Sti a Capacity Bulding

Embed Size (px)

DESCRIPTION

kelembagaan, capacity building

Citation preview

  • Capacity

    BuildingBirokrasi Pemerintah Daerah

    Kabupaten/Kota Di Indonesia

    Tim Peneliti STIA LAN Makassar 2012

  • i

    KATA PENGANTAR

    Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala limpahan

    Rahmat, Taufiq dan Hidayah-Nya sehingga laporan hasil penelitian STIA-LAN

    Makassar untuk tahun 2012 dengan Judul: Capacity Building Birokrasi

    Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota di Indonesia dapat kami selesaikan.

    Penelitian ini dilaksanakan pada 6 daerah sampel yaitu Pekanbaru(Riau),

    Manado (Sulawesi Utara), Jayapura (Papua), Luwu Utara (Sulawesi Selatan),

    Palangkaraya, Kalimantan Tengah), dan Surakarta (Jawa Tengah).

    Kepada Narasumber, Responden dan Pembantu Lapangan yang telah

    memberi data dan informasi yang dibutuhkan dalam penelitian ini kami ucapkan

    terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya.

    Terima kasih dan penghargaan yang sama juga disampaikan kepada

    Narasumber penilai atas masukan, saran dan koreksinya terhadap laporan ini.

    Terkhusus kepada anggota tim peneliti, terima kasih atas kerjasama dan dedikasinya

    yang tinggi serta upaya yang ditunjukkan untuk menghasilkan penelitian yang baik.

    Semoga apa yang telah dilakukan memberi manfaat. Amin.

    Makassar, Desember 2012

    Koordinator,

    Dr. Najmi Kamariah, SE., M.Si

  • ii

    DAFTAR ISI

    Kata Pengantar

    Daftar Isi

    Daftar Tabel

    Daftar Gambar

    BAB I PENDAHULUAN

    1. Latar Belakang

    2. Pokok Permasalahan

    3. Tujuan Penelitian

    4. Manfaat Penelitian

    BAB II TINJAUAN PUSTAKA

    1. Tinjauan Teori

    1.1 Konsep Capacity Building

    1.2 Perspektif dan Teori Capacity Building Organisasi

    2. Definisi Operasional Variabel

    3. Kerangka Pikir

    BAB III METODE PENELITIAN

    1. Jenis dan Pendekatan Penelitian

    2. Populasi dan Sampel

    3. Teknik Pengumpulan Data

    4. Teknik Analisis Data

    BAB IV HASIL PENELITIAN

    A. Penyajian Data dan Analisis Hasil Penelitian

    1. Pengembangan Kapasitas Sumber Daya Fisik

    a. Kapasitas Struktur Organisasi

    Hal

    i

    ii

    iv

    v

    1

    1

    5

    5

    5

    7

    7

    7

    21

    31

    33

    36

    36

    36

    37

    38

    39

    39

    40

    40

  • iii

    b. Kapasitas Keuangan

    c. Kapasitas Perangkat Hukum

    d. Kapasitas Sarana dan Prasarana

    2. Pengembangan Kapasitas Proses Operasional

    (Ketatalaksanaan)

    a. Penguatan Kapasitas Prosedur Kerja

    b. Penguatan Kapasitas Budaya Kerja

    c. Pengembangan Kapasitas Kepemimpinan Organisasi

    3. Kapasitas Sumber Daya Manusia

    a. Kapasitas Pengetahuan Pegawai

    b. Penguatan Kapasitas Keterampilan

    c. Kapasitas Perilaku dan Etika Kerja Pegawai

    B. Diskusi dan Pembahasan

    1. Kapasitas Sumber Daya Fisik

    2. Kapasitas Proses Operasional

    3. Kapasitas Sumber Daya Manusia

    BAB V PENUTUP

    A. Kesimpulan

    1. Kapasitas Sumber Daya Fisik

    2. Kapasitas Proses Operasional

    3. Kapasitas Sumber Daya Manusia

    B. Saran-Saran

    Daftar Pustaka

    45

    50

    53

    56

    56

    60

    63

    67

    67

    70

    74

    77

    79

    82

    85

    91

    91

    91

    92

    92

    93

    94

  • iv

    DAFTAR TABEL

    2.1 Dimensions, Focus and types of activities of Capacity Building Initiatives 11

    4.1 Rekapitulasi Rata-rata tanggapan responden tentang pengembangan

    kapasitas struktur organisasi

    41

    4.2 tanggapan responden tentang pengembangan kapasitas keuangan 45

    4.3 Tanggapan Responden tentang Pengembangan kapasitas Perangkat

    Hukum ..

    50

    4.4 Tanggapan Responden tentang Kapasitas Sarana dan Prasarana .. 53

    4.5 Rekapitulasi rata-rata tanggapan Responden tentang Pengembangan

    Kapasitas Prosedur Kerja .

    57

    4.6 Rekapitulasi Rata-rata Tanggapan Responden Tentang Pengembangan

    kapasitas Budaya Kerja yang Efektif ...

    60

    4.7 Tanggapan Responden tentang Kapasitas Kepemimpinan 64

    4.8 tanggapan responden tentang kapasitas pengetahuan ... 68

    4.9 Rekapitulasi Rata-rata Tanggapan Responden Tentang Pengembangan

    Kapasitas Keterampilan .

    71

    4.10 Tanggapan Responden Tentang Perilaku dan Etika Kerja . 75

    4.12 Rekapitulasi Tanggapan Responden untuk Setiap Indikator 78

    4.13 rekapitulasi Perbandingan Daerah dengan Nilai Tertinggi dan Terendah 89

  • v

    Daftar Gambar

    1. A Five Dimensional Framework Of Institutional Capacity . 14

    2. Level Pengembangan Kapasitas .. 15

    3. Tingkatan Pengembangan Kapasitas .. 17

    4. Framework for Organizational Assessment . 22

  • BAB I

    PENDAHULUAN

    1. Latar Belakang

    Dalam rangka meningkatkan kinerja birokrasi pemerintah daerah,

    pemerintah telah menetapkan prioritas pembangunan pada penciptaan tata

    pemerintahan yang bersih dan berwibawa sebagaimana ditetapkan dalam

    Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 20102014.

    Salah satu instrumen penting untuk mewujudkan tata pemerintahan yang

    bersih dan berwibawa adalah melalui reformasi birokrasi seperti tertuang

    dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Tahun 2010 dan 2011. Tujuan

    akhir dari reformasi birokrasi adalah terwujudnya pelayanan publik yang

    prima (cepat, tepat, murah, transparan, dan akuntabel) dan peningkatan

    kinerja birokrasi yang semakin baik.

    Namun demikian, pembangunan aparatur negara yang dilaksanakan

    melalui program reformasi birokrasi ternyata masih bersifat parsial dan

    tidak menyentuh isu pokok pembangunan kapasitas kelembagaan aparatur

    negara. Pendekatan parsial tersebut berdampak negatif pada kinerja

    aparatur negara seperti ditunjukkan oleh berbagai indikator yang

    diterbitkan oleh beberapa lembaga multilateral dan bilateral internasional.

    Misalnya, Indeks Efektivitas Pemerintahan yang dikeluarkan oleh World

    Bank sejak tahun 2002 yang menunjukkan trend naik selama 3 (tiga) tahun

    terakhir, namun belum menampakkan peningkatan yang cukup signifikan.

    Indeks ini menunjukkan peningkatan kemampuan pemerintah untuk

  • 2

    menyelenggarakan pelayanan publik dan membuat kebijakan yang

    paramater pengukurannya meliputi kualitas pelayanan publik, kualitas

    birokrasi, kompetensi aparat pemerintah, dan independensi PNS terhadap

    tekanan politik. Keseluruhan indeks tersebut mencerminkan kapasitas

    kelembagaan birokrasi pemerintah. Data world bank menunjukkan Indeks

    Efektivitas Pemerintahan Indonesia menunjukkan peningkatan dari 37,0

    pada Tahun 2005, menjadi 38,9 pada Tahun 2006, dan 41,7 pada Tahun

    2007.

    Reformasi birokrasi yang sedang dilaksanakan pemerintah belum

    berjalan sesuai dengan harapan masyarakat, merupakan masalah pokok

    yang dihadapi dalam mewujudkan good governance dan peningkatkan

    kinerja pemerintahan. Dari beberapa kasus yang terjadi, termasuk

    besarnya jumlah kerugian keuangan negara yang ditimbulkan,

    menunjukkan belum optimalnya kinerja birokrasi yang pada akhirnya

    mengakibatkan rendahnya kinerja pelayanan publik yang diberikan kepada

    masyarakat. Berbagai masalah lainnya dalam birokrasi yang belum

    terselesaikan sebagaimana uraian berikut berpengaruh besar terhadap

    rendahnya kapasitas birokrasi secara keseluruhan.

    Pertama, upaya penataan kelembagaan pemerintah belum mencapai

    hasil yang maksimal. Hal itu terutama disebabkan oleh kecenderungan

    lembaga pemerintah yang lebih mementingkan pendekatan struktural

    daripada pendekatan fungsional yang tercermin, antara lain, dari (1)

    struktur organisasi masih cenderung gemuk dan belum efisien; (2) masih

  • 3

    terdapatnya tumpang tindih tugas pokok, fungsi, dan kewenangan

    organisasi pemerintah di daerah; (3) masih lemahnya sinkronisasi tata

    hubungan kerja antara instansi pemerintah daerah termasuk dalam

    pelaksanaan kebijakan otonomi daerah; serta (4) organisasi satuan kerja

    perangkat daerah juga belum sepenuhnya didesain secara proporsional

    sesuai kebutuhan dan karakteristik nyata daerah.

    Kedua, upaya penataan ketatalaksanaan pemerintah belum

    menunjukkan hasil yang berarti. Hal itu ditunjukkan, antara lain, dengan (1)

    masih lemahnya sistem dan prosedur dalam pelaksanakan manajemen

    instansi pemerintah di daerah; (2) belum optimalnya penerapan standar

    kompetensi dalam menduduki jabatan struktural dan fungsional; serta (3)

    masih lemahnya penerapan prinsip-prinsip tata pemerintahan yang baik

    (good governance) birokrasi pemerintah daerah. Masalah lain yang juga

    perlu mendapat perhatian adalah belum diterapkannya secara konsisten

    dan berkelanjutan sistem manajemen yang berorientasi pada peningkatan

    kinerja (manajemen berbasis kinerja) yang terintegrasi dengan sistem

    perencanaan, sistem penganggaran, sistem perbendaharaan, dan sistem

    akuntabilitas pemerintahan yang saling menunjang dengan sistem

    pengendalian, baik di lingkungan instansi pemerintah pusat dan

    pemerintah daerah, sebagai bagian dari upaya reformasi birokrasi serta

    untuk mendukung penerapan kebijakan anggaran berbasis kinerja.

    Ketiga, pembinaan terhadap sumber daya manusia aparatur belum

    dikelola dengan baik. Hal itu ditunjukkan, antara lain, dengan (1) masih

  • 4

    sulitnya mengubah cara pikir (mind set) dan cara kerja aparatur; (2) masih

    rendahnya disiplin dan etika pegawai; (3) sistem karier yang belum

    sepenuhnya berdasarkan prestasi kerja; (4) sistem remunerasi yang belum

    memadai untuk hidup layak; (5) penerimaan calon pegawai negeri sipil

    (CPNS) belum sepenuhnya dilakukan berdasarkan kualifikasi pendidikan

    yang dibutuhkan; (6) masih rendahnya kualitas sumber daya manusia

    aparatur secara umum; (7) penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan

    (diklat) yang hingga kini belum sepenuhnya dapat meningkatkan kinerja

    aparatur negara; (8) masih lemahnya pengawasan dan audit terhadap

    kinerja aparatur negara; dan (9) sistem informasi manajemen kepegawaian

    yang sampai saat ini belum dapat berfungsi secara optimal.

