46
I. PENDAHULUAN Penyakit serebrovaskuler merupakan penyakit yang paling umum meliputi stroke iskemik, stroke hemoragik dan serebrovaskuler anomali seperti aneurisma intrakranial serta arteriovenous malformations (AVM). Penyakit serebrovaskuler menyebabkan sekitar 200.000 kematian per tahun di Amerika Serikat dan paling banyak menyebabkan kecacatan. Insidensi penyakit serebrovaskuler di Amerika Serikat meningkat bersamaan dengan umur. Angka kejadian stroke meningkat pada populasi lansia dan kematian akibat stroke diperkirakan meningkat dua kali lipat pada tahun 2030 (Smith et al., 2013). Stroke merupakan salah satu penyakit utama yang menyebabkan kematian terbanyak di dunia dan penyebab utama ketiga kematian di Amerika Serikat, dengan jumlah kematian 90.000 wanita dan 60.000 pria setiap tahun. Di Indonesia, 8 dari 1000 orang menderita stroke. Stroke dibagi menjadi dua, yaitu stroke hemoragik dan stroke non hemoragik (Depkes RI, 2011). Kasus stroke di seluruh dunia diperkirakan mencapai 50 juta jiwa, dan 9 juta di antaranya menderita kecacatan berat. Yang lebih memprihatinkan lagi 10% diantaranya mengalami kematian. Tingginya angka kejadian stroke disebabkan oleh perubahan tingkah laku 1

Stroke

Embed Size (px)

DESCRIPTION

cover presus saraf

Citation preview

Page 1: Stroke

I. PENDAHULUAN

Penyakit serebrovaskuler merupakan penyakit yang paling umum meliputi

stroke iskemik, stroke hemoragik dan serebrovaskuler anomali seperti aneurisma

intrakranial serta arteriovenous malformations (AVM). Penyakit serebrovaskuler

menyebabkan sekitar 200.000 kematian per tahun di Amerika Serikat dan paling

banyak menyebabkan kecacatan. Insidensi penyakit serebrovaskuler di Amerika

Serikat meningkat bersamaan dengan umur. Angka kejadian stroke meningkat

pada populasi lansia dan kematian akibat stroke diperkirakan meningkat dua kali

lipat pada tahun 2030 (Smith et al., 2013).

Stroke merupakan salah satu penyakit utama yang menyebabkan kematian

terbanyak di dunia dan penyebab utama ketiga kematian di Amerika Serikat,

dengan jumlah kematian 90.000 wanita dan 60.000 pria setiap tahun. Di

Indonesia, 8 dari 1000 orang menderita stroke. Stroke dibagi menjadi dua, yaitu

stroke hemoragik dan stroke non hemoragik (Depkes RI, 2011).

Kasus stroke di seluruh dunia diperkirakan mencapai 50 juta jiwa, dan 9 juta

di antaranya menderita kecacatan berat. Yang lebih memprihatinkan lagi 10%

diantaranya mengalami kematian. Tingginya angka kejadian stroke disebabkan

oleh perubahan tingkah laku dan pola hidup masyarakat (Yayasan Stroke

Indonesia, 2012).

Mortalitas stroke mengalami penurunan pada berberapa dekade. Mortalitas

stroke mengalami penurunan sejak tahun 1950, tetapi penurunan tersebut masih

terlalu lambat. Banyak faktor yang meningkatkan kejadian stroke salah satunya

yakni usia. Sebanyak 75% stoke mengenai kelompok usia lebih dari 65 tahun.

faktor risiko stroke terbagi menjadi 2 kategori yakni non-modifiable : usia, jenis

kelamin dan etnis. Modifiable : hipertensi, hiperkolesterol, merokok, kurang

aktivitas fisik, konsumsi alkohol dan atrial fibrilasi (Smith et al., 2013).

1

Page 2: Stroke

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI

Stroke adalah suatu tanda klinis yang ditandai defisit neurologi fokal atau

global yang berlangsung mendadak selama 24 jam atau lebih dari 24 jam yang

disebabkan oleh gangguan vaskuler bukan sebab lain (WHO, 2002).

B. KLASIFIKASI

Berdasarkan kelainan patologis, stroke dapat dibagi menjadi (WHO, 2002),

1. Stroke non-hemoragik

a. Stroke trombotik

Pembagian stroke trombotik yakni,

1) TIA (transient ischemic attack)

2) RIND (Reversible Ischemic Neurologic Defisit)

3) Stroke in evolusi

4) Completed stroke

b. Tromboemboli (artery to artery embolus)

2. Stroke hemoragik

a. Perdarahan intra serebral

b. Perdarahan ekstra serebral (sub-arakhnoid)

C. PATOFISIOLOGI

1. Stroke non-hemoragik

a. Stroke trombotik

Stroke trombotik atau aterotrombotik in situ, terjadi akibat adanya plak

yang terbentuk akibat proses aterosklerotik pada dinding pembuluh darah

intrakranial, dimana plak tersebut membesar yang dapat disertai dengan

adanya trombus yang melapisi pembuluh darah arteri tersebut. Apabila

proses tersebut terus berlangsung maka akan terjadi penyumbatan

pembuluh darah dan penghentian aliran darah di sebelah distal (Ropper et

al., 2014).

2

Page 3: Stroke

Proses Aterotrombotik

1) Distribusi Pembentukan Ateroma

Ateroma sering ditemukan pada orang tua, akan tetapi proses

pembentukannya telah terjadi sejak masa kanak-kanak hingga dewasa

muda. Proses tersebut terus berlangsung tanpa menimbulkan gejala

selama 20-30 tahun. Ateroma biasanya terjadi pada arteri yang

berukuran besar (arkus aorta) dan arteri yang berlekuk-lekuk (sifon

karotis), dan arteri yang konfluen (arteri basilaris). Sedangkan pada

tempat yang jarang terjadi pembentukan ateroma yaitu pada ujung

distal arteri karotis interna hingga karotikus dan pada arteri serebri

anterior. Sehingga lepasnya ateroma tersebut lebih sering

menyebabkan penyumbatan pada arteri serebri media (Ropper et al.,

2014).

Adanya distribusi khusus terjadinya ateroma diatas sebenarnya

disebabkan karena adanya haeomodynamics shear stress dan trauma

endotel pembuluh darah pada daerah tersebut, yaitu pada tempat

dimana terdapat perbedaan aliran darah, stagnasi darah dan turbulensi.

Proses pembentukan ateroma dapat terjadi hanya pada satu sisi

pembuluh darah saja, hal ini disebabkan karena adanya perbedaan

geometri anatomi pembuluh darah secara individual. Biasanya disertai

oleh adanya proses aterosklerotik yang ditemukan di tempat lain, yaitu

dengan adanya angina atau Infark miokardium, atau claudicasio

(Norrving, 2014).

Proses pembentukan ateroma tersebut yang terjadi di berbagai

arteri, di otak, aorta, atau pembuluh darah lain mempunyai proses

yang sama. Adanya faktor genetika juga berpengaruh pada proses

tersebut, yang diperberat dengan faktor lain seperti hipertensi. Hal ini

menjelaskan mengapa pada ras kulit hitam dan kulit berwarna lebih

sering terbentuk ateroma pada arterioklerotik intrakranial

dibandingkan pada arteri ekstrakranial (Norrving, 2014).

