66
PRO-FORMAL: POLICY AND REGULATORY OPTIONS TO RECOGNISE AND BETTER INTEGRATE THE DOMESTIC TIMBER SECTOR IN TROPICAL COUNTRIES WORKING PAPER SERIES No. 03 STRUKTUR, STRATEGI DAN SISTEM NAFKAH RUMAHTANGGA PETANI HUTAN RAKYAT: KAITAN ANTARA SERTIFIKASI DAN STATUS SOSIAL-EKONOMI PETANI (STUDI KASUS DI TIGA KABUPATEN) Oleh: Arya Hadi Dharmawan Dyah Ita Mardiyaningsih Nur Isiyana Wianti Kerjasama Riset Antara Center for International Forestry Research (CIFOR) dan Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan (PSP3) INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012

STRUKTUR, STRATEGI DAN SISTEM NAFKAH …psp3.ipb.ac.id/web/wp-content/uploads/2016/06/WP-03-Livelihood.pdf · harapan terjadinya perubahan penatausahaan kayu baik pada tingkat produsen,

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: STRUKTUR, STRATEGI DAN SISTEM NAFKAH …psp3.ipb.ac.id/web/wp-content/uploads/2016/06/WP-03-Livelihood.pdf · harapan terjadinya perubahan penatausahaan kayu baik pada tingkat produsen,

PRO-FORMAL:

POLICY AND REGULATORY OPTIONS TO RECOGNISE AND BETTER

INTEGRATE THE DOMESTIC TIMBER SECTOR IN TROPICAL COUNTRIES

WORKING PAPER SERIES No. 03

STRUKTUR, STRATEGI DAN SISTEM NAFKAH

RUMAHTANGGA PETANI HUTAN RAKYAT: KAITAN

ANTARA SERTIFIKASI DAN STATUS SOSIAL-EKONOMI

PETANI

(STUDI KASUS DI TIGA KABUPATEN)

Oleh:

Arya Hadi Dharmawan

Dyah Ita Mardiyaningsih

Nur Isiyana Wianti

Kerjasama Riset Antara

Center for International Forestry Research (CIFOR)

dan

Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan (PSP3)

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2012

Page 2: STRUKTUR, STRATEGI DAN SISTEM NAFKAH …psp3.ipb.ac.id/web/wp-content/uploads/2016/06/WP-03-Livelihood.pdf · harapan terjadinya perubahan penatausahaan kayu baik pada tingkat produsen,

1

1. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

1.1.1. Sertifikasi Kayu sebagai Pilihan yang Rasional bagi Petani Hutan Rakyat ?

Formalisasi pasar kayu dalam bentuk sertifikasi kayu merupakan salah satu upaya

rekayasa kelembagaan yang paling mungkin dilaksanakan dan rasional untuk mengatasi

praktek bad-governance dalam tata-usaha kayu. Formalisasi pasar kayu memiliki banyak

harapan terjadinya perubahan penatausahaan kayu baik pada tingkat produsen, industri

maupun rantai tataniaga kayu. Salah satu harapan tersebut adalah terciptanya ketertiban,

kepastian dan kejelasan asal-usul kayu yang beredar dalam keseluruhan mata-rantai

pasok kayu. Terdapat keyakinan yang kuat bahwa praktek bad-governance yang

berlangsung selama ini berpotensi mendorong terus beredarnya kayu ilegal dalam pasar

kayu nasional maupun internasional yang pada gilirannya akan memperburuk kondisi

sumberdaya alam/hutan. Dalam konteks isu global, semakin banyak kayu ilegal yang

beredar, maka ancaman deforestasi dan degradasi hutan akan semakin besar, yang

pada akhirnya mengancam terus berlanjutnya pemanasan global.

Formalisasi yang mewujud dalam bentuk sertifikasi produksi dan perdagangan kayu

dimaksudkan untuk mengendalikan atau mengontrol peredaran kayu agar tunduk pada

prinsip-prinsip sustainable forest management atau SFM, sehingga kelestarian alam

menjadi prinsip penting yang harus dipenuhi. Apabila prinsip SFM dicapai maka pada

gilirannya ekosistem hutan akan terpelihara dengan baik pemanfaatannya, dan hal ini

berarti formalisasi kayu akan menyumbang kepada upaya menekan pemanasan dan

perubahan iklim global, secara memadai. Secara singkat, formalisasi pasar kayu

mendorong terbangunnya tata-kelola produksi dan pemasaran kayu yang baik dan

kredibel yang memberikan dampak tidak saja pada tataran mikro bisnis, melainkan juga

tataran makro global.

Persoalannya, siapkah petani hutan rakyat atau smallholding forest untuk terlibat aktif

dalam proses formalisasi produksi dan perdagangan kayu? Melihat prosedur dan

pendanaan sertifikasi yang tidak mudah dan tidak murah, serta kebisaaan pengelolaan

hutan yang dipraktekkan oleh rumahtangga petani hutan rakyat yang sangat tradisional

(subsisten), diperkirakan formalisasi pasar kayu melalui sertifikasi produksi dan

perdagangan kayu akan menghadapi banyak kendala. Studi ini hendak melihat sejauh

mana kesiapan rumahtangga petani hutan dalam merespons proses formalisasi atau

sertifikasi produksi dan perdagangan kayu. Pertanyaan selanjutnya, bagaimanakah

Page 3: STRUKTUR, STRATEGI DAN SISTEM NAFKAH …psp3.ipb.ac.id/web/wp-content/uploads/2016/06/WP-03-Livelihood.pdf · harapan terjadinya perubahan penatausahaan kayu baik pada tingkat produsen,

2

rumahtangga petani hutan rakyat di tiga wilayah studi (Wonosobo, Wonogiri, dan Blora)

secara khas menyikapi sertifikasi kayu?

Formalisasi atau sertifikasi pasar kayu, pada hakikatnya adalah sebuah upaya untuk

memperbaiki tata-kelola produksi dan pemasaran kayu guna mengendalikan deforestasi

dan degradasi sumberdaya hutan terutama yang disebabkan oleh aktifitas pembalakan

liar atau illegal logging. Tujuan akhir dari upaya ini adalah terciptanya sustainable forest

management di tingkat kawasan. Sekalipun demikian, tidak semua stakeholder yang

terkait dengan produksi dan perdagangan kayu sepaham dengan tujuan ini.

Ketidaksepahaman itu pada dasarnya kembali kepada perspektif-perspektif berbeda

dalam mencapai cita-cita SFM.

Terdapat dua pendekatan untuk melakukan pengaturan produksi dan distribusi kayu

demi mengendalikan deforestasi dan degradasi hutan agar sebuah kawasan mewujud

menjadi SFM, dimana sertifikasi adalah instrumen pada salah satu pendekatan tersebut.

Kedua pendekatan itu menyandarkan pada dua filsafat ekonomi pembangunan.

Pendekatan pertama bersandar pada filsafat ekonomi liberalisme (rasionalitas pasar),

sementara pendekatan kedua bersandar pada filsafat ekonomi non-liberalisme

(pengaturan oleh negara). Filsafat ekonomi liberalisme mengandaikan kebebasan

individu di dalam mengambil keputusan. Setiap individu diandaikan berpikiran rasional

dan bertindak hanya untuk mencapai atau meraih manfaat ekonomi sebesar-besarnya

bagi pencapaian kepuasan individual. Dalam pandangan ekonomi liberalisme, orang

akan bertindak untuk melakukan sesuatu bila ada reward, benefit atau insentif (imbalan)

yang memadai. Sebaliknya, orang tidak akan melakukan sesuatu bila tidak ada imbalan

ekonomi atas tindakan yang dilakukannya. Dalam konteks formalisasi atau sertifikasi

produksi dan perdagangan kayu, seseorang akan melakukan sertifikasi bila tambahan

benefit yang didapatkan melebihi biaya-biaya yang telah dikeluarkannya. Dalam hal ini

kelembagaan pasar akan mengendalikan dan memberikan sinyal terhadap keputusan

sertifikasi yang akan diambil. Sertifikasi (legalitas) kayu pada dasarnya adalah sebuah

tindakan rasional pelaku ekonomi kayu, karena kepada mereka (dijanjikan akan)

mendapatkan lebih besar kepastian pasar yang menjamin tambahan benefit. Sertifikat

legalitas kayu adalah alat-bukti bahwa pelaku produksi dan perdagangan kayu telah

benar-benar melakukan perbaikan tata-kelola produksi dan perdagangan mengikuti

prinsip-prinsip good governance. Jadi, sertifikat legalitas kayu adalah alat pembuktian

kepada pasar bahwa tata-kelola dalam produksi dan perdagangan kayu telah diperbaiki

sesuai standar keinginan pasar (kayu) internasional yang juga bererti selangkah

mendekati SFM. Sebagaimana lazimnya dalam hukum ekonomi, sertifikasi tidaklah

Page 4: STRUKTUR, STRATEGI DAN SISTEM NAFKAH …psp3.ipb.ac.id/web/wp-content/uploads/2016/06/WP-03-Livelihood.pdf · harapan terjadinya perubahan penatausahaan kayu baik pada tingkat produsen,

3

sebuah aktivitas yang gratis, melainkan memakan biaya. Perimbangan antara tambahan

benefit dan tambahan biaya menjadi dasar rasional penting bagi pelaku produksi kayu

dan pelaku perdagangan kayu untuk memutuskan sertifikasi atau tidak.

Sebaliknya dalam filsafat ekonomi non-liberalisme, tidak dikenal adanya insentif, benefit

atau reward apapun. Tindakan seseorang ditentukan oleh perintah atau keputusan

kolektif yang ditetapkan melalui sebuah kebijakan negara/publik. Negara menjamin

sepenuhnya legalitas dari produksi dan distribusi kayu. Dalam pandangan ekonomi non-

liberal, kekuasaan negara (negara merepresentasikan integrasi dari individu-individu

berbeda kepentingan yang terikat oleh sebuah komitmen bersama untuk bernegara) yang

akan memelihara sumberdaya hutan sehingga hutan terhindar dari deforestasi dan

degradasi ataupun illegal logging. Artinya, setiap kayu adalah legal, karena negara

menjamin kepastian dan keamanannya. Alat utama untuk mendorong tindakan untuk

tidak melakukan illegal logging, adalah peraturan dan kekuatan pengamanan (security)

terhadap hutan produksi termasuk hutan yang dibebani hak seperti hutan rakyat. Dalam

arus-utama pemikiran non-liberalisme pasar, tindakan sertifikasi produksi kayu yang

dilakukan oleh seseorang, jika dan hanya jika negara memerintahkan proses sertifikasi.

Dalam pandangan sistem ekonomi yang non-liberatif (deliberatif), sesungguhnya

sertifikasi menjadi tidak ada gunanya, sepanjang negara dapat memastikan security atau

pengawasan dan pengamanan hutan yang baik sehingga memastikan sterilitas yang

tinggi pada kawasan hutan dari penjarahan dan pembalakan liar, maka hal itu cukup

untuk mengantarkan kayu ke perdagangan internasional. Dalam ekonomi yang non-

liberatif atau non-pasar yang sempurna, setiap kayu yang beredar dipastikan legal dan

karenanya bernilai ekonomi tinggi dalam jaminan negara. Persoalannya, bagi Indonesia

akan sangat sulit mewujudkan sistem ekonomi non-liberatif, dikarenakan kekuatan

negara yang digunakan untuk mengawasi dan mengontrol seluruh kawasan hutan yang

ada amat-sangat jauh dari kebutuhan ideal. Oleh karena itu, sistem ekonomi non-liberatif

bukan menjadi pilihan yang menarik. Sebaliknya pendekatan pilihan rasional yang

melandasi filsafat ekonomi yang liberatif dipandang lebih cocok untuk diimplementasikan

pada saat ini. Melalui sertifikasi, pelaku ekonomi didorong untuk melakukan tata-kelola

produksi dan perdagangan kayu sesuai prinsip-prinsip good forest/environmental

governance (SFM), karena bila tidak merealisasikan prinsip tersebut, maka akses pasar

akan tertutup dan tambahan benefit tidak akan dapat diraih.

Berangkat dari pilihan filsafat ekonomi pilihan rasional yang cenderung memberikan

prakarsa liberatif kepada pelaku ekonomi kayu, maka sertifikasi (bagi Indonesia)

sesungguhnya dapat dipandang dari dua sisi sekaligus. Sertifikasi merupakan instrumen

Page 5: STRUKTUR, STRATEGI DAN SISTEM NAFKAH …psp3.ipb.ac.id/web/wp-content/uploads/2016/06/WP-03-Livelihood.pdf · harapan terjadinya perubahan penatausahaan kayu baik pada tingkat produsen,

4

untuk mempenetrasi dan membuka akses pasar sekaligus sebagai instrumen pengaturan

negara untuk memperbaiki manajemen tata-usaha kayu. Dampaknya sama, yaitu akan

memberikan insentif harga atau tambahan benefit kepada siapapun yang melakukannya

sekaligus menjaga keamananan pengelolaan kawasan hutan produksi.

Dengan mengandaikan atau asumsi bahwa petani hutan rakyat adalah pelaku yang

berpikiran rasional (benefit/profit oriented), maka formalisasi atau sertifikasi kayu

dipastikan akan menarik bagi petani hutan rakyat. Oleh karena adanya tambahan benefit

yang berpotensi diraih sebagai akibat perbaikan tata-kelola kayu, maka petani hutan

rakyat akan dengan sukarela melakukan sertifikasi kayu. Dengan demikian, manakala

sertifikasi memberikan jaminan akses pasar internasional dan kenaikan profit terhadap

satuan kayu yang diperdagangkan dari hutan rakyat serta meningkatkan pendapatan,

maka setiap rumahtangga petani hutan rakyat (smallholding forest) akan merespon

secara positif sertifikasi atau formalisasi pasar kayu.

Sekali lagi, bagi Indonesia yang memiliki keterbatasan kekuatan negara dalam

mengawasi kawasan hutan, maka sertifikasi menjadi instrumen yang rasional dan relevan

sebagai pilihan terbaik dalam pengendalian pembalakan liar, daripada instrumen

ekonomi non-liberatif melalui pengawasan keamanan negara (security approach).

Pertanyaan yang muncul kemudian adalah benarkah dugaan bahwa rumahtangga petani

hutan rakyat adalah pelaku ekonomi yang sepenuhnya rasional sehingga merespon

positif proses formalisasi atau sertifikasi produksi dan perdagangan kayu, demi mencari

profit ekonomi? Seberapa rasional petani kayu mengelola hutan kayunya sehingga

memenuhi prasyarat untuk disertifikasikan? Sedalam apakah hutan kayu dipandang

sebagai unit bisnis yang memungkinkan sertifikasi dilangsungkan?

Sebaliknya, apakah petani hutan rakyat di Jawa tetap sebagaimana tesis Scott (1960)

mengatakan sebagai petani subsisten yang tidak meletakkan usahatani hutan rakyatnya

pada dasar-dasar bisnis rasional dan lebih mendasarkan pada basis etika-etika

subsistensi, sehingga petani menjadi steril terhadap segala macam insentif ekonomi yang

dijanjikan upaya formalisasi atau sertifikasi produksi dan perdagangan kayu. Alhasil,

formalisasi atau sertifikasi lebih banyak dipandang sebagai regulasi pemaksaan oleh

negara terhadap petani? Keterlibatan terhadap program sertifikasi atau formalisasi

produksi dan perdagangan kayu bagi petani hutan rakyat dipandang sebagai partisipasi

yang alienatif dan penuh keterpaksaan. Studi ini akan membuktikan benarkah dugaan

tersebut? Studi pada akhirnya ditujukan untuk menjawab pertanyaan apakah sertifikasi

memberikan pengaruh terhadap peta livelihood system rumahtangga petani hutan rakyat?

Page 6: STRUKTUR, STRATEGI DAN SISTEM NAFKAH …psp3.ipb.ac.id/web/wp-content/uploads/2016/06/WP-03-Livelihood.pdf · harapan terjadinya perubahan penatausahaan kayu baik pada tingkat produsen,

5

Pertanyaan lebih lanjut, sejauh mana formalisasi atau sistem sertifikasi kayu memberikan

pengaruh terhadap status kesejahteraan rumahtangga petani/pemilik hutan rakyat?

1.1.2. Formalisasi dalam Kerangka FLEGT-VPA

Dalam rangka menutup ruang produksi dan peredaran kayu ilegal, sistem perdagangan

kayu dijalankan dan dikontrol melalui sistem sertifikasi. Setiap kayu dipastikan jaminan

akuntabilitas pemanenannya melalui proses sertifikasi yang dikenal dalam hutan rakyat

sejak tahun 2000an. Sertifikasi atau formalisasi produksi dan perdagangan kayu hendak

memastikan bahwa setiap kayu yang diproduksi dan diperdagangkan dapat

dipertangungjawabkan keabsahannya. Kayu bersertifikat selanjutnya akan mendapatkan

akses kepada pasar internasional dan mendapatkan harga layak, karena kualitas dan

kepastian asal-usulnya.

Pada masa awal sertifikasi, dikenal sertifikasi dari LEI (Lembaga Ekolabeling Indonesia)

untuk menjamin produksi kayu sesuai kaidah kelestarian sumberdaya alam. Selanjutnya

pada awal era 2000an mulai dirintis gagasan Forest Law Enforcement Governance and

Trade (FLEGT) atau Tata Kelola dan Perdagangan Sektor Kehutanan yang menjadi

bingkai hukum bagi untuk melakukan tata-kelola hutan lebih baik. Gagasan utama dari

FLEGT adalah pengembangan sebuah sistem pengendalian untuk memastikan legalitas

kayu yang diekspor oleh negara-negara pengekspor kayu, utamanya ke Uni Eropa (UE).

FLEGT mengembangkan mekanisme verifikasi legalitas kayu yang akuntabel, transparan,

dan partisipatoris sehingga memberikan tingkat kredibilitas yang tinggi terhadap kayu

yang memasuki pasar ekspor ke negara-negara UE.

FLEGT merupakan upaya untuk meningkatkan kualitas tata-kelola hutan rakyat maupun

hutan produksi, dan memastikan bahwa kayu dan produk kayu yang diperdagangkan ke

UE diproduksi sesuai dengan peraturan perundangan negara mitra yang pada prinsipnya

tunduk kepada kaidah-kaidah sustainable forest management (SFM). Melalui FLEGT,

negara-negara mitra UE pengekspor kayu, termasuk Indonesia, diharapkan menangani

permasalahan pembalakan liar (illegal logging) dan menghentikan perdagangan kayu

yang dipungut secara ilegal sebagai prasyarat untuk mendapatkan akses ke pasar UE

(anonymous, 2011). Di Indonesia prasyarat FLEGT tersebut dipenuhi melalui program

Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) yang merupakan salah satu bentuk sertifikasi

dalam rangka formalisasi perdagangan kayu. Berdasarkan kajian Dharmawan, et.al

(2012) dikemukakan bahwa tujuan sertifikasi VLK (Verifikasi Legalitas Kayu) adalah

untuk menekan laju illegal logging dan illegal timber trading, yang selanjutnya untuk

memperbaiki sistem tata usaha kayu yang pada gilirannya menuju tercapainya SFM.

Page 7: STRUKTUR, STRATEGI DAN SISTEM NAFKAH …psp3.ipb.ac.id/web/wp-content/uploads/2016/06/WP-03-Livelihood.pdf · harapan terjadinya perubahan penatausahaan kayu baik pada tingkat produsen,

6

Salah satu cara untuk mencapai cita-cita SFM adalah mengurangi emisi karbon dari

kawasan hutan yang terjadi via pembalakan liar yang menyebabkan degradasi hutan.

Pengurangan emisi karbon tersebut dapat dipastikan terjadi hanya jika kayu yang

ditebang terjamin legalitasnnya melalui proses sertifikasi (SVLK). Oleh karena itu,

sertifikasi atau formalisasi kayu, selain ditujukan untuk memperbaiki harga jual kayu, juga

dalam rangka untuk menekan emisi karbon atau memperbaiki kualitas lingkungan hidup.

Berbagai negara, terutama negara-negara yang tergabung dalam Uni Eropa,

memberikan dukungan kuat sertifikasi produksi dan perdagangan kayu yang beralaskan

pendekatan pada pilihan rasional ini. Pada dasarnya, negara-negara mitra perdagangan

kayu Indonesia mendorong upaya pengukuhan tata-kelola kehutanan yang baik (good

forest governance) yang dimulai dari proses pemanenan dan perdagangannya melalui

pengukuhan sejumlah peraturan (law enforcement) yang dibuktikan melalui sertifikasi.

Keseluruhan proses inilah yang kemudian dikenal sebagai upaya formalisasi produksi

dan perdagangan kayu.

Namun demikian, sistem tata-kelola hutan (good forest governance) yang baik, melalui

sertifikasi atau formalisasi yang mengantarkan terwujudnya cita-cita SFM, terancam tidak

akan terealisasi, bila sertifikasi tidak dilakukan secara menyeluruh pada semua pelaku

ekonomi kayu. Artinya, tetap akan terjadi peluang bagi kayu eks pembalakan liar yang

masuk ke pasar (terutama pasar domestik) dan mendapatkan pasar. Teori pilihan

rasional yang mendasari perilaku ekonomi liberatif-pasar, bagi terselenggaranya

sertifikasi kayu, tidak akan berjalan dalam kondisi seperti ini. Dengan asumsi bahwa

adanya black-market bagi kayu tidak legal, maka petani hutan rakyat tidak akan

terinsentif untuk melakukan sertifikasi. Bagi mereka, pertimbangan rasionalnya menjadi

terbalik. Sepanjang kayu tak bersertifikat tetap mendapatkan akses pasar, maka

sertifikasi adalah sebuah redundancy (kesia-siaan) belaka. Black-market seperti ini akan

mengembalikan good forest governance kembali kepada praktek bad forest governance

yang mengancam kawasan hutan kembali memburuk kualitasnya. Kenyataanya, di

Indonesia, pasar kayu yang tidak mensyarakatkan sertifikat jauh lebih banyak jumlahnya

daripada pasar kayu yang mensyaraktkan kayu bersertifikat saja yang diperdagangkan.

Hingga titik ini, sertifikasi atau formalisasi menghadapi tantangan yang sangat hebat.

Namun demikian pemerintah berketetapan untuk melanjutkan program sertifikasi. Setelah

melalui perjalanan diskursif yang sangat panjang tentang perlu atau tidaknya proses

formalisasi, sertifikasi dan pengukuhan tata-kelola kehutanan yang baik, maka

pemerintah Indonesia pada tahun 2009 mengeluarkan Peraturan Menteri Kehutanan atau

Permenhut No. 38/2009 tentang SVLK (Sistem Verifikasi Legalitas Kayu). Dengan

Page 8: STRUKTUR, STRATEGI DAN SISTEM NAFKAH …psp3.ipb.ac.id/web/wp-content/uploads/2016/06/WP-03-Livelihood.pdf · harapan terjadinya perubahan penatausahaan kayu baik pada tingkat produsen,

7

peraturan ini, Indonesia menegaskan bahwa hanya kayu formal yang telah lolos

sertifikasi SVLK (dengan segala parameter pengukuran berorientasi pada prinsip-prinsip

pengelolaan hutan lestari) yang boleh beredar secara absah dan mendapatkan pasar

yang luas hingga ke luar negeri. Sistem sertifikasi SVLK dilakukan terutama untuk

mencegah terjadinya illegal logging pada tataran produksi kayu, perdagangan, industri,

hingga ekspor kayu.

