikuti juga
penurunan silika (SiO2).
kandungan major element terhadap senyawa SiO2 (Harker, 1909
dalam Rollinson, 1993). Berdasarkan plotting pada diagram harker major
element terhadap SiO2 diketahui terjadi perubahan yang bernilai negatif,
dimana pada senyawa MgO terhadap SiO2 menunjukkan gambar kurva
negatif, begitupula senyawa TiO2 dan FeOt terhadap SiO2. Hal ini
menunjukkan bahwa magma pembentuk batuan beku pada daerah
penelitian mengalami proses asimilasi yang awalnya basa menjadi asam
(Gambar 39)
.
Gambar 39 Plotting kandungan major element terhadap SiO2 (Harker, 1909 dalam Rollinson, 1993).
88
Gambar 40 Plotting pada klasifikasi Spider plot – MORB (Pearce, 1996).
Berdasarkan hasil analisis geokimia terhadap sampel AGK 14, V-A,
dan V-B maka lingkungan magma batuan dasit di daerah penelitian dapat
diidentifikasi berdasarkan jenis dan afinitas magmanya dengan
menggunakan klasifikasi lingkungan tektonik (Pearce, 2008) berupa
perbandingan unsur Nb/Yb - TiO2/Yb, maka dalam klasifikasi ini lingkungan
tektonik dari batuan beku di daerah Kolaka Utara (AGK 14, V-A, dan V-B)
yaitu zona MORB array (shallow melting) (Gambar 41)
89
Gambar 41 Plotting pada klasifikasi lingkungan tektonik Nb/Yb - TiO2/Yb (Pearce, 2008).
Berdasarkan afinitas magma, klasifikasi batuan, dan lingkungan
pembentukan magma, serta kenampakan di lapangan, maka dapat
dihubungkan untuk mengetahui tatanan tektonik, dengan menggunakan
perbandingan persentase Na2O + K2O dan SiO2 menunjukkan bahwa
nama batuan yang didapatkan adalah Dasit. Hasil plotting menunjukkan
afinitas magma di daerah penelitian berasal dari jenis magma seri High-
K calc-alkaline yang dapat dihubungkan untuk mengetahui tatanan
tektonik dengan menggunakan klasifikasi lingkungan tektonik Nb/Yb -
TiO2/Yb, maka diketahui bahwa batuan dasit di daerah Kolaka Utara
terbentuk di zona MORB array (Shallow Melting).
90
G. Implikasi Batuan Trakit Terhadap Batuan Metamorf
Berdasarkan hasil pengolahan data di atas, maka tampak
kedudukan batuan vulkanik terhadap batuan metamorf di daerah penelitian
terjadi dikarenakan batuan vulkanik yang mengintrusi batuan metamorf
yang merupakan host rock sehingga terjadi mineralisasi yang ditandai
dengan data asimilasi magma berupa batuan basa menjadi asam dan
ditemukan mineral bijih berdasarkan hasil analisis mineragrafi pada daerah
penelitian.
Hubungan pembentukan batuan vulkanik dengan alterasi dan
mineralisasi hidrothermal pada batuan metamorf terjadi pada lingkungan
tektonik zona MORB array (Shallow Melting) dimana hasil penamaan
secara geokimia yang terdapat didaerah penelitian yaitu dasit, dijumpai
batuan vulkanik tersebut memotong batuan metamorf berupa Sekis
Muskovit-Kuarsa. Berdasarkan hal tersebut dapat diinterpretasikan bahwa
larutan hidrothermal yang berperan dalam proses alterasi di daerah
penelitian adalah larutan hidrothermal sisa pendinginan magma dari batuan
dasit. Larutan hidrothermal tersebut mengubah Schist tidak secara
keseluruhan, hanya pada zona dekat dengan intrusi dasit. Larutan
hidrothermal tersebut menghasilkan alterasi dan mineralisasi
Tipe alterasi dan mineralisasi hidrothermal yang terdapat di daerah
penelitian terbagi atas dua yaitu alterasi propilitik dan alterasi argilik. Peta
Zona alterasi dapat dilihat pada lampiran 4.
91
a. Alterasi Propilitik
Alterasi propolitik dicirikan adanya mineral epidote, klorite, muskovit dan
kuarsa secara petrografis dapat terlihat pada pada stasiun AGK 03 dan
AGK 08 (Lampiran 3).
b. Alterasi Argilik
Alterasi argilik dicirikan adanya mineral kuarsa, Kalsit, epidot, dan
mineral lempung secara petrografis dapat terlihat pada stasiun 09 dan
AGK 12 (Lampiran 3).
Model geologi tentatif alterasi dan mineralisasi hidrothermal di
daerah penelitian (Gambar 42) merupakan model konseptual dari endapan
epitermal sulfidasi rendah. Dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa
endapan ephitermal sulfidasi rendah berasosiasi dengan lingkungan
volkanik, tempat pembentukan yang relatif dekat permukaan serta larutan
yang berperan dalam proses pembentukannya berasal dari campuran air
magmatik dengan air meteorit.
92
Gambar 47 Model Geologi Tentatif alterasi dan mineralisasi hidrothermal di daerah penelitian
Dapat dilihat pada gambar bahwa batuan metamorf menjadi batuan
alas daerah penelitian, kemudian terjadi banyak intrusi-intrusi batuan beku
tetapi intrusi tersebut karena co-magmatik dan memiliki umur yang
berbeda-beda, hasil usia yang diperoleh pada batuan dasit kolaka utara
sekitar 4 – 7 juta tahun yang lalu (white et al.,2014) berdasarkan umur
tersebut nampaknya di daerah kolaka utara terjadi beberapakali
magmatisme dan magmatisme ini berasal dari dapur magma yang berbeda
berdasarkan hasil co-magmatik tersebut bukan evolusi secara normal yang
berasal dari dapur magma yang sama melainkan berbeda-beda.
Alterasinya berada pada batuan metamorf, mungkin jika dilakukan
penelitian lebih detail lagi akan didapatkan batuan intrusi yang teralterasi.
93
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan maka dapat ditarik
kesimpulan sebagai berikut:
1. Kedudukan batuan vulkanik dasit (intrusi dangkal), merupakan
batuan yang menerobos terhadap batuan metamorf (Sekis
Muskovit-Kuarsa) di daerah penelitian.
2. Hubungan pembentukan batuan vulkanik trakit dengan alterasi dan
mineralisasi hidrothermal pada batuan metamorf terjadi pada
lingkungan tektonik zona MORB array (Shallow Melting).
Berdasarkan hal tersebut dapat diinterpretasikan bahwa larutan
hidrothermal yang berperan dalam proses alterasi di daerah
penelitian adalah larutan hidrothermal sisa pendinginan magma dari
batuan dasit.
3. Tipe alterasi yang berkembang di daerah penelitian yaitu tipe
alterasi Propilitik dan Argilik. Mineral penciri alterasi propilitik yang
dijumpai pada daerah penelitian yaitu berupa mineral klorit, epidote
dan mineral karbonat berupa kalsit (Klorit-Kalsit-Kuarsa).
Sedangkan mineral penciri alterasi argilik yaitu berupa mineral
kalsit dan mineral lempung dengan mineral aksesoris berupa
94
mineral muskovit. Tahap pembentukan mineral alterasi dimulai dari
tahap isokimia, tahap metasomatisme dan tahap retrograde.
4. Dari model tersebut dapat dilihat bahwa di daerah kolaka utara
terjadi beberapakali magmatisme dan magmatisme ini berasal dari
dapur magma yang berbeda berdasarkan hasil co-magmatik
tersebut bukan evolusi secara normal yang berasal dari dapur
magma yang sama melainkan berbeda-beda. Alterasinya berada
pada batuan metamorf, mungkin jika dilakukan penelitian lebih
detail lagi akan didapatkan batuan intrusi yang teralterasi.
B. Saran
Agar penelitian yang dilakukan semakin lebih baik dan hasilnya
semakin detail maka perlu dilakukan pengambilan data dan analisis
sampel yang lebih banyak serta mewakili sebaran kontak batuan beku dan
metamorf. Selain itu, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut pada daerah
penelitian dengan menggunakan metode pengambilan sampel secara
vertikal (coring) sehingga hasil yang diperoleh lebih detail. Hal ini
mengingat analisis tersebut dapat menentukan fasies yaitu umur
pembentukan batuan di masa lampau dari event pertama (partial melting
sampai naik ke permukaan) dan posisi batuan beku terhadap batuan
metamorf di daerah Kolaka Utara Provinsi Sulawesi Tenggara.
95
DAFTAR PUSTAKA
Alzwar, M., Samodra, H., dan Tarigan, J.J., 1988, Pengantar Dasar Ilmu Gunungapi, Nova, Bandung.
Corbett G.J. and Leach T.M., 1996, Southwest Pacific Rim Gold-copper Systems : Structure, Alteration, and Mineralization, A Workshop Presented for the Society of Exploration Geochemists at Townville.
Cox, K.G., 1979, The Interpretation of Igneous Rocks, George Allen and Unwin.
Fisher, R. V. (1966). Rocks Composed of Volcanic Fragments. Earth Science Reviews, International Magazine fo Geo-Scientist, 1, p. 287-298.
Hamilton, W., 1979. Tectonics of The Indonesian Region, United State of Geological Survey Proffesional Paper 1078, U.S. Govern. Printing Office, Wshington. U.S.G.S. Proffesional Paper 1078: 345.
Hedenquist J.W., Izawa E., Arribas A.R. and White N.C., 1996, Epithermal Gold Deposits: Styles, Characteristics, and Exploration: The Society of Resource Geology: Resource Geology Special Publication Number 1.
Hedenquist J.W., Arribas A.R. and Gonzalez-Urien E., 2000, Exploration for Epithermal Gold Deposits, Society of Economic Geologists, Reviews in Economic Geology, v. 13.
Ikatan Ahli Geologi Indonesia, 1996, Sandi Stratigrafi Indonesia, Bidang Geologi dan Sumber Daya Mineral, Jakarta.
Janousek, V., Farrow, C.M., and Erban, V., 2006, Interpretation of Whole–rock Geochemical Data in Igneous Geochemistry: Introducing Geochemical Data Toolkit (GCDkit), Czech Geological Survey, Czech Republic.
