40
227 STRUKTUR PASAR DAN PEMASARAN GABAH-BERAS DAN KOMODITAS KOMPETITOR UTAMA I Wayan Rusastra, Benny Rachman, Sumedi, Tahlim Sudaryanto Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian Jl. A. Yani No. 70 Bogor 16161 ABSTRACT The conducive strategic and program of marketing development will yield positive contribution to enhancing technology adoption, efficiency and productivity improvement, agricultural commodity competitiveness, and increasing farmer’s income. Inherent factors influencing the performance of agricultural marketing are the existence of market structure, the rate of market integration, and marketing marjin. The objectives of this paper are to analyze the availability of agricultural product, structure and marketing marjin, intertemporal price trend and market integration, and the performance of price stabilization program as well as import tariff determination for agricultural product, especially rice. The configuration of regional rice balance sheet (surplus or deficit) will substantially depend on the implementation of regional autonomy and farmer’s freedom to cultivate more beneficial alternative commodities. Rice marketing structure faced by the farmers are appropriately competitive indicated by enormous buyer participation; cash in nature of payment system, and non-existence of capital interdependency as source of market distortion. Paddy price integration at producer and retailer (regency, province, and DKI Jakarta) indicate a strong market integration as well as appropriate competitiveness of rice marketing system. The region with net- interregional rice trade (deficit) was not necessary to self-sufficiency, but have to be facilitated with proper rice distribution system. Paddy price stabilization policy has to be complemented with rational import tariff policy, in order to maintain the sustainability of increasing rice production and farmer income. The food balance sheet of corn, chilly, and onion with respect to directconsumption was positive (surplus) but was not able to fulfill the demand of food and feed industry. The price received by the respective farmers was appropriate enough, except during the harvest time. Product development and partnership program is a must in order to eliminate price in stability face by the farmers. To strengthen farmers institutional organization and capital support was regarded as an important instrument on strengthening marketing structure and efficiency of the said commodities as the main competitors of rice. Key words : market structure, rice marketing, main competitor of paddy PENDAHULUAN Kinerja pemasaran memegang peranan sentral dalam pengembangan komoditas perta- nian. Perumusan strategi dan program pengem- bangan pemasaran yang mampu menciptakan kinerja pemasaran yang kondusif dan efisien akan memberikan kontribusi positif terhadap beberapa aspek, yaitu: (a) Mendorong adopsi teknologi, peningkatan produktivitas dan efi- siensi, serta daya saing komoditas pertanian: (b) Meningkatkan kinerja dan efektivitas kebijakan pengembangan produksi, khususnya kebijakan yang terkait dengan program stabilisasi harga keluaran; dan (c) Perbaikan perumusan kebi- jakan perdagangan domestik dan internasional (ekspor dan impor) secara lebih efektif dan optimal. Terdapat sejumlah faktor (intrinsik dan eksternal) yang berpengaruh terhadap kinerja pemasaran produk pertanian. Secara intrinsik faktor yang berpengaruh diantaranya adalah struktur pasar, tingkat integrasi pasar, dan marjin pemasaran. Bentuk pasar yang menga- rah kepada pasar monopoli akan berpengaruh terhadap tingkat kompetisi yang akan berdam- pak terhadap pembentukan harga, transmisi harga, dan bagian harga yang diterima petani. Secara implisit struktur pasar akan berdampak terhadap kinerja integrasi pasar dan nilai marjin pemasaran. Faktor eksternal yang berpengaruh pada hakekatnya adalah terkait dengan kebi- jakan pemerintah seperti pengembangan infra- struktur pemasaran (fisik dan kelembagaan), program stabilisasi harga output, perpajakan dan redistribusi, kebijakan pengembangan pro- duk dan pengolahan hasil pertanian, dan lain- lain. Pemahaman terhadap deskripsi, perma- salahan, serta perspektif dari faktor internal dan eksternal yang berpengaruh terhadap kinerja pemasaran produksi pertanian ini dinilai ber- manfaat dalam mendorong peningkatan produk-

STRUKTUR PASAR DAN PEMASARAN GABAH-BERAS DAN …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/pros-09_2004.pdf · khususnya untuk komoditas beras. Data yang dibutuhkan adalah data deret

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: STRUKTUR PASAR DAN PEMASARAN GABAH-BERAS DAN …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/pros-09_2004.pdf · khususnya untuk komoditas beras. Data yang dibutuhkan adalah data deret

227

STRUKTUR PASAR DAN PEMASARAN GABAH-BERASDAN KOMODITAS KOMPETITOR UTAMA

I Wayan Rusastra, Benny Rachman, Sumedi, Tahlim Sudaryanto

Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi PertanianJl. A. Yani No. 70 Bogor 16161

ABSTRACT

The conducive strategic and program of marketing development will yield positive contribution to enhancing technology adoption, efficiency and productivity improvement, agricultural commodity competitiveness, and increasing farmer’s income. Inherent factors influencing the performance of agricultural marketing are the existence of market structure, the rate of market integration, and marketing marjin. The objectives of this paper are to analyze the availability of agricultural product, structure and marketing marjin, intertemporal price trend and market integration, and the performance of price stabilization program as well as import tariff determination for agricultural product, especially rice. The configuration of regional rice balance sheet (surplus or deficit) will substantially depend on the implementation of regional autonomy and farmer’s freedom to cultivate more beneficial alternative commodities. Rice marketing structure faced by the farmers are appropriately competitive indicated by enormous buyer participation; cash in nature of payment system, and non-existence of capital interdependency as source of market distortion. Paddy price integration at producer and retailer (regency, province, and DKI Jakarta) indicate a strong market integration as well as appropriate competitiveness of rice marketing system. The region with net-interregional rice trade (deficit) was not necessary to self-sufficiency, but have to be facilitated with proper rice distribution system. Paddy price stabilization policy has to be complemented with rational import tariff policy, in order to maintain the sustainability of increasing rice production and farmer income. The food balance sheet of corn, chilly, and onion with respect to direct consumption was positive (surplus) but was not able to fulfill the demand of food and feed industry. The price received by the respective farmers was appropriate enough, except during the harvest time. Product development and partnership program is a must in order to eliminate price in stability face by the farmers. To strengthen farmers institutional organization and capital support was regarded as an important instrument on strengthening marketing structure and efficiency of the said commodities as the main competitors of rice.

Key words : market structure, rice marketing, main competitor of paddy

PENDAHULUAN

Kinerja pemasaran memegang peranan sentral dalam pengembangan komoditas perta-nian. Perumusan strategi dan program pengem-bangan pemasaran yang mampu menciptakan kinerja pemasaran yang kondusif dan efisien akan memberikan kontribusi positif terhadap beberapa aspek, yaitu: (a) Mendorong adopsi teknologi, peningkatan produktivitas dan efi-siensi, serta daya saing komoditas pertanian: (b) Meningkatkan kinerja dan efektivitas kebijakan pengembangan produksi, khususnya kebijakan yang terkait dengan program stabilisasi harga keluaran; dan (c) Perbaikan perumusan kebi-jakan perdagangan domestik dan internasional (ekspor dan impor) secara lebih efektif dan optimal.

Terdapat sejumlah faktor (intrinsik dan eksternal) yang berpengaruh terhadap kinerja pemasaran produk pertanian. Secara intrinsik

faktor yang berpengaruh diantaranya adalah struktur pasar, tingkat integrasi pasar, dan marjin pemasaran. Bentuk pasar yang menga-rah kepada pasar monopoli akan berpengaruh terhadap tingkat kompetisi yang akan berdam-pak terhadap pembentukan harga, transmisi harga, dan bagian harga yang diterima petani. Secara implisit struktur pasar akan berdampak terhadap kinerja integrasi pasar dan nilai marjin pemasaran. Faktor eksternal yang berpengaruh pada hakekatnya adalah terkait dengan kebi-jakan pemerintah seperti pengembangan infra-struktur pemasaran (fisik dan kelembagaan), program stabilisasi harga output, perpajakan dan redistribusi, kebijakan pengembangan pro-duk dan pengolahan hasil pertanian, dan lain-lain.

Pemahaman terhadap deskripsi, perma-salahan, serta perspektif dari faktor internal dan eksternal yang berpengaruh terhadap kinerja pemasaran produksi pertanian ini dinilai ber-manfaat dalam mendorong peningkatan produk-

Page 2: STRUKTUR PASAR DAN PEMASARAN GABAH-BERAS DAN …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/pros-09_2004.pdf · khususnya untuk komoditas beras. Data yang dibutuhkan adalah data deret

228

si dan pendapatan petani. Kinerja pemasaran yang kondusif akan mendorong adopsi teknologi dan bagian harga yang diterima petani. Kebi-jakan pemerintah yang kondusif akan mendo-rong peningkatan produksi, distribusi, pengem-bangan produk, dan insentif yang proporsional bagi pelaku tataniaga, dan kesejahteraan pe-tani.

Berkenaan dengan urgensi penciptaan kinerja pemasaran yang kondusif, faktor internal dan eksternal yang mempengaruhinya, dan antisipasi manfaat studi pemasaran, maka tuju-an dari tulisan ini adalah: (1) Membahas keter-sediaan produk pertanian (khususnya beras) dan kaitannya dengan perdagangan domestik; (2) Menganalisis struktur pasar dan marjin pemasaran serta faktor-faktor yang mempenga-ruhinya; (3) Menganalisis dinamika harga dan integrasi pasar antar wilayah produsen dan konsumen produk pertanian; dan (4) Mengung-kap kinerja program stabilisasi harga dan pene-tapan tarif bea masuk (TBM) komoditas pangan (beras).

METODE PENELITIAN

Bahasan metode penelitian, secara prag-matis diarahkan untuk menjawab tujuan pene-litian yang telah dirumuskan. Aspek yang diela-borasi meliputi cakupan dimensi yang dianalisis serta justifikasinya, jenis dan sumber data/informasi yang dibutuhkan, dan jenis analisis data. Secara ringkas deskripsi metode peneli-tian untuk setiap tujuan penulisan paper adalah sebagai berikut:

(1) Ketersediaan Pangan dan Perdagangan Domestik. Analisis mencakup ketersediaan pangan untuk perdagangan domestik di tingkat kabupaten dan provinsi penelitian, khususnya untuk komoditas beras. Data yang dibutuhkan adalah data deret waktu lima tahun terakhir yang mencakup produksi ekuivalen beras dan kebutuhan konsumsi yang dihitung berdasarkan data konsumsi Susenas dan jumlah penduduk. Secara deskriptif, neraca produksi antar wilayah dikaitkan dengan kebijakan perdagangan beras domestik dan kebijakan pengemba-ngan produksi dan perdagangan dalam perspektif otonomi daerah. Kajian ini dikomplemen dengan referensi pendukung yang relevan.

(2) Struktur Pasar dan Marjin Pemasaran. Bahasan struktur pasar secara kualitatif akan mendiskripsikan tingkat kompetisi pelaku dan pembentukan harga pada setiap tahapan/jalur pemasaran. Secara kuantitatif akan dianalisis lokasi penjualan dominan, pembeli dominan, proporsi pembayaran tunai, dan ikatan dengan pembeli. Secara deskriptif analisis ini diharapkan dapat merefleksikan posisi tawar petani produsen dalam struktur pasar yang ada dan upaya yang perlu dilakukan untuk meningkatkan efisiensi pemasaran. Selain analisis struktur pasar, tingkat kompetisi pemasaran juga didekati dengan analisis marjin pemasaran.

(3) Dinamika Harga dan Integrasi Pasar. Bahasan ini mencakup dinamika harga beras dan komoditas kompetitornya menu-rut wilayah dan tingkat harga (produsen, konsumen dan internasional), dengan mem-pertimbangkan data tahunan dan bulanan. Analisis juga diperkaya dengan korelasi harga dan integrasi pasar antar kota provin-si yang dikaitkan dengan kondisi surplus/defisit komoditas yang diteliti. Analisis kore-lasi harga mempertimbangkan berbagai tingkat pasar domestik (produsen, eceran di pasar kabupaten, provinsi, dan grosir Cipi-nang) dan harga internasional. Analisis integrasi pasar memanfaatkan data series bulanan (60 bulan) selama lima tahun ter-akhir (1995-1999), sehingga dinilai sangat memadai sebagai dasar perumusan kebijak-an. Kebijakan berkaitan dengan strategi pemasaran atau distribusi dan faktor pen-dukungnya dalam menanggulangi keterse-diaan pangan di daerah defisit.

(4) Program Stabilisasi Harga dan Penetapan Tarif Bea Masuk. Aspek ini akan mengung-kap kinerja Dolog di daerah dalam penga-manan harga dasar melalui program penga-daan gabah. Indikator utama yang diguna-kan dalam mengevaluasi kinerja pengadaan pangan oleh Dolog adalah pencapaian sasaran pengadaan gabah dan rataan har-ga gabah di tingkat petani vs. harga dasar. Secara lebih spesifik dibandingkan kinerja Dolog tahun 2002 dibandingkan dengan 2001. Faktor eksternal yang tidak kalah pentingnya dalam menjaga stabilitas harga beras di dalam negeri adalah penetapan tarif bea masuk (tarif impor beras) dengan sasaran memperkecil dampak fluktuasi har-ga beras dunia dan menjaga stabilitas

Page 3: STRUKTUR PASAR DAN PEMASARAN GABAH-BERAS DAN …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/pros-09_2004.pdf · khususnya untuk komoditas beras. Data yang dibutuhkan adalah data deret

229

pendapatan petani. Penetapan TBM impor beras ini mempertimbangkan kondisi aktual dan kemungkinan perubahan harga impor beras dan nilai tukar rupiah untuk menjamin tingkat keuntungan yang memadai bagi petani.

PEMASARAN KOMODITAS GABAH/BERAS

Produksi Beras dan Perdagangan Domestik

Pemasaran beras antar wilayah (secara spasial) disebabkan oleh adanya perbedaan harga atau insentif bagi pelaku ekonomi untuk melakukan kegiatan distribusi komoditas yang diperdagangkan. Sedikitnya terdapat dua faktor penyebab perbedaan harga beras secara spa-sial (Natawidjaja, 2001), yaitu: (1) Perbedaan segmentasi pasar yang direfleksikan oleh per-bedaan daya beli dan preferensi konsumen terhadap beras berkualitas tinggi; dan (2) Per-bedaan neraca ketersediaan dan konsumsi

beras, sehingga terjadi aliran komoditas dari daerah surplus (tingkat harga rendah) ke daerah defisit dengan tingkat harga yang lebih tinggi. Bahasan ini akan mengungkap neraca produksi dan konsumsi beras di tingkat kabupaten dan provinsi penelitian dikaitkan dengan konteks makro nasional dan dinamika kebijakan pemba-ngunan nasional.

Neraca produksi dan konsumsi beras di tujuh kabupaten penelitian disajikan pada Tabel 1. Ketujuh kabupaten penelitian merupakan daerah surplus beras, walaupun secara kuanti-tas bervariasi antar daerah. Pada kondisi normal (1996) sebelum krisis ekonomi, daerah dengan surplus beras di atas 100 ribu ton adalah Indramayu (371 ribu ton), Sidrap (182 ribu ton), Ngawi (175 ribu ton), dan Majalengka dengan volume surplus 129 ribu ton. Kabupaten dengan surplus beras di bawah 100 ribu ton adalah Klaten (92 ribu ton), Agam (84 ribu ton) dan Kediri (46 ribu ton).

Tabel 1. Neraca Produksi dan Konsumsi Beras di Tujuh Kabupaten Penelitian Indonesia, 1995-2001 (ton)

TahunUraian1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001

Trend (%/th)

Majalengka- Produksi- Konsumsi- Neraca

244.056121.287122.770

251.507121.888129.619

250.042122.490127.552

260.840123.091137.749

232.245123.825108.420

230.905124.563106.342

229.573125.206104.267

-0,580,51

-1,64Indramayu- Produksi- Konsumsi- Neraca

523.580171.855351.725

543.682172.569371.113

542.366173.282369.083

447.930173.996273.934

528.947175.154353.793

520.254176.320343.934

511.704177.494334.210

-1,640,46

-2,71Klaten- Produksi - Konsumsi- Neraca

184.57898.95985.619

191.57499.37292.202

193.79699.89793.899

208.347100.656107.691

183.127101.22881.899

206.716101.804104.912

209.746102.383107.364

1,470,592,40

Kediri- Produksi- Konsumsi- Neraca

161.431120.34741.085

167.257121.10646.151

165.437121.10644.331

162.332122.03440.298

175.473122.46953.004

156.932122.90634.026

152.077123.34428.733

-0,850,41

-4,57Ngawi- Produksi- Konsumsi- Neraca

250.1776.460

173.717

252.09876.792

175.306

262.50877.001

185.506

277.24177.219

200.022

270.36677.532

192.834

316.65577.846

238.809

284.81378.162

206.651

3,150,364,25

Agam- Produksi- Konsumsi- Neraca

131.44249.72481.719

134.30949.81384.496

113.82549.90363.922

132.19449.99382.202

132.46650.08382.383

137.07850.16586.914

121.41850.26371.155

-0,160,18

-0,38Sidrap- Produksi- Konsumsi- Neraca

-27.108

(27.108)

210.33427.510

182.824

232.06827.693

204.374

195.90227.951

167.952

214.72528.293

186.431

207.87726.685

181.192

215.94726.733

189.214

-0,34-0,68-0,29

Sumber: Dinas Pertanian Tanaman Pangan (provinsi penelitian) dan Susenas, BPS, Jakarta.

Page 4: STRUKTUR PASAR DAN PEMASARAN GABAH-BERAS DAN …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/pros-09_2004.pdf · khususnya untuk komoditas beras. Data yang dibutuhkan adalah data deret

230

Pada tahun 2001, keempat kabupaten kategori I (surplus di atas 100 ribu ton) tetap merupakan daerah pemasok beras utama dengan marketable surplus yang dominan, walaupun Indramayu, Majalengka dan Sidrap mengalami penurunan surplus beras masing-masing sebesar 2,7 persen, 1,6 persen dan 0,3 persen. Sementara itu Kabupaten Ngawi me-ngalami peningkatan surplus beras dari 175 ribu ton menjadi 206 ribu ton atau meningkat sebesar 4,2 persen. Daerah lain yang menga-lami peningkatan surplus beras selama periode 1995-2001 adalah Klaten dengan laju 2,4 persen, yaitu meningkat dari 92 ribu ton menjadi 107 ribu ton. Peningkatan surplus di dua kabu-paten ini (Ngawi dan Klaten) terutama disebab-kan oleh adanya peningkatan produksi beras yang cukup besar, yaitu 3,1 persen dan 1,5 persen per tahun. Sementara di daerah lainnya mengalami penurunan produksi beras dengan kisaran 0,2 persen per tahun (Agam) sampai dengan 1,6 persen per tahun (Indramayu).

