Upload
dessriya
View
9
Download
2
Embed Size (px)
DESCRIPTION
cover presus saraf
Citation preview
I. PENDAHULUAN
Penyakit serebrovaskuler merupakan penyakit yang paling umum meliputi
stroke iskemik, stroke hemoragik dan serebrovaskuler anomali seperti aneurisma
intrakranial serta arteriovenous malformations (AVM). Penyakit serebrovaskuler
menyebabkan sekitar 200.000 kematian per tahun di Amerika Serikat dan paling
banyak menyebabkan kecacatan. Insidensi penyakit serebrovaskuler di Amerika
Serikat meningkat bersamaan dengan umur. Angka kejadian stroke meningkat
pada populasi lansia dan kematian akibat stroke diperkirakan meningkat dua kali
lipat pada tahun 2030 (Smith et al., 2013).
Stroke merupakan salah satu penyakit utama yang menyebabkan kematian
terbanyak di dunia dan penyebab utama ketiga kematian di Amerika Serikat,
dengan jumlah kematian 90.000 wanita dan 60.000 pria setiap tahun. Di
Indonesia, 8 dari 1000 orang menderita stroke. Stroke dibagi menjadi dua, yaitu
stroke hemoragik dan stroke non hemoragik (Depkes RI, 2011).
Kasus stroke di seluruh dunia diperkirakan mencapai 50 juta jiwa, dan 9 juta
di antaranya menderita kecacatan berat. Yang lebih memprihatinkan lagi 10%
diantaranya mengalami kematian. Tingginya angka kejadian stroke disebabkan
oleh perubahan tingkah laku dan pola hidup masyarakat (Yayasan Stroke
Indonesia, 2012).
Mortalitas stroke mengalami penurunan pada berberapa dekade. Mortalitas
stroke mengalami penurunan sejak tahun 1950, tetapi penurunan tersebut masih
terlalu lambat. Banyak faktor yang meningkatkan kejadian stroke salah satunya
yakni usia. Sebanyak 75% stoke mengenai kelompok usia lebih dari 65 tahun.
faktor risiko stroke terbagi menjadi 2 kategori yakni non-modifiable : usia, jenis
kelamin dan etnis. Modifiable : hipertensi, hiperkolesterol, merokok, kurang
aktivitas fisik, konsumsi alkohol dan atrial fibrilasi (Smith et al., 2013).
1
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI
Stroke adalah suatu tanda klinis yang ditandai defisit neurologi fokal atau
global yang berlangsung mendadak selama 24 jam atau lebih dari 24 jam yang
disebabkan oleh gangguan vaskuler bukan sebab lain (WHO, 2002).
B. KLASIFIKASI
Berdasarkan kelainan patologis, stroke dapat dibagi menjadi (WHO, 2002),
1. Stroke non-hemoragik
a. Stroke trombotik
Pembagian stroke trombotik yakni,
1) TIA (transient ischemic attack)
2) RIND (Reversible Ischemic Neurologic Defisit)
3) Stroke in evolusi
4) Completed stroke
b. Tromboemboli (artery to artery embolus)
2. Stroke hemoragik
a. Perdarahan intra serebral
b. Perdarahan ekstra serebral (sub-arakhnoid)
C. PATOFISIOLOGI
1. Stroke non-hemoragik
a. Stroke trombotik
Stroke trombotik atau aterotrombotik in situ, terjadi akibat adanya plak
yang terbentuk akibat proses aterosklerotik pada dinding pembuluh darah
intrakranial, dimana plak tersebut membesar yang dapat disertai dengan
adanya trombus yang melapisi pembuluh darah arteri tersebut. Apabila
proses tersebut terus berlangsung maka akan terjadi penyumbatan
pembuluh darah dan penghentian aliran darah di sebelah distal (Ropper et
al., 2014).
2
Proses Aterotrombotik
1) Distribusi Pembentukan Ateroma
Ateroma sering ditemukan pada orang tua, akan tetapi proses
pembentukannya telah terjadi sejak masa kanak-kanak hingga dewasa
muda. Proses tersebut terus berlangsung tanpa menimbulkan gejala
selama 20-30 tahun. Ateroma biasanya terjadi pada arteri yang
berukuran besar (arkus aorta) dan arteri yang berlekuk-lekuk (sifon
karotis), dan arteri yang konfluen (arteri basilaris). Sedangkan pada
tempat yang jarang terjadi pembentukan ateroma yaitu pada ujung
distal arteri karotis interna hingga karotikus dan pada arteri serebri
anterior. Sehingga lepasnya ateroma tersebut lebih sering
menyebabkan penyumbatan pada arteri serebri media (Ropper et al.,
2014).
Adanya distribusi khusus terjadinya ateroma diatas sebenarnya
disebabkan karena adanya haeomodynamics shear stress dan trauma
endotel pembuluh darah pada daerah tersebut, yaitu pada tempat
dimana terdapat perbedaan aliran darah, stagnasi darah dan turbulensi.
Proses pembentukan ateroma dapat terjadi hanya pada satu sisi
pembuluh darah saja, hal ini disebabkan karena adanya perbedaan
geometri anatomi pembuluh darah secara individual. Biasanya disertai
oleh adanya proses aterosklerotik yang ditemukan di tempat lain, yaitu
dengan adanya angina atau Infark miokardium, atau claudicasio
(Norrving, 2014).
Proses pembentukan ateroma tersebut yang terjadi di berbagai
arteri, di otak, aorta, atau pembuluh darah lain mempunyai proses
yang sama. Adanya faktor genetika juga berpengaruh pada proses
tersebut, yang diperberat dengan faktor lain seperti hipertensi. Hal ini
menjelaskan mengapa pada ras kulit hitam dan kulit berwarna lebih
sering terbentuk ateroma pada arterioklerotik intrakranial
dibandingkan pada arteri ekstrakranial (Norrving, 2014).
3
2) Proses Pembentukan Ateroma
Pembentukan ateroma sebenarnya telah dimulai dengan
pembentukan Fatty streak sejak masa kanak-kanak. Proses tersebut
dimulai dengan adanya kerusakan jaringan. Pada hipotesa Response to
Injury Hypothesis, penyebab kerusakan pada endotel, baik perubahan
struktural ataupun perubahan fungsional, akibat adanya faktor-faktor
seperti hiperkholesterolemia kronis, adanya perubahan fungsional
shear stress aliran darah pada endotel pembuluh darah, ataupun
adanya disfungsi akibat toksin atau zat-zat lain (Norrving, 2014).
Kerusakan endotel tersebut menyebabkan perubahan
permeabilitas endotel, perubahan sel-sel endotel atau perubahan
hubungan antara sel endotel dan jaringan ikat di bawahnya, sehingga
daya aliran darah di dalamnya dapat menyebabkan pelepasan sel
endotel kemudian terjadi hubungan langsung antara komponen darah
dan dinding arteri (Norrving, 2014).
