Upload
trinhque
View
212
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
PRO-FORMAL:
POLICY AND REGULATORY OPTIONS TO RECOGNISE AND BETTER
INTEGRATE THE DOMESTIC TIMBER SECTOR IN TROPICAL COUNTRIES
WORKING PAPER SERIES No. 03
STRUKTUR, STRATEGI DAN SISTEM NAFKAH
RUMAHTANGGA PETANI HUTAN RAKYAT: KAITAN
ANTARA SERTIFIKASI DAN STATUS SOSIAL-EKONOMI
PETANI
(STUDI KASUS DI TIGA KABUPATEN)
Oleh:
Arya Hadi Dharmawan
Dyah Ita Mardiyaningsih
Nur Isiyana Wianti
Kerjasama Riset Antara
Center for International Forestry Research (CIFOR)
dan
Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan (PSP3)
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012
1
1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
1.1.1. Sertifikasi Kayu sebagai Pilihan yang Rasional bagi Petani Hutan Rakyat ?
Formalisasi pasar kayu dalam bentuk sertifikasi kayu merupakan salah satu upaya
rekayasa kelembagaan yang paling mungkin dilaksanakan dan rasional untuk mengatasi
praktek bad-governance dalam tata-usaha kayu. Formalisasi pasar kayu memiliki banyak
harapan terjadinya perubahan penatausahaan kayu baik pada tingkat produsen, industri
maupun rantai tataniaga kayu. Salah satu harapan tersebut adalah terciptanya ketertiban,
kepastian dan kejelasan asal-usul kayu yang beredar dalam keseluruhan mata-rantai
pasok kayu. Terdapat keyakinan yang kuat bahwa praktek bad-governance yang
berlangsung selama ini berpotensi mendorong terus beredarnya kayu ilegal dalam pasar
kayu nasional maupun internasional yang pada gilirannya akan memperburuk kondisi
sumberdaya alam/hutan. Dalam konteks isu global, semakin banyak kayu ilegal yang
beredar, maka ancaman deforestasi dan degradasi hutan akan semakin besar, yang
pada akhirnya mengancam terus berlanjutnya pemanasan global.
Formalisasi yang mewujud dalam bentuk sertifikasi produksi dan perdagangan kayu
dimaksudkan untuk mengendalikan atau mengontrol peredaran kayu agar tunduk pada
prinsip-prinsip sustainable forest management atau SFM, sehingga kelestarian alam
menjadi prinsip penting yang harus dipenuhi. Apabila prinsip SFM dicapai maka pada
gilirannya ekosistem hutan akan terpelihara dengan baik pemanfaatannya, dan hal ini
berarti formalisasi kayu akan menyumbang kepada upaya menekan pemanasan dan
perubahan iklim global, secara memadai. Secara singkat, formalisasi pasar kayu
mendorong terbangunnya tata-kelola produksi dan pemasaran kayu yang baik dan
kredibel yang memberikan dampak tidak saja pada tataran mikro bisnis, melainkan juga
tataran makro global.
Persoalannya, siapkah petani hutan rakyat atau smallholding forest untuk terlibat aktif
dalam proses formalisasi produksi dan perdagangan kayu? Melihat prosedur dan
pendanaan sertifikasi yang tidak mudah dan tidak murah, serta kebisaaan pengelolaan
hutan yang dipraktekkan oleh rumahtangga petani hutan rakyat yang sangat tradisional
(subsisten), diperkirakan formalisasi pasar kayu melalui sertifikasi produksi dan
perdagangan kayu akan menghadapi banyak kendala. Studi ini hendak melihat sejauh
mana kesiapan rumahtangga petani hutan dalam merespons proses formalisasi atau
sertifikasi produksi dan perdagangan kayu. Pertanyaan selanjutnya, bagaimanakah
2
rumahtangga petani hutan rakyat di tiga wilayah studi (Wonosobo, Wonogiri, dan Blora)
secara khas menyikapi sertifikasi kayu?
Formalisasi atau sertifikasi pasar kayu, pada hakikatnya adalah sebuah upaya untuk
memperbaiki tata-kelola produksi dan pemasaran kayu guna mengendalikan deforestasi
dan degradasi sumberdaya hutan terutama yang disebabkan oleh aktifitas pembalakan
liar atau illegal logging. Tujuan akhir dari upaya ini adalah terciptanya sustainable forest
management di tingkat kawasan. Sekalipun demikian, tidak semua stakeholder yang
terkait dengan produksi dan perdagangan kayu sepaham dengan tujuan ini.
Ketidaksepahaman itu pada dasarnya kembali kepada perspektif-perspektif berbeda
dalam mencapai cita-cita SFM.
Terdapat dua pendekatan untuk melakukan pengaturan produksi dan distribusi kayu
demi mengendalikan deforestasi dan degradasi hutan agar sebuah kawasan mewujud
menjadi SFM, dimana sertifikasi adalah instrumen pada salah satu pendekatan tersebut.
Kedua pendekatan itu menyandarkan pada dua filsafat ekonomi pembangunan.
Pendekatan pertama bersandar pada filsafat ekonomi liberalisme (rasionalitas pasar),
sementara pendekatan kedua bersandar pada filsafat ekonomi non-liberalisme
(pengaturan oleh negara). Filsafat ekonomi liberalisme mengandaikan kebebasan
individu di dalam mengambil keputusan. Setiap individu diandaikan berpikiran rasional
dan bertindak hanya untuk mencapai atau meraih manfaat ekonomi sebesar-besarnya
bagi pencapaian kepuasan individual. Dalam pandangan ekonomi liberalisme, orang
akan bertindak untuk melakukan sesuatu bila ada reward, benefit atau insentif (imbalan)
yang memadai. Sebaliknya, orang tidak akan melakukan sesuatu bila tidak ada imbalan
ekonomi atas tindakan yang dilakukannya. Dalam konteks formalisasi atau sertifikasi
produksi dan perdagangan kayu, seseorang akan melakukan sertifikasi bila tambahan
benefit yang didapatkan melebihi biaya-biaya yang telah dikeluarkannya. Dalam hal ini
kelembagaan pasar akan mengendalikan dan memberikan sinyal terhadap keputusan
sertifikasi yang akan diambil. Sertifikasi (legalitas) kayu pada dasarnya adalah sebuah
tindakan rasional pelaku ekonomi kayu, karena kepada mereka (dijanjikan akan)
mendapatkan lebih besar kepastian pasar yang menjamin tambahan benefit. Sertifikat
legalitas kayu adalah alat-bukti bahwa pelaku produksi dan perdagangan kayu telah
benar-benar melakukan perbaikan tata-kelola produksi dan perdagangan mengikuti
prinsip-prinsip good governance. Jadi, sertifikat legalitas kayu adalah alat pembuktian
kepada pasar bahwa tata-kelola dalam produksi dan perdagangan kayu telah diperbaiki
sesuai standar keinginan pasar (kayu) internasional yang juga bererti selangkah
mendekati SFM. Sebagaimana lazimnya dalam hukum ekonomi, sertifikasi tidaklah
3
sebuah aktivitas yang gratis, melainkan memakan biaya. Perimbangan antara tambahan
benefit dan tambahan biaya menjadi dasar rasional penting bagi pelaku produksi kayu
dan pelaku perdagangan kayu untuk memutuskan sertifikasi atau tidak.
Sebaliknya dalam filsafat ekonomi non-liberalisme, tidak dikenal adanya insentif, benefit
atau reward apapun. Tindakan seseorang ditentukan oleh perintah atau keputusan
kolektif yang ditetapkan melalui sebuah kebijakan negara/publik. Negara menjamin
sepenuhnya legalitas dari produksi dan distribusi kayu. Dalam pandangan ekonomi non-
liberal, kekuasaan negara (negara merepresentasikan integrasi dari individu-individu
berbeda kepentingan yang terikat oleh sebuah komitmen bersama untuk bernegara) yang
akan memelihara sumberdaya hutan sehingga hutan terhindar dari deforestasi dan
degradasi ataupun illegal logging. Artinya, setiap kayu adalah legal, karena negara
menjamin kepastian dan keamanannya. Alat utama untuk mendorong tindakan untuk
tidak melakukan illegal logging, adalah peraturan dan kekuatan pengamanan (security)
terhadap hutan produksi termasuk hutan yang dibebani hak seperti hutan rakyat. Dalam
arus-utama pemikiran non-liberalisme pasar, tindakan sertifikasi produksi kayu yang
dilakukan oleh seseorang, jika dan hanya jika negara memerintahkan proses sertifikasi.
Dalam pandangan sistem ekonomi yang non-liberatif (deliberatif), sesungguhnya
sertifikasi menjadi tidak ada gunanya, sepanjang negara dapat memastikan security atau
pengawasan dan pengamanan hutan yang baik sehingga memastikan sterilitas yang
tinggi pada kawasan hutan dari penjarahan dan pembalakan liar, maka hal itu cukup
untuk mengantarkan kayu ke perdagangan internasional. Dalam ekonomi yang non-
liberatif atau non-pasar yang sempurna, setiap kayu yang beredar dipastikan legal dan
karenanya bernilai ekonomi tinggi dalam jaminan negara. Persoalannya, bagi Indonesia
akan sangat sulit mewujudkan sistem ekonomi non-liberatif, dikarenakan kekuatan
negara yang digunakan untuk mengawasi dan mengontrol seluruh kawasan hutan yang
ada amat-sangat jauh dari kebutuhan ideal. Oleh karena itu, sistem ekonomi non-liberatif
bukan menjadi pilihan yang menarik. Sebaliknya pendekatan pilihan rasional yang
melandasi filsafat ekonomi yang liberatif dipandang lebih cocok untuk diimplementasikan
pada saat ini. Melalui sertifikasi, pelaku ekonomi didorong untuk melakukan tata-kelola
produksi dan perdagangan kayu sesuai prinsip-prinsip good forest/environmental
governance (SFM), karena bila tidak merealisasikan prinsip tersebut, maka akses pasar
akan tertutup dan tambahan benefit tidak akan dapat diraih.
Berangkat dari pilihan filsafat ekonomi pilihan rasional yang cenderung memberikan
prakarsa liberatif kepada pelaku ekonomi kayu, maka sertifikasi (bagi Indonesia)
sesungguhnya dapat dipandang dari dua sisi sekaligus. Sertifikasi merupakan instrumen
4
untuk mempenetrasi dan membuka akses pasar sekaligus sebagai instrumen pengaturan
negara untuk memperbaiki manajemen tata-usaha kayu. Dampaknya sama, yaitu akan
memberikan insentif harga atau tambahan benefit kepada siapapun yang melakukannya
sekaligus menjaga keamananan pengelolaan kawasan hutan produksi.
Dengan mengandaikan atau asumsi bahwa petani hutan rakyat adalah pelaku yang
berpikiran rasional (benefit/profit oriented), maka formalisasi atau sertifikasi kayu
dipastikan akan menarik bagi petani hutan rakyat. Oleh karena adanya tambahan benefit
yang berpotensi diraih sebagai akibat perbaikan tata-kelola kayu, maka petani hutan
rakyat akan dengan sukarela melakukan sertifikasi kayu. Dengan demikian, manakala
sertifikasi memberikan jaminan akses pasar internasional dan kenaikan profit terhadap
satuan kayu yang diperdagangkan dari hutan rakyat serta meningkatkan pendapatan,
maka setiap rumahtangga petani hutan rakyat (smallholding forest) akan merespon
secara positif sertifikasi atau formalisasi pasar kayu.
Sekali lagi, bagi Indonesia yang memiliki keterbatasan kekuatan negara dalam
mengawasi kawasan hutan, maka sertifikasi menjadi instrumen yang rasional dan relevan
sebagai pilihan terbaik dalam pengendalian pembalakan liar, daripada instrumen
ekonomi non-liberatif melalui pengawasan keamanan negara (security approach).
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah benarkah dugaan bahwa rumahtangga petani
hutan rakyat adalah pelaku ekonomi yang sepenuhnya rasional sehingga merespon
positif proses formalisasi atau sertifikasi produksi dan perdagangan kayu, demi mencari
profit ekonomi? Seberapa rasional petani kayu mengelola hutan kayunya sehingga
memenuhi prasyarat untuk disertifikasikan? Sedalam apakah hutan kayu dipandang
sebagai unit bisnis yang memungkinkan sertifikasi dilangsungkan?
Sebaliknya, apakah petani hutan rakyat di Jawa tetap sebagaimana tesis Scott (1960)
mengatakan sebagai petani subsisten yang tidak meletakkan usahatani hutan rakyatnya
pada dasar-dasar bisnis rasional dan lebih mendasarkan pada basis etika-etika
subsistensi, sehingga petani menjadi steril terhadap segala macam insentif ekonomi yang
dijanjikan upaya formalisasi atau sertifikasi produksi dan perdagangan kayu. Alhasil,
formalisasi atau sertifikasi lebih banyak dipandang sebagai regulasi pemaksaan oleh
negara terhadap petani? Keterlibatan terhadap program sertifikasi atau formalisasi
produksi dan perdagangan kayu bagi petani hutan rakyat dipandang sebagai partisipasi
yang alienatif dan penuh keterpaksaan. Studi ini akan membuktikan benarkah dugaan
tersebut? Studi pada akhirnya ditujukan untuk menjawab pertanyaan apakah sertifikasi
memberikan pengaruh terhadap peta livelihood system rumahtangga petani hutan rakyat?
5
Pertanyaan lebih lanjut, sejauh mana formalisasi atau sistem sertifikasi kayu memberikan
pengaruh terhadap status kesejahteraan rumahtangga petani/pemilik hutan rakyat?
1.1.2. Formalisasi dalam Kerangka FLEGT-VPA
Dalam rangka menutup ruang produksi dan peredaran kayu ilegal, sistem perdagangan
kayu dijalankan dan dikontrol melalui sistem sertifikasi. Setiap kayu dipastikan jaminan
akuntabilitas pemanenannya melalui proses sertifikasi yang dikenal dalam hutan rakyat
sejak tahun 2000an. Sertifikasi atau formalisasi produksi dan perdagangan kayu hendak
memastikan bahwa setiap kayu yang diproduksi dan diperdagangkan dapat
dipertangungjawabkan keabsahannya. Kayu bersertifikat selanjutnya akan mendapatkan
akses kepada pasar internasional dan mendapatkan harga layak, karena kualitas dan
kepastian asal-usulnya.
Pada masa awal sertifikasi, dikenal sertifikasi dari LEI (Lembaga Ekolabeling Indonesia)
untuk menjamin produksi kayu sesuai kaidah kelestarian sumberdaya alam. Selanjutnya
pada awal era 2000an mulai dirintis gagasan Forest Law Enforcement Governance and
Trade (FLEGT) atau Tata Kelola dan Perdagangan Sektor Kehutanan yang menjadi
bingkai hukum bagi untuk melakukan tata-kelola hutan lebih baik. Gagasan utama dari
FLEGT adalah pengembangan sebuah sistem pengendalian untuk memastikan legalitas
kayu yang diekspor oleh negara-negara pengekspor kayu, utamanya ke Uni Eropa (UE).
FLEGT mengembangkan mekanisme verifikasi legalitas kayu yang akuntabel, transparan,
dan partisipatoris sehingga memberikan tingkat kredibilitas yang tinggi terhadap kayu
yang memasuki pasar ekspor ke negara-negara UE.
FLEGT merupakan upaya untuk meningkatkan kualitas tata-kelola hutan rakyat maupun
hutan produksi, dan memastikan bahwa kayu dan produk kayu yang diperdagangkan ke
UE diproduksi sesuai dengan peraturan perundangan negara mitra yang pada prinsipnya
tunduk kepada kaidah-kaidah sustainable forest management (SFM). Melalui FLEGT,
negara-negara mitra UE pengekspor kayu, termasuk Indonesia, diharapkan menangani
permasalahan pembalakan liar (illegal logging) dan menghentikan perdagangan kayu
yang dipungut secara ilegal sebagai prasyarat untuk mendapatkan akses ke pasar UE
(anonymous, 2011). Di Indonesia prasyarat FLEGT tersebut dipenuhi melalui program
Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) yang merupakan salah satu bentuk sertifikasi
dalam rangka formalisasi perdagangan kayu. Berdasarkan kajian Dharmawan, et.al
(2012) dikemukakan bahwa tujuan sertifikasi VLK (Verifikasi Legalitas Kayu) adalah
untuk menekan laju illegal logging dan illegal timber trading, yang selanjutnya untuk
memperbaiki sistem tata usaha kayu yang pada gilirannya menuju tercapainya SFM.
6
Salah satu cara untuk mencapai cita-cita SFM adalah mengurangi emisi karbon dari
kawasan hutan yang terjadi via pembalakan liar yang menyebabkan degradasi hutan.
Pengurangan emisi karbon tersebut dapat dipastikan terjadi hanya jika kayu yang
ditebang terjamin legalitasnnya melalui proses sertifikasi (SVLK). Oleh karena itu,
sertifikasi atau formalisasi kayu, selain ditujukan untuk memperbaiki harga jual kayu, juga
dalam rangka untuk menekan emisi karbon atau memperbaiki kualitas lingkungan hidup.
Berbagai negara, terutama negara-negara yang tergabung dalam Uni Eropa,
memberikan dukungan kuat sertifikasi produksi dan perdagangan kayu yang beralaskan
pendekatan pada pilihan rasional ini. Pada dasarnya, negara-negara mitra perdagangan
kayu Indonesia mendorong upaya pengukuhan tata-kelola kehutanan yang baik (good
forest governance) yang dimulai dari proses pemanenan dan perdagangannya melalui
pengukuhan sejumlah peraturan (law enforcement) yang dibuktikan melalui sertifikasi.
Keseluruhan proses inilah yang kemudian dikenal sebagai upaya formalisasi produksi
dan perdagangan kayu.
Namun demikian, sistem tata-kelola hutan (good forest governance) yang baik, melalui
sertifikasi atau formalisasi yang mengantarkan terwujudnya cita-cita SFM, terancam tidak
akan terealisasi, bila sertifikasi tidak dilakukan secara menyeluruh pada semua pelaku
ekonomi kayu. Artinya, tetap akan terjadi peluang bagi kayu eks pembalakan liar yang
masuk ke pasar (terutama pasar domestik) dan mendapatkan pasar. Teori pilihan
rasional yang mendasari perilaku ekonomi liberatif-pasar, bagi terselenggaranya
sertifikasi kayu, tidak akan berjalan dalam kondisi seperti ini. Dengan asumsi bahwa
adanya black-market bagi kayu tidak legal, maka petani hutan rakyat tidak akan
terinsentif untuk melakukan sertifikasi. Bagi mereka, pertimbangan rasionalnya menjadi
terbalik. Sepanjang kayu tak bersertifikat tetap mendapatkan akses pasar, maka
sertifikasi adalah sebuah redundancy (kesia-siaan) belaka. Black-market seperti ini akan
mengembalikan good forest governance kembali kepada praktek bad forest governance
yang mengancam kawasan hutan kembali memburuk kualitasnya. Kenyataanya, di
Indonesia, pasar kayu yang tidak mensyarakatkan sertifikat jauh lebih banyak jumlahnya
daripada pasar kayu yang mensyaraktkan kayu bersertifikat saja yang diperdagangkan.
Hingga titik ini, sertifikasi atau formalisasi menghadapi tantangan yang sangat hebat.
Namun demikian pemerintah berketetapan untuk melanjutkan program sertifikasi. Setelah
melalui perjalanan diskursif yang sangat panjang tentang perlu atau tidaknya proses
formalisasi, sertifikasi dan pengukuhan tata-kelola kehutanan yang baik, maka
pemerintah Indonesia pada tahun 2009 mengeluarkan Peraturan Menteri Kehutanan atau
Permenhut No. 38/2009 tentang SVLK (Sistem Verifikasi Legalitas Kayu). Dengan
7
peraturan ini, Indonesia menegaskan bahwa hanya kayu formal yang telah lolos
sertifikasi SVLK (dengan segala parameter pengukuran berorientasi pada prinsip-prinsip
pengelolaan hutan lestari) yang boleh beredar secara absah dan mendapatkan pasar
yang luas hingga ke luar negeri. Sistem sertifikasi SVLK dilakukan terutama untuk
mencegah terjadinya illegal logging pada tataran produksi kayu, perdagangan, industri,
hingga ekspor kayu.
Pada tahun 2011 Kementerian Kehutanan Republik Indonesia mengeluarkan kembali
Permenhut No. 68/2011 tentang PK-PHPL atau Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan
Produksi Lestari yang dikenakan bagi hutan produksi (skala besar). Dengan dua
instrumen pengaturan ini, sistem transaksi kayu tersebut, pemerintah hendak semakin
dalam memformalisasi transaksi dan industri serta perdagangan kayu di dalam negeri.
Harapannya hanya satu yaitu menahan terjadinya pembalakan liar dalam segala
bentunya yang berpotensi mendegradasi hutan serta emisi karbon, sehingga cita-cita
SFM tidak tercapai.
