16
SPESIESME DALAM KASUS ELIMINASI ANJING DI BALI Tinjauan Etis Utilitarianisme Peter Singer Della Edelia Lisdiyati Departemen Ilmu Filsafat, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Depok, 16424, Indonesia. Email: [email protected] Abstrak Eliminasi hewan dengan cara yang membuat hewan merasakan sakit berkepanjangan merupakan suatu tindakan yang salah. Cara eliminasi tersebut terjadi karena kurangnya pemahaman manusia bahwa hewan juga merupakan makhluk sentient, sama seperti manusia. Makhluk sentient adalah makhluk yang dapat merasakan sakit. Penelitian ini menolak cara eliminasi anjing di Bali menggunakan prinsip moral utilitarianisme menurut Peter Singer. Prinsip utilitarianisme Singer membasiskan kesetaraan antara manusia dengan hewan berdasarkan kepentingan (interest). Singer mengatakan bahwa tolok ukur paling mendasar untuk kesataraan antara manusia dan hewan adalah kemampuan rasa sakit. Sesuatu yang benar bagi kaum utilitarian adalah yang dapat memaksimalkan kebahagiaan (pleasure) dan meminimalkan rasa sakit (pain). Jika anjing-anjing di Bali dieliminasi dengan cara yang dapat menyebabkan rasa sakit yang berkepanjangan, berarti tindakan tersebut dapat digolongkan ke dalam tindakan speciesist. SPECIESM IN CASE OF DOGS ELIMINATION IN BALI An Ethichal Observation of Peter Singer’s Utilitarianism Animal elimination by making animals painful endlessly is a bad action. That way of elimination occurs because people do not fully understand that animals are also sentient creatures, just like people. Sentient creatures are creatures which can feel pain. This script rejects dogs elimination in Bali by using principle of utilitarianism morality according to Peter Singer. The principle of utilitarianism basically discusses equal consideration between human being and animals based on interest. Singer said that the most basic benchmark for equal consideration between human being and animals is capability of feeling pain. Something right to do for utilitarians is maximize happiness (pleasure) and minimize pain. If dogs elimination in Bali is done by painful ways, the ways can be categorized into sppeciesist acts. Keywords: animal welfare, elimination, interest, sentient, utilitarianism. Pendahuluan Latar Belakang Masalah Dewasa ini, Pulau Bali termasuk ke dalam 24 provinsi di Indonesia dengan jumlah kasus rabies dan mengakibatkan jatuhnya korban jiwa yang tinggi. Gede Wira menjelaskan bahwa pada tahun 2013 hingga April 2014 per bulan di Kota Denpasar terdapat sebanyak 521 kasus gigitan anjing, Kabupaten Badung sebanyak 720 kasus, Gianyar sebanyak 562 kasus, Buleleng 460 Spesiesme dalam..., Della Edelia Lisdiyati, FIB UI, 2014

SPESIESME DALAM KASUS ELIMINASI ANJING DI BALI Tinjauan

  • Upload
    others

  • View
    5

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: SPESIESME DALAM KASUS ELIMINASI ANJING DI BALI Tinjauan

SPESIESME DALAM KASUS ELIMINASI ANJING DI BALI

Tinjauan Etis Utilitarianisme Peter Singer

Della Edelia Lisdiyati

Departemen Ilmu Filsafat, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Depok, 16424, Indonesia.

Email: [email protected]

Abstrak

Eliminasi hewan dengan cara yang membuat hewan merasakan sakit berkepanjangan merupakan suatu tindakan

yang salah. Cara eliminasi tersebut terjadi karena kurangnya pemahaman manusia bahwa hewan juga merupakan

makhluk sentient, sama seperti manusia. Makhluk sentient adalah makhluk yang dapat merasakan sakit. Penelitian

ini menolak cara eliminasi anjing di Bali menggunakan prinsip moral utilitarianisme menurut Peter Singer. Prinsip

utilitarianisme Singer membasiskan kesetaraan antara manusia dengan hewan berdasarkan kepentingan (interest).

Singer mengatakan bahwa tolok ukur paling mendasar untuk kesataraan antara manusia dan hewan adalah

kemampuan rasa sakit. Sesuatu yang benar bagi kaum utilitarian adalah yang dapat memaksimalkan kebahagiaan

(pleasure) dan meminimalkan rasa sakit (pain). Jika anjing-anjing di Bali dieliminasi dengan cara yang dapat

menyebabkan rasa sakit yang berkepanjangan, berarti tindakan tersebut dapat digolongkan ke dalam tindakan

speciesist.

SPECIESM IN CASE OF DOGS ELIMINATION IN BALI

An Ethichal Observation of Peter Singer’s Utilitarianism

Animal elimination by making animals painful endlessly is a bad action. That way of elimination occurs because

people do not fully understand that animals are also sentient creatures, just like people. Sentient creatures are

creatures which can feel pain. This script rejects dogs elimination in Bali by using principle of utilitarianism

morality according to Peter Singer. The principle of utilitarianism basically discusses equal consideration between

human being and animals based on interest. Singer said that the most basic benchmark for equal consideration

between human being and animals is capability of feeling pain. Something right to do for utilitarians is maximize

happiness (pleasure) and minimize pain. If dogs elimination in Bali is done by painful ways, the ways can be

categorized into sppeciesist acts.

Keywords: animal welfare, elimination, interest, sentient, utilitarianism.

