Upload
vohanh
View
230
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
i
STRUKTUR PENGUASAAN TANAH MASYARAKAT DAN UPAYA
MEMBANGUN KEDAULATAN PANGAN
(Kasus Kampung Sinar Resmi, Desa Sinar Resmi, Kecamatan Cisolok,
Kabupaten Sukabumi, Propinsi Jawa Barat)
RAHMAD SALEH
I34070008
DEPARTEMEN SAINS
KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2011
i
ABSTRACT
RAHMAD SALEH. Community’s Land Tenure Structures and Effort to Built
Food Sovereignity: A case study in Village Sinar Resmi, Subdistrict Cisolok,
District Sukabumi, West Java Province (Under the Supervision of Heru
Purwandari).
The aim of this research are to analyze how the connection of the land
tenure structure to build food sovereignty and to analyze how the local community
realized their food sovereignty. This research is done at village Sinar Resmi, sub-
district Cisolok, district Sukabumi, West Java province with focus land tenure
structure of agriculture. This research is done with fuse two approach,
quantitative and qualitative. The quantitative data were collected by using survey
method on 31 sample. The sample were selected by using stratified random
sampling based on their land tenure. The qualitative data were collected by in-
depth interview, Focus Group Discussion and observation. The respondent were
selected by using snowball method. Result from this research unfolds that found
connection land tenure structure to build food sovereignty. It realized by way of
local food institution to bring it possible.
Keyword: Food Sovereignty, Land Tenure, Food Institution
ii
RINGKASAN
RAHMAD SALEH. I34070008. STRUKTUR PENGUASAAN TANAH MASYARAKAT DAN UPAYA MEMBANGUN KEDAULATAN PANGAN, Kasus Kampung Sinar Resmi, Desa Sinar Resmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Propinsi Jawa Barat. (Dibawah Bimbingan HERU PURWANDARI).
Masyarakat Kampung Sinar Resmi merupakan masyarakat pertanian
dimana tanah merupakan bagian yang penting. Tanah bukan hanya sebagai tempat
memproduksi bahan pangan, tetapi juga menjadi dasar kehidupan sosial.
Penguasaan tanah akan mempengaruhi bagaimana masyarakat menciptakan
kemandirian pangan. Konsep kemandirian ini tergambar dalam “kedaulatan
pangan” yang memprioritaskan produksi pangan untuk memenuhi kebutuhan
sendiri. Tercapainya kedaulatan pangan membutuhkan struktur penguasaan tanah
yang merata dan adil.
Satuan usaha pertanian di masyarakat Kampung Sinar Resmi rata-rata
sangat kecil. Hal ini berdampak pada status mereka dalam pengusahaan lahan
pertanian. Status masyarakat dalam pengelolaan dapat berbeda sesuai dengan
kemampuan mengakses tanah. Proporsi petani pemilik penggarap lebih besar,
namun luasan yang dimiliki sebagian masih sedikit. Sebagian besar masyarakat
Kampung Sinar Resmi memiliki tanah kurang dari 0.25 hektar.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh struktur
penguasaan tanah masyarakat yang pada umumnya sempit dalam upaya
membangun kedaulatan pangan serta menganalisis strategi masyarakat Kampung
Sinar Resmi dalam membangun kedaulatan pangan.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan metode survai
menggunakan kuesioner serta pendekatan kualitatif dengan wawancara
mendalam. Penentuan responden dilakukan dengan teknik stratified random
sampling.
Bentuk–bentuk penguasaan tanah yang berkembang di masyarakat yaitu
milik, sewa, sakap, dan gadai. Masyarakat dapat juga mengelola lahan komunal
yang dijadikan huma sebagai sumber bahan pangan rumahtangga. Dalam proses
pengelolaan huma maupun sawah diatur dalam adat Kasepuhan Sinar Resmi.
iii
Pola penguasaan lahan berkaitan dengan kelembagaan pangan lokal dalam
membangun kemandirian rumahtangga. Pada masyarakat Kasepuhan,
kelembagaan pangan lokal berperan besar dalam mewujudkan kedaulatan pangan.
Hal tersebut dapat dilihat peran leuit yang besar bagi masyarakat. Leuit bukan
hanya sebagai tempat menyimpan hasil pertanian saja tetapi juga sebagai jaminan
pangan rumahtangga. Proses pengusahaan pertanian juga memperhatikan peran
wanita. Kegiatan pertanian memberikan tugas-tugas yang seimbang kepada
wanita sehingga peran dalam pembangunan cukup besar.
Masyarakat lokal juga menentukan arah kemandirian yang berkelanjutan.
Masyarakat lokal secara tradisional memiliki peraturan yang menjaga kelestarian
lingkungan sehingga sumberdaya tetap terjaga dari kerusakan. Pada akhirnya,
masyarakat lokal dengan penguasaan tanah yang adil akan membangun
kedaulatan pangan yang berkelanjutan.
iv
STRUKTUR PENGUASAAN TANAH MASYARAKAT DAN UPAYA
MEMBANGUN KEDAULATAN PANGAN
(Kasus Kampung Sinar Resmi, Desa Sinar Resmi, Kecamatan Cisolok,
Kabupaten Sukabumi, Propinsi Jawa Barat)
RAHMAD SALEH
I34070008
SKRIPSI
Sebagai Bagian Persyaratan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
pada Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN SAINS
KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2011
v
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang disusun oleh :
Nama Mahasiswa : Rahmad Saleh
NRP : I34070008
Program Studi : Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
Judul : Struktur Penguasaan Tanah Masyarakat dan Upaya
Membangun Kedaulatan Pangan (Kasus Kampung Sinar
Resmi, Desa Sinar Resmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten
Sukabumi, Propinsi Jawa Barat)
Dapat diterima sebagai syarat kelulusan untuk memperoleh gelar sarjana
Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Fakultas Ekologi Manusia,
Institut Pertanian Bogor.
Menyetujui,
Dosen Pembimbing
Heru Purwandari, SP, M.Si
NIP. 19790524 200701 2 001
Mengetahui,
Ketua Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor
Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, M.S
NIP: 19550630 198103 1 003
Tanggal Lulus Ujian:
vi
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI PENELITIAN
YANG BERJUDUL “STRUKTUR PENGUASAAN TANAH
MASYARAKAT DAN UPAYA MEMBANGUN KEDAULATAN PANGAN
(KASUS KAMPUNG SINAR RESMI, DESA SINAR RESMI,
KECAMATAN CISOLOK, KABUPATEN SUKABUMI, PROPINSI JAWA
BARAT)” BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM
PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN
TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN. DEMIKIAN PERNYATAAN INI
SAYA BUAT DENGAN SESUNGGUHNYA.
Bogor, Oktober 2011
RAHMAD SALEH
I34070008
vii
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama lengkap Rahmad Saleh, dilahirkan di Panyabungan
tanggal 26 Nopember 1988 sebagai anak kedua dari empat bersaudara dari
pasangan Sukri Harahap dan Salmah Siregar.
Penulis mengawali pendidikan formal di SD Negeri 3 Panyabungan tahun
1995-2001. Kemudian menempuh pendidikan di SMP Negeri 1 Panyabungan
tahun 2001-2004 dan pendidikan menengah atas di SMA Negeri 2
Padangsidimpuan tahun 2004-2007. Penulis melanjutkan kuliah di Institut
Pertanian Bogor melalui Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) tahun 2007 dan
diterima sebagai mahasiswa di Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan
Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia. Selain itu, penulis mengambil minor
Pengembangan Usaha Agribisnis di Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi
dan Manajemen.
Selama menempuh pendidikan di IPB, penulis aktif di organisasi
kemahasiswaan yakni Himpunan Mahasiswa Peminat Ilmu-ilmu Komunikasi dan
Pengembangan Masyarakat (HIMASIERA) FEMA IPB 2008-2010. Selain itu
penulis juga termasuk dalam anggota Organisasi Mahasiswa Daerah Mandailing
Natal (IKMAMADINA-Bogor) dan aktif dalam berbagai kegiatan kepanitiaan
serta lomba karya tulis ilmiah seperti Program Kreativitas Mahasiswa (PKM).
viii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah
memberikan rahmat serta kenikmatan yang melimpah, sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi dengan Judul “STRUKTUR PENGUASAAN TANAH
MASYARAKAT DAN UPAYA MEMBANGUN KEDAULATAN PANGAN”.
Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar sarjana
pada Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.
Tujuan penulisan skripsi ini adalah menganalisis pengaruh penguasaan
tanah yang berkembang di masyarakat terhadap kondisi pangan lokal, serta
menganalisis masyarakat Kampung Sinar Resmi dalam membangun kedaulatan
pangan lokal yang sebagaimana masyarakat tersebut hidup dalam pertanian yang
subsisten.
Penulis sadar bahwa dalam penulisan skripsi ini masih belum sempurna.
Semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi semua pihak, khususnya pihak yang
terkait dengan penelitian ini. Semoga Allah SWT selalu memberikan petunjukNya
kepada kita semua.
Bogor, Oktober 2011
Penulis
ix
UCAPAN TERIMAKASIH
Ucapan terima kasih pertama kali penulis tujukan kepada Allah SWT atas
segala nikmat dan rahmat yang dianugerahkan kepada penulis serta kepada Nabi
besar Muhammad SAW sang penuntun manusia menuju jalan terang. Penulis juga
mengucapkan terima kasih kepada semua pihak terutama kepada:
1. Ibunda Salmah Siregar dan Ayahanda Sukri Harahap yang mencintai
dengan luar biasa serta memberi dukungan buat penulis.
2. Heru Purwandari, SP, M.Si selaku dosen pembimbing yang telah
meluangkan waktu untuk membimbing penulis hingga skripsi ini
diselesaikan.
3. Adik penulis Hesty Arianna Harahap dan Yulia Afsari Harahap yang telah
mendukung penulis, I love you so much.
4. Evy Syafrina Harahap yang selalu mengingatkan penulis untuk tugas akhir
dan memberikan dukungan yang luar biasa. Mora Aliwardi - bere, yang
telah mendukung tuang.
5. Titania Aulia yang bersama penulis dalam kegiatan bimbingan.
6. Bagus Rudiono, Ali Sulton, Salman Alfaris, Trimarlita, Hirma Azmawati,
Amanda Anggraeni yang telah berjuang bersama dengan penulis.
7. Dani Ratmoko, Andra D, Mia C, Anis yang telah banyak membantu di
lokasi penelitian.
8. Pak Amil, Abah Asep dan Pak Omid yang banyak memberikan bantuan
dan pengetahuan mengenai lokasi penelitian
9. Andi Siregar, Royhan, dan Abdul Husein yang telah memberikan
semangat.
10. Teman-teman KPM44 yang telah berjuang bersama dengan semangat dan
saling berbagi di LSI dan di manapun.
Semua pihak yang telah memberikan dorongan, doa, semangat, bantuan dan
kerjasama selama ini.
x
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI………………………………………………………………. x
DAFTAR TABEL…………………………………………………………. xii
DAFTAR GAMBAR………………………………………………………. xiv
DAFTAR LAMPIRAN……………………………………………………. xv
I. PENDAHULUAN……………………………………………………….. 1
1.1 Latar Belakang…………………………………………………….. 1 1.2 Perumusan Masalah………………………………………………... 3 1.3 Tujuan Penelitian…………………………………………………... 4 1.4 Kegunaan Penelitian……………………………………………….. 4 II. PENDEKATAN TEORITIS…………………………………………... 5
2.1 Tinjauan Pustaka…………………………………………………... 5 2.1.1 Kedaulatan Pangan…….…………………………………… 5 2.1.2 Penguasaan Tanah……..……………………………………. 6 2.1.2.1 Sewa………………………………………………..….. 7 2.1.2.2 Hak Gadai………………………...…………………… 8 2.1.2.3 Bagi Hasil……………………………………………… 8 2.1.3 Sistem Pemilikan Tanah……………………………………. 10 2.1.4 Lapisan Sosial Masyarakat…………………………………. 10 2.1.5 Konsep Kelembagaan: Persfektif Kelembagaan……………. 12 2.1.6 Konsep Kelembagaan Pangan……………………………… 13 2.1.7 Lumbung Pangan…………………………………………… 15 2.2 Kerangka Pemikiran ...…………………………………………….. 16 2.3 Hipotesis Penelitian..………………………………………………. 18 2.4 Definisi Konseptual………………………………………………... 18 2.5 Definisi Operasional.……………………………………………… 19 III. PENDEKATAN LAPANG …………………………………………… 21
3.1 Lokasi dan Waktu…….………………………………..…………... 21 3.2 Metode Penelitian………………………………………………….. 21 3.3 Teknik Pengambilan Sampel….…………………………………… 21 3.4 Teknik Pengumpulan dan Analisis Data…………………………... 23 IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN……………………… 26
4.1 Profil Desa…………………………………………………………. 26 4.1.1 Kondisi Topografi…………………………………………….. 26 4.1.2 Kondisi Demografi.…………………………………………… 27 4.2 Profil Kasepuhan Sinar Resmi..…………………………………… 30 4.2.1 Sejarah Kasepuhan Sinar Resmi……………………………… 30 4.2.2 Gambaran Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi……………… 32 4.3 Struktur Kelembagaan Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi..…….. 33 4.4 Aturan Adat, Sanksi, dan Monitoring terhadap Aturan….………... 35 V. STRUKTUR PENGUASAAN TANAH MASYARAKAT SINAR
RESMI…………………………………………………………….….... 38
xi
5.1 Pola Pemilikan Lahan………………………………………….…... 38 5.2 Pola Penguasaan Lahan…………….……………………………… 40 5.3 Hubungan Struktur Penguasaan Tanah terhadap Kelembagaan
Pangan Lokal………………………………………………………
42 5.4 Struktur Penguasaan Tanah dalam Membangun Kedaulatan
Pangan…………………………………………………………….
46 5.5 Ikhtisar…………………………………………………………….. 48 VI. MENUJU KEDAULATAN PANGAN MASYARAKAT KAMPUNG
SINAR RESMI………………………………………………………..
49
6.1 Karakteristik Kedaulatan Pangan……….…………………………. 49 6.2 Sistem Pertanian Lokal…………………………………………….. 49 6.3 Pertanian Agro-ekologis…………………………………………… 56 6.4 Lumbung Pangan (leuit): Jaminan Pangan Masyarakat…..……….. 59 6.5 Kontrol Komunitas atas Sumberdaya Produktif………...………… 61 6.4 Ikhtisar…………………………………………………………….. 65 VIII. PENUTUP……………………...……………………………….…… 67
8.1 Kesimpulan………………………………………………………... 67 8.2 Saran……………………………………………………………….. 67 DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………... 69
LAMPIRAN……………………………………………………………….. 71
xii
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Rincian Metode Pengumpulan Data………………………………. 24
Tabel 2. Jumlah Penduduk dan Kepala Keluarga (KK) menurut Jenis Kelamin di Sinar Resmi Tahun 2009………………………………
27
Tabel 3. Jumlah Penduduk menurut Tingkat Usia, Kelompok Pendidikan, dan Kelompok Tenaga Kerja di Desa Sinar Resmi Tahun 2009…..
28
Tabel 4. Jumlah Penduduk menurut Mata Pencaharian di Desa Sinar Resmi Tahun 2009…………………………………………………..…….
28
Tabel 5. Penggunaan Lahan di Desa Sinar Resmi Tahun 2009..…………… 29
Tabel 6. Jumlah dan Persentase Penduduk menurut Luas Pemilikan Tanah di Desa Sinar Resmi Tahun 2009…………………………………..
39
Tabel 7. Jumlah dan Persentase Penduduk menurut Status Garapan di Kampung Sinar Resmi Tahun 2011.……………..………………...
39
Tabel 8. Jumlah dan Persentase Penduduk menurut Luas Pemilikan Tanah di Kampung Sinar Resmi Tahun 2011…………………………..…
40
Tabel 9. Jumlah dan Persentase Penduduk menurut Luas Penguasaan Tanah di Kampung Sinar Resmi Tahun 2011..…………………….
41
Tabel 10. Jumlah dan Persentase Penduduk menurut Luas Penguasaan Huma di Kampung Sinar Resmi Tahun 2011………………….…..
42
Tabel 11. Jumlah dan Persentase Penduduk menurut Luas Penguasaan Tanah dengan Cara Gadai Tahun 2011...………………………….
44
Tabel 12. Jumlah dan Persentase Penduduk menurut Luas Penguasaan Tanah dengan Cara Maro Tahun 2011……..………………...........
46
Tabel 13. Tahapan Kegiatan Menanam Padi di Huma menurut Bulan dan Pelaksana di Kampung Sinar Resmi Tahun 2011…………………
50
Tabel 14. Tahapan Kegiatan Menanam Padi di Sawah menurut Bulan dan Pelaksana di Kampung Sinar Resmi Tahun 2011………………….
51
Tabel 15. Jumlah Padi yang Dihasilkan Responden menurut Luas Penguasaan Tanah di Kampung Sinar Resmi Tahun 2011………...
54
xiii
Tabel 16 Jumlah dan Persentase Penduduk menurut Luas Penguasaan Tanah dan Jumlah Leuit yang Dimiliki di Kampung Sinar Resmi Tahun 2011………………………………………………………...
59
Tabel 17. Rata-rata Jumlah Padi yang Diberikan ke Leuit Sijimat di Kampung Sinar Resmi Tahun 2011………………………………..
61
Tabel 18 Jenis Padi Lokal yang Digunakan menurut Jenis Lahan di Kampung Sinar Resmi Tahun 2011………………………………..
63
xiv
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Kerangka Pemikiran………………………………………………… 18
Gambar 2. Gambaran Populasi dan Sampel.……………………………………. 23
Gambar 3. Struktur Kelembagaan Adat Kasepuhan Sinar Resmi………………. 33
xv
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Peta Desa Sinar Resmi………………………………………….. 72
Lampiran 2. Dokumentasi Penelitian………………………………………… 73
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Globalisasi “neoliberal” menyebabkan kondisi dimana 105 dari 149 negara
miskin dunia ketiga menjadi pengimpor pangan bersih, ini berarti negara-negara
tersebut tidak memiliki kemampuan yang memadai untuk memproduksi
pangannya sendiri. Kebijakan-kebijakan neoliberal merusak kedaulatan pangan
karena lebih mementingkan perdagangan internasional daripada hak-hak rakyat
atas pangan. Kebijakan-kebijakan ini justru hanya meningkatkan ketergantungan
rakyat pada impor agricultural dan mengintensifkan peng-korporatisasian
pertanian (Malonzo, 2007).
Prinsip dan strategi neoliberal untuk mencapai tujuan ketahanan pangan
yang telah dijalankan oleh institusi-institusi multilateral seperti International
Monetary Fund (IMF), World Bank (WB), dan World Trade Organization (WTO)
menyebabkan semakin buruknya kondisi pangan di daerah-daerah pedesaan.
Institusi-institusi tersebut mengharuskan suatu negara untuk menerapkan
kebijakan perdagangan, makroekonomi, dan sektoral yang melemahkan daya
hidup petani-petani kecil. Rekonseptualisasi ketahanan pangan ini pada akhirnya
hanya menguntungkan negara-negara dan perusahaan-perusahaan paling kuat
yang terlibat dalam perdagangan dan investasi pangan juga agribisnis. Kebijakan
perdagangan neoliberal ini membanjiri pasar-pasar lokal dengan bahan-bahan
pangan impor murah karena adanya praktek dumping yang menyebabkan petani
lokal tidak mampu bersaing.
Pertanian kapitalis yang identik dengan industrialisasi sering menganggap
sumberdaya seperti tanah merupakan input produksi yang harus digunakan
sebesar mungkin untuk memperoleh keuntungan. Pertanian di bawah pengelolaan
diasumsikan berpotensi menghasilkan produksi yang maksimal sehingga dapat
meningkatkan kesejahteraan petani. Pada kenyataannya, pertanian seperti ini tidak
efektif untuk meningkatkan kesejahteraan petani. Sumberdaya seperti tanah justru
rusak karena tidak memperhatikan keberlanjutannya. Selain itu timbul masalah
seperti perebutan tanah dan pudarnya kearifan lokal. Berbeda dengan pertanian
2
yang dilakukan oleh masyarakat lokal yang secara tradisional memandang tanah
secara spiritualistik dan sakral. Bagi masyarakat lokal, tanah bukanlah sekedar
suatu sumberdaya produksi, suatu habitat, atau batas politik. Tanah memiliki
makna lebih dari itu. Tanah merupakan basis bagi organisasi sosial, sistem
ekonomi, dan identifikasi kultural masyarakat (Vicente; Carino dalam La via
Campesina, et.al, 2008).
Indonesia sebagai negara agraris yang sebagian besar penduduk
berorientasi pada pertanian, tanah merupakan sumberdaya yang sangat penting
(Tjondronegoro, 1999). Tanah merupakan faktor utama dalam kedaulatan pangan.
Sifat tanah relatif tidak bertambah, sementara kebutuhan tanah untuk keperluan
pangan semakin meningkat. Seiring dengan hal tersebut akan menimbulkan
kompetisi di masyarakat untuk menguasainya.
Penguasaan atas tanah mempengaruhi hubungan manusia dengan
ketersediaan pangan karena tanah merupakan sumberdaya yang berhubungan
dengan produksi. Ketimpangan dalam penguasaan tanah akan mempengaruhi
kemampuan produksi. Peningkatan produksi pertanian terutama pangan, sangat
diharapkan untuk mencapai kondisi yang dapat meningkatkan kualitas hidup.
Praktek penguasaan tanah yang berkembang di masyarakat akan menunjukkan
bagaimana masyarakat akan membangun kedaulatan pangan. Penguasaan tanah
yang merata memberikan kesempatan masyarakat untuk memanfaatkan
sumberdaya guna mencapai kemandirian dalam memenuhi kebutuhan pangan.