3

Page 4: Stroke

2) Proses Pembentukan Ateroma

Pembentukan ateroma sebenarnya telah dimulai dengan

pembentukan Fatty streak sejak masa kanak-kanak. Proses tersebut

dimulai dengan adanya kerusakan jaringan. Pada hipotesa Response to

Injury Hypothesis, penyebab kerusakan pada endotel, baik perubahan

struktural ataupun perubahan fungsional, akibat adanya faktor-faktor

seperti hiperkholesterolemia kronis, adanya perubahan fungsional

shear stress aliran darah pada endotel pembuluh darah, ataupun

adanya disfungsi akibat toksin atau zat-zat lain (Norrving, 2014).

Kerusakan endotel tersebut menyebabkan perubahan

permeabilitas endotel, perubahan sel-sel endotel atau perubahan

hubungan antara sel endotel dan jaringan ikat di bawahnya, sehingga

daya aliran darah di dalamnya dapat menyebabkan pelepasan sel

endotel kemudian terjadi hubungan langsung antara komponen darah

dan dinding arteri (Norrving, 2014).

Kerusakan endotel akan menyebabkan pelepasan faktor

pertumbuhan yang akan merangsang masuknya monosit ke lapisan

intima pembuluh darah. Lipid akan masuk kedalam pembuluh darah

melalui trasnport aktif dan pasif. Monosit pada dinding pembuluh

darah akan berubah menjadi mikrofag akan memfagosit kholesterol

LDL, sehingga akan terbentuk foam sel. Oleh karena itu, gambaran

mikroskopis dari fatty streak akan berupa kumpulan sel-sel yang berisi

lemak sehingga tampak seperti busa yang disebut sebagai foam cells

(Ropper et al., 2014)..

Beberapa tahun kemudian proses tersebut berlanjut dengan

terjadinya sel-sel otot polos arteri dari tunika adventisia ke tunika

intima akibat adanya pelepasan platelet derived grawth factor (PDGF)

oleh makrofag, sel endotel, dan trombosit. Selain itu, sel-sel otot polos

tersebut yang kontraktif akan berproliferasi dan akan berubah menajdi

lebih sintesis (fibrosis). Makrofag, sel endotel, sel otot polos maupun

limfosit T (terdapat pada stadium awal plak aterosklerosis) akan

4

Page 5: Stroke

mengeluarkan sitokines yang memperkuat interaksi antara sel-sel

tersebut (Norrving, 2014).

Adanya penimbunan kolesterol intra dan eksta seluler disertai

adanya fibrosis maka akan terbentuk plak fibrolipid. Pada inti dari

plak tersebut, sel-sel lemak dan lainnya akan menjadi nekrosis dan

terjadi kalsifikasi. Plak ini akan menginvasi dan menyebar ke dalam

tunika media dinding pembuluh darah, sehingga pembuluh darah akan

menebal dan terjadi penyempitan lumen (Smith et al., 2013).

Degenerasi dan perdarahan pada pembuluh darah yang

mengalami sklerosis (akibat pecahnya pembuluh darah vasa vasorum)

akan menyebabkan kerusakan endotel pembuluh darah. Hal ini akan

terjadi perangsangan adhesi, aktifasi dan agregasi trombosit, yang

mengawali koagulasi darah dan trombosis. Trombosit akan terangsang

dan menempel pada endotel yang rusak, sehingga terbentuk plak

aterotrombotik (Ropper et al., 2014)..

3) Trombosis

Pembentukan trombus arteri dipengaruhi oleh 3 bagian yang

penting, yaitu adanya keadan subendotel vaskuler, trombin dan

metabolisme asam arakhidonat. Trombosis diawali dengan adanya

kerusakan endotel, sehingga tampak jaringan kolagen dibawahnya.

Sherry mengatakan pula bahwa proses trombosis terjadi akibat adanya

interaksi antara trombosit dan dinding pembuluh darah, akibat adanya

kerusakan endotel pembuluh darah. Endotel pembuluh darah yang

normal bersifat antitrombosis, hal ini disebabkan karena adanya

glikoptotein dan proteoglikan yang melapisi sel endotel dan adanya

prostasiklin (PGI2) pada endotel yang bersifat vasodilator dan inhibisi

paltelet agregasi (Ropper et al., 2014).

Pada endotel yang mengalami kerusakan, darah akan

berhubungan dengan serat-serat kolagen pembuluh darah, kemudian

akan merangsang trombosit dan agregasi trombosit dan merangsang

trombosit mengeluarkan zat-zat yang terdapat di dalam granula-

granula di dalam trombosit dan zat-zat yang berasal dari makrofag

5

Page 6: Stroke

yang mengandung lemak. Akibat adanya reseptor pada trombosit

menyebabkan perlekatan trombosit dengan jaringan kolagen

pembuluh darah. Perlekatan tersebut ditentukan pula oleh adanya

unsur-unsur matriks pembuluh darah dan kecapatan aliran darah

(Smith et al., 2013).

Trombosit yang teraktifasi akan berubah bentuk menjadi bulat

dan menggelembung, membentuk psodopodia, dan menampilkan

glikoprotein pada permukaan membran trombosit sebagai reseptor.

Perlekatan trombosit dengan serat kolagen melalui Von Willebrand

factor (VWF). Perlekatan tersebut akan merangsang pelepasan

Platelet Factor 3 (PF3=Clot accelerating factor) (Smith et al., 2013).

Bila terdapat kerusakan pembuluh darah, akan menyebabkan

bertambah banyaknya zat-zat yang biasanya terdapat pada pembuluh

darah yang normal, seperti serat-serat kolagen,katekolamin, adrenalin,

noradrenalin, dan juga ADP, dimana akan menyebabkan bertambah

eratnya perlekatan trombosit. Pada kecepatan aliran darah yang cepat,

perlekatan trombosit pada jaringan kolagen melibatkan reseptor

glikoprotein (GP) yaitu GP VI dan GP Ib- VIX pada Von Willebrand

factor (vWF). Sedangkan pada aliran darah yang lambat, akan

melibatkan reseptor GP VI, Integrin α2 β1, dan GP Ib-V-IX pada vWF

(Smith et al., 2013).

Adanya kerusakan dinding pembuluh darah juga menyebabkan

pelepasan tromboplastin (Tissue factor III) dan faktor hageman

(Contact factor XII) dari jaringan yang akan menyebabkan

pembentukan trombin dari protrombin. Trombin akan memacu

agregasi trombosit dan merangsang perubahan fibrinogen menjadi

fibrin, dimana fibrin akan mempererat perlekatan trombosit dan

merangsang p-selektin sel endotel yang menambah permeabilitas sel.

Trombin mengikat trombosit melalui 2 reseptor, yaitu moderate

affinity reseptor dan high affinity receptor (GP IbV-IX dan vWF

receptor) (Smith et al., 2013).

