118
STRATEGI PENGELOLAAN TANAH MARGINAL Ikhtiar Mewujudkan Pertanian Yang Berkelanjutan Penyusun M. TUFAILA SYAMSU ALAM SITTI LEOMO Editor M U H I D I N

STRATEGI PENGELOLAAN TANAH MARGINAL

  • Upload
    others

  • View
    18

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: STRATEGI PENGELOLAAN TANAH MARGINAL

STRATEGI

PENGELOLAAN TANAH MARGINAL Ikhtiar Mewujudkan Pertanian Yang Berkelanjutan

Penyusun

M. TUFAILA SYAMSU ALAM SITTI LEOMO

Editor

M U H I D I N

Page 2: STRATEGI PENGELOLAAN TANAH MARGINAL

M. TUFAILA SYAMSU ALAM SITTI LEOMO

STRATEGI

PENGELOLAAN TANAH MARGINAL Ikhtiar Mewujudkan Pertanian Yang Berkelanjutan

Editor

M U H I D I N

Unhalu Press Kendari, 2014

Page 3: STRATEGI PENGELOLAAN TANAH MARGINAL

STRATEGI PENGELOLAAN TANAH MARGINAL :

Ikhtiar Mewujudkan Pertanian Yang Berkelanjutan

Penulis :

M. Tufaila, Syamsu Alam dan Sitti Leomo

Editor : Muhidin

Desain Cover dan Tata Letak La Mudi & Firmansyah Labir

Diterbitkan oleh Unhalu Press

Kampus Hijau Bumi Tridharma Jalan H.E.A. Mokodompit, Kendari 93231 Email: [email protected], [email protected]

Cetakan Pertama : Oktober 2014

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta

Lingkup Hak Cipta

Pasal 2

1. Hak cipta merupakan hak eksklusif bagi pencipta atau pemegang hak cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak

Ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut

peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Ketentuan Pidana

Pasal 72

1. Barangsiapa dengan sengaja melanggar dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Ayat

(1) atau Pasal 49 Ayat (1) dan Ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan

dan/atau denda paling sedikit Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/

atau denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau

barang hasil pelanggaran hak cipta atau hak terkait sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dipidana dengan pidana penjara

paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

iv

Strategi Pengelolaan Tanah Marginal : Ikhtiar Mewujudkan

Pertanian Yang Berkelanjutan

M. Tufaila, Syamsu Alam, Sitti Leomo

xi + 110 hlm, 15,5 x 23 cm

ISBN : 978-602-8161-71-8

Page 4: STRATEGI PENGELOLAAN TANAH MARGINAL
Page 5: STRATEGI PENGELOLAAN TANAH MARGINAL

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL vii

M. Tufaila * Sitti Leomo * Syamsu Alam

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR v

DAFTAR ISI vii

DAFTAR TABEL ix

DAFTAR GAMBAR x

I. PENDAHULUAN 1

II. KONSEP LAHAN MARGINAL DAN PERTANIAN

BERKELANJUTAN

3

A. Lahan Marginal 3

B. Pertanian Berkelanjutan 4

III. STRATEGI PERENCANAAN PENGGUNAAN LAHAN 7

A. Zonasi Lahan 7

1. Zonasi lahan menurut LREP 8

2. Zonasi lahan berdasarkan agroekologi 9

3. Zonasi lahan berdasarkan karakteristik lahan 13

B. Evaluasi Kesesuaian Lahan 14

1. Tingkat evaluasi kesesuaian lahan 15

2. Klasifikasi kesesuaian lahan 15

3. Metode evaluasi kesesuaian lahan 17

4. Kesesuaian lahan aktual (A) dan potensial (P) 18

IV. STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN KERING 22

A. Pengertian dan Potensi Lahan Kering 22

B. Karakteristik Tanah 24

C. Pertanian di Lahan Kering 27

1. Pengelolaan air 29

2. Budidaya organik 30

V. STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN GAMBUT 39

A. Pengertian dan Potensi Lahan Gambut 39

B. Pembentukan dan Klasifikasi Gambut 40

1. Pembentukan gambut 40

2. Klasifikasi gambut 42

Page 6: STRATEGI PENGELOLAAN TANAH MARGINAL

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL viii

M. Tufaila * Sitti Leomo * Syamsu Alam

C. Karakteristik Tanah Gambut 45

1. Krakteristik fisik 45

2. Karakteristik kimia 46

D. Pertanian di Lahan Gambut 48

1. Kriteria pemanfaatan lahan gambut 48

2. Pengelolaan air 49

3. Pengelolaan kesuburan tanah 56

4. Jenis tanaman di lahan gambut 58

VI. STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN SULFAT

MASAM

71

A. Pengertian dan Potensi Lahan Sulfat Masam 71

B. Pembentukan dan Klasifikasi Tanah Sulfat Masam 72

1. Pembentukan tanah sulfat masam 72

2. Klasifikasi tanah sulfat masam 74

C. Karakteristik Tanah Sulfat Masam 77

1. Krakteristik fisik 77

2. Karakteristik kimia 78

D. Pertanian di Lahan Sulfat Masam 79

1. Pengelolaan air 79

2. Pengelolaan kesuburan tanah 82

3. Jenis tanaman di lahan sulfat masam 84

DAFTAR PUSTAKA 88

INDEKS 99

Page 7: STRATEGI PENGELOLAAN TANAH MARGINAL

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL ix

M. Tufaila * Sitti Leomo * Syamsu Alam

DAFTAR TABEL

Tabel

1. Zona wilayah berdasarkan kelerengan 12

2. Kualitas dan karakteristik lahan untuk tanaman 18

3. Jenis usaha perbaikan kualitas/karakteristik lahan

berdasarkan tingkat pengelolaannya

20

4. Asumsi tingkat perbaikan kualitas lahan aktual untuk

menjadi potensial menurut tingkat pengelolaannya 21

5. Luas total lahan gambut dan yang layak untuk pertanian

serta sebarannya di Indonesia

40

6. Kriteria pemanfaatan gambut berdasarkan ketebalan

lapisan, bahan di bawah gambut dan hidrologi

49

7. Dosis anjuran dan manfaat pemberian amelioran pada

Tanah gambut

58

8. Jenis dan pemanfaatan tanaman pangan di lahan gambut 60

9. Jenis dan pemanfaatan tanaman perkebunan di lahan

gambut

62

10. Jenis dan pemanfaatan tanaman sayuran di lahan gambut 63

11. Jenis dan pemanfaatan tanaman buah di lahan gambut 66

12. Tipe luapan lahan sulfat masam yang berada di wilayah

rawa pasang surut

75

13. Kriteria dan tipologi lahan sulfat masam berdasarkan

jeluk dan kondisi pirit

76

14. Jenis dan varietas tanamn palawija, sayur, buah-buahan

dan tanaman industri dan ketahanannya di lahan sulfat

masam

86

Page 8: STRATEGI PENGELOLAAN TANAH MARGINAL

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL x

M. Tufaila * Sitti Leomo * Syamsu Alam

DAFTAR GAMBAR

Gambar

1. Penggunaan mulsa jerami (a) dan mulsa plastik (b) pada

pertanian lahan kering

30

2. Tanaman cabai (a) dan tanaman kubis (b) hasil budidaya

organik

38

3. Contoh gambut fibrik (mentah) (a) dan gambut hemik

(setengah matang) (b)

43

4. Proses pembentukan gambut di daerah cekungan lahan

basah: a. Pengisian danau dangkal oleh vegetasi lahan

basah, b. Pembentukan gambut topogen, dan c.

pembentukan gambut ombrogen di atas gambut topogen

44

5. Air mengalir dari kubah gambut melalui saluran

drainase

45

6. Akar tanaman yang menggantung menunjukkan

Terjadinya subsiden (penurunan permukaan)

46

7. Denah tata air sistem handil 51

8. Pembuatan tabat pada handil 52

9. Tata air sistem garpu UGM 53

10. Contoh tata air mikro pada lahan sawah dan tegalan 54

11. Pintu stoplog di saluran tersier (a. tampak depan;

b. tampak samping)

55

12. Persiapan lahan gambut untuk budidaya tanaman 59

13. Tanaman pertanian yang dibudidayakan di lahan

gambut

70

14. Pintu air otomatis pada saluran irigasi tersier dalam

sistem aliran satu arah

80

15. Pintu air otomatis pada saluran drainase tersier dalam

sistem aliran satu arah

81

16. Denah sistem aliran satu arah 81

17. Tanaman pertanian yang dibudidayakan di lahan sulfat

masam

87

Page 9: STRATEGI PENGELOLAAN TANAH MARGINAL

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL 1

M. Tufaila * Sitti Leomo * Syamsu Alam

PENDAHULUAN

Jumlah penduduk Indonesia tahun 2010 sekitar 237 juta jiwa dan

diperkirakan menjadi 380 juta jiwa pada tahun 2050 dengan laju

pertumbuan penduduk sekitar 1,5% per tahun atau terjadi pertambahan

penduduk 3,5 juta per tahun. Jumlah penduduk yang sedemikian

besarnya tersebut, termasuk peringkat ke empat jumlah penduduk

terbanyak dunia, satu sisi menunjukkan sedemikian besarnya potensi

sumberdaya manusia tetapi di sisi lain jika tidak mampu dikelola

dengan baik dalam memenuhi kebutuhan hidupnya justru akan menjadi

bencana bagi bangsa Indonesia. Jumlah penduduk dengan peningkatan

sebesar itu harus didukung oleh sejumlah pangan yang cukup. Namun

produksi pangan saat ini masih jauh lebih rendah dari kebutuhan

konsumsi nasional. Sementara lahan pertanian yang produktif,

luasannya sangat terbatas dan semakin berkurang. Setiap tahunnya

sekitar 110.000 hektar beralih fungsi menjadi lahan non-pertanian.

Jumlah sawah baru yang dicetak pemerintah (dengan dukungan dana

APBN) hanya mencapai 20.000 hingga 40.000 hektar per tahun, tidak

sebanding dengan lahan sawah yang terkonversi (Ihsan, 2013).

Akibatnya, produksi pangan semakin terbatas dibandingkan dengan

permintaan yang terus meningkat. Beberapa produk pangan strategis

seperti beras, kedelai, bawang merah, cabai, dan buah-buahan segar

semakin langka. Untuk mengatasinya, pemerintah mengambil langkah

yang kurang bijak yaitu mengimpor berbagai komoditas pangan

strategis tersebut. Kebijakan seperti ini tidak sejalan dengan upaya

mewujudkan kedaulatan pangan nasional.

Jika hanya mengandalkan produksi pertanian pada lahan yang

subur maka dapat dipastikan tidak akan mampu memenuhi kebutuhan

pangan nasional yang semakin meningkat. Pilihannya untuk

mewujudkan ketahanan dan kedaulatan pangan adalah perluasan lahan

pertanian pada lahan-lahan marginal seperti pada lahan kering, lahan

gambut dan lahan sulfat masam atau lahan pasang surut. Hal ini sangat

dimungkinkan karena potensi lahan marginal di Indonesia cukup tinggi

I

Page 10: STRATEGI PENGELOLAAN TANAH MARGINAL

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL 2

M. Tufaila * Sitti Leomo * Syamsu Alam

yaitu dapat melebihi 100 juta hektar. Produksi pertanian pada lahan

marginal seperti tanaman padi dan palawija, tanaman perkebunan, dan

tanaman hortikultura cukup menjajikan dan telah memberikan

kontribusi yang sangat signifikan terhadap kebutuhan pangan nasional.

Pengelolaan lahan marginal untuk memenuhi kebutuhan

produksi pertanian harus dilaksanakan dengan prinsip kehati-hatian

karena dihadapkan dengan permasalahan lahan marginal yang

sedemikian kompleksnya. Kendalanya mencakup sifat fisik, kimia,

fisikokimia, biologi tanah, kehadiran bahan-bahan beracun baik

organik maupun anorganik, dan kondisi hidrologi lahan yang

memerlukan penataan khusus. Akibatnya lahan marginal sangat rentan

terhadap perubahan. Jika terjadi kesalahan atau kelalaian dalam

pengelolaannya maka akan berdampak besar terhadap kerusakan

lingkungan. Oleh karena itu untuk meningkatkan harkatnya menjadi

lahan yang berproduktivitas memadai diperlukan teknologi pertanian

yang bekerja serbacakup. Teknologi pertanian yang diandalkan selama

ini yaitu teknologi pertanian yang bertumpu pada prodak kimiawi dan

rekayasa lingkungan terbukti telah memberikan dampak yang

merugikan terhadap lingkungan. Teknologi pertanian di lahan marginal

yang diharapkan adalah teknologi yang mengedepankan pertimbangan

kualitas dan kelestarian lingkungan untuk mewujudkan pertanian yang

berkelanjutan. Teknologi pertanian yang dimaksud seperti teknologi

masukan rendah, budidaya organik, dan sistem gizi tanaman terpadu.

Pengelolaan lahan marginal seperti itu diharapkan sebagai upaya untuk

memenuhi kebutuhan produksi pertanian dalam rangka mewujudkan

ketahanan dan kedaulatan pangan nasional yang berkelanjutan.

Page 11: STRATEGI PENGELOLAAN TANAH MARGINAL

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL 3

M. Tufaila * Sitti Leomo * Syamsu Alam

KONSEP LAHAN MARGINAL DAN PERTANIAN BERKELANJUTAN

A. Lahan Marginal

Lahan marginal adalah lahan yang mempunyai potensi rendah

sampai dengan sangat rendah untuk menghasilkan tanaman pertanian

atau dapat disebut sebagai lahan yang mempunyai mutu rendah karena

memiliki beberapa faktor pembatas. Menurut Strijker (2005)

menyebutkan bahwa lahan marginal dicirikan oleh penggunaan lahan

yang mempunyai kelayakan ekonomi yang kurang menguntungkan.

Namun demikian dengan penerapan teknologi dan sistem pengelolaan

yang tepat guna, potensi lahan tersebut dapat ditingkatkan menjadi lebih

produktif.

Potensi yang sangat rendah pada lahan marginal ini disebabkan

oleh sifat tanah, lingkungan fisik, atau kombinasi dari keduanya yang

kurang menguntungkan bagi pertumbuhan tanaman. Lahan yang telah

mengalami atau dalam proses kerusakan fisika, kimia, dan biologi, yang

akhirnya membahayakan fungsi hidrologis dan pertanian serta

kehidupan sosial ekonomi masyarakat disebut dengan lahan kritis.

Pengertian lahan marginal dan lahan kritis pada dasarnya sama.

Istilah marginal digunakan untuk mengacu pada makna potensi dari

lahan. Adapun istilah kritis digunakan untuk menunjukkan aspek

kerusakan dan kerugian akibat perubahan yang terjadi dari sifat tanah

dan lingkungannya.

Di Indonesia lahan marginal dijumpai baik pada lahan basah

maupun lahan kering. Lahan basah berupa lahan gambut, lahan sulfat

masam dan rawa pasang surut seluas 24 juta ha, sementara lahan kering

berupa tanah ultisol 47,5 juta ha dan oxisol 18 juta ha (Suprapto, 2002).

Prospek lahan marginal ini cukup besar untuk pengembangan pertanian

namun sekarang ini belum dikelola dengan baik. Lahan-lahan tersebut

kondisi kesuburannya rendah, sehingga diperlukan inovasi teknologi

untuk memperbaiki produktivitasnya.

II

Page 12: STRATEGI PENGELOLAAN TANAH MARGINAL

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL 4

M. Tufaila * Sitti Leomo * Syamsu Alam

Terbentuknya lahan marginal dapat secara alami atau sebagai

gejala geologis akibat letusan gunung berapi, gempa bumi, kebakaran,

longsor, dan banjir atau genangan. Namun yang banyak terjadi dan

sering dipermasalahkan adalah lahan marginal yang terbentuk sebagai

akibat penggunaan dan sistem pengelolaan lahan yang tidak

memperhatikan kaidah-kaidah konservasi dan kelestarian lingkungan.

B. Pertanian Berkelanjutan

Paradigma pembangunan berkelanjutan menurut Bank Dunia

diterjemahkan dalam bentuk kerangka segitiga pembangunan

berkelanjutan (Environmentally Sustainable Development Triangle)

yang bertumpu pada keberlanjutan ekonomi, ekologi, dan sosial.

Berkelanjutan secara ekonomis mengandung pengertian bahwa suatu

kegiatan pembangunan harus mampu menghasilkan pertumbuhan

ekonomi, pemeliharaan kapital, penggunaan sumberdaya, serta investasi

secara efisien. Berkelanjutan secara ekologis berarti bahwa kegiatan

tersebut mampu mempertahankan integritas ekosistem, memelihara

daya dukung lingkungan, dan konservasi sumberdaya alam termasuk

keanekaragaman hayati (biodiversity). Keberlanjutan secara sosial

diartikan bahwa pembangunan tersebut dapat menciptakan pemerataan

hasil-hasil pembangunan, mobilitas sosial, kohesi sosial, partisipasi

masyarakat, pemberdayaan masyarakat, identitas sosial, dan

pengembangan kelembagaan (Dahuri, 1998).

Pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture) adalah

pemanfaatan sumberdaya yang dapat diperbaharui (renewable

resources) dan sumberdaya tidak dapat diperbaharui (unrenewable

resources) untuk proses produksi pertanian dengan menekan dampak

negatif terhadap lingkungan seminimal mungkin. Keberlanjutan yang

dimaksud meliputi : penggunaan sumberdaya, kualitas dan kuantitas

produksi, serta lingkungannya. Proses produksi pertanian yang

berkelanjutan akan lebih mengarah pada penggunaan produk hayati

yang ramah terhadap lingkungan.

Pertanian berkelanjutan tidak identik dengan anti teknologi dan

kembali ke model pertanian tradisional. Pertania berkelanjutan tidak

menghendaki pupuk kimiawi dan pestisida karena kedua input bahan

Page 13: STRATEGI PENGELOLAAN TANAH MARGINAL

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL 5

M. Tufaila * Sitti Leomo * Syamsu Alam

baku tersebut berasal dari sumberdaya yang tidak dapat diperbaharui

dan telah terbukti berdampak buruk terhadap lingkungan serta

membahayakan kesehatan.

Pertanian berkelanjutan mempunyai beberapa prinsip (Budiasa,

2011) yaitu : (a) menggunakan sistem input luar yang efektif, produktif,

murah, dan membuang metode produksi yang menggunakan sistem

input dari industri, (b) memahami dan menghargai kearifan lokal serta

lebih banyak melibatkan peran petani dalam pengelolaan sumberdaya

alam dan pertanian, dan (c) melaksanakan konservasi sumberdaya alam

yang digunakan dalam sistem produksi.

Van der Heide et al. (1992) mengemukakan sistem pertanian

yang berkelanjutan memenuhi kriteri seperti berikut :

1. Dapat mempertahankan sumber alam sebagai penunjang produksi

tanaman untuk jangka panjang dengan cara : (a) mengontrol erosi

dan memperbaiki struktur tanah, (b) mempertahankan kesuburan

tanah dengan cara menjaga keseimbangan hara, dan (c)

mengusahakan diversifikasi tanaman di lahannya.

2. Dapat mempertahankan produktivitas lahan dengan tenaga kerja yang

cukup : swasembada penyediaan pangan, kayu bakar dan hasil

sampingan lainnya

3. Dapat mengatasi resiko gagal panen akibat musim yang kurang

cocok, hama, penyakit, gulma dan turunnya harga pasaran, melalui :

(a) mempertahankan diversifikasi (setiap komponen dengan

kelebihannya masing-masing); dan (b) mampu bertahan bila

mengalami kegagalan dalam berproduksi.

4. Dapat menyediakan dan memberikan peluang untuk perbaikan

pengembangan: (a) penelitian pada tingkat petani untuk mendapatkan

teknologi yang dibutuhkan; dan (b) paket teknologi yang cocok

untuk berbagai kondisi.

5. Tidak ada efek negatif terhadap lingkungan, misalnya : (a) tidak ada

erosi atau pengendapan dan pendangkalan pada sungai dan danau, (b)

tidak ada pencemaran air tanah maupun air permukaan, dan (c) tidak

terjadi pencemaran yang berkaitan dengan agroindustri.

6. Tidak terdapat lahan marginal (yang berkaitan dengan 1 dan 2) : tidak

ada perambahan terhadap sumberdaya hutan dan suaka alam.

Page 14: STRATEGI PENGELOLAAN TANAH MARGINAL

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL 6

M. Tufaila * Sitti Leomo * Syamsu Alam

7. Tidak ada ketergantungan terhadap sarana produksi yang berasal dari

industri ataupun bahan impor.

8. Tidak menimbulkan masalah emisi gas yang dapat merubah

komponen iklim.

Berdasarkan kriteria yang dikemukakan Van der Heide et al.,

(1992) suatu sistem pengelolaan tanah masam dapat dikatakan

berkelanjutan atau sustainable apabila memenuhi beberapa tanda

berikut :

(1) menekan penurunan produksi tanaman dari waktu ke waktu;

(2) menekan gangguan gulma;

(3) menekan serangan hama dan penyakit;

(4) menekan erosi tanah; dan

(5) mempertahankan keberagaman tanaman (diversifikasi).

Page 15: STRATEGI PENGELOLAAN TANAH MARGINAL

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL 7

M. Tufaila * Sitti Leomo * Syamsu Alam

STRATEGI PERENCANAAN PENGGUNAAN LAHAN

A. Zonasi Lahan

Lahan adalah bagian dari bentang alam yang mencakup

pengertian fisik termasuk iklim, topografi/relief, tanah, geologi,

hidrologi, keadaan vegetasi alami bahkan hasil aktivitas manusia baik

saat sekarang maupun masa yang akan datang yang semuanya secara

potensial akan berpengaruh terhadap penggunaan lahan (FAO, 1976).

Pengertian ini menunjukkan bahwa berdasarkan konteks keruangan,

lahan sangat bervariasi sehingga dapat dibedakan zona lahan yang satu

dengan zona lahan yang lain. Zona lahan merupakan suatu kawasan

yang penggunaan utama dan penggunaan lahan yang diperbolehkan

adalah penggunaan lahan yang sesuai dengan kemampuan lahan untuk

mendukung maksud-maksud penggunaannya secara berkelanjutan dan

sejalan dengan praktek pengelolaan lahan yang benar serta rumusan

kebijaksanaan penggunaannya, untuk memenuhi kebutuhan

pembangunan dan pelestariannya (LREP II, 1996; Hardjowigeno dan

Widiatmaka, 2007).

Untuk keperluan perencanaan penggunaan lahan sangat

diperlukan zonasi lahan. Zonasi lahan merupakan suatu proses untuk

mengidentifikasi lahan (zona lahan) yang memiliki kesamaan syarat-

syarat dalam penggunaannya, guna menentukan langkah-langkah

pengelolaan lahan dan cara penggunaan lahan secara berkelanjutan

dalam arti memperhatikan kelestarian sumberdaya lahan serta

merumuskan langkah-langkah tindakan yang menjamin bahwa

penggunaan lahan dapat diawasi berdasarkan prinsip-prinsip

pengelolaan lahan yang benar.

Zonasi lahan dapat dilakukan melalui berbagai pendekatan

seperti: zonasi lahan menurut LREP (Land Resources Evaluation and

Planning), zonasi lahan berdasarkan agroekologi, dan zonasi lahan

berdasarkan karakteristik lahan.

III

Page 16: STRATEGI PENGELOLAAN TANAH MARGINAL

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL 8

M. Tufaila * Sitti Leomo * Syamsu Alam

1. Zonasi lahan menurut LREP

Zonasi lahan menurut sistem ini dilakukan melalui identifikasi

zona lahan, pemberian batasan, dan penyajian secara spasial atas zona

lahan tersebut dan penetapan prosedur untuk mengawasi penggunaan

lahan yang akan terjadi dengan mempertimbangkan: (a) Kesesuaian

lahan untuk mendukung dan melestarikan produktivitas ataupun pola

hidup yang berlaku, melalui penerapan pengelolaan sumberdaya lahan

secara benar dan upaya-upaya pelestarian sumberdaya lahan dan

kehidupan di atasnya; (b) Kebijaksanaan nasional dan provinsi berkenan

dengan hak atas tanah dan prioritas untuk pelestarian dan

pengembangannya; (c) Pola penggunaan lahan saat ini, yaitu apakah

alokasi penggunaannya sudah disetujui secara resmi, atau adanya hak

atas tanah secara tradisional yang melekat, ataukah dirambah/dikuasai

secara ilegal; dan (d) Adat istiadat masyarakat setempat.

Zonasi lahan yang dilakukan diharapkan dapat berfungsi sebagai

alat untuk menjamin bahwa sumberdaya lahan yang digunakan dapat

terkendali serta menjamin kelestariannya. Sehubungan dengan hal

tersebut di atas, maka maksud dari zonasi lahan adalah untuk

mengelompokkan lahan-lahan yang mempunyai kemampuan yang sama

(dan oleh karena itu mempunyai kesamaan dalam persyaratan

pengelolaannya) dalam rangka menyusun pedoman penggunaan lahan

untuk memelihara kualitas dan karakter dari lahan-lahan tersebut.

Agar zonasi lahan dapat dilaksanakan secara efektif, langkah-

langkah yang perlu dilakukan adalah : (1) menyusun daftar berbagai

kemungkinan penggunaan lahan yang ada dan memperoleh kesepakatan

diantara pihak-pihak yang terkait (melalui serangkaian diskusi); (2)

mengevaluasi kesesuaian lahan berkaitan dengan sistem pengelolaan

yang tepat untuk setiap penggunaan lahan; dan (3) merumuskan

kebijaksanaan penggunaan lahan dengan memperhatikan hal-hal

berikut: (a) prioritas penggunaan lahan, (b) keserasian penggunaan

lahan dengan kemampuannya, (c) mengatasi konflik penggunaan lahan;

dan (d) merumuskan prosedur untuk mendorong keserasian antara

kebijaksanaan penggunaan lahan dan hasil zonasi lahan.

Berdasarkan konsep bahwa zonasi lahan adalah mengidentifikasi

kawasan-kawasan yang paling tepat untuk satu atau beberapa

Page 17: STRATEGI PENGELOLAAN TANAH MARGINAL

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL 9

M. Tufaila * Sitti Leomo * Syamsu Alam

penggunaan lahan yang cocok atas dasar pertimbangan kesesuaian

lahannya, praktek-praktek pengelolaan yang diterapkan dan

kebijaksanaan pemerintah dalam penggunaan lahan, maka pendekatan

zonasi lahan akan menghasilkan : (a) peta-peta yang menggambarkan

distribusi zona lahan yang direkomendasikan; (b) peta-peta dengan

skala yang sama yang menggambarkan distribusi lahan yang

membutuhkan langkah-langkah perlindungan lingkungan, ataupun

adanya resiko-resiko tertentu atas kemungkinan penggunaannya

(investasi) dan bagi pihak-pihak yang menguasainya; (c) peta-peta yang

menunjukkan usulan penggunaan lahan pada masa yang akan datang

dan kawasan dimana diperlukan tindakan-tindakan untuk mengatasi

konflik penggunaan lahan, dan (d) dokumen yang merinci maksud dari

zona lahan yang dihasilkan, kegiatan penggunaan lahan yang mungkin

terjadi di dalam satu zona lahan dan mekanisme pengawasannya untuk

menjamin kelestarian penggunaan lahan yang diizinkan.

Selain hal yang tersebut di atas, manfaat lain yang dapat dipetik

dari zonasi lahan adalah : (a) menyediakan satu basis orientasi

kesesuaian lahan yang handal untuk memperbaiki dan meninjau kembali

Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dimasa yang akan datang; (b)

adanya dasar acuan untuk menentukan lokasi-lokasi pembangunan

dimasa yang akan datang dan kemungkinan-kemungkinan pilihan

pembangunan yang sesuai untuk kawasan yang telah ditentukan; (c)

adanya kejelasan tentang tata batas kawasan lindung dan memberikan

indikasi tentang kebutuhan untuk menyesuaikan tata batas tersebut

berdasarkan kesesuaian lahan, penggunaan lahan dan kerawanan

lingkungannya; (d) memberikan indikasi tentang adanya kebutuhan data

untuk menunjang perencanaan yang lebih rinci dimasa yang akan

datang; dan (e) adanya satu basis untuk perumusan peraturan dan

kebijaksanaan pengelolaan sumberdaya lahan dan penetapan peraturan

(perundangannya) untuk mendorong penerapan kebijaksanaan yang

diambil.

2. Zonasi lahan berdasarkan agroekologi

Zona agroekologi (ZAE) merupakan pengelompokan suatu

wilayah kedalam satuan-satuan (zona-zona) yang kurang lebih seragam

Page 18: STRATEGI PENGELOLAAN TANAH MARGINAL

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL 10

M. Tufaila * Sitti Leomo * Syamsu Alam

dalam hal faktor-faktor fisik yang besar pengaruhnya terhadap produksi

tanaman. Pembuatan zona ini bertujuan untuk menjawab tantangan

yaitu dimana dan jenis penggunaan lahan apa yang akan memberikan

keuntungan maksimum sesuai dengan input yang diberikan

(Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2007).

Pemilihan wilayah kedalam zona-zona agroekologi ini juga akan

membantu penetapan paket teknologi untuk kondisi fisik lingkungan

tertentu. Penerapan paket teknologi sering kurang memperhatikan

keadaan fisik alam, disebabkan kurangnya informasi fisik yang detail

serta lemahnya pemahaman tentang hal tersebut, padahal setiap wilayah

memiliki kekhususan sifat fisik, sehingga memerlukan teknologi yang

spesifik pula.

Komponen utama agroekologi adalah iklim, fisiografi atau

bentuk wilayah dan tanah. Iklim merupakan unsur yang paling sulit

dimodifikasi dan merupakan peubah yang paling dominan, iklim

berhubungan erat dengan keragaan tanaman yaitu suhu dan kelengasan.

Di daerah tropis seperti Indonesia suhu dibagi menjadi : panas yang

biasanya berada pada ketinggian 700 m di atas permukaan laut (dpl) dan

sejuk untuk ketinggian lebih dari 2000 m dpl (Amin, 1983).

Pertumbuhan suatu komoditas sangat dipengaruhi oleh iklim,

fisiografi atau bentuk wilayah dan tanah. Zona agroekologi merupakan

suatu wilayah yang memiliki persamaan sifat yang hampir sama,

sehingga berdasarkan keragaan faktor fisik dan lingkungan diharapkan

dapat mendukung pengembangan komoditas pertanian tertentu karena

sesuai dengan persyaratan tumbuh yang diinginkan tanaman tersebut.

Bentuk wilayah lebih mudah dinyatakan dengan besarnya persentase

lereng (topografi), yang dikelompokkan menjadi datar, berombak,

bergelombang, berbukit atau bergunung dengan lereng yang semakin

meningkat pula.

Menurut FAO (1982), pelaksanaan kegiatan penyusunan peta

zonasi agroekologi dibagi dalam beberapa tahap yaitu :

(1) Tahap persiapan

Tahap persiapan yaitu kegiatan pengumpulan (kompilasi) data

sumberdaya lahan berupa peta tanah, peta geologi, peta rupa bumi,

Page 19: STRATEGI PENGELOLAAN TANAH MARGINAL

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL 11

M. Tufaila * Sitti Leomo * Syamsu Alam

peta wilayah administrasi, data iklim berupa curah hujan dan suhu

minimal selama 10 tahun terakhir.

(2) Tahap interpretasi dan pengolahan data

Tahap interpretasi dan pengolahan data yaitu menginterpretasi data

iklim dan sumberdaya lahan untuk mendapatkan zonasi agroekologi.

Zonasi agroekologi dibedakan berdasarkan perbedaan regim

iklim (suhu dan kelembaban) dan relief (kisaran lereng), dengan kriteria

sebagai berikut :

a. Regim suhu

Regim suhu yaitu perbedaan rata-rata suhu udara terpanas dan

terdingin. Regim suhu dapat menggunakan pendekatan ketinggian

tempat dari permukaan laut, yang dibedakan menjadi :

Panas yaitu perbedaan suhu udara rata-rata terpanas dan terdingin

harian > 50C atau wilayah dengan ketinggian < 750 m dpl (a), regim

suhu ini disebut isohipertermik.

Sejuk yaitu perbedaan suhu udara rata-rata terpanas dan terdingin

harian < 50C atau wilayah dengan ketinggian > 750-2000 m dpl (b),

regim suhu ini disebut isotermik.

Sejuk yaitu perbedaan suhu udara rata-rata terpanas dan terdingin

harian < 50C atau wilayah dengan ketinggian > 2000 m dpl (c).

regim suhu ini disebut juga isotermik.

b. Regim kelembaban

Regim kelembaban suatu wilayah dibedakan berdasarkan jumlah

bulan kering (curah hujan rata-rata < 60 mm) dalam satu tahun, dengan

pembagian sebagai berikut :

Lembab yaitu jumlah bulan kering < 3 dalam satu tahun (x).