Kerusakan endotel akan menyebabkan pelepasan faktor
pertumbuhan yang akan merangsang masuknya monosit ke lapisan
intima pembuluh darah. Lipid akan masuk kedalam pembuluh darah
melalui trasnport aktif dan pasif. Monosit pada dinding pembuluh
darah akan berubah menjadi mikrofag akan memfagosit kholesterol
LDL, sehingga akan terbentuk foam sel. Oleh karena itu, gambaran
mikroskopis dari fatty streak akan berupa kumpulan sel-sel yang berisi
lemak sehingga tampak seperti busa yang disebut sebagai foam cells
(Ropper et al., 2014)..
Beberapa tahun kemudian proses tersebut berlanjut dengan
terjadinya sel-sel otot polos arteri dari tunika adventisia ke tunika
intima akibat adanya pelepasan platelet derived grawth factor (PDGF)
oleh makrofag, sel endotel, dan trombosit. Selain itu, sel-sel otot polos
tersebut yang kontraktif akan berproliferasi dan akan berubah menajdi
lebih sintesis (fibrosis). Makrofag, sel endotel, sel otot polos maupun
limfosit T (terdapat pada stadium awal plak aterosklerosis) akan
4
mengeluarkan sitokines yang memperkuat interaksi antara sel-sel
tersebut (Norrving, 2014).
Adanya penimbunan kolesterol intra dan eksta seluler disertai
adanya fibrosis maka akan terbentuk plak fibrolipid. Pada inti dari
plak tersebut, sel-sel lemak dan lainnya akan menjadi nekrosis dan
terjadi kalsifikasi. Plak ini akan menginvasi dan menyebar ke dalam
tunika media dinding pembuluh darah, sehingga pembuluh darah akan
menebal dan terjadi penyempitan lumen (Smith et al., 2013).
Degenerasi dan perdarahan pada pembuluh darah yang
mengalami sklerosis (akibat pecahnya pembuluh darah vasa vasorum)
akan menyebabkan kerusakan endotel pembuluh darah. Hal ini akan
terjadi perangsangan adhesi, aktifasi dan agregasi trombosit, yang
mengawali koagulasi darah dan trombosis. Trombosit akan terangsang
dan menempel pada endotel yang rusak, sehingga terbentuk plak
aterotrombotik (Ropper et al., 2014)..
3) Trombosis
Pembentukan trombus arteri dipengaruhi oleh 3 bagian yang
penting, yaitu adanya keadan subendotel vaskuler, trombin dan
metabolisme asam arakhidonat. Trombosis diawali dengan adanya
kerusakan endotel, sehingga tampak jaringan kolagen dibawahnya.
Sherry mengatakan pula bahwa proses trombosis terjadi akibat adanya
interaksi antara trombosit dan dinding pembuluh darah, akibat adanya
kerusakan endotel pembuluh darah. Endotel pembuluh darah yang
normal bersifat antitrombosis, hal ini disebabkan karena adanya
glikoptotein dan proteoglikan yang melapisi sel endotel dan adanya
prostasiklin (PGI2) pada endotel yang bersifat vasodilator dan inhibisi
paltelet agregasi (Ropper et al., 2014).
Pada endotel yang mengalami kerusakan, darah akan
berhubungan dengan serat-serat kolagen pembuluh darah, kemudian
akan merangsang trombosit dan agregasi trombosit dan merangsang
trombosit mengeluarkan zat-zat yang terdapat di dalam granula-
granula di dalam trombosit dan zat-zat yang berasal dari makrofag
5
yang mengandung lemak. Akibat adanya reseptor pada trombosit
menyebabkan perlekatan trombosit dengan jaringan kolagen
pembuluh darah. Perlekatan tersebut ditentukan pula oleh adanya
unsur-unsur matriks pembuluh darah dan kecapatan aliran darah
(Smith et al., 2013).
Trombosit yang teraktifasi akan berubah bentuk menjadi bulat
dan menggelembung, membentuk psodopodia, dan menampilkan
glikoprotein pada permukaan membran trombosit sebagai reseptor.
Perlekatan trombosit dengan serat kolagen melalui Von Willebrand
factor (VWF). Perlekatan tersebut akan merangsang pelepasan
Platelet Factor 3 (PF3=Clot accelerating factor) (Smith et al., 2013).
Bila terdapat kerusakan pembuluh darah, akan menyebabkan
bertambah banyaknya zat-zat yang biasanya terdapat pada pembuluh
darah yang normal, seperti serat-serat kolagen,katekolamin, adrenalin,
noradrenalin, dan juga ADP, dimana akan menyebabkan bertambah
eratnya perlekatan trombosit. Pada kecepatan aliran darah yang cepat,
perlekatan trombosit pada jaringan kolagen melibatkan reseptor
glikoprotein (GP) yaitu GP VI dan GP Ib- VIX pada Von Willebrand
factor (vWF). Sedangkan pada aliran darah yang lambat, akan
melibatkan reseptor GP VI, Integrin α2 β1, dan GP Ib-V-IX pada vWF
(Smith et al., 2013).
Adanya kerusakan dinding pembuluh darah juga menyebabkan
pelepasan tromboplastin (Tissue factor III) dan faktor hageman
(Contact factor XII) dari jaringan yang akan menyebabkan
pembentukan trombin dari protrombin. Trombin akan memacu
agregasi trombosit dan merangsang perubahan fibrinogen menjadi
fibrin, dimana fibrin akan mempererat perlekatan trombosit dan
merangsang p-selektin sel endotel yang menambah permeabilitas sel.
Trombin mengikat trombosit melalui 2 reseptor, yaitu moderate
affinity reseptor dan high affinity receptor (GP IbV-IX dan vWF
receptor) (Smith et al., 2013).
6
Fibrin akan memacu adesi trombosit, hal ini terjadi karena
adanya reseptor GP Iib-IIIa (integrin α IIBβ3) pada fibrin tersebut.
Pengikatan trombosit dengan jaringan kolagen pembuluh darah
mengaktivasi trombosit untuk merangsang pelepasan Ca++, juga akan
merangsang pembentukan psodopodia dan penyebaran sel trombosit.
Saat trombosit mengalami adesi dan penyebaran, α-granul dan delta
granul yang berada di dalam trombosit akan berkumpul ditengah sel
trombosit. Bila terdapat aktivasi, alfa dan delta granul tersebut akan
berjalan menuju ke membran trombosit, danakan melepaskan zat-zat
didalamnya, seperti ADP, epinephrine, Ca++, PGDF (platelet growth
derived factor), β-TG (β thrombo globulin), PF-4 (platelet
4=antiheparin factor), 5HT (serotonin), vWF (von Willebrand factor),
dan fibrinogen, ATP, adenosine nukleotides, dan juga kalium ke
dalam plasma darah. Zat-zat tersebut akan merangsang terjadinya
agregsi trombosit lain disekitarnya. Adenosine diphosphate (ADP)
yang berkaitan dengan reseptor P2Y1 yang terdapat pada trombosit,
menyebabkan pelepasan agregasi trombosit yang irreversibel (Ropper
et al., 2014).