Pada tahun 2011 Kementerian Kehutanan Republik Indonesia mengeluarkan kembali

Permenhut No. 68/2011 tentang PK-PHPL atau Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan

Produksi Lestari yang dikenakan bagi hutan produksi (skala besar). Dengan dua

instrumen pengaturan ini, sistem transaksi kayu tersebut, pemerintah hendak semakin

dalam memformalisasi transaksi dan industri serta perdagangan kayu di dalam negeri.

Harapannya hanya satu yaitu menahan terjadinya pembalakan liar dalam segala

bentunya yang berpotensi mendegradasi hutan serta emisi karbon, sehingga cita-cita

SFM tidak tercapai.

Formalisasi produksi dan tataniaga kayu melalui FLEGT yang dikembangkan dalam

kerangka VPA (Voluntary Partnership Agreement) antara Indonesia dengan negara mitra

(Uni Eropa) segera dikukuhkan lebih nyata sebagai basis perdagangan kayu kedua belah

pihak pada tahun 2013. Gagasan utamanya adalah, menutup peluang adanya pasar

gelap kayu di negara tujuan ekspor, selain menutup peluang pembalakan liar di negeri

asal (Indonesia). Dengan perjanjian ini diharapkan tidak saja Indonesia bisa menahan

illegal logging, tetapi juga negara-negara pembeli kayu (para konsumen kayu) menyadari

akan pentingnya legalitas kayu yang mendorong terciptanya SFM bagi negara produsen

kayu. Untuk itu secara pararel mekanisme pasar kayu juga dibangun untuk mendukung

dan memberikan penghargaan terhadap produksi dan perdagangan kayu yang legal dan

berkelanjutan yang salah satunya dilakukan dengan skenario sertifikasi SVLK dan PK-

PHPL tersebut.

Pelaksanaan sertifikasi VLK (Verifikasi Legalitas Kayu) untuk hutan rakyat sampai saat ini

sudah terlaksana di beberapa wilayah. Pada hutan rakyat, sertifikasi VLK diberikan

kepada gabungan kelompok tani hutan rakyat (gapoktanhut) yang sejauh ini masih

proses sertifikasinya didanai oleh pihak luar (bukan dari petani). Belum ada petani hutan

rakyat yang secara mandiri (self-financing) melakukan sertifikasi terhadap kayunya.

Bahkan belum semua petani hutan rakyat tersosialisasikan mengenai sertifikasi VLK

yang bersifat mandatory (keharusan) sejak keluarnya peraturan dari pemerintah berupa

Permenhut tersebut.

Page 9: STRUKTUR, STRATEGI DAN SISTEM NAFKAH …psp3.ipb.ac.id/web/wp-content/uploads/2016/06/WP-03-Livelihood.pdf · harapan terjadinya perubahan penatausahaan kayu baik pada tingkat produsen,

8

Di sisi pengusaha atau petani kayu rakyat (smallholding forest), dengan tersertifikasinya

kayu, diharapkan harga kayu menjadi naik sehingga secara tidak langsung sertifikasi

tidak hanya mengurangi adanya kayu ilegal namun turut meningkatkan pendapatan

petani dari kayu. Sebagai reward terhadap pelaksanaan sertifikasi, petani akan

mendapatkan harga kayu yang lebih baik yang secara rasional akan diperoleh, bila

praktek SFM tercapai. Asumsinya, bila SFM tercapai, maka kualitas kayu akan meningkat

sehingga mendorong harga produk kayu yang membaik. Dengan harga kayu yang lebih

baik, maka petani hutan rakyat dapat menyisihkan profitnya untuk membiayai proses

sertifikasi di tahun berikutnya. Dengan mekanisme kelompok, petani hutan rakyat dapat

lebih ringan mendanai sertifikasi hutan rakyatnya, karena pendanaan dilakukan secara

kolektif. Tambahan profit, jelas akan memberikan tambahan kesejahteraan karena

pendapatan rumahtangga petani meningkat, yang berarti tabungan meningkat pula.

Untuk itu, kajian ini berharap mengetahui sejauh mana dampak sertifikasi kayu terhadap

status nafkah rumahtangga petani hutan rakyat? Sedikit lebih jauh dipertanyakan pula,

bagaimana kaitan antara sertifikasi yang dijalankan pada bentuk-bentuk struktur agraria

dan bentuk hubungan sosial produksi usahatani kayu tertentu dengan livelihood security

rumahtangga petani hutan rakyat?

1.2. Tujuan

Kajian tentang formalisasi produksi kayu di hutan rakyat ini dilakukan dengan tujuan

sebagai berikut:

1. Mengetahui posisi penting atau makna usahatani kayu dalam sistem nafkah

rumahtangga petani hutan rakyat melalui perhitungan sumbangan ekonominya

terhadap struktur nafkah.

2. Mengetahui sejauhmana sertifikasi terkait dengan struktur agraria dan pola hubungan

sosial produksi dalam usahatani kayu yang mempengaruhi sistem nafkah

rumahtangga petani hutan rakyat.

3. Mengetahui sejauhmana sertifikasi atau formalisasi berdampak terhadap sistem

keamanan penghidupan (livelihood security) pada rumahtangga petani hutan rakyat di

Kabupaten Wonosobo, Wonogiri dan Blora.

4. Merumuskan pilihan kebijakan untuk menyiapkan petani siap-sertifikasi dari perspektif

livelihood rumahtangga petani.

Page 10: STRUKTUR, STRATEGI DAN SISTEM NAFKAH …psp3.ipb.ac.id/web/wp-content/uploads/2016/06/WP-03-Livelihood.pdf · harapan terjadinya perubahan penatausahaan kayu baik pada tingkat produsen,

9

1.3. Keluaran

Keluaran kajian ini berupa gambaran menyeluruh mengenai kondisi sistem nafkah

(livelihood system) rumahtangga petani hutan rakyat (smallholding forest) secara umum,

baik yang hutan rakyatnya telah mendapatkan sertifikasi maupun yang belum

tersertifikasi. Dengan memahami gambaran tentang karakteristik sosio-ekonomi, struktur

agraria, pola hubungan sosial-rpoduksi agraria, sistem penghidupan serta struktur nafkah

rumahtangganya, maka akan diketahui bagaimana peran hutan rakyat terutama terhadap

sistem survival petani di desa. Pengetahuan tentang struktur agraria terkait tipe

kepemilikan atau penguasaan atas lahan memperlihatkan bagaimana rumahtangga

bermanuver dalam memanfaatkan modal utama dalam budidaya tanaman kayu-kayuan

yaitu tanah. Secara keseluruhan akan tampak dari hasil studi ini bagaimana bentuk atau

struktur nafkah yang tersusun dari berbagai sumber nafkah yang selanjutnya akan

menggambarkan keseluruhan sistem penghidupan rumahtangga petani hutan rakyat di

kabupaten-kabupaten yang diteliti. Termasuk dalam ruang-lingkup kajian ini, adalah

menjawab pertanyaan pola hubungan sosial produksi yang manakah yang pas agar

sertifikasi dapat dijalankan? Bila sertifikasi menghadapi kendala untuk dijalankan karena

ketidaksesuaiannya dengan bentuk atau pola hubungan sosial produksi yang ada, maka

apa langkah yang perlu dilakukan? Pada akhirnya akan diketahui sedalam apakah

sertifikasi diperlukan dan berdampak pada sistem penghidupan (livelihood security and

sustainability) rumahtangga petani hutan rakyat, sehingga mereka memiliki alasan

rasional yang cukup untuk terlibat dalam proses sertifikasi (formalisasi) kayu selanjutnya.

1.4. Metodologi dan Ruang Lingkup

Kajian ini mengguakan pendekatan kuantitatif dan kualitatif, dimana kombinasi survai

terhadap sejumlah responden di tiga kabupaten maupun pendekatan non-survai berupa

indepth interviews dilakukan terhadap rumahtangga petani hutan rakyat sebagai unit

analisisnya. Pendekatan kualitatif dilakukan untuk menggali informasi atau penjelasan-

penjelasan “the why” yang digali melalui wawancara mendalam dan diskusi kelompok

terfokus. Diskusi kelompok terfokus yang melengkapi pendekatan kualitatif dilakukan di

setiap desa dari enam lokasi studi (desa) di tiga kabupaten studi yaitu Kabupaten Blora,

Wonogiri, dan Wonosobo. Peserta dikusi adalah stakeholders hutan rakyat di tingkat lokal

(desa/kecamatan) baik mewakili petani, pedagang maupun industri kecil di bidang

pengolahan perkayuan.

Page 11: STRUKTUR, STRATEGI DAN SISTEM NAFKAH …psp3.ipb.ac.id/web/wp-content/uploads/2016/06/WP-03-Livelihood.pdf · harapan terjadinya perubahan penatausahaan kayu baik pada tingkat produsen,

10

Sementara itu, pendekatan kuantitatif lebih digunakan untuk menangguk data obyektif

atau “the what” yang terukur dan bersifat numerik dalam struktur nafkah rumahtangga

petani hutan rakyat. Pendekatan kuantitatif dilakukan dalam bentuk survai rumahtangga

terhadap 40 sampel rumahtangga petani hutan rakyat di setiap desa (setiap lokasi).

Dengan mengambil enam lokasi penelitian yang terbagi ke dalam tiga kategori desa atau

setara dengan hutan rakyat bersertifikat dan tiga desa atau setara dengan hutan rakyat

yang belum bersertifikat, maka total responden dalam studi ini sebanyak 240

rumahtangga petani hutan rakyat (smallholding forest). Data diolah dan disajikan

menggunakan tabel-tabel frekuensi sederhana serta matriks-matriks.

Tulisan ini secara garis besar akan membahas tiga aspek besar sistem penghidupan

rumahtangga petani hutan rakyat. Pertama, aspek struktur agraria kehutanan (rakyat)

beserta hubungan sosial produksi hutan rakyat yang menjadi basis penting produksi kayu.

Kedua, sistem penghidupan rumahtangga petani hutan rakyat yang ditinjau dari struktur

nafkah dan strategi bertahan hidupnya. Ketiga, aspek sertifikasi kayu atau proses

formalisasi yang berpengaruh kepada kinerja sosio-ekonomi unit-unit usaha ekonomi

petani hutan rakyat. Ketiga aspek akan diintegrasikan menjadi satu kesatuan analisis

yang diharapkan mampu menggambarkan keseluruhan perhatian tentang dampak

seritifikasi pada sistem penghidupan atau livelihood system (sistem nafkah) rumahtangga

petani hutan rakyat. Pada akhirnya akan dijawab apakah formalisasi membahayakan

keamanan atau keterjaminan sistem nafkah mereka serta keberlanjutan sistem nafkah di

masa mendatang.

1.5. Konsep-Konsep Relevan: Struktur Agraria, Sistem Nafkah, Strategi dan

Struktur Nafkah, serta Sertifikasi sebagai Bentuk Strategi Formalisasi

Kaitan antara struktur agraria, sistem nafkah, struktur nafkah (struktur pendapatan

rumahtangga petani hutan rakyat), strategi nafkah (cara bertahan hidup) dengan

menggunakan hasil kayu sebagai alat survival pada petani hutan rakyat (smallholding

forest) akan dimulai dengan penjelasan atas konsep-konsep yang digunakan. Pengertian

yang sama atau setidaknya selaras, akan mempersempit jurang perbedaan pemahaman

atas konsep-konsep yang sedang dimainkan dalam analisis.

Struktur Agraria

Konsep pertama yang penting adalah, struktur agraria. Struktur agraria yaitu menunjuk

pada keseluruhan pola pemilikan dan penguasaan lahan yang ada di desa studi. Struktur

Page 12: STRUKTUR, STRATEGI DAN SISTEM NAFKAH …psp3.ipb.ac.id/web/wp-content/uploads/2016/06/WP-03-Livelihood.pdf · harapan terjadinya perubahan penatausahaan kayu baik pada tingkat produsen,

11

agraria juga menunjuk pada distribusi luasnya lahan yang dimiliki/dikuasai oleh setiap

lapisan sosial, pola pengukuhan penguasaan dan pemilikan lahan, pola distribusi lahan,

cara-cara untuk mengokupasi atau land encroachment, mekanisme ekspansi lahan, serta

cara-cara untuk mendapatkan/melepaskan hak kepemilikan/penguasaan atas lahan

termasuk sistem pewarisan (lihat Kuhnen, 1982). Struktur agraria juga menjelaskan

bentuk-bentuk akses petani terhadap sumberdaya tanah untuk mempertahankan

penghidupan (nafkah). Dalam studi ini, akses tanah PHBM (Pengelolaan Hutan Bersama

Masyarakat) yang diberikan oleh Perhutani di kabupaten Blora terhadap petani sekitar

hutan, adalah salah satu struktur agraria penting yang memberikan basis survival bagi

rumahtangga petani hutan rakyat, terutama golongan miskin. Namun demikian, studi ini

tidak membahas secara mendetail setiap aspek struktur agraria yang ada di lokasi studi

melainkan memilih beberapa aspek struktur agraria yang relevan dengan persoalan

hutan rakyat dan kaitannya dengan cara bertahan hidup mereka.

Sistem Nafkah

Konsep penting kedua adalah sistem nafkah atau sistem penghidupan atau livelihood

system. Dalam hal ini, sistem penghidupan didefinisikan sebagai: “keseluruhan dari cara,

tindakan atau strategi ekonomi untuk bertahan hidup berbasis sumber-sumber nafkah

yang dijalankan secara individual, rumahtangga, maupun secara kelompok, atau di dalam

komunitas/masyarakat”. Sistem nafkah berisi strategi-strategi nafkah yang merupakan

kesatuan dari keseluruhan manuver, taktik, dan usaha manipualtif terhadap segala

sumberdaya yang tersedia, yang disusun dalam rangka beradaptasi terhadap lingkungan

sosial-ekonomi-ekologi yang terus berubah. Sistem nafkah selalu dipelihara dalam

derajat stabilitas tertentu yang memungkinkan pelaku ekonomi (petani) mencapai tujuan

bertahan hidup (survival) maupun pencapaian tujuan peningkatan status sosio-ekonomi.

Sistem penghidupan dijalankan baik dalam kondisi normal (normal situation) maupun

dalam situasi krisis (critical situation). Dengan batasan ini sistem penghidupan atau

sistem nafkah memuat aspek-aspek: (1) tindakan ekonomi; (2) sumber nafkah; (3)

penyesuaian atau adaptasi terhadap lingkungan sosial-ekonomi-ekologi yang berubah; (4)

adanya tujuan bernafkah; (5) situasi ekonomi yang dihadapi pada saat mengambil

tindakan. Beragam pengertian tentang sistem penghidupan atau sistem nafkah

selanjutnya dapat dirujuk dari tulisan-tulisan Dharmawan (2001 dan 2007), Ellis (2000)

dan juga Titus and Burgers (2008).

Page 13: STRUKTUR, STRATEGI DAN SISTEM NAFKAH …psp3.ipb.ac.id/web/wp-content/uploads/2016/06/WP-03-Livelihood.pdf · harapan terjadinya perubahan penatausahaan kayu baik pada tingkat produsen,

12

Strategi Nafkah

Pada dasarnya, dalam situasi seperti apapun (normal maupun kritis), setiap individu

dalam rumahtangga akan melakukan upaya responsif terhadap keadaan di sekitarnya

yang terus berubah. Upaya responsif tersebut berbentuk aksi atau tindakan, manuver,

dan aksi manipulatif, terhadap sejumlah sumberdaya yang tersedia baik yang dalam

penguasaannya maupun tidak dalam penguasaannya, untuk bertahan hidup. Segala cara

dan taktik yang dibangun atau dikembangkan individu, rumahtangga dan masyarakat

untuk terus bertahan hidup inilah yang disebut sebagai strategi nafkah (livelihood

strategy). Bentuk-bentuk sumberdaya yang dimanipulasi dalam bingkai strategi nafkah,

dimanfaatkan, dieksploitasi untuk bertahan hidup terdiri dari sumberdaya alam, manusia,

fisik, sosial, maupun dana-cash. Terdapat banyak ragam strategi yang dibangun oleh

rumahtangga (dalam hal ini petani hutan rakyat). Tipologi strategi nafkah yang umumnya

dijumpai pada masyarakat pedesaan menurut Dharmawan (2001), diantaranya adalah: (1)

diversifikasi sumber nafkah atau sumber pendapatan atau sering disebut juga sebagai

pola nafkah ganda; (2) straddling activities – seseorang yang melakukan multiple

employment; (3) alokasi sumberdaya manusia – anggota rumahtangga berbagi peran

ekonomi yang berbeda-beda; (4) optimalisasi pemanfaatan sumberdaya alam –

intensifikasi pertanian. Menurut Ellis (2000) ada strategi nafkah tipe ke-5 yang juga

menonjol dibangun di masyarakat desa di dunia ketiga yaitu strategi nafkah berbasis

modal sosial. Setiap rumahtanga bisa mengembangkan lebih dari satu strategi nafkah

dalam waktu bersamaan demi tujuan survival. Dalam hal rumahtangga petani hutan

rakyat, strategi yang paling menonjol dilakukan kelak akan tampak bahwa tipe pertama

yaitu pola nafkah ganda yang tampak dominan. Studi tentang dampak sertifikasi terhadap

livelihood system pada rumahtangga petani hutan rakyat, menghasilkan gambaran yang

menarik bahwa baik kasus Wonosobo, Wonogiri maupun Blora, semua rumahtangga

petani hutan rakyat di semua lapisan, menjalankan strategi pola nafkah ganda (income

diversification). Berbasiskan sumberdaya agraria (tanah) dalam luasan yang terbatas

sebagai modal utama untuk bertahan hidup, didapati pola seragam di ketiga kabupaten

kasus, yaitu berstrategi dengan mengandalkan pendapatan/aktivitas farm (pertanian

sawah) + non-farm (jasa, perdagangan, industri) + hutan rakyat skala kecil. Perlu

dikemukakan dalam hal ini, hutan rakyat lebih banyak dilakukan untuk memenuhi strategi

berjaga-jaga. Kayu yang dihasilkan bukan sebagai strategi nafkah utama untuk bertahan

hidup, melainkan bertahan di kala ada keperluan mendesak. Oleh karena itu ditemukan

strategi khas rumahtangga petani hutan rakyat yaitu “strategi tebang butuh” (timber is cut-

down only when needed).

Page 14: STRUKTUR, STRATEGI DAN SISTEM NAFKAH …psp3.ipb.ac.id/web/wp-content/uploads/2016/06/WP-03-Livelihood.pdf · harapan terjadinya perubahan penatausahaan kayu baik pada tingkat produsen,

13

Tujuan berstrategi nafkah biasanya sekedar untuk bertahan hidup (survival) dan/atau

sekedar mengatasi krisis ekonomi yang dihadapi oleh individu ataupun rumahtangga,

maupun dalam rangka untuk meningkatkan status sosial-ekonomi (lihat kembali Ellis,

2000 dan juga Scoones, 1998 serta Ellis and Freeman, 2005). Sistem nafkah akan

berkelanjutan (sustainable livelihood system) manakala strategi yang dibangun tidak

membuat generasi berikutnya harus berkompromi pada alam, oleh karena sumber-

sumber nafkah yang tidak lagi memberikan kecukupan ekonomi untuk bertahan hidup

atau hidup yang layak.

Struktur Nafkah

Dalam konteks strategi nafkah, maka dalam kajian ini, sistem penghidupan atau sistem

nafkah rumahtangga petani hutan rakyat dipahami secara lebih spesifik sebagai: “segala

bentuk pendapatan rumahtangga yang diperoleh oleh rumahtangga petani hutan rakyat,

dari berbagai sumber mata-pencaharian atau sumber nafkah yang memungkinkan

rumahtangga tersebut survive”. Sumber nafkah dapat berasal dari sektor pertanian

(budidaya padi, palawija, ternak, ikan, perkebunan, dan hortikultura), atau dari sektor

non-pertanian (jasa, perdagangan dan industri), maupun dari hutan rakyat (boleh dibaca

sebagai: “kebun jati” ataupun “kebun sengon”). Setiap sumber nafkah akan

menyumbangkan pendapatan kepada rumahtangga petani hutan rakyat, sedemikian

sehingga berperan penting dalam menambah daya survival mereka. Kesatuan dari

keseluruhan sumbangan ekonomi sumber-sumber nafkah, dalam ekonomi rumahtangga

petani hutan rakyat akan membangun sebuah gambaran tentang struktur nafkah atau

struktur pendapatan (income structure) atau disebut secara sederhana sebagai struktur

pendapatan rumahtangga. Dalam kajian ini, struktur pendapatan rumahtangga akan

dilihat dari: (1) persentase sumbangan pendapatan dari sektor pertanian/farm, non-

pertanian/non-farm, serta hutan rakyat terhadap total pendapatan rumahtangga petani

hutan rakyat; (2) besarnya peran sosial-ekonomi dari setiap sumber nafkah termasuk

sektor perkayuan atau hutan rakyat terhadap keseluruhan perekonomian rumahtangga

petani hutan rakyat. Benarkah hutan rakyat atau ekonomi kayu, mampu memberikan

kesejahteraan bagi rumahtangga petani hutan rakyat? Benarkah hutan rakyat mampu

memberikan sumbangan yang berarti sehingga sistem nafkah petani hutan rakyat dinilai

sebagai aman dan berkelanjutan (livelihood security and livelihood sustainability)? Dalam

uraian selanjutnya akan dijelaskan bahwa studi ini membuktikan bahwa hutan rakyat

memberikan fungsi yang tegas kepada rumahtangga petani hutan rakyat sebagai

penjamin keamanan (livelihood security mechanism) atau sebagai katup-pengaman

(safety valve) untuk menghadapi masa krisis ekonomi.

Page 15: STRUKTUR, STRATEGI DAN SISTEM NAFKAH …psp3.ipb.ac.id/web/wp-content/uploads/2016/06/WP-03-Livelihood.pdf · harapan terjadinya perubahan penatausahaan kayu baik pada tingkat produsen,

14

Formalisasi Perdagangan Kayu

Konsep berikutnya adalah formalisasi atau sertifikasi kayu, yang dipahami sebagai:

“segala upaya untuk membawa sistem produksi dan bisnis/perdagangan kayu dalam

bingkai keteraturan dan ketundukan terhadap norma-norma pengaturan atau tata-kelola

usahatani dan bisnis kayu yang lebih baik, transparan, akuntabel, dan dapat

dipertanggungjawabkan kepada publik”. Output dan outcome proses sertifikasi adalah

sebuah produk yang diharapkan berkualitas, memberikan jalan kepada terwujudnya SFM,

dan kredibel di mata semua pihak yang pada akhirnya memiliki kemampuan untuk

menerobos pasar internasional. Dalam hal ini, sertifikasi kayu dijalankan secara

konsisten sehingga membangun tipe transaksi yang lebih formal (taat pada aturan) dan

lebih memberikan sinyal positif kepada pasar, bila dibandingkan dengan transaksi-

transaksi yang tanpa aturan formal. Transaksi yang bersifat informal (tanpa sertifikasi),

diyakini rentan terhadap praktek penebangan atau pemanenan kayu yang tidak taat-azas

terhadap prinsip-prinsip SFM (sustainable of forest management) sehingga

membahayakan lingkungan. Dengan demikian, maksud dan tujuan dilakukannya

sertifikasi atau formalisasi dalam transaksi perdagangan kayu, selain memberikan

landasan tata-kelola usahatani dan perdagangan kayu yang lebih rasional dan lebih baik,

juga dalam rangka memperkuat keterjaminan dari cita-cita SFM dalam pemanfaatan

hutan.