Kadarusman, A., Miyashita, S., Maruyama, S., Parkinson, C. D., dan Ishikawa, A., 2004, Petrology, Geochemistry and Paleogeographic Reconstruction of the East Sulawesi Ophiolite, Indonesia, Tectonophysics, h. 55-83.
Mawaleda, M., Suparka, E., Abdullah, C.I., Basuki, N.I., Jamal, Kaharuddin & Forster M. A. (2016). Hydrothermal alteration and timing of gold mineralisation in the Rumbia Complex, Southeast Arm of Sulawesi, Indonesia, Proceeding of 2nd International Conference of
96
Transdiciplinaryn Research on Environmental Problems in Southeast Asia (TREPSEA) 2016.
McPhie, J., Doyle, M., and Allen, R., 1993, Volcanic Texture, Centre for Ore Deposit and Exploration Studies, Universty of Tasmania, Australia.
Mulyaningsih. S., 2013, Vulkanologi , Jurusan Teknik Geologi IST AKPRIND
Noor, Djauhari. 2009. Mineral dan batuan. Jakarta : Erlangga.
Noor, Djauhari. 2012. Pengantar Geologi. Bogor: Universitas Pakuan.
Pettijohn F. J. 1975. Sedimentary Rocks: Harper & Row Publishers, New York-Evanston-San Fransisco-London.
Pirajno, F. 1992. Hydrothermal Mineral Deposits: Principles and Fundamental Concepts for the Exploration Geologist. Afrika Selatan: Springer-Verlag.
Pirajno, F., 2009. Hydrothermal Processes and Mineral System, Springer – Verlag Berlin Heidelberg, Germany.
Rangin, C., Jolivet, L., Pubellier, M., the Tethys Pacific Working Group, 1990a. A simple model for the tectonic evolution of Southeast Asia and Indonesia region for the past 43 M. Y. Bull. Soc. Géol. Fr. 8, p. 889-905.
Rollinson, H.R., 1993, Using Geochemical Data: Evaluation, Presentation, Interpretation, J. Wiley & Sons Inc., New York, USA.
Rusmana, E. Sukido, D. Sukarna, E. Haryono dan T.O. Simandjuntak, 1984, memetakan geologi lembar Lasusua – Kendari.
Schmid R., Fettes D., Harte B., Davis E., and Desmons J., 2007. A systematic nomenclature for metamorphic rocks. 1. How to name a metamorphic rock. Recommendations by the IUGS Subcommission on the systematics of metamorphic rocks. SCMR website (www.bgs.ac.uk/SCMR).
Simandjuntak T.O, Surono, Sukido, 1993, Peta Geologi Lembar Kolaka, Sulawesi, Skala 1: 250.000, PPPG, Bandung
Surono, 2010, Geologi Lengan Tenggara Sulawesi. Publikasi Khusus, Badan Geologi. Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral.161p.
Surono, 2013, Geologi Lengan Tenggara Sulawesi, Pusat Survei Geologi, Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral dan
97
LIPI Press, Menteng, Jakarta. Sutarto. 2004. Petunjuk Praktikum Endapan Mineral Edisi Kedua.
Laboratorium Endapan Mineral, Jurusan Teknik Geologi, UPN Veteran Jogjakarta.
Thompson, A.J.B. dan Thompson, JF.H., 1996. Atlas of Alteration. A Field and Petrographic Guide to Hydrothermal Alteration Minerals. Geological Association of Canada, Kanada.
Travis, R.B., 1955, Classification of Rocks, The Colorado School of Mines, Golden Colorado, USA, p. 1 – 12.
Wilson, M., 1989, Igneous Petrogenesis, A Global Tectonic Approach, Department of Earth Sciences, University of Leeds, Netherland.
White, L.T., Hall, R., Armstrong, R.A., 2014. The age of undeformed dacite intrusions within the Kolaka fault zone, SE Sulawesi, Indonesia. Journal of Asian Earth Sciences.
Lampiran 1: Deskripsi Petrografi 98
No. Sampel : AGK 01 Lokasi : Kab. Kolaka Utara
Tipe Batuan : Batuan Beku Vulkanik
Nama Batuan : Dasit (Travis, 1955)
Foto
X-Nikol //-Nikol
Perbesaran Total : 100X
Mikroskopis : Sayatan batuan beku ini berwarna putih kecoklatan pada kenampakan nikol sejajar dan abu-abu kehitaman pada kenampakan nikol silang. Tekstur kristalinitas hipokristalin, granularitas porfiroafanitik, bentuk mineral euhedral – anhedral, relasi inequigranular, tekstur khusus porfiritik dan struktur masif dengan ukuran mineral 0,02 – 2,4 mm. Terdiri dari mineral plagioklas, epidot, hornblende, ortoklas, biotit, mineral opak dan massa dasar berupa kristalit plagioklas dan gelas.
Komposisi Material Jumlah
(%) Deskripsi Mineral
Plagioklas (1H) 10
Pada kenampakan nikol sejajar mineral ini tidak berwarna (colourless), relief rendah, intensitas lemah, bentuk euhedral – subhedral, belahan satu arah, pecahan rata, pleokrisme dwikroik, indeks bias nm > ncb, kembaran albit, sudut gelapan 30˚, jenis gelapan miring, ukuran mineral 0,08 – 0,84 mm, warna interferensi maksimum abu-abu kehitaman, jenis plagioklas labradorit.
Hornblende (5G) 20
Pada kenampakan nikol sejajar mineral ini berwarna coklat kehitaman, bentuk euhedral – subhedral, belahan tidak ada, pecahan tidak ada, relief tinggi, intensitas kuat, pleokroisme monokroik, indeks bias nm > ncb, sudut gelapan 25˚, jenis gelapan miring, ukuran mineral 0,38 – 1,24 mm, warna interferensi maksimum orange kecoklatan.
Ortoklas (3H) 25
Pada kenampakan nikol sejajar mineral ini tidak berwarna (colourless), relief rendah, intensitas sedang, bentuk subhedral – anhedral, belahan satu arah, pecahan rata, pleokrisme tidak ada (-), kembaran carlsbad, sudut gelapan 12˚, jenis gelapan paralel, ukuran mineral 0,04 – 1,0 mm, dan warna interferensi maksimum abu-abu kehitaman.
Biotit (3E) 10
Pada kenampakan nikol sejajar mineral ini berawarna coklat, bentuk subhedral, ukuran mineral 0,5 – 1,82 mm, pleokroisme monokroik, relief sedang, belahan satu arah, sudut gelapan 90˚, jenis gelapan paralel, warna interferensi maksimum orange-coklat.
Epidot (2J, 4B) 5
Pada kenampakan nikol sejajar mineral ini berwarna orange kecoklatan, bentuk granular, ukuran mineral 0,08 – 0,36 mm, pleokrisme monokroik, relief tinggi, intensitas kuat, belahan satu arah, sudut gelapan 28˚, jenis gelapan miring, warna interferensi maksimum hijau kecoklatan.
Mineral Opak (1B) 3 Pada kenampakan nikol sejajar mineral ini berawarna hitam, bentuk subhedral, ukuran mineral 0,02 – 0,04 mm, isotropik.
Massa Dasar
− Kristalit Plagioklas (4D)
− Gelas (6I)
12
15
Pada kenampakan nikol sejajar mineral ini tidak berwarna (colourless), bentuk anhedral, relief rendah, pleokroisme tidak ada (–), dan ukuran mineral 0,02 – 0,04 mm, kembaran albit, dan sudut gelapan 24˚, jenis gelapan miring, warna interferensi maksimum abu-abu kehitaman, jenis plagioklas andesin. Pada kenampakan nikol sejajar mineral ini tidak berwarna (colourless) dengan warna interferensi maksimum abu–abu kehitaman, dan ukuran mineral <0,02 mm.
Lampiran 1: Deskripsi Petrografi 99
No. Sampel : AGK 02 Lokasi : Kab. Kolaka Utara
Tipe Batuan : Metamorf
Nama Batuan : Quartz-Muscovite Schist (SCMR, 2007)
Foto
X-Nikol //-Nikol
Perbesaran Total : 100X
Mikroskopis : Sayatan batuan metamorf ini berwarna putih kecoklatan pada kenampakan nikol sejajar dan abu-abu kehitaman pada kenampakan nikol silang. Bentuk mineral euhedral – anhedral, tekstur lepidoblastik dan struktur schistose (foliasi) dengan ukuran mineral 0,02 – 2,8 mm. Terdiri dari mineral kuarsa, muskovit, epidot, klorit dan mineral opak.
Komposisi Material Jumlah
(%) Deskripsi Mineral
Kuarsa (3E) 45
Pada kenampakan nikol sejajar mineral ini tidak berwarna (colourless), bentuk anhedral, ukuran mineral 0,5 – 2,8 mm, tidak memiliki pleokroisme, relief rendah, tidak mempunyai belahan, sudut gelapan 3˚, jenis gelapan bergelombang, warna interferensi maksimum putih sampai keabu-abuan.
Muskovit (2A) 25
Pada kenampakan nikol sejajar mineral ini berwarna coklat transparan, bentuk euhedral – subhedral, ukuran mineral 0,5 – 0,96 mm, pleokroisme monokroik, relief sedang, belahan satu arah, sudut gelapan 18˚, jenis gelapan miring, warna interferensi maksimum coklat.
Epidot (1H, 5C) 20
Pada kenampakan nikol sejajar mineral ini berwarna coklat, bentuk granular, ukuran mineral 0,84 – 1,26 mm, pleokrisme monokroik, relief tinggi, intensitas kuat, belahan satu arah, sudut gelapan 27˚, jenis gelapan miring, warna interferensi maksimum orange kecoklatan.
Klorit (1D) 7
Pada kenampakan nikol sejajar mineral ini berwarna coklat, bentuk hypidioblast, ukuran 0,2 – 2,48 mm, pleokroisme dwikroik, relief sedang, belahan sempurna, pecahan rata, indeks bias Nm>Nbk, sudut gelapan 7˚, gelapan miring, warna interferensi maksimum hijau kehitaman.