    Menghadapi beberapa permasalahan tersebut, diperlukan penguatan

    kapasitas (capacity building) pemerintah daerah yang meliputi sistem

    (system), pegawai/birokrasi (individual) dan organisasi/instansi (entity)

    untuk dapat mempercepat pelaksanaan reformasi birokrasi sebagai bagian

    integral dari kebijakan pembangunan nasional yang tertuang dalam

    Propenas. Pengembangan kapasitas mengacu kepada proses dimana

    individu, kelompok, organisasi, kelembagaan, dan masyarakat

    mengembangkan kemampuannya baik secara individual maupun kolektif

    untuk untuk melaksanakan fungsi mereka, menyelesaikan masalah

    mereka, mencapai tujuan-tujuan mereka secara mandiri.

    Berdasarkan fenomena permasalahan yang telah diuraikan

    sebelumnya, maka penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pendekatan-

  • 5

    pendekatan yang dilakukan pemerintah Kabupaten/Kota dalam

    pengembangan kapasitas organisasi untuk menjalankan fungsi,

    menyelesaikan masalah dan mencapai tujuan-tujuan organisasinya atau

    dalam kata lain kemampuan pemerintah daerah dalam menjalankan

    pemerintahan.

    2. Pokok Permasalahan

    Berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah dikemukakan

    sebelumnya, maka pokok permasalahan dalam penelitian ini, adalah,

    Bagaimana pengembangan kapasitas birokrasi pemerintah

    kabupaten/kota di Indonesia ?

    3. Tujuan Penelitian

    Sesuai dengan pokok permasalahan, maka tujuan penelitian ini, adalah :

    a. Untuk mengetahui kapasitas birokrasi pemerintah kabupaten/kota di

    Indonesia.

    b. Untuk mengetahui langkah-lagkah yang ditempuh pemerintah

    Kab/Kota dalam upaya-upaya mengembangkan kapasitas birokrasi

    pemerintah di daerah, yang difokuskan pada tiga aspek, yaitu kapasitas

    sumber daya fisik, kapasitas proses operasional, dan kapasitas sumber

    daya manusia.

    4. Manfaat Penelitian

    a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat mengembangkan pengetahuan

    yang berkaitan tentang pengembangan organisasi, khususnya pada

    upaya pengembangan kapasitas birokrasi pemerintah kabupaten dan

  • 6

    kota di Indonesia, melalui dimensi pengembangan kapasitas sumber

    daya fisik organisasi, kapasitas proses ketatalaksanaan, dan kapasitas

    SDM pegawai.

    b. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi rekomendasi bagi

    pemerintah kabupaten dan kota untuk melakukan upaya-upaya dalam

    mengembangkan kapasitas birokrasi pemerintah, khususnya di daerah

    lokus penelitian.

  • 7

    BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA

    1. Tinjauan Teori

    1.1. Konsep Capacity Building

    Milen (2006: 12) mendefenisikan kapasitas sebagai kemampuan

    individu, organisasi atau sistem untuk menjalankan fungsi sebagaimana

    mestinya secara efektif, efisien dan terus-menerus (Yuswijaya, 2008: 87).

    Sedangkan Morgan (Milen, 2006: 14) merumuskan pengertian kapasitas

    sebagai kemampuan, keterampilan, pemahaman, sikap, nilai-nilai, hubungan,

    perilaku, motivasi, sumber daya, dan kondisi-kondisi yang memungkinkan

    setiap individu, organisasi, jaringan kerja/sektor, dan sistem yang lebih luas

    untuk melaksanakan fungsi-fungsi mereka dan mencapai tujuan

    pembangunan yang telah ditetapkan dari waktu ke waktu. Lebih lanjut, Milen

    (2001: 142) melihat capacity building sebagai tugas khusus, karena tugas

    khusus tersebut berhubungan dengan faktor-faktor dalam suatu organisasi

    atau sistem tertentu pada suatu waktu tertentu.

    Selanjutnya, UNDP dan Canadian International Development Agency

    (CIDA) dalam Milen (2006: 15) memberikan pengertian peningkatan

    kapasitas sebagai: proses dimana individu, kelompok, organisasi, institusi,

    dan masyarakat meningkatkan kemampuan mereka untuk (a) menghasilkan

    kinerja pelaksanaan tugas pokok dan fungsi (core functions), memecahkan

  • 8

    permasalahan, merumuskan dan mewujudkan pencapaian tujuan yang telah

    ditetapkan, dan (b) memahami dan memenuhi kebutuhan pembangunan

    dalam konteks yang lebih luas dalam cara yang berkelanjutan.

    Hal ini sejalan dengan konsep pengembangan kapasitas menurut

    Grindle (1997) yang menyatakan bahwa pengembangan kapasitas sebagai

    ability to perform appropriate task effectvely, efficiently and sustainable.

    Bahkan Grindle menyebutkan bahwa pengembangan kapasitas mengacu

    kepada improvement in the ability of public sector organizations.

    Keseluruhan definisi di atas, pada dasarnya mengandung kesamaan

    dalam tiga aspek sebagai berikut: (a) bahwa pengembangan kapasitas

    merupakan suatu proses, (b) bahwa proses tersebut harus dilaksanakan

    pada tiga level/tingkatan, yaitu individu, kelompok dan institusi/organisasi,

    dan (c) bahwa proses tersebut dimaksudkan untuk menjamin kesinambungan

    organisasi melalui pencapaian tujuan dan sasaran organisasi yang

    bersangkutan.

    Sesungguhnya pada beberapa literatur pembangunan, konsep

    capacity building sampai saat ini masih menyisakan perdebatan-perdebatan

    dalam pendefinisian. Sebagian pakar memaknai capacity building sebagai

    capacity development atau capacity strengthening, mengisyaratkan suatu

    prakarsa pada pengembangan kemampuan yang sudah ada (existing

    capacity). Sementara pakar yang lain lebih merujuk kepada constructing

    capacity sebagai proses kreatif membangun kapasitas yang belum nampak

  • 9

    (not yet exist). Namun Soeprato (2007: 9) tidak condong pada salah satu sisi

    karena menurutnya keduanya memiliki karakteristik diskusi yang sama yakni

    analisa kapasitas sebagai inisiatif lain untuk meningkatkan kinerja

    pemerintahan (government performance). Dalam hal ini searah dengan

    pendapat Grindle (1997: 6 -22) Capacity building is intended to encompass a

    variety of strategies that have to do with increasing the efficiency,

    effectiveness, and responsiveness of government performance. Jadi,

    pengembangan kapasitas (capacity building) merupakan upaya yang

    dimaksudkan untuk mengembangkan suatu ragam strategi meningkatkan

    efisiensi, efektivitas dan responsivitas kinerja pemerintah. Yakni efisiensi,

    dalam hal waktu (time) dan sumber daya (resources) yang dibutuhkan guna

    mencapai suatu outcomes; efekfivitas berupa kepantasan usaha yang

    dilakukan demi hasil yang diinginkan; dan responsivitas merujuk kepada

    bagaimana mensikronkan antara kebutuhan dan kemampuan untuk maksud

    tersebut.

    Dalam pengembangan kapasitas memiliki dimensi, fokus dan tipe

    kegiatan. Dimensi, fokus dan tipe kegiatan tersebut menurut Grindle (1997: 1-

    28), dan Bappenas (2007) adalah: (1) dimensi pengembangan SDM, dengan

    fokus: personil yang profesional dan kemampuan teknis serta tipe kegiatan

    seperti: training, praktek langsung, kondisi iklim kerja, dan rekruitmen,

    (2) dimensi penguatan organisasi, dengan fokus: tata manajemen untuk

    meningkatkan keberhasilan peran dan fungsi, serta tipe kegiatan seperti:

  • 10

    sistem insentif, perlengkapan personil, kepemimpinan, budaya organisasi,

    komunikasi, struktur manajerial, dan (3) reformasi kelembagaan, dengan

    fokus: kelembagaan dan sistem serta makro struktur, dengan tipe kegiatan:

    aturan main ekonomi dan politik, perubahan kebijakan dan regulasi, dan

    reformasi konstitusi. Sejalan dengan itu, Grindle (1997: 1-28) menyatakan

    bahwa apabila capacity building menjadi serangkaian strategi yang ditujukan

    untuk meningkatkan efisiensi, efektivitas dan responsivitas, maka capacity

    building tersebut harus memusatkan perhatian kepada dimensi: (1)

    pengembangan sumber daya manusia, (2) penguatan organisasi, dan (3)

    reformasi kelembagaan.

    Dalam konteks pengembangan sumber daya manusia, perhatian

    diberikan kepada pengadaan atau penyediaan personel yang profesional dan

    teknis. Kegiatan yang dilakukan antara lain pendidikan dan latihan (training),

    pemberian gaji/upah, pengaturan kondisi dan lingkungan kerja dan sistim

    rekruitmen yang tepat. Dalam kaitannya dengan penguatan organisasi, pusat

    perhatian ditujukan kepada sistim manajemen untuk memperbaiki kinerja dari

    fungsi-fungsi dan tugas-tugas yang ada dan pengaturan struktur mikro.

    Aktivitas yang harus dilakukan adalah menata sistim insentif, pemanfaatan

    personel yang ada, kepemimpinan, komunikasi dan struktur manajerial. Dan

    berkenaan dengan reformasi kelembagaan, perlu diberi perhatian terhadap

    perubahan sistim dan institusi-institusi yang ada, serta pengaruh struktur

    makro. Dalam konteks ini aktivitas yang perlu dilakukan adalah melakukan

  • 11

    perubahan aturan main dari sistim ekonomi dan politik yang ada, perubahan

    kebijakan dan aturan hukum, serta reformasi sistim kelembagaan yang dapat

    mendorong pasar dan berkembangnya masyarakat madani (Grindle, 1997;

    Depdagri-Bappenas, 2000; Imbaruddin, 2005; Soeprapto, 2007).

    Tabel 2.1.

    Dimensions, Focus and Types of Activities of Capacity Building Initiatives

    Dimension

    Focus Types of Activities

    Human Resources Development

    Supply of professional

    Technical personnel

    Training

    Salaries

    Conditions of work

    Recruitment

    Organizational Strengthening

    Management systems to improve performance of specific task and functions

    Microstructures

    Managerial structures

    Organizational culture

    Incentive systems

    Leadership

    Communications

    Institution Reform Institutions and system

    Macrostructures

    Rules of the game for economic and political regimes

    Policy and legal change

    Constituonal reform

    Sumber: Grindle, M.S. (1997: 9)

    Lebih lanjut pada studi Grindle dan Hilderbrand (Grindle, 1997: 35-36)

    tentang pengembangan kapasitas pada kelembagaan organisasi publik di

    negara-negara berkembang seperti Negara Afrika, Maroko, Ghana, Bolivia,

    Thailand dan Sri Lanka mengidentifikasi lima dimensi faktor-faktor yang

    mempengaruhi kemampuan organisasi untuk mencapai sasaran-sasaran

    tertentu, yaitu:

  • 12

    1. The action environment (lingkungan tindakan); yaitu menetapkan

    lingkungan pergaulan ekonomi, politik, dan sosial dimana pemerintah

    melaksanakan kegiatannya. Kinerja tugas-tugas pembangunan dapat

    secara signifikan dipengaruhi oleh kondisi-kondisi lingkungan tindakan

    seperti tingkat dan struktur pertumbuhan ekonomi, derajat stabilitas politik

    dan legitimasi pemerintah, serta profil sumber daya manusia dari sebuah

    negara. Gambar 1 mengindikasikan beberapa faktor yang tampaknya

    paling banyak memberikan dampak bagi kapasitas sektor publik.

    Intervensi-intervensi untuk meningkatkan kondisi dalam lingkungan

    tindakan membutuhkan waktu yang lama untuk memberikan hasil karena

    intervensi-intervensi ini berupaya untuk mengubah struktur dasar

    ekonomi, politik, dan sosial.

    2. Public sector institutional context (Konteks institusional dari sektor

    publik); yaitu meliputi faktor-faktor seperti aturan-aturan dan prosedur

    yang ditetapkan bagi operasional pemerintah dan pegawai-pegawai

    publik, pemerintah bidang sumber daya keuangan harus melaksanakan

    aktivitas-aktivitasnya, tanggung jawab yang diasumsikan pemerintah

    untuk prakarsa-prakarsa pembangunan, kebijakan-kebijakan yang

    berbarengan, dan struktur-struktur pengaruh formal dan informal yang

    mempengaruhi bagaimana sektor-sektor publik tersebut berfungsi.