Pendahuluan

Latar Belakang Masalah

Dewasa ini, Pulau Bali termasuk ke dalam 24 provinsi di Indonesia dengan jumlah kasus

rabies dan mengakibatkan jatuhnya korban jiwa yang tinggi. Gede Wira menjelaskan bahwa pada

tahun 2013 hingga April 2014 per bulan di Kota Denpasar terdapat sebanyak 521 kasus gigitan

anjing, Kabupaten Badung sebanyak 720 kasus, Gianyar sebanyak 562 kasus, Buleleng 460

Spesiesme dalam..., Della Edelia Lisdiyati, FIB UI, 2014

Page 2: SPESIESME DALAM KASUS ELIMINASI ANJING DI BALI Tinjauan

kasus, Tabanan 450 kasus, Karangasem 359 kasus, Bangli 283 kasus, Klungkung 216 kasus, dan

Jembrana 191 kasus. "Jumlah kasus gigitan anjing yang paling tinggi terdapat di Kabupaten

Badung sebanyak 720 kasus," ujarnya.1

Hal ini mengundang banyak pihak untuk angkat bicara. Ada beberapa hal yang menjadi

faktor penyebab belum berhasilnya pembasmian rabies di Bali.

tingginya populasi anjing yang sebagian besar diliarkan.

tidak adanya data populasi anjing yang valid di Bali.

lemahnya pengawasan masuk/keluar anjing di Bali.

terlambatnya penanganan dan perawatan pasca gigitan anjing yang terjangkit rabies.

tidak tersedianya vaksin rabies dalam memenuhi kebutuhan.

penanda anjing yang telah diberi vaksin tidak jelas.

Lama kekebalan vaksinasi pertama hanya berlangsung selama 4-6 bulan.

Tidak adanya satuan kerja dan ahli dalam pelaksanaan penanggulangan rabies.

Tidak adanya evaluasi dan monitoring terhadap semua pemberantasan rabies di Bali.

Dinas Peternakan juga dikabarkan akan membantai dan membunuh anjing yang

berkeliaran hanya demi pencitraan karena Bali akan menjadi tuan rumah dilaksanakannya Asia-

Pacific Economic Cooperation (APEC). Di salah satu media cetak di Bali, Kepala Dinas

Peternakan Bali mengatakan: “Jangan karena ada anjing yang berkeliaran atau ada yang digigit,

menjadikan kesan yang tidak baik untuk Bali.” Hal ini menimbulkan banyaknya protes dari

berbagai pihak sampai akhinya petisi untuk menolak hal tersebut.2

Penulis melihat kasus eliminasi anjing ini sebagai tindakan keji karena anjing-anjing

tersebut dieliminasi hanya karena Bali akan dijadikan sebagai tuan rumah APEC. Di samping itu,

eliminasi anjing-anjing tersebut bukanlah jalan keluar untuk menanggulangi angka rabies yang

sangat tinggi. Dinas Peternakan Bali sudah seharusnya memberi anggaran yang lebih besar untuk

hal ini.

Dalam ranah filosofis, adanya anggapan bahwa manusia merupakan makhluk yang paling

tinggi derajatnya merupakan cara pandang antroposentris. Anggapan tersebut menjadi dalih

1 Jumlah Kasus Gigitan Anjing di Bali Meningkat Drastis, diunduh dari

http://www.republika.co.id/berita/nasional/daerah/14/05/10/n5cbxu-jumlah-kasus-gigitan-anjing-di-bali-meningkat-drastis, 2 Juni 2014. 2 Diunduh dari https://www.change.org/petitions/gubernur-bali-dinas-peternakan-untuk-menghentikan-eliminasi-

massal-yang-berkedok-penanggulangan-rabies-secara-tidak-manusiawi-mulai-bekerjasama-dengan-organisasi-organisasi-yang-peduli-pada-binatang, 2 Maret 2014.

Spesiesme dalam..., Della Edelia Lisdiyati, FIB UI, 2014

Page 3: SPESIESME DALAM KASUS ELIMINASI ANJING DI BALI Tinjauan

manusia untuk mendiskriminasi hewan. Hewan dianggap hanya sebagai pemenuh kebutuhan

manusia saja. Padahal, hewan juga merupakan makhluk yang memiliki kepentingan (interest)

yang sama seperti manusia.

Dalam kasus eliminasi anjing yang terjadi di Bali ini, penulis melihat adanya problem etis

yang saling berbenturan antara kepentingan manusia dengan kepentingan hewan (dalam hal ini

adalah anjing). Manusia memiliki kepentingan untuk menjaga stabilitas kesehatan dan jauh dari

penyakit rabies, sedangkan hewan memiliki kepentingan untuk hidup tanpa rasa sakit dan tanpa

ancaman. Kedua kepentingan tersebut merupakan kepentingan yang sama-sama harus

dipertimbangkan. Akan tetapi, dalam mengambil keputusan untuk menanggulangi rabies dengan

cara mengeliminasi, pemerintah hanya mempertimbangkan kepentingan manusia, tanpa

mempertimbangkan kepentingan hewan. Anggapan ini terlihat dari cara mengeliminasi, yaitu

dengan cara ditulup, diracun, dan dipukuli sehingga anjing-anjing tersebut harus merasakan

penderitaan terlebih dahulu sebelum akhirnya meninggal.

Rumusan Masalah

Demikian pemaparan tentang permasalahan yang terjadi mengenai rabies yang terjadi di

Bali. Di sini akan dijelaskan mengenai pembatasan atau perumusan masalah yang akan dibahas

berdasarkan latar belakang yang sudah dijelaskan sebelumnya.

Penelitian ini akan membahas perlakuan Pemerintah Provinsi Bali atau dalam hal ini adalah

Dinas Peternakan Bali yang dengan kejinya memberantas anjing-anjing rabies di Bali. Mereka

mengeliminasi anjing-anjing dengan sangat keji. Yang dimaksud dengan tindakan keji di sini

adalah adanya indikasi tindak kekerasan terhadap anjing-anjing yang terkena rabies ini. Mereka

memukuli anjing-anjing tersebut sampai sekarat lalu dibiarkan mati. Tidak sedikit dari anjing-

anjing tersebut yang tidak langsung mati saat dieliminasi sehingga harus merasakan penderitaan

yang lebih lama. Padahal, anjing-anjing tersebut juga dapat merasakan sakit sama halnya dengan

manusia. Lalu, apakah tindakan eliminasi ini etis bila dilakukan terhadap hewan?

Tujuan Penelitian

Tujuan ditulisnya penelitian ini adalah untuk:

Penelitian ini dimaksudkan untuk menjelaskan permasalahan spesiesme yang terjadi pada

kasus eliminasi anjing-anjing yang berpotensi rabies di Bali.