Sebaliknya, penguasaan yang timpang akan membawa masyarakat pada kondisi
yang tidak mandiri pangan. Bahkan, akan menjadikan banyak konflik yang
meluas. Brazil merupakan contoh negara berkembang yang berhasil dalam
pertanian dengan mengorganisir masyarakat tak bertanah untuk memiliki tanah
yang kemudian mengolahnya dengan skala kecil. Secara total, usaha pertanian
keluarga menyumbang sekitar 40 persen dari total nilai produksi secara nasional,
meski hanya memiliki 30.5 persen lahan pertanian. Usaha-usaha pertanian
tersebut mempekerjakan 76.9 persen dari jumlah tenaga kerja di bidang pertanian,
meski hanya mendapatkan 25.3 persen dari total pertanian (Pengue dalam La Via
Campesina, 2008).
3
Usaha mencapai kedaulatan pangan yang hakiki perlu memperhatikan
kelembagaan yang berkembang di masyarakat terutama yang berkaitan dengan
pengaturan pangan. Melalui kelembagaan inilah pihak-pihak yang terkait dapat
berinteraksi dan bersama-sama mencari solusi atas masalah yang muncul di
masyarakat.
Masyarakat Kampung Sinar Resmi merupakan masyarakat yang berada di
wilayah Desa Sinar Resmi. Masyarakat Kampung Sinar Resmi pada umumnya
merupakan masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi. Kelembagaan lokal yang
berkembang di masyarakat mengarahkan masyarakat kepada pola-pola tertentu.
Masyarakat ini hampir seluruhnya bergantung pada pertanian. Pertanian yang
berkembang masih bersifat tradisional baik pengolahan maupun pengaturannya.
Dalam setahun masyarakat kasepuhan hanya mempunyai siklus panen sekali. Pola
pertanian demikian berangkat dari pandangan tradisional bahwa tanah
diasosiasikan sebagai ibu yang dihargai; yang hanya dapat melahirkan sekali
dalam setahun. Namun, pada masa paceklik masyarakat kasepuhan dapat bertahan
dari kondisi kekurangan pangan. Kemampuan bertahan dalam siklus panen
demikian menunjukkan bahwa terdapat mekanisme pengembangan sistem
kedaulatan pangan.
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang, diketahui Kampung Sinar Resmi mempunyai
siklus panen satu kali setahun. Namun masyarakat bisa mencukupi kebutuhan
pangan rumahtangga selama satu tahun. Hal tersebut tidak lepas dari peran
kondisi penguasaan tanah dan strategi masyarakat dalam membangun kedaulatan
pangan.
Penguasaan tanah masyarakat di Kampung Sinar Resmi rata-rata kurang
dari 0.25 hektar. Kondisi ini menyebabkan produksi pangan lokal sangat rentan
ketika musim paceklik. Penting untuk dilihat bagaimana keterkaitan struktur
penguasaan tanah dengan kemampuan komunitas membangun sistem kedaulatan
pangan. Secara khusus pertanyaan penelitian yang diajukan yaitu:
1. Bagaimana sistem penguasaan tanah yang kurang dari 0.25 hektar dapat
menghasilkan kedaulatan pangan.
4
2. Bagaimana strategi masyarakat Sinar Resmi membangun kedaulatan
pangan.
1.3 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penulisan penelitian yakni:
1. Mendeskripsikan pengaruh struktur penguasaan tanah yang kecil dalam
membangun kedaulatan pangan.
2. Menganalisis strategi masyarakat Sinar Resmi dalam membangun
kedaulatan pangan.
1.4 Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan berguna untuk:
1. Menambah wawasan serta ilmu pengetahuan bagi peneliti dalam mengkaji
secara ilmiah mengenai struktur penguasaan tanah dalam membangun
kedaulatan pangan
2. Menambah literatur bagi kalangan akademisi dalam mengakaji hal-hal
yang berkaitan dengan kedaulatan pangan dan upaya untuk mencapainya
di masyarakat
3. Acuan dalam pelaksanaan pembangunan bagi kalangan non akademisi,
seperti masyarakat, swasta, dan pemerintah dalam menentukan kebijakan
untuk meningkatkan kedaulatan pangan masyarakat.
5
BAB II
PENDEKATAN TEORITIS
2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Kedaulatan Pangan
Konsep kedaulatan pangan ini dikembangkan oleh La Via Campesina et
al. (2008) yang menjelaskan bahwa kedaulatan pangan memprioritaskan produksi
pertanian lokal untuk mendukung ketersediaan bahan pangan untuk masyarakat.
La Via Campesina menjelaskan kedaulatan pangan merupakan hak asasi manusia.
Kedaulatan pangan mensyaratkan reforma agraria yang berkaitan dengan hak atas
pangan yang mencukupi dan hak atas tanah.
Kedaulatan pangan adalah hak masyarakat dalam menetapkan kebijakan
pertanian dan pangannya. Kedaulatan pangan mencakup (Bonnie, 2003):
1. Memprioritaskan produksi pertanian lokal untuk memberi makan rakyat, akses petani dan tunakisma atas tanah, air benih, dan kredit. Karena itu perlu menjalankan land reform, akses atas benih, dan melindungi air sebagai barang publik untuk didistribusikan berkelanjutan.
2. Hak petani untuk memproduksi makanan dan hak konsumen untuk menentukan apa yang dikonsumsi, bagaimana diproduksi dan siapa yang memproduksi.
3. Harga pertanian terkait dengan biaya produksi, misalkan dengan mengenakan pajak atas impor berlebihan yang murah.
4. Rakyat ikut serta dalam penentuan pemilihan kebijakan pertanian. 5. Pengakuan atas hak-hak petani perempuan, yang memegang peran utama
dalam produksi pertanian dan pangan.
Kedaulatan pangan mempunyai fokus pada beberapa elemen kunci.
Elemen tersebut meliputi produksi pangan untuk pasar domestik dan lokal serta
memanfaatkan usahatani petani kecil dan keluarga yang agro-ekologis, menjamin
akses tanah dan sumber-sumber daya yang vital, menjamin terciptanya harga yang
adil, menghormati peran wanita dalam produksi pangan, akses atas sumberdaya,
mendorong kontrol komunitas atas sumberdaya produktif, dan melindungi benih
dari pematenan.
Jaminan kepemilikan lahan dan/atau mendapatkan akses merupakan suatu
yang vital untuk menciptakan keterjaminan pangan tanpa jaminan dan/atau hak
tersebut, sulit untuk mengalokasikan sumberdaya untuk mencapai kedaulatan
6
pangan. Langkah yang tepat untuk mencapai hal tersebut adalah melalui reforma
agraria yang tepat yang berwatak distribusi merata serta peraturan-peraturan hak-
hak yang sesuai dengan sosio-kultural masing-masing.
2.1.2 Penguasaan Tanah
Distribusi penguasaan tanah di kalangan rumahtangga petani di pedesaan
akan membentuk pola penguasaan tanah. Maksud penguasaan tanah adalah luas
tanah yang dikuasai mengacu pada penguasaan yang efektif (bukan pemilikan
tanah yang sebenarnya), berdasarkan hak milik, menyakap, menyewa, dan bagi
hasil (Wiradi, 2008). Menurut Wiradi, penyewa adalah rumahtangga petani yang
menguasai tanah orang lain dengan sewa tetap, sedangkan penggarap adalah
penguasaan tanah oleh rumahtangga tidak hanya berupa sewa tetapi juga bagi
hasil.
Selanjutnya bentuk-bentuk penguasaan tanah secara adat yang terdapat di
Pulau Jawa menurut Wiradi (2008) adalah:
1. Tanah yasan, yaitu tanah yang didapatkan seseorang karena membuka
hutan atau tanah liar untuk dijadikan tanah garapan. Hak seseorang berasal
dari fakta bahwa dialah, atau nenek moyangnya yang semula membuka
tanah tersebut. Istilah yasa atau yoso dalam Bahasa Jawa berarti membuat
sendiri atau membangun sendiri (bukan membeli). Bentuk hak atas tanah
ini dalam UUPA dikategorikan hak milik.
2. Tanah gogolan, yaitu tanah pertanian milik masyarakat desa yang hak
pemanfaatannya dibagi-bagi kepada sejumlah petani (biasanya disebut
sebagai penduduk inti) secara tetap maupun secara giliran berkala.
Pemegang hak garap tanah ini tidak berhak untuk menjualnya atau
memindahtangankan hak tersebut. Dalam konsep barat tanah gogol
dikategorikan sebagai pemilikan komunal.
3. Tanah titisara (titisoro, tanah kas desa, tanah bondo desa) adalah tanah
pertanian milik desa yang secara berkala biasanya disewakan atau
disakapkan dengan cara dilelang terlebih dahulu. Hasil menjadi kekayaan
desa yang biasanya dipergunakan untuk keperluan-keperluan desa, baik
sebagai sumber dana anggaran rutin maupun untuk pembangunan.
7
4. Tanah bengkok yaitu tanah pertanian (umumnya sawah) milik desa yang
diperuntukkan bagi pamong desa terutama kepala desa (lurah) sebagai
gajinya selama menduduki jabatan tersebut. Setelah tidak lagi menjabat,
maka tanah tersebut dikembalikan kepada desa untuk diberikan kepada
pejabat yang baru.
Hubungan antara manusia dengan sesamanya dan sumberdaya tanah dalam
penguasaan tanah tidaklah bersifat statis melainkan dinamis. Dinamika dalam
penguasaan tanah menyangkut pemilikan maupun penguasaan tanah. Berdasarkan
sifatnya, perubahan penguasaan tanah ada yang bersifat sementara dan tetap.
Penguasaan tanah yang bersifat sementara dilakukan melalui sewa menyewa,
gadai, dan bagi hasil sedangkan perubahan penguasaan tanah yang bersifat tetap
dilakukan melalui waris dan transaksi jual beli.
Petani miskin yang tidak mempunyai tanah garapan dapat menguasai
tanah melalui hubungan penguasaan sementara dengan petani lain (Wiradi, 2008),
karena pemilik tanah luas biasanya tidak selalu menggarap sendiri (Breman dan
Wiradi, 2004).
2.1.2.1 Sewa
Breman dan Wiradi (2004) mendefinisikan sewa yakni menyewakan tanah
untuk satu atau lebih musim dengan mendapat sejumlah uang yang biasanya
dibayarkan sebelumnya. Dalam sewa pemilik tanah memberikan hak penguasaan
tanah kepada orang lain secara sementara, sesuai dengan perjanjian antara
keduanya (Wiradi dan Makali, 1984).
Istilah sewa di beberapa desa di Jawa diantaranya motong, kontrak, sewa
tahunan setoran, jual oyodan, dan jual potongan. Berdasarkan waktu
pembayarannya, sewa dapat dibayar sebelum atau setelah menyewa tanah,
tergantung pada kebiasaan. Istilah motong, kontrak, dan setoran, harga sewa
dibayar setelah panen sedangkan sewa tahunan, jual oyodan atau jual potongan
harga sewa dibayar sebelum penyewa menggarap tanah sewaannya. Selanjutnya
urutan bagi penyewa tanah untuk menggarap tanah menentukan harga sewa tanah.
Penyewa yang langsung menggarap (berada pada urutan pertama) membayar
sewa lebih mahal daripada penyewa yang harus menunggu beberapa musim
kemudian (Wiradi dan Makali, 1984).
8
2.1.2.2 Hak Gadai
Gadai yaitu menyerahkan tanah kepada seorang kreditor yang kemudian
punya hak menggunakan tanah itu selama jangka waktu berlakunya pinjaman
(Breman dan Wiradi, 2004). Sama halnya dengan sewa, gadai juga memberikan
hak penguasaan tanah secara sementara. Pembayaran pinjaman dapat berupa
sekuintal gabah atau sekian gram emas perhiasan atau sekian ekor sapi atau
kerbau. Pemilik tanah dapat memperoleh tanahnya kembali bila ia telah
menebusnya. Selama pemilik tanah belum dapat menebus, maka hak penguasaan
atas tanahnya ada pada pemegang gadai. Pengembalian tanah dilakukan setelah
tanamannya selesai dipanen (Wiradi dan Makali, 1984).
Pada sistem gadai, petani kecil berpeluang untuk kehilangan tanahnya
sedangkan pemilik tanah besar justru berpeluang untuk mengakumulasikan
tanahnya. Proses kehilangan tanah pada petani kecil dapat terjadi bila mereka
tidak dapat membayar hutang. Tanah ditukar sebagai jaminan atas uang yang
mereka pinjam. Tanah yang dijadikan jaminan berpindah tangan kepada si
peminjam uang sebagai ganti atas hutang yang tidak bisa mereka bayar (Breman
dan Wiradi, 2004).
Sebaliknya proses akumulasi tanah dapat terjadi pada petani kaya
dikarenakan dua hal, yaitu: (1) Mereka dapat membayar hutang, sehingga tanah
dikembalikan pada si pemilik. Ini berarti tanah mereka tidak hilang, (2) Uang
yang mereka dapatkan dari menggadaikan tanah digunakan untuk mendapatkan
uang tunai. Selanjutnya dipergunakan untuk membeli tanah atau menanam modal.
Tanah yang dimiliki petani kaya bertambah luas karena adanya pembelian tanah
hasil dari uang gadai. Hasil dari usaha mereka ini kemudian mereka gunakan
untuk membayar kembali uang yang sudah mereka pinjam (Breman dan Wiradi,
2004).
2.1.2.3 Bagi Hasil
Bagi hasil adalah penyerahan sementara hak atas tanah kepada orang lain
untuk diusahakan, dengan perjanjian si penggarap akan menanggung beban tenaga
kerja seluruhnya, dan menerima sebagian dari hasil tanahnya. Dengan cara bagi
hasil ini, maka si pemilik tanah turut menanggung resiko kegagalan. Inilah yang
membedakannya dari sistem sewa-menyewa. Dalam sistem sewa, pemilik tanah
9
sama sekali tidak menanggung resiko. Besar kecilnya bagian hasil yang harus
diterima oleh masing-masing pihak pada umumnya telah disepakati bersama oleh
pemilik dan penggarap sebelum penggarap mulai mengusahakan tanahnya
(Wiradi dan Makali, 1984).
Masalah penguasaan dan macam-macam hak atas tanah, dalam Undang-
Undang Pokok Agraria (UUPA tahun 1960) diatur dalam pasal 4, pasal 16, dan
pasal 53 yang menyebutkan bahwa: adanya macam-macam hak atas permukaan
bumi yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-
orang baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang-orang lain serta badan-
badan hukum. Hak tersebut memberi wewenang untuk mempergunakan tanah
yang bersangkutan demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang yang ada di
atasnya, sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan
dengan penggunaan tanah, dalam batas-batas menurut undang-undang dan
peraturan-peraturan hukum yang lebih tinggi (pasal 4 UUPA Tahun 1960).
Selanjutnya dalam pasal 16 ayat 1 UUPA Tahun 1960, dijelaskan macam-macam
hak atas tanah yang meliputi: a) hak milik, b) hak guna usaha, c) hak guna
bangunan, d) hak pakai, e) hak sewa, f) hak membuka tanah, g) hak memungut
hasil hutan, dan h) hak-hak lain termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang
akan ditetapkan dengan undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara.
Hak-hak penguasaan tanah yang sifatnya sementara, diatur dalam pasal 53 UUPA
Tahun 1960 yang menunjukkan pada hak gadai, hak usaha bagi-hasil, hak
menumpang, dan hak sewa tanah pertanian, diatur untuk membatasi sifat-sifatnya
yang bertentangan dengan undang-undang ini dan hak tersebut diusahakan
hapusnya dalam waktu yang singkat.
Selanjutnya mengenai bagi hasil, pada UUPA No. 2 Tahun 1960, tentang
perjanjian bagi hasil dijelaskan bahwa: perjanjian bagi hasil ialah perjanjian
dengan nama apapun juga yang diadakan antara pemilik pada satu pihak dan
seseorang atau badan hukum pada lain pihak yang dalam UU ini disebut:
penggarap – berdasarkan perjanjian dimana penggarap diperkenankan oleh
pemilik tersebut untuk menyelenggarakan usaha pertanian di atas tanah pemilik,
dengan pembagian hasilnya antara kedua belah pihak.
10
2.1.3 Sistem Pemilikan Tanah
Ada empat sistem pemilikan tanah di Jawa, menurut Koentjaraningrat
(1984), yaitu sistem pemilikan umum atau komunal dengan pemakaian beralih
(norowito), sistem milik dengan pemakaian bergilir (norowitogilir), sistem
komunal dengan pemakaian tetap (bengkok), dan sistem individu/yasan. Tidak
diketahui dengan pasti kapan keempat sistem itu mulai berlaku, demikian juga
tentang ketersebarannya di daerah pedesaan Jawa.
Ciri khas struktur pemilikan tanah di Jawa Tengah (Rőll, 1983) ialah
adanya hubungan yang sangat erat antara struktur pemilikan tanah dengan
keadaan sosial, ekonomi, dan kebudayaan dari masyarakat pedesaan. Karena itu,
dalam susunan masyarakat agraris yang kurang dinamis dan tradisional, hak-hak
penguasaan tanah yang berbeda-beda menentukan keadaan ekonomi seseorang,
yang sejak dahulu kala merupakan ukuran tingkat kedudukan sosial seseorang,
dan hingga kini masih merupakan suatu ciri yang representatif bagi kedudukan
sosial seseorang.
Hak milik, menurut pasal 20 UUPA Tahun 1960 adalah hak turun-
temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan
mengingat ketentuan pasal 6, hak milik dapat beralih dan dialihkan kepada pihak
lain. Hak pakai menurut pasal 41 UUPA Tahun 1960, adalah hak untuk
menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh
negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang
ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang
memberikannya atau dengan perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan
perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengolah tanah, segala sesuatu asal
tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan undang-undang ini.
2.1.4 Lapisan Sosial Masyarakat
Soekanto (2006) menyebutkan bahwa selama dalam suatu masyarakat ada
sesuatu yang dihargai dan setiap masyarakat pasti mempunyai suatu yang
dihargainya, maka hal itu akan menjadi potensi yang dapat menumbuhkan adanya
sistem berlapis-lapis dalam masyarakat itu. Barang sesuatu yang dihargai di dalam
masyarakat itu mungkin berupa uang atau benda-benda yang bernilai ekonomis,
mungkin juga berupa tanah, kekuasaan, ilmu pengetahuan, atau mungkin juga
11
keturunan dari keluarga yang terhormat. Mengenai hal ini Pitirim A Sorokin
dalam Soekanto (2006) menggunakan sistem pelapisan masyarakat dengan istilah
social stratification (stratifikasi sosial). Sorokin menjelaskan stratifikasi sosial
adalah pembedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas secara
bertingkat (secara hirarkis).
Menurut Weber dalam Soekanto (2006) konsep stratifikasi sosial meliputi
class (kelas), status (kelompok status), dan partai-partai. Kelas merupakan
stratifikasi sosial yang berdimensi ekonomi berupa produksi dan penguasaan.
Status merupakan perwujudan stratifikasi sosial yang berkenan pada prinsip-
prinsip yang dianut pada masyarakat bersangkutan dalam mengkonsumsi “harta-
benda”, menyangkut gaya hidup (life style), kehormatan (honour) dan hak-hak
istimewa (privileges). Partai merupakan perkumpulan sosial yang berdimensi
pada penggunaan kekuasaan yang mempengaruhi tindakan masyarakat.
Berdasarkan teori stratifikasi Weber, maka dasar menentukan kelas
(lapisan masyarakat) pada suatu masyarakat diantaranya dapat berdasarkan ukuran
pemilikan yang berkaitan dengan produksi. Maksud Weber, kelas itu mencakup
orang yang memiliki peluang kehidupan yang sama dipandang dari sudut
ekonomis, antara lain melalui pemilikan dan penguasaan tanah.
Sajogyo (1982) dalam Penny (1990) membedakan struktur sosial pedesaan
Jawa berdasarkan luas penguasaan tanah pertanian. Struktur sosial pedesaan Jawa
dibedakan menjadi tiga lapisan sosial yaitu: (1) Lapisan atas atau “orang kaya” di
desa, bila menguasai tanah lebih dari satu hektar; (2) Lapisan tengah, bila
menguasai tanah antara 0,5 sampai 1 hektar tanah; (3) Lapisan bawah, adalah
masyarakat yang menguasai tanah kurang dari 0,5 hektar atau tidak mempunyai
tanah sama sekali. Sementara Breman (1986) membagi masyarakat desa pertanian
menjadi tiga lapisan berdasarkan modal yang dikuasai yakni berupa akses
terhadap tanah disamping kepemilikan modal di luar sektor pertanian. Tiga
lapisan masyarakat menurut Breman adalah: (1) Lapisan atas, yaitu pemilik atau
penggarap lahan pertanian lebih dari satu hektar, pedagang atau pemilik toko
besar, pimpinan dan guru; (2) Lapisan menengah, yaitu pemilik atau penyewa
lahan pertanian paling sedikit 0,25 hektar, pedagang dengan modal kecil, pemilik
warung, penarik ojek, tukang ahli dan buruh dengan pekerjaan tetap, pegawai
12
rendah (seperti hansip dan penjaga pintu air); (3) Lapisan bawah, yaitu buruh tani,
pemilik dan penyewa lahan marginal, pekerja kasar dan pekerja tidak tetap,
pekerja transport tanpa milik, pedagang asongan, dan pembantu rumahtangga.
2.1.5 Konsep Kelembagaan: Perspektif Kelembagaan
Manusia sebagai makhluk sosial, yaitu makhluk yang tidak pernah dapat
lepas dari kebutuhan untuk berinteraksi dengan sesamanya dalam lingkup
kehidupan bermasyarakat. Setiap melakukan interaksi, mereka kadang-kadang
melakukan tindakan-tindakan yang berpola resmi maupun yang tidak resmi.
Menurut Koentjaraningrat (1964) dalam Soekanto (2006), sistem-sistem yang
mewadahi warga masyarakat untuk dapat berinteraksi menurut pola-pola resmi
dalam ilmu sosiologi dan antropologi disebut dengan pranata, atau dalam bahasa
inggris dengan institution. Tindakan-tindakan yang berpola tersebut ditekankan
pada suatu sistem norma khusus yang menata atau mengatur tindakan-tindakan
manusia agar dapat memenuhi suatu keperluan khusus dalam kehidupan
bermasyarakat. Definisi tersebut lebih menekankan pada sistem tata kelakuan atau
sistem norma untuk memenuhi kebutuhan.