    Konteks ini dapat mendesak atau memfasilitasi penyelesaian tugas-tugas

    tertentu.

  • 13

    3. Task network dimension (dimensi jaringan tugas); yaitu merujuk pada

    sekumpulan organisasi yang terlibat dalam penyelesaian tugas apapun

    yang diberikan. Kinerja dipengaruhi oleh sejauh mana jaringan tersebut

    mampu mendorong komunikasi dan koordinasi dan sejauh mana individu-

    individu dalam organisasi di jaringan tersebut dapat melaksanakan

    tanggung jawab mereka secara efektif. Jaringan dapat disusun dari

    organisasi-organisasi yang berada di dalam dan di luar sektor publik;

    termasuk LSM dan organisasi sektor swasta. Organisasi-organisasi

    primer memiliki peranan sentral dalam pelaksanaan sebuah tugas;

    organisasi-organisasi sekunder penting bagi kerja-kerja organisasi primer;

    dan organisasi-organisasi pendukung yang memberikan layanan dan

    bantuan yang memungkinkan tugas tersebut untuk dilaksanakan.

    4. Organizational dimension (Dimensi Organisasi); yaitu merujuk kepada

    tempat yang menguntungkan dimana riset diagnostik biasanya

    dilaksanakan. Meliputi penentuan tujuan, struktur, proses, sumber daya,

    dan gaya manajemen organisasi yang akan mempengaruhi bagaimana

    organisasi-organisasi tersebut mencapai sasaran, menyusun struktur

    kerja, menentukan hubungan kekuasaan, dan memberikan struktur

    insentif. Faktor-faktor ini menjalankan dan mendesak kinerja karena

    faktor-faktor tersebut mempengaruhi output organisasi dan membentuk

    perilaku orang-orang yang bekerja di dalamnya.

  • 14

    Sumber: Hilderbrand, M.E. and Grindle, M.S. 1997., Amir Imbaruddin, 2008: 23

    Gambar 1 A Five-Dimensional Framework of Institutional Capacity.

    5. Human resources dimension (dimensi sumber daya manusia). Dimensi

    kelima dari kapasitas berfokus pada bagaimana sumber daya manusia

    dididik dan ditarik untuk berkarir di sektor publik dan pemanfaatan serta

    penyimpanan individu ketika mereka mengejar karir seperti ini. Dimensi-

    Action Environment

    Economic Factors Growth Labor market International economic Relationship & conditions Private sector Development

    Political Factors Leadership Support Mobilization of conditions Society Legitimacy Political Institutions

    Social Factors Overall human resource Development Social conflict Class structure Organization or civil society

    Public Sector Institutional Context Concernment politicizes Ruder of the state Public service rules and register one Management Practices Budgetary support Formal & Informal power relationship

    ORG3

    Performance Output Effectiveness Efficiency Sustainability Quality

    ORG1

    ORG2

    ORG4

    ORG5

    Task Network Communication and infarctions among

    Primary Organizations Secondary Organizations

    Support Organizations

    Organization

    Goals

    Structure of work Incentive system

    Management leadership Formal & informal Communication Behavior norms

    Human Resources

    Training

    Recruitment Utilization Relations

  • 15

    dimensi ini berfokus terutama pada kemampuan manajerial, profesional,

    dan teknis serta sejauh mana pelatihan dan jenjang karir mempengaruhi

    kinerja keseluruhan pada setiap tugas yang diberikan.

    Kelima dimensi tersebut disajikan secara skematis pada Gambar 1.

    Sebagaimana diindikasikan, bahwa dimensi-dimensi kapasitas ini bersifat

    interaktif dan dinamis.

    GTZ (Deutsche Gesellschaft fur Technische Zusammenarbeit) dalam

    Milen (2006: 22) yang menggambarkan bahwa dalam proses pengembangan

    kapasitas terdapat tiga tingkata (level) yang harus menjadi fokus analisis dan

    proses perubahan dalam suatu organisasi. Ketiga tingkatan itu adalah: (a)

    tingkatan sistem/kebijakan, (b) tingkatan organisasi/lembaga, dan (c)

    tingkatan individu/sumber daya manusia. Ketiga tingkatan ini dapat dilihat

    pada Gambar 2 berikut ini.

    Gambar 2 Level Pengembangan Kapasitas (GTZ dalam Milen, 2006: 22)

    Individual Level

    System Level

    Organizational

    Level

    Knowledge Skills Competencies Work Ethics

    Decision Making Resources Procedures Structures MIS Culture

    Legal Framework Supporting Policies

    Local Governance Capacities

  • 16

    Ketiga tingkatan ini saling terkait dan mendukung, sehingga prosesnya

    harus dilakukan secara bersama-sama. Pembagian tingkatan ini dilakukan

    untuk memastikan bahwa fokus peningkatan kapasitas dalam mencapai

    sasaran secara efektif dan menentukan langkah-langkah proses perubahan

    secara operasional, sehingga benar-benar mencapai sasaran yang ingin

    dicapai.

    Pada tingkatan sistem, suatu organisasi harus melakukan upaya

    proses perbaikan pada sistem, kebijakan dan berbagai aturan yang menjadi

    dasar berbagai program, aktivitas dan kegiatan pada organisasi. Dalam

    mengembangkan kualitas sistem ini, yang menjadi fokus utama adalah

    perubahan pada kebijakan dan peraturan yang dianggap menghambat

    keinerja optimal organisasi. Pada tingkatan organisasi, upaya peningatan

    kapasitas berhubungan dengan menciptakan perangkat struktur, kultur dan

    pengelolaan organisasi yang mendukung para pegawai/individu untuk

    menunjukkan kinerja terbaiknya. Sebagaimana diketahui bahwa organisasi

    terdiri dari dua unsur utama, yaitu unsur perangkat keras (hardware) dan

    unsur perangkat lunak (software). Unsur perangkat keras organisasi bisa

    meliputi infrastruktur (gedung), struktur organisasi, serta dukungan anggaran.

    Sedangkan perangkat lunak organisasi adalah kultur organisasi, prosedur

    kerja, dan sumber daya informasi yang dimiliki organisasi. Sedangkan pada

    tingkatan individu adalah individu sebagai sumber daya manusia organisasi

  • 17

    yang harus ditingkat kemampuan dan profesionalismenya baik itu

    pengetahuan, kompetensi, keterampilan maupun etika kerja.

    Serupa dengan konsep GTZ, Leavit juga menjelaskan tingkatan

    pengembangan kapasitas sebagai berikut: (a) tingkat individu, meliputi:

    pengetahuan, keterampuilan, kompetensi, dan etika, (b) tingkat kelembagaan,

    meliputi: sumber daya, ketatalaksanaan, struktur organisasi, dan system

    pengambilan keputusan, dan (c) tingkat sistem meliputi: peraturan

    perundang-undangan dan kebijakan pendukung. Untuk lebih jelasnya, ketiga

    tingkatan pengembangan kapasitas menurut Leavit dalam Djatmiko (2004),

    dapat dilihat pada gambar 3 berikut ini.

    Gambar 3

    Tingkatan Pengembangan Kapasitas (Leavit dalam Djatmiko, 2004: 106)

    Lebih lanjut, dalam rangka pengembangan kapasitas pemerintah

    daerah Bappenas (2007) menyatakan bahwa pengembangan kapasitas

  • 18

    mencakup: (1) tingkat sistem, menetapkan kondisi-kondisi kerangka yang

    memungkinkan dan membatasi (pengatur) bagi pemerintah daerah, dan

    dimana berbagai komponen sistem berinteraksi satu sama lain, (2) tingkat

    kelembagan (entitas), tingkat badan atau lembaga teknis, atau lembaga

    pengantar pelayanan (service delivery) dengan struktur organisasi tertentu,

    proses-proses kerja dan budaya kerja, dan (3) tingkat individu, keterampilan

    dan kualifikasi individu berupa uraian pekerjaan, motivasi dan sikap kerja.

    Untuk lebih jelasnya, aspek pengembangan kapasitas dapat dilihat pada tiga

    hal, yaitu: (1) tingkat individu, mencakup pengetahuan, keterampilan,

    kompetensi, etika dan etos kerja, (2) tingkat kelembagaan, mencakup

    sumberdaya, ketatalaksanaan, struktur organisasi, dan sistem pengambilan

    keputusan, dan (3) tingkat sistem, mencakup peraturan perundang-undangan

    dan kebijakan yang mendukung.

    Dalam melakukan pengembangan kapasitas individu, tingkatan

    kompetensi atau kapasitas individu bisa diukur melalui konsep dari Gross

    (Sudrajat, 2005: 54), yang menyatakan bahwa kompetensi yang harus dimiliki

    aparatur dalam menjalankan tugas dan fungsi pemerintahan dan

    pembangunan adalah sebagai berikut:

    1) Knowledge yang meliputi: general knowledge, technical knowledge, jobs and organisation, administrative concept and methods, dan self-knowledge.

    2) Ability yang meliputi: management, decision making, comunication, planing, actuating / organizing, evaluating / controling, working with others, handling conflicts, intuitive thought, comunication, dan learning.

  • 19

    3) Interest yang meliputi: action orientation, self-confidence, responsibility, dan normes and ethics.

    Sedangkan untuk melihat kemampuan pada level organisasi, dapat

    digunakan konsep Polidano (2000: 21) yang diaanggap sangat cocok untuk

    diterapkan pada sektor publik (pemerintahan). Terdapat tiga elemen penting

    untuk mengukur kapasitas sektor publik, sebagai berikut:

    a. Policy capacity, yaitu kemampuan untuk membangun proses pengambilan keputusan, mengkoordinasikan antar lembaga pemerintah, dan memberikan analisis terhadap keputusan tadi.

    b. Implementation authority, yaitu kemampuan untuk menjalankan dan menegakkan kebijakan baik terhadap dirinya sendiri maupun masyarakat secara luas, dan kemampuan untuk menjamin bahwa pelayanan umum benar-benar diterima secara baik oleh masyarakat.

    c. Operational efficiency, yaitu kemampuan untuk memberikan pelayanan umum secara efektif/efisien, serta dengan tingkat kualitas yang memadai.

    Pemahaman tentang kapasitas di atas dapat dikatakan masih terbatas

    pada aspek manusianya saja (human capacity). Pengembangan kemampuan

    SDM ini harus menjadi prioritas pertama oleh pemerintah daerah, karena

    SDM yang berkualitas prima akan mampu mendorong terbentuknya

    kemampuan faktor non-manusia secara optimal. Dengan kata lain,

    kemampuan suatu daerah secara komprehensif tidak hanya tercermin

    dari kapasitas SDM-nya saja, namun juga kapasitas yang bukan berupa

    faktor manusia (non-human capacity), misalnya kemampuan keuangan dan

    sarana/prasarana atau infrastruktur.

  • 20

    Baik kapasitas SDM maupun kapasitas non-SDM ini secara bersama-

    sama akan membentuk kapasitas internal suatu organisasi (pemerintah

    daerah). Namun, walaupun kapasitas internal suatu pemerintah daerah

    berada pada level yang tinggi, tidak secara otomatis dikatakan bahwa kinerja

    pemerintah daerah itu secara agregat juga tinggi. Disini diperlukan adanya

    indikator-indikator eksternal yang dapat menjadi faktor pembanding/

    penilai/pengukur dari kapasitas internal tersebut. Hal ini didasari oleh

    pemikiran bahwa kapasitas internal yang tinggi merupakan prasyarat untuk

    menciptakan indikator kinerja eksternal yang tinggi. Adalah tidak masuk akal

    bahwa kinerja eksternal dapat dipacu dengan kemampuan internal yang

    terbatas.