Kelima konsep yang telah diulas tersebut di tasa digunakan untuk menjawab pertanyaan:

apakah atau sejauh manakah sertifikasi kayu mempengaruhi keberlanjutan sistem nafkah

rumahtangga petani hutan rakyat? Apakah sertifikasi atau formalisasi terhadap kayu,

mendatangkan dampak perbaikan ataukah pemburukan pada status/keamanan sosial-

ekonomi rumahtangga petani hutan rakyat? Kedua pertanyaan yang juga telah

dirumuskan pada bagian tujuan di atas, dicoba dijawab oleh studi ini.

Page 16: STRUKTUR, STRATEGI DAN SISTEM NAFKAH …psp3.ipb.ac.id/web/wp-content/uploads/2016/06/WP-03-Livelihood.pdf · harapan terjadinya perubahan penatausahaan kayu baik pada tingkat produsen,

15

2. STRUKTUR AGRARIA PADA RUMAHTANGGA PETANI

HUTAN RAKYAT DI TIGA KABUPATEN

2.1. Tinjauan Konseptual Struktur Agraria

Pemahaman secara umum dari struktur agraria menurut Kuhnen (1982) adalah: “all the

existing and lasting production and living condition found in rural region. It comprises

social, technological, and economic elements and determines the achievable productivity,

income and its distribution, and the rural population’s social situation”. Semua sistem

produksi yang ada di pedesaan yang menjamin terbangunnya sistem penghidupan

masyarakat yang tinggal di pedesaan, pada dasarnya dipahami sebagai pengertian

umum dari struktur agraria. Selanjutnya Kuhnen (1982) mengemukakan bahwa struktur

agraria secara khusus mencakup dua sub-sistem yang penting yaitu: “system of land

tenure or social agrarian structure and the system of land management or technical and

economic agrarian structure”.

Seperti telah disampaikan di awal tulisan, bahwa sistem verifikasi dan legalitas kayu atau

yang disingkat dengan SVLK terkait erat dengan dua jenis sumberdaya agraria yakni

tanah dan hutan. Merujuk pada Sitorus (2002), dan Sihaloho (2004), dalam sistem

produksi ekonomi di pedesaan dikenal konsep sumber-sumber agraria. Dalam hal ini,

sumber agraria atau tanah atau permukaan bumi merupakan suatu jenis sumber daya

yang menjadi modal alami utama dalam kegiatan pertanian dalam arti luas termasuk

kehutanan. Pertanian maupun kehutanan pada dasarnya adalah sistem produksi yang

memerlukan tanah dalam pengertian kawasan/lahan dan tanah secara fisik. Para petani

sangat memerlukan sumberdaya tanah (dalam pengertian ruang/spasial dan pengertian

fisik-tanah secara sekaligus) sebagai basis kegiatan usahataninya. Sementara hutan

dimaknai sebagai kesatuan flora dan fauna yang hidup di dalam suatu kawasan atau

wilayah di luar kategori pertanian budidaya yang juga memerlukan ruang/kawasan/lahan

sebagai basis untuk tumbuhnya flora dan fauna tersebut.

Analisis tentang struktur sosial agraria pada rumahtangga petani hutan rakyat, akan

dibagi ke dalam tiga bagian besar penjelasan, yaitu: (1) pola pemilikan dan penguasaan

(akses terhadap) lahan – terkait dengan bagaimana pola pemilikan dan penguasaan

lahan; (2) hubungan sosial agraria – relasi atau hubungan sosial dalam sistem produksi

agraria; (3) sistem budidaya pertanian, yang terkait dengan sistem usahatani kayu dan

non-kayu dalam sistem ekonomi produksi rumahtangga petani hutan rakyat.

Page 17: STRUKTUR, STRATEGI DAN SISTEM NAFKAH …psp3.ipb.ac.id/web/wp-content/uploads/2016/06/WP-03-Livelihood.pdf · harapan terjadinya perubahan penatausahaan kayu baik pada tingkat produsen,

16

Pola pemilikan dan penguasaan lahan di dalam tulisan ini merujuk pada Sihaloho (2004)

bahwa analisis akan dititikberatkan pada hubungan antar berbagai status sosial menurut

penguasaan sumber-sumber agraria. Kemudian, pemilikan lahan dimaknai sebagai

sejauhmana petani baik yang telah menerima sertifikasi, maupun non sertifikasi di dalam

hal keabsahan atau legitimasi penguasaan lahan dan pada akhirnya bermuara pada

analisis akses dan kontrol petani terhadap lahan pertanian sawah dan hutan. Dari pola

penguasaan dan pemilikan lahan kemudian dipahami kajian mengenai stratifikasi petani

hutan rakyat berdasarkan akumulasi luasan lahan yang dimiliki dan dikuasai. Sistem

budidaya pertanian dimaknai sebagai upaya-upaya petani di dalam memanfaatkan lahan,

kaitannya dengan struktur agraria yang telah terbangun di tiap komunitas petani di tiga

wilayah yang berbeda yaitu Kabupaten Wonosobo, Wonogiri, dan Blora.

2.2. Sejarah Akusisi, Penguasaan serta Skala Penguasaan Lahan

Sebelum memahami pola penguasaan dan pemilikan lahan pada rumahtangga petani

hutan rakyat di tiga kabupaten, maka perlu untuk memahami sejarah lokal agraria di tiga

wilayah tersebut. Hal ini dikarenakan, sejarah terhadap struktur penguasaan dan

pemilikan lahan akan memberikan gambaran seberapa besar tingkat kedaulatan petani

dalam pengambilan keputusan rumahtangga terkait pengelolaan usahatani termasuk

usahatani kayu hutan rakyat. Tingkat kepastian (kedaulatan) penguasaan dan

kepemilikan lahan menentukan keikutsertaan suatu rumahtangga tani untuk ikut dalam

proses sertifikasi kayu.

Sejarah Akusisi Lahan

Pola penguasaan dan kepemilikan lahan petani pada suatu wilayah tertentu tidak dapat

dilepaskan dari sejarah perolehan lahannya. Dilihat dari sejarah proses akuisisi lahan dan

perkembangan pembukaan serta penguasaan lahan, maka terdapat perbedaan yang

sangat jelas antara sejarah pemilikan lahan oleh para petani di Kabupaten Blora, dengan

para petani di dua kabupaten lainnya yakni di Kabupaten Wonosobo dan Kabupaten

Wonogiri. Bila di Blora memiliki sejarah yang agak dinamis dalam akuisisi tanah, maka

Wonosobo dan Wonogiri memiliki sejarah penguasaan tanah berpola umum.

Berbeda dengan apa yang terjadi di kawasan hutan rakyat umumnya di Kabupaten Blora,

lahan persawahan, tegalan/ladang, dan kebun campuran di desa-desa hutan rakyat

terutama Desa Besani, dan Desa Jonggol Sari, Kecamatan Leksono Kabupaten

Wonosobo, dan Kecamatan Giriwoyo serta Kecamatan Batuwarno Kabupaten Wonogiri,

Page 18: STRUKTUR, STRATEGI DAN SISTEM NAFKAH …psp3.ipb.ac.id/web/wp-content/uploads/2016/06/WP-03-Livelihood.pdf · harapan terjadinya perubahan penatausahaan kayu baik pada tingkat produsen,

17

yang menjadi lokasi studi ini, pada awalnya merupakan tanah-tanah hutan yang dibuka

oleh leluhur di masa lalu, dan kemudian kepemilikannya dibagi-bagikan kepada setiap

unit keluarga melalui sistem pewarisan. Dalam perkembangan waktu selanjutnya, petani

memperoleh lahan tidak hanya dari warisan orang tuanya saja, melainkan jika memiliki

kemampuan finasial yang cukup, maka kepemilikan dan akumulasi luasan lahan dapat

diperoleh melalui upaya pembelian lahan petani yang lain. Batas

kepemilikan/penguasaan lahan oleh petani hutan rakyat di Kabupaten Wonosobo dan

Wonogiri dipahami dengan baik oleh setiap petani yang hidup di desa yang sama.

Sebagai misal, di Desa Besani di Wonosobo, batas lahan satu dengan lainnya biasanya

dipisahkan atau ditandai oleh tumpukan batu dan tegakan tanaman tertentu yang

memberikan batas teritorial serta legitimasi spasial bagi petani tertentu atas

lahan/tanahnya.

Secara umum, struktur penguasaan dan pemilikan lahan rumahtangga petani hutan

raakyat di Wonogiri dan Wonosobo ditandai oleh karakteristik cara produksi peasantry

(usahatani skala kecil/gurem) yang subsisten orientasinya. Dalam kategori sebagai

peasantry, usahatani rumahtangga petani hutan rakyat umumnya berlahan sempit

(kebanyakan kurang dari satu hektar hingga paling maksimal lima hektar), dikelola

dengan sistem budidaya tumpangsari, dikerjakan oleh tenaga kerja dalam rumahtangga

tak berupah (unpaid family workers), dan tidak berorientasi pada keuntungan ekonomi

(subsistensi). Pada titik ini, sesungguhnya terdapat kesulitan meletakkan alasan

sertifikasi yang dijalankan oleh rasionalitas profit, di atas lahan hutan rakyat yang

dijalankan atas dasar rasionalitas-moral “tebang butuh” (timber is cut down only to fulfill

urgent needs and not for profit objective). Karena hutan rakyat bukanlah unit bisnis yang

dijalankan di atas basis-rasional untung-rugi semata, sebenarnya sertifikasi kayu

menghadapi persoalan pertama tentang inkompatibilitas rasional antara sertifikasi dan

hakikat usahatani kayu. Usahatani kayu yang dikelola oleh rumahtangga petani hutan

rakyat, biasanya terletak di pekarangan (home garden), tegalan, kebun/talun dan

pematang sawah, dengan tanaman utama sengon di Wonosobo dan jati (teak) di

Wonogiri dan Blora. Lahan untuk usahatani kayu dimiliki secara pribadi (private property)

yang dibuktikan melalui beragam alas legitimasi, diantaranya sertifikat tanah, letter C

(surat keterangan kepemilikan tanah dari desa), girik, surat pajak tanah, ataupun sekedar

pengakuan tidak tertulis dari komunitas sekitar. Hanya sebagian kecil rumahtangga

petani hutan rakyat yang mengukuhkan tanahnya dalam bentuk sertifikat tanah dari

Badan Pertanahan Nasional.

Page 19: STRUKTUR, STRATEGI DAN SISTEM NAFKAH …psp3.ipb.ac.id/web/wp-content/uploads/2016/06/WP-03-Livelihood.pdf · harapan terjadinya perubahan penatausahaan kayu baik pada tingkat produsen,

18

Dikaitkan dengan livelihood system rumahtangga petani hutan rakyat, usahatani kayu

merupakan usahatani minor yang sifatnya hanya melengkapi usahatani pangan (sawah

dan kebun). Oleh karena itu, dalam rangka membangun survival strategies, rumahtangga

petani hutaan rakyat akan selalu memprioritaskan alokasi lahan untuk pangan dari pada

non pangan. Sekalipun demikian usaha tani kayu mempunyai peran sangat penting

sebagai buffer atau katup pengaman (safety valve) ekonomi rumahtangga manakala

terjadi situasi krisis. Dengan kondisi seperti tersebut di atas, rumahtangga petani hutan

rakyat akan berusaha mengakuisisi lahan untuk utamanya untuk pemenuhan kebutuhan

pangan sebagai prioritas utama daripada usatani kayu.

Sementara itu, pola akuisisi lahan di daerah Plantungan (dimana studi ini dilakukan) dan

sekitarnya di Kabupaten Blora, sangat diwarnai suana dramatis melalui upaya akuisisi

lahan eks tanah negara yang marak dilakukan di era akhir dekade 1990an, dimana era

reformasi memberikan jalan kepada keleluasaan/kebebasan masyarakat untuk

mendapatkan tanah sebagai basis livelihood mereka melalui encroachment tanah negara.

Dari hasil akuisisi tersebut, mereka bercocok tanam dan mengembangkan sistem

penghidupan sebagai petani skala kecil. Secara singkat, akuisisi lahan untuk usahatani

kayu pada khususnya terjadi melalui proses okupasi tanah negara yang kemudian pada

akhirnya negara melegalisasi kepemilikan pribadi tanah-tanah eks-okupasi tersebut

kepada pihak yang menduduki tanah. Sebagaimana diketahui, proses akuisisi ini

melibatkan perebutan dan sengketa lahan antara petani dengan Perum Perhutani dalam

hal ini Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Rembang dan KPH Randublatung Blora.

Paralel dengan proses tersebut, sekitar tahun 1990-an Perum Perhutani sering

melakukan operasi penertiban kayu-kayu tebangan di masyarakat yang dianggap oleh

Perhutani sebagai kayu curian di lahan Perhutani. Tidak jarang masyarakat desa

Plantungan yang menyimpan gelondongan kayu mengakui yang berasal dari tegalan

miliknya dipukuli oleh aparat Perhutani, dan kayunya disita. Terdapat sebuah konflik

latent yang berintikan ketidakpercayaan antara Perhutani yang mewakili entitas bisnis

milik negara dengan petani di sekitarnya, dalam hal pemanenan usahatani kayu. Petani

merasa menjadi obyek kecurigaan dari Perhutani, sepanjang menyangkut kayu yang

dihasilkannya. Perasaan petani sering tidak menentu terkait hasil panen kayunya.

Sentimen negatif ini, tidak lepas dari sejarah okupasi lahan para petani di kawasan

Plantungan dan sekitarnya atas tanah negara yang sampai saat ini mereka diami.

Page 20: STRUKTUR, STRATEGI DAN SISTEM NAFKAH …psp3.ipb.ac.id/web/wp-content/uploads/2016/06/WP-03-Livelihood.pdf · harapan terjadinya perubahan penatausahaan kayu baik pada tingkat produsen,

19

Konflik Agraria dan PHBM sebagai Solusi Pembalakan Liar

Sementara itu, di kawasan lain yaitu Desa Kutukan dan sekitarnya, di Kecamatan

Randublatung yang lebih dekat dengan lokasi hutan Perhutani, lahan persawahan dan

kebun campuran serta tegalan diklaim oleh petani sebagai lahan yang dimiliki secara

turun-temurun oleh orang tua mereka. Petani di Desa Kutukan merupakan masyarakat

pendatang yang menduduki lahan-lahan negara di luar kawasan-milik Perhutani KPH

Randublatung. Hidup berdampingan dengan perusahaan pengelolaan hutan milik negara,

dan dalam tekanan kemiskinan menyebabkan munculnya tekanan ekonomi di kalangan

petani dalam bentuk pembalakan liar. Oleh karenanya, penebangan ilegal marak

dilakukan dan terjadi di kawasan itu, hingga terjadinya puncak pembalakan liar tahun

1999-1998 yang menyebabkan petani harus membayar mahal atas tindakan yang diakui

oleh petani di desa Kutukan tidak mereka lakukan. Wilayah pemangkuan hutan yang

dimiliki oleh Perhutani gundul karena sebagian besar telah dijarah yang menyebabkan

terbentuknya lahan kritis. Kondisi lahan yang kritis menyebabkan sumber air untuk

pertanian maupun kebutuhan sehari-hari bagi desa-desa di sekitar kawasan Perhutani

berkurang (Desa Kutukan, Kecamatan Randublatung) sehingga petani di wilayah ini yang

sudah miskin menjadi bertambah miskin karena tekanan ekologi yang cukup ekstrem

(kekeringan). Kondisi inilah yang mendorong terjadinya pembalakan liar di wilayah KPH

Perhutani setempat terus berlanjut. Untuk mengatasi pembalakan liar, Perhutani

mengembangkan program kemitraan dengan petani di sekitar hutan yang memungkinkan

rumahtangga petani hutan rakyat mendapatkan akses untuk bercocok tanam di lahan

Perhutani. Khusus di desa-desa di Kabupaten Blora yang berada disekitar kawasan

hutan perhutani, pola penguasaan lahan selain sebagaimana yang telah dijelaskan di

atas, juga terdapat PHBM (Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat). Pola PHBM

dilaksanakan di lahan Perhutani dimana petani diberi hak akses untuk membudidayakan

tanaman pangan di bawah tanaman tegakan yang dimiliki oleh Perhutani.

Secara konseptual, PHBM memiliki beberapa tujuan, pertama dengan diberikannya

akses untuk bernafkah di lahan Perhutani kepada para petani, maka intensitas konflik

antara Perhutani dan masyarakat petani sedikit mendapatkan resolusi/pemecahannya.

Sentimen negatif yang berkembang antara petani dan Perhutani tercairkan dengan

adanya PHBM, apalagi PHBM disertai dengan berbagai program pemberdayaan

kelembagaan dan organisasi sosial untuk penguatan ekonomi petani termasuk

membagikan semacam profit sharing tahunan dari usahatani kayu Perhutani kepada para

petani melalui kelompok tani melalui LMDH (Lembaga Masyarakat Desa Hutan) bentukan

PHBM. Kedua, PHBM boleh dikatakan sebagai “semacam solusi Corporate Social

Page 21: STRUKTUR, STRATEGI DAN SISTEM NAFKAH …psp3.ipb.ac.id/web/wp-content/uploads/2016/06/WP-03-Livelihood.pdf · harapan terjadinya perubahan penatausahaan kayu baik pada tingkat produsen,

20

Responsibility/CSR” (walau tak bisa dikatakan sepenuhnya benar sebagai CSR), yang

memberikan peluang usaha dan sumber nafkah alternatif bagi petani miskin disekitar

Perhutani. Ketiga, PHBM menjadi semacam instrumen untuk menekan illegal logging

pada kawasan hutan Perhutani yang sampai sekarang masih tetap terjadi walau

intensitasnya terus menurun. Keempat, PHBM adalah sebuah hubungan sosial-agraria

yang secara cerdas dikembangkan oleh Perhutani, dimana Perhutani memperoleh

tenaga kerja yang terjamin keberadaannya untuk ikut mengamankan dan memelihara

hutan kayu mereka, sekaligus memberikan rasa aman (livelihood security) kepada petani

miskin dalam bentuk kepastian akses bercocok tanam dan memanen hasil pertanian

seperti jagung atau ketela pohon yang sangat berarti untuk mendukung livelihood system

rumahtangga petani hutan rakyat. Dalam studi ini, skema PHBM tidak menjadi perhatian

sertifikasi (SVLK), karena pemeran utama produksi kayu tetap Perhutani, bukan

rumahtangga petani hutan rakyat. Sebagai perusahaan negara skala besar, Perhutani

telah memiliki sertifikasi sendiri, dimana boleh dikatakan bahwa Perhutani tidak

menghadapi persoalan sama sekali dengan sertifikasi.

Jika kembali kepada persoalan struktur agraria di tataran rumahtangga petani hutan

rakyat, maka akan didapati fakta bahwa alas hak yang mengukuhkan pemilikan lahan

yang berlaku di Kabupaten Blora secara umum adalah tanah dengan alas hak sederhana

(surat keternagan dari desa). Secara keseluruhan ada pula tanah bersertifikat, tanah

bengkok 1 dan tanah yang dikukuhkan dengan letter C. Tidak semua petani mampu

melegalisasikan atau mensertifikasikan tanah mereka di atas kertas sertifikat tanah resmi

dari Badan Pertanahan Nasional. Kemiskinan menyebabkan petani tidak mampu

mengakses legalitas atas lahan mereka, sehingga petani hanya mampu memperoleh

bukti kepemilikan lahan berupa letter C. Petani yang tidak memiliki lahan (tunakisma)

kemudian dengan sedikit modal menyewa tanah bengkok atau dari aparat pemerintah

desa untuk kegiatan pertanian, khususnya dalam kegiatan produksi padi dan palawija.

Skala Penguasaan dan Pemanfaatan Lahan

Pola penguasaan lahan petani hutan rakyat di Kabupaten Wonosobo, Wonogiri, dan

Blora menunjukkan bahwa di tiga kabupaten rata-rata luas sumberdaya agraria (lahan)

yang dikuasai tergolong sempit, hanya berkisar antara 0,747 Ha sampai dengan 2,595

Ha. Sekitar 55 persen hingga 96 persen dari total lahan yang dikuasai merupakan milik

1 Tanah bengkok merupakan bagian dari tanah desa yang selama ini diperuntukkan bagi gaji

pamong desa yaitu Kepala desa dan Perangkat Desa.. Pemberian tanah tersebut hanyalah sementara waktu selama yang bersangkutan menjabat Kepala Desa atau Perangkat Desa dan maksud pemberian tanah tersebut sebagai upah untuk memenuhi dan menghidupi diri dan keluarganya (Tobing, 2009)

Page 22: STRUKTUR, STRATEGI DAN SISTEM NAFKAH …psp3.ipb.ac.id/web/wp-content/uploads/2016/06/WP-03-Livelihood.pdf · harapan terjadinya perubahan penatausahaan kayu baik pada tingkat produsen,

21

pribadi. Fenomena yang menarik terjadi, petani yang ikut dalam program SVLK

menguasai rata-rata luas lahan sebesar 0,973 Ha sampai dengan 2,595 Ha. Sementara

petani non sertifikasi menguasai 0,747 Ha sampai dengan 1,138 Ha.

Di Kabupaten Wonosobo rata-rata luasan lahan hutan rakyat yang dimiliki oleh petani

dan diikutkan dalam program sertifikasi adalah 0,928 Ha, atau meliputi 95 persen dari

rata-rata lahan keseluruhan yang dimiliki. Sementara petani non sertifikasi biasanya

menguasai hutan rakyat rata-rata pada kisaran 0,524 Ha atau hanya berkisar 79 persen

dari lahan keseluruhan rata-rata yang dimiliki mereka.

Di kabupaten Wonogiri petani yang ikut program sertifikasi rata-rata menguasai dan

memiliki lahan secara pribadi 1,464 Ha. Sementara petani non sertifikasi menguasai dan

memiliki 1,238 Ha. Di Kabupaten Blora keadaanya pun mirip. Rumahtangga petani hutan

rakyat peserta sertifikasi memiliki sedikit lebih luas daripada rata-rata lahan yang dimiliki

oleh petani sejenis di dua kabupaten Wonogiri maupun Wonosobo. Di Blora,

rumahtangga petani hutan rakyat peserta sertifikasi rata-rata memiliki lahan sekitar 2,112

Ha. Sementara petani yang tidak ikut program sertifikasi atau non-sertifikasi hanya

memiliki lahan rata-rata hanya seluas 0,626 Ha.

Terdapat kesan umum dari ketiga kabupaten bahwa untuk keikutsertaan dalam proses

sertifikasi (SVLK), dipilih para petani dari skala pemilikan lahan yang rata-rata lebih baik

(lebih luas) dari petani kategori lainnya (non sertifikasi). Program sertifikasi, tampaknya

berasumsi bahwa dengan mengikutsertakan petani berlahan lebih luas, maka resiko

kegagalan sertifikasi akan lebih kecil, karena mereka dipandang orang-orang yang

berkemampuan ekonomi lebih baik daripada lainnya.

Dalam hal ini, lebih luasnya rata-rata pemilikan lahan petani peserta sertifikasi, bukan

mengindikasikan bahwa sertifikasi (SVLK) atau formalisasi usahatani kayu telah berhasil

mengangkat derajat penguasaan lahan petani. Penguasaan yang lebih luas tersebut

mengindikasikan bahwa kesiapan untuk sertifikasi umumnya didapati oleh rumahtangga

petani dengan penguasaan tanah yang lebih baik dari rata-rata. Terlebih lagi, dampak

ekonomi sertifikasi terhadap sistem penghidupan rumahtangga petani hutan rakyat belum

bisa dilihat dengan jelas, mengingat pada saat dilakukan studi, sertifikasi baru berjalan

kurang dari setahun dan belum memberikan dampak apapun terhadap penjualan kayu

petani. Secara detail Gambar 1 dan Gambar 2 dapat menjelaskan secara detail struktur

agraria sederhana yang dihadapi oleh rumahtangga petani hutan rakyat di tiga kabupaten

studi.