Agak kering yaitu jumlah bulan kering antara 4-7 dalam satu tahun

(y).

Kering yaitu jumlah bulan kering > 7 dalam satu tahun (z).

c. Relief (bentuk wilayah)

Relief suatu wilayah dibedakan berdasarkan kisaran kelerengan.

Parameter fisik lingkungan sumberdaya lahan yang digunakan sebagai

pembeda zonasi utama dalam sistem ini ialah relief yang tercermin

Page 20: STRATEGI PENGELOLAAN TANAH MARGINAL

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL 12

M. Tufaila * Sitti Leomo * Syamsu Alam

dalam kisaran kelas lerengnya. Berdasarkan pembeda zonasi utama

tersebut suatu wilayah dapat dikelompokkan menjadi 4 zona, yaitu :

Zona I lereng > 40%,

Zona II lereng 16-40%,

Zona III lereng 8-15%, dan

Zona IV lereng < 8%.

Selanjutnya khusus daerah dengan kelerengan < 8% dengan

jenis tanah gambut atau jenis tanah dengan kandungan garam atau sulfat

yang tinggi atau jenis tanah yang berkembang dari pasir kwarsa

dikelompokkan kedalam zonasi tersendiri yaitu masing-masing zona V,

VI, VII dan VIII.

Berdasarkan kriteria zona utama tersebut suatu wilayah dapat

dibagi menjadi delapan zona agroekologi dengan spesifikasi sistem

pertanian atau kehutanan sebagai berikut :

Tabel 1. Zona wilayah berdasarkan kelerengan

Zona Kelerengan Tipe Pemanfaatan Lahan (TPL)

I

II

III

IV

V

VI

VII

VIII

> 40%

15-40%

8-<15%

0-<8%

<3%

<3%

<3%

< 8%

Kehutanan

Perkebunan (budidaya tanaman tahunan)

Agroforestri (wana tani)

Tanaman pangan

Hortikultura (gambut dangkal ketebalan <1,5 m)

atau kehutanan (gambut dalam ketebalan >1,5 m).

Perikanan yang dipadukan dengan konservasi

pantai berupa tanaman kehutanan (mangrove).

Zona ini memiliki jenis tanah yang mempunyai

kandungan sulfat sangat tinggi (sulfat masam)

atau kandungan garam yang tinggi.

Kehutanan. Zona ini memiliki jenis tanah yang

berkembang dari pasir kwarsa (spodosol,

Quartzipsamments).

Peternakan (pengembalaan). Zona ini memiliki

jenis tanah dengan penampang solum yang sangat

dangkal dan berbatu. Sumber : FAO, 1982.

Pembagian selanjutnya kedalam sub zona dan pilihan kelompok

tanaman yang relefan dikembangkan pada setiap sub zona tersebut

Page 21: STRATEGI PENGELOLAAN TANAH MARGINAL

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL 13

M. Tufaila * Sitti Leomo * Syamsu Alam

terutama didasarkan pada regim kelembaban dan suhu (tinggi tempat).

Dengan demikian terdapat beberapa kemungkinan kombinasi sub zona.

Pada zona IV (untuk pengembangan tanaman pangan) dilakukan

pembagian lebih detail dari sub zona berdasarkan sifat-sifat tanah

terutama drainase tanahnya, yaitu :

Zona IV dengan drainase tanah buruk digunakan untuk

pengembangan padi sawah, diberi simbul ”1” pada akhir kode zona.

Zona IV dengan drainase tanah baik digunakan untuk pengembangan

tanaman pangan lahan kering, diberi simbul ”2” pada akhir kode

zona.

Kemudian data berupa relief/kelerengan, regim suhu dan regim

kelembaban tanah atau kondisi drainase tanah ditumpang susunkan akan

menghasilkan peta ZAE. Peta ZAE yang dihasilkan ditumpang

susunkan dengan peta penutupan lahan yang terbaru (present land use).

Apabila suatu wilayah mempunyai peruntukan yang sama antara peta

ZAE dengan peta penggunaan lahan maka dianjurkan untuk

intensifikasi (I). Akan tetapi bila peta penggunaan lahan masih

merupakan kawasan hutan (bukan hutan lindung) sementara peta ZAE-

nya sesuai untuk pertanian maka dianjurkan untuk ekstensifikasi (E).

Sedangkan bila wilayah tersebut menurut peta ZAE tidak sesuai untuk

pertanian/perikanan sementara peta penggunaan lahan telah berlangsung

usaha pertanian/perikanan maka disarankan dilakukan tindakan

konservasi (C) dan/atau rehabilitasi (R).

3. Zonasi lahan berdasarkan karakteristik lahan

Satuan lahan merupakan kelompok dari lokasi yang

berhubungan, mempunyai bentuk lahan tertentu di dalam sistem lahan,

dan seluruh satuan lahan yang sama yang tersebar akan mempunyai

asosiasi lokasi yang sama pula. Zonasi lahan berdasarkan satuan lahan

adalah mengelompokkan lahan atas kesamaan karakteristiknya.

Karakteristik lahan adalah ukuran kuantitatif dari komponen-komponen

lahan yang meliputi komponen geologi, iklim, tanah, hidrologi,

topografi, fisiografi/landform, dan penutupan lahan. Dengan demikian

yang dimaksud dengan satuan lahan adalah kesatuan lahan yang

memiliki kesamaan geologi, iklim, tanah, hidrologi, topografi,

Page 22: STRATEGI PENGELOLAAN TANAH MARGINAL

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL 14

M. Tufaila * Sitti Leomo * Syamsu Alam

fisiografi/landform, dan penutupan lahan (Hardjowigeno dan

Widiatmaka, 2007).

Untuk keperluan evaluasi kesesuaian lahan, peta satuan lahan

dapat dibuat sampai skala yang lebih detail sesuai dengan intensitas

evaluasi lahan. Pada setiap satuan lahan yang memiliki kecocokan yang

sama dengan persyaratan pengembangan komoditas tertentu, akan

dikelompokkan kedalam zona komoditas yang sama.

Pembuatan zonasi lahan berdasarkan satuan lahan dilakukan

dengan cara tumpang susun antara peta-peta tematik komponen-

komponen lahan. Satuan lahan yang dihasilkan digunakan sebagai dasar

dalam evaluasi lahan (kesesuaian lahan, kelayakan sosial ekonomi dan

sosial budaya).

Zonasi lahan atau pengelompokan lahan berdasarkan

karakteristik lahan akan menjadi lebih realistik karena lahan

dikelompokkan atas kesamaan karakteristik komponen-komponen

penyusunnya. Zonasi sistem ini lebih fleksibel tergantung dari tujuan

yang ingin dicapai dan dapat diterapkan sampai zonasi lahan pada skala

yang lebih detail. Namun zonasi sistem ini lebih memfokuskan pada

aspek biofisik lahan, kurang memperhatikan aspek kebijaksanaan

pemerintah dan sosial budaya setempat. Jika zonasi lahan LREP, zonasi

lahan agroekologi dipadukan dengan zonasi lahan berdasarkan

karakteristik akan dihasilkan zonasi lahan untuk pewilayahan komoditas

yang lebih detail, realistis dan komprehensif.

B. Evaluasi Kesesuaian Lahan

Evaluasi kesesuaian lahan menjadi hal utama yang harus

diketahui dan dilakukan dalam menyusun zonasi lahan yang tepat untuk

perencanaan penggunaan lahan. Perencanan penggunaan lahan yang

sesuai pada suatu zona lahan tertentu akan memberikan hasil yang

optimal dan dapat diminimalisir dapak kerusakan lingkungan yang akan

terjadi akibat pilihan penggunaan lahan.

Evaluasi kesesuaian lahan adalah penilaian tingkat kecocokan

sebidang lahan untuk suatu penggunaan tertentu (Dent dan Young,

1981). Penilaian yang dimaksudkan adalah dalam hal anasir lahan yang

terdiri atas iklim, tanah, topografi, hidrologi dan atau drainase yang

Page 23: STRATEGI PENGELOLAAN TANAH MARGINAL

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL 15

M. Tufaila * Sitti Leomo * Syamsu Alam

sesuai untuk suatu komoditas tertentu yang produktif. Pangudiyatno

(1988) mendefinisikan lebih fokus lagi pada tanaman pertanian yaitu

kesesuaian lahan adalah kecocokan suatu wilayah untuk budidaya

tanaman pertanian tertentu, sesuai dengan sifat tanah dan lingkungan

yang memenuhi persyaratan tumbuh tanaman sehingga akan

memberikan produksi yang optimal sesuai dengan yang diharapkan.

1. Tingkat evaluasi kesesuaian lahan

Evaluasi kesesuaian lahan dapat dibagi atas tiga intensitas

keterperincian kegiatan, yaitu : (1) Tingkat tinjau (Reconnaissance)

dengan skala peta 1 : 100.000-1 : 250.000, umumnya untuk skala

nasional atau provinsi. Hasil evaluasi dapat digunakan untuk

perencanaan secara nasional dan dapat ditentukan skala prioritas

masing-masing daerah; (2) Tingkat semi detail dengan skala peta 1 :

25.000-1 : 100.000, untuk tujuan-tujuan yang lebih khusus, misalnya

studi kelayakan untuk suatu kegiatan ; dan (3) Tingkat detail dengan

skala peta 1 : 5000-1 : 25.000, merupakan survei untuk perencanaan

yang telah pasti, misalnya untuk pembuatan desain (Dent dan Young,

1981).

2. Klasifikasi kesesuaian lahan

Menurut FAO (1976), kerangka dari sistem klasifikasi

kesesuaian lahan terdiri atas empat kategori yang dikenal sebagai

berikut : (1) Ordo kesesuaian lahan (order) : menunjukkan jenis dari

kesesuaian, (2) Kelas kesesuaian lahan (class) : menunjukkan tingkat

kesesuaian lahan dalam ordo, (3) Sub-kelas kesesuaian lahan (sub-class)

: menunjukkan jenis pembatas, atau jenis perbaikan yang harus

dijalankan dalam kelas, dan (4) Satuan kesesuaian lahan (unit) :

menunjukkan perbedaan kecil persyaratan pengelolaan dalam sub-kelas.

Kesesuaian lahan tingkat ordo menunjukkan apakah lahan sesuai

atau tidak untuk suatu tipe penggunaan tertentu, dalam hal ini dibagi

dua yaitu : (1) Ordo S (sesuai) yaitu lahan yang dapat digunakan secara

berkesinambungan untuk suatu tujuan tertentu, tanpa resiko kerusakan

terhadap sumberdaya lahan, dan (2) Ordo N (tidak sesuai) yaitu lahan

Page 24: STRATEGI PENGELOLAAN TANAH MARGINAL

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL 16

M. Tufaila * Sitti Leomo * Syamsu Alam

yang kualitasnya memperlihatkan hambatan untuk menopang jenis

penggunaan yang berkesinambungan.

Kesesuaian lahan tingkat kelas dinyatakan dengan simbol nomor

urut, menunjukkan tingkat yang menurun didalam kelas, dalam hal ini

dibagi atas lima yaitu : (1) Kelas S1 (sangat sesuai) : lahan ini tidak

mempunyai pembatas yang berarti untuk menerapkan suatu penggunaan

atau hanya mempunyai pembatas yang tidak berarti dan tidak akan

berpengaruh secara nyata terhadap produksi, (2) Kelas S2 (cukup

sesuai) : lahan ini mempunyai pembatas yang cukup serius untuk

menerapkan suatu penggunaan, pembatas akan mengurangi produksi

atau keuntungan dan akan meningkatkan masukan yang diperlukan, (3)

Kelas S3 (sesuai marginal) : lahan ini mempunyai pembatas yang serius

untuk menerapkan suatu penggunaan dan akan mengurangi produksi

atau keuntungan, atau lebih meningkatkan masukan yang diberikan, (4)

Kelas N1 (tidak sesuai pada saat ini) : lahan ini mempunyai pembatas

yang lebih serius, yang masih memungkinkan dapat diatasi dengan

tingkat pengelolaan bermodal tinggi, dan (5) Kelas N2 (tidak sesuai

permanen) : lahan ini mempunyai pembatas yang permanen yang

mencegah segala kemungkinan penggunaan lahan yang lestari dalam

jangka panjang.

Kesesuaian lahan tingkat sub-kelas mencerminkan jenis

pembatas yang ada atau macam perbaikan yang diperlukan dalam kelas

tersebut. Jenis pembatas ini ditunjukkan dengan simbol huruf kecil yang

diletakkan setelah simbol kelas, misalnya kelas S2 yang hanya

mempunyai pembatas media perakaran (r) maka menjadi sub-kelas S2r,

jika terdapat pula pembatas retensi hara (f) maka sub-kelasnya S2rf.

Pembatas dalam sub-kelas dapat berjumlah satu, dua, atau paling

banyak tiga simbol pembatas, dimana pembatas yang paling dominan

ditulis paling depan.

Kesesuaian lahan tingkat unit merupakan pembagian lebih lanjut

dari sub-kelas, mempunyai tingkat yang sama dalam kelas dan

mempunyai pembatas yang sama pula dalam sub-kelas tetapi berbeda

dalam aspek simbolnya yaitu dibedakan oleh angka-angka arab yang

dicantumkan setelah simbol sub-kelas yang menunjukkan tingkat satuan

pengelolaannya, misalnya : S2n-1, S2n-2, dan S2n-3.

Page 25: STRATEGI PENGELOLAAN TANAH MARGINAL

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL 17

M. Tufaila * Sitti Leomo * Syamsu Alam

3. Metode evaluasi kesesuaian lahan

Evaluasi kesesuaian lahan untuk tanaman dilakukan dengan cara

membandingkan antara kualitas lahan dan karakteristik lahan dengan

kriteri tingkat kesesuaian lahan yang disusun berdasarkan persyaratan

tumbuh tanaman. Penentuan tingkat kesesuaian lahan dapat dilakukan

dengan berbagai metode seperti metode pembatas sederhana, pembatas

berdasarkan jumlah dan intensitas pembatas, dan metode parametrik

(Sys, 1991). Metode evaluasi kesesuaian lahan yang digunakan secara

luas dan cukup lama oleh Pusat Penelitian Tanah Bogor adalah metode

pembatas sederhana dan dilaporkannya bahwa aplikasi metode ini

sangat sesuai diterapkan di Indonesia terutama di daerah-daerah yang

memiliki keterbatasan data klimatologi. Metode pembatas sederhana

menentukan tingkat kesesuaian lahan berdasarkan hukum minimum,

tingkat kesesuaian lahan ditentukan oleh kondisi minimum yaitu

kualitas lahan dan karakteristik lahan yang memiliki pembatas terberat

dibandingkan dengan pembatas yang lainnya (PPTA, 1993; Sys, 1991).

Kualitas dan karakteristik lahan mempunyai pengertian yang

berbeda dalam evaluasi kesesuaian lahan. Kualitas lahan adalah sifat-

sifat atau atribut yang kompleks dari suatu lahan, dan masing-masing

kualitas lahan mempunyai keragaan (performance) tertentu yang

berpengaruh terhadap kesesuaiannya untuk suatu tanaman tertentu,

seperti ketersediaan air, retensi dan ketersediaan hara. Kualitas lahan

dapat pula diestimasi secara langsung di lapangan, tetapi pada

umumnya ditetapkan melalui karakteristik lahan. Sedangkan

karakteristik lahan adalah sifat lahan yang dapat diukur atau diestimasi,

seperti curah hujan per tahun (mm.tahun-1

), KPK, dan P tersedia. Setiap

karakteristik lahan yang digunakan secara langsung dalam evaluasi

lahan sering mempunyai interaksi satu sama lain. Oleh karena itu dalam

interpretasi perlu mempertimbangkan lahan dengan penggunaannya

dalam pengertian kualitas lahan (PPTA, 1993; Sys, 1991; Djaenudin

dan Basuni, 1994). Jenis kualitas dan karakteristik lahan yang

dipertimbangkan dalam evaluasi kesesuaian lahan untuk tanaman

(PPTA, 1993) disajikan pada Tabel 2.

Page 26: STRATEGI PENGELOLAAN TANAH MARGINAL

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL 18

M. Tufaila * Sitti Leomo * Syamsu Alam

Tabel 2. Kualitas dan karakteristik lahan untuk tanaman

No. Simbol Kualitas Lahan Karakteristik Lahan

1.

2.

3.

t

w

r

Rejim Temperatur

Ketersediaan air

Media Perakaran

1.Suhu Rata-Rata Tahunan (0C)

1. Bulan Kering (<75 mm)

2. Curah Hujan Rata-rata Tahunan (mm)

1. Drainase Tanah

2. Tekstur Tanah

3. Kedalaman Efektif

4. Kematangan Gambut 5. Ketebalan Gambut

4.

5.

6.

7.

8.

9.

10.

11.

f

c

x

n

p

m

e

b

Retensi hara

Kegaraman Toksitas

Ketersediaan Hara

Kemudahan Pengolahan

Terrain (Potensi Mekanisasi) Bahaya Erosi

Bahaya Banjir

1. KTK Tanah (m.e/100 g)

2. pH Tanah 1. Salinitas (mmhos/cm) 1. Kejenuhan Al (%)

2. Kedalaman Sulfida (cm) 1. N Total 2. P2O5 Tersedia

3. K2O Tersedia 1. Tekstur Tanah 2. Struktur Tanah

3. Konsistensi Tanah 1. Lereng (%) 2. Batuan Permukaan (%)

3. Singkapan Batuan (%) 1. Tingkat Bahaya Erosi

(Rumus RUSLE)] 1. Periode Banjir

2. Frekuensi Banjir

4. Kesesuaian lahan aktual (A) dan potensial (P)

Kesesuaian lahan aktual atau kesesuaian lahan pada saat ini

(current suitability) yaitu gambaran kesesuaian lahan yang dihasilkan

berdasarkan data yang ada pada saat ini, belum mempertimbangkan

asumsi atau usaha perbaikan dan tingkat pengelolaan yang dapat

dilakukan untuk mengatasi kendala atau faktor-faktor pembatas yang

ada pada setiap satuan peta. Faktor pembatas dapat dibedakan menjadi

dua yaitu : (1) Faktor pembatas yang sifatnya permanen dan tidak

memungkinkan atau tidak ekonomis untuk diperbaiki, seperti

temperatur udara dan curah hujan, dan (2) Faktor pembatas yang dapat

diperbaiki atau diatasi dan secara ekonomi masih menguntungkan

Page 27: STRATEGI PENGELOLAAN TANAH MARGINAL

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL 19

M. Tufaila * Sitti Leomo * Syamsu Alam

dengan masukan teknologi yang tepat, seperti ketersediaan hara (Dent

dan Young, 1981; PPTA, 1993).

Kesesuaian lahan potensial (potential suitability) yaitu

kesesuaian lahan yang akan dicapai setelah dilakukan usaha-usaha

perbaikan lahan. Kesesuaian lahan potensial merupakan kondisi yang

diharapkan sesudah diberikan masukan sesuai dengan tingkat

pengelolaan yang akan diterapkan, sehingga dapat diduga tingkat

produktivitas suatu lahan serta hasil produksi per satuan luasnnya. Jenis

usaha perbaikan yang dapat dilakukan didasarkan pada sifat-sifat lahan

yang dapat diperbaiki (Dent dan Young, 1981; PPTA, 1993).

Untuk menentukan keputusan bentuk tingkat pengelolaan atau

tingkat perbaikan kualitas lahan aktual untuk menjadi potensial

didasarkan pada beberapa kajian atau pertimbangan yaitu tujuan

penggunaan lahan, kondisi sosial ekonomi masyarakat, kelestarian

lingkungan dan pertimbangan ekonomis. Oleh karena itu data-data

untuk keperluan ini perlu dirangkum sedemikian rupa dan dikaji agar

ajukan usaha perbaikan dapat dilakukan dengan mudah oleh pengguna.

Masukan teknologi untuk memperbaiki sifat lahan yang dapat

diperbaiki ditentukan dengan mempertimbangkan padat teknologi dan

padat modal yang akan diterapkan pada setiap wilayah pengembangan

komoditi tertentu yang dilakukan melalui tiga tingkatan pengelolaan

yaitu :

a. Pengelolaan Rendah

Pengelolaan biasa (ordinary management) yaitu tindakan

pengelolaan yang dapat dilaksanakan oleh petani dengan biaya yang

relatif rendah.

b. Pengelolaan Sedang

Pengelolaan maju (improved management) yaitu tindakan

pengelolaan yang dapat dilaksanakan pada tingkat petani menengah

memerlukan modal menegah dan teknik pertanian sedang.

c. Pengelolaan Tinggi

Pengelolaan optimum (optimum management) yaitu tindakan

pengelolaan dengan metode-metode mutakhir untuk memperoleh

hasil tinggi, hanya dapat dilaksanakan dengan modal yang relatif

Page 28: STRATEGI PENGELOLAAN TANAH MARGINAL

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL 20

M. Tufaila * Sitti Leomo * Syamsu Alam

besar, umumnya dilakukan oleh pemerintah atau perusahaan besar

atau menengah.

Jenis usaha perbaikan kualitas/karakteristik lahan aktual menjadi

potensial berdasarkan tingkat pengelolaan disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Jenis usaha perbaikan kualitas/karakteristik lahan

berdasarkan tingkat pengelolaannya

No. Kualitas/

Karakteristik lahan Jenis Usaha Perbaikan

Tingkat Pengelolaan

1.

2.

3.

4.

Rejim Suhu - Suhu Rata Tahunan Ketersediaan Air - Bulan Kering - Curah Hujan Media Perakaran - Drainase - Tekstur - Kedalaman Efektif -Gambut : Kematangan Ketebalan Retensi Hara - KTK - pH

- Tidak dapat dilakukan perbaikan (Ai) - Sistem irigasi/pengairan (B) - Sistem irigasi/pengairan (B) - Perbaikan sistem drainase (C) - Tidak dapat dilakukan perbaikan (Ai) - Umumnya tidak dapat dilakukan kecuali pada lapisan padas lunak dan tipis dan membongkarnya pada waktu pengolahan tanah (Di) - Pengaturan Sistem drainase untuk mempercepat proses pematangan gambut (C) - Dengan tekhnik pemadatan gambut, teknik penanaman dan seleksi varietas (E) - Penggunaan kapur/bahan organik (F) - Penggunaan kapur/bahan organik (F)

-

S, T S, T

S, T

- T

T

T

S, T S, T

5.

6.

7.

8.

9.

10.

11.

Ketersediaan hara - N Total - P2O5 Tersedia - K2O Tersedia Kegaraman - Salinitas Toksisitas - Kejenuhan Al - Lapisan Pirit

Kemudahan Pengolahan

Terrain/Potensi Mekanisasi Bahaya Erosi Bahaya banjir - Periode - Frekuensi

- Pemupukan (G) - Pemupukan (G) - Pemupukan (G) - Reklamasi (Ii)

- Penggunaan kapur /bahan organik (F) - Pengaturan sistem tata air, tinggi

permukaan air tanah harus diatas lapisan bahan sulfida (BC)

- Pengaturan Kelembaban Tanah untuk mem permudah pengolahan tanah (J) - Tidak dapat dilakukan perbaikan (Ai) - Usaha pengurangan laju erosi, dengan berbagai metode konservasi tanah dan air (K) - Pembuatan tanggul penahan banjir (H) - Serta pembuatan saluran drainase untuk mempercepat pengaturan air (C)

R, S, T R, S, T R, S, T

S, T

S, T S, T

S, T -

S, T

T T

Keterangan : R = Rendah, S= Sedang, T = Tinggi

Page 29: STRATEGI PENGELOLAAN TANAH MARGINAL

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL 21

M. Tufaila * Sitti Leomo * Syamsu Alam

Berdasarkan jenis usaha perbaikan dan jenis pengelolaan kualitas

lahan aktual untuk menjadi potensial, maka diajukan beberapa asumsi

dalam menentukan perubahan kelas kesesuaian lahan aktual menjadi

potensial sebagaimana disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4. Asumsi tingkat perbaikan kualitas lahan aktual untuk

menjadi potensial menurut tingkat pengelolaannya

No. Kualitas / Karakteristik

Lahan

Tingkat Pengelolaan

Rendah Sedang Tinggi

1.

2.

3.

Rejim Suhu

- Suhu Rata Tahunan

Ketersediaan Air

- Bulan Kering - Curah Hujan

Media Perakaran

- Drainase

- Tekstur - Kedalaman Efektif

- Gambut : - Kematangan

- Ketebalan

-

- -

-

- -

-

-

-

+ +

+

- -

-

-

-

++ ++

++

- +

+

+

4.

5.

6.

7.

8. 9.

10.

11.

Retensi Hara

- KTK - pH

Ketersediaan hara

- N Total

- P2O5 Tersedia - K2O Tersedia

Kegaraman

- Salinitas Toksisitas

- Kejenuhan Al

- Lapisan Pirit

Kemudahan Pengolahan Terrain/Potensi mekanisasi

Bahaya Erosi

Bahaya banjir

- Periode - Frekuensi

- -

+

+ +

-

-

-

- -

-

- -

+ +

++

++ ++

+

+

+

+ -

+

+ +

++ ++

+++

+++ +++

++

++

++

+ +

++

++ ++

Keterangan : - Tidak dapat dilakukan perbaikan

+ Perbaikan dapat dilakukan dan akan dihasilkan kenaikan kelas satu tingkat lebih tinggi

++ Kenaikan kelas dua tingkat lebih tinggi

+++ Kenaikan kelas tiga tingkat lebih tinggi

Page 30: STRATEGI PENGELOLAAN TANAH MARGINAL

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL 22

M. Tufaila * Sitti Leomo * Syamsu Alam

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN KERING

A. Pengertian dan Potensi Lahan Kering

Pengertian lahan kering di Indonesia belum ada kesepakatan

yang pasti. Ada yang menggunakan untuk padanan dengan istilah :

upland, dryland, atau unirrigated land. Kedua istilah terakhir

menyiratkan penggunaan lahan untuk pertanian tadah hujan. Pertanian

tadah hujan yang dijalankan di daerah iklim arid sampai ringkai semi

arid dalam bahasa Inggris disebut dryland farming atau dry farming

(Nelson and Nelson, 1973; Roy and Arora, 1973; Moore, 1977; Billy,

1981; Landon, 1984). Yang dijalankan di daerah iklim lebih basah

disebut rainfed farming. Akan tetapi ada yang menggunakan kedua

istilah tersebut secara sinonim (Chao, 1984; Chin, 1984)

Istilah upland secara umum mengandung arti nisbi “terletak

lebih tinggi” sebagai lawan istilah lowland yang diberi arti nisbi

“terletak lebih rendah” (Moore, 1977; Monkhouse and Small, 1978).

Karena letak nisbi demikian, kedua istilah itu menunjukkan keadaan

drainase (pengatusan) alamiah. Upland adalah daerah dengan

pengatusan alamiah baik, sedang lowland adalah daerah dengan

pengatusan alamiah kurang baik, bahkan dapat buruk. Konotasi

pengatusan alamiah kemudian diperluas hingga mengenai pula

pengatusan buatan sehubungan dengan pengelolaan air pada petak

pertanaman. Upland menunjukkan lahan pertanaman yang diusahakan

tanpa menggenangkan air di atas petak pertanaman, berarti pengatusan

dibuat normal. Pertanaman yang diusahakan secara demikian lalu

disebut upland crop. Lowland menunjukkan pada lahan pertanaman

yang diusahakan dengan penggenangan air, berarti pengatusan dibuat

terhambat. Pertanaman yang diusahakan secara demikian lalu disebut

lowland crop. Dengan pengertian ini maka lowland menjadi sinonim

dengan wetland (Notohadiprawiro, 1989).

Untuk menghilangkan kerancuan penggunaan istilah lahan

kering dan pertanian lahan kering, perlu dibedakan pengertian kering

yang menunjukkan (Notohadiprawiro, 1989) yaitu:

IV

Page 31: STRATEGI PENGELOLAAN TANAH MARGINAL

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL 23

M. Tufaila * Sitti Leomo * Syamsu Alam

1. Keadaan iklim yang kering dalam arti istilah Inggris arid land

menurut salah satu difinisi: (a) daerah dengan curah hujan tahunan

kurang dari 250 mm (USA), (b) daerah yang jumlah hujannya tidak

mencukupi untuk menghidupi vegetasi sedikitpun, (c) daerah yang

jumlah hujannya tidak mencukupi untuk memapankan (estabish)

pertanian tanpa irigasi, atau (d) daerah dengan jumlah evaporasi

potensial melebihi jumlah curahan (precipitation) aktual

(Monkhouse and Small, 1978).

2. Keadaan lahan yang berkaitan dengan pengatusan alamiah lancar

(bukan rawa, dataran banjir, lahan dengan air tanah dangkal, dan

lahan basah alamiah lain).

3. Lahan pertanaman yang diusahakan tanpa penggenangan.

Pengertian kering yang pertama terkait dengan istila daerah

kering atau kawasan iklim kering. Untuk pengertian yang kedua dapat

dipilih istilah lahan atasan (upland). Untuk pengertian yang ketiga dapat

diterapkan istilah lahan kering. Jadi, pertanian lahan kering ialah

pertanian yang diusahakan tanpa penggenangan lahan garapan. Maka

padi sawah dan perikanan kolam (air tawar dan tambak) tidak termasuk,

akan tetapi padi gogo, palawija, perumputan pakan, perkebunan dan

pekarangan termasuk pertanian lahan kering. Ini berarti bahwa irigasi

tetap dapat diberikan, asal tidak dimaksudkan untuk menggenangi

lahan.

Pengertian lahan kering Notohadiprawiro (1988) mengajukan

postulat lahan tadah hujan (raindfed) yang dapat diusahakan secara

sawah (lowland/wetland) atau secara tegal atau ladang (upland).

Pengertian tersebut yang menjadi kriteria pokok adalah hujan sebagai

sumber asasi air yang membedakan dengan lahan irigasi. Lahan kering

adalah lahan yang dalam keadaan alami tidak jenuh air hampir

sepanjang tahun atau tidak tergenang. Kelengasan tanahnya hampir

sepanjang tahun selalu di bawah kapasitas lapang. Fluktuasi kelengasan

tanah dipengaruhi oleh cuaca, keadaan fisiografi, dan pengelolaan.

Diantara faktor tersebut, hujan merupakan faktor penentu utama. Proses

biologi dan kimia dalam tanah terjadi dalam keadaan aerob. Pendapat

lain mengatakan bahwa lahan kering adalah lahan yang pada periode

tertentu dalam tiap tahun terdapat curah hujan yang tidak mencukupi

Page 32: STRATEGI PENGELOLAAN TANAH MARGINAL

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL 24

M. Tufaila * Sitti Leomo * Syamsu Alam

kebutuhan air oleh tanaman. Pola penyebaran curah hujan di Indonesia

terkonsentrasi pada suatu periode, intensitas tinggi terjadi di musim

penghujan dan intensitas rendah pada musim kemarau. Pada musim

kemarau tidak cukup hujan untuk pertumbuhan tanaman secara normal

dan tanah menjadi terbuka yang menjadi penyebab terjadina erosi di

awal musim hujan berikutnya. Erosi ini diperparah dengan

meningkatnya kemiringan lereng dan sistem pertanaman tanpa kaidah

konservasi lahan. Akibatnya terjadi pendangkalan solum, penghanyutan

lapisan yang kaya dengan bahan organik dan merosotnya keharaan

tanah.

Luas total lahan kering Indonesia sekitar 148 juta ha, ternyata

102,8 juta ha di antaranya termasuk lahan kering masam, dan yang

sesuai untuk usaha pertanian baik tanaman pangan, perkebunan/tahunan

sekitar 55,8 juta ha. Sedangkan sisanya (47 juta ha) termasuk lahan

yang tidak sesuai secara kimia-fisik, dengan faktor utama berupa

kesuburan tanah rendah, lereng curam (>40%), solum tanah dangkal,

banyaknya batuan di permukaan tanah. Lahan-lahan tersebut diarahkan

untuk kawasan hutan baik itu sebagai hutan lindung, hutan sempadan

sungai atau hutan konservasi (Mulyani, 2006).

B. Karakteristik Tanah

Berdasarkan uraian sebelumnya menunjukkan bahwa sebagian

besar lahan kering didominasi lahan kering masam (70%). Lahan kering

masam seluas tersebut sebagian besar didominasi oleh tanah ultisol dan

mempunyai karakteristik (Buol et al., 2003; Buring, 1979; Certini and

Scalenghe, 2006; Faning and Faning, 1989; Tufaila et al., 2011);

sebagai berikut :

1. Mempunyai pH rendah, berarti kemasaman tinggi. Hal ini

menyebabkan ketersediaan hara pada umumnya menurun,

perombakan bahan organik terhambat sehingga proses humifikasi

kurang lancar, kegiatan biologi menurun, dan kemungkinan

peracunan Al, Fe, dan Mn meningkat.

