38
REFERAT STRABISMUS Disusun oleh : Winda Fricilia Oktarina 2009730116 Pembimbing : Dr. Hj. Ratna,Sp.M KEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMEN ILMUN PENYAKIT MATA RUMAH SAKIT ISLAM PONDOK KOPI JAKARTA i

STRABISMUS.doc

Embed Size (px)

Citation preview

REFERAT

STRABISMUS

Disusun oleh :

Winda Fricilia Oktarina

2009730116

Pembimbing :

Dr. Hj. Ratna,Sp.M

KEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMEN ILMUN PENYAKIT MATARUMAH SAKIT ISLAM PONDOK KOPI

JAKARTA2013

i

KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah

memberikan bimbingan dan petunjuk-Nya, akhirnya dengan ini saya dapat menyelesaikan

Referat dalam STASE MATA RSIJ PONDOK KOPI sesuai pada waktu yang telah

ditentukan.

Tujuan disusunnya referat ini, sebagai dasar kewajiban dari suatu proses kegiatan

yang kami lakukan yang kemudian diaplikasikan dalam bentuk praktik kehidupan sehari-

hari,

Akhir kata, kami menyampaikan ucapan terima kasih kepada Dr.Hj.Ratna,Sp.M

MARS sebagai pembimbing saya dalam pembuatan referat ini. Permohonan maaf juga

saya ucapkan apabila terdapat kesalahan dan kekurangan dalam penyusunan laporan ini.

Untuk itu, diperlukan kritik dan saran yang membangun untuk kami di masa yang akan

datang dan sangat membantu dalam membentuk pribadi seorang dokter yang baik. Semoga

laporan yang kami susun ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Jakarta, Juni 2013

Penyusun

ii

DATAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................... iDAFTAR ISI ................................................................................................................ ii

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................ 1

I. Latar Belakang ......................................................................... 1

II. Tujuan Penulisan ...................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN .................................................................................. 3

I. Definisi ..................................................................................... 3

II. Etiologi ..................................................................................... 3

III. Diagnosa .................................................................................. 31. STRABISMUS PARALITIKA ..........................................

42. STRABISMUS NONPARALITIK ..................................

11

BAB III KESIMPULAN .................................................................................. 20

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................. 21

3

BAB I

PENDAHULUAN

I. LATAR BELAKANG

Mata merupakan salah satu organ indera manusia yang mempunyai

manfaat sangat besar. Kelainan yang mengganggu fungsi mata salah satunya

adalah strabismus. Pada penelitian yang dilakukan di Jogjakarta tahun 2004,

didapatkan frekuensi kasus strabismus tipe esotropia sebesar 58%, tipe

eksotropia sebesar 38% dan tipe lain sebesar 4%.

II. Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan referat ini adalah untuk mengetahui diagnosis dan

penatalaksanaan Strabismus. Serta untuk menambah wawasan kami sebagai

coass dibagian Ilmu Penyakit Mata dan sebagai calon dokter umum mengenai

strabismus.

4

BAB II

PEMBAHASAN

I. DEFINISI

STRABISMUS adalah suatu keadaan dimana kedudukan kedua bola

mata tidak searah. Strabismus merupakan suatu kelainan posisi bola mata dan

bisa terjadi pada arah atau jauh penglihatan tertentu saja, atau terjadi pada semua

arah dan jarak penglihatan. ( 4, 5, 6 )

II. Etiologi

Strabismus ditimbulkan oleh cacat motorik, sensorik atau sentral. Cacat

sensorik disebabkan oleh penglihatan yang buruk, tempat ptosis, palpebra, Parut

Kornea Katarak Kongenital Cacat Sentral akibat kerusakan otak.

Cacat Sensorik dan Sentral menimbulkan Strabismus Konkomitan atau non

paralitik. Cacat motorik seperti paresis otot mata akan menyebabkan gerakan

abnormal mata yang menimbulkan strabismus paralitik. ( 4, 5 )

Gangguan fungsi mata seperti pada kasus kesalahan refraksi berat atau

pandangan yang lemah karena penyakit bisa berakhir pada strabismus.

Ambliopia (berkurangnya ketajaman penglihatan) dapat terjadi pada strabismus,

biasanya terjadi pada penekanan kortikal dari bayangan mata yang

menyimpang. ( 5 )

III. DIAGNOSA STRABISMUS

Kelainan kedudukan mata dapat dibagi dalam :

- strabismus - paralitik (noncomitant) = incomitant

- nonparalitik = (comitant = concomitant)

- manifes = strabismus = heterotropia

- laten = heteroforia

- akomodatif

- non akomodatif

Seringkali heteroforia bertambah secara progresif, sehingga kelainan deviasi ini

tidak dapat lagi diatasi, sehingga menjadi = strabismus.