Hasil analisis neraca produksi dan kon-sumsi beras di lima provinsi penelitian ditampil-kan pada Tabel 2. Kelima provinsi penelitian merupakan daerah surplus produksi beras. Surplus terbesar adalah Jawa Timur (1,62 juta ton), yang selanjutnya diikuti oleh Jawa Tengah (1,61 juta ton), Sulawesi Selatan (1,32 juta ton), Jawa Barat (0,80 juta ton), dan surplus terendah

adalah Sumatera Barat yang hanya menca-pai 0,39 juta ton. Jawa Barat yang memiliki tingkat produksi beras paling tinggi, ternyata memiliki surplus produksi (marketable surplus) terendah kedua setelah Sumatera Barat. Jawa secara keseluruhan (tiga provinsi) tetap merupa-kan daerah surplus produksi dengan total paso-kan sebesar 4,03 juta ton yang siap didistribusi-kan untuk memenuhi kebutuhan beras di Jakar-ta dan luar Jawa. Sulawesi Selatan merupakan daerah surplus dan pemasok beras utama di luar Jawa dengan nilai marketable surplus sebesar 1,32 juta ton/tahun, selama periode 1995-2001.

Analisis tradeable surplus secara regional dengan mempertimbangkan daerah surplus/ defisit di 26 provinsi dalam periode 1995-1999 dilakukan oleh Natawidjaja (2001). Pulau Jawa dengan pasar utama Jakarta, tetap memiliki surplus yang cukup besar, yaitu 2,47 juta ton yang siap memasok kebutuhan beras di luar Jawa. Wilayah dengan tradeable surplus beri-

kutnya adalah Sulawesi (0,93 juta ton), Suma-tera (0,88 juta ton), Kalimantan (0,21 juta ton) dan Bali dan Nusa Tenggara dengan volume surplus yang siap dipasarkan 0,14 juta ton.

Dalam konteks yang lebih komprehensif, dengan cakupan 26 provinsi, analisis neraca ketersediaan dan kebutuhan beras yang dilaku-kan Natawidjaja (2001) menunjukkan beberapa

Tabel 2. Neraca Produksi dan Konsumsi Beras di Lima Provinsi Penelitian, Indonesia, 1995-2001

Provinsi 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 RataanJawa Barat - Produksi - Konsumsi - Neraca

5715,25373,3341,9

5728,54828,2900,3

5518,04887,8630,2

5221,14974,2246,9

5326,34818,6507,7

5807,04813,3993,7

5767,44899,9867,4

5692,14896,5795,6

Jawa Tengah - Produksi - Konsumsi - Neraca

4369,63117,21252,4

4455,42929,81525,6

4439,22924,31496,9

4580,62989,31591,3

4448,32856,81591,5

4558,22884,51673,7

4582,32912,51649,8

4533,02921,41611,6

Jawa Timur - Produksi - Konsumsi - Neraca

4569,23428,11141,1

4599,13313,31285,8

4548,53328,51220,0

4632,63366,91265,9

4773,73177,61596,1

5089,83091,31998,5

4682,13114,51567,6

4798,83176,21622,6

Sumatera Barat - Produksi - Konsumsi - Neraca

975,0621,4353,6

1050,6582,7467,9

952,9587,6365,3

936,5597,8365,7

1011,5548,9462,6

946,8551,7395,0

937,8557,5380,3

958,4565,6392,8

Sulawesi Selatan - Produksi - Konsumsi - Neraca

1986,51002,1984,4

2159,8962,5

1197,3

2009,1971,9

1037,2

1897,9988,5909,4

2063,2894,1

1169,1

2335,4874,4

1460,8

2321,4887,8

1433,6

2226,7908,7

1318,9Sumber: Dinas Pertanian Tanaman Pangan (provinsi penelitian) dan Susenas, BPS, Jakarta.

Page 5: STRUKTUR PASAR DAN PEMASARAN GABAH-BERAS DAN …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/pros-09_2004.pdf · khususnya untuk komoditas beras. Data yang dibutuhkan adalah data deret

231

hasil menarik sebagai berikut: (1) Kelima provinsi penelitian merupakan daerah surplus yang selanjutnya menjadi pemasok bagi daerahdefisit pada regional yang sama (pulau) atau diantar-pulaukan ke tempat lain; (2) Daerah provinsi yang memiliki surplus di atas 1,0 juta ton adalah Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Sulawesi Selatan, sedangkan daerah lainnya memiliki surplus sekitar 400 ton ke bawah; (3) Daerah yang membutuhkan pasokan beras cukup besar adalah DKI Jakarta (800 ribu ton/tahun), dan Riau, Maluku, Sula-wesi Utara dan NTT, masing-masing sekitar 100 – 200 ribu ton per tahun; (4) Secara regional, pulau Jawa tetap merupakan pensuplai beras nasional dengan pasokan sekitar 2,5 juta ton per tahun dan Sulawesi sebesar 1,0 juta ton per tahun yang dapat diperdagangkan antar regi-onal atau antar pulau; (5) Maluku dan Irian Jaya merupakan daerah defisit (100 ribu ton/tahun).

Beberapa implikasi yang dapat ditarik dari bahasan di atas adalah kelancaran arus distri-busi dan perdagangan beras antar wilayah akan berperan besar dalam mengatasi defisit atau kelangkaan beras di dalam negeri. Kebijakan impor yang tepat dan perbaikan kinerja perda-gangan beras domestik akan berdampak positif terhadap peningkatan produksi dan pendapatan petani padi. Konfigurasi surplus/defisit beras akan mengalami perubahan sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah dan kebebasan bagi petani untuk menanam komoditas yang lebih menguntungkan. Diperlukan rekonsiliasi antar pusat dan daerah melalui rumusan kebijakan pertanian yang dapat mengakomodasi peningkatan pendapatan petani dan pendapatan asli daerah (PAD) tanpa berdampak serius terhadap koversi lahan pertanian produktif dan peningkatan produksi beras nasional.

Struktur Pasar dan Marjin Pemasaran

Struktur pasar akan direfleksikan oleh kondisi dan perilaku pasar yang dihadapi oleh petani. Perilaku pasar pada tingkat yang paling bawah ini pada hakekatnya merupakan turunan secara akumulatif dari sistem dan perilaku pela-ku tataniaga di atasnya. Pemahaman kondisi pasar di tingkat petani yang mencakup proses pembentukan harga, bagian harga yang diteri-ma petani, dan marjin pemasaran serta faktor-faktor yang mempengaruhinya merupakan infor-masi penting dalam rangka peningkatan efisien-si dan kompetisi pasar yang lebih baik. Struktur

pasar gabah didominasi oleh pedagang pe-ngumpul. Disemua kabupaten pedagang pe-ngumpul menguasai sebagian besar gabah petani, kecuali di Klaten dan Sidrap mendekati separuh (49%).

Kondisi pasar yang dihadapi petani di tujuh kabupaten penelitian yang mencakup lokasi penjualan, pembeli dominan, cara pemba-yaran dan ikatan dengan pembeli ditampilkan pada Tabel 3. Lokasi penjualan (sawah dan non sawah) menurut berbagai bentuk output (GKP, GKS, GKG dan beras) serta sistem panen (tebasan atau tidak) merefleksikan banyak hal dan memberikan implikasi yang menarik. Partisi-pasi petani yang melakukan penjualan di sawah yang cukup menonjol adalah di Klaten (46,0%), Kediri (26,8%) dan Ngawi (25,8%). Sementara di tempat lain proporsinya sekitar 20,0 persen ke bawah. Di Klaten dan Kediri penjualan di sawah umumnya dilakukan dengan sistem tebasan masing-masing dengan tingkat partisi-pasi 36,5 persen dan 11,3 persen, sedangkan di Ngawi sebagian besar (24,2%) dalam bentuk GKP. Penjualan gabah dengan sistem tebasan tidak merefleksikan lemahnya posisi petani. Petani menilai sistem tebasan ini memiliki beberapa kelebihan dan menguntungkan pada kedua belah pihak (petani dan pedagang) dan nampaknya cukup kompetitif, yang ditunjukkan banyaknya penebas yang beroperasi di desa.

Secara umum lokasi penjualan dominan adalah bukan di sawah, dan bahkan mencapai angka di atas 80 persen petani khususnya di Sidrap (90,7%), Majalengka (83,2%), dan Indra-mayu (82,0%). Panen umumnya memakai sistem bawon dan sebagian besar petani men-jual gabah di rumah, dan hanya sebagian kecil yang menjual langsung ke RMU atau pasar desa. Dilihat dari bentuk outputnya, penjualan gabah dalam bentuk GKP sangat menonjol di Sidrap dan Ngawi, dengan partisipasi petani 85,3 persen dan 67,4 persen. Pada kedua daerah ini petani langsung menjual gabah tanpa proses lebih lanjut beberapa saat setelah sampai di rumah. Hal ini dapat dimaklumi karena petani umumnya mengalami keterbatas-an penguasaan alat pengeringan dan penyimpa-nan. Penjualan gabah dalam bentuk GKS (gabah kering simpan) dengan kadar air sebesar 16 persen, cukup dominan di Kabupa-ten Indramayu dengan partisipasi petani sebe sar 51 persen.

Page 6: STRUKTUR PASAR DAN PEMASARAN GABAH-BERAS DAN …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/pros-09_2004.pdf · khususnya untuk komoditas beras. Data yang dibutuhkan adalah data deret

232

Penjualan gabah di rumah dalam bentuk GKG (kadar air 14%) cukup dominan di Majalengka, Kediri dan Klaten, masing-masing dengan tingkat partisipasi petani 69,5 persen, 43,7 persen dan 28,6 persen. Kecenderungan ini akan berdampak positif terhadap ketahanan pangan rumah-tangga dengan adanya stok pangan (beras) di tingkat keluarga yang siap diproses untuk menjadi beras atau dijual dalam

bentuk GKG. Peningkatan partisipasi petani dalam pemrosesan gabah menjadi GKS dan GKG akan berdampak positif terhadap stabili-sasi harga gabah. Kecenderungan seperti ini tidak terdapat di Kabupaten Ngawi yang umum-nya menjual gabah di rumah dalam bentuk GKP.

Struktur pasar yang direfleksikan oleh kinerja pemasaran di tingkat petani akan sangat

Tabel 3. Sistem Penjualan Gabah/Beras di Tingkat Petani di Tujuh Kabupaten, 2001 (%)

Lokasi penjualan Pembeli dominan Cara pembayaran Ikatan dengan pembeli

NSawah Non

sawahPengumpul Lainnya Tunai Non

tunaiAda Tidak

Indramayu- Tebasan- GKP- GKS- GKG- Beras

100 18,00-

5,0013,00

--

82,00-

15,0051,0016,00

-

62,00-

14,0023,0025,00

-

38,00-

1,0033,00 4,00

-

98,00-

15,0056,0027,00

-

2,00---

2,00-

19,00-

2,0016,00 1,00

-

81,00-

13,0040,0028,00

-Majalengka- Tebasan- GKP- GKS- GKG- Beras

95 16,84-

15,79 1,05

--

83,16-

9,47 1,0569,47 3,16

90,53-

10,53 2,1177,89

-

9,47-

2,11-

4,21 3,16

100,00-

12,63 2,1182,11 3,16

------

31,58-

1,05 2,1127,37 1,05

68,42-

11,58-

54,74 2,11

Klaten- Tebasan- GKP- GKS- GKG- Beras

63 46,0336,51 3,17 6,35

--

53,97-

3,17 3,1728,5719,05

49,2128,57 4,76

-14,29 1,59

50,79 7,94 1,59 3,1720,6317,46

98,4134,92 6,35 3,1734,9219,05

1,591,59

----

4,76 4,76

----

95,2431,75 6,35 3,1734,9219,05

Kediri- Tebasan- GKP- GKS- GKG- Beras

71 26,7611,27 2,8212,68

--

73,24-

4,23 9,8643,6615,49

78,8711,27 5,63 9,8647,89 4,23

21,13-

1,41-

8,4511,27

97,18 8,45 7,04 9,8656,3415,49

2,822,82

----

42,25 1,41 2,82 2,8223,9411,27

57,75 9,86 4,23 7,0432,39 4,23

Ngawi- Tebasan- GKP- GKS- GKG- Beras

132 25,76 1,5224,24

---

74,24-

67,42 2,27 4,55

-

69,69 1,5263,64 2,27 2,27

-

30,30-

28,03-

2,27-

95,45 1,5287,88 2,27 3,79

-

4,55-

3,79-

0,76-

18,94-

16,67-

2,27-

81,06 1,5275,00 2,27 2,27

-Agam- Tebasan- GKP- GKS- GKG- Beras

79 20,26-

18,99 1,27

--

79,75-

7,59--

72,15

63,29-

10,13--

53,16

36,71-

16,46-

1,2718,99

98,73-

26,58-

1,2770,89

1,27----

1,27

39,24-

3,80--

35,44

60,76-

22,78-

1,2736,71

Sidrap- Tebasan- GKP- GKS- GKG- Beras

75 9,33 5,33 4,00

---

90,67-

85,33-

2,67 2,67

49,33 4,0042,67

--

2,67

50,67 1,3346,67

- 2,67

-

73,33 4,0065,33

- 1,33 2,67

26,67 1,3324,00

- 1,33

-

49,33 2,6745,33

--

1,33

50,67 2,6744,00

- 2,67 1,33

Sumber: Data primer hasil penelitian di tingkat petani, tujuh kabupaten penelitian.

Page 7: STRUKTUR PASAR DAN PEMASARAN GABAH-BERAS DAN …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/pros-09_2004.pdf · khususnya untuk komoditas beras. Data yang dibutuhkan adalah data deret

233

ditentukan oleh pembeli dominan yang dihadapi petani, cara pembayaran, dan ikatan petani dengan pembeli. Pembeli dominan gabah/beras di tingkat petani adalah pedagang pengumpul desa (PPD) dengan tingkat partisipasi petani 62,1 persen (Indramayu) sampai dengan 90,5 persen di Majalengka, kecuali di Klaten dan Sidrap dengan tingkat partisipasi sebesar 49,0 persen. Di luar Klaten dan Sidrap, hanya seba-gian kecil petani (10,0 - 38,0%) yang menjual gabah/beras kepada bukan pedagang pengum-pul desa. Katagori pembeli lainnya ini adalah sebagian besar kepada RMU dan hanya sebagi-an kecil oleh pedagang kecamatan, pedagang kabupaten dan pedagang luar kabupaten. Ben-tuk penjualan output kepada pedagang pengum-pul desa, nampak bervariasi menurut wilayah. Di Indramayu partisipasi penjualan petani yang dominan adalah dalam bentuk GKG (25%), Majalengka GKG (77,9%), Klaten tebasan (28,6%), Kediri GKG (47,9%), Ngawi GKP (63,6%), Agam beras (53,2%) dan Sidrap dalam bentuk GKP (42,7%). Semakin meningkat parti-sipasi petani dalam penjualan gabah dalam bentuk GKG atau beras menunjukkan indikasi semakin positif, seperti ditunjukkan oleh petani di Kabupaten Majalengka, Kediri dan Agam.

Pada semua kabupaten penelitian, seba-gian besar petani menyatakan bahwa pemba-yaran oleh pedagang dilakukan secara tunai. Kisaran tingkat partisipasi petani adalah antara 73,3 persen (Sidrap) sampai dengan 100 persen di Majalengka. Sekitar 27,0 persen petani di Sidrap menyatakan pembayaran dilakukan seki-tar 1–2 minggu setelah pengambilan barang. Hal ini nampaknya terkait dengan adanya keterkaitan (ikatan) antara petani dan pedagang dengan tingkat proporsi yang cukup besar, yaitu 49,3 persen dari total petani contoh. Ikatan antara petani dan pedagang ini umumnya ada-lah dalam bentuk langganan (tetap dan tidak tetap) dan famili, dan hanya sebagian kecil karena keterikatan pinjaman modal. Cara pem-bayaran yang sebagian besar dilakukan secara tunai dan tidak ada ikatan atau ketergantungan modal petani dengan pembeli mengindikasikan struktur atau posisi tawar petani yang cukup baik. Keterikatan dalam bentuk langganan dan famili diyakini tidak menjadi sumber distorsi pasar.

Bahasan berikut akan mengungkap jalur pemasaran, marjin pemasaran dan faktor yang mempengaruhinya. Jalur pemasaran di tujuh kabupaten penelitian sampai pada tingkat peda-

gang besar (kabupaten dan provinsi) adalah sama, dengan penjelasan sebagai berikut (Gambar 1): (1) Petani menjual gabah (di sawah/di rumah) kepada tiga pelaku tataniaga yaitu penebas, pedagang pengumpul dan KUD; (2) Kecuali KUD yang melakukan penjualan ke Dolog kabupaten, maka penebas dan pedagang pengumpul menjual gabah ke pedagang penam-pungan yang pada umumnya adalah RMU atau kontraktor Dolog kabupaten; (3) Pedagang penampungan ini dengan lokasi di tingkat kabupaten memproses gabah menjadi beras dan selanjutnya menjual ke Dolog dan pedagang besar kabupaten dan provinsi; (4) Dolog kabupaten dapat melakukan penyaluran/ mobilitas beras antar kabupaten, provinsi dan antar pulau; dan (5) Pedagang besar kabupaten dapat menyalurkan/mensuplai beras kepada pedagang besar di tingkat provinsi.

Pada jalur berikutnya terdapat variasi antar kabupaten sebagai berikut: (1) Pedagang besar kabupaten di empat wilayah di Jawa (Indramayu, Majalengka, Klaten dan Kediri), disamping memasok pasar provinsi, adalah pen-suplai beras ke Pasar Induk Cipinang; (2) Pedagang besar di tiga kabupaten lainnya (Ngawi, Agam dan Sidrap), di samping pemasok pasar provinsi, adalah memasok pedagang antar pulau; (3) Ketiga jenis pelaku tataniaga terakhir ini (pedagang provinsi, pedagang antar pulau dan Pasar Induk Cipinang) memasok toko/kios pengecer yang selanjutnya melayani konsumen setempat. Pelaku tataniaga yang memegang peranan sentral dalam perdagangan adalah pedagang penampungan yang melaku-kan kegiatan penampungan, pengeringan, pe-ngolahan gabah dan perdagangan beras.