Formalisasi produksi dan tataniaga kayu melalui FLEGT yang dikembangkan dalam
kerangka VPA (Voluntary Partnership Agreement) antara Indonesia dengan negara mitra
(Uni Eropa) segera dikukuhkan lebih nyata sebagai basis perdagangan kayu kedua belah
pihak pada tahun 2013. Gagasan utamanya adalah, menutup peluang adanya pasar
gelap kayu di negara tujuan ekspor, selain menutup peluang pembalakan liar di negeri
asal (Indonesia). Dengan perjanjian ini diharapkan tidak saja Indonesia bisa menahan
illegal logging, tetapi juga negara-negara pembeli kayu (para konsumen kayu) menyadari
akan pentingnya legalitas kayu yang mendorong terciptanya SFM bagi negara produsen
kayu. Untuk itu secara pararel mekanisme pasar kayu juga dibangun untuk mendukung
dan memberikan penghargaan terhadap produksi dan perdagangan kayu yang legal dan
berkelanjutan yang salah satunya dilakukan dengan skenario sertifikasi SVLK dan PK-
PHPL tersebut.
Pelaksanaan sertifikasi VLK (Verifikasi Legalitas Kayu) untuk hutan rakyat sampai saat ini
sudah terlaksana di beberapa wilayah. Pada hutan rakyat, sertifikasi VLK diberikan
kepada gabungan kelompok tani hutan rakyat (gapoktanhut) yang sejauh ini masih
proses sertifikasinya didanai oleh pihak luar (bukan dari petani). Belum ada petani hutan
rakyat yang secara mandiri (self-financing) melakukan sertifikasi terhadap kayunya.
Bahkan belum semua petani hutan rakyat tersosialisasikan mengenai sertifikasi VLK
yang bersifat mandatory (keharusan) sejak keluarnya peraturan dari pemerintah berupa
Permenhut tersebut.
8
Di sisi pengusaha atau petani kayu rakyat (smallholding forest), dengan tersertifikasinya
kayu, diharapkan harga kayu menjadi naik sehingga secara tidak langsung sertifikasi
tidak hanya mengurangi adanya kayu ilegal namun turut meningkatkan pendapatan
petani dari kayu. Sebagai reward terhadap pelaksanaan sertifikasi, petani akan
mendapatkan harga kayu yang lebih baik yang secara rasional akan diperoleh, bila
praktek SFM tercapai. Asumsinya, bila SFM tercapai, maka kualitas kayu akan meningkat
sehingga mendorong harga produk kayu yang membaik. Dengan harga kayu yang lebih
baik, maka petani hutan rakyat dapat menyisihkan profitnya untuk membiayai proses
sertifikasi di tahun berikutnya. Dengan mekanisme kelompok, petani hutan rakyat dapat
lebih ringan mendanai sertifikasi hutan rakyatnya, karena pendanaan dilakukan secara
kolektif. Tambahan profit, jelas akan memberikan tambahan kesejahteraan karena
pendapatan rumahtangga petani meningkat, yang berarti tabungan meningkat pula.
Untuk itu, kajian ini berharap mengetahui sejauh mana dampak sertifikasi kayu terhadap
status nafkah rumahtangga petani hutan rakyat? Sedikit lebih jauh dipertanyakan pula,
bagaimana kaitan antara sertifikasi yang dijalankan pada bentuk-bentuk struktur agraria
dan bentuk hubungan sosial produksi usahatani kayu tertentu dengan livelihood security
rumahtangga petani hutan rakyat?
1.2. Tujuan
Kajian tentang formalisasi produksi kayu di hutan rakyat ini dilakukan dengan tujuan
sebagai berikut:
1. Mengetahui posisi penting atau makna usahatani kayu dalam sistem nafkah
rumahtangga petani hutan rakyat melalui perhitungan sumbangan ekonominya
terhadap struktur nafkah.
2. Mengetahui sejauhmana sertifikasi terkait dengan struktur agraria dan pola hubungan
sosial produksi dalam usahatani kayu yang mempengaruhi sistem nafkah
rumahtangga petani hutan rakyat.
3. Mengetahui sejauhmana sertifikasi atau formalisasi berdampak terhadap sistem
keamanan penghidupan (livelihood security) pada rumahtangga petani hutan rakyat di
Kabupaten Wonosobo, Wonogiri dan Blora.
4. Merumuskan pilihan kebijakan untuk menyiapkan petani siap-sertifikasi dari perspektif
livelihood rumahtangga petani.
9
1.3. Keluaran
Keluaran kajian ini berupa gambaran menyeluruh mengenai kondisi sistem nafkah
(livelihood system) rumahtangga petani hutan rakyat (smallholding forest) secara umum,
baik yang hutan rakyatnya telah mendapatkan sertifikasi maupun yang belum
tersertifikasi. Dengan memahami gambaran tentang karakteristik sosio-ekonomi, struktur
agraria, pola hubungan sosial-rpoduksi agraria, sistem penghidupan serta struktur nafkah
rumahtangganya, maka akan diketahui bagaimana peran hutan rakyat terutama terhadap
sistem survival petani di desa. Pengetahuan tentang struktur agraria terkait tipe
kepemilikan atau penguasaan atas lahan memperlihatkan bagaimana rumahtangga
bermanuver dalam memanfaatkan modal utama dalam budidaya tanaman kayu-kayuan
yaitu tanah. Secara keseluruhan akan tampak dari hasil studi ini bagaimana bentuk atau
struktur nafkah yang tersusun dari berbagai sumber nafkah yang selanjutnya akan
menggambarkan keseluruhan sistem penghidupan rumahtangga petani hutan rakyat di
kabupaten-kabupaten yang diteliti. Termasuk dalam ruang-lingkup kajian ini, adalah
menjawab pertanyaan pola hubungan sosial produksi yang manakah yang pas agar
sertifikasi dapat dijalankan? Bila sertifikasi menghadapi kendala untuk dijalankan karena
ketidaksesuaiannya dengan bentuk atau pola hubungan sosial produksi yang ada, maka
apa langkah yang perlu dilakukan? Pada akhirnya akan diketahui sedalam apakah
sertifikasi diperlukan dan berdampak pada sistem penghidupan (livelihood security and
sustainability) rumahtangga petani hutan rakyat, sehingga mereka memiliki alasan
rasional yang cukup untuk terlibat dalam proses sertifikasi (formalisasi) kayu selanjutnya.
1.4. Metodologi dan Ruang Lingkup
Kajian ini mengguakan pendekatan kuantitatif dan kualitatif, dimana kombinasi survai
terhadap sejumlah responden di tiga kabupaten maupun pendekatan non-survai berupa
indepth interviews dilakukan terhadap rumahtangga petani hutan rakyat sebagai unit
analisisnya. Pendekatan kualitatif dilakukan untuk menggali informasi atau penjelasan-
penjelasan “the why” yang digali melalui wawancara mendalam dan diskusi kelompok
terfokus. Diskusi kelompok terfokus yang melengkapi pendekatan kualitatif dilakukan di
setiap desa dari enam lokasi studi (desa) di tiga kabupaten studi yaitu Kabupaten Blora,
Wonogiri, dan Wonosobo. Peserta dikusi adalah stakeholders hutan rakyat di tingkat lokal
(desa/kecamatan) baik mewakili petani, pedagang maupun industri kecil di bidang
pengolahan perkayuan.
10
Sementara itu, pendekatan kuantitatif lebih digunakan untuk menangguk data obyektif
atau “the what” yang terukur dan bersifat numerik dalam struktur nafkah rumahtangga
petani hutan rakyat. Pendekatan kuantitatif dilakukan dalam bentuk survai rumahtangga
terhadap 40 sampel rumahtangga petani hutan rakyat di setiap desa (setiap lokasi).
Dengan mengambil enam lokasi penelitian yang terbagi ke dalam tiga kategori desa atau
setara dengan hutan rakyat bersertifikat dan tiga desa atau setara dengan hutan rakyat
yang belum bersertifikat, maka total responden dalam studi ini sebanyak 240
rumahtangga petani hutan rakyat (smallholding forest). Data diolah dan disajikan
menggunakan tabel-tabel frekuensi sederhana serta matriks-matriks.
Tulisan ini secara garis besar akan membahas tiga aspek besar sistem penghidupan
rumahtangga petani hutan rakyat. Pertama, aspek struktur agraria kehutanan (rakyat)
beserta hubungan sosial produksi hutan rakyat yang menjadi basis penting produksi kayu.
Kedua, sistem penghidupan rumahtangga petani hutan rakyat yang ditinjau dari struktur
nafkah dan strategi bertahan hidupnya. Ketiga, aspek sertifikasi kayu atau proses
formalisasi yang berpengaruh kepada kinerja sosio-ekonomi unit-unit usaha ekonomi
petani hutan rakyat. Ketiga aspek akan diintegrasikan menjadi satu kesatuan analisis
yang diharapkan mampu menggambarkan keseluruhan perhatian tentang dampak
seritifikasi pada sistem penghidupan atau livelihood system (sistem nafkah) rumahtangga
petani hutan rakyat. Pada akhirnya akan dijawab apakah formalisasi membahayakan
keamanan atau keterjaminan sistem nafkah mereka serta keberlanjutan sistem nafkah di
masa mendatang.
1.5. Konsep-Konsep Relevan: Struktur Agraria, Sistem Nafkah, Strategi dan
Struktur Nafkah, serta Sertifikasi sebagai Bentuk Strategi Formalisasi
Kaitan antara struktur agraria, sistem nafkah, struktur nafkah (struktur pendapatan
rumahtangga petani hutan rakyat), strategi nafkah (cara bertahan hidup) dengan
menggunakan hasil kayu sebagai alat survival pada petani hutan rakyat (smallholding
forest) akan dimulai dengan penjelasan atas konsep-konsep yang digunakan. Pengertian
yang sama atau setidaknya selaras, akan mempersempit jurang perbedaan pemahaman
atas konsep-konsep yang sedang dimainkan dalam analisis.
Struktur Agraria
Konsep pertama yang penting adalah, struktur agraria. Struktur agraria yaitu menunjuk
pada keseluruhan pola pemilikan dan penguasaan lahan yang ada di desa studi. Struktur
11
agraria juga menunjuk pada distribusi luasnya lahan yang dimiliki/dikuasai oleh setiap
lapisan sosial, pola pengukuhan penguasaan dan pemilikan lahan, pola distribusi lahan,
cara-cara untuk mengokupasi atau land encroachment, mekanisme ekspansi lahan, serta
cara-cara untuk mendapatkan/melepaskan hak kepemilikan/penguasaan atas lahan
termasuk sistem pewarisan (lihat Kuhnen, 1982). Struktur agraria juga menjelaskan
bentuk-bentuk akses petani terhadap sumberdaya tanah untuk mempertahankan
penghidupan (nafkah). Dalam studi ini, akses tanah PHBM (Pengelolaan Hutan Bersama
Masyarakat) yang diberikan oleh Perhutani di kabupaten Blora terhadap petani sekitar
hutan, adalah salah satu struktur agraria penting yang memberikan basis survival bagi
rumahtangga petani hutan rakyat, terutama golongan miskin. Namun demikian, studi ini
tidak membahas secara mendetail setiap aspek struktur agraria yang ada di lokasi studi
melainkan memilih beberapa aspek struktur agraria yang relevan dengan persoalan
hutan rakyat dan kaitannya dengan cara bertahan hidup mereka.
Sistem Nafkah
Konsep penting kedua adalah sistem nafkah atau sistem penghidupan atau livelihood
system. Dalam hal ini, sistem penghidupan didefinisikan sebagai: “keseluruhan dari cara,
tindakan atau strategi ekonomi untuk bertahan hidup berbasis sumber-sumber nafkah
yang dijalankan secara individual, rumahtangga, maupun secara kelompok, atau di dalam
komunitas/masyarakat”. Sistem nafkah berisi strategi-strategi nafkah yang merupakan
kesatuan dari keseluruhan manuver, taktik, dan usaha manipualtif terhadap segala
sumberdaya yang tersedia, yang disusun dalam rangka beradaptasi terhadap lingkungan
sosial-ekonomi-ekologi yang terus berubah. Sistem nafkah selalu dipelihara dalam
derajat stabilitas tertentu yang memungkinkan pelaku ekonomi (petani) mencapai tujuan
bertahan hidup (survival) maupun pencapaian tujuan peningkatan status sosio-ekonomi.
Sistem penghidupan dijalankan baik dalam kondisi normal (normal situation) maupun
dalam situasi krisis (critical situation). Dengan batasan ini sistem penghidupan atau
sistem nafkah memuat aspek-aspek: (1) tindakan ekonomi; (2) sumber nafkah; (3)
penyesuaian atau adaptasi terhadap lingkungan sosial-ekonomi-ekologi yang berubah; (4)
adanya tujuan bernafkah; (5) situasi ekonomi yang dihadapi pada saat mengambil
tindakan. Beragam pengertian tentang sistem penghidupan atau sistem nafkah
selanjutnya dapat dirujuk dari tulisan-tulisan Dharmawan (2001 dan 2007), Ellis (2000)
dan juga Titus and Burgers (2008).
12
Strategi Nafkah
Pada dasarnya, dalam situasi seperti apapun (normal maupun kritis), setiap individu
dalam rumahtangga akan melakukan upaya responsif terhadap keadaan di sekitarnya
yang terus berubah. Upaya responsif tersebut berbentuk aksi atau tindakan, manuver,
dan aksi manipulatif, terhadap sejumlah sumberdaya yang tersedia baik yang dalam
penguasaannya maupun tidak dalam penguasaannya, untuk bertahan hidup. Segala cara
dan taktik yang dibangun atau dikembangkan individu, rumahtangga dan masyarakat
untuk terus bertahan hidup inilah yang disebut sebagai strategi nafkah (livelihood
strategy). Bentuk-bentuk sumberdaya yang dimanipulasi dalam bingkai strategi nafkah,
dimanfaatkan, dieksploitasi untuk bertahan hidup terdiri dari sumberdaya alam, manusia,
fisik, sosial, maupun dana-cash. Terdapat banyak ragam strategi yang dibangun oleh
rumahtangga (dalam hal ini petani hutan rakyat). Tipologi strategi nafkah yang umumnya
dijumpai pada masyarakat pedesaan menurut Dharmawan (2001), diantaranya adalah: (1)
diversifikasi sumber nafkah atau sumber pendapatan atau sering disebut juga sebagai
pola nafkah ganda; (2) straddling activities – seseorang yang melakukan multiple
employment; (3) alokasi sumberdaya manusia – anggota rumahtangga berbagi peran
ekonomi yang berbeda-beda; (4) optimalisasi pemanfaatan sumberdaya alam –
intensifikasi pertanian. Menurut Ellis (2000) ada strategi nafkah tipe ke-5 yang juga
menonjol dibangun di masyarakat desa di dunia ketiga yaitu strategi nafkah berbasis
modal sosial. Setiap rumahtanga bisa mengembangkan lebih dari satu strategi nafkah
dalam waktu bersamaan demi tujuan survival. Dalam hal rumahtangga petani hutan
rakyat, strategi yang paling menonjol dilakukan kelak akan tampak bahwa tipe pertama
yaitu pola nafkah ganda yang tampak dominan. Studi tentang dampak sertifikasi terhadap
livelihood system pada rumahtangga petani hutan rakyat, menghasilkan gambaran yang
menarik bahwa baik kasus Wonosobo, Wonogiri maupun Blora, semua rumahtangga
petani hutan rakyat di semua lapisan, menjalankan strategi pola nafkah ganda (income
diversification). Berbasiskan sumberdaya agraria (tanah) dalam luasan yang terbatas
sebagai modal utama untuk bertahan hidup, didapati pola seragam di ketiga kabupaten
kasus, yaitu berstrategi dengan mengandalkan pendapatan/aktivitas farm (pertanian
sawah) + non-farm (jasa, perdagangan, industri) + hutan rakyat skala kecil. Perlu
dikemukakan dalam hal ini, hutan rakyat lebih banyak dilakukan untuk memenuhi strategi
berjaga-jaga. Kayu yang dihasilkan bukan sebagai strategi nafkah utama untuk bertahan
hidup, melainkan bertahan di kala ada keperluan mendesak. Oleh karena itu ditemukan
strategi khas rumahtangga petani hutan rakyat yaitu “strategi tebang butuh” (timber is cut-
down only when needed).
13
Tujuan berstrategi nafkah biasanya sekedar untuk bertahan hidup (survival) dan/atau
sekedar mengatasi krisis ekonomi yang dihadapi oleh individu ataupun rumahtangga,
maupun dalam rangka untuk meningkatkan status sosial-ekonomi (lihat kembali Ellis,
2000 dan juga Scoones, 1998 serta Ellis and Freeman, 2005). Sistem nafkah akan
berkelanjutan (sustainable livelihood system) manakala strategi yang dibangun tidak
membuat generasi berikutnya harus berkompromi pada alam, oleh karena sumber-
sumber nafkah yang tidak lagi memberikan kecukupan ekonomi untuk bertahan hidup
atau hidup yang layak.
Struktur Nafkah
Dalam konteks strategi nafkah, maka dalam kajian ini, sistem penghidupan atau sistem
nafkah rumahtangga petani hutan rakyat dipahami secara lebih spesifik sebagai: “segala
bentuk pendapatan rumahtangga yang diperoleh oleh rumahtangga petani hutan rakyat,
dari berbagai sumber mata-pencaharian atau sumber nafkah yang memungkinkan
rumahtangga tersebut survive”. Sumber nafkah dapat berasal dari sektor pertanian
(budidaya padi, palawija, ternak, ikan, perkebunan, dan hortikultura), atau dari sektor
non-pertanian (jasa, perdagangan dan industri), maupun dari hutan rakyat (boleh dibaca
sebagai: “kebun jati” ataupun “kebun sengon”). Setiap sumber nafkah akan
menyumbangkan pendapatan kepada rumahtangga petani hutan rakyat, sedemikian
sehingga berperan penting dalam menambah daya survival mereka. Kesatuan dari
keseluruhan sumbangan ekonomi sumber-sumber nafkah, dalam ekonomi rumahtangga
petani hutan rakyat akan membangun sebuah gambaran tentang struktur nafkah atau
struktur pendapatan (income structure) atau disebut secara sederhana sebagai struktur
pendapatan rumahtangga. Dalam kajian ini, struktur pendapatan rumahtangga akan
dilihat dari: (1) persentase sumbangan pendapatan dari sektor pertanian/farm, non-
pertanian/non-farm, serta hutan rakyat terhadap total pendapatan rumahtangga petani
hutan rakyat; (2) besarnya peran sosial-ekonomi dari setiap sumber nafkah termasuk
sektor perkayuan atau hutan rakyat terhadap keseluruhan perekonomian rumahtangga
petani hutan rakyat. Benarkah hutan rakyat atau ekonomi kayu, mampu memberikan
kesejahteraan bagi rumahtangga petani hutan rakyat? Benarkah hutan rakyat mampu
memberikan sumbangan yang berarti sehingga sistem nafkah petani hutan rakyat dinilai
sebagai aman dan berkelanjutan (livelihood security and livelihood sustainability)? Dalam
uraian selanjutnya akan dijelaskan bahwa studi ini membuktikan bahwa hutan rakyat
memberikan fungsi yang tegas kepada rumahtangga petani hutan rakyat sebagai
penjamin keamanan (livelihood security mechanism) atau sebagai katup-pengaman
(safety valve) untuk menghadapi masa krisis ekonomi.
14
Formalisasi Perdagangan Kayu
Konsep berikutnya adalah formalisasi atau sertifikasi kayu, yang dipahami sebagai:
“segala upaya untuk membawa sistem produksi dan bisnis/perdagangan kayu dalam
bingkai keteraturan dan ketundukan terhadap norma-norma pengaturan atau tata-kelola
usahatani dan bisnis kayu yang lebih baik, transparan, akuntabel, dan dapat
dipertanggungjawabkan kepada publik”. Output dan outcome proses sertifikasi adalah
sebuah produk yang diharapkan berkualitas, memberikan jalan kepada terwujudnya SFM,
dan kredibel di mata semua pihak yang pada akhirnya memiliki kemampuan untuk
menerobos pasar internasional. Dalam hal ini, sertifikasi kayu dijalankan secara
konsisten sehingga membangun tipe transaksi yang lebih formal (taat pada aturan) dan
lebih memberikan sinyal positif kepada pasar, bila dibandingkan dengan transaksi-
transaksi yang tanpa aturan formal. Transaksi yang bersifat informal (tanpa sertifikasi),
diyakini rentan terhadap praktek penebangan atau pemanenan kayu yang tidak taat-azas
terhadap prinsip-prinsip SFM (sustainable of forest management) sehingga
membahayakan lingkungan. Dengan demikian, maksud dan tujuan dilakukannya
sertifikasi atau formalisasi dalam transaksi perdagangan kayu, selain memberikan
landasan tata-kelola usahatani dan perdagangan kayu yang lebih rasional dan lebih baik,
juga dalam rangka memperkuat keterjaminan dari cita-cita SFM dalam pemanfaatan
hutan.
Kelima konsep yang telah diulas tersebut di tasa digunakan untuk menjawab pertanyaan:
apakah atau sejauh manakah sertifikasi kayu mempengaruhi keberlanjutan sistem nafkah
rumahtangga petani hutan rakyat? Apakah sertifikasi atau formalisasi terhadap kayu,
mendatangkan dampak perbaikan ataukah pemburukan pada status/keamanan sosial-
ekonomi rumahtangga petani hutan rakyat? Kedua pertanyaan yang juga telah
dirumuskan pada bagian tujuan di atas, dicoba dijawab oleh studi ini.