5

1. STRABISMUS PARALITIKA (NONCOMITANT, INCOMITANT)

Tanda-tanda :

1. Gerak mata terbatas, pada daerah dimana otot yang lumpuh bekerja. Hal ini

menjadi nyata pada kelumpuhan total dan kurang nampak pada parese. Ini dapat

dilihat, bila penderita diminta supaya matanya mengikuti suatu obyek yang

digerakkan ke 6 arah kardinal, tanpa menggerakkan kepalanya (excurtion test).

Keterbatasan gerak kadang-kadang hanya ringan saja, sehingga diagnosa

berdasarkan pada adanya diplopia saja. ( 4 )

2. Deviasi

Kalau mata digerakkan kearah lapangan dimana otot yang lumpuh

bekerja, mata yang sehat akan menjurus kearah ini dengan baik, sedangkan mata

yang sakit tertinggal. Deviasi ini akan tampak lebih jelas, bila kedua mata

digerakkan kearah dimana otot yang lumpuh bekerja. Tetapi bila mata

6

digerakkan kearah dimana otot yang lumpuh ini tidak berpengaruh, deviasinya

tak tampak.

Contoh : kelumpuhan m.rektus lateralis, menyebabkan esotropia, mata

berdeviasi kenasal. Deviasi ini tampak jelas bila kedua mata digerakkan kearah

temporal dan menjadi tidak nyata, bila digerakkan kearah nasal. Deviasi dari

mata yang strabismus disebut deviasi primer, selalu kearah berlawanan dengan

arah bekerjanya otot yang lumpuh. Kalau mata yang sakit melihat sesuatu obyek

dan mata yang sehat ditutup maka mata yang sehat ini akan berdeviasi pada arah

yang sesuai dengan mata yang sakit, tetapi dengan kekuatan yang lebih besar.

Deviasi dari mata yang sehat disebut deviasi sekunder. Deviasi sekunder ini

lebih besar, karena rangsangan yang kuat dibutuhkan mata yang sakit untuk

melihat kearah tempat otot yang sakit bekerja. Kekuatan rangsangan yang sama

didapatkan pula oleh otot yang normal sebagai pasangannya, karena itu timbul

deviasi sekunder yang kuat, pada mata yang sehat (hukum Hering). ( 4, 5 )

Ini merupakan cara untuk membedakan strabismus paralitik dari yang

nonparalitika, dimana diviasi primer sama dengan diviasi sekunder.

3. Diplopia : terjadi pada lapangan kerja otot yang lumpuh dan menjadi lebih nyata

bila mata digerakkan kearah kanan.

4. Ocular torticollis (head tilting)

Penderita biasanya memutar kearah kerja dari otot yang lumpuh.

Kedudukan kepala yang miring, menolong diagnosa strabismus paralitikus.

Dengan memiringkan kepalanya, diplopianya terasa berkurang.

5. Proyeksi yang salah

Mata yang lumpuh tidak melihat obyek pada lokalisasi yang benar. Bila

mata yang sehat ditutup, penderita disuruh menunjukkan suatu obyek yang ada

didepannya dengan tepat, maka jarinya akan menunjukkan daerah disamping

obyek tersebut yang sesuai dengan daerah lapangan kekuatan otot yang lumpuh.

Hal ini disebabkan, rangsangan yang nyata lebih besar dibutuhkan oleh otot

yang lumpuh, untuk mengerjakan pekerjaan itu dan hal ini menyebabkan

tanggapan yang salah pada penderita. ( 3, 4 )

6. Vertigo, mual-mual, disebabkan oleh diplopia dan proyeksi yang salah.

7

Keadaan ini dapat diredakan dengan menutup mata yang sakit.

Diagnosa berdasarkan : 1. Keterbatasan gerak

2. Deviasi

3. Diplopia.

Ketiga tanda ini menjadi nyata, bila mata digerakkan kearah lapangan kerja

dari otot yang sakit. Pada keadaan parese, dimana keterbatasan gerak mata tak begitu

nyata adanya diplopi merupakan tanda yang penting. Cara pemeriksaannya dengan

tes diplopi. Dengan cara ini dapat diketahui :

1. Pada arah mana didapat diplopia

2. Apakah diplopianya bertambah kesatu arah

3. Mata mana yang menderita.

8

Dengan demikian dapat diketahui mata mana dan otot mana pada mata itu yang

salah.

Caranya : Penderita disuruh mengikuti gerak korek api, dengan matanya, tanpa

menggerakkan kepalanya, yang digerakkan keatas, kebawah, kekanan dan kekiri,

secara maksimal. Diperhatikan apakah timbul diplopia pada salah satu arah.