Di samping peran/fungsi tataniaga yang cukup kompleks, pelaku tataniaga ini juga melakukan penanganan volume perdagangan gabah/beras yang cukup besar, dengan kisaran 75 – 85 persen. Peran RMU yang berfungsi sebagai kontraktor Dolog adalah sekitar 10 – 20 persen. Peran KUD dalam pembelian/pema-saran dan perdagangan gabah/beras kaitannya dengan tataniaga umum atau pengamanan harga dasar (kaitannya dengan Dolog) adalah relatif kecil (5%). Peran pelaku tataniaga di luar “Pedagang Penampung” ini adalah relatif ter-batas yaitu terkait dengan aspek penyimpanan dan distribusi antar kabupaten, provinsi dan antar pulau. Sebagian RMU di tingkat kabupa-ten juga melakukan perdagangan beras sampai

Page 8: STRUKTUR PASAR DAN PEMASARAN GABAH-BERAS DAN …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/pros-09_2004.pdf · khususnya untuk komoditas beras. Data yang dibutuhkan adalah data deret

234

ke pasar provinsi atau Pasar Induk Cipinang (Jakarta). Analisis marjin pemasaran beras sampai dengan di pasar eceran di tingkat ibukota kabupaten disajikan pada Tabel 4.Disadari bahwa proporsi alokasi beras untuk memenuhi pasar beras di tingkat kabupaten ini relatif kecil (15%), dengan kisaran 10 persen (Indramayu, Ngawi dan Sidrap) sampai dengan 25 persen di Kabupaten Agam. Kisaran harga (setara beras) yang diterima petani adalah Rp 1850/kg (Agam) – Rp 1909/kg (Kediri) atau sekitar 81,8 persen dari harga rataan eceran beras di pasar kabupaten yang besarnya Rp 2134/kg. Jadi marjin perdagangan beras adalah relatif kecil (Rp 422/kg), yaitu 18,2 persen terhadap rataan harga eceran. Dari marjin

perdagangan sebesar itu, sejumlah 4,19 persen (Rp 97/kg) dialokasikan untuk biaya pengo-lahan, 7,35 persen (Rp 170/kg) untuk biaya transportasi, dan sisanya (6,66%) atau Rp 154/kg adalah profit marjin.

Menarik untuk dibahas imbangan keun-tungan dan biaya pada setiap pelaku tataniaga beras ini. Keuntungan yang diterima pedagang pengumpul desa relatif terhadap biaya pema-saran adalah 109 persen, RMU 10,91 persen, untuk pedagang besar di pasar kabupaten 51,22 persen, dan untuk pedagang pengecer sebesar 98,4 persen. Walaupun marjin tataniaga relatif kecil, namun secara relatif (kecuali RMU) tingkat keuntungan yang diperoleh cukup besar, yaitu jauh di atas tingkat suku bunga di pasar modal.

Gabah Gabah Gabah

Gabah

Gabah Gabah

Beras

Kab. 1,2,3,4,5,6,7 Kab. 1,2,3,4,5,6,7

Kab. 5,6,7

Kab. 1,2,3,4

Keterangan Kabupaten: (1) Indramayu, (2) Majalengka, (3) Klaten, (4) Kediri, (5) Ngawi, (6) Agam, dan (7) Sidrap.

Gambar 1. Jalur Pemasaran Beras/Gabah di Tujuh Kabupaten, Indonesia, 2002

PETANI

Pedagang pengumpulPenebas KUD

Pedagang penampungan (penggilingan padi)

DOLOG

Pedagang besar Pasar provinsi

Pedagang antar pulau

Pasar induk Cipinang

Toko/kios pengecer

KONSUMEN

Page 9: STRUKTUR PASAR DAN PEMASARAN GABAH-BERAS DAN …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/pros-09_2004.pdf · khususnya untuk komoditas beras. Data yang dibutuhkan adalah data deret

235

Tingkat keuntungan semakin berarti mengingat waktu transaksi yang relatif cepat. Dikaitkan dengan volume perdagangan yang ditangani oleh keempat pelaku tataniaga ini, nampak bahwa keuntungan yang diterima RMU dan pedagang besar relatif kecil, namun volume komoditas yang ditangani lebih besar dibanding-kan dengan yang ditangani oleh pedagang pengumpul desa atau pedagang pengecer.

Hasil analisis marjin pemasaran ini tidak jauh berbeda dengan analisis yang sama yang dilakukan satu tahun sebelumnya (tahun 2000) di empat kabupaten contoh Klaten, Kediri, Agam, dan Sidrap (Rusastra et al. 2000). Pada saat itu harga gabah (GKP) di tingkat petani di empat kabupaten produsen utama padi adalah berkisar antara Rp 800/kg – Rp 850/kg, atau setara dengan Rp 1.550 – Rp 1.800/kg beras. Kisaran harga eceran beras di tingkat konsumen di pasar kabupaten adalah Rp 1.900/kg di Kediri

dan Sidrap sampai dengan Rp 2.100/kg di Agam, Sumatera Barat. Pasar gabah/beras relatif kompetitif dan petani dengan mudah memasarkan gabah karena jumlah pedagang dan RMU relatif banyak yang beroperasi di pedesaan. Pemasaran beras dinilai cukup efisien yang diindikasikan oleh bagian harga yang diterima petani relatif besar dengan kisaran 80,1 persen di Klaten dan 85,7 persen di Agam. Rataan biaya pemasaran mencapai Rp 302/kg atau 15,2 persen terhadap harga eceran, dengan komposisi 10,1 persen untuk biaya prosessing, handling, transportasi, dan sisanya 5,2 persen adalah keuntungan pedagang.

Dinamika Harga dan Integrasi Pasar

Bahasan ini akan mengungkap beberapa aspek yaitu: (1) Dinamika harga bulanan pada berbagai tingkat harga (produsen, konsumen, harga internasional) di wilayah kabupaten

Tabel 4. Analisis Marjin Pemasaran Beras di Tujuh Kabupaten Lokasi Penelitian, 2001 (Rp/kg)

UraianIndra-mayu

Maja-lengka

Klaten Kediri Ngawi Agam SidrapRata-rata

Proporsi (%)

Petania.Harga jual (GKP)b.Setara beras

1.1001.897

1.1001.897

1.1001.900

1.0501.909

1.1001.897

1.0501.850

1.0501.900

1.0791.893

-81,84

Pedagang pengumpul desaa.Harga belib.Biaya pemasaranc. Harga juald.Profit marjin

1.89762

2.03173

1.89751

2.00254

1.90065

2.00035

1.90949

1.98325

1.89755

2.04190

1.85055

2.00095

1.90050

2.00050

1.89355

2.00860

-2,38

-2,59

RMUa.Harga belib.Biaya pemasaranc. Biaya pengolahand.Harga juale.Profit marjin

2.0311698

2.16418

2.0021395

2.12717

2.00010

1002.122

12

1.98315

1042.120

18

2.04111

1002.158

6

2.0001495

2.1178

2.0001190

2.1076

2.0081397

2.13112

-0,564,19

-0,59

Pedagang besara.Harga belib.Biaya pemasaranc. Harga juald.Profit margjin

2.16452

2.25034

2.12741

2.20032

2.12232

2.17521

2.12047

2.20033

2.15835

2.2006

2.11744

2.17514

2.10736

2.1507

2.13141

2.19321

-1,77

-0,91

Pedagang ecerana.Harga belib.Biaya pemasaranc. Profit marjind.Harga jual

2.2503565

2.350

2.2007575

2.350

2.1756758

2.300

2.2005050

2.300

2.2004555

2.300

2.1757550

2.300

2.1508070

2.300

2.1936160

2.313

-2,642,53100

Totala.Pengolahanb.Transportasic. Profit margjind.Biaya pemasaran

98165191453

95180179453

100174126400

104161126391

100146157403

95188167450

90177133400

97170154422

4,197,356,66

18,16Proporsi pemasar-an beras ke pasar lokal (%)

10 15 20 15 10 25 10 15 -

Sumber: Data primer di tujuh kabupaten contoh

Page 10: STRUKTUR PASAR DAN PEMASARAN GABAH-BERAS DAN …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/pros-09_2004.pdf · khususnya untuk komoditas beras. Data yang dibutuhkan adalah data deret

236

penelitian, dalam dua tahun terakhir (2000-2001); (2) Perubahan harga tahun 2000 dan 2001 pada periode waktu (bulan) yang sama; (3) Korelasi harga pada berbagai tingkat pasar (produsen, konsumen dan internasional) dan antar wilayah kabupaten; dan (4) Korelasi harga dan integrasi pasar beras antar provinsi di Indonesia.

Secara normatif dinamika harga bulanan gabah akan dipengaruhi oleh masa panen raya, penanganan stok gabah oleh petani, pelaksa-naan program stabilisasi harga, dan kinerja pemasaran gabah/beras antar wilayah. Dinami-ka harga gabah juga tidak bisa dilepaskan keterkaitannya dengan kinerja pasar beras dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Perkem-bangan harga beras eceran di kabupaten penelitian (daerah surplus beras) sangat ditentu-kan oleh kelancaran arus barang keluar kabu-paten dalam bentuk perdagangan beras antar kabupaten, provinsi dan antar pulau. Faktor lain yang berpengaruh adalah manajemen stok gabah/beras dalam rumah tangga, pelaksanaan program OPK beras, dan perencanaan serta pelaksanaan impor beras.

Pada tahun 2000, harga bulanan gabah di tingkat petani di enam kabupaten penelitian relatif stabil (Lampiran 1). Rataan harga relatif bervariasi antar daerah. Di Jawa kisaran harga gabah (GKP) antara Rp 710/kg (Indramayu) sampai dengan Rp 1.100/kg di Klaten. Di luar Jawa berkisar antara Rp 810/kg (Sidrap) hingga Rp 1.085/kg di Kabupaten Agam. Pada tahun 2001, kecenderungan pergerakan harga gabah nampak berbeda dibandingkan tahun sebelum-nya. Di tiga kabupaten produsen utama padi di Jawa (Indramayu, Majalengka dan Klaten) terjadi peningkatan harga yang cukup konsisten. Dalam periode Januari – Desember 2001 (Lampiran 2), harga gabah di Indramayu meningkat dari Rp 950/kg menjadi Rp 1.470/ kg GKP, di Majalengka Rp 1.200/kg – Rp 1.450/kg GKG, dan di Klaten Rp 1.250/kg –Rp 1.440/kg GKG. Sementara di tiga kabupaten lainnya (Ngawi, Agam, dan Sidrap) harga gabah relatif stabil dengan nilai rataan bulanan masing-masing Rp 980/ kg, Rp 970/kg dan Rp 1.125/kg GKP. Dalam periode 2000 - 2001, kecuali di Kabupaten Agam, terdapat peningkatan harga gabah yang cukup signifikan (Lampiran 3).Peningkatan harga yang cukup besar terjadi di Indramayu (62,7%), Sidrap (38,8%), Klaten (18,5%), dan di Kabupaten Ngawi dengan laju peningkatan 15,3 persen. Sementara itu di Ka-

bupaten Agam terjadi penurunan harga sebesar 10,9 persen, yang terjadi hampir sepanjang tahun 2001, kecualli pada bulan Desember.

Kecenderungan harga bulanan eceran beras tahun 2000, di empat kabupaten di Jawa mengalami penurunan, sementara di luar Jawa dalam keadaan stabil (Lampiran 1). Selama periode Januari-Desember 2000, harga eceran beras di Indramayu menurun dari Rp 2.400/kg menjadi Rp 1.835/kg, di Majalengka Rp 2.250 – Rp 1.950/kg, di Klaten Rp 2.500/kg – Rp 1.850/kg, dan di Ngawi menurun dari Rp 2.200/kg menjadi Rp 1.900/kg. Di dua kabupaten di luar Jawa stabil pada nilai rataan Rp 2.085/kg di Agam dan Rp 1.789/kg di Kabupaten Sidrap. Pada tahun 2001 terdapat kecende-rungan sebaliknya, dimana terjadi indikasi peningkatan harga eceran beras pada semua derah kabupaten (Lampiran 2). Konsekuensinya adalah tidak terjadi perubahan harga yang berarti (khususnya di Jawa) selama periode dua tahun terakhir ini. Di tiga kabupaten di Jawa (Indramayu, Majalengka dan Klaten) harga beras relatif stabil dengan laju peningkatan di bawah 3,0 persen (Lampiran 3). Sementara itu di Sidrap-Sulawesi Selatan harga beras mening-kat sebesar 10,5 persen, yaitu dari Rp 1.790/kg menjadi Rp 1.980/kg. Dalam kondisi saat ini (bukan panen raya) harga eceran beras di pasar Terung-Makasar dalam kondisi normal dan stabil. Harga eceran beras kualitas medium adalah Rp 2.350/kg – Rp 2.450/kg, sedangkan harga beras berkualitas (branded rice) ada-lah Rp 2.900/kg – Rp 3.000/kg.

Berbeda dengan harga gabah yang umumnya mengalami peningkatan dan harga eceran beras yang bergerak stabil, maka harga internasional beras (FOB Bangkok) selama pe-riode 2000-2001 mengalami penurunan sebesar 11,6 persen (Lampiran 3). Penurunan terjadi hampir setiap bulan, kecuali pada bulan Nopem-ber dan Desember yang mengalami peningkat-an 0,8 persen dan 3,0 persen. Dengan memper-hitungkan biaya pengangkutan dan asuransi se-besar US$ 17,5/ton dan nilai tukar rupiah yang berlaku, nampak bahwa terjadi peningkatan harga beras CIF (Rp/ton) sebesar 8,1 persen selama periode 2000-2001. Peningkatan hampir terjadi setiap bulan kecuali pada bulan Juli yang mengalami penurunan sebesar 1,8 persen. Hal ini dimungkinkan karena harga beras CIF dalam US$ mengalami penurunan sebesar 7,2 persen, sementara itu nilai tukar dolar meningkat relatif kecil yaitu hanya 5,8 persen.

Page 11: STRUKTUR PASAR DAN PEMASARAN GABAH-BERAS DAN …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/pros-09_2004.pdf · khususnya untuk komoditas beras. Data yang dibutuhkan adalah data deret

237

Prestasi yang patut dicatat dalam hal ini adalah kemampuan membendung transmisi penurunan harga internasional (FOB, Bangkok), sehingga tidak berdampak terhadap harga eceran beras di dalam negeri. Hal ini menun-jukkan kemampuan manajemen impor beras yang cukup baik. Pelaksanaan impor dan OPK pasar beras yang tahun sebelumnya dinyatakan cukup mengganggu stabilitas harga beras ternyata tidak menjadi kenyataan pada tahun 2001/2002 ini. OPK beras nampaknya berjalan sesuai dengan yang diharapkan, yaitu tepat waktu, tepat volume dan juga tepat sasaran. Pada saat bersamaan harga gabah di tingkat petani secara umum mengalami peningkatan yang cukup berarti. Keadaan ini merefleksikan beberapa hal yaitu, bekerjanya secara baik pasar dan pengolahan gabah, lancarnya per-dagangan beras antar daerah dan antar pulau, dan cukup efektifnya pengadaan gabah dan pelaksanaan mobilitas beras antar wilayah oleh Dolog setempat.

Perkembangan harga bulanan selama periode 2000 – 2001 pada berbagai tingkat harga (harga eceran kabupaten, eceran provin-si, grosir Cipinang, harga FOB dan CIF dalam Rp/kg) ditampilkan pada Gambar 2. Nampak bahwa harga FOB dan CIF berada di bawah harga domestik. Hal ini dapat dipahami karena belum termasuk tarif impor, PPn, biaya transpor-tasi, dan keuntungan pedagang. Harga grosir Cipinang berada di bawah harga eceran beras di pasar kabupaten dan pasar provinsi. Harga

grosir Cipinang ini untuk sampai pada harga eceran di pasar Jakarta tentunya masih harus memperhitungkan biaya transportasi dan handling, di samping keuntungan pengecer. Perbedaan harga eceran beras pasar provinsi dan kabupaten disebabkan oleh adanya marjin pemasaran dari daerah sentra produksi (kabu-paten) ke pusat konsumen di pasar provinsi. Terdapat indikasi bahwa harga grosir pasar Cipinang terbentuk dari keseimbangan harga antar harga beras impor dan beras domestik. Semua tingkat harga mengikuti kecenderungan peningkatan yang seirama.

Korelasi harga gabah/beras pada berba-gai tingkat pasar dan antar wilayah menunjuk-kan indikasi awal keterkaitan pasar sebagai refleksi dari kinerja mekanisme pasar. Tingkat pasar yang dipertimbangkan adalah pasar di tingkat produsen, pasar eceran di pasar kabupa-ten, pasar eceran di tingkat provinsi, pasar grosir di Pasar Induk Cipinang Jakarta, dan harga beras di pasar internasional (FOB). Pasar grosir di Pasar Induk Cipinang menjadi pertim-bangan, didasarkan atas penelitian yang dila-kukan Natawijaya (2001) dengan menggunakan data dasar bulanan yang cukup panjang (1995-1989) menunjukkan bahwa harga pasar beras antar ibukota provinsi (Padang, Bandung, Semarang, dan Surabaya, dan Ujung Pandang) memiliki keterkaitan yang sangat kuat dengan harga beras di pasar Jakarta, dengan kisaran nilai korelasi harga antara 0,56 (Padang) s/d 0,93 (Bandung). Dihipotesakan bahwa tingkat

Gambar 2. Perkembangan Harga Bulanan Selama Periode 2000-2001 pada Berbagai Tingkat Harga

500

1000

1500

2000

2500

3000

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des

bulan (2000-2001)

Rp

/kg

Harga beras kabupaten (Rp/kg) Harga grosir Cipinang

Harga CIF (Rp/kg) Harga beras ibukota provinsi (Rp/kg)

Harga FOB (Rp/kg)

Page 12: STRUKTUR PASAR DAN PEMASARAN GABAH-BERAS DAN …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/pros-09_2004.pdf · khususnya untuk komoditas beras. Data yang dibutuhkan adalah data deret

238

pasar yang lebih rendah, khususnya di empat kabupaten di Jawa, akan memiliki keterkaitan pasar yang kuat dengan Jakarta, dalam hal ini harga beras di Pasar Induk Cipinang.