Mineral Opak (4C, 5C)
3 Pada kenampakan nikol sejajar mineral ini berawarna hitam, bentuk subhedral, ukuran mineral ≤0,02 mm, isotropik.
Lampiran 1: Deskripsi Petrografi 100
No. Sampel : AGK 03 Lokasi : Kab. Kolaka Utara
Tipe Batuan : Metamorf
Nama Batuan : Quartz-Muscovite Schist (SCMR, 2007)
Foto
X-Nikol //-Nikol
Perbesaran Total : 100X
Mikroskopis : Sayatan batuan metamorf ini berwarna putih kecoklatan pada kenampakan nikol sejajar dan abu-abu kehitaman pada kenampakan nikol silang. Bentuk mineral subhedral – anhedral, tekstur lepidoblastik dan struktur schistose (foliasi) dengan ukuran mineral 0,02 – 4,26 mm. Terdiri dari mineral kuarsa, muskovit, epidot, klorit, kalsit, serisit dan mineral opak.
Komposisi Material Jumlah
(%) Deskripsi Mineral
Kuarsa (1B, 6A) 25
Pada kenampakan nikol sejajar mineral ini tidak berwarna (colourless), bentuk anhedral, ukuran mineral 0,08 – 1,82 mm, tidak memiliki pleokroisme, relief rendah, tidak mempunyai belahan, sudut gelapan 3˚, jenis gelapan bergelombang, warna interferensi maksimum putih sampai keabu-abuan.
Muskovit (5C) 30
Pada kenampakan nikol sejajar mineral ini berwarna coklat transparan, bentuk euhedral – subhedral, ukuran mineral 0,64 – 3,62 mm, pleokroisme monokroik, relief sedang, belahan satu arah, sudut gelapan 17˚, jenis gelapan miring, warna interferensi maksimum coklat.
Epidot (3D, 4F, 6J)
15
Pada kenampakan nikol sejajar mineral ini berwarna coklat, bentuk granular, ukuran mineral 0,84 – 4,26 mm, pleokrisme monokroik, relief tinggi, intensitas kuat, belahan satu arah, sudut gelapan 30˚, jenis gelapan miring, warna interferensi maksimum orange hingga ungu kecoklatan.
Klorit (1F) 12
Pada kenampakan nikol sejajar mineral ini berwarna abu-abu kehitaman, bentuk hypidioblast, ukuran 0,08 – 1,24 mm, pleokroisme dwikroik, relief sedang, belahan sempurna, pecahan rata, indeks bias Nm>Nbk, sudut gelapan 9˚, gelapan miring, warna intervensi maksimum hijau kehitaman.
Kalsit (2C) 10 Pada kenampakan nikol sejajar mineral ini berawarna putih keabu-abuan, bentuk subhedral – anhedral, ukuran mineral 0,04 – 1,62 mm, sudut gelapan 6˚, jenis gelapan miring, dengan warna interferensi maksimum ungu kecoklatan.
Serisit (3J, 4A) 5
Pada kenampakan nikol sejajar mineral ini tidak berwarna (colourless), relief rendah, intensitas sedang – lemah, bentuk anhedral, belahan tidak ada (-), pecahan tidak rata, pliokrisme tidak ada (-), sudut gelapan 2˚, jenis gelapan bergelombang dan ukuran mineral 0,04 – 0,42 mm, warna interferensi maksimum abu-abu hingga coklat kehitaman.
Mineral Opak (4H) 3 Pada kenampakan nikol sejajar mineral ini berawarna hitam, bentuk subhedral, ukuran mineral ≤0,02 mm, isotropik.
Lampiran 1: Deskripsi Petrografi 101
No. Sampel : AGK 04 Lokasi : Kab. Kolaka Utara
Tipe Batuan : Batuan Beku Vulkanik
Nama Batuan : Dasit (Travis, 1955)
Foto
X-Nikol //-Nikol
Perbesaran Total : 100X
Mikroskopis : Sayatan batuan beku ini berwarna putih kecoklatan pada kenampakan nikol sejajar dan abu-abu kehitaman pada kenampakan nikol silang. Tekstur kristalinitas hipokristalin, granularitas faneroporfiritik, bentuk mineral euhedral – anhedral, relasi inequigranular, tekstur khusus porfiritik dan struktur masif dengan ukuran mineral 0,02 – 2,84 mm. Terdiri dari mineral plagioklas, hornblende, biotit, ortoklas, kuarsa, mineral opak dan massa dasar berupa kristalit plagioklas dan gelas.
Komposisi Material Jumlah
(%) Deskripsi Mineral
Plagioklas (3D) 15
Pada kenampakan nikol sejajar mineral ini tidak berwarna (colourless), relief rendah, intensitas lemah, bentuk euhedral – subhedral, belahan satu arah, pecahan rata, pleokrisme dwikroik, indeks bias nm > ncb, kembaran albit, sudut gelapan 30˚, jenis gelapan miring, ukuran mineral 0,04 – 1,16 mm, warna interferensi maksimum abu-abu kehitaman, jenis plagioklas labradorit.
Hornblende (5H, 6G)
25
Pada kenampakan nikol sejajar mineral ini berwarna coklat kehitaman, bentuk euhedral – subhedral, belahan tidak ada, pecahan tidak ada, relief tinggi, intensitas kuat, pleokroisme monokroik, indeks bias nm > ncb, sudut gelapan 27˚, jenis gelapan miring, ukuran mineral 0,46 – 2,84 mm, warna interferensi maksimum orange kecoklatan.
Ortoklas (2F) 20
Pada kenampakan nikol sejajar mineral ini tidak berwarna (colourless), relief rendah, intensitas sedang, bentuk subhedral – anhedral, belahan satu arah, pecahan rata, pleokrisme tidak ada (-), kembaran carlsbad, sudut gelapan 12˚, jenis gelapan paralel, ukuran mineral 0,04 – 1,26 mm, dan warna interferensi maksimum abu-abu kehitaman.
Biotit (2B) 5
Pada kenampakan nikol sejajar mineral ini berawarna coklat, bentuk subhedral, ukuran mineral 0,08 – 2,24 mm, pleokroisme monokroik, relief sedang, belahan satu arah, sudut gelapan 90˚, jenis gelapan paralel, warna interferensi maksimum orange – coklat.
Kuarsa (5A) 5
Pada kenampakan nikol sejajar mineral ini tidak berwarna (colourless), bentuk anhedral, ukuran mineral 0,04 – 0,08 mm, tidak memiliki pleokroisme, relief rendah, tidak mempunyai belahan, sudut gelapan 3˚, jenis gelapan bergelombang, warna interferensi maksimum putih sampai keabu-abuan.
Mineral Opak (1C, 6I)
2 Pada kenampakan nikol sejajar mineral ini berawarna hitam, bentuk subhedral, ukuran mineral 0,02 – 0,04 mm, isotropik.
Massa Dasar
− Kristalit Plagioklas (2A)
− Gelas (1G)
23
5
Pada kenampakan nikol sejajar mineral ini tidak berwarna (colourless), bentuk anhedral, relief rendah, pleokroisme tidak ada (–), dan ukuran mineral 0,02 – 0,04 mm, kembaran albit, dan sudut gelapan 27˚, jenis gelapan miring, warna interferensi maksimum abu-abu kehitaman, jenis plagioklas andesin. Pada kenampakan nikol sejajar mineral ini tidak berwarna (colourless) dengan warna interferensi maksimum abu–abu kehitaman, dan ukuran mineral ≤0,02 mm.
Lampiran 1: Deskripsi Petrografi 102
No. Sampel : AGK 05 Lokasi : Kab. Kolaka Utara
Tipe Batuan : Batuan Beku Vulkanik
Nama Batuan : Dasit (Travis, 1955)
Foto
X-Nikol //-Nikol
Perbesaran Total : 100X
Mikroskopis : Sayatan batuan beku ini berwarna putih kecoklatan pada kenampakan nikol sejajar dan abu-abu kehitaman pada kenampakan nikol silang. Tekstur kristalinitas hipokristalin, granularitas porfiroafanitik, bentuk mineral euhedral – anhedral, relasi inequigranular, tekstur khusus porfiritik dan struktur masif dengan ukuran mineral 0,02 – 2,26 mm. Terdiri dari mineral plagioklas, hornblende, biotit, sanidin, kuarsa, mineral opak dan massa dasar berupa kristalit plagioklas dan gelas.
Komposisi Material Jumlah
(%) Deskripsi Mineral
Plagioklas (2A, 6E)
10
Pada kenampakan nikol sejajar mineral ini tidak berwarna (colourless), relief rendah, intensitas lemah, bentuk euhedral – subhedral, belahan satu arah, pecahan rata, pleokrisme dwikroik, indeks bias nm > ncb, kembaran albit, sudut gelapan 26˚, jenis gelapan miring, ukuran mineral 0,04 – 2,26 mm, warna interferensi maksimum abu-abu kehitaman, jenis plagioklas andesin.
Hornblende (4G)
25
Pada kenampakan nikol sejajar mineral ini berwarna coklat kehitaman, bentuk euhedral – subhedral, belahan tidak ada, pecahan tidak ada, relief tinggi, intensitas kuat, pleokroisme monokroik, indeks bias nm > ncb, sudut gelapan 29˚, jenis gelapan miring, ukuran mineral 0,46 – 1,84 mm, warna interferensi maksimum orange kecoklatan.
Sanidin (3F) 20
Pada kenampakan nikol sejajar mineral ini tidak berwarna (colourless), relief rendah, intensitas sedang, bentuk subhedral, belahan satu arah, pecahan rata, pleokrisme tidak ada (-), kembaran carlsbad, sudut gelapan 5˚, jenis gelapan paralel, ukuran mineral 0,04 – 1,26 mm, dan warna interferensi maksimum abu-abu kehitaman.
Biotit (4A) 5
Pada kenampakan nikol sejajar mineral ini berawarna coklat, bentuk subhedral, ukuran mineral 0,06 – 1,84 mm, pleokroisme monokroik, relief sedang, belahan satu arah, sudut gelapan 90˚, jenis gelapan paralel, warna interferensi maksimum orange – coklat.
Kuarsa (5D) 10
Pada kenampakan nikol sejajar mineral ini tidak berwarna (colourless), bentuk anhedral, ukuran mineral 0,06 – 0,08 mm, tidak memiliki pleokroisme, relief rendah, tidak mempunyai belahan, sudut gelapan 3˚, jenis gelapan bergelombang, warna interferensi maksimum putih sampai keabu-abuan.