2. Kejenuhan Al tinggi dan kemungkinan besar Fe dan Mn aktif juga

tinggi. Unsur-unsur ini dalam jumlah yang tinggi meracuni tanaman.

Page 33: STRATEGI PENGELOLAAN TANAH MARGINAL

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL 25

M. Tufaila * Sitti Leomo * Syamsu Alam

3. Lempung beraktivitas rendah dan bermuatan terubahkan. Hal ini

menyebabkan tanah mempunyai daya sanggah kimiawi lemah,

berarti sifat dan perilaku kimiawi dan fisiokimiawi tidak mantap,

daya simpan hara kation rendah, yang menyebabkan efisiensi

pemupukan rendah karena hara kation mudah terlindi, dan pH sukar

diperbaiki.

4. Daya semat fosfat tinggi. Hal ini menyebabkan ketersediaan fosfat

tanah rendah dan efisiensi fosfat rendah.

5. Kejenuhan basa rendah, berarti tanah miskin hara, K, Ca, Mg, dan

Na. Kandungan hara mikro juga rendah meskipun kadarnya cukup

akan tetapi tidak terjangkau oleh akar tanaman semusim.

6. Kadar organik rendah dan ini pun terlonggok dalam lapisan tanah

permukaan tipis. Dengan demikian kadar N, S, dan P juga menjadi

rendah dan keberadaannya terbatas dalam hal lapisan tanah

permukaan tipis itu. Bahan organik tanah menjadi sumber utama

ketiga unsur hara tersebut mengingat bahwa lebih dari 98% N, 60-

95%S, dan 25-60% P terdapat dalam senyawa organik (Schroeder,

1984). Dengan terkumpulnya bahan organik, N, S, dan P yang sedikit

itu di bagian atas tanah, berarti bahan-bahan tersebut justru berada

dalam bagian tanah yang paling rentan erosi, jadi mudah sekali

hilang.

7. Daya simpan air terbatas, berarti tanah mudah mengalami kekeringan

walaupun kelembaban cuaca menurun sedikit saja. Oleh karena

penyampaian zat hara dari tanah ke akar kebanyakan berlangsung

dengan air sebagai media (aliran masa, difusi), kemudahan

mengalami kekurangan air menyebabkan efektivitas tanah

menyampaikan hara kepada tanaman menjadi mudah berubah.

8. Jeluk efektif tanah terbatas karena telah mempunyai horison

longgokan lempung yang secara nisbih dangkal. Horison ini

membatasi pasokan air yang cenderung meningkatkan aliran limpas

yang pada gilirannya memperbesar kemungkinan terjadinya erosi.

Air perkolasi yang terhambat oleh horison longgokan lempung

cenderung mengumpul di atas bidang permukaan horison yang

bersangkutan yang mengakibatkan bidang tersebut licin.

Pengumpulan air perkolasi di dalam tanah yang berada di atas

Page 34: STRATEGI PENGELOLAAN TANAH MARGINAL

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL 26

M. Tufaila * Sitti Leomo * Syamsu Alam

horison longgokan lempung menyebabkan bobot masa tanah naik

dan rentan longsor sepanjang bidang permukaan horison longgokan

lempung yang licin. Jeluk efektif yang terbatas menyebabkan volume

tanah yang dapat dijangkau akar berkurang. Ini berarti akar tidak

dapat memanfaatkan seluruh persediaan hara yang ada dalam tanah.

Akar tumbuh dan berkembang secara terbatas di lapisan tanah

permukaan yang rentan kehilangan air karena penguapan, sehingga

tanaman mudah mengalami kekahatan air. Untuk tanaman yang

berkanopi tinggi dan mempunyai biomasa trubus berat, kedangkalan

akar juga menyebabkan tanaman mudah tumbang.

9. Derajat agregasi zarah-zarah debu dan lempung rendah serta

kemantapan agregatnya lemah, yang menambah kerentanan tanah

terhadap erosi di lahan berlereng, dan menyebabkan tanah rentan

terhadap pemampatan oleh penggunaan alat dan mesin berat.

Struktur tanah yang kurang berkembang dan lemah tersebut tadi

menyebabkan tanah mudah membentuk kerak permukaan karena

benturan tetesan air hujan. Lapisan kerak menghambat

perkecambahan biji, peresapan air infiltrasi, difusi O2 ke dalam tanah

untuk pernafasan akar dan jasad renik, dan difusi CO2 sisas

pernapasan dan perombakan bahan organik ke luar tanah.

Tanah ultisol berkendala ganda yang berkenaan dengan segala

sifatnya, yaitu fisik, fisikokimia, kimia, biologi dan morfologi. Maka

untuk mengelola tanah semacam ini, yang bertujuan meningkatkan

harkatnya dari marginal menjadi berproduktivitas memadai secara

berkelanjutan, diperlukan sustu teknologi yang dapat bekerja secara

serbacakup (comprehensive). Ini berarti suatu teknologi yang dapat

menyelesaikan semua persoalan sekaligus. Teknologi yang diterapkan

sekarang, yang terdiri atas komponen-komponen pupuk buatan dengan

kandungan hara konsentrasi tinggi dan cepat tersedia, kapur pertanian

takaran tinggi, pengolahan tanah intensif, intensif tanaman semusim,

dan jenis unggul berpotensi hasil panen tinggi yang lahap hara, tidak

sesuai untuk tanah-tanah berkendala ganda. Hasil panen tinggi tidak

akan bertahan lama karena teknologi semacam itu tidak berasaskan

ekologi, sehingga tanah secara berangsur akan mengalami degradasi.

Page 35: STRATEGI PENGELOLAAN TANAH MARGINAL

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL 27

M. Tufaila * Sitti Leomo * Syamsu Alam

Meskipun potensi tanahnya rendah, akan tetapi karena potensi

luasnya sangat besar, lahan kering bagaimanapun juga harus dipandang

sebagai suatu aset nasional yang perlu diperhatikan dan dimanfaatkan.

Perhatian dan pemanfaatannya lebih perlu lagi jika diingat bahwa lahan

bawahan yang berpotensi baik sudah semakin penuh tergunakan, tidak

hanya untuk pertanian akan tetapi juga untuk keperluan bukan-

pertanian.

C. Pertanian di Lahan Kering

Pertanian di lahan kering harus menyusun strategi yang dapat

menjamin kehadirannya secara mantap sebagai salah satu eksponen

pembangunan nasional yang tangguh tanpa lewat jalan konfrontasi.

Strategi tersebut dapat ditempuh dengan dua jalur. Jalur pertama ialah

meningkatkan efisiensi usahatani dan penggunaan sumberdaya lahan

bawahan, sehingga dapat tetap berdaya produksi baik meskipun luas

lahan berkurang. Jurus kedua ialah berkubu di lahan-lahan atasan dan

yang kurang atau yang tidak diminati pihak lain, seperti rawa pasang

surut di lahan bawahan. Pertanian harus mampu menciptakan sendiri

prospek yang cerah bagi pengusahaan lahan-lahan piasan (marginal),

inkonvesional dan yang tidak menarik bagi pihak lain, termasuk bagi

pengusahaan lahan kering.

Untuk menciptakan prospek cerah, khusus bagi pengusahaan

lahan kering, diperlukan teknologi sepadan (apprioritas), baik bagi

lingkungan biofisik maupun bagi lingkungan sosial ekonomi.Teknologi

ini berasaskan LISA (Low Input Sustainabla Agriculture) yang

terjabarkan menjadi tiga rakitan teknik pokok, yaitu: `

1. Memadu kemampuan alamiah sistem tanah-tanaman-atmosfer dalam

mengkonversikan unsur-unsur lingkungan menjadi produk berguna

bagi manusia.

2. Adaptasi tanaman dan ternak pada lingkungan hidup setempat lewat

seleksi, pemuliaan konvensional atau rekayasa genetik.

3. Membangun kelembagaan yang mendukung rasionalitas usahatani,

pemberian nilai tambah pada hasil nilai pertanian, dan pelancaran

pemasaran hasil usahatani.

Page 36: STRATEGI PENGELOLAAN TANAH MARGINAL

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL 28

M. Tufaila * Sitti Leomo * Syamsu Alam

Ketiga rakitan ini dimaksudkan untuk:

1. Membatasi ketergantungan pertanian pada masukan komersial,

seperti pupuk pabrik, bahan kimia pembenah tanah (chemical soil

amendments), pestisida, subsidi dan kredit.

2. Membatasi usikan kegiatan atas lingkungan, berarti mengurangi

dampak negatif atas lingkungan.

3. Mengokohkan usahatani sebagai eksponen ekonomi nasional.

Berdasarkan pertimbangan LISA, kendala-kendala tanah, sifat

timbulan, keadaan iklim, dan nasabah antara tanah, timbulan dan iklim

yang menjadi penentu kemampuan lahan, maka berikut ini disenaraikan

(listed) bentuk-bentuk penggunaan lahan kering yang dapat dipilih.

Senarai disusun berurut mulai dari bentuk penggunaan yang dapat

dianjurkan pertama-tama :

1. Perkebunan.

2. Peternakan dengan penggembalaan bergilir (paddock system).

3. Pertanian pangan dengan sistem hutantani (agroforestry).

4. Pertanian pangan dengan pemeliharaan ternak yang dikandang.

5. Pertanian pangan dengan menerapkan bioteknologi tanah.

Pengurutan senerai memperlihatkan dari atas ke bawah adaptasi

yang makin kurang, pengelolaan yang makin rumit dan mutu lahan yang

diminta makin tinggi. Memilih bentuk penggunaan tentu masih

memerlukan tinjauan ekonomi, dan apabila mengenai pertanian rakyat

juga perlu mempertimbangkan faktor sosial dan budaya (selera,

kebiasaan, kepercayaan dan tradisi).

Bentuk apa pun yang dipilih, teknik konservasi tanah dan air

harus menjadi komponen pokok sistem pengelolaan. Dalam hal

peternakan dengan penggembalaan bergilir, pertanian pangan dengan

sistem hutantani, dan sampai tingkat tertentu perkebunan, termasuk

mencakup konservasi tanah dan air.

Jika dikehendaki dapat saja dibuat gabungan dua atau lebih

bentuk penggunaan lahan. Misalnya, perkebunan dan pertanaman

pangan dengan menerapkan bioteknologi tanah, tanaman perkebunan

dan tanaman rumput pakan ditanam dengan sistem penanaman lorong

(alley cropping).

Page 37: STRATEGI PENGELOLAAN TANAH MARGINAL

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL 29

M. Tufaila * Sitti Leomo * Syamsu Alam

Bentuk pengelolaan yang dapat berperan penting dalam

pengembangan pertanian lahan kering dan dapat menjamin

keberlanjutan pertanian lahan kering di lahan-lahan bertanah piasan

(marginal) adalah budidaya organik.

1. Pengelolaan air

Konservasi lengas tanah menjadi faktor yang paling menentukan

keberhasilan pertanian di lahan kering. Air hujan harus

ditransformasikan terlebih dahulu menjadi lengas tanah agar dapat

dimanfaatkan atau diserap akar tanaman. Proses transformasi tersebut

berlangsung di dalam tanah dan efektifitasnya ditentukan oleh tekstur

tanah, struktur tanah, macam mineral lempung, kandungan bahan

organik tanah, dan jeluk mampan tubuh tanah. Konservasi lengas tanah

berarti menahan lengas tanah lebih lama dalam tanah dengan jalan

menekan kehilangan air lewat evaporasi dan atau perkolasi. Jumlah air

limpasan juga perlu dikendalikan untuk memperbesar jumlah hujan

efektif, yaitu bagian air hujan yang meresap ke dalam tanah. Dengan

kata lain memperbesar bagian air hujan yang tersedia untuk

ditransformasikan menjadi lengas tanah.

Beberapa teknik pengendalian erosi juga efektif menekan laju

aliran limpas, berarti meningkatkan hujan efektif, yaitu menahan dengan

pola pagar resah garis tinggi, penanaman berjalur, dan teras.

Penekanan evaporasi dapat dilakukan dengan mulsa (Gambar

1a). Bahan mulsa yang paling mudah diperoleh adalah limbah pertanian,

tetapi ada kemungkinan pertentangan kepentingan penggunaan limbah

ini. Suatu cara yang efektif namun mahal adalah menutup permukaan

tanah dengan lembaran plastik (Gambar 1b). Laju evaporasi dapat

ditekan juga dengan mengolah lapisan tanah atasan menjadi bongkah-

bongkah kasar atau menerapkan sistem pengolahan tanah minimum.

Jumlah evaporasi dapat dikurangi dengan jalan melancarkan

infiltrasi air ke dalam tanah dan menahan air dalam bagian tubuh tanah

yang tidak terlalu dekat dengan permukaan tanah. Lebih baik lagi bila

sebagian besar air tersipan dalam mintakan utama perakaran tanaman

untuk memudahkan tanaman memperoleh air. Melancarkan infiltrasi ini

harus diikuti dengan memperbesar kemampuan tubuh tanah menyimpan

Page 38: STRATEGI PENGELOLAAN TANAH MARGINAL

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL 30

M. Tufaila * Sitti Leomo * Syamsu Alam

air dan mengurangi laju perkolasi dalam tubuh tanah. Meningkatkan

daya serap dan jerap tanah terhadap air dengan sendirinya berguna pula

membatasi perkolasi air ke luar tubuh tanah yang berarti pula

membatasi pelindian hara terlarutkan. Infiltrasi air dapat dilancarkan

dengan melonggarkan struktur lapisan tanah atasan. Pembenaman atau

penggunaan bahan organik bermanfaat untuk memperbesar kapasitas

tanah menyimpan air, sekaligus mengurangi perkolasi air dalam tubuh

tanah.

(a) (b)

Gambar 1. Penggunaan mulsa jerami (a) (http://alamtani.com/pupuk-

hijau.html) dan mulsa plastik (b) pada pertanian lahan

kering (http://budidayausaha.blogspot.com/2014/04/cara-

pengolah-an-lahan-budidaya-melon.html)

2. Budidaya organik

Penyelesaian tanah berkedala ganda diperlukan teknologi yang

mempunyai kemampuan ganda pula. Budidaya organik adalah teknologi

produksi pertanian semacam itu. Semua upaya yang diperlukan untuk

menanggulangi berbagai kendala lahan kering masam seperti tanah

ultisol tersedia dalam budidaya organik. Selain itu, yang lebih penting

lagi ialah semua upaya tersebut saling bernasabah dalam bentuk suatu

sistem. Hal ini berbeda sama sekali dengan budidaya kimiawi yang

sampai saat sekarang diandalkan sebagai teknologi produksi pertanian

utama. Untuk dapat menyelesaikan kedala ganda tanah, budidaya

kimiawi mencampurkan sejumlah kimiawi yang pada asasnya tidak

saling bernasabah secara sistem. Misalnya, pengapuran diterapkan

untuk menanggulangi persoalan peracunan Al, Fe, dan Mn. Akan tetapi

Page 39: STRATEGI PENGELOLAAN TANAH MARGINAL

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL 31

M. Tufaila * Sitti Leomo * Syamsu Alam

akibat sampingannya ialah justru memperberat persoalan kekahatan P,

Cu, Zn dan bahan organik, pelindian hara kation, dan kerentanan tanah

terhadap erosi dan pemampatan. Pemupukan dengan pupuk buatan

hanya dapat menyelesaikan persoalan kekahatan hara, jika tidak

dipolakan secara cermat justru dapat mendatangkan persoalan baru

berupa ketimpangan ketersediaan hara dalam tanah. Pengapuran

mengakibatkan efisiensi pemupukan N, P, dan K menurun, padahal

pengapuran diperlukan untuk menanggulangi persoalan peracunan Al,

Fe, dan Mn.

Budidaya organik merupakan suatu sistem produksi yang

menghindari atau sangat membatasi penggunaan pupuk pabrik,

pestisida, zat pengatur tumbuh dan aditif pakan. Sampai tingkat

maksimum yang dimungkinkan, sistem budidaya organik bersandar

pada pergiliran pertanaman, sisa pertanaman, pupuk kandang atau

kotoran ternak, legum, pupuk hijau, limbah organik dari luar usahatani,

penyiangan mekanik, batuan mengandung mineral, dan gatra

pengendalian hama secara biologi, untuk mempertahankan produktivitas

dan kegemburan tanah, untuk memasok hara tanaman, dan untuk

mengendalikan hama, gulma dan jasad merugikan yang lain

(Youngherg and Buttel, 1984). Contoh tanaman hasil budidaya organik

disajikan paga Gambar 2.

Budidaya organik dapat disebut sebagai suatu sistem produksi

pertanaman yang berasaskan daur ulang hara secara hayati. Menurut

Herwood Cit. Papendick dan Elliott, 1984 ada tiga ragam pendauran

hara yang diminati petani budidaya organik, yaitu (1) pendauran hara di

dalam usahatani dengan sumber-sumber yang berasal dari luar

usahatani, (2) pendauran hara di dalam usahatani dengan sumber-

sumber yang berasal dari usahatani sendiri berupa sisa pertanaman, dan

(3) pendauran hara di dalam petak pertanaman.

Pendauran ragam pertama berguna menambahkan hara ke dalam

tanah dan luar usahatani. Cara ini mirip dengan pemupukan

konvensional dengan pupuk kimiawi buatan. Namun ada perbedaan

besar dalam hal daya pengaruh dan konsekuensinya. Pupuk kimiawi

buatan memasok hara tertentu berupa senyawa anorganik berkadar

tinggi dan mudah larut. Pemberian berulang kali dapat membahayakan

Page 40: STRATEGI PENGELOLAAN TANAH MARGINAL

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL 32

M. Tufaila * Sitti Leomo * Syamsu Alam

flora dan fauna tanah alami, mendatangkan ketimpangan hara dalam

tanah, dan dengan sistem pengelolaan hara yang biasa dilakukan waktu

ini dapat menyebabkan pencemaran bekalan-bekalan air, khususnya air

tanah. Pupuk organik memasok berbagai macam hara terutama berupa

senyawa organik berkonsentrasi rendah yang tidak mudah larut

sehingga pupuk organik tidak akan dapat menimbulkan ketimpangan

hara dalam tanah, bahkan dapat memperbaiki neraca hara. Pasokan

bahan organik dapat menyehatkan kehidupan flora dan fauna tanah

alami, yang pada gilirannya dapat meningkatkan dan memelihara

produktivitas tanah. Terkait dengan tanah mineral masam seperti ultisol,

bahan organik yang diberikan pada tanah dapat sekaligus

menanggulangi bahaya peracunan Al, Fe, dan Mn; memperbaiki daya

tanah menyimpan lengas, dan meningkatkan derajat agregasi zarah-

zarah debu dan lempung serta kemantapan agregat, yang berarti

menurunkan kerentanan tanah terhadap erosi dan pemampatan. Oleh

karena zat-zat hara berada dalam bentuk senyawa organik yang

pelepasannya berlangsung secara berangsur, pupuk organik tidak

mendatangkan pencemaran atas bekalan-bekalan air.

Pendauran hara kedua tidak menambahkan hara ke dalam tanah,

hanya mengembalikan hara yang tidak terangkut ke luar bersama

dengan hasil panen. Kandungan hara dalam tanah secara berangsur tetap

berkurang karena setiap kali ada yang terbawa ke luar bersama dengan

hasil panen. Meskipun demikian manfaatnya tetap besar karena

memasok bahan organik. Pendauran lewat ternak menyebabkan jumlah

hara yang terkembalikan pada tanah lebih berkurang lagi karena

sebagian terpakai untuk pertumbuhan badan hewan. Oleh karena unsur

hara yang hilang dari tanah hanya terangkut ke luar bersama dengan

hasil panen, persediaan hara dalam tanah dapat digunakan secara lebih

hemat dan dapat memenuhi kebutuhan untuk waktu yang lebih lama.

Pendauran ragam ketiga biasanya melibatkan tanaman legum

untuk memenuhi bagian besar atau seluruh kebutuhan hara N

pertanaman pokok. Tanaman legum dapat ditanam secara bergilir

dengan tanaman pokok di petak yang sama, atau ditanam berjajar

dengan tanaman pokok di petak yang terpisah menurut sistem

pertanaman lorong. Tanaman yang ditanam secara bergilir dengan

Page 41: STRATEGI PENGELOLAAN TANAH MARGINAL

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL 33

M. Tufaila * Sitti Leomo * Syamsu Alam

tanaman pokok dapat berupa tanaman legum yang juga menghasilkan

komoditas yang penting (kacang tanah, kedelai), atau tanaman legum

yang khusus menghasilkan pupuk hijau. Tanaman yang ditanam dengan

sistem pertanaman lorong adalah legum pohon yang daunnya dipungut

sebagai pupuk hijau atau mulsa.

Kegunaan budidaya organik pada dasarnya ialah meniadakan

atau membatasi keburukan budidaya kimiawi dan risiko yang

ditimbulkannya. Hal itu mencakup:

1. Menghemat penggunaan hara tanah, berarti memperpanjang umur

produktif tanah.

2. Melindungi tanah terhadap kerusakan karena erosi dan mencegah

degradasi tanah karena kerusakan struktur (pemampatan).

3. Menghindarkan terjadinya ketimpangan hara dalam tanah, bahkan

dapat memperbaiki neraca hara dalam tanah.

4. Memperbaiki penyediaan lengas tanah, sehingga membatasi resiko

kekeringan pada pertanaman dan memperbaiki ketersediaan hara

tanah dan hara pupuk mineral, berarti meningkatkan efisiensi

penggunaannya dan menghemat penggunaan pupuk buatan yang

mahal.

5. Melindungi pertanaman terhadap cekaman oleh unsur-unsur yang ada

dalam tanah (Al, Fe, Mn) atau yang masuk ke dalam tanah dari

bahan-bahan pencemar (logam-logam berat).

6. Tidak membahayakan kehidupan flora dan fauna tanah, bahkan dapat

menyehatkannya, berarti berdaya memelihara ekosistem tanah.

7. Tidak menimbulkan pencemaran lingkungan, khususnya atas

bekalan-bekalan air, karena zat-zat kimia yang dikandungnya

berkadar rendah dan berbentuk senyawa yang tidak mudah larut.

8. Berharga murah karena pupuk organik terutama dihasilkan dari

bahan-bahan yang tersediakan di dalam usahatani sendiri dan pupuk

hayati hanya diperlukan dalam jumlah sedikit, sehingga menekan

biaya produksi usahatani.

9. Merupakan teknologi berkemampuan ganda, sehingga cocok sekali

untuk diterapkan pada tanah-tanah yang berpersoalan ganda yang

terdapat luas sekali di Indonesia (seperti tanah ultisol dan oksisol).

Page 42: STRATEGI PENGELOLAAN TANAH MARGINAL

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL 34

M. Tufaila * Sitti Leomo * Syamsu Alam

Ciri lain dari budidaya organik ialah penggunaan pupuk hayati

(biofertilizers). Pupuk hayati ialah sediaan organik yang peran

ameliorasinya barasal dari kandungan jasad renik aktif. Pupuk hayati

dipilahkan menurut macam unsur hara yang ditanganinya. Salah satu

pupuk hayati N yang sudah dikenal baik di Indonesia ialah inokulum

rhizobium untuk kedelai. Pupuk hayati N yang lain ialah sediaan jasad

renik penambat N2 udara non-simbiotik (Azotobacter, Azospirillum).

Hasil penelitian Purwaningsih et al. (2012) menunjukkan bahwa (1)

inokulasi rhizobium meningkatkan fiksasi nitrogen dan hasil biji.

Kultivar kedelai yang termasuk kriteria ini adalah Anjasmara, Sibayak,

Surya, Gepak Kuning, Galunggung, Argomulyo dan Baluran; (2)

inokulasi rhizobium menyebabkan fiksasi nitrogen meningkat tetapi

tidak diikuti dengan peningkatan hasil biji. Kultivar kedelai yang

termasuk kriteria ini adalah Tanggamus; (3) inokulasi rhizobium tidak

meningkatkan fiksasi nitrogen tetapi meningkatkan hasil biji. Kultivar

kedelai yang termasuk kriteria ini adalah Malabar, Seulawah dan Petek;

dan (4) inokulasi rhizobium tidak meningkatkan fiksasi nitrogen dan

hasil biji. Kultivar yang termasuk kriteria ini adalah Ijen, Sinabung,

Wilis, Grobogan, dan Garut.

Pupuk hayati yang lain ialah sediaan atau inokulan seperti

sediaan jasad renik pelarut fosfat, sediaan jasad renik penambat N2

udara yang hidup bebas dalam tanah, sediaan jasad renik pengurai

bahan organik, dan biakan cacing tanah untuk memperbaiki keadaan

fisik dan kimiawi tanah serta pengurai bahan organik.

Inokulum mikorisa digolongkan dalam pupuk hayati P karena

dapat melancarkan serapan P oleh tanaman. Perkembangan mikorisa

yang subur membentuk benang-benang hifa yang rapat, menjulur dari

permukaan akar ke dalam tanah. Karena halusnya, hifa dapat menembus

pori-pori tanah yang tidak dapat ditembus oleh akar-akar rambut yang

terhalus sekalipun. Dengan demikian volum efektif tanah yang

terjangkau akar meningkat sekali dan efektivitas penyerapan air dan

hara menjadi sangat meningkat. Tanaman menjadi lebih tegar

menghadapi risiko kekeringan dan dapat hidup lebih baik di tanah-tanah

yang semula dinilai miskin hara. Mikorisa juga berdaya meningkatkan

serapan hara mikro Zn dan Cu serta meningkatkan kemampuan tanaman

Page 43: STRATEGI PENGELOLAAN TANAH MARGINAL

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL 35

M. Tufaila * Sitti Leomo * Syamsu Alam

menyerap air. Fungus ini juga berguna melawan peracunan tanaman

oleh unsur-unsur logam berat seperti Mn dan Cd (FAO, 1990). Ada

yang memperkirakan mikorisa dapat memperluas sistem perakaran

tanaman sampai 1000 kali. Maka mikorisa juga berkemampuan

mengurangi kerentanan tanah terhadap erosi.

Sediaan jasad renik pelarut fosfat yang lain seperti

Pseudomonas, Bacillus, Aspergillus, dan Penicillium yang berguna

meningkatkan kadar P tersediakan dalam tanah atau meningkatkan

keterlarutan P dalam pupuk fosfat alam. Inokulasi jasad renik pelarut

fosfat, pemupukan fosfat cukup dikerjakan dengan bahan fosfat alam

yang murah, tidak perlu dengan pupuk buatan TSP atau SP yang mahal.

Maka kebutuhan akan pupuk P buatan, berarti ketergantungan pada

industri petrokimia, dapat sangat dibatasi atau bahkan dapat ditiadakan.

Hal ini akan sangat meringankan beban biaya produksi petani,

khususnya petani kecil. Menurut pengalaman di India, penggunaan

jasad renik penambat N dan pelarut fosfat secara gabungan dapat

meningkatkan hasil panen padi dan "chikpea" (Cicer arietinum) secara

nyata dan dapat memotong kebutuhan pupuk N buatan sampai

setengahnya dan mengganti pupuk P buatan dengan batuan fosfat alam

(FAO, 1990).

Hasil penelitian Masruroh et al. (2013) menunjukkan bahwa

pemberian agen hayati tanah berupa cacing tanah, rhizobium,

azotobacter, bakteri pelarut P, dan fungi pelarut P tidak terlihat

pengaruh yang nyata terhadap indikator kesuburan tanah, kecuali pada

permeabilitas tanah, kemantapan agregat, dan perkembangan cacing

tanah. Pengaruh nyata dari aplikasi agen hayati tanah terjadi pada

parameter permeabilitas dan agregat tanah pada kedalaman 15-30 cm.

Interaksi dan hubungan adannya aplikasi agen hayati tanah terhadap

indikator kesuburan lahan terletak pada sifat biologi tanah, yaitu pada

bobot basah cacing tanah dan perkembangan makro fauna permukaan

tanah pada awal tanam. Namun hubungan ini masih menghasilkan

peningkatan bobot cacing tanah sebesar 2,64%. Aplikasi agen hayati

tanah tidak berpengaruh terhadap hasil produksi kedelai. Namun, agen

hayati tanah rhizobium, cacing tanah, dan bakteri pelarut P mampu

meningkatkan hasil produksi kedelai sebesar 25,68%.

Page 44: STRATEGI PENGELOLAAN TANAH MARGINAL

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL 36

M. Tufaila * Sitti Leomo * Syamsu Alam

Pupuk hayati C ialah inokulum untuk mempercepat

pengomposan dan memperbaiki mutu kompos (Trichoderma).

Penelitian di Thailand membuktikan bahwa pengomposan dengan cara

ini memperbaiki ketersediaan N dalam bahan organik dan pemberian

komposnya kepada tanah meningkatkan N tersediakan dalam tanah

(FAO, 1990). Kompos yang dibuat dengan cacing tanah (vermicompost)

akhir-akhir ini medapat perhatian luas sebagai pupuk hayati penting.

Penebaran biakan cacing tanah dalam tanah dapat memperbaiki sifat

fisik dan kimiawi tanah serta dapat memacu kegiatan jasad renik tanah.

Biakan Trichoderma sp. digunakan untuk mempercepat

pengomposan. Pemberian kompos yang dibuat dengan aktivator

Trichoderma sp. dan ditambah hanya dengan setengah takaran pupuk

buatan yang biasa diberikan dapat meningkatkan hasil panen sampai

20% dibandingkan dengan yang dipupuk dengan takaran penuh pupuk

buatan. Hasil penelitian Tufaila et al. (2014a) dan Tufaila et al. (2014b)

menunjukkan bahwa penggunaan kompos dapat memperbaiki

kesuburan tanah masam dan dapat meningkatkan hasil tanaman padi

dan mentimun.

Pupuk organik dan hayati mempunyai beberapa keunggulan

nyata dibandingkan dengan pupuk mineral. Pupuk organik dengan

sendirinya merupakan keluaran setiap kegiatan pertanian, sehingga

merupakan sumber hara makro dan mikro yang boleh dikatakan cuma-

cuma. Pupuk hayati secara nisbih murah. Dengan pengelolaan yang

baik, tanah yang pernah diinokulasi dengan rhizobium atau mikorisa

dan ditanam dengan tanaman yang sama biasanya tidak memerlukan

inokulasi ulang. Biakan cacing tanah yang disebar dalam tanah yang

sesuai secara ekologis akan berkembang dengan sendirinya. Pupuk

organik dan hayati berdaya ameliorasi ganda dengan berbagai proses

yang saling mendukung, bekerja menyuburkan tanah dan sekaligus

menyehatkan tanah sebagai suatu ekosistem dan memperkuat daya

tahan tanah terhadap degradasi, dan menghindarkan terjadinya

pencemaran lingkungan. Akan tetapi dalam penerapannya terdapat

kendala ketersediaan pupuk organik, takaran harus banyak, dan dapat

memenuhi persaingan dengan kepentingan lain dalam memperoleh sisa

pertanaman atau limbah organik secara cukup.

Page 45: STRATEGI PENGELOLAAN TANAH MARGINAL

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL 37

M. Tufaila * Sitti Leomo * Syamsu Alam

Pupuk hayati masih berada pada awal pengembangan. Pada

waktu ini keberhasilan penggunaannya masih terbatas, terutama karena

produksinya belum dapat memenuhi jumlah kebutuhan. Untuk

mencukupi kebutuhan, pupuk hayati perlu diproduksi secara industri

sebagaimana yang dikerjakan orang di negara-negara maju. Di

Indonesia belum diprioritaskan secara serius karena kebijakan

pembangunan pertanian masih mementingkan budidaya kimiawi. Maka

bioteknologi yang menjadi dasar pengembangan pupuk hayati belum

memperoleh perhatian sebagaimana mestinya.

Budidaya organik belum dapat diterapkan secara murni

mengingat kendala-kendala tersebut tadi. Disamping itu di tanah-tanah

yang sangat miskin hara pupuk organik dan hayati perlu dilengkapi

dengan pupuk mineral, khusus pada tahap awal pembudidayaannya.

Pupuk mineral diperlukan agar supaya takaran pupuk organik tidak

menjadi terlalu banyak menyulitkan pengelolaannya. Sejalan dengan

proses pembangunan kesuburan tanah oleh pupuk organik dan hayati,

secara berangsur kebutuhan pupuk mineral yang berkadar hara tinggi

dapat dikurangi. Penggabungan budidaya organik dengan budidaya

kimia disebut sistem gizi tanaman terpadu (integrated plant nutrition

system, IPNS) yang sekarang sedang dikembangkan secara luas di

negara-negara Asia dan Pasifik oleh prakarsa FAO. Di dalam IPNS

penggunaan pupuk organik dan hayati bertujuan jangka panjang untuk

membangun sistem bekalan hara (nutrient supply system) dalam tanah

yang baik dan mantap. Penggunaan pupuk kimia bertujuan jangka

pendek untuk memasok hara secara segera sambil menunggu

berfungsinya sistem bekalan hara yang efektif secara berkelanjutan.