6

Page 7: Stroke

Fibrin akan memacu adesi trombosit, hal ini terjadi karena

adanya reseptor GP Iib-IIIa (integrin α IIBβ3) pada fibrin tersebut.

Pengikatan trombosit dengan jaringan kolagen pembuluh darah

mengaktivasi trombosit untuk merangsang pelepasan Ca++, juga akan

merangsang pembentukan psodopodia dan penyebaran sel trombosit.

Saat trombosit mengalami adesi dan penyebaran, α-granul dan delta

granul yang berada di dalam trombosit akan berkumpul ditengah sel

trombosit. Bila terdapat aktivasi, alfa dan delta granul tersebut akan

berjalan menuju ke membran trombosit, danakan melepaskan zat-zat

didalamnya, seperti ADP, epinephrine, Ca++, PGDF (platelet growth

derived factor), β-TG (β thrombo globulin), PF-4 (platelet

4=antiheparin factor), 5HT (serotonin), vWF (von Willebrand factor),

dan fibrinogen, ATP, adenosine nukleotides, dan juga kalium ke

dalam plasma darah. Zat-zat tersebut akan merangsang terjadinya

agregsi trombosit lain disekitarnya. Adenosine diphosphate (ADP)

yang berkaitan dengan reseptor P2Y1 yang terdapat pada trombosit,

menyebabkan pelepasan agregasi trombosit yang irreversibel (Ropper

et al., 2014).

Asam arakhidonik dilepaskan dari fosfolipid membran sel oleh

enzim fosfolipase A-2 atau oleh bahan kimia, hormon tertentu, stimuli

mekanik, trombin, norepineprin, bradikinin, trauma fisik dan

sebagainya. Asam arakhidonat yang dilepaskan akan dimetabolisir

melalui 4 jalur, seperti bagan dibawah ini (Ropper et al., 2014):

a) Enzim cyclo-oksigenase akan dibentuk tromboksan dan

prostaglansdin lain.

b) Enzim lipooksigenase akan dibentuk hydroxy-acid (leukotriene).

c) Akan terjadi reacylation sehingga terbentuk fosfolipid.

d) Akan terjadi hydrophic binding yang akan membentuk albumin

Leukotrien mempunyai peranan penting dalam penyakit radang

dan alergi. Sedangkan peranan reacylatin dan hydrophic binding

masih belum jelas. Asam arakhidonik, oleh enzim cyclo-oxygenase,

dirubah menjadi Prostaglandin G2 (PGG2), kemudian menjadi

7

Page 8: Stroke

Prostaglandin-H2 (PGH2), yang merupakan peroksida yang tidak

stabil. PGH2 ini akan dirubah menjadi PGF2α (vasokonstriksi), PGE2

(vasodilatasi), PGD2 (antiagregasi), Prostasiklin (PGI2) di endotel

pembuluh darah dan Tromboksan A2 (TXA2) di dalam trombosit.

Perubahan ini pada keadaan normal harus dalam keadaan seimbang.

Prostasiklin (PGI2) dibentuk akibat adanya enzim prostasiklin

sintetase, dan berfungsi sebagai vasodilatasi dan anti penggumpalan

trombosit. Sedangkan Tromboksan A2 (TXA2) dibentuk akibat

adanya enzim tromboksan sintetase dan berfungsi sebagai

vasokonstriksi dan pengumpulan trombosit (Ropper et al., 2014).

Gambar 1. Kaskade iskemik serebral (Smith et al., 2013)

8

Page 9: Stroke

4) Perubahan Fisiologi Pada Aliran Darah Otak

Pengurangan aliran darah yang disebabkan oleh sumbatan akan

menyebabkan iskemia di suatu daerah otak. Terdapatnya kolateral di

sekitarnya disertai mekanisme kompensasi fokal berupa vasodilatasi,

memungkinkan terjadinya beberapa keadaan berikut ini (Guyton et al.,

2014),

1) TIA (transient ischemic attack)

Gangguan akut iskemia serebral yang gejalanya berlangsung tidak

lebih dari 24 jam. Disebabkan oleh gangguan aliran darah otak

yang bersifat sementara oleh adanya trombosis, emboli atau spasme

vaskuler. Pada sumbatan kecil, terjadi daerah iskemia yang dalam

waktu singkat dikompensasi dengan mekanisme kolateral dan

vasodilatasi lokal. Seusai serangan penderita kembali normal.

2) RIND (Reversible Ischemic Neurologic Defisit)

Gejala klinis sama dengan TIA. Bila sumbatan agak besar, daerah

iskemia lebih luas. Penurunan cerebral blood flow (CBF) regional

lebih besar, tetapi dengan mekanisme kompensasi masih mampu

memulihkan fungsi neurologik dalam waktu lebih dari 24 jam dan

berakhir atau sembuh sempurna <21 hari.

3) Stroke in evolusi

Stroke yang makin memberat dari waktu ke waktu. Jam 7 pagi

kesemutan anggota gerak kanan, jam 10 anggota gerak lemah, jam

13 afasia, jam 19 coma. Terjadi karena adanya emboli atau

trombosis yang makin membesar.

4) Completed stroke

Stroke dengan gejala klinis yang terjadi menetap. Tidak membaik

atau memberat.

Pada iskemia yang luas, tampak daerah yang tidak homogen

akibat perbedaan tingkat iskemia, yang terdiri dari 3 lapisan (area)

yang berbeda (Guyton et al., 2014):

1) Lapisan inti yang sangat iskemia (ischemic core) terlihat sangat

pucat karena CBFnya paling rendah. Tampak degenerasi neuron,

9

Page 10: Stroke

pelebaran pembuluh darah tanpa aliran darah. Kadar asam laktat di

daerah ini tinggi dengan PO2 yang rendah. Daerah ini akan

mengalami nekrosis.

2) Daerah di sekitar ischemic core yang CBF-nya juga rendah, tetapi

masih lebih tinggi daripada CBF di ischemic core. Walaupun sel-

sel neuron tidak sampai mati, fungsi sel terhenti dan menjadi

functional paralysis. Pada daerah ini PO2 rendah, PCO2 tinggi dan

asam laktat meningkat. Tentu saja terdapat kerusakan neuron dalam

berbagai tingkat, edema jaringan akibat bendungan dengan dilatasi

pembuluh darah dan jaringan berwarna pucat. Keadaan ini disebut

ischemic penumbra. Daerah ini masih mungkin diselamatkan

dengan resusitasi dan manajemen yang tepat.

3) Daerah di sekeliling penumbra tampak berwarna kemerahan dan

edema. Pembuluh darah mengalami dilatasi maksimal, PCO2 dan

PO2 tinggi, dan kolateral maksimal. Pada daerah ini CBF sangat

tinggi sehingga disebut sebagai daerah dengan perfusi berlebihan

(luxury perfusion).