Spesiesme dalam..., Della Edelia Lisdiyati, FIB UI, 2014

Page 4: SPESIESME DALAM KASUS ELIMINASI ANJING DI BALI Tinjauan

Penelitian ini bertujuan untuk memperkecil atau bahkan menghentikan adanya diskriminasi

spesies yang sering kali terjadi di sekitar kita. Melalui penelitian ini, diharapkan bahwa

penjelasan tentang kekerasan terhadap hewan merupakan suatu contoh permasalahan

spesiesme dapat memberikan pemahaman bahwa hal tersebut salah dan tidak etis. Hewan

memang tidak dapat berbicara layaknya manusia, namun yang perlu ditekankan adalah

bahwa hewan juga makhluk yang setara dengan manusia karena hewan juga dapat

merasakan sakit seperti halnya manusia. Oleh karena itu, sudah sepantasnya manusia yang

mempunyai hati nurani, lebih peduli terhadap hewan.

Penelitian ini bertujuan untuk mengkritik spesiesme menggunakan prinsip moral dan

utilitarianisme.

Tinjauan Teoritis

Teori yang akan digunakan untuk membantu memperkuat pernyataan tesis adalah

pemikiran Peter Singer. Singer adalah filsuf dari Australia. Ia juga pengajar di Princeton

University dan juga seorang professor di University of Melbourne. Singer adalah seorang filsuf

utilitarian. Teori Singer yang akan dijadikan landasan teori dalam penelitian ini adalah tentang

The basic principle of equality dan tentang Animal liberation sebagai teori penunjang utama.

Teori principle of equal consideration of interests ini menggaungkan kesetaraan pertimbangan

atas kepentingan atau kepentingan antara human dan non-human. Singer mengatakan bahwa

kesetaraan tidak dapat didasari secara keseluruhan karena setiap makhluk terlahir dengan

karakteristik yang beraneka ragam.

Utilitarianisme merupakan prinsip yang meninjau penilaian baik dan buruk yang

dihasilkan oleh putusan etis yang diambil secara menyeluruh. Prinsip ini mempertimbangkan

seluruh kepentingan yang terkena pengaruh putusan etis tersebut. Pertimbangan ini ditinjau dari

sikap moral manusia terhadap hewan harus ditentukan oleh kapabilitas merasakan sakit, bukan

dilihat dari ciri-ciri fisik atau kapabilitas bernalar.

Anti-spesiesme adalah sikap yang membela kepentingan dan kelangsungan semua spesies

di bumi ini karena mempunyai hak hidup yang sama dan pantas mendapatkan perhatian dan

Spesiesme dalam..., Della Edelia Lisdiyati, FIB UI, 2014

Page 5: SPESIESME DALAM KASUS ELIMINASI ANJING DI BALI Tinjauan

perlindungan yang sama seperti spesies manusia.3

Anti-spesiesme berprinsip bahwa kepentingan

setiap makhluk hidup harus diperhitungkan dan diberi bobot yang sama seperti halnya

kepentingan dari makhluk hidup lain. Hewan juga mempunyai kepentingan yang sama dengan

manusia untuk tidak disakiti karena sama-sama dapat merasakan sakit.

Singer membasiskan teorinya mengenai prinsip moral kesetaraan pada pertimbangan

mengenai kepentingan. Perlakuan yang sama dalam hubungan antara manusia dengan hewan

didasarkan pada pertimbangan bahwa manusia dengan hewan memiliki kepentingan yang sama.

Oleh karena itu, Kesetaraan tidak dilihat dari perbedaan kapasitas moral, intelektual, fisik,

kecakapan berkomunikasi, dan sebagainya. “Fakta bahwa orang yang bukan termasuk dalam

ras kita bukan berarti kita dapat mengeksploitasi mereka, dan fakta bahwa orang-orang yang

kurang cerdas dibandingkan yang lainnya bukan berarti juga kepentingan mereka dapat

diabaikan.”4

Perbedaan yang terlihat nyata, bukanlah tolok ukur untuk menilai apakah makhluk-

makhluk yang berbeda ini setara atau tidak. Penilaian kesetaraan juga tidak hanya berlaku bagi

manusia dengan manusia saja, melainkan hewan juga harus diikutsertakan dalam penilaian

kesetaraan ini.

Singer menganggap bahwa terdapat suatu karakteristik yang dapat dijadikan sebagai

tolok ukur kesetaraan dalam masing-masing spesies. Khususnya manusia dengan hewan.

Manusia dan hewan merupakan makhluk sentient, yaitu makhluk yang sama-sama dapat

merasakan sakit dan memiliki kesadaran.

Kesetaraan merupakan konsep moral dan bukan sebuah pembelaan mengenai fakta. Kita

tidak dapat mengatakan bahwa perbedaan fisik antara dua makhluk dapat menentukan perbedaan

jumlah pertimbangan yang diberikan atas kebutuhan kepentingan masing-masing. Manusia dan

hewan sama-sama makhluk sentient, yaitu makhluk yang sama-sama dapat merasakan sakit. Hal

inilah yang dijadikan tolok ukur prinsip pertimbangan. Manusia juga tidak boleh melakukan

kekerasan terhadap hewan karena menganggap kapasitas mental hewan yang lebih rendah

daripada manusia. Hal ini karena Singer mengatakan bahwa masalah kesetaraan bukanlah

permasalahan apakah hewan tersebut mempunyai rasio atau apakah hewan dapat berbicara,

melainkan apakah hewan dapat merasakan sakit.

Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa manusia dan hewan adalah makhluk yang

3 A. Sonny Keraf, Etika Lingkungan, 2002, Jakarta: Kompas., hal. 68.

4 Peter Singer, Practical Ethics, 2011, New York: Cambridge University Press., hal. 67.

Spesiesme dalam..., Della Edelia Lisdiyati, FIB UI, 2014

Page 6: SPESIESME DALAM KASUS ELIMINASI ANJING DI BALI Tinjauan

setara karena sama-sama makhluk sentient, maka dari itu, permasalahan kekerasan terhadap

hewan adalah suatu contoh tindakan spesiesme. Ketika hewan tersebut disakiti atau dieliminasi

maka kepentingan hewan untuk tidak merasakan sakit tidak dipertimbangkan. Prinsip bahwa

hewan juga dapat merasakan sakit sudah dapat digunakan untuk menjadi standar pertimbangan

kepentingan makhluk dari spesies lain. Manusia tidak dapat menggunakan kecerdasan intelektual

atau rasionalitas yang memang dimiliki manusia untuk membela perlakuan kekerasan terhadap

hewan. Jika hal itu digunakan, maka akan menimbulkan adanya diskriminasi spesies karena tak

dapat dipungkiri bahwa manusia yang memiliki hal-hal tersebut. Membuat justifikasi terhadap

penilaian etis harus dipertimbangkan dahulu kepentingan dari makhluk-makhluk yang terlibat.

Seseorang perlu menimbangnya sebagai kepentingan, bukan sebagai keinginan yang bersifat

pribadi.

Lalu bagaimana kita dapat membuktikan bahwa hewan juga dapat merasakan sakit

seperti halnya manusia? Hewan memang tidak dapat berkomunikasi seperti halnya manusia,

namun ia dapat mengisyaratkan bahwa ia merasakan sakit. Hal ini sama halnya dengan cara bayi

yang belum bisa berbicara. Bayi memberitahu bahwa ia merasakan sakit dengan cara menangis.

Begitu juga dengan hewan, ia mengisyaratkan bahwa ia sedang merasakan sakit dengan cara

merintih-rintih menyuarakan bunyinya atau bahkan sampai berontak dan meronta-ronta.

Inti pemikiran Singer adalah tentang konsistensi moral. Pertimbangan moral harus

bersifat konsisten berlaku bagi semua yang mempunyai kepentingan sama. Manusia dengan

hewan memang berbeda dalam hal emosional dan intelektual. akan tetapi pertimbangan harus

dilakukan secara setara karena hewan dan manusia sama-sama makhluk yang dapat merasakan

sakit dan nikmat hal ini sama dengan manusia yang memiliki cacat mental atau bayi yang belum

dapat berpikir dan belum dapat berbicara namun bukan berarti dia tidak berhak mendapatkan

perlakuan etis dari manusia.

Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus. Kasus yang digunakan

adalah kasus eliminasi anjing yang terjadi di Bali Dalam kasus tersebut sangat terlihat adanya

spesiesme. Kasus ini akan dianalisis secara kritis reflektif dengan menggunakan teori Peter

Spesiesme dalam..., Della Edelia Lisdiyati, FIB UI, 2014

Page 7: SPESIESME DALAM KASUS ELIMINASI ANJING DI BALI Tinjauan

Singer mengenai kesetaraan pertimbangan. Selain itu, digunakan juga metode literatur untuk

mendapatkan sumber-sumber yang valid mengenai data rabies yang terjadi di Bali. Terdapat juga

metode kepustakaan untuk mendapatkan beberapa sumber yang akan menunjang penulisan

penelitian ini. Buku utama yang akan digunakan adalah buku Animal Liberation dan Practical

Ethics yang ditulis oleh Peter Singer.

Hasil Penelitian

Kasus eliminasi anjing di Bali dengan cara yang kejam sebagai suatu tindakan speciesist dan

tidak etis menurut analisis utilitarianisme Peter Singer.

Pembahasan

Gugatan terhadap Cara Eliminasi Anjing di Bali

Kesetaraan untuk hewan awalnya merupakan suatu parodi yang digunakan dalam kasus

kesetaraan perempuan. Spesiesme juga dianalogikan sebagai seksisme dan rasisme. Mengapa

seksisme dan rasisme dianggap salah? Perkumpulan inegaliter sering mengatakan bahwa mau

tidak mau kita harus berhadapan dengan hal-hal yang jelas terlihat perbedaannya, seperti

perbedaan kapasitas moral, perbedaan kapasitas intelektual, perbedaan sensitifitas terhadap rasa

memerlukan orang lain, perbedaan keefektifan berkomunikasi, dan perbedaan kapasitas

merasakan kesenangan dan kesakitan. Oleh karena itu, kita tidak dapat menuntut kesataraan yang

didasarkan pada perbedaan yang sebenarnya pada manusia. Perbedaan ini yang nantinya harus

memunculkan perbedaan hak yang mereka miliki.

Perluasan prinsip dasar kesetaraan dari untuk satu kelompok tidak menyiratkan bahwa

kita harus memperlakukan kelompok lain dengan cara yang persis sama, melainkan memberi

pertimbangan secara adil. Singer mengatakan bahwa: “The basic principle of equality does not

require equal or identical treatment, it requires equal consideration.”5 Hal ini berarti

kepentingan setiap makhluk terpengaruh oleh tindakan yang harus diperhitungkan dan diberikan

5 Peter Singer, Animal Liberation, 2002, New York; HarperCollins Publisher Inc., hal. 2.

Spesiesme dalam..., Della Edelia Lisdiyati, FIB UI, 2014

Page 8: SPESIESME DALAM KASUS ELIMINASI ANJING DI BALI Tinjauan

bobot yang sama dengan makhluk lainnya. Bentham berpendapat bahwa kapasitas penderitaan

merupakan karakter vital yang memberikan hak makhluk dalam kesetaraan pertimbangan.

Anggapan bahwa manusia merupakan makhluk yang lebih tinggi dari pada makhluk

lainnya merupakan alasan yang digunakan atas dominasi manusia terhadap hewan. Hal ini

berujung kepada tindakan-tindakan yang menjadikan hewan sebagai pemenuh dan pemuas

keinginan manusia. Terdapat pemisah antara manusia dengan hewan terutama pada peradaban

Barat yakni pengisahan penciptaan Ilahi. Dalam kisah penciptaan Ilahi diceritakan bahwa

manusia diciptakan oleh Allah dari jiwa yang abadi.