Hasil penelitian Magdalena et al. (2013) yang mengkombina-

sikan pupuk anorganik, pupuk kandang dan pupuk hijau untuk

mengurangi ketergantungan terhadap pupuk anorganik menunjukkan

bahwa perlakuan pupuk anorganik 75% dengan pupuk kandang 20 ton

ha-1

dan perlakuan pupuk anorganik 75% dengan pupuk hijau Crotalaria

juncea 20 ton ha-1

tidak berbeda nyata dengan perlakuan pupuk

anorganik 100% dengan pupuk kandang 10 ton ha-1

disertai pupuk hijau

C. Juncea 10 ton ha-1

, sehingga perlakuan pupuk anorganik 75% dengan

pupuk kandang 20 ton ha-1

dan pupuk anorganik 75% dengan pupuk

Page 46: STRATEGI PENGELOLAAN TANAH MARGINAL

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL 38

M. Tufaila * Sitti Leomo * Syamsu Alam

hijau C. Juncea 20 ton ha-1

dapat mengurangi kebutuhan pupuk

anorganik. Perlakuan pupuk anorganik 100% dengan pupuk hijau C.

juncea 20 ton ha-1

dan perlakuan pupuk anorganik 100% dengan pupuk

kandang 20 ton ha-1

memberikan hasil lebih tinggi dibandingkan dengan

pupuk anorganik 100% dengan pupuk kandang 10 ton ha-1

disertai

pupuk hijau C. Juncea 10 ton ha-1

.

(a)

(b)

Gambar 2. Tanaman cabai (a) dan tanaman kubis (b) hasil budidaya

organik (http://patih-madrim.blogspot.com/2011/08/ budida-

ya-cabai-organik.html;http://mitrapetani.blogspot.com/2012/

10/ mitra-petani-potensi-pertanian-organik.html)

Page 47: STRATEGI PENGELOLAAN TANAH MARGINAL

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL 39

M. Tufaila * Sitti Leomo * Syamsu Alam

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN GAMBUT

A. Pengertian dan Potensi Lahan Gambut

Lahan gambut adalah lahan yang memiliki lapisan tanah kaya

bahan organik (C-organik > 18%) dengan ketebalan 50 cm atau lebih.

Bahan organik penyusun tanah gambut terbentuk dari sisa-sisa tanaman

yang belum melapuk sempurna karena kondisi lingkungan jenuh air dan

miskin hara. Oleh karenanya lahan gambut banyak dijumpai di daerah

rawa belakang (back swamp) atau daerah cekungan yang drainasenya

buruk.

Luas lahan gambut di dunia diperkirakan sekitar 400 juta ha.

Indonesia merupakan negara ke empat dengan lahan rawa gambut

terluas di dunia, yaitu sekitar 17,2 juta ha setelah Kanada seluas 170 juta

ha, Uni Soviet seluas 150 juta ha, dan Amerika Serikat seluas 40 juta ha

(Euroconsult, 1984). Namun demikian, dari berbagai laporan, Indonesia

sesungguhnya merupakan negara dengan kawasan gambut tropika

terluas di dunia, yaitu antara 13,5-26,5 juta ha (rata-rata 20 juta ha). Jika

luas gambut Indonesia adalah 20 juta ha, maka sekitar 50% gambut

tropika dunia yang luasnya sekitar 40 juta ha berada di Indonesia.

Lahan gambut tersebar terutama di Sumatera, Kalimantan dan Papua

(BB Litbang SDLP, 2008). Namun karena variabilitas lahan ini sangat

tinggi, baik dari segi ketebalan gambut, kematangan maupun

kesuburannya, tidak semua lahan gambut layak untuk dijadikan areal

pertanian. Dari 18,3 juta ha lahan gambut di pulau-pulau utama

Indonesia, hanya sekitar 6 juta ha yang layak untuk pertanian. Luas

lahan gambut yang layak untuk pertanian serta sebarannya di Indonesia

(BB Litbang SDLP., 2008) disajikan pada Tabel 5.

Potensi lahan gambut yang sedemkian besarnya tersebut

sehingga perluasan pemanfaatan lahan gambut meningkat pesat di

beberapa provinsi yang memiliki areal gambut luas, seperti Riau,

Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah. Antara tahun 1982 sampai

2007 telah dikonversi seluas 1,83 juta ha atau 57% dari luas total hutan

gambut seluas 3,2 juta ha di Provinsi Riau. Laju konversi lahan gambut

V

Page 48: STRATEGI PENGELOLAAN TANAH MARGINAL

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL 40

M. Tufaila * Sitti Leomo * Syamsu Alam

cenderung meningkat dengan cepat, sedangkan untuk lahan non gambut

peningkatannya relatif lebih lambat (WWF, 2008).

Tabel 5. Luas total lahan gambut dan yang layak untuk pertanian serta

sebarannya di Indonesia

Pulau/Provinsi Luas total (ha) Layak untuk

pertanian (ha)

Sumatra

Riau Jambi Sumatera Selatan

Kalimantan Kalimantan Tengah Kalimantan Barat Kalimantan Selatan

Papua dan Papua Barat

6.244.101

4.043.600 716.839 1.483.662

5.072.249 3.010.640 1.729.980 331.629

7.001.239

2.253.733

774.946

333.936

1.144.851

1.530.256

672.723

694.714

162.819

2.273.160

Total 18.317.589 6.057.149 Catatan: Apabila lahan gambut di Provinsi Naggroe Aceh Darussalam, Sumatera

Utara, Sumatera Barat, Bengkulu dan Kalimantan Timur diperhitungkan, maka luas

total lahan gambut di Indonesia adalah sekitar 21 juta ha.

B. Pembentukan dan Klasifikasi Gambut

1. Pembentukan gambut

Gambut merupakan suatu ekosistem lahan basah yang dicirikan

oleh adanya akumulasi bahan organik yang berlangsung dalam kurun

waktu lama. Akumulasi ini terjadi karena lambatnya laju dekomposisi

dibandingkan dengan laju penimbunan bahan organik yang terdapat di

lantai hutan lahan basah. Proses pembentukan gambut hampir selalu

terjadi pada hutan dalam kondisi tergenang dengan produksi bahan

organik dalam jumlah yang banyak (Najiyati at al., 2005).

Pembentukan gambut diduga terjadi antara 10.000-5.000 tahun

yang lalu (pada periode holosin) dan gambut di Indonesia terjadi antara

6.800-4.200 tahun yang lalu (Andriesse, 1994). Gambut di Serawak

yang berada di dasar kubah terbentuk 4.300 tahun yang lalu (Tie and

Esterle, 1991), sedangkan gambut di Muara Kaman Kalimantan Timur

umurnya antara 3.850 sampai 4.400 tahun (Diemont and Pons, 1991).

Siefermann et al. (1988) menunjukkan bahwa berdasarkan carbon

Page 49: STRATEGI PENGELOLAAN TANAH MARGINAL

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL 41

M. Tufaila * Sitti Leomo * Syamsu Alam

dating (penelusuran umur gambut menggunakan teknik radio isotop)

umur gambut di Kalimantan Tengah lebih tua lagi yaitu 6.230 tahun

pada kedalaman 100 cm sampai 8.260 tahun pada kedalaman 5 m. Dari

salah satu lokasi di Kalimantan Tengah, Page et al. (2002) menampilkan

sebaran umur gambut sekitar 140 tahun pada kedalaman 0-100 cm, 500-

5.400 tahun pada kedalaman 100-200 cm, 5.400-7.900 tahun pada

kedalaman 200-300 cm, 7.900-9.400 tahun pada kedalaman 300-400

cm, 9.400-13.000 tahun pada kedalaman 400-800 cm dan 13.000-

26.000 tahun pada kedalaman 800-1.000 cm.

Dari gambaran tersebut dapat dipahami bahwa pembentukan

gambut memerlukan waktu yang sangat panjang. Gambut tumbuh

dengan kecepatan antara 0-3 mm tahun-1

. Di Barambai Delta Pulau

Petak, Kalimantan Selatan laju pertumbuhan gambut sekitar 0,05 mm

dalam satu tahun, sedangkan di Pontianak sekitar 0,13 mm tahun-1

. Di

Sarawak Malaysia, laju pertumbuhan berjalan lebih cepat yaitu sekitar

0,22 –0,48 mm per tahun (Noor, 2001).

Secara umum, pembentukan dan pematangan gambut berjalan

melalui tiga proses yaitu pematangan fisik, pematangan kimia dan

pematangan biologi. Kecepatan proses tersebut dipengaruhi oleh iklim

(suhu dan curah hujan), susunan bahan organik, aktivitas organisme,

dan waktu (Andriesse, 1988).

Pematangan gambut melalui proses pematangan fisik, kimia, dan

biologi dapat digambarkan sebagai berikut:

(1) Pematangan fisik terjadi dengan adanya pelepasan air (dehidrasi)

karena drainase, evaporasi (penguapan), dan dihisap oleh akar.

Proses ini ditandai dengan penurunan dan perubahan warna tanah;

(2) Pematangan kimia terjadi melalui peruraian bahan-bahan organik

menjadi senyawa-senyawa yang lebih sederhana. Proses pematangan

ini akan melepaskan senyawa-senyawa asam-asam organik yang

beracun bagi tanaman dan membuat suasana tanah menjadi asam.

Gambut yang telah mengalami pematangan kimia secara sempurna

akhirnya akan membentuk bahan organik baru yang disebut sebagai

humus; dan

(3) Pematangan biologi merupakan proses yang disebabkan oleh

aktivitas mikroorganisme tanah. Proses ini biasanya akan lebih cepat

Page 50: STRATEGI PENGELOLAAN TANAH MARGINAL

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL 42

M. Tufaila * Sitti Leomo * Syamsu Alam

terjadi setelah pembuatan drainase karena tersedianya oksigen yang

cukup menguntungkan bagi pertumbuhan mikroorganisme.

Tanah gambut dalam klasifikasi tanah dikenal sebagai histosols

yaitu tanah yang memiliki lapisan bahan organik dengan berat volume

(BV) dalam keadaan lembab < 0,1 g cm-3 dengan tebal > 60 cm atau

lapisan organik dengan BV > 0,1 g cm-3 dengan tebal > 40 cm (Soil

Survey Staff, 2010).

2. Klasifikasi gambut

Gambut diklasifikasikan lagi berdasarkan berbagai sudut

pandang yang berbeda; dari tingkat kematangan, kedalaman, kesuburan

dan posisi pembentukannya. Berdasarkan tingkat kematangannya,

gambut dibedakan menjadi:

(1) Gambut saprik (matang) adalah gambut yang sudah melapuk lanjut

dan bahan asalnya tidak dikenali, berwarna coklat tua sampai hitam,

dan bila diremas kandungan seratnya < 15%.

(2) Gambut hemik (setengah matang) adalah gambut setengah lapuk,

sebagian bahan asalnya masih bisa dikenali, berwarma coklat, dan

bila diremas bahan seratnya 15-75%. Contoh gambut hemik (Agus

dan Subiksa, 2008) disajikan pada Gambar 3a.

(3) Gambut fibrik (mentah) adalah gambut yang belum melapuk, bahan

asalnya masih bisa dikenali, berwarna coklat, dan bila diremas

>75% seratnya masih tersisa. Contoh gambut fibrik (Agus dan

Subiksa, 2008) disajikan pada Gambar 3b.

Berdasarkan lingkungan pembentukannya (Gambar 4), gambut

dibedakan atas:

(1) Gambut ombrogen yaitu gambut yang terbentuk pada lingkungan

yang hanya dipengaruhi oleh air hujan.

(2) Gambut topogen yaitu gambut yang terbentuk di lingkungan yang

mendapat pengayaan air pasang. Dengan demikian gambut topogen

akan lebih kaya mineral dan lebih subur dibandingkan dengan

gambut ombrogen.

Page 51: STRATEGI PENGELOLAAN TANAH MARGINAL

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL 43

M. Tufaila * Sitti Leomo * Syamsu Alam

Gambar 3. Contoh gambut fibrik (mentah) (a) dan gambut hemik

(setengah matang) (b) (Agus dan Subiksa, 2008)

Berdasarkan kedalamannya gambut dibedakan menjadi:

(1) Gambut dangkal (50-100 cm),

(2) Gambut sedang (100-200 cm),

(3) Gambut dalam (200-300 cm), dan

(4) Gambut sangat dalam (> 300 cm)

Berdasarkan proses dan lokasi pembentukannya, gambut dibagi

menjadi:

(1) Gambut pantai adalah gambut yang terbentuk dekat pantai laut dan

mendapat pengayaan mineral dari air laut.

(2) Gambut pedalaman adalah gambut yang terbentuk di daerah yang

tidak dipengaruhi oleh pasang surut air laut tetapi hanya oleh air

hujan.

(a)

(b)

Page 52: STRATEGI PENGELOLAAN TANAH MARGINAL

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL 44

M. Tufaila * Sitti Leomo * Syamsu Alam

(3) Gambut transisi adalah gambut yang terbentuk di antara kedua

wilayah tersebut, yang secara tidak langsung dipengaruhi oleh air

pasang laut.

Gambar 4. Proses pembentukan gambut di daerah cekungan lahan

basah: a. Pengisian danau dangkal oleh vegetasi lahan

basah, b. Pembentukan gambut topogen, dan c.

pembentukan gambut ombrogen di atas gambut topogen

(Noor, 2001 mengutip van de Meene, 1982)

a

b

c

Page 53: STRATEGI PENGELOLAAN TANAH MARGINAL

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL 45

M. Tufaila * Sitti Leomo * Syamsu Alam

C. Karakteristik Tanah Gambut

1. Karakteristik fisik

Mekipun bahan asal gambut berwarna kelabu, coklat atau

kemerahan tetapi setelah dekomposisi muncul senyawa-senyawa yang

berwarna gelap sehingga gambut umumnya berwarna coklat sampai

kehitaman. Warna gambut menjadi salah satu indikator kematangan

gambut. Semakin matang, gambut semakin berwarna gelap. Fibrik

berwarna coklat, hemik berwarna coklat tua, dan saprik berwarna hitam.

Dalam keadaan basah, warna gambut biasanya semakin gelap.

Kadar air tanah gambut berkisar antara 100-1.300% dari berat

keringnya (Mutalib et al., 1991). Artinya bahwa gambut mampu

menyerap air sampai 13 kali bobotnya. Kadar air berdasarkan

kematangan gambut, gambut saprik <450%, hemik 450-850% dan fibrik

>850% (Suhardjo dan Dreissen, 1975). Dengan demikian, sampai batas

tertentu, kubah gambut mampu mengalirkan air ke areal sekelilingnya

(Gambar 5). Kadar air yang tinggi menyebabkan BV menjadi rendah,

gambut menjadi lembek dan daya menahan bebannya rendah (Nugroho,

et al, 1997; Widjaja-Adhi, 1997). BV tanah gambut lapisan atas

bervariasi antara 0,1 sampai 0,2 g.cm-3

tergantung pada tingkat

dekomposisinya. Gambut fibrik yang umumnya berada di lapisan bawah

memiliki BV lebih rendah dari 0,1 g.cm-3

, tapi gambut pantai dan

gambut di jalur aliran sungai bisa memiliki BV > 0,2 g.cm-3

(Tie and

Lim, 1991) karena adanya pengaruh tanah mineral.

Gambar 5. Air mengalir dari kubah gambut melalui saluran drainase

(Agus dan Subiksa, 2008)

Page 54: STRATEGI PENGELOLAAN TANAH MARGINAL

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL 46

M. Tufaila * Sitti Leomo * Syamsu Alam

Volume gambut akan menyusut bila lahan gambut didrainase,

sehingga terjadi penurunan permukaan tanah (subsiden). Selain karena

penyusutan volume, subsiden juga terjadi karena adanya proses

dekomposisi dan erosi. Dalam 2 tahun pertama setelah lahan gambut

didrainase, laju subsiden bisa mencapai 50 cm. Pada tahun berikutnya

laju subsiden sekitar 2-6 cm.tahun-1

tergantung kematangan gambut dan

kedalaman saluran drainase. Adanya subsiden bisa dilihat dari akar

tanaman yang menggantung (Gambar 6). Penurunan air permukaan

akan menyebabkan lahan gambut menjadi kekeringan. Gambut

mempunyai sifat kering tak balik. Artinya, gambut yang sudah

mengalami kekeringan yang ekstrim, akan sulit menyerap air kembali.

Gambut yang telah mengalami kekeringan ekstrim ini memiliki bobot

isi yang sangat ringan sehingga mudah hanyut terbawa air hujan,

strukturnya lepas-lepas seperti lembaran seresah, mudah terbakar, dan

sulit ditanami kembali.

Gambar 6. Akar tanaman yang menggantung menunjukkan terjadinya

subsiden (penurunan permukaan) (Agus dan Subiksa, 2008)

2. Karakteristik kimia

Karakteristik kimia lahan gambut di Indonesia sangat ditentukan

oleh kandungan mineral, ketebalan, jenis mineral pada substratum (di

dasar gambut), dan tingkat dekomposisi gambut. Kandungan mineral

gambut di Indonesia umumnya kurang dari 5% dan sisanya adalah

Page 55: STRATEGI PENGELOLAAN TANAH MARGINAL

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL 47

M. Tufaila * Sitti Leomo * Syamsu Alam

bahan organik. Fraksi organik terdiri dari senyawa-senyawa humat

sekitar 10-20% dan sebagian besar lainnya adalah senyawa lignin,

selulosa, hemiselulosa, lilin, tannin, resin, suberin, dan protein.

Friesher dalam Driessen dan Soepraptohardjo (1974) membagi

gambut dalam tiga tingkatan kesuburan yaitu eutropik (subur),

mesotropik (sedang), dan oligotropik (tidak subur). Secara umum

gambut topogen yang dangkal dan dipengaruhi air tanah dan sungai

umumnya tergolong gambut mesotropik sampai eutropik sehingga

mempunyai potensi kesuburan alami yang lebih baik dari pada gambut

ombrogen (kesuburan hanya terpengaruh oleh air hujan) yang sebagian

besar oligotropik.

Lahan gambut umumnya mempunyai tingkat kemasaman yang

relatif tinggi dengan kisaran pH 3-5. Gambut oligotropik yang memiliki

substratum pasir kuarsa di Berengbengkel, Kalimantan Tengah memiliki

kisaran pH 3,25-3,75 (Halim, 1987; Salampak, 1999). Sementara itu

gambut di sekitar Air Sugihan Kiri, Sumatera Selatan memiliki kisaran

pH yang lebih tinggi yaitu antara 4,1 sampai 4,3 (Hartatik et.al., 2004).

Gambut oligotropik, seperti banyak ditemukan di Kalimantan,

mempunyai kandungan kation basa seperti Ca, Mg, K, dan Na sangat

rendah terutama pada gambut tebal. Semakin tebal gambut, basa-basa

yang dikandungnya semakin rendah dan reaksi tanah menjadi semakin

masam (Driessen dan Suhardjo, 1976). Kandungan unsur mikro,

khususnya Cu, Bo dan Zn, sangat rendah, namun kandungan besi (Fe)

cukup tinggi. Di sisi lain kapasitas pertukaran kation (KPK) gambut

tergolong tinggi, sehingga kejenuhan basa (KB) menjadi sangat rendah.

Tim Institut Pertanian Bogor (1974) melaporkan bahwa tanah gambut

pedalaman di Kalampangan, Kalimantan Tengah mempunyai nilai KB

kurang dari 10%, demikian juga gambut di pantai Timur Riau (Suhardjo

dan Widjaja-Adhi, 1976).

Muatan negatif (yang menentukan KPK) pada tanah gambut

seluruhnya adalah muatan tergantung pH (pH dependent charge),

dimana KPK akan naik bila pH gambut ditingkatkan. Muatan negatif

yang terbentuk adalah hasil disosiasi hidroksil pada gugus karboksilat

atau fenol. Oleh karenanya penetapan KPK menggunakan pengekstrak

amonium acetat pH 7 akan menghasilkan nilai KPK yang tinggi,

Page 56: STRATEGI PENGELOLAAN TANAH MARGINAL

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL 48

M. Tufaila * Sitti Leomo * Syamsu Alam

sedangkan penetapan KPK dengan pengekstrak amonium klorida (pada

pH aktual) akan menghasilkan nilai yang lebih rendah. KPK tinggi

menunjukkan kapasitas jerapan (sorption capacity) gambut tinggi,

namun kekuatan jerapan (sorption power) lemah, sehingga kation-

kation K, Ca, Mg dan Na yang tidak membentuk ikatan koordinasi akan

mudah tercuci.

Secara alamiah lahan gambut memiliki tingkat kesuburan rendah

karena kandungan unsur haranya rendah dan mengandung beragam

asam-asam organik yang sebagian bersifat racun bagi tanaman. Namun

demikian asam-asam tersebut merupakan bagian aktif dari tanah yang

menentukan kemampuan gambut untuk menahan unsur hara.

Karakteristik dari asam-asam organik ini akan menentukan sifat kimia

gambut.

Untuk mengurangi pengaruh buruk asam-asam organik yang

beracun dapat dilakukan dengan menambahkan bahan-bahan yang

banyak mengandung kation polivalen seperti Fe, Al, Cu dan Zn. Kation-

kation tersebut membentuk ikatan koordinasi dengan ligan organik

membentuk senyawa komplek/khelat. Oleh karenanya bahan-bahan

yang mengandung kation polivalen tersebut bisa dimanfaatkan sebagai

bahan amelioran gambut (Sabiham et al., 1997; Saragih, 1996).

D. Pertanian di Lahan Gambut

1. Kriteria pemanfaatan lahan gambut

Kegagalan pemanfaatan gambut tidak lain disebabkan banyak

faktor yang tidak dipertimbangkan sebagai kriteria dalam

pemanfaatannya. Dasar pemanfaatan lahan gambut yang selama ini

hanya mengandalkan KEPPRES No. 32 Tahun 1990 yang menyatakan

bahwa ketebalan gambut lebih dari 3 meter untuk dikonservasi atau

untuk kehutanan dan kurang dari 3 meter dapat dijadikan kawasan

produksi, tampaknya harus ditinjau kembali. Mengacu dari pertemuan

Tim Ad Hoc di BAPPENAS, Limin et al (2003) menyatakan bahwa

KEPPRES No. 23/1990 ditetapkan tidak berdasarkan hasil riset dan

fakta lapangan, melainkan hanya mengakomodir pendapat para peserta

rapat yang hadir dalam penetapannya. Tetap memberlakukan KEPPRES

No. 32/1990 tersebut dipastikan akan menyebabkan kerusakan hebat

Page 57: STRATEGI PENGELOLAAN TANAH MARGINAL

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL 49

M. Tufaila * Sitti Leomo * Syamsu Alam

pada lahan gambut yang tersisa, dan menyulitkan restorasi lahan gambut

yang telah rusak. Oleh karena itu, selain harus mempertimbangkan

aspek budaya masyarakat dan aspek pasar, Limin (2000) mengajukan

kriteria pemanfaatan gambut seperti diperincikan pada Tabel 6.

Tabel 6. Kriteria pemanfaatan gambut berdasarkan ketebalan lapisan,

bahan di bawah gambut dan hidrologi

No. Ketebalan

(cm)

Bahan di bawah

lapisan gambut Hidrologi Peruntukan

1. <50 Mineral lempung Bermasalah Padi atau

palawija,

usaha

tambak

Pasir/granit Bermasalah/tak

bermasalah

Konservasi

2. 50-100 Mineral lempung Bermasalah Padi atau

palawija,

usaha

tambak

Pasir/granit Bermasalah/tak

bermasalah

Konservasi

3. 100-200 Mineral lempung Bermasalah Komoditas

perkebunan

Pasir/granit Bermasalah/tak

bermasalah

Konservasi

4. >200 Mineral

lempung/pasir/

granit

Bermasalah/tak

bermasalah

Konservasi

2. Pengelolaan air

Pengelolaan air (water management) atau sering disebut tata air

di lahan rawa bertujuan tidak hanya untuk menghindari terjadinya

banjir/genangan yang berlebihan di musim hujan tetapi juga untuk

menghindari kekeringan di musim kemarau. Hal ini penting disamping

untuk memperpanjang musim tanam, juga untuk menghindari bahaya

kekeringan lahan sulfat masam dan lahan gambut. Pengelolaan air yang

hanya dimaksudkan untuk mengendalikan banjir di musim hujan dengan

Page 58: STRATEGI PENGELOLAAN TANAH MARGINAL

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL 50

M. Tufaila * Sitti Leomo * Syamsu Alam

membuat saluran drainase saja akan menyebabkan kekeringan di musim

kemarau. Pengelolaan air di lahan gambut dimaksudkan (Najiyati et al.,

2005) untuk:

(a) Mencegah banjir di musim hujan dan menghindari kekeringan di

musim kemarau;

(b) Mencuci garam, asam-asam organik, dan senyawa beracun lainnya

di dalam tanah;

(c) Mensuplai unsur hara yang dibutuhkan oleh tanaman;

(d) Mencegah terjadinya penurunan permukaan tanah (subsidence)

terlalu cepat;

(e) Mencegah pengeringan dan kebakaran gambut serta oksidasi pirit;

(f) Memberikan suasana kelembaban yang ideal bagi pertumbuhan

tanaman dengan cara mengatur tinggi muka air tanah.

a. Tata air makro

Tata air makro adalah pengelolaan air dalam suatu kawasan

yang luas dengan cara membuat dan mengatur jaringan reklamasi

sehingga keberadaan air bisa dikendalikan. Pada kawasan lahan rawa

yang luas, pembangunan dan pemeliharaannya tidak dilaksanakan

secara perorangan melainkan oleh pemerintah, badan usaha swasta, atau

oleh masyarakat secara kolektif. Kegiatan pembangunan sarana tata air

makro sering disebut sebagai reklamasi lahan. Beberapa model yang

sering dikembangkan antara lain sistem handil dan sistem garpu.

Sistem Handil

Sistem handil atau sistem parit sudah dikembangkan sejak lama

oleh petani lahan gambut pasang surut di Kalimantan dan Sumatera.

Handil dibuat tegak lurus sungai selebar 5-7 m dan semakin menyempit

ke arah hulu.

Panjang handil berkisar antara 0,5 km hingga 4 km atau sampai

kedalaman gambut maksimum 1 meter. Handil ini sering pula

digunakan sebagai prasarana transportasi air, karena jalan darat

umumnya tidak tersedia. Selanjutnya dibuat saluran yang lebih kecil dan

tegak lurus handil. Saluran ini sering menjadi batas kepemilikan lahan.

Pada kanan kiri handil dan saluran dibuat tanggul dan ditanami buah-

Page 59: STRATEGI PENGELOLAAN TANAH MARGINAL

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL 51

M. Tufaila * Sitti Leomo * Syamsu Alam

buahan untuk menahan erosi. Handil dan saluran tersebut ketika pasang

berfungsi sebagai saluran irigasi dan ketika surut berfungsi sebagai

saluran drainase. Denah air sistem handil disajikan pada Gambar 7.

Gambar 7. Denah tata air sistem handil (Najiyati et al., 2005)

Sistem handil mempunyai kelebihan, yaitu biaya pembuatannya

murah. Kelemahannya antara lain adalah :

a. Hanya dapat dibuat pada lokasi-lokasi yang dekat dengan sungai.

Maksimum panjang 4 km, agar air pasang masih dapat menjangkau

lahan garapan;

b. Keluar masuknya air terjadi pada saluran yang sama, sehingga air

didrainase yang mengandung senyawa-senyawa beracun bercampur

dengan air pasang. Akibatnya, senyawa-senyawa terakumulasi di

dalam saluran dan lahan sehingga kurang baik untuk pertumbuhan

tanaman.

Tabat atau bendungan dibuat di ujung handil (dekat sungai)

dengan ketentuan sebagai berikut (Gambar 8) :

Parit

Sungai Tanggul

sungai

Tanggul/

pematang

Semak belukar

Sungai

Tabat

Parit kongsi

Parit cacing

Page 60: STRATEGI PENGELOLAAN TANAH MARGINAL

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL 52

M. Tufaila * Sitti Leomo * Syamsu Alam

a. Ketinggian tabat lebih rendah dari tanggul handil sehingga pada

waktu hujan, air masih dapat melintasi bagian atas tabat dan tidak

menerobos tanggul;

b. Ketinggian tabat lebih rendah dari ketinggian air pasang kecil ketika

musim kemarau. Dengan demikian, air pasang masih dapat masuk ke

handil melintasi bagian atas tabat.

Gambar 8. Pembuatan tabat pada handil (Najiyati et al., 2005)

Sistem Garpu

Pengaturan tata air dengan sistem garpu dikembangkan oleh

Universitas Gajah Mada pada lahan pasang surut dengan membuat

saluran yang dilengkapi dengan pintu-pintu air. Saluran primer,

sekunder, dan tersier dibuat saling tegak lurus sehingga menyerupai

gambar garpu. Pintu air dibuat otomatis (flapgate) yang ketika pasang

dapat membuka lalu menutup ketika surut. Sistem garpu disajikan pada

Gambar 9.

Page 61: STRATEGI PENGELOLAAN TANAH MARGINAL

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL 53

M. Tufaila * Sitti Leomo * Syamsu Alam

Gambar 9. Tata air sistem garpu UGM (Najiyati et al., 2005)

b. Tata air mikro

Tata air mikro adalah pengelolaan air pada skala petani (Gambar

10). Dalam hal ini, pengelolaan air dimulai dari pengelolaan saluran

tersier serta pembangunan dan pengaturan saluran kuarter dan saluran

lain yang lebih kecil. Saluran tersier umumnya dibangun oleh

pemerintah tetapi pengelolaannya diserahkan kepada petani.

Pengelolaan air di tingkat petani bertujuan untuk:

a. Mengatur agar setiap petani memperoleh air irigasi dan membuang

air drainase secara adil. Untuk itu, diperlukan organisasi pengatur air

di tingkat desa;

b. Menciptakan kelembaban tanah di lahan seoptimum mungkin bagi

pertumbuhan tanaman serta mencegah kekeringan lahan sulfat

masam dan lahan gambut.

Saluran kuarter merupakan cabang saluran tersier dan

berhubungan langsung dengan lahan. Jika jarak antara saluran tersier

dengan lahan cukup jauh, saluran tersier tidak langsung berhubungan

dengan saluran kuarter. Kedua saluran tersebut dihubungkan oleh yang

sering disebut sebagai saluran kuinter.

Page 62: STRATEGI PENGELOLAAN TANAH MARGINAL

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL 54

M. Tufaila * Sitti Leomo * Syamsu Alam

Saluran kuarter dibuat tegak lurus saluran tersier. Saluran ini

sering pula dijadikan sebagai batas kepemilikan lahan bila luas

kepemilikan lahan terbatas (1-3 ha per orang). Cara membuat saluran ini

sebagai berikut:

a. Saluran drainase dan irigasi dibuat berseling. Dengan demikian,

setiap kavling lahan berhubungan dengan saluran irigasi dan saluran

drainase;

b. Saluran irigasi kuarter dibuat pada sepanjang batas kepemilikan lahan

dengan cara membuat tanggul pada sisi kanan-kiri saluran. Tanah

tanggul berasal dari lahan dan bukan dari galian saluran. Dengan

demikian, ketinggian dasar saluran minimal sama dengan ketinggian

lahan, agar air irigasi dapat masuk ke lahan. Ujung hulu saluran

irigasi dipasang pintu stoplog (Gambar 11);

c. Saluran drainase kuarter dibuat dengan cara menggali tanah selebar

0,5-0,6 m sedalam 0,4-0,6 m di sepanjang batas kavling lahan pada

sisi lain saluran irigasi. Hasil galiannya ditimbun di kanan-kiri

saluran sebagai pematang/tanggul. Ujung muara (hilir) saluran

dipasang pintu stoplog.

Keterangan :

A : Saluran drainase tersier B : Saluran irigasi kuarter C : Saluran drainase kuarter

D : Saluran kolektor E : Saluran cacing F : Pintu air drainase stoplog Gambar 10. Contoh tata air mikro pada lahan sawah dan tegalan

(Najiyati et al., 2005)

Page 63: STRATEGI PENGELOLAAN TANAH MARGINAL

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL 55

M. Tufaila * Sitti Leomo * Syamsu Alam

(a) (b)

Gambar 11. Pintu stoplog di saluran tersier (a. tampak depan; b. tampak

samping) (Najiyati et al., 2005)

Kuarter merupakan saluran di luar pertanaman yang paling kecil.

Di dalam lahan, dibuat saluran saluran kolektor dan saluran cacing.

Saluran ini berfungsi untuk mempercepat pencucian senyawa beracun

dan meratakan distribusi air irigasi. Posisi saluran kolektor dan saluran

cacing tergantung pada penataan lahan. Pada lahan yang ditata dengan

sistem caren dan surjan, saluran dibuat setelah selesai pembuatan caren

dan surjan. Pada lahan yang ditata dengan sistem sawah dan tegalan,

pembuatan saluran dilakukan setelah pengolahan tanah.