    Dalam hubungan ini, jika kinerja eksternal pada suatu daerah

    menunjukkan indikasi yang positif, secara asumtif dapat dijustifikasi bahwa

    kemampuan internal daerah itu berada pada level yang baik. Pada gilirannya,

    kemampuan internal daerah yang baik ditambah dan/atau dibuktikan dengan

    positifnya indikator-indikator eksternal, akan membentuk kemampuan/

    kapasitas daerah secara menyeluruh atau komprehensif. Adapun yang

    dimaksud dengan kinerja eksternal disini adalah segala hasil capaian diluar

    struktur kelembagaan pemerintah daerah namun diperoleh karena adanya

    aktivitas yang dilakukan pemerintah daerah tersebut. Kinerja ini dapat berupa

    peningkatan kesejahteraan masyarakat secara progresif (ditopang oleh

    indikator ekonomi makro), kualitas lingkungan sebagai dampak dari

  • 21

    kebijakan, hubungan yang harmonis antara pemerintah dengan warganya

    (ditunjukkan oleh tingginya tingkat partisipasi dan legitimasi, serta rendahnya

    keluhan masyarakat), dan sebagainya.

    1.2. Perspektif dan Teori Capacity Building Organisasi

    Konsep capacity building organisasi yang secara khusus mengacu

    kepada pengelolaan sektor publik baru muncul pada awal tahun 1980-an,

    sejalan dengan pertumbuhan negara-negara berkembang. Namun jika

    konsep ini mengacu kepada penguatan kelembagaan atau pengembangan

    kelembagaan, konsep ini bisa menggunakan juga konsep yang berkaitan

    dengan teori yang berkaitan dengan organisasi. Pengertian capacity building

    atau kapasitas organisasi menurut McPhee dan Bare (2001: 34) adalah

    kemampuan individu, organisasi, dan sistem untuk menyelenggarakan fungsi

    dalam rangka pencapaian misi dan tujuannya secara efektif dan efisien.

    Brown (2001: 25) mendefinisikan pengembangan kapasitas organisasi

    sebagai suatu proses yang dapat meningkatkan kemampuan seseorang,

    suatu organisasi atau suatu sistem untuk mencapai tujuan-tujuan yang dicita-

    citakan. Sedangkan Morison (2001: 42) melihat pengembangan kapasitas

    organisasi sebagai suatu proses untuk melakukan sesuatu, atau serangkaian

    gerakan, perubahan multi level di dalam individu, kelompok-kelompok,

    organisasi-organisasi dan sistem-sistem dalam rangka untuk memperkuat

  • 22

    kemampuan penyesuaian individu dan organisasi sehingga dapat tanggap

    terhadap perubahan lingkungan yang ada.

    Dalam buku Hand Book of Organizations, Arthur L. Stinchombe dalam

    March (1965: 150) menyebutkan terdapat 5 (lima) variabel dasar yang dinilai

    mempengaruhi kapasitas organisasi. Artinya bagaimana organisasi tersebut

    mampu mencapai tujuannya dengan baik, sangat ditentukan oleh

    kemampuan dari organisasi tersebut dalam mengelola lingkungan sosial dan

    internal dimana organisasi itu hidup. Douglas et.al menyimpulkan bahwa

    kinerja organisasi dalam prosesnya dipengaruhi oleh kapasitas organisasi,

    lingkungan internal dan lingkungan eksternal. Bahkan untuk itu, Douglas

    menggambarkan keterkaitan pengembangan kapasitas organisasi ini, seperti

    yang terlihat pada Gambar 4.

    Organizations

    Gambar 4

    Framework for Organizational Assesment (Douglas Norton, et al, 2003: 20)

    External Operating Environment

    Organizational Performance

    Organizational Capacity

    Internal Environment

  • 23

    Konsep pengembangan kapasitas juga bisa sejalan dengan konsep

    pengembangan kelembagaan (organizational development). Karena pada

    dasarnya memiliki kesamaan dalam kata peningkatan kemampuan

    organisasi.

    Eade (1997: 34) dalam Yuswijaya (2008: 87-88) menyebutkan

    pengertian pengembangan kapasitas organisasi sebagai berikut:

    capacity building is often used simply to mean enabling institutions be more effective in implementing development project. Institution are thus the instrument by which certain goals can be reached, and may begovernmental or non-governmental. If capacity-building is an end in itself (eg strengthening the quality of representation and decision-making within civil society organizations, and their involvement in socio-political processes), such political choises demand a clear purpose and contextual analysis on the part of the intervening agency. The focus is likely to be on the counterparts organizational mission, and the mesh between this, its analysis of the external world, and its structure and activitie.

    Berdasarkan pengertian di atas, bahwa pengembangan kapasitas

    dalam suatu organisasi dapat dapat dianggap sebagai suatu tujuan dan dapat

    juga dianggap sebagai suatu proses. Sebagai tujuan misalnya: memperkuat

    kualitas hasil sesuatu keputusan dalam suatu organisasi dan keterlibatan

    mereka dalam proses, seperti misalnya kejelasan tujuan suatu organisasi.

    Fokusnya ada pada misi organisasi, analisis faktor-faktor eksternal, struktur

    dan aktivitas. Oleh karena itu, kriteria efektifitas berhubungan dengan misi

    yang sudah ditetapkan dengan tepat yang telah dipenuhi. Jadi, inti

    pengembangan kapasitas organisasi adalah sebagai tujuan adalah

    tercapainya misi organisasi. Sedangkan pengembangan kapasitas organisasi

  • 24

    sebagai proses adalah proses penyesuaian (adaptasi) organisasi terhadap

    perubahan dan perbaikan sistem internal organisasi yang memungkinkan

    organisasi mampu menghadapi tantangan dengan berdasarkan dukungan

    sumber-sumber organisasi sehingga organisasi tersebut dapat hidup secara

    berkelanjutan.

    Berkaitan dengan pengembangan kapasitas organisasi, Leavit dalam

    Djatmiko (2004: 106) mengemukakan bahwa: perubahan atau

    pengembangan kapasitas organisasi dapat dilakukan melalui empat

    pendekatan, yaitu: (1) pendekatan struktural yang penekanannya

    dititiberatkan pada struktur organisasi, terutama perubahan struktur

    kelembagaan organisasi, (2) pendekatan teknologi, yang terfokus pada tata

    letak sarana fisik yang baru. Penekanannya pada penggunaan dan

    pemanfaatan sarana dan prasarana/teknologi dalam melaksanakan

    pekerjaan (tugas dan fungsi), (3) pendekatan tugas (task approach), berfokus

    pada kinerja (job performance) individual dengan menekankan pada

    perubahan dan peningkatan kinerja melalui prosedur kerja yang efektif, dan

    (4) pendekatan orang (people approach), berfokus pada modifikasi terhadap

    sikap, motivasi, perilaku, keahlian yang dicapai melalui program training,

    prosedur seleksi, atau perlengkapan yang baru.

    Selanjutnya, Eade (1997: 110) menyebutkan bahwa: pendekatan yang

    dapat digunakan dalam pengembangan internal organisasi antara lain melalui

    pendekatan: (1) structure (struktur organisasi), yaitu perubahan struktur

  • 25

    kelembagaan organisasi, (2) physical resources (sumber daya fisik: sarana

    dan prasarana), melalui pemanfaatan dan penggunaan teknologi sebagai

    sarana dan prasarana dalam melaksanakan pekerjaan, (3) system (sistem

    kerja/mekanisme kerja/prosedur kerja), melalui perubahan rancangan

    prosedur kerja, (4) human resources (sumber daya manusia), melalui

    peningkatan ketersediaan sumber daya aparatur baik secara kualitas maupun

    kuantitas, termasuk penyelenggaraan program pendidikan dan pelatihan, (5)

    financial resources (sumber daya finansial/anggaran), melalui alokasi sumber

    daya keuangan yang memadai sesuai kebutuhan, termasuk pemberian

    imbalan/insentif, (6) culture (budaya kerja), penciptaan iklim dan suasana

    kerja yang nyaman bagi pegawai agar dapat melaksanakan pekerjaan

    dengan baik, dan (7) leadership (kepemimpinan) melalui optimalisasi peran

    pimpinan organisasi dalam menjalankan tugas dan fungsinya,

    mengkordinasikan dan mengarahkan setiap pekerjaan agar sesuai dengan

    tujuan yang telah ditetapkan.

    Lebih lanjut, UNDP (1999) menjelaskan bahwa untuk mendukung

    pelaksanaan pembangunan, termasuk pembangunan di daerah, maka

    pengembangan kapasitas harus mampu diturunkan sejumlah strategi lanjutan

    (sasaran) sehingga lebih memudahkan untuk mengukur tingkat keberhasilan

    dari pengembangan kapasitas tersebut. Terdapat 9 (sembilan) strategi utama

    dalam pengembangan kapasitas yaitu: (1) strategi yang berhubungan

    dengan aspek misi dan strategi organisasi (posisi organisasi dalam seting

  • 26

    lingkungan organisasi dan melihat keunggulan komparatif yang dimiliki

    sebagai competitive advantage daerah dengan yang lainnya, konsep layanan

    yang terbaik yang harus diberikan pemerintah daerah kepada masyarakat

    sebagai klien, penetapan standar keberhasilan dan kinerja organisasi), (2)

    strategi yang berhubungan dengan aspek kultur (budaya) organisasi (standar

    perilaku atau kinerja, nilai-nilai organisasi dan manajemen, gaya manajemen

    dan kepemimpinan, cara pandang dan persepsi organisasi), (3) strategi yang

    berhubungan dengan aspek struktur organisasi (hirarki wewenang,

    mekanisme kontrol dan pengendalian, mekanisme kordinasi dan mekanisme

    kerja lainnya yang berhubungan dengan struktur kelembagaan pemerintahan

    daerah), (4) strategi yang berhubungan dengan aspek kompetensi organisasi

    (pelimpahan kewenangan dari pemerintah daerah kabupaten/kota ke

    kecamatan dan kelurahan), (5) strategi yang berhubungan dengan aspek

    proses-proses organisasi (komunikasi serta hubungan kerja dengan pihak

    internal dan eksternal, mekanisme perencanaan, monitoring dan evaluasi),

    (6) strategi yang berhubungan dengan aspek sumber daya manusia

    organisasi (sistem rekruitmen pegawai, penempatan sampai dengan pola

    jenjang karir dan sistem imbalan), (7) strategi yang berhubungan dengan

    aspek sumber daya keuangan organisasi (manajemen transfer alokasi dana

    dari pusat, intensifikasi pajak melalui penurunan tarif, perbaikan sistem

    pemungutan dan sosialisasi kepada wajib pajak), (8) strategi yang

    berhubungan dengan aspek sumber daya informasi (strategi e-government

  • 27

    dalam pelayanan publik), dan (9) aspek yang berhubungan dengan infra

    struktur organisasi (penataan dan inventarisasi aset dan manajemen aset

    yang akuntabel (Nugraha, 2004: 189-193).

    Lebih lanjut Djatmiko (2004: 106) mengatakan bahwa program

    pengembangan kapasitas yang disusun harus menggunakan metode yang

    dirancang untuk mengubah pengetahuan, keahlian, sikap dan perilaku. Hal ini

    mengindikasikan bahwa penekanan utama yang dilakukan dalam rangka

    pengembangan kapasitas organisasi ditujukan kepada upaya untuk merubah

    individu-individu yang ada didalam organisasi, sehingga akan merubah

    organisasi dengan didukung oleh sumber daya lain yang ada di dalam

    organisasi.