Umpamanya pada waktu melihat kekanan tampak diplopia. Dalam hal ini ada 2

kemungkinan :

1. Mata kiri yang tertinggal karena eksotropi mata kiri = kelumpuhan m.rektus

internus

2. Mata kanan tertinggal, karena esotropia mata kanan = kelumpuhan m.rektus

eksternus.

Kemungkinan

OS OD

Kiri kanan

OS OD

Pada eksotropia mata kiri (OS) = paralise m.rektus internus pada mata kiri

Rangsangan pada mata kanan difovea sentralis.

Pada OS, retina yang terangsang disebelah kiri fovea sentralis, jadi bayangan OS

ada disebelah kanan dari bayangan OD yang melalui fovea sentralis, dilapangan

penglihatan.

OD OS

Disini terdapat crossed diplopia, karena bayangan palsunya terletak berlawanan

dengan mata yang berdeviasi.

9

1. Pada esotropia OD = paralise m.rektus eksternus mata kanan

Rangsangan pada OS tepat difovea sentralis. Pada OD, fovea sentralis ketinggalan

dalam gerakan dan terangsang retinanya pada daerah sebelah kiri dari fovea

sentralis. Jadi bayangannya dilapangan penglihatan terletak disebelah kanan

bayangan OS yang melalui fovea sentralis.

Disini diplopianya OS OD, disebut juga homonymous diplopia, karena

bayangan palsunya terletak pada sisi yang sama dengan mata yang berdeviasi.

Dengan menutup salah satu mata, setelah terlihat diplopia, dapatlah diketahui

kedudukan bayangan dari diplopia itu, karena bayangan yang hilang menunjukkan

kedudukan bayangan mata itu. Umpamanya bayangan yang sebelah kiri yang hilang,

bila mata kanan yang ditutup, maka bayangan yang sebelah kiri adalah bayangan dari

mata kanan. ( 4 )

Pengukuran derajat deviasinya dengan tes Hirschberg, tes Krimski, tes Maddox

cross.

Penderita strabismus paralitika sebaiknya dirujuk dahulu dengan seorang ahli

saraf, sebelum diberikan pengobatan pada matanya, untuk menentukan da mengobati

penyebabnya, yang seringkali merupakan keadaan yang gawat seperti tumor diotak.

Kalau dari fihak bagian saraf sudah dianggap tengan barulah matanya diberi

pengobatan.

Kelumpuhan otot dapat mengenai satu otot, biasanya m.rektus lateralis, m.obliqus

superior atau salah satu otot yang diurus oleh N.III. Dapat juga mengenai beberapa

otot yang diurus oleh N.III.

10

ESOTROPIA PARALITIKUS = ABDUSEN PALCY = NONCOMITANT

ESOTROPIA

Sering terdapat pada orang dewasa yang mendapat trauma dikepala, tumor

atau peradangan dari susunan saraf serebral. Jarang ditemukan pada anak-anak, yang

biasanya disebabkan trauma pada waktu lahir, kelainan kongenital dari m.rektus

lateralis atau persarafannya.

Tanda-tandanya :

- gangguan pergerakan mata kearah luar

- diplopi homonim, yang menjadi lebih hebat, bila mata digerakkan kearah luar

- kepala dimiringkan kearah otot yang lumpuh

- deviasinya menghilang, bila mata digerakkan kearah yang berlawanan dengan otot

yang lumpuh

- pada anak dibawah 6 tahun, dimana pola sensorisnya belum tetap, timbul supresi,

sehingga tidak timbul diplopia

- pada orang dewasa, dimana esotropianya terjadi sekonyong-konyong, penderita

mengeluh ada diplopia, karena pola sensorisnya sudah tetap dan bayangan dari

obyek yang dilihatnya jatuh pada daerah-daerah retina dikedua mata yang tidak

bersesuaian (corresponderend). ( 4, 5 )

Pengobatan :

11

Penderita diobati dahulu secara nonoperatif selama 6 bulan, menurut

kausanya, kalau dapat dengan kerjasama beserta seorang ahli saraf. Bila terdapat

diplopia, mata yang sakit ditutup untuk menghilangkan diplopia dan segala

akibatnya. Adapula yang menutup mata yang sehat untuk menghilangkan

diplopianya.

Baik pada anak ataupun dewasa, bila setelah 6 bulan pengobatan belum ada

perbaikan, baru dilakukan operasi, yaitu reseksi dari m.rektus lateralis atau reseksi

dari m.rektus medialis, sebab bila dibiarkan terlalu lama dapat terjadi atrofi dari otot.