Saluran kolektor dibuat mengelilingi lahan dan tegak lurus

saluran kuarter pada setiap jarak 25-30 m. Ukuran saluran kolektor 40 x

40 cm dengan kedalaman 5-10 cm lebih dangkal dari pada saluran

kuarter. Saluran kolektor yang berhubungan dengan saluran irigasi

diberi pintu pada bagian hulu. Saluran kolektor yang berhubungan

dengan saluran drainase diberi pintu pada bagian hilir. Pintu cukup

dibuat dengan cara menggali tanggul, dan dapat ditutup sewaktu

diperlukan dengan menimbunnya kembali. Saluran cacing dibuat tegak

Page 64: STRATEGI PENGELOLAAN TANAH MARGINAL

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL 56

M. Tufaila * Sitti Leomo * Syamsu Alam

lurus saluran kolektor. Saluran ini dibuat setiap jarak 9-10 m dengan

ukuran lebar 30 cm dan dalam 25-30 cm.

3. Pengelolaan kesuburan tanah

Tanah gambut bereaksi masam. Dengan demikian diperlukan

upaya ameliorasi untuk meningkatkan pH sehingga memperbaiki media

perakaran tanaman. Kapur, tanah mineral, pupuk kandang dan abu sisa

pembakaran dapat diberikan sebagai bahan amelioran untuk

meningkatkan pH dan basa-basa tanah. Dosis anjuran dan manfaat

amelioran pada tanah gambut disajikan pada Tabel 7 (Subiksa et al,

1997; Mario, 2002; Salampak, 1999).

Tidak seperti tanah mineral, pH tanah gambut cukup

ditingkatkan sampai pH 5 saja karena gambut tidak memiliki potensi Al

yang beracun. Peningkatan pH sampai tidak lebih dari 5 dapat

memperlambat laju dekomposisi gambut. Pengaruh buruk asam-asam

organik beracun juga dapat dikurangi dengan menambahkan bahan-

bahan amelioran yang banyak mengandung kation polivalen seperti

terak baja, tanah mineral laterit atau lumpur sungai (Salampak, 1999;

Sabiham et al, 1997). Pemberian tanah mineral berkadar besi tinggi

dapat meningkatkan pertumbuhan dan produksi tanaman padi (Mario,

2002; Salampak, 1999; Suastika, 2004; Subiksa et al., 1997). Hal ini

sejalan dengan yang disampaikan oleh Sri Ratmini (2012) bahwa

pengembangan pertanian di lahan gambut menghadapi kendala antara

lain tingginya asam-asam organik. Pengaruh buruk asam-asam organik

yang beracun dapat dikurangi dengan teknologi pengelolaan air dan

menambahkan bahan-bahan yang banyak mengandung kation polivalen

seperti Fe, Al, Cu dan Zn. Kahat unsur hara untuk memberikan hasil

yang optimal pada sistem usahatani dapat dilakukan dengan tindakan

ameliorasi dan pemupukan. Namun yang perlu diperhatikan bahwa

bahwa ameliorasi untuk memperbaiki kesuburan tanah gambut juga

dapat memacu emisi, karena ameliorasi akan menurunkan rasio C/N dan

akan memacu dekomposisi gambut. Dengan demikian pemanfaatan

lahan gambut harus berdasarkan pada pertimbangan yang rasional

antara keuntungan ekonomi yang didapat dengan kerugian lingkungan

yang akan diderita (Widyati, 2011).

Page 65: STRATEGI PENGELOLAAN TANAH MARGINAL

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL 57

M. Tufaila * Sitti Leomo * Syamsu Alam

Pemupukan sangat dibutuhkan karena kandungan hara gambut

sangat rendah. Jenis pupuk yang diperlukan adalah yang mengandung

N, P, K, Ca dan Mg. Walaupun KPK gambut tinggi, namun daya

pegangnya rendah terhadap kation yang dapat dipertukarkan sehingga

pemupukan harus dilakukan beberapa kali (split application) dengan

dosis rendah agar hara tidak banyak tercuci. Penggunaan pupuk yang

tersedianya lambat seperti fosfat alam akan lebih baik dibandingkan

dengan SP36, karena akan lebih efisien, harganya murah dan dapat

meningkatkan pH tanah (Subiksa et al., 1991). Penambahan kation

polivalen seperti Fe dan Al akan menciptakan tapak jerapan bagi ion

fosfat sehingga bisa mengurangi kehilangan hara P melalui pencucian

(Rachim, 1995).

Peningkatan kandungan P tanaman semakin besar bila

pemberian fosfat alam berkadar Fe tinggi diikuti dengan pemberian

amelioran Fe3+

. Semakin tinggi kandungan air tanah dan kadar Fe dalam

fosfat alam semakin besar kontribusinya dalam menekan kehilangan

karbon, rata-rata kehilangan karbon dari tanah gambut pertahun dapat

ditekan sebesar: 64% (1,7 Mg C ha-1

.tahun-1

) pada kondisi tergenang 5

cm, diikuti dengan kondisi dua kali kapasitas lapang sebesar 58% (1,3

Mg C ha-1

.tahun-1

) dan kondisi kapasitas lapang sebesar 41% (1,0 Mg C

ha-1

tahun-1

), bila pemberian fosfat alam berkadar Fe tinggi diikuti

dengan pemberian amelioran Fe3+

. Untuk menekan kehilangan karbon

dan mempertahankan stabilitas tanah gambut disarankan menggunakan

bahan berkadar Fe tinggi sebagai amelioran dan fosfat alam berkadar Fe

tinggi pada kondisi tergenang (Nelvia, 2009).

Tanah gambut juga kahat unsur mikro karena dikhelat (diikat)

oleh bahan organik (Rachim, 1995). Oleh karenanya diperlukan

pemupukan unsur mikro seperti terusi, magnesium sulfat dan seng sulfat

masing-masing 15 kg.ha-1

.tahun-1

, mangan sulfat 7 kg.ha-1

.tahun-1

,

sodium molibdat dan borax masing-masing 0,5 kg.ha-1

.tahun-1

.

Kekurangan unsur mikro dapat menyebabkan kehampaan pada tanaman

padi, tongkol kosong pada jagung atau polong hampa pada kacang

tanah.

Page 66: STRATEGI PENGELOLAAN TANAH MARGINAL

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL 58

M. Tufaila * Sitti Leomo * Syamsu Alam

Tabel 7. Dosis anjuran dan manfaat pemberian amelioran pada tanah

gambut

Jenis amelioran Dosis

(ton.ha-1

) Manfaat

Kapur 1-2 Meningkatkan basa-basa

dan pH tanah

Pupuk kandang 5-10 Memperkaya unsur hara

makro / mikro

Terak baja 2-5

Mengurangi fitotoksik asam

organik, meningkatkan

efisiensi pupuk P

Tanah mineral 10-20

Mengurangi fitotoksik asam

organik, meningkatkan

kadar hara makro/mikro

Abu 10-20 Meningkatkan basa-basa,

dan pH tanah

Lumpur sungai 10-20

Mengurangi fitotoksik asam

organik, meningkatkan

basa-basa, unsur hara Keterangan: Beberapa amelioran dapat menggantikan fungsi amelioran lainnya.

Misalnya, dengan pemberian kapur, pemberian abu dapat dikurangi dan sebaliknya.

4. Jenis tanaman di lahan gambut

Lahan gambut merupakan habitat beraneka ragam tanaman yang

memiliki nilai ekonomi dan bermanfaat bagi manusia. Dari sejumlah

tanaman yang ada di lahan gambut beberapa diantaranya dibudidayakan

secara intesif, secara non intensif, atau tumbuh secara liar di hutan.

Budidaya secara intensif adalah budidaya tanaman dalam skala ekonomi

dengan pemeliharaan dan pemupukan yang teratur sesuai kebutuhan.

Sedangkan budidaya non intensif adalah budidaya dengan pemeliharaan

terbatas, biasanya tanpa pemupukan, dan dalam skala terbatas karena

produksinya untuk konsumsi sendiri atau dipasarkan di pasar lokal.

Berdasarkan hasil penelitian mendalam di sejumlah lokasi

gambut tropis, Driessen dan Sudewo (1976), telah mendeskripsikan

puluhan jenis tanaman. Informasi yang disajikan dalam bagian ini

sebagian besar disarikan dari buku tersebut dan ditampilkan dengan

format yang berbeda.

Page 67: STRATEGI PENGELOLAAN TANAH MARGINAL

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL 59

M. Tufaila * Sitti Leomo * Syamsu Alam

Untuk mempermudah pemahaman, jenis tanaman disajikan

dalam bentuk tabel dan dikategorikan berdasarkan pemanfaatan

komoditas yang dihasilkan. Pengelompokan tersebut yaitu tanaman

pangan, tanaman perkebunan, tanaman sayuran, tanaman rempah,

tanaman serat, tanaman buah, dan tanaman lainnya. Penulisan nama

tanaman diikuti dengan nama latin dan nama familinya. Persiapan lahan

gambut untuk budidaya tanaman sebagaimana disajikan pada Gambar

12.

Gambar 12. Persiapan lahan gambut untuk budidaya tanaman

(Supriyanto, 2013)

a. Tanaman pangan

Tanaman pangan adalah tanaman yang hasil/produksinya

merupakan bahan konsumsi manusia sebagai sumber karbohidrat atau

protein. Dari jenis tersebut, yang banyak dibudidayakan secara intensif

di lahan gambut antara lain jagung, kacang tanah, kedele, padi,

singkong, dan bengkoang. Sedangkan jenis lainnya dipelihara untuk

sekedar mencukupi kebutuhan sendiri atau diambil dari tumbuhan liar di

hutan. Dalam kelompok ini, juga terdapat jenis tanaman pangan tahunan

yaitu sagu yang umumnya belum dibudidayakan secara intensif di lahan

gambut. Jenis dan pemanfaatan tanaman pangan di lahan gambut

disajikan pada Tabel 8.

Page 68: STRATEGI PENGELOLAAN TANAH MARGINAL

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL 60

M. Tufaila * Sitti Leomo * Syamsu Alam

Tabel 8. Jenis dan pemanfaatan tanaman pangan di lahan gambut

Jenis Tanaman Pemanfaatan Keterangan

Bengkoang

(Pachyrrhizus

erosus L)

Papilonaceae

Umbinya dapat dimakan

dalam keadaan segar

Membutuhkan tanah dengan

drainase baik. Diperbanyak

dengan biji yang di tanam pada

guludan kecil. Dipanen pada

umur 8-9 bulan.

Jagung

(Zea may L.)

Gramineae

Bijinya digunakan untuk

bahan pangan, makanan

ternak, bahan baku

minyak

Diusahakan di lahan gambut

dangkal hingga sedang,

diperbanyak melalui biji. pH

tanah optimum 4,5-5,5.

Ganyong

(Cana

edulie Ker)

Cannaceae

Umbi akarnya dapat

dimakan atau dibuat

tepung

Merupakan tanaman herba.

Umumnya tidak diusahakan

dalam skala ekonomi.

Diperbanyak dengan rizom,

dipanen umur 4-12 bulan. Tahan

pada tanah asam tetapi tidak

tahan genangan.

Gembili

(Coleus

parviflorus Benth)

Labiatae

Umbinya digunakan

sebagai bahan makanan

(setelah direbus)

Merupakan tanaman herba

merambat. Umumnya tidak

diusahakan dalam skala

ekonomi.

Diperbanyak dengan rizom.

Tahan asam tetapi tidak tahan

genangan.

Kacang tanah

(Arachis hypogaea

L)

Leguminoceae

Bijinya untuk bahan

pangan, makanan ternak,

bahan baku industri

minyak. Daunnya untuk

makanan ternak

Tanaman perdu semusim, kurang

tahan pada tanah masam dan

tidak tahan genangan.

Kedelai

(Glycine max L)

Leguminoceae

Bijinya untuk bahan

pangan, bahan baku

industri (tahu, tempe,

minyak kedele)

Kurang tahan pada pH rendah

(pH optimum 5-5,5), relatif tahan

air tanah dangkal pada masa

pertumbuhan vegetatif.

Padi

(Oryza sativa)

Gramineae

Bijinya untuk bahan

pangan

Padi sawah ditanam di lahan

bergambut atau gambut dengan

kedalam <75 cm. Padi varietas

lokal relatif tahan keasaman.

Sagu (Metroxylem

sagu Rottb)

Arecaceae

Batangnya mengandung

karbohidrat, merupakan

bahan baku industri

tepung sagu

Tanaman berbentuk pohon,

biasanya tumbuh liar, dapat

diperbanyak melalui biji.

Page 69: STRATEGI PENGELOLAAN TANAH MARGINAL

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL 61

M. Tufaila * Sitti Leomo * Syamsu Alam

Tabel 8. Lanjutan

Jenis Tanaman Pemanfaatan Keterangan

Sorgum (Sorguhm

bicolor Moench)

Gramineae

Nama lain : cantel

(jawa).

Bijinya merupakan

bahan makanan dan

pakan ternak. Daunnya

untuk pakan ternak

dan pupuk hijau.

Membutuhkan tanah berdrainase

baik, relatif toleran pada

keasaman (4,5 - 5). Ditanam

dengan menggunakan biji.

Singkong

(Manihot

esculenta Crantz)

Eurphorbiaceae

Umbinya digunakan

sebagai bahan makanan

dan bahan baku industri

tapioka. Daunnya dapat

digunakan sebagai

sayuran.

Relatif tahan asam. Merupakan

tanaman pioner di lahan gambut

yang baru dibuka. Tidak tahan

genangan terutama setelah umur

satu bulan. Diperbanyak dengan

bantang.

Sukun

(Artocarpus

communis Forst)

Moraceae

Buahnya digunakan

sebagai bahan pangan.

Berupa tanaman pohon.

Diperbanyak dengan stek akar

atau sambung. Tidak tahan asam

dan genangan.

Ubi jalar (Ipomeoa

batatas L.)

Convulvulaceae

Umbinya digunakan

sebagai bahan makanan.

Relatif tahan asam. Merupakan

tanaman pioner di lahan gambut

yang baru dibuka. Tidak tahan

genangan terutama setelah umur

satu bulan. Diperbanyak dengan

bantang.

Yam/Uwi

(Dioscorea spp)

Diocoreaceae

Umbinya digunakan

sebagai bahan makanan

(setelah direbus)

Merupakan tanaman herba

merambat. Umumnya tidak

diusahakan dalam skala

ekonomi.

Diperbanyak dengan rizom.

Tahan asam tetapi tidak tahan

genangan.

b. Tanaman perkebunan

Tanaman perkebunan adalah tanaman yang umumnya

diusahakan oleh perusahaan perkebunan dalam skala luas. Pada

kenyataannya, tanaman perkebunan juga banyak diusahakan oleh

rakyat, tetapi produksinya dipasarkan ke perusahaan untuk diproses

lebih lanjut. Tanaman perkebunan yang banyak diusahakan di lahan

gambut diantaranya adalah kelapa sawit, karet, dan kelapa. Hal yang

perlu diperhatikan dalam penanaman tanaman tersebut di lahan gambut

adalah kemungkinan tanaman mudah tumbang setelah mencapai

ketinggian tertentu, terutama pada lahan gambut tebal. Hal ini terjadi

Page 70: STRATEGI PENGELOLAAN TANAH MARGINAL

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL 62

M. Tufaila * Sitti Leomo * Syamsu Alam

karena daya dukung lahan yang rendah dan penurunan permukaan

gambut (subsidence) sesudah direklamasi. Jenis tanaman perkebunan

yang dapat diusahakan pada lahan gambut sebagaimana disajikan pada

Tabel 9.

Tabel 9. Jenis dan pemanfaatan tanaman perkebunan di lahan gambut

Jenis Tanaman Pemanfaatan Keterangan

Karet (Hevea

brasiliensis

Muell.)

Euphorbiaceae

Getah yang disadap

dari kulit batangnya

digunakan sebagai

bahan baku industri

karet

Tumbuh baik pada gambut dangkal.

Pada gambut dalam, mudah

tumbang. Memerlukan air tanah

yang dalam. Diperbanyak dengan

biji atau okulasi.

Kelapa sawit

(Elaeis

guineenis Jacg)

Arecceae/Palmae

Buah dan bijinya

merupakan bahan baku

industri. Daunnya dapat

digunakan untuk pakan

ternak.

Umumnya diusahakan secara

besarbesaran oleh perusahaan atau

rakyat. Penanaman hanya dilakukan

bila ada jaminan yang menampung

tandan buah segar (TBS) Kelapa

sawit karena buah tidak dapat

disimpan lama. Diperbanyak

dengan menggunakan benih yang

disemaikan di dalam polybag atau

melalui kultur jaringan.

Kelapa (Cocos

nucifera L.)

Arecaceae/Palmae

Daging buahnya

digunakan sebagai

bahan sayur, bahan

baku kopra dan industri

minyak kelapa.

Pohon Kelapa di lahan gambut

dalam mudah tumbang. Relatif

toleran terhadap salinitas air tanah.

Kopi (Coffea spp)

Rubiaceae

Bijinya sebagai bahan

baku industri minuman

(kopi).

Jenis Liberika dan Robusta tumbuh

di lahan gambut dangkal hingga

sedang yang berdrainase baik.

Tanaman ini membutuhkan

naungan, tumbuh optimum pada pH

5,5 tetapi agak toleran pada pH

rendah. Kerapatan tanaman 1000-

1500 pohon/ha. Diperbanyak

melalui okulasi atau cangkok

Tebu (Saccarum

officinarum L.)

Gramineae

Batangnya digunakan

sebagai bahan baku

industri gula pasir, atau

bahan pembuatan

minuman.

Pernah diusahakan di lahan gambut

berdrainase baik, tetapi saat ini

hanya untuk mencukupi kebutuhan

sendiri atau dipasarkan di pasar

lokal sebagai bahan pembuatan

minuman segar. Diperbanyak

dengan stek batang.

Page 71: STRATEGI PENGELOLAAN TANAH MARGINAL

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL 63

M. Tufaila * Sitti Leomo * Syamsu Alam

Tabel 9. Lanjutan

Jenis Tanaman Pemanfaatan Keterangan

Teh (Cemellia

sinensis L.)

Theaceae

Daunnya sebagai bahan

baku indutri bahan

minuman.

Jarang dibudidayakan di lahan

gambut tropis dataran rendah, tetapi

telah diuji coba di Malaysia dan

mutunya kurang baik. Dapat

tumbuh di lahan gambut dangkal

hingga sedang yang berdrainase

baik. Diperbanyak melalui stek

batang.

c. Tanaman sayuran

Tanaman sayuran adalah tanaman yang produksinya biasa

dikonsumsi manusia sebagai sayuran. Sebagian besar tanaman sayuran

tergolong semusim. Sebagian sayuran juga diproduksi oleh tanaman

tahunan, diantaranya adalah keluwih dan petai. Bagian yang digunakan

untuk sayuran berupa batang, daun, atau buah. Jenis sayuran yang dapat

diusahakan di lahan gambut sebagaimana disajikan pada Tabel 10.

Tabel 10. Jenis dan pemanfaatan tanaman sayuran di lahan gambut

Jenis Tanaman Pemanfaatan Keterangan

Bawang merah

(Allium

asculonicum)

Liliaceae

Umbinya digunakan

untuk bumbu sayur.

Tumbuh baik pada lahan gambut

dangkal yang diberi kapur hingga

pH lebih dari 4,5 dan berdrainase

baik tetapi tidak tahan kekeringan.

Diperbanyak melalui umbi.

Bawang daun

(Allium

sp) Liliaceae

Daun dan batangnya

untuk sayuran.

Tumbuh baik pada lahan gambut

dangkal, berdrainase baik, dan

diberi kapur atau abu dan pupuk

kandang hingga pH lebih dari 4,5.

Tidak tahan kekeringan.

Diperbanyak melalui stek tunas/

anakan.

Bawang kucai

(Allium

odorum L.)

Liliaceae

Daunnya untuk bumbu

sayur.

Tumbuh baik pada lahan gambut

dangkal, berdrainase baik, dan

diberi kapur atau abu dan pupuk

kandang hingga pH lebih dari 4,5.

Tidak tahan kekeringan.

Diperbanyak melalui biji, stek

tunas/ anakan.

Page 72: STRATEGI PENGELOLAAN TANAH MARGINAL

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL 64

M. Tufaila * Sitti Leomo * Syamsu Alam

Tabel 10. Lanjutan

Jenis Tanaman Pemanfaatan Keterangan

Bayam

(Amaranthus

hybridus L.)

Amaranthaceae

Batang muda dan

daunnya digunakan

sebagai sayuran.

Tumbuh baik di lahan gambut yang

berdrainase baik dan subur, agak

toleran terhadap pH rendah dan air

tanah yang dangkal. Ditanam

menggunakan benih/biji.

Cabe merah

(Capsicum annum

L.)

Solanaceae

Buahnya untuk bumbu Merupakan tanaman herbal

semusim, tumbuh baik di gambut

dangkal hingga sedang yang

berdrainase baik, kurang toleran

pada pH rendah. Tanaman ini

memerlukan pupuk yang cukup

banyak untuk berproduksi dengan

baik. Diperbanyak dengan benih/

biji.

Cabe rawit

(Capsicum

frutescens L.)

Solanaceae

Buahnya sangat

pedas, digunakan

untuk bumbu sayuran

Merupakan herbal tahunan, tumbuh

baik di gambut dangkal hingga

sedang yang berdrainase baik,

toleran pada pH rendah.

Diperbanyak dengan benih/biji.

Kacang panjang

(Vigna sinensis

L.)

Papilionaceae

Buah dan daun muda

digunakan untuk

sayuran. Biji sebagai

bahan makan sumber

protein

Tanaman herba merambat atau

tegak. Tumbuh baik di gambut

dangkal atau sedang yang

berdrainase baik serta diberi abu

dan pupuk kandang. Diperbanyak

dengan benih/biji.

Katuk (Sauropus

androgynus

Blume.)

Euphorbiaceae

Daun dan batang

mudanya digunakan

sebagai bahan

sayuran

Tanaman perdu yang umumnya

dibudidayakan di pekarangan untuk

konsumsi sendiri atau dipasarkan

terbatas. Ditanam menggunakan

stek batang, dipanen dengan

memangkas pucuk batang.

Kemangi

(Ocimum

amecanum L.)

Lamiacae

Batang dan daun

muda digunakan

sebagai bahan

sayuran lalapan

Tanaman perdu tahunan, tumbuh di

gambut dangkal hingga dalam,

biasanya dibudidayakan dalam

skala terbatas. Dibiakkan dengan

benih.

Kenikir (Cosmos

caudatus HBK)

Asteraceae

Batang muda dan

daun digunakan

sebagai sayur atau

bumbu.

Tanaman herba, tumbuh pada

gambut dangkal hingga sedang

yang beraerasi baik. Dibiakkan

dengan benih.

Page 73: STRATEGI PENGELOLAAN TANAH MARGINAL

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL 65

M. Tufaila * Sitti Leomo * Syamsu Alam

Tabel 10. Lanjutan

Jenis Tanaman Pemanfaatan Keterangan

Kubis (Brassica

oleraceae L.)

Brassicaceae

Daunnya digunakan

sebagai bahan sayuran

Tumbuh baik di lahan gambut

dangkal yang berdrainase baik,

tidak toleran terhadap pH rendah.

Biasanya tumbuh baik di dataran

tinggi. Varietas KK Cross dan KY

Cross tumbuh baik di dataran

rendah (100-200 m dpl) tetapi

hasilnya tidak sebaik di dataran

tinggi. Ditanam dengan

menggunakan benih.

Labu, waluh

(Cucurbita

moscata Duch.

Labu siem, timun,

labu air, gambas,

pare, blewah)

Cucurbitaceae

Buahnya digunakan

untuk sayuran (labu

siem, timun, labu air,

gambas, pare), sumber

karbohidrat (waluh

/labu parang), bahan

minuman (blewah)

Tumbuhan herba merambat,

tumbuh baik di lahan gambut yang

berdrainase baik dan subur, tidak

tahan pH rendah. Ditanam

menggunakan benih yang

disemaikan terlebih dahulu.

Lobak (Raphanus

sativus L.)

Umbelliferae

Umbi akar dan daunnya

digunakan untuk

sayuran

Tumbuh baik pada tanah lembab

yang berdrainase baik,

membutuhkan pupuk dan kapur.

Diperbanyak dengan benih yang

diproduksi di dataran tinggi.

Pakis (Pleopeltis

longistema

Moore)

Polipodiaceae

Daun muda

digunakan untuk

sayuran

Banyak tumbuh di hutan rawa-rawa

gambut, baik gambut dangkal

maupun dalam.

Petai (Parkia

spesiosa Hassk.)

Mimosaceae/

Leguminoceae

Buahnya digunakan

untuk sayuran

Tanaman tahunan berbentuk pohon,

tumbuh baik di lahan gambut

dangkal hingga sedang, toleran

terhadap pH rendah, dan air tanah

lebih dari 40 cm.

Petsai (Brassica

chinensis)

Brassicaceae

Batang muda dan

daun untuk sayuran

Tumbuh baik di lahan gambut yang

berdrainase baik dan subur, tidak

tahan pH rendah. Ditanam

menggunakan benih.

Ranti (Solanum

nigrum L.)

Solanaceae

Daun muda dan buah

untuk sayuran

Tumbuh baik di lahan gambut

dangkal hingga sedang yang diberi

kapur dan pupuk. Dibiakkan dengan

benih.

Seledri (Apium

gravuiolens L.)

Umbelliferae

Batang dan daun

mudanya digunakan

sebagai sayuran

Tumbuh baik di lahan gambut

dangkal hingga dalam yang

berdrainase baik dan subur, tidak

tahan pH rendah. Diperbanyak

melalui benih.

Page 74: STRATEGI PENGELOLAAN TANAH MARGINAL

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL 66

M. Tufaila * Sitti Leomo * Syamsu Alam

Tabel 10. Lanjutan

Jenis Tanaman Pemanfaatan Keterangan

Selada (Lactuca

sativa L.)

Brassicaceae

Batang muda dan

daun untuk sayuran

Tumbuh baik di lahan gambut yang

berdrainase baik dan subur, tidak

tahan pH rendah. Ditanam

menggunakan benih.

Terong (Solanum

melongena L.)

Solanaceae

Buahnya digunakan

sebagai bahan

sayuran

Tumbuh baik di lahan gambut yang

berdrainase baik dan subur, tidak

tahan pH rendah. Ditanam

menggunakan benih yang

disemaikan terlebih dahulu.

Tomat

(Lycopersicon

esculentum Mill.)

Solanaceae

Buahnya digunakan

untuk sayuran atau

bahan baku

pembuatan saus

Tanaman herba semusim, sesuai

pada lahan gambut dangkal yang

berdrainase baik tetapi tidak kering.

Pemupukan dan pengapuran sangat

diperlukan. Beberapa varietas yang

sesuai untuk dataran rendah adalah

ratna, mutiara, intan, dan berlian.

d. Tanaman buah-buahan

Tanaman buah-buahan adalah tanaman yang menghasilkan buah

untuk dikonsumsi manusia dalam keadaan segar atau diolah terlebih

dahulu, sebagai sumber vitamin dan serat. Dalam kelompok ini, terdapat

tanaman buah sebanyak 22 jenis. Sebagian besar tanaman tersebut

merupakan tanaman tahunan, dan hanya tiga jenis yaitu nenas, melon

dan semangka yang merupakan tanaman semusim. Jenis tanaman buah-

buahan yang diusahakan di lahan gambut sebagaimana disajikan pada

Tabel 11.

Tabel 11. Jenis dan pemanfaatan tanaman buah di lahan gambut

Jenis Tanaman Pemanfaatan Keterangan

Alpukat (Persea

amecicana

Miller)

Lauraceae

Buahnya mengandung

banyak lemak, protein,

dan mineral; dapat

dikonsumsi dalam

bentuk segar atau

sebagai bahan baku

industri kosmetika.

Tahan pada pH rendah hingga 4,

membutuhkan kelembaban tanah

tinggi tetapi peka terhadap

genangan. Umumnya tidak

dibudidayakan secara intensif,

tetapi responsif terhadap

pemupukan N, P,K dan pupuk

mikro.

Page 75: STRATEGI PENGELOLAAN TANAH MARGINAL

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL 67

M. Tufaila * Sitti Leomo * Syamsu Alam

Tabel 11. Lanjutan

Jenis Tanaman Pemanfaatan Keterangan

Belimbing

(Averrhoa spp.)

Oxalidaceae

Buah belimbing manis

dikonsumsi dalam

bentuk buah segar.

Buah belimbing wuluh

untuk sayuran.

Tumbuh baik di lahan gambut

pesisir dengan kedalaman gambut

dangkal hingga sedang, meskipun

tanpa pupuk dan kapur. Ditanam

melalui biji atau cangkok.

Delima (Punica

granatum L.)

Punicaceae

Buahnya sebagai buah

segar atau bahan baku

pembuatan jus. Kulit

kayunya digunakan

untuk obat cacing.

Kurang sesuai untuk gambut tropis

dataran rendah. Diperbanyak

dengan stek batang. Umumnya

tidak dibudidayakan secara intensif.

Duku (Lansium

domesticum Corr)

Meliaceae

Buahnya dikonsumsi

sebagai buah segar.

Pertumbuhan duku di lahan gambut

relatif lambat dan hasilnya relatif

rendah kecuali pada lahan gambut

dangkal.

Durian (Durio

Zibhethinus

domesticum

Murr)

Bombacaceae

Buahnya dikonsumsi

sebagai buah segar atau

bahan baku industri

makanan (dibuat

lempok) dan sele.

Tumbuh baik pada gambut dangkal

hingga sedang dengan air tanah

lebih dari 75 cm. Di lahan gambut,

biasanya dibudidayakan secara non

intensif. Diperbanyak melalui biji

atau okulasi.

Gandaria (Bouea

macrophylla

Griff.)

Anacardiaceae

Buahnya digunakan

sebagai buah segar.

Tanaman bertentuk pohon, tumbuh

baik pada gambut dangkal hingga

sedang. Umumnya tidak dibudi

dayakan secara intensif.

Jambu air

(Syzigium aqueum

Merr & Perry)

Myrtaceae

Buahnya untuk buah

segar.

Biasanya ditanam di pekarangan

untuk konsumsi sendiri, hanya

sebagian kecil yang dijual.

Diperbanyak dengan biji, okulasi,

atau cangkok.

Jambu biji

(Psidium guajava

L.) Myrtaceae

Buahnya untuk buah

segar, dibuat manisan,

dan sebagai bahan baku

industri minuman.

Daunnya untuk obat

diare, buahnya untuk

obat demam berdarah

(jambu getas).

Di lahan gambut, biasanya ditanam

di pekarangan untuk konsumsi

sendiri, hanya sebagian kecil yang

dijual. Diperbanyak dengan biji,

okulasi, atau cangkok.

Kedondong

(Spondias

cytherea SONN.)

Anacardiaceae

Buahnya dimakan

sebagai buah segar atau

dibuat manisan.

Biasanya ditanam di pekarangan

dan tidak dibudidayakan secara

intensif. Tumbuh baik di gambut

dangkal hingga sedang. iperbanyak

dengan biji atau cangkok.

Page 76: STRATEGI PENGELOLAAN TANAH MARGINAL

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL 68

M. Tufaila * Sitti Leomo * Syamsu Alam

Tabel 11. Lanjutan

Jenis Tanaman Pemanfaatan Keterangan

Mangga

(Mangifera Spp)

Anacardiaceae

Buah muda untuk

rujak, buah matang

sebagai buah segar

atau untuk ramuan

sambal.

Mangga umumnya menghendaki

bulan kering lebih dari 3 bulan. Di

daerah dengan bulan basah yang

panjang, banyak terdapat Mangga

bancang dan kuweni yang rasanya

asam. Tumbuh baik pada gambut

dangkal, berdrainase baik dan

kurang tahan pH rendah. Di

Kalimantan Selatan dan Tengah,

Mangga kesturi sangat umum

dijumpai tumbuh di lahan gambut.

Manggis

(Garcinia

mangostana L.)

Guttiferaceae

Buahnya digunakan

sebagai buah segar.

Banyak terdapat di hutan alami

tetapi juga dibudiayakan secara

tidak intensif.

Melinjo (Gnetum

gnemon L.)

Gnetaceae

Daun muda untuk

sayuran, bijinya

sebagai bahan baku

pembuatan emping.

Tumbuh baik pada gambut dangkal

hingga sedang yang diberi pupuk

dan kapur.

Melon (Cucumis

melo L.)

Cucurbitaceae

Buahnya digunakan

sebagai buah segar.

Tumbuhan herba menjalar, tumbuh

baik di lahan gambut yang

berdrainase baik dan subur, tidak

tahan pH rendah. Ditanam

menggunakan benih yang

disemaikan terlebih dahulu.