15
2. STRUKTUR AGRARIA PADA RUMAHTANGGA PETANI
HUTAN RAKYAT DI TIGA KABUPATEN
2.1. Tinjauan Konseptual Struktur Agraria
Pemahaman secara umum dari struktur agraria menurut Kuhnen (1982) adalah: “all the
existing and lasting production and living condition found in rural region. It comprises
social, technological, and economic elements and determines the achievable productivity,
income and its distribution, and the rural population’s social situation”. Semua sistem
produksi yang ada di pedesaan yang menjamin terbangunnya sistem penghidupan
masyarakat yang tinggal di pedesaan, pada dasarnya dipahami sebagai pengertian
umum dari struktur agraria. Selanjutnya Kuhnen (1982) mengemukakan bahwa struktur
agraria secara khusus mencakup dua sub-sistem yang penting yaitu: “system of land
tenure or social agrarian structure and the system of land management or technical and
economic agrarian structure”.
Seperti telah disampaikan di awal tulisan, bahwa sistem verifikasi dan legalitas kayu atau
yang disingkat dengan SVLK terkait erat dengan dua jenis sumberdaya agraria yakni
tanah dan hutan. Merujuk pada Sitorus (2002), dan Sihaloho (2004), dalam sistem
produksi ekonomi di pedesaan dikenal konsep sumber-sumber agraria. Dalam hal ini,
sumber agraria atau tanah atau permukaan bumi merupakan suatu jenis sumber daya
yang menjadi modal alami utama dalam kegiatan pertanian dalam arti luas termasuk
kehutanan. Pertanian maupun kehutanan pada dasarnya adalah sistem produksi yang
memerlukan tanah dalam pengertian kawasan/lahan dan tanah secara fisik. Para petani
sangat memerlukan sumberdaya tanah (dalam pengertian ruang/spasial dan pengertian
fisik-tanah secara sekaligus) sebagai basis kegiatan usahataninya. Sementara hutan
dimaknai sebagai kesatuan flora dan fauna yang hidup di dalam suatu kawasan atau
wilayah di luar kategori pertanian budidaya yang juga memerlukan ruang/kawasan/lahan
sebagai basis untuk tumbuhnya flora dan fauna tersebut.
Analisis tentang struktur sosial agraria pada rumahtangga petani hutan rakyat, akan
dibagi ke dalam tiga bagian besar penjelasan, yaitu: (1) pola pemilikan dan penguasaan
(akses terhadap) lahan – terkait dengan bagaimana pola pemilikan dan penguasaan
lahan; (2) hubungan sosial agraria – relasi atau hubungan sosial dalam sistem produksi
agraria; (3) sistem budidaya pertanian, yang terkait dengan sistem usahatani kayu dan
non-kayu dalam sistem ekonomi produksi rumahtangga petani hutan rakyat.
16
Pola pemilikan dan penguasaan lahan di dalam tulisan ini merujuk pada Sihaloho (2004)
bahwa analisis akan dititikberatkan pada hubungan antar berbagai status sosial menurut
penguasaan sumber-sumber agraria. Kemudian, pemilikan lahan dimaknai sebagai
sejauhmana petani baik yang telah menerima sertifikasi, maupun non sertifikasi di dalam
hal keabsahan atau legitimasi penguasaan lahan dan pada akhirnya bermuara pada
analisis akses dan kontrol petani terhadap lahan pertanian sawah dan hutan. Dari pola
penguasaan dan pemilikan lahan kemudian dipahami kajian mengenai stratifikasi petani
hutan rakyat berdasarkan akumulasi luasan lahan yang dimiliki dan dikuasai. Sistem
budidaya pertanian dimaknai sebagai upaya-upaya petani di dalam memanfaatkan lahan,
kaitannya dengan struktur agraria yang telah terbangun di tiap komunitas petani di tiga
wilayah yang berbeda yaitu Kabupaten Wonosobo, Wonogiri, dan Blora.
2.2. Sejarah Akusisi, Penguasaan serta Skala Penguasaan Lahan
Sebelum memahami pola penguasaan dan pemilikan lahan pada rumahtangga petani
hutan rakyat di tiga kabupaten, maka perlu untuk memahami sejarah lokal agraria di tiga
wilayah tersebut. Hal ini dikarenakan, sejarah terhadap struktur penguasaan dan
pemilikan lahan akan memberikan gambaran seberapa besar tingkat kedaulatan petani
dalam pengambilan keputusan rumahtangga terkait pengelolaan usahatani termasuk
usahatani kayu hutan rakyat. Tingkat kepastian (kedaulatan) penguasaan dan
kepemilikan lahan menentukan keikutsertaan suatu rumahtangga tani untuk ikut dalam
proses sertifikasi kayu.
Sejarah Akusisi Lahan
Pola penguasaan dan kepemilikan lahan petani pada suatu wilayah tertentu tidak dapat
dilepaskan dari sejarah perolehan lahannya. Dilihat dari sejarah proses akuisisi lahan dan
perkembangan pembukaan serta penguasaan lahan, maka terdapat perbedaan yang
sangat jelas antara sejarah pemilikan lahan oleh para petani di Kabupaten Blora, dengan
para petani di dua kabupaten lainnya yakni di Kabupaten Wonosobo dan Kabupaten
Wonogiri. Bila di Blora memiliki sejarah yang agak dinamis dalam akuisisi tanah, maka
Wonosobo dan Wonogiri memiliki sejarah penguasaan tanah berpola umum.
Berbeda dengan apa yang terjadi di kawasan hutan rakyat umumnya di Kabupaten Blora,
lahan persawahan, tegalan/ladang, dan kebun campuran di desa-desa hutan rakyat
terutama Desa Besani, dan Desa Jonggol Sari, Kecamatan Leksono Kabupaten
Wonosobo, dan Kecamatan Giriwoyo serta Kecamatan Batuwarno Kabupaten Wonogiri,
17
yang menjadi lokasi studi ini, pada awalnya merupakan tanah-tanah hutan yang dibuka
oleh leluhur di masa lalu, dan kemudian kepemilikannya dibagi-bagikan kepada setiap
unit keluarga melalui sistem pewarisan. Dalam perkembangan waktu selanjutnya, petani
memperoleh lahan tidak hanya dari warisan orang tuanya saja, melainkan jika memiliki
kemampuan finasial yang cukup, maka kepemilikan dan akumulasi luasan lahan dapat
diperoleh melalui upaya pembelian lahan petani yang lain. Batas
kepemilikan/penguasaan lahan oleh petani hutan rakyat di Kabupaten Wonosobo dan
Wonogiri dipahami dengan baik oleh setiap petani yang hidup di desa yang sama.
Sebagai misal, di Desa Besani di Wonosobo, batas lahan satu dengan lainnya biasanya
dipisahkan atau ditandai oleh tumpukan batu dan tegakan tanaman tertentu yang
memberikan batas teritorial serta legitimasi spasial bagi petani tertentu atas
lahan/tanahnya.
Secara umum, struktur penguasaan dan pemilikan lahan rumahtangga petani hutan
raakyat di Wonogiri dan Wonosobo ditandai oleh karakteristik cara produksi peasantry
(usahatani skala kecil/gurem) yang subsisten orientasinya. Dalam kategori sebagai
peasantry, usahatani rumahtangga petani hutan rakyat umumnya berlahan sempit
(kebanyakan kurang dari satu hektar hingga paling maksimal lima hektar), dikelola
dengan sistem budidaya tumpangsari, dikerjakan oleh tenaga kerja dalam rumahtangga
tak berupah (unpaid family workers), dan tidak berorientasi pada keuntungan ekonomi
(subsistensi). Pada titik ini, sesungguhnya terdapat kesulitan meletakkan alasan
sertifikasi yang dijalankan oleh rasionalitas profit, di atas lahan hutan rakyat yang
dijalankan atas dasar rasionalitas-moral “tebang butuh” (timber is cut down only to fulfill
urgent needs and not for profit objective). Karena hutan rakyat bukanlah unit bisnis yang
dijalankan di atas basis-rasional untung-rugi semata, sebenarnya sertifikasi kayu
menghadapi persoalan pertama tentang inkompatibilitas rasional antara sertifikasi dan
hakikat usahatani kayu. Usahatani kayu yang dikelola oleh rumahtangga petani hutan
rakyat, biasanya terletak di pekarangan (home garden), tegalan, kebun/talun dan
pematang sawah, dengan tanaman utama sengon di Wonosobo dan jati (teak) di
Wonogiri dan Blora. Lahan untuk usahatani kayu dimiliki secara pribadi (private property)
yang dibuktikan melalui beragam alas legitimasi, diantaranya sertifikat tanah, letter C
(surat keterangan kepemilikan tanah dari desa), girik, surat pajak tanah, ataupun sekedar
pengakuan tidak tertulis dari komunitas sekitar. Hanya sebagian kecil rumahtangga
petani hutan rakyat yang mengukuhkan tanahnya dalam bentuk sertifikat tanah dari
Badan Pertanahan Nasional.
18
Dikaitkan dengan livelihood system rumahtangga petani hutan rakyat, usahatani kayu
merupakan usahatani minor yang sifatnya hanya melengkapi usahatani pangan (sawah
dan kebun). Oleh karena itu, dalam rangka membangun survival strategies, rumahtangga
petani hutaan rakyat akan selalu memprioritaskan alokasi lahan untuk pangan dari pada
non pangan. Sekalipun demikian usaha tani kayu mempunyai peran sangat penting
sebagai buffer atau katup pengaman (safety valve) ekonomi rumahtangga manakala
terjadi situasi krisis. Dengan kondisi seperti tersebut di atas, rumahtangga petani hutan
rakyat akan berusaha mengakuisisi lahan untuk utamanya untuk pemenuhan kebutuhan
pangan sebagai prioritas utama daripada usatani kayu.
Sementara itu, pola akuisisi lahan di daerah Plantungan (dimana studi ini dilakukan) dan
sekitarnya di Kabupaten Blora, sangat diwarnai suana dramatis melalui upaya akuisisi
lahan eks tanah negara yang marak dilakukan di era akhir dekade 1990an, dimana era
reformasi memberikan jalan kepada keleluasaan/kebebasan masyarakat untuk
mendapatkan tanah sebagai basis livelihood mereka melalui encroachment tanah negara.
Dari hasil akuisisi tersebut, mereka bercocok tanam dan mengembangkan sistem
penghidupan sebagai petani skala kecil. Secara singkat, akuisisi lahan untuk usahatani
kayu pada khususnya terjadi melalui proses okupasi tanah negara yang kemudian pada
akhirnya negara melegalisasi kepemilikan pribadi tanah-tanah eks-okupasi tersebut
kepada pihak yang menduduki tanah. Sebagaimana diketahui, proses akuisisi ini
melibatkan perebutan dan sengketa lahan antara petani dengan Perum Perhutani dalam
hal ini Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Rembang dan KPH Randublatung Blora.
Paralel dengan proses tersebut, sekitar tahun 1990-an Perum Perhutani sering
melakukan operasi penertiban kayu-kayu tebangan di masyarakat yang dianggap oleh
Perhutani sebagai kayu curian di lahan Perhutani. Tidak jarang masyarakat desa
Plantungan yang menyimpan gelondongan kayu mengakui yang berasal dari tegalan
miliknya dipukuli oleh aparat Perhutani, dan kayunya disita. Terdapat sebuah konflik
latent yang berintikan ketidakpercayaan antara Perhutani yang mewakili entitas bisnis
milik negara dengan petani di sekitarnya, dalam hal pemanenan usahatani kayu. Petani
merasa menjadi obyek kecurigaan dari Perhutani, sepanjang menyangkut kayu yang
dihasilkannya. Perasaan petani sering tidak menentu terkait hasil panen kayunya.
Sentimen negatif ini, tidak lepas dari sejarah okupasi lahan para petani di kawasan
Plantungan dan sekitarnya atas tanah negara yang sampai saat ini mereka diami.
19
Konflik Agraria dan PHBM sebagai Solusi Pembalakan Liar
Sementara itu, di kawasan lain yaitu Desa Kutukan dan sekitarnya, di Kecamatan
Randublatung yang lebih dekat dengan lokasi hutan Perhutani, lahan persawahan dan
kebun campuran serta tegalan diklaim oleh petani sebagai lahan yang dimiliki secara
turun-temurun oleh orang tua mereka. Petani di Desa Kutukan merupakan masyarakat
pendatang yang menduduki lahan-lahan negara di luar kawasan-milik Perhutani KPH
Randublatung. Hidup berdampingan dengan perusahaan pengelolaan hutan milik negara,
dan dalam tekanan kemiskinan menyebabkan munculnya tekanan ekonomi di kalangan
petani dalam bentuk pembalakan liar. Oleh karenanya, penebangan ilegal marak
dilakukan dan terjadi di kawasan itu, hingga terjadinya puncak pembalakan liar tahun
1999-1998 yang menyebabkan petani harus membayar mahal atas tindakan yang diakui
oleh petani di desa Kutukan tidak mereka lakukan. Wilayah pemangkuan hutan yang
dimiliki oleh Perhutani gundul karena sebagian besar telah dijarah yang menyebabkan
terbentuknya lahan kritis. Kondisi lahan yang kritis menyebabkan sumber air untuk
pertanian maupun kebutuhan sehari-hari bagi desa-desa di sekitar kawasan Perhutani
berkurang (Desa Kutukan, Kecamatan Randublatung) sehingga petani di wilayah ini yang
sudah miskin menjadi bertambah miskin karena tekanan ekologi yang cukup ekstrem
(kekeringan). Kondisi inilah yang mendorong terjadinya pembalakan liar di wilayah KPH
Perhutani setempat terus berlanjut. Untuk mengatasi pembalakan liar, Perhutani
mengembangkan program kemitraan dengan petani di sekitar hutan yang memungkinkan
rumahtangga petani hutan rakyat mendapatkan akses untuk bercocok tanam di lahan
Perhutani. Khusus di desa-desa di Kabupaten Blora yang berada disekitar kawasan
hutan perhutani, pola penguasaan lahan selain sebagaimana yang telah dijelaskan di
atas, juga terdapat PHBM (Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat). Pola PHBM
dilaksanakan di lahan Perhutani dimana petani diberi hak akses untuk membudidayakan
tanaman pangan di bawah tanaman tegakan yang dimiliki oleh Perhutani.
Secara konseptual, PHBM memiliki beberapa tujuan, pertama dengan diberikannya
akses untuk bernafkah di lahan Perhutani kepada para petani, maka intensitas konflik
antara Perhutani dan masyarakat petani sedikit mendapatkan resolusi/pemecahannya.
Sentimen negatif yang berkembang antara petani dan Perhutani tercairkan dengan
adanya PHBM, apalagi PHBM disertai dengan berbagai program pemberdayaan
kelembagaan dan organisasi sosial untuk penguatan ekonomi petani termasuk
membagikan semacam profit sharing tahunan dari usahatani kayu Perhutani kepada para
petani melalui kelompok tani melalui LMDH (Lembaga Masyarakat Desa Hutan) bentukan
PHBM. Kedua, PHBM boleh dikatakan sebagai “semacam solusi Corporate Social
20
Responsibility/CSR” (walau tak bisa dikatakan sepenuhnya benar sebagai CSR), yang
memberikan peluang usaha dan sumber nafkah alternatif bagi petani miskin disekitar
Perhutani. Ketiga, PHBM menjadi semacam instrumen untuk menekan illegal logging
pada kawasan hutan Perhutani yang sampai sekarang masih tetap terjadi walau
intensitasnya terus menurun. Keempat, PHBM adalah sebuah hubungan sosial-agraria
yang secara cerdas dikembangkan oleh Perhutani, dimana Perhutani memperoleh
tenaga kerja yang terjamin keberadaannya untuk ikut mengamankan dan memelihara
hutan kayu mereka, sekaligus memberikan rasa aman (livelihood security) kepada petani
miskin dalam bentuk kepastian akses bercocok tanam dan memanen hasil pertanian
seperti jagung atau ketela pohon yang sangat berarti untuk mendukung livelihood system
rumahtangga petani hutan rakyat. Dalam studi ini, skema PHBM tidak menjadi perhatian
sertifikasi (SVLK), karena pemeran utama produksi kayu tetap Perhutani, bukan
rumahtangga petani hutan rakyat. Sebagai perusahaan negara skala besar, Perhutani
telah memiliki sertifikasi sendiri, dimana boleh dikatakan bahwa Perhutani tidak
menghadapi persoalan sama sekali dengan sertifikasi.
Jika kembali kepada persoalan struktur agraria di tataran rumahtangga petani hutan
rakyat, maka akan didapati fakta bahwa alas hak yang mengukuhkan pemilikan lahan
yang berlaku di Kabupaten Blora secara umum adalah tanah dengan alas hak sederhana
(surat keternagan dari desa). Secara keseluruhan ada pula tanah bersertifikat, tanah
bengkok 1 dan tanah yang dikukuhkan dengan letter C. Tidak semua petani mampu
melegalisasikan atau mensertifikasikan tanah mereka di atas kertas sertifikat tanah resmi
dari Badan Pertanahan Nasional. Kemiskinan menyebabkan petani tidak mampu
mengakses legalitas atas lahan mereka, sehingga petani hanya mampu memperoleh
bukti kepemilikan lahan berupa letter C. Petani yang tidak memiliki lahan (tunakisma)
kemudian dengan sedikit modal menyewa tanah bengkok atau dari aparat pemerintah
desa untuk kegiatan pertanian, khususnya dalam kegiatan produksi padi dan palawija.
Skala Penguasaan dan Pemanfaatan Lahan
Pola penguasaan lahan petani hutan rakyat di Kabupaten Wonosobo, Wonogiri, dan
Blora menunjukkan bahwa di tiga kabupaten rata-rata luas sumberdaya agraria (lahan)
yang dikuasai tergolong sempit, hanya berkisar antara 0,747 Ha sampai dengan 2,595
Ha. Sekitar 55 persen hingga 96 persen dari total lahan yang dikuasai merupakan milik
1 Tanah bengkok merupakan bagian dari tanah desa yang selama ini diperuntukkan bagi gaji
pamong desa yaitu Kepala desa dan Perangkat Desa.. Pemberian tanah tersebut hanyalah sementara waktu selama yang bersangkutan menjabat Kepala Desa atau Perangkat Desa dan maksud pemberian tanah tersebut sebagai upah untuk memenuhi dan menghidupi diri dan keluarganya (Tobing, 2009)
21
pribadi. Fenomena yang menarik terjadi, petani yang ikut dalam program SVLK
menguasai rata-rata luas lahan sebesar 0,973 Ha sampai dengan 2,595 Ha. Sementara
petani non sertifikasi menguasai 0,747 Ha sampai dengan 1,138 Ha.
Di Kabupaten Wonosobo rata-rata luasan lahan hutan rakyat yang dimiliki oleh petani
dan diikutkan dalam program sertifikasi adalah 0,928 Ha, atau meliputi 95 persen dari
rata-rata lahan keseluruhan yang dimiliki. Sementara petani non sertifikasi biasanya
menguasai hutan rakyat rata-rata pada kisaran 0,524 Ha atau hanya berkisar 79 persen
dari lahan keseluruhan rata-rata yang dimiliki mereka.
Di kabupaten Wonogiri petani yang ikut program sertifikasi rata-rata menguasai dan
memiliki lahan secara pribadi 1,464 Ha. Sementara petani non sertifikasi menguasai dan
memiliki 1,238 Ha. Di Kabupaten Blora keadaanya pun mirip. Rumahtangga petani hutan
rakyat peserta sertifikasi memiliki sedikit lebih luas daripada rata-rata lahan yang dimiliki
oleh petani sejenis di dua kabupaten Wonogiri maupun Wonosobo. Di Blora,
rumahtangga petani hutan rakyat peserta sertifikasi rata-rata memiliki lahan sekitar 2,112
Ha. Sementara petani yang tidak ikut program sertifikasi atau non-sertifikasi hanya
memiliki lahan rata-rata hanya seluas 0,626 Ha.
Terdapat kesan umum dari ketiga kabupaten bahwa untuk keikutsertaan dalam proses
sertifikasi (SVLK), dipilih para petani dari skala pemilikan lahan yang rata-rata lebih baik
(lebih luas) dari petani kategori lainnya (non sertifikasi). Program sertifikasi, tampaknya
berasumsi bahwa dengan mengikutsertakan petani berlahan lebih luas, maka resiko
kegagalan sertifikasi akan lebih kecil, karena mereka dipandang orang-orang yang
berkemampuan ekonomi lebih baik daripada lainnya.
Dalam hal ini, lebih luasnya rata-rata pemilikan lahan petani peserta sertifikasi, bukan
mengindikasikan bahwa sertifikasi (SVLK) atau formalisasi usahatani kayu telah berhasil
mengangkat derajat penguasaan lahan petani. Penguasaan yang lebih luas tersebut
mengindikasikan bahwa kesiapan untuk sertifikasi umumnya didapati oleh rumahtangga
petani dengan penguasaan tanah yang lebih baik dari rata-rata. Terlebih lagi, dampak
ekonomi sertifikasi terhadap sistem penghidupan rumahtangga petani hutan rakyat belum
bisa dilihat dengan jelas, mengingat pada saat dilakukan studi, sertifikasi baru berjalan
kurang dari setahun dan belum memberikan dampak apapun terhadap penjualan kayu
petani. Secara detail Gambar 1 dan Gambar 2 dapat menjelaskan secara detail struktur
agraria sederhana yang dihadapi oleh rumahtangga petani hutan rakyat di tiga kabupaten
studi.