Koentjaraningrat (1954) dalam Soekanto (2006) membedakan istilah
pranata dengan lembaga, dimana menurut Koentjaraningrat pranata adalah sistem
norma atau aturan-aturan mengenai suatu aktivitas masyarakat yang khusus,
sedangkan lembaga atau institut merupakan suatu bentuk konkrit berupa badan
atau organisasi yang mengejawantahkan aktivitas masyarakat tersebut. Uphoff
(1986) menegaskan, bahwa kelembagaan dapat sekaligus berwujud organisasi
dapat berwujud kelembagaan. Perbedaannya, kelembagaan berupa seperangkat
norma dan perilaku yang bertahan dari waktu ke waktu dengan memenuhi
kebutuhan kolektif, sedangkan organisasi berupa struktur dari peran-peran yang
diakui dan diterima.
Norma-norma yang berkembang di masyarakat memberikan petunjuk bagi
perilaku seseorang yang hidup di dalam masyarakat. Norma mempunyai kekuatan
mengikat yang berbeda-beda, Soekanto (2006) membedakan tingkatan tersebut
kedalam empat tingkatan, yaitu:
1. Cara (usage) menunjuk pada suatu bentuk perbuatan yang lebih menonjol
di dalam hubungan antar individu dalam masyarakat. Suatu penyimpangan
13
terhadapnya tidak akan mengakibatkan hukuman berat, tetapi hanya
sekedar celaan dari individu yang dihubunginya.
2. Kebiasaan (folkways) mempunyai kekuatan mengikat yang lebih besar
daripada cara. Kebiasaan diartikan sebagai perbuataan yang diulang-ulang
dalam bentuk yang sama merupakan bukti bahwa orang banyak menyukai
perbuatan tersebut.
3. Tata kelakuan (mores) mencerminkan sifat-sifat yang hidup dari kelompok
manusia yang dilaksanakan sebagai alat pengawas, secara sadar maupun
tidak sadar, oleh masyarakat terhadap anggota-anggotanya. Tata kelakuan
di satu pihak memaksakan suatu perbuatan dan di lain pihak melarangnya
sehingga secara langsung merupakan alat agar anggota masyarakat
menyesuaikan perbuatan-perbuatannya dengan tata kelakuan tersebut.
4. Adat-istiadat (custom) merupakan tata kelakuan yang kekal serta kuat
integrasinya dengan pola-pola perilaku masyarakat. Anggota masyarakat
yang melanggar adat-istiadat, akan menderita sanksi yang keras.
Jika Koentjaraningrat menggunakan istilah pranata untuk menjelaskan
tentang kelembagaan, Soekanto (2006) menggunakan istilah lembaga
kemasyarakatan atau lembaga sosial yaitu himpunan norma-norma yang mengatur
segala tindakan atau berisikan segala tingkatan yang berkisar pada kebutuhan
pokok di dalam kehidupan masyarakat. Wujud konkrit dari lembaga
kemasyarakatan adalah association.
2.1.6 Konsep Kelembagaan Pangan
Kelembagaan (institution) merupakan suatu sistem aktivitas dari kelakuan
berpola dari manusia dalam kebudayaannya beserta komponen-komponennya
yang terdiri dari sistem norma dan tata kelakuan untuk wujud ideal kebudayaan,
kelakuan berpola untuk wujud kelakuan kebudayaan dan peralatan dan untuk
wujud fisik kebudayaan ditambah dengan manusia atau personil yang
melaksanakan kelakuan berpola (Koentjaraningrat, 1964 dalam Soekanto, 2006).
Menurut Anwar (2001) dalam Basri (2008), institusi atau kelembagaan
merupakan aturan main (the rule of game) dalam masyarakat yang secara lebih
formal dapat dikatakan sebagai alat manusia guna mengatur perilaku individual
anggotanya yang membangun pengaturan dalam interaksi antar anggota-anggota
14
dalam masyarakat tersebut melalui norma-norma tertentu. Dalam beberapa hal
institusi merupakan kendala-kendala terhadap kebebasan individual anggota-
anggotanya dalam masyarakat karena kebebasan individu sering membuat
tindakan yang menimbulkan eksternalitas (terutama yang negatif) yang sering
mengancam kepentingan masyarakat keseluruhan. Oleh sebab itu, masyarakat
perlu membatasi kebebasan individual-individual tersebut agar perilakunya
bersesuaian dengan kepentingan masyarakat.
Kelembagaan memiliki dua pengertian. Pertama sebagai aturan main (rule
of the game) dalam interaksi interpersonal. Dalam kaitan kelembagaan pangan
masyarakat, kelembagaan diartikan sebagai sekumpulan aturan baik yang formal
maupun informal, tertulis maupun tidak tertulis mengenai tata hubungan manusia
dengan lingkungannya yang menyangkut hak-hak dan kewajiban dalam
kelembagaan. Kedua kelembagaan sebagai suatu organisasi dalam pengertian
ekonomi menggambarkan aktivitas ekonomi yang dikoordinasikan bukan oleh
sistem harga, tetapi oleh mekanisme administratif dan kewenangan.
Sumardjo (2003) mendefinisikan kelembagaan pangan masyarakat sebagai
segala bentuk pengaturan atau keteraturan perilaku masyarakat dalam memenuhi
kebutuhan pangan di masyarakat yang telah menjadi acuan dalam bertindak,
karena di dalamnya terkandung nilai, norma, penggunaan/pemanfaatan dan
pemeliharaan sarana dan prasarana pendukungnya, serta cara-cara perpola
pengendalian sosial agar kelembagaan tersebut senantiasa terjaga dengan efektif
sebagai wahana memenuhi kebutuhan masyarakat.
Nilai yang menjadi acuan bertindak anggota dan pengurus kelembagaan
pangan (lumbung pangan masyarakat) meliputi kepercayaan, memenuhi
kebutuhan pangan dan modal terutama dalam keadaan darurat, dan nilai
transparansi (keterbukaan) sedangkan norma yang menjadi acuan dalam bertindak
meliputi sistem jasa, pinjaman, bagi hasil, pengambilan dalam bentuk natura dan
fungsi penyangga harga (PSP-IPB, 2003 dalam Basri, 2008).
Sistem lumbung pangan masyarakat adalah suatu sistem kelembagaan
penyedia bahan pangan dan bahan-bahan lainnya yang bertujuan meningkatkan
kesejahteraan penduduk pedesaan, terutama menanggulangi kerawanan pangan.
Kegiatan-kegiatan pelaksanaan lumbung pangan masyarakat diharapkan dapat
15
didukung oleh peran serta aktif dari masyarakat desa itu sendiri, dengan bantuan
pemerintah sesuai dengan perkembangan situasi dan kondisi setempat (Tim Studi
Lumbung IPB, 2003 dalam Basri, 2008).
2.1.7 Lumbung Pangan
Menurut Kusumowardani (2002) istilah lumbung telah dikenal oleh
masyarakat di beberapa daerah. Lumbung yang ada sering dikonotasikan sebagai
lumbung paceklik. Lumbung paceklik tersebut dibentuk sebagai cadangan bagi
petani di musim paceklik sehingga petani dapat meminjam gabah untuk
mencukupi kebutuhan rumahtangga. Keberadaan lumbung pangan merupakan
lembaga alternatif yang diupayakan dapat menggantikan peran kelembagaan lokal
yang sekarang mengalami banyak kehancuran. Keberadaan lumbung pangan tidak
hanya diperlukan pada masa paceklik saja melainkan sebagai alternatif
penyediaan modal bagi petani. Peran yang dijalankan oleh lumbung pangan
adalah sebagai berikut:
1. Menampung surplus produksi pangan pedesaan pada saat panen.
2. Melayani kebutuhan pangan pedesaan pada musim paceklik.
3. Melakukan simulasi pemupukan modal melalui iuran dalam bentuk bahan
pangan maupun tunai.
4. Membantu petani yang kesulitan modal usaha dengan cara menyediakan
alternatif kredit mikro bagi warga komunitas sehingga warga terhindar
dari praktek-praktek bank harian dari para pengijon.
5. Menghindari petani dari kerugian penjualan dini atas produksi usaha tani
untuk memenuhi kebutuhan mendesak dan menghindarkan petani untuk
membeli bahan pangan pokok dengan harga tinggi pada musim paceklik.
Sistem lumbung pangan masyarakat adalah suatu sistem kelembagaan
penyedia bahan pangan dan bahan-bahan lainnya yang bertujuan meningkatkan
kesejahteraan penduduk pedesaan, terutama menanggulangi kerawanan pangan.
Kegiatan-kegiatan pelaksanaan lumbung pangan masyarakat diharapkan dapat
didukung oleh peran serta aktif dari masyarakat desa itu sendiri, dengan bantuan
pemerintah sesuai dengan perkembangan situasi dan kondisi setempat (Tim Studi
Lumbung IPB, 2003 dalam Basri, 2008).
16
2.2 Kerangka Pemikiran
Tanah merupakan sumberdaya alam yang sangat penting untuk
kelangsungan hidup manusia, karena hampir seluruh aktivitas kehidupan manusia
mulai dari proses produksi pertanian, pemukiman, sampai kegiatan industri
membutuhkan tanah sebagai input. Bahkan dalam teori produksi hasil-hasil
pertanian, tanah ditempatkan sebagai faktor produksi utama dalam setiap proses
produksinya.
Pertambahan penduduk serta akibat dari berkembangnya kegiatan
perekonomian membawa konsekuensi semakin besarnya permintaan akan tanah
untuk berbagai keperluan pertanian dan pemukiman. Keadaan ini menyebabkan
terjadinya ketimpangan penguasaan terhadap tanah. Derajat ketimpangan yang
berkembang akan mempengaruhi strategi pengaturan pangan di masyarakat. Pada
akhirnya, penguasaan tanah dan strategi pengaturan pangan masyarakat akan
menentukan kondisi kedaulatan pangan.
Struktur penguasaan tanah meliputi luas lahan yang dimiliki; luas yang
dikuasai; status kepemilikan; dan status penguasaan. Masyarakat yang memiliki
luas tanah yang sempit akan berbeda dengan masyarakat dengan memiliki luas
tanah yang luas dalam pemenuhan kebutuhan masing-masing. Masyarakat dengan
luas tanah yang kecil dapat menambah luas garapan dengan berbagai bentuk
penguasaan yang diperoleh dari pihak lain. Masyarakat yang memiliki tanah yang
luas dapat membantu masyarakat yang memiliki luas tanah yang sempit.
Hubungan tersebut dapat terjadi didukung oleh norma-norma yang berkembang di
masyarakat.
Setiap masyarakat pertanian memiliki kelembagaan pangan yang
merupakan bentuk pengaturan atau keteraturan yang dapat menyumbang pada
kedaulatan pangan masyarakat. Jika kelembagaan pangan yang ada dalam
masyarakat berkembang, norma-norma yang dianut serta adanya hubungan
interaksi yang dilandasi rasa saling percaya, maka upaya masyarakat mencapai
kedaulatan pangan akan berlangsung dengan baik.
Kelembagaan lumbung pangan masyarakat merupakan sebuah wadah yang
diharapkan dapat meningkatkan kedaulatan pangan. Lumbung pangan masyarakat
erat kaitannya dengan dua aspek yaitu (1) potensi sektor pertanian; dan (2) peran
17
kelembagaan pangan yang ada dalam masyarakat tersebut. Potensi sektor
pertanian dikelola melalui kelembagaan sehingga masing-masing masyarakat
kasepuhan dapat mengakses sumberdaya secara adil dan merata. Pengelolaan
yang demikian diharapkan dapat meningkatkan kedaulatan pangan dalam
rumahtangga masyarakat kasepuhan.
Keberadaan leuit di masyarakat menjadi hal yang sangat vital dalam
menjamin ketersediaan pangan. Leuit bukan hanya sekedar tempat menyimpan
padi, tetapi juga suatu pedoman masyarakat dalam memanfaatkan sumberdaya
tersebut. Jumlah leuit pun terkait dengan luas garapan masyarakat. Masyarakat
yang menggarap lebih banyak akan menghasilkan padi lebih banyak dan akan
membantu dalam membangun kemandirian.
Masyarakat Sinar Resmi memiliki dua jenis leuit yakni leuit sijimat dan
leuit rumahtangga. Leuit sijimat merupakan leuit komunal yang berada dipusat
kasepuhan. Leuit sijimat menampung sebagian hasil panen masyarakat sesuai
dengan produktivitas masing-masing rumahtangga. Apabila ada masyarakat yang
membutuhkan padi maka dapat meminjam ke leuit sijimat dan menggantinya di
panen berikutnya.
Kedaulatan pangan masyarakat adalah terpenuhinya pangan yang cukup
baik secara mandiri. Agar anggota masyarakat mendapat mengkonsumsi pangan
secara baik dibutuhkan ketersediaan pangan harus terpenuhi dengan baik. oleh
karena itu, untuk memenuhi kecukupan pangan tersebut masyarakat harus
memiliki akses terhadap pangan secara fisik. Kedaulatan mempunyai karakter
yang meliputi produksi pangan secara mandiri untuk memenuhi kebutuhan
domestik ataupun lokal; memanfaatkan usaha petani kecil dan keluarga yang
agro-ekologis; menjamin akses tanah dan sumberdaya vital; menghormati peran
wanita dalam produksi pangan, akses, dan sumberdaya; dan mendorong kontrol
komunitas atas sumberdaya produktif.
18
Gambar 1. Kerangka Pemikiran
Keterangan:
: mempengaruhi
2.3 Hipotesis Penelitian
1) Tingkat penguasaan tanah berhubungan dengan pola sewa, gadai, dan
maro.
2) Tingkat penguasaan tanah berhubungan dengan produktivitas pertanian.
3) Tingkat penguasaan tanah berhubungan dengan jumlah leuit rumahtangga.
4) Tingkat penguasaan tanah berhubungan dengan distribusi hasil panen ke
leuit sijimat.
2.4 Definisi Konseptual
1. Produksi pangan adalah semua komoditi bahan makanan yang diperoleh
rumahtangga dari hasil usaha pertanian selama 1 trip/bulan/musim
dinyatakan dalam satuan kilogram.
Kedaulatan Pangan
Struktur Penguasaan Tanah • Luas Lahan yang
Dimiliki • Luas lahan yang
Dikuasai • Status Kepemilikan • Status Penguasaan
Kelembagaan Pangan Masyarakat • Produksi • Penyimpanan
(Lumbung pangan-leuit)
• Distribusi
19
2. Kedaulatan pangan masyarakat adalah kemampuan rumahtangga untuk
memenuhi kecukupan pangan bagi anggota lumbung pangan masyarakat
dari waktu ke waktu.
3. Sewa adalah penyerahan hak milik seseorang secara sementara kepada
pihak lain untuk satu atau lebih musim dengan mendapat sejumlah uang
yang biasanya dibayarkan sebelumnya.
4. Gadai adalah penyerahan tanah kepada kreditor dengan imbalan
pembayaran dalam bentuk tunai (uang) maupun benda berharga lainnya
seperti emas atau ternak lainnya. Dengan ketentuan kreditor memiliki hak
menggunakan tanah itu selama jangka waktu berlakunya pinjaman,
kemudian si pemilik tanah dapat mengambil tanahnya kembali bila ia telah
mengembalikan pinjaman.
5. Bagi hasil adalah penyerahan tanah secara sementara dari pemilik tanah
kepada penggarap untuk dipakai, dimanfaatkan dan dikelola, disertai
perjanjian biaya produksi, tenaga kerja dan pembagian keuntungan antara
kedua belah pihak.
6. Lumbung pangan atau Leuit adalah tempat penyimpanan padi dalam
satuan pocong yang dimiliki secara komunal atau rumahtangga. Jumlah
leuit rumah tangga sesuai dengan produktivitas padi yang dihasilkan.
7. Distribusi pangan adalah jumlah yang dibagikan untuk rumahtangga lain
yang membutuhkan pangan. Jumlah yang dibagikan dalam satuan pocong.
8. Umur adalah lama hidup seseorang sejak lahir sampai saat penelitian
berlangsung dalam satuan tahun.
2.5 Definisi Operasioanal
1. Penguasaan lahan adalah ukuran luas area yang dikelola oleh responden
tanpa memperhatikan status kepemilikannya. Luasan area yang dikelola
dinyatakan dalam satuan hektar; pengukurannya dilakukan dengan skala
ordinal dengan dikelompokkan menjadi tiga kategori yaitu: (1). Sempit (0-
0,25 hektar), (2). Sedang (0,26-0,5 hektar), dan (3). Luas (>0.5 hektar).
2. Status kepemilikan lahan adalah hubungan responden dengan areal yang
sedang dikelola berdasarkan status hukum (hak). Pengukurannya
20
dilakukan dengan menggunakan skala ordinal dengan dikelompokkan
menjadi tiga kategori yaitu: (1). pemilik, (2). Penggarap, dan (3). Pemilik
penggarap
3. Lapisan sosial adalah pembedaan penduduk atau masyarakat ke dalam
kelas-kelas secara bertingkat menurut penguasaan tanah, yakni: (1).
Sempit (0-0,25 hektar), (2). Sedang (0,26-0,5 hektar), dan (3). Luas (>0.5
hektar)
4. Jenis kelamin digolongkan menjadi :1. Pria; 2. Wanita
5. Status dalam RT adalah posisi seseorang sebagai anggota rumah tangga
dalam hubungan kekerabatan, misal suami, istri, anak, mertua, dan
lainnya.
6. Tingkat pendidikan merupakan lama pendidikan yang ditempuh oleh
anggota rumahtangga, rendah (<6 tahun), sedang (6-9 tahun), tinggi (>9
tahun).
21
BAB III
PENDEKATAN LAPANG
3.1 Lokasi dan Waktu
Penelitian ini dilaksanakan di Kampung Sinar Resmi, Desa Sinar Resmi,
Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Propinsi Jawa Barat. Pemilihan lokasi
penelitian dilakukan secara purposive. Alasan yang mendasari pemilihan
Kampung Sinar Resmi sebagai lokasi adalah adanya masyarakat adat yang dapat
memenuhi kebutuhan pangannya secara mandiri dan juga adanya lembaga pangan
berupa lumbung padi atau leuit. Selain itu. Kampung Sinar Resmi merupakan
pusat Adat Kasepuhan Sinar Resmi yang memudahkan dalam menggali informasi
tentang kelembagaan pangan lokal.
Pengumpulan data dilakukan pada bulan April 2011. Pengolahan data dan
hasil penulisan laporan dilakukan pada bulan Mei-Juni 2011. Selanjutnya,
perbaikan laporan, konsultasi dilakukan pada bulan Juli-Agustus2011.
3.2 Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian survai dengan tipe explanatory.
Penelitian explanatory merupakan penelitian penjelasan yang menyoroti
hubungan antar variabel-variabel penelitian dan menguji hipotesa yang telah
dirumuskan sebelumnya (Singarimbun dan Effendi, 1989). Pendekatan yang
dilakukan dalam penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif dengan metode
survai menggunakan kuesioner serta didukung oleh data kualitatif seperti hasil
konsultasi atau wawancara antara peneliti dan informan. Pendekatan kuantitatif
digunakan untuk mencari informasi faktual secara detail tentang hal-hal yang
sedang menggejala dan mengidentifikasi masalah-masalah atau untuk
mendapatkan justifikasi keadaan dan kegiatan-kegiatan yang sedang berjalan.
3.3 Teknik Pengambilan Sampel
Dalam penelitian ini, terdapat dua subjek penelitian, yang terdiri dari
informan dan responden. Informan adalah pihak-pihak yang berpotensi untuk
memberikan informasi mengenai diri sendiri, keluarga, pihak lain, dan
lingkungannya. Pemilihan informan dilakukan dengan teknik snowball sampling
22
(teknik bola salju). Teknik ini juga digunakan untuk menentukan daftar populasi
yang karakteristiknya sesuai dengan masalah yang diteliti (kerangka sampling).
Adapun informan kunci yang dipilih adalah tokoh-tokoh masyarakat adat
setempat yakni ketua adat Kasepuhan Sinar Resmi. Dalam melengkapi data yang
didapatkan dari informan kunci, diperlukan data dari informan-informan lainnya
yang telah didiskusikan dengan informan kunci. Pemilihan tokoh masyarakat
setempat menjadi informan kunci didasarkan pada asumsi bahwa mereka adalah
orang-orang yang mengetahui secara mendalam terkait dengan pengaturan
pangan.
Unit analisis dalam penelitian ini adalah rumahtangga. Penentuan
responden dipilih dengan teknik stratified random sampling. Artinya, populasi
yang tidak homogen dibagi dalam lapisan-lapisan, dan setiap lapisan diambil
sampel secara acak. Dengan menggunakan metode ini, semua lapisan dapat
terwakili (Singarimbun dan Effendi, 1989). Populasi meliputi seluruh
rumahtangga Kampung Sinar Resmi yang berjumlah 111 rumahtangga (Lampiran
4). Kemudian dari semua daftar rumahtangga dibagi ke dalam beberapa kategori
berdasarkan penguasaan tanah. Stratifikasi responden dibagi ke dalam tiga
kategori, yaitu responden I yakni responden rumahtangga yang menguasai tanah
0-0.25 hektar, responden II yakni responden rumahtangga yang menguasai tanah
0.26-0.5 hektar, dan responden III yakni responden rumahtangga yang menguasai
tanah lebih dari 0.5 hektar. Kemudian dipilih responden sebanyak 31 rumahtangga
yang menurut kategori masing-masing berjumlah 16, 8, dan 7 rumahtangga.
Jumlah responden yang diambil dalam penelitian dihitung menggunakan Rumus
Slovin. Rumus Slovin digunakan karena ukuran populasi diketahui. Rumus Slovin
adalah sebagai berikut:
nN
1 Ne
n111
1 111 0.15
= 31 (pembulatan)
Keterangan: N: ukuran populasi e: nilai kritis (15%)
n: ukuran sampel/responden
23
Gambar 2. Gambaran Populasi dan Sampel
Keterangan:
: Populasi
: Kerangka Sampling
3.4 Teknik Pengumpulan dan Analisis Data
Data yang dikumpulkan pada penelitian ini terdiri dari data primer dan
data sekunder. Data dikumpulkan dengan cara:
a) Kuesioner: Teknik kuesioner dilakukan untuk mendapatkan data primer
secara kuantitatif terhadap informan.
b) Wawancara mendalam: teknik wawancara mendalam dilakukan untuk
mendapatkan data primer secara kualitatif yang dapat mendukung
penelitian. Wawancara mendalam dilakukan dengan tokoh masyarakat
(formal dan non formal) serta warga yang menguraikan secara mendalam
mengenai struktur penguasaan tanah, hubungan interaksi dan kerjasama
dalam kelembagaan pangan masyarakat.
c) Pengamatan berperan serta: merupakan teknik pengumpulan data, dimana
peneliti hadir sebagai pengamat dinamika subjek penelitian.