Gambar 2. Skematik CBF (Guyton et al., 2014)

Konsep “penumbra iskemia” merupakan sandaran dasar pada

pengobatan stroke, karena masih terdapatnya struktur selular neuron

yang masih hidup dan reversibel apabila dilakukan pengobatan yang

cepat. Usaha pemulihan daerah penumbra dilakukan dengan reperfusi

10

Page 11: Stroke

yang harus tepat waktu supaya aliran darah kembali ke daerah iskemia

tidak terlambat. Komponen waktu ini disebut sebagai jendela

terapeutik (therapeutic window) yaitu jendela waktu reversibilitas sel-

sel neuron penumbra (Guyton et al., 2014).

Gambar 3. Skematik iskemia (Guyton et al., 2014)

b. Tromboemboli (artery to artery embolus)

Stroke terjadi akibat lepasnya plak aterotrombolik yang disebut

sebagai emboli, yaitu akan menyumbat arteri di sebelah distal dari arteri

yang mengalami proses aterosklerotik. Plak aterotrombotik yang terjadi

pada pembuluh darah ekstrakranial dapat lisis akibat mekanisme

fibrinotik pada dinding arteri dan darah, yang menyebabkan terbentuknya

emboli, yang akan menyumbat arteri yang lebih kecil, distal dari

pembuluh darah tersebut (Norrving, 2014).

Trombus dalam pembuluh darah juga dapat akibat kerusakan atau

ulserasi endotel, sehingga plak menjadi tidak stabil dan mudah lepas

membentuk emboli. Emboli dapat menyebabkan penyumbatan pada satu

atau lebih pembuluh darah. Emboli tersebut akan mengandung endapan

kolesterol, agregasi trombosit dan fibrin. Emboli akan lisis, pecah atau

tetap utuh dan menyumbat pembuluh darah sebelah distal, tergantung

pada ukuran, komposisi, konsistensi dan umur plak tersebut, dan juga

tergantung pada pola dan kecepatan aliran darah (Norrving, 2014).

11

Page 12: Stroke

Sumbatan pada pembuluh darah tersebut (terutama pembuluh darah

di otak) akan meyebabkan matinya jaringan otak, dimana kelainan ini

tergantung pada adanya pembuluh darah yang adekuat. Otak yang hanya

merupakan 2% dari berat badan total, menerima perdarahan 15% dari

cardiac output dan memerlukan 20% oksigen yang diperlukan tubuh

manusia, sebagai energi yang diperlukan untuk menjalankan kegiatan

neuronal (Norrving, 2014).

Energi yang diperlukan berasal dari metabolisme glukosa, yang

disimpan di otak dalam bentuk glukosa atau glikogen untuk persediaan

pemakaian selama 1 menit, dan memerlukan oksigen untuk metabolisme

tersebut, lebih dari 30 detik gambaran EEG akan mendatar, dalam 2

menit aktifitas jaringan otak berhenti, dalam 5 menit maka kerusakan

jaringan otak dimulai, dan lebih dari 9 menit, manusia akan meninggal

(Ropper et al., 2014).

Bila aliran darah jaringan otak berhenti maka oksigen dan glukosa

yang diperlukan untuk pembentukan ATP akan menurun, akan terjadi

penurunan Na-K ATP ase, sehingga membran potensial akan menurun.

K+ berpindah ke ruang CES sementara ion Na dan Ca berkumpul di

dalam sel. Hal ini menyebabkan permukaan sel menjadi lebih negatif

sehingga terjadi membran depolarisasi (Ropper et al., 2014).

Saat awal depolarisasi membran sel masih reversibel, tetapi bila

menetap terjadi perubahan struktural ruang menyebabkan kematian

jaringan otak. Keadaan ini terjadi segera apabila perfusi menurun

dibawah ambang batas kematian jaringan, yaitu bila aliran darah

berkurang hingga dibawah 0,10 ml/100 gr.menit. Akibat kekurangan

oksigen terjadi asidosis yang menyebabkan gangguan fungsi enzim-

enzim, karena tingginya ion H. Selanjutnya asidosis menimbulkan edema

serebral yang ditandai pembengkakan sel, terutama jaringan glia, dan

berakibat terhadap mikrosirkulasi. Oleh karena itu terjadi peningkatan

resistensi vaskuler dan kemudian penurunan dari tekanan perfusi

sehingga terjadi perluasan daerah iskemik (Ropper et al., 2014).

12

Page 13: Stroke

Peranan ion Ca pada sejumlah proses intra dan ekstra seluler pada

keadaan ini sudah makin jelas, dan hal ini menjadi dasar teori untuk

mengurangi perluasan daerah iskemi dengan mengatur masuknya ion Ca.

Komplikasi lebih lanjut dari iskemia serebral adalah edema serbral.

Kejadian ini terjadi akibat peningkatan jumlah cairan dalam jaringan otak

sebagai akibat pengaruh dari kerusakan lokal atau sistemis. Segera

setelah terjadi iskemia timbul edema serbral sitotoksik. Akibat dari

osmosis sel cairan berpindah dari ruang ekstraseluler bersama dengan

kandungan makromolekulnya. Mekanisme ini diikuti dengan pompa

Na/K dalam membran sel dimana transpor Na dan air kembali keluar ke

dalam ruang ekstra seluler (Ropper et al., 2014).

Pada keadaan iskemia, mekanisme ini terganggu dan neuron

menjadi bengkak. Edema sitotoksik adalah suatu intraseluler edema.

Apabila iskemia menetap untuk waktu yang lama, edema vasogenic

dapat memperbesar edema sitotoksik. Hal ini terjadi akibat kerusakan

dari sawar darah otak, dimana cairan plasma akan mengalir ke jaringan

otak dan ke dalam ruang ekstraseluler sepanjang serabut saraf dalam

substansia alba sehingga terjadi pengumpalan cairan. Sehingga vasogenik

edema serbral merupakan suatu edema ekstraseluler (Ropper et al.,

2014).

Pada stadium lanjut vasigenic edema serebral tampak sebagai

gambaran fingerlike pada substansia alba. Pada stadium awal edema

sitotoksik serbral ditemukan pembengkakan pada daerah disekitar arteri

yang terkena. Hal ini menarik bahwa gangguan sawar darah otak

berhubungan dengan meningkatnya resiko perdarahan sekunder setelah

rekanalisasi (disebut juga trauma reperfusi) (Ropper et al., 2014).

Edema serbral yang luas setelah terjadinya iskemia dapat berupa

space occupying lesion. Peningkatan tekanan tinggi intrakranial yang

menyebabkan hilngnya kemampuan untuk menjaga keseimbangan cairan

di dalam otak akan menyebabkan penekanan sistem ventrikel, sehingga

cairan serebrospinalis akan berkurang. Bila hal ini berlanjut,maka akan

terjadi herniasi kesegala arah, dan menyebabkan hidrosephalus

13

Page 14: Stroke

obstruktif. Akhirnya dapat menyebabkan iskemia global dan kematian

otak (Ropper et al., 2014).

c. Stroke di Sirkulasi Anterior

Sirkulasi anterior terdiri dari arteri karotis interna dan

percabanganya. Pembuluh darah tersebut dapat tersumbat oleh karena

penyakit intrinsik pembuluh darah (atherosclerosis atau dissection) dan

oklusi emboli. Sumbatan pada pembuluh darah yang penting dalam otak

dapat menimbulkan manifestasi klinis (Smith et al., 2013).