    Adapun tujuan yang ingin dicapai melalui pengembangan kapasitas

    organisasi menurut Indrawijaya (1983: 279) adalah: (1) untuk menciptakan

    landasan bagi terciptanya efektifitas organisasional yang lebih sesuai dengan

    harkat dan martabat manusia yang lebih manusiawi, (2) untuk menciptakan

    suasana yang saling mempercayai antar orang maupun bagi organisasi

    secara keseluruhan, (3) untuk menciptakan iklim organisasi yang terbuka

    dalam memecahkan persoalan bersama, dalam arti setiap persoalan dihadapi

    secara bersama dan perbedaan-perbedaan pendapat merupakan suatu hal

    yang wajar, (4) untuk menempatkan tanggung jawab pengambilan keputusan

    dan pemecahan persoalan sedekat mungkin dengan sumber yang

    menimbulkan persoalan dan selalu diusahakan berdasarkan data yang ada,

  • 28

    (5) untuk mendapatkan cara dan metode yang dapat mengembangkan rasa

    kebersamaan dan rasa turut memiliki, sehingga setiap orang mempunyai

    keinginan dan kesempatan untuk berkarya dalam organisasi mereka, (6)

    untuk mengembangkan gaya kepemimpinan yang lebih berisfat partisipatif

    dan demokratis sehingga lebih dapat dikembangkan cara kerja yang lebih

    kooperatif dan tidak terlalu bersifat kompetitif dan komfrontatif, dan (7) untuk

    mengembangkan suatu sistem nilai yang juga memperhatikan aspek proses

    yang terjadi dalam organisasi itu dan tidak terlalu berorientasi pada hasil,

    karena yang terakhir ini dapat menyebabkan berkembangnya suatu sistem

    nilai menghalalkan semua cara demi tercapainya tujuan.

    Beberapa persyaratan yang harus dipenuhi dalam pengembangan

    kapasitas organisasi menurut Varney (Indrawijaya (1983: 270) diantaranya:

    (1) harus ada dukungan aktif dan keterlibatan dari pucuk pimpinan,

    (2) anggota-anggota organisasi harus dapat merubah pikiran dan perasaan

    mereka sebagai hasil dari usaha pengembangan organisasi, (3) ia bukan

    merupakan suatu strategi latihan dan karena itu harus dianggap sebagai

    suatu pendekatan yang ditujukan untuk mengadakan perubahan tentang

    bagaimana orang-orang bekerjasama, (4) berusaha untuk merubah iklim

    organisasi sebagaimana juga merubah proses sosial (proses interaksi

    manusia) yang terdapat dalam suatu organisasi, (5) investasi yang dilakukan

    pada permulaan dari usaha pengembangan organisasi baru memberikan

    hasil pada masa yang akan datang, (6) tidak ada pendekatan perubahan

  • 29

    organisasi yang terbaik, dan (7) pengembangan organisasi tidak boleh

    dianggap sebagai suatu paket program baru yang dibawa ke dalam suatu

    organisasi dalam rangka memecahkan persoalan-persoalan organisasi

    tersebut.

    Sementara itu, Keban (2000: 8-9) bahwa semua dimensi dalam

    konsepsi peningkatan kemampuan merupakan strategi untuk mewujudkan

    nilai-nilai good governance. Pengembangan sumberdaya manusia misalnya,

    dapat dilihat sebagai suatu strategi untuk meningkatkan efisiensi dan

    efektivitas dan memelihara nilai-nilai moral dan etos kerja. Pengembangan

    organisasi merupakan strategi penting agar suatu lembaga pemerintahan

    mampu: (1) menyusun rencana strategis ditujukan agar organisasi memiliki

    visi yang jelas; (2) memformulasikan kebijakan dengan memperhatikan nilai

    efisiensi, efektivitas, transparansi, responsivitas, keadilan, partisipasi, dan

    keberlanjutan; (3) mendesain organisasi untuk menjamin efisiensi dan

    efektivitas tingkat desentralisasi dan otonomi yang tepat, dan (4)

    melaksanakan tugas-tugas manajerial agar lebih efisien, efektif, fleksibel,

    adaptif dan lebih berkembang. Dan pengembangan jaringan kerja (network),

    misalnya merupakan strategi untuk meningkatkan kemampuan bekerjasama

    atau kolaborasi dengan pihak-pihak luar dengan prinsip saling

    menguntungkan (simbiosis mutualisme). Jadi, Indikator utama yang

    digunakan untuk menilai kinerja pemerintahan pada saat ini adalah good

    governance dan capacity building. Kalau bisa dikatakan bahwa good

  • 30

    governance memuat nilai-nilai yang dijanjikan kepada masyarakat,

    sedangkan capacity building memuat nilai-nilai tentang kelayakan dari strategi

    yang ditempuh pemerintah dalam memenuhi janji tersebut.

    Selanjutnya, Keban menjelaskan dasar pemikiran program

    pengembangan kemampuan pemerintah kabupaten/kota (daerah tingkat II) di

    Indonesia selama ini dapat diidentifikasi melalui dimensi-dimensi utama

    capacity building, yakni:

    Pertama, dimensi kebijakan, meliputi perencanaan strategik dan

    analisis kebijakan publik . Batasan pengembangan dimensi kebijakan meliputi

    dua aspek yaitu bagaimana menentukan rencana strategis yang berfungsi

    memberi arah bagi pembangunan dan pelayanan publik pada tingkat lokal,

    dan bagaimana merumuskan kebijakan pembangunan dan pelayanan publik

    yang mengacu pada arah tersebut. Perencanaan strategis adalah suatu

    proses penyusunan serangkaian strategi yang didasarkan pada isu-isu

    strategis, yang dapat dijadikan arah dan acuan kebijakan pembangunan dan

    pelayanan publik. Selanjutnya, analisis kebijakan publik adalah suatu proses

    penentuan alternatif kebijakan terbaik yang dituangkan dalam program-

    program dan proyek-proyek pembangunan dan pelayanan publik dengan

    berpedoman pada rencana strategis dan kondisi terakhir masyarakat.

    Kedua, dimensi desain organisasi, yaitu suatu upaya penyusunan

    struktur dan proses kelembagaan yang didasarkan pada rencana strategis

    dan kebijakan pembangunan serta kebutuhan pelayanan publik dengan

  • 31

    mengutamakan prinsip-prinsip differensiasi, formalisasi, dan disperse otoritas

    yang tepat.

    Ketiga, dimensi manajemen, yaitu suatu upaya pencapaian tujuan

    kebijakan pembangunan dan pelayanan publik dengan mengimplementasikan

    keterampilan manajerial dan penerapan pola kepemimpinan yang efektif.

    Keempat, dimensi akuntabilitas, yaitu suatu upaya memprioritaskan

    tanggung jawab terhadap masyarakat lokal atau customer didalam proses

    penentuan rencana strategies, perumusan kebijakan, desain organisasi, dan

    manajemen berdasarkan legal dan political accountability.

    Kelima, dimensi moral dan etos kerja, yaitu suatu upaya menggunakan

    nilai-nilai dasar kemanusiaan seperti: keadilan, kesamaan dan kebebasan

    dalam penentuan rencana strategis, pemilihan alternative kebijakan, desain

    organisasi dan manajemen, dan menginstitusionalisasikan etos kerja.

    2. Definisi Operasional Variabel

    Operasionalisasi variabel dilakukan dengan tujuan untuk menjelaskan

    variabel dan sub variabel-sub variabel yang akan diteliti. Adapun subvariabel

    yang akan digunakan untuk mengetahui kapasitas birokrasi pemerintah

    daerah, baik pemerintah Kabupten atau Kota di Indonesia adalah : kapasitas

    sumber daya fisik organisasi, kapasitas proses operasional, dan kapasitas

    sumber daya manusia.

  • 32

    a. Kapasitas sumber daya fisik adalah kemampuan perangkat sumber daya

    fisik pemerintah kabupaten/kota yang dibutuhkan untuk mencapai tugas

    dan fungsinya, dan langkah-langkah yang ditempuh organisasi untuk

    menyediakan perangkat tersebut. Kapasitas sumber daya fisik dalam

    penelitian ini dilihat dari empat indikator utama; (1) kapasitas struktur

    organisasi dan upaya-upaya utuk mewujudkannya, (2) kapasitas

    perangkat hukum dan upaya-upaya untuk mewujudkannya, (3) kapasitas

    keuangan dan upaya-upaya untuk mencapainya, dan (4) kapasitas sarana

    dan prasarana dan langkah-langkah yang ditempuh untuk mencapainya.

    b. Kapasitas Proses Operasional, yaitu kapasitas tata kerja yang dimiliki

    pemerintah kabupaten/kota dalam pelaksanaan tugas dan fungsi

    organisasi. Kapasitas proses operasional dalam penelitian ini, diukur dari

    tiga indikator, yaitu (1) kapasitas prosedur kerja, dan cara untuk

    mencapainya, (2) kapasitas budaya kerja, dan upaya untuk

    mewujudkannya, dan (3) kapasitas kepemimpinan.

    c. Kapasitas sumber daya manusia yaitu kemampuan yang dimiliki SDM

    aparatur atau pegawai pemerintah Kab/Kota di Indonesia dalam

    pelaksanaan tugas dan fungsi mereka, serta upaya-upaya yang ditempuh

    organisasi untuk meningkatkan kemampuan mereka. Indikator-indikator

    yang digunakan untuk mengukur subvariabel ini adalah: (1) kapasitas

    pengetahuan pegawai dalam pelaksanaan tugas dan fungsi, dan upaya-

    upaya yang ditempuh organisasi untuk mencapainya, (2) kapasitas

  • 33

    keterampilan pegawai dalam melaksanakan tugas mereka, dan upaya

    organisasi untuk meningkatkan keterampilan mereka, (3) perilaku dan

    etika kerja pegawai, dan langkah-langkah yang ditempuh organisasi untuk

    memperbaiki perilaku dan etika kerja pegawai.

    3. Kerangka Pikir

    Secara singkat, berdasarkan hasil tinjauan literatur yang telah

    dikemukakan sebelumnya. bahwa peningkatan kinerja pemerintah daerah

    dapat dilakukan melalui capacity building (pengembangan kapasitas)

    organisasi. Capacity building organisasi merupakan dimensi organisasional

    yang saling berhubungan satu sama lain. Dimensi tersebut, baik secara

    terpisah maupun terintegrasi diasumsikan berpengaruh (berhubungan)

    terhadap kinerja pemerintah daerah. Capacity building organisasi pada level

    individu, level organisasi, dan tingkat (level) sistem. Berdasarkan hal tersebut,

    maka dapat dibuat kerangka pikir penelitian sebagai berikut.

  • 34

    Gambar 2.

    KERANGKA PIKIR PENELITIAN

    Berdasarkan pokok permasalahan dan kerangka konseptual yang telah

    diuraikan sebelumnya, maka tim peneliti merumuskan pertanyaan penelitian

    sebagai berikut :

    1. Bagaimana pengembangan kapasitas birokrasi pemerintah daerah

    kabupaten/kota di Indonesia, dilihat dari dimensi pengembangan

    kapasitas sumber daya fisik organisasi, kapasitas proses ketatalaksanaan,

    PENGUATAN

    KAPASITAS

    BIROKRASI PEMDA

    PENGUATAN PROSES

    OPERASIONAL

    (KETATALAKSANAAN)

    - Kapasitas Prosedur Kerja - Budaya kerja yang efektif - Kapasitas Kepemimpinan

    PENGUATAN SUMBER DAYA FISIK - Kapasitas Struktur organisasi - Kapasitas Keuangan - Kapasitas Perangkat Aturan - Kapasitas Sarana & Prasarana

    PENGUATAN SDM

    - Pengetahuan - Keterampilan - Prilaku & Etika

  • 35

    dan kapasitas individu birokrasi pemerintah kabupaten / kota di

    Indonesia ?

    2. Hambatan- hambatan apa saja yang ada dalam upaya pengembangan

    kapasitas birokrasi pemerintah daerah kabupaten/kota di Indonesia ?

    3. Upaya atau pendekatan apa saja yang dapat dilakukan guna mengatasi

    berbagai hambatan tersebut?

  • 36

    BAB III

    METODE PENELITIAN

    1. Jenis dan Pendekatan Penelitian

    Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif yang

    berupaya menggambarkan secara rinci suatu fenomena tertentu dari objek

    yang diteliti, yaitu pengembangan kapasitas birokrasi pemerintah daerah

    kabupaten/kota yang menjadi tempat penelitian.

    Jenis penelitian ini adalah penelitian survey, yaitu penelitian yang

    mengambil sample dari populasi dan menggunakan kuesioner sebagai

    instrument pengumpulan data utama.