22
Gambar 1. Struktur Pemanfaatan Lahan Rumahtangga Petani Hutan Rakyat di Tiga Kabupaten
Studi, dalam prosentase, 2012
Pada Gambar 1 tampak bahwa secara umum, rumahtangga petani hutan rakyat, baik
peserta sertifikasi maupun bukan peserta sertifikasi (non-sertifikasi) di Wonosobo,
Wonogiri, ataupun Blora (khusus peserta sertifikasi) menguasai/memiliki sebagian besar
tanah atau lahan dalam bentuk kebun campuran dan ladang/tegalan. Ladang atau
tegalan mendominasi struktur landuse di Wonosobo, yaitu 65 persen untuk petani
peserta sertifikasi dan 58 persen untuk rumahtangga petani non-sertifikasi di kabupaten
tersebut. Sementera di Wonogiri, ladang/tegalan tampak menonjol bagi rumahtangga
petani hutan rakyat peserta sertifikasi (52 persen), sementara untuk petani non-sertifikasi
didominasi oleh penggunaan lahan sebagai kebun campuran (62 persen). Bagi
rumahtangga petani hutan rakyat peserta sertifikasi SVLK di Blora, didapati angka 60
persen (sebagian besar) lahannya berbentuk sebagai ladang/tegalan, hanya sebagian
kecil (4 persen) sebagai kebun campuran dan selebihnya atau 37 persen sebagai sawah.
Sebagaimana juga diketahui, pada kedua jenis land-use (ladang/tegalan dan kebun
campuran) biasanya para petani menanam kayu sengon (untuk Wonosobo) dan kayu jati
(untuk Wonogiri dan Blora). Kedua jenis upland (ladang/tegalan dan kebun campuran)
menjadi penciri penting kehadiran usahatani kayu bagi rumahtangga petani di ketiga
kabupaten. Pengecualian hanya terjadi pada rumahtangga petani hutan rakyat non-
sertifikasi di Blora (Kecamatan Randublatung) yang menguasai/memiliki sebagian besar
23
tanahnya dalam bentuk sawah (79 persen) dan hanya menyisakan ladang/tegalan pada
angka 13 persen dan kebun campuran 8 persen.
Angka mutlak alokasi lahan pada Gambar 1 disajikan pada Gambar 2. Sangat tampak
pada Gambar 2 betapa pentingnya ladang/tegalan dan kebun campuran bagi sistem
nafkah para petani hutan rakyat di tiga kabupaten, dengan pengecualian di Kecamatan
Randublatung - Blora. Kedua jenis landuse juga menjadi basis penting usahatani kayu
(hutan rakyat). Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa:
(1) upland farming menjadi penciri penting sistem nafkah rumahtanga petani hutan
rakyat di tiga kabupaten studi, sekaligus menjadi penciri penting usahatani kayu;
(2) sekalipun bertani di daerah upland, kelak akan tampak bahwa struktur nafkah
dominan para petani hutan rakyat di tiga kabupaten studi, ternyata bukanlah datang
dari kayu, melainkan datang dari sawah dan aktivitas nafkah non-farm.
Secara sosial-ekonomi, ketiga kabupaten menunjukkan ciri umum masyarakat petani
dengan sistem nafkah yang mengandalkan upland farming system. Pada sistem nafkah
yang demikian, tingkat pendapatan yang didapatkan dari aktivitas nafkah tegalan/ladang
atau kebun campuran biasanya memberikan sumbangan yang penting bagi keseluruhan
pendapatan rumahtangga. Sekalipun penting, namun biasanya sumbangannya secara
proporsional jauh lebih rendah dari apa yang diperoleh dari persawahan (wetland) dan
non-farm. Karakteristik tersebut menjadi karakteristik sosio-ekonomi kebanyakan
masyarakat petani skala kecil yang bergelut dengan upland dimana palawija dan juga
kayu menjadi sumber nafkah yang penting, walau tidak selalu dominan, di daerah
tandus/kering di Pulau Jawa umumnya.
24
Gambar 2. Struktur Pemanfaatan Lahan Rumahtangga Petani Hutan Rakyat di Tiga Kabupaten
Studi, dalam Angka Mutlak, 2012
Perlu ditambahkan informasi pada Gambar 2, khususnya bagi rumahtangga petani di
Wonosobo, hadirnya sumber nafkah buah salak (snake fruit) dari ladang/tegalan. Bagi
para petani hutan rakyat di Wonosobo, ladang/tegalan ataupun kebun campuran tidak
selalu hanya berisi tanaman sengon sebagai penghasil kayu. Bagi kepentingan
pembiayaan sertifikasi, kehadiran ekonomi salak di Wonosobo menjadi sangat penting.
Sumber nafkah dan pendapatan buah salak yang dapat dipetik terus menerus dalam
beberapa bulan, dari tegalan/ladang petani akan memberikan sumber cash-income yang
berarti serta mendatangkan “rasa aman” (feeling of economic security) bagi sistem
nafkah petani hutan rakyat. Rasa aman ini juga menopang ketersediaan dana cash yang
diperlukan untuk membiayai sertifikasi SVLK di Wonosobo.
Struktur Agraria dan Sertifikasi Kayu
Dari adanya fakta bahwa livelihood system rumahtangga petani hutan rakyat yang tidak
semata-mata disokong hanya oleh satu sumber nafkah, yaitu hutan (kayu), maka dapat
dikatakan bahwa: multiple sources of income menguntungkan bagi upaya sertifikasi kayu.
Artinya, sertifikasi kayu bagi rumahtangga petani hutan rakyat di Jawa (khususnya
Wonosobo) sebenarnya tidak murni didanai oleh usahatani kayu sengon. Melainkan,
pendanaan sertifikasi bagi hutan rakyat sebenarnya disokong oleh dana dari berbagai
sumber nafkah sejak dari hasil kebun salak sampai non-farm income. Pada titik ini,
25
sertifikasi kayu hanya akan terjadi bila sumber pendapatan dari sektor lain mencukupi
dan mendukung keseluruhan kebutuhan nafkah rumahtangga. Dengan demikian, ada
dua hal yang perlu disampaikan khusus berkaitan dengan struktur agraria dan sertifikasi
(SVLK) di Kabupaten Wonosobo, yaitu:
(1) Rumahtangga petani hutan rakyat di Wonosobo melakukan sertifikasi bukan karena
hutan rakyat (kayunya) mampu untuk membiayai proses sertifikasi secara mandiri,
melainkan atas dukungan usahatani dan sumber nafkah yang lain. Seandainya
tidak ada sumber nafkah yang lain yang gainful (salak), maka dipastikan petani
hutan rakyat di Wonosobo pun tidak akan mampu membiayai sertifikasi.
(2) Proses sertifikasi yang terjadi di Wonosobo pun "agak menyalahi" hukum ekonomi
dalam teori pilihan rasional sesuai filsafat ekonomi liberalisme-pasar (serba
kebebasan). Tampaknya, dorongan untuk melakukan sertifikasi atau formalisasi
produk kayu bukan didasarkan pada pengejaran terhadap insentif atau benefit
ekonomi, melainkan karena petani mampu membiayai sertifikasi. Rumahtangga
petani hutan rakyat mampu membiayai sertifikasi bukan karena luas hutannya
cukup besar dan memadai untuk membiayai sertifikasi, melainkan karena mereka
memiliki alternative sources of economic income berupa usaha-usaha kebun (salak)
dan non-farm yang cukup kuat untuk menopang struktur ekonomi rumahtangga
secara keseluruhan termasuk menopang pembiayaan sertifikasi kayu. Artinya,
sertifikasi dilakukan "terpaksa" dan hanya karena tunduk pada aturan pemerintah
dan bukan alasan rasional. Budaya menerima keadaan dan pasrah (resignation to
the faith ethics) yang bisaanya dipunyai oleh, menyebabkan "seolah" petani tidak
merasa terganggu oleh keputusan ikut program sertifikasi, meskipun sesungguhnya
sertifikasi ini membebani keseluruhan ekonomi rumahtangga mereka.
Dari Gambar 1 dan Gambar 2, terjelaskan pula struktur penggunaan lahan yang
berlangsung di Kabupaten Wonogiri. Walaupun strukturnya agak berbeda, tetapi tetap
dalam pola yang serupa dengan apa yang terjadi di Wonosobo. Penggunaan lahan
petani di Kabupaten Wonogiri didominasi oleh ladang/tegalan dan kebun campuran.
Peruntukan lahan untuk ladang/tegalan pada rumahtangga petani hutan rakyat peserta
sertifikasi adalah 52 persen, sementara kebun campuran 31 persen, sementara sawah
hanya 17 persen. Untuk rumahtangga petani hutan rakyat non-sertifikasi di Wonogiri,
pemanfaatan lahannya didominasi oleh kebun campuran 62 persen, sementara
ladang/tegalan 22 persen serta sawah hanya 18 persen (lihat Gambar 2).
Kecenderungan dominasi ladang/tegalan serta kebun campuran ini terjadi karena petani
terkonsentrasi pada usaha palawija dan usahatani kayu atau hutan rakyat yang telah
26
dikelola sejak turun-temurun. Jenis sertifikasi yang berjalan di Wonogiri adalah sertifikasi
LEI (Lembaga Ekolabeling Indonesia) yang telah ada sejak tahun 2004. Sekalipun
demikian, harus dikatakan bahwa saat studi dilakukan di tahun 2012, sertifikasi LEI
mengalami stagnasi. Kemandegan terjadi karena tidak ada pembaruan sertifikasi
ataupun sekedar surveillance sejak petani memperoleh sertifikat pada sekitar delapan
tahun yang lalu. Demikian juga, dampak sertifikasi LEI kepada sistem nafkah
rumahtangga petani di Wonogiri diakui nihil dan tidak ada. Pembahasan yang lebih rinci
mengenai sumber dan jenis mata pencaharian petani akan di bahas pada bagian
berikutnya pada tulisan ini yaitu pada bagian struktur dan strategi nafkah rumahtangga
petani hutan rakyat. Beberapa rumahtangga petani yang dijumpai di Batuwarno, dimana
sertifikat LEI sudah tidak berjalan lagi mengemukakan kekecewaan proses sertifikasi
yang tidak ada kelanjutannya.
Kemudian, untuk kasus petani jati di Kabupaten Blora, petani sertifikasi Gapoktanhut Jati
Mustika yang meliputi tujuh desa2 sertifikasi SVLK, dimana ladang/tegalan mendominasi
penggunaan tanah di kawasan tersebut. Rumahtangga petani di Gapoktanhut Jati
Mustika mengalokasikan 60 persen dari keseluruhan total luasan lahan yang dimiliki oleh
petani pada usahatani berbasis ladang/tegalan. Hanya empat persen lahan
diperuntukkan sebagai kebun campuran dan 37 persen adalah sawah.
Sementara untuk petani non sertifikasi, di daerah Blora atau tepatnya di Desa Kutukan,
peruntukan lahannya didominasi oleh lahan sawah yang sangat dominan. Rata-rata
alokasi pemanfaatan lahan untuk sawah pada rumahtangga petani hutan rakyat di Desa
Kutukan sebesar 79 persen (0,861 Ha) dari total luasan lahan yang dimiliki petani.
Sementara untuk ladang/tegalan hanya meliputi 13 persen (0,140 Ha) dari total luasan
lahan yang dikuasai. Sementara kebun campuran hanya meliputi 8 persen (0,085 Ha)
dari total luas lahan yang dikuasai. Hal ini menunjukkan betapa sawah adalah sumber
nafkah penting dan pertanian pangan menjadi strategi nafkah yang utama bagi
rumahtangga petani hutan rakyat di Desa kutukan. Sistem nafkah rumahtangga petani
hutan rakyat non-sertifikasi di Blora sangat bergantung pada usahatani cocok tanam di
sawah terutama pada produksi padi di musim hujan dan tembakau dan palawija yang
ditanam pada musim kemarau. Sementara peruntukan lahan ladang/tegalan yang
cenderung lebih sempit, dikarenakan sempitnya luas hutan rakyat yang dikelola secara
mandiri/dimiliki oleh rumahtangga petani. Hasil hutan bagi rumahtangga petani non-
2 antara lain Desa Plantungan, Desa Sendanghardjo, Desa Waru, Desa Tempuran, Desa Jurang
Jero, Desa Jatirejo, Desa Ngampel, Desa Soko yang semuanya berada di wilayah administratif Kecamatan Blora Kabupaten Blora.
27
sertifikasi di Desa Kutukan Kecamatan Randublatung, Blora lebih banyak datang dari
profit sharing usahatani kayu melalui skema PHBM dengan Perhutani.
Pelajaran penting yang dapat ditarik pada analisis bagian ini adalah, manakala basis
sistem nafkah atau sistem penghidupan rumahtangga petani hutan rakyat diletakkan
pada landuse ladang/tegalan atau kebun campuran, maka usahatani kayu menjadi
penting perannya sebagai sumber nafkah. Namun, manakala sawah menjadi penciri
penting dan landuse yang dominan bagi sistem penghidupan petani, maka sekalipun
penting namun usahatani kayu tidaklah signifikan dukungannya terhadap sistem
keamanan nafkah rumahtangga petani. Oleh karena itu, sertifikasi produksi kayu akan
penting diimplementasikan pada masyarakat petani hutan rakyat dengan ciri landuse
dominan pada ladang/tegalan/kebun campuran atau upland farming system. Sertifikasi
kayu kurang pas diimplementasikan pada masyarakat petani hutan rakyat berciri sawah
atau dengan karakter sistem nafkah wetland yang sangat dominan.
Status Penguasaan Lahan dan Stratifikasi Sosial
Berikut adalah uraian mengenai lahan petani berdasarkan tipe penguasaan terhadap tiga
jenis lahan (sawah, tegalan, dan kebun campuran) di tiga wilayah, dengan tetap
membandingkan antara petani yang telah tersertifikasi dengan yang non sertifikasi.
Kepemilikan sumberdaya agraria menunjukkan pada adanya relasi atau hubungan
manusia-lahan dalam legitimasi penguasaan lahan yang lebih kuat, karena penguasaan
dan akses tanah dikuasai secara lebih permanen. Sementara, tipe penguasaan lainnya
(sewa, bagi hasil dan lainnya) digunakan untuk merujuk pada relasi atau hubungan
sosial-agraria dan dalam penguasaan akses sumberdaya agraria dalam waktu yang
sementara. Sewa atau bagi hasil dikategorikan sebagai akses sementara karena di
beberapa kasus sumberdaya tersebut dimiliki oleh pihak lain, baik perorangan maupun
badan usaha seperti Perum Perhutani.
Terdapat beragam pola pengukuhan hak penguasaan lahan yang ditemukan di tiga
kabupaten studi. Secara umum hak milik adalah yang paling banyak dijumpai baik di
lahan sawah maupun ladang/tegalan maupun kebun campuran. Selain hak milik juga
ditemukan hak sewa dan hak bagi hasil yang sangat minor ditemukan di tiga kabupaten
studi. Berdasarkan data pada Gambar 3 petani hutan rakyat yang mengikuti program
sertifikasi di Kabupaten Wonosobo cenderung menguasai dan memiliki lahan secara
mandiri (hak milik) yakni menjadi petani pemilik sekaligus buruh di lahan mereka sendiri.
Data yang tampak di Kabupaten Wonosobo, Kabupaten Wonogiri dan Kabupaten Blora
menjelaskan bahwa proporsi terbesar pengukuhan hak atas tanah sawah, ladang/tegalan
28
maupun kebun campuran baik pada rumahtangga petani hutan rakyat sertifikasi maupun
non-sertifikasi adalah hak milik. Petani pemilik yang memiliki status sebagai pemilik
sekaligus buruh di lahannya sendiri umumnya masih menjadi bagian yang dominan dari
komunitasnya.
Gambar 3. Pola Pengukuhan Hak atas Tanah Petani pada beragam Jenis Pemanfaatan Lahan
(Landuse) di Tiga Kabupaten Studi, 2012
Hanya sebagian kecil proporsi pengukuhan hak atas tanah pada rumahtangga petani
hutan rakyat baik peserta sertifikasi maupun non-sertifikasi di tiga kabupaten kasus, yang
mendapatkan tanahnya dari sewa dan bagi-hasil. Hal ini menunjukkan bahwa legitimasi
atas penguasaan tanah di tiga kabupaten kasus untuk semua kategori sertifikasi kayu,
adalah sangat kuat.
Sementara itu, bila dikaitkan antara status penguasaan tanah dengan stratifikasi sosial
pada masyarakat petani hutan rakyat, dapat dilihat kaitan antara luas kepemilikan dan
penguasaan lahan pertanian dan status sosialnya sebagaimana terlihat pada Gambar 4.
Dari Gambar 4 tersebut tampak bahwa, di Kabupaten Wonosobo dan Wonogiri, petani
terbagi menjadi tiga lapisan, yakni lapisan atas, menengah dan bawah. Kategori ini
dibangun berdasarkan pertimbangan pada jumlah luasan lahan yang dimiliki oleh petani.
29
Hasil survai menunjukkan bahwa proporsi lapisan petani menengah dan bawah
merupakan bagian terbesar dari rumahtangga petani hutan rakyat di tiga kabupaten studi.
Lapisan atas (lapisan kaya) rumahtangga petani hutan rakyat adalah minoritas dalam
keseluruhan struktur masyarakat petani hutan rakyat di tiga kabupaten studi. Gambar 4
secara umum dapat menjelaskan betapa kemiskinan dan kesederhanaan penghidupan
mendominasi gambaran struktur sosial rumahtangga petani hutan rakyat.
Gambar 4. Pelapisan/Stratifikasi Sosial Berdasarkan Penguasaan Lahan dan Kategori Petani
Sertifikasi dan Non-sertifikasi, di tiga Kabupaten studi, 2012
Dari Gambar 4 juga terlihat bahwa Kabupaten Blora bisa dikatakan wilayah hutan rakyat
dengan pola pelapisan yang lebih sederhana dibandingkan dua kabupaten studi lainnya.
Di Blora hanya tersusun oleh dua lapisan sosial berdasarkan penguasaan lahan petani,
yaitu lapisan menengah dan lapisan atas. Struktur sosial di Blora jauh lebih tampak
merata bila dibandingkan dua kabupaten lainnya.
2.3. Sistem Nafkah Rumahtangga Berbasis Hubungan Sosial Produksi Agraria
pada Rumahtangga Petani Hutan Rakyat
Pola hubungan sosial agraria rumahtangga petani hutan rakyat di dalam tulisan ini
dianalisis melalui struktur hubungan sosial agraria antara rumahtangga petani hutan
rakyat dengan pihak eksternal sepanjang terkait dengan pemanfaatan tanah dalam
rangka pengamanan nafkah (securing livelihood). Artinya, dalam kondisi apapun dan
30
sepanjang memungkinkan, setiap rumahtangga petani hutan rakyat akan selalu
melakukan manipulasi organisasi sosial-agraria dalam berbagai bentuk rekayasa
hubungan sosial-produksi berbasis tanah, demi mengamankan nafkah mereka.
Boleh dikatakan bahwa, bentuk-bentuk hubungan sosial agraria yang teridentifikasi di
desa-desa kasus yang dikaji, merupakan temuan penting karena menjadi bagian dari
strategi nafkah yang dibangun petani berbasiskan kelembagaan agraria. Struktur
hubungan sosial-agraria (untuk mengamankan nafkah) yang dimaksud adalah hubungan
antara petani dengan berbagai aktor sosial berdasarkan penguasaan sumber-sumber
agraria.
Struktur dalam hubungan sosial agraria rumahtangga petani hutan rakyat dibagi ke dalam
beberapa pola, yakni pertama, pola petani mandiri, petani mandiri merupakan petani
yang menguasai sumberdaya agraria hanya melalui pola-pola kepemilikan tanah yang
permanen. Selain itu, petani juga sekaligus menjalankan perannya sebagai
buruh/penggarap di lahannya sendiri.
Kedua, pola (pengusahaan) kolektif, yang berlangsung sebagai akibat petani hutan
rakyat yang mengikuti program sertifikasi untuk legalitas kayu. Dalam pola kolektif,
“seolah-olah” petani melepaskan kepemilikan lahannya dan pengelolaan tegakan kayu
dikebunnya kepada kelompok. Dalam pola kolektif, dikenal kemudian konsep FMU
(Forest Management Unit), APHR (Asosiasi Pemilik Hutan Rakyat) atau Gapoktanhut
(Gabungan Kelompok Tani Hutan) yang merupakan kesatuan dari satuan-satuan lahan
petani individual yang dikelola secara kolektif. Rumahtangga petani tetap otonom di atas
lahan pertanian miliknya secara mandiri, namun dalam penegelolaan hutan (usahatani
kayunya), mereka harus memperhatikan petani lain (misalnya dalam jatah-penebangan).