Page 23: STRUKTUR, STRATEGI DAN SISTEM NAFKAH …psp3.ipb.ac.id/web/wp-content/uploads/2016/06/WP-03-Livelihood.pdf · harapan terjadinya perubahan penatausahaan kayu baik pada tingkat produsen,

22

Gambar 1. Struktur Pemanfaatan Lahan Rumahtangga Petani Hutan Rakyat di Tiga Kabupaten

Studi, dalam prosentase, 2012

Pada Gambar 1 tampak bahwa secara umum, rumahtangga petani hutan rakyat, baik

peserta sertifikasi maupun bukan peserta sertifikasi (non-sertifikasi) di Wonosobo,

Wonogiri, ataupun Blora (khusus peserta sertifikasi) menguasai/memiliki sebagian besar

tanah atau lahan dalam bentuk kebun campuran dan ladang/tegalan. Ladang atau

tegalan mendominasi struktur landuse di Wonosobo, yaitu 65 persen untuk petani

peserta sertifikasi dan 58 persen untuk rumahtangga petani non-sertifikasi di kabupaten

tersebut. Sementera di Wonogiri, ladang/tegalan tampak menonjol bagi rumahtangga

petani hutan rakyat peserta sertifikasi (52 persen), sementara untuk petani non-sertifikasi

didominasi oleh penggunaan lahan sebagai kebun campuran (62 persen). Bagi

rumahtangga petani hutan rakyat peserta sertifikasi SVLK di Blora, didapati angka 60

persen (sebagian besar) lahannya berbentuk sebagai ladang/tegalan, hanya sebagian

kecil (4 persen) sebagai kebun campuran dan selebihnya atau 37 persen sebagai sawah.

Sebagaimana juga diketahui, pada kedua jenis land-use (ladang/tegalan dan kebun

campuran) biasanya para petani menanam kayu sengon (untuk Wonosobo) dan kayu jati

(untuk Wonogiri dan Blora). Kedua jenis upland (ladang/tegalan dan kebun campuran)

menjadi penciri penting kehadiran usahatani kayu bagi rumahtangga petani di ketiga

kabupaten. Pengecualian hanya terjadi pada rumahtangga petani hutan rakyat non-

sertifikasi di Blora (Kecamatan Randublatung) yang menguasai/memiliki sebagian besar

Page 24: STRUKTUR, STRATEGI DAN SISTEM NAFKAH …psp3.ipb.ac.id/web/wp-content/uploads/2016/06/WP-03-Livelihood.pdf · harapan terjadinya perubahan penatausahaan kayu baik pada tingkat produsen,

23

tanahnya dalam bentuk sawah (79 persen) dan hanya menyisakan ladang/tegalan pada

angka 13 persen dan kebun campuran 8 persen.

Angka mutlak alokasi lahan pada Gambar 1 disajikan pada Gambar 2. Sangat tampak

pada Gambar 2 betapa pentingnya ladang/tegalan dan kebun campuran bagi sistem

nafkah para petani hutan rakyat di tiga kabupaten, dengan pengecualian di Kecamatan

Randublatung - Blora. Kedua jenis landuse juga menjadi basis penting usahatani kayu

(hutan rakyat). Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa:

(1) upland farming menjadi penciri penting sistem nafkah rumahtanga petani hutan

rakyat di tiga kabupaten studi, sekaligus menjadi penciri penting usahatani kayu;

(2) sekalipun bertani di daerah upland, kelak akan tampak bahwa struktur nafkah

dominan para petani hutan rakyat di tiga kabupaten studi, ternyata bukanlah datang

dari kayu, melainkan datang dari sawah dan aktivitas nafkah non-farm.

Secara sosial-ekonomi, ketiga kabupaten menunjukkan ciri umum masyarakat petani

dengan sistem nafkah yang mengandalkan upland farming system. Pada sistem nafkah

yang demikian, tingkat pendapatan yang didapatkan dari aktivitas nafkah tegalan/ladang

atau kebun campuran biasanya memberikan sumbangan yang penting bagi keseluruhan

pendapatan rumahtangga. Sekalipun penting, namun biasanya sumbangannya secara

proporsional jauh lebih rendah dari apa yang diperoleh dari persawahan (wetland) dan

non-farm. Karakteristik tersebut menjadi karakteristik sosio-ekonomi kebanyakan

masyarakat petani skala kecil yang bergelut dengan upland dimana palawija dan juga

kayu menjadi sumber nafkah yang penting, walau tidak selalu dominan, di daerah

tandus/kering di Pulau Jawa umumnya.

Page 25: STRUKTUR, STRATEGI DAN SISTEM NAFKAH …psp3.ipb.ac.id/web/wp-content/uploads/2016/06/WP-03-Livelihood.pdf · harapan terjadinya perubahan penatausahaan kayu baik pada tingkat produsen,

24

Gambar 2. Struktur Pemanfaatan Lahan Rumahtangga Petani Hutan Rakyat di Tiga Kabupaten

Studi, dalam Angka Mutlak, 2012

Perlu ditambahkan informasi pada Gambar 2, khususnya bagi rumahtangga petani di

Wonosobo, hadirnya sumber nafkah buah salak (snake fruit) dari ladang/tegalan. Bagi

para petani hutan rakyat di Wonosobo, ladang/tegalan ataupun kebun campuran tidak

selalu hanya berisi tanaman sengon sebagai penghasil kayu. Bagi kepentingan

pembiayaan sertifikasi, kehadiran ekonomi salak di Wonosobo menjadi sangat penting.

Sumber nafkah dan pendapatan buah salak yang dapat dipetik terus menerus dalam

beberapa bulan, dari tegalan/ladang petani akan memberikan sumber cash-income yang

berarti serta mendatangkan “rasa aman” (feeling of economic security) bagi sistem

nafkah petani hutan rakyat. Rasa aman ini juga menopang ketersediaan dana cash yang

diperlukan untuk membiayai sertifikasi SVLK di Wonosobo.

Struktur Agraria dan Sertifikasi Kayu

Dari adanya fakta bahwa livelihood system rumahtangga petani hutan rakyat yang tidak

semata-mata disokong hanya oleh satu sumber nafkah, yaitu hutan (kayu), maka dapat

dikatakan bahwa: multiple sources of income menguntungkan bagi upaya sertifikasi kayu.

Artinya, sertifikasi kayu bagi rumahtangga petani hutan rakyat di Jawa (khususnya

Wonosobo) sebenarnya tidak murni didanai oleh usahatani kayu sengon. Melainkan,

pendanaan sertifikasi bagi hutan rakyat sebenarnya disokong oleh dana dari berbagai

sumber nafkah sejak dari hasil kebun salak sampai non-farm income. Pada titik ini,

Page 26: STRUKTUR, STRATEGI DAN SISTEM NAFKAH …psp3.ipb.ac.id/web/wp-content/uploads/2016/06/WP-03-Livelihood.pdf · harapan terjadinya perubahan penatausahaan kayu baik pada tingkat produsen,

25

sertifikasi kayu hanya akan terjadi bila sumber pendapatan dari sektor lain mencukupi

dan mendukung keseluruhan kebutuhan nafkah rumahtangga. Dengan demikian, ada

dua hal yang perlu disampaikan khusus berkaitan dengan struktur agraria dan sertifikasi

(SVLK) di Kabupaten Wonosobo, yaitu:

(1) Rumahtangga petani hutan rakyat di Wonosobo melakukan sertifikasi bukan karena

hutan rakyat (kayunya) mampu untuk membiayai proses sertifikasi secara mandiri,

melainkan atas dukungan usahatani dan sumber nafkah yang lain. Seandainya

tidak ada sumber nafkah yang lain yang gainful (salak), maka dipastikan petani

hutan rakyat di Wonosobo pun tidak akan mampu membiayai sertifikasi.

(2) Proses sertifikasi yang terjadi di Wonosobo pun "agak menyalahi" hukum ekonomi

dalam teori pilihan rasional sesuai filsafat ekonomi liberalisme-pasar (serba

kebebasan). Tampaknya, dorongan untuk melakukan sertifikasi atau formalisasi

produk kayu bukan didasarkan pada pengejaran terhadap insentif atau benefit

ekonomi, melainkan karena petani mampu membiayai sertifikasi. Rumahtangga

petani hutan rakyat mampu membiayai sertifikasi bukan karena luas hutannya

cukup besar dan memadai untuk membiayai sertifikasi, melainkan karena mereka

memiliki alternative sources of economic income berupa usaha-usaha kebun (salak)

dan non-farm yang cukup kuat untuk menopang struktur ekonomi rumahtangga

secara keseluruhan termasuk menopang pembiayaan sertifikasi kayu. Artinya,

sertifikasi dilakukan "terpaksa" dan hanya karena tunduk pada aturan pemerintah

dan bukan alasan rasional. Budaya menerima keadaan dan pasrah (resignation to

the faith ethics) yang bisaanya dipunyai oleh, menyebabkan "seolah" petani tidak

merasa terganggu oleh keputusan ikut program sertifikasi, meskipun sesungguhnya

sertifikasi ini membebani keseluruhan ekonomi rumahtangga mereka.

Dari Gambar 1 dan Gambar 2, terjelaskan pula struktur penggunaan lahan yang

berlangsung di Kabupaten Wonogiri. Walaupun strukturnya agak berbeda, tetapi tetap

dalam pola yang serupa dengan apa yang terjadi di Wonosobo. Penggunaan lahan

petani di Kabupaten Wonogiri didominasi oleh ladang/tegalan dan kebun campuran.

Peruntukan lahan untuk ladang/tegalan pada rumahtangga petani hutan rakyat peserta

sertifikasi adalah 52 persen, sementara kebun campuran 31 persen, sementara sawah

hanya 17 persen. Untuk rumahtangga petani hutan rakyat non-sertifikasi di Wonogiri,

pemanfaatan lahannya didominasi oleh kebun campuran 62 persen, sementara

ladang/tegalan 22 persen serta sawah hanya 18 persen (lihat Gambar 2).

Kecenderungan dominasi ladang/tegalan serta kebun campuran ini terjadi karena petani

terkonsentrasi pada usaha palawija dan usahatani kayu atau hutan rakyat yang telah

Page 27: STRUKTUR, STRATEGI DAN SISTEM NAFKAH …psp3.ipb.ac.id/web/wp-content/uploads/2016/06/WP-03-Livelihood.pdf · harapan terjadinya perubahan penatausahaan kayu baik pada tingkat produsen,

26

dikelola sejak turun-temurun. Jenis sertifikasi yang berjalan di Wonogiri adalah sertifikasi

LEI (Lembaga Ekolabeling Indonesia) yang telah ada sejak tahun 2004. Sekalipun

demikian, harus dikatakan bahwa saat studi dilakukan di tahun 2012, sertifikasi LEI

mengalami stagnasi. Kemandegan terjadi karena tidak ada pembaruan sertifikasi

ataupun sekedar surveillance sejak petani memperoleh sertifikat pada sekitar delapan

tahun yang lalu. Demikian juga, dampak sertifikasi LEI kepada sistem nafkah

rumahtangga petani di Wonogiri diakui nihil dan tidak ada. Pembahasan yang lebih rinci

mengenai sumber dan jenis mata pencaharian petani akan di bahas pada bagian

berikutnya pada tulisan ini yaitu pada bagian struktur dan strategi nafkah rumahtangga

petani hutan rakyat. Beberapa rumahtangga petani yang dijumpai di Batuwarno, dimana

sertifikat LEI sudah tidak berjalan lagi mengemukakan kekecewaan proses sertifikasi

yang tidak ada kelanjutannya.

Kemudian, untuk kasus petani jati di Kabupaten Blora, petani sertifikasi Gapoktanhut Jati

Mustika yang meliputi tujuh desa2 sertifikasi SVLK, dimana ladang/tegalan mendominasi

penggunaan tanah di kawasan tersebut. Rumahtangga petani di Gapoktanhut Jati

Mustika mengalokasikan 60 persen dari keseluruhan total luasan lahan yang dimiliki oleh

petani pada usahatani berbasis ladang/tegalan. Hanya empat persen lahan

diperuntukkan sebagai kebun campuran dan 37 persen adalah sawah.

Sementara untuk petani non sertifikasi, di daerah Blora atau tepatnya di Desa Kutukan,

peruntukan lahannya didominasi oleh lahan sawah yang sangat dominan. Rata-rata

alokasi pemanfaatan lahan untuk sawah pada rumahtangga petani hutan rakyat di Desa

Kutukan sebesar 79 persen (0,861 Ha) dari total luasan lahan yang dimiliki petani.

Sementara untuk ladang/tegalan hanya meliputi 13 persen (0,140 Ha) dari total luasan

lahan yang dikuasai. Sementara kebun campuran hanya meliputi 8 persen (0,085 Ha)

dari total luas lahan yang dikuasai. Hal ini menunjukkan betapa sawah adalah sumber

nafkah penting dan pertanian pangan menjadi strategi nafkah yang utama bagi

rumahtangga petani hutan rakyat di Desa kutukan. Sistem nafkah rumahtangga petani

hutan rakyat non-sertifikasi di Blora sangat bergantung pada usahatani cocok tanam di

sawah terutama pada produksi padi di musim hujan dan tembakau dan palawija yang

ditanam pada musim kemarau. Sementara peruntukan lahan ladang/tegalan yang

cenderung lebih sempit, dikarenakan sempitnya luas hutan rakyat yang dikelola secara

mandiri/dimiliki oleh rumahtangga petani. Hasil hutan bagi rumahtangga petani non-

2 antara lain Desa Plantungan, Desa Sendanghardjo, Desa Waru, Desa Tempuran, Desa Jurang

Jero, Desa Jatirejo, Desa Ngampel, Desa Soko yang semuanya berada di wilayah administratif Kecamatan Blora Kabupaten Blora.

Page 28: STRUKTUR, STRATEGI DAN SISTEM NAFKAH …psp3.ipb.ac.id/web/wp-content/uploads/2016/06/WP-03-Livelihood.pdf · harapan terjadinya perubahan penatausahaan kayu baik pada tingkat produsen,

27

sertifikasi di Desa Kutukan Kecamatan Randublatung, Blora lebih banyak datang dari

profit sharing usahatani kayu melalui skema PHBM dengan Perhutani.

Pelajaran penting yang dapat ditarik pada analisis bagian ini adalah, manakala basis

sistem nafkah atau sistem penghidupan rumahtangga petani hutan rakyat diletakkan

pada landuse ladang/tegalan atau kebun campuran, maka usahatani kayu menjadi

penting perannya sebagai sumber nafkah. Namun, manakala sawah menjadi penciri

penting dan landuse yang dominan bagi sistem penghidupan petani, maka sekalipun

penting namun usahatani kayu tidaklah signifikan dukungannya terhadap sistem

keamanan nafkah rumahtangga petani. Oleh karena itu, sertifikasi produksi kayu akan

penting diimplementasikan pada masyarakat petani hutan rakyat dengan ciri landuse

dominan pada ladang/tegalan/kebun campuran atau upland farming system. Sertifikasi

kayu kurang pas diimplementasikan pada masyarakat petani hutan rakyat berciri sawah

atau dengan karakter sistem nafkah wetland yang sangat dominan.

Status Penguasaan Lahan dan Stratifikasi Sosial

Berikut adalah uraian mengenai lahan petani berdasarkan tipe penguasaan terhadap tiga

jenis lahan (sawah, tegalan, dan kebun campuran) di tiga wilayah, dengan tetap

membandingkan antara petani yang telah tersertifikasi dengan yang non sertifikasi.

Kepemilikan sumberdaya agraria menunjukkan pada adanya relasi atau hubungan

manusia-lahan dalam legitimasi penguasaan lahan yang lebih kuat, karena penguasaan

dan akses tanah dikuasai secara lebih permanen. Sementara, tipe penguasaan lainnya

(sewa, bagi hasil dan lainnya) digunakan untuk merujuk pada relasi atau hubungan

sosial-agraria dan dalam penguasaan akses sumberdaya agraria dalam waktu yang

sementara. Sewa atau bagi hasil dikategorikan sebagai akses sementara karena di

beberapa kasus sumberdaya tersebut dimiliki oleh pihak lain, baik perorangan maupun

badan usaha seperti Perum Perhutani.

Terdapat beragam pola pengukuhan hak penguasaan lahan yang ditemukan di tiga

kabupaten studi. Secara umum hak milik adalah yang paling banyak dijumpai baik di

lahan sawah maupun ladang/tegalan maupun kebun campuran. Selain hak milik juga

ditemukan hak sewa dan hak bagi hasil yang sangat minor ditemukan di tiga kabupaten

studi. Berdasarkan data pada Gambar 3 petani hutan rakyat yang mengikuti program

sertifikasi di Kabupaten Wonosobo cenderung menguasai dan memiliki lahan secara

mandiri (hak milik) yakni menjadi petani pemilik sekaligus buruh di lahan mereka sendiri.

Data yang tampak di Kabupaten Wonosobo, Kabupaten Wonogiri dan Kabupaten Blora

menjelaskan bahwa proporsi terbesar pengukuhan hak atas tanah sawah, ladang/tegalan

Page 29: STRUKTUR, STRATEGI DAN SISTEM NAFKAH …psp3.ipb.ac.id/web/wp-content/uploads/2016/06/WP-03-Livelihood.pdf · harapan terjadinya perubahan penatausahaan kayu baik pada tingkat produsen,

28

maupun kebun campuran baik pada rumahtangga petani hutan rakyat sertifikasi maupun

non-sertifikasi adalah hak milik. Petani pemilik yang memiliki status sebagai pemilik

sekaligus buruh di lahannya sendiri umumnya masih menjadi bagian yang dominan dari

komunitasnya.

Gambar 3. Pola Pengukuhan Hak atas Tanah Petani pada beragam Jenis Pemanfaatan Lahan

(Landuse) di Tiga Kabupaten Studi, 2012

Hanya sebagian kecil proporsi pengukuhan hak atas tanah pada rumahtangga petani

hutan rakyat baik peserta sertifikasi maupun non-sertifikasi di tiga kabupaten kasus, yang

mendapatkan tanahnya dari sewa dan bagi-hasil. Hal ini menunjukkan bahwa legitimasi

atas penguasaan tanah di tiga kabupaten kasus untuk semua kategori sertifikasi kayu,

adalah sangat kuat.

Sementara itu, bila dikaitkan antara status penguasaan tanah dengan stratifikasi sosial

pada masyarakat petani hutan rakyat, dapat dilihat kaitan antara luas kepemilikan dan

penguasaan lahan pertanian dan status sosialnya sebagaimana terlihat pada Gambar 4.

Dari Gambar 4 tersebut tampak bahwa, di Kabupaten Wonosobo dan Wonogiri, petani

terbagi menjadi tiga lapisan, yakni lapisan atas, menengah dan bawah. Kategori ini

dibangun berdasarkan pertimbangan pada jumlah luasan lahan yang dimiliki oleh petani.

Page 30: STRUKTUR, STRATEGI DAN SISTEM NAFKAH …psp3.ipb.ac.id/web/wp-content/uploads/2016/06/WP-03-Livelihood.pdf · harapan terjadinya perubahan penatausahaan kayu baik pada tingkat produsen,

29

Hasil survai menunjukkan bahwa proporsi lapisan petani menengah dan bawah

merupakan bagian terbesar dari rumahtangga petani hutan rakyat di tiga kabupaten studi.

Lapisan atas (lapisan kaya) rumahtangga petani hutan rakyat adalah minoritas dalam

keseluruhan struktur masyarakat petani hutan rakyat di tiga kabupaten studi. Gambar 4

secara umum dapat menjelaskan betapa kemiskinan dan kesederhanaan penghidupan

mendominasi gambaran struktur sosial rumahtangga petani hutan rakyat.

Gambar 4. Pelapisan/Stratifikasi Sosial Berdasarkan Penguasaan Lahan dan Kategori Petani

Sertifikasi dan Non-sertifikasi, di tiga Kabupaten studi, 2012

Dari Gambar 4 juga terlihat bahwa Kabupaten Blora bisa dikatakan wilayah hutan rakyat

dengan pola pelapisan yang lebih sederhana dibandingkan dua kabupaten studi lainnya.

Di Blora hanya tersusun oleh dua lapisan sosial berdasarkan penguasaan lahan petani,

yaitu lapisan menengah dan lapisan atas. Struktur sosial di Blora jauh lebih tampak

merata bila dibandingkan dua kabupaten lainnya.

2.3. Sistem Nafkah Rumahtangga Berbasis Hubungan Sosial Produksi Agraria

pada Rumahtangga Petani Hutan Rakyat

Pola hubungan sosial agraria rumahtangga petani hutan rakyat di dalam tulisan ini

dianalisis melalui struktur hubungan sosial agraria antara rumahtangga petani hutan

rakyat dengan pihak eksternal sepanjang terkait dengan pemanfaatan tanah dalam

rangka pengamanan nafkah (securing livelihood). Artinya, dalam kondisi apapun dan

Page 31: STRUKTUR, STRATEGI DAN SISTEM NAFKAH …psp3.ipb.ac.id/web/wp-content/uploads/2016/06/WP-03-Livelihood.pdf · harapan terjadinya perubahan penatausahaan kayu baik pada tingkat produsen,

30

sepanjang memungkinkan, setiap rumahtangga petani hutan rakyat akan selalu

melakukan manipulasi organisasi sosial-agraria dalam berbagai bentuk rekayasa

hubungan sosial-produksi berbasis tanah, demi mengamankan nafkah mereka.

Boleh dikatakan bahwa, bentuk-bentuk hubungan sosial agraria yang teridentifikasi di

desa-desa kasus yang dikaji, merupakan temuan penting karena menjadi bagian dari

strategi nafkah yang dibangun petani berbasiskan kelembagaan agraria. Struktur

hubungan sosial-agraria (untuk mengamankan nafkah) yang dimaksud adalah hubungan

antara petani dengan berbagai aktor sosial berdasarkan penguasaan sumber-sumber

agraria.

Struktur dalam hubungan sosial agraria rumahtangga petani hutan rakyat dibagi ke dalam

beberapa pola, yakni pertama, pola petani mandiri, petani mandiri merupakan petani

yang menguasai sumberdaya agraria hanya melalui pola-pola kepemilikan tanah yang

permanen. Selain itu, petani juga sekaligus menjalankan perannya sebagai

buruh/penggarap di lahannya sendiri.

Kedua, pola (pengusahaan) kolektif, yang berlangsung sebagai akibat petani hutan

rakyat yang mengikuti program sertifikasi untuk legalitas kayu. Dalam pola kolektif,

“seolah-olah” petani melepaskan kepemilikan lahannya dan pengelolaan tegakan kayu

dikebunnya kepada kelompok. Dalam pola kolektif, dikenal kemudian konsep FMU

(Forest Management Unit), APHR (Asosiasi Pemilik Hutan Rakyat) atau Gapoktanhut

(Gabungan Kelompok Tani Hutan) yang merupakan kesatuan dari satuan-satuan lahan

petani individual yang dikelola secara kolektif. Rumahtangga petani tetap otonom di atas

lahan pertanian miliknya secara mandiri, namun dalam penegelolaan hutan (usahatani

kayunya), mereka harus memperhatikan petani lain (misalnya dalam jatah-penebangan).