    2. Populasi & Sample

    Populasi dalam penelitian ini adalah organisasi pemerintah

    kabupaten/kota pada wilayah Indonesia. Lokus dari penelitian ini adalah

    wilayah Indonesia yang terdiri dari beberapa pulau seperti: Sumatera,

    Jawa, Kalimantan, Nusa Tenggara, Sulawesi, Maluku dan Papua karena

    begitu luasnya, maka untuk masing-masing pulau diwakili satu

    Kabupaten/Kota yang terdiri dari: Pekanbaru, Palangkaraya, Jayapura,

    Manado, Luwuk Utara, dan Surakarta. Dari masing-masing

    Kabupaten/Kota dipilih sampel adalah unit organisasi yang secara

    representatif dapat memberikan informasi atas pengembangan kapasitas

    organisasi, baik pada dimensi individu (SDM), dimensi proses (SOP, tata

    kerja), dan dimensi physical resources (aturan, struktur, financial, sarana &

    prasarana).

  • 37

    Teknik pengambilan sample dilakukan secara purposive, yaitu

    hanya memilih responden yang berada pada satuan kerja (entity) yang

    dapat memberikan informasi (jawaban) atas pertanyaan penelitian yang

    dijabarkan dari variable dan indikator penelitian. Berdasarkan

    pertimbangan tersebut, maka responden penelitian ini, adalah setiap

    pegawai yang bekerja pada bagian sekretariat kab/kota, Bappeda,

    Dispenda, dan BKD pada masing-masing pemerintah daerah

    sebagaimana dijelaskan pada paragraph diatas.

    3. Teknik Pengumpulan Data

    Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah penyebaran

    angket kepada para pegawai pada satuan kerja yang terpilih (Sekretariat,

    Bappeda, Dispenda, BKD) dari enam lokus penelitian yang telah

    disebutkan diatas. Selain itu dilakukan pula wawancara mendalam

    dengan informan terpilih, yaitu para pimpinan satuan kerja yang menjadi

    tempat penelitian, dan studi dokumentasi terhadap data-data sekunder

    yang berkaitan dengan indikator penelitian.

    Data kuesioner yang telah terkumpul dari responden terpilih pada

    wilayah penelitian, kemudian diolah dengan membuat tabulasi data

    sebagai dasar untuk melakukan analisis data, yang selanjutnya dianalisis

    secara statistik deskriptif. Untuk memperkuat analisis, peneliti juga

    memaparkan hasil data sekunder dan hasil wawancara dengan informan

    terpilih.

  • 38

    4. Teknik Analisis Data

    Penelitian ini menggunakan teknik analisis statistik deskriptif untuk

    menjawab pokok permasalahan dan pertanyaan penelitian. Namun

    demikian untuk menganalisis dan melakukan pembahasan atas temuan

    data hasil statistik deskriptif, tim peneliti juga melengkapi argumentasi

    dengan hasil wawancara mendalam dan telaahan data sekunder yang

    terkait dengan indikator penelitian.

  • 39

    BAB IV

    HASIL PENELITIAN

    A. Penyajian Data dan Analisis Hasil Penelitian

    Deskripsi variabel yang dioperasionalkan dalam penelitian ini

    menunjukkan gambaran penilaian responden terhadap indikator masing-

    masing variabel kapasitas birokrasi pemerintah kabupaten/kota di lokus

    penelitian, yaitu Pemerintah Kota Palangkaraya, Pakanbaru, Surakarta,

    Manado, Kabupaten Masamba (Luwu Utara), dan Kota Jayapura. Penilaian

    dimulai dari skor 1, jika rata-rata responden menjawab sangat tidak

    setuju/sangat tidak baik; skor 2, jika rata-rata responden menjawab tidak

    setuju/tidak baik; skor 3. kurang setuju/kurang baik; skor 4 setuju/baik; dan

    skor 5 sangat setuju/sangat baik.

    Berdasarkan kajian literatur, tim peneliti menetapkan tiga sub variable

    untuk mengetahui pengembangan kapasitas birokrasi pemerintah kabupaten

    dan kota yang menjadi lokus penelitian. Pertama, adalah pengembangan

    kapasitas sumber daya fisik organisasi, yang diukur dengan indikator

    kapasitas struktur organisasi, kapasitas keuangan, kapasitas perangkat

    aturan, dan kapasitas sarana dan prasarana. Kedua, berkaitan dengan

    pengembangan kapasitas proses operasional (ketataalaksanaan), yang

    dilihat dengan tiga indikator, yaitu kapasitas prosedur kerja, budaya kerja

    yang efektif, dan kapasitas kepemimpinan. Ketiga, adalah kapasitas SDM

  • 40

    pegawai, yang dilukur dengan tiga indikator, yaitu pengetahuan,

    keterampilan, serta perilaku dan etika.

    Penjelasan deskriptif untuk masing-masing variable tersebut, adalah

    sebagai berikut :

    1. Pengembangan Kapasitas Sumber Daya Fisik

    Ketersediaan sumber daya fisik organisasi sangat menentukan

    kapasitas birokrasi pemerintah daerah. Organisasi harus menyediakan

    berbagai perangkat aturan dan kebijakan untuk mengatur agar birokrasi

    dapat bekerja dengan efektif dan efisien. Disamping itu, organisasi juga harus

    menyusun struktur organisasi yang sesuai dengan beban tugas dan tanggung

    jawab organisasi. Yang tidak kalah penting dari itu, organisasi harus

    mempunyai kemampuan keuangan serta sarana dan prasarana yang

    memadai untuk mendukung organisasi dalam pelaksanaan tugas dan

    fungsinya.

    Berikut ini diuraikan hasil statistik deskriptif untuk masing-masing

    indikator yang berkaitan dengan kapasitas sumber daya fisik organisasi.

    a. Kapasitas Struktur Organisasi

    Kapasitas struktur organisasi sangat menentukan keberhasilan

    pencapaian tujuan organisasi. Struktur yang didesain sesuai dengan

    fungsi, beban tugas, dan kewenangan yang dimiliki sangat berperan

    terhadap efektivitas pelaksanaan tugas dan fungsi organisasi. Struktur

    organisasi yang sesuai dengan tugas dan kewenangan, juga ikut

  • 41

    menentukan keharmonisan komunikasi dan pembagian kerja dalam

    organisasi. Struktur organisasi yang tepat dapat menjawab tantangan

    munculnya disharmonisasi (konflik internal) dalam pelaksanaan tugas dan

    fungsi.

    Tabel 4.1.

    Rekapitulasi Rata-Rata Tanggapan Responden Tentang

    Pengembangan Kapasitas Struktur Organisasi

    No Daerah Lokus Rata-Rata Skor Kategori

    1 Palangkaraya 3.89 Baik

    2 Pekanbaru 3.92 Baik

    3 Jayapura 3.89 Baik

    4 Manado 3.80 Baik

    5 Luwu Utara 4.07 Baik

    6 Surakarta 3.83 Baik

    Rata-Rata Skor 3.90 Baik

    Sumber : data primer, 2012

    Dari Tabel 4.1 yang berisi tanggapan responden tentang

    pengembangan kapasitas struktur organisasi, dapat dilihat bahwa secara

    umum responden dari daerah lokus yang diteliti menyatakan bahwa upaya

    pengembangan kapasitas sumber daya fisik telah dilakukan dengan

    baik. Hal ini dapat dilihat dengan rata-rata jawaban responden yang

    setuju dengan pernyataan yang tertuang dalam kuessioner yang berisi

    pernyataan tentang indikator-indikator yang mengukur pengembangan

    kapasitas struktur organisasi. Dari Tabel 4.1 juga dapat diketahui bahwa

    Kabupaten Masamba (Luwu Utara) menduduki skor tertinggi dalam

  • 42

    pelaksanaan kapasitas struktur organisasi yaitu 4,07 sedangkan skor

    terendah dimiliki oleh Kota Manado yaitu 3,80.

    Berdasarkan hasil olahan data primer, baik dari hasil kuessioner

    maupun dari hasil wawancara dapat diketahui bahwa sebagian besar

    responden di daerah lokus menilai bahwa pemerintah daerah telah

    melakukan upaya-upaya yang cukup sistematis untuk mengembangkan

    kapasitas institusional birokrasi.

    Hasil wawancara dengan Sekretaris BKDD dan Kepala

    Bidang Mutasi BKDD Kabupaten Luwu Utara menjelaskan bahwa:

    Disamping disesuaikan dengan PP/41/2007 juga didasarkan pada UU/32/2004 mengenai urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah yang terdiri dari urusan wajib dan urusan pilihan. Kedua aturan ini telah memberikan arah yang jelas kepada daerah dalam menata organisasi yang efisien, efektif sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan masing-masing daerah. Contohnya, pada BKDD terdapat 1 bidang yakni Bidang Diklat yang memiliki beban koordinasi dan komunikasi yang berat dengan SKPD lainnya. Setiap SKPD mendesain sendiri diklat-diklat yang dilakukannya, padahal harus dikomunikasikan dan dikordinasikan dengan Bidang Diklat BKDD. Masalahnya adalah banyaknya diklat teknis/fungsional yang berasal dari instansi atas-nya (vertikal) padahal hal ini akan sangat efektif kalau disatukan dalam sebuah program diklat pada Bidang Diklat BKDD. Inti masalahnya adalah masih terdapatnya egoime sektoral dalam penyelenggaraan diklat pada setiap SKPD.

    Sejalan dengan hasil wawancara dengan narasumber di Kabupaten

    Masamba (Luwu Utara), sebagian besar narasumber di daerah lokus telah

    menyatakan bahwa struktur organisasi telah didesain sesuai dengan PP

  • 43

    41 Tahun 2007. Seperti yang diungkapkan oleh Kepala Bappeda Kota

    Surakarta, yang menjelaskan bahwa :

    Secara makro pengembangan kapasitas organisasi

    dilakukan dengan melakukan restrukturisasi organisasi. Pemerintah

    Kota Surakarta telah melakukan restrukturisasi sebagaimana yang

    tertuang dalam Perda Nomor 14 Tahun 2011 tentang Perubahan

    Atas Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2008 tentang Organisasi

    dan Tata Kerja Perangkat Daerah.

    Sama dengan pendapat (tanggapan) informan di Kabupaten Luwu

    Utara dan Kota Surakarta, informan Kota Jayapura menjelaskan bahwa:

    Upaya pengembangan kapasitas organisasi saat ini sedang dipersiapkan dievaluasi dan diadakan perampingan organisasi yang disesuaikan dengan kebutuhan. Sehingga terjadi penggabungan atau pengintegrasian bahkan sampai pada penghapusan bagian yang dianggap tidak efektif dalam pelaksanaan tugas dan fungsi. Pertimbangan pemerintah dalam menentukan desain organisasi, ada yang sesuai dengan PP 41/2007, dan ada yang tidak, karena masing-masing daerah mempunyai karakteristik yang berbeda.

    Sementara itu, hasil wawancara dengan Asisten III Kota Manado

    tentang dasar pertimbangan desain struktur organisasi Kota Manado

    menjelaskan:

    Pernah dilakukan desain stuktur organisasi yang dilakukan sendiri dengan mengacu pada PP/41/2007 dan Permendagri/57/2008. Hasilnya, SKPD (OPD) yang ditetapkan adalah 18 Dinas, 14 Lembaga Teknis (Badan dan Kantor), 3 Asisten, dan 13 bagian di Sekretariat Kota. Dalam hal kajian organisasi, Bagian Organisasi merekomendasikan untuk pengadaan beberapa bagian di Sekretariat dan rencana peningkatan Bagian Keuangan dan Bagian Aset menjadi Badan Pengelola Keuangan dan Barang Milik Daerah.

  • 44

    Berdasarkan jawaban dari beberapa informan yang terdapat pada

    daerah lokus penelitian, maka dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya

    setiap pemerintah Kab/Kota telah mendesain struktur organisasi sesuai

    dengan PP 41/2007. Demikian pula yang terungkap dari hasil wawancara

    dengan Asisten II Bidang Administrasi Pemerintah Kota Manado, yang

    mengungkapkan, bahwa penyusunan struktur organisasi telah

    mempertimbangkan beban kerja, kemampuan dan kebutuhan daerah,

    serta telah didesain sesuai dengan PP 41/2007 dan

    Permendagri/57/2008.