Asam arakhidonik dilepaskan dari fosfolipid membran sel oleh
enzim fosfolipase A-2 atau oleh bahan kimia, hormon tertentu, stimuli
mekanik, trombin, norepineprin, bradikinin, trauma fisik dan
sebagainya. Asam arakhidonat yang dilepaskan akan dimetabolisir
melalui 4 jalur, seperti bagan dibawah ini (Ropper et al., 2014):
a) Enzim cyclo-oksigenase akan dibentuk tromboksan dan
prostaglansdin lain.
b) Enzim lipooksigenase akan dibentuk hydroxy-acid (leukotriene).
c) Akan terjadi reacylation sehingga terbentuk fosfolipid.
d) Akan terjadi hydrophic binding yang akan membentuk albumin
Leukotrien mempunyai peranan penting dalam penyakit radang
dan alergi. Sedangkan peranan reacylatin dan hydrophic binding
masih belum jelas. Asam arakhidonik, oleh enzim cyclo-oxygenase,
dirubah menjadi Prostaglandin G2 (PGG2), kemudian menjadi
7
Prostaglandin-H2 (PGH2), yang merupakan peroksida yang tidak
stabil. PGH2 ini akan dirubah menjadi PGF2α (vasokonstriksi), PGE2
(vasodilatasi), PGD2 (antiagregasi), Prostasiklin (PGI2) di endotel
pembuluh darah dan Tromboksan A2 (TXA2) di dalam trombosit.
Perubahan ini pada keadaan normal harus dalam keadaan seimbang.
Prostasiklin (PGI2) dibentuk akibat adanya enzim prostasiklin
sintetase, dan berfungsi sebagai vasodilatasi dan anti penggumpalan
trombosit. Sedangkan Tromboksan A2 (TXA2) dibentuk akibat
adanya enzim tromboksan sintetase dan berfungsi sebagai
vasokonstriksi dan pengumpulan trombosit (Ropper et al., 2014).
Gambar 1. Kaskade iskemik serebral (Smith et al., 2013)
8
4) Perubahan Fisiologi Pada Aliran Darah Otak
Pengurangan aliran darah yang disebabkan oleh sumbatan akan
menyebabkan iskemia di suatu daerah otak. Terdapatnya kolateral di
sekitarnya disertai mekanisme kompensasi fokal berupa vasodilatasi,
memungkinkan terjadinya beberapa keadaan berikut ini (Guyton et al.,
2014),
1) TIA (transient ischemic attack)
Gangguan akut iskemia serebral yang gejalanya berlangsung tidak
lebih dari 24 jam. Disebabkan oleh gangguan aliran darah otak
yang bersifat sementara oleh adanya trombosis, emboli atau spasme
vaskuler. Pada sumbatan kecil, terjadi daerah iskemia yang dalam
waktu singkat dikompensasi dengan mekanisme kolateral dan
vasodilatasi lokal. Seusai serangan penderita kembali normal.
2) RIND (Reversible Ischemic Neurologic Defisit)
Gejala klinis sama dengan TIA. Bila sumbatan agak besar, daerah
iskemia lebih luas. Penurunan cerebral blood flow (CBF) regional
lebih besar, tetapi dengan mekanisme kompensasi masih mampu
memulihkan fungsi neurologik dalam waktu lebih dari 24 jam dan
berakhir atau sembuh sempurna <21 hari.
3) Stroke in evolusi
Stroke yang makin memberat dari waktu ke waktu. Jam 7 pagi
kesemutan anggota gerak kanan, jam 10 anggota gerak lemah, jam
13 afasia, jam 19 coma. Terjadi karena adanya emboli atau
trombosis yang makin membesar.
4) Completed stroke
Stroke dengan gejala klinis yang terjadi menetap. Tidak membaik
atau memberat.
Pada iskemia yang luas, tampak daerah yang tidak homogen
akibat perbedaan tingkat iskemia, yang terdiri dari 3 lapisan (area)
yang berbeda (Guyton et al., 2014):
1) Lapisan inti yang sangat iskemia (ischemic core) terlihat sangat
pucat karena CBFnya paling rendah. Tampak degenerasi neuron,
9
pelebaran pembuluh darah tanpa aliran darah. Kadar asam laktat di
daerah ini tinggi dengan PO2 yang rendah. Daerah ini akan
mengalami nekrosis.
2) Daerah di sekitar ischemic core yang CBF-nya juga rendah, tetapi
masih lebih tinggi daripada CBF di ischemic core. Walaupun sel-
sel neuron tidak sampai mati, fungsi sel terhenti dan menjadi
functional paralysis. Pada daerah ini PO2 rendah, PCO2 tinggi dan
asam laktat meningkat. Tentu saja terdapat kerusakan neuron dalam
berbagai tingkat, edema jaringan akibat bendungan dengan dilatasi
pembuluh darah dan jaringan berwarna pucat. Keadaan ini disebut
ischemic penumbra. Daerah ini masih mungkin diselamatkan
dengan resusitasi dan manajemen yang tepat.
3) Daerah di sekeliling penumbra tampak berwarna kemerahan dan
edema. Pembuluh darah mengalami dilatasi maksimal, PCO2 dan
PO2 tinggi, dan kolateral maksimal. Pada daerah ini CBF sangat
tinggi sehingga disebut sebagai daerah dengan perfusi berlebihan
(luxury perfusion).
Gambar 2. Skematik CBF (Guyton et al., 2014)
Konsep “penumbra iskemia” merupakan sandaran dasar pada
pengobatan stroke, karena masih terdapatnya struktur selular neuron
yang masih hidup dan reversibel apabila dilakukan pengobatan yang
cepat. Usaha pemulihan daerah penumbra dilakukan dengan reperfusi
10
yang harus tepat waktu supaya aliran darah kembali ke daerah iskemia
tidak terlambat. Komponen waktu ini disebut sebagai jendela
terapeutik (therapeutic window) yaitu jendela waktu reversibilitas sel-
sel neuron penumbra (Guyton et al., 2014).
Gambar 3. Skematik iskemia (Guyton et al., 2014)
b. Tromboemboli (artery to artery embolus)
Stroke terjadi akibat lepasnya plak aterotrombolik yang disebut
sebagai emboli, yaitu akan menyumbat arteri di sebelah distal dari arteri
yang mengalami proses aterosklerotik. Plak aterotrombotik yang terjadi
pada pembuluh darah ekstrakranial dapat lisis akibat mekanisme
fibrinotik pada dinding arteri dan darah, yang menyebabkan terbentuknya
emboli, yang akan menyumbat arteri yang lebih kecil, distal dari
pembuluh darah tersebut (Norrving, 2014).