Dalam pola kolektif, penguasaan lahan pribadi seolah melebur ke dalam bentuk yang

baru yakni secara kelompok atau kepemilikan secara kelompok. Bentuk baru dalam

artian bahwa jika selama ini keputusan dalam hal produksi, dan pemanenan merupakan

kewenangan pribadi dari petani pemilik itu sendiri, maka di dalam pola hubungan kolektif

keputusan dalam produksi dan pemanenan kayu di atas lahan milik pribadi petani

dipegang oleh kelompok. Pertimbangan kelompok telah didorong atas pertimbangan

yang sangat rasional, dan perhitungan mengenai optimalisasi lahan-lahan anggota

kelompok tani seraya memperhatikan tercapainya prinsip-prinsip SFM (sustainable forest

management) dalam pengelolaan hutan. Dalam hal ini pengamanan nafkah (livelihood

security) rumahtangga petani harus selalu dikaitkan dengan pengamanan prinsip SFM di

tingkat kolektivitas.

Page 32: STRUKTUR, STRATEGI DAN SISTEM NAFKAH …psp3.ipb.ac.id/web/wp-content/uploads/2016/06/WP-03-Livelihood.pdf · harapan terjadinya perubahan penatausahaan kayu baik pada tingkat produsen,

31

Ketiga adalah pola kemitraan, dalam artian bahwa kemitraan yang berlangsung antara

petani yang terikat dalam LMDH (Lembaga Masyarakat Desa Hutan) dengan unit usaha

ekonomi dari pihak eksternal atau Perhutan dalam hal ini. Dari studi di Blora, didapatkan

bukti adanya kemitraan berpola PHBM antara Perum Perhutani (sebuah badan usaha

milik negara yang padat modal) dengan petani hutan rakyat yang berada di sekitar

Kawasan Pemangkuan Hutan (KPH) Perhutani yang mutualistik. Sebagaimana telah

diulas di muka, PHBM dikembangkan dengan cara memberikan akses untuk bercocok

tanam di tanah milik Perhutani. Akses diberikan kepada petani yang tinggal di sekitar

KPH dengan tujuan agar terjadinya saling ikut memiliki kawasan hutan Perhutani oleh

masyarakat sekitar hutan. Petani melalui LMDH berpotensi menambah pendapatannya

dari hasil bercocok tanam sehingga memperkuat basis nafkah mereka. Sementara

Perhutani dapat memastikan keamanan hutan jati yang diusahakannya, karena petani

dan masyarakat sekitar KPH ikut memelihara dan menjaganya. Pada akhir tahun,

biasanya Perhutani membagikan profit sharing yang didapatkan oleh Perhutani kepada

petani melalui LMDH sebagai imbalan atas partisipasi petani dalam pengelolaan hutan

Perhutani. Dalam hal ini, dana sharing yang dibagikan dihitung dengan perhitungan yang

cermat dan agak kompleks, sehingga hasilnya bervariasi tergantung besarnya tegakan

pohon jati yang dikelola oleh para petani di masing-masing desa-mitra (LMDH) binaan

Perhutani.

Keempat, pola hirakhikal, petani pesanggem PHBM yang tunakisma diberikan akses

oleh Perum Perhutani dalam menguasai sumberdaya agraria berupa sebuah petakan

tanah di dalam kawasan pemangkuan hutan produksi Perhutani. Dikatakan berpola atau

bersifat hirarkhi, karena pola penguasaannya terkait dengan searahnya posisi hubungan

petani (sebagai buruh) dengan Perhutani, dimana perum Perhutani berperan sebagai

pemilik tanah. Selain bersifat hirarkhi juga pola penguasaan bersifat mengikat petani

tunakisma melalui pemberian sarana produksi pertanian. Rasionalitas yang dibangun dari

pola penguasaan ini oleh Perum Perhutani adalah rasionalitas ekonomi untuk menjamin

kesuksesan produksi tegakan dan artinya menjamin profitabilitas Perum Perhutani,

dengan memanfaatkan jasa tenaga kerja buruh tani yang bersedia bercocok tanam di

kawasan KPH. Sementara bagi petani pesanggem peluang ini dianggap sebagai salah

satu strategi nafkah atau mekanisme bertahan hidup (survival).

Kelima, pola petani penggarap dan buruh tani. Para petani menguasai sumberdaya

agraria melalui pola kepemilikan sementara (dengan cara mengusahakan lahan milik

orang lain melalui sistem bagi hasil dan sewa). Kemudian, selain itu juga untuk

menambah penghasilan keluarga, mereka juga berperan sebagai buruh tani, dan

Page 33: STRUKTUR, STRATEGI DAN SISTEM NAFKAH …psp3.ipb.ac.id/web/wp-content/uploads/2016/06/WP-03-Livelihood.pdf · harapan terjadinya perubahan penatausahaan kayu baik pada tingkat produsen,

32

biasanya mengerahkan tenaga kerja keluarga seperti istri, dan anak-anak yang telah

beranjak dewasa yang secara fisik mampu bekerja di ladang. Lapisan ini termasuk petani

tunakisma, yang antara lain termasuk sebagai kategori petani pesanggem PHBM yang

menggarap lahan milik Perum Perhutani.

Pola-pola hubungan sosial-agraria masyarakat agraris petani hutan rakyat dengan pihak

eksternal, secara struktural digambarkan oleh Gambar 5, Gambar 6 dan Gambar 7.

Ketiga gambar tersebut secara umum menunjukkan bahwa terdapat variasi yang

beraneka di tiga kabupaten studi terkait hubungan sosial-produksi agraria antara

rumahtangga petani hutan rakyat dengan pihak eksternal. Dalam prakteknya,

pengelolaan produksi lahan untuk persawahan padi, palawija, hotikultura maupun

pengelolaan hutan rakyat di kalangan petani terjadi dalam beberapa pola hubungan

sosial-agraria sekaligus. Penerapan pola hubungan sosial-agraria secara berganda

(kombinasi) dalam waktu yang bersamaan, dikarenakan penguasaan lahan petani hutan

rakyat yang terbatas. Hanya dengan cara demikian, maka petani dapat mengamankan

nafkahnya (securing livelihood). Dengan demikian rekayasa hubungan sosial-agraria

(berganda atau kombinasi) semacam ini dapat dikatakan sebagai bagian dari strategi

nafkah rumahtangga petani hutan rakyat terutama bagi mereka yang berasal dari

lapisan/skala kecil dan menengah. Dalam hal sertifikasi kayu, maka pola mandiri dan

kolektif adalah yang dominan ditemukan di tiga kabupaten studi.

Hubungan Sosial Produksi Agraria di Wonosobo

Data pada Gambar 5 tampak bahwa proporsi petani dalam hal pengelolaan pertanian

sawah dan palawija biasanya berpola petani mandiri. Petani menjadi pemilik sah atas

lahan sekaligus buruh tani di lahannya yang secara otonom bernafkah di atas tanahnya.

Di Wonosobo, pola mandiri dipraktekkan oleh 95 persen rumahtangga petani di daerah

yang mengikuti program sertifikasi, dan 80 persen di kawasan non-sertifikasi. Pola

mandiri yang dibahas dalam hal ini ini khususnya berlangsung pada pengelolaan

agroforestry atau hutan rakyat di ladang/tegalan dan kebun campuran. Selanjutnya,

untuk proporsi petani yang melakukan pola hubungan petani penggarap dan buruh tani

hanya minoritas saja, dan umumnya berlangsung di sawah.

Sementara untuk pengelolaan hutan rakyat, bagi petani yang mengikuti program

sertifikasi, maka pola kolektif dimana kewenangan pengelolaan lahan hutan rakyat tidak

lagi berada ditangan individu petani, adalah yang dominan. Di Wonosobo, pola kolektif

dijalankan oleh gabungan kelompok tani hutan rakyat “Joko Madu” atau yang saat ini

bernama APHR (Asosiasi Pemilik Hutan Rakyat) Joko Madu yang baru mendapatkan

Page 34: STRUKTUR, STRATEGI DAN SISTEM NAFKAH …psp3.ipb.ac.id/web/wp-content/uploads/2016/06/WP-03-Livelihood.pdf · harapan terjadinya perubahan penatausahaan kayu baik pada tingkat produsen,

33

sertifikasi SVLK pada tahun 2011. APHR tengah mengupayakan untuk bekerja dengan

prinsip koperasi. Sementara itu terdapat 95 persen petani non-sertifikasi yang

menjalankan produksinya sebagai petani mandiri, terutama dalam mengelola hutan

rakyatnya. Artinya, sebagian besar rumahtangga petani non-sertifikasi di Wonosobo

tetap menjalankan pola hubungan petani pemilik tunggal yang otonom di dalam

mengelola lahan hutan rakyat miliknya.

Gambar 5. Struktur Sosial Masyarakat Petani Hutan Rakyat berdasarkan Pola Hubungan Sosial

Agrarianya dengan pihak Eksternal di Kabupaten Wonosobo, 2012

Hubungan Sosial Produksi Agraria di Wonogiri

Selanjutnya, Gambar 6 menunjukkan bentuk pola hubungan sosial-produksi agraria

petani hutan rakyat di Kabupaten Wonogiri. Petani hutan rakyat mengelola hutan rakyat

secara turun-temurun dan telah lama menerima sertifikasi kayu dari lembaga LEI

(sekalipun sertifikat tersebut sudah tidak aktif lagi). Hak atas tanah dikukuhkan dalam

pola kepemilikan dan pengelolaan lahan secara individu sehingga pola hubungan sosial-

produksi agraria yang muncul dalam pengelolaan hutan rakyat pun berpola mandiri dan

hingga taraf tertentu berpola kolektif. Seluruh petani peserta program sertifikasi LEI

dinaungi oleh kelembagaan Forum Komunitas Petani Sertifikasi (FKPS), menyerahkan

pengelolaan hutannya dalam satuan kolektif atau kelompok dimana prinsip koperasi

diimplementasikan. Artinya bahwa pengelolaan hutan di tiap anggota mulai dari

Page 35: STRUKTUR, STRATEGI DAN SISTEM NAFKAH …psp3.ipb.ac.id/web/wp-content/uploads/2016/06/WP-03-Livelihood.pdf · harapan terjadinya perubahan penatausahaan kayu baik pada tingkat produsen,

34

penanaman, hingga pemanenan dan perdagangan kayu diserahkan seutuhnya kepada

kelompok FKPS dalam satuan FMU (Forest Management Unit).

Sementara, untuk petani yang non-sertifikasi tetap mempertahankan pola hubungan

produksi agraria sebagai petani mandiri, dimana segala keputusan pengelolaan hutan

rakyat ditentukan secara mandiri dan otonom oleh petani yang berperan sebagai pemilik

sekaligus pengelola lahan miliknya. Dalam hal sertifikasi atau formalisasi kayu, boleh

dikatakan bahwa proses sertifikasi produksi kayu yang dialami oleh para petani, telah

mengubah cara-berpikir mereka untuk tidak mementingkan diri-sendiri. Sekalipun

keputusan otonom tetap berada di tangan individu petani, namun kesepakatan dan

keputusan kolektif telah menjadi bagian pembelajaran yang bermakna bagi kehidupan

petani.

Gambar 6. Struktur Sosial Masyarakat Petani Hutan Rakyat berdasarkan Pola Hubungan Sosial

Agrarianya dengan pihak Eksternal di Kabupaten Wonogiri, 2012

Hubungan Sosial Produksi Agraria di Blora

Pola hubungan sosial produksi agraria rumahtangga petani hutan rakyat di Blora

berlangsung agak kompleks bila dibandingkan dengan rumahtangga petani hutan rakyat

dua kabupaten sebelumnya. Setidaknya terdapat tiga pola hubungan sosial produksi

manusia-lahan-manusia yang dominan, yaitu: pola mandiri (terutama dipraktekkan petani

non-sertifikasi) dan pola kolektif ala Gapoktanhut (untuk petani sertifikasi), serta pola

kemitraan PHBM. Ketiganya adalah bentuk-bentuk hubungan sosial produksi usahatani

kayu yang dominan dan menonjol (lihat Gambar 7) di Blora. Bagi petani yang mengikuti

Page 36: STRUKTUR, STRATEGI DAN SISTEM NAFKAH …psp3.ipb.ac.id/web/wp-content/uploads/2016/06/WP-03-Livelihood.pdf · harapan terjadinya perubahan penatausahaan kayu baik pada tingkat produsen,

35

program sertifikasi SVLK, maka integrasi pengelolaan hutan rakyat yang dimilikinya ke

dalam kolektivitas kelompok (gapoktanhut = gabungan kelompok tani hutan rakyat)

adalah hal yang tidak dapat dihindarkan. Sekalipun rumahtangga petani hutan rakyat

tergabung dalam sebuah gapoktanhut yang basis pengelolaannya kolektif, namun petani

tetap memiliki otonomi atau kedaulatan atas tanah yang dikuasai/dimilikinya.

Hubungan sosial produksi kemitraan ataupun hirarkhikal berpola PHBM juga merupakan

hubungan sosial produksi agraria yang menopang sistem penghidupan penting

rumahtangga petani hutan rakyat di Blora. Pola tersebut sangat menonjol ditemukan di

sekitar kawasan pemangkuan hutan milik Perhutani. Dalam hal ini, petani diberikan akses

untuk menanam tanaman pangan secara tumpangsari dalam jangka waktu tertentu di

dalam kawasan hutan milik Perhutani. Masing-masing petani pesanggem hanya

diberikan waktu selama dua tahun untuk mengelola lahan pertanian khususnya pada saat

masa buka petak bekas tebangan. Ketika memasuki masa tutup, maka petani

pesanggem harus keluar dari petak lahan tersebut. Melalui PHBM, para petani skala kecil

mendapatkan manfaat berupa hasil panen yang bisa menopang sistem penghidupan

atau nafkah mereka.

Gambar 7. Struktur Sosial Masyarakat Petani Hutan Rakyat berdasarkan Pola Hubungan Sosial

Agrarianya dengan pihak Eksternal di Kabupaten Blora, 2012

Page 37: STRUKTUR, STRATEGI DAN SISTEM NAFKAH …psp3.ipb.ac.id/web/wp-content/uploads/2016/06/WP-03-Livelihood.pdf · harapan terjadinya perubahan penatausahaan kayu baik pada tingkat produsen,

36

Hubungan Sosial Produksi, Serifikasi dan Kemanan Nafkah Petani

Dari uraian tentang hubungan sosial-produksi agraria rumahtangga petani hutan rakyat di

tiga kabupaten studi disimpulkan adanya beberapa hal. Pertama, terkait tentang

sertifikasi atau formalisasi kayu, maka terdapat pola hubungan campuran dua pola, yaitu

mandiri dan kolektif. Dua pola hubungan sosial produksi meniscayakan pertemuan dua

kepentingan, yaitu kedaulatan/otonomi petani untuk secara mandiri menguasai tanahnya

(hutan rakyat) dengan integrasi pengelolaan hutan rakyat di dalam rejim kolektif

gapoktanhut. Hadirnya dua pola hubungan sosial produksi yang berada di dalam sebuah

unit usahatani kayu petani, seringkali memberikan sedikit kerumitan di dalam

pengambilan keputusan ekonomi hutan rakyat. Di satu sisi, sebuah rumahtangga petani

hutan rakyat memiliki kedaulatan untuk menguasai tanah dan kebunnya, sehingga

semestinya bisa melakukan “tebang butuh” terhadap kayunya setiap saat ada keperluan

mendesak. Tetapi, di sisi lain, masa tebang kayu, harus tunduk dan diatur sesuai

orkestrasi oleh kelompok/kolektif, agar selaras dengan prinsip-prinsip SFM atau

pengelolaan hutan lestari, yang membuat petani tak diperkenankan untuk menebang

semaunya.

Kedua, seringkali terjadi situasi rumit pada para petani peserta sertifikasi (SVLK).

Sebuah rumahtangga petani hutan rakyat menghadapi situasi krisis yang membutuhkan

dana segar dari penebangan kayu (jati ataupun sengon) dari tegalan/kebunnya. Solusi

dari krisis tersebut, petani harus segera menebang kayu dari kebun/tegalannya. Namun,

pada saat yang bersamaan, jatah tebang untuk blok tebang dimana kebun sang petani

berada, telah habis. Alhasil, untuk memenuhi prasyarat SFM, petani tersebut tidak

diperkenankan lagi menebang kayunya. Situasi menjadi dilematis dan menyulitkan petani.

Pola hubungan sosial produksi kolektif, dalam hal ini, dipandang telah menjadi “kekuatan

pemaksa” baru yang mengekang petani untuk menebang kayu (secara otonom). Bila

situasi dilematis ini tidak dapat dipecahkan oleh gapoktanhut, maka proses sertifikasi

terancam dihujat oleh para petani pesertanya.

Ketiga, ke depan, hal yang diperlukan oleh rumahtangga petani hutan rakyat dalam

konteks hubungan sosial produksi adalah mentransformasi pola individual/mandiri

kepada pola kolektif sedemikian rupa, namun, sistem yang kolektif tersebut juga mampu

untuk memberikan solusi atas kebutuhan dana mendesak melalui penyediaan semacam

“kredit tunda tebang” atau “bridging fund”. Dana talangan tersebut perlu terus-menerus

tersedia bagi petani yang sedang berada dalam krisis ekonomi tetapi tak bisa menebang

kayunya, sementara SFM harus dipelihara untuk diwujudkan. Dengan adanya fasilitas

dana talangan tersebut, pola hubungan produksi hutan rakyat yang kolektif selain akan

Page 38: STRUKTUR, STRATEGI DAN SISTEM NAFKAH …psp3.ipb.ac.id/web/wp-content/uploads/2016/06/WP-03-Livelihood.pdf · harapan terjadinya perubahan penatausahaan kayu baik pada tingkat produsen,

37

sesuai dengan kebutuhan sertifikasi, juga akan tetap bisa mengamankan penghidupan

(livelihood security) rumahtangga petani hutan rakyat yang sering dihinggapi persoalan

krisis ekonomi. Dalam hal ini, basis hubungan sosial produksi kolektif yang telah

terbangun memungkinkan dibentuknya organisasi sosial-ekonomi berbentuk koperasi

yang dapat menyediakan solusi finansial selain solusi teknikal. Ketersediaan solusi

finansial oleh organisasi kolektif koperasi petani sekaligus dapat menjamin untuk

melestarikan sistem nafkah (livelihood sustainability) mereka.

Page 39: STRUKTUR, STRATEGI DAN SISTEM NAFKAH …psp3.ipb.ac.id/web/wp-content/uploads/2016/06/WP-03-Livelihood.pdf · harapan terjadinya perubahan penatausahaan kayu baik pada tingkat produsen,

38

3. STRUKTUR DAN STRATEGI NAFKAH RUMAHTANGGA

PETANI HUTAN RAKYAT DI TIGA KABUPATEN

3.1. Sumber Nafkah Rumahtangga Petani Hutan Rakyat

Rumahtangga petani di pedesaan Jawa pada umumnnya tidak menggantungkan

nafkahnya hanya dari satu sumber nafkah. Berbagai jenis usaha dan pekerjaan yang

ada di pedesaan maupun perkotaan menjadi alternatif sumber nafkah bagi rumahtangga

petani. Dalam tipologi Dharmawan (2001), kebanyakan rumahtangga petani hutan rakyat

menerapkan strategi nafkah diversifikasi pendapatan (income diversification) atau pola

nafkah ganda (multiple sources of income). Oleh karena itu, pertanian (dalam arti luas,

termasuk peternakan dan perikanan) bukanlah satu-satunya sumber nafkah di pedesaan.

Bahkan dengan semakin terbukanya sistem ekonomi pedesaan, jenis altenatif nafkah

dari sektor non-pertanian semakin lama semakin mendominasi sumber nafkah

rumahtangga masyarakat di pedesaan. Kondisi tersebut juga terlihat pada rumahtangga

petani hutan rakyat di Kabupaten Wonosobo, Wonogiri dan Blora. Terkait dengan fokus

kajian pada petani hutan rakyat, sumber nafkah atau sumber pendapatan rumahtangga

petani hutan rakyat dikelompokkan menjadi tiga sumber besar, yaitu:

a. Pertanian (farm), yang terdiri dari hasil padi sawah, palawija, buah-buahan,

peternakan, perikanan dan hasil pertanian lainnya.

b. Kayu, dalam hal ini untuk melihat sejauhmana hasil hutan rakyat berupa kayu (jati,

sengon, mahoni, dan jenis lain) berkontribusi terhadap total pendapatan rumahtangga

petani hutan rakyat.

c. Non Pertanian (non-farm), yang terdiri dari hasil kegiatan jasa (pegawai, buruh, dan

lain-lain), perdagangan, industri dan kegiatan non-pertanian liannya yang menjadi

sumber nafkah bagi rumahtangga.

Masing-masing sumber nafkah yang dikaji, terdapat perbedaan proporsi di ketiga

kabupaten yang diteliti. Secara ringkas pada Gambar 8 dapat dilihat persentase ketiga

kategori sumber nafkah dalam mendukung nafkah rumahtangga petani hutan rakyat di

Kabupaten Wonosobo, Wonogiri dan Blora. Kabupaten Wonogiri dan Blora yang

memiliki karakter ekologi hampir sama (daerah kering) dan komoditas kayu dominan

berupa tanaman jati, yang memberikan sumbangan (proporsi) sebesar 17 persen

terhadap total pendapatan rumahtangga. Sementara itu, Kabupaten Wonosobo dengan

kondisi ekologi yang relatif basah dan lebih subur tanahnya dibandingkan kedua

Page 40: STRUKTUR, STRATEGI DAN SISTEM NAFKAH …psp3.ipb.ac.id/web/wp-content/uploads/2016/06/WP-03-Livelihood.pdf · harapan terjadinya perubahan penatausahaan kayu baik pada tingkat produsen,

39

kabupaten sebelumnya dimana

jenis kayu yang diusahakan

berupa tanaman sengon,

menyumbang 31 persen

terhadap total pendapatan

rumahtangga. Sumbangan

sumber nafkah kayu terhadap

total pendapatan rumahtangga

petani di Wonosobo adalah yang

terbesar proporsinya, bila

dibandingkan untuk hal yang

sama di dua kabupaten studi

lainnya.

Sekalipun berpola serupa, tetapi

sumber nafkah utama rumahtangga petani di tiga kabupaten ternyata cukup berbeda.

Kabupaten Wonosobo dan Blora memiliki sumber nafkah terbesar dari kegiatan (sektor)

pertanian, sementara itu rumahtangga petani di Kabupaten Wonogiri sumber nafkah

utamanya berasal dari kegiatan non-pertanian (non-farm). Meskipun demikian, ada hal

yang sama di ketiga kabupaten studi, yaitu bahwa sumbangan terbesar terhadap total

pendapatan rumahtangga petani adalah dari dua sumber nafkah gabungan yaitu:

pertanian (farm) dan kayu (hutan). Di Wonosobo, Wonogiri dan Blora, manakala

sumbangan kedua sumber pendapatan (pertanian + kayu) dijumlah akan meliputi angka

berturut-turut 70 persen, 57 persen dan 66 persen (lihat Gambar 8). Artinya, secara

umum sumbangan sumber nafkah berbasis pertanian dan kehutanan sangat menonjol

bila dibandingkan sumber nafkah non-farm bagi rumahtangga petani hutan rakyat di tiga

daerah yang distudi.