Rumahtangga Kampung Sinar
Resmi
Rumahtangga kategori >0.5
hektar
Rumahtangga kategori 0.26-0.5
hektar
Rumahtangga kategori 0-0.25
hektar
24
d) Melaksanakan “Focus Group Discussion” untuk mendapatkan data
kualitatif mengenai hubungan-hubungan antara variabel penelitian
menurut masyarakat.
e) Penelusuran dokumen: data sekunder diperoleh dengan melakukan kajian
pustaka dan menganalisis berbagai literatur yang ada. Selain itu analisis
data sekunder juga diperlukan terhadap dokumen yang diperoleh di lokasi
penelitian, seperti data monografi desa, data kepemilikan tanah, dan lain-
lain. Berikut rincian mengenai teknik pengumpulan data penelitian:
Tabel 1. Rincian Metode Pengumpulan Data Uraian Data yang
diperlukan Metode Sumber data
Mengetahui Struktur penguasaan tanah di Desa Sinar Resmi
Sistem penguasaan tanah Sistem pemilikan tanah Struktur pemilikan dan penguasaan tanah
Kuesioner Wawancara mendalam Literatur Pemetaan oleh masyarakat
Responden Informan
Kelembagaan pangan masyarakat di Desa Sinar Resmi
Distribusi hasil panen Partisipasi masyarakat dalam membangun lumbung Struktur kelembagaan
FGD yang dilakukan tiga kali, yakni disetiap lapisan masyarakat Wawancara mendalam
Responden Responden
Sistem norma yang mendukung sistem kedaulatan pangan masyarakat
Komponen modal sosial (kepercayaan, norma, dan jaringan) Proses bekerjanya sistem norma Peranan sistem norma dalam kelembagaan pangan
Pengamatan berperan serta Wawancara mendalam Studi dokumen
Informan Responden
Data yang diperoleh dianalisis secara kuantitatif dan kualitatif. Pengolahan
data kuantitatif dilakukan dengan terlebih dahulu melakukan pengkodean.
Kegiatan ini bertujuan untuk menyeragamkan data. Setelah pengkodean, tahap
25
selanjutnya adalah perhitungan persentase jawaban responden dan dipresentasikan
melalui analisis deskriptif berupa tabel frekuensi, ukuran pemusatan, dan ukuran
penyebaran. Data yang dikumpulkan selanjutnya diolah secara deskriptif dengan
mengunakan Microsoft Excel 2007. Selain analisis data kuantitatif, dilakukan pula
analisis data kualitatif sebagai pendukung dengan mengutip hasil pembicaraan
dengan responden atau informan dan disampaikan secara deskriptif untuk
mempertajam hasil penelitian.
26
BAB IV
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
4.1 Profil Desa 4.1.1 Kondisi Topografi
Desa Sinar Resmi merupakan sebuah desa yang terletak di Kecamatan
Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat. Secara geografis desa ini
terletak antara 106° 27´ - 106° 33´ BT dan 6° 52´ - 6° 44´ LS. Desa Sinar Resmi
memiliki luas wilayah 4917 hektar dengan ketinggian tanah 600-1200 meter di
atas permukaan laut, dengan karakteristik topografi yang berbukit dan bergunung
dengan tingkat kemiringan lereng berkisar antara 25-45 persen. Pemukiman warga
masyarakat pada umumnya mengambil wilayah yang relatif datar sementara lahan
pertanian masyarakat pada umumnya di lereng-lereng gunung. Suhu rata-rata pada
musim kemarau berkisar 28° Celsius sedangkan pada musim penghujan sekitar
21-25° Celsius. Desa Sinar Resmi memiliki curah hujan yang bervariasi antara
2120-3250 mm/tahun dengan kelembaban udara 84 persen. Batas-batas Desa
Sinar Resmi antara lain sebelah utara berbatasan dengan Provinsi Banten, sebelah
selatan dan barat berbatasan dengan Desa Cicadas, dan sebelah timur berbatasan
dengan Desa Cihamerang.
Jarak Desa Sinar Resmi dari ibukota kecamatan sekitar 23 kilometer, jarak
dari ibukota kabupaten sekitar 33 kilometer, jarak dari ibukota provinsi sekitar
183 kilometer, dan jarak dari ibukota negara sekitar 168 kilometer. Akses lalu
lintas kendaraan menuju desa ini tidak begitu sulit tetapi jumlah kendaraan
menuju desa tersebut masih terbatas. Untuk mencapai desa ini bisa ditempuh
dengan bus melalui jalur Bogor menuju Pelabuhan Ratu dengan waktu tempuh
tiga sampai empat jam. Setelah sampai terminal Pelabuhan Ratu, dapat dicapai
dengan angkutan umum Elf dengan waktu tempuh sekitar dua jam. Memasuki
wilayah perkampungan masyarakat Sinar Resmi dapat menggunakan ojek. Ketika
memasuki wilayah Desa Sinar Resmi kondisi jalan masih berbatu dan belum
diaspal.
27
4.1.2 Kondisi Demografi
Desa Sinar Resmi dihuni oleh tiga kelompok masyarakat adat kasepuhan
yang merupakan bagian dari Kesatuan Adat Banten Kidul yaitu Kasepuhan Cipta
Mulya, Kasepuhan Sinar Resmi, dan Kasepuhan Cipta Gelar. Penelitian ini
dilakukan di Kampung Sinar Resmi yang merupakan wilayah pusat Kasepuhan
Sinar Resmi.
Berdasarkan data monografi desa tahun 2009, menunjukkan bahwa
penduduk Desa Sinar Resmi sekitar 5.007 jiwa yang terbagi dalam 1.497 kepala
keluarga dengan jumlah penduduk laki-laki adalah 2.487 jiwa dan penduduk
perempuan adalah 2.420 jiwa. Terdapat tujuh kampung atau dusun yang ada di
Desa Sinar Resmi yaitu Kampung Sinar Resmi, Cibongbong, Cikaret, Cimapag,
Situmurni, Cimemet, dan Sukamulya. Penyebaran penduduk pada tiap-tiap
kampung hampir merata dengan komposisi jumlah laki-laki dan perempuan yang
seimbang. Jumlah penduduk terbanyak terdapat pada kampung Cibongbong
sejumlah 1.023 jiwa sedangkan jumlah penduduk paling sedikit terdapat di
kampung Cimemet sebanyak 262 jiwa. Sebagian besar masyarakat Desa Sinar
Resmi beragama Islam dengan jumlah sekitar 5.305 jiwa dan yang beragama non
Islam sekitar delapan jiwa. Gambaran mengenai penyebaran penduduk di Desa
Sinar Resmi pada tiap kampung dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Jumlah Penduduk dan Kepala Keluarga (KK) menurut Jenis Kelamin di Sinar Resmi Tahun 2009
No Kampung Jumlah Penduduk Jumlah KK L P Total L P Total
1 Sinar Resmi 203 185 388 100 11 1112 Cibongbong 517 506 1.023 271 31 3023 Cikaret 384 328 712 203 19 2224 Cimapag 409 404 813 210 31 2415 Situmurni 313 291 604 159 12 1716 Cimemet 288 274 562 163 21 1847 Sukamulya 437 432 869 236 30 266Sumber : Data Kependudukan Kantor Desa Sinar Resmi Tahun 2009
Jumlah penduduk Kampung Sinar Resmi paling sedikit setelah Kampung
Cicemet diantara kampung lainnya namun kampung ini merupakan tempat pusat
dari kegiatan adat dan pemerintahan. Masyarakat memilih untuk tinggal di
kampung lain karena lebih dekat dekat usaha pertanian. Hal tersebut akan
28
memberikan kemudahan dalam produksi dan pengawasan terhadap usaha tani
yang mereka kembangkan.
Kegiatan pendidikan umum yang terdapat di Desa Sinar Resmi yakni
pendidikan Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP).
Pendidikan khusus tersedia Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) dan sekolah
madrasah. Masyarakat yang ingin melanjutkan ke tingkat lebih atas pada
umumnya sekolah di luar Desa Sinar Resmi. Umumnya masyarakat yang tidak
melanjutkan sekolah akan bekerja di sektor pertanian. Berikut tabel kelompok
pendidikan dan tenaga kerja di Desa Sinar Resmi:
Tabel 3. Jumlah Penduduk menurut Tingkat Usia,Kelompok Pendidikan dan Kelompok Tenaga Kerja di Desa Sinar Resmi Tahun 2009
Kategori Kelompok Menurut Usia Usia (tahun) Jumlah/Jiwaa. Kelompok Pendidikan 4-6
7-12 13-15
391784124
b. Kelompok Tenaga Kerja 20-26 27-40
8051.402
Sumber : Data Kependudukan Kantor Desa Sinar Resmi Tahun 2009
Sebagian besar penduduk dalam kelompok pendidikan berada di jenjang
SD. Jumlah tenaga pendidik untuk melayani pendidikan di Desa Sinar Resmi
belum memadai. Untuk mendidik seluruh murid yang bersekolah hanya terdapat
15 guru. Untuk kelompok tenaga kerja di Desa Sinar Resmi sebagian besar berada
pada kelompok usia produktif. Selain sebagai tradisi dan lapangan pekerjaan yang
tersedia terbatas menyebabkan sebagian besar berada di sektor pertanian.
Sebagian kecil diantaranya bekerja di sektor jasa, seperti bengkel dan
pertukangan. Selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Jumlah Penduduk menurut Mata Pencaharian di Desa Sinar Resmi Tahun 2009
No Jenis Mata Pencaharian Jumlah/Jiwa Persentase1. Petani 2.818 882. Wiraswasta 163 73. Pertukangan 221 5Sumber : Data Kependudukan Kantor Desa Sinar Resmi Tahun 2009
Berdasarkan Tabel 4 sebanyak 88 persen berada di sektor pertanian
menjadikan sektor yang menjadi sumber penghidupan utama penduduk Desa
Sinar Resmi. Pertanian juga didukung oleh kondisi alam Desa Sinar Resmi yang
29
cocok untuk kegiatan pertanian. Kegiatan pertanian oleh penduduk Desa Sinar
Resmi dibagi menjadi tiga bagian yaitu padi dan palawija, sayur-sayuran, dan
buah-buahan. Kegiatan pertanian menyebabkan kebutuhan akan tanah semakin
banyak dan persentase penggunaan tanah yang semakin besar. Penggunaan tanah
tanah Desa Sinar Resmi dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Penggunaan Lahan di Desa Sinar Resmi Tahun 2009
Status Tanah Tanah Milik Adat/Desa (Ha)
Tanah Negara Kehutanan, TNGHS (Ha)
Jumlah (Ha)
1 2 3 4Luas Wilayah Desa 917 4.000 4.917 Luas Wilayah menurut penggunaan
Luas Pemukiman 17 19 36Luas Persawahan 75 225 300Luas Perkebunan 0 0 0Luas Kuburan 1 2 3Luas Pekarangan 7 8 15Luas Taman 0 0 0Luas Perkantoran 0 0 0Luas Prasarana Umum lainnya 1 1 2Lainnya Tanah Sawah : Sawah Irigasi Teknis 0Sawah Irigasi 1/2 Teknis 120Sawah Tadah Hujan 180Sawah Pasang Surut 0Total luas 75 225 300Sumber: Kantor Desa Sinar Resmi, 2009
Berdasarkan Tabel 5 luas tanah persawahan di Desa Sinar Resmi mencapai
300 hektar atau sekitar 6.1 persen dari total luas desa. Hal ini disebabkan oleh
sebagian besar yakni 81 persen wilayah dijadikan taman nasional. Penggunaan
lahan persawahan di Desa Sinar Resmi dapat dilihat sebagian besar lahan desa
digunakan untuk lahan persawahan. Jenis sawah yang dikelola sebagian besar
merupakan sawah tadah hujan. Hal ini juga disebabkan oleh kondisi topografi
desa.
Petani di kampung ini berbeda dengan daerah lainnya dengan hanya
melakukan penanaman padi satu tahun sekali sesuai peraturan adat yang berlaku
di komunitas. Selain bertanam padi, pada saat musim kemarau para petani
30
memanfaatkan ladang untuk bertanam palawija atau ikan untuk lahan sawah yang
diberakan. Selain bertanam padi, petani memanfaatkan kesuburan lahan untuk
menanam tanaman kapulaga (kapol) yang harganya relatif mahal sebagai bahan
obat-obatan. Selain itu masyarakat juga memanfaatkan tanaman kayu keras
sebagai salah satu sumber penghasilan.
4.2 Profil Kasepuhan Sinar Resmi 4.2.1 Sejarah Kasepuhan Sinar Resmi
Kasepuhan Sinar Resmi terletak di Desa Sinar Resmi, bersama dengan dua
kasepuhan lainnya, yakni Kasepuhan Cipta Mulya dan Kasepuhan Cipta Gelar.
Ketiga kasepuhan ini satu sama lain saling terkait dan masih dalam satu
keturunan. Berdasarkan keterangan beberapa orang sesepuh komunitas,
munculnya masyarakat kasepuhan berawal dari hancurnya Kerajaan Pajajaran
sebagai akibat peperangan dengan Banten. Pada saat itu juga terjadi
pemberontakan dari dalam sehingga penguasa saat itu tidak dapat bertahan dan
untuk menyelamatkan “harta-benda” kerajaan pasukan yang setia terhadap
penguasa melarikan diri ke arah selatan menuju tiga daerah yang berbeda.
Pasukan pertama yang menjaga harta kekayaan kerajaan melarikan diri ke daerah
Galuh dan sampai sekarang dikenal sebagai orang-orang yang sukses dan kaya di
daerah Ciamis dan sekitarnya. Pasukan kedua diminta untuk menyelamatkan
ajaran agama wiwitan dan melarikan diri ke arah Banten Selatan dan sampai saat
ini masih bertahan dengan ajaran tersebut dan dikenal sebagai komunitas Baduy.
Pasukan terakhir melarikan diri ke arah Barat dan diminta menuju ke Gunung
Halimun untuk menyelamatkan sistem pertanian dan sampai saat ini bertahan
sebagai komunitas kasepuhan yang tinggal di sekitar Gunung Halimun dan
Gunung Salak.
Berdasarkan tapak tilas yang sampai saat ini masih dapat dilihat, diketahui
bahwa komunitas kasepuhan pertama kali didirikan di Bogor, yaitu di Kampung
Cigudeg, Leuwiliang. Sebelum Indonesia merdeka, komunitas kasepuhan
berpindah berturut-turut sesuai wangsit yang diterima ketua adat ke Lebak Larang
(Banten), Lebak Binong, Tegal Luhur, Bojong, Pasir Telaga, dan Pasir Jeungjing.
Semua daerah tersebut berada di sekitar Gunung Halimun dan sampai saat ini
komunitas yang ditinggalkan masih memegang aturan adat kasepuhan. Hal ini
31
dikarenakan perpindahan komunitas kasepuhan sesuai wangsit yang diterima oleh
“Abah” (sebutan bagi pimpinan kasepuhan) hanya dilakukan oleh pimpinan-
pimpinan kasepuhan. Sementara sebagian besar anggota kasepuhan (pengikut)
tetap tinggal dan melanjutkan ajaran kasepuhan. Pada Tahun 1959, lokasi
kepemimpinan kasepuhan berpindah dari Cicemet ke Cikaret dan bernama
kasepuhan Sinar Resmi dengan Abah Rusdi sebagai pimpinan kasepuhan. Pada
Tahun 1960, pimpinan kasepuhan digantikan oleh Abah Harjo karena pemimpin
sebelumnya meninggal. Tahun 1979 pusat kasepuhan dipindahkan ke Sinarasa
dan Kasepuhan Sinar Resmi ditinggalkan. Pada Tahun 1983, Abah Harjo
meninggal dan sesuai wasit kepemimpinan dilimpahkan ke Abah Ujat, namun
karena saat itu Abah Ujat menjabat sebagai kepala desa, kepemimpinan
kasepuhan kemudian dilimpahkan ke Abah Anom. Abah Anom kemudian
memindahkan kasepuhan ke Ciptarasa dan pada Tahun 2000 pindah ke Ciptagelar
yang dulunya di Cicemet.
Abah Ujat sendiri pada Tahun 1985 dikarenakan dorongan wangsit yang
kuat pada akhirnya membuka kasepuhan baru di Sinar Resmi. Pada Tahun 2003,
Abah Ujat meninggal dan berdasarkan wangsit kepemimpinan kasepuhan
dilimpahkan ke Abah Asep yang ada pada saat itu masih bekerja dan berdomisili
di Jakarta. Sementara kasepuhan Sinar Resmi tidak ada yang memimpin dan
kemudian Abah Uum yang merupakan saudara Abah Ujat mendirikan kasepuhan
Ciptamulya pada Tahun 2003. Karena kuatnya wangsit untuk memimpin
kasepuhan akhirnya pada tahun yang sama, Abah Asep menerima kepemimpinan
kasepuhan Sinar Resmi dan mengganti nama kasepuhan menjadi Kasepuhan Sinar
Resmi.
Berdasarkan sejarah tersebut sampai saat ini ada tiga pusat kasepuhan di
Desa Sinar Resmi yaitu Kasepuhan Ciptagelar, Ciptamulya, dan Sinar Resmi.
Anggota masing-masing kasepuhan merupakan pembagian dari anggota
kasepuhan yang pada masa Abah Ujat menjadi satu disesuaikan dengan batas-
batas alam dimana kedudukan anggota komunitas tinggal selain berdasarkan
keinginan anggota komunitas itu sendiri untuk memilih kepemimpinan komunitas
tertentu meskipun domisilinya tidak dalam batasan kasepuhan yang dipilihnya.
32
Kasepuhan Sinar Resmi sampai saat ini masih dipimpin oleh Abah Asep
yang membawahi sekitar 14.000 anggota kasepuhan, baik yang berada di wilayah
Desa Sinar Resmi maupun di luar wilayah ini. Sesuai dengan amanat didirikannya
kasepuhan untuk menyelamatkan sistem pertanian Kerajaan Pajajaran, sampai
saat ini sistem pertanian yang dilakukan oleh anggota komunitas kasepuhan masih
berupa sistem pertanian padi lahan tadah hujan dengan pola tanam sekali dalam
satu tahun.
4.2.2 Gambaran Masyarakat Adat Kasepuhan Sinar Resmi
Kasepuhan Sinar Resmi memiliki incu putu (pengikut) yang tersebar di
berbagai wilayah atau dusun. Para incu putu ini tidak hanya di Desa Sinar Resmi
tetapi juga menyebar di luar wilayah. Namun, dalam lingkup penelitian ini,
komunitas anggota kasepuhan yang digunakan adalah komunitas anggota
kasepuhan yang secara administratif bertempat tinggal di Kampung Sinar Resmi.
Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi memiliki mata pencaharian utama di
sektor pertanian, baik dari huma, sawah, dan kebun sedangkan mata pencaharian
sampingan seperti berdagang, tukang ojek, keterampilan pertukangan, dan lain-
lain. Berdasarkan tingkat pendidikan, masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi
sebagian besar hanya mengenyam pendidikan dasar. Saat ini akses masyarakat
untuk meneruskan pendidikan hingga tingkat lanjut sudah mudah meskipun untuk
sampai jenjang tingkat atas belum ada.
Masyarakat kasepuhan terbilang cukup terbuka terhadap pengaruh luar,
asalkan tidak bertentangan dengan aturan adat dan harus sesuai dengan izin dari
Abah. Hal tersebut terbukti dengan masuknya teknologi seperti televisi dan
handphone sehingga akses informasi menjadi lebih mudah. Adanya akses tersebut
membuat masyarakat mengenal Bahasa Indonesia meskipun bahasa sehari-hari
yang digunakan masyarakat kasepuhan adalah Bahasa Sunda.
Pemukiman masyarakat kasepuhan terlihat padat dan berkumpul dalam
satu lokasi yang saling berdekatan. Sebagian besar rumah masyarakat adat adalah
rumah panggung. Atap rumah terbuat dari rumbia dengan bangunan dari bambu
dan kayu. Tiap rumahtangga anggota kasepuhan memiliki leuit atau lumbung padi
yang letaknya tidak jauh dari rumah. Setiap rumah memiliki tungku api (hawu)
yang digunakan untuk menanak nasi.
33
4.3 Struktur Kelembagaan Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi
Kelembagaan yang ada dalam masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi telah
ada sejak dahulu. Kelembagaan tersebut menjadi sebuah tradisi yang dijalankan
secara turun-temurun. Dalam memimpin kasepuhan, Abah mempunyai perangkat
adat yang memiliki tugas masing-masing dan sifatnya turun-temurun. Dalam hal
ini, perangkat adat sebagai aktor dalam kegiatan kelembagaan. Perangkat adat
yang tidak dapat menjalankan tugasnya akan menurunkan jabatannya kepada
kerabatnya melalui wangsit yang akan diterima anggota keluarganya. Orang yang
menerima wangsit tersebut akan menjadi perangkat adat yang baru. Berikut
adalah struktur kelembagaan adat yang ada di Kasepuhan Sinar Resmi:
Gambar 3. Struktur Kelembagaan Adat Kasepuhan Sinar Resmi
Sumber : Sekretaris Kasepuhan Sinar Resmi, Tahun 2011
Gambar struktur kelembagaan adat di atas merupakan sejumlah perangkat
adat yang membantu tugas Abah dalam memimpin Kasepuhan Sinar Resmi.