Hasil analisis korelasi harga produsen dengan harga di pasar domestik dan internasio-nal di empat kabupaten contoh di Jawa dengan menggunakan data bulanan selama periode 2000 – 2001 disajikan pada Tabel 5. Berpato-kan pada nilai korelasi sebesar 0,50 sebagai nilai ambang batas, maka harga di tingkat produsen memiliki keterkaitan yang lemah di Indramayu dan Klaten, sedangkan cukup kuat di Majalengka dan Ngawi. Keterkaitan pasar produsen dengan pasar eceran beras di tingkat provinsi, juga memiliki keterkaitan yang lemah, kecuali di Klaten dengan nilai korelasi 0,7986. Sebaliknya keterkaitan harga produsen dengan harga grosir di Pasar Induk Kramatjati relatif kuat, dengan nilai korelasi harga di atas 0,50, dengan kisaran 0,6470 (Indramayu) s/d 0,7877 (Ngawi). Harga produsen dengan FOB memiliki keterkaitan yang moderat dengan kisaran nilai korelasi antara 0,4235 (Majalengka) s/d 0,6361 (Indramayu). Dapat dinyatakan bahwa pasar beras di empat kabupaten contoh di Jawa sebagai daerah sentra produksi relatif terbuka dan memiliki keterkaitan yang kuat dengan pasar DKI Jakarta sebagai pasar terbesar di Jawa bahkan di tingkat nasional. Namun demikian ia relatif terlindung dari gejolak harga di pasar dunia.

Pada tingkat pasar yang lebih tinggi (pasar eceran kabupaten), ia memiliki keter-kaitan yang lemah dengan pasar eceran provinsi, kecuali di Klaten dan Ngawi dengan nilai koefisien korelasi 0,6922 dan 0,6425 (Tabel 5). Sebaliknya keterkaitan harga eceran kabu-

paten dengan pasar grosir di Pasar Induk Kramatjati, memiliki integrasi pasar yang relatif kuat untuk kabupaten (Majalengka, Klaten dan Ngawi), dengan kisaran nilai korelasi harga0,7276 – 0,8814. Seperti halnya dengan harga produsen, harga eceran beras di tingkat kabu-paten juga tidak dipengaruhi oleh gejolak harga internasional.

Harga eceran beras di pasar provinsi memiliki keterkaitan yang kuat untuk dua provinsi contoh, Jawa Tengah dan Jawa Timur, dan nilai korelasi harga 0,9250 dan 0,7399, sementara Jawa Barat memiliki keterkaitan yang relatif rendah, dengan nilai korelasi 0,3875. Transportasi dan jarak nampaknya bukan merupakan faktor pembatas dalam menentukan kinerja keterkaitan pasar antar wilayah khusus-nya di Jawa. Seperti halnya harga di pasar produsen dan kabupaten, harga eceran provinsi juga memiliki keterkaitan yang lemah dengan harga beras di pasar dunia (FOB). Namun demikian lain halnya dengan keterkaitan antara harga grosir Pasar Induk Cipinang dengan harga FOB dengan nilai korelasi 0,5190. Nampak bahwa gejolak harga beras inter-nasional lebih terkait dengan harga di DKI Jakarta sebagai pusat pasar konsumen terbe-sar; dan bukan pada tingkat harga di bawahnya (pasar provinsi, kabupaten, dan produsen di desa). Pergerakan beras antar provinsi akan direfleksikan oleh integrasi (keterkaitan) pasar beras antar wilayah yang dapat dipakai sebagai

indikator tingkat efisiensi pemasaran. Peman-faatan Pearson Correlation Coefficient (PCC) ini difasilitasi dengan pemanfaatan data harga riil (untuk mengkoreksi faktor inflasi) berdasarkan indek harga konsumen ibukota provinsi, 1995-1999. Dengan data dasar PCC dihitung nilai

Tabel 5. Korelasi Harga Produsen dengan Harga di Pasar Domestik dan Internasional di Empat Kabupaten Contoh di Jawa, 2000 – 2001 (harga bulanan)

Keterkaitan pasar Indramayu Majalengka Klaten NgawiProdusen vs. eceran kabupatenProdusen vs. eceran provinsiProdusen vs. grosir Cipinang.Produsen vs. FOBEceran kabupaten vs. eceran provinsiEceran kabupaten vs. grosir CipinangEceran kabupaten vs. FOBEceran provinsi vs. grosir CipinangEceran provinsi vs. FOBGrosir Cipinang vs. FOB

0,02660,15130,64700,63610,39200,46720,04880,38750,16460,5190

0,71550,56910,76670,42350,33860,85030,31360,38750,16460,5190

0,36860,79860,71320,53400,69220,72760,22510,92500,53710,5190

0,76550,42890,78770,47560,64250,88140,58680,73990,25510,5190

Sumber: Diolah dari data dasar pada Lampiran 1, 2, dan 3.

Page 13: STRUKTUR PASAR DAN PEMASARAN GABAH-BERAS DAN …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/pros-09_2004.pdf · khususnya untuk komoditas beras. Data yang dibutuhkan adalah data deret

239

TSSC (Total Sum Square Correlation) dan JLTB (Jumlah Lokasi Tidak Berkorelasi). Pasar provinsi penelitian dinilai “tidak terintegrasi” dengan pasar lainnya bila memiliki TSSC <6,25, “kurang terintegrasi” bila TSSC 6,25–11,90, dan “terintegrasi dengan baik” bila TSSC >11,90 (Natawidjaja, 2000).

Dari hasil analisis (Tabel 6 dan 7) dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut: (1) Pasar beras di Padang (Sumatera Barat)

memiliki tingkat integrasi moderat dengan pasar beras di ibukota provinsi lainnya yang ditun-jukkan oleh nilai TSSC 8,1 (kisaran 6,25-11,90); (2) Pasar beras ibukota provinsi penelitian lainnya, ternyata memiliki tingkat integrasi pasar yang sangat baik; (3) Hasil analisis ini nampak sejalan dengan fakta empiris di lapangan ten-

tang kinerja keberhasilan pasar beras, khusus-nya antar provinsi di Jawa dan perdagangan beras ke luar Jawa yang dinyatakan berjalan

Tabel 6. Koefisien Korelasi Harga Pasar Beras antar Ibukota Provinsi di Indonesia, 1995-19991)

Lokasi Padang Bandung Semarang Surabaya Ujung-pandangBanda AcehMedanPekanbaruPadangJambiPalembangBengkuluLampungJakartaBandungSemarangYogyakartaSurabayaPontianakBalikpapanBanjarmasinPalangkarayaManadoPaluKendariUjungpandangDenpasarMataramKupangAmbonJayapura

0,700,590,341,000,590,540,590,620,560,630,590,520,660,250,650,720,650,360,670,690,580,560,390,430,390,58

0,940,880,510,630,950,820,790,960,931,000,940,900,940,780,840,780,410,590,920,890,900,910,790,630,580,89

0,950,890,450,590,880,820,750,910,910,941,000,900,920,800,760,840,410,650,930,860,930,840,710,500,590,81

0,950,770,370,660,880,690,650,920,870,940,920,821,000,640,890,850,490,450,850,820,890,910,610,480,400,91

0,890,860,470,580,900,750,790,910,890,900,930,830,890,790,770,740,300,650,890,871,000,880,760,570,600,85

Sumber : Natawidjaja (2001)

Tabel 7. Total Sum-Square-Correlation (TSSC), Jumlah Lokasi Tidak Berkorelasi dan Keadaan Surplus/Defisit Beras di Lima Provinsi, Indonesia, 1995-19993)

Provinsi Ibukota TSSC1) Jumlah lokasi tidak berkorelasi2)

Surplus/defisit (1000 ton)4)

Sumatera BaratJawa BaratJawa TengahJawa TimurSulawesi Selatan

PadangBandungSemarangSurabayaUjungpandang

8,116,715,914,715,5

61352

403,2 524,41491,51301,71059,5

1) TSSC (Total Sum Square Correlation) adalah penjumlahan kwadrat dari nilai koefisien korelasi silang dengan kota-kota lainnya (25 kota).

2) Jumlah lokasi tidak berkorelasi adalah jumlah lokasi yang memiliki koefisien korelasi silang <0,50.3) Sumber: Natawidjaja (2001).4) Sumber: Data dasar, BPS, Jakarta.

Page 14: STRUKTUR PASAR DAN PEMASARAN GABAH-BERAS DAN …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/pros-09_2004.pdf · khususnya untuk komoditas beras. Data yang dibutuhkan adalah data deret

240

lancar; (4) Perdagangan beras ke luar Kabu-paten Sidrap (dan Sulawesi Selatan melalui Makasar) melalui perdagangan antar provinsi dan antar pulau khususnya ke Kalimantan, Maluku dan Irian Jaya umumnya berjalan secara baik. Hal ini didukung oleh adanya infra-struktur yang baik dan struktur pasar yang kompetitif.

Hasil analisis Natawidjaja (2001) dengan mempertimbangkan 26 provinsi secara nasional dan dikaitkan dengan kondisi surplus/defisit suatu daerah, menyimpulkan beberapa hal yang menarik, sebagai berikut: (1) Sebagian besar (18 lokasi) pasar beras provinsi terintegrasi secara baik, kecuali tujuh pasar provinsi (Pekan-baru, Padang, Pontianak, Banjarmasin, Mana-do, Kupang dan Ambon) yang kurang terinte-grasi, dan hanya satu pasar, yaitu Palang-karaya, tidak terintegrasi dengan pasar provinsi lainnya; (2) Faktor penyebab tidak terintegrasi-nya pasar beras “kasus Palangka-raya” diduga kuat karena faktor kekuatan monopolis, karena faktor hambatan transportasi dan sebagai daerah defisit beras (sekitar 29,8 ribu ton/tahun) tidak dapat menjelaskan hal ini; (3) DKI Jakarta memiliki integrasi pasar yang sangat kuat, dan tidak ada penguasaan (kontrol) pasar di daerah ini dan pasar bersifat sangat kompetitif; dan (4) Daerah defisit beras dinilai tidak relevan untuk berswasembada, namun tetap perlu difasilitasi agar arus volume barang dapat berjalan lancar.

PROGRAM STABILISASI HARGA DAN PENETAPAN TARIF BEA MASUK

Dua aspek yang terkait dengan stabilisasi harga adalah mengatasi gejolak fluktuasi harga musiman dan dampak transmisi dinamika perubahan harga di pasar dunia. Aspek pertama terkait dengan pengamanan harga dasar, dan aspek kedua dengan penetapan tarif bea masuk. Kedua hal ini dinilai sangat penting dalam menjaga stabilitas harga gabah/beras di dalam negeri dengan sasaran menjaga keber-lanjutan adopsi teknologi, peningkatan produksi, pendapatan dan kesejahteraan petani. Bagi Indonesia instrumen kebijakan harga dasar gabah dan TBM impor beras merupakan prioritas kebijakan karena peran beras yang sangat strategis, bukan saja sebagai komoditas ekonomis penting tetapi juga bersifat politis.

Kinerja stabilisasi harga pangan ditentu-kan oleh kemampuan pengamanan harga

dasar, mengeliminir dampak fluktuasi khusus-nya penurunan harga di pasar internasional, pelaksanaan OPK pasar beras sebagai substitu-si proteksi terhadap konsumen umum, dan keberhasilan pasar beras berkualitas. Tinjauan studi sebelumnya menunjukkan bahwa terdapat indikasi melemahnya efektivitas intervensi pemerintah dengan adanya demonopoli pera-nan Bulog, khususnya pada tahun 1999 dan 2000. Menarik untuk diungkap bagaimana kiner-ja stabilisasi harga khususnya pengamanan harga dasar gabah di tingkat petani paska tahun 2000.

Peran Dolog dalam pelaksanaan stabili-sasi harga melalui pengamanan harga dasar dinilai tetap penting. Harga dasar perlu dipahami sebagai risk reducing policy bagi petani dan bukan satu-satunya instrumen dalam pening-katan pendapatan petani (Saifullah, 2001). Jatuhnya harga pada masa panen raya tetap merupakan ancaman dan risiko yang dihadapi petani. Pada masa panen raya (Februari – Mei), dimana areal panen secara nasional mencapai sekitar 48 persen maka surplus produksi musiman diperkirakan sebesar 23 persen (Pranolo, 2001). Variasi harga gabah musiman selama dua dekade terakhir ini (1977 – 1997) hampir tidak mengalami perubahan yaitu sekitar 17 – 21 persen (Mears, 1982 dan Pranolo, loc.cit). Pada masa selanjutnya stabilisasi harga gabah diperkirakan akan semakin rentan, se-hingga kinerja pengamanannya oleh Bulog men-jadi semakin penting.

Hasil pengamatan lapang tentang kinerja pelaksanaan pengamanan harga dasar, periode 2001-2002 di tujuh kabupaten penelitian diper-oleh beberapa hasil menarik sebagai berikut:

(1) Di Jawa Barat (Indramayu dan Majaleng-ka), target pengadaan pangan (gabah) tahun 2002 dapat dicapai dengan baik. Harga gabah di tingkat petani, khususnya untuk tahun 2002, melebihi atau berada di atas harga dasar. Di Indramayu pada saat panen raya (April 2002), harga gabah mencapai Rp 1.280/kg. Rataan harga gabah pada enam bulan pertama tahun ini (Januari-Juni 2002) sekitar 35,8 persen di atas rata-rata harga periode yang sama tahun sebelumnya (Rp 1.480 vs Rp 1.090/ kg GKP). Di Majalengka, pada enam bulan pertama (sampai Juni 2002) harga gabah di tingkat petani berkisar antara Rp 1.300 - Rp 1.400/kg GKS.

Page 15: STRUKTUR PASAR DAN PEMASARAN GABAH-BERAS DAN …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/pros-09_2004.pdf · khususnya untuk komoditas beras. Data yang dibutuhkan adalah data deret

241

(2) Di Jawa Tengah dan Jawa Timur kinerja pengamanan harga dasar tidak sebaik di Jawa Barat. Dengan mengacu harga dasar sebesar Rp 1.500/kg GKG (setara dengan Rp 1.095/kg GKP), maka harga gabah petani di dua daerah ini berada sedikit di bawah harga dasar, khususnya di Klaten dan Ngawi. Di Klaten harga gabah petani tahun 2002 mencapai sekitar Rp 1.050/kg GKP, yakni sekitar 23,5 persen di atas harga tahun sebelumnya. Di Ngawi dan Kediri tingkat harga petani tahun 2002 masing-masing mencapai Rp 1.075/kg GKP dan Rp 1.160/kg GKP. Kinerja pengamanan harga dasar 2002 dapat dinyatakan lebih baik dibanding tahun 2001.

(3) Di luar Jawa, khususnya di Kabupaten Agam, pengadaan beras Dolog tahun 2002 mengalami penurunan sebesr 25,9 persen dibandingkan tahun sebelumnya (8.960 ton vs 12.095 ton beras). Penyebabnya adalah kualitas dan harga beras di daerah ini termasuk katagori tinggi, sementara penga-daan dari luar Kabupaten Agam (Pasaman, Limopuluh Koto, Solok dan Padang-Pan-jang) dihadapkan pada kualitas gabah di bawah standar yang ditetapkan Dolog. Di Kabupaten Sidrap, sebagai salah satu kabupaten sentra produksi padi di Sulawesi Selatan, harga gabah bulan April 2002 (saat panen raya) mencapai Rp 1.100–Rp 1.200/kg GKP, yakni masih di atas harga dasar. Hal ini disebabkan oleh semakin baiknya pencapaian target pengadaan gabah oleh Dolog Sidrap. Pengadan gabah tahun 2001 meningkat sebesar 71 persen pengadan tahun sebelumnya. Pengadaan sampai de-ngan Mei 2002 mencapai 46,7 ribu ton yaitu sekitar 15 persen dari surplus produksi di Kabupaten Sidrap.

Analisis penetapan tarif bea masuk (TBM) impor beras mengikuti beberapa tahapan per-hitungan, yaitu: (1) Penetapan harga eceran beras yang diproduksi petani pada berbagai tingkat keuntungan (return to management) di Jawa (rataan di lima kabupaten), luar Jawa(rataan di dua kabupaten), dan agregat nasional (rataan di tujuh kabupaten penelitian); (2) Penampilan simulasi penetapan tarif bea masuk beras impor pada kondisi aktual tahun 2001, sampai kepada penentuan harga eceran beras impor di tingkat konsumen; dan (3) Penetapan tarif bea masuk impor beras pada berbagai harga internasional (cif) dan nilai tukar rupiah pada tingkat keuntungan petani tertentu, dalam hal ini 20 persen.

Harga eceran beras pada berbagai tingkat keuntungan petani di Jawa, tahun 2001, di-tampilkan pada Tabel 8. Total biaya produksi padi di Jawa adalah sekitar Rp 882/kg GKP. Dengan memperhitungkan keuntungan petani masing-masing sebesar 20 persen, 25 persen dan 30 persen terhadap total biaya produksi dan biaya pengolahan dan pemasaran sebesar Rp 420/kg, maka harga eceran beras mencapai Rp 2.344/kg, Rp 2.424/kg, dan Rp 2.504/ kg.

Di luar Jawa, total biaya produksi gabah sedikit lebih rendah dibandingkan dengan di Jawa, yaitu sebesar Rp 810/kg gabah. Dengan biaya pengolahan dan pemasaran Rp 425/kg, maka harga eceran beras pada tingkat keun-tungan petani 20 persen, 25 persen dan 30 persen masing-masing adalah Rp 2.193/kg, Rp 2.266/kg dan Rp 2.340/kg (Tabel 9). Dengan menggunakan data agregat nasional (rataan tujuh kabupaten contoh) diperoleh harga eceran beras produksi petani sebesar Rp 2.306/kg, Rp 2.385/kg dan Rp 2.463/kg, masing-masing pada tingkat keuntungan 20 persen, 25 persen dan 30 persen dari total biaya produksi (Tabel 10).