Middle Cerebral Artery (MCA)

Atherosclerosis pada proksimal MCA dapat menyebabkan emboli

di bagian distal ke bagian tengah teritori serebri atau yang disebut dengan

lowflow TIA. Formasi kolateral via pembuluh darah leptomeningeal

mencegah stenosis MCA menimbulkan gejala. Cabang kortikal MCA

menyuplai permukaan lateral hemisfer serebri sedangkan bagian frontal

dan permukaan disepanjang garis superomedial hemisfer serebri disuplai

oleh ACA. Bagian bawah temporal dan occipital disuplai oleh PCA

(Gambar 4, 5, 6 dan 7) (Smith et al., 2013; Rohkamm, 2014).

Gambar 4. Diagram hemisfer serebral pada potongan koronal

memperlihatkan teritorial dari pembuluh darah utama percabangan dari

arteri karotis interna (Smith et al., 2013)

14

Page 15: Stroke

Gambar 5. Diagram hemisfer serebral, aspek lateral, menampilkan

cabang-cabang dan distribusi arteri serebral media (MCA) dan prinsip

regio di serebral (Smith et al., 2013)

Gambar 6. Diagram hemisfer serebral, aspek medial yang

memperlihatkan percabangan dan distribusi arteri serebralis anterior

(Smith et al., 2013)

15

Page 16: Stroke

Gambar 7. Aspek inferior otak dengan percabangan dan distribusi

arteri serebralis posterior dan prinsip struktur anatomi (Smith et al.,

2013)

Segmen proksimal MCA (segmen M1) memiliki cabang penetrasi

(lenticulostriate arteries) yang menyuplai putamen, globus pallidus

bagian luar, krus posterior kapsula interna, corona radiata dan nukleus

kaudatus (Gambar 4). Pada fisura sylvii, MCA terbagi menjadi 2 divisi

yakni divisi superior dan inferior (segmen M2). Cabang dari divisi

inferior menyuplai bagian parietal inferior dan korteks temporal

sedangkan divisi superior menyuplai frontal dan korteks parietal superior

(Gambar 5) (Smith et al., 2013).

Jika MCA mengalami oklusi maka akan menyebabkan penutupan

cabang penetrasi, cabang kortikal dan kolateral distal. Manifestasi klinis

yang muncul berupa hemiplegia kontralateral, hemianesthesia,

homonymous hemianopia. Dysarthria dapat terjadi karena adanya

kelemahan wajah. Ketika hemisfer serebri yang dominan terkena maka

akan muncul global aphasia dan ketika hemisfer serebri nondominan

terkena maka akan menyebabkan afek, anosognosia, apraksia

konstruksional dan penyangkalan (Smith et al., 2013; Wilkinson et al.,

2014).

16

Page 17: Stroke

Sindrom MCA komplit muncul karena oklusi emboli. Aliran darah

kolateral kortikal dan konfigurasi arteri yang berbeda bertanggung jawab

pada pengembangan sindrom parsial. Sindrom parsial terjadi karena

oklusi emboli di bagian proksimal MCA tanpa oklusi komplit pada

cabang distal MCA. Sindrom parsial menyebabkan kelemahan lengan,

tangan atau lengan-tangan, sindrom brachial, kelemahan wajah dengan

afasia nonfluent (Broca), dan kelemahan lengan (frontal opercular

syndrome). Kombinasi gangguan sensori, kelemahan motorik dan afasia

nonfluent dapat disebabkan oleh emboli yang menyumbat bagian

proksimal divisi superior dan infark luas di frontal dan korteks parietal

(Gambar 5) (Smith et al., 2013; Wilkinson et al., 2014).

Adanya keterlibatan divisi inferior MCA yang menyuplai bagian

posterior (korteks temporal) pada hemisfer yang dominan menyebabkan

afasia fluent (Wernicke’s) tanpa kelemahan. Gejala lain yang biasa

timbul yakni jargon speech dan ketidakmampuan mengenali tulisan,

berbahasa disertai kontralateral homonymous quadrantanopia superior.

Hemineglect atau agnosia parsial tanpa kelemahan mengindikasikan

keterlibatan divisi MCA pada hemisfer nondominan (Smith et al., 2013;

Wilkinson et al., 2014).

Oklusi pada pembuluh darah lenticulostriate menyebabkan small

vessel (lacunar) stroke di dalam kapsula interna (Gambar 4). Hal tersebut

menyebabkan stroke motorik murni atau stroke sensorik-motorik

kontralateral terhadap lesi. Iskemia di genu kapsua interna menyebabkan

kelemahan primer wajah disertai kelemahan lengan dan tungkai sebagai

manifestasi adanya iskemia yang meluas ke bagian posterior kapsula.

Sindrom lakunar dapat muncul berupa clumsy hand dan dysarthria.

Infark lakukar pada globus palidus dan putamen dapat menimbulkan

gejala parkinsonism dan hemiballismus (Smith et al., 2013).

Anterior Cerebral Artery (ACA)

Anterior cerebral artery (ACA) terdiri dari 2 segmen yakni

precommunal (A1) sikulus willisi yang menghubungkan arteri karotis

interna dengan arteri komunikans anterior dan postcommunal (A2) yang

17

Page 18: Stroke

menghubungkan segmen distal terhadap arteri komunikans anterior (4, 6

dan 8). Segmen A1 memiliki beberapa cabang penetrasi yang menyuplai

krus anterior kapsula interna, anterior perforate substance, amigdala,

hipotalamus anterior dan bagian inferior caput nukleus kaudatus (Gambar

4) (Smith et al., 2013).

Gambar 8. Diagram dan CT angiogram pada potongan koronal

menggambarkan arteri penetrasi. Pada sirkulasi anterior, arteri penetrasi

kecil disebut lenticulostriates berasal dari bagian proksimal dan MCA

serta struktur subkortikal (upper panels). Pada sirkulasi posterior, arteri

penetrasi kecil berasal dari arteri vertebralis dan arteri basilaris yang

menyuplai batang otak (lower panels) (Smith et al., 2013)

Oklusi pada proksimal ACA biasanya masih tertoleransi dengan

adanya aliran kolateral dari arteri komunikans anterior dan kolateral

MCA serta PCA. Oklusi di segmen tunggal A2 akan menimbulkan gejala

kontralateral (Gambar 6). Sedangkan bila mengenai kedua segmen A2

dari cabang tunggal anterior serebri (atresia kontralateral segmen A1)

18

Page 19: Stroke

akan menimbulkan oklusi pada kedua hemisfer serebri yang

bermanifestasi sebagai Profound abulia (keterlambatan verbal dan respon

motorik) dan tanda bilateral piramidal dengan paraparesis atau

quadriparesis serta inkontinensia urin (Smith et al., 2013).

Anterior Choroidal Artery

Anterior choroidal artery keluar dari arteri karotis interna dan

menyuplai krus posterior kapsula interna serta white matter

posterolateral yang meninggalkan beberapa serat geniculocalcarine

(Gambar 7) (Smith et al., 2013).