KELUMPUHAN DARI N.III (N. OKULOMOTORIUS)

Pada kelumpuhan total dari saraf ini didapatkan :

- ptosis.

- bola mata hampir tak dapat bergerak. Keterbatasan bergerak kearah atas, kenasal

dan sedikit kearah bawah.

- mata berdeviasi ketemporal, sedikit kebawah. Kepala berputar kearah bahu pada

sisi otot yang lumpuh.

- sedikit eksoftalmus, akibat paralise dari 3 mm rekti yang dalam keadaan normal

mendorong mata kebelakang.

- pupil midriasis, reaksi cahaya negatif, akomodasi lumpuh.

- ada crossed diplopia.

Hal tersebut terjadi oleh karena N.III mengurusi :

M.rektus superior, m.rektus medialis, m.rektus lateralis, m.obliqus inferior, m.

sfingter pupil, mm.siliaris. bila ini semua lumpuh tinggal m.rektus lateralis,

m.obliqus superior yang bekerja, karena itu mata berdeviasi kearah temporal sedikit

kearah bawah dan intorsi (berputar kearah nasal). Pupil lebar tak ada akomodasi.

Kelumpuhan N.III sering tak sempurna hanya mengenai 2-3 otot saja. Dapat

disertai dengan kelumpuhan dari otot-otot lain. Bila terdapat kelumpuhan dari semua

otot-otot, termasuk otot iris dan badan siliar, disebut oftalmoplegia totalis. Kalau

hanya terdapat kelumpuhan dari otot-otot mata luar, disebut oftalmoplegia eksterna,

yang ini lebih sering terjadi. Kelumpuhan yang terbatas pada m.sfingter pupil dan

badan siliar, disebut oftalmoplegia interna. Hal ini sering dijumpai misalnya pada :

- pemakaian midriatika, sikloplegia, waktu mengadakan pemeriksaan fundus atau

refraksi

12

- kontusio bulbi

- akibat lues, difteri, diabetes, penyakit serebral.

Dalam hal ini kita dapatkan pupil lebar, tak ada akomodasi. Pada

oftalmoplegia interna, diobati menurut penyebabnya dan lokal diberikan pilokarpin

atau eserin. Kalau akomodasinya tetap hilang, beri pula kacamata sferis (+) 3 D

untuk pekerjaan dekat.

Penyebabnya :

Kelainannya dapat terjadi pada setiap tempat dari korteks serebri keotot.

Macam kelainan dapat eksudat, perdarahan, periostitis, tumor, trauma, perubahan

pembuluh darah yang menyebabkan penekanan atau peradangan pada saraf. Jarang-

jarang disebabkan peradangan atau degenerasi primer. Pada umumnya disebabkan

oleh lues yang dapat menyebabkan tabes, ensefalitis. Infeksi akut (difteri, influenza),

keracunan (alkohol), diabetes mellitus, penyakit-penyakit sinus, trauma, sebagai

penyebab yang lainnya. Terjadinya bisa sekonyong-konyong ataupun perlahan-lahan,

tetapi perjalanan penyakitnya selalu menahun. Kekambuhan sering terjadi. Kalau

telah terjadi lama, prognosis tidak menguntungkan lagi, karena kemungkinan

terjadinya atrofi dari otot-otot yang lumpuh dan kontraksi dari otot lawannya. ( 4 )

Pengobatan :

Untuk menghindari diplopia, mata yang sakit ditutup. Ada pula yang menutup

mata yang sehat.

Kalau setelah pengobatan kira-kira 6 bulan tetap lumpuh, dilakukan operasi

reseksi dari otot yang lumpuh disertai resesi dari otot lawannya. Supaya tidak terjadi

atrofi dari otot yang lumpuh. Hasil dari operasi ini sering mengecewakan, tetapi

perbaikan kosmetis mungkin dapat memuaskan.

Kelumpuhan m.rektus medialis :

13

Menyebabkan strabismus divergens, gangguan gerak kearah nasal, cross

diplopi. Kelainan ini bertambah bila mata digerakkan kearah nasal (aduksi). Kepala

dimiringkan kearah otot yang sakit.

Kelumpuhan m.rektus superior :

Terdapat keterbatasan gerak keatas, hipotropia, diplopia campuran (diplopi

vertikal dan crossed diplopia). Bayangan dari mata yang sakit terdapat diatas

bayangan mata yang sehat. Kelainan bertambah pada gerakan mata keatas.

Kelumpuhan m.rektus inferior :

Terdapat keterbatasan gerak mata kebawah, hipertropia, diplopi campuran,

crossed, yang bertambah hebat bila mata digerakkan kebawah. Bayangan dari mata

yang sakit terletak lebih rendah.