Tabel 8. Harga Eceran Beras pada Berbagai Tingkat Keuntungan Petani di Jawa, 2001

Tingkat keuntungan petaniUraian20% 25% 30%

Total biaya produksi (Rp/ton/GKP)1)

Keuntungan petani (Rp/ton)Harga jual petani (Rp/ton GKP)Equivalen beras (Rp/ton beras)Biaya pengolahan (Rp/ton beras)Transportasi & marjin (Rp/ton beras)Harga eceran beras (provinsi) (Rp/ton)

881.728176.346

1.058.0741.923.770

99.400320.581

2.343.751

881.728220.432

1.102.1602.003.927

99.400320.581

2.423.908

881.728264.518

1.146.2462.084.084

99.400320.581

2.504.0651) Total biaya produksi adalah rataan lima kabupaten contoh di Jawa (Indramayu, Majalengka, Klaten, Kediri dan Ngawi).Sumber: Data primer hasil penelitian.

Page 16: STRUKTUR PASAR DAN PEMASARAN GABAH-BERAS DAN …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/pros-09_2004.pdf · khususnya untuk komoditas beras. Data yang dibutuhkan adalah data deret

242

Simulasi tarif bea masuk (TBM) impor beras di Indonesia tahun 2001, ditampilkan pada Tabel 11. Pada saat itu, harga beras impor (cif) adalah US$ 170/ton dan nilai tukar rupiah sebesar Rp 10.373/US$. Dengan memperhi-tungkan PPh, PPn dan cost of money sebesar 10 persen, keuntungan importir sebesar 5 per-sen, dan keuntungan grosir dan pengecer ma-sing-masing sebesar 7 persen dan 10 persen, maka harga eceran beras impor pada TBM 10 persen, 20 persen dan 30 persen, masing-

masing adalah Rp 2.615/kg, Rp 2.833/ kg dan Rp 3.051/kg. Bila harga eceran beras impor ini dibandingkan dengan harga eceran beras produksi petani pada Tabel 10, maka TBM yang pantas pada tingkat keuntungan petani 20–30 persen adalah di bawah 10 persen. Tarif bea masuk ini akan semakin meningkat pada tingkat keuntungan petani yang sama (tetap) bila terjadi penguatan nilai rupiah dan adanya penurunan harga beras di pasar internasional.

Tabel 9. Harga Eceran Beras pada Berbagai Tingkat Keuntungan Petani di Luar Jawa, 2001

Tingkat keuntungan petaniUraian 10% 20% 30%

Total biaya produksi (Rp/ton/GKP)1)

Keuntungan petani (Rp/ton)Harga jual petani (Rp/ton GKP)Equivalen beras (Rp/ton beras)Biaya pengolahan (Rp/ton beras)Transportasi & marjin (Rp/ton beras)Harga eceran beras (provinsi) (Rp/ton)

810.159162.032972.191

1.767.62092.500

332.5002.192.620

810.159202.540

1.012.6991.841.270

92.500332.500

2.266.270

810.159243.048

1.053.2071.914.921

92.500332.500

2.339.9211) Total biaya produksi adalah rataan dua kabupaten contoh di Luar Jawa (Agam dan Sidrap).Sumber: Data primer hasil penelitian

Tabel 10. Harga Eceran Beras pada Berbagai Tingkat Keuntungan Petani di Indonesia, 2001

Tingkat keuntungan petaniUraian 10% 20% 30%

Total biaya produksi (Rp/ton/GKP)1)

Keuntungan petani (Rp/ton)Harga jual petani (Rp/ton GKP)Equivalen beras (Rp/ton beras)Biaya pengolahan(Rp/ton beras)Transportasi & marjin (Rp/ton beras)Harga eceran beras (provinsi) (Rp/ton)

863.760172.752

1.036.5121.884.567

97.429324.179

2.306.175

863.760215.940

1.079.7001.963.091

97.429324.179

2.384.699

863.760259.128

1.122.8882.041.615

97.429324.179

2.463.2231) Total biaya produksi adalah rataan tujuh kabupaten contoh di Indonesia (Indramayu, Majalengka, Klaten, Kediri, Ngawi, Agam

dan Sidrap).Sumber: Data primer hasil penelitian.

Tabel 11. Simulasi Tarif Bea Masuk Impor Beras di Indonesia, 20011)

Tarif bea masukUraian 10% 20% 30%

Harga cif (US$/ton)TBM (US$/ton)PPh, PPn, cost (US$/ton)Harga di tingkat importir (US$/ton)NTR (Rp/US$)Keuntungan importir (Rp/ton) (5%)Harga di grosir (Rp/ton)Keuntungan grosir (Rp/ton) (7%)Harga di pengecer (Rp/ton)Keuntungan pengecer (Rp/ton) (10%)Harga beras eceran (Rp/ton)

1701717

20410.373

105.8052.221.897

155.5332.377.429

237.7432.615.172

1703417

22110.373

114.6222.407.055

168.4942.575.548

257.5552.833.103

1705117

23810.373

123.4392.592.213

181.4552.773.668

277.3673.051.034

1) Simulasi kondisi aktual tahun 2001 dengan harga cif = US$ 170/ton dan nilai tukar rupiah Rp 10.373 per US$.

Page 17: STRUKTUR PASAR DAN PEMASARAN GABAH-BERAS DAN …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/pros-09_2004.pdf · khususnya untuk komoditas beras. Data yang dibutuhkan adalah data deret

243

Tarif bea masuk impor beras pada berbagai tingkat harga internasional (cif) dan nilai tukar rupiah disajikan pada Tabel 12. Pada kondisi aktual (tahun 2001) dengan harga impor beras US$ 170/ton dan nilai tukar rupiah sebesar Rp 10.373/US$ dan pada tingkat ke-untungan petani sebesar 20 persen terhadap total biaya produksi petani, maka nilai TBM yang wajar di Indonesia adalah di bawah 10 persen. Bila terjadi penguatan nilai rupiah menjadi Rp 9000/ US$ seperti pada kondisi saat ini (tahun 2002), maka tarif bea masuk harus dinaikkan minimal menjadi sebesar 20 persen. Bila nilai rupiah menguat nenjadi Rp 8.500/US$ sebagai nilai acuan jangka menengah ke depan, maka nilai TBM impor beras minimal adalah 30 persen harga cif untuk mempertahankan tingkat keun-tungan petani sebesar 20 persen.

Pada kondisi saat ini (2002) dengan nilai tukar rupiah berkisar Rp 9.000/US$ dan dengan adanya peningkatan harga beras di pasar internasional menjadi sekitar US$ 190, maka nilai TBM impor beras minimal adalah sebesar 10 persen. Indikasi penetapan tarif ini juga berlaku bagi Jawa maupun luar Jawa. Di luar Jawa bahkan nilai TBM dapat ditetapkan lebih kecil dari 10 persen. Bila terjadi penguatan nilai tukar rupiah menjadi Rp 8.500/US$ (seperti

yang diharapkan) dan pada tingkat harga beras di pasar internasional sebesar US$ 190/ton, maka tingkat TBM beras secara nasional dite-tapkan maksimum sebesar 20 persen dari harga CIF. Bila penetapan tarif menurut wilayah dapat dimungkinkan, maka tingkat TBM beras di luar Jawa dapat ditetapkan lebih rendah, yaitu sebe-sar 10 persen dari harga CIF, dan petani tetap mendapat keuntungan sebesar 20 persen dari total biaya produksi.

PEMASARAN KOMODITAS NON BERAS

Ketersediaan dan Perdagangan Domestik

Komoditas Jagung

Peran penting komoditas jagung meliputi (1) sebagai bahan makanan pokok sebagian masyarakat Indonesia, dan (2) sebagai input utama produksi pakan ternak. Proporsi konsum-si jagung cenderung menurun, sebaliknya konsumsi untuk bahan baku pakan semakin meningkat seiiring perkembangan industri pakan ternak dan industri peternakan terutama unggas.

Proporsi produksi jagung sebagai pakan ternak mencapai 70 persen dari produksi jagung

Tabel 12. Tingkat Tarif Bea Masuk Impor Beras pada Berbagai Tingkat Harga Internasional dan Nilai Tukar Rupiah (%) pada Tingkat Keuntungan Usahatani Sebesar 20%, Menurut Wilayah di Indonesia, 2001

Harga beras di pasar dunia (CIF) (US$/ton)Nilai Tukar (Rp/US$

150 164 170*) 180 190Nasional

8.500 9.000 9.50010.00010.373*)11.000

>30>3030202010

>303020201010

30202010

<10<10

202010

<10<10<10

2010

<10<10<10<10

Jawa 8.500 9.000 9.50010.00010.373*)11.000

>30>3030302010

>303020201010

30202010

<10<10

202010

<10<10<10

2010

<10<10<10<10

Luar Jawa 8.500 9.000 9.50010.00010.373*)11.000

>303020201010

30201010

<10<10

201010

<10<10<10

1010

<10<10<10<10

10<10<10<10<10<10

Catatan: *) Harga beras dan nilai tukar aktual, tahun 2001.

Page 18: STRUKTUR PASAR DAN PEMASARAN GABAH-BERAS DAN …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/pros-09_2004.pdf · khususnya untuk komoditas beras. Data yang dibutuhkan adalah data deret

244

nasional sementara untuk konsumsi hanya sekitar 30 persen. Meskipun angka ini dapatdiperdebatkan, karena menurut data BPS, produksi jagung Indonesia mencapai 9 juta ton, sementara bahan baku industri pakan ternak hanya sekitar 2,5 juta ton. Tapi dalam kenya-taanya, Indonesia mengalami defisit jagung sehingga harus impor dengan volume yang cukup besar yaitu mendekati 1 juta ton pada tahun 2000. Masalah pendataan produksi jagung menyebabkan kerancuan dalam peren-canaan produksi dan impor komdotas jagung. Jika benar produksi jagung nasional sebesar 9 juta ton, mestinya Indonesia merupakan negara net eksporter jagung. Jika mengacu pada data BPS, ketersediaan jagung di lokasi penelitian ditunjukkan pada Tabel 13. Konsumsi jagung sebagaimana dimaksud dalam tabel merupakan konsumsi bahan makanan. Konsumsi bahan makanan merupakan bagian kecil dari produksi yang dihasilkan. Nampak pada semua lokasi, baik provinsi maupun kabupaten kasus, pro-duksi jagung jauh lebih tinggi dibandingkan

kebutuhan konsumsi masyarakat. Volume ja-gung yang tersedia sebagai bahan baku industri pakan ternak dapat direfleksikan oleh pen-jumlahan surplus produksi secara rasional. Permintaan jagung industri pakan merupakan permintaan jagung nasional karena pemenuhan-nya tidak menekankan dari daerah tertentu. Permintaan pabrik pakan yang besarnya 3,5 juta ton, bila mengacu pada Tabel 13 mestinya dapat dipenuhi dari produksi jagung dalam negeri.

Meskipun mengalami surplus, namun dalam kurun waktu 1995-1999 terjadi kecende-rungan penurunan produksi jagung di Jawa Tengah maupun Sulawesi Selatan, baik pada tingkat provinsi maupun pada kabupatan kasus. Besarnya penurunan produksi bervariasi berki-sar antara 0,2 persen sampai 3 persen per tahun. Sementara itu untuk Provinsi Jawa Timur dan Kabupaten Kediri terjadi peningkatan pro-duksi jagung berkisar 7 persen per tahun sela-ma periode 1995-1999.

Tabel 13. Neraca Produksi dan Konsumsi Jagung di Lokasi Kasus Penelitian, Indonesia, 1995-1999 (ton)

Uraian 1995 1996 1997 1998 1999 Trend

Jawa Tengah1. Produksi 1.865.686 1.708.223 1.278.118 1.806.006 1.560.823 -3,112. Konsumsi 92.986 93.551 94.209 95.714 96.898 1,053. Neraca 1.772.700 1.614.672 1.183.909 1.710.292 1.463.925 -3,37Kabupaten Klaten1. Produksi 32.472 31.622 21.675 32.329 29.795 -1,572. Konsumsi 2.391 2.414 2.438 2.462 2.485 0,97

3. Neraca 30.081 29.208 19.237 29.867 27.310 -1,80Jawa Timur1. Produksi 2.820.868 3.417.489 3.048.041 3.765.141 2.940.444 7,062. Konsumsi 102.864 104.233 104.761 105.360 106.151 0,743. Neraca 2.718.004 3.313.256 2.943.280 3.659.781 2834293 7,27Kabupaten Kediri1. Produksi 196.363 158.829 152.162 235.962 223.610 6,812. Konsumsi 4.164 4.190 4.190 4.222 4.237 0,43

3. Neraca 192.199 154.639 147.972 231.740 219.373 6,95Sulawesi Selatan1. Produksi 850.250 1.024.530 1.178.773 989.668 858.110 -0,202. Konsumsi 24.012 24.248 24.485 24.725 24.965 0,973. Neraca 826.238 1.000.282 1.154.288 964.943 833.145 -0,23Kabupaten Sidrap1. Produksi 3.099 1.942 5.859 3.804 1.842 -1,972. Konsumsi 739 746 753 761 768 0,97

3. Neraca 2.360 1.196 5.106 3.043 1.074 -2,84Sumber: Dinas Pertanian Tanaman Pangan (provinsi penelitian) dan Susenas, BPS, Jakarta

Page 19: STRUKTUR PASAR DAN PEMASARAN GABAH-BERAS DAN …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/pros-09_2004.pdf · khususnya untuk komoditas beras. Data yang dibutuhkan adalah data deret

245

Komoditas Cabai Merah

Komoditas cabai merupakan salah satu komoditas hortikultura andalan yang memiliki nilai ekonomi tinggi, meskipun menghadapi risiko produksi dan harga yang tinggi. Tabel 14menunjukkan neraca produkksi dan konsumsi cabai nasional. Pada tahun 1987, konsumsi cabai per kapita sebesar 1,46, kemudian menu-run menjadi 1,14 pada tahun 1990, dan 1,06 pada tahun 1993. Pada tahun 1996 dan 1999 konsumsi cabai berkisar 0,9 kg/kapita (Susenas, BPS).

Dari Tabel 14, nampak bahwa konsumsi cabai dalam negeri mencapai sekitar 90 persen dari produksi cabai domestik, bahkan cenderung mengalami peningkatan, dimana pada tahun 1999 mencapai 93 persen. Penurunan neraca produksi cabai disebabkan oleh penurunan produksi cabai sebesar 12,8 persen per tahun selama periode 1995-1999, meskipun pada sisi konsumsi juga terjadi penurunan sebesar 11,7 persen per tahun.

Besarnya konsumsi domestik menunjuk-kan bahwa pasar cabai sangat potensial dan menjanjikan, terlebih permintaan terhadap cabai umumnya tergantung pada selera konsumsi

masyarakat terhadap citarasa cabai sehingga relatif stabil dalam jangka waktu tertentu.

Komoditas Bawang Merah

Komoditas bawang merah memiliki posisi yang hampir sama dengan cabai merah dalam struktur konsumsi masyarakat. Keduanya terma-suk dalam bumbu dapur, dan bukan makanan utama, dan bukan juga bahan makanan yang memenuhi kebutuhan kalori. Dengan demikian besarnya permintaan terhadap kedua komoditas ini sangat tergantung dari selera konsumsi

masyarakat. Karena sangat tergantung pada selera, sehingga besarnya permintaan relatif inelastis terhadap perubahan harga dalam kisaran tertentu. Jika perubahan harga di luar kisaran tertentu permintaan bisa berubah sangat besar, karena terjadi penyesuaian selera konsumsi.

Tabel 15 menunjukkan produksi dan konsumsi bawang merah pada periode 1995-1999. Fluktuasi produksi bawang merah relatif stabil pada kisaran 400 ribu ton sampai dengan 600 ribu ton per tahun. Sementara itu kebutuhan konsumsi langsung 286 ribu ton pada tahun 1995 dan cenderung mengalami peningkatan

Tabel 14. Neraca Produksi dan Konsumsi Komoditas Cabai Merah di Indonesia, 1995-1999

Produksi KonsumsiTahun

Volume (000 ton) Volume (000 ton) Provinsi (%)Neraca (000 ton)

1995 1.590 1.431 90,00 1591996 1.044 939 89,94 1051997 802 725 90,40 77

1998 849 783 92,23 66

1999 1.008 943 93,55 65Trend (%)/thn -12,84 -11,74 1,03 -24,05

Sumber: Statistik Indonesia dan Susenas (BPS, Jakarta).

Tabel 15. Neraca Produksi dan Konsumsi Komoditas Bawang Merah di Indonesia, 1995-1999

Produksi KonsumsiTahun

Vol (000 ton) Vol (000 ton) Prop (%)Neraca

(000 ton)

1995 403 286 70,97 117

1996 523 376 71,89 1471997 412 289 70,15 1231998 407 301 73,96 106

1999 628 465 74,04 163Trend (%)/thn 7,04 8,24 1,14 3,89

Sumber: Statistik Indonesia dan Susenas (BPS, Jakarta).

Page 20: STRUKTUR PASAR DAN PEMASARAN GABAH-BERAS DAN …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/pros-09_2004.pdf · khususnya untuk komoditas beras. Data yang dibutuhkan adalah data deret

246

sebesar 8,24 persen per tahun sehingga pada tahun 1999 konsumsi menjadi sebesar 465 ribu ton.

Dengan demikian neraca produksi ba-wang merah masih surplus sebesar 163 ribu ton pada tahun 1999. Namun demikian kebutuhan industri makanan tidak dapat dipenuhi seluruh-nya dari produksi dalam negeri. Hal ini diindikasikan dengan adanya impor bawang merah sekitar 40 ribu ton berbentuk bawang merah segar. Dengan kata lain produksi bawang merah domestik belum mampu memenuhi permintaan dalam negeri, sehingga sebagian harus diimpor. Walaupun impor dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan pada saat bukan musim panen bawang. Impor bawang merah sebagian besar berasal dari Filipina dan India.

Struktur Pasar dan Marjin Pemasaran

Komoditas Jagung

Dalam bahasan ini akan dititikberatkan pada lokasi penelitian dimana komoditas jagung merupakan komoditas substitusi padi, sehingga komoditas ini merupakan komoditas alternatif selain padi yang banyak diusahakan petani terutama pada MK-I dan MK-II, yaitu Klaten, Jawa Tengah, Kediri, Jawa Timur dan Sidrap, Sulawesi Selatan.