Mineral Opak (1J, 3A)
5 Pada kenampakan nikol sejajar mineral ini berawarna hitam, bentuk subhedral, ukuran mineral 0,02 – 0,04 mm, isotropik.
Massa Dasar
− Kristalit Plagioklas (4I)
− Gelas (1A)
20
10
Pada kenampakan nikol sejajar mineral ini tidak berwarna (colourless), bentuk anhedral, relief rendah, pleokroisme tidak ada (–), dan ukuran mineral 0,02 – 0,04 mm, kembaran albit, dan sudut gelapan 28˚, jenis gelapan miring, warna interferensi maksimum abu-abu kehitaman, jenis plagioklas andesin. Pada kenampakan nikol sejajar mineral ini tidak berwarna (colourless) dengan warna interferensi maksimum abu–abu kehitaman, dan ukuran mineral <0,02 mm.
Lampiran 1: Deskripsi Petrografi 103
No. Sampel : AGK 06 Lokasi : Kab. Kolaka Utara
Tipe Batuan : Batuan Beku Vulkanik
Nama Batuan : Dasit (Travis, 1955)
Foto
X-Nikol //-Nikol
Perbesaran Total : 100X
Mikroskopis : Sayatan batuan beku ini berwarna putih kecoklatan pada kenampakan nikol sejajar dan abu-abu kehitaman pada kenampakan nikol silang. Tekstur kristalinitas hipokristalin, granularitas porfiroafanitik, bentuk mineral euhedral – anhedral, relasi inequigranular, tekstur khusus porfiritik dan struktur masif dengan ukuran mineral 0,02 – 2,38 mm. Terdiri dari mineral plagioklas, hornblende, ortoklas, kuarsa, mineral opak dan massa dasar berupa kristalit plagioklas dan gelas.
Komposisi Material Jumlah
(%) Deskripsi Mineral
Plagioklas (1C, 5F) 15
Pada kenampakan nikol sejajar mineral ini tidak berwarna (colourless), relief rendah, intensitas lemah, bentuk euhedral – subhedral, belahan satu arah, pecahan rata, pleokrisme dwikroik, indeks bias nm > ncb, kembaran albit, sudut gelapan 30˚, jenis gelapan miring, ukuran mineral 0,04 – 0,08 mm, warna interferensi maksimum abu-abu kehitaman, jenis plagioklas labradorit.
Hornblende (4G, 6B)
20
Pada kenampakan nikol sejajar mineral ini berwarna coklat kehitaman, bentuk euhedral – subhedral, belahan tidak ada, pecahan tidak ada, relief tinggi, intensitas kuat, pleokroisme monokroik, indeks bias nm > ncb, sudut gelapan 27˚, jenis gelapan miring, ukuran mineral 0,74 – 2,38 mm, warna interferensi maksimum orange kecoklatan.
Ortoklas (6C) 20
Pada kenampakan nikol sejajar mineral ini tidak berwarna (colourless), relief rendah, intensitas sedang, bentuk subhedral – anhedral, belahan satu arah, pecahan rata, pleokrisme tidak ada (-), kembaran carlsbad, sudut gelapan 10˚, jenis gelapan paralel, ukuran mineral 0,04 – 0,58 mm, dan warna interferensi maksimum abu-abu kehitaman.
Kuarsa (4I) 5
Pada kenampakan nikol sejajar mineral ini tidak berwarna (colourless), bentuk anhedral, ukuran mineral 0,02 – 0,04 mm, tidak memiliki pleokroisme, relief rendah, tidak mempunyai belahan, sudut gelapan 3˚, jenis gelapan bergelombang, warna interferensi maksimum putih sampai keabu-abuan.
Mineral Opak (1H)
3 Pada kenampakan nikol sejajar mineral ini berawarna hitam, bentuk subhedral, ukuran mineral 0,08 – 0,1 mm, isotropik.
Massa Dasar
− Kristalit Plagioklas (5A)
− Gelas (5H)
27
10
Pada kenampakan nikol sejajar mineral ini tidak berwarna (colourless), bentuk anhedral, relief rendah, pleokroisme tidak ada (–), dan ukuran mineral 0,02 – 0,04 mm, kembaran albit, dan sudut gelapan 27˚, jenis gelapan miring, warna interferensi maksimum abu-abu kehitaman, jenis plagioklas andesin. Pada kenampakan nikol sejajar mineral ini tidak berwarna (colourless) dengan warna interferensi maksimum abu–abu kehitaman, dan ukuran mineral <0,02 mm.
Lampiran 1: Deskripsi Petrografi 104
No. Sampel : AGK 07 Lokasi : Kab. Kolaka Utara
Tipe Batuan : Batuan Beku Vulkanik
Nama Batuan : Dasit (Travis, 1955)
Foto
X-Nikol //-Nikol
Perbesaran Total : 100X
Mikroskopis : Sayatan batuan beku ini berwarna putih kecoklatan pada kenampakan nikol sejajar dan abu-abu kehitaman pada kenampakan nikol silang. Tekstur kristalinitas hipokristalin, granularitas porfiroafanitik, bentuk mineral euhedral – anhedral, relasi inequigranular, tekstur khusus porfiritik dan struktur masif dengan ukuran mineral 0,02 – 2,84 mm. Terdiri dari mineral plagioklas, sanidin, hornblende, biotit, kuarsa, mineral opak dan massa dasar berupa kristalit plagioklas dan gelas.
Komposisi Material Jumlah
(%) Deskripsi Mineral
Plagioklas (5F) 15
Pada kenampakan nikol sejajar mineral ini tidak berwarna (colourless), pleokreisme dwikroik, intensitas lemah, bentuk mineral subhedral-euhedral, relief rendah, belahan mineral sempurna satu arah, pecahan rata, ukuran mineral 0,04 –0,98 mm, indeks bias nm > ncb, kembaran albit, sudut gelapan 32°, jenis gelapan miring, warna interferensi maksimum abu-abu kehitaman, jenis plagioklas labradorit.
Hornblende (5H, 6G)
20
Pada kenampakan nikol sejajar mineral ini berwarna coklat kehitaman, bentuk euhedral – subhedral, belahan tidak ada, pecahan tidak ada, relief tinggi, intensitas kuat, pleokroisme monokroik, indeks bias nm > ncb, sudut gelapan 27˚, jenis gelapan miring, ukuran mineral 0,46 – 2,84 mm, warna interferensi maksimum orange kecoklatan.
Sanidin (2D, 6I) 10
Pada kenampakan nikol sejajar mineral ini tidak berwarna (colourless), relief sedang, intensitas sedang, bentuk subhedral, belahan satu arah, pecahan rata, pleokrisme tidak ada (-), kembaran carlsbad, sudut gelapan 5˚, jenis gelapan paralel, ukuran mineral 0,46 – 1,26 mm, dan warna interferensi maksimum abu-abu kehitaman.
Biotit (6F) 10
Pada kenampakan nikol sejajar mineral ini berawarna coklat, bentuk subhedral, ukuran mineral 0,08 – 0,86 mm, pleokroisme monokroik, relief sedang, belahan satu arah, sudut gelapan 90˚, jenis gelapan paralel, warna interferensi maksimum orange – coklat.
Kuarsa (5A) 5
Pada kenampakan nikol sejajar mineral ini tidak berwarna (colourless), bentuk anhedral, ukuran mineral 0,04 – 0,08 mm, tidak memiliki pleokroisme, relief rendah, tidak mempunyai belahan, sudut gelapan 3˚, jenis gelapan bergelombang, warna interferensi maksimum putih sampai keabu-abuan.
Mineral Opak (6B)
2 Pada kenampakan nikol sejajar mineral ini berawarna hitam, bentuk subhedral, ukuran mineral 0,02 – 0,04 mm, isotropik.
Massa Dasar
− Kristalit Plagioklas (1J)
− Gelas (3C)
23
15
Pada kenampakan nikol sejajar mineral ini tidak berwarna (colourless), bentuk anhedral, relief rendah, pleokroisme tidak ada (–), dan ukuran mineral 0,02 – 0,04 mm, kembaran albit, dan sudut gelapan 28°, jenis gelapan miring, warna interferensi maksimum abu-abu kehitaman, jenis plagioklas andesin. Pada kenampakan nikol sejajar mineral ini tidak berwarna (colourless) dengan warna interferensi maksimum abu–abu kehitaman, dan ukuran mineral <0,02 mm.
Lampiran 1: Deskripsi Petrografi 105
No. Sampel : AGK 08 Lokasi : Kab. Kolaka Utara
Tipe Batuan : Metamorf
Nama Batuan : Quartz-Muscovite Schist (SCMR, 2007)
Foto
X-Nikol //-Nikol
Perbesaran Total : 100X
Mikroskopis : Sayatan batuan metamorf ini berwarna putih kecoklatan pada kenampakan nikol sejajar dan abu-abu keunguan pada kenampakan nikol silang. Bentuk mineral subhedral – anhedral, tekstur lepidoblastik dan struktur schistose (foliasi) dengan ukuran mineral 0,04 – 3,8 mm. Terdiri dari mineral kuarsa, muskovit, klorit, epidot dan mineral opak.
Komposisi Material Jumlah
(%) Deskripsi Mineral
Kuarsa (2D, 5I) 30
Pada kenampakan nikol sejajar mineral ini tidak berwarna (colourless), bentuk anhedral, ukuran mineral 0,2 – 3,8 mm, tidak memiliki pleokroisme, relief rendah, tidak mempunyai belahan, sudut gelapan 4˚, jenis gelapan bergelombang, warna interferensi maksimum putih sampai keabu-abuan.
Muskovit (4I) 35
Pada kenampakan nikol sejajar mineral ini berwarna coklat transparan, bentuk euhedral – subhedral, ukuran mineral 0,2 – 1,5 mm, pleokroisme monokroik, relief sedang, belahan satu arah, sudut gelapan 28˚, jenis gelapan miring, warna interferensi maksimum biru keunguan.
Epidot (1B, 1J) 20
Pada kenampakan nikol sejajar mineral ini berwarna orange kecoklatan, bentuk granular, ukuran mineral 0,82 – 2,42 mm, pleokrisme monokroik, relief tinggi, intensitas kuat, belahan satu arah, sudut gelapan 27˚, jenis gelapan miring, warna interferensi maksimum ungu kecoklatan.
Klorit (6B) 10
Pada kenampakan nikol sejajar mineral ini berwarna abu-abu kehitaman, bentuk hypidioblast, ukuran 0,08 – 0,4 mm, pleokroisme dwikroik, relief sedang, belahan sempurna, pecahan rata, indeks bias Nm>Nbk, sudut gelapan 7˚, gelapan miring, warna intervensi maksimum hijau kehitaman.