Masing-masing perangkat menjalankan tugas sesuai dengan fungsinya. Mereka
menjalankan tugas sebagai sebuah amanah dan kewajiban sehingga tidak
mendapatkan imbalan apapun. Abah dibantu oleh sejumlah staf ahli (penasehat)
PENGHULU
GANDEK
BENGKONG
TUTUNGGUL
DUKUN
KOKOLOT
LEMBUR
CANOLI
EMA’
BEURANG
NGURUS
LEUIT
TUKANG
BANGUNAN KEMIT
PARAJI
KOKOLOT
LEMBUR
KOKOLOT
LEMBUR
TUKANG
DAPUR
KOKOLOT
LEMBUR
KASENIAN TUKANG
PARA
KOKOLOT
LEMBUR
KOKOLOT
LEMBUR
TUKANG
BEBERSIH
KOKOLOT
LEMBUR
PANDAY
DUKUN
HEWAN
PAMORO PAMAKAYAN
INCU PUTU (MASYARAKAT ADAT)
34
dalam bidang agama dan negara (garis fungsional). Secara struktural, posisi
perangkat adat di bawah Abah terdiri dari wakil-wakil Abah (dukun, penghulu,
kokolot lembur, dll). Abah Asep membentuk posisi baru yaitu sekretaris adat
tetapi posisi tersebut tidak masuk dalam struktur kelembagaan adat di kasepuhan.
Tugas dari sekretaris adalah mencatat jumlah incu putu (pengikut) dan mencatat
jumlah pemasukan padi saat pesta tani yang diadakan satu kali setahun setelah
panen sebagai rasa syukur. Pesta tani ini dikenal di masyarakat dengan sebutan
seren taun. Selain itu, sekretaris mewakili Abah dalam berhubungan dengan dunia
luar. Adapun tugas atau fungsi dari tiap-tiap perangkat adat adalah sebagai
berikut:
1. Tutunggul adalah seseorang yang bertugas untuk memimpin kasepuhan
yang tidak lain adalah Abah sendiri.
2. Gandek adalah seseorang yang menjadi pengawal atau ajudan kasepuhan.
Tugas gandek adalah melayani seluruh keperluan Abah dan mengawal
kemanapun Abah pergi.
3. Dukun adalah seseorang yang tugasnya mengobati orang yang sakit dan
mencegah terjadinya wabah. Pengetahuan dalam pengobatan didapatkan
secara turun-temurun dengan menggunakan obat tradisional.
4. Penghulu adalah seseorang yang memimpin doa saat upacara adat
dilaksanakan. Penghulu mempunyai posisi yang penting karena setiap
kegiatan kasepuhan selalu diawali dengan upacara adat.
5. Bangkong adalah seseorang yang bertugas untuk mengkithan anak-anak
kasepuhan.
6. Paraji adalah seseorang yang bertugas untuk membantu dalam persalinan
dan perias pengantin.
7. Pamakayan adalah seseorang yang bertugas untuk mengatur kegiatan
pertanian baik sawah maupun huma.
8. Pamoro adalah seseorang yang bertugas memburu hewan dan mengusir
hewan yang mengganggu tanaman.
9. Kemit adalah seseorang yang menjaga kasepuhan pada malam hari.
10. Tukang bangunan adalah seseorang yang bertugas untuk membangun
rumah adat dan bangunan lainnya yang dibutuhkan oleh masyarakat adat.
35
11. Ngurus leuit adalah seseorang yang bertugas untuk mengurus lumbung
komunal masyarakat adat kasepuhan yang disebut leuit sijimat.
12. Ema’ beurang adalah seseorang yang bertugas menolong ibu-ibu saat
melahirkan.
13. Tukang bebersih adalah seseorang yang tugasnya membersihkan
lingkungan kasepuhan.
14. Dukun hewan adalah seseorang yang mempunyai tugas mengobati hewan
atau tugasnya layaknya dokter hewan.
15. Canoli adalah seseorang yang bertugas untuk mengambil beras dari tempat
penyimpanan beras untuk dimasak pada upacara adat. Canoli juga
bertugas dalam membantu memasak beras tersebut.
16. Tukang para adalah seseorang yang bertugas untuk mengurus upacara
besar kasepuhan serta mengurus berbagai jenis kue yang digunakan dalam
ritual upacara tersebut.
17. Kasenian adalah seseorang yang bertugas dalam hal kelestarian kesenian
kasepuhan.
18. Tukang dapur adalah orang yang bertugas untuk mengurus kegiatan
memasak di rumah Abah.
19. Panday adalah seseorang yang bertugas untuk membuat peralatan tani
seperti cangkul dan arit.
20. Incu putu adalah masyarakat kasepuhan Sinar Resmi baik yang tinggal di
Desa Sinar Resmi maupun yang tidak.
21. Kokolot lembur adalah perwakilan abah di setiap wilayah tertentu yang
ditunjuk oleh Abah. Tugas yang harus dijalankan oleh kokolot lembur
adalah mewakili incu putu. Berbeda dengan pengurus kasepuhan yang
lain, kokolot lembur dipilih berdasarkan syarat-syarat seperti: (1)
dipercaya oleh incu putu, (2) mampu mewakili incu putu untuk
menghadap Abah, dan (3) memiliki pengetahuan dan kecakapan yang
baik.
4.4 Aturan Adat, Sanksi, dan Monitoring Terhadap Aturan
Kehidupan masyarakat adat kasepuhan Sinar resmi tidak terlepas dari
filosofi hidup, “tilu sapamulu, dua sakarupa, hiji eta-eta keneh”, yang berarti
36
“tiga sewajah, dua serupa, satu yang itu juga”. Filosofi tersebut mengandung nilai
bahwa hidup dapat berjalan dengan tenteram dan baik apabila tiga syarat dapat
dipenuhi, yaitu: (1) tekad, ucap, dan lampah (niat, ucapan, dan tindakan) yang
selaras dan dapat dipertanggungjawabkan kepada incu putu (masyarakat
Kasepuhan Sinar Resmi) dan sesepuh (orang tua dan nenek moyang); (2) jiwa,
raga, dan perilaku yang selaras dan berakhlak; (3) kepercayaan adat sara, nagara,
dan mokaha harus selaras, harmonis, dan tidak saling bertentangan satu dengan
lainnya.
Kehidupan masyarakat kasepuhan tidak terlepas dari berbagai aturan adat.
Semua aturan adat selalu dikaitkan dengan adanya perintah dari leluhur yang terus
dipelihara oleh masyarakat kasepuhan. Perintah leluhur tersebut berupa wangsit
yang diberikan melalui Abah selaku ketua adat. Pelanggaran terhadap aturan adat
tidak mendapatkan sanksi secara sosial tetapi akan mendapatkan hukuman dari
leluhur berupa “kabendu”. Kabendu berasal dari kata bendu yang artinya marah.
Menurut kepercayaan masyarakat kasepuhan, kabendu merupakan sanksi berupa
penyakit yang tidak dapat disembuhkan secara medis akibat dari kemarahan
leluhur. Seseorang yang diberikan kabendu, maka hidupnya selalu gelisah dan
merasa bersalah. Untuk menghilangkan kabendu tersebut maka seseorang harus
ingat kesalahan atau pelanggaran yang diperbuat. Lalu, ia harus memohon
ampunan kepada leluhur lewat Abah dan dilakukan ritual yang bertujuan untuk
pembersihan diri.
Kepercayaan terhadap leluhur, wangsit, dan ketakutan terhadap kabendu
membuat tradisi tetap terpelihara dengan baik. Meskipun demikian, pengaruh
globalisasi mengubah gaya hidup masyarakat terutama dalam bidang komunikasi.
Masyarakat telah mengenal televisi, parabola, dan menggunakan handphone
untuk berkomunikasi dengan dunia luar. Beberapa rumah penduduk sudah mulai
menggunakan beton. Bahkan pupuk kimia telah digunakan oleh sebagian
masyarakat kasepuhan. Perubahan gaya hidup tersebut dapat dilakukan atas restu
dari Abah. Selama Abah merestui maka leluhur dianggap merestui juga.
Aturan tidak hanya dalam sistem pola kehidupan masyarakat tetapi juga
dalam aksitektur rumah memiliki aturan sendiri, seperti:
37
1. Rumah adat berupa rumah panggung yang dipercaya bahwa rumah
panggung tersebut memenuhi prinsip tilu sapamulu (siku penyangga
rumah berbentuk segitiga). Selain itu, rumah panggung ditujukan untuk
menghindari aliran udara dingin dan binatang agar tidak masuk ke dalam
rumah.
2. Atap rumah terbuat dari ijuk pohon aren dengan bentuk segitiga dan bulat.
Bentuk segitiga memiliki arti sebagai kesatuan agama, negara, dan adat
yang harus berjalan selaras sedangkan bentuk bulat merupakan tanda
bahwa manusia berasal dari lubang (tanah) dan akan kembali lagi ke
lubang. Menurut penuturan sekretaris adat alasan penggunaan ijuk
daripada genteng adalah sebagai berikut: “genteng kan terbuat dari tanah,
masa kita masi hidup teh uda di timbun pake tanah”. Jadi alasan tersebut
menjadi dasar pemilihan atap rumah menggunakan ijuk pohon aren.
3. Berdasarkan aturan adat kasepuhan dinding rumah terbuat dari bambu. Hal
tersebut ditujukan apabila masyarakat ingin berpindah rumah mereka tidak
harus membangun kembali. Menurut sejarah kasepuhan, masyarakat hidup
berpindah-pindah sehingga mereka menggunakan bahan rumah yang
mudah dibongkar pasang.
4. Waktu pengambilan kayu dihitung berdasarkan hari dan tanggal yang baik.
Masyarakat kasepuhan memiliki tanggal terlarang untuk mengambil kayu
yaitu tanggal 1 Bulan Safar sampai tanggal 15 Bulan Maulid.
5. Menghitung permukaan pintu keluar dan pintu masuk didasarkan pada hari
lahir.
Meskipun masyarakat kasepuhan beragama Islam tetapi mereka masih
menganut sistem keparcayaan terhadap lelulur. Misalnya, dalam sistem pertanian
masyarakat menggunakan ritual atau upacara adat dari persiapan penanaman
hingga perayaan hasil panen atau seren taun. Menurut masyarakat kasepuhan,
padi dimaknai sebagai Dewi Sri atau Nyi Pohaci (ibu) sehingga terdapat tata cara
khusus sebagai bentuk penghormatan. Masyarakat dilarang untuk menjual beras
tetapi mereka diperbolehkan untuk menerima beras. Padi pun harus ditumbuk
menggunakan lesung dan memasaknya harus menggunakan kayu bakar.
38
BAB V
STRUKTUR PENGUASAAN TANAH LOKAL
5.1 Pola Pemilikan Lahan
Lahan merupakan faktor utama bagi masyarakat pedesaan terutama yang
menggantungkan hidupnya dari bidang pertanian. Pada masyarakat pedesaan yang
semakin kompleks dan semakin tipisnya batasan antara kota dan desa
menyebabkan proses transformasi ini semakin cepat sehingga berpengaruh
terhadap pola pemilikan lahan yang ada di pedesaan. Hal ini sesuai dengan hasil
penelitian BAPPENAS-PSE-KP (2006) dalam Mardyaningsih (2010) yang
menyebutkan bahwa proses dan mekanisme perubahan lahan di pedesaan
merupakan hasil interaksi dari berbagai faktor yang menentukan keputusan baik
perorangan, kelompok maupun pemerintah melakukan perubahan kepemilikan
lahan yang didorong oleh kekuatan eksternal (pasar, sistem administratif yang
dikembangkan pemerintah dan kepentingan politik).
Saat ini masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi yang berada di Kampung
Sinar Resmi berada di Kawasan Tanaman Nasional Gunung Halimun-Salak
(TNGHS). Bahkan sebagian besar hutan yang berada di sebelah selatan Gunung
Halimun dianggap sebagai hutan adat masyarakat. Oleh karena itu sejarah
penguasaan tanah di masyarakat Kampung Sinar Resmi tidak bisa terlepas dari
keberadaan TNGHS sebagai pengelola kawasan pada saat ini.
Menurut Pakpahan et al. (1992) dalam Mardyaningsih (2010) pemilikan
lahan/status pemilikan lahan diartikan sebagai lahan yang dikuasai atau dimiliki
oleh perorangan, sekelompok orang atau lembaga/organisasi. Hak milik ini pada
umumnya secara formal dibuktikan dengan sertifikasi terhadap kepemilikan lahan
yang dikeluarkan oleh pemerintah. Jika sertifikat lahan belum ada minimal
pemilik memiliki nomor girig atau diakui status kepemilikan berdasarkan
kesepakatan tertentu. Dalam pengelolaan lahan pertanian terutama lahan pertanian
padi sawah, belum tentu produksi pertanian dengan hasil pertanian yang cukup
tinggi disebabkan oleh kepemilikan lahan yang luas. Dalam usahatani yang
modern kadang-kadang petani tidak harus memiliki lahan sendiri namun dapat
mengolah lahan dengan cara lain.
39
Pola pemilikan lahan pada masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi pada
umumnya merupakan kepemilikan lahan komunal. Lahan pertanian maupun hutan
yang menjadi penjamin nafkah hidup masyarakat merupakan lahan milik adat.
Secara resmi sebagian besar lahan pertanian dan hutan (terutama) berada dalam
kawasan TNGHS. Lahan-lahan pertanian yang lain merupakan lahan di luar
kawasan namun dimiliki oleh adat, hanya sedikit yang merupakan milik
individual. Pemilikan individual terutama berupa lahan-lahan yang dekat jalan
besar yang jauh dari pusat kasepuhan.
Salah satu ciri umum struktur dasar pertanian di Desa Sinar Resmi ialah
satuan usaha tani rata-rata sangat kecil, yakni 0.19 hektar per rumahtangga, dan
jumlah petani kecil sekitar 1316 rumahtangga. Proporsi usaha tani yang memiliki
lebih dari 1 hektar hanya 4 persen. Berikut tabel yang menunjukkan penyebaran
aset tanah di Desa Sinar Resmi:
Tabel 6. Jumlah dan Persentase Rumahtangga menurut Luas Pemilikan Tanah di Desa Sinar Resmi Tahun 2009
Luas Tanah Jumlah (n) PersentaseLuas 221 14.37Sedang 190 12.36Sempit 448 29.15Tunakisma 678 44.12 1537 100Sumber: Desa Sinar Resmi, 2009
Berdasarkan Tabel 6 dapat dilihat bahwa pemilikan tanah di Desa Sinar
Resmi sangatlah terbatas. Sebanyak 44.12 persen merupakan masyarakat yang
tunakisma. Hal ini dapat berdampak terhadap status mereka dalam pengusahaan
lahan pertanian. Status masyarakat dalam pengelolaan dapat berbeda sesuai
dengan akses yang dimiliki seseorang terhadap sumberdaya tanah. Tabel 7
menyajikan komposisi responden berdasarkan status garapan yang terdapat di
masyarakat Kampung Sinar Resmi.
Tabel 7. Jumlah dan Persentase Rumahtangga menurut Status Garapan di Kampung Sinar Resmi Tahun 2011
Status Jumlah (n) PersentasePemilik 2 6.4Penggarap 4 13Pemilik dan penggarap 25 80.6 31 100.0Sumber: Data Primer (diolah), 2011
40
Jumlah proporsi pemilik penggarap lebih besar dibandingkan hanya
sebagai pemilik maupun hanya sebagai penggarap. Namun, dalam luasan yang
dimiliki pada umumnya berada pada skala kecil seperti yang ditunjukkan oleh
Tabel 8:
Tabel 8. Jumlah dan Persentase Rumahtangga menurut Luas Pemilikan Tanah di Kampung Sinar Resmi Tahun 2011
Luas Tanah Jumlah (n) PersentaseLuas 6 19.3Sedang 6 19.3Sempit 14 45.2Tunakisma 5 16.2 31 100.0Sumber: Data Primer (diolah), 2011
Sebagian besar penduduk memiliki lahan di bawah 0,5 hektar. Hal ini
menunjukkan walaupun masyarakat sebagian besar sebagai pemilik penggarap,
namun luas yang dimiliki jumlahnya sedikit. Pemilikan tanah masyarakat yang
terbatas mendorong berbagai kegiatan yang membuka akses petani terhadap tanah
yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan dan peningkatan kesejahteraan.
Masyarakat yang berada di penguasaan lahan sempit sebesar 45.2 persen dengan
rata-rata 0.13 hektar, penguasaan lahan sedang dengan rata-rata 0.4 hektar, dan
penguasaan lahan luas dengan rata-rata 1.0 hektar.
5.2 Pola Penguasaan Lahan
Pola penguasaan lahan dalam pertanian desa oleh Darwis (2008) dalam
Mardiyaningsih (2010) diklasifikasikan statusnya menjadi hak milik, sewa, sakap
(bagi hasil) dan gadai. Pakpahan et al. (1992) dalam Mardiyaningsih (2010)
mendefinisikan sewa, sakap, dan gadai sebagai bentuk penguasaan lahan dimana
terjadi pengalihan hak garap dari pemilik lahan kepada orang lain. Pada
masyarakat pedesaan ketiga bentuk penguasaan lahan tersebut pada umumnya
mempunyai aturan tertentu yang disepakati maupun tanpa menggunakan jaminan
surat-surat berharga yang secara formal disahkan oleh pemerintah (misalnya:
sertifikat lahan). Masyarakat Kampung Sinar Resmi menguasai tanah melalui
berbagai bentuk meliputi milik, sewa, sakap (bagi hasil), dan gadai. Melalui
bentuk-bentuk tersebut diharapkan dapat meningkatkan produksi yang pada
41
akhirnya dapat meningkatkan kedaulatan pangan masyarakat. Penguasaan tanah di
Kampung Sinar Resmi dapat dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9. Jumlah dan Persentase Rumahtangga menurut Luas Penguasaan Tanah di Kampung Sinar Resmi Tahun 2011
Luas Tanah Jumlah (n) PersentaseLuas 7 22.6Sedang 8 25.8Sempit 16 51.6 31 100.0Sumber: Data Primer (diolah), 2011
Penguasaan tanah masyarakat Kampung Sinar Resmi didominasi oleh
penguasaan lahan sempit atau 0-0.25 hektar yakni 51.6 persen masyarakat berada
dalam kategori tersebut. Masyarakat yang tidak memiliki tanah dapat menguasasi
tanah pertanian dengan cara gadai, menyewa, dan menjadi buruh. Penguasaan
lahan sempit mempunyai rata-rata luas sebesar 0.08 hektar. Sebagian besar dari
kategori tersebut menambah luas garapan mereka dengan membuka huma di tanah
gogolan atau lahan komunal dan menjalin hubungan kerja dengan masyarakat lain
sesuai dengan ketentuan yang disepakati bersama seperti sewa, gadai, dan bagi
hasil (maro). Penguasaan lahan sedang terdiri dari 25.8 persen masyarakat dengan
penguasaan rata-rata 0.37 hektar sedangkan penguasaan lahan luas terdiri dari
22.6 persen dengan rata-rata 1.0 hektar.
Pada masyarakat Kampung Sinar Resmi, kepemilikan tanah dapat berupa
milik kasepuhan atau tanah komunal, tanah ini biasa dijadikan huma oleh
masyarakat. Anggota komunitas mendapat hak untuk menguasai dalam hal ini
sebagai pengelola lahan dimana anggota komunitas tersebut berhak untuk
menggarap lahan komunal. Hak garap ini jika tidak sanggup dilakukan oleh satu
keluarga dapat dialihkan kepada anggota komunitas yang lain dengan sistem bagi
hasil (sakap) namun lahan-lahan ini tidak dapat diperjualbelikan dan menuruti
aturan adat dalam pola pengelolaannya.
Masyarakat yang ikut membuka lahan di huma diatur oleh hukum adat
yakni dapat memiliki huma sebagai lahan pertanian tetapi tanah tersebut tidak
boleh dijual. Tanah dapat diwariskan kepada keluarga yang ingin mengelola. Jika
sudah tidak dapat mengelola maka pihak lain dapat menggunakan tanah tersebut.
Melalui pengelolaan huma, maka masyarakat yang tidak memiliki tanah akan
memiliki akses terhadap sumberdaya vital produksi sehingga dapat meningkatkan
42
kedaulatan pangan rumahtangga Kampung Sinar Resmi. Tabel 10 menyajikan
data mengenai penguasaan huma di Kampung Sinar Resmi.
Tabel 10. Jumlah dan Persentase Rumahtangga menurut Luas Penguasaan Huma di Kampung Sinar Resmi Tahun 2011
Luas Tanah Jumlah (n) Persentase Tidak mengikuti 16 51.6Luas 0 0Sedang 0 0Sempit 15 48.4 31 100Sumber: Data Primer (diolah), 2011
Terlihat dalam Tabel 10 bahwa 48.6 persen penduduk mengelola huma
serta mempunyai luas rata-rata 0.03 hektar. Sisanya tidak mengelola huma karena
kondisi waktu yang terbatas untuk mengelola huma dan kondisi lainnya. Pada
dasarnya kegiatan ngahuma merupakan suatu hal yang penting dalam perjuangan
hidup mereka sebagai suatu kelompok sosial. Kegiatan ngahuma juga merupakan
suatu tradisi untuk melanjutkan tatali paranti karuhun (tata cara nenek moyang).
Masyarakat juga percaya bahwa huma merupakan wujud nyata hubungan
masyarakat dengan alam.
5.3 Hubungan Struktur Penguasaan Tanah terhadap Kelembagaan Pangan Lokal
Pola pemilikan lahan dan penguasaan lahan berkaitan dengan
kelembagaan pangan dalam membangun kemampuan rumahtangga dalam
mencukupi pangannya sendiri. Pada masyarakat pedesaan yang menggantungkan
nafkahnya pada sektor pertanian, pola hubungan sosial ikut berubah seiring
dengan perubahan pemilikan dan penguasaan lahannya. Dalam tulisan Sajogyo
(1992) dalam Mardyaningsih (2010) dijelaskan bahwa modernisasi di pedesaan
Jawa hanya menguntungkan petani-petani berlahan luas dan mendorong
terjadinya akumulasi penguasaan lahan yang menyebabkan petani-petani kecil
menjadi buruh di lahannya sendiri. Hal tersebut juga mendorong tersingkirnya
perempuan dari sektor pertanian karena kemudian laki-laki yang tadinya petani di
lahannya sendiri berubah menjadi buruh tani dan mengambil peran perempuan
dalam sektor pertanian dikarenakan tidak adanya kesempatan kerja lain di
43
pedesaan dan dengan sendirinya tingkat ketergantungan perempuan perempuan
dalam rumahtangga terhadap laki-laki meningkat.