Sindrom komplit dari oklusi anterior choroidal artery

menimbulkan hemiplegia kontralateral, hemianesthesia (hypesthesia) dan

homonymous hemianopia. Akan tetapi teritori tersebut masih disuplai

oleh pembuluh darah penetrasi proksimal MCA dan arteri komunikans

posterior serta posterior choroidal arteries maka hanya menimbulkan

defisit yang minimal dan akan kembali pulih secara berkala. Stroke

choroidal anterior biasanya menimbulkan thrombosis in situ dan oklusi

iatrogenik selama bedah pengekleman aneurisma yang berasal dari arteri

karotis interna (Smith et al., 2013; Wilkinson et al., 2014).

Internal Carotid Artery

Manifestasi klinis oklusi arteri karotetis interna bergantung pada

penyebab iskemik. Bagian korteks yang disuplai oleh MCA dapat

menerima dampak yang paling besar. Dengan adanya sikulus willisi,

oklusi masih dapat dikendalikan. Jika trombus atau emboli mengenai

arteri karotis interna ke MCA, gejala akan timbul pada bagian proksimal

MCA yang tersumbat. Infark masif dapat mengenai deep white matter

dan permukaan korteks. Ketika oklusi mengenai ACA dan MCA di

bagian atas arteri karotis interna akan menimbulkan abulia atau stupor

disertai dengan hemiplegia, hemianesthesia, dan afasia atau anosognosia.

Ketika PCA yang keluar dari arteri karotis interna akan membentuk

konfigurasi yang disebut dengan fetal posterior cerebral artery dan dapat

mengalami oklusi sehingga menimbulkan gejala yang meluas ke teritori

perifer (Gambar 6 dan 7) (Smith et al., 2013).

19

Page 20: Stroke

Arteri karotis interna menyuplai otak ipsilateral bersamaan dengan

nervus optikus via arteri ophtalmika ke retina. Pada 25% gejala pada

oklusi arteri karotis interna akan menimbulkan recurrent transient

monocular blindness (amaurosis fugax). Pasien mengeluh melihat

bayangan horisontal, lantai tampak bergelombang dan mata kabur. Pada

kebanyakan kasus gejala tersebut berlangsung hanya beberapa menit

(Smith et al., 2013).

d. Stroke di Sirkulasi Posterior

Sirkulasi posterior terdiri dari sepasang arteri vertebralis, arteri

basilaris dan sepasang arteri serebral posterior. Arteri vertebralis

bergabung dengan arteri basilaris di pontomedullary junction. Arteri

basilaris membelah menjadi 2 arteri serebralis posterior di fossa

interpedunkular (Gambar 6, 7 dan 8). Arteri utama terbagi menjadi

cabang-cabang sirkumferensial panjang dan pendek serta cabang

penetrasi untuk menyuplai cerebellum, medulla, pons, midbrain,

subthalamus, thalamus, hippocampus, temporal medial dan lobus

occipital. Oklusi pada masing-masing pembuluh darah menyebabkan

beberapa sindrom atau gejala (Smith et al., 2013).

Posterior Cerebral Artery

Sebanyak 75% kasus berasal dari PCA (bifurkasio arteri basilaris),

20% berasal dari ipsilateral arteri karotis interna via arteri komunikans

posterior dan 5% berasal dari arteri karotis interna ipsilateral (Gambar 6

dan 7). Sindrom PCA berasal dari formasi atheroma atau emboli yang

berada di bagian atas arteri basilaris. Penyakit di sirkulasi posterior dapat

disebabkan diseksi arteri vertebralis dan displasia fibromuskular. Dua

gejala yang biasa muncul pada oklusi PCA yakni (Smith et al., 2013),

1) P1 syndrome: tanda di midbrain, subthalamic, dan thalamic, yang

disebabkan oleh oklusi di segmen P1 dari PCA proksimal atau cabang

penetrasinya (thalamogeniculate, Percheron dan posterior choroidal

arteries)

20

Page 21: Stroke

2) P2 syndrome: tanda di temporal kortical dan lobus occipital, yang

disebabkan oleh oklusi di segmen P2 ke pertemuan antara PCA distal

dan arteri komunikans posterior.

P1 Syndromes

Infark biasa mengenai ipsilateral subthalamus, medial thalamus,

ipsilateral pedunkel serebral dan midbrain (Gambar 7 dan 9).

Menyebabkan munculnya kelumpuhan nervus III dengan ataksia

kontralateral (Claude’s syndrome) atau hemiplegi kontralateral (Weber’s

syndrome). Ataksia mengindikasi adanya keterlibatan red nucleus atau

traktus dentatorubrothalamik, sedangkan hemiplegi terlokalisir di

pedukel serebral (Gambar 9). Jika nukleus subthalamik terlibat maka

akan muncul hemiballismus kontralateral. Oklusi arteri Percheron

menyebabkan paresis menatap ke atas dan drowsiness serta abulia (Smith

et al., 2013).

Gambar 9. Potongan Axial midbrain (Smith et al., 2013)

Infark ekstensif di midbrain dan subthalamus disertai oklusi

bilateral PCA proksimal menyebabkan koma, pupil unreaktif, tanda

piramidal bilateral dan rigiditas. Oklusi pada cabang penetrasi thalamus

dan arteri thalamogeniculate menyebabkan pendesakan thalamus dan

sindrom lakunar halamocapsular. Sindrom thalamic Déjérine-Roussy

kehilangan hemisensori kontralateral yang disertai sensari nyeri terbakar

21

Page 22: Stroke

pada area yang terkait. Gejala tersebut dapat persisten dan tidak berespon

terhadap pemberian analgesik. Pemberian antikonvulsan (carbamazepine

atau gabapentin) atau antidepresan trisiklik dapat membantu mengurangi

gejala (Smith et al., 2013).

P2 Syndromes

Oklusi di PCA distal dapat disebabkan oleh infark pada temporal

medial dan lobus occipital (Gambar 6 dan 7). Manifestasi yang biasa

muncul yakni homonymous hemianopia kontralateral disertai

penghematan makula. Pada kasus tersebut, hanya lapang pandang

kuadran atas yang terlibat. Jika area asosiasi visual terbelah dan hanya

korteks kalkarina yang terlibat maka pasien akan mengalami defek

visual. Lobus temporal medial dan hipokampus yang terlibat akan

menyebabkan gangguan memori, terlebih jika mengenai hemisfer

dominan. defek tersebut biasanya sembuh karena memori memiliki

bilateral representasi. Jika hemisfer dominan terkena dan infark meluas

ke splenium korpus kalosum maka pasien akan mengalami aleksia tanpa

agrafia. Gejala agnosia visual untuk wajah, objek, simbol matematika

dan warna serta anomia dengan parafasik eror (amnestic aphasia) muncul

pada keadaan tersebut tanpa keterlibatan kalosum. Oklusi pada arteri

serebralis posterior dapat menyebabkan peduncular hallucinosis

(halusinasi visual pemandangan berwarna terang dan objek) (Smith et al.,

2013).