Trombus dalam pembuluh darah juga dapat akibat kerusakan atau
ulserasi endotel, sehingga plak menjadi tidak stabil dan mudah lepas
membentuk emboli. Emboli dapat menyebabkan penyumbatan pada satu
atau lebih pembuluh darah. Emboli tersebut akan mengandung endapan
kolesterol, agregasi trombosit dan fibrin. Emboli akan lisis, pecah atau
tetap utuh dan menyumbat pembuluh darah sebelah distal, tergantung
pada ukuran, komposisi, konsistensi dan umur plak tersebut, dan juga
tergantung pada pola dan kecepatan aliran darah (Norrving, 2014).
11
Sumbatan pada pembuluh darah tersebut (terutama pembuluh darah
di otak) akan meyebabkan matinya jaringan otak, dimana kelainan ini
tergantung pada adanya pembuluh darah yang adekuat. Otak yang hanya
merupakan 2% dari berat badan total, menerima perdarahan 15% dari
cardiac output dan memerlukan 20% oksigen yang diperlukan tubuh
manusia, sebagai energi yang diperlukan untuk menjalankan kegiatan
neuronal (Norrving, 2014).
Energi yang diperlukan berasal dari metabolisme glukosa, yang
disimpan di otak dalam bentuk glukosa atau glikogen untuk persediaan
pemakaian selama 1 menit, dan memerlukan oksigen untuk metabolisme
tersebut, lebih dari 30 detik gambaran EEG akan mendatar, dalam 2
menit aktifitas jaringan otak berhenti, dalam 5 menit maka kerusakan
jaringan otak dimulai, dan lebih dari 9 menit, manusia akan meninggal
(Ropper et al., 2014).
Bila aliran darah jaringan otak berhenti maka oksigen dan glukosa
yang diperlukan untuk pembentukan ATP akan menurun, akan terjadi
penurunan Na-K ATP ase, sehingga membran potensial akan menurun.
K+ berpindah ke ruang CES sementara ion Na dan Ca berkumpul di
dalam sel. Hal ini menyebabkan permukaan sel menjadi lebih negatif
sehingga terjadi membran depolarisasi (Ropper et al., 2014).
Saat awal depolarisasi membran sel masih reversibel, tetapi bila
menetap terjadi perubahan struktural ruang menyebabkan kematian
jaringan otak. Keadaan ini terjadi segera apabila perfusi menurun
dibawah ambang batas kematian jaringan, yaitu bila aliran darah
berkurang hingga dibawah 0,10 ml/100 gr.menit. Akibat kekurangan
oksigen terjadi asidosis yang menyebabkan gangguan fungsi enzim-
enzim, karena tingginya ion H. Selanjutnya asidosis menimbulkan edema
serebral yang ditandai pembengkakan sel, terutama jaringan glia, dan
berakibat terhadap mikrosirkulasi. Oleh karena itu terjadi peningkatan
resistensi vaskuler dan kemudian penurunan dari tekanan perfusi
sehingga terjadi perluasan daerah iskemik (Ropper et al., 2014).
12
Peranan ion Ca pada sejumlah proses intra dan ekstra seluler pada
keadaan ini sudah makin jelas, dan hal ini menjadi dasar teori untuk
mengurangi perluasan daerah iskemi dengan mengatur masuknya ion Ca.
Komplikasi lebih lanjut dari iskemia serebral adalah edema serbral.
Kejadian ini terjadi akibat peningkatan jumlah cairan dalam jaringan otak
sebagai akibat pengaruh dari kerusakan lokal atau sistemis. Segera
setelah terjadi iskemia timbul edema serbral sitotoksik. Akibat dari
osmosis sel cairan berpindah dari ruang ekstraseluler bersama dengan
kandungan makromolekulnya. Mekanisme ini diikuti dengan pompa
Na/K dalam membran sel dimana transpor Na dan air kembali keluar ke
dalam ruang ekstra seluler (Ropper et al., 2014).
Pada keadaan iskemia, mekanisme ini terganggu dan neuron
menjadi bengkak. Edema sitotoksik adalah suatu intraseluler edema.
Apabila iskemia menetap untuk waktu yang lama, edema vasogenic
dapat memperbesar edema sitotoksik. Hal ini terjadi akibat kerusakan
dari sawar darah otak, dimana cairan plasma akan mengalir ke jaringan
otak dan ke dalam ruang ekstraseluler sepanjang serabut saraf dalam
substansia alba sehingga terjadi pengumpalan cairan. Sehingga vasogenik
edema serbral merupakan suatu edema ekstraseluler (Ropper et al.,
2014).
Pada stadium lanjut vasigenic edema serebral tampak sebagai
gambaran fingerlike pada substansia alba. Pada stadium awal edema
sitotoksik serbral ditemukan pembengkakan pada daerah disekitar arteri
yang terkena. Hal ini menarik bahwa gangguan sawar darah otak
berhubungan dengan meningkatnya resiko perdarahan sekunder setelah
rekanalisasi (disebut juga trauma reperfusi) (Ropper et al., 2014).
Edema serbral yang luas setelah terjadinya iskemia dapat berupa
space occupying lesion. Peningkatan tekanan tinggi intrakranial yang
menyebabkan hilngnya kemampuan untuk menjaga keseimbangan cairan
di dalam otak akan menyebabkan penekanan sistem ventrikel, sehingga
cairan serebrospinalis akan berkurang. Bila hal ini berlanjut,maka akan
terjadi herniasi kesegala arah, dan menyebabkan hidrosephalus
13
obstruktif. Akhirnya dapat menyebabkan iskemia global dan kematian
otak (Ropper et al., 2014).
c. Stroke di Sirkulasi Anterior
Sirkulasi anterior terdiri dari arteri karotis interna dan
percabanganya. Pembuluh darah tersebut dapat tersumbat oleh karena
penyakit intrinsik pembuluh darah (atherosclerosis atau dissection) dan
oklusi emboli. Sumbatan pada pembuluh darah yang penting dalam otak
dapat menimbulkan manifestasi klinis (Smith et al., 2013).
Middle Cerebral Artery (MCA)
Atherosclerosis pada proksimal MCA dapat menyebabkan emboli
di bagian distal ke bagian tengah teritori serebri atau yang disebut dengan
lowflow TIA. Formasi kolateral via pembuluh darah leptomeningeal
mencegah stenosis MCA menimbulkan gejala. Cabang kortikal MCA
menyuplai permukaan lateral hemisfer serebri sedangkan bagian frontal
dan permukaan disepanjang garis superomedial hemisfer serebri disuplai
oleh ACA. Bagian bawah temporal dan occipital disuplai oleh PCA
(Gambar 4, 5, 6 dan 7) (Smith et al., 2013; Rohkamm, 2014).