Kondisi tersebut belum terjadi pada masyarakat Kampung Sinar Resmi.
Dalam pengelolaan lahan pertanian peran laki-laki dan perempuan relatif
seimbang dan sama-sama dalam pengerjaan budidaya pertanian mulai dari
persiapan lahan sampai proses pengolahan hasil panen. Meskipun demikian
terdapat juga beberapa perbedaan jenis kegiatan yang dilakukan oleh laki-laki dan
perempuan. Terdapat aturan tertentu yang hanya memperbolehkan laki-laki atau
perempuan saja yang mengerjakan suatu kegiatan budidaya pertanian. Dalam
persiapan lahan sawah yang menggunakan bajak dan cangkul harus dilakukan
oleh laki-laki. Begitu pula yang memberi doa dan pemilihan benih padi harus
Abah sebagai ketua adat. Untuk menanam, memelihara tanaman (ngoret),
memupuk dan memanen dapat dilakukan baik laki-laki maupun perempuan.
Untuk menumbuk padi hanya diperbolehkan dilakukan oleh perempuan. Dari
pembagian kerja tersebut, peran laki-laki dan perempuan cukup seimbang dalam
bidang pertanian.
Kelembagan lokal yang berkembang di masyarakat cukup baik antara
pemilik lahan dan tenaga kerja di Kampung Sinar Resmi relatif seimbang. Pola-
pola hubungan kerja yang dikembangkan masih berupa hubungan gotong royong
dan tidak bersifat komersial. Pada umumnya untuk memenuhi kebutuhan tenaga
kerja di luar tenaga kerja rumahtangga atau keluarga, sistem yang digunakan
adalah saling membantu dan bergiliran dalam mengerjakan lahan pertanian antara
satu keluarga dengan keluarga yang lain (gilir balik tenaga kerja). Sistem
membantu tersebut dinamakan sistem ngepak. Memanen di sawah orang lain dan
menerima sebagian dari hasil panenan sebagai upah memanen merupakan
kebiasaan di Desa Sinar Resmi. Pemanen menerima upah memanen 1/5 bagian
(20 persen) dari hasil yang dipanen dimana setiap 5 pocong padi yang dihasilkan
tenaga kerja yang memotong padi mendapat upah satu ikat. Ikatan-ikatan padi
biasanya disimpan di sawah/huma selama satu bulan untuk proses pengeringan
dengan ditutup daun patat. Setelah sekitar satu bulan dilakukan penggantian
ikatan pada padi (di-pocong ulang). Pada saat penggantian tali pocong ini,
biasanya dibantu tenaga kerja dari tetangga namun tidak memberikan upah, tetapi
44
hanya menyediakan makanan. Kegiatan ini biasa dilakukan bergantian antar
rumahtangga tergantung ketersediaan waktu dari tenaga kerja yang dibutuhkan.
Masyarakat yang datang membantu dengan niat untuk bekerja tidak dapat ditolak
oleh pemilik sawah. Namun pemilik mempunyai hak untuk menentukan batas
jumlah yang ikut, dan keputusan ini ditaati oleh warga yang ikut.
Masyarakat di Kampung Sinar Resmi mengenal penguasaan tanah melalui
sistem gadai yakni penguasaan tanah dimana seseorang dapat menguasai tanah
dari pemilik asli berdasarkan kontrak. Pada umumnya masyarakat yang
mempunyai tanah menggadaikan tanah karena membutuhkan sejumlah uang, jika
menjual tanah dirasa kurang baik karena akan dapat membayar uang tersebut
dalam waktu jangka pendek. Masyarakat yang terlibat dalam gadai dapat dilihat
pada Tabel 11.
Tabel 11. Jumlah dan Persentase Rumahtangga menurut Luas Penguasaan Tanah dengan Cara Gadai Tahun 2011
Luas Tanah Jumlah (n) PersentaseTidak mengikuti 29 93.5Luas 0 0Sedang 0 0Sempit 2 6.5 31 100Sumber: Data Primer (diolah), 2011
Masyarakat yang terlibat dalam sistem gadai sangat sedikit, dari seluruh
responden hanya 6.5 persen yang terlibat dalam sistem gadai dengan rata-rata
penguasaan 0.1 hektar. Hal ini karena masyarakat masih memiliki hubungan yang
sangat harmonis dan saling tolong-menolong sehingga masyarakat yang tidak
mempunyai tanah dan modal bisa tetap menghasilkan padi.
Apabila sawah sudah digadaikan, maka seluruh keputusan yang
menyangkut penggarapan sawah tersebut, termasuk soal biaya faktor-input, dan
tenaga kerja berada di tangan pemegang gadai. Begitu juga dengan pemungutan
seluruh hasil sawah tersebut.
Menguasai sebidang sawah melalui kontrak gadai, lebih baik dan lebih
menguntungkan karena kekuasaan penggarapan dan pemungutan hasil seluruhnya
di tangan pemegang gadai. Namun, tentu tidak semua orang bisa jadi pemegang
gadai, diperlukan modal yang relatif besar untuk itu. Kontrak gadai selalu dimulai
45
dengan masalah kebutuhan uang yang mendadak dalam jumlah yang relatif besar
dari pihak pemilik lahan, misalnya untuk membiayai kebutuhan mendadak.
Karena tidak mempunyai harta lain, maka menggadaikan sawah merupakan
pilihan jalan keluar yang terbaik dari kesulitan keuangan tersebut. sementara itu
meminjam uang ke bank memerlukan prosedur yang panjang. Ada beberapa
alasan mengapa masyarakat lebih suka gadai daripada menjual. Pertama, menjual
sawah dalam keadaan terdesak akan menurunkan harga sawah. Kedua, jumlah
uang yang dibutuhkan jauh lebih kecil daripada harga sawah yang akan dijual.
Ketiga, pemilik sawah mempunyai keyakinan bahwa dia akan dapat membayar
hutangnya dalam waktu singkat.
Sistem bagi hasil dikenal masyarakat Kampung Sinar Resmi dalam
meningkatkan akses rumahtangga mencapai kedaulatan pangan. Sistem bagi hasil
lebih dikenal di masyarakat Kampung Sinar Resmi dengan istilah maro. Dalam
sistem maro pembagian hasil antara pemilik dan penggarap 50:50. Biasanya ada
selisih jika dalam pengolahan lahan terdapat biaya lain seperti penyediaan pupuk
dan lainnya. Maka untuk penghitungan hasil-biaya pembelian dikurangi terlebih
dahulu sebelum dibagi rata. Hal ini sesuai dengan penuturan UG yang mengikuti
sistem maro:
“…kalo maro mah bagi padina dibagi dua, jadi setengah di yang
punya tanah dan setengah lagi di yang ngerjain. Biasana hasil
dikurangi dulu dengan ongkos-ongkos alat dan lainnya…”
Umumnya yang melakukan kontrak maro adalah keluarga dekat. Kontrak
maro dengan orang di luar keluarga dekat sangat jarang, namun bukan tidak
mungkin. Kalau ada, maka kontrak ini dibuat dengan tetangga dekat, atau antara
klien dan patron dimana sang patron adalah pemilik tanah.
Kontrak maro yang dibuat antara anak-orang tua sebenarnya lebih
merupakan bantuan kekerabatan daripada hubungan bisnis. Karena kontrak seperti
ini lebih menguntungkan pihak pemaro (anak). Disini semua tenaga kerja berasal
dari pemaro, faktor input seperti benih dan pupuk ditanggung bersama.
Pengambilan keputusan penting dalam penggarapan, misalnya berapa jumlah
pupuk berada di tangan pemaro. Namun pada masa awal kontrak, sang pemaro
46
sering berkonsultasi dengan pemilik lahan (orang tua) dan merupakan pelajaran
bertani yang diberikan orang tua kepada anaknya. Dalam kontrak maro dengan
orang lain, faktor input ditanggung pemaro. Karena reputasi pemaro sebagai
petani sawah sudah dikenal baik oleh pemilik sawah, biasanya pengambilan
keputusan dalam pengerjaan sawah juga diserahkan kepada pemaro. Dalam
kenyataan, pemilik sawah dalam waktu tertentu perlu bertanya mengenai
perkembangan usaha karena pemilik sawah juga peduli dengan jumlah produksi
sawah tersebut. Penguasaan tanah melalui sistem maro di Kampung Sinar Resmi
dapat dilihat pada Tabel 12.
Tabel 12. Jumlah dan Persentase Rumahtangga menurut Luas Penguasaan Tanah dengan Cara Maro Tahun 2011
Luas Tanah Jumlah (n) PersentaseTidak mengikuti 27 87Luas 0 0Sedang 1 3.3Sempit 3 9.7 31 100Sumber: Data Primer (diolah), 2011
Masyarakat yang terlibat dalam sistem maro sangat sedikit terbukti hanya
13 persen. Sebanyak 9.7 persen masyarakat menguasai luas lahan sempit dengan
rata-rata 0.12 hektar dan sisanya berada di penguasaan lahan sedang dengan rata-
rata 0.28 hektar. Responden mengaku bahwa mereka terlibat sistem maro dengan
keluarga mereka. Berikut pernyataan Bapak OM:
“ …kalo abdi teh maro nya ama orang tua, biasana hasil panen
dibagi dua. Orang tua ngasi aja tanah buat dikerjakeun, abdi ka
sawah. Kalo panen hasil dikurangi biaya-biaya nyawah, baru
dibagi dua…”
Responden menyatakan bahwa sistem ini cukup menguntungkan karena
hanya bermodalkan tenaga kerja. Biaya yang melingkupi produksi dan resiko
ditanggung bersama.
5.4 Struktur Penguasaan Tanah dalam Membangun Kedaulatan Pangan
Akses terhadap sumberdaya tanah merupakan salah satu indikator
kedaulatan pangan. Akses yang merata dan adil akan mendorong masyarakat
47
untuk meningkatkan kedaulatan pangan. Masyarakat yang mempunyai tanah tidak
mempunyai masalah dalam mengusahakan pertanian namun menjadi masalah
ketika terdapat masyarakat tidak mempunyai tanah.
Pada dasarnya masyarakat mempunyai akses terhadap tanah komunal yang
ketentuan pengelolaannya juga diatur oleh adat setempat. Masyarakat dapat
membuka tanah untuk dijadikan huma kemudian mengolahnya untuk
menghasilkan padi. Namun, tidak semua masyarakat ikut dalam mengelola huma
seperti yang terlihat pada Tabel 10. Hal tersebut dikarenakan oleh terbatasnya alat
produksi dan jarak yang jauh untuk bisa mencapai lokasi huma. Selain itu,
ngahuma juga menghasilkan padi yang sedikit sehingga membuat petani yang
tidak mempunyai tanah lebih memilih untuk menjadi penggarap di tanah orang
lain.
Masyarakat dapat menguasai tanah baik melalui milik, sewa, bagi hasil,
ataupun gadai. Masyarakat yang tidak dapat mengakses sumberdaya tanah sebagai
lahan pertanian dapat memenuhi kebutuhan dengan menjadi pekerja untuk orang
lain. Seperti salah seorang penduduk yang memenuhi kebutuhan pangan sehari-
hari diperoleh dari hasil membantu Abah atau masyarakat yang membutuhkan
tenaga kerja. Berikut pernyataan RS mengenai kondisi pemenuhan kebutuhannya:
“ …abdi tidak punya tanah, tapi dapat padi dari Abah atau
masyarakat yang butuh bantuan tenaga kerja. Abdi bekerja di
Abah mengurus leuit-nya dan dapat memperoleh padi dari leuit.
Abdi bisa ambil sendiri, Abah mah percaya…”
Pernyataan responden di atas menggambarkan hubungan saling tolong
menolong di masyarakat. Masyarakat yang tidak memiliki tanah dapat bekerja
pada orang lain yang membutuhkan atau hanya sekedar membantu panen. Hal
tersebut sangat berpengaruh terhadap peningkatan kedaulatan pangan
rumahtangga yang kurang mampu mengakses sumberdaya. Selain itu, rasa saling
percaya juga sangat kuat dalam berhubungan dengan masyarakat terlihat dari rasa
percaya Abah kepada orang yang membantunya untuk mengambil sendiri padi
yang dibutuhkan
.
48
5.5 Ikhtisar
Kampung Sinar Resmi merupakan kampung yang masyarakatnya sebagian
besar hidup dari usaha pertanian. Salah satu faktor penting dalam pengusahaannya
yakni tanah. Tanah sebagai sumberdaya vital dalam proses produksi. Oleh karena
itu, struktur penguasaan tanah yang berkembang sangat penting untuk mengetahui
kemampuan rumahtangga dalam mencapai kedaulatan pangan.
Sebagian besar rumahtangga merupakan petani pemilik penggarap.
Namun, luasan yang mereka miliki rata-rata kecil yakni kurang dari 0.25 hektar
per rumahtangga. Rumahtangga yang tidak memiliki tanah dapat menggarap tanah
dengan cara memperolehnya dari orang lain melalui sewa, sakap, dan gadai. Cara
tersebut membantu masyarakat untuk memenuhi kebutuhan pangan. Selain itu
masyarakat juga bisa mengelola huma di tanah komunal yang pengaturannya
diatur oleh adat.
Dalam membangun kedaulatan pangan akses tanah sangat penting,
sebagian masyarakat di Kampung Sinar Resmi dapat mengakses tanah. Untuk
masyarakat yang kurang dapat memenuhi kebutuhan pangannya melalui
hubungan saling tolong-menolong untuk dapat memenuhi kebutuhan.
49
BAB VI
MENUJU KEDAULATAN PANGAN MASYARAKAT
KAMPUNG SINAR RESMI
6.1 Karakteristik Kedaulatan Pangan
Kedaulatan masyarakat mempunyai tujuan untuk mensejahterakan
masyarakat. Dalam proses membangun kedaulatan pangan terdapat karakteristik
yang mencerminkan bahwa suatu kondisi mencapai karakter yang ideal.
Kedaulatan pangan suatu masyarakat mempunyai karakter: produksi pangan lokal
serta memanfaatkan usahatani petani kecil dan keluarga yang agro-ekologis;
menjamin akses tanah dan sumber-sumber daya yang vital; menghormati peran
wanita dalam produksi pangan, akses atas sumberdaya; mendorong kontrol
komunitas atas sumberdaya produktif; dan melindungi benih dari pematenan.
6.2 Sistem Pertanian Lokal
Kegiatan pertanian merupakan salah satu sektor utama penghidupan
rumahtangga masyarakat Kampung di Sinar Resmi. Ada kepercayaan yang
diyakini oleh masyarakat kasepuhan bahwa siapa yang menggarap lahan pertanian
dan bermatapencaharian sebagai petani, tentu hidupnya tidak akan kekurangan.
Kegiatan pertanian yang dilakukan oleh masyarakat adalah pertanian sawah tadah
hujan, huma (ladang), dan kebun. Pertanian di huma maupun sawah merupakan
kegiatan pertanian yang mendominasi masyarakat kasepuhan karena dari huma
dan sawah ini masyarakat menanam padi yang merupakan komoditi pertanian
utama. Padi yang dihasilkan merupakan padi lokal yang disebut pare ageung.
Huma merupakan hal yang diutamakan dalam budaya masyarakat. Posisi
huma ini menganjurkan agar mengelola huma harus lebih dulu kemudian
mengelola sawah. Kegiatan ber-huma memanfaatkan musim penghujan, dimulai
sekitar bulan September sampai Oktober, kemudian diikuti menanam padi sawah.
Hasil dari menanam padi di huma dan sawah, nantinya ada yang masuk ke leuit
masing-masing rumahtangga dan adapula yang masuk ke leuit sijimat (lumbung
kasepuhan). Saat upacara seren Taun (pesta panen), setiap rumahtangga akan
memberi hasil padinya sekitar dua pocong untuk dimasukkan ke dalam leuit
sijimat yang digunakan sebagai cadangan pangan bagi masyarakat saat musim
50
paceklik. Selain itu, leuit sijimat dapat digunakan oleh masyarakat untuk
keperluan meminjam padi.
Dalam melaksanakan kegiatan menanam padi di huma maupun sawah,
masyarakat memiliki prosesi kegiatan sesuai dengan aturan adat yang berlaku.
Tahapan kegiatan menanam padi di huma dapat dilihat pada Tabel 13:
Tabel 13. Tahapan Kegiatan Menanam Padi di Huma menurut Bulan dan Pelaksana di Kampung Sinar Resmi Tahun 2011
No Kegiatan Bulan (Sistem Kalender Islam)
Pelaksana*
1 Narawas (menandai lokasi yang akan dijadikan huma)
Jumadil Awal Lk
2 Nyacar (membersihkan lahan, biasanya selama 1 minggu kemudian dikeringkan selama 15 hari sampai 1 bulan)
Jumadil Awal Lk, Pr, P
3 Ngaruhu (membakar semak yang kering untuk dijadikan pupuk)
Jumadil Akhir Lk
4 Ngerukan (membakar sisa-sisa yang belum terbakar)
Jumadil Akhir Lk, Pr, P
5 Ngaduruk (membakar sisa-sisanya)
Jumadil Akhir Lk, Pr
6 Nyara (meremahkan tanah)
Jumadil Akhir Lk, Pr, P
7 Ngaseuk (penanaman bibit padi dengan menggunakan tongkat atau aseuk)
Rajab Lk, Pr, P
8 Ngored (menyiangi rumput)
Ruwah Lk, Pr, P
9 Mipit/ Dibuat (memotong padi/ panen)
Haji Lk, Pr
10 Ngadamet lantayan (membuat tempat menjemur padi)
Haji Lk
11 Mocong (mengikat padi yang kering)
Muharram Lk, Pr, P
12 Ngalantaykeun (proses menjemur padi pada lantayakan)
Muharram Lk, Pr
13 Ngunjal (diangkut ke lumbung padi)
Muharram Lk
14 Ngaleuitkeun (memasukkan ke lumbung)
Muharram Lk, Pr
15 Ngeuleupkeun (dirapikan)
Muharram Lk
16 Ngadieukeun indung pare (menyimpan padi di dalam leuit)
Muharram Lk
51
17 Selametan (ampih pare)
Muharram Lk, Pr, P
Sumber: Data Primer (diolah), 2011
Keterangan: *Lk: laki-laki, Pr: perempuan, P: pemuda/pemudi
Tabel 13 menggambarkan mengenai prosesi kegiatan menanam padi di
huma, yang dilakukan pada bulan tertentu dan ada pembagian tugas antara laki-
laki, perempuan, dan pemuda atau pemudi. Pembagian tugas antara laki-laki dan
perempuan sudah cukup merata. Peran wanita dalam produksi yang besar
membuat posisi wanita penting dalam membangun kedaulatan pangan.
Masyarakat kasepuhan diwajibkan untuk menanam padi di huma karena
merupakan salah satu sistem pertanian warisan leluhur.
Tabel 14. Tahapan Kegiatan Menanam Padi di Sawah menurut Bulan dan Pelaksana di Kampung Sinar Resmi Tahun 2011
No. Kegiatan Bulan (Sistem Kalender Islam)
Pelaksana*
1 Numpang Galeng (membuat pematang)
Muharram Lk, P
2 Ngabaladah (menyiangi lahan)
Silih Mulud Lk, P
3 Ngambangkeun (mengisi lahan dengan air/ merendam)
Jumadil Awal Lk, P
4 Ngangler (membersihkan permukaan lahan dari gulma yang tumbuh sebagian persiapan untuk tebar)
Ruwah Lk, Pr, P
5 Tebar/ Ngipuk (membuat persemaian padi dengan cara menebar untaian padi)
Jumadil Akhir Lk, Pr
6 Tandur (menanam padi)
Ruwah Lk, Pr, P
7 Ngarambet (membersihkan gulma yang ada di sawah)
Puasa Pr
8 Babat galeng (membersihkan rumput di pematang sawah)
Syawal Lk, Pr, P
9 Dibuat ku etem/ neugel (panen padi dengan alat etem/ ani-ani)
Haji Lk, Pr, P
10 Ngadamel lantayan (membuat tempat jemuran padi)
Haji Lk
11 Ngalantay (menjemur padi di lantayan)
Haji Lk
12 Mocong pare (mengikat padi menjadi pocong)
Sapar Lk, Pr, P
52
13 Diangkut ka leuit/ Ngunjal (mengangkut padi ke leuit/ lumbung)
Sapar Lk
14 Ngaleuitkeun (memasukkan ke leuit/ lumbung)
Sapar Lk
15 Dieulep di leuit (merapikan padi di dalam leuit/ lumbung)
Sapar Lk, Pr
16 Ngadiukkeun indung (memasukkan padi induk ke dalam leuit)
Sapar Lk, Pr
17 Disalametan nganyaran (selamatan sebagai tanda syukur dengan memasak padi pertama kali)
Silih mulud Pr
Sumber: Data Primer (diolah), 2011
Keterangan: *Lk: laki-laki, Pr: perempuan, P:pemuda/pemudi
Tabel diatas menggambarkan prosesi kegiatan menanam padi di sawah,
yang dilakukan pada bulan tertentu dan pembagian peran antara laki-laki,
perempuan, dan pemuda atau pemudi. Peran tersebut relatif seimbang dan sama-
sama dalam mengerjakan budidaya pertanian mulai dari persiapan lahan sampai
proses pengolahan hasil panen. Meskipun demikian terdapat juga beberapa
perbedaan jenis kegiatan yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan. Terdapat
aturan adat tertentu yang hanya memperbolehkan laki-laki atau perempuan saja
mengerjakan suatu kegiatan budidaya pertanian. Dalam persiapan lahan sawah
yang menggunakan bajak dan cangkul khusus dilakukan oleh laki-laki. Begitu
pula yang memberi do’a dan pemilihan benih padi harus Abah sebagai ketua adat.