Di Kabupaten Blora kontribusi sumber nafkah dari pertanian lebih besar (49 persen) bila

dibandingkan dua sumber lainnya (kayu dan non-farm). Sementara itu, persentase

sumber nafkah dari kayu untuk Kabupaten Blora hanya sebesar 17 persen. Sekalipun bila

dibandingkan terhadap sumber nafkah yang sama (kayu) di Kabupaten Wonosobo, nilai

tersebut tergolong rendah, namun jika dilihat dari kebutuhan menjual kayu yang hanya

untuk kepentingan mendesak (bukan kebutuhan sehari-hari) nilai tersebut dapat

dikatakan cukup tinggi. Pada dasarnya di Kabupaten Blora pasar untuk penjualan kayu

jati cukup mudah terlebih lagi wilayah ini sejak dahulu sudah dikenal sebagai penghasil

kayu jati dengan kualitas baik sejak zaman penjajahan Belanda, mengingat lokasi

Gambar 8. Komposisi Sumber Nafkah dan Kontribusinya

terhadap Total Pendapatan Rumahtangga Petani

Hutan Rakyat di Tiga Kabupaten Studi, 2012

Page 41: STRUKTUR, STRATEGI DAN SISTEM NAFKAH …psp3.ipb.ac.id/web/wp-content/uploads/2016/06/WP-03-Livelihood.pdf · harapan terjadinya perubahan penatausahaan kayu baik pada tingkat produsen,

40

beberapa Perhutani berada di wilayah kabupaten ini. Oleh karena itu banyak pedagang

kayu dan industri furniture yang mencari kayu di wilayah ini. Terlebih lagi pasar penjualan

kayu cukup terbuka karena cukup banyak industri mebel yang beroperasi di Kabupaten

Blora dan sekitarnya (Cepu dan Jepara) yang sudah cukup dikenal reputasinya. Selain

itu kondisi ekologi Blora yang cenderung kering dan berkapur juga mendukung untuk

budidaya tanaman jati. Oleh karena itu, kayu bagi masyarakat di Blora merupakan

komoditas yang penting sebagai salah satu sumber nafkah rumahtangga terutama untuk

memenuhi kebutuhan dana mendadak yang cukup besar.

Pada kasus Kabupaten Wonogiri, sesuai dengan kondisi lahannya, sumber nafkah dari

pertanian cukup tinggi (40 persen), namun sumber nafkah ini lebih rendah dari sumber

nafkah non-pertanian (non-farm) yang sebesar 43 persen. Sesuai dengan kondisi lahan

di Kabupaten Wonogiri yang cenderung kering, maka sumber nafkah dari pertanian pada

umumnya berasal dari budidaya tanaman pangan seperti jagung, singkong dan padi yang

khusus ditanam pada musim penghujan. Selain itu, sumber nafkah pertanian juga

berasal dari tanaman palawija berupa kacang kedelai dan kacang tanah serta sayur

mayur seperti kacang panjang dan cabai yang umumnya ditujukan untuk dijual. Sumber

nafkah dari kayu menyumbang 17 persen terhadap total pendapatan rumahtangga.

Sedikit berbeda dengan apa yang terjadi di Kabupaten Blora, di Kabupaten Wonogiri

sangat sedikit didapati industri pengolahan kayu. Kayu-kayu yang dijual oleh masyarakat

Wonogiri pada umumnnya dibawa ke luar daerah seperti Cepu dan Yogyakarta.

Secara umum, makna atau arti kayu bagi rumahtangga petani hutan rakyat di Wonogiri

tidak berbeda dengan Wonosobo dan Blora, yaitu sebagai tabungan untuk berjaga-jaga

di masa krisis atau sebagai saving account. Kayu hanya akan ditebang bila ada

kebutuhan mendesak (tebang butuh), seperti untuk membiayai pesta pernikahan, kenduri

ataupun kebutuhan mendesak lain seperti biaya pengobatan dan pendidikan. Dengan

kondisi demikian, sangat sulit meletakkan kayu dalam bingkai pengertian unit bisnis yang

berorientasi seslalu kepada profit. Bagi rumahtangga petani di ketiga kabupaten, kayu

adalah sumber pendapatan untuk memenuhi kebutuhan subsistensi yang mendesak.

Sementara sumber nafkah untuk memenuhi kebutuhan dana cash sehari-hari lebih

banyak ditopang dari kegiatan pertanian dan non-pertanian. Bagi Wonogiri, dimana

banyak warganya yang mengembara ke daerah lain untuk mencari nafkah, maka uang

kiriman (remittance) dari anggota rumahtangga yang bekerja di luar daerah, merupakan

sumber nafkah yang penting.

Berbeda dengan Kabupaten Blora dan Wonogiri, di Kabupaten Wonosobo, sumber

nafkah utama rumahtangga petani hutan rakyat cukup seimbang diantara tiga jenis

Page 42: STRUKTUR, STRATEGI DAN SISTEM NAFKAH …psp3.ipb.ac.id/web/wp-content/uploads/2016/06/WP-03-Livelihood.pdf · harapan terjadinya perubahan penatausahaan kayu baik pada tingkat produsen,

41

sumber nafkah. Sumber nafkah dari pertanian yang menempati urutan pertama,

menyumbang kepada total pendapatan rumahtangga petani sebesar 39 persen. Sumber

nafkah dari pertanian yang cukup tinggi terutama berasal dari komoditi salak pondoh

(snake fruit) yang banyak ditanam oleh masyarakat di bawah tegakan pohon (kayu)

sengon. Dengan keterbatasan ekologi daerah dataran tinggi, petani hutan rakyat di

Kabupaten Wonosobo tidak dapat menggantungkan sumber nafkah dari pertanian

tanaman pangan (sawah) secara berlebihan, namun lebih pada tanaman hortikultura.

Sementara itu, jenis komoditi kayu di Kabupaten Wonosobo berupa kayu sengon dengan

umur tanam yang relatif lebih pendek, memberikan tambahan sumber nafkah yang cukup

penting terutama ketika petani memerlukan dana mendadak dalam jumlah besar (tebang

butuh). Sumbangan dari kayu terhadap total pendapatan rumahtangga mencapai 31

persen menunjukkan tingginya kontribusi kayu dalam mencukupi kebutuhan

rumahtangga setiap tahunnya. Dalam hal ini terutama untuk mencukupi kebutuhan

menjelang tahun ajaran baru (biaya pendidikan) dan Hari Raya Idul Fitri. Tingginya

perdagangan kayu dari hutan rakyat di Wonosobo dimungkinkan dengan hadirnya

industri pengolahan kayu (sawmill) yang cukup berkembang dan sangat kuat menyerap

produksi kayu eks hutan rakyat setempat.

Cukup besarnya sumbangan kayu terhadap total pendapatan rumahtangga (17-31

persen) di tiga kabupaten studi, mengindikasikan besarnya potensi kayu di daerah-

daerah tersebut. Berdasarkan hasil kajian, sumbangan sektor kayu terhadap total

pendapatan rumahtangga hutan rakyat yang mengikuti program sertifikasi, lebih besar

bila dibandingkan sumbangan yang sama pada petani hutan rakyat non-sertifikasi.

Secara ringkas hal tersebut dapat dilihat pada Gambar 9.

Gambar 9 secara umum memperlihatkan bahwa sumbangan sektor kayu terhadap total

pendapatan rumahtangga petani hutan rakyat yang tergabung dalam gapoktanhut

(peserta sertifikasi kayu) lebih tinggi bila dibandingkan sektor yang sama untuk

rumahtangga petani hutan rakyat non-sertifikasi. Hal ini menunjukkan bahwa petani

hutan rakyat peserta sertifikasi kayu memiliki potensi produksi kayu yang lebih besar

untuk pengembangan hutan rakyat dan menjadikan kayu sebagai alternatif nafkah utama

dan kelestarian lingkungan.

Pada umumnnya, para petani non-sertifikasi kayu, sumber nafkah rumahtangga hampir

seimbang antara pertanian (farm) dan non-pertanian (non-farm). Sumber nafkah non-

pertanian tersebut terutama dari kegiatan jasa (buruh) untuk desa-desa di Kabupaten

Wonogiri dan Blora, sementara untuk desa-desa di Kabupaten Wonosobo didominasi dari

usaha perdagangan. Kecuali di desa lokasi kajian di Desa Kutukan, Kecamatan

Page 43: STRUKTUR, STRATEGI DAN SISTEM NAFKAH …psp3.ipb.ac.id/web/wp-content/uploads/2016/06/WP-03-Livelihood.pdf · harapan terjadinya perubahan penatausahaan kayu baik pada tingkat produsen,

42

Randublatung, Kabupaten Blora yang masuk dalam program PHBM Perhutani dominasi

sumber nafkah cukup besar dari pertanian. Kajian ini menangkap kesan, bahwa program

sertifikasi kayu terutama mengikutkan petani dengan sumbangan sektor atau sumber

nafkah kayu terhadap total pendapatan rumahtangga petani hutan rakyat yang cukup

signifikan.

Dalam hal ini, studi mendapatkan fakta dari tiga kabupaten yang diteliti sebagai berikut.

Pertama, petani peserta sertifikasi di tiga kabupaten yang diteliti, belum memperoleh

manfaat ekonomi apapun dari formalisasi atau sertifikasi kayu, dikarenakan

implementasinya yang baru berjalan satu tahun yang lalu. Kedua, fakta dari lapangan

mensuplai informasi yang sangat mencukupi bahwa selaras dengan proses sertifikasi

yang berbiaya cukup mahal, kini muncul keluhan dari para petani peserta sertifikasi

SVLK di (terutama ) Blora. Para petani umumnya mulai merasakan bahwa biaya

surveillance sertifikasi (yang dilakukan secara periodik per tahun) sebagai beban

ekonomi tambahan yang memberatkan mereka. Fakta tentang beban biaya yang muncul

sebagai akibat dari kehadiran proses sertifikasi memberikan dampak penting terhadap

sistem nafkah rumahtangga petani hutan rakyat peserta sertifikasi yang umumnya

adalah peasantry atau petani skala kecil (gurem). Mereka umumnya sangat rentan

terhadap guncangan dan krisis ekonomi yang setiap saat bisa datang menghampiri.

Sekalipun sertifikasi belum sampai pada taraf mengganggu sistem nafkah mereka, tetapi

sertifikasi membuka peluang terjadinya guncangan ekonomi bagi rumahtangga petani.

Hingga titik ini, ditegaskan bahwa sertifikasi atau formalisasi produksi dan

perdagangan kayu belum memberikan dampak positif terhadap perbaikan status

pada sistem nafkah rumahtangga petani hutan rakyat.

Page 44: STRUKTUR, STRATEGI DAN SISTEM NAFKAH …psp3.ipb.ac.id/web/wp-content/uploads/2016/06/WP-03-Livelihood.pdf · harapan terjadinya perubahan penatausahaan kayu baik pada tingkat produsen,

43

Gambar 9. Komposisi Sumber Nafkah dan Kontribusinya terhadap Total Pendapatan

Rumahtangga Petani Hutan Rakyat Berdasarkan Status Sertifikasi dan Non-

sertifikasinya di Tiga Kabupaten Studi, 2012

Ketiga, eksistensi sektor kayu sebagai sumber nafkah rumahtangga petani yang penting

bagi sistem nafkah rumahtangga petani di tiga kabupaten studi, belum bisa memberikan

sinyal yang baik untuk memandang sektor tersebut sebagai unit bisnis yang profitable.

Sifatnya sebagai saving account dan sektor safety valve yang dimanfaatkan hanya di

kala krisis, membuat usahatani kayu sebagai sumber nafkah yang belum bisa responsif

terhadap program sertifikasi dan formalisasi produksi kayu. Keempat, pola hubungan

sosial produksi kolektif yang dibangun oleh petani peserta sertifikasi dalam rejim

gapoktanhut ataupun FMU, ternyata belum mampu memberikan solusi ekonomi atas

timbulnya beban ekonomi tambahan dari sertifikasi bagi sistem nafkah mereka. Harapan

adanya bridging fund bagi petani yang memerlukan dana mendesak yang disediakan

oleh gapoktanhut pun, masih berada pada sebatas wacana.

3.2. Tingkat Pendapatan dan Pengeluaran Rumahtangga Petani

Tingkat Pendapatan Rumahtangga Petani

Kehadiran usahatani kayu jati ataupun sengon bagi petani, memberikan fenomena

menarik dalam struktur nafkah rumahtangga mereka. Struktur nafkah rumahtangga

Page 45: STRUKTUR, STRATEGI DAN SISTEM NAFKAH …psp3.ipb.ac.id/web/wp-content/uploads/2016/06/WP-03-Livelihood.pdf · harapan terjadinya perubahan penatausahaan kayu baik pada tingkat produsen,

44

petani hutan rakyat ditandai selain dari sumber nafkah juga dapat dilihat dari tingkat

pendapatan dan pengeluaran rumahtangga petani.

Gambar 10. Rata-rata Pendapatan Rumahtangga Petani Hutan Rakyat di tiga Kabupaten Studi

per Tahun menurut Sumber Nafkah, 2012.

Sesuai dengan sumber nafkahnya, tingkat pendapatan petani dilihat dari ketiga sumber

nafkah yang ada, yaitu pertanian, kayu dan non-pertanian. Pada Gambar 10 dapat

dilihat rata-rata pendapatan rumahtangga petani hutan rakyat dalam setahun

berdasarkan ketiga sumber nafkah untuk Kabupaten Wonosobo, Wonogiri dan Blora.

Dari ketiga kabupaten, petani hutan rakyat di Kabupaten Wonosobo memiliki rata-rata

total pendapatan paling tinggi, yaitu mencapai sekitar Rp 22.000.000,- pertahunnya.

Jika dihitung perbulan, rata-rata pendapatan petani hutan rakyat di Wonosobo sekitar Rp

1.800.000,-. Sementara itu untuk Kabupaten Wonogiri dan Blora rata-rata pendapatan

rumahtangga petani per tahunnya hampir sama, yaitu sekitar Rp 18.000.000,- atau kira-

kira pendapatan per bulannya sekitar Rp 1.500.000,- per rumahtangga. Dengan asumsi

setiap rumahtangga berisi empat jiwa, maka pendapatan rata-rata rumantangga petani di

Wonogiri dan Blora adalah Rp 375.000,- per kapita per bulan. Sementara dengan asumsi

jumlah jiwa per rumahtangga yang sama, maka di Wonosobo pendapatan per kapita per

bulannya adalah Rp 450.000,-. Artinya pendapatan per kapita per hari bagi anggota

rumahtangga petani hutan rakyat di Wonogiri dan Blora adalah Rp 375.000,- dibagi

dengan 30 atau samadengan Rp 12.500,- yang berarti sangat jauh di bawah garis

Page 46: STRUKTUR, STRATEGI DAN SISTEM NAFKAH …psp3.ipb.ac.id/web/wp-content/uploads/2016/06/WP-03-Livelihood.pdf · harapan terjadinya perubahan penatausahaan kayu baik pada tingkat produsen,

45

kemiskinan menurut standar World Bank (US$ 2 atau Rp 19.000,- per kapita per hari).

Sementara di Wonosobo, untuk perhitungan yang sama adalah Rp 450.000,- dibagi

dengan 30 hari per bulan, samadengan Rp 15.000,- per kapita per hari, yang juga

menempatkan rumahtangga petani hutan rakyat masih di bawah garis kemiskinan.

Dari rata-rata total pendapatan rumahtangga petani per tahun, usahatani kayu di

Kabupaten Wonosobo menempati posisi sebagai penyumbang paling tinggi bila

dibandingkan angka yang sama pada dua kabupaten lainnya, dengan total sumbangan

kayu sekitar (dibulatkan) Rp 7.000.000,- per tahun. Sementara, untuk Wonogiri dan Blora,

usahatani kayu menyumbang terhadap total pendapatan rumahtangga yang tak sampai

setengahnya dari angka Wonosobo (sekitar Rp 3.000.000,-). Dari angka tersebut tampak,

bahwa usahatani kayu (sengon) merupakan sektor ekonomi penting bagi rumahtangga

petani hutan rakyat di Wonosobo.

Jumlah pendapatan dari usahatani kayu akan terlihat lebih besar di desa-desa yang ikut

serta dalam program sertifikasi (Sertifikasi VLK) maupun LEI. Bahkan desa-desa yang

ikut dalam program sertifikasi kayu di Kabupaten Blora dan Wonogiri, tingkat pendapatan

dari kayunya, dua hingga tiga kali lipat lebih besar bila dibandingkan dengan apa yang

dicapai di desa-desa non-sertifikasi. Secara umum hal ini dapat dimaklumi karena desa-

desa yang dipilih untuk disertifikasi pada umumnnya adalah desa-desa yang memiliki

potensi hutan rakyat cukup luas dan dalam kondisi baik. Selain itu, rata-rata rumahtangga

petani peserta sertifikasi pada umumnya termasuk golongan menengah-atas, yang

secara ekonomi memiliki kekuatan ekonomi lebih baik. Sekalipun diakui bahwa sertifikasi

belum memberikan dampak yang positif terhadap status sosio-ekonomi petani, namun

diakui bahwa program sertifikasi meningkatkan wawasan petani hutan rakyat dalam

penatausahaan usahatani kayu, seperti keterampilan pengukuran pohon dan kayu

sehingga secara tidak langsung petani hutan rakyat dapat meningkatkan posisi tawar

terhadap pedagang dalam pengukuran kayu yang dijual. Secara lengkap rata-rata

tingkat pendapatan per tahun rumahtangga petani hutan rakyat menurut status

sertifikasinya, di tiga kabupaten dapat dilihat pada Gambar 11.

Page 47: STRUKTUR, STRATEGI DAN SISTEM NAFKAH …psp3.ipb.ac.id/web/wp-content/uploads/2016/06/WP-03-Livelihood.pdf · harapan terjadinya perubahan penatausahaan kayu baik pada tingkat produsen,

46

Gambar 11. Rata-rata Pendapatan Rumahtangga Petani Hutan Rakyat di Tiga Kabupaten studi

per Tahun menurut Sumber Nafkah dan Status Sertifikasinya, 2012.

Beberapa kesimpulan penting yang perlu ditegaskan kembali dalam analisis di bagian ini

adalah:

(1) ketahanan sistem nafkah rumahtangga petani hutan rakyat tidak dapat

mengandalkan satu jenis sumber nafkah saja atau dengan kata lain, pendapatan

tidak akan mencukupi bila tanpa menggandakan/mengkombinasikan beragam

sumber nafkah;

(2) sekalipun menyumbang cukup signifikan terhadap total pendapatan rumahtangga,

usahatani kayu belum mampu membebaskan rumahtangga petani hutan rakyat dari

kemiskinan;

(3) program sertifikasi SVLK maupun LEI sengaja memilih rumahtangga petani dengan

kontribusi usahatani yang cukup baik terhadap total pendapatan rumahtangga,

dengan maksud untuk meminimalkan resiko kegagalan program tersebut;

(4) semua rumahtangga petani hutan rakyat yang dikaji, baik peserta program

sertifikasi ataupun non-sertifikasi, masih tergolong berada di bawah garis

kemiskinan. Persoalan kemiskinan memberikan dimensi tersendiri terhadap

formalisasi produksi dan perdagangan kayu.

Page 48: STRUKTUR, STRATEGI DAN SISTEM NAFKAH …psp3.ipb.ac.id/web/wp-content/uploads/2016/06/WP-03-Livelihood.pdf · harapan terjadinya perubahan penatausahaan kayu baik pada tingkat produsen,

47

Tingkat Pengeluaran Rumahtangga Petani

Selain dari tingkat pendapatan, struktur nafkah rumahtangga petani juga dapat dilihat dari

tingkat pengeluaran rumahtangga. Struktur pengeluaran rumahtangga petani secara

garis besar dibedakan menjadi dua, yaitu: (1) pengeluaran untuk konsumsi pangan

(beras dan lauk pauk) dan; (2) pengeluaran untuk konsumsi non pangan (kesehatan,

energi, pendidikan, pakaian, transportasi, rekreasi, dana sosial dan lain-lain).

Secara umum rata-rata pengeluaran rumahtangga petani di ketiga kabupaten sekitar Rp

14.000.000,- per tahun atau rata-rata pengeluaran perbulan sekitar Rp 1.100.000,-. Dari

ketiga kabupaten, rata-rata tingkat pengeluaran rumahtangga petani hutan rakyat

terbesar terjadi di Kabupaten Wonosobo dengan rata-rata pengeluaran per tahunnya

sekitar Rp 15.0000,000. Angka pengeluaran terendah adalah di Kabupaten Wonogiri.

Secara umum pengeluaran rumahtangga untuk konsumsi non-pangan lebih besar

dibandingkan untuk konsumsi pangan.

Sistem tebang butuh yang hidup di masyarakat merupakan cerminan dari besarnya

pengeluaran rumahtangga petani yang harus dipenuhi pada waktu-waktu tertentu.

Waktu-waktu (kegiatan) yang menurut masyarakat membutuhkan dana terbesar -

berdasarkan hasil diskusi kelompok dengan masyarakat - prioritasnnya sebagai berikut :

(a) hajatan - perkawinan, (b) awal tahun ajaran baru untuk biaya sekolah, (c) hari raya

idul fitri, dan (d) kebutuhan untuk naik haji. Pada waktu-waktu tersebut jumlah pohon

yang ditebang akan sangat meningkat. Dengan sendirinya, hukum ekonomi yang tidak

dapat dihindarkan adalah jatuhnya harga jual kayu manakala banyak petani hendak

menjual kayunya pada waktu yang hampir bersamaan (misal menjelang hari lebaran).

Secara lebih lengkap rata-rata pengeluaran rumahtangga petani hutan rakyat di tiga

kabupaten dapat dilihat pada Gambar 12.

Page 49: STRUKTUR, STRATEGI DAN SISTEM NAFKAH …psp3.ipb.ac.id/web/wp-content/uploads/2016/06/WP-03-Livelihood.pdf · harapan terjadinya perubahan penatausahaan kayu baik pada tingkat produsen,

48

Gambar 12. Tingkat Pengeluaran Rata-Rata Rumahtangga Petani Hutan Rakyat per Tahun,

menurut Jenis Pengeluaran di Tiga Kabupaten Studi, 2012.

Sementara itu, bila diperbandingkan tingkat pengeluaran rumahtangga petani hutan

rakyat peserta program sertifikasi kayu dengan rumahtangga petani hutan rakyat non-

sertifikasi secara umum tidak jauh berbeda. Pengeluaran terbanyak pada kedua kategori

ini sama-sama pada non-pangan, dengan besaran yang tidak jauh berbeda. Secara

lengkap perbandingan tersebut dapat dilihat pada Gambar 13.

Page 50: STRUKTUR, STRATEGI DAN SISTEM NAFKAH …psp3.ipb.ac.id/web/wp-content/uploads/2016/06/WP-03-Livelihood.pdf · harapan terjadinya perubahan penatausahaan kayu baik pada tingkat produsen,

49

Gambar 13. Tingkat Pengeluaran Rata-Rata Rumahtangga Petani Hutan Rakyat per Tahun,

menurut Jenis Pengeluaran dan menurut Status Sertifikasinya, di Tiga Kabupaten

Studi, 2012

Berdasarkan angka rata-rata pendapatan dan pengeluaran rumahtangga petani hutan

rakyat di tiga kabupaten, secara umum dapat dihitung rata-rata tabungan yang dimiliki

oleh rumahtangga petani. Pada Gambar 14 dapat dilihat perbandingan tingkat tabungan

untuk rumahtangga petani di Kabupaten Wonosobo, Wonogiri dan Blora secara lengkap.

Dari gambar tersebut terlihat tingkat tabungan rumahtangga petani hutan rakyat di

Kabupaten Wonosobo lebih tinggi dibandingkan dua kabupaten yang lain yaitu sekitar

Rp. 10.000.000,- per tahun. Kabupaten Blora menduduki urutan kedua dengan tingkat

tabungan sekitar Rp 4.500.000,- per tahun dan yang terakhir petani di Kabupaten

Wonogiri dengan rata-rata tingkat tabungan hanya sekitar Rp 4.000.000,- per tahun.