Gambar 4. Diagram hemisfer serebral pada potongan koronal
memperlihatkan teritorial dari pembuluh darah utama percabangan dari
arteri karotis interna (Smith et al., 2013)
14
Gambar 5. Diagram hemisfer serebral, aspek lateral, menampilkan
cabang-cabang dan distribusi arteri serebral media (MCA) dan prinsip
regio di serebral (Smith et al., 2013)
Gambar 6. Diagram hemisfer serebral, aspek medial yang
memperlihatkan percabangan dan distribusi arteri serebralis anterior
(Smith et al., 2013)
15
Gambar 7. Aspek inferior otak dengan percabangan dan distribusi
arteri serebralis posterior dan prinsip struktur anatomi (Smith et al.,
2013)
Segmen proksimal MCA (segmen M1) memiliki cabang penetrasi
(lenticulostriate arteries) yang menyuplai putamen, globus pallidus
bagian luar, krus posterior kapsula interna, corona radiata dan nukleus
kaudatus (Gambar 4). Pada fisura sylvii, MCA terbagi menjadi 2 divisi
yakni divisi superior dan inferior (segmen M2). Cabang dari divisi
inferior menyuplai bagian parietal inferior dan korteks temporal
sedangkan divisi superior menyuplai frontal dan korteks parietal superior
(Gambar 5) (Smith et al., 2013).
Jika MCA mengalami oklusi maka akan menyebabkan penutupan
cabang penetrasi, cabang kortikal dan kolateral distal. Manifestasi klinis
yang muncul berupa hemiplegia kontralateral, hemianesthesia,
homonymous hemianopia. Dysarthria dapat terjadi karena adanya
kelemahan wajah. Ketika hemisfer serebri yang dominan terkena maka
akan muncul global aphasia dan ketika hemisfer serebri nondominan
terkena maka akan menyebabkan afek, anosognosia, apraksia
konstruksional dan penyangkalan (Smith et al., 2013; Wilkinson et al.,
2014).
16
Sindrom MCA komplit muncul karena oklusi emboli. Aliran darah
kolateral kortikal dan konfigurasi arteri yang berbeda bertanggung jawab
pada pengembangan sindrom parsial. Sindrom parsial terjadi karena
oklusi emboli di bagian proksimal MCA tanpa oklusi komplit pada
cabang distal MCA. Sindrom parsial menyebabkan kelemahan lengan,
tangan atau lengan-tangan, sindrom brachial, kelemahan wajah dengan
afasia nonfluent (Broca), dan kelemahan lengan (frontal opercular
syndrome). Kombinasi gangguan sensori, kelemahan motorik dan afasia
nonfluent dapat disebabkan oleh emboli yang menyumbat bagian
proksimal divisi superior dan infark luas di frontal dan korteks parietal
(Gambar 5) (Smith et al., 2013; Wilkinson et al., 2014).
Adanya keterlibatan divisi inferior MCA yang menyuplai bagian
posterior (korteks temporal) pada hemisfer yang dominan menyebabkan
afasia fluent (Wernicke’s) tanpa kelemahan. Gejala lain yang biasa
timbul yakni jargon speech dan ketidakmampuan mengenali tulisan,
berbahasa disertai kontralateral homonymous quadrantanopia superior.
Hemineglect atau agnosia parsial tanpa kelemahan mengindikasikan
keterlibatan divisi MCA pada hemisfer nondominan (Smith et al., 2013;
Wilkinson et al., 2014).
Oklusi pada pembuluh darah lenticulostriate menyebabkan small
vessel (lacunar) stroke di dalam kapsula interna (Gambar 4). Hal tersebut
menyebabkan stroke motorik murni atau stroke sensorik-motorik
kontralateral terhadap lesi. Iskemia di genu kapsua interna menyebabkan
kelemahan primer wajah disertai kelemahan lengan dan tungkai sebagai
manifestasi adanya iskemia yang meluas ke bagian posterior kapsula.
Sindrom lakunar dapat muncul berupa clumsy hand dan dysarthria.
Infark lakukar pada globus palidus dan putamen dapat menimbulkan
gejala parkinsonism dan hemiballismus (Smith et al., 2013).
Anterior Cerebral Artery (ACA)
Anterior cerebral artery (ACA) terdiri dari 2 segmen yakni
precommunal (A1) sikulus willisi yang menghubungkan arteri karotis
interna dengan arteri komunikans anterior dan postcommunal (A2) yang
17
menghubungkan segmen distal terhadap arteri komunikans anterior (4, 6
dan 8). Segmen A1 memiliki beberapa cabang penetrasi yang menyuplai
krus anterior kapsula interna, anterior perforate substance, amigdala,
hipotalamus anterior dan bagian inferior caput nukleus kaudatus (Gambar
4) (Smith et al., 2013).
Gambar 8. Diagram dan CT angiogram pada potongan koronal
menggambarkan arteri penetrasi. Pada sirkulasi anterior, arteri penetrasi
kecil disebut lenticulostriates berasal dari bagian proksimal dan MCA
serta struktur subkortikal (upper panels). Pada sirkulasi posterior, arteri
penetrasi kecil berasal dari arteri vertebralis dan arteri basilaris yang
menyuplai batang otak (lower panels) (Smith et al., 2013)
Oklusi pada proksimal ACA biasanya masih tertoleransi dengan
adanya aliran kolateral dari arteri komunikans anterior dan kolateral
MCA serta PCA. Oklusi di segmen tunggal A2 akan menimbulkan gejala
kontralateral (Gambar 6). Sedangkan bila mengenai kedua segmen A2
dari cabang tunggal anterior serebri (atresia kontralateral segmen A1)
18
akan menimbulkan oklusi pada kedua hemisfer serebri yang
bermanifestasi sebagai Profound abulia (keterlambatan verbal dan respon
motorik) dan tanda bilateral piramidal dengan paraparesis atau
quadriparesis serta inkontinensia urin (Smith et al., 2013).
Anterior Choroidal Artery
Anterior choroidal artery keluar dari arteri karotis interna dan
menyuplai krus posterior kapsula interna serta white matter
posterolateral yang meninggalkan beberapa serat geniculocalcarine
(Gambar 7) (Smith et al., 2013).
Sindrom komplit dari oklusi anterior choroidal artery
menimbulkan hemiplegia kontralateral, hemianesthesia (hypesthesia) dan
homonymous hemianopia. Akan tetapi teritori tersebut masih disuplai
oleh pembuluh darah penetrasi proksimal MCA dan arteri komunikans
posterior serta posterior choroidal arteries maka hanya menimbulkan
defisit yang minimal dan akan kembali pulih secara berkala. Stroke
choroidal anterior biasanya menimbulkan thrombosis in situ dan oklusi
iatrogenik selama bedah pengekleman aneurisma yang berasal dari arteri
karotis interna (Smith et al., 2013; Wilkinson et al., 2014).