Nenas (Ananas

comosus Merr.)

Bromeliaceae

Buahnya digunakan

sebagai buah segar,

buah kaleng, ataubahan

baku industri makanan

(dibuat sele).

Tumbuh baik pada lahan gambut

dangkal hingga dalam yang

berdrainase baik, relatif toleran

terhadap pH rendah. Dibudidayakan

secara intensif atau non intensif.

Rekomendasi pemupukan per

hektar 45 - 80 kg N, 45 - 80 kg

P2O5, 80 - 120 kg K2O. Pada

gambut dalam, perlu tambahan

pupuk mikro.

Nangka

(Artocarpus

heterophyllus

Lam.) Moraceae

Buah matang

digunakan sebagai

buah segar. Buah

muda digunakan

sebagai bahan sayuran.

Bijinya dapat direbus

dan dikonsumsi.

Biasanya tidak dibudidayakan

secara intensif, untuk konsumsi

sendiri atau dijual. Tumbuh baik di

gambut dangkal hingga sedang

yang berdrainase baik. Pada gambut

dalam, mudah tumbang.

Diperbanyak dengan biji.

Page 77: STRATEGI PENGELOLAAN TANAH MARGINAL

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL 69

M. Tufaila * Sitti Leomo * Syamsu Alam

Tabel 11. Lanjutan

Jenis Tanaman Pemanfaatan Keterangan

Pepaya (Carica

papaya L.)

Caricaceae

Buah muda dan daun

untuk sayuran. Buah

matang untuk buah

segar. Batang dan

daunnya mengandung

papain dapat sebagai

bahan baku industri

kosmetik.

Agak toleran terhadap pH rendah

dan gambut sedang, tetapi tidak

tahan air tanah dangkal.

Diperbanyak dengan biji yang

ditanam langsung atau disemaikan

terlebih dahulu.

Rambutan

(Nephelium

lappaceum L.)

Sapindaceae

Buahnya digunakan

sebagai buah segar atau

dikalengkan.

Tumbuh baik di lahan gambut

dangkal hingga sedang yang

berdrainase baik, tanpa kapur dan

pupuk. Umumnya masih

dibudidayakan untuk konsumsi

sendiri atau dijual di pasar lokal.

Diperbanyak dengan cangkokkan

atau okulasi.

Salak (Salacca

edulis Reinw)

Palmae

Buahnya digunakan

sebagai buah segar.

Banyak dibudidayakan di lahan

gambut di Kalimantan Selatan dan

Kalimantan Tengah.

Sawo (Manilkara

achras Fosberg)

Sapotaceae

Buah dapat dimakan

dalam bentuk segar.

Getahnya dapat disadap

seperti karet, dan

digunakan untuk bahan

baku pembuatan

permen karet.

Tumbuh baik di hutan gambut

dangkal dan sedang. Jarang

dibudidayakan secara intensif.

Tanpa pemupukan, buah berukuran

kecil.

Semangka

(Citrullus

vulgaris

Schrad)

Cucurbitaceae

Buahnya digunakan

sebagai buah segar.

Tumbuhan herba menjalar, tumbuh

baik di lahan gambut yang

berdrainase baik dan subur, tidak

tahan pH rendah. Ditanam

menggunakan benih yang

disemaikan terlebih dahulu.

Sirsak (Anona

muricata L.)

Anonaceae

Buahnya sebagi buah

segar atau bahan baku

minuman.

Tumbuh baik pada gambut dangkal

hingga sedang yang berdrainase

baik. Ditanam dengan mengguna-

kan biji, cangkok, atau okulasi.

Sri kaya (Anona

squamosa L.)

Anaonaceae

Buahnya sebagai buah

segar atau bahan baku

industri minuman.

Tumbuh baik pada gambut dangkal

hingga dalam yang berdrainase

baik. Ditanam dengan mengguna-

kan biji, cangkok, atau okulasi.

Page 78: STRATEGI PENGELOLAAN TANAH MARGINAL

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL 70

M. Tufaila * Sitti Leomo * Syamsu Alam

e. Tanaman lainnya

Tanaman lainnya yang dapat diusahakan di lahan gambut

seperti:

(1) Tanaman rempah dan minyak aksiri : cengkeh, jahe, kayu manis,

kunyit, kencur, mint, nila, pala, pinang, lada, serai, dan temu lawak.

(2) Tanaman serat : kapas, pisang abaka, agave, rami, kapuk randu,

kenaf, dan rosela.

(3) Tanaman bunga matahari, jarak, jelutung, kesumba, mengkudu,

meranti rawa, pulai, rengas manuk, belangeran, ramin, sungkai,

kemiri, rotan, murbei, lantoro, turi, saga, pacar kuku, purun tikus,

dan sengon.

Contoh tanaman pertanian yang dibudidayakan di lahan gambut

sebagaimana disajikan pada Gambar 13.

Gambar 13. Tanaman pertanian yang dibudidayakan di lahan gambut

(Purbiati, 2010; Agus dan Subiksa, 2008; http://teguh-

setioutomo.blogspot.com/)

Page 79: STRATEGI PENGELOLAAN TANAH MARGINAL

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL 71

M. Tufaila * Sitti Leomo * Syamsu Alam

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN SULFAT MASAM

A. Pengertian dan Potensi Lahan Sulfat Masam

Lahan sulfat masam adalah ungkapan yang menunjukkan

interaksi tanah sulfat masam dengan lingkungannya. Untuk kejelasan-

nya diberikan batasan istilah tentang tanah sulfat masam. Tanah sulfat

masam dikenal dengan sebutan cat clay yang diambil dari asal kata

katteklei (bahasa Belanda) yang berarti lempung yang berwarna seperti

pada bulu kucing yaitu warna kelabu dengan bercak kuning pucat

(jerami). Bercak kuning pucat ini merupakan senyawa hasil oksidasi

pirit yang sering disebut dengan jarosit. Istilah tanah sulfat masam

digunakan karena berkaitan dengan adanya bahan sulfida (pirit) dalam

tanah ini yang apabila teroksidasi menghasilkan asam sulfat sehingga

menyebabkan tanah menjadi masam sampai sangat masam (pH 2-3)

(Noor, 2004).

Luas lahan sulfat masam di dunia ditaksir antara 12-19 juta

hektar (Beek et al., 1980; Langenhoff, 1986; Seiler, 1992). Hasil survei

tanah yang lebih baru memperkirakan luas lahan sulfat masam di dunia

sekitar 24 juta hektar (Mensvoort, 1996; Bosch et al., 1998).

Berdasarkan data kompilasi dari berbagai sumber diperkirakan luas

lahan sulfat masam di dunia adalah 19,35 juta hektar, di antaranya

sekitar 10 juta hektar berada di kawasan tropika. Selain itu, masih

terdapat 20 juta hektar lahan berpotensi sulfat masam yang masih

tertutup lahan gambut atau endapan lain bukan sulfidik (Breemen,

1980). Kawasan terluas yang mempunyai lahan sulfat masam adalah

Asia dan Afrika.

Luas sulfat masam di Indonesia tersebar meliputi daerah

sepanjang pantai timur dan utara pulau Sumatra, pantai selatan dan

timur pulau Kalimatan, pantai barat dan timur pulau Sulawesi, dan

pantai selatan pulau Papua. Berdasarkan survei yang dilakukan

Euroconsult (1984), luas lahan sulfat masam ditaksir 2,0 juta hektar,

masing-masing 800 ribu hektar tersebar di pulau Sumatra, 575 ribu

VI

Page 80: STRATEGI PENGELOLAAN TANAH MARGINAL

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL 72

M. Tufaila * Sitti Leomo * Syamsu Alam

hektar di pulau Kalimantan, dan 625 ribu hektar di pulau Papua. Hasil

survei yang dilakukan oleh PPT-Bogor tahun 1990 menyatakan bahwa

luas lahan sulfat masam di Indonesia sekitar 6,70 juta hektar atau 20%

dari luas lahan rawa pasang surut dan rawa lebak atau 10% dari luas

lahan basah (Noor, 2004).

B. Pembentukan dan Klasifikasi Tanah Sulfat Masam

1. Pembentukan tanah sulfat masam

Tanah sulfat masam merupakan endapan marin yang dapat

dicirikan oleh salah satu atau beberapa hal berikut (Dent, 1986; Noor,

2004) : (1) bahan sulfida atau pirit, (2) lapisan (horison) sulfurik, (3)

bercak jarosit, dan (4) bahan penetral berupa karbonat atau basa-basa

tertukar lainnya.

a. Bahan sulfidik (pirit)

Bahan sulfidik (pirit) merupakan hasil endapan marin. Pirit

terbentuk melalui serangkain proses kimia, geokimia, dan biokimia

secara bertahap. Ion-ion sulfat yang banyak terkandung dalam air laut

oleh ayunan pasang diendapkan pada dataran-dataran pantai dan

sebagian menjorok memasuki mintakan pasang surut. Besi yang

merupakan penyusun mineral lempung silikat dalam bahan induk tanah

bersenyawa dengan sulfat. Pada dasarnya, persenyawaan antara sulfat

dan besi inilah yang membentuk pirit (Noor, 2004).

Menurut Dent (1986) pembentukan pirit dipengaruhi oleh

banyak faktor, antara lain (1) tingginya kandungan bahan organik, (2)

suasana anaerob, (3) jumlah kecukupan sulfat terlarut, dan (4) kadar

besi terlarut. Bahan organik merupakan sumber energi atau makanan

bagi mikroorganisme yang mempunyai peranan penting dalam kegiatan

reduksi oksida pada tanah sulfat masam. Suasana anaerob merupakan

kondisi alami dari lahan rawa umumnya. Kondisi ini menyebabkan

terjadinya proses reduksi sulfat (SO42-

) menjadi sulfida (H2S) dan ferri

(Fe3+

) oleh bakteri pereduksi Desulfovibrio sp. dan Desulfotomaculum

sp. pada kondisi redoks (Eh) antara 200-300mV. Reaksi keseluruhan

pembentukan pirit adalah :

Page 81: STRATEGI PENGELOLAAN TANAH MARGINAL

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL 73

M. Tufaila * Sitti Leomo * Syamsu Alam

Fe2O3(s) + 4 (SO4)2-

(aq) + 8 CH2O + ½ O2(g) →

bahan organik

2 FeS2(s) + 8 HCO3(aq) + 4 H2O(l)

pirit

Reaksi pembentukan pirit dapat secara langsung, yaitu (1)

pengendapan atau (2) reaksi padat, dengan formula berikut :

(1) Fe2+

+ S22-

→ FeS2

(2) FeS + S → FeS2

b. Lapisan (horison) sulfurik

Pirit bersifat stabil dalam kondisi anaerob, apabila kondisi

berubah menjadi aerob akibat penyingkapan, maka pirit bersifat labil

dan mudah teroksidasi. Secara gradual lapisan pirit akan mengalami

pematangan, sekaligus pemasaman sehingga membentuk lapisan yang

disebut lapisan sulfurik. Lapisan sulfurik merupakan cerminan keadaan

tanah yang telah mengalami perkembangan sehingga dalam taksonomi

tanah di kelompokkan ke dalam ordo inceptisol. Jika pirit terbentuk

pada tingkat kondisi netral pH sekitar 7,18 dan potensi redoks (Eh) –

200 mV, maka lapisan sulfurik yang ditandai dengan adanya bercak

jerosit terbentuk dalam kondisi sangat masam (pH < 4) dan potensial

redoks tinggi (Eh > 400 mV) (Noor, 2004). Menurut Maas (2003) pirit

stabil pada Eh < -200 mV, oksidasi lemah meningkatkan Eh > 100 –

100 mV sehingga terbentuk asam sulfat dan fero sulfat yang

menyebabkan terjadinya pemasaman pH < 3,5.

c. Jarosit

Jarosit adalah senyawa yang dihasilkan dari oksidasi pirit. Jadi

adanya jarosit memberikan gambaran suatu keadaan sekaligus proses

kimiawi dalam tanah yang berkaitan dengan terjadinya sentuhan oleh

udara atau reaksi oksigen terhadap lapisan pirit. Oksidasi pirit selain

menghasilkan jarosit juga menghasilkan ion-ion H+ dan asam sulfat

(SO42-

) yang menyebabkan pemasaman tanah.

Page 82: STRATEGI PENGELOLAAN TANAH MARGINAL

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL 74

M. Tufaila * Sitti Leomo * Syamsu Alam

Rumus kimia jarosit secara umum adalah KFe3(SO4)2(OH)6.

Bentuk ini merupakan bentuk yang terdapat di lapisan tanah sulfat

masam pada umumnya. Bentuk jarosit lainnya adalah natro jarosit,

apabila K diganti oleh Na sehingga menjadi NaFe3(SO4)2(OH)6, dan

hydronium jarosit apabila K diganti oleh H2O sehingga menjadi (H2O)

Fe3(SO4)2(OH)6. Selain itu, unsur Fe adakalanya diganti oleh Al

(Breemen, 1982). Berikut ini menunjukkan reaksi pembentukan jarosit

sebagai hasil oksidasi pirit.

FeS2 + 15/4 O2 + 5/2 H2O + 1/3 K+ → 1/3 K Fe3(SO4)2(OH)6 +

jarosit

4/3 SO42-

+ 3 H+

d. Bahan penetral karbonat atau basa-basa tertukar

Senyawa karbonat, basa-basa tertukar, dan mineral silikat yang

mudah lapuk sangat penting sebagai sumber penetral kemasaman pada

lahan sulfat masam yang dihasilkan oleh oksida pirit. Keragaman

jumlah dan susunan senyawa penetral ini dipengaruhi oleh mintakan

iklim. Kandungan penetral berupa karbonat yang berada dalam

mintakan iklim sedang, semiarid dan arid lebih besar sampai >15%

dibandingkan yang berada dalam lingkungan air tawar dan payau di

mintakan iklim tropika basah. Hal inilah yang menyebabkan tanah sulfat

masam di kawasan tropika bersifat masam, sedangkan di kawasan iklim

sedang cenderung bersifat netral. Menurut Driessen dan

Soepraptohardjo (1974) adanya mineral hijau seperti khlorit dan

glaukopit yang cukup tinggi di beberapa daerah seperti di Sulawesi dan

Papua telah mencegah terbentuknya tanah sulfat masam.

2. Klasifikasi tanah sulfat masam

Sebagian besar lahan sulfat masam di Indonesia berada di

wilayah pasang surut. Berdasarkan tipe luapannya, lahan sulfat masam

dibagi menjadi empat tipe yaitu tipe A, B, C, dan D (Widjaya-Adhi,

1986) sebagaimana disajikan pada Tabel 12.

Page 83: STRATEGI PENGELOLAAN TANAH MARGINAL

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL 75

M. Tufaila * Sitti Leomo * Syamsu Alam

Tabel 12. Tipe luapan lahan sulfat masam yang berada di wilayah rawa

pasang surut

No. Tipe Luapan Karakteristik

1. Tipe A

Wilayah pasang surut yang selalu mendapat

luapan pasang, baik pasang tunggal

(purnama) maupun pasang ganda (perbani)

serta mengalami pengatusan secara harian.

Wilayah tipe luapan ini meliputi pesisir

pantai dan sepanjang tepian sungai.

2. Tipe B

Wilayah pasang surut yang mendapat

luapan hanya ada saat pasang tunggal

(purnama), tetapi mengalami pengatusan

secara harian. Wilayah tipe luapan ini

meliputi wilayah ke pedalaman sejauh <

50-100 km dari tepian sungai.

3. Tipe C

Wilayah pasang surut yang tidak mendapat

luapan pasang dan mengalamai pengatusan

secara permanen. Pengaruh ayunan pasang

diperoleh hanya melalui resapan dan

mempunyai muka air tanah pada jeluk < 50

cm dari permukaan tanah.

4. Tipe D

Wilayah pasang surut yang tidak mendapat

pengaruh ayunan pasang sama sekali dan

mengalami pengatusan secara terbatas.

Muka air tanah mencapai jeluk > 50 cm

dari permukaan tanah.

Tanah sulfat masam berdasarkan karakteristiknya

dikelompokkan menjadi dua yaitu (1) tanah sulfat masam potensial dan

(2) tanah sulfat masam aktual. Tanah sulfat masam potensial

(sulfaquent) dicirikan antara lain lapisan pirit pada jeluk >50 cm dari

permukaan tanah, berwarna kelabu, masih mentah (n > 0,7) dan

kemasaman sedang sampai masam (pH 4,0). Tanah sulfat masam

potensial menurut Soil Survey Staff (1998) diklasifikasikan ke dalam

Typic / Haplic / Thapto-Histic Sulfaquents, Typic / Aeric Hydraquents /

Fluvaquents / Endoaquents / Endoaquepts atau Sulfic Hydraquents /

Fluvaquents / Endoaquents / Endoaquepts. Tanah sulfat masam aktual

Page 84: STRATEGI PENGELOLAAN TANAH MARGINAL

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL 76

M. Tufaila * Sitti Leomo * Syamsu Alam

(sulfaquept) dicirikan antara lain kecoklatan pada permukaan, cukup

matang (n < 0,7) dan sangat masam atau pH < 3,5. Tanah sulfat masam

aktual menurut Soil Survey Staff (1998) diklasifikasikan ke dalam

Sulfaquepts, Sulfic Endoaquepts, dan Sulfic Hydraquents / Flufaquents

/Endoaquents (Breemen dan Pons, 1978; Moormann dan Breemen,

1976; Suriadikarta dan Sutriadi, 2007).

Menurut Widjaja-Adhi et al. (1992) berdasarkan kendala dan

sifat tanahnya yaitu pirit dan kondisinya, lahan sulfat masam dapat

dipilih atas enam tipologi lahan yaitu (1) aluvial bersulfida dangkal, (2)

aluvial bersulfida dalam, (3) aluvial bersulfida sangat dalam, (4) aluvial

bersulfat-1, (5) aluvial bersulfat-2, dan (6) aluvial bersulfat-3. Kriteria

dan tipologi lahan sulfat masam disajikan pada Tabel 13 (Widjaja-Adhi

dan Alihamsyah, 1998).

Tabel 13. Kriteria dan tipologi lahan sulfat masam berdasarkan jeluk

dan kondisi pirit

No. Tipologi lahan Jeluk pirit

*)

(cm) Kondisi

1. Aluvial bersulfida

dangkal

< 50 Menunjukkan adanya

bahan sulfida/pirit, pH

3,5-4,0.

2. Aluvial bersulfida

dalam

50-100 Menunjukkan adanya

bahan sulfida, pH >4,0.

3. Aluvial bersulfida

sangat dalam

> 100 Menunjukkan adanya

bahan sulfida, pH >4,0-

4,5.

4. Aluvial bersulfat-1 < 100 Belum ada ciri horison

sulfurik, pH > 3,5 dan

tanpak bercak pirit.

5. Aluvial bersulfat-2 < 100 Menunjukkan adanya ciri

horison sulfurik, pH <

3,5.

6. Aluvial bersulfat-3 > 100 Menunjukkan adanya ciri

horison sulfurik, pH <

3,5. *)

Diukur dari permukaan tanah mineral

Page 85: STRATEGI PENGELOLAAN TANAH MARGINAL

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL 77

M. Tufaila * Sitti Leomo * Syamsu Alam

C. Karakteristik Tanah Sulfat Masam

Permasalah pengembangan pertanian di lahan sulfat masam

pada dasarnya terletak pada karakteristik yang melekat pada tanah yang

bersifat marginal. Mengingat banyak dan kompleksnya masalah yang

dihadapi dalam pengembangan tanah bermasalah sulfat masam, maka

pemahaman secara benar mutlak diperlukan agar terhindar dari

kesalahan-kesalaman dalam pengelolaan tanah tersebut.

1. Karakteristik fisik

Warna tanah sulfat masam umumnya coklat gelap untuk lapisan

atas dan abu-abu (grey) untuk lapisan bawah yang menunjukkan adanya

pirit. Warna coklat gelap menunjukkan tingginya kandungan bahan

organik sedangkan warna abu-abu menunjukkan tingginya kadar

mineral kaolinit (Breemen, 1982). Warna abu-abu gelap kehijauan

menunjukkan adanya pirit dan warna semakin gelap menunjukkan kadar

pirit yang semakin tinggi (Noor, 2004).

Nilai n (kematangan) tanah sulfat masam umumnya berkisar

antara < 0,7 (matang) dan > 2,0 (mentah). Tanah sulfat masam

mempunyai tekstur tanah yang bersifat lempungan, struktur tanah pejal

dan konsistensi tanah lekat apabila basah/lembab dan teguh apabila

kering. Oleh karena itu permeabilitas tanah sulfat masam umunya

lambat sampai sangat lambat. Pada kasus tertentu, seperti pada tanah

sulfat masam potensial yang mempunyai banyak saluran besar bekas

akar dan lubang-lubang bekas hewan, maka permeabilitas tanah nisbih

tinggi. Demikian juga tanah sulfat masam yang bersifat pasiran dan

bergambut mempunyai permeabilitas nisbi tinggi. Pelumpuran dapat

menurunkan permeabilitas tanah, tetapi tidak mungkin dilakukan pada

tanah yang bersifat pasiran dan bergambut.

2. Karakteristik kimia

Reaksi tanah sulfat masam tergolong masam sampai luar biasa

masam, berkisar pada pH 4 (untuk ordo entisol) dan pH < 3,5 (ordo

inceptisol). Kemasaman merupakan kendala paling hakiki dalam

pengembangan pertanian di lahan sulfat masam. Tanaman tumbuh

normal umumnya pada pH 5,5 untuk tanah gambut dan pH 6,5 untuk

Page 86: STRATEGI PENGELOLAAN TANAH MARGINAL

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL 78

M. Tufaila * Sitti Leomo * Syamsu Alam

tanah mineral karena pada pH < 4,5 terjadi peningkatan Al, Fe, dan Mn

dan pada pH < 6,5 terjadi kahat Ca, Mg, dan K. Kemasaman yang tinggi

di lahan sulfat masam setelah reklamasi mengimbas terhadap pening-

katan kelarutan Al, Fe, asam-asam organik, dan diiringi dengan kahat P,

Cu, dan Zn. Lahan sulfat masam yang terletak dengan muara sungai

atau pesisir pantai umumnya mengandung salinitas tinggi. Kelarutan

sulfat yang dihasilkan dari oksida pirit pada lahan yang telah

direklamasi akan diikuti oleh peningkatan salinitas (Noor, 2004).

Kadar Al pada tanah sulfat masam berkaitan dengan oksidasi

pirit. Suasana yang sangat masam mempercepat pelapukan mineral

alumino-silikat dengan membebaskan dan melarutkan Al yang lebih

banyak (Notohadiprawiro, 1998). Kelarutan Al tanah sulfat masam

selain dalam bentuk kation yang dapat tukar (Al3+

), juga dalam bentuk

koloidal sebagai hidroksil atau basic sulfat. Kadar Al meningkat pada

pH 4,0-4,5 (Dent, 1986). Hasil penelitian Breemenn (1976)

menunjukkan aktivitas Al3+

meningkat hampir 10 kali lipat dengan

penurunan satuan unit pH.

Besi (Fe) dalam tanah sulfat masam yang sering menimbulkan

masalah adalah dalam bentuk ferro (Fe2+

) yang menyebabkan keracunan

bagi tanaman, khususnya dalam kondisi tergenang. Kadar Fe2+

dan

Mn2+

pada tanah sulfat masam tergenang (tereduksi) mempunyai

kisaran sangat lebar antara 0,007 sampai 6.600 ppm Fe dan 1 sampai

100 ppm Mn. Kadar Fe2+

dipengaruhi oleh pH, bahan organik, kadar

Fe3+

, dan reaktivitas Fe3+

(Ponnamperuma, 1977). Pada tanah sulfat

masam tua sebagian berubah bentuk menjadi mudah teroksidasi menjadi

besi bermartabat tiga atau ferri (Fe3+

) yang menimbulakn kerak karatan

pada permukaan tanah.

Asam sulfida (H2S) sebagai hasil dari reduksi sulfat dapat

menimbulkan keracunan, terutama pada padi dengan kondisi tanah

tergenang. Keracunan H2S berasosiasi dengan kadar bahan organik

tinggi dan besi rendah. Bakteri pereduksi sulfat tidak bekerja pada

kondisi masam sehingga keracunan H2S hanya muncul apabila

penggenangan menaikan pH mencapai 5 (Dent, 1986).

Page 87: STRATEGI PENGELOLAAN TANAH MARGINAL

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL 79

M. Tufaila * Sitti Leomo * Syamsu Alam

D. Pertanian di Lahan Sulfat Masam

1. Pengelolaan air

a. Tata air makro

Pengelolaan air di lahan sulfat masam serupa dengan

pengelolaan air pada lahan gambut pasang surut. Secara umum

pengelolaan air di lahan sulfat masam dibedakan atas tata air makro dan

tata air mikro. Tata air makro yang umum di kembangkan pada lahan

gambut pasang surut termasuk lahan sulfat masam adalah sistem satu

arah.

Berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa pengelolaan air

satu arah pada lahan sulfat masam memberikan hasil yang lebih baik

terhadap kualitas lahan dan hasil tanaman. Hasil pemantauan pada

wilayah pengembangan lahan sulfat masam Karang Aung, Sumatera

Selatan yang menerapkan pengelolaan air satu arah menunjukkan

perubahan mutu air dan pH 4,2 dan Fe2+

larut sebesar 430 ppm pada

keadaan awal menjadi pH 4,8 dan Fe2+

larut sebesar 160 ppm pada saat

tanam, dan pH meningkat lagi menjadi 5,4 pada saat panen (Widjaja-

Adhi dan Alihamsyah, 1998).

Sistem Satu Arah

Di lahan pasang surut atau pasang surut peralihan, saluran irigasi

dan drainase sering disatukan untuk menghemat biaya. Ketika surut,

saluran berfungsi sebagai saluran drinase. Ketika pasang, saluran

berfungsi sebagai irigasi. Keuntungan sistem aliran satu arah adalah

terjadi pergantian air segar di dalam saluran secara lebih lancar,

endapan lumpur di saluran lebih sedikit, dan penumpukan senyawa

beracun dapat dikurangi. Kelemahan sistem ini Najiyati et al. (2005)

adalah:

(1) Senyawa-senyawa beracun hasil pencucian lahan tidak dapat

terdrainase secara tuntas, tetapi bercampur dengan air bersih dan

menyebar ke lahan lain;

(2) Saluran cepat mengalami pendangkalan dan ini akan mempengaruhi

kualitas dan kuantitas air yang keluar/masuk ke dalam lahan;

(3) Pada musim kemarau, air pasang tidak bisa sampai ke lahan

sehingga lahan mengalami kekeringan. Hal ini disamping akan

Page 88: STRATEGI PENGELOLAAN TANAH MARGINAL

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL 80

M. Tufaila * Sitti Leomo * Syamsu Alam

membatasi musim tanam juga berbahaya bagi lahan gambut dan

sulfat masam.

Untuk mengurangi bahaya tersebut di atas, maka sebaiknya

minimal pada tingkat saluran tersier, saluran irigasi dan drainase harus

terpisah. Dengan demikian, aliran air di saluran tersebut tetap satu arah.

Oleh Widjaja-Adhi (1995), cara ini disebut sebagai sistem aliran satu

arah (Gambar 14, 15, dan 16). Cara pengaturan aliran sistem satu arah

pada saluran tersier dapat dilakukan sebagai berikut:

1) Bagian hulu saluran irigasi tersier (yang berhubungan dengan saluran

sekunder) diberi pintu air otomatis (flapgate) yang membuka ke arah

dalam. Pada waktu pasang, pintu secara otomatis akan membuka.

Pada waktu surut akan menutup. Pintu air otomatis pada saluran

irigasi tersier dalam sistem aliran satu arah disajikan pada Gambar

14.

Gambar 14. Pintu air otomatis pada saluran irigasi tersier dalam sistem

aliran satu arah (Widjaja-Adhi, 1995)

2) Bagian muara saluran drainese tersier (yang berhubungan dengan

saluran kuarter) diberi pintu stoplog yang bisa diputar dan diatur

menjadi dua posisi. Posisi pertama, pintu hanya bisa membuka keluar

sehingga air drainase dapat keluar tetapi air pasang tidak dapat

masuk. Posisi ini diperlukan pada musim hujan terutama pada pasang

besar sehingga kelebihan air harus dikeluarkan. Posisi kedua,

Page 89: STRATEGI PENGELOLAAN TANAH MARGINAL

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL 81

M. Tufaila * Sitti Leomo * Syamsu Alam

diperoleh bila pintu diputar. Pada posisi ini, pintu akan menutup

sehingga air bisa ditahan di dalam lahan. Posisi ini diambil ketika

musim kemarau atau musim pasang kecil. Alternatif lainnya

menggunakan pintu otomatis yang membuka ketika surut dan

menutup ketika pasang. Pintu air otomatis pada saluran drainase

tersier dalam sistem aliran satu arah disajikan pada Gambar 15.

Gambar 15. Pintu air otomatis pada saluran drainase tersier dalam

sistem aliran satu arah (Widjaja-Adhi, 1995)

Gambar 16. Denah sistem aliran satu arah (Widjaja-Adhi, 1995)

Page 90: STRATEGI PENGELOLAAN TANAH MARGINAL

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL 82

M. Tufaila * Sitti Leomo * Syamsu Alam

b. Tata air mikro

Penataan air pada lahan sulfat masam dilakukan serupa dengan

tata air mikro pada lahan gambut dengan maksud agar tanah tidak

kering melebihi kedalaman pirit, atau agar tanah tetap tergenang. Selain

itu sulfida yang bersifat racun bagi tanaman, Al, H, Fe(III) dan Mn

dapat tercuci dan semakin berkurang. Tata air mikro berfungsi untuk

mencukupi kebutuhan evapotranspirasi tanaman, mencegah pertumbuh-

an gulma, menjaga tinggi muka air, menjaga kualitas air di petakan dan

saluran, serta mencegah terbentuknya bahan beracun bagi tanaman,

memperlancar keluar masuknya air pada petakan lahan yang sekaligus

untuk mencuci bahan beracun.

Pengelolaan tata air mikro mencakup pengaturan dan

pengelolaan tata air pada saluran kuarter dan petakan lahan yang sesuai

dengan kebutuhan tanaman dan sekaligus memperlancar pencucian

bahan beracun. Saluran kuarter biasanya dibuat di setiap batas

pemilikan lahan. Saluran cacing di dalam petakan dibuat dengan jarak

3-12 m serta di sekeliling petakan. Semakin tinggi tingkat keracunan,

semakin rapat pula jarak saluran cacing tersebut. Penataan air di lahan

petani dilakukan dengan sistem satu arah dan system aliran bolak balik.

Sistem aliran satu arah berjalan efektif jika kondisi saluran

tersier, sekunder dan primer dalam kondisi baik dan arah aliran tidak

bolak-balik. Saluran irigasi dan drainase dirancang secara terpisah.

Pintu klep dipasang berlawanan arah. Pintu air dapat berupa stoplog

maupun pintu ayun atau pintu engsel.

2. Pengelolaan kesuburan tanah

Tahana (status) tanah sulfat masam tergolong rendah bahkan

sangat rendah. Gejala kahat hara N, K, dan terutama P dan B sering

dialami tanaman budidaya. Pertumbuhan tanaman budidaya merana dan

kerdil akibat kemasaman dan keracunan ion Al dan Fe yang tinggi. Pada

kondisi tergenang tanaman mengalami keracunan Fe2+

, H2S, CO2, dan

asam-asam organik.

Teknologi penggunaan bahan amelioran telah terbukti mampu

meningkatkan produktivitas tanah sulfat masam. Bahan organik (BO)

dapat berperan sebagai sumber asam-asam organik yang mampu

Page 91: STRATEGI PENGELOLAAN TANAH MARGINAL

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL 83

M. Tufaila * Sitti Leomo * Syamsu Alam

mengontrol kelarutan logam dalam tanah ataupun berperan sebagai

sumber hara bagi tanaman. Asam-asam organik yang terdapat dalam BO

mampu mengkelat unsur-unsur meracun dalam tanah sehingga menjadi

tidak berbahaya bagi tanaman (Stevenson, 1994). Asam-asam organik

mampu menurunkan jumlah fosfat yang difiksasi oleh Fe dan Al melalui

mekanisme pengkelatan sehingga P tersedia bagi tanaman (Barker dan

Pilbeam, 2007).

Hasil penelitian di tanah sulfat masam menunjukkan bahwa

pemberian pupuk berpengaruh positif terhadap hasil tanaman.

Keragaman tanaman yang diberi pupuk lengkap (N, P, dan K)

menunjukkan hasil yang lebih baik. Pengaruh pupuk lebih signifikan

jika dikombinasikan dengan pemberian bahan amelioran seperti kapur,

dolomit, dan batuan fosfat alam (Noor, 2004).