Dalam pola kolektif, penguasaan lahan pribadi seolah melebur ke dalam bentuk yang
baru yakni secara kelompok atau kepemilikan secara kelompok. Bentuk baru dalam
artian bahwa jika selama ini keputusan dalam hal produksi, dan pemanenan merupakan
kewenangan pribadi dari petani pemilik itu sendiri, maka di dalam pola hubungan kolektif
keputusan dalam produksi dan pemanenan kayu di atas lahan milik pribadi petani
dipegang oleh kelompok. Pertimbangan kelompok telah didorong atas pertimbangan
yang sangat rasional, dan perhitungan mengenai optimalisasi lahan-lahan anggota
kelompok tani seraya memperhatikan tercapainya prinsip-prinsip SFM (sustainable forest
management) dalam pengelolaan hutan. Dalam hal ini pengamanan nafkah (livelihood
security) rumahtangga petani harus selalu dikaitkan dengan pengamanan prinsip SFM di
tingkat kolektivitas.
31
Ketiga adalah pola kemitraan, dalam artian bahwa kemitraan yang berlangsung antara
petani yang terikat dalam LMDH (Lembaga Masyarakat Desa Hutan) dengan unit usaha
ekonomi dari pihak eksternal atau Perhutan dalam hal ini. Dari studi di Blora, didapatkan
bukti adanya kemitraan berpola PHBM antara Perum Perhutani (sebuah badan usaha
milik negara yang padat modal) dengan petani hutan rakyat yang berada di sekitar
Kawasan Pemangkuan Hutan (KPH) Perhutani yang mutualistik. Sebagaimana telah
diulas di muka, PHBM dikembangkan dengan cara memberikan akses untuk bercocok
tanam di tanah milik Perhutani. Akses diberikan kepada petani yang tinggal di sekitar
KPH dengan tujuan agar terjadinya saling ikut memiliki kawasan hutan Perhutani oleh
masyarakat sekitar hutan. Petani melalui LMDH berpotensi menambah pendapatannya
dari hasil bercocok tanam sehingga memperkuat basis nafkah mereka. Sementara
Perhutani dapat memastikan keamanan hutan jati yang diusahakannya, karena petani
dan masyarakat sekitar KPH ikut memelihara dan menjaganya. Pada akhir tahun,
biasanya Perhutani membagikan profit sharing yang didapatkan oleh Perhutani kepada
petani melalui LMDH sebagai imbalan atas partisipasi petani dalam pengelolaan hutan
Perhutani. Dalam hal ini, dana sharing yang dibagikan dihitung dengan perhitungan yang
cermat dan agak kompleks, sehingga hasilnya bervariasi tergantung besarnya tegakan
pohon jati yang dikelola oleh para petani di masing-masing desa-mitra (LMDH) binaan
Perhutani.
Keempat, pola hirakhikal, petani pesanggem PHBM yang tunakisma diberikan akses
oleh Perum Perhutani dalam menguasai sumberdaya agraria berupa sebuah petakan
tanah di dalam kawasan pemangkuan hutan produksi Perhutani. Dikatakan berpola atau
bersifat hirarkhi, karena pola penguasaannya terkait dengan searahnya posisi hubungan
petani (sebagai buruh) dengan Perhutani, dimana perum Perhutani berperan sebagai
pemilik tanah. Selain bersifat hirarkhi juga pola penguasaan bersifat mengikat petani
tunakisma melalui pemberian sarana produksi pertanian. Rasionalitas yang dibangun dari
pola penguasaan ini oleh Perum Perhutani adalah rasionalitas ekonomi untuk menjamin
kesuksesan produksi tegakan dan artinya menjamin profitabilitas Perum Perhutani,
dengan memanfaatkan jasa tenaga kerja buruh tani yang bersedia bercocok tanam di
kawasan KPH. Sementara bagi petani pesanggem peluang ini dianggap sebagai salah
satu strategi nafkah atau mekanisme bertahan hidup (survival).
Kelima, pola petani penggarap dan buruh tani. Para petani menguasai sumberdaya
agraria melalui pola kepemilikan sementara (dengan cara mengusahakan lahan milik
orang lain melalui sistem bagi hasil dan sewa). Kemudian, selain itu juga untuk
menambah penghasilan keluarga, mereka juga berperan sebagai buruh tani, dan
32
biasanya mengerahkan tenaga kerja keluarga seperti istri, dan anak-anak yang telah
beranjak dewasa yang secara fisik mampu bekerja di ladang. Lapisan ini termasuk petani
tunakisma, yang antara lain termasuk sebagai kategori petani pesanggem PHBM yang
menggarap lahan milik Perum Perhutani.
Pola-pola hubungan sosial-agraria masyarakat agraris petani hutan rakyat dengan pihak
eksternal, secara struktural digambarkan oleh Gambar 5, Gambar 6 dan Gambar 7.
Ketiga gambar tersebut secara umum menunjukkan bahwa terdapat variasi yang
beraneka di tiga kabupaten studi terkait hubungan sosial-produksi agraria antara
rumahtangga petani hutan rakyat dengan pihak eksternal. Dalam prakteknya,
pengelolaan produksi lahan untuk persawahan padi, palawija, hotikultura maupun
pengelolaan hutan rakyat di kalangan petani terjadi dalam beberapa pola hubungan
sosial-agraria sekaligus. Penerapan pola hubungan sosial-agraria secara berganda
(kombinasi) dalam waktu yang bersamaan, dikarenakan penguasaan lahan petani hutan
rakyat yang terbatas. Hanya dengan cara demikian, maka petani dapat mengamankan
nafkahnya (securing livelihood). Dengan demikian rekayasa hubungan sosial-agraria
(berganda atau kombinasi) semacam ini dapat dikatakan sebagai bagian dari strategi
nafkah rumahtangga petani hutan rakyat terutama bagi mereka yang berasal dari
lapisan/skala kecil dan menengah. Dalam hal sertifikasi kayu, maka pola mandiri dan
kolektif adalah yang dominan ditemukan di tiga kabupaten studi.
Hubungan Sosial Produksi Agraria di Wonosobo
Data pada Gambar 5 tampak bahwa proporsi petani dalam hal pengelolaan pertanian
sawah dan palawija biasanya berpola petani mandiri. Petani menjadi pemilik sah atas
lahan sekaligus buruh tani di lahannya yang secara otonom bernafkah di atas tanahnya.
Di Wonosobo, pola mandiri dipraktekkan oleh 95 persen rumahtangga petani di daerah
yang mengikuti program sertifikasi, dan 80 persen di kawasan non-sertifikasi. Pola
mandiri yang dibahas dalam hal ini ini khususnya berlangsung pada pengelolaan
agroforestry atau hutan rakyat di ladang/tegalan dan kebun campuran. Selanjutnya,
untuk proporsi petani yang melakukan pola hubungan petani penggarap dan buruh tani
hanya minoritas saja, dan umumnya berlangsung di sawah.
Sementara untuk pengelolaan hutan rakyat, bagi petani yang mengikuti program
sertifikasi, maka pola kolektif dimana kewenangan pengelolaan lahan hutan rakyat tidak
lagi berada ditangan individu petani, adalah yang dominan. Di Wonosobo, pola kolektif
dijalankan oleh gabungan kelompok tani hutan rakyat “Joko Madu” atau yang saat ini
bernama APHR (Asosiasi Pemilik Hutan Rakyat) Joko Madu yang baru mendapatkan
33
sertifikasi SVLK pada tahun 2011. APHR tengah mengupayakan untuk bekerja dengan
prinsip koperasi. Sementara itu terdapat 95 persen petani non-sertifikasi yang
menjalankan produksinya sebagai petani mandiri, terutama dalam mengelola hutan
rakyatnya. Artinya, sebagian besar rumahtangga petani non-sertifikasi di Wonosobo
tetap menjalankan pola hubungan petani pemilik tunggal yang otonom di dalam
mengelola lahan hutan rakyat miliknya.
Gambar 5. Struktur Sosial Masyarakat Petani Hutan Rakyat berdasarkan Pola Hubungan Sosial
Agrarianya dengan pihak Eksternal di Kabupaten Wonosobo, 2012
Hubungan Sosial Produksi Agraria di Wonogiri
Selanjutnya, Gambar 6 menunjukkan bentuk pola hubungan sosial-produksi agraria
petani hutan rakyat di Kabupaten Wonogiri. Petani hutan rakyat mengelola hutan rakyat
secara turun-temurun dan telah lama menerima sertifikasi kayu dari lembaga LEI
(sekalipun sertifikat tersebut sudah tidak aktif lagi). Hak atas tanah dikukuhkan dalam
pola kepemilikan dan pengelolaan lahan secara individu sehingga pola hubungan sosial-
produksi agraria yang muncul dalam pengelolaan hutan rakyat pun berpola mandiri dan
hingga taraf tertentu berpola kolektif. Seluruh petani peserta program sertifikasi LEI
dinaungi oleh kelembagaan Forum Komunitas Petani Sertifikasi (FKPS), menyerahkan
pengelolaan hutannya dalam satuan kolektif atau kelompok dimana prinsip koperasi
diimplementasikan. Artinya bahwa pengelolaan hutan di tiap anggota mulai dari
34
penanaman, hingga pemanenan dan perdagangan kayu diserahkan seutuhnya kepada
kelompok FKPS dalam satuan FMU (Forest Management Unit).
Sementara, untuk petani yang non-sertifikasi tetap mempertahankan pola hubungan
produksi agraria sebagai petani mandiri, dimana segala keputusan pengelolaan hutan
rakyat ditentukan secara mandiri dan otonom oleh petani yang berperan sebagai pemilik
sekaligus pengelola lahan miliknya. Dalam hal sertifikasi atau formalisasi kayu, boleh
dikatakan bahwa proses sertifikasi produksi kayu yang dialami oleh para petani, telah
mengubah cara-berpikir mereka untuk tidak mementingkan diri-sendiri. Sekalipun
keputusan otonom tetap berada di tangan individu petani, namun kesepakatan dan
keputusan kolektif telah menjadi bagian pembelajaran yang bermakna bagi kehidupan
petani.
Gambar 6. Struktur Sosial Masyarakat Petani Hutan Rakyat berdasarkan Pola Hubungan Sosial
Agrarianya dengan pihak Eksternal di Kabupaten Wonogiri, 2012
Hubungan Sosial Produksi Agraria di Blora
Pola hubungan sosial produksi agraria rumahtangga petani hutan rakyat di Blora
berlangsung agak kompleks bila dibandingkan dengan rumahtangga petani hutan rakyat
dua kabupaten sebelumnya. Setidaknya terdapat tiga pola hubungan sosial produksi
manusia-lahan-manusia yang dominan, yaitu: pola mandiri (terutama dipraktekkan petani
non-sertifikasi) dan pola kolektif ala Gapoktanhut (untuk petani sertifikasi), serta pola
kemitraan PHBM. Ketiganya adalah bentuk-bentuk hubungan sosial produksi usahatani
kayu yang dominan dan menonjol (lihat Gambar 7) di Blora. Bagi petani yang mengikuti
35
program sertifikasi SVLK, maka integrasi pengelolaan hutan rakyat yang dimilikinya ke
dalam kolektivitas kelompok (gapoktanhut = gabungan kelompok tani hutan rakyat)
adalah hal yang tidak dapat dihindarkan. Sekalipun rumahtangga petani hutan rakyat
tergabung dalam sebuah gapoktanhut yang basis pengelolaannya kolektif, namun petani
tetap memiliki otonomi atau kedaulatan atas tanah yang dikuasai/dimilikinya.
Hubungan sosial produksi kemitraan ataupun hirarkhikal berpola PHBM juga merupakan
hubungan sosial produksi agraria yang menopang sistem penghidupan penting
rumahtangga petani hutan rakyat di Blora. Pola tersebut sangat menonjol ditemukan di
sekitar kawasan pemangkuan hutan milik Perhutani. Dalam hal ini, petani diberikan akses
untuk menanam tanaman pangan secara tumpangsari dalam jangka waktu tertentu di
dalam kawasan hutan milik Perhutani. Masing-masing petani pesanggem hanya
diberikan waktu selama dua tahun untuk mengelola lahan pertanian khususnya pada saat
masa buka petak bekas tebangan. Ketika memasuki masa tutup, maka petani
pesanggem harus keluar dari petak lahan tersebut. Melalui PHBM, para petani skala kecil
mendapatkan manfaat berupa hasil panen yang bisa menopang sistem penghidupan
atau nafkah mereka.
Gambar 7. Struktur Sosial Masyarakat Petani Hutan Rakyat berdasarkan Pola Hubungan Sosial
Agrarianya dengan pihak Eksternal di Kabupaten Blora, 2012
36
Hubungan Sosial Produksi, Serifikasi dan Kemanan Nafkah Petani
Dari uraian tentang hubungan sosial-produksi agraria rumahtangga petani hutan rakyat di
tiga kabupaten studi disimpulkan adanya beberapa hal. Pertama, terkait tentang
sertifikasi atau formalisasi kayu, maka terdapat pola hubungan campuran dua pola, yaitu
mandiri dan kolektif. Dua pola hubungan sosial produksi meniscayakan pertemuan dua
kepentingan, yaitu kedaulatan/otonomi petani untuk secara mandiri menguasai tanahnya
(hutan rakyat) dengan integrasi pengelolaan hutan rakyat di dalam rejim kolektif
gapoktanhut. Hadirnya dua pola hubungan sosial produksi yang berada di dalam sebuah
unit usahatani kayu petani, seringkali memberikan sedikit kerumitan di dalam
pengambilan keputusan ekonomi hutan rakyat. Di satu sisi, sebuah rumahtangga petani
hutan rakyat memiliki kedaulatan untuk menguasai tanah dan kebunnya, sehingga
semestinya bisa melakukan “tebang butuh” terhadap kayunya setiap saat ada keperluan
mendesak. Tetapi, di sisi lain, masa tebang kayu, harus tunduk dan diatur sesuai
orkestrasi oleh kelompok/kolektif, agar selaras dengan prinsip-prinsip SFM atau
pengelolaan hutan lestari, yang membuat petani tak diperkenankan untuk menebang
semaunya.
Kedua, seringkali terjadi situasi rumit pada para petani peserta sertifikasi (SVLK).
Sebuah rumahtangga petani hutan rakyat menghadapi situasi krisis yang membutuhkan
dana segar dari penebangan kayu (jati ataupun sengon) dari tegalan/kebunnya. Solusi
dari krisis tersebut, petani harus segera menebang kayu dari kebun/tegalannya. Namun,
pada saat yang bersamaan, jatah tebang untuk blok tebang dimana kebun sang petani
berada, telah habis. Alhasil, untuk memenuhi prasyarat SFM, petani tersebut tidak
diperkenankan lagi menebang kayunya. Situasi menjadi dilematis dan menyulitkan petani.
Pola hubungan sosial produksi kolektif, dalam hal ini, dipandang telah menjadi “kekuatan
pemaksa” baru yang mengekang petani untuk menebang kayu (secara otonom). Bila
situasi dilematis ini tidak dapat dipecahkan oleh gapoktanhut, maka proses sertifikasi
terancam dihujat oleh para petani pesertanya.
Ketiga, ke depan, hal yang diperlukan oleh rumahtangga petani hutan rakyat dalam
konteks hubungan sosial produksi adalah mentransformasi pola individual/mandiri
kepada pola kolektif sedemikian rupa, namun, sistem yang kolektif tersebut juga mampu
untuk memberikan solusi atas kebutuhan dana mendesak melalui penyediaan semacam
“kredit tunda tebang” atau “bridging fund”. Dana talangan tersebut perlu terus-menerus
tersedia bagi petani yang sedang berada dalam krisis ekonomi tetapi tak bisa menebang
kayunya, sementara SFM harus dipelihara untuk diwujudkan. Dengan adanya fasilitas
dana talangan tersebut, pola hubungan produksi hutan rakyat yang kolektif selain akan
37
sesuai dengan kebutuhan sertifikasi, juga akan tetap bisa mengamankan penghidupan
(livelihood security) rumahtangga petani hutan rakyat yang sering dihinggapi persoalan
krisis ekonomi. Dalam hal ini, basis hubungan sosial produksi kolektif yang telah
terbangun memungkinkan dibentuknya organisasi sosial-ekonomi berbentuk koperasi
yang dapat menyediakan solusi finansial selain solusi teknikal. Ketersediaan solusi
finansial oleh organisasi kolektif koperasi petani sekaligus dapat menjamin untuk
melestarikan sistem nafkah (livelihood sustainability) mereka.
38
3. STRUKTUR DAN STRATEGI NAFKAH RUMAHTANGGA
PETANI HUTAN RAKYAT DI TIGA KABUPATEN
3.1. Sumber Nafkah Rumahtangga Petani Hutan Rakyat
Rumahtangga petani di pedesaan Jawa pada umumnnya tidak menggantungkan
nafkahnya hanya dari satu sumber nafkah. Berbagai jenis usaha dan pekerjaan yang
ada di pedesaan maupun perkotaan menjadi alternatif sumber nafkah bagi rumahtangga
petani. Dalam tipologi Dharmawan (2001), kebanyakan rumahtangga petani hutan rakyat
menerapkan strategi nafkah diversifikasi pendapatan (income diversification) atau pola
nafkah ganda (multiple sources of income). Oleh karena itu, pertanian (dalam arti luas,
termasuk peternakan dan perikanan) bukanlah satu-satunya sumber nafkah di pedesaan.
Bahkan dengan semakin terbukanya sistem ekonomi pedesaan, jenis altenatif nafkah
dari sektor non-pertanian semakin lama semakin mendominasi sumber nafkah
rumahtangga masyarakat di pedesaan. Kondisi tersebut juga terlihat pada rumahtangga
petani hutan rakyat di Kabupaten Wonosobo, Wonogiri dan Blora. Terkait dengan fokus
kajian pada petani hutan rakyat, sumber nafkah atau sumber pendapatan rumahtangga
petani hutan rakyat dikelompokkan menjadi tiga sumber besar, yaitu:
a. Pertanian (farm), yang terdiri dari hasil padi sawah, palawija, buah-buahan,
peternakan, perikanan dan hasil pertanian lainnya.
b. Kayu, dalam hal ini untuk melihat sejauhmana hasil hutan rakyat berupa kayu (jati,
sengon, mahoni, dan jenis lain) berkontribusi terhadap total pendapatan rumahtangga
petani hutan rakyat.
c. Non Pertanian (non-farm), yang terdiri dari hasil kegiatan jasa (pegawai, buruh, dan
lain-lain), perdagangan, industri dan kegiatan non-pertanian liannya yang menjadi
sumber nafkah bagi rumahtangga.
Masing-masing sumber nafkah yang dikaji, terdapat perbedaan proporsi di ketiga
kabupaten yang diteliti. Secara ringkas pada Gambar 8 dapat dilihat persentase ketiga
kategori sumber nafkah dalam mendukung nafkah rumahtangga petani hutan rakyat di
Kabupaten Wonosobo, Wonogiri dan Blora. Kabupaten Wonogiri dan Blora yang
memiliki karakter ekologi hampir sama (daerah kering) dan komoditas kayu dominan
berupa tanaman jati, yang memberikan sumbangan (proporsi) sebesar 17 persen
terhadap total pendapatan rumahtangga. Sementara itu, Kabupaten Wonosobo dengan
kondisi ekologi yang relatif basah dan lebih subur tanahnya dibandingkan kedua
39
kabupaten sebelumnya dimana
jenis kayu yang diusahakan
berupa tanaman sengon,
menyumbang 31 persen
terhadap total pendapatan
rumahtangga. Sumbangan
sumber nafkah kayu terhadap
total pendapatan rumahtangga
petani di Wonosobo adalah yang
terbesar proporsinya, bila
dibandingkan untuk hal yang
sama di dua kabupaten studi
lainnya.
Sekalipun berpola serupa, tetapi
sumber nafkah utama rumahtangga petani di tiga kabupaten ternyata cukup berbeda.
Kabupaten Wonosobo dan Blora memiliki sumber nafkah terbesar dari kegiatan (sektor)
pertanian, sementara itu rumahtangga petani di Kabupaten Wonogiri sumber nafkah
utamanya berasal dari kegiatan non-pertanian (non-farm). Meskipun demikian, ada hal
yang sama di ketiga kabupaten studi, yaitu bahwa sumbangan terbesar terhadap total
pendapatan rumahtangga petani adalah dari dua sumber nafkah gabungan yaitu:
pertanian (farm) dan kayu (hutan). Di Wonosobo, Wonogiri dan Blora, manakala
sumbangan kedua sumber pendapatan (pertanian + kayu) dijumlah akan meliputi angka
berturut-turut 70 persen, 57 persen dan 66 persen (lihat Gambar 8). Artinya, secara
umum sumbangan sumber nafkah berbasis pertanian dan kehutanan sangat menonjol
bila dibandingkan sumber nafkah non-farm bagi rumahtangga petani hutan rakyat di tiga
daerah yang distudi.