Peter Singer mengkritik anggapan ini dengan memberikan argumen-argumen filosofis

mengenai kesetaraan antara manusia dengan hewan. Singer menjelaskan bahwa manusia dan

hewan merupakan makhluk yang setara sebagai makhluk yang sama-sama dapat merasakan

sakit. Dominasi manusia terhadap hewan merupakan suatu tindakan yang harus dikritik. Untuk

menghentikan tirani terhadap hewan, manusia harus bersikap egaliter terhadap hewan sebagai

makhluk yang sama-sama memiliki kepentingan dalam merasakan sakit. Manusia juga harus

mempertimbangkan kepentingan hewan dan mempraktikannya dalam kehidupan sehari-hari.

Untuk menentukan karaktel vital yang digunakan untuk basis dasar kesetaraan

pertimbangan makhluk, Bentham mengatakan:

“The day may come when the rest of the animal creation may acquire those rights which

never could have been with holden from them but by the hand of tyranny. The French

have already discovered that the blackness of the skin is no reason why a human being

should be abandoned without redress to the caprice of a tormentor. It may one day come

to be recognized that the number of the legs, the villosity of the skin, or the termination of

the os sacrum are reasons equally insufficient for abandoning a sensitive being to the

same fate. What else is it that should trace the insuperable line? Is it the faculty of

reason, or perhaps the faculty of discourse? But a full-grown horse or dog is beyond

comparison a more rational, as well as a more conversable animal, than an infant of a

day or a week or even a month, old. But suppose they were otherwise, what would it

avail? The question is not, can they reason? Nor can they talk? But, can they suffer?6

Dalam kutipan ini, Bentham mengatakan bahwa kapasitas dalam merasakan rasa sakit

sebagai karakter utama yang memberikan makhluk suatu pertimbangan kesetaraan. Lebih

tepatnya, untuk merasakan rasa sakit dan/atau kebahagiaan. Bagi Bentham seperti dikutip juga

oleh Singer bahwa kapasitas penderitaan dan merasakan kebahagiaan merupakan suatu prasyarat

6 Peter Singer, Animal Liberation, 2002, New York; HarperCollins Publisher Inc., hal 7.

Spesiesme dalam..., Della Edelia Lisdiyati, FIB UI, 2014

Page 9: SPESIESME DALAM KASUS ELIMINASI ANJING DI BALI Tinjauan

untuk mendapatkan kepentingan. Kapasitas penderitaan dan kesenangan merupakan prasyarat

untuk memiliki kepentingan. Bentham juga mengatakan bahwa ini bukanlah tentang “hak”,

melainkan tentang “kesetaraan”.

Singer mengatakan pemberian pertimbangan untuk hewan adalah bahwa hewan juga

makhluk yang dapat merasakan sakit atau yang disebut dalam buku Animal Liberation karya

Peter Singer adalah makhluk sentient. Menurut Singer, makhluk sentient bukanlah makhluk yang

memiliki kecerdasan, melainkan makhluk yang memiliki kemampuan dalam merasakan sakit.

Batasan sentient adalah satu-satunya batas dipertahankan dari kepedulian terhadap kepentingan

hewan.7

Berangkat dari utilitarian Singer yang berbunyi equal consideration of interests atau

kesetaraan pertimbangan bagi kepentingan makhluk yang terkena pengaruh atas tindakan etis,

Singer ingin memberikan pertimbangan yang setara untuk hewan melihat karena membasiskan

teori utilitarian kepada makhluk sentient. Makhluk sentient merupakan makhluk yang dapat

merasakan sakit. Sama seperti halnya manusia, tentu hewan juga dapat merasakan sakit. Oleh

karena itu, anjing sebagai makhluk sentient juga harus diberi pertimbangan etis.

Seperti yang telah diketahui bahwa dalam kasus eliminasi anjing di Bali terdapat

kepentingan dua spesies yang saling berbenturan. Yaitu benturan antara kepentingan manusia

untuk menjaga stabilitas kesehatan dengan kepentingan anjing untuk tidak hidup dalam ancaman

eliminasi. Anjing-anjing di Bali yang dianggap telah menyebarkan penyakit rabies digunakan

sebagai alasan untuk mengambil cara eliminasi yang tidak tepat. Oleh karena itu, manusia harus

dapat bersikap egaliter terhadap hewan. Dalam kasus eliminasi anjing di Bali sangat terlihat

bahwa pemerintah masih sangat bersikap antroposentris terhadap anjing-anjing di Bali.

Anjing juga merupakan makhluk yang memiliki kemampuan merasakan rasa sakit,

Singer menyebutnya makhluk sentient. Bagi Singer, kemampuan untuk merasakan sakit

merupakan batas paling utama untuk mempertimbangkan hewan dalam pertimbangan keputusan

etis yang akan diambil. Dengan demikian, anjing sebagai makhluk sentient juga harus

dipertimbangkan kepentingannya. Apalagi anjing merupakan hewan yang berhubungan langsung

dengan kasus eliminasi akan dan akan menerima pengaruh dari putusan-putusan yang diambil

untuk mengurangi angka rabies.

7 Peter Singer, Animal Liberation, 2002, New York; HarperCollins Publisher Inc., hal. 5.

Spesiesme dalam..., Della Edelia Lisdiyati, FIB UI, 2014

Page 10: SPESIESME DALAM KASUS ELIMINASI ANJING DI BALI Tinjauan

Seperti yang telah dijelaskan bahwa kasus ini telah terjadi, sehingga langkah untuk

pencegahan sudah tidak dapat dijadikan sebagai jalan keluar. Alasan tersebut menjadikan

eliminasi sebagai jalan keluar yang terakhir, walaupun sesungguhnya eliminasi bukanlah jalan

keluar yang terbaik. Utilitarian juga mengajarkan bahwa suatu hal yang benar adalah sesuatu

yang berguna bagi kuantitas atau kualitas terbanyak. Hal tersebut mengindikasikan adanya suatu

kepentingan yang harus dikorbankan. Namun, hal yang harus dikorbankan tersebut nantinya juga

harus tetap turut dipertimbangkan. Kemampuan anjing dalam merasakan sakit harus

dipertimbangkan oleh pemerintah dalam mengambil tindakan etis pada kasus eliminasi anjing di

Bali.