    Meskipun dalam pelaksanan program/kegiatan lintas fungsi yang

    melibatkan banyak SKPD terkesan adanya masalah koordinasi karena

    adanya egoisme sektoral, namun di beberapa daerah disikapi dengan

    membuat peraturan internal, seperti di Kabupaten Luwu Utara dan Kota

    Surakarta yang menetapkan dengan tegas akan tugas, rincian tugas, dan

    tata kerja jabatan struktural pada setiap instansi berdasarkan PP/41/2007.

    Selain itu pula, di Kota Surakarta dan Pekanbaru telah dilakukan analisis

    jabatan (anjab) yang memetakan dengan tegas rincian tugas dan fungsi

    masing-masing unit kerja dan jabatan, sehingga tidak terjadi konflik yang

    tajam karena masing-masing anggota organisasi dapat memahami job

    deskription masing-masing. Pandangan yang sempit akan fungsi dan

    kewenangan unit kerja, dapat diatasi dengan peningkatan kapasitas

    pejabat yang ada dalam struktur.

  • 45

    b. Kapasitas Keuangan

    Ketersediaan sumber daya keuangan merupakan faktor yang sangat

    menentukan keberhasilan organisasi dalam mencapai pelaksanaan tugas

    dan fungsinya. Pengelola keuangan pemerintah daerah yang dapat

    mengelola sumber daya keuangannya dengan baik, mulai dari tahap

    penyusunan anggaran, pengalokasian anggaran, hingga

    pertanggungjawaban dan penyusunan laporan keuangan sangat

    membantu setiap satuan kerja di lingkup pemerintah kabupaten/kota

    dalam mencapai program dan kegiatan sesuai dengan apa yang tertuang

    dalam rencana kerja masing-masing satker yang mengacu pada rencana

    kerja pemerintah daerah.

    Tabel 4.2

    Tanggapan Responden Tentang Pengembangan Kapasitas Keuangan

    No Daerah Lokus Rata-Rata Skor Kategori

    1 Palangkaraya 4.02 Baik

    2 Pekanbaru 3.88 Baik

    3 Jayapura 3.82 Baik

    4 Manado 3.53 Baik 5 Luwu Utara 4.23 Baik

    6 Surakarta 4.04 Baik

    Rata-Rata Skor 3.92 Baik

    Sumber : data primer, 2012

    Berdasarkan data yang terdapat pada Tabel 4.2 dapat diketahui

    bahwa rata-rata responden menilai pengembangan kapasitas keuangan

    birokrasi pemerintah baik. Ini berarti upaya peningkatan kapasitas

  • 46

    keuangan telah dilakukan disemua lokus dengan intensitas yang cukup

    sering. Fakta menarik disuguhkan oleh data yang diperoleh pada lokus

    Kabupaten Luwu Utara, dimana pemerintah kabupaten, dalam hal ini

    DKPD selalu melakukan upaya-upaya untuk memperbaiki pengelolaan

    keuangan daerah, mulai dari tahap penyusunan anggaran, pengalokasian

    anggaran, hingga pertanggungjawaban keuangan. Tidak mengherankan

    jika dari seluruh lokus penelitian, Pemerintah Kabupaten Luwu Utara

    yang menduduki skor yang paling tinggi, dengan skor 4,23. Dilain pihak,

    meskipun masih dalam kategori baik, pelaksanaan pengembangan

    kapasitas keuangan di Kota Manado memiliki skor paling rendah yaitu

    3,53.

    Hasil wawancara dengan Sekretaris DKPD dan Kabid Akuntansi

    DKPD Kabupaten Luwu Utara tentang kemampuan anggaran untuk

    melaksanakan seluruh tugas dan fungsi organisasi menjelaskan bahwa:

    Kemampuan anggaran untuk melaksanakan seluruh tugas dan fungsi organisasi adalah 60 berbanding 40 antara belanja rutin (termasuk belanja pegawai) dan belanja modal (belanja pembangunan dan pelayanan publik).. Untuk meningkatkan kemampuan SDM pengelolaan anggaran dilakukan upaya-upaya pengembangan SDM melalui pelatihan teknis baik kerjasama dengan BPK dan BPKP maupun dengan perguruan tinggi seperti UNHAS.

    Sejalan dengan hal itu, hasil wawancara dengan Kepala Bappeda

    Kota Surakarta menjelaskan bahwa:

  • 47

    Kemampuan anggaran untuk melaksanakan tugas dan fungsi organisasi dapat dilihat pada saat APBD yang telah ditetapkan di awal waktu maupun pada saat APBD-P, mampu diimplementasikan Pemkot dengan baik, memperhatikan prioritas kegiatan dan sharing anggaran masing-masing kegiatan. Tugas dan fungsi organisasi menyesuaikan kemampuan anggaran yang tersedia.

    Hasil wawancara dengan informan pemerintah Kabupaten Jayapura

    menjelaskan bahwa:

    Kemampuan anggaran dalam melaksanakan seluruh tugas dan fungsi organisasi cukup memadai karena penyusunan anggaran disesuaikan dengan RENSTRA dan RENJA SKPD. Pengelolaan anggaran disesuaikan dengan Permendagri/13/2006 tentang Anggaran Berbasis Kinerja. Proses perubahan anggaran dilakukan jika ada perubahan anggaran melalui pembahasan oleh tim anggaran eksekutif dan tim anggaran legislatif.

    Adapun hasil wawancara dengan Kepala Badan Keuangan dan Aset

    Daerah Kota Jayapura menjelaskan bahwa:

    Kemampuan anggaran untuk pelaksanaan tugas dan fungsi organisasi masih kurang mampu atau sangat terbatas. Oleh karena itu, dalam penyusunan rencana penggunaan anggaran dilakukan secara prioritas sesuai kebutuhan mendesak. Adapun pengelolaan keuangan mengikuti tata cara pengelolaan keuangan sesuai dengan peraturan per-UU-an yang berlaku.

    Berdasarkan hasil olahan data primer, baik dari data kuessioner

    maupun dari hasil wawancara dapat diketahui bahwa sebagian besar

    responden di daerah lokus menilai bahwa pemerintah daerah telah

    melakukan upaya-upaya yang cukup sistematis untuk mengelola

    keuangan sesuai dengan PP 58/2005 dan Permendagri No.13/2006

    tentang Pengelolaan Keuangan Daerah. Mulai dari tahap penyusunan

  • 48

    anggaran yang melibatkan seluruh satker dan unit kerja, pengalokasian

    anggaran yang telah sesuai dengan beban tugas dan fungsi organisasi,

    serta pertanggungjawaban anggaran yang dilakukan secara transparan

    dan akuntabel.

    Sebagian besar daerah lokus telah melakukan proses penyusunan

    anggaran secara bottom up, artinya usulan dari level SKPD dan

    masyarakat dimusyawarahkan dalam forum SKPD, maupun Musrenbang.

    Penyusunan anggaran di awali dengan rapat kerja sebagai dasar KUA

    PPAS yang di bahas dengan DPRD. Setelah mendapat persetujuan

    DPRD di lakukan pengajuan APBD. Pengalokasian anggaran disesuaikan

    dengan prioritas rencana program/kegiatan dan kesesuaian antara

    RPJPD maupun RPJMD. Pengelolaan anggaran disesuaikan dengan

    rencana yang telah ditetapkan dalam APBD melalui DPA masing-masing

    SKPD dengan menyesuaikan time schedule masing-masing kegiatan.

    Alokasi anggaran diutamakan memenuhi urusan wajib terlebih dahulu

    baru urusan pilihan.

    Pada Pemerintah Kota Surakarta, pengelolaan anggaran selain

    berdasarkan Perda 7/2010, juga dengan mengacu PerWalikota tentang

    Sistem dan Prosedur Pengelolaan Keuangan, dan Perwalikota/17/2012

    tentang Kebijakan Akutansi Pemerintah Kota. Sedangkan proses

    perubahan anggaran dikomunikasikan kepada seluruh unit kerja (SKPD).

    SKPD mengusulkan perubahan anggaran dengan membuat Renja

  • 49

    Perubahan dan RKA-P, kemudian ditindaklanjuti dengan penyusunan

    KUA/PPAS hingga penetapan DPA. Perubahan anggaran selalu

    dikomunikasikan kepada seluruh SKPD. Kendala dalam pengelolaan

    anggaran terjadi apabila ada rasionalisasi terhadap anggaran, yang

    mengakibatkan penurunan kuantitas program/kegiatan. Solusinya adalah

    penentuan prioritas program/kegiatan yang akan memberi dampak pada

    indikator prioritas target capaian dan rasionalisasi anggaran terhadap

    program/kegiatan yang diajukan dalam Renja SKPD. Jika terdapat

    program dan kegiatan dalam rencana kerja yang tidak didukung dengan

    anggaran, maka program/kegiatan tersebut ditunda dan menjadi prioritas

    di tahun anggaran berikutnya.

    Khusus dalam penyusunan laporan keuangan, sebagian besar

    daerah lokus telah menyusun laporan keuangan dengan mengacu pada

    PP 24/2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintah (SAP). Hasilnya,

    beberapa daerah, seperti Kota Surakarta, Kota Pakanbaru, dan Kab Luwu

    Utara telah memperoleh predikat WTP (Wajar Tanpa Pengecualian)

    dalam penyajian laporan keuangan. Begitu juga halnya dengan

    pengelolaan barang milik daerah (BMD), telah mengacu pada ketentuan

    PP 6/2006 dan Permendagri 17/2007 tentang Pengelolaan Barang Milik

    Daerah. Hanya saja beberapa daerah masih merasakan perlunya

    peningkatan kemampuan SDM pengelolaan anggaran melalui pelatihan

  • 50

    teknis, baik kerjasama dengan Diklat Keuangan, BPK dan BPKP,

    maupun dengan perguruan tinggi.

    c. Kapasitas Perangkat Hukum

    Kepastian hukum dan kejelasan regulasi merupakan faktor yang

    sangat menentukan keberhasilan organisasi dalam mencapai

    pelaksanaan visi dan misinya. Daerah yang memiliki regulasi yang jelas

    dan diterapkan secara konsisten dan adil membuat birokrasi dapat

    bekerja dengan baik untuk mencapai pelaksanaan tugas dan fungsi

    organisasi secara efektif dan efisien.

    Tabel 4.3

    Tanggapan Responden tentang Pengembangan Kapasitas Perangkat Hukum

    No Daerah Lokus Rata-Rata Skor Kategori

    1 Palangkaraya 3.74 Baik

    2 Pekanbaru 3.32 Kurang baik

    3 Jayapura 3.42 Baik

    4 Manado 3.24 Kurang baik

    5 Luwu Utara 3.48 Baik

    6 Surakarta 3.41 Kurang baik

    Rata-Rata Skor 3.43 Kurang baik

    Sumber : data primer 2012

    Berdasarkan data yang terdapat pada Tabel 4.3, dapat diketahui

    bahwa sebagian besar responden menilai bahwa upaya pengembangan

    kapasitas perangkat hukum pada enam daerah lokus berada pada level

    Kurang baik dengan skor 3,43. Tiga daerah lokus yang berada pada

  • 51

    skor level kurang baik, yaitu Kota Pekanbaru dengan skor 3.32, Kota

    Manado dengan skor 3.24, dan Kota Surakarta dengan skor 3.41.

    Sementara itu skor tertinggi dimiliki oleh Kota Palangkaraya yaitu 3.74

    dengan level baik. Keadaan data yang menyatakan di beberapa daerah

    hanya berada pada level kurang baik memberikan indikasi bahwa

    pengembangan kapasitas dibidang perangkat hukum menghadapi suatu

    kondisi permasalahan tertentu.

    Penilaian responden di kota Pakanbaru, Surakarta, dan Manado

    yang sebagian besar menilai kapasitas perangkat hukum kurang baik

    disebabkan karena adanya aturan dalam pelaksanaan tugas yang

    kadang tumpang tindih, dan kurangnya konsistensi dalam pelaksanaan

    aturan. Hal ini biasanya disebabkan kurangnya sosialisasi terhadap

    kebijakan, dan rendahnya komitmen pimpinan untuk menegakkan aturan

    secara adil dan konsisten.