Untuk menanam, memeliihara tanaman (ngoret), memupuk dan memanen dapat
dilakukan baik oleh laki-laki maupun perempuan. Namun untuk menumbuk padi
hanya diperbolehkan dilakukan oleh perempuan. Dari pembagian kerja tersebut,
peran laki-laki dan perempuan sudah cukup seimbang dalam pertanian.
Selain rangkaian tahapan menanam masyarakat Kampung Sinar Resmi
juga memiliki berbagai kegiatan pertanian. Rangkaian seluruh kegiatan pertanian
yang dilakukan oleh masyarakat Kampung Sinar Resmi antara lain:
1. Ngaseuk, merupakan dimulainya kegiatan menanam padi di huma dengan
memasukan benih ke dalam lubang.
2. Beberes mager, merupakan ritual untuk menjaga padi dari serangan hama.
Kegiatan ini dilakukan oleh pemburu di ladang milik kasepuhan dengan
53
diawali dengan pembacaan doa. Kegiatan ini dilaksanakan sekitar bulan
Muharam.
3. Ngarawunan, merupakan ritual untuk meminta isi padi agar tumbuh subur
dan tidak ada gangguan. Kegiatan ini dilakukan oleh semua incu putu
setelah padi berumur tiga sampai empat bulan.
4. Mipit, merupakan kegiatan memanen padi yang dilakukan lebih dahulu
oleh Abah sebagai pertanda masuknya musim panen.
5. Nutu, merupakan kegiatan menumbuk padi pertama setelah panen.
6. Nganyaran, merupakan kegiatan memasak nasi menggunakan padi hasil
penen pertama, dua bulan setelah masa panen.
7. Tutup nyambut, merupakan kegiatan yang menandakan selesainya semua
aktivitas pertanian di sawah yang ditandai dengan acara selamatan. Tutup
nyambut juga dijadikan sebagai pertanda dimulainya masa untuk
membajak sawah dan mempersiapkan lahan untuk ditanam kembali.
8. Seren taun, merupakan acara yang ditujukan untuk mensyukuri hasil
panen pada tahun tersebut. Acara tersebut berisi hiburan untuk masyarakat
yang telah bekerja dalam pertanian selama satu tahun. Sebulan sebelum
acara saren taun dimulai, sebelumnya ada musyawarah yang melibatkan
seluruh incu putu untuk menentukan besarnya anggaran yang dibutuhkan.
Kegiatan pertanian sudah menjadi ciri khas, tradisi, dan cara hidup pada
rumahtangga masyarakat Kampung Sinar Resmi. Gambaran rumahtangga
masyarakat menunjukkan pencapaian dalam memenuhi kebutuhannya.
Rumahtangga masyarakat di Kampung Sinar Resmi pada umumnya memiliki
jumlah tanggungan tiga orang. Lahan garapan yang dikelola oleh rumahtangga di
Kampung Sinar Resmi adalah 9.68 patok (3872 m2). Ukuran patok merupakan
ukuran yang pada umumnya digunakan oleh masyarakat kasepuhan untuk
mengetahui luas lahan yang digarap. Satu patok bila dikonversi dalam satuan luas
sama artinya dengan 400 m2. Sistem pertanian yang diterapkan yaitu huma,
sawah, dan kebun dengan komoditi utama adalah padi lokal. Tanaman padi
meskipun merupakan komoditi utama tetapi bukan untuk diperjualbelikan. Aturan
adat kasepuhan melarang bagi para incu putu (pengikut) Kasepuhan Sinar Resmi
untuk menjual padi apalagi dalam bentuk beras. Masyarakat percaya beras
54
merupakan sosok ibu yang filosofinya tidak boleh menjual “ibu” karena akan
dianggap berdosa. Padi yang dihasilkan, hanya digunakan untuk memenuhi
kebutuhan pangan sehari-hari saja. Kalaupun ada rumahtangga yang kekurangan
pangan dan membutuhkan padi, mereka bisa meminjam padi dari lumbung
kasepuhan atas seizin Abah.
Mengenai produktivitas padi, dalam sekali panen yakni satu tahun sekali,
sesuai dengan aturan adat kasepuhan. Hasil yang diperoleh juga beragam sesuai
dengan pengusahaan masing-masing rumahtangga. Jumlah padi yang dihasilkan
dihitung berdasarkan satuan lokal yakni “pocong”. Jika dikonversikan menjadi
kilogram maka 1 pocong sama dengan 4 kilogram. Berikut Tabel 15 menyajikan
data hasil pertanian menurut luas pengusahaan di Kampung Sinar Resmi:
Tabel 15. Jumlah Padi yang Dihasilkan Rumahtangga menurut Luas pengusahaan Tanah di Kampung Sinar Resmi Tahun 2011
Luas Pengusahaan Tanah Jumlah padi yang dihasilkan (pocong) Luas 3767Sedang 2112Sempit 1991Total 7870Sumber: Data Primer (diolah), 2011
Rumahtangga responden masyarakat Kampung Sinar Resmi menghasilkan
padi 7870 pocong atau sekitar 31,480 kilogram. Jika dihitung berdasarkan jumlah
tanggungan rumahtangga, maka tiap rumahtangga memiliki produktivitas hasil
pertanian rata-rata 253.8 pocong atau 1015.4 kg/rumahtangga. Jumlah tersebut
dirasakan cukup oleh responden untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari selama
satu musim tanam.
Tanaman pertanian lain yang biasanya dibudidayakan adalah tanaman
palawija dan tanaman obat-obatan jenis kapulaga. Biji kapulaga biasanya
dikeringkan dan dijual ke pedagang yang datang ke kampung ini. Selain dari
tanaman, beberapa masyarakat memelihara ternak sebagai usaha sampingan dan
tabungan untuk memenuhi kebutuhan yang mendadak.
Untuk menopang kebutuhan masyarakat juga ada yang mengolah aren.
Masyarakat memposisikan pohon aren sebagai pohon yang cukup istimewa
karena seluruh bagian dari pohon aren bermanfaat. Karena manfaat yang banyak
inilah, orangtua atau kolot di masyarakat kasepuhan menanamkan nilai-nilai yang
baik pada anak-anaknya yaitu ‘hirup kudu siga tangkal kawung’ yang artinya
55
‘sebagai manusia hidup harus seperti pohon aren yang memiliki banyak manfaat
dan dapat berguna bagi orang lain’. Semua bagian pohon aren dimanfaatkan untuk
kebutuhan sehari-hari, antara lain air nira untuk gula aren dan cuka, buah aren
(kolang kaling) untuk dikonsumsi sebagai makanan, akarnya untuk obat
tradisional, daun muda/janur untuk pembungkus kertas rokok, dan batangnya
untuk membuat sagu aren serta berbagai macam peralatan dan bangunan.
Masyarakat memanfaatkan air niranya untuk dijadikan gula aren dalam bentuk
gula batok/kojor. Namun seiring dengan berjalannya waktu, masyarakat mulai
mengolah gula aren dalam bentuk gula semut.
Awalnya aren merupakan salah satu hasil hutan atau kebun yang
dimanfaatkan masyarakat kasepuhan untuk kebutuhan hidup sehari-hari. Namun,
seiring berjalannya waktu hasil aren pun ternyata memiliki nilai ekonomis
sehingga masyaarakat kasepuhan pun mulai memanfatkan aren sebagai sumber
pendapatan bagi rumah tangga. Mata pencaharian utama masyarakat kasepuhan
yang umumnya adalah petani padi, baik sawah maupun huma. Oleh karena itu,
menyadap aren merupakan pekerjaan sampingan yang dilakukan oleh masyarakat
kasepuhan untuk menambah pendapatan mereka berupa uang. Selain itu, mereka
juga memperoleh pendapatan dari menjual hasil kebun lain seperti sayur, buah-
buahan, dan kayu serta pekerjaan lainnya sebagai tukang ojek dan kuli
Terkait dengan pengolahan lahan pertanian., tidak semua pekerjaan bisa
dilakukan sendiri oleh anggota rumahtangga. Selama satu musim tanam yang
dilakukan terdapat kegiatan yang dilakukan dengan bantuan orang lain. Seperti
pada saat kegiatan panen, masyarakat lain yang ingin membantu dapat ikut
memanen.
Karakteristik sistem penghidupan dan nafkah yang dikembangkan
rumahtangga di pedesaan sangat ditentukan oleh sistem sosial-budaya masyarakat
setempat dengan tiga elemen penting, yaitu: infrastruktur sosial, struktur sosial,
dan supra struktur sosial. Terkait dengan struktur sosial (setting lapisan sosial,
struktur sosial, struktur demografi, pola hubungan pemanfaatan ekosistem lokal,
pengetahuan lokal).
Infrastruktur sosial dalam hal ini adalah setting kelembagaan dan tatanan
norma sosial yang berlaku. Infrastruktur sosial ini dilandasi oleh elemen supra
56
struktur sosial yang terdiri dari setting ideologi, etika moral ekonomi, dan sistem
nilai yang berlaku. Kedua elemen ini satu sama lain saling berkaitan dan menjadi
dasar pengembangan sistem kelembagaan ekonomi di masyarakat pedesaan. Dari
elemen supra struktur sosial masyarakat kasepuhan yang mewakili masyarakat
pedesaan tradisional setting ideologi, etika moral ekonomi dan sistem adat yang
berlaku dilandaskan pada peraturan adat dimana manusia selaras dengan alam.
Dengan sendirinya kelembagaan sosial dan tatanan sosial yang dibuat selalu
menjaga agar terjadi harmonisasi dengan alam sekitarnya. Oleh karenanya
kelembagaan ekonomi yang dibangun masih berupa sistem produksi subsisten
yang berorientasi pada pemenuhan kebutuhan sendiri.
Masyarakat Desa Sinar Resmi dalam kehidupan sehari-hari patuh terhadap
peraturan adat yang berlaku. Peraturan adat sebagai infrastruktur sosial dalam
komunitas ini dilandasi oleh supra struktur sosial yang menyelaraskan kehidupan
antara manusia dengan alam.
6.3 Pertanian Agro-ekologis
Ideologi yang paling mendasar pada masyarakat ini adalah menjunjung
tinggi falsafah hidup “Ibu Bumi Bapak Langit dan Guru Mangsa”. Falsafah
tersebut berarti bahwa manusia tergantung dengan alam seperti anak yang
tergantung pada ibunya. Oleh karena itu, dimanapun tempat tinggalnya harus
selalu menghormati alam di tempat tinggalnya. Falsafah ini yang kemudian juga
diwujudkan dengan adanya aturan bahwa menanam padi hanya boleh satu tahun
sekali. Menurut falsafah ini “ibu” sebagai bumi dengan Dewi Sri sebagai simbol
kesuburan diibaratkan seperti ibu dan tanaman merupakan anak-anaknya. Oleh
karena itu,jika bumi dieksploitasi dengan menanam padi lebih dari satu kali dalam
satu tahun sama seperti seorang ibu yang dipaksakan melahirkan anak lebih dari
satu tahun sekali, maka bumi akan menjadi rusak. Dasar falsafah ini
menitikberatkan pada penyelarasan manusia dengan alam. Dalam istilah ekologi
falsafah ini dapat disejajarkan dengan agro-ekologis, sehingga kebutuhan manusia
terpenuhi namun alam tidak mengalami krisis ekologi yang berlebihan. Dari
falsafah tersebut, masyarakat Sinar Resmi mengembangkan tiga konsep adat
sebagai dasar kelembagaan/tatanan kehidupan sehari-hari (norma), yaitu:
57
a) Nyangkulu ka hukum, yang lebih tinggi dari kepala adalah hukum
sehingga hukum harus asli dan diikuti oleh masyarakat. Manusia jika ingin
teratur maka harus mengikuti aturan yang dibuat oleh pencipta manusia.
Menurut dasar ini, norma utama yang harus dipegang oleh masyarakat
adalah aturan agama. Dalam hal ini, bagi anggota masyarakat aturan
agama yang dipegang adalah aturan agama Islam.
b) Nunjang ka nagara, norma kedua yang harus dipatuhi oleh anggota
komunitas adalah ketundukan kepada peraturan negara (hukum formal).
Dengan dasar ini sebagai bagian dari negara kesatuan Republik Indonesia,
masyarakat kasepuhan juga merupakan warga negara dan sebagai warga
negara harus patuh terhadap hukum yang berlaku di negara ini. Salah satu
bentuk kepatuhan anggota komunitas adalah mendukung program-
program yang dicanangkan oleh pemerintah sepanjang tidak bertentangan
dengan falsafah hidup dan hukum agama yang dipegang oleh masyarakat.
c) Mupakat jeng balarea, norma yang ketiga bermanfaat untuk mengambil
keputusan yang menjadi landasan dalam penyelesaian permasalahan yang
dihadapi oleh masyarakat. Dalam norma ini, pengambilan keputusan harus
didasarkan pada musyawarah. Hal ini untuk memutuskan permasalahan –
permasalahan yang tidak ada dalam aturan agama atau aturan negara.
Terkadang juga untuk menentukan keputusan apakah program-program
pemerintah sesuai atau tidak dengan falsafah adat yang dijunjung. Hal ini
terutama terkait dengan program modernisasi pedesaan dan pertanian yang
seringkali bertentangan dengan falsafah adat.
Ketiga norma di atas oleh masyarakat harus dilakukan secara bersama-
sama. Jika norma-norma tersebut dilanggar, maka hidupnya di dunia tidak akan
selamat. Untuk menuntun aktivitas kehidupan anggota komunitas, banyak simbol-
simbol adat yang dibuat yang menggambarkan tiga persenyawaan:
1. Tilu sapanulu: tekad, ucap, lampah (niat, ucapan, tindakan/perilaku).
Ketiga hal ini harus sama-sama dilakukan dimana setiap tindakan yang
diambil harus sesuai dengan apa yang diniatkan/hati dan ucapan.
58
2. Dua saka rupa: buhun/mukaha, nagara, syara (aturan adat, pemerintah
dan agama). Tiga kesatuan ini merupakan norma yang harus dipatuhi oleh
anggota masyarakat dan tidak boleh dipisahkan.
3. Nu hiji eta kene: nyawa/ruh, raga, pakaian. Manusia harus memiliki
ketiganya sehingga memiliki kemanusiaan. Jika tidak maka tidak akan
disebut sebagai manusiawi karena manusia tanpa nyawa berarti mayat,
manusia tanpa raga berarti makhluk gaib (tidak terlihat) dan manusia tanpa
pakaian diibaratkan makhluk hidup yang telanjang (hewan).
Dari ketiga kesatuan tersebut kemudian dijadikan pegangan masyarakat
dalam bentuk aturan-aturan adat yang tidak tertulis untuk menjaga agar
masyarakat hidup dengan teratur. Bagi masyarakat modern sekarang ini, bentuk-
bentuk dari penerapan dari aturan ini dikenal dengan kearifan lokal. Bagi
masyarakat Sinar Resmi, kearifan lokal ini dikembangkan dalam pengelolaan
sumberdaya alam baik tanah, air maupun hutan. Ketiga komponen tersebut
merupakan sumber alam yang mendukung sistem penghidupan masyarakatnya
dan diatur dalam kelembagaan.
Sistem kelembagaan masyarakat tersebut diwujudkan dalam bentuk tata
aturan budidaya padi mulai dari menanam sampai menyimpan ke dalam leuit
dengan beragam tata upacara adat didalamnya. Dalam budidaya tanaman padi
mulai dari pola tanam memperlihatkan bahwa tanah yang diibaratkan sebagai
“ibu” tidak boleh dipaksakan untuk ditanami lebih dari sekali dalam satu tahun.
Jika dipaksa seperti seorang ibu yang harus melahirkan dua orang anak dalam satu
tahun maka dalam jangka waktu pendek akan mengalami kerusakan sehingga
tidak dapat digunakan kembali. Oleh karena itu, meskipun mendapat beberapa
lahan sawah yang pengairannya mengalir sepanjang tahun tetap hanya dilakukan
penanaman padi sekali dalam setahun. Hal ini sesuai dengan penuturan tokoh adat
di kasepuhan:
“…masyarakat sini masih menjalankan pola tanam satu kali
setahun dan menggunakan pupuk buatan sendiri (kotoran ternak)
untuk kegiatan pertanian. Bibit yang ditanam adalah bibit padi
lokal. Hasil panen padi lokal disimpan dalam leuit…”
59
Padi sebagai tanaman pokok masyarakat sesuai dengan tiga persenyawaan
diatas juga tidak boleh untuk dijual dalam bentuk beras maupun olahannya. Padi
yang dijual dalam bentuk beras diibaratkan sama dengan manusia yang menjual
diri. Dengan kiasan tersebut memperlihatkan bahwa dalam upaya menjaga
kedaulatan pangan masyarakat keberadaan padi/beras yang merupakan bahan
pokok untuk bertahan hidup tetap dijaga. Karena hal inilah, pengenalan program
yang memperkenalkan pola tanam padi tiga kali dalam satu tahun ‘ditolak’ oleh
anggota komunitas melalui pimpinan adatnya.
6.4 Lumbung Pangan (leuit): Jaminan Pangan Masyarakat
Hal yang juga penting bagi masyarakat Sinar Resmi dalam menjaga
ketersediaan pangan adalah leuit/lumbung pangan yang digunakan untuk
menyimpan padi sebagai hasil bumi. Selain berfungsi sebagai tempat
penyimpanan leuit juga memiliki fungsi simbol kesejahteraan bagi anggota
komunitas. Hal ini juga menunjukkan semakin banyak jumlah padi yang
dihasilkan dan berarti semakin luas tanah yang dikuasai oleh seseorang. Hal
tersebut karena stratifikasi masyarakat dapat berupa penguasaan tanah yang
dikelola oleh suatu rumahtangga.
Tabel 16. Jumlah dan Persentase Rumahtangga menurut Luas Penguasaan Tanah dan Jumlah Leuit yang Dimiliki di Kampung Sinar Resmi Tahun 2011
Luasan Penguasaan tanah
Jumlah leuit Total 1 2 ≥3
n % n % n % n %
Luas 1 14 4 56 2 26 7 100Sedang 2 25 6 75 0 0 8 100Sempit 14 84 2 12 0 0 16 100
Sumber: Data Primer (diolah), 2011
Berdasarkan Tabel 16 menunjukkan bahwa tingkatan penguasaan tanah
yang mempengaruhi kepemilikan leuit. Pada penguasaan tanah sempit (0-0.25
hektar) sebagian besar memiliki satu leuit, hanya 2 orang yang memiliki 2 leuit.
Hal tersebut dikarenakan dulunya rumahtangga tersebut memiliki tanah yang
cukup luas sebelum akhirnya dijual. Tingkat selanjutnya yakni penguasaan tanah
sedang (0.25-0.5 hektar) sebagian besar memiliki dua leuit. Tingkat paling luas
60
yakni lebih dari 0.5 hektar yang memiliki dua atau lebih. Pada tingkatan ini
terdapat yang memiliki satu leuit, karena si pemilik hanya ingin mempunyai satu
leuit untuk dimaksimalkan.
Pemenuhan subsistensi pangan merupakan hal utama yang menjaga
keamanan sosial dalam masyarakat. Leuit kemudian menjadi simbol utama bagi
upaya menjaga keterjaminan keamanan sosial sebagai penyimpanan bahan pangan
terutama pada leuit rumahtangga. Leuit komunal yang dikenal dengan nama leuit
sijimat merupakan penjamin kebutuhan incidental bagi anggota masyarakat yang
dapat diakses dengan mudah dan tersedia di setiap kampung. Hal ini sesuai
dengan penuturan salah seorang penduduk:
“…abdi teu punya tanah buat bertani, cuma kerja di orang.
Kadang-kadang teh abdi kurang buat makan, jadi abdi pinjam ka
leuit sijimat. Panen berikutnya baru dikembalikan. Kadang-
kadang banyak juga yang ngebantu ngasi padi. Orang sini mah
masi suka tolong menolong…”
Masyarakat Kampung Sinar Resmi masih mempunyai hubungan yang kuat
dalam memenuhi kebutuhannya. Adanya rasa tolong menolong menjadikan
masyarakat yang kurang mampu memenuhi kebutuhannya dapat diselesaikan
bersama-sama oleh masyarakat. Hal ini juga tidak terlepas oleh peran leuit sijimat
yang mengumpulkan partisipasi masyarakat untuk dapat saling berbagi.
Masyarakat yang kekurangan padi pada musim paceklik dapat meminjam ke leuit
sijimat. Padi yang yang sudah dipinjam tersebut akan dikembalikan sesuai dengan
jumlah pinjaman pada musim panen berikutnya. Peminjaman padi di leuit sijimat
berlaku bagi semua masyarakat selama rumahtangga tersebut kekurangan.
Leuit memiliki aturan tersendiri dalam pembangunan dan pemanfaatannya.
Aturan pendirian leuit mengikuti pola hitungan adat-istiadat yang digunakan oleh
masyarakat. Hitungan tersebut dimulai dari tanggal pertama yang disebut kuta
yang dikhususkan untuk tanggal membangun kandang kambing atau kerbau.
Tanggal kedua disebut kusang yang dikhususkan untuk membangun kandang
ayam. Tanggal ketiga disebut gelar yang ditujukan sebagai tanggal membangun
masjid atau fasilitas publik. Tanggal keempat disebut naga yang digunakan untuk
61
membangun leuit. Tanggal kelima disebut jaya yang digunakan untuk
membangun rumah. Arah leuit dikhususkan membujur dari selatan ke utara
dengan salah satu ujungnya terdapat satu pintu. Masing-masing pojok bangunan
terdapat daun-daun tertentu yang dimaknai sebagai penjaga leuit dari hama dan
pencuri.
Hasil panen padi selain disimpan pada masing-masing leuit rumahtangga,
masyarakat juga menyimpan hasil panen ke leuit sijimat (komunal) dengan aturan
100 : 2 yang berarti hasil panen 100 pocong, menyimpan ke leuit si jimat
sebanyak 2 pocong. Namun, pada dasarnya masyarakat dapat menyimpan lebih
sesuai dengan keinginan individu masing-masing. Leuit sijimat digunakan sebagai
cadangan pangan bagi masyarakat Kampung Sinar Resmi saat musim paceklik
dan sebagai cadangan dalam berbagai kegiatan kasepuhan seperti seren taun.