Infark bilateral di PCA distal menyebabkan kebutaan kortikal

(kebutaan dengan reaksi cahaya pupil normal). Pasien biasanya

menyangkal adanya kebutaan dan tidak mewaspadainya (Anton’s

syndrome). Pasien mengalami penyempitan lapang pandang dan

pandangan fluktuatif tergambar pada porsi normal. Pandangan perifer

menghilang dan pandangan sentral menyebar menyebabkan pandangan

“gun-barrel”. Lesi di area asosiasi visual bilateral menyebabkan Balint’s

syndrome, suatu penyakit keterbatasan melihat seluruh objek pada waktu

yang bersamaan dan biasanya disebabkan oleh infark sekunder

“watershed” diantara PCA distal dan teritorial MCA (berhubungan

22

Page 23: Stroke

dengan cardiac arrest). Pasien mengkarakteristikan gambar persisten

beberapa menit kemudian beralih ke objek gambar yang lain (palinopsia)

atau keterbatasan mensintesis satu gambar penuh (asimultanagnosia).

Oklus emboli pada bagian atas arteri basilaris dapat menyebabkan gejala

teritorial sentral dan perifer. Secarat mendadak muncul ptosis, asimetris

pupil atau berkurangnya reaksi cahaya dan somnolen (Smith et al., 2013;

Wilkinson et al., 2014).

Arteri vertebralis dan arteri posterior inferior serebelar

Arteri vertebralis memiliki 4 segmen yang keluar dari arteri

inominata di sebelah kanan arteri subklavia. Segmen 1 (V1) melintang

foramen vertebralis kelima atau keenam. Segmen 2 (V2) melintang dari

foramen vertebralis C6 sampai C2. Segmen 3 (V3) keluar dari foramen,

melintang dan melingkari lengkung pada atlas untuk menembus

duramater pada foramen magnum. Segmen 4 (V4) berjalan ke atas untuk

bergabung dengan arteri basilaris, hanya segmen keempat yang memiliki

cabang yang menyuplai batang otak dan serebelum (Smith et al., 2013).

Arteri serebelaris posterior inferior (PICA) pada segmen proksimal

menyuplai batang otak dan medulla lateral serta cabang distalnya

menyuplai permukaan inferior serebelum. Lesi atherothrombotik dapat

berdileksi di segmen V1 and V4 dari arteri vertebralis. Segmen pertama

menjadi bermasalah jika terdapat emboli di sirkulasi posterior. Aliran

kolateral arteri vertebralis kontralateral pada servikal, tiroservikal atau

arteri occipital dapat mencegah kejadian low-flow TIA atau stroke.

Ketika salah satu arteri vertebralis mengalami atretic dan terdapat lesi

atherothrombotik pada sirkulasi kolateral maka akan menyebabkan

insufisiensi aliran darah di arteri basilaris (Gambar 7 dan 8). Hal tersebut

akan menimbulkan low-flow TIA dengan gejala sinkop, vertigo dan

hemiplegia alternans (Smith et al., 2013).

Penyakit di bagian segmen keempat distal mempromosikan

terbentuknya trombus yang bermanifestasi sebagai emboli atau trombosis

arteri basilaris. Stenosis proksimal PICA dapat berdampak pada medulla

lateral dan permukaan posterior inferior serebelum. Jika arteri subklavia

23

Page 24: Stroke

tersumbat dibagian asal arteri vertebralis maka ada pembalikan arah

aliran darah di arteri vertebralis ipsilateral. Kegiatan lengan ipsilateral

akan meningkat tergantung dengan aliran vertebralis dan menyebabkan

TIA sirkulasi posterior atau “subclavian steal.”

Oklusi emboli atau trombosis pada segmen V4 menyebabkan

iskemia pada medulla lateral. Hal tersebut akan menimbulkan sindrom

medulla lateral yakni vertigo, baal pada wajah ipsilateral dan ektremitas

kontralateral, diplopia, hoarseness, disartria, disfagia dan Horner’s

syndrome ipsilateral yang biasa disebut lateral medullary (Wallenberg’s)

syndrome (Gambar 10) (Smith et al., 2013).

Gambar 10. Potongan Axial level medulla (Smith et al., 2013)

Oklusi areteri vertebralis ipsilateral paling banyak disebabkan oleh

oklusi PICA. Oklusi pada cabang penetrasi medullari menyebabkan

sindrom parsial. Pada dasarnya oklusi arteri vertebralis tidak

menyebabkan hemiparesis, tetapi dapat menimbulkan quadriparesis jika

ada oklusi pada arteri spinalis anterior. Jika lemniskus medial dan nervus

hipoglosus terlibat maka akan timbul kehilangan sensasi posisi

kontralateral dan kelemahan lidah ipsilateral. Infark serebelar dengan

edema dapat menyebabkan henti nafas mendadak disertai peningkatan

24

Page 25: Stroke

tekanan intrakranial pada fossa posterior. Sebelumnya pasien akan

mengalami drowsiness, tanda Babinski, disartria dan kelemahan bifasial.

Gejala lain yang timbul terkait dengan peningkatan tekanan intrakranial

yakni tidak bisa berdiri tegak, nyeri kepala, dizziness, mual dan muntah.

Hal tersebut dapat dikurangi dengan melakukan operasi dekompresi

(Smith et al., 2013; Wilkinson et al., 2014).

Arteri Basilaris

Cabang-cabang arteri basilaris menyuplai dasar pons dan

serebelum superior yang terbagi menjadi 3 kelompok (Smith et al.,

2013),

1) Paramedian, 7–10 in number, menyuplai pons.

2) Short circumferential, 5–7 in number, menyuplai pons dan pedunkel

serebelum superior.

3) Bilateral long circumferential (serebelum superior dan arteri serebelar

anterior inferior) yang mengelilingi pons untuk menyuplai hemisfer

serebelum.

Lesi atheromatous bisa berada di trunkus basilaris dan segmen

vertebralis distal. Lesi tersebut menyumbat basilaris proksimal dan salah

satu atau kedua arteri vertebralis. Gejala yang timbul bergantung pada

kemampuan aliran kolateral arteri komunikans posterior. Meskipun

oklusi atherothrombosis merupakan penyebab utama oklusi arteri

basilaris, akan tetapi emboli dari jantung, vertebralis proksimal atau

segmen basilaris tetap menjadi penyebab sindrom “top of the basilar”.

Pada batang otak terdapat beberapa struktur, adanya iskemia dapat

melibatkan gangguan pada traktus kostikospinal, kortikobulbar, sensori

ascenden dan nukleus nervus kranialis (Smith et al., 2013).