Mineral Opak (1G, 1I)
5 Pada kenampakan nikol sejajar mineral ini berawarna hitam, bentuk subhedral, ukuran mineral 0,04 – 0,08 mm, isotropik.
Lampiran 1: Deskripsi Petrografi 106
No. Sampel : AGK 09 Lokasi : Kab. Kolaka Utara
Tipe Batuan : Metamorf
Nama Batuan : Quartz-Muscovite Schist (SCMR, 2007)
Foto
X-Nikol //-Nikol
Perbesaran Total : 100X
Mikroskopis : Sayatan batuan metamorf ini berwarna putih kecoklatan pada kenampakan nikol sejajar dan abu-abu keunguan pada kenampakan nikol silang. Bentuk mineral subhedral – anhedral, tekstur lepidoblastik dan struktur schistoe (foliasi) dengan ukuran mineral ≤0,02 – 3,84 mm. Terdiri dari mineral kuarsa, muskovit, epidot, serisit, klorit, kalsit dan mineral opak.
Komposisi Material Jumlah
(%) Deskripsi Mineral
Kuarsa (5C) 35
Pada kenampakan nikol sejajar mineral ini tidak berwarna (colourless), bentuk anhedral, ukuran mineral 0,6 – 2,8 mm, tidak memiliki pleokroisme, relief rendah, tidak mempunyai belahan, sudut gelapan 3˚, jenis gelapan bergelombang, warna interferensi maksimum putih sampai keabu-abuan.
Muskovit (4G) 20
Pada kenampakan nikol sejajar mineral ini berwarna coklat transparan, bentuk anhedral – subhedral, ukuran mineral 0,08 – 1,14 mm, pleokroisme monokroik, relief sedang, belahan satu arah, sudut gelapan 27˚, jenis gelapan miring, warna interferensi maksimum orange kecoklatan.
Epidot (2C, 3H) 10
Pada kenampakan nikol sejajar mineral ini berwarna coklat, bentuk granular, ukuran mineral 1,82 – 3,84 mm, pleokrisme monokroik, relief tinggi, intensitas kuat, belahan satu arah, sudut gelapan 28˚, jenis gelapan miring, warna interferensi maksimum kuning kecoklatan.
Serisit (3C) 15
Pada kenampakan nikol sejajar mineral ini tidak berwarna (colourless), relief rendah, intensitas sedang – lemah, bentuk anhedral, belahan tidak ada (-), pecahan tidak rata, pliokrisme tidak ada (-), sudut gelapan 2˚, jenis gelapan bergelombang dan ukuran mineral 0,04 – 0,42 mm, warna interferensi maksimum abu-abu hingga coklat kehitaman.
Klorit (1C) 10
Pada kenampakan nikol sejajar mineral ini berwarna abu-abu kehitaman, bentuk hypidioblast, ukuran 0,04 – 0,32 mm, pleokroisme dwikroik, relief sedang, belahan sempurna, pecahan rata, indeks bias Nm>Nbk, sudut gelapan 9˚, gelapan miring, warna intervensi maksimum hijau kehitaman.
Kalsit (3I) 5 Pada kenampakan nikol sejajar mineral ini berawarna putih keabu-abuan, bentuk subhedral – anhedral, ukuran mineral 0,04 – 0,86 mm, sudut gelapan 4˚, jenis gelapan miring, dengan warna interferensi maksimum otrange kecoklatan.
Mineral Opak (2E) 5 Pada kenampakan nikol sejajar mineral ini berawarna hitam, bentuk subhedral, ukuran mineral ≤0,02 mm, isotropik.
Lampiran 1: Deskripsi Petrografi 107
No. Sampel : AGK 10 Lokasi : Kab. Kolaka Utara
Tipe Batuan : Metamorf
Nama Batuan : Quartz-Muscovite Schist (SCMR, 2007)
Foto
X-Nikol //-Nikol
Perbesaran Total : 100X
Mikroskopis : Sayatan batuan metamorf ini berwarna putih kecoklatan pada kenampakan nikol sejajar dan abu-abu kehijauan pada kenampakan nikol silang. Bentuk mineral euhedral – anhedral, tekstur lepidoblastik dan struktur schistose (folasi) dengan ukuran mineral ≤0,02 – 3,24 mm. Terdiri dari mineral kuarsa, muskovit, epidot dan mineral opak.
Komposisi Material Jumlah
(%) Deskripsi Mineral
Kuarsa (3B) 50
Pada kenampakan nikol sejajar mineral ini tidak berwarna (colourless), bentuk anhedral, ukuran mineral 0,84 – 3,24 mm, tidak memiliki pleokroisme, relief rendah, tidak mempunyai belahan, sudut gelapan 3˚, jenis gelapan bergelombang, warna interferensi maksimum putih sampai keabu-abuan.
Muskovit (1F) 30
Pada kenampakan nikol sejajar mineral ini berwarna coklat transparan, bentuk anhedral – subhedral, ukuran mineral 0,04 – 1,26 mm, pleokroisme monokroik, relief sedang, belahan satu arah, sudut gelapan 24˚, jenis gelapan miring, warna interferensi maksimum orange keunguan.
Epidot (5F) 17
Pada kenampakan nikol sejajar mineral ini berwarna coklat, bentuk granular, ukuran mineral 0,08 – 0,82 mm, pleokrisme monokroik, relief tinggi, intensitas kuat, belahan satu arah, sudut gelapan 39˚, jenis gelapan miring, warna interferensi maksimum kuning kecoklatan.
Mineral Opak (5G) 3 Pada kenampakan nikol sejajar mineral ini berawarna hitam, bentuk subhedral, ukuran mineral ≤0,02 – 0,04 mm, isotropik.
Lampiran 1: Deskripsi Petrografi 108
No. Sampel : AGK 11 Lokasi : Kab. Kolaka Utara
Tipe Batuan : Metamorf
Nama Batuan : Quartz-Muscovite Schist (SCMR, 2007)
Foto
X-Nikol //-Nikol
Perbesaran Total : 100X
Mikroskopis : Sayatan batuan metamorf ini berwarna putih kecoklatan pada kenampakan nikol sejajar dan abu-abu kehitaman pada kenampakan nikol silang. Bentuk mineral euhedral – anhedral, tekstur lepidoblastik dan struktur schistose (foliasi) dengan ukuran mineral ≤0,02 – 2,64 mm. Terdiri dari mineral kuarsa, muskovit, klorit, serisit dan mineral opak.
Komposisi Material Jumlah
(%) Deskripsi Mineral
Kuarsa (5B) 40
Pada kenampakan nikol sejajar mineral ini tidak berwarna (colourless), bentuk anhedral, ukuran mineral 0,28 – 2,64 mm, tidak memiliki pleokroisme, relief rendah, tidak mempunyai belahan, sudut gelapan 3˚, jenis gelapan bergelombang, warna interferensi maksimum putih sampai keabu-abuan.
Muskovit (4F) 30
Pada kenampakan nikol sejajar mineral ini berwarna coklat transparan, bentuk anhedral – subhedral, ukuran mineral 0,06 – 0,82 mm, pleokroisme monokroik, relief sedang, belahan satu arah, sudut gelapan 26˚, jenis gelapan miring, warna interferensi maksimum orange kecoklatan.
Klorit (4C) 10
Pada kenampakan nikol sejajar mineral ini berwarna abu-abu kehitaman, bentuk hypidioblast, ukuran 0,04 – 0,16 mm, pleokroisme dwikroik, relief sedang, belahan sempurna, pecahan rata, indeks bias Nm>Nbk, sudut gelapan 8˚, gelapan miring, warna intervensi maksimum hijau keunguan.
Serisit (4J, 5C) 17
Pada kenampakan nikol sejajar mineral ini tidak berwarna (colourless), relief rendah, intensitas sedang – lemah, bentuk anhedral, belahan tidak ada (-), pecahan tidak rata, pliokrisme tidak ada (-), sudut gelapan 4˚, jenis gelapan bergelombang dan ukuran mineral 0,04 – 0,42 mm, warna interferensi maksimum abu-abu kehitaman.
Mineral Opak (6B) 3 Pada kenampakan nikol sejajar mineral ini berawarna hitam, bentuk subhedral, ukuran mineral ≤0,02 mm, isotropik.
Lampiran 1: Deskripsi Petrografi 109
No. Sampel : AGK 12 Lokasi : Kab. Kolaka Utara
Tipe Batuan : Metamorf
Nama Batuan : Muscovite-Quartz Schist (SCMR, 2007)
Foto
X-Nikol //-Nikol
Perbesaran Total : 100X
Mikroskopis : Sayatan batuan metamorf ini berwarna putih kehijauan pada kenampakan nikol sejajar dan kuning hingga coklat kehitaman pada kenampakan nikol silang. Bentuk mineral euhedral – anhedral, tekstur lepidoblastik dan struktur schistose (folasi) dengan ukuran mineral 0,02 – 2,78 mm. Terdiri dari mineral muskovit, kuarsa sekunder, epidot, klorit, serisit, mineral opak dan mineral lempung.
Komposisi Material Jumlah
(%) Deskripsi Mineral
Muskovit (4B, 6H) 30
Pada kenampakan nikol sejajar mineral ini berwarna coklat transparan, bentuk anhedral – subhedral, ukuran mineral 0,06 – 0,82 mm, pleokroisme monokroik, relief sedang, belahan satu arah, sudut gelapan 28˚, jenis gelapan miring, warna interferensi maksimum orange kecoklatan.
Kuarsa (4F) 25
Pada kenampakan nikol sejajar mineral ini tidak berwarna (colourless), bentuk anhedral, ukuran mineral 0,42 – 2,78 mm, tidak memiliki pleokroisme, relief rendah, tidak mempunyai belahan, sudut gelapan 3˚, jenis gelapan bergelombang, warna interferensi maksimum putih sampai keabu-abuan.
Epidot (1B, 2F) 15
Pada kenampakan nikol sejajar mineral ini berwarna orange kecoklatan, bentuk granular, ukuran mineral 0,82 – 1,46 mm, pleokrisme monokroik, relief tinggi, intensitas kuat, belahan satu arah, sudut gelapan 32˚, jenis gelapan miring, warna interferensi maksimum ungu kecoklatan.