Cara eliminasi yang dilakukan sekarang adalah dengan cara tulup dan dipukul. Cara

tersebut sangatlah tidak mencerminkan keseriusan pemerintah dalam mempertimbangkan

kepentingan anjing. Cara tersebut tentu dapat mengakibatkan penderitaan anjing yang lebih

panjang karena saat dieliminasi anjing-anjing tersebut tidak langsung mati sehingga anjing-

anjing tersebut harus merasakan sakit terlebih dahulu. Penulis setuju dengan pendapat dari

Animal Shanti bahwa jika memang eliminasi dianggap sebagai jalan keluar yang paling tepat

untuk mengurangi angka rabies di Bali seharusnya dilakukan dengan cara put to sleep atau sering

disebut sebagai euthanasia yang merupakan cara eliminasi yang tidak menimbulkan rasa sakit,

yaitu dengan cara memberi obat yang dapat membuat anjing terkantuk lalu langsung kehilangan

nyawa ketika tertidur. Cara eliminasi dengan cara put to sleep ini sama dengan euthanasia yang

disinggung oleh Singer sebagai berikut:

“'Euthanasia' means, according to the dictionary, 'a gentle and easy death', but it is now

used to refer to the killing of those who are incurably ill and in great pain or distress, for

the sake of those killed, and in order to spare them further suffering or distress.”8

Prinsip dasar moral kaum utilitarian adalah memaksimalkan pleasure dan meminimalkan

pain. Ketika anjing harus dieliminasi dengan alasan demi kebahagiaan dan kepentingan society

bagi manusia dan hewan lainnya agar tidak turut terjangkit rabies, maka yang dapat dilakukan

adalah mengeliminasi dengan cara meminimalkan rasa sakit anjing ketika dieliminasi. Ketika

anjing yang telah terbukti terjangkit rabies dan tidak dapat disembuhkan lagi tidak dieliminasi,

maka kemungkinan anjing tersebut akan menularkan penyakit sehingga akan menimbulkan

8 Taking Human Life, diunduh dari http://www.utilitarianism.net/singer/by/1993----.htm, 29 Mei 2014.

Spesiesme dalam..., Della Edelia Lisdiyati, FIB UI, 2014

Page 11: SPESIESME DALAM KASUS ELIMINASI ANJING DI BALI Tinjauan

penderitaan, baik bagi manusia, maupun hewan lainnya. Bagi kaum utilitarian seperti Singer,

yang menjadi permasalahan utama adalah penyiksaan atau penderitaan yang berkepanjangan,

bukan kematian itu sendiri. Sehingga, eliminasi dapat dijustifikasi dengan catatan dilakukan

dengan cara yang etis, yaitu cara yang tidak menimbulkan rasa sakit.

Jika eliminasi anjing tersebut dilakukan dengan cara yang tidak menimbulkan rasa sakit,

maka seluruh kepentingan yang berbenturan dalam kasus ini turut dipertimbangkan. Manusia

yang memiliki kepentingan untuk menjaga stabilitas kesehatan dan kepentingan hewan untuk

tidak merasakan penderitaan juga dapat dipertimbangkan. Sehingga dapat memaksimalkan

pleasure dan meminimalkan pain. Dengan demikian, prinsip utilitarian dapat diterapkan dalam

eliminasi anjing di Bali.

Cara yang dilakukan oleh Pemerintah Bali untuk mengeliminasi anjing adalah dengan

cara ditulup, dipukul dan diracun sehingga menimbulkan penderitaan yang berkepanjangan.

Singer mengatakan bahwa kita dapat mengetahui hewan tersebut merasakan sakit. Kita dapat

merasakan sakit dan dapat mengetahui bahwa kita merasakan sakit secara langsung dari apa yang

kita rasakan. Namun kita tidak dapat merasakan rasa sakit makhluk lain, sesama manusia

maupun hewan, namun yang jelas manusia dan hewan sama-sama dapat merasakan sakit, dan

kita tidak dapat merasakan hal yang sama dengan mereka karena rasa sakit dalam orang lain

hanya dapat kita duga dari berbagai indikasi eksternal. Sikap penanda termasuk menggeliat,

perubahan mimik muka, rintihan, meronta-ronta berusaha menghindari sumber rasa sakit. hewan

juga memiliki sistem syaraf seperti manusia yang merespon secara fisiologis ketika dalam

keadaan merasakan sakit.

Selain rasa sakit secara fisik, hewan juga dapat merasakan sakit secara mental. Hewan

juga dapat merasakan takut atas teror dan ancaman. Pemerintah Inggris telah melaporkan bahwa

hewan mampu menderita fisik, rasa takut, cemas, stress, dan sebagainya. Kepedulian akan

kesadaran yang dimiliki oleh hewan telah menjadi subjek yang serius untuk investigasi.

Lalu bagaimana dengan bahasa? Sesama hewan mungkin dapat berkomunikasi dengan

baik, lalu bagaimana berkomunikasi dengan manusia? Ludwig Wittgenstein berpendapat bahwa

“we cannot meaningfully attribute states of consciousness to beings without language.”9

Kaitan antara bahasa dan adanya rasa sakit adalah untuk mempermudah kita mengetahui

makhluk lain sedang merasakan sakit melalui ucapannya. Akan tetapi ini dapat terpatahkan

9 Peter Singer, Animal Liberation, 2002, New York: HarperCollins Publisher Inc.,, hal 14.

Spesiesme dalam..., Della Edelia Lisdiyati, FIB UI, 2014

Page 12: SPESIESME DALAM KASUS ELIMINASI ANJING DI BALI Tinjauan

karena ucapan atau bahasa bukanlah fakta yang dapat dijustifikasi ketika seseorang dapat

berbohong. Bagi Singer, bahasa bukanlah sekadar bahasa sistematik yang digunakan oleh

manusia normal. Bahasa juga merupakan simbol-simbol seperti bahasa tubuh. Dalam

menunjukkan rasa sakit, hewan memperlihatkan rasa sakit melalui bahasa tubuh dan suara atau

jeritan seperti bayi yang sedang merasakan sakit. Dalam buku Animal Liberation, ada salah satu

contoh spesiesme yang sangat terlihat terkait permasalahan bahasa ini. Bayi yang baru lahir juga

belum dapat berbicara, namun kita masih dapat merasakan bahwa ia merasakan sakit ketika kita

tampar misalnya.10

Namun pada hewan, walaupun hewan tersebut sudah meronta-ronta kesakitan

tetap saja kita tak mempedulikannya.