2. Stroke hemoragik

a. Perdarahan intra serebral

Kebanyakan kasus PIS terjadi pada pasien dengan hipertensi

kronik. Keadaan ini menyebabkan perubahan arteriosklerotik pembuluh

darah kecil, terutama pada cabang-cabang arteri serebri media, yang

mensuplai ke dalam basal ganglia dan kapsula interna. Pembuluh-

25

Page 26: Stroke

pembuluh darah ini menjadi lemah, sehingga terjadi robekan dan

reduplikasi pada lamina interna, hialinisasi lapisan media dan akhirnya

terbentuk aneurisma kecil yang dikenal dengan aneurisma Charcot-

Bouchard. Hal yang sama dapat terjadi pembuluh darah yang mensuplai

pons dan serebelum. Rupturnya satu dari pembuluh darah yang lemah

menyebabkan perdarahan ke dalam substansi otak (Norrving, 2014) .

Pada pasien dengan tekanan darah normal dan pasien usia tua, PIS

dapat disebabkan adanya cerebral amyloid angiopathy (CAA). Keadaan

ini disebabkan adanya akumulasi protein β-amyloid didalam dinding

arteri leptomeningen dan kortikal yang berukuran kecil dan sedang.

Penumpukan protein β-amyloid ini menggantikan kolagen dan elemen-

elemen kontraktil, menyebabkan arteri menjadi rapuh dan lemah, yang

memudahkan terjadinya resiko ruptur spontan. Berkurangnya elemen-

elemen kontraktil disertai vasokonstriksi dapat menimbulkan perdarahan

masif, dan dapat meluas ke dalam ventrikel atau ruang subdural.

Selanjutnya, berkurangnya kontraktilitas menimbulkan kecenderungan

perdarahan di kemudian hari. Hal ini memiliki hubungan yang signifikan

antara apolipoprotein E4 dengan perdarahan serebral yang berhubungan

dengan amyloid angiopathy (Rohkamm, 2014).

Gejala yang timbul berupa nyeri kepala mendadak, penurunan

kesadaran, mual, muntah dan tanda defisit neurologi. Perdarahan

putaminal menyebabkan hemiparesis/hemiplegia kontralateral dan defisit

hemisensori, defiasi pandangan mendatar, homonimous hemianopsia

serta afasia (sisi dominan) atau hemineglek (sisi nondominan).

Perdarahan Thalamic menyebabkan manifestasi yang sama dan

kelemahan pandangan vertikal, miotik, unreaktif pupil dan paresis

konvergen. Perdarahan kaudatus menyebabkan kebingungan, disorientasi

dan hemiparesis kontralateral. Perdarahan di ganglia basalis dan kapsula

interna menyebabkan koma, hemiplegi kontralateral, homonimous

hemianopsia dan afasia (sisi dominan) (Wilkinson et al., 2014).

Perdarahan lobar biasa berasal dari gray–white matter junction dan

meluas ke bagian white matter menyebabkan berbagai manifestasi klinis

26

Page 27: Stroke

bergantung lobus. Lobus frontalis : nyeri kepala bagian frontal, abulia,

hemiparesis kontralateral (lengan lebih parah daripada tungkai). Lobus

temporal : nyeri disekitar telinga, afasia (sisi dominan), kebingungan,

quadrantanopsia atas. Lobus parietal : nyeri kepala temporal, defisit

sensori kontralateral, afasia, quadrantanopsia bawah. lobus oksipital :

nyeri periorbital ipsilateral dan hemianopsia (Rohkamm, 2014).

Perdarahan serebelum biasa mengenai satu hemisfer. Gejala yang

timbul yakni mual, muntah, nyeri kepala oksipital berat, dizzianess dan

ataksia. Perdarahan batang otak meliputi perdarahan pontin merupakan

perdarahan utama yang dapat menyebabkan koma, quadriplegia, miosis

bilateral (pupil pinpoint), “ocular bobbing,” dan kelemahan pandangan

mendatar. Dapat terjadi Locked-in syndrome (Wilkinson et al., 2014;

Rohkamm, 2014).

Gambar 11. Perdarahan intrakranial (Rohkamm, 2014)

Suatu malformasi angiomatous (arteriovenous malformation

(AVM)) pada otak dapat ruptur dan menimbulkan perdarahan

intraserebral tipe lobular. Gangguan aliran venous karena stenosis atau

27

Page 28: Stroke

oklusi dari aliran vena akan meningkatkan terjadinya perdarahan dari

suatu AVM. Manifestasi klinis yang muncul yakni nyeri kepala, kejang

dan defisit neurologi ( afasia, hemiparesis, hemianopsia) (Wilkinson et

al., 2014; Rohkamm, 2014).

b. Perdarahan ekstra serebral (sub-arakhnoid)

Perdarahan subarachnoid biasa disebabkan oleh aneurisma berry

pada salah satu arteri cerebral disekitar sirkulus willisi. Sebanyak 85%

PSA disebabkan rupturnya aneurisma saccular. Aneurisma saccular

bukan merupakan lesi kongenital tetapi progresif dan berlokasi pada

dilatasi dinding arteri. Arteri yang terkena yakni cabang arteri karotis

interna, arteri komunikans anterior dan MCA proksimal (Norrving,

2014).

Faktor risiko utama PSA yakni merokok. Rokok menghasilkan

bahan yang menginduksi defisit alpha-1 antitrypsin, yang berfungsi

sebagai inhibitor elastisitas sehingga meningkatkan degradasi serat elastis

pada dinding arterial dan mempermudah ruptur arterial. Gejala yang

timbul berupa nyeri kepala hebat disertai mual, muntah, diaforesis dan

penurunan kesadaran. Gejala lain yang timbul yakni leher tegang dan

nyeri saat fleksi leher, fotofobia dan nyeri tengkuk (Smith et al., 2013).

Gambar 12. Perdarahan subarachnoid (Rohkamm, 2014)

28

Page 29: Stroke

III. KESIMPULAN

29

Page 30: Stroke

DAFTAR PUSTAKA

Depkes RI. 2011. 8 Dari 1000 Orang Indonesia Terkena Stroke. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia

Guyton, AC., Hall, JE. 2014. Aliran Darah Serebral, Cairan Serebrospinal, dan Metabolisme Otak. Dalam: Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi ke-12. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.

Norrving, Bo. 2014. Stroke and Cerebrovasular Disease. Oxford university press, Great Clarendon Street, Oxford, OX2 6DP, United Kingdom

Rohkamm, Reinhard M.D. 2014. Color Atlas of Neurology, ed 2. Thieme Stuttgart. New York

Ropper, Allan H., Robert H. Brown, D.Phil. 2014. Adams and Victors Principles of Neurology, 10th Edition. McGraw-Hill Medical Publishing Division

Smith, Wade S., Joey D. English., S. Claiborne Johnston. 2013. Harrisons Neurology In Clinical Medicine : Cerebrovascular Diseases , 3rd Ed. Mc graw-Hill Education United States

WHO. 2002. Reducing risks, promoting healthy life. World Health Organization.

Wilkinson, Iain., Graham Lennox. 2014. Essential Neurology, 10th edition. Blackwell Publishing

Yayasan stroke Indonesia. 2012. Stroke di Indonesia tambah besar. Available at http://www.gemari.or.id/file/edisi94/gemari9433.pdf+yayasan+stroke+indonesia+stroke+adalah&hl=id&gl=id&pid=b

FOURTH EDI

30