Kelumpuhan m.obliqus superior :

Terdapat keterbatasan gerak kearah bawah terutama nasal inferior, strabismus

yang vertikal, diplopia campuran, terutama vertikal dan homonim yang bertambah

hebat bila mata digerakkan kearah nasal inferior. Bayangan dari mata yang sakit

terletak lebih rendah. ( 4, 5 )

Kelumpuhan m.obliqus inferior :

Terdapat keterbatasan gerak keatas, terutama atas nasal, strabismus vertikal,

diplopia campuran, homonim. Kelainan ini bertambah bila mata digerakkan kearah

temporal atas. Bayangan dari mata yang sakit terletak lebih tinggi.

2. STRABISMUS NONPARALITIK

14

Disini kekuatan duksi dari semua otot normal dan mata yang berdeviasi

mengikuti gerak mata yang sebelahnya pada semua arah dan selalu berdeviasi

dengan kekuatan yang sama. Deviasi primer (deviasi pada mata yang sakit) sama

dengan deviasi sekunder (deviasi pada mata yang sehat). Mata yang ditujukan pada

obyek disebut fixing eye, sedang mata yang berdeviasi disebut squinting eye.

Dibedakan strabismus nonparalitika - nonakomodatif.

- akomodatif – berhubungan dengan kelainan

refraksi.

STRABISMUS NONPARALITIK NONAKOMODATIF :

Deviasinya telah timbul pada waktu lahir atau pada tahun-tahun pertama.

Deviasinya sama kesemua arah dan tidak dipengaruhi oleh akomodasi. Karena itu

penyebabnya tak ada hubungannya dengan kelainan refraksi atau kelumpuhan otot-

otot. Mungkin disebabkan oleh : ( 1, 4 )

Insersi yang salah dari otot-otot yang bekerja horizontal

Gangguan keseimbangan gerak bola mata, dapat terjadi karena gangguan

yang bersifat sentral, berupa kelainan kwantitas rangsangan pada otot. Hal ini

disebabkan kesalahan persarafan terutama dari perjalanan supranuklear, yang

mengelola konvergensi dan divergensi. Kelainan ini dapat menimbulkan proporsi

yang tidak baik antara kekuatan konvergensi dan divergensi. Untuk melakukan

konvergensi dari kedua mata, harus ada kontraksi yang sama dan serentak dari kedua

m.rektus internus, sehingga terjadi gerakan yang sama dan simultan dari mata ke

nasal. Divergensi dan konvergensi adalah bertentangan, overaction dari yang satu

menyebabkan kelemahan dari yang lain dan sebaliknya. Rangsangan sentral yang

berlebihan untuk konvergensi, menyebabkan kedudukan bola mata yang normal

untuk penglihatan jauh (divergensi) sedang menjadi strabismus konvergens untuk

penglihatan dekat (konvergensi).

Dibedakan :

1. Kelebihan konvergensi : (convergence excess)

15

pada penglihatan jauh normal, pada penglihatan dekat timbul strabismus

konvergens.

2. Kelebihan divergensi (divergence exess) :

pada penglihatan dekat normal. pada penglihatan jauh timbul strabismus

divergens.

3. Kelemahan konvergensi : (convergence insufficiency) : pada penglihatan jauh

normal, pada penglihatan dekat timbul strabismus divergens.

4. Kelemahan divergensi (divergence insufficiency) : pada penglihatan dekat

normal, pada penglihatan jauh timbul strabismus konvergens.

Kekurangan daya fusi :

Kelainan daya fusi kongenital sering didapatkan. Daya fusi ini berkembang

sejak kecil dan selesai pada umur 6 tahun. Ini penting untukk penglihatan binokuler

tunggal yang menyebabkan mata melihat lurus. Tetapi bila daya fusi ini terganggu

secara kongenital atau terjadi gangguan koordinasi motorisnya, maka akan

menyebabkan strabismus.

Pada kasus yang idiopatis,

Kesalahan mungkin terletak pada dasar genetik. Eksotropik dan esotropia

sering merupakan keturunan autosomal dominan. Kadang-kadang pada anak dengan

esotropia, didapatkan orang tuanya dengan esoforia yang hebat.

Tidak jarang strabismus nonakomodatif tertutup oleh faktor akomodatif,

sehingga bila kelainan refraksinya dikoreksi, strabismusnya hanya diperbaiki

sebagian saja.

Tanda-tanda :

16

1. Kelainan kosmetik, sehingga pada anak-anak yang lebih besar merupakan beban

mental.

2. Tak terdapat tanda-tanda astenopia.

3. Tak ada hubungan dengan kelainan refraksi.

4. Tak ada diplopia, karena terdapat supresi dari bayangan pada mata yang

berdeviasi.