Manusia speciesists adalah manusia yang menyebabkan rasa sakit pada hewan dan tidak

akan menyebabkan rasa sakit yang mirip dengan manusia untuk alasan yang sama.11

Ini bukan

berarti bahwa kita harus berpegang teguh pada anggapan bahwa membunuh anjing adalah salah

seperti salahnya membunuh manusia. Karena membedakan secara saksama antara manusia dan

hewan lainnya memungkinkan adanya perbedaan yang harus dibuat dalam spesies kita sendiri.

Keberatan atas pembunuhan harus sama dengan keberatan dengan pembunuhan orang dewasa

normal.

Untuk menghindari adanya spesiesme, Singer mengatakan bahwa kita harus menghargai

bahwa makhluk yang bersangkutan mempunyai hak yang sama untuk hidup dan anggota spesies

biologis kita tidak dapat menjadi suatu kriteria moral yang relevan untuk hak ini. Kita telah

mengetahui bahwa kita tidak boleh membunuh manusia dewasa yang normal dengan alasan

mereka memiliki kepedulian terhadap diri dan dapat merencanakan suatu hal untuk masa depan.

Tikus dan hewan lainnya yang tidak termasuk ke dalam karakter ini setidaknya kita tidak bisa

menganggap bahwa spesies manusia memiliki kelebihan sehingga dapat memperlakukan hewan

dengan keji. Hewan tetap mempunyai hak untuk hidup di luar tekanan.

Sakit adalah sakit, apapun kapasitas yang dimiliki oleh suatu spesies lainnya tetap tidak

dapat mengubah hak hewan untuk hidup. Lalu bagaimana jika kita harus memilih antara

kehidupan manusia atau kehidupan hewan? Singer mengatakan bahwa kita harus memilih

kehidupan manusia. Tapi ada kasus-kasus tertentu yang mengharuskan hal sebaliknya, yaitu

ketika manusia tidak memiliki kapasitas untuk dapat dikatakan sebagai manusia normal.

10

Ibid. 11

Ibid., hal. 17.

Spesiesme dalam..., Della Edelia Lisdiyati, FIB UI, 2014

Page 13: SPESIESME DALAM KASUS ELIMINASI ANJING DI BALI Tinjauan

Preferensi dalam kasus manusia normal untuk menyelamatkan manusia melebihi hewan adalah

preferensi berdasarkan fakta karakteristik yang manusia miliki, bukan pada fakta bahwa mereka

adalah anggota dari spesies kita sendiri.

Kepentingan-kepentingan yang manusia dan hewan miliki memang berbeda, begitupun

dengan kapasitas mental dan kecerdasan. Namun, bagi Singer, untuk memberikan kesetaraan

pertimbangan kepentingan bagi hewan, pasti ada satu hal yang sama antara manusia dengan

hewan, yaitu kesamaan dalam merasakan penderitaan dan menikmati kesenangan. Batasan

hewan merupakan makhluk sentient merupakan alasan yang rasional untuk mengikutsertakan

kepentingan hewan.

Kesimpulan

Pulau Bali termasuk dalam provinsi di Indonesia dengan jumlah kasus rabies yang sangat

tinggi serta mengakibatkan korban jiwa yang tinggi pula. Hal tersebut diduga karena tingginya

populasi anjing di Bali yang sebagian besar diliarkan. Angka rabies yang terus meningkat di Bali

menjadikan rabies dianggap sebagai teror yang mengancam masyarakat Bali. Dalam rangka

mengurangi angka rabies yang tinggi dan memberantas virus rabies, Pemerintah Bali memilih

untuk mengeliminasi anjing di Bali. Namun, langkah ini tetap saja tidak dapat meminimalisir

tingginya angka rabies di Bali. Hal tersebut dikarenakan kurangnya koordinasi antara Pemerintah

Bali dengan Dinas Peternakan Bali.

Cara Pemerintah Bali dalam mengeliminasi anjing adalah dengan cara ditulup, dipukul,

diracun, dan ditembak. Cara eliminasi tersebut adalah cara yang salah karena mengakibatkan

anjing-anjing yang dieliminasi tidak langsung mati sehingga mengakibatkan rasa sakit yang

berkepanjangan. Banyak pihak yang mengecam cara eliminasi yang dilakukan oleh Pemerintah

Bali, terutama organisasi-organisasi pecinta hewan yang ada di Bali. Penolakan tersebut muncul

karena cara eliminasi yang tidak sesuai dengan asas kesejahteraan hewan.

Dalam teori utilitarianisme, dikatakan bahwa pertimbangan yang diberikan harus

menyeluruh. Pertimbangan bahwa hewan juga dapat merasakan sakit merupakan tolok ukur

utama dalam membuat putusan etis terhadap hewan. Anggapan bahwa manusia merupakan

makhluk yang memiliki derajat lebih tinggi harus dihilangkan, karena bagi Singer, manusia dan

Spesiesme dalam..., Della Edelia Lisdiyati, FIB UI, 2014

Page 14: SPESIESME DALAM KASUS ELIMINASI ANJING DI BALI Tinjauan

hewan sama-sama makhluk sentient. Oleh sebab itu, kita harus mengikutsertakan hewan dalam

seluruh putusan etis yang kita ambil.

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan kasus eliminasi anjing di Bali untuk

menjelaskan bagaimana manusia dan hewan merupakan makhluk yang sama-sama dapat

merasakan sakit, serta untuk melihat bagaimana seharusnya utilitarisnisme memberikan suatu

solusi terhadap suatu masalah. Utilitarianisme sangat memperhatikan konsekuensi dan

pertimbangan yang menyeluruh.