Tingkat tabungan ini menjadi indikasi tingkat kesejahteraan rumahtangga petani - yang

jika dilihat secara fisik - dari ketiga kabupaten, rumahtangga petani di Kabupaten

Wonosobo lebih sejahtera jika dibandingkan dengan dua kabupaten yang lain. Hal ini

dapat terjadi karena secara ekologi kondisi alam di Kabupaten Wonosobo lebih baik

dibandingkan dua kabupaten lain yang cenderung kering. Perlu dicatat, bahwa sekalipun

pada bagian sebelumnya dikatakan bahwa secara umum tingkat pendapatan

rumahtangga petani hutan rakyat di tiga kabupaten, untuk semua status sertifikasi,

digolongkan sebagai miskin menurut ukuran Bank Dunia, namun faktanya mereka tetap

Page 51: STRUKTUR, STRATEGI DAN SISTEM NAFKAH …psp3.ipb.ac.id/web/wp-content/uploads/2016/06/WP-03-Livelihood.pdf · harapan terjadinya perubahan penatausahaan kayu baik pada tingkat produsen,

50

dalam melakukan konsolidasi nafkah atau menabung. Fenomena ini menjadi menarik

dan melampaui batas-batas logika ekonomi rasional modern. Dalam perhitungan

ekonommi modern, mereka yang tergolong miskin semestinya tidak akan pernah bisa

menabung. Namun, fakta di tiga kabupaten studi membuktikan kenyataan yang berbeda

dari keyakinan umum tersebut.

Gambar 14. Rata-rata Tingkat Tabungan pada Rumahtangga Petani Hutan Rakyat menurut

Status Sertifikasinya, di Tiga Kabupaten Studi, 2012

Dari Gambar 14 dapat disimpulkan beberapa hal. Pertama, terdapat fakta bahwa

sekalipun tingkat pendapatan rumahtangga petani hutan rakyat di tiga kabupaten studi

dikatakan berada di bawah garis kemiskinan menurut standar Bank Dunia, tetapi

faktanya mereka memiliki saving capacity yang positif. Kemampuan menabung sekalipun

bervariasi tingkatannya, dapat ditunjukkan oleh selisih antara tingkat pendapatan rata-

rata dengan tingkat pengeluaran rata-rata lebih dari nol. Dengan kata lain, semua

rumahtangga petani hutan rakyat baik yang berstatus sebagai peserta program sertifikasi

maupun non-sertifikasi, memiliki livelihood security yang positif sekalipun belum tentu

pada batas yang sungguh-sungguh aman.

Kedua, bila dilihat dari kategori sertifikasinya, maka rumahtangga petani hutan rakyat di

Wonosobo yang memiliki livelihood security terbaik dibandingkan Wonogiri ataupun Blora.

Dengan Gambar 14 pula dapat dijelaskan bahwa derajat keberlanjutan atau

(sustainability) dari sistem nafkah rumahtangga petani di tiga kabupaten studi cukup ada

kepastian, namun semua kategori rumahtangga petani di batas-aman yang sangat tipis,

karena selisih antara tingkat pendapatan dan tingkat pengeluaran tidak cukup besar.

Dengan demikian, walau dikatakan memiliki tingkat keberlanjutan sistem nafkah,

namun tetap dalam situasi yang pas-pasan (not sustain enough). Artinya, sedikit saja

Page 52: STRUKTUR, STRATEGI DAN SISTEM NAFKAH …psp3.ipb.ac.id/web/wp-content/uploads/2016/06/WP-03-Livelihood.pdf · harapan terjadinya perubahan penatausahaan kayu baik pada tingkat produsen,

51

terdapat gangguan terhadap sistem sosial-ekonomi mereka, maka tingkat kesejahteraan

berpotensi menurun drastis. Kerentanan ini terutama dikhawatirkan bisa terjadi di

Wonogiri dan Blora. Dalam keadaan tingkat keamanan pada sistem nafkah yang masih

belum sepenuhnya aman dan keberlanjutan sistem nafkahnya pun belum sepenuhnya

terjamin, maka prediksi bahwa sertifikasi dengan biaya sendiri (self-financing) menjadi

beban petani, benar adanya. Dengan kata, lain saving capacity yang dapat diciptakan

oleh rumahtangga petani hutan rakyat di tiga kabupaten, sesungguhnya belum

mencerminkan economic readiness mereka untuk terlibat dalam sertifikasi yang masih

diangap mahal biayanya. Sebagai buktinya, para anggota Gapoktanhut Jati Mustika di

Blora tidak dapat melakukan surveillance assessment sertikat SVLK yang berbiaya

sekitar Rp 20.000.000,- untuk satu gapoktanhut di tahun 2012. Alasan ketiadaan dana

menjadikan surveillance tak dapat dilakukan oleh para petani peserta sertifikasi SVLK di

Gapoktanhut Jati Mustika di Blora.

3.3. Strategi Nafkah Rumahtangga Petani Hutan Rakyat

Cara bertahan hidup rumahtangga petani tercermin dari bagaimana masing-masing

rumahtangga melakukan aksi manipulatif terhadap sumberdaya yang tersedia. Scoones

(1998) dalam Dharmawan (2001) membedakan strategi nafkah pada masyarakat

pertanian di pedesaan (terutama di dunia ketiga) pada tiga bentuk, yaitu (1) ekstensifikasi

dan intensifikasi pertanian; (2) pola nafkah ganda (keragaman nafkah); dan (3)

melakukan migrasi ke luar desa. Strategi pertama dan kedua pada umumnya dilakukan

masih dalam konteks optimalisasi pemanfaatan dan pengelolaan terhadap sumberdaya

alam yang ada di dalam desa. Strategi pertama terutama dilakukan dalam upaya

peningkatan produksi pertanian baik dengan cara memaksimalkan input pertanian

maupun dengan memperluas lahan. Strategi kedua adalah sambil melakukan aktivitas

nafkah pertanian, petani juga mencoba memasuki peluang usaha/kerja di luar pertanian.

Strategi kedua dikenal melalui upaya mengkombinasikan sumber-sumber nafkah farm

dan non-farm. Sementara itu strategi ketiga dilakukan dengan meninggalkan daerah asal

yang pada umumnya terjadi karena carrying capacity ekologi di pedesaan sudah berada

di bawah batas minimal sehingga upaya apapun yang dilakukan sudah tidak sanggup lagi

memenuhi kebutuhan hidup rumahtangga petani.

Berdasarkan jenis sumber nafkah pada rumahtangga petani kayu yang terdiri dari tiga

sumber, yaitu pertanian secara luas, usahatani kayu, dan non-pertanian, maka dapat

dikatakan bahwa strategi nafkah utama yang dilakukan rumahtangga petani hutan rakyat

Page 53: STRUKTUR, STRATEGI DAN SISTEM NAFKAH …psp3.ipb.ac.id/web/wp-content/uploads/2016/06/WP-03-Livelihood.pdf · harapan terjadinya perubahan penatausahaan kayu baik pada tingkat produsen,

52

adalah strategi kedua yaitu pola nafkah ganda (keragaman nafkah). Pola nafkah ganda

menjadi pilihan utama karena untuk melakukan ekstensifikasi dengan kondisi

ketersediaan lahan yang terbatas sangat sulit dilakukan. Yang masih dimungkinkan

adalah intensifikasi pertanian terutama untuk budidaya padi sawah. Untuk usahatani

kayu, ekstensifikasi cukup sulit dilakukan kecuali dengan pemilihan bibit unggul dan

pemeliharaan tanaman kayu dengan baik. Namun hal terakhir ini jarang dilakukan oleh

petani. Bahkan banyak petani hutan rakyat dengan komoditas kayu jati (di Kabupaten

Wonogiri dan Blora) menggunakan bibit “trubusan” yang berasal dari tunas pohon yang

ditebang sebelumnnya, dalam rangka menghemat biaya. Untuk pemeliharaan, petani

juga jarang melakukan penjarangan tanaman kecuali, jika mereka membutuhkan dana

sehingga mengurangi jumlah tanaman yang ukurannya kecil (piton).

Khusus untuk Kabupaten Wonosobo terutama di Desa Jonggol Sari (peserta sertifikasi

SVLK), strategi nafkah tipe pertama, dilakukan dalam bentuk diversifikasi tanaman dalam

satu luasan lahan. Petani di desa ini membudidayakan tanaman salak pondoh dibawah

tegakan tanaman sengon sehingga pendapatan dari satu lahan yang sama menjadi lebih

maksimal.

Seperti telah diungkapkan sebelumnnya, strategi kedua merupakan pilihan yang paling

memungkinkan bagi rumahtangga petani hutan rakyat di semua kabupaten. Selain

dilakukan melalui kombinasi dari beragam jenis pekerjaan, strategi bentuk kedua ini juga

dilakukan melalui multiple jobs oleh para anggota rumahtangga yang bekerja pada

lapangan kerja/usaha berbeda-beda. Pada Gambar 15 dan 16 dapat dilihat secara lebih

rinci jenis-jenis usaha atau pekerjaan utama dan sampingan yang digeluti/dijalankan

rumahtangga petani hutan rakyat di enam lokasi pada tiga kabupaten studi.

Dalam hal budidaya hutan terdapat perbedaan yang cukup signifikan antara Desa

Jonggol Sari yang sudah mendapatkan sertifikat VLK (SVLK) dengan Desa Besani yang

non-sertifikasi di Kabupaten Wonosobo. Mata pencaharian utama rumahtangga petani

di Jonggol Sari adalaha petani (90 persen). Hanya tiga persen rumahtangga di desa

tersebut yang mata pencahariannya sebagai buruh pabrik/perusahaan swasta dan

selebihnya tersebar dalam berbagai jenis mata pencaharian lain-lain. Kecilnya variasi

pekerjaan di Jonggol Sari selain karena letaknya yang terisolir dari pusat perekonomian,

juga karena secara ekologis desa tersebut cukup subur untuk budidaya tanaman sengon

dan salak yang menjadi salah satu komoditas utama hasil pertanian dan kehutanan pada

wilayah dataran tinggi. Variasi mata pencaharian utama lebih banyak dijumpai di Desa

Besani yang non-sertifikasi SVLK. Hanya 58 persen rumahtangga reponden di desa ini

yang memiliki pekerjaan sebagai petani. Hampir setengah jumlah responden tersebar

Page 54: STRUKTUR, STRATEGI DAN SISTEM NAFKAH …psp3.ipb.ac.id/web/wp-content/uploads/2016/06/WP-03-Livelihood.pdf · harapan terjadinya perubahan penatausahaan kayu baik pada tingkat produsen,

53

dalam berbagai jenis pekerjaan seperti terlihat pada Gambar 15. Kondisi ini

dimungkinkan karena letak Desa Besani yang lebih dekat kepada pusat perekonomian,

pemerintahan kecamatan, maupun ke pusat kota kabupaten sehingga berbagai jenis

pekerjaan alternatif di sektor non-farm tersedia lebih beragam.

Gambar 15. Jenis Mata Pencaharian Utama Rumahtangga Petani Hutan Rakyat di Desa-Desa

Kasus di Kabupaten Wonosobo, Wonogiri dan Blora, 2012

Gambar 16. Jenis Mata Pencaharian Sampingan Rumahtangga Petani Hutan Rakyat di Desa-

Desa Kasus di Kabupaten Wonosobo, Wonogiri dan Blora, 2012

Jenis mata pencaharian utama rumahtangga petani pada dua lokasi kajian di Kabupaten

Wonogiri, hampir sama. Baik di Giriwoyo yang mengikuti program sertifikasi LEI maupun

di Batuwarno yang non-sertifikasi, sebagian besar rumahtangga petani memiliki mata

Page 55: STRUKTUR, STRATEGI DAN SISTEM NAFKAH …psp3.ipb.ac.id/web/wp-content/uploads/2016/06/WP-03-Livelihood.pdf · harapan terjadinya perubahan penatausahaan kayu baik pada tingkat produsen,

54

pencaharian sebagai petani (di atas 70 persen). Jenis pekerjaan utama lain yang digeluti

rumahtangga di kedua daerah tersebut adalah wiraswasta, PNS (Pegawai Negeri Sipil)

dan pekerjaan lainnya.

Sementara itu untuk Kabupaten Blora dengan karakteristik ekologi wilayah yang relatif

kering dan berbatu kapur sangat cocok untuk tanaman jati. Kesesuaian ekologi ini yang

mengantarkan sebagian besar rumahtangga petani hutan rakyat di kabupaten ini

mengusahakan jati sebagai bagian dari strategi nafkah mereka. Lebih dari 70 persen

rumahtangga di dua lokasi studi di Blora mengakui pertanian sebagai mata pencaharian

utama mereka.

Seperti yang diungkapkan sebelumnnya, pola nafkah ganda terlihat dari beragamnnya

jenis pekerjaan yang dilakukan terutama oleh kepala rumahtangga. Selain Gambar 15

yang menunjukkan jenis pekerjaan utama kepala rumahtangga, pada Gambar 16 dapat

dilihat jenis mata pencaharian sampingan rumahtangga petani hutan rakyat di tiga

kabupaten studi. Di Kabupaten Wonosobo yang diwakili oleh Desa Jonggol Sari dan

Desa Besani memiliki perbedaan yang cukup signifikan. Sebanyak 71 persen petani

hutan rakyat di Desa Jonggol Sari peserta sertifikasi SVLK mengaku memiliki

pekerjaan/usaha di luar sektor pertanian sebagai pekerjaan/usaha atau sumber nafkah

sampingan. Hal ini sangat berbeda dengan Desa Besani yang menempatkan hanya 43

persen rumahtangga petani hutan rakyat saja yang memiliki pekerjaan/usaha/sumber

nafkah mata pencaharian sampingan (luar pertanian).

Kondisi rumahtangga petani hutan rakyat non-sertifikasi di Batuwarno Kabupaten

Wonogiri memiliki mata pencaharian sampingan yang hampir serupa dengan Desa

Jonggol Sari dimana sebagian besar rumahtangga petani memiliki mata pencaharian di

bidang lain atau luar pertanian (78 persen) selain mata pencaharian utamanya sebagai

petani. Hanya 16 persen rumahtangga petani yang mengaku petani murni (tanpa

sampingan) serta 6 persen sebagai buruh tani. Hal ini sangat berbeda dengan

Kecamatan Giriwoyo yang 55 persen rumahtangga petani hutan rakyatnya (peserta

sertifikasi) mengaku memiliki pekerjaan/usaha sampingan di luar pertanian, sementara

45 persen sisanya mengatakan sebagai petani murni.

Kabupaten Blora yang memiliki struktur nafkah yang hampir berimbang antara pertanian,

kayu dan non-pertanian, ternyata memberikan fakta bahwa 53 persen rumahtangga

petani hutan rakyat peserta sertifikasi SVLK di Gapoktanhut Jati Mustika (meliputi 8 desa)

memiliki mata pencaharian/usaha/pekerjaan sampingan di luar pertanian. Sementara itu

47 persen sisanya bermatapencaharian sebagai petani murni. Sementara itu

Page 56: STRUKTUR, STRATEGI DAN SISTEM NAFKAH …psp3.ipb.ac.id/web/wp-content/uploads/2016/06/WP-03-Livelihood.pdf · harapan terjadinya perubahan penatausahaan kayu baik pada tingkat produsen,

55

rumahtangga petani hutan rakyat di Kutukan Randublatung Blora, yang berada di sekitar

KPH Perhutani Randublatung mengaku bahwa, karena keterbatasan lapangan kerja,

maka pekerjaan sampingan yang bisa dilakukan adalah menjadi buruh tani (68 persen).

Sisanya, melakukan beragam jenis pekerjaan non-pertanian sebagai mata pencaharaian

sampingan.

Selain startegi nafkah ganda yang mendominasi strategi nafkah rumahtangga petani di

ketiga kabupaten, adanya sumber pendapatan yang berasal dari transfer payment atau

remittance menunjukkan adanya anggota rumahtangga yang melakukan migrasi keluar

daerah untuk mendapatkan pekerjaan. Hal ini menunjukkan strategi ketiga yaitu migrasi

juga merupakan salah satu bentuk strategi rumahtangga petani untuk memenuhi nafkah

rumahtanggannya. Strategi ini menurut hasil diskusi dengan beberapa kelompok

masyarakat terutama dilakukan oleh golongan muda yang banyak bekerja ke kota baik

menjadi buruh pabrik, bangunan maupun pembantu rumahtangga.

Ketiga strategi nafkah yang dilakukan rumahtangga petani sampai sejauh ini menjamin

ketersediaan nafkah yang ada. Keberadaan kayu bagi rumahtangga petani hutan rakyat

sekalipun bukan merupakan sumber nafkah utama, namun merupakan salah satu

penjamin ketersediaan dana (saving account) yang cukup besar untuk kebutuhan

insidental yang memakan biaya banyak. Dengan demikian, disimpulkan bahwa terdapat

beberapa strategi nafkah yang dibangun oleh rumahtangga petani hutan rakyat di tiga

kabupaten yang distudi, yaitu:

(1) Strategi intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian yang merupakan manipulasi dan

optimalisasi pemanfaatan sumberdaya alam di sektor pertanian (termasuk

kehutanan) yang outputnya adalah pendapatan pertanian (farm income).

(2) Strategi nafkah ganda dengan cara mengkombinasikan farm dan non-farm activities,

dimana keduanya saling melengkapi.

(3) Strategi migrasi ke luar desa yang menghasilkan transfer payment atau remittance

sebagai pendapatan ekonomi bagi rumahtangga.

(4) Strategi likuidasi tegakan kayu di masa krisis atau ketika terjadi kebutuhan

insidental yang meningkat.

Perlu ditegaskan bahwa strategi nafkah yang dibangun oleh rumahtangga petani di tiga

kabupaten sesungguhnya tidak sestatis seperti yang digambarkan di atas. Strategi yang

dibangun sesungguhnya sangat rumit menurut waktu, tempat, aktor/pelaku, dan

pemanfaatan skema-skema kelembagaan (modal sosial) lokal yang ada di lokasi.

Penggambaran empat tipe strategi di atas adalah penyederhanaan dari dinamika strategi

nafkah semata-mata agar mudah dipahami tipologinya.

Page 57: STRUKTUR, STRATEGI DAN SISTEM NAFKAH …psp3.ipb.ac.id/web/wp-content/uploads/2016/06/WP-03-Livelihood.pdf · harapan terjadinya perubahan penatausahaan kayu baik pada tingkat produsen,

56

4. SINTESIS DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN SERTIFIKASI

4.1. Sintesis dan Kesimpulan

Sistem nafkah rumahtangga petani hutan rakyat disusun oleh berbagai macam strategi

nafkah yang menyebabkan struktur nafkah atau komposisi pendapatan tersusun oleh tiga

sektor ekonomi besar yaitu pertanian (farm), non-pertanian (non-farm) dan kayu. Secara

ekologis, sistem nafkah yang mengandalkan kombinasi farm - non-farm dan hutan

tersebut sangat kuat diwarnai oleh kondisi kawasan, letak wilayah, dan pola landuse

yang telah sejak lama diterapkan sebagai bagian dari adaptasi ekologi di tiga wilayah

kabupaten tersebut. Dalam hal ini, ekosistem darat (upland farming) dengan ciri-khas

tanah pegunungan di Wonosobo dan tanah kering di Wonogiri serta Blora, sangat

menonjol membentuk sistem nafkah dan pola survival rumahtangga petani hutan rakyat.

Posisi usahatani kayu dalam sistem nafkah rumahtangga petani hutan rakyat di tiga

kabupaten sangat penting dan menentukan kedalaman ketahanan ekonomi rumahtangga

di tiga kawasan tersebut. Dari hasil analisis, terbukti bahwa usahatani kayu menjadi

pembentuk struktur nafkah yang penting dalam rumahtangga baik pada status peserta

sertifikasi maupun non-sertifikasi. Kontribusinya terhadap total pendapatan rumahtangga

petani di tiga kabupaten studi berkisar antara 17-30 persen. Angka tersebut tentu sangat

signifikan walaupun bukan menjadi sektor ekonomi terpenting dalam rumahtangga petani.

Usahatani kayu menjadi semacam “benteng pertahanan” untuk mengamankan nafkah

bila terjadi sesuatu yang sifatnya emergency bagi rumahtangga. Sekalipun, sektor

pertanian (farm) dan non-pertanian (non-farm) tetap sebagai penyumbang pendapatan

yang utama terhadap total pendapatan rumahtangga petani hutan rakyat, namun

usahatani kayu memberikan rasa aman dalam sistem nafkah rumahtangga karena

fungsinya sebagai safety valve bagi pemenuhan dana cash di masa tertentu. Dengan

demikian, usahatani kayu merupakan pelengkap tetapi menjadi bagian yang terpenting

dari pengamanan sistem nafkah dan strategi bertahan hidup rumahtangga petani hutan

rakyat. Posisi usahatani kayu diletakkan dalam strategi berjaga-jaga (saving account)

untuk menghadapi masa krisis dan di masa meningkatnya kebutuhan insidental (tebang

butuh). Dalam hal ini, stok tegakan kayu di kebun/tegalan/ladang dapat dilikuidasi setiap

saat oleh petani sebagai strategi mendatangkan pendapatan cash.

Dengan posisi usahatani kayu (baik sengon maupun jati) yang sifatnya menjadi katup

pengaman ekonomi rumahtangga di tiga kabupaten, maka mengandaikan usahatani kayu

rumahtangga petani hutan rakyat sebagai unit bisnis utama yang dijalankan secara

Page 58: STRUKTUR, STRATEGI DAN SISTEM NAFKAH …psp3.ipb.ac.id/web/wp-content/uploads/2016/06/WP-03-Livelihood.pdf · harapan terjadinya perubahan penatausahaan kayu baik pada tingkat produsen,

57

rasional berdasarkan pertimbangan benefit-cost dan profit-loss yang ketat sebagaimana

perilaku bisnis kapitalis, adalah sebuah kekeliruan. Usahatani kayu samasekali bukan

unit bisnis rumahtangga petani, melainkan unit income security dalam sistem nafkah.

Fakta di lapangan menunjukkan bahwa usahatani kayu hanyalah saving account atau

safety valve untuk menutupi kebutuhan insidental-mendesak atau mengatasi krisis

ekonomi rumahtangga. Likuidasi stok kayu di kebun/tegalan/ladang petani, dilakukan

tidak secara reguler (terpola) melainkan di waktu-waktu tertentu. Dengan asumsi ini,

mengandaikan sertifikasi sebagai instrumen formalisasi untuk mendisiplinkan unit bisnis

kayu petani yang akan bekerja efektif dalam suasana ekonomi liberatif (penuh

persaingan) dan “logika keuntungan pasar” seringkali akan memberikan kekecewaan

kepada semua pihak. Termasuk dalam hal ini, mengandaikan sertifikasi sebagai driving

force yang mendorong perilaku ekonomi petani agar rasional dalam bisnis kayu melalui

mengendalikan tata-usaha dan tata-kelola kayu serta demi pencapaian SFM, seringkali

tidak akan selalu menuju pada tujuan yang diharapkan. Petani tetap melihat usahatani

kayu sebagai unit subsisten dan tabungan yang hanya akan dilikuidasi di saat diperlukan,

tidak peduli apakah harga sedang baik atau sedang buruk.