Pada kasus Kabupaten Klaten, usaha jagung dominan dilakukan pada sawah dengan aksesibilitas sedang dan sebagian kecil di sawah tadah hujan. Budidaya jagung dilakukan pada MK-I dan MK-II, dengan luasan masing-masing sebesar 60 persen dan 100 persen dari luas areal sawah yang diusahakan. Untuk kasus Kabupaten Kediri, budidaya jagung relatif mera-ta, dengan konsentrasi tertinggi pada sawah dengan irigasi kurang dan tadah hujan. Pada irigasi baik selain komoditas jagung, komoditas hortikultura seperti cabai, tomat, dan lain-lain juga diusahakan. Hal senada dijumpai pada kasus Kabupaten Sidrap, dimana usaha jagung terkonsentrasi pada sawah dengan irigasi se-dang dan tadah hujan.

Varietas jagung yang diusahakan untuk Kabupaten Klaten dan Kediri didominasi oleh jagung hibrida. Sebagian kecil petani menanam jagung komposit, sementara untuk Kabupaten Sidrap proporsi jagung komposit masih cukup besar, meskipun jagung hibrida masih men-dominasi. Penggunaan varietas jagung hibrida dan komposit secara implisit sudah menunjuk-

kan alokasi pasar jagung, dimana jenis jagung ini merupakan konsumsi pabrik pakan ternak, bukan konsumsi rumah tangga.

Pola pemasaran produksi jagung pada tiga lokasi kasus menunjukkan keseragaman. Penjualan jagung umumnya dilakukan melalui system tebasan atau dalam bentuk pipilan. Proporsi tebasan dominan terjadi di Kediri dan Klaten. Sementara untuk Sidrap umumnya dijual dalam bentuk pipilan kering. Waktu penjualan jagung dilakukan sesaat setelah panen. Tidak ada petani yang menyimpan jagung dalam wak-tu yang lama, karena akan menanggung kerugi-an berupa penurunan kualitas jagung karena munculnya alflaktoksin yang menyebabkan ja-gung tidak diterima oleh pabrik pakan sehingga harga akan jatuh. Lokasi penjualan jagung dilakukan di sawah dan di rumah.

Tipologi iklim tropis yang dimana budi-daya jagung umumnya dilakukan pada MK-I dan MK-II secara serentak menyebabkan petani tidak dapat mengatur penanaman. Konsekuen-sinya panen terjadi hampir bersamaan yang menyebabkan posisi tawar petani menurun, terlebih dihadapkan pada pelaku pasar yang relatif sedikit.

Pelaku pasar dalam mata rantai tataniaga jagung terdiri dari petani, penebas, pedagang pengumpul, pedagang tingkat kabupaten, peda-gang besar/broker, peternak, industri pakan, dan konsumen. Pelaku pasar yang terlibat lang-sung dengan produsen adalah penebas atau pedagang pengumpul, dan beberapa peda-gang kabupaten.

Dilihat dari jumlah pelaku pasar, jumlah petani jauh lebih besar dibandingkan dengan jumlah pedagang, sehingga struktur pasar ja-gung di tingkat petani cenderung bersifat oligop-soni. Terlebih lagi untuk jenis jagung hibrida, konsumen akhirnya terbesar hanya pabrik pakan ternak yang jumlahnya hanya beberapa saja. Sebagian kecil peternak meramu pakan sendiri sehingga membeli jagung secara lang-sung. Dengan demikian price leader dalam pasar jagung dalam negeri adalah pabrik pakan. Sekalipun pada tingkat pedagang pengumpul terjadi persaingan dalam membeli jagung pe-tani, namun karena harga pada tingkat hilir sudah ditetapkan, harga pada tingkat petani menjadi relatif konstan. Persaingan pedagang dalam memperoleh jagung dilakukan tidak melalui mekanisme peningkatan harga jual, namun dalam bentuk pemberian “panjar” (uang

Page 21: STRUKTUR PASAR DAN PEMASARAN GABAH-BERAS DAN …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/pros-09_2004.pdf · khususnya untuk komoditas beras. Data yang dibutuhkan adalah data deret

247

tanda jadi) beberapa hari menjelang jagung di-panen khususnya untuk pola pembelian secara tebasan.

Pada sisi lain petani memiliki akses pasar yang relatif terbatas. Pasar petani hanya kepada penebas, pedagang pengumpul atau pedagang kabupaten, sehingga jangkauan pasar petani menjadi relatif sempit. Hal tersebut menyebabkan aksesibilitas petani terhadap informasi terutama harga juga menjadi terbatas. Pada sisi lain, karakteristik produk jagung yang mudah rusak tidak memungkinkan petani me-nyimpan dalam waktu lama, dan juga kebutuhan finansial untuk biaya musim tanam berikutnya atau membayar hutang, sehingga terpaksa harus dijual pada saat panen. Faktor-faktor ter-sebut di atas menyebabkan posisi petani dalam penentuan harga menjadi lemah. Meskipun dalam proses transaksi terjadi tawar menawar harga (price discovery) dan petani dapat men-jual produknya kepada siapa saja, namun faktor struktural petani menjadikan petani menempati posisi yang lebih lemah.

Saluran pemasaran jagung menunjukkan alur perjalanan jagung dari produsen sampai kepada konsumen akhir, sehingga dapat dijadi-kan indikasi tingkat efisiensi pemasaran. Pada Gambar 3 disajikan saluran pemasaran jagung di lokasi penelitian. Petani menjual ke pedagangpengumpul atau ke penebas. Berkembangnya peternakan unggas di provinsi ini, menyebabkan permintaan jagung meningkat. Pembelian ja-gung oleh peternak digunakan sebagai bahan meramu pakan sendiri. Gejala ini muncul ter-utama sejak melambungnya harga pakan ternak

pada saat krisis, sehingga peternak berinisiatif meramu pakan sendiri.

Pedagang besar, selain menerima jagung dari hasil produksi petani di kabupaten setem-pat, juga mendatangkan jagung dari luar kabu-paten atau bahkan luar provinsi terutama pada saat paceklik. Pedagang besar ini umumnya merupakan pemasok bahan baku industri pakan ternak. Pedagang pengumpul atau kabupaten sulit menembus pabrik pakan karena dilaksana-kan dalam bentuk kontrak pengadaan. Kesulitan yang dialami adalah mencari komoditas jagung terutama pada saat tidak panen dan jumlah modal yang disediakan harus cukup besar. Karena pembayaran ke petani harus kontan se-mentara pembayaran pabrik pakan bisa selang satu-dua minggu.

Sumber pengadaan bahan baku industri pakan ternak, selain berasal dari produksi dalam negeri, juga dilakukan impor untuk menjamin kontinuitas pasokan. Permasalahan utama pengadaan dari dalam negeri adalah kontinu-itas. Sementara kontrak impor diadakan dalam jangka panjang, tidak bisa bersifat musiman menyesuaikan dengan perilaku produksi jagung dalam negeri. Namun pada saat panen pabrik pakan tetap menyerap dalam jumlah besar produksi jagung lokal untuk disimpan sebagai cadangan bahan baku pada masa yang akan datang. Apabila pada tingkat petani lama penyimpanan tidak bisa lebih dari dua minggu, pada gudang pabrik pakan dapat disimpan lebih dari satu tahun karena pabrik memiliki unit pe-

Gambar. 3. Rantai Pemasaran Komoditas Jagung

Petani

Pedagang pengumpul kecamatan

Peternak

Pabrik pakan

Pedagang besar Pedagang luar provinsi

Penebas

Page 22: STRUKTUR PASAR DAN PEMASARAN GABAH-BERAS DAN …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/pros-09_2004.pdf · khususnya untuk komoditas beras. Data yang dibutuhkan adalah data deret

248

pengeringan dan penyimpanan tersendiri de-ngan teknologi yang memadai.

Dari pihak pabrik pakan sebenarnya lebih memilih menggunakan produksi jagung dalam negeri karena kualitasnya yang lebih baik dari jagung impor meskipun harga jagung impor lebih rendah. Mata rantai yang dilewati sampai kepada konsumen akhir tidak berbeda dengan kasus Sumatera Utara, yaitu antara tiga sampai empat mata rantai. Dengan demikian dilihat dari aspek ini, rantai tataniaga jagung di Provinsi Jawa Timur sebenarnya tidak terlalu panjang.

Tingkat efisiensi pemasaran dapat dilihat dari distribusi marjin antar mata rantai pema-saran. Namun demikian efisiensi pemasaran bersifat relatif tergantung dari aspek mana atau pelaku mana melihatnya. Sebagai contoh bagi petani, pemasaran itu dikatakan efisien jika tingkat harga yang diterimanya semakin mem-baik. Akan tetapi secara umum apabila marjin terdistribusi merata, berarti transmisi harga dari konsumen ke produsen dan sebaliknya dari produsen ke konsumen dapat berjalan dengan baik. Dan hal berlaku sebaliknya apabila terjadi penumpukan marjin pemasaran berarti terdapat pelaku pasar yang mengendalikan pasar, dan menghambat transmisi harga tersebut.

Besarnya marjin yang diperoleh antar pelaku pasar komoditas jagung di Jawa Timur disajikan pada Tabel 16. Distribusi marjin pe-masaran untuk lokasi kasus dan antar pelaku pasar relatif merata dengan besaran marjin absolut berkisar antara Rp. 20 - 25/kg pada tiap rantai pemasarannya. Rantai pemasaran juga relatif pendek sehingga cukup efisien dalam distribusi jagung dari produsen ke konsumen. Perdagangan antara provinsi terjadi jika produksi jagung pada daerah tersebut kurang atau sebaliknya lebih besar dari permintaan sehingga harus dipasarkan ke luar. Untuk kasus kabupaten Klaten, pemasaran antar daerah dilakukan ke Jawa Timur dimana konsentrasi pabrik pakan terdapat di Jawa Timur. Demikian juga dengan Sulawesi Selatan, alur pemasaran antar provinsi terbesar adalah Jawa Timur.

Komoditas Cabai Merah

Komoditas cabai merah merupakan salah satu komoditas hortikultura yang bernilai ekonomi tinggi. Pada lokasi penelitian, cabai merupakan salah satu alternatif komoditas selain padi yang dibudidayakan pada lahan sawah. Konsentrasi usahatani cabai sebagai substitusi padi antara lain terjadi di Kabupaten

Tabel 16. Analisis Marjin Pemasaran Jagung di Lokasi Penelitian, 2001 (Rp/kg)

Uraian Klaten Kediri SidrapPetania. Harga jual 850 800 900

Penebasa. Harga belib. Biaya pemasaranc. Harga juald. Profit marjin

850 95 970 25

800 110 930 20

900 75

1.000 25

Pedagang pengumpula. Harga belib. Biaya pemasaranc. Harga juald. Profit marjin

970 60

1.050 20

930 50

1.010 30

1.000 75

1.100 25

Pedagang besara. Harga belib. Biaya pemasaranc. Harga juald. Profit marjin

1.050 45

1.120 30

1.010 38

1.070 22

1.100 50

1.175 25

Pabrik pakana. Harga beli - 1.070 -

Proporsi pemasaran jagung ke pasar lokal (%) 50 75 40

Sumber: Data primer hasil penelitian di tiga kabupaten penelitian (diolah).

Page 23: STRUKTUR PASAR DAN PEMASARAN GABAH-BERAS DAN …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/pros-09_2004.pdf · khususnya untuk komoditas beras. Data yang dibutuhkan adalah data deret

249

Indramayu, Jawa Barat dan Agam, Sumatera Barat.

Di Kabupaten Indramayu pemasaran ca-bai dilakukan dalam bentuk segar atau dengan sistem tebasan, dengan tujuan pasar utama adalah Pasar Induk Kramatjati. Semetara untuk Kabupaten Agam, di samping penjualan dalam bentuk segar, sebagian dilakukan pengolahan menjadi saos, meskipun dalam jumlah kecil. Peluang pasar cabai di Agam cukup tinggi karena konsumsi cabai Sumatera Barat relatif tinggi.

Jalur tataniaga komoditas cabai sangat pendek (Gambar 4), bahkan beberapa petani secara bersama di Kabupaten Indramayu memasarkan hasil produksinya langsung ke Pasar Induk Kramatjati, tanpa melalui pedagang perantara. Jalur yang pendek tersebut menye-babkan pemasaran cabai cukup efisien. Pen-deknya jalur pemasaran cabai didorong oleh faktor sifat komoditas cabai yang cepat rusak karena dipasarkan dalam bentuk segar, sehing-ga harus segera sampai pada konsumen.

Kondisi ini juga menyebabkan fluktuasi harga cabai menjadi sangat tinggi, karena daya serap pasar harian relatif terbatas. Bila terjadi peningkatan atau penurunan pasokan, harga akan segera menyesuaikan, sehingga fluktuasi harga pasar berubah bahkan dalam ukuran jam.

Sebagai kasus, fluktuasi harga cabai se-lama panen tahun 2001 di Indramayu, yang terdiri atas 18 kali pemetikan, harga berfluk-tuasi dari Rp 1.500 sampai Rp 7.000 per kg.

Sementara itu di Agam, harga cabe segar di petani adalah Rp 7.500 /kg, sedangkan di pasar Lubuk Basung antara Rp 8.000–Rp 10.000/kg. Dengan demikian fluktuasi harga tidak hanya disebabkan oleh volume produksi pada suatu daerah namun lebih disebabkan volume barang yang masuk pada pasar tujuan.

Analisis marjin pemasaran ditampilkan pada Tabel 17. Perolehan marjin pemasaran bagi pedagang pengumpul sebesar Rp 600/kg baik di Indramayu maupun di Agam, sementara pada tingkat pedagang besar, marjin pemasaran sebesar Rp 500-550/kg. Pasar akhir cabai pada kasus Indramayu adalah Pasar Induk Kramat-jati, sehingga tidak ada marjin untuk pengecer. Secara keseluruhan nampak bahwa marjin pemasaran komoditas cabai pada tiap rantai tataniaga relatif besar. Hal ini mengindikasikan risiko pemasaran untuk komoditas tersebut cukup besar. Risiko yang ditanggung berupa kerusakan produk dan penyusutan timbangan, dan juga fluktuasi harga pada pasar tujuan. Cepat rusaknya produksi sayuran pada umum-nya merupakan salah satu faktor yang menye-babkan fluktuasi harga sangat tinggi, karena tidak bisa disimpan lama. Pengolahan dan teknologi pascapanen yang baik diharapkandapat me-ngatasi permasalahan seperti ini.

Komoditas Bawang Merah

Bawang merah sebagai salah satu komo-ditas substitusi padi di Indramayu, banyak diusahakan petani di lahan sawah di Desa

Gambar 4. Jalur Pemasaran Komoditas Cabai di Indramayu dan Agam, 2001

Petani

Pedagang pengumpul

Pasar

Pengecer

Konsumen

Pengepul

Pedagang luar provinsi

Page 24: STRUKTUR PASAR DAN PEMASARAN GABAH-BERAS DAN …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/pros-09_2004.pdf · khususnya untuk komoditas beras. Data yang dibutuhkan adalah data deret

250

Tabel 17. Analisis Marjin Pemasaran Cabai di Lokasi Penelitian, 2001 (Rp/kg)

Uraian Indramayu AgamPetania. Harga jual 2.500 6.500Pedagang pengumpula. Harga belib. Biaya pemasaranc. Harga juald. Profit marjin

2.500 3003.400 600

6.500 2507.350 600

Pedagang besara. Harga belib. Biaya pemasaranc. Harga juald. Profit margjin

3.400 4004.300 500

7.350 4008.300 550

Pengecera. Harga belib. Biaya pemasaranc. Harga juald. Profit marjin

----

8.300 2009.000 500

Sumber: Data primer hasil penelitian di dua kabupaten contoh

Limpas (desa contoh dengan irigasi baik). Usa-hatani bawang merah dilakukan sepanjang tahun namun pada musim hujan hanya ditanampada lahan sawah yang sistem pembuangan air atau drainasenya bagus. Dalam satu tahun umumnya petani dapat mengusahakan empat kali bawang merah, dan setelah diusahakan ba-wang selama dua tahun umumnya petani me-nanam padi (MH) satu musim kemudian kembali menanam bawang. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa siklus tanam umumnya dua tahun kembali ke padi. Varietas bawang merah yang umum ditanam petani adalah Bima dan Bangkok. Benih bawang umumnya dibeli secara

kelompok (empat atau lima orang petani) atau-pun perorangan dari daerah Brebes dan atau Tegal (Jawa Tengah).

Pemasaran hasil produksi bawang oleh petani Desa Limpas 50 persen ditebaskan dan 50 persen sisanya dipanen dan dipasarkan sendiri dan atau berkelompok langsung ke Pasar Induk Kramat Jati. Jumlah penebas ba-wang dalam satu desa sekitar 10 orang, namun di saat musim panen bawang penebas dari luar desa (jumlahnya cukup banyak dan tidak terdata dengan baik) merupakan pembeli potensial, sehingga pasar bawang merah pada tingkat petani cukup kompetitif. Para penebas bawang umumnya mendapat modal dari pedagang besar (bandar) di Pasar Induk Kramat Jati (PIK). Untuk menjamin perolehan hasil panen, pene-bas umumnya memberi uang panjar kepada petani menjelang panen.

Bagi petani yang memanen sendiri, pen-jualan umumnya dilakukan di rumah atau secara berkelompok di bawa ke pasar Kramatjati, atau di jual ke bandar. Sebelum penjualan dilakukan penanganan berupa pembersihan dan penge-ringan selama kurang lebih satu minggu. Rantai pemasaran komoditas bawang merah disajikan pada Gambar 5.

Marjin pemasaran antara pelaku pasar disajikan pada Tabel 18. Besarnya marjin pema-saran antara pedagang pengumpul, pedagang besar dan pengecer bervariasi antara Rp 250 sampai Rp 400/kg di Kabupaten Indramayu, sementara untuk Majalengka variasinya lebih besar yaitu antara Rp 150–Rp 400/kg. Kompo-sisi distribusi marjin di Kabupaten Indramayu

Gambar 5. Rantai Pemasaran Komoditas Bawang Merah, Kasus Kabupaten Indramayu, 2001

Pedagang pengumpul

Pasar

Pedagang luar provinsi

Konsumen

Pengecer

Petani

Page 25: STRUKTUR PASAR DAN PEMASARAN GABAH-BERAS DAN …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/pros-09_2004.pdf · khususnya untuk komoditas beras. Data yang dibutuhkan adalah data deret

251

terbesar pada pedagang pengumpul, selanjut-nya pengecer, dan terendah pedagang besar. Di Kabupaten Majalengka, marjin tataniaga terbe-sar diperoleh oleh pengecer, pengumpul, dan pedagang besar pada urutan ke tiga. Besarnya marjin yang diterima oleh pedangang besar rela-tif kecil per kg-nya, namun volume transaksinya jauh lebih besar dibandingkan dengan pengum-pul maupun pengecer.