Jika melihat dari penjelasan kasus yang telah dijelaskan lalu dikaitkan dengan

pemahaman utilitarianisme, penulis menganggap bahwa kasus eliminasi anjing di Bali tidak

sejalan dengan prinsip utilitarianisme. Penulis menganggap bahwa eliminasi anjing di Bali hanya

memperhatikan pertimbangan manusia yang merasa terancam oleh teror rabies. Kepentingan

anjing sebagai makhluk sentient tidak dipertimbangkan. Oleh karena itu, penulis menganggap

bahwa kasus eliminasi anjing di Bali merupakan contoh kasus spesiesme.

Selain itu, penulis juga menggugat Peraturan Daerah Provinsi Bali tentang

penanggulangan rabies yang belum memadai. Banyak pasal-pasal dalam Peraturan Daerah Bali

tentang penanganan rabies yang masih terlihat sangat antroposentris dan akan merugikan hewan.

Menurut penulis, hal tersebut dikarenakan bahwa Pemerintah Bali belum mengerti mengenai

konsep kesejahateraan hewan. Sehingga, Pemerintah Bali hanya mempertimbangkan

kepentingan manusia. Ketidakpahaman Pemerintah Bali mengenai kesejahteraan hewan

mengakibatkan pengambilan kebijakan untuk mengurangi angka rabies di Bali dengan cara yang

salah.

Penulis juga menggugat hukum perlindungan untuk hewan yang belum bisa disebut

sebagai hukum perlindungan hewan. Penulis menganggap bahwa hukum tersebut belum secara

menyeluruh melindungi hewan. Kurangnya efek jera dalam hukuman tentu akan membuat kasus-

kasus kekerasan terhadap hewan akan terus muncul. Hal tersebut mengindikasikan bahwa hukum

perlindungan terhadap hewan tidak bersifat jangka panjang.

Spesiesme dalam..., Della Edelia Lisdiyati, FIB UI, 2014

Page 15: SPESIESME DALAM KASUS ELIMINASI ANJING DI BALI Tinjauan

Saran

Seperti yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya bahwa Undang-undang perlindungan

hewan di Indonesia sangatlah kurang memadai. Penulis menyarankan kepada Pemerintah untuk

duduk bersama dengan organisasi-organisasi penyayang hewan dan dokter hewan untuk

membahas bagaimana Undang-undang perlindungan hewan seharusnya. Penulis menganggap

apabila hanya pemerintah saja yang mengeksekusi Undang-undang ini, dikhawatirkan

Pemerintah hanya akan memikirkan anggaran saja, tanpa adanya pertimbangan kesejahteraan

hewan.

Penulis telah menjelaskan kondisi di beberapa negara yang telah memberikan hak khusus

kepada salah satu organisasi penyayang hewan, seperti Royal Society for the Prevention of

Cruelty to Animals yang mendapatkan status khusus dari Kerajaan Inggris. Penulis menyarankan

di Indonesia juga seharusnya memiliki organisasi penyayang hewan yang diberikan wewenang

legal untuk menyelidiki kasus-kasus penyiksaan terhadap hewan. Selain untuk memberikan

wewenang kepada pihak yang lebih paham, cara tersebut juga akan lebih memudahkan

pemerintah dalam mengawasi keadaan hewan di Indonesia.

Pemerintah Bali tidak seharusnya mengeliminasi anjing di Bali dengan cara yang salah.

Selain itu, sudah seharusnya penambahan anggaran untuk vaksinasi dan pembuatan

penampungan untuk anjing liar di Bali dilakukan. Pemerintah Bali juga harus memahami tentang

bagaimana cara mengeliminasi hewan dengan benar.

Terakhir, setelah Pemerintah memahami tentang konsep kesejahteraan hewan dan cara

mengeliminasi anjing yang benar, organisasi penyayang hewan seharusnya memberikan

pemahaman bagaimana masyarakat memperlakukan hewan dengan benar. Masyarakat perlu

menerapkan cara hidup utilitarian. Dengan menerapkan cara hidup utilitarian, akan muncul

keselarasan antara hubungan manusia dengan alam. Hal tersebut muncul karena utilitarian

menganjurkan kita untuk mempertimbangkan seluruh kepentingan yang terkena pengaruh dari

tindakan kita.

Daftar Referensi

Buku:

Spesiesme dalam..., Della Edelia Lisdiyati, FIB UI, 2014

Page 16: SPESIESME DALAM KASUS ELIMINASI ANJING DI BALI Tinjauan

Keraf, Sonny. Etika Lingkungan, 2002, Jakarta: Kompas.

Mill, John Stuart. (2001). Utilitarianism. Ontario: Batoche Books.

Singer, Peter. (2002). Animal Liberation. New York: HarperCollins Publisher.

__________. (2011). Practical Ethics: Third Edition. New York: Cambridge University Press.

__________. (2006). In Defense of Animals: The Second Wave. Victoria: Blackwell Publishing.

Website:

Jumlah Kasus Gigitan Anjing di Bali Meningkat Drastis, 2 Juni 2014.

http://www.republika.co.id/berita/nasional/daerah/14/05/10/n5cbxu-jumlah-kasus-gigitan-anjing-

di-bali-meningkat-drastis

Welfarian Bali, Untuk Menghentikan Eliminasi Massal yang Berkedok Penanggulangan Rabies

Secara Tidak Manusiawi & Mulai Bekerjasama dengan Organisasi-organisasi yang Peduli pada

Binatang. Diakses 12 Maret 2014, 16:51 WIB.

https://www.change.org/petitions/gubernur-bali-dinas-peternakan-untuk-menghentikan-

eliminasi-massal-yang-berkedok-penanggulangan-rabies-secara-tidak-manusiawi-mulai-

bekerjasama-dengan-organisasi-organisasi-yang-peduli-pada-binatang

Singer, Peter. Taking Human Life, Diakses 29 Mei 2014.

http://www.utilitarianism.net/singer/by/1993----.htm

Spesiesme dalam..., Della Edelia Lisdiyati, FIB UI, 2014