Di Kabupaten Blora kontribusi sumber nafkah dari pertanian lebih besar (49 persen) bila
dibandingkan dua sumber lainnya (kayu dan non-farm). Sementara itu, persentase
sumber nafkah dari kayu untuk Kabupaten Blora hanya sebesar 17 persen. Sekalipun bila
dibandingkan terhadap sumber nafkah yang sama (kayu) di Kabupaten Wonosobo, nilai
tersebut tergolong rendah, namun jika dilihat dari kebutuhan menjual kayu yang hanya
untuk kepentingan mendesak (bukan kebutuhan sehari-hari) nilai tersebut dapat
dikatakan cukup tinggi. Pada dasarnya di Kabupaten Blora pasar untuk penjualan kayu
jati cukup mudah terlebih lagi wilayah ini sejak dahulu sudah dikenal sebagai penghasil
kayu jati dengan kualitas baik sejak zaman penjajahan Belanda, mengingat lokasi
Gambar 8. Komposisi Sumber Nafkah dan Kontribusinya
terhadap Total Pendapatan Rumahtangga Petani
Hutan Rakyat di Tiga Kabupaten Studi, 2012
40
beberapa Perhutani berada di wilayah kabupaten ini. Oleh karena itu banyak pedagang
kayu dan industri furniture yang mencari kayu di wilayah ini. Terlebih lagi pasar penjualan
kayu cukup terbuka karena cukup banyak industri mebel yang beroperasi di Kabupaten
Blora dan sekitarnya (Cepu dan Jepara) yang sudah cukup dikenal reputasinya. Selain
itu kondisi ekologi Blora yang cenderung kering dan berkapur juga mendukung untuk
budidaya tanaman jati. Oleh karena itu, kayu bagi masyarakat di Blora merupakan
komoditas yang penting sebagai salah satu sumber nafkah rumahtangga terutama untuk
memenuhi kebutuhan dana mendadak yang cukup besar.
Pada kasus Kabupaten Wonogiri, sesuai dengan kondisi lahannya, sumber nafkah dari
pertanian cukup tinggi (40 persen), namun sumber nafkah ini lebih rendah dari sumber
nafkah non-pertanian (non-farm) yang sebesar 43 persen. Sesuai dengan kondisi lahan
di Kabupaten Wonogiri yang cenderung kering, maka sumber nafkah dari pertanian pada
umumnya berasal dari budidaya tanaman pangan seperti jagung, singkong dan padi yang
khusus ditanam pada musim penghujan. Selain itu, sumber nafkah pertanian juga
berasal dari tanaman palawija berupa kacang kedelai dan kacang tanah serta sayur
mayur seperti kacang panjang dan cabai yang umumnya ditujukan untuk dijual. Sumber
nafkah dari kayu menyumbang 17 persen terhadap total pendapatan rumahtangga.
Sedikit berbeda dengan apa yang terjadi di Kabupaten Blora, di Kabupaten Wonogiri
sangat sedikit didapati industri pengolahan kayu. Kayu-kayu yang dijual oleh masyarakat
Wonogiri pada umumnnya dibawa ke luar daerah seperti Cepu dan Yogyakarta.
Secara umum, makna atau arti kayu bagi rumahtangga petani hutan rakyat di Wonogiri
tidak berbeda dengan Wonosobo dan Blora, yaitu sebagai tabungan untuk berjaga-jaga
di masa krisis atau sebagai saving account. Kayu hanya akan ditebang bila ada
kebutuhan mendesak (tebang butuh), seperti untuk membiayai pesta pernikahan, kenduri
ataupun kebutuhan mendesak lain seperti biaya pengobatan dan pendidikan. Dengan
kondisi demikian, sangat sulit meletakkan kayu dalam bingkai pengertian unit bisnis yang
berorientasi seslalu kepada profit. Bagi rumahtangga petani di ketiga kabupaten, kayu
adalah sumber pendapatan untuk memenuhi kebutuhan subsistensi yang mendesak.
Sementara sumber nafkah untuk memenuhi kebutuhan dana cash sehari-hari lebih
banyak ditopang dari kegiatan pertanian dan non-pertanian. Bagi Wonogiri, dimana
banyak warganya yang mengembara ke daerah lain untuk mencari nafkah, maka uang
kiriman (remittance) dari anggota rumahtangga yang bekerja di luar daerah, merupakan
sumber nafkah yang penting.
Berbeda dengan Kabupaten Blora dan Wonogiri, di Kabupaten Wonosobo, sumber
nafkah utama rumahtangga petani hutan rakyat cukup seimbang diantara tiga jenis
41
sumber nafkah. Sumber nafkah dari pertanian yang menempati urutan pertama,
menyumbang kepada total pendapatan rumahtangga petani sebesar 39 persen. Sumber
nafkah dari pertanian yang cukup tinggi terutama berasal dari komoditi salak pondoh
(snake fruit) yang banyak ditanam oleh masyarakat di bawah tegakan pohon (kayu)
sengon. Dengan keterbatasan ekologi daerah dataran tinggi, petani hutan rakyat di
Kabupaten Wonosobo tidak dapat menggantungkan sumber nafkah dari pertanian
tanaman pangan (sawah) secara berlebihan, namun lebih pada tanaman hortikultura.
Sementara itu, jenis komoditi kayu di Kabupaten Wonosobo berupa kayu sengon dengan
umur tanam yang relatif lebih pendek, memberikan tambahan sumber nafkah yang cukup
penting terutama ketika petani memerlukan dana mendadak dalam jumlah besar (tebang
butuh). Sumbangan dari kayu terhadap total pendapatan rumahtangga mencapai 31
persen menunjukkan tingginya kontribusi kayu dalam mencukupi kebutuhan
rumahtangga setiap tahunnya. Dalam hal ini terutama untuk mencukupi kebutuhan
menjelang tahun ajaran baru (biaya pendidikan) dan Hari Raya Idul Fitri. Tingginya
perdagangan kayu dari hutan rakyat di Wonosobo dimungkinkan dengan hadirnya
industri pengolahan kayu (sawmill) yang cukup berkembang dan sangat kuat menyerap
produksi kayu eks hutan rakyat setempat.
Cukup besarnya sumbangan kayu terhadap total pendapatan rumahtangga (17-31
persen) di tiga kabupaten studi, mengindikasikan besarnya potensi kayu di daerah-
daerah tersebut. Berdasarkan hasil kajian, sumbangan sektor kayu terhadap total
pendapatan rumahtangga hutan rakyat yang mengikuti program sertifikasi, lebih besar
bila dibandingkan sumbangan yang sama pada petani hutan rakyat non-sertifikasi.
Secara ringkas hal tersebut dapat dilihat pada Gambar 9.
Gambar 9 secara umum memperlihatkan bahwa sumbangan sektor kayu terhadap total
pendapatan rumahtangga petani hutan rakyat yang tergabung dalam gapoktanhut
(peserta sertifikasi kayu) lebih tinggi bila dibandingkan sektor yang sama untuk
rumahtangga petani hutan rakyat non-sertifikasi. Hal ini menunjukkan bahwa petani
hutan rakyat peserta sertifikasi kayu memiliki potensi produksi kayu yang lebih besar
untuk pengembangan hutan rakyat dan menjadikan kayu sebagai alternatif nafkah utama
dan kelestarian lingkungan.
Pada umumnnya, para petani non-sertifikasi kayu, sumber nafkah rumahtangga hampir
seimbang antara pertanian (farm) dan non-pertanian (non-farm). Sumber nafkah non-
pertanian tersebut terutama dari kegiatan jasa (buruh) untuk desa-desa di Kabupaten
Wonogiri dan Blora, sementara untuk desa-desa di Kabupaten Wonosobo didominasi dari
usaha perdagangan. Kecuali di desa lokasi kajian di Desa Kutukan, Kecamatan
42
Randublatung, Kabupaten Blora yang masuk dalam program PHBM Perhutani dominasi
sumber nafkah cukup besar dari pertanian. Kajian ini menangkap kesan, bahwa program
sertifikasi kayu terutama mengikutkan petani dengan sumbangan sektor atau sumber
nafkah kayu terhadap total pendapatan rumahtangga petani hutan rakyat yang cukup
signifikan.
Dalam hal ini, studi mendapatkan fakta dari tiga kabupaten yang diteliti sebagai berikut.
Pertama, petani peserta sertifikasi di tiga kabupaten yang diteliti, belum memperoleh
manfaat ekonomi apapun dari formalisasi atau sertifikasi kayu, dikarenakan
implementasinya yang baru berjalan satu tahun yang lalu. Kedua, fakta dari lapangan
mensuplai informasi yang sangat mencukupi bahwa selaras dengan proses sertifikasi
yang berbiaya cukup mahal, kini muncul keluhan dari para petani peserta sertifikasi
SVLK di (terutama ) Blora. Para petani umumnya mulai merasakan bahwa biaya
surveillance sertifikasi (yang dilakukan secara periodik per tahun) sebagai beban
ekonomi tambahan yang memberatkan mereka. Fakta tentang beban biaya yang muncul
sebagai akibat dari kehadiran proses sertifikasi memberikan dampak penting terhadap
sistem nafkah rumahtangga petani hutan rakyat peserta sertifikasi yang umumnya
adalah peasantry atau petani skala kecil (gurem). Mereka umumnya sangat rentan
terhadap guncangan dan krisis ekonomi yang setiap saat bisa datang menghampiri.
Sekalipun sertifikasi belum sampai pada taraf mengganggu sistem nafkah mereka, tetapi
sertifikasi membuka peluang terjadinya guncangan ekonomi bagi rumahtangga petani.
Hingga titik ini, ditegaskan bahwa sertifikasi atau formalisasi produksi dan
perdagangan kayu belum memberikan dampak positif terhadap perbaikan status
pada sistem nafkah rumahtangga petani hutan rakyat.
43
Gambar 9. Komposisi Sumber Nafkah dan Kontribusinya terhadap Total Pendapatan
Rumahtangga Petani Hutan Rakyat Berdasarkan Status Sertifikasi dan Non-
sertifikasinya di Tiga Kabupaten Studi, 2012
Ketiga, eksistensi sektor kayu sebagai sumber nafkah rumahtangga petani yang penting
bagi sistem nafkah rumahtangga petani di tiga kabupaten studi, belum bisa memberikan
sinyal yang baik untuk memandang sektor tersebut sebagai unit bisnis yang profitable.
Sifatnya sebagai saving account dan sektor safety valve yang dimanfaatkan hanya di
kala krisis, membuat usahatani kayu sebagai sumber nafkah yang belum bisa responsif
terhadap program sertifikasi dan formalisasi produksi kayu. Keempat, pola hubungan
sosial produksi kolektif yang dibangun oleh petani peserta sertifikasi dalam rejim
gapoktanhut ataupun FMU, ternyata belum mampu memberikan solusi ekonomi atas
timbulnya beban ekonomi tambahan dari sertifikasi bagi sistem nafkah mereka. Harapan
adanya bridging fund bagi petani yang memerlukan dana mendesak yang disediakan
oleh gapoktanhut pun, masih berada pada sebatas wacana.
3.2. Tingkat Pendapatan dan Pengeluaran Rumahtangga Petani
Tingkat Pendapatan Rumahtangga Petani
Kehadiran usahatani kayu jati ataupun sengon bagi petani, memberikan fenomena
menarik dalam struktur nafkah rumahtangga mereka. Struktur nafkah rumahtangga
44
petani hutan rakyat ditandai selain dari sumber nafkah juga dapat dilihat dari tingkat
pendapatan dan pengeluaran rumahtangga petani.
Gambar 10. Rata-rata Pendapatan Rumahtangga Petani Hutan Rakyat di tiga Kabupaten Studi
per Tahun menurut Sumber Nafkah, 2012.
Sesuai dengan sumber nafkahnya, tingkat pendapatan petani dilihat dari ketiga sumber
nafkah yang ada, yaitu pertanian, kayu dan non-pertanian. Pada Gambar 10 dapat
dilihat rata-rata pendapatan rumahtangga petani hutan rakyat dalam setahun
berdasarkan ketiga sumber nafkah untuk Kabupaten Wonosobo, Wonogiri dan Blora.
Dari ketiga kabupaten, petani hutan rakyat di Kabupaten Wonosobo memiliki rata-rata
total pendapatan paling tinggi, yaitu mencapai sekitar Rp 22.000.000,- pertahunnya.
Jika dihitung perbulan, rata-rata pendapatan petani hutan rakyat di Wonosobo sekitar Rp
1.800.000,-. Sementara itu untuk Kabupaten Wonogiri dan Blora rata-rata pendapatan
rumahtangga petani per tahunnya hampir sama, yaitu sekitar Rp 18.000.000,- atau kira-
kira pendapatan per bulannya sekitar Rp 1.500.000,- per rumahtangga. Dengan asumsi
setiap rumahtangga berisi empat jiwa, maka pendapatan rata-rata rumantangga petani di
Wonogiri dan Blora adalah Rp 375.000,- per kapita per bulan. Sementara dengan asumsi
jumlah jiwa per rumahtangga yang sama, maka di Wonosobo pendapatan per kapita per
bulannya adalah Rp 450.000,-. Artinya pendapatan per kapita per hari bagi anggota
rumahtangga petani hutan rakyat di Wonogiri dan Blora adalah Rp 375.000,- dibagi
dengan 30 atau samadengan Rp 12.500,- yang berarti sangat jauh di bawah garis
45
kemiskinan menurut standar World Bank (US$ 2 atau Rp 19.000,- per kapita per hari).
Sementara di Wonosobo, untuk perhitungan yang sama adalah Rp 450.000,- dibagi
dengan 30 hari per bulan, samadengan Rp 15.000,- per kapita per hari, yang juga
menempatkan rumahtangga petani hutan rakyat masih di bawah garis kemiskinan.
Dari rata-rata total pendapatan rumahtangga petani per tahun, usahatani kayu di
Kabupaten Wonosobo menempati posisi sebagai penyumbang paling tinggi bila
dibandingkan angka yang sama pada dua kabupaten lainnya, dengan total sumbangan
kayu sekitar (dibulatkan) Rp 7.000.000,- per tahun. Sementara, untuk Wonogiri dan Blora,
usahatani kayu menyumbang terhadap total pendapatan rumahtangga yang tak sampai
setengahnya dari angka Wonosobo (sekitar Rp 3.000.000,-). Dari angka tersebut tampak,
bahwa usahatani kayu (sengon) merupakan sektor ekonomi penting bagi rumahtangga
petani hutan rakyat di Wonosobo.
Jumlah pendapatan dari usahatani kayu akan terlihat lebih besar di desa-desa yang ikut
serta dalam program sertifikasi (Sertifikasi VLK) maupun LEI. Bahkan desa-desa yang
ikut dalam program sertifikasi kayu di Kabupaten Blora dan Wonogiri, tingkat pendapatan
dari kayunya, dua hingga tiga kali lipat lebih besar bila dibandingkan dengan apa yang
dicapai di desa-desa non-sertifikasi. Secara umum hal ini dapat dimaklumi karena desa-
desa yang dipilih untuk disertifikasi pada umumnnya adalah desa-desa yang memiliki
potensi hutan rakyat cukup luas dan dalam kondisi baik. Selain itu, rata-rata rumahtangga
petani peserta sertifikasi pada umumnya termasuk golongan menengah-atas, yang
secara ekonomi memiliki kekuatan ekonomi lebih baik. Sekalipun diakui bahwa sertifikasi
belum memberikan dampak yang positif terhadap status sosio-ekonomi petani, namun
diakui bahwa program sertifikasi meningkatkan wawasan petani hutan rakyat dalam
penatausahaan usahatani kayu, seperti keterampilan pengukuran pohon dan kayu
sehingga secara tidak langsung petani hutan rakyat dapat meningkatkan posisi tawar
terhadap pedagang dalam pengukuran kayu yang dijual. Secara lengkap rata-rata
tingkat pendapatan per tahun rumahtangga petani hutan rakyat menurut status
sertifikasinya, di tiga kabupaten dapat dilihat pada Gambar 11.
46
Gambar 11. Rata-rata Pendapatan Rumahtangga Petani Hutan Rakyat di Tiga Kabupaten studi
per Tahun menurut Sumber Nafkah dan Status Sertifikasinya, 2012.
Beberapa kesimpulan penting yang perlu ditegaskan kembali dalam analisis di bagian ini
adalah:
(1) ketahanan sistem nafkah rumahtangga petani hutan rakyat tidak dapat
mengandalkan satu jenis sumber nafkah saja atau dengan kata lain, pendapatan
tidak akan mencukupi bila tanpa menggandakan/mengkombinasikan beragam
sumber nafkah;
(2) sekalipun menyumbang cukup signifikan terhadap total pendapatan rumahtangga,
usahatani kayu belum mampu membebaskan rumahtangga petani hutan rakyat dari
kemiskinan;
(3) program sertifikasi SVLK maupun LEI sengaja memilih rumahtangga petani dengan
kontribusi usahatani yang cukup baik terhadap total pendapatan rumahtangga,
dengan maksud untuk meminimalkan resiko kegagalan program tersebut;
(4) semua rumahtangga petani hutan rakyat yang dikaji, baik peserta program
sertifikasi ataupun non-sertifikasi, masih tergolong berada di bawah garis
kemiskinan. Persoalan kemiskinan memberikan dimensi tersendiri terhadap
formalisasi produksi dan perdagangan kayu.
47
Tingkat Pengeluaran Rumahtangga Petani
Selain dari tingkat pendapatan, struktur nafkah rumahtangga petani juga dapat dilihat dari
tingkat pengeluaran rumahtangga. Struktur pengeluaran rumahtangga petani secara
garis besar dibedakan menjadi dua, yaitu: (1) pengeluaran untuk konsumsi pangan
(beras dan lauk pauk) dan; (2) pengeluaran untuk konsumsi non pangan (kesehatan,
energi, pendidikan, pakaian, transportasi, rekreasi, dana sosial dan lain-lain).
Secara umum rata-rata pengeluaran rumahtangga petani di ketiga kabupaten sekitar Rp
14.000.000,- per tahun atau rata-rata pengeluaran perbulan sekitar Rp 1.100.000,-. Dari
ketiga kabupaten, rata-rata tingkat pengeluaran rumahtangga petani hutan rakyat
terbesar terjadi di Kabupaten Wonosobo dengan rata-rata pengeluaran per tahunnya
sekitar Rp 15.0000,000. Angka pengeluaran terendah adalah di Kabupaten Wonogiri.
Secara umum pengeluaran rumahtangga untuk konsumsi non-pangan lebih besar
dibandingkan untuk konsumsi pangan.
Sistem tebang butuh yang hidup di masyarakat merupakan cerminan dari besarnya
pengeluaran rumahtangga petani yang harus dipenuhi pada waktu-waktu tertentu.
Waktu-waktu (kegiatan) yang menurut masyarakat membutuhkan dana terbesar -
berdasarkan hasil diskusi kelompok dengan masyarakat - prioritasnnya sebagai berikut :
(a) hajatan - perkawinan, (b) awal tahun ajaran baru untuk biaya sekolah, (c) hari raya
idul fitri, dan (d) kebutuhan untuk naik haji. Pada waktu-waktu tersebut jumlah pohon
yang ditebang akan sangat meningkat. Dengan sendirinya, hukum ekonomi yang tidak
dapat dihindarkan adalah jatuhnya harga jual kayu manakala banyak petani hendak
menjual kayunya pada waktu yang hampir bersamaan (misal menjelang hari lebaran).
Secara lebih lengkap rata-rata pengeluaran rumahtangga petani hutan rakyat di tiga
kabupaten dapat dilihat pada Gambar 12.
48
Gambar 12. Tingkat Pengeluaran Rata-Rata Rumahtangga Petani Hutan Rakyat per Tahun,
menurut Jenis Pengeluaran di Tiga Kabupaten Studi, 2012.
Sementara itu, bila diperbandingkan tingkat pengeluaran rumahtangga petani hutan
rakyat peserta program sertifikasi kayu dengan rumahtangga petani hutan rakyat non-
sertifikasi secara umum tidak jauh berbeda. Pengeluaran terbanyak pada kedua kategori
ini sama-sama pada non-pangan, dengan besaran yang tidak jauh berbeda. Secara
lengkap perbandingan tersebut dapat dilihat pada Gambar 13.
49
Gambar 13. Tingkat Pengeluaran Rata-Rata Rumahtangga Petani Hutan Rakyat per Tahun,
menurut Jenis Pengeluaran dan menurut Status Sertifikasinya, di Tiga Kabupaten
Studi, 2012
Berdasarkan angka rata-rata pendapatan dan pengeluaran rumahtangga petani hutan
rakyat di tiga kabupaten, secara umum dapat dihitung rata-rata tabungan yang dimiliki
oleh rumahtangga petani. Pada Gambar 14 dapat dilihat perbandingan tingkat tabungan
untuk rumahtangga petani di Kabupaten Wonosobo, Wonogiri dan Blora secara lengkap.
Dari gambar tersebut terlihat tingkat tabungan rumahtangga petani hutan rakyat di
Kabupaten Wonosobo lebih tinggi dibandingkan dua kabupaten yang lain yaitu sekitar
Rp. 10.000.000,- per tahun. Kabupaten Blora menduduki urutan kedua dengan tingkat
tabungan sekitar Rp 4.500.000,- per tahun dan yang terakhir petani di Kabupaten
Wonogiri dengan rata-rata tingkat tabungan hanya sekitar Rp 4.000.000,- per tahun.