Tabel 18. Analisis Marjin Pemasaran Bawang Merah di Lokasi Penelitian, 2001 (Rp/kg)

Uraian Indramayu MajalengkaPetania. Harga jual 3.500 3.800

Pedagang Pengumpula. Harga beli 3.500 3.800b. Biaya pemasaran 600 200c. Harga jual 4.500 4.250c. Profit marjin 400 250Pedagang Besara. Harga beli 4.500 4.250b. Biaya pemasaran 250 300

c. Harga jual 5.000 4.700d. Profit marjin 250 150Pengecera. Harga Beli 5.000 4.700b. Biaya Pemasaran 100 150c. Harga Jual 5.400 5.250d. Marjin 300 400

Sumber: Data primer hasil penelitian di dua kabupaten contoh penelitian.

Tingkat harga yang diterima petani sangat berfluktuatif, namun pada tingkat harga Rp 3500 – 3800/kg petani sudah memperoleh keun-tungan yang cukup besar. Titik impas produksi dicapai pada tingkat harga Rp 2000/kg, dengan tingkat produktivitas sekitar 10 ton/ha dan biaya Rp 20 juta/ha. Dengan demikian jika harga jual sebesar Rp 3.500/kg, petani masih memperoleh keuntungan sebesar Rp 15 juta/ha

Dinamika Harga dan Keterkaitan Pasar

Komoditas Jagung

Pada tiga lokasi kasus komoditas jagung, nampak tingkat harga baik produsen maupun konsumen di Jawa Tengah pada posisi terendah dibanding Sulawesi Selatan maupun Jawa Ti-mur. Pada tahun 1999, fluktuasi harga pada

tingkat produsen di Jawa Tengah berkisar anta-ra Rp 800/kg sampai Rp 900/kg; sementara untuk Jawa Timur berkisar antara Rp. 1400 –Rp 1.700/kg. Sementara itu pada kasus Sula-wesi Selatan kisarannya antara Rp 900 – Rp 1.100/kg. Sementara itu pada tahun 2000, ter-jadi penurunan harga menjadi berkisar antara Rp 800 – Rp 1.050/kg di ketiga lokasi contoh. Keragaan yang sama terjadi untuk tingkat harga konsumen, dimana pada tahun 1999, tingkat harga terendah terjadi di Jawa Tengah dan tertinggi di Jawa Timur, namun pada tahun 2000, terjadi penurunan walaupun untuk Jawa timur masih tetap yang tertinggi (Lampiran 4 dan 5). Tingkat harga tertinggi terjadi pada bulan bulan Agustus-Oktober, dimana secara umum panen sudah lewat.

Bila dikaitkan dengan harga internasional, sebenarnya pada tahun 2000 terjadi kecen-derungan peningkatan harga dibanding dengan tahun 1999. Nampak bahwa penurunan harga jagung dalam negeri tidak terkait langsung dengan harga jagung internasional tapi lebih dipengaruhi oleh faktor perubahan nilai tukar rupiah yang relatif menguat pada tahun 2000 dibanding tahun sebelumnya.

Analisis korelasi parsial antara harga pro-dusen, konsumen dan harga internasional me-nunjukkan keragaman hasil. Korelasi antara harga konsumen dengan harga produsen cukup kuat terjadi di Jawa Timur dan Sulawesi Sela-tan, sementara untuk kasus Jawa Tengah ting-kat korelasi relatif lemah. Sementara itu untuk harga konsumen ataupun harga produsen dengan harga internasional tingkat korelasinya sangat lemah pada ketiga lokasi kasus. Seperti dikemukakan diatas, hal ini diduga karena faktor perubahan nilai tukar rupiah yang berfluktuasi cukup besar (Tabel 19).

Tabel 19. Korelasi Harga Produsen, Konsumen dan Harga Internasional Komoditas Jagung di Lokasi Penelitian, 1998-1999

Provinsi Prod. vs kons.

Kons vsCif

Prod vs Cif

Jawa Tengah 0,20 0,28 0,41

Jawa Timur 0,94 0,16 0,11

Sulawesi Selatan 0,72 0,07 -0,21Sumber: Diolah dari data dasar Lampiran 4 dan 5.

Korelasi harga jagung tingkat produsen pada lokasi kasus, nampak tidak berhubungan satu dengan lainnya, kecuali, antara Jawa Timur

Page 26: STRUKTUR PASAR DAN PEMASARAN GABAH-BERAS DAN …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/pros-09_2004.pdf · khususnya untuk komoditas beras. Data yang dibutuhkan adalah data deret

252

dengan Sulawesi Selatan, yang memiliki kore-lasi cukup kuat. Hal ini disebabkan karena pasar jagung Sulawesi Selatan adalah Surabaya dimana pabrik pakan ternak terkonsentrasi(Tabel 19).

Berbeda dengan harga produsen, harga konsumen antar lokasi saling terkait cukup erat, namun keterkaitan tertinggi antara Jawa Timur dan Sulawesi Selatan, yang disebabkan karena hubungan perdagangan antar wilayah yang cukup kuat. Korelasi antara harga konsumen Jawa Tengah dengan Sulawesi Selatan relatif kecil (0,66), karena pedagangan antar keduanya tidak terjadi sehingga pengaruh perubahan harga bersifat secara tidak langsung (Tabel 20 dan 21).

Tabel. 20. Korelasi Harga Jagung Tingkat Produsen, Antar Lokasi Penelitian, 1998-1999

Provinsi Jawa Tengah

Jawa Timur

Sulawesi Selatan

Jawa Tengah 1,00

Jawa Timur -0,21 1,00

Sulawesi Selatan -0,22 0,79 1,00Sumber: Diolah dari data dasar pada Lampiran 4 dan 5.

Tabel 21. Korelasi Harga Jagung Tingkat Konsu-men, Antar Lokasi Penelitian, 1998 -1999

Provinsi Jawa Tengah

Jawa Timur

Sulawesi Selatan

Jawa Tengah 1,00

Jawa Timur 0,83 1,00

Sulawesi Selatan 0,66 0,89 1,00Sumber: Diolah dari data dasar Lampiran 4 dan 5

Komoditas Cabai Merah

Fluktuasi harga cabai memiliki selang yang lebih besar baik pada tingkat konsumen maupun tingkat produsen. Pada tahun 1999, harga produsen berfluktuasi antara Rp 2.500/kg – 10.000 di Jawa Barat sementara pada kasus Sumatera Barat, fluktuasinya berkisar antara Rp 4.700 – 17.000/kg. Pada tahun 2000, sekali pun tingkat harga rata-ratanya relatif sama yaitu sekitar Rp 6.000/kg di Jawa Barat dan Rp 9.000/kg di Sumatera Barat, namun kisaran fluktuasinya lebih rendah. Fluktuasi harga kon-sumen relatif sama dengan harga produsen (Lampiran 6 dan 7). Korelasi harga antara harga produsen dan konsumen menunjukkan tingkat

korelasi yang cukup tinggi, namun korelasi antara harga produsen Jawa Barat dan Sumatera Barat relatif tidak nyata, sebaliknya untuk harga konsumen Jawa Barat dengan Sumatera Barat memiliki angka korelasi sebesar 0,75 (Tabel 22).

Tabel 22. Korelasi Harga Produsen dan Konsumen Serta Harga Antar Lokasi Komoditas Cabai, 1998-1999

Provinsi Prod vs kons

Prod Sumbar

Kons Sumbar

Jawa Barat 0,63 0,25 0,75

Sumatera barat 0,97Sumber: Diolah dari data dasar Lampiran 6 dan 7.

Komoditas Bawang Merah

Kasus komoditas bawang merah hanya di Jawa Barat, dimana komoditas ini menjadi ko-moditas substitusi utama padi. Fluktuasi harga disajikan pada Lampiran 8 dan 9. Dibandingkan dengan komoditas cabai, fluktuasi harga ba-wang merah relatif lebih kecil baik pada tingkat konsumen maupun tingkat produsen. Kecende-rungan harga para tahun 2000 menurun dibandingkan dengan tahun 1999. Harga rata-rata tingkat produsen pada tahun 1999 sebesar Rp 5.150 menurun menjadi Rp 3.700/kg pada tahun 2000. Hal yang sama terjadi pada tingkat harga konsumen yang menurun dari rata-rata Rp 10.500/kg menjadi Rp 7.500/kg. Korelasi harga konsumen dengan harga produsen sangat erat dengan koefisien korelasi sebesar 0,96.

KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

1. Kabupaten dan provinsi penelitian merupa-kan daerah surplus produksi beras nasional. Secara regional, pulau Jawa merupakan pemasok beras nasional dengan pasokan sekitar 2,5 juta ton/tahun dan Sulawesi sebesar 1,0 juta ton/tahun yang dapat diper-dagangkan antar regional dan antar pulau. Konfigurasi surplus-defisit akan mengalami perubahan sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah dan kebebasan bagi petani menanam komoditas yang lebih mengun-tungkan. Diperlukan rekonsiliasi kebijakan pusat dan daerah yang dapat mengakomo-dasi peningkatan pendapatan daerah dan

Page 27: STRUKTUR PASAR DAN PEMASARAN GABAH-BERAS DAN …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/pros-09_2004.pdf · khususnya untuk komoditas beras. Data yang dibutuhkan adalah data deret

253

petani, namun tetap dapat menjamin keter-sediaan beras di tingkat regional dan nasio-nal. Perlu dicegah alih fungsi lahan pertanian produktif dan perbaikan insentif bagi petani padi.

2. Struktur pasar gabah yang dihadapi petani cukup kompetitif yang diindikasikan oleh banyaknya jumlah pembeli, sistem pemba-yaran secara tunai dan tidak adanya ikatan permodalan yang menjadi sumber distorsi pasar. Bagian harga yang diterima petani juga relatif tinggi yaitu sekitar 81,8 persen dari harga eceran beras di pasar kabupaten. Namun demikian, posisi tawar petani melalui penguatan infrastruktur pasar (fisik dan kelembagaan) perlu ditingkatkan agar dapat memanfaatkan secara efektif kebijakan har-ga dalam rangka peningkatan kesejahteraan-nya. Melalui kerjasama dengan investor(RMU, PT. Pertanin, PT. SHS, dan lain-lain), petani perlu didorong untuk memproduksi beras berkualitas yang memiliki prospektif pasar yang baik dengan tingkat harga yang stabil dan tingkat keuntungan yang lebih tinggi.

3. Dalam periode 2000 – 2001 harga gabah di tingkat kabupaten mengalami peningkatan dan harga eceran beras bersifat stabil, dan harga internasional beras (Rp/ton) menga-lami peningkatan sebesar 7,5 persen. Kore-lasi harga gabah di tingkat produsen dan harga eceran (kabupaten dan provinsi) mengindikasikan adanya keterkaitan pasar yang kuat dengan harga di Pasar Induk Cipinang. Sebaliknya harga internasional memiliki keterkaitan moderat hanya dengan pasar beras di Pasar Induk Cipinang. Seba-gian besar (18 lokasi) pasar beras provinsi, tidak termasuk Padang-Sumatera Barat yang terkatagori moderat, terintegrasi secara baik. DKI Jakarta sebagai daerah tujuan pema-saran utama memiliki integrasi pasar yang sangat kuat, dan tidak ada indikasi pengua-saan (kontrol) pasar dan bersifat kompetitif. Implikasinya adalah daerah defisit beras dinilai tidak relevan untuk berswasembada, namun tetap perlu difasilitasi agar arus volume barang dapat berjalan secara lancar.

4. Kebijakan stabilisasi harga gabah melalui penterapan harga dasar perlu dilakukan secara komplemen dengan instrumen kebi-jakan penetapan TBM impor beras, agar mampu menjamin keberlanjutan peningkatan

produksi dan pendapatan petani. Diban-dingkan dengan tahun 2001, pelaksanaan pengamanan harga dasar gabah tahun 2002 berjalan lebih baik yang diindikasikan oleh harga gabah di tingkat petani umumnya berada di atas harga dasar. Sasaran kebija-kan ini tidak akan efektif, tanpa pengamanan TBM impor beras. Berdasarkan pada nilai tukar rupiah sebesar Rp 10.737/US$ dan tingkat keuntungan petani sebesar 20 persen (return to management), pada tingkat harga beras impor US$ 170/ton, maka TMB impor yang wajar adalah di bawah 10 persen. Pada tahun 2002, dengan adanya penguatan nilai rupiah menjadi Rp 9.000/US$ dan pening-katan harga beras di pasar internasional menjadi sekitar US$ 190/ton, penetapan TBM beras minimal sebesar 10 persen dan petani tetap mendapatkan keuntungan sebe-sar 20 persen.

5. Neraca produksi dan konsumsi langsung untuk komoditas jagung, cabai dan bawang merah menunjukkan angka surplus, namun belum mampu memenuhi permintaan dari industri pengolah, seperti pabrik pakan ternak dan industri makanan. Dengan demi-kian peluang pengembangan khususnya komoditas jagung masih sangat terbuka apa-lagi dihadapkan pada pemintaan input indus-tri pakan ternak yang terus meningkat. Upaya peningkatan areal dan produktivitas dengan menggunakan benih bermutu/hibrida serta sistem usahatani yang baik dapat dijadikan alternatif dalam pengembangan produksi komoditas tersebut.

6. Pada tingkat harga rata-rata, petani telah menerima harga yang wajar, baik untuk komoditas jagung, cabai maupun bawang merah. Permasalahan muncul pada saat panen raya dimana petani tidak dapat me-nunda memasarkan produksinya karena ka-rakteristik produk yang cepat rusak dan desakan kebutuhan akan modal usaha selanjutnya. Konskuensinya adalah petani sewaktu-waktu harus menerima harga lebih rendah dari biaya pokok sehingga terpaksa menanggung kerugian. Pengembangan tek-nologi pascapanen yang baik dan kemitraan petani dengan pedagang dan industri pengo-lah dapat dijadikan opsi dalam membantu petani menghadapi gejolak harga.

7. Struktur pasar dan jalur tataniaga, untuk ketiga komoditas tersebut sudah berjalan

Page 28: STRUKTUR PASAR DAN PEMASARAN GABAH-BERAS DAN …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/pros-09_2004.pdf · khususnya untuk komoditas beras. Data yang dibutuhkan adalah data deret

254

dengan baik dan efisien, dilihat dari besarnya marjin dan distribusinya serta dari rantai tataniaga yang ada. Posisi tawar petani yang relatif lemah terutama disebabkan oleh permasalahan internal petani (khususnya permodalan), karakteristik produk yang perlu penanganan cepat, dan lemahnya sistem informasi pasar. Penyediaan jaringan infor-masi pasar yang baik yang dapat diakses petani dapat membantu petani dalam meng-hadapi persaingan pasar. Di samping itu peran pemerintah dalam penyediaan kredit dan penguatan kelembagaan petani khusus-nya yang terkait dengan pasar output meme-gang peranan penting dalam peningkatan produksi dan pendapatan petani.

DAFTAR PUSTAKA

Mears, L. 1982. Era Baru Ekonomi Perberasan Indonesia. UGM Press, Yogyakarta.

Natawidjaja, R.S. 2001. Dinamika Pasar Beras Domestik. Bunga Rampai Ekonomi Beras (Ed. A. Suryana dan S. Mardianto). LPEM-UI, BPKP-Deptan dan Bappenas.

Pranolo, T. 2000. Peran Bulog Sebagai Lembaga Distribusi dan Cadangan Pangan Nasional. Makalah Round-table Kebijakan Harga Gabah, Deptan, Jakarta.

Rusastra, I W., B. Rachman, Saptana, S. Friyatno, S. Bachri. 2000. The Impact of Economic Crisis and Policy Adjustment on Agricultural Input Market and Rice Farmr Income in Indonesia. The Workshop of Macro Food Policy. Bappenas, USAID, PSP-IPB, 12–13 September 2000, Bogor.

Saefullah, A. 2001. Peran Bulog dalam Kebijakan Perberasan Nasional. Bunga Rampai Ekonomi Beras (Ed. A. Suryana dan S. Mardianto). LPEM-UI, BPKP-Deptan dan Bappenas, Jakarta.