Klorit (1B) 17
Pada kenampakan nikol sejajar mineral ini berwarna abu-abu kehitaman, bentuk hypidioblast, ukuran mineral 0,08 – 0,94 mm, pleokroisme dwikroik, relief sedang, belahan sempurna, pecahan rata, sudut gelapan 36˚, jenis gelapan miring, warna interferensi maksimum coklat kehitaman.
Serisit (4I) 5
Pada kenampakan nikol sejajar mineral ini tidak berwarna (colourless), relief rendah, intensitas sedang – lemah, bentuk anhedral, belahan tidak ada (-), pecahan tidak rata, pliokrisme tidak ada (-), sudut gelapan 4˚, jenis gelapan bergelombang dan ukuran mineral 0,04 – 0,46 mm, warna interferensi maksimum abu-abu kehitaman, merupakan hasil ubahan dari mineral K-Feldspar.
Mineral Opak (4E, 5I)
5 Pada kenampakan nikol sejajar mineral ini berawarna hitam, bentuk subhedral, ukuran mineral 0,02 – 0,04 mm, isotropik.
Mineral lempung (2G) 3
Pada kenampakan nikol sejajar mineral ini tidak berwarna (colourless), bentuk subhedral – anhedral, ukuran mineral 0,02 – 0,18 mm, tidak mempunyai pleokroisme, relief rendah, sudut gelapan 8˚, jenis gelapan miring, warna interferensi maksimum abu-abu kehitaman.
Lampiran 1: Deskripsi Petrografi 110
No. Sampel : AGK 13 Lokasi : Kab. Kolaka Utara
Tipe Batuan : Metamorf
Nama Batuan : Quartz-Muscovite Schist (SCMR, 2007)
Foto
X-Nikol //-Nikol
Perbesaran Total : 100X
Mikroskopis : Sayatan batuan metamorf ini berwarna putih kecoklatan pada kenampakan nikol sejajar dan abu-abu kehitaman pada kenampakan nikol silang. Bentuk mineral euhedral – anhedral, tekstur lepidoblastik dan struktur schistose (foliasi) dengan ukuran mineral 0,06 – 2,64 mm. Terdiri dari mineral kuarsa, muskovit, epidot, klorit, serisit dan mineral opak.
Komposisi Material Jumlah
(%) Deskripsi Mineral
Kuarsa (3E) 55
Pada kenampakan nikol sejajar mineral ini tidak berwarna (colourless), bentuk anhedral, ukuran mineral 0,82 – 2,64 mm, tidak memiliki pleokroisme, relief rendah, tidak mempunyai belahan, sudut gelapan 3˚, jenis gelapan bergelombang, warna interferensi maksimum putih sampai keabu-abuan.
Muskovit (2A, 2D)
20
Pada kenampakan nikol sejajar mineral ini berwarna coklat transparan, bentuk euhedral – subhedral, ukuran mineral 0,08 – 0,42 mm, pleokroisme monokroik, relief sedang, belahan satu arah, sudut gelapan 17˚, jenis gelapan miring, warna interferensi maksimum kuning kecoklatan.
Epidot (4F) 15
Pada kenampakan nikol sejajar mineral ini berwarna coklat, bentuk granular, ukuran mineral 0,84 – 1,26 mm, pleokrisme monokroik, relief tinggi, intensitas kuat, belahan satu arah, sudut gelapan 25˚, jenis gelapan miring, warna interferensi maksimum orange kecoklatan.
Klorit (3C) 12
Pada kenampakan nikol sejajar mineral ini berwarna coklat, bentuk hypidioblast, ukuran 0,2 – 1,64 mm, pleokroisme dwikroik, relief sedang, belahan sempurna, pecahan rata, indeks bias Nm>Nbk, sudut gelapan 7˚, gelapan miring, warna interferensi maksimum coklat kehitaman.
Serisit (3H) 5
Pada kenampakan nikol sejajar mineral ini tidak berwarna (colourless), relief rendah, intensitas sedang – lemah, bentuk anhedral, belahan tidak ada (-), pecahan tidak rata, pliokrisme tidak ada (-), sudut gelapan 4˚, jenis gelapan bergelombang dan ukuran mineral 0,04 – 0,38 mm, warna interferensi maksimum abu-abu kehitaman, merupakan hasil ubahan dari mineral K-Feldspar.
Mineral Opak (3D, 5G)
3 Pada kenampakan nikol sejajar mineral ini berawarna hitam, bentuk subhedral, ukuran mineral 0,02 – 0,08 mm, isotropik.
Lampiran 1: Deskripsi Petrografi 111
No. Sampel : AGK 14 Lokasi : Kab. Kolaka Utara
Tipe Batuan : Batuan Beku Vulkanik
Nama Batuan : Dasit (Travis, 1955)
Foto
X-Nikol //-Nikol
Perbesaran Total : 100X
Mikroskopis : Sayatan batuan beku ini berwarna putih kecoklatan pada kenampakan nikol sejajar dan abu-abu kehitaman pada kenampakan nikol silang. Tekstur kristalinitas hipokristalin, granularitas faneroporfiritik, bentuk mineral euhedral – anhedral, relasi inequigranular, tekstur khusus porfiritik dan struktur masif dengan ukuran mineral 0,02 – 3,94 mm. Terdiri dari mineral plagioklas, hornblende, ortoklas, biotit, kuarsa, mineral opak dan massa dasar berupa kristalit plagioklas dan gelas.
Komposisi Material Jumlah
(%) Deskripsi Mineral
Plagioklas (1D, 3A)
25
Pada kenampakan nikol sejajar mineral ini tidak berwarna (colourless), pleokreisme dwiroik, intensitas lemah, bentuk mineral subhedral-euhedral, relief rendah, belahan mineral sempurna satu arah, pecahan rata, ukuran mineral 0,04 – 1,36 mm, indeks bias nm > ncb, kembaran albit, sudut gelapan 34°, jenis gelapan miring, warna interferensi maksimum abu-abu kehitaman, jenis plagioklas labradorit.
Hornblende (3D, 5I)
20
Pada kenampakan nikol sejajar mineral ini berwarna coklat kehitaman, bentuk euhedral – subhedral, belahan tidak ada, pecahan tidak ada, relief tinggi, intensitas kuat, pleokroisme monokroik, indeks bias nm > ncb, sudut gelapan 27˚, jenis gelapan miring, ukuran mineral 0,46 – 3,94 mm, warna interferensi maksimum orange hingga ungu kecoklatan.
Ortoklas (5C, 6I) 15
Pada kenampakan nikol sejajar mineral ini tidak berwarna (colourless), relief rendah, intensitas sedang, bentuk subhedral – anhedral, belahan satu arah, pecahan rata, pleokrisme tidak ada (-), kembaran carlsbad, sudut gelapan 10˚, jenis gelapan paralel, ukuran mineral 0,04 – 1,18 mm, dan warna interferensi maksimum abu-abu kehitaman.
Biotit (1H) 10
Pada kenampakan nikol sejajar mineral ini berawarna coklat, bentuk subhedral, ukuran mineral 0,06 – 0,78 mm, pleokroisme monokroik, relief sedang, belahan satu arah, sudut gelapan 90˚, jenis gelapan paralel, warna interferensi maksimum orange – coklat.
Kuarsa (3B) 5
Pada kenampakan nikol sejajar mineral ini tidak berwarna (colourless), bentuk anhedral, ukuran mineral 0,04 – 0,06 mm, tidak memiliki pleokroisme, relief rendah, tidak mempunyai belahan, sudut gelapan 3˚, jenis gelapan bergelombang, warna interferensi maksimum putih sampai keabu-abuan.
Mineral Opak (5I) 2 Pada kenampakan nikol sejajar mineral ini berawarna hitam, bentuk subhedral, ukuran mineral <0,02 mm, isotropik.
Massa Dasar
− Kristalit Plagioklas (4B)
− Gelas (2B)
13
10
Pada kenampakan nikol sejajar mineral ini tidak berwarna (colourless), bentuk anhedral, relief rendah, pleokroisme tidak ada (–), dan ukuran mineral 0,02 – 0,04 mm, kembaran albit, dan sudut gelapan 26˚, jenis gelapan miring, warna interferensi maksimum abu-abu kehitaman, jenis plagioklas andesin. Pada kenampakan nikol sejajar mineral ini tidak berwarna, warna interferensi maksimum abu–abu kehitaman, dan ukuran mineral 0,02 mm.
Lampiran 2: Deskripsi Mineragrafi 112
No. Sampel : AGK 03
Tipe Endapan : -
Jenis Mineralisasi : Kalkopirit
Referensi : The Ore Minerals Under The Microscope (Bernhard Pracejus) Ore Mineral Atlas (Dan Marshall)
Mikroskopis Sayatan poles ini merupakan batuan metamorf berupa batuan sekis. Kenampakan pada sayatan poles ini memperlihatkan kehadiran mineral kalkopirit. Mineral bijih yang dijumpai (1%) dalam bentuk disseminated dalam batuan
Deskripsi Mineralogi
Komposisi Mineral Jumlah (%)
Keterangan optik mineral
Kalkopirit (Cp) (CuFeS2)
1 Berwarna kuning terang, dengan bentuk subhedral-anhedral, ukuran mineral >0.1 mm, tidak dijumpai pleokroisme, anisotropik.
Perbesaran 20x
Lampiran 2: Deskripsi Mineragrafi 113
No. Sampel : AGK 09
Tipe Endapan : -
Jenis Mineralisasi : Kalkopirit-Sfalerit
Referensi : The Ore Minerals Under The Microscope (Bernhard Pracejus) Ore Mineral Atlas (Dan Marshall)
Mikroskopis Sayatan poles ini merupakan batuan metamorf berupa batuan gneiss. Kenampakan pada sayatan poles ini memperlihatkan kehadiran mineral kalkopirit dan sfalerit. Mineral bijih yang dijumpai dalam bentuk disseminated dalam batuan
Deskripsi Mineralogi
Komposisi Mineral Jumlah (%)
Keterangan optik mineral
Kalkopirit (Cp) (CuFeS2)
5 Berwarna kuning terang, dengan bentuk subhedral-anhedral, ukuran mineral >0.1 mm, tidak dijumpai pleokroisme, anisotropik.
Sfalerit (Sf) (Zn,Fe)S
5
Berwarna abu-abu, isotropik, ukuran butir (0,02 – 0,8) mm, bentuk subhedral – anhedral, berikatan dengan mineral bijih yang lain (kalkopirit, dan pirit), tidak dijumpai pleokroisme, anisotropik.