Tabel 17 menyajikan data yang menggambarkan partispasi masyarakat terhadap
leuit sijimat sesuai dengan luasan yang dikelola.
Tabel 17. Rata-rata Jumlah Padi yang diberikan ke Leuit Sijimat di Kampung Sinar Resmi Tahun 2011
Luas lahan Rata-rata yang diberikan ke leuit sijimat (pocong)
Luas 6.37Sedang 8.42Sempit 2.25Sumber: data primer (diolah), 2011
Jumlah padi yang diberikan beragam sesuai dengan panen yang dihasilkan
dan keinginan untuk menyimpan lebih kepada leuit sijimat. Namun, umumnya
semakin banyak hasil panen, maka semakin banyak yang disimpan. Pada
pemilikan 0.25-0.5 hektar, rata-rata yang disimpan di leuit sijimat lebih banyak
karena dengan menyimpan lebih banyak mereka akan merasa lebih aman jika
kekurangan dengan meminjam pada masa paceklik, sedangkan, masyarakat yang
memiliki lebih besar dari 0.5 hektar menyimpan hanya sebagai keharusan mereka
untuk berpartisipasi dalam menyimpan di leuit sijimat, untuk kebutuhan
selanjutnya cukup dengan padi sendiri dan tidak perlu meminjam.
6.5 Kontrol Komunitas atas Sumberdaya Produktif
Pertanian dijadikan sebagai tradisi yang diwariskan secara turun-temurun
oleh masyarakat kasepuhan. Selain sebagai mata pencaharian utama masyarakat,
62
pertanian juga menjadi bagian budaya masyarakat. Kegiatan pertanian masyarakat
kasepuhan masih bersifat tradisional dan memiliki hubungan yang erat dengan
sistem kepercayaan serta unsur-unsur alam seperti tanah, air, udara, cuaca, sinar
matahari, dan lain-lain. Kegiatan pertanian masyarakat bertumpu pada filosofi
“Ibu Bumi, Bapak Langit, dan Guru Mangsa” Aturan dalam memulai waktu
musim tanam ditentukan berdasarkan filosofi bapak langit dan guru mangsa.
Fisosofi bapak langit menunjukkan adanya pengetahuan masyarakat yang
didasarkan pada peredaran rasi bintang di langit sebagai acuan dalam mengelola
lahan garapan sedangkan filosofi guru mangsa untuk mengetahui waktu yang
tepat dalam bertani dengan melihat kondisi alam sekitar. Rasi bintang yang
dijadikan sebagai acuan terdiri dari rasi bintang kerti dan rasi bintang kidang.
Berikut adalah beberapa posisi rasi bintang yang menentukan kegiatan dalam
pertanian:
1. Tanggal kerti kana beusi, tanggal kidang turun kujang, yang berarti
masyarakat harus mempersiapkan alat-alat pertanian seperti cangkul, sabit,
garpu, dan lain sebagainya.
2. Kidang ngrangsang ti wetan, kerti ngrangsang ti kulon atau kidang-kerti
paharep-harep, artinya pertanda musim panas yang lama sehingga waktu
yang tepat untuk membakar ranting dan daun di huma.
3. Kerti mudun matang mencrang di tengah langit, artinya saat menanam
padi di huma sudah tiba.
4. Kidang dan kerti ka kulon, yang berarti musim hujan akan segera tiba.
5. Kidang medang turun kukang, artinya pertanda adanya hama dan penyakit
yang akan menyerang tanaman padi.
Segala bentuk kegiatan pertanian dari masa persiapan hingga pascapanen
dilakukan ritual tertentu sebagai bentuk penghormatan. Kegiatan pertanian dapat
dimulai setelah mendapat izin dari Abah yang diikuti dengan upacara ritual seperti
membakar kemenyan dan memanjatkan doa. Awal tanam padi dilakukan secara
serentak bersama-sama agar waktu panen juga dilaksanakan secara bersamaan.
Hal tersebut merupakan sebuah bentuk kekompakan dan kekeluargaan yang erat
antar anggota masyarakat Kampung Sinar Resmi.
63
Jenis lahan pertanian yang terdapat di masyarakat Kampung Sinar Resmi
terdiri dari tiga jenis lahan yaitu: lahan kering atau huma, sawah tadah hujan, dan
sawah setengah irigasi. Huma merupakan sistem pertanian yang secara turun-
temurun diwariskan oleh leluhur mereka. Lahan yang digunakan dalam huma,
yaitu lahan kering yang biasanya cara penanaman padi berada disela-sela tanaman
hutan sedangkan lahan sawah tadah hujan dan setengah irigasi yang membedakan
hanya asal sumber airnya. Sawah tadah hujan sumber air berasal dari air hujan
sedangkan sawah setengah irigasi sumber airnya dari mata air dengan irigasi yang
masih sedarhana. Sawah tadah hujan lebih mendominasi dibandingkan sawah
setengah irigasi karena tidak ada infrastruktur irigasi yang memadahi.
Jenis padi yang ditanam merupakan padi lokal yang biasa disebut pare
ageung. Jenis padi tersebut memiliki perbedaan dengan jenis padi varietas pada
umumnya. Perbedaan yang mencolok pada usia tanam, tinggi tanaman, dan bulir-
bulir padi yang memiliki bulu halus berwarna hitam. Pemerintah telah mencoba
untuk mengganti padi lokal dengan padi verietas unggulan tetapi masyarakat
menolak dengan alasan padi lokal lebih baik dan cocok dengan kondisi iklim dan
topografi Desa Sinar Resmi. Padi lokal memiliki beberapa jenis yang disesuaikan
dengan jenis lahan yang digunakan. Tabel 18menyajikan data jenis padi dan jenis
lahan yang digunakan:
Tabel 18. Jenis Padi Lokal yang Digunakan menurut Jenis Lahan di Kampung Sinar Resmi Tahun 2011
Jenis Lahan Jenis Padi Lokal Huma Pare Batu, Jamudin, Loyor, dan Gadog. Sawah Tadah Hujan Pare Hawara, Cere Buni, dan Sadam. Sawah Setengah Irigasi
Sri Kuning, Sri Mahi, Raja Denok, Raja Wesi, Para Nemol, Angsana, Para Terong, Tampeu, Pare Jambu, Pare Peteu, Cere Layung, Cere Gelas, dan Cere Kawat.
Sumber: Data Primer (diolah), 2011
Terdapat aturan dalam prosesi panen padi di masyarakat Kampung Sinar
Resmi. Setelah dipanen, padi harus dijemur dengan cara digantung di sekitar areal
lahan tanam menggunakan bambu yang disusun yang biasa disebut nglantai. Padi
yang dipanen tersebut dipotong menggunakan ani-ani yang hanya memotong
bagian ujung bulir-bulir padi. Setelah dipotong, padi diikat sebesar satu genggam
ikatan tangan lalu dijemur. Seteleh kering padi diikat kembali dengan aturan dua
64
ikat padi yang basah menjadi satu ikat padi yang kering. Padi yang kering tersebut
diangkut dengan sebilah bambu dan dimasukan dalam leuit rumahtangga. Aturan
dalam memasuki leuit adalah tidak diperkenankan masuk leuit yang bersamaan
dengan hari lahir yang punya leuit tersebut.
Padi sebagai makanan pokok masyarakat disimbolkan sebagai Dewi Sri.
Sesuai dengan aturan adat, padi tidak boleh dijual kecuali masih dalam bentuk
pocong. Menurut filosofi masyarakat kasepuhan, padi itu seperti seorang ibu
sehingga bila dijual sama dengan menjual ibu sendiri. Kegiatan menumbuk padi
tidak boleh menggunakan mesin tetapi menggunakan halu dan ditumbuk di
lesung. Padi juga harus dimasak menggunakan kayu bakar.
Keterjaminan pangan merupakan bentuk jaminan kondisi yang baik bagi
masyarakat Sinar Resmi. Dalam hal ini modernisasi pertanian melalui Revolusi
Hijau yang pernah diperkenalkan dengan sistem pola tanam tiga kali dalam
setahun dan menjanjikan peningkatan produksi padi sampai tiga kali lipat ternyata
tidak mampu mengubah sistem budidaya pertanian yang merupakan sistem bagi
masyarakat tani. BIMAS yang pernah memperkenalkan bibit unggul dan pernah
dicoba ditanam oleh masyarakat dengan seizin pemimpin adat ternyata tidak tahan
disimpan terlalu lama di lumbung sehingga masyarakat tidak menggunakannya
dan kembali menggunakan bibit lokal. Penggunaan pupuk buatan untuk
peningkatan produktivitas juga ditolak oleh masyarakat karena terkait dengan
penggunaan biaya. Dalam praktek budidaya pertanian beberapa pendatang yang
tinggal di Desa Sinar Resmi menggunakan pupuk buatan. Menurut penuturan
responden setelah dibandingkan ternyata keuntungan lebih besar yang tanpa
pupuk buatan tapi menggunakan pupuk organik (pupuk kandang). Hal ini terjadi
karena terkait dengan biaya yang digunakan untuk pembelian pupuk lebih besar.
Berikut penuturan salah satu responden mengenai program pertanian yang masuk
ke lingkungan masyarakat:
“menanam pare ageung lebih bagus karena lebih tahan lama
disimpan dan kalo dimakan lebih enak. Makan nya tidak usah
banyak-banyak sudah kenyang. Nanam tidak pakai pupuk buatan
juga menghasilkan padi yang lebih banyak. Dari pengalaman
tetangga juga pernah pake pupuk tapi hasilnya malah sedikit”
65
Dari pernyataan di atas menjelaskan bahwa masyarakat lebih memilih cara
pertanian yang sudah diterapkan sebelumnya jauh sebelum program tersebut
masuk. Masuknya program tidak membuat mereka beralih ke tatacara yang baru
untuk menanam dengan menggunakan bibit unggul dan pupuk buatan.
Dengan ketertutupan terhadap inovasi dalam bidang pertanian yang
merupakan sistem penghidupan masyarakat, ketergantungan masyarakat akan
input pertanian dari luar sangat rendah bahkan bisa dikatakan tidak ada.
Kapitalisme pasar yang selama ini menjadi sumber utama permasalahan
kemiskinan di pedesaan akibat tergantungnya petani dari input pertanian dari luar
tidak berimbas pada masyarakat tani.
6.6 Ikhtisar
Kedaulatan pangan masyarakat sangat ditentukan oleh kondisi masyarakat.
Sistem pertanian lokal yang dikembangkan oleh masyarakat mengandung cara-
cara yang jauh sebelumnya sudah terintegrasi. Masyarakat Kampung Sinar Resmi
memproduksi pangan secara mandiri. Produksi pangan pada umumnya skala kecil
untuk memenuhi kebutuhan rumahtangga. Dalam proses produksi masyarakat
Kampung Sinar Resmi menerapkan pertanian agro-ekologis. Pertanian yang
menjadikan alam sebagai faktor yang harus dijaga keberlanjutannya. Hal tersebut
tercermin dari cara masyarakat menghormati alam dengan menanam padi sekali
setahun dan proses-proses yang berusaha tetap menjaga kelestarian lingkungan.
Dalam pengusahaan pertanian peran wanita juga dihormati terlihat peran wanita
cukup besar mulai pra produksi sampai pasca panen.
Rumahtangga di Kampung Sinar Resmi pada umumnya sedikit yakni rata-
rata mempunyai anggota rumahtangga tiga orang. Mereka dapat memenuhi
pangan keluarga dengan jumlah yang cukup. Padi yang mereka konsumsi
merupakan padi lokal yang dikembangkan sejak zaman nenek moyang. Varietas
unggul pernah dicoba dikembangkan namun respon yang muncul kurang karena
varietas unggul tidak tahan disimpan dalam leuit dalam jangka wakru panjang dan
masyarakat merasakan padi varietas lokal lebih baik. masyarakat menolak
berbagai inovasi pertanian melalui Kasepuhan Sinar Resmi. Selain fungsi
penyimpanan leuit merupakan suatu salah satu cara masyarakat dalam
membangun kedaulatan pangan. Masyarakat mengusahakan padi yang kemudian
66
disimpan di leuit sijimat yakni leuit komunal. Masing-masing rumahtangga
menyimpan padi untuk dijadikan simpanan dan diberikan pinjaman ketika ada
rumahtangga yang kekurangan padi pada musim paceklik. Keberadaan leuit dapat
menjadi suatu jaminan bagi masyarakat Kampung Sinar Resmi untuk membangun
kedaulatan pangan lokal.
67
BAB VIII
PENUTUP
7.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Kampung Sinar Resmi
diperoleh beberapa informasi penting tentang struktur penguasaan tanah dan
pengelolaan kelembagaan yang ada dalam masyarakat, yaitu:
Struktur penguasaan tanah yang berkembang di masyarakat Kampung
Sinar Resmi pada umumnya skala kecil, yakni kurang dari 0.25 hektar. Oleh
karena itu, untuk membantu dalam membangun kedaulatan pangan maka dalam
kehidupan masyarakat berkembang sistem sewa, sakap, dan gadai.
Produksi pertanian masyarakat Kampung Sinar Resmi dipengaruhi oleh
tingkat penguasaan tanah. Semakin luas penguasaan masyarakat terhadap lahan
maka semakin besar padi yang dihasilkan. Hal ini juga mempengaruhi
mempengaruhi jumlah leuit yang mereka miliki. Leuit merupakan kelembagaan
pangan yang berkembang untuk mencapai kedaulatan pangan masyarakat. Leuit
sijimat adalah leuit komunal yang menjadi simbol dalam pemenuhan pangan
kasepuhan. Keberadaannya didukung oleh masyarakat melalui adat yang
berkembang. Setiap rumahtangga mengisi leuit sesuai dengan hasil panen.
Masyarakat Kampung Sinar Resmi membangun kedaulatan pangan
melalui produksi pertanian lokal dan rumahtangga yang agroekologis;
keterjaminan akses tanah dan sumberdaya yang vital dalam produksi pangan;
menghormati peran wanita dalam produksi pangan; serta kontrol komunitas atas
sumberdaya. Hal tersebut telah menjadi hal yang melekat di kehidupan
masyarakat sehingga kedaulatan pangan terbangun sesuai dengan karakteristik
mereka.
7.2 Saran
Berdasarkan kesimpulan di atas, masyarakat mempunyai cara yang khas
yang dibentuk sebagai upaya dalam membangun kedaulatan pangan. Jika suatu
masyarakat kehilangan cara-cara tersebut maka jaminan terhadap kedaulatan
pangan yang ada di dalamnya akan hilang dan selanjutnya berpengaruh terhadap
penghidupan masyarakat.
68
Bagi masyarakat pedesaan, struktur penguasaan tanah dan kelembagaan
lokal yang mengatur pangan merupakan faktor yang penting dalam pencapaian
kedaulatan pangan dan selanjutnya kepada kesejahteraan masyarakat. Oleh karena
itu, dalam usaha mencapai kedaulatan pangan harus memperhatikan konteks lokal
dan menjadikan lumbung pangan sebagai komponen penting dalam menjamin
ketersediaan pangan masyarakat. Lumbung pangan dapat menjadi wadah bagi
masyarakat untuk dapat membangun kemandirian dalam mencukupi pangan.
69
DAFTAR PUSTAKA
Basri, M. 2008. Studi Kelembagaan Lumbung Pangan Masyarakat di Kabupaten Sumbawa-Propinsi Nusa Tenggara Barat. [Tesis]. Bogor [ID]. Sekolah Pasca Sarjana. IPB. 128 hal.
Breman, J. 1986. Penguasaan Tanah dan Tenaga Kerja: Jawa di Masa Kolonial. Jakarta [ID]: LP3ES Indonesia. 230 hal.
Breman, J dan Gunawan Wiradi. 2004. Masa Cerah dan Masa Suram di Pedesaan Jawa: Studi Kasus Dinamika Sosial Ekonomi di Dua Desa Menjelang Akhir Abad ke 20. Jakarta [ID]: Pustaka LP3ES Indonesia. 423 hal.
Kusumowardani, N. 2002. Pendampingan Lumbung Pangan untuk Pemberdayaan Petani. Bunga Rampai Pemikiran Buletin PSP-IPB. Bogor [ID]: PSP IPB.
La Via Campesina, Sofia Monsalfe, et al. 2008. Reforma Agraria: Dinamika Aktor dan Kawasan. Yogyakarta [ID]: STPN. 330 hal.
Malonzo, R. 2007. Kedaulatan Pangan. Penang [Malaysia]: Pesticide Action Network Asia and the Pasific (PAN AP). 30 hal.
Mardiyaningsih, D. I. 2010. Perubahan Sosial di Desa Pertanian Jawa: Analisis Terhadap Sistem Penghidupan Masyarakat Tani. [Tesis]. Bogor [ID]: IPB. 152 hal.
Penny, D.H. 1990. The Role of Sistem Market. [Diterjemahkan]. Kemiskinan: Peranan Sistem Pasar. Ace Partadiredja, dkk (Penerjamah). Jakarta [ID]. Penerbit Universitas Indonesia. 245 hal.
Roll, W. 1983. Struktur Pemilikan Tanah di Indonesia Studi Kasus Daerah Surakarta – Jateng. Jakarta [ID]: C. V. Rajawali. 151 hal.
Satiawan, Bonnie. 2003. Globalisasi Pertanian: Ancaman atas Kedaulatan Bangsa dan Kesejahteraan Petani. Jakarta [ID]: Institute for Global Justice. 178 hal.
Singarimbun, M dan Sofyan Effendi. 1989. Metode Penelitian Survey. Jakarta [ID]: Pustaka LP3ES Indonesia. 336 hal.
Soekanto, S. 2006. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta [ID]: CV. Rajawali. 480 hal.
Sumardjo. 2003. “Kepemimpinan dan Pengembangan Kelembagaan Pedesaan: Kasus Kelembagaan Ketahanan Pangan” dalam Margono Slamet: Membentuk Pola Perilaku Manusia Pembangunan. Bogor [ID]: Bogor Press.
Tjondronegoro, S. 1999. Sosiologi Agraria: Kumpulan Tulisan Terpilih. Bandung [ID]: Akatiga. 201 hal.
Uphoff, N. 1986. Local Institutional Development: An Analytical Sourcebook With Case. [US]. Kumarian Press, United States of America. [Internet]. [Diunduh 10 Agustus]. Dapat Diunduh Dari: http://pubs.iied.org/pdfs/6045IIED.pdf
Wiradi, G. 2008. “Pola Penguasaan Tanah dan Reforma Agraria” dalam Dua Abad Penguasaan tanah: Pola Penguasaan Tanah Pertanian di Jawa dari Masa ke
70
Masa. S.M.P Tjondronegoro dan Gunawan Wiradi (penyunting). Jakarta [ID]: Yayasan Obor Indonesia. 535 hal.
Wiradi, G dan Makali. 1984. “Penguasaan Tanah dan Kelembagaan” dalam Prospek Pembangunan Ekonomi Pedesaan Indonesia. Penyunting Faisal Kasryno. Edisi I. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
71
LAMPIRAN
72
Lampiran 1. Peta Kampung Sinar Resmi, Desa Sinar Resmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi
73
Lampiran 2. Dokumentasi Penelitian
Penjemuran padi
kondisi Kampung Sinar Resmi
Leuit sijimat
Leuit rumahtangga
Huma Sawah tadah hujan
74
Padi varietas lokal
Panen di sawah
Pemanenan mengugunakan ani-ani Rumah Abah
75
KUESIONER PENELITIAN
Sistem Penguasaan Tanah Masyarakat dalam Membangun Kedaulatan
Pangan
(Kasus Desa Sinar Resmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Propinsi
Jawa Barat)
Nomor:
A. Lokasi Dan Waktu Wawancara Tempat Wawancara :………………………………………………. Tanggal Wawancara (tanggal/bulan/tahun) : / / Waktu Wawancara : /
B. Identitas Responden Nama : Jenis Kelamin : Umur : Status : Kawin/Belum Kawin Alamat : Pekerjaan : 1. Petani Pemilik Lahan 2. Petani Penggarap 3. Buruh Tani 4. Wiraswasta 5. Lain-lain, sebutkan: Pendidikan :
C. Karakteristik Anggota Rumahtangga Nama JK
(L/P)
Umur Status dalam RT
Tingkat Pendidikan
76
D. Struktur Penguasaan Tanah dan Hasil Pertanian
Nomo
r
Petak
Sistem
Penguasaaan
Luas Jenis
Lahan1
Musim
Tanam
Komoditi2
Frekuensi
Panen
Total
Panen
Jumlah
yang
Diterima
Jumlah yang disimpan di leuit
Sistem3 Jangka
Waktu
Rumahtangga Komunal
(Girang)
1 1
2
3
2 1
2
1 Sawah irigasi, sawah tadah hujan, tegal, huma 2 Jenis tanaman yang diproduksi 3 Milik, bagi hasil, sewa, gadai
77
3
3 1
2
3
dst
78
E. Kelembagaan
1. Apakah Anda mempunyai leuit?
a. Ya, …………buah
b. Tidak
2. Apakah anda pernah meminjam padi?
a. Ya
b. Tidak
3. Pertanyaan nomor 2, kemana Anda meminjam?
a. Rumahtangga lain
b. Leuit komunal
4. Pertanyaan nomor 2, berapa jumlah yang Anda pinjam?
………….gedeng
Panduan Pertanyaan
Penguasaan Tanah
1. Siapa pemilik tanah terluas/terkecil di Desa Sinar Resmi
2. Sejarah masa lampau orang tersebut
3. Profil orang tersebut
4. Berapa luasnya
5. Jenis lahannya
6. Komoditi yang ditanam
7. Siapa yang menggarap
8. Sistem bagi hasilnya
79
3. Kemudian dilanjutkan dengan orang yang berada pada tangga ke dua dari
tangga terbawah dan tangga kedua di bawah tangga teratas? (dibuat tangga
menurut kehendak responden/informan)
4. Bagaimana ciri orang yang berada pada tiap-tiap lapisan?
5. Siapa saja yang termasuk pada tiap tangga yang ada?
6. Kira-kira berapa persen atau bagian rumah tangga di desa ini yang
termasuk rumahtangga di tiap-tiap kelas