Internal Carotid Artery
Manifestasi klinis oklusi arteri karotetis interna bergantung pada
penyebab iskemik. Bagian korteks yang disuplai oleh MCA dapat
menerima dampak yang paling besar. Dengan adanya sikulus willisi,
oklusi masih dapat dikendalikan. Jika trombus atau emboli mengenai
arteri karotis interna ke MCA, gejala akan timbul pada bagian proksimal
MCA yang tersumbat. Infark masif dapat mengenai deep white matter
dan permukaan korteks. Ketika oklusi mengenai ACA dan MCA di
bagian atas arteri karotis interna akan menimbulkan abulia atau stupor
disertai dengan hemiplegia, hemianesthesia, dan afasia atau anosognosia.
Ketika PCA yang keluar dari arteri karotis interna akan membentuk
konfigurasi yang disebut dengan fetal posterior cerebral artery dan dapat
mengalami oklusi sehingga menimbulkan gejala yang meluas ke teritori
perifer (Gambar 6 dan 7) (Smith et al., 2013).
19
Arteri karotis interna menyuplai otak ipsilateral bersamaan dengan
nervus optikus via arteri ophtalmika ke retina. Pada 25% gejala pada
oklusi arteri karotis interna akan menimbulkan recurrent transient
monocular blindness (amaurosis fugax). Pasien mengeluh melihat
bayangan horisontal, lantai tampak bergelombang dan mata kabur. Pada
kebanyakan kasus gejala tersebut berlangsung hanya beberapa menit
(Smith et al., 2013).
d. Stroke di Sirkulasi Posterior
Sirkulasi posterior terdiri dari sepasang arteri vertebralis, arteri
basilaris dan sepasang arteri serebral posterior. Arteri vertebralis
bergabung dengan arteri basilaris di pontomedullary junction. Arteri
basilaris membelah menjadi 2 arteri serebralis posterior di fossa
interpedunkular (Gambar 6, 7 dan 8). Arteri utama terbagi menjadi
cabang-cabang sirkumferensial panjang dan pendek serta cabang
penetrasi untuk menyuplai cerebellum, medulla, pons, midbrain,
subthalamus, thalamus, hippocampus, temporal medial dan lobus
occipital. Oklusi pada masing-masing pembuluh darah menyebabkan
beberapa sindrom atau gejala (Smith et al., 2013).
Posterior Cerebral Artery
Sebanyak 75% kasus berasal dari PCA (bifurkasio arteri basilaris),
20% berasal dari ipsilateral arteri karotis interna via arteri komunikans
posterior dan 5% berasal dari arteri karotis interna ipsilateral (Gambar 6
dan 7). Sindrom PCA berasal dari formasi atheroma atau emboli yang
berada di bagian atas arteri basilaris. Penyakit di sirkulasi posterior dapat
disebabkan diseksi arteri vertebralis dan displasia fibromuskular. Dua
gejala yang biasa muncul pada oklusi PCA yakni (Smith et al., 2013),
1) P1 syndrome: tanda di midbrain, subthalamic, dan thalamic, yang
disebabkan oleh oklusi di segmen P1 dari PCA proksimal atau cabang
penetrasinya (thalamogeniculate, Percheron dan posterior choroidal
arteries)
20
2) P2 syndrome: tanda di temporal kortical dan lobus occipital, yang
disebabkan oleh oklusi di segmen P2 ke pertemuan antara PCA distal
dan arteri komunikans posterior.
P1 Syndromes
Infark biasa mengenai ipsilateral subthalamus, medial thalamus,
ipsilateral pedunkel serebral dan midbrain (Gambar 7 dan 9).
Menyebabkan munculnya kelumpuhan nervus III dengan ataksia
kontralateral (Claude’s syndrome) atau hemiplegi kontralateral (Weber’s
syndrome). Ataksia mengindikasi adanya keterlibatan red nucleus atau
traktus dentatorubrothalamik, sedangkan hemiplegi terlokalisir di
pedukel serebral (Gambar 9). Jika nukleus subthalamik terlibat maka
akan muncul hemiballismus kontralateral. Oklusi arteri Percheron
menyebabkan paresis menatap ke atas dan drowsiness serta abulia (Smith
et al., 2013).
Gambar 9. Potongan Axial midbrain (Smith et al., 2013)
Infark ekstensif di midbrain dan subthalamus disertai oklusi
bilateral PCA proksimal menyebabkan koma, pupil unreaktif, tanda
piramidal bilateral dan rigiditas. Oklusi pada cabang penetrasi thalamus
dan arteri thalamogeniculate menyebabkan pendesakan thalamus dan
sindrom lakunar halamocapsular. Sindrom thalamic Déjérine-Roussy
kehilangan hemisensori kontralateral yang disertai sensari nyeri terbakar
21
pada area yang terkait. Gejala tersebut dapat persisten dan tidak berespon
terhadap pemberian analgesik. Pemberian antikonvulsan (carbamazepine
atau gabapentin) atau antidepresan trisiklik dapat membantu mengurangi
gejala (Smith et al., 2013).
P2 Syndromes
Oklusi di PCA distal dapat disebabkan oleh infark pada temporal
medial dan lobus occipital (Gambar 6 dan 7). Manifestasi yang biasa
muncul yakni homonymous hemianopia kontralateral disertai
penghematan makula. Pada kasus tersebut, hanya lapang pandang
kuadran atas yang terlibat. Jika area asosiasi visual terbelah dan hanya
korteks kalkarina yang terlibat maka pasien akan mengalami defek
visual. Lobus temporal medial dan hipokampus yang terlibat akan
menyebabkan gangguan memori, terlebih jika mengenai hemisfer
dominan. defek tersebut biasanya sembuh karena memori memiliki
bilateral representasi. Jika hemisfer dominan terkena dan infark meluas
ke splenium korpus kalosum maka pasien akan mengalami aleksia tanpa
agrafia. Gejala agnosia visual untuk wajah, objek, simbol matematika
dan warna serta anomia dengan parafasik eror (amnestic aphasia) muncul
pada keadaan tersebut tanpa keterlibatan kalosum. Oklusi pada arteri
serebralis posterior dapat menyebabkan peduncular hallucinosis
(halusinasi visual pemandangan berwarna terang dan objek) (Smith et al.,
2013).