    Hasil wawancara dengan Sekretaris BKDD dan Kepala Bidang

    Mutasi BKDD Kabupaten Luwu Utara menjelaskan bahwa:

    Sangat penting membangun komitmen dan konsistensi dalam penegakan aturan di lingkungan kerja (SKPD). disamping itu, diperlukan upaya terdapatnya konsistensi pada setiap tingkatan peraturan perundang-undangan. Hal ini karena masih terdapat tumpang tindih aturan dalam pelaksanaan tugas dan fungsi. Seperti Kebijakan Pengangkatan CPNS melalui Kategori Satu (K1), kadangkala terjadi tumpang tindih peraturan perundang-undangan dalam pelaksanaannya seperti Surat keputusan (SK) Bupati, Sekretaris Daerah, Kepala Dinas, Camat, dengan PP/48/2007, Surat Edaran Men PAN dan RB (dalam pelaksanaan sosialisasi), dan PerKa BKN dan lain-lain.

  • 52

    Berdasarkan jawaban dari narasumber di Kabupaten Luwu Utara

    dapat diketahui bahwa penegakan regulasi secara adil dan konsisten

    sangat diperlukan dalam menjamin kelancaran pelaksanan tugas dan

    fungsi organisasi. Lebih lanjut juga disampaikan agar daerah perlu

    melakukan sosialisasi dan jika perlu meminta pendampingan dan

    konsultasi jika ditemukan adanya kebijakan yang tumpang tindih antara

    kebijakan yang satu dengan kebijakan yang lainnya. Seperti yang

    diungkapkan dari hasil wawancara dengan beberapa narasumber dari

    daerah lokus lainnya, salah satunya adalah seperti yang diuraikan dari

    hasil wawancara dengan Kepala Bappeda Kota Surakarta berikut ini.

    Dalam menghindari tumpang tindih dalam pelaksanaan tugas

    dan fungsi harus dilakukan perbaikan dan lebih menekan pada ANJAB. Membangun komitmen dan konsisten dalam penegakan aturan dilingkungan kerja yaitu dengan pemberian penghargaan kepada PNS yang bekerja baik. Kendala-kendala yang berkaitan dengan aturan dalam pelaksanaan tugas dan fungsi yaitu sering adanya semacam aturan (surat/surat edaran) dari kedisiplinan yang tidak sesuai dengan aturan secara nasional, sehingga diharapkan aturan yang dikeluarkan Pemda dapat sejalan dan tidak bertentangan dengan Undang-undang/Peraturan Pemerintah

    Berdasarkan jawaban dari beberapa informan di daerah lokus,

    dapat diketahui bahwa pada dasarnya setiap informan/narasumber

    menyadari pentingnya membangun komitmen dan konsistensi pada

    setiap peraturan perundang-undangan dan dalam penegakan aturan di

    lingkungan kerja. Oleh karena itu, hendaknya setiap perubahan aturan

  • 53

    dan kebijakan dikomunikasikan oleh pimpinan kepada seluruh staf,

    termasuk konsekuensi dari setiap peraturan dalam melaksanakan tugas

    dan fungsi.

    d. Kapasitas Sarana dan Prasarana

    Ketersediaan sarana dan prasarana juga merupakan faktor yang

    tidak kalah penting dalam mencapai pelaksanaan tugas dan fungsi

    organisasi secara efektif dan efisien. Fasilitas kerja yang memadai baik

    dari segi kuantitas maupun kualitas, turut menentukan kemampuan

    organisasi dalam melaksanakan tugas dan fungsinya secara efektif dan

    efisien. Demikian pula halnya dengan aspek pendistribusian fasilitas kerja

    yang sesuai dengan kebutuhan masing-masing unit kerja, serta

    pemeliharaan dan pendayagunaan inventaris sangat menunjang pegawai

    dalam melaksanakan tugas dan tanggungjawab yang dibebankan

    kepadanya.

    Tabel 4.4.

    Tanggapan Responden tentang Kapasitas Sarana dan Prasarana

    No Daerah Lokus Rata-Rata Skor Kategori

    1 Palangkaraya 3.61 Baik

    2 Pekanbaru 3.69 Baik

    3 Jayapura 3.55 Baik

    4 Manado 3.47 Baik

    5 Luwu Utara 4.07 Baik

    6 Surakarta 3.75 Baik

    Rata-Rata Skor 3.69 Baik

    Sumber : Data Primer, 2012

  • 54

    Berdasarkan data yang terdapat pada Tabel 4.4 dapat diketahui

    bahwa sebagian besar responden di daerah lokus menilai baik akan

    pengembangan kapasitas sarana dan prasarana. Selain itu, dari Tabel

    4.4 dapat diketahui pula bahwa lokus yang paling tinggi skornya dalam

    pengembangan kapasitas sarana dan prasarana adalah Kabupaten

    Luwu Utara yaitu 4.07 sedangkan yang paling rendah skornya adalah

    Kota Manado dengan skor hanya 3.47.

    Hasil wawancara dengan Sekretaris dan Kepala Bidang Mutasi

    BKDD Kabupaten Luwu Utara menjelaskan bahwa:

    Sarana dan prasarana perkantoran belum memadai. Kalau kita mau mencontoh BKDD Kabupaten Badung. Adapun sarana dan prasarana Sistem Informasi Manajemen Kepegawaian (SIMPEG) BKDD Kabupaten Luwu Utara sementara diproses. Kita juga masih memiliki kendala-kendala pengelolaan sarana dan prasarana.

    Sementara itu, hasil wawancara dengan Kepala Bappeda Kota

    Surakarta dalam hal pengembangan kapasitas sarana dan prasarana

    menjelaskan bahwa:

    Dukungan sarana dan prasarana dalam melaksanakan seluruh tugas dan fungsi organisasi adalah memadai. Agar sarana dan prasarana sesuai dengan perkembangan kebutuhan organisasi maka dilakukan penyusunan rencana kebutuhan barang setiap awal tahun. Sedangkan untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi penggunaan sarana dan prasarana dilakukan dengan mengoptimalkan penggunaan dan pemeliharaan sarana dan prasarana.

    Penjelasan Asisten II Bidang Administrasi Umum Sekretariat

    Kota Manado ini dibenarkan oleh Asisten III Sekretariat Kota Manado dan

    Kepala Dinas Pendapatan Daerah Kota Manado bahwa:

  • 55

    Sekarang ini dukungan sarana dan prasarana umumnya sudah relatif baik walaupun belum dapat memenuhi keseluruhan sarana dan prasarana yang dibutuhkan. Agar sarana dan prasarana sesuai dengan perkembangan kebutuhan organisasi, maka seharusnya mengakomodir usulan kebutuhan SKPD dari SKPD yang bersangkutan.

    Jawaban dari beberapa informan di daerah lokus cukup bervariasi.

    Sebagian masih mengeluhkan minimnya sarana dan prasarana dalam

    melaksanakan tugas dan fungsi organisasi, seperti di Kabupaten Luwu

    Utara, sementara informan pemerintah Kota Surakarta dan Manado

    menganggap bahwa fasilitas kerja cukup memadai untuk mendukung

    pelaksanaan tugas dan fungsi organisasi. Pemerintah Kabupaten

    Pakanbaru dalam mengoptimalkan penggunaaan sarana dan prasarana

    dilakukan dengan model jaringan dan sharing (berbagi). Mereka juga

    memanfaatkan teknologi informasi dan fungsi kontrol terhadap

    perbandingan antara pemakaian sarana dan prasarana dengan outcome

    yang dihasilkan. Kendala dalam pengelolaan sarana dan prasarana yang

    tidak dapat optimal sehingga membutuhkan biaya pemeliharan yang

    tinggi, mereka atasi dengan melakukan penghapusan barang milik

    daerah.

    Yang juga perlu menjadi perhatian pemerintah daerah adalah

    memperbaiki proses pengelolaan barang dan jasa sesuai dengan PP 38

    tahun 2008 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah, dimana

    pengelolaan barang dan jasa sekarang ini tidak lagi semudah dulu.

  • 56

    Diperlukan kecermatan dan pencatatan yang akurat, mulai dari tahap

    pengadaan barang milik daerah (BMD), hingga tahap pengawasan dan

    pelaporan barang milik daerah. Penggunaan BMD diarahkan sesuai

    batasan-batasan standar kebutuhan yang diperlukan untuk menunjang

    penyelenggaraan tupoksi pemerintahan secara optimal. Selain itu, setiap

    kegiatan pengelolaan BMD harus dapat dipertanggungjawabkan kepada

    publik.

    2. Pengembangan Kapasitas Proses Operasional (Ketatalaksanaan)

    Pengembangan kapasitas proses operasional (ketatalaksanaan) dalam

    penelitian ini terdiri atas pengembangan kapasitas prosedur kerja,

    pengembangan kapasitas budaya kerja yang efektif dan pengembangan

    kapasitas kepemimpinan yang efektif.

    a. Pengembangan Kapasitas Prosedur Kerja

    Keberhasilan pelaksanaan tugas dan fungsi organisasi sangat

    ditentukan dengan tersedianya dokumen proses operasional untuk setiap

    jenis pelayanan dan tahapan kegiatan yang dapat menjadi pedoman bagi

    setiap pegawai untuk melaksanakan tugasnya sehari-hari. Agar pencapaian

    tugas dan fungsi organisasi dapat berjalan efektif dan efisien, maka prosedur

    pelayanan harus disosialisasikan kepada masyarakat, sehingga juga

    memberikan pemahaman dan edukasi kepada masyarakat untuk mengetahui

    jika ada persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi.

  • 57

    Untuk mengetahui rekapitulasi rata-rata tanggapan responden tentang

    pengembangan kapasitas prosedur kerja organisasi pemerintah

    Kabupaten/Kota daerah lokus penelitian dapat dilihat pada tabel berikut ini.

    Tabel 4.5.

    Rekapitulasi Rata-rata Tanggapan Responden Tentang Pengembangan Kapasitas Prosedur Kerja

    No Daerah Lokus Rata-Rata Skor Kategori

    1 Palangkaraya 3.82 Baik

    2 Pekanbaru 3.66 Baik

    3 Jayapura 3.68 Baik

    4 Manado 3.49 Baik

    5 Luwu Utara 3.86 Baik

    6 Surakarta 3.70 Baik

    Rata-Rata Skor 3.70 Baik

    Sumber: Data Primer, 2012

    Penilaian responden tentang pelaksanaan pengembangan kapasitas

    prosedur kerja dapat dilihat pada Tabel 4.5 di atas. Hasilnya, pelaksanaan

    pengembangan kapasitas prosedur kerja pada pemerintah daerah berada

    pada kategori baik. Selain itu semua daerah lokus pun berada dalam

    kategori yang sama. Ini berarti dalam pelaksanaan tugas para pegawai telah

    memiliki sebuah prosedur standar yang digunakan sebagai pedoman dalam

    pelaksanaan tugas. Dalam hal ini yang paling tinggi skornya sebesar 3,86

    adalah Kabupaten Luwu Utara dan yang paling rendah skornya adalah Kota

    Manado sebesar 3,49.

    Hasil wawancara dengan Sekretaris dan Kepala Bidang Mutasi BKDD

    Setda Kabupaten Luwu Utara menjelaskan bahwa masih terdapat beberapa

  • 58

    hambatan dalam pelaksanaannya tetapi tidak menjadi masalah karena dapat

    diselesaikan dengan baik. Terutama dalam hal koordinasi dengan setiap unit

    di BKDD.

    Sementara itu, hasil wawancara dengan Kepala Bappeda Kota

    Surakarta mengenai pengembangan proses operasional (ketatalaksanaan)

    menjelaskan bahwa:

    Agar proses operasional (ketatalaksanaan) dapat menjawab

    tantangan evektivitas pelaksanaan tugas dan fungsi organisasi adalah

    melakukan evaluasi SOP di setiap SKPD. Adapun yang menjadi dasar

    pertimbangan dalam menetapkan prosedur kerja tertulis adalah

    melalui dasar hukum, kewenangan, perencanaan, dan evaluasi yang

    menjadi dasar pertimbangan dalam menetapkan prosedur kerja

    tertu