Tingkat tabungan ini menjadi indikasi tingkat kesejahteraan rumahtangga petani - yang
jika dilihat secara fisik - dari ketiga kabupaten, rumahtangga petani di Kabupaten
Wonosobo lebih sejahtera jika dibandingkan dengan dua kabupaten yang lain. Hal ini
dapat terjadi karena secara ekologi kondisi alam di Kabupaten Wonosobo lebih baik
dibandingkan dua kabupaten lain yang cenderung kering. Perlu dicatat, bahwa sekalipun
pada bagian sebelumnya dikatakan bahwa secara umum tingkat pendapatan
rumahtangga petani hutan rakyat di tiga kabupaten, untuk semua status sertifikasi,
digolongkan sebagai miskin menurut ukuran Bank Dunia, namun faktanya mereka tetap
50
dalam melakukan konsolidasi nafkah atau menabung. Fenomena ini menjadi menarik
dan melampaui batas-batas logika ekonomi rasional modern. Dalam perhitungan
ekonommi modern, mereka yang tergolong miskin semestinya tidak akan pernah bisa
menabung. Namun, fakta di tiga kabupaten studi membuktikan kenyataan yang berbeda
dari keyakinan umum tersebut.
Gambar 14. Rata-rata Tingkat Tabungan pada Rumahtangga Petani Hutan Rakyat menurut
Status Sertifikasinya, di Tiga Kabupaten Studi, 2012
Dari Gambar 14 dapat disimpulkan beberapa hal. Pertama, terdapat fakta bahwa
sekalipun tingkat pendapatan rumahtangga petani hutan rakyat di tiga kabupaten studi
dikatakan berada di bawah garis kemiskinan menurut standar Bank Dunia, tetapi
faktanya mereka memiliki saving capacity yang positif. Kemampuan menabung sekalipun
bervariasi tingkatannya, dapat ditunjukkan oleh selisih antara tingkat pendapatan rata-
rata dengan tingkat pengeluaran rata-rata lebih dari nol. Dengan kata lain, semua
rumahtangga petani hutan rakyat baik yang berstatus sebagai peserta program sertifikasi
maupun non-sertifikasi, memiliki livelihood security yang positif sekalipun belum tentu
pada batas yang sungguh-sungguh aman.
Kedua, bila dilihat dari kategori sertifikasinya, maka rumahtangga petani hutan rakyat di
Wonosobo yang memiliki livelihood security terbaik dibandingkan Wonogiri ataupun Blora.
Dengan Gambar 14 pula dapat dijelaskan bahwa derajat keberlanjutan atau
(sustainability) dari sistem nafkah rumahtangga petani di tiga kabupaten studi cukup ada
kepastian, namun semua kategori rumahtangga petani di batas-aman yang sangat tipis,
karena selisih antara tingkat pendapatan dan tingkat pengeluaran tidak cukup besar.
Dengan demikian, walau dikatakan memiliki tingkat keberlanjutan sistem nafkah,
namun tetap dalam situasi yang pas-pasan (not sustain enough). Artinya, sedikit saja
51
terdapat gangguan terhadap sistem sosial-ekonomi mereka, maka tingkat kesejahteraan
berpotensi menurun drastis. Kerentanan ini terutama dikhawatirkan bisa terjadi di
Wonogiri dan Blora. Dalam keadaan tingkat keamanan pada sistem nafkah yang masih
belum sepenuhnya aman dan keberlanjutan sistem nafkahnya pun belum sepenuhnya
terjamin, maka prediksi bahwa sertifikasi dengan biaya sendiri (self-financing) menjadi
beban petani, benar adanya. Dengan kata, lain saving capacity yang dapat diciptakan
oleh rumahtangga petani hutan rakyat di tiga kabupaten, sesungguhnya belum
mencerminkan economic readiness mereka untuk terlibat dalam sertifikasi yang masih
diangap mahal biayanya. Sebagai buktinya, para anggota Gapoktanhut Jati Mustika di
Blora tidak dapat melakukan surveillance assessment sertikat SVLK yang berbiaya
sekitar Rp 20.000.000,- untuk satu gapoktanhut di tahun 2012. Alasan ketiadaan dana
menjadikan surveillance tak dapat dilakukan oleh para petani peserta sertifikasi SVLK di
Gapoktanhut Jati Mustika di Blora.
3.3. Strategi Nafkah Rumahtangga Petani Hutan Rakyat
Cara bertahan hidup rumahtangga petani tercermin dari bagaimana masing-masing
rumahtangga melakukan aksi manipulatif terhadap sumberdaya yang tersedia. Scoones
(1998) dalam Dharmawan (2001) membedakan strategi nafkah pada masyarakat
pertanian di pedesaan (terutama di dunia ketiga) pada tiga bentuk, yaitu (1) ekstensifikasi
dan intensifikasi pertanian; (2) pola nafkah ganda (keragaman nafkah); dan (3)
melakukan migrasi ke luar desa. Strategi pertama dan kedua pada umumnya dilakukan
masih dalam konteks optimalisasi pemanfaatan dan pengelolaan terhadap sumberdaya
alam yang ada di dalam desa. Strategi pertama terutama dilakukan dalam upaya
peningkatan produksi pertanian baik dengan cara memaksimalkan input pertanian
maupun dengan memperluas lahan. Strategi kedua adalah sambil melakukan aktivitas
nafkah pertanian, petani juga mencoba memasuki peluang usaha/kerja di luar pertanian.
Strategi kedua dikenal melalui upaya mengkombinasikan sumber-sumber nafkah farm
dan non-farm. Sementara itu strategi ketiga dilakukan dengan meninggalkan daerah asal
yang pada umumnya terjadi karena carrying capacity ekologi di pedesaan sudah berada
di bawah batas minimal sehingga upaya apapun yang dilakukan sudah tidak sanggup lagi
memenuhi kebutuhan hidup rumahtangga petani.
Berdasarkan jenis sumber nafkah pada rumahtangga petani kayu yang terdiri dari tiga
sumber, yaitu pertanian secara luas, usahatani kayu, dan non-pertanian, maka dapat
dikatakan bahwa strategi nafkah utama yang dilakukan rumahtangga petani hutan rakyat
52
adalah strategi kedua yaitu pola nafkah ganda (keragaman nafkah). Pola nafkah ganda
menjadi pilihan utama karena untuk melakukan ekstensifikasi dengan kondisi
ketersediaan lahan yang terbatas sangat sulit dilakukan. Yang masih dimungkinkan
adalah intensifikasi pertanian terutama untuk budidaya padi sawah. Untuk usahatani
kayu, ekstensifikasi cukup sulit dilakukan kecuali dengan pemilihan bibit unggul dan
pemeliharaan tanaman kayu dengan baik. Namun hal terakhir ini jarang dilakukan oleh
petani. Bahkan banyak petani hutan rakyat dengan komoditas kayu jati (di Kabupaten
Wonogiri dan Blora) menggunakan bibit “trubusan” yang berasal dari tunas pohon yang
ditebang sebelumnnya, dalam rangka menghemat biaya. Untuk pemeliharaan, petani
juga jarang melakukan penjarangan tanaman kecuali, jika mereka membutuhkan dana
sehingga mengurangi jumlah tanaman yang ukurannya kecil (piton).
Khusus untuk Kabupaten Wonosobo terutama di Desa Jonggol Sari (peserta sertifikasi
SVLK), strategi nafkah tipe pertama, dilakukan dalam bentuk diversifikasi tanaman dalam
satu luasan lahan. Petani di desa ini membudidayakan tanaman salak pondoh dibawah
tegakan tanaman sengon sehingga pendapatan dari satu lahan yang sama menjadi lebih
maksimal.
Seperti telah diungkapkan sebelumnnya, strategi kedua merupakan pilihan yang paling
memungkinkan bagi rumahtangga petani hutan rakyat di semua kabupaten. Selain
dilakukan melalui kombinasi dari beragam jenis pekerjaan, strategi bentuk kedua ini juga
dilakukan melalui multiple jobs oleh para anggota rumahtangga yang bekerja pada
lapangan kerja/usaha berbeda-beda. Pada Gambar 15 dan 16 dapat dilihat secara lebih
rinci jenis-jenis usaha atau pekerjaan utama dan sampingan yang digeluti/dijalankan
rumahtangga petani hutan rakyat di enam lokasi pada tiga kabupaten studi.
Dalam hal budidaya hutan terdapat perbedaan yang cukup signifikan antara Desa
Jonggol Sari yang sudah mendapatkan sertifikat VLK (SVLK) dengan Desa Besani yang
non-sertifikasi di Kabupaten Wonosobo. Mata pencaharian utama rumahtangga petani
di Jonggol Sari adalaha petani (90 persen). Hanya tiga persen rumahtangga di desa
tersebut yang mata pencahariannya sebagai buruh pabrik/perusahaan swasta dan
selebihnya tersebar dalam berbagai jenis mata pencaharian lain-lain. Kecilnya variasi
pekerjaan di Jonggol Sari selain karena letaknya yang terisolir dari pusat perekonomian,
juga karena secara ekologis desa tersebut cukup subur untuk budidaya tanaman sengon
dan salak yang menjadi salah satu komoditas utama hasil pertanian dan kehutanan pada
wilayah dataran tinggi. Variasi mata pencaharian utama lebih banyak dijumpai di Desa
Besani yang non-sertifikasi SVLK. Hanya 58 persen rumahtangga reponden di desa ini
yang memiliki pekerjaan sebagai petani. Hampir setengah jumlah responden tersebar
53
dalam berbagai jenis pekerjaan seperti terlihat pada Gambar 15. Kondisi ini
dimungkinkan karena letak Desa Besani yang lebih dekat kepada pusat perekonomian,
pemerintahan kecamatan, maupun ke pusat kota kabupaten sehingga berbagai jenis
pekerjaan alternatif di sektor non-farm tersedia lebih beragam.
Gambar 15. Jenis Mata Pencaharian Utama Rumahtangga Petani Hutan Rakyat di Desa-Desa
Kasus di Kabupaten Wonosobo, Wonogiri dan Blora, 2012
Gambar 16. Jenis Mata Pencaharian Sampingan Rumahtangga Petani Hutan Rakyat di Desa-
Desa Kasus di Kabupaten Wonosobo, Wonogiri dan Blora, 2012
Jenis mata pencaharian utama rumahtangga petani pada dua lokasi kajian di Kabupaten
Wonogiri, hampir sama. Baik di Giriwoyo yang mengikuti program sertifikasi LEI maupun
di Batuwarno yang non-sertifikasi, sebagian besar rumahtangga petani memiliki mata
54
pencaharian sebagai petani (di atas 70 persen). Jenis pekerjaan utama lain yang digeluti
rumahtangga di kedua daerah tersebut adalah wiraswasta, PNS (Pegawai Negeri Sipil)
dan pekerjaan lainnya.
Sementara itu untuk Kabupaten Blora dengan karakteristik ekologi wilayah yang relatif
kering dan berbatu kapur sangat cocok untuk tanaman jati. Kesesuaian ekologi ini yang
mengantarkan sebagian besar rumahtangga petani hutan rakyat di kabupaten ini
mengusahakan jati sebagai bagian dari strategi nafkah mereka. Lebih dari 70 persen
rumahtangga di dua lokasi studi di Blora mengakui pertanian sebagai mata pencaharian
utama mereka.
Seperti yang diungkapkan sebelumnnya, pola nafkah ganda terlihat dari beragamnnya
jenis pekerjaan yang dilakukan terutama oleh kepala rumahtangga. Selain Gambar 15
yang menunjukkan jenis pekerjaan utama kepala rumahtangga, pada Gambar 16 dapat
dilihat jenis mata pencaharian sampingan rumahtangga petani hutan rakyat di tiga
kabupaten studi. Di Kabupaten Wonosobo yang diwakili oleh Desa Jonggol Sari dan
Desa Besani memiliki perbedaan yang cukup signifikan. Sebanyak 71 persen petani
hutan rakyat di Desa Jonggol Sari peserta sertifikasi SVLK mengaku memiliki
pekerjaan/usaha di luar sektor pertanian sebagai pekerjaan/usaha atau sumber nafkah
sampingan. Hal ini sangat berbeda dengan Desa Besani yang menempatkan hanya 43
persen rumahtangga petani hutan rakyat saja yang memiliki pekerjaan/usaha/sumber
nafkah mata pencaharian sampingan (luar pertanian).
Kondisi rumahtangga petani hutan rakyat non-sertifikasi di Batuwarno Kabupaten
Wonogiri memiliki mata pencaharian sampingan yang hampir serupa dengan Desa
Jonggol Sari dimana sebagian besar rumahtangga petani memiliki mata pencaharian di
bidang lain atau luar pertanian (78 persen) selain mata pencaharian utamanya sebagai
petani. Hanya 16 persen rumahtangga petani yang mengaku petani murni (tanpa
sampingan) serta 6 persen sebagai buruh tani. Hal ini sangat berbeda dengan
Kecamatan Giriwoyo yang 55 persen rumahtangga petani hutan rakyatnya (peserta
sertifikasi) mengaku memiliki pekerjaan/usaha sampingan di luar pertanian, sementara
45 persen sisanya mengatakan sebagai petani murni.
Kabupaten Blora yang memiliki struktur nafkah yang hampir berimbang antara pertanian,
kayu dan non-pertanian, ternyata memberikan fakta bahwa 53 persen rumahtangga
petani hutan rakyat peserta sertifikasi SVLK di Gapoktanhut Jati Mustika (meliputi 8 desa)
memiliki mata pencaharian/usaha/pekerjaan sampingan di luar pertanian. Sementara itu
47 persen sisanya bermatapencaharian sebagai petani murni. Sementara itu
55
rumahtangga petani hutan rakyat di Kutukan Randublatung Blora, yang berada di sekitar
KPH Perhutani Randublatung mengaku bahwa, karena keterbatasan lapangan kerja,
maka pekerjaan sampingan yang bisa dilakukan adalah menjadi buruh tani (68 persen).
Sisanya, melakukan beragam jenis pekerjaan non-pertanian sebagai mata pencaharaian
sampingan.
Selain startegi nafkah ganda yang mendominasi strategi nafkah rumahtangga petani di
ketiga kabupaten, adanya sumber pendapatan yang berasal dari transfer payment atau
remittance menunjukkan adanya anggota rumahtangga yang melakukan migrasi keluar
daerah untuk mendapatkan pekerjaan. Hal ini menunjukkan strategi ketiga yaitu migrasi
juga merupakan salah satu bentuk strategi rumahtangga petani untuk memenuhi nafkah
rumahtanggannya. Strategi ini menurut hasil diskusi dengan beberapa kelompok
masyarakat terutama dilakukan oleh golongan muda yang banyak bekerja ke kota baik
menjadi buruh pabrik, bangunan maupun pembantu rumahtangga.
Ketiga strategi nafkah yang dilakukan rumahtangga petani sampai sejauh ini menjamin
ketersediaan nafkah yang ada. Keberadaan kayu bagi rumahtangga petani hutan rakyat
sekalipun bukan merupakan sumber nafkah utama, namun merupakan salah satu
penjamin ketersediaan dana (saving account) yang cukup besar untuk kebutuhan
insidental yang memakan biaya banyak. Dengan demikian, disimpulkan bahwa terdapat
beberapa strategi nafkah yang dibangun oleh rumahtangga petani hutan rakyat di tiga
kabupaten yang distudi, yaitu:
(1) Strategi intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian yang merupakan manipulasi dan
optimalisasi pemanfaatan sumberdaya alam di sektor pertanian (termasuk
kehutanan) yang outputnya adalah pendapatan pertanian (farm income).
(2) Strategi nafkah ganda dengan cara mengkombinasikan farm dan non-farm activities,
dimana keduanya saling melengkapi.
(3) Strategi migrasi ke luar desa yang menghasilkan transfer payment atau remittance
sebagai pendapatan ekonomi bagi rumahtangga.
(4) Strategi likuidasi tegakan kayu di masa krisis atau ketika terjadi kebutuhan
insidental yang meningkat.
Perlu ditegaskan bahwa strategi nafkah yang dibangun oleh rumahtangga petani di tiga
kabupaten sesungguhnya tidak sestatis seperti yang digambarkan di atas. Strategi yang
dibangun sesungguhnya sangat rumit menurut waktu, tempat, aktor/pelaku, dan
pemanfaatan skema-skema kelembagaan (modal sosial) lokal yang ada di lokasi.
Penggambaran empat tipe strategi di atas adalah penyederhanaan dari dinamika strategi
nafkah semata-mata agar mudah dipahami tipologinya.
56
4. SINTESIS DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN SERTIFIKASI
4.1. Sintesis dan Kesimpulan
Sistem nafkah rumahtangga petani hutan rakyat disusun oleh berbagai macam strategi
nafkah yang menyebabkan struktur nafkah atau komposisi pendapatan tersusun oleh tiga
sektor ekonomi besar yaitu pertanian (farm), non-pertanian (non-farm) dan kayu. Secara
ekologis, sistem nafkah yang mengandalkan kombinasi farm - non-farm dan hutan
tersebut sangat kuat diwarnai oleh kondisi kawasan, letak wilayah, dan pola landuse
yang telah sejak lama diterapkan sebagai bagian dari adaptasi ekologi di tiga wilayah
kabupaten tersebut. Dalam hal ini, ekosistem darat (upland farming) dengan ciri-khas
tanah pegunungan di Wonosobo dan tanah kering di Wonogiri serta Blora, sangat
menonjol membentuk sistem nafkah dan pola survival rumahtangga petani hutan rakyat.
Posisi usahatani kayu dalam sistem nafkah rumahtangga petani hutan rakyat di tiga
kabupaten sangat penting dan menentukan kedalaman ketahanan ekonomi rumahtangga
di tiga kawasan tersebut. Dari hasil analisis, terbukti bahwa usahatani kayu menjadi
pembentuk struktur nafkah yang penting dalam rumahtangga baik pada status peserta
sertifikasi maupun non-sertifikasi. Kontribusinya terhadap total pendapatan rumahtangga
petani di tiga kabupaten studi berkisar antara 17-30 persen. Angka tersebut tentu sangat
signifikan walaupun bukan menjadi sektor ekonomi terpenting dalam rumahtangga petani.
Usahatani kayu menjadi semacam “benteng pertahanan” untuk mengamankan nafkah
bila terjadi sesuatu yang sifatnya emergency bagi rumahtangga. Sekalipun, sektor
pertanian (farm) dan non-pertanian (non-farm) tetap sebagai penyumbang pendapatan
yang utama terhadap total pendapatan rumahtangga petani hutan rakyat, namun
usahatani kayu memberikan rasa aman dalam sistem nafkah rumahtangga karena
fungsinya sebagai safety valve bagi pemenuhan dana cash di masa tertentu. Dengan
demikian, usahatani kayu merupakan pelengkap tetapi menjadi bagian yang terpenting
dari pengamanan sistem nafkah dan strategi bertahan hidup rumahtangga petani hutan
rakyat. Posisi usahatani kayu diletakkan dalam strategi berjaga-jaga (saving account)
untuk menghadapi masa krisis dan di masa meningkatnya kebutuhan insidental (tebang
butuh). Dalam hal ini, stok tegakan kayu di kebun/tegalan/ladang dapat dilikuidasi setiap
saat oleh petani sebagai strategi mendatangkan pendapatan cash.
Dengan posisi usahatani kayu (baik sengon maupun jati) yang sifatnya menjadi katup
pengaman ekonomi rumahtangga di tiga kabupaten, maka mengandaikan usahatani kayu
rumahtangga petani hutan rakyat sebagai unit bisnis utama yang dijalankan secara
57
rasional berdasarkan pertimbangan benefit-cost dan profit-loss yang ketat sebagaimana
perilaku bisnis kapitalis, adalah sebuah kekeliruan. Usahatani kayu samasekali bukan
unit bisnis rumahtangga petani, melainkan unit income security dalam sistem nafkah.
Fakta di lapangan menunjukkan bahwa usahatani kayu hanyalah saving account atau
safety valve untuk menutupi kebutuhan insidental-mendesak atau mengatasi krisis
ekonomi rumahtangga. Likuidasi stok kayu di kebun/tegalan/ladang petani, dilakukan
tidak secara reguler (terpola) melainkan di waktu-waktu tertentu. Dengan asumsi ini,
mengandaikan sertifikasi sebagai instrumen formalisasi untuk mendisiplinkan unit bisnis
kayu petani yang akan bekerja efektif dalam suasana ekonomi liberatif (penuh
persaingan) dan “logika keuntungan pasar” seringkali akan memberikan kekecewaan
kepada semua pihak. Termasuk dalam hal ini, mengandaikan sertifikasi sebagai driving
force yang mendorong perilaku ekonomi petani agar rasional dalam bisnis kayu melalui
mengendalikan tata-usaha dan tata-kelola kayu serta demi pencapaian SFM, seringkali
tidak akan selalu menuju pada tujuan yang diharapkan. Petani tetap melihat usahatani
kayu sebagai unit subsisten dan tabungan yang hanya akan dilikuidasi di saat diperlukan,
tidak peduli apakah harga sedang baik atau sedang buruk.