Hasil penelitian Fahmi et al. (2009) menunjukkan bahwa pem-

berian bahan organik jerami padi dengan C/N yang masih cukup tinggi

dapat menurunkan ketersediaan fosfat, menurunkan pH tanah dan me-

ningkatkan kelarutan Fe2+

. Peningkatan kelarutan Fe2+

akibat terjadinya

reduksi tidak selalu diikuti oleh peningkatan pH tanah sulfat masam.

Pemberian bahan organik yang mengalami perombakan lebih lanjut

(C/N rendah) dapat menurunkan kelarutan Fe2+

di tanah sulfat masam.

Pemberian kapur, dolomit, dan batuan fosfat alam banyak

disarankan untuk menetralisir kondisi kemasaman dan keracunan oleh

H+, Al

3+, dan atau Fe

3+. Pemberian kapur atau dolomit tidak mesti untuk

mencapai pH 5,5, karena apabila ditunjukkan untuk menaikan pH

mencapai 5,5 diperlukan jumlah kapur yang besar sekali antara 15-20

ton kapur per hektar. Berdasarkan kadar pirit, untuk menetralkan 1%

pirit yang apabila terdegradasi menghasilkan potensi kemasaman setara

dengan 35 cmol(+).kg-1

, diperlukan sekitar 50 ton kapur per hektar.

Pada hal, kadar pirit tertinggi di tanah sulfat masam antara 5-7%

sehingga untuk menetralkannya diperlukan 200-400 ton kapur per

hektar (Sutrisno, 1990; Mass, 2003). Hasil simposium internasional

tanah sulfat masam kedua di Bangkok, Thailand (1982)

merekomendasikan bahwa pemberian kapur cukup hanya beberapa ton

saja untuk perbaikan kondisi kemasaman dan status hara tanah yang

rendah.

Page 92: STRATEGI PENGELOLAAN TANAH MARGINAL

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL 84

M. Tufaila * Sitti Leomo * Syamsu Alam

Hasil penelitian Yenni (2012) menunjukkan bahw pemberian

kapur dapat meningkatkan pertumbuhan dan hasil umbi tanaman

bawang merah. Pemberian takaran kapur 3 ton.ha-1

pada tanah sulfat

masam menghasilkan pertumbuhan dan hasil umbi tanaman bawang

merah tertinggi sedangkan kadar senyawa atsiri umbi bawang tertinggi

pada perlakuan kapur 2 ton.ha-1

.

Hasil penelitian Tambunan et al. (2013) menunjukkan bahwa

pemberian kompos tandan kosong kelapa sawit nyata meningkatkan pH

tanah dan reduksi Fe2+

tanah, C-Organik tanah, jumlah anakan dan

bobot kering gabah. Pemberian pupuk SP36 tidak berpengaruh nyata

dalam meningkatkan P tersedia dan tinggi tanaman padi. Kombinasi

antara perlakuan pemberian kompos tandan kosong kelapa sawit dan

pupuk SP36 berpengaruh nyata dalam meningkatkan jumlah anakan dan

bobot kering gabah.

3. Jenis tanaman di lahan sulfat masam

Pengembangan pertanian di lahan sulfat masam dapat ditempuh

melalui perbaikan genetik. Sekalipun cara-cara ini memakan waktu

yang lama dan biaya yang nisbi tinggi, tetapi dari segi lingkungan hidup

lebih aman dan sehat dibandingkan cara-cara lain.

Pemilihan tanaman untuk dikembangkan di lahan sulfat masam

sudah sejak ratusan tahun silam dilakukan petani tradisional. Ini dapat

dilihat dari keberhasilan petani-petani pionir dalam pengembangan

kelapa, karet, kelapa sawit, lada, nanas, tebu, rambutan, cokelat, dan

padi. Tanaman-tanaman ini dikenal sebagai tanaman yang tahan atau

toleran dengan kondisi rawa seperti genangan, kemasaman, salinitas,

dan keracunan besi. Cara-cara budidaya dan pengelolaan lahan ini

kemudian diikuti oleh migran pendatang yang menempati kawasan rawa

(Collier et al., 1982; Watson dan Willis, 1984; Sarwani et al., 1994).

Lahan pasang surut mempunyai banyak sumber keragaman

hayati dan plasma nutfah. Tanaman yang disenangi dan banyak ditanam

adalah padi. Padi kebanyakan dibudidayakan secara turun temurun. Para

petani tradisional setempat umumnya membudidayakan varietas-

varietas lokal yang berumur panjang. Jenis varietas lokal ini berjumlah

ratusan jenis, antara lain dikenal sebagai padi Bayar, Pandak dan Siam.

Page 93: STRATEGI PENGELOLAAN TANAH MARGINAL

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL 85

M. Tufaila * Sitti Leomo * Syamsu Alam

Varietas-varietas padi lokal ini bersifat peka fotoperiod. Sifat padi lokal

ini disenangi petani karena antara lain (1) mudah mendapatkan bibitnya

karena petani masing-masing membibitkan sendiri dan menyimpannya

dari panen sebelumnya, (2) mudah memasarkan hasilnya karena rasa

nasi yang pera (karau) banyak disenangi oleh masyarakat setempat

seperti Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Sumatra Barat, Aceh,

dan Biak, (3) memerlukan pupuk sedikit bahkan jarang dan

pemeliharaan mini antara lain penyiangan hanya seadanya, (4) tidak

mudah rontok, berdaun lebar dan terkulai, menyebabkan hama burung

pipit sukar bertengger, dan (5) bentuk tanaman nisbih lebih tinggi (140-

170 cm) sehingga memudahkan memanen. Panen umumnya masih

menggunakan ani-ani. Hanya saja hasil produktivitas padi varietas lokal

ini rata-rata hanya mencapai 2-3 ton gabah keringgiling per hektar

dengan intensitas tanam sekali setahun (Noor, 2004).

Adapun padi varietas unggul introduksi seperti IR 42, IR 50, IR

64, IR 66 dan sejenisnya kurang disenangi petani lokal rawa karena

selain sukar dipasarkan (harga lebih murah) juga dikenal manja karena

memerlukan pupuk nisbih lebih banyak dan perawatan lebih intensif

termasuk penggunaan pestisida, insektisida lebih banyak dibandingkan

varietas lokal peka fotoperiod. Hanya saja keuntungan dari varietas

unggul instroduksi memiliki umur pendek (3-4 bulan) dan poduktivitas

lebih tinggi (4,5-5,5 ton.ha-1

) (Noor, 2004).

Beberapa hasil penyaringan dan seleksi khususnya tanamn

pangan (padi dan palawija) telah mendapatkan varietas-varietas padi

unggul baru spesifik lahan sulfat masam yang sudah dilepas ke petani.

Varietas padi unggul rawa yang sudah dilepas melebihi 18 varietas.

Varietas Margasari dan Martapura merupakan hasil persilangan antara

varietas lokal peka fotoperiod (Siam Unus) dengan padi sawah varietas

unggul introduksi (Cisokan dan Dodokan) menunjukkan preferensi rasa

sedang dan hasil nisbi tinggi dibandingkan varietas lokal pada

umumnya.

Varietas kedelai yang dilepas untuk lahan pasan surut yaitu

varietas Lawit dan Manyapa dengan rata-rata umur 82 hari dan hasil

sekitar 2,0-2,4 ton biji kering per hektar. Varietas unggul jagung untuk

lahan pasang surut yaitu varietas Sukmaraga dan Padmaraga dengan

Page 94: STRATEGI PENGELOLAAN TANAH MARGINAL

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL 86

M. Tufaila * Sitti Leomo * Syamsu Alam

rata-rata umur 90 hari dan hasil 4,0-5,0 ton pipilan kering per hektar.

Berikut disajikan jenis dan varietas tanaman palawija, sayur, buah-

buahan dan tanaman industri dan ketahanannya di lahan sulfat masam

(Balitra, 2003) sebagimana disajikan pada Tabel 14.

Tabel 14. Jenis dan varietas tanamn palawija, sayur, buah-buahan dan

tanaman industri dan ketahanannya di lahan sulfat masam

Jenis tanamn Varietas Ketahanan Hasil

(ton.ha-1

)

Palawija dan umbi-umbian

Jagung Arjuna, Kalingga, wiyawa, Bisma,

Bayu, Antasena, C-3, C-5, Semar,

H6, Bisi Dua, dan Sukmaraga

Sedang 4,0-5,0

Kedelai Wilis, Rinjani, Lokon, Dempo,

Galunggung, Slamet, Lawit, dan

Manyapa

Sedang 1,5-2,4

Kacang tanah Gajah, Pelandak, Kelinci, Singa,

Jerapah, Komodo, dan Mahesa

Tahan 1,8-3,5

Kacang hijau Betel, Walet, dan Gelatik Tahan 1,5

Ubi kayu Anjir (lokal) Tahan 13-25

Ubi jalar Kiyai (lokal) Tahan 14-25

Tanaman Sayur-buahan

Tomat Intan, Permata, Berlian, Mirah, AV-

22, dan Ratna

Sedang 10-15

Cabai Tanjung-1,-2, Barito, Bengkulu,

Tampar, Keriting, Rawit Hijau, dan

Rawit Putih

Sedang 4-6

Terong Mustang, Kopek Ungu, Ungu

Panjang, dan No. 4000 KK

Tahan 30-40

Kubis Cros, KY Cross, dan Grand 33 Sedang 20-25

Kacang panjang Super King, Pontianak, KP-1, dan

KP-2

Tahan 15-28

Buncis Horti-1, Horti-2, Prosesor, Farmer

early, dan Green Leaf

Sedang 6-8

Timun Saturnus, Mars, dan Pluto Sedang 34-40

Bawang merah Ampenan, Bima, Menteng,

Sumenep, dan Kuning

Sedang 4-8

Sawi Asveg, Sangihe, Talaud, Tosakan,

Putih Jabng, Sawi Hijau, Sawi

Huma, dan No. 82-157

Tahan 15-20

Selada New Grand Rapid Sedang 12-15

Bayam Maestro, Giti Hijau dan Merah,

Cimangkok, dan Kakap Hijau

Sedang 10-12

Page 95: STRATEGI PENGELOLAAN TANAH MARGINAL

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL 87

M. Tufaila * Sitti Leomo * Syamsu Alam

Tabel 14. Lanjutan

Jenis tanamn Varietas Ketahanan Hasil

(ton.ha-1

)

Kangkung LP-1, LP-2, dan Sutera Sedang 25-30

Semangka Sugar Baby dan New Dragon Sedang 15-25

Nenas Madu, Bangk, dan Paun Tahan 40

Pepaya - Sedang 12-30

Tanaman Industri

Lada Petaling-I, Petaling-II, dan LDK Sedang 3-4

Jahe Merah Sedang 20-24

Kelapa Dalam Riau Tahan 2,5-4,1

Kelapa sawit - Tahan 19

Kopi Exelsa dan Arabika Tahan 1,7-2,0

Sumber : Balitra (2003)

Contoh tanaman pertanian yang dibudidayakan di lahan sulfat

masam sebagaimana disajikan pada Gambar 17 (Saragih, 2013).

Gambar 17. Tanaman pertanian yang dibudidayakan di lahan sulfat

masam (Saragih, 2013)

Page 96: STRATEGI PENGELOLAAN TANAH MARGINAL

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL 88

M. Tufaila * Sitti Leomo * Syamsu Alam

DAFTAR PUSTAKA

Agus, F. dan I.G. M. Subiksa, 2008. Lahan gambut: potensi untuk

pertanian dan aspek lingkungan. Balai Penelitian Tanah dan

World Agroforestry Centre (ICRAF). Bogor. Indonesia.

Amin, L.I., 1983. Karakterisasi dan analisis zona agroekologi.

Pembahasan pemantapan metodologi karakterisasi zona

agroekologi. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat (PPTA).

Bogor.

Andriesse, J.P., 1994. Constrainsts and opportunities for alternative use

options of tropical peat land. In B.Y. Aminuddin (Ed.). Tropical

peat; Proceedings of International Symposium on Tropical

Peatland, 6-10 May 1991. Kuching, Sarawak, Malaysia.

Balittra, 2003. Lahan rawa pasang surut: pendukung ketahanan pangan

dan sumber pertumbuhan agribisnis. Balittra. Banjarbaru.

Barker, A.V. and D. J. Pilbeam, 2007. Hand book of plant nutrition.

CRC Press. New York.

BB Litbang SDLP (Balai Besar Penelitian dan Pengembangan

Sumberdaya Lahan Pertanian), 2008. Laporan tahunan 2008,

Konsorsium penelitian dan pengembangan perubahan iklim pada

sektor pertanian. Balai Pesar Penelitian dan Pengembangan

Sumberdaya Lahan Pertanian. Bogor.

Beek, K.J., W.A. Blokhois, P.M. Driessen, N.V. Breemen, dan L.J.

Pons, 1980. Problem soils: reclamation and management. In

Land reclamation and water management. ILRI Publ. 27

Wageningen. The Netherland.

Billy, B., 1981. Water harvesting for dryland and floodwater farming on

the Navajo Indian Reservation. In G.R. Dutt, C.F. Hutchinson, &

M.A. Garduno (ed), Rainfall collection for agriculture in arid

and semi-arid regions. Prod. Workshop Univ. Arizona USA-

Chapingo Postgard. College, Commonwealth Agr. Bur. UK.

Page 97: STRATEGI PENGELOLAAN TANAH MARGINAL

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL 89

M. Tufaila * Sitti Leomo * Syamsu Alam

Bosch, H.V. den, Ho Long Phi, Michaelsem, K. Nugroho, 1998.

Evaluation of water management strategies for sustainable land

use of aid sulphate soils in coastal low lands in the tropics.

Report 157. DLO-Strarting Centrum, Wageningen. The

Netherlands.

Breemen, N.V., 1976. Genesis and solution chemistry of acid sulphate

soil in Thailand. Ph.D. Thesis. Centre Agric. Publ. Duc.

Wageningen.

Breemen, N.V. and Pons, L.J., 1978. Acid sulfate soils and rice. In

IRRI. Soil & Rice. IRRI. Philippines.

Breemen, N.V., 1982. Genesis, morphology and cassification of acid

sulphate soils in coastal plains. In SSSA. Acid sulphate

weathering. SSSA Special Publ. No. 10. Madison, Wisconsin.

Budiasa, I.W., 2011. Pertanian berkelanjutan : Teori dan Permodelan.

Denpasar : Udayana University Press.

Buol, S.W., R.J. Southard, R.C. Graham, and P.A. Mcdaniel, 2003. Soil

genesis and classification. The Iowa State University Press.

Ames.

Buring, 1979. Introduction to the study of soil in tropical, and

subtropica regions. Edisi Indonesia : Pengantar pengajian tanah-

tanah wilayah tropika dan subtropika tahun 1991. Gadjah Mada

University Press. Yogyakarta.

Certini, G. and R. Scalenghe, 2006. Soil : Basic concepts and future

challenger. Cambridge University Press.

Chao, Chih-Kang, 1984. Development of dryland farming in Taiwan. In

Rainfed agriculture in perspective. Philippine Council for

Agriculture and Resources Research and Development. Los

Banos.

Chin, Ching Wei, 1984. Dryland farming of sugarcane fields in Taiwan.

In Rainfed agriculture in perspective. Philippine Council for

Agriculture and Resource and Development. Los Banos.

Collier, W.L., 1979. Social and economics aspects of tidal swampland

development in Indonesia. Occasional Paper No. 15.

Development Studies Centre, Australian National University.

Page 98: STRATEGI PENGELOLAAN TANAH MARGINAL

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL 90

M. Tufaila * Sitti Leomo * Syamsu Alam

Dahuri, R., 1998. Pembangunan pertanian berkelanjutan : dalam

Persperktif Ekonomi, Sosial, dan Ekologi. Agrimedia. 4(1):5-11.

Dent, D. and A. Young, 1981. Soil survey and land evaluation school

and environmental science. University of East Anglea. Norwich.

London.

Dent, D., 1986. Acid sulphate soils : a baseline for research and

development. ILRI. Wageningen. Publ. No. 39 The Netherland.

Diemont, W.H. and L.J. Pons, 1991. A preliminary note on peat

formation and gleying in Mahakam inland floodplain, East

Kalimantan, Indonesia. Proc. International Symposium on

Tropical Peatland. 6-10 May 1991. Kuching, Serawak, Malaysia.

Djaenudin, D. dan Basuni, 1994. Materi latihan evaluasi lahan.

Departemen Pertanian Badan Pendidikan dan Latihan Pertanian

dengan Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Bogor.

Driessen, P.M. dan Soepraptohardjo, 1974. Soil for agricultura:

expansion in Indonesia. Soil Res. Inst. Bogor.

Driessen, P.M., and Soepraptohardjo, 1974. Organic Soils. In Soils for

agricultural expansion in Indonesia. ATA 106 Bulletin 1. Soil

Research Institute. Bogor.

Driessen, P.M., dan H. Suhardjo, 1976. On the defective grain

formation of sawah rice on peat. Soil Res. Inst. Bull. 3: 20 – 44.

Bogor.

Driessen, P.M., and P. Sudewo, 1976. A review of crops and crop

performance on Southeast Asian lowland peats. Bulletin 4. Soil

Research Institute. Bogor.

Euroconsult, 1984. Nationwide study of coastal and near coastal

swampland in Sumatra, Kalimantan, and Irian Jaya. Vol. I and

II. Arnhem.

Fahmi, A., B. Radjagukguk, dan B. H. Purwanto, 2009. Kelarutan fosfat

dan ferro pada tanah sulfat masam yang diberi bahan organik

jerami padi. J. Tanah Trop. 14(2): 119-125.

Faning, D.S. and M.C.B. Faning, 1989. Soil morphology, genesis, and

classification. John Wiley & Sons, Inc. USA.

FAO, 1976. A Framework for land evaluation. FAO. Soil Bulletin. No.

32/I/ILRI Publication. No. 22. Rome. Italy.

Page 99: STRATEGI PENGELOLAAN TANAH MARGINAL

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL 91

M. Tufaila * Sitti Leomo * Syamsu Alam

FAO,1982. A study of agroclimatology of the humid tropics of south

East Asia. FAO / Unesco / WMO. Intragency Project on

Agroclimatology. Rome.

FAO, 1990. Organic recycling in Asia and the Pacific. RAPA Bull. Vol.

6. FAO.

Halim, A., 1987. Pengaruh pencampuran tanah mineral dan basa dengan

tanah gambut pedalaman Kalimantan Tengah dalam budidaya

tanaman kedelai. Disertasi Fakultas Pascasarjana, IPB. Bogor.

Hardjowigeno, S. dan Widiatmaka, 2007. Kesesuaian lahan dan

perencanaan tataguna lahan. Gadjah Mada University Press.

Yogyakarta.

Hartatik, W., K. Idris, S. Sabiham, S. Djuniwati, dan J.S. Adiningsih,

2004. Pengaruh pemberian fosfat alam dan SP-36 pada tanah

gambut yang diberi bahan amelioran tanah mineral terhadap

serapan P dan efisiensi pemupukan P. Prosiding Kongres

Nasional VIII HITI. Universitas Andalas. Padang.

http://budidayausaha.blogspot.com/2014/04/cara-pengolahan-lahan-

budidaya-melon.html (Diakses tanggal 06 September 2014).

http://alamtani.com/pupuk-hijau.html (Diakses tanggal 06 September

2014).

http://patih-madrim.blogspot.com/2011/08/budidaya-cabai-organik.html

(Diakses tanggal 06 September 2014).

http://mitrapetani.blogspot.com/2012/10/mitra-petani-potensi-pertanian-

organik.html (Diakses tanggal 06 September 2014).

http://teguh-setioutomo.blogspot.com/(Diakses tanggal 06 September

2014).

Ihsan, 2013. IMF: Indonesia Mesti Tingkatkan Produktivitas Sektor

Pertanian. http://wartaekonomi.co.id/berita15795/imf-indonesia-

mesti-ting-katkan-produktivitas-sektor-pertanian.html (Diakses

tanggal 8 September 2014).

Landon, J.R., 1984. Booker tropical soil manual. Booker Agr. Int. Ltd.

London.

Langenhoff, R., 1986. Distribution, mapping, classification and use of

acid sulphate soil in the tropics: a literature study. STIBOKA,

Wageningen. The Netherland.

Page 100: STRATEGI PENGELOLAAN TANAH MARGINAL

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL 92

M. Tufaila * Sitti Leomo * Syamsu Alam

Limin, S. H., Tampung N. Saman., Patricia E. Putir., Untung Darung,

dan Layuniyati, 2000. Konsep pemanfaatan hutan rawa gambut

di Kalimantan Tengah. Disampaikan pada “Seminar nasional

pengelolaan hutan rawa gambut dan ekspose hasil Penelitian di

Lahan Basah”, diselenggarakan oleh Balai Teknologi Reboisasi

Banjarbaru, Istana Barito Banjarmasin, Kalimantan Selatan.

Limin, S.H., 2006. Pemanfaatan lahan gambut dan permasalahannya.

Centre for International Cooperation in Management of Tropical

Peatland (CIMTROP). Kerjasama antara Badan Pengkajian dan

Penerapan Teknologi (BPPT)dan Kementerian Koordinator

Kesejahteraan Rakyat.

LREP II, 1996. Metodologi zonasi lahan. Pedoman Bagi Staff Bappeda

LREP II, Part D. Dirjen Pembangunan Daerah. ULG

Consultants Berasosiasi dengan PT Intersys Kelola Maju.

Jakarta.

Maas, A., 2003. Peluang dan konsekuensi pemanfaatan lahan rawa pada

masa mendatang. Makalah Pidato Pengukuhan Jabatan Guru

Besar pada Fakultas Pertanian UGM. Yogyakarta.

Magdalena, f., sudiarso, t. Sumarni, 2013. Penggunaan pupuk kandang

dan pupuk hijau Crotalaria juncea L. untuk mengurangi

penggunaan pupuk anorganik pada tanaman jagung (Zea mays

L.). Jurnal Produksi Tanaman vol. 1 no. 2.

Mario, M.D., 2002. Peningkatan produktivitas dan stabilitas tanah

gambut dengan pemberian tanah mineral yang diperkaya oleh

bahan berkadar besi tinggi. Disertasi Program Pascasarjana,

Institut Pertanian Bogor.

Masruroh, W., Budi Prasetya, Zaenal Kusuma, dan Subowo, 2013.

Efektivitas Agen Hayati Tanah pada Budidaya Kedelai (Glycine

max L.) untuk Meningkatkan Kesuburan Ultisol Di Lebak,

Banten. Jurnal Tanah Vol.1 No.2.

Mensvoort, M.E.F., R.S. Lantin, R. Brinkman, N.V. Breemen, 1985.

Toxicites of wetland soils. In IRRI. Wetland Soils:

Characterization, classification, and utilization. IRRI.

Philippines.

Monkhouse, F.J., and J. Small, 1978. Dictionary of the natural

envirorment. Edward Arnold (publ.) Ltd. Laondon.

Page 101: STRATEGI PENGELOLAAN TANAH MARGINAL

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL 93

M. Tufaila * Sitti Leomo * Syamsu Alam

Moormann, E.N. and N.V. Breemen, 1976. Rice, soil, water and land.

IRRI. Philippines.

Moore, W.G., 1977. Adictionary of geography. Fifth Ed. Penguin Books

Ltd. Harmondsworth.

Mulyani, A., 2006. Perkembangan potensi lahan kering masam. Sinar

Tani.

Mutalib, A.A., J.S. Lim, M.H. Wong and L. Koonvai, 1991.

Characterization, distribution and utilization of peat in Malaysia.

Proc. International Symposium on tropical peatland. 6-10 May

1991. Kuching, Serawak, Malaysia.

Najiyati, S., Lili Muslihat dan I Nyoman N. Suryadiputra, 2005.

Panduan pengelolaan lahan gambut untuk pertanian

berkelanjutan. Proyek Climate Change, Forests and Peatlands in

Indonesia. Wetlands International-Indonesia Programme dan

Wildlife Habitat Canada. Bogor. Indonesia.

Nelson, A. , and K.D. Nelson, 1973. Dictionary of water and water

engineering. The Butterworth Group. London.

Nelvia, 2009. Kandungan fosfor tanaman padi dan emisi karbon tanah

gambut yang diaplikasi dengan amelioran Fe3+

dan fosfat alam

pada beberapa tingkat pemberian air. J. Tanah Trop. 14(3):195-

204.

Noor, M., 2001. Pertanian lahan gambut: potensi dan kendala. Penerbit

Kanisius. Jakarta.

Noor, A., 2013. Teknologi budidaya di lahan pasang surut. BPTP

Kalimantan Selatan. http://kalsel.litbang.pertanian.go.id/ind/

index.php?option=com_content&view=article&id=81:tanaman&

catid=4:info-aktual (Diakses tanggak 7 September 2014).

Noor, M., 2004. Lahan rawa : sifat dan pengelolaan tanah bermasalah

sulfat masam. PT RajaGrafindo Persada. Jakarta.

Notohadiprawiro, T., 1989. Pertanian lahan kering di Indonesia:

Potensi, prospek, kendala dan pengembangannya. Lokakarya

Evaluasi Pelaksanaan Proyek Pengembangan Palawija

SFCDPUSAID. Bogor.

Notohadiprawiro, T., 1998. Tanah dan lingkungan. Direktorat Jenderal

Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI.

Page 102: STRATEGI PENGELOLAAN TANAH MARGINAL

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL 94

M. Tufaila * Sitti Leomo * Syamsu Alam

Notohadiprawiro, T., 1992. Budidaya organik. Kuliah Studium General

yang diselenggarakan oleh Senat Mahasiswa Fakultas Pertanian

UMG. Yogyakarta.

Nugroho, K., G. Gianinazzi and IPG. Widjaja-Adhi, 1997. Soil hidraulic

properties of Indonesian peat. In Biodiversity and sustainability

of tropical peat and peatland. Samara Publishing Ltd. Cardigan.

UK.

Page, S.E., F. Siegert, J.O. Rieley, H-D.V. Boehm, A. Jaya, S.H. Limin,

2002. The amount of carbon released from peat and forest fires

in Indonesia during 1997. Nature, 420, 61-65.

Papendick, R.I., and L.F. Elliott, 1984. Tillage and cropping systems

for erosion control and efficient nutrient utilization. In Organic

Farming: Current Technology and Its Role in a Sustainable

Agriculture. ASA Spec. Publ. (46): 69-81.

Ponnamperuma, E.N., 1976. Spesific soil chemical characteristics for

rice production in Asia. IRRI Res. Paper Series. 2 Des 1976.

PPTA., 1993. Petunjuk teknis evaluasi lahan. Pusat Penelitian Tanah

dan Agroklimat Kerjasama Dengan Proyek Pembangunan

Penelitian Pertanian Nasional. Badan Penelitian dan

Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. Bogor.

Purbiati, T., 2010. Sayur organik di lahan gambut di Kota Pontianak.

BPTP Kalimantan Barat. http://kalbar.litbang.pertanian.go.

id/ind/index.php?option=com_content&view=article&id=95:org

anik&catid=13:info-aktual (Diakses tanggal 7 September 2014).

Purwaningsih, O., D. Indradewa, S. kabirun, dan D. Shiddiq, D., 2012.

Tanggapan tanaman kedelai terhadap inokulasi rhizobium.

AGROTROP, 2(1): 25-32.

Roy, K., and D.R. Arora, 1973. Technology of agricultural land

development and water management. Satya Prakashan. New

Delhi.

Sabiham, S., TB, Prasetyo and S. Dohong, 1997. Phenolic acid in

Indonesian peat. In Biodiversity and sustainability of tropical

peat and peatland. Samara Publishing Ltd. Cardigan. UK.

Page 103: STRATEGI PENGELOLAAN TANAH MARGINAL

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL 95

M. Tufaila * Sitti Leomo * Syamsu Alam

Salampak, 1999. Peningkatan produktivitas tanah gambut yang

disawahkan dengan pemberian bahan amelioran tanah mineral

berkadar besi tinggi. Disertasi Program Pascasarjana. Institut

Pertanian Bogor. Bogor.

Saragih, E.S., 1996. Pengendalian asam-asam organik meracun dengan

penambahan Fe (III) pada tanah gambut Jambi, Sumatera. Tesis

S2. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Saragih, S., 2013. Empat kunci sukses pengelolaan lahan rawa pasang

surut untuk usaha pertanian berkelanjutan. Balai Penelitian

Pertanian Lahan Rawa (BALITTRA). http://balittra.blogspot.

com/ (Diakses tanggal 8 September 2014).

Sarwani, M., M. Noor, dan M.Y. Maamun, 1994. Pengelolaan air dan

produktivitas lahan pasang surut: pengalaman dari Kalimantan

Selatan dan Tengah. Balittan Banjarbaru.

Sasongko Putra, Purwanto, dan Kismartini, 2013. Perencanaan

pertanian berkelanjutan Di Kecamatan Selo. Prosiding Seminar

Nasional Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan.

Seiler, E., 1992. Acid sulphate soils-their formation and agricultural use.

Natural, resouces, and development Vol. 35:92-110. Inst. For Sci

Co-Tubingen.

Soil Survey Staff, 1998. Keys to soil taxonomy. United States

Department Agricultural Natural Resources Conservation

Service.

Soil Survey Staff, 2010. Keys to soil taxonomy. United States

Departement of Agriculture, Natural Resources Conservation

Service.

Sri Ratmini, N.P., 2012. Karakteristik dan pengelolaan lahan gambut

untuk pengembangan pertanian. Jurnal Lahan Suboptimal

1(2):197-206.

Stevenson, F. J., 1994. Humus chemistry: genesis, composition,

reaction. John Wiley and Son Inc. New York. USA.

Strijke, D., 2005. Marginal lands in Europe - causes of decline. Basic

and Applied Ecology 6: 99-106.

Page 104: STRATEGI PENGELOLAAN TANAH MARGINAL

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL 96

M. Tufaila * Sitti Leomo * Syamsu Alam

Suastika, I W., 2004. Efektivitas amelioran tanah mineral berpirit yang

telah diturunkan kadar sulfatnya pada peningkatan produktivitas

tanah gambut. Tesis S2. Program Pascasarjana, Institut Pertanian

Bogor, Bogor.

Subiksa, IGM., Didi Ardi dan IPG. Widjaja-Adhi, 1991. Pembandingan

pengaruh palam dan TSP pada tanah sulfat masam (Typic

Sulfaquent) Karang Agung Ulu Sumatera Selatan. Prosiding

Pertemuan Pembahasan Hasil Penelitian Tanah, 3-5 Juni 1991.

Cipayung, Jawa Barat.

Suhardjo, H. and I P.G. Widjaja-Adhi, 1976. Chemical characteristics of

the upper 30 cm of peat soils from Riau. ATA 106. Bull. 3: 74-

92. Soil Res. Inst. Bogor.

Suprapto, A., 2002. Land and water resources development in

Indonesia. In FAO : Investment in Land and Water. Proceedings

of the Regional Consultation.

Supriyanto, B., 2013. Lahan Gambut Kalbar: Tanah Terlantar Itu Kini

Dipenuhi Buah dan Sayur. http://industri.bisnis.com/read

/20130316/99/3845/lahan-gambut-kalbar-tanah-terlantar-itu-

kini-dipenuhi-buah-sayur (Diakses tanggal 5 Oktober 2014).

Suriadikarta, D.A. dan M. T. Sutriadi, 2007. Jenis-jenis lahan

berpotensi untuk pengembangan pertanian di lahan rawa. Jurnal

Litbang Pertanian 26(3).

Sutrisno, 1990. Genesis, klasifikasi tanah sulfat masam Delta Pulau

Petak, Kalimantan Selatan/Tengah. Tesis pada Program

Pascasarjana IPB. Bogor.

Sys, C., E.V. Ranst, and F. Beernaert, 1993. Land evaluation part I:

principles in ;and evaluation and crop production calculations.

Agricultural Publications No. 7. International Training Centre

for Post-Graduate Soil Scientists University Ghent. Belgium.

Tambunan, S.W., Fauzi, P. Marpaung, 2013. Kajian sifat kimia tanah,

pertumbuhan dan produksi padi pada tanah sulfat masam

potensial akibat pemberian kompos tandan kosong kelapa sawit

dan pupuk SP-36. Jurnal Online Agroekoteknologi 1(4):1391-

1401.

Page 105: STRATEGI PENGELOLAAN TANAH MARGINAL

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL 97

M. Tufaila * Sitti Leomo * Syamsu Alam

Tie, Y.L. and J.S. Esterle, 1991. Formation of lowland peat domes in

Serawak, Malaysia. Proc. International Symposium on Tropical

Peatland. 6-10 May 1991. Kuching, Serawak, Malaysia.

Tie, Y.L. and J.S. Lim, 1991. Characteristics and classification of

organic soils in Malaysia. Proc. International Symposium on

tropical peatland. Kuching, Serawak, Malaysia.

Tim Institut Pertanian Bogor, 1974. Laporan survai produktivitas tanah

dan pengembangan pertanian daerah Palangka Raya, Kalimantan

Tengah. IPB. Bogor.