Infark bilateral di PCA distal menyebabkan kebutaan kortikal
(kebutaan dengan reaksi cahaya pupil normal). Pasien biasanya
menyangkal adanya kebutaan dan tidak mewaspadainya (Anton’s
syndrome). Pasien mengalami penyempitan lapang pandang dan
pandangan fluktuatif tergambar pada porsi normal. Pandangan perifer
menghilang dan pandangan sentral menyebar menyebabkan pandangan
“gun-barrel”. Lesi di area asosiasi visual bilateral menyebabkan Balint’s
syndrome, suatu penyakit keterbatasan melihat seluruh objek pada waktu
yang bersamaan dan biasanya disebabkan oleh infark sekunder
“watershed” diantara PCA distal dan teritorial MCA (berhubungan
22
dengan cardiac arrest). Pasien mengkarakteristikan gambar persisten
beberapa menit kemudian beralih ke objek gambar yang lain (palinopsia)
atau keterbatasan mensintesis satu gambar penuh (asimultanagnosia).
Oklus emboli pada bagian atas arteri basilaris dapat menyebabkan gejala
teritorial sentral dan perifer. Secarat mendadak muncul ptosis, asimetris
pupil atau berkurangnya reaksi cahaya dan somnolen (Smith et al., 2013;
Wilkinson et al., 2014).
Arteri vertebralis dan arteri posterior inferior serebelar
Arteri vertebralis memiliki 4 segmen yang keluar dari arteri
inominata di sebelah kanan arteri subklavia. Segmen 1 (V1) melintang
foramen vertebralis kelima atau keenam. Segmen 2 (V2) melintang dari
foramen vertebralis C6 sampai C2. Segmen 3 (V3) keluar dari foramen,
melintang dan melingkari lengkung pada atlas untuk menembus
duramater pada foramen magnum. Segmen 4 (V4) berjalan ke atas untuk
bergabung dengan arteri basilaris, hanya segmen keempat yang memiliki
cabang yang menyuplai batang otak dan serebelum (Smith et al., 2013).
Arteri serebelaris posterior inferior (PICA) pada segmen proksimal
menyuplai batang otak dan medulla lateral serta cabang distalnya
menyuplai permukaan inferior serebelum. Lesi atherothrombotik dapat
berdileksi di segmen V1 and V4 dari arteri vertebralis. Segmen pertama
menjadi bermasalah jika terdapat emboli di sirkulasi posterior. Aliran
kolateral arteri vertebralis kontralateral pada servikal, tiroservikal atau
arteri occipital dapat mencegah kejadian low-flow TIA atau stroke.
Ketika salah satu arteri vertebralis mengalami atretic dan terdapat lesi
atherothrombotik pada sirkulasi kolateral maka akan menyebabkan
insufisiensi aliran darah di arteri basilaris (Gambar 7 dan 8). Hal tersebut
akan menimbulkan low-flow TIA dengan gejala sinkop, vertigo dan
hemiplegia alternans (Smith et al., 2013).
Penyakit di bagian segmen keempat distal mempromosikan
terbentuknya trombus yang bermanifestasi sebagai emboli atau trombosis
arteri basilaris. Stenosis proksimal PICA dapat berdampak pada medulla
lateral dan permukaan posterior inferior serebelum. Jika arteri subklavia
23
tersumbat dibagian asal arteri vertebralis maka ada pembalikan arah
aliran darah di arteri vertebralis ipsilateral. Kegiatan lengan ipsilateral
akan meningkat tergantung dengan aliran vertebralis dan menyebabkan
TIA sirkulasi posterior atau “subclavian steal.”
Oklusi emboli atau trombosis pada segmen V4 menyebabkan
iskemia pada medulla lateral. Hal tersebut akan menimbulkan sindrom
medulla lateral yakni vertigo, baal pada wajah ipsilateral dan ektremitas
kontralateral, diplopia, hoarseness, disartria, disfagia dan Horner’s
syndrome ipsilateral yang biasa disebut lateral medullary (Wallenberg’s)
syndrome (Gambar 10) (Smith et al., 2013).
Gambar 10. Potongan Axial level medulla (Smith et al., 2013)
Oklusi areteri vertebralis ipsilateral paling banyak disebabkan oleh
oklusi PICA. Oklusi pada cabang penetrasi medullari menyebabkan
sindrom parsial. Pada dasarnya oklusi arteri vertebralis tidak
menyebabkan hemiparesis, tetapi dapat menimbulkan quadriparesis jika
ada oklusi pada arteri spinalis anterior. Jika lemniskus medial dan nervus
hipoglosus terlibat maka akan timbul kehilangan sensasi posisi
kontralateral dan kelemahan lidah ipsilateral. Infark serebelar dengan
edema dapat menyebabkan henti nafas mendadak disertai peningkatan
24
tekanan intrakranial pada fossa posterior. Sebelumnya pasien akan
mengalami drowsiness, tanda Babinski, disartria dan kelemahan bifasial.
Gejala lain yang timbul terkait dengan peningkatan tekanan intrakranial
yakni tidak bisa berdiri tegak, nyeri kepala, dizziness, mual dan muntah.
Hal tersebut dapat dikurangi dengan melakukan operasi dekompresi
(Smith et al., 2013; Wilkinson et al., 2014).
Arteri Basilaris
Cabang-cabang arteri basilaris menyuplai dasar pons dan
serebelum superior yang terbagi menjadi 3 kelompok (Smith et al.,
2013),
1) Paramedian, 7–10 in number, menyuplai pons.
2) Short circumferential, 5–7 in number, menyuplai pons dan pedunkel
serebelum superior.
3) Bilateral long circumferential (serebelum superior dan arteri serebelar
anterior inferior) yang mengelilingi pons untuk menyuplai hemisfer
serebelum.
Lesi atheromatous bisa berada di trunkus basilaris dan segmen
vertebralis distal. Lesi tersebut menyumbat basilaris proksimal dan salah
satu atau kedua arteri vertebralis. Gejala yang timbul bergantung pada
kemampuan aliran kolateral arteri komunikans posterior. Meskipun
oklusi atherothrombosis merupakan penyebab utama oklusi arteri
basilaris, akan tetapi emboli dari jantung, vertebralis proksimal atau
segmen basilaris tetap menjadi penyebab sindrom “top of the basilar”.
Pada batang otak terdapat beberapa struktur, adanya iskemia dapat
melibatkan gangguan pada traktus kostikospinal, kortikobulbar, sensori
ascenden dan nukleus nervus kranialis (Smith et al., 2013).
2. Stroke hemoragik
a. Perdarahan intra serebral
Kebanyakan kasus PIS terjadi pada pasien dengan hipertensi
kronik. Keadaan ini menyebabkan perubahan arteriosklerotik pembuluh
darah kecil, terutama pada cabang-cabang arteri serebri media, yang
mensuplai ke dalam basal ganglia dan kapsula interna. Pembuluh-
25
pembuluh darah ini menjadi lemah, sehingga terjadi robekan dan
reduplikasi pada lamina interna, hialinisasi lapisan media dan akhirnya
terbentuk aneurisma kecil yang dikenal dengan aneurisma Charcot-
Bouchard. Hal yang sama dapat terjadi pembuluh darah yang mensuplai
pons dan serebelum. Rupturnya satu dari pembuluh darah yang lemah
menyebabkan perdarahan ke dalam substansi otak (Norrving, 2014) .