Page 29: STRUKTUR PASAR DAN PEMASARAN GABAH-BERAS DAN …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/pros-09_2004.pdf · khususnya untuk komoditas beras. Data yang dibutuhkan adalah data deret

255

Page 30: STRUKTUR PASAR DAN PEMASARAN GABAH-BERAS DAN …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/pros-09_2004.pdf · khususnya untuk komoditas beras. Data yang dibutuhkan adalah data deret

256

Page 31: STRUKTUR PASAR DAN PEMASARAN GABAH-BERAS DAN …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/pros-09_2004.pdf · khususnya untuk komoditas beras. Data yang dibutuhkan adalah data deret

257

Page 32: STRUKTUR PASAR DAN PEMASARAN GABAH-BERAS DAN …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/pros-09_2004.pdf · khususnya untuk komoditas beras. Data yang dibutuhkan adalah data deret

258

Page 33: STRUKTUR PASAR DAN PEMASARAN GABAH-BERAS DAN …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/pros-09_2004.pdf · khususnya untuk komoditas beras. Data yang dibutuhkan adalah data deret

259

Page 34: STRUKTUR PASAR DAN PEMASARAN GABAH-BERAS DAN …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/pros-09_2004.pdf · khususnya untuk komoditas beras. Data yang dibutuhkan adalah data deret

260

Page 35: STRUKTUR PASAR DAN PEMASARAN GABAH-BERAS DAN …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/pros-09_2004.pdf · khususnya untuk komoditas beras. Data yang dibutuhkan adalah data deret

Lampiran 1. Dinamika Harga Bulanan Beras/Gabah Domestik dan Internasional, di Enam Kabupaten, Indonesia, Tahun 2000

Tingkat harga Jan Feb Mrt Apr Mei Juni Juli Agst Sept Okt Nop DesRata-rata

Gabah tingkat petani (Rp/kg)1. Indramayu (GKP)2. Majalengka (GKG)3. Klaten (GKG)4. Ngawi (GKP)5. Agam (GKP)6. Sidrap (GKP)

7001.3601.150

9181.100

750

7001.3601.200

7821.100

750

7001.2001.000

7691.100

750

700865

1.000808

1.100800

7001.0751.000

8961.100

800

7001.1551.250

8941.100

850

7001.1501.200

9271.100

800

7501.1601.200

8831.100

800

7001.1001.100

8781.100

850

6501.1001.000

8261.150

850

9001.0501.100

8231.075

850

6501.1001.050

834900875

7131.1391.104

8531.085

810Harga beras kabupaten (Rp/kg)

1. Indramayu2. Majalengka3. Klaten4. Ngawi5. Agam6. Sidrap

2.4002.2502.5002.2001.8751.750

2.4002.3002.3002.2002.0001.750

2.1002.1502.3002.2002.0001.563

2.0002.0502.3002.1002.0751.875

1.7001.9502.1002.1002.0001.875

2.2002.1002.2002.1002.1751.875

2.0002.1502.0002.1002.0501.875

1.9502.1102.1001.9002.1001.875

1.8502.0401.9001.9002.2251.875

1.9002.1002.0001.9002.2201.750

1.8602.0002.0001.9002.2001.656

1.8351.9501.8501.9002.1001.750

2.0162.0962.1292.0422.0851.798

Harga beras ibu kota provinsi (Rp/kg)1. Jawa Barat2. Jawa Tengah3. Jawa Timur4. Sumatera Barat5. Sulawesi Selatan

2.4002.4272.3002.9081.946

2.4002.4272.3202.6751.850

2.2752.1402.2002.8581.722

2.2002.1382.1383.4451.934

2.2002.1692.1923.4582.028

2.2002.2362.2203.4582.028

2.4002.2202.2003.3351.754

2.4002.1742.2003.3351.783

2.3502.1242.1023.3351.754

2.2002.1082.1003.3351.752

2.2002.1082.0003.3352.077

2.2002.1122.0003.3352.185

2.2852.1992.1643.2341.901

Harga grosir Cipinang 2.250 2.229 1.929 1.864 1.906 2.010 2.000 1.977 1.863 1.800 1.800 1.800 1.952Harga beras internasional (FOB) Bangkok (US$/ton)

202 199 188 180 169 167 166 164 161 163 158 158 173

Harga beras dunia (CIF)

219 217 205 197 186 184 183 182 179 181 176 176 190

Nilai tukar (Rp/US$) 7.425 7.505 7.590 7.945 8.620 8.735 9.003 8.290 8.780 9.395 9.530 9.595 8.534Harga FOB (Rp/ton) 1.496.880 1.493.495 1.423.125 1.428.511 1.455.056 1.456.998 1.490.897 1.362.047 1.413.580 1.534.204 1.505.740 1.518.889 1.464.952Harga CIF (Rp/ton) 1.626.818 1.624.833 1.555.950 1.567.549 1.605.906 1.609.861 1.648.449 1.507.122 1.567.230 1.698.616 1.672.515 1.686.801 1.614.304

Catatan: Harga CIF diperoleh dengan menambah biaya cost and insurance dari FOB sebesar US$ 17,5/tonSumber: - Data harga tingkat petani, kabupaten dan provinsi adalah dari Kabupaten/Provinsi Dalam Angka di lokasi penelitian.

- Data harga grosir Cipinang dan harga internasional dari Statistik Bulog, Jakarta.

Page 36: STRUKTUR PASAR DAN PEMASARAN GABAH-BERAS DAN …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/pros-09_2004.pdf · khususnya untuk komoditas beras. Data yang dibutuhkan adalah data deret

Lampiran 2. Dinamika Harga Bulanan Beras/Gabah Domestik dan Internasional, di Enam Kabupaten, Tahun 2001

Tingkat harga Jan Feb Mrt Apr Mei Juni Juli Agst Sept Okt Nop DesRata-rata

Gabah tingkat petani (Rp/kg)1. Indramayu (GKP)2. Majalengka (GKG)3. Klaten (GKG)4. Ngawi (GKP)5. Agam (GKP)6. Sidrap (GKP)

9501.2001.254

933950

1.276

8751.2501.276

861950

1.276

9001.2501.281

888950

1.233

1.1001.1001.281

838950

1.090

1.1501.1501.300

882950

1.110

1.2001.2401.251

863950

1.110

1.2001.1801.276

926950

1.082

1.2001.1701.2761.0031.0001.082

1.2001.2201.3511.1251.0001.082

1.3351.2001.3561.1191.0001.051

1.3311.3001.3561.150

9501.051

1.4671.4501.4381.2131.0001.051

1.1591.2261.308

983967

1.125Harga beras eceran (Rp/kg)1. Indramayu2. Majalengka3. Klaten4. Ngawi5. Agam6. Sidrap

2.2082.0002.0542.1002.0201.875

2.2082.0502.0762.2002.2751.928

2.0702.0502.0812.2002.2002.000

1.9132.0502.2312.2002.1881.875

1.9511.9502.1002.2002.2201.838

2.0402.0402.0512.2002.1251.750

2.0442.1202.2162.2002.1001.700

2.0272.0902.1962.2752.1001.800

2.0252.1802.3112.3502.1002.150

2.0252.1802.3362.4002.1002.150

2.0252.3002.3562.5002.1302.250

2.1342.4002.3882.7002.3002.400

2.0562.1182.2002.2942.1551.976

Harga beras ibu kota provinsi (Rp/kg)1. Jawa Barat2. Jawa Tengah3. Jawa Timur4. Sumatera Barat5. Sulawesi Selatan

2.2862.1972.1663.2401.901

2.5002.2782.2103.3351.752

2.6312.2792.2073.3351.863

2.4082.2792.1233.3121.910

2.3062.3202.1003.3121.895

2.2782.3542.1003.3121.900

2.2782.4002.1003.3121.834

2.2782.4002.1003.3121.834

2.2782.4002.1003.3121.834

2.2782.4002.1003.3121.834

2.3622.5162.3313.2982.038

2.4462.6312.5633.2852.243

2.3612.3712.1833.3061.903

Harga grosir Cipinang 1.889 2.070 1.990 1.950 1.998 2.000 2.075 2.075 2.175 2.300 2.575 2.575 2.139Harga beras internasional (FOB) Bangkok (US$/ton)

158 154 146 139 142 149 152 153 161 158 159 163 153

Harga beras dunia (CIF)

176 171 164 157 160 166 170 171 179 176 177 181 170

Nilai tukar (Rp/US$) 9.450 9.835 10.400 11.675 11.058 11.440 9.525 8.865 9.675 10.435 10.430 10.400 10.266Harga FOB (Rp/ton) 1.493.100 1.509.673 1.521.000 1.622.825 1.570.236 1.698.840 1.451.610 1.356.345 1.557.675 1.650.817 1.661.499 1.695.200 1565.735Harga CIF (Rp/ton) 1.658.475 1.681.785 1.703.000 1.827.138 1.763.751 1.899.040 1.618.298 1.511.483 1.726.988 1.833.430 1.844.024 1.877.200 1.745.384

Catatan: Harga CIF diperoleh dengan menambah biaya cost and insurance dari FOB sebesar US$ 17,5/tonSumber: - Data harga tingkat petani, kabupaten dan provinsi adalah dari Kabupaten/Provinsi Dalam Angka di lokasi penelitian.

- Data harga grosir Cipinang dan harga internasional dari Statistik Bulog, Jakarta.

Page 37: STRUKTUR PASAR DAN PEMASARAN GABAH-BERAS DAN …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/pros-09_2004.pdf · khususnya untuk komoditas beras. Data yang dibutuhkan adalah data deret

Lampiran 3. Perubahan Harga Bulanan Beras/Gabah Domestik dan Internasional di Enam Kabupaten, Tahun 2000-2001

Tingkat harga Jan Feb Mrt Apr Mei Juni Juli Agst Sept Okt Nop Des Rata-rata

Gabah tingkat petani (Rp/kg)1. Indramayu (GKP)2. Majalengka (GKG)3. Klaten (GKG)4. Ngawi (GKP)5. Agam (GKP)6. Sidrap (GKP)

35,7-11,8

9,01,6

-13,670,1

25,0-7,46,3

10,1-13,670,1

28,64,2

28,115,4

-13,664,4

57,127,228,13,7

-13,636,3

64,37,0

30,0-1,6

-13,638,8

71,47,40,1

-3,5-13,630,6

71,42,66,3

-0,1-13,635,3

60,00,96,3

13,6-9,135,3

71,410,922,828,2-9,127,3

105,49,1

35,635,5

-13,023,6

47,923,823,339,7

-11,623,6

125,7318

37,045,311,120,1

62,77,6

18,515,3

-10,938,8

Harga beras eceran (Rp/kg)1. Indramayu2. Majalengka3. Klaten4. Ngawi5. Agam6. Sidrap

-8,0-11,1-17,8-4,57,77,1

-8,0-10,9-9,70,0

13,810,2

-1,4-4,7-9,50,0

10,028,0

-4,40,0

-3,04,85,40,0

14,80,00,04,8

11,0-2,0

-7,3-2,9-6,84,8

-2,3-6,7

2,2-1,410,84,82,4

-9,3

3,9-0,94,6

19,70,0

-4,0

,56,9

21,623,7-5,614,7

6,63,8

16,826,3-5,422,9

8,915,017,831,6-3,235,9

16,323,129,142,19,5

37,1

2,01,03,3

12,33,3

10,5Harga beras ibu kota provinsi (Rp/kg)1. Jawa Barat2. Jawa Tengah3. Jawa Timur4. Sumatera Barat5. Sulawesi Selatan

-4,8-9,5-5,811,4-2,3

4,2-6,1-4,724,7-5,3

15,66,50,3

16,78,2

9,56,6

-0,7-3,9-1,2

4,87,0

-4,2-4,2-6,6

3,55,3

-5,4-4,2-6,3

-5,18,1

-4,5-0,74,6

-5,110,4-4,5-0,72,9

-3,113,0-0,1-0,74,6

3,513,90,0

-0,74,7

7,419,416,6-1,1-1,9

11,224,628,2-1,52,7

3,37,80,92,20,1

Harga grosir Cipinang -16,0 -7,1 3,2 4,6 4,8 -0,5 3,8 5,0 16,7 27,8 43,1 43,1 9,6Harga beras internasional (FOB) Bangkok (US$/ton)

-21,6 -22,9 -22,0 -22,7 -15,9 -11,0 -8,0 -6,9 0,0 -3,1 0,8 3,0 -11,6

Harga beras dunia (CIF) -19,9 -21,0 -20,1 -20,7 -14,4 -9,9 -7,2 -6,2 0,0 -2,8 0,7 2,7 -10,5Nilai tukar (Rp/US$) 27,3 31,0 37,0 46,9 28,3 31,0 5,8 6,9 10,2 11,1 9,4 8,4 20,3Harga FOB (Rp/ton) -0,3 1,1 6,9 13,6 7,9 16,6 -2,6 -0,4 10,2 7,6 10,3 11,6 6,9Harga CIF (Rp/ton) 1,9 3,5 9,5 16,6 9,8 18,0 -1,8 0,3 10,2 7,9 10,3 11,3 8,1

Catatan: Harga CIF diperoleh dengan menambah biaya cost and insurance dari FOB sebesar US$ 17,5/tonSumber: - Data harga tingkat petani, kabupaten dan provinsi adalah dari Kabupaten/Provinsi Dalam Angka di lokasi penelitian.

- Data harga grosir Cipinang dan harga internasional dari Statistik Bulog, Jakarta.

Page 38: STRUKTUR PASAR DAN PEMASARAN GABAH-BERAS DAN …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/pros-09_2004.pdf · khususnya untuk komoditas beras. Data yang dibutuhkan adalah data deret

Lampiran 4. Dinamika Harga Bulanan Jagung Domestik dan Internasional, di Lokasi Penelitian, Tahun 1999

Tingkat harga Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nop Des Rata-rataTingkat petani (pipil)1. Jawa Tengah 812 792 807 833 850 810 906 895 882 878 833 824 844 2. Jawa Timur 1.463 1.441 1.456 1.628 1.754 1.600 1.771 1.634 1.605 1.570 1.375 1.332 1.552 3. Sulawesi Selatan 917 917 1.014 1.031 1.029 1.021 1.022 1.013 1.018 1.137 1.093 1.080 1.024 Harga eceran*)1. Jawa Tengah 1.144 1.099 1.059 1.150 1.251 1.251 1.240 1.203 1.160 1.168 1.160 1.124 1.167 2. Jawa Timur 1.593 1.635 1.627 1.748 1.886 1.717 2.105 1.980 1.910 1.895 1.730 1.113 1.745 3. Sulawesi Selatan 1.269 1.281 1.248 1.214 1.226 1.250 1.254 1.270 1.235 1.233 1.188 971 1.220 Harga internasional (cif London) (US $/ton)

104,00 104,00 104,00 96,63 96,25 97,63 99,13 100,00 96,00 94,13 94,25 95,00 98,42

Sumber: - Data harga tingkat petani, kabupaten dan provinsi adalah dari Kabupaten/Provinsi Dalam Angka di lokasi penelitian.- Data harga grosir Cipinang dan harga internasional dari Statistik Bulog, Jakarta.

Lampiran 5. Dinamika Harga Bulanan Jagung Domestik dan Internasional, di Lokasi Penelitian, Tahun 2000

Tingkat harga Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nop Des Rata-rataTingkat petani (tongkol kering)1. Jawa Tengah 808 800 813 846 885 909 919 941 952 947 948 961 894 2. Jawa Timur 808 779 804 868 909 927 967 971 976 1.033 1.023 1.030 925 3. Sulawesi Selatan 911 887 866 873 877 878 871 878 879 944 934 916 893 Harga eceran*)1. Jawa Tengah 1.013 963 936 976 1.030 1.039 1.077 1.112 1.121 1.114 1.122 1.126 1.052 2. Jawa Timur 1.094 1.036 1.017 1.085 1.113 1.119 1.157 1.272 1.305 1.320 1.328 1.335 1.182 3. Sulawesi Selatan 924 870 807 792 802 794 803 803 818 800 840 832 824 Harga internasional (cif London) (US $/ton)

95,00 92,17 93,25 94,63 94,50 96,25 100,00 103,00 103,00 103,00 103,00 103,00 98,40

Sumber: - Data harga tingkat petani, kabupaten dan provinsi adalah dari Kabupaten/Provinsi Dalam Angka di lokasi penelitian.- Data harga grosir Cipinang dan harga internasional dari Statistik Bulog, Jakarta.

Page 39: STRUKTUR PASAR DAN PEMASARAN GABAH-BERAS DAN …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/pros-09_2004.pdf · khususnya untuk komoditas beras. Data yang dibutuhkan adalah data deret

Lampiran 6. Dinamika Harga Bulanan Cabai Merah Domestik dan Internasional, di Lokasi Penelitian, Tahun 1999

Tingkat harga Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nop Des Rata-rata

Harga tingkat petani

1. Jawa Barat 7.935 10.326 9.517 9.022 7.687 6.603 5.294 3.493 2.957 2.982 3.250 2.504 6301

2. Sumatera Barat 16.184 16.665 16.925 10.182 8.755 10.518 8.722 5.198 4.777 6.040 5.186 5.338 9541

Harga eceran

1. Jawa Barat 28.979 36.708 32.681 29.256 24.593 19.888 13.850 10.531 8.049 7.639 7.704 5.093 18.748

2. Sumatera Barat 23.206 21.690 22.849 12.870 10.837 11.768 8.512 5.365 4.690 5.565 5.699 4.780 11.486

Sumber: Provinsi dalam Angka (Kantor Statistik, provinsi penelitian)

Lampiran 7. Dinamika Harga Bulanan Cabai Merah Domestik dan Internasional, di Lokasi Penelitian, Tahun 1999

Tingkat harga Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nop Des Rata-rata

Tingkat petani

1. Jawa Barat 4.263 5.791 7.048 7.008 8.184 7.159 7.089 6.543 6.170 6.308 6.774 6.721 6.588

2. Sumatera Barat 8.850 16.506 14.887 14.835 14.646 9.514 8.588 8.070 7.979 6.408 7.801 8.118 10.517

Harga eceran

1. Jawa Barat 6.364 9.301 10.051 10.788 11.247 10.131 10.144 9.253 8.159 7.840 7.959 8.563 9.150

2. Sumatera Barat 7.393 14.231 15.765 15.146 15.281 10.272 9.096 8.402 8.029 7.352 8.804 8.167 10.662

Sumber: Provinsi dalam Angka (Kantor Statistik, provinsi penelitian).

Page 40: STRUKTUR PASAR DAN PEMASARAN GABAH-BERAS DAN …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/pros-09_2004.pdf · khususnya untuk komoditas beras. Data yang dibutuhkan adalah data deret

Lampiran 8. Dinamika Harga Bulanan Bawang Merah Domestik dan Internasional, di Lokasi Penelitian, Tahun 1999

Tingkat harga Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nop Des Rata-rata

Tingkat petani

- Jawa Barat 6.636 7.318 7.160 6.978 6.994 5.966 5.420 4.486 2.717 2.659 2.819 2.736 5.157

Harga eceran

- Jawa Barat 15.045 16.512 16.476 15.164 13.556 11.987 10.141 7.623 5.494 5.080 4.842 4.627 10.546

Sumber: Jawa Barat dalam Angka (Kantor Statistik Jabar, Bandung)

Lampiran 9. Dinamika Harga Bulanan Bawang Merah Domestik dan Internasional, di Lokasi Penelitian, Tahun 2000

Tingkat harga Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nop Des Rata-rata

Tingkat petani

- Jawa Barat 1.619 1.714 3.019 3.535 4.257 4.300 4.506 4.072 4.048 4.153 4.653 4.765 3.720

Harga eceran

- Jawa Barat 4.133 4.803 7.554 8.035 8.353 8.177 8.828 7.962 7.104 7.920 8.539 9.070 7.540

Sumber: Jawa Barat dalam Angka (Kantor Statistik Jabar, Bandung)