Tufaila, M., B.H. Sunarminto, D. Shiddieq, and A. Syukur, 2011.

Characteristics of soil derived from ultramafic rocks for

extensification of oil palm in Langgikima, North Konawe,

Southeast Sulawesi. J. Agrivita 33 (1):93-102.

Tufaila, M., Yusrina dan S. Alam, 2014a. Pengaruh pupuk bokasi

kotoran sapi terhadap pertumbuhan dan produksi padi sawah

pada ultisol Puosu Jaya Kecamatan Konda, Konawe Selatan.

Agroteknos 4(1):18-25.

Tufaila, M., Dewi D. L., dan S. Alam, 2014b. Aplikasi kompos kotoran

ayam untuk meningkatkan hasil tanaman mentimum (Cucumis

sativus L.) di tanah masam. Agroteknos 4(2): 119 - 126.

Van der Heide, J., S. Setijono, E.N. Syekhfani, Flach, K. Hairiah, S.

Ismunandar, S.M. Sitompul, M. Van Noordwijk, 1992. Can low

external input cropping systems on acid upland soils in the humid

tropics be sustainable? Backgrounds of the Unibraw/IB Nitrogen

management project in Bunga Mayang (Sungkai Selatan,

Kotabumi N. Lampung, S. Sumatera, Indonesia).Agrivita 15:1-10.

Waston, G., and M. Willis, 1985. Famers’ local and traditional rice crop

protection techniques: some examples from coastal swamps,

Kalimantan Indonesia. IARD Journal (7) 1&2:25-30.

Widjaja-Adhi, I P.G., 1986. Pengelolaan lahan rawa pasang surut dan

lebak. J. Litbang Pertanian 5. Badan Litbang Pertanian. Jakarta.

Widjaja-Adhi, I P.G., K. Nugroho, D.A. Suriadikarta, dan A.S. Karama,

1992. Sumber daya lahan rawa: potensi, keterbatasan dan

pemanfaatannya. In Partohardhono dan M. Syam (Ed.).

Pengembangan Terpadu Pertanian Lahan Rawa Pasang Surut

dan Lebak. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman

Pangan. Bogor.

Page 106: STRATEGI PENGELOLAAN TANAH MARGINAL

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL 98

M. Tufaila * Sitti Leomo * Syamsu Alam

Widjaja-Adhi, I P.G., 1995. Pengelolaan tanah dan air dalam

pengembangan sumber daya lahan rawa untuk usaha tani

berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Makalah

disampaikan pada Pelatihan Calon Pelatih untuk Pengembangan

Pertanian di Daerah Pasang Surut, Karang Agung Ulu, Sumatera

Selatan.

Widjaja-Adhi, IPG., 1997. Developing tropical peatlands for

agriculture. In Rieley, J.O., and S.E. Page (ed.). Biodiversity

and Sustainibility of Tropical Peatlands. Proceed. Int. Symp. on

Biodiversity, Environmental Importance, and Sustainability of

Tropical Peat and Peatlands. Palangka Raya.

Widjaja-Adhi, I P.G. dan T. Alihamsyah, 1998. Pengembangan lahan

pasang surut: Potensi, prospek dan kendala serta teknologi

pengelolaannya untuk pertanian. Prosiding Seminar Nasional

dan Pertemuan Tahunan Komisariat Daerah Himpunan Ilmu

Tanah.

Widyati, E., 2011. Kajian optimasi pengelolaan lahan gambut dan Isu

perubahan iklim. Tekno Hutan Tanaman 4(2):57-68.

WWF, 2008. Deforestation, forest degradation, biodiversity loss and

CO2 emision in Riau, Sumatera, Indonesia: one Indonesian

propinve’s forest and peat soil carbon loss over a quarter century

and it’s plans for the future. WWF Indonesia Tecnical Report.

www.wwf.or.id.

Yenni, 2012. Ameliorasi tanah sulfat masam potensial untuk budidaya

tanaman bawang merah (Allium ascalonicum L.). Jurnal Lahan

Suboptimal 1(1):40-49.

Youngberg, I.G., and F.H. Buttel, 1984. Public policy and socio-

political factors affecting the future of sustainable farming

systems. Dalam : Organic farming : current technology and its

role in a sustainable agriculture. Ch. 14. ASA-CSSA-SSSA.

ASA Spec. Publ. No. 46:167-185.

Page 107: STRATEGI PENGELOLAAN TANAH MARGINAL

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL 99

M. Tufaila * Sitti Leomo * Syamsu Alam

INDEKS

A

abu, 56, 58, 63, 64, 77

Aceh, 40, 85

Adat istiadat, 8

Aeric Hydraquents, 75

aerob, 23, 73

Agak kering, 11

agave, 70

agen hayati, 35

agregasi, 26, 32

agregat, 32, 35

agroekologi, 7, 9, 10, 11, 12, 14,

88

Agroforestri, 12

agroindustri, 5

air limpasan, 29

air tanah, 32

akar, 25, 26, 29, 34, 41, 46, 61,

65, 77

alami, 4, 7, 23, 32, 47, 68, 72

aliran limpas, 25, 29

aliran masa, 25

alley cropping, 28

Alpukat, 66

aluvial bersulfat-1, 76

aluvial bersulfat-2, 76

aluvial bersulfat-3, 76

aluvial bersulfida, 76

amelioran, 48, 56, 57, 58, 82,

83, 91, 93, 95, 96

ameliorasi, 36, 56

amonium acetat, 47

amonium klorida, 48

anaerob, 72, 73

ani-ani, 85

Anjasmara, 34

anorganik, 2, 31, 37, 92

APBN, 1

Argomulyo, 34

arid, 22, 23, 74, 88

asam, 41, 48, 50, 56, 58, 60, 61,

68, 71, 73, 78, 82, 95

asam organik, 41, 48, 56, 82

Aspergillus, 35

asumsi, 18, 21

atmosfer, 27

Azospirillum, 34

Azotobacter, 34, 35

B

Bacillus, 35

back swamp, 39

bahan induk, 72

bahan organik, 25, 31, 32, 34,

40, 41, 83

bahan sulfida, 20, 71, 72, 76

bakteri, 35, 72

Baluran, 34

banjir, 4, 20, 21, 23, 49, 50

basic sulfat, 78

basis, 9

batuan fosfat, 35

Bawang daun, 63

Bawang kucai, 63

Bawang merah, 1, 63, 84, 86, 98

Bayam, 64, 86

Bayar, 84

belangeran, 70

Belimbing, 67

Bengkoang, 59, 60

Page 108: STRATEGI PENGELOLAAN TANAH MARGINAL

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL 100

M. Tufaila * Sitti Leomo * Syamsu Alam

beracun, 2, 41, 48, 50, 51, 55,

56, 79, 82

beras, 1

berat volume (BV), 42

berbatu, 12

berbukit, 10

bergelombang, 10

bergunung, 10

berkelanjutan, 2, 4, 5, 6, 7, 26,

37, 89, 90, 93, 95, 98

bermuatan terubahkan, 25

berombak, 10

berproduktivitas, 2, 26

biakan, 34, 36

biodiversity, 4, 98

biofertilizers, 34

biofisik lahan, 14

biokimia, 72

biologi, 2, 3, 23, 24, 26, 31, 35,

41

borax, 57

buah-buahan, 1, 51, 66, 86

budaya, 14, 28, 49

budidaya kimiawi, 30

budidaya organik, 2, 30, 31, 37

bulan kering, 11, 68

Buncis, 86

bunga matahari, 70

burung pipit, 85

C

C/N, 56, 83

cabai, 1, 38, 86, 91

Cabe merah, 64

Cabe rawit, 64

cacing tanah, 34, 35, 36

carbon dating, 41

caren, 55

cat clay, 71

cekaman, 33

cengkeh, 70

class, 15

cokelat, 84

comprehensive, 26

C-organik, 39

Crotalaria juncea, 37, 92

cuaca, 23, 25

cukup sesuai, 16

curah hujan, 11, 17, 18, 23, 41

current suitability, 18

D

daging sapi, 1

dangkal, 12, 23, 24, 25, 43, 44,

47, 55, 60, 62, 63, 64, 65, 66,

67, 68, 69, 76

datar, 10

daya dukung, 4, 62

daya sanggah, 25

Daya semat, 25

Daya simpan, 25

debu, 26, 32

degradasi, 26, 33

dehidrasi, 41

dekomposisi, 40, 45, 46, 56

Delima, 67

dependent charge, 47

Desulfotomaculum sp., 72

Desulfovibrio sp., 72

difusi, 25, 26

dikhelat, 57

diperbaharui, 4, 5

disosiasi, 47

ditransformasikan, 29

diversifikasi, 5, 6

dolomit, 83

drainase tanah, 13

dry farming, 22

dryland, 22, 88, 89

dryland farming, 22

Page 109: STRATEGI PENGELOLAAN TANAH MARGINAL

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL 101

M. Tufaila * Sitti Leomo * Syamsu Alam

Duku, 67

Durian, 67

E

efektivitas, 25, 34

efisiensi usahatani, 27

ekologi, 4, 26

ekonomi, 3, 4, 14, 18, 19, 27,

28, 56, 58, 60, 61

ekosistem, 4, 33, 36, 40

ekstensifikasi, 13

emisi, 6, 56, 93

endapan lumpur, 79

Endoaquents, 75

Endoaquepts, 75

entisol, 77

erosi, 5, 6, 20, 24, 25, 26, 29,

31, 32, 33, 35, 46, 51

eutropik, 47

evaluasi, 14, 15, 17, 90, 94

evaporasi, 23, 29, 41

evapotranspirasi, 82

F

fauna, 32, 33, 35

fenol, 47

fero sulfat, 73

ferri (Fe3+

), 72, 78

fibrik (mentah), 42, 43

fiksasi, 34

fisik, 2, 3, 7, 10, 11, 24, 26, 34,

36, 41, 45, 77

fisika, 3

fisikokimia, 2, 26

fisiografi, 10, 13, 23

fisiokimiawi, 25

flapgate, 52, 80

fleksibel, 14

flora, 32, 33

Flufaquents, 76

Fluvaquents, 75

fosfat, 25, 34, 35, 57, 83, 90, 91,

93

fosfat alam, 35, 57

fotoperiod, 85

fungi, 35

Fungus, 35

G

gagal panen, 5

Galunggung, 34, 86

gambut, 12, 20, 39, 40, 41, 42,

43, 44, 45, 46, 47, 48, 49, 50,

56, 57, 58, 59, 60, 61, 62, 63,

64, 65, 66, 67, 68, 69, 70, 77,

79, 88, 91, 92, 93, 94, 95, 96,

98

Gambut pantai, 43

Gambut pedalaman, 43

Gambut transisi, 44

gambut tropika, 39

Gandaria, 67

Ganyong, 60

garam, 12, 50

Garut, 34

Gembili, 60

gempa bumi, 4

genangan, 4, 49, 60, 61, 66, 84

geokimia, 72

geologi, 7, 10, 13

geologis, 4

Gepak Kuning, 34

glaukopit, 74

granit, 49

Grobogan, 34

gulma, 5, 6, 31, 82

gunung berapi, 4

Page 110: STRATEGI PENGELOLAAN TANAH MARGINAL

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL 102

M. Tufaila * Sitti Leomo * Syamsu Alam

H

hama, 5, 6, 31, 85

Haplic, 75

hara, 5, 16, 17, 18, 19, 20, 21,

24, 25, 26, 30, 31, 32, 33, 34,

36, 37, 39, 48, 50, 56, 57, 58,

82, 83

hara mikro, 25, 34

hayati, 4, 31, 33, 34, 35, 36, 37,

84

hemik (setengah matang), 42,

43

hemiselulosa, 47

hidroksil, 47, 78

hidrologi, 2, 7, 13, 14, 49

hifa, 34

hilir, 54, 55

histosols, 42

holosin, 40

horison, 25, 72, 73, 76

Hortikultura, 12

hujan efektif, 29

humifikasi, 24

humus, 41

hutan, 5, 13, 24, 39, 40, 58, 59,

65, 68, 69, 92

hutan lindung, 13, 24

hutan sempadan, 24

hutantani, 28

hydronium jarosit, 74

I

identitas sosial, 4

Ijen, 34

ikatan koordinasi, 48

iklim, 6, 7, 10, 11, 13, 14, 22,

23, 28, 41, 74, 88, 98

impor, 6

improved management, 19

inceptisol, 73, 77

indikator, 35, 45

industri, 5, 6, 35, 37, 60, 61, 62,

66, 67, 68, 69, 86, 96

infiltrasi, 26, 29

inkonvesional, 27

inokulan, 34

inovasi, 3

input, 4, 5, 10, 97

insektisida, 85

integritas, 4

intensifikasi, 13

intensitas, 14, 15, 17, 24, 85

intesif, 58

introduksi, 85

irigasi, 20, 23, 51, 53, 54, 55,

79, 80, 82

isohipertermik, 11

isotermik, 11

J

jagung, 57, 59, 60, 85, 86, 92

jahe, 70, 87

Jambu air, 67

Jambu biji, 67

jarak, 53, 55, 70, 82

jaringan, 50, 62

jarosit, 71, 72, 73, 74

jasad, 26, 31, 34, 35, 36

jasad renik, 26, 34, 35, 36

Jeluk, 25, 76

Jeluk efektif, 26

jeluk mampan, 29

jelutung, 70

jenis mineral, 46

jenis unggul, 26

jenuh air, 23, 39

jerosit, 73

Page 111: STRATEGI PENGELOLAAN TANAH MARGINAL

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL 103

M. Tufaila * Sitti Leomo * Syamsu Alam

K

Kacang hijau, 86

Kacang panjang, 64, 86

Kacang tanah, 86

kahat, 57, 78, 82

Kalimantan, 39, 40, 41, 47, 50,

68, 69, 72, 85, 90, 91, 92, 93,

94, 95, 96, 97

kapas, 70

kapasitas jerapan, 48

kapasitas lapang, 23, 57

kapital, 4

kapuk randu, 70

kapur, 20, 26, 58, 63, 65, 67, 68,

69, 83, 84

karakteristik lahan, 7, 13, 14, 17

karboksilat, 47

karbonat, 72, 74

karet, 61, 62, 69, 84

kation, 25, 31, 47, 48, 56, 57, 78

katteklei, 71

Katuk, 64

kawasan, 7, 8, 9, 13, 23, 24, 39,

48, 50, 71, 74, 84

kawasan lindung, 9

kayu manis, 70

keanekaragaman hayati, 4

kearifan, 5

kebakaran, 4, 50

kebijaksanaan, 7, 8, 9, 14

kecocokan, 14

kedalaman, 35, 41, 42, 46, 50,

55, 67, 82

kedaulatan pangan, 1

kedelai, 1, 33, 34, 35, 59, 60,

85, 86, 91, 92, 94

Kedondong, 67

kehutanan, 12, 48

kejenuhan basa (KB), 47

kekahatan, 26, 31

kekeringan, 25, 33, 34, 46, 49,

50, 53, 63, 79

kekuatan jerapan, 48

kelapa, 61, 62, 84, 87, 96

kelapa sawit, 61, 62, 84, 87, 96

Kelas, 15, 16

kelayakan ekonomi, 3

kelembaban, 11, 13, 25, 50, 53,

66

kelengasan, 10, 23

kelestarian, 2, 4, 7, 9, 19

keluwih, 63

kemampuan, 7, 8, 27, 28, 29,

30, 34, 48

Kemangi, 64

kemarau, 24, 49, 50, 52, 79, 81

kemasaman, 24, 47, 74, 75, 82,

83, 84

kematangan, 39, 42, 45, 46, 77

kemiri, 70

kenaf, 70

kencur, 70

Kenikir, 64

kerawanan, 9

Kering, 11, 18, 20, 21, 22, 27

keruangan, 7

kesehatan, 5

kesepakatan, 8, 22

kesesuaian lahan, 8, 9, 14, 15,

17, 18, 19, 21

kesuburan tanah, 5, 24, 35, 36,

37, 42, 47, 48, 56, 82

kesumba, 70

ketahanan, 1, 2, 88

ketebalan, 12, 39, 46, 48, 49

keterlarutan, 35

keuntungan, 10, 16, 56, 85

khelat, 48

khlorit, 74

Page 112: STRATEGI PENGELOLAAN TANAH MARGINAL

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL 104

M. Tufaila * Sitti Leomo * Syamsu Alam

kimia, 2, 3, 23, 24, 26, 28, 33,

37, 41, 46, 48, 72, 74, 77, 96

kimiawi, 2, 4, 25, 30, 31, 33, 34,

36, 37, 73

kohesi sosial, 4

kolektif, 50

komoditas, 1, 10, 14, 15, 33, 59

kompos, 36, 84, 96, 97

komprehensif, 14

konservasi, 4, 5, 12, 13, 20, 24,

28

konsistensi tanah, 77

konversi, 39

Kopi, 62, 87

kotoran ternak, 31

KPK, 17, 47, 57

kualitas lahan, 17, 79

kuantitatif, 13

kuarter, 53, 54, 55, 80, 82

kubis, 38, 65, 86

kuning pucat, 71

kunyit, 70

kwarsa, 12

L

Labu, waluh, 65

lada, 70, 84, 87

ladang, 23

lahan, 1, 2, 3, 4, 5, 7, 8, 9, 10,

11, 13, 14, 15, 16, 17, 18, 19,

20, 21, 22, 23, 24, 26, 27, 28,

29, 30, 35, 39, 40, 44, 46, 48,

49, 50, 51, 52, 53, 54, 55, 56,

58, 59, 60, 61, 62, 63, 64, 65,

66, 67, 68, 69, 70, 71, 72, 74,

75, 76, 77, 79, 81, 82, 84, 85,

86, 87, 90, 91, 92, 93, 94, 95,

96, 97, 98

lahan basah, 3, 23, 40, 44, 72

lahan gambut, 1, 3, 39, 40, 46,

49, 53, 56, 59, 61, 63, 71, 79,

80, 82

lahan kering, 1, 3, 22, 23, 24,

27, 28, 29

lahan kritis, 3

lahan marginal, 1, 2, 3, 4

lahan pasang sutut, 1

lahan sulfat masam, 1, 3, 49, 53,

71, 72, 74, 76, 78, 79, 86

landform, 13

lantoro, 70

lapuk, 42, 74

Lawit, 85, 86

legum, 31, 32

Lembab, 11

lempung, 25, 26, 29, 32, 49, 71,

72

lengas, 29, 32, 33

lestari, 16

ligan, 48

lignin, 47

lilin, 47

limbah organik, 31, 36

lingkungan, 2, 3, 4, 5, 9, 10, 11,

14, 15, 19, 27, 28, 33, 36, 39,

42, 56, 74, 84, 88, 93, 98

LISA, 27, 28

Lobak, 65

logam berat, 33, 35

longsor, 4, 26

lowland, 22, 23, 90, 97

LREP, 7, 8, 14, 92

lumpur sungai, 56

M

makro, 35, 36, 50, 58, 79

Malabar, 34

mangan sulfat, 57

Mangga, 68

Page 113: STRATEGI PENGELOLAAN TANAH MARGINAL

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL 105

M. Tufaila * Sitti Leomo * Syamsu Alam

Manggis, 68

mangrove, 12

Manyapa, 85, 86

marginal, 1, 2, 3, 4, 5, 16, 26,

27, 29, 77

masam, 6, 24, 30, 32, 36, 47,

56, 60, 71, 72, 73, 74, 75, 76,

77, 78, 79, 80, 82, 83, 84, 85,

86, 87, 90, 93, 96, 97, 98

masukan rendah, 2

masyarakat setempat, 8, 85

melestarikan, 8

melinjo, 68

melon, 30, 66, 68, 91

memapankan (estabish), 23

mendukung, 7, 8, 10, 27, 36

menetralisir, 83

mengkelat, 83

mengkudu, 70

meranti, 70

mesotropik, 47

mikorisa, 34, 36

mikro, 36, 47, 53, 54, 57, 58,

66, 68, 79, 82

mikroorganisme, 41, 72

mineral, 29, 31, 32, 33, 36, 37,

42, 43, 45, 46, 56, 58, 66, 72,

74, 76, 77, 78, 91, 92, 95, 96

mint, 70

mobilitas sosial, 4

mulsa, 29, 30, 33

mulsa plastik, 30

murbei, 70

musim pasang, 81

musim tanam, 49, 80

mutu, 3, 28, 36, 79

N

Nangka, 68

nasional, 1, 2, 8, 15, 27, 28, 92

natro jarosit, 74

nenas, 66, 68, 87

neraca hara, 32, 33

Nilai n, 77

nilai tambah, 27

nitrogen, 34

non gambut, 40

non intensif, 58, 68

non-pertanian, 1

nutrient supply system, 37

O

oksidasi, 50, 71, 73, 74, 78

oligotropik, 47

ombrogen, 42, 44, 47

optimal, 14, 15, 56

optimum management, 19

order, 15

ordinary management, 19

Ordo, 15

organik, 2, 20, 24, 25, 26, 29,

30, 31, 32, 33, 34, 36, 37, 38,

39, 40, 41, 42, 47, 48, 50, 56,

57, 58, 72, 73, 77, 78, 82, 83,

90, 91, 94, 95

P

P tersedia, 17, 83

pacar kuku, 70

padi, 2, 13, 23, 35, 36, 49, 56,

57, 59, 60, 78, 83, 84, 85, 90,

93, 96, 97

Padmaraga, 85

Pakis, 65

pala, 70

palawija, 2, 23, 49, 85, 86

panas, 10

Pandak, 84

Page 114: STRATEGI PENGELOLAAN TANAH MARGINAL

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL 106

M. Tufaila * Sitti Leomo * Syamsu Alam

pangan, 1, 2, 5, 12, 13, 24, 28,

59, 60, 61, 85, 88

Papua, 39, 40, 71, 74

Paradigma, 4

partisipasi masyarakat, 4

pasang, 1, 3, 27, 42, 43, 44, 50,

51, 52, 72, 74, 75, 79, 80, 84,

85, 88, 93, 95, 97, 98

pasang surut, 3, 27, 43, 50, 52,

72, 74, 75, 79, 84, 85, 88, 93,

95, 97, 98

pasar, 49, 58, 62, 69

payau, 74

pelarut fosfat, 35

pelestarian, 8

pelindian, 30, 31

Pelumpuran, 77

pemampatan, 26, 31, 32, 33

pematangan, 20, 41, 73

pembangunan, 4, 7, 9, 27, 37,

50, 53

pemberdayaan masyarakat, 4

pemerataan, 4

penambat N2, 34

penanaman berjalur, 29

pencemaran, 5, 32, 33, 36

pencemaran air, 5

penelitian, 5, 34, 35, 36, 37, 58,

78, 79, 83, 84, 88

pengapuran, 30, 66

pengatusan, 22, 23, 75

pengelolaan, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9,

15, 16, 18, 19, 20, 21, 22, 23,

28, 29, 32, 36, 50, 53, 56, 77,

79, 82, 84, 92, 93, 95, 98

pengelolaan air, 53, 79

pengembalaan, 12

pengembangan kelembagaan, 4

penggunaan lahan, 3, 7, 8, 9, 13,

14, 16, 19, 22, 28

penghujan, 24

pengolahan tanah, 26, 29

pengomposan, 36

penguapan, 26, 41

Penicillium, 35

penyakit, 5, 6

Pepaya, 69, 87

pera (karau), 85

peracunan Al, Fe, dan Mn, 24,

30, 32

perambahan, 5

peraturan, 9

perbani, 75

perencanaan, 7, 9, 14, 15, 91

Perikanan, 12

Perkebunan, 12, 28

perkolasi, 25, 29, 30

perluasan lahan, 1

permanen, 16, 18, 75

permeabilitas, 35, 77

perombakan, 24, 26, 83

persiapan, 10

pertanaman lorong, 32

pertanian, 1, 2, 3, 4, 5, 10, 12,

13, 15, 19, 22, 23, 24, 26, 27,

28, 29, 30, 36, 37, 38, 39, 40,

56, 70, 77, 84, 87, 88, 90, 91,

93, 94, 95, 96, 97, 98

pestisida, 4, 28, 31, 85

peta, 9, 10, 13, 14, 15, 18

petai, 63, 65

petani, 5, 19, 31, 35, 38, 50, 53,

82, 84, 85, 91

Petek, 34

petrokimia, 35

Petsai, 65

pH, 18, 20, 21, 24, 25, 47, 56,

57, 58, 60, 62, 63, 64, 65, 66,

68, 69, 71, 73, 75, 76, 77, 78,

79, 83, 84

Page 115: STRATEGI PENGELOLAAN TANAH MARGINAL

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL 107

M. Tufaila * Sitti Leomo * Syamsu Alam

piasan, 27, 29

pinang, 70

pintu otomatis, 81

pirit, 50, 71, 72, 73, 74, 75, 76,

77, 78, 82, 83

pisang abaka, 70

polivalen, 48, 56, 57

posisi pembentukannya, 42

potensi, 1, 3, 27, 38, 47, 56, 73,

83, 88, 91, 93, 97

potensial, 7, 18, 19, 20, 21, 23,

73, 75, 77, 96, 98

potential suitability, 19

precipitation, 23

present land use, 13

primer, 52, 82

produksi, 1, 2, 4, 5, 6, 10, 15,

16, 19, 27, 30, 31, 33, 35, 40,

48, 56, 96, 97

produktif, 1, 3, 5, 15, 33

produktivitas, 5, 8, 19, 31, 32,

82, 85, 91, 92, 95, 96, 97

protein, 47, 59, 64, 66

provinsi, 8, 15, 39

Pseudomonas, 35

pulai, 70

pupuk, 4, 26, 28, 30, 31, 33, 34,

35, 36, 37, 56, 57, 58, 61, 63,

64, 65, 66, 67, 68, 69, 83, 84,

85, 91, 92, 96, 97

pupuk anorganik, 37

pupuk hayati, 34, 36, 37

pupuk hijau, 31, 33, 37, 61, 92

pupuk kandang, 31, 37, 56, 63,

64, 92

pupuk mineral, 37

pupuk organik, 32, 36, 37

purnama, 75

purun tikus, 70

R

radio isotop, 41

rainfed farming, 22

ramah, 4

rambutan, 69, 84

rami, 70

ramin, 70

Ranti, 65

rasional, 56

rawa, 3, 23, 27, 39, 49, 50, 65,

70, 72, 75, 84, 85, 88, 92, 93,

95, 96, 97, 98

realistik, 14

Reconnaissance, 15

redoks, 72, 73

reduksi, 72, 78, 83, 84

Regim suhu, 11

rehabilitasi, 13

rekayasa, 2, 27

reklamasi, 50, 78

relief, 11, 13

renewable resources, 4

rengas manuk, 70

rentan, 2, 25, 26

resin, 47

restorasi, 49

rhizobium, 34, 35, 36, 94

rosela, 70

rotan, 70

RTRW, 9

rumusan, 7

S

saga, 70

sagu, 59, 60

Salak, 69

salinitas, 62, 78, 84

saluran cacing, 55, 82

saluran kolektor, 55

Page 116: STRATEGI PENGELOLAAN TANAH MARGINAL

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL 108

M. Tufaila * Sitti Leomo * Syamsu Alam

sangat dalam, 76

saprik (matang), 42

Satuan kesesuaian, 15

satuan lahan, 13, 14

sawah, 1, 13, 23, 54, 55, 60, 85,

90, 97

Sawi, 86

Sawo, 69

sedang, 19, 22, 37, 43, 47, 60,

62, 63, 64, 65, 67, 68, 69, 74,

75, 85

sejuk, 10

sekunder, 52, 80, 82

Selada, 66, 86

Seledri, 65

selulosa, 47

semangka, 66, 69,87

semi arid, 22

semi detail, 15

seng sulfat, 57

sengon, 70

serai, 70

seratnya, 42

Serawak, 40, 90, 93, 97

serbacakup, 2, 26

sesuai, 7, 9, 10, 13, 14, 15, 16,

17, 19, 24, 26, 36, 58, 66, 67,

82

Seulawah, 34

Siam, 84, 85

Sibayak, 34

silikat, 72, 74, 78

Sinabung, 34

singkong, 59

Singkong, 61

Sirsak, 69

sistem garpu, 50, 52, 53

sistem gizi tanaman terpadu, 2,

37

sistem handil, 50, 51

Sistem Satu Arah, 79

sodium molibdat, 57

Soil Survey Staff, 42, 75, 95

solum, 12, 24

Sorgum, 61

sorption capacity, 48

sorption power, 48

sosial, 3, 4, 14, 19, 27, 28

spodosol, 12

Sri kaya, 69

stoplog, 54, 55, 80, 82

strategis, 1

struktur tanah, 5, 29, 77

suaka alam, 5

sub zona, 12

sub-class, 15

suberin, 47

Sub-kelas, 15

subsiden, 46

substratum, 46, 47

subur, 1, 34, 42, 47, 64, 65, 66,

68, 69

suhu, 10, 11, 13, 41

Sukmaraga, 85, 86

Sukun, 61

Sulawesi, 71, 74, 97

sulfaquent, 75

sulfaquept, 76

sulfat, 1, 3, 12, 49, 53, 57, 71,

72, 73, 74, 75, 76, 77, 78, 79,

80, 82, 83, 84, 85, 86, 87, 90,

93, 96, 98

sulfat masam, 12, 71, 72, 74,

75, 77, 78, 79, 83

sulfat masam aktual, 75

sulfat masam potensial, 75, 96,

98

Sulfic Endoaquepts, 76

Sulfic Hydraquents, 75

sulfida, 72, 78, 82

Page 117: STRATEGI PENGELOLAAN TANAH MARGINAL

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL 109

M. Tufaila * Sitti Leomo * Syamsu Alam

sulfurik, 72, 73, 76

Sumatera, 39, 40, 47, 50, 79, 95,

96, 97, 98

sumberdaya, 1, 4, 5, 7, 8, 9, 10,

11, 15, 27

sumberdaya alam, 4, 5

sungkai, 70

surjan, 55

surut, 51, 52, 79, 80, 81, 85

Surya, 34

sustainable, 4, 6, 89, 97, 98

swasembada, 5

swasta, 50

T

Tabat, 51

tadah hujan, 22, 23

Tahana (status), 82

tak balik, 46

tanah mineral laterit, 56

Tanah sulfat masam, 71, 75

tanaman buah, 59, 66

tanaman hortikultur, 2

tanaman perkebunan, 2, 28, 59,

61, 62

tanaman rempah, 59

tanaman sayuran, 59, 63

tanaman serat, 59

Tanggamus, 34

tanggul, 20, 50, 52, 54, 55

tannin, 47

tapak jerapan, 57

tata air, 20, 49, 50, 51, 52, 54,

79, 82

tata batas, 9

tebu, 62, 84

tegal, 23

tegalan, 54, 55

Teh, 63

teknologi, 2, 3, 4, 5, 10, 19, 26,

27, 30, 33, 56, 98

tekstur tanah, 29, 77

temu lawak, 70

tenaga kerja, 5

tepat guna, 3

terak baja, 56

teras, 29

terkendali, 8

teroksidasi, 71, 73, 78

Terong, 66, 86

tersediakan, 33, 35, 36

tersier, 52, 53, 54, 55, 80, 81, 82

terusi, 57

Thapto-Histic Sulfaquents, 75

tidak dapat diperbaharui, 4

tidak sesuai, 13, 15, 16, 24

Timun, 86

tinjau, 15

Tipe luapan, 75

tipologi lahan, 76

toleran, 61, 62, 64, 65, 68, 69,

84

Tomat, 66, 86

topogen, 42, 44, 47

topografi/relief, 7

transformasi, 29

transportasi, 50

Trichoderma, 36

trubus, 26

tumpang susun, 14

turi, 70

Typic, 75, 96

U

Ubi jalar, 61, 86

Ubi kayu, 86

ultisol, 3, 24, 26, 30, 32, 33, 97

unirrigated land, 22

unit, 15, 16, 78

Page 118: STRATEGI PENGELOLAAN TANAH MARGINAL

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL 110

M. Tufaila * Sitti Leomo * Syamsu Alam

unrenewable resources, 4

unsur mikro, 57

upland, 22, 23, 97

upland crop, 22

usahatani, 27, 28, 31, 33, 56

V

variabilitas, 39

varietas lokal, 84, 85

varietas unggul, 85

vegetasi, 7, 23, 44

vermicompost, 36

volume tanah, 26

W

water management, 49, 88, 89,

94

wetland, 22, 23, 92

wilayah, 9, 10, 11, 12, 13, 15,

19, 44, 74, 75, 79, 89

Wilis, 34, 86

Y

Yam/Uwi, 61

Z

ZAE, 9, 13

zarah, 26, 32

zona, 7, 8, 9, 10, 12, 13, 14, 88

zona lahan, 7, 8, 9

zonasi, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 14,

92

zonasi agroekologi, 10

zonasi lahan, 7, 8, 9, 14