Pada strabismus yang monokuler, karena supresi dapat terjadi ambliopia ex

anopsia. Bila deviasinya mulai pada umur muda dan sudut deviasinya besar, maka

bayangan dimakula yang terdapat pada mata yang fiksasi (fixing eye) terdapat

didaerah diluar makula pada mata yang berdeviasi (squiting eye). Jadi terdapat

abnormal retinal correspondence (binocular fals projection). Pengukuran derajat

deviasinya dilakukan dengan : tes Hisrchberg, tes Krimsky, tes Maddox cross.

Pemeriksaan kekuatan duksi untuk mengukur kekuatan otot. ( 3, 4, 5 )

Pengobatan :

1. Preoperatif

2. Operatif

Ad. 1. Preoperatif :

Pengobatan yang paling ideal pada setiap strabismus adalah bila tercapai hasil

fungsionil yang baik, yaitu penglihatan binokuler yang normal dengan stereopsis,

disamping perbaikan kosmetik. Hal ini sukar dicapai karena tergantung dari pada :

1. lamanya strabismus.

2. umur anak pada waktu diperiksa.

3. sikap orang tuanya.

4. kelainan refraksi.

Pada strabismus yang sudah berlangsung lama dan anak berumur 6 tahun atau

lebih pada waktu diperiksa pertama, maka hasil pengobatannya hanya kosmetis saja.

Sedapat mungkin ambliopia pada mata yang berdeviasi harus dihilangkan dengan :

17

1. Menutup mata yang normal (terapi oklusi = patching).

Dengan demikian penderita dipaksa untuk memakai matanya yang

berdeviasi. Biasanya ketajaman penglihatannya menunjukkan perbaikan dalam

4-10 minggu. Penutupan ini mempunyai pengaruh baik pada pola sensorisnya

retina, tetapi tidak mempengaruhi deviasi. Sebaiknya terapi penutupan sudah

dimulai sejak usia 6 bulan, untuk hindarkan timbulnya ambliopia. Pada anak

berumur dibawah 5 tahun dapat diteteskan sulfas atropin 1 tetes satu bulan,

sehingga mata ini tak dipakai kira-kira 2 minggu. Ada pula yang menetesinya

setiap hari dengan homatropin sehingga mata ini beberapa jam sehari tak

dipakai. Sedang pada anak-anak yang lebih besar, dilakukan penutupan matanya

2-4 jam sehari. Penetesan atau penutupan jangan dilakukan terlalu lama, karena

takut menyebabkan ambliopia pada mata yang sehat ini.

2. Pengobatan dengan cara penutupan, pada anak yang sudah mengerti (3 tahun),

harus dikombinasikan dengan latihan ortoptik untuk mendapatkan penglihatan

binokuler yang baik. Kalau pengobatan preoperatif sudah cukup lama dilakukan,

kira-kira 1 tahun, tetapi tak berhasil, maka dilakukan operasi.

Tindakan operatif sebaiknya dilakukan pada umur 4-5 tahun, supaya bila masih ada

strabismusnya yang belum terkoreksi dapat dibantu dengan latihan.

Prinsip operasinya : - reseksi dari otot yang terlalu kuat

- reseksi dari otot yang terlalu lemah. ( 4 )

ESOTROPIA NONAKOMODATIVA

18

Meliputi lebih dari setengahnya strabismus nonparalitika. Deviasinya sudah

timbul pada waktu lahir atau pada tahun-tahun pertama. Deviasinya sama kesemua

arah dan tak terpengaruhi oleh akomodasi, tak ada hubungan dengan kelainan

refraksi atau kelumpuhan otot.

Penyebabnya mungkin insersi yang salah dari otot bekerja horizontal,

kelainan persarafan supranuklear atau kelainan genetis. ( 4, 5 )

Terapi penutupan secepat mungkin, disamping

latihan ortoptik, sebelum dilakukan tindakan

operatif ;

a. resesi dari m.rektus medialis

b. reseksi dari m.rektus lateralis.

STRABISMUS NONPARALITIKA AKOMODATIVA :

Gangguan keseimbangan konvergensi dan divergensi dapat juga berdasarkan

akomodasi, jadi berhubungan dengan kelainan refraksi.

Dapat berupa : - strabismus konvergens (esotropia)

- strabismus divergens (eksotropia).

Pemeriksaan yang dilakukan :

Pemeriksaan refraksi harus dilakukan dengan sikloplegia, untuk menghilangkan

pengaruh dari akomodasi.

Caranya : - Pada anak-anak dengan pemberian sulfas atropin 1 tetes sehari, tiga hari

berturut-turut, diperiksa pada hari keempat.