Pada pasien dengan tekanan darah normal dan pasien usia tua, PIS
dapat disebabkan adanya cerebral amyloid angiopathy (CAA). Keadaan
ini disebabkan adanya akumulasi protein β-amyloid didalam dinding
arteri leptomeningen dan kortikal yang berukuran kecil dan sedang.
Penumpukan protein β-amyloid ini menggantikan kolagen dan elemen-
elemen kontraktil, menyebabkan arteri menjadi rapuh dan lemah, yang
memudahkan terjadinya resiko ruptur spontan. Berkurangnya elemen-
elemen kontraktil disertai vasokonstriksi dapat menimbulkan perdarahan
masif, dan dapat meluas ke dalam ventrikel atau ruang subdural.
Selanjutnya, berkurangnya kontraktilitas menimbulkan kecenderungan
perdarahan di kemudian hari. Hal ini memiliki hubungan yang signifikan
antara apolipoprotein E4 dengan perdarahan serebral yang berhubungan
dengan amyloid angiopathy (Rohkamm, 2014).
Gejala yang timbul berupa nyeri kepala mendadak, penurunan
kesadaran, mual, muntah dan tanda defisit neurologi. Perdarahan
putaminal menyebabkan hemiparesis/hemiplegia kontralateral dan defisit
hemisensori, defiasi pandangan mendatar, homonimous hemianopsia
serta afasia (sisi dominan) atau hemineglek (sisi nondominan).
Perdarahan Thalamic menyebabkan manifestasi yang sama dan
kelemahan pandangan vertikal, miotik, unreaktif pupil dan paresis
konvergen. Perdarahan kaudatus menyebabkan kebingungan, disorientasi
dan hemiparesis kontralateral. Perdarahan di ganglia basalis dan kapsula
interna menyebabkan koma, hemiplegi kontralateral, homonimous
hemianopsia dan afasia (sisi dominan) (Wilkinson et al., 2014).
Perdarahan lobar biasa berasal dari gray–white matter junction dan
meluas ke bagian white matter menyebabkan berbagai manifestasi klinis
26
bergantung lobus. Lobus frontalis : nyeri kepala bagian frontal, abulia,
hemiparesis kontralateral (lengan lebih parah daripada tungkai). Lobus
temporal : nyeri disekitar telinga, afasia (sisi dominan), kebingungan,
quadrantanopsia atas. Lobus parietal : nyeri kepala temporal, defisit
sensori kontralateral, afasia, quadrantanopsia bawah. lobus oksipital :
nyeri periorbital ipsilateral dan hemianopsia (Rohkamm, 2014).
Perdarahan serebelum biasa mengenai satu hemisfer. Gejala yang
timbul yakni mual, muntah, nyeri kepala oksipital berat, dizzianess dan
ataksia. Perdarahan batang otak meliputi perdarahan pontin merupakan
perdarahan utama yang dapat menyebabkan koma, quadriplegia, miosis
bilateral (pupil pinpoint), “ocular bobbing,” dan kelemahan pandangan
mendatar. Dapat terjadi Locked-in syndrome (Wilkinson et al., 2014;
Rohkamm, 2014).
Gambar 11. Perdarahan intrakranial (Rohkamm, 2014)
Suatu malformasi angiomatous (arteriovenous malformation
(AVM)) pada otak dapat ruptur dan menimbulkan perdarahan
intraserebral tipe lobular. Gangguan aliran venous karena stenosis atau
27
oklusi dari aliran vena akan meningkatkan terjadinya perdarahan dari
suatu AVM. Manifestasi klinis yang muncul yakni nyeri kepala, kejang
dan defisit neurologi ( afasia, hemiparesis, hemianopsia) (Wilkinson et
al., 2014; Rohkamm, 2014).
b. Perdarahan ekstra serebral (sub-arakhnoid)
Perdarahan subarachnoid biasa disebabkan oleh aneurisma berry
pada salah satu arteri cerebral disekitar sirkulus willisi. Sebanyak 85%
PSA disebabkan rupturnya aneurisma saccular. Aneurisma saccular
bukan merupakan lesi kongenital tetapi progresif dan berlokasi pada
dilatasi dinding arteri. Arteri yang terkena yakni cabang arteri karotis
interna, arteri komunikans anterior dan MCA proksimal (Norrving,
2014).
Faktor risiko utama PSA yakni merokok. Rokok menghasilkan
bahan yang menginduksi defisit alpha-1 antitrypsin, yang berfungsi
sebagai inhibitor elastisitas sehingga meningkatkan degradasi serat elastis
pada dinding arterial dan mempermudah ruptur arterial. Gejala yang
timbul berupa nyeri kepala hebat disertai mual, muntah, diaforesis dan
penurunan kesadaran. Gejala lain yang timbul yakni leher tegang dan
nyeri saat fleksi leher, fotofobia dan nyeri tengkuk (Smith et al., 2013).
Gambar 12. Perdarahan subarachnoid (Rohkamm, 2014)
28
III. KESIMPULAN
29
DAFTAR PUSTAKA
Depkes RI. 2011. 8 Dari 1000 Orang Indonesia Terkena Stroke. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia
Guyton, AC., Hall, JE. 2014. Aliran Darah Serebral, Cairan Serebrospinal, dan Metabolisme Otak. Dalam: Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi ke-12. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.
Norrving, Bo. 2014. Stroke and Cerebrovasular Disease. Oxford university press, Great Clarendon Street, Oxford, OX2 6DP, United Kingdom
Rohkamm, Reinhard M.D. 2014. Color Atlas of Neurology, ed 2. Thieme Stuttgart. New York
Ropper, Allan H., Robert H. Brown, D.Phil. 2014. Adams and Victors Principles of Neurology, 10th Edition. McGraw-Hill Medical Publishing Division
Smith, Wade S., Joey D. English., S. Claiborne Johnston. 2013. Harrisons Neurology In Clinical Medicine : Cerebrovascular Diseases , 3rd Ed. Mc graw-Hill Education United States
WHO. 2002. Reducing risks, promoting healthy life. World Health Organization.
Wilkinson, Iain., Graham Lennox. 2014. Essential Neurology, 10th edition. Blackwell Publishing
Yayasan stroke Indonesia. 2012. Stroke di Indonesia tambah besar. Available at http://www.gemari.or.id/file/edisi94/gemari9433.pdf+yayasan+stroke+indonesia+stroke+adalah&hl=id&gl=id&pid=b
FOURTH EDI
30