Terdapat relasi yang kuat antara dimensi struktur agraria dengan bentuk strategi nafkah
yang dibangun oleh rumahtangga petani hutan rakyat. Persoalan terpenting yang
ditemukan dalam relasi antara struktur agraria, strategi nafkah dan sertifikasi adalah
adanya ketidaksesuaian di antara ketiganya. Pola hubungan sosial produksi agraria yang
berbasis individual-mandiri dalam ushatani kayu, dimana keputusan ekonomi dibuat
secara otonom di tingkat rumahtangga agak tidak selaras dengan tuntutan sertifikasi
kayu yang mengharuskan individu petani merelakan pengelolaan ushatani kayunya
dalam kesatuan wilayah kelompok atau gapoktanhut, yang menghendaki pengambilan
keputusan ekonomi berasaskan kolektivitas. Pemilikan atau penguasaan tanah hutan
rakyat (dimana usahatani kayu berada), sifatnya individual. Petani memiliki kemandirian
untuk memutuskan segala sesuatu terkait eksistensi tanah dengan segala isinya
termasuk keputusan untuk menebang secara otonom. Namun, dalam rejim sertifikasi
kayu berbasiskan kolektivitas, pengelolaan hutan (pola tebang) diselenggarakan dalam
kolektivitas sebagai hasil integrasi unit-unit usaha kayu para petani peserta sertifikasi.
Pendekatan kelompok diperlukan, karena sertifikasi atau formalisasi harus dilakukan
dalam satuan usaha skala agak besar 500-1000 hektar (per unit gapoktanhut) agar
menjamin control of supply kayu yang lebih regulated dan teratur sesui prinsip tata-kelola
yang baik dan SFM. Pendekatan kelompok melalui skema gapoktanhut, telah membuat
satuan pengambilan keputusan mandiri-individual tidak berlaku lagi. Rejim kolektivitas
terutama penting dalam rangka memenuhi tujuan SFM, dimana hutan rakyat harus
58
dipandang sebagai satu hamparan wilayah hutan yang berada di dalam satu manajemen
produksi. Benturan kepentingan antara pemenuhan kebutuhan pengamanan nafkah
(securing livelihood) di tingkat individual versus kepentingan SFM dan good forest
governance di tingkat kolektif terjadi dan menghasilkan suasana tidak nyaman bagi
petani. Ketidaknyamana ini terjadi manakala rumahtangga petani hutan rakyat
dihadapkan pada persoalan mengatasi kebutuhan dana cash yang mendesak atau
insidental yang memaksa dilaksanakannya tebang butuh. Sementara, tuntutan SFM dan
good forest governance tidak menghendaki operasi tebang butuh pada spot dimana
kebun petani tersebut berada. Dilema seperti ini akan terus berlangsung pada petani
peserta program sertifikasi, sampai solusi kelembagaan ditemukan. Dalam kondisi
dilematis seperti ini, transformasi gapoktanhut dari kolektivitas produksi menjadi
kolektivitas koperasi finansial sangat dibutuhkan agar kebutuhan akan keamanan nafkah
rumahtangga petani senantiasa terpenuhi. Pada titik inilah, terdapat relevansi yang kuat
antara kajian struktur agraria (pola hubungan sosial-produksi agraria), sertifikasi dan
sistem keamanan nafkah petani.
Sertifikasi yang memberikan konsekuensi biaya cukup besar lebih dipandang sebagai
beban-baru (economic burden) bagi ekonomi rumahtanga petani hutan rakyat peserta
program sertifikasi. Terlebih lagi, hasil studi ini membuktikan bahwa sesungguhnya
kondisi ekonomi rumahtangga petani sekalipun mampu melakukan formasi saving
(saving formation), tetapi mereka sebenarnya tetap rentan. Bahkan bila dihitung secara
sungguh-sungguh, kebanyakan mereka jatuh di bawah garis kemiskinan yang
menyebabkan tingkat kerentanan ekonominya (economic vulnerability-nya)cukup
mengkhawatirkan. Sekalipun mereka adalah mampu menyisihkan pendapatannya
sebagai tabungan, tetapi kondisi ekonomi yang pas-pasan, luas penguasaan lahannya
yang minimal (kebanyakan tidak lebih dari satu hektar) menyebabkan sertifikasi
menghadapi tantangan tersendiri pada dimensi hafkah. Secara spesifik, rumahtangga
petani Wonosobo adalah yang relatif agak siap (SVLK-ready) untuk menerima program
sertifikasi atau formalisasi produksi dan perdagangan kayu. Namun, bagi rumahtangga
petani hutan rakyat di Wonogiri dan Blora, implementasi sertifikasi akan memberikan
sejumlah kompromi dan resiko ekonomi pada rumahtangga yang cukup signifikan dan
mengkhawatirkan.
Perlu diulangi kembali beberapa temuan studi tentang sistem nafkah rumahtangga petani
hutan rakyat di tiga kabupaten. Dari analisis tentang pemilikan dan penguasaan lahan,
struktur nafkah dan keamanan sistem nafkah dalam kaitannya dengan formalisasi atau
sertifikasi, dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
59
1. Rumahtanga petani hutan rakyat (peserta sertifikasi) biasanya adalah petani
mandiri yang tidak bermitra dengan siapapun kecuali berkelompok tani dalam
gapoktanhut untuk keperluan sertifikasi dan memiliki struktur agraria berciri petani
kecil mandiri dan otonom dalam pengambilan keputusan dimana penguasaan
lahannya yang sempit menjadikannya kebanyakan dikategorikan sebagai
rumahtangga petani gurem. Karena skala usahatani kayunya per rumahtangga
yang kecil dan tidak dominan, menyebabkan sumbangan ekonomi usahatani kayu
terhadap sistem nafkah rumahtangga sekedar sebagai safety valve dan pembentuk
unit-security bagi keseluruhan sistem nafkah petani. Sekalipun kecil, tetapi peranan
usahatani kayu sebagai penyumbang pendapatan, sangatlah penting bagi
rumahtangga terutama di saat genting (tebang butuh).
2. Hutan rakyat biasanya dikembangkan di lahan milik sendiri di lahan kering dalam
sakala amat sangat kecil bahkan kurang dari satu hektar. Penanaman kayu sengon
di Wonosobo atau kayu jati di Wonogiri dan Blora seringkali dilakukan bersama-
sama dengan tanaman lain dalam sistem multiple cropping – agroforestry di lahan
yang dalam istilah lokal disebut sebagai kebon atau tegalan. Pengelolaan usahatani
sengon atau jati dilakukan secara mandiri dan individual dalam organisasi
rumahtangga. Integrasi individu rumahtangga petani ke dalam kelompok
(gapoktanhut), memerlukan penyesuaian-penyesuaian kelembagaan penopang
agar livelihood system rumahtangga petani hutan rakyat tetap aman, tidak
terganggu dan lestari.
3. Rumahtangga petani rakyat mengembangkan hutan rakyat sebagai bagian dari
survival atau bertahan hidup. Fungsi utama hutan rakyat atau kayu (sengon dan
jati) yang ditanam adalah sebagai saving account untuk berjaga-jaga manakala
ada kebutuhan insidental atau krisis ekonomi yang sangat tidak terduga datangnya.
Secara ekonomi, kebanyakan rumahtangga petani hutan rakyat menghadapi
persoalan kemiskinan. Sekalipun, mereka mampu membangun formasi tabungan,
tetapi sesungguhnya tabungannya tidak memungkinkannya untuk mampu
menjamin ketahanan ekonomi jangka panjang. Dengan kondisi demikian, sertifikasi
produksi kayu yang diperkenalkan untuk menjamin good forest governance dan
mewujudkan cita-cita SFM akan sangat beresiko bila hanya mengandalkan sumber-
sumber pendapatan asli dari petani yang bersumberkan dari tiga sektor yaitu farm,
non-farm, dan usahatani kayu.
4. Semua rumahtangga petani hutan rakyat membangun sistem nafkahnya dengan
basis strategi nafkah ganda atau income diversification strategies. Dalam strategi
yang demikian itu, rumahtangga petani tidak mengandalkan sumber nafkah yang
60
tunggal, dimana sumbangan kayu atau hutan rakyat dalam sistem nafkah
rumahtangga berkisar antara 17-30 persen saja pada semua kategori petani.
Sertifikasi produksi kayu dengan memanfaatkan basis pendapatan 17-30 persen
saja, dianggap tidak memadai. Secara umum dapat dikatakan, jikalaupun sertifikasi
dapat dijalankan, maka pendanaan sertifikasi dari rumahtangga petani dipastikan
berasal dari cross subsidy antar sektor – terutama farm dan non-farm income akan
memasok keperluan dana sertifikasi agar tersedia. Faktanya, rumahtangga petani
hutan rakyat melakukan sertifikasi hanya jika ada bantuan. Di Blora, bahkan
surveillance tidak dapat dilakukan karena petani tidak mampu membiayai dari
sumber self-financing.
5. Secara umum rumahtangga petani hutan rakyat memiliki tingkat keamanan nafkah
(livelihood security) dan keberlanjutan nafkah (livelihood sustainability) yang positif,
karena semua kategori petani memiliki saving capacity yang positif. Namun
demikian, derajat keamanan dan keberlanjutan nafkahnya masih pada taraf yang
pas-pasan atau kalaupun boleh dikatakan aman dalam pengertian slightly above
secure level, yang tidak memungkin bagi mereka untuk membiayai sendiri segala
proses sertifikasi di masa depan. Sertifikasi masih dianggap sebagai beban dan
dianggap membahayakan kemanan nafkah petani, sehingga solusi kelembagaan di
tingkat gapoktanhut sangat diperlukan.
4.2. Saran Kebijakan
Dari fakta-fakta di atas, saran kebijakan yang dapat diajukan dalam hal ini adalah
sebagai berikut. Dikarenakan hutan rakyat hanya merupakan penyumbang yang tidak
dominan dalam keseluruhan total pendapatan rumahtangga, yang fungsinya sekedar
untuk memenuhi kebutuhan insidental/tak terduga (tebang butuh) bagi rumahtangga
petani hutan rakyat di tiga kabupaten studi, maka memperlakukan sektor perkayuan
layaknya sebuah usaha bisnis yang profitable dengan memaksakan formalisasi atau
sertifikasi yang berjalan ketat layaknya dilakukan dalam usaha bisnis yang purely-profit
oriented, bukanlah gagasan yang bijaksana. Namun, bila sertifikasi memang dianggap
dan telah diyakini sebagai salah satu dan satu-satunya cara untuk merealisasikan good
forest governance dan cita-cita SFM (sustainable forest management) bahkan dalam
rangka mengurangi emisi karbon dan illegal logging, maka sertifikasi harus dilakukan
dalam pendekatan yang bertahap-tahap. Pada tahap awal, negara mengambil alih
61
pembiayaan sertifikasi dan surveillance dengan segala resikonya, dikarenakan petani
samasekali tidak memiliki kekuatan untuk membiayainya.
Tahap kedua, dengan technical assistance yang ketat dan disiplin, di tingkat gapoktanhut
(sebagai basis operasi dan pengelolaan kesatuan wilayah hutan petani), didirikan unit
bisinis berwatak koperasi yang mengelola kesatuan wilayah hutan gapoktan dengan
manajemen produksi, keuangan, pemasaran, dan organisasi secara modern –
rasionalitas pasar tetapi bernafaskan solidaritas-kolektifif. Pada tahap dimana,
koperasi/gapoktanhut telah dirasakan mampu membenahi organisasinya ke dalam, maka
koperasi yang kemudian mewujud menjadi organisasi bisnis-kolektif yang modern, berani
didorong untuk melakukan kemitraan dengan pihak luar demi memperlancar pemasaran.
Termasuk dalam hal ini adalah peran koperasi yang semakin besar sebagai penyedia
bridging fund bagi anggotanya yang memerlukan tebang butuh. Jalan untuk
mengimplementasikan tahapan-tahapan ini tidaklah linier dan bisa diprediksi waktunya,
oleh karena itu kesabaran dalam pendampingan menjadi kunci utama untuk
memandirikan petani hutan rakyat sehingga mereka benar-benar sertikasi-ready. Tahap
ketiga adalah sertifikasi dan pengawalan koperasi yang berfungsi sekalgus sebagai
gapoktanhut dan juga asosiasi para petani.
4.3. Sumbangan terhadap Dunia Akademik-Saintifik
Pada dasarnya, asumsi rasionalitas ekonomi (insentif ekonomi) yang digunakan oleh
kebijakan sertifikasi sebagai dasar argumentasi utama untuk mengiming-iming petani
hutan rakyat agar berpartisipasi dalam program sertifikasi adalah sebuah kesalahan
teoretik dan filsafati. Kesalahan teoretik ini disebabkan argumennya yang tidak sesuai
dengan rasionalitas moral yang biasanya dianut oleh kebanyakan rumahtangga petani
hutan rakyat di Jawa. Rasionalitas moral petani Jawa mendorong operasi ekonomi
usahatani ataupun unit-unit ekonomi lainnya, samasekali bukan dari alasan/argumen
keuntungan bisnis, melainkan tanggung jawab moral. Lebih spesifik lagi, adanya
keniscayaan sistem nafkah yang mengandalkan pada strategi multiple sources of income
menjadikan keterpaksaan berpartisipasi dalam sertifikasi menjadi “seolah-olah” adalah
kerelaan dan dukungan partisipasi terhadap program sertifikasi di lapangan. Faktanya,
petani mengikuti program sertifikasi di Wonosobo, samasekali bukan karena berharap
reward atau economic incentive yang akan didapatkan dari sertifikasi, melainkan
tersedianya alternative sources of cash-income (dari kebun salak dan non-farm) yang
bisa mendukung pendanaan sertifikasi. Artinya, sepanjang ada multiple sources of
62
income dalam livelihood system hadir cukup kuat dalam rumahtangga petani hutan,
maka sertifikasi produksi kayu bukanlah persoalan yang sulit untuk direalisasikan. Namun,
sertifikasi yang diharapkan bersumber murni dibiayai dari usahatani kayu, menjadi tidak
terpenuhi. Artinya, sertifikasi kayu menghadapi pelunturan makna hakiki, karena
sertifikasi hanya bisa dilakukan bila petani memiliki banyak dukungan sumber nafkah.
Persoalan hilangnya makna sertifikasi menjadi semakin kuat dalam kasus sertifikasi oleh
petani yang menghadapi problematika kemiskinan semakin nyata seperti yang terjadi di
Blora dan Wonogiri. Artinya, keikutsertaan mereka bukan lagi karena hadirnya dukungan
finansial dari sektor ekonomi lain dari dalam rumahtangga petani, melainkan karena
keterpaksaan yang sulit ditolak karena tradisi ketundukan petani terhadap
kebijaksanaan dari negara. Apa yang bisa dikonseptualisasikan dalam hal ini adalah
kesalahan mengambil asumsi dan basis filsafati dan teori sosiologi-ekonomi dalam
program sertifikasi ekonomi hutan rakyat di Jawa, selanjutnya akan memberikan
kekeliruan konsekuensi-konsekuensi kebijakan. Hasilnya, seringkali kebijaksanaan
mengalami deadlock dan tersesat dalam jalan-buntu yang sulit dicari jalan keluarnya.
Studi ini memberikan sumbangan penting bagi perkembangan ilmu pengetahuan,
terutama bagi sosiologi ekonomi pedesaan petani Jawa. Secara teoretik, studi ini
mengkonfirmasi bahwa (berbekal hasil studi kasus rumahtangga petani hutan rakyat) di
Jawa, pertarungan sosiologi Weberian tentang rasionalitas formal versus rasionalitas
moral menjadi isu akademik-saintifik yang terus up to date dalam studi sosiologi ekonomi
pedesaan masyarakat petani Jawa. Ditemukan “batas yang tipis” dan sulit dibedakan
antara “keterpaksaan” dan “kesukarelaan” dalam berpartisipasi pada program-program
pembangunan yang mengusung isyu globalosentrisme (sebagaimana pikiran Escobarian,
Foucauldian) seperti sertifikasi kayu untuk SFM dan penanggulangan illegal logging yang
meniscayakan petani di pedesaan Jawa larut di dalamnya. Studi sosiologi pedesaan
tentang livelihood dan partisipasi pembangunan, diperkaya oleh temuan-temuan
dalam riset ini, yang kemudian memberikan konseptualisasi khas bagi rumahtangga
petani di Jawa (khususnya Wonosobo, Wonogiri, dan Blora) yang boleh dikategorikan ke
dalam tiga kategori kepesertaan atau partisipasi dalam sertifikasi, yaitu:
(1) Alienated participatory – adalah sebuah keikutsertaan dalam program (sertifikasi
produksi kayu) yang diikuti oleh petani tanpa memahami benar tentang apa latar
belakang dan harapan yang dicapai. Keikutsertaan semata-mata karena ketundukan
dan menjaga solidaritas kolektif dalam masyarakat. Pelajaran dari petani hutan
rakyat di Wonogiri memberikan pelajaran akan munculnya konsep ini.
63
(2) Participatory by chance – adalah sebuah partisipasi terhadap program
pembangunan (sertifikasi produksi kayu) oleh rumahtangga petani, bukan karena
kesadaran rasional melainkan karena ada kesempatan untuk ikut. Bukti dari
Wonosobo mendasari konseptualisasi participatory by chance, karena mereka
membiayai sertifikasi hanya karena ada economic chance yang disediakan oleh
sektor ekonomi lain dalam sistem livelihood mereka yaitu sektor farm dan non-farm.
(3) Participatory by stress – adalah partisipasi karena keterpaksaan. Keikutsertaan
dalam program sertifikasi dilakukan walaupun sebenarnya para petani hutan rakyat
yang ikut serta dalam program tersebut dirundung ketidakmampuan ekonomi.
Pelajaran dari rumahtangga petani hutan rakyat yang berpartisipasi dalam program
sertifikasi SVLK di tengah-tengah fenomena kemiskinan di Blora membantu
pemahaman yang menarik akan konsep ini.
Studi sosiologi ekonomi pedesaan terutama sosiologi livelihood mendapatkan penajaman
teoretik dari hasil studi tentang sertifikasi pada rumahtangga petani hutan rakyat di tiga
kabupaten (Wonosobo, Wonogiri, dan Blora) bahwa semakin sulit keadaan ekonomi
petani maka semakin rumit strategi nafkah yang dibangunnya. Proses adaptasi dan
penyesuaian yang dilakukan oleh rumahtangga petani selain bermanuver di dalam ( intra
household), dengan melakukan manipulasi-manipulasi terhadap sumberdaya yang
dikuasainya, juga dilakukan manipulasi kelembagaan eksternal yang berada di luar
organisasi rumahtangga petani. Manuver intra-ekstra household organizational
adjustment dalam rangka mempertahan survival, akibat datangnya sertifikasi, adalah
respons menarik yang ditemukan oleh studi ini dan menyumbang penting pada
pengayaan sosiologi nafkah di masyarakat pedesaan Jawa pada khususnya. Sekalipun
demikian, studi lanjutan diperlukan untuk mempertajam konseptualisasi yang telah
berhasil ditemukan oleh studi ini.
64
DAFTAR PUSTAKA
Chambers, R and Conway, G. R. 1991. Sustainable rural livelihoods: Practical concepts
for the 21st century. IDS Discussion Paper, No. 296, 1-33.
Dharmawan, A. H. 2001. Farm household livelihood strategies and socio-economic
changes in rural Indonesia. Wissenschaftsverlag Vauk. Kiel.
_________. 2007. Sistem penghidupan dan nafkah pedesaan: Pandangan sosiologi
nafkah (livelihood sociology) mazhab barat dan mazhab bogor. Sodality,
Jurnal Transdisiplin Sosiologi, Komunikasi dan Ekologi Manusia, 1/2, 169-192.
Djamhuri, T.L. 2012. The Effect of Incentive Structure to Community Participation in a
Social Forestry Program on State Forest Land in Blora District,
Indonesia. Forest Policy and Economics, Vol. 25, pp. 10-18.
Ellis, F. 2000. Rural livelihoods and diversity in developing countries. Oxford University
Press. Oxford and New York.
Ellis, F and Freeman, H. A. 2005. Rural livelihoods and poverty reduction policies.
Routledge. London and New York.
Kuhnen, F. 1982. Man and Land: An Introduction into the Problems of Agrarian Structure
and Agrarian Reform. Verlag Breitenbach. Fort Lauderdale. Saarbruecken.
Scoones, I. 1998. Sustainable rural livelihoods a framework for analysis. IDS Working
Paper, No. 72, 1-22.
Titus, M.J and Burgers, P.M. 2008. Rural livelihoods, resources, and coping with crisis in
Indonesia: a comparative study. Amsterdam University Press. Amsterdam.
Sihaloho, M. 2004. Konversi Lahan Pertanian dan Perubahan Struktur Agraria Kasus di
Kelurahan Mulyaharja, Kecamatan Bogor Selatan, kota Bogor, Jawa Barat.
Tesis. IPB.
Sitorus, MTF. 2002. Lingkup Agraria (dalam) E. Suhendar, et. al. Menuju Keadilan
Agraria : 70 Tahun Gunawan Wiradi. Akatiga. Bandung.
65
Tacconi, L. 2007. Illegal Logging: Law Enforcement, Livelihoods and The Timebr Trade.
Earthscan. London – Sterling VA.
van Kooten, G.C; Nelson, H.W. Vertinsky, I. 2005. Certification of Sustainable Forest
Management Practices: a Global Perspective on Why Countries
Certify, Forest Policy and Economics, Vol. 7, Issue 6,pp. 857-867
Wiradi, G. 2000. Reforma Agraria : Perjalanan yang Belum Berakhir. Insist, KPA,
Pustaka Pelajar. Yogyakarta.