Perbesaran 20x
Lampiran 2: Deskripsi Mineragrafi 114
No. Sampel : AGK 09
Tipe Endapan : -
Jenis Mineralisasi : Kalkopirit
Referensi : The Ore Minerals Under The Microscope (Bernhard Pracejus) Ore Mineral Atlas (Dan Marshall)
Mikroskopis Sayatan poles ini merupakan batuan metamorf berupa batuan metamorf. Kenampakan pada sayatan poles ini memperlihatkan kehadiran mineral kalkopirit. Mineral bijih yang dijumpai (5%) dalam bentuk disseminated dalam batuan
Deskripsi Mineralogi
Komposisi Mineral Jumlah (%)
Keterangan optik mineral
Kalkopirit (Cp) (CuFeS2)
5 Berwarna kuning terang, dengan bentuk subhedral-anhedral, ukuran mineral >0.1 mm, tidak dijumpai pleokroisme, anisotropik.
Perbesaran 20x
Lampiran 2: Deskripsi Mineragrafi 115
No. Sampel : AGK 10
Tipe Endapan : -
Jenis Mineralisasi : Pirit
Referensi : The Ore Minerals Under The Microscope (Bernhard Pracejus) Ore Mineral Atlas (Dan Marshall)
Mikroskopis Sayatan poles ini merupakan batuan metamorf berupa batuan sekis. Kenampakan pada sayatan poles ini memperlihatkan kehadiran mineral pirit. Mineral bijih yang dijumpai (1%) dalam bentuk disseminated dalam batuan
Deskripsi Mineralogi
Komposisi Mineral Jumlah (%)
Keterangan optik mineral
Pirit (Py) FeS2
1
Berwarna kuning pucat dengan bentuk subhedral-euhedral, tidak dijumpai pleokroisme, isotropik. Dengan ukuran mineral >0,1 mm.
Perbesaran 20x
Lampiran 2: Deskripsi Mineragrafi 116
No. Sampel : AGK 11
Tipe Endapan : -
Jenis Mineralisasi : Pirit
Referensi : The Ore Minerals Under The Microscope (Bernhard Pracejus) Ore Mineral Atlas (Dan Marshall)
Mikroskopis Sayatan poles ini merupakan batuan metamorf berupa batuan gneiss. Kenampakan pada sayatan poles ini memperlihatkan kehadiran mineral pirit. Mineral bijih yang dijumpai (1%) dalam bentuk disseminated dalam batuan
Deskripsi Mineralogi
Komposisi Mineral Jumlah (%)
Keterangan optik mineral
Pirit (Py) FeS2
1
Berwarna kuning pucat dengan bentuk subhedral-euhedral, tidak dijumpai pleokroisme, isotropik. Dengan ukuran mineral >0,1 mm.
Perbesaran 20x
Lampiran 2: Deskripsi Mineragrafi 117
No. Sampel : AGK 11
Tipe Endapan : -
Jenis Mineralisasi : Pirit
Referensi : The Ore Minerals Under The Microscope (Bernhard Pracejus) Ore Mineral Atlas (Dan Marshall)
Mikroskopis Sayatan poles ini merupakan batuan metamorf berupa batuan geneiss. Kenampakan pada sayatan poles ini memperlihatkan kehadiran mineral kalkopirit dan sfalerit. Mineral sfalerit hadir menggantikan mineral kalkopirit. Mineral bijih yang dijumpai dalam bentuk disseminated dalam batuan
Deskripsi Mineralogi
Komposisi Mineral Jumlah (%)
Keterangan optik mineral
Kalkopirit (Cp) (CuFeS2)
5 Berwarna kuning terang, dengan bentuk subhedral-anhedral, ukuran mineral 0,2 mm, tidak dijumpai pleokroisme, anisotropik.
Sfalerit (Sf) (Zn,Fe)S
5
Berwarna abu-abu, isotropik, ukuran butir (0,02 – 0,8) mm, bentuk subhedral – anhedral, berikatan dengan mineral bijih yang lain (kalkopirit, dan pirit), tidak dijumpai pleokroisme, anisotropik.
Perbesaran 20x
Lampiran 2: Deskripsi Mineragrafi 118
No. Sampel : AGK 12
Tipe Endapan : -
Jenis Mineralisasi : Kalkopirit
Referensi : The Ore Minerals Under The Microscope (Bernhard Pracejus) Ore Mineral Atlas (Dan Marshall)
Mikroskopis Sayatan poles ini merupakan batuan metamorf berupa batuan sekis. Kenampakan pada sayatan poles ini memperlihatkan kehadiran mineral kalkopirit. Mineral bijih yang dijumpai (5%) dalam bentuk disseminated dalam batuan
Deskripsi Mineralogi
Komposisi Mineral Jumlah (%)
Keterangan optik mineral
Kalkopirit (Cp) (CuFeS2)
5 Berwarna kuning terang, dengan bentuk subhedral-anhedral, ukuran mineral 0,2 mm, tidak dijumpai pleokroisme, anisotropik.
Perbesaran 20x
Lampiran 2: Deskripsi Mineragrafi 119
No. Sampel : AGK 12
Tipe Endapan : -
Jenis Mineralisasi : Pirit
Referensi : The Ore Minerals Under The Microscope (Bernhard Pracejus) Ore Mineral Atlas (Dan Marshall)
Mikroskopis Sayatan poles ini merupakan batuan metamorf berupa batuan sekis. Kenampakan pada sayatan poles ini memperlihatkan kehadiran mineral pirit dan sfalerit.. Mineral bijih yang dijumpai dalam bentuk disseminated dalam batuan
Deskripsi Mineralogi
Komposisi Mineral Jumlah (%)
Keterangan optik mineral
Pirit (Py) FeS2
1
Berwarna kuning pucat dengan bentuk subhedral-euhedral, tidak dijumpai pleokroisme, isotropik. Dengan ukuran mineral >0,1 mm.
Sfalerit (Sf) (Zn,Fe)S
5
Berwarna abu-abu, isotropik, ukuran butir (0,02 – 0,8) mm, bentuk subhedral – anhedral, berikatan dengan mineral bijih yang lain (kalkopirit, dan pirit), tidak dijumpai pleokroisme, anisotropik.
Perbesaran 20x
Lampiran 2: Deskripsi Mineragrafi 120
No. Sampel : AGK 12
Tipe Endapan : -
Jenis Mineralisasi : Pirit
Referensi : The Ore Minerals Under The Microscope (Bernhard Pracejus) Ore Mineral Atlas (Dan Marshall)
Mikroskopis Sayatan poles ini merupakan batuan metamorf berupa batuan sekis. Kenampakan pada sayatan poles ini memperlihatkan kehadiran mineral kalkopirit, pirit dan sfalerit. Mineral sfalerit muncul menggantikan mineral pirit dan kalkopirit Mineral bijih yang dijumpai dalam bentuk disseminated dalam batuan
Deskripsi Mineralogi
Komposisi Mineral Jumlah (%)
Keterangan optik mineral
Pirit (Py) FeS2
1
Berwarna kuning pucat dengan bentuk subhedral-euhedral, tidak dijumpai pleokroisme, isotropik. Dengan ukuran mineral >0,1 mm.
Kalkopirit (Cp) (CuFeS2)
5 Berwarna kuning terang, dengan bentuk subhedral-anhedral, ukuran mineral 0,2 mm, tidak dijumpai pleokroisme, anisotropik.
Sfalerit (Sf) (Zn,Fe)S
5
Berwarna abu-abu, isotropik, ukuran butir (0,02 – 0,8) mm, bentuk subhedral – anhedral, berikatan dengan mineral bijih yang lain (kalkopirit, dan pirit), tidak dijumpai pleokroisme, anisotropik.
Perbesaran 20x
Lampiran 2: Deskripsi Mineragrafi 121
No. Sampel : AGK 13
Tipe Endapan : -
Jenis Mineralisasi : Pirit
Referensi : The Ore Minerals Under The Microscope (Bernhard Pracejus) Ore Mineral Atlas (Dan Marshall)
Mikroskopis Sayatan poles ini merupakan batuan metamorf berupa batuan metamorf. Kenampakan pada sayatan poles ini memperlihatkan kehadiran mineral pirit dan sfalerit. Mineral bijih yang dijumpai (1%) dalam bentuk disseminated dalam batuan
Deskripsi Mineralogi
Komposisi Mineral Jumlah (%)
Keterangan optik mineral
Sfalerit (Sf) (Zn,Fe)S
5
Berwarna abu-abu, isotropik, ukuran butir (0,02 – 0,8) mm, bentuk subhedral – anhedral, berikatan dengan mineral bijih yang lain (kalkopirit, dan pirit), tidak dijumpai pleokroisme, anisotropik.
Perbesaran 20x
Lampiran 2: Deskripsi Alterasi 122
No. Sampel : AGK 03 Lokasi :
Tipe Batuan : Metamorf
Jenis Alterasi : Propilitik (Epidot – Klorit – Kuarsa sekunder)
Foto
X-Nikol //-Nikol
Perbesaran Total : 100X
Mikroskopis : Sayatan batuan metamorf ini berwarna putih kecoklatan pada kenampakan nikol sejajar dan abu-abu kehitaman pada kenampakan nikol silang. Batuan ini telah mengalami alterasi sekitar 50% dengan mineral alterasi yaitu klorit, epidot dan kuarsa sekunder. Bentuk mineral subhedral – anhedral dengan ukuran mineral 0,02 – 4,26 mm.
Komposisi Material Jumlah
(%) Deskripsi Mineral
Kuarsa (1B, 6A) 25
Pada kenampakan nikol sejajar mineral ini tidak berwarna (colourless), bentuk anhedral, ukuran mineral 0,08 – 1,82 mm, tidak memiliki pleokroisme, relief rendah, tidak mempunyai belahan, sudut gelapan 3˚, jenis gelapan bergelombang, warna interferensi maksimum putih sampai keabu-abuan.
Muskovit (5C) 30
Pada kenampakan nikol sejajar mineral ini berwarna coklat transparan, bentuk euhedral – subhedral, ukuran mineral 0,64 – 3,62 mm, pleokroisme monokroik, relief sedang, belahan satu arah, sudut gelapan 17˚, jenis gelapan miring, warna interferensi maksimum coklat.