Terdapat relasi yang kuat antara dimensi struktur agraria dengan bentuk strategi nafkah

yang dibangun oleh rumahtangga petani hutan rakyat. Persoalan terpenting yang

ditemukan dalam relasi antara struktur agraria, strategi nafkah dan sertifikasi adalah

adanya ketidaksesuaian di antara ketiganya. Pola hubungan sosial produksi agraria yang

berbasis individual-mandiri dalam ushatani kayu, dimana keputusan ekonomi dibuat

secara otonom di tingkat rumahtangga agak tidak selaras dengan tuntutan sertifikasi

kayu yang mengharuskan individu petani merelakan pengelolaan ushatani kayunya

dalam kesatuan wilayah kelompok atau gapoktanhut, yang menghendaki pengambilan

keputusan ekonomi berasaskan kolektivitas. Pemilikan atau penguasaan tanah hutan

rakyat (dimana usahatani kayu berada), sifatnya individual. Petani memiliki kemandirian

untuk memutuskan segala sesuatu terkait eksistensi tanah dengan segala isinya

termasuk keputusan untuk menebang secara otonom. Namun, dalam rejim sertifikasi

kayu berbasiskan kolektivitas, pengelolaan hutan (pola tebang) diselenggarakan dalam

kolektivitas sebagai hasil integrasi unit-unit usaha kayu para petani peserta sertifikasi.

Pendekatan kelompok diperlukan, karena sertifikasi atau formalisasi harus dilakukan

dalam satuan usaha skala agak besar 500-1000 hektar (per unit gapoktanhut) agar

menjamin control of supply kayu yang lebih regulated dan teratur sesui prinsip tata-kelola

yang baik dan SFM. Pendekatan kelompok melalui skema gapoktanhut, telah membuat

satuan pengambilan keputusan mandiri-individual tidak berlaku lagi. Rejim kolektivitas

terutama penting dalam rangka memenuhi tujuan SFM, dimana hutan rakyat harus

Page 59: STRUKTUR, STRATEGI DAN SISTEM NAFKAH …psp3.ipb.ac.id/web/wp-content/uploads/2016/06/WP-03-Livelihood.pdf · harapan terjadinya perubahan penatausahaan kayu baik pada tingkat produsen,

58

dipandang sebagai satu hamparan wilayah hutan yang berada di dalam satu manajemen

produksi. Benturan kepentingan antara pemenuhan kebutuhan pengamanan nafkah

(securing livelihood) di tingkat individual versus kepentingan SFM dan good forest

governance di tingkat kolektif terjadi dan menghasilkan suasana tidak nyaman bagi

petani. Ketidaknyamana ini terjadi manakala rumahtangga petani hutan rakyat

dihadapkan pada persoalan mengatasi kebutuhan dana cash yang mendesak atau

insidental yang memaksa dilaksanakannya tebang butuh. Sementara, tuntutan SFM dan

good forest governance tidak menghendaki operasi tebang butuh pada spot dimana

kebun petani tersebut berada. Dilema seperti ini akan terus berlangsung pada petani

peserta program sertifikasi, sampai solusi kelembagaan ditemukan. Dalam kondisi

dilematis seperti ini, transformasi gapoktanhut dari kolektivitas produksi menjadi

kolektivitas koperasi finansial sangat dibutuhkan agar kebutuhan akan keamanan nafkah

rumahtangga petani senantiasa terpenuhi. Pada titik inilah, terdapat relevansi yang kuat

antara kajian struktur agraria (pola hubungan sosial-produksi agraria), sertifikasi dan

sistem keamanan nafkah petani.

Sertifikasi yang memberikan konsekuensi biaya cukup besar lebih dipandang sebagai

beban-baru (economic burden) bagi ekonomi rumahtanga petani hutan rakyat peserta

program sertifikasi. Terlebih lagi, hasil studi ini membuktikan bahwa sesungguhnya

kondisi ekonomi rumahtangga petani sekalipun mampu melakukan formasi saving

(saving formation), tetapi mereka sebenarnya tetap rentan. Bahkan bila dihitung secara

sungguh-sungguh, kebanyakan mereka jatuh di bawah garis kemiskinan yang

menyebabkan tingkat kerentanan ekonominya (economic vulnerability-nya)cukup

mengkhawatirkan. Sekalipun mereka adalah mampu menyisihkan pendapatannya

sebagai tabungan, tetapi kondisi ekonomi yang pas-pasan, luas penguasaan lahannya

yang minimal (kebanyakan tidak lebih dari satu hektar) menyebabkan sertifikasi

menghadapi tantangan tersendiri pada dimensi hafkah. Secara spesifik, rumahtangga

petani Wonosobo adalah yang relatif agak siap (SVLK-ready) untuk menerima program

sertifikasi atau formalisasi produksi dan perdagangan kayu. Namun, bagi rumahtangga

petani hutan rakyat di Wonogiri dan Blora, implementasi sertifikasi akan memberikan

sejumlah kompromi dan resiko ekonomi pada rumahtangga yang cukup signifikan dan

mengkhawatirkan.

Perlu diulangi kembali beberapa temuan studi tentang sistem nafkah rumahtangga petani

hutan rakyat di tiga kabupaten. Dari analisis tentang pemilikan dan penguasaan lahan,

struktur nafkah dan keamanan sistem nafkah dalam kaitannya dengan formalisasi atau

sertifikasi, dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:

Page 60: STRUKTUR, STRATEGI DAN SISTEM NAFKAH …psp3.ipb.ac.id/web/wp-content/uploads/2016/06/WP-03-Livelihood.pdf · harapan terjadinya perubahan penatausahaan kayu baik pada tingkat produsen,

59

1. Rumahtanga petani hutan rakyat (peserta sertifikasi) biasanya adalah petani

mandiri yang tidak bermitra dengan siapapun kecuali berkelompok tani dalam

gapoktanhut untuk keperluan sertifikasi dan memiliki struktur agraria berciri petani

kecil mandiri dan otonom dalam pengambilan keputusan dimana penguasaan

lahannya yang sempit menjadikannya kebanyakan dikategorikan sebagai

rumahtangga petani gurem. Karena skala usahatani kayunya per rumahtangga

yang kecil dan tidak dominan, menyebabkan sumbangan ekonomi usahatani kayu

terhadap sistem nafkah rumahtangga sekedar sebagai safety valve dan pembentuk

unit-security bagi keseluruhan sistem nafkah petani. Sekalipun kecil, tetapi peranan

usahatani kayu sebagai penyumbang pendapatan, sangatlah penting bagi

rumahtangga terutama di saat genting (tebang butuh).

2. Hutan rakyat biasanya dikembangkan di lahan milik sendiri di lahan kering dalam

sakala amat sangat kecil bahkan kurang dari satu hektar. Penanaman kayu sengon

di Wonosobo atau kayu jati di Wonogiri dan Blora seringkali dilakukan bersama-

sama dengan tanaman lain dalam sistem multiple cropping – agroforestry di lahan

yang dalam istilah lokal disebut sebagai kebon atau tegalan. Pengelolaan usahatani

sengon atau jati dilakukan secara mandiri dan individual dalam organisasi

rumahtangga. Integrasi individu rumahtangga petani ke dalam kelompok

(gapoktanhut), memerlukan penyesuaian-penyesuaian kelembagaan penopang

agar livelihood system rumahtangga petani hutan rakyat tetap aman, tidak

terganggu dan lestari.

3. Rumahtangga petani rakyat mengembangkan hutan rakyat sebagai bagian dari

survival atau bertahan hidup. Fungsi utama hutan rakyat atau kayu (sengon dan

jati) yang ditanam adalah sebagai saving account untuk berjaga-jaga manakala

ada kebutuhan insidental atau krisis ekonomi yang sangat tidak terduga datangnya.

Secara ekonomi, kebanyakan rumahtangga petani hutan rakyat menghadapi

persoalan kemiskinan. Sekalipun, mereka mampu membangun formasi tabungan,

tetapi sesungguhnya tabungannya tidak memungkinkannya untuk mampu

menjamin ketahanan ekonomi jangka panjang. Dengan kondisi demikian, sertifikasi

produksi kayu yang diperkenalkan untuk menjamin good forest governance dan

mewujudkan cita-cita SFM akan sangat beresiko bila hanya mengandalkan sumber-

sumber pendapatan asli dari petani yang bersumberkan dari tiga sektor yaitu farm,

non-farm, dan usahatani kayu.

4. Semua rumahtangga petani hutan rakyat membangun sistem nafkahnya dengan

basis strategi nafkah ganda atau income diversification strategies. Dalam strategi

yang demikian itu, rumahtangga petani tidak mengandalkan sumber nafkah yang

Page 61: STRUKTUR, STRATEGI DAN SISTEM NAFKAH …psp3.ipb.ac.id/web/wp-content/uploads/2016/06/WP-03-Livelihood.pdf · harapan terjadinya perubahan penatausahaan kayu baik pada tingkat produsen,

60

tunggal, dimana sumbangan kayu atau hutan rakyat dalam sistem nafkah

rumahtangga berkisar antara 17-30 persen saja pada semua kategori petani.

Sertifikasi produksi kayu dengan memanfaatkan basis pendapatan 17-30 persen

saja, dianggap tidak memadai. Secara umum dapat dikatakan, jikalaupun sertifikasi

dapat dijalankan, maka pendanaan sertifikasi dari rumahtangga petani dipastikan

berasal dari cross subsidy antar sektor – terutama farm dan non-farm income akan

memasok keperluan dana sertifikasi agar tersedia. Faktanya, rumahtangga petani

hutan rakyat melakukan sertifikasi hanya jika ada bantuan. Di Blora, bahkan

surveillance tidak dapat dilakukan karena petani tidak mampu membiayai dari

sumber self-financing.

5. Secara umum rumahtangga petani hutan rakyat memiliki tingkat keamanan nafkah

(livelihood security) dan keberlanjutan nafkah (livelihood sustainability) yang positif,

karena semua kategori petani memiliki saving capacity yang positif. Namun

demikian, derajat keamanan dan keberlanjutan nafkahnya masih pada taraf yang

pas-pasan atau kalaupun boleh dikatakan aman dalam pengertian slightly above

secure level, yang tidak memungkin bagi mereka untuk membiayai sendiri segala

proses sertifikasi di masa depan. Sertifikasi masih dianggap sebagai beban dan

dianggap membahayakan kemanan nafkah petani, sehingga solusi kelembagaan di

tingkat gapoktanhut sangat diperlukan.

4.2. Saran Kebijakan

Dari fakta-fakta di atas, saran kebijakan yang dapat diajukan dalam hal ini adalah

sebagai berikut. Dikarenakan hutan rakyat hanya merupakan penyumbang yang tidak

dominan dalam keseluruhan total pendapatan rumahtangga, yang fungsinya sekedar

untuk memenuhi kebutuhan insidental/tak terduga (tebang butuh) bagi rumahtangga

petani hutan rakyat di tiga kabupaten studi, maka memperlakukan sektor perkayuan

layaknya sebuah usaha bisnis yang profitable dengan memaksakan formalisasi atau

sertifikasi yang berjalan ketat layaknya dilakukan dalam usaha bisnis yang purely-profit

oriented, bukanlah gagasan yang bijaksana. Namun, bila sertifikasi memang dianggap

dan telah diyakini sebagai salah satu dan satu-satunya cara untuk merealisasikan good

forest governance dan cita-cita SFM (sustainable forest management) bahkan dalam

rangka mengurangi emisi karbon dan illegal logging, maka sertifikasi harus dilakukan

dalam pendekatan yang bertahap-tahap. Pada tahap awal, negara mengambil alih

Page 62: STRUKTUR, STRATEGI DAN SISTEM NAFKAH …psp3.ipb.ac.id/web/wp-content/uploads/2016/06/WP-03-Livelihood.pdf · harapan terjadinya perubahan penatausahaan kayu baik pada tingkat produsen,

61

pembiayaan sertifikasi dan surveillance dengan segala resikonya, dikarenakan petani

samasekali tidak memiliki kekuatan untuk membiayainya.

Tahap kedua, dengan technical assistance yang ketat dan disiplin, di tingkat gapoktanhut

(sebagai basis operasi dan pengelolaan kesatuan wilayah hutan petani), didirikan unit

bisinis berwatak koperasi yang mengelola kesatuan wilayah hutan gapoktan dengan

manajemen produksi, keuangan, pemasaran, dan organisasi secara modern –

rasionalitas pasar tetapi bernafaskan solidaritas-kolektifif. Pada tahap dimana,

koperasi/gapoktanhut telah dirasakan mampu membenahi organisasinya ke dalam, maka

koperasi yang kemudian mewujud menjadi organisasi bisnis-kolektif yang modern, berani

didorong untuk melakukan kemitraan dengan pihak luar demi memperlancar pemasaran.

Termasuk dalam hal ini adalah peran koperasi yang semakin besar sebagai penyedia

bridging fund bagi anggotanya yang memerlukan tebang butuh. Jalan untuk

mengimplementasikan tahapan-tahapan ini tidaklah linier dan bisa diprediksi waktunya,

oleh karena itu kesabaran dalam pendampingan menjadi kunci utama untuk

memandirikan petani hutan rakyat sehingga mereka benar-benar sertikasi-ready. Tahap

ketiga adalah sertifikasi dan pengawalan koperasi yang berfungsi sekalgus sebagai

gapoktanhut dan juga asosiasi para petani.

4.3. Sumbangan terhadap Dunia Akademik-Saintifik

Pada dasarnya, asumsi rasionalitas ekonomi (insentif ekonomi) yang digunakan oleh

kebijakan sertifikasi sebagai dasar argumentasi utama untuk mengiming-iming petani

hutan rakyat agar berpartisipasi dalam program sertifikasi adalah sebuah kesalahan

teoretik dan filsafati. Kesalahan teoretik ini disebabkan argumennya yang tidak sesuai

dengan rasionalitas moral yang biasanya dianut oleh kebanyakan rumahtangga petani

hutan rakyat di Jawa. Rasionalitas moral petani Jawa mendorong operasi ekonomi

usahatani ataupun unit-unit ekonomi lainnya, samasekali bukan dari alasan/argumen

keuntungan bisnis, melainkan tanggung jawab moral. Lebih spesifik lagi, adanya

keniscayaan sistem nafkah yang mengandalkan pada strategi multiple sources of income

menjadikan keterpaksaan berpartisipasi dalam sertifikasi menjadi “seolah-olah” adalah

kerelaan dan dukungan partisipasi terhadap program sertifikasi di lapangan. Faktanya,

petani mengikuti program sertifikasi di Wonosobo, samasekali bukan karena berharap

reward atau economic incentive yang akan didapatkan dari sertifikasi, melainkan

tersedianya alternative sources of cash-income (dari kebun salak dan non-farm) yang

bisa mendukung pendanaan sertifikasi. Artinya, sepanjang ada multiple sources of

Page 63: STRUKTUR, STRATEGI DAN SISTEM NAFKAH …psp3.ipb.ac.id/web/wp-content/uploads/2016/06/WP-03-Livelihood.pdf · harapan terjadinya perubahan penatausahaan kayu baik pada tingkat produsen,

62

income dalam livelihood system hadir cukup kuat dalam rumahtangga petani hutan,

maka sertifikasi produksi kayu bukanlah persoalan yang sulit untuk direalisasikan. Namun,

sertifikasi yang diharapkan bersumber murni dibiayai dari usahatani kayu, menjadi tidak

terpenuhi. Artinya, sertifikasi kayu menghadapi pelunturan makna hakiki, karena

sertifikasi hanya bisa dilakukan bila petani memiliki banyak dukungan sumber nafkah.

Persoalan hilangnya makna sertifikasi menjadi semakin kuat dalam kasus sertifikasi oleh

petani yang menghadapi problematika kemiskinan semakin nyata seperti yang terjadi di

Blora dan Wonogiri. Artinya, keikutsertaan mereka bukan lagi karena hadirnya dukungan

finansial dari sektor ekonomi lain dari dalam rumahtangga petani, melainkan karena

keterpaksaan yang sulit ditolak karena tradisi ketundukan petani terhadap

kebijaksanaan dari negara. Apa yang bisa dikonseptualisasikan dalam hal ini adalah

kesalahan mengambil asumsi dan basis filsafati dan teori sosiologi-ekonomi dalam

program sertifikasi ekonomi hutan rakyat di Jawa, selanjutnya akan memberikan

kekeliruan konsekuensi-konsekuensi kebijakan. Hasilnya, seringkali kebijaksanaan

mengalami deadlock dan tersesat dalam jalan-buntu yang sulit dicari jalan keluarnya.

Studi ini memberikan sumbangan penting bagi perkembangan ilmu pengetahuan,

terutama bagi sosiologi ekonomi pedesaan petani Jawa. Secara teoretik, studi ini

mengkonfirmasi bahwa (berbekal hasil studi kasus rumahtangga petani hutan rakyat) di

Jawa, pertarungan sosiologi Weberian tentang rasionalitas formal versus rasionalitas

moral menjadi isu akademik-saintifik yang terus up to date dalam studi sosiologi ekonomi

pedesaan masyarakat petani Jawa. Ditemukan “batas yang tipis” dan sulit dibedakan

antara “keterpaksaan” dan “kesukarelaan” dalam berpartisipasi pada program-program

pembangunan yang mengusung isyu globalosentrisme (sebagaimana pikiran Escobarian,

Foucauldian) seperti sertifikasi kayu untuk SFM dan penanggulangan illegal logging yang

meniscayakan petani di pedesaan Jawa larut di dalamnya. Studi sosiologi pedesaan

tentang livelihood dan partisipasi pembangunan, diperkaya oleh temuan-temuan

dalam riset ini, yang kemudian memberikan konseptualisasi khas bagi rumahtangga

petani di Jawa (khususnya Wonosobo, Wonogiri, dan Blora) yang boleh dikategorikan ke

dalam tiga kategori kepesertaan atau partisipasi dalam sertifikasi, yaitu:

(1) Alienated participatory – adalah sebuah keikutsertaan dalam program (sertifikasi

produksi kayu) yang diikuti oleh petani tanpa memahami benar tentang apa latar

belakang dan harapan yang dicapai. Keikutsertaan semata-mata karena ketundukan

dan menjaga solidaritas kolektif dalam masyarakat. Pelajaran dari petani hutan

rakyat di Wonogiri memberikan pelajaran akan munculnya konsep ini.

Page 64: STRUKTUR, STRATEGI DAN SISTEM NAFKAH …psp3.ipb.ac.id/web/wp-content/uploads/2016/06/WP-03-Livelihood.pdf · harapan terjadinya perubahan penatausahaan kayu baik pada tingkat produsen,

63

(2) Participatory by chance – adalah sebuah partisipasi terhadap program

pembangunan (sertifikasi produksi kayu) oleh rumahtangga petani, bukan karena

kesadaran rasional melainkan karena ada kesempatan untuk ikut. Bukti dari

Wonosobo mendasari konseptualisasi participatory by chance, karena mereka

membiayai sertifikasi hanya karena ada economic chance yang disediakan oleh

sektor ekonomi lain dalam sistem livelihood mereka yaitu sektor farm dan non-farm.

(3) Participatory by stress – adalah partisipasi karena keterpaksaan. Keikutsertaan

dalam program sertifikasi dilakukan walaupun sebenarnya para petani hutan rakyat

yang ikut serta dalam program tersebut dirundung ketidakmampuan ekonomi.

Pelajaran dari rumahtangga petani hutan rakyat yang berpartisipasi dalam program

sertifikasi SVLK di tengah-tengah fenomena kemiskinan di Blora membantu

pemahaman yang menarik akan konsep ini.

Studi sosiologi ekonomi pedesaan terutama sosiologi livelihood mendapatkan penajaman

teoretik dari hasil studi tentang sertifikasi pada rumahtangga petani hutan rakyat di tiga

kabupaten (Wonosobo, Wonogiri, dan Blora) bahwa semakin sulit keadaan ekonomi

petani maka semakin rumit strategi nafkah yang dibangunnya. Proses adaptasi dan

penyesuaian yang dilakukan oleh rumahtangga petani selain bermanuver di dalam ( intra

household), dengan melakukan manipulasi-manipulasi terhadap sumberdaya yang

dikuasainya, juga dilakukan manipulasi kelembagaan eksternal yang berada di luar

organisasi rumahtangga petani. Manuver intra-ekstra household organizational

adjustment dalam rangka mempertahan survival, akibat datangnya sertifikasi, adalah

respons menarik yang ditemukan oleh studi ini dan menyumbang penting pada

pengayaan sosiologi nafkah di masyarakat pedesaan Jawa pada khususnya. Sekalipun

demikian, studi lanjutan diperlukan untuk mempertajam konseptualisasi yang telah

berhasil ditemukan oleh studi ini.

Page 65: STRUKTUR, STRATEGI DAN SISTEM NAFKAH …psp3.ipb.ac.id/web/wp-content/uploads/2016/06/WP-03-Livelihood.pdf · harapan terjadinya perubahan penatausahaan kayu baik pada tingkat produsen,

64

DAFTAR PUSTAKA

Chambers, R and Conway, G. R. 1991. Sustainable rural livelihoods: Practical concepts

for the 21st century. IDS Discussion Paper, No. 296, 1-33.

Dharmawan, A. H. 2001. Farm household livelihood strategies and socio-economic

changes in rural Indonesia. Wissenschaftsverlag Vauk. Kiel.

_________. 2007. Sistem penghidupan dan nafkah pedesaan: Pandangan sosiologi

nafkah (livelihood sociology) mazhab barat dan mazhab bogor. Sodality,

Jurnal Transdisiplin Sosiologi, Komunikasi dan Ekologi Manusia, 1/2, 169-192.

Djamhuri, T.L. 2012. The Effect of Incentive Structure to Community Participation in a

Social Forestry Program on State Forest Land in Blora District,

Indonesia. Forest Policy and Economics, Vol. 25, pp. 10-18.

Ellis, F. 2000. Rural livelihoods and diversity in developing countries. Oxford University

Press. Oxford and New York.

Ellis, F and Freeman, H. A. 2005. Rural livelihoods and poverty reduction policies.

Routledge. London and New York.

Kuhnen, F. 1982. Man and Land: An Introduction into the Problems of Agrarian Structure

and Agrarian Reform. Verlag Breitenbach. Fort Lauderdale. Saarbruecken.

Scoones, I. 1998. Sustainable rural livelihoods a framework for analysis. IDS Working

Paper, No. 72, 1-22.

Titus, M.J and Burgers, P.M. 2008. Rural livelihoods, resources, and coping with crisis in

Indonesia: a comparative study. Amsterdam University Press. Amsterdam.

Sihaloho, M. 2004. Konversi Lahan Pertanian dan Perubahan Struktur Agraria Kasus di

Kelurahan Mulyaharja, Kecamatan Bogor Selatan, kota Bogor, Jawa Barat.

Tesis. IPB.

Sitorus, MTF. 2002. Lingkup Agraria (dalam) E. Suhendar, et. al. Menuju Keadilan

Agraria : 70 Tahun Gunawan Wiradi. Akatiga. Bandung.

Page 66: STRUKTUR, STRATEGI DAN SISTEM NAFKAH …psp3.ipb.ac.id/web/wp-content/uploads/2016/06/WP-03-Livelihood.pdf · harapan terjadinya perubahan penatausahaan kayu baik pada tingkat produsen,

65

Tacconi, L. 2007. Illegal Logging: Law Enforcement, Livelihoods and The Timebr Trade.

Earthscan. London – Sterling VA.

van Kooten, G.C; Nelson, H.W. Vertinsky, I. 2005. Certification of Sustainable Forest

Management Practices: a Global Perspective on Why Countries

Certify, Forest Policy and Economics, Vol. 7, Issue 6,pp. 857-867

Wiradi, G. 2000. Reforma Agraria : Perjalanan yang Belum Berakhir. Insist, KPA,

Pustaka Pelajar. Yogyakarta.