- Pada orang dewasa diteteskan homatropin 1 tetes setiap 15 menit, tiga

kali berturut-turut, diperiksa 1 jam setelah tetes terakhir.

Pengukuran derajat deviasi dengan tes Hirschberg, tes Krismky, tes Maddox

cross. ( 2, 3, 4 )

Pemeriksaan kekuatan duksi, untuk mengukur kekuatan otot yang bergerak pada

arah horizontal (adduksi = m.rektus medialis; abduksi = m.rektus lateralis).

19

Pengobatan :

1. koreksi dari kelainan refraksi, dengan sikloplegia.

2. hindari ambliopia dengan penetesan atropin atau penutupan pada mata yang

sehat.

3. meluruskan aksis visualis dengan operasi (mata menjadi ortofori).

4. memperbaiki penglihatan binokuler dengan latihan ortoptik.

STRABISMUS KONVERGENS NONPARALITIK AKOMODATIF

(KONKOMITAN AKOMODATIF)

Dinamakan juga esotropia, dimana mata berdeviasi kearah nasal. Kelainan ini

berhubungan dengan hipermetropia atau hipermetropia yang disertai astigmat.

Tampak pada umur muda, antara 1-4 tahun, dimana anak mulai mempergunakan

akomodasinya untuk melihat benda-benda dekat seperti mainan atau gambar-gambar.

Mula-mula timbul periodik, pada waktu penglihatan dekat atau bila keadaan

umumnya terganggu, kemudian menjadi tetap, baik pada penglihatan jauh ataupun

dekat.

Kadang-kadang dapat menghilang pada usia pubertas. Anak yang

hipermetrop, mempergunakan akomodasi pada waktu penglihatan jauh, pada

penglihatan dekat akomodasi yang dibutuhkan lebih banyak lagi. Akomodasi dan

konvergensi erat hubungannya, dengan penambahan akomodasi konvergensinyapun

bertambah pula. Pada anak dengan hipermetrop ini, mulai terlihat esoforia periodik

pada penglihatan dekat, disebabkan rangsangan berlebihan untuk konvergensi.

Lambat laun kelainan deviasi ini bertambah sampai fiksasi binokuler untuk

penglihatan dekat tak dapat dipertahankan lagi, dan terjadilah strabismus konvergens

untuk dekat. Kemudian terjadi pula esotropia pada penglihatan jauh.

20

Pengobatan :

1. Koreksi refraksi dengan sikloplegia. Harus diberikan koreksi dari hipermetropia

totalis, dan kacamata dipakai terus-menerus. Karena terdapat akomodasi yang

berlebihan, juga dapat diberikan kacamata untuk dekat meskipun belum usia

presbiopia, untuk mengurangi akomodasinya. Jadi diberikan kacamata bifokal.

2. Mata yang sehat ditutup atau ditetesi atropin untuk memperbaiki visus pada mata

yang sakit, 1 tetes 1 bulan 1 kali dapat juga dengan homatropin setiap hari atau

penutupan mata yang sehat. Kacamata harus diperiksa berulang kali, karena

mungkin terdapat perubahan, sampai kelainan refraksinya tetap.

3. Latihan ortoptik harus dilakukan bersamaan dengan perbaikan koreksi untuk

memperbaiki pola sensorik dari retina, sehingga memperbesar kemungkinan

untuk dapat melihat binokuler.

4. Kalau setelah tindakan diatas esotropianya masih ada, dan kelainan deviasinya

tidak begitu besar, dapat diberikan koreksi dengan prisma, basis temporal.

5. Bila semua tindakan tidak menghilangkan kelainan deviasinya, maka dilakukan

operasi, untuk meluruskan matanya.

6. Setelah operasi, diteruskan latihan ortoptik untuk memperbaiki penglihatan

binokuler. Pada esotropia untuk jarak jauh, dilakukan reseksi m.rektus eksternus,

(otot yang lemah). Pada esotropi jarak dekat, perlu resesi m.rektus internus (otot

yang kuat). Untuk esotropi yang hebat, lebih dari 30 derajat, terjadi jauh dekat,

dilakukan operasi kombinasi. ( 4 )

STRABISMUS DIVERGENS NONPARALITIK AKOMODATIF

(EKSOTROPI KONKOMITAN AKOMODATIF)

Mata berdeviasi kearah temporal. Hubungannya dengan miopia. Sering juga didapat,

bila satu mata kehilangan penglihatannya sedang mata yang lain penglihatannya

tetap baik, sehingga rangsangan untuk konvergensi tak ada, maka mata yang sakit

berdeviasi keluar.