Epidot (3D, 4F, 6J)
15
Pada kenampakan nikol sejajar mineral ini berwarna coklat, bentuk granular, ukuran mineral 0,84 – 4,26 mm, pleokrisme monokroik, relief tinggi, intensitas kuat, belahan satu arah, sudut gelapan 30˚, jenis gelapan miring, warna interferensi maksimum orange hingga ungu kecoklatan.
Klorit (1F) 10
Pada kenampakan nikol sejajar mineral ini berwarna abu-abu kehitaman, bentuk hypidioblast, ukuran 0,08 – 1,24 mm, pleokroisme dwikroik, relief sedang, belahan sempurna, pecahan rata, indeks bias Nm>Nbk, sudut gelapan 9˚, gelapan miring, warna intervensi maksimum hijau kehitaman.
Kalsit (2C) 15 Pada kenampakan nikol sejajar mineral ini berawarna putih keabu-abuan, bentuk subhedral – anhedral, ukuran mineral 0,04 – 1,62 mm, sudut gelapan 6˚, jenis gelapan miring, dengan warna interferensi maksimum ungu kecoklatan.
Serisit (3J, 4A) 3
Pada kenampakan nikol sejajar mineral ini tidak berwarna (colourless), relief rendah, intensitas sedang – lemah, bentuk anhedral, belahan tidak ada (-), pecahan tidak rata, pliokrisme tidak ada (-), sudut gelapan 2˚, jenis gelapan bergelombang dan ukuran mineral 0,04 – 0,42 mm, warna interferensi maksimum abu-abu hingga coklat kehitaman.
Mineral Opak (4H) 2 Pada kenampakan nikol sejajar mineral ini berawarna hitam, bentuk subhedral, ukuran mineral ≤0,02 mm, isotropik.
Lampiran 2: Deskripsi Alterasi 123
No. Sampel : AGK 08 Lokasi :
Tipe Batuan : Metamorf
Jenis Alterasi : Propilitik (Klorit – Kuarsa sekunder)
Foto
X-Nikol //-Nikol
Perbesaran Total : 100X
Mikroskopis : Sayatan batuan metamorf ini berwarna putih kecoklatan pada kenampakan nikol sejajar dan ungu kecoklatan pada kenampakan nikol silang. Batuan ini telah mengalami alterasi sekitar 40% dengan mineral alterasi yaitu klorit dan kuarsa sekunder. Bentuk mineral subhedral – anhedral dengan ukuran mineral 0,04 – 3,8 mm.
Komposisi Material Jumlah
(%) Deskripsi Mineral
Kuarsa (3G, 5D) 30
Pada kenampakan nikol sejajar mineral ini tidak berwarna (colourless), bentuk anhedral, ukuran mineral 0,2 – 3,8 mm, tidak memiliki pleokroisme, relief rendah, tidak mempunyai belahan, sudut gelapan 4˚, jenis gelapan bergelombang, warna interferensi maksimum putih sampai keabu-abuan.
Muskovit (2C) 35
Pada kenampakan nikol sejajar mineral ini berwarna coklat transparan, bentuk euhedral – subhedral, ukuran mineral 0,2 – 1,5 mm, pleokroisme monokroik, relief sedang, belahan satu arah, sudut gelapan 28˚, jenis gelapan miring, warna interferensi maksimum biru keunguan.
Klorit (4I) 10
Pada kenampakan nikol sejajar mineral ini berwarna abu-abu kehitaman, bentuk hypidioblast, ukuran 0,08 – 0,4 mm, pleokroisme dwikroik, relief sedang, belahan sempurna, pecahan rata, indeks bias Nm>Nbk, sudut gelapan 7˚, gelapan miring, warna intervensi maksimum hijau kehitaman.
Mineral Opak (1I) 5 Pada kenampakan nikol sejajar mineral ini berawarna hitam, bentuk subhedral, ukuran mineral 0,04 – 0,08 mm, isotropik.
Lampiran 2: Deskripsi Alterasi 124
No. Sampel : AGK 09 Lokasi :
Tipe Batuan : Metamorf
Jenis Alterasi : Argilik (Kalsit – Serisit – Kuarsa sekunder)
Foto
X-Nikol //-Nikol
Perbesaran Total : 100X
Mikroskopis : Sayatan batuan metamorf ini berwarna putih kecoklatan pada kenampakan nikol sejajar dan abu-abu kehitaman pada kenampakan nikol silang. Batuan ini telah mengalami alterasi sekitar 55% dengan mineral alterasi yaitu kalsit, serisit dan kuarsa sekunder. Bentuk mineral subhedral – anhedral dengan ukuran mineral ≤0,02 – 3,84 mm.
Komposisi Material Jumlah
(%) Deskripsi Mineral
Kuarsa (5C) 35
Pada kenampakan nikol sejajar mineral ini tidak berwarna (colourless), bentuk anhedral, ukuran mineral 0,6 – 2,8 mm, tidak memiliki pleokroisme, relief rendah, tidak mempunyai belahan, sudut gelapan 3˚, jenis gelapan bergelombang, warna interferensi maksimum putih sampai keabu-abuan.
Muskovit (4G) 20
Pada kenampakan nikol sejajar mineral ini berwarna coklat transparan, bentuk anhedral – subhedral, ukuran mineral 0,08 – 1,14 mm, pleokroisme monokroik, relief sedang, belahan satu arah, sudut gelapan 27˚, jenis gelapan miring, warna interferensi maksimum orange kecoklatan.
Epidot (2C, 3H) 10
Pada kenampakan nikol sejajar mineral ini berwarna coklat, bentuk granular, ukuran mineral 1,82 – 3,84 mm, pleokrisme monokroik, relief tinggi, intensitas kuat, belahan satu arah, sudut gelapan 28˚, jenis gelapan miring, warna interferensi maksimum kuning kecoklatan.
Serisit (3C) 15
Pada kenampakan nikol sejajar mineral ini tidak berwarna (colourless), relief rendah, intensitas sedang – lemah, bentuk anhedral, belahan tidak ada (-), pecahan tidak rata, pliokrisme tidak ada (-), sudut gelapan 2˚, jenis gelapan bergelombang dan ukuran mineral 0,04 – 0,42 mm, warna interferensi maksimum abu-abu hingga coklat kehitaman.
Klorit (1C) 10
Pada kenampakan nikol sejajar mineral ini berwarna abu-abu kehitaman, bentuk hypidioblast, ukuran 0,04 – 0,32 mm, pleokroisme dwikroik, relief sedang, belahan sempurna, pecahan rata, indeks bias Nm>Nbk, sudut gelapan 9˚, gelapan miring, warna intervensi maksimum hijau kehitaman.
Kalsit (3I) 5 Pada kenampakan nikol sejajar mineral ini berawarna putih keabu-abuan, bentuk subhedral – anhedral, ukuran mineral 0,04 – 0,86 mm, sudut gelapan 4˚, jenis gelapan miring, dengan warna interferensi maksimum otrange kecoklatan.
Mineral Opak (2E) 5 Pada kenampakan nikol sejajar mineral ini berawarna hitam, bentuk subhedral, ukuran mineral ≤0,02 mm, isotropik.
Lampiran 2: Deskripsi Alterasi 125
No. Sampel : AGK 12 Lokasi :
Tipe Batuan : Metamorf
Jenis Alterasi : Argilik (Epidot – Kalsit – Serisit - Mineral lempung – Kuarsa sekunder)
Foto
X-Nikol //-Nikol
Perbesaran Total : 100X
Mikroskopis : Sayatan batuan metamorf ini berwarna putih kehijauan pada kenampakan nikol sejajar dan kuning kehijauan hingga coklat kehitaman pada kenampakan nikol silang. Batuan ini telah mengalami alterasi sekitar 60% dengan mineral alterasi yaitu epidot, serisit, kalsit, mineral lempung dan kuarsa sekunder. Bentuk mineral subhedral – anhedral dengan ukuran mineral 0,02 – 2,78 mm.
Komposisi Material Jumlah
(%) Deskripsi Mineral
Muskovit (2A, 5J) 35
Pada kenampakan nikol sejajar mineral ini berwarna coklat transparan, bentuk anhedral – subhedral, ukuran mineral 0,06 – 0,82 mm, pleokroisme monokroik, relief sedang, belahan satu arah, sudut gelapan 28˚, jenis gelapan miring, warna interferensi maksimum orange kecoklatan.
Kuarsa (4D, 6D) 20
Pada kenampakan nikol sejajar mineral ini tidak berwarna (colourless), bentuk anhedral, ukuran mineral 0,42 – 2,78 mm, tidak memiliki pleokroisme, relief rendah, tidak mempunyai belahan, sudut gelapan 3˚, jenis gelapan bergelombang, warna interferensi maksimum putih sampai keabu-abuan.
Epidot (2C) 10
Pada kenampakan nikol sejajar mineral ini berwarna orange kecoklatan, bentuk granular, ukuran mineral 0,82 – 1,46 mm, pleokrisme monokroik, relief tinggi, intensitas kuat, belahan satu arah, sudut gelapan 32˚, jenis gelapan miring, warna interferensi maksimum ungu kecoklatan.
Serisit (2J, 3C) 15
Pada kenampakan nikol sejajar mineral ini tidak berwarna (colourless), relief rendah, intensitas sedang – lemah, bentuk anhedral, belahan tidak ada (-), pecahan tidak rata, pliokrisme tidak ada (-), sudut gelapan 4˚, jenis gelapan bergelombang dan ukuran mineral 0,04 – 0,46 mm, warna interferensi maksimum abu-abu kehitaman, merupakan hasil ubahan dari mineral K-Feldspar.
Mineral Opak (4I) 5 Pada kenampakan nikol sejajar mineral ini berawarna hitam, bentuk subhedral, ukuran mineral 0,02 – 0,04 mm, isotropik.
Kalsit (4H) 10 Pada kenampakan nikol sejajar mineral ini berawarna putih keabu-abuan, bentuk subhedral – anhedral, ukuran mineral 0,04 – 0,86 mm, sudut gelapan 4˚, jenis gelapan miring, dengan warna interferensi maksimum otrange kecoklatan.
Mineral lempung (5E) 5
Pada kenampakan nikol sejajar mineral ini tidak berwarna (colourless), bentuk subhedral – anhedral, ukuran mineral 0,02 – 0,18 mm, tidak mempunyai pleokroisme, relief rendah, sudut gelapan 8˚, jenis gelapan miring, warna interferensi maksimum abu-abu kehitaman.