Strabismus divergens biasanya mulai timbul pada waktu masa remaja atau dewasa

muda. Lebih jarang terjadi.

21

Dapat dimulai dengan :1. Kelebihan divergensi

2. Kelemahan konvergensi.

Pada miopia mulai dengan kelemahan akomodasi pada jarak dekat, orang

miop hanya sedikit atau tidak memerlukan akomodasi, sehingga menimbulkan

kelemahan konvergensi dan timbullah kelainan eksotropia untuk penglihatan dekat

sedang untuk penglihatan jauhnya normal. tetapi pada keadaan yang lebih lanjut,

timbul juga eksotropia pada jarak jauh. Bila penyebabnya divergens yang berlebihan,

yang biasanya merupakan kelainan primer, mulai tampak sebagai eksotropia untuk

jarak jauh. Tetapi lama kelamaan kekuatan konvergensi melemah, sehingga menjadi

kelainan yang menetap, baik untuk jauh maupun dekat.

Pengobatan :

1. Koreksi penuh dari miopinya, ditambah overkoreksi 0,5-0,75 dioptri untuk

memaksa mata itu berakomodasi, kacamata ini harus dipakai terus-menerus.

2. Latihan ortoptik, untuk memperbaiki penglihatan binokuler, disamping terapi

oklusi.

3. Operasi, bila cara yang terdahulu tak memberikan pengobatan yang memuaskan.

Pada eksotropia hanya untuk jarak jauh, dilakukan dari m.rektus lateralis,

sedang pada kelemahan dari daya konvergensi, yang timbulkan eksotropia pada jarak

dekat dilakukan reseksi dari m.rektus medialis. Untuk eksotropia yang menetap

22

untuk jauh dan dekat, dilakukan operasi kombinasi. Bila kelainan deviasinya tak

begitu besar, dapat dicoba dulu dengan kacamata prisma basis nasal.

Pada bayi dan anak kecil ada kecenderungan konvergensi yang berlebihan,

yang dipengaruhi oleh persarafan supranuklear. Kecenderungan untuk berdivergensi

menjadi lebih besar dengan bertambahnya umur. Karena itu, bila tidak ada daya

untuk berfusi, seperti pada mata yang buta atau mata dengan visus yang sangat

menurun, maka mata ini akan berdeviasi kenasal pada anak-anak sampai umur 6

tahun dan pada orang-orang yang lebih dari 6 tahun usianya akan berdeviasi kearah

temporal. ( 4 )

23

BAB III

KESIMPULAN

1. Diagnosa Strabismus ditegakkan berdasarkan anamnesa dan pemeriksaan fisik

berdasarkan diagnosa kualitatif dan kuantitatif.

2. Tujuan pengobatan Strabismus pada anak-anak yaitu mengembalikan efek

sensorik yang hilang dan mempertahankan mata yang telah membaik dan telah

diluruskan, baik secara bedah maupun non bedah.

3. Tujuan pengobatan Strabismus pada orang dewasa, dengan strabismus yang

didapat yaitu mengurangi deviasi dan memperbaiki penglihatan binokuler

tunggal.

4. Langkah penanganan adalah memperbaiki tujuan penglihatan sehingga sensasi

penglihatan kedua mata sama, kemudian memperbaiki kedudukan bola mata.

5. Hasil akhir dari penatalaksanaan Strabismus tidak dapat mencapai penyembuhan

total, hanya bisa memperbaiki visus, dan merupakaan hal yang harus

diperioritaskan dalam penatalaksanaan Strabismus adalah mengetahui atau dapat

mendiagnosa sedini mungkin kelainan yang terjadi sehingga efek terapi yang

dicapai lebih optimal.

24

DAFTAR PUSTAKA

1. Radjamin. T, 1993, Strabismus, dalam Ilmu Penyakit Mata, Perhimpunan Dokter Ahli Mata Indonesia, Airlangga University Press, 121-126.

2. Ilyas S, 1998, Strabismus, dalam Ilmu Penyakit Mata, Balai Penerbit FKUI, Jakarta, 233-265.

3. Ilyas S, 2000, Strabismus, dalam Sari Ilmu Penyakit Mata, Balai Penerbit FKUI, Jakarta, 181-194.

4. Wijana. N, 1993, Strabismus, dalam Ilmu Penyakit Mata, Abadi Tegal, Jakarta, 282-311.

5. Voughan D, Asbury T, 1996, Strabismus, dalam Oftalmologi Umum, edisi II, Jilid 1, Widya Medika, Jakarta, 237-263.

6. Glasspool. MG, 1994, Strabismus, dalam Atlas Berwarna Oftalmologi, Widya Medika, Jakarta, 91-96.

25

26

27